sptl paru 2012
DESCRIPTION
yubyTRANSCRIPT
DEPARTEMEN IKA RSMH PALEMBANG
BRONKOPNEMONIAKode ICD : J18.O
No Dokumen1
No. Revisi1
Halaman : 1
Panduan Praktek Klinis
Tanggal Revisi06/10/2011
Ditetapkan Oleh,Ketua divisi Respirologi
Dr. Kiagus Yangtjik, SpA(K)
Definisi Peradangan / inflamasi yang mengenai parenkim paru
Etiologi Streptococcus group B dan bakteri gram negatif seperti, E. colli, Pseudomonas sp, Klebsiella sp, Streptococcus pneumoniae, Haemophillus influenza tipe B, Staphylococcus aureus.
Patogenesis Mikroorganisme penyebab terhisap ke paru bagian perifer melalui saluran respiratori edema konsolidasi (serbukan sel PMN, fibrin, eritrosit,cairan edema)deposit fibrin semakin bertambah proses fagositosis jumlah makrofag meningkat degenerasi sel fibrin menipis kuman & debris menghilang
Bentuk Klinis(Klasifikasi)
Pneumonia berat, Pneumonia, Bukan Pneumonia
Anamnesis Demam, batuk, sesak nafas
Pemeriksaan fisik Pernafasan cepat dan dangkal disertai pernafasan cuping hidung, retraksi dinding toraks, suara nafas vesikuler meningkat sampai bronkial, dan bising tambahan ronkhi basah halus nyaring.
Kriteria Dianosis Anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang (darah perifer lengkap, CRP, serologis, mikrobiologis, rontgen)
Differential diagnosis Bronkiolitis, Bronkitis Akut
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan darah perifer lengkap, CRP, serologis, mikrobiologis, rontgen
Tatalaksana Antibiotika polifragmasi selama 10-15 hari- Ampicillin 100 mg/kgbb/hari dalam 3-4 dosis- Klorampenikol dengan dosis :Umur < 6 bulan : 25-50 mg/kgbb/harUmur > 6 bulan : 50-75 mg/kgbb/hari (dosis dibagi dalam 3 dosis) atau Gentamisin dengan dosis 3 – 5 mg/kgb/hari diberikan dalam 2 dosisSuportif :IVFD, oksigen, pembersih jalan nafas
Edukasi Imunisasi, ASI yang adekuat, asupan gizi yang cukup, jauhkan anak dari polusi udara dan asap rokok
Komplikasi dan Prognosis
Empiema torasis, perikarditis purulenta, pneumotoraks, meningitis purulenta,miokarditis. Penggunaan antibiotik merupakan kunci utama keberhasilanpengobatan. Terapi antibiotik harus segera diberikan pada anak dengan pneumonia yang diduga disebabkan oleh bakteri
Daftar kepustakaan Mardjanis S. Pneumonia. Dalam: Nastiti NR, dkk. Buku ajar respirologi ikatan dokter anak Indonesia. Jakarta. 2008. Hal 350-65Alberta Medical Association. Guideline for the diagnosis and management of community acquired pneumonia. Pediatric. 2001Magdlena SZ. Bronkiolitis. Dalam : Nastiti NR,dkk. Buku Ajar Respirologi anak. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta. 2008. Hal 333-49
Lain-lain (Algoritme, Protokol, Prosedur,
Standing Order)
-
DEPARTEMEN IKA RSMH PALEMBANG
BRONKIOLITIS AKUT Kode ICD : J21.9
No Dokumen2
No. Revisi1
Halaman : 1
Panduan Praktek Klinis
Tanggal Revisi06/10/2011
Ditetapkan Oleh,Ketua divisi Respirologi
Dr. Kiagus Yangtjik, SpA(K)
Definisi Penyakit IRA-bawah yang ditandai dengan adanya inflamasi pada bronkiolus
Etiologi RSV, Adenovirus, virus Influenza, Parainfluenza, Rhinovirus, danMikoplasma
Patogenesis Infeksi virus pada epitel bersilia bronkiolus menyebabkan respon inflamasi akut, ditandai dengan obstruksi bronkiolus akibat edema, sekresi mucus, timbunan debris selular/sel-sel mati yang terkelupas, diikuti infiltrasi limfosit peribronkial dan edema submukosa
Bentuk Klinis(Klasifikasi)
-
Anamnesis Umur kurang dari 2 tahun, pilek ringan, batuk, dan demam. Batuk disertai sesak nafas, wheezing
Pemeriksaan fisik Demam subfebris, sesak nafas dengan tanda-tanda obstruksi saluran nafas, sesak nafas, ekspirasi memanjang dan mungkin terdengar wheezing ekspirasi.
Kriteria Diagnosis Anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang (rontgen)
Differential diagnosis Bronkopneumonia, Bronkitis Akut
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan darah rutin, rontgen, kultur virus, ELISA, PCR
Tatalaksana Antibiotika non alergik sebagai frofilaksis - Pada saat sesak nafas dapat diberikan klorampenikol IV dan dilanjutkan
dengan pemberian peroral bila sesak berkurang- Bila dapat diberikan peroral langsung diberikan eritromisin 30-50 mg/kgbb
/hari dalam 2-3 dosisSuportif :- Kortikosteroid diberikan untuk mengurangi edema saluran pernafasan.
Kortikosteroid 15-20 mg/kgbb/hari atau deksametason 0,5 mg/kgbb/hari dibagi dalam 3 dosis selama 2-3 hari.
- Cairan dan elektrolit dengan dextrose 5% dan NaCI disesuaikan dengan kebutuhan berdasarkan umur dan berat badan.
- Oksigen dengan kelembaban yang cukup Edukasi ASI, anak dihindarkan dari asap rokok, asupan gizi adekuat, t idak
menitipkan anak di tempat penitipan anak (TPA).
Komplikasi dan Prognosis
Asma. Banyak anak yang kemudian menjadi penderita asma
Daftar kepustakaan Magdalena SZ. Bronkiolitis . Dalam : Nastiti NR,dkk. Buku ajar respirologi anak. Ikatan Dpkter Anak Indonesia. Jakarta.2008. hal 333-49Clinical practice guideline. American academy of pediatrics 2006Marjanais S. Pneumonia . Dalam : Nastiti NR,dkk. Buku ajar Respirologi anak
Lain-lain (Algoritme, Protokol, Prosedur,
Standing Order)
-
DEPARTEMEN IKA RSMH PALEMBANG
EMPIEMA Kode ICD : J86.9
No Dokumen3
No. Revisi1
Halaman : 1
Panduan Praktek Klinis
Tanggal Revisi06/10/2011
Ditetapkan Oleh,Ketua divisi Respirologi
Dr. Kiagus Yangtjik, SpA(K)
Definisi Akumulasi pus dalam rongga pleura
Etiolog Efusi parapnemonia, post operasi paru, esophagus, mediastinum, trauma toraks, sepsis, tuberculosis, enterokolitis nekrotikans, abses subdiafragma, pneumotoraks
Patogenesis Fase eksudat fase fibropurulen (akumulasi cairan dan invasi bakteri melewati endothelium yang telah rusak) fase organizing (pembentukanjaringan parut
Bentuk Klinis(Klasifikasi)
-
Anamnesis Panas, batuk, sesak nafas.
Pemeriksaan fisik Bagian yang terkena tertinggal waktu bernafas, perkusi redup, bising nafas melemah atau menghilang.
Kriteria Diagnosis Anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang (rontgen; adanya perselubungan homogen, sela iga melebar, sinus freniko kostalis menghilang, pungsi pleura; terdapat cairan pus)
Differential diagnosis -
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan radiologis (rontgen, USG, CT Scan), pemeriksaan cairan pleura.
Tatalaksana Prinsipnya adalah mengeluarkan pus sebanyak-banyaknya dengan pemasang WSD atau multi puncture. Antibiotika diberikan sesuai dengan hasil kultur, sementara menunggu hasil kultur dapat diberikan :- Ampicillin-Cloxacillin 200 mg/kgbb/hari- Gentamisin 3-5 mg/kgbb/hariBila dicurigai dan terbukti ada infeksi spesifik, maka pengobatan perlu ditambah dengan pengobatan spesifik.
Edukasi -
Komplikasi dan Prognosis
Penyakit paru restiktif kronis, fistula bronkopleural, tension pneumatocele.Prognosis tergantung beratnya penyakit pleura yang mendasari, umur, mulai terapi, adan adanya komplikasi
Daftar kepustakaan Roni N. Amalia S. Empiema. Dalam: Nastiti NR, dkk. Buku ajar respirologianak. Ikatan dokter anak Indonesia. Jakarta. 2008. Hal 550-57Le Mense GP. Strange C. Sahn NA. Empyema thoracis. Therapeutic management and outcome. Chest 1995;109;18-24Marjanis S. Pneumonia . Dalam : Nastiti NR,dkk. Buku ajar Respirologi anak
Lain-lain (Algoritme, Protokol, Prosedur,
Standing Order)
.-
DEPARTEMEN IKA RSMH PALEMBANG
KERACUNAN MINYAK TANAH Kode ICD :
No Dokumen4
No. Revisi1
Halaman : 1
Panduan Praktek Klinis
Tanggal Revisi06/10/2011
Ditetapkan Oleh,Ketua divisi Respirologi
Dr. Kiagus Yangtjik, SpA(K)
Definisi Keracunan akan terminum minyak tanah sebanyak 10 cc atau lebih.
Etiologi Terminumnya minyak tanah, golongan senyawa hidrokarbon
Patogenesis -
Bentuk Klinis(Klasifikasi)
-
Anamnesis Terminumnya minyak tanah, mual dan muntah, batuk-batuk, sesak nafas, sianosis, batuk darah dan pusing
Pemeriksaan fisik Mudah diketahui dengan terciumnya bau minyak tanah, hipertermia, penurunan kesadaran sampai koma, anogsia, kardiomiopati, renal toksisitas, hepatotoksisitas
Kriteria Diagnosis Anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang (darah lengkap)
Differential diagnosis -
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan darah lengkap
Tatalaksana - Tidak boleh merangsang muntah dan melakukan bilasan lambung- Antidotum tidak ada- Bila terdapat tanda-tanda anoksia oleh karena meth-hemoglobin, dilakukan
transfusi darah.- Perhatikan keseimbangan cairan, elektrolit dan asam basa serta keadaan
umum penderita.
Edukasi Awasi anak dengan tepat, jauhkan bahan-bahan berbahaya dari jangkauan anak
Komplikasi dan Prognosis
Tergantung penatalaksaan yang cepat dan adekuat serta jumlah dan lamanya kejadian terminumnya minyak tanah
Daftar kepustakaan Standar Penatalaksanaan Boks Paru Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK Unsri/RSMH Palembang
Roni N, Amalia S. Dalam : Nastiti NR,dkk. Buku Ajar respirologi anak. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta.2008. hal 550-5
Lain-lain (Algoritme, Protokol, Prosedur, Standing Order)
-
DEPARTEMEN IKA RSMH PALEMBANG
HAMPIR TENGGELAM Kode ICD : T75.1
No Dokumen5
No. Revisi1
Halaman : 1-2
Panduan Praktek Klinis
Tanggal Revisi06/10/2011
Ditetapkan Oleh,Ketua divisi Respirologi
Dr. Kiagus Yangtjik, SpA(K)
Definisi Penderita masih hidup dalam waktu 24 jam pertama setelah kejadian
Etiologi Hampir tenggelam
Patogenesis Gasping dan aspirasi apnea dan laringospasme hipoksemia iskemia SSP henti jantung
Bentuk Klinis(Klasifikasi)
Tenggelam di air hangat, tenggelam di air dingin, tenggelam di air sangat
Anamnesis Tenggelam, sesak nafas
Pemeriksaan fisik Sesak nafas progresif, sianosis dan edema kegagalan pemafasan, renjatan(syok), gangguan keseimbangan elektrolit dan asam basa, gangguan traktus urinarius : albuminuria sampai gaga) ginjal akut, gangguan SSP: kejang kejang, penurunan kesadaran sampai koma
Kriteria Diagnosis Anamnesis, pemeriksaan fisik
Differential diagnosis -
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium (darah tepi, analisa gas darah) dan pemeriksaan radiologis
Tatalaksana A. Di tempat kejadian
Segara bersihkan jalan pernafasan reosigensi secepatnya dengan memberikan pernafasan buatan “mouth to mouth”. Bila ada gangguan sirkulasi henti jantung, dilakukan kompresi jantung luar. Bila pernafasan spontan dan tidak ada gangguan sirkulasi, dilakukan pengosongan lambung.
B. Di perjalanan
Penderita diselimuti dengan selimut/kain tebal untuk mencegah hipotermia tindakan resusitasi dilanjutkan, sesuai dengan keadaan korban dan sarana/fasilitas yang ada.
C. Di rumah sakit
a. Pengobatan emergensi/darurat
Pengobatan pertama dilakukan terhadap oksigensi darah dan perbaikan sirkulasi.
Bersihkan orofaring secara manual
Lakukan pernafasan buatan dari mulut ke mulut “bag to mask”, berikan oksigen 100%
Bila pulse tidak ada, lakukan kompresi jantung luar.
Lakukan intubasi endotrakeal untuk mencegah intermitten clearing airway dan mencegah muntah.
b. Pengobatan selanjutnya
Bersama dengan tindakan/pengobatan ini, dilakukan pemeriksaan penunjang laboratorium (darah tepi, analisa gas darah) dan radiologis.
Tindakan pengobatan selanjutnya adalah :
Bila penderita bernafas spontan, lakukan penghisapan air/lendir
Memakai intubasi endotrakeal dan diberikan oksigen 100% dengan sungkup muka dengan IPPV/PEEP/ventilator.
Bila terdapat henti jantung/tidak ada sirkulasi, dilakukan kompresi jantung luar.
Berikan infus dextrose 5% pada penderita tenggelam air laut dan NaCI fisiologis untuk penderita tenggelam air tawar, bila perlu pemberian darah segar/plasma
Pada penderita tenggelam air laut, bila kadar natrium sangat tinggi dilakukan transfusi tukar.
Bila penderita tetap koma,10-20 menit setelah tindakan resusitasi, dilakukan resusitasi otak, misalnya dengan pemberian barbiturat IV.
