sol intrakranial bab ii print

111
1 BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Space occupying lesion merupakan generalisasi masalah tentang adanya lesi pada ruang intrakranial khususnya yang mengenai otak. Penyebabnya meliputi hematoma, abses otak dan tumor otak (Ejaz butt, 2005). Proses desak ruang tidak saja memenuhi rongga tengkorak yang merupakan ruang tertutup, akan tetapi proses neoplasmatik sendiri dapat menimbulkan pendarahan setempat. Peningkatan tekanan intrakranial didefinisikan sebagai peningkatan tekanan dalam rongga kranialis. Ruang intrakranial ditempati oleh jaringan otak, darah, dan cairan serebrospinal. Setiap bagian menempati suatu volume tertentu yang menghasilkan suatu tekanan intrakranial normal. Peningkatan volume salah satu dari ketiga unsur utama mengakibatkan desakan ruang yang ditempati unsur lainnya dan menaikkan tekanan intrakranial. Hipotesis Monroe-Kellie memberikan suatu contoh konsep pemahaman peningkatan tekanan intrakranial (Price, 2005). Tumor otak merupakan penyebab sebagian besar dari space occupying lesion. Di Amerika di dapat 35.000 kasus baru dari tumor otak setiap tahun, sedang menurut

Upload: sherly-rorong

Post on 30-Oct-2014

394 views

Category:

Documents


54 download

TRANSCRIPT

Page 1: SOL Intrakranial BAB II Print

1

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Space occupying lesion merupakan generalisasi masalah tentang adanya

lesi pada ruang intrakranial khususnya yang mengenai otak. Penyebabnya

meliputi hematoma, abses otak dan tumor otak (Ejaz butt, 2005).

Proses desak ruang tidak saja memenuhi rongga tengkorak yang

merupakan ruang tertutup, akan tetapi proses neoplasmatik sendiri dapat

menimbulkan pendarahan setempat. Peningkatan tekanan intrakranial

didefinisikan sebagai peningkatan tekanan dalam rongga kranialis. Ruang

intrakranial ditempati oleh jaringan otak, darah, dan cairan serebrospinal.

Setiap bagian menempati suatu volume tertentu yang menghasilkan suatu

tekanan intrakranial normal. Peningkatan volume salah satu dari ketiga unsur

utama mengakibatkan desakan ruang yang ditempati unsur lainnya dan

menaikkan tekanan intrakranial. Hipotesis Monroe-Kellie memberikan suatu

contoh konsep pemahaman peningkatan tekanan intrakranial (Price, 2005).

Tumor otak merupakan penyebab sebagian besar dari space occupying

lesion. Di Amerika di dapat 35.000 kasus baru dari tumor otak setiap tahun,

sedang menurut Bertelone, tumor primer susunan saraf pusat dijumpai 10%

dari seluruh penyakit neurologi yang ditemukan di Rumah Sakit Umum

(Iskandar, 2002).

Menurut penilitian yang dilakukan oleh Rumah Sakit Lahore, Pakistan,

periode September 1999 hingga April 2000, dalam 100 kasus space

occupying lesion intrakranial, 54 kasus terjadi pada pria dan 46 kasus pada

wanita. Selain itu, 18 kasus ditemukan pada usia dibawah 12 tahun. 28 kasus

terjadi pada rentan usia 20-29 tahun, 13 kasus pada usia 30-39, dan 14 kasus

pada usia 40-49 (Ejaz butt, 2005).

Di Indonesia data tentang tumor susunan saraf pusat belum dilaporkan.

Insiden tumor otak pada anak-anak terbanyak dekade 1, sedang pada dewasa

pada usia 30-70 dengan pundak usia 40-65 tahun (Iskandar 2002).

Page 2: SOL Intrakranial BAB II Print

2

I.2 Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan referat ini adalah

Tujuan Umum

Untuk mengetahui definisi space occupying lesion intrakranial.

Untuk mengetahui patofisiologis yang disebabkan oleh space

occupying lesion intrakranial.

Untuk mengetahui macam-macam space occupying lesion

intrakranial.

Untuk mengetahui manifestasi klinis space occupying lesion

intrakranial.

Untk mengetahui penegakan diagnostis space occupying lesion

intrakranial.

Untk mengetahui penatalaksanaan keluhan dan gejala space

occupying lesion intrakranial.

Tujuan Khusus

Untuk menambah wawasan dan ilmu mengenai space occupying

lesion (SOL) intrakranial.

I.3 Manfaat Penulisan

Manfaat yang dapat diperoleh dari disusunnya referat ini adalah mampu

memberikan pengetahuan dan wawasan tentang space occupying lesion

(SOL) intrakranial bagi mahasiswa dan pembaca.

Page 3: SOL Intrakranial BAB II Print

3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.I Definisi Space Occupying Lesion

Space occupying lesion intrakranial (lesi desak ruang intrakranial)

didefinisikan sebagai neoplasma, jinak atau ganas, primer atau sekunder, serta

setiap inflamasi yang berada di dalam rongga tengkorak yang menyebabkan

peningkatan tekanan intrakranial dan menempati ruang di dalam otak. Space

occupying lesion intrakranial meliputi tumor, hematoma, dan abses (Ejaz

Butt, 2005).

II.2 Mekanisme Patofisiologi Space Occupying Lesion

Ruang intra kranial ditempati oleh jaringan otak, darah, dan cairan

serebrospinal. Ruang intra krnial dibatasi oleh tuang-tulang kranium sehingga

volume dari ruang tersebut relatif tetap. Kranium mempunyai sebuah lubang

keluar utama yaitu foramen magnum dan memiliki tentorium yang

memisahkan hemisfer serebral dari serebelum. Keseimbangan isi komponen

dalam ruang intra kranial diterangkan dengn konsep Doktrin Monro-Kellie.

Timbulnya massa yang baru di dalam kranium seperti neoplasma, akan

menyebabkan isi intrakranial normal akan menggeser sebagai konsekuensi

dari space occupying lesion (SOL) (Sumardjono,2004).

Isi ruang intra kranial adalah: (Sumardjono,2004).

1. Parenkhim otak, 1100-1200 gram, merupakan komponen paling besar,

kurang lebih 70%.

2. Komponen vaskuler, terdiri dari darah arteri, arteriole, kapiler, venula,

dam vena-vena besar 150 cc, kurang lebih 15-20%, tetapi kapasitas

variasi yang cukup besar.

3. Komponen CSS (Cairan Serebro Spinal) 150 cc, 15-20% pada keadaan

tertentu sangat potensial untuk pengobatan, karena CSS dapat

dikeluarkan.

Page 4: SOL Intrakranial BAB II Print

4

Sistem karotis dan sistem vertebrobasiler merupakan dua sistem arteria

terpisah yang mengalirkan darah ke otak, tetapi keduanya disatukan oleh

pembuluh-pembuluh anastomosis yang membentuk sirkulus arteriosus

Willisi. Arteri serebri posterior dihubungkan dengan arteri serebri media (dan

arteri serebri anterior) lewat arteri komunikan posterior. Kedua arteri serebri

anterior dihubungkan oleh arteri komunikan anterior sehingga terbentuk

lingkaran yang lengkap. Arteri-arteri ini merupakan penyelamat bilamana

terjadi perubahan tekanan arteri yang dramatis. Cabang-cabang sistem karotis

dan vertebrobasiler juga mempunyai pembuluh-pembuluh penghubung (Price

and Wilson, 2005).

Lingkaran Willis terbentuk ketika arteri karotis interna (AKI) memasuki

rongga tengkorak bilateral dan membagi ke dalam arteri serebri anterior

(ASA) dan arteri serebri tengah (AST). Arteri serebri anterior kemudian

disatukan oleh arteri komunikasi anterior (Akom). Koneksi ini membentuk

setengah anterior (sirkulasi anterior) dari lingkaran Willis. Arteri basilar,

dibentuk oleh arteri vertebralis kiri dan kanan, cabang ke arteri kiri dan kanan

arteri serebri posterior (ASP) dan membentuk sirkulasi posterior. Arteri

serebri posterior ini melengkapi lingkaran Willis dengan mengikuti sistem

karotis internal melalui arteri komunikan posterior (R Shane Tubbs,2011).

Dalam keadaan fisiologik, jumlah darah yang mengalir ke otak (CBF =

cerebral blood flow) ialah 50-60 ml per 100 gram jaringan otak permenit.

Jadi jumlah darah untuk seluruh otak, yang kira-kira beratnya antara 1200-

1400 gram adalah 700-840 ml permenit. Dari jumlah darah itu, satu

pertiganya disalurkan melalui susunan vertebrobasilar (Mahar Mardjono,

1989).

Pembuluh serebral menyesuaikan lumennya pada ruang lingkupnya

sedemikian rupa sehingga aliran darah tetap konstan, walaupun tekanan

perfusi berubah-ubah. Pengaturan lumen ini dinamakan autoregulasi.

Konstriksi terjadi apabila tekanan intralumen melonjak dan dilatasi jika

tekanan tersebut menurun. Reaksi dinding pembuluh darah terhadap fluktuasi

tekanan intalumental sangat cepat yaitu dalam beberapa detik (Mahar

Mardjono, 1989).

Page 5: SOL Intrakranial BAB II Print

5

Penurunan tekanan darah sistemik sampai 50 mmHg masih dapat berlalu

tanpa menimbulkan gangguan sirkulasi serebral. Tetapi jika tekanan darah

sistemik turun sampai dibawah 50 mmHg, autoregulasi serebral tidak mampu

menagan cerebral blood flow yang normal. Batas peningkatan tekanan darah

sistemik yang masih dapat ditanggulangi autoregulasi adalah 200mmHg

sistolik dan 110-120 mmHg diastolik. Jika tekanan darah sistemik lebih tinggi

dari batas atas tersebut, amak autoregulasi yang mengadakan vasokontriksi

dapat terjadi secara ekstrim sehingga timbul vasospasmus (Mahar Mardjono,

1989).

Gambar 1. Sirkulus Arteriosus Willisis(medscape,2011)

Cairan serebrospinal diproduksi terutama oleh pleksus koroideus

ventrikel lateral, tiga, dan empat. Dua pertiga atau lebih cairan ini berasal dari

sekresi pleksus di keempat ventrikel, terutama di kedua ventrikel lateral.

Saluran utama aliran cairan, berjalan dari pleksus koroideus dan kemudian

melewati sistem cairan serebrospinal. Cairan yang disekresikan di ventrikel

Page 6: SOL Intrakranial BAB II Print

6

lateral, mula-mula mengalir ke dalam ventrikel ketiga. Setelah mendapat

sejumlah cairan dari ventrikel ketiga, cairan tersebut mengalir ke bawah di

sepanjang akuaduktus Sylvii ke dalam ventrikel keempat. Cairan ini keluar

dari ventrikel keempat melalui tiga pintu kecil, yaitu dua foramen Luschka di

lateral dan satu foramen Magendie di tengah, dan memasuki sisterna magna,

yaitu suatu rongga cairan yang terletak di belakang medula dan di bawah

serebelum (Guyton, 2007).

Sisterna magna berhubungan dengan ruang subrakhnoid yang

mengelilingi seluruh otak dan medula spinalis. Cairan serebrospinal

kemudian mengalir ke atas dari sisterna magna dan mengalir ke dalam vili

arakhnoidalis yang menjorok ke dalam sinus venosis sagitalis besar dan sinus

venosus lainnya di serebrum (Guyton, 2007).

Gambar 2. Pembentukan Cairan Serebrospinal

(Guyton, 2007)

Setiap bagian pada ruang intrakranial menempati suatu volume tertentu

yang menghasilkan suatu tekanan intrakranial normal sebesar 50 – 200 mm

H2O atau 4 – 15 mm Hg. Ruang intrakranial adalah suatu ruangan baku yang

terisi penuh sesuai kapasitasnya dengan unsur yang tidak dapat ditekan: otak

(1400 g), cairan serebrospinal (sekitar 75 ml), dan darah (sekitar 75 ml).

Peningkatan volume pada salah satu dari ketiga unsur utama mengakibatkan

desakan ruang yang ditempati oleh unsur lainnya dan menaikkan tekanan

Page 7: SOL Intrakranial BAB II Print

7

intrakranial. Hipotesis Monroe-Kellie nenberikan suatu konsep pemahaman

peningkatan tekanan intrakranial. Teori ini menyatakan bahwa tulang

tengkorak tidak dapat meluas sehingga bila salah satu dari ketiga ruangannya

meluas, dua ruangan lainnya harus mengompensasi dengan mengurangi

volumenya (Price, 2005).

Gambar 3. Doktirn Monroe-Kellie(Sumardjono,2004)

Pada keadaan fisiologis normal volume intrakranial selalu dipertahankan

konstan dengan tekanan intrakranial berkisar 10-15 mmHg. Tekanan

abnormal apabila tekanan diatas 20 mmHg dan diatas 40 mmHg

dikategorikan sebagai peninggian yang parah. Peningkatan tekanan

intrakranial didefinisikan sebagai peningkatan tekanan dalam rongga

kranialis. Peningkatan tekanan intrakranial dapat disebabkan oleh beberapa

faktor yaitu bertambahnya massa dalam tengkorak, terbentuknya edema

sekitar tumor, dan perubahan sirkulasi cairan serebrospinal. Pertumbuhan

tumor akan menyebabkan bertambahnya massa karena tumor akan mendesak

ruang yang relatif tetap pada ruangan tengkorak yang kaku. Obstruksi vena

dan edema akibat kerusakan sawar darah otak dapat menimbulkan

peningkatan volume intrakranial dan tekanan intrakranial. Obstruksi sirkulasi

Page 8: SOL Intrakranial BAB II Print

8

cairan serebrospinal dari ventrikel lateralis ke ruangan subarakhnoid

menimbulkan hidrosefalus.

Gambar 4. Skema Faktor Peningkatan Tekanan Intrakranial

(Satyanegara, 2010)

Selain itu, penyebab peningkatan intrakranial adalah cedera otak yang

diakibatkan trauma kepala. Aneurisma intrakranial yang pecah dapat

menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial secara mendadak sehingga

mencapai tingkatan tekanan darah arteri untuk sesaat. Tingginya tekanan

intrakranial pasca pecah aneurisma sering kali diikuti dengan meningkatnya

kadar laktat cairan serebrospinal dan hal ini mengindikasi terjadinya suatu

iskhemia serebri. Tumor otak yang makin membesar akan menyebabkan

pergeseran CSS dan darah perlahan-lahan (Satyanegara, 2010).

Page 9: SOL Intrakranial BAB II Print

9

Gambar 5. Skema Proses Desak Ruang Yang menimbulkan

Kompresi Pada Jaringan Otak dan Pergeseran Struktur Tengah.

(Satyanegara, 2010)

Otak yang mengalami kontusio akan cenderung menjadi lebih besar, hal

tersebut dikarenakan pembengkakan sel-sel otak dan edema sekitar kontusio.

Sehingga akan menyebabkan space occypying lesion (lesi desak ruang) intra

kranial yang cukup berarti. Karena wadah yang tetap tetapi terdapat adanya

tambahan massa, maka secara kompensasi akan menyebabkan tekanan intra

kranial yang meningkat. Hal ini akan menyebabkan kompresi pada otak dan

penurunan kesadaran. Waktu terjadinya hal tersebut bervariasi antara 24-48

jam dan berlangsung sampai hari ke 7-10 (Sumardjono,2004).

Kenaikan TIK ini secara langsung akan menurunkan TPO (Tekanan

Perfusi Otak), sehingga akan berakibat terjadinya iskemia dan kematian. TIK

harus diturunkan tidak melebihi 20-25 mmHg. Bila TIK 40 mmHg maka

dapat terjadi kematian (Sumardjono,2004).

