skripsi fransisca vinda dinata 111.070.147

103
SKRIPSI Oleh : FRANSISCA VINDA DINATA 111.070.147 JURUSAN TEKNIK GEOLOGI FAKULTAS TEKNOLOGI MINERAL UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL ”VETERAN” YOGYAKARTA 2011 ANALISIS FASIES BATUBARA DAN KARAKTERISTIK PETROFISIK, FORMASI BALIKPAPAN, LAPANGAN “X”, CEKUNGAN KUTAI BERDASARKAN DATA LOG SUMUR DAN INTI BATUAN

Upload: muchlis-irwanto

Post on 03-Jan-2016

275 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

SKRIPSI

Oleh :

FRANSISCA VINDA DINATA

111.070.147

JURUSAN TEKNIK GEOLOGI

FAKULTAS TEKNOLOGI MINERAL

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL ”VETERAN”

YOGYAKARTA

2011

ANALISIS FASIES BATUBARA DAN KARAKTERISTIK

PETROFISIK, FORMASI BALIKPAPAN, LAPANGAN “X”,

CEKUNGAN KUTAI BERDASARKAN DATA LOG SUMUR DAN

INTI BATUAN

i

KKAATTAA PPEENNGGAANNTTAARR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah

memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan

tugas akhir ini. Adapun judul tugas akhir ini adalah “Analisis Fasies Batubara dan

Karakteristik Petrofisik, Formasi Balikpapan, Lapangan “X”, Cekungan Kutai

Berdasarkan Data Log Sumur dan Inti Batuan “.

Penulis sangat berterima kasih pada dosen pembimbing yang telah memberikan

bimbingan serta petunjuk yang penulis perlukan dalam penulisan laporan tugas akhir

ini, keluarga penulis yang selalu mendukung dan mendoakan penulis, serta teman-teman

jurusan Teknik Geologi UPN “Veteran” Yogyakarta yang telah memberikan semangat

serta masukan pada penulis.

Penulis juga mengucapkan banyak terimakasih kepada :

1. Ir. H. Sugeng Raharjo, MT., selaku Ketua Jurusan Teknik Geologi, Fakultas

Teknologi Mineral, Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta

yang telah memberikan izin untuk melakukan penelitian dalam bentuk skripsi di

VICO Indonesia.

2. Ir. Sugeng Widada, Ms.c. dan Ir. Ediyanto, M.T, selaku dosen pembimbing

skripsi di Jurusan Teknik Geologi.

3. Mr. Jose Corbellini selaku pembimbing teknis di VICO Indonesia, terimakasih

atas semua kesempatan, pengalaman, pengetahuan, bimbingan, masukan, bantuan

dan dukungan yang diberikan.

4. Mas Ratno Adi terimakasih atas pengentahuan, bimbingan, masukan dan bantuan

yang diberikan.

5. Mas Teguh Setiawan, Giscard, Asrim, Sutha, Taufik, dan Sigit atas diskusi dan

bantuan yang diberikan.

6. Bapak Amireno terimakasih atas masukan, bimbingan, dan bantuan yang sudah

diberikan.

7. Terimakasih banyak untuk Reservoir Modeling Team dan CBM Team VICO

Indonesia untuk penerimaannya yang baik.

ii

8. Saudara-saudaraku tercinta Antonius Firdian Zul Kurniawan, Veronica Dina

Angelia Sari, Florentina Fersa Andika, Emiliana Ayu Puspitasari, Mbak Lina,

Mas Oki, Mas Alex, Mbak Laras, Mas Lukas, Mbak Eta dan adik Cheris

terimakasih atas semua dukungan, semangat dan dorongan yang diberikan.

9. Hilda Nindiyah, Lenny Djulvalinda Miranti, Angga Widya Yogatama, Abang

Randy Dwi Anggara, Yolanda Titawael, Yenny Eva Oktri, Tiolina Hutagalung,

Novitalia Wijayanti, Jaquline Olivia Tanati, Fredy Prima Iriano, Yogi, Multihadi,

Aldis Ramadhan, dan yang lainnya yang tidak bisa disebut satu per satu yang

sudah memberikan semangat dan dorongan terimakasih banyak.

10. Pihak-pihak yang telah membantu dalam pelaksanaan tugas akhir secara langsung

maupun tidak langsung yang tidak dapat saya sebutkan satu per satu.

Penulis menyadari akan keterbatasan dan kekurangan pada laporan penelitian ini,

maka dari itu penulis mengharapkan semua kritik dan masukan dari semua pihak yang

bersifat membangun demi hasil yang lebih baik sehingga di dalam pembuatan laporan

yang akan datang akan jauh lebih sempurna. Semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi

kita semua.

Yogyakarta , 5 Agustus 2011

Fransisca Vinda Dinata

iii

HALAMAN PERSEMBAHAN

Skripsi ini dipersembahkan untuk :

Tuhan Yesus Kristus untuk semua kekuatan dan anugerah yang telah diberikan

selama ini. Terimakasih Tuhan karena Engkau aku dapat menyelesaikan skripsi

ini dengan lancar.

Ibuku yang sudah tidak lagi bersamaku lagi. Terimakasih Ibu karena engkau

telah melahirkanku, sehingga aku dapat menjadi seperti sekarang ini. Walaupun

engkau tidak bersamaku, aku hanya ingin kau tahu bahwa kau selalu ada di

dalam hatiku dan aku akan selalu merindukan dan menyayangimu.

Papi dan Mamiku tercinta terimakasih atas segala dukungan dan motivasi baik

materil maupun spritual yang telah diberikan kepadaku.

Saudara – saudaraku tercinta Veronica Dina Angelia Sari, Antonius Firdian

Zulkurniawan, Florentina Fersa Andika dan Emiliana Ayu Puspitasari atas segala

dukungan dan motivasi baik materil maupun spritual yang telah diberikan

kepadaku.

Seluruh saudara-saudaraku Pangea 2007 atas semua dukungan dan motivasinya.

Terimakasih semuanya.....

iv

Sari

Lapangan minyak “X” merupakan salah satu lapangan operasi Coalbed Methane milik VICO Indonesia yang terletak di Cekungan Kutai, Propinsi Kalimantan Timur. Analisis yang dilakukan ialah dengan melakukan analisis kualitatif dan kuantitatif dengan mengkalibrasikan data log sumur dari 8 sumur dan data inti batuan. Fokus studi pada penelitian ini adalah mengidentifikasi model fasies pengendapan, mengidentifikasi karakteristik petrofisik dari batubara serta dari seam batubara CBM 2 yang termasuk dalam Formasi Balikpapan yang merupakan reservoar coalbed metahne dan mengidentifikasi distribusi parameter petrofisik pada seam tersebut.

Berdasarkan analisis elektrofasies tipe endapan berdasarkan model pengendapan menurut Horne, 1978 Seam CBM 2 yaitu endapan channel, swamp, interdistributary bay dan creavasse splay yang berasosiasi dengan lingkungan pengendapan Transitional lower Delta Plain dan berdasarkan analisis elektrofasies tipe fasies menurut model Allen, 1998, yaitu fasies distributary channel dengan pola log cylinder shape, serta terdapat fasies interdistributary channel dan swamp dengan pola log bell shape yang berasosiasi dengan lingkungan pengendapan delta plain. Berdasarkan dari peta ketebalan batubara seam CBM2 diketahui geometri seam CBM 2 pada daerah telitian sekitar 5 – 35 ft dan arah pengendapan seam CBM 2 berarah barat laut – tenggara. Disamping itu Seam CBM 2 ini menebal kaerah tenggara dan menipis kearah barat laut

Analisis karakteristik petrofisik dilakukan dengan melakukan analisis Ultimate dan Proximate yang merupakan analisis yang dilakukan di laboratorium. Setelah mendapatkan hasil dari laboratorium dilakukan analisis dengan membuat crossplot antara parameter petrofisik dari batubara berupa ash, fixed carbon, dan moisture. Dengan mengetahui hasil dari crossplot tersebut maka akan didapatkan beberapa formula yang dapat digunakan untuk menghitung parameter – parameter serta digunakan juga untuk pembuatan model.

Berdasarkan analisis petrofisik didapatkan hasil nilai kandungan ash sebesar 2.68 %, fixed carbon 46.76 %, volatile matter sebesar 41.28 %, moisture sebesar 0.11 %, mean vitrinite reflectance sebesar 0.45 %, total gas content sebesar 127.88 scft/ton dan kalori sebesar 6260 Kcal/kg. Dari hasil analisis petrofisik tersebut maka dapat diketahui bahwa seam CBM 2 ini termasuk dalam jenis batubara bituminous high volatile c menurut ASTM coal rank yang berpotensi sebagi reservoar coalbed methane dan sebagai bahan bakar ekonomis. Berdasarkan hasil overlay peta penyebaran kandungan moisture, peta kedalaman batubara, peta ketebalan batubara, peta fasies batubara dan peta geologi dareha dapat diketahui beberapa area yang berpotensi pada seam CBM 2 lapangan “X”.

v

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

HALAMAN PENGESAHAN

KATA PENGANTAR i

HALAMAN PERSEMBAHAN iii

SARI iv

DAFTAR ISI v

DAFTAR TABEL vii

DAFTAR GAMBAR viii

BAB I. PENDAHULUAN 1

I.1. Latar Belakang 1

I.2. Batasan Masalah 2

I.3. Maksud dan Tujuan 2

I.4. Lokasi Penelitian dan Waktu Penelitian 3

I.5. Hasil Penelitian 4

I.6. Manfaat Penelitian 5

BAB II. METODOLOGI PENELITIAN 6

II.1. Tahap Pendahuluan 6

II.2. Sumber Data 7

II.3. Tahap Pengolahan dan Analisis Data 7

II.4. Penulisan Laporan 8

BAB III. TINJAUAN GEOLOGI 10

III.1. Geologi Regional Cekungan Kutai 10

III.2. Stratigrafi Regional Cekungan Kutai 14

BAB IV. DASAR TEORI 18

IV.1. Pengertian Batubara 18

IV.2. Model Geologi untuk Endapan Batubara 20

IV.3. Model Pengendapan Delta Mahakam 24

IV.4. Geometri Lapisan Batubara 30

IV.5. Proses Pembentukan Gas Methane dalam Batubara 33

vi

IV.6. Maseral Pada Batubara 35

IV.7. Data Inti Batuan 36

IV.8. Data Log Sumur 39

IV.9. Korelasi 43

IV.10. Elektofasies 46

BAB V PENYAJIAN DATA 49

V.1 Data Inti Batuan 49

V.2 Data Log Sumur 50

BAB VI HASIL PENELITIAN & PEMBAHASAN 52

VI.1. Analisis Lingkungan Pengendapan 52

VI.2. Analisis Geometri Batubara 58

VI.3. Analisis Petrofisik 62

VI.4. Kalibrasi Data Core ke Data Log 68

VI.5. Analisis Penyebaran Parameter Petrofisik 70

BAB V KESIMPULAN 79

DAFTAR PUSTAKA 81

LAMPIRAN 82

vii

DAFTAR TABEL

Tabel 3.2 Kolom Stratigrafi Cekungan Kutai (Satyana et.all. 1999) 16

Tabel 3.2.1. Kolom Stratigrafi Daerah Telitian (Penulis) 17

Tabel 4.1 Tabel Klasifikasi Batubara Berdasarkan Vitrinite Reflectance

menurut Ward (1984) 19

Tabel 4.2 Tabel Klasifikasi Batubara Berdasarkan ASTM Coal Rank 20

viii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.4. Lokasi Daerah Penelitian (dalam Laporan Internal VICO Indonesia) 4

Gambar 2.1. Diagram Alir Penelitian 9

Gambar 3.1 Peta Regional Cekungan Kutei

(modifikasi dari Paterson et al, 1997 dalam Mora 2001) 10

Gambar 3.1.2. Tectonic Setting Cekungan Kutai (Mora et al 2003) 12

Gambar 3.1.2.1. Peta Geologi Daerah Telitian (dalam Laporan Internal VICO

Indonesia) 14

Gambar 4.2.1. Penampang Lingkungan Pengendapan

pada bagian Back Barrier (Horne,1978) 21

Gambar 4.2.2. Penampang Lingkungan Pengendapan pada bagian Lower Delta Plain

(Horne,1978) 22

Gambar 4.2.3. Penampang Lingkungan Pengendapan pada bagian Upper Delta Plain-

Fluvial (Horne,1978) 23

Gambar 4.2.4. Penampang Lingkungan Pengendapan pada bagian Transitional Lower

Delta Plain (Horne,1978) 24

Gambar 4.2.5. Model Lingkungan Pengendapan Batubara di Lingkungan Delta

(J.CHorne et. Al., 1979 ; modifikasi dari Ferm, 1976) 24

Gambar 4.3.1. Morfologi lingkungan pengendapan pada delta (Allen, 1998) 28

Gambar 4.3.2 Model lingkungan pengendapan delta Mahakam (Allen, 1998) 29

Gambar 4.3.3. Pembagian lingkungan pada delta dengan ciri khas endapannya

(Allen et.al, 1998) 29

ix

Gambar 4.5. Proses Pembatubaraan (dalam Coalbed methane characteristics of the

Gates Formation coals, northestern British Columbia: effect of maceral composition,

menurut Lamberson, M.N. and Bustin, R.M., 1993) 34

Gambar 4.6. Klasifikasi Maseral (dalam Part II Coal, Reservoir Issue menurut Crain.E.

R. (Ross),P.Eng, 2010,) 36

Gambar 4.6. Visualisasi Batubara pada Log Sumur 40

Gambar 4.8 Pola Respon dari Log Gamma ray (GR) (Kendall, 2003 modifikasi dari

Emery 1996) 48

Gambar 5.2. Contoh kurva log sumur X-1 51

Gambar 6.1.1 Lingkungan Pengendapan Seam CBM 2 menurut Horne, 1987 52

Gambar 6.1.1.1. Identifikasi pola log sumur X201 berdasarkan

model Horne 1978 53

Gambar 6.1.1.2. Identifikasi pola log sumur X71 berdasarkan

model Horne 1978 53

Gambar 6.1.1.3. Identifikasi pola log sumur X60 berdasarkan

model Horne 1978 54

Gambar 6.1.2.1 Model Lingkungan Pengendapan Menurut Allen (1998) 55

Gambar 6.1.2.2 Korelasi Stratigrafi 55

Gambar 6.1.2.3. Analisis Elektrofasies pada Sumur X201 56

Gambar 6.1.2.4Analisis Elektrofasies pada Sumur X71 56

Gambar 5.1.2.5. Analisis Elektrofasies pada Sumur X60 57

Gambar 6.1.11. Peta fasies batubara seam CBM 2 58

Gambar 6.2.1 Peta Ketebalan Batubara seam CBM 2 59

x

Gambar 6.2.2 Peta Kedalaman Batubara seam CBM 2 60

Gambar.6.2.3 Overlay Peta Ketebalan dan Peta Kedalaman Batubata

Seam CBM 2 61

Gambar.6.3. Crossplot antara Helium Density dengan %Ash 62

Gambar.6.3.2 Crossplot antara density dari log dengan density dari core 63

Gambar.6.3.3. Crossplot antara % Ash dengan RHOB 64

Gambar.6.3.4. Crossplot antara % Ash dengan % Fixed Carbon 65

Gambar.6.3.5. Crossplot antara % Ash dengan % Moisture 65

Gambar.6.3.6. Crossplot antara % Ash dengan % Volatile Matter 66

Gambar.6.3.7. Crossplot antara % Ash dengan % Semua Parameter ( Fixed Carbon,

Moisture dan Volatile Matter) 67

Gambar.6.3.8. Crossplot antara % Total Gas Content

dengan % Mean Vitrinite Reflectance 68

Gambar 6.4.1.Kalibrasi Data Core ke Data Log 69

Gambar.6.5.1.Peta Penyebaran Batubara dan Nonbatubara 70

Gambar.6.5.2.Model Penyebaran Kandungan Ash 71

Gambar.6.5.2.1.Peta Penyebaran Kandungan Ash 72

Gambar.6.5.3.Model Penyebaran Kandungan Fixed Carbon 73

Gambar.6.5.3.1.Peta Penyebaran Kandungan Fixed Carbon 74

Gambar.6.5.4.Model Penyebaran Kandungan Moisture 75

Gambar.6.5.4.1.Peta Penyebaran Kandungan Moisture 76

xi

Gambar.6.5.5. Overlay Peta Kedalaman, Peta Ketebalan dan Peta Penyebaran

Kandungan Moisture 78

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Batubara adalah batuan sedimen yang dapat terbakar, berasal dari tumbuh-

tumbuhan (komposisi utamanya karbon, hidrogen, dan oksigen), berwarna coklat

sampai hitam, sejak pengendapannya terkena proses kimia dan fisika yang

mengakibatkan terjadinya pengkayaan kadungan karbonnya (Wolf,1984, dalam

Kuncoro, 1996).

