sni-tepung telur.pdf

56
SIFAT FISIK DAN FUNGSIONAL TEPUNG PUTIH TELUR AYAM RAS DENGAN WAKTU DESUGARISASI BERBEDA SKRIPSI RATNA PUSPITASARI PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006

Upload: mayang-wulan-sari

Post on 06-Nov-2015

420 views

Category:

Documents


45 download

TRANSCRIPT

  • SIFAT FISIK DAN FUNGSIONAL TEPUNG PUTIH TELUR AYAM RAS DENGAN WAKTU DESUGARISASI BERBEDA

    SKRIPSI

    RATNA PUSPITASARI

    PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN

    INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006

  • RINGKASAN

    RATNA PUSPITASARI. D14202007. 2006. Skripsi. Sifat Fisik dan Fungsional Tepung Putih Telur Ayam Ras dengan Waktu Desugarisasi Berbeda. Program Studi Teknologi Hasil Ternak. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

    Pembimbing Utama : Ir. Rukmiasih, MS Pembimbing Anggota : Zakiah Wulandari, S.TP., MSi

    Telur merupakan bahan pangan yang memiliki kandungan asam amino yang tinggi. Pengolahan telur banyak dilakukan dalam rangka memperpanjang umur simpan. Putih telur memiliki beberapa sifat fungsional diantaranya adalah berperan dalam pembentukan buih dan koagulasi. Pengeringan terhadap telur sering dilakukan dalam memperpanjang masa simpan telur. Proses pengeringan putih telur dapat mengakibatkan terjadinya reaksi Maillard. Desugarisasi merupakan suatu proses dalam pembuatan tepung putih telur dengan menambahkan ragi roti instant (Saccharomyces sp.). Desugarisasi dilakukan untuk mencegah terjadinya reaksi Maillard (pencoklatan) akibat proses pemanasan.

    Penelitian ini dilakukan di Bagian Ilmu Produksi Ternak Unggas, Bagian Teknologi Hasil Ternak, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Laboratorium Pengolahan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian serta Laboratorium Mikrobiologi dan Biokimia, SEAFAST Center (South East Asean Food Agricultural Science and Technology Center), Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini berlangsung selama 2 bulan, mulai bulan Mei 2006 hingga Juni 2006.

    Penelitian ini menggunakan telur ayam ras dengan umur satu hari sebanyak 96 butir. Hasil yang didapat dari masing-masing perlakuan diuji secara statistik dengan menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) dengan tiga taraf perlakuan. Sebagai perlakuan adalah waktu desugarisasi 0; 1; 2.5 dan 4 jam. Hasil perbedaan rataan antar perlakuan dilakukan uji Duncan.

    Data yang telah didapat dari masing-masing perlakuan secara statistik menunjukkan hasil yang berbeda sangat nyata (P

  • ABSTRACT

    Physical and Functional Characteristic of Hen Albumen Powder with Different Time Desugarization

    Puspitasari, R., Rukmiasih, and Z. Wulandari

    This studi was aimed to examine physical and functional characteristic of hen albumen powder in different time desugarization to hen albumen (0; 1; 2.5 and 4 hours). This research was carried out at poultry science laboratory and animal product technology laboratory, processing food technology laboratory, and SEAFAST Center, University Agricultural Bogor. The experimental design was randomized complete block design. The collected data was analyzed using analysis of variance (ANOVA) which was folllowed by the Duncan`s test for any significant result. The result show that different time desugarization has very significantly effect (P

  • SIFAT FISIK DAN FUNGSIONAL TEPUNG PUTIH TELUR AYAM RAS DENGAN WAKTU DESUGARISASI BERBEDA

    RATNA PUSPITASARI

    D 14202007

    Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Peternakan pada

    Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

    PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN

    INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006

  • SIFAT FISIK DAN FUNGSIONAL TEPUNG PUTIH TELUR AYAM RAS DENGAN WAKTU DESUGARISASI BERBEDA

    Oleh

    RATNA PUSPITASARI

    D 14202007

    Skripsi ini telah disetujui dan telah disidangkan dihadapan Komisi Ujian Lisan pada tanggal 15 September 2006

    Pembimbing Utama

    Pembimbing Anggota

    Ir. Rukmiasih, MS NIP 131 284 605

    Zakiah Wulandari, S.TP., MSi NIP 132 206 246

    Dekan Fakultas Perternakan Institut Pertanian Bogor

    Dr. Ir. Ronny R. Noor, M.Rur.Sc NIP 131 624 188

  • RIWAYAT HIDUP

    Penulis lahir pada tanggal 08 Juni 1984 di Cirebon. Penulis adalah anak

    ketiga dari enam bersaudara dari pasangan Bapak Ismail Ahmad Musyafa (Alm) dan

    Ibu Chaeriah Harun.

    Penulis menyelesaikan Taman Kanak-kanak di TK Islam Al-Azhar Cirebon

    pada tahun 1990, pendidikan dasar diselesaikan pada tahun 1996 di SDN Pekalangan

    I Cirebon, pendidikan lanjutan menengah pertama diselesaikan di SLTPN 16 Cirebon

    pada tahun 1999, dan pendidikan menengah atas diselesaikan pada tahun 2002 di

    SMU Mandiri Cirebon. Penulis diterima sebagai mahasiswa Teknologi Hasil Ternak,

    Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut

    Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB pada tahun 2002.

    Selama mengikuti pendidikan, penulis pernah menjadi anggota dan

    pengurus Himpunan Mahasiswa Ilmu Produksi Ternak (HIMAPROTER), Ikatan

    Keluarga Cirebon, serta mengikuti beberapa kegiatan kepanitiaan, pelatihan dan

    seminar yang di laksanakan di Institut Pertanian Bogor.

  • KATA PENGANTAR

    Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan

    rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan dengan baik skripsi

    berjudul Sifat Fisik dan Fungsional Tepung Putih Telur Ayam Ras dengan

    Waktu Desugarisasi Berbeda pengolahan telur menjadi tepung belum lazim

    dilakukan di Indonesia. Pengolahan telur menjadi tepung telur mampu

    memperpanjang masa simpan, mempermudah dalam penanganan, serta mengurangi

    biaya transportasi.

    Desugarisasi adalah suatu proses perombakan glukosa yang terkandung

    dalam putih telur dengan cara menambahkan ragi roti instant (Saccharomyces sp.)

    pada bahan. Proses desugarisasi dalam pembuatan tepung putih telur dilakukan untuk

    menghindari terjadinya reaksi Maillard (pencoklatan) putih telur akibat adanya

    proses pemanasan dalam pembuatan tepung putih telur.

    Bogor, September 2006

    Penulis

  • DAFTAR ISI

    Halaman

    RINGKASAN .............................................................................................. i

    ABSTRACT ................................................................................................. ii

    RIWAYAT HIDUP ..................................................................................... iii

    KATA PENGANTAR ................................................................................. iv

    DAFTAR ISI ................................................................................................ v

    DAFTAR TABEL ........................................................................................ vii

    DAFTAR GAMBAR ................................................................................... viii

    DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................ ix

    PENDAHULUAN ....................................................................................... 1

    Latar Belakang ................................................................................. 1 Tujuan .............................................................................................. 2

    TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................. 3

    Komposisi Gizi Telur Ayam.............................................................. 3 Proses Pembuatan Tepung Putih Telur ............................................ 5

    Pasteurisasi ........................................................................... 5 Desugarisasi ......................................................................... 6 Pengeringan .......................................................................... 7

    Syarat Mutu Tepung Putih Telur ..................................................... 9 Daya dan Kestabilan Buih ............................................................... 11 Mekanisme Pembentukan Buih ....................................................... 14 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Daya dan Kestabilan Buih ...... 15

    METODE PENELITIAN ............................................................................ 17

    Lokasi dan Waktu ............................................................................ 17 Materi ............................................................................................... 17 Rancangan ........................................................................................ 17 Perlakuan ............................................................................. 17 Model ................................................................................... 17 Peubah yang Diamati ........................................................... 18 Analisis Data ........................................................................ 19

    Prosedur ........................................................................................... 19

    HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................... 23

    Kadar Air .......................................................................................... 23 Sifat Fisik Tepung Putih Telur Ayam Ras ....................................... 24 Nilai pH ................................................................................ 24 Nilai pH Setelah Desugarisasi ................................ 24 Nilai pH Tepung Putih Telur .................................. 25

    Rendemen ............................................................................ 27

  • Waktu rehidrasi .................................................................... 27 Kecerahan ............................................................................ 28

    Sifat Fungsional Tepung Putih Telur Ayam Ras ............................. 29 Daya Buih ............................................................................ 29 Kestabilan Buih .................................................................... 30

    KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................... 33

    Kesimpulan ...................................................................................... 33 Saran ................................................................................................ 33

    UCAPAN TERIMAKASIH ........................................................................ 34

    DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 35

    LAMPIRAN ................................................................................................. 38

  • DAFTAR TABEL

    Nomor Halaman

    1. Komposisi Kimia Telur Ayam Ras ..................................................... 4

    2. Komposisi Putih Telur Cair dan Putih Telur Kering ......................... 10

    3. Syarat Mutu Tepung Putih Telur ....................................................... 10

    4. Protein dalam Putih Telur .................................................................. 12

    5. Kadar Air pada berbagai Lama Desugarisasi Berbeda ........................ 23

    6. pH Awal, pH Setelah Penambahan Asam Sitrat 5 %, pH Setelah Desugarisasi, pH Tepung Putih Telur, Rendemen, Waktu Rehidrasi, dan Kecerahan Tepung Putih Telur pada berbagai Lama Desugarisasi Berbeda ............................................................................................... 25

    7. Daya dan Tirisan Buih Tepung Putih Telur pada berbagai Lama Desugarisasi Berbeda .......................................................................... 29

  • DAFTAR GAMBAR

    Nomor Halaman

    1. Mekanisme Pembentukan Buih .................................................... 14

    2. Pembuatan Tepung Putih Telur dengan Metode Pan Drying ....... 20

  • DAFTAR LAMPIRAN

    Nomor Halaman

    1. Analisis Ragam Kadar Air Tepung Putih Telur Ayam Ras dengan Lama Desugarisasi Berbeda .............................................. 39

    2. Uji Lanjut Duncan Kadar Air Tepung Putih Telur Ayam Ras pada berbagai Lama Desugarisasi Berbeda .................................... 39

    3. Analisis Ragam pH Setelah Desugarisasi Tepung Putih Telur Ayam Ras dengan Lama Desugarisasi Berbeda ............................. 39

    4. Uji Lanjut Duncan pH Setelah Desugarisasi pada berbagai Lama Desugarisasi Berbeda ............................................................ 40

    5. Analisis Ragam pH Tepung Putih Telur Ayam Ras dengan Lama Desugarisasi Berbeda ............................................................ 40

    6. Uji Lanjut Duncan pH Tepung Putih Telur Ayam Ras pada berbagai Lama Desugarisasi Berbeda ............................................. 40

    7. Analisis Ragam Rendemen Tepung Putih Telur Ayam Ras dengan Lama Desugarisasi Berbeda ............................................... 41