Page 10: SOL Intrakranial BAB II Print

10

Gambar 6. Hubungan Tekanan Intrakranial, Ruang Intrakranial dan isinya

(Sumardjono,2004)

II.3 Macam-Macam Space Occupying Lesion

1. Tumor Otak

Tumor otak atau tumor intrakranial adalah neoplasma atau proses

desak ruang (space occupying lesion) yang timbul di dalam rongga

tengkorak baik di dalam kompartemen supertentorial maupun

infratentorial (Satyanegara, 2010)

Keganasan tumor otak yang memberikan implikasi pada prognosanya

didasari oleh morfologi sitologi tumor dan konsekuensi klinis yang

berkaitan dengan tingkah laku biologis. Sifat-sifat keganasan tumor otak

didasari oleh hasil evaluasi morfologi makroskopis dan histologis

neoplasma, dikelompokkan atas kategori-kategori (Satyanegara, 2010):

a. Benigna (jinak)

Morfologi tumor tersebut menunjukkan batas yang jelas, tidak

infiltratif dan hanya mendesak organ-organ sekitar. Selain itu,

ditemukan adanya pembentukan kapsul serta tidak adanya

metastasis maupun rekurensi setelah dilakukan pengangkatan total.

Secara histologis, menunjukkan struktur sel yang reguler,

pertumbuhan la,a tanpa mitosis, densitas sel yang rendah dengan

Page 11: SOL Intrakranial BAB II Print

11

diferensiasi struktur yang jelas parenkhim, stroma yang tersusun

teratur tanpa adanya formasi baru.

b. Maligna (ganas)

Tampilan mikroskopis yang infiltratif atau ekspansi destruktur

tanpa batas yang jelas, tumbuh cepat serta cenderung membentuk

metastasis dan rekurensi pasca pengangkatan total.

Tumor otak menyebabkan timbulnya gangguan neurologik progresif.

Gangguan neurologik pada tumor otak biasanya disebabkan oleh dua

faktor, yaitu gangguan fokal akibat tumor dan kenaikan intrakranial (Price,

2005).

Gangguan fokal terjadi apabila terdapat penekanan pada jaringan otak

dan infiltrasi atau invasi langsung pada aprenkim otak dengan kerusakan

jaringan neural. Perubahan suplai darah akibat tekanan tumor yang

bertumbuh menyebabkan nekrosis jaringan otak. Gangguan suplai darah

arteri pada umumnya bermanifestasi sebagai hilangnya fungsi secara akut

dan gangguan serebrovaskular primer. Serangan kejang sebagai

manifestasi perubahan kepekaan neuron dihubungkan dengan kompresi,

invasi, dan perubahan suplai darah ke jaringan otak. Beberapa tumor

membentuk kista yang juga menekan parenkim otak sekitar sehingga

memperberat gangguan neurologis fokal (Price, 2005).

Klasifikasi tumor otak diawali oleh konsep Virchow berdasarkan

tampilan sitologinya dan dalam perkembangan selanjutnya dikemukakakn

berbagai variasi modifikasi peneliti-peneliti lain dari berbagai negara.

Klasifikasi universal awal dipeloporo oleh Bailey dan Cushing (1926)

berdasarkan histogenesis sel tumor dan sel embrional yang dikaitkan

dengan diferensiasinya pada berbagai tingkatan dan diperankan oleh

faktor-faktor, seperti lokasi tumor, efek radiasi, usia penderita, dan

tindakan operasi yang dilakukan. Sedangkan pada klasifikasi Kernohan

(1949) didasari oleh sistem gradasi keganasan di atas dan

menghubungkannya dengan prognosis (Satynegara, 2010).

Page 12: SOL Intrakranial BAB II Print

12

Tabel 1. Klasifikasi Tumor Otak Oleh Chusing dan Kernohan

Cushing Kernohan

Astrositoma

Oligodendroglioma

Ependioma

Meduloblastoma

Glioblastoma

multiforme

Pinealoma

(teratoma)

Ganglioneuroma

(glioma)

Neuroblastoma

Papiloma pleksus

khoroid

Tumor

“unclassified”

Astrositoma grade I

dan II

Oligodendroglioma

grade I−IV

Ependioma

Meduloblastoma

Astrositoma grade III

dan IV

Pinealoma

Neuroastrositoma grade

I

Neuroastrositoma grade

II−III

Tumor campur

Dikutip dari: Ilmu Bedah Saraf Satyanegara, 2010

a. Astrositoma

Astrositoma adalah kelompok tumor sistem saraf pusat primer yang

tersering. Astrositoma adalah sekelompok neoplasma heterogen yang

berkisar dari lesi berbatas tegas tumbuh lambat seperti astrositoma

pilositik hingga neoplasma infiltratif yang sangat ganas seperti

glioblastoma multiforme. Astrositoma berdiferensiasi baik biasanya adalah

Page 13: SOL Intrakranial BAB II Print

13

lesi infiltratif berbatas samar yang menyebabkan parenkim membesar dan

batas substansia grisea/substansia alba kabur (Vinay Kumar dkk, 2007).

Tumor ini pada umumnya tumbuh lambat. Oleh karena itu penderita

sering tidak datang berobat walaupun tumor sudah berjalan bertahun-tahun

sampai tumbul gejala (Price, 2005).

Gambar 7. Astrositoma

(Vinay Kumar dkk, 2007)

Gambar 8. MRI Anaplastik Astrositoma

(Satyanegara, 2010)

Page 14: SOL Intrakranial BAB II Print

14

b. Oligodendroglioma

Oligodendroglioma paling sering ditemukan pada masa dewasa dan

biasanya terbentuk dalam hemisferium serebri. Kelainan sitogenik yang

sering terjadi pada oligodendroglioma adalah hilangnya heterozigositas di

lengan panjang kromosom 19 dan lengan pendek kromosom 1. Secara

makroskopis, oligodendroglioma biasanya lunak dan galantinosa. Tumor

ini memiliki batas yang lebih tegas dibandingkan dengan astrositoma

infiltratif dan sering terjadi kalsifikias. Secara mikroskopis,

oligodendroglioma dibedakan dengan adanya sel infiltratif dengan nukleus

bulat seragam (Vinay Kumar dkk, 2007).

Prognosis untuk pasien dengan oligodendroglioma lebih sulit

diperkirakan. Usia pasien, lokasi tumor, ada tidaknya peningkatan kontras

dalam pemeriksaan radiografik, aktivitas proliferatif, dan karakteristik

sitogenik juga memiliki pengaruh pada prognosis (Vinay Kumar dkk,

2007).

c. Ependimoma

Ependioma dapat terjadi pada semua usia. Sebagian besar muncul di

dalam salah stu rongga ventrikel atau di daerah sentralis di korda spinalis.

Ependimoma intrakranial paling sering terjadi pada dua dekade pertama

kehidupan sedangkan lesi intraspinal terutama pada orang dewasa.

Ependioma intrakranial paling sering timbul di ventrikel keempat, tempat

tumor ini mungkin menyumbat CSS dan menyebabkan hidrosefalus dan

peningkatan tekanan intrakranial (Vinay Kumar dkk, 2007).

Ependimoma memiliki lesi yang berbatas tegas yang timbul dari

dinding ventrikel. Lesi intrakranial biasanya menonjol ke dalam rongga

ventrikuler sebagai massa padat, kadang-kadang dengan papilar yang jelas

(Vinay Kumar dkk, 2007).

Gambaran klinis ependimoma bergantung pada lokasi neoplasma.

Tumor intrakranial sering menyebabkan hidrosefalus dan tanda

peningkatan tekanan intrakranial. Karena lokasinya di dalam sistem

ventrikel, sebagian tumor dapat menyebar ke dalam ruang subarakhnoid

(Vinay Kumar dkk, 2007).

Page 15: SOL Intrakranial BAB II Print

15

Gambar 9. Ependimoma

(Vinay Kumar dkk, 2007)

d. Glioblastoma

Glioblastoma dapat timbul dengan masa yang berbatas tegas atau

neoplasma yang infiltratif secara difuse. Potongan tumor dapat berupa

masa yang lunak berwarna keabuan atau kemerahan, daerah nekrosis

dengan konsistensi seperti krim kekuningan, ditandai dengan suatu daerah

bekas perdarahan berwarna cokelat kemerahan. Dapat timbul dimana saja

tetapi paling sering terjadi di hemisfer otak dan sering menyebar ke sisi

kontralateral melalui korpus kalosum (Price, 2005).

Gambar 10. Glioblastoma

(Vinay Kumar dkk, 2007)

Page 16: SOL Intrakranial BAB II Print

16

Gambar 11. MRI Glioblastoma

(Satyanegara, 2010)

e. Meduloblastoma

Meduloblastoma merupakan neoplasma yang invasif dan bertumbuh

sangat cepat. Neoplasma ini sering ditemukan pada anak. Sekitar 20%

neoplasma otak pada anak adalah meduloblastoma (Arthur, 2012).

Pada anak, lokasi tersering meduloblastoma adalah di infratentorial, di

bagian posterior vermis serebeli dan atap ventrikel ke empat. Pada analisis

kromosom ditemukan hilangnya informasi genetik di bagian distal

kromosom 17, tepatnya di bagian distal dari regio yang mengkode protein

p53 pada sebagian besar pasien. Ini diduga bertanggung jawab terhadap

perubahan neoplastik dari sel-sel punca serebelum menjadi neoplasma

(Arthur, 2012).

Kebanyakan pasien berusia 4 – 8 tahun. Diagnosis rata-rata

ditegakkan 1 – 5 bulan setelah mulai muncul gejala. Gejala klinis yang ada

timbul akibat hidrosefalus obstruktif dan tekanan tinggi intrakranial.

Biasanya anak akan terlihat lesu, muntah-muntah, dan mengeluh nyeri

kepala terutama di pagi hari. Selanjutnya akan terlihat anak berjalan

seperti tersandung, sering jatuh, melihat dobel, dan mata menjadi juling.

Pada tahap ini biasanya baru dilakukan pemeriksaan neurologis yang

Page 17: SOL Intrakranial BAB II Print

17

secara khas akan memperlihatkan papiledema atau paresis nervus abdusens

(n. VI) (Arthur, 2012).

Gambar 12. Gambaran Skematik Meduloblastoma

(Netter’s Neurology, 2012)

f. Tumor Pleksus Khoroid

Tampilan mikroskopis tumor pleksus khoroid adalah berupa massa

dengan konsistensi lunak, vaskuler, ireguler yang berbentuk mirip dengan

kembang kol. Tumor ini cenderung berbentuk sesuai dengan kontur

ventrikel yang ditempatinya dan berekstensi melalui foramen-foramen ke

dalam ventrikel lain yang berdekatan atau ke dalam rongga subarakhnoid.

Tumor ini mendesak jaringan otak namun tidak menginvasinya (Vinay

Kumar dkk, 2007).

Presentasi gejala tumor ini biasanya berupa tanda-tanda peningkatan

tekanan intrakranial disertai gejala neurologis fokal. Tumor intraventrikel

IV dapat menimbulkan gejala nistagmus dan ataksia (Vinay Kumar dkk,

2007).

g. Meningioma

Meningioma merupakan tumor terpenting yang berasal dari meningen,

sel-sel mesotel, dan sel-sel jaringan penyambung arakhnoid dan dura.

Sebagian besar tumor bersifat jinak, berkapsul, dan tidak menginfiltrasi

jaringan sekitarnya, tetapi menekan struktur yang berada dibawahnya.

Tumor ini terletak di sekitar batang otak dan di dasar tengkorak.

Page 18: SOL Intrakranial BAB II Print

18

Pertumbuhan tumor ini lambat sehingga gejala dapat kurang diperhatikan

dan diagnosisnya salah. Gejala-gejalanya adalah epilepsi idiopatik,

hemiparesis, dan afasia (Price, 2005).

h. Pinealoma

Pinealoma hanyalah sebagian kecil dari lesi intrakranial dan

mencakup tumor-tumor yang berasal dalam korpus pinealis maupun dari

pleksus koroideus (papila koroideus) sekitarnya. Pinealoma menekan

akuaduktus (menyebabkan hidrosefalus obstruktif) dan juga hipotalamus.

Papila koroideus menyebabkan perdarahan intraventrikel dan juga

menyumbat sistem ventrikel (Price, 2005).

2. Hematom Intrakranial

a. Hematom Epidural

Fraktur tulang kepala dapat merobek pembuluh darah, terutama

arteri meningea media yang masuk dalam tengkorak melalui foramen

spinosum dan jalan antara durameter dan tulang di permukaan dalam os

temporale. Perdarahan yang terjadi menimbulkan hematom epidural.

Desakan dari hematom akan melepaskan durameter lebih lanjut dari

tulang kepala sehingga hematom bertambah besar (R. Sjamsuhidajat,

2004).

Hematom yang meluas di daerah temporal menyebabkan

tertekannya lobus temporalis otek ke arah bawah dan dalam. Tekanan

ini menyebabkan bagian medial lobus (unkis dan sebagian dari girus

hipokampus) mengalami herniasi di bawah tepi tentorium. Keadaan ini

menyebabkan timbulnya tanda-tanda neurologik (Price, 2005).

Kelainan ini pada fase awal tidak menunjukkan gejala atau tanda.

Baru setelah hematom bertambah besar akan terlihat tanda pendesakan

dan peningkatan tekanan intrakranial. Penderita akan mengalami sakit

kepala, mual, dan muntah diikuti dengan penurunan kesadaran. Gejala

neurologik yang teroenting adalah pupil mata anisokor yaitu pupil

ipsilateral melebar (R. Sjamsuhidajat, 2004).

Page 19: SOL Intrakranial BAB II Print

19

Gambar 13. Hematom Epidural

Keterangan : 1. Os temporal, 2. Duramater, 3. Hematom epidural, 4. Otak

terdorong kesisi lain

(R. Sjamsuhidajat, 2004)

b. Hematom Subdural

Hematom subdural disebabkan oleh trauma otak yang

menyebabkan robeknya vena di dalam ruang araknoid. Pembesaran

hematom karena robeknya vena memerlukan waktu yang lama. Oleh

karena hematom subdural sering disertai cedera otak berat lain, jika

dibandingkan dengan hematom epidural prognosisnya lebih jelek (R.

Sjamsuhidajat, 2004).

Hematom subdural dibagi menjadi subdural akut bila gejala timbul

pada hari pertama sampai hari ketiga, subakut bila timbul antara hari

ketiga hingga minggu ketiga, dan kronik bila timbul sesudah minggu

ketiga (R. Sjamsuhidajat, 2004).

Hematom subdural akut menimbulkan gejala neurologik yang

penting dan serius dalam 24 sampai 48 jam setelah cidera. Hematoma

sering berkaitan dengan trauma otak berat dan memiliki mortalitas yang

tinggi. Hematoma subdural akut terjadi pada pasien yang meminum

obat antikoagulan terus menerus yang tampaknya mengalami trauma

kepala minor. Cidera ini seringkali berkaitan dengan cidera deselarasi

akibat kecelakaan kendaraan bermotor. Defisit neurologik progresif

disebabkan oleh tekanan pada jaringan otak dan herniasi batang otak ke

Page 20: SOL Intrakranial BAB II Print

20

dalam foramen magnum yang selanjutnya menimbulkan henti nafas dan

hilangnya kontrol atas denyut nadi dan tekanan darah (Price, 2005).

Hematom subdural subakut menyebabkan defisit neurologik

bermakna dalam waktu lebih dari 48 jam tetapi kurang dari dua minggu

setelah cidera. Riwayat klinis yang khas pada penderita hematom

subdurak subakut adalah adanya trauma kepala yang menyebabkan

ketidaksadaran, selanjutnya diikuti perbaikan status neurologik yang

bertahap. Namun, setelah jangka waktu tertentu penderita

memperlihatkan tanda-tanda status neurologis yang memburuk. Tingkat

kesadaran menurun secara bertahap dalam beberapa jam. Meningkatnya

tekanan intrakranial akibat timbunan hematom yang menyebabkan

menjadi sulit dibangunkan dan tidak merespon terhadap rangsangan

vebral maupun nyeri. Peningkatan tekanan intrakranial dan pergeseran

isi kranial akibat timbunan darah akan menyebabkan terjadinya herniasi

unkus atau sentral dan timbulnya tanda neurologik akibat kompresi

batang otak (Price, 2005).