Di alam kondisi kualitas batubara dijumpai sangat bervariasi, baik secara

vertikal maupun lateral, antara lain bervariasinya kandungan sulfur dan sodium,

kondisi roof dan floor, kehadiran parting dan pengotor, proses leaching. Kondisi

tersebut antara lain dipengaruhi oleh pembentukan batubara yang kompleks,

lingkungan pengendapan yang khas sebagai tempat terbentuknya batubara dan

proses-proses geologi yang berlangsung bersamaan atau setelah batubara terbentuk

(Kuncoro, 1996).

Kualitas batubara ditentukan oleh lingkungan pengendapan, aspek fisika, kimia, dan

biologi, yang akan mempengaruhi besarnya kandungan komponen penting dalam batubara

antara lain ash, fixed carbon, moisture, volatile matter, dan vitrinite reflectance kandungan

dari unsur – unsur tersebut mempengaruhi dalam besarnya kalori dan total gas content

dalam batubara. Kandungan komponen – komponen tersebut sangat penting dalam

mengetahui kualitas batubara.

Batubara yang terbentuk di lingkungan back barrier mempunyai kandungan sulfur

tinggi (>1%), demikian juga dengan di lingkungan lower delta plain kandungan sulfurnya

agak tinggi (0.7 % -1 %). Berbeda dengan yang terbentuk di lingkungan upper delta plain

yang kandungan sulfurnya rendah (0.1 % - 0.7 %). Suplai sulfat lebih banyak dari air laut

daripada air sungai, sehingga reaksi lebih mudah terjadi pada batubara yang berasosiasi

dengan kondisi marine.

2

Batubara menjadi sangat penting dan perlu dipelajari karena merupakan salah satu aspek

penting dalam usaha mengembangkan kegiatan penambangan batubara sebagai penggerak

roda ekonomi dan pegembangan batubara sebagai sumber energi baru yaitu sebagai

reservoar coalbed methane. Berdasarkan uraian di atas maka perlu dilakukan penelitian

mengenai hubungan antara kualitas batubara dengan lingkungan pengendapan pembentuk

batubara dengan judul “Analisis Fasies dan Karakteristik Pertrofisik Batubara Seam CBM 2,

Formasi Balikpapan, Lapangan “X”, Cekungan Kutai, Berdasarkan Data Log Sumur dan Inti

Batuan”.

I.2. Batasan Masalah

Pembahasan penelitian ini dibatasi pada :

1. Bagaimana lingkungan pengendapan batubara seam CBM2, Formasi

Balikpapan, Cekungan Kutai di daerah studi berdasarkan atas data

data log sumur dan inti batuan?

2. Bagaimana geometri lapisan batubara pada lapangan “X’, seam

CBM2, Formasi Balikpapan, Cekungan Kutai?

3. Bagaimana karekteristik petrofisik batubara pada lapangan “X”, seam

CBM2, Formasi Balikpapan, Cekungan Kutai?

4. Bagaimana penyebaran lapisan reservoar yang berpotensi pada

lapangan “X”, seam CBM2, Formasi Balikpapan, Cekungan Kutai?

Permasalahan ini diharapkan dapat dipecahkan dalam penelitian ini untuk

memberi nilai tambah dalam pengembangan lapangan selanjutnya.

I.3. Maksud dan Tujuan Penelitian

Maksud dari penelitian skripsi ini adalah untuk menerapkan ilmu yang telah

didapatkan di bangku kuliah dalam praktek yang sebenarnya di lapangan kerja.

Diharapkan tercapai kesinambungan antara teori dengan pengalaman kerja yang

didapatkan dari perusahaan serta merupakan salah satu syarat yang wajib

dilaksanakan dalam memenuhi persyaratan Sarjana Strata-1 pada Program Studi

Teknik Geologi, Fakultas Teknologi Mineral, UPN “Veteran” Yogyakarta.

3

Tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Mengetahui lingkungan pengendapan batubara seam CBM2, Formasi

Balikpapan, Cekungan Kutai di daerah studi berdasarkan atas data log sumur

dan inti batuan.

2. Mengetahui geometri lapisan batubara pada lapangan “X”, seam CBM 2,

Formasi Balikpapan, Cekungan Kutai.

3. Mengetahui karekteristik petrofisik batubara pada lapangan “X”, seam

CBM2, Formasi Balikpapan, Cekungan Kutai.

4. Mengetahui penyebaran lapisan reservoar yang berpotensi pada lapangan

“X”, seam CBM2, Formasi Balikpapan, Cekungan Kutai.

I. 4. Lokasi dan Waktu Penelitian

Tahap pengumpulan dan analisis data dalam tugas akhir ini dilaksanakan

selama kurang lebih tiga bulan, yaitu mulai tanggal 1 Maret sampai dengan 31 Mei

2011 yang dilanjutkan dengan penyusunan karya tulis tugas akhir. Sedangkan untuk

pengambilan dan pengolahan data, dilaksanakan di VICO Indonesia. Fokus kajian

tugas akhir ini yaitu pada lapangan “X”, Cekungan Kutai, Kalimantan Timur

(Gambar I.4).

4

Gambar 1.4. Lokasi Daerah Penelitian ( dalam Laporan Internal VICO Indonesia)

I.5. Hasil Penelitian

Dengan melakukan skripsi ini yang berjudul “Analisis Fasies Batubara dan

Karakteristik Petrofisik Formasi Balikpapan, Lapangan “X”, Cekungan Kutai

Berdasarkan Data Log Sumur dan Inti Batuan”, diharapkan hasil telitian yang

didapatkan adalah :

1. Kalibrasi data core dan data log sumur seam CBM2

2. Model penyebaran parameter batubara seam CBM2

5

3. Interpretasi daerah potensial untuk eksplorasi coalbed methane dan daerah

yang potensial untuk eksplorasi batubara sebagai bahan bakar yang

ekonomis.

4. Interpretasi fasies dan lingkungan pengendapan seam CBM2

I.6 Manfaat Penelitian

Manfaat keilmuan yang didapatkan adalah :

1. Penelitian ini dapat memberikan kesempatan bagi mahasiswa untuk

menerapkan ilmu geologi secara langsung di dunia industri minyak dan

gas, sehingga mahasiswa mengetahui cara dan langkah kerja nyata dalam

pengintegrasian data untuk memberikan hasil analisis yang maksimal.

2. Mahasiswa mampu berfikir secara deskriptif, serta mampu menjawab dan

menyelesaikan persoalan di lapangan, sehingga dapat menerapkan dan

mengembangkan pengetahuan yang diperoleh di perguruan tinggi,

terutama penerapan ilmu geologi di dalam dunia industri minyak dan gas.

3. Membantu memecahkan permasalahan geologi yang berhubungan dengan

analisis dan intepretasi data bawah permukaan daerah telitian.

4. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi VICO

Indonesia untuk pengembangan Lapangan “X” sehingga dapat

mengoptimalkan hasil produksi pada” dan dapat memberikan gambaran

peta lokasi yang prospek pada Lapangan “X”.

6

BAB II

METODOLOGI PENELITIAN

Metode yang digunakan adalah pemetaan distribusi reservoar secara vertikal

dan lateral dengan mengintegrasikan data log sumur dan data inti batuan dengan

pendekatan sikuen stratigrafi.

Untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan, maka dilakukan empat tahap

utama dalam penelitian ini, meliputi tahap pendahuluan, tahap pengumpulan data,

tahap pengolahan dan analisis data, dan tahap penyusunan laporan.

II.1 Tahap Pendahuluan

Tahap pendahuluan ini adalah merupakan tahap persiapan yang dilakukan

penulis sebelum melakukan penelitian atau analisis data. Pada tahap pendahuluan hal

– hal yang dilakukan antara lain :

1. Penyusunan proposal penelitian serta kelengkapan administrasi

Pada tahap ini dilakukan dengan maksud melihat kesiapan mahasiswa

sebelum melakukan penelitian dan sesuai dengan peraturan atau ketentuan

yang telah dibuat oleh Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknologi

Mineral, Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta.

2. Kajian pustaka

Kegiatan ini dimaksudkan untuk memperoleh informasi dan gambaran

geologi daerah penelitian. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran

secara regional maupun lokal keadaan geologi daerah secara umum.

Termasuk pengumpulan dan pembahasan literatur-literatur Lapangan “X”

terdahulu.

7

3. Pengumpulan data yang akan dianalisis

Pengumpulan data berupa data sumur, data inti batuan, maupun data lain

yang menunjang penelitian.

II.2 Sumber Data

Data yang digunakan dalam melakukan peneletian meliputi data primer dan

data sekunder. Adapun data primer meliputi :

a. Data log sumur digunakan untuk studi sikuen stratigrafi, analisis fasies dan

perhitungan petrofisik yang dikombinasikan dengan hasil analisis fasies

dan hasil analisis proximate yang berupa perhitungan kandungan ash, fixed

carbon, moisture dan volatile matter dari data inti bor.

Sedangkan untuk data sekunder meliputi :

a. Penelitian terdahulu tentang geologi regional Cekungan Kutai dan

Lapangan Mutiara

b. Data diskripsi dan analisis inti bor untuk identifikasi fasies pengendapan,

lingkungan pengendapan, analisis volume Ash, Fixed Carbon, Moisture,

dan Volatile matter.

II.3 Pengolahan dan Analisis Data

Pada tahapan ini dilakukan analisis geometri dan kualitas reservoar.

Reservoar yang menjadi target penelitian adalah reservoar seam CBM 2 pada

Formasi Balikpapan.

Perangkat lunak pendukung yang digunakan yaitu :

a. Elan digunakan untuk analisis tiap sumur, antar sumur dan kalibrasi

data core dan data log sumur.

b. Petrel digunakan untuk membuat korelasi data log sumur, pembuatan

model pengendapan batubara dan non batubara, dan model

penyebaran parameter – parameter petrofisik batubara.

8

Tahapan ini secara garis besar mencakup beberapa tahap pengerjaan, yaitu:

a. Analisis data log sumur dan data batuan inti serta perhitungan

parameter petrofisik.

b. Korelasi antar sumur secara detil dan terbatas berdasarkan fasies

pengendapan.

c. Pembuatan model fasies pengendapan batubara dan model penyebaran

parameter – parameter petrofisik batubara.

Urut-urutan pelaksanaan penelitian ini dapat dilihat pada diagram alir berikut.

(Gambar2.1.).

II.4. Penulisan Laporan

Tahap akhir dari penelitian ini adalah penyajian data dan hasil akhir dari

penelitian yang dituangkan dalam bentuk tulisan dan gambar. Tulisan dan gambar

tersebut diintegrasikan dalam bentuk laporan skripsi.

9

Gambar 2.1. Diagram alir penelitian

10

BAB III

TINJAUAN GEOLOGI

III.1 Geologi Regional Cekungan Kutai

Cekungan Kutai dibatasi oleh Paternoster platform, Barito Basin, dan

Pegunungan Meratus ke selatan, dengan Schwaner Blok ke barat daya, lalu Tinggian

Mangkalihat di sebelah utara - timur laut, dan Central Kalimantan Mountains (Moss

dan Chambers, 1999) untuk barat dan utara (Gambar 3.1.1). Cekungan Kutai

memiliki sejarah yang kompleks (Moss et al., 1997), dan merupakan satu-satunya

cekungan Indonesia yang telah berevolusi dari internal rifting fracture/foreland basin

ke marginal-sag.. Sebagian besar produk awal pengisi Cekungan Kutai telah terbalik

dan diekspos (Satyana et al., 1999), pada Miosen Tengah sampai Miosen Akhir

sebagai akibat dari terjadinya tumbukan / kolusi block Micro Continent. Dari

peristiwa ini menyebabkan adanya pengangkatan cekungan, perubahan sumbu

antiklin dan erosi permukaan yang mengontrol sedimentasi pada Delta Mahakam.

Delta Mahakam terbentuk di mulut sungai Mahakam sebelah timur pesisir pulau

Kalimantan. Dengan garis pantainya berorientasi arah NE-SW dan dibatasi oleh Selat

Makasar, selat yang memisahkan pulau Kalimantan dan Sulawesi.

Gambar 3.1 Peta Regional Cekungan Kutei

(modifikasi dari Paterson et al, 1997 dalam Mora 2001)

Lokasi telitian

11

III.1.1 Tatanan Tectonic Cekungan Kutai

Tatanan tectonic cekungan kutai dapat diringkas sebagai berikut (Gambar 3.1.2).

• Awal Synrift (Paleosen ke Awal Eosen): Sedimen tahap ini terdiri dari

sedimen aluvial mengisi topografi NE-SW dan NNE-SSW hasil dari trend

rifting di Cekungan Kutai darat. Mereka menimpa di atas basemen kompresi

Kapur akhir sampai awal Tersier berupa laut dalam sekuen.

• Akhir Synrift (Tengah sampai Akhir Eosen): Selama periode ini, sebuah

transgresi besar terjadi di Cekungan Kutai, sebagian terkait dengan rifting di

Selat Makassar, dan terakumulasinya shale bathial sisipan sand.

• Awal Postrift (Oligosen ke Awal Miosen): Selama periode ini, kondisi bathial

terus mendominasi dan beberapa ribu meter didominasi oleh akumulasi shale.

Di daerah structural shallow area platform karbonat berkembang

• Akhir Postrift (Miosen Tengah ke Kuarter): Dari Miosen Tengah dan

seterusnya sequence delta prograded secara major berkembang terus ke laut

dalam Selat Makassar, membentuk sequence Delta Mahakam, yang

merupakan bagian utama pembawa hidrokarbon pada cekungan. Berbagai

jenis pengendapan delta on – dan offshore berkembang pada formasi

Balikpapan dan Kampungbaru, termasuk juga fasies slope laut dalam dan

fasies dasar cekungan. Dan juga hadir batuan induk dan reservoir yang sangat

baik dengan interbedded sealing shale. Setelah periode ini, proses erosi ulang

sangat besar terjadi pada bagian sekuen Kutai synrift.

