sripsiq tahap 1

44
PROGRAM STUDI MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN UNIVERSITAS HASANUDDIN Bahan Seminar : Hasil Penelitian Judul : Asosiasi Eboni (Diospyros celebica) dengan berbagai jenis pohon di Kawasan Hutan Pendidikan Universitas Hasanuddin, Kecamatan Cenrana, Kabupaten Maros Pembawa Seminar : Arghatama Djuan K. Stambuk : M. 111 05 043 Pembimbing : 1. Prof. Dr. Ir. Amran Achmad. M.Sc 2. Asrianny S.Hut, M.Si BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Eboni (Diospyros celebica) atau yang lebih dikenal dengan nama kayu hitam merupakan salah satu jenis dari family Ebenaceae, dan tumbuh endemik di hutan alam Pulau Sulawesi. Di Indonesia eboni sering disebut dengan kayu hitam, sedangkan masyarakat suku Bugis (Sulawesi Selatan) mengenal tanaman ini dengan nama daerah aju lotong. Pemberian nama ini berdasarkan pada warna dan serat kayunya yang berwarna hitam. Keberadaan eboni di habitat alaminya kini kian tersisihkan, hal ini dapat dilihat dari jumlahnya di alam yang kian merosot tajam. Sifat ekologis dari 1

Upload: phanye

Post on 18-Jun-2015

777 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

Page 1: sripsiQ tahap 1

PROGRAM STUDI MANAJEMEN HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

UNIVERSITAS HASANUDDIN

Bahan Seminar : Hasil PenelitianJudul : Asosiasi Eboni (Diospyros celebica) dengan berbagai jenis

pohon di Kawasan Hutan Pendidikan Universitas Hasanuddin, Kecamatan Cenrana, Kabupaten Maros

Pembawa Seminar : Arghatama Djuan K.Stambuk : M. 111 05 043Pembimbing : 1. Prof. Dr. Ir. Amran Achmad. M.Sc

2. Asrianny S.Hut, M.Si

BAB I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Eboni (Diospyros celebica) atau yang lebih dikenal dengan nama kayu

hitam merupakan salah satu jenis dari family Ebenaceae, dan tumbuh endemik di

hutan alam Pulau Sulawesi. Di Indonesia eboni sering disebut dengan kayu

hitam, sedangkan masyarakat suku Bugis (Sulawesi Selatan) mengenal tanaman

ini dengan nama daerah aju lotong. Pemberian nama ini berdasarkan pada warna

dan serat kayunya yang berwarna hitam.

Keberadaan eboni di habitat alaminya kini kian tersisihkan, hal ini dapat

dilihat dari jumlahnya di alam yang kian merosot tajam. Sifat ekologis dari Eboni

yang memiliki pertumbuhan lambat merupakan faktor penyebab utama. Maka

untuk mencegah kelangkaan spesies eboni yang mengarah pada kepunahannya,

pemerintah sejak awal tahun 1990-an telah melakukan tindakan perlindungan dan

pelestarian. Departemen Kehutanan telah mengeluarkan surat keputusan (SK)

No. 950/IV-PPHH/1990 yang intinya melarang kegiatan tebang baru terhadap

pohon eboni kecuali mendapatkan ijin khusus. Word Conservation Union (IUCN),

dalam daftarnya juga mencantumkan Eboni ke dalam kategori vulnerable (VU AL

cd) yang artinya berada pada batas beresiko tinggi untuk punah di alam.

1

Page 2: sripsiQ tahap 1

Tingkat regenerasi Eboni di alam tergolong rendah, hal ini disebabkan

oleh sifatnya yang semitoleran, dimana pada tingkat semai eboni membutuhkan

tanaman penaung dan pada saat percabangan sekundernya terbentuk dia

membutuhkan intensitas cahaya yang secara bertahap bertambah seiring dengan

tingkat pertumbuhannya. Hubungan ketergantungan antara Eboni dan tanaman

penaungnya inilah yang akan membentuk suatu pola asosiasi. Dan dari kekuatan

asosiasi yang terbentuk ini dapat terlihat seberapa besar jenis pohon penaung

memberikan dampak terhadap tingkat pertumbuhan dari Eboni.

Berdasarkan pengamatan yang dilakukan pada survei awal lokasi

penelitian, maka didapati bahwa kerapatan populasi Eboni dipengaruhi oleh

keberadaan vegetasi jenis tertentu. Hal ini dicirikan oleh jumlah dan tinggi Eboni

yang dipengaruhi oleh keberadaan beberapa jenis vegetasi yang ada. Dapat

terlihat pertumbuhan Eboni yang baik apabila pohon penaungnya adalah Pinang

(Areca catechu) ataupun Aren (Arenga saccharifera).

Dengan melihat adanya hubungan ketergantungan antara Eboni dengan

tanaman penaungnya, maka penelitian mengenai asosiasi Eboni adalah sangat

penting. Penelitian mengenai asosiasi Eboni dengan tanaman penaungnya dapat

digunakan sebagai bahan acuan dalam menentukan jenis tanaman yang menjadi

penaung agar pertumbuhan Eboni menjadi optimal.

B. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui asosiasi jenis Eboni dengan

jenis-jenis pohon lainnya di Kawasan Hutan Pendidikan Universitas Hasanuddin,

Bengo-bengo.

Manfaat penelitian ini adalah merupakan ukuran dasar terhadap asosiasi

Eboni di Kawasan Hutan Pendidikan Universitas Hasanuddin, sehingga dapat

dimanfaatkan oleh stakeholder untuk pengelolaan Eboni di Kawasan Hutan

Pendidikan tersebut.

2

Page 3: sripsiQ tahap 1

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Sistematika dan Morfologi

Menurut Riswan (2002), klasifikasi jenis Diospyros celebica Bakh, secara

lengkap dapat diuraikan sebagai berikut:

Kerajaan : Plantae

Divisi : Spermatophyta

Sub divisi : Angiospermae

Kelas : Dicotyledoneae

Sub kelas : Sympetalae

Bangsa : Ebenales

Suku : Ebeneceae

Marga : Diospyros

Spesies : Diospyros celebica

Eboni adalah pohon yang berukuran sedang sampai besar, tinggi pohon

dapat mencapai 40 m. Bagian batang yang tidak bercabang dapat mencapai 40 m.

Bagian batang yang tidak bercabang dapat mencapai 150 cm atau lebih di atas

akar papan yang tingginya dapat mencapai 4 m di atas permukaan tanah. Batang

bersisik dan berwarna hitam (Riswan, 2002).

Daun tunggal, bentuk memanjang sampai jorong, dengan panjang 12-35

cm dan lebar 2,5-7cm. Bagian dasar daun tumpul sampai agak menjantung dan

ujung daun lancip sampai agak lancip, tulang daun menjala tersier dan nyata jika

di raba baik muka daun atas dan bawah (Riswan, 2002).

