skripsi ummul

47
PENDAHULUAN Latar Belakang Sapi potong merupakan salah satu ternak penghasil daging di Indonesia. Namun, produksi daging sapi dalam negeri belum mampu memenuhi kebutuhan karena populasi dan tingkat produktivitas ternak rendah. Rendahnya populasi sapi potong antara lain disebabkan sebagian besar ternak dipelihara oleh peternak berskala kecil dengan lahan dan modal terbatas (Kariyasa, 2005). Dalam rangka menghadapi swasembada daging sapi diperlukan peningkatan populasi sapi potong secara nasional dengan cara peningkatan jumlah kelahiran pedet dan calon induk sapi dalam jumlah besar. Untuk mendukung peningkatan populasi tersebut terutama pada usaha peternakan rakyat diperlukan suatu teknologi tepat guna spesifik lokasi sesuai dengan kondisi agroekosistem dan kebutuhan pengguna yang pada akhirnya dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani (Affandi, dkk., 2007). 1

Upload: adib-mustofa

Post on 13-Dec-2015

18 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

profil sapi perah

TRANSCRIPT

Page 1: SKRIPSI UMMUL

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sapi potong merupakan salah satu ternak penghasil daging di Indonesia.

Namun, produksi daging sapi dalam negeri belum mampu memenuhi kebutuhan

karena populasi dan tingkat produktivitas ternak rendah. Rendahnya populasi sapi

potong antara lain disebabkan sebagian besar ternak dipelihara oleh peternak

berskala kecil dengan lahan dan modal terbatas (Kariyasa, 2005).

Dalam rangka menghadapi swasembada daging sapi diperlukan

peningkatan populasi sapi potong secara nasional dengan cara peningkatan jumlah

kelahiran pedet dan calon induk sapi dalam jumlah besar. Untuk mendukung

peningkatan populasi tersebut terutama pada usaha peternakan rakyat diperlukan

suatu teknologi tepat guna spesifik lokasi sesuai dengan kondisi agroekosistem

dan kebutuhan pengguna yang pada akhirnya dapat meningkatkan pendapatan dan

kesejahteraan petani (Affandi, dkk., 2007).

Salah satu yang dapat ditempuh untuk meningkatkan produksi daging dan

anak sapi atau pedet adalah dengan meningkatkan jumlah pemilikan sapi potong

dan mutu genetik ternak. Hal ini dapat dilaksanakan dengan menerapkan

inseminasi buatan (IB) pada sapi potong, karena semen yang digunakan terhadap

IB berasal dari sapi jantan yang genetiknya baik (Boettcher dan Perera, 2007).

Dalam pelaksanaannya, keberhasilan IB yang berhasil dipantau oleh

Direktorat Jenderal Peternakan mencapai 45%. Namun yang terjadi di lapangan,

deteksi kebuntingan setelah IB sering menjadi masalah bagi peternak. Karena

tanda-tanda terjadi atau tidaknya fertilisasi setelah IB tidak dapat diketahui

1

Page 2: SKRIPSI UMMUL

dengan cepat sampai terjadi siklus estrus berikutnya. Sebagian besar sapi-sapi

pada siklus estrus pertama setelah IB masih memiliki tanda-tanda berahi dan jika

dilakukan IB kembali kalau ternak itu sudah bunting akan menyebabkan

keguguran (Arlina, dkk., 2000).

Untuk mendeteksi kebuntingan pada sapi yang telah dilakukan IB dapat

melalui beberapa cara di antaranya dengan palpasi rektal pada hari ke-60 – 90.

Sedangkan dengan analisa Radioimmunoassay (RIA) di laboratorium, deteksi

kebuntingan dapat dilakukan lebih dini dengan menganalisa kadar progesteron

dalam darah (Afriani, dkk.,2000).

Pengukuran hormon-hormon kebuntingan dalam cairan tubuh dapat

dilakukan dengan metoda RIA. Metode-metode yang menggunakan plasma dan

air susu ini, dapat mendiagnosa kebuntingan pada ternak lebih dini dibandingkan

dengan metoda palpasi rektal (Jainudeen dan Hafez, 2000). Pengukuran kadar

hormon progesteron dapat digunakan sebagai tes kebuntingan karena corpus

luteum aktif selama awal kebuntingan pada semua spesies ternak. Progesteron

rendah pada saat tidak bunting dan tinggi pada hewan yang bunting (Lestari,

2006). Tujuan dari penelitian ini adalah dengan penerapan teknologi RIA dapat

membantu untuk deteksi dini kegagalan IB dan mendukung peningkatan kinerja

IB pada sapi potong di Kabupaten Bantaeng. Kegunaannya diharapkan dapat

memberi informasi atau gambaran mengenai deteksi dini kegagalan IB, serta

penerapan baru deteksi dini kegagalan IB melalui teknik RIA.

2

Page 3: SKRIPSI UMMUL

TINJAUAN PUSTAKA

Kinerja Inseminasi Buatan Sapi di Kabupaten Bantaeng

Inseminasi buatan (IB) adalah proses pemasukan semen (mani) ke dalam

saluran reproduksi betina dengan menggunakan alat buatan manusia. Tujuan

penerapan teknologi IB adalah untuk introduksi atau penyebaran penjantan unggul

di suatu daerah yang tidak memungkinkan untuk kawin alam serta pelestarian

plasma nutfah ternak jantan yang diinginkan (Nursyam, 2007).

Sejak 1953 IB sudah diterapkan di Indonesia pada ternak sapi perah,

kemudian sapi potong dan kerbau. Walaupun hasilnya sampai saat ini sudah

dirasakan oleh masyarakat yang ditandai dengan tingginya harga jual ternak hasil

IB, namun demikian pelaksanaannya di lapangan belum optimal sehingga

hasilnya (tingkat kelahiran) dari tahun ke tahun berfluktuasi (Sugoro, 2009).