12

Gambar 3.1.2. Tectonic Setting Cekungan Kutai (Mora et al 2003)

III.1.2. Struktur Geologi Regional Cekungan Kutai

Seperti halnya beberapa cekungan di Asia Tenggara lainnya, half graben

terbentuk selama Eosen sebagai akibat dari fase ekstensional atau pemekaran

regional (Allen dan Chambers, 1998). Pemekaran ini merupakan manifestasi

tumbukan sub lempeng Benua India dengan lempeng Benua Asia yang memacu

pemekaran di sepanjang rangkaian strike-slip fault dengan arah baratlaut-tenggara

(NW-SE) yang merupakan reaktifasi struktur sebelumnya, yaitu sesar Adang- Lupar

dan sesar Mangkalihat.

Cekungan ini mulai terisi endapan sedimen transgresif pada kala Eosen

Akhir hingga Oligosen. Kemudian diikuti oleh sekuen regresif pada kala Miosen

Awal yang merupakan inisiasi kompleks Delta Mahakam saat ini. Proses progadasi

Delta Mahakam meningkat dengan sangat signifikan pada kala Miosen Tengah, yaitu

ketika tinggian Kuching di bagian Barat terangkat dan inversi pertama terjadi.

Progradasi tersebut masih berlangsung hingga saat ini. Inversi Kedua terjadi pada

13

masa Mio-Pliosen, ketika bagian lempeng Sula-Banggai menabrak Sulawesi dan

menghasilkan mega shear Palu-Koro.

Pembentukan dan perkembangan struktur utama yang mengontrol sub

Cekungan Kutai Bawah erat kaitannya dengan proses tektonik Inversi Kedua, yaitu

struktur-struktur geologi dengan pola kelurusan arah timurlaut-baratdaya (NNE-

SSW). Menurut Allen dan Chambers, (1998) pola ini dapat terlihat pada struktur

umum yang tersingkap di Cekungan Kutai saat ini, yaitu berupa jalur sesar-sesar

anjakan dan kompleks rangkaian antiklin/antiklinorium.

Perkembangan struktur lainnya adalah pola kelurusan berarah

baratlauttenggara (NW-SE), berupa sesar-sesar normal yang merupakan manifestasi

pelepasan gaya utama yang terbentuk sebelumnya. Sesar-sesar ini terutama berada di

bagian utara cekungan, memotong sedimen berumur Miosen Tengah dan bagian lain

yang berumur lebih tua.

II.1.2.1 Struktur Geologi Daerah Telitian

Struktur geologi yang berkembang di daerah telitian adalah perlipatan antiklin.

Perlipatan antiklin ini berarah relatif utara timur laut – selatan barat daya, hal tersebut

dapat diketahui berdasarkan dari kenampakan pada peta geologi daerah telitian

(Gambar 3.1.2.1), serta laporan internal VICO indonesia. Pola-pola struktur yang

berkembang pada daerah telitian mengikuti pola struktur Cekungan Kutai yaitu pola

anticlinorium yang berarah relatif utara timur laut – selatan barat daya. Struktur pada

daerah telitian dikontrol oleh gaya kompresi pada Cekungan Kutai yang berhubungan

dengan pemekaran lantai samudra (sea floor spreading) di selat Makasar pada akhir

Tersier.

14

Gambar 3.1.2.1. Peta Geologi Daerah Telitian (dalam Laporan Internal VICO Indonesia)

II.2. Stratigrafi Regional Cekungan Kutai

Satyana et all, 1999 dalam An Outline Of The Geology Of Indonesia, 2001

melakukan penelitian dan menyusun stratigrafi Cekungan Kutai dari tua ke muda

sebagai berikut :

1. Formasi Beriun

Formasi Beriun terdiri dari batulempung, selang seling batupasir dan

batugamping. Formasi Beriun berumur Eosen Tengah – Eosen Akhir dan

diendapkan dalam lingkungan fluviatil hingga litoral.

2. Formasi Atan

Diatas Formasi Beriun terendapkan Formasi Atan yang merupakan hasil dari

pengendapan setelah terjadi penurunan cekungan dan pengendapan pada

15

Formasi Beriun. Formasi Atan terdiri dari batugamping dan batupasir kuarsa.

Formasi Atan berumur Oligosen Awal.

3. Formasi Marah

Formasi Marah Diendapakan secara selaras diatas Formasi Atan. Formasi

Marah terdiri dari batulempung, batupasir kuarsa dan batugamping berumur

Oligosen Akhir.

4. Formasi Pamaluan

Diendapkan pada kala Miosen Awal hingga Miosen Akhir di lingkungan

neritik, dengan ciri litologi batulempung, serpih, batugamping, batulanau dan

sisipan batupasir kuarsa. Formasi ini diendapkan dalam lingkungan delta

hingga litoral.

5. Formasi Bebulu

Diendapkan pada kala Miosen Awal hingga Miosen Tengah di lingkungan

neritik. Ciri litologi Formasi Bebulu adalah batugamping.

6. Formasi Pulubalang

Formasi Pulubalang diendapkan selaras di atas Formasi Pamaluan, terdiri dari

atas selang-seling pasir lanauan dengan disipan batugamping tipis dan

batulempung. Umur dari formasi ini adalah Miosen Tengah dan diendapkan

pada lingkungan sub litoral, kadang-kadang dipengaruhi oleh marine influx.

Formasi ini mempunyai hubungan menjari dengan Formasi Bebulu yang

tersusun oleh batugamping pasiran dengan serpih.

7. Formasi Balikpapan

Formasi Balikpapan diendapkan secara selaras di atas Formasi Pulubalang.

Formasi ini terdiri dari selang seling antara batulempung dan batupasir

dengan sisipan batubara dan batugamping di bagian bawah. Data pemboran

yang pernah dilakukan di Cekungan Kutai membuktikan bahwa Formasi

Balikpapan diendapkan dengan sistem delta, pada delta plain hingga delta

front. Umur formasi ini Miosen Tengah – Miosen Akhir.

8. Formasi Kampungbaru

Formasi Kampung Baru ini berumur Mio-Pliosen, terletak di atas Formasi

Balikpapan, terdiri dari selang-seling batupasir, batulempung dan batubara

16

dengan disipan batugamping tipis sebagai marine influx. Lingkungan

pengendapan formasi ini adalah delta.

9. Formasi Mahakam

Formasi Mahakam terbentuk pada kala Pleistosen – sekarang. Proses

pengendapannya masih berlangsung hingga saat ini, dengan ciri litologi material

lepas berukuran lempung hingga pasir halus.

Tabel 3.2 Kolom Stratigrafi Cekungan Kutai (Satyana et all. 1999)

17

III.2.1. Stratigrafi Daerah Telitian

Secara regional, daerah penelitian termasuk pada Formasi Balikpapan.

Formasi Balikpapan terdiri dari beberapa formasi, yaitu Formasi Mentawir, Formasi

Maruat, dan Formasi Klandasan. Formasi Balikpapan diendapkan pada Kala Miosen

tengah.

Pada derah telitian ini terdapat Formasi Balikpapan tersusun atas litologi

dominan batupasir yang berselingan dengan litologi batulempung dan perlapisan

batubara ( Tabel 2.2.1).

Tabel 3.2 Kolom Stratigrafi Daerah Telitian (Penulis)

18

BAB IV

DASAR TEORI

Dasar teori berisi tentang pengertian dan pengetahuan dasar mengenai data-

data yang digunakan dalam penelitian. Serta berisi tentang teori yang berhubungan

dengan studi fasies dan karakteristik petrofisik batubara.

IV.1. Pengertian Batubara

Secara umum batubara dapat diartikan sebagai bahan bakar hidrokarbon yang

terbentuk dari tumbuhan dalam lingkungan bebas oksigen dan terkena pengaruh

panas serta tekanan yang berlangsung lama sekali. Secara garis besar batubara terdiri

dari zat organik, air dan bahan mineral. Batubara dapat diklasifikasikan menurut

tingkatan yaitu lignit, sub bituminous, bituminous dan antrasit (Tabel 4.1, 4.2).

Penyebaran endapan batubara di Indonesia cukup meluas baik di Indonesia

bagian barat maupun Indonesia bagian timur. Kebanyakan terdapat di cekungan-

cekungan batubara pada beberapa tempat di Pulau Sumatera dan Pulau Kalimantan,

seperti Cekungan Sumatera Selatan, Cekungan Kutai, Cekungan Barito dan

sebagainya.

Definisi batubara dapat ditinjau dari beberapa aspek yaitu sifat fisiknya, asal

kejadiannya, dan pemanfaatannya. Untuk memberikan gambaran mengenai

pengertian batubara secara umum oleh beberapa penulis dapat diuraikan sebagai

berikut :

1) Thiessen (1947) mendefinisikan batubara sebagai berikut :

Batubara adalah suatu benda padat yang kompleks, terdiri dari bermacam-

macam unsur yang mewakili banyak komponen kimia, dimana hanya sedikit dari

komponen kimia tersebut yang dapat diketahui. Pada umumnya benda padat

19

tersebut homogen, tetapi hampir semua berasal dari sisa-sisa tumbuhan. Sisa-sisa

tumbuhan tersebut sangat kompleks, terdiri dari berbagai macam tissue dimana

setiap tissue terdiri dari beberapa sel. Dengan sendirinya akan berkomposisi

sejumlah komponen kimia dalam perbandingan yang bervariasi. Jadi dapat

disimpulkan bahwa batubara adalah suatu benda padat organik yang mempunyai

komposisi kimia yang sangat rumit.

2). Wolf (1984)

Batubara adalah batuan sedimen yang dapat terbakar, berasal dari tumbuh-

tumbuhan (komposisi utamanya karbon, hidrogen, dan oksigen), berwarna coklat

sampai hitam, sejak pengendapannya terkena proses kimia dan fisika yang

mengakibatkan terjadinya pengkayaan kadungan karbonnya.

Dari kedua definisi yang telah diuraikan diatas, maka dapat diambil suatu

rangkuman pengertian batubara adalah suatu karbonat berlapis yang terbentuk oleh

akumulasi sisa-sisa tumbuhan bersama hasil dekomposisinya yang terawetkan dalam

lapisan sedimen dan menjadi kaya akan unsur karbon dengan adanya proses

diagenesis.

Tabel 4.1 Tabel Klasifikasi Batubara Berdasarkan Vitrinite Reflectance menurut Ward (1984)

20

Tabel 4.2 Tabel Klasifikasi Batubara Berdasarkan ASTM Coal Rank

IV.2. Model Geologi untuk Pengendapan Batubara

Model geologi untuk pengendapan batubara menerangkan hubungan antara

genesa batubara dan batuan sekitarnya baik secara vertikal maupun lateral pada suatu

cekungan pengendapan dalam kurun waktu tertentu.

IV.2.1 Lingkungan Pengendapan dan Fasies Batubara

Identifikasi bermacam lingkungan pengendapan ditunjukkan oleh semua

komponen sistem pengendapan dan letak lapisan batubara pada lingkungan modern

berdasarkan studi lingkungan pengendapan dengan didukung data dari tambang

batubara, pemboran, dan profil singkapan.

a. Lingkungan Pengendapan Barrier

Ke arah laut batupasir butirannya semakin halus dan berselang seling

dengan serpih gampingan merah kecoklatan sampai hijau. Batuan karbonat

dengan fauna laut ke arah darat bergradasi menjadi serpih berwarna abu-abu

gelap sampai hijau tua yang mengandung fauna air payau. Batupasir pada

lingkungan ini lebih bersih dan sortasi lebih baik karena pengaruh gelombang

dan pasang surut.

21

b. Lingkungan Pengendapan Back-Barrier

Lingkungan ini terutama disusun oleh urutan perlapisan serpih abu-

abu gelap kaya bahan organik dan batulanau yang terus diikuti oleh batubara

yang secara lateral tidak menerus dan zona siderit yang berlubang. Lingkungan

back barrier : batubaranya tipis, pola sebarannya memanjang sejajar sistem

penghalang atau sejajar jurus perlapisan, bentuk lapisan melembar karena

dipengaruhi tidal channel setelah pengendapan atau bersamaan dengan proses

pengendapan dan kandungan sulfurnya tinggi.

Gambar 4.2.1. Penampang Lingkungan Pengendapan pada bagian Back Barrier (Horne,1978)

c. Lingkungan Pengendapan Lower Delta Plain

Endapan yang mendominasi adalah serpih dan batulanau yang mengkasar ke

atas. Pada bagian bawah dari teluk terisi oleh urutan lempung-serpih abu-abu

gelap sampai hitam, kadang-kadang terdapat mudstone siderit yang

penyebarannya tidak teratur. Pada bagian atas dari sekuen ini terdapat batupasir

dengan struktur ripples dan struktur lain yang ada hubungannya dengan arus. Hal

ini menunjukkan bertambahnya energi pada perairan dangkal ketika teluk terisi

endapan yang mengakibatkan terbentuk permukaan dimana tanaman

menancapkan akarnya, sehingga batubara dapat terbentuk. Lingkungan lower

delta plain: batubaranya tipis, pola sebarannya umumnya sepanjang channel atau

jurus pengendapan, bentuk lapisan ditandai oleh hadirnya splitting oleh endapan

crevase splay dan kandungan sulfurnya agak tinggi.

22

Gambar 4.2.2. Penampang Lingkungan Pengendapan pada bagian Lower Delta Plain

(Horne,1978)

d. Lingkungan Pengendapan Upper Delta Plain-Fluvial

Endapan didominasi oleh bentuk linier tubuh batupasir lentikuler dan pada

bagian atasnya melidah dengan serpih abu-abu, batulanau, dan lapisan batubara.

Mineral batupasirnya bervariasi mulai dari lithic greywackearkose, ukuran butir

menengah sampai kasar. Di atas bidang gerus terdapat kerikil lepas dan hancuran

batubara yang melimpah pada bagian bawah, makin ke atas butiran menghalus

pada batupasir. Dari bentuk batupasir dan pertumbuhan point bar menunjukkan

bahwa hal ini dikontrol oleh meandering. Endapan levee dicirikan oleh sortasi

yang buruk, perlapisan batupasir dan batulanau yang tidak teratur hingga

menembus akar. Ketebalannya bertambah apabila mendekati channel dan

sebaliknya. Lapisan pembentuk endapan alluvial plain cenderung lebih tipis

dibandingkan endapan upper delta plain. Lingkungan upper delta plain – fluvial:

batubaranya tebal dapat mencapai lebih dari 10 m, sebarannya meluas cenderung

memanjang sejajar jurus pengendapan, tetapi kemenerusan secara lateral sering

23

terpotong channel, bentuk batubara ditandai hadirnya splitting akibat channel

kontemporer dan washout oleh channel subsekuen dan kandungan sulfurnya

rendah.