Sistem perbungaan berbentuk payung menggarpu, pada bunga jantan ada

3-7, dengan masing-masing 4 petal dan mempunyai 16 benangsari, sedangkan

pada bunga betina, dijumpai 1-3 perbungaan yang seperti payung menggarpu, 4

petal dengan kelopak yang bergelombang dan berkatup, rapat dan kaku di sebelah

luar. Tajuk bunga seperti terbagi dua, bakal buah mempunyai 4-8 ruang bakal biji

yang menyatu (Riswan, 2002).

3

Page 4: sripsiQ tahap 1

Buah berbentuk bulat telur, dengan ukuran rata-rata 3,5-5cm x 3-3,5 cm,

kulit buah halus seperti sutera, berbulu tipis pada dasar dan ujung buah.

Diospyros celebica mulai berbunga dan berbuah pertama kali pada umur 5-7

tahun. Periode dari bunga betina matang dan dibuahi sampai menjadi buah masak

memerlukan waktu kurang lebih selama 4 tahun (Riswan, 2002).

Sifat fenologi eboni menunjukkan bahwa buah Eboni sudah masak secara

fisiologis pada sekitar bulan November dan Desember. Pengumpulan buah

sebaiknya dilakukan dengan memanjat pohon untuk memilih buah yang baik

karena buah yang sudah jatuh ke lantai hutan biasanya bercampur dengan buah

yang muda dan yang rusak karena terserang hama dan penyakit. Biji Eboni yang

sehat ditandai dengan warna biji cokelat kehitaman dan memiliki radikel

berwarna kuning kecoklatan. Berhubung sifat biji Eboni adalah rekalsitran

maka tidak dapat disimpan dalam waktu lama (Samuel dan Nurkin, 2002).

B. Penyebaran

Eboni (Diospyros celebica) sesuai dengan nama spesiesnya merupakan

jenis endemik di Pulau Sulawesi (Celebes) terutama di Sulawesi Utara, Sulawesi

Tengah dan Sulawesi Utara. Di Sulawesi Utara, penyebarannya terutama di

Kabupaten Minahasa dan Kabupaten Bolaan Mongondow. Sulawesi tengah

merupakan tempat sebaran utama jenis ini dan juga di enam kabupaten yaitu

Poso, Donggala, Parigi, Toli-toli, Kolonodale dan Luwu, sedangkan di Sulawesi

Selatan Eboni tersebar di dua kabupaten yaitu Luwu dan Gowa (Samuel dan

Nurkin, 2002).

Eboni dijumpai pada hutan dataran rendah sampai daerah pegunungan

rendah, 400 m di atas permukaan laut. Jenis pohon ini tumbuh alami di hutan

tropika basah dan di hutan monsoon atau hutan yang beriklim musiman, di mana

jenis ini merupakan jenis utama atau jenis paling dominan di tipe-tipe hutan

tersebut. Eboni dapat tumbuh di tanah-tanah latosol, tanah podzol dan tanah

berkapur (Riswan, 2002).

4

Page 5: sripsiQ tahap 1

Eboni dapat ditemukan di Hutan Pendidikan Universitas Hasanuddin yang

secara administratif terletak di wilayah Desa Limampoccoe, Kec Cenrana Kab

Maros. Ditinjau dari segi astronomis kawasan hutan pendidikan Unhas terletak

pada posisi antara 119˚44’33” - 119˚46’17” BT dan 04˚58’7” - 05˚00’30” LS,

dengan ketinggian antara 300 – 1100 m dari permukaan laut. Kawasan hutan

pendidikan Unhas merupakan bagian dari kawasan Hutan Bulusaraung yang

berada dalam Resort Polisi Hutan (RPH) Bengo, bagian Hutan Lebbo Tengae, sub

dinas kehutanan (Anonim, 2009).

C. Karakteristik

Berdasarkan hasil penelitian regenerasi hutan yang dilakukan oleh Harun

(2002) di kelompok hutan alam Eboni di Sulawesi tengah menunjukkan bahwa

pembukaan tajuk yang terlalu terbuka dan penyinaran yang terlalu kuat tidak baik

untuk perkembangan dan pertumbuhan anakan Eboni. Begitu pula pada daerah

yang naungan berat (kurang cahaya) anakan banyak yang mati. Sedang anakan

yang berada pada naungan ringan menunjukkan pertumbuhan yang baik, namun

demikian setelah anakan mencapai tingkat sapling secara bertahap naungan harus

sudah mendapat cahaya penuh agar pertumbuhannya cepat. Dengan demikian,

Eboni tergolong jenis pohon semi toleran terhadap cahaya.

Dari aspek ekologi, yang paling menarik dari Eboni adalah tipe

tumbuhnya yang mengelompok, sifat kayunya sangat keras, dan tahan terhadap

serangga perusak kayu. Penelitian produksi buah dan pemencaran biji, serta

predator dalam populasi jenis ini merupakan suatu hal yang sangat penting dan

menarik dalam mempelajari populasi dan penyebaran Eboni di hutan alamnya

(Riswan, 2002).

D. Struktur Vegetasi

5

Page 6: sripsiQ tahap 1

Struktur vegetasi sebagai suatu organisasi dari kumpulan individu-individu

yang membentuk suatu tegakan (berdasarkan tipe vegetasi atau asosiasi

tumbuhan) dan elemen dasar dari struktur vegetasi itu sendiri adalah bentuk

tumbuh, stratifikasi dan penutupan tajuk (Mueller-Dombois dan Ellenberg, 1974).

Mueller-Dombois dan Ellenberg (1974), membagi struktur vegetasi

menjadi lima berdasarkan tingkatannya, yaitu:

1. Fisiognomi vegetasi berupa penampilan fisik dari suatu vegetasi.

merupakan hasil dari struktur biomassa, wujud fungsional (misalnya:

rontoknya daun di hutan), dan karakteristik penyusunnya (misalnya:

kesuburan tanah)

2. Struktur biomassa mengarah pada jarak dan tinggi dari vegetasi yang

membentuk matriks dari penutupan vegetasi

3. Struktur bentuk hidup mengarah pada komposisi dari bentuk

pertumbuhan suatu vegetasi. Konsep struktur benttuk hidup

mengelompokkan individu dari spesies dengan bentuk morfologi yang

sama ke dalam suatu tipe bentuk tumbuh

4. Struktur floristik merupakan gabungan dari struktur horizontal

(penyebaran spasial dari populasi spesies dan individu) dan struktur

kuantitatif (kelimpahan tiap spesies dalam komunitas)

5. Struktur tegakan mengarah kepada penyebaran dari tiap individu dalam

kelas ukuran yang berbeda dari jenis pohon tertentu pada tegakan

hutan.

