skripsi persona non grata
DESCRIPTION
studi kasus Herman Bernhard Leopold MantiriTRANSCRIPT
i
PEMBERIAN STATUS PERSONA NON GRATA TERHADAP CALON
DUTA BESAR
(Studi Kasus Herman Bernhard Leopold Mantiri Calon Duta Besar
Indonesia Untuk Australia)
Penulisan Hukum
(SKRIPSI)
Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Sebagian Persyaratan guna Meraih
Derajat Sarjana (S1) dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas
Sebelas Maret Surakarta
Oleh :
RAMA PRAMU WICAKSONO
NIM. E0011254
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
2015
ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Penulisan Hukum (Skripsi)
PEMBERIAN STATUS PERSONA NON GRATA TERHADAP CALON
DUTA BESAR
(Studi Kasus Herman Bernhard Leopold Mantiri Calon Duta Besar
Indonesia Untuk Australia)
Disusun oleh :
RAMA PRAMU WICAKSONO
NIM. E0011254
Disetujui untuk dipertahankan dihadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum
(Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Surakarta, 3 Juli 2015
Dosen Pembimbing I
Handojo Leksono, S.H., M.H.
NIP. 195304291984031001
Dosen Co Pembimbing
Ayub Torry Satriyo Kusumo, S.H., M.H.
NIP. 198307162008011005
iii
PENGESAHAN PENGUJI
Penulisan Hukum (Skripsi)
PEMBERIAN STATUS PERSONA NON GRATA TERHADAP CALON
DUTA BESAR
(Studi Kasus Herman Bernhard Leopold Mantiri Calon Duta Besar
Indonesia Untuk Australia)
Disusun Oleh :
RAMA PRAMU WICAKSONO
NIM. E0011254
Telah diterima dan dipertahankan dihadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum
(Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Pada :
Hari : Jumat
Tanggal : 24 Juli 2015
DEWAN PENGUJI
1. Dr. Emmy Latifah, S.H., M.H. (........................................)
NIP.198008192005012001
Ketua
2. Ayub Torry Satriyo Kusumo, S.H., M.H. (........................................)
NIP. 19830716200801 005
Sekretaris
3. Handojo Leksono, S.H., M.H (........................................)
NIP. 195304291984031001
Anggota
Mengetahui,
Dekan
Prof. Dr. Supanto, S.H., M.Hum.
NIP. 196011071986011001
iii
iv
PERNYATAAN
Nama : Rama Pramu Wicaksono
NIM : E.0011254
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul :
PEMBERIAN STATUS PERSONA NON GRATA TERHADAP CALON
DUTA BESAR (Studi Kasus Herman Bernhard Leopold Mantiri Calon Duta
Besar Indonesia Untuk Australia). adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal
yang bukan karya saya dalam penulisan hukum (skripsi) ini diberi tanda citasi dan
ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan
saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa
pencabutan penulisan hukum (skripsi) dan gelar yang saya peroleh dari penulisan
hukum (skripsi) ini.
Surakarta, 3 Juli 2015
yang membuat pernyataan
Rama Pramu Wicaksono
NIM. E0011254
v
MOTTO
“Jangan mempersulit hidup”
(Rama Pramu Wicaksono)
“Tetap tenang dan hadapi”
(Rama Pramu Wicaksono)
“Information, knowledge, is power. If you can control information, you can
control people.”
(Tom Clancy)
vi
PERSEMBAHAN
Skripsi ini dipersembahkan kepada :
Kedua orangtua tercinta
mama Chandra Pramitasari dan almarhum ayah Jabal Fuad;
Almamater Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret; dan
Semua pihak-pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini.
vii
KATA PENGANTAR
Puji syukur terpanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulisan hukum (skripsi) ini
dapat diselesaikan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana
Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Dalam penulisan hukum ini diangkat judul PEMBERIAN STATUS
PERSONA NON GRATA TERHADAP CALON DUTA BESAR (Studi Kasus
Herman Bernhard Leopold Mantiri Calon Duta Besar Indonesia Untuk
Australia).
Keberhasilan penulisan hukum (skripsi) ini tidak lepas dari bantuan,
saran, bimbingan, dan dorongan dari berbagai pihak. Untuk itu dengan tulus hati
disampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Supanto, S.H., M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas
Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan izin dan kesempatan kepada
penulis untuk menyelesaikan penulisan hukum ini.
2. Seluruh pihak dari Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia khususnya
Direktorat Protokol yang telah memberikan kesempatan bagi penulis untuk
menambah ilmu dan pengalaman selama proses magang.
3. Ibu Lutfiyah Trini Hastuti S.H., M.H. selaku Pembimbing Akademik yang
telah membimbing dan memberikan motivasi agar penulis dapat
meningkatkan prestasi akademik.
4. Dr. Emmy Latifah, S.H., M.H. selaku Ketua bagian hukum internasional yang
telah memberikan motivasi dan juga saran dalam penulisan skripsi ini.
5. Bapak Handojo Leksono, S.H., M.H. selaku Pembimbing I yang telah
memberikan bimbingan, arahan dan ilmu yang sangat berguna bagi penulis.
6. Bapak Ayub Torry Satriyo Kusumo, S.H., M.H. selaku Co Pembimbing yang
telah membimbing, memberikan arahan, bantuan dan memberikan motivasi
kepada penulis.
7. Bapak Hero Prahartono, S.H, M.Hum. yang telah membantu dan memberikan
arahan untuk menentukan tema Penulisan Hukum (skripsi) ini.
viii
8. Bapak dan Ibu dosen bagian hukum internasional Fakultas Hukum UNS yang
telah memberikan ilmu, wawasan dan pengetahuan kepada penulis, sehingga
penulis memperoleh banyak ilmu, wawasan dan pengetahuan di bidang hukum
internasional.
9. Dosen-dosen Fakultas Hukum UNS atas segala ilmu, wawasan dan pelajaran
yang telah diberikan selama ini kepada penulis.
10. Bapak dan Ibu staff karyawan Fakultas Hukum UNS yang telah membantu
dan berperan dalam kelancaran seluruh kegiatan mahasiswa di Fakultas
Hukum UNS.
11. Orang tua tercinta, mama Chandra Pramitasari dan almarhum ayah Jabal Fuad
atas cinta, doa dan jerih payahnya yang tanpa henti diberikan kepada penulis.
12. Semua pihak yang telah membantu dan memberikan dorongan kepada penulis
yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.
Penulisan Hukum (skripsi) ini masih jauh dari sempurna baik dari segi
subtansi maupun teknis penulisan. Untuk itu saran dari berbagai pihak yang
bersifat membangun, sangat diharapkan demi perbaikan atau penyempurnaan
penulisan hukum selanjutnya. Demikian semoga penulisan hukum ini dapat
memberikan manfaat kepada semua pihak, baik untuk akademisi, praktisi maupun
masyarakat umum.
Surakarta, 3 Juli 2015
Rama Pramu Wicaksono
NIM. E.0011254
ix
DAFTAR ISI
Hal
HALAMAN JUDUL ............. .................................................................................. i
PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................................................... ii
PERSETUJUAN PENGUJI .. ................................................................................ iii
PERNYATAAN .................... ................................................................................ iv
MOTTO ................................ .................................................................................. v
HALAMAN PERSEMBAHAN ............................................................................ vi
KATA PENGANTAR .......... ............................................................................... vii
DAFTAR ISI ......................... ................................................................................ ix
DAFTAR GAMBAR ............ ................................................................................ xi
DAFTAR TABEL ................. ............................................................................... xii
ABSTRAK ............................ .............................................................................. xiii
ABSTRACT ............................ .............................................................................. xiv
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ... .................................................................................. 1
B. Perumusan Masalah .......... .................................................................................. 4
C. Tujuan Penelitian .............. .................................................................................. 4
D. Manfaat Penelitan ............. .................................................................................. 5
E. Metode Penelitian ............. .................................................................................. 6
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori ................. ................................................................................ 10
1. Tinjauan tentang Hukum Diplomatik ........................................................... 10
a. Pengertian Hukum Diplomatik ................................................................ 10
b. Asas Hukum Diplomatik.......................................................................... 10
c. Sumber Hukum Diplomatik ..................................................................... 11
d. Konvensi Wina Tahun 1961 tentang Hubungan Diplomatik dan Protokol
Tambahan ................................................................................................. 13
2. Tinjauan tentang Perwakilan Diplomatik ..................................................... 14
a. Definisi Perwakilan Diplomatik .............................................................. 14
b. . Tugas dan Fungsi Perwakilan diplomatik ................................................ 15
3. Tinjauan tentang Hubungan Diplomatik ...................................................... 17
x
a. Pembukaan Hubungan Diplomatik .......................................................... 17
b. . Berakhirnya Hubungan Diplomatik ......................................................... 18
c. Penerimaan Perwakilan Diplomatik ........................................................ 18
d. . Persona Grata .......................................................................................... 19
e. Persona non Grata ................................................................................... 19
4. Tinjauan tentang Wilayah Timor Timur ....................................................... 20
a. Perolehan Wilayah ................................................................................... 20
b. . Kepemilikan Timor Timur ....................................................................... 21
c. Prisip Non-Interference ............................................................................ 23
B. Kerangka Pemikiran ......... ................................................................................ 24
BAB III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian. ................ ................................................................................ 25
1. Peristiwa sebelum Pencalonan Herman Bernhard Leopold Mantiri sebagai
Duta Besar .................................................................................................... 25
2. Kronologi Penolakan Herman Bernhard Leopold Mantiri oleh Australia.... 26
B. Pembahasan ..................... . ................................................................................ 29
1. Pertimbangan suatu negara dalam memberikan status Persona non Grata
terhadap calon duta besar ........................................................................... 29
2. Legalitas tindakan pemerintah Australia dalam memberikan status Persona
non Grata terhadap H.B.L Mantiri berdasarkan hukum diplomatic .......... 38
BAB IV. PENUTUP
A. Kesimpulan ....................... ................................................................................ 50
B. Saran ................................. ................................................................................ 50
DAFTAR PUSTAKA
xi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Kerangka Pemikiran ......................................................................... 24
xii
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Kronologi Penolakan H.B.L. Mantiri oleh Australia............................. 28
Tabel 2. Perbandingan prosedur penerimaan calon duta besar di Australia dan
Indonesia ............... ................................................................................ 31
xiii
ABSTRAK
Rama Pramu Wicaksono. E0011254. 2015. PEMBERIAN STATUS
PERSONA NON GRATA TERHADAP CALON DUTA BESAR (Studi Kasus
Herman Bernhard Leopold Mantiri Calon Duta Besar Indonesia Untuk
Australia). Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dasar pertimbangan suatu negara
dalam memberikan status Persona non Grata terhadap calon duta besar, dan
legalitas tindakan pemerintah Australia dalam memberikan status Persona non
Grata terhadap calon duta besar Indonesia berdasarkan Hukum Diplomatik.
Penelitian hukum ini termasuk dalam penelitian hukum normatif bersifat
preskriptif. Bahan hukum penelitian ini menggunakan bahan hukum primer, bahan
hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Bahan hukum tersebut dikumpulkan
melalui studi dokumen (studi pustaka), yang selanjutnya dianalisis dengan
menggunakan teknik deduksi berdasarkan metode penalaran deduktif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum terdapat tiga alasan
dalam sebuah penolakan dan terdapat dua cara dalam pemberian penolakan yakni
secara langsung dan tidak langsung. Apabila alasan penolakan tidak terdapat
dalam ketiga alasan tersebut dan pemberian penolakan secara tidak langsung
maka digolongkan sebagai penolakan secara eksepsional. Tindakan pemerintah
Australia dalam memberikan status Persona non Grata terhadap calon duta besar
Indonesia sesuai dengan ketentuan Konvensi Wina 1961 dan prinsip dalam hukum
diplomatik namun tidak sesuai dengan prinsip Non-Interference dalam hukum
internasional.
Kata kunci: Persona non Grata, Hukum Internasional, Hukum Diplomatik.
xiv
ABSTRACT
Rama Pramu Wicaksono. E0011254. 2015 DECLARATION OF PERSONA
NON GRATA TO DESIGNATED AMBASSADOR (Case Study of Herman
Bernhard Leopold Mantiri Indonesian Designated Ambassador for Australia).
Faculty of Law, Sebelas Maret University Surakarta.
This research intend to assess a country's consideration in declaring
Persona non Grata to a designated ambassador, and the legality of the Australian
government's action in declaring Persona non Grata to a designated Indonesian
ambassador based on Diplomatic Law.
This research used prescriptive normative method. Conceptual and Statute
approach were used in this research. This research used primary, secondary, and
tertiary legal materials. Legal materials were collected through documental study
(library research), which then analyzed using deductive methods based on
deductive reasoning.
Results showed that in general there are three reasons for a refusal of a
diplomatic agent and there are two moethods of refusal wich is direct and
indirect. On the occasion that the reasons for refusal are not included on those
reasons and the refusal were given with indirect method, it is categorized as an
exceptional rejection. Australian Government’s action in declaring Persona non
Grata to designated Indonesian ambassador is in accordance with Vienna
Convention 1961 and principle in Diplomatic Law but does not correspond with
Non-Interference principle in International Law.
Keywords: Persona Non Grata, International Law, Diplomatic Law.
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Develop a global partnership for development merupakan salah satu dari
delapan Millenium Development Goals (MDG‟s) atau Tujuan Pembangunan
Milenium yang menjadi tujuan bersama masyarakat dunia dibawah orgnisasi
internasional terbuka terbesar yakni Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Dalam
rangka pemenuhan tujuan pengembangan kerjasama global untuk pembangunan
tersebut tentu diperlukan langkah langkah teknis seperti melakukan perjanjian
untuk memberikan kemudahan akses ke pasar dagang, peningkatan pemberian
bantuan, penentuan kebijakan yang mendukung negara berkembang dan lain
sebagainya (Michael A. Clemens, 2007:3). Selain melalui kerjasama melalui
perjanjian baik bilateral, multilateral maupun regional, perlu juga terjalin
hubungan yang baik antar negara dalam rangka pemenuhan tujuan MDG‟s
kedelapan tersebut.
Menjalin hubungan dengan negara lain dilakukan dengan cara
berdiplomasi. Secara terminologi diplomasi dapat diartikan sebagai seni atau
praktik untuk bernegosiasi antar pemerintahan negara (Bryan A.Garner,
2009:524). Joseph Frankel mengutip pendapat Machiavelli dalam bukunya The
Prince, dipaparkan bahwa pada masa lampau diplomasi pernah berlangsung
dengan penuh kelicikan dan tipu daya. Tindakan tersebut sejatinya merupakan
aturan politik nasional negara yang bersangkutan namun perlahan terjadi
pengaturan terhadap keberlangsungan diplomasi (Joseph Frankel, 1991:121).
Kutipan tersebut menyimpulkan bahwa hukum diplomatik telah melalui
perkembangan dari sebuah kebijakan nasional menjadi kebijakan yang melibatkan
negara lain.
Perkembangan hukum diplomatik sebagai ketentuan yang mengatur
kegiatan diplomasi dapat dilihat sebelum dilaksanakannya Kongres Wina tahun
1815. Hal tersebut dapat dibuktikan pada masa India kuno terdapat kententuan-
ketentuan yang mengatur hubungan antar raja ataupun antar kerajaan. Ada pula
pemakaian istilah “duta” pada era kepemimpinan Maharaja Ashoka yang
2
melakukan pertukaran duta dengan pemerintah negara Syria, Mesir, Macedonia
dan Siprus (Setyo Widagdo, 2008:9; M.Tasrief dalam Widodo, 2009:19).
Tahun 1815 menjadi awal pengaturan secara tertulis mengenai hukum
diplomatik yang diakui oleh dunia. Kongres Wina pada 1815 menyepakati
beberapa pengaturan mengenai hukum diplomatik termasuk di dalamnya
penggolongan kepala perwakilan. Penggolongan pada konvensi tersebut
dikemudian hari disempurnakan dalam kongres Aix-la-Chapelle tahun 1818.
