status pasien

29
PENYAJIAN KASUS 1.1 Identitas Nama : Jenis Kelamin : Usia : Agama : Alamat : Tanggal Lahir : Urutan Anak : Tanggal MRS : Identitas Ayah Ibu Nama Tn. Ny. Umur Pendidikan Pekerjaan 1.2 Anamnesis(Dilakukan pada tanggal ) 1.2.1 Keluhan Utama 1.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang 1

Upload: ika-krastanaya

Post on 08-Dec-2015

225 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

status

TRANSCRIPT

PENYAJIAN KASUS

1.1 Identitas

Nama :

Jenis Kelamin :

Usia :

Agama :

Alamat :

Tanggal Lahir :

Urutan Anak :

Tanggal MRS :

Identitas Ayah Ibu

Nama Tn. Ny.

Umur

Pendidikan

Pekerjaan

1.2 Anamnesis(Dilakukan pada tanggal )

1.2.1 Keluhan Utama

1.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang

1

1.2.3 Riwayat Penyakit Dahulu

1.2.4 Riwayat Penyakit Keluarga

1.2.5 Riwayat Kehamilan

Simpulan :

2

1.2.6 Riwayat Persalinan

Simpulan : Riwayat prematur dan BBLR

1.2.7 Riwayat Pemberian Makan

Simpulan : Riwayat pemberian makan

1.2.8 Riwayat Imunisasi

Simpulan : Riwayat imunisasi

1.2.9 Riwayat Tumbuh Kembang

Simpulan : Riwayat Tumbuh Kembang

1.2.10 Riwayat Pekerjaan dan Sosioekonomi

.

Simpulan : Riwayat sosioekonomi menengah ke bawah

3

1.2.11 Genogram

Keterangan :

: Pasien

1.3 Pemeriksaan Fisik (Dilakukan pada tanggal )

1.3.1 Keadaan Umum :

1.3.2 Kesadaran :

1.3.3 Tanda Vital

a. Tekanan darah : mmHg

b. Nadi : /menit, kuat, irama reguler

c. Respirasi : /menit

d. Suhu : o C

Simpulan :

4

An. A.P, 9 thn

Ny. M, 28 thn thn

Tn.S, 30 thn

An. Y.P 5 thn

1.3.4 Antropometri

a. Berat Badan : kg

b. Panjang Badan : cm

Status Gizi :

c. BB/U :

Interpretasi : normal

d. PB/U :

Interpretasi :normal

e. BB/PB :

Interpretasi :

Simpulan :

1.3.5 Status Generalis

a. Kulit :ikterik (-), pucat (-), sianosis (-), petekie (-),ruam

. .. (-), luka mengering pada kedua kaki ( )

b. Kepala :edem palpebra (+/+), edem wajah (+)

c. Mata :konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-),refleks .....

cahaya langsung (+), refleks cahaya tak langsung. .....

(+), pupil isokor (3mm/3mm)

d. Mulut : ginggivitis (-), stomatitis (-), tifoid tongue (-)

e. Telinga :sekret (-), meatus tidak eritem, nyeri tragus (-)

f. Hidung : rinorea (-), deviasi septum (-)

g. Tenggorokan : faring tidak hiperemis, tonsil T1/T1

h. Leher : Tidak ada pembesaran kelenjar getah bening

i. Jantung

Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat

Palpasi : iktus kordis teraba di garis midclavicula sinistra

SIC 4, thrill (-)

Perkusi : sulit dinilai

5

Auskultasi : S1 tunggal/ S2 split tak konstan, gallop(-), murmur

(-)

j. Paru

Inspeksi : bentuk dada simetris, retraksi (-)

Palpasi : Fremitus taktil simetris kanan-kiri

Perkusi : sonor di kedua lapang paru

Auskultasi :Suara nafas dasar: vesikuler

(+/+),rhonki(-/-)wheezing (-/-), krepitas (-/-),

grunting (-)

k. Abdomen

Inspeksi : datar

Auskultasi : bising usus (+) 4 x/menit, bruit (-).