Stratifikasi sering dihubungkan dengan struktur vertikal dan horizontal

dari vegetasi dan khususnya stratifikasi vertikal atau lapisan-lapisan dari vegetasi.

Penampakan dari beberapa lapisan berurut dari vegetasi yang didasarkan pada

perbedaan tinggi adalah pendekatan struktural dari gambaran tumbuhan dan yang

menjadi ciri pengklasifikasian bentuk kehidupan tumbuhan. Pendekatan

struktural dapat digunakan untuk menyederhanakan dan mendeskripsikan

organisasi dari tipe vegetasi yang kompleks. Masing-masing lapisan

dideskripsikan lewat tinggi total pohon dan informasi floristik lainnya yang dapat

mendukung kelanjutan dari pendeskripsian ini (Moore dan Chapman, 1988).

6

Page 7: sripsiQ tahap 1

Tinggi tanaman digunakan sebagai salah satu kriteria dari klasifikasi

bentuk tumbuh. Oleh karena itu, klasifikasi bentuk tumbuh memberikan ide

mengenai stratifikasi dalam komunitas. Bagaimanapun juga, stratifikasi bisa

diindikasikan dalam bentuk diagram, jika tinggi dan penutupan setiap strata turut

diambil selama analisis di lapangan. Dengan menggunakan diagram abstrak lebih

memungkinkan dalam memberi gambaran mengenai pembentukan stratifikasi.

Diagram abstrak ini lebih dikenal dengan nama diagram profil (Mueller-Dombois

dan Ellenberg, 1974).

E. Asosiasi

Asosiasi yang digunakan dalam ekologi tak lain sebagai indera semu yang

mengarah ke penggabungan karakteristik yang sama dari dua spesies yang

berbeda yang membentuk suatu komunitas yang sama dari spesies yang berbeda

sebagai satu unit kesatuan vegetasi atau dalam arti yang sebenarnya sebagai suatu

ukuran dari kesamaan kejadian pada dua spesies yang berbeda (Moore dan

Chapman, 1988).

Konsep asosiasi sangat memungkinkan untuk membagi unit vegetasi

menjadi beberapa bagian. Suatu hubungan asosiasi tidak harus memperlihatkan

satu lapisan tajuk yang terdiri dari satu jenis dominan. Sebaliknya dalam setiap

lapisan tajuk terdiri dari lebih dari satu jenis yang dapat digunakan untuk

menetapkan suatu hubungan asosiasi (Mueller-Dombois dan Ellenberg, 1974).

Pada pengertian sebenarnya asosiasi dapat dideskripsikan menggunakan

statistik, misalnya dengan chi_squared (x2). Kehadiran tiap spesies akan direkam

dalam jumlah dari plot yang dibuat dan data yang dimasukkan ke dalam

Contingency table 2x2. Hasilnya dapat diuji kebenarannya dengan menggunakan

tabel x2. Hasilnya dapat mengidentifikasi asosiasi yang terjadi apakah positif atau

negatif. Hasilnya akan bergantung pada ukuran plot karena data yang dihasilkan

berasal dari frekuensi kemunculan (Moore dan Chapman, 1988).

Berdasarkan sebuah resolusi dari Kongres Botani Internasional di Brussel

pada tahun 1910, disepakati bahwa bentuk asosiasi hanya diaplikasikan pada

komunitas dengan: komposisi floristik tertentu, fisiognomi yang seragam dan

7

Page 8: sripsiQ tahap 1

ketika terjadi pada kondisi habitat yang seragam. Akan tetapi syarat yang

menyatakan bahwa habitatnya seragam. Sangat susah untuk dipenuhi. Habitat

yang seragam dapat ditemukan di beberapa situasi lapangan, akan tetapi sampel

vegetasi yang telah dikelompokkan ke dalam suatu tipe asosiasi tidak pernah

memiliki habitat yang identik, karena tidak ada 2 tempat di muka bumi ini yang

mempunyai kombinasi faktor tempat tumbuh yang benar-benar sama (Mueller-

Dombois dan Ellenberg, 1974).

F. Analisis Komunitas

Analisis komunitas tumbuhan merupakan suatu cara mempelajari susunan

atau komposisi jenis dan bentuk atau struktur vegetasi. Dalam ekologi hutan,

satuan vegetasi yang dipelajari atau diselidiki berupa komunitas tumbuhan yang

merupakan asosiasi konkret dari semua spesies tumbuhan yang menempati suatu

habitat. Oleh karena itu, tujuan yang ingin dicapai dalam analisis komunitas

adalah untuk mengetahui komposisi spesies dan struktur komunitas pada suatu

wilayah yang dipelajari (Indriyanto, 2005).

Beberapa penelitian spesifik tentang vegeasi didasarkan pada gambaran

dan pembelajaran dari komunitas tumbuhan atau tipe vegetasi harus terlebih

dahulu diketahui di lapangan. Kemudian dari masing-masing tipe vegetasi

dilakukan pengambilan sampel yang mewakili tegakan di dalamnya dan dilakukan

analisis. Penelitian secara 100% dari tiap vegetasi untuk tujuan apapun akan

banyak menghabiskan waktu. Oleh karena itu, gambaran dari masing-masing tipe

vegetasi harus berdasarkan pengambilan sampel, juga harus ditentukan apa yang

menjadi parameter yang harus diamati dan ukuran serta bentuk sampel yang harus

diamati (Mueller-Dombois dan Ellenberg, 1974).

Berikut ini empat tahapan yang harus dilakukan untuk menentukan sampel

dari vegetasi, menurut Mueller-Dombois dan Ellenberg (1974):

a. Membagi wilayah berdasarkan penutupan tajuk

b. Mengadakan pilihan atas sampel dari masing-masing tipe vegetasi

8

Page 9: sripsiQ tahap 1

c. Menetapkan ukuran dan bentuk sampel yang harus diambil

d. Menetapkan ukuran plot yang akan digunakan

Menurut Mueller-Dombois dan Ellenberg (1974), bagaimanapun metode

yang digunakan dalam analisis lapangan, sampel tegakan harus memenuhi

persyaratan di bawah ini:

1. Sampel harus cukup besar untuk mengandung semua spesies yang ada

dalam komunitas tumbuhan

2. Habitat harus seragam pada wilayah tegakan, sedapat mungkin dapat

dibedakan dari habitat yang lain

3. Penutupan tajuk sebisa mungkin homogen. Contohnya: Penutupan

tajuk tidak harus memperlihatkan gap yang besar, atau tidak

didominasi 1 jenis dari setengah luasan areal.

Menurut Indriyanto (2005), dalam mengambil contoh untuk analisis

komunitas tumbuhan dapat dilakukan dengan menggunakan metode petak (plot),

metode jalur, ataupun metode kuadrat.

