skripsi - etheses.uin-malang.ac.idetheses.uin-malang.ac.id/4325/1/04210028.pdfkekerasan dalam rumah...
TRANSCRIPT
PEMIKIRAN DAN IMPLEMENTASI AKTIVIS GENDER
TERHADAP KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
(Studi di Pusat Studi Gender UIN Malang)
SKRIPSI
Diajukan Kepada :
Fakultas Syari'ah Universitas Islam Negeri Malang
Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Dalam Memperoleh Gelar
Sarjana Hukum Islam (S. HI)
Oleh
Ramada Putra R.D.
NIM 04210028
FAKULTAS SYARI’AH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
MALANG
2008
MOTTO
�� ������������� ���� ��� ������ ����� ��
�� ����� � ��� ��� ���� ��������� ������ ������ � ������� � � ������� ���������������� �� �� ���� ���� ���� �� ���� ����� �� �����
�� ������ ������ ���� ����� ��� ������ �� ���� ���! ����� ������� �� ���"#$%���
Artinya: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu
isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa
tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda
bagi kaum yang berfikir. (Q.S. Ar-Ruum (30): 21)
PERSEMBAHAN
Alhamdulillah, puji syukur selalu terpanjatkan ke hadirat Allah SWT, dengan segala rahmat
dan karunia –Nya. Shalawat serta salam tak lupa dihaturkan ke junjungan Nabi besar
Sayyidul Anbiya Muhammad SAW yang telah memperjuangkan agama yang haq.
Kupersembahankan karya tulis ini untuk :
Bapak tercinta (Rahmat Mahroji) dan Ibu tercinta (Istianah)
yang dengan cinta, kasih-sayang dan do’a beliau berdua
saya selalu optimis untuk meraih kesuksesan dalam hidup ini.
Ustadz-ustadzku yang telah memberikan ilmunya kepadaku dengan penuh kesabaran
dan ketelatenan.
Bulek dan paklikku (Isyaroh dan Soedarmadji), Adek-adekku (Angga, Ajeng, Wulan,
Bimo, mas Haris), dan keluargaku
yang telah mewarnai kehidupanku dengan penuh keceriaan.
Sahabat-sahabatku tercinta
yang telah membuat hidupku lebih bermakna dan dinamis.
Tak lupa buat “Adinda”seorang terkasih yang Allah ciptakan untuk menjadi pendampingku
kelak atas cinta, kasih sayang, dukungan dan kesabarannya kuharapkan mampu
membahagiakan dan selalu mendampingiku ke jalan yang diridhoi oleh –Nya. Amien ya
Robbal’alamien....
Terima kasih atas perjuangan dan pengorbanan “jenengan” semua...
Semoga kita semua termasuk orang-orang yang dapat meraih
kesuksesan dan kebahagiaan dunia-akhirat.
Amien....
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI
Demi Allah,
Dengan kesadaran dan rasa tanggung jawab terhadap pengembangan keilmuan,
penulis menyatakan bahwa skripsi dengan judul:
PEMIKIRAN DAN IMPLEMENTASI AKTIVIS GENDER TERHADAP
KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
(Studi di Pusat Studi Gender UIN Malang)
benar-benar merupakan karya ilmiah yang disusun sendiri, bukan duplikat atau
memindah data milik orang lain. Jika dikemudian hari terbukti bahwa skripsi ini ada
kesamaan, baik isi, logika maupun datanya, secara keseluruhan atau sebagian, maka
skripsi dan gelar sarjana yang diperoleh karenanya secara otomatis batal demi
hukum.
Malang, 30 Oktober 2008
Penulis,
Ramada Putra
NIM. 04210028
HALAMAN PERSETUJUAN
PEMIKIRAN DAN IMPLEMENTASI AKTIVIS GENDER TERHADAP
KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
(Studi di Pusat Studi Gender UIN Malang)
SKRIPSI
Oleh:
Ramada Putra R.D.
NIM: 04210028
Telah disetujui oleh
Dosen Pembimbing:
Drs. M. Fauzan Zenrif, M.Ag
NIP : 150 303 047
Mengetahui,
Dekan Fakultas Syari’ah
Drs. H. Dahlan Tamrin, M.Ag
NIP. 150 216 425
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Pembimbing penulisan skripsi saudara Ramada Putra R.D, NIM 04210028,
mahasiswa Fakultas Syari’ah Universitas Islam Negeri (UIN) Malang, setelah
membaca, mengamati kembali berbagai data yang ada di dalamya, dan mengoreksi,
maka skripsi yang bersangkutan dengan judul:
PEMIKIRAN DAN IMPLEMENTASI AKTIVIS GENDER TERHADAP
KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
(Studi di Pusat Studi Gender UIN Malang)
telah dianggap memenuhi syarat-syarat ilmiah untuk disetujui dan diajukan pada
majelis dewan penguji.
Malang, 30 Oktober 2008
Pembimbing,
Drs. M. Fauzan Zenrif, M.Ag
NIP : 150 303 047
PENGESAHAN SKRIPSI
Dewan penguji skripsi saudara Ramada Putra R.D., NIM 04210028, mahasiswa
Fakultas Syari’ah Universitas Islam Negeri Malang angkatan tahun 2004, dengan
judul:
PEMIKIRAN DAN IMPLEMENTASI AKTIVIS GENDER TERHADAP
KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
(Studi di Pusat Studi Gender UIN Malang)
telah dinyatakan LULUS dengan nilai B+
Dewan Penguji Tanda Tangan
1 Penguji Utama
: Drs. Fadil Sj, M.Ag.
NIP. 150 252 758
( )
2 Ketua Penguji
: Mujaid Kumkelo, M.H.
NIP. 150 300 366
( )
3 Sekertaris/pembimbing
: Drs. Fauzan Zenrif, M.Ag.
NIP. 150 303 047
( )
Malang, 30 Oktober 2008
Dekan,
Drs. H. Dahlan Tamrin, M.Ag
NIP. 150 216 425
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim.,
Alhamdulillah, segala puja dan puji syukur kita panjatkan kehadirat ilahi robbi,
Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat, taufiq dan hidayah-Nya sehingga
penulisan skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. Shalawat dan salam kita
haturkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW yang telah mengajarkan kita
tentang arti kehidupan yang sesungguhnya. Semoga kita termasuk orang-orang yang
mendapatkan syafa’at beliau di hari akhir kelak. Amien...
Penulisan skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik berkat jasa-jasa, motivasi
dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dengan penuh ta’dhim, dari lubuk
hati yang paling dalam penulis sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang
telah membantu penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini, terutama kepada:
1. Prof. Dr. H. Imam Suprayogo, selaku Rektor Universitas Islam Negeri (UIN)
Malang.
2. Drs. H. Dahlan Tamrin, M.Ag. (Dekan Fakultas Syari’ah), Dra. Hj. Tutik
Hamidah, M.Ag. (Pembantu Dekan I), Drs. Fadil SJ., M.Ag. (Pembantu Dekan
II). Dan Dra. Hj. Mufidah, M.Ag. (Pembantu Dekan III).
3. Drs. Fadil SJ., M.Ag., selaku dosen wali penulis selama kuliah di Fakultas
Syari’ah UIN Malang.
4. Drs. M. Fauzan Zenrif, M.Ag., selaku pembimbing penulis dalam menyelesaikan
penulisan skripsi ini. Atas bimbingan, arahan, saran, motivasi dan kesabarannya,
penulis sampaikan Jazakumullah Ahsanal Jaza’.
5. Seluruh Dosen Fakultas Syari’ah UIN Malang, yang telah mendidik,
membimbing, mengajarkan dan mencurahkan ilmu-ilmunya kepada penulis.
Semoga Allah melipatgandakan amal kebaikan mereka.
6. Bapak dan Ibu tersayang (Rahmat Mahroji dan Istianah), Bulek dan Paklik
(Isyaroh dan Soedarmadji) yang telah mencurahkan cinta dan kasih-sayang
teriring do’a dan motivasinya, sehingga penulis selalu optimis dalam menggapai
kesuksesan hidup di dunia ini.
7. Segenap pengurus Pusat Studi Gender yang telah memberikan kemudahan
informasi dan bantuan demi terselesainya penulisan skripsi ini.
8. Seluruh Bagian Administrasi Fakultas Syari’ah UIN Malang, Mas Abu, Mas
Nordin, Mas Arif yang telah memberikan informasi dan bantuan yang berkaitan
dengan akademik.
9. Adik-adikku tersayang (Angga, Ajeng, Wulan, Bimo, Aura dan Mas Haris), yang
telah membantu penulis dalam memperoleh data-data yang penulis butuhkan
selama penulisan skripsi ini. Syukron atas saran, do’a dan motivasinya!
10. Teman-teman Fakultas Syari’ah UIN Malang angkatan 2004, yang telah
mewarnai perjalanan hidupku selama kuliah.
11. Sahabat-sahabat karibku yaitu: Sukron, Anas, Hasanudin, As’ad, Conan, Ngalim,
Oblek, Ali dan Rahmat. Terima kasih atas kebersamaan kita yang indah, semoga
persaudaraan kita tidak terputus selamanya!
12. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu karena keterbatasan ruang
yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.
Terakhir, penulis juga sadar bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan.
Oleh karena itu, kritik dan saran konstruktif dari para pembaca yang budiman sangat
kami harapkan demi perbaikan dan kebaikan karya ilmiah ini.
Semoga karya ilmiah yang berbentuk skripsi ini dapat bermanfaat dan berguna
bagi kita semua, terutama bagi diri penulis sendiri. Amin ya Mujibassailin...
Malang, 30 Oktober 2008
Penulis
ABSTRAK
Putra, Ramada, 04210028, 2008, Pemikiran dan Implementasi Aktivis Gender
Terhadap Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Skripsi, Jurusan Al-Ahwal As-
Syakhsiyah, Fakultas Syari’ah, Universitas Islam Negeri (UIN) Negeri Malang.
Dosen Pembimbing: Drs. M. Fauzan Zenrif, M.Ag.
Kata Kunci: Pemikiran, Implementasi, Aktivis Gender dan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga.
Realitas sosial menunjukkan, bahwa kekerasan dalam rumah tangga telah
mencapai taraf yang memperhatinkan. Berbagai media massa (cetak dan elektronik)
banyak memuat berita tentang kekerasan suami terhadap istrinya atau sebaliknya
yang sangat bervariasi, dan juga ada kekerasan orang tua terhadap anak. Pada
umumnya perempuan dan anak menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga
tersebut. Dalam upaya ini banyak lembaga-lembaga sosial dan beberapa organisasi
lainnya yang ikut memberikan bantuan kepada korban yang mayoritas adalah
perempuan dan anak-anak, seperti halnya yang telah dilakukan oleh para aktivis
gender di Pusat Studi Gender (PSG) UIN Malang.
Sebagaimana maraknya permasalahan kekerasan dalam rumah tangga yang
terjadi dimasyarakat membuat peneliti tertarik untuk mengkajinya lebih dalam
melalui penelitian ini. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah mengkaji pemikiran
para aktifis gender tentang kekerasan dalam rumah tangga dan menjelaskan
aktualisasi pemikiran para aktifis gender tentang kekerasan dalam rumah tangga
dalam upaya menyadarkan masyarakat terhadap permasalahan hukum KDRT. Dalam
mengkaji penelitian ini peneliti menggunakan paradigma fenomenologi dan
pendekatan kualitatif serta menggunakan observasi, wawancara dan dokumenasi
dalam mengumpulkan data. Untuk menganalisanya peneliti menggunakan analisa
deskripsi supaya pembaca mengetahui apa yang terjadi dalam program, seperti apa
menurut sudut pandang peserta yang ada dalam program, dan kejadian tertentu
seperti apa atau kegiatan yang ada dalam program para aktivis gender dalam
meminimalisir kasus kekersan dalam rumah tangga.
Adapun hasil penelitian ini yaitu pendapat para aktivis gender terhadap
kekerasan dalam rumah tangga dapat diidentifikasi bahwa dalam memandang
kekerasan itu dapat dilihat dari berbagai segi yaitu jenis kekerasan, tindakan atau
perbuatan, kondisi yang ditimbulkan, ketidakseimbangan peran, tindakan dan adanya
kekuatan (power) dan perilaku-sifat didalam rumah tangga.
Dalam upaya menyadarkan masyarakat terhadap permasalahan hukum kekerasan
dalam rumah tangga para aktivis gender telah melakukan beberapa hal untuk
meminimalisir kasus KDRT diantaranya sosialisasi kepada masyarakat, advokasi dan
pendampingan korban KDRT, rehabilitasi dan pemberdayaan perekonomian.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .................................................................................. i
HALAMAN MOTTO ............................................................................... ii
HALAMAN PERSEMBAHAN ............................................................... iii
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI ........................... iv
HALAMAN PERSETUJUAN ................................................................. v
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................... vi
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................. vii
KATA PENGANTAR ............................................................................ viii
ABSTRAK ................................................................................................ xi
DAFTAR ISI ............................................................................................ xii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah.................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................. 7
C. Tujuan Penelitian .............................................................................. 7
D. Manfaat Penelitian ............................................................................ 7
E. Definisi Operasional ......................................................................... 8
F. Sistematika Penelitian ....................................................................... 8
BAB II KONSEP KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DAN
TEORI HUKUM
A. Penelitian Terdahulu ......................................................................... 12
B. Kekerasan Dalam Rumah Tangga..................................................... 16
1. Pengertian Kekerasan dan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.... 16
2. Bentuk-bentuk Kekerasan ........................................................... 18
3. Faktor Penyebab Kekerasan Dalam Rumah Tangga................... 20
4. Dampak Kekerasan Dalam Rumah Tangga ................................ 22
C. Pembentukan Hukum........................................................................ 24
D. Penegakan Hukum ............................................................................ 25
E. Kultur Hukum ................................................................................... 27
F. Teori Pemikiran Hukum.................................................................... 28
1. Teori-teori Yunani dan Romawi ................................................. 28
2. Teori Ajaran Hukum Fungsional ................................................ 31
3. Teori Sistem ................................................................................ 32
4. Teori Hukum Alam ..................................................................... 33
5. Teori Hukum Murni .................................................................... 34
6. Teori Aliran Hukum Positive (Positivisme)................................ 35
7. Teori Realisme Hukum ............................................................... 38
8. Teori Idealisme Hukum............................................................... 40
BAB III METODE PENELITIAN
A. Lokasi Penelitian............................................................................... 42
1. Sejarah Berdirinya Pusat Studi Gender....................................... 42
2. Visi dan Misi Pusat Studi Gender ............................................... 44
3. Asas dan Landasan Pusat Studi Gender ...................................... 44
4. Tujuan Pusat Studi Gender.......................................................... 44
B. Paradigma Penelitian......................................................................... 45
C. Pendekatan dan Jenis Penelitian ....................................................... 46
D. Sumber Data...................................................................................... 47
E. Metode Pengumpulan Data ............................................................... 48
F. Metode Pengolahan dan Analisis Data ............................................. 51
BAB IV PEMIKIRAN DAN IMPLEMENTASI KEKERASAN DALAM
RUMAH TANGGA
A. Pemikiran Para Aktivis Gender Tentang KDRT............................. 54
1. Konsep Kekerasan Dalam Rumah Tangga .................................. 54
a. Pengertian Kekerasan Dalam Rumah Tangga........................ 54
b. Macam-macam Kekerasan Dalam Rumah Tangga................ 63
c. Bentuk-bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga................. 65
d. Penyebab Terjadinya Kekerasan Dalam Rumah Tangga....... 68
2. Dampak Kekerasan Dalam Rumah Tangga ................................. 73
3. Pandangan Hukum Tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga .. 76
B. Aktualisasi Pemikiran Aktivis Gender Terhadap Permasalahan
Hukum KDRT.................................................................................. 86
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................................. 93
B. Saran-saran .................................................................................................. 95
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN – LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dewasa ini fenomena kekerasan dalam rumah tangga tidak semakin reda, bahkan
secara kuantitatif mengalami peningkatan signifikan dan disertai pula dengan
meningkatnya intensitas dan kualitas kekerasan terhadap perempuan dan anak
dimasyarakat dengan ditemukannya kasus kekerasan pada balita berupa kekerasan
fisik dan psikis hingga seksual. Pelaku kekerasan tersebut justru dilakukan orang-
orang terdekat yang seharusnya menjadi pelindung mereka1. Kendatipun upaya
perlindungan hukum relative telah dilakukakan oleh pemerintah dan kelompok
masyarakat yaitu dengan diterbitkannya UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
Kompilasi Hukum Islam2, Undang-undang HAM No 39 Tahun 1999 tentang Hak
1http://www.malangkab.go.id/kabmalang/berita/kanjuruhan.cfm?kd=348 (diakses pada 23 Juli 2008) 2Rika Saraswati, Perempuan dan Penyelesaian Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Bandung: PT Citra
Aditya Bakti, 2006), 33-34.
Asasi Manusia, yang menegaskan bahwa berbagai bentuk kekerasan seksual juga
merupakan bagian dari kejahatan kemanusiaan3 dan Undang-undang No. 23 Tahun
2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (P KDRT), yang
mengatur tentang jaminan yang diberikan oleh Negara untuk mencegah terjadinya
kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), menindak pelaku kekerasan dalam rumah
tangga dan melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga.4 Fakta kekerasan
terhadap keluarga terjadi pada semua tingkat sosial ekonomi, pendidikan dan status
sosial lainnya.
Berkaitan dengan maraknya kekerasan terhadap perempuan yang terjadi dalam
rumah tangga dengan berbagai bentuk kekerasannya, korban kekerasan kebanyakan
berkelamin perempuan dan berimbas pada anak-anak. KDRT kerap terjadi di
masyarakat perkotaan maupun pedesaan, seiring dengan munculnya isu tentang
kesetaraan gender membuat hubungan antara kaum laki-laki dan perempuan terdapat
kerenggangan yang bisa mengakibatkan kekerasan dalam rumah tangga..
