skripsi - digilib.uns.ac.id... · undang no 62 tahun 1958 terhadap kewarganegaraan et nis tionghoa...

113
KEWARGANEGARAAN ETNIS CINA DI INDONESIA TAHUN 1958-1969 (Studi kewarganegaraan di Indonesia pasca keluarnya UU No.62 Tahun 1958) SKRIPSI OLEH: NANANG DANANTO NIM: K 4405028 FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010

Upload: buikhanh

Post on 31-Mar-2019

229 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: SKRIPSI - digilib.uns.ac.id... · undang No 62 tahun 1958 terhadap kewarganegaraan et nis Tionghoa di Indonesia diantaranya pada tahun 1960-an terdapat banyak kece nderungan dari

KEWARGANEGARAAN ETNIS CINA DI INDONESIA

TAHUN 1958-1969

(Studi kewarganegaraan di Indonesia pasca keluarnya UU No.62 Tahun 1958)

SKRIPSI

OLEH:

NANANG DANANTO NIM: K 4405028

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2010

Page 2: SKRIPSI - digilib.uns.ac.id... · undang No 62 tahun 1958 terhadap kewarganegaraan et nis Tionghoa di Indonesia diantaranya pada tahun 1960-an terdapat banyak kece nderungan dari

ii

KEWARGANEGARAAN ETNIS CINA DI INDONESIA

TAHUN 1958-1969

(Studi kewarganegaraan di Indonesia pasca keluarnya UU No.62 Tahun 1958)

OLEH :

NANANG DANANTO NIM: K 4405028

Skripsi

Ditulis dan diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan

mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan Program Pendidikan Sejarah

Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2010

Page 3: SKRIPSI - digilib.uns.ac.id... · undang No 62 tahun 1958 terhadap kewarganegaraan et nis Tionghoa di Indonesia diantaranya pada tahun 1960-an terdapat banyak kece nderungan dari

iii

HALAMAN PERSETUJUAN

Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan Tim Penguji

Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret

Surakarta.

Persetujuan Pembimbing

Pembimbing I Pembimbing II

Dra. Hj. Sri Wahyuning, M.Pd. NIP. 19531024 198103 2 001

Drs. Leo Agung S, M. Pd NIP. 19560515 198203 1 005

Page 4: SKRIPSI - digilib.uns.ac.id... · undang No 62 tahun 1958 terhadap kewarganegaraan et nis Tionghoa di Indonesia diantaranya pada tahun 1960-an terdapat banyak kece nderungan dari

iv

Page 5: SKRIPSI - digilib.uns.ac.id... · undang No 62 tahun 1958 terhadap kewarganegaraan et nis Tionghoa di Indonesia diantaranya pada tahun 1960-an terdapat banyak kece nderungan dari

v

ABSTRAK Nanang Dananto. K4405028. KEWARGANEGARAAN ETNIS CINA DI INDONESIA TAHUN 1958-1969 (Studi Kewarganegaraan di Indonesia Pasca Keluarnya UU No 62 Tahun 1958). Skripsi, Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret, Juni 2010. Tujuan Penelitian ini adalah untuk mendiskripsikan: (1) Status kewarganegaraan Etnis Tionghoa di Indonesia sebelum keluarnya Undang-Undang No 62 Tahun 1958, (2) Status kewarganegaraan Etnis Tionghoa di Indonesia setelah keluarnya Undang-Undang No 62 Tahun 1958, (3) Dampak dikeluarkanya Undang-Undang No 62 Tahun 1958 terhadap kewarganegaraan Etnis Tionghoa di Indonesia, (4) Kebijakan-kebijakan yang dilakukan pemerintah Indonesia dalam menanggulangi dampak dari akibat dikeluarkannya Undang-Undang No 62 Tahun 1958.

Penelitian ini menggunakan metode historis. Sumber data yang digunakan adalah sumber surat kabar, buku literatur, sumber lain berupa arsip. Teknik pengumpulan data menggunakan studi kepustakaan. Teknik analisis data menggunakan teknik analisis historis, yaitu analisa yang mengutamakan ketajaman dalam mengolah suatu data sejarah. Prosedur penelitian dengan melalui empat tahap kegiatan yaitu: heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan: (1) Kewarganegaraan etnis Tionghoa di Indonesia sebelum keluarnya Undang-Undang No.62 Tahun 1958 yaitu pada zaman VOC, tidak dikenal prinsip kewarganegaraan. Perbedaan kewarganegaraan bukanlah ditentukan antara warga negara dan orang-orang asing. Orang lebih banyak memperhatikan sifat-sifat lahir atau kriteria lain seperti kepercayaan (keagamaan) yang mudah tampak terlihat. (2) Kewarganegaraan Etnis Tionghoa di Indonesia setelah keluarnya Undang-Undang No.62 Tahun 1958 mengalami berbagai perubahan. Setelah Indonesia merdeka tidak member-lakukan lagi kebijaksanaan kewarganegaraan yang lebih liberal dan mulai menerapkan asas ius soli dua generasi (pengganti ius soli sederhana) bagi orang Tionghoa lokal. "Sistem pasif" diganti dengan "sistem aktif", yaitu sistem yang mensyaratkan adanya pernyataan penerimaan kewarganegaraan Indonesia memberikan bukti bahwa orang tua mereka dilahirkan di wilayah Indonesia dan telah berdiam di Indonesia sedikit-dikitnya selama 10 tahun; dan menyatakan secara resmi menolak kewarganegaraan Cina. (3) Dampak dikeluarkanya undang-undang No 62 tahun 1958 terhadap kewarganegaraan etnis Tionghoa di Indonesia diantaranya pada tahun 1960-an terdapat banyak kecenderungan dari beberapa orang pemuda Tionghoa Totok untuk memilih kewarganegaraan Indonesia. Tetapi keadaan orang Tionghoa semakin memburuk setelah terjadinya kudeta tahun 1965. (4) Kebijakan-kebijakan yang dilakukan pemerintah Indonesia dalam menanggulangi dampak dari akibat dikeluarkannya Undang-undang No 62 tahun 1958 yaitu dikeluarkanya beberapa Undang-undang dan peraturan-peraturan. Diantaranya PP No. 10/1959, kemudian Pasal X Perjanjian Dwi-kewarganegaraan, peraturan pengubahan nama bagi warga Negara Indonesia keturunan Cina dan mengajak para warga negara Indonesia keturunan Tionghoa untuk berintegrasi dan berasimilasi dengan masyarakat Indonesia asli.

Page 6: SKRIPSI - digilib.uns.ac.id... · undang No 62 tahun 1958 terhadap kewarganegaraan et nis Tionghoa di Indonesia diantaranya pada tahun 1960-an terdapat banyak kece nderungan dari

vi

ABSTRACT

Nanang Dananto, K4405028. ETHNICAL CIVIC OF CHINESE IN INDONESIA DURING 1958-1964 (Civic Study in Indonesia Following the Issuance of Government Act No. 62 of 1958). Thesis. Surakarta: Teacher Training and Education Faculty, Sebelas Maret University, June 2010.

The aim of this research is to describe: (1) Ethnical status civic of Tionghoa in Indonesia before the existence of act No. 62 of 1958, (2) Ethnical status civic of Tionghoa in Indonesia after the issuance of act No. 62 of 1958, (3) The impact of act No. 62 of 1958 toward the ethnical civic of Tionghoa in Indonesia, (4) The policies government of Indonesia in overcoming the effects of releasing the act. No 62 of 1958.

This research employed historical method. The data sources of this research include newspaper, literature book, and other sources in the form of archives. The technique of collecting data employed literary study. The technique of analyzing data use historical analysis technique, that is, that one prioritizing the sharpness in processing a historical datum. This research procedure includes four stages of activity: heuristic, criticism, interpretation and historiography.

Based on the result of research, it can be concluded that: (1)The ethnical civic of Tionghoa in Indonesia before before the existence of act No. 62 of 1958, which is at the time of VOC epoch, there is no civic principle. People regard the difference is not conducted between citizen and foreign people. More people pay attention toward the nature of delivering birth or other criterion, like trust or religion, which can easy to be seen. (2) The ethnical civic of Tionghoa in Indonesia after the issuance of act No 62 of 1958 experiencing of various change. After the independence of Indonesia, there is no liberal civic wisdom, and start to apply ground of ius soli tow generation (substitution of simple ius soli) for the people of local Tionghoa. "Passive system" is changed with "active system" that is system requiring the existence of statement of acceptance of Indonesia least wise during 10 year, and express officially refuses Chinese civic. (3) The impact of act of No.62 of 1958 to ethnical civic of Tionghoa in Indonesia among others in the year 1960-an there are a lot of tendency from some young man of Tionghoa, his name is Totok, to oriented to Indonesia. The condition of Tionghoa people is progressively deteriorate after the happening of year coup d'etat in 1965. (4) The policies government of Indonesia in overcoming the effect of releasing of act No.62 of 1958, that there were issuanced some acts and regulations. For example, Government Regulation (PP) No.10/1959, section of X Agreement of Dwi-Kewarganegaraan distorting of name to Indonesia citizen clan of Chinese and invite all Indonesia citizen clan of Tionghoa to integrate and assimilate with original Indonesia society.

Page 7: SKRIPSI - digilib.uns.ac.id... · undang No 62 tahun 1958 terhadap kewarganegaraan et nis Tionghoa di Indonesia diantaranya pada tahun 1960-an terdapat banyak kece nderungan dari

vii

MOTTO

“Kebersamaan dalam suatu masyarakat menghasilkan

ketenangan dalam kegiatan masyarakat itu sedangkan saling bermusuhan

menyebabkan seluruh kegiatan itu berhenti”.

(By: Budiuzzaman Said Nursi)

“Dalam kata-kata dan perbuatan di masa lalu terletak harta terpendam yang bisa

digunakan manusia untuk memperkuat dan meningkatkan watak mereka

sendiri.Cara untuk mempelajari masa lalu bukanlah dengan mengekang diri

sendiri dalam pengetahuan sejarah semata-mata, tetapi melalui penerapan

pengetahuan dengan memberikan aktualita pada masa lalu”

( I Ching)

Page 8: SKRIPSI - digilib.uns.ac.id... · undang No 62 tahun 1958 terhadap kewarganegaraan et nis Tionghoa di Indonesia diantaranya pada tahun 1960-an terdapat banyak kece nderungan dari

viii

PERSEMBAHAN

Karya ini dipersembahkan kepada:

1. Ayahanda dan ibunda tercinta

2. Kakak tersayang Anis Nur

3. Adik-adik tersayang Rima dan

Beti

4. Sahabat-sahabat tersayang

5. Almamater

Page 9: SKRIPSI - digilib.uns.ac.id... · undang No 62 tahun 1958 terhadap kewarganegaraan et nis Tionghoa di Indonesia diantaranya pada tahun 1960-an terdapat banyak kece nderungan dari

ix

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan

hidayah-Nya sehingga penulisan skripsi ini akhirnya dapat diselesaikan, untuk

memenuhi sebagian persyaratan mendapatkan gelar sarjana pendidikan

Hambatan dan rintangan yang penulis hadapi dalam penyelesaian

penulisan skripsi ini telah hilang berkat dorongan dan bantuan dari berbagai pihak

akhirnya kesulitan-kesulitan yang timbul dapat teratasi. Oleh karena itu penulis

mengucapkan terimakasih kepada :

1. Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret

Surakarta yang telah memberikan ijin untuk menyusun skripsi.

2. Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial yang telah menyetujui

atas permohonan skripsi ini.

3. Ketua Program Pendidikan Sejarah yang telah memberikan pengarahan dan

ijin atas penyusunan skripsi ini.

4. Dra. Hj. Sriwahyuning, M.Pd selaku dosen pembimbing I yang telah

memberikan pengarahan dan bimbingan dalam menyelesaikan skripsi ini.

5. Drs. Leo Agung S, M.Pd selaku dosen Pembimbing II yang telah memberikan

pengarahan dan bimbingan dalam menyelesaikan skripsi ini.

6. Bapak dan Ibu Dosen Program Pendidikan Sejarah Jurusan Ilmu Pengetahuan

Sosial yang secara tulus memberikan ilmu kepada penulis selama ini, mohon

maaf atas segala tindakan dan perkataan yang tidak berkenan di hati.

7. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Semoga Allah SWT membalas amal baik kepada semua pihak yang telah

membantu di dalam menyelesaikan skripsi ini dengan mendapatkan pahala yang

setimpal.

Penulis senantiasa mengharapkan kritik dan saran untuk penyempurnaan

skripsi ini. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca

dan perkembangan Ilmu Pengetahuan pada umumnya.

Surakarta, Juni 2010

Penulis

Page 10: SKRIPSI - digilib.uns.ac.id... · undang No 62 tahun 1958 terhadap kewarganegaraan et nis Tionghoa di Indonesia diantaranya pada tahun 1960-an terdapat banyak kece nderungan dari

x

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .................................................................... .............. i

HALAMAN PENGAJUAN........................................................................ ii

HALAMAN PERSETUJUAN .................................................................. iii

HALAMAN PENGESAHAN..................................................................... iv

ABSTRAK .. …........................................................................................... v

HALAMAN MOTTO ................................................................................ vii

HALAMAN PERSEMBAHAN ................................................................ viii

KATA PENGANTAR ................................................................................ ix

DAFTAR ISI ............................................................................................... x

DAFTAR LAMPIRAN ………………………………………………….. xiii

BAB I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ...................................................... 1

B. Perumusan Masalah ............................................................ 7

C. Tujuan Penelitian ................................................................ 7

D. Manfaat Penelitian .............................................................. 8

BAB II. LANDASAN TEORI

A. Kajian Teori ........................................................................ 9

1. Kebijakan Kewarganegaraan ......................................... 9

2. Hukum Kewarganegaraan ............................................. 13

3. Nasionalisme................................................................... 16

4. Etnis Tionghoa…...……………………………………. 17

B. Kerangka Berfikir ................................................................ 20

BAB III. METODE PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian .............................................. 23

B. Metode Penelitian ................................................................ 23

C. Sumber Data ......................................................................... 25

D. Teknik Pengumpulan Data ................................................... 27

E. Teknik Analisi Data ............................................................. 28

F. Prosedur Penelitian .............................................................. 30

Page 11: SKRIPSI - digilib.uns.ac.id... · undang No 62 tahun 1958 terhadap kewarganegaraan et nis Tionghoa di Indonesia diantaranya pada tahun 1960-an terdapat banyak kece nderungan dari

xi

BAB IV. HASIL PENELITIAN

A. Kewarganegaraan tnis Tionghoa di Indonesia sebelum

Keluarnya Undang-Undang No 62 tahun 1958..................... 34

1. Kewarganegaraan Etnis Tionghoa pada masa

Penjajahan Belanda......................................................... 34

2. Kewarganegaraan Etnis Tionghoa pada masa

Pendudukan Jepang......................................................... 44

3. Kewarganegaraan Etnis Tionghoa pada awal

Kemerdekaan .................................................................. 46

B. Kewarganegaraan tnis Tionghoa di Indonesia setelah

Keluarnya Undang-undang No 62 tahun 1958........................ 54

1. Latar Belakang keluarnya Undang-Undang No. 62

Tahun 1958...................................................................... 54

2. Rancangan Undang-Undang Kewarganegaraan 1954 dan

Undang-Undang Kewarganegaraan No. 62 Tahun

1958................................................................................. 46

C. Dampak dikeluarkanya Undang-Undang No 62 tahun 1958

terhadap Kewarganegaraan Etnis Tionghoa Di Indonesia... 61

1. Kecenderungan warga Tionghoa memilih

kewarganegaraan Indonesia...... ...................................... 61

2. Bertambahnya golongan Tionghoa Asing

Di Indonesia ........................ ........................................... 62

3. Berubahnya keadaan Golongan Tionghoa setelah

Kudeta ........................ .................................................... 64

D. Kebijakan-kebijakan yang dilakukan pemerintah Indonesia

dalam menanggulangi dampak dari akibat dikeluarkanya

Undang-Undang No 62 Tahun 1958...................................... 67

1. Peraturan Presiden No 10/ 1959...... ............................... 67

2. Pasal X Perjanjian Dwi-Kewarganegaraan ..................... 69

3. Peraturan Perubahan Nama bagi Golongan Tionghoa.... 64

Page 12: SKRIPSI - digilib.uns.ac.id... · undang No 62 tahun 1958 terhadap kewarganegaraan et nis Tionghoa di Indonesia diantaranya pada tahun 1960-an terdapat banyak kece nderungan dari

xii

BAB V. PENUTUP

A. Kesimpulan ........................................................................... 72

B. Implikasi ............................................................................... 75

1. Teoritis .............................................................................. 75

2. Praktis .............................................................................. 76

C. Saran ..................................................................................... 77

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 78

LAMPIRAN....... ......................................................................................... 81

Page 13: SKRIPSI - digilib.uns.ac.id... · undang No 62 tahun 1958 terhadap kewarganegaraan et nis Tionghoa di Indonesia diantaranya pada tahun 1960-an terdapat banyak kece nderungan dari

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Undang-undang RI No 62 tahun 1958 ..................................... 81

Lampiran 2. Majalah Sin Po, 1 November 1930 .......................................... 94

Lampiran 3. Koran Obor Rakyat, 28 Juli 1958............................................. 95

Lampiran 4. Koran Gelora Maesa, 24 September 1957............................... 96

Lampiran 5. Koran Gelora Maesa, 16 April 1958 ........................................ 97

Lampiran 6. Jurnal : “Changing Identities of the Southeast Asian Chinese

since Word War II” .................................................................................. 98

Lampiran 13. Surat permohonan ijin menyusun skripsi............................... 99

Lampiran 14. Surat keputusan Dekan FKIP tentang ijin

penyusunan skripsi....................................................................................... 100

Page 14: SKRIPSI - digilib.uns.ac.id... · undang No 62 tahun 1958 terhadap kewarganegaraan et nis Tionghoa di Indonesia diantaranya pada tahun 1960-an terdapat banyak kece nderungan dari

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pada awalnya arus migrasi yang dilakukan sebagian bangsa Cina ke

wilayah-wilayah Asia Tenggara, termasuk Indonesia tidaklah lepas dari kondisi

sosio-kultural negeri Cina sendiri, kondisi dan situasilah yang menuntut sebagian

bangsa Cina untuk melakukan perpindahan ke wilayah yang mampu menjadikan

hidup mereka lebih baik. Menurut Leo Suryadinata (1999: 13), kondisi dan

situasi di Cina setelah kegagalan revolusi industri melalui program lompatan jauh

ke depan (1958-1962) yang diprakarsai Mao Tse-Tung menyebabkan kelaparan

dan pergolakan di Cina. Faktor tersebut lebih diperkuat dengan adanya eksploitasi

Barat di Asia Tenggara yang mendorong perpindahan secara besar-besaran bangsa

Cina ke wilayah Asia Tenggara, khususnya ke Indonesia.

Keberadaan orang Cina di Indonesia sebenarnya telah lama ada.

Kedatangan orang Cina ke Indonesia dimulai sejak tahun 413 Masehi, dengan

datangnya pendeta Budha yang bernama Fa Hsien ke Jawa. Secara historis Fa-

Hsien adalah bangsa Cina yang pertama kali menginjakkan kaki ke pulau Jawa

(Beny Juwono, 1999: 59). Baru pada akhir pemerintahan Dinasti Tang (618-907)

orang-orang Cina mulai datang ke Indonesia secara berkelompok. Kedatangan

para pedagang Tionghoa ini dengan menggunakan perahu “jung” dari bagian

tenggara daratan Tiongkok ke Indonesia. Imigran Tionghoa yang datang

Indonesia hampir seluruhnya dari dua propinsi yaitu Fukien dan Kwangtung.

Kedua propinsi ini mempunyai kekhususan regional yang sangat besar yang

berakibat pendatang dari propinsi tersebut membawa ciri kultural yang khas dari

kampung halamannya.

Etnis Tionghoa memiliki sejarah panjang dalam mengintegrasikan diri ke

dalam populasi Asia Tenggara. Sebelum abad ke-19 ketika jumlah orang

Tionghoa masih sedikit, lebih mudah bagi populasi orang Asia Tenggara untuk

menyerap orang Tionghoa. Sejak abad ke-19 setelah gelombang besar populasi

Tionghoa masuk ke Asia Tenggara, asimilasi lebih sulit. Pendatang yang lebih

belakangan membentuk komunitas baru yang sering terpisah dari masyarakat

Page 15: SKRIPSI - digilib.uns.ac.id... · undang No 62 tahun 1958 terhadap kewarganegaraan et nis Tionghoa di Indonesia diantaranya pada tahun 1960-an terdapat banyak kece nderungan dari

2

Tionghoa yang telah mapan dan terbentuk lebih dulu. Jumlah pendatang baru (xin

ke) lebih besar dan lebih dinamis daripada pendatang terdahulu dan pendatang

baru (xin ke) kurang berintegrasi dengan masyarakat setempat. Pendatang baru

masih berbicara dalam bahasa Cina (dialek atau mandarin) dan masih

menganggap sebagai warga Cina serta masih berhubungan dengan Cina dan

berorientasi kepada Cina baik secara kultural maupun politis (Leo Suryadinata,

1999: 13). Hal tersebut dikarenakan pada masa awal kolonial Belanda orang-

orang Tionghoa dihitung menjadi kaulanegara Belanda, bagi yang tidak suka hal

ini dipandang terlalu memaksa sehingga orang-orang Tionghoa di kepulauan

ini tidak dapat menganggap dirinya tidak lain sebagai orang-orang asing.

Harapan mereka tidak diletakkan atas negeri di mana mereka dilahirkan.

Keadaan yang demikian memaksa untuk menengok kepada negeri leluhur.

Perlindungan diharapkan hanya dari negeri yang telah lama mereka

tinggalkan (Sudargo Gautama, 1987:48-50).

Menurut Wang Gungwu dalam Leo Suryadinata (1999: 14) terdapat 4

tahap proses migrasi warga Cina ke Asia Tenggara yaitu: (1), dimulai pada abad

ke-19 dengan negara-negara kolonial transisional atau semikolonial setelah

revolusi industri di Eropa. (2), pada negara-negara bangsa yang baru lahir pada

abad ke-20. (3), timbulnya prospek remigrasi kenegara-negara migran Amerika

dan Australia. (4), perpanjangan waktu bermukim sebagai bagian dari globalisasi

migrasi.

Pada masa pemerintahan kolonial Belanda di Indonesia, bangsa Tionghoa

adalah mitra dagang bangsa Belanda sejak berdirinya Perusahaan Dagang Hindia

Timur Belanda (VOC) dan keduanya tidak pernah kehilangan posisi perantara

tersebut. Walaupun begitu, bukan berarti bahwa hubungan keduanya selalu mulus.

Sejatinya, pembunuhan massal pertama terhadap warga Tionghoa terjadi di

Batavia (sebutan untuk Jakarta pada masa kolonial) pada tahun 1740, yang

dilakukan oleh beberapa orang Belanda yang tinggal dikota. Setelah peristiwa ini,

Belanda memberlakukan kebijakan pemisahan ras yang resmi. Warga Tionghoa

harus tinggal di pemukiman yang diperuntukkan bagi ras mereka, yang dapat

ditemukan di semua kota, dan mereka diwajibkan mempunyai surat izin untuk

Page 16: SKRIPSI - digilib.uns.ac.id... · undang No 62 tahun 1958 terhadap kewarganegaraan et nis Tionghoa di Indonesia diantaranya pada tahun 1960-an terdapat banyak kece nderungan dari

3

melakukan perjalanan ke pemukiman etnis Tionghoa di kota yang berbeda. Sistem

ghetto yang membatasi mobilitas fisik keturunan Tionghoa ini baru dicabut pada

tahun 1905. VOC membagi penduduk di kepulauan Indonesia menjadi tiga

golongan untuk tujuan administrasi, yaitu: golongan Eropa, golongan Timur

Asing, dan golongan Bumiputera. Sistem tersebut merupakan embrio dari apa

yang dikenal sebagai sistem Apartheid di Afrika Selatan, dan sekarang ini

dianggap kelas terendah di dunia kita sekarang. Dengan demikian, suatu

kekeliruan jika ada pendapat yang mengatakan bahwa sikap pilih kasih Belanda

membantu warga Tionghoa terangkat ke posisi ekonomi yang kuat seperti

sekarang (Justian Suhandinata, 2009:10-11).

Pada abad ke-19 terjadi arus masuk dari sejumlah besar buruh imigran

Cina ke Hindia Timur Belanda untuk bekerja di pertambangan dan perkebunan-

perkebunan. Kelompok imigran Cina terbesar dimulai antara tahun 1860 sampai

kira-kira tahun 1890, mereka terdiri dari beberapa suku bangsa yang sangat

berlainan. Kelompok imigran Cina tersebut mempunyai kebudayaan dan adat

istiadat bahkan bahasanya pun sulit dimengerti oleh masing-masing suku, yaitu

dari suku Hokkian, suku Teo-Chiu, suku Hakka (Kheh), suku Santung atau orang

Kanton (Mulyadi, 1999: 19).

Orang-orang Hokkian adalah orang Tionghoa yang pertama kali bermukim

di Indonesia dalam jumlah yang besar, dan mereka merupakan golongan terbesar

di antara para imigran sampai dengan abad ke-19. Mereka berasal dari Fukien

Selatan, yakni adalah sebuah daerah yang sifat perdagangannya sangat kuat.

Selain Hokkian adalah sub etnis Teociu yang kebanyakan mendiami daerah luar

Jawa. Orang-orang Teociu ini kemudian berkumpul di sepanjang pantai timur

Sumatra, Kepaulauan Riau dan Kalimantan Barat terutama Pontianak. Keahlian

sub etnis Teociu adalah bertani dan sebagai buruh perkebunan. Sub etnis Hakka,

berasal dari pedalaman Kwangtung. Kebanyakan mereka bermigrasi karena

desakan ekonomi. Golongan Hakka bermukim diluar Jawa dan mengerjakan

pertambangan timah di Kalimantan Barat. Dalam perkembangannya, sub etnis

Hakka banyak berdagang di Jakarta dan Jawa Barat setelah Priangan dibuka bagi

pedagang-pedagang Tionghoa. Sub etnis Kanton merupakan rombongan awal

Page 17: SKRIPSI - digilib.uns.ac.id... · undang No 62 tahun 1958 terhadap kewarganegaraan et nis Tionghoa di Indonesia diantaranya pada tahun 1960-an terdapat banyak kece nderungan dari

4

yang datang ke Indonesia, sama seperti orang Hakka, orang-orang Kanton juga

terkenal sebagai pekerja tambang. Kedatangan orang Kanton ini juga membawa

keterampilan yang nantinya juga akan sangat mempengaruhi perkembangan

orang-orang Cina di Indonesia. (Melly G. Tan, 1981: 6-7).

Indonesia sebagai salah satu daerah migrasi mereka yang telah dilakukan

jauh sebelum kemerdekaan atau tepatnya pada saat Perang Dunia ke-2. Cina

perantauan dalam hal ini terutama mereka yang berdomisili di Indonesia atau

sekitar wilayah Asia Tenggara, merujuk pada Cina sebagai Tengsua (Tangshan,

Gunung Tang) dan diri mereka sebagai Tenglang (Tangren, laki-laki dinasti

Tang). Dinasti Tang memiliki makna khusus dikalangan Cina Perantauan.

Pemerintahan Cina membagi warga Cina menjadi 2 bagian, yakni; sebutan

Zhongguo Qiomin, warga Cina yang tinggal di luar negeri tetapi masih memiliki

orientasi ke negeri Cina, dan mereka yang tidak lagi berorientasi kepada Cina

disebut Huaqiao. Ini terjadi sekitar abad 19-20 (Leo Suryadinata, 1999: 13).

Sentimen anti-Tionghoa yang kuat muncul diantara para pejabat kolonial

Belanda. Hal itu sangat kentara dibawah Kebijakan politik Ethis tahun 1900 yang

dibuat untuk mendorong kepentingan penduduk prìbumi. Dalam rangka politik

Ethis itu didirikan lumbung desa, bank kredit rakyat dan rumah-rumah gadai

pemerintah serta diadakan pengawasan penjualan candu pada rakyat. Para pejabat

kolonial Belanda merasa bahwa mereka harus melindungi penduduk pribumi

terhadap warga Tionghoa yang licik. Namun, hal ini dan praktik diskriminatif

lainya tidak berarti bahwa warga Tionghoa hidup makmur di bawah sistem

kolonial (Noer Fauzi, 1998: 39)

Pada abad ke-19 ini, warga Tionghoa diberi keistimewaan (hak Konsesi)

untuk menanam dan memperdagangkan candu (opium) dan menjalankan usaha

rumah gadai sebagai imbalan atas pembayaran pajak yang besar yang harus

disetor ke pemerintah. Yang mendapakan hak konsesi ialah orang-orang Belanda

yang berkedudukan di Hindia Belanda. Orang Timur Asing juga dapat menerima

hak konsesi kecuali bila pembesar daerah berkeberatan karena pertimbangan

politik atau sebab-sebab lainnya. Hak konsesi ini diberikan dengan maksud untuk

memberikan kesempatan kepada kaum modal untuk memanankan modalnya di

Page 18: SKRIPSI - digilib.uns.ac.id... · undang No 62 tahun 1958 terhadap kewarganegaraan et nis Tionghoa di Indonesia diantaranya pada tahun 1960-an terdapat banyak kece nderungan dari

5

lapangan pertanian dan mendapatkan tanah seluasnya. Hal ini tidak membuat

mereka disenangi oleh kepala desa. Perkebunan biasanya dikuasai oleh para

kepala desa yang sebagian diwariskan. Pemiliknya biasanya pedagang besar

karena kedekatanya dengan pemerintah berarti mereka beserta agenya dapat

pengecualiandan pembatasan perjalanan yang dikenakan kepada masyarakat

Tionghoa. Sistem ini medorong kapitalisme Tionghoa (Noer Fauzi, 1998: 37).

Dibeberapa koloni seperti di Malaya dan Hindia Belanda konsep

kewarganegaraan telah diberlakukan oleh penguasa kolonial untuk mengacu

kepada warga Cina yang lahir di Negara setempat, Undang- Undang Kebangsaan

Ching tahun 1909 yang menganggap semua orang Tionghoa, di mana pun mereka

dilahirkan tetap warga negara Cina, sehingga orang Tionghoa yang lahir di negara

setempat memiliki dwi-kewarganegaraan. (Leo Suryadinata, 1999: 13).

Tahun 1949 kaum Komunis berhasil merebut kekuasaan di Cina dari

tangan kaum Kuo Min Tang, lalu muncullah Republik Rakyat Cina (RRC).

Rupanya RRC masih mempertahankan Undang-Undang Kewarganegaraan Cina

Nasionalis yang diundangkan pada tahun 1929. Undang-Undang ini menggunakan

asas ius sanguinis yang berarti semua orang Cina dimanapun berada diklaim

sebagai warga Cina. Hal ini mengakibatkan semua orang Cina yang berstatus

sebagai warga Negara Indonesia menjadi berstatus bipatride yang berarti di

sampig sebagai warga negara Indonesia sekaligus mereka merupakan warga

negara RRC.

Saat pengakuan kedaulatan (27 Desember 1949), Pemerintahan Kuo Min

Tang di Taiwan langsung mengakui kemerdekaan Republik Indonesia. Saat itu

mereka mempunyai tujuh konsulat di Indonesia, yang memang sudah ada sejak

masa penjajahan Belanda. Tetapi Indonesia lebih condong untuk mengadakan

hubungan diplomatik dengan pihak RRC. Hal ini ditanggapi secara positif oleh

pihak RRC. RRC berkepentingan memotong pengaruh Taiwan terhadap para Cina

perantauan di Asia Tenggara (Koerniatmanto, 1996:105).

