stock undervaluation, debt to assets ratio, dan...

30
Jurnal Keuangan dan Perbankan, Vol. 9, No. 2, Juni 2013, ISSN: 2089-4309 1 STOCK UNDERVALUATION, DEBT TO ASSETS RATIO, DAN CASH FLOW UNTUK MEMPREDIKSI STOCK REPURCHASE PADA PERUSAHAAN YANG TERDAFTAR DI BURSA EFEK INDONESIA PERIODE 2002 2009 Oleh: I Cenik Ardana Rosmita Rasyid ABSTRACT This is a replicative research to examine if Stock Undervaluation, Debt to Assets Ratio, and Cashflow can be used to predict Stock Repurchase. The population is all public companies registered in Indonesia Stock Exchange for the periode of 2002-2009. The sample is the companies repurchasing their own stocks during the periode of 2002-2009. The hypothesis test is using F test and t test of regression model. The F test indicated that Stock Undervaluation, Debt to Assets Ratio, and Cashflow all together could not be used to predict Stock Repurchase. Individual test using t test indicated that none of the predictor variables: Stock Undervaluation, Debt to Assets Ratio, and Cashflow individually could predict Stock Repurchase. These research’s findings supported the research’s findings by Islahuddin & Dhuhri (2011), which both used Indonesia Stock Exchange as a research data source, but these findings were different from those reported by some other researchers using other stock exchanges as research data sources. These different findings need furthur investigation, but the reason, for the time being, could be because of the different characteristics of the stock market and stockownership of the public companies registered in each stock exchange. Keywords: Stock Undervaluation, Debt to Assets Ratio, Cash Flow, Stock Repurchase ABSTRAK Penelitian ini merupakan penelitian replikasi yang bertujuan untuk menguji apakah Stock Undervaluation, Debt To Asset Ratio dan Cash Flow dapat digunakan untuk memprediksi Stock Repurchase. Populasi penelitian ini adalah semua perusahaan publik yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia selama periode 2002-2009. Sampel dipilih dari perusahaan-perusahaan yang melakukan Stock Repurchase selama periode 2002-2009. Uji hipotesis menggunakan uji F dan uji t dari model regresi. Hasil uji F menunjukkan bahwa Stock Undervaluation, Debt To Asset Ratio dan Cash Flow secara bersama sama tidak dapat digunakan untuk memprediksi Stock Repurchase.

Upload: dodung

Post on 25-May-2019

215 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Jurnal Keuangan dan Perbankan, Vol. 9, No. 2, Juni 2013, ISSN: 2089-4309 1

STOCK UNDERVALUATION, DEBT TO ASSETS RATIO, DAN CASH

FLOW UNTUK MEMPREDIKSI STOCK REPURCHASE PADA

PERUSAHAAN YANG TERDAFTAR DI BURSA EFEK INDONESIA

PERIODE 2002 – 2009

Oleh:

I Cenik Ardana

Rosmita Rasyid

ABSTRACT

This is a replicative research to examine if Stock Undervaluation, Debt to Assets

Ratio, and Cashflow can be used to predict Stock Repurchase. The population

is all public companies registered in Indonesia Stock Exchange for the

periode of 2002-2009. The sample is the companies repurchasing their own

stocks during the periode of 2002-2009. The hypothesis test is using F test

and t test of regression model. The F test indicated that Stock Undervaluation,

Debt to Assets Ratio, and Cashflow all together could not be used to predict

Stock Repurchase. Individual test using t test indicated that none of the

predictor variables: Stock Undervaluation, Debt to Assets Ratio, and Cashflow

individually could predict Stock Repurchase. These research’s findings

supported the research’s findings by Islahuddin & Dhuhri (2011), which both

used Indonesia Stock Exchange as a research data source, but these findings

were different from those reported by some other researchers using other

stock exchanges as research data sources. These different findings need

furthur investigation, but the reason, for the time being, could be because of

the different characteristics of the stock market and stockownership of the

public companies registered in each stock exchange.

Keywords: Stock Undervaluation, Debt to Assets Ratio, Cash Flow, Stock

Repurchase

ABSTRAK

Penelitian ini merupakan penelitian replikasi yang bertujuan untuk menguji

apakah Stock Undervaluation, Debt To Asset Ratio dan Cash Flow dapat

digunakan untuk memprediksi Stock Repurchase. Populasi penelitian ini

adalah semua perusahaan publik yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia

selama periode 2002-2009. Sampel dipilih dari perusahaan-perusahaan yang

melakukan Stock Repurchase selama periode 2002-2009. Uji hipotesis

menggunakan uji F dan uji t dari model regresi. Hasil uji F menunjukkan

bahwa Stock Undervaluation, Debt To Asset Ratio dan Cash Flow secara

bersama sama tidak dapat digunakan untuk memprediksi Stock Repurchase.

Jurnal Keuangan dan Perbankan, Vol. 9, No. 2, Juni 2013, ISSN: 2089-4309 2

Pengujian individual dengan uji t menunujukkan bahwa tidak ada satupun

dari variabel prediktor yakni Stock Undervaluation, Debt To Asset Ratio, dan

Cash Flow secara individual dapat memprediksi Stock Repurchase. Hasil

penelitian ini mendukung hasil penelitian Islahuddin & Dhuhri (2011), yang

juga menggunakan Bursa Efek Indonesia sebagai sumber data, namun

hasilnya berbeda jika dibandingkan dengan temuan para peneliti sebelumnya

yang menggunakan bursa efek lainnya sebagai sumber data. Perbedaan ini

membutuhkan penelitian lanjutan, namun untuk saat ini, kemungkinan

perbedaan hasil disebabkan oleh perbedaan karakteristik pasar saham dan

kepemilikan dari perusahaan publik pada masing-masing bursa saham

tersebut.

Kata kunci: Stock Undervaluation, Debt to Assets Ratio, Cash Flow, Stock

Repurchase

BAB I PENDAHULUAN

Sejak akhir tahun 1990an, penggunaan opsi saham dan pembelian kembali

saham perusahaan (stock repurchase) sebagai alat manajemen untuk mempengaruhi

harga saham dan pendapatan per lembar saham di bursa saham Amerika Serikat

meningkat secara tajam (Bens,Wong, dan Skinner, 2003). Sebagaimana dikatakan

oleh Barclay (2012), pembelian kembali saham (stock repurchase) di pasar terbuka

adalah suatu cara manajemen perusahaan untuk memiliki kembali saham perusahaan

yang telah beredar, dengan alasan antara lain: (a) sebagai sinyal untuk mencegah

penurunan harga pasar saham, (b) bila saham dinilai terlalu rendah (stock

undervalued), (c) untuk menghapus pemegang saham tertentu, (d) untuk

meningkatkan nilai pemegang saham, atau (e) untuk menurunkan pajak penghasilan

pemegang saham.

Sebelum manajemen perusahaan memutuskan untuk membeli kembali

sahamnya, maka manajemen harus menganalisis beberapa faktor yang diperkirakan

berhubungan dengan pembelian kembali saham, diantaranya adalah faktor Stock

Undervaluation, Debt to Assets Ratio dan Cash Flow. Dengan alasan itu, penelitian

Jurnal Keuangan dan Perbankan, Vol. 9, No. 2, Juni 2013, ISSN: 2089-4309 3

ini akan mengkaji kembali faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan pembelian

kembali saham perusahaan (stock repurchase).

1. Identifikasi Masalah

Penurunan nilai saham (stock undervaluation) secara signifikan dapat

menyebabkan kepercayaan prinsipal (pemegang saham) kepada manajemen (agen)

mengalami penurunan yang dapat saja berbuntut pada pemecatan manajemen

sebagai agen. Berdasarkan teori sinyal, pembelian kembali saham perusahaan

merupakan sinyal dari manajemen bahwa saham perusahaan dinilai terlalu rendah

dan oleh karena itu manajemen mengambil tindakan dengan membeli kembali saham

perusahaan sebagai upaya untuk menaikkan harga saham perusahaan.