Pada tahun 2004 pemerintah mengeluarkan Undang-undang No. 23 Tahun 2004
tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, namun undang-undang ini
masih belum bisa meminimalisir kasus KDRT. Seperti halnya jumlah kasus KDRT
di Malang yang berhasil dicatat oleh Women Crisis Center sejak tahun 2005
mengalami peningkatan. Pada tahun 2005 lalu, tercatat ada 8 kasus yang ditangani
oleh WCC, kemudian di sepanjang tahun 2006, kasus KDRT mengalami peningkatan
menjadi 30 kasus. Menurut ketua WCC kota Malang Maimunah S.Ag. Peningkatan
jumlah itu, kemungkinan besar dikarenakan tingkat kesadaran masyarakat untuk
3Mufidah Cholidah Dkk, Haruskah Perempuan dan Anak Dikorbankan (Malang: Pilar Media, 2006),
vii 4La Jamaa, Hadidjah, Hukum Islam dan Undang-undang Anti Kekerasan Dalam Rumah Tangga
(Surabaya: PT Bina Ilmu, 2008),194
melaporkan terjadinya KDRT meningkat. Sedangkan kenyataan dilapangan sendiri,
jumlah terjadinya kasus ini lebih banyak lagi.5
Lain halnya kasus KDRT pada tahun 2007 yang ditangani oleh Dian Mutiara
yang di ketuai oleh Sri Wahyuningsih S.H. MPd. kasus kekerasan dalam rumah
tangga di sebabkan berbagai masalah diantaranya sebagai berikut6:
NO hgfhgfhgfh JENIS KDRT JUMLAH KASUS
1 Psikis/ psikologi dan fisik 36
2 Trafficking 2
3 Anak dalam kandungan tidak diakui 3
4 Suami selingkuh 9
5 Suami kawin lagi 6
6 Penelantaran rumah tangga 12
7 Perebutan anak 6
8 Kekerasan oleh lembaga/instansi 4
9 Perkosaan oleh ayah kandung 1
10 Diancam untuk menggugurkan kandungan 1
Jumlah 80
Secara umum tindak kekerasan dalam rumah tangga sering pula berkaitan
dengan instabilitas di rumah dan di masyarakat. Hal ini tampak dari tiga kategori
sebagai berikut. Pertama, kondisi kemiskinan akan mengakibatkan dilakukannya
kekerasan, untuk menyalurkan dan agresi diarahkan kepada mereka yang lemah.
Kedua, dalam masyarakat penuh instabilitas, budaya kekerasan akan berkembang.
Ketiga, dalam masyarakat bergolak karena perang, kekerasan merupakan bagian dari
senjata yang digunakan untuk perang.7
Ada juga penyebab sering terjadinya kekerasan dalam rumah tangga di Indonesia
yaitu sedikitnya ada tiga alasan antara lain:
5http://www.suryaonline.co.id. (diakses pada 9 Mei 2003) 6http://www.suryaonline.co.id. (diakses pada 10 Mei 2003) 7Rika Saraswati, Op. Cit., 18.
1. Kekerasan dalam rumah tangga sejauh ini tidak dikenal sebagai kejahatan dalam
masyarakat meskipun terjadi di sejumlah tempat.
2. Kebanyakan korban tidak bisa bicara secara tebuka mengenai kasus yang di
alaminya dalam keluarga.
3. Kekeliruan dalam memahami mitos dengan fakta kekerasan dalam rumah tangga
di masyarakat8.
Selain itu juga ada dua hal yang bisa disebut sebagai akar permasalahan yaitu: Power
Relation dan kultur masyarakat. Power relation yang tidak seimbang di sektor
ekonomi dapat menjadi penyebab terbesar dari kasus kekerasan dalam rumah tangga
saat ini.9
Dengan demikian Undang-undang yang telah dikeluarkan belum efektif di
masyarakat dengan melihat kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga yang masih
kerap terjadi sehingga membutuhkan penyelesaian. Dalam upaya ini banyak
lembaga-lembaga sosial dan beberapa organisasi lainnya yang ikut memberikan
bantuan kepada korban yang mayoritas adalah perempuan dan anak-anak, seperti
halnya yang telah dilakukan oleh aktivis gender di Pusat Studi Gender (PSG) UIN
Malang.
Lembaga ini sebagai bagian integral dalam perguruan tinggi yang mengacu pada
Tri Dharma Perguruan Tinggi mencakup pendidikan, penelitian dan pengabdian
kepada masyarakat berusaha membangun masyarakat yang berkesetaraan dan
berkeadilan gender.
8 Laporan Workshop P KDRT (Batu, 22-23 agustus 2006), 1 9Endah Triwijayati “Perempuan Mapan Pria Kasar” Jawa Pos (10 April 2008), 38, dimana dalam
artikel ini disebutkan bahwa menurut N. K. Endah Triwijati, dosen Fakultas Psikologi Universitas
Surabaya (Ubaya), power relation adalah munculnya penguasaan sebelah pihak akibat timpangnya
kekuatan individu.
Pusat Studi Gender juga mempunyai program-program yang dapat menunjang
keilmuan di perguruan tinggi yaitu Pengkajian Arus Utama, Pengembangan
Penelitian, Penerbitan, PSDM dan Penguatan jaringan civil society berspektif gender
dan dialog di Radio dan di Televisi. Sejak tahun 2003, Pusat Studi Gender ikut
menangani beberapa korban KDRT, khususnya daerah Malang dan melakukan
sosalisasi kepada masyarakat yang terkait dengan bidangnya yaitu kesetaraan gender.
Lembaga Pusat Studi Gender diharapkan turut serta dalam usaha membangun
masyarakat yang berkesadaran gender tersebut. Namun lembaga ini juga turut
mensosialisasikan Undang-undang yang terkait dengan kekerasan dalam rumah
tangga yaitu UU No. 23 Tahun 2004 yang mayoritas korbannya adalah perempuan
dan anak-anak.
Pusat studi gender telah melakukan kegiatan-kegiatan yang terkait dengan
sosialisasi tentang permasalahan kekerasan dalam rumah tangga yaitu diantaranya
mengadakan workshop tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga,
menerbitkan buku dan jurnal, siaran radio dan pelatihan.
Dengan melihat begitu banyaknya fenomena kekerasan dalam rumah tangga
seperti yang telah digambarkan di atas, yang dari hari ke hari menunjukkan
peningkatan, sekalipun beberapa undang-undang yang telah dikeluarkan oleh
pemerintah, maka peneliti ingin meneliti dan mengungkap pandangan para aktivis
gender yang ternaungi oleh PSG UIN Malang terhadap kekerasan dalam rumah
tangga tersebut yang belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir. Sebagai sebuah
lembaga yang bergerak dibidang kesetaraan gender pastinya mereka memiliki
pandangan tersendiri terhadap KDRT tersebut. Pandangan mereka inilah yang ingin
peneliti ungkap dalam penelitian ini.
Disamping itu, karena mereka sebagai sebuah lembaga yang bergerak di bidang
kesetaraan gender pastinya mereka juga memiliki kegiatan-kegiatan atau aktivitas-
aktivitas yang mereka lakukan untuk menanggapi KDRT tersebut. Hal yang menarik
dalam penelitian ini ialah pertama, PSG adalah sebuah lembaga yang ternaungi
dalam Universitas Islam Negeri dengan landasan teologis nilai-nilai universal Al-
Qur'an dan As-Sunnah, maka akan sangat menarik mengetahui pandangan para
aktivis gender terhadap kekerasan dalam rumah tangga dan aktivitas mereka dalam
mengurangi atau bahkan menghilangkan KDRT karena Islam sendiri mengajarkan
keharmonisan dalam rumah tangga. Allah berfirman dalam surat Ar-Rumm ayat 21
sebagai berikut
�� ����� � ��� ��� ���� ��������� ������ ������ � ������� � � ������� ���������������� �� �� ���� ���������� ���� ����� �� �� ���
�� ������ ������ ���� ����� ��� ������ �� ���� ���! ����� ������� �� ���"#$%���
Artinya: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan
untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa
tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum
yang berfikir.10
Kedua, KDRT merupakan fenomena yang sering terjadi di masyarakat maka
mengetahui aktualisasi pemikiran para aktivis gender dalam mengatasi KDRT adalah
sebuah usaha yang banyak mengandung manfaat. Oleh karena itulah penelitian ini
diberi judul: Pemikiran dan Implementasi Aktivis Gender Terhadap Kekerasan
Dalam Rumah Tangga. (Studi di Pusat Studi Gender UIN Malang).
10QS. Ar-Rumm (30):21.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pemikiran para aktifis gender tentang kekerasan dalam rumah
tangga?
2. Bagaimana aktualisasi pemikiran para aktifis gender tentang KDRT dalam upaya
menyadarkan masyarakat terhadap permasalahan hukum KDRT?
C. Tujuan Penelitian
1. Mengkaji pemikiran para aktifis gender tentang kekerasan dalam rumah tangga.
2. Menjelaskan aktualisasi pemikiran para aktifis gender tentang kekerasan dalam
rumah tangga dalam upaya menyadarkan masyarakat terhadap permasalahan
hukum KDRT.
D. Manfaat Penelitian
Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan penjelasan
mengenai perspektif aktifis gender tentang kekerasan dalam rumah tangga, dan
implementasinya dalam bentuk kegiatan-kegiatan dalam rangka meningkatkan
kesadaran hukum masyarakat terhadap kekerasan dalam rumah tangga.
Secara praktis hasil penelitian ini akan menggambarkan berbagai metode dalam
menyelesaikan persoalan kekerasan dalam rumah tangga sebagai kontribusi kegiatan
para aktifis gender dalam menghadapi persoalan kekerasan dalam rumah tangga.
E. Definisi Operasional
Pemikiran adalah 1. kegiatan untuk mempergunakan daya pertimbangan, konsepsi
atau inferensi. 2. kegiatan atau proses pertimbangan yang sungguh-sungguh. 3.
kegiatan atau proses untuk memperoleh pengertian baru melalui sesuatu yang telah
diketahui.11
Dalam penelitian ini peneliti akan mengkaji pemikiran para aktivis
gender terhadap kekerasan dalam rumah tangga.
Aktivis adalah orang yang aktif (menjadi anggota) suatu organisasi; pendorong suatu
kegiatan.12
Gender berarti jenis kelamin. Dalam Webster New World Dictionary yang di kutip
oleh Nasaruddin Umar, gender diartikan sebagai perbedaan yang tampak antara laki-
laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku.13
Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang
terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara
fisik, seksual, psikologis dan atau penelantaraan rumah tangga termasuk ancaman
untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara
melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.14
F. Sistematika Pembahasan
Dalam sistematika pembahasan ini akan mengantar pembaca untuk memahami
isi penelitian ini dengan mudah. Hal ini dilakukan untuk menjaga satu prinsip
penting yang harus dipegang dalam penelitian ilmiah yaitu prinsip koherensi dalam
11Komaruddin, Kamus Istilah Karya Tulis Ilmiah (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2002), 179. 12M. Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer (Surabaya: Arloka, 1994), 17. 13Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-Qur’an (Jakarta: Paramadina, 2001),
33. 14LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2004 NOMOR 95, Tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Pasal 1.
penyajian penelitian. Koherensi ialah tersusunnya uraian atau pandangan sehingga
bagian-bagiannya berkaitan satu dengan yang lain.15
Dalam pengertian yang lain
koherensi juga dapat bermakna hubungan logis antara bagian karangan atau antara
kalimat dalam satu paragraf.16
Peneliti membagi penelitian ini menjadi lima bab yaitu: bab I menjelaskan
tentang latar belakang masalah dengan menguraikan alasan-alasan mengapa
penelitian ini dilakukan beserta dengan tujuan dan manfaat penelitian. Alasan
logisnya adalah untuk mendapatkan hasil penelitian yang benar-benar objektif ilmiah
alasan-alasan dibalik penulisan sebuah penelitian ilmiah harus dicantumkan agar para
pembaca dapat mengikuti runtutan penyajian hasil penelitian dengan mudah.
Dalam bab II peneliti menguraikan penelitian terdahulu untuk dijadikan sebagai
pembanding permasalahan yang telah diteliti oleh peneliti sebelumnya, kemudian
peneliti memaparkan kajian teori tentang kekerasan dalam rumah tangga dan teori
pemikiran hukum sebagai pokok bahasan. Pada bab selanjutnya menjelaskan tentang
metode (cara) penelitian yang digunakan oleh peneliti dan lokasi yang menjadi objek
penelitian. Argumentasinya ialah sebelum penyajian data dilakukan metode
penelitian harus ditetapkan terlebih dahulu agar data yang hendak disajikan benar-
benar absah dan dapat dipercaya sehingga data yang dikumpulkan dan disajikan oleh
peneliti murni ilmiah tanpa kepentingan apaun yang dapat merusak keilmiahan
sebuah penelitian.
Bab IV ini memaparkan hasil wawancara yang telah dilakukan oleh peneliti dan
selanjutnya dianalisis sesuai dengan metode yang diambil. Kemudian pada bab V
15Komaruddin., Op. Cit., 579. 16Ibid.
menjelaskan kesimpulan dan saran yang merupakan bagian akhir pembahasan yang
dikemukakan dan dianjurkan. Akan lebih jelasnya digambarkan sebagai berikut:
BAB I : Dalam bab pendahuluan ini berisi mengenai latar belakang masalah yang
diangkat oleh peneliti. Dalam latar belakang ini menggambarkan sebagian bahasan
yang terkait dengan kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi di masyarakat dan
berserta juga tujuan dan manfaat penelitian sebagai pengantar untuk memahami
alasan meneliti masalah ini dan sistematika pembahasan yang didalamnya membahas
rincian dari perbab yang akan dibahas oleh peneliti.
BAB II : Pada bab kedua ini membahas tentang penelitian terdahulu dan kajian teori
yang terkait dengan teori-teori pemikiran hukum, dan kekekerasan dalam rumah
tangga. Adapun kegunaan bab ini agar dapat memudahkan peneliti dalam
menganalisa permasalahan yang diteliti.
BAB III : Pada bab ini berisi tentang metode penelitian yang didalamnya terdapat
lokasi penelitian sebagai objek yang diteliti yaitu Pusat Studi Gender. Kemudian
paradigma penelitian yang terkait dengan cakupan yang umum yaitu fenomenologis,
kemudian pendekatan dan jenis penelitian yang diteliti oleh peneliti yaitu penelitian
kualitatif dan jenisnya penelitian lapangan (field research), selanjutnya sumber data
yang di dalamnya terdapat sumber data primer dan sumber data skunder, kemudian
metode pengumpulan data yang menggunakan metode wawancara, observasi dan
dokumentasi selanjutnya metode pengolahan data yang menjelaskan didalamnya cara
pengolahan data dari editing, classifying, verifying, analyzing dan concluding.
BAB IV : Dalam bab empat ini merupakan hasil penelitian yang diteliti, yaitu yang
berisi paparan data yang terkait dengan pemikiran para aktifis gender terhadap
kekerasan dalam rumah tangga dan implementasinya kepada masyarakat. Dan
dilanjutkan dengan analisis data yang telah diperoleh.
BAB V : Pada bab ini adalah penutup yang mana berisi tentang kesimpulan dan
saran-saran yang bertujuan untuk menyimpulkan secara umum mengenai penelitian
yang diteliti oleh peneliti dan juga sekaligus menjawab rumusan masalah yang
terdapat dalam penelitian ini.
BAB II
KONSEP KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DAN TEORI HUKUM
A. Penelitian Terdahulu
Dalam penelitian ini peneliti akan memaparkan penelitian terdahulu yang setema
dengan peneliti yaitu:
Penelitian yang telah diteliti oleh Azizah dengan judul “Pemahaman Isteri
Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga Yang Dilakukan Suami (Studi di Kel.
Arjosari Blimbing Kota Malang)” dalam skripsi ini menjelaskan tentang pemahaman
istri, bentuk-bentuk kekerasan dan dampak psikologis serta sosiologis korban
kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan oleh suami di Kelurahan Arjosari
Kecamatan Blimbing Kotamadya Malang. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah
Pertama, untuk menjelaskan pemahaman istri korban kekerasan dalam rumah tangga
yang dilakukan oleh suami di Kelurahan Arjosari Kecamatan Blimbing Kotamadya
Malang. Kedua, untuk memahami bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga
yang dilakukan oleh suami di Kelurahan Arjosari Kecamatan Blimbing Kotamadya
Malang. Ketiga, unuk memahami dampak psikologis dan sosiologis yang di alami
oleh istri yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan oleh
suami di Kelurahan Arjosari Kecamatan Blimbing Kotamadya Malang. Dalam
metode penelitian ini memakai jenis penelitian kualitatif sebagai prosedur penelitian
yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-
orang dan perilaku yang diamati. Dalam pengumpulan datanya menggunakan
wawancara, dengan pihak yang berperkara yaitu istri korban kekerasan dalam rumah
tangga yang dilakukan oleh suami, observasi dan dokumentasi. Adapun teknik
analisa data menggunakan metode analisis deskriptif yaitu peneliti tidak bermaksud
untuk menghubungkan variabel yang satu dengan yang lainnya. Berdasarkan hasil
dari penelitian ini bahwa pemahaman korban tentang kekerasan dalam rumah tangga
masih berupa kekerasan fisik dan dampak dari kekerasan tersebut adalah antara lain:
adanya ketidakbahagiaan, merasa cemas, dikhianati/dibohongi, gangguan emosi, dan
merasa malu atas gunjingan para tetangga dan takut dicap sebagai janda.17
Penelitian berikutnya yang pernah diteliti oleh Shofa Qonita dengan judul
“Perlindungan Terhadap Istri Sebagai Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Perspektif Hukum Islam Dan UU No 23 Tahun 2004.”18
Pada penelitian ini
difokuskan pada perlindungan terhadap korban KDRT dalam hal ini, yang di lakukan
oleh suami terhadap istrinya dalam perspektif hukum Islam dan Undang-undang No.
23 Tahun 2004. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah pertama, untuk mengetahui
17Azizah, “Pemahaman Isteri Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga Yang Dilakukan Suami”,
Tahun 2007 18Shofa Qonita, “Perlindungan Terhadap Istri Sebagai Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Perspektif Hukum Islam Dan UU No 23 Tahun 2004.”, Tahun 2005.
tentang kekerasan terhadap istri dalam perspektif hukum Islam dan UU No. 23
Tahun 2004. Kedua, untuk mengetahui perlindungan terhadap korban kekerasan
dalam rumah tangga perseptif hukum Islam dan UU No. 23 Tahun 2004. Ketiga,
untuk mengetahui adakah persamaan dan perbedaan antara perlindungan dalam
perspektif hukum Islam dan UU No. 23 Tahun 2004. Dalam metode penelitian ini
peneliti menggunakan jenis yuridis normatif atau penelitian kepustakaan yang mana
bahan pustaka merupakan data yang dalam penelitian di golongkan sebagai data
sekunder. Sumber data yang di gunakan yaitu bahan pustaka yang berisikan
pengetahuan ilmiah yang baru, meliputi buku-buku dan perundang-undangan yang
dijadikan penelitian yaitu kitab-kitab hukum Islam dan UU No. 23 Tahun 2004.
