skripsi yustirahayu b. n111 09273 uji toksisitas subkronik sediaan sirup imunomodulator kasumba...
DESCRIPTION
farmasi, biofarmasi, imunomodulatorTRANSCRIPT
UJI TOKSISITAS SUBKRONIK SEDIAAN SIRUP IMUNOMODULATOR KASUMBA TURATE
(Carthamus tinctorius Linn.) PADA MENCIT (Mus musculus)
YUSTIRAHAYU B. N111 09 273
PROGRAM STUDI FARMASI FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR
2013
UJI TOKSISITAS SUBKRONIK SEDIAAN SIRUP IMUNOMODULATOR KASUMBA TURATE (Carthamus tinctorius Linn.) PADA MENCIT (Mus
musculus)
SKRIPSI
untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat-syarat untuk mencapai gelar sarjana
YUSTIRAHAYU B. N111 09 273
PROGRAM STUDI FARMASI
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR 2013
v
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi ini adalah karya saya sendiri,
bukan merupakan karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar
kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya
juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau
diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang tertulis diacu dalam naskah ini
dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Apabila di kemudian hari terbukti bahwa pernyataan saya tidak benar,
maka skripsi dan gelar yang diperoleh, batal demi hukum.
Makassar, 30 Mei 2013
Penyusun
Yustirahayu B.
vi
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur ke hadirat Allah SWT atas segala berkat, rahmat, dan
karunia yang senantiasa dianugrahkan-Nya kepada penulis, sehingga
dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Uji Toksisitas Subkronis
Sediaan Sirup Imunomodulator Kasumba Turate (Carthamus tinctorius L.)
pada Mencit (Mus musculus)”, sebagai salah satu syarat untuk
menyelesaikan studi strata satu Fakultas Farmasi Universitas Hasanuddin.
Penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan motivasi dari
berbagai pihak, maka dari itu dalam kesempatan ini, ucapan terima kasih
yang tulus penulis ucapkan kepada :
1. Kedua orang tua tercinta, Baharuddin Zainuddin, SE, dan
St.Rahmawati SE atas segala pengorbanan dan dukungan dalam doa
dan ucapan syukur. Juga saudara penulis, Muhammad Iqbal dan
Muhammad Arief yang senantiasa memotivasi dalam setiap canda
mereka yang menguatkan.
2. Dekan dan para Wakil Dekan Fakultas Farmasi, Universitas
Hasanuddin, Makassar.
3. Bapak Usmar, S.Si., M.Si., Apt. sebagai pembimbing utama dan ibu
Dra. Rahmawati Syukur, M.Si., Apt. sebagai pembimbing pertama,
yang telah rela berbagi ilmu dan meluangkan waktu dalam
memberikan bimbingan mulai dari perencanaan penelitian sampai
selesainya skripsi ini.
vii
4. Ibu Prof. Dr. Elly Wahyudin, DEA., Apt. sebagai penasehat akademik,
atas waktu, bimbingan, dan nasehat-nasehatnya selama penulis
menempuh pendidikan di Fakultas Farmasi UNHAS sampai
terselesaikannya skripsi ini.
5. Tim penguji yang telah menyediakan waktu untuk menguji dan mem-
berikan masukan untuk penyempurnaan skripsi ini.
6. Segenap Dosen, Asisten Dosen, Staf Laboratorium, dan Staf Pegawai
Fakultas Farmasi atas bantuannya selama ini.
7. Seluruh sahabat tanpa kecuali, yang setia menemani, berbagi suka
maupun duka, dan mendoakan, baik selama menjalani masa
pendidikan dari awal kuliah hingga skripsi ini terselesaikan.
8. Kakanda Christian Aspriamijaya, S.Si dan Rafika Fitriah S,Si., serta
saudari Reski Frislianita S.Si. atas segala bantuan, dukungan, dan
masukan kepada penulis dalam pelaksanaan penelitian untuk
merampungkan skripsi ini.
9. Tante Sri Rejeki Muliadi, Rugawati, Ridawati, Ratnawati, Om Adi, dan
Fina Syam sebagai penyemangat dalam menyelesaikan penelitian ini.
10. Seluruh angkatan 2009 “GINKGO” Farmasi Unhas dan semua pihak
lain yang tidak sempat penulis sebutkan, atas bantuan dan
dukungannya.
Pada akhirnya, penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini
masih jauh dari kesempurnaan. Karena itu, dengan penuh kerendahan
hati, penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya. Saran dan kritik yang
viii
membangun tentunya penulis sangat harapkan. Semoga skripsi ini dapat
memberi manfaat bagi pembaca dan dapat menjadi referensi bagi
penelitian selanjutnya.
Makassar, 1 Mei 2013
Yustirahayu B.
ix
ABSTRAK
Telah dilakukan penelitian mengenai uji toksisitas subkronis sediaan sirup imunomodulator kasumba turate (Carthamus tinctorius Linn.) berdasarkan kerusakan organ mencit melalui pemeriksaan histopatologi. Penelitian bertujuan untuk memperoleh gambaran mengenai efek toksik pada 5 organ mencit yang timbul setelah pemberian sediaan sirup berulang kali. Dua belas ekor mencit jantan dibagi dalam 4 kelompok, setiap kelompok terdiri atas 3 ekor mencit. Kelompok I, II, dan III diberi sediaan sirup imunomodulator kasumba turate (Carthamus tinctorius Linn.) 1 ml/30 g BB mencit tiga kali sehari setiap hari secara peroral selama 14, 21, dan 28 hari. Kelompok IV adalah kontrol. Penilaian histopatologi terhadap sel hati mencit dinilai berdasarkan kerusakan sangat ringan, ringan, sedang, dan berat. Sedangkan pada sel ginjal dinilai dari jumlah kerusakan inti sel pada tubulus proksimal. Untuk lambung dinilai dari kerusakan epitel mukosa, kerusakan kelenjar, dan ulkus. Untuk limpa, kerusakan didasarkan pada kepadatan jumlah sel limpa. Sedangkan pada jantung kerusakan dinilai berdasarkan jumlah inti piknotik. Hasil analisis data menunjukkan gejala kerusakan ringan pada sel hati, ginjal, dan lambung. Sedangkan pada limpa dan jantung normal. Secara umum, derajat kerusakan yang timbul pada kelompok III yang diberi sediaan imunomodulator kasumba turate selama 28 hari lebih tinggi dibandingkan hari ke-14 dan hari ke-21. Dari skor rata-rata kerusakan pada 5 organ mencit menunjukkan skor ringan sehingga pemberian sediaan imunomodulator kasumba turate dengan dosis 1ml/30g BB mencit selama 28 hari tidak menimbulkan efek toksik pada 5 organ mencit.
x
ABSTRACT
A research about subchronic toxicity assay of Kasumba Turate (Carthamus tinctorius L.) immunomodulatory syrup dosage by mice organ damage through histopathological examination had been done. The aim was to obtain an overview of the 5 organs toxic effects on mice after giving syrup dosage. Twelve males mice were divided into 4 groups, each group consisted of 3 mice. Groups I, II, and III were given immunomodulatory Kasumba Turate (Carthamus tinctorius L.) syrup dosage 1 ml/30 g Body Weight mice three times a day every day during 14, 21, and 28 days. Whereas IV was the control group. Histopathologic assessment of the liver cells of mice assessed by damage minimal, mild, moderate, and severe. Whereas in renal cell damage assessed from the number of cell nuclei in the proximal tubule. For gastric, damage assessed from mucosal epithelial, gland damage, and ulcers. For the spleen, damage based on the density of the number of spleen cells. Whereas in the heart damage assessed by the number of picnotic nuclear. The Results of analysis data showed the symptomps of minimal destruction in liver cells, kidney, and gastric. While in the spleen and heart is normal. In general, the degree of damage that occurs in group III were given Kasumba Turate immunomodulatory syrup dosage during 28 days was higher than day 14 and day 21. From the mean score in 5 mice organs damage showed the minimum score. Thus administration of Kasumba Turate immunomo-dulatory oral dosage with doses 1ml/30g body weight mice for 28 days doesn’t give toxic effects for 5 organs of mice.
xi
DAFTAR ISI
Halaman
LEMBAR PENGESAHAN ............................................................ iv
LEMBAR PERNYATAAN ............................................................. v
UCAPAN TERIMA KASIH ............................................................ vi
ABSTRAK .................................................................................... ix
ABSTRACT .................................................................................. x
DAFTAR ISI ................................................................................. xi
DAFTAR TABEL .......................................................................... xiv
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................... xv
BAB I PENDAHULUAN ................................................................ 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA....................................................... 5
II.1 Uraian Tanaman ............................................................ 5
II.1.1 Klasifikasi Tanaman ............................................ ....... 5
II.1.2 Nama Daerah ......................................................... .... 5
II.1.3 Morfologi Tanaman .................................................. ... 5
II.1.4 Kandungan Kimia ..................................................... .. 7
II.1.5 Pemanfaatan Tanaman ............................................ .. 7
II.2 Imunomodulator…………………………………………. .. 8
II.3 Uraian Mengenai Toksisitas……………………………. .. 8
II.3.1 Mekanisme Terjadinya Toksisitas ................... ........... 10
II.3.2 Metode Pengujian Toksikologi……………………........ 10
xii
II.3.3 Uji Toksisitas Subkronik………………………………….. 12
II.4 Tinjauan Mengenai Hati…………………………..………... 17
II.4.1 Anatomi dan Fisiologi Hati..……………………………… 17
II.4.2 Histologi Hati……………………………………………….. 18
II.5 Tinjauan Mengenai Ginjal.........…………………..………... 19
II.5.1 Anatomi dan Fisiologi Ginjal……………………………… 19
II.5.2 Histologi Ginjal…………………………………………….. 20
II.6 Tinjauan Mengenai Lambung...…………………..………... 21
II.6.1 Anatomi dan Fisiologi Lambung.………………………… 21
II.6.2 Histologi Lambung……………………………………….. 22
II.7 Tinjauan Mengenai Limpa………………………..………... 23
II.7.1 Anatomi dan Fisiologi Limpa..…………………………… 23
II.7.2 Histologi Limpa..………………………………………….. 24
II.8 Tinjauan Mengenai Jantung.……………………..………... 24
II.8.1 Anatomi dan Fisiologi Jantung…………………………… 24
II.8.2 Histologi Jantung………………………………………….. 25
BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN……………………………….. 26
III.1 Penyiapan Alat dan Bahan yang Digunakan…………….. 26
III.2 Penyiapan Sampel Penelitian……………………………… 26
III.3 Pemilihan dan Penyiapan Hewan Uji……………………… 27
III.3.1 Pemilihan Hewan Uji……………………………………… 27
III.3.2 Penyiapan Hewan Uji…………………………………… 27
III.4 Perlakuan Terhadap Hewan Uji…………………………... 27
xiii
III.5 Pengamatan…………………………..……………………. 28
III.6 Pemeriksaan Histopatologi…………..……………………. 28
III.7 Pengumpulan dan Pengolahan Data............................... 28
III.8 Pembahasan Hasil............................... ......................... 28
III.5 Pengambilan Kesimpulan……….............................. .. .. 28
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ..................................... …… 29
IV.1 Hasil Penelitian............................................................... 29
IV.2 Pembahasan ................................................................ 29
BAB V PENUTUP ........................................................................ 37
V.1 Kesimpulan ................................................................... 37
V.2 Saran ............................................................................ 38
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................... 39
LAMPIRAN................................................................................... 42
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Derajat kerusakan organ metode skoring................................... 16
2. Derajat kerusakan sel hati, ginjal, lambung, limpa dan
jantung.......................................…………………………............. 29
3. Komposisi sediaan sirup dari liofilisat ekstrak mahkota bunga kasumba turate (Carthamus tinctorius L.) ....................... 42
4. Data gejala-gejala toksik setelah pemberian sirup...................... 44
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
1. Formula Sediaan Imunomodulator Kasumba Turate....... 42
2. Skema Kerja....................................................................... 43
3. Data gejala-gejala toksik setelah pemberian sirup............ 44
4. Gambar ............................................……………………….. 50
5. Rekomendasi Persetujuan Kode Etik.................................. 61
1
BAB I
PENDAHULUAN
Imunitas adalah resistensi terhadap penyakit terutama penyakit
infeksi. Gabungan sel, molekul dan jaringan yang berperan dalam
resistensi terhadap infeksi disebut sistem imun dan reaksi yang
dikoordinasi sel-sel dan molekul-molekul terhadap mikroba dan bahan
lainnya disebut respon imun. Sistem imun diperlukan tubuh untuk mem-
pertahankan keutuhannya terhadap bahaya yang dapat ditimbulkan
berbagai bahan dalam lingkungan hidup (1).
