soil liquid fiction

Upload: jack-danielz-lubis

Post on 16-Jul-2015

416 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

SOIL LIQUI FICTION DAN TATA CARA BANGUNAN TAHAN GEMPA

A. Likuifaksi Likuifaksi merupakan fenomena hilangnya kekuatan lapisan tanah akibat getaran gempa. Lapisan pasir berubah menjadi seperti cairan sehingga tidak mampu menopang beban bangunan di dalam atau di atasnya, yang disebabkan oleh beban siklik pada waktu terjadi gempa sehingga tekanan air pori meningkat mendekati atau melampaui tegangan vertikal. Karena tekanan airnya meningkat, jarak antar partikel pasir menjadi semakin renggang, sehingga kekuatan totalnya berkurang drastis Kerugian terbanyak terjadi akibat dari besarnya getaran yang menyebabkan runtuhnya bangunan dengan struktur yang lemah. Peristiwa likuifaksi juga mengakibatkan amblasnya bangunan, miring, dan longsor, seperti yang terjadi di Nigata, Jepang tahun 1964(lihat Gambar 2.1)

Nigata, Jepang tahun 1964

Beberapa faktor penyebab terjadinya likuifaksi pada sebuah wilayah adalah karena lapisan tanah berupa pasir atau lanau, lapisan tanah jenuh air, lapisan bersifat lepas (tidak padat), terjadi gempa bermagnitudo di atas 5,0 dan berkecepatan gempa lebih dari 1,0.

Untuk mengurangi dampak terjadinya likuifaksi ada 3 metode. Pertama adalah dengan menghindari konstruksi pada tanah rawan likuifaksi. Kedua, dengan mendesain bangunan yang tahan likuifaksi, Ketiga meningkatkan tanah dengan melibatkan pilihan dari mitigasi likuifaksi melalui peningkatan kekuatan, kepadatan, atau drainase karakteristik dari tanah. Hal tersebut dilakukan dengan menggunakan berbagai teknik perbaikan tanah (soil improvement), seperti vibroflotation, dinamis compaction, batu kolom, compaction tumpukan, drainase teknik dan verifikasi efektivitas perbaikan tanah.

B.Tanah Pasir Menurut ASTM pasir yang terjadi alami adalah bahan granular halus terdiri dari batuan dan mineral partikel yang lolos saringan berdiameter 4,750 mm (no. 4) dan tertahan saringan berdiameter 0,075 mm (no. 200) (Hardiyatmo, 2002). Tanah granular adalah tanah berbutir kasar tidak mempunyai komponen kohesi (c = 0), maka kuat gesernya hanya bergantung pada gesekan antar butiran tanah. Tanah granular, seperti pasir, kerikil, batuan, dan campurannya, mempunyai sifatsifat teknis yang sangat baik. Sifat-sfat tanah tersebut, antara lain (Hardiyatmo, 2002) : 1) Merupakan material yang baik untuk mendukung bangunan dan badan jalan, karena mempunyai kapasitas dukung yang tinggi dan penurunan kecil, asalkan tanahnya relatif padat. Penurunan terjadi segera sesudah penerapan beban. Jika dipengaruhi getaran pada frekuensi tinggi, penurunan besar dapat terjadi pada tanah yang tidak padat. 2) Merupakan material yang baik untuk tanah urug pada dinding penahan tanah, struktur bawah tanah, dan lain-lain, karena menghasilkan tekanan lateral yang kecil. Mudah dipadatkan dan merupakan material untuk drainasi yang baik, karena lolos air. 3) Tanah yang baik untuk timbunan, karena mempunyai kuat geser yang tinggi. 4) Bila tidak dicampur dengan material kohesif, tidah dapat digunakan sebagai bahan tanggul, bendungan, kolam, dan lain-lain, karena permeabilitasnya besar. Galian pada tanah granular yang terendam air perlu penanganan yang baik. 5) Kuat geser dan kompresibilitas tanah granular tergantung dari kepadatan butiran yang biasanya dinyatakan dalam kerapatan relatif(Dr). Kerapatan relatif dapat ditentukan dari uji penetrasi, contohnya alat uji penetrasi standard (SPT). 6) Tanah granular tergantung pada ukuran dan bentuk butirannya. Semakin besar dan kasar permukaan butiran, semakin besar kuat gesernya. Oleh pengaruh gaya geser,

