skripsi miko

80
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia khususnya Sulawesi tenggara memiliki sumber daya alam yang sangat melimpah, yang berada di laut maupun didaratan. Sumber daya alam tersebut berupa sumber daya alam biotik dan abiotik. Negara kita kaya akan bahan tambang dan mineral. Berbagai jenis hewan dan tumbuhan dapat kita jumpai di negeri ini. Salah satu sumber daya alam hewani negeri kita adalah kerang sungai. Sungai Pohara merupakan salah satu sungai di provinsi Sulawesi Tenggara Kabupaten Konawe Kecamatan Sampara menyimpan potensi sumber daya hayati. Salah satu sumberdaya itu adalah Bivalvia dari Filum Molusca dengan jenis Batissa Violacea Celebensis yang dikenal oleh masyarakat setempat dengan sebutan Kerang Pokea. 1

Upload: edyriodede

Post on 24-Jul-2015

1.053 views

Category:

Documents


17 download

TRANSCRIPT

Page 1: Skripsi Miko

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia khususnya Sulawesi tenggara memiliki sumber daya alam yang

sangat melimpah, yang berada di laut maupun didaratan. Sumber daya alam

tersebut berupa sumber daya alam biotik dan abiotik. Negara kita kaya akan

bahan tambang dan mineral. Berbagai jenis hewan dan tumbuhan dapat kita

jumpai di negeri ini. Salah satu sumber daya alam hewani negeri kita adalah

kerang sungai.

Sungai Pohara merupakan salah satu sungai di provinsi Sulawesi Tenggara

Kabupaten Konawe Kecamatan Sampara menyimpan potensi sumber daya

hayati. Salah satu sumberdaya itu adalah Bivalvia dari Filum Molusca dengan

jenis Batissa Violacea Celebensis yang dikenal oleh masyarakat setempat dengan

sebutan Kerang Pokea.

Sungai Pohara merupakan habitat Kerang Pokea yang banyak digunakan

masyarakat setempat untuk menunjang kehidupan sehari-hari mereka seperti

sebagai sumber air minum, mandi dan sebagai daerah pertambangan pasir.

Sungai Pohara juga digunakan sebagai tempat pembuangan limbah baik limbah

rumah tangga maupun limbah industri seperti industri pengolahan sagu berskala

rumah tangga.

Salah satu faktor penting yang mempengaruhi keberadaan Kerang Pokea

dan penunjang pertumbuhan dan perkembangannya adalah ketersediaan makanan

1

Page 2: Skripsi Miko

yang kontinyu disuatu perairan, sehingga kerang tersebut dapat melanjutkan

kehidupannya dengan baik.

Sebenarnya kulit kerang pokea memiliki manfaat yang baik akan tetapi

karena keterbatasan pengetahuan masyarakat setempat dan perkembangan ilmu

pengetahuan dan teknologi maka kulit kerang pokea ini yang seharusnya

memiliki manfaat baik justru menimbulkan dampak yang buruk karena hanya

dijadikan sebagai limbah atau sampah dapur akibatnya terjadi pencemaran tanah

yang mengakibatkan tumbuhan yang berada di sekitar limbah itu tidak dapat

tumbuh dengan baik.Berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat setempat

ternyata dulunya kulit kerang pokea dimanfaatkan sebagai obat tradisional

masyarakat setempat untuk memutihkan dan memperkuat email gigi. Namun

dengan hadirnya prodak-prodak hasil teknologi sehingga jarang lagi ditemukan

masyarakat setempat menggunakannya sebagai obat tradisional.

Penelitian kerang pokea yang berada di daerah Pohara sebenarnya telah

diteliti oleh beberapa peneliti sebelumnya diantaranya adalah (Nurfatmah, 2006)

tentang kebiasaan hidup dan kebiasaan makanan kerang pokea. Sampai saat ini

belum ada yang pernah meneliti tentang kulit kerang dari organisme ini. Kulit

memiliki manfaat yang sangat penting karena memiliki kadar kalsium karbonat

(CaCO3 )dalam kadar yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan batu gamping,

cangkang telur, keramik, atau bahan lainnya selain memperkuat email dan

memutihkan gigi juga dapat digunakan sebagai solusi pencegah terjadinya

2

Page 3: Skripsi Miko

pencemaran polutan ion logam dalam air yaitu dengan cara menjadikan cangkang

sebagai serbuk lalu dituangkan secara bersamaan dengan asam klorida (HCL)

kedalam air yang tercemar, sehingga hasilnya air dan endapan ion logam akan

terpisah. Selain ini juga kulit kerang pokea belum diketahui dengan pasti, oleh

karena itu peneliti menganggap menjadi sangat penting dijadikan rujukan untuk

meningkatkan pengetahuan tentang kerang pokea dimasa yang akan datang.

Berdasarkan latar belakang di atas maka penulis melakukan penelitian yang

berjudul “Pengaruh Temperatur Pemanasan Terhadap Nilai Subsetibilitas

Kulit Kerang Pokea (Batissa violacea celebensis) Di Sungai Pohara

Kabupaten Konawe”.

1.2 Batasan Masalah

Permasalahan pada penelitian ini dibatasi pada pengaruh temperatur

terhadap nilai suseptibilitas kulit kerang pokea (Batissa violacea celebensis) di

Sungai Pohara Kabupaten Konawe yang diambil secara acak dari sungai pohara.

1.3 Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian adalah“Bagaimanakah pengaruh

temperatur pemanasan terhadap nilai suseptibilitas kulit kerang pokea (Batissa

violacea celebensis) di sungai Pohara Kabupaten Konawe ?”

1.4 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah : Untuk mengetahui pengaruh temperatur

pemanasan terhadap nilai suseptibilitas kulit kerang pokea (Batissa violacea

celebensis) di sungai Pohara Kabupaten Konawe.

3

Page 4: Skripsi Miko

1.5 Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah :

1. Memberikan infomasi mengenai pengaruh pengaruh temperatur pemanasan

terhadap nilai suseptibilitas kulit kerang pokea (Batissa violacea celebensis)

di sungai Pohara Kabupaten Konawe.

2. Sebagai bahan masukan bagi pemerintah Kabupaten Konawe untuk

memanfaatkan kulit kerang Pokea yang dapat mengurangi limbah menjadi

bahan yang lebih bermanfaat.

3. Memberikan informasi dan pengetahuan kepada peneliti dan mahasiswa yang

memprogramkan mata kuliah Ilmu Pengetahuan Alam Bumi dan Antariksa

(IPBA) serta mata kuliah lain yang relevan.

4. Sebagai acuan bagi peneliti selanjutnya.

4

Page 5: Skripsi Miko

BAB IIKAJIAN PUSTAKA

2.1 Kerang Pokea

a. Klasifikasi

Kerang jenis B Violaceacelebensis merupakan salah satu jenis kerang

yang hidup perairan tawar. Menurut Dharma (1988), klasifikasi B. violacea

celebensis adalah sebagai berikut :

Kingdom : Animalia

Filum : Molusca

Kelas : Bivalvia

Sub Kelas : Eulamellibranchiata

Ordo : Eulamellibranchia

Famili : Corbiculidae

Genus : Batissa

Spesies : Batissa violacea celebensis

Nama daerah : Kerang Pokea

b. Morfologi dan Anatomi

Seperti kerang pada umumnya, kerang pokea merupakan jenis bivalvia

yang hidup pada dasar perairan dan mempunyai ciri khas yaitu ditutupi oleh

dua keping cangkang (valve) yang dapat dibuka dan ditutup karena terdapat

sebuah persendian berupa engsel elastic yang merupakan penghubung kedua

valve tersebut (sugiri, 1989).

5

Page 6: Skripsi Miko

Gambar 2.0. Batissa Violacea Celebensis

Kerang jenis Batissa mempunyai panjang maksimum 15 cm dan pada

umumnya 10 cm (Jeremy, 2006). Kerang ini mempunyai dua buah cangkang

yang dapat membuka dan menutup dengan menggunakan otot aduktor dalam

tubuhnya. Cangkang pada bagian dorsal tebal dan bagian ventral tipis.

Cangkang ini terdiri atas 3 lapisan, yaitu (1) periostrakum adalah lapisan

terluar dari kitin yang berfungsi sebagai pelindung (2) lapisan prismatic

tersusun dari Kristal-kristal kapur yang berbentuk prisma, (3) lapisan nakreas

atau sering disebut lapisan induk mutiara,tersusun dari lapisan kalsit

(karbonat) yang tipis dan paralel.

Puncak cangkang disebut umbo dan merupakan bagian cangkang yang

paling tua. Garis-garis melingkar sekitar umbo menunjukan pertumbuhan

cangkang. Mantel pada pelecypoda berbentuk jaringan yang tipis dan lebar,

menutup seluruh tubuh dan terletak di bawah cangkang (Suwignyo, 2005).

Selanjutnya oleh Dharma (1992) dijelaskan bahwa beberapa kerang ada yang

memiliki banyak mata pada tepi mantelnya. Banyak diantaranya mempunyai

6

Page 7: Skripsi Miko

banyak insang. Umumnya memilikikelamin yang terpisah,tetapi diantaranya

ada yang hermaprodit dan dapat berubah kelamin.