Awitan gejala hematoma subdural kronik pada umumnya tertunda

beberapa minggu, bulan bahkan beberapa tahun setelah cidera awal.

Pada orang dewasa, gejala ini dapat dikelirukan dengan gejala awal

demensia. Trauma pertama merobek salah satu vena yang melewati

ruang subdural sehingga terjadi perdarahan lambat ke dalam ruang

subdural. Dalam 7 sampai 10 hari setelah perdarahan, darah dikelilingi

oleh membran fibrosa. Terjadi kerusakan sel-sel darah dalam hematoma

sehingga terbentuk peredaan tekanan osmotik yang menyebabkan

tertariknya cairan ke dalam hematoma. Bertambahnya ukuran

hematoma ini dapat menyebabkan perdarahan lebih lanjut akibat

robekan membran atau pembuluh darah di sekelilinhnya sehingga

meningkatkan ukuran dan tekanan hematoma. Jika dibiarkan mengikuti

perjalanan alamiahnya, unsur-unsur kandungan hematom subdural akan

mengalami perubahan-perubahan yang khas. Hematoma subdural

kronik memiliki gejala dan tanda yang tidak spesifik, tidak terlokalisasi,

dan dapat disebabkan oleh banyak proses penyakit lain. Gejala dan

Page 21: SOL Intrakranial BAB II Print

21

tanda perubahan yang paling khas adalah perubahan progresif dalam

tingkat kesadaran termasuk apati, latergi, berkurangnya perhatian dan

menurunnya kemampuan untuk mempergunakan kecakapan kognitif

yang lebih tinggi (Price, 2005).

Gambar 14. Stadium Perjalanan Klinis Alami Hematom Subdural

(Price, 2005)

Hematom subdural akut secara klinis sukar dibedakan dengan

hematom epidural yang berkembang lambat. Hematom subdural akut

dan kronik memberikan gambaran klinis suatu proses desak ruang

(space occupying lesion) yang progresif sehingga tidak jarang dianggap

sebagai neoplasma atau demensia (R. Sjamsuhidajat, 2004).

Page 22: SOL Intrakranial BAB II Print

22

Gambar 15. Hematom Subdural

Keterangan : 1. Os temporal, 2. Duramater, 3. Hematom subdural, 4. Otak

terdorong kesisi lain

(R. Sjamsuhidajat, 2004)

c. Higroma Subdural

Higroma subdural adalah hematom subdural lama yang mungkin

disertai pengumpulan cairan serebrospinal di dalam ruang subdural.

Kelainan ini jarang ditemukan dan dapat terjadi karena robekan selaput

arakhnoid yang menyebabkan cairan serebrospinal keluar ke ruang

subdural. Gambaran klinis menunjukkan tanda kenaikan tekanan

intrakranial, sering tanpa tanda fokal (R. Sjamsuhidajat, 2004).

3. Abses Otak

Abses otak adalah kumpulan nanah yang dikelilingi oleh kapsul

fibrosa parenkim otak terutama disebabkan oleh penyebaran infeksi dari

fokus yang berdekatan atau melalui vaskular. Kebanyakan abses otak

terjadi karena diseminasi hematogen dari peradangan yang jauh, trauma,

pembedahan, ekstensi langsung dari sinusitis (Price, 2005).

Page 23: SOL Intrakranial BAB II Print

23

Gambar 16. Abses Otak

(Satyanegara, 2010)

Abses otak umumnya terjadi akibat masuknya organisme ke dalam

susunan saraf pusat akibat trauma kepala, prosedur operasi atau melalui

proses penyebaran langsung atau metastasis dari fokus-fokus infeksi.

Organisme yang paling sering dijumpai adalah golongan streptokokus

aerobik, stafilokokus, hemofilus, enterobakteria, serta pneumokokus

(Satyanegara, 2010).

Goodman mengemukakan empat sindrom kumpulan gejala untuk

abses otak (Satyanegara, 2010) :

a. Tipe I Masa Fokal Akut

Penderita kelompok ini memiliki gejala dan tanda proses desak

ruang dari suatu lesi massa intrakranial yang progresif dalam

beberapa hari bahkan sampai beberapa jam. Corak gejalanya sesuai

dengan lokasi abses seperti abses di lobus temporal. Gejala-gejala

tersebut disertai dengan demam yang tidak begitu tinggi, kesadaran

berkabut, sehingga kadang defisit neurologis yang masih ringan

sulit terdeteksi.

b. Tipe II Hipertensi Intrakranial

Gejala dan tanda gangguan neurologis yang berkaitan dengan

peninggian tekanan intrakranial seperti nyeri kepala, mual, muntah,

Page 24: SOL Intrakranial BAB II Print

24

penurunan kesadaran, gangguan daya ingat, dan perubahan

personalitas serta papiledema.

c. Tipe III Destruksi Difus

Gejala-gejala yang mengandung komponen destruksi yang

progresif seperti gangguan neurologis yang tak sesuai dengan

estimasi klinis dan keadaan intrakranialnya.

d. Tipe IV Defisit Neurologis Fokal

Gejala yang berkembang sedemikian lambatnya sehingga

sering kali diinterpretasi sebagai suatu neoplasma yang tumbuh

lambat.

Gambar 17. Gejala Fokal yang Terlihat pada Abses Otak

(Price, 2005)

4. Kontusio Serebri

Lesi kontusio bisa terjadi tanpa adanya dampak yang berat. Yang

penting untuk terjadinya lesi kontusio adalah adanya akselerasi kepala

yang seketika itu juga menimbulkan penggeseran otak serta

pengembangan gaya kompresi yang destruktif. Akselerasi yang kuat

berarti pula hiperekstensi kepala. Karena itu otak membentang batang

otak terlampau kuat, sehingga menimbulkan blokade reversibel terhadap

lintasan asendens retikularis difus. Akibat blokade itu otak tidak

mendapatkan input aferen dan karena itu kesadaran hilang selama

blokade reversibel berlangsung (Mahar Mardjono, 1989).

Page 25: SOL Intrakranial BAB II Print

25

Akibat gaya yang dikembangkan oleh mekanisme-mekanisme yang

beroperasi pada trauma kapitis tersebut, autoregulasi pembuluh darah

serebral terganggu, sehingga terdapat vasoparalisis. Tekanan darah

menajdi rendah dan nadi menjadi lambat. Pusat vegetatif ikut terlibat,

maka rasa mual, muntah dan gangguan pernafasan bisa timbul (Mahar

Mardjono, 1989).

II.4 Macam-Macam Keluhan dan Gejala yang Disebabkan oleh Space

Occupying Intracranial

II.4.1 Gejala Peningkatan Tekanan Intrakranial

Triad nyeri kepala, edema papil dan muntah secara umum

dianggap sebagai karakteristik peninggian tekanan intrakranial.

Namun demikian, dua pertiga pasien dengan lesi desak ruang

memiliki semua gambaran tersebut, sedang kebanyakan sisanya

umumnya dua. Simtomatologi peninggian tekanan intrakranial

tergantung pada penyebab daripada tingkat tekanan yang terjadi. Tak

ada korelasi yang konsisten antara tinggi tekanan dengan beratnya

gejala (Syaiful Saanin, 2012).

1. Nyeri Kepala

Sakit kepala merupakan gejala umum yang dapat sirasakan

pada tahap tumor intrakranial. Sifat sakit kepala tersebut berupa

nyeri berdenyut-denyuatau rasa penuh dikepala seolah-olah

kepala mau meledak. Kebanyakan struktur di kepala tidak

sensitif nyeri, ahli bedah saraf dapat melakukan kraniotomi

major dalam anestesia lokal karena tulang tengkorak dan otak

sendiri dapat ditindak tanpa nyeri. Struktur sensitif nyeri

didalam kranium adalah arteria meningeal media beserta

cabangnya, arteri besar didasar otak, sinus venosus dan bridging

veins, serta dura didasar fossa kranial. Peninggian tekanan

intrakranial dan pergeseran otak yang terjadi membendung

dan menggeser pembuluh darah serebral atau sinus venosus

serta cabang utamanya dan memperberat nyeri lokal. Nyeri

Page 26: SOL Intrakranial BAB II Print

26

yang lebih terlokalisir diakibatkan oleh peregangan atau

penggeseran duramater didaerah basal dan batang saraf sensori

kranial kelima, kesembilan dan kesepuluh. Nyeri kepala juga

disebabkan oleh spasme otot-otot besar didasar tengkorak. Ini

mungkin berdiri sendiri atau ditambah dengan reaksi refleks

bila mekanisme nyeri bekerja (Syaiful Saanin, 2012).

Nyeri kepala paling hebat dirasakan pada pagi hari, karena

selama tidur malam PCO2 serebral ,meningkat, sehingga

mengakibatkan peningkatan cerebral blood flow (CBF) dan

dengan demikian mempertinggi tekanan intrakranial. Lonjakan

tekanan intrakranial sejenak karena batuk, mengejan atau

berbangkis memperberat nyeri kepala (Mahar Mardjono, 1989).

2. Muntah

Ditemukan pada peninggian tekanan intrakranial oleh

semua sebab dan merupakan tampilan yang terlambat dan

diagnosis biasanya dibuat sebelum gejala ini timbul. Gejala ini

mungkin jelas merupakan gambaran dini dari tumor ventrikel

keempat yang langsung mengenai nukleus vagal. Setiap lesi

hampir selalu meninggikan tekanan intrakranial akibat

obstruksi aliran cairan serebrospinal dan mungkin tidak mudah

menentukan mekanisme mana yang dominan. Muntah sering

timbul pada pagi hari setelah bangun tidur. Hal ini disebabkan

oleh tekanan intrakranial yang menjadi lebih tinggi selama tidur

malam sehingga PCO2 serebral meningkat. Sifat muntah

penderita dengan tekanan intrakranial yang meninggi adalah

khas, yaitu proyektil dan tidak didahului oleh mual (Mahar

Mardjono, 1989).

3. Papila Oedema

Papila oedema menunjukkan adanya oedema atau

pembengkakan diskus optikus yang disebabkan oleh

peningkatan tekanan intrakranial yang menetap selama lebih

dari beberapa hari atau minggu. Oedema ini berhubungan

Page 27: SOL Intrakranial BAB II Print

27

dengan obstruksi cairan serebrospinal, dimana peningkatan

tekanan intrakranial pada selubung nervus optikus menghalangi

drainase vena dan aliran aksoplasmik pada neuron optikus dan

menyebabkan pembengkakan pada diskus optikus dan retina

serta pendarahan diskus. Papila oedema tahap lanjut dapat

menyebabkan terjadinya atrofi sekunder papil nervus optikus

(Syaiful Saanin, 2012).

II.4.2 Gejala Umum Space Occupying Lesion

a. Tumor

Gejala umum timbul karena peningkatan tekanan intrakranial

atau akibat infiltrasi difus dari tumor. Gejala yang paling sering

adalah sakit kepala, perubahan status mental, kejang, nyeri kepala

hebat, papil edema, mual dan muntah. Tumor maligna (ganas)

menyebabkan gejala yang lebih progresif daripada tumor benigna

(jinak). Tumor pada lobus temporal depan dan frontal dapat

berkembang menjadi tumor dengan ukuran yang sangat besar

tanpa menyebabkan defisit neurologis, dan pada mulanya hanya

memberikan gejalagejala yang umum. Tumor pada fossa posterior

atau pada lobus parietal dan oksipital lebih sering memberikan

gejala fokal dulu baru kemudian memberikan gejala umum

(Saanin, 2004, Bradley, 2000).

Tumor intrakranium pada umumnya dapat menyebabkan

(Saanin, 2004, Bradley, 2000):

1. Gangguan kesadaran akibat tekanan intrakranium yang

meninggi.

Gangguan kesadaran akibat peningkatan tekana

intrakranium dapat berakhir hingga koma. Tekanan

intrakranium yang meninggi dapat menyebabkan ruang

tengkorak yang tertutup terdesak dan dapat pula

menyebabkan perdarahan setempat. Selain itu, jaringan otak

sendiri akan bereaksi dengan menimbulkan edema, yang

Page 28: SOL Intrakranial BAB II Print

28

berkembang karena penimbunan katabolit di sekitar jaringan

neoplasmatik. Stasis dapat pula terjadi karena penekanan

pada vena dan disusuk dengan terjadi edema. Pada umumnya

tumor di fosa kranium posterior lebih cepat menimbulkan

gejala-gejala yang mencerminkan tekanan intrakranium yang

meninggi. Hal ini mungkin disebabkan karena aliran CSF

pada aquaductus yang berpusat di fosa kranium posterior

dapat tersebumbat sehingga tekanan dapat meninggi dengan

cepat.

Fenomena peningkatan tekanan intrakranium dapat

diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu :

a. Sindroma unkus atau sindroma kompresi diansefalon ke

lateral

Proses desak pertama kali terjadi pada bagian lateral

dari fosa kranium medial dan biasanya mendesak tepi

medial unkus dan girus hipokampus ke arah garis tengah

dan ke kolong tepi bebas daun tentorium. Karena

desakan itu, bukan diansefalon yang pertama kali

mengalami gangguan, melainkan bagian ventral nervus

okulomotoris. Akibatnya, pada awalnya akan kan terjadi

dilatasi pupil kontralateral barulah disusul dengan

gangguan kesadaran. Biasanya, setelah ini akan terjadi

herniasi tentorial, yaitu keadaan terjepitnya diansefalon

oleh tentorium. Pupil yang melebar merupakan cerminan

dari terjepitnya nervus okulomotoris oleh arteri serebeli

superior. Pada tahap berkembangnya paralisis

okulomotoris, kesadaran akan menurun secara progresif.

b. Sindroma kompresi sentral rostro-kaudal terhadap batang

otak

Suatu tumor supratentorial akan mendesak ruang

supratentorial dan secara berangsur-angsur akan

menimbulkan kompresi ke bagian rostral batang otak.

Page 29: SOL Intrakranial BAB II Print

29

Tanda bahwa suatu tumor supratentorial mulai

menggangu diansefalon biasanya berupa gangguan

perangai. Yang pertama-tama terjadi adalah keluhan

cepat lupa, tidak bisa berkonsentrasi dan tidak bisa

mengingat.

Pada tahap dini, kompresi rostro-kaudal terhadap

batang otak akan menyebabkan :

Respirasi yang kurang teratur

Pupil kedua sisi sempit sekali

Kedua bola mata bergerak perlahan-lahan ke

samping kiri dan kanan

Gejala-gejala UMN pada kedua sisi

Pada tahap kompresi rostro-kaudal yang lebih berat,

akan terjadi :

Kesadaran menurun sampai derajat paling rendah

Suhu badan mulai meningkat dan cenderung untuk

melonjak terus

Respirasi cepat dan bersuara mendengkur

Pupil yang tadinya sempit berangsur-angsur melebar

dan tidak lagi bereaksi terhadap sinar cahaya

c. Herniasi serebelum di foramen magnum

Herniasi ini akan menyebabkan jiratan pada medula

oblongata. Gejala-gejala gangguan pupil, pernafasan,

okuler dan tekanan darah berikut nadi yang menandakan

gangguan pada medula oblongata, pons, ataupun

mesensefalon akan terjadi.

2. Gejala-gejala umum tekanan intrakranium yang tinggi

Gejala umum timbul karena peningkatan tekanan

intrakranial atau akibat infiltrasi difus dari tumor. Gejala

yang paling sering adalah sakit kepala, perubahan status

mental, kejang, nyeri kepala hebat, papil edema, mual dan

Page 30: SOL Intrakranial BAB II Print

30

muntah. Tumor maligna (ganas) menyebabkan gejala yang

lebih progresif daripada tumor benigna (jinak). Tumor pada

lobus temporal depan dan frontal dapat berkembang menjadi

tumor dengan ukuran yang sangat besar tanpa menyebabkan

defisit neurologis, dan pada mulanya hanya memberikan

gejala-gejala yang umum. Tumor pada fossa posterior atau

pada lobus parietal dan oksipital lebih sering memberikan

gejala fokal dulu baru kemudian memberikan gejala umum

(Saanin, 2004, Bradley, 2000):

a. Sakit kepala

Pada penderita yang tumor serebrinya belum meluas,

mungkin saja sakit kepala belum dirasakan. Misalnya,

glioma pada tahap dini dapat mendekam di otak tanpa

menimbulkan gejala apapun. Sebaliknya, astrositoma

derajat 1 sekalipun dapat berefek buruk jika menduduki

daerah yang penting, misalnya daerah bicara motorik

Brocca.