butiran yang kecil mudah sekali menggelinding, sedang pada butiran yang besar, akibat geseran, butiran akan memaksa satu sama lain. Demikian pula mengenai gradasi, jika gradasi semakin baik, semakin besar kuat gesernya. 7) Kapasitas dukung dalam kepadatan sedang atau besar mempunyai kapasitas dukung yang tinggi. Tanah pasir merupakan material granular yang mempunyai kapasitas dukung dan kompresibilitas yang sama seperti kerikil. Namun, jika tidak padat nilai kapasitas dukung izinnya menjadi rendah oleh persyaratan besarnya penurunan. C. Stabilisasi Tanah Stabilisasi tanah adalah perbaikan sifat-sifat tanah untuk mencapai persyaratan tertentu (Ingless dan Metcalf, 1972). Stabilisasi tanah penting dilakukan mengingat kenyataan di lapangan, sifat-sifat tanah tidak selalu memenuhi harapan dalam perencanaan suatu konstruksi. Sifat tanah yang jelek seperti butiran yang sangat lepas, permeabilitas yang tinggi, sangat mudah tertekan/mampat, kembang susut yang tinggi serta sifat-sifat lain yang tidak diinginkan dalam proyek konstruksi perlu distabilisasi. Umumnya, stabilisasi tanah terdiri tiga macam yaitu stabilisasi secara fisis, mekanis dan kimiawi. Stabilisasi fisis adalah stabilisasi yang dilakukan dengan cara mencampur tanah yang berkarakteristik jelek dengan tanah yang mempunyai karakteristik fisis lebih baik (gradasi baik). Stabilisasi mekanis adalah stabilisasi yang dilakukan dengan mengusahakan peningkatan kemampuan geser dan kohesi tanah. Sedangkan stabilisasi kimiawi adalah stabilisasi yang dilakukan dengan mengandalkan bahan stabilisator seperti semen portland, kapur dan bahan kimia lainnya untuk mengubah atau mengurangi sifatsifat tanah yang kurang menguntungkan dan pada umumnya disertai dengan pengikatan terhadap butiran tanah. D. Kapur Batu Kapur banyak dijumpai di Indonesia, karena hampir di seluruh wilayah Indonesia terdapat daerah penghasil kapur. Kapur termasuk bahan bangunan yang penting. Di Indonesia kapur ini juga sudah lama dikenal sebagai bahan ikat dalam pembuatan tembok, pilar dan sebagainya. Sifat-sifat kapur sebagai bahan ikat antara lain plastis, mudah dan cepat mengeras, daya ikat baik (Tjokrodimuljo, 1992). batu kapur (kalsiumkarbonat/CaCO3). Apabila Kapur didapat melalui proses pembakaran dibakar dengan suhu tertentu akan

mengeluarkan gas yang disebut karbon dioksida (CO2), dan menjadi kalsium oksida (CaO) atau yang biasa disebut kapur tohor (quick lime).

