skripsi trafficking menurut uu no 21 tahun 2007 menurut perspektif hukum pidana islam

88
i TINDAK PIDANA TRAFFICKING DALAM UNDANG-UNDANG NO. 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG MENURUT PERSPEKTIF HUKUM PIDANA ISLAM SKRIPSI Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Syari'ah (S.Sy) Pada Jurusan Hukum Pidana Islam Fakultas Syari'ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung Oleh : Fenty Septrifianti NIM : 1209306015 BANDUNG 2013 M / 1434 H

Upload: veeugly

Post on 27-Dec-2015

136 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

skripsi trafficking

TRANSCRIPT

Page 1: skripsi trafficking menurut uu no 21 tahun 2007 menurut perspektif hukum pidana islam

i

TINDAK PIDANA TRAFFICKING

DALAM UNDANG-UNDANG NO. 21 TAHUN 2007 TENTANG

PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG

MENURUT PERSPEKTIF HUKUM PIDANA ISLAM

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Syari'ah (S.Sy)

Pada Jurusan Hukum Pidana Islam Fakultas Syari'ah dan Hukum

Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung

Oleh :

Fenty Septrifianti

NIM : 1209306015

BANDUNG

2013 M / 1434 H

Page 2: skripsi trafficking menurut uu no 21 tahun 2007 menurut perspektif hukum pidana islam

ii

ABSTRAK

Fenty Septrifianti : Tindak Pidana Trafficking dalam Undang-Undang No. 21 Tahun 2007

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang Menurut

Perspektif Hukum Pidana Islam.

Tindak pidana Trafficking merupakan tindak pidana yang sering menjadi pusat

perhatian berbagai kalangan. Sebagaimana diketahui, bahwa trafficking adalah suatu bentuk

praktek kejahatan yang melanggar harkat martabat manusia, serta merupakan pelanggaran

terhadap hak asasi manusia paling konkrit yang sering memangsa mereka yang lemah secara

ekonomi, sosial, politik, kultural dan biologis.

Tujuan penelitian ini adalah: 1) untuk mengetahui tindak pidana Trafficking menurut

UU No. 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang. 2) untuk mengetahui

tindak pidana Trafficking menurut UU No. 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana

Perdagangan Orang menurut perspektif Hukum Pidana Islam. 3) unt0u

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian yuridis kualitatif

berbasis kepustakaan dengan sumber data primer UU No. 21 Tahun 2007. Sedangkan sumber

data sekunder berasal dari buku maupun sumber tertulis lainnya selain sumber primer yang

berhubungan dengan permasalahan aspek pidana dalam hukum pidana Islam. Analisis yang

digunakan adalah analisis deskriptif kualitatif

Dalam UU No. 21 Tahun 2007 yang dapat dikategorikan sebagai pelaku tidak hanya

orang namun juga dapat berupa instansi. Dalam aspek tindakan, yang dimaksud dengan

tindak pidana perdagangan orang adalah seluruh atau sebagian, langsung maupun tidak

langsung yang berhubungan dengan ketentuan perbuatan yang diatur dalam Pasal 2 UU No.

21 Tahun 2007. Dalam aspek sanksi, terdapat dua jenis sanksi pokok yakni sanksi pidana

penjara dan sanksi pidana denda. Selain itu terdapat juga sanksi tambahan dan pemberat.

Sedangkan dalam perspektif hukum Islam, pelaku dalam UU No. 21 Tahun 2007 yang dapat

diterima hanya pelaku dalam bentuk orang dan tidak dapat menerima pelaku dalam bentuk

instansi. Dalam hal tindakan, tidak seluruh tindak pidana dalam UU No. 21 Tahun 2007 dapat

diterima oleh hukum pidana Islam. Tidak dapat diterimanya tindakan dalam UU No. 21

Tahun 2007 karena pada dasarnya tindakan yang dapat masuk ke dalam tindak pidana

menurut hukum Islam disesuaikan dengan akibat dan kelangsungan dari pelaku. Sedangkan

dalam sanksi, sanksi dalam UU No. 21 Tahun 2007 dapat diterima dalam hukum Islam

sebagai bentuk ta’zir namun tidak seluruhnya. Pada beberapa sanksi, khususnya yang

berkaitan dengan jarimah hudud dan qishash, maka sanksi dalam UU No. 21 Tahun 2007

tidak dapat diterima dalam hukum pidana Islam.

Page 3: skripsi trafficking menurut uu no 21 tahun 2007 menurut perspektif hukum pidana islam

iii

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahiim,

Assalamu’alaikum Wr.Wb.

Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Tiada kata

yang pantas diucapkan selain ucapan syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan

rahmat, taufiq serta hidayahnya sehingga penyusun dapat menyelesaikan skripsi ini.

Skripsi dengan judul “Tindak Pidana Trafficking dalam Undang-Undang No. 21

Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dalam

Perspektif Hukum Pidana Islam”, disusun sebagai kelengkapan guna memenuhi sebagian

dari syarat-syarat untuk memperoleh gelar sarjana dalam prodi Hukum Pidana Islam di

Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Gunung Djati Bandung.

Penyusun menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini tidak dapat berhasil dengan

baik tanpa adanya bantuan dan uluran tangan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada

kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada:

1. Kedua Orang Tuaku, Mamah N. Latifah dan Ayah Supendi. Serta kedua tetehku, Teh

Uwind dan Teh Santi. Terimakasih atas kasih sayang yang tak terhingga, do’a yang tak

pernah putus dan pengorbanan yang amat sangat besar yang tidak akan pernah bisa

terbalaskan. Karya ini penulis persembahkan untuk kalian, keluargaku..

2. Bapak Prof. Dr. H. Oyo Sunaryo Mukhlas, M.Si selaku dekan di fakultas Syari’ah dan

Hukum.

3. Bapak Dr. Syahrul Anwar, M.Ag selaku ketua jurusan Hukum Pidana Islam, serta Bapak

Jaenudin, M.Ag selaku ketua jurusan. Terimakasih atas dukungannya dalam penyelesaian

skripsi ini.

4. Bapak Drs. Atep Mastur selaku pembimbing I dan Bapak Iman Faturrachman, M.Ag.

selaku pembimbing II. Terimakasih atas bimbingannya dalam penyelesaian skripsi ini.

5. Bapak/Ibu Dosen pengajar prodi Hukum Pidana Islam Fakultas Syari’ah dan Hukum

yang telah memberi bekal ilmu dan pengetahuan. Serta Staf karyawan Fakultas Syari’ah

dan Hukum atas pelayanannya.

6. Saudara sekamar dan senasib, Aat Kania. Terimakasih sudah menemani dan setia

mendengarkan keluh kesah penulis, baik masalah pribadi ataupun dalam penyelesaian

skripsi ini.

Page 4: skripsi trafficking menurut uu no 21 tahun 2007 menurut perspektif hukum pidana islam

iv

7. Orang yang paling berjasa, A Hoed. Terimakasih atas segala waktu, tenaga dan pikiran

yang telah diberikan dalam penyelesaian skripsi ini.

8. Sahabat-sahabat yang baik hati, Fery, Erik, Kamal, Ickbal, A Fahzi, A Ehek. Terimakasih

atas segala support yang telah diberikan.

9. Sahabat-sahabatku, See’creat. Ebon, Abenk, Inu, Abey. Terimakasih atas sepetan-sepetan

yang memotivasi penulis dalam penyelesaian skripsi ini.

10. Dan semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini yang tidak bisa

penulis paparkan satu persatu.

Semoga semua amal dan kebaikannya yang telah diperbuat akan mendapat imbalan

yang lebih baik lagi dari Allah SWT dan penulis berharap semoga skripsi ini dapat

bermanfaat. Amin…

Wassalamu’alaikum Wr.Wb.

Bandung, Desember 2013

Penulis,

Fenty Septrifianti

Page 5: skripsi trafficking menurut uu no 21 tahun 2007 menurut perspektif hukum pidana islam

v

DAFTAR ISI

ABSTRAK ............................................................................................................. i

KATA PENGANTAR ......................................................................................... ii

DAFTAR ISI ........................................................................................................ iv

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................1

A. Latar Belakang ................................................................................1

B. Rumusan Masalah .........................................................................12

C. Tujuan Penelitian ...........................................................................12

D. Kegunaan Penelitian ......................................................................13

E. Kerangka Pemikiran ......................................................................14

F. Langkah-langkah Penelitian ..........................................................19

BAB II KAJIAN TEORITIS TENTANG TINDAK PIDANA

PERDAGANGAN MANUSIA (TRAFFICKING) ............................21

A. Deskripsi Hukum Pidana Islam

1. Pengertian Hukum Pidana Islam .............................................21

2. Jenis Hukuman dalam Hukum Pidana Islam ...........................23

3. Unsur dan Syarat Tindak Pidana dalam Hukum Pidana Islam 37

B. Deskripsi Aspek Pidana dalam Undang-Undang No.21 Tahun 2007

1. Sejarah Singkat Undang-Undang No.21 Tahun 2007 .............38

2. Substansi Bab Undang-Undang No.21 Tahun 2007 ..............40

3. Aspek Pidana Undang-Undang No.21 Tahun 2007 ................43

Page 6: skripsi trafficking menurut uu no 21 tahun 2007 menurut perspektif hukum pidana islam

vi

BAB III TINDAK PIDANA TRAFFICKING DAN TINJAUAN NILAI

HUKUM PIDANA ISLAM DALAM UNDANG-UNDANG NO. 21

TAHUN 2007........................................................................................52

A. Tindak Pidana Trafficking menurut Hukum Pidana Islam dan Undang-

Undang No.21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang ...52

B. Nilai Aspek Pelaku tindak Pidana dalam Undang-Undang No.21

Tahun 2007 dalam Perspektif Hukum Pidana Islam .....................66

C. Nilai Aspek Perbuatan (Tindakan) Pidana dalam Undang-Undang

No.21 Tahun 2007 dalam Perspektif Hukum Pidana Islam .........71

D. Nilai Aspek Sanksi pidana dalam Undang-Undang No.21 Tahun 2007

dalam Perspektif Hukum Pidana Islam .........................................84

BAB IV PENUTUP ............................................................................................93

A. KESIMPULAN .............................................................................93

B. SARAN ........................................................................................95

DAFTAR PUSTAKA

Page 7: skripsi trafficking menurut uu no 21 tahun 2007 menurut perspektif hukum pidana islam

vii

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Manusia adalah makhluk sosial yang membutuhkan interaksi. Dengan berinteraksi,

manusia dapat mengambil dan memberikan manfaat. Salah satu praktek yang merupakan

hasil interaksi sesama manusia adalah terjadinya jual beli yang dengannya manusia mampu

mendapatkan kebutuhan yang dinginkan. Praktek jual beli memang menjadi hal yang

penting dalam kehidupan manusia di zaman modern ini untuk memenuhi kebutuhan sehari-

hari. Baik itu kebutuhan primer ataupun sekunder.

Jual beli adalah kegiatan dimana ada penjual, pembeli serta barang yang diperjual

belikan. Islam mengatur kegiatan jual beli dengan adanya syarat-syarat yang harus

diperhatikan dalam prakteknya, terutama syarat untuk barang yang diperjual belikan.

Ditinjau dari hukum dan sifat jual beli, para ulama membagi jual beli menjadi dua macam,

yaitu jual beli yang sah (sahih) dan jual beli yang tidak sah. Jual beli yang sah adalah jual beli

yang memenuhi ketentuan syara’, baik rukun maupun syaratnya, sedangkan jual beli tidak

sah adalah jual beli yang tidak memenuhi salah satu syarat dan rukun sehingga jual beli

menjadi rusak (fasid).1

Beberapa tahun terakhir ini, banyak masyarakat yang menyalahgunakan praktek jual

beli dengan memperjual belikan manusia terutama perempuan dan anak-anak yang sering

dikenal dengan istilah “Trafficking”. Hal ini tentu menjadi hal yang patut diperhatikan,

mengingat manusia adalah makhluk paling mulia yang diciptakan Allah SWT yang pada

1 Rachmat Syafe’i, Fiqh Muamalah, Pustaka Setia, Bandung, 2001,. hlm. 91-92

Page 8: skripsi trafficking menurut uu no 21 tahun 2007 menurut perspektif hukum pidana islam

viii

hakekatnya mempunyai hak untuk merdeka. Praktek perdagangan manusia ini tentu suatu

kegiatan yang diharamkan oleh Islam.

Trafficking adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman,

pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan

kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau

posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh

persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang

dilakukan di dalam Negara maupun antar Negara, untuk tujuan eksploitasi atau

mengakibatkan orang tereksploitasi.2

Menurut GAATW, 1991 ( Global Alliance Against Traffic in Women ), trafficking

adalah segala usaha yang meliputi tindakan yang berhubungan dengan perekrutan,

transportasi di dalam atau melintasi perbatasan ( wilayah suatu Negara ), pemberian,

penjualan, transfer, pengiriman atau penerimaan seseorang dengan menggunakan

penipuan dan tekanan, termasuk penggunaan ancaman kekerasan atau penyalahgunaan

kekuasaan atau lilitan utang dengan tujuan untuk menempatkan atau menahan orang

tersebut, baik dibayar atau tidak, untuk kerja yang tidak diinginkannya seperti pekerjaan

domestik, seksual, atau reproduktif, dalam kerja paksa atau ikatan kerja atau dalam kondisi

seperti perbudakan, dalam suatu lingkungan yang asing dari tempat tinggalnya semula

dengan orangtuanya atau bukan ketika penipuan itu terjadi, tekanan, atau terkena lilitan

yang pertama kali.3

Sesuai dengan definisi tersebut di atas bahwa istilah “perdagangan“ (trafficking)

mengandung unsur-unsur sebagai berikut:

2 Undang-undang Nomor 12 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang BAB I

pasal 1 3 L.M. Gandhi Lapian, Hetty A.Geru, Trafiking perempuan dan anak, Yayasan obor Indonesia, Jakarta, 2010,

hlm. 95

Page 9: skripsi trafficking menurut uu no 21 tahun 2007 menurut perspektif hukum pidana islam

ix

a. Rekrutmen dan /transportasi manusia;

b. Diperuntukkan bekerja atau jasa /melayani;

c. Untuk keuntungan pihak yang memperdagangkan.

Kegiatan mencari, mengirim, memindahkan, menampung, atau menerima tenaga

kerja dengan ancaman, kekerasan, atau bentuk-bentuk pemaksaan lainnya, dengan cara

menipu, memperdaya (termasuk membujuk dan mengiming-iming) korban,

menyalahgunakan kekuasaan/wewenang atau memanfaatkan ketidaktahuan,

keingintahuan, kepolosan, ketidakberdayaan, dan tidak adanya perlindungan terhadap

korban, atau dengan memberikan atau menerima pembayaran atau imbalan untuk

mendapatkan izin/persetujuan dari orang tua, wali, atau orang lain yang mempunyai

wewenang atas diri korban dengan tujuan untuk mengisap atau memeras tenaga

(mengeksploitasi) korban.4

Trafficking in person atau perdagangan manusia mungkin bagi banyak kalangan

merupakan hal yang sudah sering atau biasa untuk di dengar oleh karena tingkat terjadinya

kasus trafficking yang tidak dipungkiri sering terjadi di Indonesia sendiri. Fenomena ini

memang adalah hal yang sering menjadi pusat perhatian berbagai kalangan. Sebagaimana

yang diketahui bahwa Trafficking terhadap manusia adalah suatu bentuk praktek kejahatan

kejam yang melanggar martabat manusia, serta merupakan pelanggaran terhadap hak asasi

manusia paling konkrit yang sering memangsa mereka yang lemah secara ekonomi, sosial,

politik, kultural dan biologis.

Manusia mempunyai hak bebas dan tidak dapat diperlakukan layaknya barang atau

benda yang berada di bawah penguasaan manusia lain yang juga mempunyai harkat dan

martabat yang sama. Pada dasarnya trafficking dapat terjadi oleh berbagai faktor yang

4 Irwanto, dkk, Perdagangan Anak di Indonesia, ILO, Jakarta, 2001, hlm. 9.

Page 10: skripsi trafficking menurut uu no 21 tahun 2007 menurut perspektif hukum pidana islam

x

antara lain kemiskinan. Tingkat kemiskinan yang tinggi di Indonesia, banyaknya

pengangguran dan sedikitnya lapangan kerja yang tersedia di Indonesia mengakibatkan

banyak rakyat Indonesia yang tertarik dengan iming-iming untuk bekerja di luar negeri

dengan gaji yang besar. Padahal banyak lembaga pengiriman tenaga kerja ke luar negeri

yang ada belum jelas asal usulnya. Tetapi karena desakan ekonomi yang sangat tinggi maka

terkadang mereka tidak terlalu peduli akan kejelasan dari lembaga ataupun perusahaan

penyalur tenaga kerja tersebut. Padahal banyak perusahaan penyalur tenaga kerja ke luar

negeri yang mengirimkan tenaga kerja dari Indonesia bukan untuk bekerja sebagaimana

pekerjaan yang layak, tetapi banyak yang ternyata para pekerja yang dikirimkan dijadikan

pekerja seks komersial dan bahkan ada yang dieksploitasikan untuk menjadi budak.

Adapula faktor yang sering menjadi penyebabnya yaitu faktor sosial budaya. Orang

tua menganggap bahwa anak merupakan hak milik yang harus melakukan kehendak orang

tua. Setiap anak harus dan tidak boleh menentang kemauan dari orang tua, padahal belum

tentu semua pemikiran orang tua itu benar. Masalah lain yang sering timbul dari

perdagangan orang khususnya bayi adalah akibat dari pergaulan bebas antar remaja yang

semakin marak di Indonesia. Banyak pemuda pemudi yang melakukan hubungan suami istri

di luar nikah yang mengakibatkan terjadinya kehamilan diluar nikah. Terhadap bayi yang

lahir tersebut biasanya karena kedua orang tuanya tidak memliki status perkawinan yang

jelas dan untuk menghindari aib di masyarakat maka banyak dari orang tua yang memiliki

bayi diluar pernikahan menjual bayi tersebut kepada orang lain yang bersedia membeli bayi

tersebut. Padahal belum tentu sang pembeli bayi tersebut berniat menjadikan bayi tersebut

sebagai anak angkatnya.

Kesemena-menaan terhadap perempuan sudah terjadi di tanah Arab sebelum

adanya Islam yaitu pada masa Jahiliyah, dimana setiap bayi perempuan yang lahir harus

Page 11: skripsi trafficking menurut uu no 21 tahun 2007 menurut perspektif hukum pidana islam

xi

dibunuh dengan dikubur hidup-hidup dikarenakan anak perempuan di kelompok mereka

akan mengurangi debit air yang sangat terbatas, tidak produktif secara ekonomis, takut

miskin dan malu bila kelak kawin dengan lelaki yang tidak setara dalam kesukuan kelompok

(kabilah) mereka. Seperti yang tertera dalam Al-Qur’an Surat Al-Nahl ayat 59:5

3“u‘≡ uθ tGtƒ z ÏΒ ÏΘöθ s)ø9 $# ÏΒ Ï þθ ß™ $ tΒ u�Åe³ç0 ÿϵ Î/ 4 …çµ ä3Å¡ôϑムr& 4’ n?tã Aχθ èδ ôΘ r& …çµ ”™ß‰tƒ ’Îû É>#u�—I9 $# 3 Ÿωr& u !$y™

$ tΒ tβθ ßϑä3øts† ∩∈∪

“Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang

disampaikan kepadanya. apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan

ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)?. Ketahuilah, alangkah

buruknya apa yang mereka tetapkan itu”.

Manusia mempunyai hak untuk hidup merdeka dan tidak berhak untuk diperbudak

karena manusia mempunyai akal pikiran dan hati nurani yang dikaruniakan Allah SWT. Maka

dari itu, untuk memberantas tindakan-tindakan manusia pada zaman jahiliyah yang

bertindak semena-mena terhadap perempuan, turunlah ketentuan Allah SWT. Ketentuan itu

tertera dalam Al-Qur’an surat Al-Nur ayat 33:6

É# Ï�÷ètGó¡uŠø9 uρ tÏ% ©!$# Ÿω tβρ߉Åg s† % ·n% s3ÏΡ 4 ®Lym ãΝåκu� ÏΖøó ムª!$# ÏΒ Ï& Î#ôÒ sù 3 tÏ%©!$#uρ tβθ äótGö6 tƒ |=≈tGÅ3ø9 $# $ £ϑÏΒ

ôM s3n=tΒ öΝä3ãΖ≈ yϑ÷ƒ r& öΝèδθç7 Ï?% s3sù ÷βÎ) öΝçGôϑÎ=tæ öΝÍκ� Ïù # Z�ö� yz ( Νèδθè?#u uρ ÏiΒ ÉΑ$ ¨Β «!$# ü“Ï% ©!$# öΝä38s?#u 4 Ÿωuρ

(#θ èδÌ� õ3è? öΝä3ÏG≈ uŠtGsù ’n? tã Ï !$ tó Î7ø9 $# ÷βÎ) tβ÷Š u‘r& $ YΨ÷Á ptrB (#θäótGö;tGÏj9 uÚt� tã Íο4θ uŠptø: $# $ u‹÷Ρ‘‰9 $# 4 tΒ uρ £‘γδ Ì�õ3ム¨βÎ* sù

©!$# . ÏΒ Ï‰÷èt/ £Îγ Ïδ≡ t�ø.Î) Ö‘θ à�xî ÒΟ‹Ïm §‘ ∩⊂⊂∪

5 Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Semarang: Thoha Putra, hlm. 410.

6 Ibid, hlm. 549

Page 12: skripsi trafficking menurut uu no 21 tahun 2007 menurut perspektif hukum pidana islam

xii

“Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya,

sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya. dan budak-budak yang kamu

miliki yang memginginkan perjanjian, hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka, jika

kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah kepada mereka sebahagian

dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu. dan janganlah kamu paksa budak-budak

wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri mengingini kesucian, Karena

kamu hendak mencari keuntungan duniawi. dan barangsiapa yang memaksa mereka, Maka

Sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka)

sesudah mereka dipaksa (itu)”.

Dalam surat An-nur ayat 33 tersebut, menurut Hussen Muhammad mengandung

empat hal, yaitu: Pertama, kewajiban melindungi mereka yang dilemahkan yaitu budak

perempuan. Kedua, kewajiban memberi ruang kebebasan atau kemerdekaan kepada orang-

orang yang terperangkap dalam praktik perbudakan. Ketiga, kewajiban menyerahkan hak-

hak ekonomi mereka. Keempat, haramnya mengeksploitasi integritas tubuh perempuan

untuk kepentingan-kepentingan duniawi (ekonomi,kekuasaan, dan kebanggaan).7

Diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dan Imam Ahmad dari hadist Abu Hurairah

Radiyallahu ‘anhu:

ة أ�� �� ���� ا���� �� ��� هللا ر�� ھ�� ���� � -,+* أ(� ')'& هللا $�ل :$�ل و!