Prosedur dalam melaksanakan penelitian tentang asosiasi didasarkan pada

kehadiran dan ketidakhadiran dari suatu spesies dalam plot–plot pengamatan.

Kita dapat menunjukkannya dengan mengelompokkan data secara berpasangan.

Unit sampel dapat bersifat alami maupun buatan. Terdapat dua masalah yang

sering didiskusikan dalam meneliti asosiasi, yakni: ukuran dan bentuk dari unit

sampel. Dua masalah tersebut diyakini dapat mempengaruhi hasil analisis

asosiasi. Ketergantungan ini dapat dikurangi jika pemilihan unit sampel dibuat

berdasarkan ukuran, bentuk, penyebaran dari spesies yang pernah diteliti. Unit

sampel harus besar dan berpeluang mengandung sekurangnya satu individu dari

setiap jenis dan tidak harus terlalu besar jika salah satu spesies terdapat dalam

setiap unit sampel (Ludwig dan Reynolds, 1988).

9

Page 10: sripsiQ tahap 1

BAB III. METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan selama tiga bulan, dimulai pada bulan Oktober

2009 hingga Januari 2010. Pengambilan data dilakukan di Hutan Pendidikan

Universitas Hasanuddin, yang berlokasi pada Laboratorium Alam Konservasi,

Kecamatan Cenrana, Kabupaten Maros.

B. Alat dan Bahan

Alat-alat dan bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah :

1. Meteran roll, digunakan untuk membuat plot

2. Kompas, digunakan untuk mengukur sudut plot

3. Abney level, digunakan untuk mengukur kelerengan plot

4. Tali rafiah, digunakan untuk menandakan batas plot

5. GPS, digunakan untuk menentukan koordinat plot

6. Peta, digunakan untuk menentukan penempatan plot

7. Alat tulis menulis, digunakan untuk mencatat data

8. Tally sheet, digunakan untuk mengisi data hasil pengamatan di lapangan

9. Buku panduan lapangan (Field guides), digunakan untuk mengidentifikasi

spesimen

10. Pita diameter, digunakan untuk menghitung keliling pohon

11. Haga meter, digunakan untuk mengukur tinggi total pohon

12. Alkohol 70%, digunakan untuk membuat herbarium basah.

13. Kertas koran, digunakan sebagai media penyimpanan herbarium basah

14. Trash bag, digunakan untuk menyimpan herbarium basah

15. Etiket gantung, digunakan untuk menandai spesimen

16. Kertas milimeter, digunakan untuk menggambar proyeksi tajuk pohon

17. Kamera digital, dipakai untuk mendokumentasikan kegiatan yang dilakukan

Page 11: sripsiQ tahap 1

C. Metode Pengumpulan Data

1. Orientasi Lapangan

Kegiatan orientasi dilakukan untuk menunjang kegiatan pengamatan yang

dilakukan. Orientasi lapangan dilakukan sebagai langkah awal untuk menentukan

vegetasi yang terdapat tegakan Eboni pada berbagai kelas penutupan tajuk

dan kelas ketinggian. Hal ini mempermudah untuk menetapkan di mana kelak plot

sampel akan diletakkan dengan mempertimbangkan faktor tutupan tajuk dan kelas

ketinggian.

Dalam kegiatan tersebut dilakukan pengukuran, penentuan batas – batas dan

pembuatan peta kawasan hutan Eboni. Dan dilakukan perencanaan untuk

menentukan lokasi pengambilan data dengan menggambar perencanaan penempatan

plot secara Purposive Sistematik Sampling di atas peta kawasan hutan Eboni yang

terletak di Hutan Pendidikan Univesitas Hasanuddin. Setelah lokasi ditentukan di

atas peta, maka dilakukan pembuatan plot di lapangan dengan memberikan tanda

berupa tali rafia.

Tabel 1. Model Tally Sheet Hasil Pengukuran Batas Luar Kawasan Hutan Eboni

No. PatokUTM

KeteranganKoordinat X Koordinat Y

1.

2.

3.

....

2. Pengambilan Data

Metode yang digunakan dalam pengumpulan data adalah Metode Purposive

Sistematik Sampling. Dimana peneliti menentukan titik awal pembuatan plot secara

purposive dan dari titik awal tersebut dibuat jalur ke arah utara sepanjang lokasi

penelitian, adapun jalur yang dibuat sebanyak 3 jalur dengan jarak antar jalur 100m.

Page 12: sripsiQ tahap 1

Model plot yang digunakan dalam pengambilan data adalah model jalur berpetak.

Dimana pada masing-masing jalur, dibuat plot bujur sangkar berukuran 20m x 20m

secara berkesinambungan tanpa adanya jarak antar plot.

Pengamatan dimulai dari plot satu pada jalur penelitian pertama, kemudian

berlanjut pada plot dua pada jalur penelitian pertama, demikian seterusnya. Ketika

plot pada jalur penelitian pertama telah diselesaikan maka penelitian dilakukan pada

plot pertama jalur penelitian kedua, kemudian plot dua jalur penelitian kedua,

demikian seterusnya. Dalam penelitian, setiap vegetasi yang berada dalam tahapan

tiang dan pohon (diameter >10cm), dilakukan pencatatan diameter batangnya dan

dilakukan pencatatan nama spesies. Sedangkan, setiap vegetasi yang berada dalam

tahapan semai dan pancang (diameter <10cm) dilakukan pencatatan jumlah masing-

masing vegetasi dan dilakukan pencatatan nama spesiesnya. Jika ada jenis spesies

yang tidak diketahui, maka diambil sampel daun, batang dan buahnya (jika ada)

kemudian dibuat menjadi herbarium basah yang nantinya akan diidentifikasi ketika

kembali di laboratorium

Bentuk Purposive Sistematik Sampling pengamatan Eboni diperlihatkan pada

gambar 1.

Gambar 1. Bentuk penempatan jalur penelitian dengan jarak antar jalur 100m secara Purposive Sistematik Sampling

Page 13: sripsiQ tahap 1

Pengambilan data Eboni dengan metode jalur berpetak diperlihatkan pada

gambar 2.

20mPlot 1 Plot 2 Plot 3 Plot 4 Plot 5 Plot 6

20m

Gambar 2. Cara pengambilan data Eboni dengan menggunakan metode jalur berpetak

Untuk mempermudah kegiatan pengamatan maka dibuat tally sheet

pengamatan. Model tally sheet yang dipakai untuk pengambilan data, adalah sebagai

berikut :

Tabel 2. Model Tally Sheet dengan menggunakan metode Purposive SamplingJalur penelitian/Plot penelitian : Hal : Kelerengan :Hari/tanggal pengamatan :       

No. Nama Tumbuhan DiameterJumlah

Semai Pancang

1  …………………… ...../...../...../...../...../...../...../

2    

3    

…..    