Palpasi : supel, benjolan (-), hepar teraba 2 jari dibawah

costa dan lien tidak teraba

Perkusi : timpani seluruh lapang abdomen

l. Urogenital :prepusium ( ), fimosis (-)

m. Anus/Rektum : eritema perianal (-), prolaps rekti (-)

n. Ekstremitas : sianosis (-),edema (+/+), akral hangat,nadi kuat,

cap refill < 2 detik, tonus otot baik, atrofi otot (-)

Simpulan :

1.4 Pemeriksaan Penunjang

6

1.5 Diagnosis Kerja

1.6 Usulan Pemeriksaan Penunjang

1.7 Tatalaksana

1.7.1 Non Medikamentosa

1.7.2 Medikamentosa

7

1.8 Observasi

1.8.1. 30 Maret 2015

S : Demam (+), sesak (-), bengkak wajah dan kaki (+), kencing (+)

berwarna seperti teh

O : TD : 150/92 mmHg

Temp : 37,60 C

Paru : Vesikuler (+/+) Rhonki (-/-)

Ekstremitas : Pitting edema (+/+)

A : ISK dd SN + Obs Febris dd/ Tifoid

P : Asering 20 tpm makro

Amplisilin i.v 3 x 700 mg

Ranitidin i.v 3 x 20 mg

Ondansetron i.v 2 mg bp

Novaldo 200 mg jika suhu > 38,50 C

P.O = Metil Prednisolone 3 x 7 mg

Paracetamol Syr 4 x Cth II

Multivitamin Syr 1 x Cth 1

1.8.2. 31 Maret 2015

S : Demam (-), sesak (-), bengkak wajah dan kaki (+), kencing (+)

berwarna seperti teh

O : TD : 152/106 mmHg

Diuresis 1,8 ml/kgBB/ jam

Temp : 36,80 C

Paru : Vesikuler (+/+) Rhonki (-/-)

Ekstremitas : Pitting edema (+/+)

8

Urinalisis :

Glukosa (-)

Bilirubin (-)

Keton (-)

pH : 6,5

A : Tifoid

ISK dd SN/GNA

P : Asering 20 tpm makro

Amplisilin i.v 3 x 700 mg

Furosemid i.v 2 x 20 mg

Ranitidin i.v 3 x 20 mg

Ondansetron i.v 2 mg bp

Novaldo 200 mg jika suhu > 38,50 C

P.O = Metil Prednisolone 3 x 7 mg

Paracetamol Syr 4 x Cth II

Multivitamin Syr 1 x Cth 1

1.8.3. 1 April 2015

S : Bengkak wajah dan kaki (+), kencing (+) berwarna seperti teh

O : TD : 150/106 mmHg

Diuresis 2,5 ml/kgBB/ jam

Temp : 36,70 C

Paru : Vesikuler (+/+) Rhonki (-/-)

Ekstremitas : Pitting edema (+/+)

A : Tifoid

ISK dd GNA

P : Asering 20 tpm makro

Amplisilin i.v 3 x 700 mg

Furosemid i.v 2 x 20 mg

Ranitidin i.v 3 x 20 mg

Ondansetron i.v 2 mg bp

9

Protein 2+

Blood 3+

Nitrat (-)

Leukosit (-)

Novaldo 200 mg jika suhu > 38,50 C

P.O = Metil Prednisolone 3 x 7 mg STOP

Nifedipin 2 mg, jika TD > 150 mmHg

Captopril 2 x 3 mg

Paracetamol Syr 4 x Cth II

Multivitamin Syr 1 x Cth 1

1.8.4. 2 April 2015

S : Bengkak wajah dan kaki (+), kencing (+) berwarna seperti teh

O : TD : 117/ 83 mmHg

Diuresis 2,6 ml/kgBB/ jam

Temp : 36,90 C

Paru : Vesikuler (+/+) Rhonki (-/-)

Ekstremitas : Pitting edema (+/+)

Urinalisis :

Glukosa (-)

Bilirubin (-)

Keton (-)

pH : 7.0

Rontgen thoraks PA

Simpulan : Efusi Pleura kanan

10

Blood 2+

Protein 1+

Nitrat (-)

Leukosit (trace)