Pemberian kortikosteroid setiap 6 jam, tetapi masih kontroversial.
Koreksi “base-deficit” bila terdapat tanda-tanda gangguan keseimbangan asam basa dengan bikarbonas natrikus 1-2 m Eq/L/KgBB.
Berikan obat antibiotika parenteral, misalnya amplisillinsetiap 6-8 jam
Berikan furosemid parental, sesuai indikasi dan monitor jumlah urin/24 jam.
Fisiotrapi dilakukan setelah penderita kooperatif untuk membantu pengeluaran cairan aspirasi dan skrat.
Bila sarana dan fasilitas yang diperlukan kurang memadai, penderita dikirim ke ICU
Edukasi Pengawasan ketat terhadap anak yang tidak bisa berenang.
Komplikasi dan Prognosis
Meninggal atau kerusakan otak yang parah. Prognosis tergantung evaluasi awal status hemodinamiknya. Nilai pH kurang dari 7,1: GCS kurang dari 5; dan pupi l yang terf iksasi dan berdi latasi saat masuk rumah saki t menandakan prognosis yang buruk
Daftar kepustakaan Iskandar Zulkarnaen. Hampir tenggelam. Dalam: Nastiti NR, dkk. Buku ajar respirologi anak. Ikatan dokter anak Indonesia. Jakarta. 2008. Hal 427-33
Kallas HJ. Drowning and near drowning. Dalam: Nelson WB, Behrman RE, Kl iegman RM, editors. Nelson textbook of pediatr ics. Edisi ke-15. Philadelphia: Saunders; 1996. h. 264-7
Lain-lain (Algoritme, Protokol, Prosedur,
Standing Order)
-
DEPARTEMEN IKA RSMH PALEMBANG
Croup ( Laryngotrakeobronkitis Akut ) Kode ICD : J20.9
No Dokumen6
No. Revisi1
Halaman : 1
Panduan Praktek Klinis
Tanggal Revisi06/10/2011
Ditetapkan Oleh,Ketua divisi Respirologi
Dr. Kiagus Yangtjik, SpA(K)
Definisi Suatu grup penyakit heterogen yang mengenai laring, infra/subglotis, trakea/bronkus
Etiologi Human Parainfluenza virus tipe 1, HPIV-2,3, dan 4, Adenovirus, RSV, virus campak
Patogenesis Infeksi dimulai dari nasofaring kemudian menyebar ke epithelium trakea dan laring. Terjadi peradangan difus, eritema, dan edema.yeng terjadi pada dinding trakea
Bentuk Klinis(Klasifikasi)
Viral croup, spasmodic croup
Anamnesis Demam, hidung berair, nyeri menelan, batuk nyaring, suara menjadi parau dan kasar
Pemeriksaan fisik Stridor inspirasi, suara serak,sesak nafas ringan sampai berat, retraksi supra dan infra klavikula
Kriteria Diagnosis Anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang (darah rutin)
Differential diagnosis Laringitis akut, laringotrakeitis akut
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan darah rutin
Tatalaksana Yang utama adalah mengatasi obstruksi jalan nafas. Terapi inhalasi (uap dingin), kadang-kadang ditambah nebulisasi epinefrin Kortikosteroid, untuk mengurangi oedema pada mukosa laring.Pemberian antibiotik, jika tebukti penyakit disertai dengan infeksi bakteri
Edukasi -
Komplikasi dan Prognosis
Otitis media, dehidrasi, pneumonia. Sindrom croup bersifat self-limited dengan prognosis yang baik.
Daftar kepustakaan Kiagus Y, Dwi WD. Croup. Dalam: Nastiti NR, dkk. Buku ajar respirologi anak. Ikatan dokter anak Indonesia. Jakarta. 2008. Hal 320-9Guidelines for the diagnosis and management of croup. The Alberta clinical practice guideline program. 2003 july.
Lain-lain (Algoritme, Protokol, Prosedur,
Standing Order)
-
DEPARTEMEN IKA RSMH PALEMBANG
ABSES PARU Kode ICD : J85.2
No Dokumen7
No. Revisi1
Halaman : 1
Panduan Praktek Klinis
Tanggal Revisi06/10/2011
Ditetapkan Oleh,Ketua divisi Respirologi
Dr. Kiagus Yangtjik, SpA(K)
Definisi Infeksi destruktif berupa lesi nekrotik pada jaringan paru yang terlokalisir sehingga membentuk kavitas yang berisi nanah (pus) dalam parenkim paru pada satu lobus atau lebih
Etiologi Stafilokokus aureus, Klebsiella pneumonia, Bacteroides, Fusiform bakteri, Streptokokus anaerob
Patogenesis Terjadi saat post tonsilektomi, atau berasal dari pneumonia. Keadaan ini terjadi bila daya tahan tubuh menurun. Terjadinya abses paru biasanya melalui dua cars yaitu, aspirasi dan hematogen
Bentuk Klinis(Klasifikasi)
-
Anamnesis Demam tinggi, batuk sering disertai hemoptisis, sesak nafas, sputum berbau busuk
Pemeriksaan fisik Retraksi, pergerakan dada bisa berkurang, perkusi biasanya redup/timpani, suara nafas akan melemah bila abses belum pecah atau mungkin amforik bila absesnya sudah pecah, ada ronkhi basah bila abses sudah pecah.
Kriteria Diagnosis Anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang (darah rutin,rontgen
Differential diagnosis Tuberkulosis paru
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan darah rutin (leukositosis biasanya sampai 30.000/mm3 dengan pergeseran kekiri pada hitung jenis), foto thoraks; adanya kavitasndengan atau tanpa fluid level, yang sering dikelilingi oleh infiltrate
Tatalaksana Antibiotika yang tahan terhadap penisilinase, kombinasi ampi-clox dan gentamisin memberikan hasil yang memuaskan. Sefalosforin generasi ketiga kadang-kadang sudah cukup. Penisilin/semisintetiknya dan sefalosforin umumnya sensitif terhadap mikroorganisme anaerob.- Lama terapi bisa sampai 3-6 minggu- Postural drainase dengan perkusi dapat membantu mengeluarkan pus- Fisioterapi
Edukasi Menjaga kebersihan mulut
Komplikasi dan Prognosis
Abses otak, hemoptisis massif, ruptur pleura visceralis sehingga terjadi piopneumothoraks dan fistula bronkopleura
Daftar kepustakaan Ahmad R. Abses paru. Dalam: Aru WS, dkk, editor. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jakarta. 2007. Hal 1052-5
Standar penatalaksanaan Boks Paru Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK Unsri/RSMH Palembang
Lain-lain (Algoritme, Protokol, Prosedur,
.-
Standing Order)
DEPARTEMEN IKA RSMH PALEMBANG
PNEUMOTORAKS Kode ICD : J93.9
No Dokumen8
No. Revisi1.
Halaman : 1-2
Panduan Praktek Klinis
Tanggal Revisi06/10/2011
Ditetapkan Oleh,Ketua divisi Respirologi
Dr. Kiagus Yangtjik, SpA(K)
Definisi Keadaan dimana terdapatnya akumulasi udara ekstrapulmoner dalam rongga pleura, antara pleura visceral dan parietal, yang dapat menyebabkan timbulnya kolaps paru
Etiologi Infeksi pada saluran napas, trauma dada, acute lung injury yang disebabkan materi fisik yang terinhalasi dan bahan kimia, penyakit inflamasi paru akut atau kronis, keganasan, prosedur diagnostik, dan terapetik medis yang melibatkan toraks dan organ abdomen
Patogenesis Tekanan pada rongga pleura menjadi lebih positif sehingga menyebabkan paru menjadi kolaps. Udara dapat masuk ke dalam celah pleura melalui berbagai proses yaitu kerusakan pada parenkim paru, masuk melalui saluran napas dengan keadaan dinding yang intak ataupun adanya kerusakan pada dinding dada.
Bentuk Klinis(Klasifikasi)
I. Menurut terjadinya1. Pneumotoraks spontan : bila terjadi dengan sendirinya2. Pneumotoraks traumatika : bila terjadi karena trauma
II. Menurut derajat kolapsnya1. Kolaps ringan (Kolap kurang dari 20%)2. Kolaps berat (Kolap lebih dari 20%)
III. Menurut fistulanya1. Pneumotoraks tertutup2. Pneumotoraks terbuka3. Pneumotoraks Ventil/tension/valvuler
Anamnesis Rasa nyeri dan tiba-tiba pada sisi toraks yang terkena, yang disusul dengan sesak nafas
Pemeriksaan fisik Takipnu, dispnu, takikardi dan sianosis. Suara nafas berkurang, perkusi hiperresonans pada daerqah yang terkena, emfisema subkutan. Tampak hemithoraks yang membesar, pergerakan kurang, sela iga melebar. Palpasi : stemfremitus melemah. Perkusi : hipersonor/timpani. Auskultasi : vesikuler melemah sampai hilang
Kriteria Diagnosis Anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang (rontgen toraks).
Differential diagnosis -
Pemeriksaan Penunjang
Radiologis:Pemeriksaan radiologis sangat penting, terutama jika pemeriksaan fisik dijumpai gejala yang minimal. Pemeriksaan foto toraks di ambil pada posisi antero posterior serta yang lateral, dan terbaik adalah pada saat ekspirasi dalam sehingga dapat mengetahui sejauh mana bagian paru yang mengalami kolaps. Secara radiologis pada pneumotoraks didapatkan adanya gambaran radioluscent tanpa disertai adanya corakan paru.
Tatalaksana Tergantung pada :- Jenis pneumotoraks- Pertama kali/residif- Besarnya kolaps- Ada komplikasi/tidak
Semua penderita harus dirawat karena setiap saat timbul komplikasi.
Pneumotoraks tertutup- Jika paru yang kolaps <20% dan tanpa komplikasi, sebaiknya konservatif
dan observasi dengan ketat. Umumnya resorbsi udara, dan paru-paru akan mengembang kembali setiap hari 1,25% dari total volume hemitoraks. Diberikan sedatif untuk menenangkan penderita dan kodein untuk mencegah batuk serta oksigen.
- Jika paru yang kolaps >20% ada komplikasi diperlukan pemasangan WSD
Pneumotoraks terbuka- Diusahakan menutup lobangnya dan pemasangan WSD untuk
mengusahakan supaya paru-paru jangan kolaps dan diadakan penghisapan terus menerus.
Pneumotoraks ventilDilakukan kontra ventil, baik berupa tusukan jarum maupun WSD.Aspirasi/WSD dapat dilakukan diruang interkosta 2/3 pada linea mid klavikularis. Bila gelembung-gelembung udara tidak ada lagi dari WSD , maka 12-18 jam kemudian dilakukan foto toraks untuk melihat pengembangan paru. Bila lambat sebaiknya dilakukan pengisapan terus menerus. Jika 5-6 hari masih keluar udara (berarti fistula masih terbuka) harus dilakukan torakostomi untuk menutup fistulanya. Beberapa usaha untuk mempercepat pengembangan paru, dapat dilakukan apa bila fistelnya telah tertutup, usaha-usaha tersebut dapat meliputi :- Mobilisasi penderita secepat mungkin dengan cara berjalan-jalan dengan
menjinjing botol WSD.- Meniup balon-balon karet dalam usaha mengembangkan paru seoptimal
mungkin.- Latihan pernafasan oleh fisio terapis- Memakai pompa pengisap terus menerus dengan tekanan negatif rendah
yaitu antara 10-25 cm H2O.
Edukasi -
Komplikasi dan Prognosis
Rekurensi sebanyak 30%
Daftar kepustakaan Mardjanis S, dkk. Pneumotoraks. Dalam: Nastiti NR, dkk. Baku ajar respirologi anak. Ikatan dokter anak Indonesia. Jakarta. 2008. Hal 578-82 Posner K, Needleman JP. Pneumotorax. Pediatric in review. 2008;29:69-70
Lain-lain (Algoritme, Protokol, Prosedur,
Standing Order)
-.
DEPARTEMEN IKA RSMH PALEMBANG
PERTUSIS Kode ICD : A37.9
No Dokumen9
No. Revisi1
Halaman : 1
Panduan Praktek Klinis
Tanggal Revisi06/10/2011
Ditetapkan Oleh,Ketua divisi Respirologi
Dr. Kiagus Yangtjik, SpA(K)
Definisi Penyakit saluran nafas yang disebabkan oleh Bordetella pertusis
Etiologi Bordetella pertusis
Patogenesis Setelah terpajan bakteri penyebab, masa tunas terjadi selama 4-14 hari.Penyakit ini dapat berlangsung selama 6 minggu atau lebih dan terbadi dalam 3 stadium; kataralis, spasmodik, dan konvalesensi
Bentuk Klinis(Klasifikasi)
-
Anamnesis Batuk, terutama malam hari, pilek, serak, anoreksia, dan demam ringan
Pemeriksaan fisik Batuk-batuk panjang dan tidak ada inspirasi diantaranya dan di akhiri dengan “Whoop” pada inspirasi.
Kriteria Diagnosis Anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang (darah rutin, kultur sputum, swab tenggorokan)
Differential diagnosis Trakeobronkitis, bronkiolitis.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan darah rutin: Leukositosis dengan limfositosis absolut, kultur sputum, swab tenggorakan
Tatalaksana Antibiotika eritromisin 30-50 mg/kgbb/hari dibagi 2-3 dosis diberikan selama 3 minggu. Kodein 1 mg/tahun, 3 kali sehari yang diberikan bila batuk-batuk yang hebat tanda adanya komplikasi baru.Obat-obatan simptomatik diberikan sampai gejala-gejala spasmodik menghilang.
