status pasien
DESCRIPTION
statusTRANSCRIPT
PENYAJIAN KASUS
1.1 Identitas
Nama :
Jenis Kelamin :
Usia :
Agama :
Alamat :
Tanggal Lahir :
Urutan Anak :
Tanggal MRS :
Identitas Ayah Ibu
Nama Tn. Ny.
Umur
Pendidikan
Pekerjaan
1.2 Anamnesis(Dilakukan pada tanggal )
1.2.1 Keluhan Utama
1.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang
1
1.2.6 Riwayat Persalinan
Simpulan : Riwayat prematur dan BBLR
1.2.7 Riwayat Pemberian Makan
Simpulan : Riwayat pemberian makan
1.2.8 Riwayat Imunisasi
Simpulan : Riwayat imunisasi
1.2.9 Riwayat Tumbuh Kembang
Simpulan : Riwayat Tumbuh Kembang
1.2.10 Riwayat Pekerjaan dan Sosioekonomi
.
Simpulan : Riwayat sosioekonomi menengah ke bawah
3
1.2.11 Genogram
Keterangan :
: Pasien
1.3 Pemeriksaan Fisik (Dilakukan pada tanggal )
1.3.1 Keadaan Umum :
1.3.2 Kesadaran :
1.3.3 Tanda Vital
a. Tekanan darah : mmHg
b. Nadi : /menit, kuat, irama reguler
c. Respirasi : /menit
d. Suhu : o C
Simpulan :
4
An. A.P, 9 thn
Ny. M, 28 thn thn
Tn.S, 30 thn
An. Y.P 5 thn
1.3.4 Antropometri
a. Berat Badan : kg
b. Panjang Badan : cm
Status Gizi :
c. BB/U :
Interpretasi : normal
d. PB/U :
Interpretasi :normal
e. BB/PB :
Interpretasi :
Simpulan :
1.3.5 Status Generalis
a. Kulit :ikterik (-), pucat (-), sianosis (-), petekie (-),ruam
. .. (-), luka mengering pada kedua kaki ( )
b. Kepala :edem palpebra (+/+), edem wajah (+)
c. Mata :konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-),refleks .....
cahaya langsung (+), refleks cahaya tak langsung. .....
(+), pupil isokor (3mm/3mm)
d. Mulut : ginggivitis (-), stomatitis (-), tifoid tongue (-)
e. Telinga :sekret (-), meatus tidak eritem, nyeri tragus (-)
f. Hidung : rinorea (-), deviasi septum (-)
g. Tenggorokan : faring tidak hiperemis, tonsil T1/T1
h. Leher : Tidak ada pembesaran kelenjar getah bening
i. Jantung
Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : iktus kordis teraba di garis midclavicula sinistra
SIC 4, thrill (-)
Perkusi : sulit dinilai
5
Auskultasi : S1 tunggal/ S2 split tak konstan, gallop(-), murmur
(-)
j. Paru
Inspeksi : bentuk dada simetris, retraksi (-)
Palpasi : Fremitus taktil simetris kanan-kiri
Perkusi : sonor di kedua lapang paru
Auskultasi :Suara nafas dasar: vesikuler
(+/+),rhonki(-/-)wheezing (-/-), krepitas (-/-),
grunting (-)
k. Abdomen
Inspeksi : datar
Auskultasi : bising usus (+) 4 x/menit, bruit (-).