Debt to Assets Ratio(DAR) merupakan salah satu proxy pengukuran struktur

modal, yaitu untuk mengukur prosentase nilai aset perusahaan yang dibiayai dari

pinjaman sedangkan prosentase nilai aset perusahaan yang dibiayai dari modal

sendiri (modal saham) adalah sebesar 1-DAR. Walaupun masih menimbulkan

perdebatan terhadap teori struktur modal, ada dugaan bahwa struktur modal

berpengaruh terhadap nilai perusahaan; oleh karena itu DAR dapat saja

mempengaruhi kebijakan manajemen untuk melakukan pembelian kembali saham

(stock repurchase).

Faktor Cash Flow juga harus dianalisis oleh manajemen, karena Cash Flow

mencerminkan kecukupan dana perusahaan yang berupa uang tunai. Membeli

kembali saham tentunya dengan membayar sejumlah uang sebagai kompensasi atas

perolehan kembali saham tersebut. Net Cash Flow yang surplus dan jumlahnya

relatif besar, memungkinkan perusahaan dapat membeli kembali sahamnya, dan

sebaliknya Net Cash Flow yang defisit akan menyulitkan perusahaan untuk membeli

kembali sahamnya.

Jurnal Keuangan dan Perbankan, Vol. 9, No. 2, Juni 2013, ISSN: 2089-4309 4

Namun harus disadari bahwa pengelolaan cashflow sebenarnya berpegang

pada prinsip atau teori risk and return (Fiegenbaum dan Thomas,1988). Kebijakan

kepemilikan saldo kas yang lebih besar memperkecil resiko kegagalan membayar

kewajiban-kewajiban tetap perusahaan, namun diikuti oleh hilangnya peluang

memperoleh return yang lebih besar karena tidak melakukan investasi pada kegiatan

produktif atau tidak melakukan perbaikan struktur modal melalui pembelian kembali

saham. Sebaliknya penggunaan kas untuk melakukan investasi atau melakukan

pembelian kembali saham perusahaan memperbesar peluang memperoleh return atau

nilai perusahaan yang lebih besar namun sekaligus juga diikuti oleh kenaikan resiko

kegagalan perusahaan untuk memenuhi kewajiban-kewajiban tetapnya.

2. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini akan mencoba menguji keterkaitan berbagai faktor dengan

keputusan manajemen untuk melakukan pembelian kembali saham perusahaan

(stock repurchase). .Namun mengingat banyaknya faktor yang mungkin

mempengaruhi keputusan manajemen tersebut, dalam penelitian ini dibatasi hanya

pada beberapa faktor saja, antara lain: Stock Undervaluation, Debt To Assets Ratio,

dan Cashflow. Penelitian ini menggunakan data sekunder dari perusahaan-

perusahaan publik yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia, yang melakukan stock

repurchase pada periode tahun 2002 sampai dengan 2009.

3. Perumusan Masalah

Atas dasar latar belakang dan identifikasi masalah di atas, masalah penelitian

ini dirumuskan sebagai berikut:

- Apakah Stock Undervaluation dapat digunakan untuk memprediksi Stock

Repurchase?

Jurnal Keuangan dan Perbankan, Vol. 9, No. 2, Juni 2013, ISSN: 2089-4309 5

- Apakah Debt To Assets Ratio dapat digunakan untuk memprediksi Stock

Repurchase?

- Apakah Cashflow dapat digunakan untuk memprediksi Stock

Repurchase?

- Apakah Stock Undervaluation, Debt To Assets Ratio, dan Cashflow

secara bersama-sama dapat digunakan untuk memprediksi Stock

Repurchase?

-

4. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan khusus dari penelitian ini adalah untuk menguji apakah stock

undervaluation, debt to assets ratio dan cash flow dapat digunakan untuk

memprediksi pembelian kembali saham yang beredar (stock repurchase) baik secara

parsial maupun bersama-sama. Sedangkan dengan penelitian ini diharapkan

sedikitnya dapat diperoleh dua manfaat: pertama, secara teoritis, penelitian ini akan

mencoba mencari bukti untuk mengkonfirmasi validitas teori kandungan informasi

(information content), teori keagenan, dan teori struktur modal, dan kedua, secara

praktis, membantu manajemen mengidentifikasi berbagai faktor yang mempengaruhi

keputusan pembelian saham kembali (stock repurchase) melalui dukungan fondasi

teori dan informasi akuntansi sebagai bahan untuk proses pengambilan keputusan

dalam hal pembelian kembali saham yang beredar.

BAB II STUDI PUSTAKA

A. Kajian Teori

1. Stock Undervaluation

Jurnal Keuangan dan Perbankan, Vol. 9, No. 2, Juni 2013, ISSN: 2089-4309 6

Sebelum membahas stock undervaluation, maka akan dibahas dahulu

mengenai pengertian saham, harga saham dan penentuan harga saham. Suad Husnan

(2005) mengatakan bahwa saham menunjukkan bukti kepemilikan atas suatu

perusahaan yang berbentuk Perseroan Terbatas (PT). Sunariyah (1997)

mendefinisikan saham sebagai penyertaan modal dalam pemilikan suatu Perseroan

Terbatas (PT) atau yang biasa disebut emiten. Jones (2002) mengartikan saham

sebagai: ”.....an equity security representation the ownership interest in

corporation.”

Dari beberapa pengertian tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa saham

merupakan satuan atau unit atau pecahan yang sama dari keseluruhan modal yang

dibagikan kepada seseorang atau kelompok sebagai tanda bukti kepemilikan suatu

perusahaan yang berbentuk korporasi (Perseroan Terbatas).

Setelah dibahas pengertian saham, maka berikut ini akan dibahas mengenai

harga saham. Harga saham adalah harga selembar saham selama satu periode

(Spireframe, 2011). Jogiyanto (2003) mengatakan bahwa harga saham adalah harga

yang ditentukan oleh penawaran dan permintaan dari anggota bursa. Sawidji (2000)

menjelaskan harga saham sebagai harga jual dari investor yang satu kepada yang

lain. Harga ini terjadi setelah saham dicatatkan di bursa, baik bursa utama maupun

over the counter.

Berdasarkan beberapa pengertian tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa

harga saham adalah harga transaksi selembar saham yang terjadi antar investor

(penjual dan pembeli) sesuai penawaran dan permintaan yang terjadi di bursa.

Saham yang beredar harus ditaksir dulu nilai intrinsiknya yang kemudian

nilai intrinsik tersebut dibandingkan dengan harga pasar saat itu. Yang dimaksud

dengan pengertian nilai intrinsik (NI) menurut Suad Husnan (2005) adalah nilai

Jurnal Keuangan dan Perbankan, Vol. 9, No. 2, Juni 2013, ISSN: 2089-4309 7

tunai (present value) arus kas yang diharapkan dari saham tersebut. Nilai tunai atau

nilai intrinsik (NI) saham dibandingkan dengan harga pasar saat itu. Dengan

membandingkan NI dengan harga pasar saham, akan diperoleh tiga kemungkinan.

Pertama, jika NI lebih besar dari harga pasar saat itu, maka saham tersebut dinilai

terlalu rendah (undervalued). Kedua, jika NI lebih kecil dari harga pasar maka saham

tersebut dinilai terlau mahal (overvalued), dan ketiga, jika NI sama dengan harga

pasar maka saham telah dinilai sesuai dengan harga wajar dan harga saham berada

dalam kondisi keseimbangan.”

