skripsi widyaningsih e p

Upload: mprasetyafauzi

Post on 08-Oct-2015

140 views

Category:

Documents


22 download

DESCRIPTION

skripsi widya

TRANSCRIPT

  • SKRIPSI

    Oleh :

    Widyaningsih Endah Pratiwi 111.040.131

    JURUSAN TEKNIK GEOLOGI FAKULTAS TEKNOLOGI MINERAL

    UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL VETERAN YOGYAKARTA

    2011

    GEOLOGI DAN STUDI FASIES GUNUNG API SATUAN NGLANGGRAN, DAERAH POHIJO,

    KECAMATAN SAMPUNG, KABUPATEN PONOROGO, PROPINSI JAWA TIMUR

  • SKRIPSI

    Oleh :

    Widyaningsih Endah Pratiwi 111.040.131

    Disusun sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar sarjana

    strata-1 di Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknologi Mineral, Universitas

    Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta, tahun akademik 2010/2011

    Yogyakarta, September 2011 Menyetujui,

    Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II Dr. Ir. C. Prasetyadi , M.Sc. Ir. Siti Umiyatun Choiriah,MT NIP: 19581104 199203 1 001 NIP : 19631010 199203 2 002

    Menyetujui ,

    Ketua Jurusan Teknik Geologi Fakultas Teknologi Mineral

    UPN Veteran Yogyakarta,

    Ir. H. Sugeng Raharjo, M.T NIP.19581208 199203 1 001

    GEOLOGI DAN STUDI FASIES GUNUNG API SATUAN NGLANGGRAN, DAERAH POHIJO, KECAMATAN

    SAMPUNG, KABUPATEN PONOROGO, PROPINSI JAWA TIMUR

  • Sari

    GEOLOGI DAN STUDI FASIES GUNUNG API SATUAN NGLANGGRAN, DAERAH POHIJO,

    KECAMATAN SAMPUNG, KABUPATEN PONOROGO, PROPINSI JAWA TIMUR

    Widyaningsih Endah Pratiwi 111 040 131

    Lokasi penelitian secara administratif terletak di desa Pohijo, Kecamatan Sampung

    Kabupaten Ponorogo, Provinsi Jawa Timur. Secara geografis terletak pada 1111630 BT

    1112230 BT dan 74730 LS dan 75000 LS. yang terdapat dalam lembar Purwantoro

    propinsi Jawa tengah, Lembar Peta Nomor 1508 - 123 Edisi 1 - 2001 skala 1 : 25.000 dengan

    luas daerah telitian 8 x 5 Km.

    Berdasarkan klasifikasi Van Zuidam (1983), daerah telitian dibagi menjadi tiga

    satuan bentuk asal dan lima satuan bentuk lahan, yaitu: Satuan Perbukitan Karst (K1),

    Satuan Bukit Intrusi (V1), Satuan Dataran Jatuhan tuf (V2), Satuan Dataran Aliran Lahar

    (V3), Perbukitan breksi terkikis (D1). Jenis pola aliran yang berkembang pada daerah

    telitian, setelah disesuikan dengan klasifikasi pola sumgai yang ditulis oleh A.D. Howard,

    1967, dapat di klasifikasikan kedalam pola sungai Subrectangular, Subdendritik dan Paralel.

    Stadia geomorfik pada daerah telitian adalah dewasa - tua (Lobeck,1939).

    Stratigrafi daerah penelitian dimulai dari tua ke muda: Satuan Breksi (Formasi

    Nglanggran), Intrusi Andesit, Satuan Batugamping (Formasi Sampung), Satuan Tuf

    (Formasi Jabolarangan), Satuan Lahar Lawu. Pada daerah penelitian Satuan Breksi

    Nglanggran merupakan satuan batuan yang berumur paling tua, yang kemudian di intrusi

    oleh Satuan Intrusi Andesit, kemudian terendapkan secara tidak selaras Satuan Batugamping

    Sampung. Selanjutnya diatas Satuan Batugamping Sampung diendapkan secara tidak selaras

    Satuan Tuf Jabolarangan, Kemudian diatas Satuan Tuf Jabolarangan diendapkan secara

    selaras Satuan Lahar Lawu.

    Struktur geologi pada daerah telitian berupa sesar. Sesar yang berkembang adalah

    sesar normal Gondang dan sesar normal Watukarut.

    Berdasarkan karakteristik litologi dari analisa penampang stratigrafi terukur 1 Pohijo

    masuk dalam Fasies Proximal, sedangkan dari analisa penampang stratigrafi terukur daerah

    Gondang, Watukurut dan Sayutan daerah ini termasuk kedalam Fasies Medial,

  • KATA PENGANTAR

    Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan rahmat,

    hidayah, kesehatan dan karunia yang tidak pernah putus diberikan penulis sehingga

    penulis dapat menyelesaikan laporan skripsi yang berjudul Geologi Dan Studi

    Fasies Gunung Api Satuan Nglanggran, Daerah Pohijo, Kecamatan Sampung,

    Kabupaten Ponorogo, Propinsi Jawa Timur.

    Dalam penyusunan laporan skripsi ini telah banyak pihak yang telah

    membantu, untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada :

    1. Tuhan Yang Maha Esa, Ayahanda dan Ibu tercinta yang telah memberikan

    segalannya bagi penulis, yaitu untuk kesempatan hidup di dunia.

    2. Dr.Ir.C. Prasetyadi,Msc dan Ir. Siti Umiyatun Choiriah,MT selaku Pembimbing I

    dan Pembimbing II, yang telah membimbing dan memberikan kritik saran

    sehingga laporan ini dapat terselesaikan dengan baik.

    3. Ir. H. Sugeng Raharjo, M.T selaku Ketua Jurusan Teknik Geologi Universitas

    Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta.

    Penulis sadar bahwa masih banyak kesalahan dan kekeliruan dalam

    penyusunan skripsi ini, untuk itu kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat

    penulis harapkan demi kesempurnaan skripsi ini.

    Yogyakarta, September 2011

    Penulis

  • DAFTAR ISI

    HALAMAN PERSETUJUAN................................................................... ........ i

    HALAMAN PERSEMBAHAN................................................................... ...... ii

    KATA PENGANTAR................................................................... ..................... iii

    SARI................................................................... ................................................ iv

    DAFTAR ISI................................................................... ................................... v

    DAFTAR GAMBAR.......................................................................................... vi

    DAFTAR TABEL.............................................................................................. vii

    BAB I PENDAHULUAN

    1.1. Latar Belakang Penelitian.............................................................. 1 1.2. Maksud dan Tujuan Penelitian....................................................... 2 1.3. Lokasi dan Kesampaian Daerah Penelitian.................................... 2 1.4. Waktu Penelitian............................................................................ 3 1.5. Pokok Permasalahan...................................................................... 3 1.6. Hasil Penelitian.............................................................................. 5 1.7. Manfaat Penelitian......................................................................... 6 1.8. Metodologi Penelitian.................................................................... 7

    BAB 2 GEOLOGI ZONA PEGUNUNGAN SELATAN

    2.1. Fisiografi Pegunungan Selatan....................................................... 15 2.2. Stratigrafi Pegunungan Selatan....................................................... 16 2.3. Struktur Geologi Pegunugan Selatan.............................................. 21

    BAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

    3.1. Geomorfologi Daerah Telitian........................................................ 28 3.2. Stratigrafi Daerah Telitian............................................................... 36 3.3. Struktur Geologi Daerah Telitian.................................................... 45 3.4. Sejarah Geologi Daerah Telitian..................................................... 47

    BAB 4 STUDI FASIES GUNUNG API

    4.1. Dasar Teori................................................................... ................. 53 4.2. Identifikasi dan Interpretasi Fasies................................ ............... 55

    BAB 5 POTENSI GEOLOGI

    5.1. Potensi Geologi Positif................................................................... 85 5.2. Potensi Geologi Negatif.................................................................. 87

    BAB 6 KESIMPULAN................................................................................. 88

    DAFTAR PUSTAKA........................................................................................ 90

    LAMPIRAN-LAMPIRAN

  • DAFTAR GAMBAR Gambar 1.1 Lokasi daerah penelitian (Google Earth) 3

    Gambar 1.2 Klasifikasi Penamaan Sesar (Richard, 1979).. 11

    Gambar 1.3 Bagan Alir Tahapan Penelitian (Penulis, 2009).............................. 14

    Gambar 2.1 Fisiografi Jawa Bagian Timur (Van Bemmelen, 1949).. 16

    Gambar 2.2 Stratigrafi Pegunungan Selatan dari peneliti terdahulu.. 21

    Gambar 2.3 Stratigrafi Regional menurut (Sampurno & H.Samudra,1997)... 22

    Gambar 2.4 Arah Pola struktur Jawa bagian Timur (modifikasi dari

    Sribudiyani, 2003) 24

    Gambar 2.5 Pola Struktur Geologi Pulau Jawa (Martojoyo).. 24

    Gambar 2.6 Pola Struktur Geologi Regional daerah telitian (Sampurno &

    H.Samudra,1997)........................................................................ 25

    Gambar 2.7 Kerangka Tektonik Asia Tenggara dari sebelum 70MA hingga

    5MA (Sribudiyani, 2003) 28

    Gambar 2.8 Peta Geologi Indonesia menurut (Simanjuntak & Barber, 1996) 29

    Gambar 3.1 Foto bentang alam daerah telitian (penulis,2009). 32

    Gambar 3.2 Foto perbukitan karts (penulis, 2009 33

    Gambar 3.3 Foto bukit intrusi (penulis, 2009). 33

    Gambar 3.4 Foto perbukitan breksi terkikis (penulis, 2009) 33

    Gambar 3.5 Foto dataran piroklastik tuf dan dataran aliran lahar

    (penulis, 2009). 34

    Gambar 3.6 Pola pengaliran daerah telitian (A.D Howard, 1966).. 36

    Gambar 3.7 Stratigrafi Regional menurut (Sampurno & H.Samudra,1997)... 39

    Gambar 4.1 Jenis-jenis endapan piroklastik (Colin and Bruce, 2000) 55

    Gambar 4.2 Pembagian Fasies Gunung Api modifikasi dari Sutikno Bronto

    (2006) .. 57

  • DAFTAR TABEL Tabel 1.1. Klasifikasi ralief dan kemiringan lereng menurut Van Zuidam,

    (1979) 10

    Tabel 3.1. Klasifikasi ralief dan kemiringan lereng menurut Van Zuidam,

    (1979) 34

    Tabel 4.1 Klasifikasi Nama Endapan dan Batuan Piroklastik menurut

    Fisher & Schmincke (1984) 60

  • BAB 1

    PENDAHULUAN

    1.1 Latar Belakang Penelitian

    Daerah telitian termasuk ke dalam fisiografi Zona Pegunungan Selatan dan

    Zona Gunung Api Tengah (Rujukan Gambar 1.1. Physiografy of East Java (Van

    Bemmelen, 1949) ). Zona Pegunungan Selatan terbentang di selatan Jawa Tengah -

    selatan Yogyakarta. Di Yogyakarta, lebarnya 55 km hingga di Jawa Timur (selatan Blitar) lebarnya 25 km. Zona ini dibentuk oleh 2 satuan batuan yaitu; batuan vulkanik dan batugamping. Dari kenampakan morfologinya zona Pegunungan

    Selatan ini dapat dipisahkan menjadi 3 subzona (Van Bemmelen, 1949) yakni 1.

    subzona Baturagung, 2. subzona Wonosari, dan 3.subzona Gunung Sewu. Adapun

    karakteristik subzona Pegunungan Selatan dapat dijelaskan secara terperinci seperti

    dibawah ini:

    1. Subzona Baturagung, relief morfologinya perbukitan terjal, merupakan

    ekspresi dari batuan volkanik (intrusi & ekstrusi), sedimen volkanik klastik,

    & karbonat, dengan kemiringan batuan relatif ke selatan.

    2. Subzona Wonosari, merupakan dataran tinggi, ke arah timur bersambung

    Baturetno yang merupakan cekungan sedimen kuarter berupa lempung hitam

    endapan danau purba. 3. Subzona Gunung Sewu, merupakan perbukitan karts, dengan bukit-bukit

    gamping, bentuk kerucut, membentang dari Parang-tritis (bagian barat)

    Pacitan dan Ponorogo (bagian timur). Jumlah bukit ribuan, dengan luas

    seluruhnya mencapai 1400 km2

    Hanya Subzona Gunung Sewu yang umumnya berkaitan erat dengan studi

    khusus penelitian. Pada subzona Gunung Sewu khususnya didaerah studi dijumpai

    kemiringan relatif berarah utara. Sehingga daerah ini menarik untuk diteliti lebih

    lanjut.