A : Tifoid

Susp GNA

P : Asering 20 tpm makro

Amplisilin i.v 3 x 700 mg

Furosemid i.v 2 x 20 mg

Ranitidin i.v 3 x 20 mg

Ondansetron i.v 2 mg bp

Novaldo 200 mg jika suhu > 38,50 C

P.O = Nifedipin 2 mg, jika TD > 150 mmHg

Captopril 2 x 3 mg

Paracetamol Syr 4 x Cth II

Multivitamin Syr 1 x Cth 1

1.8.5. 3 April 2015

S : Bengkak wajah dan kaki (↓), kencing (+) berwarna seperti teh

O : TD : 130/ 90 mmHg

Diuresis 2,7 ml/kgBB/ jam

Temp : 36,70 C

Paru : Vesikuler (+/+) Rhonki (-/-)

Ekstremitas : Pitting edema (+ ↓/+)

A : Tifoid

Susp GNA

P : Asering 20 tpm makro

Amplisilin i.v 3 x 700 mg

Furosemid i.v 2 x 20 mg

Ranitidin i.v 3 x 20 mg

Ondansetron i.v 2 mg bp

Novaldo 200 mg jika suhu > 38,50 C

P.O = Nifedipin 2 mg, jika TD > 150 mmHg

Captopril 2 x 3 mg

Paracetamol Syr 4 x Cth II

11

Multivitamin Syr 1 x Cth 1

1.8.6. 4 April 2015

S : Bengkak wajah dan kaki (↓), kencing (+) berwarna seperti teh

O : TD : 110/ 80 mmHg

Diuresis 2,5 ml/kgBB/ jam

Temp : 36,80 C

Paru : Vesikuler (+/+) Rhonki (-/-)

Ekstremitas : Pitting edema (+ ↓/+ ↓)

A : Tifoid

Susp GNA

P : Asering 20 tpm makro

Amplisilin i.v 3 x 700 mg

Furosemid i.v 2 x 20 mg

Ranitidin i.v 3 x 20 mg

Ondansetron i.v 2 mg bp

Novaldo 200 mg jika suhu > 38,50 C

P.O = Nifedipin 2 mg, jika TD > 150 mmHg

Captopril 2 x 3 mg

Paracetamol Syr 4 x Cth II

Multivitamin Syr 1 x Cth 1

1.8.7. 5 April 2015

S : Bengkak wajah dan kaki (↓), kencing (+) berwarna seperti teh

O : TD : 128/ 61 mmHg

Diuresis 3,4 ml/kgBB/ jam

Temp : 36,70 C

Paru : Vesikuler (+/+) Rhonki (-/-)

Ekstremitas : Pitting edema (+ ↓/+ ↓)

A : Tifoid

Susp GNA

12

P : Asering 20 tpm makro

Amplisilin i.v 3 x 700 mg

Furosemid i.v 2 x 20 mg

Ranitidin i.v 3 x 20 mg

Ondansetron i.v 2 mg bp

Novaldo 200 mg jika suhu > 38,50 C

P.O = Nifedipin 2 mg, jika TD > 150 mmHg

Captopril 2 x 3 mg

Paracetamol Syr 4 x Cth II

Multivitamin Syr 1 x Cth 1

1.8.8. 6 April 2015

S : Bengkak wajah dan kaki (↓), kencing (+) berwarna seperti teh

O : TD : 108/ 62 mmHg

Diuresis 3,3 ml/kgBB/ jam

Temp : 36,50 C

Paru : Vesikuler (+/+) Rhonki (-/-)

Ekstremitas : Pitting edema (+ ↓/+ ↓)

A : Tifoid

Susp GNA

Urinalisis :

Warna : Kuning muda

Berat Jenis : 1020

pH : 7.0

Protein 2+

Glukosa (-)

Keton (-)

Bilirubin (-)

Urobilinogen : 3,2 umol/L

Leukosit : Trace

Hemoglobin : Blood 2+

13

Epitel : 2+

Leukosit : 0-1

Eritrosit : > 100 LPB

Silinder (-)

Kristal (-)

P : Asering 20 tpm makro

Amplisilin i.v 3 x 700 mg

Furosemid i.v 2 x 20 mg

Ranitidin i.v 3 x 20 mg

Ondansetron i.v 2 mg bp

Novaldo 200 mg jika suhu > 38,50 C

P.O = Nifedipin 2 mg, jika TD > 150 mmHg

Captopril 2 x 3 mg

Paracetamol Syr 4 x Cth II

Multivitamin Syr 1 x Cth 1

1.8.9. 7 April 2015

Pasien pulang atas permintaan sendiri.