    8. Uji Lanjut Duncan Rendemen Tepung Putih Telur Ayam Ras pada berbagai Lama Desugarisasi Berbeda .................................... 41

    9. Analisis Ragam Waktu Rehidrasi Tepung Putih Telur Ayam Ras dengan Lama Desugarisasi Berbeda ........................................ 41

    10. Analisis Ragam Kecerahan Tepung Putih Telur Ayam Ras dengan Lama Desugarisasi Berbeda ............................................... 42

    11. Uji Lanjut Duncan Kecerahan Tepung Putih Telur Ayam Ras pada berbagai Lama Desugarisasi Berbeda .................................... 42

    12. Analisis Ragam Daya Buih Tepung Putih Telur Ayam Ras dengan Lama Desugarisasi Berbeda ............................................... 42

    13. Uji Lanjut Duncan Daya Buih Tepung Putih Telur Ayam Ras pada berbagai Lama Desugarisasi Berbeda .................................... 43

    14. Analisis Ragam Tirisan Buih Tepung Putih Telur Ayam Ras dengan Lama Desugarisasi Berbeda ............................................... 43

    15. Uji Lanjut Duncan Tirisan Buih Tepung Putih Telur Ayam Ras pada berbagai Lama Desugarisasi Berbeda .................................... 43

    16. Daya Buih Tepung Putih Telur dangan Lama Desugarisasi Berbeda ........................................................................................... 44

  • PENDAHULUAN

    Latar Belakang

    Pemenuhan gizi akan protein sangat penting di dalam tubuh. Sumber protein

    hewani dapat diperoleh diantaranya dengan mengkonsumsi daging dan telur. Telur

    sangat dibutuhkan oleh tubuh manusia karena memiliki kandungan asam-asam amino

    yang lengkap dan seimbang, vitamin, serta daya cerna yang tinggi. Konsumsi

    masyarakat terhadap telur ayam relatif tinggi dan sering digunakan dalam

    pengolahan bahan pangan seperti pembuatan roti dan kue.

    Telur merupakan bahan pangan yang mudah mengalami kerusakan.

    Tingginya produksi telur di Indonesia, mencapai 66.636.000 ton pada tahun 2004

    (Departemen Pertanian, 2004) merupakan alasan perlu dilakukannya pengolahan

    serta pengawetan terhadap telur untuk memperpanjang masa simpannya.

    Pengeringan merupakan suatu metode pengawetan dengan cara menghilangkan kadar

    air bahan pangan. Proses pengeringan telur terdiri dari beberapa metode diantaranya

    adalah metode pan drying. Pan drying atau pengeringan lapis tipis merupakan suatu

    metode pengeringan dengan menggunakan oven yang dilakukan secara sederhana.

    Kelemahan yang dapat timbul pada proses pengeringan adalah akan

    menyebabkan terjadinya reaksi Maillard. Reaksi pencoklatan (Maillard) terjadi

    karena adanya reaksi gula pereduksi dengan gugus amina primer sehingga

    menghasilkan senyawa melanoidin yang menyebabkan warna coklat akibat

    pemanasan. Proses yang dilakukan dalam mencegah terjadinya reaksi Maillard

    adalah dengan melakukan desugarisasi.

    Desugarisasi adalah suatu proses penghilangan glukosa yang terdapat pada

    putih telur dengan cara menambahkan Saccharomyces sp. yang dilakukan sebelum

    proses pengeringan. Proses desugarisasi dapat menyebabkan terjadinya perubahan

    sifat fisik dan fungsional akibat adanya pemecahan glukosa yang terdapat di dalam

    putih telur. Lama desugarisasi diperkirakan mempengaruhi sifat fisik dan fungsional

    tepung putih telur yang dihasilkan sehingga perlu dilakukan penelitian terhadap lama

    desugarisasi yang berbeda untuk memaksimalkan sifat fisik dan fungsional tepung

    putih telur.

  • Tujuan

    Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mempelajari pengaruh lamanya

    waktu desugarisasi terhadap kadar air, nilai pH, rendemen, waktu rehidrasi,

    kecerahan, daya dan tirisan buih dari tepung putih telur.

  • TINJAUAN PUSTAKA

    Komposisi Gizi Telur Ayam

    Telur merupakan protein hewani yang memiliki kandungan asam-asam amino

    yang lengkap dan seimbang. Telur adalah sumber protein hewani yang dapat

    dijangkau bagi seluruh lapisan masyarakat. Telur merupakan bahan utama yang

    sering digunakan pada proses pembuatan kue, roti. Zat-zat makanan yang terdapat

    pada telur sangat dibutuhkan oleh tubuh manusia seperti protein, mineral, vitamin,

    lemak, serta memiliki daya cerna yang tinggi (Sirait, 1986).

    Telur secara fisik dibagi menjadi tiga komponen yaitu kerabang telur (egg

    shell) 12,3%, putih telur (egg white) 55,8%, dan kuning telur (egg yolk) 31,9%

    (Stadelman dan Cotterril, 1995). Kerabang telur merupakan bagian paling keras dan

    kaku. Kerabang memiliki fungsi utama sebagai pelindung isi telur terhadap

    kontaminasi mikroorganisme (Sirait, 1986). Kerabang telur sebagian besar terdiri

    dari kalsium karbonat. Kerabang telur memiliki banyak pori-pori. Jumlah pori-pori

    pada kerabang bervariasi antara 100-200 buah per cm2 (Winarno dan Sutrisno, 2002).

    Kuning telur berbentuk bulat dengan warna kuning atau oranye dan terletak

    pada pusat telur dan bersifat elastis. Warna kuning pada kuning telur disebabkan oleh

    kandungan pigmen karotenoid yang berasal dari pakan. Posisi kuning telur akan

    bergeser bila telur mengalami penurunan kualitas (Buckle et al., 1987).

    Putih telur terdiri dari empat lapisan yang tersusun dari lapisan encer luar

    (23,2%), lapisan kental luar (57,3%), lapisan encer dalam (16,8%), dan lapisan kental

    dalam atau khalazaferous (2,7%) (Stadelman dan Cotterill, 1995). Menurut Zayas

    (1997) komponen terbesar dalam putih telur mengandung protein dan air. Komposisi

    kimia yang terdapat dalam telur ayam dapat dilihat pada Tabel 1. Komponen

    penyusun putih telur sebagian besar tersusun oleh air. Air akan mempengaruhi daya

    simpan suatu bahan pangan. Air sangat berpengaruh dalam pengolahan dan

    pengawetan bahan pangan. Perbedaan tingkat kekentalan putih telur dipengaruhi oleh

    kandungan air yang menyusunnya (Romanoff and Romanoff, 1963). Telur

    mengandung komponen-komponen lain selain air dan protein seperti lemak,

    karbohidrat, kalsium, pospor, besi, vitamin A yang masing-masing jumlahnya dapat

    dilihat pada Tabel 1.

  • Tabel 1. Komposisi Kimia Telur Ayam Ras (dalam 100 gram berat bahan)

    Komposisi Telur Utuh Kuning Telur Putih Telur

    Kalori (Kal) 148,0 361,0 50,0

    Air (g) 74,0 49,4 87,8

    Protein (g) 12,8 16,3 10,8

    Lemak (g) 11,5 31,9 0,0

    Karbohidrat (g) 0,7 0,7 0,8

    Kalsium (mg) 54,0 147,0 6,0

    Pospor (mg) 180,0 586,0 17,0

    Vitamin A (SI) 900,0 200,0 0,0 Sumber : Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI (1979)

    Komponen telur didalam produk pangan sangat penting. Hal yang penting

    dalam proses pangan komersil adalah sifat fungsional telur yang ditentukan oleh

    kondisi protein telur untuk berkoagulasi. Proses pemanasan, garam, asam, basa, atau

    pereaksi lain seperti urea (Winarno dan Sutrisno, 2002) yang dilakukan pada putih

    telur akan menyebabkan terjadinya koagulasi protein telur. Koagulasi disebabkan

    karena protein mengalami agregasi dan terbentuknya ikatan antar molekul. Ikatan

    yang terbentuk yaitu ikatan hidrofobik, ikatan hidrogen, dan ikatan disulfida.

    Koagulasi yang terjadi karena panas disebabkan karena adanya reaksi antara protein

    dan air yang diikuti dengan penggumpalan protein. Putih telur ayam akan mengalami

    koagulasi pada suhu 62oC selama 10 menit (Winarno dan Sutrisno, 2002).

    Fungsi telur dalam pengolahan bahan pangan adalah untuk menimbulkan

    buih, sebagai emulsifier, dan koagulasi (Matz, 1992). Protein putih telur memiliki

    komponen yang dapat memberikan kestabilan terhadap buih. Volume dan kestabilan

    buih menurut beberapa peneliti terdahulu, dipengaruhi oleh beberapa faktor

    diantaranya umur telur, pengocokan dan penambahan bahan-bahan kimia atau

    stabilisator, komposisi protein, pH, pemanasan, adanya garam dan komposisi fase

    cair yang mungkin mengubah konfigurasi dan stabilitas molekul protein (Stadelman

    dan Cotterill, 1995).

  • Proses Pembuatan Tepung Putih Telur

    Pengolahan telur banyak dilakukan diantaranya adalah dengan membuat

    tepung putih telur. Pengeringan telur bertujuan mengurangi dan mencegah aktivitas

    mikroorganisme sehingga dapat memperpanjang umur simpan. Pembuatan telur

    menjadi tepung telur dapat pula mengurangi ruang penyimpanan, mempermudah

    penanganan dan transportasi (Winarno dan Sutrisno, 2002). Menurut Romanoff dan

    Romanoff (1963) dan Berquist (1964) keuntungan pengeringan telur adalah

    mempermudah dan mengurangi ruang penyimpanan, menghemat biaya transportasi,

    memperpanjang daya simpan, mempermudah dalam penggunaannya. Proses yang

    dilakukan dalam pembuatan tepung putih telur adalah pemisahan putih telur,

    pengaturan pH putih telur dengan menambahkan bahan kimia (asam sitrat) hingga

    memiliki nilai pH berkisar antara 6,0-7,0 (Stadelman dan Cotterill, 1995),

    pasteurisasi, desugarisasi, pengeringan, penggilingan dan kemudian menghasilkan

    tepung putih telur.

    Pasteurisasi

    Pasteurisasi pada produk pangan terutama telur telah lama digunakan. Tujuan

    dari perlakuan pasteurisasi adalah untuk membunuh beberapa bakteri patogen yang

    terdapat didalam produk yang berasal dari telur. Bakteri patogen utama yang

    difokuskan adalah Salmonella, karena bakteri ini secara umum berasosiasi dengan

    telur dan produk telur (Stadelman dan Cotterill, 1995).