Menyusul peristiwa tersebut diadakan kodifikasi-kodifikasi mengenai hukum
diplomatik seperti munculnya Vienna Convention on Diplomatic Relations and
Optional Protocol Tahun 1961, Vienna Convention on Consular Relations and
Optional Protocol Tahun 1963, Convention on Special Missions and Optional
Protocol Tahun 1969 serta serangkaian konvensi lain, maupun resolusi atau
deklarasi yang dikeluarkan oleh Majelis Umum perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB) (Sumaryo Suryokusumo, 1995:28-29).
Meskipun sudah terdapat peraturan tertulis tentang tindakan diplomatik,
namun masih ditemukan tindakan diplomatik yang pengaturannya kurang
mendetil seperti pemberian status Persona non Grata. Pada Pasal 9 Vienna
Convention on Diplomatic Relations and Optional Protocol Tahun 1961
(Konvensi Wina Tahun 1961) tertulis bahwa:
Article 9
1. The receiving State may at any time and without having to
explain its decision, notify the sending State that the head of
the mission or any member of the diplomatic staff of the
mission is persona non grata or that any other member of the
staff of the mission is not acceptable. In any such case, the
sending State shall, as appropriate, either recall the person
concerned or terminate his functions with the mission. A
person may be declared non grata or not acceptable before
arriving in the territory of the receiving State.
2. If the sending State refuses or fails within a reasonable
period to carry out its obligations under paragraph 1 of this
article, the receiving State may refuse to recognize the person
concerned as a member of the mission.
Tema Persona non Grata sebelumnya pernah diteliti dengan fokus
pembahasan menggunakan ilmu linguistik, penelitian tersebut menghasilkan
kesimpulan bahwa telah digunakan istilah Persona non Grata sejak abad ke-15
3
hingga mulai berkembangnya hukum diplomatik internasional. Penelitian tersebut
dilakukan oleh John Considine dan telah diterbitkan dalam jurnal Neophilologus
edisi ke-91 pada tahun 2007 dengan judul “The origin of the phrases persona
grata and persona non grata”. Selain itu juga telah dilakukan penelitian mengenai
Persona non Grata oleh Marcel Hendrapati yang telah diterbitkan dalam Journal
of Law, Policy and Globalization edisi ke-13 Tahun 2014 dengan judul “Legal
Regime of Persona Non Grata and the Namru-2 Case”. Didalam penelitian
tersebut menitikberatkan pembahasan pada pemberian Persona non Grata yang
dilakukan sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 9 Konvensi Wina Tahun 1961.
Peraturan mengenai pemberian Persona non Grata dalam Pasal 9
Konvensi Wina Tahun 1961 menyebutkan bahwa Persona non Grata diberikan
kepada baik kepala perwakilan diplomatik maupun staf perwakilan negara
pengirim oleh negara penerima melalui pemberitahuan yang jelas. Sebagai contoh
adalah pemberian status Persona non Grata oleh Pemerintah Amerika Serikat
kapada Devyani Khobragade, seorang Diplomat India pada tahun 2014. Alasan
dari pemerintah Amerika Serikat memberikan Devyani Khobragade status
Persona non Grata adalah karena ia telah melakukan pemalsuan dokumen visa
untuk asisten rumah tangganya serta memberikan keterangan palsu mengenai
upah asisten rumah tangganya tersebut (Marcel Hendrapati ,2014:165). Indonesia
juga pernah memberikan status Persona non Grata terhadap dilplomat asing pada
9 Januari 1982. Status Persona non Grata diberikan kepada asisten atase militer
Uni Soviet S.P. Egorov setelah terlibat tindakan spionase yang mencampuri
urusan dalam negeri Indonesia (Marcel Hendrapati ,2014:166). Berbeda dengan
contoh yang telah disebutkan diatas, terjadi kasus calon duta besar Indonesia
untuk Australia yang mendapatkan status Persona non Grata dengan cara
berbeda.
Terjadinya pembatalan penempatan calon duta besar Indonesia untuk
Australia yaitu Herman Bernhard Leopold Mantiri akibat pendapatnya pada tahun
1995 mengenai peristiwa Santa Crus di Timor Timur kepada majalah Editor (pada
masa itu), membuat Mantiri menerima respon negatif atas pencalonannya sebagai
duta besar Indonesia untuk Australia di Canberra. Insiden penarikan pencalonan
ini merupakan kejadian pertama dalam sejarah perkembangan diplomatik
4
Indonesia, menurut Menteri Luar Negeri yang menjabat saat itu pun memberikan
komentar bahwa penarikan dilakukan agar nantinya Mantiri tidak menjadi sasaran
politik kelompok tertentu yang dapat mengganggu hubungan antara Indonesia dan
Australia (John A. MacDougall, 1995).
Berdasarkan uraian di atas, maka dilakukan penelitian yang mengkaji
pemberian status Persona non Grata oleh sebuah negara dengan judul:
PEMBERIAN STATUS PERSONA NON GRATA TERHADAP CALON DUTA
BESAR (Studi Kasus Herman Bernhard Leopold Mantiri Calon Duta Besar
Indonesia Untuk Australia).
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka
dirumuskan beberapa pokok masalah yang akan dibahas, yaitu:
1. Apa dasar pertimbangan suatu negara dalam memberikan status Persona non
Grata terhadap calon duta besar?
2. Apakah tindakan pemerintah Australia dalam memberikan status Persona non
Grata terhadap calon duta besar Indonesia sesuai dengan Hukum Diplomatik?
C. Tujuan Penelitian
Suatu karya penelitian (penelitian hukum) selayaknya memiliki tujuan yang
hendak dicapai agar karya penelitian tersebut bermanfaat bagi kehidupan
masyarakat. Tujuan penelitian pada dasarnya terbagi menjadi 2 (dua) yaitu tujuan
obyektif dan tujuan subyektif. Adapun tujuan obyektif dan tujuan subyektif
penelitian ini yang hendak dicapai sebagai berikut:
1. Tujuan Obyektif
a. Untuk mengkaji dasar pertimbangan suatu negara dalam memberikan status
Persona non Grata terhadap calon duta besar.
b. Untuk mengkaji legalitas tindakan pemerintah Australia dalam memberikan
status Persona non Grata terhadap calon duta besar Indonesia berdasarkan
Hukum Diplomatik.
5
2. Tujuan Subyektif
a. Untuk menambah wawasan dan pengetahuan dibidang hukum internasional
pada umumnya dan pemberian status Persona non Grata oleh sebuah negara
pada khususnya.
b. Untuk memenuhi prasyarat akademis dalam memperoleh gelar Sarjana Hukum
di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
c. Untuk menerapkan ilmu dan teori-teori hukum yang telah diperoleh agar dapat
memberikan manfaat khasanah pengetahuan kepada kalangan akademisi
hukum internasional pada khususnya dan masyarakat pada umumnya.
D. Manfaat Penelitian
Suatu karya penelitian (penelitian hukum) tentu harus memiliki manfaat,
disamping tujuan yang hendak dicapai. Manfaat penelitian terbagi menjadi 2 (dua)
yaitu manfaat teoritis dan manfaat praktis. Adapun manfaat teoritis dan manfaat
praktis penelitian ini sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pengembangan
ilmu pengetahuan di bidang ilmu hukum pada umumnya dan hukum
internasional pada khususnya.
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya referensi dalam dunia
kepustakaan hukum internasional tentang pemberian status Persona non Grata
oleh sebuah negara.
2. Manfaat Praktis
a. Hasil penelitian ini diharapkan memberikan jawaban atas permasalahan-
permasalahan sejenis yang mungkin muncul dikemudian hari.
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan dan membentuk pola
berpikir hukum serta mengetahui kemampuan dalam penerapan ilmu yang
diperoleh.
c. Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu dan memberikan pengetahuan
mendalam mengenai Hukum Diplomatik khususnya pemberian Persona non
Grata kepada pemerintah indonesia dalam melakukan hubungan luar negeri
6
pada khususnya dan dunia internasional dalam melakukan hubungan antar
negara pada umumnya.
E. Metode Penelitian
Penelitian hukum (legal research) adalah menemukan kebenaran
koherensi, yaitu adakah aturan hukum sesuai norma hukum dan adakah norma
yang berupa perintah atau larangan itu sesuai dengan prinsip hukum, serta apakah
tindakan (act) seseorang sesuai dengan norma hukum (bukan hanya sesuai aturan
hukum) atau prinsip hukum (Peter Mahmud Marzuki, 2014:47). Menurut Peter
Mahmud Marzuki, penelitian hukum adalah suatu rangkaian kegiatan mulai dari
identifikasi masalah hukum, penalaran hukum, analisis masalah dan memberikan
pemecahan atas isu hukum yang dihadapi. Penelitian hukum merupakan suatu
kegiatan know-how dalam ilmu hukum, bukan sekedar know-about.Sebagai
kegiatan know-how, penelitian hukum dilakukan untuk memecahkan isu hukum
yang dihadapi. Di sinilah dibutuhkan kemampuan untuk mengidentifikasi masalah
hukum, melakukan penalaran hukum, menganalisis masalah yang dihadapi dan
kemudian memberikan pemecahan atas masalah tersebut (Peter Mahmud Marzuki,
2014:60).
Dalam proses penelitian hukum, diperlukan metode penelitian yang akan
menunjang hasil penelitian tersebut. Metode penelitian yang digunakan dalam
penelitian hukum ini adalah :
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif.
Penelitian hukum (legal research) atau dalam bahasa Belanda rechtsonderzoek
bersifat menemukan kebenaran koherensi dengan cara meneliti bahan pustaka atau
data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan
bahan hukum tersier, yang mana setelah melihat beberapa kasus dapat
disimpulkan bahwa istilah penelitian hukum selalu normatif. Hanya saja perlu
dikemukakan pendekatan dan bahan hukum yang digunakan (Peter Mahmud
Marzuki, 2014:47, 55-56).
7
2. Sifat Penelitian
Sifat penelitian erat kaitannya dengan sifat ilmu (dalam hal ini ilmu
hukum).Sifat dari penelitian yang dilakukan adalah bersifat preskriptif mengacu
pada sifat ilmu hukum yang preskriptif (Peter Mahmud Marzuki, 2014:59). Secara
terminologi Preskripsi berarti sesuatu yang dianjurkan atau diatur (Bryan
A.Garner, 2009:1302). Preskripsi itu harus timbul dari hasil telaah yang
dilakukan, tetapi preskripsi yang diberikan harus koheren dengan gagasan dasar
hukum yang berpangkal dari moral (Peter Mahmud Marzuki, 2014:69-70).
3. Pendekatan Penelitian
Penelitian hukum memiliki beberapa pendekatan yang digunakan antara
lain pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan kasus (case
approach), pendekatan historis (historical approach), pendekatan komparatif
(comparative approach), dan pendekatan konseptual (conceptual approach).
Dengan pendekatan tersebut, peneliti akan mendapatkan informasi dari berbagai
aspek mengenai isu yang sedang dicoba untuk dicari jawabannya (Peter Mahmud
Marzuki, 2014:133).
Penelitian ini menggunakan pendekatan konseptual (conceptual
approach) dan pendekatan undang-undangan (statute approach). Pendekatan
konseptual (conceptual approach) dilakukan manakala peneliti tidak beranjak dari
aturan hukum yang ada (Peter Mahmud Marzuki, 2014:177). Sedangkan
pendekatan undang-undangan (statute approach) dilakukan dengan menelaah
semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut-paut dengan isu hukum yang
sedang dikaji (Peter Mahmud Marzuki, 2014:133).
Pendekatan konseptual yang dilakukan adalah tidak beranjak dari aturan
hukum diplomatik yang ada. Sedangkan dalam pendekatan undang-undang, akan
ditelaah konvensi yang berkaitan dengan pemberian status Persona non Grata
yakni Konvensi Wina Tahun 1961.
4. Jenis dan Sumber Bahan Hukum
Dalam penelitian hukum ini digunakan bahan hukum primer dan bahan
hukum sekunder. Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang bersifat
8
autoritatif, yang artinya bahan hukum tersebut digunakan sebagai sumber yang
paling utama. Bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-
catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-
putusan hakim. Sedangkan bahan hukum sekunder berupa buku-buku teks,
kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum dan komentar-komentar atas putusan
pengadilan (Peter Mahmud Marzuki, 2014:181).
Adapun bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini, antara
lain:
a. Konvensi Wina Tahun 1961; dan
b. Statuta Mahkamah Internasional.
Adapun bahan-bahan hukum sekunder yang digunakan yaitu buku-buku,
hasil penelitian, jurnal ilmiah, internet, artikel ilmiah, dan makalah hasil seminar.
Sedangkan bahan hukum tersier yang digunakan yaitu, bahan-bahan yang
memberikan informasi tentang bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder
(Ronny Hanitijo Soemitro, 1994:12), berupa kamus-kamus seperti kamus Bahasa
Indonesia, serta kamus-kamus keilmuan seperti kamus istilah hukum.
5. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini
adalah metode studi dokumen (studi pustaka). Metode studi dokumen adalah suatu
cara pengumpulan bahan hukum tertulis dengan mempergunakan content analysis
(Peter Mahmud Marzuki, 2011:21). Content Analysis merupakan metode analisis
dengan cara menemukan, mengidentifikasi dan menganalisis bahan hukum untuk
memahami makna didalamnya (Burhan Bungin, 2007:203).
6. Teknik Analisis Bahan Hukum
Penelitian ini menggunakan metode deduksi dalam analisisnya. Metode
deduksi berpangkal dari pengajuan premis mayor kemudian premis minor.
Philipus M. Hadjon mengemukakan bahwa untuk penalaran hukum yang
merupakan premis mayor adalah aturan hukum sedangkan premis minornya
adalah fakta hukum. Dari kedua hal tersebut kemudian ditarik kesimpulan atau
conclusion (Philipus M. Hadjon dalam Peter Mahmud Marzuki, 2014:89-90).
9
Premis mayor yang digunakan dalam penelitian ini adalah ketentuan yang terdapat
di dalam hukum diplomatik yakni pengaturan mengenai Persona non Grata dalam
Pasal 9 Konvensi Wina Tahun 1961, sedangkan premis minornya adalah
pemberian status Persona non Grata oleh Australia terhadap calon duta besar
Indonesia Herman Bernhard Leopold Mantiri pada 1995.
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan tentang Hukum Diplomatik
a. Tinjauan tentang pengertian hukum diplomatik
Hukum diplomatik mangatur terjadinya hubungan antara negara pengirim
melalui perantara perwakilannya di wilayah sutu negara dengan negara penerima
(Rosalyn Higgins,1985:1). Pengertian kata “hukum diplomatik” secara tradisional
digunakan untuk merujuk pada norma-norma hukum internasional yang mengatur
tentang kedudukan dan fungsi misi diplomatik yang dipertukarkan oleh negara-
negara yang telah membina hubungan diplomatik. Dengan demikian, pada
hakikatnya hukum diplomatik merupakan ketentuan atau prinsip-prinsip hukum
internasional yang mengatur hubungan diplomatik antara negara yang dilakukan
atas dasar permufakatan bersama dan ketentuan. Selain itu, prinsip-prinsip
tersebut dituangkan dalam instrument-instrumen hukum sebagai hasil kodifikasi
hukum kebiasaan internasional dan pengembangan kemajuan hukum internasional
(Setyo Widagdo, 2008:5-6).
b. Tinjauan tentang Asas Hukum Diplomatik
Menurut Masyhur Effendi, setidaknya ada 7 asas hukum diplomatik,
yaitu sebagai berikut (Masyhur Effendi dalam Widodo, 2009:23):
1) Asas persamaan, persaudaraan dan perdamaian;
Terdapat dalam Pembukaan Konvensi Wina Tahun 1961 alinea ke-2
Having in mind the purposes and principles of the Charter of the
United Nations concerning the sovereign equality of States, the
maintenance of international peace and security, and the
promotion of friendly relations among nations.