Salah satu cara lain untuk mengetahui saham yang dinilai rendah (stock

undervalued) adalah dengan cara mengamati perusahaan-perusahaan yang

melakukan pengurangan saham yang beredar secara signifikan selama beberapa

tahun terakhir yang disebut sebagai stock repurchase plan dimana perusahaan

menggunakan uang kas perusahaan untuk membeli sahamnya sendiri, kemudian

saham yang telah dibeli ini dimusnahkan sehingga total aset dan keuntungan

perusahaan akan dibagi oleh jumlah lembar saham yang lebih sedikit (Kennon,

2012).

2. Stock Repurchase

Weygandt et al (2011) mengatakan bahwa stock repurchase atau treasury

shares adalah saham suatu korporasi yang telah diterbitkan dan kemudian dibeli

kembali oleh perusahaan dari para pemegang saham, namun saham tersebut tidak

dihentikan (not retired). Warren et al (2005) mengatakan bahwa treasury shares

adalah saham yang telah diterbitkan oleh suatu korporasi dan kemudian dibeli

kembali. Berdasarkan beberapa pengertian tersebut di atas, dapat disimpulkan

bahwa stock repurchase/ treasury stock adalah pembelian kembali saham perusahaan

yang sudah beredar, untuk disimpan sebagai treasuri, untuk nantinya dijual kembali.

Jurnal Keuangan dan Perbankan, Vol. 9, No. 2, Juni 2013, ISSN: 2089-4309 8

Beberapa alasan perusahaan membeli kembali sahamnya yang beredar antara

lain dikatakan oleh Investopedia (2012) yang mengatakan bahwa pembelian kembali

saham yang beredar oleh perusahaan akan meningkatkan pendapatan per lembar

saham (earning per share) sehingga akan meningkatkan nilai pasar saham beredar

yang tersisa. Alasan lain dikatakan oleh Kieso et al (2011), yaitu: (a) to provide tax-

efficient distributions of excess cash to shareholders, (b) to increase earnings per

share and return on equity, (c) to provide shares for employee compensation

contracts or to meet potential merger needs, (d) to thwart takeover attempts or to

reduce the number of shareholder, (e) to make a market in the shares.

Dari kelima alasan yang dikatakan oleh Kieso et al, maka alasan butir (e)

yang sesuai dengan alasan pembelian kembali saham (stock repurchase / treasury

stock) yang akan dibahas dalam penelitian ini, yaitu untuk mengurangi lembar saham

yang beredar dengan harapan bisa menaikkan nilai pemegang saham melalui

kenaikan harga saham. Namun sebagaimana dikatakan oleh Kennon (2012),

pembelian kembali saham oleh perusahaan harus dilaksanakan dengan hati-hati

karena tindakan tersebut malah bisa saja merugikan perusahaan yaitu perusahaan

akan mengalami kesulitan likuiditas (kas) atau bila saham yang dibeli ternyata sudah

over valued.

3. Debt to Assets Ratio

Beberapa pengertian Debt to Assets Ratio dari beberapa pakar diberikan

berikut ini. Kieso et al (2011) mengatakan bahwa debt to total assets ratio mengukur

total aset yang didanai dari pinjaman kreditor. Weygandt et al (2011) mengatakan

bahwa debt to total assets ratio mengukur prosentase total aset yang dananya

diberikan oleh kreditor. Dari beberapa pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa

Jurnal Keuangan dan Perbankan, Vol. 9, No. 2, Juni 2013, ISSN: 2089-4309 9

debt to assets ratio adalah pengukuran seberapa besar (dalam prosentase) aset

perusahaan yang dibiayai dari pinjaman pihak kreditur.

Debt to total asset ratio atau 1 dikurangi debt to total assets ratio sebenarnya

juga mencerminkan struktur permodalan perusahaan. Struktur permodalan adalah

pilihan perusahaan tentang seberapa banyak perusahaan secara relatif menggunakan

pinjaman dibandingkan dengan ekuitas dalam mendanai kegiatan perusahaan

(Jordan,Westerfield, dan Ross, 2011). Atau dengan kata lain seperti diungkapkan

oleh Brealey dan Myers (1991), struktur permodalan mencerminkan bauran sekuritas

(pinjaman dan ekuitas).

Isu tentang struktur modal telah mendapat perhatian banyak pihak

(akademisi, analis keuangan, praktisi keuangan) terutama dikaitkan dengan isu

sentral – ada tidaknya pengaruh struktur modal terhadap nilai perusahaan. Lindanaty

(2011) mengutip beberapa teori struktur modal yang penting, antara lain: teori

Modigliani dan Miller (teori MM), teori Static Trade-Off Miller dan teori Pecking

Order Hypothesis Myers dan Majluf.

Modigliani-Miller mengemukakan dua model teori, yaitu model MM-I: tanpa pajak dan

model MM-II: dengan pajak. Implikasi dari model MM-I adalah bahwa struktur modal tidak

berpengaruh terhadap nilai perusahaan. Pada model MM-II, nilai dari perusahaan yang

menggunakan dana pinjaman sama dengan nilai dari perusahaan yang tidak

menggunakan dana pinjaman, namun perusahaan yang menggunakan dana pinjaman

memperoleh manfaat dari penghematan pajak karena beban bunga pinjaman dapat

dikurangkan (deductible) dari laba perusahaan dalam perhitungan beban pajak

perseroan.

Implikasi dari model struktur modal MM-II ini adalah bahwa pengunakan

dana pinjaman 100% merupakan struktur modal optimal yang dapat memberikan

Jurnal Keuangan dan Perbankan, Vol. 9, No. 2, Juni 2013, ISSN: 2089-4309 10

nilai perusahaan yang paling maksimal sebab besarnya penghematan dari pajak akan

selalu lebih besar dari kenaikan biaya modal akibat penggunaan dana pinjaman

tersebut. Kedua model struktur modal MM ini mendapat kritikan sebagai tidak

realistis. Dalam praktik asumsi tanpa pajak dan asumsi bahwa perusahaan

menggunakan dana pinjaman 100% tentu sangat tidak realistis.

Teori struktur modal static trade-off Miller menjelaskan bahwa perusahaan

akan berusaha mencari dana pinjaman sampai pada tingkat pinjaman tertentu,

dimana penghematan pajak (tax shields) dari tambahan pinjaman sama dengan biaya

kesulitan keuangan (financial distress). Biaya kesulitan keuangan terdiri dari biaya

kebangkrutan, dan biaya keagenan (agency costs) yang meningkat akibat dari

turunnya kredibilitas suatu perusahaan. Model teori static trade-off berasumsi bahwa

pasar adalah efisien dan informasi bersifat simetris.

Teori Pecking Order Theory dari Myers dan Majluf menjelaskan bahwa

perusahaan dengan tingkat profitabilitas yang tinggi justru tingkat pinjamannya

rendah, disebabkan perusahaan yang profitabilitasnya tinggi memiliki sumber dana

internal yang berlimpah. Dalam Pecking Order Theory terdapat skenario urutan

(hierarki) dalam memilih sumber pendanaan, yaitu : (a) penggunaan dana internal

(laba ditahan), (b) jika pendanaan eksternal diperlukan, maka perusahaan akan

memilih mulai dari sekuritas yang memiliki resiko yang paling rendah, selanjutnya

ke pendanaan yang lebih berisiko (misalnya: obligasi konversi, saham preferen) dan

yang terakhir adalah saham biasa.