Tanggapan positif RRC ditandai dengan kedatangan Wang Yen-shu sebagai Duta

Besar RRC untuk Indonesia yang pertama pada tanggal 14 Agustus 1950. Sejak

awal kedatangannya, Duta Besar RRC ini secara aktif berkampanye guna menarik

Page 19: SKRIPSI - digilib.uns.ac.id... · undang No 62 tahun 1958 terhadap kewarganegaraan et nis Tionghoa di Indonesia diantaranya pada tahun 1960-an terdapat banyak kece nderungan dari

6

orientasi orang-orang Cina Indonesia ke RRC. Terjadilah semacam perebutan

pengaruh antara pihak Indonesia dan RRC. Hal ini terjadi terutama pada masa

pelaksanaan penentuan kewarganegaraan berdasarkan PPPWN (biasa disebut

masa opsi) sehingga dapat dimengerti jika Indonesia merasa terganggu karenanya,

serta melakukan tindakan-tindakan diplomatik yang cukup keras. Akibatnya Duta

Besar Wang ditarik kembali pada akhir tahun 1951.

Masa opsi selesai pada tanggal 27 Desember 1951 dengan hasil yang

mengecewakan pihak Indonesia, mengingat sekitar 600.000 sampai 700.000 atau

sekitar 40% orang Cina Indonesia secara formal telah menolak kewarganegaraan

Indonesia, akibatnya (ditambah dengan orang Cina kelahiran luar negeri) sekitar

setengah jumlah penduduk Cina di Indonesia adalah warga negara RRC.

Kemudian muncullah kalangan Tionghoa asing di Indonesia atas PPPWN.

Akibat dari memuncaknya ketidakpuasan terhadap akibat PPPWN,

disusunlah Rancangan Undang-Undang tentang Kewarganegaraan Republik

Indonesia. Rancangan tersebut siap pada bulan Februari 1954. namun sebelum

disahkan dan diberlakukan, Indonesia menganggap perlu untuk membicarakan

terlebih dahulu dengan pihak RRC. Pokok masalah yang rasa perlu diselesaikan

itu berkisar pada banyaknya orang Cina yang diklaim baik oleh Indonesia maupun

oleh RRC, sebagai akibat dari opsi 1949-1951.

Usul pembicaraan Indonesia-RRC ini disambut secara positif oleh pihak

RRC, dalam rangka politik luar negeri RRC yang baru, dikenal dengan Peaceful

Coexistence. RRC merasa perlu membina hubungan baik dengan negara-negara di

Asia Tenggara, guna membangun basis kerja sama anti-imperialis yaitu untuk

menangkal pengaruh Tionghoa Pro Taiwan (Koerniatmanto, 1996:106).

Tahun 1950-an diperkenalkan kebijakan yang diskriminatif terhadap

warga Tionghoa, termasuk “Kebijkan Benteng” yang melarang perdagangan dan

pemukiman warga Tiongoa asing di pedesaan. Awal tahun 1960-an, keadaan

ekonomi negeri sangat memburuk dan warga Tionghoa menjadi pion dalam catur

politik perang dingin. Beberapa kerusuhan di kota terjadi pada masa

ketidakpastian tahun 1965 sampai 1966 meskipun kebanyakan kekerasan tersebut

ditujukan kepada tersangka anggota komunis. Perselisihan antar pasukan yang pro

Page 20: SKRIPSI - digilib.uns.ac.id... · undang No 62 tahun 1958 terhadap kewarganegaraan et nis Tionghoa di Indonesia diantaranya pada tahun 1960-an terdapat banyak kece nderungan dari

7

dengan pasukan yang antikomunis. Serangan tersebut menimbulkan pergolakan

sosial dan politik yang serius di Indonesia, yang oleh para ahli dari luar negeri

ditafsirkan sebagai pembantaian terhadap warga Tionghoa. Kesalahpahaman ini

mungkin muncul sebagai akibat pengenaan larangan terhadap banyak aspek

kehidupan dan budaya warga Tionghoa yang dikeluarkan pada waktu yang

bersamaan. Diantara aspek budaya Tionghoa yang dinyatakan illegal adalah

drama (bukan film), perayaan umum, dan memperlihatkan huruf Tionghoa.

Gerakan mendorong warga Tiionghoa untuk menggunakan nama lokal juga

dikalaksanakan bersamaan dengan pengekangan kebudayaan Tionghoa (Justian

Suhandinata, 2009:13-14).

Berdasarkan uraian serta berbagai masalah-masalah yang timbul akibat

keberadaan warga Tionghoa di Indonesia, penulis tertarik untuk mencermati

masalah kelompok minoritas etnis Tionghoa khususnya dalam

kewarganegaraanya dan membatasi penelitian ini dari keluarnya Undang-undang

No. 62 Tahun 1958 hingga keluarnya Undang-Undang No 4 Tahun 1969. Untuk

itu penulis ingin mengangkatnya dalam penulisan skripsi dengan judul

“Kewarganegaraan Etnis Cina Di Indonesia Tahun 1958-1969” (Studi

kewarganegaraan di Indonesia pasca keluarnya Undang-Undang No 62 Tahun

1958).

B. Perumusan Masalah

Rumusan masalah penelitian ini akan mengacu pada:

1. Bagaimana kewarganegaraan Etnis Tionghoa di Indonesia sebelum

keluarnya Undang-Undang No 62 Tahun 1958?

2. Bagaimana kewarganegaraan Etnis Tionghoa di Indonesia setelah

keluarnya Undang-Undang No 62 Tahun 1958?

3. Bagaimana dampak dikeluarkanya Undang-Undang No 62 Tahun 1958

terhadap kewarganegaraan Etnis Tionghoa di Indonesia?

4. Bagaimana kebijakan-kebijakan yang dilakukan pemerintah Indonesia

dalam menanggulangi dampak dari akibat dikeluarkannya Undang-

Undang No 62 Tahun 1958?

Page 21: SKRIPSI - digilib.uns.ac.id... · undang No 62 tahun 1958 terhadap kewarganegaraan et nis Tionghoa di Indonesia diantaranya pada tahun 1960-an terdapat banyak kece nderungan dari

8

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah diatas, maka penelitian ini mempunyai tujuan

untuk mendiskripsikan tentang :

1. Kewarganegaraan Etnis Tionghoa di Indonesia sebelum keluarnya

Undang-Undang No 62 Tahun 1958.

2. Kewarganegaraan Etnis Tionghoa di Indonesia setelah keluarnya Undang-

Undang No 62 Tahun 1958.

3. Dampak dikeluarkanya Undang-Undang No 62 Tahun 1958 terhadap

kewarganegaraan Etnis Tionghoa di Indonesia

4. Kebijakan-kebijakan yang dilakukan pemerintah Indonesia dalam

menanggulangi dampak dari akibat dikeluarkannya Undang-Undang No

62 Tahun 1958.

D. Manfaat Penelitian

Hasil Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan guna:

1.Manfaat teoritis

a. Mengetahui tentang pengaruh keluarnya Undang-Undang No 62 Tahun

1958 terhadap kewarganegaraan etnis Tionghoa di Indonesia

b. Menambah pengetahuan tentang kajian Etnis, khususnya tentang etnis

Tionghoa di Asia Tenggara khususnya di Indonesia.

c. Menambah wawasan pengetahuan ilmiah untuk mengembangkan ilmu-

ilmu sosial khususnya sejarah perekonomian atau sosiologi-antropologi

2. Manfaat Praktis

a. Sebagai referensi bagi peneliti lain untuk mengkaji lebih dalam lagi

tentang kewarganegaraan etnis Tionghoa di Indonesia

b. Sebagai titik tolak untuk melaksanakan penelitian sejenis secara

mendalam.

Page 22: SKRIPSI - digilib.uns.ac.id... · undang No 62 tahun 1958 terhadap kewarganegaraan et nis Tionghoa di Indonesia diantaranya pada tahun 1960-an terdapat banyak kece nderungan dari

9

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Kerangka Teori

1. Kebijakan Kewarganegaraan

Warga negara adalah adalah anggota negara. Demikian pengertian umum

tentang warga negara secara singkat. Sebagai anggota suatu negara, seorang

warga negara mepunyai kedudukan yang khusus terhadap negaranya. Ia memiliki

hubungan hak dan kewajiban yang bersifat timbal balik terhadap negara. Hal

inilah yang membedakan warga negara dan orang asing. Masalah warga negara ini

merupakan salah satu masalah yang bersifat prinsipil dalam kehidupan bernegara.

Tidaklah mungkin suatu negara dapat berdiri tanpa adanya warga negara

(Koerniatmanto, 1996:1).

Warga berarti anggota, misalnya anggota keluarga, perkumpulan dan

negara (warga negara).Warga negara pendduduk sebuah negara atau bangsa yang

berdasarkan keturunan (ius sanguinis), tempat kelahiran (ius soli), mempunyai

kewajiban dan hak yang penuh sebagai seorang warga dari negara itu. Penduduk

Indonesia adalah keseluruhan penghuni Negara Kesatuan Republik Indonesia,

baik yang warga negara Indonesia maupun warga negara asing yang dalam jangka

waktu tertentu, sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku

bertempat tinggal di wilayah Republik Indonesia (C.S.T. Kansil, Christine S.T,

2003: 167)

Istilah warga negara merupakan terjemahan dari istilah Belanda

staatsburger. Sedangkan istilah Inggris untuk pengertian yang sama adalah

citizen, dan dalam istilah Perancis adalah citoyen, yang secara harafiah berarti

warga kota. Selain itu dalam bahasa Indonesia dikenal pula istilah kaulanegara.

Istilah kaula berasal dari bahasa Jawa ini, berdasarkan peraturan perundang-

undangan Hindia Belanda mempunyai pengertian sepadan dengan onderdaan

(Koerniatmanto,1996: 3).

Kewarganegaran dalam bahasa latin disebut civis; selanjutnya dari kata

civis ini dalam bahasa Inggris timbul kata civic artinya mengenai warga negara

atau kewarganegaraan. Kewarganegaraan adalah segala jenis hubungan antara

9

Page 23: SKRIPSI - digilib.uns.ac.id... · undang No 62 tahun 1958 terhadap kewarganegaraan et nis Tionghoa di Indonesia diantaranya pada tahun 1960-an terdapat banyak kece nderungan dari

10

seseorang dan negara yang mengakibatkan adanya kewajiban negara untuk

melindungi orang yang bersangkutan (C.S.T. Kansil, Christine, S.T, 2003: 3)

Dengan demikian hukum kewarganegaraan merupakan hukum yang

mengatur hubungan-hubungan tersebut. Pengertian kewarganegaraan dapat dilihat

dari dua segi, yaitu segi formal dan segi material. Dari segi formal, tempat

kewarganegaraan dalam sistematika hukum itu ada di dalam jajaran hukum

publik. Mengingat bahwa masalah kewarganegaraan terkait dengan salah satu

sendi negara yaitu, rakyat. Dengan kata lain, hukum kewarganegaraan merupakan

salah satu cabang dari hukum publik. Dari segi material, masalah

kewarganegaraan erat kaitanya dengan masalah hak dan kewajiban yang bersifat

timbal balik antara negara dan warganya. Dalam kewarganegaraan ini akan

tampak perbedaan yuridis antara warga negara dan orang asing. Orang asing tidak

mempunyai ikatan yuridis dengan negara. Dengan demikian, fungsi status

kewarganegaraan adalah memberikan titik taut atau jembatan bagi adanya

pelbagai hak dan kewajiban, baik yang dimiliki oleh negara naupun warganya

(Koerniatmanto,1996: 8-9).

Setelah proklamasi 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia lahir sebagai

bangsa yang baru yang berarti bahwa sejak saat itu ada sekelompok manusia yang

memiliki hubungan khusus dengan suatu negara baru. Sebagai bangsa yang baru

Republik Indonesia secara formal sejak saat itu timbul hubungan hak dan

kewajiban secara timbal balik antara bangsa Indonesia dan Republik Indonesia.

Sehari setelah kemerdekaan Undang-Undang Dasar 1945 disahkan sebagai

konstitusi Republik Indonesia, pada pasal 26 menyatakan sebagai berikut:

1) Yang menjadi warga negara ialah orang-orang Indonesia asli dan

orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan Undang-undang

sebagai warga negara

2) Syarat-syarat yang mengenai kewarganegaraan ditetapkan dengan

Undang-Undang.

Ketentuan mengenai kewarganegaraan tersebut diatas adalah sesuai

dengan naskah yang dibuat oleh Panitia Perancang Undang-Undang yang

dibentuk tanggal 11 Juli 1945 dan diketuai Ir. Soekarno. Ketentuan-ketentuan

Page 24: SKRIPSI - digilib.uns.ac.id... · undang No 62 tahun 1958 terhadap kewarganegaraan et nis Tionghoa di Indonesia diantaranya pada tahun 1960-an terdapat banyak kece nderungan dari

11

dalam Undang-Undang Dasar dirumuskan oleh panitia kecil Perancang Undang-

Undang Dasar dengan ketua Supomo dan anggota-anggotanya Wongsonegoro,

Subardjo, Maramis, Singgih dan Soekirman. Dapat dimengerti bahwa dalam pasal

26 UUD 1945 ‘bangsa Indonesia asli” langsung dijadikan warganegara Indonesia,

karena mereka dapat dianggap sebagai mempunyai a genuine connection of

existence, interest and sentimens dengan Negara Republik Indonesia, meskipun

pada kenyataanya terdapat kesukaran dalam merumuskan siapa yang dapat

digolongkan sebagai bangsa Indonesia asli. Golongan lain yang dapat menjadi

warganegara Indonesia adalah “orang-orang bangsa lain”. Oleh penjelasan Pasal

26 UUD 1945 ditentukan bahwa yang dimaksudkan dengan bangsa-bangsa lain

tersebut adalah orang-orang peranakan Belanda, peranakan Tionghoa dan

peranakan Arab yang bertempat tinggal di Indonesia dan bersikap setia kepada

Negara Republik Indonesia, dapat menjadi warganegara (Sidik Suraputra, 1991:

21)

Berdasarkan pasal 26 UUD 1945 tersebut maka pemerintah mengeluarkan

kebijakan tantang kewarganegaraan dan kependudukan Republik Indonesia yaitu

Undang-Undang No. 3/1946, berdasarkan Pasal 1 Undang-undang

kewarganegaraan yang pertama ini dinyatakan bahwa kewarganegaraan Indonesia

bisa didapat oleh:

a) Orang yang asli dalam wilayah Negara Indonesia

b) Orang yang tidak masuk dalam golongna tersebut di atas, tetapi turunan

seorang dari golongan itu serta lahir, bertempat kedudukan, dan

berkediaman yang paling akhir selama sedikitnya lima tahun berturut-turut

di dalam wilayah Negara Indonesia, yang telah berumur 21 tahun atau

telah kawin.

c) Orang yang mendapatkan kewarganegaraan Indonesia dengan cara

naturalisasi.

d) Anak yang sah, disahkan, atau diakui dengan cara yang sah oleh bapak,

yang pada waktu lahir bapaknya mempunyai kewarganegaraan Indonesia.

e) Anak yang lahir dalam jangka waktu tiga ratus hari setelah bapaknya yang

mempunyai kewarganegaraan Indonesia meninggal.

Page 25: SKRIPSI - digilib.uns.ac.id... · undang No 62 tahun 1958 terhadap kewarganegaraan et nis Tionghoa di Indonesia diantaranya pada tahun 1960-an terdapat banyak kece nderungan dari

12

f) Anak yang hanya oleh ibunya diakui dengan cara yang sah, yang pada

waktu lahir mempunyai kewarganegaraan Indonesia

g) Anak yang diangkat secara sah oleh warga Negara Indonesia

h) Anak yang lahir didalam wilayah Negara Indonesia, yang oleh bapaknya

ataupun ibunya tidak diakui secara sah

i) Anak yang lahir di dalam wilayah Negara Indonesia, yang tidak diketahui

siapa orang tuanya atau kewarganegaraan orangtuanya,

Oleh Undang-undang No.6/1947, klasifikasi warga Negara Indonesia diatas

ditambah dengan

j) Badan hukum yang didirikan menurut hukum yang berlaku dalam Negara

Indonesia dan bertempat kedudukan di dalam wilayah Negara Indonesia

(Koerniatmanto, 1996: 25-28)

Berdasarkan pasal-pasal konferensi Meja Bundar pada tahun 1949,

dakatakan bahwa semua orang Tionnghoa kelahiran Indonesia, adalah kaula

Belanda yang berasal dari orang asing yang bukan Belanda. Warga asing yang

bukan Belanda otomatis mendapatkan kewarganegaraan Indonesia, jika mereka

tidak mengambil langkah untuk meninggalkannya (Melly G. Tan, 1981: 16).

Berdasarkan pasal 5 UUDS 1950 pada tanggal 11 Januari 1958 dikeluarkan

Undang-Undang No.62/1958 tentang kewarganegaraan republik Indonesia. Sistem

pemerintahan yang dianut saat berlakunya UUDS 1950 memang berbeda dengan

sistem pemerintahan yang dianut UUD 1945. Perbedaan ini tampak pada

ketentuan mengenai naturalisme, yaitu kewenangan Menteri Kehakiman beralih

kepada presiden. Namun berdasarkan pasal II Aturan peralihan UUD 1945,

Undang-undang No.62/1958 masih tetap berlaku dengan penyesuaian yang

diperlukan. Undang-undang No.62 Tahun 1958 inilah yang merupakan inti dari

hukum positif Indonesia yang mengatur tentang masalah kewarganegaraan saat

ini. Menurut undang-undang ini hanya mengenal dua golongan penduduk, yaitu

Warga Negara Indonesia (WNI) dan Warga Negara Asing (WNA), dalam undang-

undang ini juga dimuat ketentuan tentang makna hubungan khusus antara

Indonesia dengan warga negaranya. (Koerniatmanto, 1996: 36)

Page 26: SKRIPSI - digilib.uns.ac.id... · undang No 62 tahun 1958 terhadap kewarganegaraan et nis Tionghoa di Indonesia diantaranya pada tahun 1960-an terdapat banyak kece nderungan dari

13

Selain peraturan diatas, kekhawatiran Pemerintah Indonesia dengan

meningkatnya warga Tionghoa yang semakin banyak, mendorong pemerintah

ingin mengendalikan pertambahannya dan mengintegrasikan serta

mengasimilasikan mereka ke dalam masyarakat Indonesia, maka dikeluarkan

Instruksi Presiden No. 2/1980. Berdasarkan Inpres No. 2/1980 sejumlah etnis

Tionghoa yang berdiam di wilayah tertentu dan cara hidupnya sama dengan

penduduk Indonesia akan diberi surat kewarganegaraan tanpa harus ke pengadilan

(Leo Suryadinata,1999: 77).

2. Hukum Kewarganegaraan

Hukum kewarganegaraan pada hakikatnya merupakan seperangkat kaidah

yang mengatur tentang muncul dan berakhirnya hubungan antara negara dan

warga negara. Dengan kata lain, hukum kewarganegaraan mempunyai ruang

lingkup cara-cara memperoleh dan cara-cara kehilangan kewarganegaraan

(Koerniatmanto Soetoprawiro, 1996: 9).

Asas kewarganegaraan adalah pedoman dasar bagi suatu negara untuk

menentukan siapakah yang menjadi warga negaranya. Dalam menerapkan asas

kewarganegaraan dikenal dua pedoman, yaitu asas kewarganegaraan berdasarkan

kelahiran dan asas kewarganegaraan berdasarkan perkawinan (Azyumardi Azra,

2003: 75).

Dalam memperoleh kewarganegaraan dengan cara kelahiran dikenal

adanya 2 (dua) asas, yaitu asas keturunan (ius sanguinis) dan asas tempat

kelahiran (ius soli). Menurut ius sanguinis, seseorang adalah warga negara jika

dilahirkan dari orang tua warga negara, sedangkan menurut ius soli, seseorang

yang dilahirkan dalam wilayah suatu negara adalah warga negara dari negara

tersebut. Asas ius sanguinis merupakan asas yang dapat memudahkan bagi adanya

solidaritas. Namun demikian tidak semua negara menggunakan asas tersebut,

sebab meskipun suatu negara mengatur kewarganegaraan berdasarkan persamaan

keturunan, ikatan antara negara dengan warganegara dapat menjadi tidak erat jika

warganegara tersebut tinggal lama di negara lain. Sementara itu, asas ius soli

terutama digunakan oleh negara muda yang masih membutuhkan rakyat yang

berasal dari pendatang. Di samping itu, ius soli cenderung digunakan oleh negara

Page 27: SKRIPSI - digilib.uns.ac.id... · undang No 62 tahun 1958 terhadap kewarganegaraan et nis Tionghoa di Indonesia diantaranya pada tahun 1960-an terdapat banyak kece nderungan dari

14

imigrasi di mana banyak orang asing pindah ke negara itu (Koerniatmanto

Soetoprawiro, 1996: 10).

Dilihat dari sisi perkawinan dikenal asas kesatuan hukum dan asas

persamaan derajat. Asas kesatuan hukum berdasarkan paradigma bahwa suami-

isteri ataupun ikatan keluarga merupakan inti masyarakat yang meniscayakan

suasana sejahtera, sehat, dan tidak terpecah. Dalam menyelenggarakan kehidupan

bermasyarakatnya, suami-isteri atau keluarga harus mencerminkan adanya suatu

kesatuan yang bulat. Untuk merealisasikan terciptanya kesatuan dalam keluarga

atau suami-isteri, maka harus tunduk pada hukum yang sama. Dengan adanya

kesamaan pemahaman dan komitmen menjalankan kebersamaan atas dasar hokum

yang sama tersebut, meniscayakan adanya kewarganegaraan yang sama, sehingga

tidak terdapat perbedaan yang dapat mengganggu keutuhan dan kesejahteraan

keluarga. Sedangkan dalam asas persamaan derajat ditentukan bahwa suatu

perkawinan tidak menyebabkan perubahan status kewarganegaraan masing-

masing pihak. Baik suami maupun isteri tetap berkewarganegaraan asal, atau

dengan kata lain sekalipun sudah menjadi suami isteri, mereka tetap memiliki

status kewarganegaraan sendiri sama halnya ketika mereka belum diikatkan

menjadi suami-isteri. Asas ini menghindari terjadinya penyelundupan hokum,

misalnya seseorang yang berkewarganegaraan asing ingin memperoleh status

kewarganegaraan suatu negara dengan cara atau berpura-pura melakukan

pernikahan dengan seseorang di negara tersebut (Azyumardi Azra, 2003: 76).

Unsur-unsur yang menentukan kewarganegaraan seseorang ada 3 (tiga),

yaitu (1) unsur darah keturunan (ius sanguinis), (2) unsur daerah tempat kelahiran

(ius soli), dan (3) unsur pewarganegaraan (naturalisasi). Di dalam unsur darah

keturunan (ius sanguinis), kewarganegaraan dari orang tua yang menurunkannya

menentukan kewarganegaraa seseorang, artinya jika orang dilahirkan dari orang

tua berkewarganegaraan Indonesia, ia dengan sendirinya juga warga negara

Indonesia. Prinsip ini berlaku di Inggris, Amerika, Perancis, Jepang, dan

Indonesia. Di dalam unsur daerah tempat kelahiran (ius soli), daerah tempat

seseorang dilahirkan menentukan kewarganegaraan. Jika seseorang dilahirkan di

dalam daerah hukum Indonesia, ia dengan sendirinya menjadi warga negara

Page 28: SKRIPSI - digilib.uns.ac.id... · undang No 62 tahun 1958 terhadap kewarganegaraan et nis Tionghoa di Indonesia diantaranya pada tahun 1960-an terdapat banyak kece nderungan dari

15

Indonesia, kecuali anggota korps diplomatik dan anggota tentara asing yang masih

dalam ikatan dinas. Prinsip ini juga berlaku di Inggris, Amerika, Perancis, dan

Indonesia. Namun prinsip ini tidak berlaku di Jepang karena seseorang yang tidak

dapat membuktikan bahwa orang tuanya berkebangsaan Jepang, ia tidak dapat

diakui sebagai warga negara Jepang. Di dalam unsur pewarganegaraan

(naturalisasi), walaupun seseorang tidak dapat memenuhi prinsip ius sanguinis

ataupun ius soli, ia dapat memperoleh kewarganegaraan dengan jalan

pewarganegaraan atau naturalisasi. Dalam pewarganegaraan ini dikenal adanya

pewarganegaraan aktif dan pewarganegaraan pasif. Dalam pewarganegaraan aktif,

seseorang dapat menggunakan hak opsi untuk memilih atau mengajukan

kehendak menjadi warga negara dari suatu negara, sedangkan dalam

pewarganegaraan pasif, seseorang yang tidak mau diberi atau dijadikan warga

negara suatu negara dapat menggunakan hak repudiasi yaitu hak untuk menolak

pemberian kewarganegaraan tersebut (Azyumardi Azra, 2003: 77).

Seseorang dapat memperoleh atau kehilangan status kewarganegaraan

suatu negara dengan dua cara. Pertama, orang tersebut secara aktif berusaha untuk

memperoleh atau melepaskan kewarganegaraannya, yang sering disebut sebagai

sistem (stelsel) aktif. Sebaliknya, dapat terjadi bahwa seseorang memperoleh atau

kehilangan status kewarganegaraannya tanpa berbuat apapun. Negara yang

mempermaklumkan status baru dari orang yang bersangkutan tersebut. Cara ini

sering disebut sistem (stelsel) pasif (Koerniatmanto Soetoprawiro, 1996: 4).

Di dalam status kewarganegaraan, terdapat beberapa permasalahan yang

berkaitan dengan seseorang yang dinyatakan sebagai warga negara dan bukan

warga negara dalam suatu negara, sehingga muncul istilah apatride, bipatride, dan

multipatride. Apatride merupakan istilah untuk orang-orang yang tidak

mempunyai kewarganegaraan, sedangkan bipatride merupakan istilah yang

digunakan untuk orang-orang yang memiliki status kewarganegaraan rangkap atau

sering dikenal dengan dwi-kewarganegaraan. Sementara yang dimaksud dengan

multipatride adalah istilah yang digunakan untuk menyebutkan status

kewaganegaraan seseorang yang memiliki 2 (dua) atau lebih status

kewarganegaraan (Azyumardi Azra, 2003: 78).

Page 29: SKRIPSI - digilib.uns.ac.id... · undang No 62 tahun 1958 terhadap kewarganegaraan et nis Tionghoa di Indonesia diantaranya pada tahun 1960-an terdapat banyak kece nderungan dari

16

Apatride timbul apabila menurut peraturan-peraturan tentang

kewarganegaraan, sesorang tidak dianggap sebagai warga negara. Sedangkan

bipatride timbul apabila menurut peraturan-peraturan kewarganegaraan dari

berbagai negara, seseorang dianggap sebagai warga negara oleh negara-negara

yang bersangkutan.

3. Nasionalisme

1. Pengertian Nasionalisme

Nasionalisme berasal dari kata nation (Inggris) dan natie (Belanda), yang

berarti bangsa (Leo Agung S, 2002: 31). L. Stoddard (1966: 137) mengemukakan

bahwa ”Nasionalisme” adalah suatu kepercayaan, yang dianut oleh sejumlah besar

manusia perorangan sehingga mereka membentuk suatu ”kebangsaan”. Pada

tingkat terakhir, nasionalisme adalah sesuatu diatas segalanya yang menjelmakam

dirinya dalam suatu sintese yang baru dan lebih tinggi.

Isjwara (1982: 126-127) mendefinisikan ”Nasionalisme adalah

merupakan rasa kesadaran yang kuat yang berlandaskan atas kesabaran akan

pengorbanan yang pernah diderita bersama dalam sejarah dan atas kemauan

menderita hal-hal serupa itu di masa depan”. Slamet Mulyana yang dikutip dalam

Leo Agung S (2002: 31) menyatakan bahwa ”Nasionalisme adalah manifestasi

kesadaran berbangsa dan bernegara atau semangat bernegara”.

Menurut Han Kohn (1948: 12) “yang dimaksud nasionalisme adalah suatu

faham yang berpendapat bahwa kesetian tertinggi individu harus diserahkan

kepada negara kebangsaan”. Nasionalisme menyatakan bahwa negara kebangsaan

adalah cita dan satu-satunya bentuk sah dari organisasi politik dan bahwa bangsa

sumber daripada semua tenaga kebudayaan kreatif dan kesejahteraan ekonomi.

Sukarna (1990: 57) mengemukakan bahwa ”Nasionalisme ialah kesetiaan

dari pada setiap individu atau bangsa ditujukan kepada kepribadian bangsa”.

Menurut S. Pamuji (1983: 28) mengemukakan bahwa ”Nasionalisme adalah

konsensus umum mengenai cara hidup (way of life) suatu inpirasi dan devosi yang

”maujud” secara resmi”.

Dari berbagai pendapat tentang pengertian Nasionalisasi di atas, maka

dapat disimpulkan bahwa nasionalisasi adalah suatu rasa kesadaran yang kuat

Page 30: SKRIPSI - digilib.uns.ac.id... · undang No 62 tahun 1958 terhadap kewarganegaraan et nis Tionghoa di Indonesia diantaranya pada tahun 1960-an terdapat banyak kece nderungan dari

17

akan pengorbanan yang pernah diderita bersama dalam sejarah dan dilandasi suatu

kepercayaan yang dianut sejumlah besar manusia perorangan yang harus

diserahkan kepada negara kebangsaan sehingga membentuk suatu kebangsaan.

Masalah kewarganegaraan tidaklah terlepas dari paham nasionalisme.

Peraturan mengenai kewarganegaraan merupakan suatu konsekuensi langsung

dari perkembangan paham nasioalisme. Dengan terbentuknya negara modern atau

negara kebangsaan, dirasa perlu pula mengtur mengenai siapa yang menjadi

warganya. Nasionalisme merupakan suatu konsep yang meletakkan kesetiaan

tertinggi seseorang kepada suatu Negara (Koerniatmanto Soetoprawiro, 1996: 4).

4. Etnis Tionghoa

Istilah “Cina” dalam bahasa Indonesia memang memiliki beberapa

konotasi. Untuk menghapus konotasi yang negatif, istilah ini dalam pers Indonesia

sekitar 1950-an diubah menjadi “Tionghoa” (sesuai ucapannya dalam hokkian)

untuk merujuk kepada orang Cina, dan “tiongkok” untuk “negara Cina” (yusiu

liem, 2000: xii). Lain halnya dengan Melly G. Tan yang mendefinisikan orang

Cina, sebagai berikut:

Berhubung dengan kenyataan adanya berbagai jenis orang yang oleh masyarakat luas sering disebut sebagai “orang Tionghoa” atau “orang Cina”, untuk menganalisa kelompok ini, perlu kita bedakan mereka yang asing dari mereka yang warga negara atau yang totok dari yang peranakan. Dalam uraian ini mereka yang asing disebut orang Tionghoa asing dan mereka yang warga negara Indonesia disebut dengan WNI keturunan tionghoa atau lebih praktisnya orang Indonesia Tionghoa.kedua kelompok bersama-sama disebut orang etnis tionghoa, karena adanya satu kelompok yang dianggap mempunyai ciri-ciri khas yang berbeda dari orang-orang etnis Indonesia, memang merupakan suatu kenyataan sosial dalam masyarakat Indonesia (Melly G. Tan 1981: xii-xiii).

G. William Skiner dalam Melly G. Tan (1981: 1) meyebukan bahwa

semua orang Tionghoa di Indonesia merupakan imigran kelahiran Tiongkok atau

keturunan imigran menurut garis laki-laki. dengan adanya perkawinan dengan

etnis pribumi lambat laun berkembang menjadi masyarakat yang stabil. Hal ini

mulai berlangsung pada abad ke-16, dan kebanyakan masyarakat hasil campuran

ini menjadi stabil pada abad ke-18.