Program IB mempunyai peran yang sangat strategis dalam usaha

meningkatkan kualitas dan kuantitas bibit. Dalam rangka meningkatkan produksi

dan produktivitas ternak, teknologi IB salah satu upaya penyebaran bibit unggul

yang memiliki nilai praktis dan ekonomis yang dapat dilakukan dengan mudah,

murah dan cepat. Teknologi IB memberikan keunggulan antara lain; bentuk tubuh

lebih baik, pertumbuhan ternak lebih cepat, tingkat kesuburan lebih tinggi, berat

lahir lebih tinggi serta keunggulan lainnya. Melalui teknologi IB diharapkan

secara ekonomi dapat memberikan nilai tambah dalam pengembangan usaha

peternakan (Merthajiwa, 2011).

3

Page 4: SKRIPSI UMMUL

Tabel 1. Data Pelaksanaan Inseminasi Buatan (IB) Tahun 2008 – 2010 di Kabupaten Bantaeng

No Uraian Kegiatan Tahun (Dosis)

2008 2009 2010

1 Target Kegiatan 1750 4500 3000

2 Realisasi Kegiatan 2471 3166 3285

3 Kelahiran IB 1098 1268 1551Sumber: Dinas Peternakan Kabupaten Bantaeng, 2010.

Pada Tabel 1 disajikan data pelaksanaan inseminasi buatan (IB) tahun

2008 – 2010 di Kabupaten Bantaeng terhitung 2008 sampai 2010. Terlihat angka

kelahiran IB pertahunnya meningkat dari 15,4% menjadi 22,3%. Realisasi

kegiatan IB mengalami peningkatan berturut turut sebesar 21,95% di 2009, dan

3,75% di 2010. Sedangkan target kegiatan meningkat tajam hingga 157% dan

menurun 30% di 2010. Dari data di atas rata-rata realisasi kegiatan dan kelahiran

IB mengalami penurunan untuk tiga tahun terakhir dan menunjukkan masih

tingginya angka kegagalan IB.

Waktu yang tepat untuk Inseminasi Buatan

Waktu yang tepat untuk inseminasi merupakan dasar bagi deposisi semen

ke dalam organ reproduksi betina. Pelaksanaan inseminasi yang baik dilakukan

pada 12-18 jam yang dihitung dari sejak awal berlangsungnya estrus. Penentuan

waktu tersebut didasarkan pada kemampuan spermatozoa dapat hidup dengan baik

pada saluran reproduksi betina selama 18-24 jam, waktu ovulasi sel telur dan daya

hidup sel telur untuk dapat dibuahi 10-20 jam. Sedangkan deposisi semen saat

inseminasi dapat dilakukan pada corpus uteri, cornua uteri bagian kanan dan

cornua uteri bagian kiri.

4

Page 5: SKRIPSI UMMUL

Indikator tingkat keberhasilan pelaksanaan inseminasi pada estrus kedua

pasca partus dapat diamati melalui service per conception dan conception rate

(Anonim, 2011b).

Gambar 1. Waktu Melakukan Inseminasi Buatan (Anonim, 2009)

Pada waktu dilakukan IB ternak harus dalam keadaan berahi (Gambar 1)

karena pada saat itu liang leher rahim (servix) pada posisi terbuka. Kemungkinan

terjadinya konsepsi (kebuntingan) bila diinseminasi pada periode-periode tertentu

dari berahi telah dihitung oleh para ahli, perkiraannya adalah (Anonim, 2011a):

Permulaan berahi : 44%

Pertengahan berahi : 82%

Akhir berahi : 75%

6 jam sesudah berahi : 62,5%

12 jam sesudah berahi : 32,5%

18 jam sesudah berahi : 28 %

24 jam sesudah berahi : 12%

5

Page 6: SKRIPSI UMMUL

Faktor-faktor yang memengaruhi kegagalan Inseminasi Buatan

Ada beberapa faktor yang dapat memengaruhi terjadinya kegagalan dalam

pelaksanaan IB pada ternak sapi yaitu (Merthajiwa, 2011) :

Kondisi kesehatan sapi betina yang telah diinseminasi. Betina yang

kondisinya sehat (sebelum dan setelah dilakukan IB) akan mampu

memelihara kebuntingannya sampai melahirkan dengan baik

Ketepatan waktu pelaksanaan IB

Mutu semen beku yang digunakan. Semen beku yang digunakan

hendaknya mendapatkan penanganan yang benar mulai saat produksi,

penyimpanan dan distribusi sampai di tingkat lapangan

Keterampilan petugas IB sangat memengaruhi keberhasilan IB. Makin

terampil petugas IB, makin kecil resiko kegagalannya

Manfaat penerapan bioteknologi IB pada ternak (Hafez, 1993), adalah

sebagai berikut :

1. Menghemat biaya pemeliharaan ternak jantan.

2. Dapat mengatur jarak kelahiran ternak dengan baik.

3. Mencegah terjadinya kawin sedarah pada sapi betina (inbreeding).

4. Dengan peralatan dan teknologi yang baik spermatozoa dapat disimpan dalam

jangka waktu yang lama.

5. Semen beku masih dapat dipakai untuk beberapa tahun kemudian walaupun

pejantan telah mati.

6. Menghindari kecelakaan yang sering terjadi pada saat perkawinan karena

fisik pejantan terlalu besar.

6

Page 7: SKRIPSI UMMUL

7. Menghindari ternak dari penularan penyakit terutama penyakit yang

ditularkan dengan hubungan kelamin.

Kadar Hormon Progesteron Pada Fase Folikuler dan Fase Luteal

Progesteron merupakan hormon yang memegang peranan penting dalam

menjaga dan merawat kebuntingan yang dihasilkan oleh corpus luteum (CL).

Pada dasarnya fungsi progesteron adalah mencegah terjadinya kontraksi urat

daging uterus sehingga uterus menjadi tenang (Partodihardjo, 1992).