Dalam teori ini, manajer keuangan tidak memperhitungkan tingkat pinjaman

yang optimal. Kebutuhan dana ditentukan oleh kebutuhan investasi. Oleh karena itu,

Pecking Order Theory ini dapat menjelaskan mengapa perusahaan yang mempunyai

tingkat keuntungan yang tinggi justru mempunyai tingkat pinjaman yang kecil. Teori

Jurnal Keuangan dan Perbankan, Vol. 9, No. 2, Juni 2013, ISSN: 2089-4309 11

Equity Market Timing (Baker dan Wurgler, 2002) menjelaskan bahwa perusahaan-

perusahaan akan menerbitkan saham pada saat market value saham tinggi dan akan

membeli kembali saham perusahaan pada saat market value saham rendah. Tujuan

dari melakukan equity market timing adalah untuk mengeksploitasi fluktuasi

sementara yang terjadi pada cost of equity terhadap cost of other forms of capital.

Dari beberapa teori struktur modal yang telah diungkapkan, nampak terdapat

penjelasan yang beragam dan cenderung saling bertentangan dalam menjelaskan

hubungan antara struktur modal dengan nilai perusahaan, harga saham, dan alasan

pembelian kembali saham perusahaan. Maka tidak heran bila Myers (1984) sampai

mengatakan bahwa permasalahan struktur modal masih merupakan suatu teka-teki (

a puzzle) karena hanya sedikit sekali diketahui, khususnya melalui hasil penelitian

tentang bagaimana perusahaan memilih pendanaan dengan pinjaman, saham atau

sekuritas hybrid. Barangkali teori Equity Market Timing dari Baker dan Wurgler

dapat digunakan sebagai salah satu acuan untuk menjelaskan hubungan antara

struktur modal dengan perilaku pembelian kembali saham perusahaan oleh

manajemen.

4. Cash Flow

Pengertian cash flow dari beberapa pakar dapat diberikan berikut ini. Warren

et al (2005) mengatakan bahwa laporan arus kas (cash flow) melaporkan arus kas

masuk dan arus kas keluar utama suatu perusahaan. Laporan arus kas memberikan

informasi bermanfaat tentang kemampuan perusahaan untuk menghasilkan kas dari

operasi, memelihara dan memperluas kapasitas usaha, memenuhi kewajiban finansial

dan untuk membayar dividen. Skousen et al (2000) menjelaskan bahwa laporan arus

kas (cash flow statement) menggambarkan perubahan kas dan setara kas selama

suatu periode tertentu. Begitu pula Spiceland et al (2004) mengatakan bahwa laporan

Jurnal Keuangan dan Perbankan, Vol. 9, No. 2, Juni 2013, ISSN: 2089-4309 12

arus kas (cash flow statement) merupakan salah satu komponen penting dari

seperangkat laporan keuangan utama suatu perusahaan.

Jadi dapat disimpulkan bahwa cash flow statement menjelaskan perubahan

kas dan setara kas yang terjadi dalam suatu periode, baik arus kas masuk maupun

arus kas keluar yang merupakan salah satu jenis laporan keuangan penting dari

seperangkat laporan keuangan utama.

Adapun tujuan Laporan Arus Kas (Cash Flow Statement) menurut Ikatan

Akuntan Indonesia (2009) adalah :

“Untuk menilai kemampuan entitas dalam menghasilkan kas dan setara kas

serta menilai kebutuhan entitas untuk menggunakan arus kas tersebut.

Dalam proses pengambilan keputusan ekonomi, pengguna perlu melakukan

evaluasi terhadap kemampuan entitas dalam menghasilkan kas dan setara

kas serta kepastian perolehannya”

Prinsip dasar dalam pengelolaan arus kas berpegang pada “risk and return

principle” (Investopedia, 2012). Risk and return principle adalah suatu prinsip dalam

investasi dimana bila tujuan perusahaan adalah untuk meningkatkan potensi laba

(return, profit) maka konsekuensinya akan berhadapan dengan peningkatan resiko

(resiko bisnis, resiko finansial), sebaliknya bila tujuan perusahaan ingin mengurangi

resiko maka konsekuensinya, potensi laba yang ingin direalisasikan akan berkurang.

Dalam kaitan dengan strategi tentang struktur permodalan, seorang manajer

keuangan akan selalu dihadapkan pada trade off risk and return antara pendanaan

dari pinjaman dan modal sendiri (saham). Pendanaan dari pinjaman berpotensi

meningkatkan earning per share (EPS) dan nilai perusahaan, namun sekaligus juga

dihadapkan pada potensi peningkatan financial distress yang bisa menyulitkan

likuiditas (cashflow) perusahaan, sebaliknya bila memilih pendanaan dengan saham

akan menurunkan resiko financial distress namun sekaligus juga akan menurunkan

EPS. Prinsip trade off risk and return dalam pengelolaan arus kas ini akan ikut

Jurnal Keuangan dan Perbankan, Vol. 9, No. 2, Juni 2013, ISSN: 2089-4309 13

mempengaruhi keputusan manajemen untuk membeli atau tidak membeli kembali

saham perusahaan yang beredar.

B. Penelitian Terdahulu

Penelitian mengenai Stock Undervalued, Debt to Assets Ratio, Cash Flow,

dan Stock Repurchase telah dilakukan oleh beberapa peneliti terdahulu.

Islahuddin & Dhuhri (2011) meneliti pengaruh Stock Undervaluation, Debt

to Assets Ratio dan Cash Flow terhadap Stock Repurchase dan menyatakan bahwa

Stock Undervaluation, Debt to Assets Ratio dan Cash Flow ternyata tidak dapat

memprediksi Stock Purchase. Mitchel (2006) meneliti pengaruh Stock

Undervaluation terhadap Stock Purchase dan menyatakan bahwa Stock

Undervaluation dapat memprediksi Stock Purchase. Dittmar (2000) meneliti

pengaruh Stock Undervaluation, dan Cash Flow terhadap Stock Repurchase. dan

menyatakan bahwa Stock Undervaluation dan Cash Flow dapat memprediksi Stock

Repurchase. Stephens dan Weisbact (1998) meneliti pengaruh Cash Flow terhadap

Stock Repurchase dan menyatakan bahwa Cash Flow dapat memprediksi Stock

Repurchase.

C. Pengembangan Hipotesis

Penilaian saham yang terlalu rendah (stock undervalued) mencerminkan nilai

perusahaan dipersepsikan terlalu rendah oleh para investor. Manajemen perusahaan

sangat berkepentingan untuk menjaga agar nilai perusahaan tidak merosot; oleh

karena itu pada saat saham dinilai terlalu rendah (stock undervalued), maka

berdasarkan teori Equity Market Timing dari Baker dan Wurgler, (2002) salah satu

kemungkinan tindakan manajemen adalah melakukan pembelian saham yang beredar

Jurnal Keuangan dan Perbankan, Vol. 9, No. 2, Juni 2013, ISSN: 2089-4309 14

(stock repurchase) dengan harapan dapat menaikkan harga saham di bursa, yang

pada gilirannya meningkatkan nilai perusahaan.

Atas dasar pemahaman ini dapat disimpulkan bahwa stock undervaluation

dapat memprediksi pembelian kembali saham yang beredar (stock repurchase /

treasury stock). Dengan demikian dapat dirumuskan hipotesis penelitian sebagai

berikut:

H1 : Stock Undervaluation dapat memprediksi Stock Repurchase .

Semakin tinggi Debt to Total Asset Ratio maka semakin besar pula risiko

financial distress (ketidak cukupan dana perusahaan untuk melunasi bunga dan

pokok pinjaman yang sudah jatuh tempo). Dengan mengacu pada teori struktur

modal static trade-off Miller (dalam Lindanaty, 2011), pada Debt to Assets Ratio

yang tinggi, perusahaan cenderung untuk berusaha menurunkan financial distress

dengan menjual saham atau saham treasuri(stock repurchase) dan hasilnya

digunakan untuk mengurangi pokok pendanaan dari pinjaman. Atau pada saat Debt

to Total Asset Ratio rendah, perusahaan akan berusaha meningkatkan Debt to Total

Asset Ratio, antara lain dengan cara melakukan pembelian kembali saham

perusahaan yang beredar (stock repurchase) sehingga saldo modal saham menjadi

berkurang secara relatif bila dibandingkan dengan total modal pinjaman.