Page 31: SKRIPSI - digilib.uns.ac.id... · undang No 62 tahun 1958 terhadap kewarganegaraan et nis Tionghoa di Indonesia diantaranya pada tahun 1960-an terdapat banyak kece nderungan dari

18

Dari abad ke-18 sampai permulaan abad ke-20, sebagaian besar orang

Tionghoa adalah peranakan. Asimilasi menuju masyarakat peranakan sangat cepat

sehingga kaum imigran Tionghoa dengan anak-anaknya yang belum sepehnya

menjadi peranakan itu hanyalah membentuk kelompok yang kecil dan peralihan

saja coraknya.tetepi pada permulaan abad ini beberapa perkembangan baru telah

mendasari bangkitnya masyarakat Tionghoa yang satbil bukan peranakan, hal ini

terjadi karena beberapa faktor yang di ungkapkan G. William Skiner (1981: 10)

antara lain: (a). Jumlah imigran Tionghoa bertambah cepat sekali selama tiga

puluh tahun pertama dari abad ini. (b). Proporsi orang-orang yang bukan Hokkian

di antara imigran bertambah dengan mantab sehingga orang Hakka dan orang

Kanton melampaui jumlah orang Hokkian dengan mudah karena sebelumnya

suku Hokkian mendominasi sebagai etnis Tionghoa. (c). Perbandingan jenis

kelamin kaum imigran itu makin lama makin seimbang, menuju pertambahan

yang cepat pada jumlah keluarga yang kedua orang tuanya adalah kelahiran

Tiongkok. (d). Bangkitnya nasionalisme Tionghoa.

Penggunaan kriteria fisiosomatik tidak berlaku pada etnis Tionghoa yang

telah melakukan migrasi dari daerah asal, karena etnis Tionghoa yang melakukan

migrasi secara fisik telah mengalami perubahan. Perubahan fisik tersebut

disebabkan oleh berbagai faktor diantaranya yaitu faktor perkawinan campuran

yang menyebabkan perubahan secara genetik dan faktor perbedaan lingkuangan

yang baru di bandingkan dengan lingkungan asal menyebabkan terjadinya proses

penyesuaian diri atau beradaptasi terhadap lingkungan baru (Yusiu Liem, 2000:3).

Menentukan kelompok etnis, jika hanya melalui sudut pandang dari

penampilan fisik belum cukup. Oleh karena itu, untuk menentukan suatu

kelompok masyarakat atau kelompok etnis tertentu diperlukan sudut pandang

yang lain. Sudut pandang yang lainnya yaitu melihat kelompok etnis berdasarkan

nama yang sering digunakan oleh kelompok tersebut. Misalnya kelompok etnis

Tionghoa mempunyai spesifik penggunaan bahasa dan nama. Menurut G.W.

Skinner (dalam Mely G. Tan: 1981) bahwa dalam kelompok etnis Tionghoa

terdapat nama identitas diri bagi setiap anggota kelompok etnis Tionghoa. Dalam

kriteria tersebut, orang yang mempunyai nama keluarga Tionghoa tentu asal

Page 32: SKRIPSI - digilib.uns.ac.id... · undang No 62 tahun 1958 terhadap kewarganegaraan et nis Tionghoa di Indonesia diantaranya pada tahun 1960-an terdapat banyak kece nderungan dari

19

usulnya Tionghoa. Selain itu secara tradisional, etnis Tionghoa meletakkan nama

keluarga berada di depan diikuti dengan posisi secara hierarkis dalam

kelompoknya.

Di Indonesia, etnis Tionghoa berdasarkan orientasi kebudayaan dapat

dibedakan ke dalam 2 kelompok besar yaitu: (1). Peranakan, yaitu etnis Tionghoa

yang lahir di Indonesia dan berbahasa Indonesia, atau hasil perkawinan campuran

antara orang Tionghoa dengan orang Indonesia. Selain itu, istilah peranakan

digunakan untuk menyebut etnis Tionghoa yang telah berasimilasi dengan

masyarakat setempat dan mereka berorientasi dengan kebudayaan setempat.

Tionghoa peranakan sebagian besar berdiam di Jawa (2). Totok, yaitu etnis

Tionghoa yang lahir di negara Tiongkok dan berbahasa Cina. Selain itu, istilah

etnis Tionghoa Totok digunakan untuk menyebut pendatang baru atau lama yang

masih berorientasi atau mendukung secara kultural tradisi Tiongkok daratan (Leo

Suryadinata,1999: 170).

Page 33: SKRIPSI - digilib.uns.ac.id... · undang No 62 tahun 1958 terhadap kewarganegaraan et nis Tionghoa di Indonesia diantaranya pada tahun 1960-an terdapat banyak kece nderungan dari

20

B. Kerangka Berpikir

Keterangan:

Setelah bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaanya yaitu pada

17 Agustus 1945 maka sebagai bangsa yang baru terbebas dari belenggu

penjajahan Indonesia mulai menata kehidupan berbangsa dan bernegara, maka

pemerintah mulai membuat kebijakan yang berkaitan dengan keberlangsungan

bangsa di masa yang akan datang. Kebijakan tersebut antara lain tentang politik,

WNI

UU NO. 62 Tahun 1958

WNA

Kebijakan Pemerintah Indonesia

Kebijakan Kewarganegaraan

WNI WNA

Tionghoa

Dwi- kewarganegaraan

Kewarganegaraan Bagi Etnis Tionghoa

Kebijakan kewarganegaraan

Kebijakan Pemerintah RRC

NASIONALISME INDONESIA CINA

Penduduk Indonesia

Page 34: SKRIPSI - digilib.uns.ac.id... · undang No 62 tahun 1958 terhadap kewarganegaraan et nis Tionghoa di Indonesia diantaranya pada tahun 1960-an terdapat banyak kece nderungan dari

21

ekonomi, bahasa, budaya, pendidikan, pemerintahan serta yang tak kalah penting

adalah kebijakan di bidang kewarganegaraan. Tahun 1949 kaum Komunis

berhasil merebut kekuasaan di Cina dari tangan kaum Kuo Min Tang, lalu

muncullah Republik Rakyat Cina (RRC). Rupanya RRC masih mempertahankan

Undang-Undang Kewarganegaraan Cina Nasionalis yang diundangkan pada tahun

1929. Undang-Undang ini menggunakan asas ius sanguinis yang berarti semua

orang Cina dimanapun berada diklaim sebagai warga Cina. Hal ini mengakibatkan

semua orang Cina yang berstatus sebagai warga Negara Indonesia menjadi

berstatus bipatride yang berarti di samping sebagai warga negara Indonesia

sekaligus mereka merupakan warga negara RRC.

Saat pengakuan kedaulatan (27 Desember 1949), Pemerintahan Kuo Min

Tang di Taiwan langsung mengakui kemerdekaan Republik Indonesia. Saat itu

mereka mereka mempunyai tujuh konsulat di Indonesia, yang memang sudah ada

sejak masa penjajahan Belanda. Tetapi Indonesia lebih condong untuk

mengadakan hubungan diplomatik dengan pihak RRC. Hal ini ditanggapi secara

positif oleh pihak RRC. RRC berkepentingan memotong pengaruh Taiwan

terhadap para Cina perantauan di Asia Tenggara.

Usul pembicaraan Indonesia-RRC ini disambut secara positif oleh pihak

RRC, dalam rangaka politik luar negeri RRC yang baru, dikenal dengan Peaceful

Coexistence. RRC merasa perlu membina hubungan baik denga negara-negara di

Asia Tenggara, guna membangun basis kerja sama anti-imperialis. Kemudian

mulai diadakan sejumlah pembicaraan yang diadakan baik di Peking, Jakarta,

maupun di Bandung. Rangkaian pembicaraan ini berpuncak pada suatu

persetujuan antara Sunario (Menteri Luar Negeri Indonesia) da Chou En-lai

(Menteri Luar Negeri RRC), yang dilakukan pada tanggal 22 April 1955 di tengah

penyelenggaraan Konferensi Asia-Afrika di Bandung Persetujuan ini dikenal

sebagai Perjanjian Dwi-kewarganegaraan.

Tujuan utama pihak Indonesia dalam persetujuan itu adalah untuk meniadakan

akibat-akibat masa opsi. Selain itu, Indonesia juga menghendaki adanya kepastian

akan lepasnya tuntutan yuridis terhadap orang Cina di Indonesia sebelum mereka

diberikan kesempatan baru untuk memilih kewarganegaraan mereka. Keberadaan

Page 35: SKRIPSI - digilib.uns.ac.id... · undang No 62 tahun 1958 terhadap kewarganegaraan et nis Tionghoa di Indonesia diantaranya pada tahun 1960-an terdapat banyak kece nderungan dari

22

etnis Tionghoa di Indonesia yang telah berlangsung berabad-abad lamanya

ternyata menumbuhkan rasa nasionalisme terhadap Indonesia dan berjuang untuk

mendapatkan kewarganegaraan Indonesia. Sementara itu, RRC juga menerima

baik keinginan Indonesia untuk menentukan sendiri siapa saja di antara orang

Cina Indonesia yang harus memilih dan siapa saja yang tidak ikut memilih, karena

telah secara implisit memilih kewarganegaraan Indonesia berdasarkan kedudukan

social politik mereka. Secara yuridis, isi persetujuan tersebut diratifikasi dalam

bentuk Undang-Undang No. 2/1958. (Koerniatmanto Soetoprawiro,1996: 105-

107).

Sebelum Undang-Undang No. 62/1958 disahkan, pada tahun yang sama

disahkan pula suatu Undang-Undang yang mengatur masalah kewarganegaraan

Indonesia yaitu Undang-undang No. 2/1958. Pembahasan Undang-Undang No 2

Tahun 1958 sengaja dilakukan setelah pembahasan Undang-Undang No 62/1958

dikarenakan berbagai hal antara lain seperti : Dilihat dari nomornya Undang-

Undang No.2/1958 ada terlebih dahulu. Undang-Undang No 62/1958 dinyatakan

sah berlaku sejak tanggal 1 Agustus 1958. Sedangkan Undang-Undang No 2

Tahun 1958 menyatakan bahwa Pejanjian Dwi kewarganegaraan mulai berlaku

pada tanggal penukaran surat-surat penukaran di Peking, yaitu tanggal 20 januari

1960 serta isi Undang-Undang No 2 Tahun 1958 khususnya yang menyangkut

masalah Surat Bukti Kewarganegaraan Indonesia telah menimbulkan pelbagai

masalah pelik yang memerlukan penanganan yuridis berkepanjangan sampai

bertahun-tahun kemudian. Undang-Undang ini disahkan pada tanggal 11 Januari

1958 dan diundangkan dalam Lembaran Negara 1958-5 pada tanggal 27 Januari

1958. Termasuk di dalam ketentuan Undang-Undang ini adalah pertukaran Nota

antara Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo dan Perdana Menteri Chou Enlai

tertanggal Peking 3 Juni 1955. Undang-Undang ini bertujuan untuk

menyelesaikan masalah dwi-kewarganegaraan yang ada pada waktu itu, dan

mencegah timbulnya dwi-kewarganegaraan di kemudian hari. Menurut perjanjian

ini, masalah dwi-kewarganegaraan yang ada itu diselesaikan dengan cara

menghilangkan salah satu kewarganegaraan yang serempak dimiliki seseorang.

Page 36: SKRIPSI - digilib.uns.ac.id... · undang No 62 tahun 1958 terhadap kewarganegaraan et nis Tionghoa di Indonesia diantaranya pada tahun 1960-an terdapat banyak kece nderungan dari

23

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian

1. Tempat Penelitian

Dalam penelitian ini penulis memanfaatkan perpustakaan sebagai tempat

penelitian.

a. Perpustakaan Pusat Universitas Sebelas Maret Surakarta.

b. Perpustakaan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas

Sebelas Maret Surakarta.

c. Perpustakaan Program Studi Pendidikan Sejarah Universitas Sebelas

Maret Surakarta.

d. Perpustakaan Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas

Maret Surakarta.

e. Perpustakaan museum Radya Pustaka Surakarta

f. Perpustakaan Pusat Universitas Muhammadiyah Surakarta.

g. Perpustakaan Monumen Pers Surakarta.

h. Koleksi Pribadi

2. Waktu Penelitian

Waktu yang digunakan untuk penelitian ini direncanakan mulai dari

disetujuinya judul skripsi yaitu pada bulan April tahun 2009, sampai dengan

selesainya penulisan skripsi ini.

B. Metode Penelitian

Peranan metode ilmiah dalam penelitian sangat penting karena

keberhasilan tujuan yang akan dicapai tergantung dari penggunaan metode yang

tepat. Kata metode berasal dari bahasa Yunani, methodos yang berarti cara atau

jalan. Sehubungan dengan karya ilmiah, maka metode menyangkut masalah cara

23

Page 37: SKRIPSI - digilib.uns.ac.id... · undang No 62 tahun 1958 terhadap kewarganegaraan et nis Tionghoa di Indonesia diantaranya pada tahun 1960-an terdapat banyak kece nderungan dari

24

kerja, yaitu cara kerja untuk memahami obyek yang menjadi sasaran ilmu yang

bersangkutan (Koentjaraningrat, 1977: 16). Sementara itu menurut Husnaini

Usman (1996: 42) menyebutkan bahwa metode adalah suatu prosedur atau cara

mengetahui sesuatu yang mempunyai langkah-langkah sistematis. Menurut Helius

Sjamsudin (1996: 6), metode adalah suatu prosedur teknik atau cara melakukan

penyelidikan yang sistematis yang dipakai oleh suatu ilmu (sains), seni atau

disiplin ilmu yang lain.

Penelitian ini merupakan penelitian yang berusaha merekonstruksikan,

mendiskripsikan dan memaparkan Kewarganegaraan Etnis Tionghoa di Indonesia

Tahun 1958-1969 yang berkaitan dengan dampak dari keluarnya Undang-Undang

No 62 Tahun 1958. Mengingat peristiwa yang menjadi pokok penelitian adalah

peristiwa masa lampau, maka metode yang digunakan adalah metode historis atau

sejarah. Dengan metode sejarah penulis mencoba menuliskan kembali suatu

peristiwa di masa lampau sehingga dapat menghasilkan historiografi sejarah yang

dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah

Gilbert J. Garraghan dalam Dudung Abdurrahman (1999: 43)

mengemukakan bahwa metode penelitian sejarah adalah seperangkat aturan dan

prinsip sistematis untuk mengumpulkan sumber-sumber sejarah secara efektif,

menilai secara kritis, dan mengajukan sintesis dari hasil-hasil yang dicapai dalam

bentuk tertulis. Louis Gottschalk dalam Dudung Abdurrahman (1999: 44)

menjelaskan metode sejarah sebagai proses menguji dan menganalisis kesaksian

sejarah guna menemukan data yang otentik dan dapat dipercaya, serta usaha

sintesis atas data semacam itu menjadi kisah sejarah yang dapat dipercaya.

Sementara itu menurut Helius Sjamsuddin dan Ismaun (1996: 61) menyatakan

metode sejarah adalah proses menguji dan mengkaji kebenaran rekaman dan

peninggalan-peninggalan masa lampau dengan menganalisis secara kritis bukti-

bukti dan data-data yang ada sehingga menjadi penyajian dan ceritera sejarah

yang dapat dipercaya.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa metode

penelitian sejarah adalah kegiatan pemecahan masalah dengan mengumpulkan

sumber-sumber sejarah yang relevan dengan permasalahan yang akan dikaji.

Page 38: SKRIPSI - digilib.uns.ac.id... · undang No 62 tahun 1958 terhadap kewarganegaraan et nis Tionghoa di Indonesia diantaranya pada tahun 1960-an terdapat banyak kece nderungan dari

25

Pemakaian metode sejarah membantu dapat memahami kejadian pada masa lalu

kemudian menguji dan menganalisis secara kritis dan mengajukan sintesis dari

hasil yang dicapai dalam bentuk tertulis dari sumber sejarah tersebut, agar dapat

dijadikan suatu cerita sejarah yang obyektif, menarik dan dapat dipercaya.

C. Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sumber data

sejarah. Sumber data sejarah sering disebut juga data sejarah. Menurut

Kuntowijoyo (1995: 94), kata ”data” merupakan bentuk jamak dari kata tunggal

datum (bahasa latin) yang berarti pemberitaan.

Dudung Abdurrachman (1999: 30) menyatakan data sejarah merupakan

bahan sejarah yang memerlukan pengolahan, penyeleksian, dan pengkategorian.

Menurut Helius Sjamsuddin dan Ismaun (1996: 61) sumber sejarah ialah bahan-

bahan yang dapat digunakan untuk mengumpulkan informasi tentang peristiwa

yang terjadi pada masa lampau.

Helius Sjamsuddin (1996: 73) mengemukakan pengertian sumber

sejarah, yaitu:

Segala sesuatu yang langsung atau tidak langsung menceritakan kepada kita tentang sesuatu kenyataan atau kegiatan manusia pada masa lalu (past actuality). Sumber sejarah merupakan bahan-bahan mentah (raw materials) sejarah yang mencakup segala macam evidensi (bukti) yang telah ditinggalkan oleh manusia yang menunjukkan segala aktivitas mereka di masa lalu yang berupa kata-kata yang tertulis atau kata-kata yang diucapkan (lisan).

Dalam usaha untuk mengunpulkan data, penulis menggunakan sumber

tertulis. Menurut Lexy J. Moeleng (1989: 31) sumber tertulis dapat berupa buku-

buku, majalah ilmiah, arsip dan dokumen resmi (dikeluarkan oleh pemerintah)

dan dokumen pribadi. Sumber tertulis dibedakan menjadi dua, yaitu sumber

tertulis primer dan sumber tertulis sekunder. Louis Gottshalck (1986: 35)

mengemukakan bahwa sumber tertulis primer adalah kesaksian dari seorang saksi

dengan mata kepala sendiri. Sumber tertulis primer juga dapat diartikan sebagai

data yang didapatkan dari masa yang sejaman dan berasal dari orang yang

Page 39: SKRIPSI - digilib.uns.ac.id... · undang No 62 tahun 1958 terhadap kewarganegaraan et nis Tionghoa di Indonesia diantaranya pada tahun 1960-an terdapat banyak kece nderungan dari

26

sejaman. Sedangkan sumber tertulis sekunder merupakan kesaksian dari pada

siapapun yang bukan merupakan saksi mata, yakni dari seseorang yang tidak hadir

dari peristiwa yang dikisahkannya. Sumber tertulis sekunder juga dapat diartikan

sebagai data yang ditulis oleh orang yang tidak sejaman dengan peristiwa yang

dikisahkannya.

Sumadi Suryabrata (1998: 17) berpendapat bahwa penelitian historis

tergantung kepada dua macam data, yaitu data primer dan sekunder. Data primer

diperoleh dari sumber primer, yaitu peneliti secara langsung melakukan observasi

atau penyaksian yang dituliskan pada waktu peristiwa terjadi. Data sekunder

diperoleh dari sumber sekunder, yaitu penulis melaporkan hasil observasi orang

lain yang satu kali atau lebih lepas dari aslinya. Diantara kedua sumber tersebut,

sumber primer dipandang memiliki otoritas sebagai bukti tangan pertama dan

diberi prioritas dalam pengumpulan data.

Penelitian ini menggunakan sumber tertulis primer maupun sekunder.

Sumber tertulis primer yang penulis gunakan di dalam penelitian ilmiah ini adalah

berupa koran yang terbit pada tahun 1958 antara lain seperti Obor Rakyat, Gelora

Maesa dan lain sebagainya. Adapun sumber sekunder yang digunakan dalam

penelitian ini berupa buku-buku literature, maupun artikel-artikel yang relevan

dengan penelitian. Sumber tertulis sekunder yang penulis gunakan dalam

penelitian ini antara lain : Hukum Kewarganegaraan Republik Indonesia karya

Drs. C.S.T Kansil, S.H.,Warga Negara dan Orang Asing karya Sudargo Gautama,

Etnis Tionghoa Dan Pembangunan Bangsa karya Leo Suryadinata, Dilema

Minoritas Tionghoa, tulisan Leo Suryadinata, Golongan Etnis Tionghoa di

Indonesia editor Mely G Tan,. Hukum Kewarganegaran dan Keimigrasian

Indonesia karya Koerniatmanto Soetoprawiro, dan lain sebagainya.

Page 40: SKRIPSI - digilib.uns.ac.id... · undang No 62 tahun 1958 terhadap kewarganegaraan et nis Tionghoa di Indonesia diantaranya pada tahun 1960-an terdapat banyak kece nderungan dari

27

D. Teknik Pengumpulan Data

Berdasarkan sumber data yang diperlukan dalam penelitian ini, maka

dalam melakukan tehnik pengumpulan data digunakan tehnik kepustakaan atau

studi pustaka, yaitu melakukan pengumpulan data tertulis dengan membaca buku-

buku literature dan bentuk pustaka lainnya.

Studi pustaka ini diperlukan peneliti untuk menggali teori-teori yang

telah ada, agar memperoleh orientasi yang luas dalam permasalahan yang dipilih.

Menurut Koenjaraningrat (1997:19) keuntungan dari studi pustaka adalah : 1)

memperdalam pengetahuan tentang masalah yang dipilih; 2) menegaskan

landasan teori yang digunakan sebagai landasan pemikiran; 3) mempertajam

konsep yang digunakan sehingga mempermudah dalam perumusan; 4)

menghindari terjadinya pengulangan dari suatu penelitian.

Ada beberapa keuntungan dalam menggunakan teknik studi pustaka.

Menurut Sartono Kartodirjo dalam Koentjaraningrat (1983:65)

”Keuntungan yang dapat diperoleh dengan menggunakan teknik studi pustaka adalah: (1) untuk membantu memperoleh pengetahuan ilmiah yang sesuai dengan persoalan yang dipelajari, (2) memberikan pengertian dealam menyusun persoalan yang tepat, (3) mempertajam perasaan dalam meneliti, (4) membuat analisa serta membuka kesempatan memperluas pengalaman ilmiah. Dengan teknik kepustakaan, sumber yang didapat tidak mungkin dapat disimpan semua dalam ingatan, maka dalam pengumpulan data diperlukan pencatatan yang sistematis”.

Pengumpulan dengan studi pustaka dalam penelitian ini dilakukan

dengan jalan mengumpulkan buku dan bentuk data lainnya tentang peristiwa masa

lampau di beberapa perpustakaan. Buku atau data yang telah terkumpul kemudian

diteliti dan disesuaikan dengan tema penelitian. Untuk memperoleh data-data

dalam penelitian ini, peneliti melakukan studi tentang sumber-sumber primer dan

sumber yang berupa buku-buku, koran dan majalah yang tersimpan di

perpustakaan.

Adapun kegiatan studi pustaka yang dilakukan, yaitu dengan

memanfaatkan berbagai perpustakaan di lingkup Universitas Sebelas Maret

Page 41: SKRIPSI - digilib.uns.ac.id... · undang No 62 tahun 1958 terhadap kewarganegaraan et nis Tionghoa di Indonesia diantaranya pada tahun 1960-an terdapat banyak kece nderungan dari

28

Surakarta, Perpustakaan Universitas Muhamaddiyah Surakarta, Perpustakaan

Museum Radya Pustaka Surakarta. Kegiatan pengumpulan data ini juga dilakukan

di Monumen Pers Surakarta untuk mendapatkan sumber berupa koran dan

majalah yang sejaman. Kegiatan berikutnya yaitu dengan membaca, mencatat,

meminjam, maupum memfotokopi sumber-sumber tertulis yang dianggap penting

dan relevan dengan tema penelitian. Dengan demikian dapat diperoleh data-data

yang akan digunakan dalam penulisan skripsi.

Dalam penelitian ini langkah-langkah yang dilakukan penulis dalam

mengumpulkan data adalah sebagai berikut :

1) Mengumpulkan buku-buku, surat kabar, artikel-artikel internet yang

relevan dengan masalah yang diteliti.

2) Membaca dan mencatat sumber-sumber data yang diperlukan baik itu

sumber primer maupun sumber sekunder.

3) Memfotokopi dan mencatat literatur kepustakaan yang dianggap

penting dan relevan dengan masalah yang diteliti.

4) Mengklasifikasikan dan menyeleksi sumber-sumber yang telah

dikumpulkan.

5) Membaca dan meringkas kembali sumber yang didapat serta

membandingkannya dengan sumber-sumber lain yang relevan

sehingga menjadi data yang akurat.

E. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah

teknik analisis historis. Menurut Kuntowijoyo dalam Dudung Abdurrahman

(1999:64), interpretasi atau penafsiran sejarah seringkali disebut dengan juga

analisis sejarah. Analisis sendiri berarti menguraikan, dan secara terminologis

berbeda dengan sintesis yang berarti menyatukan. Analisis dan sintesis, dipandang

sebagai metode-metode utama dalam interpretasi. Teknik analisis data historis

menurut Helius Sjamsuddin (1996:89) adalah analisis data sejarah yang

Page 42: SKRIPSI - digilib.uns.ac.id... · undang No 62 tahun 1958 terhadap kewarganegaraan et nis Tionghoa di Indonesia diantaranya pada tahun 1960-an terdapat banyak kece nderungan dari

29

menggunakan kritik sumber sebagai metode untuk menilai sumber-sumber yang

digunakan dalam penulisan sejarah

Menurut Berkhofer yang dikutip oleh Dudung Abdurrahman (1999:64),

analisis sejarah bertujuan melakukan sintesis atas sejumlah fakta yang diperoleh

dari sumber-sumber sejarah dan bersama-sama dengan teori-teori disusunlah fakta

itu ke dalam suatu interpretasi yang menyeluruh. Menurut Sartono Kartodirdjo

(1992:2) mengatakan bahwa analisis sejarah ialah menyediakan suatu kerangka

pemikiran atau kerangka referensi yang mencakup berbagai konsep dan teori yang

akan dipakai dalam membuat analisis itu. Data yang telah diperoleh

diinterpretasikan, dianalisis isinya dan analisis data harus berpijak pada kerangka

teori yang dipakai sehingga menghasilkan fakta-fakta yang relevan dengan

penelitian.

Adapun kegiatan yang dilakukan oleh peneliti dalam menganalisis data

sejarah adalah sebagai berikut:

1. Mengadakan kritik sumber, baik kritik ekstern maupun kritik intern.

Kritik ekstern yaitu memberikan penilaian terhadap keaslian atau otensitas

sumber dengan melihat sisi luarnya, misal jika penulis menggunakan

sumber arsip atau koran maka harus melihat atau memahami dengan

seksama tentang kapan dibuat atau diterbitkan , penggunaan bahasa dan

ungkapannya dan lain-lain. Sedangkan kritik intern yaitu memberikan

penilaian terhadap isi sumber, apakah sumber tersebut dapat dipercaya

atau tidak, seperti identifikasi penulis, cara berfikir penulis apakah

mengarah pada perhatian hanya ke satu jurusan tertentu atau lebih luas,

latar belakang dokumen tersebut dibuat dan unsur subyektifitas pengarang.

2. Menginterpretasikan data yang telah terkumpul dengan cara

membandingkan, mengkaitkan, atau menghubungkan antara data yang

satu dengan data yang lain. Agar dapat diketahui hubungan sebab akibat

dari suatu peristiwa di masa lampau yang menjadi obyek penelitian dan

mendapatkan fakta-fakta sejarah yang benar-benar relevan., penulis dapat

mengkaji dengan menggunakan beberapa sumber sekunder yaitu berupa

buku-buku yang relevan dengan masalah tersebut agar dapat menjadi

Page 43: SKRIPSI - digilib.uns.ac.id... · undang No 62 tahun 1958 terhadap kewarganegaraan et nis Tionghoa di Indonesia diantaranya pada tahun 1960-an terdapat banyak kece nderungan dari

30

Heuristik Kritik Interpretasi Historiografi

Fakta Sejarah

sebuah data. Data yang telah terkumpul kemudian diseleksi,

diklasifikasikan dan ditafsirkan, dan kemudian dirangkai untuk dijadikan

bahan penulisan penelitian yang utuh dalam sebuah karya ilmiah.

F. Prosedur Penelitian

Prosedur penelitian adalah langkah-langkah penelitian awal yaitu

persiapan pembuatan proposal sampai pada penulisan hasil penelitian. Karena

penelitian ini menggunakan metode historis, maka ada empat tahap yang harus

dipenuhi. Empat langkah itu terdiri dari heuristik, kritik, interpretasi, dan

historiografi. Prosedur penelitian tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:

Keterangan :

a. Heuristik

Heuristik berasal dari kata Yunani yang artinya memperoleh. Dalam

pengertiannya yang lain adalah suatu teknik yang membantu kita untuk mencari

jejak-jejak sejarah. Menurut G. J Rener (1997: 37), heuristik adalah suatu teknik,

suatu seni dan bukan suatu ilmu. Heuristik tidak mempunyai peraturan-peraturan

umum, dan sedikit mengetahui tentang bagian-bagian yang pendek. Sidi Gazalba

(1981: 15) mengemukakan bahwa heuristik adalah kegiatan mencari bahan atau

menyelidiki sumber sejarah untuk mendapatkan hasil penelitian. Dengan

demikian heuristik adalah kegiatan pengumpulan jejak-jejak sejarah atau dengan

kata lain kegiatan mencari sumber sejarah.

Pada tahap ini peneliti berusaha mencari dan menemukan sumber-sumber

tertulis berupa buku-buku serta bentuk kepustakaan lain yang relevan dengan

Page 44: SKRIPSI - digilib.uns.ac.id... · undang No 62 tahun 1958 terhadap kewarganegaraan et nis Tionghoa di Indonesia diantaranya pada tahun 1960-an terdapat banyak kece nderungan dari

31

penelitian. Sumber tertulis primer, berupa surat kabar, dan majalah; maupun

sumber sekunder berupa buku-buku dan literatur yang diperoleh dari beberapa

perpustakaan, dan di antaranya: Perpustakaan Pusat Universitas Sebelas Maret,

Perpustakaan Jurusan FKIP Universitas Sebelas Maret, Perpustakaan Program

Studi Sejarah FKIP Universitas Sebelas Maret, Perpustakaan Monumen Pers

Surakarta, Perpustakaan Pusat Universitas Muhammadiyah Surakarta, dan

Perpustakaan Museum Radya Pustaka Surakarta

b. Kritik

Setelah mengumpulkan data atau bahan, tahap berikutnya adalah langkah

verifikasi atau kritik untuk memperoleh keabsahan sumber. Kritik merupakan

kegiatan yang dilakukan untuk menyelidiki jejak-jejak sejarah yan telah

dikumpulkan yaitu menyangkut jejak-jejak sejarah tersebut dapat dipercaya atau

tidak, kritik sumber dilakukan untuk memilih, menyeleksi, mengidentifikasi serta

menilai sumber atau data yang akan digunakan dalam menulis sejarah kritis.

Menurut Helius Syamsudin (1996: 103) keabsahan sumber dicari melalui

pengujian mengenai kebenaran atau ketetapan sumber. Kritik terhadap sumber

data dilakukan dengan dua cara yaitu kritik ekstern dan kritik intern.

Kritik ekstern pada sumber tertulis dilihat dari pengarangnya. Kritik

ekstern yaitu kritik terhadap keaslian sumber (otensitas) yang berkenaan dengan

segi-segi fisik dari sumber yang ditemukan, seperti: bahan (kertas atau tinta) yang

digunakan, jenis tulisan, gaya bahasa, hurufnya, dan segi penampilan yang lain.

Kritik intern adalah kritik yang berhubungan dengan kredibilitas dari

sumber sejarah apakah isi, fakta dan ceritanya dapat dipercaya dan dapat

memberikan informasi yang dibutuhkan. Kritik interen dalam penelitian ini

dilakukan dengan kegiatan mengidentifikasi gaya, tata bahasa dan ide yang

digunakan oleh penulis sumber data, situasi saat penulisan dan tujuan dalam

mengemukakan peristiwa yang berkaitan dengan tema penelitian. Kritik Intern

dalam penelitian ini dilakukan dengan beberapa proses antara lain, Pertama,

penilaian terhadap aspek intrinsik yang dimulai dengan menentukan sifat sumber

data sejarah. Dari proses itu didapatkan pengkategorian sumber data. Kedua ,

Page 45: SKRIPSI - digilib.uns.ac.id... · undang No 62 tahun 1958 terhadap kewarganegaraan et nis Tionghoa di Indonesia diantaranya pada tahun 1960-an terdapat banyak kece nderungan dari

32

membuat suatu perbandingan diantara sumber data yang telah terkumpul, pada

proses ini dilakukan suatu kegiatan untuk menghubungkan dan membandingkan

sumber data yang satu dengan yang lain guna memastikan tingkat validitas

sumber data.

c. Interpretasi

Interpretasi atau penafsiran sejarah sering disebut juga dengan analisis sejarah.