Neoplasma di garis tengah fosa kranium posterior

(tumor infratentorial) dapat dengan cepat menekan

saluran CSS. Karena itu, sakit kepala akan terasa sejak

awal dan untuk waktu yang lama tidak menunjukkan

gejala defisit neurologik. Tumor infratentorial yang

berlokasi di samping (unilateral) cepat menimbulkan

gejala defisit neurologik akibat pergeseran atau atau

desakan terhadap batang otak. Maka dari itu, tuli sesisi,

vertigo, ataksia, neuralgia trigeminus, oftalmoplegia

(paralisis otot-otot mata) dan paresis (paralisis ringan)

perifer fasialis dapat ditemukan pada pemeriksaan.

Definisi “sakit kepala” dan “pusing” harus dapat

dibedakan dengan jelas. Pusing kepala biasanya

disebabkan oleh oftalmoplegia (yang menimbulkan

diplopia). Kombinasi pusing kepala ataupun sakit kepala

Page 31: SOL Intrakranial BAB II Print

31

dan diplopia harus menimbulkan kecurigaan terhadapa

adanya tumor serebri, terutama tumor serebri

infratentorial.

b. Kejang fokal

Kejang dapat timbul sebagai gejala dari tekanan

intrakranium yang melonjak secara cepat, terutama

sebagai gejala dari glioblastoma multiform. Kejang tonik

biasanya timbul pada tumor di fosa kranium posterior.

c. Gangguan mental

Gangguan konsentrasi, cepat lupa, perubahan

kepribadian, perubahan mood dan berkurangnya inisiatif

adalah gejala-gejala umum pada penderita dengan tumor

lobus frontal atau temporal. Gejala ini bertambah buruk

dan jika tidak ditangani dapat menyebabkan terjadinya

somnolen hingga koma. (4,9,10) Tumor di sebagian

besar otak dapat mengakibatkan gangguan mental,

misalnya demensia, apatia, gangguan watak dan serta

gangguan intelegensi dan psikosis. Gangguan emosi juga

akan terjadi terutama jika tumor tersebut mendesak

sistem limbik (khususnya amigdala dan girus cinguli)

karena sistem limbik merupakan pusat pengatur emosi.

d. Seizure

Adalah gejala utama dari tumor yang

perkembangannya lambat seperti astrositoma,

oligodendroglioma dan meningioma. Paling sering

terjadi pada tumor di lobus frontal baru kemudian tumor

pada lobus parietal dan temporal.

b. Abses Otak

Pada stadium awal gambaran klinik abses otak tidak khas,

terdapat gejala-gejala infeksi seperti demam, malaise, anoreksi dan

gejalagejala peninggian tekanan intrakranial berupa muntah, sakit

kepala dan kejang. Dengan semakin besarnya abses otak gejala

Page 32: SOL Intrakranial BAB II Print

32

menjadi khas berupa trias abses otak yang terdiri dari gejala

infeksi, peninggian tekanan intrakranial dan gejala neurologik

fokal. (Haslam, 2004 ; Goodkin, 2004)

Abses pada lobus frontalis biasanya tenang dan bila ada gejala-

gejala neurologik seperti hemikonvulsi, hemiparesis, hemianopsia

homonim disertai kesadaran yang menurun menunjukkan

prognosis yang kurang baik karena biasanya terjadi herniasi dan

perforasi ke dalam kavum ventrikel. (Haslam, 2004 ; Goodkin,

2004)

Abses lobus temporalis selain menyebabkan gangguan

pendengaran dan mengecap didapatkan disfasi, defek penglihatan

kwadran alas kontralateral dan hemianopsi komplit. Gangguan

motorik terutama wajah dan anggota gerak atas dapat terjadi bila

perluasan abses ke dalam lobus frontalis relatif asimptomatik,

berlokasi terutama di daerah anterior sehingga gejala fokal adalah

gejala sensorimotorik. Abses serebelum biasanya berlokasi pada

satu hemisfer dan menyebabkan gangguan koordinasi seperti

ataksia, tremor, dismetri dan nistagmus. Abses batang otak jarang

sekali terjadi, biasanya berasal hematogen dan berakibat fatal.

(Goodkin, 2004)

c. Kontusio Serebri

Timbulnya lesi kontusio di daerah-daerah dampak (“coup”)

“countrecoup” dan “intermediated”, menimbulkan gejala defisit

neurologik, yang bisa berupa refleks Babinski yang positif dan

kelumpuhan U.M.N. Setelah  penderita pulih kembali, si penderita

biasanya menunjukkan gambaran ”organic brain syndrom”.  Pada

pemeriksaan neurologik pada kontusio ringan mungkin tidak

dijumpai kelainan neurologik yang jelas kecuali kesadaran yang

menurun. Pada kontusio serebri dengan penurunan kesadaran

berlangsung berjam-jam pada pemeriksaan dapat atau tidak 

dijumpai defisit neurologik.  Pada kontusio serebri yang

berlangsung lebih dari enam jam penurunan kesadarannya biasanya

Page 33: SOL Intrakranial BAB II Print

33

selalu dijumpai defisit neurologis yang jelas. Gejala-gejalanya

bergantung pada lokasi dan luasnya daerah lesi. Keadaan klinis

yang berat terjadi pada perdarahan besar atau tersebar di dalam

jaringan otak, sering pula disertai perdarahan subaraknoid atau

kontusio pada batang otak. Edema otak yang menyertainya tidak

jarang berat dan dapat menyebabkan meningkatnya tekanan

intrakranial. (Mardjono,2010)

Tekanan intrakranial yang meninggi menimbulkan gangguan

mikrosirkulasi otak dengan akibat menghebatnya edema. Dengan

demikian timbullah lingkaran setan yang akan berakhir dengan

kematian bila tidak dapat diputus. (Chusid, 1990)

Pada perdarahan dan edema di daerah diensefalon  pernapasan

biasa atau bersifat Cheyne Stokes, pupil mengecil, reaksi cahaya

baik. Mungkin terjadi rigiditas dekortikasi yaitu kedua tungkai

kaku dalam sikap ekstensi dan kedua lengan kaku dalam sikap

fleksi pada sendi siku. (Chusid, 1990)

Pada gangguan di daerah mesensefalon dan pons bagian atas,

kesadaran menurun hingga koma, pupil melebar, refleks cahaya

tidak ada, gerakan mata diskonjugat, tidak teratur, pernapasan

hiperventilasi, motorik menunjukkan rigiditas deserebrasi dengan

keempat ekstremitas kaku dalam sikap ekstensi. (Chusid, 1990)

Pada lesi pons bagian bawah  bila nuklei vestibularis terganggu

bilateral, gerakan  kompensasi  bola mata pada gerakan kepala

menghilang. Pernapasan tidak teratur. Bila oblongata terganggu,

pernapasan melambat tak teratur, tersengal-sengal menjelang

kematian. (Chusid, 1990)

II.4.3 Gejala Lokal Space Occupying Lesion

Gejala lokal terjadi pada tumor yeng menyebabkan destruksi

parenkim, infark atau edema. Juga akibat pelepasan faktor-faktor ke

daerah sekitar tumor (contohnya : peroksidase, ion hydrogen, enzim

Page 34: SOL Intrakranial BAB II Print

34

proteolitik dan sitokin), semuanya dapat menyebabkan disfungsi

fokal yang reversibel (Saanin, 2004, Bradley, 2000).

1. Tumor di lobus frontalis / kortikal

Sakit kepala akan muncul pada tahap awal, sedangkan

muntah dan papiludema akan timbul pada tahap lanjutan.

Walaupun gangguan mental dapat terjadi akibat tumor di

bagian otak manapun, namun terutama terjadi akibat tumor di

bagian frontalis dan korpus kalosum. Akan terjadi kemunduran

intelegensi, ditandai dengan gejala “Witzelsucht”, yaitu suka

menceritakan lelucon-lelucon yang sering diulang-ulang dan

disajikan sebagai bahan tertawaan, yang bermutu rendah

(Saanin, 2004, Bradley, 2000).

Kejang adversif (kejang tonik fokal) merupakan simptom

lain dari tumor di bagian posterior lobus frontalis, di sekitar

daerah premotorik. Tumor di lobus frontalis juga dapat

menyebabkan refleks memegang dan anosmia (Saanin, 2004,

Bradley, 2000).

Tumor lobus frontal menyebabkan terjadinya kejang umum

yang diikuti paralisis post-iktal. Meningioma kompleks atau

parasagital dan glioma frontal khusus berkaitan dengan kejang.

Tanda lokal tumor frontal antara lain disartri, kelumpuhan

kontralateral, dan afasia jika hemisfer dominant dipengaruhi.

Anosmia unilateral menunjukkan adanya tumor bulbus

olfaktorius (Saanin, 2004, Bradley, 2000).

2. Tumor di daerah presentralis

Tumor di daerah presentralis akan merangsang derah

motorik sehingga menimbulkan kejang pada sisi kontralateral

sebagai gejala dini. Bila tumor di daerah presentral sudah

menimbulkan destruksi strukturil, maka gejalanya berupa

hemiparesis kontralateral. Jika tumor bertumbuh di daerah falk

serebri setinggi daerah presentralis, maka paparesis inferior

akan dijumpai (Saanin, 2004, Bradley, 2000).

Page 35: SOL Intrakranial BAB II Print

35

3. Tumor di lobus temporalis

Bila lobus temporalis kanan yang diduduki, gejala klinis

kurang menonjol. Kecuali, bila daerah unkus terkena, akan

timbul serangan “uncinate fit” pada epilepsi. Kemudian akan

terjadi gangguan pada funsgi penciuman serta halusinasi

auditorik dan afasia sensorik. Hal ini logis bila dikaitkan

dengan fungsi unkus sebagai pusat penciuman dan lobus

temporalis sebagai pusat pendengaran. Gejala tumor lobus

temporalis antara lain disfungsi traktus kortikospinal

kontralateral, defisit lapangan pandang homonim, perubahan

kepribadian, disfungsi memori dan kejang parsial kompleks

(Saanin, 2004, Bradley, 2000).

4. Tumor di lobus parietalis

Tumor pada lobus parietalis dapat merangsang daerah

sensorik. Jika tumor sudah menimbulkan destruksi strukturil,

maka segala macam perasa pada daerah tubuh kontralateral

yang bersangkutan tidak dapat dikenali dan dirasakan. Han ini

akan menimbulkan astereognosia dan ataksia sensorik. Bila

bagian dalam parietalis yang terkena, maka akan timbul gejala

yang disebut “thalamic over-reaction”, yaitu reaksi yang

berlebihan terhadap rangsang protopatik. Selain itu, dapat

terjadi lesi yang menyebabkan terputusnya optic radiation

sehingga dapat timbul hemianopsia Daerah posterior dari lobus

parietalis yang berdampingan dengan lobus temporalis dan

lobus oksipitalis merupakan daerah penting bagi keutuhan

fungsi luhur sehingga destruksi pada daerah tersebut akan

menyebabkan agnosia (hilangnya kemampuan untuk

mengenali rangsang sensorik) dan afasia sensorik, serta

apraksia (kegagalan untuk melakukan gerakan-gerakan yang

bertujuan walaupun tidak ada gangguan sensorik dan motorik).

Tumor hemisfer dominan menyebabkan afasia, gangguan

sensoris dan berkurangnya konsentrasi yang merupakan gejala

Page 36: SOL Intrakranial BAB II Print

36

utama tumor lobus parietal. Adapun gejala yang lain

diantaranya disfungsi traktus kortikospinal kontralateral,

hemianopsia/ quadrianopsia inferior homonim kontralateral

dan simple motor atau kejang sensoris (Saanin, 2004, Bradley,

2000).

5. Tumor pada lobus oksipitalis

Tumor pada lobus ini jarang ditemui. Bila ada, maka gejala

yang muncul biasanya adalah sakit kepala di daerah oksiput.

Kemudian dapat disusul dengan gangguan medan penglihatan.

Tumor lobus oksipital sering menyebabkan hemianopsia

homonym yang kongruen. Kejang fokal lobus oksipital sering

ditandai dengan persepsi kontralateral episodik terhadap

cahaya senter, warna atau pada bentuk geometri (Saanin, 2004,

Bradley, 2000).

6. Tumor pada korpus kalosum

Sindroma pada korpus kalosum meliputi gangguan mental,

terutama menjadi cepat lupa sehingga melupakan sakit kepala

yang baru dialami dan mereda. Demensia uga akan sering

timbul dosertai kejang tergantung pada lokasi dan luar tumor

yang menduduki korpus kalosum (Saanin, 2004, Bradley,

2000).

7. Tumor pada Ventrikel Tiga dan Regio Pineal

Tumor di dalam atau yang dekat dengan ventrikel tiga

menghambat ventrikel atau aquaduktus dan menyebabkan

hidrosepalus. Perubahan posisi dapat meningkatkan tekanan

ventrikel sehingga terjadi sakit kepala berat pada daerah frontal

dan verteks, muntah dan kadang-kadang pingsan. Hal ini juga

menyebabkan gangguan ingatan, diabetes insipidus, amenorea,

galaktorea dan gangguan pengecapan dan pengaturan suhu

(Saanin, 2004, Bradley, 2000).

Page 37: SOL Intrakranial BAB II Print

37

8. Tumor Batang Otak

Terutama ditandai oleh disfungsi saraf kranialis, defek

lapangan pandang, nistagmus, ataksia dan kelemahan

ekstremitas. Kompresi pada ventrikel empat menyebabkan

hidrosepalus obstruktif dan menimbulkan gejala-gejala umum

(Saanin, 2004, Bradley, 2000).

9. Tumor Serebellar

Muntah berulang dan sakit kepala di bagian oksiput

merupakan gejala yang sering ditemukan pada tumor

serebellar. Pusing, vertigo dan nistagmus mungkin menonjol

(Saanin, 2004, Bradley, 2000).

II.4.4 Gejala Lokal yang Menyesatkan

Gejala lokal yang menyesatkan ini melibatkan neuroaksis kecil

dari lokasi tumor yang sebenarnya. Sering disebabkan oleh

peningkatan tekanan intrakranial, pergeseran dari struktur-struktur

intrakranial atau iskemi. Kelumpuhan nervus VI berkembang ketika

terjadi peningkatan tekanan intrakranial yang menyebabkan

kompresi saraf. Tumor lobus frontal yang difus atau tumor pada

korpus kallosum menyebabkan ataksia (frontal ataksia) (Bradley,

2000).

Secara umum, tanda-tanda fisik yang dapat didiagnosis pada

tumor intrakranium (Bradley, 2000):

1. Papiledema (edema pada discus opticus) dapat timbul akibat

tekanan intrakranium yang meninggi atauapun karena penekanan

pada nervus optikus secara langsung. Papil akan terlihat berwarna

merah tua dan ada perdarahan di sekitarnya. Untuk melihat

papiledemea, dapat dilakukan funduskopi atau oftalmoskopi.

Karena ruang subarachnoid pada otak berlanjut hingga medula

spinalis, maka peningkatan tekanan intrakranial juga akan

tercermin pada ruang subarachnoid di medula spinalis. Pada

kedaan demikian, fungsi lumbal tidak boleh dilakukan dapat

Page 38: SOL Intrakranial BAB II Print

38

menyebabkan herniasi serebelum di foramen magnus yang dapat

mengkahiri kehidupan.

2. Pada anak-anak, tekanan intrakranium yang meningkat dapat

menyebabkan ukuran kepala membesar atau terenggannya sutura.

3. Tekanan intrakranium yang meninggi mengakibatkan iskemi dan

gangguan pada pusatpusat vasomorotik serebral, sehingga

menimbulkan bradikardi (melambatnya denyut jantung) atau

tekanan darah sistemik meningkat secara progresif.