Dalam menganalisis data peneliti menggunakan metode deskriptif komparatif dan
metode content analysis, yang mana metode deskriptif komparatif membandingkan
persamaan dan perbedaan dengan mengambil bentuk studi komparatif. Sedangkan
metode content analysis digunakan untuk menarik kesimpulan dari beberapa
pendapat para pakar tentang permasalahan yang berkaitan dengan perlindungan
terhadap istri sebagai korban KDRT. Hasil dari penelitian tersebut adalah kekerasan
yang terjadi dalam masyarakat juga karena pemahaman yang salah terhadap suatu
ayat atau pun hadits misalnya dalam surat Al-Nisa’ ayat 34, term Wadzrubuuhunna
sering dijadikan legitimasi untuk melakukan kekerasan terhadap istri. Masih dalam
ayat yang sama lafadz qawwamun, yang berarti suami berkewajiban mengayomi,
memberi perhatian, dan melakukan pergaulan yang baik terhadap istri atau pada
sebagian masyarakat justru dimaknai sebagai kekuasaan untuk melakukan
kesewenang-wenangan terhadap istri. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan
oleh Shofa Qonita, yaitu bahwa upaya untuk menanggulangi masalah perlindungan
kekerasan dalam rumah tangga perspektif hukum Islam dan Undang-undang No. 23
Tahun 2004 dilihat dari jenis hukumnya.
Nora Hidayatin dengan judul “Respon Mahasiswa Fakultas Syari’ah UIN Malang
Terhadap Kekerasan Dalam Rumah Tangga Perspektif Gender”.19
Pada penelitian ini
membahas persepsi dan sikap mahasiswa Fakultas Syari'ah Universitas Islam Negeri
Malang terhadap kekerasan dalam rumah tangga dalam hal ini kekerasan yang
dilakukan suami kepada istri, adapun tujuan dari penelitian ini pertama, untuk
mengetahui persepsi mahasiswa Fakultas Syari'ah Universitas Islam Negeri Malang
terhadap KDRT. Kedua, Untuk mengetahui sikap mahasiswa Fakultas Syari'ah
Universitas Islam Negeri Malang terhadap KDRT. Dalam metode penelitian ini
menggunakan kuantitatif dan kualitatif dengan mengambil sampel dari mahasiswa
semester sembilan, adapun pengumpulan datanya dengan kuesioner dan wawancara
dan teknik analisis datanya menggunakan deskriptif kualitatif dan kuantitatif, untuk
kualitatif data dengan mendeskripsikan data, interpretasi data dan kalimat untuk
mendapatkan kesimpulan. Sedangkan kuantitatif data menggunakan bentuk
prosentase. Hasil dari penelitian yang didapatkan adalah mahasiswa dan mahasiswi
fakultas syari’ah memiliki pemahaman yang positif terhadap kekerasan dalam rumah
tangga, secara keseluruhan 100%. Dari mahasiswa mengetahui 76% melalui media
massa, 8% dari teman, 4% melihat sendiri. Sedangkan mahasiswi 4% lewat teman,
68% dari media massa, 12% dari dosen, 4% melihat sendiri, 8% dari keluarga dan
4% dari tetangga.
19Nora Hidayatin,“Respon Mahasiswa Fakultas Syari’ah UIN Malang Terhadap Kekerasan Dalam
Rumah Tangga Perspektif Gender”, Tahun 2005
Secara keseluruhan mereka mengetahui tentang persoalan kekerasan dalam
rumah tangga karena saat ini persoalan kekerasan dalam rumah tangga telah menjadi
persoalan publik. Sedangkan bentuk-bentuk kekerasan yang paling banyak diketahui
oleh mereka adalah kekerasan fisik. Pada umumnya, mahasiswa merespon positif
dengan ditetapkannya Undang-undang No. 23 Tahun 2004 karena hal itu merupakan
langkah tepat untuk meminimalisir kekerasan dalam rumah tangga. Karena adanya
Undang-undang No. 23 Tahun 2004 diharapkan akan menciptakan hubungan
keluarga yang harmonis. Jadi secara mendalam persoalan yang lebih dominan antara
keduanya dalam merespon KDRT adalah mereka menganggap bahwa persoalan
KDRT tidak hanya menjadi tanggungjawab dari kelompok, jenis kelamin tertentu
misalnya perempuan, akan tetapi KDRT adalah menjadi tanggungjawab bersama.
Dari ketiga penelitian di atas membahas tentang kekerasan dalam rumah tangga
tetapi fokus dari penelitiannya bermacam-macam seperti halnya paparan diatas.
Sedangkan pada penelitian ini akan mengupas mengenai pemikiran para aktifis
gender terhadap kekerasan dalam rumah tangga dan aktualisasi pemikiran para
aktifis gender dalam upaya menyadarkan masyarakat tentang permasalahan hukum
kekerasan dalam rumah tangga.
B. Konsep Kekerasan Dalam Rumah Tangga
1. Pengertian Kekerasan dan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Kekerasan dalam kamus besar bahasa Indonesia berarti: a. Perihal yang bersifat,
berciri keras. b. Perbuatan seseorang atau sekelompok orang yang menyebabkan
cidera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang
lain. c. Paksaan.20
Definisi kekerasan secara terminologi sangat beragam. Pada umumnya, tindak
kekerasan dan penggunaannya dikaitkan dengan tindakan bermotivasi individual,
walaupun banyak tindak kekerasan dilakukan oleh individu atas nama orang lain.
Secara yuridis, melakukan kekerasan adalah membuat orang menjadi pingsan atau
tidak berdaya lagi (lemah). Melakukan kekerasan itu sendiri diartikan sebagai
mempergunakan tenaga atas kekuatan jasmani tidak kecil secara tidak sah, misalnya
memukul dengan tangan atau dengan senjata, menendang dan sebagainya. Potensi
kekerasan merupakan daya yang tersimpan secara latent, sedangkan tendensi
kekerasan adalah aktualisasinya yang terwujud dalam tingkah laku tertentu. Pada
umumnya tindakan agresif dapat digambarkan sebagai pelampiasan dorongan naluri
untuk berhasil menyakiti atau mencederai pihak lain yang dijadikan sasarannya.
Keberhasilan dari tindakan itu dengan sendirinya berakibat meredanya daya
dorongan itu. Dari sini muncul satu teori kekerasan yaitu teori agresif-frustrasi
(frustration-aggression theory) yang menerangkan adanya pertautan langsung antara
derajat frustrasi tertentu yang dialami seseorang timbulnya kecenderungan
bertingkah laku agresif.21
Ada juga pengertian kekerasan lainnya yaitu suatu tindakan
yang dilakukan oleh seseorang yang berposisi kuat (merasa kuat) kepada seseorang
yang berposisi lemah (dipandang lemah/dilemahkan), yang dengan sarana
20Rika Saraswati., Op.Cit. 18. 21La Jamaa dan Hadidjah, Hukum Islam dan Undang-undang Anti Kekerasan Dalam Rumah Tangga
(Surabaya: PT Bina Ilmu, 2008), 53-54.
kekuatannya, baik secara fisik maupun non-fisik dengan sengaja dilakukan untuk
menimbulkan penderitaan kepada objek kekerasan.22
Setelah memahami kekerasan secara umum di atas, selanjutnya akan membahas
tentang kekerasan dalam rumah tangga. Menurut Undang-undang No. 23 Tahun
2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, pasal 1 menyebutkan
bahwa pengertian kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap
seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau
penderitaan secara fisik, seksual, psikologis dan atau penelantaraan rumah tangga
termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan
kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.23
2. Bentuk-bentuk Kekerasan
Dari pemetaan yang dilakukan oleh Komnas Perempuan diketahui, bahwa
pengalaman kekerasan perempuan di Indonesia sangat pasif penyebarannya dan
mengambil bentuk yang beragam. Bentuk kekerasan tersebut dapat diidentifikasi
bukan hanya kekerasan fisik, tetapi bisa berbentuk sangat halus dan tidak kasat mata
seperti kecaman, kata-kata yang meremehkan dan sebagainya.
Keberadaan beberapa bentuk kekerasan dalam rumah tangga secara yuridis telah
ditetapkan dalam Undang-undang No. 23 Tahun 2004 dalam pasal 5 disebutkan,
bahwa: “setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap
orang dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara: a. kekerasan fisik; b. kekerasan
psikis; c. kekerasan seksual; atau d. penelantaran rumah tangga”.24
Berdasarkan
22Mufidah Cholidah Dkk, Haruskah Perempuan dan Anak Dikorbankan (Malang: Pilar Media, 2006),
2. 23LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2004 NOMOR 95, Tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Pasal 5. 24La Jamaa dan Hadidjah, Op.Cit., 69-70.
pasal 5 Undang-undang No. 23 Tahun 2004 bahwa bentuk-bentuk kekerasan dalam
rumah tangga mencakup sebagai berikut:
a. Kekerasan fisik
Kekerasan fisik adalah setiap perbuatan yang menyebabkan rasa sakit, cedera,
luka atau cacat pada tubuh seseorang, dan atau menyebabkan kematian. Bentuk-
bentuk perbuatan yang tergolong kekerasan fisik tersebut mencakup pukulan dengan
menggunakan anggota tubuh, pukulan dengan tangan kosong, ditinju, pukulan
dengan menggunakan benda atau alat dan sebagainya.25
b. Kekerasan psikis
Kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya
percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan atau
penderitaan psikis pada seseorang.26
Kekerasan psikologis diantaranya berupa kata-
kata kotor dan menyakitkan, marah-marah tidak jelas alasannya, pergi berhari-hari
dari rumah tanpa pamit dan tidak mengacuhkan (cuek) yang di tujukan kepada
korban. Kekerasan psikis yang berlangsung secara terus-menerus dapat menimbulkan
seorang istri merasa tidak dihargai, karena haknya untuk mendapatkan perlakuan
yang baik dari suaminya tidak terpenuhi bahkan jika dibiarkan menyebabkan
terancam putusnya tali perkawinan.
c. Kekerasan seksual
Kekerasan seksual adalah tiap-tiap perbuatan yang mencakup pelecehan seksual,
memaksa istri, baik secara fisik untuk melakukan hubungan seksual dan atau
melakukan hubungan seksual tanpa persetujuan adan di asaat si istri tidak
25 Fathul Djannah, Kekerasan Terhadap Istri (Yogyakarta: LkiS, 2007), 14. 26LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2004 NOMOR 95, Tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Pasal 5.
menghendaki, melakukan hubungan seksual dengan cara-cara yang tidak wajar atau
tidak disukai istri, maupun menjauhkan atau tidak memenuhi kebutuhan seksual
istri.27
d. Penelantaran rumah tangga (kekerasan ekonomi)
Penelantaran rumah tangga (kekerasan ekonomi) di jelaskan lebih lanjut dalam
pasal 9, Undang-undang tentang kekerasan dalam rumah tangga bahwa:
1) Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya,
padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau
perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada
orang-orang tersebut.
2) Penelantaran sebagaimana dimaksud ayat (1) juga berlaku bagi setiap orang yang
mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi atau melarang
untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di
bawah kendali orang tersebut.28
Esensi dari Penelantaran rumah tangga (kekerasan
ekonomi) ini adalah tindakan-tindakan dimana akses korban secara ekonomi di
halangi dengan cara tidak boleh bekerja tetapi ditelantarkan, kekayaan korban
dimanfaatkan tanpa seizin korban, atau korban diekploitasi untuk mendapatkan
keuntungan materi. Dalam kekerasan ini, ekonomi digunakan sebagai sarana untuk
mengendalikan korban.
3. Faktor Penyebab Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Didalam rumah tangga, ketegangan maupun konflik merupakan hal biasa.
Perselisihan pendapat, perdebatan, pertengkaran, saling mengejek atau hal yang
27Fathul Djannah, Op. Cit., 15. 28La Jamaa dan Hadidjah, Op.Cit., 81.
umum terjadi. Akan tetapi, semua itu pada era globalisasi dapat menjadi bagian dari
bentuk kekerasan dalam rumah tangga yang secara spesifik mengacu pada pengertian
kekerasan terhadap perempuan yang ada dalam Deklarasi Penghapusan Kekerasan
Terhadap Perempuan. Kekerasan dalam rumah tangga bisa menimpa siapa saja,
termasuk ibu, bapak, istri, suami, anak ataupun pembantu rumah tangga. Tetapi
kebanyakan korban kekerasan dalam rumah tangga adalah istri. Secara sederhana
faktor-faktor yang menimbulkan tindak kekerasan terhadap istri dapat dirumuskan
menjadi dua faktor yaitu:
1. Faktor Eksternal
Penyebab eksternal timbulnya kekerasan dalam rumah tangga berkaitan dengan
hubungan kekuasaan suami-istri dan diskriminasi jender di kalangan masyarakat.
Kekuasaan dalam perkawinan diekspresikan dalam dua area. Kelompok pertama,
dalam hal pengambilan keputusan dan kontrol atau pengaruh. Kelompok kedua, yang
ada di belakang layar, seperti halnya ketegangan, konflik dan penganiayaan. Lebih
lanjut dapat di katakan bahwa kekuasaan suami dalam perkawinan terjadi karena
unsur-unsur kultural dimana terdapat norma-norma di dalam kebudayaan tertentu
yang memberi pengaruh yang menguntungkan suami. Pembedaan peran dan posisi
antara suami dan istri di dalam keluarga dan masyarakat di turunkan secara kultural
dalam masyarakat pada setiap generasi, bahkan terkadang sampai di yakini sebagai
ideology. Kekuasaan suami yang tinggi terhadap istri juga dipengaruhi oleh
penguasaan suami dalam sistem keuangan, oleh karena itu suami menghabiskan
waktu di sektor yang menghasilkan uang sementara istri mengurusi rumah tangga
dan mengasuh anak, hal itu membuat masyarakat memandang pekerjaan suami lebih
bernilai.
2. Faktor Internal
Factor internal timbulnya kekerasan dalam rumah tangga adalah kondisis psikis
dan kepribadian suami sebagai pelaku tindak kekerasan. Dari dua faktor ini dapat
disimpulkan secara keseluruhan terdapat sedikitnya enam faktor yang menyebabkan
terjadinya kekerasan suami terhadap istri yaitu:
a. Fakta bahwa laki-laki dan perempuan tidak di posisikan setara dalam masyrakat.
b. Masyarakat masih memebesarkan anak lelaki dengan didikan yang bertumpukan
pada kekuatan fisik, yaitu untuk menumbuhkan keyakinan bahwa mereka harus
kuat dan berani serta tidak toleran.
c. Budaya yang mengkondisikan perempuan atau istri tergantung kepada laki-laki
atau suami, khususnya secara ekonomi.
d. Persepsi tentang kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga yang dianggap harus
ditutup-tutupi karena termasuk wilayah privat suami-istri dan bukan sebagai
persoalan sosial.
e. Pemahaman yang keliru terhadap ajaran agama tentang penghormatan pada
posisi suami, dan tentang ajaran kepatuhan istri kepada suami.
f. Kondisi kepribadian dan psikologis suami yang tidak stabil dan tidak benar.29
4. Dampak Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Kekerasan suami terhadap istri pada umumnya memiliki akibat yang
berkepanjangan dan sering terjadi secara berulang-ulang karena istri berusaha
memendam perasaannya untuk mempertahankan keutuhan rumah tangga. Pada
umumnya istri tidak suka dengan status janda cerai karena memiliki dampak sosial
yang tidak menyenangkan karenanya lebih banyak yang tetap bertahan dalam ikatan
29Fathul Djannah, Op. Cit., 16-21.
perkawinan, walaupun hidup dalam kekerasan. Adanya persoalan batin antara
penderitaan dengan keinginan untuk mempertahankan rumah tangga itu
menyebabkan timbulnya perasaan rendah diri dan tidak percaya diri, selalu
menyalahkan diri sendiri, mengalami gangguan terfilitas (kesuburan) serta gangguan
siklus haid karena jiwanya tertekan.
Dampak kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga dapat di kategorikan
menjadi 4 macam:
a. Dampak fisik
Dampak fisiknya yaitu: luka-luka, memar, lecet, gigi rompal, patah tulang,
cidera, gangguan fungsional keluahan fisik cacat permanen, dan mati.
b. Dampak psikis
Dampak psikisnya yaitu: sering menangis, sering melamun, tidak bisa bekerja,
gangguan makan, gangguan tidur, mudah lelah, tidak bersemangat, takut/trauma,
mudah marah, resah dan gelisah, bingung, malu,melakukan usaha bunuh diri dan
depresi.
c. Dampak seksual
Dampak seksualnya yaitu: kerusakan organ repruduksi, pendarahan
kemungkinan keguguran dua kali lebih tinggi bagi yang hamil, penyakit menular
seksual, ASI terhenti akibat tekanan jiwa, trauma hubungan seksual, virgiditas,
menopause dini dan penyakit menular seksual (HIV/AIDS).
d. Dampak ekonomi
Dampak ekonominya yaitu: kehilangan penghasilan dan sumber penghasilan,
kehilangan tempat tinggal, harus menanggung biaya medis untuk luka fisik akibat
kekerasan, kehilangan waktu produktif karena tak mampu bekerja akibat
kekerasan dan harus menanggung nafkah keluarga dalam kasus penelantaran.30
Penderitaan akibat penganiayaan dalam rumah tangga tidak terbatas kepada istri
saja, tetapi menimpa anak-anak juga. Anak-anak bisa mengalami penganiayaan
secara langsung atau merasakan penderitaan akibat menyaksikan penganiayaan yang
dialami oleh ibunya. Menyaksikan kekerasan merupakan pengalaman yang sangat
traumatis bagi anak-anak. Mereka sering kali terpaku, ketakutan dan tidak mampu
berbuat sesuatu ketika ayah dan ibunya bertengkar. Akibat kekerasan tidak sama
pada semua anak, diantara ciri-ciri anak yang menyaksikan atau mengalami
kekerasan dalam rumah tangga sebagai berikut: sering gugup, suka menyendiri,
cemas, sering ngompol, gelisah gagap, sering menderita gangguan perut, sakit kepala
dan asma, kejam pada binatang dan sering memukul teman.31
C. Pembentukan Hukum
Titik berat perkembangan hukum tidak terletak perundang-undangan juga tidak
dalam keputusan pengadilan maupun dalam ilmu pengetahuan di bidang hukum,
tetapi dalam masyarakat itu sendiri.32
Logika, sejarah, adapt-istiadat, kegunaan dan
patokan-patokan perilaku yang benar atau yang diterima merupakan kekuatan-
kekuatan yang baik sendiri maupun bersama membentuk perkembangan hukum.