Analisis ini berarti menguraikan secara terminologi berbeda dengan sintesis yang

berarti menyatukan. Namun analisis dan sistematis dapat dipandang sebagai

metode-metode utama dalam interpretasi (Kuntowijoyo,1993:100). Interpretasi

merupakan suatu kegiatan menafsirkan fakta-fakta yang diperoleh dari data-data

yang telah diseleksi terlebih dahulu pada tahapan sebelumnya, untuk selanjutnya

dilakukan analisis data.

Dalam penelitian ini, interpretasi dilakukan dengan cara menghubungkan

atau mengaitkan sumber sejarah yang satu dengan sumber sejarah lain, sehingga

dapat diketahui hubungan sebab-akibat dari suatu peristiwa masa lampau yang

menjadi obyek penelitian. Kemudian sumber tersebut ditafsirkan, diberi makna

dan ditemukan arti yang sebenarnya sehingga dapat dipahami makna tersebut

sesuai dengan pemikiran yang logis berdasarkan obyek penelitian yang dikaji.

Dengan demikian dari kegiatan kritik sumber dan interpretasi tersebut dihasilkan

fakta sejarah atau sintesis sejarah.

d. Historiografi

Historiografi adalah penulisan, pamaparan/pelaporan hasil penelitian

sejarah (Dudung Abdurrahman,1999:67). Historigrafi merupakan langkah terakhir

dalam penulisan sejarah. Langkah ini merupakan kegiatan menyusun fakta sejarah

menjadi suatu kisah sejarah yang menarik dan dapat dipercaya kebenarannya.

Menurut Helius Sjamsudin (1992:153) dalam historiografi seorang penulis tidak

hanya menggunakan keterampilan teknis penggunaan kutipan-kutipan atau

catatan-catatan tetapi penulis juga dituntut untuk menggunakan pikiran kritis dan

analisis. Dalam langkah ini diperlukan imajinasi untuk mengaitkan fakta satu

Page 46: SKRIPSI - digilib.uns.ac.id... · undang No 62 tahun 1958 terhadap kewarganegaraan et nis Tionghoa di Indonesia diantaranya pada tahun 1960-an terdapat banyak kece nderungan dari

33

dengan yang lain sehingga menjadi suatu kisah sejarah yang menarik. Pada tahap

ini, kegiatan menyusun fakta sejarah dibutuhkan kemampuan mengungkapkan

bahasa secara baik, kemampuan untuk menempatkan fakta sejarah sesuai dengan

periode sejarah. Dari data yang telah ditemukan maka peneliti berusaha

memaparkan hasil penelitian yang telah dilakukan dengan bahasa ilmiah disertai

dengan argumentasi secara sistematis. Kemampuan menjelaskan data yang telah

ditemukan dengan menyajikan bukti-bukti dan membuat garis umum yang dapat

diikuti secara jelas oleh pemikiran pembaca.

Page 47: SKRIPSI - digilib.uns.ac.id... · undang No 62 tahun 1958 terhadap kewarganegaraan et nis Tionghoa di Indonesia diantaranya pada tahun 1960-an terdapat banyak kece nderungan dari

34

BAB IV

HASIL PENELITIAN A. Kewarganegaraan Etnis Tionghoa di Indonesia sebelum keluarnya

Undang-Undang No 62 Tahun 1958

1. Kewarganegaraan Etnis Tionghoa Pada Masa Penjajahan Belanda a. Kedatangan Awal Orang Tionghoa di Nusantara

Kedatangan etnis Tionghoa ke Nusantara telah terjadi beratus-ratus tahun

yang lalu. Sebagian besar para emigran Cina adalah orang-orang miskin dan

berasal dari daerah Cina bagian selatan. Kemiskinan mereka dapat dilihat dari

pekerjaan mereka yang tergolong kasar, yaitu sebagai buruh, kuli perkebunan atau

pedagang kecil (Wang Gung Wu, 1991:291).

Diduga orang Cina yang pertama kali berkunjung ke Nusantara adalah Fa

Hian, seorang pendeta agama Budha. Kunjungan berikutnya dilakukan oleh I-

Tsing yaitu antara tahun 671-692 M. Sampai pada abad VIII, mula-mula

hubungan antara Negara Cina dangan Nusantara hanya berupa kunjungan pendeta

Budha. Baru pada masa pemerintahan Dinasti Song (960-1279 M) terjadi

perjalanan komersiil, perjalanan dengan tujuan berdagang ke kepulauan nusantara

(Markhamah, 2000:1)

Pada awal abad ke-17, sebelum kolonialis Belanda datang ke Indonesia,

bangsa Indonesia dengan Tiongkok telah terlibat dalam hubungan perdagangan.

Hubungan ini telah dimulai semenjak masa dinasti Han (206 SM-220 M). Pada

masa ini, Tiongkok telah membuka jalur perdagangan dengan negara-negara yang

ada di kawasan Asia Tenggara. Dalam hal ini, Jawa dan Sumatera termasuk dalam

jalur pelayaran tersebut. Lambat laun, banyak penduduk Tiongkok yang

bermigrasi ke kepulauan Nusantara, karena daerah Nusantara sangat subur jika

dibandingkan dengan negeri Tiongkok yang tandus serta kerap terjadi peperangan

dan bencana alam.

Kebanyakan imigran Tiongkok adalah laki-laki dan mereka tidak membawa

istri dari negeri asalnya, maka mereka pun menikah dengan wanita setempat.

Imigran Tiongkok ini kemudian bermukim sampai beberapa generasi dan tak per-

nah kembali ke negeri asal mereka. Oleh karena itu, muncullah etnis Tionghoa

34

Page 48: SKRIPSI - digilib.uns.ac.id... · undang No 62 tahun 1958 terhadap kewarganegaraan et nis Tionghoa di Indonesia diantaranya pada tahun 1960-an terdapat banyak kece nderungan dari

35

peranakan yang kemudian merasa menjadi orang Indonesia, sebab mereka lahir,

besar, bekerja, dan meninggal di bumi Nusantara, bahkan sebagian besar dari

mereka tidak bisa berbahasa Tionghoa, serta menganggap Nusantara sebagai

tanah airnya sendiri.

Hubungan antara kedua bangsa semakin erat semenjak adanya lawatan

muhibah Cheng Ho ke Nusantara pada abad ke-15. Pada saat itu Cheng Ho

mengemban misi dari Kaisar Cheng Zhu untuk menjalankan politik kerukunan

dan persahabatan dengan bangsa-bangsa asing, termasuk Nusantara. Pada saat

kedatangan Cheng Ho yang pertama, sudah banyak terdapat warga etnis Tionghoa

di Pulau J awa, Sumatera, dan Kalimantan. Pada akhir masa dinasti Ming (1368-

1644) dan awal dinasti Ch'ing (1644-1911), jumlah imigran etnis Tionghoa yang

datang ke Nusantara semakin bertambah. Hal ini disebabkan adanya penyerangan

bangsa Manchu terhadap dinasti Ming, sehingga banyak penduduk Tiongkok

yang bermigrasi untuk menghindari peperangan. Jika pada tahun 1628, jumlah

warga etnis Tionghoa di Batavia baru berjumlah 3.000 jiwa, maka pada tahun

1739 telah meningkat menjadi 10.574 jiwa. Para imigran etnis Tionghoa di

Nusantara dapat hidup berdampingan secara rukun dan damai dengan penduduk

setempat. Mereka hidup membaur dengan membawa kebudayaan masing-masing,

serta bersama-sama mengembangkan dan memakmurkan ekonomi setempat.

Keberadaan mereka sangat menguntungkan dan membawa perkembangan bagi

daerah yang ditempatinya, sebab mereka membawa dan memperkenalkan

teknologi dari negerinya, seperti pembuatan gula tebu, tahu, mi, bihun, kecap,

penyulingan alkohol, serta pembuatan alat-alat rumah tangga. Warga etnis Tiong-

hoa juga sangat rajin bekerja di segala bidang kehidupan, misalnya sebagai

pedagang, petani, pandai besi, tukang kayu, dan kuli pertambangan ataupun

perkebunan (Hembing Wijayakusuma, 2005: vii-viii).

Orang Cina di Indonesia kebanyakan tinggal di Pulau Jawa. Pada tahun

1930 mencapai hampir 50% dari seluruh orang Cina yang ada di Indonesia. Di

Jawa tempat tinggal mereka terpisah dengan pribumi. Hampir pada setiap kota di

Jawa terdapat daerah yang disebut “pecinan” yang berarti tempat tinggal orang

Cina. Pekerjaan orang Cina adalah pedagang, kecuali orang-orang Cina di

Page 49: SKRIPSI - digilib.uns.ac.id... · undang No 62 tahun 1958 terhadap kewarganegaraan et nis Tionghoa di Indonesia diantaranya pada tahun 1960-an terdapat banyak kece nderungan dari

36

Kalimantan Barat dan Bangka–Balitung. Di kedua pula tersebut, orang Cina tidak

bekerja pada sektor perdagangan Ada beberapa pendapat yang berkaitan dengan

kedatangan orang Cina di Jawa. Ada yang mengatakan bahwa sebelum

kedatangan Belanda ke Indonesia. Pada tahun 1596 M belum terdapat

perkampungan orang Cina di Jawa. Perkampungan orang Cina mulai ada setelah

Belanda kembali ke Banten. Wang Gungwu mengatakan bahwa munculnya

perkampungan Cina di Jawa adalah antara tahun 1405-1430 M (Markhamah,

2000:1).

Masyarakat Tionghoa merupakan kelompok yang heterogen; mereka be-

gitu beragam hampir seperti kepulauan Indonesia. Masyarakat Tionghoa di Jawa

datang sebagai perorangan, atau dalam kelompok kecil, mereka tiba di sini

sebelum kedatangan bangsa Eropa. Sebagian besar kaum migran ini menyatu

dengan masyarakat lokal sehingga masyarakat Tionghoa Jawa sekarang ini tidak

lagi dapat berbicara bahasa Mandarin. Sedangkan, di Kalimantan Barat, di pulau

Kalimantan, dan pesisir timur Sumatera, kaum Tionghoa bermigrasi dalam

kelompok besar utuk bekerja di perkebunan dan di tambang timah sehingga

masyarakat Tionghoa di daerah tersebut tetap mempertahankan bahasa mereka. Di

Sulawesi Utara dan di pulau Maluku mereka dengan sendirinya berasimilasi

dengan masyarakat lokal. Selain berasal dari daerah yang berbeda, masyarakat

Tionghoa menganut bermacam agama di Indonesia, Kristen, Katolik, dan aliran

Kristen lainnya, Buddha, Kong Hu Cu, dan Islam (Justian Suhandinata, 2009: 10).

b. Kewarganegaraan Etnis Tionghoa Pada Masa VOC

Verenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) didirikan pada tahun 1602.

VOC merupakan gabungan dari sejumlah perusahaan dagang Belanda yang

berlayar ke Hindia Timur. Oleh karena itu VOC tidak mengenal prinsip

kewarganegaraan sewaktu memegang monopoli dagangnya di Nusantara ini.

VOC bukan merupakan suatu badan kenegaraan. Sehingga pada zaman Kompeni

(VOC) masih belum terdapat peraturan-peraturan tentang kewarganegaraan. Pada

waktu itu perbedaan bukanlah dilakukan antara warganegara dan “orang-orang

asing”. Orang lebih banyak memperhatikan sifat-sifat lahir (uiterlijke kenmerken)

Page 50: SKRIPSI - digilib.uns.ac.id... · undang No 62 tahun 1958 terhadap kewarganegaraan et nis Tionghoa di Indonesia diantaranya pada tahun 1960-an terdapat banyak kece nderungan dari

37

atau kriteria lain seperti kepercayaan (keagamaan) yang mudah tampak terlihat.

Kompeni datang ke Indonesia bukan untuk mendirikan suatu negara atau

mempunyai politik lainnya. Mereka hanya datang mengembara di kepulauan ini

untuk berdagang, untuk mencari keuntungan materiil sebesar-besarnya. Maka

mereka sama sekali tidak begitu mementingkan permasalahan politis dan

kenegaraan (Sudargo Gautama, 1987:21).

Pada zaman VOC dikenal perbedaan antara compagniesdienaren

(hamba-hamba kompeni Belanda yang merupakan keturunan orang Eropa atau

Belanda) dan vrije luiden of slaven (golongan yang bukan keturunan

Eropa/Belanda misalnya seperti Arab dan Tionghoa); atau antara Christenen

(beragama Kristen) dan Onchristenen (beragama non Kristen); dan sebagainya.

Perbedaan-perbedaan itu dipandang dengan memperhatikan sifat-sifat lahir

(tampak) atau kriteria lain seperti kepercayaan (keagamaan) yang mudah tampak

terlihat. Akan tetapi pada prinsipnya, khususnya mereka yang tinggal dalam

benteng VOC, tetap tunduk pada hukum yang sama, yaitu hukum Belanda.

Jadi, sama sekali tidak ada usaha untuk membedakan secara yuridis antara

orang asing dan orang asli dari daerah yang bersangkutan. Kedudukan

hukum orang asing sama dengan orang asli, sama-sama sebagai penduduk

Hindia Timur (Oost Indie), dengan hak dan kewajiban yang sama.

(Koerniatmanto, 1996:16)

Pada tahun 1720, imigrasi orang Tionghoa ke Nusantara sangat dibatasi.

Pembatasan terhadap masuknya orang-orang Cina merupakan suatu indikator

bahwa VOC tidak selamanya memperlakukan orang Tionghoa secara lebih baik.

Pembunuhan massal terhadap orang Tionghoa di Batavia pada tahun 1740-an

adalah salah satu wujud pernyataan sikap yang dikeluarkan oleh VOC terhadap

orang Tionghoa (Benny Juwono, 1999: 51). Walaupun Pemerintah Kolonial

Belanda memberikan peraturan yang kurang baik terhadap Etnis Tionghoa, tetapi

komunitas Tionghoa penting dipertahankan alasannya adalah bahwa kekuatan

Belanda memaksakan pemisahan orang Tionghoa dan menginginkan mereka

untuk tetap berbeda. Lagipula, orang Tionghoa membayar pajak lebih mahal

Page 51: SKRIPSI - digilib.uns.ac.id... · undang No 62 tahun 1958 terhadap kewarganegaraan et nis Tionghoa di Indonesia diantaranya pada tahun 1960-an terdapat banyak kece nderungan dari

38

ketimbang yang dibayar oleh penduduk asli, dan mereka menyediakan bagian

yang besar daripada pendapatan integral VOC (Justian Suhandinata, 2009:103).

1) Kewarganegaraan Belanda menurut Burgelijk Wetboek

Di negeri Belanda masalah kewarganegaraan muncul untuk pertama

kali pada sekitar tahun 1814/1815. Pada tahun itu terbentuk Undang-

Undang Dasar (grondwet) yang pertama bagi Kerajaan Belanda. Baru sekitar

waktu itu orang Belanda menyadari dirinya sebagai sebuah bangsa (nation).

Disadari perlunya ketentuan tentang siapakah yang merupakan warga

Kerajaan Belanda (Nederlanderschap).

Berdasarkan Grondwet 1814/1815 pada tahun 1838 disusunlah

Nederlandsch Burgerlijk Wetboek (NBW). Dengan menggunakan asas ius soli

Pasal-pasal yang mengtur Nederlanderschap ini ialah pasal 5-12 B.W.

dengan title Van Nederlanders en Vreemdelingen yang menyatakan bahwa

selain orang-orang keturunan Belanda, juga orang-orang Indonesia,

Tionghoa dan Arab yang dilahirkan di Hindia Belanda, adalah orang-orang

Belanda tetapi dalam artian Civielrechtelijk. Status ini hanya bersifat

perdata (privat). Artinya tidak membawa hak dan kewajiban publik

sebagaimana halnya pada status warga negara umumnya. Namun status ini

tetap membawa akibat hukum dalam hal perlindungan diplomatik dalam

hubungan internasional (Sudargo Gautama, 1987:22-23)

2) Dualisme Kewarganegaran Belanda

Pasal 5 NBW menetapkan pengertian warga negara Belanda, secara

terbatas, yang semata mata hanya mengatur masalah-masalah di bidang

hukum perdata. Jadi sampai dengan tahun 1850 yang ada hanyalah

civielrechtelijk Nederlanderschap. Baru pada tanggal 28 Juli 1850

dikeluarkan suatu wet yang mengatur masalah staaatsrechtelijk

Nederlanderschap (Staatsblad 1850-44), sebagai pelaksanaan dari pasal 7

Grondwet 1848. Sejak saat itulah muncul masalah dualisme pengertian

warga Negara Belanda. Pengertian yang bersifat perdata diatur dalam

Nederlandsch Burgerlijk Wetboek, sedangkan pengertian yang bersifat

publik diatur berdasarkan Wet 28 juli 1850

Page 52: SKRIPSI - digilib.uns.ac.id... · undang No 62 tahun 1958 terhadap kewarganegaraan et nis Tionghoa di Indonesia diantaranya pada tahun 1960-an terdapat banyak kece nderungan dari

39

Pengertian warga negara Belanda berdasarkan kedua ketentuan itu

mempunyai perbedaan lingkup yang prinsipial sifatnya. Warga negara

Belanda menurut Nederlandsch Burgelijk Wetboek ialah mereka yang

dilahirkan oleh orang tua yang bertempat tinggal di negeri Belanda dan

koloninya, sedangkan menurut Wet 28 Juli 1850 terbatas hanya pada

mereka yang dilahirkan oleh orang tua yang bertempat tinggal dinegeri

Belanda. Berdasarkan Pasal 1 Wet 28 Juli 1850, orang yang berhak

menikmati hak-hak publik hanya orang-orang Belanda yang lahir dari orang

tua yang bertempat tinggal di negeri Belanda (rijk in Europe)

(Koerniatmanto, 1996:17-18).

3) Wet op het Nederlanderschap en Ingezetenschap 1892

Pada tahun 1920 Regeringsreglement mengalami perubahan yang

cukup luas, meskipun dengan nama yang tetap sama. Perubahan nama baru

terjadi pada tanggal 1 Januari 1926. Indische Staatsregeling (IS)

menggantikan kedudukan Regeringsreglement sebagai "konstitusi" Hindia

Belanda, dengan materi muatan atau isi yang persis sama. Berdasarkan

Pasal 160 ayat (2) IS, penduduk Hindia Belanda adalah mereka yang

dengan sah bertempat tinggal tetap di sana. Selanjutnya, berdasarkan Pasal

163 IS penduduk Hindia Belanda dibedakan ke dalam tiga golongan, yaitu

golongan Eropa, golongan Pribumi, dan golongan Timur Asing. Pada

tanggal 12 Desember 1892 diundangkan di Negeri Belanda suatu Undang-

Undang yang dikenal sebagai Wet op het Nederlanderschap en het

Rijksingezetenenschap (Wet 1892). Melalui ketentuan penutupnya, wet yang

mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 1893 ini mencabut Pasal 5-12 NBW dan

Wet 28 Juli 1850. Dengan demikian dualisme ketentuan tentang kewarganegaraan

di negeri Belanda diakhiri (Koerniatmanto, 1996:20)

Berbeda dengan ketentuan-ketentuan yang terdahulu, Wet 1892 ini

pada prinsipnya menganut asas ius sanguinis, tanpa meninggalkan sama sekali

asas ius soli. Asas ius soli dipergunakan sebagai perkecualian, semata-mata

guna menghindari munculnya kasus apatride.

Page 53: SKRIPSI - digilib.uns.ac.id... · undang No 62 tahun 1958 terhadap kewarganegaraan et nis Tionghoa di Indonesia diantaranya pada tahun 1960-an terdapat banyak kece nderungan dari

40

4) Wet op het Nederlandsch Onderdaanschap van Niet Nederlander 1910

Bunyi Ketentuan Peralihan Wet 1892 tersebut berasal dari usul atau

amandemen dari anggota parlemen Belanda yang bernama Levysshon

Norman. Amandemen Levysshon Norman pada hakikatnya berkaitan

langsung dengan kekhawatiran, jangan-jangan ada orang dari golongan

Pribumi dan yang dipersamakan di Hindia Belanda yang akan dapat

memangku jabatan publik atau menikmati hak-hak publik.

Akan tetapi Amandemen Levysshon Norman ini menimbulkan

berbagai kesulitan bagi Pemerintah jajahan Belanda itu sendiri. Kesulitan

ini antara lain menimpa para konsul Belanda di luar negeri. Mereka ragu-

ragu, apakah orang-orang dari golongan bukan Belanda perlu mereka lin-

dungi atau tidak, seperti halnya para Nederlander lainnya.

Selain itu Pemerintah Hindia Belanda menghadapi kesulitan lain

yang timbul dari diundangkannya Undang-Undang Kewarganegaraan

Tiongkok 1909. Undang-Undang ini menggunakan asas ius sanguinis. Hal

ini berarti bahwa semua orang Cina di mana pun ia berada (termasuk yang

menjadi penduduk di Hindia Belanda) adalah warga negara Tiongkok.

Tentu saja hal ini mengancam kepentingan Pemerintah Hindia Belanda,

baik secara politis maupun secara ekonomis.

Mengingat pelbagai kesulitan di atas, pada tanggal 10 Februari 1910

diundangkanlah Wet op het Nederlandsch Onderdaanschap van Niet

Nederlanders (Staatsblad 1910-296) atau Wet 1910. Sejak saat itu pula

kedudukan publik sebagai penduduk Hindia Belanda berdasarkan Pasal 160

IS diatur lebih lanjut dalam Wet 1910 ini sebagai kaulanegara Belanda

(Nederlandsch onderdaan). Wet ini menentukan bahwa yang menjadi

kaulanegara Belanda adalah

a. mereka yang lahir di Hindia Belanda dari orangtua yang bertempat tinggal

di Hindia Belanda, atau dari seorang ibu yang bertempat tinggal di Hindia

Belanda apabila ayahnya tidak diketahui,

b. mereka yang lahir di Hindia Belanda dari orangtua yang tidak diketahui,

Page 54: SKRIPSI - digilib.uns.ac.id... · undang No 62 tahun 1958 terhadap kewarganegaraan et nis Tionghoa di Indonesia diantaranya pada tahun 1960-an terdapat banyak kece nderungan dari

41

c. istri atau janda dari mereka yang termasuk kategori a dan b di atas, yang

tidak kawin kembali,

d. anak dari mereka yang termasuk kategori a, yang lahir di luar Hindia

Belanda, selama belum berusia delapan belas tahun atau belum kawin,

e. anak dari orangtua yang berstatus kaulanegara menurut Wet ini, yang lahir

di luar Hindia Belanda, bila mereka telah berusia delapan belas tahun atau

telah kawin, bertempat tinggal di wilayah Kerajaan Belanda (Negeri

Belanda, Hindia Belanda, Suriname, Curasao) dengan istri dan anaknya

yang belum berusia delapan belas tahun, jika juga bertempat tinggal di

wilayah Kerajaan Belanda,

f. mereka yang bertempat tinggal di Hindia Belanda setelah kehilangan

kekaulanegaraan Belanda-nya karena tidak menggunakan hak opsinya

sewaktu tinggal di luar negeri.

Dengan berlakunya Wet 1910 ini, lahirlah istilah Nederlandsch

onderdaanschap (kekaulanegaraan Belanda). Istilah ini merupakan istilah yuridis

baru dalam hukum ketatanegaraan Hindia Belanda. Istilah ini menunjukkan

hubungan hukum antara penduduk Hindia Belanda, yang adalah wilayah jajahan

Belanda, dan Kerajaan Belanda (Koerniatmanto, 1984:22)

c. Munculnya Pergerakan Tionghoa

Pergerakan Tionghoa adalah gerakan untuk perbaikan nasib serta

mencapai perlakuan sama rata dari orang-orang Tionghoa yang berada di

Indonesia. Pergerakan Tionghoa merupakan factor pendorong dari dalam negeri,

supaya diadakan suatu peraturan kewarganegaraan yang pasti bagi Hindia

Belanda.

Menurut Fromberg sendiri, keganjilan orang-orang Tionghoa bukan

karena mereka ingin dipersamakan dengan golongan bumiputra. Akan tetapi

karena mereka tidak dipersamakan dengan golongan Eropa. Dan jika dilihat

secara objektif, usaha pergerakan Tionghoa, ke arah perlakuan sama rata, justru

membawa pula manfaat juga bagi golongan rakyat bumiputra. Karena pergerakan

Tionghoa ini juga menjadikan masyarakat Indonesia telah turut bangun, sehingga

dalam waktu cepat telah muncul berbagai perhimpunan-perhimpunan nasional

Page 55: SKRIPSI - digilib.uns.ac.id... · undang No 62 tahun 1958 terhadap kewarganegaraan et nis Tionghoa di Indonesia diantaranya pada tahun 1960-an terdapat banyak kece nderungan dari

42

Indonesia (Sudargo Gautama, 1987:48-49)

Adanya hasrat untuk membuat sebanyak mungkin orang-orang menjadi

kaulanegara dengan menggunakan asas daerah kelahiran dan tafsiran yang luas ini

telah menimbulkan reaksi dari kalangan tertentu. Bagi orang-orang yang tidak

suka untuk dihitung menjadi kaulanegara Belanda, hal ini dipandang sebagai

terlalu memaksa. Sama sekali tidak ada kemungkinan untuk menolak

kekaulanegaraan ini. Hak repudiasi tidak dikenal. Tetapi bila diabaikan sama

sekali kebebasan memilih ini segala sesuatu akan dirasakan lebih menyakitkan.

Pemuka-pemuka dari "Pergerakan Tionghoa" yang sediakala dipelopori oleh Sin

Po melalui perkataan-perkataan yang dipakai oleh Tjoe Bou San, yaitu pelopor

pergerakan yang terkenal dalam Sin Po dengan terang-terangan menolak

kekaulanegaraan Hindia Belanda ini. Orientasi mereka semata-mata ditujukan

kepada negeri leluhur. Tidak adanya kebebasan untuk memilih ini merupakan

salah satu keberatan mereka (dalam Sin Po, November 1930)

Pendorong utama bagi pemerintah Hindia Belanda untuk

mengeluarkan suatu peraturan tentang nasionalitas rakyat Hindia Belanda

ialah kekhawatiran akan "hilangnya" berjuta-juta orang keturunan Tionghoa,

yang sebenarnya telah hidup turun-temurun, telah dilahirkan dan juga akan

dikubur di kepulauan ini bekerja berusaha serta berniaga di sini harus

dianggap sebagai anak-anak negeri ini. Suasana kehidupan kolonial pada awal

permulaan di Hindia Belanda adalah sedemikian rupa, sehingga orang-orang

Tionghoa di kepulauan ini tidak dapat menganggap dirinya tidak lain

daripada orang-orang asing. Harapan mereka tidak diletakkan atas negeri di

mana mereka dilahirkan. Keadaan yang memaksa untuk menengok kepada

negeri leluhur. Perlindungan diharapkan hanya dari negeri yang telah lama

mereka tinggalkan (Sudargo Gautama, 1987:48-50).

Perhatian dari tunjangan yang diperoleh Hoakiao (orang Tionghoa

perantauan) dari negeri leluhur dan negeri leluhur dari Hoakiao ini adalah timbal-

balik. Di waktu dynasti Manchu masih berkuasa, para emigran ini dianggap

sebagai penjahat-penjahat dan terhadap siapapun dapat dijatuhkan hukuman mati.

Mereka ini dipandang sebagai orang-orang yang melalaikan kewajiban sucinya

Page 56: SKRIPSI - digilib.uns.ac.id... · undang No 62 tahun 1958 terhadap kewarganegaraan et nis Tionghoa di Indonesia diantaranya pada tahun 1960-an terdapat banyak kece nderungan dari

43

untuk memelihara leluhur mereka. Dalam suasana demikian dapat dimengertilah

mengapa Cina di waktu itu sama sekali tak menaruh perhatian pada rakyatnya

yang pergi mengembara ke negeri lain. Karenanya mudah dimengerti sikap

pemerintah Cina yang amat pasif ketika berulang-ulang beribu-ribu orang

Tionghoa telah dibunuh di negeri-negeri perantauan, antaranya tahun 1740 di

Batavia (Justian Suhandinata, 2009:11)

Pada akhir abad ke-19 keadaan baru mulai berubah. Dengan proklamasi

Gubernur Kwangtung ditahun 1859, dapat dikatakan secara resmi untuk pertama

kalinya diakui hak rakyat Cina untuk meninggalkan tanah leluhur mereka serta

kembali lagi ke sana dengan tak usah takut ditangkap atau dituntut serta diperas,

karena melanggar suatu peraturan hukum. Kemudian disempurnakan kebebasan

untuk merantau ini. Keadaan sama sekali berubah sebagai akibat revolusi

nasional. Negeri leluhur sekarang dengan tegas menganut politik melindungi

terhadap rakyatnya dalam pengembaraan. Guna perlindungan ini, diperlukan

suatu undang-undang kewarganegaraan yang luas. Peraturan ini harus dapat terus

menganggap rakyat dalam pengembaraan walau sudah ratusan tahun

meninggalkan negeri leluhur, dan sudah tak ada hubungan sedikitpun dengan

negeri leluhur, tetap diakui sebagai anggota-anggota "Chung Hua Min Kuo".

Mereka dapat menikmati perlindungan serta hak-hak politis di negeri Cina,

Demikianlah dalam tahun 1909 telah lahir Undang-Undang

Kewarganegaraan Cina, serta telah disediakan untuk Hoakiao dalam DPR di

Cina dari tahun 1912, 6 dari total 274 kursi wakil-wakil.

Semangat nasionalisme yang sedang bergelora di negeri leluhur, tidak

bisa tidak harus dirasai pula oleh Hoakiao di Hindia Belanda. Semangat

nasional laksana angin telah meniup-niup dan mengobarkan pula api

nasional dalam hati-hati orang-orang Tionghoa di Indonesia, api yang

memangnya harus diakui sedari dulu belum pernah padam sama sekali.

Lebih banyak orang-orang Tionghoa di Hindia Belanda merasakan diri

mereka Tionghoa. Dari suatu "etat hermite" Cina telah berubah menjadi

suatu "etat nation".

Page 57: SKRIPSI - digilib.uns.ac.id... · undang No 62 tahun 1958 terhadap kewarganegaraan et nis Tionghoa di Indonesia diantaranya pada tahun 1960-an terdapat banyak kece nderungan dari

44

Melihat keadaan semua itu pemerintah Hindia Belanda sadar akan

bahaya apabila demikian banyak orang Tionghoa menjadi terlepas sama

sekali dari lingkungan Hindia Belanda, Maka dibuatlah peraturan-peraturan

yang bermaksud untuk mencegah terjadinya hal yang tak diinginkan itu.

Keadaan menjadi semakin mendesak ketika Pemerintah Cina sendiri dalam

tahun 1909 sudah siap dengan peraturan kewarganegaraannya, serta berniat

untuk mengirimkan Konsul-konsul, "High Commissioners", dan "Inspektur-

inspektur pendidikannya" ke Hindia Belanda. Dengan maksud untuk

menghindarkan supaya orang-orang Tionghoa Peranakan jatuh di bawah

kekuasaan jurisdiksi Konsul-konsul Cina, pemerintah Hindia Belanda

dengan tergesa-gesa menetapkan undang-undangnya tentang "Nederlandsch

Onderdaanschap van niet Nederlanders" (S. 1910/296). (Sudargo Gautama,

1987: 52).