Atas dasar pemahaman ini, dapat dirumuskan hipotesis penelitian sebagai

berikut:

H2 : Debt to Assets Ratio dapat memprediksi Stock Repurchase.

Arus kas (cashflow) perusahaan mampu menggambarkan likuiditas

perusahaan dimasa sekarang dan di masa yang akan datang. Manajemen perusahaan

dan para investor sangat berkepentingan terhadap kesehatan manajemen kas.

Jurnal Keuangan dan Perbankan, Vol. 9, No. 2, Juni 2013, ISSN: 2089-4309 15

Investor berkepentingan antara lain untuk memperoleh dividen, dan pembayaran

angsuran pokok pinjaman beserta bunganya.

Berdasarkan prinsip risk and return (Investopedia, 2012) dalam pengelolaan

kas, manajemen berkepentingan untuk menjamin beban operasional perusahaan

dapat dibayar dan nilai perusahaan dapat dijaga jangan sampai mengalami

penurunan. Pembelian kembali saham yang beredar (stock repurchase) diharapkan

dapat menaikkan nilai perusahaan/harga saham, namun penggunaan kas dalam

jumlah besar untuk membeli saham kembali juga akan meningkatkan resiko

kegagalan untuk memenuhi kewajiban-kewajiban tetap operasional perusahaan.

Sebaliknya penjualan kembali saham (treasury stock) dapat meningkatkan saldo kas

perusahaan sehingga menurunkan resiko kegagalan membayar kewajiban-kewajiban

tetap perusahaan, namun sekaligus juga dapat menurunkan nilai perusahaan atau

harga saham.

Atas dasar pemahaman ini dapat dirumuskan hipotesis penelitian sebagai

berikut:

H3 : Cash Flow dapat memprediksi Stock Repurchase.

Selanjutnya berdasarkan perumusan ke-tiga hipotesis di atas (H1, H2, H3),

dapat dirumuskan hipotesis ke-empat sebagai berikut:

H4 : Stock Undervaluation, Debt to Assets Ratio, dan Cash Flow secara

bersama sama dapat memprediksi Stock Repurchase.

BAB III METODE PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian

Jurnal Keuangan dan Perbankan, Vol. 9, No. 2, Juni 2013, ISSN: 2089-4309 16

Penelitian ini dilakukan atas data sekunder dari Bursa Efek Indonesia berupa

data perusahaan yang melakukan stock repurchase / treasury stock pada periode

tahun 2002 sampai dengan 2009. Penelitian dilakukan mulai bulan Juni sampai

dengan Desember 2012.

B. Populasi, Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel

Populasi dari penelitian ini adalah semua perusahaan yang go public di Bursa

Efek Indonesia pada tahun 2002 – 2009. Teknik pengambilan sampel adalah dengan

metode purposive sampling,yaitu dengan memilih perusahaan-perusahaan publik

yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia yang telah melakukan pembelian kembali

saham yang beredar (stock repurchase) pada periode tahun 2002 – 2009.

C. Model Penelitian

Model penelitian dapat dijelaskan pada Gambar 3-1.

e =error

H1

H2

H3

H4

Gambar 3-1: Model Penelitian

Model penelitian ini menggunakan analisis regresi berganda dengan: Stock

Undervaluation, Debt to Assets Ratio, dan Cash Flow merupakan variabel

independen, sedangkan Stock Repurchase merupakan variabel dependen.

SU (Stock

Undervaluation)

DAR(Debt to Asset

Ratio)

CF

(Cash Flow)

SR

( Stock Repurchase )

Jurnal Keuangan dan Perbankan, Vol. 9, No. 2, Juni 2013, ISSN: 2089-4309 17

Persamaan regresi berganda adalah:

SRit = ait + bSUit + cDARit + dCFit + eit

Keterangan :

SR = Stock Repurchase ; SU = Stock Undervaluation;DAR = Debt to Assets

Ratio; CF = Cash Flow; eit =error

Sebelum hasil model regresi berganda digunakan sebagai alat uji hipotesis,

terlebih dahulu dilakukan uji asumsi klasik yang berupa uji normalitas, uji

multikolinieritas, uji autokorelasi, dan uji heteroskedastisitas.

D. Definisi Operasional Variabel

Terdapat empat variabel dalam penelitian ini yaitu Stock Undervaluation,

Debt to Assets Ratio, Cash Flow dan Stock Repurchase / Treasury Stock..

Stock Undervaluation diukur dengan formula: Nilai Pasar Saham / Nilai

Buku Saham,

Debt to Assets Ratio diukur dengan formula: Total Pinjaman / Total Aset,

Cash Flow diukur dengan formula: Arus Kas Operasi / Total Aset,

Stock Repurchase dihitung dengan formula: jumlah nilai rupiah pembelian

saham kembali/ nilai pasar saham pada akhir tahun sebelumnya.

E. Data, Teknik Pengumpulan dan Pengolahan Data

Data penelitian ini adalah data sekunder, yakni data dari perusahaan yang

melakukan stock repurchase / treasury stock pada tahun 2002 sampai dengan 2009,

yang terdapat dalam laporan keuangan perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek

Indonesia. Data dianalisis dengan terlebih dahulu menguji asumsi klasik yang terdiri

dari uji normalitas, multikolinieritas, heteroskedastisitas, dan autokorelasi. Apabila

Jurnal Keuangan dan Perbankan, Vol. 9, No. 2, Juni 2013, ISSN: 2089-4309 18

keempat uji asumsi klasik tersebut memenuhi syarat uji, maka data dinyatakan layak

uji, yang selanjutnya analisis dilakukan dengan membuat analisis regresi, serta

pengujian hipotesis baik secara parsial maupun secara simultan, dengan

menggunakan program komputer SPSS for windows 17.

F. Perumusan Hipotesis

Dari tinjauan teori dan hasil penelitian sebelumnya, maka dapat diajukan

perumusan hipotesis sebagai berikut :

H1 : Stock Undervaluation secara parsial dapat memprediksi Stock

Repurchase .

H2 : Debt to Assets Ratio secara parsial dapat memprediksi Stock

Repurchase .

H3 : Cash Flow secara parsial dapat memprediksi Stock Repurchase .

H4 : Stock Undervaluation, Debt to Assets Ratio, dan Cash Flow secara

bersama sama dapat memprediksi Stock Repurchase.

G. Pengujian Hipotesis

Pengujian hipotesis dilakukan dengan menggunakan model regresi yaitu

dengan uji t (uji Parsial) dan uji F (uji Anova). Uji t merupakan pengujian koefisien

regresi masing masing variabel independen terhadap variabel dependen, untuk

mengetahui apakah masing-masing variabel independen secara parsial dapat

memprediksi variabel dependen. Uji F digunakan untuk mengetahui apakah semua

variabel independen secara bersama-sama dapat memprediksi variabel dependen.

H. Pengujian Coeficient Correlation dan Coeficient Determination

Uji koefisien correlation (R) digunakan untuk mengetahui derajat kekuatan

hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen. Pengujian

Jurnal Keuangan dan Perbankan, Vol. 9, No. 2, Juni 2013, ISSN: 2089-4309 19

koefisien determinasi (R Square) digunakan untuk mengetahui persentase

sumbangan pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

A. HASIL PENELITIAN

1. Analisis Statistik Deskriptif

Statistik deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan subyek maupun

variabel-variabel dalam penelitian ini dan memberikan gambaran umum tentang

semua variabel. Statistik deskriptif menggambarkan antara lain jumlah sampel (n),

nilai rata-rata (mean) dan simpangan baku (standard deviation) setiap variabel

sebagaimana terlihat pada Tabel 4-1: Descriptive Statistics.