Kalsium oksida ini kemudian dicampur dengan sedikit air yang akan menyebabkan terserapnya air dan mengembang hingga menghasilkan serbuk kapur yang dikenal sebagai kalsium hidroksida [(Ca(OH2)] atau yang biasa disebut kapur padam (slake lime/hydrated lime) (Tjokrodimuljo, 1992). Penggunaan kapur padam untuk stabilisasi disarankan berupa bubuk. Hal ini sangat penting untuk proses hidrasi dan mengurangi masalah yang mungkin timbul. Kapur padam lebih banyak digunakan dalam proses stabilisasi, meskipun kapur tohor lebih efektif dan menyelesaikan banyak masalah, namun demikian masih ada beberapa kelemahan pada proses kapur tohor yaitu mempermudah terjadinya korosi pada peralatan dan bagi pelaksana sangat berbahaya karena kulit pelaksana dapat terbakar. E. Stabilisasi Tanah Dengan Kapur Stabilisasi tanah dalam (deep soil stabilization) menggunakan kapur merupakan metode yang sering dilakukan untuk perbaikan tanah. Metode ini dilakukan dengan cara menyemprotkan (injection) campuran kering kapur ke dalam tanah sehingga terbentuklah kolom-kolom tegak (Rogers & Glendinning, 1997). Teknik ini akan meningkatkan kuat dukung dan mengurangi penurunan sebagai akibat dari meningkatnya kekuatan dan kekakuan tanah. Uji model di lapangan (full scale model) oleh Baker (2000) menunjukkan bahwa penggunaan kolom kapur memiliki daktilitas yang lebih baik dibandingkan dengan kolom kapur-semen. Penggunaan kapur untuk pembuatan kolom kapur oleh Roger dan Glendinning (2002) diusulkan didasarkan pada kebutuhan awal kapur (initial consumption of lime) oleh tanah yang penentuannya mengacu pada ASTM C977-98. Menurut Muntohar (2003), kadar kapur sejumlah 6% terhadap berat tanah sudah cukup untuk meningkatkan kekuatan tanah mengembang. Zhou dkk (2002) mengkaji tentang kapasitas dukung dan settlement dari kolom kapur-fly ash dengan uji model lapangan,. Uji lapangan ini menggunakan dua model yang berbeda yaitu kolom tunggal dan kelompok kolom dengan kadar kapur 10% dan 20%. Kolom tunggal berdiameter 0,50 m dan panjang 9,6 m, sedangkan kelompok kolom tersusun dari 4 kolom tunggal yang dihubungkan dengan kepala kolom berukuran 2 m x 2 m dengan jarak antar kolom 1 m. diketahui bahwa kelompok kolom kapur-abu terbang mengalami penurunan lebih besar dibandingkan dengan kolom tunggal untuk kadar kapur yang sama. Namun demikian,

kelompok kolom kapur-abu terbang mencapai kuat dukung yang lebih besar daripada kolom tunggal. Hal lain menunjukkan kinerja kolom kapur-abu terbang dalam kelompok lebih baik dibandingkan kolom tunggal. Tonoz dkk (2003) dan Budi (2003) mengkaji karakteristik kolom kapur terhadap sifatsifat tanah pada umur kolom 7 dan 28 hari dengan asumsi bahwa pada umur-umur tersebut telah terjadi reaksi kimia antara kapur dan tanah yang menyebabkan perubahan sifat-sifat tanah secara tetap. Muntohar (2003) mengkaji bahwa kekuatan kolom kapur terus meningkat sejalan dengan waktu hingga 56 hari, namun penambahan kekuatan relatif kecil setelah umur 7 hari. Beberapa peneliti melakukan kajian model laboratorium terhadap karakteristik kolom kapur untuk tanah lempung mengembang di wilayah Ankara (Turki) pada arah radial terhadap pusat kolom. Dalam penelitian tersebut, terdapat 4 kolom kapur yang diinstal dengan jarak masing-masing kolom sejauh tujuh kali diameter (7 x D). Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa jarak efektif dari pengaruh kolom kapur adalah 1 kali diameter ke arah radial. Namun, kolom kapur masih mampu memperbaiki sifatsifat geoteknis seperti kekuatan dan pengembangan sampai pada jarak 2 kali diameter (2D) (Tonoz dkk, 2003). Oleh peneliti disampaikan bahwa penyebaran kekuatan akibat kolom kapur adalah sampai jarak 2,5 3 kali diameter (2,5D 3D) dengan kekuatan terbesar dekat kolom (Budi, 2003). Muntohar dan Liao (2006) menunjukkan bahwa zona efektif penyebaran kolom kapur untuk arah radial adalah 2 kali diameter (2D) dan 4 kali diameter (4D) untuk arah vertikal. Peningkatan nilai pH di sekitar kolom kapur sebagai indikator terjadinya perbaikan juga ditunjukkan oleh Chand (2006). F. Perbaikan Tanah Untuk Mitigasi Likuifaksi Beberapa peneliti telah melakukan investigasi untuk perbaikan tanah berpasir yang memiliki potensi likuifaksi. Tanaka dkk (1991) menjelaskan bahwa pada prinsipnya bahaya likuifaksi dapat ditanggulangi dengan dua teknik yaitu : 1. memperbaiki sifat-sifat tanah, 2. memperbaiki kondisi yang berkaitan dengan tegangan, deformasi, dan tekanan air pori. Secara umum penanganan likuifaksi dapat dilakukan dengan cara memadatkan tanah di lapangan yang memakai teknik antara lain teknik getaran (vibro-compaction), perbaikan tanah dengan cara deep soil mixing, atau pemadatan dinamis (dynamic compaction). Pada kebanyakan penelitian, teknik perbaikan tanah (ground improvement) yang sering digunakan adalah teknik kolom-batu (stone-column) atau tiang-batu (stone-piers). Teknik ini mampu