2) Asas penghormatan atas perbedaan antarnegara;
Terdapat dalam Pembukaan Konvensi Wina Tahun 1961 alinea ke-3
Believing that an international convention on diplomatic
intercourse, privileges and immunities would contribute to the
development of friendly relations among nations, irrespective of
their differing constitutional and social systems.
11
3) Asas penghormatan atas wakil-wakil negara degan titik berat pada
penghormatan pada kedaulatan negara masing-masing;
Terdapat dalam Pembukaan Konvensi Wina Tahun 1961 alinea ke-4
Realizing that the purpose of such privileges and immunities is
not to benefit individuals but to ensure the efficient performance
of the functions of diplomatic missions as representing States.
4) Asas penghormatan atas dasar adat dan kebiasaan internasional;
Terdapat dalam Pembukaan Konvensi Wina Tahun 1961 alinea ke-5
Affirming that the rules of customary international law should
continue to govern questions not expressly regulated by the
provisions of the present Convention.
5) Asas kehendak bersama;
Terdapat dalam Pembukaan Konvensi Wina Tahun 1961 Pasal 2
Article 2
The establishment of diplomatic relations between States, and of
permanent diplomatic missions, takes place by mutual consent.
6) Asas tidak dapat diganggu gugatnya (inviolability) perwakilan dari masing-
masing negara;
Terdapat dalam Pembukaan Konvensi Wina Tahun 1961 Pasal 29
Article 29
The person of a diplomatic agent shall be inviolable. He shall
not be liable to any form of arrest or detention. The receiving
State shall treat him with due respect and shall take all
appropriate steps to prevent any attack on his person, freedom
or dignity.
7) Asas kepercayaan.
Terdapat dalam Pembukaan Konvensi Wina Tahun 1961 Pasal 26
Article 26
Subject to its laws and regulations concerning zones entry into
which is prohibited or regulated for reasons of national
security, the receiving State shall ensure to all members of the
mission freedom of movement and travel in its territory.
c. Tinjauan tentang sumber hukum diplomatik
Berbicara masalah hukum diplomatik sama sekali tidak dapat dilepaskan
dari sumber hukum internasional sebagai induk keilmuannya. Sebagaimana
pembahasan terhadap sumber-sumber dari setiap sistem hukum, membahas
sumber hukum interasional tidak dapat dipisahkan dari apa yang telah disebutkan
dalam Pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional (Setyo Widagdo, 2008:14),
12
sebagai acuan bagi hakim dalam Mahkamah Internasional dalam menentukan
sumber hukum yang akan diberlakukan (Mardianis,2014:3).
Article 38
1. The Court, whose function is to decide in accordance with
international law such disputes as are submitted to it, shall
apply:
a. international conventions, whether general or particular,
establishing rules expressly recognized by the contesting
states ;
b. international custom, as evidence of a general practice
accepted as law;
c. the general principles of law recognized by civilized nations ;
d. subject to the provisions of Article 59, judicial decisions and
the teachings of the most highly qualified publicists of the
various nations, as subsidiary means for the determination of
rules of law.
Sumber hukum yang pertama yaitu perjanjian internasional (international
treaties), terdapat beberapa bentuk penyebutan yaitu traktat (treaty), konvensi
(conventions), persetujuan (agreement), memorandum saling pengertian
(memorandum of understanding), pengaturan (arrangement), pertukaran nota
diplomatik/surat (exchange of notes/letter), modus vivendi, dan agreed
minutes/summary record/ record of discussion (Mardianis,2014:3).
Konvensi internasional atau perjanjian internasional yang diakui sebagai sumber
hukum internasional adalah yang berjenis perjanjian yang mencipakan hukum
(law making treaty). Selain itu termasuk pula suatu perjanjian yang dibuat atas
dasar kepentingan bersama dan kemudian diakui pula oleh negara lain (Sumaryo
Suryokusumo, 1995:27).
Selama lebih dari 150 tahun telah disepakati perjanjian internasional yang
menciptakan hukum dalam bidang hukum diplomatik, yaitu:
1) The Final Act of the Congress of Vienna in diplomatic ranks (1815);
2) Vienna Convention on Diplomatic Relations and optional protocols (1961);
3) Vienna Convention n Consular Relations and Optional Protocol (1963);
4) Convention on Special Mission and Optional Protocol (1969);
5) Convention on the Prevention and Punishment of Crimes against
Internationally Protected Persons, including Diplomatic agents (1973); dan
13
6) Vienna Conention on the Representation of States in their Relations with
International Organization of a Universal Character (1975).
Kebiasaan internasional yang dapat diakui sebagai hukum internasional menurut
pemaparan dari Sumaryo Suryokusumo harus memenuhi ketentuan seperti yang
terdapat dalam Dokumen Majelis Umum PBB, A/CD.4/16 tahun 1950, yaitu:
a general recognition among states of a certain practice as
obligatory”, the emergence of a principle or rule of custumary
international law would seem to require presence of the
following elements :
a) Concordant practice by a number of states with reference to
a type of situation falling within the domain of international
relations;
b) Continuation or repetition of the practice over the
considerable period of time;
c) Conception that the practice is required by, or consistent
with, prevailing international law; and
d) General acquiescence in the practice by other states
(Sumaryo Suryokusumo, 1995:31-32).
d. Tinjauan tentang Konvensi Wina Tahun 1961 tentang Hubungan
Diplomatik dan Protokol Tambahan
Hubungan Diplomatik pertama dicetuskan untuk dibahas kodifikasinya
saat berlangsungnya sesi diskusi yang dilakukan oleh International Law
Commission (ILC) pada 1949. Setelah dilakukan pembahasan mendalam oleh ILC
selama kurang lebih 16 tahun barulah pada tanggal 2 Maret hingga 14 April 1961
dilakukan Konferensi tentang Hubungan dan Kekebalan Dilomatik di Wina.
Dalam keberlangsungan konferensi dilakukan pembahasan dengan tiga tema
utama yaitu:
1) Pelaksanaan hubungan diplomatik dan kekebalan diplomatik;
2) Pertimbangan penyusunan rancangan Pasal misi khusus; dan
3) Adopsi instrumen yang berkaitan dengan prosedur penutupan konferensi.
Konferensi ini menghasilkan Konvensi Wina tentang Hubungan Diplomatik,
konvensi ini berisikan 53 pasal yang mencakup aspek utama dalam hubungan
diplomatik antar negara yaitu:
1) Pembukaan hubungan diplomatik;
2) Pelaksanaan hubungan diplomatik;
3) Pemutusan hubungan diplomatik;
14
4) Penetapan fungsi perwakilan diplomatik;
5) Aturan mengenai sebuah kesepakatan;
6) Deklarasi Persona non Grata;
7) Hak dan kekebalan diplomatik; dan
8) Penarikan kembali perwakilan diplomatik.
Selain itu juga dihasilkan protokol tambahan mengenai perolehan
kewarganegaraan dan protokol tambahan mengenai penyelesaian sengketa.
Prosedur penutupan dari konferensi yang berlangsung dilakukan pada 18 April
1961 dan penandatanganan dari Konvensi maupun Protokol Tambahan dibuka
hingga 31 Oktober 1961 di Kementerian Luar Negeri Austria dan hingga 31 Maret
1961 di Markas Besar PBB (http://legal.un.org/avl/ha/vcdr/vcdr.html diakses pada
15-06-2015 pukul 11.50).
2. Tinjauan tentang Perwakilan Diplomatik
a. Tinjauan tentang Definisi Perwakilan Diplomatik
Perwakilan diplomatik adalah wakil dari suatu negara untuk melakukan
hubungan dengan negara lain di luar negeri. Setiap negara yang merdeka memiliki
hak perwakilan diplomatik (right of legation). Pembukaan perwakilan diplomatik
antar negara dilakukan berdasar kesepakatan antara kedua belah pihak (mutual
consent). Hal ini secara tegas disebutkan dalam Pasal 2 Konvensi Wina 1961,
yang menyatakan bahwa pembentukan hubungan-hubungan diplomatik antar
negara dilakukan dengan persetujuan bersama. Selanjutnya, dibutuhkan
kesepakatan untuk membuka perwakilan tetap. Pembukaan hubungan diplomatik
sangat berhubungan dengan pengakuan terhadap negara tersebut, namun karena
dalam hukum internasional tidak diatur kewajiban mengenai pengakuan atas suatu
negara, maka negara tidak dapat dipaksa untuk menerima perwakilan dari negara
yang tidak diakuinya (Syahmin AK, 2008:45-46).
Pasal 14 Konvensi Wina Tahun 1961 terdapat pengklasifikasian
perwakilan diplomatik:
Article 14
1. Heads of mission are divided into three classes, namely:
(a)That of ambassadors or nuncios accredited to Heads of State,
and other heads of mission of equivalent rank;
15
(b)That of envoys, ministers and internuncios accredited to
Heads of State;
(c) That of chargés d’affaires accredited to Ministers for
Foreign Affairs.
2. Except as concerns precedence and etiquette, there shall be
no differentiation between heads of mission by reason of their
class.
Perlu diberikan penekanan bahwa kepala negara dalam hubungan
internasional berkedudukan sebagai anggota dari masyarakat internasional yang
dianggap sebagai lambang negara dengan segala kehormatan dan kewibawaan
negara itu (Edy Suryono, 1986:9). Menurut pendapat Ali Sastroamidjojo dalam
buku Edy Suryono menganggap bahwa Menteri luar negeri sebagai kepala dari
semua duta-duta, konsul dan lain sebagainya dari pada yang bertugas di luar
negeri. Selain itu Menteri pula lah yang bertugas atas nama negara untuk
mengadakan hubungan baik secara langsung maupun mealui wakil diplomatik di
luar negeri dengan negara lain untuk mengadakan perundingan, perjanjian, tukar
menurkar pikiran dan lain sebagainya menurut hukum internasional (Edy
Suryono, 1986:12)
b. Tinjauan tentang Tugas dan Fungsi Perwakilan diplomatik
Tugas dan fungsi dari perwakilan diplomatik terdapat dalam Pasal 3
Konvensi Wina Tahun 1961, yaitu (Setyo Widagdo, 2008:56-61):
a. Fungsi Representasi
Article 3
(a) Representing the sending State in the receiving state.
Fungsi perwakilan diplomatik adalah mewakili negaranya di negara
penerima (representing the sending State in the receiving State). Selain itu,
sebagai wakil negara pengirim di negara penerima juga berhak untuk mengajukan
protes dan penyelidikan (inquires) atau mengajukan pertanyaan kepada negara
penerima (Gerhard dan Von Glahn dalam Widodo, 2009:53).
b. Fungsi Proteksi
Article 3
(b)Protecting in the receiving State the interests of the sending
State and of its nationals, within the limits permitted by
interational law.
Perwakilan diplomatik bertugas melindungi kepentingan negara pengirim di
negara penerima dalam batas-batas yang diperkenankan oleh hukum internasional.
16
Tugas perlindungan ditujukan kepada kepentingan nasional negara pengirim,
termasuk didalamnya memberi perlindungan terhadap warga negara pengirim di
negara penerima yang berprofesi sebagai usahawan, pelaut, pekerja kasar atau
siapa saja yang berstatus sebagai warga negara pengirim tanpa diskriminasi juga
mencegah terjadinya aktivitas negara penerima yang dapat merugikan
kepentingan negara pengirim (Widodo,2009:54).
c. Fungsi Negosiasi
Article 3
(c) Negotiating with the Government of the receiving State.
Tugas negosiasi dilakukan atas nama negara pengirim dan diberikan kepada
perwakilan diplomatik di negara penerima.
d. Fungsi Pelaporan
Article 3
(d)Ascertaining by all lawful means conditions and
developments in the receiving State, and reporting thereon to
the Goverment of the sending State.
Fungsi pelaporan dilakukan oleh perwakilan diplomatik menganai keadaan dan
perkembangan di negara penerima dengan cara yang diperbolehkan oleh hukum
negara penerima. Tugas pelaporan ini merupakan suatu hal yang utama bagi
perwakilan diplomatik di negara penerima, termasuk tugas observasi secara
saksama atas segala peristiwa yang terjadi di negara penerima.
e. Fungsi Peningkatan Hubungan Persahabatan antarnegara
Article 3
(e) Promoting friendly relations between the sending State and
the receiving State, and developing their economic, cultural
and scientific relations.
Fungsi peningkatan hubungan persahabatan memberikan kesepatan antar negara
untuk melakukan kerjasama baik dibidang ekonomi, kebudayaan, ilmu
pengetahuan dan bidang lain. Mengutip pendapat Jono Hatmodjo di dalam buku
Setyo Widagdo dalam upaya meningkatkan hubungan persahabatan dilakukan
melalui diplomasi politik, ekonomi, sosial-budaya, penerangan, serta diplomasi
hankam (Jono Hatmodjo dalam Setyo Widagdo, 2008:140).
Pengaturan mengenai fungsi perwakilan di Indonesia secara khusus tercantum
dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 1976 tentang
Pokok-Pokok Organisasi Perwakilan Republik Indonesia di Luar Negeri. Pada
Pasal 5 disebutkan bahwa Perwakilan Diplomatik berfungsi:
17
a. Mewakili Negara Republik Indonesia secara keseluruhan di negara penerima
atau organisasi internasional;
b. Melindungi kepentingan nasional Negara dan Warganegara Republik Indonesia
di negara penerima;
c. Melaksanakan usaha peningkatan hubungan persahabatan dan melaksanakan
perundingan antara Negara Republik Indonesia dengan negara penerima atau
organisasi internasional serta memperkembangkan hubungan di bidang
ekonomi, kebudayaan, dan ilmu pengetahuan;
d. Melaksanakan pengamatan, penilaian, dan pelaporan;
e. Menyelenggarakan bimbingan dan pengawasan terhadap Warganegara
Republik Indonesia yang berada di wilayah kerjanya;
f. Menyelenggarakan urusan pengamanan, penerangan, konsuler, protokol,
komunikasi, dan persandian; dan
g. Melaksanakan urusan tata-usaha, kepegawaian, keuangan, perlengkapan, dan
urusan rumah-tangga Perwakilan Diplomatik.
3. Tinjauan tentang Hubungan Diplomatik
a. Tinjauan tentang Pembukaan Hubungan Diplomatik
Dalam Hukum diplomatik dikenal hak legasi dimana hak tersebut
merupakan hak atau wewenang untuk membuka hubungan diplomatik. Hak legasi
sendiri terbagi menjadi dua jenis yakni aktif dan juga pasif. Hak legasi aktif
memiliki artian bahwa suatu negara berhak untuk mengirimkan perwakilan
diplomatiknya ke negara lain, sedangkan hak legasi pasif adalah hak sebuah
negara untuk menerima perwakilan diplomatik dari negara lain (Lawrence Preuss,
1932:170). Hak legasi memberikan penekanan bahwa suatu negara diberikan
kebebasan untuk mengadakan hubungan dengan negara lain tanpa paksaan apapun
(Setyo Widagdo, 2008 : 34).
Untuk melakukan pembukaan atau pertukaran perwakilan diplomatik
maupun konsuler dengan negara-negara sahabat, pada umumnya harus memenuhi
syarat berikut:
1) Harus ada kesepakatan antara kedua belah pihak (Mutual Consent).
Pemufakatan bersama tersebut dituangkan dalam suatu bentuk persetujuan
18
bersama (joint agreement), komunikasi bersama (joint communication) atau
pernyataan bersama (joint declaration) mengenai persetujuan yang didasarkan
pada kesepakatan bersama.