Kegiatan pengamatan dilakukan pada pagi hari hingga sore hari dimulai pada

pukul 07.30 WITA dan berakhir pada pukul 17.00 WITA.

Page 14: sripsiQ tahap 1

D. Pengolahan Data

Pengolahan data dilakukan untuk menentukan asosiasi eboni dengan jenis

pohon lainnya, dengan menggunakan Tabel Contingency 2 x 2, sebagai berikut:

Tabel 3. Model Tabel Contingency 2 x 2

 Spesies B

Ada Tidak Ada Jumlah

Spesies AAda a b a + bTidak Ada c d c + dJumlah a + c b + d N= a + b + c + d

Keterangan:

a = Pengamatan jumlah titik pengukuran yang mengandung spesies A dan spesies B

b = Pengamatan jumlah titik pengukuran yang mengandung spesies A saja

c = Pengamatan jumlah titik pengukuran yang mengandung spesies B saja

d = Pengamatan jumlah titik pengukuran yang mengandung spesies A dan spesies B

N = Jumlah titik pengamatan

Untuk mengetahui adanya kecenderungan berasosiasi atau tidak, digunakan

Chi-square test dengan formulasi sebagai berikut:

Chi-square hitung = N (ad-bc)2 (a+b) (a+c) (c+d) (b+d)

Keterangan :

a = Jumlah titik pengamatan yang mengandung jenis A dan jenis B

b = Jumlah titik pengamatan yang mengandung jenis A saja

c = Jumlah titik pengamatan yang mengandung jenis B saja

d = Jumlah titik pengamatan yang tidak mengandung jenis A dan jenis B saja

N = Jumlah titik pengamatan

Page 15: sripsiQ tahap 1

Nilai chi square hitung kemudian dibandingkan dengan nilai Chi-square tabel

pada derajat bebas = 1, pada taraf uji 10% (2.704) dan 5% (nilai 3,846). Dengan

ketentuan sebagai berikut:

- Asosiasi bersifat tidak nyata jika nilai chi square hitung < 2.704

- Asosiasi bersifat nyata jika nilai 3.846 < chi square hitung < 2.704

- Asosiasi bersifat sangat nyata jika nilai chi square hitung < 3.846

Penentuan selanjutnya untuk mengetahui tipe asosiasi digunakan rumus

sebagai berikut:

E (a) = (a+b) (a+c) N

Keterangan :

a = Jumlah titik pengamatan yang mengandung jenis A dan jenis B

b = Jumlah titik pengamatan yang mengandung jenis A saja

c = Jumlah titik pengamatan yang mengandung jenis B saja

N = Jumlah titik pengamatan

Berdasarkan rumus tersebut, maka terdapat dua jenis asosiasi yaitu:

- Asosiasi positif, apabila nilai a > E(a) berarti pasangan jenis terjadi

bersama lebih sering dari yang diharapkan

- Asosiasi negatif, apabila nilai a < E(a) berarti pasangan jenis yang terjadi

bersama kurang sering dari yang diharapkan.

Selanjutnya hasil ini diuji dengan perhitungan Indeks Asosiasi Ochiai

IO = a

v/a+b . v/a+c

Keterangan :

IO = Indeks Ochiai

a = Jumlah titik pengamatan yang mengandung jenis A dan jenis B

b = Jumlah titik pengamatan yang mengandung jenis A saja

c = Jumlah titik pengamatan yang mengandung jenis B saja

Page 16: sripsiQ tahap 1

BAB IV. KEADAAN UMUM LOKASI

A. Letak dan Luas

Kawasan Hutan Pendidikan Fakultas Kehutanan Unhas terletak di Kabupaten

Maros pada jalan poros Kota Makassar dengan Kabupaten Bone. Dari pusat ibukota

Propinsi Sulawesi Selatan kawasan hutan pendidikan tersebut berjarak sekitar 65 km,

sedangkan dari pusat ibukota Kabupaten Maros berjarak sekitar 34 km. Kawasan ini

dapat dicapai dengan menggunakan kendaraan roda dua maupun kendaraan roda

empat dengan waktu tempuh kurang lebih 1 jam 30 menit dari Kota Makassar.

Luas kawasan Hutan Pendidikan Fakultas Kehutanan Unhas sekitar 1300 Ha.

Secara administratif pemerintahan, sebagian besar kawasan Hutan Pendidikan

Fakultas Kehutanan Unhas berada di wilayah Desa Limapocoe, Kecamatan Cenrana

(sebelumnya Kecamatan Camba), Kabupaten Maros. Dari segi geografis, kawasan

Hutan Pendidikan Fakultas Kehutanan Unhas terletak pada 119 44’34”-119 46’17”

Bujur Timur dan 04 58’7”-05 00’30” Lintang Selatan.

Adapun batas-batas Hutan Pendidikan Fakultas Kehutanan Unhas adalah

sebagai berikut:

a. Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Timpuseng

b. Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Laiya

c. Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Kappang

d. Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Ballocci Kabupaten Pangkep

B. Topografi

Menurut letaknya, kawasan Hutan Pendidikan Fakultas Kehutanan Unhas

berada pada ketinggian 300-800 m di atas permukaan laut, dengan keadaan lapangan

berbukit, bergunung-gunung di bagian Utara dan Barat, makin ke Timur Selatan

bergelombang sampai datar.

Page 17: sripsiQ tahap 1

Berdasarkan peta topografi skala 1:100.000 maka keadaan lapangan dapat

digambarkan sebagai berikut:

a. Daerah datar dengan kemiringan < 3% terdapat pada sekitar jalan raya dan

kampung di sebelah Timur.

b. Daerah landai sampai berombak dengan 3% - 10% terdapat pada bagian Tengah.

c. Daerah berbukit dengan kemiringan 10% - 30 % terdapat pada bagian Timur dan

Selatan.

d. Daerah bergunung dengan kemiringan >30% terdapat di bagian Barat dan Bagian

Utara.

C. Tanah dan Geologi

Menurut LPT Bogor (1967) keadaan tanah di Kawasan Hutan Pendidikan

Fakultas Kehutanan Unhas sebagian besar terdiri dari bahan induk tuff dan batuan

vulkan alkali dan hanya pada bagian Selatan dijumpai bahan induk dari batu

gamping. Penyebaran jenis tanahnya adalah sebagai berikut:

a. Alluvial dengan batuan induk endapan liat dan pasir pada daerah berombak.

b. Grumusol dengan batuan induk gamping dan tuff pada daerah bergelombang.

c. Regosol dengan batuan induk tuff vulkan pada daerah berbukit dan

bergelombang.

d. Mediteran dengan batuan induk serpih tuff vulkan pada daerah berombak dan

bergelombang.

e. Podsolik dengan endapan liat ber-tuff pada topografi berombak..

f. Kompleks mediteran, litosol, regosol, dengan batuan induk tuff vulkan alkali

pada daerah berbukit dan bergunung.