4. Irama dan frekuensi pernapasan berubah. Kompresi pada batang

otak dari luar akan mempercepat pernafasan, sedangkan kompresi

sentral rostro-kaudal terhadap batang otak menyebabkan

pernafasan yang lambat namun dalam.

5. Bagian-bagian dari tulang tengkorak dapat mengalami destruksi.

Penipisan tulang biasanya disebabkan meningioma yang bulat,

sedangkan penebalan tulang sebagai akibat rangsang dari

meningioma yang gepeng.

II.5 Penegakan Diagnostik SOL Intrakranial

Untuk menegakkan diagnosis pada penderita yaitu melalui anamnesis,

pemeriksaan fisik neurologik yang teliti serta pemeriksaan penunjang. Dari

anamnesis kita dapat mengetahui gejala-gejala yang dirasakan oleh penderita

yang mungkin sesuai dengan gejala-gejala yang telah diuraikan di atas.

Misalnya ada tidaknya nyeri kepala, muntah dan kejang. Sedangkan melalui

pemeriksaan fisik neurologik ditemukan adanya gejala seperti edema papil

dan deficit lapangan pandang (Lombardo,2006, Thamburaj, 2008,

Eccher,2004 ).

Perubahan tanda vital pada kasus space occupying lesion intrakranial,

meliputi (Lombardo,2006, Thamburaj, 2008, Eccher,2004 ):

a. Denyut Nadi

Denyaut nadi relatif stabil selama stadium awal dari peningkatan ICP,

terutama pada anak-anak. Bradikardi merupakan mekanisme kompensasi

yang mungkin terjadi untuk mensuplai darah ke otak dan mekanisme ini

Page 39: SOL Intrakranial BAB II Print

39

dikontrol oleh tekanan pada mekanisme reflex vagal yang terdapat di

medulla. Apabila tekanan ini tidak dihilangkan, maka denut nadi akan

menjadi lambat dan irregular dan akhirnya berhenti.

b. Pernapasan

Pada saat kesadaran menurun, korteks serebri akan lebih tertekan

daripada batang otak dan pada pasien dewasa, perubahan pernafasan ini

normalnya akan diikuti dengan penurunan level dari kesadaran.Perubahan

pada pola pernafasan adalah hasil dari tekanan langsung pada batang otak.

Pada bayi, pernafasan irregular dan meningkatnya serangan apneu sering

terjadiantara gejala-gejala awal dari peningkatan tekanan intrakranial yang

cepat dan dapat berkembang dengan cepat ke respiratory arrest.

c. Tekanan Darah

Tekanan darah dan denyut nadi relatif stabil selama stadium awal dari

peningkatan tekanan intrakranial, terutama pada anak-anak. Dengan

terjadinya peningkatan tekanan intrakranial, tekanan darah akan meningkat

sebagai mekanisme kompensasi; Sebagai hasil dari respon Cushing,

dengan meningkatnya tekanan darah, akan terjadi penurunan dari denyut

nadi disertai dengan perubahan pada pola pernafasan. Apabila kondisi ini

terus berlangsung, maka tekanan darah akan mulai turun .

d. Suhu Tubuh

Selama mekanisme kompensasi dari peningkatan tekanan intrakranial

berlangsung, suhu tubuh akan tetap stabil. Ketika mekanisme

dekompensasi berubah, peningktan suhu tubuh akan muncul akibta dari

disfungsi dari hipotalamus atau edema pada traktus yang

menghubungkannya.

e. Reaksi Pupil

Serabut saraf simpatis menyebabkan otot pupil berdilatasi. Reaksi

pupil yang lebih lambat dari normalnya dapat ditemukan pada kondisi

yang menyebabkan penekanan pada nervus okulomotorius, seperti edema

otak atau lesi pada otak. Penekanan pada n. Oklulomotorius menyebabkan

penekanan ke bawah, menjepit n.Okkulomotorius di antara tentorium dan

herniasi dari lobus temporal yang mengakibatkan dilatasi pupil yang

Page 40: SOL Intrakranial BAB II Print

40

permanen. N. okulomotorius (III) berfungsi untuk mengendalikan fungsi

pupil. Pupil harus diperiksa ukuran, bentuk dan kesimetrisannya dimana

ketika dibandingkan antara kiri dan kanan, kedua pupil harus memiliki

ukuran yang sama. Normalnya, konstriksi pupil akan terjadi dengan cepat.

Pemeriksaan fisik neurologis dalam menegakan diagnosis

a. Pemeriksaan mata yaitu ukuran pupil, bentuknya dan reaksinya

terhadap cahaya,pemeriksaan visus dan lapang pandang

penglihatan serta pemeriksaan gerakan bola mata

b. Pemeriksaan funduskopi untuk menentukan oedema pada papil

nervus optikus atau atrofi papil nervus optikus et causa papil

odema tahap lanjut.

c. Pemeriksaan motorik yaitu gerak, kekuatan, tanus, trofi, refleks

fisiologi, reflek patologis, dan klonus.

d. Pemeriksaan sensibilitas.

Pemeriksaan Penunjang

Elektroensefalografi (EEG)

Elektroensefalografi (EEG) adalah tehnik untuk merekan aktivitas

elektrik otak melalui tengkorak utuh. Tindakan pemeriksaan ini aman

dan sama sekali tidak menyakiti orang yang diperiksa.

Elektroensefalografi dapat mengungkapkan tanda-tanda gangguan

fungsi otak fokal atau global, seperti disfungsi otak pada penderita

epilepsi, tumor serebri, infark, hemoragi, kontusia serebri, ensefalitis

dan berbagai keadaan psikiatrik (Mahar Mardjono, 1989).

Garis-garis besar tehnik perekaman adalah dengan elektroda yang

ditempelkan pada berbagai daerah tengkorak potensial permukaan

otak direkam. Perekaman ini berlalu terus menerus untuk episoda

beberapa menit. Hasilnya dicatat pada kertas yang berjalan. Kecepatan

jalannya kertas dapat diatur, sehingga kertas dapat berjalan 1,5 cm, 3

cm dan 6 cm perdetik. Viltasi yang direkam oleh galvanometer

dilakukan oleh alat pencatat, sehingga potensial tercatat dengan tinta

pada kertas yang berjalan berupa gelombang-gelombang. Ini

Page 41: SOL Intrakranial BAB II Print

41

dilakukan melalui alat amplifikasi supaya potensial otak sebesar 50

mikrovolt dapat diperbesar sehingga dapat menggerakkan pena

pencatat. Dengan memasang 16 elektroda pada tempat-tempat di

tengkorak, aktivitas seluruh otak dapat diselidiki (Mahar Mardjono,

1989).

Seluruh korteks serebri merupakan medan listrik yang diproduksi

pada ujung-ujung dendrit. Potensial neuron pada setiap waktu

berbeda, sehingga potensial dendritik pada korteks selalu berubah

juga. Fluktuasi potensi inilah yang tercatat pada kertas

elektroensefalografi dan dikelompokkan 4 jenis gelombang menurut

frekuensinya, yaitu (Mahar Mardjono, 1989):

1. Gelombang alfa, bersiklus 8-13 perdetik.

2. Gelombang beta, bersiklus lebih dari 13 perdetik.

3. Gelombang teta, bersiklus 4-7 perdetik.

4. Gelombang delta, bersiklus kurang dari 4 perdetik.

Gambar 18. Gambaran Gelombang Alfa, Beta, Teta, dan Delta

(Neurologi Klinis Dasar, 1989)

Proses desak ruang intrakranial mencakup tumor serebri, abses

serebri dan perdarahan di dalam ruang tengkorak. Sebuah lesi

struktural di otak yang agak akut pada salah satu hemisferium

biasanya menimbulkan gelombang delta pada tempat lesinya atau di

Page 42: SOL Intrakranial BAB II Print

42

daerah sekitarnya. Abses serebri biasanya membangkitkan aktivitas

delta dengan amplitudo yang tinggi (Mahar Mardjono, 1989).

Jenis proses desak ruang intrakranial lain yang dapat diungkapkan

oleh elektroensefalografi adalah hematoma subdural. Elektroda yang

merekan aktivitas korteks yang tertindih oleh hematoma subdural

memperlihatkan supresi dari gelombang alfa dan timbulnya

gelombang lambat yang tidak teratur (Mahar Mardjono, 1989).

Tumor serebri yang berada di fossa kranii posterior atau di jaringan

otak pada garis tengah yang terletak jauh dari permukaan otak,

biasanya tidak menimbulkan gambaran yang khas, yang diperlihatkan

elektriensefalografi dalam keadaan tersebut adalah letupan gelombang

teta atau delta secara paroksimal pada seluruh permukaan (Mahar

Mardjono, 1989).

Foto polos kepala

Pada Anak:

1. Sutura melebar

Pada umur 7 tahun sutura mulai mendekati dimana hal

ini mungkin terlihat setelah umur 14 atau 15 tahun. Keadaan ini

tidak terlihat setelah umur 25 atau 30 tahun.

Satura yang melebar ini terutama jelas terlihat pada

sutura koronaria dan sutura sagitalis serta jarang terlihat pada

sutura lambdoidea (Iskandar,2002).

2. Ukuran kepala yang membesar

Ukuran kepala yang membesar dijumpai pada:

• Ventrikel yang membesar

Pada hidrosefalus ditemukan ventrikel yang

membesar, misalnya disebabkan oleh suatu stenosis

aquaduktus Sylvii, Arnold Chiari Malfornation atau Dendy

Walker Cyst (Iskandar,2002).

• Ventrikel yang normal

Page 43: SOL Intrakranial BAB II Print

43

Dijumpai pada edem serebri, space ocuping lesion

dan megalencephaly (Iskandar,2002).

3. Craniolacunia

Craniolacunia adalah suatu gambaran menyerupai alur

yang berbentuk oval atau seperti jari pada tabula interns dengan

diantaranya terdapat bony ridge. Tanda ini terlihat pada

neonatus sampai bayi berumur 6 bulan. Keadaan ini

berhubungan dengan myelomeningocele, ecephalecele, stenosis

aquaductus sylvii dan arnold chiari malformation

(Iskandar,2002).

4. Erosi dorsum sellae

Pada anak-anak erosi dorsum sellae merupakan tanda

lanjut dari tekanan tinggi intrakranial. Untuk terjadinya erosi

dorsum sellae membutuhkan waktu beberapa minggu. Keadaan

ini hanya terlihat pada 30% kasus dengan tekanan tinggi

intrakranial. Jika erosi dorsum sellae tidak disertai dengan

sutura yang melebar, umumnya hal ini disebabkan oleh lesi

fokal pada daerah sella (Iskandar,2002).

5. Bertambahnya convolutional marking

Untuk suatu tekanan tinggi intrakranial bertambahnya

convolutional marking tidak dapat dipercaya. Dalam keadaan

normal keadaan ini bervariasi antara umur 4-10 tahun

(Iskandar,2002).

Pada dewasa

1. Erosi dorsum sellae

Pada orang dewasa biasanya terjadi erosi dorsum sellae

dan merupakan gambaran yang khas. Pada tekanan tinggi

intrakranial yang lama seluruh dorsum sellae mungkin tidak

jelas terlihat. Sebenarnya erosi prossesus posterio dan dorsum

sellae disebabkan oleh tekanan dari dilatasi ventrikel III dan

pada umumnya ditemukan pada penderita dengan tumor pada

Page 44: SOL Intrakranial BAB II Print

44

fossa posterior dan hidrosefalus. Erosi sellae oleh karena

tekanan tinggi intrakranial harus dibedakan dari lesi destruksi

lokal. Selain daripada adenoma pituitaria yang terdiri atas

meningioma, chordoma, craniopharyngioma dan aneurisma

(Iskandar,2002).

2. Pergeseran kelenjar pineal

Pada proyeksi Towne dengan kualitas filma yang baik,

kelenjar pineal terlihat terletak di garis tengah. Jika terjadi

pergeseran dari kalsifikasi kelenjar pineal lebih dari 3 mm pada

satu sisi garis tengah,menunjukkan adanya massa intrakranial.

Pada umumnya sebagai penyebabnya adalah tumor

intrakranial, tetapi lesi seperti subdural hematom dan massa

non neoplastik dapat menyebabkan hal yang sama

(Iskandar,2002).

3. Kalsifikasi Patologi

Pada space occupying lession dapat terlihat adanya

kalsifikasi yang patologik. Keadaan ini terlihat dengan

gambaran radiologik kira-kira pada 5%-10% kasus

(Iskandar,2002).

Arteriografi

Arteriografi karotis dan vertebralis merupakan metode radiologik

dengan jalan pembuatan foto rontgen pembuluh-pembuluh darah

intrakranial setelah arteri karotis atau arteri vertebralis diisi dengan

substansi radio-opak. Yang umum digunakan adalah hypaque 50%.

Sebanyak 30 sampai 40 mL, hypaque disuntikkan dengan tekanan

yang cukup besar untuk dapat disemprotkan di dalam arteri karotis

interna atau arteri vertebralis. Dengan demikian, bentuk dan

perjalanan cabang-cabang arteri karotis interna atau arteri basilaris

dapat divisualisasika pada doto-rontgen. Oleh karena susunan

pembuluh darah yang divisualisasikan oleh arteriografi (angiogram)

karotis dan vertebral, maka pemeriksaan ini dikerjakan dengan

Page 45: SOL Intrakranial BAB II Print

45

maksud untuk mendapatkan informasi yang mengungkapkan kelainan

pada susunan vaskular. Kelainan tersebut dapat bersifat gangguan

intraluminal (obstruksi, dilatasi patologik seperti aneurisma,

malformasi vaskular0 atau gangguan ekstravaskular yang menggeser,

menarik dan menekan suatu pembuluh darah setempat (Mahar

Mardjono, 1989).

Letak, bentuk dan perjalanan cabang-cabang arteri karotis interna

pada orang yang sehat menunjukkan variasi yang berarti. Pada arteri

karotis interna lateral tampak arteri oftalmika sebagai cabang kecil

pertama dari arteri karotis interna pada sifon bagian tengahnya.

Setinggi itu arteri serebri posterior meninggalkan karotis interna dari

belakang. Pada ujung arteri karotis terlihat cabang-cabang yang

menuju ke depan yaitu arteri serebri anterior yang kemudian

memberikan cabang yang dinamakan arteri kalosomarginalis dan

arteri perikalosa. Ke dorsal dan sentral ujung arteri karotis interna

memberikan cabang-cabang yang dinamakan arteri kelompok Sylvius

dimana yang terbesar dikenal sebagai arteri serebri media dan yang

berukuran sedang dikenal dengan arteri temporalis media dan arteri

tempralis posterior. Di bawah pangkal arteri kelompok Sylvius terlihat

arteri koroidea yang berinduk pada dinding belakang arteri karotis

interna (Mahar Mardjono, 1989).

Page 46: SOL Intrakranial BAB II Print

46

Gambar 19. Arteriografi Karotis Lateral yang Normal

(Mahar Mardjono, 1989)

Pada arteriogram karotis dengan proyeksi pemotretan

anterioposterior dapan dipelajari cabang-cabang besar arteri karotis

interna. Arteri serebri anterior berjalan tepat di garis tengah dan sifon

karotis berada dipangkalnya. Kelompok sifon karotis ke arah tempral

terdiri dari cabang-cabang kelompok Sylvius. Arteriogram vertebralis

lebih sukar untuk dipelajari. Namun, cabang arteri masih dapat

dikenali (Mahar Mardjono, 1989).

Page 47: SOL Intrakranial BAB II Print

47

Gambar 20. Arteriografi karotis Anterior yang Normal

(Mahar Mardjono, 1989)

Gambar 21. Arteriogram Vertebralis

(Mahar Mardjono, 1989)

Page 48: SOL Intrakranial BAB II Print

48

Perjalanan arteri yang patologik diberi julukan yang

menggambarkan polanya. Tanda memegang (grasping sign) adalah

pola cabang-cabang arteri yang seolah-olah memegang tumor. Tanda

yang dulukis sebagai draping sign atau tanda menudungi adalah

perjalan cabang arteri yang seolah-olah menuduni tumor (Mahar

Mardjono, 1989).