2) Prinsip-prinsip hukum internasional yang berlaku. Setiap negara dapat
melakukan hubungan atau pertukaran perwakilan diplomatik didasarkan
prinsip-prinsip hukum yang berlaku dan prinsip timbal balik (resiprositas)
(Setyo Widagdo, 2008:32).
b. Tinjauan tentang Berakhirnya Hubungan Diplomatik
Pemutusan hubungan diplomatik merupakan discretionary act atau
keputusan sepihak dari suatu negara. Penutupan juga diikuti dengan permintaan
agar negara lain yang bersangkutan juga melakukan hal yang sama berdasarkan
asas resiprositas. Yang menjadi penyebab berakhirnya hubungan diplomatik
adalah (Boer Mauna, 2011:539-541):
1) Pertentangan kebijakan suatu negara dengan negara lain;
2) Ditemukan kegiatan yang tidak wajar dari personel diplomatik;
3) Terjadi perang antara kedua negara; dan
4) Hilangnya suatu negara.
c. Tinjauan tentang Penerimaan Perwakilan Diplomatik
Sebelum dikirim sebagai wakil diplomatik, negara pengirim memberikan
kepada negara penerima, data pribadi orang yang akan dikirim. Proses persetujuan
atau penolakan disebut aggregation. Aggregation terdiri atas dua bagian.
1) Meminta penjelasan informal kepada negara penerima, apakah calon dapat
diterima sebagai wakil diplomatik oleh negara penerima.
2) Pemberitahuan dari negara penerima, secara tidak resmi bahwa calon dapat
disetujui. Bagian itulah yang biasa dikenal sebagai agreement (Setyo Widagdo,
2008:35-36).
Setelah diberikan agrément, negara pengirim segera membuat surat
kepercayaan (letter of credence) dengan ditandatangani oleh kepala negara/kepala
pemerintahan negara pengirim. Secara prosedural, sebelum penendatanganan
tersebut, menteri luar negeri negara pengirim harus membubuhkan paraf (contra
sign) diatas surat kepercayaan, dalam kapasitas sebagai saksi (Widodo, 2009:74).
19
d. Tinjauan tentang Persona Grata
Secara terminologi Persona Grata memiliki arti orang yang di terima
atau diplomat yang diterima di negara penerima (Bryan A.Garner, 2009:1258).
Definisi menurut Widodo mengutip pendapat Sumaryo Suryokusumo adalah
pernyataan negara penerima kepada negara pengirim, baik secara tertulis maupun
lisan berisi penerimaan atas duta besar (kepala perwakilan) yang akan dikirimkan
kepada negara penerima. Deklarasi Persona Grata didasarkan tersebut pada
pertimbangan khusus dan Curriculum Vitae yang disampaikan oleh negara
pengirim kepada negara penerima. Pemberian Persona Grata dapat juga
didasarkan pada berbagai hasil pengamatan aparat negara penerima atas calon
duta besar negara pengirim. Persona Grata tidak diberlakukan pada setiap
personal staf diplomatik, tetapi hanya diberlakukan pada duta besar dan atase
pertahanan (Sumaryo Suryokusumo dalam Widodo, 2009:79).
e. Tinjauan tentang Persona non Grata
Persona non Grata adalah pernyataan atau pemberitahuan negara
penerima kepada negara pengirim melalui nota diplomatik tentang
ketidaksetujuan atau penolakan negara penerima atas pengangkatan calon duta
besar yang akan ditempatkan di negara penerima (Widodo, 2009:79). Sedangkan
dalam kamus hukum Black Law tertulis bahwa Persona non Grata adalah orang
yang tidak diinginkan/ditolak atau seorang diplomat yang tidak diterima di negara
penerima (Bryan A.Garner, 2009:1260).
Pasal 9 (1) Konvesi Wina Tahun 1961 menyebutkan:
Article 9
1. The receiving State may at any time and without having to
explain its decision, notify the sending State that the head of
the mission or any member of the diplomatic staff of the
mission is persona non grata or that any other member of the
staff of the mission is not acceptable. In any such case, the
sending State shall, as appropriate, either recall the person
concerned or terminate his functions with the mission. A
person may be declared non grata or not acceptable before
arriving in the territory of the receiving State.
Pada pokoknya memiliki arti bahwa status Persona non Grata tidak hanya dapat
diberikan kepada calon duta besar, tetapi juga meliputi seorang anggota staf
diplomatik dan termasuk anggota staf lainnya dari suatu perwakilan diplomatik.
20
Pemberian status Persona non Grata kepada perwakilan diplomatik
maupun konsuler merupakan salah satu prinsip hukum diplomatik dan konsuler
tertua, mencapai masa penemuan konsep hukum internasional (Jean d‟Aspremont,
2009:1).
4. Tinjauan tentang Wilayah Timor Timur
a. Tinjauan tentang Perolehan Wilayah
Konsep Kedaulatan teritorial menyatakan bahwa didalam suatu wilayah
dilaksanakan yurisdiksi oleh negara terhadap orang-orang dan kekayaan
didalamnya (J.G. Starke, 2008:210). Menurut Starke terdapat lima cara yang pada
umumnya diakui dalam memperoleh kedaulatan teritorial, yaitu:
1) Okupasi (Occupation)
Tindakan okupasi merupakan pengakuan kedaulatan atas suatu wilayah yang
tidak dalam penguasaan negara manapun, baik itu wiayah yang baru ditemukan
atau yang ditinggalkan oleh negara penguasa sebelumnya (J.G. Starke,
2008:214).
2) Aneksasi (Annexation)
Aneksasi merupakan perolehan kedaulatan yang dipaksakan, terdapat dua
kondisi dalam pelaksanaan aneksasi yaitu (J.G. Starke, 2008:220):
a) Apabila negara yang dianeksasi telah diduduki oleh negara yang menganeksasi.
b) Apabila wilayah yang dianeksasi lokasinya benar-benar berada diwilayah
negara yang menganeksasi saat diumumkannya niat aneksasi oleh negara yang
menganeksasi.
3) Penambahan (Accretion)
Merupakan proses pertambahan wilayah yang terjadi karena sebab alami
seperti pergerakan pasir akibat tiupan angin atau arus sungai yang membentuk
endapan lumpur (J.G. Starke, 2008:220-221)
4) Peyerahan (Cession)
Metode penyerahan wilayah didasari oleh adanya pengalihan secara sukarela
atas kedaulatan suatu negara diwilayah tersebut kepada wilayah lain.
Pennyerahan wilayah secara transaksional hasil pembeliah maupun hibah juga
dinyatakan sah (J.G. Starke, 2008:221-222).
21
5) Preskripsi (Prescription)
Perolehan wilayah dengan cara ini dilakukan melalui pelaksanaan kedaulatan
secara damai suatu negra diwilayah kedaulatan negara lain. Tindakan ini harus
dilaksanakan dengan tidak terputus-putus (J.G. Starke, 2008:223).
b. Tinjauan tentang Kepemilikan Timor Timur
Dalam menentukan kepemilikan wilayah Timor Timur perlu dilakukan
telaah sejarah terhadapnya. Pada awalnya wilayah Timor Timur merupakan
wilayah administratif dibawah kekuasaan Portugis. Penguasaan terhitung sejak
klaim pertama dari Portugis pada tahun 1701 dengan basis pemerintahan yang
terdapat di Goa, saat itu Coelho Guerreiro dikirim untuk menjadi gubernur yang
bertugas disana (Damien Kingsbury, 2009:30). Ketika terjadi Perang Dunia ke-2
wilayah Timor Timur merupakan wilayah yang memiliki nilai strategis bagi
Australia, lalu pada 17 Desember 1971 Australia menempatkan pasukan
militernya disana atas ijin dari Portugis dalam rangka melawan militer Jepang
yang berbasis di wilayah Timor Timur. Setelah berakhirya Perang Dunia ke-2
Australia mengajukan permintaan wilayah Timor Timur dengan alasan letaknya
yang strategis, namun tidak dikabulkan sehingga wilayah Timor Timur masih
menjadi kepemilikan Portugis (Damien Kingsbury, 2009:39).
Terjadi Revolusi bunga (Carnation Revolution) di Portugis pada 25 April
1974 yang mengancam kekuasaan koloni Portugis di berbagai wilayah di dunia
(Damien Kingsbury, 2009:41). Peristiwa tersebut memunculkan tiga kelompok
yang dianggap berpengaruh yakni Timorese Democratic Union (UDT), Timor
Popular Democratic Association (APODETI), dan Revolutionary Front for an
Independent East Timor (FRETILIN) (Damien Kingsbury, 2009:44-46). Konflik
sering terjadi antara UDT dan FRETILIN pada bulan Agustus 1975 dalam rangka
penguasaan wilayah Timor Timur. Hingga pada 28 November 1975 terjadi
deklarasi sepihak oleh FRETILIN yang mengklaim kemerdekaan atas wilayah
Timor Timur, tindakan ini juga diikuti klaim sejenis oleh UDT dan APODETI
pada 30 November 1975 yang menyatakan bahwa wilayah Timor Timur sudah
terintegrasi dengan Indonesia (Damien Kingsbury, 2009:49). Klaim sepihak
tersebut dianggap tidak diakui karena PBB memberikan pernyataan bahwa
22
wilayah Timor Timur merupakan wilayah administratif resmi milik Portugis (Paul
Hainsworth, 2000:3).
Tanggal 7 Desember 1995 dilakukan aneksasi terhadap wilayah Timor
Timur oleh Indonesia yang diteruskan dengan deklarasi wilayah Timor Timur
sebagai provinsi ke-27 Indonesia pada 2 Juni 1976 (Paul Hainsworth, 2000,4-5).
Tahun 1976 muncul pengakuan de facto oleh Amerika Serikat atas masuknya
wilayah Timor Timur sebagai bagian dari Indonesia. Selain Amerika Serikat,
Australia juga mengumumkan pengakuan bergabungnya wilayah Timor Timur ke
Indonesia secara de facto pada tahun 1978 dan pengakuan de jure pada Februari
tahun 1979. Alasan pemberian pengakuan de jure dari Australia adalah karena
wilayah Timor Timur secara geografis merupakan bagian dari kepulauan
Indonesia dan wilayah Timor Timur tidak akan bertahan apabila berdiri sendiri
(Paul Hainswort, 2000:120,141-142).
Pengakuan de facto memiliki arti bahwa menurut negara yang mengakui,
negara atau pemerintah yang diakui telah memenuhi syarat secara fakta.
Sedangkan pengakuan de jure memiliki arti bahwa menurut negara yang
mengakui, negara yang diakui telah memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh
hukum internasional untuk dapat berpartisipasi secara efektif dalam masyarakat
internasional (J.G. Starke, 2008:186-187).
Kekuasaan Portugis terhadap wilayah Timor Timur mulai dianggap
hilang pada tahun 1975 ketika pemerintahan administratif Portugis meninggalkan
wilayah Timor Timur saat terjadi konflik antar kelompok di wilayah Timor
Timur. Selain itu atas tindakan aneksasi Indonesia terhadap wilayah Timor timur,
tidak ada tanggapan apapun dari Portugis terhadap pengakuan Australia atas
masuknya wilayah Timor Timur menjadi wilayah Indonesia baik pada pengakuan
de facto pada 1978 maupun de jure pada 1979. Tidak adanya tindakan oleh
Portugis atas pengakuan tersebut menyebabkan hilangnya kekuasaan Portugis atas
wilayah Timor Timur sehingga dapat dikatakan wilayah Timor Timur resmi
menjadi bagian dari Indonesia (Christine M. Chinkin, 1993:211-215).
23
c. Tinjauan tentang Prinsip Non-Interference
Prinsip Non-Interference adalah salah satu prinsip dalam hukum
internasional. Pengaturannya terdapat dalam Piagam PBB Pasal 2.7 Piagam PBB
yaitu :
“Nothing contained in the present Charter shall authorize the
United Nations to intervene in matters which are essentially
within the domestic jurisdiction of any state or shall require the
Members to submit such matters to settlement under the present
Charter; but this principle shall not prejudice the application of
enforcement measures under Chapter VII.”
Perlu dilakukan penekanan bahwa terdapat perbedaan antara Non-Interference dan
Non-Intervention. Walaupun keduanya merupakan tindakan mencampuri urusan
dalam negeri suatu negara, namun Intervention dilakukan dengan cara yang
agresif dan cenderung memaksa, sedangkan Interference memiliki pengertian
yang lebih luas termasuk didalamnya cara yang koersif (Catherine Drummond,
2009:4).Lee Jones mengutip pendapat Vincent yang menyatakan tindakan
Interference diartikan sebagai sebuah tindakan yang dilakukan oleh negara,
kelompok di dalam negara, maupun orgaisasi internasional yang mencampuri
urusan dalam negeri negara lain (Lee Jones, 2010:8). Mengutip pendapat
Drummond yang menyatakan bawa tindakan interference memiliki rentang mulai
dari tindakan paling ringan berupa komentar politis hingga tindakan agresi militer
(Catherine Drummond, 2009:5-6).
24
Pasal 9 Pengaturan pemberian Persona non Grata
Pemberian Persona non Grata dilakukan secara langsung melalui pemberitahuan resmi
Pemberian status Persona non Grata calon duta besar Indonesia untuk Australia
B. Kerangka Pemikiran
Gambar 1. Kerangka Pemikiran
Keterangan :
Menurut Setyo Widagdo hukum diplomatik merupakan ketentuan atau
prinsip-prinsip hukum internasional yang mengatur hubungan diplomatik antara
negara yang dilakukan atas dasar permufakatan bersama dan ketentuan. Selain itu,
prinsip-prinsip tersebut dituangkan dalam instrumen-instrumen hukum sebagai
hasil kodifikasi hukum kebiasaan internasional dan pengembangan kemajuan
hukum internasional. Salah satu kodifikasi hukum tersebut adalah Konvensi Wina
Tahun 1961 tentang hubungan diplomatik, didalam konvensi wina 1961 terdapat
pengaturan mengenai pemberian status Persona non Grata. Pemberian status
Persona non Grata oleh negara penerima biasa dilakukan menurut ketentuan
Pasal 9 Konvensi Wina Tahun 1961. Namun terdapat sebuah perbedaan dalam
prosedur pemberian status Persona non Grata terhadap Bernhard Leopold Mantiri
calon duta besar Indonesia untuk Australia pada 1995.
Hukum Diplomatik
Konvensi Wina Tahun 1961
25
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
1. Peristiwa sebelum Pencalonan Herman Bernhard Leopold Mantiri
sebagai Duta Besar
Tindakan pemberian status Persona non Grata tidak dapat dilepaskan
dari adanya faktor lain yang menjadi latar belakang pemberiannya. Pada
peristiwa yang dikaji, ditemukan adanya keterkaitan dengan salah satu sejarah
Indonesia yang melibatkan wilayah Timor Timur (sekarang Timor Leste setelah
merdeka pada 20 mei 2002). Timor Timur pada awalnya bukanlah bagian dari
Indonesia, bahkan pada akhir Derang Dunia ke-2 Timor Timur merupakan bagian
dari wilayah administrasi Portugis hingga tahun 1974. Pada tanggal 25 April
1974 terjadi revolusi di Portugis, Revolusi Anyelir/Revolusi Bunga/Carnation
Revolution, yang salah satu dampaknya adalah lepasnya pemerintahan Portugis di
wilayah Timor Timur dibawah kepemimpinan Gubernur Lemos Pires (Damien
Kingsbury, 2009:41,46). Akibat dari lepasnya pengaruh Portugis di Timor Timur
adalah berdirinya tiga asosiasi politik yakni Uni Demokratik Timor (UDT), Front
Revolusioner Independen Timor Timur (FRETILIN), dan Asosiasi Populer
Demokrat Timor (APODETI). Pada 28 November 1975, FRETILIN yang
Independen menyatakan kemerdekaan dari Timor Timur secara sepihak. Selama
terjadi penguasaan tersebut mucul pandangan bahwa nantinya FRETILIN akan
mengembangkan paham komunis di wilayah Timor Timur(Damien Kingsbury,
2009:44-47). Pandangan ini muncul dikarenakan disaat yang bersamaan sedang
terjadi perang dingin antara Amerika Serikat dengan Uni Soviet yang melibatkan
paham Kapitalis dan Komunis. Selain atas dasar penyatuan wilayah Nusantara
yang berlangsung sejak 1940-an selama penjajahan baik yang dilakukan Belanda
maupun Portugis di wilayah Nusantara, Indonesia menganggap FRETILIN
sebagai organisasi Marxisme dan dengan alasan mencegah berkembangnya
paham komunisme di wilayah perbatasan, pada tanggal 7 Desember tahun 1975
Indonesia melakukan aneksasi terhadap Timor Timur dan dijadikan provinsi yang
ke-27 secara resmi pada 2 Juni 1976 (Paul
26
Hainsworth and Stephen McCloskey, 2000:5). Tindakan aneksasi ini mendapat
dukungan dari Amerika Serikat melalui kunjungan dari Presiden Gerald Ford dan
Menteri Luar Negeri Amerika Henry Kissinger (Paul Hainsworth, 2000:4),
Inggris dan bahkan Australia (http://timor-leste.gov.tl/?p=29&lang=en diakses
pada 16-04-2015 pukul 15.00; Damien Kingsbury, 2009:48; Siswanto Prajogo,
2014:27).