Salah satu dari kepentingan-kepentingan social yang paling fundamental ialah bahwa
hukum harus sama dan tidak memihak. Dalam perbuatannya tidak ada sesuatu yang
30Mufidah Cholidah Dkk, Op. Cit., 24-26. 31Farha Ciciek, Jangan Ada Lagi Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama, 2005), 45-47. 32Friedmann, diterjemahkan oleh Muhammad Arifin, Teori dan Filsafat Hukum (Jakarta: PT Raja
Grafindi Persada, 1994), 104.
penuh prasangka atau kebaikan atau bahkan tingkah semaunya atau ketidaktentuan.
Oleh karena itu, yang terpenting ialah mengikuti apa yang dapat dijadikan teladan.
Kepentingan social yang dilayani oleh simetri atau kepastian harus diseimbangkan
dengan kepentingan social yang dilayani oleh kepatutan dan kejujuran atau unsure-
unsur lain dari kesejahteraan social. Semua ini adalah perkembangan-perkembangan
hukum yang dekat hubungannya dengan faktor-faktor social, politik dan ekonomi.33
D. Penegakan Hukum
Penegakan hukum merupakan suatu persoalan yang dihadapi oleh setiap
masyarakat. Perkataan penegakan hukum mempunyai konotasi menegakkan,
melaksanakan ketentuan di dalam masyarakat, sehingga dalam konteks yang lebih
luas penegakan merupakan suatu proses berlangsungnya perwujudan konsep-konsep
yang abstrak menjadi kenyataan. Proses penegakan hukum dalam kenyataannya
memuncak pada pelaksanaannya oleh para pejabat penegak hukum itu sendiri.
Menurut Soerjono Soekanto penegakan hukum adalah kegiatan menyerasikan
hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaedah-kaedah yang mantap dan
mengejawantahkan dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir,
untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.34
Dalam proses penegakan hukum, ada faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Faktor tersebut cukup mempunyai arti sehingga dampak positif dan negatifnya
terletak pada isi faktor tersebut. Menurut Soerjono Soekanto bahwa faktor-faktor
tersebut ada lima, yaitu:
33Ibid., 146-147. 34Ishaq, Dasar-dasar Ilmu Hukum (Jakarta: Sinar grafika, 2008), 244.
1. Hukumnya sendiri, yang di dalam tulisan ini akan dibatasi pada undang-undang
saja.
2. Penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan
hukum.
3. Sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.
4. Masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan.
5. Kebudayaan, yakni hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa
manusia di dalam pergaulan hidup.
Jika kelima faktor tersebut dijadikan barometer di dalam penegakan hukum oleh
polisi untuk melihat faktor prnghambat dan pendorong di dalam pelaksanaan
tugasnya.
Dalam berfungsinya hukum, mentalitas dan kepribadian petugas penegak hukum
memainkan peranan penting. Oleh karena itu, salah satukunci keberhasilan
penegakan hukum adalah mentalitan dan kepribadian penegak hukum. Seperti yang
diungkapkan oleh J.E. Sahetapy bahwa dalam rangka penegakan hukum dan
implementasi penegakan hukum bahwa penegakan keadilan tanpa kebenaran adalah
suatu kebijakan. Penegakan kebenaran tanpa kejujuran adalah suatu kemunafikan.
Dalam kerangka penegakan hukum oleh setiap lembaga penegakan hukum keadilan
dan kebenaran harus dinyatakan, harus terasa dan terlihat atau harus diaktualisasikan.
Di dalam konteks di atas yang menyangkut kepribadian dan mentalitas penegak
hukum, bahwa selama ini ada kecenderungan yang kuat di kalangan masyarakat
untuk mengartikan hukum sebagai petugas atau penegak hukum, artinya hukum
identik dengan tingkah lakunyata petugas atau penegak hukum.35
E. Kultur Hukum
Pembicaraan mengenai hukum sebagai institusi sosial ternyata melibatkan pula
peranan dari orang-orang yang tersangkut di dalamnya, khususnya sebagai rakyat
biasa yang menjadi sasaran pengadministrasian hukum. Keikutsertaan orang-orang
inimisalnya terlihat pada hubungan antara bekerjanya sub sistem budaya dalam
masyrakat dengan institusi hukumnya. Di situ dikatakan, bahwa agar hukum itu bisa
bekerja sesuai dengan fungsinya yaitu sebagai sarana pengintegrasi, maka maka
rakyat pun harus tergerak untuk menyerahkan sengketanya kepada pengadilan.
Kultur hukum merupakan salah satu unsure dari sistem hukum yang
membicarakan hal-hal yang sebagaimana dikemukakan dia atas. Ia melihat, bahwa
hukum itu tidak layak hanya dibicarakan dari segi struktur dan substansinya saja,
melainkan juga dari segi kulturnya. Menurut Friedmann, di samping struktur dan
substansi tersebut masih ada satu unsur lagi yang penting dalam sistem hukum yaitu
unsure tuntutan atau permintaan. Oleh karena mengalami kesulitan dalam mencari
istilah yang tepat untuk unsur tersebut Friedmann memilih istilah kultur hukum.
Tuntutan tersebut datangnya dari rakyat atau para pemakai jasa hukum seperti dua
orang tetangga bersengketa karena sesuatu hal yang mengenai suatu kepentingan.
Sebagai kelanjutannya mereka memilih untu diselesaikan di pengadilan. Orang
secara sadar dating kepada hukum (pengadilan) tentunya disebabkan oleh penilaian
yang positif mengenai institusi tersebut.
35Ibid., 247.
Kultur hukum ini layak untuk dimasukkan ke dalam pembicaraan mengenai
hukum. Oleh karena ia mengandung potensi untuk dipakai sebagai sumber informasi
guna menjelaskan sistem hukum.36
F. Teori Pemikiran Hukum
Seluruh pemikiran sistematik teori hukum pada satu sisi berkaitan dengan
filsafat dan sisi lain dengan teori politik. Dua aspek ini akan mempermudah
pemahaman tentang perkembangan pemikiran hukum. Beberapa pemikir hukum
pada awalnya adalah filsuf dan menjadi ahli hukum demi melengkapi sistem filsafat
mereka. Beberapa pemikir lainnya pada awalnya merupakan ahli politik dan menjadi
ahli hukum karena mereka merasa perlu mengutarakan pemikiran politik mereka
dalam bentuk hukum.
Teori dalam dunia ilmu hukum sangat penting keberadaannya, karena teori
merupakan konsep yang akan menjawab suatu permasalahan. Teori menurut para
ahli mengganggap sebagai sarana yang memberikan rangkuman bagaimana
memahami suatu masalah dalam setiap bidang ilmu pengetahuan hukum. Menurut
Sarlito Wirawan Sarwono, teori adalah serangkaian hipotesis atau proposisi yang
saling berhubungan tentang suatu gejala (fenomena) atau sejumlah gejala.37
Adapun macam-macam teori hukum adalah sebagai berikut:
1. Teori-teori Yunani dan Romawi
Pada zaman Yunani Kuno dipandang sebagai sumber pemikiran tentang hukum
dan filsafat, karena pada zaman ini orang memiliki kebebasan untuk mengungkapkan
36Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000), 153-155. 37Ishaq., Op. Cit., 192.
ide atau pendapatnya. Bangsa Yunani pada masa ini tidak lagi mempercayai
metologi-metologi, juga tidak dapat menerima pengalaman yang didasarkan pada
sikap receptive attitude (sikap menerima begitu saja), tetapi menumbuhkan sikap an
inquiring attitude, yakni sikap yang senang menyelidiki sesuatu secara kritis. Dengan
sikap inilah, bangsa Yunani terampil sebagai ahli hukum dan ahli pikir terkenal. Oleh
karena itu, pemikiran hukum sekarang ini sebenarnya telah mendapatkan perumusan
pada masa Yunani Kuno.38
Dibandingkan dengan Yunani, maka Romawi tidak banyak memberikan
pemikiran pada teori ini. Bangsa yang disebut belakangan itu lebih banyak
menyumbangkan pemikirannya di bidang konsep-konsep serta teknik-teknik yang
berhubungan dengan hukum positif. Ada hal yang menyebabkan pemikiran falsafati
tentang hukum itu begitu subur di Yunani yaitu terdapat kecenderungan-
kecenderungan untuk berpikir spekulatif serta persepsi intelektualnya untuk
menyadari adanya tragedi kehidupan manusia serta konflik-konflik dalam kehidupan
dunia ini, seperti terlihat pada karya-karya filsafat dan kesusteraannya, memberikan
saham yang besar kearah pemikiran tentang hukum yang bersifat teoritis.39
Plato hidup pada tahun 427 sebelum masehi, dilahirkan di kota Athena (Yunani)
murid Socrates. Plato yang sendirinya adalah seorang filsuf, ia mengembangkan
teorinya sendiri mengenai keadilan. Menurut Plato keadilan adalah apabila seseorang
itu menjalankan pekerjaannya dalam hidup ini sesuai dengan kemampuan yang ada
padanya. Dengan demikian, Plato hendak mengatakan, bahwa masyarakat yang adil
adalah yang anggotanya bisa menjalankan secara demikian. Mengurusi pekerjaannya
38Ibid., 195. 39Satjipto Rahardjo, Op. Cit., 256.
sendiri dan tidak mencampuri urusan orang lain. Dalam The Republic Plato
menyerahkan penyelesaian itu kepada para hakim. Ia tidak menghendaki agar dalam
menyelesaikan masalah itu para hakim di ikat oleh peraturan-peraturan yang pasti
yang terdapat dalam hukum positif. Namun menjelang akhir hidupnya, Plato tidak
lagi menerima konsep Negara yang diperintah oleh kekuasaan serta orang-orang
yang bebas, melainkan keadilan harus dijalankan atas dasar norma-norma tertulis dan
para penguasa haruslah menjadi hamba yang tidak membeda-bedakan orang.40
Aristoteles (384-322 SM) adalah murid Plato, buku yang ditulisnya di antaranya
Etica berisi ajaran tentang keadilan dan buku Politica yang berisikan mengenai
Negara. Plato peletak dasar ajaran idealisme, sedangkan Aristoteles mengembangkan
ajaran realisme (kenyataan), yang menyatakan bahwa hakikat semua benda harus di
cari di dalam benda itu sendiri. Dalam pikiran Aristoteles, bahwa hukum harus di
bagi dalam dua kelompok yaitu:
a. Hukum alam atau kodrat yang mencerminkan aturan alam. Hukum alam itu
merupakan suatu hukum yang selalu berlaku dan tidak pernah berubah karena
kaitannya dengan aturan alam.
b. Hukum positif yang di buat oleh manusia, pembentukan hukum ini selalu harus
dibimbing oleh suatu rasa keadilan dengan prinsip equality (kesamaan) yang
kemudian melahirkan keadilan distributive dan keadilan korektif
Keadilan distributif mengacu kepada pembagian barang dan jasa kepada setiap
orang sesuai dengan kedudukannya dalam masyarakat dan perlakuan yang sama
terhadap kesederajatan dihadapan hukum. Keadilan korektif pada dasarnya
merupakan ukuran teknis dari prinsip-prinsip yang mengatur penerapan hukum.
40Ibid., 257.
Dalam mengatur hubungan hukum harus ditentukan suatu standar yang umum untuk
memperbaiki setiap tindakan, tanpa memperhatikan pelakunya, dan tujuan dari
perilaku dan objek tersebut harus diukur melalui ukuran objektif.41
Hukum Romawi mengalami perkembangan pada kekaisaran Roma Timur atau
Byzantium, lalu di warisi kepada generasi selanjutnya dalam bentuk suatu kodek
hukum. Pada tahun 522-534 M seluruh perundangan kekaisaran Romawi di
kumpulkan dalam suatu kodek atas perintah Kaisar Yustinianus. Kodek itu di
namakan Codec Iuris Romani atau Codec Iustinianus atau Corpus Iuris Civilis
(CIC). Kemudian kodek ini diresepsi dalam hukum Negara-negara Eropa pada abad
ke- 15 dan 16. Melalui jalan ini hukum Romawi kuno menjadi sumber utama dari
hukum perdata modern.42
2. Teori Ajaran Hukum Fungsional
Ajaran hukum fungsional dari guru besar Rotterdam, J. ter Heide, beberapa
tahun lalu telah menarik banyak perhatian di Belanda. Ajaran ini berintikan
pandangan bahwa berfungsinya hukum dapat dipahami sebagai pengartikulasian
suatu hubungan yang ajeg diantara sejumlah variabel. Ter Heide menyatakan
hubungan tersebut dalam rumus (formula) “B=fPE”, yang berarti perilaku para yuris,
hakim, pembentuk undang-undang, warga masyarakat (B) berada dalam suatu
hubungan yang ajeg (f) terhadap di satu pihak berbagai kaidah hukum (P) dan di
pihak lain lingkungan-lingkungan konkret (E). Dengan cara ini diperoleh suatu
pemahaman (in-sight) tentang berfungsinya hukum, dalam arti bahwa ia dipahami
sebagai suatu “data” (keterberian) dalam suatu konteks kemasyarakatan, yang
41Ishaq, Op.Cit., 196-197. 42Ibid., 198.
didalamnya tidak hanya keadaan-keadaan (lingkungan) faktual, tetapi juga kaidah-
kaidah, harapan-harapan, asas-asas mempunyai arti penting. Ter Heide menunjukkan
bahwa tindakan yuridik (perbuatan hukum) itu tidak hanya menerapkan kaidah-
kaidah, ia menciptakan harapan-harapan, ia mengartikulasikan “makna” yang
terkandung dalam suatu cakrawala pengalaman tertentu.43
3. Teori Sistem
Teori sistem ini dikembangkan oleh yuris-sosiolog Niklas Luhmann dari Jerman
dan di Belanda dipropogandakan oleh guru besar hukum tata Negara dari Utrecht,
yakni M.C. Burkens. Menurut teori sistem ini, hukum harus dipahami dengan latar
belakang masyarakat dalam arti yang seluasnya. Manusia-manusia hidup dalam
berbagai hubungan antara yang satu dengan yang lainnya dan mempunyai harapan-
harapan tentang perilaku masing-masing dan tentang reaksi-reaksi masing-masing
terhadapnya. Menurut pandangan Luhmann, fungsi dari sistem itu adalah mereduksi
kompleksitas ini menjadi struktur-struktur yang kurang lebih jelas kerangka
umumnya. Dengan cara itu kehidupan menjadi tertata dan kepastian di dalam
masyarakat dapat diciptakan. Sistem itu memperlihatkan sejumlah besar bentuk-
bentuk, misalnya politik, ekonomi, ilmu, hukum. Daya jangkau dari hukum adalah
secara umum untuk memungkinkan berfungsinya semua sistem yang lain. Untuk itu
hukum harus mengupayakan bahwa di dalam masyarakat tersedia keputusan-
keputusan (hukum) yang mengikat. Hukum mengambil dari masyarakat pada satu
pihak berbagai keterberian atau data (input) dan mengolahnya menjadi keputusan-
keputusan (output) pada pihak lain. Dalam arti demikian, maka harapan-harapan
43Meuwissen, diterjemahkan B. Arief Sidharta, Tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori
Hukum dan Filsafat Hukum (Bandung: PT Refika Aditama, 2008), 33.
yang komplek direduksi menjadi aturan-aturan hukum yang dapat diperhitungkan
dan berkerangka umum.44
4. Teori Hukum Alam
Lahirnya hukum alam pada dasarnya merupakan sejarah umat manusia dalam
usahanya untuk menemukan apa yang dinamakan absolute justice (keadilan yang
mutlak) disamping sejarah tentang kegagalan umat manusia dalam mencari keadilan
tersebut. Aliran hukum alam menyebut “hukum itu langsung bersumber dari Tuhan,
bersifat universal dan abadi, serta antara hukum dan moral tidak boleh dipisah-
pisahkan”. Aliran ini dipelopori oleh Plato, Aristoteles dan Zeno (Pendiri aliran
stoic). Pada prinsipnya bahwa penganut hukum alam memandang hukum dan moral
merupakan pencerminan dan pengaturan secara internal dan eksternal dari kehidupan
manusia yang diwujudkan melalui hukum dan moral.
Hukum alam sesungguhnya merupakan suatu konsep yang mencakup banyak
teori didalamnya yang memunculkan dari masa ke masa. Oleh karena itu, tidak
mustahil diantara para ahli hukum terdapat perbedaan pandangan, penilaian dalam
menafsirkan dan mengartikan hukum alam tersebut. Hal ini di antaranya dapat dilihat
sebagai berikut:
a. Soejdono Dirdjosisworo menjelaskan, bahwa hukum alam adalah ekspresi dari
kegiatan manusia yang mencari keadilan sejati yang mutlak.
b. Surojo Wignjodipuro mengatakan, bahwa hukum alam adalah hukum yang
digambarkan berlaku adil, sifatnya kekal, berlaku di mana pun dan pada zaman
apa pun juga.
44Ibid., 33-34.
c. Aristoteles dalam C.S.T. Kansil mengatakan, bahwa hukum alam adalah hukum
yang oleh orang-orang berpikiran sehat dirasakan sebagai selaras dengan kodrat
alam.