2. Kewarganegaraan Etnis Tionghoa Pada Masa Pendudukan Jepang

Sewaktu Jepang menduduki Indonesia yaitu pada bulan Maret 1942,

semua partai politik (baik partai-partai pribumi, Belanda, maupun Tionghoa)

dilarang. Para pemimpin mereka dipenjarakan atau bergerak di bawah tanah atau

"bekerja sama" dengan orang Jepang. Sebagian besar para pemimpin totok yang

anti Jepang ditawan, demikian juga sejumlah pemimpin peranakan. Walaupun

demikian ada juga orang Tionghoa dan beberapa nasionalis Indonesia yang

bekerja sama dengan Jepang. Dari partai politik peranakan Tionghoa yang

terlarang, Liem Koen Hian (PTI) dan Oei Tjong Hauw (CHH) diangkat sebagai

anggota dari Badan Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan Indonesia (BPKI -

yang dipimpin Sukarno dan Hatta). Dua anggota panitia lainnya dari kaum

peranakan (yang tidak aktif dalam partai-partai Tionghoa sebelum Perang Dunia

Kedua) adalah Oei Tiang Tjoei (Pimpinan surat kabar Hong Po yang pro-Jepang

dan ketua Hua ch’iao tsung-hui di Jakarta), dan Tan Eng Hoa. Tiga orang yang

disebut pertama cukup menonjol dan pandangan mereka dapat dianggap mewakili

kaum Tionghoa peranakan selama masa pendudukan Jepang.

Liem Koen Hian tetap mendukung kemerdekaan Indonesia. Pandangan-

pandangannya yang nasionalis dan pro-Indonesia. yang telah dikemukakannya

Page 58: SKRIPSI - digilib.uns.ac.id... · undang No 62 tahun 1958 terhadap kewarganegaraan et nis Tionghoa di Indonesia diantaranya pada tahun 1960-an terdapat banyak kece nderungan dari

45

sejak sebelum masa pendudukan, nampaknya tidak berubah. Juga pandangannya

tentang kewarganegaraan orang Tionghoa Indonesia. Dalam sebuah pertemuan

BPKI Liem rnengemukakan keyakinannya bahwa kaum Tionghoa lokal di Jawa

tidak lagi Cina dalam kebudayaannya. Mereka lebih Indonesia daripada Cina.

Walaupun demikian mereka agak bingung tentang posisi mereka sendiri karena

ada perubahan situasi baik nasional maupun intemasional. Liem menganjurkan

agar Republik Indonesia yang akan datang menyatakan semua Tionghoa di

Indonesia sebagai warga negara Indonesia (Leo Suryadinata,1984: 55)

Oei Tiang Tjoei mempunyai pendapat yang berbeda. Ia setuju bahwa

Tionghoa peranakan adalah campuran dari orang Indonesia dan Tionghoa tetapi

hal itu tidak membuat mereka menjadi orang Indonesia. Ia mengatakan bahwa

rasa nasionalis adalah naluriah. Kaum Tionghoa peranakan di Indonesia, menurut

pandangannya, masih mempunyai rasa nasionalis Cina. Karena itu ia

mengusulkan agar dalam Undang-undang Dasar Republik Indonesia

kewarganegaraan orang Tionghoa sebaiknya "diberi pertimbangan yang adil". Ia

tidak mengatakan bahwa Tionghoa harus dinyatakan sebagai warga negara Cina,

tetapi keterangan-keterangan yang diberikannya nampaknya menjurus ke situ. Di

samping itu ia tidak melihat ada pertentangan antara menjadi anggota bangsa

Cina dan menjadi anggota masyarakat Indonesia. Dalam pandangannya, orang

Jepang, Indonesia, dan Tionghoa semuanya orang Asia, karena itu mereka harus

bekerja sama mewujudkan "Asia Raya".

Oei Tjong Hauw mempunyai pandangan yang mirip tetapi lebih terbuka.

Oei lebih memilih agar pemerintah Indonesia yang akan menyatakan semua orang

Tionghoa di Indonesia sebagai warga negara Cina. Ia mengemukakan bahwa

banyak Tionghoa peranakan memegang kewarganegaraan Cina sewaktu Undang-

undang Kekawulaan Belanda tidak berlaku lagi. Mereka tidak malu akan

kewarganegaraan mereka. Oei selanjutnya mengatakan bahwa walaupun ia dan

orang-orangnya akan memilih kewarganegaraan Cina, ia berjanji akan bekerja

sebaik mungkin untuk membantu rakyat Indonesia membentuk negara merdeka.

Kesediaannya mendukung kemerdekaan Indonesia disebabkan oleh dua hal;

negara Cina juga sedang berperang memperjuangkan kemerdekaannya; dan

Page 59: SKRIPSI - digilib.uns.ac.id... · undang No 62 tahun 1958 terhadap kewarganegaraan et nis Tionghoa di Indonesia diantaranya pada tahun 1960-an terdapat banyak kece nderungan dari

46

bahwa orang Tionghoa di Indonesia berhutang budi kepada pemerintah Indonesia

atas mata pencaharian yang telah diperoleh bagi kehidupannya. (Leo Suryadinata,

1984 : 56).

3. Kewarganegaraan Etnis Tionghoa Pada Awal Kemerdekaan

Jepang menyerah pada pertengahan Agustus 1945 kepada Sekutu. Para

pemimpin nasionails Indonesia, diwakili oleh Sukarno dan Hatta, mempergunakan

kesempatan itu untuk memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia.

Lahirlah suatu bangsa baru, yang berarti bahwa sejak saat itu ada sekelompok

manusia yang mempunyai hubungan khusus dengan suatu negara baru. Bangsa

baru itu adalah bangsa Indonesia, dan negara baru itu adalah Republik Indonesia.

Secara formal, sejak saat itu timbul hubungan hak dan kewajiban secara timbal

balik antara bangsa Indonesia (atau warga negara Indonesia) dan Republik

Indonesia. Hal ini mengingat bahwa salah satu syarat mutlak eksistensi Republik

Indonesia adalah bangsa Indonesia itu sendiri.

Sehari kemudian Undang-Undang Dasar yang kini dikenal sebagai

Undang-Undang Dasar 1945 disahkan sebagai konstitusi Republik Indonesia.

Pasal 26 UUD 1945 menyatakan sebagai berikut:

(1) Yang menjadi warga negara ialah orang-orang Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan Undang-Undang sebagai warga negara.

(2) Syarat-syarat yang mengenai kewarganegaraan ditetapkan dengan Undang-Undang.

Secara otentik Penjelasan UUD 1945 mengenai ketentuan di atas

menerangkan sebagai berikut:

Orang-orang bangsa lain, misalnya orang peranakan Belanda, peranakan

Tionghoa, dan peranakan Arab, yang bertempat tinggal di Indonesia, mengakui

Indonesia sebagai tanah airnya, dan bersikap setia kepada Negara Republik

Indonesia, dapat menjadi warga negara. Dari keterangan di atas dapat disimpulkan

bahwa terdapat pembedaan kelompok warga negara Indonesia, yaitu warga negara

Indonesia asli dan warga negara Indonesia keturunan asing. Dengan pengertian

bahwa warga negara keturunan asing adalah warga negara Indonesia yang mem-

peroleh statusnya itu berdasarkan proses pewarganegaraan atau naturalisasi. Di

Page 60: SKRIPSI - digilib.uns.ac.id... · undang No 62 tahun 1958 terhadap kewarganegaraan et nis Tionghoa di Indonesia diantaranya pada tahun 1960-an terdapat banyak kece nderungan dari

47

sini timbul suatu pertanyaan mengenai siapakah warga negara Indonesia asli itu.

Jawaban atas pertanyaan ini dapat ditemukan pada Undang-Undang No. 3/1946.

Di dalam Undang-Undang ini terdapat pengertian mengenai warga negara

Indonesia asli yang bersifat yuridis-konstitusional, bukan yang bersifat biologis-

etnik ataupun sosiologis-kultural (Koerniatmanto. 1996 :26)

a. Undang-Undang No. 3 Tahun 1946

Sukarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 17

Agustus 1945, tetapi pasukan Belanda kemudian menduduki kembaIi sebagian

besar kota besar Indonesia, Pasukan Republik Indonesia didesak kembali ke

Yogyakarta. Pada tanggal 10 April 1946 pemerintah Republik Indonesia yang

berpusat di Yogyakarta mengeluarkan Undang-Undang Kewarganegaraan yaitu

Undang-Undang No. 3/1946 yang mengatur tentang Kewarganegaraan dan

Kependudukan Republik Indonesia yang dilandaskan pada asas ius soli dan

"sistem pasif". Undang-undang itu menyebutkan bahwa "warga negara Indonesia"

terdiri dari orang asli yang bertempat tinggal di daerah di Indonesia dan

" ... orang-orang yang tidak dalam kelompok yang tersebut di atas, akan tetapi yang lahir di daerah-daerah teritorial Indonesia dan telah tinggal di sana selama lima tahun terakhir berturut-turut, serta mereka yang telah berumur 21 tahun, dengan syarat orang-orang tersebut tidak menolak kewarganegaraan Indonesia karena menjadi warga negara negara lain, ...

Karena mayoritas orang Tionghoa lokal, khususnya yang tinggal di Jawa,

lahir di negara Indonesia pada masa penjajahan, secara otomatis mereka menjadi

warga negara Indonesia kalau mereka terap "pasif" (kalau mereka tidak

mengambil langkah-langkah untuk menolak status mereka). Undang-undang

Kewarganegaraan Indonesia 1946 yang diundangkan oleh kaum republikan yang

hanya menguasai wilayah yang kecil pada waktu itu tidak banyak pengaruhnya

terhadap mayoritas penduduk Tionghoa.

Kebijaksanaan liberal yang didasarkan pada asas ius soli tidak sejalan

dengan persepsi sebagian besar orang Indonesia tentang orang minoritas

Tionghoa, yaitu bahwa orang Indonesia tidak mempercayai golongan Tionghoa

dan memandang mereka sebagai orang asing yang sulit sekali berasimilasi.

AIasan diterapkannya kebijaksanaan yang begitu liberal mungkin dapat dijelaskan

Page 61: SKRIPSI - digilib.uns.ac.id... · undang No 62 tahun 1958 terhadap kewarganegaraan et nis Tionghoa di Indonesia diantaranya pada tahun 1960-an terdapat banyak kece nderungan dari

48

dari segi "situasi obyektif", yaitu keadaan yang dihadapi pemerintah republik.

Pemerintah Indonesia waktu itu masih menghadapi kekuasaan penjajah Belanda

sehingga mereka ingin sekali mendapat dukungan orang Tionghoa yang secara

ekonomis kuat untuk membantu perjuangan bagi kemerdekaan politik. Mengenai

jumlah orang Tionghoa lokal dalam wilayah republik yang menolak

kewarganegaraan Indonesia tidak ada catatan yang dapat diperoleh. Karena

perasaan anti-Tionghoa kuat di antara para nasionalis Indonesia, dan karena orang

Tionghoa lokal tidak mempunyai kepastian apakah pemerintah Belanda atau

Kuomintang dapat menjamin keselamatan mereka, maka sangat mungkin

kebanyakan dari mereka tidak menolak kewarganegaraan Indonesia. (Leo

Suryadinata, 1984:116).

Berdasarkan bunyi Pasal 1 Undang-Undang kewarganegaraan Indonesia

yang pertama ini (UU No 3 tahun 1946), kewarganegaraan Indonesia bisa

didapatkan oleh

a. orang yang asli dalam wilayah Negara Indonesia,

b. orang yang tidak masuk dalam golongan tersebut di. atas, tetapi turunan

seorang dari golongan itu serta lahir, bertempat kedudukan, dan

berkediaman dalam wilayah Negara Indonesia; dan orang bukan turunan

seorang dari golongan termaksud yang lahir, bertempat kedudukan, dan

berkediaman yang paling akhir selama sedikitnya lima tahun berturut-turut

di dalam wilayah Negara Indonesia, yang telah berumur 21 tahun atau

telah kawin,

c. orang yang mendapat kewarganegaraan Indonesia dengan cara

naturalisasi,

d. anak yang sah, disahkan, atau diakui dengan cara yang sah oleh bapaknya,

yang pada waktu lahir bapaknya mempunyai kewarganegaraan Indonesia,

e. anak yang lahir dalam jangka waktu tiga ratus hari setelah bapaknya yang

mempunyai kewarganegaraan Indonesia, meninggal dunia,

f. anak yang hanya oleh ibunya diakui dengan cara yang sah, yang pada

waktu lahir mempunyai kewarganegaraan Indonesia,

g. anak yang diangkat secara sah oleh warga negara Indonesia,

Page 62: SKRIPSI - digilib.uns.ac.id... · undang No 62 tahun 1958 terhadap kewarganegaraan et nis Tionghoa di Indonesia diantaranya pada tahun 1960-an terdapat banyak kece nderungan dari

49

h. anak yang lahir di dalam wilayah Negara Indonesia, yang oleh bapaknya

ataupun ibunya tidak diakui secara sah,

i. anak yang lahir di dalam wilayah Negara Indonesia, yang tidak diketahui

siapa orangtuanya atau kewarganegaraan orangtuanya.

Oleh Undang-Undang No. 6/1947, klasifikasi warga negara Indonesia di atas

ditambah dengan

j. badan hukum yang didirikan menurut hukum yang berlaku dalam Negara

Indonesia dan bertempat kedudukan di dalam wilayah Negara Indonesia.

Selain itu Undang-Undang No. 6/1947 juga menambahkan bahwa bagi mereka

yang tergolong dalam butir b di atas, yang mempunyai kewarganegaraan dari

negara lain, dapat melepaskan kewarganegaraan Indonesianya dengan

menyatakan keberatan menjadi warga negara Indonesia. Pernyataan keberatan

tersebut harus disampaikan secara tertulis kepada Menteri Kehakiman dalam

jangka waktu satu tahun setelah ketentuan tersebut di atas berlaku baginya. Pasal

2 UU No. 3/1946 mengatur bahwa kewarganegaraan istri mengikuti

kewarganegaraan suaminya. Demikian pula berdasarkan Pasal 3 UU No. 3/1946,

anak yang belum dewasa mengikuti kewarganegaraan orang tuanya.

Berdasarkan ketentuan di atas, dapat disimpulkan bahwa Undang-Undang

No. 3/1946 pada prinsipnya menggunakan asas ius soli. Penduduk Indonesia

secara pasif memperoleh status sebagai warga negara Indonesia. Namun demikian

bagi mereka yang tidak menghendaki status baru ini diperkenankan untuk

menggunakan hak repudiasinya, yaitu hak untuk mengajukan pernyataan secara

tertulis menolak kewarganegaraan Indonesia. Pernyataan ini dialamatkan kepada

Menteri Kehakiman melalui pengadilan negeri setempat dalam jangka waktu satu

tahun sejak berlakunya Undang-Undang No. 3/1946. Beberapa kali dilakukan

perubahan atas Undang-Undang No. 3/1946, selain dengan Undang-Undang No.

6/1947, juga dengan Undang-Undang No. 8/1947 dan Undang-Undang No.

11/1948. Perubahan dengan kedua Undang-Undang tersebut terakhir ini

dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada mereka yang ingin

menggunakan hak repudiasinya sampai tanggal 17 Agustus 1948. Atas dasar itu,

sejak tanggal 17 Agustus 1948 secara jelas diketahui bahwa penduduk Indonesia

Page 63: SKRIPSI - digilib.uns.ac.id... · undang No 62 tahun 1958 terhadap kewarganegaraan et nis Tionghoa di Indonesia diantaranya pada tahun 1960-an terdapat banyak kece nderungan dari

50

itu terdiri atas warga negara Indonesia dan warga negara asing. Sejak itu pula

setiap orang asing yang ingin menjadi warga negara Indonesia harus melalui

proses pewarganegaraan berdasarkan Pasal 5 UU No. 3/1946.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa warga negara Indonesia asli

adalah mereka yang memperoleh status itu dari tanggal 17 Agustus 1945 sampai

tanggal 17 Agustus I948 dan keturunannya. Sementara itu warga negara Indonesia

keturunan asing adalah mereka yang memperoleh status tersebut melalui proses

pewarganegaraan mulai tanggal 17 Agustus 1948. Berdasarkan Keputusan

Presiden No.7 Tahun 1971, ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang No.

3/1946 (setelah ditambah dan diubah) digunakan untuk menetapkan

kewarganegaraan Republik Indonesia bagi penduduk Irian Barat. Pernyataan ini

dilakukan sehubungan dengan kembalinya Irian Barat ke tangan Republik

Indonesia (Koerniatmanto, 1996 :27-29)

b. PPPWN (Piagam Persetujuan Pembagian Warga Negara) Dari

Perjanjian KMB

Tahun 1949 berlangsung perundingan antara Negeri Belanda dan Indone-

sia yang berakhir dengan Perjanjian Meja Bundar (juga dikenal sebagai Perjanjian

Den Haag). Sebagai hasil dari Konferensi Meja Bundar adalah PPPWN yang

tertuang dalam lembaran Negara 1950-2 ini merupakan salah satu lampiran

piagam penyerahan kedaulatan itu yang salah satu konsekuensinya adalah

pembagian warga Negara antara kerajaan Belanda dan Republik Indonesia

Serikat. Dengan munculnya PPPWN ini kepastian hokum mengenai status

kewarganegaraan Indoesia berdasarkan UU No. 3 tahun 1946 menjadi terganggu.

Persetujuan itu menegaskan asas ius soli dan "sistem pasif" yang dinyatakan

dalam Undang-Undang Kewarganegaraan tahun 1946. Orang Tionghoa kelahiran

Hindia Belanda (Indonesia) diminta untuk menolak kewarganegaraan Indonesia

dalam waktu dua tahun (27 Desember 1949-27 Desember 1951) kalau ingin

menjadi warga negara asing. Undang-undang itu diadakan terutama karena

Indonesia mempunyai kepentingan akan dukungan Orang Tionghoa serta karena

Indonesia menginginkan penyelesaian secepatnya dengan Belanda mengenai

pemindahan kekuasaan. Di samping itu kelahiran sebagian besar kaum minoritas

Page 64: SKRIPSI - digilib.uns.ac.id... · undang No 62 tahun 1958 terhadap kewarganegaraan et nis Tionghoa di Indonesia diantaranya pada tahun 1960-an terdapat banyak kece nderungan dari

51

Tionghoa yang mempunyai kekuasaan ekonomi yang besar memang merupakan

sarana penting bagi pemantapan republik yang baru lahir itu.

Menurut perkiraan, ada 2,1 juta Tionghoa pada tahun 1950, di antaranya

1,5 juta terlahir di wilayah Indonesia. Yang tersebut terakhir itu menjadi warga

negara Indonesia kecuali jika mereka menyatakan sebaliknya. Departemen

Kehakiman Indonesia pada awal tahun 1950-an mengemukakan bahwa ada

390.000 orang Tionghoa lokal yang menolak kewarganegaraan Indonesia. Itu

berarti bahwa 1,1 juta orang dari 2,1 juta Tionghoa di Indonesia

berkewarganegaraan asing. (Leo Suryadinataa. 1984:117).

Berdasarkan pasal-pasal konferensi meja bundar tahun 1949, bahwa semua

orang Tionghoa kelahiran Indonesia karena mereka adalah kaula Bellanda yang

berasal dari orang asing dan bukan Belanda boleh memilih kewarganegaraanya.

Mereka bias memperoleh kewarganegaraan Indonesia tanpa berbuat apa-apa, atau

mereka dapat memperkokoh kedudukanya sebagai warga Negara Tionghoa saja

dengan menolak kewarganegaraan Indonesia, dalam jangka waktu dua tahun

(1949-1951). Kecuali beberapa orang saja, kaum kelahiran Tiongkok bukanlah

kaula Belanda, maka dari itu mereka tidak ada pilian lain. Departemen kehakiman

Republik Indonesia memperkirakan bahwa lebih dari 390.000 orang Tionghoa

Kelahiran Indonesia telah menolak kewarganegaraan Indonesia pada waktu itu.

Mereka kebanyakan adalah kaum Totok yang sebagian tersebar adalah anak-anak

dari ayah kelahiran Tiongkok serta termasuk anak-anak yang pilihanya dilakukan

oleh orang tuanya. Pelaksanaan pasal-pasal Konferensi Meja Bundar hampir tidak

memecahkan masalah kewarganegaraan orang-orang Tionghoa. Mereka yang

dilahirkan di Indonesia yang tidak menolak kewarganegaraan Indonesia secara

hukum tidak hanya menjadi warga Negara Indonesia tetapi juga warga Tiongkok

(Mely G Tan, 1981:17)

c. Perjanjian Dwi Kewarganegaraan

Undang-undang kewarganegaraan Cina yang tidak diubah pada saat orang-

orang komunis merebut kekuasaan di Cina daratan, maka pemerintah Indonesia

yang non-komunis khawatir akan intervensi RRC melalui para warga negara

Indonesia keturunan Tionghoa. Jakarta mulai mengadakan pendekatan ke Peking

Page 65: SKRIPSI - digilib.uns.ac.id... · undang No 62 tahun 1958 terhadap kewarganegaraan et nis Tionghoa di Indonesia diantaranya pada tahun 1960-an terdapat banyak kece nderungan dari

52

dan tanggapan dari RRC menggembirakan. Setelah memegang kekuasaan pada

awal tahun 19 aan RRC ingin sekali memainkan peranan yang besar dalam

percaturan politik regional dengan cara membangun hubungan baik dengan

negara-negara tetangga yang mencurigainya.

Negosiasi-negosiasi antara Jakarta dan Peking berlangsung terus dan pada

22 April 1955, bersamaan dengan berakhirnya Konferensi Asia-Afrika yang

terkenal itu, Perjanjian tentang Dwi Kewarganegaraan antara RRC dan Indonesia

ditandatangani. Perjanjian tersebut terutama mengatur tentang orang-orang

Tionghoa lokal yang oleh hukum Indonesia dianggap berkewarganegaraan

Indonesia (pada tahun 1950 jumlahnya kira-kira 1,1 juta orang) akan tetapi yang

serentak dengan itu, juga dapat mengklaim kewarganegaraan Cina menurut

hukum Cina. Dalam hal itu orang Tionghoa asing (yang pada tahun 1950

berjumlah kira-kira 1 juta orang) tidak lagi diberi kesempatan memilih.

Ketentuan dalam perjanjian itu mengatakan bahwa orang dewasa yang

berkewarganegaraan ganda, yaitu kewarganegaraan dari negara-negara yang

mengadakan perjanjian, akan diberi waktu dua tahun untuk memilih salah satu

kewarganegaraan. Orang yang berkewarganegaraan ganda tetapi mengabaikan

ketentuan untuk memilih salah satu kewarganegaraan dalam waktu peralihan yang

dua tahun itu, hanya akan memperoleh kewarganegaraan RRC saja. Orang

berkewarganegaraan ganda yang berumur di bawah 18 tahun harus memilih

kewarganegaraan dalam waktu satu tahun setelah berumur 18 tahun atau setelah

menikah. Sebelum memilih mereka akan dianggap hanya berkewarganegaraan

seperti ayahnya.

Perjanjian dwi kewarganegaraan akan berlaku 20 tahun setelah pengesa-

hannya oleh parlemen-parlemen dari masing-masing negara yang mengadakan

perjanjian. Perjanjian itu disahkan oleh Komite Tetap Kongres Nasional Rakyat

RRC pada 30 Desember 1957, 13 hari setelah pengesahannya oleh parlemen

Indonesia. Pada waktu pelaksanaan Perjanjian Dwikewarganegaraan yang

berlangsung dari Januari 1960 sampai Januari 1962. Pada saat itu anak-anak yang

belum dewasa mengikuti kewarganegaraan orang tuanya dan nama mereka

tercantum dalam dokumen orang tuanya. Ketika mencapai umur dewasa mereka

Page 66: SKRIPSI - digilib.uns.ac.id... · undang No 62 tahun 1958 terhadap kewarganegaraan et nis Tionghoa di Indonesia diantaranya pada tahun 1960-an terdapat banyak kece nderungan dari

53

diharuskan mempunyai dokumen tersendiri. Tidak jelas apakah hal itu menurut

peraturan yang berlaku, dan sebuah masalah lainya ialah bahwa memperleh surat

terpisah itu membawa ongkos-ongkos yang tidak sedikit dan hal tersebut juga

diteruskan oleh cucu-cucunya. Jika hal tersebut dibenarkan dan diteruskan maka

seorang keturunan asing (Tionghoa) selalu di ingatkan bahwa ia keturunan asing

(Tionghoa) dan selalu harus mempunyai dokumen-dokumen khusus untuk

membuktikan kewarganegaraanya (Mely G Tan, 1981; xii)

Pihak imigrasi Indonesia mengungkapkan bahwa di tahun 1965 (sebelum

komunis runtuh) tercatat 1.134.420 orang Tionghoa asing sebagai warga negara

RRC dan hanya 1.252 "tidak berkewarganegaraan". ltu berarti bahwa kira-kira ada

1.500.000 orang Tionghoa mempunyai kewarganegaraan Indonesia.

Dibandingkan dengan perkiraan tahun 1962, jumlah warga negara Indonesia

keturunan Tionghoa naik sebanyak kira-kira 700.000 dalam waktu dua atau tiga

tahun. Mengingat lambatnya proses naturalisasi sebelum 1969 dan terbatasnya

jumlah anak-anak berkewarganegaraan ganda yang menjadi warga negara

Indonesia. nampaknya tidak mungkin terjadi kenaikan jumlah yang cepat.

Ternyata banyak orang Tionghoa asing tidak mendaftarkan diri karena berbagai

alasan.

Secara hukum, orang Tionghoa asing di Indonesia tidak dapat dianggap

sebagai "orang-orang yang bukan warga negara mana pun". RRC mengklaim

bahwa semua Tionghoa asing yang bukan warga negara Indonesia adalah warga

negara Cina. Taiwan juga mengklaim semua Tionghoa (baik yang asing maupun

warga negara Indonesia) sebagai warga negara Republik Cina. Tetapi sebagian

Tionghoa asing memang dapat digolongkan sebagai "orang yang mempunyai

kewarganegaraan suatu negara yang tidak diakui oleh Indonesia", (yaitu warga

negara Taiwan), dan karenanya dalam pandangan pemerintah Indonesia mereka

"tidak berkewarganegaraan". Akan tetapi, apakah "orang-orang yang tidak

berkewarganegaraan" tersebut (berjumlah 149.486) sebagaimana disebutkan oleh

penjabat Indonesia, adalah warga negara Taiwan dalam arti memegang paspor

Taiwan. Mungkin mereka tidak memegang satu pun dokumen-dokumen sah dari

Taiwan. Bahwa Direktorat Jenderal Imigrasi membedakan "warga negara

Page 67: SKRIPSI - digilib.uns.ac.id... · undang No 62 tahun 1958 terhadap kewarganegaraan et nis Tionghoa di Indonesia diantaranya pada tahun 1960-an terdapat banyak kece nderungan dari

54

Taiwan" dari Tionghoa "yang tidak berkewarganegaraan" dalam catatan-catatan

statistik, menunjukkan bahwa mereka itu tidak sama. Jelaslah bahwa di sini "tidak

berkewarganegaraan" digunakan dalam artian politik, untuk menunjuk orang

Tionghoa yang berdiam di Indonesia yang menjadi simpatisan Taiwan, atau

mereka yang tidak ingin dihubung-hubungkan baik dengan Taiwan maupun

dengan RRC. Secara hukum mereka warga negara RRC karena Jakarta masih

mengakui Peking.

Angka-angka dari Direktorat Jenderal Imigrasi untuk Tionghoa asing

sangat terlalu rendah. Kalau Tionghoa asing hanya berjumlah 1.010.652 dari

antara 3,29 juta penduduk Cina pada tahun 1971. berarti bahwa lebih dari 2 juta

Tionghoa adalah warga negara Indonesia. Dapat sangat disangsikan bahwa dalam

waktu lima atau enam tahun (1966-1971) jumlah warga negara Indonesia

keturunan Tionghoa telah naik sebanyak lebih dari 100 persen. khususnya

mengingat bahwa permohonan untuk menjadi warga negara Indonesia dibekukan

dan baru dibuka kembali pada tahun 1969. (Leo Suryadinataa. 1984:122-128)

B. Kewarganegaraan Etnis Tionghoa di Indonesia setelah keluarnya Undang-Undang No 62 Tahun 1958

1. Latar Belakang keluarnya Undang-Undang No 62 Tahun 1958

Pada tahun 1949 kaum Komunis berhasil merebut kekuasaan di Cina

dari tangan kaum Kuo Min Tang. Muncullah Republik Rakyat Cina (RRC).

Namun rupanya RRC masih mempertahankan Undang-Undang

Kewarganegaraan Cina Nasionalis yang diundangkan pada tahun 1929.

Undang-undang ini menggunakan asas ius sanguinis. Artinya, selama orang

Cina di mana pun berada diklaim sebagai warga negara Cina. Hal ini

mengakibatkan semua orang Cina yang berstatus sebagai warga negara

Indonesia menjadi berstatus bipatride. Artinya, di samping sebagai warga

negara Indonesia sekaligus mereka merupakan warga negara Cina

Pada saat pengakuan kedaulatan (27 Desember 1949), Pemerintah

Kuo Min Tang di Taiwan langsung mengakui kemerdekaan Republik

Indonesia. Saat itu mereka mempunyai tujuh konsulat di Indonesia, yang

Page 68: SKRIPSI - digilib.uns.ac.id... · undang No 62 tahun 1958 terhadap kewarganegaraan et nis Tionghoa di Indonesia diantaranya pada tahun 1960-an terdapat banyak kece nderungan dari

55

memang sudah ada sejak masa penjajahan Belanda. Tetapi Indonesia lebih

condong untuk mengadakan hubungan diplomatik dengan pihak RRC Ini

ditanggapi secara positif oleh pihak RRC. RRC berkepentingan memotong

pengaruh Taiwan terhadap para Cina Perantauan di Asia Tenggara.

Tanggapan positif RRC ditandai dengan kedatangan Wang Yen-shu

sebagai Duta Besar RRC untuk Indonesia yang pertama pada tanggal 14

Agustus 1950. Sejak awal kedatangannya, Duta Besar "RRC ini telah

secara aktif berkampanye guna menarik orientasi orang-orang Cina In-

donesia ke RRC. Terjadilah semacam perebutan pengaruh antara pihak

Indonesia dan RRC. Ini terjadi terutama pada masa pelaksanaan penentuan

kewarganegaraan berdasarkan PPPWN (biasa disebut sebagai masa opsi).

Sehingga dapat dimengerti jika Indonesia merasa terganggu karenanya, ser-

ta melakukan tindakan-tindakan diplomatik yang cukup keras. Akibatnya

Duta Besar Wang ditarik kembali pada akhir tahun 1951. (Koerniatmanto,

1996:105)

Masa opsi selesai pada tanggal 27 Desember 1951 dengan hasil

yang mengeeewakan pihak Indonesia, mengingat sekitar 600.000 sampai

700.000 atau sekitar 40% orang Cina Indonesia secara formal telah

menolak kewarganegaraan Indonesia. Akibatnya (ditambah dengan orang

Cina kelahiran luar negeri) sekitar setengah jumlah penduduk Cina di

Indonesia adalah warga negara RRC Kemudian muncullah kekecewaan

dari pelbagai kalangan di Indonesia atas PPPWN itu.

Sebagai akibat memuncaknya ketidakpuasan terhadap akibat

PPPWN, disusunlah Rancangan Undang-Undang tentang kewarganegaraan

Republik Indonesia. Rancangan tersebut siap pada bulan Februari 1954.

Namun sebelum disahkan dan diberlakukan, Indonesia menganggap perlu

untuk mengadakan pembicaraan terlebih dahulu dengan pihak RRC. Pokok

masalah yang dirasa perlu diselesaikan itu berkisar pada banyaknya orang

Cina yang diklaim baik oleh Indonesia maupun oleh RRC, sebagai akibat

dari opsi 1949-1951 tersebut di atas (Koerniatmanto, 1996:106).