Peristiwa yang menjadi sorotan selama masa pendudukan Indonesia di
Timor Timur adalah peristiwa yang terjadi di wilayah Dili atau juga dikenal
dengan peristiwa Santa Cruz. Bermula saat terbunuhnya seorang pemuda
bernama Sebastião Gomes pada tanggal 28 Oktober 1991 saat sedang berlindung
di dalam Gereja Motael,Dili. Gomes berlindung di dalam gereja saat pihak militer
Indonesia melakukan pencarian terhadap pemuda-pemuda yang dianggap
pemberontak. Tanggal 12 November 1991 dilakukan sebuah prosesi
penghormatan atas kematiannya di pemakaman Santa Cruz (Paul Hainsworth,
2000:6-7). Setelah prosesi peletakan karangan bunga di makam Gomes selesai,
mulai terjadi orasi di jalanan oleh para peserta prosesi. Tidak hanya orasi, ada
pula peserta prosesi yang membentangkan spanduk protes terhadap Indonesia.
Seiring berlangsungnya demonstrasi, semakin banyak warga Timor yang ikut
serta dalam demostrasi ini. Disaat yang bersamaan mulai berdatangan tentara
dengan senjata berjalan beriringan menghampiri para demonstran dan mulai
menembaki kerumunan demonstran, diperkirakan lebih dari 100 orang tidak
bersenjata tewas dalam peristiwa Santa Cruz (Paul Hainsworth, 2000:7).
2. Kronologi Penolakan Herman Bernhard Leopold Mantiri oleh Australia
Waktu Kejadian Peristiwa
24 April 1985 Pengajuan Herman Bernhard Leopold Mantiri
sebagai Duta Besar Indonesia untuk Australia
dilakukan oleh Pemerintah Indonesia.
26 April 1985 Pengajuan Herman Bernhard Leopold Mantiri
disetujui Pemerintah Australia.
1986-1988 Herman Bernhard Leopold Mantiri Mantiri menjadi
Panglima Komando Operasi Keamanan di wilayah
27
Timor Timur.
Januari 1992 Herman Bernhard Leopold Mantiri Mantiri
dipindahtugaskan untuk menggantikan Mayjen
Sintong Panjaitan sebagai Panglima Daerah Militer
di markas Kodam Udayana, Denpasar.
Mei 1992 Herman Bernhard Leopold Mantiri Mantiri
memberikan pernyataan dalam wawancarannya oleh
majalah Editor. Salah satu pernyataan Mantiri dalam
wawancara adalah megenai peristiwa Santa Cruz.
Dalam wawancara, Mantiri menyatakan bahwa
tindakan tegas militer Indonesia merupakan hal yang
wajar karena tindakan peserta unjuk rasa dianggap
sebagai makar.
Oktober 1994 Dilakukan Penayangan liputan seputar H.B.L.
Mantiri oleh Patrick Walters (koresponden 'The
Australian' di Jakarta).
31 Mei 1995 Diberikan persetujuan terhadap H.B.L. Mantiri oleh
pemerintah Australia dengan dikeluarkannya
agrément terhadapnya.
Juni 1995 Dilaporkan adanya pengiriman surat yang
mempertanyakan sikap Australia terhadap H.B.L.
Mantiri oleh 60 anggota parlemen Australia kepada
Gareth Evans sebagai Menteri Luar Negeri Autralia
saat itu juga terjadi demonstrasi mengenai penolakan
atas pencalonan H.B.L. Mantiri. Selama terjadi
penolakan ini Australia terhitung sering mengadakan
komunikasi dengan Indonesia. Antara lain melalui
surat pribadi Perdana Menteri Australia Paul Keating
kepada Presiden Suharto; hubungan telpon Keating-
Menteri Luar Negeri Indonesia Ali Alatas selama
lebih dari satu jam; dan juga hubungan telpon antara
Letnan Jenderal John Baker (calon Kasad Australia)
28
dengan H.B.L. Mantiri. Komunikasi tersebut
membahas kemungkinan kesulitan yang akan
dihadapi H.B.L. Mantiri seandainya pencalonan
tersebut diteruskan dan dampak langsungnya atas
hubungan bilateral kedua negara.
6 Juli 1995 Menteri Luar Negeri Indonesia Ali Alatas
mengadakan konferensi pers yang menyatakan
bahwa Indonesia tidak akan melanjutkan pencalonan
H.B.L. Mantiri sebagai Duta Besar Indonesia untuk
Australia. Dalam konferensi pers tersebut Ali Alatas
menyatakan bahwa “kehebohan” internal Australia
atas penolakan terhadap H.B.L. Mantiri diperkirakan
akan berlangsung dalam waktu yang cukup lama dan
dikhawatirkan akan berdampak pada kinerja dari
seorang Duta Besar itu sendiri.
Tabel 1. Kronologi Penolakan Herman Bernhard Leopold Mantiri oleh Australia
Sumber : Teuku Rezasyah, 1995; Sumaryo Suryokusumo, 1995 : 140; John A.
MacDougall, 1995; Panitia Penulisan Sejarah Diplomatik Indonesia, 1998 : 1302.
29
B. Pembahasan
1. Pertimbangan suatu negara dalam memberikan status Persona non Grata
terhadap calon duta besar.
Sebuah negara berhak untuk memberikan status Persona non Grata
kepada seorang kepala perwakilan maupun staf diplomatiknya. Hak tersebut
terdapat dalam Pasal 9 Konvensi Wina Tahun 1961,yaitu:
Article 9
1. The receiving State may at any time and without having
to explain its decision, notify the sending State that the
head of the mission or any member of the diplomatic
staff of the mission is persona non grata or that any
other member of the staff of the mission is not
acceptable. In any such case, the sending State shall, as
appropriate, either recall the person concerned or
terminate his functions with the mission. A person may
be declared non grata or not acceptable before arriving
in the territory of the receiving State.
2. If the sending State refuses or fails within a reasonable
period to carry out its obligations under paragraph 1 of
this article, the receiving State may refuse to recognize
the person concerned as a member of the mission.
Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 9 menjadi hak negara penerima
dalam memberikan status Persona non Grata untuk tidak memberitahukan alasan
pemberiannya kepada negara penerima. Fetham berpendapat bahwa pada
pemberian status Persona non Grata, terdapat dua faktor utama yang dijadikan
acuan dalam setiap pemberian status tersebut. Pertama merupakan faktor yang
berasal dari kekurangan pribadi calon duta besar tersebut yang berdampak pada
tindakan kriminal maupun kepribadian sosial dari individu yang bersangkutan.
Kedua adalah faktor yang memang murni merupakan tindakan kriminal yang
mengancam keamanan negara penerima maupun kepentingan lain negara
penerima, dilakukan dengan berlindung kepada kekebalan diplomatik yang
dimiliki (R.G. Feltham, 1988:6).
Peristiwa pembatalan pencalonan Herman Bernhard Leopold Mantiri
(H.B.L. Mantiri) sebagai Duta Besar Indonesia untuk Australia pada tahun 1995
berkaitan erat dengan kondisi politik antara Indonesia dan Australia pada masa
itu. Merujuk pada fakta yang ditemukan, terjadi penolakan terhadap H.B.L.
30
Mantiri oleh parlemen dari Australia walaupun sebelumnya telah ada persetujuan
dalam bentuk penerbitan agrément. Parlemen Australia sendiri merupakan bagian
dari pemerintahan, menurut konstitusi Australia parlemen merupakan bagian dari
tiga bagian pemerintahan yang ada. Parlemen juga berfungsi sebagai organ
pengendali terhadap kekuasan eksekutif (kebijakan nasional)
(http://www.indonesia.embassy.gov.au/jaktindonesian/sistem_pemerintahan.html
diakses pada 05-05-2015 pukul 12.45) dan hal ini dapat diartikan bahwa
pemerintah Australia telah mempertanyakan pencalonan terhadap Herman
Bernhard Leopold Mantiri sebagai duta besar.
Prosedur penerimaan seorang duta besar di Australia adalah sebagai
berikut apabila dibandingkan dengan prosedur penerimaan di Indonesia :
Prosedur di Australia Prosedur di Indonesia
Diterima pengajuan calon duta besar
dari negara pengirim secara resmi
oleh Australia.
Diterima pengajuan calon duta besar
dari negara pengirim secara resmi
oleh Indonesia.
Protokoler Departement of Foreign
Affairs and Trade (DAFT) Australia
menginformasikan dan meminta
pendapat kepada semua pejabat dan
instansi terkait di Australia serta
keduataan besar Australia di negara
pengirim.
Direktorat Protokol Kementerian
Luar Negeri Indonesia
menginformasikan dan meminta
pendapat kepada semua pejabat dan
instansi terkait di Indonesia serta
keduataan besar Indonesia di negara
pengirim atau negara terdekat dengan
pengirim.
DAFT melaporkan kesemua analisa
yang diperoleh tentang calon duta
besar yang bersangkutan kepada
Menteri Luar Negeri Australia.
Direktorat Protokol Kementerian
Luar Negeri Indonesia melaporkan
kesemua analisa yang diperoleh
tentang calon duta besar yang
bersangkutan kepada Menteri Luar
Negeri Indonesia.
Menteri Luar Negeri apabila
menyetujui usulan tersebut
Menteri Luar Negeri apabila
menyetujui usulan tersebut
31
selanjutnya meminta persetujuan
Gubernur Jenderal
selanjutnya meminta persetujuan
Presiden.
Disampaikannya persetujuan dari
Australia kepada negara pengirim
melalui pemberian agrément
Disampaikannya persetujuan dari
Indonesia kepada negara pengirim
melalui pemberian agrément
Proses pemberian Letter of Credence
oleh calon duta besar negara
pengirim kepada Australia
Proses pemberian Letter of Credence
oleh calon duta besar negara
pengirim kepada Indonesia
Tabel 2. Perbandingan prosedur penerimaan calon duta besar di Australia dan
Indonesia
Sumber: Wawancara dengan Staf Direktorat Protokol Kementerian Luar Negeri
Republik Indonesia
Dari pemaparan tabel diatas dapat dilihat bahwa tidak ditemui perbedaan
dalam prosedur pencalonan seorang duta besar baik di Australia maupun di
Indonesia. Apabila melihat fakta yang terjadi, posisi prosedural H.B.L. Mantiri
sebagai calon duta besar Indonesia untuk Australia sudah mencapai tahapan
penerimaan agrément dari Australia dan hanya perlu menunggu waktu untuk
menyerahkan Letter of Credence dari Presiden Indonesia.
Melihat rangkaian peristiwa di Australia mengenai pencalonan H.B.L.
Mantiri sebagai calon duta besar Indonesia untuk Australia apabila melihat
prosedur penerimaan seorang calon duta besar di Australia, penolakan terhdap
H.B.L. Mantiri terjadi saat agrément dari Australia telah diberikan. Dalam Pasal 4
Konvensi Wina Tahun 1961 mengatur mengenai pemberian agrément :
Article 4
1. The sending State must make certain that the agrément of the
receiving State has been given for the person it proposes to
accredit as head of the mission to that State.
2. The receiving State is not obliged to give reasons to the
sending State for a refusal of agrément.
Pasal 4 mengatur bahwa tidak perlu negara penerima memberikan alasan atas
penolakan pemberian agrément kepada negara pengirim. Namun dalam kasus
32
H.B.L. Mantiri telah terjadi pemberian agrément pada tanggal 31 Mei 1995 atau
sebelum terjadi penolakan oleh parlemen australia. Memperkuat agrément yang
telah diberikan. Paul Keating selaku PM Australia juga memberikan pernyataan
didepan parlemen Australia pada 29 Juni 1995 yang menyatakan bahwa pada
intinya tidak ada kondisi yang dapat dijadikan sebagai alasan penolakan terhadap
pencalonan H.B.L. Mantri (Sumaryo Suryokusumo, 1995:140).
Merujuk pada Pasal 4 Konvensi Wina Tahun 1961, Australia memiliki
hak untuk tidak memberikan pernyataan resmi mengenai penolakan terhadap
H.B.L. Mantiri. Tindakan tersebut diperbolehkan bahkan bila penolakan muncul
setelah diberikannya agrément. Hingga akhir pembatalan pencalonan H.B.L.
Mantiri tidak kunjung didapati pemberitahuan resmi atas alasan dari parlemen
Australia dalam melakukan penolakan terhadap pencalonan H.B.L. Mantiri
sebagai duta besar Indonesia untuk Australia.
Tidak diberikannya alasan mengenai penolakan terhadap H.B.L. Mantiri
sebagai calon duta besar Indonesia untuk Australia merupakan hak dari Australia
sebagai negara penerima, namun yang menjadi perhatian adalah apabila sebuah
alasan penolakan terhadap calon duta besar tidak diutarakan maka dimungkinkan
pada pencalonan duta besar dimasa depan terjadi pengulangan atas kesalahan
yang sama. Pengulangan kesalahan tersebut dapat berdampak tidak hanya kepada
hubungan bilateral Indonesia dan Australia, namun juga akan muncul preseden
buruk bahwa Indonesia tidak kompeten dalam melakukan hubungan luar negeri.
Menjadi penting untuk diadakan kajian lebih lanjut agar dapat diketahui
alasan dari penolakan H.B.L. Mantiri oleh Australia sebagai pembelajaran dalam
pencalonan duta besar selanjutnya. Sumaryo Suryokusumo dalam bukunya
mengutip pendapat Narider Mehta yang menyatakan bahwa apabila
diklasifikasikan lebih lanjut terdapat tiga hal yang menjadi penyebab diberikan
penolakan terhadap calon duta besar maupun duta besar, yaitu:
a) Tindakan yang dianggap mengganggu hak kedaulatan negara dimana ia
ditempatkan, menjadi perlu diperhatikan juga sikap pribadi seorang perwakilan
diplomatik selama berada di negara penerima.
Contoh dari pengenaan sanksi penolakan dengan alasan ini adalah calon duta
besar Inggris untuk Perancis, Duke of Buckingham. Pemerintah Perancis
33
merasa dalam kunjungannya di Paris ia mencintai Ratu Perancis dan hal
tersebut terbukti “sangat menjengkelkan” (proved obnoxious).
b) Menunjukkan rasa permusuhan (hostile act) dengan rakyat maupun lembaga di
negara penerima.
