soa dan erm makalah seminar
TRANSCRIPT
Enterprise Risk Management (ERM) dan Sarbanes Oxley Act (SOA)
Disusun Oleh Kelompok 3
Andre Sabam P Munthe Andi Asriani
Muhammad Sholich
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Latar Belakang Sarbanes Oxley Act
Sarbanes Oxley Act (SOA) merupakan undang-undang yang diprakarsai oleh
Senator Paul Sarbanes (Maryland) dan Representative Michael Oxley (Ohio), dan telah
ditandatangani oleh Presiden George W. Bush pada tanggal 30 Juli 2002. Undang-
undang ini dikeluarkan sebagai respon dari Kongres Amerika Serikat Terhadap berbagai
skandal pada beberapa korporasi besar seperti Enron, WorldCom (MCI), AOL
TimeWarner, Aura Systems, Citigroup, Computer Associates International, CMS
Energy, Global Crossing, HealthSouth, Quest Communication, Safety-Kleen dan Xerox;
yang juga melibatkan beberapa KAP yang termasuk dalam “the big five” seperti: Arthur
Andersen, KPMG dan PWC. Semua skandal ini merupakan contoh tragis bagaimana
fraud schemes berdampak sangat buruk terhadap pasar, stakeholders dan para pegawai.
Salah satu skandal korporasi yang melatarbelakangi diterbitkannya Sarbanes Oxley
Act (SOA) adalah kasus Enron yang mulai terungkap pada bulan Desember tahun 2001
dan terus menggelinding pada tahun 2002.
Enron merupakan perusahaan dari penggabungan antara InterNorth (penyalur gas
alam melalui pipa) dengan Houston Natural Gas. Kedua perusahaan ini bergabung pada
tahun 1985. Bisnis inti Enron bergerak dalam industri energi, kemudian melakukan
diversifikasi usaha yang sangat luas bahkan sampai pada bidang yang tidak ada
kaitannya dengan industri energi. Diversifikasi usaha tersebut antara lain meliputi future
transaction, trading commodity non energy, dan kegiatan bisnis keuangan. Kasus Enron
mulai terungkap pada bulan Desember tahun 2001 dan terus menggelinding pada tahun
2002 yang berimplikasi sangat luas terhadap pasar keuangan global yang ditandai dengan
menurunnya harga saham secara drastis berbagai bursa efek di belahan dunia, mulai dari
Amerika, Eropa, sampai ke Asia. Enron, suatu perusahaan yang menduduki ranking
tujuh dari lima ratus perusahaan terkemuka di Amerika Serikat dan merupakan
perusahaan energi terbesar di AS jatuh bangkrut dengan meninggalkan utang hampir
sebesar USD 31,2 milyar.
Dalam kasus Enron diketahui terjadi perilaku moral hazard, diantaranya manipulasi
laporan keuangan dengan mencatat keuntungan USD 600 juta padahal perusahaan
mengalami kerugian. Manipulasi keuntungan disebabkan keinginan perusahaan agar
saham tetap diminati investor, kasus ini konon ikut melibatkan orang dalam gedung
putih, termasuk wakil presiden Amerika Serikat. Kronologis, fakta, data, dan informasi
dari berbagai sumber yang berkaitan dengan hancurnya Enron dapat diuraikan sebagai
berikut:
1. Board of Director (dewan direktur, direktur eksekutif, dan direktur non eksekutif)
membiarkan kegiatan-kegiatan bisnis tertentu mengandung unsur konflik
kepentingan dan mengijinkan terjadinya transaksi-transaksi berdasarkan informasi
yang hanya bisa diakses oleh pihak dalam perusahaan (insider trading), termasuk
praktek akuntansi dan bisnis tidak sehat sebelum hal tersebut terungkap kepada
publik.
2. Enron merupakan salah satu perusahaan besar pertama yang melakukakn
outsourcing secara total atas fungsi internal audit perusahaan.
a. Mantan Chief Audit Executive Enron (kepala internal audit) semula adalah partner
KAP Andersen yang ditunjuk sebagai akuntan publik perusahaan.
b. Direktur keuangan Enron berasal dari KAP Andersen.
c. Sebagian besar staf akunting Enron berasal dari KAP Andersen.