Page 69: SKRIPSI - digilib.uns.ac.id... · undang No 62 tahun 1958 terhadap kewarganegaraan et nis Tionghoa di Indonesia diantaranya pada tahun 1960-an terdapat banyak kece nderungan dari

56

Usul pembicaraan Indonesia-RRC ini disambut secara Positif oleh

pihak RRC, dalam rangka politik luar negeri RRC yang baru, dikenal

dengan Peaceful Coexistence. RRC merasa perlu membina hubungan baik

dengan negara-negara di Asia Tenggara, guna membangun basis kerja

sama anti-imperialis. Mulailah diadakan sejumlah pembicaraan yang di-

adakan baik di Peking, Jakarta, maupun di Bandung. Rangkaian

pembicaraan ini berpuncak pada suatu persetujuan antara Sunario (Menteri

Luar Negeri Indonesia) dan Chou En-Lai (Menteri Luar Negeri RRC), yang

dilakukan pada tanggal 22 April 1955 di tengah penyelenggaraan Konferensi

Asia-Afrika di Bandung. Dengan diadakannya pemilihan untuk salah satu

kewarganegaraan bersangkutan ini maka menurut perjanjian Soenario-Chou

kewarganegaraan yang lainnya akan hilang. Keharusan untuk memilih ialah

dalam tempo 2 tahun setelah berlakunya perjanjian ini. Sanksi atas tak

melakukan keharusan memilih ini ialah bahwa mereka (yang waktu

berlakunya perjanjian telah dewasa) dianggap telah memilih untuk

kewarganegaraan Republik Indonesia, bilamana yang bersangkutan dari

pihak bapaknya berketurunan Indonesia. Persetujuan ini kemudian dikenal

sebagai Perjanjian Dwi-kewarganegaraan seperti yang telah disinggung

sebelumnya (Sudargo Gautama, 1987: 118)

Tujuan utama pihak Indonesia dalam persetujuan itu adalah untuk

meniadakan akibat-akibat masa opsi. Selain itu, Indonesia, juga menghendaki

adanya kepastian akan lepasnya tuntutan yuridis terhadap orang Cina di Indonesia

sebelum kepada mereka diberikan kesempatan baru untuk memilih

kewarganegaraan mereka. Sementara itu, RRC juga menerima baik keinginan

Indonesia untuk menentukan sendiri siapa saja di antara orang Cina Indonesia

yang harus memilih dan siapa saja yang tidak ikut memilih, karena telah secara

implisit memilih kewarganegaraan Indonesia berdasarkan kedudukan sosial

politik mereka. Secara yuridis, isi persetujuan tersebut diratifikasi dalam bentuk

Undang-Undang No. 2/1958 (Koerniatmanto, 1996:107).

Page 70: SKRIPSI - digilib.uns.ac.id... · undang No 62 tahun 1958 terhadap kewarganegaraan et nis Tionghoa di Indonesia diantaranya pada tahun 1960-an terdapat banyak kece nderungan dari

57

2. Rancangan Undang-Undang Kewarganegaraan 1954 Dan Undang-Undang

Kewarganegaraan No 62 Tahun 1958

Ketika orang Indonesia telah menduduki kekuasaan dan memproklamirkan

kemerdekaaya, mereka tidak memberkukan lagi kebijaksanaan kewarganegaraan

yang lebih liberal dan mulai menerapkan asas ius soli dua generasi" (pengganti ius

soli sederhana) bagi orang Tionghoa lokaI. "Sistem pasif" diganti dengan "sistem

aktif", yaitu sistem yang mensyaratkan adanya pernyataan penerimaan

kewarganegaraan Indonesia. perubahan-perubahan tampak dari Rencana Undang-

Undang Kewarganegaraan tahun 1954 yang diajukan ke parlemen Indonesia oleh

kabinet AIi yang dikuasai PNI. Rencana tersebut mengusulkan bahwa warga

negara Indonesia keturunan Tionghoa akan kehilangan kewarganegaraannya kalau

mereka tidak memenuhi salah satu dari hal-hal berikut:

1. memberikan bukti bahwa orang tua mereka dilahirkan di wilayah

Indonesia dan telah berdiam di Indonesia sedikit-dikitnya selama 10 tahun;

dan

2. menyatakan secara resmi menolak kewarganegaraan Cina.

Tujuan dari diberlakukannya "sistem aktif" dan "ius soli dua generasi" itu

erat hubungan dengan persepsi orang Indonesia tentang Tionghoa lokaI; ketidak-

percayaan kepada kelompok minoritas yang tidak hanya secara ekonomis kuat,

melainkan juga "tak dapat berasimilasi". Tujuan diajukannya rencana tersebut

dinyatakan dengan jelas sebagai berikut:

"Mengingat tujuan kita untuk membentuk satu bangsa yang homogen (garis bawah oleh penulis), rencana ini tidak memaksa orang-orang asing (Tionghoa) untuk menjadi warga Negara penerapan ius soli bagi generasi pertama sarna sekali bukan merupakan jaminan bahwa orang-orang dari keturunan asing akan menganggap Indonesia sebagai tanah airnya. Kalau orang-orang seperti tersebut di atas telah berdiam di sini selama beberapa generasi, atau bila mereka tidak mempunyai negara asal, maka bisa diterima bahwa mereka itu menganggap Indonesia sebagai tanah air mereka sendiri."

Jelaslah bahwa pemerintah Indonesia yang sebagian besar terdiri dari

nasionalis sekuler sekarang memberikan perhatian pada pembentukan "bangsa

Indonesia yang homogen" dan ke sanalah orang Tionghoa lokal harus menyatukan

dirinya. Undang-undang kewarganegaraan harus dipakai sebagai sarana untuk

Page 71: SKRIPSI - digilib.uns.ac.id... · undang No 62 tahun 1958 terhadap kewarganegaraan et nis Tionghoa di Indonesia diantaranya pada tahun 1960-an terdapat banyak kece nderungan dari

58

mencapai tujuan itu. Kalau Rencana Undang-Undang Kewarganegaraan Indonesia

diterima tanpa banyak perubahan, akan banyak orang Indonesia keturunan

Tionghoa yang kehiIangan kewarganegaraan mereka karena mereka bukan hanya

tidak banyak mengetahui prosedur hukum, tetapi juga tidak akan dapat

memberikan surat kelahiran atau bukti lain yang dapat membuktikan bahwa

orangtua mereka dilahirkan di wilayah Indonesia dan telah berdiam di Indonesia

sekurang-kurangnya 10 tahun. Tidak salah kalau D.E. Willmott menunjukkan

bahwa pendaftaran kewarganegaraan hanya pernah diadakan di Jawa sejak tahun

1919 dan di luar lawa sejak tahun 1926, sedangkan banyak dokumen musnah

dalam Perang Dunia II dan Revolusi Indonesia (Leo Suryadinata, 1984: 118)

Rencana tersebut mendapat tantangan seru dalam Parlemen. Wakil-wakil

kaum minoritas menentangnya, juga wakil partai oposisi dengan berbagai sebab

lain. Nyatalah bahwa banyak pemimpin bangsa Indonesia asli yang masih

khawatir dengan konsekuensi bila terdapat terlalu banyak orang Tiongha asing di

Indonesia. Karena tantangan yang keras itu pemerintah menarik kembali rencana

tersebut.

Pada tahun 1955 Perjanjian tentang Dwi Kewarganegaraan yang diadakan

antara RRC dan Indonesia ditandatangani.. Timbullah kembali kemudian

perhatian terhadap Undang-undang kewarganegaraan. Pemerintah ingin sekali

mengesahkan undang-undang kewarganegaraan Indonesia sebelum Perjanjinn

tentang Dwi Kewarganegaraan tersebut disahkan. Menteri Kehakiman pada waktu

itu mengumumkan bahwa ia akan mengajukan rencana undang-undang

kewarganegaraan yang baru kepada Kabinet dan seterusnya kepada parlemen.

Rencana tersebut mendapat persetujuan Kabinet pada November 1957, dan pada 1

Juli 1958 disetujui parlemen setelah melalui perdebatan yang berkepanjangan.

Kegoncangan situasi politik akibat pemberontakan-pemberontakan di daerah,

serta timbulnya percekcokan di daerah yang menyibukkan para pemimpin

Masjumi dan pemimpin oposisi lainnya membawa akibat proses persetujuan

rencana undang-undang tersebut berjalan lebih lancar.

Page 72: SKRIPSI - digilib.uns.ac.id... · undang No 62 tahun 1958 terhadap kewarganegaraan et nis Tionghoa di Indonesia diantaranya pada tahun 1960-an terdapat banyak kece nderungan dari

59

Undang-undang Kewarganegaraan tahun 1958 (Undang-undang no. 62

tahun 1958 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia) intinya sama dengan

rencana tahun 1954. Undang-undang tersebut menyatakan bahwa mereka yang

telah menjadi warga negara menurut peraturan perundang-undangan yang ada di

Indonesia akan tetap menjadi warga negara. Nampaknya undang-undang yang

baru itu melepaskan "sistem aktif" dalam arti bahwa orang yang

berkewarganegaraan ganda. (warga negara Indonesia keturunan Tionghoa) tidak

perlu menyatakan di depan pengadilan bahwa mereka ingin mempertahankan

kewarganegaraan Indonesia. Walaupun demikian, kalau undang-undang itu dibaca

bersama-sama dengan Perjanjian Dwi Kewarganegaraan (yang telah disahkan

tahun 1957) antara RRC dan Indonesia, maka pernyataan melepaskan

kewarganegaraan RRC masih merupakan persyaratan. Dengan kata lain,

Pemerintah Indonesia masih menganut "sistem aktif" untuk Tionghoa lokal,

walaupun hal itu tidak dinyatakan dalam undang-undang kewarganegaraan yang

baru itu sendiri. Dipakainya "sistem aktif" dikatakan bertujuan untuk

mendemonstrasikan kesetiaan kepada Indonesia, tetapi juga berarti pembatasan

kewarganegaraan. Asas "ius soli dua generasi" yang mempunyai tujuan sama,

dalam Undang-undang 1958 (yaitu di Bagian 4) juga dipertahankan. Memang

Undang-undang 1958 mewarisi semangat Rencana 1954.

Bagian terpenting dari Undang-undang Kewarganegaraan 1958 adalah

yang ke-4 dan ke-5, mengenai naturalisasi orang asing (Tionghoa asing). Menurut

bagian 4, orang asing (Tionghoa) kelahiran Indonesia yang orang tuanya berdiaam

dan lahir di Indonesia boleh mengajukan diri untuk mendapatkan

kewarganegaraan Indonesia apabila mereka telah berumur 18 tahun. Prosedur

untuk anak-anak dalam kategori itu untuk menjadi warga negara mudah

dimengerti. Namun, kalau seseorang berumur lebih dari 18 tahun atau kalau

orangtuanya tidak terlahir di Indonesia, orang tersebut harus mengajukan

permohonan naturalisasi menurut Bagian 5. Untuk naturalisasi itu calon

diharuskan memenuhi persyaratan tempat tinggal (sekurang-kurangnya berdiam 5

tahun berturut-turut atau 10 tahun tidak berturut-turut), persyaratan bahasa

(termasuk pengetahuan sejarah Indonesia), mempunyai sumber penghasilan yang

Page 73: SKRIPSI - digilib.uns.ac.id... · undang No 62 tahun 1958 terhadap kewarganegaraan et nis Tionghoa di Indonesia diantaranya pada tahun 1960-an terdapat banyak kece nderungan dari

60

tetap, serta diharuskan membayar kepada negara sebanyak 500-10.000 rupiah atau

suatu jumlah yang tidak lebih tinggi daripada penghasilan yang diperolehnya

selama satu bulan. Baik Bagian 4 maupun 5 mengandung peraturan yang sama

rumitnya, yang memberikan peluang bagi bermacam-macam tafsiran. Untuk lebih

jelasnya mari kita kutip bagian yang relevan dari Bagian 5:

" ... calon haruslah tidak mempunyai kewarganegaraan, atau telah kehilangan kewarganegaraan sewaktu meminta kewarganegaraan Indonesia, ataupun menyertakan suatu pernyataan bersumpah meninggalkan kewarganegaraan lain, dengan cara-cara sesuai dengan peraturan yang diakui di negara asalnya atau sesuai dengan hal-hal yang tersebut

Dalam suatu perjanjian yang diadakan antara Republik Indonesia dan

negara lain tersebut mengenai kewarganegaraan ganda."Willmott mengatakan

bahwa ancang-ancang tersebut menyaratkan agar seorang Tionghoa asing

"membuat pernyataan sesuai peraturan-peraturan hukum yang berlaku di negara

asalnya (RRC) untuk menanggalkan kewarganegaraan Cinanya". Menurut

pendapatnya hal itu tidak dapat diIakukan dalam undang-undang Cina yang

sedang berlaku sekarang, kecuali dalam langka waktu pemilihan yang disebutkan

dalam Perjanjian Dwi Kewarganegaraan. Karena itu, menurut Willmott, tidak

akan ada orang Tionghoa asing yang dapat mengambil manfaat dari ketentuan

Undang-undang tahun 1958. (Leo Suryadinata, 1984: 121)

Tentu saja Willmott benar kalau RRC memegang Undang-undang

Kewarganegaraan Cina Nasionalis yang diundangkan tahun 1929. Banyak ahli

hukum berpendapat bahwa RRC tidak mempunyai undang-undang

kewarganegaraan sendiri serta nampaknya RRC melanjutkan penerapan Undang-

undang Kewarganegaraan 1929. Dalam undang-undang itu tidak ada cara bagi

seorang Tionghoa untuk dapat menanggalkan kewarganegaraan Cina kecuali

meminta izin dari Menteri Dalam Negeri Cina, tetapi Kementerian hanya akan

memberikan izin kalau calon telah memenuhi kewajiban terhadap Angkatan Ber-

senjata Cina. Namun sikap RRC terhadap kewarganegaraan orang Tionghoa lokal

berubah pada pertengahan tahun 1950-an. Gouw Giok Siong (Sudargo Gautama),

seorang pengacara peranakan yang terkemuka mencatat bahwa pada waktu terjadi

tukar-menukar pendapat antara Chou En Lai dan A1i Sastroamidjojo (Perdana

Page 74: SKRIPSI - digilib.uns.ac.id... · undang No 62 tahun 1958 terhadap kewarganegaraan et nis Tionghoa di Indonesia diantaranya pada tahun 1960-an terdapat banyak kece nderungan dari

61

Menteri Indonesia) pada tanggal 3 Juni 1955, Chou mengatakan bahwa adalah

merupakan hak pemerintah Indonesia untuk memutuskan siapa yang boleh

menjadi warga negara Indonesia dari antara orang-orang dari golongan Tionghoa.

Mula-mula kedutaan besar dan konsulat-konsulat RRC tidak begitu senang

memberikan izin itu bagi para Tionghoa asing, tetapi pada akhir tahun 1950-an

tampaknya kepada orang Tionghoa asing yang ingin menanggalkan

kewarganegaraan Cina izin itu diberikan. Mungkin benar bahwa tidak begitu

banyak orang Tionghoa asing yang mendapatkan izin tersebut (Sudargo Gautama,

1987: 117)

C. Dampak Dikeluarkanya Undang-Undang No 62 Tahun 1958 Terhadap Kewarganegaraan Etnis Tionghoa Di Indonesia

1. Kecenderungan Warga Tionghoa Memilih Kewarganegaraaan Indonesia

Pada Tahun 1960-an terdapat banyak kecenderungan dari beberapa orang

pemuda Tionghoa Totok untuk berkiblat ke Indonesia, hal itu dinyatakan

misalnya dalam berbagai koran radikal berbahasa Cina yang diterbitkan pada

masa itu. Akan tetapi kecenderungan itu hanya merupakan aliran yang kecil saja

bila dibandingkan dengan aliran yang berorientasi ke negara Cina (Leo

Suryadinata. 1984 : 45)

Kedudukan orang Tionghoa secara keseluruhan hampir sama kedudukanya

dengan orang Tionghoa asing, akan tetapi setidak-tidaknya tanggung jawab dan

sifat tugas mereka pada masa mendatang sekarang sudah jelas. Mereka yang

bertekad untuk memilih kewarganegaraan Indonesia pada Tahun 1960-1962, telah

menyatakan kesetiaanya kepada Indonesia dan berketepatan hati bahwa anak-

anaknya akan diintregasikan sama sekali kedalam masyarakat luas. Intregasi ini

akan berjalan lebih lancar sekarang karena anak-anak Tionghoa WNI di didik di

sekolah-sekolah yang berbahasa pengantar bahasa Indonesia. Sejumlah besar

perkumpulan resmi yang anggota-anggotanya terutama adalah orang Peranakan

telah mengganti namanya dengan nama Indonesia dan menjalankan kebijaksanaan

terbuka. Kita biasa melihatnya melalui kerja sama yang murni antara orang

Page 75: SKRIPSI - digilib.uns.ac.id... · undang No 62 tahun 1958 terhadap kewarganegaraan et nis Tionghoa di Indonesia diantaranya pada tahun 1960-an terdapat banyak kece nderungan dari

62

Indonesia pribumi dengan orang Tionghoa Peranakan di dalam sejumlah kecil

perkumpulan-perkumpulan khusus, perusahaan-perusahaan dagang, usaha-usaha

profesi, gereja dan bahkan di jawatan-jawatan pemerintah, makin banyak orang

Tionghoa WNI kini sudah berketepatan hati untuk memperluas kerja sama antar

golongan etnis ( Mely G Tan, 1981 :24).

2. Bertambahnya Golongan Tionghoa Asing di Indonesia

Undang-Undang Kewarganegaraan mensyaratkan bahwa penolakan

kewarganegaraan Cina harus dilakukan di Pengadilan Negeri di Indonesia, atau di

kedutaan-kedutaan atau konsulat-konsulat Indonesia untuk orang Tionghoa yang

ada di luar negeri. Setiap orang yang mempunyai kewarganegaraan ganda (warga

negara Indonesia keturunan Tionghoa sebelum 20 Januari 1960) haruslah

menolak kewarganegaraan Cina dalam jangka waktu kesempatan memilih (20

Januari 1960-20 Januari 1962); kalau tidak, orang tersebut akan dengan

sendirinya kehilangan kewarganegaraan Indonesianya. Tetapi beberapa

perorangan, yaitu orang-orang yang telah bersumpah setia kepada Indonesia

karena menjadi anggota badan pemerintah, anggota angkatan bersenjata, veteran

Angkatan Darat, dan orang yang secara resmi mewakili Indonesia dalam fungsi-

fungsi internasional lebih dari satu kali, dibebaskan dari keharusan memberikan

pernyataan kesetiaan lagi. Salah satu bukti penting untuk mendapatkan

kewarganegaraan Indonesia adalah surat kelahiran, tetapi karena banyak yang

tidak memiliki dokumen semacam itu, pernyataan di bawah sumpah disaksikan

oleh dua orang saksi di depan pengadilan juga dapat dianggap sebagai bukti ( Leo

Suryadinata, 1984: 125)

Ketika Republik Rakyat China menunjukkan minat untuk memperbaiki

situasi dengan undang-undang pilihan, orang Indonesia membatasi undang-

undang bagi mereka yang telah memegang warga negara Indonesia. Ada celah

jalan keluar yang membolehkan orang yang masih kanak-kanak pada 1949-51,

dan yang orangtuanya menolak kewarganegaraan Indonesia, untuk memperoleh

kewarganegaraan Indonesia atas pilihan mereka bila mereka telah cukup umur.

Ketika pilihan tersebut dilakukan pada tahun 1960-62, mayoritas memilih untuk

Page 76: SKRIPSI - digilib.uns.ac.id... · undang No 62 tahun 1958 terhadap kewarganegaraan et nis Tionghoa di Indonesia diantaranya pada tahun 1960-an terdapat banyak kece nderungan dari

63

menjadi warga negara Indonesia, tetapi sekitar sepertiga memilih

kewarganegaraan China sehingga menambah jumlah orang asing. Hanya sedikit

sekali jumlah orang pernah dinaturalisasi sebagai warga negara sehingga lebih

dari 60 persen etnis Tionghoa di Indonesia tetap orang asing hingga tahun 1980-

an. Terjadi beberapa emigrasi kelompok ini ke China, tetapi sebagian besar

melihat memilih menjadi penduduk tetap di tanah yang tampaknya tidak

menginginkan mereka (Justian Suhandinata, 2009 :142)

Mengenai jumlah yang sebenarnya dari orang Tionghoa yang berkewarga-

negaraan ganda yang memilih kewarganegaraan Indonesia, tidak ada keterangan

yang tersedia. G.W. Skinner memperkirakan bahwa kira-kira 600.000 sampai

800.000 orang Tionghoa kelahiran Indonesia memilih kewarganegaraan

Indonesia. Kalau kita menerima perkiraan Skinner yang maksimum, yaitu bahwa

jumlah Tionghoa yang menjadi warga negara Indonesia ada 800.000, itu berarti

bahwa kira-kira 1. 700.000 Tionghoa di Indonesia berstatus asing. Selanjutnya

Tionghoa asing itu terbagi antara warga negara RRC dan yang tidak mempunyai

kewarganegaraan (stateless). Yang terakhir itu terdiri dari mereka yang

menggabungkan diri dengan Taiwan (Republik Cina). Karena Indonesia tidak

mengakui Taiwan. dalam pandangan pemerintah Indonesia orang-orang itu

termasuk "tidak berkewarganegaraan" Orang Tionghoa yang "tanpa

kewarganegaraan" dalam arti warga negara Taiwan jumlahnya kecil saja dari

seluruh orang Tionghoa asing di Indonesia. (Leo Suryadinata, 1984: 126)

Undang-Undang kewarganegaraan tahun 1958 cenderung diskriminatif

dan menyudutkan wanita WNI yang menikah dengan pria WNA. Pasalnya,

setelah menikah, ia harus melepas WNI-nya, dan otomatis ikut kewarganegaraan

suami, kecuali bila ada perjanjian pranikah menyatakan tetap memilih WNI.

Ironisnya, meski istri memilih jadi WNI, bila pasangan memutuskan tinggal di

Indonesia, istri tidak bisa menjadi sponsor izin tinggal suaminya yang WNA.

Masalah bertambah bila memiliki anak. Menurut UU No. 62/1958 yang menganut

asas Ius Sanguinis (garis ayah), anak dari perkawinan wanita WNI dengan pria

WNA, otomatis mengikuti kewarganegaraan ayah. Padahal, banyak anak-anak

dari pasangan antar bangsa lahir di Indonesia, dan dibesarkan dengan tradisi dan

Page 77: SKRIPSI - digilib.uns.ac.id... · undang No 62 tahun 1958 terhadap kewarganegaraan et nis Tionghoa di Indonesia diantaranya pada tahun 1960-an terdapat banyak kece nderungan dari

64

budaya ibu. Selain merepotkan, juga butuh biaya tak sedikit. Biaya resminya,

sekitar 1,5 juta rupiah per anak. Tapi, karena urusannya tak bisa selesai dalam

sehari, biasanya kami minta bantuan agen. Akibatnya, biayanya membengkak

hingga 4-8 juta rupiah. Padahal, tak semua pasangan antarbangsa orang berada,

Namun, bukan hanya materi yang menjadi masalah. “Yang utama adalah masalah

kemanusiaan. Bagaimanapun, rasanya tak manusiawi jika negara menghalangi

seorang ibu berkumpul bersama anak kandungnya, hanya karena masalah beda

kewarganegaraan

3. Berubahnya Keadaan Golongan Tionghoa Setelah Kudeta

Jumlah sekolah berbahasa Cina kemudian makin berkurang setelah Okto

ber 1958 karena timbulnya pemberontakan daerah (PRRI-Permesta), pada tahun

1958. Kabar yang meluas mengatakan bahwa senjata yang digunakan para

pemberontak masuk dari Taiwan melalui Singapura, sedangkan koran-koran

Taiwan jelas bersuara mempertahankan pemberontak. Pemerintah Indonesia

menjawab dengan mengatakan bahwa orang Tionghoa yang pro Taiwan terlibat

dalam kegiatan subversif. Jenderal Nasution, Kepala Staf Angkatan Darat pada

tanggal 16 Oktober 1958, mengeluarkan peraturan yang melarang sekolah-sekolah

berbahasa pengantar Cina yang ada hubungan atau dimiliki oleh negara lain (

Taiwan) yang tidak mempunyai hubungan diplomatik dengan Indonesia. Hampir

separuh sekolah berbahasa pengantar Cina (yang berafiliasi ke golongan-golongan

pro-Taipei) lalu ditutup dan diambil alih oleh pemerintah Indonesia (dalam Obor

rakyat, April dan Juli 1958)

Dari tahun 1958 sampai 1965 sekolah berbahasa Cina yang masih hidup

sebagian besar pro-Peking. Sekolah itu diawasi secara ketat oleh Kementerian

Pendidikan. Para gurunya harus menempuh tes, termasuk tes kelancaran

berbahasa Indonesia yang diadakan oleh Kementerian Pendidikan dan hanya

mereka yang lulus tes tersebut yang boleh mengajar. Kurikulum sekolah itu juga

diubah dengan memasukkan lebih banyak mata pelajaran mengenai Indonesia.

Bahasa Indonesia, Sejarah, dan Ilmu Bumi Indonesia diharuskan menjadi mata

pelajaran wajib, baik di tingkat sekolah dasar maupun menengah. Mata pelajaran

Page 78: SKRIPSI - digilib.uns.ac.id... · undang No 62 tahun 1958 terhadap kewarganegaraan et nis Tionghoa di Indonesia diantaranya pada tahun 1960-an terdapat banyak kece nderungan dari

65

tersebut dapat diberikan baik dalam bahasa Indonesia maupun Cina (Leo

Suryadinata, 1984: 160)

Pada tahun 1958, setelah Taipeh membantu pemberontakan yang baru saja

meletus di Sumatra dan Sulawesi, sebuah kampanye yang disponsori resmi telah

mematahkan orang-orang Kuomintang sebagai kekuatan yang efektif dalam

politik Tionghoa. Semua organisasi Koumintang dilarang, dan pada akhirnya juga

semua sekolah dan perusahaan-perusahaan yang ada hubungan dengan

Kuomintang di tutup. Kemudian pada akhir tahun 1959, kaum militer dan

beberapa pejabat sipil pemerintah mempergunakan kesempatan dari kampanye

terhadap oran-orang Tionghoa asing ini untuk memperlemah pengikut-pengikut

komunis dan yang pro Peking yang bekerja erat dengan kedutaan besarnya untuk

mengacaukan peraturan tahun 1959 itu, telah dipenjarakan atau dibuang. Tidak

diragukan lagi bahwa kegairahan pro komunis telah menurun sebagai akibat krisis

tahun 1959-1960 (Mely G Tan, 1981 : 23)

Setelah terjadinya kudeta 1965, para Tionghoa perantauan dianggap

bertanggung jawab atas memburuknya keadaan perekonomian. Perasaan anti-

Cina melambung tinggi dan orang Tionghoa mengalami masa yang sulit. Mula-

mula serangan ditujukan kepada Tionghoa secara umum, tetapi dalam

perkembanganya, serangan kemudian dipusatkan pada Tionghoa asing (Leo

Suryadinata, 1984: 144)

Kemungkinan mempertahankan identitas bagi kaum Totok berkurang

setelah terjadi kudeta 1965, karena pemerintah memutuskan untuk menjadikan

mereka sebagai orang Tionghoa yang berbahasa Indonesia. Mata pencaharian

kaum totok yang dulunya sebelum terjadi kudeta tahun 1965 adalah berdagang

dan bergerak di perusahaan dan yang terpelajar dan menguasai dua bahasa terjun

ke bidang-bidang profesional seperti menjadi guru sekolah Cina dan pada media

khalayak Cina lokal maka setelah terjadi kudeta sekolah-sekolah yang

menggunakan bahasa pengantar Cina dilarang serta surst kabar Cina dilarang

terbit, sehingga mereka tidak mempunyai pekerjaan lagi dan terpaksa memasuki

kegiatan perdagangan dan tidak mudah bagi mereka yntuk menjadi pegawai

rendahan di perusahaan swasta karena mereka harus memiliki surat izin kerja

Page 79: SKRIPSI - digilib.uns.ac.id... · undang No 62 tahun 1958 terhadap kewarganegaraan et nis Tionghoa di Indonesia diantaranya pada tahun 1960-an terdapat banyak kece nderungan dari

66

yang sulit diperoleh. Sebenarnya mayoritas dari orang totok masih berkebangsaan

asing (warga negara Cina atau tak punya kewarganegaraan) dan sebagian dari

mereka ingin menjadi warga negara Indonesia tetapi hanya sedikit yang dapat

memperolehnya. (Leo Suryadinata, 1984: 93)

Mengingat hubungan yang memburuk antara RRC dan Indonesia. nam-

paknya tidak mungkin seorang Tionghoa asing dapat memperoleh pernyataan

resmi dati RRC. Penjabat Indonesia lalu menggunakan penafsiran bebas terhadap

ketentuan tersebut. dan membatalkan persyaratan untuk menyerahkan pernyataan

yang dikeluarkan oleh negara asal seseorang. Sebagai gantinya. pernyataan

tentang kehendak untuk menanggalkan kewarganegaraan RRC dianggap sudah

cukup. Keadaan sejumlah anak Tionghoa di bawah umur 18 tahun tidak lagi

mendapat kesempatan menjadi warga negara secara mudah. Di lain pihak

permohonan naturalisasi yang hampir tidak pernah diproses sebelum tahun 1969,

sekarang diterima. Sekarang kemungkinan melakukan naturalisasi Iebih besar

daripada sebelumnya, tetapi prosedurnya begitu rumit dan ongkos pemrosesan

amat tinggi. Sebuah laporan dalam Tempo mengungkapkan bahwa orang

memerlukan sedikitnya 14 dokumen untuk mengajukan permohonan dan

membayar biaya yang berkisar antara 30.000 dan 100.000 rupiah (kira-kira US$

75-250). Beberapa orang mengatakan bahwa biaya tersebut berkisar antara

500.000 dan 1 juta rupiah.. Bahkan dengan biaya yang demikian tinggi, masih

banyak saja permohonan yang diproses. Lie Tek Tjeng mengatakan bahwa antara

75 dan 90 persen dati Tionghoa yang "tidak berkewarganegaraan" tentu akan

minta menjadi warga negara Indonesia kalau prosedurnya dipermudah dan biaya

pemrosesan diturunkan, tetapi nampaknya pemerintahan Suharto memperkeras

pengawasan atas permohonan itu.

Sehubungan dengan proses naturalisasi yang ketat itu pemerintah meng-

umumkan bahwa terdapat 1.000 orang imigran Tionghoa ilegal yang masuk ke

Jakarta dari Hong Kong. Kebanyakan di antara mereka bekas mahasiswa yang

pergi ke RRC selama tahun 1960-an dan kemudian menetap di Hong Kong karena

kesulitan menyesuaikan diri dengan kehidupan di daratan Cina. Dengan anggapan

terdapat banyak imigran ilegal tersebut. penjabat setempat di Jakarta dan Jawa

Page 80: SKRIPSI - digilib.uns.ac.id... · undang No 62 tahun 1958 terhadap kewarganegaraan et nis Tionghoa di Indonesia diantaranya pada tahun 1960-an terdapat banyak kece nderungan dari

67

Barat menentukan persyaratan bahwa warga negara Indonesia keturunan asing

harus mendaftarkan diri kembali kalau mereka ingin memperoleh kartu penduduk

yang baru. Kira-kira pada waktu yang sama dilaporkan bahwa di Pontianak

(Kalimantan Barat) ada 468 orang Tionghoa yang setelah mendapatkan

kewarganegaraan Indonesia, kewarganegaraan tersebut batal karena mereka tidak

memenuhi persyaratan hukum. Ternyata pemerintah Indonesia belum menetapkan

pendiriannya mengenai sebegitu ban yak orang Tionghoa asing. Kalau pemerintah

memperkenankan jumlah besar orang Tionghoa asing untuk menjadi warga

negara Indonesia, pemerintah khawatir tidak akan dapat mengawasi dan menyerap

mereka. Di pihak lain. kalau status quo dipertahankan. Peking akan berkewajiban

dan berhak untuk melindungi orang-orang Tionghoa asing. yang menu rut hukum

Cina adalah warga negara RRC. Kebimbangan pemerintah Indonesia untuk

menerapkan kebijaksanaan kewarganegaraan yang lebih liberal nampaknya

terletak pada persepsi orang Indonesia ten tang kelompok minoritas Tionghoa

yang telah berkembang dalam kurun waktu yang panjang (Leo Suryadinata, 1984:

131)

D. Kebijakan-Kebijakan Yang Dilakukan Pemerintah Indonesia Dalam Menanggulangi Dampak Dari Akibat Dikeluarkannya Undang-

Undang No 62 Tahun 1958

1. Peraturan Presiden No. 10/1959

Dalam persetujuan dwi-kewarganegaraan, pihak Indonesia berhasil

mendapatkan jaminan bahwa di depan mata dunia internasional RRC

menanggalkan usaha campur tangan dalam masalah dalam negeri

Indonesia melalui cara mempengaruhi minoritas Cina. Orang Cina yamg

berdiam di Indonesia namun memegang kewarganegaraan RRC akan

mengindahkan hukum dan adat istiadat Indonesia dan tidak akan turut

dalam kegiatan-kegiatan politik Indonesia. Sebaliknya Indonesia berjanji

untuk melindungi hak dan kepentingan yang sah dari orang Cina warga

negara RRC itu.