    Pasteurisasi cairan telur utuh dan cairan kuning telur pertama kali dilakukan

    oleh industri pada tahun 1930. Tahap yang dilakukan pada proses pasteurisasi telur

    sama dengan pasteurisasi susu yaitu dengan menggunakan metode HTST. Suhu yang

    digunakan dalam proses ini adalah 60oC. Suhu tersebut merupakan kondisi yang

    efektif dalam pengolahan putih telur untuk membunuh bakteri Salmonella yang

    terdapat dalam telur. United States Departemen of Agriculture mengatakan bahwa

    suhu pemanasan yang sesuai dan digunakan pada proses pasteurisasi telur adalah

    60oC selama 3,5 menit. Pentingnya kombinasi yang tepat antara suhu dan waktu

    pasteurisasi adalah agar didapat hasil yang baik pada produk tersebut (Cunningham,

    1995). Menurut Stadelman dan Cotterill (1995) perlakuan pemanasan pada putih

    telur mentah (tanpa fermentasi dan tanpa penambahan bahan lain) dengan kisaran

    suhu pasteurisasi dapat merusak sifat fungsional cairan putih telur.

  • Desugarisasi

    Desugarisasi dilakukan sebelum proses pengeringan untuk menghilangkan

    glukosa yang terkandung dalam putih telur. Glukosa yang terkandung dalam putih

    telur akan menyebabkan terjadinya reaksi Maillard selama proses pengeringan,

    sehingga akan menimbulkan penyimpangan-penyimpangan seperti bau, cita rasa,

    warna, ketidaklarutan dan pengurangan daya buih pada produk tepung putih telur

    (Buckle et al, 1987).

    Desugarisasi dapat terjadi karena adanya aktivitas mikroorganisme yang

    sesuai pada substrat organik. Terjadinya proses desugarisasi dapat menyebabkan

    perubahan sifat bahan pangan akibat pemecahan kandungan-kandungan bahan

    pangan tersebut. Menurut Fardiaz (1992) pertumbuhan khamir dibagi menjadi enam

    fase yaitu fase adaptasi, fase pertumbuhan awal, fase pertumbuhan logaritmik, fase

    pertumbuhan lambat, fase pertumbuhan tetap, dan fase kematian. Khamir akan

    melakukan adaptasi untuk menyesuaikan kondisi substrat dan lingkungan sekitarnya.

    Waktu yang dibutuhkan pada fase adaptasi tergantung pada faktor medium,

    lingkungan, dan jumlah inokulum. Fase kedua adalah fase pertumbuhan awal.

    Pertumbuhan yang terjadi pada fase ini masih relatif rendah karena khamir baru

    melakukan fase adaptasi. Fase ketiga yaitu fase pertumbuhan logaritmik. Pada fase

    ini khamir telah tumbuh dengan cepat dan konstan (optimal). Menurut Sa`id (1987)

    dan Feed (1991) proses desugarisasi terjadi secara optimal selama 45 menit (pada

    fase logaritmik). Fase keempat adalah pertumbuhan lambat yang dipengaruhi oleh

    zat nutrisi dalam medium yang sudah berkurang. Fase ini terjadi setelah 1-2 jam. Hal

    yang terjadi pada fase pertumbuhan tetap adalah sebagian khamir akan melakukan

    pertunasan. Fase terakhir dari pertumbuhan khamir adalah fase kematian. Sel akan

    mengalami kematian akibat kandungan nutrisi yang telah berkurang (Fardiaz, 1992).

    Pertumbuhan Saccharomyces sp. dalam putih telur memerlukan beberapa

    nutrisi diantaranya adalah karbon. Karbon dapat diperoleh dari karbohidrat seperti

    glukosa, fruktosa, dan mannosa (Peppler, 1979). Saccharomyces sp. merupakan

    khamir yang memiliki bentuk oval. Pertumbuhan khamir dipengaruhi oleh beberapa

    faktor diantaranya adalah nutrisi, pH, suhu, tersedianya oksigen, dan ada tidaknya

    senyawa penghambat. Khamir dapat tumbuh pada suhu 25-30oC (Fardiaz, 1992).

    Nilai pH yang optimum untuk pertumbuhan khamir menurut Fardiaz (1992) adalah

  • 4,0-4,5 dan menurut Pelczar (1986) sebesar 3,8-5,6. Saccharomyces sp. dapat

    tumbuh dalam keadaan aerobik maupun anaerobik. Kondisi pertumbuhan khamir

    secara anaerobik akan menghasilkan senyawa berupa alkohol (C2H5OH) dan CO2

    sedangkan pada kondisi aerobik akan menghasilkan senyawa berupa CO2 dan H2O.

    Proses desugarisasi sangat membantu dalam mempertahankan daya buih

    putih telur serta menurunkan viskositasnya sehingga dapat mempermudah dalam

    penanganan (Hill dan Sebring, 1973). Penambahan khamir sebanyak 1% dalam

    pembuatan tepung putih telur tidak akan mempengaruhi flavour yang dihasilkan

    (Stadelman dan Cotterill, 1995). Desugarisasi putih telur menggunakan

    Saccharomyces cerevisiae pada konsentrasi 0,20-0,40 persen dari berat putih telur

    segar serta inkubasi pada suhu 22-23oC selama 2-4 jam dapat mengkonversi gula

    pereduksi secara sempurna serta menghasilkan produk akhir yang bebas dari yeast

    flavor (Hill dan Sebring, 1973).

    Tepung putih telur yang telah mengalami proses desugarisasi setelah

    disimpan selama empat bulan pada suhu ruang masih memiliki warna seperti awal

    akan tetapi tepung putih telur yang tidak mangalami desugarisasi memiliki warna

    merah kecoklatan (Stuart dan Goresline, 1942).

    Pengeringan

    Pengeringan merupakan suatu metode untuk mengeluarkan atau

    menghilangkan sebagian air yang terkandung pada suatu bahan dengan cara

    menguapkan air dengan energi panas. Proses pengeringan makanan merupakan salah

    satu cara dalam pengawetan makanan. Pengeringan terhadap telur sudah dilakukan

    sejak tahun 1880 di Amerika Serikat. Pengeringan telur akan menghasilkan produk

    berupa tepung telur atau telur bubuk. Proses pengeringan telur dilakukan untuk

    mengeluarkan air dari cairan telur dengan cara penguapan hingga kandungan air

    menjadi lebih sedikit.

    Metode pengeringan yang digunakan dalam pembuatan tepung telur terdiri

    dari empat macam yaitu pengeringan semprot (spray drying), foaming drying,

    pengeringan secara lapis (pan drying) dan pengeringan beku (freeze drying).

    Pengeringan semprot (spray drying) biasanya digunakan dalam membuat tepung

    telur dan tepung kuning telur tetapi tidak dapat digunakan dalam pembuatan tepung

  • putih telur, karena dapat menyebabkan terjadinya penggumpalan dan penyumbatan

    pada nozzle alat pengering semprot (Berquist,1964).

    Kelemahan-kelemahan pengeringan semprot (spray drying) adalah produk

    akhir tidak stabil dibandingkan pengeringan putih telur dengan melakukan

    desugarisasi terlebih dahulu, daya larut tepung putih telur sangat menurun karena

    terjadi penggumpalan akibat pengeringan pada suhu yang tinggi (Hadiwiyoto, 1983).

    Menurut Sirait (1986) suhu yang digunakan dalam pengeringan ini sekitar 110-

    149oC. Kandungan air pada tepung putih telur dengan menggunakan metode spray

    drying adalah sebesar 4%-8% (Stadelman dan Cotterill, 1995).

    Metode pengeringan secara lapis (pan drying) merupakan metode

    pengeringan yang mudah dilakukan dan membutuhkan biaya yang murah.

    Pengeringan ini dilakukan dalam pembuatan tepung putih telur, tepung kuning telur

    maupun tepung telur. Pengeringan ini dilakukan dengan menggunakan oven. Suhu

    yang digunakan pada pengeringan ini berkisar antara 45-50oC (Berquist, 1964).

    Menurut Romanoff dan Romanoff (1963) suhu yang digunakan dalam pengeringan

    pan drying adalah pada suhu sekitar 40-45oC dengan tebal lapisan bahan sekitar 6

    mm selama 22 jam akan diperoleh produk kering dengan kadar air 5%.

    Produk yang dihasilkan dari metode pan drying adalah remah putih telur,

    granular putih telur, dan tepung putih telur. Air yang terkandung pada remah putih

    telur sekitar 12,16% dengan pH 4,5-7,0 sedangkan kadar air tepung putih telur yang

    dihasilkan dengan metode pan drying adalah dibawah 16 persen (Berquist, 1964).

    Foaming drying dilakukan untuk pengeringan bahan yang bersifat cair dan

    dapat dibusakan seperti putih telur. Pembusaan ini dilakukan untuk memperluas

    permukaan dan mempercepat proses pengeringan. Suhu pengeringan yang digunakan

    pada metode ini adalah 82,22oC selama 12 menit. Kandungan air yang diperoleh

    pada pengeringan ini adalah sebesar 2-3 persen (Sirait, 1986).

    Freeze drying merupakan proses pengeluaran air dari suatu produk dengan

    cara sublimasi dari bentuk beku menjadi uap. Metode ini banyak digunakan dalam

    proses pengeringan dan pengawetan bahan pangan untuk mempertahankan stabilitas,

    aroma, serta tekstur yang menyerupai bahan awal (Aman et al., 1992).

    Proses pengeringan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu suhu, kelembaban

    udara (RH), sirkulasi udara dan waktu pengeringan. Menurut Wirakartakusumah

  • et.al (1992) pengeringan dapat membuat bahan menjadi lebih padat dan kering

    sehingga akan lebih memudahkan dalam proses transportasi, pengemasan serta

    penyimpanan bahan tersebut. Kerugian yang terjadi pada proses pengeringan adalah

    sifat bahan yang mengalami perubahan seperti bentuk, sifat fisik dan kimia, serta

    penurunan mutu (Winarno dan Fardiaz, 1982). Proses desugarisasi akan membantu

    dalam mencegah terjadinya reaksi Maillard pada tepung putih telur akibat

    pengeringan.

    Reaksi Maillard adalah urutan peristiwa yang dimulai dengan reaksi gugus

    amino pada asam amino, peptida, atau protein dengan gugus hidroksil glikosidik

    pada gula, urutan proses ini diakhiri dengan pembentukan polimer nitrogen berwarna

    coklat atau melanoidin (deMan, 1997). Menurut Hill dan Sebring (1973), interaksi

    antara glukosa dengan komponen yang terkandung dalam telur akan menyebabkan

    penurunan kualitas produk tepung putih telur. Reaksi utama yang terjadi dari

    glukosa dalam pengeringan telur adalah reaksi glukosa-protein (Maillard).

    Menurut Muchtadi (1993) pada proses ini glukosa akan bereaksi dengan

    senyawa amino yang akan menyebabkan terbentuknya senyawa deoksiketosil dan

    degradasi strecker yang akan menghasilkan senyawa melanoidin yang berwarna

    coklat. Proses pengolahan pangan melibatkan reaksi degradasi karbohidrat. Reaksi

    Maillard terjadi karena gula dalam bahan pangan dengan temperatur yang tinggi

    akan mengalami interaksi komponen asam amino dan adanya komponen nitrogen

    dalam hasil (MacCarthy, 1989).