Obat-obatan yang dapat mengembalikan ketidakseimbangan sis-
tem imun disebut imunomodulator. Imunomodulator terdiri atas imunosti-
mulator, imunorestorator (imunorestorasi), dan imunosupresor atau imuno-
supresan. Imunostimulasi atau imunopotensiasi adalah cara memperbaiki
fungsi sistem imun dengan menggunakan imunostimulan yaitu bahan
yang merangsang sistem imun. Secara klinis imunomodulator digunakan
pada pasien dengan gangguan imunitas, antara lain pada kasus
keganasan HIV/AIDS, malnutrisi, alergi, dan lain-lain (1).
Kasumba turate (Carthamus tinctorius L.) adalah anggota dari famili
Compositae atau Asteraceae yang ditanam dan bunganya digunakan un-
tuk pewarna, penyedap makanan, dan obat-obatan (2). Secara empiris,
mahkota bunga kasumba turate (Carthamus tinctorius L.) digunakan
masyarakat Sulawesi Selatan sebagai obat tradisional untuk pengobatan
campak. Penyebab penyakit campak adalah virus campak atau morbili (3).
2
Penelitian yang dilakukan terhadap seduhan dari mahkota bunga
kasumba turate yang dikeringkan memperlihatkan efek meningkatkan
aktivitas antibodi imunoglobulin M (IgM) dan imunoglobulin G (IgG) pada
mencit (3). Selain itu, telah dilaporkan bahwa pemberian ekstrak etanol
bunga kasumba turate (Carthamus tinctorius L.) 0,5 % b/v (3,3 mg/20 g
BB mencit) dapat meningkatkan aktivitas imunoglobulin G (IgG) dan bobot
limpa mencit jantan (4). Adapun penelitian lain juga menyebutkan ekstrak
air kasumba turate dapat meningkatkan aktivitas fagositosis mencit (5).
Sediaan sirup yang stabil secara farmasetika yang mengandung
liofilisat ekstrak air mahkota bunga kasumba turate telah diformulasi pada
penelitian terdahulu sebagai sediaan sirup (6). Kasumba turate (Cartha-
mus tinctorius L.) dalam formula yang dikembangkan diharapkan berperan
sebagai bahan yang dapat menambah dan meningkatkan kekebalan
tubuh terutama pada saat sakit.
Akan tetapi, dalam mengembangkan obat tradisional menjadi obat
herbal terstandar maka formula tersebut masih memerlukan pengkajian
dan penelitian lanjutan yakni uji preklinik untuk efektifitas dan keamanan-
nya dalam penggunaan lebih jauh. Uji preklinik dilakukan secara in vitro
dan in vivo pada hewan coba untuk melihat toksisitas dan efek
farmakodinamiknya. Uji farmakodinamik pada hewan coba digunakan
untuk memprediksi efek pada manusia, sedangkan uji toksisitas dimak-
sudkan untuk melihat keamanannya (7). Pada uji farmakodinamik, sediaan
sirup kasumba turate 1% b/v memiliki efek sebagai imunostimulan ber-
3
dasarkan peningkatan aktivitas fagositosis setelah diinduksi suspensi
koloidal karbon (8).
Oleh karena itu, harus diketahui tingkat keamanannya pada hewan
uji melalui serangkaian uji toksisitas. Uji toksisitas adalah suatu uji untuk
mendeteksi efek toksik suatu zat pada sistem biologi dan untuk
memperoleh data dosis-respon yang khas dari sediaan uji. Data yang
diperoleh dapat digunakan untuk memberi informasi mengenai derajat
bahaya sediaan uji tersebut bila terjadi pemaparan pada manusia,
sehingga dapat ditentukan dosis penggunaannya demi keamanan ma-
nusia. Uji toksisitas terdiri dari uji toksisitas akut oral, uji toksisitas sub-
kronik oral, dan uji toksisitas kronik oral (9). Telah dilakukan pengujian tok-
sisitas akut dan hasil Lethal Dose 50 (LD50) dari sediaan kasumba turate
tersebut sebesar 2000 mg/kg bobot badan mencit dan ditetapkan sebagai
LD50 semu (10).
Uji toksisitas subkronik oral adalah suatu pengujian untuk men-
deteksi efek toksik yang muncul setelah pemberian sediaan uji dengan
dosis berulang yang diberikan secara oral pada hewan uji selama
sebagian umur hewan, tetapi tidak lebih dari 10% seluruh umur hewan (9).
Maksud dari penelitian ini adalah untuk mengetahui toksisitas sub-
kronis kasumba turate (Carthamus tinctorius) dalam sediaan sirup yang di-
gunakan sebagai imunomodulator. Sedangkan tujuan dari penelitian ini
adalah memperoleh informasi kemungkinan adanya efek toksik setelah
pemberian sediaan sirup imunomodulator kasumba turate (Carthamus
4
tinctorius) secara berulang dalam jangka waktu tertentu pada mencit (Mus
musculus).
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Uraian Tanaman
II.1.1 Klasifikasi Tumbuhan
Kerajaan : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Anak Divisi : Angiospermae
Kelas : Magnoliopsida
Anak kelas : Sympetalae
Bangsa : Asterales
Suku : Asteraceae
Marga : Carthamus
Jenis : Carthamus tinctorius Linn. (11,12)
II.1.2 Nama Daerah
Jawa : Kembang pulu
Makassar : Kasumba Turate
Bugis : Rale’
Umum : Kesumba (11,12)
II.1.3 Morfologi Tumbuhan
Tumbuh tegak lurus bercabang banyak, tumbuh menahun, tinginya
30-180 cm. Sistem akar terbentuk dengan baik, berwarna coklat
kehijauan, akar tebal dan gemuk, menusuk sampai 3 m ke dalam tanah,
6
cabang sampingnya tipis mendatar, sebagaian besar terdapat di atas 30
cm. Tangkai berbentuk selinder, padat dengan intisari lunak, berkayu
didekat pangkal. Daun tersusun secara spiral dengan ukuran 4-20 cm x 1-
5 cm. Tepi daun berduri-bergerigi, berwarna hijau gelap mengkilap dan
berbentuk herba ketika masih muda, berubah menjadi keras dan kaku
setelah tua. Bagian kepala terletak di ujung berbentuk jambangan besar,
panjang sekitar 4 cm dan diameter 2,5-4 cm, hanya mengandung bunga-
bunga tunggal (florest). Memiliki banyak kelopak involucral, tersusun
spiral, bagian luar membujur dan menyempit diatas bagian dasar, 3-7 cm
x 0,5-1,6 cm. Bagian atas seperti daun dan spinescent, tegak atau
menyebar, tidak terkatup, dengan rambut panjang pada tepi bawah,
berwarna hijau lebih muda daripada daun, bagian bawah terkatup,
berwarna putih kehijauan, berambut panjang pada bagian luar, khususnya
pada tepi, sedangkan pada bagian dalam glabrous disekitar bagian
tengah kepala, kontriksinya menjadi kurang jelas dan bagian yang seperti
daun menjadi tidak nampak; kelopak yang paling dalam berbentuk lanset,
2-2,5 cm x 1-4 mm; ujung spinescent, ciliate. Dasar bunganya rata sampai
berbentuk kerucut, banyak, tegak, berbulu putih dengan panjang 1-2 cm
dan terdapat 20-80 bunga tunggal (florest) berkelamin ganda, tubular,
aktinomorf, panjangnya sekitar 4 cm glabrous, kebanyakan berwarna
jingga kemerahan yang menjadi merah gelap saat mekar, kadang-kadang
kuning; mahkotanya tersusun oleh 5 lobus, panjang tubular 18-22 mm,
lobus menyebar, sedikit oblongata sampai linier, 7 mm x 1 mm; benang
7
sari 5, epipetalous tertanam pada bagian mulut, filamen 1-2 mm, anthers 5
mm, berkumpul, membentuk kolom; ovarium berbentuk elips, panjangnya
3,5-4,5 mm, satu sel, satu ovulet, bearing cakram pada bagian atas;
penghalang tipis, panjang 28-30 mm, glabrous, mendesak mulut kolom
serbuk sari, stigma panjangnya 5 mm, bifidus, kuning, dengan rambut
pendek (11,12).
II.1.4 Kandungan Kimia
Safflower (kasumba) mengandung 2 kelompok besar pigmen yang
larut dalam air, yaitu carthamidin kuning dan dye carthamin, yang
berwarna oranye-merah dan larut dalam larutan alkali. Bunganya
mempunyai 0,3-0,6 % carthamin. Flavonoid, glikosida, sterol, dan derivat
serotonin telah diidentifikasi dari bunga dan biji (11).
II.1.5 Pemanfaatan Tanaman
Bunga kasumba turate atau safflower dikenal sebagai bahan
tambahan kosmetik dan belum digunakan secara luas dalam pengobatan.
Di Cina, bunganya digunakan untuk pengobatan pada penyakit seperti
penyumbatan pembuluh darah diotak, sterilitas pada laki-laki, rematik dan
bronkhitis, dan sebagai teh tonik untuk memperkuat sirkulasi darah dan
hati. Pengobatan dengan safflower juga menunjukkan efek yang
bermanfaat pada sakit dan pembengkakan karena trauma. Kasumba
turate juga biasanya digunakan oleh masyarakat di daerah Sulawesi
Selatan sebagai obat tradisional untuk mengobati penyakit campak
(morbili) (11,12).
8
II.2 Imunomodulator
Obat yang diharapkan dapat mengembalikan dan memperbaiki
sistem imun yang fungsinya terganggu atau untuk menekan fungsi yang
berlebihan merupakan obat ideal. Substansi atau obat yang dapat
mengembalikan ketidakseimbangan sistem imun disebut imunomodulator.
Imunomodulator dibagi menjadi 3 kelompok: i) imunostimulator, berfungsi
untuk meningkatkan fungsi dan aktivitas sistem imun, ii) imunorestorasi,
artinya dapat mengembalikan fungsi sistem imun yang terganggu, dan iii)
imunosupresor yang dapat menghambat atau menekan aktivitas sistem
imun. Imunorestorasi dan imunostimulasi disebut imunopotensiasi atau up
regulation, sedangkan imunosupresi disebut down regulation (1,13).
II.3 Uraian Mengenai Toksisitas
Secara sederhana, toksikologi adalah studi tentang sifat dan
mekanisme efek berbahaya dari suatu zat pada makhluk hidup dan
sistem biologis lainnya. Hal ini juga berkaitan dengan penilaian kuantitatif
dari efek racun yang berkaitan dengan tingkat, durasi dan frekuensi
pemaparan pada organisme. Toksikologi memiliki cakupan yang luas. Hal
ini berkaitan dengan studi toksisitas bahan kimia yang digunakan dalam
pengobatan untuk tujuan diagnostik, pencegahan, dan terapi, dalam
industri makanan sebagai bahan tambahan dan di bidang pertanian
sebagai pestisida, zat pengatur tumbuh, penyerbuk buatan, dan bahan
tambahan pakan ternak, juga dalam industri kimia sebagai pelarut,
komponen, dan berbagai jenis bahan kimia (14).
9
Apabila zat kimia dikatakan beracun (toksik), maka kebanyakan
diartikan sebagai zat yang berpotensial memberikan efek berbahaya
terhadap mekanisme biologi tertentu pada suatu organisme. Zat-zat kimia
itu disebut “xenobiotik” (xenox=asing). Setiap zat kimia baru harus diteliti
sifat-sifat toksisitasnya sebelum diperbolehkan penggunaannya secara
luas. Sifat toksik dari suatu senyawa ditentukan oleh: dosis, konsentrasi
racun di reseptor tempat kerja, sifat zat tersebut, kondisi bioorganisme
atau sistem bioorganisme, paparan terhadap organisme dan bentuk efek
yang ditimbulkan. Sehingga apabila menggunakan istilah toksik atau
toksisitas, maka perlu untuk mengidentifikasi mekanisme biologi di mana
efek berbahaya itu timbul. Sedangkan toksisitas merupakan sifat relatif
dari suatu zat kimia, dalam kemampuannya menimbulkan efek berbahaya
atau penyimpangan mekanisme biologi pada suatu organisme (15,16).
Toksisitas melibatkan pengiriman toksikan ke target atau sasaran
dan beriinteraksi dengan molekul target endogen yang dapat memicu
gangguan dalam fungsi sel dan struktur atau memulai mekanisme
perbaikan di molekuler, seluler atau tingkat jaringan. Pada pemeriksaan
histologi terjadinya toksisitas jaringan dapat ditandai dengan terjadinya
degenerasi sel bersama-sama dengan pembentukan vakuola besar,
penimbunan lemak, dan nekrosis (=kematian sel/ jaringan/ organ).
Toksisitas jenis ini adalah fatal karena struktur sel langsung dirusak. Efek
toksik ini sering terlihat pada organ hati dan ginjal. Efek toksik ini segera
10
terjadi setelah senyawa toksik mencapai organ tersebut pada konsentrasi
yang tinggi (15,18).
II.3.1 Mekanisme terjadinya Toksisitas
Mekanisme toksisitas yakni interaksi biologis yang diperlukan oleh
suatu toksikan yang memberikan efek bearcun pada organisme. Meka-
nisme seluler yang berkontribusi terhadap manifestasi toksisitas dianggap
berkaitan dengan serangkaian aktivitas yang diawali dengan pemaparan,
melibatkan banyak interaksi antara toksikan dan organisme yang di-
serang, dan puncaknya pada efek toksik. Umumnya, toksikan dikirim ke
target dan bereaksi, kemudian menghasilkan manifestasi toksisitas
disfungsi seluler pada target tersebut. Terkadang xenobiotik tidak bereaksi
dengan molekul target spesifik, akan tetapi malah mempengaruhi
lingkungan biologis, menyebabkan molekul, organel, seluler, mengarah ke
efek merusak atau disfungsi organ (17,18).
II.3.2 Metode Pengujian Toksisitas
Uji toksisitas adalah suatu uji untuk mendeteksi efek toksik suatu
zat pada sistem biologi dan untuk memperoleh data dosis-respon yang
khas dari sediaan uji. Data yang diperoleh dapat digunakan untuk
memberi informasi mengenai derajat bahaya sediaan uji tersebut bila
terjadi pemaparan pada manusia, sehingga dapat ditentukan dosis
penggunaannya demi keamanan manusia.
Uji toksisitas menggunakan hewan uji sebagai model berguna
untuk melihat adanya reaksi biokimia, fisiologik dan patologik pada
11
manusia terhadap suatu sediaan uji. Hasil uji toksisitas tidak dapat
digunakan secara mutlak untuk membuktikan keamanan suatu bahan/
sediaan pada manusia, namun dapat memberikan petunjuk adanya
toksisitas relatif dan membantu identifikasi efek toksik bila terjadi
pemaparan pada manusia (9).
Pada umumnya segala metode uji toksikologi dapat dibagi menjadi
dua golongan, yaitu :
a. Golongan pertama, terdiri dari uji toksikologi yang dirancang untuk
mengevaluasi keseluruhan efek umum suatu senyawa pada hewan uji.
Uji-uji diidentifikasi sebagai uji toksisitas akut, uji toksisitas subkronis,
dan uji toksisitas kronis. Uji toksisitas akut terdiri atas pemberian suatu
senyawa kepada hewan uji pada suatu saat dengan maksud untuk
menentukan gejala kematian sebagai akibat dari pemberian senyawa
tersebut. Uji toksisitas subkronis adalah suatu uji toksikologi yang
bertujuan untuk secara umum mengevaluasi dan menggolongkan
segala efek senyawa apabila efek senyawa itu diberikan kepada hewan
uji secara berulang-ulang, biasa sekali selama tiga sampai empat
bulan. Uji toksisitas kronis adalah suatu uji toksikologi yang
membutuhkan waktu yang lebih panjang, biasanya tidak kurang dari
satu tahun dan sebelum suatu zat kimia baru dipertimbangkan untuk
studi toksisitas kronis, maka informasi tentang sifat toksisitasnya dan
dosis letalnya harus sudah diketahui.
12
b. Golongan kedua, terdiri dari uji toksikologi yang dirancang untuk
mengevaluasi dengan rinci tipe toksisitas spesifik adalah :
(1) uji potensi, yaitu uji toksisitas yang menentukan efek suatu zat
dengan adanya zat-zat tambahan yang mungkin secara bersama-
sama dijumpai, di mana toksisitas suatu zat diperkuat,
(2) uji teratogenik, yaitu uji toksisitas untuk menentukan efek terhadap
janin (fetus) pada hewan bunting,
(3) uji reproduksi, yaitu uji toksisitas untuk menentukan efek atas
kemampuan reproduksi hewan eksperimental,
(4) uji mutagenik, yaitu uji toksisitas untuk menentukan efek pada
sistem kode genetik,
(5) uji kemampuan tumorgenisitas dan karsinogenisitas, yaitu uji
toksisitas untuk menentukan kemampuan zat untuk menimbulkan
tumor,
(6) uji kulit dan mata, yaitu uji toksisitas untuk menentukan efek lokal
zat bilamana zat-zat tersebut dipakai secara langsung pada kulit
dan mata,
(7) uji perilaku, yaitu uji toksisitas untuk menentukan efek zat atas
berbagai macam pola tingkah laku hewan (19).
II.3.3 Uji Toksisitas subkronik
Uji toksisitas subkronik oral adalah suatu pengujian untuk
mendeteksi efek toksik yang muncul setelah pemberian sediaan uji
dengan dosis berulang yang diberikan secara oral pada hewan uji selama
13
sebagian umur hewan, tetapi tidak lebih dari 10% seluruh umur hewan.
Selama waktu pemberian sediaan uji, hewan harus diamati setiap hari
untuk menentukan adanya toksisitas. Hewan yang mati selama periode
pemberian sediaan uji, bila belum melewati periode rigor mortis (kaku)
segera diotopsi,dan organ serta jaringan diamati secara makropatologi
dan histopatologi. Pada akhir periode pemberian sediaan uji, semua
hewan yang masih hidup diotopsi selanjutnya dilakukan pengamatan
secara makropatologi pada setiap organ dan jaringan. Selain itu juga
dilakukan pemeriksaan hematologi, biokimia klinis dan histopatologi (9)
Tujuan uji toksisitas subkronik oral adalah untuk memperoleh
informasi adanya efek toksik zat yang tidak terdeteksi pada uji toksisitas
akut; informasi kemungkinan adanya efek toksik setelah pemaparan
sediaan uji secara berulang dalam jangka waktu tertentu; informasi dosis
yang tidak menimbulkan efek toksik (No Observed Adverse Effect Level /
NOAEL); dan mempelajari adanya efek kumulatif dan efek reversibilitas
zat tersebut (9).
Bahan kimia biasanya diuji dengan pemberian di dalam makanan,
sedikit kurang lazim di dalam air minum, dan hanya bila sangat perlu bisa
melalui kateter, karena pemberian melalui kateter tersebut melibatkan
banyak penanganan dan menimbulkan stress. Sejumlah variabel
percobaan harus dikontrol dan variasi biologik harus dievaluasi. Selain itu,
jumlah titik akhir yang dapat diukur juga besar dan akibatnya
penyimpanan catatan dan analisis data menimbulkan masalah. Namun,
14
jika semuanya dilakukan dengan hati-hati maka banyak yang bisa
dipelajari dari uji ini (20).
Beberapa variabel lingkungan dapat mempengaruhi evaluasi
toksisitas, sebagian ada yang berpengaruh langsung dan sebagian
lainnya melalui efeknya terhadap kesehatan hewan. Penyimpangan utama
dari suhu dan kelembaban optimum bagi spesies yang diuji dapat
menimbulkan reaksi stress. Stress juga bisa disebabkan oleh
pengandangan lebih dari satu ekor hewan uji dalam satu ruangan atau
kandang. Banyak efek toksik atau efek metabolik memperlihatkan variasi
harian yang berhubungan dengan masa pencahayaan. Desain kandang
dan perilaku tidur juga terlihat mempengaruhi respon toksik. Jadi kondisi
kandang yang optimum adalah ruang yang bersih, masing-masing berisi
satu spesies, dengan suhu, kelembaban, dan masa pencahayaan yang
tetap dan optimal untuk spesies tersebut. Kandang harus dirancang
optimum untuk spesies, tidak menyebabkan induksi enzim atau efek
metabolik, kandang tidak boleh sesak, dan bila mungkin satu kandang
satu individu (20).
Rute pemberian secara ideal hendaknya meniru rute pemaparan
yang diharapakan pada manusia, namun dalam praktek zat kimia
biasanya ad libitum di dalam makanan, karena inilah yang paling cocok.
Jumlah makanan yang dikonsumsi hendaknya dikontrol. Dalam hal ukuran
akurat jumlah makanan yang dikonsumsi merupakan faktor penting dalam
15
rancangan percobaan, maka hewan diberi melalui kateter atau dengan
kapsul yang mengandung toksikan tersebut (14,20).
Untuk menghindari efek dari variasi nonspesifik pada makanan,
makanan yang cukup dari batch yang sama harus diperoleh selama
percobaan. Sebagian dibuat sebagai kontrol dan sebagian dicampur
dengan bahan kimia dengan dosis yang divariasikan. Penyimpanan
makanan tersebut harus seksama, tidak hanya untuk menjamin tetap
stabilnya zat kimia tersebut, tetapi juga mempertahankan nilai gizi dari
makanan. Identitas dan konsentrasi bahan kimia yang diuji harus diperiksa
secara periodik dengan analisis kimia (20).
Hewan harus diambil dari sekelompok besar dan dibagi ke dalam
kelompok kontrol dan kelompok perlakuan dengan proses acak, tetapi
kelompok besar itu hendaknya tidak terlalu bervariasi dalam hal berat
badan dan umur secara signifikan (20).
Uji subkronis hendaknya dilakukan pada dua spesies, idealnya satu
pengerat dan dan satu bukan pengerat. Meskipun spesies yang dipilih
harus yang paling mendekati kemiripan farmakokinetik dan metabolik
pada manusia dari senyawa yang diuji, namun informasi ini jarang tersedia
(14,20).
Penanganan hewan yang baik merupakan hal yang sangat penting,
karena toksisitas diketahui bervariasi menurut makanan, penyakit, dan
faktor lingkungan. Hewan harus dikarantina beberapa waktu sebelum
16
diberi perlakuan, makanannya harus optimum dan fasillitas harus dijamin
bersih selama percobaan (20).
Uji toksisitas subkronis menyangkut penerapan teknik analitik untuk
menentukan efek pada kimia darah dan fungsi organ tertentu. Pada
umumnya perlu untuk mendahului suatu uji toksisitas subkronis dengan
eksperimen penemuan dosis jangka pendek yang sesuai (20).
Histopatologi adalah ilmu yang mempelajari kerusakan jaringan
yang diperiksa secara mikroskopis. Pada pengujian melalui histopatologi,
dapat digunakan parameter penilaian melalui metode skoring seperti pada
tabel 1 berikut: (21,22,23)
Tabel.1 Derajat Kerusakan Organ Metode Skoring
Skor Derajat Kerusakan
Hati Ginjal Lambung Limpa Jantung
0 Normal Normal Normal Normal, kepadatan sel 95%
Normal
1 Sangat ringan, sel mengalami degenerasi hidropik vakuola, nefrotik fokal, edema
Ringan, terjadi pada 1/3 bagian sel ginjal
Ringan, pada epitel mukosa
Ringan, terjadi pengurangan kepadatan dan nekrosis sel
Ringan, terdapat inti piknotik <25%
2 Ringan, pendarahan sekitar sel (inti sel piknotis) tidak sampai vena centralis
Sedang, terjadi pada 2/3 bagian sel ginjal
Sedang, sampai pada glandular
Sedang, jika sel limfosit mengalami nekrosis kurang dari 50%
Sedang, terdapat inti piknotik 25-50%
3 Sedang, kerusakan pembuluh darah (vena centralis) sampai segitiga kiernan
Berat, terjadi pada lebih dari 2/3 bagian sel ginjal
Berat, meliputi erosi, ulkus, hemoragi
Sedang, jika sel limfosit mengalami nekrosis lebih dari 50%
Berat, terdapat inti piknotik >50%, disertai kerusakan lain
4 Berat, jaringan hati menyeluruh(nekrotik lemak, jaringan ikat dan pendarahan menyeluruh)
- - - -
17
II.4 Tinjauan Mengenai Hati
II.4.1 Anatomi dan Fisiologi Hati
Gambar 1. Anatomi Hati Manusia. (Sumber: WebMD. Digestive Disorders Health Centre. 2008. [cited on 21 April 2013]. Available from: http://www.webmd.com/digestive-disorders/picture-of-the-liver
Hati adalah organ intestinal terbesar dalam tubuh, yang beratnya
sekitar 2,5% dari berat badan orang dewasa. Hati menerima 25% curah
jantung melalui vena portal hati dan arteri hepatika. Pembuluh darah
portal membawa nutrisi yang diserap dari saluran pencernaan ke hati dan
mendistribusikan nutrisi dan vitamin. Hati juga mengatur lemak darah yang
beredar dari jumlah lipoprotein densitas sangat rendah (VLDL) yang
disekresikan. Banyak protein plasma beredar yang disintesis oleh hati.
Selain itu, hati mengambil banyak senyawa beracun dan obat-obatan dari
sirkulasi portal. Hal ini juga berkaitan dengan metabolisme obat dan zat
beracun. Hati juga berfungsi sebagai organ ekskresi untuk pigmen
empedu, kolesterol, dan obat-obatan. Dan terakhir, hati juga melakukan
fungsi endokrin yang penting (24).
Lobus Kanan
Ligamentum koronaria
Lobus Kiri
Empedu
Ligamentum
falciform
Ligamentum
teres
18
II.4.2 Histologi Hati
Hepar difiksasi secara erat oleh tekanan intraabdominal dan
dibungkus oleh peritoneum kecuali di daerah posterior-superior yang
berdekatan dengan vena cava inferior dan mengadakan kontak langsung
dengan diafragma. Bagian yang tidak diliputi oleh peritoneum disebut bare
area. Terdapat refleksi peritoneum dari dinding abdomen anterior,
diafragma dan organ-organ abdomen ke hepar berupa ligamen. Macam-
macam ligamennya (25) :
1. Ligamentum falciformis : Menghubungkan hepar ke dinding antrum
abdomen dan terletak di antara umbilicus dan diafragma.
2. Ligamentum teres hepatis= round ligament : Merupakan bagian bawah
ligamen falciformis; merupakan sisa-sisa peninggalan vena umbilicalis
yang telah menetap.
3. Ligamentum gastrohepatica dan ligamentum hepatoduodenalis: Meru-
pakan bagian dari omentum minus yg terbentang dari curvatura minor
lambung dan duodenum sebelah proxi ke hepar. Di dalam ligamentum
ini terdapat vena porta dan ductus choledocus communis. Ligamen
hepatoduodenale turut membentuk tepi anterior dari Foramen Wislow.
4. Ligamentum Coronaria Anterior kiri-kanan & Ligamen coronaria pos-
terior kiri-kanan: Merupakan refleksi peritoneum terbentang dari dia-
fragma ke hepar.
5. Ligamentum triangularis kiri & kanan : Merupakan fusi dari ligamentum
coronaria anterior dan posterior dan tepi lateral kiri kanan dari hepar.
19
II.5 Tinjauan Mengenai Ginjal
II.5.1 Anatomi dan Fisiologi Ginjal
Gambar 2. Anatomi Ginjal Manusia (Sumber: Interactive-Biology.2012 [cited on 26 November 2012]. Available from: http://www.interactive-biology.com/3254/the-anatomy-of-the-kidney/)
Ginjal merupakan organ pada tubuh manusia yang menjalankan
banyak fungsi untuk homeostasis, yang terutama adalah sebagai organ
ekskresi dan pengatur kesetimbangan cairan dan asam basa dalam
tubuh. Terdapat sepasang ginjal pada manusia, masing-masing di sisi kiri
dan kanan (lateral) tulang vertebra dan terletak retroperitoneal (di
belakang peritoneum). Selain itu sepasang ginjal tersebut dilengkapi juga
dengan sepasang ureter, sebuah vesika urinaria (buli-buli/kandung kemih)
dan uretra yang membawa urine ke lingkungan luar tubuh (26).
Ginjal merupakan organ yang berbentuk seperti kacang, terdapat
sepasang (masing-masing satu di sebelah kanan dan kiri vertebra) dan
posisinya retroperitoneal. Ginjal kanan terletak sedikit lebih rendah
(kurang lebih 1 cm) dibanding ginjal kiri, hal ini disebabkan adanya hati
yang mendesak ginjal sebelah kanan. Kutub atas ginjal kiri adalah tepi
Ureter
Vena interlobular
Arteri ginjal
medula
Pelvis
Calyxes minor
Calyxes mayor
Vena arkuata
Korteks
Vena ginjal
Arteri arkuata
Arteri interlobular
20
atas iga 11 (vertebra T12), sedangkan kutub atas ginjal kanan adalah tepi
bawah iga 11 atau iga 12. Adapun kutub bawah ginjal kiri adalah
processus transversus vertebra L2 (kira-kira 5 cm dari krista iliaka)
sedangkan kutub bawah ginjal kanan adalah pertengahan vertebra L3.
Dari batas-batas tersebut dapat terlihat bahwa ginjal kanan posisinya lebih
rendah dibandingkan ginjal kiri (26).
II.5.2 Histologi Ginjal
Ginjal dibungkus oleh suatu kapsula yang terdiri atas jaringan ikat
kolagen padat yang biasanya dengan mudah dikupas. Jika ginjal dipotong
sejajar dengan permukaannya, akan membagi ginjal menjadi dua bagian
yang sama tebal, parenkim ginjal tampak terdiri atas korteks dan medula.
Korteks ginjal tampak merah gelap bergranula. Korteks menutupi seluruh
medula dan selain itu meluas membentuk kolumna renalis,pada tempat
bagian medula. Tebal medula sekitar dua kali tebal korteks dan terdiri atas
bagian yang lebih pucat berbentuk seperti kerucut yaitu piramid ginjal
yang dipisahkan oleh kolumna renalis. Dasar pramid berbatasan dengan
korteks, sedang bagian apikalnya yaitu papila renalis menonjol menuju
kaliks minor yang berbentuk seperti cerobong (27).
21
II.6 Tinjauan Mengenai Lambung
II.6.1 Anatomi dan Fisiologi Lambung
Gambar 3. Gambar Anatomi Lambung Manusia (Sumber: Sherwood, L. Fisiologi Manusia: Dari Sel ke Sistem. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. 2001. Hal.551)
Lambung adalah ruang berbentuk kantung mirip juruf J yang
terletak diantara esofagus dan usus halus. Lambung dibagi menjadi tiga
bagian berdasarkan perbedaan anatomis, histologis, dan fungsional.
Fundus adalah bagian lambung yang terletak di atas lubang esofagus.
Bagian tengah atau utama lambung, antrum memiliki otot yang jauh lebih
tebal. Diantara regio-regio tersebut juga terdapat perbedaan kelenjar di
mukosa. Bagian akhir lambung adalah sfingter pilorus, berfungsi sebagai
sawar antara lambung dan bagian atas usus halus, duodenum.
Fungsi lambung yaitu menyimpan makanan yang masuk sampai
disalurkan ke usus halus dengan kecepatan yang sesuai untuk
pencernaan dan penyerapan yang optimal. Fungsi kedua lambung adalah
untuk mensekresikan asam hidroklorida (HCl) dan enzim-enzim yang
22
memulai pencernaan protein. Akhirnya, melalui gerakan mencampur
lambung, makanan yang masuk dihaluskan dan dicampur dengan sekresi
lambung untuk menghasilkan campuran kental yang dikenal sebagai
kimus (28).
II.6.2 Histologi Lambung
Pada pengamatan makroskopik lambung dapat dibedakan menjadi
beberapa daerah yaitu kardia, fundus, korpus, dan pilorus. Bagian fundus
dan korpus memiliki struktur mikroskopik identik sehingga secara
histologis hanya ada 3 daerah. Mukosa dan submukosa lambung yang
tidak diregangkan tampak berlipat-lipat memanjang yang disebut rugae.
Kardia adalah sabuk melingkar sempit selebar 1,5-3 cm pada
peralihan antara esofagus dan lambung. Lamina proprianya mengandung
kelenjar kardia tubular simpleks atau bercabang. Bagian terminal kelenjar
ini banyak sekali bergelung dan sering dengan lumen lebar. Hampir
semua sel sekresi menghasilkan mukus dan lisozim, tetapi terlihat
beberapa sel parietal (yang menghasilkan HCl). Struktur kelenjar ini
serupa dengan kelenjar kardia bagian esofagus.
Fundus dan korpus merupakan lamina propria yang berisi kelenjar
lambung (fundus) tubular bercabang, 3 – 7 diantaranya bermuara pada
dasar sumur lambung. Penyebaran sel-sel epitel pada kelenjar lambung
tidak merata. Bagian leher terdiri atas sel-sel pra-kembang dan sel
mukosa leher, sedangkan bagian dasar kelenjar mengandung sel parietal
(oksintik), sel zimogen (chief cell), dan sel enteroendokrin.
23
Pilorus memiliki sumur-sumur lambung yang dalam, tempat ber-
muara kelenjar-kelenjar pilorus tubular. Kelenjar ini serupa dengan
kelenjar bagian kardia. Namun pada bagian pilorus ditemukan sumur-
sumur panjang dan kelenjar-kelenjar pendek bergelung. Kelenjar ini
menghasilkan mukus dan cukup banyak enzim lisozim (29).
II.7 Tinjauan Mengenai Limpa
II.7.1 Anatomi dan Fisiologi Limpa
Gambar 4. Anatomi Limpa Manusia (Sumber: Lympatic System: Anatomi dan Histology. 2002. [cited on 21 April 2013]. Available from: http://legacy.owensboro.kctcs.edu/gca-plan/anat2/notes/Spleen.jpg)
Lien/ spleen/ limpa merupakan organ RES (Reticuloendothelial
system) yang terletak di cavum abdomen pada regio hipokondrium/
hipokondriaka sinistra. Lien terletak sepanjang costa IX, X, dan XI sinistra
dan ekstremitas inferiornya berjalan ke depan sampai sejauh linea
aksillaris media. Lien juga merupakan organ intra peritoneal. Limpa adalah
suatu organ limfoid yang terletak dibagian paling atas rongga abdomen
dibawah diafragma. Beratnya bervariasi, tetapi pada orang dewasa sekitar
160-200 g dan ukurannya sekitar 4 x 8 x 12 cm. (27)
limpa
Suplai darah
Lambung Limpa
24
Fungsi dari lien adalah merupakan organ limfoid terbesar, tempat
pembentukan sel darah saat foetus dan tempat perombakan Hb (30).
II.7.2 Histologi Limpa
Limpa dibungkus oleh kapsula jaringan ikat kolagen yang padat.
Pada manusia hanya terdapat sejumlah kecil otot polos di kapsula,
sedangan pada anjing misalnya, kapsula mempunyai otot polos yang
banyak sehingga dapat berkontraksi. Dari kapsula dipercabangkan
sejumlah trabekula yang terdiri atas jaringan ikat padat masuk ke
parenkim, membagi limpa menjadi sejumlah ruang yang saling
berhubungan. Parenkim disebut pulpa limpa. Pada potongan limpa yang
segar dan tidak difiksasi, hampir seluruh pulpa tampak seperti massa yang
lunak warna merah gelap yaitu pulpa rubra. Warna merah disebabkan
oleh eritrosit yang jumlahnya dalam sinusoid dan tali limpa (27).
II.8 Tinjauan Mengenai Jantung
II.8.1 Anatomi dan Fisiologi Jantung
Gambar 5. Anatomi Jantung Manusia (Sumber: Sherwood, L. Fisiologi Manusia : Dari Sel ke Sistem. Penerbit buku Kedokteran EGC. Jakarta. 2001. Hal.263)
25
Jantung adalah suatu pompa muskular yang secara spontan
berkontraksi ritmis memompa darah melalui sistem sirkulasi darah. Jan-
tung terbungkus dalam rongga perikardium diastinum. Ukurannya sekitar
12 x 9 x 6 cm dan beratnya sekitar 300 g pada orang dewasa atau sekita
1/200 dari berat badan (27).
Fungsi jantung adalah sebagai pompa yang melakukan tekanan
terhadap darah untuk menimbulkan gradien tekanan yang diperlukan agar
darah dapat mengalir ke jaringan. Darah, seperti cairan lain, mengalir dari
daerah yang bertekanan tinggi ke daerah yang bertekanan rendah
sesuai penurunan gradien tekanan (31).
II.8.2 Histologi Jantung
Dinding jantung terdiri dari 3 lapisan yaitu endokardium,
miokardium dan epikardium. Endokardium, merupakan bagian dalam dari
atrium dan ventrikel. Endokarium homolog dengan tunika intima pada
pembuluh darah. Endokardium terdiri dari endotelium dan lapisan
subendokardial.Endotelium pada endokardium merupakan epitel selapis
pipih dimana terdapat tight/occluding junction dan gap junction. Lapisan
subendokardial terdiri dari jaringan ikat longgar. Di lapisan subendokardial
terdapat vena, saraf, dan sel purkinje (27,31).
26
BAB III
PELAKSANAAN PENELTIAN
III.1 Penyiapan Alat dan Bahan yang Digunakan
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah deck glass,
gunting bedah, kandang hewan, kanula, meja alas bulat, mikroskop,
object glass, pisau bedah, spoit oral atau sonde, dan timbangan hewan
(Berkel®).
Bahan-bahan yang digunakan adalah sediaan sirup yang stabil
secara farmasetika yang mengandung liofilisat ekstrak air mahkota
bunga kasumba turate (Carthamus tinctorius L.) hasil formulasi oleh
Alfianti (6). Bahan lainnya adalah air suling, formalin, dan pakan hewan.
Hewan uji yang digunakan adalah mencit jantan (Mus musculus).
III.2. Penyiapan Sampel Penelitian
Sampel penelitian adalah sediaan imunomodulator kasumba turate
(Carthamus tinctorius L.) yang telah diformulasi sebagai sediaan sirup
yang stabil secara farmasetika (6). Formula sediaan sirup kasumba turate
tersebut dapat dilihat pada lampiran 1.
Sediaan sirup imunomodulator kasumba turate (Carthamus
tinctorius L.) disiapkan dengan dosis 10 mg/ml dari sirup kasumba turate
1% b/v.
27
III.3 Pemilihan dan Penyiapan Hewan Uji
III.3.1 Pemilihan Hewan Uji
Hewan uji yang digunakan adalah mencit (Mus musculus) jantan
dewasa, sehat, aktivitas gerak lincah, bersih, umur 2-3 bulan dengan
bobot badan 20-30 g, serta bobot badan tetap, penurunan bobot badan
tidak lebih dari 5-10% dari bobot badan semula.
III.3.2 Penyiapan Hewan Uji
Hewan uji disiapkan sebanyak 12 ekor mecit jantan dibagi dalam 4
kelompok, yaitu 3 kelompok yang akan diberi perlakuan dan 1 kelompok
sebagai kontrol. Setiap kelompok terdiri dari 3 ekor mencit.
III.4 Perlakuan Hewan Uji
Mencit di adaptasikan selama seminggu. Sebelum diberi perlakuan,
mencit ditimbang. Kelompok pertama diberi sediaan sirup imunomodulator
kasumba turate (Carthamus tinctorius L.) secara oral 3 kali sehari dengan
volume 1ml/ 30 g BB selama 14 hari. Kelompok kedua selama 21 hari,
dan kelompok ketiga selama 28 hari. Adapun kelompok keempat yakni
kelompok kontrol yang tidak diberikan sediaan sirup. Setelah masa
perlakuan hewan dieutanasia dengan cara dislokasi leher, lalu dibedah,
kemudian organ yang akan diamati dimasukkan kedalam pot yang berisi
formalin 10%, lalu dilakukan pengamatan histopatologi organ hati, limpa,
jantung, ginjal dan lambung yang dilakukan di Balai Veteriner Kabupaten
Maros.
28
III.5 Pengamatan
Pengamatan terjadinya gejala-gejala toksik dan gejala klinis yang
berupa perubahan kulit, bulu, mata, membran mukosa, sekresi, ekskresi,
perubahan cara jalan, tingkah laku yang aneh (misalnya berjalan mundur),
kejang dsb. dilakukan setiap hari selama 28 hari.
III.6 Pemeriksaan Histopatologi
Organ yang diperiksa secara histopatologi meliputi organ hati,
limpa, jantung, ginjal dan lambung. Pemeriksaan histopatologi dilakukan
dengan metode skoring oleh dokter hewan ahli patologi di Balai Veteriner
Kabupaten Maros.
III.7 Pengumpulan dan Analisis Data
Pengumpulan data mengenai efek toksik diambil dari hasil
pemeriksaan histopatologi setelah pemberian sediaan sirup imunomo-
dulator kasumba turate (Catharmus tinctorius L.) berdasarkan derajat
kerusakan organ yang dibandingkan dengan kontrol kemudian di tabulasi
menurut kelompok lalu dianalisis.
III.8 Pembahasan Hasil
Pembahasan didasarkan pada hasil pemeriksaan histopatologi
serta pengumpulan dan analisis data.
III.9 Pengambilan Kesimpulan
Kesimpulan diperoleh dari hasil analisis data dan pembahasan.
29
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
IV.1 Hasil Penelitian
Hasil uji toksisitas subkronik sediaan sirup imunomodulator dari
liofilisat ekstrak air mahkota bunga kasuba turate dalam formula 1% b/v
yang diberikan pada mencit dapat dilihat pada Tabel 2 dan 4 . Dari tabel 2
dapat diketahui derajat kerusakan sel hati, ginjal, lambung, limpa, dan
jantung. Sedangkan pada tabel 4 dapat diketahui gejala-gejala toksik yang
timbul setelah pemberian sirup selama 28 hari
Tabel 2. Derajat kerusakan sel hati, ginjal, lambung, limpa dan jantung
Klp Mencit Derajat Kerusakan
Hati Ginjal Lambung Limpa Jantung
I Hari ke-
14
1 2 3
0 0 0
0 0 0
0 0 0
0 0 0
0 0 1
Rata-rata 0 0 0 0 0,3
II Hari ke-
21
1 2 3
0 0 0
0 1 0
0 0 0
0 0 0
0 0 0
Rata-rata 0 0,3 0 0 0
III Hari ke-
28
1 2 3
1 2 1
1 1 1
0 1 1
0 0 0
0 0 0
Rata-rata 1,3 1 0,7 0 0
IV Kontrol
1 2 3
0 0 0
0 0 0
0 0 0
0 0 0
0 0 0
Rata-rata 0 0 0 0 0
Keterangan: 0 = normal, tidak ada kerusakan; 1 = minimal, kerusakan ringan; 2 = mild, kerusakan sedang; 3 = kerusakan berat
IV.2 Pembahasan
Pada penelitian ini, pengujian toksisitas subkronis sediaan sirup
imunomodulator kasumba turate (Carthamus tinctorius L.) didasarkan
30
pada pemeriksaan histopatologi sel dari 5 organ yakni hati, ginjal,
lambung, limpa, dan jantung setelah pemberian sediaan selama 14 hari
dibandingkan dengan pemberian selama 21, 28 hari, dan tanpa
pemberian sediaan imunomodulator (kontrol).
Pada pengamatan gejala-gejala toksik seperti perubahan warna
kulit/bulu, membran mukosa mata, salivasi, diare, penurunan aktivitas
gerak, dan kejang selama 28 hari, gejala toksik yang muncul ialah diare
dan penurunan aktivitas gerak yang muncul mulai pada hari ke-3 hingga
hari ke-28. Diare disebabkan karena mahkota kasumba turate bersifat
laksatif, yaitu efek melancarkan buang air besar, sedangkan penurunan
aktivitas gerak disebabkan karena pemberian sirup melalui spoit oral yang
mengakibatkan relaksasi otot yaitu kerja dari saraf parasimpatis (10).
Pada pengamatan histopatologi, digunakan parameter kerusakan
sel hati, ginjal, lambung, limpa, dan jantung mencit karena beberapa
alasan. Fungsi ginjal mamalia sangat penting terhadap keseimbangan
cairan tubuh karena ginjal memainkan peran utama dalam ekskresi sisa
metabolisme dan pengaturan volume cairan ekstraseluler, komposisi
elektrolit, dan keseimbangan asam-basa (14,29).
Karena aktivitas tubulus proksimal adalah absorpsi dan sekresi
maka bagian ini memiliki konsentrasi toksikan yang lebih tinggi sehingga
jika menyebabkan kerusakan maka dapat mengganggu salah satu atau
semua fungsi-fungsi ini dan efeknya dapat mendalam pada metabolisme
total tubuh. (14,29)
31
Hati, organ terbesar di dalam tubuh, kadang menjadi organ sasaran
untuk luka yang terinduksi secara kimia. Beberapa faktor penting diketahui
menunjang kerentanan hati. Pertama, kebanyakan xenobiotik memasuki
tubuh melalui saluran cerna, setelah diabsorbsi, lalu diangkut melaui vena
portal hepatik ke hati; jadi, hati merupakan organ yang pertama diperfusi
oleh zat kimia yang diabsorbsi di usus. Kedua, tingginya konsentrasi
enzim pemetabolisme xenobiotik di hati, terutama sistem monooksigenase
yang tergantung pada sitokrom P450. Meskipun kebanyakan biotrans-
formasi merupakan reaksi detoksifikasi, namun banyak reaksi oksidatif
menghasilkan metabolit reaktif yang dapat menginduksi lesi di dalam hati.
Kadang daerah-daerah yang rusak adalah pada daerah sentrilobular yang
merupakan lokasi konsentrasi tinggi sitokrom P450 di hati (20).
Toksikan hanya dapat menyebabkan kerusakan apabila telah
diabsorbsi oleh organisme, salah satu jalur absorpsi toksikan yaitu
lambung, dimana toksikan dapat masuk bersama makanan dan air minum,
atau secara sendiri sebagai obat atau zat kimia lain (14).
Berbagai toksikan dapat menekan sistem imun tubuh, salah satu
sistem kekebalan tubuh adalah limpa. Limpa memiliki sedikit fungsi dalam
produksi sel darah manusia yang sehat, tapi memainkan peran penting
dalam pembersihan sel yang rusak, serta dalam pertahanan tubuh (29).
Jantung merupakan sistem kardiovaskular yang dapat mengalami
toksisitas apabila mengalami tekanan ekstrinsik ataupun intrinsik. Tekanan
ekstrinsik meliputi paparan obat terapi, produk alami, dan toksikan
32
lingkungan. Sedangkan tekanan intrinsik mengacu pada paparan untuk
metabolit toksik yang berasal dari senyawa beracun seperti yang ditemu-
kan dalam aditif makanan dan suplemen. Toksikan tersebut dapat meng-
akibatkan perubahan dalam jalur biokimia, kerusakan dalam struktur dan
fungsi sel, dan mempengaruhi patogenesis sistem kardiovaskular (29).
Uji toksisitas subkronik oral adalah suatu pengujian untuk
mendeteksi efek toksik yang muncul setelah pemberian sediaan uji
dengan dosis berulang yang diberikan secara oral pada hewan uji selama
sebagian umur hewan, tetapi tidak lebih dari 10% seluruh umur hewan.
Namun, jangka waktu yang lebih pendek seperti 14 - 28 hari juga telah
digunakan oleh beberapa peneliti (14).
Pada penelitian ini, sediaan sirup imunomodulator kasumba turate
(Carthamus tinctorius L.) diberikan pada mencit hingga hari ke 14
kemudian dilakukan pemeriksaan histopatologi terhadap sel hati, ginjal,
lambung, limpa, dan jantung. Pemberian sediaan imunomodulator kemudi-
an dilanjutkan hingga hari ke 21 dan hari 28 dengan jarak masing-masing
kelompok tersebut selama 7 hari untuk melihat perubahan efek toksik
yang terjadi secara berkelanjutan.
Parameter kerusakan pada lima organ ini dinilai berdasarkan
timbulnya masing-masing jenis kerusakan di setiap organ. Untuk skor 0
menunjukkan sel dari organ tersebut masih normal. Pada hati, skor 1 yaitu
kerusakan minimal adalah kerusakan yang sangat ringan pada sel yang
mengalami degenerasi hidropik atau vakuola, nefrotik fokal, atau edema.
33
Skor 2 adalah kerusakan mild yaitu kerusakan ringan seperti pendarahan
pada daerah sekitar sel (inti sel piknotis) tidak sampai pembuluh darah
(vena centralis). Sedangkan skor 3 yaitu kerusakan moderat adalah
kerusakan sedang pada daerah pembuluh darah (vena centralis) sampai
segitiga kiernan, dan kerusakan severe (skor 4) adalah kerusakan berat
yakni kerusakan jaringan hati menyeluruh (nekrotik lemak, jaringan ikat,
dan pendarahan menyeluruh). Pada ginjal, parameter kerusakannya
terbagi 3 yaitu kerusakan ringan atau skor 1 yang terjadi pada 1/3 bagian
sel ginjal, kerusakan sedang atau skor 2 yang terjadi pada 2/3 bagian sel
ginjal, dan kerusakan berat atau skor 3 yaitu kerusakan yang terjadi lebih
dari 2/3 bagian sel ginjal. Pada lambung, skor 1 diberikan jika terjadi ke-
rusakan pada epitel mukosa dan merupakan kerusakan ringan,
sedangkan kerusakan sampai pada glandula merupakan kerusakan
sedang yang diberi skor 2, adapun erosi, ulcers, maupun hemoragi
termasuk kerusakan berat (skor 3) . Pada limpa, skor 0 diberikan jika sel
masih normal yaitu sel dengan kepadatan 95%, sedangkan jika terjadi
pengurangan kepadatan dan nekrotik sel limpa termasuk kerusakan
ringan (skor 1) . Adapun kerusakan sedang (skor 2) jika sel-sel limfosit
mengalami nekrosis kurang dari 50% dan terjadi hiperplasia sel-sel
retikulosit. Untuk kerusakan berat (skor 3) terjadi jika sel-sel limfosit
mengalami nekrosis lebih dari 50%, dan terjadi hiperplasia sel-sel
retikulosit. Pada jantung, dikatakan kerusakan ringan (skor 1) jika ada inti
piknotik kurang dari 25%, kerusakan sedang (skor 2) jika inti piknotiknya
34
25-50%, dan dikatakan kerusakan berat (skor 3) jika terdapat inti piknotik
lebih dari 50% disertai kerusakan berat yang lain. Inti piknotik adalah inti
sel yang mengalami penyusutan, dan batasnya tidak teratur (21,22,23).
Efek pemberian sediaan sirup imunomodulator kasumba turate
1ml/30 g BB pada hati mencit kelompok I dan II (selama 14 dan 21 hari)
sama dengan kelompok IV (kontrol) yang menunjukkan tidak ada
kerusakan sedangkan pada kelompok III (selama 28 hari) menunjukkan
derajat kerusakan 1,3 dan termasuk kerusakan minimal yang sangat
ringan seperti edema dan nefrotik sekitar sel. Hai ini disebabkan karena
hati adalah organ yang menerima 80% suplai darah dari vena portal yang
mengalirkan darah dari sistem gastrointestinal, sehingga memungkinkan
zat-zat toksik yang berasal dari tumbuhan, fungi, bakteri, logam, mineral
dan zat-zat kimia lain yang diserap ke darah portal ditransportasikan ke
hati. Selain itu, hati menghasilkan enzim-enzim yang mampu melakukan
biotransformasi pada berbagai macam zat eksogen maupun endogen
untuk dieliminasi oleh tubuh.
Efek pemberian sediaan sirup imunomodulator kasumba turate
1ml/30 g BB pada ginjal mencit kelompok I (selama 14 hari) sama dengan
kelompok IV (kontrol) yang menunjukkan tidak ada kerusakan dan pada
kelompok II (selama 21 hari) menunjukkan derajat kerusakan 0,3 yang
berarti ada perubahan pada sel ginjal, namun sangat ringan. Sedangkan
pada kelompok III menunjukkan derajat kerusakan 1, yaitu terjadi
kerusakan 1/3 bagian tubulus proksimal ginjal. Hal ini disebabkan karena
35
tubulus proksimal merupakan tempat penyerapan dan sekresi aktif
sediaan sirup imunomodulator kasumba turate sehingga kadar toksikan
menjadi lebih tinggi.
Efek pemberian sediaan sirup imunomodulator kasumba turate
1ml/30 g BB pada lambung mencit kelompok I dan II (selama 14 dan 21
hari) sama dengan kelompok kontrol yang menunjukkan tidak ada
kerusakan sedangkan pada kelompok III (selama 28 hari) menunjukkan
derajat kerusakan 0,7 dan termasuk kerusakan yang sangat ringan yang
terjadi pada epitel mukosa. Hal ini bisa disebabkan karena adanya
senyawa-senyawa yang dapat merusak mukosa lambung misalnya yang
terdapat pada makanan yang dapat mengubah permeabilitas sawar epitel
lambung, sehingga memungkinkan difusi balik asam klorida yang
mengakibatkan kerusakan jaringan.
Efek pemberian sediaan sirup imunomodulator kasumba turate
1ml/30 g BB pada limpa mencit kelompok I, II, dan III (selama 14, 21, dan
28 hari) sama dengan kelompok kontrol yang menunjukkan 95% sel-sel
limpa normal dan kepadatannya tidak kurang dari 95%.
Efek pemberian sediaan sirup imunomodulator kasumba turate
1ml/30 g BB pada jantung mencit kelompok I (selama 14 hari)
menunjukkan derajat kerusakan 0,3 yang berarti ada perubahan sel
dibandingkan kelompok IV (kontrol). Sedangkan pada kelompok II dan III
(selama 21 dan 28 hari) sama dengan kontrol yang berarti sel-sel jantung
mencit tidak ada kerusakan.
36
Dari keseluruhan hasil pengamatan histopatologi sel hati, ginjal,
lambung, limpa, dan jantung mencit, efek pemberian sediaan sirup
imunomodulator kasumba turate (Carthamus tinctorius) terhadap hati,
ginjal, dan lambung selama 28 hari menunjukkan adanya kerusakan
ringan dibandingkan perlakuan selama 14 dan 21 hari, dimana perlakuan
selama 14 dan 21 hari sama dengan kontrol yaitu sel dari organ tersebut
normal atau tidak ada kerusakan. Sedangkan efek pemberian sediaan
sirup imunomodulator terhadap limpa dan jantung selama 14, 21, dan 28
hari sama dengan kontrol yaitu normal.
Skor kerusakan pada sel dari lima organ tersebut menunjukkan
rata-rata skor kerusakan minimal. Kerusakan tersebut dapat terjadi karena
berbagai variabel lingkungan yang dapat mempengaruhi evaluasi
toksisitas, sebagian ada yang berpengaruh langsung dan sebagian
lainnya melalui efeknya terhadap kesehatan hewan. Penyimpangan utama
dari suhu dan kelembababn optimal dapat menyebabkan hewan menjadi
stres. Selain itu stres juga disebabkan oleh pengandangan lebih dari satu
ekor hewan uji dalam satu kandang (20).
Berdasarkan beberapa hal diatas, maka pemberian sediaan sirup
imunomodulator kasumba turate (Carthamus tinctorius L.) dalam formula
1% b/v dengan volume 1ml/30g BB mencit selama 28 hari tidak
memberikan efek toksik pada organ hati, ginjal, lambung, limpa, dan
jantung.
37
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
V.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat
disimpulkan bahwa :
1. Gejala toksik yang muncul setelah pemberian sirup imunomodulator
kasumba turate (Carthamus tinctorius L.) selama 28 hari yaitu diare
dan penurunan aktivitas gerak.
2. Efek pemberian sediaan sirup imunomodulator kasumba turate
(Carthamus tinctorius L.) dalam formula 1% b/v dengan volume
1ml/30g BB mencit terhadap hati, ginjal, dan lambung mencit selama
28 hari menunjukkan adanya kerusakan ringan dibandingkan
perlakuan selama 14 dan 21 hari, dimana perlakuan selama 14 dan 21
hari sama dengan kontrol yaitu sel dari organ tersebut normal.
Sedangkan efek pemberian sediaan sirup imunomodulator terhadap
limpa dan jantung selama 14, 21, dan 28 hari sama dengan kontrol
yaitu normal.
3. Pemberian sediaan sirup imunomodulator kasumba turate (Carthamus
tinctorius L.) dalam formula 1% b/v dengan dosis 1ml/30g BB mencit
selama 28 hari tidak memberikan efek toksik pada sel hati, ginjal,
lambung, limpa, dan jantung mencit.
38
V.2 Saran
Perlu dilakukan penelitian toksisitas lanjutan seperti uji toksisitas
kronik untuk mengetahui tingkat keamanan dalam penggunaan jangka
yang lebih panjang lagi.
39
DAFTAR PUSTAKA
1. Bratawidjaja, K.G.2006. Imunologi Dasar. ed.7. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. Hal. 3
2. Dajue lie, Hans-Henning. 1996. Safflower. Catharmus tinctorius L. International Plant Genetic Resources Institute. Germany. Hal.8
3. Usmar, Syukur R, Abdullah N, dan Tayeb R. 2010. Uji Aktivitas Imunomodulator Kasumba Turate (Carthamus tinctorius L.) sebagai Upaya Pembuatan Sediaan Terstandar Menuju Prototipe Skala Industri Kecil. Majalah Farmasi dan Farmakologi Vol.14. No.1 Maret 2010. Fakultas Farmasi Universitas Hasanuddin. Makassar. Hal.17-20.
4. Umar, S. 2006. Efek Ekstrak Etanol Bunga Kasumba Turate
(Carthamus tinctorius L.) terhadap Aktivitas Imunoglobulin G (IgG) dan Peningkatan Bobot Limpa pada Mencit Jantan (Mus musculus). Skripsi Fakultas Farmasi Universitas Hasanuddin. Makassar. Hal. 37
5. Katannun,M. 2007. Uji Efek Ekstrak Air Mahkota Bunga Kasumba Turate (Carthamus tinctorius Linn.) Terhadap Peningkatan Aktivitas Fagositosis Sistem Fagosit Mononuklear Mencit (Mus musculus) Dengan Metode Carbon Clearance. Skripsi Fakultas Farmasi Universitas Hasanuddin. Makassar. Hal. 45
6. Alfianti. 2011. Pengaruh Natrium Alginat terhadap Kestabilan Fisik Sirup Kasumba Turate (Carthamus tinctorius L.). Skripsi. Fakultas Farmasi Universitas Hasanuddin. Makassar. Hal. 38
7. Dewoto, R.H. 2007. Pengembangan Obat Tradisional Indonesia Menjadi Fitofarmaka. Majalah Kedokteran Indonesia, Vol. 57 No.7, Juli 2007. Departemen Farmakologi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. Hal.208
8. Fitriah, R. 2013. Uji Aktivitas Fagositosis Sediaan Sirup Kasumba
Turate (Carthamus Tinctorius Linn.) Sebagai Imunostimulan Pada Mencit Jantan (Mus Musculus). Skripsi Fakultas Farmasi Universitas Hasanuddin. Makassar. Hal. 31
9. Pusat Riset Obat dan Makanan. 2011. Pedoman Uji Toksisitas
Nonklinik secara In Vivo. Badan Pengawasan Obat dan Makanan Republik Indonesia. Jakarta.
10. Aspriamijaya, C. 2013. Uji Toksisitas Akut Sediaan Cair Kasumba
Turate (Carthamus Tinctorius L.) Sebagai Prototipe Herbal Terstandar
40
Imunomodulator Pada Mencit (Mus Musculus). Skripsi Fakultas Farmasi Universitas Hasanuddin. Makassar. Hal. 27
11. Van der Vosen, H.A.M., Umali, B.E. 2001. ”Plant Resources of South-
East Asia: Vegetables oils and fats. Volume 14. Backhuys Publishers. Leiden. Hal. 70-2.
12. Sastroamidjojo, A.S.1997. Obat Asli Indonesia. Penerbit Dian Rakyat.
Jakarta.
13. Wiedosari, E. 2007. Peranan Imunomodulator Alami (Aloe Vera) Dalam Sistem Imunitas Seluler Dan Humoral. Wartazoa Vol. 17 No. 4 Th. 2007. Bogor. Available as PDF file Hal. 1
14. Lu FC and Kacew S. 2003. Lu’s Basic Toxicology; Fundamental,
Target Organs, and Risk Assessment. 4th ed. London and New York. Available as PDF file. Hal. 3-4, 14, 74, 82, 201
15. Agus G.W.I.M., Niruri R. 2007. Buku Ajar Toksikologi FA 324620.
Jurusan Farmasi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Udayana. Hal. 6, 41-2
16. Ganiswarna SG. 2007. Farmakologi dan Terapi. ed. 5. Bagian Farmakologi FK-UI. Jakarta. Hal 823-6
17. Hayes AW. 1983. Principles and Methods of Toxicology. Raven Press. New York. Hal. 4
18. Klaassen CD., Watkins, JB., Casarett & Doull's Essentials of
Toxicology 1st edition . Mc.Graww-Hills Access Pharmacy
19. Loomis TA. Toksikologi Dasar. Ed. 3. Terjemahan oleh Imono Argo Donatus. Yogyakarta; Laboratorium Farmakologi dan Toksikologi Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada; hal 21, 225-6, 233-8.
20. Hodgson E. 2010. A Textbook of Modern Toxicology 4rd ed. A. Jhon
Wiley & Sons, Inc. Publication. Canada. Hal. 264, 364-5
21. Anand S, Singh S, Nahar S.U,et al. 2009. Cardiac abnormalities in acute organiphosphate poisoning. Journal poisoning 47. Department of Internal Medicine, Postgraduate Institute of Medical Education and Research, Chandigarh, India. From Pubmed.gov Maret 2009. p. 230-5
22. Onder A, Kapan M, Gümüş M, et.al. 2012. The protective effects of
curcumin on intestine and remote organs against mesenteric ischemia/reperfusion injury. Dicle University Faculty of Medicine,
41
General Surgery, Diyarbakır, Turkey. From Pubmed.gov. April 2012. p. 141-7
23. Krishnamoorthy P, Vairamuthu S, Balachandran C, et.al. 2007.
Pathology of Lymphoid Organs in Chlorpyriphos and T-2 Toxin Fed Broiler Chicken. International Journal of Poultry Science Vol.6. India. p.71-6
24. Tso, P. The Physiology of Liver chapter 28. Part VII gastrointestinal physiology. Available as PDF diakses tanggal 21 april 2013 from http://faculty.ksu.edu. p. 514
25. Tim Kerja Kelompok Diskusi Medical Bedah. 2009. Penatalaksanaan
Serosis Hepatis Berdasarkan Evidance Based Nursing (Ebn). Universitas Indonesia. Hal. 2-5
26. Anonim. Anatomi Ginjal dan Ureter. , diakses tanggal 18 Septemberr 2013. Available as PDF from http.//lutfie.mhs.unimus.ac.id/.../Anatomi-ginjal-dan-ureter
27. Geneser, F. 1994. Buku Teks Histologi Jilid 2. Terjemahan oleh Arifin
Gunawijaya. Binarupa aksara. Hal. 157
28. Ganong, W.F. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 22. Terjemahan oleh Brahm U.Pendit. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hal. 551
29. Junqueira LC, Carneiro J, dan Kelley RO. 1997. Histologi Dasar.
Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. hal. 294-9, 371-2, 385.
30. Putz,P., R. Pabst. Atlas Anatomi Manusia Sobotta, ed. 22, jilid 2. Penerbit EGC. Jakarta
31. Sherwood, L. 2001. Fisiologi Manusia : Dari Sel ke Sistem. EGC. Jakarta. Hal.551
32. Klaassen CD., Watkins, JB., Casarett & Doull's Toxicology The Basic
Science of Poisons 7th edition. Mc.Graww-Hills
42
LAMPIRAN I
Tabel 3. Komposisi sediaan sirup dari liofilisat ekstrak mahkota bunga kasumba turate (Carthamus tinctorius L.)
Sumber: Alfianti. 2011. Pengaruh Natrium Alginat terhadap Kestabilan Fisik Sirup
Kasumba Turate (Carthamus tinctorius L.)
No. Nama Bahan Komposisi
(% b/v)
1. Liofilisat Kasumba Turate (Carthamus tinctorius L.) 1,0
2. Sirupus Simpleks 25,0
3. Natrium Alginat 0,1
4. Sari Markisa 5,0
5. Natrium Benzoat 0,1
6. Air Suling ad 100,0
43
LAMPIRAN II
Skema Kerja Uji Toksisitas Subkronik Sediaan Sirup Imunomodulator
Kasumba Turate (Carthamus tinctorius L.) pada mencit (Mus musculus).
Dipelihara
Dipilih
Ditimbang
Dikelompokkan
Mencit Jantan
(Mus musculus)
Sediaan Sirup Imunomodulator
Kasumba Turate
(Carthamus tinctorius L.)
Hewan Uji Mencit
Pembahasan
Kesimpulan
Pengumpulan dan Analisis Data
Kelompok I
10 mg/ml/ 30 g BB
Selama 14 hari
Dioral 3 kali sehari
Pengamatan
Pengamatan Histopatologi
Kelompok II
10 mg/ml/ 30 g BB
Selama 21 hari
Kelompok III
10 mg/ml/ 30 g BB
Selama 28 hari
Kelompok IV
Kontrol
Dieuthanasia, dibedah
44
LAMPIRAN III
Tabel 4. Data Gejala-gejala Toksik Setelah Pemberian Sirup
Ket : (-) = tidak ada gejala, (+)= ada gejala, *] = mencit mati
Kelompok Replikasi
Parameter Yang Diamati
Perubahan warna kulit/bulu
Hari 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28
I Hari Ke-14
1 - - - - - - - - - - - - - -
2 - - - - - - - - - - - - - -
3 - - - - - - - - - - - - - -
4 - - - - *]
5 - - - - - - - - - - - - - -
II Hari Ke-21
1 - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
2 - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
3 - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
4 - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
5 - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
III Hari Ke-28
1 - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
2 - - - - - - - - - - - - - - - - *]
3 - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
4 - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
5 - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
IV (kontrol)
45
Tabel 4. Data Gejala-gejala Toksik Setelah Pemberian Sirup (lanjutan)
Ket : (-) = tidak ada gejala, (+)= ada gejala, *] = mencit mati
Klp Replikasi
Parameter Yang Diamati
Perubahan Membran Mukosa Mata
Hari 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28
I Hari Ke-14
1 - - - - - - - - - - - - - -
2 - - - - - - - - - - - - - -
3 - - - - - - - - - - - - - -
4 - - - - *]
5 - - - - - - - - - - - - - -
II Hari Ke-21
1 - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
2 - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
3 - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
4 - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
5 - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
III Hari Ke-28
1 - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
2 - - - - - - - - - - - - - - - - *]
3 - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - + +
4 - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
5 - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
IV (kontrol)
46
Tabel 4. Data Gejala-gejala Toksik Setelah Pemberian Sirup (lanjutan)
Ket : (-) = tidak ada gejala, (+)= ada gejala, *] = mencit mati
Klp Replikasi
Parameter Yang Diamati
Sekresi (salivasi)
Hari 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28
I Hari Ke-14
1 - - - - - - - - - - - - - -
2 - - - - - - - - - - - - - -
3 - - - - - - - - - - - - - -
4 - - - - *]
5 - - - - - - - - - - - - - -
II Hari Ke-21
1 - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
2 - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
3 - - - - - - - - - - - - - - - - + + - - -
4 - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
5 - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
III Hari Ke-28
1 - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - + - - - - - - -
2 - - - - - - - - - - - - - - - - *]
3 - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - + + - -
4 - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
5 - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
IV (kontrol)
47
Tabel 4. Data Gejala-gejala Toksik Setelah Pemberian Sirup (lanjutan)
Ket : (-) = tidak ada gejala, (+)= ada gejala, *] = mencit mati
Klp Replikasi
Parameter Yang Diamati
Ekskresi (diare)
Hari 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28
I Hari Ke-14
1 - - - - - + + + - - + + - +
2 - - - + - - + - + - + + + +
3 - - - + - + - + + + - - + +
4 - - - - *]
5 - - - - - - - + - - - + + +
II Hari Ke-21
1 - - + + - - + - + + + - - - - + - - + + +
2 - - + + + - - - - - + + + + + + + - + + +
3 - - - - - - + - - - + + + + - + + + - - -
4 - - + - - - - - - - - + + + + + + + + + +
5 - - + + - - + + - - - + + + + + + + + + +
III Hari Ke-28
1 - - - - + + - - - - + + + - - - + + + + + - - + + + + +
2 - - + + - - - - - - - + + + + + *]
3 - - - - - - + + + - - - - - - + + + - - + + + + + + + +
4 - - + + - - + - - - + + - + + + + - - - + + + + + + + +
5 - - - - + + - - - - + + + - - + + - + + + + + + + + + +
IV (kontrol)
48
Tabel 4. Data Gejala-gejala Toksik Setelah Pemberian Sirup (lanjutan)
Ket : (-) = tidak ada gejala, (+)= ada gejala, *] = mencit mati
Klp Replikasi
Parameter Yang Diamati
Penurunan Aktivitas Gerak
Hari 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28
I Hari Ke-14
1 - + - + + + + - - + + + + -
2 - + + + + - - - - - + + - -
3 - + + + + + + - - - - - - -
4 - + + - *]
5 - - - - - - + + + + + - - -
II Hari Ke-21
1 - - - - - + + + + + + + - - + + + + + - +
2 - - + + - + + + + + - - - - + + + + - + +
3 - - - - - + + - - + + + - + + - + + - - -
4 - - + - - + + - - - - - + - - + + - - + +
5 - - - + - + + + + + + - - - + + + - + + +
III Hari Ke-28
1 - - - + + - - + - - - - - + + + + + + + - - - + + + + +
2 - - - - - + + + - - - - - + + + *]
3 - - - - - + + - - + + + - + + + + + + + + - + + - - - -
4 - - + - - + + + + + + + - + + + + + + + + - - - - - - -
5 - + + - - - - + + - - - - - + + + + - - + + + + + + + +
IV (kontrol)
49
Tabel 4. Data Gejala-gejala Toksik Setelah Pemberian Sirup (lanjutan)
Ket : (-) = tidak ada gejala, (+)= ada gejala, *] = mencit mati
Klp Replikasi
Parameter Yang Diamati
Kejang
Hari 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28
I Hari Ke-14
1 - - - - - - - - - - - - - -
2 - - - - - - - - - - - - - -
3 - - - - - - - - - - - - - -
4 - - - - *]
5 - - - - - - - - - - - - - -
II Hari Ke-21
1 - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
2 - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
3 - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
4 - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
5 - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
III Hari Ke-28
1 - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
2 - - - - - - - - - - - - - - - - *]
3 - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
4 - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
5 - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
IV (kontrol)
50
LAMPIRAN IV
GAMBAR
Gambar 6. Sediaan sirup imunomodulator kasumba turate
Gambar 7. Tanaman Kasumba Turate (Carthamus tinctorius Linn.)
Keterangan : 1. Kuncup bunga 2. Kelopak bunga 3. Mahkota bunga
1
2
3
51
Gambar 6. Histologi jaringan hati mencit tanpa pemberian sediaan sirup imunomodulator kasumba turate (kontrol) dengan pembesaran mikroskopik 200x.
Gambar 7. Histologi jaringan hati mencit kelompok I diberikan sediaan sirup imunomodulator kasumba turate 1 ml/30 g BB mencit selama 14 hari dengan pembesaran mikroskopik 200x.
Keterangan histologi hati:
1. Vena centralis
2. Bil duct
3. Sel hepatosit
4. Pembuluh darah
kapiler
Skor : 0 (nol)
Sel hati normal
2
3
1
4
3
52
Gambar 8. Histologi jaringan hati mencit kelompok II diberikan sediaan sirup imunomodulator kasumba turate 1 ml/30 g BB mencit selama 21 hari dengan pembesaran mikroskopik 200x.
Gambar 9. Histologi jaringan hati mencit kelompok III diberikan sediaan sirup imunomodulator kasumba turate 1 ml/30 g BB mencit selama 28 hari dengan pembesaran mikroskopik 200x.
Skor : 2 (dua)
Nekrosis sel sekitar
Skor : 0 (nol)
Sel hati normal
1
3
2
1
3
53
Gambar 10. Histologi jaringan ginjal mencit tanpa pemberian sediaan sirup imunomodulator kasumba turate (kontrol) dengan pembesaran mikroskopik 200x.
Gambar 11. Histologi jaringan ginjal mencit kelompok I diberikan sediaan sirup imunomodulator 1 ml/30 g BB mencit selama 14 hari dengan pembesaran mikroskopik 200x.
Keterangan histologi ginjal:
1. Glomerulus
2. Tubulus proksimal
Skor : 0 (nol)
Sel ginjal normal
1
2
1
2
54
Gambar 12. Histologi jaringan ginjal mencit kelompok II diberikan sediaan sirup imunomodulator kasumba turate 1 ml/30 g BB mencit selama 21 hari dengan pembesaran mikroskopik 200x.
Gambar 13. Histologi jaringan ginjal mencit kelompok III diberikan sediaan sirup imunomodulator kasumba turate 1 ml/30 g BB mencit selama 28 hari dengan pembesaran mikroskopik 200x.
Skor : 1 (satu)
Hemoragi fokal (panah
hitam), nekrosis (panah biru)
Skor : 0 (nol)
Sel ginjal normal
2
1
1
2
55
Gambar 14. Histologi jaringan lambung mencit tanpa pemberian sediaan sirup imunomodulator kasumba turate (kontrol) dengan pembesaran mikroskopik 200x.
Gambar 15. Histologi jaringan lambung mencit kelompok I diberikan sediaan sirup imunomodulator kasumba turate 1 ml/30 g BB mencit selama 14 hari dengan pembesaran mikroskopik 200x.
Skor : 0
Sel lambung normal
Keterangan histologi lambung:
1. Epitel mukosa
1
1
56
Gambar 16. Histologi jaringan lambung mencit kelompok II diberikan sediaan sirup imunomodulator kasumba turate 1 ml/30 g BB mencit selama 21 hari dengan pembesaran mikroskopik 200x.
Gambar 17. Histologi jaringan lambung mencit kelompok III diberikan sediaan sirup imunomodulator kasumba turate 1 ml/30 g BB mencit selama 28 hari dengan pembesaran mikroskopik 200x.
Skor : 1 (satu)
Kerusakan epitel mukosa
Skor : 0 (nol)
Sel lambung normal
1
1
57
Gambar 18. Histologi jaringan limpa mencit tanpa pemberian sediaan sirup imunomodulator kasumba turate (kontrol) dengan pembesaran mikroskopik 200x.
Gambar 19. Histologi jaringan limpa mencit kelompok I diberikan sediaan sirup imunomodulator kasumba turate 1 ml/30 g BB mencit selama 14 hari dengan pembesaran mikroskopik 200x.
Skor : 0 (nol)
Sel limpa normal
Keterangan histologi limpa:
1. Sel limpatik
2. Eritrosit
1
2
2
1
58
Gambar 20. Histologi jaringan limpa mencit kelompok II diberikan sediaan sirup imunomodulator kasumba turate 1 ml/30 g BB mencit selama 21 hari dengan pembesaran mikroskopik 200x.
Gambar 21. Histologi jaringan limpa mencit kelompok III diberikan sediaan sirup imunomodulator kasumba turate 1 ml/30 g BB mencit selama 28 hari dengan pembesaran mikroskopik 200x.
Skor : 0 (nol)
Sel limpa normal
Skor : 0 (nol)
Sel limpa normal
1
2
1
2
59
Gambar 22. Histologi jaringan jantung mencit tanpa pemberian sediaan sirup imunomodulator kasumba turate (kontrol) dengan pembesaran mikroskopik 200x.
Gambar 23. Histologi jaringan jantung mencit kelompok I diberikan sediaan sirup imunomodulator kasumba turate 1 ml/30 g BB mencit selama 14 hari dengan pembesaran mikroskopik 200x.
Skor : 0 (nol)
Sel jantung normal
Keterangan histologi jantung:
1. Inti sel 1
1
60
Gambar 24. Histologi jaringan jantung mencit kelompok II diberikan sediaan sirup imunomodulator kasumba turate 1 ml/30 g BB mencit selama 21 hari dengan pembesaran mikroskopik 200x.
Gambar 25. Histologi jaringan jantung mencit kelompok III diberikan sediaan sirup imunomodulator kasumba turate 1 ml/30 g BB mencit selama 28 hari dengan pembesaran mikroskopik 200x.
Skor : 0 (nol)
Sel jantung normal
Skor : 0 (nol)
Sel jantung normal
1
1