Page 81: SKRIPSI - digilib.uns.ac.id... · undang No 62 tahun 1958 terhadap kewarganegaraan et nis Tionghoa di Indonesia diantaranya pada tahun 1960-an terdapat banyak kece nderungan dari

68

Namun mengenai hal yang terakhir ini terdapat perbedaan

interpretasi antara Indonesia dan RRC, khususnya yang menyangkut hak

dan kepentingan ekonomi. Hal ini nampak ketika pada tanggal 16

November 1959 muncul peraturan Presiden No. 10/1959, yang dikenal

sebagai Peraturan Pedagang Kecil dan Eceran. Peraturan Presiden yang

berlaku surut sampai tanggal 10 Juli 1959 itu melarang usaha perdagangan

kecil dan eceran yang bersifat asing di luar ibu kota daerah swatantra

tingkat I dan II serta karesidenan. Ramailah para pedagang Cina berpindah

ke kota-kota (Koerniatmanto, 1996:113).

Kebingungan dan ketegangan di kalangan orang Cina ini terjadi

karena pada saat itu orang-orang keturunan Cina di Indonesia terbagi ke

dalam dua kelompok status: orang Cina warga negara asing dan orang Cina

berdwi-kewarganegaraan RI-RRC. Waktu itu belum jelas kapan Persetujuan

Dwi-kewarganegaraan tersebut akan diberlakukan, meskipun Peraturan

Pemerintah No. 20/1959 sebagai peraturan pelaksanaan Undang-Undang

No. 2/1958 telah diundangkan.

Timbulah krisis hubungan Indonesia-RRC Kedutaan Besar RRC di Jakarta

seeara aktif menganjurkan agar orang-orang Cina di Indonesia tidak menaati

perintah Pemerintah Indonesia dan tetap berada di tempat tinggal semula

sampai RRC dapat memperoleh solusinya. Tindakan ini diikuti dengan

kegiatan RRC pada tanggal 10 Desernber 1959, yaitu memanggil pulang

orang Cina ke RRC. Terjadilah arus mudik orang-orang Cina di bawah

koordinasi Kedutaan Besar RRC di Jakarta. Dalam rangka itu pemerintah

Indonesia menerbitkan Exit-Permit Only (EPO) bagi para pernudik Cina

tersebut. Namun usaha RRC untuk menekan Indonesia ini justru rnerugikan RRC

sendiri, khususnya di bidang sosial dan ekonomi. Akibatnya pada bulan

April 1960 pihak RRC menghentikan proyek mudiknya itu, dan

menghimbau agar para pemudik ini tetap tinggal di Indonesia.

Di lain pihak Peraturan Presiden No. 10/1959 ini akhirnya

mengakibatkan orang-orang Cina di Indonesia hams memberikan bukti

kewarganegaraan Indonesia-nya. Hal ini hams dilakukan agar mereka

Page 82: SKRIPSI - digilib.uns.ac.id... · undang No 62 tahun 1958 terhadap kewarganegaraan et nis Tionghoa di Indonesia diantaranya pada tahun 1960-an terdapat banyak kece nderungan dari

69

tidak terkena pembatasan ekonomi seperti yang terkandung dalam

Peraturan Presiden No. 10/1959. Pemberlakuan Peraturan Presiden No. 20/

1959 menjadi sesuatu yang amat ditunggu-tunggu.

Baru pada tanggal 8 Maret 1960 muncul Peraturan Pemerintah No.

11/1960, yang menegaskan bahwa Peraturan Pemerintah No. 20/1959

mulai berlaku pada hari penukaran pengesahan yang berlangsung di

Peking, yaitu tanggal 20 Januari 1960. Perjanjian ini diharapkan berlaku

untuk waktu dua puluh tahun. Dengan demikian diharapkan masalah

bipatride ini dapat terselesaikan. (Koerniatmanto, 1996:113).

2. Pasal X Perjanjian Dwi Kewarganegaraan

Peraturan ini khusus diperuntukkan bagi wanita RRC yang mem-

peroleh kewarganegaraan Indonesia karena kawin dengan seorang warga

negara Indonesia, sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal X Perjanjian

Dwi-kewarganegaraan. Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya,

menurut Pasal X ini apabila seorang warga negara Indonesia kawin de-

ngan seorang warga negara RRC, masing-masing tetap memiliki

kewarganegaraan asal. Tetapi apabila salah satu pihak dengan kehendak

sendiri memohon dan memperoleh kewarganegaraan pihak lainnya,

dengan sendirinya ia kehilangan kewarganegaraan asal.

Surat Edaran Menteri Kehakiman No. JB.3/193/3, tanggal 5

Oktober 1962, menentukan bahwa apabila wanita RRC yang ingin

menjadi warga negara Indonesia karena perkawinannya, dapat

membuktikan kewarganegaraan RRCnya, tidak periu baginya Letter of

Explanation atau surat keterangan dari Perwakilan RRC tentang tidak

adanya kemungkinan bipatride. Hal ini dipertegas dengan Surat Edaran

Menteri Kehakiman No. DTC/20/9, tanggal 6 Desember 1965, yang

mengharuskan pembuktian tersebut berupa paspor RRC atau surat resmi

lain yang dikeluarkan oleh Pemerintah atau Perwakilan RRC. Demikian

Formulir IV adalah Formulir I yang khusus berlaku bagi wanita eks RRC

berdasarkan Pasal X Perjanjian Dwi-kewarganegaraan. (Koerniatmanto,

Page 83: SKRIPSI - digilib.uns.ac.id... · undang No 62 tahun 1958 terhadap kewarganegaraan et nis Tionghoa di Indonesia diantaranya pada tahun 1960-an terdapat banyak kece nderungan dari

70

1996:116).

3. Peraturan Perubahan Nama Bagi Golongan Tionghoa

Setelah kudeta 1965 diterimalah istilah Cina yang mengandung arti

penghinaan, untuk menggantikan istilah Tionghoa dan Tiongkok (RRC). Salah

satu sebab utama digunakan istilah Cina yaitu untuk menghilangkan rasa inferior

pada bangsa kita sendiri (orang Indonesia asli) serta menghilangkan rasa superior

pada golongan Tionghoa lokal dalam negara kita (Leo Suryadinata, 1984: 37)

Di tahun 1966 Presiden Suharto mengeluarkan perintah pengubahan nama

bagi warga Negara Indonesia keturunan Cina agar proses Asimilasi dipercepat.

Pada bulan Agustus 1967 dalam pidatonya di depan DPR ia mengusulkan agar

ditarik garis yang tegas antar warga Indonesia dan orang asing. Ia berpendapat

bahwa warga negara Indonesia keturunan Tionghoa adalah juga warga negara,

dan karenanya memiliki hak dan kewajiban yang sarna dengan warga negara

lainnya (yang asli). Ia tidak menyetujui adanya praktek pembedaan terhadap

mereka. Walaupun begitu ia berusaha melenyapkan praktek kehidupan sosial

mereka yang eksklusif dengan mengeluarkan peraturan-peraturan. Di antara

peraturan itu yang pertama adalah peraturan pengubahan nama kemudian ia

mengajak para warga negara Indonesia keturunan Tionghoa untuk berintegrasi

dan berasimilasi dengan masyarakat Indonesia asli tanpa menunggu-nunggu lagi

(Leo Suryadinata, 1984: 38)

Peraturan tentang perubahan nama yang dikeluarkan bulan Desember

1966. Sebelum itu sudah ada undang-undang (no. 4/1961) yang mengizinkan

semua warga negara Indonesia keturunan asing mengubah nama mereka menjadi

nama Indonesia. Para calon diharuskan minta rekomendasi dari gubemur 'atau

bupati setempat dan kepala polisi setempat.. Tetapi undang-undang itu tidak

disebarluaskan, dan pemerintah tidak giat menjalankannya. Pada bulan Desember

1966, pemerintah Soeharto menyederhanakan prosedur untuk pengubahan nama

warga negara Indonesia keturunan asing (Tionghoa). Pemerintah dengan giat

menganjurkan perubahan nama dan peraturan tersebut juga disebarluaskan.

Peraturan itu mengatakan bahwa pemerintah Indonesia in gin mempercepat

asimilasi warga negara Indonesia keturunan asing ke dalam "bangsa Indonesia";

Page 84: SKRIPSI - digilib.uns.ac.id... · undang No 62 tahun 1958 terhadap kewarganegaraan et nis Tionghoa di Indonesia diantaranya pada tahun 1960-an terdapat banyak kece nderungan dari

71

pengubahan nama dari nonIndonesia menjadi "nama Indonesia" dianggap sebagai

salah satu cara untuk mempercepat proses asimilasi. Karenanya pemerintah

berpendapat bahwa para warga negara Indonesia yang ingin mengubah nama

Tionghoa mereka menjadi nama Indonesia harus sebanyak mungkin diberi

kesempatan.

Menurut peraturan itu Tionghoa yang warga negara yang ingin mengubah

nama dapat sekadar memasukkan permohonan mereka kepada penguasa setempat

(biasanya gubemur, bupati, atau walikota) untuk didaftar. Untuk pendaftaran

tersebut ditarik biaya sekadarnya. Permohonan akan diteruskan ke Departemen

Kehakiman. Kalau dalam waktu tiga bulan tidak ada keberatan diajukan oleh

masyarakat setempat nama baru itu menjadi sah. Peraturan itu mula-mula

diberlakukan dari bulan Januari 1967 sampai Maret 1968. Kemudian diperpanjang

satu tahun karena orang Tionghoa warga negara yang mengubah nama temyata

lebih sedikit daripada yang diharapkan. Pada bulan Agustus 1969, Departemen

Kehakiman mengumumkan bahwa hanya ada 232.882 orang yang mengubah

nama mereka. Alasan pengubahan nama bermacam-macam. Beberapa di

antaranya mengubah nama untuk alasan praktis. Mereka yakin bahwa hal itu akan

membuat hidup mereka di Indonesia lebih mudah (misaInya untuk mendapat izin,

untuk mendapat tempat di sekolah atau perguruan tinggi. untuk dapat diterima

oleh orang Indonesia pribumi). Beberapa lagi mempunyai alasan untuk

menjadikan diri mereka satu dengan "bangsa Indonesia". Mereka benar-benar

percaya bahwa "masalah Cina" terselesaikan melalui asimilasi total. Yang lain

lagi berpendapat bahwa bangsa Indonesia tidak harus didefinisikan dalam arti

bangsa Indonesia yang pribumi. Mereka bangga akan asal-usul etniknya, dan

ingin tetap menjadi Tionghoa (Leo Suryadinata, 1984: 172)

Page 85: SKRIPSI - digilib.uns.ac.id... · undang No 62 tahun 1958 terhadap kewarganegaraan et nis Tionghoa di Indonesia diantaranya pada tahun 1960-an terdapat banyak kece nderungan dari

72

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian hasil penelitian dalam bab sebelumnya, maka dapat

diambil kesimpulan sebagai berikut :

1. Kewarganegaraan etnis Tionghoa di Indonesia sebelum tahun 1958 yang

ketika itu masih pada zaman VOC, tidak mengenal prinsip

kewarganegaraan. Perbedaan bukanlah dilakukan antara warganegara dan

orang-orang asing. Orang lebih banyak memperhatikan sifat-sifat lahir

atau kriteria lain seperti kepercayaan (keagamaan) yang mudah tampak

terlihat. Berdasarkan Grondwet 1814/1815 pada tahun 1838 di-

susunlah Nederlandsch Burgerlijk Wetboek (NBW) yang menyatakan

bahwa selain orang-orang keturunan Belanda, juga orang-orang

Indonesia, Tionghoa dan Arab yang dilahirkan di Hindia Belanda,

adalah orang-orang Belanda. Selanjutnya dalam Wet 1910 ini diakui

sebagai kaulanegara Belanda (Nederlandsch onderdaan). Adanya

keinginan untuk membuat sebanyak mungkin orang-orang menjadi

kaulanegara telah menimbulkan reaksi dari kalangan tertentu seperti

peranakan Tionghoa. Bagi orang-orang yang tidak suka untuk dihitung

menjadi kaulanegara Belanda, hal ini dipandang sebagai terlalu memaksa

dan akhirnya mendorong munculnya pergerakan Tionghoa. Ketika Jepang

menduduki Indonesia tidak banyak mengadakan perubahan terhadap

peraturan yang ada dan masih memakai peraturan-peraturan peninggalan

Belanda. Setelah Indonesia merdeka peraturan tentang kewarganegaraan

diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 26 yang menyatakan

orang-orang bangsa lain, misalnya orang peranakan Belanda, peranakan

Tionghoa, dan peranakan Arab, yang bertempat tinggal di Indonesia,

mengakui Indonesia sebagai tanah airnya, dan bersikap setia kepada

Negara Republik Indonesia, dapat menjadi warga Negara Indonesia.

72

Page 86: SKRIPSI - digilib.uns.ac.id... · undang No 62 tahun 1958 terhadap kewarganegaraan et nis Tionghoa di Indonesia diantaranya pada tahun 1960-an terdapat banyak kece nderungan dari

73

Namun rupanya RRC masih mempertahankan Undang-Undang

Kewarganegaraan Cina Nasionalis yang diundangkan pada tahun

1929. Undang-undang ini menggunakan asas ius sanguinis. Hal ini

mengakibatkan semua orang Cina yang berstatus sebagai warga

negara Indonesia menjadi berstatus bipatride.

3. Kewarganegaraan Etnis Tionghoa di Indonesia setelah keluarnya Undang-

Undang No.62 Tahun 1959 mengalami berbagai perubahan. Ketika orang

Indonesia telah memproklamirkan kemerdekaanya, mereka tidak member-

lakukan lagi kebijaksanaan kewarganegaraan yang lebih liberal (bebas)

dan mulai menerapkan asas ius soli dua generasi (pengganti ius soli

sederhana) bagi orang Tionghoa lokal. "Sistem pasif" diganti dengan

"sistem aktif", yaitu sistem yang mensyaratkan adanya pernyataan

penerimaan kewarganegaraan Indonesia memberikan bukti bahwa

orangtua mereka dilahirkan di wilayah Indonesia dan telah berdiam di

Indonesia sedikit-dikitnya selama 10 tahun; dan menyatakan secara resmi

menolak kewarganegaraan Cina. Akan banyak orang Indonesia keturunan

Tionghoa yang kehiIangan kewarganegaraan karena mereka bukan tidak

mengetahui prosedur hukum, tetapi juga tidak akan dapat memberikan

surat kelahiran atau bukti lain yang dapat membuktikan bahwa orangtua

mereka dilahirkan di wilayah Indonesia dan telah berdiam di Indonesia

sekurang-kurangnya 10 tahun.

4. Dampak dikeluarkanya undang-undang No 62 tahun 1958 terhadap

kewarganegaraan etnis Tionghoa di Indonesia diantaranya pada tahun

1960-an terdapat kecenderungan dari beberapa orang pemuda Tionghoa

Totok untuk berkiblat ke Indonesia. Undang-undang Kewarganegaraan

mensyaratkan bahwa penolakan kewarganegaraan Cina harus dilakukan di

Pengadilan Negeri di Indonesia, atau di kedutaan-kedutaan atau konsulat-

konsulat Indonesia untuk orang Tionghoa yang ada di luar negeri. Setiap

orang yang mempunyai kewarganegaraan ganda (warga negara Indonesia

keturunan Tionghoa sebelum 20 Januari 1960) haruslah menolak

kewarganegaraan Cina dalam jangka waktu kesempatan memilih (20

Page 87: SKRIPSI - digilib.uns.ac.id... · undang No 62 tahun 1958 terhadap kewarganegaraan et nis Tionghoa di Indonesia diantaranya pada tahun 1960-an terdapat banyak kece nderungan dari

74

Januari 1960-20 Januari 1962); kalau tidak, orang tersebut akan dengan

sendirinya kehilangan kewarganegaraan Indonesianya. Hanya sedikit

sekali jumlah orang pernah dinaturalisasi sebagai warga negara sehingga

lebih dari 60 persen etnis Tionghoa di Indonesia tetap orang asing hingga

tahun 1980-an. Terjadi beberapa emigrasi kelompok ini ke China, tetapi

sebagian besar melihat memilih menjadi penduduk tetap di Indonesia. Dan

keadaan bagi orang Tionghoa semakin memburuk setelah terjadinya

kudeta tahun 1965.

5. Kebijakan-kebijakan yang dilakukan pemerintah Indonesia dalam

menanggulangi dampak dari akibat dikeluarkannya Undang-undang No 62

tahun 1958 yaitu dikeluarkanya beberapa Undang-undang dan peraturan-

peraturan. Pada bulan November 1959 muncul peraturan Presiden No.

10/1959, yang dikenal sebagai Peraturan Pedagang Kecil dan Eceran.

Peraturan Presiden itu melarang usaha perdagangan kecil dan eceran

yang bersifat asing di luar ibu kota daerah swatantra tingkat I dan II

serta karesidenan. Ramailah para pedagang Cina berpindah ke kota-

kota. Kemudian Pasal X Perjanjian Dwi-kewarganegaraan,

peraturan ini khusus diperuntukkan bagi wanita RRC yang mem-

peroleh kewarganegaraan Indonesia karena kawin dengan seorang

warga negara Indonesia, menurut Pasal X ini apabila seorang warga

negara Indonesia kawin dengan seorang warga negara RRC,

masing-masing tetap memiliki kewarganegaraan asal. Tetapi

apabila salah satu pihak dengan kehendak sendiri memohon dan

memperoleh kewarganegaraan pihak lainnya, dengan sendirinya ia

kehilangan kewarganegaraan asal. Tahun 1966 masa pemerintahan

presiden Soeharto dikeluarkan perintah pengubahan nama bagi warga

negara Indonesia keturunan Cina dan mengajak para warga negara

keturunan Tionghoa untuk berintegrasi dan berasimilasi dengan

masyarakat Indonesia asli.

Page 88: SKRIPSI - digilib.uns.ac.id... · undang No 62 tahun 1958 terhadap kewarganegaraan et nis Tionghoa di Indonesia diantaranya pada tahun 1960-an terdapat banyak kece nderungan dari

75

A. Implikasi

1. Teoritis

Salah satu unsur yang paling hakiki dalam suatu negara adalah warga

negara. Sebagai anggota suatu negara, seorang warga negara mempunyai

kedudukan khusus terhadap negaranya. Ia mempunyai hubungan hak dan

kewajiban yang bersifat timbal balik terhadap negaranya. Hubungan antara negara

dan warga negara ini perlu diatur dalam suatu aturan hukum. Undang-Undang

Dasar hanya bersifat pokok, sehingga perlu adanya aturan untuk mengatur

hubungan antara negara dan warga negara. Pengaturan hubungan antara negara

dan warga negara di dalam undang-undang sangat penting karena hak dan

kewajiban antara negara dan warga negara serta kedudukan warga negara akan

diatur lebih jelas.

Aturan hukum yang pernah mengatur tentang hubungan antara negara dan

warga negara di Indonesia telah mengalami beberapa kali pergantian dan

perkembangan, salah satunya adalah Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958.

Namun Undang-Undang ini menunjukkan beberapa kelemahan yaitu tidak

memenuhi unsur filosofis, yuridis, maupun sosiologis. Secara filosofis, Undang-

Undang Nomor 62 Tahun 1958 belum sejalan dengan falsafah Pancasila karena

bersifat diskriminatif dan kurang menjamin pemenuhan hak asasi dan persamaan

antara warga negara. Secara yudiris, landasan konstitusional pembentukan

Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 adalah UUDS Tahun 1950 yang sudah

tidak berlaku sejak Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menyatakan kembali lagi ke

UUD 1945. Pada saat ini, UUD 1945 juga telah mengalami beberapa kali

amandemen untuk lebih menjamin perlindungan terhadap hak asasi manusia dan

hak warganegara. Secara sosiologis, Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958

sudah tidak sesuai dengan perkembangan dan tuntutan masyarakat Indonesia

sebagai bagian dari masyarakat internasional, yang menghendaki adanya

persamaan perlakuan dan kedudukan warga negara di hadapan hukum.

Salah satu sifat diskriminatif Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958

adalah perlakuan terhadap warga keturunan Tionghoa, yang mensyaratkan

menyertakan SBKRI (Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia) untuk

Page 89: SKRIPSI - digilib.uns.ac.id... · undang No 62 tahun 1958 terhadap kewarganegaraan et nis Tionghoa di Indonesia diantaranya pada tahun 1960-an terdapat banyak kece nderungan dari

76

mengurus paspor atau dokumen sipil lainnya. SBKRI (Surat Bukti

Kewarganegaraan Republik Indonesia) ini telah melanggar hak seseorang untuk

mendapatkan pengakuan yang sama sebagai warga negara Indonesia,

2. Praktis

Sebagai kaum perantauan etnis Tionghoa tidak lagi mendapat

perlindungan dari daerah asalnya. keadaan ini memaksa mereka untuk selalu

bertahan dalam setiap kebijakan yang dijalankan oleh pemerintah kolonial

Belanda maupun pemerintah Indonesia, mereka selalu menempatkan diri dengan

tepat dan mencoba mengikuti aturan-aturan yang diberlakukan walaupun

kebijakan yang diterapkan kepada mereka bersifat membatasi gerak mereka.

Kondisi yang dialami oleh etnis Tionghoa tidak menyebabkan mereka putus asa

tetapi justru menjadikan mereka menjadi etnis yang kuat sehingga dapat selalu

eksis, banyak hal-hal positif yang dimiliki warga keturunan Tionghoa sebagai

warga negara Indonesia disamping keberhasilanya dalam bidang ekonomi.

Sebagai contoh pemain bulutangkis Tan Joe Hoek, Chandra Wijaya, Susi Susanti,

Haryanto Arbi, Verawati Fajrin, Hendrawan, dan atlet lainnya adalah warga

keturunan Tionghoa yang telah mengharumkan nama bangsa Indonesia di kancah

internasional, namun mereka tetap wajib menyertakan SBKRI (Surat Bukti

Kewarganegaraan Republik Indonesia) atau Surat Pernyataan Keterangan

Melepaskan Kewarganegaraan Republik Rakyat Tiongkok (SMKK-RRT) dalam

berbagai urusan yang terkait dengan kewarganegaraan, sedangkan warga negara

yang bukan keturunan cukup menyertakan KTP atau akte lahir yang hal tersebut

masih dirasakan sebagai tindakan yang masih diskriminatif.

Keberadaan etnis Tionghoa sebagai salah satu golongan minoritas di

Indonesia dari dulu sampai sekarang sangat menarik untuk dikaji. Oleh karena itu

setelah penelitian ini, diharapkan dimasa yang akan datang akan terus ada peneliti

yang mampu mengulas secara lebih mendalam lagi tentang etnis Tionghoa,

khususnya mengenai peranan mereka dalam perkembangan hukum

kewarganegaraan Indonesia. Agar dapat menjadi acuan dalam pembelajaran

khususnya tentang sejarah hukum kewarganegaraan Indonesia.

Page 90: SKRIPSI - digilib.uns.ac.id... · undang No 62 tahun 1958 terhadap kewarganegaraan et nis Tionghoa di Indonesia diantaranya pada tahun 1960-an terdapat banyak kece nderungan dari

77

C. Saran

Berdasarkan hasil penelitian di atas, maka dapat diajukan saran sebagai

berikut :

1. Bagi Mahasiswa

Sebagai generasi muda, banyak pelajaran yang dapat diambil dari

perjalanan etnis Tionghoa Indonesia. Dengan keberhasilanya dibidang

ekonomi karena memiliki sifat ulet, kreatif dan pekerja keras untuk

mengisi pembangunan. Maka bagi mahasiswa Program Sejarah

sebagai generasi penerus bangsa diharapkan dapat mengambil sifat-

sifat yang positif dalam kehidupan dan menghargai perbedaaan yang

ada. Sehingga di masa yang akan datang dapat hidup rukun saling

bekerjasama dalam pembagunan bangsa.

2. Bagi Para Pendidik

Kondisi generasi muda saat ini yang sangat mudah terpengaruh dengan

hal yang bersifat negatif, para pendidik diharapkan lebih peka dengan

keadaan yang dapat mengahancurkan generasi muda saat ini. Maka

pendidik diharapkan dapat menanamkan sifat positif seperti saling

menghormati dan menghargai pribadi orang lain tanpa

mempertentangkan perbedaan yang ada, agar para generasi muda dapat

mengisi pembagunan dengan sifat-sifat yang positif dan dapat hidup

berdampingan secara harmonis dengan berbagai perbedaan di negara

yang penuh keanekaragaman ini.

Page 91: SKRIPSI - digilib.uns.ac.id... · undang No 62 tahun 1958 terhadap kewarganegaraan et nis Tionghoa di Indonesia diantaranya pada tahun 1960-an terdapat banyak kece nderungan dari

78

DAFTAR PUSTAKA Buku buku Azyumardi Azra. 2003. Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) :

Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani,. Jakarta : Predana Media.

Dudung Abdurracman. 1999. Metode Penelitian Sejarah. Jakarta: Logos Wacana Ilmu

Gottschalk, Louis. 1986. Mengerti Sejarah. Jakarta: UI Press Gungwu,Wang dan Jennifer Cushman.1991.Perubahan Identitas Orang Cina di

Asia Tenggara. Jakarta:Pustaka Grafiti Hans Kohn 1984. Nasionalisme Arti dan Sejarahnya. Jakarta : Airlanga Hari Mulyadi. 1999. Runtuhnya Kekuasaan “Kraton Alit”: Studi Radikalisasi

Sosial” Wong Sala” dan Kerusuhan Mei 1998 di Surakarta. Surakarta. LPTP

Helius Sjamsuddin. 1996. Metodologi Sejarah. Jakarta: Departemen Pendidikan

dan Kebudayaan. _______________ & Ismaun. 1996. Pengantar Ilmu Sejarah. Jakarta:

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Hembing Wijayakusuma. 2005. Pembantian Massal 1740 “Tragedi Berdarah

Angke”. Jakarta: Pustaka Populer Obor. Isjwara. 1982. Pengantar Ilmu Politik. Bandung : Binacipta

Justian Suhandinata. 2009. WNI Keturunan Tionghoa dalam Stabilitas Ekonomi

dan Politik Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Kansil, CST. Hukum Kewarganegaraan Republik Indonesia. 1996. Jakarta: Sinar Grafika

Koentjaraningrat. 1970. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan.

______________. 1977. Metode-Metode Penelitian Sejarah. Jakarta: Erlangga.

78

Page 92: SKRIPSI - digilib.uns.ac.id... · undang No 62 tahun 1958 terhadap kewarganegaraan et nis Tionghoa di Indonesia diantaranya pada tahun 1960-an terdapat banyak kece nderungan dari

79

Koentjaraningrat. 1986. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta : Ghalia Indonesia. Koerniatmanto Soetoprawiro. 1996. Hukum Kewarganegaraan dan Keimigrasian

Indonesia. Jakarta. Gramedia Kuntowijoyo. 1994. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana

Leo Suryadinata. 1999. Etnis Tionghoa dan Pembangunan Bangsa. Jakarta: PT. Pustaka LP3ES Indonesia

__________.1984. Dilema Minoritas Tionghoa. Jakarta. Grafiti.

__________.1986.Politik Tionghoa Peranakan Jawa 1917-1942. Jakarta: Pustaka

Sinar Harapan Leo Agung . 2002. Sejarah Intelektual. Salatiga : Widyasari Press

Lexy J. Moleong. 1989. Metodologi Penelitian Kualititatif. Bandung: Remaja

Karya. Markhamah. 2000. Etnik Cina Suatu Kajian Linguistik Kultural. Surakarta: UMS

Mely G.Tan. 1981. Golongan Etnis Tionghoa di Indonesia. Jakarta: Gramedia. Noer Fauzi. 1998. Petani & penguasa: Dinamika Perjalanan Politik Agraria

Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Pamudji, S.1994. Perbandingan Pemerintahan. Jakarta: Bumi Aksara. Rener, G.J. 1997. Metode dan Manfaat Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Sartono Kartodirdjo. 1992. Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah.

Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. ______________ . 1992. Pengantar sejarah Indonesia Baru: 1500-1900, Dari

Emporium sampai Imperium. Jakarta. Gramedia. Sidi Gazalba. 1981. Pengantar Sejarah Sebagai Ilmu. Jakarta: Bhratara Karya

Aksara. Sidik Suraputra. 1991. Revolusi Indonesia dan Hukum Internasional. Jakarta: UI Press

Page 93: SKRIPSI - digilib.uns.ac.id... · undang No 62 tahun 1958 terhadap kewarganegaraan et nis Tionghoa di Indonesia diantaranya pada tahun 1960-an terdapat banyak kece nderungan dari

80

Stoddard L. 1966. Dunia Baru Islam. Jakarta : Panitia.

Sudargo Gautama. 1987. Warga Negara dan Orang Asing. Bandung: Alumni

Sukarna. 1990. Pembangunan Politik. Bandung: Mandar Maju. Sumadi Suryabrata.1997.Metodologi Penelitian.Jakarta: PT. Raja Grafindo

Persada Skinner, G. William.1981. Golongan Minoritas Tionghoa dalam Mely G. Tan,

Golongan Etnis Tionghoa di Indonesia: Suatu Masalah Pembinaan Kesatuan Bangsa. Jakarta: Gramedia

Yusiu Liem. 2000. Prasangka Terhadap Etnis Cina: Sebuah Intisari. Jakarta:

Djamban. Jurnal :

Benny Juwono. 1999. Etnis Cina di Surakarta 1980-1927: Tinjauan Sosial Ekonomi. Lembaran Sejarah Jurusan Sejarah Fakultas Sastra UGM. No 1.16-19.

Jean Debernardi. 1988 Oktober. “Changing Identities of the Soutbeast Asian

Chinese since World War II” Edited by Jennifer Cushman and Wang Gungwu. The Journal of Asian Studies. Vol 49 Number 2. May 1990, hlm 432.