Organisme ini mempunyai kaki yang berbentuk seperti kapak pipih

yang dapat dijulurkan keluar . kaki kerang berfungsi untuk merayap dan

menggali lumpur atau pasir. Kerang bernafas dengan dua buah insang dan

bagian mantel. Insang ini berbentuk lembaran-lembaran (lamela) yang banyak

mengandung batang insang. Antara tubuh dan mantel terdapat rongga mantel

yang merupakan jalan keluar masuknya air.

c. Habitat dan penyebaran

Menurut Hegner (1956) dalam Jasin (1992) kerang air tawar yang

termasuk dalam family unionidae hanya ditemukan diperairan air tawar.

Kerang ini hidup didalam pasir atau lumpur, pada hilir dan dasar sungai atau

muara sungai, di perairan payau dan perairan air tawar yang berarus

(Jeremy,2006).

Umumnya family curbicula dapat ditemukan pada substrat yang

menyediakan O2 yang baik seperti pada pasir kasar atau campuran pasir dan

kerikil (Mahon, 1978 dalam Bahtiar, 2005).

B.Violacea adalah moluska air tawar yang daerah penyebarannya

meliputi bagian barat pasifik (Malaysia, Fiipina, Papua Nugini, Australia

Barat daya) dan berbagai daerah lainnya di pasifik (Morton 1989). Menurut

Sastrapradja (1977), B.Violacea, Lamarck tersebar di asia Tenggara dan

7

Page 8: Skripsi Miko

Australia Utara. Secara geografis, di Indonesia tersebar di Sumatera, Jawa

(Sastrapradja, 1977), Papua Barat (Djajasasmita, 1977) dan Sulawesi.

Selanjutnya oleh Whitten dkk (1987) menyatakan bahwa genus Batissa

banyak ditemukan di perairan Sulawesi. Organisme ini bersifat endemik yaitu

hanya ditemukan diperairan tertentu dengan kondisi yang sesuai dengan

kebiasaannya.

d. Kebiasaan Makanan

Makanan mmpunyai fungsi yang penting dalam kehidupan organisme.

Pengetahuan tentang kebiasaan makanan memberikan jawaban hubungan

ekologi diantara organisme suatu perairan (effendie, 1979).

Burky (1980) dalam bahtiar (2005) menyatakan bahwa ketersediaan

makanan merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi pertumbuhan

populasi organisme bivalvia. Makanan yang tersedia tersebut dimanfaatkan

oleh organisme untuk dapat bertahan hidup, tumbuh dan berkembang karena

adanya energy yang berasal dari makanan. (Nykolsky, 1963 dalam Bahtiar,

2005).

Selanjutnya Effendie (1997) menyatakan bahwa penilaian kesukaan

organism perairan terhadap makanannya sangat relative. Beberapa faktor yang

harus diperhatikan dalam hubungan ini adalah faktor penyebaran organisme

makakan, faktor ketersediaan makanan, faktor pilihan dari organisme itu

sendiri serta faktor-faktor fisik yang mempengaruhi perairan.

8

Page 9: Skripsi Miko

Kebiasaan makanan Bivalvia, terdiri dari penyaring makanan

(suspension feeder atau filter feeder ) dan pemakan endapan (deposit feeder).

Organisme filter feeder dipengaruhi ketersediaan detritus organik dalam

sedimen (priscoll dan Brandon, 1973 dalam setyawati, 1986).

Sistem pencernaan Bivalvia terdiri dari alat-alat penyaring makanan

berupa insang yang demikian halus dan tak bergigi. Sistem pencernaan kerang

dimulai dari mulut, kerongkongan, lambung, usus dan akhirnya bermuara

pada anus. Anus ini terletak disaluran yang sama dengan saluran untuk

keluarnya air. Makanan kerang adalah hewan-hewan kecil yang terdapat

dalam perairan serupa protozoa, diatom dan lain-lain. Pada makanan tersebut

selain terdapat kalsium karbonat juga terdapat pigmen yang merupakan zat

pembuat warna dari cangkang. Makanan dapat mempengaruhi warna serta

corak cangkangnya (Dharma, 1988).

Mekanisme cara makan kerang adalah dengan memasukkan air

kedalam tubuhnya melalui siphon ventral karena adanya gerakan silium-

silium dipermukaan tubuh. Makanan dan oksigen dilewatkan melalui insang

dan karena insang itu berlubang-lubang, maka air tersebut dilewatkan kekanal

subprabranchial di atas insang, yang akhirnya keluar melalui siphon dorsal.

Baik oksigen maupun makanan akan terbawa oleh aliran air tadi. Partikel-

partikel makanan disaring keluar dan terperangkap oleh lendir bersama-sama

menuju pulp, tempat dilakukannya pemisahan material yang berguna dan

tidak berguna. Makanan yang sesuai akan dibawa memasuki mulut dan

dicerna. Proses ini menyebabkan terkumpulnya plankton, bakteri, senyawa

9

Page 10: Skripsi Miko

kimia dan partikel kecil lainnya didalam saluran pencernaan kerang (Davis,

1995). Makanan ini dicerna dilambung dengan bantuan getah pencernaan dan

hati. Sisa-sisa makanan dikeluarkan melalui anus.

Menurut Setyobudiandi (2000), makanan kerang pada fase larva

berbeda dengan makanan pada fase dewasa. Pada fase larva makanan yang

dikonsumsi berukuran renik seperti detritus, bakteri dan mikroorganisme.

Setelah dewasa makanannya berupa partikel-partikel yang berukuran relative,

besar diatom, protozoa, potongan hewan yang lebih besar maupun krustasea

kecil yang planktonik.

e. Kualitas Air

1) Kecepatan Arus

Kecepatan arus sangat besar pengaruhnya terhadap komunitas,

perairan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Hal ini karena

kecepatan arus menentukan keadaan habitat alamiah dari perairan (Suprapti,

1995 dalam Kusdiana 2001). Arus dapat menguntungkan organisme akuantik

karena membawa makanan, oksigen, dan lain sebagainya, tetapi juga

menyebabkan ketidakseimbangan dasar perairan yang lunak seperti dasar

perairan berpasir atau berlumpur. Organism akuantik yang hidupnya menetap

pada suatu subtract membutuhkan arus yang dapat membawakan makanan.

Arus juga berperan dalam penyebaran gas-gas vital, gas-gas mineral

dan jasad-jasad sebagi bahan organism yang berada didasar suatu sungai. Arus

yang cepat akan membahayakan tempat hidup hewan biasanya hidup di dalam

10

Page 11: Skripsi Miko

lumpur dan hewan perayap di dasar perairan (Arinardi, 1978 dalam

Setyawaty, 1986)

Kecepatan arus akan menentukan tipe sedimen suatu perairan (Gay,

1981 dalam Efriyeldi, 1997). Arus perairan juga berperan dalam penyebaran

spat, kerang, suplai makanan dan proses penempelan larva

(Setyobudiandi.2000)

2) Kecerahan

Kecerahan air merupakan ukuran kejernihan suatu perairan, semakin

tinggi kecerahan suatu perairan, maka semakin dalam cahaya menembus ke

dalam air. Kecerahan penting karena erat kaitannya dengan proses fotosintesis

yang terjadi di perairan secara alami (Efendi, 1999).

Kecerahan perairan sangat dipengaruhi oleh kandungan sedimen

tersuspensi dan bahan-bahan kimia yang terdapat di dalam air (Arsyad, 1989

dalam Saharuddin, 2003) keadaan cuaca, waktu pengukuran, kekeruhan dan

kepadatan tersuspensi serta ketelitian orang yang melakukan pengukuran

(Effendi,2003). Kecerahan yang rendah biasanya terjadi pada daerah yang

berlumpur (Hutabarat dan Evans, 1986).

Kandungan lumpur dapat mempengaruhi organism baik melalui

makanan, cahaya ataupun dasar tempat hidupnya (arinardi, 1978).

3) Suhu

Suhu air merupakan salah satu faktor penting yang memperngaruhi

kualitas perairan. Suhu suatu badan air dipengaruhi oleh musim, lintang,

ketinggian, dari permukaan laut, waktu dalam hari, sirkulasi udara, penuputan

11

Page 12: Skripsi Miko

awam dan aliran serta kedalaman badan air. (Haslan, 1995 dalam Effendi

2003). Selain itu pula juga berpengaruh terhadap peningkatan metabolism dan

respirasi organisme air yang selanjutnya mengakibatkan peningkatan

konsumsi oksigen. Peningkatan suhu juga menyebabkan terjadinya

peningkatan dekomposisi bahan organic oleh mikroba. Beberapa studi

melaporkan batas suhu yang paling tinggi dari family Corbicula di atas 300 C

dapat mengahambat pembebasan Juvenil ke perairan, pada suhu yang rendah

akan menurunkan pertumbuhan Corbicula (Abbot, 1979 dalam Bahtiar, 2005).

4) Nilai PH

Derajat kesamaan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi

spesiasi unsure-unsur kimia. Derajat keasaman akan mempengaruhi BOD5

ketersediaan fosfat, nitrogen, silikat serta unsure nutrient lainnya di perairan

(Dodlijo dan Best, 1993 dalam bahtiar, 2005)

Selanjutnya Notohadiprawiro (1986) dalam ilham (1999) menjelaskan

hubunagn antara pH dan bahan organic, yaitu nilai pH yang terlalu rendah

menghambat kelancaran perombakan bahan organic. Sebaliknya perombakan

bahan organic menjadi lancer apabila pH tinggi.