    Syarat Mutu Tepung Putih Telur

    Putih telur yang telah dikeringkan akan menghasilkan produk berupa tepung

    putih telur. Tepung putih telur biasa digunakan sebagai bahan dalam pembuatan

    angel food cake. Angel food cake merupakan jenis kue yang tidak mengandung

    lemak. Pembuatan kue ini menggunakan putih telur sebanyak 41,3 % (Stadelman dan

    Cotteril, 1995). Karakteristik putih telur dan tepung putih telur memiliki perbedaan

    dari jumlah komponen glukosa, protein, kadar abu, serta nilai pH (Tabel 2.).

  • Tabel 2. Komposisi Putih Telur Cair dan Putih Telur Kering

    Komponen Putih Telur Cair Putih Telur Kering

    pH 9,0 7,0

    Protein (%) 10,1 80,5

    Glukosa (%) 0,4 0,1

    Abu (%) 0,6 4,8

    Sumber: Matz (1992)

    Nilai mutu suatu produk perlu diperhatikan guna menjaga kualitas. Syarat

    mutu tepung putih telur menurut SNI 01-4323-1996 meliputi nilai pH, kadar air,

    kadar protein, gula pereduksi dan kadar abu total dapat dilihat pada Tabel 3.

    Tabel 3. Syarat Mutu Tepung Putih Telur

    Jenis Uji Satuan Persyaratan

    pH - 6,5-7,5

    Kadar Air % Maks 8

    Kadar Protein % Min 75

    Gula Pereduksi % Maks 0,5

    Kadar Abu Total % Maks 5

    Sumber: SNI 01-4323-1996

    Kadar air adalah banyaknya kandungan air yang terdapat dalam suatu bahan.

    Nilai kadar air dapat ditentukan dari pengurangan berat suatu bahan yang dipanaskan

    pada suhu pengujian. Kadar air erat hubungannya dengan tekstur produk, cita rasa

    penampakan, daya simpan suatu bahan pangan (Winarno, 2002).

    Menurut deMan (1997) air merupakan faktor pendukung yang sangat

    mempengaruhi laju perubahan kimiawi maupun fisik pada bahan makanan. Prinsip

    dalam pengukuran kadar air adalah dengan cara mengeringkan bahan dalam oven

    dengan suhu 105oC hingga dicapai berat yang konstan. Selisih berat sebelum dan

    sesudah pengeringan adalah banyaknya air yang diuapkan. Nilai kadar air yang

    rendah akan mencegah tumbuhnya bakteri dan jamur yang dapat menyebabkan

    kerusakan pada produk (Winarno, 2002).

  • Selain faktor-faktor yang tertera pada Tabel 3, perlu diperhatikan pula faktor

    lain yang menentukan mutu tepung putih telur seperti sifat fisiknya. Sifat fisik tepung

    putih telur terdiri atas rendemen, waktu rehidrasi dan kecerahan. Rendemen adalah

    suatu peubah yang menentukan efektif dan efisien tidaknya suatu proses pengolahan

    seperti pengeringan. Nilai rendemen bahan kering putih telur ayam ras menurut

    Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI (1979) yaitu sebesar 12,20%. Nilai

    rendemen yang semakin besar menunjukkan makin efektif dan efisiennya proses

    yang dilakukan terhadap bahan baku. Nilai rendemen dipengaruhi oleh protein yang

    dapat mengikat air. Air yang semakin banyak ditahan oleh protein, maka air yang

    keluar akan semakin sedikit sehingga nilai rendemen yang dihasilkan semakin

    bertambah (Ockermen, 1978). Menurut AOAC (1995) perhitungan rendemen tepung

    putih telur ditentukan dengan menghitung berat tepung putih telur yang dihasilkan

    dari setiap perlakuan.

    Waktu rehidrasi adalah waktu yang dibutuhkan untuk merekostitusi tepung

    putih telur hingga semua tepung terlarut (Stadelman dan Cotterill, 1995). Menurut

    Romanoff dan Romanoff (1963) daya rehidrasi tepung putih telur dipengaruhi oleh

    lama dan suhu penyimpanan, kesempurnaan fermentasi dan ukuran partikel tepung.

    Proses pengolahan makanan bertujuan untuk meningkatkan edibilitas suatu

    makanan yang dapat menimbulkan perubahan warna yang dihasilkan. Perubahan

    warna makanan dapat bersifat signifikan bagi tingkat kesukaan terhadap makanan

    tersebut. Perubahan warna ini dapat mengindikasikan kesegaran dan tingkat

    pemasakan produk (Hutchings, 1999). Menurut Pomeranz dan Meloan (1978) warna

    merupakan salah satu faktor untuk menarik keinginan konsumen untuk

    mengkonsumsi produk yang dihasilkan.

    Daya dan Kestabilan Buih

    Daya buih adalah ukuran kemampuan putih telur untuk membentuk buih jika

    dilakukan pengocokan. Nilai daya buih biasanya dinyatakan dalam persen terhadap

    bobot putih telur (Stadelman dan Cotterill, 1995). Hasil-hasil penelitian yang dikutip

    Alleoni dan Antunes (2004), menunjukkan bahwa salah satu fraksi protein putih telur

    yang memiliki kemampuan mempermudah terbentuknya buih adalah globulin,

    sementara kompleks ovomucin-lysozyme, ovalbumin dan conalbumin mempunyai

    kemampuan dalam menstabilkan buih saat dipanaskan. Menurut Georgia Egg

  • Commission (2005) telur segar mampu mencapai buih 6 hingga 8 kali dari volume

    awal putih telur segar.

    Putih telur merupakan campuran protein yang tinggi dan setiap komponennya

    mempunyai fungsi yang spesifik. Protein yang terkandung pada putih telur sangat

    dibutuhkan oleh tubuh. Jumlah dan karakteristik protein telur dapat dilihat pada

    Tabel 4.

    Tabel 4. Protein dalam Putih Telur

    Jenis Protein Jumlah Relatif dalam Putih Telur (%)

    Karakteristik

    Ovalbumin 54 Phosphoglicoprotein

    Conalbumin 13 Mengikat logam terutama besi

    Ovomucoid 11 Menghambat trypsin

    Lysozyme 3,5 Membunuh beberapa bakteri

    G2 globulin 4,0 -

    G3 globulin 4,0 -

    Ovomucin 1,5 Sialoprotein

    Flavoprotein 0,8 Mengikat riboflavin

    Ovoglycoprotein 0,5 Sialoprotein

    Ovomacroglobulin 0,5 -

    Ovoinhibitor 0,1 Menghambat beberapa bakteri protease

    Avidin 0,05 Mengikat biotin Sumber: Stadelman dan Cotterill, 1995

    Kandungan dan jumlah protein dalam putih telur akan mempengaruhi buih

    yang dihasilkan setelah mengalami proses pengocokan. Fraksi-fraksi protein yang

    mempengaruhi dalam pembentukan buih menurut Stadelman dan Cotterill (1995)

    serta Linden dan Lorient (1999) adalah ovalbumin, ovomucin, dan globulin. Menurut

    Johnson dan Zabik (1981) dalam Davis dan Reeves (2002) ovotransferin, lysozyme

    dan ovomucoid berperan dalam proses pembentukan buih. Hamershof dan Anderson

    (2002) menyatakan bahwa protein yang berperan dalam pembentukan buih adalah

    ovalbumin, ovotransferin, ovoglobulin, dan ovomucin.

    Ovalbumin adalah komponen utama yang menyusun putih telur. Ovalbumin

    merupakan phosphoglycoprotein. Molekul ovalbumin mengandung 4 gugus

  • sulfihidril (-SH) serta 2 gugus disulfida. Ovalbumin dapat berubah menjadi S-

    ovalbumin yaitu suatu protein yang bersifat lebih stabil terhadap panas selama

    penyimpanan telur. Perubahan sifat-sifat fisik ovalbumin menjadi S-ovalbumin

    dipengaruhi oleh perubahan gugus sulfihidril menjadi disulfida. Ovalbumin mudah

    mengalami denaturasi dan terkoagulasi akibat adanya pengocokan akan tetapi,

    ovalbumin lebih tahan terhadap proses pemanasan. Pemanasan pada suhu 62oC

    selama 3,5 menit dengan pH 9 akan menyebabkan denaturasi ovalbumin sebanyak

    3-5% (Stadelman dan Cotterill, 1995).

    Ovomucin yaitu suatu glikoprotein. Ovomucin adalah protein yang tidak larut

    dalam air akan tetapi dapat larut dalam garam dan pada pH 7 atau lebih (Linden dan

    Lorient, 1999). Ovomucin mampu membentuk lapisan yang tidak larut dalam air dan

    dapat menstabilkan buih yang terbentuk pada saat pengocokan. Ovomucin dapat

    menstabilkan buih karena ovomucin lebih kental serta mengandung karbohidrat yang

    tinggi sehingga dapat mengikat air (Linden dan Lorient, 1999). Ovomucin dalam

    putih telur mencapai 1,5% (Tabel 3.). Kandungan karbohidrat dalam ovomucin

    mencapai 30% (Linden dan Lorient, 1999). Ovomucin merupakan protein putih telur

    yang berperan dalam kestabilan buih serta memiliki viskositas yang tinggi

    (Hammershoj dan Andersen, 2002). Proses pemanasan pada suhu 90oC dengan pH

    sekitar 7,1-9,4 selama 2 jam tidak akan mengubah viskositas protein ini (Stadelman

    dan Cotterill, 1995). Interaksi antara ovomucin dan globulin akan meningkatkan

    volume atau daya buih.

    Globulin atau Lysozyme merupakan suatu protein putih telur yang

    menentukan tingkat kekentalan dan mengurangi pencairan buih. Globulin dapat

    membantu tahapan dalam pembentukan buih. Kurangnya globulin dalam putih telur

    akan membutuhkan waktu pengocokan lebih lama untuk mencapai volume tertentu

    (Stadelman dan Cotterill, 1995). Proses pemanasan akan merusak konsentrasi

    globulin. Proses pemanasan akan mempercepat pecahnya ovomucin-lysozyme diikuti

    dengan terjadinya denaturasi yang dapat menyebabkan menurunnya daya buih yang

    dihasilkan (Zayas, 1997). Slosberg et al. (1947) bahwa proses pemanasan yang

    dilakukan terhadap putih telur pada suhu lebih dari 57,2oC dengan waktu yang relatif

    singkat dapat mempengaruhi sifat fungsional putih telur terutama dalam

    pembentukan buih.

  • Mekanisme Pembentukan Buih

    Mekanisme terbentuknya buih dapat dilihat pada Gambar 1. Tahap-tahap

    pembentukan buih diawali dengan adanya pengocokan putih telur. Pada saat

    pengocokan, ikatan polipeptida dalam molekul protein terbuka sehingga rantai

    protein menjadi lebih panjang, kemudian udara akan masuk diantara molekul-

    molekul protein yang rantainya telah terbuka dan tertahan sehingga volume buih

    menjadi bertambah (Sirait, 1986).