Edukasi -
Komplikasi dan Prognosis
Otitis media, bronkiolitis, bronkopneumonia, atelektasis, emfisema, bronkiektasis. Prognosis tergantung pada ada tidaknya komplikasi terutama komplikasi paru dan saraf pada bayi dan anak kecil
Daftar kepustakaan Standar Penatalaksanaan Boks Paru Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK Unsri/RSMH PalembangPertusis. Dalam : Arif M,dkk,editor. Kapita selekta kedokteran. Media AesculapiusMardjanis S.,dkk. Dalam : Nastiti NR,dkk. Buku ajar Respirologi anak. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta. 2008. Hal 578-82
Lain-lain (Algoritme, Protokol, Prosedur,
Standing Order)
-
DEPARTEMEN IKA RSMH PALEMBANG
KERACUNAN ALKOHOL Kode ICD : F10.0
No Dokumen10
No. Revisi1
Halaman : 1
Panduan Praktek Klinis
Tanggal Revisi06/10/2011
Ditetapkan Oleh,Ketua divisi Respirologi
Dr. Kiagus Yangtjik, SpA(K)Definisi Keracunan yang disebabkan terminumnya alcohol
Etiologi metil alkohol dan etil alkohol.
Patogenesis Biasanya gejala akan timbul bila terminum sebanyak 300 ml atau lebih metil alkohol atau terminum sebanyak 75 ml atau lebih etil alcohol
Bentuk Klinis(Klasifikasi)
Keracunan alcohol akibat metil alkohol dan etil alcohol
Anamnesis Sesak nafas
Pemeriksaan fisik a. Metil alkoholPada level 0,05-0,15%, terjadi inkoordinasi otot yang ringan, gangguan penglihatan dan reaksi lambat. Pada level 0,15-0,3%, bicara kacau,gangguan penglihatan,imkoordinasi otot dan kehilangan sensori. b. Etil alkoholmemberikan gejala yang sama dengan metil alkohol karena metabolisme dan ekskresinya lambat maka gejala toksiknya lebih hebat. Asidosis berat oleh karena produk metabolisme asam folat. Kerusakan retina dan nervus optikus dapat menyebakan kebutaan permanen.
Kriteria Diagnosis Anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang (darah lengkap; elektrolit
Differential diagnosis -
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan darah lengkap;elektrolit
Tatalaksana
Metil alkohol- Rangsang muntah- Bilas lambung- Mencegah asidosis, dengan pemberian bikarbonas natrikus oral setiap 1-2
jam- Untuk merangsang susunan saraf pusat diberikan caffein 8 mg/kgbb/kali
secara intravena, subkutan intramuskuler, bila perlu dapat diulang setiap 4 jam. Dapat juga diberikan kopi tubruk.
Etil alkohol- Sama dengan metal alkohol- Pencegahan/koreksi asidosis, dapat diberikan bikarbonas natrikus 4
meq/kgbb intravena, dapat diulang setiap 4 jam- Etil alkohol 0,75 ml/kgbb initial, kemudian 0,5 ml/kgbb setiap 4 jam selama 4
hari, secara intravena atau oral.- Pada kasus berat mungkin diperlukan dialysis.
Edukasi Pengawasan terhadap anak
Komplikasi dan Prognosis
Depresi susunan syaraf pusat. Prognosis tergantung kepada banyaknya alcohol yang terminum
Daftar kepustakaan Standar Penatalaksanaan Boks Paru Departemen Ilmi Kesehatann Anak FK
Unsri/RSMH PalembangMardjanis S.,dkk. Dalam : Nastiti NR,dkk. Buku ajar Respirologi anak. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta. 2008
Lain-lain (Algoritme, Protokol, Prosedur,
Standing Order)
-.
DEPARTEMEN IKA RSMH PALEMBANG
EMFISEMA SUBCUTIS Kode ICD : J44.8
No Dokumen11
No. Revisi1
Halaman : 1
Panduan Praktek Klinis
Tanggal Revisi06/10/2011
Ditetapkan Oleh,Ketua divisi Respirologi
Dr. Kiagus Yangtjik, SpA(K)
Definisi Adalah suatu keadaan dimana udara bebas dapat masuk kejaringan subkutis. Biasanya merupakan komplikasi dari suatu keadaan, seperti fraktur orbita, trauma pada leher dan toraks,atau dapat juga terjadi secara spontan.
Etiologi Sebagai komplikasi dari :1. Trakeostomi2. Ulkus yang dalam didaerah faring3. Perforasi trakea atau laring.4. Luka pada esofagus5. Torakosintesis6. Luka yang terkontaminasi bakteri yang membentuk gas7. Infeksi jaringan paru8. Dapat terjadi secara spontan
Patogenesis Merupakan suatu komplikasi dari suatu keadaan, seperti fraktur orbita, trauma pada leher dan toraks, atau dapat terjadi juga secara spontan
Bentuk Klinis(Klasifikasi)
-
Anamnesis -
Pemeriksaan fisik Pada perabaan didapati krepitasi bawah kulit, teraba adanya nodul fluktuasi kecil yang bergerak bebas bila jaringan ditekan.
Kriteria Diagnosis Krepitasi dibawah kulit, balk dengan perabaan dan auskultasi.Adanya nodul dibawah kulit yang bergerak bebas bila ditekan.
Differential diagnosis -
Pemeriksaan Penunjang
-
Tatalaksana Dilakukan insisi multipel- Istirahat total- Menghilangkan faktor penyebab.
Edukasi -
Komplikasi dan Prognosis
Tergantung pada komplikasi penyakit yang mendasari
Daftar kepustakaan Standar Penatalaksanaan Boks Paru Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK Unsri/RSMH PalembangMardjanis S.,dkk. Dalam : Nastiti NR,dkk. Buku ajar Respirologi anak. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta. 2008.
Lain-lain (Algoritme, Protokol, Prosedur,
Standing Order)
-
DEPARTEMEN IKA RSMH PALEMBANG
TUBERKULOSIS Kode ICD : A16.4
No Dokumen12
No. Revisi1.
Halaman : 1-2
Panduan Praktek Klinis
Tanggal Revisi06/10/2011
Ditetapkan Oleh,Ketua divisi Respirologi
Dr. Kiagus Yangtjik, SpA(K)
Definisi Penyakit akibat infeksi kuman Mycobacterium tuberculosis sistemismik sehingga dapat mengenai hampir semua organ tubuh, dengan lokasi terbanyak di paru yang biasanya merupakan lokasi infeksi primer.
Etiologi Mycobacterium tuberculosis
Patogenesis Inhalasi basil TB alveolus fagositosis oleh makrofag basil TB berkembang biak destruksi makrofag pembentukan tuberkel perkijuan pecah lesi sekunder parukaisifikasi kompleks ghon
Bentuk Klinis(Klasifikasi)
lnfeksi TB, Penyakit TB Paru, Penyakit TB di 'Liar Paru
Anamnesis Demam lama > 2minggu disertai keringat malam,batuk lama > 3 minggu berat badan turun tanpa sebab yang jelas, nafsu makan tidak ada, lesu, diare
Pemeriksaan fisik Konjungtiva mata atau kulit yang pucat karena anemia, suhu subfebris,badan kurus atau berat badan menurun. Dapat ditemukan pembesaran kelenjar limfe superfisialis yang tidak sakit dan biasanya multipel, gejala spesifik sesuai organ yang terkena.
Kriteria Diagnosis Diagnosis dapat ditegakkan bila didapatkan 2 tanda bintang.Pada institusi dengan fasilitas lengkap, diagnosis harus ditelusuri lebih lenjut.Kontak erat dengan penderita TBC terbuka Sering demam + berkeringat malam hari + Anoreksia dan
gangguan gizi selama 3 bulan terakhir dan BB turun dengan cepat. BCG > 3-7 hari (+) >5 mm Mantoux test > 10 –15 mm Scrofuloderma Konjungtivitis pliktenularis Spondilitis/ Coxitis- Pembesaran kelenjar lymphe 15rednisone15 terutama leher- Irritable- Adanya cairan dalam pleura atau pericard- Diare peristen > 14 hari tidak sembuh sendiri dengan terapi konvensional- Laboratorium rutin/ konvensional LED - Rontgen :
- Infiltrat- Pembesaran kel. Lymphe tidak khas- Milier TBC paru- Infiltrat endobronkial hebat- Efusi pleura serosa
Differential diagnosis -
Pemeriksaan Penunjang
Uji tuberkulin, uji interferon, radiologis, serologis,mikrobiologis, patologi
Tatalaksana
Pengobatan :Dipakai cara DOTS (Direcly Observe Treatment Short Course)H (INH)R (Rifampisin)Z (Pirazinamid)
Dosis H : 5-10 mg/kgbb maximum 300 mgR : 10 mg/kgbb diberikan 1 jam sebelum makanZ : 20-30 mg/kgbb maximum 2 g/hariUntuk TBC berat dapat diberikan obat 4 macam seperti berikut :E : (Etambutol) dosis 10-15 mg/kgbb atauS : (Streptomisin) dosis 20-50 mg/kgbb maximum 750 mg
Perhatian :1. Perhatikan terhadap perbaikan gizi2. Diberikan 16rednisone untuk anak umur > 3 bulan dengan TBC milier
atau TBC serosa selama 1-3 bulanMonitoring :1. Teratur selama 2 bulan, klinis kurang maju lanjutkan maintenance,
evaluasi.2. Tidak teratur dalam 1 bulan ulang ulang awal
Tidak teratur sertelah 1 bulan initial tergantung klinis3. Initial 2 bulan teratur klinis baik, kemudian drop out lanjutkan
maintenance dan evaluasiPropilaksis terutama balita1. Kontak (-) dengan penderita TBC terbuka, lain-lain (-) : 5-10 mg/kgbb,
evluasi selama 3 bulan2. Kontak (-) evaluasi aktivitas TBC3. Ibu TBC, BTA (-), Lain-lain 90-) H : 5-10 mg/kgbb selama 6 bulan4. Pernah menderita TBC aktif sembuh :- Menderita infeksi berat (morbili,pertusis) selama 4 bulan- Dapat imunosupresif >7 hari sampai pengobatan selesaiImunisasi penyakit asal virus : H 5-20 mg/kgbb selama 1 bulan
Edukasi Hindari kontak dengan penderita TB, imunisasi BCG
Komplikasi dan Prognosis
Dapat sembuh (gejala hilang) bila pengobatan teratur dan lengkap
Daftar kepustakaan Tuberculosis anak. Dalam: Nastiti NR,dkk. Buku Ajar respirologi anak. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta. 2008. Hal 162-267Committee on infectious disease : screening for tuberculosis in infant and children Pediatrics 1999;93: 131-4
Lain-lain (Algoritme, Protokol, Prosedur,
Standing Order)
-
DEPARTEMEN IKA RSMH PALEMBANG
HEPATITIS KARENA OATKode ICD : A18.8 + K.77.0
No Dokumen13
No. Revisi1
Halaman : 1
Panduan Praktek Klinis
Tanggal Revisi06/10/2011
Ditetapkan Oleh,Ketua divisi Respirologi
Dr. Kiagus Yangtjik, SpA(K)
Definisi Hepatitis yang terjadi karena pengobatan tuberculosis
Etiologi Obat anti tuberculosis
Patogenesis Obat anti tuberkulosis yang bersifat hepatotoksik
Bentuk Klinis(Klasifikasi)
-
Anamnesis Adanya riwayat sedang mendapat terapi tuberkulostatika
Pemeriksaan fisik Pemeriksaan Fisik : ikterus, hepatomegali dan nyeri tekan.
Kriteria Diagnosis Anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang (laboratorium,serologis
Differential diagnosis -
Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium : Uji faal hati : SGOT, SGPT. Bilirubin I dan II, alkali fosfatase pemeriksaan serologis virus hepatitis
Tatalaksana 1. Jika kadar SGOT atau SGPT meningkat kurang dari 5 (Lima) kali lipat, maka dosis OAT diturunkan menjadi setengahnya. Setiap minggu dikontrol kadar SGOT, dan SGPT. Bila nilainya normal, maka dosis dinaikan sampai mencapai dosis yang dikehendaki.
2. Jika kadar SGOT atau SGPT meningkat naik dari 5 (Lima) kali, maka pemberian OAT dihentikan. Tiap minggu kontrol SGOT dan SGPT. Bila nilainya normal, maka OAT diberikan setengah dosis dan dinaikan perlahan sampai dosis yang dikehendaki. Bila ternyata SGOT dan SGPT meningkat lagi lebih dari normal, OAT diganti dengan yang tidak hepatotoksik.
Edukasi -
Komplikasi dan Prognosis
-
Daftar kepustakaan Standar Penatalaksanaan Boks Paru Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK Unsri/RSMH Palembang
Tuberkulosis anak. Dalam : Nastiti NR,dkk. Buku Ajar respirologi Anak. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta. 2008
Lain-lain (Algoritme, Protokol, Prosedur,
Standing Order)
-.
DEPARTEMEN IKA RSMH PALEMBANG
Meningitis Tuberculosa Kode ICD : A17.0 +G01No Dokumen
14No. Revisi
1Halaman : 1
Panduan Praktek Klinis
Tanggal Revisi06/10/2011
Ditetapkan Oleh,Ketua divisi Respirologi
Dr. Kiagus Yangtjik, SpA(K)
Definisi Radang selaput meningen otak yang diakibatkan oleh tuberculosis
Etiologi Tuberkulosis
Patogenesis Kuman Mycobacterium tuberculosis yang menyebar secara hematogen ke selaput meningen otak.
Bentuk Klinis(Klasifikasi)
Pneumonia berat, Pneumonia, Bukan Pneumonia
Anamnesis Penurunan kesadaran, nyeri kepala, nyeri kuduk, demam lama disertai keringat malam, batuk lama, nafsu makan menurun, penurunan berat badan
Pemeriksaan fisik Penurunan kesadaran, tanda rangsang meningeal (+); kaku kuduk, tanda kernig, tanda brudzinsky.
Kriteria Diagnosis Gejala TBC pada umumnya dan gejala meningitis
Differential diagnosis Meningitis purulenta, meningitis virus, meningitis jamur.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan cairan serobrospinal, darah lengkap, radiologi, uji tuberculin
Tatalaksana Sama seperti diatas, paling sedikit 3 obat dengan jangka waktu yang lamaTindak lanjut :- Pencegahan tehadap decubitus, pengulangan LP dan LED setiap bulan.- Fisio terapi dilakukan secepat mungkin baik pasif maupun aktif.Penderita dipulangkan setelah terapi steroid selesai, dan LCS normal dalam 2 kali pemeriksaan dengan jarak 1 minggu. Diagnostik aseptic meningitis ditegakkan pada penderita yang diduga semula meningitis serosa apabila keadaan cepat membaik dan sembuh dalam waktu 2 minggu, pengobatan spesifik dihentikan dan penderita dipulangkan.