Gambar 4.2.3. Penampang Lingkungan Pengendapan pada bagian Upper Delta Plain-Fluvial

(Horne,1978)

e. Lingkungan Pengendapan Transitional Lower Delta Plain

Zona diantara lower dan upper delta plain dijumpai zona transisi yang

mengandung karakteristik litofasies dari kedua sekuen tersebut. Disini sekuen

bay fill tidak sama dengan sekuen upper delta plain ditinjau dari kandungan

fauna air payau sampai marin serta struktur burrowed yang meluas. Endapan

channel menunjukkan kenampakan migrasi lateral lapisan piont bar accretion

menjadi channel pada upper delta plain. Channel pada transitional delta plain ini

berbutir halus daripada di upper delta plain, dan migrasi lateralnya hanya satu

arah. Levee berasosiasi dengan channel yang menebal dan menembus akar secara

meluas daripada lower delta plain. Batupasir tipis crevasse splay umum terdapat

pada endapan ini, tetapi lebih sedikit banyak daripada di lower delta plain namun

tidak sebanyak di upper delta plain. Lingkungan transitional lower delta plain :

batubaranya tebal dapat lebih dari 10 m, tersebar meluas cenderung memanjang

jurus pengendapan, tetapi kemenerusan secara lateral sering terpotong channel,

24

bentuk lapisan batubara ditandai splitting akibat channel kontemporer dan

washout oleh channel subsekuen dan kandungan sulfurnya agak rendah.

Gambar 4.2.4. Penampang Lingkungan Pengendapan pada bagian Transitional Lower Delta

Plain (Horne,1978)

Gambar 4.2.5. Model lingkungan pengendapan batubara di lingkungan delta (J.CHorne et. Al.,

1979 ; modifikasi dari Ferm, 1976)

VI.3. Model Pengendapan Delta Mahakam

Delta merupakan garis pantai yang menjorok ke laut, terbentuk oleh adanya

sedimentasi sungai yang memasuki laut, danau atau laguna dan pasokan sedimen

lebih besar daripada kemampuan pendistribusian kembali oleh proses yang ada pada

25

cekungan pengendapan (Elliot, 1986 dalam Allen, 1997) Menurut Boggs, 1987

(Dalam Allen, 1998), delta diartikan sebagai suatu endapan yang terbentuk oleh

proses sedimentasi fluvial yang memasuki tubuh air yang tenang (Gambar 4.3.2).

Dataran delta menunjukkan daerah di belakang garis pantai dan dataran delta bagian

atas (Upper Delta Plain) didominasi oleh proses sungai dan dapat dibedakan oleh

pengaruh laut terutama penggenangan tidal. Delta terbentuk karena adanya suplai

material sedimentasi dari sistem fluvial. Ketika sungai – sungai pada sistem fluvial

tersebut, terbentuk pula morfologi delta yang khas dan dapat dikenali pada setiap

sistem yang ada. Morfologi delta secara umum terdiri dari tiga yaitu : delta plain,

delta front dan prodelta (Gambar 4.3.1)

VI.3.1. Delta Plain

Menurut Allen (1998) Delta plain merupakan bagian delta yang terdiri dari

channel yang sudah ditinggalkan. Delta plain merupakan bagian dataran dari delta

dan terdiri atas endapan sungai yang lebih dominan daripada endapan laut dan

membentuk suatu dataran rawa – rawa yang didominasi oleh material sedimen

berbutir halus, seperti serpih organik dan batubara. Pada kondisi iklim yang

cenderung kering (semi-arid), sedimen yang terbentuk didominasi oleh lempung dan

evaporit. Dataran delta plain tersebut digerus oleh channel pensuplai material

sedimen dan membentuk suatu percabangan. Gerusan – gerusan tersebut biasanya

mencapai kedalaman 5 – 10 meter dan menggerus sampai pada sedimen delta front.

Sedimen pada channel tersebut disebut sandy channel dan membentuk distributary

channel yang dicirikan oleh batupasir lempungan. Sublingkungan delta plain dibagi

menjadi :

VI.3.1.1 Upper Delta Plain

Menurut Allen (1998), upper delta plain terbentuk diatas area tidal

atau laut dan endapannya secara umum terdiri dari :

1. Endapan distributary channel

Endapan distributary channel terdiri dari endapan braded dan meandering

levee dan endapan point bar. Endapan distributary channel ditandai dengan

26

adanya bidang erosi pada bagian dasar urutan fasies dan menunjukkan

kecenderungan menghalus ke atas. Struktur sedimen yang umum dijumpai

adalah cross bedding, ripple cross stratification scoure and fill dan lensa –

lensa lempung. Endapan point bar terbentuk apabila terputus dari

channelnya. Sedangkan levee alami berasosiasi dengan distributary channel

sebagai tanggul alam yang memisahkan dengan interdistibutary channel.

Sedimen pada bagian ini berupa pasir halus dan rombakan material organik

serta lempung yang terbentuk sebagai hasil luapan material selama terjadinya

banjir.

2. Lacustrine delta fill dan endapan interdistributary flood plain

Endapan interdistributary channel merupakan endapan yang diantara

distributary channel. Lingkungan ini mempunyai kecepatan arus paling kecil,

dangkal, tidak berelief dan proses akumulasi sedimen lambat. Pada

interdistributary channel dan flood plain area terbentuk suatu endapan yang

berukuran lanau samapi lempung yang sangat dominan. Struktur sedimennya

adalah laminasi sejajar dan burrowing structure endapan pasir yang bersifat

lokal, tipis dan kadang banjir sebagai pengaruh gelombang.

VI.3.1.2. Lower Delta Plain

Lower delta plain terletak pada daerah dimana terjadi interaksi antara

sungai dengan laut, yaitu low tidemark sampai batas kehadiran yang

dipengaruhi pasang–surut. Litologinya didominasi oleh urutan serpih dan

batulanau yang mengkasar kearah atas. Pada bagian bawah terisi oleh urutan

lempung-serpih yang merupakan litologi dominan, kadang – kadang terdapat

batugamping dan mudstone siderit yang sebenaryna tidak teratur. Pada bagian

atas terdapat batupasir dengan struktur ripple dan struktur lain yang

berhubungan dengan arus, hal ini menunjukkan bertambahnya energi pada

perairan dangkal ketika teluk terisi endapan. Umunya daerah ini mengandung

fosil laut (moluska) atau air payau dan struktur burrow. Fosil – fosil ini

biasanya melimpah di bagian bawah serpih-lempung (Allen, 1998)

27

VI.3.2. Delta Front

Menurut Allen (1998) Delta front merupakan sublingkungan dengan energi

yang tinggi dan sedimen secara tetap dipengaruhi oleh adanya proses pasang-surut,

arus laut sepanjang pantai dan aksi gelombang. Delta front terbentuk pada

lingkungan laut dangkal dan akumulasi sedimennya berasal dari distributary

channel. Batupasir yang diendapkan dari distributary channel tersebut membentuk

endapan bar yang berdekatan dengan teluk atau mulut distributary channel tersebut.

Pada penampang stratigarfi, endapan bar tersebut memperlihatkan distribusi butiran

mengkasar ke atas dalam skala yang besar dan menunjukkan perubahan fasies secara

vertikal ke atas, mulai dari endapan lepas pantai atau prodelta yang berukuran butir

halus ke fasies garis pantai yang disominasi batupasir. Diantara bar dan mulut

distributary channel akan terakumulasi lempung lanauan atau lempung pasiran dan

bergradasi menjadi lempung ke arah laut.

Menurut Coleman (1969) dan Fisher (1969) dalam Galloway (1990),

lingkungan pengendapan delta front dapat dibagi menjadi beberapa sublingkungan

dengan karakteristik asosiasi fasies yang berbeda, yaitu :

1. Subaqueous Levees

Merupakan kenampakan fasies endapan delta front yang berasosiasi dengan

active channel mouth bar. Fasies ini sulit untuk didentifikasi dan dibedakan

dengan fasies lainnya pada endapan delta masa lampau.

2. Channel

Channel ditandai dengan adanya bidang erosi pada bagian dasar urutan fasies

dan menghalus ke atas. Struktur sedimen yang umumnya dijumpai adalah

cross bedding, ripple cross stratification scoure and fill.

3. Distributary Mouth Bar

Pada lingkungan ini terjadi pengendapan dengan kecepatan yang paling tinggi

dalam sistem pengendapan delta. Sedimen umumnya tersusun atas pasir yang

diendapkan melalui proses fluvial. Struktur sedimen yang dapat dijumpai

antara lain : current ripple, cross bedding dan massive graded bedding.

28

4. Distal Bar

Pada distal bar, urutan fasies cenderung menghalus ke atas, umumnya

tersusun atas pasir halus. Struktur sedimen yang umumnya dijumpai antara

lain : laminasi, perlapisan silang siur tipe through.

VI.3.3 Prodelta

Prodelta merupakan sublingkungan transisi antara delta front dan endapan

normal marine shelf yang berada di laur delta front. Prodelta merupakan kelanjutan

delta front ke arah laut dengan perubahan litologi dari batupasir bar ke endapan

batulempung dan selalu ditandai oleh zona lempungan tanpa pasir. Daerah ini

merupakan bagian distal dari delta, dimana hanya terdiri dari akumulasi lanau dan

lempung dan biasanya sendiri serta fasies mengkasar ke atas memperlihatkan transisi

dari lempungan prodelta ke fasies yang lebih batupasir dari delta front. Litologi dari

prodelta ini banyak ditemukan bioturbasi yang merupakan karakteristik endapan

laut. Struktur sedimen bioturbasi bermacam – macam sesuai dengan ukuran sedimen

dan kecepatan sedimennya. Struktur deformasi sedimen dapat dijumpai pada

lingkungan ini, sedangkan struktur sedimen akibat aktivitas gelombang jarang

dijumpai Prodelta ini kadang – kadang sulit dibedakan dengan endapan paparan

(shelf), tetapi pada prodelta ini sedimennya lebih tipis dan memperlihatkan pengaruh

proses endapan laut yang tegas (Allen, 1998).

Gambar 4.3.1. Morfologi lingkungan pengendapan pada delta (Allen, 1998)

29

Gambar 4.3.2 Model lingkungan pengendapan delta Mahakam (Allen, 1998)

Gambar 4.3.3. Pembagian lingkungan pada delta dengan ciri khas endapannya

(Allen et.al, 1998)

30

IV.4. Geometri Lapisan Batubara

Lapisan batubara umumnya dicirikan mempunyai koefisien variasi rendah

dengan geometri dan distribusi kadar sederhana, unsur-unsur utamanya mudah

dievaluasi, sedangkan unsur-unsur minor sulit dievaluasi. Secara umum geometri

lapisan batubara memang lebih sederhana bila dibandingkan dengan endapan mineral

yang lain (Spero Carras, 1984 dalam B. Kuncoro 2000). Meskipun demikian,

kenyataan di lapangan, selain ditemukan lapisan yang melampar luas dengan

ketebalan menerus dan dalam urutan yang teratur, juga dijumpai lapisan batubara

yang tersebar tidak teratur, tidak menerus, menebal, menipis, terpisah dan

melengkung dengan geometri yang bervariasi. Maka geometri menjadi perlu

dipelajari dan dipahami secara baik karena merupakan salah satu aspek penting di

dalam usaha mengembangkan industri pertambangan batubara. Adapun parameter

geometri lapisan batubara harus dikaitkan dengan kondisi penambangannya.

Pembagian parameter geometri lapisan batubara (Jeremic, 1985 dalam B. Kuncoro

2000) didasarkan pada hubungannya dengan terdapatnya lapisan batubara ditambang

dan kestabilan lapisannya meliputi :

1. Ketebalan

Ketebalan lapisan batubara adalah unsur penting yang langsung berhubungan

dengan perhitungan cadangan, perencanaan produksi, sistem penambangan dan umur

tambang. Oleh karena itu perlu diketahui faktor pengendali terjadinya kecenderungan

arah perubahan ketebalan, penipisan, pembajian, splitting dan kapan terjadinya.

Apakah terjadi selama proses pengendapan, antara lain akibat perubahan kecepatan

akumulasi batubara, perbedaan morfologi dasar cekungan, hadirnya channel, sesar,

dan proses karst atau terjadi setelah pengendapan, antara lain karena sesar atau erosi

permukaan. Pengertian tebal lapisan batubara tersebut adalah termasuk parting (gross

coal thickness), tebal lapisan batubara tidak temasuk parting (net coal thickness), dan

tebal lapisan batubara yang akan ditambang (mineable thickness).

2. Kemiringan

Besarnya kemiringan lapisan batubara berpengaruh terhadap perhitungan

cadangan ekonomis, dan sistem penambangan. Besarnya kemiringan harus

31

berdasarkan hasil pengukuran dengan akurasi tinggi. Dianjurkan pengukuran

kedudukan lapisan batubara menggunakan kompas dengan metode dip direction

sekaligus harus mempertimbangkan kedudukan lapisan batuan yang mengapitnya

(interburden).

3. Pola sebaran lapisan batubara

Pola sebaran lapisan batubara akan berpengaruh pada penentuan batas

perhitungan cadangan dan pembagian blok penambangan. Oleh karena itu, faktor

pengendalinya harus diketahui, yaitu apakah dikendalikan oleh struktur lipatan

(antiklin, sinklin, menunjam), homoklin, struktur sesar dengan pola tertentu atau

dengan pensesaran yang kuat.

4. Kemenerusan lapisan batubara

Selain jarak kemenerusan, maka faktor pengendalinya juga perlu diketahui,

yaitu apakah kemenerusannya dibatasi oleh proses pengendapan, split, sesar, intrusi

atau erosi. Misal pada split, kemenerusan lapisan batubara dapat terbelah oleh bentuk

membaji dari lapisan sedimen bukan batubara. Berdasarkan penyebabnya dapat

karena proses sedimentasi (autosedimentational splitt) atau tektonik yang ditujukan

oleh perbedaan penurunan dasar cekungan yang mencolok akibat sesar ( Werbroke,

1981 dalam Diessel, 1992). Oleh karena itu, pemahaman yang baik tentang split akan

sangat membantu pada :

a. Kegiatan eksplorasi untuk menentukan sebaran lapisan batubara dan

penentuan perhitungan cadangan.

b. Kegiatan penambangan hadirnya split dengan kemiringan sekitar 450

yang umumnya disertai dengan perubahan kekompakkan batuan,

maka akan menimbulkan masalah dalam kegatan tambang terbuka,

kestabilan lereng, dan kestabilan atap pada operasi penambangan

bawah tanah.

5. Keteraturan lapisan batubara

Keteraturan lapisan batubara ditentukan oleh pola kedudukan lapisan

batubara (jurus dan kemiringan) artinya apakah pola lapisan batubara dipermukaan

32

menunjukkan pola teratur (lurus, melengkung/meliuk pada elevasi yang hampir

sama) atau membentuk pola yang tidak teratur.

6. Bentuk lapisan batubara

Merupakan perbandingan antara tebal lapisan batubara dan kemenerusannya,

apakah melembar, membaji, melensa atau bongkah. Bentuk melembar merupakan

bentuk yang umum dijumpai, oleh karena itu selain bentuk melembar, maka perlu

dijelaskan faktor-faktor pengendalinya.

7. Roof dan Floor

Kondisi roof dan floor, meliputi jenis batuannya, kekerasan, jenis kontak,

kandungan karbonnya, bahkan sampai tingkat kerekatannya dalam kondisi kering

maupun basah. Kontak batubara dengan roof merupakan fungsi dari proses

pengendapannya.pada kontak yang tegas menunjukan proses yang tiba-tiba,

sebaliknya pada proses yang berlangsung lambat diperlihatkan oleh kontak yang

berangsur kandungan karbonnya. Roof banyak mengandung fosil, sehingga baik

untuk korelasi.