Palpasi : supel, benjolan (-), hepar teraba 2 jari dibawah
costa dan lien tidak teraba
Perkusi : timpani seluruh lapang abdomen
l. Urogenital :prepusium ( ), fimosis (-)
m. Anus/Rektum : eritema perianal (-), prolaps rekti (-)
n. Ekstremitas : sianosis (-),edema (+/+), akral hangat,nadi kuat,
cap refill < 2 detik, tonus otot baik, atrofi otot (-)
Simpulan :
1.4 Pemeriksaan Penunjang
6
1.5 Diagnosis Kerja
1.6 Usulan Pemeriksaan Penunjang
1.7 Tatalaksana
1.7.1 Non Medikamentosa
1.7.2 Medikamentosa
7
1.8 Observasi
1.8.1. 30 Maret 2015
S : Demam (+), sesak (-), bengkak wajah dan kaki (+), kencing (+)
berwarna seperti teh
O : TD : 150/92 mmHg
Temp : 37,60 C
Paru : Vesikuler (+/+) Rhonki (-/-)
Ekstremitas : Pitting edema (+/+)
A : ISK dd SN + Obs Febris dd/ Tifoid
P : Asering 20 tpm makro
Amplisilin i.v 3 x 700 mg
Ranitidin i.v 3 x 20 mg
Ondansetron i.v 2 mg bp
Novaldo 200 mg jika suhu > 38,50 C
P.O = Metil Prednisolone 3 x 7 mg
Paracetamol Syr 4 x Cth II
Multivitamin Syr 1 x Cth 1
1.8.2. 31 Maret 2015
S : Demam (-), sesak (-), bengkak wajah dan kaki (+), kencing (+)
berwarna seperti teh
O : TD : 152/106 mmHg
Diuresis 1,8 ml/kgBB/ jam
Temp : 36,80 C
Paru : Vesikuler (+/+) Rhonki (-/-)
Ekstremitas : Pitting edema (+/+)
8
Urinalisis :
Glukosa (-)
Bilirubin (-)
Keton (-)
pH : 6,5
A : Tifoid
ISK dd SN/GNA
P : Asering 20 tpm makro
Amplisilin i.v 3 x 700 mg
Furosemid i.v 2 x 20 mg
Ranitidin i.v 3 x 20 mg
Ondansetron i.v 2 mg bp
Novaldo 200 mg jika suhu > 38,50 C
P.O = Metil Prednisolone 3 x 7 mg
Paracetamol Syr 4 x Cth II
Multivitamin Syr 1 x Cth 1
1.8.3. 1 April 2015
S : Bengkak wajah dan kaki (+), kencing (+) berwarna seperti teh
O : TD : 150/106 mmHg
Diuresis 2,5 ml/kgBB/ jam
Temp : 36,70 C
Paru : Vesikuler (+/+) Rhonki (-/-)
Ekstremitas : Pitting edema (+/+)
A : Tifoid
ISK dd GNA
P : Asering 20 tpm makro
Amplisilin i.v 3 x 700 mg
Furosemid i.v 2 x 20 mg
Ranitidin i.v 3 x 20 mg
Ondansetron i.v 2 mg bp
9
Protein 2+
Blood 3+
Nitrat (-)
Leukosit (-)
Novaldo 200 mg jika suhu > 38,50 C
P.O = Metil Prednisolone 3 x 7 mg STOP
Nifedipin 2 mg, jika TD > 150 mmHg
Captopril 2 x 3 mg
Paracetamol Syr 4 x Cth II
Multivitamin Syr 1 x Cth 1
1.8.4. 2 April 2015
S : Bengkak wajah dan kaki (+), kencing (+) berwarna seperti teh
O : TD : 117/ 83 mmHg
Diuresis 2,6 ml/kgBB/ jam
Temp : 36,90 C
Paru : Vesikuler (+/+) Rhonki (-/-)
Ekstremitas : Pitting edema (+/+)
Urinalisis :
Glukosa (-)
Bilirubin (-)
Keton (-)
pH : 7.0
Rontgen thoraks PA
Simpulan : Efusi Pleura kanan
10
Blood 2+
Protein 1+
Nitrat (-)
Leukosit (trace)
A : Tifoid
Susp GNA
P : Asering 20 tpm makro
Amplisilin i.v 3 x 700 mg
Furosemid i.v 2 x 20 mg
Ranitidin i.v 3 x 20 mg
Ondansetron i.v 2 mg bp