Bila terdapat tumor yang mendesak pangkal cabang-cabang arteri

tertentu, maka sudut yang terbentuk oleh cabang-cabang arteri

emnjadi runcing seolah-oleh cabang tersebut hendak memasuki

terowongan. Tanda yang terlukis dinamakan telescoping of the blood

vessels atau penguncupan cabang-cabang pembuluh darah. Tumor

serebri dapat menyisihkan pembuluh darah ke samping, sehingga

cabang-cabang pembuluh darah yang bersangkutan terbentang. Tanda

ini dikenal dengan spread-out blood vessels. Pada penyumbatan arteri,

cabang-cabang distal dari obstruksi itu tidak tampak (Mahar

Mardjono, 1989).

Gambar 22. Arteriogram karotis Normal dengan Contoh-Contoh

Arteriogram Berpola Abnormal

(Mahar Mardjono, 1989)

Page 49: SOL Intrakranial BAB II Print

49

Berbagai neoplasma menimbulkan vaskularisasi baru disaerahnya.

Bila pembuluh-pembuluh darah baru halus, maka suatu tempat radio-

opak akan terlihat yang dinamakan blush. Tanda tersebut lebih

mengarah kepada meningioma daripada glioblastoma. Tetapi, baik

apda meningioma maupun glioblastoma dapat dijumpai pembuluh-

pembuluh baru yang ukurannya lebih besar daripada kapilar sehingga

banyak pembuluh darah tampak sebagai garis yang berliku-like.

Malformasi pembuluh darah serebral akan tampak sebagai pembuluh

darah yang berdiameter luar biasa besar (Mahar Mardjono, 1989).

Gambar 23. Pola Arteriogram Karotis Normal dengan Contoh-

Contoh Arteriogram Karotis Malformasi Arterio-Venous dan

Tumor Serebri

(Mahar Mardjono, 1989)

Pada hematoma subdural, sesuai dengan lokalisasi perdarahan,

akan tampak pendesakan arteri serebri anterior, arteri serebri media

maupun deep vein. Kadang-kadang ditemukan lesi yang luas, tetapi

pendesakan arteri serebri anterior, arteri serebri media dan vena

serebri interna sangat sedikit, maka harus dilakukan angiografi sisi

kontralateral. Membedakan hematoma epidural dan hematoma

Page 50: SOL Intrakranial BAB II Print

50

subdural pada angioma sering sulit. Jika arteri meningea media

terdesak kearah median (ke dalam), maka diagnosis hematoma

epidural bisa ditegakkan (Sjahriar Rasad, 2009).

Computerized Tomografi (CT Scan)

CT Scan merupakan pemeriksaan yang aman dan tidak invasif serta

mempunyai ketepatan yang tinggi. Masa tumor menyebabkan kelainan

pada tulang tengkorak yang dapat berupa erosi atau hiperostosis,

sedang pada parenkhim dapat merubah struktur normal ventrikel, dan

juga dapat menyebabkan serebral edem yang akan terlihat berupa

daerah hipodensiti. Setelah pemberian kontrast, akan terlihat kontrast

enhancement dimana tumor mungkin terlihat sebagai daerah

hiperdensiti (Iskandar,2002).

Kelemahan CT Scan menurut Davuis (1976) kurang mengetahui

adanya tumor yang berpenampang kurang dri 1,5 cm dan yang terletak

pada basis kranii (Iskandar,2002).

1. CT Scan yang Memperlihatkan Tumor

Perbedaan antara jaringan tumor yang saru dengan yang

lainnya terungkap pleh CT scan, sehingga variasi densitas yang

menggambarkan suatu jenis tumor mengungkapkan cirinya.

Densitas gambat CT scan dapat diperjelas dengan penyuntikan

kontras, yang dalam jargon radiologik dikenal sebagai

enchancement (Mahar Mardjono, 1989).

Glioma memperlihatkan kepadatan yang rendah yang bereaksi

positif pad enchancement. Ependimoma menunjukkan kepadatan

yang rendah tapi kepadatannya tergantung sifat keganasannya.

Yang ganas memperlihatkan kepadatan yang tinggidengan reaksi

terhadap enchancement yang positif (Mahar Mardjono, 1989).

Meningioma memperlihatkan kepadatan yang tinggi dan dapat

memperlihatkan gambaran khas, oleh karena bagian pusatnya

menunjukkan kepadatan yang rendah yang mengungkapkan adanya

jaringan nekrotik.

Page 51: SOL Intrakranial BAB II Print

51

Gambar 24. Meningioma

(Sjahriar Rasad, 2009)

2. CT Scan yang Memperlihatkan Hematoma

Hematoma epidural tampak area hiperdens berbatas tegas,

bentuk bikonveks melekat pada tabula interna dan mendesak

ventrikel sisi kontralateral. Lokasi yang paling sering dikenai

adalah tempral, frontal atau fossa posterior (Sjahriar Rasad, 2009).

Gambar 25. Hematoma Epidural

(Sjahriar Rasad, 2009)

Hematoma subdural terlihat sebagai bentuk lensa dengan

kepadatan yang tinggi. Hematoma subdural akut berbentuk sebagai

Page 52: SOL Intrakranial BAB II Print

52

arit dan batasnya berliku-liku yang berhubungan dengan lesi

kontusio. Hematoma sundural subkronik berbentuk seperti lensa

dengan kepadatan jaringan tinggi. Hematoma subdural kronik

memperlihatkan lepadatan yang kira-kira sama dengan jaringan

otak normal. Oleh karena itu, hematoma sundural kronik sering tak

dikenali. Dengan enchancement dapat diperjelas batas antara

jaringan otak dan hematoma subdural (Mahar Mardjono, 1989).

3. CT Scan yang Memperlihatkan Abses Serebri

Kepadatannya rendah, terutama dipusatnya. Setelah dibuat

enchancement terlihat cincin yang menggambarkan kapsel abses.

Disekitar abses tampak edema (Mahar Mardjono, 1989).

Gambar 26. Abses Serebri

(Sjahriar Rasad, 2009)

Magnetic Resonance Imaging (MRI)

Page 53: SOL Intrakranial BAB II Print

53

MRI dapat mendeteksi tumor dengan jelas dimana dapat dibedakan

antara tumor dan jaringan sekitarnya. MRI dapat mendeteksi kelainan

jaringan sebelum terjadinya kelainan morfologi. (Iskandar,2002)

II.6 Penatalaksanaan Keluhan dan Gejala Disebabkan Space Occupying

Lesion

Penanganan yang terbaik untuk peningkatan tekanan intrakranial

adalah pengangkatan dari lesi penyebabnya seperti tumor, hidrosefalus, dan

hematoma. Peningkatan tekanan intrakranial pasca operasi jarang terjadi

hari-hari ini dengan meningkatnya penggunaan mikroskop dan teknik

khusus untuk menghindari pengangkatan otak. Peningkatan tekanan

intrakranial adalah sebuah fenomena sementara yang berlangsung untuk

waktu yang singkat kecuali ada cedera sekunder segar karena hipoksia,

bekuan atau gangguan elektrolit. Pengobatan ditujukan untuk mencegah

peristiwa sekunder. ICP klinis dan pemantauan akan membantu. Berikut

merupakan tindakan yang dapat dilakukan (Widjoseno, 2004, Eccher,2004).

a. Trauma

1. Penanganan Primer

Tindakan utama untuk peningkatan tekanan intrakranial adalah

untuk mengamankan ABCDE (primary survey) pada pasien. Banyak

pasien dengan peningkatan tekanan intrakranial memerlukan

intubasi. Pasien dengan skor GCS kurang dari 8 harus diintubasi

untuk melindungi airway. Yang menjadi perhatian utama pada

pemasangan intubasi ini adalah intubasi ini mampu memberikan

ventilasi tekanan positif yang kemudian dapat meningkatkan tekanan

vena sentral yang kemudian akan menghasilkan inhibisi aliran balik

vena sehingga akan meningkatkan tekanan intrakranial (Kaye, 2005,

Eccher,2004 ).

Hati-hati dalam memperhatikan gizi, elektrolit, fungsi kandung

kemih dan usus. Pengobatan yang tepat untuk infeksi berupa

pemberian antibiotik harus dilaksanakan dengan segera. Pemberian

Page 54: SOL Intrakranial BAB II Print

54

analgesia yang memadai harus diberikan walaupun pasien dalam

kondisi di bawah sadar (Kaye, 2005, Eccher,2004 ).

Posisi kepala pasien juga harus diperhatikan. Elevasi pada kepala

dapat menurunkan tekanan intrakranial pada komdisi normal dan

pada pasien dengan cedera kepala melalui mekanisme penurunan

tekanan hidrostatis cairan serebrospinal yang akan menghasilkan

aliran balik vena. Sudut yang dianjurkan dan umumnya digunakan

untuk elevasi pada kepala adalah 30o. Pasien harus diposisikan

dengan kepala menghadap lurus ke depan karena apabila kepala

pasien menghadap ke salah satu sisinya dan disertai dengan fleksi

pada leher akan meynebabkan penekanan pada vena jugularis interna

dan memperlambat aliran balik vena (Kaye, 2005, Eccher,2004 ).

Hipoksia sistemik, gangguan hemodinamik dan gangguan pada

autoregulasi yang kemudian disertai dengan kejang dapat

membahayakan kondisi pasien dengan peningkatan tekanan

intrakranial. Sehingga banyak praktisi kesehatan yang kemudian

menggunakan terapi profilaksis fenitoin, terutama pada pasien

dengan cedera kepala, perdarahan subaraknoid, perdarahan

intrakranial, dan kondisi yang lainnya. Penggunaan fenitoin sebagai

profilaksis pada pasein dengan tumor otak dapat menghasilkan

penurunan resiko untuk terjadinya kejang, tapi dengan efek samping

yang juga cukup besar (Kaye, 2005, Eccher,2004 ).

2. Penanganan Sekunder

Hiperventilasi digunakan pada pasien dengan skor GCS yang

lebih dari 5. Pembuluh darah otak merespon dengan cepat pada

perubahan PaCO2. PaCO2 yang rendah dapat menyebabkan

vasokonstriksi, yang kemudian akan mengurangi komponen

darah dalam volume intrakranial, dimana peningkatan PaCO2

menyebabkan vasodilatasi. Hiperventilasi bertujuan menjaga

agar PaCO2 berada pada level 25 – 30 mm Hg sehingga

cerebral blood flow akan turun dan volume darah otak

berkurang dan dengan demikian mengurangi tekanan

Page 55: SOL Intrakranial BAB II Print

55

intrakranial. Hiperventilasi yang berkepanjangan harus

dihindari dan menjadi tidak efektif setelah sekitar 24 jam.

Kecenderungannya adalah untuk menjaga ventilasi normal

dengan PaCO2 di kisaran 30 – 35 mmHg dan PaO2 dari 120-140

mmHg. Ketikaa ada pemburukan klinis seperti dilatasi pupil

atau tekanan nadi melebar, hiperventilasi dapat dilakukan

(sebaiknya dengan Ambu bag) sampai tekanan intrakranial

turun. Hyper barik O2, hipotermia masih dalam tahap

percobaan, terutama di Jepang. Mereka pada dasarnya

menyebabkan vasokonstriksi serebral dan mengurangi volume

darah otak dan tekanan intrakranial (Kaye, 2005, Eccher,2004).

Osmotherapi berguna dalam tahap edema sitotoksik, ketika

permeabilitas kapiler yang masih baik, dengan meningkatkan

osmolalitas serum. Manitol masih merupakan obat yang baik

untuk mengurangi tekanan intrakranial, tetapi hanya jika

digunakan dengan benar: itu adalah diuretik osmotik yang

paling umum digunakan. Hal ini juga dapat bertindak sebagai

scavenger radikal bebas. Manitol tidak inert dan tidak

berbahaya. Gliserol dan urea merupak golongan yang jarang

digunakan hari ini. Beberapa teori telah dikemukakan mengenai

mekanisme yang mengurangi tekanan intrakranial (Kaye, 2005,

Eccher,2004).

a. Dengan meningkatkan fleksibilitas eritrosit, yang

menurunkan viskositas darah dan menyebabkan

vasokonstriksi yang mengurangi volume darah otak dan

menurunkan tekanan intrakranial dan dapat mengurangi

produksi cairan serebrospinal oleh pleksus choroideus.

Dalam dosis kecil dapat melindungi otak dari iskemik

karena fleksibilitas eritrosit meningkat (Kaye, 2005,

Eccher,2004).

b. Efek diuretik terutama di sekitar lesi, di mana integritas

sawar darah otak terganggu dan tidak ada pengaruh yang

Page 56: SOL Intrakranial BAB II Print

56

signifikan pada otak normal. Lesi intraaxial merespon lebih

baik dari lesi ekstra aksial (Kaye, 2005, Eccher,2004 ).

c. Teori lain adalah, manitol dengan menarik air di ependyma

dari ventrikel dengan cara analog dengan yang dihasilkan

oleh drainase ventrikel. Dosis tradisional adalah 1 gm/kg/24

jam 20% sampai 25% iv baik sebagai bolus atau lebih

umum secara bertahap. Tidak ada peran untuk dehidrasi.

Efek Manitol pada tekanan intrakranial maksimal adalah 1 /

2 jam setelah infus dan berlangsung selama 3 atau 4 jam

sebagai sebuah aturan. Dosis yang benar adalah dosis

terkecil yang akan berpengaruh cukup terhadap tekanan

intrakranial. Ketika dosis berulang diperlukan, penggunaan

garis dasar osmolalitas serum meningkat secara bertahap

dan saat ini melebihi 330 mosm / 1 terapi manitol harus

dihentikan. Penggunaan lebih lanjut tidak efektif dan

cenderung menimbulkan gagal ginjal. Diuretik seperti

furosemid, baik sendiri atau bersama dengan bantuan

manitol untuk mempercepat ekskresi dan mengurangi

osmolalitas serum awal sebelum dosis berikutnya. Beberapa

mengklaim, bahwa furosemid manitol dapat meningkatkan

output. Beberapa memberikan furosemid sebelum manitol,

sehingga mengurangi overload sirkulasi. Fenomena

rebound adalah karena pembalikan gradien osmo tekanan

intrakranial sebagai akibat kebocoran progresif dari agen

osmotik melintasi penghalang darah otak rusak, atau karena

tekanan intrakranial yang meningkat kembali (Kaye, 2005,

Eccher,2004).

3. Barbiturat dapat menurunkan tekanan intrakranial ketika tindakan-

tindakan lain gagal, tetapi tidak memiliki nilai profilaksis. Mereka

menghambat peroksidasi lipid dimediasi radikal bebas dan menekan

metabolisme serebral; persyaratan metabolisme otak dan dengan

demikian volume darah otak yang berkurang mengakibatkan

Page 57: SOL Intrakranial BAB II Print

57

penurunan tekanan intrakranial. Fenobarbital yang paling banyak

digunakan. Dosis 10 mg / kg pemuatan lebih dari 30 menit dan 1-

3mg/kg setiap jam secara luas digunakan. Fasilitas untuk memantau

dekat tekanan intrakranial dan ketidakstabilan hemodinamik harus

menemani setiap terapi obat tidur (Kaye, 2005, Eccher,2004 ).

4. Dosis tinggi terapi steroid sangat populer beberapa tahun yang lalu

dan masih digunakan oleh beberapa ahli. Ini mengembalikan

integritas dinding sel dan membantu dalam pemulihan dan

mengurangi edema. Barbiturat dan agen anestesi lain mengurangi

tekanan cerebral blood flow dan arteri sehingga mengurangi tekanan

intrakranial. Selain itu mengurangi metabolisme otak dan permintaan

energi yang memfasilitasi penyembuhan lebih baik (Kaye, 2005,

Eccher,2004 ).