Litologi pada floor lebih bervariasi, seperti serpih, batulempung, batalanau,

batupasir, batugamping, atau soil yang umumnya masif. Bila berupa seatearth

umumnya mengandung akar tumbuhan, berwarna abu-abu cerah sampai coklat,

plastis, merupakan tanah purba tempat tumbuhan hidup, tidak mengandung alkali,

kandungan kalium dan besi rendah. Terjadi karena proses perlindihan oleh air yang

jenuh asam humik dari pembusukan tanaman.

8. Cleat

Cleat adalah kekar di dalam lapisan batubara, khususnya pada batubara

bituminous yang ditunjukkan oleh serangkaian kekar yang sejajar, umumnya

mempunyai orientasi yang berbeda dengan kedudukan lapisan batubara. Adanya

cleat dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu: mekanisme pengendapan,

petrografi batubara, derajat batubara, tektonik (struktur geologi), dan aktivitas

penambangan.

33

Berdasarkan genesanya dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu :

a. Endogenous cleat, dibentuk oleh adanya gaya internal akibat pengeringan

atau penyusustan material organik. Umunya tagak lurus bidang perlapisan

sehingga bidang kekar cenderung membagi lapisan batubara menjadi

fragmen-fragmen tipis yang tabular.

b. Exogenic cleat, dibentuk oleh gaya ekternal yang berhubungan dengan

kejadian tektonik. Mekanismenya tergantung dari karakteristik lapisan

pembawa batubara. Cleat ini terorientasi pada arah tegasan utama dan terdiri

dari dua pasang kekar yang saling memebentuk sudut.

c. Induced cleat, bersifat lokal akibat proses penambangan dengan adanya

perpindahan beban kedalam struktur tambang. Frekuensi induced cleat

tergantung pada tata letak tambang dan macam teknologi penambangan yang

digunakan.

besarnya pengaruh cleat menjadi penting untuk dipelajari dan diketahui

karena kehadiran dan orientasi cleat antara lain akan mempengaruhi pemilihan tata

letak tambang, arah penambangan, penerapan teknologi penambangan, proses

pengolahan batubara, penumpukan batubara, dan bahkan pemasaran batubara .

Oleh karena itu, perekaman data cleat tidak hanya terbatas pada kedudukan

dan kisaran jarak antar cleat, tetapi perlu dilengkapi dengan merekam jenis, pengisi,

pengendali terbentuknya.

9. Pelapukan

Tingkat pelapukan penting karena berhubungan dengan dimensi lapisan

batubara, kualitas, perhitungan cadangan dan penambangannya. Oleh karena itu

karakteristik pelapukan dan batas pelapukan harus ditentukan.

VI.5. Proses Pembentukan Gas Methane pada Batubara

Gas methane dalam batubara terbentuk akibat proses pembatubaraan

(Gambar4.4). Proses ini diawali dengan proses diagenesa gambut disebut juga

dengan tahap biokimia yang melibatkan perubahan kimia dan mikroba dimana pada

proses ini dimulai dengan dari proses pembentukan gambut yang merupakan hasil

34

dari aktivitas mikroba dan perubahan kimia. Kemudian dilanjutkan dengan tahap

pembatubaraan (coalification) tahap ini melibatkan perubahan kimia dan fisika serta

mengakibatkan perubahan batubara dari lignit sampai dengan antrasit. Tingkat

kematangan batubara ini Berhubungan dengan temperatur dan lamanya pemanasan

yang kemudian dengan semakin bertambahnya temperatur dan seiring dengan

bertambahnya waktu maka akan menyebabkan bertambahnya tekanan. Gas dalam

batubara dapat tebentuk secara biogenik maupun thermogenik.

Gambar 4.5. Proses Pembatubaraan (dalam Coalbed methane characteristics of the Gates

Formation coals, northestern British Columbia: effect of maceral composition, menurut

Lamberson, M.N. and Bustin, R.M., 1993)

1. Biogenik Gas

Biogenik gas terutama dalam bentuk gas methane CH4 dan CO2. Gas – gas ini

merupakan hasil dari penguraian bahan organik yang disebabkan oleh

mikroorganisme. Biogenik gas dapat terjadi dalam dua tahap, yaitu tahap awal dan

tahap akhir dari proses pembatubaraan.

• Tahap awal pembentukan gas biogenik : pada tahap ini gas terbentuk akibat

adanya aktivitas organisme pada awal proses pembatubaraan, dari

terbentuknya lignit sampai dengan subbituminous (Ro < 0.5 %).

35

Pembentukan gas ini diikuti dengan proses pengendapan yang sangat cepat,

karena jika tidak ada pengendapan yang cepat maka gas yang terbentuk tidak

akan tersimpan dalam batubara dan gas tersebut akan menguap ke atmosfer.

• Tahap akhir pembentukan gas biogenik : pada tahap ini gas terbentuk karena

adanya aktivitas mikroorganisme pada saat setalah lapisan batubaranya

sendiri terbentuk. Lapisan batubara yang terbentuk itu umumnya merupakan

aquifer, aktivitas mikroorganisme dalam aquifer tersebut dapat menghasilkan

gas methane. Proses ini dapat terjadi pada batubara dari semua rank batubara.

2. Thermogenik Gas

Thermogenik gas merupakan gas yang terbentuk pada tahap yang lebih tinggi

dari proses pembatubaraan. Gas ini terbentuk biasanya pada batubara yang telah

mencapai kualitas high volatile bituminous sampai dengan antasit. Proses

bituminisasi akan menghasilkan batubara yang kaya dengan kandungan karbon

dengan melepaskan kandungan utama volatile matter seperti methane, CO2 dan air.

VI.6. Maseral Pada Batubara

Maseral pada batubara analog dengan mineral pada batuan. Maseral

merupakan bagian terkecil dari batubara yang bisa teramati dengan mikroskop.

Maseral dikelompokan berdasarkan tumbuhan atau bagian tumbuhan menjadi tiga

grup (Gambar 4.6), yaitu :

1. Vitrinite

Vitrinite adalah maseral yang paling dominan dalam batubara. Maceral ini

berasal dari batang pohon, cabang, atau dahan, tangkai, daun, dan akar tumbuhan

pembentuk batubara. Nilai reflectance dari Vitrinite dijadikan penentu peringkat

batubara, dan sering dikorelasikan dengan nilai volatile matter seperti yang

terdapat pada ASTM standard.

2. Liptinite (Exinite)

Seperti namanya, Liptinite berasal dari spora, resin, alga, cutikula (yang terdapat

pada permukaan daun) lilin/parafin, lemak dan minyak. Suberinite, tidak

tercantum diatas, hanya terdapat pada batubara tersier. Maseral ini berasal dari

substansi semacam gabus yang terdapat pada kulit kayu, dan pada permukaan

36

akar, batang dan buah - buahan. Fungsi dari maseral ini sebenarnya untuk

mencegah pengeringan pada tanaman.

3. Inertinite

Material pembentuk inertinite sebenarnya sama dengan pembentuk Vitrinite.

Yang membedakannya adalah historikal pembentukannya yang disebut

fusination. Charring atau oksidasi pada saat proses pembentukan batubara

berlangsung merupakan proses yang membedakan substansi Vitrinite dan

Inertinite. Inertinite ini biasanya memiliki kadar carbon yang tinggi, hydrogen

yang rendah serta derajat aromatisisty yang tinggi.

Gambar 4.6. Klasifikasi Maseral

(dalam Part II Coal, Reservoir Issue menurut Crain.E. R. (Ross),P.Eng, 2010,)

IV.7. Data Batuan Inti (Core)

Batuan inti merupakan data bawah permukaan yang sangat penting sekaligus

merupakan satu-satunya data yang secara langsung memperlihatkan bukti nyata

kondisi bawah permukaan dan kondisi batuan itu sendiri. Pada coalbed methane data

core atau data inti batuan lebih lengkap lagi, yaitu dengan melakukan analisis

proximate, ultimate, dan total gas content.

VI.7.1. Analisis Proximate

Analisis proximate batubara adalah metode laboratorium yang sederhana

untuk menentukan komponen yang ada pada batubara, yang diperoleh pada saat

37

sampel batubara dipanaskan (pyrolisis) dibawah kondisi tertentu. Sampel batubara

diekstraksi dari sampel core kemudian ditempatkan pada canister untuk menjaga gas

dalam batubara tidak berkurang. Analisis ini menggunakan metode standar

berdasarkan ASTM D12, analisis proximate dikelompokkan menjadi :

• Ash

• Fixed carbon

• Volatile matter

• Moisture

Analisis ini berdasarkan standar ASTM D3172. Masing – masing pengukuran

ke empat parameter tersebut sangat penting dalam proses CBM.

Kandungan Ash pada batubara merupakan material yang tidak mudah

terbakar. Ash mewakili bulk mineral matter setelah karbon, oksigen, belerang dan

air (termasuk air yang ada didalam batulempung) yang telah dikeluarkan selama

proses pembakaran. Analisis ini cukup sederhana, dengan batubara secara

menyeluruh bakaran dan material Ash dinyatakan sebagai persentase yang berat.

Kandungan fixed carbon pada batubara merupakan kandungan batubara yang

tersisa setelah material volatile dihilangkan. Fixed carbon berbeda dengan

kandungan ultimate carbon dalam batubara karena beberapa carbon dalam

hidrocarbon akan hilang dengan volatile.

Kandungan moisture memiliki efek pada methane adsorption capacity.

Kandungan moisture ditentukan (ASTM D-3173) dengan cara memanaskan sampel

batubara yang berukuran kecil selama 1 jam pada vacuum atau pada atmosphere

nitrogen. Berat yang hilang pada sampel dinyatakan dalam percent yang kemudian

akan dilaporkan sebagai kandungan moisture. Analisis proximate biasanya

dilaporkan dalam bentuk percent ( % ) sebagai :

As received (ARB) = semua parameter (moisture, volatile matter, fixed

carbon, ash)

Ash free (AF) = tanpa ash

Dry = tanpa moisture

Dry, ash-free (DAF) = tanpa ash dan moisture

38

IV.7.2. Analisis Ultimate

Analisis Ultimate mencakup penentuan persen berat dari carbon, sulfur,

nitrogen, oksigen dan hidrogen. Pengukuran atau penentuan carbon termasuk cabon

organik yang merupakan bagian dari batubara. Pengukuran atau penentuan hidrogen

termasuk hidrogen yang hadir sebagai material organik maupun hidrogen yang

berasosiasi dengan air yang ada didalam batubara. Tidak adanya bukti yang

bertentangan, nitogen diasumsikan hadir pada organik matrix pada batubara.

Sebaliknya sulfur hadir dalam tiga bentuk dalam batubara :

1. Sulfur sebagai komponen organik

2. Anorganik Sulfides, umumnya kebanyakan hadir sebagai iron sulfides pyrite

dan marcasite (FeS2)

3. Anorganik sulfates, (seperti Na2SO4, CaSO4).

Nilai dari sulfur dapat dihasilkan dari analisis ultimate, tergantung pada

keadaan batubara dan beberapa metode prior untuk pembersihan batubara, anorganik

sulfur dan organik sulfur. Metode standar untuk analisis ultimate dari batubara

(ASTM D-3176) termasuk penentuan atau pengukuran elemen carbon, hidrogen,

sulfur dan nitrogen.

IV.7.3. Analisis Total Gas Content

Kandungan gas dalam batubara adalah parameter yang paling penting

mengetahui seberapa besar kandungan gas yang ada pada reservoir. Pengukuran

kandungan gas pada batubara dapat dilakukan di lapangan dan di laboratorium.

1. Pengukuran kandungan gas dalam batubara yang dilakukan di laboratorium

Pengukuran ini dibagi menjadi dua metode, yaitu :

• Metode pertama adalah berdasarkan desorpsi, perlahan alami gas dari

batubara. Pada metode ini, sampel batubara, dimasukkan dalam tabung

dan gas yang berasal dari batubara kemudian dikumpulkan dalam sebuah

gelas ukur terbalik dan kemudian akan menggalami perpindahan yang

dengan bantuan air ke dalam silinder.

• Metode kedua tergantung pada seberapa halus ukuran butir batubara, pada

metode ini batubara dihancurkan terlebih dahulu, hal tersebut dilakukan

39

dengan tujuan untuk mempercepat laju desorpsi gas. Metode ini

digunakan untuk mengetahui kandungan gas pada suatu lapisan batubara

(seam batubara), Metode pengukuran ini dilakukan di dalam ruangan

dengan membutuhkan waktu selam 2 hingga 3 jam.

2. Pengukuran kandungan gas dan kompsisisi gas dilapangan :

Pengukuran ini dilakukan untuk mencegah terjadinya kebocoran gas

pada saat batubara dibawa ke laboratorium dan pengukuran ini juga

dilakukan untuk mengetahui dengan cepat kandungan gas pada batubara

tersebut. Sehingga untuk melakukan pengukuran ini dibutuhkan

menggunakan laboratorium mobile CBM yang merupakan kendaraan yang

dilengkapi dengan coal gas laboratory instruments. Laboratorium mobile

mampu untuk mengukur kandungan gas dan komposisi gas. Dengan

kendaraan ini, laboratorium dapat berada di lokasi pengeboran, sehingga

dapat menggurangi waktu untuk, mengirim tabung batubara ke laboratorium

dan mengurangi resiko adanya kebocoran gas selama transportasi.

IV.8. Data Log Sumur (Well Log)

Log merupakan suatu grafik kedalaman (bisa juga waktu) dari suatu data set

yang menunjukkan parameter yang diukur secara berkesinambungan di dalam sebuah

sumur (Harsono, 1997). Adapun parameter-parameter yang bisa diukur adalah sifat

kelistrikan (spontaneous potensial), tahanan jenis batuan, daya hantar listrik, sifat

keradioaktifan dan sifat meneruskan gelombang suara. Metode perekamannya

dengan menggunakan cara menurunkan suatu sonde atau sensor ke dasar lubang

pemboran. Beberapa jenis log yang digunakan dalam eksplorasi CBM diantaranya

adalah: (Gambar 4.7.)

40

Gambar 4.8. Visualisasi Batubara pada Log Sumur

a. Log Gamma Ray ( GR )

Prinsip log GR adalah perekaman radioaktivitas alami bumi. Radioaktivitas

GR berasal dari 3 unsur radioaktif yang ada dalam batuan yaitu Uranium – U,

Thorium – Th, dan Potasium – K, yang secara continue memancarkan GR dalam

bentuk pulsa – pulsa energi radiasi tinggi. Sinar Gamma ini mampu menembus

batuan dan dideteksi oleh sensor sinar gamma yang umumnya berupa detektor

sintilasi. Setiap GR yang terdeteksi akan menimbulkan pulsa listrik pada

detektor. Parameter yang direkam adalah jumlah dari pulsa yang tercatat per

satuan waktu (sering disebut cacah GR).

41

Batubara biasanya mempunyai respon natural gamma ray yang rendah

karena batubara murni mengandung unsur – unsur radioaktif alami yang rendah.