  • 1.2. Maksud dan Tujuan

    Maksud dari penelitian ini adalah sebagai tugas akhir dalam memenuhi persyaratan

    akademik guna memperoleh gelar Sarjana Teknik Geologi (S1) Jurusan Teknik

    Geologi, Fakultas Teknologi Mineral, Universitas Pembangunan Nasional Veteran

    Yogyakarta.

    Tujuan dari penelitian adalah untuk mengetahui kondisi dan perkembangan geologi

    daerah telitian yang meliputi aspek geomorfologi, stratigrafi, struktur geologi dan

    sejarah geologi dalam lingkup ruang dan waktu (time & space) serta mempelajari

    secara khusus Fasies Gunung Api yang berkaitan erat dengan aktivitas dari Gunung

    Api Purba atau sering disebut juga Old Andesite Formation (Van Bemmelen, 1949).

    1.3. Lokasi Penelitian dan Kesampaian Daerah

    Lokasi penelitian secara administratif terletak di desa Jenangan, Kecamatan

    Sampung, Kabupaten Ponorogo, Provinsi Jawa Timur. Secara geografis terletak pada

    1111630 BT 1112230 BT dan 74730 LS dan 75000 LS, yang

    tercangkup dalam lembar Purwantoro propinsi Jawa tengah, Lembar Peta Nomor

    1508 - 123 Edisi 1 - 2001 Dengan sekala 1 : 25.000 dengan luas daerah telitian 8x5

    Km. ( Gambar.1.1)

    Daerah telitian dapat dijangkau dengan transportasi darat yang terletak 120 km

    sebelah timur dari kota Yogjakarta dengan waktu tempuh 4 jam perjalanan

    melewati jalan Jogjakarta Klaten Sukohardjo Wonogiri Purwantoro

    Ponorogo namun sebelum tiba di kota Ponorogo terdapat jalan kearah utara untuk

    menuju kecamatan Sampung. Transportasi darat dapat ditempuh dengan kondisi

    jalan beraspal baik, dapat dilalui dengan kendaraan bermotor.

  • Gambar 1.1 Lokasi daerah penelitian (Google Earth)

    1.4. Waktu Penelitian

    Penelitian lapangan dilakukan selama 2 bulan, terhitung sejak 8 Desember 2008 -

    hingga 8 Februari 2009 dan bersifat mandiri yang kemudian dilanjutkan dengan

    kegiatan pengolahan data serta analisis data dan pembuatan laporan penelitian

    sebagai sistematika selama kegiatan penelitian berlangsung.

    1.5. Pokok Permasalahan

    Pokok permasalahan yang diangkat penulis meliputi permasalahan geologi secara

    umum dan permasalahan fasies gunung api secara khusus

    1.5.1 Permasalahan Geologi

    Permasalahan permasalahan geologi yang diuraikan dalam penelitian ini, meliputi :

    1.5.1.1. Geomorfologi

    Dari interpretasi dan analisa peta topografi serta pengamatan kenampakan morfologi

    dilapangan, dijumpai kenampakan pola aliran, bukit, lembah, kelurusan punggungan

    serta pengaruh litologi dan struktur geologi, sehingga menimbulkan beberapa

    pertanyaan sebagai berikut :

  • a. Berapa macam satuan geomorfik pada daerah telitian?

    b. Faktor apa saja yang mengontrol bentuk dan penyebaran bentang alam daerah

    telitian?

    c. Jenis pola aliran yang terbentuk dan apa faktor pengontrolnya?

    d. Sejauh mana proses erosi yang telah berlangsung di daerah telitian?

    e. Bagaimana perkembangan tahapan geomorfologinya?

    1.5.1.2 Stratigrafi

    Perbedaan relief dan dimensi bentang alam akan memberikan pengaruh terhadap

    geometri suatu batuan sehingga akan menimbulkan permasalahan berupa :

    a. Apa saja jenis litologi yang ada pada daerah telitian? dan Bagaimana variasinya?

    b. Bagaimana penyebaran dan ketebalan batuan?

    c. Bagaimana kandungan fosil dan umurnya?

    d. Bagaimana urutan satuan batuan dari tua ke muda?

    e. Bagaimana hubungan antar satuan batuan?

    f. Apa nama formasi batuannya?

    1.5.1.3 Struktur Geologi

    Deformasi pada batuan akibat proses tektonik yang bekerja akan menghasilkan

    struktur geologi yang terkait oleh beberapa hal, yaitu :

    a. Jenis struktur apa saja yang berkembang di daerah telitian?

    b. Bagaimana pola dan kedudukan struktur tersebut?

    c. Bagaimana mekanisme, pola dan arah gaya yang membentuknya?

    d. Kapan unsur unsur struktur tersebut terbentuk? dan Bagaimana hubungannya

    dengan sejarah tektonik yang bekerja pada daerah telitian?

    1.5.1.4 Sejarah Geologi

    Dari seluruh kajian geologi yang dilakukan dari pengamatan lapangan, pengumpulan

    data hingga tahap analisis, akan menimbulkan permasalahan mengenai

    perkembangan geologi dari waktu ke waktu yang meliputi :

    a. Bagaimana mekanisme dan perkembangan proses pengendapan tiap formasi pada

    daerah telitian dalam ruang dan waktu geologi?

  • b. Bagaimana perkembangan tahapan tektonik yang terjadi di daerah telitian dalam

    ruang dan waktu geologi sehingga membentuk pola struktur seperti sekarang?

    1.5.2. Permasalahan Studi

    Permasalahan yang akan diuraikan penulis dalam studi khususnya, meliputi :

    1.5.2.1 Permasalahan Fasies Gunung Api kaitannya dengan aktivitas Gunung

    Api Tersier.

    Beberapa permasalahan yang terkait dengan studi Fasies Gunung Api yang akan

    diuraikan penulis dalam penelitian ini, meliputi :

    a. Termasuk ke dalam jenis Gunung Api apa di daerah telitian penulis?

    b. Termasuk ke dalam Fasies Gunung Api apa daerah telitian penulis?

    c. Bagaimana penyebaran Fasies Gunung Api? Apakah hadir setempat2 atau

    mempunyai cakupan yang merata pada daerah telitian.

    d. Kapan material Gunung Api itu terbentuk?

    e. Dimana material tersebut diendapkan?

    f. Apa saja jenis material Gunung Api yang diendapkan?

    g. Bagaimana mekanisme pengendapannya kaitannya dengan sifat letusan dari

    Gunung Api yang bersifat Ekplosif, Effusif atau campuran dari Ekplosif dan

    Effusif

    1.5.3. Permasalahan Potensi Geologi

    Dari hasil pengamatan lapangan berikut adalah permasalahan yang berkaitan

    mengenai potensi geologi daerah telitian :

    1. Apa saja potensi geologi positif maupun potensi yang negatif yang terdapat di

    daerah telitian ?

    2. Apa dampak bagi masyarakat jika potensi positif terus di eksploitasi ?

    1.6. Hasil Penelitian Peta Lintasan Peta Geologi

  • Dari peta geologi diketahui penyebaran litologi penyusun daerah telitian yang

    merupakan bagian dari Zona Pegunungan Selatan dan Zona Pegunungan

    Tengah (Van Bemmelen, 1949).

    Peta Geomorfologi Penampang Stratigrafi Terukur. Dari Penampang Stratigrafi Terukur akan didapatkan urut-urutan batuan

    Gunung Api dari umur tua ke muda secara vertikal yang nantinya akan dapat

    menceritakan kejadian Geologi dan termasuk ke dalam Fasies Gunung Api apa

    di daerah telitian.

    Penyusunan Laporan Tahap akhir dari seluruh kegiatan penelitian yang telah dilakukan disajikan

    dalam bentuk laporan dan peta yang merangkum semua permasalahan yang

    diangkat penulis beserta hasil analisis guna menjawab permasalahan diatas.

    1.7. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dari beberapa sudut

    pandang berupa :

    1.7.1. Manfaat Keilmuan Manfaat penelitian ini bagi bidang keilmuan adalah :

    a. Menambah pengetahuan mengenai studi geologi dan Fasies Gunung Api.

    b. Memperkuat pemahaman mengenai penerapan aplikasi metoda geologi

    lapangan yang nyata dalam kaitannya dengan kerangka berfikir yang

    disesuaikan dengan konsepkonsep serta kaidahkaidah geologi yang berlaku.

    c. Kemampuan untuk dapat mengintegrasikan antara data geologi, baik yang

    diperoleh di lapangan maupun dari hasil analisis laboratorium.

    1.7.2. Manfaat Institusi Manfaat penelitian yang dilakukan penulis bagi pihak institusi berupa :

    a. Melengkapi dan menambah hasil studi maupun data data yang belum

    terlengkapi dari penelitian terdahulu, khususnya yang terkait dengan daerah

    penelitian penulis.

  • b. Memberikan masukan mengenai Fasies Gunung Api yang berkembang di

    daerah penelitian penulis.

    c. Dengan penelitian ini diharapkan dapat memajukan dunia pendidikan yang

    terkait dengan ilmu kebumian, Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknologi

    Mineral, Universitas Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta umumnya

    dan bagi kemajuan bangsa dan negara pada khususnya.

    1.8. Metodologi Penelitian

    Metodologi yang digunakan untuk mencapai tujuan dari skripsi ini dilakukan dengan

    studi pustaka yaitu mempelajari semua literatur baik yang berasal dari text book,

    jurnal, maupun laporan penelitian yang ada kaitanya dengan skripsi ini, serta mencari

    beberapa permasalahan yang akan mendasari dalam latar belakang dari kasus yang

    sedang diteliti, kemudian melakukan kegiatan survey lapangan dalam menentukan

    lokasi pengamatan berdasarkan pemetaan permukaan, pengambilan sample serta

    melakukan pendeskripsian secara megaskopis dan mikroskopis batuan, serta

    melakukan profil.

    Secara umum metodologi yang digunakan adalah ;

    Studi pustaka Melakukan kegiatan survey lapangan dalam menentukan lokasi pengamatan Pengambilan sample serta melakukan pendeskripsian megaskopis batuan. Pengambilan sample petrografi Pengambilan sampel paleontologi Pengambilan sampel Sedimentologi Melakukan profil

    1.8.1. Tahapan Tahapan Penelitian

    Penelitian lapangan secara umum dibagi menjadi dua tahap yaitu tahap pra-mapping

    dan tahap pemetaan (mapping).

  • 1.8.1.1. Tahap Pra-Mapping

    Tahap pra-mapping berupa kegiatan observasi dan survey lapangan guna

    menentukan lokasi dan luas daerah penelitian yang sesuai dengan topik judul yang

    akan diambil penulis, baik sebagai secara studi umum (geologi) maupun untuk studi

    khusus (fasies gunung api). Setelah lokasi penelitian didapatkan pada tahap ini juga

    dilakukan perijinan dan penyiapan peta dasar guna memperlancar proses pelaksanaan

    tahapan kerja berikutnya

    1.8.1.2. Tahap Pemetaan (Mapping)

    Tahapan yang dilakukan selama pelaksanaan meliputi : Tahapan yang dilakukan

    selama pelaksanaan meliputi :

    Membuat jalur lintasan untuk lokasi pengamatan dan pengambilan sample. Pembuatan lintasan-lintasan yang telah dilalui untuk dilakukan plotting lokasi Melakukan pengamatan litologi dan pengambilan sample pada jalur jalur

    lintasan yang telah direncanakan. Adapun jalur lintasan dengan jarak yang

    memungkinkan dilakukan pengambilan jalur secara detail. Hasil pengamatan

    disajikan pada peta lintasan (Lampiran 1)

    Pemetaan batuan yang meliputi pemerian batuan beserta pemerian mineral dan penamaan batuan yg berhubungan dengan lithofasies.

    Pemetaan struktur yang meliputi pengukuran data kekar dan sesar. Melakukan dokumentasi pada singkapan yang dijumpai dengan membuat sketsa

    dan foto serta memberi keterangan pada foto .

    Melakukan diskusi dengan pengawas lapangan, diskusi dengan pembimbing lapangan.

    Melakukan evaluasi terhadap kegiatan yang telah dilakukan dan merencanakan kegiatan pada hari berikutnya berdasarkan hasil dari evaluasi harian

    1.8.1.3. Pengolahan Data

    Tahap pengolahan data yaitu dengan melakukan penggabungan dari hasil studi

    pustaka dan literatur yang dilakukan di studio dengan hasil pengamatan serta

    pengambilan data lapangan yang didukung oleh analisis laboratorium, yang meliputi:

  • Melakukan preparasi semua sample yang akan dilakukan untuk analisa laboratorium sehingga sample benar benar dalam kondisi siap.

    Analisa data litologi yang diikuti analisis petrografi dengan tujuan untuk mengetahui jenis batuan, penyebaran batuan, pengambilan interpretasi dalam

    kaitannya sebagai penentu fasies gunung api. Hasil pengamatan disajikan pada

    Lembar pengamatan Petrografi (Lampiran 4)

    Analisa paleontologi dengan tujuan untuk penunjang data profil sebagai penentuan umur relatif. Hasil pengamatan disajikan pada Lembar pengamatan

    Paleontolgi (Lampiran 5)

    Struktur Geologi. o Data yang diambil berupa : - Kekar. Dilakukan dengan mengamati singkapan di lapangan dan pengukuran

    terhadap kedudukan bidangnya dengan menggunakan kompas geologi.

    - Sesar. Pengambilan data sesar dilakukan dengan cara pengamatan singkapan

    dilapangan. Setelah itu dilakukan pengukuran dari kedudukan bidang sesar

    (strike dan dip), dan gores-garis yang terdapat pada bidang sesar tersebut

    (plunge, bearing, dan rake) dengan menggunakan kompas geologi.

    - Data sekunder didapatkan dari hasil analisis laboratorium dari conto yang

    diambil dari stream sedimen yang diperoleh dari aliran aliran sungai pada

    lokasi penelitian, dan beberapa batuan.

    Membuat Penampang Stratigrafi Terukur untuk mengetahui Fasies Gunung Api. Hasil pengamatan disajikan pada Lembar MS (Lampiran 6)

    Membuat Peta Lay out hasil dari pengambilan data lapangan berupa Peta Lintasan, Peta Geomorfologi, Pola Penagaliran, Peta Geologi.

    Menyusun laporan dari apa yang telah dilakukan penelitian mengenai kondisi Geologi dan alterasi dengan berbagai permasalahanya hubungannya dengan

    struktur serta litologi yang mengontrol hingga sampai pada solusi terhadap

    permasalahan permasalahan yang ada yaitu berupa saran maupun kritikan

    yang bersifat membangun

  • 1.8.1.4. Analisis Data

    a. Analisa morfologi

    Analisa morfologi yaitu dengan membagi daerah penelitian menjadi beberapa bentuk

    lahan dengan menggunakan klasifikasi Zuidam (1983). Pembagian bentuk lahan ini

    didasarkan atas proses geologi yang membentuknya. Selain itu juga dilakukan

    penghitungan persen kemiringan lereng menurut metode Wenworth kemudian

    hasilnya dikelompokkan menurut klasifikasi kemiringan lereng Zuidam (1983).

    Rumus metode wenworth adalah : B = (jumlah kontur 1) x Interval Kontur X

    100%

    Jarak horisontal x skala peta

    Tabel 1.1. Klasifikasi ralief dan kemiringan lereng menurut Van Zuidam, (1979)

    No Relief Unit Kemiringan

    Lereng (%)

    Beda

    Tinggi

    (meter)

    1 Topografi datar atau hampir datar 0 - 2 < 5

    2 Topografi bergelombang lemah (miring

    landai) 3 - 7 5 50

    3 Topografi bergelombang sedang (miring) 8 - 13 25 75

    4 Topografi berbukit bergelombang kuat

    (miring sedang) 14 - 20 50 200

    5 Topografi berbukit tersayat kuat (miring

    terjal) 21 - 55 200 500

    6 Topografi pegunungan (terjal) 56 140 500 1000

    7 Topografi pegunungan (sangat terjal) > 140 > 1000

    Tujuan dari hasil analisa morfologi yang didapat adalah untuk pembuatan peta

    geomorfologi daerah penelitian.

    b. Analisa Struktur Geologi

    Analisa struktur geologi ini deilakukan untuk mengetahui struktur geologi yang

    terdapat pada daerah penelitian. Analisis secara stereografis dilakukan dengan cara

  • measukkan data struktur geologi yang didapat sesuai dengan arah pergerakan dan

    kedudukannya ke dalam stereonet (wulf net), kemudian dimasukkan ke dalam

    klasifikasi Rickard (1972). Setelah itu dilakukan pengeplotan kedudukan dan

    pergerakannya pada peta. Interpretasi kemenerusan struktur geologi pada daerah

    penelitian menggunakan hukum V, juga dengan pendekatan fisiografi dan morfologi.

    Dari hasil analisis tersebut dapat diketahui hubungan struktur-struktur geologi yang

    ada pada daerah penelitian.

    Tujuan dari hasil analisa data struktur geologi ini adalah untuk dasar pembuatan peta

    geologi dan geomorfologi.

    Gambar 1.2 Klasifikasi penamaan sesar Rickard (1972)

    Klasifikasi ini menitikberatkan pada pergerakan relatif sebenarnya (slip) sehingga

    sangat berguna dapat menafsirkan tektonik yang terjadi di daerah telitian serta

    orientasi terhadap tegasan pembentuknya dari Anderson (1951).

    c. Analisa sayatan tipis

    Analisa sayatan tipis batuan dengan mikroskop polarisator. Analisa Sayatan Tipis

    mendapatkan data berupa komposisi dan ciri fisik batuan secara mikroskopis,

    sehingga dapat diperoleh penamaannya sesuai dengan klasifikasi Fischer, 1954 .

    Data sample batuan dilakukan analisa laboratorium seperti analisa petrografi menurut

    Williams, 1954 untuk jenis batuan volkanik, dan menurut Gilbert, 1954 untuk jenis

    batuan karbonat, analisa petrografi ini dilakukan guna mengetahui nama batuan

    secara mikroskopis, Tujuan dari hasil analisis sayatan tipis ini adalah untuk dasar

  • pembuatan satuan batuan peta geologi. Hasil analisa tersaji pada Lembar Analisa

    Petrografi (Lampiran 8)

    d. Analisa Paleontologi

    Mempunyai tujuan untuk mengetahui umur relatif serta menentukan batimetri

    berdasarkan kandungan fosil foraminfera plankton dan bentos, nannofosil serta

    foraminfera besar pada contoh batuan yang mewakili setiap satuan batuan secara

    maksimal daerah telitian.

    Penulis mengacu pada Blow, (1969) dan Bandy, (1967) dimana masing-masing

    untuk penentuan umur dan lingkungan batimetri dengan menggunakan foraminfera

    serta Mohler, (1947) dan Marks, (1957) untuk penentuan umur dengan menggunakan

    fosil foraminifera besar. Hasil analisa tersaji pada Lembar Analisa Paleontlogi

    (Lampiran 9)

    e. Analisa Penampang strtigrafi terukur.

    Analisa penampang stratigrafi terukur dengan menggunakan meteran, kompas

    geologi, palu geologi, larutan HCl 10%, kamera digital, foto sayatan tipis dan kolom

    stratigrafi. Berdasarkan karestik litologi yang berkembang di daerah telitian dan

    dirujuk kepada model Fasies Gunung Api menurut Bogie & Mackinzie, (1998) maka

    akan didapatkan termasuk ke dalam Fasies Gunung Apia pa daerah telitian penulis.

    Hasil analisa tersaji pada Lembar MS dan Profil (Lampiran 4,5,6 dan 7)

    f. Analisa Sedimentologi

    Analisa sedimentologi yang digunakan adalah analisa yang nantinya akan membantu

    studi khusus yaitu analisa test asam, kalsimetri dan etsa. Analisa tersebut bertujuan

    untuk menamakan batuan dengan menggunakan klasifikasi menurut Folk, (1959),

    Dunham, (1962) serta Reijers dan Hsu, (1985). Dari hasil penamaan tersebut

    nantinya akan membantu penulis dalam menafsirkan lingkungan pengendapan

    batuan karbonat dengan menggunakan klasifikasi menurut Wilson, (1975).

    1.8.1.5. Alat dan Bahan

    Dalam menunjang penelitian lapangan diatas beberapa alat dan perlengkapan yang

    dipergunakan penulis dalam membantu pengambilan data di lapangan antara lain :

    a. Peta dasar, berupa peta topografi dengan skala 1 : 25.000.

  • b. Palu geologi, berupa palu batuan sedimen dan palu batuan beku.

    c. Kompas geologi.

    d. Lup dengan perbesaran 20X.

    e. GPS (Global Positioning System).

    f. Komparator batuan sedimen.

    g. Plastik sampel ukuran 2 kg dan larutan HCl 0,1 N.

    h. Meteran dengan ukuran 30 m.

    i. Buku catatan lapangan.

    j. Alat tulis.

    1.8.2. Penelitian Terdahulu

    Peneliti - peneliti terdahulu:

    1. Bothe,1929, Stratigrafi Zona Pegunungan Selatan bagian barat.

    2. Van Bemmelen,1949. Pembagian Fisografi pulau Jawa.

    3. Sampurno & H. Samudro,1997. Membuat Peta Geologi Regional Lembar

    Ponorogo.

    4. Bronto, 2006. Fasies Gunung Api dan aplikasinya

    5. Bronto, 2008. Gunung Api purba di Pegunungan Selatan, Yogyakarta-Jawa

    Tengah dan implikasinya.

  • 1.8.3 Bagan Alir Tahapan Penelitian

    Adapun bagan alur penelitian adalah sebagai berikut :

    Gambar 1.3 Bagan Alir Tahapan Penelitian (Penulis, 2009).

    PETA LINTASAN PETA GEOMORFOLOGI PETA GEOLOGI MS (Analisa Fasies) PROFIL LAPORAN

    PENYAJIAN DATA

    ANALISIS DATA DAN PEMBUATAN LAPORAN

    PENGAMATAN GEOMORFOLOGI PENGAMATAN LITOLOGI PENGAMATAN STRUKTUR GEOLOGI PENGAMBILAN CONTOH DAN FOTO

    PETROGRAFI PALEONTOLOGI GEOLOGI STRUKTUR SEDIMENTOLOGI

    PEMPROSESAN DATA DAN ANALISA

    LABORATORIUM

    PENGUMPULAN DATA DAN PENGERJAAN

    LAPANGAN

    KAJIAN PUSTAKA

    TAHAP PERSIAPAN

  • BAB 2

    GEOLOGI ZONA PEGUNUNGAN SELATAN

    2.1. Fisiografi

    Daerah telitian termasuk ke dalam fisiografi Zona Pegunungan Selatan dan Zona

    Gunung Api Tengah. Zona Pegunungan Selatan ini terbentang di selatan Jawa

    Tengah - selatan Yogyakarta. Di Yogyakarta, lebarnya 55 km hingga di Jawa Timur (selatan Blitar) lebarnya 25 km. Zona ini dibentuk oleh 2 satuan batuan yaitu; batuan volkanik, dan batugamping. Dari kenampakan morfologinya zona ini

    dapat dipisahkan menjadi 3 yakni 1. subzona Baturagung, 2. subzona Wonosari, dan

    3.subzona Gunung Sewu. Adapun karakteristik subzona Pegunungan Selatan dapat

    dijelaskan secara terperinci seperti dibawah ini:

    1. Subzona Baturagung, relief morfologinya perbukitan terjal, merupakan

    ekspresi dari batuan volkanik (intrusi & ekstrusi), sedimen volkanik klastik, &

    karbonat, dengan kemiringan batuan relatif ke selatan.

    2. Subzona Wonosari, merupakan dataran tinggi, ke arah timur bersambung

    Baturetno yang merupakan cekungan sedimen kuarter berupa lempung hitam

    endapan danau purba.

    3. Subzona Gunung Sewu, merupakan perbukitan karts, dengan bukit-bukit

    gamping, bentuk kerucut, membentang dari Parang-tritis (bagian barat) -

    Pacitan (bagian timur). Jumlah bukit ribuan, dengan luas seluruhnya mencapai

    1400 km2 oleh Lehman, 1939). Semakin ke timur morfologi bukit kerucut

    semakin berkurang, dan muncul bukit terdiri dari batuan volkanik (Pacitan-

    Ponorogo)

  • Gambar 2.1. Fisiografi Jawa Bagian Timur (Van Bemmelen, 1949)

    2.2. Stratigrafi

    2.2.1. Stratigrafi Pegunungan Selatan bagian Timur

    Stratigrafi Pegunungan Selatan di Jawa Timur, telah diteliti oleh Sartono (1964)

    dengan daerah telitian di daerah Punung dan sekitarnya - Pacitan. Susunan

    litostratigrafinya sebagai berikut (dari tua ke muda): Kelompok Formasi Besole,

    Formasi Jaten, Formasi Nampol, Formasi Punung.( Gambar 2.2)

    - Formasi Besole, merupakan satuan batuan tertua yang tersingkap di daerah ini. Sartono (1964), pencetus nama Formasi Besole menyebutkan bahwa satuan ini

    tersusun oleh dasit, tonalit, tuf dasitan, serta andesit, dimana satuan ini

    diendapkan di lingkungan darat.

    Nahrowi dkk (1978), dengan menggunakan satuan batuan bernama Formasi

    Besole, menyebutkan bahwa formasi ini tersusun oleh perulangan breksi

    volkanik, batupasir, tuf, dan lava bantal, diendapkan dengan mekanisme turbidit,

    pada lingkungan laut dalam. Samodra dkk (1989 dan 1991) membagi satuan yang

    bernama Formasi Besole ini menjadi dua satuan yaitu Formasi Arjosari yang

    terdiri dari perselingan batupasir dan breksi, yang diendapkan pada lingkungan

    laut dangkal, dan Formasi Mandalika yang tersusun oleh perselingan breksi,

    batupasir, serta lava bantal diendapkan pada lingkungan laut dalam. Terlepas dari

    perbedaan litologi, dan lingkungan pengendapan pada satuan yang bernama

    Formasi Besole ini, mempunyai penyebaran menempati morfologi terjal, dan

  • berbukit-bukit. Oleh Sartono (1964), satuan ini merupakan bagian dari kelompok

    batuan Old Andesit (van Bemmelen, 1949), seperti halnya yang terdapat di Kulon

    Progo. Jadi secara umum Formasi Besole tersusun oleh satuan batuan vulkanik

    (intrusi), lava dan volkanoklastik (breksi,sisipan batupasirtufan).

    Djohor, (1993) meneliti singkapan di K.Grindulu (Pacitan-Tegalombo)

    menyimpulkan urutan Formasi Besole yang tersingkap di daerah tersebut adalah

    sebagai berikut: bagian bawah terdiri dari breksi volkanik (pyroclastic ?),

    batupasir tufan (greywacke), sisipan crystal tuf, dan dibeberapa tempat dijumpai

    intrusi (korok dasit). Bagian tengah tersusun oleh lava dasitik, tuf dasitik, breksi

    vulkanik, batupasir vulkanik, dan sisipan lava basaltik dengan kekar-kekar

    kolom, dibeberapa tempat dijumpai intrusi korok berkomposisi basaltis, dan

    dasitik. Bagian atas didominasi oleh batuan volkanoklastik (perulangan

    konglomerat, batupasirtufan, tuf, dengan sisipan breksi dan batulempung.

    Didapat intrusi berupa volcanic neck berkomposisi andesitik. Juga dijumpai

    sisipan tipis batulempung gampingan yang mengandung foraminifera planktonik

    serta bongkah batugamping berukuran mencapai 1 m di dalam tubuh tuf. Secara tidak selaras di atasnya terdapat Formasi Jaten.

    - Formasi Jaten, dengan lokasi tipenya K.Jaten Donorojo, Pacitan (Sartono 1964), tersusun oleh konglomerat, batupasir kuarsa, batulempung (mengandung

    fosil Gastrophoda, Pelecypoda, Coral, Bryozoa, Foraminifera), dengan sisipan

    tipis lignit. Ketebalan satuan ini mencapai 20-150 m. Diendapkan pada

    lingkungan transisi neritik tepi pada Kala Miosen Tengah (N9 - N10)

    - Formasi Wuni, dengan lokasi tipenya K.Wuni (anak Sungai S Basoka) - Punung, Pacitan (Sartono, 1964), tersusun oleh breksi, aglomerat, batupasir tufan, lanau,

    dan batugamping. Berdasarkan fauna koral satuan ini berumur Miosen Bawah

    (Te.5 Tf.1), sedangkan berdasarkan hadirnya Globorotalia siakensis,

    Globigerinoides trilobus & Globigerina praebuloides berumur Miosen Tengah

    (N9-N12) (Tim Lemigas). Ketebalan Formasi Wuni = 150 -200 m. Satuan ini

    terletak selaras menutupi Formasi Jaten, dan selaras di bawah Formasi Nampol.

    - Formasi Nampol, tersingkap baik di K.Nampol, Kecamatan Punung, Pacitan (Sartono,1964), dengan susunan batuan sebagai berikut: bagian bawah terdiri dari

  • konglomerat, batupasirtufan, dan bagian atas: terdiri dari perselingan batulanau,

    batupasirtufan, dan sisipan serpih karbonan dan lapisan lignit. Diendapkan pada

    Kala Miosen Awal (Sartono,1964) atau Nahrowi (1979), Pringgoprawiro (1985),

    Samodra & Gafoer (1990) menghitungnya berumuri Miosen Awal - Miosen

    Tengah. Ketiga formasi (Jaten, Wuni, Nampol) berhubungan jari-jemari dengan

    bagian bawah Formasi Punung.

    - Formasi Punung, dengan lokasi tipenya di daerah Punung, Pacitan, tersusun oleh dua litofasies yaitu: fasies klastika dan fasies karbonat (Sartono, 1964). Fasies

    karbonat, tersusun oleh batugamping terumbu, batugamping bioklastik,

    batugampingpasiran, napal, dimana satuan ini merupakan endapan sistem

    karbonat paparan. Ketebalan fasies ini 200-300 m, berumur Miosen Tengah-Atas

    (N9-N16). Sedangkan fasies klastika tersusun oleh perselingan batupasir tufan,

    batupasir gampingan, lanau dan serpih. Ketebalan satuan ini 76 -230 m.

    Berdasarkan kandungan fosil foram menunjukan umur Miosen Tengah (N15),

    diendapkan pada lingkungan nertitik tepi. Hubungan dengan fasies karbonat

    adalah menjari, dan kedua satuan fasies ini menutupi secara tidak selaras Fm

    Nampol (Sartono, 1964). Sedangkan menurut Nahrowi (1979), Pringgoprawiro

    (1985) Formsi Punung menutui secara tidak selaras Formasi Besole, dengan

    saling menjari dengan Formasi Jaten, Wuni, dan Nampol.

    - Di daerah Pegunungan Selatan bagian timur, endapan yang paling muda adalah endapan terarosa dan endapan sungai yang secara tidak selaras menutupi seri

    endapan Tersier

    2.2.2. Stratigrafi Regional daerah Telitian

    Penamaan satuan batuan pada daerah telitian urut dari satuan batuan berumur tua

    - satuan batuan berumur muda, berdasarkan Peta Geologi Regional Lembar

    Ponorogono (Sampurno & Hanang Samoedra, 1997). (Gambar 2.3)

    Formasi Nglanggran: Runtunan batuan Gunung Api bersusunan andesit yang

    disusun oleh breksi Gunung Api dan batupasir Gunung Api. Komponen andesit

    di dalam breksi berukuran 50-40 cm, menyudut tanggung hingga menyudut,

    pemilahan sangat buruk. Tebal rata-rata sekitar 2 m. Setempat breksi berubah

  • secara berangsur mejadi batupasir. Batupasir berwarna coklat, berukuran sedang

    hingga sangat kasar dan mempunyai tebal 50-100 cm. Setampat tersingkap

    perselingan breksi dan batupasri. Bagian bawah runtunan yang bersisipan dengan

    breksi batuapung atau batupasir kerikilan, Mencirikan hubungan menjemari

    dengan bagian atas Formasi Semilir. Runtunan batuan Gunung api ini diduga

    berumur miosen awal, yang tebentuk di Lingkungan Darat hingga ke peralihan

    Laut dangkal. Tebal satuan 500 meter. Sebarannya ke Barat dapat diikuti hingga

    lembar Surakarta (sarono dkk, 1994). Di daerah Pacitan satuan ini setara dengan

    bagian atas Formasi Mandalika (Samoedra & Gafoer, 1990). Satuan ini diberi

    nama oleh Bothe (1929), dengan lokasi tipe Gunung Nglanggran, daerah

    Surakarta.

    Intrusi Andesit: Sayatan menunjukkan tekstur porfitik, subhedral, berukuran 0,5-

    1 mm; terdiri dari andesin 45%, orthoklas 15%, kuarsa 5%, didalam masa dasar

    mikrolit plagoklas dan kaca gunung api 30%. Sebagian felsparnya terubah

    menjadi klorit dan lempung. Berumur Miosen awal.

    Formasi Sampung: Perulangan kalkarenit dan napal, batugamping terumbu,

    batulempung gampingan, dan napal tufan. Kalkarenitnya berbutir kasar

    mengandung komponen batuan beku dan kepingan foraminifera. Setampat

    berstruktur perarian sejajar. Tebal lapisan rata-rata 30 cm. Napal berwarna

    kehijauan atau kecoklatan di daerah Sampung dengan tebal lapisan rata-rata 30

    cm. Napal berwarna kehijauan atau kecoklatan di daerah Sampung bersifat tufan

    dan banyak mengandung foraminifera kecil. Batugamping terumbu umumnya

    berwarna kelabu dan mengandung foraminifera, koral. Ganggang (lithopylum

    gonolithon) dan Briozoa. Struktur sedimen yang teramati adalah perlapisan

    bersusun. Gua-gua batugamping di Sampung berkembang di daerah karts yang

    tidak begitu luas. Penampang komplek terumbu di Sampung menunjukkan

    perkembangan terumbu: dinding terumbu di Timur, paparan terumbu-depan di

    tengah dan jalur perairan terumbu depan di Barat. Tidak dijumpai endapan

    Laguna menunjukkan komplek Terumbu Sampung sebagai fringing reef yang

    terbentuk selama terjadinya genang laut. Foraminifera pada batugamping adalah

    Lepidocyclina sumatrensis, L. Purva, cycloclypeus indopacitus, C.annulutus,

  • Miogypsina thecideemafis. Kumpulan fosil itu mencerminkan umur Tf bawah

    atau sekitar akhir miosen awal/awal miosen tengah dan terbentuk di lingkungan

    laut dangkal. Sifat tufan dibatuan menunjukkan adanya kegiatan gunung api

    disekitarnya. Sebarannya hanya di sekitar daerah Sampung di lereng tenggara

    Gunung Lawu, dengan tebal 150 meter. (Samudra & Gafoer; Samudra dkk,

    1992). Satuan ini diberi nama sesuai dengan lokasi tipenya di desa Sampung pada

    lembar Ponorogo ini.

    Tuf Jabolarangan: Tuf lapili dan breksi batuapung, masing-masing mempunyai

    tebal rata-rata 5 m. Satuan ini tersebar di lereng Selatan dan tenggara Gunung

    Jabolarangan di daerah Sarangan dan watugarit, sentuhannya dengan satuan yang

    lebih muda yaitu endapan Lawu muda dibatasi oleh sesar Cemorosewu. Batuan

    Gunung api ini dihasilkan oleh Gunung Jabolarangan atau Lawu Tua. Berumur

    Pliosen tengah-Pliosen Akhir.

    Lawu lahar: Komponen andesit dan basal dan sedikit batuapung beragam ukuran

    yang bercampur dengan batupasir Gunung api. Sebarannya terutama mengisi

    wilayah dataran di kaki-kaki Gunung api atau membentuk beberapa perbukitan

    rendah. Di Karangtengah endapan ini mengandung kepingan gigi dan vertebrata

    jenis Bovidae. Mata air banyak terdapat pada satuan ini. Berumur Holosen.

  • Gambar 2.2. Stratigrafi Pegunungan Selatan dari Peneliti terdahulu(Bothe (1929), Surono (1989),

    Nahrowi (1979), Samudro 1989,Sampurno&Samudro (1997) ).

  • Gambar 2.3. Stratigrafi Regional menurut (Sampurno & H. Samudra, 1997)

    2.3. Struktur Geologi

    2.3.1. Struktur Geologi Jawa Bagian Timur

    Jawa bagian timur, berdasarkan pola struktur utamanya, merupakan daerah yang unik

    karena wilayah ini merupakan tempat perpotongan dua struktur utama, yakni antara

    struktur arah Meratus yang berarah timurlut-baratdaya dan struktur arah Sakala yang

    berarah timur-barat (Pertamina-BPPKA, 1996; Sribudiyani et al., 2003) (Gambar

    2.4). Arah Meratus lebih berkembang di daerah lepas pantai Cekungan Jawa Timur,

    sedangkan arah Sakala berkembang sampai ke daratan Jawa bagian timur.

    Struktur arah Meratus adalah struktur yang sejajar dengan arah jalur konvergensi

    Kapur Karangsambung-Meratus. Pada awal Tersier, setelah jalur konvergensi

    Karangsambung-Meratus tidak aktif, jejak-jejak struktur arah Meratus ini

    berkembang menjadi struktur regangan dan membentuk pola struktur tinggian dan

    dalaman seperti, dari barat ke timur, Tinggian Karimunjawa, Dalaman Muria-Pati,

    Tinggian Bawean, Graben Tuban, JS-1 Ridge, dan Central Deep. Endapan yang

  • mengisi dalaman ini, ke arah timur semakin tebal, yang paling tua berupa endapan

    klastik terestrial yang dikenal sebagai Formasi Ngimbang berumur Eosen. Distribusi

    endapan yang semakin tebal ke arah timur ini menunjukkan pembentukan struktur

    tinggian dan dalaman ini kemungkinan tidak terjadi secara bersamaan melainkan

    dimulai dari arah timur. Struktur arah Sakala yang berarah barat-timur saat ini

    dikenal sebagai zona sesar mendatar RMKS (Rembang-Madura-Kangean-Sakala).

    Pada mulanya struktur ini merupakan struktur graben yang diisi oleh endapan paling

    tua dari Formasi Pra-Ngimbang yang berumur Paleosen-Eosen Awal (Phillips et al.,

    1991; Sribudiyani et al., 2003) Graben ini kemudian mulai terinversi pada Miosen

    menjadi zona sesar mendatar RMKS. Berdasarkan sedimen pengisi cekungannya

    dapat disimpulkan sesar arah Meratus lebih muda dibandingkan dengan sesar arah

    Sakala. Geologi Regional Jawa oleh Martojoyo mempunyai 3 arah utama yaitu Pola

    Meratus yang berarah Baratdaya-Timurlaut, Pola Jawa-Sakala yang berarah Barat-

    Timur dan Pola Sunda yang berarah Baratlaut-Tenggara. (Gambar 2.5)

    2.3.2. Struktur Geologi daerah Pohijo, kabupaten Ponorogo

    Struktur yang berkembang pada daerah Wonogiri - Ponorogo adalah berupa lipatan

    antiklin, sinklin dan sesar. Lipatan antiklin berarah Barat-Timur, sedangkan sinklin

    berarah barat daya timur laut. Di daerah ini terdapat 2 jenis sesar yaitu sesar

    mendatar dan sesar turun. (Sumber Peta Geologi Regional lembar Ponorogo oleh

    Sampurno dan H.Samodra tahun, 1997). (Gambar 2.6).

    Gambar 2.4. Arah pola struktur Jawa bagian timur (modifikasi dari Sribudiyani et al., 2003).

  • Gambar 2.5.. Pola Struktur Geologi Pulau Jawa menurut Martojoyo

    Gambar 2.6. Pola Struktur Geologi Regional daerah telitian

    (Peta Geologi Lembar Ponorogo,menurut Sampurno & Hanang Samudro, 1997)

    2.3.3. Perkembangan Tektonik

    Perkembangan Tektonik Jawa dibagi menjadi 4 periode yaitu:

    1. Tektonik Kapur akhir Tersier Awal (70-35 Ma) oleh Sribudiyani, 2003

    2. Tektonik Oligosen Miosen Awal (35 20 Ma) oleh Sribudiyani, 2003

    3. Tektonik Miosen Tengah Miosen Akhir (20 5 Ma) oleh Sribudiyani, 2003

    4. Tektonik Kuarter (1,65 0 Ma) oleh Simandjutak & Barber, 1996

  • 2.3.3.1. Tektonik Kapur Akhir Tersier Awal (70 35 Ma)

    Fase tektonik awal terjadi pada Mesozoikum ketika pergerakan lempeng Australia

    kearah Timurlaut yang menghasilkan subduksi dibawah Sunda Microplate sepanjang

    suture Jawa - Meratus, dan diikuti oleh fase pemekaran selama Paleogen ketika

    serangkaian horst dan graben kemudian terbentuk. Proses magmatisme yang terjadi

    pada akhir Kapur dapat dikenali dari Timurlaut Sumatra melalui Jawa hingga bagian

    Tenggara pada Kalimantan. Studi batuan asal dan penentuan umur dari zircon

    memberikan pengertian terhadap karakter basement dan menyatakan bahwa kerak

    benua Gondwana (kemungkinan Barat Australia) asli berada dibagian bawah dari

    daerah Pegunungan Selatan. Hal ini menunjukkan bahwa Sundaland pada Kenozoik

    sedikit sekali menyediakan, jika ada, material terigenous ke Jawa Timur.

    Kapur Atas Eosen Awal, fragmen benua, yang dilepaskan dari super benua

    Gondwana di selatan, mengapung ke arah timurlaut mendekati daerah subduksi.

    Kehadiran allochthonous microcontinents di wilayah Asia Tenggara telah diamati

    dan dilaporkan oleh Sribudiyani. Dimulainya Rifting serta pelamparannya berasosiasi

    dengan pergerakan sepanjang sesar regional yang telah ada sebelumnya dalam

    fragmen kontinental. Bagian basement kontinen mempengaruhi arah cekungan di

    Sumatra dan Jawa. (Gambar 2.7a dan 2.7b)

    2.3.3.2. Tektonik Oligosen Miosen Awal (35 20 Ma)

    Pada Awal Oligosen sudut kemiringan subduksi bertambah menyebabkan

    pengurangan kecepatan lempeng Australia ke Utara, diperlambat dari 18 cm / tahun

    hingga hanya 3 cm (Hall, 2002), dan secara umum pengangkatan terjadi diseluruh

    Daratan Sunda bagian Tenggara. Erosi dan amblasan lokal sepanjang jejak sesar

    yang ada menghasilkan endapan terrestrial dan transisi (Gambar 2.2). Selama

    periode ini, inversi cekungan terjadi karena konvergensi Lempeng Hindia

    menghasilkan rezim tektonik kompresi di daerah depan busur Sumatra dan Jawa.

    Sebaliknya, busur belakang merupakan subjek pergerakan strike-slip Utara - Selatan

    yang dominan sepanjang sesar utara-selatan yang telah ada.

  • Selama periode ini, Laut Cina Selatan telah mengalami proses pemekaran lantai

    samudra. Konvergensi dari lempeng Hindia ke arah Utara dapat terlihar pada rezim

    tektonik kompresi pada wilayah depan busur Sumatra dan Jawa menyebabkan inversi

    cekungan. Pergerakan Lempeng Hindia dengan Mikrokontinen Sunda telah menjadi

    stabil pada 5 6 cm / tahun (Hall,2002). (Gambar 2.7c)

    2.3.3.3. Tektonik Miosen Tengah Miosen Akhir (20 5 Ma)

    Pergerakan ke arah Selatan dari lempeng Hindia Australia mengambil alih, seiring

    dengan berkembangnya aktivitas magmatisme yang melingkupi hampir di seluruh

    dataran pulau Jawa. Pada bagian Utara, berkembang cekungan belakang busur, yang

    dibagi lagi menjadi beberapa sub sub cekungan, dan dipisahkan oleh tinggian

    basement, dikontrol oleh blok blok sesar pada basement. Pengaktifan kembali

    sepanjang sesar tersebut menghasilkan mekanisme transtension dan transpression

    yang berasosiasi dengan sedimentasi turbidit dibagian yang mengalami penurunan.

    Namun demikian, di bagian paling Timur Jawa Timur, basement dominan berarah

    Timur - Barat, sebagaimana dapat diamati dengan baik yang mengontrol Palung

    Kendeng dan juga Palung Madura. Bagian basement berarah Timur Barat

    merupakan bagian dari fragmen benua yang mengalasi dan sebelumnya tertransport

    dari Selatan dan bertubrukan dengan Sundaland sepanjang Suture Meratus (NE-SW

    struktur). Tektonik kompresi yang diakibatkan subduksi ke arah Utara telah

    mengubah sesar basement Barat Timur menjadi pergerakan sesar mendatar, dalam

    periode yang tidak terlalu lama (Manur dan Barraclough, 1994).

    Kenaikan muka air laut selama periode ini, menghasilkan pengendapan sedimen

    klastik didaerah rendahan, dan carbonate build up pada tinggian yang membatasi.

    Kompresi kedua mulai selama Akhir-Awal Miosen, terbentuk hingga puncak pada

    Awal-Tengah Miosen. Tegangan menjadi lebih kuat selama peristiwa ini,

    menghasilkan inversi graben-graben Paleogen. Pengangkatan dari tinggian yang

    mengapit meningkatkan pasokan sedimen klastik berasal dari inti basement, dengan

    pasokannya yang menutup sembulan karbonat reef. Efek penurunan muka air laut

    eustasi selama Miosen Tengah hingga Akhir meningkatkan erosi dan pasokan

    rombakan klastika asal darat menjadi tersebar luas di seluruh Laut Jawa Timur.

    Pada Miosen Akhir rift yang awalnya berarah Barat-Timur mengalami rotasi menjadi

  • orientasi Timurlaut Baratdaya sebagai sesar mendatar, oleh adanya pengaruh

    kompresi berarah Utara-Timurlaut yang disebabkan oleh subduksi Lempeng

    Wharton ke bawah Lempeng Sunda di bawah Jawa. Fase pergerakan tektonik ini

    menghasilkan struktur-struktur di Cekungan Jawa Timur Utara yang ada sekarang

    ini. (Gambar 2.7d)

    Gambar 2.7. Kerangka tektonik dari Asia Tenggara sebelum 70 M.A

    hingga 5 M.A.(Sribudyani dkk ,2003).

    2.3.3.4. Tektonik Kuarter (1,65-0 Ma)

    Dikarenakan pergerakan baru zona penunjaman semakin ke utara dari zona

    penunjaman sebelumnya, maka jajaran Gunung Api baru yang terbentukpun berada

  • di bagian utara dari jajaran Gunung Api Tersier yang telah mati (Old Andesite

    Formation). Rezim tektonik yang terjadi dan masih berlangsung pada masa ini

    adalah Tektonik Kompresi. Di Pulau Jawa pola kompresi yang berkembang adalah

    pola normal yang berarti jajaran Gunung Api tegak lurus dengan arah penunjaman

    yang berarah ke utara. Dengan adanya penunjaman ini terbentuklah jajaran Gunung

    Api baru yang disebut dengan Zona Gunung Api Tengah. Pada Zona Gunung Api

    Tengah ini Vulkanisme masih berlangsung dan masih dalam tahap membangun dan

    merupakan sumber dari sedimentasi pada Zaman Kuarter. (Gambar 2.8)

    Gambar 2.8. Peta Geologi Regional Indonesia menurut (Simandjutak & Barber, 1996)

  • BAB 3

    GEOLOGI DAERAH TELITIAN

    3.1. Geomorfologi daerah telitian

    Pemetaan geomorfologi pada dasarnya adalah memisahkan bentuk lahan

    berdasarkan relief, batuan dan proses pembentukannya. Metode yang digunakan

    dalam pembagian satuan geomorfologi pada daerah telitian adalah :

    Morfologi :menyangkut aspek-aspek yang bersifat pemerian (descriptive) antara lain; teras sungai ,kipas alluvial, plato, daratan, perbukitan,

    pegunungan, dsb.

    Morfometri :menyangkut aspek-aspek yang bersifat kuantitatif;seperti kemiringan lereng,bentuk lereng beda tinggi, tingkat pengikisan

    sungai,dsb.

    Morfogenesis :menyangkut faktor-faktor yang mengontrol pembentukan morfologi suatu daerah, seperti proses struktural, proses

    denudasi, proses fluviatil.

    3.1.1. Bentuk Lahan

    Bentuk lahan penelitian ditentukan berdasarkan data yang diperoleh dari analisa

    topografi dan hasil pengamatan langsung keadaan lapangan, yaitu meliputi bentuk

    lahan (morfologi), kelerengan (morfometri), jenis litologi penyusun dan struktur

    geologi (morfostruktur pasif) dan proses-proses geologi (morfostruktur aktif).

    (Gambar 3.1)

    Berdasarkan klasifikasi Van Zuidam (1983),maka peneliti dapat membagi daerah

    pemetaan menjadi tiga satuan bentuk asal dan empat satuan bentuk lahan, yaitu:

    Satuan Bentuk Asal Karst : 1. Satuan Perbukitan Karst (K1)

    Satuan Bentuk Asal Vulkanik : 1. Satuan Bukit Intrusi (V1)

    2. Satuan Dataran Jatuhan tuf (V2)

  • 3. Satuan Dataran Aliran Lahar (V3)

    Satuan Bentuk Asal Denudasional : 1. Perbukitan breksi terkikis (D1)

    Satuan-satuan batuan ini disajikan dalam peta Geomorfologi (Lampiran 3)

    3.1.1.1. Bentuk Asal Karst

    3.1.1.1.1. Perbukitan Karts (K1),

    Berupa dataran tinggi dengan elevasi 350- 550 m. Memiliki luasan 14% dari

    keseluruhan peta. Memiliki kemiringan lereng 40-700, tersusun atas litologi

    batugamping. Morfogenesanya adalah perbukitan batugamping yang mengalami

    pelarutan baik kimia maupun fisika secara intensif yang kemudian mengakibatkan

    perbukitan tersebut terkikis, sehingga terbentuk morfologi bergelombang miring

    sampai dengan miring kuat. (Gambar 3.2).

    3.1.1.2. Bentuk Asal Vulkanik

    3.1.1.2.1. Bukit Intrusi (V1)

    Berupa dataran tinggi dengan elevasi 300-400m. Memiliki luasan 4% dari

    keseluruhan peta. Kemiringan lereng sekitar 30-450. Lokasinya setempat, sebelah

    tenggara peta di antara dataran tinggi/bukit. Litologinya berupa batuan andesit yang

    memiliki resistensi relatif lebih kuat dibanding litologi di sekitarnya. Karena

    ketinggiannya lebih tinggi dibandingkan daerah di sekitarnya dan berbentuk tinggian,

    (Gambar 3.3).

    3.1.1.2.2. Dataran Jatuhan tuf (V2)

    Berupa dataran dengan elevasi 300-400m. Memiliki luasan 16% dari keseluruhan

    peta. Kemiringan lereng sekitar 0-50. Lokasinya sebelah utara peta, membentang dari

    bagian tengah hingga barat peta. Litologinya berupa breksi batu apung, batupasir

    tufan, lava dan breksi andesit.

    3.1.1.2.3. Dataran Aliran lahar (V3) Berupa dataran dengan elevasi 300-400m. Memiliki luasan 36% dari keseluruhan

    peta. Kemiringan lereng sekitar 0-50. Lokasinya sebelah utara peta, membentang dari

    bagian tengah hingga timur peta. Litologinya berupa breksi andesit produk dari

  • endapan lahar Lawu, dicirikan dengan hubungan antar butir yaitu butiran didukung

    oleh lumpur (mudsupported).

    3.1.1.3. Bentuk Asal Denudasional

    3.1.1.3.1. Perbukitan Breksi terkikis (D1)

    Berupa perbukitan dengan elevasi 450-600 m, bergelombang kuat. Memiliki luasan

    14 % dari keseluruhan peta. Dengan kemiringan lereng antara 15-550. Lokasinya

    sebelah selatan peta, membentang dari sebelah barat hingga tengah peta. Tersusun

    oleh litologi breksi andesit dan lava. Morfogenesanya pasif dimana daerah tersebut

    tersusun atas litologi breksi yang mempunyai resistensi kuat. (Gambar 3.4).

    Gambar 3.1. Foto Bentang alam daerah telitian, arah foto N 160E

  • Gambar 3.2.Foto Perbukitan karts, arah foto N 195E

    Gambar3.3. Foto Bukit Intrusi, arah foto N 175E

    Gambar 3.4.Foto Perbukitan Breksi terkikis, arah foto N 045E.

  • Gambar 3.5. Foto Dataran piroklastik tuf dan Dataran Aliran lahar, arah foto N 005E

    Tabel 3.1. Klasifikasi ralief dan kemiringan lereng menurut Van Zuidam, (1979)

    No Relief Unit Kemiringan

    Lereng (%)

    Beda Tinggi

    (meter)

    1 Topografi datar atau hampir datar 0 - 2 < 5

    2 Topografi bergelombang lemah (miring

    landai) 3 - 7 5 50

    3 Topografi bergelombang sedang (miring) 8 - 13 25 75

    4 Topografi berbukit bergelombang kuat

    (miring sedang) 14 - 20 50 200

    5 Topografi berbukit tersayat kuat (miring

    terjal) 21 - 55 200 500

    6 Topografi pegunungan (terjal) 56 140 500 1000

    7 Topografi pegunungan (sangat terjal) > 140 > 1000

    3.1.1.4. Pola Aliran

    Merupakan penggabungan dari beberapa individu sungai yang saling berhubungan

    membentuk suatu pola dalam satu kesatuan ruang yang dalam pertumbuhannya

  • dipengaruhi oleh kemiringan lereng, perbedaan resistensi batuan, kontrol struktur,

    pembentukan pegunungan, proses geologi kuarter dan sejarah serta stadia

    geomorfologi dari cekungan pola pengaliran (W.D. Thornbury, 1954).

    Menurut Howard, (1966), pola pengaliran adalah kumpulan jalur - jalur pengaliran

    hingga bagian terkecilnya pada batuan yang mengalami pelapukan atau tidak

    ditempati oleh sungai secara permanen.

    Berdasarkan hasil analisis peta topografi dan keadaan di lapangan yang mendasarkan

    pada bentuk dan arah aliran sungai, kemiringan lereng, kontrol litologi serta struktur

    geologi yang berkembang pada daerah telitian maka pola aliran yang ada pada daerah

    penelitian adalah Subrectangular, Subdendritik dan Paralel (Gambar 3.6)

    berdasarkan klasifikasi A.D. Howard, (1966) yaitu:

    3.1.1.4.1 Pola Subrectangular

    Pola aliran rectangular adalah aliran cabang sungai tegak lurus terhadap sungai

    induk. Aliran memotong daerah secara tidak menerus. Pola aliran ini terdapat

    disekitar daerah Gondang. Pada daerah telitian pemeta menempati 32% dari total

    luas daerah telitian. Peneliti memasukkan dalam pola aliran subrectangular

    dikarenakan hanya terdapat sebagian dari pola dasar rectangular. Pola subrectangular

    berkembang pada Kali Krasak.

    3.1.1.4.2 Pola Subdendritik

    Pola aliran dendritik adalah pola aliran dengan bentuk menyerupai cabang-cabang

    pohon yang mencerminkan resistensi batuan sama. Pola aliran ini terdapat di daerah

    Sayutan. Pada daerah telitian pemeta menempati 21% dari total luas daerah telitian.

    Peneliti memasukkan kedalam pola subdendritik dikarenakan hanya terdapat

    sebagian dari pola dasar dendritik. Pola Subdendritik berkembang pada hulu Kali

    Krasak

    3.1.1.4.3 Pola Paralel.

    Pola aliran parallel adalah pola aliran yang terbentuk dari cabang-cabang sungai

    sejajar. Pola aliran terdapat pada daerah Pohijo. Pada daerah telitian pemeta

    menempati 47% dari total luas daerah telitian. Pola Paralel berkembang pada Kali

    Galok.

  • Gambar 3.6. Pola pengaliran daerah telitian berdasarkan (A.D Howard, 1966)

    Keseluruhan pola pengaliran diatas terbentuk dari percabangan sungai utama pada

    daerah telitian yaitu Sungai Krisak. Secara genetis sungai sungai tersebut dibagi

    menjadi 2 yaitu : sungai obsekuen yang mengalir berlawanan dengan arah

    kemiringan lapisan batuan dan sungai subsekuen yang mengalir sepanjang jurus

    perlapisan batuan dan membentuk lembah sepanjang daerah yang lunak.

    3.1.1.5. Stadia Geomorfologi dan Tahapan Erosi

    Stadia geomorfologi dan tahapan erosi dipengaruhi oleh faktor iklim, relief

    (kelerengan), struktur geologi, sifat fisik dan resistensi batuan, serta siklus erosi dan

    fluviatil yang berlangsung. Pengaruh tersebut menyebabkan terjadinya perubahan

    topografi yang akhirnya membentuk topografi seperti sekarang.

    Penentuan tingkat stadia erosi dan geomorfologi daerah telitian didasarkan pada

    hasil pengamatan lapangan yang meliputi bentuk lembah dan bentuk memanjang

    sungai, pola aliran, sudut kelerengan dan litologi. Untuk menunjang hasil

    pengamatan lapangan, penulis kemudian melakukan analisis sudut kelerengan secara

    kuantitatif dan pola pengaliran berdasarkan interpretasi dari peta topografi.

    Pengamatan lapangan menunjukkan bahwa perkembangan erosi pada daerah telitian

    sudah berkembang kearah erosi samping yang menyebabkan terbentuknya lembah

    lembah yang lebar dan dalam dengan kelerengan yang hampir datar serta

    menyerupai huruf U, dengan bentuk sungai yang lebar dan memanjang serta

  • berkelok kelok (bermeander), di beberapa tempat soil yang tebal dan menutupi

    singkapan batuan pada daerah telitian menunjukkan bahwa proses erosi dan

    pelapukan telah berjalan secara intensif.

    Hasil analisis kemiringan lereng secara kuantitatif menunjukkan dominasi

    kelerengan yang hampir datar hingga miring pada daerah telitian, sedangkan

    perubahan pola pengaliran dari dendritik ke subdendritik merupakan akibat dari

    suatu proses erosi yang intensif, litologi, topografi dan struktur geologi.

    Berdasarkan hal-hal diatas dapat diketahui bahwa stadia geomorfologi dan tahapan

    erosi pada daerah telitian adalah stadia dewasa - tua.

    3.1.1.6.. Proses Geologi Muda

    Proses geologi muda yang terdapat pada daerah telitian berupa proses pelapukan,

    erosi, transportasi dan deposisi, yang dipengaruhi oleh jenis litologi, vegetasi, iklim

    serta struktur geologi yang bekerja.

    Proses pelapukan yang bekerja pada daerah telitian sebagian besar dikontrol oleh

    pelapukan mekanis (mechanical weathering). Pelapukan mekanis adalah pelapukan

    yang diakibatkan oleh 1. Proses perubahan volume akibat pembekuan air di dalam

    pori-pori batuan, 2. Perubahan suhu yang sangat besar karena pemanasan dan

    pendinginan yang silih berganti, 3. Kegiatan organisme baik tanaman maupun

    manusia. Pelapukan mekanis atau fisik pada batuan dapat disebabkan oleh: 1.

    Tekanan atau beban, terkena panas terutama sinar matahari, dan adanya pertumbuhan

    kristal pada batuan (Reichi, 1950). Batuan yang terkena tekanan dan panas akan

    menyebabkan crack, dan inilah awal dari pelapukan. Setelah batuan pecah,

    terutama batuan berbutir maka akan terjadi granular exfoliation atau disintegrasi

    Proses granular exfoliation pada batuan berbutir maka akan terjadi Exfoliation

    dome dan spheroidal weathering (pelapukan mengulit bawang) Erosi yang

    berkembang pada daerah telitian berupa gulley erosion dan sheet erosion yang terjadi

    pada bagian kaki punggungan dan menghasilkan bentukan lembah yang lebar.

    Kedua proses diatas mengontrol besarnya transportasi suplai sedimen pada sistem

    fluviatil yang bekerja pada aliran Sungai Kresek dan Sungai Galok yang semakin

  • lama semakin mengalami pendangkalan, hal ini membuktikan bahwa proses geologi

    muda yang bekerja pada daerah telitian berjalan secara intensif dan bersifat kontinyu.

    3.2. Stratigrafi Daerah Telitian

    Berdasarkan pengamatan langsung di lapangan, serta analisa kandungan fosil yang

    didapatkan selama penelitian berlangsung, dan setelah dibuat penampang

    stratigrafinya maka penulis membagi daerah telitian ini tersusun oleh beberapa

    satuan batuan dari tua ke muda adalah sebagai berikut: (Tabel 3.2)

    1. Satuan Breksi Nglanggran

    2. Intrusi Andesit

    3. Satuan Batugamping Sampung

    4. Satuan Tuf Jabolarangan

    5. Satuan Lahar Lawu

    6.

    N 8N 7N 6N 5N 4

    N23N22

    N 15N 14N 13N 12N 11N 10N 9

    N 17N 16

    N21N20N19N18

    Satuan Lahar LawuKomponen andesit, basal dan sedikit batuapung beragam ukuran yang bercampur dengan pasir gunung api .

    Satuan Tuf JabolaranganTuf lapili dan breksi batuapung. Pada daerah telitian fragmen breksi relatif membundar terdapat dalam masa dasar batupasirsangat halus sampai batupasir halus .

    Satuan Batugamping SampungPerulangan kalkarenit dan napal, batugamping terumbu,batulempung gampingan, dan napal tufan.

    Satuan Breksi NglanggranBreksi volkanik, abu-abu dengan fragmen andesit, tuff, fragmen berukuran 4-256 mm dalam masa dasar batupasir halus-batupasir kasar, menyudut, kemas terbuka.

    Satuan Intrusi AndesitIntrusi andesit, berupa dike, masif, sebagian terisi mineral-mineral sekunder berupa urat-urat kuarsa.

    TERS

    IER

    ZAMAN KALA

    UMUR GEOLOGI

    BLO

    W(1

    969)

    AKHIR

    SIMBOLLITOSRATIGRAFI

    SATUAN BATUAN

    AWAL

    TENGAH

    KUA R

    TER

    M I

    O S

    E N

    PLIO

    SEN

    PLIS

    TOSE

    N

    AWAL

    TENGAH

    AKHIR

    Tmn

    Tms

    Tma

    Qtj

    Qll

    Breksi Nglanggran

    Batugamping Sampung

    Tuf Jabolarangan

    Lahar Lawu

    KETERANGAN

    Intrusi Andesit

    HOLO

    SEN

    Hiatus ( Tidak ada pengendapan)

    Gambar 3.7. Staratigrafi Daerah Telitian menurut (Penulis 2010)

    Hasil pemetaan geologi yang terdiri dari beberapa satuan batuan dan formasi

    disajikan dalam peta geologi (Lampiran 2)

    3.2.1. Satuan Breksi Nglanggran

    3.2.1.1. Litologi penyusun dan ciri-ciri

  • Pada Satuan Breksi Nglanggran tersusun atas breksi volkanik dengan fragmen

    monomik berupa batuan andesit, batupasir volkanik, serta terdapat sisipan lava

    andesit dan sisipan tuf (Foto.3.8). Ciri-ciri di lapangan umumnya batuanya berwarna

    abu-abu cerah, menunjukkan struktur masif; tekstur: ukuran butir 4 mm - 256 mm,

    derajat pemilahan terpilah buruk, derajat pembundaran menyudut - menyudut

    menyudut tanggung, fragmen andesit (hornlande,kuarsa,biotit), matrik pasir

    volkanik, semen silika. Dengan sisipan lava dan tuf. Pada satuan breksi ini resistensi

    batuan cukup kuat sehingga proses pelapukan pada batuan penyusun dapat dikatakan

    lemah.

    Hasil analisa petrografi: Sayatan tipis batuan piroklastik (batupasir volkanik pada

    matrik); warna kuning; bertekstur klastik, ukuran butir 0,51 mm; grain supported,

    dengan bentuk butir menyudut-agak menyudut; yang disusun oleh; Kristal, Lithic

    dan vitric. Kristal (55%) terdiri dari orthoklas (25%), plagioklas (15%), hornblende

    (8%), biotit (7%), opaq mineral (5%), Lithic (20%), Vitric (20%). crisytal Tuff

    (Menurut Klasifikasi William, 1954)

    Sayatan tipis batuan beku intermediet vulkanik (Lava Andesit); hipokristalin; fanerik

    halus, euhedral-subhedral, ukuran butir 0,10,5 mm; inequigranular vitroverik,

    disusun atas Kristal dan Gelas. Kristal (50%) terdiri dari plagioklas (25%) fenokris

    plagioklas dengan jenis andesine dan mikrolit plagioklas dengan jenis labradorit,

    hornblende (15%), opak mineral (7%), Kuarsa (3%), Gelas (50%). Andesite

    (Menurut Klasifikasi William, 1954)

    Sayatan tipis batuan piroklastik (Tuf); warna kuning; bertekstur klastik, ukuran butir

    00,5 mm; yang disusun oleh; Kristal, Lithic dan vitric. Vitric (55%) sebagai masa

    dasar, Kristal (35%) terdiri dari kuarsa (20%), plagioklas (5%), opaq mineral (3%),

    biotit (2%), Lithic (15%). Vitric Tuff (Menurut Klasifikasi William, 1954)

    3.2.1.2. Umur dan hubungan stratigrafi

    Berdasarkan Peta geologi regional lembar Ponorogo penentuan umur berdasarkan

    kesebandingan, Satuan Breksi Nglanggran ini diperkirakan berumur Miosen awal

    (Sampurno dan H.Samodra 1997). Satuan Breksi Nglanggran pada daerah telitian

    penulis merupakan satuan batuan yang berumur paling tua.

  • 3.2.1.3. Lingkungan pengendapan.

    Satuan Breksi Nglanggran terbentuk pada lingkungan pengendapan vulkanik.

    Berdasarkan karakteristik litologi pada pengamatan penampang stratigrafi terukur 1

    Gondang dengan kehadiran batupasir, breksi, dan lava. Kehadiran batupasir dengan

    masa dasar tuf serta breksi dengan masa dasar tuf dapat dimasukkan kedalam

    endapan breksi tuf. Berdasarkan Fasies Gunung Api menurut modifikasi Sutikno

    Bronto (2006) dari model pembagian Fasies Gunung Api menurut (Bogie &

    Mackinzie, 1998) pada pengamatan penampang stratigrafi 1 dapat dimasukkan dalam

    Fasies Proksimal.

    3.2.1.4. Penyebaran.

    Penyebaran dari Satuan Breksi Nglaggran ini berada pada bagian tengah sampai

    bagian Timur yaitu didaerah Pohijo, Gunung Watukurut, Gunung Janti hingga ke

    desa Gondang. Topografi yang ada di daerah ini bergelombang sedang karena

    intensitas pelapukan lemah. Luas dari penyebaran Satuan Breksi Nglanggran ini

    kurang lebih 30% dari keseluruhan peta.

    b. tuf

    a. Batupasir volkanik

  • c. Lava dengan xenolit tuf

    Gambar3.8. Foto Singkapan satuan batuan breksi Nglanggran dengan kedudukan N 175E /8 (LP 91) Arah kamera: Barat laut ( N 300E).

    3.2.2. Satuan Intrusi Andesit

    3.2.2.1. Litologi penyusun dan ciri-ciri

    Pada Satuan Intrusi Andesit tersusun atas batuan beku andesit ,berupa intrusi dengan

    ciri di lapangan umumnya batuan beku intermediet vulkanik, warna.fresh : abu-abu

    kehitaman, warna.lapuk : kuning-kecoklatan, tekstur ; d.kristalisasi : hipokristalin,

    granularitas : fanerik sedang (1 5 mm), kemas : euhedral, relasi : inequigranular-

    porfiritik, komp.min : hornblende, piroksen, biotit , kuarsa. (Gambar.3.9)

    Pada Satuan Intrusi Andesit ini resisteni batuan cukup kuat, tetapi karena intensitas

    pelapukan yang tinggi serta terdapat kekar-kekar tiang sehingga proses pelapukan

    pada batuan penyusun dapat dikatakan kuat.

    Hasil analisa petrografi : Batuan beku vulkanik ,warna abu-abu kehijauan, tekstur

    porfiritic (fenokris tertanam dalam oleh masa dasar), bentuk subhedral-anhedral,

    komposisi mineral terdiri dari mineral plagioklas, kuarsa, piroksen, hornblende,

    mineral opak dan gelas. Pyroxene Andesite (klasifikasi Williams, 1982)

    3.2.2.2. Umur dan hubungan stratigrafi

    Berdasarkan geologi regional lembar Ponorogo penentuan umur berdasarkan

    kesebandingan, satuan intrusi andesit ini diperkirakan berumur Miosen awal

    (Sampurno dan H.Samodra 1997). Satuan Intrusi Andesit menerobos Satuan Breksi

    Nglanggran, sehingga satuan intrusi andesit memiliki hubungan intrusi yang

    menerobos Satuan Breksi Nglanggran.

    3.2.2.3. Penyebaran

    Penyebaran dari satuan andesit ini berada pada bagian tenggara daerah telitian.

    Topografi yang berada di daerah Gunung Sungkut, daerah ini terjal dengan

    kelerengan kurang lebih 50%, dengan intensitas pelapukan lemah. Luas dari

    penyebaran satuan intrusi andesit ini kurang lebih 4% dari keseluruhan peta.

  • Gambar.3.9.Foto Singkapan andesit pada satuan intrusi andesit. Berupa sill dengan kenampakan

    kekar tiang (LP 39). Dengan arah umum N 010/60E , Arah kamera: Utara (N 010E),

    Gambar.3.9. Foto Singkapan andesit pada satuan intrusi andesit (LP39) Arah kamera: Utara ( N 010E)

    3.2.3. Satuan Batugamping Sampung

    3.2.3.1. Litologi penyusun dan ciri-ciri

    Pada Satuan Batugamping Sampung tersusun dari batugamping terumbu dan

    batugamping klastikan. Ciri-ciri di lapangan umumnya batuan batugamping klastik,

    warna coklat-krem, grain suppoted, komposisi didominasi oleh fosil foraminifera

    dengan detritus, kalsit (Gambar.3.10 dan Gambar.3.11) Tersingkapnya di daerah

    Bakalan.

    Hasil analisa petrografi :

    Sayatan tipis batugamping klastik, warna kuning, mud suppoted, komposisi

    didominasi oleh lumpur, fosil dengan detritus, kalsit, dan mineral opak, butiran

  • berukuran 1 5 mm.) Allochem/Fosil, (30%), tidak berwarna kecoklatan, relief

    sedang, bentuk sebagian besar pecah (skeletal), bias rangkap ekstrim, berupa foram

    plankton dan bentos serta pecahan ganggang / koral, berukuran 15 mm, hadir

    merata dalam sayatan., Opaq (2%), Hitam, relief tinggi, indeks bias n>nKb,

    berukuran 0,10,5 mm, agak membundar. Mikrit/ Lumpur (38%), tidak berwarna,

    berukuran kurang dari 0,02mm, warna interferensi sangat tinggi ekstrim, hadir

    merata dalam sayatan. Sparit/Kalsit (30%), berwarna kuning, relief rendah,

    berukuran 0,050,5mm, relief rendah hadir merata dalam sayatan Wackstone

    (klasifikasi Dunham, 1962)

    3.2.3.2. Umur dan hubungan stratigrafi

    Berdasarkan analisa mikropaleontologi foraminifera plankton di dapatkan fosil

    Orbulina universa, Globigerinoides trilobus, Globigerinoides altiapertura,

    Globorotalia siakensis, Globorotalia mayeri, Globorotalia perpheroacula,

    Globorotalia altispira, Globigerinoides sacculifer dan didapatkan umur relatif N 9

    N 13 dan N 13 N 15. Satuan Batugamping Sampung terendapkan di atas Satuan

    Breksi Nglanggran, dan hanya menumpang diatas Satuan Breksi Nglanggran dan

    Satuan Intrusi Andesit. Memiliki hubungan tidak selaras dengan Satuan Breksi

    Nglaggran. Analisa foraminifera plankton (Lampiran 2)

    3.2.3.3. Lingkungan pengendapan

    Satuan Batugamping Sampung terbentuk pada lingkungan pengendapan laut.

    Berdasarkan ciri-ciri litologi satuan batugamping sampung yang terdapat fosil-fosil

    koral, foram besar dan analisa foraminifera bentos dapat disimpulkan lingkungan

    pengendapanya neritik tengah-tepi.

    3.2.3.4. Penyebaran

    Penyebaran dari Satuan Batugamping Sampung ini berada pada bagian tengah dari

    bagian selatan peta. Berada pada gunung Gedonggiyono, gunung Sendoro dan daerah

    Bakalan.Topografi yang ada di daerah ini bergelombang sedang karena intensitas

    pelapukan lemah. Luas dari penyebaran satuan batugamping sampung ini kurang

    lebih 14% dari keseluruhan peta.

  • Gambar.3.10. Foto Singkapan batugamping pada Satuan Batugamping Sampung (LP 31)

    Daerah: Gunung Gedonggiyono, Arah kamera: Barat daya ( N185E).

    a. Kenampakan fosil koral hadir b. Kenampakan perselingan batu- c.Kenampakan kuburan fosil

    sebagai fragmen gamping pasiran dengan napal

    Gambar.3.11. Foto Singkapan batugamping pada Satuan Batugamping Sampung (LP 48) Daerah: Bakalan, Kedudukan: N 265E/ 8, Arah kamera: Timur (N 090E), Cuaca: Cerah

    Fosil

  • 3.2.4. Satuan Tuf Formasi Jabolarangan

    3.2.4.1. Litologi penyusun dan ciri-ciri

    Pada Satuan Tuf Jabolarangan tersusun atas tuf lapili dan breksi batuapung. Dengan

    ciri di lapangan umumnya batuan piroklastik, warna.fresh : putih, warna.lapuk :

    kuning-. (Gambar.3.12)

    3.2.4.2. Umur dan hubungan stratigrafi

    Berdasarkan geologi regional lembar Ponorogo penentuan umur berdasarkan

    kesebandingan. Satuan Tuf Jabolarangan ini diperkirakan berumur plistosen tengah -

    plistosen akhir (Sampurno dan H.Samodra 1997). Satuan Tuf Jabolarangan

    menumpang secara tidakselaras diatas Satuan Breksi Nglanggran.

    3.2.4.3. Fasies Gunung Api.

    Satuan Tuf Jabolarangan terbentuk pada Fasies Gunung Api medial. Berdasarkan

    karakteristik litologi pada pengamatan lapangan Puhpelem dengan kehadiran breksi

    batuapung dan batupasir tufan. dapat dimasukkan kedalam endapan tuf. Berdasarkan

    modifikasi Fasies Gunung Api menurut Sutikno Bronto (2006) mengacu kepada

    model Pembagian Fasies Gunung Api menurut Bogie & Mackinzie (1998) pada

    pengamatan lapangan Pohijo dapat dimasukkan dalam Fasies Medial.

    3.2.4.4. Penyebaran

    Penyebaran dari Satuan Tuf Jabolarangan ini berada pada bagian barat laut daerah

    telitian. Topografi yang berada di daerah Puhpelem, daerah ini landai dengan

    kelerengan kurang lebih 5%, dengan intensitas pelapukan kuat. Luas dari penyebaran

    satuan tuf Jabolarangan kurang lebih 16% dari keseluruhan peta.

  • Gambar.3.12. Foto Singkapan breksi batuapung pada Satuan Tuf Jabolarangan Daerah: Bakalan, Arah kamera: Timur (N 270E), Cuaca: Cerah

    Gambar.3.12. Foto Singkapan breksi batuapung pada Satuan Tuf Jabolarangan Daerah: Bakalan, Arah kamera: Timur (N 270E), Cuaca: Cerah

    3.2.5. Satuan Lahar Formasi Lawu

    3.2.5.1. Litologi penyusun dan ciri-ciri

    Pada Satuan Lahar Lawu tersusun atas komponen andesit dan sedikit batuapung

    beragam ukuran yang bercampur dengan pasir gunungapi. Dengan ciri di lapangan

    umumnya batuan piroklastik, warna.fresh : putih, warna.lapuk : kuning (Gambar.3.13)

    3.2.5.2. Umur dan hubungan stratigrafi

    Berdasarkan geologi regional lembar Ponorogo, penentuan umur berdasarkan

    kesebandingan. ini diperkirakan berumur Holosen (Sampurno dan H.Samodra 1997).

    Secara stratigrafi gunungapi Satuan Lahar Lawu menumpang secara selaras diatas

    Satuan Tuf Jabolarangan.

    3.2.5.3. Fasies Gunung Api.

    Satuan Lahar Lawu terbentuk pada lingkungan pengendapan vulkanik medial.

    Berdasarkan karakteristik litologi pada pengamatan lapangan Pohijo dengan

    kehadiran Breksi laharik dan Batupasir tufan. dapat dimasukkan kedalam endapan

    lahar. Berdasarkan modifikasi Fasies Gunung Api menurut Sutikno Bronto (2006)

    mengacu kepada model Pembagian Fasies Gunung Api menurut Bogie & Mackinzie

    (1998) pada pengamatan lapangan Pohijo dapat dimasukkan dalam Fasies Medial.

    3.2.5.3. Penyebaran

  • Penyebaran dari Lahar Lawu ini berada pada bagian utara daerah telitian berarah

    barat laut- tenggara. Topografi yang berada di daerah Sayutan dan daerah Pohijo,

    daerah ini landai dengan kelerengan kurang lebih 5%, dengan intensitas pelapukan

    sedang. Luas dari penyebaran satuan lahar lawu kurang lebih 36% dari keseluruhan

    peta.

    Gambar.3.12. Foto Singkapan breksi lahar lawu kontak dengan batupasir tufan pada Satuan Lahar Lawu (LP 24), Daerah: Pohijo, Kedudukan: N 300E/7, Arah kamera: Timur laut (N 050E).

    3.3 Struktur Geologi Daerah Telitian.

    Analisis struktur geologi yang terdapat didaerah penelitian didasarkan pada data

    data pengukuran bidang kekar, jurus dan kemiringan perlapisan batuan serta

    kenampakan offset dari perlapisan batuan yang telah bergeser dilapangan, dimana

    dari hasil pengeplotan kedudukan tersebut menunjukkan arah umum tegasan daerah

    telitian dan pola struktur lipatan. Sedangkan dari hasil pengamatan offset dari lapisan

    batuan yang dijumpai dilapangan menunjukkan struktur sesar dengan sudut

    kemiringan bidang yang besar.

    Macam struktur geologi yang terdapat pada daerah penelitian adalah struktur sesar,

    berupa : sesar normal (turun).

    3.3.1. Struktur Sesar

    Sesar adalah merupakan suatu bidang rekahan atau rekahan yang telah mengalami

    pergeseran akibat adanya gaya yang bekerja (D.M.Ragan,1973).

    Insert foto

  • Penulis menentukan jenis sesar yang ada pada daerah telitian berdasarkan

    kenampakan dari pergerakan relatif lapisan batuan yang telah bergeser dan hasil

    pengukuran kedudukan bidang sesar yang ditemui.

    Pada daerah penelitian, ada tiga buah struktur sesar yang penulis temukan, yaitu

    sesar normal.

    3.3.1.1. Sesar Normal Gondang

    Pada daerah penelitian, sesar normal ini terdapat di sekitar desa gondang pada lokasi

    pengamatan 91, Sesar tersebut terdapat pada satuan breksi yang berarah kurang lebih

    timur - barat.

    Indikasi keberadaan sesar

    Indikasi keberadaan struktur sesar ini di lapangan adalah ditemukannya adanya offset

    sesar berupa bidang sesar yang ditunjukan adanya pergeseran dari lapisan batuan

    pada batupasirtufan. (Gambar.3.14).

    3.3.1.2. Sesar Normal Watukurut

    Pada daerah penelitian, sesar normal ini terdapat di sekitar desa gondang pada lokasi

    pengamatan 48, Sesar tersebut terdapat pada satuan breksi yang berarah kurang lebih

    timur -barat.

    Indikasi keberadaan sesar

    Indikasi keberadaan struktur sesar ini di lapangan adalah ditemukannya adanya offset

    sesar berupa bidang sesar yang ditunjukan adanya pergeseran dari lapisan batuan

    pada batupasirtufan. (Gambar.3.15).

    Gambar 3.14.Foto offset bidang sesar normal Gondang dengan kedudukan

    bid.sesar N 084E/64. Arah kamera: Barat ( N 270E), Cuaca: Cerah

  • Gambar 3.15. Foto offset bidang sesar normal Watukurut dengan kedudukan bid.sesar N 086E/80

    Arah kamera: Barat ( N 285E), Cuaca: Cerah

    3.4. Sejarah Geologi

    Sejarah geologi daerah telitian dimulai pada periode Tektonik kala Oligosen

    Miosen awal. Periode tektonik ini yang membentuk aktivitas gunung api pada kala

    Oligosen - Miosen awal. Aktivitas gunung api pada kala ini merupakan sumber dari

    diendapkannya Satuan Breksi Nglanggran. Kemudian pada kala Miosen awal

    aktivitas vulkanik masih terjadi sehingga menghasilkan penerobosan magma berupa

    andesit yang muncul dari zona-zona lemah yang mengakibatkan sebagian batuan

    yang yang di intrusi oleh andesit sehingga mengalami alterasi. Satuan Breksi

    Nglanggran diterobos oleh Satuan Intrusi Andesit, selanjutnya diendapkan secara

    tidak selaras Satuan Batugamping Sampung pada kala Miosen awal Miosen tengah.

    Dengan diendapkannya Satuan Batugamping Sampung berarti berakhir pula aktivitas

    gunung api pada kala Oligosen Miosen awal. Pada kala Miosen tengah Miosen

    akhir terjadi aktivitas genang laut sehingga dapat membentuk koloni organisme

    terumbu yang tumbuh pada lereng-lereng gunung api Formasi Nglanggran yang

    sudah tidak aktif. Organisme terumbu ini nantinya akan membentuk Satuan

    Batugamping Sampung. Dari analisa paleontologi foraminifera palnkton Satuan

    Batugamping Sampung berumur N 10 - N 15 (Miosen Tengah-Miosen Akhir).

    Selanjutnya diatas Satuan Batugamping Sampung diendapkan secara tidak selaras

    Satuan Tuf Jabolarangan. Satuan Tuf Jabolarangan diendapkan pada kala Plistosen

    tengah - Plistosen akhir. Hadirnya satuan batuan ini menandakan adanya fase

    tektonik yang baru, yaitu pada periode kala Plistosen Holosen yang membentuk

    aktivitas gunung api pada kala Plistosen Holosen. Selanjutnya diatas Satuan Tuf

    Jabolarangan diendapkan secara selaras Satuan Lahar Lawu.

  • BAB 4

    STUDI FASIES GUNUNG API

    4.1. Dasar Teori

    Fasies adalah aspek fisika, kimia, dan biologi suatu endapan dalam kesamaan waktu

    (Sandi Stratigrafi Indonesia, Martodjojo dan Djuhaeni, 1996). Berhubung di dalam

    batuan gunung api tidak selalu dijumpai fosil, maka aspek biologi tidak dijadikan

    parameter utama (Sutikno Bronto, 2006).

    Gunung Api yaitu tempat di permukaan bumi di mana magma dari dalam bumi

    keluar atau sudah keluar pada masa lampau, biasanya membentuk sebuah gunung

    berupa kerucut yang mempunyai kawah di bagian puncaknya (Schieferdecker, 1959).

    Macdonald (1972) menyatakan bahwa gunung api adalah tempat atau bukaan dari

    mana batuan kental pijar atau gas, umumnya keduanya, keluar dari dalam bumi ke

    permukaan, dan tumpukan bahan batuan di sekeliling lubang kemudian membentuk

    bukit atau gunung. Dari dua batasan tersebut dinyatakan bahwa setiap temapat

    keluarnya magma ke permukaan bumi adalah gunung api.

    Dikarenakan Fasies Gunung Api erat hubungannya dengan batuan piroklastik, maka

    harus tahu terlebih dahulu pengertian dari batuan piroklastik. Batuan Piroklastik

    adalah batuan volkanik klastik yang dihasilkan oleh serangkaian proses yang

    berkaitan langsung dengan letusan gunung api (Cas & Wright, 1987).

    4.1.1. Tipe Gunung Api di daerah telitian

    Berdasarkan penelitian dari Sutikno Bronto (2006) bahwa di Pegunungan Selatan

    dan Perbukitan Jiwo, Yogyakarta-Jawa Tengah diketahui ada tiga kelompok Gunung

    api purba Tersier, yaitu Gunung api purba Parangtritis-Imogiri-Sudimoro, Gunung

    api purba Baturagung-Bayat, Gunung api purba Wonogiri-Wediombo. Volkanisme

    diawali dengan kemunculan Gunung api monogenesis yang sebagian berkembang

    menjadi Gunung api komposit pada tahap membangun, dan diakhiri dengan tahap

    destruksi membentuk Gunung Api kaldera. Volkanisme diduga menerus atau

    tumpang tindih dari Eosen Tengah - Miosen Awal (40-19jt). Gunung Api

  • monogenesis terbentuk di dasar laut (dalam), yang pada tahap kontruksi tumbuh

    menjadi kerucut Gunung api yang besar dan tinggi sehingga muncul di atas muka air

    laut sebagai pulau Gunung api. Pada tahap destruksi, cekungan kaldera kembali

    menjadi lingkungan laut (dalam).

    Berdasarkan analisa dari penampang stratigrafi terukur 1 Gondang, di daerah telitian

    ditemukan 1. Litofasies batupasir vokanik kerikilan, 2. Litofasies Lava, 3. Litofasies

    tuf, dan 4. Litofasies breksi volkanik yang peneliti interpretasikan merupakan

    endapan darat produk dari endapan piroklastik. Sehingga mengacu kepada pendapat

    peneliti terdahulu Sutikno Bronto, 2008 daerah telitian berkembang Gunung Api

    komposit, yang merupakan Gunung api pada tahap kontruksi, tumbuh menjadi

    kerucut Gunung api yang besar dan tinggi sehingga muncul di atas muka air laut

    sebagai pulau Gunung api. Berdasarkan tipe Gunung Api purba yang berkembang di

    daerah penelitian, peneliti interpretasikan adalah tipe Gunung api Strato.

    4.1.2. Jenis endapan piroklastik berdasarkan mekanisme pengendapannya

    dapat dibagi menjadi 3 (Gambar 4.1), yaitu:

    1. Endapan piroklastik jatuhan merupakan hasil endapan ekplosif dari gunung api

    yang diendapkan melalui udara.

    Ciri-ciri: Memperlihatkan struktur butiran bersusun dan endapan berlapis naik.

    2. Endapan piroklastik aliran merupakan endapan piroklastik yang mana material

    langsung teronggokan di suatu tempat.

    Ciri-ciri: Sebarannya sangat dipengaruhi oleh morfologi, Batas bawah dibatasi

    oleh area dan pada bagian atasnya relative datar dan umumnya mempunyai

    struktur masif.

    3. Endapan piroklatik surge merupakan endapan piroklastik yang berasal dari suatu

    awan panas dengan kepadatan rendah, campuran dari unsure-unsur padat, uap air,

    gas yang bergolak di atas permukaan dengan kecepatan tinggi.

    Ciri-ciri: Perlapisan yang baik, adanya penjajaran butiran pipih dan adanya

    perlapisan bergelombang.

  • 1. Piroklastik Jatuhan