5. Hipotermi dapat digunakan sebagai terapi adjuvant terhadap terapi

yang lain. Temperatur tubuh dibuat menjadi lebih rendah dari

temperature tubuh yang normal yaitu sekitar 32°C – 34 °C. Metode

ini dapat mungkin menurunkan tekanan intrakranial dengan

menurunkan metabolisme dari otak. Metode terapi hipotermia

selama 48 jam atau kurang dapat dipertimbangkan pada pasien

dengan TCB. Metode terapi ini selama 8 jam atau lebih dapat

dipertimbangkan untuk terapi pada peningkatan tekanan

intrakranial.. Penggunaan metode ini hanya direkomendasikan pada

ahli yang berpengalaman yang benar-benar mengerti perubahan

fisiologi yang berhubungan dengan hipotermia dan mampu

merespon dengan cepat perubahan tersebut. Komplikasi dari metode

hipotermia ini meliputi depresi jantung pada suhu di bawah 32°C.

dan peningkatan insiden komplikasi berupa infeksi seperti

pneumonia telah dilaporkan pada metode terapi ini (Kaye, 2005,

Eccher,2004 ).

Penggunaan Koagulopati. Kerusakan parenkim otak yang

berat dapat terjadi karena adanya pelepasan thromboplastin pada

jaringan diamana hal ini akan mengaktivasi faktor instrinsik.

Page 58: SOL Intrakranial BAB II Print

58

Sindroma klinis didiagnosa dengan adanya pemanjangan PT dan

aktivasi sebagian dari nilai APTT, penurunan level fibrinogen,

peningkatan level fibrin, dan penurunan jumlah platelet. APTT yang

memanjang ditangani dengan memberikan fresh frozen plasma.

Kadar Fibrinogen di bawah 150 mg/dL memerlukan penanganan

berupa pemberian krioprecipitate. Pemberian platelet harus

dilakukan untuk mengobati nyeri kepala pada pasien dengan jumlah

platelet yang kurang dari 100.000/ml bila waktu perdarahan

memanjang (Kaye, 2005, Eccher,2004 ).

6. Intervensi bedah

Tekanan intrakranial (intracranial pressure, ICP) dapat diukur

secara kontinu dengan menggunakan transduser intrakranial. Kateter

dapat dimasukkan ke dlam entrikel lateral dan dapat digunakan

untuk mengeluarkan cairan serebrospinal dengan tujuan untuk

mengurangi tekanan intrakranial. Drain tipe ini dikenal dengan EVD

(ekstraventicular drain). Pada situasi yang jarang terjadi dimana CSf

dalam jumlah sedikit dapat dikeluarkan untuk mengurangi tekanan

intrakranial, Drainase tekanan intrakranial melalui punksi lumbal

dapat digunakan sebagai suatu tindakan pengobatan

(Eccher,2004 ,Gulli. Dkk, 2010).

Kraniotomi adalah suatu tindakan yang dilakukan untuk

mengeluarkan hematom di di dalam ruangan intrakranial dan untuk

mengurangi tekanan intrakranial dari bagian otak dengan cara

membuat suatu lubang pada tulang tengkorak kepala. Kranioektomi

adalah suatu tindakan radikal yang dilakukan sebagai penanganan

untuk peningkatan tekanan intrakranial, dimana dilakukan

pengangkatan bagian tertentu dari tulang tengkorak kepala dan

duramater dibebaskan agar otak dapat membesar tanpa adanya

herniasi. Bagian dari tulang tengkorak kepala yang diangkat ini

desebut dengan bone flap. Bone flap ini dapat disimpan pada perut

pasien dan dapat dipasang kembali ketika penyebab dari peningkatan

tekanan intrakranial tersebut telah disingkirkan. Material sintetik

Page 59: SOL Intrakranial BAB II Print

59

digunakan sebagai pengganti dari bagian tulang tengkorak yang

diangkat. Tindakan pemasangan material sintetik ini dkenal dengan

cranioplasty (Eccher,2004 ,Gulli. Dkk, 2010).

Kraniotomi adalah salah satu bentuk dari operasi pada otak.

Operasi ini paling banyak digunakan dalam operasi untuk

mengangkat tumor pada otak. Operasi ini juga sering digunakan

untuk mengangkat bekuan darah (hematom), untuk mengontrol

perdarahan, aneurisma otak, abses otak, memperbaiki malformasi

arteri vena, mengurangi tekanan intrakranial, atau biopsi (Gulli. Dkk,

2010).

Sebelum melakukan tindakan kraniotomi, terlebih dahulu

harus dilakukan pemeriksaan penunjang untuk memastikan

penyebab dan lokasi dari lesi di otak. Oleh karena itu dilakuakn

neuroimaging. Neuroimaging yang dapat dilakukan adalah

(Eccher,2004 ,Gulli. Dkk, 2010):

CT scan

MRI

Arteriogram

Pasien yang akan dilakuakn tindakan kraniotomi dpat

diberikan pengobatan terlebih dahulu untuk mengurangi rasa cemas

dan mengurangi resiko terjadinya kejang, edema, dan infeksi setelah

operasi. Obata-obatan seperti heparin, aspirin dan golongan NSAID

memiliki hubungan dengan meningkatnya bekuan darah yang terjadi

pasca operasi. Obat-obatan ini harus disuntikkan 7 hari sebelum

operasi agar efeknya hilang sebelum operasi dilakukan.Sebagai

tambahan, dibutuhkan pemeriksaan laboratorium yang rutin atau

yang khusus sesuai dengan kebutuhan. Pasien tidak boleh makan dan

minum 6-8 jam sebelum operasi dan kepala pasien harus dicukur

sesaat sebelum operasi dimulai (Eccher,2004 ,Gulli. Dkk, 2010).

Ada dua metode yang umumnya digunakan untuk membuka

tengkorak. Insisi dibuat pada daerah leher di sekitar os. Occipital

atau insisi melengkung yang dibuat di bagian depan telinga yang

Page 60: SOL Intrakranial BAB II Print

60

melengkung ke atas mata. Insisi dilakukan hingga sejauh membran

tipis yang membungkus tulang tengkorak kepala. Selama insisi

dilakukan, ahli bedah harus menutup pembuluh darah kecil sebanyak

mungkin. Hal ini dikarenakan scalp merupakan daerah yang kaya

akan suplai darah (Eccher,2004 ,Gulli. Dkk, 2010).

Scalp ditarik ke belakang agar tulang dapat terlihat. Dengan

menggunakan bor kecepatan tinggi, dilakukan pengeboran mengikuti

pola lubang dan lakukan pemotongan mengikuti pola lubang yang

telah ada hingga bone flap dapat diangkat. Hal ini akan memberikan

akses ke dalam kraium dan memudahkan untuk melakukan operasi

di dalam otak. Setelah mengangkat lesi di dalam otak atau setelah

prosedur yang lainnya selesai, tulang dikembalikan ke posisi semula

dengan menggunakan kawat halus. Membran, otot, dan kulit dijahit

dalam posisinya. Apabila lesinya adalah suatu aneurisma, maka

arteri yang terlibat diklem. Apabila lesinya adalah tumor, sebanyak

mungkin bagian dari tumor ini diangkat. Untuk kelainan malformasi

arteri vena, kelainannya dipotong kemudian disambung kembali

dengan pembuluh darah yang normal (Eccher,2004 ,Gulli. Dkk,

2010).

b. Hidrosefalus

Tindakan bedah pada hidrosefalus sesungguhnya telah dirintis

sejak beberapa abad yang silam oleh Ferguson pada tahun 1898

berupa membuat shunt atau pintasan untuk mengalirkan cairan otak

di ruang tengkorak yang tersumbat ke tempat lain dengan

menggunakan alat sejenis kateter berdiameter kecil. Cara mekanik

ini terus berkembang, seperti Matson (1951) menciptakan pintasan

dari rongga ventrikel ke saluran kencing (ventrikulo ureter),

Ransohoff (1954) mengembangkan pintasan dari rongga ventrikel ke

rongga dada (ventrikulo-pleural). Selanjutnya, Holter (1952), Scott

(1955), dan Anthony J Raimondi (1972) memperkenalkan pintasan

ke arah ruang jantung atria (ventrikulo-atrial) dan ke rongga perut

Page 61: SOL Intrakranial BAB II Print

61

(ventrikulo-peritoneal) yang alirannya searah dengan menggunakan

katup pengaman.Teknologi pintasan terus berkembang dengan

ditemukan bahan-bahan yang inert seperti silikon yang sebelumnya

menggunakan bahan polietilen. Hal itu penting karena selang

pintasan itu ditanam di jaringan otak, kulit, dan rongga perut dalam

waktu yang lama bahkan seumur hidup penderita sehingga perlu

dihindarkan efek reaksi penolakan oleh tubuh. Tindakan dilakukan

terhadap penderita yang telah dibius total, ada sayatan kecil di

daerah kepala dan dilakukan pembukaan tulang tengkorak dan

selaput otak yang selanjutnya selang pintasan ventrikel di pasang,

disusul kemudian dibuat sayatan kecil di daerah perut, dibuka rongga

perut lalu ditanam selang pintasan rongga perut antara kedua ujung

selang tersebut dihubungkan dengan sebuah selang pintasan yang

ditanam di bawah kulit sehingga tidak terlihat dari luar (Rosmini,

2008).

c. Tumor Otak

Modalitas penanganan terhadap tumor otak mencakup tindakan-

tindakan (Satyanegara, 2010):

1. Terapi Operatif

Tindakan terapi operasi apda tumor otak (khususnya yang

ganas) bertujuan untuk mendapatkan diagnosa pasti dan

dekompresi internal mengingat bahwa obat-obat antiedema otak

tidak dapat diberikan secara terus menerus. Prinsip penangan

tumor jinak adalah pengambilan total, sementara pada tumor

ganas tujuannya selain dekompresi juga memudahkan untuk

pengobatan selanjutnya (kemoterapi atau radioterapi) sehingga

mendapatkan outcome yang lebih baik. Persiapan prabedah,

penanganan pembiusan, teknik operasi dan penanganan

pascabedah sangat berperan penting dalam menentukan

keberhasilan penanganan operatif terhadap tumor otak. Khusus

pada kasus-kasus dengan gejala peningkatan tekanan intrakranial,

ahli bedah harus waspada terhadap kemungkinan terjadinya

Page 62: SOL Intrakranial BAB II Print

62

herniasi otak padawaktu mulai dilakukan induksi anestesi.

Kadang kala diperlukan pemberian steroid maupun Mannitol 15-

30 menit sebelum tindakan operasi. Ada beberapa jenis insisi kulit

yang dilakukan dimana hal ini disesuaikan dengan lokasi

tumornya dan perlu pertimbangan untuk memelihara salah satu

arteri tetap intak untuk pemulihan luka operasi pada kulit.

2. Terapi Konservatif (Nonoperasi)

a. Radioterapi

Radioterapi untuk tumor-tumor susunan saraf pusat

kebanyakan menggunakan sinar X dan sinar Gamma. Tujuan

dari terapi ini adalah menghancurkan tumor dengan dosis yang

masih dapat ditoleransi oleh jaringan normal yang

ditembusnya. Terapi radiasi modern terbatas pada radiasi

megavoltase (energi yaitu >1 juta elektron volt) yang

mempunyai beberapa kelebihan dibanding dengan kilovoltase

seperti penetrasi yang lebih dalam dan absorpsi pada tulang,

kulit, jaringan subkutan yang lebih minimal. Saat ini yang

banyak dipakai adalah Co60 (mengeluarkan sinar Gamma

1,117 dan 1,33 Mev) dan Akselerator linier (Sinar X 4-25

Mev). Keberhasilan terapi radiasi pada tumor ganas otak

diperankan oleh beberapa faktor:

Terapi yang baik dan tidak melukai struktur kritis

lainnya.

Sensitivitas sel tumor dengan sel normal.

Tipe sel yang disinar.

Metastasis yang ada.

Kemampuan sel normal untuk repopulasi.

Restrukturisasi dan reparasi sel kanker sewaktu interval

antarfraksi radiasi.

Page 63: SOL Intrakranial BAB II Print

63

Ada beberapa tipe cidera radiasi yang perlu

dipertimbangkan dan diperhatikan pada penderita-penderita

yang menjalaninya:

Edema yang terjadi pada saat hari-hari pertama dan

akhirnya terapi radiasi, efek ini dapat diatasi dengan

pemberian glukokortikoid.

Akibat demielinisasi saraf sehingga menimbulkan

gejala-gejala defisit neurologis yang berlangsung

sampai berminggu-minggu setelah terapi radiasi

berakhir. Demielinisasi ini hanya bersifat sementara

dan akan pulih secara spontan.

Nekrosis radiasi, yang biasanya muncup pascaradiasi

dengan dosis yang lebih dari 600 rad, mulai dari

beberapa bulan pertama sampai dengan puncak waktu

antara 1-3 tahun pascaterapi.

b. Kemoterapi

Peranan kemoterapi tunggal untuk tumor ganas otak masih

belum mencapai nilai keberhasilan yang bermakna. Saat ini

yang menjadi titik pusat perhatian modalitas terapi ini adalah

tumor-tumor otak jenis astrositoma (grade III dan IV),

glioblastoma dan astrositoma anaplastik beserta variannya.

Ada beberapa obat kemoterapi untuk tumor ganas otak yang

saat ini beredar di kalangan media yaitu: HU (hidroksiurea), 5-

FU (5-fluorourasil), PCV (Prokarbazin, CCNU, Vincristine),

Nitrous urea (PCNU, BCNU/Karmustin, CCNU/lomustin,

MTX (metrotreksat), DAG (Dianhidrogalaktitol) dan

sebagainya. Potensi kemoterapi pada susunan saraf di samping

didasarkan oleh farmakologi sendiri juga perlu

dipertimbangkan aspek farmakokinetiknya mengingat adanya

sawar darah otak. Pemberian kemoterapi dapat dilakukan

melalui intra-arterial (infus, perfusi), intratekal/intraventrikuler

Page 64: SOL Intrakranial BAB II Print

64

(punksi lumbal, punksi sisterna, via pudentz/Omyma

reservoir), atau intra tumoral.

c. Immunoterapi

Yang mendasari modalitas terapi ini adalah anggapan

bahwa tumbuhnya suatu tumor disebabkan oleh adanya

gangguan fungsi immunologi tubuh sehingga diharapkan

dengan melakukan restorasi sistem immun dapat menekan

pertumbuhan tumor. Walaupun peranannya secara bermakna

masih belum seluruhnya terbukti, pemberian immunoterapi

secara terapi ajuvan/alternatif tambahan banyak diterapkan

untuk kasus-kasus tumor jenis glioma (dimana sistem imunnya

menurun) yang mempunyai survival yang panjang atau tidak

menjalani tindakan terapi lainnya. Adapun jenis obat-obat yang

sering digunakan sebagai immuno-modulator antara lain

adalah: BCG/Levamizole, Visivanil, dan PS/K.

Pemilihan jenis terapi bergantung pada beberapa faktor, antara

lain: kondisi umum penderita, tersedianya alat diagnostik yang

lengkap, tingkat pengertian penderita dan keluarganya, luasnya

metastasis, dan sebagainya, Pendekatan terhadap penderita dan

keluarganya harus benar-benar baik sehinga pihak penderita atau

keluarganya tidak merasakan dirugikan sebagai akibat dari tindakan

yang akan dilakukan (Harsono, 2011).

d. Hematoma

Hematoma subdural akut atau subakut merupakan suatu keadaan

gawat darurat, tujuan dari pengobatan termasuk penilaian life saving,

kontrol pada gejala-gejala, memperkecil atau pencegahan gangguan

otak permanen/lebih lanjut. Penilaian life saving termasuk usaha-

usaha pada breathing dan circulation (Sinson, 2004).