Tabel 4-1

Descriptive Statistics

Mean Std.

Deviation

N

SR 1,3083 ,89844 40

SU 2,2265 2,07175 40

DAR ,5060 ,21063 40

CF ,1025 ,12409 40

Keterangan:

SU = Stock Undervaluation; DAR = Debt to Assets Ratio; CF = Cash Flow

SR = Stock Repurchase

Jumlah sampel (n) untuk seluruh variabel yang diteliti adalah 40 perusahaan

publik yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia dan yang melakukan pembelian

saham kembali (stock repurchase) selama periode 2002 sampai dengan 2009.

Semua sampel adalah valid. Nilai rata-rata, dan simpangan baku untuk Stock

Undervaluation (SU) adalah 2,23; 2,07. Nilai rata-rata, dan simpangan baku untuk

Debt to Assets Ratio (DAR) adalah 0,50; 0,21. Nilai rata-rata, dan simpangan baku

Jurnal Keuangan dan Perbankan, Vol. 9, No. 2, Juni 2013, ISSN: 2089-4309 20

untuk Cash Flow (CF) adalah 0,10; dan 0,12. Nilai rata-rata, dan simpangan baku

untuk Stock Repurchase (SR) adalah 1,30 dan 0,89.

2. Uji Asumsi Klasik

Uji asumsi klasik meliputi uji normalitas, uji multikolinieritas, uji

heteroskedastisitas, dan uji otokorelasi.

Uji normalitas data menggunakan uji statistik non-parametrik Kolmogorov-

Smirnov (K-S) dan hasilnya dapat dilihat pada Tabel 4-2. Dari tabel ini dapat

diketahui bahwa unstandardized residual menunjukkan signifikansi sebesar 0,246.

Tabel 4-2

Uji Normalitas Data

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

Unstandardized

Residual

N 40

Normal Parametersa Mean ,0000000

Std. Deviation ,34811957

Most Extreme Differences Absolute ,162

Positive ,162

Negative -,110

Kolmogorov-Smirnov Z 1,024

Asymp. Sig. (2-tailed) ,246

a. Test distribution is Normal.

b. Sig. di atas kriteria = 0.05; berarti data

berdistribusi normal.

Nilai signifikansi residual sebesar 0,246 masih lebih besar dari kriteria

signifikansi sebesar 0,05. Ini berarti nilai residual terdistribusi secara normal.

Uji multikolinieritas dapat dilihat pada Tabel 4-3. Pengujian dilakukan

berdasarkan nilai VIF (Variance Inflation Factor) dan nilai Tolerance. Suatu model

regresi dapat dikatakan bebas dari multikolinieritas jika memiliki angka VIF di

Jurnal Keuangan dan Perbankan, Vol. 9, No. 2, Juni 2013, ISSN: 2089-4309 21

sekitar 1 (kurang dari 10) dan angka tolerance mendekati 1 (lebih besar dari 0,10)

(Imam Ghozali, 2009: 96)

Tabel 4-3

Uji Multikolinieritas

Coefficientsa

Model Unstandardized

Coefficients

Standardized

Coefficients

t Sig. Collinearity

Statistics

B Std. Error Beta Tolerance VIF

1

(Constant) 1,189 ,484 2,457 ,019

SU ,001 ,079 ,002 ,011 ,991 ,832 1,202

DAR ,333 ,804 ,078 ,414 ,681 ,770 1,299

CF -,498 1,425 -,069 -,350 ,729 ,706 1,416

a. Dependent Variable: SR

Keterangan:

SU = Stock Undervaluation; DAR = Debt to Assets Ratio; CF = Cash Flow

SR = Stock Repurchase. SU, DAR, CF,

Dari Tabel45-3, dapat diketahui bahwa nilai tolerance untuk variabel

independen SU, DAR, CF, masing-masing sebesar 0,832; 0,770; dan 0,706, lebih

besar daripada 0,10 sedangkan nilai VIF untuk SU, DAR, CF, masing-masing

sebesar 1,202; 1,299; dan 1,416, lebih kecil daripada 10. Ini berarti tidak terdapat

masalah multikolinieritas antar variabel-variabel independen.

Pengujian Heteroskedastisitas dalam penelitian ini menggunakan uji Glejser.

Hasil uji heteroskedastisitas dapat dlihat pada tabel 4-4.

Tabel 4-4

Uji Heteroskedastisitas dengan Uji Glejser

Coefficientsa

Jurnal Keuangan dan Perbankan, Vol. 9, No. 2, Juni 2013, ISSN: 2089-4309 22

Model Unstandardized

Coefficients

Standardized

Coefficients

T Sig.

B Std. Error Beta

1

(Constant) ,511 ,355 1,437 ,159

SU -,026 ,058 -,082 -,449 ,656

DAR ,216 ,591 ,069 ,366 ,716

CF ,320 1,046 ,060 ,306 ,761

a. Dependent Variable: ABSRES

Keterangan:

SU = Stock Undervaluation; DAR = Debt to Assets Ratio; CF = Cash Flow ABRES = Absolut Residual

Uji Glejser dilakukan dengan cara meregresikan nilai absolut residual

(ABSRES) terhadap variabel independen SU, DAR, dan CF. Nilai signifikansi SU,

DAR, dan CF masing-masing adalah 0,656; 0,716; 0,761, dan ternyata semua nilai

berada di atas kriteria 0,05; ini berarti bahwa tidak terdapat masalah

heteroskedastisitas.

Pengujian autokorelasi dengan menggunakan uji Durbin-Watson (D-W)

dapat dilihat pada Tabel 4-5. Nilai hitung D-W menunjukkan angka sebesar 1,855.

Nilai tabel DW untuk n=40, jumlah variabel independen (k)= 3, dan alpha= 0.05

diperoleh du=1,659, dan dl=1,338. Nilai hitung DW berada dalam kriteria: du < d <

4-du, atau 1,659 < d < 2,341. Ini berarti tidak terdapat masalah autokorelasi (Imam

Ghozali, 2009:100).

Tabel 4-5

Uji Autokorelasi D-W

Model Summaryb

Mode

l

R R Square Adjusted R

Square

Std. Error of

the Estimate

Durbin-

Watson

1 ,123a ,015 -,067 ,92802 1,855

a. Predictors: (Constant), CF, SU, DAR

b. Dependent Variable: SR

Jurnal Keuangan dan Perbankan, Vol. 9, No. 2, Juni 2013, ISSN: 2089-4309 23

3. Analisis Regresi Ganda

Tabel 4-5: Model Summary di samping menjelaskan uji Autokorelasi DW,

juga menjelaskan koefisien korelasi (R) dan koefisien determinasi (R Square).

Koefisien R sebesar 0,123 menunjukkan bahwa hubungan antara variabel bebas

dengan variabel terikatnya sangat lemah. R Square sebesar 0,015 menunjukkan

bahwa variabel-variabel bebas (Stock Undervaluation (SU), Debt to Assets Ratio

(DAR), dan Cash Flow (CF) secara bersama-sama hanya dapat menjelaskan sebesar

1,5% terhadap variasi variabel terikat (Stock Repurchase/ SR), sedangkan sisanya

sebesar 98,5% tidak dapat dijelaskan melalui model penelitian ini.

4. Pengujian Hipotesis

Pengujian regresi secara simultan (H4), yaitu untuk menguji apakah variabel

bebas secara bersama-sama dapat digunakan untuk memprediksi variabel terikat,

dilakukan dengan menggunakan uji F sebagaimana tersaji pada Tabel 4-6 (tabel

ANOVA).

Tabel 4-6

ANOVAa

Model Sum of

Squares

Df Mean

Square

F Sig.