mengurangi resiko kerusakan strukur akibat peristiwa likuifaksi (Mitchell, dkk., 1995; Martin, 2000). Selain itu, teknik kolom ini juga dapat digunakan sebagai fondasi untuk bangunan gedung (Kempfert, 2003). Teknik grouting dan deep mixing adalah teknik yang lebih efektif mengurangi likuifaksi. Deep mixing yang biasa dilakukan adalah dengan menggunakan teknik kolom kapur (lime column/LC), kolom semen (cement column/CC), atau kolom kapur-semen (lime-cement column/LCC). Teknik kolom-kapur atau kolom-semen untuk mengurangi resiko likuifaksi ini oleh Callagher dan Mitchell (2001) dikategorikan sebagai perbaikan tanah pasif (passive treatment). Liao dkk (2004) melakukan investigasi penggunaan gel colloid silica guna mengurangi potensi likuifaksi pada tanah berpasir pasca gempa Chi-Chi yang terjadi di Taiwan 1999. Metode grouting digunakan untuk melakukan proses stabilisasi sedangkan proses pengujian dilakukan pada masa perawatan 7, 14, dan 28 hari. Penelitian ini menunjukkan bahwa regangan yang ditimbulkan akibat adanya likuifaksi pada tanah yang tidak distabilisasi adalah 1,6 kali lebih besar dibanding dengan tanah yang di stabilisasi dengan gel colloid silica. Gallagher, dkk (2007) melakukan kajian di lapangan (field scale) untuk meneliti potensi penggunaan colloid silica sebagai bahan stabilisasi guna mengurangi penurunan (settlement) pada tanah berpasir. Metode slow injection digunakan untuk menstabilisasi tanah berpasir sampai pada kedalaman 2 m. Proses stabilisasi ini dilakukan pada area berdiameter 9 m dengan 8 lokasi injeksi colloid silica. Penelitian ini menunjukkan bawah tanah yang distabilisasi mengalami penurunan setinggi 0,3 m, lebih rendah 0,2 m di banding dengan tanah yang tidak distabilisasi yaitu setinggi 0,5 m. G. Sondir Uji sondir dimaksudkan untuk mengetahui kuat dukung tanah yang diuji, dengan melihat perlawanan penetrasi konis (qc) dan hambatan geser (qf). Perlawanan penetrasi konis adalah perlawanan tanah terhadap ujung konis yang dinyatakan dalam gaya per satuan luas. Alat sondir memiliki ujung kerucut dengan sudut 600, diameter dasar = 35,7 mm dengan luas irisan lintang 10 cm2 dan mempunyai selubung geser dengan luas muka 150 cm2 (Gambar 2.2). Alat ini digunakan dengan cara memutar stang pemutar pada alat sondir untuk menekan pipa guna memasukkan bikonis ke dalam tanah dengan kecepatan 10 sampai 20 mm/detik (standar ASTM D411-75T). Setelah pipa masuk sedalam 20 cm, pemutaran stang dihentikan. Pemutaran dilanjutkan kembali untuk menekan besi isi pipa. Pada penekanan pertama ujung

konis akan bergerak ke bawah sedalam 4 cm, dan jarum manometer bergerak. Tekanan yang ditunjuk oleh manometer dicatat. Tekanan inilah yang disebut perlawanan penetrasi konus (qc). Pada penekanan berikutnya, konis dan mantelnya bergerak ke bawah. Nilai manometer yang terbaca adalah nilai perlawanan lekat (qc + qf).