3. Pada awal tahun 2001, partner KAP Andersen melakukan evaluasi terhadap
kemungkinan mempertahankan atau melepaskan Enron sebagai klien perusahaan,
mengingat risiko yang sangat tinggi berkaitan dengan praktek akuntansi dan bisnis
Enron. Dari hasil evaluasi diputuskan untuk tetap mempertahankan Enron sebagai
klien KAP Anderson.
4. Salah seorang eksekutif Enron dilaporkan telah mempertanyakan praktek akunting
perusahaan yang dinilai tidak sehat dan mengungkapkan kekhawatiran berkaitan
dengan hal tersebut kepada CEO dan partner KAP Andersen pada pertengahan 2001.
CEO Enron menugaskan penasehat hukum perusahaan untuk melakukan investigasi
atas kekhawatiran tersebut tetapi tidak memperkenankan penasehat hukum untuk
mempertanyakan pertimbangan yang melatarbelakangi akuntansi yang dipersoalkan.
Hasil investiasi oleh penasehat hukum tersebut menyimpulkan bahwa tidak ada hal-
hal yang serius yang perlu diperhatikan.
5. Pada tanggal 16 Oktober 2001, Enron menerbitkan laporan keuangan triwulan
ketiga. Dalam laporan itu disebutkan bahwa laba bersih Enron telah meningkat
menjadi $ 393 juta, naik $ 100 juta dibandingkan periode sebelumnya. CEO Enron,
Kenneth Lay, menyebutkan bahwa Enron secara berkesinambungan memberikan
prospek yang sangat baik. Ia tidak menjelaskan secara rinci tentang pembebanan
biaya akuntansi khusus (special accounting charge/expense) sebesar $ 1 milyar yang
sesungguhnya menyebabkan hasil aktual pada periode tersebut menjadi rugi $ 644
juta. Para analis dan reporter kemudian mancari tahu lebih jauh mengenai beban $ 1
milyar tersebut, dan ternyata berasal dari transaksi yang dilakukan oleh perusahaan-
perusahaan yang didirikan oleh CFO Enron.
6. Pada tanggal 2 Desember 2001, Enron mendaftarkan kebangkrutan perusahaan ke
pengadilan dan memecat 5000 pegawai. Pada saat itu terungkap bahwa terdapat
utang perusahaan yang tidak dilaporkan senilai lebih dari satu milyar dolar. Dengan
pengungkapan ini nilai investasi dan laba yang ditahan (retained earning) berkurang
dalam jumlah yang sama.
7. Enron dan KAP Andersen dituduh telah melakukan kriminal dalam bentuk
penghancuran dokumen yang berkaitan dengan investigasi atas kebangkrutan Enron
(penghambat terhadap proses peradilan).
8. Dana pensiun Enron sebagian besar diinvestasikan dalam bentuk saham Enron.
Sementara itu harga saham Enron terus menurun sampai hampir tidak ada nilainya.
9. KAP Andersen diberhentikan sebagai auditor Enron pada pertengahan Juni 2002.
Sementara KAP Andersen menyatakan bahwa penugasan audit oleh Enron telah
berakhir pada saat Enron mengajukan proses kebangkrutan pada 2 Desember 2001.
10. CEO Enron, Kenneth Ley, mengundurkan diri pada tanggal 2 Januari 2002 akan
tetapi masih dipertahankan posisinya di dewan direktur perusahaan. Pada tanggal 4
Februari 2002, Mr. Lay mengundurkan diri dari dewan direktur perusahaan.
11. Tanggal 28 Februari 2002 KAP Andersen menawarkan ganti rugi USD 750 juta
untuk menyelesaikan berbagai gugatan hukum yang diajukan kepada KAP
Andersen.
12. Pemerintahan Amerika (The US General Service Aministration) melarang Enron dan
KAP Andersen untuk melakukan kontrak pekerjaan dengan lembaga pemerintahan
di Amerika.
13. Tanggal 14 Maret 2002 departemen kehakiman Amerika memvonis KAP Andersen
bersalah atas tuduhan melakukan penghambatan dalam proses peradilan karena telah
menghancurkan dokumen-dokumen yang sedang diselidiki.
14. KAP Andersen terus menerima konsekuensi negatif dari kasus Enron berupa
kehilangan klien, pembelotan afiliasi yang bergabung dengan KAP yang lain dan
pengungkapkan yang meningkat mengenai keterlibatan pegawai KAP Andersen
dalam kasus Enron.
15. Tanggal 22 Maret 2002 mantan ketua Federal Reserve, Paul Volkcer, yang direkrut
untuk melakukan revisi terhadap praktek audit dan meningkatkan kembali citra KAP
Andersen, mengusulkan agar manajemen KAP Andersen yang ada diberhentikan
dan membentuk suatu komite yang diketuai oleh Paul sendiri untuk menyusun
manajemen baru.
16. Tanggal 26 Maret 2002 CEO Anderson Joseph Berandino mengundurkan diri dari
jabatannya.
17. Tanggal 8 April 2002 seorang partner KAP Andersen, David Duncan, yang
bertindak sebagai penanggung jawab audit Enron mengaku bersalah atas tuduhan
melakukan hambatan proses peradilan dan setuju untuk menjadi saksi kunci di
pengadilan bagi kasus KAP Anderson dan Enron.
18. Tanggal 9 April 2002 Jeffrey McMahon mengumumkan pengunduran diri sebagai
presiden dan Chief Operating Officer Enron yang berlaku efektif 1 Juni 2002.
19. Tanggal 15 Juni 2002 juri federal di Houston menyatakan KAP Andersen bersalah
telah melakukan hambatan terhadap proses peradilan.
Praktek bisnis Enron yang menjadikannya bangkrut dan hancur berimplikasi
negatif bagi banyak pihak. Pihak yang dirugikan dari kasus ini tidak hanya investor
Enron saja, tetapi terutama karyawan Enron yang menginvestasikan dana pensiunnya
dalam saham perusahaan serta investor di pasar modal umumnya (social impact).
Milyaran dolar kekayaan investor terhapus seketika dengan meluncurnya harga saham
berbagai perusahaan di bursa efek. Jika dilihat dari agency theory, Andersen sebagai
KAP telah menciderai kepercayaan dari pihak stock holder atau principal untuk
memberikan suatu fairness information mengenai pertanggungjawaban dari pihak agent
dalam mengemban amanah dari principal. Pihak agent dalam hal ini manajemen Enron
telah bertindak secara rasional untuk kepentingan dirinya (self interest oriented) dengan
melupakan norma dan etika bisnis yang sehat.
Kasus Enron dan KAP Anderson memberikan dampak di Amerika. Kasus ini
mempunyai implikasi terhadap pembaharuan tatanan kondisi maupun regulasi praktek
bisnis di Amerika Serikat dengan diterbitkannya Sarbanes Oxley Act (SOA) oleh
pemerintah AS untuk melindungi para investor melalui:
Pengungkapan keuangan yang lebih:
1. Akurat;
2. Tepat waktu;
3. Komprehensif; dan
4. Dapat dimengerti.
Tata kelola perusahaan yang lebih baik.
Pengawasan yang lebih ketat dengan pembentukan PCAOB (Public Company
Accounting Oversight Board)
Pengendalian internal yang lebih baik.
Berikut implikasi terhadap pembaharuan tatanan kondisi maupun regulasi praktek
bisnis di Amerika Serikat dengan diterbitkannya SOA.
1. Perubahan-perubahan yang ditentukan dalam Sarbanse-Oxley Act adalah sebagai
berikut:
Untuk menjamin independensi auditor, maka KAP dilarang memberikan jasa
non audit kepada perusahaan yang diaudit. Berikut ini adalah sejumlah jasa
non audit yang dilarang:
a. Pembukuan dan jasa lain yang berkaitan.
b. Desain dan implementasi sistem informasi keuangan.
c. Jasa appraisal dan valuation.
d. Opini fairness.
e. Fungsi-fungsi berkaitan dengan jasa manajemen.
f. Broker, dealer, dan penasehat investasi.
Membutuhkan persetujuan dari komite audit perusahaan sebelum melakukan
audit. Jika tidak ada, maka seluruh dewan komisaris menjadi komite audit.
Melarang KAP memberikan jasa audit jika audit partnernya telah memberikan
jasa audit tersebut selama lima tahun berturut-turut kepada klien tersebut.
KAP harus segera membuat laporan kepada komite audit yang menunjukkan
kebijakan akuntansi yang penting yang digunakan, alternatif perlakuan-
perlakuan akuntansi yang sesuai standar dan telah dibicarakan dengan
manajemen perusahaan, pemilihannya oleh manajemen dan preferensi auditor.
KAP dilarang memberikan jasa audit jika CEO, CFO, Chief Accounting
Officer, dan controller klien sebelumnya berkerja di KAP tersebut dan
mengaudit klien tersebut setahun sebelumnya.
2. SOA melarang pemusnahan atau manipulasi dokumen yang dapat menghalangi
investigasi pemerintah kepada perusahaan yang menyatakan bangkrut. Setelah itu,
kini CEO dan CFO harus membuat surat pernyataan bahwa laporan keuangan
yang mereka laporkan adalah sesuai dengan peraturan SEC dan semua informasi
yang dilaporkan adalah wajar dan tidak ada kesalahan material. Sebagai
tambahan, menjadi semakin banyak ancaman pidana bagi mereka yang melakukan
pelangaran ini.
3. Sarbanes-Oxley merekomendasikan pembentukan badan pengawas akuntan publik
di pasar modal.
Sarbanes Oxley Act mengikat semua perusahaan publik yang mencatatkan
bursanya di pasar modal Amerika Serikat (NYSE dan NASDAQ) dan kantor akuntan
yang memeriksanya baik kantor akuntan tersebut berada dalam yurisdiksi Amerika
Serikat maupun bukan. Peraturan ini mulai berlaku 15 November 2004 untuk perusahaan
yang memiliki float melebihi USD75 juta dan 15 Juli 2005 untuk sisa perusahaan
lainnya.
2.2 SOA dan Lingkungan Pengendalian yang Berbasis ERM (Enterprise Risk Management)
Dunia bisnis di Amerika terguncang dengan adanya kasus Enron yang terkuak pada
akhir tahun 2001. Sebuah kasus rekayasa keuangan dan malpraktik akuntansi, yang
kemudian diikuti oleh terkuaknya kasus-kasus lain sejenis seperti kasus WorldCom,
Merck, dan sebagainya. Salah satu faktor penting yang menyebabkan itu semua, menurut
Hamilton dan Francis (2003) mengutip laporan William C. Powers, Dekan Law School
University of Texas, yang juga mengetuai Komite Investigasi Khusus―Board of
Directors Enron Corporation, adalah kelemahan sistem pengendalian intern dan proses
manajemen risiko dalam memitigasi risiko.
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa pada tanggal 23 Januari 2002
kongres Amerika Serikat (AS) mengesahkan sebuah undang-undang perlindungan bagi
para investor yang secara singkat disebut “Sarbanes-Oxley Act of 2002” (SOA) sebagai
respon atas kasus-kasus yang terkuak di AS seperti kasus Enron. Undang-undang ini
merupakan reformasi pengaturan corporate governance terbesar setelah Securities Act of
1933 dan Securities Exhange Act of 1934. SOA menjadi sangat penting karena sifatnya
yang mengikat sebagai hukum. Dengan adanya kewajiban tersebut, perhatian berbagai
kalangan terhadap pengendalian intern, manajemen risiko, dan good governance, sesuai
pengaturan Seksi 404 dari undang-undang tersebut, semakin meningkat (DeLoach, 2003).
Meningkatnya perhatian terhadap pengendalian intern, manajemen risiko, dan good
governance tersebut direspon oleh The Committee of Sponsoring Organizations of the
Treadway Commission (COSO) dengan menerbitkan Enterprise Risk Management
(“ERM”)–Integrated Framework pada bulan September 2004. Menyusul kemudian pada
November 2009, International Organization for Standardization (ISO) juga mengeluarkan
ISO 31000: Risk Management – Principles and Guidelines on Implementation.
2.2.1 Terminologi
Dalam berbagai artikel, ERM kadang kala muncul dalam istilah lain seperti
“strategic risk management”, “integrated risk management”, atau “holistic risk
management”. Semua istilah tersebut mengacu pada konsep yang sama yaitu bahwa
semuanya memandang risiko dan manajemen risiko secara komprehensif, bukan lagi
dengan pendekatan “silo” dimana risiko dikelola secara terpisah dan berbeda-beda di
dalam organisasi. Lebih jauh lagi, adanya kesamaan pandangan dalam berbagai istilah
tersebut bahwa manajemen risiko bukan hanya merupakan proses mitigasi risiko, namun
juga penciptaan nilai (value-creating) (CAS, 2003). Selain istilah-istilah tersebut, D’Arcy
dan Brogan (2001) menyatakan bahwa ERM merupakan istilah mutakhir dari istilah-
istilah tersebut, termasuk istilah setara lainnya yaitu “corporate risk management” dan
“business risk management”.