Contoh dari pengenaan sanksi penolakan dengan alasan ini adalah calon duta
besar Amerika untuk Italia, Mr. Kiley. Penolakan diberikan karena pada tahun
1881 ia melakukan protes atas tindakan aneksasi yang dilakukan oleh Italia
terhadap Papal State (saat ini Vatikan).
c) Menjadi sebab permasalahan di negara penerima, dan negara penerima tersebut
tidak berkenan memberikan kekebalan kekebalan yang menjadi hak seorang
duta besar (Narider Mehta dalam Sumaryo Suryokusumo, 1995:119-120).
Selain alasan penolakan menurut pendapat ahli, terdapat beberapa alasan
dari penolakan terhadap seorang duta besar yang tertulis dalam Konvesi Wina
tahun 1961, yaitu:
a) Tindakan Spionase, terdapat dalam Pasal 3 (d):
Article 3
(d) Ascertaining by all lawful means conditions and
developments in the receiving State, and reporting thereon to
the Government of the sending State;
Didalam keseluruhan Pasal 3 ini menjelaskan mengenai tugas dari
seorang perwakilan diplomatik. Salah satu dari tugas perwakilan dilomatik adalah
melaporkan kondisi dari negara penerima tempat ia ditugaskan. Walaupun tidak
secara jelas dituliskan mengenai tindakan spionase, telah ditekankan bahwa segala
kegiatan pemberian informasi negara penerima kepada negara pengirim harus
dilakukan secara sah atau tidak melawan hukum. Spionase menurut hukum
internasional memiliki kedudukan yang sama dengan kejahatan politik walaupun
tidak ditemukan perumusan mengenai apa itu kejahatan politik. Sehingga dalam
menentukan apakah suatu tindakan tergolong spionase dikembalikan kepada
negara yang bersangkutan untuk menentukan (Hermaya Anita, 2013:6)
34
Contoh dari pemberian penolakan terhadap perwakilan diplomatik yang
melakukan tindakan spionase adalah pada Februari 1982 ketika atase militer Uni
Soviet di Jakarta, Letnan Kolonel Sergei P. Egorove ditangkap di sebuah rumah
makan saat melakukan transaksi dokumen rahasia dengan Letnan Kolonel Sus
Daryanto dari Indonesia (Sumaryo Suryokusumo, 1995:134).
b) Tindakan yang melanggar hukum dan peraturan perundangan-undangan negara
penerima, terdapat dalam Pasal 41 ayat (1):
Article 41
1. Without prejudice to their privileges and immunities, it is the
duty of all persons enjoying such privileges and immunities to
respect the laws and regulations of the receiving State....
Walaupun perwakilan diplomatik, staf dan bahkan anggota keluarganya
menikmati kekebalan dan keistimewaan tertentu saat bertugas di negara penerima,
ia tetap diharuskan untuk menaati hukum yang berlaku di negara penerima. Dalam
prakteknya apabila terjadi pelanggaran hukum di negara penerima oleh para
pemilik hak dan kekebalan diplomatik, dapat ditempuh dua cara penyelesaian
yaitu:
(1). Dilakukan pemulangan ke negaranya setelah mendapat pernyataan Persona
non Grata oleh negara penerima. Pennyelesaian semacam ini dilakukan
terhadap beberapa kasus yaitu:
(a) Penyerangan dengan senjata api;
(b) Pemerkosaan, kejahatan seksual lainnya;
(c) Penipuan;
(d) Pelanggaran saat berkendara atau saat mabuk yang kedua kali, atau yang
pertama kali bila disertai tindakan kekerasan atau menyebabkan luka pihak
lain;
(e) Pelanggaran lalulintas lainnya yang menyebabkan kematian maupun luka
serius;
(f) Mengemudi tanpa adanya jaminan asuransi;
(g) Pencurian; dan
(h) Pelanggaran lain yang memiliki ancaman hukuman lebih dari 12 bulan
(Sumaryo Suryokusumo, 1995:121).
35
(2). Dilakukan proses penegakan hukum terhadap pelanggar yang bersangkutan di
negara penerima dengan hukum yang berlaku disana, proses penyelesaian ini
dilakukan seteleh didapat peretujuan atau kesediaan dari negara pengirim
untuk menanggalkan hak dan kekebalan diplomatik dari individu yang
bersangkutan.
Contoh dari pemberian penolakan terhadap perwakilan diplomatik yang melawan
hukum terjadi saat ditangkapnya dua orang staf kedutaan besar Amerika di sebuah
hotel di Jakarta karena terlibat dalam pengedaran dan penjualan obat-obatan
terlarang dengan barang bukti 160 pil ecstasy (Sumaryo Suryokusumo, 1995:130).
c) Mencampuri urusan dalam negeri, terdapat dalam Pasal 41 ayat (1)
Article 41
1. Without prejudice to their privileges and immunities, it is the
duty of all persons enjoying such privileges and immunities to
respect the laws and regulations of the receiving State. They
also have a duty not to interfere in the internal affairs of that
State.
Selain diharuskan untuk menaati hukum dari negara penerima, seorang
perwakilan diplomatik diharuskan untuk tidak mencampuri urusan dalam negeri
negara lain. Tindakan mencampuri urusan dalam negeri dari negara penerima
dapat menjadi alasan dari negara penerima untuk memberikan pernyataan persona
non grata terhadap individu yang bersangkutan. Pasal ini juga memiliki
keterkaitan dengan prinsip Non-Interference dalam hukum internasional dan
dipertegas dalam Piagam PBB. Contoh dari pemberian penolakan terhadap
perwakilan diplomatik yang dianggap mencampuri urusan dalam negeri negara
penerima terjadi pada bulan Juni 1976 saat Duta Besar Libya untuk Mesir
dinyatakan telah membagi bagikan selebaran yang bersifat permusuhan terhadap
pemerintah Mesir yang saat itu dipimpin oleh Presiden Anwar Sadat (The Times
dalam Sumaryo Suryokusumo, 1995:123).
Apabila melihat dari alasan alasan yang biasa dikemukakan dalam suatu
penolakan baik terhadap calon maupun seorang duta besar seperti yang telah
dijelaskan diatas, tidak ditemukan satu alasan pun yang dapat dijadikan dasar
dalam pemberian status Persona non Grata yang telah diberikan oleh parlemen
Australia terhadap H.B.L. Mantiri. Lebih jauh dalam bukunnya, Sumaryo
36
Suryokusumo menyatakan bahwa penolakan terhadap H.B.L. Mantiri dapat
digolongkan dalam bentuk penolakan secara eksepsional. Penolakan ini didasari
oleh adanya kondisi kondisi politik tertentu seperti kondisi hak asasi, kondisi
lingkungan hingga kondisi demokrasi suatu negara menjadi sebuah pertimbangan
dalam penolakan seorang calon duta besar (Sumaryo Suryokusumo, 1995:135-
137).
Menurut pendapat Sumaryo Suryokusumo, sebuah penolakan pada
dasarnya dapat digolongkan menjadi dua bentuk, yaitu:
a) Penolakan secara langsung dan terang terangan
Penolakan semacam ini merupakan jenis penolakan terhadap calon
maupun duta besar yang umum dilakukan. Secara yuridis penolakan semacam
inilah yang dapat ditemui pengaturannya didalam Konvensi Wina Tahun 1961.
Dijelaskan didalam Pasal 4 disebutkan :
Article 4
The sending State must make certain that the agrément of the
receiving State has been given for the person it proposes to
accredit as head of the mission to that State.
yang pada intinya walaupun tidak menyebutkan mengenai cara penolakan namun
dapat disimpulkan bahwa terhadap pemberian sebuah agrément haruslah
diberitakan kepada kepala perwakilan diplomatik negara pegirim dan pasti juga
melingkupi apabila terjadi penolakan atas pemberian sebuah agrément.
Tertulis didalam Pasal 9 Konvensi Wina Tahun 1961:
Article 9
The receiving State may at any time and without having to
explain its decision, notify the sending State that the head of the
mission or any member of the diplomatic staff of the mission is
Persona non Grata or that any other member of the staff of the
mission is not acceptable...
Pengaturan mengenai penolakan pada tahap perwakilan diplomatik sudah
dinyatakan mulai bertugas atau tahap setelah diberikannya surat-surat
kepercayaan (letter of credentials) kepada kepala negara penerima. Contoh dari
penggunaan penolakan semacam ini adalah saat Pemerintah Swiss memberikan
37
penolakan atas calon duta besar dari Iran di negaranya setelah Tuan Malaek
diberangkatkan ke Swiss untuk meyerahkan letter of credentials kepada
pemerintah Swiss (Sumaryo Suryokusumo, 1995:144).
b) Penolakan secara tidak langsung dan terselubung
Penolakan secara tidak langsung dan terselubung atau indirect and facit
Persona non Grata (Sumaryo Suryokusumo, 1995:146). Tidak didapati
pengaturan mengenai penolakan dengan jenis ini didalam Konvensi Wina Tahun
1961. Walaupun tidak didapati pengaturannya dalam konvensi, praktek pemberian
penolakan semacam ini masih dilakukan oleh negara-negara di dunia. Contoh dari
pemberian penolakan dengan cara ini adalah terhadap calon duta besar Indonesia
untuk Brasil, Toto Riyanto. Sebelumnya telah dikirimkan undangan resmi oleh
pemerintah Brasil kepada Indonesia agar Totok Riyanto mengikuti upacara
penyerahan credentials pada pukul 09.00 pagi waktu Brasilia di Istana Presiden
Brasil. Secara tiba-tiba Menteri Luar Negeri Brasil menunda penyerahan
credentials milik Toto Riyanto saat berlangsungnya upacara penyerahan
credentials
(http://www.kemlu.go.id/pretoria/Pages/PressRelease.aspx?IDP=3&l=id diakses
pada 31-07-2015 pukul 10.10).
Penolakan secara tidak langsung dan terselubung merupaka jenis penolakan
yang digunakan dalam sebuah penolakan yang menurut Sumaryo Suryokusumo
tergolong eksepsional. Penolakan dengan metode seperti ini cenderung digunakan
dalam memberi pesan diplomatis kepada negara pengirim oleh negara penerima
atas kondisi politik tertentu yang sedang atau melibatkan negara pengirim
tersebut.
Berdasarkan kasus yang diteliti yakni penolakan terhadap calon duta
besar Indonesia untuk Australia yakni H.B.L. Mantiri walaupun tidak ada berita
maupun pengumuman resmi dari pemerintah Australia, namun dapat dianalisa
apakah penyebab muncul penolakan atas dirinya. Menilai dari tiga alasan yang
digunakan dalam suatu tindakan penolakan, tidak satupun yang dapat menjadi
alasan kuat adanya penolakan terhadap H.B.L. Mantiri. Maka dari itu penolakan
terhadap H.B.L. Mantiri digolongkan menjadi penolakan yang dianggap
38
eksepsional. Penggolongan ini didasari oleh dua alasan pertama melalui cara
diberikannya penolakan yang tidak langsung dan terselubung. Kedua atas dasar
alasan dari pemberian penolakan yang berkaitan dengan urusan dalam negeri
Indonesia.
2. Legalitas tindakan pemerintah Australia dalam memberikan status
Persona non Grata terhadap H.B.L Mantiri berdasarkan hukum
diplomatik.
Pengaturan mengenai pemberian status Persona non Grata terdapat
dalam Pasal 9 konvensi Wina Tahun 1961. Tertulis didalam pasal tersebut bahwa
dalam pemberian Persona non Grata tidak diperlukan adanya pemberitahuan
alasan pemberiannya. Menurut Elieen Denza klausul mengenai tidak
diperlukannya pemberitahuan alasan pemberian Persona non Grata pernah
diajukan dalam rapat pembahasan pasal ini, namun pada akhirnya disepakati
untuk dimasukkan atas pertimbangan teradapat pula dalam Pasal 4 Konvensi
Wina Tahun 1961 (Eileen Denza, 1998:62)
Sedikit membahas mengenai keharusan pemberian alasan dalam
pemberian Persona non Grata, perlu melihat konsideran sejarah mengenai hal
yang sama pada Pasal 4 Konvensi Wina Tahun 1961. Pada abad ke-19 tindakan
untuk mendapat persetujuan atas pengiriman perwakilan diplomatik perlahan
menjadi sebuah hukum kebiasaan. Disebutkan pertama kali pada Konvensi
Havana Tahun 1928 tentang Petugas Diplomatik mengenai hak untuk tidak
menyebutkan alasan dari sebuah agrément hal ini diartikan murni sebagai sebuah
penolakan bukan sebuah keharusan rasional(Eileen Denza, 1998:38). Dipertegas
pula dalam Konferensi mengenai Imunitas dan Hubungan Diplomatik di Wina
tanggal 2 Maret – 14 April 1991 bahwa diamnya sebuah negara dapat diartikan
sebagai suatu penolakan yang sopan (Official Records on United Nations
Conference on Diplomatic Intercourse and Immunities, 1961:86).
Berdasarkan pemaparan mengenai pengaturan Persona non Grata terlihat
bahwa tindakan Australia dalam menolak H.B.L. Mantiri tidak melanggar
peraturan tersebut karena pada dasarnya negara penerima memiliki hak untuk
melakukan penolakan terhadap perwakilan diplomatik dari negara pengirim.
Selain melakukan pengkajian terhadap pengaturan pemberian Persona non Grata
39
dalam konvensi, diperlukan pula kajian berdasarkan sumber hukum lainnya yakni
prinsip atau asas. Diketahui terdapat prinsip yang dijadikan acuan dalam
keberlangsungan praktik hukum diplomatik. Widodo mengutip pendapat Masyhur
Effendi yang menyebutkan bahwa setidaknya hukum diplomatik memiliki 7 asas,
yaitu:
a. Asas persamaan, persaudaraan dan perdamaian;
b. Asas penghormatan atas perbedaan antar negara;
c. Asas penghormatan atas wakil-wakil negara dengan titik berat pada
penghormatan pada kedaulatan negara asing-masing;
d. Asas penghormatan atas dasar adat dan kebiasaan internasional;
e. Asas kehendak bersama;
f. Asas tidak daat diganggugugatnya perwakilan dari masing-masing negara; dan
g. Asas kepercayaan.
Ketujuh asas ini dapat ditemukan didalam Konvensi Wina Tahun 1961, tersebar
baik dalam pasal yang ada maupun didalam pembukaannya (Masyhur Effendi
dalam Widodo, 2009 : 23).
Asas persamaan, persaudaraan dan perdamaian dapat ditemui didalam
Pembukaan Konvensi Wina Tahun 1961 alinea ke-2 yaitu :
Having in mind the purposes and principles of the Charter of the
United Nations concerning the sovereign equality of States, the
maintenance of international peace and security, and the
promotion of friendly relations among nations.
Tersirat dalam alinea tersebut bahwa dalam menjalankan hubungan diplomatik
harus selalu menjunjung tinggi kedaulatan yang dimiliki oleh tiap-tiap negara
didunia dan memastikan terjalinnya rasa persaudaraan antar negara tersebut.
Tidak lupa tetap menjaga keamanan dan perdamaian dunia dalam melakukan
suatu hubungan internasional. Semangat persaudaraan dan perdamaian juga
menjadi tujuan dasar dibentuknnya PBB, selain itu juga mendapat penekanan
dalam pembukaan Piagam PBB (Leo Gross, 1948:23-24)
40
Asas penghormatan atas perbedaan antar negara dapat ditemui masih
didalam pembukaan Konvensi Wina Tahun 1961 namun terdapat di alenia ke-3,
yaitu :
Believing that an international convention on diplomatic
intercourse, privileges and immunities would contribute to the
development of friendly relations among nations, irrespective of
their differing constitutional and social systems.
Selain kedaulatan yang dimiliki oleh masing-masing negara di dunia, perlu juga
adanya penghormatan atas perbedaan dari masing-masing negara baik dasar
berkelangsungan negara tersebut, ideologi dan lainnya. Adanya perbedaan antar
negara di dunia menjadi salah satu pemicu munculnya konflik antar negara,
sebegai contoh terjadinya perang dingin antara Amerika Serikat dengan Uni
Soviet yang berlangsung akibat adanya perbedaan ideologi bangsanya, selama
konflik ini terjadi banyak negara yang ikut memihak pada salah satu kubu dan
berakibat munculnya diskriminasi tertentu dalam perpolitikan dunia. Dewasa ini
mulai diperkirakan muncul kubu baru dalam kehidupan internasional, selain itu
juga perbedaan kultur antar negara makin terihat sehingga menjadi penting dalam
rangka menciptakan situasi yang damai antar negara seluruh negara didunia
bekerjasama tanpa terjadi diskriminasi (Yang yang, 2014:30-31).
Asas penghormatan atas wakil-wakil negara dengan titik berat pada
penghormatan pada kedaulatan negara asing-masing dapat ditemukan juga dalam
pembukaan Konvensi Wina Tahun 1961 di alinea ke-4 :
Realizing that the purpose of such privileges and immunities is
not to benefit individuals but to ensure the efficient performance
of the functions of diplomatic missions as representing States.
Asas ini untuk menekankan bahwa seorang perwakilan diplomatik setelah
memperoleh hak dan kekebalan diplomatiknya harus dihormati oleh negara
tempat dia ditugaskan atas dasar penghormatan terhadap negara pengirimnya.
Dilain pihak juga harus ada kesadaran dari perwakilan dilomatik yang
bersangkutan bahwa hak dan kekebalan diplomatik yang dimilikinya hanya
berlaku dalam rangka menjalankan tugasnya sebagai perwakilan diplomatik.
Asas penghormatan atas dasar adat dan kebiasaan internasional dapat
ditemukan tertulis dalam pembukaan Konvensi Wina Tahun 1961 di alinea ke-5,
yaitu :
41
Affirming that the rules of customary international law should
continue to govern questions not expressly regulated by the
provisions of the present Convention.
Seperti yang diketahui bahwa dalam hukum internasional terdapat beberapa
sumber hukum internasional menurut Pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional,
yaitu :
a. Konvensi-konvensi internasional, baik yang bersifat umum maupun khusus
yang dengan tegas menyebutkan ketentuan-ketentuan yang diakui oleh negara-
negara yang bersengketa;
b. Kebiasaan-kebiasaan internasional yang terbukti merupakan praktik umum
yang diakui sebagai hukum;
c. Prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh bangsa-bangsa yang beradab;
dan
d. Merujuk kepada ketentuan dalam Pasal 59, Keputusan pengadilan dan ajaran-
ajaran sarjana-sarjana yang paling terkemuka dari berbagai negara di dunia
sebagai sumber hukum tambahan bagi penetapan kaidah-kaidah hukum.
Kemudian apabila suatu saat terjadi sebuah perkara yang tidak ditemukan
peraturan tertulis yang mengaturnya maka dapat dicari pengaturannya didalam
hukum kebiasaan internasional yang ada. Tindakan ini dilakukan agar tidak
terdapat permasalahan dalam hukum diplomatik yang dibiarkan berlarut-larut.
Asas kehendak bersama tertulis dalam Pasal 2 Konvesi Wina Tahun
1961 yaitu :
Article 2
The establishment of diplomatic relations between States, and of
permanent diplomatic missions, takes place by mutual consent.
Asas ini didasari atas penghormatan terhadap kedaulatan dari kedua negara yang
bersangkutan, dengan adanya kesepakatan menandakan bahwa tidak ada paksaan
dalam menjalin suatu hubungan diplomatik. Selain itu juga timbul tanggungjawab
terhadap kedua negara yang telah melakuan kesepakatan untuk menjalin
hubungan internasional untuk saling melindungi perwakilan diplomatik negara
pengirim apabila sedang ditugaskan diwilayahnya. Asas ini bertujuan mendukung
terciptanya hubungan persahabatan antar negara di dunia.
42
Asas tidak dapat diganggugugatnya perwakilan dari masing-masing
negara dapat ditemukan pengaturannya didalam Pasal 29 Konvensi Wina Tahun
1961 :
Article 29
The person of a diplomatic agent shall be inviolable. He shall
not be liable to any form of arrest or detention. The receiving
State shall treat him with due respect and shall take all
appropriate steps to prevent any attack on his person, freedom
or dignity.
Pengertian tidak diganggu gugatnya seorang perwakilan diplomatik lebih
memiliki keterkaitan dengan asas yang telah dijelaskan sebelumnya, yaitu asas
penghormatan atas kedaulatan suatu negara. Selama berada di negara penerima,
seorang perwakilan diplomatik dianggap menjadi representasi dari negara
pengirimnya dan apabila terjadi suatu insiden seperti situasi yang mengancam
nyawa perwakilan diplomatik tersebut dapat disamakan dengan adanya ancaman
terhadap negara pengirim dan negara penerima lah yang harus ikut
bertanggungjawab. Maka dari itu negara penerima diharuskan untuk menjaga
seorang perwakilan diplomatik ketika berada di negaranya dalam rangka menjaga
hubungan persahabatan dengan antar negara.
Asas Kepercayaan dapat ditemukan pengaturannya didalam Pasal 26
Konvensi Wina Tahun 1961 :
Article 26
Subject to its laws and regulations concerning zones entry into
which is prohibited or regulated for reasons of national
security, the receiving State shall ensure to all members of the
mission freedom of movement and travel in its territory.
Dalam pelaksanaannya, hukum diplomatik sebagai bagian dari cabang
ilmu hukum internasional memang memiliki pengeturan tersendiri melalui
Konvensi Wina Tahun 1961 yang secara khusus mengatur mengenai hubungan
diplomatik. Namun perlu juga melihat sumber-sumber hukum yang ada dalam
hukum internasional sebagai induk ilmunya apakah ada yang bertentengan atau
tidak. Dalam hukum internasional terdapat empat sumber hukum yang diakui
melalui Statuta Mahkamah Internasional, khususnya yang terdapat dalam Pasal 38
yaitu :
43
a. Konvensi-konvensi internasional, baik yang bersifat umum maupun khusus
yang dengan tegas menyebutkan ketentuan-ketentuan yang diakui oleh negara-
negara yang bersengketa;
b. Kebiasaan-kebiasaan internasional yang terbukti merupakan praktik umum
yang diakui sebagai hukum;
c. Prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh bangsa-bangsa yang beradab,
dan;
d. Merujuk kepada ketentuan dalam Pasal 59, Keputusan pengadilan dan ajaran-
ajaran sarjana-sarjana yang paling terkemuka dari berbagai negara di dunia
sebagai sumber hukum tambahan bagi penetapan kaidah-kaidah hukum.
Dari keempat sumber hukum internasional yang ada, dalam poin ketiga
disebutkan bahwa prinsip hukum umum merupakan salah satu sumber hukum
internasional yang diakui. Salah satu prinsip yang diakui dan dijunjung
keberadaannya dalam praktek hukum internasional adalah prinsip Non-
Interference. Dalam mehami prinsip ini lebih lanjut harus dibedakan dengan
tindakan intervensi. Perlu dibedakan karena dalam intervensi yang juga
merupakan tindakan campur tangan ditemukan perbedaan yang menekankan pada
sifatnya yang memaksa (coercive) sehingga menyebabkan negara yang di
intervensi harus mengikuti kehendak dari negara yang mengintervensi (Rahayu,
2012:132). Prinsip Non-Interference memiliki arti bahwa dalam hubungan antar
negara dilarang adanya campur tangan suatu negara terhadap urusan dalam negeri
negara lain baik secara langsung maupun tidak langsung, campur tangan secara
agresif maupun secara halus mengenai kemerdekaan sebuah negara, juga
penggunaan pengaruh politik atau ekonomi dalam mewujudkan kepentingan
negara dan dengan cara apapun ikut serta dalam penjatuhan rezim (Richard
Aidoo, 2015:111). Suatu tindakan interference memiliki rentang mulai dari
tindakan paling ringan berupa komentar politis hingga tindakan agresi militer
(Catherine Drummond, 2009:5-6).
44
Prinsip Non-Interference merupakan sebuah prinsip yang dijunjung
tinggi didalam ranah hukum internasional. Pencantumannya terdapat dalam Pasal
2.7 Piagam PBB yaitu :
“Nothing contained in the present Charter shall authorize the
United Nations to intervene in matters which are essentially
within the domestic jurisdiction of any state or shall require the
Members to submit such matters to settlement under the present
Charter; but this principle shall not prejudice the application of
enforcement measures under Chapter VII.”
Selain tercantum dalam piagam PBB, PBB juga mengeluarkan dua
resolusi yang didalamnya menyebutkan mengenai prinsip Non-Interference,
tertuang dalam Resolusi Majelis Umum 2131 (XX), 21 Desember 1965 tentang
Tidak Dapat Diterimanya Intervensi Dalam Negeri Suatu Negara dan
Perlindungan Kemerdekaan dan Kedaulatan Mereka dan dalam Resolusi Majelis
Umum 2625 (XXV), 24 Oktober 1970 tentang Deklarasi Prinsip-Prinsip Hukum
Internasional mengenai Hubungan Persahabatan dan Kerjasama antar Negara
sesuai dengan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa. Dinyatakan dalam kedua
resolusi ini bahwa:
No State or group of States has the right to intervene, directly or
indirectly, for any reason whatever, in the internal or external
affairs of any other State.
Selain dapat ditemukan dalam dokumen PBB, prinsip Non-Interference pernah
dipergunakan oleh Mahkamah Internasional dalam persidangan Nicaragua Case
seperti berikut ini :
“The principle of non intervention involves the right of every
sovereign State to conduct its affairs without outside
interference; though examples of trespass against this principle
are not infrequent, the Court considers that it is part and parcel
of customary international law. …international law requires
political integrity…to be respected”. The Court went on to say
that “the principle forbids all States or groups of States to
intervene directly or indirectly in the internal or external affairs
of other States”(Chatham House, 2007 : 3).
Walaupun banyak dukungan dalam rangka penegakan prinsip Non-
Interference, masih didapati praktek yang melanggar prinsip tersebut terjadi di
lingkup hubungan internasional. Tindakan Interference yang terjadi berupa
tekanan diplomatik yang diberikan oleh suatu negara dengan media perwakilan
45
diplomatiknya. Dicontohkan saat terjadi invasi oleh Uni Soviet ke
Kabul,Afghanistan yang berlangsung selama 10 tahun mulai 27 Desember 1979
hingga 15 Februari 1989 (M. Hasan Kakar, 1995:21,269). Dalam peristwa
tersebut negara di dunia menunjukkan penolakan atas tindakan Uni Soviet, salah
satunya Indonesia saat itu menarik duta besarnya di kabul sehinga harus
digantikan oleh Kuasa Usaha Ad Interim (KUAI) dengan pangkat Minister
Cousellor. Tindakan penarikan duta besar semacam ini dalam hubungan
diplomatik merupakan simbol dari ketidakpuasan, kekecewaan, atas sikap maupun
kebijakan yang dilakukan negara penerima atau atas nama negara penerima
(Sumaryo Suryokusumo, 1995 : 147).
Suatu tindakan diplomatik agar dapat digolongkan sebagai suatu tindakan
Interference haruslah melihat tiga kategori yaitu (Michael Wood. 2012):
a. Bagaimana kondisi hubungan antar negara;
b. Keadaan sosial masyarakat di negara yang bersangkutan; dan
c. Situasi perkembangan politik saat terjadi tindakan.
Pada penolakan yang terjadi terhadap H.B.L. Mantiri oleh parlemen,
menurut fakta yang ditemukan dapat dikaitkan dengan terjadinya suatu
Interferece. perlu diingat bahwa menurut prinsip Non-Interference tidak
diperbolehkan sebuah negara ikut mecampuri urusan dalam negeri dari suatu
negara lain. Yang terjadi menurut kronologi penolakan terhadap H.B.L. Mantiri
perlu dikaitkan dengan sejarah Indonesia, dimana yang menjadi isu utama
penolakan australia melalui parlemennya diakibatkan oleh pernyataan H.B.L.
Mantiri saat dilakukan wawancara oleh majalah Editor. Saat itu sebagai seorang
calon duta besar dan yang juga pernah menjadi bagian dari personil militer yang
ditugaskan di wilayah Timor Timur, H.B.L. Mantiri dimintakan komentar
mengenai peristiwa Santa Cruz. Dengan dasar personal sebagai anggota militer,
H.B.L. Mantiri memberikan pernyataan bahwa para demonstran yang melakukan
unjuk rasa dianggap melakukan makar, maka wajar apabila untuk menghentikan
aksi tersebut dilakukan penindakan secara tegas. Makar merupakan
46
Sebagai dasar apakah dapat dikaitkan dengan prinsip Non-Interference,
perlu melihat lagi bahwa yang tidak diperbolehkan adalah mencampuri urusan
negara lain. Apabila melihat wilayah tempat terjadinya peristiwa Santa Cruz,
sejak tahun 1975 wilayah Timor Timur merupakan bagian dari Indonesia lebih
tepatnya sebagai provinsi ke-27. Selain itu kegiatan makar yang menjadi dasar
pernyataan oleh H.B.L. Mantiri hanya bisa terjadi apabila dilakukan oleh warga
negara terhadap pemerintahanya. Makar merupakan suatu perbuatan yang
ditujukan untuk menghancurkan, menggulingkan atau mengambil alih
pemerintahan dengan alasan-alasan tertentu (Fadli, 2015:2). Tindakan makar
meliputi tiga hal yaitu (Fadli, 2015:4):
a. Makar terhadap keamanan kepala negara dan wakil kepala negara;
b. Makar terhadap keamanan wilayah negara;dan
c. Makar terhadap keamanan bentuk pemerintahan negara.
Makar terhadap keamanan wilayah negara dapat dikatakan terjadi apabila pelaku
memiliki maksud membawa seluruh atau sebagian wilayah negara kebawah
kekuasaan asing atau untuk memisahkan sebagian wilayah negara (Trahjurendra,
2014:3). Dari kedua faktor yakni lokasi dan juga peristiwa yang terjadi maka
dapat disimpulkan bahwa kesatuan peristiwa ini merupakan gejolak atau
permasalahan dalam negeri Indonesia.
Selain melihat penggolongan alasan penolakan H.B.L. Mantiri sebagai
urusan dalam negeri Indonesia, dapat dilihat juga mengenai kondisi politik yang
terjadi antara Indonesia dan Australia saat itu. Apabila melihat dari segi historis,
terdapat hubungan erat antara Australia dengan wilayah Timor Timur jauh saat
masa perang dunia kedua. Pada masa akhir berlangsungnya Perang Dunia ke-2
tepatnya saat Jepang melakukan invasi ke Indonesia, saat itu terjadi perlawanan
oleh pihak Australia yang menjadi bagian dari pasukan sekutu melawan Jepang
sebagai bagian dari kekuatan poros di wilayah Timor Timur. Saat terjadi
perlawanan tersebut, tentara dari Australia banyak mendapat bantuan dari warga
lokal Timor Timur yang berperan sebagai pemandu jalan, penyedia tempat tinggal
hingga konsumsi bagi militer Australia. Ikatan tersebut yang menjadikan veteran
47
perang di wilayah tersebut memiliki hubungan erat dengan warga Timor Timur
(Damien Kingsbury, 2009:38-39).
Jauh setelah terjadi perang dunia kedua didapati kembali faktor yang
menghubungkan Australia dengan Timor Timur, tepatnya pada 16 Oktober 1975
saat lima orang jurnalis televisi Australia ikut terbunuh saat terjadi bentrok antara
pihak FRETILIN dengan Indonesia di kota Balibo (Damien Kingsbury, 2009:49).