Karena uji kerucut statis (sondir) tidak mengeluarkan tanah saat pengujian berlangsung, maka jenis tanah tidak dapat diketahui dengan pasti. Robertson dan Campanella (1987) mengusulkan hubungan tahanan konus (qc) dengan rasio gesekan FR, untuk mengklasifikasikan tanah secara berdekatan, atau rasio gesekan dinyatakan oleh persamaan : FR = x 100 %

Pada Gambar 2.3 dapat disimpulkan salah satu indikasi adanya pengurangan resiko likuifaksi adalah meningkatkan cyclic resistance ratio (CRR) yang berhubungan langsung dengan nilai tahanan ujung kerucut (qc) dari hasil uji CPT.

Gambar 2.3 Grafik hubungan nilai cyclic resistance ratio (CRR) dengan nilai tahanan ujung kerucut (qc) terhadap indikasi likuifaksi.

G. Tata Cara Bangunan Tahan Gempa

Solusi untuk membangun tempat tinggal di daerah rawan gempa seperti di Indonesia ini selain dapat dibangun dengan cepat, juga berharga terjangkau. Indonesia terletak di daerah rawan gempa karena dilalui tiga lempeng tektonik besar, yaitu lempeng IndoAustralia, Eurasia, dan lempeng Pasifik. Karena itu, bangunan-bangunan di Indonesia harus dirancang

sedemikian rupa agar tahan terhadap guncangan gempa. Menurut Ir. Tavio, M.S., Ph.D Head of Laboratory of Concrete and Building Material Fakultas Teknik Sipil ITS, kebanyakan rumah di Indonesia memang telah dirancang sesuai standar bangunan yang berlaku di Indonesia. Namun, standar ini belum cukup aman untuk diterapkan di beberapa wilayah di Tanah Air, khususnya di wilayah yang memiliki risiko gempa tinggi. Sebut saja Padang, Sumatera Utara, sebagai contohnya. Pembagian wilayah gempa (WG) di Indonesia ada enam. Mulai dari WG1 sampai WG6 seperti yang tercantum dalam Tata Cara Gempa kita yang berlaku saat ini, yakni SNI 03-1726-2002." Riset yang dia lakukan bersama rekan-rekannya disesuaikan dengan beban gempa terbesar dalam standar tersebut. WG1 memiliki risiko gempa paling kecil sedangkan WG6 memiliki risiko yang paling tinggi. Contoh daerah yang masuk dalam WG1, kata Tavio, adalah Kalimantan.

Tahan Goncangan 7,5 SR

Rumah rancangan Tavio dan timnya mampu menahan percepatan tanah sekitar 0,3g, atau guncangan gempa di kisaran 7,5 Skala Richter (SR). Pengembangan desainnya membutuhkan waktu kurang lebih satu tahun.Hingga kini, mereka masih terus melakukan riset untuk mengoptimalkan desain mereka itu, baik dari segi mutu, biaya, waktu, kemudahan pelaksanaan, serta keawetannya. Sebenarnya, permasalahannya adalah dari segi biaya. Bila ingin rumah yang lebih tahan lagi terhadap gempa, maka biaya untuk pendetailan rumah itu akan dibuat lebih khusus dengan biaya yang lebih mahal," katanya. Pendetailan ini, menurutnya, meliputi setiap komponen struktur bangunan, termasuk material yang digunakan serta tulangan bajanya.

Pilihan Terbaik: Beton Pracetak

Beton pracetak mempunyai banyak keunggulan," jawab Tavio. Bahan ini cepat untuk dibangun menjadi rumah dan mutunya lebih terkendali karena dibuat melalui pabrikasi. Jika material ini diproduksi secara massal, harganya tentu bisa menjadi lebih murah.