Sebagai sebuah terminologi yang relatif baru, belum terdapat sebuah definisi yang
berlaku umum dan diakui oleh semua kalangan, baik praktisi maupun akademisi.
Kalangan akademisi seperti Meulbroek (2002), dengan menggunakan istilah integrated
risk management, mendefinisikannya sebagai berikut:
“Identifikasi dan penilaian risiko-risiko yang mungkin mempengaruhi nilai
perusahaan secara kolektif, dan mengimplementasikan strategi pada tingkat
keseluruhan perusahaan untuk mengelola risiko-risiko tersebut”.
Sedangkan Vedpuriswar et.al. (2001) mendefinisikannya sebagai berikut:
“Suatu proses perencanaan, pengorganisasian, dan pengendalian kegiatan-
kegiatan organisasi dalam rangka meminimalkan pengaruh risiko terhadap
perusahaan baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang”.
Sementara itu, media massa yang melakukan riset terhadap praktik manajemen risiko
seperti majalah CFO (2002) mendefinisikan strategic risk management sebagai berkut:
“Suatu metode manajemen risiko yang menggunakan pendekatan pada tingkat
keseluruhan perusahaan untuk mengawasi dan mengelola risiko dalam rangka
mendukung tujuan stratejiknya”.
Sementara itu di kalangan praktisi aktuaria, sebagaimana didefinisikan oleh Casualty
Actuarial Society (2003), ERM adalah sebuah proses atau disiplin dengannya organisasi-
organisasi di semua industri menaksir, mengendalikan, mengeksploitasi, membiayai, dan
mengawasi risiko dari semua sumbernya dengan tujuan untuk meningkatkan nilai
perusahaan baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
Sedangkan praktisi perbankan, sekuritas, dan asuransi, mendefinisikan integrated risk
management sebagai suatu sistem yang memastikan keberadaan dan berjalannya kebijakan
dan prosedur yang dirancang untuk meningkatkan perhatian dan tanggung jawab
pemilikan risiko di seluruh perusahaan, serta untuk mengembangkan perangkat-perangkat
yang diperlukan untuk menangani risiko-risiko tersebut.
Sedikit berbeda dengan definisi tersebut, organisasi-organisasi praktisi akuntan dan
auditor keuangan yang berpengaruh dan tergabung dalam The Committee of Sponsoring
Organizations of the Treadway Commission (COSO)(2004), menyatakan bahwa ERM
berhubungan dengan risiko dan peluang yang berpotensi mempengaruhi nilai, dan
mendefinisikannya sebagai berikut:
“Suatu proses yang dipengaruhi oleh dewan direktur, manajemen, dan pihak
lain, yang diaplikasikan dalam penentuan strategi perusahaan, yang dirancang
untuk mengidentifikasi risiko-risiko yang mungkin mempengaruhi perusahaan,
dan mengelola risiko-risiko tersebut tetap berada pada selera risiko
perusahaan, serta memberikan pemastian yang memadai bahwa tujuan
perusahaan dapat dicapai”.
Definisi paling mutakhir diberikan oleh ISO, di mana manajemen risiko
didefinisikan sebagai upaya terkoordinasi untuk mengarahkan dan mengendalikan
kegiatan-kegiatan organisasi terkait dengan risiko (ISO Guide 73).
Dari berbagai definisi tersebut, walaupun dari sisi redaksional berbeda, namun dapat
diambil beberapa hal yang relatif sama yang membedakannya dengan manajemen risiko
tradisional, yaitu bahwa:
1. Proses dan sisteam dari ERM bersifat komprehensif, integratif, dan lintas
divisional pada manajemen risiko tradisional, risiko dikelola secara parsial (silo
based).
2. Tujuan dari ERM bersifat strategis yaitu pencapaian tujuan perusahaan yang lebih
baik dan pada akhirnya menciptakan, menambah, dan atau melindungi nilai
perusahaan. Pada manajemen risiko tradisional, tujuan terbatas pada mitigasi risiko
terbatas pada kegiatan atau unit bisnis tertentu.
2.2.3 Kerangka
Ada beberapa kerangka (framework) yang dikembangkan oleh beberapa pihak
seperti oleh COSO (2004), CAS (2003), atau oleh Miccolis dan Shah (2000), dan
terakhir yang dikeluarkan oleh ISO (2009). Kerangka yang dikembangkan oleh COSO
telah menjadi leader sejak tahun 2004 hingga saat ini. Hal ini dapat dimaklumi karena
kerangka dari COSO di-endorse oleh profesi-profesi terkait dengan akuntansi dan
keuangan serta pasar modal yang berpengaruh secara global. Namun kerangka ISO juga
tampaknya akan segera menjadi alternatif kerangka yang dapat dipakai dalam
manajemen risiko, mengingat ISO memiliki reputasi dan pengaruh yang besar dalam
harmonisasi standar di seluruh dunia. Berikut ini uraian ringkas kedua kerangka
tersebut.
2.2.3.1 Framework Model COSO
ERM versi COSO terdiri dari 8 komponen yang saling terkait. Kedelapan
komponen ini diturunkan dari bagaimana manajemen menjalankan perusahaan dan
diintegrasikan dengan proses manajemen. Kedelapan komponen ini diperlukan untuk
mencapai tujuan-tujuan perusahaan, baik tujuan strategis, operasional, pelaporan
keuangan, maupun kepatuhan terhadap ketentuan perundang-undangan. Komponen-
komponen tersebut adalah:
1. Lingkungan Internal (Internal Environment) – Lingkungan internal sangat
menentukan warna dari sebuah organisasi dan memberi dasar bagi cara
pandang terhadap risiko dari setiap orang dalam organisasi tersebut. Di
dalam lingkungan internal ini termasuk, filosofi manajemen risiko dan risk
appetite, nilai-nilai etika dan integritas, dan lingkungan di mana kesemuanya
tersebut berjalan.
2. Penentuan Tujuan (Objective Setting) – Tujuan perusahaan harus ada
terlebih dahulu sebelum manajemen dapat menidentifikasi kejadian-kejadian
yang berpotensi mempengaruhi pencapaian tujuan tersebut. ERM
memastikan bahwa manajemen memiliki sebuah proses untuk menetapkan
tujuan ddan bahwa tujuan yang dipilih atau ditetapkan tersebut terkait dan
mendukung misi perusahaan dan konsisten dengan risk appetite-nya.
3. Identifikasi Kejadian (Event Identification) – Kejadian internal dan
eksternal yang mempengaruhi pencapaian tujuan perusahaan harus
diidentifikasi, dan dibedakan antara risiko dan peluang. Peluang
dikembalikan (channeled back) kepada proses penetapan strategi atau tujuan
manajemen.
4. Penilaian Risiko (Risk Assessment) – Risiko dianalisis dengan
memperhitungkan kemungkinan terjadi (likelihood) dan dampaknya
(impact), sebagai dasar bagi penentuan bagaimana seharusnya risiko tersebut
dikelola.
5. Respons Risiko (Risk Response) – Manajemen memilih respons risiko –
menghindar (avoiding), menerima (accepting), mengurangi (reducing), atau
mengalihkan (sharing risk) – dan mengembangkan satu set kegiatan agar
risiko tersebut sesuai dengan toleransi (risk tolerance) dan risk appetite.
6. Kegiatan Pengendalian (Control Activities) – Kebijakan dan prosedur yang
ditetapkan dan diimplementasikan untuk membantu memastikan respons
risiko berjalan dengan efektif.
7. Informasi dan komunikasi (Information and Communication) – Informasi
yang relevan diidentifikasi, ditangkap, dan dikomunikasikan dalam bentuk
dan waktu yang memungkinkan setiap orang menjalankan tanggung
jawabnya.
8. Pengawasan (Monitoring) – Keseluruhan proses ERM dimonitor dan
modifikasi dilakukan apabila perlu. Pengawasan dilakukan secara melekat
pada kegiatan manajemen yang berjalan terus-menerus, melalui eveluasi
secara khusus, atau dengan keduanya.
2.2.3.2 Framework Model ISO
Sementara itu, ISO sebagaimana diterjemahkan secara bebas oleh Susilo et.al
(2010) membedakan kerangka manajemen risiko sendiri, dengan prinsip dan juga
proses manajemen risiko.
Menurut ISO, manajemen risiko suatu organisasi hanya dapat efektif bila mampu
menganut prinsip-prinsipbahwa manajemen risiko:
1. harus memberi nilai tambah;
2. adalah bagian terpadu dari proses organisasi;
3. adalah bagian dari proses pengambilan keputusan;
4. secara khusus menangani aspek ketidakpastian;
5. bersifat sistematik, terstruktur, dan tepat waktu;
6. berdasarkan pada informasi terbaik yang tersedia;
7. adalah khas untuk penggunaannya;
8. mempertimbangkan faktor manusia dan budaya;
9. harus transparan dan inklusif;
10. bersifat dinamis, berulang, dan tanggap terhadap perubahan; dan
11. harus memfasilitasi terjadinya perbaikan dan peningkatan organisasi secara
berlanjut.
Selanjutnya, agar dapat berhasil baik, manajemen risiko harus diletakkan dalam
suatu kerangka manajemen risiko. Kerangka ini akan menjadi dasar dan penataan
yang mencakup seluruh kegiatan manajemen risiko di segala tingkatan organisasi.
Kerangka manajemen risiko ini disusun khas ISO yaitu berdasarkan
siklus Plan(mendesain kerangka manajemen risiko) – Do (mengimplementasikan
kerangka manajemen risiko) –Check(memonitor dan mereview kerangka manajemen
risiko) – Act (perbaikan terus menerus kerangka manajemen risiko), dengan
sebelumnya harus mendapatkan mandat dan komitmen berlanjut dari manajemen
organisasi. Siklus kerangka manajemen risiko tersebut dapat digambarkan sebagai
berikut:
Kerangka kerja ini akan membantu organisasi mengelola risiko secara efektif
melalui penerapan proses manajemen risiko. Proses manajemen risiko hendaknya
merupakan bagian yang tak terpisahkan dari proses manajemen umum. Manajemen
risiko harus masuk dan menjadi bagian dari budaya organisasi, praktik terbaik
organisasi, dan proses bisnis organisasi.
Proses manajemen risiko menurut ISO meliputi 5 kegiatan, yaitu:
1. Komunikasi dan konsultasi, yaitu komunikasi dan konsultasi di antara para
pemangku kepentingan, internal maupun eksternal, yang harus dilakukan
seekstensif mungkin sesuai dengan kebutuhan dan pada setiap tahapan proses
manajemen risiko.
2. Menentukan konteks, yaitu menentukan batasan atau parameter internal dan
eksternal yang akan dijadikan pertimbangan dalam manajemen risiko,
menentukan lingkup kerja, dan kriteria risiko untuk proses-proses selanjutnya.
3. Asesmen risiko, yaitu mengidentifikasi risiko, menganalisis risiko, serta
mengevaluasi risiko. Mengidentifikasi risiko dilakukan dengan
mengidentifikasi sumber risiko, area dampak risiko, peristiwa dan
penyebabnya, serta potensi penyebabnya, sehingga bisa didapatkan sebuah
daftar risiko. Analisis risiko adalah upaya memahami risiko yang sudah
diidentifikasi secara lebih mendalam yang hasilnya akan menjadi masukan
bagi evaluasi risiko. Sedangkan evaluasi risiko adalah menentukan risiko-
risiko mana yang memerlukan perlakuan dan bagaimana prioritas
implementasinya.
4. Perlakuan risiko, meliputi upaya untuk menyeleksi pilihan-pilihan yang
dapat mengurangi atau meniadakan dampak serta kemungkinan terjadinya
risiko, kemudian menerapkan pilihan tersebut.
5. Monitoring dan review, bisa berupa pemeriksaan biasa atau oengamatan
terhadap apa yang sudah ada, baik secara berkala atau secara khusus. Kedua
bentuk ini harus dilakukan secara terencana.
Keseluruhan proses manajemen risiko menurut ISO tersebut dapat digambarkan
sebagai berikut:
2.2.4 ImplementasiPenerapan ERM pada suatu organisasi sudah barang tentu adalah sebuah
kemewahan yang manfaatnya sudah dijanjikan oleh pihak-pihak promotor model atau kerangka manajemen risiko. Apakah janji pasti terealisasi? Tidak ada yang menggaransi. Apapun model yang akan diterapkan, manajemen risiko yang intensional, sistematik dan terstruktur, bukanlah projek yang mudah dan murah. Yang sudah pasti
harus ada adalah komitmen dari seluruh pihak di dalam organisasi yang berkelanjutan, yang merasuk dalam proses bisnis, yang menjadi budaya dan gaya organisasi, bahwa risiko adalah ibarat sebuah pedang. Tanpa risiko, organisasi akan stagnan karena tidak ada tantangan. Namun karena risiko pula, organisasi akan bisa berjatuhan. Risiko harus ada, tapi harus pula dikelola. Untuk itulah manajemen risiko.