    PROTEIN

    DENATURASI

    PEMBENTUKAN LAPISAN TIPIS

    MENANGKAP UDARA

    PERBAIKAN BUIH YANG

    TERBENTUK

    KOAGULASI DISTRUPSI

    udara udara

    udara

    udara

    udara

    udara

    Gambar 1. Mekanisme Pembentukan Buih Sumber : Cherry dan McWaters ,1981

  • Menurut Cherry dan McWaters (1981) mekanisme terbentuknya buih diawali

    dengan terbukanya ikatan-ikatan dalam molekul protein sehingga rantainya menjadi

    lebih panjang. Kemudian dilanjutkan dengan proses adsorpsi yaitu pembentukan

    monolayer atau film dari protein yang terdenaturasi. Udara ditangkap dan dikelilingi

    oleh film dan membentuk gelembung. Pembentukan lapisan monolayer kedua

    dilanjutkan disekitar gelembung untuk mengganti bagian film yang terkoagulasi.

    Film protein dari gelembung yang berdekatan akan berhubungan dan mencegah

    keluarnya cairan. Peningkatan kekuatan interaksi antara polipeptida akan

    menyebabkan agregasi (penggumpalan) protein dan melemahnya permukaan film

    dan diikuti dengan pecahnya gelembung buih yang mengakibatkan terpisahnya air

    yang terdapat dalam komponen tersebut. Air akan keluar dan akan membentuk

    tirisan.

    Perubahan konfigurasi molekul tersebut akan menyebabkan hilangnya daya

    larut atau sifat koagulasi putih telur, dan absorpsi selaput buih yang penting dalam

    kestabilan buih (Stadelman dan Cotterill, 1995). Pembentukan buih yang stabil

    memerlukan cairan dengan kuat keregangan dan elastisitas yang tinggi. Penambahan

    waktu pengocokan akan memperbanyak udara yang tertangkap, sehingga volume

    buih meningkat, akan tetapi elastisitas putih telur akan berkurang. Volume buih yang

    tinggi diperoleh dari putih telur dengan elastisitas rendah, sebaliknya stuktur buih

    yang stabil pada umumnya dihasilkan dari putih telur yang memiliki elastisitas yang

    tinggi (Stadelman dan Cotterill, 1995).

    Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Daya dan Kestabilan Buih

    Menurut Stadelman dan Cotterril (1995) faktor-faktor yang mempengaruhi

    daya buih adalah umur telur, metode pengocokan dan penambahan bahan-bahan

    kimia atau stabilisator. Alleoni dan Antunes (2004) menambahkan faktor yang

    mempengaruhi daya buih adalah konsentrasi protein, pH, proses pemanasan, adanya

    garam dan komposisi fase cair yang mungkin merubah konfigurasi dan stabilitas

    molekul protein.

    Umur telur sangat berpengaruh terhadap nilai pH. Selama proses

    penyimpanan, telur akan mengalami perubahan akibat terjadinya penguapan

    karbondioksida (CO2) dan air yang menyebabkan perubahan pH serta perubahan

    struktur serabut protein putih telur (Romanff dan Romanoff, 1963). Telur yang baru

  • dihasilkan oleh induk memiliki nilai pH 7,6. Menurut Stadelman dan Cotterill (1995)

    pada saat pH meningkat menjadi 9 terjadi interaksi antara ovomucin dan lysozyme

    yang menyebabkan putih telur menjadi encer. Menurut Mine (1996) proses

    pengeringan putih telur dengan nilai pH yang rendah (dibawah 9,5) merupakan cara

    yang efektif dalam memperbaiki bentuk dan fungsional protein telur.

    Menurut Meyer dan Hood (1973) kehilangan karbondioksida (CO2) dalam

    telur akan menyebabkan meningkatnya nilai pH. Peningkatan pH putih telur hingga

    10,7 selama proses penyimpanan akan membentuk ikatan komples ovomucin-

    lysozyme yang menyebabkan putih telur menjadi lebih encer sehingga daya buih

    yang dihasilkan menjadi lebih rendah (Stadelman dan Cotterill, 1995). Menurut

    Seideman et al. (1963) peningkatan pH putih telur hingga 9,0 akan memecah protein

    globulin sehingga akan menurunkan kemampuan putih telur untuk mengikat udara

    dalam pembentukan buih.

    Waktu pengocokan putih telur yang lama akan berpengaruh terhadap volume

    dan kestabilan buih yang dihasilkan. Penambahan waktu pada proses pengocokan

    akan meningkatkan volume buih dan akan memperkecil ukuran buih (Stadelman dan

    Cotterill, 1995). Tingkat kestabilan buih maksimum putih telur dicapai sebelum

    volume maksimum buih dicapai (Stadelman dan Cotterill, 1995). Volume buih tidak

    meningkat kembali setelah dikocok selama enam menit (Romanoff dan Romanoff,

    1963).

    Suhu akan mempengaruhi daya dan kestabilan buih. Penyimpanan telur pada

    suhu tinggi akan mempercepat peningkatan pH. Pada pH 9,5 akan terjadi pemecahan

    beberapa protein. Transformasi ovalbumin menjadi s-ovalbumin terjadi akibat adanya

    peningkatan pH dan suhu (Alleoni dan Antunes, 2004). Kandungan s-ovalbumin

    yang tinggi akan menyebabkan meningkatnya tirisan buih yang menimbulkan

    kestabilan buih yang rendah.

  • METODE

    Lokasi dan Waktu

    Penelitian ini dilakukan di Bagian Ilmu Produksi Ternak Unggas, Bagian

    Teknologi Hasil Ternak, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

    Fakultas Peternakan, Laboratorium Pengolahan Teknologi Pangan, serta

    Laboratorium Mikrobiologi dan Biokimia, SEAFAST Center (South East Asean

    Food Agricultural Science and Technology Center), Institut Pertanian Bogor.

    Penelitian ini berlangsung selama 2 bulan, mulai bulan Mei 2006 hingga Juni 2006.

    Materi

    Bahan utama yang dibutuhkan dalam pembuatan tepung putih telur dengan

    metode pengeringan pan drying adalah telur ayam ras segar sebanyak 96 butir

    dengan umur telur satu hari, air hangat (35-40 oC) untuk mencuci telur, asam sitrat

    konsentrasi 5 % dan ragi roti (Saccharomyces sp.).

    Alat yang dibutuhkan untuk proses pembuatan tepung putih telur meliputi:

    egg tray, spons, meja kaca, electric hand mixer (Philips), gelas ukur 500 ml, kompor,

    mangkuk stainless steel, panci, spatula, stopwatch, loyang, blender (Philips),

    timbangan digital (And) 100g ketelitian 0,01g, pH meter (LaMotte), cawan petri,

    Yamato constant oven temperature DK600, stoples kedap udara, kertas label dan

    plastik.

    Rancangan

    Perlakuan

    Telur yang digunakan adalah telur ayam yang berumur satu hari sebanyak 96

    butir yang disimpan pada suhu ruang (28-30 oC). Perlakuan yang dilakukan pada

    penelitian ini, adalah lama desugarisasi dalam pembuatan tepung putih telur. Lama

    desugarisasi tersebut adalah 0; 1; 2.5 dan 4 jam.

    Model

    Penelitian ini menggunakan model rancangan acak kelompok (RAK) dengan

    model persamaan yang digunakan menurut Mattjik dan Sumertajaya (2002) adalah

    sebagai berikut:

    Yij = + Ai +B j + ijk

  • Keterangan:

    Yij : Hasil pengamatan pada perlakuan waktu desugarisasi ke-i dan kelompok

    ke-j

    : Rataan umum

    Ai : Pengaruh waktu desugarisasi ke-i (i=1;2;3;4)

    B j : Pengaruh kelompok ke-j (j=1;2;3)

    ijk : Pengaruh acak pada waktu desugarisasi ke-i pada kelompok ke-j

    Data yang diperoleh, kemudian dilakukan analisis ragam dan apabila hasilnya

    berbeda nyata maka akan dilakukan uji Duncan. (Mattjik dan Sumertajaya, 2002).

    Peubah yang Diamati

    Peubah yang diamati pada penelitian ini adalah kadar air, rendemen,

    kecerahan, waktu rehidrasi, daya dan tirisan buih tepung putih telur ayam ras.

    Kadar Air (AOAC, 1995). Metode pengukuran kadar air dilakukan dengan

    menggunakan oven. Cawan kosong dikeringkan terlebih dahulu didalam oven selama

    15 menit, didinginkan dalam desikator selama 15 menit, kemudian ditimbang.

    Sampel tepung putih telur sebanyak 2 g (bobot awal) dimasukkan dalam cawan yang

    telah ditimbang, dimasukkan dalam oven dengan suhu 105oC selama 24 jam dan

    dimasukkan ke dalam desikator selama 15 menit, kemudian ditimbang (bobot akhir).

    Kadar Air (%) = x 100 % Bobot sampel awal

    Bobot sampel awal bobot sampel akhir

    Rendemen (AOAC, 1995). Perhitungan rendemen tepung putih telur ditentukan

    dengan menghitung berat tepung putih telur yang dihasilkan dari setiap perlakuan

    dengan rumus:

    Rendemen (%) = x 100 % Berat tepung putih telur (gram)

    Berat putih telur ayam (gram)

    Waktu Rehidrasi (Modifikasi Stadelmen dan Cotterill, 1995). Pengukuran

    rehidrasi dilakukan dengan mencairkan tepung putih telur dengan menggunakan

    perbandingan air dan tepung putih telur 10 : 1. Satuan nilai rehidrasi adalah detik.

    Air dimasukkan kedalam gelas ukur kemudian ditambahkan tepung putih telur.

  • Pengadukan dilakukan dengan menggunakan electric hand mixer (Philips) kecepatan

    satu (215 rpm).

    Kecerahan (Hunter, 1958). Kecerahan diukur dengan menggunakan Chromameter

    Minolta CR-200 dengan ruang warna (color space). Nilai yang didapat dikonversikan

    ke dalam parameter L. Nilai L menunjukkan parameter kecerahan yang bernilai 0-

    100 untuk warna hitam sampai putih.

    Daya dan Tirisan Buih (Modifikasi Stadelmen dan Cotterill, 1995). Hasil

    rehidrasi kemudian dikocok kembali dengan mixer Philips kecepatan dua (502 rpm)

    selama 90 detik kemudian ditingkatkan pada kecepatan tiga (717 rpm) selama 90

    detik. Buih yang terbentuk dirapikan dengan menggunakan spatula. Perhitungan daya

    dan kestabilan buih berdasarkan rumus yang dikemukakan Stadelmen and Cotterril

    (1995) sebagai berikut:

    Daya buih = X 100% Volume Buih

    Volume Putih Telur

    Kestabilan buih dihitung dari persentase tirisan buih. Kestabilan buih yang

    tinggi dihasilkan dari persentase tirisan buih yang rendah. Persentase tirisan buih

    dihitung dengan rumus menurut Stadelmen and Cotterril (1995) sebagai berikut:

    Persentase tirisan buih = X 100% Tirisan

    Volume Buih

    Analisis Data

    Data yang diperoleh dari penelitian berupa kadar air, rendeman, waktu

    rehidrasi, daya dan persentase tirisan buih dianalisis menggunakan analisis ragam.