Novaldo 200 mg jika suhu > 38,50 C
P.O = Nifedipin 2 mg, jika TD > 150 mmHg
Captopril 2 x 3 mg
Paracetamol Syr 4 x Cth II
Multivitamin Syr 1 x Cth 1
1.8.5. 3 April 2015
S : Bengkak wajah dan kaki (↓), kencing (+) berwarna seperti teh
O : TD : 130/ 90 mmHg
Diuresis 2,7 ml/kgBB/ jam
Temp : 36,70 C
Paru : Vesikuler (+/+) Rhonki (-/-)
Ekstremitas : Pitting edema (+ ↓/+)
A : Tifoid
Susp GNA
P : Asering 20 tpm makro
Amplisilin i.v 3 x 700 mg
Furosemid i.v 2 x 20 mg
Ranitidin i.v 3 x 20 mg
Ondansetron i.v 2 mg bp
Novaldo 200 mg jika suhu > 38,50 C
P.O = Nifedipin 2 mg, jika TD > 150 mmHg
Captopril 2 x 3 mg
Paracetamol Syr 4 x Cth II
11
Multivitamin Syr 1 x Cth 1
1.8.6. 4 April 2015
S : Bengkak wajah dan kaki (↓), kencing (+) berwarna seperti teh
O : TD : 110/ 80 mmHg
Diuresis 2,5 ml/kgBB/ jam
Temp : 36,80 C
Paru : Vesikuler (+/+) Rhonki (-/-)
Ekstremitas : Pitting edema (+ ↓/+ ↓)
A : Tifoid
Susp GNA
P : Asering 20 tpm makro
Amplisilin i.v 3 x 700 mg
Furosemid i.v 2 x 20 mg
Ranitidin i.v 3 x 20 mg
Ondansetron i.v 2 mg bp
Novaldo 200 mg jika suhu > 38,50 C
P.O = Nifedipin 2 mg, jika TD > 150 mmHg
Captopril 2 x 3 mg
Paracetamol Syr 4 x Cth II
Multivitamin Syr 1 x Cth 1
1.8.7. 5 April 2015
S : Bengkak wajah dan kaki (↓), kencing (+) berwarna seperti teh
O : TD : 128/ 61 mmHg
Diuresis 3,4 ml/kgBB/ jam
Temp : 36,70 C
Paru : Vesikuler (+/+) Rhonki (-/-)
Ekstremitas : Pitting edema (+ ↓/+ ↓)
A : Tifoid
Susp GNA
12
P : Asering 20 tpm makro
Amplisilin i.v 3 x 700 mg
Furosemid i.v 2 x 20 mg
Ranitidin i.v 3 x 20 mg
Ondansetron i.v 2 mg bp
Novaldo 200 mg jika suhu > 38,50 C
P.O = Nifedipin 2 mg, jika TD > 150 mmHg
Captopril 2 x 3 mg
Paracetamol Syr 4 x Cth II
Multivitamin Syr 1 x Cth 1
1.8.8. 6 April 2015
S : Bengkak wajah dan kaki (↓), kencing (+) berwarna seperti teh
O : TD : 108/ 62 mmHg
Diuresis 3,3 ml/kgBB/ jam
Temp : 36,50 C
Paru : Vesikuler (+/+) Rhonki (-/-)
Ekstremitas : Pitting edema (+ ↓/+ ↓)
A : Tifoid
Susp GNA
Urinalisis :
Warna : Kuning muda
Berat Jenis : 1020
pH : 7.0
Protein 2+
Glukosa (-)
Keton (-)
Bilirubin (-)
Urobilinogen : 3,2 umol/L
Leukosit : Trace
Hemoglobin : Blood 2+
13
Epitel : 2+
Leukosit : 0-1
Eritrosit : > 100 LPB
Silinder (-)
Kristal (-)
P : Asering 20 tpm makro
Amplisilin i.v 3 x 700 mg
Furosemid i.v 2 x 20 mg
Ranitidin i.v 3 x 20 mg
Ondansetron i.v 2 mg bp
Novaldo 200 mg jika suhu > 38,50 C
P.O = Nifedipin 2 mg, jika TD > 150 mmHg
Captopril 2 x 3 mg
Paracetamol Syr 4 x Cth II
Multivitamin Syr 1 x Cth 1
1.8.9. 7 April 2015
Pasien pulang atas permintaan sendiri.
1.9 Prognosis
Glomerulonefritis pasca Streptokokus merupakan penyakit yang bersifat
self limiting disease, tetapi dapat juga menyebabkan gagal ginjal akut.