5) Kedalaman

Kedalaman perairan merupakan salah satu faktor yang memperngaruhi

keberadaan organism. Vakily (1989) dalam Bahtiar (2005) menyatakan bahwa

dengan bertambahnya kedalaman maka ketersediaan makanan menjadi faktor

pembatas bagi fitoplankton yang menjadi makanan kerang muda (spat)

sehingga kerang banyak tumbuh dekat permukaan air.

12

Page 13: Skripsi Miko

6) Oksigen Terlarut

Oksigen terlarut Merupakan kebutuhan dasar untuk kehidupan

tanaman dan hewan di dalam air. Kehidupan makhluk di dalam air tersebut

tergantung dari kemampuan air untuk mempertahankan konsentrasi oksigen

minimal yang dibutuhkan untuk kehidupan (Fardiaz, 1992). Oksigen

merupakan salah satu gas yang terlarut dalam perairan. Kadar oksigen yang

terlarut di perairan alami bervariasi tergantung pada suhu, salinitas, turbulensi

air, dan tekanan atmosfir (Odum, 1996).

Schmitz (1971) dalam alfan (1995) menggolongkan kualitas air

berdasarkan kandungan oksigen terlarut seperti tertera pada Tabel 2.0.

Tabel 2.0. Kualitas air berdasarkan kandungan oksigen terlarut (Schmitz, 1971

dalam Alfan, 1995)

Oksigen terluar Kualitas air

> 8

6

4

2

< 2

Sangat baik

Baik

Kritis

Buruk

Sangat buruk

7) Substrat

Karakteristik substrat akan mempengaruhi morfologi, fungsional,

tingkah laku serta nutrient hewan bentos. Ukuran partikel sedimen /substrat

13

Page 14: Skripsi Miko

berperan penting dalam menentukan jenis hewan bentos (Levinton, 1982

dalam bahtiar, 2005). Hewan bentos seperti Bivalvia dapat beradaptasi

sesuai dengan tipe substratnya. Adaptasi terhadap substrat ini akan

menentukan morfologi, caramakan dan adaptasi fisiologis Bivalvia terhadap

suhi dan faktor kimia lainnya (Bayne, 1976 dalam Bahtiar, 2005).

Umumnya family corcibula dapat ditemukan pada substrat yang

menyediakan oksigen yang baik seperti pada pasir kasar atau campuran pasir

dan kerikil (Mahon, 1978 dalam bahtiar, 2005).

2.2 Suseptibilitas/Kerentanan Magnetik dan Manfaat CaCO3

A. Pengertian Suseptibilitas

Suseptibilitas adalah kemampuan untuk dengan mudah memberikan

respons terhadap kerja atau gaya; kerentanan. Kerentanan magnetik adalah

pengukuran yang tidak merusak dan biaya efektif metode penentuan keberadaan

besi tanah mineral di sedimen. Seluruh inti, individu atau endapan contoh,

dihadapkan ke eksternal magnetik field yang menyebabkan sedimen menjadi

magnetized menurut jumlah Fe tanah mineral hadir dalam sampel

Kerentanan magnetik adalah ukuran kemudahan yang tertentu sedimen

yang magnetized bila terkena magnetis ke lapangan. Kemudahan proses

mengisikan maknit yang akhirnya berkaitan dengan konsentrasi dan komposisi

(ukuran, bentuk dan mineralogi) dari bahan magnetizable didalam

sampel. http://problem-fisika.blogspot.com/2009/04/suseptibilitas-magnetik-

k erentanan.html

14

Page 15: Skripsi Miko

Suseptibilitas magnetik adalah ukuran dasar bagaimana sifat kemagnetan

suatu bahan yang merupakan sifat magnet bahan yang ditunjukkan dengan

adanya respon terhadap induksi medan magnet yang merupakan rasio antara

magnetisasi dengan intensitas medan magnet. Dengan mengetahui nilai

suseptibilitas magnetik suatu bahan, maka dapat diketahui sifat-sifat magnetik

lain dari bahan tersebut. m adalah suseptibilitas magnet bahan (besaran tidak

berdimensi). http://kartika17.tripod.com/

Suseptibilitas magnetik merupakan suatu besaran yang memegang peranan

penting didalam melakukan interpretasi data anomali geomagnetik secara

kualitatif dan kuantitatif. Pengukuran yang biasanya tidak dilakukan di lapangan.

Kalaupun demikian pengukuran ini hanya dapat dilakukan terhadap singkatan

batuan ataupun contoh-contoh batuan. Respon kuantitatif data geomagnet sangat

ditentukan oleh komposisi mineral-mineral yang bersifat magnetik pada batuan

harga χ semakin besar jika jumlah mineral magnetiknya banyak dirumuskan

sebagai :

χ = I/H ………………………. (2)

Dimana I adalah induksi magnet dan H adalah intensitas medan magnet

(Bijaksana, 2002).

B. Manfaat CaCO3

CaCO3 dalam kehidupan biasa digunakan sebagai campuran pembuatan

gelas, bubuk pembersih, pembunuh serangga dan jamur, pengisi aspal dan karet,

campuran pembuatan makanan unggas, penyerap kotoran binatang, pupuk dan

15

Page 16: Skripsi Miko

penyarang tanah, serta pencegah ledakan dan penahan rambatan api dalam

tambang batu bara.

Penggunaan Kapur tohor (CaO) setelah mengalami proses pembakaran

(oksidasi ) yaitu sebagai pemurni gula, pemurni gas, dicampur dengan kokas

(batu bara atau minyak) untuk pembuatan karbit, dicampur dengan Fluorspar dan

soda digunakan untuk industri logam, penyerap air dalam gas, minyak dan bahan

pelarut serta digunakan sebagai pupuk dan menetralkan tanah dari ke asaman.

Penggunaan Larutan Kapur mati (Ca(OH)2) antara lain : 1).Pembuatan

aksida Ethylin, perantara aktif untuk plastik dan deterjen, 2).Pelapis kertas yang

mengkilap, 3).Dicampur dengan khlorin untuk pembuatan larutan pembersih

tekstil , 4).Pembuatan PCC untuk tapal gigi, kosmetik dan tablet, 5).Pemurni

bijih logam dan pebuatan garam-garam bukan besi, 6).Campuran untuk cat dan

vernis, 7).Campuran obat-obatan seperti penisilin atau aspirin, 8).Penyamaan

kulit dan penghilang bulu, dan 9).mengekstrak manesis dari air laut.

C. Sifat Magnetik Bahan

Besar induksi magnet (B) yang dialami bahan adalah gabungan dari

pengaruh magnetisasi (M) bahan tersebut dan medan magnet yang mengenainya

(H). hubungan tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut :

B = 0 (H + M)

dimana 0 adalah permeabilitas dalam ruang hampa (1,26 x 10-6 H/m).

Secara umum dapat ditulis harga permeabilitas di ruang yang tidak hampa

sebagai berikut :

16

Page 17: Skripsi Miko

=

BH

Permeabilitas relatif r merupakan perbandingan antara permeabilitas ruang

yang tidak hampa dan dalam ruang hampa 0, yaitu :

μr=βμ0

Hubungan antara permeabilitas relatif (r) dengan suseptibilitas adalah sebagai

berikut :

r = + 1

Besar dan arah medan induksi terhadap medan penginduksi mempunyai

nilai yang bervariasi tergantung dari bahan yang digunakan. Parameter yang

menunjukkan pengaruh di atas disebut suseptibilitas (Buttler, 1992). Hubungan

medan magnet H dan magnetisasi M pada bahan adalah :

M = H

Mineral alam dikelompokkan berdasarkan nilai dalam tiga kategori, yakni

diamagnetik, paramagnetik, dan ferromagnetik.

Magnetisasi pada bahan umumnya bergantung pada medan magnetik,

namun terdapat sebagian kecil bahan yang dapat memiliki magnetisasi secara

spontan tanpa kehadiran medan magnet luar. Magnetisasi yang dimiliki oleh

bahan dapat disebabkan oleh dua hal yakni magnetisasi yang hanya ada jika ada

medan magnet luar yang mempengaruhinya (magnetisasi induksi) dan

magnetisasi yang ada walaupun medan magnet luar ditiadakan (magnetisasi

17

Page 18: Skripsi Miko

remanen). Magnetisasi pada dasarnya adalah momen yang ditimbulkan oleh

gerakan orbital spin sebuah elektron dan interaksi elektron tersebut dengan

elektron-elektron lainnya.

Beberapa bentuk proses magnetisasi seperti terlihat pada gambar 2.1 yang

menunjukkan bagaimana magnetisasi (panah kosong) yang terjadi pada masing-

masing kelompok material saat dikenai medan magnet (panah besar tebal) dan

saat medan magnet tersebut dihilangkan. Berdasarkan respon material terhadap

medan magnet yang diberikan, material diklasifikasikan menjadi diamagnetik,

paramagnetik dan ferromagnetik (Ngkoimani, 2005).