Page 18: sripsiQ tahap 1

D. Iklim

Umumnya tipe iklim di Indonesia ditetapkan menurut klasifikasi Schmit dan

Ferguson yang berdasarkan atas perbandingan rata- rata bulan kering, bulan basah

dan bulan lembab dengan pengklasifikasian sebagai berikut :

a. Bulan kering (bk) dengan curah hujan setiap bulan di bawah 60 mm

b. Bulan lembab (bl) dengancurah hujan setiap bulan antara 60 mm – 100 mm

c. Bulan basah (bb) dengan curah hujan setiap bulan lebih besar dari 100 mm

Data curah hujan rata- rata selama 10 tahun terakhir yaitu dari tahun 1999

sampai dengan tahun 2008 dari stasiun Klimatologi I Kabupaten Maros dapat dilihat

pada Tabel 4.

Tabel 4. Data curah hujan rata- rata selama 10 tahun terakhir di Kecamatan Cenrana Kabupaten Maros (1999-2009)

BulanTahun

2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009

Jan 310 462 276 96 396 839 0 538 289 -

Feb 155 395 203 323 205 384 0 - 348 601

Mar 130 232 124 90 251 253 0 - 99 65

Apr 167 179 176 25 69 287 0 88 154 96

Mei 34 167 184 28 226 51 0 88 36 -

Jun 28 87 154 39 4 41 - 145 16 -

Jul 42 54 45 16 - - 2 2 27 47

Agt 15 34 34 - - 14 - - 0 32

Sep - 13 9 1 1 66 - - - 103

Okt - 253 32 38 - 99 - - 108 39

Nov - 256 189 190 319 193 89 - 306 107

Des - 431 292 52 - 1370 780 - 378 513

Page 19: sripsiQ tahap 1

Sumber : Stasiun Klimatologi Kelas I Maros, 2010

Dari Tabel 4, dapat ditentukan nilai rata- rata bulan basah, bulan kering, dan

bulan lembab selama 10 tahun terakhir di Kecamatan Cenrana, Kabupaten Maros

(Tabel 5).

Tabel 5. Jumlah bulan basah, bulan kering dan bulan lembab selama 10 tahun terakhir di Kecamatan Cenrana, Kabupaten Maros

Tahun Jumlah Bulan Basah

Jumlah Bulan Kering

Jumlah Bulan Lembab

2000 4 4 -2001 8 3 12002 8 4 -2003 2 7 22004 5 2 12005 6 3 22006 1 6 62007 2 1 22008 6 4 12009 4 2 3

JumlahRata-Rata

Sumber : Stasiun Klimatologi Kelas I Maros, 2010

Pada Tabel 5 terlihat bahwa, jumlah curah hujan perbulan di Kecamatan

Cenrana menyebar setiap bulannya. Bulan Januari merupakan bulan terbasah

sedangkan bulan September merupakan bulan terkering. Pada bulan November curah

hujan menanjak terus hingga mencapai puncak tertinggi pada bulan Januari. Selama

kurun waktu 10 tahun terakhir jumlah bulan basah .... dengan rata- rata .... kemudian

bulan kering .... dengan rata-rata ....., dan bulan lembab sebanyak ..... dengan rata-

rata ...... Sehingga dari data tersebut dapat ditentukan nilai Q untuk mengetahui tipe

iklim di Kecamatan Cenrana, Kabupaten Maros yaitu dengan rumus :

Q = x 100% = .....x 100%

..... = ..... %

Page 20: sripsiQ tahap 1

Makin kecil nilai Q maka makin basah suatu tempat dan makin besar nilai Q

ratio maka makin kering suatu tempat. Berdasarkan penggolongan iklim dari Schmidt

dan Ferguson, maka tipe iklim di Kecamatan Cenrana, Kabupaten Maros termasuk

dalam tipe iklim ... yaitu iklim sedang, yang nilai Q ratio berkisar antara ... % -... %.

Klasifikasi tipe iklim menurut Schmidt dan Ferguson dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Klasifikasi iklim di Indonesia menurut Schmidt dan Ferguson

Kondisi Iklim Tipe Iklim Nilai Q (%)Sangat Basah A 0 – 14,3Basah B 14,3 – 33,3Agak Basah C 33,3 – 60Sedang D 60 – 100Agak Kering E 100 – 160Kering F 160 – 300Sangat Kering G 300 – 700Luar Biasa Kering H > 700

E. Vegetasi

Vegetasi yang terdapat di Hutan Pendidikan Fakultas Kehutanan Unhas

awalnya sebagian besar berupa vegetasi padang rumput. Namun, pada tahun

1970/1971 dilakukan kegiatan reboisasi sehingga kawasan hutan ini menjadi hijau.

Jenis tanaman yang ditanam pada kegiatan reboisasi yaitu pinus, akasia dan mahoni.

Tanaman Pinus di Hutan Pendidikan Fakultas Kehutanan Unhas menyebar

dari bagian Selatan hingga ke bagian Utara dengan jumlah yang lebih sedikit di

bagian Utara hutan pendidikan, tanaman Akasia terdapat pada bagian Utara hutan

sedangkan tanaman Mahoni terdapat pada bagian Selatan yang berbatasan dengan

jalan provinsi.

Page 21: sripsiQ tahap 1

Hutan alam di kawasan ini memiliki luas 512 ha atau sekitar 39% dari luas

hutan pendidikan tersebut. Jenis-jenis yang paling banyak dijumpai di hutan alam

adalah Lento-lento (Atrophyllum sp), Kemiri (Aleurites moluccana), Mangga hutan

(Buchanania arboreschense), Jabon (Anthocepalus caramba), Jambu-jambu (Eugenia

sp.) dan beberapa jenis dari famili Moraceae seperti jenis Ficus sp.

Kawasan hutan yang dikelola oleh masyarakat didominasi oleh tanaman

jangka panjang seperti kemiri, Aren (Arenga pinnata), Bambu (Gigantochloa sp.),

melinjo (Gnetum gnemon), Pangi (Pangium sp.), Cokelat (Theobroma cacao), kopi

(Coffea sp.), mangga (Mangifera indica), dan bahkan terdapat tegakan eboni

(Diospyros celebica) seluas + 21 ha yang dikelola oleh masyarakat di kawasan hutan

Pallanro, Desa Rompegading.

Page 22: sripsiQ tahap 1

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

1. Jumlah jenis tumbuhan

Berdasarkan hasil pengambilan data, diketahui bahwa terdapat 53 jenis

tumbuhan yang terdapat dalam 69 plot pengamatan di lokasi penelitian. Ke 53 jenis

tumbuhan tersebut terdiri dari ……genus dan ,,,,, famili. Daftar jenis tumbuhan yang

ditemukan diperlihatkan pada lampiran 1.