Peristiwa ini memicu protes di Australia oleh berbagai kalangan dalam sistem
sosial kemasyarakaatan Australia. Kalangan media massa dan politikus banyak
melakukan aksi yang menyatakan bahwa mereka anti-Indonesia dan muncul di
banyak media masa di Australia. Selain dari kalangan tersebut juga muncul protes
dari kalangan buruh dimana terjadi terjadi pemboikotan kapal Indonesia oleh para
buruh di pelabuhan Sidney. Disekitar wilayah kedutaan besar Indonesia untuk
Australia di Canberra juga terjadi demonstrasi yang dilakukan oleh aktivis pro-
FRETILIN dengan mendirikan pos komando anti-Indonesia, pada waktu tertentu
demonstran yang berkumpul bahkan mencapai jumah 100 hingga 200 orang.
Kejadian yang cukup menjadi perhatian adalah saat terjadi bentrokan antara
demostran peristiwa santa cruz dengan staf kedutaan besar Indonesia untuk
Australia di Canberra, saat itu terjadi pelemparan batu oleh para demonstran
terhadap iring-iringan kendaraan staf kedutaan besar Indonesia, tindakan tersebut
dibalas dari dalam kedutaan namun akhirnya dapat dihentikan oleh kepolisian
Australia walaupun dianggap sedikit terlambat datang ke lokasi kejadian (John A.
MacDougall, 1995).
Setelah melihat penjelasan singkat mengenai hubungan politik antara
Indonesia dan Australia yang berhubungan dengan Timor Timur dan juga kondisi
sistem sosial di Australia didapati bahkan jauh sebelum adanya wawancara H.B.L.
Mantiri oleh Majalah Editor sudah mulai terlihat gejolak didalam negeri Australia
yang menentang tindakan Indonesia di Timor Timur. Selain dari kondisi politik
juga dapat dilihat apakah tindakan penolakan Australia terhadap H.B.L. Mantiri
merupaka suatu tindakan yang melanggar prinsip Non-Interference, yaitu dari
alasan penolakan itu sendiri. Kembali melihat kronologi penolakan terhadap
H.B.L. Mantiri, setelah diterbitkannya hasil wawancara dengan majalah Editor di
48
Indonesia dan penayangan liputan seputar H.B.L. Mantiri di Australia (dilakukan
oleh koresponden “The Australian” di jakarta) diketahui bahwa Gareth Evans
selaku Menteri Luar Negeri Australia pada waktu itu menerima surat yang beratas
namakan 60 anggota parlemen dari australia dengan isi yang menyatakan menolak
H.B.L. Mantiri sebagai calon duta besar Indonesia untuk Australia. Parlemen di
Australia seperti yang telah dipaparkan dalam pembahasan sebelumnya
merupakan bagain dari tiga bagian pemerintahan di Australia sehingga pantas bila
dinyatakan bahwa Pemerintah Australia telah memberikan penolakan tersebut.
Selain itu juga Menteri Luar Negeri Australia Gareth Evans mewakili Australia
menyesalkan pernyataan H.B.L. Mantiri dan meminta penjelasan berikut
permintaan maaf dari H.B.L. Mantiri. Dapat dilihat bahwa dari rangkaian
peristiwa yang muncul yang berkaitan dengan pencalonan H.B.L. Mantiri sebagai
duta besar semua terfokus pada pernyataanya mengenai peristiwa Santa Cruz.
Baik parlemen maupun Menteri Luar Negeri Australia pada saat itu sempat
meyinggung permasalahan yang melibatkan wilayah Timor Timur sehingga bisa
disimpulkan bahwa alasan dari adanya penolakan atas calon duta besar Indonesia
untuk Australia yaitu H.B.L. Mantiri memiliki keterkaitan erat dengan protes atas
tindakan Indonesia diwilayah Timor Timur.
Kembali melihat penjelasan prinsip Non-Interference, dibutuhkan tiga
unsur untuk menilai apakah suatu tindakan digolongkan melanggar prinsip Non-
Interference. Dari apa yang telah dibuktikan, pihak Australia dapat dianggap
melanggar prinsip Non-Interference melalui pemberian persona non grata secara
tidak langsung dan terselubung atau indirect and facit terhadap calon duta besar
Indonesia, dibuktikan dengan melihat tiga unsur yang ada yakni hubungan politik
antara Indonesia dan Australia yang memiliki hubungan dengan wilayah Timor
Timur, kondisi sistem sosial yang menyatakan penolakan atas H.B.L Mantiri
selain itu juga perkembangan politik Australia ketika dikeluarkan pendapat
mengenai peristiwa santa cruz oleh H.B.L. Mantiri terbukti dengan alasan dari
penolakan terhadap H.B.L. Mantiri oleh Parlemen dan Menteri Luar Negeri
Australia Garteh Evans.
Menjadi konklusi dari pembahasan adalah walaupun tidak terjadi
pelanggaran atas ketentuan dalam Hukum Diplomatik baik dalam Konvensi Wina
49
Tahun 1961 maupun prinsip hukum diplomatik, telah terjadi pelanggaran terhadap
ketentuan dalam hukum internasional yakni prinsip non-interference. Dibuktikan
dengan melihat kondisi politik antara Indonesia dan Australia, kondisi sistem
sosial dan perpolitikan dalam negeri Australia pada jangka waktu terjadinya
penolakan. Alasan dari penolakan Australia terhadap H.B.L Mantiri dapat
digolongkan sebagai tindakan interference yang tidak dibenarkan menurut hukum
internasional.
50
BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Pertimbangan suatu negara dalam memberikan status Persona non Grata
terhadap calon duta besar secara umum ada tiga alasan, yaitu:
a. Melakukan tindakan spionase;
b. Melakukan pelaggaran hukum negara penerima; dan
c. Mencampuri urusan dalam negeri negara penerima.
Sedangkan cara pemberian penolakan ada dua, yaitu:
a. Secara langsung dan terang-terangan; dan
b. Secara tidak langsung dan terselubung.
Apabila dalam suatu penolakan terhadap seorang calon duta besar tidak
ditemukan alasan atas penolakannya berdasarkan ketiga alasan diatas dan
penolakan diberikan dengan cara tidak langsung dan terselubung maka penolakan
yang terjadi dapat tergolong dalam penolakan secara eksepsional. dapat
disimpulkan bahwa penolakan atas H.B.L. Mantiri tergolong penolakan yang
eksepsional
2. Legalitas tindakan pemerintah Australia dalam memberikan status Persona non
Grata terhadap H.B.L Mantiri telah sesuai dengan Konvensi Wina Tahun 1961
dan juga asas hukum diplomatik. Namun apabila merujuk ke salah satu sumber
hukum internasional telah terjadi pelanggaran salah satu prinsip yang ada yaitu
prinsip Non-Interference berkaitan dengan alasan dari penolakan H.B.L.
Mantiri oleh Australia
B. Saran
Setelah dilakukan penelitian dan mencapai sebuah kesimpulan,
diketemukan beberapa hal yang kiranya perlu mendapat perhatian dalam rangka
perbaikan kedepan, yaitu:
a. Saran ditujukan kepada Persatuan Bangsa Bangsa (PBB), Diperlukan adanya
penambahan maupun pengubahan peraturan dalam rangka memperbaharui
Hukum Diplomatik oleh PBB khususnya Pasal 9 Konvensi Wina Tahun 1961
51
mengenai pemberian Persona non Grata, yakni harus adanya pemberitahuan
alasan atas pemberian Persona non Grata oleh negara penerima. Dengan
adanya pemberitahuan tersebut kedepannya dapat dipergunakan sebagai
catatan bagi negara pengirim dalam memilih perwakilan diplomatiknya
dikesempatan selanjutnya. Dengan terus adanya perbaikan dalam praktek
hubungan diplomatik internasional akan menjamin terjadinya hubungan
internasional yang lebih baik.
b. Tidak lupa juga disarankan kepada negara negara di dunia bahwa dalam
melakukan tindakan diplomatik agar tidak hanya sekedar melihat
kesesuaiannya dengan Hukum Diplomatik yang berlaku, namun juga harus
melihat apakah sesuai dengan apa yang diatur dalam hukum internasional.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Boer Mauna. 2011. Hukum Internasional Pengertian, Peranan, dan Fungsi dalam
era Dinamika Global. Bandung: P.T. Alumni
Bryan A.Garner. 2009. Black’s Law Dictionary:Ninth Edition.West Publishing:
United States of America
Burhan Bungin. 2007. Metode Penelitian Kualitatif: Aktualisasi Metodologi Ke
arah Ragam Varian Kontemporer. Jakarta:PT.Raja Grafindo Persada.
Damien Kingsbury. 2009. East Timor:The Price of Liberty. United States of
America:Palgrave Macmillan
Edy Suryono dan Moenir Arisoendha. 1986. Hukum Diplomatik Kekebalan dan
Keistimewaannya. Bandung: Angkasa
J.G. Starke. 2008. Pengantar Hukum Internasional Edisi Kesepuluh Bagian 1.
Jakarta: Sinar Grafika.
Jean D‟Aspremont. 2009. Persona non Grata. R. Wolfrum (ed.) Max Planck
Encyclopedia of International Law (OUP, 2009)
Joseph Frankel. 1991. Hubungan Internasional. Jakata: Bumi Aksara
M. Hasan Kakar. 1995. Afghanistan: The Soviet invasion and the Afghan
response, 1979-1982. Univ of California Press.
Panitia Penulisan Sejarah Diplomatik Indonesia. 1998. Sejarah Diplomasi
Republik Indonesia Dari Masa ke Masa, Buku IVB, Periode 1966
,1995(Masa Orde Baru). Jakarta : Departemen Luar Negeri Republik
Indonesia.
Paul Hainsworth dan Stephen McCloskey. 2000. The East Timor Question:The
Struggle for Independence from Indonesia.I.B. Tauris : Great Britain.
Peter Mahmud Marzuki. 2011. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Prenada
Media Group.
___________________. 2014. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Prenada
Media Group.
R.G. Feltham. 1988. Diplomatic Handbook. New York: Longman Inc.
Ronny Hanitijo Soemitro. 1994. Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri.
Cetakan Kelima. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Setyo Widagdo dan Hanif Nur Widhiyanti. 2008. Hukum Diplomatik dan
Konsuler Buku Ajar untuk Mahasiswa. Malang: Bayumedia Publishing.
Sumaryo Suryokusumo. 1995. Hukum Diplomatik Teori dan Kasus. Bandung:
Alumni
Syahmin AK. 1984. Hukum Diplomatik Suatu Pengantar. Bandung: Amico.
Widodo. 2009. Hukum Diplomatik dan Konsuler. Surbaya: LaksBang Justitia.
Jurnal
Catherine Drummond. "Non-Interference and the Responsibility to Protect:
Canvassing the Relationship between Sovereignty and Humanity in
Southeast Asia." Dialogue 7.1 (2009): 1-22.
Christine M. Chinkin. "East Timor moves into the world court." Eur. J. Int'l L. 4
(1993): 206.
Fadli, dkk. "Pertanggungjawaban Pidana Letnan Kolonel Untung Dalam Tindak
Pidana Makar Pada Peristiwa Gerakan 30 September 1965." Jurnal Online
Mahasiswa (JOM) Bidang Ilmu Hukum 2.2 (2015): 1-13.
Hermaya Anita, dkk. "The Process Of An Extradition Request To Ecuador United
States Embassy In England (Analysis Of Juridical Cases Wikileaks
Founder Julian Assange Of Crime Espionage)." Diponegoro Law Review
2.2 (2013): 1-9.2013
Lawrence Preuss. "Capacity for Legation and the Theoretical Basis of Diplomatic
Immunities." NYULQ Rev. 10 (1932): 170.
Lee Jones. "ASEAN's unchanged melody? The theory and practice of „non-
interference‟in Southeast Asia." The Pacific Review 23.4 (2010): 479-502.
Leo Gross. "The peace of Westphalia, 1648-1948." American Journal of
International Law (1948): 20-41.
Marcel Hendrapati. Legal Regime of Persona non Grata and the Namru-2 Case.
Journal of Law. Policy and Globalization Vo.32,2014
Rahayu. 2012. Prinsip Responsibility To Protect. MMH, Jilid 41 No. 1 Januari
2012. Semarang.
Richard Aidoo dan Steve Hess. "Non-Interference 2.0: China‟s Evolving Foreign
Policy towards a Changing Africa." includes Africa Spectrum, Journal of
Current Southeast Asian Affairs and Journal of Politics in Latin America.
107 -139 (2015).
Rosalyn Higgins. "The Abuse of Diplomatic Privileges and Immunities: Recent
United Kingdom Experience"(1985)." 79 Am. J. Int'l L. 641.
Trahjurendra dan Abdurisfa Adzan. "Politik Hukum Pengaturan Tindak Pidana
Makar di Indonesia." Jurnal Mahasiswa Fakultas Hukum 1.2 (2014).
Yang Yang. "Interpretations of New Diplomatic Thoughts in the Report of the
18th National Congress of the Communist Party of China." J. Pol. & L. 7
(2014): 30.
Makalah, Working Paper
Chatham House. 28 Februari 2007.The Principle Of Non-Intervention In
Contemporary International Law: Non-Interference In A State’s Internal
Affairs Used To Be A Rule Of International Law: Is It Still?.
General Assembly Resolution 2131 (XX) Of 21 December 1965. Declaration On
The Inadmissibility Of Intervention In The Domestic Affairs Of States And
The Protection Of Their Independence And Sovereignty
General Assembly Resolution 2625 (XXV) of 24 October 1970. Declaration on
Principles of International Law concerning Friendly Relations and Co-
operation among States in accordance with the Charter of the United
Nations
John A. MacDougall. Media Indonesia. 9 Juli 1995. diakses melalui
http://www.library.ohiou.edu/indopubs/1995/07/11/0015.html pada 08-12-
2014 pukul 14.52
Mardianis. 2014.“Hard Law” dan “Soft Law” Dalam Hukum Internasional dan
Implementasinya di Indonesia. Pusat Pengkajian dan Informasi
Kedirgantaraan Lembaga Penerbangan dan Ntariksa
Kedirgantaraan.diakses melalui
http://www.pusjigan.lapan.go.id/index.php/subblog/read/2014/12/Hard-
Law-and-Soft-Law-Dalam-Hukum-Internasional-Dan-Implementasinya-
di-Indonesia pada 29-07-2015 pukul 10.30
Michael A. Clemens, dkk. "The trouble with the MDGs: confronting expectations
of aid and development success." World development 35.5 (2007): 735-
751.
Michael Wood. 2012. Non-Intervention (Non-interference in domestic affairs).
http://pesd.princeton.edu/?q=node/258 diakses pada 04-07-2015 pukul
10.35
Siswanto Prajogo. 2014. Paradoksal Amerika Serikat: Kebijakan Global Amerika
Serikat Di Indonesia. Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia
Teuku Rezasyah. Jawa Pos. Juli 1995. diakses melalui
http://www.library.ohiou.edu/indopubs/1995/07/13/0005.html pada 08-12-
2014 pukul 14.50
Konvensi
Charter of The United Nations
Statute of The International Court of Justice
Vienna Convention on Diplomatic Relations and Optional Protocol Tahun 1961
Official Records on United Nations Conference on Diplomatic Intercourse and
Immunities,Vol.1:Summary Records of Plenary Meetings and of Meetings
of the Committee of the Whole, Vienna 2 March-14 April 1961
Perundang-undangan
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 1976 tentang Pokok-
Pokok Organisasi Perwakilan Republik Indonesia di Luar Negeri
Internet
http://legal.un.org/avl/ha/vcdr/vcdr.html diakses pada 15-06-2015 pukul 11.50
http://timor-leste.gov.tl/?p=29&lang=en diakses pada16-04-2015 pukul 15.00
http://www.indonesia.embassy.gov.au/jaktindonesian/sistem_pemerintahan.html
diakses pada 05-05-2015 pukul 12.45
http://www.kemlu.go.id/pretoria/Pages/PressRelease.aspx?IDP=3&l=id diakses
pada 31-07-2015 pukul 10.10