ا أ 3 ا!@; ور23 �� 6+ ح◌را>;:2 ��ع ور23 78ر 6 �� أ45� ر23 م& ا0��� �/م �3

/@A< ��+� أ3ه �BC و� >

7 L.M. Gandhi Lapian, Hetty A.Geru. op.cit., hlm. 99

Page 13: skripsi trafficking menurut uu no 21 tahun 2007 menurut perspektif hukum pidana islam

xiii

“Dari Abu Hurairah Radhiyallahu‘anhu, dari Nabi Shallallahu‘alaihi wa sallam, beliau

bersabda: Allah berfirman: “Tiga golongan yang Aku akan menjadi musuh mereka di hari

Kiamat; pertama: seorang yang bersumpah atas nama-Ku lalu ia tidak menepatinya, kedua:

seseorang yang menjual manusia merdeka dan memakan hasil penjualannya, dan ketiga:

seseorang yang menyewa tenaga seorang pekerja yang telah menyelesaikan pekerjaan itu

akan tetapi dia tidak membayar upahnya.”

Islam sangat menjunjung tinggi harkat martabat manusia sebagai makhluk yang

paling mulia dihadapan Allah SWT. Manusia terutama perempuan dan anak-anak adalah

makhluk yang mempunyai hak untuk hidup merdeka dan tidak pantas untuk diperlakukan

semena-mena oleh siapapun dan dimanapun. Namun, semakin modern zaman dan semakin

meningkatnya kebutuhan hidup dewasa ini, mengakibatkan maraknya tindakan

perdagangan manusia yang dalam prakteknya dapat menghasilkan uang yang berlipat

ganda.

Untuk mengantisipasi dampak negatif dari tindak perdagangan orang dalam lingkup

internasional, maka PBB mengeluarkan Protocol To Prevent, Suppress And Punish Trafficking

In Persons, Especially Women And Children, Supplementing The United Nations Convention

Against Transnational Organized Crime (Protokol untuk Mencegah, Menindak, dan

Menghukum Perdagangan Orang, Terutama Perempuan dan Anak-anak, Melengkapi

Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Tindak Pidana Transnasional yang

Terorganisasi) pada tahun 2000. Dengan adanya protokol tersebut, Indonesia mengeluarkan

undang-undang tentang tindak pidana Trafficking dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun

2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Setelah undang-undang

tersebut diberlakukan selama dua tahun, kemudian pemerintah Indonesia mengeluarkan

Page 14: skripsi trafficking menurut uu no 21 tahun 2007 menurut perspektif hukum pidana islam

xiv

undang-undang pengesahan terhadap Protocol To Prevent, Suppress And Punish Trafficking

In Persons, Especially Women And Children, Supplementing The United Nations Convention

Against Transnational Organized Crime (Protokol untuk Mencegah, Menindak, dan

Menghukum Perdagangan Orang, Terutama Perempuan dan Anak-anak, Melengkapi

Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Tindak Pidana Transnasional yang

Terorganisasi) dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2009 tentang Pengesahan Protocol

To Prevent, Suppress And Punish Trafficking In Persons, Especially Women And Children,

Supplementing The United Nations Convention Against Transnational Organized Crime

(Protokol untuk Mencegah, Menindak, dan Menghukum Perdagangan Orang, Terutama

Perempuan dan Anak-anak, Melengkapi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang

Tindak Pidana Transnasional yang Terorganisasi).

Pengertian perdagangan orang dalam UU No. 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana

Perdagangan Orang sebagaimanan tertulis dalam Pasal 1 ayat (1) yang berbunyi:

Perdagangan orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan,

pengiriman, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan

kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan

kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat

walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang

tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan

eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.8

8 Himpunan Peraturan Perundang-undangan Undang-Undang Tindak Pidana Perdagangan Orang (Trafiking),

Bandung: Fokusmedia, 2009, hlm. 3

Page 15: skripsi trafficking menurut uu no 21 tahun 2007 menurut perspektif hukum pidana islam

xv

Pengertian dari tindak pidana perdagangan orang dalam undang-undang tersebut

dituliskan dalam Pasal 1 ayat (2) sebagai berikut “Tindak pidana perdagangan orang adalah

setiap tindakan atau serangkaian tindakan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang

ditentukan dalam undang-undang ini”9

Sedangkan maksud dari eksplotasi sebagai tujuan dari tindak pidana perdagangan

orang adalah:

Pasal 1 ayat (7):

Eksploitasi adalah tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban yang meliputi

tetapi tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau

praktek serupa perbudakan, penindasan, pemerasan, pemanfaatan fisik, seksual,

organ reproduksi atau secara melawan hukum memindahkan atau

mentransplatasikan organ dan atau jaringan tubuh atau memanfaatkan tenaga atau

kemampuan seseorang oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan baik materiil

maupun immateriil.

Pasal 1 ayat (8)

Eksploitasi seksual adalah segala bentuk pemanfaatan organ tubuh seksual atau

organ tubuh yang lain dari korban untuk mendapatkan keuntungan, termasuk tetapi

tidak terbatas pada semua kegiatan pelacuran dan percabulan.

Ketentuan yang terkandung dalam UU No. 21 Tahun 2007 tentang TPPO berbeda jika

disandarkan pada hukum pidana Islam. Satu misal adalah dalam lingkup eksploitasi seksual

dalam konteks hukum Islam dapat dikenakan sanksi pidana dengan dasar jarimah hudud.

9 Ibid.

Page 16: skripsi trafficking menurut uu no 21 tahun 2007 menurut perspektif hukum pidana islam

xvi

Konsekuensi dari penyandaran ini tentunya adalah adanya pemberlakuan hukum yang

disesuaikan dengan ketentuan hudud dalam hukum pidana Islam. Namun di sisi lain,

terdapat juga persamaan dengan konsep hukum pidana Islam, khususnya yang

berhubungan dengan tindak pidana selain eksploitasi seksual. Persamaan tersebut tidak lain

adalah adanya kebijakan majelis hakim sebagai penentu hukuman bagi pelaku tindak pidana

perdagangan orang. Hal ini sejalan dengan konsep jarimah ta’zir dalam hukum pidana Islam.

Pada dasarnya esensi tindak pidana perdagangan orang dan sanksinya dalam UU No.

21 Tahun 2007 tentang TPPO terkandung dalam Pasal 2 UU No. 21 Tahun 2007 tentang

TPPO sebagai berikut:

(1) Setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan,

pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman

kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan,

penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang

atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari

orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi

orang tersebut di wilayah negara Republik Indonesia, dipidana dengan pidana

penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan

pidana denda paling sedikit Rp. 120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah)

dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).

(2) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang

tereksploitasi, maka pelaku dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana

dimaksud pada ayat (1)

Dalam Pasal 2 UU No. 21 Tahun 2007 tentang TPPO di atas dapat diketahui bahwa

tindak pidana perdagangan orang pada dasarnya merupakan tindakan sebagian atau

keseluruhan dari tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal tersebut, baik

mengakibatkan eksploitasi maupun tidak. Aspek sebagian dari tindakan yang dimaksud

dalam pasal tersebut dijabarkan dalam beberapa pasal yang lain seperti Pasal 3, Pasal 4,

Pasal 5, Pasal 6, dan Pasal 12. Sedangkan dari aspek sanksi apabila terjadi atau tidak

terjadinya eksploitasi secara utama ditegaskan dalam Pasal 2 ayat (2) yang menyatakan

Page 17: skripsi trafficking menurut uu no 21 tahun 2007 menurut perspektif hukum pidana islam

xvii

bahwa sanksi yang terkandung dalam Pasal 2 ayat (1) berlaku apabila terjadi eksploitasi.

Namun apabila tidak terjadi eksploitasi yang berarti tidak terselesaikannya tindak pidana

perdagangan orang, maka sanksinya dijelaskan dalam Pasal 9 yang disebutkan sebagai

berikut:

Setiap orang yang berusaha menggerakkan orang lain supaya melakukan tindak

pidana perdagangan orang dan tindak pidana tersebut tidak terjadi dipidana dengan

pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun dan

pidana denda paling sedikit Rp. 40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah) dan paling

banyak Rp. 240.000.000,00 (dua ratus empat puluh juta rupiah).

Berdasarkan penjelasan di atas maka akan menjadi sebuah permasalahan menarik

manakala diadakan penelusuran untuk mencari titik temu antara persamaan dan perbedaan

antara aspek tindak pidana dalam UU No.21 Tahun 2007 tentang TPPO dengan hukum

pidana Islam.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka dalam penelitian ini, permasalahan

yang akan dibahas dirumuskan sebagai berikut :

1. Bagaimana tindak pidana Trafficking menurut Undang-Undang No. 21 tahun 2007

tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang?

2. Bagaimana perspektif Hukum Pidana Islam terhadap tindak pidana Trafficking

menurut Undang-Undang No. 21 tahun 2007?

3. Mengapa terjadi perbedaan antara Hukum Pidana Islam dan Undang-Undang No.

21 tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang?

Page 18: skripsi trafficking menurut uu no 21 tahun 2007 menurut perspektif hukum pidana islam

xviii

C. Tujuan Penelitian

Dengan mendasarkan kepada perumusan masalah tersebut diatas, maka tujuan yang

hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui tindak pidana Trafficking menurut Undang-Undang No. 21 tahun

2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang.

2. Untuk mengetahui perspektif Hukum Pidana Islam terhadap tindak pidana

Trafficking menurut Undang-Undang No. 21 tahun 2007.

3. Untuk mengetahui perbedaan antara Hukum Pidana Islam dan Undang-Undang No.

21 tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang?

D. Kegunaan penelitian

Dalam penelitian ini kegunaan yang diharapkan adalah sebagai berikut:

1. Kegunaan Teoritis.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan ke arah

pengembangan atau kemajuan di bidang Ilmu Hukum Pidana pada umumnya dan

Hukum Pidana Islam pada khususnya

2. Kegunaan Praktis.

a. Bagi peneliti

Penelitian tersebut sebagai suatu kegiatan yang bermanfaat dalam

mengembangkan wawasan keilmuan di bidang Hukum Pidana, khususnya

mengenai masalah perdagangan manusia .

b. Bagi pemerintah

Page 19: skripsi trafficking menurut uu no 21 tahun 2007 menurut perspektif hukum pidana islam

xix

Penelitian tersebut diharapkan memberikan masukan bagi pemerintah untuk

terus melakukan perbaikan, monitoring dan evaluasi ke arah yang lebih baik

dalam menanggulangi masalah perdagangan manusia di Indonesia.

c. Bagi masyarakat

Penelitian tersebut diharapkan dapat memberikan masukan bagi masyarakat

untuk dapat lebih mengetahui dan ikut meminimalisir tindakan pidana

perdagangan manusia di Indonesia.

E. Kerangka pemikiran

Pada hakekatnya, manusia diciptakan Allah SWT sebagai makhluk yang paling mulia.

Allah menciptakan akal pikiran untuk berfikir, kemampuan berbicara, bentuk rupa yang baik

serta hak kepemilikan yang Allah sediakan di dunia, yang tidak dimiliki oleh makhluk-

makhluk lainnya. Tatkala Islam memandang manusia sebagai pemilik, maka hukum asalnya

ia tidak dapat dijadikan sebagai barang yang dapat dimiliki atau diperjual belikan.

Allah berfirman dalam Al-Qur’an Surat Al-Isra’ ayat 70:10

ô‰s)s9 uρ $oΨøΒ §� x. û Í_ t/ tΠ yŠ# u öΝßγ≈ oΨù=uΗxq uρ ’Îû Îh�y9ø9 $# Ì� ós t7ø9 $#uρ Νßγ≈ oΨø%y— u‘uρ š∅ÏiΒ ÏM≈t7 ÍhŠ©Ü9 $# óΟßγ≈ uΖù=āÒ sùuρ 4’ n? tã

9�� ÏVŸ2 ô £ϑÏiΒ $ oΨø)n=yz WξŠÅÒ ø�s? ∩∠⊃∪

“Dan Sesungguhnya Telah kami muliakan anak-anak Adam, kami angkut mereka di daratan

dan di lautan, kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan kami lebihkan mereka dengan

kelebihan yang Sempurna atas kebanyakan makhluk yang Telah kami ciptakan.”

Allah mengancam keras praktek perdagangan manusia. Diriwayatkan oleh Imam Al-

Bukhari dan Imam Ahmad dalam sebuah hadist Qudsi :

10

Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Semarang: Thoha Putra, hlm. 435.

Page 20: skripsi trafficking menurut uu no 21 tahun 2007 menurut perspektif hukum pidana islam

xx

ة أ�� �� ���� ا���� �� ��� هللا ر�� ھ�� ���� � -,+* أ(� ')'& هللا $�ل :$�ل و!

ا أ 3 ا!@; ور23 6+�� ح◌را>;:2 ��ع ور23 78ر 6 �� أ45� ر23 م& ا0��� �/م �3

/@A< ��+� أ3ه �BC و� >

“Dari Abu Hurairah Radhiyallahu‘anhu, dari Nabi Shallallahu‘alaihi wa sallam, beliau

bersabda: Allah berfirman: “Tiga golongan yang Aku akan menjadi musuh mereka di hari

Kiamat; pertama: seorang yang bersumpah atas nama-Ku lalu ia tidak menepatinya, kedua:

seseorang yang menjual manusia merdeka dan memakan hasil penjualannya, dan ketiga:

seseorang yang menyewa tenaga seorang pekerja yang telah menyelesaikan pekerjaan itu

akan tetapi dia tidak membayar upahnya.”

Undang-undang No. 21 tahun 2007 menyebutkan bahwa tindakan perdagangan

manusia meliputi perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau

penerimaan seseorang dengan cara ancaman atau penggunaan kekerasan atau bentuk

paksaan lainnya, penculikan, penipuan, tipu muslihat, penyalahgunaan kekuasaan atau

posisi kerentanan, atau menerima pembayaran atau keuntungan untuk memperoleh

persetujuan orang yang dikendalikan orang lain dengan tujuan eksploitasi.

Eksploitasi adalah tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban yang meliputi

tetapi tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik

serupa perbudakan, penindasan, pemerasan, pemanfaatan fisik, seksual, organ reproduksi,

atau secara melawan hukum memindahkan atau mentrasplantasi organ dan/atau jaringan

Page 21: skripsi trafficking menurut uu no 21 tahun 2007 menurut perspektif hukum pidana islam

xxi

tubuh atau memanfaatkan tenaga atau kemampuan seseorang oleh pihak lain untuk

mendapatkan keuntungan baik materiil maupun immateriil.11

Manusia mempunyai hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan

pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk

diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas

dasar hukum yang berlaku surut dan hak tersebut tidak dapat dikurangi oleh keadaan

apapun dan oleh siapapun.12

Maka dari itu, manusia tidak layak untuk diperjual belikan.

Protokol untuk Mencegah, Menindak, dan Menghukum Perdagangan Orang,

Terutama Perempuan dan Anak-anak, Melengkapi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa

Menentang Tindak Pidana Transnasional yang Terorganisasi menyebutkan bahwa :

“Trafficking in persons” shall mean the recruitment, transportation, transfer, harbouring or

receipt of persons, by means of the threat or use of force or other forms of coercion, of

abduction, of fraud, of deception, of the abuse of power or of a position of vulnerability or of

the giving or receiving of payments or benefits to achieve the consent of a person having

control over another person, for the purpose of exploitation. Exploitation shall include, at a

minimum, the exploitation of the prostitution of others or other forms of sexual exploitation,

forced labour or services, slavery or practices similar to slavery, servitude or the removal of

organs (“Penjualan Manusia” diartikan sebagai penarikan, perjalanan, pengiriman,

pendaratan atau penerimaan manusia, dalam arti penggunaan tenaga atau berbagai bentuk

paksaan, penculikan, penipuan, kecurangan, penyalahgunaan kekuatan, kerentanan,

pemberian atau penerimaan keuntungan di luar kontrol, dengan tujuan mengeksploitasi.

Yang termasuk eksploitasi, batas minimalnya adalah dengan mengeksploitasi kegitan

11

Undang-undang Nomor 12 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang BAB I

pasal 1(7). 12

Undang-undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia BAB II pasal 4

Page 22: skripsi trafficking menurut uu no 21 tahun 2007 menurut perspektif hukum pidana islam

xxii

prostitusi atau bentuk eksploitasi seks lainnya, eksploitasi tenaga kerja, perbudakan atau

kegiatan yang mirip dengan perbudakan, atau penghilangan dan penjualan organ).

Trafficking dapat terjadi oleh berbagai faktor yang antara lain kemiskinan. Tingkat

kemiskinan yang tinggi di Indonesia, banyaknya pengangguran dan sedikitnya lapangan kerja

yang tersedia di Indonesia mengakibatkan banyak rakyat Indonesia yang tertarik dengan

iming-iming untuk bekerja di luar negeri dengan gaji yang besar. Padahal banyak lembaga

pengiriman tenaga kerja ke luar negeri yang ada belum jelas asal usulnya. Tetapi karena

desakan ekonomi yang sangat tinggi maka terkadang mereka tidak terlalu peduli akan

kejelasan dari lembaga ataupun perusahaan penyalur tenaga kerja tersebut. Padahal banyak

perusahaan penyalur tenaga kerja ke luar negeri yang mengirimkan tenaga kerja dari

Indonesia bukan untuk bekerja sebagaimana pekerjaan yang layak, tetapi banyak yang

ternyata para pekerja yang dikirimkan dijadikan pekerja seks komersial dan bahkan ada yang

dieksploitasikan untuk menjadi budak. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an surat Al-Nur

ayat 33:13

É# Ï�÷ètGó¡uŠø9 uρ tÏ% ©!$# Ÿω tβρ߉Åg s† % ·n% s3ÏΡ 4 ®Lym ãΝåκu� ÏΖøó ムª!$# ÏΒ Ï& Î#ôÒ sù 3 tÏ%©!$#uρ tβθ äótGö6 tƒ |=≈tGÅ3ø9 $# $ £ϑÏΒ

ôM s3n=tΒ öΝä3ãΖ≈ yϑ÷ƒ r& öΝèδθç7 Ï?% s3sù ÷βÎ) öΝçGôϑÎ=tæ öΝÍκ� Ïù # Z�ö� yz ( Νèδθè?#u uρ ÏiΒ ÉΑ$ ¨Β «!$# ü“Ï% ©!$# öΝä38s?#u 4 Ÿωuρ

(#θ èδÌ� õ3è? öΝä3ÏG≈ uŠtGsù ’n? tã Ï !$ tó Î7ø9 $# ÷βÎ) tβ÷Š u‘r& $ YΨ÷Á ptrB (#θäótGö;tGÏj9 uÚt� tã Íο4θ uŠptø: $# $ u‹÷Ρ‘‰9 $# 4 tΒ uρ £‘γδ Ì�õ3ム¨βÎ* sù

©!$# . ÏΒ Ï‰÷èt/ £Îγ Ïδ≡ t�ø.Î) Ö‘θ à�xî ÒΟ‹Ïm §‘ ∩⊂⊂∪

“Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya,

sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya. dan budak-budak yang kamu

miliki yang memginginkan perjanjian, hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka, jika

13

Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Semarang: Thoha Putra, hlm. 549.

Page 23: skripsi trafficking menurut uu no 21 tahun 2007 menurut perspektif hukum pidana islam

xxiii

kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah kepada mereka sebahagian

dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu. dan janganlah kamu paksa budak-budak

wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri mengingini kesucian, Karena

kamu hendak mencari keuntungan duniawi. dan barangsiapa yang memaksa mereka, Maka

Sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka)

sesudah mereka dipaksa (itu)”.

Permasalahan perdagangan perempuan dan anak memang merupakan

permasalahan yang sangat kompleks yang tidak lepas dari faktor-faktor ekonomi, sosial,

budaya, dan politik yang berkaitan erat dengan proses industrialisasi dan pembangunan. Di

negara-negara tertentu, perdagangan perempuan dan anak bahkan dijadikan sebagai bagian

dari kebijakan politik perburuhan Cheap Labour yang dimanfaatkan untuk menekan biaya

produksi sehingga cenderung dieksploitasi.

F. Langkah-langkah Penelitian

Adapun langkah-langkah dalam penelitian ini yaitu menggunakan metode sebagai

berikut :

1. Metode Pendekatan

Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis

normatif. Menurut Ronny Hanitijo Soemitro, yuridis normatif artinya adalah suatu

penelitian yang menekankan pada ilmu hukum, tetapi di samping itu juga berusaha

menelaah kaidah-kaidah hukum yang diyakini oleh masyarakat muslim di Indonesia.

2. Spesifikasi Penelitian.

Page 24: skripsi trafficking menurut uu no 21 tahun 2007 menurut perspektif hukum pidana islam

xxiv

Spesifikasi penelitian yang dipergunakan adalah deskriptif analisis. Hal ini bertujuan

untuk mengemukakan pemikiran-pemikiran para ahli hukum tentang tidak pidana

Trafficking.

3. Metode Pengumpulan Data

Untuk mendapatkan data yang akurat maka diperlukan data data sekunder yang

terdiri dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder ;

a. Bahan hukum Primer, yang terdiri dari :

Undang-undang No. 21 Tahun 2007 dan berbagai peraturan perundang-

undangan yang menyangkut Hukum Pidana, Hak Asasi Manusia dan Trafficking.

b. Bahan hukum Sekunder, yang terdiri dari :

a) Buku-buku yang berkaitan dengan judul skripsi.

b) Karangan ilmiah atau pendapat para ahli yang berkaitan dengan judul

skripsi.

4. Metode Pengolahan dan Penyajian Data

Data dikumpulkan melalui Library search. Proses yang dilakukan adalah dengan

memeriksa, meneliti data yang diperoleh untuk menjamin apakah data dapat

dipertanggung jawabkan sesuai dengan kenyataan. Setelah data diolah dan dirasa

cukup maka selanjutnya disajikan dalam bentuk uraian-uraian.