2. Asosiasi jenis Dyospirous celebica dengan jenis tumbuhan lainnya

Dari 69 plot pengamatan terdapat 65 plot pengamatan dimana Eboni

ditemukan. Berdasarkan hasil perhitungan uji Chi-square dan nilai indeks asosiasi

Ochiai, didapati bahwa semua jenis tumbuhan yang ditemukan mempunyai tipe, sifat,

dan nilai indeks asosiasi yang berbeda pada masing-masing jenis tumbuhan. Hasil

analisis asosiasi Eboni ini dapat dilihat pada Lampiran 2.

Lanpiran 2. memperlihatkan bahwa berdasarkan hasil perhitungan chi square

hanya ada 6 jenis tumbuhan yang berasosiasi dengan Eboni, seperti diperlihatkan

pada Tabel 7.

Tabel 7. Jenis tanaman yang berasosiasi dengan Eboni (Dyospirous celebica) No. Jenis tumbuhan Tipe

asosiasiChi

squareIndeks asosiasi

OchiaiKategori kekuatan

asosiasi1. Pinang + 6.110** 0.937 Sangat tinggi2. Aren + 5.113** 0.929 Sangat tinggi3. Lento-lento + 4.368** 0.851 Sangat tinggi4. Langsat + 3.028* 0.814 Sangat tinggi5. Sp 12 + 6.218** 0.794 Sangat tinggi6. Jambu + 3.266* 0.679 Tinggi

Tabel 7. memperlihatkan bahwa dari 53 jenis tumbuhan yang ada, 6 jenis

tumbuhan dinyatakan berasosiasi dengan Eboni berdasarkan hasil uji chi square..

Diantaranya terdapat 4 jenis tumbuhan yang berasosiasi sangat nyata dengan Eboni,

Page 23: sripsiQ tahap 1

sementara 2 jenis lainnya berasosiasi nyata. Dari ke-6 jenis tumbuhan tersebut

seluruhnya bertipe asosiasi positif.

Tabel 7 juga memperlihatkan bahwa dari ke-6 jenis tumbuhan tersebut,

terdapat 5 jenis tumbuhan termasuk ke dalam kategori kekuatan asosiasi sangat tinggi

berdasarkan nilai indeks asosiasi Ochiai, yakni: Pinang, Aren, Lento-lento, Langsat,

dan Sp 12. Sementara 1 jenis tumbuhan lainnya termasuk ke dalam kategori

kekuatan asosiasi tinggi, yakni: Jambu

3. Sebaran jenis Eboni berdasarkan tingkat pertumbuhannya pada berbagai kelas kelerengan

Perbandingan antara banyaknya individu Eboni berdasarkan tingkat

pertumbuhannya pada berbagai kelas, menunjukkan bahwa jumlah individu bervariasi

antara ….-….., untuk berbagai tingkat pertumbuhan pada berbagai posisi topografi,

hal itu dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Sebaran jenis Eboni (Dyospirous celebica) berdasarkan tingkat pertumbuhannya pada berbagai kelas lereng

No. Kelas lerengTingkat pertumbuhan

Semai Pancang Tiang Pohon1. 1o - 14o 2649 196 30 212. 15o - 29o 4605 179 20 123. 30o - 44o 749 104 9 154. 45o - 59o 1541 134 19 115. > 59o 292 16 0 3

Tabel 8 memperlihatkan bahwa jumlah individu Eboni pada kelas lereng

1o – 14o, 15o – 29o, dan 45o – 59o, menunjukkan bentuk diagram J terbalik.

Tabel 8 juga memperlihatkan bahwa jumlah individu Eboni pada kelas lereng

30o – 44o dan > 59o, menunjukkan bentuk yang tidak beraturan. Data ini

menunjukkan bahwa jumlah individu Eboni pada tingkat tiang lebih sedikit dari

jumlah individu Eboni pada tingkat pohon.

Page 24: sripsiQ tahap 1

B. Pembahasan

Berdasarkan hasil yang didapat pada tabel 7, diketahui bahwa dari 53 jenis

tumbuhan lain yang ada bersama Eboni hanya ada 6 jenis tumbuhan yang dinyatakan

berasosiasi berdasarkan hasil uji Chi square. Enam jenis tanaman tersebut adalah

Pinang, Aren, Lento-lento, Langsat, Sp 12 dan Jambu. Ke-6 tanaman tersebut

memiliki tipe asosiasi positif. Akan tetapi, dapat kita lihat bahwa ternyata nilai hasil

uji chi square tidak berbanding lurus dengan nilai indeks asosiasi Ochiai. Hal ini

terlihat pada Sp 12, yang mempunyai nilai uji chi square 6.218** dan nilai indeks

asosiasi Ochiai nya hanya 0.794. Sebaliknya pada langsat yang mempunyai nilai uji

chi square 3.028* dan nilai indeks asosiasi Ochiai nya lebih tinggi, yaitu 0.814.

Dalam pertumbuhannya, Eboni membutuhkan tingkat naungan yang berbeda-

beda. Pada tingkat semai, Eboni membutuhkan tingkat naungan antara………. Dan

secara bertahap berkurang, sejalan dengan pertumbuhannya (Harun, 2002).

Sedangkan menurut petani nira yang berada di dalam kawasan hutan Eboni

mengatakan bahwa, “Eboni membutuhkan tanaman pendamping, dimana tanaman

pendamping itu mempunyai pertumbuhan riap yang tinggi, bentuk batang yang lurus

dan tinggi”

Frekuensi Eboni pada kelas lereng 1o – 14o, 15o – 29o, 30o – 45o dan 45o – 59o;

menunjukkan bahwa secara alami Eboni pada kawasan ini dapat beregenerasi dengan

baik. Hal ini ditunjukkan oleh frekuensi jumlah individu Eboni pada tingkat semai

dan pancang yang melimpah. Jika dilakukan kegiatan pemeliharaan berdasarkan

teknik silvikultur yang tepat maka akan sangat menunjang bagi pertumbuhan dan

pengembangan Eboni tersebut

Pada kelas lereng > 59o, Eboni masih dapat tumbuh akan tetapi proses

regenerasinya mulai menurun. Hal ini tampak pada jumlah individu Eboni pada

tahapan semai, pancang, dan pohon yang menurun drastis jumlahnya. Pada tingkat

tiang, Eboni tidak ditemukan sama sekali. Selain dipengaruhi oleh kelerengan,

penyebaran Eboni nampaknya juga dipengaruhi oleh tingkat naungan diatasnya. Dari

Page 25: sripsiQ tahap 1

hasil pengamatan di lapangan diketahui bahwa semai Eboni cenderung tumbuh

berdekatan dengan pohon induk, akan tetapi pada tahapan tiang kerap kali ditemukan

berada di dekat tanaman lain yang mempunyai morfologi berbatang lurus dan tinggi.