Majalah dan Koran :

Majalah Sin Po, 1 November 1930 Sumber : Dokumentasi Monumen Pers Surakarta

Koran Gelora Maesa, 24 September 1957 Sumber : Dokumentasi Monumen Pers Surakarta

Koran Gelora Maesa, 16 April 1958 Sumber : Dokumentasi Monumen Pers Surakarta

Koran Obor Rakyat, 28 Juli 1958 Sumber : Dokumentasi Monumen Pers Surakarta

Internet :

http://www.datalink.indonesia-ottawa.org.pdf. Undang-undang kewarganegaraan RI No 62 tahun 1958. diakses 24 Maret 2010

Page 94: SKRIPSI - digilib.uns.ac.id... · undang No 62 tahun 1958 terhadap kewarganegaraan et nis Tionghoa di Indonesia diantaranya pada tahun 1960-an terdapat banyak kece nderungan dari

81

LAMPIRAN 1

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 1958

TENTANG KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : Bahwa perlu diadakan Undang-undang Kewarganegaraan Republik Indonesia;

Mengingat : a. Pasal-Pasal 5 dan 144 Undang-undang Dasar Sementara Republik Indonesia;

b. Pasal 89 Undang-undang Dasar Sementara Republik Indonesia;

DENGAN PERSETUJUAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA

Pasal 1

Warganegara Republik Indonesia ialah:

1. orang-orang yang berdasarkan perundang-undangan dan/atau perjanjian-perjanjian dan/atau peraturan-peraturan yang berlaku sejak Proklamasi 17 Agustus 1945 sudah warga-negara Republik Indonesia;

2. orang yang pada waktu lahirnya mempunyai hubungan hukum kekeluargaan dengan ayahnya, seorang warga-negara Republik Indonesia, dengan pengertian bahwa kewarganegaraan Republik Indonesia tersebut dimulai sejak adanya hubungan hukum kekeluargaan termaksud, dan bahwa hubungan hukum kekeluargaan ini diadakan sebelum orang itu berumur 18 tahun atau sebelum ia kawin pada usia di bawah 18 tahun;

3. anak yang lahir dalam 300 hari setelah ayahnya meninggal dunia, apabila ayah itu pada waktu meninggal dunia warga-negara Republik Indonesia;

4. orang yang pada waktu lahirnya ibunya warga-negara Republik Indonesia, apabila ia pada waktu itu tidak mempunyai hubungan hukum kekeluargaan dengan ayahnya;

5. orang yang pada waktu lahirnya ibunya warga-negara Republik Indonesia, jika ayahnya tidak mempunyai kewarganegaraan, atau selama tidak diketahui kewarganegaraan ayahnya;

6. orang yang lahir di dalam wilayah Republik Indonesia selama kedua orang tuanya tidak diketahui;

Page 95: SKRIPSI - digilib.uns.ac.id... · undang No 62 tahun 1958 terhadap kewarganegaraan et nis Tionghoa di Indonesia diantaranya pada tahun 1960-an terdapat banyak kece nderungan dari

82

7. seorang anak yang diketemukan di dalam wilayah Republik Indonesia selama tidak diketahui kedua orang tuanya;

8. orang yang lahir di dalam wilayah Republik Indonesia, jika kedua orang tuanya tidak mempunyai kewarganegaraan atau selama kewarganegaraan kedua orang tuanya tidak diketahui;

9. orang yang lahir di dalam wilayah Republik Indonesia yang pada waktu lahirnya tidak mendapat kewarganegaraan ayah atau ibunya dan selama ia tidak mendapat kewarganegaraan ayah atau ibunya itu;

10. orang yang memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia menurut aturan-aturan Undang-undang ini.

Pasal 2

1. Anak asing yang belum berumur 5 tahun yang diangkat oleh seorang warga-negara Republik Indonesia, memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia, apabila pengangkatan itu dinyatakan sah oleh Pengadilan Negeri dari tempat tinggal orang yang mengangkat anak itu.

2. Pernyataan sah oleh Pengadilan Negeri termaksud harus dimintakan oleh orang yang mengangkat anak tersebut dalam 1 tahun setelah pengangkatan itu atau dalam 1 tahun setelah Undang-undang ini mulai berlaku.

Pasal 3

1. Anak di luar perkawinan dari seorang ibu warga-negara Republik Indonesia atau anak dari perkawinan sah, tetapi dalam perceraian oleh hakim anak tersebut diserahkan pada asuhan ibunya seorang warga-negara Republik Indonesia, yang kewarganegaraannya turut ayahnya seorang asing, boleh mengajukan permohonan kepada Menteri Kehakiman untuk memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia tidak mempunyai kewarganegaraan lain atau menyertakan pernyataan menanggalkan kewarganegaraan lain menurut cara yang ditentukan oleh ketentuan hukum dari negara asalnya dan/atau menurut cara yang ditentukan oleh perjanjian penyelesaian dwikewarganegaraan antara Republik Indonesia dan negara yang bersangkutan.

2. Permohonan tersebut di atas harus diajukan dalam 1 tahun sesudah orang yang bersangkutan berumur 18 tahun kepada Menteri Kehakiman melalui Pengadilan Negeri atau Perwakilan Republik Indonesia dari tempat tinggalnya.

3. Menteri Kehakiman mengabulkan atau menolak permohonan itu dengan persetujuan Dewan Menteri.

4. Kewarganegaraan Republik Indonesia yang diperoleh atas permohonan itu mulai berlaku pada hari tanggal keputusan Menteri Kehakiman.

Page 96: SKRIPSI - digilib.uns.ac.id... · undang No 62 tahun 1958 terhadap kewarganegaraan et nis Tionghoa di Indonesia diantaranya pada tahun 1960-an terdapat banyak kece nderungan dari

83

Pasal 4

1. Orang asing yang lahir dan bertempat tinggal di dalam wilayah Republik Indonesia yang ayah-atau ibunya, apabila ia tidak mempunyai hubungan hukum kekeluargaan dengan ayahnya, juga lahir di dalam wilayah Republik Indonesia dan penduduk Republik Indonesia, boleh mengajukan permohonan kepada Menteri Kehakiman untuk memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia, apabila ia setelah memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia tidak mempunyai kewarganegaraan lain, atau pada saat mengajukan permohonan ia menyampaikan juga surat pernyataan menanggalkan kewarganegaraan lain yang mungkin dimilikinya sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku di negara asalnya atau sesuai dengan ketentuan-ketentuan di dalam perjanjian penyelesaian dwi-kewarganegaraan antara Republik Indonesia dan negara yang bersangkutan.

2. Permohonan tersebut di atas harus diajukan dalam 1 tahun sesudah orang yang bersangkutan berumur 18 tahun kepada Menteri Kehakiman melalui Pengadilan Negeri dari tempat tinggalnya.

3. Menteri Kehakiman mengabulkan atau menolak permohonan itu dengan persetujuan Dewan Menteri.

4. Kewarganegaraan Republik Indonesia yang diperoleh atas permohonan itu mulai berlaku pada hari tanggal keputusan Menteri Kehakiman.

Pasal 5

1. Kewarganegaraan Republik Indonesia karena pewarganegaraan diperoleh dengan berlakunya keputusan Menteri Kehakiman yang memberikan pewarganegaraan itu.

2. Untuk mengajukan permohonan pewarganegaraan pemohon harus:

a. sudah berumur 21 tahun;

b. lahir dalam wilayah Republik Indonesia, atau pada waktu mengajukan permohonan bertempat tinggal dalam daerah itu selama sedikit-dikitnya 5 tahun berturut-turut yang paling akhir atau sama sekali selama 10 tahun tidak berturut-turut;

c. apabila ia seorang laki-laki yang kawin mendapat persetujuan isteri (isteri-isteri)nya;

d. cukup dapat berbahasa Indonesia dan mempunyai sekedar pengetahuan tentang sejarah Indonesia serta tidak pernah dihukum karena melakukan kejahatan yang merugikan Republik Indonesia;

e. dalam keadaan sehat rokhani dan jasmani;

Page 97: SKRIPSI - digilib.uns.ac.id... · undang No 62 tahun 1958 terhadap kewarganegaraan et nis Tionghoa di Indonesia diantaranya pada tahun 1960-an terdapat banyak kece nderungan dari

84

f. membayar pada Kas Negeri uang sejumlah antara Rp. 500,- sampai Rp. 10.000,- yang ditentukan besarnya oleh Jawatan Pajak tempat tinggalnya berdasarkan penghasilannya, tiap bulan yang nyata dengan ketentuan tidak boleh melebihi penghasilan nyata sebulan;

g. mempunyai mata pencaharian yang tetap,

h. tidak mempunyai kewarganegaraan, atau kehilangan kewarganegaraannya apabila ia memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia atau menyertakan pernyataan menanggalkan kewarganegaraan lain menurut ketentuan hukum dari negara asalnya atau menurut ketentuan hukum perjanjian penyelesaian dwi-kewarganegaraan antara Republik Indonesia dan negara yang bersangkutan.

3. Seorang perempuan selama dalam perkawinan tidak boleh mengajukan permohonan pewarganegaraan.

4. Permohonan untuk pewarganegaraan harus disampaikan dengan tertulis dan dibubuhi meterai kepada Menteri Kehakiman melalui Pengadilan Negeri atau Perwakilan Republik Indonesia dari tempat tinggal pemohon;

5. Permohonan harus ditulis dalam bahasa Indonesia dan bersama dengan permohonan itu harus disampaikan bukti-bukti tentang hal-hal tersebut dalam ayat 2 kecuali yang tersebut dalam huruf d.

6. Pengadilan Negeri atau perwakilan Republik Indonesia memeriksa bukti-bukti itu akan kebenarannya dan menguji pemohon akan kecakapannya berbahasa Indonesia dan akan pengetahuannya tentang sejarah Indonesia.

7. Menteri Kehakiman mengabulkan atau menolak permohonan pewarganegaraan dengan persetujuan Dewan Menteri.

8. Keputusan Menteri Kehakiman yang memberikan pewarganegaraan mulai berlaku pada hari pemohon di hadapan Pengadilan Negeri atau perwakilan Republik Indonesia dari tempat tinggalnya mengucapkan sumpah atau janji setia dan berlaku surut hingga dari tanggal keputusan Menteri Kehakiman tersebut.

9. Sumpah atau janji setia itu adalah seperti berikut: "Saya bersumpah (berjanji): bahwa saya melepaskan seluruhnya, segala kesetiaan kepada kekuasaan asing: bahwa saya mengaku dan menerima kekuasaan yang tertinggi dari Republik Indonesia dan akan menepati kesetiaan kepadanya: bahwa saya akan menjunjung tinggi Undang-undang Dasar dan hukum-hukum Republik Indonesia dan akan membelanya dengan sungguh-sungguh: bahwa saya memikul kewajiban ini dengan rela hati dan tidak akan mengurangi sedikit pun".

10. Setelah pemohon mengucapkan sumpah atau janji setia termaksud di atas. Menteri Kehakiman mengumumkan pewarganegaraan itu dengan menempatkan keputusannya dalam Berita-Negara.

Page 98: SKRIPSI - digilib.uns.ac.id... · undang No 62 tahun 1958 terhadap kewarganegaraan et nis Tionghoa di Indonesia diantaranya pada tahun 1960-an terdapat banyak kece nderungan dari

85

11. Apabila sumpah atau janji setia tidak diucapkan dalam waktu tiga bulan setelah hari tanggal keputusan Menteri Kehakiman, maka keputusan itu dengan sendirinya menjadi batal.

12. Jumlah uang tersebut dalam ayat 2 dibayarkan kembali, apabila permohonan pewarganegaraan tidak dikabulkan.

13. Jika permohonan pewarganegaraan ditolak, maka pemohon dapat mengajukan permohonan kembali.

Pasal 6

1. Pewarganegaraan juga dapat diberikan dengan alasan kepentingan negara atau telah berjasa terhadap negara oleh Pemerintah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.

2. Dalam hal ini dari ketentuan-ketentuan dalam Pasal 5 hanya berlaku ketentuan-ketentuan ayat 1, ayat 5, ayat 6 dan ayat 7.

Pasal 7

1. Seorang perempuan asing yang kawin dengan seorang warga-negara Republik Indonesia, memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia, apabila dan pada waktu ia dalam 1 tahun setelah perkawinannya berlangsung menyatakan keterangan untuk itu, kecuali jika ia apabila memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia masih mempunyai kewarganegaraan lain, dalam hal mana keterangan itu tidak boleh dinyatakan.

2. Dengan kekecualian tersebut dalam ayat 1 perempuan asing yang kawin dengan seorang warga-negara Republik Indonesia juga memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia satu tahun sesudah perkawinannya berlangsung, apabila dalam satu tahun itu suaminya tidak menyatakan keterangan untuk melepaskan kewarganegaraan Republik Indonesia.

3. Keterangan itu hanya boleh dinyatakan dan hanya mengakibatkan hilangnya kewarganegaraan Republik Indonesia, apabila degan kehilangan itu suami tersebut tidak menjadi tanpa kewarganegaraan.

4. Apabila salah satu dari keterangan tersebut dalam ayat 1 dan 2 sudah dinyatakan, maka keterangan yang lainnya tidak boleh dinyatakan.

5. Keterangan-keterangan tersebut di atas harus dinyatakan kepada Pengadilan Negeri atau Perwakilan Republik Indonesia dari tempat tinggal orang yang menyatakan keterangan itu.

Pasal 8

1. Seorang perempuan warga-negara Republik Indonesia yang kawin dengan seorang asing kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesianya, apabila

Page 99: SKRIPSI - digilib.uns.ac.id... · undang No 62 tahun 1958 terhadap kewarganegaraan et nis Tionghoa di Indonesia diantaranya pada tahun 1960-an terdapat banyak kece nderungan dari

86

dan pada waktu ia dalam 1 tahun setelah perkawinannya berlangsung menyatakan keterangan untuk itu, kecuali apabila ia dengan kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia itu menjadi tanpa kewarganegaraan.

2. Keterangan tersebut dalam ayat 1 harus dinyatakan kepada Pengadilan Negeri atau Perwakilan Republik Indonesia dari tempat tinggal orang yang menyatakan keterangan itu.

Pasal 9

1. Kewarganegaraan Republik Indonesia yang diperoleh oleh seorang suami dengan sendirinya berlaku terhadap isterinya, kecuali apabila setelah memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia isteri itu masih mempunyai kewarganegaraan lain.

2. Kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia oleh seorang suami dengan sendirinya berlaku terhadap isterinya, kecuali apabila suami itu akan menjadi tanpa kewarga-negaraan.

Pasal 10

1. Seorang perempuan dalam perkawinan tidak boleh mengajukan permohonan tersebut dalam Pasal 3 dan Pasal 4.

2. Kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia oleh seorang isteri dengan sendirinya berlaku terhadap suaminya, kecuali apabila suami itu akan menjadi tanpa kewarga-negaraan.

Pasal 11

1. Seorang yang disebabkan oleh atau sebagai akibat dari perkawinannya kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia, memperoleh kewarganegaraan itu kembali jika dan pada waktu ia setelah perkawinannya terputus menyatakan keterangan untuk itu.

2. Keterangan itu harus dinyatakan dalam waktu 1 tahun setelah perkawinan itu terputus kepada Pengadilan Negeri atau kepada Perwakilan Republik Indonesia dari tempat tinggalnya.

3. Ketentuan ayat 1 tidak berlaku dalam hal orang itu apabila setelah memperoleh kembali kewarganegaraan Republik Indonesia masih mempunyai kewarganegaraan lain.

Pasal 12

1. Seorang perempuan yang disebabkan oleh atau sebagai akibat perkawinannya memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia, kehilangan

Page 100: SKRIPSI - digilib.uns.ac.id... · undang No 62 tahun 1958 terhadap kewarganegaraan et nis Tionghoa di Indonesia diantaranya pada tahun 1960-an terdapat banyak kece nderungan dari

87

kewarganegaraan itu lagi, jika dan pada waktu ia setelah perkawinannya terputus menyatakan keterangan untuk itu.

2. Keterangan itu harus dinyatakan dalam waktu 1 tahun setelah perkawinan itu terputus kepada Pengadilan Negeri atau Perwakilan Republik Indonesia dan tempat tinggalnya.

3. Ketentuan ayat 1 tidak berlaku apabila orang itu dengan kehilangan kewarganegaraan Republik lndonesianya menjadi tanpa kewarga-negaraan.

Pasal 13

1. Anak yang belum berumur 18 tahun dan belum kawin yang mempunyai hubungan hukum kekeluargaan dengan ayahnya sebelum ayah itu memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia, turut memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia setelah ia bertempat tinggal dan berada di Indonesia. Keterangan tentang bertempat tinggal dan berada di Indonesia itu tidak berlaku terhadap anak-anak yang karena ayahnya memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia menjadi tanpa kewarga-negaraan.

2. Kewarganegaraan Republik Indonesia yang diperoleh seorang ibu berlaku juga terhadap anak-anaknya yang tidak mempunyai hubungan hukum kekeluargaan dengan ayahnya, yang belum berumur 18 tahun dan belum kawin setelah mereka bertempat tinggal dan berada di Indonesia.

3. Apabila kewarganegaraan Republik Indonesia itu diperoleh dengan pewarganegaraan oleh seorang ibu yang telah menjadi janda karena suaminya meninggal maka anak-anak yang mempunyai hubungan hukum kekeluargaan dengan suami itu, yang belum berumur 18 tahun dan belum kawin turut memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia juga, setelah mereka bertempat tinggal dan berada di Indonesia.

4. Keterangan tentang tempat tinggal dan berada di Indonesia itu tidak berlaku terhadap anak-anaknya yang karena ibunya memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia menjadi tanpa kewarga-negaraan.

Pasal 14

1. Bilamana anak termaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 13 sampai berumur 21 tahun, maka ia kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia lagi, jika dan pada waktu ia menyatakan keterangan untuk itu.

2. Keterangan itu harus dinyatakan dalam waktu 1 tahun setelah anak itu berumur 21 tahun kepada Pengadilan Negeri atau Perwakilan Republik Indonesia dari tempat tinggalnya.

3. Ketentuan ayat 1 tidak berlaku apabila anak itu dengan kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesianya menjadi tanpa kewarga-negaraan. \

Page 101: SKRIPSI - digilib.uns.ac.id... · undang No 62 tahun 1958 terhadap kewarganegaraan et nis Tionghoa di Indonesia diantaranya pada tahun 1960-an terdapat banyak kece nderungan dari

88

Pasal 15

1. Kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia oleh seorang ayah berlaku juga terhadap anak-anaknya yang mempunyai hubungan hukum kekeluargaan dengan ayah itu, yang belum berumur 18 tahun dan belum kawin, kecuali jika dengan kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia anak-anak itu menjadi tanpa kewarga-negaraan.

2. Kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia oleh seorang ibu berlaku juga terhadap anak-anaknya yang tidak mempunyai hubungan hukum kekeluargaan dengan ayahnya, kecuali jika dengan kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia anak-anak itu menjadi tanpa kewarga-negaraan.

3. Apabila ibu itu kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia karena pewarganegaraan di luar negeri dan ibu itu telah menjadi janda karena suaminya meninggal, maka ketentuan- ketentuan dalam ayat 2 berlaku juga terhadap anak-anaknya yang mempunyai hubungan hukum kekeluargaan dengan suami itu, setelah anak-anak itu bertempat tinggal dan berada di luar negeri.

Pasal 16

1. Seorang anak yang kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesianya karena ayah atau ibunya kehilangan kewarganegaraan itu, memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia kembali setelah anak tersebut sampai berumur 18 tahun, jika dan pada waktu itu menyatakan keterangan untuk itu.

2. Keterangan termaksud harus dinyatakan dalam waktu 1 tahun setelah anak itu berumur 18 tahun kepada Pengadilan Negeri atau Perwakilan Republik Indonesia dari tempat tinggalnya.

3. Ketentuan ayat 1 tidak berlaku dalam hal anak itu - apabila setelah memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia - masih mempunyai kewarganegaraan lain.

Pasal 17

Kewarganegaraan Republik Indonesia hilang karena:

a. memperoleh kewarganegaraan lain karena kemauannya sendiri, dengan pengertian bahwa jikalau orang yang bersangkutan pada waktu memperoleh kewarganegaraan lain itu berada dalam wilayah Republik Indonesia kewarganegaraan Republik Indonesianya baru dianggap hilang apabila Menteri Kehakiman dengan persetujuan Dewan Menteri atas kehendak sendiri atau atas permohonan orang yang bersangkutan menyatakannya hilang;

b. tidak menolak atau melepaskan kewarganegaraan lain, sedang- kan orang yang bersangkutan mendapat kesempatan untuk itu;

Page 102: SKRIPSI - digilib.uns.ac.id... · undang No 62 tahun 1958 terhadap kewarganegaraan et nis Tionghoa di Indonesia diantaranya pada tahun 1960-an terdapat banyak kece nderungan dari

89

c. diakui oleh orang asing sebagai anaknya, jika orang yang bersangkutan belum berumur 18 tahun dan belum kawin dan dengan kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia tidak menjadi tanpa kewarga-negaraan;

d. anak yang diangkat dengan sah oleh orang asing sebagai anaknya, jika anak yang bersangkutan belum berumur 5 tahun dan dengan kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia tidak menjadi tanpa kewarga-negaraan;

e. dinyatakan hilang oleh Menteri Kehakiman dengan persetujuan Dewan Menteri atas permohonan orang yang bersangkutan, jika ia telah berumur 21 tahun, bertempat tinggal di luar negeri dan dengan dinyatakan hilang kewarganegaraan Republik lndonesianya tidak menjadi tanpa kewarga-negaraan;

f. masuk dalam dinas tentara asing tanpa izin terlebih dahulu dari Menteri Kehakiman;

g. tanpa izin terlebih dahulu dari Menteri Kehakiman masuk dalam dinas negara asing atau dinas suatu organisasi antar negara yang tidak dimasuki oleh Republik Indonesia sebagai anggota, Jika jabatan dinas negara yang dipangkunya menurut peraturan Republik Indonesia hanya dapat dipangku oleh warga-negara atau jabatan dalam dinas organisasi antar negara tersebut memerlukan sumpah atau janji jabatan;

h. mengangkat sumpah atau menyatakan janji setia kepada negara asing atau bagian dari padanya;

i. dengan tidak diwajibkan, turut-serta dalam pemilihan sesuatu yang bersifat ketata-negaraan untuk suatu negara asing;

j. mempunyai paspor atau surat yang bersifat paspor dari negara asing atas namanya yang masih berlaku;

k. lain dari untuk dinas negara, selama 5 tahun berturut-turut bertempat tinggal di luar negeri dengan tidak menyatakan keinginannya untuk tetap menjadi warga-negara sebelum waktu itu lampau dan seterusnya tiap-tiap dua tahun; keinginan itu harus dinyatakan kepada Perwakilan Republik Indonesia dari tempat tinggalnya.

l. Bagi warga-negara Republik Indonesia yang berumur di bawah 18 tahun terkecuali apabila ia sudah pernah kawin, masa lima dan dua tahun tersebut di atas mulai berlaku pada hari tanggal ia mencapai umur 18 tahun.

Pasal 18

1. Seorang yang kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia termaksud dalam Pasal 17 huruf k memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia kembali jika ia bertempat tinggal di Indonesia berdasarkan Kartu Izin Masuk dan menyatakan keterangan untuk itu.

Page 103: SKRIPSI - digilib.uns.ac.id... · undang No 62 tahun 1958 terhadap kewarganegaraan et nis Tionghoa di Indonesia diantaranya pada tahun 1960-an terdapat banyak kece nderungan dari

90

2. Keterangan itu harus dinyatakan kepada Pengadilan Negeri dari tempat tinggalnya dalam 1 tahun setelah orang itu bertempat tinggal di Indonesia.

Pasal 19

Kewarganegaraan Republik Indonesia yang diberikan atau diperoleh atas keterangan-keterangan yang tidak benar dapat dicabut kembali oleh instansi yang memberikannya atau oleh instansi yang menerima keterangan-keterangan itu.

Pasal 20

Barangsiapa bukan warga-negara Republik Indonesia adalah orang asing.

PERATURAN PERALIHAN

Pasal I

Seorang perempuan yang berdasarkan Pasal 3 Peraturan Penguasa Militer No. Prt/PM/09/1957 dan Pasal 3 Peraturan Penguasa Perang Pusat No. Prt/Peperpu/0 14/1958 telah diperlakukan sebagai warga-negara Republik Indonesia, menjadi warga-negara Republik Indonesia, apabila ia tidak mempunyai kewarganegaraan lain.

Pasal II

Seorang yang pada waktu Undang-undang ini mulai berlaku berada dalam keadaan tertera dalam Pasal 7 atau Pasal 8, dapat menyatakan keterangan tersebut dalam pasal-pasal itu dalam waktu 1 tahun sesudah mulai berlakunya Undang-undang ini, dengan pengertian bahwa suami seorang perempuan yang menjadi warga-negara Republik Indonesia termaksud dalam Pasal 1 peraturan-peralihan tidak dapat menyatakan keterangan tersebut dalam Pasal 7 ayat 2 lagi.

Pasal III

Seorang perempuan yang menurut perundang-undangan yang berlaku sebelum Undang-undang ini mulai berlaku dengan sendirinya warga-negara Republik

Indonesia seandainya ia tidak dalam perkawinan, memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia, jika dan pada waktu ia dalam 1 tahun setelah perkawinannya terputus atau dalam 1 tahun setelah Undang-undang ini mulai berlaku menyatakan keterangan untuk itu kepada Pengadilan Negeri atau kepada Perwakilan Republik

Indonesia dari tempat tinggalnya.

Pasal IV

1. Seorang yang tidak turut dengan ayahnya atau ibunya memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia dengan pernyataan keterangan menurut perundang-undangan yang berlaku sebelum Undang-undang ini berlaku, karena orang itu pada waktu ayahnya atau ibunya menyatakan keterangan itu sudah dewasa, sedangkan ia sendiri tidak boleh menyatakan keterangan memilih kewarganegaraan Republik Indonesia, adalah warga-negara Republik

Page 104: SKRIPSI - digilib.uns.ac.id... · undang No 62 tahun 1958 terhadap kewarganegaraan et nis Tionghoa di Indonesia diantaranya pada tahun 1960-an terdapat banyak kece nderungan dari

91

Indonesia jika ia dengan ketentuan ini atau sebelumnya tidak mempunyai kewarganegaraan lain.

2. Kewarganegaraan Republik Indonesia yang diperoleh orang tersebut berlaku surut hingga waktu ayah/ibunya memperoleh kewarganegaraan itu.

Pasal V

Menyimpang dari ketentuan-ketentuan Pasal 4 ayat 1 dan 2 anak-anak yang antara tanggal 27 Desember 1949 sampai 27 Desember 1951 oleh orang tuanya ditolakkan kewarganegaraan Republik Indonesianya, dalam tempo satu tahun setelah Undang-undang ini mulai berlaku, dapat mengajukan permohonan kepada Menteri Kehakiman melalui Pengadilan Negeri dari tempat tinggalnya untuk memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia, apabila ia berusia di bawah 28 tahun; selanjutnya berlaku Pasal 4 ayat 3 dan 4.

Pasal VI

1. Seorang asing yang sebelum Undang-undang ini mulai berlaku pernah masuk dalam ketentaraan Republik Indonesia dan memenuhi syarat-syarat yang akan ditentukan oleh Menteri Pertahanan, memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia jika ia menyatakan keterangan untuk itu kepada Menteri Pertahanan atau kepada pejabat yang ditunjuk olehnya.

2. Kewarganegaraan Republik Indonesia yang diperoleh orang tersebut di atas berlaku surut hingga saat orang itu masuk dalam ketentaraan itu.

Pasal VII

Seorang yang sebelum Undang-undang ini mulai berlaku berada dalam dinas tentara asing termaksud dalam Pasal 17 huruf f atau berada dalam dinas negara asing atau dinas suatu organisasi antar negara dimaksud dalam Pasal 17 huruf g, dapat minta izin kepada Menteri Kehakiman dalam waktu 1 tahun setelah Undang-undang ini mulai berlaku.

Page 105: SKRIPSI - digilib.uns.ac.id... · undang No 62 tahun 1958 terhadap kewarganegaraan et nis Tionghoa di Indonesia diantaranya pada tahun 1960-an terdapat banyak kece nderungan dari

92

PERATURAN PENUTUP

Pasal I

Seorang warga-negara Republik Indonesia yang berada dalam wilayah Republik Indonesia dianggap tidak mempunyai kewarganegaraan lain.

Pasal II

Dalam pengertian kewarganegaraan termasuk semua jenis lindungan oleh sesuatu negara.

Pasal III

Dalam melakukan Undang-undang ini anak yang belum berumur 18 tahun dan belum kawin dianggap turut bertempat tinggal dengan ayah atau ibunya menurut perincian dalam Pasal 1 huruf b, c atau d.

Pasal IV

1. Barangsiapa perlu membuktikan bahwa ia warga-negara Republik Indonesia dan tidak mempunyai surat bukti yang menunjukkan bahwa ia mempunyai atau memperoleh atau turut mempunyai atau turut memperoleh kewarganegaraan itu, dapat minta kepada Pengadilan Negeri dari tempat tinggalnya untuk menetapkan apakah ia warga-negara Republik Indonesia atau tidak menurut acara perdata biasa.

2. Ketentuan ini tidak mengurangi ketentuan-ketentuan khusus dalam atau berdasarkan Undang-undang lain.

Pasal V

Dari pernyataan-pernyataan keterangan yang menyebabkan diperolehnya atau hilangnya kewarganegaraan Republik Indonesia, oleh pejabat yang bersangkutan disampaikan salinan kepada Menteri Kehakiman.

Pasal VI

Menteri Kehakiman mengumumkan dalam Berita-Negara nama-nama orang yang memperoleh atau kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia.

Pasal VII

Segala sesuatu yang diperlukan untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan Undang-undang ini diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Page 106: SKRIPSI - digilib.uns.ac.id... · undang No 62 tahun 1958 terhadap kewarganegaraan et nis Tionghoa di Indonesia diantaranya pada tahun 1960-an terdapat banyak kece nderungan dari

93

Pasal VIII

Undang-undang ini mulai berlaku pada hari diundangkan dengan ketentuan bahwa aturan-aturan Pasal 1 huruf b sampai huruf j, Pasal 2, Pasal 17 huruf a, c dan h berlaku surut hingga tanggal 27 Desember 1949.

Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatan dalam Lembaran-Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta, pada tanggal 29 Juli 1958.

Presiden Republik Indonesia,

ttd.

SOEKARNO. Diundangkan,

pada tanggal 1 Agustus 1958. Menteri Kehakiman,

ttd,

G.A. MAENGKOM.

Sumber http://www. datalink.indonesia-ottawa.orgdocspdfi2.pdf

Page 107: SKRIPSI - digilib.uns.ac.id... · undang No 62 tahun 1958 terhadap kewarganegaraan et nis Tionghoa di Indonesia diantaranya pada tahun 1960-an terdapat banyak kece nderungan dari

94

LAMPIRAN 2

Majalah Sin Po, 1 November 1930

Sumber : Dokumentasi Monumen Pers Surakarta

Page 108: SKRIPSI - digilib.uns.ac.id... · undang No 62 tahun 1958 terhadap kewarganegaraan et nis Tionghoa di Indonesia diantaranya pada tahun 1960-an terdapat banyak kece nderungan dari

95

LAMPIRAN 3

Koran Gelora Maesa, 24 September 1957 Sumber : Dokumentasi Monumen Pers Surakarta

Page 109: SKRIPSI - digilib.uns.ac.id... · undang No 62 tahun 1958 terhadap kewarganegaraan et nis Tionghoa di Indonesia diantaranya pada tahun 1960-an terdapat banyak kece nderungan dari

96

LAMPIRAN 4

Koran Gelora Maesa, 16 April 1958 Sumber : Dokumentasi Monumen Pers Surakarta

Page 110: SKRIPSI - digilib.uns.ac.id... · undang No 62 tahun 1958 terhadap kewarganegaraan et nis Tionghoa di Indonesia diantaranya pada tahun 1960-an terdapat banyak kece nderungan dari

97

LAMPIRAN 5

Koran Obor Rakyat, 28 Juli 1958 Sumber : Dokumentasi Monumen Pers Surakarta

Page 111: SKRIPSI - digilib.uns.ac.id... · undang No 62 tahun 1958 terhadap kewarganegaraan et nis Tionghoa di Indonesia diantaranya pada tahun 1960-an terdapat banyak kece nderungan dari

98

LAMPIRAN 6

Page 112: SKRIPSI - digilib.uns.ac.id... · undang No 62 tahun 1958 terhadap kewarganegaraan et nis Tionghoa di Indonesia diantaranya pada tahun 1960-an terdapat banyak kece nderungan dari

99

LAMPIRAN 7

Page 113: SKRIPSI - digilib.uns.ac.id... · undang No 62 tahun 1958 terhadap kewarganegaraan et nis Tionghoa di Indonesia diantaranya pada tahun 1960-an terdapat banyak kece nderungan dari

100

LAMPIRAN 8