Sebagian besar pasien (95%) akan sembuh, tetapi 5% diantaranya dapat
mengalami perjalanan penyakit yang memburuk dengan cepat. Fungsi ginjal
membaik dalam 1 minggu dan menjadi normal dalam 3-4 minggu. Kelainan
sedimen urin akan tetap terlihat selama berbulan-bulan bahkan bertahun-
tahun pada sebagian besar pasien.1
Prognosis demam tifoid bergantung pada ketepatan terapi, usia, keadaan
klinis, dan adanya komplikasi. Di negara maju, dengan antibiotik angka
mortalitas <1% sedangakan pada negara berkembang >10%. Pada kompliksi
seperti perforasi usus dengan perdarahan hebat, meningitis, endokarditis dan
pneumonia menigkatkan angka mortalitas.5
14
PEMBAHASAN
Pasien merupakan seorang anak laki-laki berusia 9 tahun datang dengan
keluhan utama bengkak pada wajah dan kedua kaki. Dari pemeriksaan fisik,
diketahui bahwa pasien mengalami hipertensi. Sedangkan hasil pemeriksaan
laboratorium didapatakan hasil hematuria dan azotemia. Berdasarkan temuan
klinis tersebut, pasien mengalami Sindrom Nefritik Akut diduga disebabkan oleh
infeksi Streptococcus B hemolyticus yang disebut Glomerulonefritis Akut Pasca
Streptokokus (GNAPS). Kumpulan gejala tersebut dinamakan Sindrom Nefritik
Akut, sedangkan Glomerulonefritis akut merupakan diagnosa histopatologi.
GNAPS ditegakkan dikarenakan dijumpai full blown cases yaitu gejala nefritik
yang lengkap yaitu proteinuria, hematuria, edema, oliguria, dan hipertensi, maka
diagnosa GNAPS dapat ditegakkan, karena gejala tersebut merupakan gejala khas
untuk GNAPS.GNAPS itu sendiri merupakan suatu kumpulan gejala klinis berupa
proteinuria, hematuria, azotemia, red blood cast, oliguria, dan hipertensi
(PHAROH) yang terjadi secara akut.2Untuk memastikan diagnosa, dibutuhkan
pemeriksaan penunjang, yaitu berupa ASTO (meningkat) & C3 (menurun) dan
pemeriksaan lain berupa adanya torak eritrosit, hematuria & proteinuria.3,4
Diagnosis pasti ditegakkan bila biakan positif untuk streptokokus ß hemolitikus
grup A.1
Infeksi Glomerulonefritis akut yang disebabkan oleh Streptococcus yaitu
pada strain “nefritogenik” dari Streptococcus B hemolitycus grup A. Selama
cuaca dingin glomerulonefritis Streptococcus biasanya menyertai faringitis
streptococcus, sedangkan selama cuaca panas glomerulonefritis biasanya
menyertai infeksi kulit atau pioderma.3Infeksi streptokokus pada GNA
menyebabkan reaksi serologis terhadap produk-produk ekstraselular streptokokus,
sehingga timbul antibodi yang titernya dapat diukur, seperti antistreptolisin O
(ASO), antihialuronidase (AH ase) dan antideoksiribonuklease (AD Nase-B).
Titer ini meningkat 70-80% pada GNAPS. Kenaikan titer ini dimulai pada hari
ke-10 hingga 14 sesudah infeksi streptokokus dan mencapai puncaknya pada
minggu ke- 3 hingga 5 dan mulai menurun pada bulan ke-2 hingga 6. Titer ASO
15
jelas meningkat pada GNAPS setelah infeksi saluran pernapasan oleh
streptokokus. Sedangkan komplemen serum hampir selalu menurun pada GNAPS,
karena turut serta berperan dalam proses antigen-antibodi sesudah terjadi infeksi
streptokokus yang nefritogenik. Di antara sistem komplemen dalam tubuh, maka
komplemen C3 (B1C globulin) yang paling sering diperiksa kadarnya karena cara
pengukurannya mudah. Beberapa penulis melaporkan 80-92% kasus GNAPS
dengan kadar C3 menurun. Umumnya kadar C3 mulai menurun selama fase akut
atau dalam minggu pertama perjalanan penyakit, kemudian menjadi normal
sesudah 4-8 minggu timbulnya gejala-gejala penyakit. Bila sesudah 8 minggu
kadar komplemen C3 ini masih rendah, maka hal ini menunjukkan suatu proses
kronik yang dapat dijumpai pada glomerulonefritis membrano proliferatif atau
nefritis lupus.2
Berdasarkan usia, GNAPS lebih sering terjadi pada anak usia 6 sampai 15
tahun dan jarang pada usia di bawah 2 tahun, sedangkan berdasarkan jenis
kelamin laki-laki dikatakan lebih sering dibandingkan perempuan yaitu 2:1.