1.9 Prognosis

Glomerulonefritis pasca Streptokokus merupakan penyakit yang bersifat

self limiting disease, tetapi dapat juga menyebabkan gagal ginjal akut.

Sebagian besar pasien (95%) akan sembuh, tetapi 5% diantaranya dapat

mengalami perjalanan penyakit yang memburuk dengan cepat. Fungsi ginjal

membaik dalam 1 minggu dan menjadi normal dalam 3-4 minggu. Kelainan

sedimen urin akan tetap terlihat selama berbulan-bulan bahkan bertahun-

tahun pada sebagian besar pasien.1

Prognosis demam tifoid bergantung pada ketepatan terapi, usia, keadaan

klinis, dan adanya komplikasi. Di negara maju, dengan antibiotik angka

mortalitas <1% sedangakan pada negara berkembang >10%. Pada kompliksi

seperti perforasi usus dengan perdarahan hebat, meningitis, endokarditis dan

pneumonia menigkatkan angka mortalitas.5

14

PEMBAHASAN

Pasien merupakan seorang anak laki-laki berusia 9 tahun datang dengan

keluhan utama bengkak pada wajah dan kedua kaki. Dari pemeriksaan fisik,

diketahui bahwa pasien mengalami hipertensi. Sedangkan hasil pemeriksaan

laboratorium didapatakan hasil hematuria dan azotemia. Berdasarkan temuan

klinis tersebut, pasien mengalami Sindrom Nefritik Akut diduga disebabkan oleh

infeksi Streptococcus B hemolyticus yang disebut Glomerulonefritis Akut Pasca

Streptokokus (GNAPS). Kumpulan gejala tersebut dinamakan Sindrom Nefritik

Akut, sedangkan Glomerulonefritis akut merupakan diagnosa histopatologi.

GNAPS ditegakkan dikarenakan dijumpai full blown cases yaitu gejala nefritik

yang lengkap yaitu proteinuria, hematuria, edema, oliguria, dan hipertensi, maka

diagnosa GNAPS dapat ditegakkan, karena gejala tersebut merupakan gejala khas

untuk GNAPS.GNAPS itu sendiri merupakan suatu kumpulan gejala klinis berupa

proteinuria, hematuria, azotemia, red blood cast, oliguria, dan hipertensi

(PHAROH) yang terjadi secara akut.2Untuk memastikan diagnosa, dibutuhkan

pemeriksaan penunjang, yaitu berupa ASTO (meningkat) & C3 (menurun) dan

pemeriksaan lain berupa adanya torak eritrosit, hematuria & proteinuria.3,4

Diagnosis pasti ditegakkan bila biakan positif untuk streptokokus ß hemolitikus

grup A.1

Infeksi Glomerulonefritis akut yang disebabkan oleh Streptococcus yaitu

pada strain “nefritogenik” dari Streptococcus B hemolitycus grup A. Selama

cuaca dingin glomerulonefritis Streptococcus biasanya menyertai faringitis

streptococcus, sedangkan selama cuaca panas glomerulonefritis biasanya

menyertai infeksi kulit atau pioderma.3Infeksi streptokokus pada GNA

menyebabkan reaksi serologis terhadap produk-produk ekstraselular streptokokus,

sehingga timbul antibodi yang titernya dapat diukur, seperti antistreptolisin O

(ASO), antihialuronidase (AH ase) dan antideoksiribonuklease (AD Nase-B).

Titer ini meningkat 70-80% pada GNAPS. Kenaikan titer ini dimulai pada hari

ke-10 hingga 14 sesudah infeksi streptokokus dan mencapai puncaknya pada

minggu ke- 3 hingga 5 dan mulai menurun pada bulan ke-2 hingga 6. Titer ASO

15

jelas meningkat pada GNAPS setelah infeksi saluran pernapasan oleh

streptokokus. Sedangkan komplemen serum hampir selalu menurun pada GNAPS,

karena turut serta berperan dalam proses antigen-antibodi sesudah terjadi infeksi