Dalam kiprahnya, aliran hukum alam senantiasa berpedoman bahwa hukum yang
benar adalah hukum yang berasal dari Tuhan, sebagai hukum kodrat yang sesuai
dengan alam kemudian dicurahkan ke dalam jiwa manusia, suatu hukum abadi yang
tidak berubah-ubah. Pada hakikatnya, menurut teori hukum alam pada kaedah yang
sifatnya universal. Ia selalu merindukan adanya hukum yang lebih tinggi dan eksis
dari pada hukum positif. Hukum alam sebagai kaedah yang bersifat universal, abadi
dan berlaku mutlak, ternyata dalam kehidupan modern sekalipun tetap akan eksis
yang terbukti dengan semakin banyaknya orang membicarakan masalah hak asasi
manusia (HAM).45
5. Teori Hukum Murni
Teori ini dikemukakan oleh Hans Kelsen (1881-1973) yang dituangkan dalam
karyanya yang terkenal dengan judul Reine Rechtslehre (ajaran hukum murni),
Algemeine Staatslehre (ajaran umum tentang negara), General theory of Law and
State (teori umum tentang hukum dan negara). Teori hukum murni dari Hans Kelsen
merupakan bentuk pemberontakan terhadap ilmu hukum yang ideologis, yakni yang
hanya mengembangkan hukum sebagai alat pemerintahan dan Negara-negara
totaliter. Teori ini juga dinilai sebagai penjelmaan dan pengembangan dari aliran
positivisme yang menentang ajaran yang bersifat ideologis.46
45Ishaq, Op.Cit., 198-200. 46Ibid., 210.
Dasar-dasar teori Kalsen adalah sebagai berikut:
a. Tujuan teori tentang hukum, seperti juga setiap ilmu, adalah untuk mengurangi
kekalutan dan meningkatkan kesatuan.
b. Teori hukum adalah ilmu, bukan kehendak, keinginan. Ia adalah pengetahuan
tentang hukum yang ada, bukan tentang hukum yang seharusnya ada.
c. Ilmu hukum adalah normative, bukan ilmu alam.
d. Sebagai suatu teori tentang norma-norma, teori hukum tidak berurusan dengan
persoalan efektivitas norma-norma hukum.
e. Suatu teori tentang hukum adalah formal, suatu teori tentang cara pengaturan dari
isi yang berubah-ubah menurut jalan atau pola yang spesifik.
f. Hubungan antara teori hukum dengan suatu sistem hukum positif tertentu adalah
seperti antara hukum yang mungkin dan hukum yang ada.47
Selanjutnya konsep Hans Kelsen dalam bentuk lain adalah konsep Grundnorm,
yaitu dalil yang menganggap bahwa semua hukum bersumber pada satu induk.
Maksudnya, semua peraturan hukum diturunkan dari norma dasar yang berada
dipuncak piramid sehingga semakin ke bawah semakin luas dan beragam keberadaan
peraturan hukum. Norma hukum (groundnorm) bersifat abstrak/mengikat umum,
semakin ke bawah semakin konkret/mengikat orang tertentu yang sebelumnya tidak
dapat dilaksanakan, menjadi dilaksanakan.48
6. Teori Aliran Hukum Positif (Positivisme)
Aliran hukum positif menurut Hans Kelsen seperti yang dikutip oleh Lili Rasyidi
merupakan suatu teori tentang hukum yang senyatanya dan tidak mempersoalkan
47Satjipto Rahardjo, Op.Cit., 273. 48Ishaq, Op.Cit., 211.
senyatanya itu, yakni apakah hukum positif yang senyatanya itu adil atau tidak adil.
Selain itu, dapat dikatakan bahwa hukum positif yang senyatanya merupakan
kebalikan dari hukum alam. Sebab, aliran ini mengidentikkan hukum dengan
undang-undang. Satu-satunya sumber hukum adalah undang-undang. Salah seorang
tokoh terkemuka dari aliran positif, yaitu L.A. Hart. Hart mengajukan lima
pengertian dari hukum positif, yaitu sebagai berikut:
a. Anggapan bahwa undang-undang adalah perintah-perintah manusia.
b. Anggapan bahwa tidak perlu ada hubungan antara hukum dengan moral atau
hukum yang ada dan yang seharusnya ada.49
c. Analisa mengenai pengertian hukum (legal concept) adalah penting dan harus
dibedakan:
1) Penyelidikan secara sejarah tentang sebab-musabab hukum atau tentang
sumber hukum.
2) Penyelidikan secara sosiologis mengenai hubungan hukum dengan gejala-
gejala kemasyarakatan lainnya.
3) Penyelidikan hukum yang didasarkan pada kesusilaan, tujuan-tujuan sosial
fungsi hukum dan sebagainya.
d. Sistem hukum adalah suatu sistem logika yang tertutup. Pada sistem tersebut
ketentuan-ketentuan hukum yang benar bisa diperoleh dengan alat-alat logika
dari peraturan-peraturan hukum yang telah ditetapkan sebelumnya, tanpa
memperhatikan pada tujuan-tujuan sosial, politik, ukuran-ukuran moral dan
sebagainya.
49�Zainuddin Ali, Filsafat Hukum (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), 54.
e. Pertimbangan-pertimbangan mengenai kesusilaan tidak dapat dibuat atau
dibuktikan dengan menggunakan argumentasi-argumentasi dan bukti berdasarkan
logika, sebagai misalnya dalam hal keterangan-keterangan tentang fakta-fakta.50
Austin dengan pendapatnya yang menyatakan bahwa hukum merupakan perintah
dari mereka yang memegang kekuasaan tertinggi atau dari yang memegang
kedaulatan. Selanjutnya Austin menjelaskan bahwa hukum adalah perintah yang
dibebankan untuk mengatur makhluk berpikir, perintah mana dilaksanakan oleh
makhluk berpikir yang memegang dan mempunyai kekuasaan. Austin menganggap
hukum sebagai suatu sistem yang logis, tetap bersifat tertutup.
Hukum secara tegas dipisahkan dari kedilan (dalam arti kesebandingan), dan
hukum tidak didasarkan pada nilai-nilai yang baik atau buruk, namun didasarkan atas
kekuasaan yang lebih tinggi. Kemudian John Austin membagi hukum itu ke dalam
dua bagian, yaitu:
a. Hukum yang dibuat oleh Tuhan.
b. Hukum yang disusun oleh umat manusia. Hukum yang dibuat oleh manusia dapat
dibedakan dalam: Hukum yang sebenarnya dan hukum yang tidak sebenarnya.
Hukum yang sebenarnya yang disebut juga dengan istilah hukum positif, yaitu
hukum yang dibuat oleh penguasa, misalnya undang-undang, peraturan pemerintah,
serta hukum yang dibuat oleh rakyat secara individual yang dapat digunakan untuk
melaksanakan hak-hak yang diberikan kepadanya.
Hukum yang tidak sebenarnya adalah hukum yang tidak memenuhi persyaratan
sebagai hukum. Jenis hukum ini tidak dibuat oleh penguasa atau badan berdaulat
50�Soetiksno, Filsafat Hukum (Jakarta: PT Pradnya Paramita, 2008), 53.
yang berwenang. Misalnya ketentuan yang dibuat oleh perkumpulan atau badan-
badan tertentu dalam bidang keolahragaan, dan mahasiswa.
Austin berpendapat bahwa hukum yang sebenarnya mengandung didalamnya
empat unsur yaitu perintah, sanksi, kewajiban dan kedaulatan. Unsur perintah ini
berarti ada satu pihak menghendaki agar pihak lain melakukan sesuatu atau tidak
melakukan sesuatu. Kemudian pihak yang diperintah akan mengalami penderitaan
apabila perintah tersebut tidak dijalankan/ditaati dan penderitaan tersebut merupakan
sanksi. Perintah itu merupakan pembedaan kewajiban terhadap yang diperintah, dan
yang terakhir ini hanya dapat terlaksana jika yang memerintah itu adalah pihak yang
berdaulat.51
7. Teori Realisme Hukum
Aliran realisme hukum merupakan salah satu subaliran dari positivisme hukum
yang dipelopori oleh John Chipman, Gray, Oliver Wendel Holmes, Karl Llwellyn,
Jerome Frank, William James dan lain-lain. Roscoe Pound pun dapat digolongkan ke
dalam mazhab ini melalui pendapatnya yang mengungkapkan bahwa hukum itu
merupakan a tool of sosial engineering.
Menurut Llwellyn, realisme hukum bukanlah merupakan aliran di dalam filsafat
hukum, melainkan sebagai suatu gerakan dalam cara berpikir tentang hukum.
Realisme hukum mempunyai ciri-ciri, yakni sebagai berikut:
a. Realisme bukanlah suatu aliran/mazhab. Realisme adalah suatu gerakan dalam
cara berpikir dan cara bekerja tentang hukum.
b. Realisme adalah suatu konsepsi mengenai hukum yang berubah-ubah dan sebagai
alat untuk mencapai tujuan sosial, maka tiap bagiannya harus diselidiki mengenai
51�Ishaq., Op.Cit. 206-207
tujuan maupun hasilnya. Hal ini berarti bahwa keadaan sosial lebih cepat
mengalami perubahan dari pada hukum.
c. Realisme mendasarkan ajarannya atas pemisahan sementara antara sollen dan
sein untuk keperluan suatu penyelidikan agar penyelidikan itu mempunyai tujuan
maka hendaknya diperhatikan adanya nilai-nilai dan observasi terhadap nilai-
nilai itu haruslah seumum mungkin dan tidak boleh dipengaruhi oleh kehendak
observer dan tujuan kesusilaan.
d. Realisme tidak mendasarkan pada konsep hukum tradisional karena realisme
bermaksud melakukan apa yang dilakukan sebenarnya oleh pengadilan dan
orang-orangnya. Untuk itu dirumuskan definisi dalam peraturan yang merupakan
ramalan umum tentang apa yang akan dikerjakan oleh pengadilan. Berdasarkan
keyakinan ini, realisme menciptakan penggolongan perkara dan keadaan hukum
yang lebih kecil jumlahnya dari jumlah penggolongan yang ada pada masa
lampau.
e. Gerakan realisme menekankan pada perkembangan setiap bagian hukum
haruslah diperhatikan dengan seksama mengenai akibatnya.
Untuk mewujudkan ciri-ciri program realisme hukum tersebut diatas, telah di
gariskan hal-hal berikut:
a. Keterampilan diperlukan bagi seseorang dalam memberikan argumentasinya
yang logis atas putusan-putusan yang telah diambilnya bukan hanya sekedar
argument yang diajukan oleh ahli hukum yang nilainya tidak berkualitas.
b. Mengadakan perbedaan antara peraturan dengan memperlihatkan relativitas
makna peraturan tersebut.
c. Menggantikan kategori hukum yang bersifat umum dengan hubungan khusus dari
keadaan yang nyata.
Lebih jauh Llwellyn berpendapat bahwa hukum harus diterima sebagai sesuatu
yang terus-menerus berubah, hukum bukan yang sesuatu statis. Tujuan hukum harus
senantiasa dikaitkan dengan tujuan masyarakat dimana hukum itu berada.
Masyarakat merupakan proses yang terus menerus berubah secara
berkesinambungan, oleh karena itu perubahan hukum pun merupakan suatu hal yang
esensial. Demikian pula ternyata bahwa dibutuhkan penekanan pada evaluasi hukum
terhadap dampak dan efek pada masyarakat.52
8. Teori Idealisme
Menurut I. Kant (1724-1804) gejala-gejala etika dan hukum harus dipahami dari
sudut yang sama. Untuk itu Kant mencari aturan-aturan atau asas-asas a priori, yakni
yang tidak bertumpu pada pengalaman, yang dapat menjadi suatu pedoman mengikat
bagi perilaku. Berkenaan dengan itu Kant mengkonstatasi apa yang dinamakan
“faktum der vernunft” (fakta kesadaran akal budi), artinya mengalami dalam diri
sendiri gejala “wajib” (pflicht), suatu “du Sollst” (anda harus), yang mewajibkan
untuk bertindak dengan suatu cara tertentu.
Kaidah kesusilaan atau “Kategoriche Imperatif” ini menurut Kant hanya
mungkin dimengerti, jika bertolak dari kebebasan manusia. Hanya sejauh orang
memiliki kebebasan untuk mematuhi atau justru tidak mematuhi kewajiban ini, maka
gejala kewajiban itu mempunyai makna. Makhluk-makhluk yang dideterminasi
seperti binatang tidak memiliki kewajiban. Menurut Kant kebebasan ini adalah inti
otonomi (kemandirian) manusia.
52�Zainuddin Ali., Op.Cit. 63-64.
Dengan demikian makhluk yang bebas hanya bertindak secara etikal bertanggung
jawab, jika ia melakukannya murni semata-mata timbul dari respek (penghormatan)
terhadap kewajiban, respek terhadap undang-undang yang berlaku. Demikianlah
manusia bertindak secara etikal bertanggung jawab, jika motif dari tindakannya dapat
menjadi landasan untuk suatu kaidah (undang-undang) yang berlaku bagi setiap
orang. Dalam hal itu maka tidak hanya ia yang dapat bertindak karena respek pada
kaidah, tetapi orang lain juga dapat berbuat demikian . apa yang dimaksud Kant asas
universalisasi ini adalah kriteria untuk menentukan bobot etis dari kemauan dan
perbuatan, itu juga berlaku bagi hukum.53
53Meuwissen., Op.Cit, 70-71
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Lokasi Penelitian
1. Sejarah Berdirinya Pusat Studi Gender
Kelahiran PSG/W terkait dengan fenomena ketidakadilan gender dan beberapa
cara mendekati atau menafsirkan agama dengan pemahaman yang kurang tepat
sehingga konstruksi sosial dan cara beragama pun kurang mencerminkan nilai-nilai
universalajaran Islam dan diperkuat oleh surat keputusan bersama tiga menteri pada
tahun 1996 antara Menteri UPW Pendidikan dan Kebudayaan dan Menteri Agama.
Melalui pertemuan rector se-Indonesia dalam kebijakan perguruan tinggi, tanggal 11-
14 Januari poin 2 dan 3 PSW di perguruan tinggi baik negeri, swasta dan IAIN pada
rapat peningkatan peranan wanita dalam pembangunan dipandang perlu
keberadaannya dalam mensukseskan program pemerintah di bidang pemberdayaan
rektor atau pimpinan perguruan tinggi agar dapat menjelankan fungsinya secara
optimal, managerial, peningkatan SDM, pengadaan fasilitas dan program kegiatan."
Mengingat hal itu PSG UIN Malang pada awalnya di rintis tahun 1997 dengan nama
Kelompok Program Studi Wanita (KPSW), yang selanjutnya berubah nama menjadi
Pusat Studi Wanita (PSW), yang masa itu berstatus STAIN Malang. PSW secara
structural di bawah naungan LP3M.
Nama PSG yang digunakan saat ini merupakan konsekwnsi perlunya merubah
strategi dari Women In Development (WID) ke Gender And Development (GAD)
yang didasarkan pada pertimbangan:
a. Pendekatan WID cenderung terfokus pada peran seseorang (wanita) dan
mengabaikan hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan. Kecenderungan
ini mengindikasikan kurang adanya singkronisasi antara paradigma yang ada dan
agenda pembangunan. Hal ini tergambar dengan jelas pada amanat GBHN 1993
seperti hal tersebut di atas.
b. Pendekatan GAD yang digunakan oleh PSG pada dasarnya adalah merupakan
proses pemberdayaan yang membutuhkan keterlibatan laki-laki dan perempuan.
Hal ini sesuai dengan dicanangkannya pembangunan itu sendiri yang di pandang
sebagai agenda yang berpusat pada masyarakat. Paradigma ini didukung oleh
sebuah asumsi bahwa, melibatkan laki-laki dalam penguatan kepentingan
perempuan akan menciptakan kompromi dan kerjasama yang lebih baik dan di
sandarkan oleh komitmen kritis melaui hubungan rasional komunikatif.
PSG UIN Malang ke depan diharapkan bisa berperan lebih cepat dalam
mengantisipasi perubahan sosial yang diikuti ragam persoalan ketimpangan gender
seperti kekerasan, kesenjangan pendidikan dan kesejahteraan peran, ketenagakerjaan,
kesehatan, reproduksi dan perlu meningkatkan kinerja dalam pembaharuan dan
pengembangan gagasan lintas disiplin ilmu, guna memberi respon persoalan
perempuan dan memberi solusi tepat dengan melakukan pelebaran sayap dan
jaringan Internasional.
2. Visi dan Misi Pusat Studi Gender
Visi Pusat Studi Gender Universitas Islam Negeri Malang adalah terwujudnya
pusat studi terunggul (par exellence) dan terdepan dalam mewujudkan kesetaraan
gender berspektif Islam di masyarakat.
Misi Pusat Studi Gender Universitas Islam Negeri Malang yaitu mewujudkan
kesetaraan gender berspektif Islam di masyarakat dan mendorong usaha bersama
untuk mensosialisasikan pemberdayaan perempuan melalui Tri Dharma Perguruan
Tinggi yang meliputi: pendidikan, penelitian dan pengabdian pada masyarakat.
3. Azas dan Landasan Pusat Studi Gender
a. Teologis: Nilai-nilai universal Al-Qur'an dan As-Sunnah
b. Konstusional: Undang-undang Dasar Tahun 1945 Bab X, pasal 27.
c. Operasional Tap MPR Tahun 1999
d. Inpres No. 9 Tahun 2000 tentang pengarusutamaan gender dalam program
pembangunan.
4. Tujuan Pusat Studi Gender
Adapun tujuan Pusat Studi Gender Universitas Islam Negeri Malang adalah
sebagai berikut:
a. Menyebarkan ide-ide ke-Islaman kotemporer yang berspktif gender.
b. Mengembangkan kajian keilmuan Islam berperspektif gender.
c. Meningkatkan pemahaman masyarakat tentang persoalan gender berperspektif
Islam.
d. Melakukan pemberdayaan, pendampingan dan penguatan kapasitas perempuan.