5. Metode Analisis Data

Metode analisis yang digunakan adalah analisis yuridis kualitatif, yaitu analisis

hukum dengan tidak menggunakan angka/rumus dan dilakukan dengan

mengklasifikasi data

Page 25: skripsi trafficking menurut uu no 21 tahun 2007 menurut perspektif hukum pidana islam

xxv

BAB II

KAJIAN TEORITIS TENTANG TINDAK PIDANA PERDAGANGAN MANUSIA

(TRAFFICKING)

A. Deskripsi Hukum Pidana Islam

1. Pengertian Hukum Pidana Islam

Hukum Pidana Islam dalam pengertian fikih dapat disamakan dengan istilah

"jarimah" yang diartikan sebagai larangan syara’ yang dijatuhi sanksi oleh pembuat syari'at

(Allah) dengan hukuman had atau ta'zir. Para fuqaha (yuris Islam) menggunakan kata

"jinayah" untuk istilah "jarimah" yang diartikan sebagai perbuatan yang dilarang. Pengertian

"jinayah" atau "jarimah" tidak berbeda dengan pengertian tindak pidana (peristiwa pidana);

delik dalam hukum positif (pidana). Sebagian para ahli hukum Islam sering menggunakan

kata-kata "jinayah" untuk "jarimah" yang diartikan sebagai perbuatan seseorang yang

dilarang saja. Sedangkan yang dimaksud dengan kata "jinayah" ialah perbuatan yang dilarang

oleh syara’, apakah perbuatan mengenai jiwa atau benda dan lainnya.14

Kata "jinayah" merupakan bentuk verbal noun (masdar) dari kata "jana". Secara

etimologi "jana" berarti berbuat dosa atau salah, sedangkan jinayah diartikan perbuatan dosa

atau perbuatan salah.15

Seperti dalam kalimat jana 'ala qaumihi jinayatan artinya ia telah

melakukan kesalahan terhadap kaumnya. Kata jana juga berarti "memetik", seperti dalam

kalimat jana assamarat, artinya "memetik buah dari pohonnya". Orang yang berbuat jahat

disebut jani dan orang yang dikenai perbuatan disebut mujna alaih. Kata jinayah dalam

istilah hukum sering disebut dengan delik atau tindak pidana. Secara terminologi kata jinayah

mempunyai beberapa pengertian, seperti yang diungkapkan Imam Al-Mawardi bahwa

14

Rahmad Rosyadi dan Rais Ahmad, Formulasi Syari'at Islam dalam Perspektif Tata Hukum Indonesia, Bogor:

Ghalia Indonesia, 2006, hlm. 123. 15

Makhrus Munajat, Dekonstruksi Hukum Pidana Islam, Yogyakarta: Logung Pustaka, 2004, hlm. 1.

Page 26: skripsi trafficking menurut uu no 21 tahun 2007 menurut perspektif hukum pidana islam

xxvi

jinayah adalah perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh agama (syara') yang diancam dengan

hukuman had atau ta’zir.16

Adapun pengertian jinayah, para fuqaha menyatakan bahwa lafal jinayah yang

dimaksudkan di sini adalah setiap perbuatan yang dilarang oleh syara’, baik perbuatan itu

mengenai jiwa, harta benda, atau lain-lainnya. Sayyid Sabiq memberikan definisi jinayah,

bahwa istilah jinayah menurut syara' adalah setiap perbuatan yang dilarang. Dan perbuatan

yang dilarang itu menurut syara' adalah dilarang untuk melakukannya, karena adanya bahaya

mengenai agama, jiwa, akal, kehormatan, atau harta benda.17

Para ahli hukum Islam, seperti As-Syatibi, mengklasifikasikan tujuan-tujuan yang

luas dari hukum pidana Islam sebagai berikut:18

1. Menjamin kebutuhan hidup yang primer (dharuriyat) sebagai tujuan pertama dan utama

dari syariat. Dalam kehidupan manusia, ini merupakan sesuatu yang sangat penting,

sehingga tidak dapat dipisahkan. Apabila kebutuhan-kebutuhan ini tidak terjamin, akan

terjadi kekacauan dimana-mana. Kelima kebutuhan hidup yang primer ini (dharuriyat),

dalam kepustakaan hukum Islam disebut dengan istilah maqasid al-khamsah, yaitu:

agama, jiwa, akal pikiran, keturunan, dan hak milik. Syariat telah menetapkan

pemenuhan, kemajuan, dan perlindungan tiap kebutuhan itu, serta ketentuan yang

berkaitan dengannya sebagai ketentuan yang esensial.

2. Tujuan berikutnya adalah menjamin keperluan hidup yang bersifat sekunder (hajiyat). Ini

mencakup berbagai fasilitas untuk penduduk dan memudahkan kerja keras serta beban

tanggung jawab mereka. Ketiadaan berbagai fasilitas tersebut tidak akan menyebabkan

kekacauan dan ketidaktertiban, tetapi bisa jadi dapat kesulitan.

16

Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fikih Jinayah, Jakarta: Sinar Grafika, 2004, hlm.

9 17

Ibid. 18

Abdul hamid, Asep Arifin, Tafsir Ayat Hukum Pidana Islam, Bahan Ajar Prodi Hukum Pidana Islam, 2012,

hlm. 18.

Page 27: skripsi trafficking menurut uu no 21 tahun 2007 menurut perspektif hukum pidana islam

xxvii

3. Tujuan ketiga adalah membuat berbagai perbaikan, yaitu menjadikan hal-hal yang dapat

menghiasi kehidupan social dan menjadikan manusia mampu berbuat dan mengatur

urusan hidup lebih baik (tahsiniyat). Tidak terpenuhinya tujuan ini tidak menimbulkan

kekacauan, tetapi hanya hilangnya keindahan atau kesempurnan-kesempurnaan hidup.

2. Jenis Hukuman dalam Hukum Pidana Islam

Menurut Hukum Pidana Islam tindak pidana dapat dibagi menjadi beberapa macam,

yaitu:

1. Dari segi berat ringannya hukuman, jarimah tersebut dapat dibagi menjadi:

a. Jarimah Hudud

Jarimah hudud yaitu perbuatan melanggar hukum dan jenis dan ancaman

hukumannya ditentukan oleh nash, yaitu hukuman had (hak Allah). Hukuman had yang

dimaksudkan tidak mempunyai batas terendah dan tertinggi dan tidak dihapuskan oleh

perorangan (si korban atau wakilnya) atau masyarakat yang mewakili (ulil amri).19

Jarimah hudud itu ada tujuh macam, yaitu: jarimah zina, jarimah qadzaf, jarimah

syurbul khamr, jarimah pencurian, jarimah hirabah, jarimah riddah, jarimah al bagyu

(pemberontakan).

Dalam jarimah zina, syurbul khamr, hirabah, riddah, dan pemberontakan yang

dilanggar adalah hak Allah semata-mata. Sedangkan dalam jarimah pencurian dan

qadzaf penuduhan zina yang disinggung disamping hak Allah, juga terdapat hak

manusia (individu), akan tetapi hak Allah lebih menonjol.20

Hukuman atas tindak pidana hudud memiliki tiga ciri: Pertama, hukuman ini

bertujuan mendidik pelaku, memberikan efek jera terhadap pelaku dari melakukan

tindak pidana tersebut. Dalam hukuman ini, kondisi pelaku tidak menjadi bahan

19

Makhrus Munajat, Dekonstruksi Hukum Pidana Islam, Yogyakarta: Logung Pustaka, 2004., hlm. 12 20

Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fikih Jinayah, Jakarta: Sinar Grafika, 2004, hlm.

18

Page 28: skripsi trafficking menurut uu no 21 tahun 2007 menurut perspektif hukum pidana islam

xxviii

pertimbangan dalam penjatuhan hukuman. Kedua, hukuman ini dianggap sanksi hukum

yang memiliki satu batasan walaupun pada dasarnya mempunyai dua batasan. Ini

karena hukuman hudud telah ditentukan bentuk dan jumlah hukumannya, juga karena ia

adalah hukuman keharusan (uqubah lazimah). Karena itu, hakim tidak berhak

menambah, mengurangi atau mengubah hukuman tersebut dengan hukuman lain.

Ketiga, hukuman ini ditetapkan atas dasar memerangi segala faktor yang dapat

mendorong dilakukannya tindak pidana dengan menggunakan faktor yang dapat

menolak diperbuat tindak pidana tersebut. Dengan kata lain, hukuman hudud diletakkan

di atas dasar ilmu psikologi yang kuat.21

b. Jarimah Qishas dan Diyat

Yang dimaksud dalam jarimah ini adalah perbuatan-perbuatan yang diancam

hukuman qishas atau hukuman diyat. Baik qishas maupun diyat adalah hukuman-

hukuman yang telah ditentukan batasnya, dan tidak mempunyai batas terendah atau

batas tertinggi, tetapi menjadi hak perseorangan, dengan pengertian bahwa si korban

bisa memaafkan si pembuat, dan apabila dimaafkan, maka hukuman tersebut menjadi

hapus.

Hukum Islam menjatuhkan hukuman qishas bagi pelaku pembunuhan dan

pelukaan disengaja. Pengertian qishas adalah menghukum pelaku seperti apa yang

telah dilakukannya terhadap korban; pelaku dibunuh apabila ia membunuh dan dilukai

apabila melukai. Qishas merupakan hukuman yang paling adil karena pelaku dihukum

sesuai dengan apa yang dilakukannya. Qishas juga merupakan hukuman terbaik untuk

melindungi keamanan dan sistem masyarakat karena manakala pelaku mengetahui ia

akan dihukum sama dengan apa yang dilakukannya, pada umumnya pelaku tidak akan

21

Ensiklopedi Hukum Pidana Islam Jilid III , hlm.41.

Page 29: skripsi trafficking menurut uu no 21 tahun 2007 menurut perspektif hukum pidana islam

xxix

melakukan tindak pidana tersebut.22

Jarimah qishas diyat ada lima, yaitu: pembunuhan

sengaja (algathlul amd), pembunuhan semi sengaja (al gathlul syibhul amd),

pembunuhan karena kesalahan (al qathlul khatar), penganiayaan sengaja (al jurhul

amd), dan penganiayaan tidak sengaja (al jurhul khata').

Hukum Islam menetapkan hukuman diyat sebagai hukuman pokok dalam tindak

pidana pembunuhan dan pelukaan semi sengaja (menyerupai sengaja) serta

pembunuhan dan pelukaan yang tidak disengaja. Diyat adalah sejumlah harta dalam

ukuran tertentu. Meskipun bersifat hukuman, diyat merupakan harta yang diberikan

kepada korban, bukan kepada kas Negara. Dari sisi ini, diyat lebih mirip dengan ganti

rugi, apalagi besarnya dapat berbeda-beda menurut besar-kecilnya pelukaan yang

terjadi dan menurut perbedaan kesengajaan dan tidaknya terhadap tindak pidana.23

c. Jarimah Ta’zir

Jarimah ta'zir adalah jarimah yang diancam dengan hukuman ta'zir. Pengertian

ta'zir menurut bahasa ialah ta'dib atau memberi pelajaran. Akan tetapi menurut istilah,

ta'zir adalah hukuman pendidikan atas dosa (tindak pidana) yang belum ditentukan

hukumannya oleh syara'.

Hukuman ta'zir adalah hukuman yang belum ditetapkan oleh syara', melainkan

diserahkan kepada ulil amri, baik penentuannya maupun pelaksanaannya Dalam

menentukan hukuman tersebut, penguasa hanya menentukan hukuman secara global

saja Artinya pembuat undang-undang tidak menetapkan sekumpulan hukuman, dari

yang seringan-ringannya sampai yang seberat-beratnya.

Hukuman ta’zir merupakan sekumpulan hukuman yang belum ditentukan

jumlahnya, yang dimulai dari hukuman yang paling ringan, seperti nasihat dan teguran,

sampai kepada hukuman yang paling berat, seperti kurungan dan dera, bahkan sampai

22

Ibid, hlm.66. 23

Ibid, hlm.71.

Page 30: skripsi trafficking menurut uu no 21 tahun 2007 menurut perspektif hukum pidana islam

xxx

kepada hukuman mati dalam tindak pidana yang berbahaya. Adapun tindak pidana yang

diancamkan hukuman ta’zir adalah setiap tindak pidana selain tindak pidana hudud,

qishas, dan diyat karena ketiga tindak pidana ini memiliki hukuman yang telah

ditentukan bentuk dan jumlahnya oleh syara’.24

Jarimah ta’zir dibagi menjadi tiga

bagian, yaitu:25

1) Ta’zir karena melakukan maksiat;

2) Ta’zir karena melakukan perbuatan yang membahayakan kepentingan umum;

3) Ta’zir karena melakukan pelanggaran (mukhalafah).

Disamping itu, dilihat dari segi hak yang dilanggarnya, jarimah ta’zir dapat dibagi

kepada dua bagian, yaitu:

1) Ta’zir menyinggung hak Allah;

2) Ta’zir menyinggung hak perorangan (individu);

Abd Qodir Audah membagi jarimah ta'zir menjadi tiga, yaitu:

1) Jarimah hudud dan qishash diyat yang mengandung unsur shubhat atau tidak

memenuhi syarat, namun hal itu sudah dianggap sebagai perbuatan maksiat, seperti

pencurian harta syirkah, pembunuhan ayah terhadap anaknya, dan pencurian yang

bukan harta benda.

2) Jarimah ta'zir yang jenis jarimahnya ditentukan oleh nash, tetapi sanksinya oleh

syari'ah diserahkan kepada penguasa, seperti sumpah palsu, saksi palsu, mengurangi

timbangan, menipu, mengingkari janji, menghianati amanah, dan menghina agama.

3) Jarimah ta'zir dimana jenis jarimah dan sanksinya secara penuh menjadi wewenang

penguasa demi terealisasinya kemaslahatan umat. Dalam hal ini unsur akhlak

menjadi pertimbangan yang paling utama. Misalnya pelanggaran terhadap peraturan

lingkungan hidup, lalu lintas, dan pelanggaran terhadap pemerintah lainnya.

24

Ibid, hlm.85 25

Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2005, hlm. 252.

Page 31: skripsi trafficking menurut uu no 21 tahun 2007 menurut perspektif hukum pidana islam

xxxi

Tujuan diberikannya hak penentuan jarimah ta'zir dan hukumannya kepada

penguasa adalah agar mereka dapat mengatur masyarakat dan memelihara kepentingan-

kepentingannya, serta bisa menghadapi dengan sebaik-baiknya setiap keadaan yang

bersifat mendadak.26

Macam-macam hukuman ta’zir antara lain:27

1) Hukuman mati

Hukuman ta’zir menurut hukum Islam bertujuan untuk mendidik. Hukuman

ta’zir diperbolehkan jika ketika diterapkan biasanya akan aman dari akibatnya yang

buruk. Artinya, ta’zir tidak sampai merusak/membinasakan. Karena itu, tidak boleh

ada hukuman mati atau pemotongan anggota badan dalam hukuman ta’zir. Sebagian

besar fuqaha memberikan pengecualian, yaitu memperbolehkan penjatuhan

hukuman mati sebagai hukuman ta’zir manakala kemaslahatan umum menghendaki

demikian atau kerusakan yang diakibatkan oleh pelaku tidak bisa ditolak kecuali

dengan jalan membunuhnya.

Para fuqaha menetapkan bahwa hukuman mati tidak boleh dijatuhkan kecuali

apabila kebutuhan menuntut diterapkannya demikian, yakni manakala pelaku terus

menerus mengulangi tindak pidananya dan tidak ada harapan untuk

memperbaikinya lagi atau bila membunuhnya adalah suatu kebutuhan untuk

mencegah kerusakan dan memelihara kemaslahatan masyarakat darinya.

2) Hukuman dera (Jild)

Dikalangan fuqaha terjadi perbedaan tentang batas tertinggi hukuman dera

dalam ta'zir. Menurut pendapat yang terkenal di kalangan ulama Maliki, batas

tertinggi diserahkan kepada penguasa karena hukuman ta'zir didasarkan atas

kemaslahatan masyarakat dan atas dasar berat ringannya jarimah.

26

Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fikih Jinayah, Jakarta: Sinar Grafika, 2004, hlm

20 27

Ensiklopedi Hukum Pidana Islam Jilid III

Page 32: skripsi trafficking menurut uu no 21 tahun 2007 menurut perspektif hukum pidana islam

xxxii

Imam Abu Hanifah dan Muhammad berpendapat bahwa batas tertinggi

hukuman dera dalam ta'zir adalah 39 kali, dan menurut Abu Yusuf adalah 75 kali.

Sedangkan di kalangan madzhab Syafi'i ada tiga pendapat. Pendapat pertama sama

dengan pendapat Imam Abu Hanifah dan Muhammad. Pendapat kedua sama dengan

pendapat Abu Yusuf. Sedangkan pendapat ketiga, hukuman dera pada ta'zir boleh

lebih dari 75 kali, tetapi tidak sampai seratus kali, dengan syarat bahwa jarimah

ta'zir yang dilakukan hamper sejenis dengan jarimah hudud.

Dalam madzhab Hambali ada lima pendapat. Tiga di antaranya sama dengan

pendapat madzhab Syafi'i di atas. Pendapat ke empat mengatakan bahwa dera yang

diancam atas sesuatu perbuatan jarimah tidak boleh menyamai hukuman yang

dijatuhkan terhadap jarimah lain yang sejenis, tetapi tidak boleh melebihi hukuman

jarimah lain yang tidak sejenisnya. Pendapat kelima mengatakan bahwa hukuman

ta'zir tidak boleh lebih dari 10 kali. Alasannya ialah hadits nabi dari Abu Darda

sebagai berikut: "Seorang tidak boleh didera lebih dari sepuluh kali, kecuali dalam

salah satu hukuman hudud".

3) Hukuman kawalan (penjara)

Ada dua macam hukuman kawalan dalam hukum Islam. Pembagian ini

didasarkan pada lama waktu hukuman. Pertama, Hukuman kawalan terbatas. Batas

terendah dari hukuman ini adalah satu hari, sedang batas tertinggi, ulama berbeda

pendapat. Ulama Syafi'iyah menetapkan batas tertingginya satu tahun, karena

mereka mempersamakannya dengan pengasingan dalam jarimah zina. Sementara

ulama-ulama lain menyerahkan semuanya pada penguasa berdasarkan maslahat.

Hukuman kawalan tidak terbatas. Sudah disepakati bahwa hukuman kawalan

ini tidak ditentukan masanya terlebih dahulu, melainkan berlangsung terus sampai

terhukum mati atau taubat dan baik pribadinya. Orang yang dikenakan hukuman ini

Page 33: skripsi trafficking menurut uu no 21 tahun 2007 menurut perspektif hukum pidana islam

xxxiii

adalah penjahat yang berbahaya atau orang yang berulang ulang melakukan jarimah

jarimah yang berbahaya.

4) Hukuman pengasingan (At-Tagrib wal-Ib’ad)

Menurut Abu Hanifah hukuman pengasingan adalah hukuman ta’zir,

sedangkan madzhab lain memandangnya sebagai hudud. Adapun untuk selain

tindak pidana zina, telah disepakati bahwa hukuman ini dijatuhkan jika perbuatan

pelaku dapat mempengaruhi orang lain (menjalar) atau membahayakan dan

merugikan orang lain.

Menurut sebagian ulama Syafi’iyah dan Hanabilah, masa pengasingan dalam

tindak pidana ta’zir tidak boleh lebih dari satu tahun. Imam Abu Hanifah

berpendapat bahwa masa pembuangan bisa lebih dari satu tahun karena ia tidak

menganggap hukuman pengasingan sebagai hukuman hudud, tetapi sebagai

hukuman ta’zir. Fuqaha yang berpendapat bahwa masa hukuman pengasingan boleh

lebih dari satu tahun dan tidak memberikan batas waktu tertentu, mereka

memandang bahwa pembuangan adalah hukuman yang tidak terbatas dan

diserahkan kepada penguasa untuk membolehkan terpidana yang diasingkan untuk

kembali jika keadaannya telah menjadi baik dan telah menampakkan tobatnya.

Mengenai tempat pengasingannya, terpidana tidak ditempatkan di tempat

tertentu, tetapi menurut sebagian fuqaha, terhukum bisa diletakkan di bawah

pengawasan dan dibatasi kebebasannya. Dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat.

Fuqaha yang menetapkan masa berakhirnya pengasingan, mereka bersepakat bahwa

pelaku tidak dapat kembali ke negeri asalnya sebelum masa pengasingannya

berakhir, sedangkjan menurut fuqaha yang tidak menetapkan masa berakhirnya,

pelaku tidak dapat kembali ke negeri asalnya sebelum ia menampakkan tobat dan

keadaannya menjadi baik.

Page 34: skripsi trafficking menurut uu no 21 tahun 2007 menurut perspektif hukum pidana islam

xxxiv

5) Hukuman salib

Hukuman salib dalam jarimah gangguan keamanan (hirobah), hukuman

salib adalah hukuman hudud. Akan tetapi untuk jarimah ta'zir hukuman salib tidak

dibarengi atau didahului dengan oleh hukuman mati, melainkan si terhukum disalib

hidup hidup dan tidak dilarang makan minum, tidak dilarang mengerjakan wudhu,

tetapi dalam menjalankan sholat cukup dengan isyarat. Dalam penyaliban ini,

menurut fukaha tidak lebih dari tiga hari.

6) Hukuman peringatan (Al-Wa’zu), ancaman (Tahdid) dan teguran (Taubikh)

Hukuman peringatan diterapkan dalam syari'at Islam dengan jalan memberi

nasehat. Hakim boleh hanya menghukum pelaku dengan hukuman peringatan bila

hukuman ini cukup membawa hasil. Hukuman ini dicantumkan dalam Al-Qur'an

sebagaimana hukuman terhadap istri yang berbuat dikhawatirkan berbuat nusyuz.

Ancaman juga merupakan salah satu hukuman ta'zir, dengan syarat akan

membawa hasil dan bukan hanya ancaman kosong. Misalnya dengan ancama akan

didera, dipenjarakan atau dihukum dengan hukuman yang lain jika pelaku

mengulangi tindakannya lagi.

Sementara hukuman teguran pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW

terhadap sahabat Abu Dzar yang memaki maki orang lain dengan menghinakan

ibunya. Maka Rasulullah SAW berkata, "Wahai Abu Dzar, Engkau menghina dia

dengan menjelek jelekkan ibunya. Engkau adalah orang yang masih dihinggapi

sifat sifat masa jahiliyah."

7) Hukuman pengucilan (Hajr)

Hukuman pengucilan merupakan salah satu jenis hukuman ta'zir yang

disyari'atkan oleh Islam. Dalam sejarah, Rasulullah pernah melakukan hukuman

pengucilan terhadap tiga orang yang tidak ikut serta dalam perang Tabuk, yaitu

Page 35: skripsi trafficking menurut uu no 21 tahun 2007 menurut perspektif hukum pidana islam

xxxv

Ka'ab bin Malik, Miroroh bin Rubai'ah, dan Hilal bin Umaiyah. Mereka dikucilkan

selama lima puluh hari tanpa diajak bicara.

8) Hukuman denda (Garamah)

Hukuman Denda ditetapkan juga oleh syari'at Islam sebagai hukuman.

Antara lain mengenai pencurian buah yang masih tergantung dipohonnya,

hukumannya didenda dengan lipat dua kali harga buah tersebut, disamping

hukuman lain yang sesuai dengan perbuatannya tersebut.

2. Dari segi niat

a. Jarimah sengaja (jarimah al maqshudah)

Jarimah sengaja adalah suatu jarimah yang dilakukan oleh seseorang dengan

kesengajaan dan atas kehendaknya serta ia mengetahui bahwa perbuatan tersebut

dilarang dan diancam dengan hukuman.

b. Jarimah tidak sengaja (jarimah ghayr al-magshudah / jarimah alkhata)

Jarimah tidak sengaja adalah jarimah dimana pelaku tidak sengaja (beniat) untuk

melakukan perbuatan yang dilarang dan perbuatan tersebut terjadi sebagai akibat

kelalaiannya (kesalahannya).