(PPM, 2010) Hal ini sesuai dengan pasien yang merupakan seorang anak laki-laki
berusia 9 tahun.Faktor resiko GNAPS ini adalah infeksi sistem saluran pernafasan
(ISPA) dengan riwayat 1-3 minggu sebulum manifestasi GNAPS atau infeksi
pada kulit dengan riwayat 3-6 minggu sebelumnya. 1,4 Pada pasien ini yang
mungkin jadi faktor resikoadalah infeksi kulit pada kedua kaki yang sudah
dirasakan sejak 3 bulan yang lalu, luka-luka tersebut dapat disebabkan oleh
bakteri Streptococcus B hemoliticus dan menyebar secara hematogen sehingga
terjadi reaksi antibodi antigen di glomerulus hingga terjadinya GNAPS. Batuk
berdahak yang dialami pasien juga dapat mengarahkan ke Infeksi Saluran Nafas
Atas (ISPA) sehingga bisa menjadi faktor resiko lain yang dapat menyebabkan
GNAPS. Batuk berdahak tersebut harus dipastikan terlebih dahulu bukan
disebabkan oleh penyakit paru kronik salah satunya adalah TB paru, yaitu dari
anamnesis tidak dijumpai orang dewasa yang batuk lama dan terkontak dengan
pasien, tidak ada riwayat penurunan berat badan selama batuk, tidak ada keluhan
demam diserti keringat malam hari.
16
Gejala bengkak pada wajah dan kedua tungkai merupakan gejala yang paling
sering, umumnya pertama kali timbul, dan menghilang pada akhir minggu
pertama. Edema paling sering terjadi di daerah periorbital (edema palpebra),
disusul daerah tungkai. Jika terjadi retensi cairan hebat, maka edema timbul di
daerah perut (asites), dan genitalia eksterna (edema skrotum/vulva) menyerupai
sindrom nefrotik.2Pada pasien ini, edema terjadi pada kedua kelopak mata dan
tungkai yang merupakan tempat predileksi edema anasarka yang diakibatkan
gangguan fungsi ginjal. Distribusi edema bergantung pada 2 faktor, yaitu gaya
gravitasi dan tahanan jaringan lokal. Oleh sebab itu, edema pada palpebra sangat
menonjol waktu bangun pagi, karena adanya jaringan longgar pada daerah
tersebut dan menghilang atau berkurang pada siang dan sore hari atau setelah
melakukan kegitan fisik.2
Hipertensi merupakan gejala yang terdapat pada 60-70% kasus GNAPS. 2,4Hal
ini terjadi karena penurunan filtrasi glomerulus akibat reaksi antigen-antibodi
sehingga tubulus distal meresponnya dengan retensi air dan Natrium. Umumnya
terjadi dalam minggu pertama dan menghilang bersamaan dengan menghilangnya
gejala klinik yang lain. Pada pasien ini, tekanan darah ketika datang adalah
137/105 mmHg. Tekanan darah tersebut apabila diukur dengan tabel tekanan
darah pada anak sesuai dengan usia, jenis kelamin, dan tinggi badan, didapatkan
hasil Hipertensi grade II. Pada pasien ini juga mengalami mimisan dan nyeri
kepala tanpa riwayat trauma, hal ini dapat dikaitkan dengan Hipertensi yang
dialaminya.