Gambar 2.1. Magnetisasi pada bahan

1. Diamagnetik

Mineral alam yang tidak mempunyai momen magnetik permanen di dalam

atom-atomnya disebut bahan diamagnet. Atom-atom bahan diamagnet

mempunyai kulit elektron yang terisi penuh yaitu setiap elektron berpasangan

18

Page 19: Skripsi Miko

dan mempunyai spin yang berlawanan dalam tiap pasangan, sehingga tidak

mempunyai pola momen magnet. Nilai suseptibilitas pada bahan diamagnetik

adalah kecil dan negatif, yaitu sekitar -10-5 dalam satuan SI (Jiles, dkk, 1996).

Nilai suseptibilitas ini akan konstan pada temperature tetap dan dalam keadaan

magnetik yang lemah.

Jika ada medan magnet dari luar yang menginduksi bahan itu, maka

elektron tersebut akan berputar dan menghasilkan medan magnet yang lemah

yang melawan medan penginduksinya. Oleh karena itu, bahan diamagnetik

mempunyai suseptibilitas negatif dan tidak bergantung pada medan H. Dari

gambar 2.1 (a) tampak bahwa sebelum bahan dikenakan medan luar (H=0), arah

momen magnetiknya bersifat acak. Jika padanya dikenakan medan luar (H≠0),

yang ditandai dengan panah hitam besar, maka arah momen magnetiknya (panah

putih besar) melawan arah medan luar. Setelah medan luar dihilangkan, maka

arah momen magnetiknya kembali besifat acak. Nilai suseptibilitas pada bahan

ini kecil dan negatif.

2. Paramagnetik

Kelompok kedua dari mineral di alam adalah paramagnetik. Didalam bahan

paramagnetik terdapat kulit elektron terluar yang belum penuh yakni ada elektron

yang spinnya tidak berpasangan. Jika terdapat medan magnet luar, spin tersebut

akan membuat putaran menghasilkan medan magnet yang searah dengan medan

magnet.

Gambar 2.1 (b) menunjukkan bahwa sebelum bahan paramagnetik

dikenakan medan luar (H=0), arah momen magnetiknya bersifat acak. Pada saat

19

Page 20: Skripsi Miko

dikenakan medan luar (H≠0), yang ditandai dengan panah hitam besar, arah

momen magnetiknya (panah putih besar) searah dengan medan luar dan

termagnetisasi dengan lemah. Jika medan luar dihilangkan, maka arah momen

magnetiknya kembali bersifat acak, sehingga suseptibilitas pada bahan ini

bernilai positif dan nilainya sangat kecil.

3. Ferromagnetik

Mineral magnetik yang paling penting adalah ferromegnetik. Pada bahan

ferromagnetik terdapat banyak kulit elektron yang hanya diisi satu elektron

sehingga mudah terinduksi oleh medan luar (Pranowo, 2006).

Gambar 2.1(c) menunjukkan bahwa pada saat bahan ferromagnetik

dikenakan medan luar (H≠0), yang ditandai dengan panah hitam besar, arah

momen magnetiknya tetap searah dengan medan luar. Jika medan luar ditiadakan

(H=0), maka arah momen magnetiknya tetap sejajar dengan medan luar dan

bahan ferromagnetik menjadi termagnetisasi dengan sangat kuat. Nilai

suseptibilitas pada bahan ini sangat besar, jauh lebih besar dibanding

suseptibilitas mineral paramagnetik dan diamagnetik. Fenomena lain dari bahan

ferromagnetik adalah terdapat sifat-sifat tertentu yaitu antiferromagnetik dan

ferrimagnetik.

Setiap mineral magnetik memiliki nilai suseptibilitas yang berbeda-beda.

Tabel 2.1 berikut menunjukkan nilai suseptibilitas untuk beberapa mineral

magnetik dan mineral non magnetik.

20

Page 21: Skripsi Miko

Tabel 2.1. Suseptibilitas magnetik dari berbagai bahan mineral (Bijaksana, 2002).

Tipe Mineral Sifat Magnetik Suseptibilitas Magnetik

Volume (x 10-6 SI) Massa (x 10-8

m3/kg)

A. Mineral MagnetikMagnetiteHematiteMaghemiteIlmenitePyritePyrhotiteGeothite

B. Non MagnetikKuarsaKalsitHaliteGalena

FerrimagnetikAntiferromagnetikFerrimagnetikAntiferromagnetikFerrimagnetikFerrimagnetikAntiferromagnetik

1.000.000-5.700.000500-40.000

2.000.000-2.500.0002.200-3.800.000

35-5.0003.200.000

1.100-12.000

-(13-17)-(7,5-39)-(10-16)

-33

20.000-110.00010-760

40.000-50.00046-80.000

1-10069.00026-280

-(0,5-0,6)-(0,3-1,4)

-(0,48-0,75)-0,44

Zemansky (1964) menjelaskan bahwa magnetisasi suatu bahan bergantung

pada medan magnetik H dan kepada sifat bahan yang bersangkutan.

Suseptibilitas magnetik itu sama dengan magnetisasi per satuan medan magnet.

Suseptibilitas magnetik beberapa bahan paramagnetik dan diamagnetik menurut

Zemansky (1964) dapat dilihat pada tabel berikut:

21

Page 22: Skripsi Miko

Tabel 2.2. Suseptibilitas bahan paramagnetik dan diamagnetik (Zemansky,1964).

Bahan Suseptibilitas Magnetik (x 10-5)

A. ParamagnetikBesi Amonium SulfatOksigen CairanCampuran Besi AmoniumUraniumPlatinaAluminiumNatriumOksigen Gas

B. DiamagnetikBismutRaksaPerakKarbon (intan)Timah HitamTembaga

48301526640262,20,720,19

-16,9-2,9-2,6-2,1-1,8-1,0

Kemampuan logam ferromagnetik untuk memusatkan garis gaya medan

yang diterapkan memiliki nilai praktis penting dan meski material seperti ini

mengalami magnetisasi dan demagnetisasi dengan mudah; kemudahan tersebut

menentukan kegunaannya di berbagai bidang rekayasa. Material secara umum

dapat diklasifikasikan sebagai magnet lunak (magnet sementara) atau magnet

keras (magnet permanen). Perbedaan kedua tipe magnet tersebut dapat

dijabarkan pada gambar berikut.

22

Page 23: Skripsi Miko

Gambar 2.2 Kurva B-H untuk (a) magnet lunak dan (b) magnet keras.

H adalah medan magnetik yang diperlukan untuk menginduksi medan yang

berkekuatan B dalam material. Setelah medan H ditiadakan, dalam spesimen

tersisa magnetisme residual Br, yang disebut residual remanens, dan diperlukan

medan magnet Hc yang disebut gaya koersif, yang harus diterapkan dalam arah

berlawanan untuk meniadakannya. Magnet lunak mudah dimagnetisasi serta

mudah pula mengalami demagnetisasi, seperti tampak pada gambar 2.2a. Nilai H

yang rendah sudah memadai untuk menginduksi medan B yang kuat dalam

logam, dan diperlukan medan Hc, yang kecil untuk menghilangkannya. Magnet

keras adalah material yang sulit dimagnetisasi dan sulit di-demagnetisasi (gambar

2.2b).

23

Page 24: Skripsi Miko

2.3 Pengaruh Pemanasan Terhadap Nilai Suseptibilitas

Pemanasan dapat memberikan peninkatan atau penurunan nilai

suseptibilitas suatu bahan atau mineral. Kasmiati (2001) dalam penelitiannya

menyimpulkan pemanasan terhadap lempung mempengaruhi nilai

suseptibilitasnya. Pembakaran pada suhu <5000C menyebabkan peningkatan nilai

suseptibiltas sedangkan pembakaran pada suhu >5000C menyebabkan penurunan

nilai suseptibilitas. Pemanasan pada material dapat mempengaruhi sifatnya,

perubahan sifat disebabkan perubahan kandungan materialnya

Gambar 2.3 Variasi Nilai Suseptibilitas dengan Temperatur

Hubungan antara suseptibilitas dengan Temperatur adalah:

dimana C adalah Konstanta Curie bahan.

Apabila dipanaskan di atas temperatur Kritis, suseptibilitasnya

digambarkan sebagai:

24

Page 25: Skripsi Miko

Dimana өN adalah Temperatur Neel Paramagnetik (Bahtiar : 2007 : 113).

2.4 Konversi Khusus Satuan yang Berkaitan dengan Suseptibilitas

Tabel 2.3 konversi khusus antara satuan SI dengan cgs pada beberapa parameter (Ngkoimani, 2005)

Parameter Sistem SI

Sistem cgs Konversi

Momen magnetic (m) Am² emu 1 Am² = 10³ emu

Magnetisasi (M) Am-1 emu cm-3 1 Am-1 = 10-3 emu cm-3

Medan Magnetik (H) Am-1 Oersted (oe) 1 Am-1 = 4π x 10-3 oe

Induksi Magnetik (B) T Gauss (G) 1 T = 104 G

Permeabilitas ruang hampa

Hm-1 1 4π x 10-7 Hm-1 = 1

Suseptibilitas (χ)Total (m/H)Volume (M/H)Massa (m/mH)

m3

-m3

emu oe-1

emu oe-1 oe-1

emu g-1 oe-1

1 m3 = 106/4π emu oe-1

1 S.I = 1/ 4π emu oe-1 oe-1

1 m3 kg-1 = 103/4π emu g-1 oe-1

2.5 Penelitian Yang Relevan

Kasmiati (2001) dalam penelitiannya menyimpulkan pemanasan

terhadap lempung mempengaruhi nilai suseptibilitasnya. Pembakaran pada

temperatur <5000C menyebabkan peningkatan nilai suseptibiltas sedangkan

pembakaran pada temperatur >5000C menyebabkan penurunan nilai

suseptibilitas.