Edukasi -
Komplikasi dan Prognosis
Hidrosefalus, epilepsy, gangguan jiwqa, buta karena atrofi NII, tuli kelumpuhan otot yang disyarafui N III, N IV dan N V, hemiparesis. Angka kematian umumnya 50%. Prognosos jelek pada bayi dan orangtua
Daftar kepustakaan Standar Penatalaksanaan Boks Paru Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK Unsri/RSMH PalembangRonny Y. Meningitis Tuberculosa. Dalam : harsono, Editor. Kapita Selekta neurologi . Gajah Mada University press. Hal 173-6
Lain-lain (Algoritme, Protokol, Prosedur,
Standing Order)
-
DEPARTEMEN IKA RSMH PALEMBANG
SCHWARTE Kode ICD : Q78.8No Dokumen
15No. Revisi
1Halaman : 1
Panduan Praktek Klinis
Tanggal Revisi06/10/2011
Ditetapkan Oleh,Ketua divisi Respirologi
Dr. Kiagus Yangtjik, SpA(K)
Definisi Schwarte adalah suatu keadaan penebalan lapisan pleura, yang diakibatkan efusi pleura yang sudah mengalami resorbsi
Etiologi Biasanya disebabkan oleh infeksi pleura yang tidak sembuh sempurna (bisa pleuritis tuberkulositas atau empiema).
Patogenesis Lapisan pleura menjadi tebal dikarenakan efusi pleura yang mengalami resorbsi
Bentuk Klinis(Klasifikasi)
-
Anamnesis Sesak nafas
Pemeriksaan fisik Thoraks asimetris, stem fremitus, suara nafas melemah, Fleura friction rub (+)
Kriteria Diagnosis Anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang (Radiologis dan CT Scan)
Differential diagnosis -
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan radiologis dan CT Scan
Tatalaksana
Operasi thoraks :1. Non reseksi- Pulmonary detachment - Dekortikasi- Torakoplasti- Plombage- Kovernoplasti2. Reseksi- Segmentektomi- Pleuro-lobektomi- Pleuro- pneumektomiToleransi operasi :Tergantung faal paru :1. Absolut aman : VC >70%
FEVI > 70%2. Relatif aman : VC > 40%
FEVI > 50%3. Tidak aman : VC > 40%
FEVI > 50%4. Indeksi respirasi : VC x FEVI = 2.000Timing operasi- Paru yang dioperasi tenang- Bronkus tidak ada peradangan- Obat-obat anti TBC ada yang sensitive
Edukasi -
Komplikasi dan Prognosis
-
Daftar kepustakaan Standar Penatalaksanaan Boks Paru Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK Unsri/RSMH Palembang
Lain-lain (Algoritme, Protokol, Prosedur,
Standing Order)
-
DEPARTEMEN IKA RSMH PALEMBANG
BRONKIEKTASIS Kode ICD : J47No Dokumen
16No. Revisi
1Halaman : 1
Panduan Praktek Klinis
Tanggal Revisi06/10/2011
Ditetapkan Oleh,Ketua divisi Respirologi
Dr. Kiagus Yangtjik, SpA(K)Definisi Adalah dilatasi dari bronkus yang disebabkan oleh karena destruksi bronkus dan
jaringan peribronkial karena radang.
Etiologi Bawaan karena maldevelopment dari cincin tulang rawan bronkusDidapat : disebabkan adanya obstruksi dari lumen bronkus yang disertai infeksi yang menyebabkan destruksi bronkus dan jaringan peribronkial, sehingga menyebabkan dilatasi bronkus.
Patogenesis Pressure of secretion theory, atelectasis theory, traction theory, infection theory.
Bentuk Klinis(Klasifikasi)
Secara anatomi dibedakan 3 bentuk :1. Bentuk silindrik2. Bentuk fusiform3. Bentuk sakuler (kistik
Anamnesis Batuk-batuk dengan dahak yang banyak terutama pada pagi hari, riwayat infeksi saluran nafas bawah yang berulang, demam, tidak ada nafsu makan, berat badan turun
Pemeriksaan fisik Deformitas dari dinding dada berupa adanya sulcus Hanson setelah iga yang ketiga, adanya bentuk dinding dada yang melengkung, adanya clubbing finger, pada pemeriksaan fisik paru, pada perkusi dapat dijumpai daerah yang redup pada auskultasi terdapat bermacam-macam ronki basah dan kering.
Kriteria Diagnosis Anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang (radiologis
Differential diagnosis Hemosiderosis, hipersensitivitas pneumonitis, obstructive sleep apnea syndrome, sarkoidosis, trakeomalasia
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium, bronkografi, radiologis, high resolution CT
Tatalaksana - Konservatif : Menghilangkan fokus infeksi dengan pemberian antibiotika bila ada
eksaserbasi akut selama 7 hari paling lama 2 minggu. Postural drainage
- Operatif : bila terapi konservatif tidak berhasil Terutama pada bronkiektasis yang luas dengan hemoptoe berulang Bronkiektasis sakular yang tebatas pada lobus dan segment Adanya aspirasi benda asing Operasi sebaiknya diatas usia 6 tahun
Edukasi Vaksinasi terhadap pertusis dan lain-lain (influenza, pneumonia
Komplikasi dan Prognosis
Bronkitis kronik, pneumonia dengan atau tanpa atelektasis, pleuritis, efusi pleura atau empiema, abses metastasis di otak, hemoptisis, sinusitis, kor pulmonale, amiloidosis. Bila penyebab kerusakan diketahui dini dan diberikan tindakan secara dini, maka prognosis bronkiektasis pada anak cukup baik
Daftar kepustakaan Heda MDN. Bronkiektasis. Dalam: Nastiti NR, dkk. Buku ajar respirologi anak. Ikatan dokter anak Indonesia. Jakarta. 2008. Hat 540-9Barker AF. Bronchiectasis. N Engl J Med 2002;346 (18) : 1383-93
Lain-lain (Algoritme, Protokol, Prosedur,
Standing Order)
-
DEPARTEMEN IKA RSMH PALEMBANG
ASMA BRONKIAL Kode ICD : J45.9No Dokumen
17No. Revisi
1.Halaman : 1-2
Panduan Praktek Klinis
Tanggal Revisi06/10/2011
Ditetapkan Oleh,Ketua divisi Respirologi
Dr. Kiagus Yangtjik, SpA(K)Definisi Gangguan inflamasi kronik jalan nafas, melibatkan berbagai se! inflamasi
Etiologi Belum diketahui. Faktor pencetus adalah allergen, infeksi (saluran nafas atas), iritan, cuaca, kegiatan jasmani, refluks gastroesofagus, dan psikis
Patogenesis Alergen merangsang sel plasma menghasilkan IgE menempel pada reseptor dinding sel mast. Bila allergen serupa masuk allergen tersebut akan menempel pada sel mast tersensitisasi degranulasi sel mast mengeluarkan mediator; histamine, leukotrien, faktor pengaktivasi platelet, bradikinin. Mediator ini meningkatkan permeabilitas kapiler edema, peningkatan produksi mucus, kontraksi otot polos.
(Klasifikasi) Asma intermiten, persisten ringan, persisten sedang, persisten berat.
Anamnesis Batuk, dan sesak nafas yang paroksimal, dengan atau tidak ada faktor pencetus dan ada atau tidak ada gejala atopi dalam keluarga ekspirasi memanjang dan wheezing ekspirasi.
Pemeriksaan fisik Ekspirasi memanjang dan wheezing ekspirasi
Kriteria Diagnosis Anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang (fungsi paru, hiperreaktivitas saluran nafas, petanda inflamasi saluran nafas non invasive, status alergi)
Differential diagnosis GER, rinosinobronkitis, obstructive sleep apnea syndrome, fibrosis kistik, primary cilliary dyskinesis, bends asing, vocal ford dysfunction
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan fungsi paru, hiperreaktivitas saluran nafas, petanda inflamasi saluran nafas non invasif, status alergi.
Tatalaksana - Mencari dan menghindari faktor pencetus, untuk diperlukan kerjasama dengan orang tua penderita.
- Mencegah serangan asma dengan pemberian obat untuk mempertahankan sel-sel mediator tidak pecah. Obat-obatan yang dipakai adalah sodium kromoglikat dan ketotifen. Bila serangan diduga diakibatkan faktor alergi dan serangan terjadi lebih dari 3 kali dalam sebulan diberikan ketotifen dosis 0,025 mg/kgbb/hari dibagi dalam 2 dosis diberikan selama 6 bulan atau lebih.
- Pengelolahana serangan akut/status asmatikus :Berikan ventolin nebulizer (0,5- 1 ampul)
Edukasi Pengendalian lingkungan, pemberian ASI eksklusif, penghindaran makanan alergenik, pengurangan pajanan tungau & rontokan bulu binatang
Komplikasi dan Prognosis
Pneumotoraks, pneumomediastinum dan emfisema subkutis, atelektasis, aspergilosis bronkopulmonar alergik, gagal nafas, bronchitis, fraktur iga
Daftar kepustakaan Asma, dalam :Nastiti NR, dkk. Buku ajar respirologi anak. lkatan dokter anak Indonesia. Jakarta. 2008. Hal 71-161Global initiative for Asthma. Global strategy for asthma management and prevention. National institute health.Pedoman Nasional Asma Anak. UKK Respirologi Anak. Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Lain-lain (Algoritme, Protokol, Prosedur,
Standing Order)
-
DEPARTEMEN IKA RSMH PALEMBANG
LIMFADENOPATI Kode ICD : R59.1
No Dokumen18
No. Revisi1.
Halaman : 1
Panduan Praktek Klinis
Tanggal Revisi06/10/2011
Ditetapkan Oleh,Ketua divisi Respirologi
Dr. Kiagus Yangtjik, SpA(K)Definisi Pembesaran kelenjar getah bening, garis tengah terpanjangnya lebih besar dari
pada 10 mm. Ada dua pengecualian yaitu kelenjar epitrokleas > 15 mm dianggap abnormal, untuk kelenjar selangkangan > 15 mm baru dianggap normal. Sedangkan limfadenopati supraklavikula, iliaka dan poplitea , harus dianggap abnormal.
Etiologi 1. Infeksi -Sistemik: Mononukleosis infeksiosa, rosella infantum, CMV, varisella, adenovirus, HIV-Bakteri: Demam tifoid, sifilis , pes dan tuberkulosis, endokarditis.
2. Penyakit autoimun 3. Keganasan: Leukemia akut (70% pada LLA, 30% pada MLA ) limfoma
maligna 4. Histiositosis 5. Penyakit timbunan ( storage disease)
- Penyakit Nieman-Pick, Sfingomielin dan berbagai lemak lain bertimbun di hati, kelenjar getah bening dan susunan saraf pusat - Penyakit Gaucher: penimbunan glukosilseramid menyebabkan pembengkakan limpa dan kelenjar getah bening ( sickle-cell)6. Reaksi obat: fenitoin, mefenitoin, pirimetamin, fenilbutason, alopurinol dan
isoniazid
Patogenesis Pembesaran kelenjar getah bening dapat berasal dari penambahan sel-sel pertahanan tubuh yang berasal dari KBG itu sendiri seperti limfosit, sel plasma, monosit dan histiosit,atau karena datangnya sel-sel peradangan (neutrofil) untuk mengatasi infeksi di kelenjar getah bening (limfadenitis), infiltrasi (masuknya) sel-sel ganas atau timbunan dari penyakit metabolit makrofag (gaucher disease)
Bentuk Klinis(Klasifikasi)
Limfadenopati umum, setempat
Anamnesis Demam, pembesaran kelenjar, gejala penyakit yang mendasari
Pemeriksaan fisik Kelenjar getah bening; ukuran, nyeri tekan, konsistensi, mobile/immobile.
Kriteria Diagnosis Anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang
Differential diagnosis Gondongan , kista duktus tiroglossus, kista dermoid, hemangioma
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan darah perifer lengkap, pemeriksaan penunjang untuk penyakit yang mendasari
TatalaksanaTatalaksana pembesaran kelenjar getah bening didasarkan pada penyebabnya. Banyak kasus dari pembesaran kelenjar getah bening
sembuh dengan sendirinya dan tidak membutuhkan pengobatan apapun selain observasi
Edukasi -
Komplikasi dan Prognosis
Sesuai dengan penyakit yang mendasari
Daftar kepustakaan Standar Penatalaksanaan Boks Paru Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK Unsri/RSMH Palembang
Lain-lain (Algoritme, Protokol, Prosedur,
Standing Order)
-
DEPARTEMEN IKA RSMH PALEMBANG
FLU BURUNG Kode ICD : J11.1
No Dokumen19
No. Revisi1
Halaman : 1
Panduan Praktek Klinis
Tanggal Revisi06/10/2011
Ditetapkan Oleh,Ketua divisi Respirologi
Dr. Kiagus Yangtjik, SpA(K)
Definisi penyakit menular pada hewan yang disebabkan oleh virus dan dapat menular pada manusia.
Etiologi Virus influenza tipe A (avian influenza) subtype H5N1 atau sering disebut virus A(H2N1) yang digolongkan ke dalam Highly Pathogenic Avian Influenza (HPAI).
Patogenesis Virus influenza melekat ke reseptor asam sialat pejamu melalui hemaglutinin dan secara endositosis masuk ke dalam vakuol sel. Di dalam vakuol terjadi asidifikasi progresif kemudian terjadi fusi ke dalam membran endosom dan pelepasan RNA virus ke dalam sitoplasma
Bentuk Klinis(Klasifikasi)
Kasus observasi, kasus tersangka, kasus kemungkinan, kasus terbukti
Anamnesis Panas tinggi batuk, pilek, dengan atau tanpa sesak nafas disertai salah satu atau lebih keadaan berikut :1. Dalam seminggu terakhir ada riwayat kontak dengan pasien avian influenza yang terkontaminasi2.Dalam seminggu terakhir kontak atau mengunjungi peternakan yang dilanda wabah avian influenza unggas3.Dalam seminggu terakhir mempunyai riwayat bekerja di laboratorium yang memproses spesimen manusia atau hewan yang dicurigaimenderita avian influenza
Pemeriksaan fisik Demam, faringitis, konjungtivitis ringan, rhinitis, limfadenopati colli, ronki basah, wheezing
Kriteria Diagnosis
- Ditegakkan secara klinis- Kelainan laboratorium : lekopeni, limfopenia dan trombositopenia.