streptokokus yang nefritogenik. Di antara sistem komplemen dalam tubuh, maka

komplemen C3 (B1C globulin) yang paling sering diperiksa kadarnya karena cara

pengukurannya mudah. Beberapa penulis melaporkan 80-92% kasus GNAPS

dengan kadar C3 menurun. Umumnya kadar C3 mulai menurun selama fase akut

atau dalam minggu pertama perjalanan penyakit, kemudian menjadi normal

sesudah 4-8 minggu timbulnya gejala-gejala penyakit. Bila sesudah 8 minggu

kadar komplemen C3 ini masih rendah, maka hal ini menunjukkan suatu proses

kronik yang dapat dijumpai pada glomerulonefritis membrano proliferatif atau

nefritis lupus.2

Berdasarkan usia, GNAPS lebih sering terjadi pada anak usia 6 sampai 15

tahun dan jarang pada usia di bawah 2 tahun, sedangkan berdasarkan jenis

kelamin laki-laki dikatakan lebih sering dibandingkan perempuan yaitu 2:1.

(PPM, 2010) Hal ini sesuai dengan pasien yang merupakan seorang anak laki-laki

berusia 9 tahun.Faktor resiko GNAPS ini adalah infeksi sistem saluran pernafasan

(ISPA) dengan riwayat 1-3 minggu sebulum manifestasi GNAPS atau infeksi

pada kulit dengan riwayat 3-6 minggu sebelumnya. 1,4 Pada pasien ini yang

mungkin jadi faktor resikoadalah infeksi kulit pada kedua kaki yang sudah

dirasakan sejak 3 bulan yang lalu, luka-luka tersebut dapat disebabkan oleh

bakteri Streptococcus B hemoliticus dan menyebar secara hematogen sehingga

terjadi reaksi antibodi antigen di glomerulus hingga terjadinya GNAPS. Batuk

berdahak yang dialami pasien juga dapat mengarahkan ke Infeksi Saluran Nafas

Atas (ISPA) sehingga bisa menjadi faktor resiko lain yang dapat menyebabkan

GNAPS. Batuk berdahak tersebut harus dipastikan terlebih dahulu bukan

disebabkan oleh penyakit paru kronik salah satunya adalah TB paru, yaitu dari

anamnesis tidak dijumpai orang dewasa yang batuk lama dan terkontak dengan

pasien, tidak ada riwayat penurunan berat badan selama batuk, tidak ada keluhan

demam diserti keringat malam hari.

16

Gejala bengkak pada wajah dan kedua tungkai merupakan gejala yang paling

sering, umumnya pertama kali timbul, dan menghilang pada akhir minggu

pertama. Edema paling sering terjadi di daerah periorbital (edema palpebra),

disusul daerah tungkai. Jika terjadi retensi cairan hebat, maka edema timbul di

daerah perut (asites), dan genitalia eksterna (edema skrotum/vulva) menyerupai

sindrom nefrotik.2Pada pasien ini, edema terjadi pada kedua kelopak mata dan

tungkai yang merupakan tempat predileksi edema anasarka yang diakibatkan

gangguan fungsi ginjal. Distribusi edema bergantung pada 2 faktor, yaitu gaya

gravitasi dan tahanan jaringan lokal. Oleh sebab itu, edema pada palpebra sangat

menonjol waktu bangun pagi, karena adanya jaringan longgar pada daerah

tersebut dan menghilang atau berkurang pada siang dan sore hari atau setelah

melakukan kegitan fisik.2

Hipertensi merupakan gejala yang terdapat pada 60-70% kasus GNAPS. 2,4Hal

ini terjadi karena penurunan filtrasi glomerulus akibat reaksi antigen-antibodi

sehingga tubulus distal meresponnya dengan retensi air dan Natrium. Umumnya

terjadi dalam minggu pertama dan menghilang bersamaan dengan menghilangnya

gejala klinik yang lain. Pada pasien ini, tekanan darah ketika datang adalah

137/105 mmHg. Tekanan darah tersebut apabila diukur dengan tabel tekanan

darah pada anak sesuai dengan usia, jenis kelamin, dan tinggi badan, didapatkan

hasil Hipertensi grade II. Pada pasien ini juga mengalami mimisan dan nyeri

kepala tanpa riwayat trauma, hal ini dapat dikaitkan dengan Hipertensi yang

dialaminya.