Pada sapi, terjadinya gelombang pertumbuhan folikuler diawali dengan

peningkatan konsentrasi folikel stimulating hormone (FSH) plasma. Konsentrasi

FSH akan menurun bersamaan dengan disekresikannya inhibin dan estradiol oleh

folikel dominan yang berhubungan dengan regresi cepat dari folikel-folikel non

dominan. Pada fase folikuler, terjadi pengeluaran LH yang tajam yang

berhubungan dengan peningkatan yang tajam dari reseptor LH pada sel-sel

granulosa dari folikel dominan, dan merangsang perkembangan akhir mencapai

tahap preovulatori (Djuwita, 2001).

Lebih lanjut Frandson (1996), menjelaskan bahwa progesteron dikenal

sebagai hormon kebuntingan karena menyebabkan penebalan endometrium dan

perkembangan kelenjar uterin mendahului terjadinya implantasi dari ovum yang

dibuahi. Progesteron menghambat motilitas uterin yang berlebihan selama periode

implantasi dan dalam periode kebuntingan. Di samping CL, progesteron juga

disekresikan oleh korteks, placenta, dan testes.

Progesteron sapi bunting tampak tidak ada penurunan yang mendadak.

Satu peristiwa yang diharapkan terjadi pada hari ke 21 bila sapi tidak bunting.

7

Page 8: SKRIPSI UMMUL

Kenyataan progesteron secara menyolok menurun dan estrogen plasma mulai

menanjak sebelum penurunan progesteron plasma terjadi (Nalbandov, 1990).

Paters dan Lamming (1990), menambahkan bahwa konsentrasi

progesteron dalam darah merupakan cermin aktivitas CL dan merupakan indikator

yang tepat untuk fungsi ovarium dan dapat digunakan untuk memonitori

kebuntingan, siklus berahi dan aktivitas ovarium pada masa post partum.

Gambar 2. Kadar Hormon Progesteron Selama Periode Awal Kebuntingan(Arlina, dkk., 2000)

Kadar progesteron pada waktu diestrus mencapai 6,61 nmol/L, jika hewan

bunting maka kadar ini akan naik hingga 16,54 nmol/L dan menurun sedikit demi

sedikit. Pada akhir masa kebuntingan kadar progesteron turun menjadi 13,36-

12,72 nmol/L dan menjadi sangat rendah 1,27 nmol/L setelah melahirkan.

Konsentrasi progesteron dalam plasma darah menurun 60,42 – 50,88 nmol/L dan

pada bulan terakhir masa kebuntingan menjadi 1,59 – 9,54 nmol/L pada waktu

partus (Partodiharjdjo, 1992).

8

Page 9: SKRIPSI UMMUL

Hasil penelitian Arlina, dkk (2000) (Gambar 2) memperlihatkan bahwa

terdapat lima ekor sapi mengalami kebuntingan. Dapat dilihat pada hari ke 21

setelah IB kadar hormon progesteronnya >3 ng/ml. Sesuai pernyataan Reimers et

al. (1982) bahwa 21-24 hari setelah IB kadar progesteron 3 ng/ml kemungkinan

hewan dalam keadaan bunting.

Gambar 3. Level hormon selama siklus estrus pada sapi (Feradis, 2010).

Selama periode diestrus (Gambar 3), ketika konsentrasi progesteron tinggi,

konsentrasi FSH, LH dan sisa total estrogen relatif rendah. Saat ini, pada beberapa

spesies dapat dideteksi adanya pertumbuhan folikel, tetapi sangat lambat bila

dibandingkan dengan yang terjadi dua atau tiga hari menjelang terjadinya ovulasi.

Demikian juga selama kebuntingan, konsentrasi progesteron yang tinggi

menahan pelepasan hormon-hormon gonadotropin yang dapat menyebabkan

munculnya tingkah laku estrus. Kejadian ini merupakan kontrol dari progesteron

terhadap gonadotropin, dengan mekanisme kerja umpan balik negatif (Feradis,

2010).

Gejala - gejala berahi ini memang harus diperhatikan minimal dua kali

sehari oleh pemilik ternak. Jika tanda-tanda berahi sudah muncul maka pemilik

9

Page 10: SKRIPSI UMMUL

ternak tersebut tidak boleh menunda laporan kepada petugas inseminator agar

ternak sapinya masih dapat memperoleh pelayanan IB tepat pada waktunya. Sapi

dara umumnya lebih menunjukkan gejala yang jelas dibandingkan dengan sapi

yang telah beranak (Anonim, 2008).

Tinjauan Umum Teknik Radioimmunoassay (RIA)

Salah satu hormon yang spesifik terhadap kondisi berahi ternak adalah

hormon progesteron. Dengan teknik Radioimmunoassay (RIA) progesteron, yang

mendukung IB, hormon progesteron dengan radioisotop iodium-125 yang

merupakan bahan pengayaan nuklir selain uranium (Hardiansya, 2010).

Teknologi RIA dapat digunakan untuk medeteksi pubertas ternak,

medeteksi gejala berahi, diagnosa kebuntingan dini, diagnosa kebuntingan awal,

mendukung program inseminasi buatan (IB), dan diagnosa kelainan reproduksi

ternak (Sugoro dan Tjiptosumirat, 2004).

Penggunaan teknik RIA ini, juga sangat bermanfaat untuk mengetahui

status reproduksi ternak sapi yang dipelihara baik yang dipelihara secara ekstensif

oleh petani maupun yang dipelihara dalam peternakan. Lebih lanjut Feradis

(2010), menjelaskan dengan teknik RIA bisa dilakukan uji kimia dan biologi

terlihat perubahan-perubahan relatif yang terjadi pada hormon-hormon ovarium.

Berdasarkan hal ini disimpulkan bahwa progesteron mempunyai suatu pengaruh

yang dominan terhadap siklus.

Keberhasilan pelaksanaan IB tergantung pada akurasi hasil pengamatan

terhadap gejala-gejala berahi ternak.  Pengamatan berahi dilakukan berdasarkan

pada kondisi dan tingkah laku ternak, seperti berkurangnya nafsu makan ternak,

10

Page 11: SKRIPSI UMMUL

saling menaiki antara satu dengan yang lain (mounting), vulva vagina yang

membengkak, dan keluarnya lendir dari vulva. Agar kondisi berahi dapat

diketahui secara lebih tepat, aplikasi teknik nuklir (TN) yang didasari dengan

ikatan antigen dan antibodi dapat dilakukan, yang dikenal dengan

Radioimmunoassay (RIA).  Teknik RIA merupakan suatu cara pengukuran yang

bersifat indirect, karena dasar dari teknik ini adalah kompetisi antara hormon yang

dilabel dengan radioisotop dengan hormon yang sama tetapi tidak dilabel (dalam

sampel) untuk bersaing berikatan dengan antibodi hormon yang diukur (Anonim,

2011c).

Dengan diketahuinya teknik RIA progesteron ini, maka pelaksanaan

program peningkatan populasi ternak melalui IB dapat ditingkatkan laju

keberhasilannya dan diharapkan akan bersifat ekonomis.

Eksplorasi Rektal

Eksplorasi rektal adalah metode diagnosa kebuntingan yang dapat

dilakukan pada ternak besar seperti kuda, kerbau dan sapi. Prosedurnya adalah

palpasi uterus melalui dinding rektum untuk meraba pembesaran yang terjadi

selama kebuntingan, fetus atau membran fetus. Teknik yang dapat digunakan pada

tahap awal kebuntingan ini adalah akurat dan hasilnya dapat langsung diketahui

(Lestari, 2006). Lebih lanjut menurut Yusuf (2005), dalam pelaksanaan palpasi

rektal sangat dibutuhkan kepekaan dan kebiasaan untuk mengenali organ-organ

yang dipalpasi.

Palpasi transrektal pada uterus telah sejak lama dilakukan. Teknik yang

dikenal cukup akurat dan cepat ini juga relatif murah. Namun demikian

11

Page 12: SKRIPSI UMMUL

dibutuhkan pengalaman dan training bagi petugas yang melakukannya, sehingga

dapat tepat dalam mendiagnosa. Teknik ini baru dapat dilakukan pada usia

kebuntingan di atas 30 hari (Lestari, 2006).

Pemeriksaan Kebuntingan dengan palpasi rektal yang dilakukan secara

manual, akan menjadi faktor pembatas pemeriksaan karena kemampuan manusia

yang terbatas, apalagi untuk peternakan dengan penyebaran populasi yang meluas.

Dengan teknik RIA hal ini bisa diatasi, karena sampel-sampel bisa dikumpulkan

sebelum pemeriksaan 3-4 hari, dengan diberi bahan pengawet. Demikian juga

dengan kemampuan pemeriksaan cukup tinggi, seorang pekerja mampu

melakukan pemeriksaan 100 sampel dalam waktu 7 jam, dan mengingatkan 200

sampel untuk pemeriksaan keesokan harinya. Dengan kata lain, kesulitan-

kesulitan dalam palpasi rektal, seperti faktor keterbatasan manusia, faktor tempat

(geografi) dan penyebaran populasi sapi perah, dapat diatasi dengan aplikasi

teknik RIA (Saragih, 1987).

Aplikasi teknik RIA dalam mendukung kinerja IB

Pengukuran hormon-hormon kebuntingan dalam cairan tubuh dapat

dilakukan dengan metoda RIA dan ELISA. Metode-metode yang menggunakan

plasma darah dan air susu ini dapat mendiagnosa kebuntingan pada ternak lebih

dini dibandingkan dengan metode palpasi rektal (Jainudeen dan Hafez, 2000).

Teknik RIA dapat mengukur kadar hormon progesteron yang dihasilkan

oleh CL di dalam ovarium. Sampel yang digunakan baik susu atau darah

diperoleh dari sapi pada waktu tertentu setelah dilakukan IB. Peternak dapat

menentukan waktu estrus yang tepat (Boettcher dan Perera, 2007).

12

Page 13: SKRIPSI UMMUL

Tabel 2. Interpretasi Konsentrasi Hormon Progesteron

No. Tingkat konsentrasi hormon

Progesteron (nmol/L)keterangan

1 <1 nmol/L Tidak tersedia corpus luteum; tidak ditemukan aktivitas pada ovarium

2 1,1 – 2,9 nmol/L

Tingkat konsentrasi hormon progesteron yang meragukan, dapat diartikan dengan berbagai macam keadaan reproduksi.

3 >3 nmol/L Konfirmasi dari tenaga medis/veteriner di lapangan diperlukan

Sumber: Tjiptosumirat et al, 2007

13

Page 14: SKRIPSI UMMUL

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Bantaeng untuk pengambilan

sampel darah sapi. Analisis profil hormon progesteron dengan teknologi RIA

dilaksanakan di Laboratorium Radioisotop, Devisi Energi dan Isotop, Pusat

Kegiatan Penelitian Unhas, Makassar.

Materi Penelitian

Materi utama dalam penelitian ini menggunakan 79 ekor sapi potong

betina umur 2-3 tahun. Materi lain yang digunakan pada penelitian ini adalah

jarum venoject, tabung sampel darah dan sampel plasma, freezer, tabung reaksi,

rak tabung, centrifuge, vortex, kapas, alkohol 70%, antikoagulan dan seperangkat

peralatan analisa Kit Radioimmunoassay (RIA) Progesteron.

Prosedur Penelitian

Darah diambil pada bagian vena jungularis dengan menggunakan jarum

venoject yang sudah dipasangi dengan tabung vakum berisi antikoagulan.

Sebanyak 10 ml darah dalam tabung tersebut lalu disentrifuge dengan kecepatan

3000 rpm selama 15 menit sehingga serum berpisah dengan plasma darah. Plasma

darah diambil pada bagian supranata dengan menggunakan pipet tetes dan

dimasukkan ke dalam tabung lalu disimpan dalam freezer pada suhu -200 C

sampai dianalisa hormon progesteronnya dengan menggunakan teknik

Radioimmunoassay.

14

Page 15: SKRIPSI UMMUL

Seperangkat kit RIA Progesteron disiapkan, kemudian serum darah

dimasukkan ke dalam tabung yang sudah dilapisi anti serum 0,1 ml lalu

ditambahkan 1 ml larutan 125I-p kemudian dihomogenkan dengan menggunakan

vortex selama 3-5 detik. Tabung tersebut lalu diinkubasikan pada suhu kamar

selama dua jam kemudian disentrifuge selama 15 menit dengan kecepatan 1500

rpm. Cairan yang ada di dalam tabung, dikeluarkan. Tabung tersebut kemudian

dimasukkan ke dalam alat gamma counter untuk mengetahui nilai kadar

progesteron yang terikat dalam tabung tersebut.

Analisa Data

Data dianlisis secara deskriptif dengan melihat grafik dan membandingkan

profil hormon hari ke-0, 10, 20 dan mengategorikan antara yang bunting dan tidak

bunting dengan masing-masing nilai <1 ng/ml dan > 1 ng/ml. Penentuan standar

kadar progesteron mengacu pada standar Badan Tenaga Nuklir Nasional

(BATAN) yang ditampilkan pada Tabel 3.

Tabel 3. Analisa Profil Hormon Progesteron

Hari ke- Keterangan

0 10 20R R R Tidak Bunting (Belum Berahi) R T R Tidak Bunting (IB tepat waktu) R T T IB tepat Waktu (Bunting)T T T IB Pada Sapi Bunting T R T IB tidak tepat waktu (Berahi lama)

Keterangan: R (Rendah) = <1 ng/ml Progesteron, T (tinggi) = > 1 ng/ml Progesteron

15

Page 16: SKRIPSI UMMUL

Semua ternak diklasifikasikan dalam lima golongan (Tabel 3) kemudian

hasil analisa akan dibandingkan dengan hasil Pemeriksaan Kebuntingan Dini

(PKB) 60 hari deteksi IB dengan palpasi rektal (100% bunting).

Untuk melihat keakuratan deteksi kebuntingan melalui uji kadar hormon

progesteron dengan palpasi rektal, digunakan metode chi square. Data dianalisa

dengan menggunakan metode chi square yang merupakan analisis statisti non

parametik, digunakan untuk menguji frekuensi data yang diamati dari suatu

variabel kategorik sesuai dengan frekuensi harapan (Uyanto, 2009).

X2 = ( 0 - E) 2 E

Keterangan;

0 = Frekuensi hasil observasi

E = Frekuensi yang diharapkan

X = Parameter yang diukur

16

Page 17: SKRIPSI UMMUL

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tingkat kesamaan deteksi kebuntingan melalui Radioimmunoassay (RIA) Progesteron dengan palpasi rektal

Berdasarkan hasil penelitian tentang deteksi kebuntingan setelah

inseminasi buatan (IB) disajikan pada Tabel 4. Dalam penelitian ini menggunakan

metode deteksi kebuntingan yaitu mengukur kadar hormon progesteron dengan

menganalisis sampel serum melalui teknik Radioimmunoassay (RIA) 25I -

Progesteron pada hari ke-20 setelah IB. Kemudian hasil pengukurannya

disandingkan dengan palpasi rektal yang dilakukan 60 hari atau lebih setelah IB.

Diharapkan keberhasilan RIA dalam mendeteksi kebuntingan yang mendekati

tingkat keberhasilan palpasi rektal yaitu 100%.

Tabel 4. Hasil deteksi kebuntingan dengan Radioimmunoassay Progesteron dan Palpasi rektal

Bunting berdasarkan analisa Hormon Progesteron

Bunting Berdasakan Palpasi Rektal

Jumlah ekor sapi

%

+ + 30 37.97- - 28 35.44+ - 13 16.5- + 8 10.12

Jumlah 79  

Keterangan : (+) = Bunting, (-) = Tidak Bunting

Dalam Tabel 4 memperlihatkan hasil tes kebuntingan dengan empat

keadaan berbeda. Dari 79 ekor sapi yang digunakan, terdapat 73,4% hasil yang

sama yang diperlihatkan antara tes kebuntingan dini profil hormon progesteron

dengan palpasi rektal. Nilai ini diperoleh dari 37,97% (30 ekor) bunting dan

17

Page 18: SKRIPSI UMMUL

35,44% (28 ekor) tidak bunting, sedangkan ketidaksesuaiannya mencapai 26,6%

diperoleh dari 16,5% (13 ekor) yang mengalami kematian embrio dan 10,12% (8

ekor) yang diindikasikan telah terjadi kawin berulang pada selang 40 hari.

Hasil analisis statistik dengan metode chi-square memperlihatkan adanya

hubungan yang sangat nyata antara hasil analisa progesteron dengan palpasi rektal

(P < 0.05). Paters dan Lamming (1990) berpendapat bahwa konsentrasi

progesteron dalam darah merupakan cermin aktivitas CL dan merupakan indikator

yang tepat untuk fungsi ovarium dan dapat digunakan untuk memonitori

kebuntingan, siklus berahi dan aktivitas ovarium pada masa post partum.

Dari 79 ekor sapi pada Tabel 4, terdapat 30 ekor (37.97%) dinyatakan

bunting pada tes profil hormon progesteron dan memperlihatkan adanya

kebuntingan pada saat palpasi rektal dilakukan 60 hari atau lebih setelah IB.

Grafik kadar progesteron (Gambar 4.a) memperlihatkan kadar hormon

progesteron mengalami kenaikan dari 1,05 ng/ml pada hari ke-0, menjadi 2,5

ng/ml pada hari ke-10 dan meningkat dua kali lipat menjadi 5 ng/ml di hari ke-20.

Hal ini berarti terjadi kebuntingan dan dapat dipertahankan sampai hari ke-60

karena adanya aktivitas CL yang menghasilkan hormon progesteron. Keadaan ini

sesuai dengan pendapat Frandson (1996) yang menjelaskan bahwa progesteron

dapat menyebabkan penebalan endometrium dan perkembangan kelenjar uterin

mendahului terjadinya implantasi dari ovarium yang dibuahi.

18

Page 19: SKRIPSI UMMUL

( a ) + +

( b ) - -

(c) + -

(d) - +

Gambar 4. Profil Hormon progesteron. (a): Bunting menurut profil hormon (+), tidak bunting menurut palpasi rektal (-); b: Tidak bunting menurut profil hormon (-), tidak bunting menurut palpasi rektal (-); c: Bunting menurut profil hormon (+), bunting menurut palpasi rektal (+); d: tidak bunting menurut profil hormon (-), bunting menurut palpasi rektal (+).

19

Page 20: SKRIPSI UMMUL

Gambar 4(b) memperlihatkan kesamaan hasil deteksi kebuntingan dengan

palpasi rektal dan profil hormon progesteron. Kadar progesteron pada hari ke-0

1,05 ng/ml, kemudian pada hari ke-10 dan ke-20 kadar progetseronnya statis

dengan nilai masing-masing 0,85 ng/ml. Hal ini disebabkan karena tidak adanya

fungsi dari ovarium. Sapi induk yang diinterprestasi asiklus menunjukkan sapi-

sapi induk yang mengalami gangguan reproduksi dengan ovarium tidak bersiklus.

Hormon progesteron yang dihasilkan sangat rendah di bawah 1 ng/ml

(Syarifuddin, dkk., 2009).

Menurut Arlina, dkk (2001), kegagalan kebuntingan oleh seekor sapi

disebabkan oleh dua faktor, yaitu faktor makanan yang tidak mencukupi

kebutuhan. Di samping itu juga kurang tepatnya waktu pelaksanaan IB serta

rendahnya kualitas semen.

Arman, dkk (2001) melaporkan rata-rata profil progesteron serum dari dua

ekor sapi Brahman-cross yang mengalami kondisi tidak bersiklus (non-cycling)

pada minggu ke-1 sampai ke-7 rata-rata kadar progesteron berada di bawah 1

nmol/L. Hal ini menunjukkan ketidakaktifan ovarium yang dikonfirmasikan

melalui pemeriksaan rektal dan klinis saluran reproduksi dan ovari kedua sapi

anesturs tersebut. Sesuai dengan pendapat Merthajiwa (2011), bahwa betina yang

kondisinya sehat (sebelum dan setelah dilakukan IB) akan mampu memelihara

kebuntingannya sampai melahirkan dengan baik.

Dari data di atas (Tabel 4) dapat dideteksi terdapat 13 ekor (16.5%) yang

mungkin mengalami kematian embrio dini. Grafik kadar progesteron dapat dilihat

pada Gambar 4 (c) yang menunjukkan kenaikan hormon progesteron dimana hari

20

Page 21: SKRIPSI UMMUL

ke -0 saat berahi kadar progesteronnya adalah 1,6 ng/ml, kemudian naik menjadi

5,4 ng/ml pada hari ke-10, lalu meningkat lagi pada hari ke-20 hingga 10,5 ng/ml.

Dengan demikian sapi tersebut dapat dikatakan terjadi konseptor.

Hasil yang sama ditunjukkan pula oleh Arlina, dkk (2000) dan Reimers,

dkk (1982) apabila kadar progesteron lebih besar dari 3 ng/ml pada masa 21-24

hari setelah dikawinkan maka kemungkinan ternak dalam keadaan bunting dan

apabila kurang dari 1 ng/ml maka hewan tersebut tidak bunting. Junaidi (2010)

melaporkan kurang lebih 25-40% kasus kematian dini terjadi dalam suatu

peternakan. Kematian ini lebih sering terjadi pada periode awal kebuntingan

daripada periode akhir. Hardjopranjoto (1995) menambahkan bahwa kematian

embrio dini pada induk yang normal terjadi karena perkembangan embrio sampai

umur 40 hari, kondisi labil, mudah terpengaruh oleh lingkungan yang tidak baik

atau kekurangan pakan.

Kadar progesteron pada Gambar 4(c) diperkirakan menurun pada selang

waktu antara 20 hari ke 60 hari yang mengakibatkan kematian embrio karena

menurunnya progesteron. Menurut Lamming, dkk.,(1993) dalam Feradis (2010),

sekitar 30% sapi perah mengalami kematian embrio pada hari ke 25 kebuntingan.

Hal ini juga diungkapkan Drost, dkk., (1999); Sartori, dkk., (2003) dalam Chebel,

dkk, (2004) bahwa studi mengenai transfer embrio dan deteksi kebuntingan dini

memperkirakan kurang dari 50% dari kehidupan embrio kebuntingan antara 27-30

hari setelah ovulasi sapi. Tingginya kadar progesteron selama kebuntingan akibat

meningkatnya aktivitas CL, selain itu juga sekresi progesteron yang bersumber

dari plasenta (Melampy, dkk.,1959).

21

Page 22: SKRIPSI UMMUL

Selebihnya, terdapat 8 ekor (37,97%) (Tabel 4). Hasil uji profil

progesteronnya tidak memperlihatkan kebuntingan, namun pada saat palpasi

rektal dilakukan terdapat aktivitas CL yang menyatakan adanya kebuntingan.

Dalam Gambar 4(d) memperlihatkan grafik progesteron pada hari 0 yaitu 2,04

ng/ml, kemudian hari 10 turun hingga 0,85 ng/ml, lalu naik lagi mencapai 10,5

ng/ml. Diperkirakan bahwa IB dilakukan pada waktu yang kurang tepat, di saat

progesteron >1 ng/ml yang berarti aktivitas ovarium memasuki fase luteal.

Dalam rentang waktu 40 hari antara diindikasikan telah terjadi perkawinan

alami yang menyebabkan terjadinya kebuntingan, sehingga ketika dipalpasi

terdapat aktivitas CL.

22

Page 23: SKRIPSI UMMUL

KESIMPULAN

Kesimpulan

Aplikasi teknik Radioimmunoassay (RIA) progesteron dapat digunakan

untuk mengukur deteksi kebuntingan pada ternak dengan tingkat keberhasilan

pendeteksian mencapai 73,4%.

Saran

Untuk meminimalisir angka kematian embrio pada ternak yang telah

diinseminasi buatan, disarankan kepada peternak agar selalu mengontrol

keberhasilan IB yang telah dilakukan. Baik dengan melihat profil hormon

progesteronnya ataupun sekadar melihat tanda-tanda terjadinya berahi kembali

pada mulai dari IB dilakukan hingga 15 hari setelahnya.

23

Page 24: SKRIPSI UMMUL

DAFTAR PUSTAKA

Affandi L., W. Pratiwi, D. Pamungkas, D.B. Wijono, P.W. Prihadiri dan P. Situmorang. 2007. Peningkatan Produktivitas Sapi Potong Melalui Efisiensi Reproduksi. Laporan Penelitian Loka Sapi Potong.

Afriani, T., Z. Udin dan Misliati. 2000. Uji Kebuntingan dengan Melalui Analisis Progesteron Dalam Darah Pada Sapi Bali Dara dan Parietas Pertama di Kecamatan Bayang Pesisir Selatan. Jurusan Produksi Ternak Fakultas Peternakan, Universitas Andalas. Padang.

Anonim. 2008. Bangsa-bangsa Sapi Potong. http://dodee88.wordpress. com/2008/10/10/bangsa-bangsa-sapi. [23 September 2011].

______. 2009. Waktu Terbaik Melakukan IB. http://disnakeswan.kalbarprov. go.id. [6 Maret 2012].

______. 2011a. Inseminasi Buatan (IB) Atau Kawin Suntik Pada sapi.

http://www.ddlivestock.or.id. [6 Maret 2012].

______. 2011b. Kebuntingan Pada Sapi. http://felishindri.wordpress. com/2011/09/25/kebuntingan-pada-sapi/. [8 Maret 2012].

______. 2011c. Teknik RIA Progesteron Untuk Meningkatkan Kinerja Reproduksi dan Produksi Ternak. http://www.infonuklir.com. [25 September 2011].

Arlina F., R.D. Yanti dan Z.Udin. 2000. Uji Kebuntingan Dini Berdasarkan Kadar Progesteron Pada Sapi Pesisir Setelah Diinseminasi Buatan. Fakultas Peternakan Universitas Andalas. Padang.

Arman, C., S.N, Depamede., S.H, Dilagai., H. Poerwoto., A. Hamzah., A. Muzani dan I. Zakaria. 2001. Pemanfaatan teknik Self-coating Radioimmunoassay (Sc-RIA) untuk penentuan progesteron pada sapi brahman-cross di Pulau Lombok. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Mataram. 73-78.

Boettcher P.J and B.M.A.O. Perera. 2007. Improving the reproductive management of smallholder dairy cattle and the effectiveness of artificial insemination: A Summary. IAEA-TECDOC: 1533.

Chebel, R.C., J.E.P. Santos., J.P. Reynolds., R.L.A. Cerri., C.S.O. Juchem and M. Overton. 2004. Factors affecting conception rate after artificial insemination and pregnancy loss in lactating dairy cows. J. Anim. Reprod. Sci. 84: 239–255

24

Page 25: SKRIPSI UMMUL

Djuwita, I. 2001. Kajian Morfologis dan Fungsi Biologis Oosit Domba Setelah Kriopreservasi dengan Metode Vitrifikasi. [Disertasi Doktor]. Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Drost, M., J.D. Ambrose., M.J. Thatcher., C.K. Cantrell., K.E. Wolfsdorf., J.F.Hasler and W.W. Thatcher. 1999. Conception rates after artificial insemination or embryo transfer in lactating dairy cows during summer in Florida. Theriogenology 52, 1161–1167.

Feradis. 2010. Reproduksi ternak. Afabeta. Bandung.

Frandson, R.D. 1996. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Gajah mada University Press. Yogyakarta.

Hafez, E. S. E. 1993. Artificial insemination. In: Hafez, E.S.E, 1993. Reproduction in Farm Animals. 6th Ed. Lea & Febiger, Philadelphia. pp. 424-439.

Hardiansya, R. 2010. Sulsel Gunakan Nuklir Tingkatkan Populasi Sapi. http://www.kompasiana.com/rahardiansya. [25 September 2011]

Hardjopranjoto. 1995. Ilmu Kemajiran Pada Ternak. Airlangga University Press. 103-114.

Junaidi, W. 2010. Penyebab Kematian Embrio. http://wawanjunaidi. blogspot.com/2010/02/penyebab-kematian-embrio.html. [17 September 2012]

Jainudeen, M.R dan E.S.E. Hafez. 2000. Pregnancy Diagnosis, dalam Hafez E S E and Hafez B. 2000. Reproduction in Farm. Animal 7th ed. Lippincott Williams and Willkins. Philadelphia.

Kariyasa. 2005. Manajemen Sapi Potong. Universitas Sumatra Utara. Sumatra Utara.

Lamming, G.E and G.E.Mann. 1993. Progesteron consentration affects the development of the luteolytic mechanism in the cows. J. Reprod. Fertil., 11:8 (Abstr).

Lestari, T .D. 2006. Metode Deteksi Kebuntingan Pada Ternak Sapi. Fakultas Peternakan Universitas Padjajaran, Bandung.

Melampy, R.M., W.R. Heam and J.M. Rakes. 1959. Progesteron content of bovine reproductive organs and blood during pregnancy. J. Anim. Sci. 8:307-313.

25

Page 26: SKRIPSI UMMUL

Merthajiwa. 2011. Inseminasi Buatan (IB) atau Kawin Suntik Pada Sapi. Sekolah Ilmu Dan Teknologi Hayati Institut Teknologi Bandung, Bandung.

Nalbandov. 1990. Fisiologi Reproduksi Pada Mamalia dan unggas. Universitas Indonesia Press, Jakarta.

Nursyam. 2007. Perkembangan IPTEK di Bidang Reproduksi Ternak Untuk Meningkatkan Produktivitas Ternak. Fakultas Pertanian Unlam. Banjarbaru.

Partodihardjo. 1992. Ilmu Reproduksi Hewan. Cetakan ke 2. Mutiara, Jakarta.

Paters, A.R and E. Lamming. 1990. Hormon Patters and Reproduction in Cattle, Farmpractice, Wellington.

Reimers, T.J.R.D., Smith and S.K. Newman. 1982. Evaluation of Reproduction

Performance Using Milk Progesteron Assay. Devision of Nuclear Techique in Food and Agriculture in Costa Rica.

Sartori, R., A. Gumen., J.N. Guenther., A.H. Souza and M.C. Wiltbank. 2003.

Comparison of artificial insemination (AI) versus embryo transfer (ET) in lactating dairy cows. J. Dairy Sci. 86 (Suppl. 1), 238 (Abstract).

Saragih, L. 1987. Aplikasi Tenik RIA Sebagai Alat Pemeriksaan Kebuntingan pada Sapi Melalui Pengukuran Kadar Progesteron di Dalam Air Susu. Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Sugoro, I. 2009. Pemanfaatan Inseminasi Buatan (IB) untuk Peningkatan Reproduktifitas Sapi. Institut Pertanian Bogor, Jawa Barat.

Sugoro dan Tjiptosumirat. 2004. Peran Teknik Nuklir di Bidang Peternakan. http://www.fisikanet.lipi.go.id. Diakses : 13/10/2011

Syarifuddin, N.A., A. Wahdi., A. L. Toleng dan D.P. Rahardja. 2009. Kajian kegagalan kebuntingan sapi induk brahman cross melalui analisis tatalaksana reproduksi dan profil hormon progetseron dengan penerapan teknologi Radioimmunoassay (RIA). Ziraa’ah. 24: 1-8.

Tjiptosumirat. T., B.J. Tuasikal, A.P. Murni and M. Lelaningtyas, 2007. Improvement of the Efficiency of Artificial Insemination Services Through the use of RIA and a Computer Data Base Application. IAEA-TECDOC: 1533.

Uyanto, S. 2009. Pedoman Analisis Data Dengan SPSS. Graha Ilmu, Yogyakarta.

26

Page 27: SKRIPSI UMMUL

Yusuf,  M. 2005. Penuntun Praktikum Inseminasi Buatan. Laboratorium Reproduksi Ternak. Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin, Makassar.

27

Page 28: SKRIPSI UMMUL

Lampiran 1. Data hasil deteksi kebuntingan pada ternak sapi potong

No

Nama peternak

Radioimmunoassay Progesteron

Palpasi Rektal

1 Darwis - -2 Hamma - -3 Makmur + +4 Anto - -5 Anto - -6 Nurdin + +7 Nurdin + +8 Misi + -9 Sahabuddin - -10 Sahabuddin - -11 hamma - -12 sampara + +13 mansa - -14 baharuddin + +15 saing - -16 dg talli - +17 usman + -18 ramli + -19 dg sammang + +20 rahmat s - -21 lahami + +22 Firman - -23 modding - -24 nurdin + +25 miming + +26 dg talli - -27 dg samsu - -28 makmur + +29 amiruddin + +30 kr ramli - -31 dg tammu + -32 lukman + +33 h hama - -34 anto - +35 dg laupa + -36 sudi - -37 sangkala + -

28

Page 29: SKRIPSI UMMUL

38 kr ramli + +39 subhi + -40 usman - -41 rahman + +42 dg tompo  - -43 jajang + -44 dg rais - -45 baha + -46 saing + +47 dg poko + +48 ba'ba + +49 dg kunjung - -50 dg bakkora - -51 subhi + +52 dg yabu - -53 awaluddin + +54 dg salah + +55 namal + +56 subhi + -57 baha - +58 dg mugo + +59 abd hamid + +60 sangkala - +61 rajamuddin + +62 umar + +63 h milo + +64 saming + +65 syarif + +66 h saling - +67 h saling - +68 sangkala - +69 cudding + +70 umar - -71 sangkala - -72 dg tompo - -73 sampara - -74 dg rabbi + +75 anto + -76 syarif - -77 masing - +

29

Page 30: SKRIPSI UMMUL

78 subhi / br + -79 subhi/ bl mrh + -

Lampiran 2. Hasil perhitungan chi-square

Chi-Square Test

30

Page 31: SKRIPSI UMMUL

Test Statistics

Metode

Chi-Square 4.214a

Df 1

Asymp. Sig. .040

a. 0 cells (.0%) have expected frequencies less than 5. The minimum expected cell frequency is

86.5.

Descriptive Statistics

N Mean Std. Deviation Minimum Maximum

Metode 173 1.42 .495 1 2

Frequencies

Metode

Observed N Expected N Residual

1 100 86.5 13.5

2 73 86.5 -13.5

Total 173

RIWAYAT HIDUP

31

Page 32: SKRIPSI UMMUL

Ummul Masir dilahirkan di Makasssar, 24 Agustus 1989. Penulis adalah anak ke

dua dari tiga bersaudara pasangan dari Dra. Besse Maemunah dan Singkir Alam,

ATP.

Penulis menamatkan pendidikan Sekolah Dasar Negeri 203 Tempe,

Kabupaten Wajo pada tahun 2000, Sekolah Menengah Pertama Negeri 2

Sengkang pada tahun 2003 dan Sekolah Menengah Atas Negeri 3 Sengkang pada

tahun 2007. Pada tahun yang sama, penulis melanjutkan pendidikan ke perguruan

tinggi melalui Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru dan terdaftar sebagai

mahasiswa Fakultas peternakan, Jurusan Produksi Ternak Universitas

Hasanuddin.

Penulis juga aktif sebagai kru penerbitan kampus identitas Unhas periode

2010-2012 dan aktif sebagai tim asisten laboratorium dasar reproduksi ternak

tahun 2009 sampai sekarang.

32