1

Regression ,476 3 ,159 ,184 ,906b

Residual 31,004 36 ,861

Total 31,481 39

a. Dependent Variable: SR

b. Predictors: (Constant), SU, DAR, CF

Keterangan:

SU = Stock Undervaluation; DAR = Debt to Assets Ratio; CF = Cash Flow

SR = Stock Repurchase

Jurnal Keuangan dan Perbankan, Vol. 9, No. 2, Juni 2013, ISSN: 2089-4309 24

Hasil uji F pada tabel4-6 menunjukkan nilai signifikansi F-hitung sebesar

0,906, jauh lebih besar daripada kriteria sig.= 0,05. Dengan demikian Ho tidak dapat

ditolak; dengan kata lain hal ini berarti bahwa variabel-variabel bebas secara

simultan tidak dapat digunakan untuk memprediksi variabel terikat.

Hasil uji t parameter secara individual untuk variabel Stock Undervaluation

(SU), Debt to Asset Ratio (DAR), dan Cash Flow (CF) terhadap variabel Stock

Repurchase (SR) pada tabel 4-7: Coefficient.

Tabel 4-7

Coefficientsa

Model Unstandardized

Coefficients

Standardized

Coefficients

T Sig.

B Std. Error Beta

1

(Constant) 1,189 ,484 2,457 ,019

SU ,001 ,079 ,002 ,011 ,991

DAR ,333 ,804 ,078 ,414 ,681

CF -,498 1,425 -,069 -,350 ,729

a. Dependent Variable: SR

Keterangan:

SU = Stock Undervaluation; DAR = Debt to Assets Ratio; CF = Cash Flow

SR = Stock Repurchase

Kriteria Pengujian untuk uji t yang digunakan adalah: (1) Jika nilai

signifikansi yang dihasilkan < 0,05 maka Ho ditolak; (2) Jika nilai signifikansi yang

dihasilkan > 0,05 maka Ho tidak dapat ditolak. Berdasarkan tabel 4-7 dapat

diketahui bahwa nilai signifikansi variabel SU, DAR, dan CF masing-masing adalah

0,991; 0,681; dan 0,729, semuanya lebih besar daripada kriteria 0,05. Hal ini berarti

bahwa tidak satupun dari masing-masing variabel independen (SU, DAR, CF) dalam

model dapat digunakan untuk memprediksi variabel dependen (SR).

B. PEMBAHASAN

Jurnal Keuangan dan Perbankan, Vol. 9, No. 2, Juni 2013, ISSN: 2089-4309 25

Temuan utama penelitian ini adalah bahwa variabel independen yang terdiri

dari: variabel Stock Undervaluation (SU), Debt to Assets Ratio (DAR), dan

Cashflow (CF) baik secara bersama-sama maupun secara individual tidak dapat

memprediksi variabel terikat Stock Repurchase (SR), dan hubungan, atau korelasi

antara ketiga variabel independen (SU, DAR, CF) dengan variabel terikatnya (SR)

sangat lemah.

Hasil pengujian ini mendukung hasil pengujian yang telah dilakukan oleh

Islahuddin dan Muhammad Dhuhri (2011), namun berbeda dengan hasil pengujian

yang telah dilakukan oleh Stephens dan Weisbact (1998); Dittmar (2000); Washer

dan Casey (2004); Mitchell (2006), dalam Islahuddin dan Muhammad Dhuhri

(2011:149-150).

Hasil pengujian Dittmar (2000), dan Mitchell (2006) menemukan ada

hubungan antara stock undervaluation dengan stock repurchase. Penjelasannya

adalah bahwa perusahaan akan melakukan stock repurchase pada saat harga saham

dinilai terlalu rendah (stock undervalued) dengan harapan agar harga pasar saham

mengalami peningkatan. Penjelasan ini sesuai dengan teori keagenan dimana

manajemen bertindak untuk meningkatkan nilai perusahaan (harga saham) demi

kepentingan pemegang saham. Namun penelitian ini menunjukkan fakta bahwa

perusahaan yang melakukan stock repurchase, bukan saja yang harga sahamnya

dinilai terlalu rendah (undervalued) tetapi juga perusahaan-perusahaan yang harga

sahamnya sudah dinilai terlalu tinggi (stock overvalued).

Penelitian Dittmar (2000) dan Washer & Casey (2004) mengungkapkan

bahwa rasio leverage (Debt to Assets Ratio) yang rendah cenderung melakukan stock

repurchase sedangkan perusahaan yang rasio leveragenya sudah tinggi tidak akan

melakukan stock repurchase; oleh karena itu rasio leverage dapat digunakan untuk

Jurnal Keuangan dan Perbankan, Vol. 9, No. 2, Juni 2013, ISSN: 2089-4309 26

memprediksi stock repurchase. Penelitian ini menunjukkan bahwa perusahaan-

perusahaan yang melakukan stock repurchase, bukan saja yang rasio leveragenya

rendah, tetapi juga perusahaan-perusahaan yang rasio leveragenya sudah tinggi.

Penelitian Dittmar (2000) dan Stephens & Weisbact (1998) mengungkapkan

bahwa posisi kas perusahaan (Cashflow) akan mempengaruhi keputusan untuk

melakukan stock repurchase; semakin bagus posisi kas perusahaan, semakin besar

kecenderungan perusahaan untuk melakukan stock repurchase, sebaliknya semakin

jelek posisi kas perusahaan semakin kecil kemungkinan perusahaan melakukan stock

repurchase. Dengan kata lain, ada korelasi positif signifikan antara posisi kas

perusahaan dengan tindakan melakukan stock repurchase. Penelitian ini

menunjukkan bahwa perusahaan yang melakukan stock repurchase, bukan saja yang

posisi kasnya bagus, tetapi juga perusahaan-perusahaan yang posisi kasnya tidak

bagus.

Dengan penjelasan di atas, penelitian ini gagal untuk menunjukkan bahwa

variabel-variabel peramal (independen): stock undervaluation, debt to assets ratio,

dan cashflow baik secara bersama-sama maupun secara individual dapat digunakan

untuk memprediksi stock repurchase.

Yang menarik dalam penelitian ini adalah bahwa hasil penelitian ini

sepenuhnya mendukung hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Islahuddin &

Muhammad Dhuhri (2011), yang sama-sama menggunakan sampel perusahaan-

perusahaan publik yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI). Perbedaannya

hanya pada cakupan waktu sampel yang dipilih, dimana Islahuddin & Muhammad

Dhuhri (2011) menggunakan periode 2005-2008, sedangkan penelitian ini

menggunakan cakupan periode 2002-2009.

Jurnal Keuangan dan Perbankan, Vol. 9, No. 2, Juni 2013, ISSN: 2089-4309 27

Hasil penelitian ini, dan juga yang dilakukan oleh Islahuddin &

Muhammad Dhuhri (2011), berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh

Stephens & Weisbact (1998), Dittmar (2000), Washer & Casey (2004), dan Mitchell

(2006) dengan menggunakan sampel perusahaan-perusahaan publik yang terdaftar di

beberapa bursa efek di luar negeri.

Diperlukan penelitian lebih lanjut, mengapa penelitian di kedua bursa ini

(bursa efek Indonesia dengan bursa efek di luar negeri) hasilnya sangat berbeda.

Dugaan sementara adalah bahwa ada perbedaan karakter bursa dan karakter

pemegang saham antara bursa efek Indonesia dengan beberapa bursa efek di luar

negeri.

BAB V KESIMPULAN, KETERBATASAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

Tujuan penelitian ini adalah untuk menguji apakah Stock Undervaluation,

Debt to Assets Ratio, dan Cashflow perusahaan publik yang terdaftar di Bursa Efek

Indonesia, baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama dapat digunakan untuk

memprediksi Stock Repurchase. Hasil pengujian menunjukkan bahwa Stock

Undervaluation, Debt to Assets Ratio, dan Cashflow perusahaan publik yang

terdaftar di Bursa Efek Indonesia, baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama

tidak dapat digunakan untuk memprediksi Stock Repurchase.