Bukan itu saja, beton pracetak juga mudah dikirim dari satu lokasi ke lokasi lainnya. Hal itu, menurut Tavio, akan sangat membantu dalam penyediaan pemukiman bagi penduduk dalam tempo singkat. "Dan yang lebih penting lagi adalah, beton mempunyai nilai ekonomis dalam perawatantidak seperti baja yang mudah korosi kalau perawatannya tidak dilakukan secara baik dan berkala. Beton pracetak jauh lebih baik ketimbang kayu atau beton cor. Apa pasal? "Kayu punya masalah dengan keawetan terhadap cuaca. Kayu mudah lapuk dan rusak, serta rentan terhadap serangan rayap," kata dia. Selain itu, membangun rumah secara massal menggunakan kayu sangat tidak ramah lingkungan serta bisa menjurus pada masalah illegal logging dan kesulitan dalam hal rehabilitasi hutan.

Beton cor memang bisa dipilih untuk membangun rumah yang kuat. Tetapi sayang, pembangunan rumah dengan beton cor tidak bisa dilakukan dengan cepat karena harus menunggu proses pengerasannya. "Di lokasi pembangunan, bahan yang diperlukan juga akan sangat banyak dan ada yang terbuang," kata Tavio. Satu lagi kekurangannya, pembangunan massal bisa saja menurunkan mutu beton yang dipakai. Pembangunan massal akan menurunkan mutu beton karena kontrol kualitasnya menjadi lebih sulit. Selain itu, butuh biaya yang lebih besar untuk pembuatan bahan maupun pengecorannya di lapangan.

Kuat Meskipun Murah

Rumah tahan gempa yang dirancang oleh tim dari ITS ini terbilang murah. Rumah tipe 36 dengan satu lantai dapat dihargai Rp50 juta. Sementara rumah tipe 36 yang dibangun dengan dua lantai berharga Rp90 juta. Hebatnya, bangunan tempat tinggal ini dapat dibangun hanya dalam tiga hingga empat hari saja. Karena menggunakan konstruksi pracetak, jadi bangunannya semacam knockdown. Semua komponen dan sambungannya sudah difabrikasi dengan mutu yang terjamin dan siap dikirim ke lapangan sesuai dengan modul rumah tertentu. Semua komponen rumah sudah bisa diproduksi di pabrik menggunakan modul tertentu. "Cetakan juga sudah tersedia dan bisa diproduksi massal, seperti cetakan kue untuk setiap jenis kue dan bisa dipakai berulang-ulang."

Sebuah rumah membutuhkan satu set komponen struktur dan sambungan. Di lapangan, komponen-komponen dan sambungan itu tinggal dirakit sesuai dengan petunjuknya. "Petunjuk tahapdemi-tahap sudah tersedia lengkap, sehingga di lapangan tak diperlukan insinyur," kata Tavio. Pembangunan rumah cukup diawasi oleh orang yang mengerti cara membaca gambar dan petunjuk instalasinya, serta tukang atau buruh yang kuat. Karena itulah biaya pembangunan rumah ini menjadi sangat murah. Sistem ini akan sangat ekonomis bila dilakukan secara massal. Semakin banyak akan semakin murah dan cepat dalam sekali pembangunan," imbuh Tavio.

Lebih Baik Mencegah

Indonesia sudah memiliki cukup banyak pengalaman pahit terkait gempa dan risikonya. Gempa yang terjadi di Padang, Sumatera Barat beberapa waktu lalu hanya salah satu contohnya. Akibat gempat tersebut, ratusan jiwa melayang serta banyak bangunan roboh dan rusak parah. Untuk menghindari terjadinya hal serupa, antisipasi perlu dilakukan. "Penyediaan rumah dan

bangunan tahan gempa sebaiknya dan sudah seharusnya dilakukan sebelum bencana terjadi. Karena mencegah akan jauh lebih murah daripada mengobati. Kita berharap bangunan tahan gempa bisa menjadi prioritas di Indonesia. Yang terpenting adalah, masyarakat di Tanah Air bisa merasakan kehadiran rumah ini sebagai simbol dari karya bangsa sendiri, yang akan membawa perubahan pada kesejahteraan bangsa kita.