Abdul Mujahid Hamdan (2010) dalam penelitiannya menyimpulkan

Pengaruh Temperatur Pemanasan terhadap Nilai Suseptibilatas Magnetik Pasir

25

Page 26: Skripsi Miko

Besi di Kabupaten Buton Utara. Pemanasan pada temperatur >5000C pada pasir

besi dari Kambowa, >4000C dan >5000C pasir besi dari Laea untuk masing-

masing ukuran bulir 100 Mesh dan 30 Mesh, menyebabkan nilai sueptibilitas

menurun dengan ekstrim, dan diduga mineral yang dominan dikandung di atas

temperatur tersebut adalah Hematite (α-Fe2O3).

Syarifudin (2010) melakukan penelitian mengenai Analisis kandungan

Mineral Cangkang kerang pokea (Batissa violacea celebensis) di Sungai Pohara

Kabupaten Konawe dengan Metode X-Ray Diffraction (XRD) dimana

kandungan minaral pada kulit kerang didominasi kalsium karbonat dan

didampingi oleh mineral lainya, seperti silikon oxide, titan, alumunium oxide,

magnesium oxide, iron phosphorus, dan copper pada setiap lokasi pengambilan

sampel.

Ruslan (2010) melakukan penelitian tentang Analisis kandungan mineral

Cangkang kerang Darah dengan Metode XRF dimana kandungan mineral kerang

darah adalah kalsium karbonat dan tidak ada pengaruh habitat dan ukuran

cangkang terhadap persentase kandungan kalsium karbonat yang terkandung

dalam cangkang darah tersebut.

.

26

Page 27: Skripsi Miko

BAB IIIMETODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan Desember 2010. Preparasi

dan pemanasan sampel dilakukan di Laboratorium Pengembangan Fisika dan

Kimia FKIP Universitas Haluoleo. Pengukuran suseptibilitas Magnetik dilakukan

di Laboratorium Program Studi Geofisika Universitas Gajah Mada Yogyakarta.

3.2 Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen

laboratorium. Sampel yang berasal dari lokasi penelitian diberi perlakuan dengan

memanaskan pada suhu tertentu kemudian diukur nilai suseptibilitas

magnetiknya di laboratorium.

3.3 Definisi Operasional

Agar tidak terjadi bias pemaknaan maka peneliti perlu memberikan

beberapa definisi berikut:

1. Kerang adalah semua moluska bivalvia yang hidup di air tawar, dasar laut,

danau, kolam atau sungai yang banyak mengandung zat kapur.

2. Kerang Pokea adalah Kerang jenis B Violaceacelebensis merupakan salah

satu jenis kerang yang hidup perairan tawar sungai pohara di konawe

selatan.

27

Page 28: Skripsi Miko

3. Pemanasan adalah perlakuan terhadap sampel dimana sampel dinaikkan

temperatur dengan menggunakan alat pemanas yang dapat dikontrol

suhunya.

3.4 Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah:

Tabel 3.1 Alat dan Bahan yang digunakan

No Alat Fungsi

123

4

5

67

89101112

PlastikSaringan 100 dan 30 MeshGelas Kimia

Plastik Packing

Wadah Plastik 10 cc

TanurKapsul

Neraca Ohaus DigitalCawan PetriKertas LabelGegepMortar

Menyimpan sampelMenyaring sampelMenyimpam sampel yang telah disaringUntuk menyimpan sampel yang telah dipanaskanSebagai kontainer sampel di dalam sensorPemanasMenyimpan sampel saat dilakukan preparasiMenimbang sampelWadah sampel di dalam TanurUntuk PelabelanMengambil sampel dari TanurSebagai pengerus sampel

No. Bahan Fungsi

123

Kulit Kerang PokeaAlkoholLem silikon

Sebagai sampel penelitianMembersihkan MortarUntuk menegakkan posisi kapsul di dalam kontainer

28

Page 29: Skripsi Miko

3.5 Prosedur Penelitian

1. Pengambilan Sampel

Sampel dalam penelitian ini adalah sampel yang telah diambil dari

lokasi penelitian oleh peneliti lainnya. Metode pengambilan sampel yang

dilakukan oleh peneliti sebelumnya adalah Random Spatial of Patern. Setiap

Lokasi diambil sampel pada tiga titik yang dipilih secara acak. Lokasi

pengambilan pasir memiliki kecerahan air 28 cm, suhu 23,7 oC, dan kuat arus

0,3 m/s. Lokasi PAM memiliki kecerahan air 19 cm, suhu 28,5 oC, dan kuat

arus 0,1 m/s. Lokasi muara sungai memiliki kecerahan air 14 cm, suhu 29,2 oC,

dan kuat arus 0,1 m/s.

2. Pengeringan Sampel

Sampel dijemur di bawah sinar matahari, agar sampel kering dan dapat

dengan mudah dikerus.

3. Preparasi Pra Pemanasan

a. Penggerusan Sampel

Penggerusan dilakukan dengan menggunakan mortar. Sampel yang

telah diekstraksi dihaluskan dengan menggunakan mortar. Tujuan dari

penggerusan ini adalah untuk mendapatkan cangkang kerang yang halus

butirannya. Yang perlu diperhatikan dalam penggerusan ini adalah sampel

tidak tercampur dengan benda atau zat yang lain, agar tetap terjaga

kemurnian sampel. Sebelumnya mortar dibersihkan terlebih dahulu setiap

akan dipakai.

29

Page 30: Skripsi Miko

b. Pengayakan.

Setelah cangkang kerang cukup halus dilakukan penyaringan

terhadap sampel. Penyaringan dilakukan dengan menggunakan dua

saringan. Penyaringan pertama dengan menggunakan saringan 100 Mesh.

Setelah didapat butiran 100 Mesh dipisahkan di dalam gelas kimia yang

terlebih dahulu dibersihkan dengan menggunakan alkohol. Cangkang

kerang yang tidak lolos saringan 100 Mesh selanjutnya disaring dengan

menggunakan saringan 30 Mesh.

c. Pelabelan

Sampel yang telah diekstraksi diberi label berdasarkan tingkat

kehalusan dan lokasi pengambilan sampel.

d. Pemanasan

1) Sampel yang telah diekstraksi dimasukkan ke dalam cawan petri.

2) Sampel dipanaskan dengan variasi temperatur 3000C, 4000C, 5000C,

6000C, 7000C, 8000C.

3) Sampel yang telah dipanaskan didiamkan hingga dapat dipastikan telah

mencapai temperatur kamar.

4) Sampel dimasukkan ke dalam plastik paket yang selanjutnya diberi

label berdasarkan temperatur pemanasan, tingkat kehalusan dan lokasi

pengambilan sampel.

30

Page 31: Skripsi Miko

4. Preparasi Pasca Pemanasan

a. Sampel pada tiap-tiap label dimasukkan ke dalam kapsul yang sebelumnya

ditimbang massanya.

b. Untuk mendapatkan massa sampel yang masuk kedalam kapsul dilakukan

kembali penimbangan. Sehingga selisih antara massa kapsul yang berisi

cangkang kerang dengan massa kapsul kosong adalah massa cangkang

kerang.

c. Memastikan kontainer dan kapsul yang digunakan merupakan material

nonmagnetik dengan mengukur salah satu kontainer dan kapsul dengan

MS2B yang sebelumnya ditimbang.

d. Setelah dipastikan kontainer dan kapsul yang akan kita gunakan merupakan

material nonmagnetik, kontainer diisi dengan lem silikon hingga seluruh

kontainer terisi penuh dengan lem silikon.

e. Kapsul yang berisi sampel dimasukkan ke dalam kontainer dan dipastikan

kapsul dalam posisi tegak dan tepat berada di tengah kontainer.

Gambar 3.1 Preparat Sampel

f. Sampel diberi label berdasarkan lokasi pengambilan sampel, tingkat

kehalusan dan besar temperatur pemanasan yang diberikan.

g. Lem silikon yang digunakan untuk mempreparasi dibiarkan membeku

berubah menjadi wujud padat.

31

Page 32: Skripsi Miko

5. Pengukuran Suseptibilitas Cangkang Kerang

a) Sebelum dilakukan pengukuran tempat pengukuran disterilkan dari benda

magnetik yang dapat mempengaruhi hasil penelitian.

b) Memilih range 0,1, sistem satuan CGS dan LF 465 Hz.

c) Melakukan Cek kalibrasi dengan menggunakan H2O 10 cc dan menguji

kenormalan alat dengan 1% Fe3O4 yang dipreparasi menggunakan resin

dalam kontainer 10cc.

d) Memasukkan sampel kedalam sensor MS2B dengan posisi sampel seperti

pada gambar 3.2

Gambar 3.2 Posisi pengukuran sampel dalam sensor MS2B.