Pada urin pasien awalnya berwarna kuning tetapi beberapa hari kemudian
mulai bewarna seperti teh. Gambaran urin seperti teh menandakan adanya
hematuria yang khas pada GNAPS. Hematuria dapat berupa makroskopik dan
mikroskopik. Hematuria makroskopik terdapat pada 30-70% kasus
GNAPS,sedangkan hematuria mikroskopik dijumpai hampir pada semua kasus.
Hematuria makroskopik biasanya timbul dalam minggu pertama dan berlangsung
beberapa hari, tetapi dapat pula berlangsung sampai beberapa minggu. Hematuria
mikroskopik dapat berlangsung lebih lama, umumnya menghilang dalam waktu 6
bulan. Kadang-kadang masih dijumpai hematuria mikroskopik dan proteinuria
17
walaupun secara klinik GNAPS sudah sembuh. Bahkan hematuria mikroskopik
bisa menetap lebih dari satu tahun, sedangkan proteinuria sudah menghilang.
Keadaan terakhir ini merupakan indikasi untuk dilakukan biopsi ginjal, mengingat
kemungkinan adanya glomerulonefritis kronik.
Diuresis pada pasien ini rata-rata perhari menunjukkan jumlah diuresis yang
cukup, yaitu 1,8 – 3,4 cc/kgBB / jamyang tidak menunujukkan gejala oliguria. Hal
ini mungkin dikarenakan pemberian Furosemid untuk mengurangi edema dan
menurunkan hipertensi.
Pengobatan GNAPS ini lebih tertuju pada penyebabnya, yaitu akibat reaksi
antigen-antibodi Streptococcus B hemolyticus dengan menggunakan antibiotik.
Antibiotik yang direkomendasikan adalah Amoksisilin 50 mg/kgBB/hari dibagi
dalam 3 dosis selama 10 hari. Jika anak alergi terhadap golongan Penisilin, dapat
diganti dengan eritromisin 30 mg/ kgbb/ hari dibagi dalam 3 dosis. Penggunaan
Diuretik dapat diberikan untuk mengatasi retensi cairan dan hipertensi. Diuretik
yang digunakan adalah Furosemid yang merupakan loop diuretik.1
Pada pasien juga mengalami Hipertensi derajat II, hal ini membutuhkan terapi
segera untuk menurunkan tekanan darah, baik secara non-farmakologi ataupun
farmakologi. Pengobatan non-farmakologi untuk pasien ini yaitu meliputi istriahat
yang dikarenakan apabila pasien melakukan aktivitas yang tinggi dapat
meningkatkan tekanan darah sebagai usaha kompensasi kerja tubuh. Selain itu
pasien harus diet rendah garam yang dikarenakan kandungan Na di dalam garam
dapat meningkatkan kadar Na serum yang pada hipertensi sudah terjadi retensi
Natrium oleh karena efek aldosteron, yaitu direkomendasikan sebanyak 0,5-1
g/hari.2 Pada pasien ini juga dilakukan diet rendah protein, dikarenakan hasil
metabolisme protein yang akhirnya berupa ureum sulit untuk dikeluarkan dan
akan memperberat fungsi ginjal sehingga kadar ureum meningkat (Azotemia),
yaitu direkomendasikan 0,5-1 g/kgbb/ hari.2 Sedangkan pengobatan farmakologi
nya adalah dengan menggunakan Furosemid dan Captopril yang merupakan
pengobatan Hipertensi anak. Rekomendasi pengobatan Hipertensi pada anak
adalah dengan meggunakan diuretik terlebih dahulu, pada pasien diberikan
Furosemid dengan dosis 1 mg/kBB/ kali sebanyak 2 kali sehari yaitu sekitar 20
18
mg/ 12 jam. Selain itu, pada pasien ini juga diberikan terapi Captopril 0,3 mg/kg
BB/ kali dengan dosis 2-3 kali sehari, pada pasien ini diberikan 3,3 mg / 12 jam
hal ini dikarenakan Hipertensi pada pasien ini disertai dengan peningkatan
diastolik 100-120 mmHg.1
Pasien juga mengeluhkan adanya demam yang sudah dirasakan sejak 4
hari yang lalu naik turun, naik terutama pada sore hari dan tidak pernah mencapai