Tetapi kadang – kadang, pembacaan gamma ray lebih tinggi pada batubara

karena batubara teresebut mengandung mineral lempung yang kaya akan unsur-

unsur radioaktif alami. Peningkatan proses resolusi vertikal pada pengukuran

natural gamma ray dapat direkombenasikan dalam praktek aplikasi pada CBM.

Proses matematik ini mengurangi resolusi vertikal pada pengukuran, sharpening

the bed boundary membantu menyelidiki batubara secara teliti dan akhirnya akan

mendapatkan hasil yang lebih akurat dalam pengukuran ketebalan batubara.

b. Log Spontaneous Potensial (SP)

Kurva Log SP adalah rekaman perbedaan potensial antara elektroda yang

bergerak didalam lubang bor dengan elektroda dipermukaan yang disebabkan oleh

adanya 3 fenomena, yaitu : perbedaan salinitas antara fluida yang ada pada lubang

bor dan fluida yang ada pada reservoar, streaming potential, dan electrochemical

invasion. Pada batubara defleksi Spontaneous potential (SP) menunjukkan

permeabilitas pada batubara. Hal tersebut dapat terjadi karena adanya kombinasi

dari perbedaan salinitas dan streaming potential effects.

c. Log Resistivity

Alat pengukur resistivitas dibagi menjadi 2, yaitu : induction-based tool dan

lateralog. Alat pengukuran resistivitas yang sering digunakan dalam aplikasi CBM

adalah Induction-based tool. Umumnya batubara memiliki pengukuran resistivitas

yang tinggi pada batubara yang murni. Sedangkan pada batubara yang telah

terkontaminasi oleh mineral – mineral atau pengotor seperti mineral lempung,

pyrites, volcanic dan fluida yang mengisi cleat maka resistivitas pada batubara

tersebut dapat berkurang. Alat pengukuran resistivitas lateralog digunakan untuk

mengidentifikasi batubara yang permeabel dan batubara non permeabel. Batubara

permeabel dicirikan adanya invasion profile sedangkan batubara yang tight

menunjukan resistivitas yang sangat tinggi dengan tidak ada invasi.

42

d. Log Density

Log density merupakan suatu tipe log porositas yang mengukur densitas

elektron suatu formasi. Prinsip pencatatan dari log density adalah suatu sumber

radioaktif yang dimasukkan kedalam lubang bor mengemisikan sinar gamma ke

dalam formasi. Pada formasi tersebut sinar akan bertabrakan dengan elektron dari

formasi. Pada setiap tabrakan sinar gamma akan berkurang energinya. Sinar

gamma yang terhamburkan dan mencapai detektor pada suatu jarak tertentu dari

sumber dihitung sebagai indikasi densitas formasi. Jumlah tabrakan merupakan

fungsi langsung dari jumlah elektron didalam suatu formasi. Karena itu log

densitas dapat mendeterminasi densitas elektron formasi dihubungkan dengan

densitas bulk sesungguhnya didalam gr/cc. Harga densitas matrik batuan,

porositas, dan densitas fluida pengisi formasi. Log density merupakan log yang

sangat baik digunakan untuk megidentifikasi batubara. Pada log ini batubara

memiliki harga density yang rendah karena batubara memiliki density matrix

yang rendah.

Kandungan komponen kuarsa, seperti kuarsa yang berbutir halus dapat

memberikan efek yang sangat besar dalam pembacaan log density. Hal tersebut

dapat menyebabkan porositas semu batubara akan menurun sedangkan density

batubara akan meningkat.

e. Log Neutron

Log neutron merupakan tipe log porositas yang mengukur konsentrasi ion

hidrogen dalam suatu formasi. Di dalam formasi bersih di mana porositas diisi

air atau minyak, log neutron mencatat porositas yang diisi cairan. Neutron energi

tinggi yang dihasilkan oleh suatu sumber kimia ditembakkan ke dalam formasi,

sebagai akibatnya neutron kehilangan energinya. Kehilangan energi maksimum

akan terjadi pada saat neutron bertabrakan dengan atom hidrogen karena kedua

materi tersebut mempunyai massa yang hampir sama. Karena itu kehilangan

energi maksimum merupakan fungsi dari konsentrasi hidrogen dalam formasi,

karena dalam formasi yang sarang hidrogen terkonsentrasi didalam pori-pori

43

yang terisi cairan, maka kehilangan energi akan dapat dihubungkan dengan

porositas formasi. Log neutron merupakan salah satu log yang baik dalam

mengidentifikasi batubara. Pada log ini batubara memiliki harga neutron tinggi

karena umumnya batubara banyak mengandung unsur Hidrogen. Tetapi,

kandungan komponen ash yang lain, seperti kuarsa yang berbutir halus, dapat

mengurangi porositas neutron pada batubara.

f. Log Sonik

Log sonik merupakan suatu log yang mengukur interval waktu lewat dari

suatu gelombang suara kompressional untuk melalui suatu feet formasi. Interval

waktu lewat dengan satuan mikrodetik per kaki merupakan kebalikan kecepatan

gelombang suara kompresional (satuan feet per detik). Harga log sonik

tergantung pada litologi dan porositas. Pada log ini batubara memiliki porositas

yang tinggi. Kandungan mineral lempung pada batubara tidak memiliki pengaruh

yang besar terhadap pembacaan porosity pada log ini. Hal tersebut karena

porositas pada mineral lempung murni memiliki kisaran yang sama dengan

porositas batubara. Tetapi, kandungan komponen ash yang lainnya, seperti

kuarsa yang berbutir halus dapat menyebabkan penurunan porosity pada

batubara.

IV.9. Korelasi

Korelasi merupakan langkah penentuan unit stratigrafi dan struktur yang

mempunyai persamaan waktu, umur dan posisi stratigrafi. Korelasi digunakan untuk

keperluan pembuatan penampang dan peta bawah permukaan untuk kemudian

dilakukan evaluasi formasi, penentuan zona produktif atau ada tidaknya perubahan

secara lateral dari masing-masing perlapisan. Dalam pelaksanaannya, korelasi

melibatkan aspek seni dan ilmu, yaitu memadukan persamaan pola dan prinsip

geologi, termasuk dalam proses dan lingkungan pengendapannya, pembacaan dan

analisis log, dasar teknik reservoar serta analisis kualitatif dan kuantitatif. Data yang

dipakai dalam korelasi umumnya adalah integrasi data core, data wireline log dan

data seismik.

44

Korelasi adalah suatu pekerjaan menghubungkan suatu titik pada suatu

penampang stratigrafi dengan titik lain dari penampang stratigrafi yang lain pula

dengan anggapan bahwa titik-titik tersebut terletak pada perlapisan yang sama.

Dalam sandi stratigrafi Indonesia (1996) disebutkan korelasi adalah penghubungan

titik-titik kesamaan waktu atau penghubungan satuan-satuan stratigrafi dengan

mempertimbangkan kesamaan waktu.

Tujuan Korelasi

• Mengetahui dan merekontruksi kondisi bawah permukaan (struktur dan

stratigrafi) serta mengetahui penyebaran lateral maupun vertikal dari zona

hidrokarbon (penentuan cadangan).

• Merekontruksi paleogeografi daerah telitian pada waktu geologi tertentu,

yaitu dengan membuat penampang stratigrafi.

• Menafsirkan kondisi geologi yang mempengaruhi pembentukan hidrokarbon,

migrasi dan akumulasinya didaerah telitian.

• Menyusun sejarah geologi daerah telitian.

Faktor-faktor yang menjadikan dasar korelasi :

• Tujuan pekerjaan korelasi

• Tingkat kompleksitas struktur geologi daerah telitian.

• Tingkat perkembangan dan penyebaran endapan secara lateral ditinjau dari

aspek litologis maupun paleontologis.

• Waktu yang tesedia.

• Jenis data dan tingkat kelengkapannya.

• Kemampuan dan pengalaman peneliti.

Konsep penting dalam korelasi :

a. Bidang pelapisan adalah unsur utama pembentuk satuan stratigrafi dan bentuk-

bentuk struktur sekaligus menentukan hubungan stratigrafi dan tektonik dari

masing-masing satuan dan bentuk-bentuk struktur tersebut.

45

b. Bidang perlapisan merupakan bidang kesamaan waktu.

c. Hukum superposisi.

Metode korelasi menurut Koesoemadinata (1971), yaitu :

a. Metode Organik

Metode korelasi organik merupakan pekerjaan menghubungkan satuan-

satuan stratigrafi berdasarkan kandungan fosil dalam batuan (biasanya

foraminifera planktonik). Yang biasa digunakan sebagai marker dalam korelasi

organik adalah asal munculnya suatu spesies dan punahnya spesies lain. Zona

puncak suatu spesies, fosil indek, kesamaan derajat evolusi dan lain-lain.

b. Metode Anorganik

Pada metode korelasi anorganik penghubungan satuan-satuan stratigrafi

tidak didasarkan pada kandungan organismenya (data organik).

Korelasi dari Log Mekanik

Sebagian besar pekerjaan korelasi pada industri minyak dan gas bumi

menggunakan data log mekanik. Tipe-tipe log yang biasa digunakan antara lain log

penafsir litologi (GR, SP) yang dikombinasikan dengan log resistivitas atau log

porositas (densitas, neutron dan sonik). Pemilihan tipe log untuk korelasi tergantung

pada kondisi geologi daerah yang bersangkutan. Kombinasi log SP dan resistivitas

biasa digunakan pada cekungan silisiklastik sementara, untuk cekungan karbonat

digunakan log GR kombinasi dengan log resistivity atau log GR kombinasi dengan

log neutron.

Prosedur korelasi

Langkah-langkah korelasi dengan log mekanik adalah sebagai berikut :

a. Menentukan horison korelasi dengan cara membandingkan log mekanik dari

suatu sumur tertentu terhadap sumur yang lain dan mencari bentuk-bentuk atau

pola-pola log yang sama atau hampir sama.

46

b. Setelah bentuk atau pola log yang relatif sama didapatkan dan telah dinyakini

pula bahwa bentuk dan pola tersebut mewakili perlapisan yang sama,

selanjutnya dilakukan pekerjaan menghubungkan bentuk-bentuk kurva yang

sama atau hampir sama dari bagian atas kearah bawah secara kontinyu. Korelasi

secara top down dihentikan jika korelasi tidak bisa dilakukan lagi, kemudian

korelasi dilakukan secara bottom up. Adanya zona-zona yang tidak bisa

dikorelasikan dapat ditafsirkan kena pengaruh struktur (patahan,

ketidakselarasan) atau stratigrafi (pembajian, channel fill, pemancungan,

perubahan fasies).

c. Setelah korelasi selesai dilakukan akan didapatkan penampang melintang, baik

penampang struktur maupun penampang stratigrafi. Dalam pembuatan

penampang struktur datum diletakkan pada kondisi seperti pada keadaan saat ini

(biasanya sea level sebagai datum).

IV.10. Elektrofasies

Elektrofasies dianalisis dari pola kurva log gamma ray (GR). Menurut Selley

(1978) dalam Walker (1992), log gamma ray mencerminkan variasi dalam satu

suksesi ukuran besar butir. Suatu suksesi ukuran besar butir tersebut menunjukkan

perubahan energi pengendapan (Levy, 1991). Tiap-tiap lingkungan pengendapan

menghasilkan pola energi pengendapan yang berbeda. Menunjukkan lima pola

bentuk dasar dari kurva log GR, sebagai respons terhadap proses pengendapan.

Berikut ini adalah penjelasan mengenai bentuk dasar kurva log: (Gambar 4.8)

a. Cylindrical

Bentuk silinder pada log GR atau log SP dapat menunjukkan sedimen tebal

dan homogen yang dibatasi oleh pengisian channel (channel-fills) dengan

kontak yang tajam. Cylindrical merupakan bentuk dasar yang mewakili

homogenitas dan ideal sifatnya. Bentuk cylindrical diasosiasikan dengan

endapan sedimen braided channel, estuarine atau sub-marine channel fill,

anastomosed channel, eolian dune, tidal sand.

47

b. Irregular

Bentuk ini merupakan dasar untuk mewakili heterogenitas batuan reservoar.

Bentuk irregular diasosiasikan dengan regressi alluvial plain, floodplain,

tidal sand, shelf atau back barriers. Umumnya mengidentifikasikan lapisan

tipis silang siur (thin interbedaed). Unsur endapan tipis mungkin berupa

creavasse splay, overbanks regressi dalam laguna serta turbidit.

c. Bell Shape

Profil berbentuk bell menunjukkan penghalusan ke arah atas, kemungkinan

akibat pengisian channel (channel fills). Pengamatan membuktikan bahwa

range besar butir pada setiap level cenderung sama, namun jumlahnya

memperlihatkan gradasi menuju berbutir halus (dalam arti lempung yang

bersifat radioaktif makin banyak ke atas). Bentuk bell dihasilkan oleh

endapan point bars, tidal deposits, transgresive shelfsands (Dominated tidal),

sub marine channel dan endapan turbidit.

d. Funnel shape

Profil berbentuk corong (funnel) menunjukkan pengkasaran regresi atas yang

merupakan bentuk kebalikan dari bentuk bell. Bentuk funnel kemungkinan

dihasilkan regresi progradasi seperti sub marine fan lobes, regressive shallow

marine bar, barrier islands atau karbonat terumbu depan yang berprogradasi

di atas mudstone, delta front (distributary mounth bar), creavase splay, beach

dan barrier beach (barrier island), strandplain, shoreface, prograding

(shallow marine) shelf sands dan submarine fan lobes.

e. Symmetrical-Asymetrical Shape

Bentuk symmetrical merupakan kombinasi antara bentuk bell-funnel.

Kombinasi coarsening-finning upward ini dapat dihasilkan oleh proses

bioturbasi. Selain tatanan secara geologi yang merupakan ciri dari shelf sand

bodies, submarine fans dan sandy offshore bars. Bentuk asymmetrical

merupakan ketidakselarasan secara proporsional dari kombinasi bell-funnel

pada lingkungaan pengendapan yang sama.

48

Gambar 4.10. Pola respon dari log gamma ray (GR)

(Kendall, 2003 modifikasi dari Emery 1996)

49

BAB V

PENYAJIAN DATA

Penelitian fasies batubara dan karakteristik petrofisik batubara Lapangan “X”,

Formasi Balikpapan, seam CBM2, Cekungan Kutai menggunakan data inti batuan

dan data log sumur. Data inti batuan dan data log sumur mempergunakan 8 buah

sumur. Data tersebut dapat diperinci sebagai berikut :

V.1. Data Inti Batuan

Dalam penelitian ini mempergunakan data inti batuan dari 8 buah sumur

dengan rincian data yang didapatkan pada Tabel 5.1. Data tersebut dapat digunakan

untuk mengidentifikasi faises dan karakteristik petrofisik dari batubara, lapangan

“X”, Formasi Balikpapan, seam CBM2, Cekungan Kutai.

Tabel 5.1. Data Inti Batuan yang tersedia pada sumur

Sumur Analisis Proximate

Analisis Ultimate

Calorific Value

(Kcal/kg)

Helium Pycnometric

Density (g/cc)

Bulk Density (g/cc)

Mean Vitrinite

Reflectance (% Ro)

Analisis Maceral

Deskripsi Inti

Batuan (Core)

X-1

X-2 X-3 X-4 X-5 X-6 X-7 X-8

50

V. 2. Data Log Sumur

Dalam penelitian mempergunakan data log sumur dari 8 buah sumur dengan

rincian pada Tabel 5.2 dan contoh tampilan log dapat X 1 ( Gambar 5.1 ). Data log

sumur ini dapat digunakan untuk mengidentifikasi fasie dan karakteristik petrofisik

dari batubara lapangan “X”, Formasi Balikpapan, seam CBM2, Cekungan Kutai.