B. Paradigma Penelitian
Paradigma adalah kerangka berpikir atau model yang di bentuk dalam ilmu
pengetahuan; suatu model atau pola menunjukkan segala kemungkinan fungsi yang
ingin di sajikan.54
Menurut Max Weber yang diteruskan oleh Irwin Deutcher
fenomenologi berusaha memahami perilaku manusia dari segi kerangka berpikir
maupun tindakan oleh orang-orang itu sendiri.55
Ilmu yang secara khusus membahas tentang suatu fenomena disebut
fenomenologi. Fenomena itu sendiri ide sentral, peristiwa, kejadian, mengenai
serangkaian aksi dan interaksi yang mengacu kepada pengaturan, pemeliharaan, atau
serangkaian tempat-tempat.56
Bentuk-bentuk kegiatan yang dilakukan oleh PSG UIN
Malang dapat ditinjau dari paradigma aksi atau interaksi. Aksi atau interaksi itu
memiliki sifat-sifat tertentu, yaitu: pertama, aksi dan interaksi tersebut merupakan
suatu proses, suatu perkembangan yang terjadi di alam semesta ini.57
Kedua, aksi dan
interaksi yang di bahas mengacu kepada tujuan tertentu, pencapaian tujuan yang
dilakukan untuk beberapa alasan dalam merespons atau dalam mengatur suatu
fenomena. Karena itu, hal tersebut terjadi karena melalui suatu strategi dan taktik.58
Aplikasi paradigma aksi dan interaksi tersebut dalam penelitian ini adalah untuk
melihat sejauh mana keberhasilan para aktifis gender dan kegiatan-kegiatan yang
mereka lakukan dalam upaya mengurangi atau menghilangkan kekerasan dalam
54Komaruddin, Op. Cit., 173. 55Dedy Mulyana, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Rosda Karya 2004), 155. 56Anselm Strauss dan Juliet Corbin, Dasar-dasar Penelitian Kualitatif: Prosedur, Teknik dan Teori
Grounded (Surabaya: Bina Ilmu, 1997), 109. 57Ibid., 114. 58Ibid
rumah tangga. Aksi KDRT yang terjadi di masyarakat merupakan sebuah fenomena
yang terkait dengan sebab-sebab tertentu yang melatarbelakangi terjadinya aksi
kekerasan dalam rumah tangga untuk mengurangi atau menghilangkan sebab-sebab
tersebut taktik atau strategi yang di gunakan oleh para aktifis gender di ukur sejauh
mana tingkat keberhasilannya. Target yang mereka tetapkan dapatkah dicapai atau
tidak dengan kegiatan-kegiatan yang telah mereka lakukan.
Interaksi dari fenomena aksi kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi di
masyarakat menumbuhkan kesadaran dikalangan para aktifis gender untuk
melakukan berbagai macam kegiatan yang mendorong terciptanya sebuah
masyarakat yang terlepas dari permasalahan kekerasan dalam rumah tangga.
C. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Pendekatan adalah metode atau cara mengadakan penelitian.59
pendekatan yang
digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif, yaitu pengamatan,
wawancara, atau penelaahan dokumen.60
Peneliti memilih jenis pendekatan ini
didasari atas beberapa alasan. Pertama, pendekatan kualitatif ini digunakan karena
data-data yang dibutuhkan berupa sebaran-sebaran informasi yang tidak perlu
dikuantifikasikan. Dalam hal ini peneliti bisa mendapatkan data yang akurat
dikarenakan peneliti bertemu atau berhadapan langsung dengan informan. Kedua,
peneliti mendeskripsikan tentang objek yang diteliti secara sistematis dengan
mencatat semua hal yang berkaitan dengan objek yang diteliti.61
59Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek (Jakarta: Rineka Cipta, 2002).
23. 60Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian kualitatif (Bandung: PT. Rosda Karya, 2006.). 9. 61Ibid.
Ketiga, peneliti juga mengemukakan tentang fenomena-fenomena sosial yang
terjadi dengan mengembangkan konsep dan menghimpun fakta sosial yang ada.62
Adapun jenis penelitian ini adalah penelitian lapangan (Field Research) yang mana
juga dianggap sebagai pendekatan luas dalam penelitian kualitatif. Ide pentingnya
adalah bahwa peneliti berangkat ke lapangan untuk mengadakan pengamatan tentang
sesuatu fenomenom dalam suatu keadaan alamiah. Peneliti lapangan biasanya
membuat cacatan lapangan secara ekstensif yang kemudian dibuatkan kodenya dan
dianalisis dalam berbagai cara.63
Dalam hal ini, peneliti mengemukakan pendapat
para aktivis gender terhadap kekerasan dalam rumah tangga dan aktualisasinya
dalam menyadarkan masyarakat terhadap permasalahan kekerasan dalam rumah
tangga.
D. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian adalah subjek dari mana data dapat diperoleh.
Peneliti menggunakan wawancara dalam pengumpulan datanya, maka sumber data
disebut informan yaitu orang yang merespon atau menjawab pertanyaan-pertanyaan
peneliti. Adapun sumber data dalam penelitian ini yaitu:
1. Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari sumber pertama, yaitu
pelaku warga masyarakat melalui penelitian.64
Adapun yang menjadi data primer dari
penelitian ini adalah para aktifis gender sebagai informan. Adapun aktivis yang dapat
digolongkan aktivis gender adalah anggota atau pengurus Pusat Studi Gender dan
62Masri Singaribun dan Sofian Efendi, Metode Penelitian Survai (Jakarta: Pustaka LP3ES, 1989), 4. 63Lexy J. Moleong, Op, Cit., 26. 64Bambang Sunggona, Metode Penelitian Hukum (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), 114.
aktif menyuarakan hak-hak perempuan atau kesetaraan gender, yaitu Dra. Hj.
Mufidah, M.Ag. Dra. Istiadah, MA, Dr. Umi Sumbulah, M.Ag. Erfaniah Zuhriah,
M.H. Sri Harini, M.Si. Yuliati Hotifah, M.Pd. Ulfa Muhayani. dan M. Mahpur, MSi.
2. Data Skunder
Data skunder adalah data yang dikumpulkan, diolah dan disajikan oleh pihak
lain, tidak langsung diperoleh oleh peneliti dan subjek penelitiannya data skunder
antara lain mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil penelitian yang
berwujud laporan dan sebagainya.65
Adapun data skunder dalam penelitian ini
adalah berupa dokumentasi seperti halnya artikel, surat kabar, jurnal tentang
kekerasan dalam rumah tangga dan buku-buku lainnya yang diterbitkan oleh PSG
antara lain Haruskah Perempuan dan Anak dikorbankan?, Jurnal Egalita dan
Workshop tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga.
E. Metode Pengumpulan Data
Dalam mempermudah menganalisis data, peneliti mengumpulkan data dengan
tiga teknik, yaitu:
1. Observasi
Selain menggunakan metode wawancara, peneliti juga menggunakan metode
observasi sebagai metode pendukung dalam penelitian kualitatif. Observasi atau apa
yang disebut dengan pengamatan adalah kegiatan pemusatan perhatian terhadap
sesuatu obyek dengan menggunakan seluruh alat indera. Dalam pengamatan ilmiah
ini, dituntut harus dipenuhinya persyaratan-persyaratan tertentu (validitas dan
65Amiruddin, Zaenal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2004), 45.
realibitas), sehingga hasil pengamatan sesuai dengan kenyataan yang menjadi
sasaran pengamatan.66
Dalam pengertian yang lain, metode observasi adalah suatu
usaha sadar untuk mengumpulkan data yang dilakukan secara sistematis, dengan
prosedur yang terstandar, dengan tujuan pokok untuk menemukan gejala-gejala yang
ada di lapangan demi memperkuat data yang ada.67
Pada penelitian ini menggunakan observasi atau pengamatan. Teknik
pengamatan ini memungkinkan melihat dan mengamati sendiri, kemudian mencatat
perilaku dan kejadian sebagaimana yang terjadi pada keadaan sebenarnya. Hal ini
artinya bahwa data observasi harus mendalam dan rinci.68
Penggambaran haruslah
faktual, akurat, dan menyeluruh tanpa terkacaukan oleh hal-hal kecil dan sepele tidak
relevan.69
Dalam observasi ini peneliti memulai dari mengamati dan mencari data
terhadap objek penelitian yaitu Pusat Studi Gender sebagai lembaga yang menaungi
kegiatan para aktifis gender dalam penyadaran masyarakat terhadap kekerasan dalam
rumah tangga.
2. Wawancara
Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu
dilakuakan oleh dua pihak yaitu dua pewawancara yang mengajukan pertanyaan dan
yang diwawancarai yang memberikan jawaban dari pertanyaan itu.70
Dalam hal ini peneliti melakukan wawancara kepada para aktifis gender yang
berada di Pusat Studi Gender, dalam wawancara ini terkait dengan pemikiran para
aktifis gender tentang kekerasan dalam rumah tangga dan aktualisasinya dalam
66Suharsimi Arikunto, Op. Cit. 72-73. 67Ibid., 197. 68Michael Quinn Patton, "How To Use Qualitative Methods In Evaluation", diterjemahkan Budi
Puspo Priyadi, Metode Evaluasi Kualitatif (Cet.I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), 10. 69Ibid. 70Lexy J Moleong, Op. Cit., 135.
menyadarkan masyarakat terhadap kekerasan dalam rumah tangga. Adapun hal-hal
yang dipertanyakan dalam wawancara ini adalah konsep kekerasan dalam rumah
tangga, dampak kekerasan dalam rumah tangga terhadap kehidupan sosial atau
keluarga, pandangan hukum kekerasan dalam rumah tangga menurut para aktifis
gender, respon para aktivis gender terhadap maraknya kekerasan dalam rumah
tangga dan metode para aktivis gender dalam melaksanakan kegiatan yang terkait
dengan kekerasan dalam rumah tangga.
3. Dokumentasi
Dokumentasi dari asal kata dokumen yang artinya barang-barang tertulis seperti
buku, majalah, catatan dan lain-lain yang berkaitan dengan permasalahan penelitian
ini. Data yang diperoleh dari dokumentasi ini merupakan data skunder sebagai
pelengkap data primer. Dokumentasi adalah mencari data mengenai hal-hal atau
variable yang berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen,
agenda dan sebagainya.71
Dalam penggunaan teknik dokumentasi ini peneliti mengumpulkan data-data
yang diperlukan sebagai pelengkap saja. Seperti halnya karya-karya yang telah
diterbitkan oleh PSG yang berkaitan dengan KDRT sehingga dapat mmperlengkap
data yang diteliti. Seperti halnya buku yang diterbitkan oleh PSG dengan judul
"Haruskah Perempuan dan Anak dikorbankan?", Jurnal Egaliti khususnya volume I
dan VII, dan dokumen workshop tentang penghapusan kekerasan dalam rumah
tangga yang dilaksanakan di Kota Batu tanggal 22-25 Agustus 2006.
71Ibid., 114.
F. Metode Pengolahan dan Analisis Data
Setelah pengumpulan data dilakukan maka selanjutnya adalah pengolahan
data. Proses pengolahan data ini di mulai dengan:
1. Proses Editing
Pada proses atau cara ini harus pertama kali dilakukan dengan meneliti kembali
catatan atau informasi yang diperoleh dari data di lapangan untuk mengetahui apakah
catatan atau informasi yang tersebut sudah cukup baik atau belum dan dapat segera
dipersiapkan untuk keperluan proses berikutnya. Peneliti mengamati kembali data-
data yang telah diperoleh dilapangan melalui wawancara dan observasi dan catatan
dilapangan pada saat penelitian kemudian memilah apakah data yang telah ada sudah
cukup untuk keperluan analisis atau cukup yang berkaitan tentang pandangan para
aktifis gender tentang kekerasan dalam rumah tangga dan juga implementasinya
kepada masyarakat terhadap persoalan kekerasan dalam rumah tangga.
2. Classifying
Setelah di pilah-pilah antara data dengan yang bukan data maka peneliti
memasuki tahap selanjutnya yaitu classifying dalam metode ini peneliti membaca
kembali dan menelaah secara mendalam seluruh data yang diperoleh baik
pengamatan, wawancara maupun dokumentasi. Yang kemudian peneliti membentuk
sebuah hipotesa untuk mempermudah dalam mengolah data dan disamping itu
peneliti juga mengelompokkan data-data yang ada sesuai dengan rumusan masalah
yang ada.
3. Verifying
Verifikasi adalah langkah dan kegiatan yang dilakukan peneliti untuk
memperoleh data dan informasi dari lapangan. Dalam hal ini peneliti dapat
mengecek dengan menggunakan metode Triangulasi. Triangulasi adalah teknik
pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain untuk keperluan
pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data yang diperoleh untuk
menemukan validitas data hasil penelitian. Dalam pandangan Patton, triangulasi
dengan sumber berarti membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan
suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam penelitian
kualitatif.72
Dalam Hal ini peneliti berusaha untuk menemukan validitas keabsahan data
dengan teknik triangulasi dengan membandingkan data hasil pengamatan dengan
data hasil wawancara yang diperoleh dari informan.
4. Analysing
Analisis data adalah proses penyederhanaan data ke dalam bentuk yang lebih
mudah dibaca dan diinterpretasikan.73
Analisis data merupakan proses yang tidak
pernah selesai, proses analisis data itu sebenarnya merupakan pekerjaan untuk
menemukan tema-tema dan merumuskan suatu jawaban permasalahan dalam
penelitian. Dalam pembahasan ini, peneliti menggunakan metode induktif, yaitu
suatu pembahasan dengan jalan menguraikan. Dalam metode ini peneliti membuat
kesimpulan dari data-data yang diperoleh untuk mempermudah membaca dan
memahami data yang sudah dikumpulkan.
72Lexy J. Moleong, Op.Cit., 330. 73Ibid, 5.
5. Concluding
Concluding adalah merupakan hasil suatu proses.74
Di dalam metode ini
peneliti membuat kesimpulan dari semua data-data yang telah diperoleh dari semua
kegitan penelitian yang sudah dilakukan baik melalui wawancara maupun dokumen.
Proses analisis dan penafsiran menuntut suatu kajian yang terdisiplin, wawasan
kreatif, dan perhatian yang teliti terhadap tujuan evaluasi. Analisis adalah proses
yang membawa bagaimana data yang diatur, mengorganisasikan apa yang ada dalam
sebuah pola, kategori, dan unit deskripsi dasar. Ketika pengumpulan data telah
berakhir dan itu adalah waktunya memulai analisis formal.75
Penelitian yang menggunakan pendekatan kualitatif akan mencakup sejumlah
besar deskripsi murni tentang program dan pengalaman orang dalam program.
Tujuan dari deskripsi ini adalah membiarkan pembaca mengetahui apa yang terjadi
dalam program, seperti apa menurut sudut pandang peserta yang ada dalam program,
dan kejadian tertentu seperti apa atau kegiatan yang ada dalam program.76
Pada analisa deskriptif ini peneliti berusaha menjawab atau memaparkan
rumusan masalah dan menganalisis data yang ada pada sumber data yaitu primer dan
skunder. Berikutnya peneliti mengkaji ulang dan membandingkan dengan data
sebelumnya sehingga dapat dianalisis secara menyeluruh dan dapat menghasilkan
titik temu pada penelitian ini.
74Ibid., 7. 75Michael Quinn Patton., Op.Cit, 251. 76Ibid., 255.
BAB IV
PEMIKIRAN DAN IMPLEMENTASI KEKERASAN DALAM RUMAH
TANGGA
A. Pemikiran Para Aktivis Gender Tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Dalam hal ini, Peneliti melakukan wawancara semi struktural, yang mula-mula
Peneliti mengajukan serentetan pertanyaan yang sudah terstruktur kemudian satu
persatu diperdalam untuk mengorek keterangan lebih lanjut. Dengan demikian
jawaban yang diperoleh bisa meliputi semua variabel dan keterangan yang lengkap
dan mendalam. Berikut ini adalah data-data yang peneliti peroleh ketika melakukan
penelitian, dan data-data yang dapat menjawab rumusan masalah. Adapun pemikiran
para aktivis gender tentang kekerasan dalam rumah tangga adalah sebagai berikut:
1. Konsep Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
a. Pengertian kekerasan dalam rumah tangga.
Dalam penelitian ini ada beberapa pendapat tentang pengertian kekerasan
dalam rumah tangga yang mana antara satu dengan yang lainnya saling berkaitan
berdasarkan wawancara kepada para aktivis gender yaitu sebagai berikut: menurut
Ulfa definisi KDRT lebih ditekankan pada jenis kekerasan yang dilakukan oleh
seseorang dalam lingkup rumah tangga, kekerasan tersebut meliputi fisik, psikis,
seksual dan ekonomi. Jika dilihat dari segi sosiologis dan realitas yang terjadi dalam
masyarakat bahwa jenis kekerasan yang terdapat dalam definisi diatas merupakan
realitas yang terjadi di masyarakat. Sehingga jenis kekerasan yang terjadi dalam
masyarakat dapat dijadikan sebagai acuan dalam mendefinisikan KDRT, seperti yang
diungkapkan oleh Ulfa bahwa kekerasan itu dapat dipandang melalui jenis kekerasan
yang terjadi dalam keluarga atau rumah tangga yang mana pelakunya bisa suami,
istri, dan anak, kemudian korbannya juga bisa suami, istri, anak dan pembantu yang
masih dalam lingkungan rumah tangga tersebut.77
Selanjutnya Yuliati memandang bahwa KDRT dapat dilihat dari sisi tindakan
atau perbuatan terhadap seseorang yang menimbulkan cacat baik fisik, seksual,
ekonomi maupun psikis dalam lingkup rumah tangga.78
Dalam hal ini kejadian yang
terkait dengan kekerasan dalam rumah tangga itu dapat diidentifikasi melalui
tindakan atau perbuatan yang dapat menimbulkan cidera atau efek kekerasan secara
fisik, psikis, seksual dan ekonomi yang bisa dilakukan oleh suami, istri, anak dan
pembantu yang berada dalam suatu keluarga.
Selain itu Istiadah memandang kekerasan dalam rumah tangga itu dari kondisi
yang ditimbulkan oleh orang lain kepada orang yang berbeda yang menimbulkan
rasa tidak enak, tidak nyaman, rasa sakit dan bahkan sampai meninggal.79
Dengan ini
beliau memandang bahwa kekerasan itu bermula pada suatu tindakan yang
77Ulfa Muhayani, Wawancara. (Malang, A. 11 Agustus 2008). 78Yuliati Hotifah, Wawancara. (Malang, C. 14 Agustus 2008). 79Istiadah, Wawancara. (Malang, B. 16 Agustus 2008).
ditimbulkan oleh seseorang kepada orang lain yang dapat menimbulkan rasa tidak
nyaman, namun Istiadah tidak memberikan batasan terhadap siapa saja pelaku
kekerasan tersebut. Jika dihubungkan dengan pendapat Mufidah dan Umi Sumbulah
besar kemungkinan yang dimaksud oleh Istiadah ialah seseorang yang mendominasi
keluarga secara mutlak atau yang mempunyai kekuatan atau berkuasa secara otoriter.