suhu normal kecuali dengan obat Paracetamol. Terdapat nyeri perut dan muntah
>3 kali sehari berisi makanan. Pasien yang berusia 9 tahun merupakan usia yang
tergolong rentan mengalami demam tifoid. Usia terbanyak adalah usia diatas 5
tahun dan pada daerah endemis kasus dema tifoid tersering pada usia 5-19 tahun,
diikuti dengan usia 1-5 tahun. Pada usia 6-10 tahun merupakan masa anak mulai
mengenal lingkungan dan bersosialisasi dengan temannya, mereka mulai
mengkonsumsi makanan dan minuman yang tidak diketahui dengan jelas
kebersihannya. 7Secara klinis, menegakkan diagnosis Tifoid pada minggu pertama
sulit sehingga hasil pasti harus dilakukan biakan 1. Gejala demam pada tifoid
meliputi demam yang timbul mendadak yang biasanya pada sore dan malam
hari.Gejala sistemik lain yang menyertai demam diantarnyadalah nyeri kepala,
malaise, anoreksia, nausea, mialgia, nyri perut, dan radang tenggorokan. Gejala
gastrointestinal pada demam tifoid sangat bervariasi, yaitu dapat disertai diare,
konstipasi, atau obstipasi kemudian diare dan lidah tampak kotor. 5 Setelah
dilakukan pemeriksaan laboratorium, didapatkan titer widal O 1/400 dan tter H
1/100. Hasil ini menunjukkan adanya infeksi tifoid. Di Indonesia, pengambilan
titer O aglutini ≥ 1/200 atau meningkat sebanyak 4 kali menunjukkan nilai ramal
96%. Sedangkan titer H banyak dikaitkan dengan pasca imunisasi atau infeksi
lampau, sedangkan aglutinin Vi dipakai pada deteksi pembawa kumam (karier) 5.
Pengobatan utama pada pasien dengan tifoid, yang mana disebabkan oleh
Salmonella thypiadalah dengan antibiotik dengan rekomendasi Kloramfenikol
dengan dosis 50-100 mg / kgBB/ hari dibagi dalam 4 dosis. Alternatif antibiotik
lainnya dapat digunakan Amoksisilin, Kotrimoksazol, Seftriakson, atau Sefiksim.
Berdasarkan penelitian Rempengan tahun 2013, dikatakan kloramfenikol dan
turunanannya tiamfenikol masih cukup sensitif untuk demam tifoid. Walaupun
19
dapat menyebabkan depresi sumsusm tulang, tetapi hampir tidak perrnah terjadi
anemia aplastik.7 Pada pasien dengan demam tifoid, diet yang diberikan adalah
yang makanan yang tidak berserat dan mudah dicerna supaya tidakmemperberat
kerja sistem pencernaan.1,6
20
DAFTAR PUSTAKA
1. Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2010, Glomerulonefritis Akut Pasca
Streptokokus dalam Pedoman Pelayanan Medik Jilid 1. Jakarta: IDAI.
Hal: 89-91
2. Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2012, Konsensus Glomerulonefritis Akut
Pasca Streptokokus. Jakarta: IDAI.
3. Behrman, Kliegman, and Arvin, 2000, Hematuria Makroskopik atau Mikroskopik
dalam Ilmu Kesehatan Anak Nelson Edisi 15 Volume 3, Jakarta : EGC. Hal :
1813-1815
4. Singh, Gurmet, 2011, Post Infectious Glomerulonephritis, Menzies School
of Health Research, Carles Darwin University, Darwin, NT anf Northern
Territory Medical Program, Flinders University, SA, Australia.
5. Ikatan Dokter Anak iNdonesia, 2010, Demam Tifoid dalam Buku Ajar
Infeksi & Pediatri Tropis, Jakarta: IDAI, hal: 338-336
6. Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2010, Demam Tifoid dalam Pedoman
Pelayanan Medik Jilid 1. Jakarta: IDAI. Hal: 47-49
7. Rampengan, Novie Homenta, 2013, Antibiotik Terapi Demam Tifoid
Tanpa Komplikasi pada Anak, Bagian Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas
Kedokteran Universitas Sam Ratulangi/ RSUD Prof.Dr.R.D. Kandou,
Manado.
21