Beberapa kasus mengalami gangguan ginjal berupa peningkatannilai ureum dan kreatinin.
- Kelainan radiologist toraks berlangsung sangat progresif sesuai dengan manifestasi klinis tetapi tidak ada gambaran yang khas. Kelainan foto toraks bisa berupa infiltrat bilateral luas, infiltrate difus, multifokal atau tersebar (patchy), atau dapat berupa kolaps lobar.
- Dipastikan dengan biakan virus avian influenza. Pemeriksaan lain yang definitive adalah pemeriksaan PCR. Pemeriksaan lain berupa imunofluoresen menggunaka H5N1 antibodi monoclonal, serta uji serologi menggunakan cara ELISA dan IFAT untuk mendeteksi antibodi spesifik.
Differential diagnosis Infeksi respiratori atas akut, croup, bronkiolitis, atau pneumonia
Pemeriksaan Penunjang
Kultur dan identifikasi virus H5N1, uji real time nested PCR untuk H5, IFAtest, uji netralisasi, uji penapisan
Tatalaksana 1. Beberapa obat antiviral : ribavirin, amantadine, rimantadine, zanamivir dan oseltamivir
2. Untuk kasus yang berat berupa pneumonia perlu perawat rumah sakit dan tatalaksana pneumonia pada umumnya.
3. Bila suatu kasus dicurigai sebagai avian influenza maka sejak awal tindakan
Pencegahan penyebaran infeksi harus sesuai universal precautions standard, selama perawatan, saat pemulangan pasien yang selamat, penanganan jenazah pasien yang meninggal karena avian influenza.
4. Amantadin diberikan pada awal infeksi,sedapat mungkin dalam waktu 48 jam pertama selama 3-5 hari dengan dosis 5 mg/kgbb per hari dibagi dalam 2 dosis. Bila berat badan lebih dari 45 kg diberikan 100 mg 2 kali sehari.
Edukasi Vaksinasi vaksin influenza
Komplikasi dan Prognosis
Untuk avian influenza, utamanya A/H5N1 prognosisnya tidak baik. Banyak kasus berakhir dengan kematian.
Daftar kepustakaan Darmawan BS. Avian influenza. Dalam: Nastit i NR, dkk. Buku ajar respirologi anak. Ikatan dokter anak Indonesia. Jakarta. 2008. Hal 558-77 World Health Organization. Clinical management of human infection with avian influenza A (H5N1) virus. 15 Aug 2007
Lain-lain (Algoritme, Protokol, Prosedur,
Standing Order)
-.
DEPARTEMEN IKA RSMH PALEMBANG
ALERGI MAKANAN Kode ICD : T78.1
No Dokumen1
No. Revisi1
Halaman : 1-3
Panduan Praktek Klinis
Tanggal Revisi07 Oktober 2011
Ditetapkan Oleh,Ketua divisi Respirologi
Dr. Yusmala Helmi, SpA(K)
Definisi Adalah suatu kumpulan gejala yang melibatkan banyak organ dan sistem tubuh yang ditimbulkan oleh alergi terhadap bahan makanan, berupa reaksi imunologik yang menyimpang yang merupakan kombinasi keempat tipe hipersensitivitas menurut Gell dan Comb’s.
Etiologi Terdapat 3 faktor penyebab alergi makanan, yaitu: Faktor genetik Anak yang salah satu orang tuanya atopi, kemungkinan terjadinya alergi 17-
29%. Bila kedua orang tuanya atopi kemungkinan alergi 53-58%. Anak dengan HLA-BB cenderung mendapat alergi.
Faktor Imaturitas usus-Secara mekanik integritas mukosa usus dan peristaltik merupakan pelindung masuknya alergen kedalam tubuh-Secara kimiawi:asam lambung dan enzim pencernaan menyebabkan denaturasi alergen-Secara imunologik SIgA pada permukaan mukosa dan limposit pada lamina propia dapat menangkal alergen masuk kedalam tubuh.
Pajanan alergen-dapat terjadi sejak bayi dalam kandungan-pemberian PASI pada bayi cenderung meningkatkan angka kejadian alergi-eleminasi telur, susu dan ikan pada ibu menyusui selama 3 bulan pertama mengurangi sensitivitas selam 3 bulan berikutnya dan menurunkan dermatitis atopik 6 bulan berikutnya.-pajanan alergen tergantung juga pada kebiasaan dan norma kehidupan setempat-faktor pencetus bukan penyebab serangan alergi, tetapi menyulut terjadinya gejala alergi, dapat berupa faktor fisik, faktor psikis atau beban latihan
Patogenesis Makan pajanan allergen gangguan integritas mukosa usus absorpsi molekul allergen (protein, glikoprotein atau polipeptida dengan berat molekul > 18.000 dalton, tahan panas, tahan enzim proteolitik) pada orang yang sensitive reaksi alergi yang muncul dapat berupa satu atau lebih reaksi.Reaksi cepat terjadi berdasarkan reaksi hipersensitivitas tipe 1 fase cepatReaksi lambat terdapat 4 kemungkinan, yaitu :1. Reaksi hipersensitivitas tipe I fase lambat2. Reaksi hipersensitivitas tipe II3. Reaksi hipersensitivitas tipe III4. Reaksi hipersensitivitas tipe IV
Bentuk Klinis(Klasifikasi)
Bervariasi berdasarkan target organ:o Pada saluran cerna dapat berupa gatal pada bibir, mulut, faring, sembab
tenggorokkan, muntah-muntah, nyeri perut, kembung, mencret, perdarahan usus, protein- losing enteropathy.
o Pada saluran nafas dapat berupa rinitis, asma bronkial atau batuk kronik
berulango Pada kulit dapat berupa urtikaria, angiodema atu dermatitis atopiko Pada kardiovaskular dapat menimbulkan reaksi anafilaksis, berupa:
-anafilaksis yang diinduksi makanan-anafilaksis yang diinduksi latihan dan tergantung makanan (food dependent exercise induced anaphylaxis gejala anafilaksis timbul setelah makan suatu alergen dan kemudian diikuti latihan fisik.
Anamnesis -
Pemeriksaan fisik -
Kriteria Diagnosis Dasar diagnosiso Diagnosis alergi makanan adalah diagnosis klinis yang dibuktikan dengan
eleminasi dan provokasi makanano Makanan tersangka dieleminasi selama 2-3 minggu→jika gejala hilang
atau berkurang, dilakukan provokasi makanan yang dicurigai:-jika makanan berupa cairan/makanan lunak dapat diberikan bersama
dengan cairan juice (air jeruk) atau disembunyikan dalam bubur-jika anak usia > 6 tahun, maka bahan makanan dihaluskan jadi bubur→
masukkan dalam kapsul (dosis kecil 50 mg, dinaikkan tiap-tiap 30 menit, jika tidak ada gejala setelah dosis 8 gram berarti makanan tersebut bukan alergen penyebab. Provokasi tidak dilakukan jika gejala yang timbul anafilaksis dan edema laring.
o Diagnosis dapat didukung melalui pemeriksaan:-uji kulit dapat dilakukan uji gores (scratch test), uji suntik intra dermal
(intra dermal test), dan uji tusuk (prick test)-darah tepi: eosinofil >5% atau >500/ml, cenderung alergi. Jika leukosit <
5000/ml disertai neutropenia<30% sering ditemukan pada alergi makanan.
-hemoglobin dan hematokrit yang rendah sering ditemui pada susu sapi -pemeriksaan IgE spesifik (RAST) hanya dikerjakan atas indikasi sajaLangkah diagnosis
Anamnesis yang cermat dan pemeriksaan fisik Eliminasi dan provokasi makanan yang dicurigai
Differential diagnosis -
Pemeriksaan Penunjang
-
Tatalaksana Menghentikan makanan penyebab dan memberikan makanan pengganti. Pada bayi/anak yang masih mendapat ASI, ibunya jangan mengkonsumsi makanan yang alergenik.
Pengobatan simptomatis ditujukan pada manifestasi klinisnya (urtikaria, diare, rinitis, asma, angiodema, anafilaksis, dll)- Urtikaria, pruritus, eritema dan rinitis diberikan antihistamin peroral,
dipakai hidroksizin dosis 1 mg/kgbb 2 kali sehari, atau dipenhidramin 1 mg/kgBB 4 kali sehari.
- Jika kelainannya cukup luas dan timbulnya cepat seperti angioedema , mula-mula diberikan HCI epinefrin (adrenalin) larutan 1:1000 dengan dosis 0,01 cc/kgBB subkutan (max. 0,3 cc). Jika perlu diulang sampai 2 kali selang 15 menit, kemudian dilanjutkan antihistamin peroral.
- Jika terjadi sitopenia atau vaskulitis diberikan kortikosteroid, dosis 1-2 mg/kgBB/hari dibagi 3 dosis. Jika klinis telah membaik ditapering secara sepat, biasanya 3 hari.
- Jika terjadi asma bronkial, diberikan bronkodilator (seperti teofilin, salbutamol) SP asma bronkial.
- Anafilaksis : Penatalaksanaan penderita anafilaksis : Penderita dibaringkan terlentang,
kepala dalam posisi ekstensi , jika perlu oksigen. Beri adrenalin 1:1000, dosis 0,01 cc/kgBB/kali IM
Jika terjadi obstruksi jalan nafas dipasang alat nafas buatan (Gudel) atau trakeostomi. Tanda-tanda vital dimonitor terus (TD, Nadi, RR).
Jika tidak ada perbaikan tanda-tanda vital (TD masih rendah) pasang IVFD dengan Ringer laktat atau NaCl 0,9% atau glukosa 5%, dikocor
Bronkospasme dihilangkan dengan memberi aminofilin 3-4 mg/kgBB IV
(pelan-pelan, diencerkan dulu). Untuk menekan reaksi hipersensitifitas tipe I fase lambat diberi hodrokortison
7-10 mg/kgBB I.V, dilanjutkan 5 mg/kgBB (tiap 6 jam I.V). Pengobatan selanjutnya ditujukan pada komplikasi yang terjadi jika perlu
dirawat di ICU.
Edukasi Hindari makanan penyebab alergi
Komplikasi dan Prognosis
Prognosiso Pada prinsipnya alergi tidak dapat disembuhkano Dermatitis atopik akan berkurang pada usia 12 tahun, 50-80% organ
sasaran akan berpindah, manifestasi alergi berubah menjadi rinitis alergika dan asma
o Alergi makanan yang mulai timbul pada usia 3 tahun, prognosisnya lebih baik 40% mengalami grow-out
o Anak yang mengalami alergi pada usia 15 tahun keatas cenderung untuk menetap.
Komplikasio Failure to thriveo Penyakit atopi kronis seperti asma bronkial dan dermatitis atopik
Daftar kepustakaan Buku ajar alergi imunologi anak UI 2008
Lain-lain (Algoritme, Protokol, Prosedur,
Standing Order)
Menghindari makanan penyebab Pada anak yang mendapat alergi makanan sebaiknya dicobakan lagi, krena
kemungkinan mengalami grow out dengan bertambahnya usia
DEPARTEMEN IKA RSMH PALEMBANG
ARTRITIS REUMATOID JUVENIL Kode ICD : M08.0
No Dokumen2
No. Revisi1
Halaman : 1-3
Panduan Praktek Klinis
Tanggal Revisi07 Oktober 2011
Ditetapkan Oleh,Ketua divisi Respirologi
Dr. Yusmala Helmi, SpA(K)
Definisi Artritis Reumatoid Juvenil (ARJ) adalah salah satu bentuk penyakit reumatik yang termasuk dalam kelompok penyakit jaringan ikat.
Etiologi Penyebab pasti ARJ masih belum diketahui. Beberapa faktor etiologi berperan dalam munculnya ARJ, antara lain faktor : infeksi, autoimun, trauma, stres dan faktor imunogenetik.
Patogenesis
Patogenesis ARJ sering dikaitkan dengan imunopatogenesis penyakit kompleks imun dari penyakit autoimun: autoantigen (agregat IgG dan antigen sinovia) pengaruh beberapa rangsangan (faktor imunogenetik, kalainan makanisme sel T supresor, reaksi silang antigen dan berbagai penyebab lain seperti virus) akan memproduksi autoantibodi
Kelainan tahap awal
Belum jelas, telah diidentifikasi kerusakan mikrovaskuler dan proliferasi sel sinovia edema sinovium dan proliferasi sel sinovia mengisi rongga sendi, tahap awal predominan sel PMN didominasi sel limfosit, makrofag dan sel plasma produksi IgG, sedikit IgM (IgM anti IgG = Faktor reumatoid).
Reaksi autoantigen-antibodi kompleks imun aktivitas sistem komplemen terjadi pelepasan biologik aktif terjadi reaksi inflamasi. Aktivitas sistem imun selular aktivitas mediator limfokin reaksi inflamasi. Reaksi inflamasi disertai proliferasi dan kerusakan jaringan sinovia.
Tahap lanjut
Fase kronis, mekanisme kerusakan jaringan lebih menonjol disebabkan respon imun selular karakteristik artritis rematoid kronik, adanya kerusakan tulang rawan, ligamen, tendo dan kemudian tulang. Kerusakan ini disebabkan oleh produk enzim dan pembentukan jaringan granulasi akibat aktivitas sistem imun selular. Sel limfosit, makrofag dan sinovia dapat mengeluarkan berbagai macam sitokin seperti kolagenase, prostaglandin serta plasminogen yang akan mengaktifkan sistem kalikrein dan kinin-bradikinin. Produk-produk ini akan menimbulkan reaksi inflamasi dan kerusakan jaringan.
Bentuk Klinis(Klasifikasi)
Tipe onset poliartritis : gejala artritis terjadi pada lebih 4 sendi, terbanyak pada sendi jari, biasanya simetris, dapat juga pada sendi lutut, pergelangan kaki dan siku.