Sedangkan Erfaniah menyatakan, KDRT adalah sebuah perbuatan suami atau
istri terhadap orang yang berada di rumah tangganya yang menimbulkan efek
kekerasan fisik, psikis, penelantaran keluarga dan seksual.80
Definisi ini lebih
ditekankan pada sisi perbuatan seseorang terhadap orang lain dalam lingkup rumah
tangga. Karena kekerasan dalam rumah tangga telah diatur dalam perundang-
undangan, yang masuk dalam kategori KDRT ini adalah seluruh orang yang
dilingkup keluarga baik suami, istri, anak maupun orang yang berada dalam rumah
tangga. Dari penjelasan Ulfa, Yuliati, Istiadah dan Erfaniah diatas dapat dilihat
bahwa kecederungan berpikir mereka digolongkan dalam Teori Realisme Hukum.
Mereka berpendapat adanya kekerasan dalam rumah tangga adakalanya sering terjadi
karena adanya perbedaan kepentingan sosial yang berada dalam lingkup keluarga,
sering diakibatkan oleh siapa yang harus memimpin keluarga, pembagian kewajiban
suami-istri dan sebagainya yang mengakibatkan pengingkaran akan adanya nilai-
nilai kebaikan yang objektif. Hegerstrom menyatakan bahwa tidak ada apa yang
disebut ”kebaikan” dan ”kejelekan” didunia. Ia mengingkari adanya nilai-nilai
objektif. Semua persoalan tentang keadilan, tujuan hukum, adalah soal penilaian
pribadi dan tidak dapat dijadikan objek pengamatan ilmiah.81
80Erfaniah Zuhriah, Wawancara. (Malang, D. 19 Agustus 2008). 81Ishaq., Op. Cit., 221.
Realisme hukum mempunyai ciri-ciri, yakni sebagai berikut:
1. Realisme adalah suatu konsepsi mengenai hukum yang berubah-ubah dan sebagai
alat untuk mencapai tujuan sosial, maka tiap bagiannya harus diselidiki mengenai
tujuan maupun hasilnya. Hal ini berarti bahwa keadaan sosial lebih cepat
mengalami perubahan daripada hukum.
2. Realisme mendasarkan ajarannya atas pemisahan sementara antara sollen dan
sein untuk keperluan suatu penyelidikan agar penyelidikan itu mempunyai tujuan
maka hendaknya diperhatikan adanya nilai-nilai dan observasi terhadap nilai-
nilai itu harus seumum mungkin dan tidak boleh dipengaruhi oleh kehendak
observer dan tujuan kesusilaan.82
Oleh karena itu, kebaikan dan kejelekan diingkari oleh sistem nilai-nilai luhur yang
seharusnya dipegang oleh setiap orang dalam segenap aktivitasnya, maka adanya
aksi-aksi bentuk kekerasan-kekerasan dalam lingkup terkecil yaitu dalam keluarga
dapat dianggap sebagai hal yang biasa saja wapaupun itu sesungguhnya merupakan
permasahan yang serius.
Pengingkaran akan adanya nilai kebenaran dan kejelekan itu dapat
mengakibatkan hilangnya kontrol moral dari dalam diri setiap anggota keluarga,
sehingga adanya kekerasan dalam rumah tangga dianggap sebagai hal yang lumrah
dan biasa saja. Inilah yang terjadi dalam masyarakat sekarang yang mana nilai-nilai
kebaikan dan kejelekan telah dingkari sebagai hal yang objektif adanya, sehingga
masyarakat menganggap fenomena kekerasan dalam rumah tangga yang
menggunung dianggap sebagai hal yang lumrah atau dimaklumi dalam kehidupan
rumah tangga.
82Zainuddin Ali., Op. Cit., 63.
Lain halnya Sri Harini berpendapat bahwa kekerasan dalam rumah tangga adalah
suatu model ketidakseimbangan peran dalam rumah tangga baik dari suami maupun
istri.83
Disini dapat jelaskan bahwa ketidakseimbangan peran dalam rumah tangga itu
disebabkan beberapa faktor misalnya intervensi dari salah satu pihak yakni istri atau
suami, man power (kekuasaan ditangan laki-laki) dan kewajiban suami-istri yang
tidak seimbang. Pendapat ini dapat digolongkan dalam Teori Idealisme Hukum
karena dalam pendapatnya tidak adanya keseimbangan peran dalam rumah tangga
baik dari laki-laki atau perempuan menyebabkan hilangnya fungsi kontrol, misalnya
kontrol dari pihak istri kepada suami atau sebaliknya dalam hal keuangan dan
pergaulan diluar rumah. Tidak adanya kontrol tersebut menyebabkan hilangnya rasa
tanggung jawab. Padahal menurut Kant, sebagai salah seorang perumus idealisme
hukum bahwa manusia bertindak secara etikal bertanggung jawab, jika motif dari
tindakannya dapat menjadi landasan untuk suatu kaedah (undang-undang) yang
berlaku setiap orang.84
Juga menurut Kant, hukum itu adalah suatu sistem aturan
yang berkaitan dengan perilaku lahiriah dari manusia berkenaan dengan barang-
barang berwujud. Jika seseorang itu berbuat baik, maka juga tindakan-tindakan
yuridikal ini harus memenuhi patokan universalisasi etikal. Jika hal itu terjadi, maka
hukum sesuai dengan tuntutan-tuntutan etikal. Secara yudikal, menurut Kant
sudahlah cukup orang mematuhi hukum, terlepas motifnya (apakah secara etikal
bertangungjawab atau tidak) yang ada pada yang bersangkutan.85
Sedangkan menurut Umi Sumbulah, beliau memandang bahwa KDRT
merupakan tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok atau pihak-
83 Sri Harini, Wawancara. (Malang, E. 20 Agustus 2008). 84Meuwissen., Op. Cit., 71 85Ibid.
pihak yang berkuasa dalam rumah tangga terhadap orang lain yang dianggap lemah
yang berakibat terhalang aksesnya.86
Dengan ini dapat diidentifikasi bahwa Umi
Sumbulah menyatakan kekerasan itu ada karena adanya kekuatan (power) yang bisa
membuat seseorang itu melakukan tindakan merugikan orang lain yang dalam hal ini
masih dalam lingkup rumah tangga dan pelakunya bisa suami atau istri, namun
secara umum perempuan yang menjadi korban karena dianggap lemah.
Berikutnya Mufidah berpendapat kekerasan dalam rumah tangga adalah tindakan
yang tidak menyenangkan yang berbentuk fisik, psikis, seksual dan ekonomi yang
dilakukan oleh anggota keluarga yang kuat atau merasa kuat terhadap anggota
keluarga yang lemah atau dilemahkan.87
Namun KDRT yang berbasis gender ialah
dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan atau sebaliknya. Pendapat Mufidah dan
Umi sumbulah terdapat persamaan dan perbedaan yakni, persamaannya terletak
pada pelaku yang mempunyai kekuatan baik laki-laki atau perempuan. Dan
perbedaannya yakni Umi Sumbulah menyinggung adanya kekerasan lebih kepada
relasi yang timpang antara seseorang dengan orang lain sedangkan Mufidah lebih
ditekankan pada kekerasan yang berbasis gender. Dari pendapat Umi Sumbulah dan
Mufidah ini dapat digolongkan dalam Teori Positivisme Hukum, karena Umi dan
Mufidah memandang kekerasan dalam rumah tangga merupakan suatu perbuatan
yang dilakukan oleh seseorang yang mempunyai kekuatan (power) terhadap orang
yang lemah, dan adanya kekuatan membuat seseorang itu dirugikan atas orang lain.
seperti yang diungkapkan oleh Austin bahwa hukum merupakan perintah dari
mereka yang memegang kekuasaan tertinggi, atau dari yang memegang kedaulatan.
86Umi Sumbulah, Wawancara. (Malang, F. 25 Agustus 2008). 87Mufidah Cholidah, Wawancara. (Malang, H. 28 Agustus 2008).
Hukum secara tegas dipisahkan dari keadilan dan hukum tidak didasarkan pada nilai-
nilai yang baik atau buruk, namun didasarkan atas kekuasaan yang lebih tinggi.88
Sehingga orang yang lemah akan selalu berada dibawah kekuasaan orang yang
berkuasa dalam rumah tangga.
Menurut pendapat Mahpur kekerasan dalam rumah tangga adalah suatu bentuk
perilaku atau sifat yang menyebabkan perlakuan buruk dari anggota keluarga.89
Perilaku atau sifat ini dimiliki oleh seseorang yang berkuasa dalam rumah tangga
yang mana bentuk perilaku ini bermacam-macam mulai dari psikis, fisik, seksual
sampai penelantaran ekonomi. Jika dikatakan bahwa tindakan itu merupakan sifat
yang melekat pada diri manusia maka pendapat Mahpur ini dapat digolongkan dalam
Teori Aliran Hukum Alam zaman Yunani, karena hukum dipandang sebagai suatu
keharusan alamiah (nomos); baik semesta alam maupun hidup manusia. Pendapat
Mahpur yang menyatakan bahwa perlakuan buruk adalah sifat pada pihak yang
melakukan perlakuan buruk karena memiliki kekuatan untuk melakukan perlakuan
buruk tersebut. Dan ini dapat dipandang pada pihak yang bersangkutan. Sebagai
contoh lelaki berkuasa dan memiliki kemampuan politik; budak harus tetap menjadi
budak sebab itulah aturan yang berlaku secara alamiah dan sebagainya.90
Dalam pernyataan Mahpur, bahwa adanya kekerasan dalam rumah tangga
merupakan suatu sifat yang melekat pada orang yang melakukannya. Artinya ia
melihat bahwa fenomena kekerasan tersebut merupakan sebuah sifat bawaan yang
telah melekat pada diri manusia sejak ia dilahirkan. Oleh karena itu, untuk
memahami fenomena kekerasan dalam rumah tangga ini juga harus menggunakan
88Ishaq., Op. Cit., 207-207. 89Mahpur, Wawancara. (Malang, G. 25 Agustus 2008). 90Zainuddin Ali., Op. Cit., 47.
teori hukum yang juga mengakui adanya bakat-bakat alamiah yang melekat pada diri
manusia. Teori hukum yang menjelaskan hal seperti ini adalah teori aliran hukum
alam yang diantaranya menyatakan:
1. Semua hukum positif merupakan usaha menuju pada hukum yang adil.
2. Hukum alam berusaha membuat suatu metode rasional yang dapat digunakan
untuk menentukan kebenaran yang relatif dari hukum dalam setiap situasi.
3. Metode itu diharapkan menjadi pemandu jika hukum itu gagal dalam ujian dan
membawanya lebih dekat pada tujuannya.
4. Hukum adalah suatu struktur yang sedemikian rupa, kita harus mengabstraksikan
tujuan-tujuannya pada kehidupan sosial yang nyata. Kita harus menemukan
asalnya dan bertanya dapa diri sendiri, apakah yang merupakan hal pokok yang
harus dilakukan untuk memahaminya sebagai suatu sistem tujuan yang harmonis
dan teratur.91
Dari semua pendapat para aktivis gender terhadap kekerasan dalam rumah
tangga dapat diidentifikasi bahwa dalam memandang kekerasan itu dapat dilihat dari
berbagai segi yaitu jenis kekerasan, tindakan atau perbuatan, kondisi yang
ditimbulkan, ketidakseimbangan peran, tindakan dan adanya kekuatan (power) dan
perilaku-sifat didalam rumah tangga.
Tabel I
Pemikiran dan analisis pemikiran Aktivis Gender
No Aktivis
Gender
Pandangan tentang
KDRT
Aliran Argumen
1 Ulfa M. Jenis kekerasan
2 Yuliati Tindakan kekerasan
3 Istiadah Efek kekerasan
Realisme
Hukum
- Adanya
kekerasan
karena
91Ibid., 52.
4 Erfaniah Perbuatan kekerasan kepentingan
sosial salah
satu pihak.
- Pengingkaran
akan adanya
nilai-nilai
kebaikan yang
objektif.
- Fenomena
KDRT itu
dianggap
lumrah, karena
sebelumnya
nilai-nilai
kebaikan dan
kejelekan itu
diingkari
adanya sebagai
sistem yang
objektif.
5 Sri Harini Suatu model ketidak
seimbangan peran
dalam rumah tangga
baik suami maupun
istri.
Idealisme
Hukum
Manusia
bertindak secara
etikal
bertanggung
jawab. Namun
dalam keadaan
tertentu seperti
pendapat Sri
Harini ini
keadaan ideal
tersebut tidak
dapat tercapai,
maksudnya
manusia bisa
berubah menjadi
tidak etis dan
tidak bertangung
jawab.
6 Umi. S. Kekuasaan di salah
satu pihak
7 Mufidah Orang yang kuat
dalam rumah tangga
Positivisme
Hukum
- Adanya
kekerasan
karena salah
satu pihak
memiliki
kekuatan untuk
merugikan
orang lain.
- Hukum tidak
didasarkan
pada nilai-nilai
baik atau
buruk, namun
didasarkan atas
kekekuasaan
yang lebih
tinggi.
8 Mahpur Perilaku atau sifat
kekerasan
Aliran Hukum
Alam
Hukum
dipandang
sebagai suatu
keharusan
alamiah (nomos).
Bahwa fenomena
kekerasan
tersebut,
merupakan
sebuah sifat
bawaan yang
melekat sejak ia
dilahirkan dan
sifat tersebut akan
mengalahkan diri
manusia sehingga
ia berbuat
perilaku yang
buruk.
b. Macam-macam kekerasan dalam rumah tangga.
Macam-macam kekerasan dalam rumah tangga perspektif aktivis gender adalah
sebagai berikut: menurut Ulfa macam-macam kekerasan dalam rumah tangga yang
terdapat dalam Undang-undang No. 23 Tahun 2004 yaitu fisik, psikis, seksual dan
penelantaran ekonomi.92
Seperti halnya yang diungkapkan oleh Yuliati macam-
macam KDRT itu ada 4 (empat) yaitu fisik, psikis, seksual dan penelantaran
92Ulfa Muhayani, Wawancara. (Malang, A. 11 Agustus 2008).
ekonomi.93
Begitu juga Istiadah memandang macam-macam kekerasan dalam rumah
tangga itu ada 4 yaitu fisik, psikis, seksual dan penelantaran ekonomi.94
Menurut
Erfaniah macam-macam KDRT yaitu fisik, psikis, seksual dan penelantaran
ekonomi.95
Lain halnya menurut Sri Harini jenis kekerasan dalam rumah tangga itu fisik dan
psikis, tetapi selama ini orang menilai kekerasan itu lebih kepada fisik saja
sedangkan kekerasan psikis itu juga termasuk dalam kategori jenis-jenis kekerasan
dalam rumah tangga.96
Menurut pendapat Umi Sumbulah macam-macam kekerasan
secara umum yaitu kekerasan berbasis gender (relasi yang timpang antara laki-laki
dan perempuan), kekerasan berbasis agama misalnya kelompok mayoritas menekan
kelompok minoritas dalam kasus pembubaran ahmadiyah, kekerasan politik
misalnya bagaimana kebijakan politik itu bisa menekan antara penguasa dengan
yang dikuasai dan lain-lain. Tetapi menurut konstruksi masyarakat yang dimaksud
dengan macam-macam KDRT lebih kepada fisik, namun selain itu juga berbentuk
psikis, seksual dan penelantaran ekonomi.97
Lain halnya menurut Mufidah beliau memandang macam-macam KDRT itu dari
berbagai segi yaitu dari aspek hukum maka KDRT adalah melanggar Undang-
undang mulai dari UU sebelum KDRT sampai diterbitkannya UU No. 23 Tahun
2004. kalau dilihat dari hak asasi manusia maka itu adalah pelanggaran HAM karena
tidak memberikan penghargaan hak-hak dasar manusia yang harus dihormati. Kalau
dilihat dari sosial maka KDRT itu membuat relasi dalam keluarga itu menjadi tidak
93Yuliati Hotifah, Wawancara. (Malang, C. 14 Agustus 2008). 94Istiadah, Wawancara. (Malang, B. 16 Agustus 2008). 95Erfaniah Zuhriah, Wawancara. (Malang, D. 19 Agustus 2008). 96Sri Harini, Wawancara. (Malang, E. 20 Agustus 2008). 97Umi Sumbulah, Wawancara. (Malang, F. 25 Agustus 2008).
sehat secara sosial. Kalau dilihat dari aspek psikologis KDRT adalah menyebabkan
antara pribadi yang satu dengan yang lain merasa tidak nyaman dan terganggu antara
satu dengan yang lain. Tetapi itu semuanya adalah pelanggaran terhadap hukum dan
hak-hak dasar manusia dan jika dilihat dari perspektif Islam ini termasuk
pelanggaran terhadap nilai-nilai dan norma-norma Islam yang ramah pada
siapapun.98
Dan menurut Mahpur kekerasan yang dominant dimasyarakat adalah
kekerasan fisik, namun selain itu juga terdapat kekerasan psikis, kekerasan seksual
dan kekerasan penelantaran ekonomi.99
c. Bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga.
Adapun bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga menurut para aktivis
gender adalah sebagai berikut: menurut Ulfa bentuk kekerasan dalam rumah tangga
mencakup pada fisik seperti halnya memukul, mencakar, menampar sampai
membunuh. Psikis, suami pulang tidak menegur istri (bentuknya tidak nampak
terlihat). Seksual; pemerkosaan dan pemaksaan hubungan intim. Penelantaran
ekonomi; tidak diberi nafkah pada hal menurut Undang-undang Perkawinan suami
yang wajib memberi nafkah.100
Sedangkan menurut Yuliati bentuknya adalah Fisik;
mengakibatkan cidera dan memar. Psikis; susah untuk dideteksi, karena korban itu
susah untuk diketahui apakah ia mengalami kekerasan atau tidak. Kadang korban
takut kepada pelaku dia menutupi tetapi efeknya itu sangat panjang sekali. Seksual;
pemerkosaan dan hubungan seksual yang terpaksa. Ekonomi; memberikan batasan
nafkah tanpa kesepakatan kedua belah pihak.101
98Mufidah Cholidah, Wawancara. (Malang, H. 28 Agustus 2008). 99Mahpur, Wawancara. (Malang, G. 25 Agustus 2008). 100Ulfa Muhayani, Wawancara. (Malang, A. 11 Agustus 2008). 101Yuliati Hotifah, Wawancara. (Malang, C. 14 Agustus 2008).