1. Konservatif

Pada penderita hematoma subdural dengan volume yang kecil

dapat dikelola secara konservatif. Sebagian penderita ini

Page 65: SOL Intrakranial BAB II Print

65

mengalami pemulihan yang baik dan sebagian lagi dilakukan

operasi evakuasi hematom beberapa hari kemudian. Beberapa

petunjuk untuk menyeleksi penderita hematoma subdural akut

dengan terapi konservatif (Sinson, 2004):

Glasgow coma scale (GCS) ≥13 ketika cedera

Pada CT scan tidak ditemukan adanya intrakranial

hematom lain atau edema otak

Midline shift <10 mm

tidak ada basal cisternal effacement

Hematoma subdural akut yang minimal (<5mm) ketebalan

hematomnya pada CT scan, tanpa efek masa yang

mempengaruhi midline shift atau tanda-tanda neurologis, dapat

diikuti secara klinis. Resolusi hematom dapat didokumentasikan

dengan gambar serial, sebab hematoma subdural akut yang

diobati secara konservatif dapat berkembang menjadi hematoma

yang kronis. Pengobatan medis yang darurat disebabkan herniasi

transtentorial dengan pemberian manitol (penderita yang

mendapatkan resusitasi cairan yang adekuat dan tekanan darah

yang normal), pemberian diuretik ini digunakan untuk

mengurangi pembengkakan. Pemberian phenytoin (dilatin)

untuk mengurangi resiko kejang yang terjadi akibat serangan

pasca trauma, karena penderita yang mempunyai resiko epilepsi

pasca trauma 20% setelah hematoma subdural akut (Sinson,

2004).

Phenytoin efektif diberikan sampai dengan hari ke tujuh

setelah cidera dan tidak efektif untuk pencegahan serangan pada

trauma lanjut. Pemberian antibiotika diberikan untuk

menurunkan resiko infeksi pada post operasi. Pemberian

transfusi dengan fresh frozen plasma (FFP) dan trombosit,

dengan mempertahankan prothombine time diantara rata-rata

normal dan nilai trombosit >100.000. pemberian kortikosteroid,

Page 66: SOL Intrakranial BAB II Print

66

seperti deksametason dapat digunakan untuk mengurangi

inflamasi dan pembengkakan pada otak (Sinson, 2004).

2. Pembedahan

Evakuasi secara bedah merupakan pegobatan definitif dan tak

boleh terlambat, karena menimbulkan resiko iskemia otak dan

hiperventilasi. Pembedahan hematoma subdural akut dengan

kraniotomi yang culup luas untuk mengurangi penekanan pada

otak, menghentikan perdarahan aktif subdural, dan evakuasi

jendela darah intra parenkimal (Sinson, 2004).

Setelah evakuasi hematoma pada hematoma subdural akut,

pemberian obat ditujukan untuk pengontrolan terhadap tekanan

intrakranial dan mempertahankan tekanan perfusi serebral diatas

60-70 mmHg. Parameter ini dipertahankan selama periode

operatif. Bila dalam 24 jam ditemuka terjadinya suatu hematoma

subdural akut berulang atau ada suatu peningkatan tekanan

intrakranial, dilakukan follow up sengan pemeriksaan CT Scan

ulang segera untuk melihat lesi intrakranial atau reakumulasi

suatu hematoma subdural. Pemeriksaan pembekuan trombosit

darah setelah tindakan operasi (PTT, PTTK) diikuti untuk

mengoreksi jika ada suatu resiko perdarahan tambahan (Sinson,

2004).

e. Penatalaksanaan Abses Otak

Terapi definitif untuk abses melibatkan : (Haslam, 2004 ; Mardjono

2010)

1. Penatalaksanaan terhadap efek massa (abses dan edema) yang

dapat mengancam jiwa

2. Terapi antibiotik dan test sensitifitas dari kultur material abses

3. Terapi bedah saraf (aspirasi atau eksisi)

4. Pengobatan terhadap infeksi primer

5. Pencegahan kejang

6. Neurorehabilitasi

Page 67: SOL Intrakranial BAB II Print

67

Penatalaksanaan awal dari abses otak meliputi diagnosis yang

tepat dan pemilihan antibiotik didasarkan pada pathogenesis dan

organisme yang memungkinkan terjadinya abses. Ketika etiologinya

tidak diketahui, dapat digunakan kombinasi dari sefalosporin

generasi ketiga dan metronidazole. Jika terdapat riwayat cedera

kepala dan pembedahan kepala, maka dapat digunakan kombinasi

dari napciline atau vancomycine dengan sephalosforin generasi

ketiga dan juga metronidazole. Antibiotik terpilih dapat digunakan

ketika hasil kultur dan tes sentivitas telah tersedia. Pada abses terjadi

akibat trauma penetrasi,cedera kepala, atau sinusitis dapat diterapi

dengan kombinasi dengan napsiline atau vancomycin, cefotaxime

atau cetriaxone dan juga metronidazole. Monoterapi dengna

meropenem yang terbukti baik melawan bakteri gram negatif, bakteri

anaerob, stafilokokkus dan streptokokkus dan menjadi pilihana

alternatif. Sementara itu pada abses yang terjadi akibat penyakit

jantung sianotik dapat diterapi dengan penissilin dan metronidazole.

Abses yang terjadi akibat ventrikuloperitoneal shunt dapat diterapi

dengan vancomycin dan ceptazidine.Ketika otitis media, sinusitis,

atau mastoidits yang menjadi penyebab dapat digunakan vancomycin

karena strepkokkus pneumonia telah resisten terhadap penissilin.

Ketika meningitis citrobacter, yang merupakan bakteri utama pada

abses local, dapat digunakan sefalosporin generasi ketiga, yang

secara umum dikombinasikan dengan terapi aminoglikosida. Pada

pasien dengan immunocompromised digunakan antibiotik yang

berspektrum luas dan dipertimbangkan pula terapi amphoterids.

(Haslam, 2004)

Drug Dose Frekwensi dan rute

Page 68: SOL Intrakranial BAB II Print

68

Cefotaxime

(Claforan) 50-100

mg/KgBBt/Hari

2-3 kali per hari,

IV

Ceftriaxone

(Rocephin)

50-100

mg/KgBBt/Hari

2-3 kali per hari,

IV

Metronidazole

(Flagyl)

35-50

mg/KgBB/Hari

3 kali per hari,

IV

Nafcillin (Unipen,

Nafcil)

2 grams

setiap 4 jam,

IV

Vancomycin

15 mg/KgBB/Hari

setiap 12 jam,

IV

Tabel 1. Dosis dan Cara Pemberian Antibiotik pada Abses Otak

(Haslam, 2004)

Kebanyakan studi klinis menunjukkan bahwa penggunaan

steroid dapat mempengaruhi penetrasi antibiotik tertentu dan dapat

menghalangi pembentukan kapsul abses. Tetapi penggunaannya

dapat dipertimbangkan pada kasus-kasus dimana terdapat risiko

potensial dalam peningkatan tekanan intrakranial. Dosis yang

dipakai 10 mg dexamethasone setiap 6 jam intravenous, dan

ditapering dalam 3-7 hari. (Haslam, 2004)

Page 69: SOL Intrakranial BAB II Print

69

Pada penderita ini, kortikosteroid diberikan dengan

pertimbangan adanya tekanan intrakranial yang meningkat, papil

edema dan gambaran edema yang luas serta midline shift pada CT

scan. Kortikosteroid diberikan dalam 2 minggu setelah itu di tap-off,

dan terlihat bahwa berangsur-angsur sakit kepala berkurang dan pada

pemeriksaan nervus optikus hari XV tidak didapatkan papil

edema. Penatalaksanaan secara bedah pada abses otak

dipertimbangkan dengan menggunakan CT-Scan, yang diperiksa

secara dini, untuk mengetahui tingkatan peradangan, seperti

cerebritis atau dengan abses yang multipel. (Haslam, 2004 ;

Mardjono 2010)

Terapi optimal dalam mengatasi abses serebri adalah kombinasi

antara antimikrobial dan tindakan bedah. Pada studi terakhir, terapi

eksisi dan drainase abses melalui kraniotomi merupakan prosedur

pilihan. Tetapi pada center-center tertentu lebih dipilih penggunaan

stereotaktik aspirasi atau MR-guided aspiration and

biopsy. Tindakan aspirasi biasa dilakukan pada abses multipel, abses

batang otak dan pada lesi yang lebih luas digunakan eksisi. (Haslam,

2004 ; Mardjono 2010)

Pada beberapa keadaan terapi operatif tidak banyak

menguntungkan, seperti: small deep abscess, multiple abscess dan

early cerebritic stage. (Haslam, 2004 ; Mardjono 2010)

Kebanyakan studi menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan

bermakna diantara penderita yang mendapatkan terapi konservatif

ataupun dengan terapi eksisi dalam mengurangi risiko kejang.

(Haslam, 2004 ; Mardjono 2010)

Pada penderita ini direncanakan untuk dilakukan operasi

kraniotomi mengingat proses desak ruang yang cukup besar guna

mengurangi efek massa baik oleh edema maupun abses itu sendiri,

disamping itu pertimbangan ukuran abses yang cukup besar,

tebalnya kapsul dan lokasinya di temporal. (Haslam, 2004; Mardjono

2010)

Page 70: SOL Intrakranial BAB II Print

70

Antibiotik mungkin digunakan tersendiri, seperti pada keadaan

abses berkapsul dan secara umum jika luas lesi yang menyebabkan

sebuah massa yang berefek terjadinya peningkatan tekanan

intrakranial. Dan harus ditatalaksanakan dengan kombinasi antibiotik

dan aspirasi abses. (Haslam, 2004 ; Mardjono 2010)

Pembedahan secara eksisi pada abses otak jarang digunakan,

karena prosedur ini dihubungkan dengan tingginya angka morbiditas

jika dibandingkan dengan teknik aspirasi. Indikasi pembedahan

adalah ketika abses berdiameter lebih dari 2,5 cm, adanya gas di

dalam abses, lesi yang multiokuler, dan lesi yng terletak di fosa

posterior, atau jamur yang berhubungan dengan proses infeksi,

seperti mastoiditis, sinusitis, dan abses periorbita, dapat pula

dilakukan pembedahan drainase. Terapi kombinasi antibiotik

bergantung pada organisme dan respon terhadap penatalaksanaan

awal. Tetapi, efek yang nyata terlihat 4-6 minggu. (Haslam, 2004 ;

Mardjono 2010)

Penggunaan antikonvulsan dipengaruhi juga oleh lokasi abses

dan posisinya terhadap korteks. Oleh karena itu kapan antikonvulsan

dihentikan tergantung dari kasus per kasus (ditetapkan berdasarkan

durasi bebas kejang, ada tidaknya abnormalitas pemeriksaan

neurologis, EEG dan neuroimaging). (Haslam, 2004 ; Mardjono

2010)

Pada penderita ini diberikan fenitoin oral, mengingat penderita

sudah mengalami kejang dengan frekuensi yang cukup sering.

Penghentian antikonvulsan ini ditetapkan berdasarkan perkembangan

klinis penderita selanjutnya. (Haslam, 2004 ; Mardjono 2010)

Page 71: SOL Intrakranial BAB II Print

71

BAB III

PENUTUP

III.1 Kesimpulan

Space occupying lesion intrakranial (lesi desak ruang intrakranial)

didefinisikan sebagai neoplasma, jinak atau ganas, primer atau sekunder,

serta setiap inflamasi yang berada di dalam rongga tengkorak. Penyebabnya

meliputi hematoma, abses otak dan tumor otak. Ruang intrakranial ditempati

oleh jaringan otak, darah, dan cairan serebrospinal. Setiap bagian

menempati suatu volume tertentu yang menghasilkan suatu tekanan

intrakranial normal. Peningkatan volume salah satu dari ketiga unsur utama

mengakibatkan desakan ruang yang ditempati unsur lainnya dan menaikkan

tekanan intrakranial. Hipotesis Monroe-Kellie memberikan suatu contoh

konsep pemahaman peningkatan tekanan intrakranial. Gejala umum timbul

karena peningkatan tekanan intrakranial atau akibat infiltrasi difus dari

tumor. Gejala yang paling sering adalah sakit kepala, perubahan status

mental, kejang, nyeri kepala hebat, papil edema, mual dan muntah. (Price,

2005).

III.2 Saran

Demikian yang dapat penulis paparkan mengenai materi yang menjadi

pokok bahasan dalam referat ini, tentunya masih banyak kekurangan dan

kelemahannya, kerena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau

referensi yang ada hubungannya dengan judul ini. Penulis berharap para

pembaca berkenan memberikan kritik dan saran yang membangun kepada

penulis demi sempurnanya referat ini dan penulisan referat di kesempatan

berikutnya. Semoga referat ini berguna bagi penulis pada khususnya juga

para pembaca pada umumnya.

Page 72: SOL Intrakranial BAB II Print

72

DAFTAR PUSTAKA

Arthur, H. 2012. Neurologi : Ringkasan Topik Lesi desak Ruang Intrakranial dan

Neoplasma Otak. Diunduh pada tanggal 30 Desember 2012.

Bradley, Walter G. 2000. Neuro-Oncology in Pocket Companion to Neurology in

Clinical Practice edisi 3. Butterworth. Botson.

Butt, Ejaz. 2005. Intracranial Space Occupying Lesions A Morphological Analyis:

http://www.thebiomedicapk.com/articles/31.pdf diunduh pada tanggal 30

Desember 2012.

Chusid JG.1990. Neuroanatomi Korelatif & Neurologi Fungsional. Yogyakarta.

Gadjah Mada University Press.

Eccher M, Suarez JI. 2004. Cerebral Edema and Intracranial Dynamics. In :

Suarez JI, ed. Critical Care Neurology and Neurosurgery. New Jersey :

Humana Press

Ginsberg, L. 2008. Lecture Notes Neurologi Edisi Kedelapan. Jakarta. Erlangga.

Goodkin HP, Harper MB, Pomeroy SL. 2004. Prevalence, Symptoms, and

Prognosis of Intracerebral Abscess. American Academy of Pediatrics.

Available at http://aapgrandrounds.aappublications.org accessed at 8 januari

2013

Guyton, Arthur C. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta. EGC. Halaman

804-805.

Harsono. 2011. Buku Ajar Neurologi Klinis. Yogtakarta. UGM

Iskandar, Japardi. 2002. Gambaran CT Scan Pada Tumor Otak Benigna :

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1991/1/bedah-iskandar

%20japardi11.pdf diunduh pada tanggal 30 Desember 2012.

Kumar, vinay. 2007. Buku Ajar patologi RobbinsVolume 2. Jakarta. EGC.

Halaman 929.

Lombardo MC. 2006. Cedera Sistem Saraf Pusat. Dalam : Price SA, Wilson LM,

eds. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 6. Volume 2.

Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Page 73: SOL Intrakranial BAB II Print

73

Mardjono, Mahar. 1989. Neurologi Klinis Dasar Edisi Ke-5. Jakarta. Dian

Rakyat. Halaman 429-454.

Price, Sylvia A. 2005. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.

Jakarta. EGC. Halaman 1167.

Rasad, Sjahriar. 2009. Radiologi Diagnostik. Jakarta. Balai Penerbit FKUI.

Halaman 359.

Robert H. A. Haslam. 2004.  Neurologic Evaluation. In Nelson Textbook of

Pediatrics 17th ed. USA. WB Saunders.

Saanin, Syaiful. 2012. Neurosurgeon : Tekanan Intrakranial :

http://www.angelfire.com/nc/neurosurgery/Anfis.html diunduh pada tanggal

4 Januari 2013.

Saainin, Syaiful. Tumor Intrakranial :

http://www.angelfire.com/nc/neurosurgery/Pendahuluan.html diakses 3

Januari 2013

Satyanegara. 2010. Ilmu Bedah Saraf Edisi IV. Jakarta. Gramedia. Halaman 265-

293.

Shane Tubbs, R. Circle of Willis Anatomi. Diunduh dari :

www.emedicine.medscape.com pada tanggal 8 Januari 2013.

Sinson, PG. 2004. Subdural Hematoma :

http://www.emedicine.com/med/topic2885.htm diunduh pada tanggal 10

Januari 2013.

Syamsjuhidayat, R, dan Wim de Jong. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta.

EGC.

Thamburaj AV. 2008. Intracranial Pressure. [online].

http://www.thamburaj.com/intracranial_pressure.htm. diakses 3 januari 2013