Tipe onset oligoartritis : mengenai 4 sendi atau kurang (biasanya mengenai sendi besar) terutama didaerah tungkai.
Tipe onset sistemik : didapatkan demam intermiten dengan puncak tunggal
atau ganda > 39 0 C selama 2 minggu atau lebih muncul artritis. Biasanya disertai kelainan sistemik berupa ruam reumatoid serta kelainan viseral (hepatosplenomegali, serositis, limpadenopati).
Anamnesis -
Pemeriksaan fisik -
Kriteria Diagnosis Sendi yang terkena artritis terasa hangat dan biasanya tidak terlihat eritem. Secara klinis ditentukan dengan menemukan paling sedikit 2 gejala inflamasi gerakan sendi yang terbatas, nyeri atau sakit pada pergerakan dan panas. Pada anak kecil yang lebih menonjol adalah kekakuan sendi pada pergerakan terutama pagi hari.
Dipakai kriteria diagnosis menurut American Rheumatis Association (ARA),yaitu Usia penderita kurang dari 16 tahun
Artritis pada satu sendi atau lebih
Lama sakit lebih dari 6 minggu
Tipe onset penyakit :
- Poliartritis (> 4 sendi)- Oligoartritis (< 4 sendi)- Sistemik
Kemungkinan penyakit artritis lain dapat disingkirkan.
Gejala klinis yang menyokong kecurigaan ARJ : kaku sendi pada pagi hari, ruam reumatoid, demam intermiten, perikarditis, uveitis kronik, spondilitis servikal, nodul reumatoid, tenosinovitis. Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan antibodi antinuklear(ANA), faktor reumatoid (RF), serta peningkatan titer komplemen C3 dan C4
Langkah Diagnosis :
Lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik, diagnosis ARJ semata-mata berdasarkan klinis.
Pemeriksaan laboratorium/ penunjang untuk mendukung/ menyingkirkan diagnosis.
Tegakkan diagnosis dan identifikasi luasnya manifestasi klinis.
Differential diagnosis -
Pemeriksaan Penunjang
-
Tatalaksana Dasar pengobatan suportif bukan kuratif. Pengobatan secara terpadu untuk mengontrol manifestasi klinis dan mencegah deformitas dengan melibatkan dokter anak, ahli fisioterapi, latihan kerja, praktek sosial, bila perlu konsultasi pada ahli bedah dan psikiatri.
Medikamentosa :
Obat anti inflamasi non steroid (AINS)
- Asam Astil Salisat (AAS) dosis 75-90 mg/kgBB/hari peroral, dibagi3-4 dosis, diberikan bersama makanan, selama 1-2 tahun setelah gejala klinis menghilang.
- AINS lain : sebagian besar tidak boleh diberikan pada anak. Pemberiannya hanya untuk mengontrol nyeri, kekakuan dan inflamasi pada anak tertentu yang tidak responsif terhadap AAS atau sebagai pengobatan inisial, misalnya : Tolmetin : dosis inisial 20 mg/kgbb/hari, kemudian 15-30 mg/kgBB/hari dibagi 3-4 dosis, diberi bersama makanan atau antasid.
Naproksen 10-15 mg/ kgBB/hari dibagi 2 dosis.
Analgesik lain : Asetaminofen dosis 10-15 mg/kgBB/kali, setiap 4-6 jam sesuai kebutuhan, jangan diberikan lebih 5 kali perhari untuk mengontrol
nyeri atau demam terutama pada penyakit sistemik (pemberian > 10 hari memerlukan pengawasan yang ketat, tidak boleh diberikan untuk waktu lama karena dapat menimbulkan kelainan ginjal.
Obat anti rematik kerja lambat = Slow Acting Anti Rheumatic Drugs (SAARDs) hanya diberikan pada poliartristik progresif yang tidak menunjukkan perbaikan dengan AINS, contoh : Hidroksi klorokuin, garam emas (gold salt), Penisilamin dan sulfa salazin.
- Hidroksi klorokuin (dapat dipakai sebagai obat tambahan AINS), dosis 6-7 mg/kgBB/hari, setelah 8 minggu turunkan jadi 5 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis, jika setelah terapi 6 bulan tidak ada perbaikan obat dihentikan
- Garam emas bisa dipakai jika penderita tidak responsif terhadap pengobatan AAS/AINS lain setelah 6 bulan. Pengobatan dengan AAS/AINS lain diteruskan selama pemakaian garam emas. Preparat yang diapaki Gold sodium thiomalate dan auro thioglucose. Dipakai dosis awal 5 mg IM dan kemudian dosis ditingkatkan sampai 0,75-1 mg/kgBB/minggu (< 50mg). Jika remisi telah tercapai dalam 6 bulan diteruskan dengan dosis yang sama dengan injeksi tiap-tiap 2 minggu selama 3 bulan, kemudian setiap 3 minggu setelah 3 bulan, lalu setiap 4 minggu, diteruskan sampai beberapa tahun remisi. Preparat oral garam emas dipakai Auranofin : dosis dimulai 0,1-0,2 mg/kgBB/hari (maksimal 9 mg/hari), kemudian ditingkatkan 1 mg/kgBB/hari setiap 3 bulan sampai mencapai dosis maksimal 6 mg. Lama pengobatan dapat sampai beberapa tahun remisi.
- Penisilamin diberikan inisial 3 mg/kgBB/hari(< 250 mg/hari) selama 3 bulan, kemudian 6 mg/kgBB/hari (< 500 mg/hari) dalam 2 dosis selama 3 bulan, sampai maksimum10 mg/kgBB/hari, dalam 3-4 dosis terbagi selama 3 bulan. Dosis rumatan diteruskan selama 1-3 tahun.
- Sulfasalazin : dosis 30-50mg/kgBB/hari, dibagi 4-6 dosis, diberi bersama makan, jangan diberikan bersama antasid. Setelah tidak ada keluhan dosis diturunkan perlahan-lahan sampai 25 mg/kgBB/hari. Dapat digunakan beberapa tahun.
Kortikosteroid : jika gejala penyakit sistemik, uveitis kronis dan untuk pemberian obat secara parenteral termasuk intra artikuler. Penyakit sistemik yang tidak terkontrol : prednison 0,25-1 mg/kgBB/hari dosis tunggal, jika keadaan lebih berat dosis terbagi jika terjadi perbaikan klinis dosis diturunkan pelan-pelan, kemudian stop.
Imunosupresan : pada keadaan berat yang mengancam kehidupan dipakai metotreksat dosis inisial 5 mg/m2/minggu, jika respons tidak adekuat setelah 8 minggu pemberian, dapat dinaikan menjadi 10 mg/m2/minggu. Lama pengobatan adekuat 6 bulan.
Obat lain yang bisa dipergunakan adalah azatioprin, siklofosfamid dan klorambusil.
Edukasi -
Komplikasi dan Prognosis
Komplikasi
Gangguan pertumbuhan dan perkembangan akibat penutupan epifisis
Komplikasi akibat pengobatan steroid
Vaskulitis, ensefalitis, amiloidosis sekunder
Kelainan tulang dan sendi yang lain seperti angkilosis, luksasi atau fraktur.
Prognosis
70-90% sembuh tanpa kecacatan. 10% dapat terjadi cacat sampai dewasa.
Sebagian kecil sekali menjadi bentuk artritis reumatoid dewasa.
Prognosis kurang baik pada tipe onset sistemik atau poliartritis, atau disertai uveitis kronik, erosi sendi, fase aktif yang berlangsung lama, nodul reumatoid dan faktor reumatoid positif.
Angka kematian sangat rendah (2-4%), sering dihubungkan dengan gagal ginjal akibat amilodosis serta infeksi.
Daftar kepustakaan Buku Ajar Alergi-Imunologi Anak UI 2008
Lain-lain (Algoritme, Protokol, Prosedur,
Standing Order)
Evaluasi luas manifestasi klinis, periksa mata, terutama pada ARJ tipe oligoartritis dengan ANA (+) dan penderita yang mendapat terapi hidroksi klorokuin.
Untuk mempertahankan fungsi dan mencegah deformitas tulang dan sendi dilakukan fisio terapi di bagian URM.
Konsultasi kebagian bedah tulang untuk memperbaiki deformitas, memperbaiki pergerakan sendi.Indikasi pulangKlinis inaktif, komplikasi terdeteksi dan telah ditanggulangi.
DEPARTEMEN IKA RSMH PALEMBANG
PURPURA HENOCH-SCHONLEIN Kode ICD : D69.0
No Dokumen3
No. Revisi1
Halaman : 1-2
Panduan Praktek Klinis
Tanggal Revisi07 Oktober 2011
Ditetapkan Oleh,Ketua divisi Respirologi
Dr. Yusmala Helmi, SpA(K)
Definisiadalah sindroma klinis yang disebabkan oleh vaskulitis pembuluh darah kecil sistemik, yang ditandai dengan lesi kulit spesifik yang berupa purpura nontrombositopenik, artritis atau artralgia, nyeri abdomen atau perdarahan gastrointestinal dan kadang-kadang dengan nefritis. Nama lain : purpura anafilaktoid, purpura alergik atau vaskulitis alergik.
Etiologi Penyebab penyakit ini belum diketahui.
Faktor-faktor yang diduga berperanan: infeksi traktusrespiratorius bagian atas, obat-obatan, makanan dan imunisasi.
Patogenesis Deposit kompleks imun yang mengandung IgA dan aktivasi komplemen dan jalur alternatif mengakibatkan inflamasi pada pembuluh darah kecil di kulit, ginjal, sendi, dan abdomen sehingga terjadi purpura dikulit, nefritis, artritis, dan perdarahan gastrointeatinalis. Secara histologis tampak vaskulitis leukositoklatik.
Bentuk Klinis(Klasifikasi)
Manifestasi klinis yang khas adalah pada kulit, berupa : ruam makuloeritematosa, berlanjut menjadi purpura, tanpa adanya trombositopenia, terutama pada kulit bokong dan ekstremitas bagian bawah (pada 100% kasus) purpura lambat laun berubah menjadi ungu, kemudian coklat kekuning-kuningan, lalu menghilang, tetapi dapat rekuren. Gejala ini dapat disertai :
Angioedema pada muka (kelopak mata, bibir) pada 20% kasus, dan ekstremitas (punggung, tangan, kaki) pada 40 kasus,
Artralgria atau artritis migran mengenai sendi besar ekstremitas bawah, tidak menimbulkan deformitas yang menetap.
Nyeri abdomen dapat berupa kolik abdomen yang berat dan perdarahan gastrointestinalis pada 35-85% kasus, kadang-kadang dapat perforasi usus dan intususepsi ileoileal atau ileokolonal pada 2-3% kasus.
Hematuria atau nefritis (pada 20-50% kasus)
Anamnesis -
Pemeriksaan fisik -
Kriteria Diagnosis Gejala klinis yang spesifik yaitu ruam purpurik pada kulit, terutama di bokong dan ekstremitas bawah dengan satu atau lebih gejala berikut : nyeri obdema, atau perdarahan gastrointestinalis, artralgia atau artritis dan hematuria atau nefritis.
Langkah Diagnosis :
1. Lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik2. Lakukan pemeriksaan laboratorium dan penunjang untuk mendukung atau
menyingkirkan diagnosis. Hasil pemeriksaan laboratorium pada PHS tidak spesifik, jumlah trombosit normal atau meningkat, LED dapat meningkat, kadar komplemen normal, kadar IgA dalam darah limfosit yang mengandung IgA mungkin meningkat. Urin dan tinja dapat mengandung darah. Biopsi lesi kulit ada vaskulitis leukositoklastik. Imunofloresensi pada dinding pembuluh darah, pada deposit IgA dan komplemen.
3. Tegakkan diagnosis, identifikasi luasnya manifestasi klinis dan telusuri komplikasi.
Differential diagnosis -
Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaan laboratorium trombosit bisa normal atau meningkat, membedakan purpura yang disebabkan trombositopenia. Biasanya juga Eosinofilia. LED dapat meningkat, Kadar komplemen seperti C1q, C3, C4 dapat normal. Pemeriksaan kadar IgA dalam darah mungkin meningkat, demikian pula limfosit yang mengandung IgA. Analisa urin dapat menunjukkan hematuria, proteinuria maupun penurunan kreatinin klirens demikian pula pada feses dapat ditemukan darah.
Tatalaksana Suportif dan simptomatis. Kontrol nyeri dapat dengan analgesik seperti asetaminofen. Kortikosteroid diberikan jika ditemukan nyeri perut yang hebat, perdarahan saluran cerna, purpura yang persisten, adanya gangguan ginjal progresif (sindroma nefrotik, kerukan glomerulus), edema jaringan lunak yang hebat, gangguan SSP, dan perdarahan paru, dengan protokol :
- induksi dengan metilprednisolon 250-750 mg (IV) selama 3-7 hari + siklofosfamid 100-200 mg/hari (oral)
- maintenance predinson 100-200 mg (oral) siklosfosfamid 100-200 mg selama 30-75 hari
- Tappering off predinon 25 mg/bulan terapi selasai minimal dalam 6 bulan.Untuk pencegahan terjadinya nefritis dapat diberikan kortikosteroid dengan dosis 1-2 mg/kgBB/hari selama 7 hari, kemudian diturunkan perlahan-lahan selama 2-3 minggu. Gagal ginjal ditanggulangi sesuai SP. Jika akut abdomen konsul bedah.
Edukasi -
Komplikasi dan Prognosis
Komplikasi
Saluran cerna : perdarahan, intususepsi, infark usus.
Ginjal : gagal ginjal akut/kronis.
SSP : defiusit neurologik, kejang dan penurunan kesadaran.
Prognosis
Prognosis baik, dapat sembuh spontan beberapa hari atau beberapa minggu. 50% kasus dapat rekuren.
Nefritis kronis dapat terjadi pada 1% kasus.
Daftar kepustakaan Buku Ajar Alergi-Imunologi Anak Edisi kedua 2008
Lain-lain (Algoritme, Protokol, Prosedur,
Standing Order)
-.
DEPARTEMEN IKA RSMH PALEMBANG
LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK (LES) Kode ICD : L93.0
No Dokumen4
No. Revisi1
Halaman : 1-3
Panduan Praktek Klinis
Tanggal Revisi07 Oktober 2011
Ditetapkan Oleh,Ketua divisi Respirologi
Dr. Yusmala Helmi, SpA(K)
Definisi Lupus eritematosus sistemik adalah penyakit sistemik evolutif yang mengenai satu atau lebih organ tubuh, ditandai oleh inflamasi luas pada pembuluh darah dan jaringan ikat, bersifat episodik yang diselingi oleh periode remisi.
Etiologi Merupakan penyakit autoimun dengan berbagai faktor penyebab yang saling berkaitan : faktor genetik, faktor endokrin, faktor obat dan faktor infeksi. Jika salah satu faktor tidak ada, maka penyakit Lupus tidak akan muncul secara klinis.
Patogenesis Autoantibodi berikatan dengan autoantigen membentuk kompleks imun yang mengendap berupa depot dalam jaringan terjadi antivasi komplemen, terjadi reaksi inflamasi yang menimbulkan lesi di tempat tersebut.
Bentuk Klinis(Klasifikasi)
LES dapat menyerang semua organ, yang dapat muncul sendiri-sendiri atau bersama-sama. Manifestasi klinis pada masing-masing organ ini yang lazim adalah : Demam dan astenia merupakan gejala tersering. Kelainan kulit, berupa :- Ruam berbentuk sayap kukpu-kupu, (Butterfly rash) terdapat didaerah
muka (eritema malar) dapat berupa eritema simpel, atau erupsi makulopapel dengan squamasi halus berwarna kemerahan, erupsi dapat juga mengenai cuping hidung, pangkal hidung, daerah leher atau bahu yang terbuka, periorbaita, frontal atau darah telinga luar.
- Lupus discoid- Lesi vaskulitis (berupa eritem pada tangan, edema periungual,
makuloeritematosa kulit dan pulpa jari jemari).- Erupsi populoeritematosa disseminata non spesifik terutama dianggota
gerak, kulit fotosensitif, alopesia, non sikatrik, sindroma Raynaud. Kelainan selapaut mukosa : berupa ulserasi nasal dan oral. Kelainan sendi, tulang dan otot dapat berupa artritis, deformitas tangan,
tenosinovitis, artralgia, mialgia miositis lupus, serta osteonekrosis aseptik. Kelainan ginjal : ditandai dengan proteinuria, hematuria, sindrom nefrotik,
gagal ginjal. Kalsifikasi lupus nefritis: lupus nefritis mesangial, glomerulonefritis proliferatif fokal, glomerulonefritis proliferatif difus, glomerulonefritis membranosa.
Manifestasi neuropsikiatrik : psikosis, disorientasi delirium, atau dapat berhubungan dengan kelainan organik serebral.
Manifestasi hematologik : limfadenopati superfisial atau lebih dalam (mediatinum,intra abdomen), dapat juga terjadi splenomegali. Anemia: normokrom normositik dengan kapasitas pengikatan zat besi rendah dapat disertai skizositosis dan trombositopenia, leukopenia dan gangguan hemostatis.
Kelainan kardiovaskuler : perikarditis, miokarditis, hipertensi arterial. Kelainan saluran nafas : efusi pleura, dapat juga terjadi perdarahan alveolar
masif. Manifestasi gineko-obstetrik : amenore pada anak besar.
Kelainan sistem pencernaan : terjadi akibat vaskulitis seperti : perdarahan intestinal, prankreatitis, perforasi usus atau ulserasi hemoragis. Dapat terjadi diare karena infeksi saluran cerna. Perdarahan digestif karena pemberian obat (anti inflamasi), hepatitis dan dapat terjadi asites.
Ganguan pada mata : dapat mengenai semua struktur dan jalur saraf optik. Pada retina terdapat eksudat seperti kapas disertai perdarahan (Cotton Wool Spots), papilitis dan oklusi arteri sentralis (paling jarang), scotoma, gangguan penglihatan unilateral dan keratitis.
Anamnesis -
Pemeriksaan fisik -
Kriteria Diagnosis Dasar Diagnosis :Ditegakkan secara klinis dan laboratoris. Kriteria diagnosis yang paling bayak dianut adalah menurut American Rheumathism Association (ARA). Diagnosis LES ditegakkan bila terdapat paling sedikit 4 dari 11 kriteria ARA tersebut. 4 kriteria positif menunjukkan 90% sensitivitas dan 96% spesifisitas. Salah satu butir pernyataan cukup untuk memenuhi kriteria. Kriteria ARA ini terdiri dari : Eritema malar (Butterfly rash) Lupus discoid Fotosensitivitas Ulcerasi mukokutaneus oral dan nasal Artritis nonerosif Nefritis:, proteinuria > 0,5 g/24 jam, slinder dalam urine Ensefalopati, konfulsi, psikosis Pleuritis atau perikarditis sitopenia Imunoserlogi positif : antibodi antidouble starnded DNA, antibodi Antinuklear Sm, sel LE, serologi sifilis (positif palsu) antibodi Antinuklear positif.
Langkah Diagnosis1. Lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik untuk dapat mengidentifikasi
manifestasi klinis dan butir-butir kriteria ARA.2. Lakukan pemeriksaan laboratorium/ penunjang lain. Anjuran pemeriksaan laboratorium/ penunjang untuk LES :
Analisis darah tepi lengkap (darah besar dan LED) Sel LE antibodi Antinuklear (ANA) Anti ds DNA (anti DNA natif) Autoantibodi lain (anti SM, RF, anti fosfolid, antihiston, dll) Titer komplemen C3, C4 dan CH5O Titer IgM, IgG dan IgA Krioglobulin Masa pembekuan Uji coombs Elekroforesis protein Kreatin dan ureum darah Protein urine (total protein dalam 24 jam) Biakan kuman, terutama dalam urine Foto rontgen dada.
3. Tegakkan diagnosis berdasarkan kriteria ARA dan identifikasi luasnya manifestasi klinis.
4. Telusuri komplikasi.
Indikasi rawatSemua dirawat untuk menelusuri keterlibatan organ dan komplikasi
Differential diagnosis -
Pemeriksaan Penunjang
-
Tatalaksana Profilaksis mencegah keadaan yang dapat menginduksi gejala lupus seperti menghindari pemakaian obat tertentu, sinar matahari, kelelahan dll. Mencegah
infeksi dan mempertahankan fungsi organ tubuh secara optimal. Penatalaksanaan infeksi Salisilat untuk artralgia dan mialgia dosis 75-90 mg/kgBB/hari. (kontra
indikasi trombositopeina dan gangguan hemostasis). Antimalaria : untuk membantu penyapihan kortikosteroid untuk pengobatan
dermatitis lupus. Dipakai hidroksilorokuin dosis awal 6-7 mg/kgBB/hari dalam 1-2 dosis selama 2 bulan kemudian diturunkan menjadi 5 mg/kgBB/hari. Karena efektoksis pada mata maka harus dikonsul oftalmologik tiap 4-6 bulan.
Kortikosteroid : perapat yang dipakai adalah prednisolon atau prednison :- Dosis rendah : Kortikosteroid < 0,5 mg/kgBB/hari (untuk mengatasi gejala
klinis seperti demam, dermatitis,enteritis, efusi pleura dll)- Dosis tinggi : Kortikosteroid dengan dosis 1-2 mg/kgBB/hari : dosis inisial
dipertahankan 6-8 minggu berikan untuk mengatasi krisis lupus, gejala neurologis susunan syaraf pusat, anemia hemolitik akut dan beberapa bentuk nefritis tertentu
- Pada nefritis, dosis yang diberikan berdasarkan gambaran PA Nefritis mesangial : hanya diberi terapi simptomik Nefritis dengan kelainan glomerulus fokal : prednison dosis rendah 0,5
mg/kgBB/hari Untuk kelainan difus : dosis 1 mg/kgBB/hari Untuk membranosa : dosis tinggi disertai simptomatik dan siklofosfamid 1
mg/kgBB/hari.- Penyapihan : jika klinis membaik dan laboratorium dalam batas normal,
dimulai penyapihan bertahap (C3, C4 dan titer anti ds DNA, atau konversi negatif sel LE dan titer ANA). Patokan untuk penyapihan sebagai berikut : < 10 mg/hari : turunkan 0,5-1 mg tiap 2-4 minggu 10-20 mg/hari : turunkan 1-2,5 mg setiap minggu 20-60 mg/hari : turunkan 2,5-5 mg setiap mingguJika saat penyapihan gejala kambuh lagi, dosis dinaikan dengan 25-50% terapi saat itu dalam dosis terbagi yang di pertahankan bebarapa lama sebelu diputuskan untuk meneruskan penyapihan atau menaikan dosis kembali. Umumnya dengan dosis > 30 mg/hari masih diberikan dosis terbagi 2-3 kali sehari. Jika gejala telah terkontrol dengan dosis tunggal, dapat dicoba pemberian obat selang sehari.
- Terapi bolus : Terapi bolus (pulse therapy)diberikan pada keadaan darurat atau krisis lupus
dengan manifestasi akut, pada kasus tak terkontrol dan pada lupus nefritis proliferatif difus. Preparat : metil prednisolon 10-30 mg/kgBB/kali i.v.1-3 hari
- Diet Setiap pengobatan kortikosteroid selalu disertai diet rendah garam, rendah
gula, tidak mengandung gas, dengan restriksi cairan serta suplemen kalsium dan kalium.
Imunosupresan/sitostatika :Diberikan jika terdapat ganguan neurologik susunan syaraf pusat, nefritis tipe proliferasi difus dan membranosa, anemia hemolitik akut dan kasus yang resisten terhadap pemberian kortikosteroid. Dipakai : azatioprin oral : 1-2 mg/kgBB/hari atau siklofosfamid oral 1-2 mg/kgBB/hari dan untuk terapi bolus 500-750 mg/m2 iv setiap bulan, sampai 3 tahun.
Edukasi Awasi infeksi sekunder. Infeksi, timbul akibat efek kortikoterapi, akibat pemakaian imunosupresan atau akibat defisiensi imun akibat penyakit lupus.
Komplikasi dan Prognosis
Komplikasi Infeksi banyak terjadi pada stadium evolusi. Disamping akibat defisiensi imun,
juga berhubungan dengan pemakaian kortikosteroid dan imunosupresan. Akibat kerterlibatan visera : gagal ginjal, hipertensi maligna, ensefalopati,
perikarditis, sitopenia autoimun, dsb.
Prognosis Prognosis penyakit lupus telah membaik dengan angka survival untuk masa
10 tahun sebesar 90%. Penyebab kematian akibat komplikasi viseral : gagal ginjal, hipertensi
maligna, kerusakan SSP, perikarditis, infrak miokard, dan sitopenia auto imun infeksi.
Daftar kepustakaan Buku Ajar Alergi-Imunologi Anak Edisi kedua 2008
Lain-lain (Algoritme, Protokol, Prosedur,
Standing Order)
DEPARTEMEN IKA RSMH PALEMBANG
SINDROM STEVENS-JOHNSON Kode ICD : L51.1No Dokumen
5No. Revisi
1Halaman : 1-3
Panduan Praktek Klinis
Tanggal Revisi07 Oktober 2011
Ditetapkan Oleh,Ketua divisi Respirologi
Dr.Yusmala Helmi, SpA(K)
Definisi Sindrom Stevens-Johnson (SSJ) adalah suatu reaksi mukokutaneus akut yang ditandai makula eritema yang cepat meluas. Biasanya berbentuk target lesion dan kelainan pada lebih dari satu mukosa (mulut, konjungtiva, dan anogenital). Sering ditandai gejala konstitusional dan dapat mengancam kehidupan.
Etiologi Etiologi SSJ sukar ditentukan dengan pasti karena dapat disebabkan oleh berbagai faktor, walaupun pada umumnya sering dikaitkan dengan respons imun terhadap obat. Ada yang beranggapan bahwa sindrom ini merupakan eritema multiforme yang berat dan disebut eritema multiforme mayor. Beberapa faktor yang sering disebut sebagai penyebab SSJ di antaranya dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Faktor Penyebab timbulnya sindrom Stevens-Johnson Infeksi
Virus
Jamur
Bakteri
Parasit
Herpes simplex, Mycoplasma pneumoniae, vaksinia
Koksidioidomikosis, Histoplasma
Streptokokus, Staphylococcus, Haemolyticus, Mycobacterium tuberculosis, Salmonela
Malaria
Obat Salisilat, Sulfa, Penisilin, Etambutol, Tegretol, Tetrasiklin, Digitalis, Kontraseptif
Makanan Coklat
Fisik Udara dingin, sinar matahari, sinar X
Lain-lain Penyakit kolagen, keganasan, kehamilan
Patogenesis Patogenesis SSJ sampai saat ini belum jelas wlaupun sering dihubungkan dengan reaksi hipersensitifitas tipe III dan IV. Pada biopsi kulit beberapa kasus dapat ditemukan endapan IgM, IgA, C3 dan fibrin, serta kompleks imun beredar dalam sirkulasi.
Antigen penyebab berupa hapten akan berikatan dengan karier yang dapat merangsang respons imun spesifik sehingga terbentuk kompleks imun beredar. Hapten atau karier tersebut dapat berupa faktor penyebab (misalnya virus, partikel obat atau metabolitnya) atau produk yang timbul akibat aktivitas faktor penyebab tersebut (struktur sel atau jaringan sel yang rusak dan terbebas akibat infeksi, inflamasi atau proses metabolik). Kompleks imun beredar dapat mengendap di daerah kulit dan mukosa serta menimbulkan kerusakan jaringan akibat aktivasi komplemen dan reaksi inflamasi yang terjadi. Kerusakan jaringan dapat pula terjadi akibat aktivitas sel T serta mediator yang dihasilkannya. Kerusakan jaringan yang terlihat sebagai kelainan klinis lokal di kulit dan mukosa dapat pula disertai gejala sistemik akibat aktivitas mediator serta produk inflamasi lainnya.
Bentuk Klinis(Klasifikasi)
Keadaan umumnya bervariasi dari ringan sampai berat. Pada yang berat kesadarannya menurun, penderita dapat soporous sampai koma. Mulainya penyakit akut dapat disertai gejala prodromal berupa demam, malaise, batuk, koriza, sakit menelan, nyeri dada, muntah, pegal otot dan atralgia. Setelah itu akan timbul lesi kulit, mukosa dan mata yang dapat diikuti kelainan viseral .Pada sindrom ini terlihat adanya trias kelainan berupa:a. Kelainan kulit
Kelainan kulit dpat berupa eritema, papul, vesikel atau bula secara simetris berupa lesi kecil satu-satu atau kelainan luas pada hampir seluruh tubuh. Sering timbul perdarahan pada lesi menimbulkan gejala fokal berbentuk target, iris atau mata sapi. Predileksi pada area ekstensor tangan dan kaki serta muka yang meluas ke seluruh tubuh sampai kulit kepala. Pada keadaan lanjut terjadi erosi, ulserasi, kulit mengelupas dan pada kasus berat pengelupasan kulit dapat terjadi pada seluruh tubuh disertai paronikia dan pelepasan kuku.
b. Kelainan mukosaKelainan mukosa yang tersering adalah pada mukosa mulut (100%), kemudian disusul oleh kelainan di alat genital (50%), sedangkan di hidung dan anus jarang (masing-masing 8% dan 4%). Pada selaput mukosa dapat ditemukan vesikel, bula, erosi, ekskoriasi, perdarahan dan krusta berwarna merah. Kelainan di mukosa dapat juga terdapat di faring, traktus respiratorius bagian atas dan esofagus. Pada faring dapat terbentuk pseudomembran berwarna putih atau keabuan yang menimbulkan kesukaran menelan.
c. Kelainan mataKelainan mata merupakan 80% diantara semua kasus, yang tersering ialah konjungtivitis kataralis. Selain itu juga dapat berupa blefarokonjungtivitis, iritis, irdosiklitis, kelopak mata biasanya edema dan sulit dibuka. Pada kasus berat dapat terjadi erosi dan perforasi kornea.
Kelainan klinis SSJ biasanya timbul cepat dan menakutkan dengan keadaan umum yang berat, disertai demam, dehidrasi, gangguan pernapasan, muntah, diare, melena, pembesaran kelenjar getah bening dan hepatosplenomegali sampai pada penurunan kesadaran dan kejang.
Perjalanan penyakit tergantung dari derajat berat penyakitnya, dapat berlangsung beberapa hari sampai 6 minggu. Berbagai komplikasi dapat terjadi seperti ulkus kornea, simblefaron, miositis, mielitis, bronkopneumonia, nefritis, poliartritis atau septikemia.
Anamnesis -
Pemeriksaan fisik -
Kriteria Diagnosis Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan laboratorium. Anamnesis dan pemeriksaan fisik ditujukan terhadap kelainan yang sesuai dengan trias kelainan kulit, mukosa, mata serta hubungannya dengan faktor penyebab. Secara klinis terdapat lesi berbentuk target, iris, atau mata sapi, kelainan pada mukosa, demam dan hasil biopsi yang sesuai dengan SSJ
Differential diagnosis 1. Nekrolisis epidermal toksik (NET)Pada NET kelainan kulit yang utama adalah epidermis terlepas dari dasarnya (epidermolisis) yang menyeluruh. Tanda Nikolsky positif pada kulit yang eritematosa, yaitu jika kulit ditekan dan digeser, maka kulit akan terkelupas. Selain itu terbentuk eritema, vesikel, bula, erosi dan purpura seperti SSJ. Kelainan pada mata dan sekitar orifisium tidak selalu menyertai. Perbedaan lain ialah keadaan umumnya lebih buruk. Staphylococcus scalded skin syndrome
2. Biasanya timbul pada anak-anak pada lokalisasi tertentu. Berupa bula numular di leher, ketiak dan wajah. Juga terdapat epidermolisis tetapi selaput lendir jarang dikenai.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium ditujukan untuk mencari hubungannya dengan faktor penyebab serta untuk penatalaksanaan secara umum. Pemeriksaan yang rutin dilakukan
diantaranya adalah :Pemeriksaan darah tepi (leukosit, hitung jenis, hitung eosinofil total, LED). Leukosit biasanya normal atau sedikit meninggi, dan pada hitung jenis terdapat peninggian
eosinofil.1. Biakan kuman serta uji resistensi dari darah dan tempat lesi.2. Histopatologik biopsi kulit. Biasanya tidak diperlukan, bila diragukan gambaran
klinisnya dapat dilakukann biopsi dan pemeriksaan histopatologik untuk membedakan. Pada pemeriksan histopatologik dapat ditemukan gambaran nekrosis epidermis sebagian atau menyeluruh, edema intrasel di daerah epidermis, pembengkakan endotel, serta eritrosit yang keluar dari pembuluh darah dermis superfisial. Pemeriksaan imunofluoresen dapat memperlihatkan endapan IgM, IgA, C3 dan fibrin. Untuk mendapat hasil pemeriksaan imunofluoresen yang baik maka bahan biopsi kulit harus diambil dari lesi baru yang berumur kurang dari 24 jam.
Tatalaksana
o Rawat di PICUo Hentikan faktor penyebabo Antibiotika diberikan untuk mengatasi infeksi. Dipilih antibiotika yang jarang
menimbulkan alergi, berspektrum luas, bakterisidal dan tidak ada kontrainidkasi seperti: gentamisin 5mg/kgBB/hari dalam dua dosis, netromisin 4-6 mg/kgBB/hari.
o Topikal : - kulit : kompres NaCl 0,9% - mulut : kumur-kumur antiseptik - mata : lubrikasi dengan air mata buatan salep mata yang mengandung antibiotika o Infus/transfusi. Bila terdapat vesikel dan bula yang luas → infus darrow glukosa.
Bila terdapat purpura → bila perlu transfusi daraho Konsultasi dengan bagian lain sesuai kebutuhan /keadaan penderita (Mata,
THT) Edukasi -
Komplikasi dan Prognosis
Prognosis Pada kasus yang tidak berat prognosanya baik dan penyembuhan terjadi dalam waktu 2-3 minggu. Pada kasus berat dengan berbagai komplikasi atau dengan pengobatan terlambat dan tidak memadai, angka kematian berkisar antara 5-15%. Prognosis lebih buruk bila terdapat purpura yang luas. Kematian biasanya disebabkan oleh gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit, bronkopneumonia, serta sepsis.
Daftar kepustakaan Buku Ajar Alergi Imunologi UI 2008 Edisi kedua
Lain-lain (Algoritme, Protokol, Prosedur,
Standing Order)
-
DEPARTEMEN IKA RSMH PALEMBANG
INFEKSI HIV DAN AIDS PADA ANAK Kode ICD : B20.7
No Dokumen6
No. Revisi1
Halaman : 1-3
Panduan Praktek Klinis
Tanggal Revisi07 Oktober 2011
Ditetapkan Oleh,Ketua divisi Respirologi
Dr. Yusmala Helmi, SpA(K)
Definisi Penyakit Human Immunodeficiency Virus (HIV): adalah penyakit yang disebabkan oleh virus HIV, yang menyerang sel imun tubuh, sehingga terjadi gangguan sistem imun tubuh. Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) adalah penyakit yang menunjukkan adanya sindrom defisiensi imun seluler sebagai akibat infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV).
Etiologi HIV yaitu virus yang tergolong dalam keluarga retrovirus sub kelompok lenti virus. Ada 2 tipe yaitu HIV1 & HIV 2, yang walaupun strukturnya berbeda tapi gejala klinis yang ditimbulkannya sulit dibedakan. Antibodi yang terbentuk dari kedua virus ini dapat bereaksi silang.
Patogenesis HIV masuk sel melalui molekul CD4 pada permukaan sel seperti sel TCD4 dan sel makrofag terjadi penuruna jumlah dan gangguan fungsi sel TCD4 melalui efek sitopatik langsung dan efek sitopatik tidak langsung.Efek sitopatik langsung :- Lisis dan kematian sel TCD4 yang terjadi karena proses replikasi virus dalam
sel TCD4- Penimbunan DNA virus yang teridak terintegrasi ke genom host- Interaksi antara molekul Gp 120 HIV dan molekul CD4 intra sel- Hambatan maturasi sel precursor TCD4 di dalam timus sehingga sel tersebut
berkembang menjadi matur, sehingga sel TCD4 perifer menurun
Efek sitopatik tidak langsung :- Pembentukan sel sinsitia- Apoptosis sel T reaktif- Destruksi autoimun yang diinduksi HIV- Perubahan produksi sitokin sehingga menginduksi hambatan maturasi sel
prekursor TCD4 sehingga jumlah sel TCD4 perifer berkurangCara penularanPada bayi dan anak, penularan HIV melalui ibu hanil yang mengidap HIV, dapat juga terjadi intrapartum dan melalui ASI, transfusi darah yang mengandung HIV atau produk darah yang berasal dari donor yang mengandung HIV, jarums suntik yang tercemar HIV dan hubungan seksual dengan pengidap HIV.Faktor risiko untuk tertular HIV pada bayi dan anak adalah :- Bayi dari ibu dengan pasangan biseksual- Bayi dari ibu dengan pasangan berganti-ganti- Bayi dari ibu atau pasangannya penyalah guna obat intravena- Bayi atau anak yang mendapat tranfusi darah atau produk darah berulang-
ulang- Bayi atau anak yang terpapar denagn alat suntik atau tusuk bekas yang tidak
steril
Bentuk Klinis(Klasifikasi)
Bervariasi sesuai tahapan penyakit :- anak yang lahir dari ibu pengidap HIV- kategori N : asimptomatik- kategori A : simptomatik ringan- kategori B : simptomatik sedang- kategori C : simptomatik berat atau AIDS
Anamnesis -
Pemeriksaan fisik -
Kriteria Diagnosis
Dasar diagnosis- anamnesa adanya faktor risiko tertular HIV- gambaran klinis menunjukkan penuruan kekebalan- adanya antibodi IgG spesifik HIV
Langkah diagnosis- Skrining ibu hamil untuk HIV- Memantau bayi yang lahir dari ibu dengan infeksi HIV positif- Memantau bayi yang telah dikenal terinfeksi HIV- Diagnosis ditegakkan jika ditemukan antibodi HIV dalam serum penderita- Pada bayi baru lahir, jika antibodi HIV positif tanpa gejala, harus dilakukan
pemeriksaan ulang setiap 3 bulan sampai bayi berumur 15 bulan karena mungkin antibodi HIV diperoleh adri ibu secara pasif selama dalam kandungan.
- Diagnosis infeksi HIV pada bayi; adanya antibodi spesifik Ig A HIV, menemukan DNA HIV (dengan PCR), antigen P24 HIV pada darah bayi
- Pemeriksaan darah tepi : anemia, lekositopenia, limfopenia dan trombositopenia
- Limfosit CD4 menurun, CD8 meningkat sehingga rasio CD4/CD8 menurun- Fungsi sel T menurun respon proliferatif sel T terhadap antigen atau
mikrogen menurun, adanya anergiKadar imunoglobulin meningkat secara poliklonal. Tetapi meskipun terdapat hipergamaglobunemia, respon antibodi spesifik terhadap antigen baru, seperti respons terhadap vaksinasi difteri, tetanus dan hepatitis B menurun.
Indikasi rawatPenderita HIV atau AIDS dengan infeksi berat dan keganasan untuk mengatasi infeksi atau gejala simtomatos difteri, tetanus, dan hepatitis B menurun.
Differential diagnosis -
Pemeriksaan Penunjang
-
Tatalaksana - memperbaiki kondisi penderita untuk mencegah infeksi opotunistik, mengobati infeksi yang terjadi dan mencegah penularan infeksi HIV dari penderita kepada tenaga kesehatan, lingkungan dan teman-temannya.
- Pada penderita asimtomatik, dijelaskan bahwa penyakitnya dapat menulari orang sekitarnya, dapat berkembang menjadi berat dan juka penderita wanita dijelaskan bahwa jika hamil kemungkinan besar anaknya akan menderita HIV juga.
- Belum ada obat yang dapat menyembuhkan penyakit AIDS. Vaksin untuk pencegahan juga belum
- Upaya pengelolaan terhadap pasien AIDS : - suportif : gizi cukup, hidup sehat, mencegah terjadi infeksi - menanggulangi infeksi oportunistik, infeksi lain dan keganasan - menghambat replikasi HIV dengan obat antivirus sekarang dipakai golongan dideoksinukleotid, yaitu azidotimidin (AZT) dapat menghambat enzim RT dengan berintegrasi ke DNA virus sehingga tidak terjadi transkripsi DNA HIV. Dosis AZT: anak 3 bulan-12 tahun:
o oral : 90-180 mg/m2/kali tiap-tiap 6 jam (max 200 mg)o IV : kontinyu IVFD 0,5-1,8 mg/kg BB/jam Intermiten 10 mg/kg BB/m2/kali tiap 6 jam
- mengatasi dampak psikososial- penyuluhan pada keluarga tentang penularan HIV, perjalanan
penyakitnya dan tindakan apa yang dapat dilakukan secara medis
Edukasi Tindakan lanjut- Observasi keaadaan umum penderita, klinis dan laboratorium- Observasi munculnya komplikasi
Pencegahan :- Menghindari tingkah lakuseksual yang menyimpang pada anak remaja
- Mencegah kehamilan ibu yang sudah terinveksi HIV- Tidak menyuntik anak dengan jarum yang tercemar- Selektif terhadap donor darah, mereka yang berprilaku resiko tinggi
tertular HIV tidak dijadikan donor.
Komplikasi dan Prognosis
PrognosisPenyakit infeksi HIV berakibat fatal, 75% meninggal dalam 3 tahun sejak diagnosis AIDS ditegakkan.
Komplikasi - Komplikasi pada organ spesifik : Lymphocytic Interstitial pneumonitis
(LIP), gangguan susunan saraf pusat, gangguan pertumbuhan dan endokrinologi, gangguan gastrointestinal dan nutrisi, manifestasi hematologis dan keganasan.
- Infeksi : infeksi bakteri berulang, infeksi mikobakteria, virus protozoa, jamur dan infeksi pneumonitis karnii.
Daftar kepustakaan Buku Ajar Alergi Imunologi Edisi kedua UI 2008
Lain-lain (Algoritme, Protokol, Prosedur,
Standing Order)
-