Hasil pengujian ini mendukung hasil pengujian yang telah dilakukan oleh

Islahuddin dan Muhammad Dhuhri (2011), namun berbeda dengan hasil pengujian

yang telah dilakukan oleh Stephens dan Weisbact (1998); Dittmar (2000); Washer

dan Casey (2004); Mitchell (2006), dalam Islahuddin dan Muhammad Dhuhri

(2011:149-150). Dugaan sementara mengapa hasil penelitian ini berbeda dengan

Jurnal Keuangan dan Perbankan, Vol. 9, No. 2, Juni 2013, ISSN: 2089-4309 28

hasil penelitian Stephens dan Weisbact (1998); Dittmar (2000); Washer dan Casey

(2004); dan Mitchell (2006) adalah bahwa ada perbedaan karakter bursa dan

karakter pemegang saham antara bursa efek Indonesia (tempat penelitian ini

dilakukan) dengan beberapa bursa efek di luar negeri (tempat beberapa peneliti

sebelumnya melakukan penelitian).

B. KETERBATASAN

Penelitian ini memiliki keterbatasan dalam hal jumlah sampel, yaitu dari

periode 2002-2009 hanya terdapat 40 perusahaan yang melakukan stock repurchase

dan juga belum melakukan kajian lebih lanjut mengapa Stock Undervaluation, Debt

to Assets Ratio, dan Cashflow tidak dapat digunakan untuk memprediksi Stock

Repurchase di Bursa Efek Indonesia.

C. SARAN

Untuk penelitian selanjutnya, disarankan agar melakukan kajian lebih lanjut

tentang karakter bursa efek Indonesia serta mencari variabel-variabel (faktor-faktor)

lain di luar Stock Undervaluation, Debt to Assets Ratio, dan Cashflow untuk

menjelaskan Stock Repurchase.

DAFTAR PUSTAKA

Baker, Malcom dan Jeffrey Wurgler,(2002), Market Timing and Capital Structure,

The Journal of Finance,Vol LVII, No. 1, 2002.

Bens, Daniel A., M.H. Franco Wong, and Douglas J. Skinner, (2003), The

Relationship between Employee Stock Options and Stock Repurchases,

Capital Ideas, Vol. 5 No. 2 | Fall 2003.

http://www.chicagobooth.edu/capideas/fall03/stockrepurchases.html,

diakses 19/06/2012.

Barclay , Britt, (2012), Why Does a Company Buy Back Issued Shares?, Ehow

Business-Finance, http://www.ehow.com/about_7232747_company-buy-

back-issued-shares_.html, diakses 19/06/2012.

Jurnal Keuangan dan Perbankan, Vol. 9, No. 2, Juni 2013, ISSN: 2089-4309 29

Brealey, Richard A., dan Stewart C. Myers, (1991), Principles of Corporate

Finance, 4th edition, New York: Mc-Graw-Hill,Inc.

Dittmar, A (2000), Why Do Firms Repurchase Stock ?, Journal of Business, Vol 73,

No. 3, page 331 – 335.

Emery, Douglas R., dan John D. Finnerly, (1997), Corporate Finance Management,

London: Prentice-Hall International Inc.

Fiegenbaum, Avi dan Howard Thomas, (1988), Attitude toward Risk and Risk-

Return Paradox: Prospect Theory Explanations, Academy of Management

Journal, Vol.31, No.1, pp.85-106.

Husnan, Suad (2005), Dasar Dasar Teori Portofolio danAnalisis Sekuritas, Edisi

keempat, Yogyakarta, UPP AMP YKPN.

Imam Ghozali, (2009), Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS,

Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro.

Ikatan Akuntan Indonesia, (2009), Standar Akuntansi Keuangan, Jakarta, Salemba

Empat.

Islahuddin & Muhammad Dhuhri (2011), Pengaruh Stock Undervaluation, Financial

Leverage, dan Cash Flow Terhadap Stock Repurchase Pada Perusahaan

Yang Terdaftar Di BEI, Jurnal Akuntansi, Volume XV / 02 / Mei / 2011,

hal.149 – 157.

Investopedia, (2012), http://www.investopedia.com

Jenson, Michal C., dan William H.Meckling (1976), Theory of Firm: Managerial

Behavior, Agency Cost and Ownership Structure, Journal of Financial

Economics, October 1976, Vol.3, No.4, pp.305-360. http://www.sfu.ca/-

wainrig.

Jones, Charles P (2002), Investments Analysis and Management, 8th

Edition, New

York, John Willey and Sons Inc.

Jogiyanto, (2003), Teori Portofolio dan Analisis Investasi, Edisi 3, Yogyakarta,

BPFE Yogyakarta.

Jordan, Bredford D., Randolph W.Westerfield, dan Stephen A.Ross, (2011),

Corporate Finance Essentials,7th edition, China: Mc-Graw-Hill Irwin.

Jurnal Manajemen, 2009, http://jurnal-sdm.blogspoom/2009/06/teori-struktur-

modal.htmlhttp://jurnal-sdm

Jurnal Keuangan dan Perbankan, Vol. 9, No. 2, Juni 2013, ISSN: 2089-4309 30

Kennon, Joshua, (2012 ), Understanding Stock Repurchase Plans, A Real-World

Example of a Stock Repurchase Program, http://beginnersinvest.about.com, diakses 14/07/2012.

Kieso, Donald E,Jerry J. Weygandt, Terry D. Warfield (2011), Intermediate

Accounting, Volume 1&II, IFRS Edition, The United States of America,

John Wiley & Sons, Inc.

Mitchell, Jason, H.Y. Izan, R. Lim (2006), Australian On-Market Buy-Back, An

Examination of Valuation Issues, Multinational Finance Journal, Vol. 10,

No. ½, page 43 – 79.

Myers, Stewart C., (1984), The Capital Structure Puzzle, The Journal of Finance,

Vol. XXXIX, No.3,1984.

Lindananty, (2011), Sumber Modal pada Setiap Siklus Hidup Perusahaan,

http://blog.stie-mce.ac.id diakses 17/07/2012.

Oxford Dictionaries, http://oxfordictionaries.com

Spireframe, (2011), Your Financial Source, http://www.spireframe.com

Schoen, John W., (2012), When is a stock 'undervalued'?.

www.msnbc.msn.com/id/7148450/, diakses 14/07/2012.

Sunariyah (1997), Pengantar Pengetahuan Pasar Modal, Cetakan Pertama,

Yagyakarta, UPP AMP YKPN.

Skousen, K. Fred, Earl K. Stice, Janes D. Stice (2000), Intermediate Accounting, 14th

ed, Ciccinnati, South Western College Publishing.

Spiceland, J. David, James F. Sepe, Tommassini, Lawrence A. Tomassini, (2004),

Intermediate Accounting, 3rd

edition, New York, McGraw-Hill/Irwin.

Stephens, Clifford P, Micheal S. Weisbach (1998), Actual Share Reacquisition in

Open Market Repurchase Program, The Journal of Finance, Vol. 3, No. 1,

page 313 – 333.

Widoatmodjo, Sawidji (2000), Cara Sehat Investasi di Pasar Modal, Jakarta,

Yayasan Mpu Ajar Artha.

Warren, Carl S, James M Reeve and Philip E. Fess (2005), Accounting, Edition 21,

Singapore, South – Western Thomson.

Weygandt, Jerry J, Paul D. Kimmel and Donald E. Kieso (2011), Accounting

Principles, Ninth Edition, Asia, John Wiley & Sons.