    Perbedaan rataan antar perlakuan akan dilakukan uji Duncan. (Mattjik dan

    Sumertajaya, 2002).

    Prosedur

    Prosedur yang dilakukan dalam pembuatan tepung putih telur dengan

    menggunakan metode pan drying dapat dilihat pada Gambar 4. Prosedur pembuatan

    tepung putih telur adalah sebagai berikut:

  • Persiapan Telur

    Pemisahan Putih Telur

    Homogenisasi

    Pengaturan pH

    Pasteurisasi

    Desugarisasi

    Pengeringan

    Penggilingan

    Tepung Putih Telur

    Pengemasan

    Gambar 2. Pembuatan Tepung Putih Telur dengan Metode Pan Drying Sumber : Modifikasi Stadelman and Cotterill, 1995

  • 1. Persiapan telur

    Telur yang akan digunakan terlebih dahulu dilakukan seleksi dengan memilih

    telur yang memiliki kualitas A dengan ciri-ciri memiliki bentuk kuning telur

    cembung, terletak ditengah, bersih dari noda (bercak darah dan daging), kulit telur

    bersih, tidak retak, dan memiliki bentuk normal. Telur yang digunakan diusahakan

    memiliki bobot yang seragam. Telur dibersihkan terlebih dahulu dengan

    menggunakan air hangat (35-40 oC) kemudian ditiriskan.

    2. Pemisahan isi telur dan homogenisasi

    Pemisahan isi telur dilakukan diatas meja kaca. Putih telur dipisahkan dari

    kuningnya kemudian ditempatkan dalam mangkuk stainless steel dengan

    menggunakan spatula. Homogenisasi putih telur dilakukan dengan pengadukan

    menggunakan spatula.

    3. Pengaturan pH

    Putih telur yang digunakan terlebih dahulu diatur pHnya sesuai rekomendasi

    Stadelman dan Cotterill (1995) yaitu sebesar 6,0-7,0. Putih telur yang memiliki nilai

    pH di atas 7,0 ditambah asam sitrat 5 % hingga pH putih telur mencapai 6,0-7,0.

    4. Pasteurisasi

    Pasteurisasi dilakukan pada suhu 60-62 oC selama 3 menit dengan

    menggunakan metode double wall. Panci berisi air dipanaskan di atas kompor hingga

    mencapai suhu yang diinginkan, kemudian putih telur yang telah dipisahkan di dalam

    mangkuk stainless steel dimasukkan ke dalam panci berisi air, didiamkan selama 3

    menit kemudian diangkat.

    5. Desugarisasi

    Ragi roti instant (Saccharomyces sp.) ditambahkan sebanyak 0,3 % (w/w) ke

    dalam cairan putih telur, kemudian diaduk sampai penyebaran ragi merata

    menggunakan sumpit kayu selama 2 menit dan didiamkan pada suhu ruang (27-

    30oC) masing-masing selama 0; 1; 2.5 dan 4 jam.

    6. Pengeringan telur

    Loyang yang akan digunakan untuk mengeringkan putih telur berukuran

    27,5x30 cm. Cairan putih telur dimasukkan ke dalam loyang dan dibuat agar

    memiliki tinggi putih telur sebesar 6 mm. Kemudian dilakukan pengeringan dalam

    oven dengan suhu 45-50oC selama 42 jam.

  • 7. Penggilingan

    Putih telur yang dihasilkan kemudian digiling. Penggilingan terhadap putih

    telur kering dilakukan dengan menggunakan blender (Philips) selama 2-3 menit.

    Hasil yang didapat dari penggilingan ini adalah tepung putih telur.

    8. Pengemasan

    Tepung putih telur yang telah terbentuk segera dikemas dalam plastik

    Polyethylen, kemudian dimasukkan kedalam stoples kedap udara.

    Tahap akhir yang dilakukan adalah pengukuran sifat fisik dan fungsional

    terhadap tepung putih telur. Pengukuran sifat fisik dan fungsional tepung putih telur

    dilakukan terhadap kadar air, rendemen, waktu rehidrasi, warna, daya dan persentase

    tirisan buih.

  • HASIL DAN PEMBAHASAN

    Kadar Air

    Hasil pengukuran kadar air tepung putih telur dapat dilihat pada Tabel 5.

    Secara statistik didapat hasil yang berbeda sangat nyata (P

  • sp. memerlukan air. Hal ini menyebabkan kandungan air yang lebih rendah pada

    perlakuan desugarisasi 1 jam.

    Nilai kadar air pada perlakuan desugarisasi 2,5 jam memiliki nilai yang lebih

    tinggi dari pada perlakuan desugarisasi 1 jam. Hal ini terjadi karena pada perlakuan

    desugarisasi 2,5 jam pertumbuhan Saccharomyces sp. berada dalam fase

    pertumbuhan tetap (statis) sehingga air yang dibutuhkan lebih sedikit. Keadaan ini

    menyebabkan penggunaan air dalam pertumbuhan Saccharomyces sp. semakin

    berkurang sehingga kadar air tepung putih telur yang dihasilkan lebih tinggi jika

    dibandingkan dengan perlakuan desugarisasi 1 jam.

    Perlakuan desugarisasi 4 jam mengandung air lebih tinggi dibandingkan

    dengan perlakuan desugarisasi 0; 1 dan 2.5 jam. Pada perlakuan ini, pertumbuhan

    Saccharomyces sp. berada pada fase menuju kematian sehingga nutrisi yang

    dibutuhkan lebih rendah. Selain itu, perombakan glukosa yang terjadi menghasilkan

    senyawa berupa karbondioksida dan air. Jumlah air yang tinggi pada perlakuan

    desugarisasi 4 jam kemungkinan berasal dari hasil perombakan glukosa tersebut.

    Proses pertumbuhan jasad renik menurut Fardiaz (1992) dibagi menjadi lima fase

    yaitu fase adaptasi, fase pertumbuhan awal, fase pertumbuhan logaritmik, fase

    pertumbuhan lambat, fase pertumbuhan tetap, dan fase kematian.

    Sifat Fisik Tepung Putih Telur Ayam Ras

    Nilai pH

    Nilai pH Setelah Desugarisasi. Hasil pengujian nilai pH setelah desugarisasi dapat

    dilihat pada Tabel 6. Nilai pH setelah desugarisasi yang dihasilkan berbeda sangat

    nyata secara statistik (P

  • perlakuan desugarisasi 1 jam lebih tinggi dari pada perlakuan desugarisasi 0 jam. Hal

    ini terjadi karena pada perlakuan desugarisasi 1 jam telah terjadi perombakan

    glukosa akibat penambahan Saccharomyces sp. yang menghasilkan karbondioksida.

    Hilangnya karbondioksida selama proses pengeringan akan menyebabkan

    peningkatan nilai pH. Perlakuan desugarisasi 2,5 jam menyebabkan tingginya

    karbondioksida yang dihasilkan sehingga menyebabkan nilai pH pada perlakuan

    desugarisasi 2,5 jam lebih tinggi dari perlakuan desugarisasi 1 jam. Nilai pH pada

    perlakuan desugarisasi 2,5 jam sebesar 6,91. Desugarisasi 4 jam menghasilkan

    karbondioksida yang lebih tinggi dari perlakuan desugarisasi 0; 1 dan 2.5 jam. Hal

    ini menyebabkan nilai pH pada perlakuan desugarisasi 4 jam paling tinggi.

    Tabel 6. pH Awal, pH Setelah Penambahan Asam Sitrat 5%, pH Setelah Desugarisasi, pH Tepung, Rendemen, Waktu Rehidrasi, Kecerahan Tepung Putih Telur pada berbagai Lama Desugarisasi Berbeda

    Desugarisasi (Jam) Peubah 0 1 2,5 4

    pH Awal

    pH Setelah Penambahan Asam Sitrat 5% pH Setelah Desugarisasi pH Tepung

    Rendemen (%)

    Waktu Rehidrasi (detik) Kecerahan

    8,28+0

    6,14+0,03 6,19+0.36A 8,82+0.01A

    12,38+0.21A

    41,00+1.32 64,84+0.84a

    8,26+0.09

    6,24+0,05 6,76+0.14BC

    8,64+0.01B

    12,51+0.26A

    38,16+2.30 65,10+0.62ab

    8,36+0.07

    6,26+0,05

    6,91+0.14CD 8,73+0.01C

    13,00+0.67A

    37,50+1.00

    65,50+0.74bc

    8,38+0.08

    6,25+0,04 7,07+0.27D 8,85+0.03D

    11,75+0.31B

    40,16+1.25 65,55+0.86bc

    Keterangan: Superskrip yang A berbeda pada baris yang sama menunjukkan Sangat Berbeda Nyata (P

  • desugarisasi 1 dan 2,5 jam. Hal ini terjadi akibat tidak adanya proses desugarisasi

    pada perlakuan tersebut. Tidak adanya proses desugarisasi pada proses pembuatan

    tepung putih telur menyebabkan kondisi putih telur yang tidak stabil. Proses

    pengeringan hanya menguapkan air yang terkandung dalam putih telur. Nilai pH

    yang dihasilkan pada perlakuan desugarisasi 0 jam mendekati nilai pH putih telur

    segar.

    Perlakuan lama desugarisasi 1; 2.5 dan 4 jam telah mengalami perombakan

    glukosa sebelum pengeringan. Proses pengeringan yang dilakukan akan

    menyebabkan komponen-komponen seperti karbondioksida ikut menguap. Hal ini

    menyebabkan tingginya nilai pH yang dihasilkan. Perlakuan desugarisasi 1 jam

    menghasilkan nilai pH tepung putih telur yang paling rendah dari pada perlakuan

    lainnya. Nilai pH tepung putih telur dengan desugarisasi 1 jam adalah sebesar 8,64.

    Perlakuan desugarisasi 2,5 jam menghasilkan nilai pH yang lebih tinggi dari

    perlakuan desugarisasi 1 jam akan tetapi lebih rendah dari perlakuan desugarisasi 4

    jam. Nilai pH tepung putih telur dengan lama desugarisasi 2,5 jam adalah sebesar

    8,73. Perlakuan lama desugarisasi 4 jam, tepung putih telur memiliki nilai pH paling

    tinggi yaitu mencapai 8,85. Hal ini terjadi akibat proses desugarisasi, menghasilkan

    karbondioksida semakin tinggi sehingga pada saat pemanasan penguapan

    karbondioksida yang terjadi semakin banyak dan mempengaruhi nilai pH yang

    dihasilkan.