Tabel 5.1. Data Log yang tersedia pada sumur.

Sumur GR Resistivity

RHOB NPHI DT AO10 AO20 AO30 AO60 AO90

X-1

X-2 X-3 X-4 X-5 X-6 X-7 X-8

51

Gambar 5.2. Contoh kurva log sumur X-1

52

BAB VI

HASIL PENELITIAN & PEMBAHASAN

Berdasarkan metode penelitian yang telah dikemukakan sebelumnya, analisis

analisis lingkungan pengendapan, analisis geometri seam, analisis petrofisik dan

analisis penyebaran parameter petrofisik berdasarkan berdasarkan data core dan data

wireline log dari delapan sumur. Penelitian ini difokuskan pada formasi lapisan

batubara seam CBM 2 yang berperan sebagai reservoar.

VI.1 Analisis Lingkungan Pengendapan

Analisis lingkungan pengendapan batubara seam CBM2 menurut model

Horne, 1987 adalah lingkungan pengendapan Transitional Lower Delta Plain

(Gambar 6.1.1) hal ini ditunjukan juga dengan keberadaan batubara seam CBM2

yang tebalnya dapat mencapai lebih dari 10 m di daerah telitian dan juga dapat

ditunjukan dengan adanya pola log sumur yang sesuai dengan pola yang ada pada

lingkungan pengendapan Transitional Lower Delta Plain menurut Horne, 1987

(Gambar). Disamping itu seam CBM ini memiliki kandungan sulfur agak rendah dan

dibeberapa daerah terdapat spliting.

Gambar 6.1.1 Lingkungan Pengendapan Seam CBM 2 menurut Horne, 1978

Penulis melakukan analisis lingkungan pengendapan meurut model Horne,

1978 dengan cara mengidentifikasi pola-pola dari log sumur pada seam CBM 2. Pada

53

log sumur tersebut penulis mengidentifikasikan bahwa seam CBM 2 termasuk dalam

lingkungan pengendapan transitional lower delta plain. Karena pada log sumur

menunjukkan pola menghalus keatas yang menunjukkan adanya endapan channel,

swamp, interdistributary bay, dan creavasse splay (Gambar 6.1.2, 6.1.3, 6.1.4).

Gambar 6.1.2. Identifikasi pola log sumur X201 berdasarkan model Horne 1978

Gambar 6.1.3. Identifikasi pola log sumur X71 berdasarkan model Horne 1978

54

Gambar 6.1.4. Identifikasi pola log sumur X60 dengan menggunakan model Horne 1978

Analisis lingkungan pengendapan batubara seam CBM 2 menurut

Allen,1998 ini dilakukan dengan membuat korelasi stratigrafi. Pada korelasi

stratigrafi penulis menggunakan datum maximum flooding surface. Penulis memilih

datum tersebut karena maximum flooding surface adalah marine flooding surface

yang terbentuk pada waktu transgresi maksimum. Dimana maximum flooding

surface dapat menjadi batas antara proses pengendapan yang satu dengan yang

lainnya. Dari analisis lingkungan pengendapan menurut Allen, 1998 didapatkan

hasil seam CBM2 termasuk dalam lingkungan pengendapan Delta plain (Gambar

6.1.6.). Hal ini ditunjukkan pada korelasi stratigrafi (Gambar 6.1.7.) dimana adanya

endapan distributary channel yang berasosiasi dengan seam CBM2.

55

Gambar 6.1.6. Model Lingkungan Pengendapan Menurut Allen (1998)

Gambar 6.1.7. Korelasi Stratigrafi

Dari korelasi startigrafi tersebut maka penulis dapat melihat analisis

elektrofasies dari log gamma ray. analisis tersebut dapat digunakan dalam

mengidentifikasi lingkungan pengendapan seam CBM 2. Beberapa contoh

identifikasi analisis elektrofasies sebagai berikut : (Gambar 6.1.8, 6.1.9, 6.1.10).

Pada analisis elektrofasies ini didapatkan terdapat pola log berupa Cylindricall shape

yang cenderung menghalus keatas (finning upward) yang dapat diidentifikasikan

sebagai fasies distributary channel, kemudian terdapat juga pola log berupa bell

shape yang cenderung menghalus ke arah atas (finning upward) yang

diidentifikasikan sebagai faseis interdistibutary channel dan swamp. Berdasarkan

analisis elektrofasies maka didapatkan bahwa seam CBM 2 memiliki lingkungan

pengendapan delta plain.

56

Gambar 6.1.8. Analisis Elektrofasies Pada Sumur X201

Gambar 6.1.9 Analisis Elektrofasies Pada Sumur X71

57

Gambar 6.1.10 Analisis elektrofasies pada sumur X60

Dari analisis lingkungan pengendapan serta berdasarkan korelasi stratigrafi,

penulis mencoba membuat peta fasies batubara seam CBM 2 (Gambar 6.1.11)

dalam bentuk tiga dimensi. Pada peta fasies batubara ini penulis, membagi lima

lapisan, yang terdiri dari delta plain dan delta front. Pada peta fasies ini lapisan

batubara seam CBM 2 berada pada lapisan paling atas yang diendapakan pada

lingkungan delta plain.

58

Gambar 6.1.11. Peta fasies batubara seam CBM 2

VI.2. Analisis Geometri Batubara

Analisis geometri seam CBM 2 dilakukan dengan metode pembuatan peta

ketebalan batubara. Dari hasil pembuatan peta ketebalan dan peta kedalaman

batubara (Gambar 6.2.1, 6.2.2) dapat diketahui ketebalan batubara seam CBM 2

pada daerah telitian sekitar 5 – 35 ft. Selain itu penulis dapat mengidentifikasi arah

pengendapan seam CBM 2, yaitu Barat Laut – Tenggara hal tersebut dapat terlihat

dari arah garis konur pada peta ketabalan batubara. Disamping itu penulis dapat

mengidentifikasikan bahwa seam CBM 2 ini semakin menebal ke arah tenggara dan

menipis kearah barat laut hal tersebut terjadi karena dipengaruhi oleh lingkungan

pengendapan. Berdasarkan hasil overlay (Gambar 6.2.3) dari peta ketebalan dan

peta kedalaman batubara dapat diketahui beberapa daerah prospek yaitu berada di

kedalaman sekitar 4000 hingga 4400 ft dengan ketebalan batubara mencapai 35 ft

atau 11.67 m.

59

Gambar 6.2.1 Peta Ketebalan Batubara seam CBM 2

60

Gambar 6.2.2 Peta Kedalaman Batubara seam CBM 2

61

Gambar 6.2.3 OverlayPeta Ketebalan dan Peta Kedalaman Batubara seam CBM 2

62

VI.3. Analisis Petrofisik

Analisis petrofisik dapat dilakukan setelah terlebih dahulu melakukan

beberapa analisis data core yang telah didapatkan dari laboratorium berupa hasil

pengukuran dari beberapa analisis. Analisis tersebut mencakup analisis proximate,

analisis ultimate, analisis maceral dan analisis kandungan gas. Pada analisis

petrofisik ini menggunakan data yang dihasilkan dari analisis proximate, kemudian

dari data tersebut dilakukan analisis dengan membuat beberapa crossplot untuk

mendapat rumus yang dapat digunakan untuk melakukan perhitungan parameter

petrofisik dan pembuatan model penyebaran parameter petrofisik.

Dalam perhitungan petrofisik juga memerlukan nilai dari density ash dan

density batubara. Untuk mendapatkan nilai atau harga dari denisity ash dan density

batubara penulis membuat crossplot antara helium density dan % Ash

(Gambar.6.3.1). Penulis mengunakan helium density dan ash karena helium density

mempunyai hubungan yang baik dengan bahan anorganik seperti Ash.

Gambar.6.3.1 Crossplot antara Helium Density dengan %Ash

63

Dari crossplot diatas maka didapatkan :

Density batubara = 1.29

Density ash = 2.5

Sebelum penulis memilih parameter yang dapat digunakan untuk melakukan

perhitungan petrofisik. Terlebih dahulu penulis melakukan analisis dengan cara

membuat crossplot antara density dari data log dengan density dari data core berupa

bluk density (Gambar.6.3.2). Dari crossplot penulis mendapatkan hasil yang baik

yaitu density dari log dan density dari data core memiliki korelasi yang baik.

Sehingga penulis dapat menggunakan density dari data log (RHOB) dan density dari

data core untuk melakukan perhitungan petrofisik ke semua sumur yang ada.

Gambar.6.3.2. Crossplot antara density dari log dengan density dari core

64

Setelah mengetahui parameter yang dapat digunakan untuk melakukan

analisis dan perhitungan petrofisik, kemudian dilakukan analisis petrofisik pada salah

satu kompenen dari batubara, yaitu ash. Analisis ini dilakukan dengan membuat

crossplot antara % ash dengan RHOB ( Density dari Log ) (Gambar.6.1.3.) Dari

crossplot tersebut didapatkan rumus yang dapat digunakan untuk melakukan

perhitungan petrofisik dari komponen tersebut berupa % ash.

Gambar.6.3.3. Crossplot % Ash dan RHOB

Kemudian analisis ini dilanjutkan dengan melakukan analisis untuk

mendapatkan formula atau rumus yang dapat digunakan untuk menghitung

kandungan fixed carbon. Analisis ini dilakukan dengan membuat crossplot antara %

ash (ARB) dengan % fixed carbon (ARB) berdasarkan seam (Gambar.6.3.4). Dari

crossplot ini dapat diketahui bahwa crossplot pada semua seam relatif memiliki

kesamaan arah atau memiliki korelasi.

65

Gambar.6.3.4. Crossplot % Ash dan % Fixed Carbon

Kemudian analisis ini dilanjutkan dengan melakukan analisis untuk

mendapatkan formula atau rumus yang dapat digunakan untuk menghitung

kandungan moisture. Analisis ini dilakukan dengan membuat crossplot antara % ash

(ARB) dengan % moisture (ARB) berdasarkan seam (Gambar.6.3.5). Dari crossplot

tersebut dapat diketahui bahwa semua seam relatif memiliki kesaman arah dan

memiliki korelasi antara seam satu dengan seam yang lainnya.

Gambar.6.3.5. Crossplot antara % Ash dengan % Moisture

66

Terakhir dilakukan analisis untuk mendapatkan formula atau rumus yang

dapat digunakan untuk menghitung kandungan volatile matter. Analisis ini dilakukan

dengan membuat crossplot antar % ash (ARB) dengan % volatile matter (ARB)

berdasarkan seam (Gambar.6.3.6). Dari crossplot tersebut dapat diketahui bahwa

semua seam relatif memiliki kesaman arah dan memiliki korelasi antara seam satu

dengan seam yang lainnya. Dari crossplot ini juga didapatkan hasil bahwa semakin

tinggi kandungan volatile matter maka semakin juga rendah kandungan ash sehingga

dapat disimpulkan lebih lanjut dengan semakin banyak kandungan ash berarti

semakin sedikit juga kandungan gas yang ada ada pada batubara.

Gambar.6.3.6. Crossplot antara % Ash dengan % Volatile Matter

Dari semua crossplot tersebut dapat diketahui bahwa fixed carbon, moisture

dan volatile matter dari semua seam memiliki arah yang sama dan memiliki korelasi

antara seam satu dengan seam yang lainnya , sehingga untuk mendapatkan formula

atau rumus yang dapat digunakan untuk menghitung semua parameter tersebut.

Dapat dilakukan analisis dengan membuat satu crossplot antara % ash dengan semua

parameter (fixed carbon, moisture, dan volatile matter). (Gambar.6.3.7). Kemudian

dari hasil crossplot tersebut didapatkan formula untuk menghitung semua parameter

petrofisik yang kemudian dapat digunakan untuk membuat kalibrasi data log dan

67

data core, serta dapat digunakan dalam pembuatan model penyebaran parameter

petrofisik.

Gambar.6.3.7. Crossplot antara % Ash dengan % Semua Parameter ( Fixed Carbon, Moisture dan Volatile Matter)

Dari crossplot tersebut didapatkan beberapa formula yang dapat digunakan

untuk menghitung parameter – parameter petrofisik, sebagai berikut :

% Ash = (33.15 x RHOB) – 39.29

% Fixed Carbon = 44.73 – (0.547 x % Ash)

% Volatile Matter = 39.68 – (0.378 x % Ash)

% Moisture = 100 - % Ash - % Fixed Carbon - % Volatile Matter

Setelah penulis melakukan analisis dan mendapatkan formula yang dapat

digunakan untuk perhitungan parameter – parameter petrofisik. Kemudian penulis

melakukan analisis untuk mengetahui hubungan antara total gas content dengan

kandungan mean vitrinite reflectance dengan membuat crossplot (Gambar 6.3.8).

Dari crossplot tersebut penulis dapat mengetahui hubungan antara total gas content

68

dengan kandungan mean vitrinite reflectance, yaitu semakin tinggi kandungan mean

vitrinite reflectance maka semakin besar kandungan total gas dan berdasarkan

crossplot tersebut penulis mendapatkan formula yang dapat digunakan untuk

menghitung total gas content.

Gambar.6.3.8. Crossplot antara % Total Gas Content dengan % Mean Vitrinite Reflectance

VI.4. Kalibrasi Data Inti Batuan (Core) ke Data Log Sumur (Well Log)

Kalibrasi data inti batuan (core) dengan data log dapat dilakukan setelah

penulis melakukan analisis petrofisik. Karena dengan melakukan analisis petrofisik

penulis dapat mengetahui karakteristik petrofisik dari beberapa komponen penting

yang terkandung di dalam batubara dan dari hasil analisis petrofisik tersebut juga

penulis mendapatkan formula atau rumus yang dapat digunakan dalam melakukan

kalibrasi data inti batuan (core) dan data log. Kalibrasi ini sangat penting bagi

penulis untuk mengetahui hubungan dari data core dengan data log (Gambar.5.2.1).

Dari hasil kalibrasi yang dilakukan penulis didapatkan hasil yang baik. Sehingga

dapat diketahui hubungan antara data core dengan data log mempunyai korelasi.

Sehingga formula atau rumus yang didapatkan dari analisis petrofisik dapat

digunakan dalam perhitungan parameter petrofisik di sumur – sumur yang lainnya.

69

Gambar 6.4.1.Kalibrasi Data Inti Batuan (core) ke Data Log Sumur (Well Log)

VI.5. Analisis Penyebaran Parameter Petrofisik

Setelah dilakukan analisis kualitatif maupun kuantitatif yang menghasilkan

nilai dari parameter petrofisika, lalu diketahui ketebalan reservoar yang berpotensi

coalbed methane, selanjutnya dilakukan pembuatan peta. Pada penelitian ini

pembuatan peta dilakukan dengan menggunakan pendekatan geofisika yang

berisikan analisis variogram, sehingga menghasilkan peta simulasi yang

menggambarkan hubungan antar titik contoh pada jarak tertentu. Pemetaan ini

dilakukan pada Lapangan “X”, yang menjadi objek kajian penelitian. Peta Reservoar

dibuat terlebih dahulu, untuk mengetahui penyebaran batuan reservoar di daerah

kajian penelitian. Selanjutnya dibuat peta yang menunjukkan penyebaran properti

batuan seperti ash, fixed carbon, dan moisture, yang menggambarkan lapisan yang

berpotensi coalbed methane. Pembuatan peta properti batuan ini mengacu kepada

peta reservoar yang dibuat sebelumnya.