3. Dari segi waktu tertangkapnya

Ditinjau dari segi waktu tertangkapnya, jarimah ini dibagi menjadi dua, yaitu:

jarimah tertangkap basah dan jarimah tidak tertangkap basah.

Jarimah tertangkap basah adalah jarimah dimana pelakunya tertangkap pada

waktu melakukan perbuatan tersebut atau sesudahnya tetapi dalam masa yang dekat.

Jarimah tidak tertangkap basah adalah jarimah dimana pelakunya tidak tertangkap

pada waktu melakukan perbuatan tersebut, melainkan sesudahnya dengan lewatnya waktu

yang tidak sedikit.

Pentingnya pembagian ini dapat dilihat dalam dua segi, yaitu:

Page 36: skripsi trafficking menurut uu no 21 tahun 2007 menurut perspektif hukum pidana islam

xxxvi

a. Dari segi pembuktian

Apabila jarimah dilakukan berupa jarimah hudud dan pembuktiannya dengan

saksi maka dalam jarimah yang tertangkap basah, para saksi harus menyaksikan dengan

mata kepalanya sendiri pada saat terjadinya jarimah tersebut.

b. Dari segi amar ma’ruf nahi munkar

Dalam jarimah yang tertangkap basah, orang yang kedapatan sedang melakukan

tindak pidana dapat dicegah dengan kekerasan agar ia tidak meneruskan tindakannya.

Hal ini sesuai dengan hadits yang diriwayatkan oleh Imam muslim dari Said Al

Khudhari, bahwa Rasulullah bersabda:

“Barang siapa diantara kamu melihat kemungkaran maka hendaklah ia

mencegah dengan tangannya, apabila ia tidak sanggup maka dengan hatinya, apabila

tidak sanggup juga maka dengan hatinya da yang demikian itu merupakan iman yang

lemah.”

4. Ditinjau dari cara melakukannya

Ditinjau dari melakukannya, jarimah dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu:

jarimah positif (jarimah ijabiah) dan jarimah negatif (jarimah salabiah). Jarimah positif

(jarimah ijabiah) atau kejahatan dengan melanggar larangan yang dapat berupa perbuatan

aktif (komisi) maupun pasif atau jarimah ijabiah taqa'u bi thariq al salab (omisi tidak

murni) seperti tidak memberi seorang makan hingga mati. Jarimah negatif (jarimah

salabiah) adalah kejahatan dengan melanggar perintah (omisi murni).28

5. Ditinjau dari segi obyeknya

Jarimah ditinjau dari segi obyeknya atau sasarannya dapat dibagi menjadi dua,

yaitu: jarimah perseorangan dan jarimah masyarakat. Jarimah perseorangan adalah suatu

jarimah dimana hukuman terhadapnya dijatuhkan untuk melindungi kepentingan

28

Topo Santoso, Menggagas Hukum pidana Islam Penerapan Dalam Syari'at Islam Dalam Konteks Modernitas,

Bandung: Asy Syamil & Grafika, 2001, hlm. 140

Page 37: skripsi trafficking menurut uu no 21 tahun 2007 menurut perspektif hukum pidana islam

xxxvii

perseorangan meskipun, sebenarnya apa yang menyinggung perseorangan juga berarti

menyinggung masyarakat.

Jarimah masyarakat adalah suatu jarimah dimana hukuman terhadapnya

dijatuhkan untuk menjaga kepentingan masyarakat, baik jarimah tersebut mengenai

perseorangan maupun mengenai ketenteraman masyarakat dan keamanannya menurut

para fuqaha penjatuhan hukuman atas perbuatan tersebut tidak ada pengampunan atau

peringanan atau menunda-nunda pelaksanaan.29

Jarimah-jarimah hudud termasuk dalam jarimah masyarakat, meskipun sebagian

dari padanya ada yang mengenai perseorangan, seperti pencurian dan qadzaf (penuduhan

zina). Jarimah-jarimah ta`zir sebagian ada yang termasuk jarimah masyarakat, kalau yang

disinggung itu hak masyarakat, seperti penimbunan bahan-bahan pokok, korupsi dan

sebagainya.

6. Ditinjau dari tabiatnya

Ditinjau dari segi waktu atau tabiatnya, jarimah dapat dibagi menjadi dua, yaitu:

jarimah biasa (jarimah 'addiyah) dan jarimah politik (jarimah siyasiyah). Jarimah biasa

adalah jarimah yang dilakukan oleh seseorang tanpa mengaitkannya dengan tujuan-tujuan

politik. Jarimah politik adalah jarimah yang merupakan pelanggaran terhadap peraturan

pemerintah atau pejabat-pejabat pemerintah atau terhadap garis-garis politik yang telah

ditentukan oleh pemerintah.30

Sebenarnya jenis-jenis tindak pidana dalam hukum Islam itu tidak berbeda jauh

dengan penggolongan dalam hukum pidana positif. Perbedaan yang mencolok baru terlibat

dalam penggolongan atas hudud, qishas dan ta’zir.

3. Unsur dan Syarat Tindak Pidana dalam Hukum Pidana Islam

29

Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1986, hlm. 17. 30

Moh Abu Zahrah, Al- Jarimah wa Al- 'uqubah Fi al Fiqh AI islami, Al maktabah al Angelo al Mishriyah, Kairo, tt,

hlm. 153

Page 38: skripsi trafficking menurut uu no 21 tahun 2007 menurut perspektif hukum pidana islam

xxxviii

Suatu perbuatan baru dianggap sebagai tindak pidana apabila unsur-unsurnya telah

terpenuhi. Unsur-unsur ini ada yang umum dan ada yang khusus. Unsur umum berlaku untuk

semua jarimah, sedangkan unsur khusus hanya berlaku untuk masing-masing jarimah dan

berbeda antara jarimah satu dengan jarimah yang lain. Adapun yang termasuk dalam unsur-

unsur umum jarimah adalah sebagai berikut:

1. Unsur formil (adanya undang-undang atau nash);

2. Unsur materiil (sifat melawan hukum);

3. Unsur moril (pelakunya mukallaf).

Selain ketiga unsur tersebut diatas yang harus ada dalam suatu tindak pidana yang

merupakan unsur-unsur umum terdapat juga unsur-unsur khusus yang ada pada masing-

masing tindak pidana.

Yang dimaksud dengan unsur khusus ialah unsur yang hanya terdapat pada peristiwa

pidana (jarimah) tertentu dan berbeda antara unsur khusus pada jenis jarimah yang satu

dengan jenis jarimah yang lainnya.31

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa antara unsur umum dan unsur khusus

pada jarimah itu ada perbedaan. Unsur umum jarimah ancamannya hanya satu dan sama pada

setiap jarimah, sedangkan unsur khusus bermacam macam serta berbeda-beda pada setiap

jenis tindak pidana (jarimah). Bahwa seorang yang melakukan tindak pidana harus

memenuhi syaratsyarat yaitu berakal, cukup umur, mempunyai kemampuan bebas

(muchtar).32

Tentang syarat-syarat yang harus terdapat pada pelaku dalam kedudukannya sebagai

orang yang bertanggung jawab dan pada perbuatan yang diperintahkan, adapun syarat-syarat

untuk pelaku mukallaf itu ada dua macam, yaitu:

1. Pelaku sanggup memahami nash-nash syara' yang berisi hukum taklifi;

31

Makhrus Munajat, Dekonstruksi Hukum Pidana Islam, Yogyakarta, Logung Pustaka, 2004, hlm.11. 32

Haliman, Hukum Pidana Islam Menurut Ajaran Ahlussunah Wal Jamaah, Jakarta: Bulan Bintang, 1968, hlm. 67.

Page 39: skripsi trafficking menurut uu no 21 tahun 2007 menurut perspektif hukum pidana islam

xxxix

2. Pelaku orang yang pantas dimintai pertanggung jawaban dan dijatuhi hukuman.

Sedangkan syarat perbuatan yang dapat dipidanakan ada tiga macam, yaitu:

1. Perbuatan itu mungkin terjadi;

2. Perbuatan itu disanggupi oleh mukallaf, yakni ada dalam jangkauan kemampuan

mukallaf, baik untuk mengerjakannya maupun meninggalkannya;

3. Perbuatan tersebut diketahui oleh mukallaf dengan sempurna.

B. Deskripsi Aspek Pidana dalam Undang-Undang No.21 Tahun 2007

1. Sejarah Singkat Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana

Perdagangan Orang

Semakin banyaknya kasus perdagangan orang yang telah mencapai aspek lintas

negara, beberapa aktifis kemanusiaan dari berbagai Negara melakukan pertemuan untuk

melakukan diskusi mengenai permasalahan tersebut. Pertemuan-pertemuan internasional

yang bertujuan untuk membahas persoalan trafficking tersebut terus menerus digelar oleh

elemen masyarakat. Puncaknya, pada tanggal 15 November 2000 melalui Resolusi MU PBB

No. 55/25 dikeluarkan Konvensi tentang Kejahatan Terorganisir (The United Nation

Convention Against Transnational Organized Crime beserta Protocol Agains the Smuggling

of Migrants by Land and Sea dan Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in

Persons, Especially Women and Children) (Konvensi PBB tentang Perlawanan Organisasi

Kriminal Antar Negara beserta Protokol Perlawanan terhadap Penyelundupan Orang Melalui

Darat Dan Laut, dan Protokol Pencegahan Penekanan dan Hukuman Perdagangan Orang

Khususnya Wanita dan Anak-Anak). Konvensi beserta protokol ini mengatur tentang

pembentukan struktur internasional guna memberantas kejahatan lintas batas di sektor

Page 40: skripsi trafficking menurut uu no 21 tahun 2007 menurut perspektif hukum pidana islam

xl

produksi dan pergerakan obat-obat terlarang, perdagangan orang dan pengiriman imigran

secara tidak sah.33

Hal yang sama juga dialami oleh Indonesia di mana para aktifis Hak Asasi Manusia

(HAM) dan perempuan terus menerus mendesak tentang perlu adanya sebuah undang-undang

yang membahas secara khusus mengenai permasalahan perdagangan orang. Desakan ini lebih

didasarkan pada realita bahwasanya Indonesia merupakan salah satu negara yang menjadi

lokasi perdagangan orang terbesar di wilayah Asia Tenggara. Jalur trafficking di Asia

Tenggara melibatkan enam Negara yakni Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, Vietnam,

dan Filipina. Dari keenam negara tersebut, Indonesia, Thailand, Filipina, dan Vietnam

menjadi negara yang warga negaranya menjadi obyek perdagangan orang terbanyak, dan

Malaysia hanya sebagian kecil. Sedangkan alur penyebaran tujuan perdagangan orang

meliputi Indonesia, Malaysia, Singapura, Filipina, dan Thailand.

Setelah melalui proses yang panjang, pada tahun 2007, Indonesia akhirnya

mengesahkan undang-undang yang berkaitan dengan perdagangan orang. Undang-undang ini

banyak mengacu pada hasil konvensi dan protokol PBB tahun 2000 dan disahkan dalam

bentuk Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang.

Undang-undang tersebut juga dikenal dengan istilah UU TPPO (Undang-Undang Tindak

Pidana Perdagangan Orang).

2. Subtansi Bab Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana

Perdagangan Orang

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang

terdiri dari 9 bab dengan penjelasan sebagai berikut:

33

Supriyadi, Perdagangan Manusia Dalam Rancangan KUHP, ELSAM-Lembaga Studi Dan Advokasi Masyarakat,

2005, hlm. 6.

Page 41: skripsi trafficking menurut uu no 21 tahun 2007 menurut perspektif hukum pidana islam

xli

Bab I Menjelaskan tentang pengertian tindak pidana perdagangan orang. Bab ini terdiri

dari satu pasal dan 15 ayat. Dalam bab ini dijelaskan mengenai istilah-istilah atau

pengertianpengertian yang berhubungan dengan tindak pidana perdagangan orang.

Istilah-istilah yang dijelaskan adalah sebagai berikut:

a. Pengertian ”perdagangan orang” yang dijelaskan pada ayat(1)

b. Pengertian ”tindak pidana perdagangan orang” yang dijelaskan pada ayat (2)

c. Pengertian ”korban” yang dijelaskan pada ayat (3)

d. Pengertian ”setiap orang” yang dijelaskan pada ayat (4)

e. Pengertian ”anak” yang dijelaskan pada ayat (5)

f. Pengertian ”korporasi” yang dijelaskan pada ayat (6)

g. Pengertian ”eksploitasi” yang dijelaskan pada ayat (7)

h. Pengertian ”eksploitasi seksual” yang dijelaskan pada ayat (8)

i. Pengertian ”perekrutan” yang dijelaskan pada ayat (9)

j. Pengertian ”pengiriman” yang dijelaskan pada ayat (10)

k. Pengertian ”kekerasan” yang dijelaskan pada ayat (11)

l. Pengertian ”ancaman kekerasan” yang dijelaskan pada ayat (12)

m. Pengertian ”restitusi” yang dijelaskan pada ayat (13)

n. Pengertian ”rehabilitasi” yang dijelaskan pada ayat (14)

o. Pengertian ”penjeratan utang” yang dijelaskan pada ayat (15)

Bab II Menerangkan tentang tindak pidana dan sanksi pidana tindak pidana perdagangan

orang. Penjelasan tersebut dinyatakan dalam 17 pasal yakni mulai Pasal 2 hingga

Pasal 18.

Bab III Menerangkan tentang tindak pidana lain dan sanksi pidananya yang berkaitan

dengan tindak pidana perdagangan orang. Hal itu dijabarkan dalam sembilan pasal

mulai dari Pasal 19 hingga Pasal 27.

Page 42: skripsi trafficking menurut uu no 21 tahun 2007 menurut perspektif hukum pidana islam

xlii

Bab IV Menjelaskan tentang Proses Penyidikan, Penuntutan, dan Pemeriksaan di Sidang

Pengadilan. Hal ini dipaparkan dalam 15 pasal yakni mulai Pasal 28 hingga Pasal

42.

Bab V Menjelaskan tentang Perlindungan Korban dan Saksi. Masalah ini dipaparkan

dalam 13 pasal, yakni mulai Pasal 43 hingga Pasal 55.

Bab VI Menjelaskan tentang Pencegahan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Masalah ini

dipaparkan dalam tiga pasal, yakni mulai Pasal 56 hingga Pasal 58.

Bab VII Menjelaskan tentang Kerja Sama dan Peran Serta Masyarakat dalam Pencegahan

Tindak Pidana. Masalah ini dipaparkan dalam dua bagian dan lima pasal. Bagian

pertama yang terdiri dari satu pasal, yakni Pasal 59 isinya adalah tentang

kerjasama internasional dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak

pidana perdagangan orang. Sedangkan bagian kedua menitikberatkan pada peran

serta masyarakat yang diatur dalam empat pasal, yakni mulai Pasal 60 hingga

Pasal 63.

Bab VIII Menjelaskan tentang Ketentuan Peralihan. Masalah ini dipaparkan dalam satu

pasal, yakni Pasal 64.

Bab IX Merupakan Ketentuan Penutup. Masalah ini dipaparkan dalam tiga pasal, yakni

Pasal 65 hingga Pasal 67.

3. Aspek Pidana dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana

Perdagangan Orang

Sebelum menguraikan secara lebih jauh mengenai aspek pidana yang terkandung di

dalam Pasal 2 UU No. 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang, berikut ini

akan dipaparkan terlebih dahulu isi dari Pasal 2 tersebut:

Pasal 2

Page 43: skripsi trafficking menurut uu no 21 tahun 2007 menurut perspektif hukum pidana islam

xliii

(1) Setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan,

pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman

kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan,

penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau

memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang

yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang

tersebut di wilayah negara Republik Indonesia, dipidana dengan pidana penjara

paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana

denda paling sedikit Rp. 120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan

paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).

(2) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang

tereksploitasi, maka pelaku dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana

dimaksud pada ayat (1).

Dari isi pasal tersebut dapat diketahui bahwa kandungan aspek pidana meliputi aspek

pelaku, perbuatan, cara mengerjakan, tujuan, wilayah, dan ancaman hukuman. Secara lebih

jelas mengenai aspek pidananya, maka berikut ini akan penulis paparkan mengenai aspek

pidana dalam Pasal 2 di atas.

a. Pelaku

Pelaku tindak pidana perdagangan orang dalam Pasal 2 adalah setiap orang yang

melakukan perbuatan-perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1). Namun

pelaku tidak lantas hanya terbatas pada aspek perorangan saja sebab istilah “setiap orang”

dalam pasal tersebut tidak hanya memiliki makna umum yang terbatas pada pengertian

setiap seseorang yang melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2

melainkan juga dapat mencakup pelaku-pelaku dengan ketentuan sebagai berikut:

a. warga negara Indonesia maupun warga negara asing, selama melakukan tindak pidana

perdagangan orang di wilayah Negara Republik Indonesia.

b. melakukan perbuatan tindak pidana secara berkelompok, sebagaimana disebutkan

dalam Pasal 16

Dalam hal tindak pidana perdagangan orang dilakukan oleh kelompok yang

terorganisasi, maka setiap pelaku tindak pidana perdagangan orang dalam kelompok

yang terorganisasi tersebut dipidana dengan pidana yang sama sebagaimaan dimaksud

dalam Pasal 2 ditambah 1/3 (sepertiga)

Page 44: skripsi trafficking menurut uu no 21 tahun 2007 menurut perspektif hukum pidana islam

xliv

c. memiliki jabatan kenegaraan (penyelenggara negara) sebagaimana disebutkan dalam

Pasal 8 ayat (1) berikut ini:

(1) Setiap penyelenggara negara yang menyalahgunakan kekuasaan yang

mengakibatkan terjadinya tindak pidana perdagangan orang sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6 maka pidananya

ditambah 1/3 dari ancaman pidana dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan

Pasal 6.

d. berwujud korporasi sebagaimana disebutkan dalam Pasal 13 ayat (1)

(1) Tindak pidana perdagangan orang dianggap dilakukan oleh korporasi apabila

tindak pidana tersebut dilakukan oleh orangorang yang bertindak untuk dan/atau

atas nama korporasi atau untuk kepentingan korporasi, baik berdasarkan hubungan

kerja maupun hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik

sendiri maupun bersama-sama.

Berdasarkan pemaparan di atas dapat diketahui bahwa pelaku sebagai aspek

pidana dalam UU No. 21 Tahun 2007 tentang tindak pidana perdagangan orang pada

dasarnya adalah setiap orang yang berarti adalah seluruh orang yang telah memiliki

tanggung jawab hukum, baik dilakukan secara perorangan maupun kelompok, sebagai

penyelenggara negara, atas nama korporasi, warga negara Indonesia maupun warga

negara asing, yang melakukan tindak pidana perdagangan di wilayah Negara Republik

Indonesia.

b. Perbuatan

Perbuatan yang dimaksud dalam Pasal 2 mengandung tiga batasan perbuatan

yakni perbuatan dengan sebagian atau keseluruhan rangkaian perbuatan sebagaimana

disebut dalam Pasal 2 ayat (1) yang belum menyebabkan adanya eksploitasi, perbuatan

dengan sebagian atau keseluruhan rangkaian perbuatan sebagaimana disebut dalam Pasal

2 ayat (1) yang telah menyebabkan adanya eksploitasi, dan perbuatan untuk

Page 45: skripsi trafficking menurut uu no 21 tahun 2007 menurut perspektif hukum pidana islam

xlv

mengeksploitasi orang yang menimbulkan akibat lain. Batasan ini disebutkan dalam Pasal

2 ayat ayat (2) sebagai berikut:

Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang

tereksploitasi, maka pelaku dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana

dimaksud pada ayat (1).

Maksud dari perbuatan sebagian yang menyebabkan atau belum menyebabkan

adanya eksploitasi adalah melakukan sebagian – baik salah satu atau beberapa bagian

namun tidak seluruhnya – dari perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1).

Perbuatan-perbuatan tersebut disebutkan pada beberapa pasal dalam UU No. 21 Tahun

2007 sebagai berikut:

Pasal 3

Setiap orang yang memasukkan orang ke wilayah negara Republik Indonesia

dengan maksud untuk dieksploitasi di wilayah negara Republik Indonesia maupun

dieksploitasi di negara lain dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga)

tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit

Rp.120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.

600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).

Pasal 4

Setiap orang yang membawa warga negara Indonesia ke luar wilayah negara

Republik Indonesia dengan maksud untuk dieksploitasi di luar wilayah negara

Republik Indonesia dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun

dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp.

120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.

600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).

Pasal 5

Setiap orang yang melakukan pengangkatan anak dengan menjanjikan sesuatu

atau memberikan sesuatu dengan maksud untuk dieksploitasi dipidana dengan

pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun

dan denda paling sedikit Rp. 120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan

paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).

Pasal 6

Setiap orang yang melakukan pengiriman anak ke dalam atau ke luar negeri

dengan tujuan untuk dieksploitasi. Sanksi pidana perbuatan ini adalah pidana

penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan

denda paling sedikit Rp. 120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan

paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).

Pasal 9

Page 46: skripsi trafficking menurut uu no 21 tahun 2007 menurut perspektif hukum pidana islam

xlvi

Setiap orang yang berusaha menggerakkan orang lain supaya melakukan tindak

pidana perdagangan orang dan tindak pidana tersebut tidak terjadi dipidana

dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 6 (enam)

tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 40.000.000,00 (empat puluh juta

rupiah) dan paling banyak Rp. 240.000.000,00 (dua ratus empat puluh juta rupiah).

Pasal 10

Setiap orang yang membantu atau melakukan percobaan untuk melakukan tindak

pidana perdagangan orang dipidana dengan pidana yang sama dengan sanksi

pidana dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6.

Pasal 11

Setiap orang yang merencanakan atau melakukan pemufakatan jahat untuk

melakukan tindak pidana perdagangan orang dipidana dengan pidana yang

sebagai pelaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5,

dan Pasal 6.

Pasal 12

Setiap orang yang menggunakan atau memanfaatkan korban tindak pidana

perdagangan orang dengan cara persetubuhan atau perbuatan cabul lainnya

dengan korban tindak pidana perdagangan orang, mempekerjakan korban tindak

perdagangan orang untuk meneruskan praktek eksploitasi atau mengambil

keuntungan dari hasil tindak pidana perdagangan orang dipidana dengan pidana

yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan

Pasal 6.

Dari pasal-pasal di atas dapat dibuat pengklasifikasian tindak pidana perbuatan

orang sebagai berikut:

a. Perbuatan sebagian dari perbuatan yang dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) yang dapat

menyebabkan atau belum menyebabkan terjadinya eksploitasi yang disebut dalam

satu pasal. Perbuatan-perbuatan tersebut sebagaimana disebutkan pada Pasal 3, Pasal

4, Pasal 5, Pasal 6, dan Pasal 12. Sebagaimana disebutkan pada Pasal 2 ayat (1), maka

pasal-pasal yang telah disebutkan (Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, dan Pasal 12)

memiliki dua kemungkinan terkait dengan eksploitasi seperti halnya Pasal 2 ayat (1).

Penegas adanya kemungkinan terjadi atau belum terjadinya eksploitasi adalah Pasal 2

ayat (2). Maksudnya adalah apabila telah terjadi eksploitasi, maka perbuatan yang

disebut dalam pasal-pasal tersebut telah dapat disebut dengan tindak pidana yang

mengakibatkan adanya eksploitasi. Namun apabila belum terjadi proses eksploitasi

Page 47: skripsi trafficking menurut uu no 21 tahun 2007 menurut perspektif hukum pidana islam

xlvii

korban, maka perbuatan yang disebutkan dalam pasal-pasal tersebut terbatas pada

tindak pidana perdangan orang tanpa adanya eksploitasi.

b. Perbuatan sebagian dari perbuatan yang dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) yang belum

menyebabkan terjadinya eksploitasi. Perbuatanperbuatan tersebut sebagaimana

disebutkan pada Pasal 9, Pasal 10, dan Pasal 11. Pada Pasal 9, penegas belum adanya

eksploitasi adalah adanya kalimat “dan tindak pidana tersebut tidak terjadi”. Pasal 10

ditegaskan dengan adanya kalimat “Setiap orang yang membantu atau melakukan

percobaan untuk melakukan tindak pidana perdagangan orang”. Sedangkan penegas

Pasal 11 adalah batasan perbuatan yang disebutkan dalam pasal tersebut, yakni

“merencanakan atau melakukan pemufakatan jahat”.

Sedangkan maksud dari perbuatan dengan tujuan mengeksploitasi orang yang

dapat menimbulkan akibat lain adalah apabila dalam proses perbuatan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6. Akibat yang dimaksud

adalah akibat yang diderita korban, yakni dalam bentuk luka berat baik fisik maupun

mental dan hilangnya nyawa sebagaimana disebutkan pada Pasal 7.

Pasal 7

(1) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal 3,

Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6 mengakibatkan korban menderita luka berat,

gangguan jiwa berat, penyakit menular lainnya yang membahayakan jiwanya,

kehamilan, atau terganggu atau hilangnya fungsi reproduksinya, maka

ancaman pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana dalam Pasal

2 ayat (2), Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6

(2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal 3,

Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6 mengakibatkan matinya korban, dipidana dengan

pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama penjara seumur

hidup dan pidana denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta

rupiah) dan paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).

c. Sanksi

Secara tekstual, sanksi yang terkandung dalam Pasal 2 UU No. 21 Tahun 2007

tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang adalah pidana penjara paling singkat 3 (tiga)

tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp. 120.000.000,00

Page 48: skripsi trafficking menurut uu no 21 tahun 2007 menurut perspektif hukum pidana islam

xlviii

(seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta

rupiah) apabila telah terjadi eksploitasi sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 ayat (2).

Penegasan dalam Pasal 2 ayat (2) secara tidak langsung mengisyaratkan adanya sanksi

terhadap tindak pidana perdagangan orang yang tidak atau belum sampai terjadi

eksploitasi. Apabila tidak terjadi tindak pidana perdagangan orang, maka sanksi yang

dikenakan tidak sama dengan Pasal 2 ayat (1) melainkan berbeda.

Sanksi terhadap tindak pidana yang tidak atau belum sampai terjadi eksploitasi

dari perbuatan-perbuatan yang dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) adalah pidana penjara

paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun dan pidana denda paling

sedikit Rp. 40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.

240.000.000,00 (dua ratus empat puluh juta rupiah) sebagaimaan disebutkan pada Pasal 9.

Selain dua ketentuan sanksi di atas, terdapat sanksi tambahan dalam tindak pidana

perdagangan orang. Sanksi tambahan tersebut dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

a. Sanksi tambahan berdasarkan akibat tambahan yang diderita korban Sanksi tambahan

dilihat dari akibat tambahan yang diderita oleh korban dapat dibedakan menjadi dua

sanksi tambahan sebagaimana disebutkan pada Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2), yakni:

(1) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal 3, Pasal 4,

Pasal 5, dan Pasal 6 mengakibatkan korban menderita luka berat, gangguan jiwa

berat, penyakit menular lainnya yang membahayakan jiwanya, kehamilan, atau

terganggu atau hilangnya fungsi reproduksinya, maka ancaman pidananya

ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal 3,

Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6.

(2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal 3, Pasal 4,

Pasal 5, dan Pasal 6 mengakibatkan matinya korban, dipidana dengan pidana

penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama penjara seumur hidup dan

pidana denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling

banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).

Sanksi tambahan dalam ayat (1) dalam Pasal 7 di atas adalah tambahan 1/3 (sepertiga)

dari ancaman pidana pada Pasal 2 ayat (2), Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6

apabila korban menderita luka fisik maupun mental dan penyakit. Sedangkan sanksi

Page 49: skripsi trafficking menurut uu no 21 tahun 2007 menurut perspektif hukum pidana islam

xlix

tambahan pada Pasal 7 ayat (2) berlaku manakala korban tindak pidana perdagangan

orang sampai meninggal dunia.

b. Sanksi tambahan yang didasarkan pada pelaku yang dapat diklasifikasikan sebagai

berikut:

1) Sanksi tambahan bagi pelaku yang berstatus penyelenggara Negara.

Sanksi tambahan yang dikenakan kepada penyelenggara Negara yang melakukan

tindak pidana perdagangan orang adalah sebagai berikut:

a) Tambahan pidana sebesar 1/3 dari ancaman pidana dalam Pasal 2, Pasal 3,

Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6.

b) Tambahan pidana secara institusional berupa pemberhentian secara dengan

tidak hormat dari jabatannya.

2) Sanksi tambahan bagi korporasi berupa:

a) Tambahan sanksi berupa pemberatan 3 (tiga) kali dari ancaman pada Pasal 2,

Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6.

b) Tambahan sanksi berupa pencabutan izin usaha, perampasan kekayaan hasil

tindak pidana, pencabutan status badan hukum, pemecatan pengurus dan atau

pelarangan kepada pengurus tersebut untuk mendirikan korporasi dalam

bidang usaha yang sama.

3) Sanksi tambahan bagi pelaku yang berkelompok

Sanksi tambahan bagi pelaku yang berkelompok adalah 1/3 (sepertiga) dari

ancaman sanksi sebagaimana dimaksud pada Pasal 2.

c. Sanksi tambahan berdasarkan korban

Sanksi tambahan dilihat dari pihak korban berlaku bagi tindak pidana perdagangan

orang dengan korban dari kelompok anak. Apabila tindak pidana perdagangan orang

Page 50: skripsi trafficking menurut uu no 21 tahun 2007 menurut perspektif hukum pidana islam

l

dalam Pasal 2 dilakukan kepada anak, maka sanksi pidananya akan ditambah sebesar

1/3 (sepertiga).

Page 51: skripsi trafficking menurut uu no 21 tahun 2007 menurut perspektif hukum pidana islam

li

BAB III

TINDAK PIDANA TRAFFICKING DAN TINJAUAN NILAI HUKUM PIDANA

ISLAM DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG

TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG

A. Tindak Pidana Trafficking Menurut Hukum Pidana Islam dan Undang-Undang No.

21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang

Definisi Trafficking (perdagangan orang) ada dalam pasal 1 ayat (1) Undang-Undang

No. 21 Tahun 2007, disebutkan bahwa:

Perdagangan Orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan,

pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan,

penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan,

penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran

atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali

atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara,

untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.

Jelas bahwa trafficking adalah kejahatan yang sangat kejam dan melanggar nilai-nilai

kemerdekaan yang digariskan oleh Islam. Dalam kasus trafficking, Islam sejak awal telah

meletakkan dasar-dasar bagi pembebasan dan penghapusan perbudakan, karena bertentangan

dengan prinsip Tauhid (Keesaan Tuhan). Teologi ini selalu mengajarkan kepada manusia

tentang makna kebebasan (kemerdekaan), kesetaraan, dan penghargaan manusia terhadap

manusia yang lain, bahkan juga terhadap alam. Oleh karena itu, tidak ada keraguan

sedikitpun bahwa trafficking dalam segala bentuknya adalah bertentangan dengan dan

melanggar nilai-nilai Islam dan melawan Tuhan.

Sebagai aturan keagamaan, fiqh tentu diarahkan dan ditetapkan untuk merealisasikan

tujuan-tujuan agama secara eksplisit. Fiqh bukan hanya dijadikan sebagai alat pembenar dan

menghilangkan sisi keadilan dan kemaslahatan. Allah berfirman dalam Al-Qur’an bahwa

Page 52: skripsi trafficking menurut uu no 21 tahun 2007 menurut perspektif hukum pidana islam

lii

manusia diharuskan untuk berbuat dan menegakkan keadilan. Beberapa ayat tersebut

diantaranya:

1. QS. Al-Nisa’ : 5834

¨βÎ) ©!$# öΝä.ã�ãΒ ù' tƒ βr& (#ρ–Š xσè? ÏM≈uΖ≈ tΒ F{ $# #’n<Î) $ yγ Î=÷δ r& #sŒ Î)uρ ΟçF ôϑs3ym t ÷ t/ Ĩ$Ζ9 $# βr& (#θ ßϑä3øtrB ÉΑô‰yè ø9 $$ Î/ 4

¨βÎ) ©!$# $ −ΚÏè ÏΡ / ä3Ýà Ïètƒ ÿϵ Î/ 3 ¨βÎ) ©!$# tβ% x. $Jè‹ Ïÿxœ # Z��ÅÁ t/ ∩∈∇∪

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak

menerimanya, dan menyuruh kamu apabila apabila menetapkan hukum di antara

manusia hendaknya hendaknya menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi

pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah maha

mendengar lagi maha melihat”.

2. QS. Al-Nahl : 9035

¨βÎ) ©!$# ã� ãΒ ù' tƒ ÉΑô‰yè ø9 $$ Î/ Ç≈ |¡ ôm M}$#uρ Ç›!$ tGƒ Î)uρ “ ÏŒ 4†n1ö� à)ø9 $# 4‘sS ÷Ζtƒ uρ Ç tã Ï !$t± ós x�ø9$# Ì�x6Ψ ßϑø9 $#uρ

Ä øöt7ø9 $#uρ 4 öΝä3Ýà Ïètƒ öΝà6=yès9 šχρã�©.x‹ s? ∩⊃∪

“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi

kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan

permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil

pelajaran”.

Para ulama fiqh menyepakati bahwa syari’at Islam dibuat dalam rangka mewujudkan

keadilan dan kemaslahatan umat. Tujuan dari syari’at (maqashid asy-Syari’ah) ada lima

prinsip perlindungan, yaitu perlindungan terhadap keyakinan agama (hifzh ad-din),

perlindungan terhadap jiwa (hifz an-nafs), perlindungan terhadap pikiran (hifzh an-aql),

perlindungan terhadap keturunan (hifzh an-nasl), dan perlindungan terhadap harta benda

34

Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Semarang: Thoha Putra, hlm. 128. 35

Ibid, hlm. 415.

Page 53: skripsi trafficking menurut uu no 21 tahun 2007 menurut perspektif hukum pidana islam

liii

(hifzh al-mal). Setiap keputusan hukum yang mengandung perlindungan terhadap lima hal ini

adalah kemaslahatan (maslahat) dan setiap yang mengabaikannya adalah kerusakan

(mafsadat). Menolak kemaslahatan adalah kemadharatan.

Mungkin, zaman dahulu Islam belum menganggap perbudakan sebagai sebuah

perbuatan yang melawan hukum (tindak pidana), namun pada zaman sekarang, tidak

menganggap perbudakan sebagai sebuah tindak pidana adalahmelanggar tujuan Islam yang

menginginkan kemaslahatan. Seiring berjalannya waktu, dimanapun tempatnya, hukum suatu

peristiwa pasti berubah-berubah, tak terkecuali perbudakan. Ada sebuah kaidah yang

menyatakan bahwa taghayyiru al-ahkam bi taghayyiru al-azman wa alamkan (berubahnya

sebuah hukum dipengaruhi adanya perubahan waktu dan tempat). Dengan demikian dapat

dikatakan bahwa, harus ada kriminalisasi (proses memidanakan perbuatan yang sebelumnya

tidak dianggap sebuah perbuatan pidana). Ada beberapa alasan kenapa ada sebuah

kriminalisasi, diantaranya yaitu:36

1. Adanya korban;

2. Kriminalisasi bukan semata-mata ditujukan untuk pembalasan;

3. Harus berdasarkan asas ratio principle (hukum pidana disiapkan sebagai sarana terakhir);

4. Adanya kesepakatan sosial.

Ketika dilihat dengan kaca mata kaedah fiqh, maka trafficking harus dihilangkan

karena membawa kemadharatan. Ada kaedah fiqh yang berbunyi adl-dlararu yuzalu (semua

hal yang menderitakan orang harus dihilangkan). Seperti kenyataan yang telah diperlihatkan

kepada kita, persoalan yang dialami para TKI masih terus berlangsung sampai hari ini.

Mereka juga masih banyak yang terperangkap dalam benang kusut trafficking. Trafficking,

sebuah nama lain bagi praktek perbudakan gaya baru. Ketika Islam datang, perbudakan

merupakan lembaga yang telah membudaya, tidak saja di kawasan Arabia, tetapi juga merata

36

Teguh Prasetyo & Abdul Halim Barkatullah, Politik Hukum Pidana; Kajian Kebijakan Kriminalisasi dan

Dekriminalisasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005, hlm. 51.

Page 54: skripsi trafficking menurut uu no 21 tahun 2007 menurut perspektif hukum pidana islam

liv

di bagian-bagian dunia yang lain. Islam mengimbau kepada para pemilik budak untuk

bersikap manusiawi terhadap budak-budak mereka, serta menjanjikan pahala yang besar

kepada mereka yang memerdekakan budak mereka.

Bahkan, hukum pidana Islam mengharuskan kepada pelaku tindakan pidana tertentu

untuk memerdekakan budak (tahrir raqabah) sebagai bagian dari pembayaran “denda”.

Banyak di antara budak yang telah dimerdekakan itu menjadi sahabat-sahabat dekat Nabi,

diantaranya Salman al-Farisi dan Bilal bin Rabah yang dikenal sebagai muadzdzin ar-Rasul.

Prinsip penghormatan dan kasih sayang, ini secara logis kemudian menjadi dasar

peletakan pondasi pembahasan hukum Islam dan bangunan etika dalam berelasi antarsesama.

Seperti perlunya berbuat baik, pelarangan tindak kekerasan, dan pernyataan perang terhadap

segala bentuk kezaliman. Bentuk-bentuk pelanggaran yang ada pada kejahatan trafficking

bisa dikatagorikan sebagai tindakan kezaliman. Karena dalam perspektif Islam seperti

kezaliman bisa berupa pengambilan hak orang lain, baik yang menyangkut harta benda, jiwa,

maupun harga diri seseorang.

Prinsip ini juga menjadi basis dari relasi sosial dalam kehidupan manusia. Itu

sebabnya, seseorang tidak boleh bertindak zalim terhadap yang lain. Sebaliknya, setiap orang

harus saling berbuat baik dan membantu satu sama lain, yang kuat, misalnya, membantu yang

lemah. Dalam hubungan buruh dan majikan, misalnya, Rasulullah SAW menganjurkan agar

para majikan segera memberikan upah buruh sebelum keringatnya kering. Para buruh juga

memiliki hak, terutama hak untuk diperlakukan secara manusiawi.

Ajaran Islam menghargai kebebasan manusia dimanapun dan kapanpun. Dalam

banyak sekali ayat-ayat Al-Qur'an, Allah menyatakan bahwa kita harus menghargai hak,

mengasihi, menolong, membebaskan, dan berlaku adil kepada orang lain. Di samping itu,

Allah memerintahkan kita untuk memerdekakan budak, Allah memerintahkan kita berjuang

untuk merubah nasib agar lebih baik, Allah juga berjanji akan memberikan balasan terhadap

Page 55: skripsi trafficking menurut uu no 21 tahun 2007 menurut perspektif hukum pidana islam

lv

apa yang dikerjakan oleh manusia. Berjihad untuk melawan penindasan adalah sebuah

kewajiban bagi kaum muslimin.37

Rasulullah SAW dalam khutbahnya menyatakan bahwa darah dan harta seseorang

harus dilindungi, jangan sampai ada yang mengganggu. Semangat dalam khutbah tersebut

ialah kita harus menegakkan kebebasan.38

Kebebasan orang lain hanya bisa dibatasi oleh hak

orang lain dan perjanjian-perjanjian yang dibuat secara sukarela atas dasar keadilan dan

persamaan, bukan atas dasar kepentingan orang yang lebih kaya.39

Rasulullah SAW memerintahkan pada umatnya untuk menolong para fakir, miskin,

yatim, orang-orang terlantar, budak dan lain sebagainya. Semua itu diperjuangkan oleh

Rasulullah SAW untuk memberikan pemahaman sebenarnya Islam adalah agama yang turun

untuk membebaskan.40

Jika difahami secara teliti, sesungguhnya Islam adalah agama egaliter

yang anti perbudakan karena tidak sesuai dengan fitrah yang diberikan Allah kepada

manusia. Ini sesuai dengan firman Allah dalam Al-Qur’an surat Al-Isra’ ayat 70 :41

ô‰s)s9 uρ $oΨøΒ §� x. û Í_ t/ tΠ yŠ# u öΝßγ≈ oΨù=uΗxq uρ ’Îû Îh�y9ø9 $# Ì� ós t7ø9 $#uρ Νßγ≈ oΨø%y— u‘uρ š∅ÏiΒ ÏM≈t7 ÍhŠ©Ü9 $# óΟßγ≈ uΖù=āÒ sùuρ 4’ n? tã

9�� ÏVŸ2 ô£ϑÏiΒ $ oΨø)n=yz WξŠÅÒ ø�s? ∩∠⊃∪

“Sungguh kami muliakan seluruh umat manusia. Kami angkut mereka di lautan dan di

daratan. Kami beri rizki mereka yang baik baik dan kami beri mereka keutamaan melebihi

banyak makhluk lain yang telah kami ciptakan.”

Manusia tidak boleh dijadikan komoditas perdagangan. Dalam jual beli manusia,

mengindikasikan tidak ada jaminan kebebasan. Seseorang bisa dijual oleh pemiliknya tanpa

37

Zuhairi Misrowi dan Novriantoni, Doktrin Islam Progresif; Memahami Islam Sebagai Jalan Rahmat, Jakarta:

LSIP, 2004, hlm. V. 38

Asrori S. Karni, ed, Pesan-Pesan Taqwa Nurcholish Masjid; Kumpulan Khutbah Jum‟at di Paramadina,

Jakarta: Paramadina, 2005, hlm. 75. 39

Ashgar Ali Enginer, Islam dan teologi Pembebasan, Jakarta: Pustaka Pelajar, 2006, hlm. 70 40

Ashgar Ali Enginer, Islam and Its Relevance to Our Age, Terjemahan Hairus Salim dan Imam Baehaqi,

Yogyakarta: LKiS, 1993, hlm. 9. 41

Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Semarang: Thoha Putra, hlm. 435.

Page 56: skripsi trafficking menurut uu no 21 tahun 2007 menurut perspektif hukum pidana islam

lvi

persetujuan dirinya sendiri, dan dia tidak punya hak untuk menolak jual beli itu. Ini sangat

ditentang oleh Islam. Dalam gambaran masyarakat yang ideal tidak ada tempat bagi praktek

perbudakan seperti itu, karena dalam masyarakat ideal menjunjung keadilan dan tidak ada

kezaliman.42

Pada zaman Nabi Ibrahim AS sudah terjadi perbudakan, hal ini ditunjukkan oleh

kisah Sarah yang memberikan jariyahnya (budak wanita) yaitu Hajar kepada Nabi Ibrahim

AS untuk dinikahi. Demikian pula pada zaman Ya’qub AS, orang merdeka di masa itu bisa

menjadi budak dalam kasus pencurian, yaitu si pencuri diserahkan kepada orang yang ia

ambil hartanya untuk dijadikan budak.

Sistem perbudakan yang terjadi di Arab pada waktu itu sangatlah rumit untuk dirubah.

Islam tidak secara drastis dan serta-merta menghapuskan perbudakan karena akan berdampak

negatif. Ini karena tradisi perbudakan telah berlangsung sejak berabad-abad lamanya,

sehingga budak-budak itu belum siap untuk serta merta dimerdekakan. Mereka belum

terbiasa mandiri dan tidak memiliki sumber kehidupan yang cukup untuk mandiri. Menurut

Sayyed Hossen Nasr, dalam sejarah Islam terdapat dua sistem yang diterapkan dalam rangka

menghapuskan sistem perbudakan yang amat menguasai sistem sosial ketika itu. pertama,

mempersempit pintu rekruitmen budak-budak baru; kedua, membuka pintu seluas-luasnya

bagi pemerdekaan budak.43

Islam sangat menghargai kemanusiaan setiap orang, dan karenanya Islam memiliki

langkah-langkah untuk menghapus perbudakan dalam Al-Qur’an surat Al-Nur ayat 33 :44

42

Ali Nurdin, Qur’anic society; menelusuri masyarakat ideal dalam Al-Qur’an, Jakarta: Erlangga, 2006, hlm.

248. 43

Sayyed Hossein Nasr, The Heart of Islam, Terjemahan Nurasiah Fakih Sutan Harahap, Pesan-pesan

Universal Islam Untuk Kemanusiaan, Bandung: Mizan, 2003, hlm. 218 44

Op.cit, hlm. 549.

Page 57: skripsi trafficking menurut uu no 21 tahun 2007 menurut perspektif hukum pidana islam

lvii

É# Ï�÷ètGó¡uŠø9 uρ tÏ% ©!$# Ÿω tβρ߉Åg s† % ·n% s3ÏΡ 4 ®Lym ãΝåκu� ÏΖøó ムª!$# ÏΒ Ï& Î#ôÒ sù 3 tÏ%©!$#uρ tβθ äótGö6 tƒ |=≈tGÅ3ø9 $# $ £ϑÏΒ

ôM s3n=tΒ öΝä3ãΖ≈ yϑ÷ƒ r& öΝèδθç7 Ï?% s3sù ÷βÎ) öΝçGôϑÎ=tæ öΝÍκ� Ïù # Z�ö� yz ( Νèδθè?#u uρ ÏiΒ ÉΑ$ ¨Β «!$# ü“Ï% ©!$# öΝä38s?#u 4 Ÿωuρ

(#θ èδÌ� õ3è? öΝä3ÏG≈ uŠtGsù ’n? tã Ï !$ tó Î7ø9 $# ÷βÎ) tβ÷Š u‘r& $ YΨ÷Á ptrB (#θäótGö;tGÏj9 uÚt� tã Íο4θ uŠptø: $# $ u‹÷Ρ‘‰9 $# 4 tΒ uρ £‘γδ Ì�õ3ム¨βÎ* sù

©!$# . ÏΒ Ï‰÷èt/ £Îγ Ïδ≡ t�ø.Î) Ö‘θ à�xî ÒΟ‹Ïm §‘ ∩⊂⊂∪

“Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya,

sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya. dan budak-budak yang kamu

miliki yang memginginkan perjanjian, hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka, jika

kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah kepada mereka sebahagian

dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu. dan janganlah kamu paksa budak-budak

wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri mengingini kesucian, Karena

kamu hendak mencari keuntungan duniawi. dan barangsiapa yang memaksa mereka, Maka

Sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka)

sesudah mereka dipaksa (itu)”.

Dalam surat Al-Nur ayat 33 tersebut, menurut Hussen Muhammad mengandung

empat hal, yaitu : Pertama, kewajiban melindungi mereka yang dilemahkan yaitu budak

perempuan. Kedua, kewajiban memberi ruang kebebasan atau kemerdekaan kepada orang-

orang yang terperangkap dalam praktik perbudakan. Ketiga, kewajiban menyerahkan hak-hak

ekonomi mereka. Keempat, haramnya mengeksploitasi integritas tubuh perempuan untuk

kepentingan-kepentingan duniawi (ekonomi,kekuasaan, dan kebanggaan).45

Paragraf terakhir dari ayat tersebut sengaja diturunkan Allah untuk membatalkan

praktek-praktek “trafficking in women” yang umum dilakukan masyarakat Arab ketika itu.

Ayat ini diturunkan untuk merespon kasus Abdullah bin Ubay bin Salul, tokoh utama kaum

munafik. Dia memaksa para budak perempuannya untuk melacur sebagai cara untuk

memperoleh beberapa kepentingan pribadinya. Para ahli tafsir menyebut nama budak

perempuan Ubay bin Salul, yaitu; Masikah dan Mua’dzah. Mereka juga menyebut

kepentingan Ubay bin Salul melacurkan budaknya dengan paksa bahkan tidak jarang

45

L.M. Gandhi Lapian, Hetty A.Geru, Trafiking perempuan dan anak, Yayasan obor Indonesia, Jakarta, 2010,

hlm. 99

Page 58: skripsi trafficking menurut uu no 21 tahun 2007 menurut perspektif hukum pidana islam

lviii

memukulnya, yaitu antara lain: demi uang, mendapat keturunan orang terhormat, berdarah

Quraisy yang diharapkan akan menjadi pemimpin masyarakat, dan demi mendapat pahala

dan kehormatan.

Kasus perdagangan perempuan tersebut memang terjadi pada perempuan budak

belian. Kasus-kasus semacam ini tidak hanya dilakukan oleh Ubay bin Salul, tetapi populer

dalam masyarakat Arab pada saat itu. Praktik rumah bordil juga berlaku di sana. Model

eksploitasi tersebut hari ini mberubah dalam bentuk yang lebih canggih. Modus operandinya

juga beragam. Eksploitasi tersebut berganti nama menjadi Trafficking. Ini lebih jahat

daripada perbudakan lama, karena justru dilakukan terhadap orang-orang yang sudah

merdeka.

Islam mengharamkan praktek perdagangan manusia, terutama perempuan dan anak,

sekaligus menyatakannya sebagai menentang dan melanggar hak-hak kemanusiaan. Islam

juga menegaskan keharusan penghapusannya, melalui tiga cara, yakni pencegahan,

perlindungan terhadap korban, dan menghukum pelakunya dengan hukuman yang berat.

Islam juga menyatakan secara eksplisit bahwa korban perdagangan manusia bukanlah orang

yang berdosa dan karena itu harus dibebaskan dan tidak boleh dikriminalisasi.

Untuk melihat kasus trafficking merupakan jenis jarimah apa, maka dapat dilihat

dalam firman Allah dalam QS. Al-Nur: 33:46

É# Ï�÷ètGó¡uŠø9 uρ tÏ% ©!$# Ÿω tβρ߉Åg s† % ·n% s3ÏΡ 4 ®Lym ãΝåκu� ÏΖøó ムª!$# ÏΒ Ï& Î#ôÒ sù 3 tÏ%©!$#uρ tβθ äótGö6 tƒ |=≈tGÅ3ø9 $# $ £ϑÏΒ

ôM s3n=tΒ öΝä3ãΖ≈ yϑ÷ƒ r& öΝèδθç7 Ï?% s3sù ÷βÎ) öΝçGôϑÎ=tæ öΝÍκ� Ïù # Z�ö� yz ( Νèδθè?#u uρ ÏiΒ ÉΑ$ ¨Β «!$# ü“Ï% ©!$# öΝä38s?#u 4 Ÿωuρ

(#θ èδÌ� õ3è? öΝä3ÏG≈ uŠtGsù ’n? tã Ï !$ tó Î7ø9 $# ÷βÎ) tβ÷Š u‘r& $ YΨ÷Á ptrB (#θäótGö;tGÏj9 uÚt� tã Íο4θ uŠptø: $# $ u‹÷Ρ‘‰9 $# 4 tΒ uρ £‘γδ Ì�õ3ム¨βÎ* sù

©!$# . ÏΒ Ï‰÷èt/ £Îγ Ïδ≡ t�ø.Î) Ö‘θ à�xî ÒΟ‹Ïm §‘ ∩⊂⊂∪

46

Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Semarang: Thoha Putra, hlm. .

Page 59: skripsi trafficking menurut uu no 21 tahun 2007 menurut perspektif hukum pidana islam

lix

“Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya,

sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya. dan budak-budak yang kamu

miliki yang memginginkan perjanjian, hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka, jika

kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah kepada mereka sebahagian

dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu. dan janganlah kamu paksa budak-budak

wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri mengingini kesucian, Karena

kamu hendak mencari keuntungan duniawi. dan barangsiapa yang memaksa mereka, Maka

Sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka)

sesudah mereka dipaksa (itu)”.

Bila dilihat dari sudut pandang ushul fiqh, maka trafficking dapat di dekati dengan

qiyas (analogy hukum) sama dengan penganiayaan karena para korban dieksploitasi. Qiyas

memiliki rukun yang terdiri dari empat hal:

1. Asal (pokok), yaitu apa yang terdapat dalam hukum nashnya. Disebut dengan al maqis

alaihi. Dalam hukum asal ini, adalah yang dapat dijadikan sebagai dasar. Hukum

memaksa untuk melakukan perzinaan adalah haram/tidak boleh.

2. Fara’ (cabang), yaitu sesuatu yang belum terdapat nash hukumnya, disebut pula al-maqis.

Dalam hal ini Perdagangan orang (trafficking) dapat dimasukkan dalam kasus yang belum

ada hukumnya.

3. Hukm al-asal, yaitu hukum syar’i yang terdapat dalam dalam nash dalam hukum asalnya.

Adapun hukum dari trafficking adalah haram atau tidak diperbolehkan karena sama

dengan menganiaya dengan mengeksploitasi korban.

4. Illat, adalah sifat yang didasarkan atas hukum asal atau dasar qiyas yang dibangun

atasnya. Adapun illat dari aniaya dan trafficking adalah perusakan terhadap anggota

badan.

Trafficking dapat dikatakan telah melanggar hak-hak kemanusiaan. Seperti

perlindungan terhadap keyakinan agama (hifzh ad-din), perlindungan terhadap jiwa (hifz an-

nafs), perlindungan terhadap pikiran (hifzh an-aql), perlindungan terhadap keturunan (hifzh

an-nasl), dan perlindungan terhadap harta benda (hifzh al-mal). Setiap keputusan hukum

yang mengandung perlindungan terhadap lima hal ini adalah kemaslahatan (maslahat) dan

Page 60: skripsi trafficking menurut uu no 21 tahun 2007 menurut perspektif hukum pidana islam

lx

setiap yang mengabaikannya adalah kerusakan (mafsadat). Menolak kemaslahatan adalah

kemadharatan. Jadi, dalam kacamata hukum pidana Islam, trafficking dapat dikategorikan

sebagai jarimah penganiayaan yang disengaja (al-jinayah ala maaduuna al-nafsi amdan). Itu

dikarenakan trafficking masuk dalam jarimah inabah (perusakan) terhadap athraf (anggota

badan).

Di Indonesia, peraturan tentang perdagangan orang sudah diatur dalam Undang-

Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.

Dalam undang-undang tersebut dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan tindak pidana

perdagangan orang adalah “tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman,

pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan,

penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekerasan atau posisi rentan,

penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari

orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara

maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.47

Eksploitasi adalah tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban yang meliputi tetapi

tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik serupa

perbudakan, penindasan, pemerasan, pemanfaatan fisik, seksual, organ reproduksi, atau

secara melawan hukum memindahkan atau mentrasplantasi organ dan/atau jaringan tubuh

atau memanfaatkan tenaga atau kemampuan seseorang oleh pihak lain untuk mendapatkan

keuntungan baik materiil maupun immateriil.48

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 juga merumuskan mengenai ruang lingkup

Tindak Pidana Perdagangan Orang, yaitu:49

47

Henny Nuraeny, Tindak Pidana Perdagangan Orang; Kebijakan Hukum Pidana dan Pencegahannya, Sinar

Grafika, Jakarta,2011, hlm. 98. 48

Undang-undang Nomor 12 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang BAB I

pasal 1(7). 49

Henny Nuraeny, Op.cit.

Page 61: skripsi trafficking menurut uu no 21 tahun 2007 menurut perspektif hukum pidana islam

lxi

1. Setiap tindakan atau serangkaian tindakan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana

yang ditentukan dalam undang-undang ini (Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007).

Selain itu, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 juga melarang setiap orang yang

memasukan orang ke wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) untuk

eksploitasi;

2. Membawa Warga Negara Indonesia (WNI) ke luar wilayah NKRI untuk tujuan

eksploitasi;

3. Mengangkat anak dengan menjanjikan sesuatu atau memberikan sesuatu untuk maksud

eksploitasi;

4. Mengirimkan anak ke dalam atau ke luar negeri dengan cara apapun; dan setiap orang

yang menggunakan atau memanfaatkan korban TPPO dengan cara melakukan

persetubuhan atau pencabulan, mempekerjakan korban untuk tujuan eksploitasi atau

mengambil keuntungan;

5. Setiap orang yang memberikan atau memasukan keterangan palsu pada dokumen Negara

atau dokumen lain untuk mempermudah TPPO;

6. Setiap orang yang memberikan keterangan palsu, menyampaikan bukti palsu atau barang

bukti palsu, atau mempengaruhi saksi secara melawan hukum;

7. Setiap orang yang menyerang fisik terhadap saksi atau petugas di persidangan perkara

TPPO; setiap orang yang mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsng atau

tidak langsung penyidikan, penuntutan dan persidangan di sidang Pengadilan tehadap

tersangka, terdakwa, atau saksi dalam perkara TPPO; setiap orang yang membantu

pelarian pelaku TPPO;

8. Setiap orang yang memberikan identitas saksi atau korban padahal seharusnya

dirahasiakan.

Page 62: skripsi trafficking menurut uu no 21 tahun 2007 menurut perspektif hukum pidana islam

lxii

Jika merujuk pada definisi di atas, maka tidak ada pembatasan bahwa perdagangan

orang hanya terkait dengan jenis kelamin atau usia tertentu. Perdagangan orang bukanlah

fenomena baru di Indonesia, dan meskipun kriminalisasi perdagangan orang ini dapat terkait

dengan siapa saja, tetapi seringkali mengidentikanya dengan perdagangan perempuan dan

anak. Ini cukup beralasan karena pada banyak kasus, korban perdagangan orang terdiri dari

perempuan dan anak yang menonjol kepermukaan.

B. Nilai Aspek Pelaku Tindak Pidana dalam Undang-Undang No. 21 Tahun 2007

dalam Perspektif Hukum Pidana Islam

Dalam hukum pidana Islam, aspek seseorang yang dapat disebut sebagai pelaku suatu

tindak pidana memiliki ketentuan-ketentuan tertentu. Secara umum ada tiga syarat yang dapat

menjadikan seseorang harus mempertanggungjawabkan tindakannya secara hukum pidana

Islam. Ketiga syarat tersebut adalah sebagai berikut:50

1. Adanya perbuatan yang dilarang;

2. Perbuatan itu dikerjakan dengan kemauan sendiri;

3. Pelaku mengetahui akibat perbuatannya itu.

Sedangkan dalam beberapa hal, pelaku sebagai aspek pidana dalam hukum Islam

dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

1. Ditinjau dari jumlah dan jenis pelaku

Ditinjau dari jumlah pelakunya, dalam hukum pidana Islam dapat dibedakan

menjadi dua, yakni tindak pidana – yang dalam konteks hukum pidana Islam juga disebut

dengan istilah jarimah – yang dilakukan secara perorangan dan yang dilakukan secara

berkelompok. Terkait dengan pelaku tindak pidana dalam UU No. 21 Tahun 2007 tentang

Tindak Pidana Perdagangan Orang, dalam konteks hukum pidana Islam, pelaku yang

50

Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1986, hlm. 154

Page 63: skripsi trafficking menurut uu no 21 tahun 2007 menurut perspektif hukum pidana islam

lxiii

terdiri dari perorangan dan kelompok dapat diterima sedangkan pelaku yang disandarkan

pada korporasi tidak dapat diterima.

Maksud dari tidak dapat diterimanya korporasi sebagai pelaku adalah bahwa

dalam hukum Islam, tidak berlaku suatu hukuman terhadap kelembagaan melainkan

terhadap perorangan. Hal ini seperti diungkapkan oleh Abdul Qadir Audah yang

menyatakan bahwa salah satu syarat hukuman adalah bersifat pribadi atau perorangan.51

Syarat hukuman tersebut secara tidak langsung berdampak pada asumsi bahwa selain

orang tidak dapat disebut atau dinyatakan sebagai pelaku tindak pidana. Terkait dengan

elemen jenis pelaku, penulis lebih sepakat dengan ketentuan pelaku dalam konteks hukum

pidana Islam. Hal ini penulis dasarkan pada dua alasan.

Pertama, pada dasarnya yang membuat tujuan, program kerja, serta yang

menjalankan kegiatan suatu korporasi adalah orang atau manusia. Jadi secara tidak

langsung, kesalahan (tindak pidana) yang diasumsikan pada suatu perusahaan atau

korporasi tidak dapat berdiri sendiri dengan anggapan bahwa tindak pidana tersebut

dilakukan oleh korporasi melainkan tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang

yang bekerja pada perusahaan atau korporasi tersebut. Secara lebih lanjut, meskipun

korporasi – yang dapat dianggap sebagai pelaku dalam UU No. 21 Tahun 2007 tentang

TPPO – telah dibekukan, bukan berarti hilang kesempatan bagi orang-orang yang berbuat

atas nama korporasi tersebut untuk mendirikan korporasi dengan nama lain namun

bertujuan sama.

Kedua, apabila melihat elemen sanksi – sebagaimana disebutkan dalam Pasal 15

ayat (2) UU No. 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang – maka

sanksi tersebut secara tidak langsung akan berdampak negatif terhadap orang-orang

dalam perusahaan atau korporasi yang tidak terlibat secara langsung dalam tindak pidana

51

Abdul Qadir Audah, at-Tasyri’al-Jinaiy al-Islamiy, Juz I, Beirut: Daar al-Kitab al-Arabiy, t.th., hlm. 630.

Page 64: skripsi trafficking menurut uu no 21 tahun 2007 menurut perspektif hukum pidana islam

lxiv

yang mengatasnamakan korporasi. Apabila sanksi tersebut diberlakukan, maka akan

muncul ketidakadilan terhadap orang-orang yang tidak terlibat. Ketidakadilan tersebut

lebih dikarenakan dengan adanya sanksi yang diberikan kepada korporasi akibat adanya

asumsi korporasi sebagai pelaku tindak pidana, maka orang yang tidak terlibat langsung

atau bahkan yang tidak terlibat sama sekali akan kehilangan mata pencaharian. Hal ini

juga didukung dengan ketentuan hukum dalam Pasal 59 KUHP yang menyatakan sebagai

berikut:52

Dalam hal-hal di mana karena pelanggaran ditentukan pidana terhadap pengurus

anggota-anggota badan pengurus atau komisaris-komisaris, maka pengurus, anggota

badan pengurus atau komisaris yang ternyata tidak ikut campur melakukan

pelanggaran tidak dipidana

Dari kedua alasan di atas dapat diketahui bahwa anggapan korporasi sebagai pelaku

tindak pidana – sebagaimana dinyatakan dalam UU No. 21 Tahun 2007 tentang TPPO –

kurang tepat karena pada dasarnya penggerak dan pelaksana dari korporasi adalah orang.

Dalam arti yang sederhana, sebuah korporasi tidak akan dapat bergerak apalagi berbuat

tindak pidana tanpa adanya manusia atau orang di dalamnya.

Memang secara kelembagaan, korporasi memiliki tanggung jawab hukum dengan

adanya ketentuan mengenai badan hukum korporasi tersebut. Namun menurut penulis, hal itu

pada hakekatnya adalah sebagai legalitas hukum suatu tindakan yang diatasnamakan suatu

korporasi dan bukan bermakna suatu tindakan yang dilakukan suatu korporasi. Oleh sebab

itu, dalam kaitannya dengan suatu tindak pidana yang mengatasnamakan suatu korporasi,

kurang tepat jika kemudian melahirkan asumsi bahwa korporasi adalah pelakunya, terlebih

lagi manakala tindak pidana tersebut hanya diketahui, direncanakan, dan dilaksanakan oleh

beberapa orang dari korporasi tersebut.

52

Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP, Jakarta: Rineka Cipta, 2007, hlm.28.

Page 65: skripsi trafficking menurut uu no 21 tahun 2007 menurut perspektif hukum pidana islam

lxv

2. Ditinjau dari keterlibatan dalam melakukan tindak pidana

Klasifikasi pelaku ditinjau dari keterlibatan dalam melakukan tindak pidana dapat

dibedakan menjadi dua, yakni pelaku langsung dan pelaku tidak langsung. Pelaku langsung

adalah seseorang yang melakukan secara langsung perbuatan yang dianggap sebagai tindak

pidana meskipun tidak sampai selesai. Pelaku langsung adakalanya keterlibatannya akibat

kebetulan dan adakalanya sudah direncanakan. Sedangkan pelaku tidak langsung adalah

pelaku yang tidak terlibat secara langsung namun hanya melalui tindakan-tindakan

menyuruh, menghasut, atau memberikan bantuan.53

Terkait dengan pelaku dalam Pasal 2 UU No. 21 Tahun 2007 tentang TPPO, dalam

konteks hukum pidana Islam dapat dikategorikan sebagai berikut:

a. Pelaku langsung

Apabila seseorang tersebut melakukan seluruh atau sebagian tindakan yang

disebut dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 21 Tahun 2007 tentang TPPO secara langsung dan

dilakukan oleh dirinya sendiri dan berhubungan dengan tujuan yang diharapkan (akibat

yang diinginkan dari perbuatannya tersebut). Pelaku langsung dalam Pasal 2 ayat (1)

dalam kajian hukum pidana Islam adalah seseorang yang melakukan seluruh tindakan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) namun tidak termasuk dalam hal

perekrutan dalam bentuk mengajak dan mengumpulkan. Sedangkan perekrutan dalam

bentuk pemisahan seseorang dari keluarganya termasuk dalam tindak pidana langsung

dalam konteks hukum pidana Islam.

Perekrutan dalam bentuk mengajak dan mengumpulkan orang untuk melakukan

tindak pidana tidak termasuk dalam tindakan yang dapat menjadikan seseorang sebagai

pelaku langsung. Dasar dari pendapat ini adalah ketentuan dalam hukum Islam yang

53

Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fikih Jinayah, Jakarta: Sinar Grafika,

2004, hlm. 67-70.

Page 66: skripsi trafficking menurut uu no 21 tahun 2007 menurut perspektif hukum pidana islam

lxvi

mana kedua tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai bagian dari menghasut dan

menyuruh.

b. Pelaku tidak langsung

Yakni pelaku yang hanya terbatas pada aspek menyuruh, menghasut, atau

memberikan bantuan. Dalam konteks perbuatan yang dimaksud dalam Pasal 2, maka

perbuatan yang dapat dijadikan sebagai acuan seseorang untuk dianggap sebagai pelaku

tidak langsung adalah seluruh perbuatan yang tersebut dalam Pasal 2 ayat (1) yang mana

seseorang tersebut hanya melakukan perbuatan yang terbatas pada aspek menyuruh,

menghasut, atau memberikan bantuan tanpa adanya keterlibatan secara langsung dalam

perbuatan yang berhubungan dengan akibat yang dihasilkan dari perbuatan tersebut. Hal

ini mengindikasikan bahwa meskipun dalam konteks memisahkan seseorang namun

dilakukan dengan cara menyuruh orang lain, maka hal itu akan menempatkan seseorang

yang menyuruh sebagai pelaku tidak langsung.

Berdasarkan pemaparan di atas, maka dapat diketahui bahwa dalam konteks hukum

pidana Islam, kategorisasi pelaku dari tindak pidana perdagangan orang dalam Pasal 2 dapat

diterima dalam konteks hukum pidana Islam kecuali kategorisasi korporasi sebagai pelaku

tindak pidana. Meski dapat diterima, namun masih terdapat perbedaan pandangan pelaku

dalam konteks hukum pidana Islam dengan Pasal 2 UU No. 21 Tahun 2007 tentang TPPO,

khususnya jika dikaji dalam konteks sanksi.

C. Nilai Aspek Perbuatan (Tindakan) Pidana dalam Undang-Undang No. 21 Tahun

2007 dalam Perspektif Hukum Pidana Islam

Sebelum melangkah lebih jauh dalam melakukan analisa mengenai elemen perbuatan

(tindakan) dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 21 Tahun 2007 tentang TPPO dalam konteks

Page 67: skripsi trafficking menurut uu no 21 tahun 2007 menurut perspektif hukum pidana islam

lxvii

hukum pidana Islam, ada baiknya penulis menguraikan hakekat tindak pidana yang

terkandung dalam pasal tersebut.

Pada dasarnya, tindak pidana perdagangan orang memiliki esensi perbuatan yang

disebutkan dalam Pasal 2 ayat (1):

Setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman,

pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan

kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan

atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun

memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk

tujuan mengeksploitasi orang tersebut di wilayah negara Republik Indonesia.....

Dalam pasal di atas sangat jelas dipaparkan bahwa tujuan dari rangkaian perbuatan

yang disebutkan tidak lain adalah untuk mengeksploitasi korban. Namun tidak semua tindak

pidana perdagangan orang harus ditujukan untuk eksploitasi, seperti pada Pasal 9 yang

disebutkan bahwa “setiap orang yang menggerakkan orang lain untuk melakukan tindak

pidana perdagangan orang dan tindak pidana tersebut tidak terjadi” dapat disebut sebagai

tindak pidana perdagangan orang. Dengan demikian jelaslah bahwa tindak pidana

perdagangan orang tidak selalu diakhiri dengan tujuan eksploitasi.

Dalam hukum pidana Islam, suatu perbuatan atau tindakan dapat dimaknai sebagai

rangkaian suatu proses yang saling bersambung hingga terbentuk suatu tindakan untuk

mencapai tujuan yang dikehendakinya. Fase-fase rangkaian perbuatan dalam hukum pidana

Islam dapat dikelompokkan ke dalam tiga fase yang dapat dijelaskan sebagai berikut:54

1. Fase pemikiran dan perencanaan

Fase ini merupakan fase awal dari suatu tindak perbuatan di mana dalam fase ini,

seseorang baru terbatas pada penggunaan akal mereka untuk memikirkan suatu tindakan

yang akan dilaksanakan. Batasan fase ini adalah belum adanya suatu tindakan yang

dilakukan dalam arti tindakan aktif. Apabila seseorang sudah mengaktualisasikan apa

yang telah menjadi hasil pikirannya, meski baru terbatas pada fase persiapan, maka

54

Ahmad Wardi Muslich, Ibid, hlm. 61-64.

Page 68: skripsi trafficking menurut uu no 21 tahun 2007 menurut perspektif hukum pidana islam

lxviii

tindakan tersebut sudah tidak dapat lagi dimasukkan sebagai fase pemikiran atau

perencanaan.

Dalam Islam, niat memiliki peranan penting. Dari niatlah suatu tindakan akan

dapat terwujudkan. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadits Nabi SAW yang

menyebutkan bahwa sesungguhnya suatu perbuatan sangat bergantung pada niat. Inti dari

hadits Nabi tersebut secara tidak langsung mengindikasikan bahwa niat dan perbuatan

adalah sesuatu kegiatan yang berbeda namun tidak dapat dipisahkan.

2. Fase persiapan

Fase ini merupakan fase lanjutan dari fase pemikiran dan perencanaan. Dalam fase

ini, seseorang baru sebatas mempersiapkan peralatan-peralatan yang dibutuhkan dalam

tindak pidana yang telah direncanakan misalnya, melakukan pembelian senjata atau

memesan kunci palsu. Batasan dari fase persiapan adalah pelaksanaan dari bagian dari

suatu rencana tindak pidana namun belum sampai pada bagian utama dari tindak pidana.

Dalam fase ini, tindakan-tindakan yang dilakukan dapat berbentuk tindak pidana

dan dapat pula berbentuk bukan tindak pidana. Suatu contoh misalnya, seseorang akan

melakukan TPPO. Dalam proses mempersiapkan mobil, orang tersebut dapat membeli

maupun mencuri. Apabila seseorang tersebut mempersiapkan mobil dengan jalan

membeli, maka tindakan dalam persiapan tersebut bukan merupakan tindak pidana.

Namun apabila mobil tersebut didapat dengan cara mencuri, maka dalam persiapan

TPPO, orang tersebut telah melakukan tindak pidana. Manakala orang tersebut

tertangkap, maka orang itu tidak dapat dikenakan sebagai pelaku tindak pidana TPPO

melainkan hanya dikenakan sebagai pelaku pencurian apabila persiapan mobil dilakukan

dengan jalan mencuri.

3. Fase pelaksanaan

Page 69: skripsi trafficking menurut uu no 21 tahun 2007 menurut perspektif hukum pidana islam

lxix

Fase pelaksanaan adalah fase setelah perencanaan dan persiapan. Pada fase ini,

perbuatan seseorang sudah dapat dianggap sebagai jarimah apabila sudah merupakan

perbuatan maksiat. Maksud dari adanya perbuatan maksiat adalah meski perbuatan

tersebut belum sampai pada tujuan akhir dari perencanaan namun telah mengandung

aspek maksiat atau pelanggaran hak, baik hak individu maupun hak sosial. Contohnya

adalah manakala seseorang melakukan pencurian dan baru sebatas menjebol tembok

rumah korban lalu tertangkap, maka orang tersebut sudah dapat dianggap sebagai pelaku

jarimah.

Tindak pidana yang terkandung dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 21 Tahun 2007

apabila dikaji dalam fase perbuatan menurut hukum pidana Islam, maka akan diperoleh

penjelasan sebagai berikut:

1. Kajian fase pemikiran

Secara lebih rinci mengenai aspek perencanaan dalam tindak pidana perdagangan

orang dapat dilihat dalam Pasal 11 UU No. 21 Tahun 2007 yang menyatakan sebagai

berikut:

Setiap orang yang merencanakan atau melakukan pemufakatan jahat untuk

melakukan tindak pidana perdagangan orang dipidana dengan pidana yang

sebagai pelaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5,

dan Pasal 6.

Bunyi pasal tersebut secara tidak langsung mengindikasikan bahwa perencanaan

dan pemufakatan yang dimaksud dalam Pasal 11 berlaku pada sebagian atau seluruh

perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) yang disertai dengan tujuan

eksploitasi. Implikasinya, muncul klaim bahwa Pasal 11 menganggap proses perencanaan

dan pemufakatan sudah merupakan tindak pidana perdagangan orang. Klaim tersebut

dikuatkan dengan keberadaan konsekuensi sanksi yang disamakan dengan Pasal 2, Pasal

3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6 yang merupakan pasal-pasal tindak pidana yang memiliki

asumsi proses pelaksanaan tindak pidana perdagangan orang. Maksudnya adalah apabila

Page 70: skripsi trafficking menurut uu no 21 tahun 2007 menurut perspektif hukum pidana islam

lxx

proses perencanaan dan pemufakatan tersebut hingga mencapai tujuan adanya eksploitasi,

maka orang yang terlibat dalam proses perencanaan dan pemufakatan – baik yang ikut

terlibat dalam fase selanjutnya maupun tidak – dapat disebut sebagai pelaku tindak pidana

dan perbuatannya dapat dikategorikan sebagai tindak pidana perdagangan orang. Namun

jika proses tersebut belum sampai pada selesainya perbuatan, maka proses perencanaan

dan pemufakatan dapat dikategorikan sebagai percobaan tindak pidana perdagangan

orang.

Klaim dalam Pasal 11 di atas terhadap perencanaan dan pemufakatan berbeda

dengan konsep tindak pidana dalam hukum pidana Islam. Dalam hukum pidana Islam,

apabila suatu tindak pidana perdagangan orang, baik seluruh maupun sebagian

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 21 Tahun 2007 masih berupa

proses perencanaan dan pemufakatan, yang mana belum ditindaklanjuti dengan proses

selanjutnya kemudian dihentikan, baik oleh orang yang merencanakan atau karena

tertangkap, maka proses tersebut masuk dalam fase pemikiran atau perencanaan.

Konsekuensi dari masuknya proses perencanaan dan pemufakatan ke dalam fase

pemikiran dan perencanaan dalam konteks hukum pidana Islam adalah tidak dianggapnya

tindakan tersebut sebagai tindak pidana. Hal ini berbeda dengan konteks hukum pidana

Islam.

Tidak masuknya perencanaan dan pemufakatan sebagai tindak pidana dalam

konteks hukum Islam didasarkan pada hadits Nabi yang berbunyi: Abu Hurairah r.a

berkata: Nabi SAW telah bersabda: Sesungguhnya Allah mengampuni umatku karena aku

atas apa yang terlintas dalam hatinya, selama belum dikerjakan atau diucapkan.

2. Kajian fase persiapan

Page 71: skripsi trafficking menurut uu no 21 tahun 2007 menurut perspektif hukum pidana islam

lxxi

Tindakan dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 21 Tahun 2007 tentang TPPO apabila

dikaji dalam fase persiapan dalam konteks hukum pidana Islam maka akan ditemukan

bahwa setiap perbuatan dari masing-masing perbuatan yang tersebut dalam Pasal 2 ayat

(1) yang masih dalam tahapan mempersiapkan peralatan atau sarana yang akan digunakan

dalam tindak pidana namun belum sampai pada pelaksanaan tindak pidana perdagangan

orang dapat dikategorikan sebagai tindakan persiapan. Namun apabila tindakan persiapan

tersebut kemudian dilanjutkan dengan pelaksanaan tindak pidana perdagangan orang dan

telah terjadi, maka tindakan persiapan sudah tidak masuk dalam tindakan persiapan

melainkan sudah dapat termasuk maupun tidak termasuk dalam tindak pidana

perdagangan orang. Disebut dapat masuk dalam tindak pidana perdagangan orang apabila

orang yang melakukan persiapan tersebut juga terlibat dalam tindakan selanjutnya dalam

tindak pidana perdagangan orang hingga tercapainya tujuan dari tindak pidana tersebut.

Sedangkan disebut tidak dapat termasuk tindak pidana perdagangan orang manakala

orang yang mempersiapkan tidak ikut terlibat dalam tindakan selanjutnya dalam tindak

pidana perdagangan orang. Salah satu tindakan yang dapat masuk dalam kategori ini

adalah tindakan dalam bentuk memberikan bantuan dalam mempersiapkan sarana atau

alat yang akan digunakan untuk melakukan tindak pidana perdagangan orang.

Anggapan dalam hukum pidana Islam tersebut berbeda dengan UU No. 21 Tahun

2007 tentang TPPO yang menyatakan bahwa perbuatan membantu dapat dikategorikan

sebagai bagian dari percobaan. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam Pasal 10 UU No.

21 Tahun 2007 tentang TPPO sebagai berikut:

Setiap orang yang membantu atau melakukan percobaan untuk melakukan tindak

pidana perdagangan orang dipidana dengan pidana yang sama dengan sanksi

pidana dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6.

Dalam pasal di atas secara tidak langsung menjelaskan bahwa setiap orang yang

memberikan bantuan, meskipun tidak ikut terlibat tindakan selanjutnya dalam tindak

Page 72: skripsi trafficking menurut uu no 21 tahun 2007 menurut perspektif hukum pidana islam

lxxii

pidana perdagangan orang sudah termasuk pelaku tindak pidana perdagangan orang.

Konsekuensinya adalah apabila sampai terjadi eksploitasi dalam tindak perdagangan

orang, maka tindakan memberikan bantuan akan berakibat sanksi yang sama dengan

tindakan perdagangan orang. Sedangkan apabila tidak tercapai tujuan, maka akan

termasuk dalam perbuatan percobaan tindak pidana perdagangan orang.

Di samping ketentuan yang dijelaskan di atas, aspek kegiatan membantu dalam

Pasal 10 UU No. 21 Tahun 2007 tentang TPPO memiliki batasan ruang lingkup. Meski

tidak disebutkan dalam pasal tersebut, batasan ruang lingkup memberikan bantuan yang

dimaksud adalah adanya bantuan yang dilakukan secara sengaja. Hal ini sebagaimana

disandarkan pada ketentuan kegiatan memberi bantuan dalam KUHP Pasal 56 berikut ini:

Dipidana sebagai pembantu kejahatan:

1. Mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan;

2. Mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk

melakukan kejahatan.55

Berdasarkan Pasal 56 KUHP di atas, maka dapat diketahui bahwa kegiatan

membantu yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana adalah kegiatan membantu

yang disengaja. Dengan demikian, kegiatan membantu yang tanpa disengaja tidak akan

termasuk sebagai tindak pidana.

Menurut penulis, istilah “sengaja” mengandung makna bahwa perbuatan yang

dilakukan didasari adanya aspek mengetahui dari orang yang memberikan bantuan. Hal

ini dikarenakan kesengajaan identik dengan adanya pengetahuan dari pemberi bantuan

tentang akibat-akibat yang timbul dari pemberian bantuan yang dilakukannya.

Penjelasan di atas mengindikasikan bahwa terdapat persamaan dan perbedaan

dalam konteks kegiatan memberi bantuan suatu tindak pidana antara UU No. 21 Tahun

2007 tentang TPPO dengan hukum pidana Islam. Persamaan tersebut adalah dalam aspek

55

Andi Hamzah, Op.cit, hlm. 27.

Page 73: skripsi trafficking menurut uu no 21 tahun 2007 menurut perspektif hukum pidana islam

lxxiii

mengetahui, sedangkan perbedaannya adalah dalam hal status orang yang memberikan

bantuan.

Menurut hukum pidana Islam, orang yang memberi bantuan tapi tidak mengetahui

akibat dari pemberian bantuannya tidak dapat dikategorikan sebagai bagian dari tindak

pidana. Hal ini disandarkan pada aspek syarat perbuatan dalam hukum pidana Islam yang

menyatakan bahwa perbuatan harus diketahui oleh mukallaf dengan sempurna.56

Jadi

apabila seseorang yang memberikan bantuan tanpa mengetahui dampak dari perbuatan

yang dilakukannya tidak dapat disebut sebagai pelaku dari perbuatan tindak pidana

karena tidak memenuhi syarat dari tindak pidana menurut hukum pidana Islam. Hal ini

pun sama dengan yang dimaksud dengan batasan memberi bantuan dalam Pasal 10 UU

No. 21 Tahun 2007 tentang TPPO jo KUHP Pasal 56.

Dalam konteks hukum pidana Islam, seseorang yang membantu pelaksanaan suatu

tindak pidana tidak dapat disebut sebagai pelaku tindak pidana sebagaimana yang

dimaksud dengan kategori tindak pidana melainkan hanya dipandang sebagai orang yang

memberikan bantuan. Hal ini nantinya berdampak pada jenis sanksi yang akan diterima.

Menurut hukum Islam, seseorang akan dikenakan hukuman sesuai dengan hasil

perbuatan yang diperbuatnya. Hal ini sebagaimana disebutkan Allah dalam salah satu

firman-Nya dalam Al-Qur’an surat Al-Najm ayat 39:

βr&uρ }§øŠ©9 Ç≈ |¡ΣM∼Ï9 āω Î) $ tΒ 4 tëy™ ∩⊂∪

“Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah

diusahakannya”

Oleh sebab itu, dalam hal kriteria orang yang membantu, Islam membedakan

antara orang yang memberi bantuan atas dasar telah mengetahui maksud dan tujuan orang

56

Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fikih Jinayah, Jakarta: Sinar Grafika,

2004, hlm. 31.

Page 74: skripsi trafficking menurut uu no 21 tahun 2007 menurut perspektif hukum pidana islam

lxxiv

yang meminta bantuan dan orang yang memberikan bantuan tanpa didasari pengetahuan

tentang apa akibat dari pemberian bantuannya. Hal ini berbeda dengan ketentuan Pasal 10

UU No. 21 Tahun 2007 tentang TPPO jo KUHP Pasal 56 yang tetap memasukkan orang

yang memberikan bantuan sebagai pelaku tindak pidana.

3. Kajian fase pelaksanaan

Pelaksanaan tindak pidana perdagangan orang dalam Pasal 2 ayat (1) dapat

dikelompokkan dalam dua kelompok pelaksanaan, yakni:

a. Pelaksanaan tindak pidana perdagangan orang yang berakhir dengan eksploitasi orang

atau telah terjadi eksploitasi orang.

b. Pelaksanaan tindak pidana perdagangan orang yang mana dalam pelaksanaannya

tidak terjadi tindak pidana perdagangan orang.

Penegasan tentang pembatasan tindak pidana dalam aspek pelaksanaan dengan

eksploitasi atau tidak adalah Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 9 yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 2 ayat (2)

Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang

tereksploitasi, maka pelaku dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana

dimaksud pada ayat (1).

Pasal 9

Setiap orang yang berusaha menggerakkan orang lain supaya melakukan tindak

pidana perdagangan orang dan tindak pidana tersebut tidak terjadi…

Dari kedua pasal tersebut dapat diketahui bahwa yang membatasi tindak pidana

perdagangan orang adalah ada atau tidaknya unsur eksploitasi terhadap korban. Selain

dua unsur tersebut, terdapat hal lain yang terkandung dalam Pasal 9 dalam istilah “tidak

terjadi”. Menurut penulis, meski tidak ditulis atau bahkan dijelaskan mengenai batasan

“tidak terjadi” dalam Pasal 9 maupun dalam UU No. 21 Tahun 2007 tentang TPPO,

Page 75: skripsi trafficking menurut uu no 21 tahun 2007 menurut perspektif hukum pidana islam

lxxv

batasan “tidak terjadi” dapat dijelaskan dengan menggunakan KUHP Pasal 53 tentang

percobaan.

”Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata dari

ada adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan

semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri”

Percobaan yang dimaksud dalam pasal di atas terbatas pada percobaan yang tidak

terhenti oleh kehendaknya sendiri. Dengan demikian, dalam konteks hukum positif

Indonesia, orang yang melakukan percobaan namun kemudian dia menghentikan sendiri

percobaan tersebut – tanpa harus ditangkap – maka orang tersebut tidak dapat disebut

telah melakukan tindak pidana. Sedang apabila terhentinya karena tertangkap maka dia

dapat disebut telah melakukan tindak pidana.

Hal ini sama dengan ketentuan hukum pidana Islam yang juga menyatakan bahwa

orang yang melakukan percobaan tindak pidana dan kemudian berhenti karena

keinginannya sendiri tidak dianggap telah melakukan tindak pidana selama belum

menimbulkan kerugian. Namun apabila telah melakukan beberapa bagian dari perbuatan

dan telah menimbulkan kerugian, khususnya materi, maka orang tersebut cukup

mengganti kerugian materi yang telah timbul akibat perbuatannya.

Selain terkandung persamaan, dalam hal percobaan, terdapat juga perbedaan

antara hukum positif di Indonesia (UU No. 21 Tahun 2007 tentang TPPO jo KUHP Pasal

53) dengan hukum pidana Islam. Perbedaan tersebut terkait dengan status orang yang

melakukan percobaan dan tertangkap. Dalam konteks hukum pidana Islam, tindakan yang

dianggap sebagai percobaan, masing-masing perbuatan atau tindakan memiliki hakekat

sendiri-sendiri namun tetap tidak dapat dikategorikan sebagai suatu tindak pidana

sebagaimana yang dimaksud dalam UU No. 21 Tahun 2007 tentang TPPO jo KUHP

Pasal 53. Perbedaan tersebut mengakibatkan adanya perbedaan sanksi antara hukum

pidana Islam dengan hukum positif tentang tindak pidana perdagangan orang.

Page 76: skripsi trafficking menurut uu no 21 tahun 2007 menurut perspektif hukum pidana islam

lxxvi

Suatu contoh misalnya, seseorang memiliki niat untuk melakukan tindak pidana

perdagangan orang. Lalu dia berangkat menuju rumah korban. Namun sewaktu baru

dapat merusak pintu pagar dan belum melakukan tindak pidana perdagangan orang,

pelaku tersebut telah tertangkap. Dalam hukum pidana Islam, pencuri tersebut tidak dapat

dikenakan sebagai pelaku dari tindak pidana perdagangan orang namun hanya sebatas

pada pelaku pengrusakan. Namun dalam pandangan hukum positif, orang tersebut sudah

dapat disebut sebagai pelaku percobaan tindak pidana perdagangan orang karena telah

memiliki niat dan telah melakukan sebagian dari proses tindak pidana perdagangan orang.

Perbedaan tersebut tentu akan berdampak pada perbedaan sanksi yang akan diterima.

Perbedaan tersebut lebih dikarenakan dalam konteks hukum pidana Islam, tindak

pidana atau yang dikenal dengan istilah "jarimah" diartikan sebagai larangan syara’ yang

dijatuhi sanksi oleh pembuat syari'at (Allah) dengan hukuman had atau ta'zir. Para fuqaha

(yuris Islam) menggunakan kata "jinayah" untuk istilah "jarimah" yang diartikan sebagai

perbuatan yang dilarang. Pengertian "jinayah" atau "jarimah" tidak berbeda dengan

pengertian tindak pidana (peristiwa pidana); delik dalam hukum positif (pidana).

Sebagian para ahli hukum Islam sering menggunakan kata-kata "jinayah" untuk

"jarimah" yang diartikan sebagai perbuatan seseorang yang dilarang saja. Sedangkan

yang dimaksud dengan kata "jinayah" ialah perbuatan yang dilarang oleh syara’, apakah

perbuatan mengenai jiwa atau benda dan lainnya.57

Lebih lanjut, tindak pidana dalam

hukum Islam didasarkan pada niat, jenis perbuatan, dan akibat yang dihasilkan dari tindak

pidana tersebut.

Berdasarkan penjelasan mengenai aspek perbuatan atau tindakan di atas dapat

diketahui bahwa terdapat perbedaan antara hukum pidana Islam dengan Pasal 2 UU No. 21

Tahun 2007 tentang TPPO. Menurut penulis, perbedaan pengelompokkan tindak pidana

57

Rahmad Rosyadi dan Rais Ahmad, Formulasi Syari'at Islam dalam Perspektif Tata Hukum Indonesia, Bogor:

Ghalia Indonesia, 2006, hlm. 123.

Page 77: skripsi trafficking menurut uu no 21 tahun 2007 menurut perspektif hukum pidana islam

lxxvii

antara hukum pidana Islam dengan Pasal 2 UU No. 21 Tahun 2007 terletak pada hakekat

yang berbeda mengenai ketiga hal, yakni hakekat tindak pidana yang telah selesai

sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 hingga Pasal 6 UU No. 21 Tahun 2007, memberikan

bantuan dan melakukan percobaan sebagaimaan dimaksud dalam UU No. 21 Tahun 2007

tentang TPPO jo KUHP Pasal 53 tentang percobaan dan KUHP Pasal 56 tentang pembantu

tindak pidana. Menurut hukum pidana Islam, asumsi dan penuduhan suatu tindak pidana

disandarkan pada akibat yang dihasilkan dari suatu tindak pidana dan tidak hanya terbatas

pada adanya niat. Sedangkan dalam UU No. 21 Tahun 2007 tentang TPPO, suatu tindak

pidana telah dapat disematkan pada tindak pidana seseorang dengan disandarkan pada niat

dari pelaku.

D. Nilai Aspek Sanksi Pidana dalam Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 dalam

Perspektif Hukum Pidana Islam

Aspek sanksi pokok dalam Pasal 2 UU No. 21 Tahun 2007 tentang TPPO dalam

kajian hukum pidana Islam dapat dianalisa melalui pengelompokan sebagai berikut:

1. Aspek sanksi didasarkan pada pelaku

Aspek sanksi yang didasarkan pada pelaku dalam Pasal 2 UU No. 21 Tahun 2007

tentang TPPO terdiri dari sanksi untuk perorangan, sanksi untuk kelompok, dan sanksi

untuk pelaku bukan orang. Sanksi untuk perorangan dan kelompok pada hakekatnya

sama, yakni tergantung selesai atau tidaknya tindak pidana perdagangan orang. Apabila

tindak pidana selesai dilakukan dan diakhiri dengan eksploitasi maka akan dikenakan

sanksi tindak pidana perdagangan orang. Sedangkan apabila tindak pidana tersebut tidak

selesai, maka akan dikenakan sanksi pidana percobaan tindak pidana perdagangan orang.