    Peningkatan nilai pH tepung putih telur terjadi karena semakin lama

    desugarisasi, perombakan glukosa yang terjadi semakin tinggi sehingga penguapan

    karbondioksida (CO2) yang terjadi selama proses pengeringan semakin tinggi. Hal ini

    menyebabkan nilai pH tepung putih telur pada perlakuan lama desugarisasi 4 jam

    menjadi lebih tinggi dari pada perlakuan lainnya. Pernyataan ini didukung oleh

    Meyer dan Hood (1973) bahwa kehilangan karbondioksida (CO2) dalam telur akan

    menyebabkan meningkatnya nilai pH. Hal yang terjadi pada masing-masing

    perlakuan menunjukkan bahwa untuk mendapatkan pH tepung putih telur yang

    sesuai dengan SNI 01-4323-1996, nilai pH setelah desugarisasi harus lebih rendah

    dari 6,19-7,07 dan pH setelah penambahan asam sitrat 5% harus lebih rendah dari

    6,14-6,26.

  • Rendeman

    Hasil pengujian rendemen dapat dilihat pada Tabel 6. Nilai rendemen yang

    dihasilkan berbeda sangat nyata secara statistik (P

  • dipengaruhi oleh kesempurnaan fermentasi, lama dan suhu pengeringan. Waktu

    rehidrasi tepung putih telur pada penelitian ini memiliki nilai rata-rata 39,2 detik.

    Kecerahan

    Hasil uji kecerahan dapat dilihat pada Tabel 6. Secara statistik didapat hasil

    yang berbeda nyata (P

  • Sifat Fungsional Tepung Putih Telur Ayam Ras

    Daya Buih

    Hasil pengukuran daya buih dapat dilihat pada Tabel 7. Berdasarkan analisis

    ragam, daya buih tepung putih telur ayam ras sangat nyata (P

  • Nilai daya buih pada perlakuan desugarisasi 2,5 jam lebih rendah dari pada

    perlakuan desugarisasi 1 jam akan tetapi lebih tinggi dari perlakuan desugarisasi 4

    jam. Hal ini terjadi karena pada perlakuan desugarisasi 2,5 jam jumlah air yang

    dihasilkan lebih tinggi jika dibandingkan pada perlakuan desugarisasi 1 jam. Selain

    air, nilai pH juga mempengaruhi rendahnya daya buih yang terbentuk. Nilai pH yang

    dihasilkan pada perlakuan ini sebesar 8,73. Nilai pH tepung putih telur yang

    mendekati 9,0 menyebabkan sulitnya proses pembentukan buih.

    Daya buih tepung putih telur terendah pada penelitian ini dihasilkan pada

    perlakuan lama desugarisasi 4 jam yaitu mencapai 349,99%. Hasil daya buih tepung

    putih telur yang rendah pada perlakuan lama desugarisasi 4 jam disebabkan oleh

    kandungan air pada perlakuan lama desugarisasi 4 jam sangat tinggi mencapai

    7,58%. Air yang tinggi pada perlakuan tersebut menyebabkan sulitnya proses

    pembentukan buih. Nilai pH yang tinggi mendekati 9,0 pada tepung putih telur

    dengan perlakuan lama desugarisasi 4 jam menyebabkan daya buih yang dihasilkan

    rendah. Rendahnya daya buih terjadi akibat pada nilai pH 9,0 kondisi protein putih

    telur terutama globulin akan pecah, sehingga akan menurunkan kemampuan untuk

    mengikat udara dalam proses pembentukan buih. Hal ini didukung oleh pernyataan

    Seidemen et al. (1963) yang menyatakan bahwa peningkatan pH putih telur hingga

    mencapai 9,0 akan memecah protein globulin putih telur.

    Proses pengeringan akan merubah beberapa komponen penyusun putih telur.

    Protein ovomucin yang menstabilkan struktur buih dan ovalbumin yang membentuk

    buih akan mengalami kerusakan akibat pengeringan sehingga akan mempengaruhi

    daya buih yang dihasilkan. Proses pemanasan akan merusak konsentrasi globulin.

    Proses pemanasan akan mempercepat pecahnya ovomucin-lysozyme diikuti dengan

    terjadinya denaturasi yang dapat menyebabkan menurunnya daya buih yang

    dihasilkan. Hal ini didukung oleh pernyataan Slosberg et al. (1947) bahwa proses

    pemanasan yang dilakukan terhadap putih telur pada suhu lebih dari 57,2oC dengan

    waktu yang relatif singkat dapat mempengaruhi sifat fungsional putih telur terutama

    dalam pembentukan buih.

    Kestabilan Buih

    Hasil tirisan buih dapat dilihat pada Tabel 7. Persentase tirisan buih yang

    rendah menunjukkan tingginya nilai kestabilan buih yang terjadi. Berdasarkan

  • analisis ragam, kestabilan buih tepung putih telur ayam ras dipengaruhi sangat nyata

    (P

  • Perlakuan lama desugarisasi 4 jam memiliki nilai kestabilan buih yang

    rendah. Nilai kadar air yang tinggi menyebabkan sulitnya proses pembentukan buih.

    Perlakuan desugarisasi akan menghasilkan senyawa berupa air. Semakin lama

    desugarisasi yang dilakukan menyebabkan jumlah kadar air yang terbentuk semakin

    tinggi. Nilai kadar air pada perlakuan desugarisasi 4 jam adalah 7,58%. Nilai kadar

    air pada perlakuan desugarisasi 4 jam lebih tinggi dari pada perlakuan desugarisasi 1

    dan 2,5 jam. Hal ini menyebabkan nilai tirisan buih pada perlakuan desugarisasi 4

    jam lebih tinggi dari perlakuan desugarisasi 1 dan 2,5 jam.

  • KESIMPULAN DAN SARAN

    Kesimpulan

    Waktu desugarisasi dalam pembuatan tepung putih telur ayam ras

    mempengaruhi sifat fisik dan fungsional tepung putih telur yang dihasilkan. Proses

    desugarisasi selama 1 jam menghasilkan sifat fisik, daya dan kestabilan buih terbaik.

    Namun, daya buih tepung putih telur yang dicapai masih perlu ditingkatkan

    sebagaimana yang dicapai pada putih telur segar.

    Saran

    Untuk memperoleh daya dan kestabilan buih seperti pada putih telur segar,

    perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan cara menambahkan asam sitrat 5%

    yang lebih tinggi. Penambahan asam sitrat 5% yang lebih tinggi tersebut diharapkan

    dapat mengurangi pH tepung putih telur hingga mencapai 6,5-7,5.

  • UCAPAN TERIMA KASIH

    Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan

    rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan baik.

    Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Ir. Rukmiasih, MS selaku

    pembimbing utama dan Ibu Zakiah Wulandari, S.TP., MSi selaku pembimbing

    anggota atas kesediaan waktu dan kesabarannya untuk membimbing, menasehati

    dalam pembuatan skripsi ini. Kepada Ir. B. N. Polii, SU dan Ir. Dwi Margi Suci, MS

    selaku penguji penulis ucapkan pula terima kasih. Kepada Prof. Dr. Ir. Iman Rahayu

    H. S. MS sebagai pembimbing akademik yang telah memberikan saran selama

    penulis belajar di Institut Pertanian Bogor penulis ucapkan terima kasih.

    Terima kasih penulis ucapkan kepada kedua orang tua atas doa, motivasi

    serta kasih sayang yang diberikannya. Kepada kakak dan adik penulis Chaeris, Aji,

    Sari, Dede dan Arif serta keluarga besar bapak dan ibu di Cirebon, penulis ucapkan

    terima kasih. Kepada A`Bhakti yang telah memberikan saran, masukan, serta

    do`anya penulis ucapkan terima kasih. Kepada teman-teman satu penelitian Tim

    Buih Ana, Anwar, Dedi, Dian, Edgar, Esha, Handi, Hamidah, Heidy, Nanda, Novi,

    Rosidah, Ratih, Syam, Umi, Wian dan Zaky atas suka dukanya dalam menyelesaikan

    penelitian ini. Kepada teman-teman THT`39 atas kebersamaannya dalam

    menyelesaikan studi di Institut Pertanian Bogor. Kepada sahabat penulis Mila dan

    Helsya yang mendukung dalam penelitian ini penulis ucapkan terima kasih. Kawan-

    kawan penghuni Pondok Anugrah dan kepada teman-temanku yang tidak dapat

    penulis sebutkan satu persatu penulis ucapkan terima kasih.

    Kepada para staf Bagian Teknologi Hasil Ternak dan Bagian Ilmu Produksi

    Ternak Unggas penulis ucapkan terima kasih. Kepada seluruh staf dan pengajar

    Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor penulis tak lupa ucapkan terima kasih.

    Penulis menyadari dengan kesadaran diri dan kerendahan hati bahwa segala

    kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT. Penulis berharap semoga tulisan ini dapat

    bermanfaat bagi penulis dan semua yang memerlukannya.

  • DAFTAR PUSTAKA

    Alleoni, A.C.C. and A.J Antunes. 2004. Albumen foam stability and s-ovalbumen content in egg coated with whey protein concentrate. Rev.Bras.Cienc.Avic. Vol 6. No.2. Campinas. ./Revista Brasileira de Ciencia Aviola Balbumen foam stability and s-ovalbumin content in e 4/9/05.

    Aman, W, Subarna, M. Arpah, D. Syah dan S.I Budiwati. 1992. Peralatan dan Unit Proses Industri Pangan. Pusat Antar Universitas. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

    AOAC. 1995. Official Methods of Analysis. 16 th Edit. Assosiation of Official Analitical Chemist Int., Washington D.C.

    Berquist, D. H. 1964. Egg dehidration. Dalam: W. J. Stadelmen and O. J. Cotterill (Editor). Egg Science and Technology. Food Products Press. An Imprint of The Haworth Press, Inc., New York.

    Buckle, K. A, R. A. Edwards, G. H. Fleet, and M. Wootton. 1987. Ilmu Pangan. Terjemahan: Hari purnomo dan Adiono. Universitas Indonesia Press, Jakarta.

    Cunningham, F. E. 1995. Egg Product Pasteurization. Dalam: W. J. Stadelmen and O. J. Cotterill (Editor). Egg Science and Technology. Food Products Press. An Imprint of The Haworth Press, Inc., New York.

    Cherry, J. P. and McWaters. 1981. Protein Functionality in Foods. American Chemical Soviety, Washington.

    Davis, C and Reeves. 2002. High value opportunities from the chicken egg. A report for Rural Industries Research and Development Corporation. RIRDC Publication No. 02/094.

    deMan, J. M. 1997. Kimia Makanan. Edisi kedua. Institut Teknologi Bandung, Bandung.

    Departemen Pertanian. 2004. Statistik Pertanian. Pusat Data dan Informasi Pertanian, Jakarta.

    Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI. 1979. Daftar Komposisi Bahan-Bahan Makanan. Bharata Karya, Jakarta.

    Fardiaz, S. 1992. Mikrobiologi Pangan. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

    Feed, G. and T. W. Nagodawithana. 1991. Yeast Technology. Second Edition. Van Nostrand Reinhold, New York.

    Georgia Egg Commission. 2005. Albumen. http://www.georgiaeggs.org/pages/ albumen.html. [1 April 2006].