Pada urin pasien awalnya berwarna kuning tetapi beberapa hari kemudian

mulai bewarna seperti teh. Gambaran urin seperti teh menandakan adanya

hematuria yang khas pada GNAPS. Hematuria dapat berupa makroskopik dan

mikroskopik. Hematuria makroskopik terdapat pada 30-70% kasus

GNAPS,sedangkan hematuria mikroskopik dijumpai hampir pada semua kasus.

Hematuria makroskopik biasanya timbul dalam minggu pertama dan berlangsung

beberapa hari, tetapi dapat pula berlangsung sampai beberapa minggu. Hematuria

mikroskopik dapat berlangsung lebih lama, umumnya menghilang dalam waktu 6

bulan. Kadang-kadang masih dijumpai hematuria mikroskopik dan proteinuria

17

walaupun secara klinik GNAPS sudah sembuh. Bahkan hematuria mikroskopik

bisa menetap lebih dari satu tahun, sedangkan proteinuria sudah menghilang.

Keadaan terakhir ini merupakan indikasi untuk dilakukan biopsi ginjal, mengingat

kemungkinan adanya glomerulonefritis kronik.

Diuresis pada pasien ini rata-rata perhari menunjukkan jumlah diuresis yang

cukup, yaitu 1,8 – 3,4 cc/kgBB / jamyang tidak menunujukkan gejala oliguria. Hal

ini mungkin dikarenakan pemberian Furosemid untuk mengurangi edema dan

menurunkan hipertensi.

Pengobatan GNAPS ini lebih tertuju pada penyebabnya, yaitu akibat reaksi

antigen-antibodi Streptococcus B hemolyticus dengan menggunakan antibiotik.

Antibiotik yang direkomendasikan adalah Amoksisilin 50 mg/kgBB/hari dibagi

dalam 3 dosis selama 10 hari. Jika anak alergi terhadap golongan Penisilin, dapat

diganti dengan eritromisin 30 mg/ kgbb/ hari dibagi dalam 3 dosis. Penggunaan

Diuretik dapat diberikan untuk mengatasi retensi cairan dan hipertensi. Diuretik

yang digunakan adalah Furosemid yang merupakan loop diuretik.1

Pada pasien juga mengalami Hipertensi derajat II, hal ini membutuhkan terapi

segera untuk menurunkan tekanan darah, baik secara non-farmakologi ataupun

farmakologi. Pengobatan non-farmakologi untuk pasien ini yaitu meliputi istriahat

yang dikarenakan apabila pasien melakukan aktivitas yang tinggi dapat

meningkatkan tekanan darah sebagai usaha kompensasi kerja tubuh. Selain itu

pasien harus diet rendah garam yang dikarenakan kandungan Na di dalam garam

dapat meningkatkan kadar Na serum yang pada hipertensi sudah terjadi retensi

Natrium oleh karena efek aldosteron, yaitu direkomendasikan sebanyak 0,5-1

g/hari.2 Pada pasien ini juga dilakukan diet rendah protein, dikarenakan hasil

metabolisme protein yang akhirnya berupa ureum sulit untuk dikeluarkan dan

akan memperberat fungsi ginjal sehingga kadar ureum meningkat (Azotemia),

yaitu direkomendasikan 0,5-1 g/kgbb/ hari.2 Sedangkan pengobatan farmakologi

nya adalah dengan menggunakan Furosemid dan Captopril yang merupakan

pengobatan Hipertensi anak. Rekomendasi pengobatan Hipertensi pada anak

adalah dengan meggunakan diuretik terlebih dahulu, pada pasien diberikan

Furosemid dengan dosis 1 mg/kBB/ kali sebanyak 2 kali sehari yaitu sekitar 20

18

mg/ 12 jam. Selain itu, pada pasien ini juga diberikan terapi Captopril 0,3 mg/kg

BB/ kali dengan dosis 2-3 kali sehari, pada pasien ini diberikan 3,3 mg / 12 jam

hal ini dikarenakan Hipertensi pada pasien ini disertai dengan peningkatan

diastolik 100-120 mmHg.1

Pasien juga mengeluhkan adanya demam yang sudah dirasakan sejak 4

hari yang lalu naik turun, naik terutama pada sore hari dan tidak pernah mencapai

suhu normal kecuali dengan obat Paracetamol. Terdapat nyeri perut dan muntah

>3 kali sehari berisi makanan. Pasien yang berusia 9 tahun merupakan usia yang

tergolong rentan mengalami demam tifoid. Usia terbanyak adalah usia diatas 5

tahun dan pada daerah endemis kasus dema tifoid tersering pada usia 5-19 tahun,

diikuti dengan usia 1-5 tahun. Pada usia 6-10 tahun merupakan masa anak mulai

mengenal lingkungan dan bersosialisasi dengan temannya, mereka mulai

mengkonsumsi makanan dan minuman yang tidak diketahui dengan jelas

kebersihannya. 7Secara klinis, menegakkan diagnosis Tifoid pada minggu pertama

sulit sehingga hasil pasti harus dilakukan biakan 1. Gejala demam pada tifoid

meliputi demam yang timbul mendadak yang biasanya pada sore dan malam

hari.Gejala sistemik lain yang menyertai demam diantarnyadalah nyeri kepala,

malaise, anoreksia, nausea, mialgia, nyri perut, dan radang tenggorokan. Gejala

gastrointestinal pada demam tifoid sangat bervariasi, yaitu dapat disertai diare,

konstipasi, atau obstipasi kemudian diare dan lidah tampak kotor. 5 Setelah

dilakukan pemeriksaan laboratorium, didapatkan titer widal O 1/400 dan tter H

1/100. Hasil ini menunjukkan adanya infeksi tifoid. Di Indonesia, pengambilan

titer O aglutini ≥ 1/200 atau meningkat sebanyak 4 kali menunjukkan nilai ramal

96%. Sedangkan titer H banyak dikaitkan dengan pasca imunisasi atau infeksi

lampau, sedangkan aglutinin Vi dipakai pada deteksi pembawa kumam (karier) 5.

Pengobatan utama pada pasien dengan tifoid, yang mana disebabkan oleh

Salmonella thypiadalah dengan antibiotik dengan rekomendasi Kloramfenikol

dengan dosis 50-100 mg / kgBB/ hari dibagi dalam 4 dosis. Alternatif antibiotik

lainnya dapat digunakan Amoksisilin, Kotrimoksazol, Seftriakson, atau Sefiksim.

Berdasarkan penelitian Rempengan tahun 2013, dikatakan kloramfenikol dan

turunanannya tiamfenikol masih cukup sensitif untuk demam tifoid. Walaupun

19

dapat menyebabkan depresi sumsusm tulang, tetapi hampir tidak perrnah terjadi

anemia aplastik.7 Pada pasien dengan demam tifoid, diet yang diberikan adalah

yang makanan yang tidak berserat dan mudah dicerna supaya tidakmemperberat

kerja sistem pencernaan.1,6

20

DAFTAR PUSTAKA

1. Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2010, Glomerulonefritis Akut Pasca

Streptokokus dalam Pedoman Pelayanan Medik Jilid 1. Jakarta: IDAI.

Hal: 89-91

2. Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2012, Konsensus Glomerulonefritis Akut

Pasca Streptokokus. Jakarta: IDAI.

3. Behrman, Kliegman, and Arvin, 2000, Hematuria Makroskopik atau Mikroskopik

dalam Ilmu Kesehatan Anak Nelson Edisi 15 Volume 3, Jakarta : EGC. Hal :

1813-1815

4. Singh, Gurmet, 2011, Post Infectious Glomerulonephritis, Menzies School

of Health Research, Carles Darwin University, Darwin, NT anf Northern

Territory Medical Program, Flinders University, SA, Australia.

5. Ikatan Dokter Anak iNdonesia, 2010, Demam Tifoid dalam Buku Ajar

Infeksi & Pediatri Tropis, Jakarta: IDAI, hal: 338-336

6. Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2010, Demam Tifoid dalam Pedoman

Pelayanan Medik Jilid 1. Jakarta: IDAI. Hal: 47-49

7. Rampengan, Novie Homenta, 2013, Antibiotik Terapi Demam Tifoid

Tanpa Komplikasi pada Anak, Bagian Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas

Kedokteran Universitas Sam Ratulangi/ RSUD Prof.Dr.R.D. Kandou,

Manado.

21