Karena pengukuran ini merupakan pengukuran isotropi, maka arah

pengukuran sampel tidak menjadi faktor yang diperhitungkan. Sehingga

arah pengukuran dapat ditentukan secara acak.

e) Selanjutnya mencatat nilai suseptibilitas yang tertera. Setiap sampel diukur

5 kali sehingga didapat hasil pengukuran rata-rata.

32

Page 33: Skripsi Miko

f) Selanjutnya sampel lain diberi perlakuan sama dengan langkah pengukuran

di atas.

Gambar 3.3 MS2 dan Sensor MS2B

Pada penelitian ini, suspetibilitas cangkang kerang diukur dengan

menggunakan Bartington Instrumen dengan Alat Magnetic Susceptibility

system (MS2) dengan sensor Tipe MS2B Dual Frerquency. Sensor di

desain untuk sampel yang dpreparasi dengan volume 10 cc.

Berikut merupakan spesifikasi dari MS2B:

Marterial : ABS

Berat : 0,8 kg

Ukuran Keseluruhan : 210x110x143 mm

Kapsitas Diameter Sampel : 36 mm

Frekuensi Saat Beroperasi : LF 0,465 kHz

HF 4,65 kHz

Resolusi Maksimum : 2 x 10-7 CGS (HF dan LF)

33

Page 34: Skripsi Miko

Akurasi : 1 %

Waktu pembacaan

Pada x 1range CGS : 1,2 s

Pada x 0,1 range CGS : 12 s

Kekuatan Medan : 80 A/m rms

Secara singkat, peralatan ini bekerja karena adanya tegangan yang

diberikan pada rangkaian Osilator sehingga timbul medan magnetik bolak

balik yang berintensitas rendah pada ruang sampel. Adanya sampel pada

ruang sampel akan menyebabkan perubahan frekuensi osilator. Dengan

membandingkan frekuensi osilator saat ruang sampel kosong hanya berisi

udara dan saat ruang sampel diisi oleh sampel, maka diperoleh nilai

suseptibilitas magnetik dari sampel. Apabila pengkuran dilakukan secara

manual tanpa softwert menggunakan persamaan:

x faktor pengali

= nilai suseptibilitas

= nilai yang tertera pada alat.

Massa kalibrasi = 10 g

Berikut tabel faktor pengali MS2:

34

Page 35: Skripsi Miko

Tabel 3.2 Faktor Pengali Pembacaan Nilai Suseptibilitas

Satuan Berbasis massa ( ) Berbasis Volume ( )

SI 10-8 (m3/kg) 10-5

CGS 10-6 (cm3/g) 10-6

Sensor dikalibrasi dengan air, kerapatan air adalah 1, dan suseptibilitas H2O

adalah -0,72 x 10-6 CGS

(Buku Panduan Operasi manual MS2 Bartington Instrumen).

35

Page 36: Skripsi Miko

BAB IVHASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian

4.1.1 Hasil Pengukuran Suseptibilitas

Hasil pengukuran yang terbaca pada MS2 selanjutnya di konversi ke

nilai sebenarnya. Sebagai contoh untuk pengukuran pertama pada sampel kulit

kerang di tempat pengambilan pasir yang berbulir 100 Mesh sebelum

dipanaskan: x 10-6 CGS

x 10-6 = -0,29294 x 10-6 CGS

Untuk hasil semua pengukuran yang selanjutnya dapat dilihat pada tabel.

Tabel 4.1 Hasil Pengukuran Nilai Suseptibilitas Kulit Kerang yang berasal dari Daerah Pengambilan Pasir untuk ukuran 100 Mesh.

No Suhu (oC)

Massa Kulit Kerang (gram

Nilai Suseptibilitas Sebenarnya (CGS) x 10-6

1 0 0,75 -0,292942 300 0,751 -0,878833 400 0,542 -0,996314 500 0,681 -0,939795 600 0,613 -0,783036 700 0,68 -0,970597 800 0,431 -2,27378

36

Page 37: Skripsi Miko

Tabel 4.2 Hasil Pengukuran Nilai Suseptibilitas Kulit Kerang yang berasal dari Daerah Pengambilan Pasir untuk ukuran 30 Mesh.

No Suhu (oC)

Massa Kulit Kerang (gram

Nilai Suseptibilitas Sebenarnya (CGS) x 10-6

1 0 1,004 -0,34672 300 1,004 -1,055783 400 1,231 -0,601144 500 0,942 -0,849265 600 0,981 -0,672786 700 0,923 -0,888417 800 0,99 -0,84848

Tabel 4.3 Hasil Pengukuran Nilai Suseptibilitas Kulit Kerang yang berasal dari Daerah Perusahaan Air Minum untuk ukuran 100 Mesh.

No Suhu (oC)

Massa Kulit Kerang (gram

Nilai Suseptibilitas Sebenarnya (CGS) x 10-6

1 0 0,751 -0,292942 300 0,711 -1,125183 400 0,624 -0,448724 500 0,944 -0,338985 600 0,721 -0,887666 700 0,892 -0,784757 800 0,631 -1,99683

37

Page 38: Skripsi Miko

Tabel 4.4 Hasil Pengukuran Nilai Suseptibilitas Kulit Kerang yang berasal dari Daerah Perusahaan Air Minum untuk ukuran 30 Mesh.

No Suhu (oC)

Massa Kulit Kerang (gram

Nilai Suseptibilitas Sebenarnya (CGS) x 10-6

1 0 0,701 -0,342372 300 0,923 -0,260023 400 1,14 -0,421054 500 0,38 -2,894745 600 0,914 -1,094096 700 0,831 -0,818297 800 0,814 -0,83538

Tabel 4.5 Hasil Pengukuran Nilai Suseptibilitas Kulit Kerang yang berasal dari Daerah Muara Sungai untuk ukuran 100 Mesh.

No Suhu (oC)

Massa Kulit Kerang (gram

Nilai Suseptibilitas Sebenarnya (CGS) x 10-6

1 0 0,608 -1,192052 300 0,604 -0,260023 400 0,701 -1,340944 500 0,512 -0,898445 600 0,571 -0,385296 700 0,554 -1,299647 800 0,624 -0,76923

38

Page 39: Skripsi Miko

Tabel 4.6 Hasil Pengukuran Nilai Suseptibilitas Kulit Kerang yang berasal dari Daerah Muara Sungai untuk ukuran 30 Mesh.

No Suhu (oC)

Massa Kulit Kerang (gram

Nilai Suseptibilitas Sebenarnya (CGS) x 10-6

1 0 0,613 -0,326262 300 1,311 -1,113653 400 1,333 -0,435444 500 1,164 -0,652925 600 0,921 -0,390886 700 0,952 -0,840347 800 0,921 -0,50599

4.2 Pembahasan

Berdasarkan hasil pengukuran menggunakan MS2 dengan sensor MS2B

diperoleh nilai suseptibilitas yang beragam berdasarkan tempat pengambilan

sampel. Dimana nilai suseptibilitas dari kulit kerang ini bernilai negatif, hal ini

menandakan bahwa kulit kerang merupakan unsur diamagnetik.

Nilai rata-rata suseptibilitas kulit kerang pokea yang berasal dari tempat

pengambilan pasir untuk tingkat kehalusan 100 mesh dan 30 mesh masing-

masing sebesar -0,36911 x 10-8 m3/kg dan -0,43684 x 10-8 m3/kg, dan Nilai rata-

rata suseptibilitas kulit kerang pokea yang berasal di daerah PAM untuk tingkat

kehalusan 100 mesh dan 30 mesh masing-masing sebesar -0,36911 x 10 -8 m3/kg

dan -0,43138 x 10-8 m3/kg sedangkan nilai suseptibilitas kulit kerang pada daerah

Muara untuk tingkat kehalusan 100 mesh dan 30 mesh masing-masing sebesar -

0,49737 x 10-8 m3/kg dan -0,41109 x 10-8 m3/kg.

39

Page 40: Skripsi Miko

Setelah melakukan pemanasan dengan suhu bervariasi 300oC, 400oC,

500oC, 600oC, 700oC, 800oC nilai suseptibilitas kulit kerang berubah. Nilai

Suseptibilitas kulit kerang yang berasal dari tempat pengambilan pasir dengan

bulir 100 mesh pada suhu 300oC, 400oC, 500oC, 600oC, 700oC, dan 800oC

masing-masing sebesar -1,10732 x 10-8 m3/kg, -1,25535 x 10-8 m3/kg, -1,18414 x

10-8 m3/kg, -0,98662 x 10-8 m3/kg, -1,22294 x 10-8 m3/kg dan -2,86497 x 10-8

m3/kg. Sedangkan pada bulir yang 30 mesh pada suhu 300oC, 400oC, 500oC,

600oC, 700oC, dan 800oC masing-masing sebesar -1,33028 x 10-8 m3/kg, -0,75743

x 10-8 m3/kg, -1,07006 x 10-8 m3/kg, -0,84771 x 10-8 m3/kg, -1,11939 x 10-8 m3/kg

dan -1,06909 x 10-8 m3/kg.