    Hadiwiyoto, S. 1983. Hasil-hasil Olahan Susu, Ikan, Daging dan Telur. Penerbit Liberty, Yogyakarta.

    Hammershoj, M. and J. Andersen. 2002. Egg processing focus on the functional properties of egg albumen powder. J. Poultry International. 41: 18-24.

  • Hill, W. M. and M. Sebring. 1973. Desugarization. Dalam: W. J. Stadelmen and O. J. Cotterill (Editor). Egg Science and Technology. Food Products Press. An Imprint of The Haworth Press, Inc., New York.

    Hunter. 1958. Colour Measurement of Food. Dalam: MacDougall. D. B. (Editor). Colour in Food. CRC Press, New York.

    Hutching, J. B., 1999. Food Color and Appearance. Second Edition. Aspen Publication, Inc. Gaithersburg, Maryland.

    Linden, G. and D. Lorient. 1999. New Ingredient in Food Processing. Biochemistry and Agriculture. CRC Press, New York.

    MacCarthy, D. 1989. Concentration and Drying of Food. Elsiner Applied Science Publishers, London.

    Mattjik, A. A. and I made, S. 2002. Perancangan Percobaan. Jilid I. Edisi kedua. Institut Pertanian Bogor Press, Bogor.

    Matz, S. A. 1992. Bakery Technology and Engineering. PAN-Tech International. Texas.

    Meyer, R and L. F. Hood. 1973. The effect of pH heat on the ultrastructure of chick aand thin hen`s egg albumen. J. Poultry Science. 52: 1814-1817.

    Mine, Y. 1996. Effect of pH during the drying heating on thee gelling properties of egg white proteins. Food Research International. 29 (2): 155-161.

    Muchtadi, D. 1993. Teknik Evaluasi Nilai Gizi Protein. Program Studi Ilmu Pangan. Program Pasca sarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

    Ockerman, H. W. 1978. Source Book of Food Scientist. The Avi Publishing Company, Inc. Wesport, Connecticut.

    Pelczar, M. J. dan E. C. S. Chan. 1986. Dasar-Dasar Mikrobiologi 1. UI Press, Jakarta.

    Peppler, H. J. 1979. Microbial Technology. Vol I : microbial process. Academic Press, New York.

    Pomeranz and Meloan. 1978. Food Analysis. The AVI Publ. Co. Inc., West Port, Conecticut.

    Romanoff. A. L. and A. J. Romanoff. 1963. 2nd. Ed. The Avian Egg. John Wiley and Sons, New york.

    Sa`id, E. G. 1987. Bioindustri, Penerapan Teknologi Fermentasi. Mediyatama Sarana Perkasa, Jakarta.

    Seideman, W. E., O. J. Cotterril and E. M. Funk. 1962. Factor affecting heat coagulation of egg white. J. Poultry Sci. 42: 406417.

    Sirait, C. H. 1986. Telur dan Pengolahannya. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor.

    Slosberg, H. M., Helen. L. H., G. F. Stewart and B. Lowe. 1947. Factors influencing the effects of heat treatment on the leaving power of egg white. J. Poultry Science. Vol XXVII.

  • Stadelman, W. J. and O. J. Cotterill. 1995. Egg Science and Technology. 4th Ed. Food Products Press. An Imprint of The Haworth Press, Inc., New York.

    Standar Nasional Indonesia 01-4323-1996. Tepung Putih Telur. Badan Standarisasi Nasional.

    Stuart, L. S. and H. E. Goresline. 1942. Bacteriological studies on the Natural fermentation process of preparing egg white for drying. Agricultural Chemical Research Division Contribution No. 62.

    Winarno, F. G dan S. Fardiaz. 1982. Pengantar Teknologi Pangan. Gramedia, Jakarta.

    Winarno, F. G. dan Sutrisno. K. 2002. Telur: Komposisi, Penanganan dan Pengolahannya. M-brio Press, Bogor.

    Winarno, F. G. 2002. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

    Wirakartakusumah, A., A. Subarna, M. Arpah, D. Syah dan S. I. Budiwati. 1992. Peralatan dan Proses Industri pangan. Pusat Antar Universitas, Bogor.

    Zayas, J. F. 1997. Functionality of Protein in Food. Springer, Berlin.

  • LAMPIRAN

  • Lampiran 1. Analisis Ragam Kadar Air Tepung Putih Telur Ayam Ras dengan Lama Desugarisasi Berbeda

    Sumber Keragaman db JK KT F hit P

    Perlakuan 3 3.18229 1.06076 17.46 0.002**

    Blok 2 0.59375 0.29688 4.89 0.055

    Galat 6 0.36458 0.06076

    Total 11 4.14063 Keterangan : ** sangat berbeda nyata

    Lampiran 2. Uji Lanjut Duncan Kadar Air Tepung Putih Telur Ayam Ras pada berbagai Lama Desugarisasi Berbeda

    Taraf Ulangan Kelompok Duncan Rata-rata

    0 jam 3 A 7.25

    1 jam 3 B 6.25

    2.5 jam 3 B 6.66

    4 jam 3 A 7.58

    Lampiran 3. Analisis Ragam pH Setelah Desugarisasi dengan Lama Desugarisasi Berbeda

    Sumber Keragaman db JK KT F hit P

    Perlakuan 3 4.0483 1.34943 112.14 0.000**

    Blok 2 0.1718 0.088590 7.14 0.026

    Galat 6 0.0722 0.01203

    Total 11 4.2923 Keterangan : ** sangat berbeda nyata

  • Lampiran 4. Uji Lanjut Duncan Nilai pH Setelah Desugarisasi Tepung Putih Telur Ayam Ras pada berbagai Lama Desugarisasi Berbeda

    Taraf Ulangan Kelompok Duncan Rata-rata

    0 jam 3 A 8.23

    1 jam 3 B 6.76

    2.5 jam 3 BC 6.91

    4 jam 3 C 7.07

    Lampiran 5. Analisis Ragam pH Tepung Putih Telur Ayam Ras dengan Lama Desugarisasi Berbeda

    Sumber Keragaman db JK KT F hit P

    Perlakuan 3 0.08043 0.02681 106.07 0.000**

    Blok 2 0.00195 0.00097 3.86 0.084

    Galat 6 0.00151 0.00025

    Total 11 0.08390 Keterangan : ** sangat berbeda nyata

    Lampiran 6. Uji Lanjut Duncan pH Tepung Putih Telur Ayam Ras pada berbagai Lama Desugarisasi Berbeda

    Taraf Ulangan Kelompok Duncan Rata-rata

    0 jam 3 A 8.82

    1 jam 3 B 8.64

    2.5 jam 3 C 8.73

    4 jam 3 D 8.85

  • Lampiran 7. Analisis Ragam Rendemen Tepung Putih Telur Ayam Ras dengan Lama Desugarisasi Berbeda

    Sumber Keragaman db JK KT F hit P

    Perlakuan 3 2.39503 0.798344 6.29 0.028*

    Blok 2 0.56672 0.283358 2.23 0.189

    Galat 6 0.76202 0.1227003

    Total 11 3.72337 Keterangan : * berbeda nyata

    Lampiran 8. Uji Lanjut Duncan Rendemen Tepung Putih Telur Ayam Ras pada berbagai Lama Desugarisasi Berbeda

    Taraf Ulangan Kelompok Duncan Rata-rata

    0 jam 3 A 12.38

    1 jam 3 A 12.51

    2.5 jam 3 A 13.00

    4 jam 3 B 11.75

    Lampiran 9. Analisis Ragam Waktu Rehidrasi Tepung Putih Telur Ayam Ras dengan Lama Desugarisasi Berbeda

    Sumber Keragaman db JK KT F hit P

    Perlakuan 3 0.15329 0.05109 2.57 0.150

    Blok 2 0.00221 0.00110 0.06 0.946

    Galat 6 0.11918 0.01986

    Total 11 0.27469

  • Lampiran 10. Analisis Ragam Kecerahan Tepung Putih Telur Ayam Ras dengan Lama Desugarisasi Berbeda

    Sumber Keragaman db JK KT F hit P

    Perlakuan 3 1.01777 0.33926 5.24 0.041*

    Blok 2 4.44463 2.22231 34.30 0.001

    Galat 6 0.38872 0.06479

    Total 11 5.85112 Keterangan : * berbeda nyata

    Lampiran 11. Uji Lanjut Duncan Kecerahan Tepung Putih Telur Ayam Ras pada berbagai Lama Desugarisasi Berbeda

    Taraf Ulangan Kelompok Duncan Rata-rata

    0 jam 3 a 8.05

    1 jam 3 ab 3.23

    2.5 jam 3 bc 3.77

    4 jam 3 bc 4.45

    Lampiran 12. Analisis Ragam Daya Buih Tepung Putih Telur Ayam Ras dengan Lama Desugarisasi Berbeda

    Sumber Keragaman db JK KT F hit P

    Perlakuan 3 40462.1 13487.4 87.42 0.000**

    Blok 2 555.6 277.8 1.80 0.244

    Galat 6 925.7 154.3

    Total 11 41943.4 Keterangan : ** sangat berbeda nyata

  • Lampiran 13. Uji Lanjut Duncan Daya Buih Tepung Putih Telur Ayam Ras pada berbagai Lama Desugarisasi Berbeda

    Taraf Ulangan Kelompok Duncan Rata-rata

    0 jam 3 A 405.55

    1 jam 3 B 511.10

    2.5 jam 3 C 433.33

    4 jam 3 D 349.99

    Lampiran 14. Analisis Ragam Tirisan Buih Tepung Putih Telur Ayam Ras dengan Lama Desugarisasi Berbeda

    Sumber Keragaman db JK KT F hit P

    Perlakuan 3 0.14702 0.049008 98.02 0.000**

    Blok 2 0.00020 0.000100 0.20 0.824

    Galat 6 0.00300 0.000500

    Total 11 0.15022 Keterangan : ** sangat berbeda nyata

    Lampiran 15. Uji Lanjut Duncan Tirisan Buih Tepung Putih Telur Ayam Ras pada berbagai Lama Desugarisasi Berbeda

    Taraf Ulangan Kelompok Duncan Rata-rata

    0 jam 3 A 8.05

    1 jam 3 B 3.23

    2.5 jam 3 C 3.77

    4 jam 3 D 4.45

  • Lampiran 16. Daya Buih Tepung Putih Telur dengan Lama Desugarisasi Berbeda

    PENDAHULUAN Latar Belakang TINJAUAN PUSTAKA Komposisi Gizi Telur Ayam Fungsi telur dalam pengolahan bahan pangan adalah untuk menimbulkan buih, sebagai emulsifier, dan koagulasi (Matz, 1992). Protein putih telur memiliki komponen yang dapat memberikan kestabilan terhadap buih. Volume dan kestabilan buih menurut beberapa peneliti terdahulu, dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya umur telur, pengocokan dan penambahan bahan-bahan kimia atau stabilisator, komposisi protein, pH, pemanasan, adanya garam dan komposisi fase cair yang mungkin mengubah konfigurasi dan stabilitas molekul protein (Stadelman dan Cotterill, 1995). KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA