Download - SKRIPSI UMMUL
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sapi potong merupakan salah satu ternak penghasil daging di Indonesia.
Namun, produksi daging sapi dalam negeri belum mampu memenuhi kebutuhan
karena populasi dan tingkat produktivitas ternak rendah. Rendahnya populasi sapi
potong antara lain disebabkan sebagian besar ternak dipelihara oleh peternak
berskala kecil dengan lahan dan modal terbatas (Kariyasa, 2005).
Dalam rangka menghadapi swasembada daging sapi diperlukan
peningkatan populasi sapi potong secara nasional dengan cara peningkatan jumlah
kelahiran pedet dan calon induk sapi dalam jumlah besar. Untuk mendukung
peningkatan populasi tersebut terutama pada usaha peternakan rakyat diperlukan
suatu teknologi tepat guna spesifik lokasi sesuai dengan kondisi agroekosistem
dan kebutuhan pengguna yang pada akhirnya dapat meningkatkan pendapatan dan
kesejahteraan petani (Affandi, dkk., 2007).
Salah satu yang dapat ditempuh untuk meningkatkan produksi daging dan
anak sapi atau pedet adalah dengan meningkatkan jumlah pemilikan sapi potong
dan mutu genetik ternak. Hal ini dapat dilaksanakan dengan menerapkan
inseminasi buatan (IB) pada sapi potong, karena semen yang digunakan terhadap
IB berasal dari sapi jantan yang genetiknya baik (Boettcher dan Perera, 2007).
Dalam pelaksanaannya, keberhasilan IB yang berhasil dipantau oleh
Direktorat Jenderal Peternakan mencapai 45%. Namun yang terjadi di lapangan,
deteksi kebuntingan setelah IB sering menjadi masalah bagi peternak. Karena
tanda-tanda terjadi atau tidaknya fertilisasi setelah IB tidak dapat diketahui
1
dengan cepat sampai terjadi siklus estrus berikutnya. Sebagian besar sapi-sapi
pada siklus estrus pertama setelah IB masih memiliki tanda-tanda berahi dan jika
dilakukan IB kembali kalau ternak itu sudah bunting akan menyebabkan
keguguran (Arlina, dkk., 2000).
Untuk mendeteksi kebuntingan pada sapi yang telah dilakukan IB dapat
melalui beberapa cara di antaranya dengan palpasi rektal pada hari ke-60 – 90.
Sedangkan dengan analisa Radioimmunoassay (RIA) di laboratorium, deteksi
kebuntingan dapat dilakukan lebih dini dengan menganalisa kadar progesteron
dalam darah (Afriani, dkk.,2000).
Pengukuran hormon-hormon kebuntingan dalam cairan tubuh dapat
dilakukan dengan metoda RIA. Metode-metode yang menggunakan plasma dan
air susu ini, dapat mendiagnosa kebuntingan pada ternak lebih dini dibandingkan
dengan metoda palpasi rektal (Jainudeen dan Hafez, 2000). Pengukuran kadar
hormon progesteron dapat digunakan sebagai tes kebuntingan karena corpus
luteum aktif selama awal kebuntingan pada semua spesies ternak. Progesteron
rendah pada saat tidak bunting dan tinggi pada hewan yang bunting (Lestari,
2006). Tujuan dari penelitian ini adalah dengan penerapan teknologi RIA dapat
membantu untuk deteksi dini kegagalan IB dan mendukung peningkatan kinerja
IB pada sapi potong di Kabupaten Bantaeng. Kegunaannya diharapkan dapat
memberi informasi atau gambaran mengenai deteksi dini kegagalan IB, serta
penerapan baru deteksi dini kegagalan IB melalui teknik RIA.
2
TINJAUAN PUSTAKA
Kinerja Inseminasi Buatan Sapi di Kabupaten Bantaeng
Inseminasi buatan (IB) adalah proses pemasukan semen (mani) ke dalam
saluran reproduksi betina dengan menggunakan alat buatan manusia. Tujuan
penerapan teknologi IB adalah untuk introduksi atau penyebaran penjantan unggul
di suatu daerah yang tidak memungkinkan untuk kawin alam serta pelestarian
plasma nutfah ternak jantan yang diinginkan (Nursyam, 2007).
Sejak 1953 IB sudah diterapkan di Indonesia pada ternak sapi perah,
kemudian sapi potong dan kerbau. Walaupun hasilnya sampai saat ini sudah
dirasakan oleh masyarakat yang ditandai dengan tingginya harga jual ternak hasil
IB, namun demikian pelaksanaannya di lapangan belum optimal sehingga
hasilnya (tingkat kelahiran) dari tahun ke tahun berfluktuasi (Sugoro, 2009).
Program IB mempunyai peran yang sangat strategis dalam usaha
meningkatkan kualitas dan kuantitas bibit. Dalam rangka meningkatkan produksi
dan produktivitas ternak, teknologi IB salah satu upaya penyebaran bibit unggul
yang memiliki nilai praktis dan ekonomis yang dapat dilakukan dengan mudah,
murah dan cepat. Teknologi IB memberikan keunggulan antara lain; bentuk tubuh
lebih baik, pertumbuhan ternak lebih cepat, tingkat kesuburan lebih tinggi, berat
lahir lebih tinggi serta keunggulan lainnya. Melalui teknologi IB diharapkan
secara ekonomi dapat memberikan nilai tambah dalam pengembangan usaha
peternakan (Merthajiwa, 2011).
3
Tabel 1. Data Pelaksanaan Inseminasi Buatan (IB) Tahun 2008 – 2010 di Kabupaten Bantaeng
No Uraian Kegiatan Tahun (Dosis)
2008 2009 2010
1 Target Kegiatan 1750 4500 3000
2 Realisasi Kegiatan 2471 3166 3285
3 Kelahiran IB 1098 1268 1551Sumber: Dinas Peternakan Kabupaten Bantaeng, 2010.
Pada Tabel 1 disajikan data pelaksanaan inseminasi buatan (IB) tahun
2008 – 2010 di Kabupaten Bantaeng terhitung 2008 sampai 2010. Terlihat angka
kelahiran IB pertahunnya meningkat dari 15,4% menjadi 22,3%. Realisasi
kegiatan IB mengalami peningkatan berturut turut sebesar 21,95% di 2009, dan
3,75% di 2010. Sedangkan target kegiatan meningkat tajam hingga 157% dan
menurun 30% di 2010. Dari data di atas rata-rata realisasi kegiatan dan kelahiran
IB mengalami penurunan untuk tiga tahun terakhir dan menunjukkan masih
tingginya angka kegagalan IB.
Waktu yang tepat untuk Inseminasi Buatan
Waktu yang tepat untuk inseminasi merupakan dasar bagi deposisi semen
ke dalam organ reproduksi betina. Pelaksanaan inseminasi yang baik dilakukan
pada 12-18 jam yang dihitung dari sejak awal berlangsungnya estrus. Penentuan
waktu tersebut didasarkan pada kemampuan spermatozoa dapat hidup dengan baik
pada saluran reproduksi betina selama 18-24 jam, waktu ovulasi sel telur dan daya
hidup sel telur untuk dapat dibuahi 10-20 jam. Sedangkan deposisi semen saat
inseminasi dapat dilakukan pada corpus uteri, cornua uteri bagian kanan dan
cornua uteri bagian kiri.
4
Indikator tingkat keberhasilan pelaksanaan inseminasi pada estrus kedua
pasca partus dapat diamati melalui service per conception dan conception rate
(Anonim, 2011b).
Gambar 1. Waktu Melakukan Inseminasi Buatan (Anonim, 2009)
Pada waktu dilakukan IB ternak harus dalam keadaan berahi (Gambar 1)
karena pada saat itu liang leher rahim (servix) pada posisi terbuka. Kemungkinan
terjadinya konsepsi (kebuntingan) bila diinseminasi pada periode-periode tertentu
dari berahi telah dihitung oleh para ahli, perkiraannya adalah (Anonim, 2011a):
Permulaan berahi : 44%
Pertengahan berahi : 82%
Akhir berahi : 75%
6 jam sesudah berahi : 62,5%
12 jam sesudah berahi : 32,5%
18 jam sesudah berahi : 28 %
24 jam sesudah berahi : 12%
5
Faktor-faktor yang memengaruhi kegagalan Inseminasi Buatan
Ada beberapa faktor yang dapat memengaruhi terjadinya kegagalan dalam
pelaksanaan IB pada ternak sapi yaitu (Merthajiwa, 2011) :
Kondisi kesehatan sapi betina yang telah diinseminasi. Betina yang
kondisinya sehat (sebelum dan setelah dilakukan IB) akan mampu
memelihara kebuntingannya sampai melahirkan dengan baik
Ketepatan waktu pelaksanaan IB
Mutu semen beku yang digunakan. Semen beku yang digunakan
hendaknya mendapatkan penanganan yang benar mulai saat produksi,
penyimpanan dan distribusi sampai di tingkat lapangan
Keterampilan petugas IB sangat memengaruhi keberhasilan IB. Makin
terampil petugas IB, makin kecil resiko kegagalannya
Manfaat penerapan bioteknologi IB pada ternak (Hafez, 1993), adalah
sebagai berikut :
1. Menghemat biaya pemeliharaan ternak jantan.
2. Dapat mengatur jarak kelahiran ternak dengan baik.
3. Mencegah terjadinya kawin sedarah pada sapi betina (inbreeding).
4. Dengan peralatan dan teknologi yang baik spermatozoa dapat disimpan dalam
jangka waktu yang lama.
5. Semen beku masih dapat dipakai untuk beberapa tahun kemudian walaupun
pejantan telah mati.
6. Menghindari kecelakaan yang sering terjadi pada saat perkawinan karena
fisik pejantan terlalu besar.
6
7. Menghindari ternak dari penularan penyakit terutama penyakit yang
ditularkan dengan hubungan kelamin.
Kadar Hormon Progesteron Pada Fase Folikuler dan Fase Luteal
Progesteron merupakan hormon yang memegang peranan penting dalam
menjaga dan merawat kebuntingan yang dihasilkan oleh corpus luteum (CL).
Pada dasarnya fungsi progesteron adalah mencegah terjadinya kontraksi urat
daging uterus sehingga uterus menjadi tenang (Partodihardjo, 1992).
Pada sapi, terjadinya gelombang pertumbuhan folikuler diawali dengan
peningkatan konsentrasi folikel stimulating hormone (FSH) plasma. Konsentrasi
FSH akan menurun bersamaan dengan disekresikannya inhibin dan estradiol oleh
folikel dominan yang berhubungan dengan regresi cepat dari folikel-folikel non
dominan. Pada fase folikuler, terjadi pengeluaran LH yang tajam yang
berhubungan dengan peningkatan yang tajam dari reseptor LH pada sel-sel
granulosa dari folikel dominan, dan merangsang perkembangan akhir mencapai
tahap preovulatori (Djuwita, 2001).
Lebih lanjut Frandson (1996), menjelaskan bahwa progesteron dikenal
sebagai hormon kebuntingan karena menyebabkan penebalan endometrium dan
perkembangan kelenjar uterin mendahului terjadinya implantasi dari ovum yang
dibuahi. Progesteron menghambat motilitas uterin yang berlebihan selama periode
implantasi dan dalam periode kebuntingan. Di samping CL, progesteron juga
disekresikan oleh korteks, placenta, dan testes.
Progesteron sapi bunting tampak tidak ada penurunan yang mendadak.
Satu peristiwa yang diharapkan terjadi pada hari ke 21 bila sapi tidak bunting.
7
Kenyataan progesteron secara menyolok menurun dan estrogen plasma mulai
menanjak sebelum penurunan progesteron plasma terjadi (Nalbandov, 1990).
Paters dan Lamming (1990), menambahkan bahwa konsentrasi
progesteron dalam darah merupakan cermin aktivitas CL dan merupakan indikator
yang tepat untuk fungsi ovarium dan dapat digunakan untuk memonitori
kebuntingan, siklus berahi dan aktivitas ovarium pada masa post partum.
Gambar 2. Kadar Hormon Progesteron Selama Periode Awal Kebuntingan(Arlina, dkk., 2000)
Kadar progesteron pada waktu diestrus mencapai 6,61 nmol/L, jika hewan
bunting maka kadar ini akan naik hingga 16,54 nmol/L dan menurun sedikit demi
sedikit. Pada akhir masa kebuntingan kadar progesteron turun menjadi 13,36-
12,72 nmol/L dan menjadi sangat rendah 1,27 nmol/L setelah melahirkan.
Konsentrasi progesteron dalam plasma darah menurun 60,42 – 50,88 nmol/L dan
pada bulan terakhir masa kebuntingan menjadi 1,59 – 9,54 nmol/L pada waktu
partus (Partodiharjdjo, 1992).
8
Hasil penelitian Arlina, dkk (2000) (Gambar 2) memperlihatkan bahwa
terdapat lima ekor sapi mengalami kebuntingan. Dapat dilihat pada hari ke 21
setelah IB kadar hormon progesteronnya >3 ng/ml. Sesuai pernyataan Reimers et
al. (1982) bahwa 21-24 hari setelah IB kadar progesteron 3 ng/ml kemungkinan
hewan dalam keadaan bunting.
Gambar 3. Level hormon selama siklus estrus pada sapi (Feradis, 2010).
Selama periode diestrus (Gambar 3), ketika konsentrasi progesteron tinggi,
konsentrasi FSH, LH dan sisa total estrogen relatif rendah. Saat ini, pada beberapa
spesies dapat dideteksi adanya pertumbuhan folikel, tetapi sangat lambat bila
dibandingkan dengan yang terjadi dua atau tiga hari menjelang terjadinya ovulasi.
Demikian juga selama kebuntingan, konsentrasi progesteron yang tinggi
menahan pelepasan hormon-hormon gonadotropin yang dapat menyebabkan
munculnya tingkah laku estrus. Kejadian ini merupakan kontrol dari progesteron
terhadap gonadotropin, dengan mekanisme kerja umpan balik negatif (Feradis,
2010).
Gejala - gejala berahi ini memang harus diperhatikan minimal dua kali
sehari oleh pemilik ternak. Jika tanda-tanda berahi sudah muncul maka pemilik
9
ternak tersebut tidak boleh menunda laporan kepada petugas inseminator agar
ternak sapinya masih dapat memperoleh pelayanan IB tepat pada waktunya. Sapi
dara umumnya lebih menunjukkan gejala yang jelas dibandingkan dengan sapi
yang telah beranak (Anonim, 2008).
Tinjauan Umum Teknik Radioimmunoassay (RIA)
Salah satu hormon yang spesifik terhadap kondisi berahi ternak adalah
hormon progesteron. Dengan teknik Radioimmunoassay (RIA) progesteron, yang
mendukung IB, hormon progesteron dengan radioisotop iodium-125 yang
merupakan bahan pengayaan nuklir selain uranium (Hardiansya, 2010).
Teknologi RIA dapat digunakan untuk medeteksi pubertas ternak,
medeteksi gejala berahi, diagnosa kebuntingan dini, diagnosa kebuntingan awal,
mendukung program inseminasi buatan (IB), dan diagnosa kelainan reproduksi
ternak (Sugoro dan Tjiptosumirat, 2004).
Penggunaan teknik RIA ini, juga sangat bermanfaat untuk mengetahui
status reproduksi ternak sapi yang dipelihara baik yang dipelihara secara ekstensif
oleh petani maupun yang dipelihara dalam peternakan. Lebih lanjut Feradis
(2010), menjelaskan dengan teknik RIA bisa dilakukan uji kimia dan biologi
terlihat perubahan-perubahan relatif yang terjadi pada hormon-hormon ovarium.
Berdasarkan hal ini disimpulkan bahwa progesteron mempunyai suatu pengaruh
yang dominan terhadap siklus.
Keberhasilan pelaksanaan IB tergantung pada akurasi hasil pengamatan
terhadap gejala-gejala berahi ternak. Pengamatan berahi dilakukan berdasarkan
pada kondisi dan tingkah laku ternak, seperti berkurangnya nafsu makan ternak,
10
saling menaiki antara satu dengan yang lain (mounting), vulva vagina yang
membengkak, dan keluarnya lendir dari vulva. Agar kondisi berahi dapat
diketahui secara lebih tepat, aplikasi teknik nuklir (TN) yang didasari dengan
ikatan antigen dan antibodi dapat dilakukan, yang dikenal dengan
Radioimmunoassay (RIA). Teknik RIA merupakan suatu cara pengukuran yang
bersifat indirect, karena dasar dari teknik ini adalah kompetisi antara hormon yang
dilabel dengan radioisotop dengan hormon yang sama tetapi tidak dilabel (dalam
sampel) untuk bersaing berikatan dengan antibodi hormon yang diukur (Anonim,
2011c).
Dengan diketahuinya teknik RIA progesteron ini, maka pelaksanaan
program peningkatan populasi ternak melalui IB dapat ditingkatkan laju
keberhasilannya dan diharapkan akan bersifat ekonomis.
Eksplorasi Rektal
Eksplorasi rektal adalah metode diagnosa kebuntingan yang dapat
dilakukan pada ternak besar seperti kuda, kerbau dan sapi. Prosedurnya adalah
palpasi uterus melalui dinding rektum untuk meraba pembesaran yang terjadi
selama kebuntingan, fetus atau membran fetus. Teknik yang dapat digunakan pada
tahap awal kebuntingan ini adalah akurat dan hasilnya dapat langsung diketahui
(Lestari, 2006). Lebih lanjut menurut Yusuf (2005), dalam pelaksanaan palpasi
rektal sangat dibutuhkan kepekaan dan kebiasaan untuk mengenali organ-organ
yang dipalpasi.
Palpasi transrektal pada uterus telah sejak lama dilakukan. Teknik yang
dikenal cukup akurat dan cepat ini juga relatif murah. Namun demikian
11
dibutuhkan pengalaman dan training bagi petugas yang melakukannya, sehingga
dapat tepat dalam mendiagnosa. Teknik ini baru dapat dilakukan pada usia
kebuntingan di atas 30 hari (Lestari, 2006).
Pemeriksaan Kebuntingan dengan palpasi rektal yang dilakukan secara
manual, akan menjadi faktor pembatas pemeriksaan karena kemampuan manusia
yang terbatas, apalagi untuk peternakan dengan penyebaran populasi yang meluas.
Dengan teknik RIA hal ini bisa diatasi, karena sampel-sampel bisa dikumpulkan
sebelum pemeriksaan 3-4 hari, dengan diberi bahan pengawet. Demikian juga
dengan kemampuan pemeriksaan cukup tinggi, seorang pekerja mampu
melakukan pemeriksaan 100 sampel dalam waktu 7 jam, dan mengingatkan 200
sampel untuk pemeriksaan keesokan harinya. Dengan kata lain, kesulitan-
kesulitan dalam palpasi rektal, seperti faktor keterbatasan manusia, faktor tempat
(geografi) dan penyebaran populasi sapi perah, dapat diatasi dengan aplikasi
teknik RIA (Saragih, 1987).
Aplikasi teknik RIA dalam mendukung kinerja IB
Pengukuran hormon-hormon kebuntingan dalam cairan tubuh dapat
dilakukan dengan metoda RIA dan ELISA. Metode-metode yang menggunakan
plasma darah dan air susu ini dapat mendiagnosa kebuntingan pada ternak lebih
dini dibandingkan dengan metode palpasi rektal (Jainudeen dan Hafez, 2000).
Teknik RIA dapat mengukur kadar hormon progesteron yang dihasilkan
oleh CL di dalam ovarium. Sampel yang digunakan baik susu atau darah
diperoleh dari sapi pada waktu tertentu setelah dilakukan IB. Peternak dapat
menentukan waktu estrus yang tepat (Boettcher dan Perera, 2007).
12
Tabel 2. Interpretasi Konsentrasi Hormon Progesteron
No. Tingkat konsentrasi hormon
Progesteron (nmol/L)keterangan
1 <1 nmol/L Tidak tersedia corpus luteum; tidak ditemukan aktivitas pada ovarium
2 1,1 – 2,9 nmol/L
Tingkat konsentrasi hormon progesteron yang meragukan, dapat diartikan dengan berbagai macam keadaan reproduksi.
3 >3 nmol/L Konfirmasi dari tenaga medis/veteriner di lapangan diperlukan
Sumber: Tjiptosumirat et al, 2007
13
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Bantaeng untuk pengambilan
sampel darah sapi. Analisis profil hormon progesteron dengan teknologi RIA
dilaksanakan di Laboratorium Radioisotop, Devisi Energi dan Isotop, Pusat
Kegiatan Penelitian Unhas, Makassar.
Materi Penelitian
Materi utama dalam penelitian ini menggunakan 79 ekor sapi potong
betina umur 2-3 tahun. Materi lain yang digunakan pada penelitian ini adalah
jarum venoject, tabung sampel darah dan sampel plasma, freezer, tabung reaksi,
rak tabung, centrifuge, vortex, kapas, alkohol 70%, antikoagulan dan seperangkat
peralatan analisa Kit Radioimmunoassay (RIA) Progesteron.
Prosedur Penelitian
Darah diambil pada bagian vena jungularis dengan menggunakan jarum
venoject yang sudah dipasangi dengan tabung vakum berisi antikoagulan.
Sebanyak 10 ml darah dalam tabung tersebut lalu disentrifuge dengan kecepatan
3000 rpm selama 15 menit sehingga serum berpisah dengan plasma darah. Plasma
darah diambil pada bagian supranata dengan menggunakan pipet tetes dan
dimasukkan ke dalam tabung lalu disimpan dalam freezer pada suhu -200 C
sampai dianalisa hormon progesteronnya dengan menggunakan teknik
Radioimmunoassay.
14
Seperangkat kit RIA Progesteron disiapkan, kemudian serum darah
dimasukkan ke dalam tabung yang sudah dilapisi anti serum 0,1 ml lalu
ditambahkan 1 ml larutan 125I-p kemudian dihomogenkan dengan menggunakan
vortex selama 3-5 detik. Tabung tersebut lalu diinkubasikan pada suhu kamar
selama dua jam kemudian disentrifuge selama 15 menit dengan kecepatan 1500
rpm. Cairan yang ada di dalam tabung, dikeluarkan. Tabung tersebut kemudian
dimasukkan ke dalam alat gamma counter untuk mengetahui nilai kadar
progesteron yang terikat dalam tabung tersebut.
Analisa Data
Data dianlisis secara deskriptif dengan melihat grafik dan membandingkan
profil hormon hari ke-0, 10, 20 dan mengategorikan antara yang bunting dan tidak
bunting dengan masing-masing nilai <1 ng/ml dan > 1 ng/ml. Penentuan standar
kadar progesteron mengacu pada standar Badan Tenaga Nuklir Nasional
(BATAN) yang ditampilkan pada Tabel 3.
Tabel 3. Analisa Profil Hormon Progesteron
Hari ke- Keterangan
0 10 20R R R Tidak Bunting (Belum Berahi) R T R Tidak Bunting (IB tepat waktu) R T T IB tepat Waktu (Bunting)T T T IB Pada Sapi Bunting T R T IB tidak tepat waktu (Berahi lama)
Keterangan: R (Rendah) = <1 ng/ml Progesteron, T (tinggi) = > 1 ng/ml Progesteron
15
Semua ternak diklasifikasikan dalam lima golongan (Tabel 3) kemudian
hasil analisa akan dibandingkan dengan hasil Pemeriksaan Kebuntingan Dini
(PKB) 60 hari deteksi IB dengan palpasi rektal (100% bunting).
Untuk melihat keakuratan deteksi kebuntingan melalui uji kadar hormon
progesteron dengan palpasi rektal, digunakan metode chi square. Data dianalisa
dengan menggunakan metode chi square yang merupakan analisis statisti non
parametik, digunakan untuk menguji frekuensi data yang diamati dari suatu
variabel kategorik sesuai dengan frekuensi harapan (Uyanto, 2009).
X2 = ( 0 - E) 2 E
Keterangan;
0 = Frekuensi hasil observasi
E = Frekuensi yang diharapkan
X = Parameter yang diukur
16
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tingkat kesamaan deteksi kebuntingan melalui Radioimmunoassay (RIA) Progesteron dengan palpasi rektal
Berdasarkan hasil penelitian tentang deteksi kebuntingan setelah
inseminasi buatan (IB) disajikan pada Tabel 4. Dalam penelitian ini menggunakan
metode deteksi kebuntingan yaitu mengukur kadar hormon progesteron dengan
menganalisis sampel serum melalui teknik Radioimmunoassay (RIA) 25I -
Progesteron pada hari ke-20 setelah IB. Kemudian hasil pengukurannya
disandingkan dengan palpasi rektal yang dilakukan 60 hari atau lebih setelah IB.
Diharapkan keberhasilan RIA dalam mendeteksi kebuntingan yang mendekati
tingkat keberhasilan palpasi rektal yaitu 100%.
Tabel 4. Hasil deteksi kebuntingan dengan Radioimmunoassay Progesteron dan Palpasi rektal
Bunting berdasarkan analisa Hormon Progesteron
Bunting Berdasakan Palpasi Rektal
Jumlah ekor sapi
%
+ + 30 37.97- - 28 35.44+ - 13 16.5- + 8 10.12
Jumlah 79
Keterangan : (+) = Bunting, (-) = Tidak Bunting
Dalam Tabel 4 memperlihatkan hasil tes kebuntingan dengan empat
keadaan berbeda. Dari 79 ekor sapi yang digunakan, terdapat 73,4% hasil yang
sama yang diperlihatkan antara tes kebuntingan dini profil hormon progesteron
dengan palpasi rektal. Nilai ini diperoleh dari 37,97% (30 ekor) bunting dan
17
35,44% (28 ekor) tidak bunting, sedangkan ketidaksesuaiannya mencapai 26,6%
diperoleh dari 16,5% (13 ekor) yang mengalami kematian embrio dan 10,12% (8
ekor) yang diindikasikan telah terjadi kawin berulang pada selang 40 hari.
Hasil analisis statistik dengan metode chi-square memperlihatkan adanya
hubungan yang sangat nyata antara hasil analisa progesteron dengan palpasi rektal
(P < 0.05). Paters dan Lamming (1990) berpendapat bahwa konsentrasi
progesteron dalam darah merupakan cermin aktivitas CL dan merupakan indikator
yang tepat untuk fungsi ovarium dan dapat digunakan untuk memonitori
kebuntingan, siklus berahi dan aktivitas ovarium pada masa post partum.
Dari 79 ekor sapi pada Tabel 4, terdapat 30 ekor (37.97%) dinyatakan
bunting pada tes profil hormon progesteron dan memperlihatkan adanya
kebuntingan pada saat palpasi rektal dilakukan 60 hari atau lebih setelah IB.
Grafik kadar progesteron (Gambar 4.a) memperlihatkan kadar hormon
progesteron mengalami kenaikan dari 1,05 ng/ml pada hari ke-0, menjadi 2,5
ng/ml pada hari ke-10 dan meningkat dua kali lipat menjadi 5 ng/ml di hari ke-20.
Hal ini berarti terjadi kebuntingan dan dapat dipertahankan sampai hari ke-60
karena adanya aktivitas CL yang menghasilkan hormon progesteron. Keadaan ini
sesuai dengan pendapat Frandson (1996) yang menjelaskan bahwa progesteron
dapat menyebabkan penebalan endometrium dan perkembangan kelenjar uterin
mendahului terjadinya implantasi dari ovarium yang dibuahi.
18
( a ) + +
( b ) - -
(c) + -
(d) - +
Gambar 4. Profil Hormon progesteron. (a): Bunting menurut profil hormon (+), tidak bunting menurut palpasi rektal (-); b: Tidak bunting menurut profil hormon (-), tidak bunting menurut palpasi rektal (-); c: Bunting menurut profil hormon (+), bunting menurut palpasi rektal (+); d: tidak bunting menurut profil hormon (-), bunting menurut palpasi rektal (+).
19
Gambar 4(b) memperlihatkan kesamaan hasil deteksi kebuntingan dengan
palpasi rektal dan profil hormon progesteron. Kadar progesteron pada hari ke-0
1,05 ng/ml, kemudian pada hari ke-10 dan ke-20 kadar progetseronnya statis
dengan nilai masing-masing 0,85 ng/ml. Hal ini disebabkan karena tidak adanya
fungsi dari ovarium. Sapi induk yang diinterprestasi asiklus menunjukkan sapi-
sapi induk yang mengalami gangguan reproduksi dengan ovarium tidak bersiklus.
Hormon progesteron yang dihasilkan sangat rendah di bawah 1 ng/ml
(Syarifuddin, dkk., 2009).
Menurut Arlina, dkk (2001), kegagalan kebuntingan oleh seekor sapi
disebabkan oleh dua faktor, yaitu faktor makanan yang tidak mencukupi
kebutuhan. Di samping itu juga kurang tepatnya waktu pelaksanaan IB serta
rendahnya kualitas semen.
Arman, dkk (2001) melaporkan rata-rata profil progesteron serum dari dua
ekor sapi Brahman-cross yang mengalami kondisi tidak bersiklus (non-cycling)
pada minggu ke-1 sampai ke-7 rata-rata kadar progesteron berada di bawah 1
nmol/L. Hal ini menunjukkan ketidakaktifan ovarium yang dikonfirmasikan
melalui pemeriksaan rektal dan klinis saluran reproduksi dan ovari kedua sapi
anesturs tersebut. Sesuai dengan pendapat Merthajiwa (2011), bahwa betina yang
kondisinya sehat (sebelum dan setelah dilakukan IB) akan mampu memelihara
kebuntingannya sampai melahirkan dengan baik.
Dari data di atas (Tabel 4) dapat dideteksi terdapat 13 ekor (16.5%) yang
mungkin mengalami kematian embrio dini. Grafik kadar progesteron dapat dilihat
pada Gambar 4 (c) yang menunjukkan kenaikan hormon progesteron dimana hari
20
ke -0 saat berahi kadar progesteronnya adalah 1,6 ng/ml, kemudian naik menjadi
5,4 ng/ml pada hari ke-10, lalu meningkat lagi pada hari ke-20 hingga 10,5 ng/ml.
Dengan demikian sapi tersebut dapat dikatakan terjadi konseptor.
Hasil yang sama ditunjukkan pula oleh Arlina, dkk (2000) dan Reimers,
dkk (1982) apabila kadar progesteron lebih besar dari 3 ng/ml pada masa 21-24
hari setelah dikawinkan maka kemungkinan ternak dalam keadaan bunting dan
apabila kurang dari 1 ng/ml maka hewan tersebut tidak bunting. Junaidi (2010)
melaporkan kurang lebih 25-40% kasus kematian dini terjadi dalam suatu
peternakan. Kematian ini lebih sering terjadi pada periode awal kebuntingan
daripada periode akhir. Hardjopranjoto (1995) menambahkan bahwa kematian
embrio dini pada induk yang normal terjadi karena perkembangan embrio sampai
umur 40 hari, kondisi labil, mudah terpengaruh oleh lingkungan yang tidak baik
atau kekurangan pakan.
Kadar progesteron pada Gambar 4(c) diperkirakan menurun pada selang
waktu antara 20 hari ke 60 hari yang mengakibatkan kematian embrio karena
menurunnya progesteron. Menurut Lamming, dkk.,(1993) dalam Feradis (2010),
sekitar 30% sapi perah mengalami kematian embrio pada hari ke 25 kebuntingan.
Hal ini juga diungkapkan Drost, dkk., (1999); Sartori, dkk., (2003) dalam Chebel,
dkk, (2004) bahwa studi mengenai transfer embrio dan deteksi kebuntingan dini
memperkirakan kurang dari 50% dari kehidupan embrio kebuntingan antara 27-30
hari setelah ovulasi sapi. Tingginya kadar progesteron selama kebuntingan akibat
meningkatnya aktivitas CL, selain itu juga sekresi progesteron yang bersumber
dari plasenta (Melampy, dkk.,1959).
21
Selebihnya, terdapat 8 ekor (37,97%) (Tabel 4). Hasil uji profil
progesteronnya tidak memperlihatkan kebuntingan, namun pada saat palpasi
rektal dilakukan terdapat aktivitas CL yang menyatakan adanya kebuntingan.
Dalam Gambar 4(d) memperlihatkan grafik progesteron pada hari 0 yaitu 2,04
ng/ml, kemudian hari 10 turun hingga 0,85 ng/ml, lalu naik lagi mencapai 10,5
ng/ml. Diperkirakan bahwa IB dilakukan pada waktu yang kurang tepat, di saat
progesteron >1 ng/ml yang berarti aktivitas ovarium memasuki fase luteal.
Dalam rentang waktu 40 hari antara diindikasikan telah terjadi perkawinan
alami yang menyebabkan terjadinya kebuntingan, sehingga ketika dipalpasi
terdapat aktivitas CL.
22
KESIMPULAN
Kesimpulan
Aplikasi teknik Radioimmunoassay (RIA) progesteron dapat digunakan
untuk mengukur deteksi kebuntingan pada ternak dengan tingkat keberhasilan
pendeteksian mencapai 73,4%.
Saran
Untuk meminimalisir angka kematian embrio pada ternak yang telah
diinseminasi buatan, disarankan kepada peternak agar selalu mengontrol
keberhasilan IB yang telah dilakukan. Baik dengan melihat profil hormon
progesteronnya ataupun sekadar melihat tanda-tanda terjadinya berahi kembali
pada mulai dari IB dilakukan hingga 15 hari setelahnya.
23
DAFTAR PUSTAKA
Affandi L., W. Pratiwi, D. Pamungkas, D.B. Wijono, P.W. Prihadiri dan P. Situmorang. 2007. Peningkatan Produktivitas Sapi Potong Melalui Efisiensi Reproduksi. Laporan Penelitian Loka Sapi Potong.
Afriani, T., Z. Udin dan Misliati. 2000. Uji Kebuntingan dengan Melalui Analisis Progesteron Dalam Darah Pada Sapi Bali Dara dan Parietas Pertama di Kecamatan Bayang Pesisir Selatan. Jurusan Produksi Ternak Fakultas Peternakan, Universitas Andalas. Padang.
Anonim. 2008. Bangsa-bangsa Sapi Potong. http://dodee88.wordpress. com/2008/10/10/bangsa-bangsa-sapi. [23 September 2011].
______. 2009. Waktu Terbaik Melakukan IB. http://disnakeswan.kalbarprov. go.id. [6 Maret 2012].
______. 2011a. Inseminasi Buatan (IB) Atau Kawin Suntik Pada sapi.
http://www.ddlivestock.or.id. [6 Maret 2012].
______. 2011b. Kebuntingan Pada Sapi. http://felishindri.wordpress. com/2011/09/25/kebuntingan-pada-sapi/. [8 Maret 2012].
______. 2011c. Teknik RIA Progesteron Untuk Meningkatkan Kinerja Reproduksi dan Produksi Ternak. http://www.infonuklir.com. [25 September 2011].
Arlina F., R.D. Yanti dan Z.Udin. 2000. Uji Kebuntingan Dini Berdasarkan Kadar Progesteron Pada Sapi Pesisir Setelah Diinseminasi Buatan. Fakultas Peternakan Universitas Andalas. Padang.
Arman, C., S.N, Depamede., S.H, Dilagai., H. Poerwoto., A. Hamzah., A. Muzani dan I. Zakaria. 2001. Pemanfaatan teknik Self-coating Radioimmunoassay (Sc-RIA) untuk penentuan progesteron pada sapi brahman-cross di Pulau Lombok. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Mataram. 73-78.
Boettcher P.J and B.M.A.O. Perera. 2007. Improving the reproductive management of smallholder dairy cattle and the effectiveness of artificial insemination: A Summary. IAEA-TECDOC: 1533.
Chebel, R.C., J.E.P. Santos., J.P. Reynolds., R.L.A. Cerri., C.S.O. Juchem and M. Overton. 2004. Factors affecting conception rate after artificial insemination and pregnancy loss in lactating dairy cows. J. Anim. Reprod. Sci. 84: 239–255
24
Djuwita, I. 2001. Kajian Morfologis dan Fungsi Biologis Oosit Domba Setelah Kriopreservasi dengan Metode Vitrifikasi. [Disertasi Doktor]. Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Drost, M., J.D. Ambrose., M.J. Thatcher., C.K. Cantrell., K.E. Wolfsdorf., J.F.Hasler and W.W. Thatcher. 1999. Conception rates after artificial insemination or embryo transfer in lactating dairy cows during summer in Florida. Theriogenology 52, 1161–1167.
Feradis. 2010. Reproduksi ternak. Afabeta. Bandung.
Frandson, R.D. 1996. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Gajah mada University Press. Yogyakarta.
Hafez, E. S. E. 1993. Artificial insemination. In: Hafez, E.S.E, 1993. Reproduction in Farm Animals. 6th Ed. Lea & Febiger, Philadelphia. pp. 424-439.
Hardiansya, R. 2010. Sulsel Gunakan Nuklir Tingkatkan Populasi Sapi. http://www.kompasiana.com/rahardiansya. [25 September 2011]
Hardjopranjoto. 1995. Ilmu Kemajiran Pada Ternak. Airlangga University Press. 103-114.
Junaidi, W. 2010. Penyebab Kematian Embrio. http://wawanjunaidi. blogspot.com/2010/02/penyebab-kematian-embrio.html. [17 September 2012]
Jainudeen, M.R dan E.S.E. Hafez. 2000. Pregnancy Diagnosis, dalam Hafez E S E and Hafez B. 2000. Reproduction in Farm. Animal 7th ed. Lippincott Williams and Willkins. Philadelphia.
Kariyasa. 2005. Manajemen Sapi Potong. Universitas Sumatra Utara. Sumatra Utara.
Lamming, G.E and G.E.Mann. 1993. Progesteron consentration affects the development of the luteolytic mechanism in the cows. J. Reprod. Fertil., 11:8 (Abstr).
Lestari, T .D. 2006. Metode Deteksi Kebuntingan Pada Ternak Sapi. Fakultas Peternakan Universitas Padjajaran, Bandung.
Melampy, R.M., W.R. Heam and J.M. Rakes. 1959. Progesteron content of bovine reproductive organs and blood during pregnancy. J. Anim. Sci. 8:307-313.
25
Merthajiwa. 2011. Inseminasi Buatan (IB) atau Kawin Suntik Pada Sapi. Sekolah Ilmu Dan Teknologi Hayati Institut Teknologi Bandung, Bandung.
Nalbandov. 1990. Fisiologi Reproduksi Pada Mamalia dan unggas. Universitas Indonesia Press, Jakarta.
Nursyam. 2007. Perkembangan IPTEK di Bidang Reproduksi Ternak Untuk Meningkatkan Produktivitas Ternak. Fakultas Pertanian Unlam. Banjarbaru.
Partodihardjo. 1992. Ilmu Reproduksi Hewan. Cetakan ke 2. Mutiara, Jakarta.
Paters, A.R and E. Lamming. 1990. Hormon Patters and Reproduction in Cattle, Farmpractice, Wellington.
Reimers, T.J.R.D., Smith and S.K. Newman. 1982. Evaluation of Reproduction
Performance Using Milk Progesteron Assay. Devision of Nuclear Techique in Food and Agriculture in Costa Rica.
Sartori, R., A. Gumen., J.N. Guenther., A.H. Souza and M.C. Wiltbank. 2003.
Comparison of artificial insemination (AI) versus embryo transfer (ET) in lactating dairy cows. J. Dairy Sci. 86 (Suppl. 1), 238 (Abstract).
Saragih, L. 1987. Aplikasi Tenik RIA Sebagai Alat Pemeriksaan Kebuntingan pada Sapi Melalui Pengukuran Kadar Progesteron di Dalam Air Susu. Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Sugoro, I. 2009. Pemanfaatan Inseminasi Buatan (IB) untuk Peningkatan Reproduktifitas Sapi. Institut Pertanian Bogor, Jawa Barat.
Sugoro dan Tjiptosumirat. 2004. Peran Teknik Nuklir di Bidang Peternakan. http://www.fisikanet.lipi.go.id. Diakses : 13/10/2011
Syarifuddin, N.A., A. Wahdi., A. L. Toleng dan D.P. Rahardja. 2009. Kajian kegagalan kebuntingan sapi induk brahman cross melalui analisis tatalaksana reproduksi dan profil hormon progetseron dengan penerapan teknologi Radioimmunoassay (RIA). Ziraa’ah. 24: 1-8.
Tjiptosumirat. T., B.J. Tuasikal, A.P. Murni and M. Lelaningtyas, 2007. Improvement of the Efficiency of Artificial Insemination Services Through the use of RIA and a Computer Data Base Application. IAEA-TECDOC: 1533.
Uyanto, S. 2009. Pedoman Analisis Data Dengan SPSS. Graha Ilmu, Yogyakarta.
26
Yusuf, M. 2005. Penuntun Praktikum Inseminasi Buatan. Laboratorium Reproduksi Ternak. Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin, Makassar.
27
Lampiran 1. Data hasil deteksi kebuntingan pada ternak sapi potong
No
Nama peternak
Radioimmunoassay Progesteron
Palpasi Rektal
1 Darwis - -2 Hamma - -3 Makmur + +4 Anto - -5 Anto - -6 Nurdin + +7 Nurdin + +8 Misi + -9 Sahabuddin - -10 Sahabuddin - -11 hamma - -12 sampara + +13 mansa - -14 baharuddin + +15 saing - -16 dg talli - +17 usman + -18 ramli + -19 dg sammang + +20 rahmat s - -21 lahami + +22 Firman - -23 modding - -24 nurdin + +25 miming + +26 dg talli - -27 dg samsu - -28 makmur + +29 amiruddin + +30 kr ramli - -31 dg tammu + -32 lukman + +33 h hama - -34 anto - +35 dg laupa + -36 sudi - -37 sangkala + -
28
38 kr ramli + +39 subhi + -40 usman - -41 rahman + +42 dg tompo - -43 jajang + -44 dg rais - -45 baha + -46 saing + +47 dg poko + +48 ba'ba + +49 dg kunjung - -50 dg bakkora - -51 subhi + +52 dg yabu - -53 awaluddin + +54 dg salah + +55 namal + +56 subhi + -57 baha - +58 dg mugo + +59 abd hamid + +60 sangkala - +61 rajamuddin + +62 umar + +63 h milo + +64 saming + +65 syarif + +66 h saling - +67 h saling - +68 sangkala - +69 cudding + +70 umar - -71 sangkala - -72 dg tompo - -73 sampara - -74 dg rabbi + +75 anto + -76 syarif - -77 masing - +
29
78 subhi / br + -79 subhi/ bl mrh + -
Lampiran 2. Hasil perhitungan chi-square
Chi-Square Test
30
Test Statistics
Metode
Chi-Square 4.214a
Df 1
Asymp. Sig. .040
a. 0 cells (.0%) have expected frequencies less than 5. The minimum expected cell frequency is
86.5.
Descriptive Statistics
N Mean Std. Deviation Minimum Maximum
Metode 173 1.42 .495 1 2
Frequencies
Metode
Observed N Expected N Residual
1 100 86.5 13.5
2 73 86.5 -13.5
Total 173
RIWAYAT HIDUP
31
Ummul Masir dilahirkan di Makasssar, 24 Agustus 1989. Penulis adalah anak ke
dua dari tiga bersaudara pasangan dari Dra. Besse Maemunah dan Singkir Alam,
ATP.
Penulis menamatkan pendidikan Sekolah Dasar Negeri 203 Tempe,
Kabupaten Wajo pada tahun 2000, Sekolah Menengah Pertama Negeri 2
Sengkang pada tahun 2003 dan Sekolah Menengah Atas Negeri 3 Sengkang pada
tahun 2007. Pada tahun yang sama, penulis melanjutkan pendidikan ke perguruan
tinggi melalui Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru dan terdaftar sebagai
mahasiswa Fakultas peternakan, Jurusan Produksi Ternak Universitas
Hasanuddin.
Penulis juga aktif sebagai kru penerbitan kampus identitas Unhas periode
2010-2012 dan aktif sebagai tim asisten laboratorium dasar reproduksi ternak
tahun 2009 sampai sekarang.
32