Tidak ada pembedaan antara hukuman perorangan dan kelompok, bahkan dalam tindak

Page 78: skripsi trafficking menurut uu no 21 tahun 2007 menurut perspektif hukum pidana islam

lxxviii

pidana yang dilakukan oleh kelompok, setiap anggota kelompok akan mendapat sanksi

yang sama antara satu dengan yang lainnya. Sedangkan sanksi untuk pelaku bukan orang

dikhususkan pada korporasi atau perusahaan. Sanksi yang dikenakan kepada korporasi

atau perusahaan adalah pemberatan 3 (tiga) kali dari sanksi perorangan atau kelompok.

Aspek sanksi pidana dalam konteks pelaku pada Pasal 2 UU No. 21 Tahun 2007 tentang

TPPO sangat berbeda dengan konsep sanksi dalam hukum pidana Islam.

Berdasarkan keterlibatan pelaku, pelaku kelompok memang dapat berpeluang

mendapatkan sanksi yang sama manakala setiap anggota kelompok melakukan tindak

pidana yang sama. Namun jika masing-masing anggota kelompok melakukan tindak

pidana yang berbeda dalam konteks tindak pidana perdagangan orang, maka sanksi yang

diterima pun akan berbeda-beda sesuai dengan kadar tindak pidana yang dilakukan oleh

masing-masing anggota kelompok.

Apabila seseorang terlibat dalam tindak pidana namun secara tidak langsung,

seperti memberikan bantuan atau menghasut orang untuk melakukan suatu tindak pidana,

maka dia tidak dapat dikenakan sanksi yang sama dengan pelaku yang terlibat langsung

dalam tindak pidana perdagangan orang. Jadi sanksi yang diberikan kepada pelaku

disandarkan pada keterlibatan pelaku dalam tindakan dan bukan disandarkan pada aspek

kesamaan niat. Apabila pelaku terlibat secara langsung, maka ia akan mendapatkan sanksi

yang lebih besar daripada pelaku yang terlibat tidak langsung.

Berdasarkan jenis pelaku, terdapat perbedaan antara hukum pidana Islam dengan

UU No. 21 Tahun 2007 tentang TPPO. Perbedaan tersebut terletak pada aspek jenis

keaktifan pelaku. Dalam hukum pidana Islam, yang dapat disebut sebagai pelaku adalah

pihak yang mengerjakan tindak pidana. Dari pengertian tersebut maka dalam hukum

pidana Islam pihak yang dapat dikenakan sanksi adalah pihak yang melakukan tindak

pidana.

Page 79: skripsi trafficking menurut uu no 21 tahun 2007 menurut perspektif hukum pidana islam

lxxix

Dengan penjelasan di atas, maka dapat diketahui bahwa dalam hukum pidana

Islam, suatu perusahaan atau korporasi tidak dapat dikenakan sanksi pidana pokok akibat

tindak pidana yang dilakukan oleh orang-orang yang bekerja dalam perusahaan dengan

mengatasnamakan perusahaan atau korporasi. Hal ini berbeda dengan UU No. 21 Tahun

2007 tentang TPPO yang memasukkan korporasi sebagai pelaku yang mana berdampak

pada pemberian sanksi pidana layaknya pelaku pidana. Mengenai penjelasan ini telah

penulis paparkan dalam penjelasan sebelumnya, khususnya mengenai klasifikasi pelaku

pidana.

Berpijak pada ketentuan dalam hukum pidana Islam maupun KUHP Pasal 59,

maka ketentuan dalam Pasal 13 ayat (1) UU No. 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana

Perdagangan Orang kurang tepat manakala sanksi untuk korporasi diberlakukan hanya

karena pelanggaran yang dilakukan oleh satu atau sebagian anggota korporasi. Apabila

diberlakukan, maka secara tidak langsung akan terjadi pelanggaran hukum, khususnya

Pasal 59 KUHP karena adanya pemberian sanksi pidana kepada orang-orang yang tidak

terlibat dalam tindak pidana perdagangan orang. Dalam konteks hukum Islam, sanksi

terhadap korporasi secara tidak langsung mengindikasikan adanya tanggungan dosa atas

tindak pidana yang dilakukan oleh orang lain. Hal ini tidak sesuai dengan ketentuan

dalam Islam yang menyatakan bahwa seseorang tidak dapat menanggung dosa orang lain

sebagaimana disebutkan Allah dalam Al-Qur’an surat Fathir ayat 18:

Ÿωuρ â‘ Ì“s? ×οu‘ Η#uρ u‘ ø— Íρ 2”t� ÷zé& 4 βÎ)uρ äí ô‰s? î' s#s)÷W ãΒ 4’n<Î) $ yγ Î=÷Η¿q Ÿω ö≅yϑøtä† çµ ÷ΖÏΒ Ö óx« öθ s9 uρ tβ% x. #sŒ #’n1ö� è% 3

$ yϑΡÎ) â‘ É‹Ζè? tÏ%©!$# šχöθ t± øƒs† Νåκ®5u‘ Í=ø‹ tó ø9 $$ Î/ (#θ ãΒ$s%r& uρ nο4θ n=¢Á9 $# 4 tΒ uρ 4’ª1 t“s? $ yϑΡÎ* sù 4’ª1 u”tItƒ ϵš ø�uΖÏ9 4

’ n<Î)uρ «!$# ç�� ÅÁ yϑø9 $# ∩⊇∇∪

“Dan orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. dan jika seseorang yang

berat dosanya memanggil (orang lain) untuk memikul dosanya itu tiadalah akan

dipikulkan untuknya sedikitpun meskipun (yang dipanggilnya itu) kaum kerabatnya.

Page 80: skripsi trafficking menurut uu no 21 tahun 2007 menurut perspektif hukum pidana islam

lxxx

Sesungguhnya yang dapat kamu beri peringatan Hanya orang-orang yang takut kepada

azab Tuhannya (sekalipun) mereka tidak melihatNya dan mereka mendirikan

sembahyang. dan barangsiapa yang mensucikan dirinya, Sesungguhnya ia mensucikan

diri untuk kebaikan dirinya sendiri. dan kepada Allahlah kembali(mu).”

2. Aspek sanksi didasarkan perbuatan

Dalam Pasal 2 UU No. 21 Tahun 2007 tentang TPPO disebutkan bahwa tindak

pidana perdagangan orang merupakan serangkaian tindakan yang diniati dengan

keinginan untuk memperdagangkan orang meskipun berakhir dengan adanya eksploitasi

maupun tidak. Pada pasal tersebut, sanksi yang diberikan ada dua macam sanksi yakni

sanksi untuk tindak pidana yang berakhir dengan adanya eksploitasi dan tindak pidana

yang tidak berakhir dengan eksploitasi. Setiap pelaku yang telah melakukan tindak pidana

perdagangan orang, meskipun dengan bagian tindakan yang berbeda-beda, tetap akan

disamakan dalam hal sanksi yang akan diterima. Hal ini berbeda dengan konteks hukum

pidana Islam yang mengenakan sanksi pidana berdasarkan pada perbuatan yang dilakukan

dan akibat yang ditimbulkan dari perbuatan tersebut.

Dengan demikian, dalam konteks hukum pidana Islam, adanya persamaan sanksi

dari setiap perbuatan dalam UU No. 21 Tahun 2007 tentang TPPO tidak dapat diterima.

Menurut hukum pidana Islam, idealnya setiap tindakan tersebut baru dapat dikenakan

hukuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 apabila telah sampai pada pelaksanaan

esensi dari tindak pidana yang ada dalam pasal tersebut, yakni tindak pidana perdagangan

orang. Jadi dalam konteks hukum pidana Islam, selama tidak terkandung esensi tindak

pidana perdagangan orang, maka seseorang tidak dapat dikenakan sanksi tindak pidana

perdagangan orang. Secara kajian hukum pidana Islam, ada beberapa jenis sanksi yang

dapat dikenakan dalam tindak pidana perdagangan orang sebagai berikut:

Page 81: skripsi trafficking menurut uu no 21 tahun 2007 menurut perspektif hukum pidana islam

lxxxi

a. Apabila pelaku tindak pidana perdagangan orang telah melakukan seluruh tindakan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan mengakibatkan orang lain tereksploitasi

maka dapat dikenakan sanksi tindak pidana dengan ketentuan sebagai berikut:

1) Apabila eksploitasi tersebut berupa penjualan orang atau pemanfaatan kerja fisik

dan tidak menyebabkan korban mengalami luka, maka pelaku dapat dikenakan

sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 UU No. 21 Tahun 2007 tentang

TPPO.

2) Apabila eksploitasi tersebut berupa penjualan organ tubuh orang yang didahului

dengan pelukaan terhadap korban, maka pelaku tidak dapat dikenakan sanksi

sebagaimana dimaksud dalam Pasal UU No. 21 Tahun 2007 tentang TPPO

melainkan diberlakukan sanksi qishash-diyat.

3) Apabila eksploitasi tersebut berupa penjualan organ tubuh orang yang didahului

dengan pembunuhan korban, maka pelaku dapat dikenakan sanksi sebagaimana

dimaksud dalam UU No. 21 Tahun 2007 tentang TPPO namun dengan hukuman

yang maksimal, yakni hukuman mati. Namun hukuman tersebut dapat berubah

diyat apabila ada permaafan dari pihak keluarga korban. Dengan demikian,

apabila ada pengampunan, maka dapat dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud

dalam UU No. 21 Tahun 2007 tentang TPPO.

4) Apabila eksploitasi tersebut disertai dengan perzinaan, maka pelaku dikenakan

sanksi sebagai pelaku perzinaan.

5) Apabila dalam eksploitasi tersebut disertai dengan beberapa tindak pidana,

semisal perzinahan dan penganiayaan maka sanksi yang diberikan kepada pelaku

adalah sanksi gabungan dari masing-masing sanksi tindak pidana yang telah

dilakukan.

Page 82: skripsi trafficking menurut uu no 21 tahun 2007 menurut perspektif hukum pidana islam

lxxxii

b. Apabila pelaku tindak pidana perdagangan orang telah melakukan seluruh tindakan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan mengakibatkan orang lain tereksploitasi

maka dapat dikenakan sanksi tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam UU

tersebut.

c. Apabila pelaku hanya melakukan sebagian tindakan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 2 UU No. 21 Tahun 2007 tentang TPPO dan terjadi eksploitasi namun pelaku

tidak terlibat dalam tindakan yang mengandung unsur eksploitasi maka dalam konteks

hukum pidana Islam, pelaku tidak dapat dikenakan sanksi sebagai pelaku langsung

tindak pidana perdagangan orang. Sanksi yang dapat dikenakan kepada pelaku

sebagaimana dimaksud dalam item ini dalam konteks hukum pidana Islam terbatas

pada sanksi sebagai pelaku tindak pidana sesuai dengan tindakan yang dilakukan.

d. Apabila pelaku hanya memberikan bantuan atau menyuruh orang lain untuk

melakukan sebagian atau seluruh tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan

mengakibatkan orang lain tereksploitasi maka orang tersebut tidak dapat dikenakan

sanksi tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam UU tersebut. Menurut hukum

pidana Islam, pelaku tersebut masuk dalam kategori pelaku tidak langsung karena dia

tidak melakukan tindak pidana tersebut melainkan hanya menyuruh yang merupakan

esensi tindak pidana tidak langsung dalam hukum pidana Islam. Dengan demikian,

sanksi yang diberikan kepadanya adalah sanksi sebagai pelaku tidak langsung tindak

pidana perdagangan orang.

e. Apabila pelaku hanya memberikan bantuan atau menyuruh orang lain untuk

melakukan sebagian atau seluruh tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan

tidak mengakibatkan orang lain tereksploitasi maka orang tersebut tidak dapat

dikenakan sanksi tindak pidana sebagai pelaku percobaan sebagaimana dimaksud

dalam UU tersebut. Menurut hukum pidana Islam, pelaku tersebut masuk dalam

Page 83: skripsi trafficking menurut uu no 21 tahun 2007 menurut perspektif hukum pidana islam

lxxxiii

kategori pelaku tidak langsung namun bukan berdasarkan tindak pidana perdagangan

orang melainkan pelaku tidak langsung dari tindak pidana yang telah timbul. Dengan

demikian, sanksi yang diberikan kepadanya adalah sanksi sebagai pelaku tidak

langsung bukan dari tindak pidana perdagangan orang melainkan sebatas pada tindak

pidana yang telah dilakukan.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat diketahui bahwa sanksi pidana tindak

pidana perdagangan orang dalam perspektif hukum pidana Islam tidak dapat hanya

disandarkan pada ketentuan sanksi yang dimaksud dalam Pasal 2 UU No. 21 Tahun 2007

tentang TPPO melainkan dapat disandarkan pada ruang lingkup tindak pidana yang

dilakukan. Dalam konteks jenis jarimah, maka sanksi yang telah penulis jelaskan di atas

dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

a. Apabila terjadi tindak pembunuhan dalam melakukan tindak pidana perdagangan orang,

maka dapat dikenakan sanksi sebagai jarimah hudud atau qishash-diyat.

b. Apabila terjadi tindak penganiayaan dalam melakukan tindak pidana perdagangan

orang, maka dapat dikenakan sanksi sebagai jarimah qishash-diyat.

c. Apabila tidak terjadi tindak pidana pembunuhan maupun penganiayaan dalam tindak

pidana perdagangan orang meski hanya melakukan sebagian maupun seluruhnya, maka

dapat dikenakan sanksi pidana ta’zir, baik dalam konteks sanksi sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 2 UU No. 21 Tahun 2007 tentang TPPO maupun ta’zir di luar sanksi dalam

pasal tersebut.

Dengan demikian, sanksi tindak pidana perdagangan orang menurut hukum pidana

Islam tidak hanya terbatas pada sanksi yang terkandung dalam Pasal 2 UU No. 21 Tahun

2007 tentang TPPO melainkan dapat lebih atau kurang dari sanksi yang terkandung dalam

pasal tersebut sesuai dengan kadar tindakan yang diukur dari akibat kerugian yang

dihasilkan dari tindak pidana tersebut.

Page 84: skripsi trafficking menurut uu no 21 tahun 2007 menurut perspektif hukum pidana islam

lxxxiv

BAB IV

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Berdasarkan penjelasan pada bab-bab sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan

sebagai berikut:

1. Tindak pidana Trafficking mengandung tiga unsur utama, yaitu; 1) Rekrutmen. 2)

Diperuntukkan bekerja atau melayani. 3) untuk keuntungan pihak yang

memperdagangkan. Dalam UU NO. 21 Tahun 2007, tindak pidana Trafficking

dikategorikan dalam tiga aspek, yaitu: 1) Aspek pelaku yang dibedakan pada jumlah

pelaku dan keterlibatan pelaku. 2) Aspek perbuatan yang terdiri dari fase pemikiran, fase

persiapan dan fase pelaksanaan. 3) Aspek sanksi yang didasarkan pada pelaku dan

perbuatan.

2. Trafficking dalam hukum pidana Islam termasuk dalam jarimah penganiayaan yang

disengaja (al-jinayah ala maaduuna al-nafsi amdan). Itu dikarenakan trafficking masuk

dalam jarimah inabah (perusakan) terhadap athraf (anggota badan). Terkait dengan

pelaku, dalam konteks hukum pidana Islam, tidak seluruh pelaku dapat dikategorikan

sebagai pelaku langsung melainkan disesuaikan dengan kadar keterlibatan perbuatan.

Selain perbedaan pelaku berdasarkan keterlibatan dalam perbuatan, juga terdapat

perbedaan dari segi obyek pelaku di mana dalam UU No. 21 Tahun 2007 tentang TPPO,

korporasi dapat disebut sebagai pelaku, sedangkan dalam hukum pidana Islam tidak

dapat, karena bukan manusia yang dapat dikenakan pertanggungjawaban hukum. Dalam

konteks tindak pidana, esensi yang menjadi perbedaan antara UU TPPO dan Hukum

Pidana Islam terletak pada ruang lingkup perbuatan. Perbedaan pengelompokkan tindak

pidana antara hukum pidana Islam dengan UU No. 21 Tahun 2007 terletak pada hakekat

Page 85: skripsi trafficking menurut uu no 21 tahun 2007 menurut perspektif hukum pidana islam

lxxxv

yang berbeda mengenai ketiga hal, yakni hakekat tindak pidana yang telah selesai. Aspek

pidana UU No.21 tahun 2007 tentang TPPO memiliki persamaan dan perbedaan dengan

hukum pidana Islam. Aspek persamaan terkandung dalam sanksi pidana terhadap pelaku

pidana perdagangan orang yang tidak terkandung dalam unsur zina dan pembunuhan.

Sedang perbedaan terlihat dari:

a. Aspek penilaian tindak pidana dimana dalam UU No.21 tahun 2007 tentang TPPO

tindak pidana hanya menyangkut dengan aktifitas yang dapat menyebabkan

eksploitasi manusia sedangkan dalam konsep hukum pidana Islam meliputi setiap

tindakan yang menyebabkan dan juga akibat yang dihasilkan.

b. Sanksi pidana terhadap tindak pidana yang berkaitan dengan tujuan eksploitasi

seksual, dimana dalam UU No.21 tahun 2007 tentang TPPO, sanksi pidana disamakan

antara pelaku dan pemanfaat dari adanya eksploitasi seksual akibat perdagangan

orang yang disandarkan dalam kebijakan hukum negara, sedangkan dalam hukum

pidana Islam sanksi pidana tersebut haruslah disandarkan pada sanksi jarimah hudud

karena termasuk perkara zina. Jadi antara pelaku dan pemanfaat harus dibedakan

sanksinya.

B. SARAN

Berdasar pada hasil penelitian ilmiah ini, maka penulis dengan kerendahan diri

memberikan saran yang berhubungan dengan permasalahan dalam penelitian ini sebagai

berikut:

1. Jika memperhatikan secara seksama terhadap persamaan antara orang yang melakukan

tindak pidana perdagangan dengan cara menjual orang lain dan orang yang menjual

dirinya sendiri dalam aspek tindak pidana perdagangan orang, perlu adanya pertimbangan

untuk menambahkan perbedaan (diferensiasi) hukuman berdasarkan pada jenis tindak

pidana yang dilakukan dalam kaitannya dengan Tindak Pidana Perdagangan Orang.

Page 86: skripsi trafficking menurut uu no 21 tahun 2007 menurut perspektif hukum pidana islam

lxxxvi

2. Perlu adanya pertimbangan untuk melibatkan MUI dalam penyusunan perundang-

undangan di Indonesia sebab MUI merupakan representasi dari keberadaan hukum Islam

di Indonesia. Dengan demikian, nilai-nilai ajaran Islam akan tetap terkandung dalam

perundang-undangan yang dihasilkan sehingga umat Islam akan dapat melaksanakannya

tanpa adanya keraguan.

Page 87: skripsi trafficking menurut uu no 21 tahun 2007 menurut perspektif hukum pidana islam

lxxxvii

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Hamid & Asep Arifin,

2012 Tafsir Ayat Hukum Pidana Islam, Bahan Ajar Prodi HPI UIN Sunan Gunung

Djati Bandung

Abdul Qadir Audah,

At-Tasyri’ Al-jinaiy Al-Islamiy juz I, Beirut: Baar Al-Kitab Al-Arabiy, T.th.

Abu Zahrah,

Al-Jarimah, wa Al-uqubah fi al-fiqh, Al-islami, Al-maktabah Al-angelo Al-misriyah.

Ahmad hanafi,

1986 Asas-asas Hukum Pidana Islam , Bulan Bintang, Jakarta.

Ahmad Wardi Muslich,

2004 Pengantar dan Asas HPI, Fiqih Jinayah, Sinar Grafika Jakarta.

2005 Hukum Pidana Islam, Sinar Grafika Jakarta.

Ali Nurdin,

2006 Qur’anic Society, Menelusuri Masyarakat Ideal Dalam Al-Qur’an, Erlangga,

jakarta.

Andi Hamzah,

2007 KUHP & KUHAP, Bineka Cipta, Jakarta.

Ashgar Ali Engirer,

1993 Islam And Its Relevance To Our Age, terjemahan Hairus Salim & Imam Baihaqi,

LKIS, Yogyakarta.

2006 Islam dan Theologi Pembebasan, Pustaka Pelajar, Jakarta.

Aspri S Karni,

2005 ed, Pesan-pesan Taqwa, Nurkholis Majid, Kumpulan Khutbah Jum’at di

Paramadina, Paramadina, Jakarta.

Halimah,

1968 Hukum Pidana Islam Menurut Ahli Sunah Wal Jamaah, Bulan Bintang, Jakarta.

Henny Nur’aeny,

2011 Tindak Pidana Perdagangan Orang, Kebijakan Hukum Pidana &

Pencegahannya, Sinar grafika, jakarta.

Irwanto Dkk,

2001 Perdagangan Anak Di Indonesia, ILO, Jakarta

Page 88: skripsi trafficking menurut uu no 21 tahun 2007 menurut perspektif hukum pidana islam

lxxxviii

L. M. Gandhi Lapian & Hetty A. Geru ,

2010 Trafiking Perempuan dan Anak Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.

Makhrus Munajat,

2004 Dekonstruksi Hukum Pidana Islam, Yogyakarta, Lorong Pustaka

Rachmat Syafe’i,

2001 Fiqh Muamalah, Pustaka Setia, Bandung.

Rahmad Rosyadi & Rais Ahmad,

2006 Formulasi Syariat Islam Dalam Perspektif Tata Hukum Indonesia, Bogor Chalia

Indonesia.

Sayyed Hossein Nasr,

2003 The Heart Of Islam, Terjemahan Nur Asiah Fakih Sutan Harahap, Pesan-pesan

Universal Islam Untuk Kemanusiaan, Mizan, Bandung.

Supriyadi,

2005 Perdagangan Manusia Dalam Rancangan KUHP, ELSAM-Lembaga Studi &

Advokasi Masyarakat.

Teguh Prasetyo & A. Halim Barkatulah,

2005 Politik Hukum Pidana, Kajian Kebijakan Kriminalisasi dan Dekriminalisasi,

Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Topo Santoso,

2001 Menggagas HPI Penerapan Dalam Syariat Islam Dalam Konteks Modernitas,

Asy Syamil & Grafika, Bandung

Zuhairi Misrowi & Noviantoni,

2004 Doktrin Islam Progresif, Memahami Islam Sebagai Jalan Rahmat, LSIP,

Jakarta.

__Departemen Agama Terjemahan.

__Ensiklopedi Hukum Pidana Islam jilid III

__UU No 27 Tahun 2007 ttg PPPO

__UU No 39 Tahun 1999 Tahun 1991 Ttg HAM