Nilai suseptibilitas kulit kerang pada daerah PAM berbulir 100 mesh yang

telah mengalami pemanasan 300oC, 400oC, 500oC, 600oC, 700oC, dan 800oC

masing-masing sebesar -1,41772 x 10-8 m3/kg, -0,56538 x 10-8 m3/kg, -0,42712 x

10-8 m3/kg, -1,11845 x 10-8 m3/kg, -0,98879 x 10-8 m3/kg dan -2,51601 x 10-8

m3/kg. Sedangkan pada bulir 30 mesh yang telah mengalami pemanasan 300oC,

400oC, 500oC, 600oC, 700oC, dan 800oC masing-masing sebesar -0,32763 x 10-8

m3/kg, -0,53053 x 10-8 m3/kg, -3,644737 x 10-8 m3/kg, -1,37856 x 10-8 m3/kg, -

1,03105 x 10-8 m3/kg dan -1,05258 x 10-8 m3/kg.

Kulit kerang yang berasal dari muara sungai yang berbulir 100 mesh yang

telah dipanaskan 300oC, 400oC, 500oC, 600oC, 700oC, dan 800oC memiliki nilai

suseptibilitas masing-masing sebesar -1,50199 x 10-8 m3/kg, -1,68959 x 10-8

40

Page 41: Skripsi Miko

m3/kg, -1,13203 x 10-8 m3/kg, -0,48546 x 10-8 m3/kg, -1,63755 x 10-8 m3/kg dan

−0,96923 x 10-8 m3/kg. Sedangkan nilai suseptibilitas pada kulit kerang yang

berbulir 30 mesh yang telah dipanaskan 300oC, 400oC, 500oC, 600oC, 700oC, dan

800oC masing-masing sebesar -1,4032 x 10-8 m3/kg, -0,54865 x 10-8 m3/kg,

−0,82268 x 10-8 m3/kg, -0,49251 x 10-8 m3/kg, -1,05882 x 10-8 m3/kg dan -

0,63755 x 10-8 m3/kg.

Gambar 4.1 Grafik Temperatur Terhadap Nilai Suseptibilitas Kulit Kerang di DaerahTempat Pengambilan Pasir

41

χ(x 10-8)

T (Celcius)

χ(x 10-8)

Page 42: Skripsi Miko

Gambar 4.2 Grafik Temperatur Terhadap Nilai Suseptibilitas Kulit Kerang di Daerah Perusahaan Air Minum

Gambar 4.3 Grafik Temperatur Terhadap Nilai Suseptibilitas Kulit Kerang di Daerah Muara Sungai

Massa sampel Kulit kerang di dalam kapsul 30 Mesh lebih besar dari

pada 100 Mesh menyebabkan nilai suseptibilitasnya lebih tinggi, sebab massa

mempengaruhi banyaknya fraksi magnetik yang terukur. Selain itu, grafik nilai

suseptibilitas terhadap temperatur untuk sampel 30 Mesh lebih curam dari pada

grafik sampel 100 Mesh

Pemanasan mempengaruhi nilai suseptibilitas kulit kerang seperti terlihat

pada gambar 4.1 grafik,gambar 4.2 grafik dan gambar 4.3 grafik menunjukan

kecenderungan menurunkan nilai susepbilitas dari kulit kerang tersebut. Nalai

suseptibilitas pada kulit kerang sebelum mengalami pemanasan memiliki nilai

yang tidak begitu jauh berbeda, tetapi setelah mengalami pemanasan terjadi

penurunan nilai suseptibilitas seperti pada daerah pengambilan pasir yang tampa

pemanasan memiliki nilai -0,36911 x 10-8 m3/kg untuk bulir 100 mesh dan -

42

T (Celcius)

χ(x 10-8)

Page 43: Skripsi Miko

0,43684 x 10-8 m3/kg bulir 30 mesh dan setelah mengalami pemanasan 300oC

maka nilainya menurun menjadi -1,10732 x 10-8 m3/kg untuk bulir 100 mesh dan

-1,33028 x 10-8 m3/kg

Terjadinya penyimpangan nilai suseptibilitas pada pengukuran ini

disebabkan oleh beberapa hal. Proses ekstraksi yang kurang sempurna

menyebabkan terikutnya mineral lain (pengganggu), seperti mortar yang kurang

bersih. Selain itu, proses pengukuran yang kurang akurat dapat menyebabkan

penyimpangan hasil pengukuran. Seperti posisi kapsul yang tidak tegak lurus dan

tidak berada di tengah kontainer menyebabkan pembacaan nilai menyimpang

dari yang sebenarnya.

4.3 Implikasi di Bidang Pendidikan

Berdasarkan proposal penelitan tentang “Pengaruh Temperatur

Pemanasan Terhadap Nilai Subsetibilitas Kulit Kerang Pokea (Batissa violacea

celebensis) Di Sungai Pohara Kabupaten Konawe” menjelaskan tentang

pengaruh pemanasan kulit kerang pokea (Batissa violacea celebensis) terhadap

nilai suseptibilitasnya. Dimana pada penelitian sebelunya yang menggunakan

Metode XRD memanfaatkan elektron yang keluar dari filamen panas dalam

keadaan vakum pada tegangan tinggi untuk dapat menghasilkan Sinar-X yang

nantinya dapat digunakan untuk mengetahui karakteristik dari sampel cangkang

kerang pokea pada daerah tersebut yang dianalisis seperti komposisi atau struktur

sampel. Dengan Mengetahui komposisi dari sampel tersebut maka kulit atau

43

Page 44: Skripsi Miko

cangkang dari daerah tersebut dapat dikelola dan dimanfaatkan sesuai dengan

keperluan. Konsep dasar pengetahuan tentang jenis batuan mineral dan electron

diperoleh melalui dari jenjang SD, SMP sampai SMA. Sedangkan pada jenjang

pendidikan perguruan tinggi, kajian keilmuannya lebih mendalam.

Adapun konsep dasar yang dapat ditemukan pada berbagai jenjang

pendidikan mulai dari SD, SMP hingga SMA yang berkaitan dengan judul

penelitian ini yaitu sebagai berikut:

1. Sekolah Dasar (SD)

Kelas V semester 2, mata pelajaran IPA pada pokok bahasan Pembentukan

Tanah Serta Struktur Bumi dan Matahari dengan alokasi waktu 8 Jam

pembelajaran (4 x pertemuan).

2. Sekolah Menengah Pertama (SMP)

Kelas VII semester 1, mata pelajaran IPS pada pokok bahasan jenis-jenis

batuan dan proses pelapukan dengan alokasi waktu 2x40 menit. Kelas IX

semester 2, mata pelajaran IPA pada pokok bahasan pelapukan yang terjadi

di lithosfer dengan alokasi waktu 2 x 40 menit.

3. Sekolah Menengah Atas (SMA)

Kelas X semester 1, mata pelajaran kimia pada pokok bahasan struktur atom

dengan alokasi waktu 2 x 45 menit. Kelas X semester 2, mata pelajaran

44

Page 45: Skripsi Miko

geografi pada pokok bahasan lithosfer dengan alokasi waktu 2 x 45 menit.

Kelas X semester 2, mata pelajaran fisika dengan pokok bahasan alat dan

optik dengan alokasi waktu 6 jam (2 x 45 menit) dan gelombang

ekektromagnetik dalam kehidupan dengan alokasi waktu 2 jam ( 2 x 45

menit).

Untuk jenjang pendidikan yang lebih tinggi semisal perguruan tinggi,

kajian keilmuan tentang electron, mineral, dan batuan dibahas lebih spesifik dan

mendalam lagi. Kajian keilmuan tersebut diperoleh pada mata kuliah ilmu

Pengetahuan Bumi dan antariksa (IPBA), Gelombang dan Optik, Fisika Modern,

Fisika Zat padat, dan Fisika Inti.

Dengan adanya penelitian ini diharapkan mampu memberikan peranan

tersendiri dalam dunia pendidikan. Dalam arti bahwa implementasi dari

penelitian ini secara teori mengenai electron, mineral dan batuan, diharapkan

dapat menambah wawasan dan pengetahuan bagi para peserta didik ataupun bagi

para mahasiswa. Selain pengetahuan secara teori, perlu pula ditindak lanjuti

dengan bereksperimen untuk memperdalam pengetahuan. Sedangkan bagi para

pendidik, implementasi dari pengetahuan ini diharapkan dapat memperdalam

konsep pemahaman guru sehingga menjadi tenaga pengajar yang berkompetensi,

sehingga dapat membantu dalam memberikan penjelasan-penjelasan yang

spesifik terhadap siswanya, baik itu pada tingkat pendidikan SD, SMP,SMA

hingga perguruan tinggi terkait dengan materi yang diajarkan.

45

Page 46: Skripsi Miko

BAB VKESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

1. Nilai suseptibilitas kulit kerang pokea mengalami penurunan seiring dengan

variasi temperatur pemanasan yang diberikan pada sampel. Nilai

suseptibilitasnya adalah:

Pada daerah pengambilan pasir untuk ukuran 100 mesh setelah

mengalami pemanasan 300oC, 400oC, 500oC, 600oC, 700oC, dan 800oC

nilai suseptibilitasnya masing-masing sebesar -1,10732 x 10-8 m3/kg, -

1,25535 x 10-8 m3/kg, -1,18414 x 10-8 m3/kg, -0,98662 x 10-8 m3/kg, -

1,22294 x 10-8 m3/kg dan -2,86497 x 10-8 m3/kg.

Pada daerah pengambilan pasir untuk ukuran 30 mesh setelah mengalami

pemanasan 300oC, 400oC, 500oC, 600oC, 700oC, dan 800oC nilai

suseptibilitasnya masing-masing sebesar -1,33028 x 10-8 m3/kg, -0,75743

x 10-8 m3/kg, -1,07006 x 10-8 m3/kg, -0,84771 x 10-8 m3/kg, -1,11939 x 10-8

m3/kg dan -1,06909 x 10-8 m3/kg.

Pada daerah perusahaan air minum untuk ukuran 100 mesh setelah

mengalami pemanasan 300oC, 400oC, 500oC, 600oC, 700oC, dan 800oC

nilai suseptibilitasnya masing-masing sebesar -1,41772 x 10-8 m3/kg, -

0,56538 x 10-8 m3/kg, -0,42712 x 10-8 m3/kg, -1,11845 x 10-8 m3/kg, -

0,98879 x 10-8 m3/kg dan -2,51601 x 10-8 m3/kg.

46

Page 47: Skripsi Miko

Pada daerah perusahaan air minum untuk ukran 30 mesh setelah

mengalami pemanasan 300oC, 400oC, 500oC, 600oC, 700oC, dan 800oC

nilai suseptibilitasnya masing-masing sebesar -0,32763 x 10-8 m3/kg, -

0,53053 x 10-8 m3/kg, -3,644737 x 10-8 m3/kg, -1,37856 x 10-8 m3/kg, -

1,03105 x 10-8 m3/kg dan -1,05258 x 10-8 m3/kg.

Pada daerah muara sungai untuk ukuran 100 mesh setelah mengalami

pemanasan 300oC, 400oC, 500oC, 600oC, 700oC, dan 800oC nilai

suseptibilitasnya masing-masing sebesar -1,50199 x 10-8 m3/kg, -1,68959

x 10-8 m3/kg, -1,13203 x 10-8 m3/kg, -0,48546 x 10-8 m3/kg, -1,63755 x 10-8

m3/kg dan −0,96923 x 10-8 m3/kg.

Pada daerah muara sungai untuk ukuran 30 mesh yang telah mengalami

pemanasan 300oC, 400oC, 500oC, 600oC, 700oC, dan 800oC nilai

suseptibilitasnya masing-masing sebesar -1,4032 x 10-8 m3/kg, -0,54865 x

10-8 m3/kg, −0,82268 x 10-8 m3/kg, -0,49251 x 10-8 m3/kg, -1,05882 x 10-8

m3/kg dan -0,63755 x 10-8 m3/kg.

5.2 Saran

Peneliti mengajukan saran sebagai berikut:

1. Bagi peneliti selanjutnya, agar melakukan penelitian lanjutan mengenai kulit

kerang ini, sehingga kulit kerang dapat dimanfaatkan sebagai sesuatu yang

lebih bermaanfaat ketimbang menjadi sampah/limbah rumah tangga di sungai

Pohara.

47

Page 48: Skripsi Miko

2. Bagi pemerintah daerah Kabupaten Konawe agar dapat memanfaatkan secara

optimal pemanfaatan kulit kerang sebagai Sumber Daya Alam Daerah.

48

Page 49: Skripsi Miko

DAFTAR PUSTAKA

Alfan, M.S., 1995. Evaluasi Kualitas Fisika-Kimia Air Sungai Ciliwung di Wilayah Kota Administrasi (Kotif) Depok bagi Kepentingan Perikanan. Skripsi. IPB. Bogor.

Arinardi, O.H., 1978. Sifat-sifat Fisik dan Kimiawi Perairan Estuari. Pewarta Oceana (5 dan 6). Jakarta.

Bahtiar,A. 2007. Hand Out Kuliah Listrik Magnet II. Bandung : Universitas Padjajaran

Bahtiar, 2005. Keberadaan Populasi Pokea (Batissa Violacea Celebensis) Pada Berbagai Daerah yang Berbeda Pada Sungai Pohara Kecamatan Sampara Kabupaten Konawe. Resis Sekolah Pascasarjana. Institute Pertanian Bogor. Bogor.

BPS Kabupaten Konawe. Kecamatan Sampara Dalam Angka 2005-2006.

Clark. J.,1974. Coastal Ecosystem Ecological Consideration For Management Of The Coastal Zone. The Conservation Foundation. National Oceanic and Atmospheric Administration. Washington D.C.

Dharma, B., 1992. Siput dan Kerang Indonesia II. Indonesia Shell II. Sarana Graha. Jakarta.

Djajasasmita, M. 1977. An Annotated List Of the Spesies Of The Genus Corcibula From Indonesia (Molusca : Corbiculidae) Bulletin Zoologisch Museum. Universiteit Van Amsterdam. Amsterdam.

Effendie, M.I., 1979. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusantara. Yogyakarta..

Effendi, H., 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan Perairan. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.

Efriyeldi, 1997. Sebaran Spesial Karakteristik Sedimen dan Kualitas air Muara Sungai Bantan Tengah Bangkalis Kaitannya Dengan Budidaya Karamba Jaring Apung. www.unri.ac.id. (diakses tanggal, 14 Juni 2010).

49

Page 50: Skripsi Miko

Fatuni, A., 2000. Uji Adaptasi Benih Ikan Nila Merah (Oreochromis Niloticus) Terhadap Salinitas Air Laut. Skripsi. ProgramStudi Budidaya Perairan. Jurusan perikanan. Fakultas Pertanian. Universitas Haluoleo. Kendari.

Gray, J.S., 1981. The Ekology Of Marine Sediment An Introductiont The Structure and Function Of Benthic Communities. Cambridge University press. Cambridge.

http://kartika17.tripod.com/http://problem-fisika.blogspot.com/2009/04/suseptibilitas-magnetik- k erentanan.html

Hutabarat, S dan S.M. Evans., 1986. Pengantar Oceanografi. Universitas Indonesia press. Jakarta.

Jasin, M., 1992. Zoologi Invertebrata Untuk Perguruan Tinggi. Sinar Wijaya. Surabaya.

Jeremy, S., 2006. Freshwater Mussel (Bivalvia : Unionidae) Survey Of The Wakarusa River Basin, Kansas. Kansas Academy Of Science. Kansas.

James, H.T and A.P. Covich., 1991. Ecology and Classification Of Northern American Freshwater Invertebrates. Academic Press. Inc. America.

Kasmiati, Sitti. 2001. Pengaruh Pemanasan Terhadap Karakteristik Magnetik Lempung. Bandung: Institut teknologi Bandung

Kusdiana. 2001. Studi Parameter Kualitas Pada Bendungan Wawotobi Kec. Lambuya Kabupaten Konawe Sulawesi Tenggara. Skripsi. Unhalu. Kendari.

Morton, B., 1989. The Mollusca Volume G. Ecology Mangrove Bivalve. Academic Press Inc. New York.

Ngkoimani, L.O. 2005. Magnetisasi pada Batuan Andesit di Pulau Jawa Serta Implikasinya Terhadap Paleomagnetisme dan Evolusi Tektonik. Disertasi. Bandung: Institut Teknologi Bandung

Nurfatmah, 2006. Studi Kebiasaan Makanan Bivalvia (Batissa Violacea Celebensis Marten, 1897) di Sungai Pohara Kecamatan Sampara Kabupaten Konawe. Skripsi. Unhalu. Kendari.

Nybakken, J. W., 1992. Biologi Laut Pendekatan Ekologis. Gramedia. Jakarta.

50

Page 51: Skripsi Miko

Odum, E.P., 1996. Dasar-Dasar Ekologi (Diterjemahkan Oleh Tjahjono Samingan) Edisi ke 3. Gadjah Mada University Press. Jogjakarta.

Pranowo, Sudiono, dan Santosa, J. 2006. Kimia. Yogyakarta: Intan Pariwara.

Saharuddin, 2003. Studi Kepadatan dan Distribusi Kerang Pokea (Anadonta sp) Pada Perairan Sungai Pohara Desa Laosu Kecamatan Bondoala Kabupaten Konawe. Skripsi. Jurusan Perikanan Unhalu. Kendari.

Setyobudiandi, I., 2000. Sumber Daya Hayati Moluska Mytillidae. Laboratorium Manajeman SDP. Program Studi Manajemen Sumber Daya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institute Pertanian Bogor. IPB.

Setyawati, Y., 1986. Distribusi Jenis-Jenis Kerang (Bivalvia) di Pantai Muara Sungai Ciseukeut, Desa Mekarsari Kecamatan Cigeulis. Panembang Jawa Barat. Karya Ilmiah. Jurusan Manajemen Sumber Daya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB. Bogor.

Sugiri, N., 1989. Zoologi Avertebrata II. Departemen Pendidikan dan kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat. Institute Pertanian Bogor. IPB.

Whitten, A.J., M. Mustafa dan G.S., Handeison, 1987. Ekologi Sulawesi. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Warren. 8. E. 1969. X-Ray Diffraction, Addittion-Wesley Pub : Messachssetfs.

Yasidi. F., Aslan. M., Asriyana, Rosmawati, 2005. Penuntun Praktikum Biologi Perikanan. Edisi Ke Empat. Jurusan Perikanan Fakultas Pertanian. UNHALU. Kendari.

Zemansky. 1964. Fisika untuk Universitas 2, Listrik dan Magnet Jilid 2. Jakarta: Bina

Cipta.

51