70

VI.5.1 Penyebaran Batubara dan Non Batubara

Peta ini menggambarkan penyebaran batubara yang ada pada daerah kajian

penelitian (Gambar 6.5.1.). Terlihat pada gambar, bahwa batubara yang ditunjukkan

oleh warna hitam, menyebar secara umum di bagian baratlaut menerus ke bagian

tengah hingga ke bagian tenggara sedangkan non batubara yang ditunjukkan oleh

warna kuning. Pada peta penyebaran ini juga dapat terlihat juga pola pengendapan

dari batubara tersebut.

Gambar.6.5.1.Peta penyebaran batubara dan non batubara

71

VI.5.2. Model Penyebaran Ash

Model ini menunjukkan penyebaran kandungan ash pada batubara pada zona

reservoar CBM 2 (Gambar 6.5.2.). Terlihat pada gambar pola penyebaran

kandungan ash mengikuti pola persebaran reservoar batubara. Setelah mendapatkan

model penyebaran kandungan ash, penulis membuat peta penyebaran kandungan ash

(Gambar 6.5.2.1) untuk mengetahui pola penyebaran kandungan ash pada seam

CBM 2. Sehingga dengan mengetahui pola sebaran kandungan ash tersebut dapat

diketahui beberapa daerah yang berpotensi sebagai reservoar untuk coalbed methane.

Gambar.6.5.2.Model Penyebaran Kandungan Ash

72

Gambar.6.5.2.1. Peta Penyebaran Kandungan Ash

73

VI.5.3. Model Penyebaran Fixed Carbon

Model ini menunjukkan penyebaran kandungan fixed carbon pada batubara

pada zona reservoar CBM 2 (Gambar 6.5.3.). Terlihat pada gambar pola penyebaran

kandungan fixed carbon mengikuti pola persebaran reservoar batubara. Setelah

mendapatkan model penyebaran kandungan fixed carbon, penulis membuat peta

penyebaran kandungan fixed carbon (Gambar 6.5.3.1) untuk mengetahui pola

penyebaran kandungan fixed carbon pada seam CBM 2. Sehingga dengan

mengetahui pola sebaran kandungan fixed carbon tersebut dapat diketahui beberapa

daerah yang berpotensi sebagai reservoar untuk coalbed methane.

Gambar.6.5.2.Model Penyebaran Kandungan Fixed Carbon

74

Gambar.6.5.3.1. Peta Penyebaran Kandungan Fixed Carbon

75

VI.5.4. Model Penyebaran Kandungan Moisture

Model ini menunjukkan penyebaran kandungan moisture pada batubara pada

zona reservoar CBM 2 (Gambar 6.5.4.). Terlihat pada gambar pola penyebaran

kandungan moisture mengikuti pola persebaran reservoar batubara. Setelah

mendapatkan model penyebaran kandungan moisture, penulis membuat peta

penyebaran kandungan moisture (Gambar 6.5.4.1) untuk mengetahui pola

penyebaran kandungan moisture pada seam CBM 2. Sehingga dengan mengetahui

pola sebaran kandungan moisture tersebut dapat diketahui beberapa daerah yang

berpotensi sebagai reservoar untuk coalbed methane.

Gambar.6.5.4. Model Penyebaran Kandungan Moisture

76

Gambar.6.5.4.1. Peta Penyebaran Kandungan Moisture

77

VI.5.5. Overlay Peta Kedalaman, Peta Ketebalan dan Peta Penyebaran

Kandungan Moisture

Setelah mengetahui model dari penyebaran parameter batubara maka penulis

mencoba membuat overlay antara model penyebaran moisture, peta kedalaman dan

peta ketebalan batubara (Gambar.6.3.3.a). Dari hasil overlay tersebut didapatkan

beberapa daerah yang berpotensi sebagai daerah yang baik untuk eksplorasi coalbed

methane dan berpotensi sebagai daerah eksplorasi batubara sebagai bahan bakar yang

ekonomis adalah daerah yang memiliki kandungan moisture yang rendah, dimana

berdasarkan peta kedalaman dan peta ketebalan. Daerah ini memiliki ketebalan

lapisan batubara sebesar 20 ft hingga 35 ft atau sebesar 6.67 m hingga 11.67 m yang

berada pada kedalaman sekitar 4000 ft hingga 4400 ft atau sekitar 1.333 m hingga

1.466 m dengan kandungan moisture sebesar 1.3 %.

78

Gambar.6.5.5. Overlay Peta Kedalaman, Peta Ketebalan dan Peta Penyebaran

Kandungan Moisture

79

BAB VII

KESIMPULAN

Dari hasil penelitian yang dilakukan pada parameter batubara dengan

melakukan analisis pertofisik, analisis model penyebaran parameter petrofisik

batubara dan analisis lingkungan pengendapan, maka didapatkan hasil sebagai

berikut :

1. Lingkungan pengendapaan lapisan batubara seam CBM 2 berdasarkan Horne,

1978 adalah Transitional Lower Delta Plain dan Lingkungan pengendapan

lapisan batubara seam CBM 2 berdasarkan Allen, 1998 adalah Delta Plain.

2. Geometri seam CBM 2 dapat diketahui ketebalan batubara seam CBM 2 pada

daerah telitian sekitar 5 – 35 ft dan arah pengendapan seam CBM 2, yaitu

Barat Laut – Tenggara. Disamping seam CBM 2 menebal kearah tenggara

dan menipis kearah barat laut.

3. Berdasarkan analisis petrofisik didapatkan karakteristik petrofisik dari seam

CBM 2, nilai tertinggi dari kandungan ash sebesar 2.68 %, fixed carbon

sebesar 46.07 %, volatile matter sebesar 41.28 %, moisture sebesar 0.11 %,

mean vitrinite reflectance sebesar 0.45 %, total gas content sebesar 127.88

scft/ton dan kalori sebesar 6260 Kcal/kg. Dari hasil tersebut penulis dapat

diketahui bahwa seam CBM 2 memiliki kualitas yang baik berdasarkan

ASTM coal rank yaitu termasuk dalam batubara jenis bituminous high

volatile C, sehingga berpotensi sebagai reservoar coalbed methane dan

sebagai bahan bakar yang ekonomis.

4. Berdasarkan hasil overlay dari peta penyebaran kandungan moisture, peta

fasies batubara, peta kedalaman, peta ketebalan batubara dan peta geologi.

Didapatkan daerah yang berpotensi untuk eksplorasi batubara dan coalbed

methane pada seam CBM2. Daerah telitian ini memiliki struktur geologi

berupa perlipatan antiklin yang berarah utara timur laut – selatan barat daya,

diendapkan pada lingkungan pengendapan delta plain yang berdasarkan

80

analisis ultimate didapatkan kandungan sulfur yang rendah, yaitu sekitar 0.4

%, berada pada kedalaman sekitar 4000 hingga 4400 ft dengan ketebalan

batubara mencapai 35 ft atau 11.67 m dengan kandungan % moisture relatif

rendah, yaitu 1.3 %, Sehingga dapat disimpulakan daerah ini memiliki

potensi sebagai daerah eksplorasi coalbed methane dan batubara pada seam

CBM 2.

81

DAFTAR PUSTAKA

Allen,G.P, Chambers, J.L.C,1998, Sedimentation in the Modern and Miocene

Mahakam Delta, IPA.

Bhanja .A. K, 2007, Multi Log Techniques for Estimation of CBM Gas Content

Scores Over the Available Techniques Based on Single Log, A Case Study.

Kuncoro Prasongko, B, 1996, Perencanaan Eksplorasi Batubara, Program Pasca

Sarjana Institut Teknologi Bandung.

Lamberson, M.N. and Bustin, R.M., 1993: Coalbed methane characteristics of the

Gates Formation coals, northestern British Columbia: effect of maceral

composition. AAPG Bull,77; p2062-2076.

Rahmat. Basuki. Ediyanto,2008,Modul Kompetensi Geologi Level 3 (Bahan Galian

Batubara).

Crain.E. R. (Ross),P.Eng, 2010, Part II Coal, Reservoir Issue.

Holmes, M., 2001, Coalbed Methane Log Analysis, Digital Formation, 6000 East

Evans Avenue Suite 1-400 Denver, Colorado 80222-5415 USA.

Petrolog, Introduction to Coal Bed Methane Processing.

Rogers, R., Ramurthy, M., Rodvelt, G., and Mullen, M.. 2007, Coalbed Methane

Principles and Practices Second Edition, Halliburton.

Ryan, B., 2006, A Discussion on Moisture in Coal Implications for coalbed gas and

coal utilization, Summary of activities, BC Ministry of Energy, Mines and

Petroleum Resources, pages 139 -149.

Speight ,J.G., 2005, Handbook of Coal Analysis, John Wiley & Sons, Inc., Hoboken,

New Jersey.

82

LAMPIRAN

83

84

85

Sample Information

Well Sample ID Seam Top

Depth MD (ft)

Bottom Depth MD (ft)

Top Depth Shift

Bottom Depth Shift

RHOB

X127 V-X-127-05 CBM 2 2896.70 2897.90 2896.70 2897.90 1.33

X127 V-X-127-06 CBM 2 2899.70 2901.10 2899.70 2901.10 1.24

X127 V-X-127-Isotherm#3 CBM 2 2901.10 2901.90 2901.10 2901.90 1.24

X127 V-X-127-07 CBM 2 2901.90 2903.50 2901.90 2903.50 1.37

X128 V-X-128-05 CBM 2 2692.05 2693.55 2692.25 2693.75 1.27

X129 V-X-128-06 CBM 2 2693.55 2695.05 2693.75 2695.25 1.39

X202 V-X-202-05 CBM 2 2424.70 2426.70 2424.70 2426.70 1.90

X202 V-X-202-06 CBM 2 2432.90 2434.90 2432.90 2434.90 1.24

X202 V-X-202-07 CBM 2 2437.10 2439.10 2438.10 2440.10 1.22

X203 V-X-203-08 CBM 2 2432.90 2434.90 2433.40 2435.40 1.77

86

Proximate Data

Moisture (%)

Weight (g)

Air Dried Loss

Residual Moisture

Total Moisture

(ARB)

Moisture (As Det.) Vmoisture Moisture

Calc

10.26 3.96 13.81 0.04 0.11

9.70 4.05 13.36 0.04 0.11

115.0 0.18 7.98 8.15 7.96 0.08 0.10

10.62 4.21 14.38 0.04 0.11

143.0 3.91 12.83 16.24 12.80 0.13 0.11

54.0 4.03 12.19 15.73 12.23 0.12 0.09

344.0 4.42 10.97 14.90 10.60 0.11 0.11

392.0 3.07 11.70 14.41 11.48 0.12 0.11

399.0 1.49 12.25 13.56 11.96 0.12 0.11

488.0 1.54 10.20 11.58 10.04 0.10 0.11

87

Ash Content (%) Volatile Matter (%)

A (As Det.) A, (ARB) A, (Dry) Vash Ash Calc VM (As

Det.) VM (ARB) VM (Dry) VM (DAF)

2.90 3.36 0.01 4.93 39.32 45.62 47.20

1.58 1.82 0.01 1.95 39.25 45.30 46.15

7.81 7.79 8.49 0.03 1.68 39.69 39.61 43.12 47.12

3.93 4.59 0.02 9.11 37.06 43.28 45.37

1.37 1.32 1.57 0.01 2.68 39.01 37.47 44.74 45.45

11.37 10.92 12.95 0.04 5.79 35.37 33.96 40.30 46.30

1.93 1.84 2.16 0.01 23.70 41.34 39.35 46.24 47.26

2.45 2.37 2.77 0.01 1.68 42.45 41.04 47.96 49.32

2.14 2.10 2.43 0.01 1.19 42.36 41.59 48.11 49.31

4.47 4.39 4.97 0.02 19.39 43.67 42.92 48.54 51.08

88

Fixed

Carbon (%)

VM VM CALC FC (As Det.) FC (ARB) FC (Dry) FC (DAF) VFC FC CALC

0.61 40.81 43.97 51.02 52.80 0.34 45.38

0.60 41.20 45.81 52.87 53.85 0.36 46.07

0.54 39.37 44.54 44.45 48.39 52.88 0.34 42.82

0.60 40.51 44.63 52.12 54.63 0.35 44.84

0.52 41.28 46.82 44.97 53.69 54.55 0.35 46.20

0.53 38.45 41.03 39.39 46.75 53.70 0.31 41.19

0.54 41.13 46.13 43.91 51.60 52.74 0.34 45.93

0.55 40.97 43.62 42.18 49.28 50.68 0.33 45.65

0.54 41.05 43.54 42.75 49.45 50.69 0.33 45.79

0.56 40.37 41.82 41.10 46.49 48.92 0.32 44.60

89

Calorific Value (Kcal/kg)

Gas Contents on Different Bases (scft/ton) Total Gas Content

Helium Pycnometric

Density (g/cc)

Mean Vitrinite Reflectance

(% Ro) NCV (ARB) ARB

1.34 0.46 182.38

1.33 0.46 200.92

1.37 6260

1.34 0.46 191.49

1.34 0.43 5823 123.83

1.41 0.44 5028 103.56

1.38 5761 56.97

1.39 5874 94.63

1.37 5956 75.62

1.38 121.54

90

Core Description Summary

Black dull and bright coal with no distinct banding, mostly competent, clay and silt present in the form of rare interspersed shaly layers but core was mostly massive coal, one hairline fracture 2.5" from base of core 10° from vertical core axis with calcite mineralization.

Black bright coal, mostly competent, very hard, slightly heavy, possible siltstone at mid core - light gray-tan color area impossible to separate with rock hammer about 3" thick, 2 parallel 1/2" spaced hairline fractures/cleats at bottom of core 10° from vertical core axis, fractures/cleats had calcite mineralization, set of secondary cleats intersecting 1st set at 80° - these cleats were tight with no mineralization.

Black dull (satiny) coal with some bright areas but no distinct banding, competent, slightly heavy, hard, possible weak cleat system with secondary set intersecting at 80°, both sets of cleats were tight with no observed mineralization, no other fracturing observed, few dispersed silty/organic rich layers, bottom area of core was very hard, probably siltstone lithology.

Coal, black, bright, moderate brown streak, blocky cleavage, cleats are observed in moderate-high intensity; Lithotype: Vitrain.

Coal, black, bright, moderate brown streak, blocky - concoidal cleavage, medium hardness, cleats are observed in low-moderate intensity, pyrites and ambers are commonly observed at the middle section.; Lithotype: Vitrain.

Coal, black, bright, moderate brown streak, blocky - concoidal cleavage, medium hardness, cleats are observed in low-moderate intensity, Amber observed at bottom section.; Lithotype: Vitrain.

Coal, black, bright, moderate brown streak, blocky - concoidal cleavage, medium hardness, cleats are observed: low-moderate intensity, Amber observed in bottom section; Lithotype: Vitrain.