Eboni pada tahapan tiang sangat jarang ditemukan hidup berdampingan dengan jenis

Eboni juga.

Sifat dari Eboni yang cenderung mengelompok pada tingkat semai dan

semakin soliter pada tingkat tiang ini didukung oleh keterangan dari petani nira di

sekitar kawasan Eboni. Menurut mereka, bahwa Eboni dalam pertumbuhannya

membutuhkan tanaman pendamping yang cocok setelah mereka cukup besar

(pertumbuhan percabangan sekunder telah terbentuk). Tanaman pendamping ini

dibutuhkan agar pertumbuhan horizontal Eboni semakin maksimum. Pertumbuhan

horizontal Eboni akan berhenti jika berada lebih tinggi 1.5 hingga 2 m dari tajuk

pohon tanaman pendampingnya. Jika tanaman pendampingnya semakin tinggi, maka

semakin tinggi pula Eboni nya

Dari ke-6 jenis yang berasosiasi dengan Eboni, dipilih 3 jenis tumbuhan yang

memiliki nilai indeks asosiasi Ochiai tertinggi, yakni: Pinang, aren dan Lento-lento.

Hal ini dilakukan untuk memperbandingkan karakteristik ekologi masing-masing

tumbuhan tersebut dengan sifat pertumbuhan Eboni itu sendiri, sebagai berikut:

a. Pinang (Areca catechu L)

Pinang diklasifikasikan dalam divisi spermatophyta, sub divisi

angiospermae, kelas monocotyledonae, bangsa arecales, suku arecaceae/palmae,

marga areca, dan jenis Areca catechu L. (Syamsuhidayat and Hutapea, 1991;

Backer and Van Den Brink, 1965).

Pinang dapat mencapai tinggi 15-20 m dengan batang tegak lurus bergaris

tengah 15 cm dan memiliki masa hidup 25-30 tahun. Pembentukan batang baru

terjadi setelah 2 tahun dan berbuah pada umur 5-8 tahun tergantung keadaan

tanah. Tumbuh berkelompok dan memiliki tajuk yang tidak rimpun.

Menghasilkan anakan dalam jumlah besar dan tumbuh dalam tingkat kerapatan

yang tinggi.

Page 26: sripsiQ tahap 1

b. Aren (Arenga pinnata)

Berdasarkan buku budidaya Aren, dikatakan bahwa:

- Aren memiliki akar serabut berwarna hitan yang sangat kuat, menyebar

hingga 10 meter lebih dengan kedalaman 3 meter

- Akar aren memiliki kemampuan menahan air sehingga dapat hidup pada

lahan kering

- Pohon aren biasanya tumbuh soliter, tinggi pohon 10-20 m dan diameter

batang 30-65 cm

- Pohon aren termasuk tumbuhan yang memiliki pertumbuhan terbatas

(hapaxanthic palm), dengan masa hidup 10-12 tahun

Berdasarkan ciri-ciri yang dimiliki oleh aren dan kategori asosiasi sangat

tinggi pada tingkat semai dan pohon, maka hubungan asosiasi yang terjadi anatara

Eboni dengan aren dapat diterima dengan alasan ekologis, bahwa dalam

pertumbuhannya Eboni memerlukan tanaman penanung yang riap

pertumbuhannya tinggi dan masa hidup yang terbatas.

c. Lento-lento

Berdasarkan pengamatan dilapangan, didapati bahwa:

- Lento-lento termasuk pada tanaman yang mempunyai titik pertumbuhan

simpodial

- Tinggi dapat mencapai 8 meter

Dari ketiga tumbuhan tersebut, ternyata memiliki ciri-ciri yang relatif sama,

yakni:

- Tidak memiliki percabangan

- Morfologinya berbatang lurus dan tinggi

- Mempunyai batasan tinggi maupun umur pertumbuhan yang relatif cepat

Page 27: sripsiQ tahap 1

BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan, maka dapat ditarik beberapa

kesimpulan, sebagai berikut :

1. Eboni pada saat semai tingkat toleransi hidup bersama dengan jenis

tanaman lain sangat besar, akan tetapi dalam proses pertumbuhan

selanjutnya menginginkan jenis-jenis tanaman tertentu dimana Eboni

mendapatkan tingkat penyinaran yang sesuai pada tiap-tiap tingkat

pertumbuhan

2. Eboni sangat baik berasosiasi dengan jenis-jenis tanaman yang

mempunyai laju pertumbuhan cepat, memiliki bentuk tubuh lurus dan

tinggi serta memiliki masa hidup yang tidak terlalu lama, yakni: Pinang,

Aren dan Lento-lento

3. Eboni dapat beregenerasi dengan baik pada kelas lereng 1o – 14o, 15o –

29o, 30o – 45o dan 45o – 59o dan mulai menurun pada kelas lereng > 59o

B. Saran

Sebaiknya dilakukan penelitian lebih lanjut tentang asosiasi Eboni, secara

lebih mendalam lagi, yang sekiranya dapat lebih menyempurnakan penelitian ini.

Page 28: sripsiQ tahap 1

DAFTAR PUSTAKA

Alrasyid, H. 2002. Kajian Budidaya Pohon Eboni. Bogor: Pusat Penelitian Biologi, LIPI.

Anonim. 2009. Laporan Praktek Umum gelombang XIX. Makassar: Pengelola

Praktek Umum Fakultas Kehutanan, UNHAS.

Chapman, S.B. and P.D. Moore. 1986. Methods in Plant Ecology. London: Blackwell Scientific Publication, Oxford University.

Indriyanto. 2005. Ekologi Hutan. Jakarta: PT. Bumi Aksara Group.

Ludwig, J.A. and J.F. Reynolds. 1988. Statistical Ecology. United States of America.

McNaughton, S.J. and W.L. Wolf. 1992. Ekologi Umum. Edisi Kedua. Penerjemah: Sunaryono P. dan Srigandono. Penyunting: Soedarsono. Yogyakarta: Gadjah Mada Univ. Press.

Mueller-Dombois, D. and H. Ellenberg. 1974. Aims and Methods of Vegetation Ecology. New York: John Wiley and Sons.

Paembonan, S.A. dan Baharuddin, N. 2002. Kajian Biologi Ekologi Dan Kajian Budidaya Eboni. Bogor: Pusat Penelitian Biologi, LIPI.

Riswan, S. 2002. Kajian Biologi Eboni (Dyospyros celebica Bakh). Bogor: Pusat Penelitian Biologi, LIPI.