Pendapat diatas sama halnya yang diungkapkan oleh Istiadah bahwa bentuk-
bentuk kekerasan dalam rumah tangga yaitu: Fisik; menyakiti yang menimbulkan
bisa lebam dan cacat. Psikis; menimbulkan rasa tidak nyaman, pengekangan dan
penghinaan. Seksual; pemaksaan sampai penyiksaan. Ekonomi; penelantaran
keluarga.102
Begitu juga menurut Erfaniah bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah
tangga yaitu: Fisik; pemukulan, penganiayaan sampai efek yang jelek yaitu
pembunuhan. Psikis; ucapan-ucapan yang kasar, yang menimbulkan sakit hati bagi
korban dan ucapan-ucapan yang seharusnya tidak diucapkan oleh orang terhadap
suami atau istri atau anak. Seksual; pelecehan seksual dan pemerkosaan. Ekonomi;
penelantaran secara ekonomi atau tidak memberikan nafaqah kepada keluarga.103
Lain halnya menurut Sri Harini beliau memandang bentuk-bentuk kekerasan
hampir sama dengan macam-macam kekerasan sehingga dalam menjaga agar tidak
terjadi kekerasan ini komunikasi harus jalan, karena menyatukan dua pikiran yang
berbeda itu perlu proses dan komunikasi yang lancar tetapi memandang gender.104
Sedangkan Umi Sumbulah berpendapat bahwa bentuk-bentuk kekerasan dalam
rumah tangga ada fisik, psikis, seksual dan penelantaran ekonomi.105
Begitu juga menurut Mufidah bahwa bentuk-bentuk kekerasan ini ditemukan
dalam beberapa kasus oleh para peneliti atau aktivis yang dapat dikategorikan
menjadi 4 (empat) yaitu fisik, psikis, seksual dan ekonomi. Dan dari empat itulah
dimunculkan dalam komitmen internasional untuk penghapusan kekerasan dan juga
dimasukkan dalam Undang-undang P KDRT. Dari empat bentuk itu satu sama yang
lain dalam prakteknya berkaitan. Ketika korban mendapatkan kekerasan fisik pasti
102Istiadah, Wawancara. (Malang, B. 16 Agustus 2008). 103Erfaniah Zuhriah, Wawancara. (Malang, D. 19 Agustus 2008). 104Sri Harini, Wawancara. (Malang, E. 20 Agustus 2008). 105Umi Sumbulah, Wawancara. (Malang, F. 25 Agustus 2008).
dia juga mendapatkan kekerasan psikis dan begitu juga kekerasan penelantaran
dalam keluarga itu juga akan berkaitan dengan kekerasan psikis dan juga bisa
berkaitan dengan kekerasan fisik. Jadi empat bentuk kekerasan tersebut saling terkait
oleh karena itu dalam beberapa data selalu ada kekerasan yang berlapis.106
Dan yang
terakhir menurut Mahpur bentuk-bentuknya ada 4 (empat) yaitu: Fisik; perlakuan
terhadap orang lain yang menimbulkan luka bisa menampar, memukul sampai
membunuh. Ekonomi; orang yang bertanggung jawab dalam keluarga tidak
memberikan hak ekonomi atas anggota keluarganya. Misalnya suami tidak
memberikan uang belanja terhadap istri, tapi orang yang tidak punya apa-apa terus
tidak memberikan nafkah kepada keluarga itu tidak bisa dikategorikan kekerasan
ekonomi. Psikis; persoalan yang mencakup kata-kata, sikap dan hubungan batin.
Seperti halnya diolok-olok, dicemooh dan dikurung kemudian selalu dilarang
berinteraksi bagi anak-anak.107
Dari berbagai pendapat para aktivis gender diatas terhadap macam-macam dan
bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga terdapat persamaan antara macam-
macam dan bentuk-bentuknya, sehingga dalam menginterpretasikannya saling
berhubungan. Bentuk kekerasan tersebut dapat diidentifikasi bukan hanya kekerasan
fisik, tetapi bisa berbentuk sangat halus dan tidak kasat mata seperti kecaman, kata-
kata yang meremehkan, dan lain sebagainya. Dari pendapat para aktivis gender ini
tentang macam dan bentuk KDRT dapat digolongkan menjadi 4 (empat) yaitu
kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual dan kekerasan ekonomi yang
mana dari empat bentuk itu satu sama yang lain dalam prakteknya berkaitan seperti
106Mufidah Cholidah, Wawancara. (Malang, H. 28 Agustus 2008). 107Mahpur, Wawancara. (Malang, G. 25 Agustus 2008).
yang ditemukan oleh Mufidah. Keberadaan bentuk kekerasan secara yuridis telah
ditetapkan dalam Undang-undang R.I. Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Dalam pasal 5 disebutkan bahwa:
Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap
orang dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara: a. Kekerasan fisik; b.
Kekerasan psikis; c. Kekerasan seksual; d. Penelantaran rumah tangga.
Mengenai karakteristik masing-masing bentuk kekerasan dalam rumah tangga
telah dijelaskan oleh para aktivis gender diatas. Dalam Undang-undang No 23/2004
juga menjelaskan karakteristik bentuk KDRT yang terdapat dalam pasal 6 sampai
dengan pasal 9 yang masing-masing pasal menjelaskan kriteria-kriteria bentuk
kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga.108
d. Faktor penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah tangga.
Adapun faktor-faktor penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah tangga
perspektif para aktivis gender adalah sebagai berikut: Ulfa berpendapat, penyebab
terjadinya kekerasan dalam rumah tangga seperti halnya yang telah dilaporkan
kepada lembaga-lembaga perempuan adalah ekonomi, perselingkuhan dari pihak
istri atau suami kemudian mereka melakukan kekerasan kepada salah satu pihak di
dalam keluarga, faktor pendisiplinan, dalam hal ini korbannya adalah anak yang
dilakukan oleh orang tua dengan alasan mendidik padahal itu adalah kekerasan dan
pemaksaan keyakinan beribadah dalam keluarga. Dari kekerasan-kekerasan itu
faktornya case by case.109
Sedangkan menurut Yuliati faktor penyebabnya adalah sebagai berikut: Budaya
patriarki, interpretasi agama yang salah atau kesalahan dalam memahami perintah-
108La Jamaa dan Hadidjah., Op. Cit., 69-71. 109Ulfa Muhayani, Wawancara. (Malang, A. 11 Agustus 2008).
perintah agama; misalnya pukulan terhadap istri untuk mendidik dan pukulan anak
untuk mendidik. Faktor ekonomi; misalnya tekanan ekonomi, kebutuhan melonjak
dan pemasukannya kurang itu membuat orang menjadi stress. Faktor trauma;
misalnya kekerasan yang dilakukan oleh anak itu merupakan pengalaman traumatis
yang pernah dialami ketika semasa kecil, dia berada dalam keluarga yang dimana
kedua orang tuanya sering melakukan kekerasan.110
Selanjutnya Istiadah mengungkapkan bahwa penyebab terjadinya kekerasan
dalam rumah tangga itu ada 2 (dua) yaitu: pertama, pola relasi yang tidak seimbang
antara suami-istri yang menyebabkan perbedaan wewenang, merasa salah satu pihak
mempunyai daya paksa yang lebih tinggi dari pada pihak yang lain sehingga dengan
itu orang menggunakan kekuasaannya. Kedua, faktor ekonomi yang mana terjadi
krisis perempuan akan mendapatkan tekanan yang lebih. Misalnya ketika laki-laki di
PHK pelampiasannya pasti kepada orang yang lemah yaitu istri, istri kadang-kadang
melampiaskan kepada anak. Sehingga kekerasan dalam rumah tangga berlapis-lapis
mana kala terjadi krisis ekonomi.111
Menurut Erfaniah yang menjadi penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah
tangga bermacam-macam yaitu sebagai berikut: pertama, bias gender yang muncul
didalam lingkup keluarga, sampai ketidaktahuan seseorang terhadap apa yang harus
dilakukan. Kedua, kesadaran hukum yang kurang juga bisa menjadi faktor terjadinya
kekerasan dalam rumah tangga. Ketiga, budaya patriarki yang dilegitimasi oleh
konsep agama. Misalnya fadri buhuma ini adalah ayat yang melegitimasi bahwa
memukul itu boleh terhadap perempuan ketika dia balelo. Yang dimaksud oleh
110Yuliati Hotifah, Wawancara. (Malang, C. 14 Agustus 2008). 111Istiadah, Wawancara. (Malang, B. 16 Agustus 2008).
Erfaniah tentang budaya partiarkhi yang di legitimasi oleh agama dan kebolehan
memukul istri terdapat dalam Surat An-Nisa’ ayat 34, yang mana jika istri tidak
mentaati suami atau balelo boleh memukul istri. Peneliti berpendapat bahwa suami
boleh memukul tetapi harus melalui tahapan yaitu pertama menasihati istri, kedua
menghindari tidur dengan istri, ketiga suami baru boleh memukul dengan syarat
tidak boleh sampai melukai istri. Lalu ayat tersebut dijustifikasi atau legitimasi oleh
seseorang pelaku kekerasan untuk melegalkan sebuah proses kekerasan yang itu
perlu reinterpretasi dan pemahaman terhadap ayat-ayat nusyuz, poligami yang lebih
dalam.112
Berikutnya Sri Harini menjelaskan bahwa faktor penyebab terjadinya
kekerasan yaitu faktor ekonomi yang dijadikan alasan istri maupun suami melakukan
tindak kekerasan. Misalnya pihak suami mempunyai kedudukan tinggi bertindak
semena-mena dalam kebutuhan sehari-hari dan juga sebaliknya istri terhadap suami.
Kemudian faktor intervensi keluarga juga mempengaruhi baik keluarga dari pihak
suami maupun istri atau intervensi dari pihak lain. Selanjutnya faktor psikologi juga
dapat mempengaruhi pihak istri atau suami melakukan kekerasan, misalnya dari
keluarga broken home, ketertekanan dan sebagainya itu terlampiaskan pada bentuk-
bentuk kekerasan dalam rumah tangga.113
Selain itu menurut Umi Sumbulah penyebab terjadinya kekerasan dalam
keluarga diantaranya yaitu: penafsiran agama yang kurang ramah terhadap
perempuan, yang dimaksud dengan pendapat ini yaitu penafsiran yang membatasi
akses perempuan ke ruang publik misalnya pemimpin perempuan, hakim perempuan
dan nilai kesaksian dua perempuan yang sebanding dengan satu lakilaki. Kemudian
112Erfaniah Zuhriah, Wawancara. (Malang, D. 19 Agustus 2008). 113Sri Harini, Wawancara. (Malang, E. 20 Agustus 2008).
budaya partriarki, yang dimaksud budaya partriarki adalah bagaimana masyarakat
memposisikan laki-laki dan perempuan. Dan faktor ekonomi, banyak pasangan
suami-istri yang bertengkar dengan alasan ekonomi. Menurut Umi Sumbulah faktor
yang banyak menjadi penyebab terjadinya kekerasan adalah persoalan budaya dalam
arti Man Power (laki-laki berkuasa).114
Selanjutnya Mufidah mengungkapkan bahwa
faktor penyebabnya itu bermacam-macam jika dilihat dari aspek ekonomi bisa jadi
karena faktor ekonomi tidak tahan persoalan-persoalan yang melilit keluarga.
Kemudian kurang mendapat perhatian dari pasangannya atau dia menuntut lebih dari
pasangannya. Selanjutnya jika dikaitkan dengan relasi laki-laki dan perempuan atau
relasi gender maka yang menjadi penyebab utamanya adalah budaya partriarki,
dimana seseorang akan mempertahankan gendernya dia terhadap orang lain atau
pasangannya. Misalnya suami merasa lebih tinggi dari istri atau sebaliknya sehingga
rentan melakukan tindak kekerasan.115
Dan menurut Mahpur penyebabnya antara lain masalah kepribadian, orang yang
punya kepribadian agresif cenderung akan tumbuhnya kekerasan. Kemudian budaya
partriarki, sehingga dalam hubungan partriarki ada salah satu orang mempunyai
otoritas dengan yang lain menjadi subordinat posisinya. Ada juga faktor disharmoni
atau hubungan yang tidak harmonis. Selanjutnya komunikasi, cara orang
membangun komunikasi dalam keluarga itu juga bisa menjadi kekerasan dalam
keluarga. Faktor ekonomi. Dan faktor agama, internalisasi keagamaan yang tidak pas
itu juga bisa menyebabkan kekerasan.116
114Umi Sumbulah, Wawancara. (Malang, F. 25 Agustus 2008). 115Mufidah Cholidah, Wawancara. (Malang, H. 28 Agustus 2008). 116Mahpur, Wawancara. (Malang, G. 25 Agustus 2008).
Berdasarkan pendapat para aktivis gender diatas terhadap penyebab terjadinya
kekerasan dapat dilihat dalam tabel berikut:
Tabel II
Penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah tangga perspektif Aktivis Gender
No Aktivis Gender Faktor Penyebab Kekerasan Dalam Rumah Tangga
1 Ulfa M. - Ekonomi
- Perselingkuhan
- Pendisiplinan dengan alasan mendidik.
- Pemaksaan keyakinan beribadah.
2 Yuliati H. - Budaya partriarki
- Interpretasi agama.
- Faktor ekonomi.
- Faktor trauma.
3 Istiadah - Pola relasi yang tidak seimbang antara suami-istri yang
menyebabkan perbedaan wewenang.
- Krisis ekonomi
4 Erfaniah Z. - Bias gender.
- Budaya partriarki.
5 Sri Harini - Sektor ekonomi
- Intervensi keluarga
- Psikologi tramatik
6 Umi S. - Penafisiran agama yang kurang ramah terhadap
perempuan
- Budaya partriarki
- Ekonomi
7 Mufidah Ch. - Ekonomi
- Budaya partriarki
- Menuntut lebih dari pasangannya
8 Mahpur - Masalah kepribadian.
- Budaya partriarki.
- Faktor disharmoni dalam keluarga.
- Faktor ekonomi.
- Internalisasi keagamaan yang berbeda.
- Faktor komunikasi
Dari tabel diatas dapat diklasifikasikan bahwa faktor penyebab terjadinya kekerasan
dalam rumah tangga ada dua faktor yaitu: pertama, faktor internal pelaku baik karena
pembawaan alaminya (karakter pribadinya) maupun karena pengaruh lingkungan
(keluarga, masyarakat dan sekolah), misalnya suami atau istri selingkuh, faktor
komunikasi yang kurang baik sehingga menimbulkan terjadinya kekerasan,
menuntut lebih dari pasangannya dan lain sebagainya. Kedua, faktor eksternal pelaku
baik melalui paradigma partriaki yang berkembang dlam sistem sosial, pemahaman
agama yang bias maupun internalisasi keagamaan yang beerbeda.
2. Dampak Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Dampak dari kekerasan dalam rumah tangga menurut para aktivis gender sebagai
berikut: menurut Ulfa dampak kekerasan dalam keluarga yaitu sebagai berikut:
pertama kehilangan nyawa, banyak suami atau istri yang kehilangan jiwanya
dikarenakan kekerasan dalam rumah tangga. Kedua, psikis termasuk emosi baik si
penderita atau korban maupun pelaku. Kalau korbannya perempuan bisa berimbas
pada anak. Ketiga, ekonomi, jika kasus kekerasan dalam rumah tangga tersebut
dilaporkan kepada polisi maka berdampak pada ekonomi, kerena tidak ada income
dari suami atau istri. Keempat anak, apabila orang tuanya mendapat kekerasan baik
dari pihak istri atau suami maka yang dirugikan adalah anak karena nantinya akan
berimbas pada anak.117
Kemudian Yuliati berpendapat bahwa dampak kekerasan terhadap keluarga bisa
ke anak. Sebenarnya kekerasan dalam rumah tangga itu dampaknya terhadap
pasangan itu cukup besar, tetapi yang paling terkena adalah anaknya. Dampak dalam
kehidupan sosial, keluarga merupakan miniatur sosial ketika individu yang
mengalami kekerasan maka juga akan berimbas ketika ia berada di lingkungan
masyarakatnya. Seperti halnya minder kepada teman-temannya dan lebih agresif.118
Lain halnya yang diungkapkan oleh Istiadah bahwa dampak kekerasan dalam
117Ulfa Muhayani, Wawancara. (Malang, A. 11 Agustus 2008). 118Yuliati Hotifah, Wawancara. (Malang, C. 14 Agustus 2008).
keluarga yaitu adanya ketidak harmoniasan antara suami istri atau ibu-anak atau
ayah-anak dan lain sebagainya. Jika dalam masyarakat bisa berdampak lebih luas
apalagi bisa menimbulkan split atau perpisahan antara suami-istri yang tidak rela
diperlakukan demikian.119
Kemudian menurut Erfaniah dampak kekerasan itu secara fisik dan psikis
berdampak traumatik terhadap korban yang sulit untuk dilupakan. Dan selanjutnya
dampak yang muncul dimasyarakat ini juga sangat besar sekali. Contohnya istri
melaporkan suaminya telah melakukan kekerasan dalam rumah tangga dan
masyarakat masih menganggap bahwa suaminya sendiri kok dilaporkan ini adalah
efek yang muncul dari proses law enforcemen di Indonesia masih sebuah proses.
Ketika dalam menangani kasus ini pendamping tidak serta-merta melaporkan ke
polisi, sebagai mediator atau konselor mengupayakan semaksimal mungkin
kekerasan itu berhenti, tetapi jika masih tetap melakukan kekerasan terhadap korban
baru dilaporkan kepada yang berwajib.120
Menurut Sri Harini dampak kekerasan dalam rumah tangga bisa fisik dan psikis,
secara fisik itu jelas akan timbul sakit dan kelihatan. Kemudian secara psikis bisa
menyebabkan goncangan kejiwaan baik bagi korban langsung maupun yang berada
dilingkungan rumah tangga tersebut. Adapun dampak terhadap masyarakat itu juga
tidak baik karena masyarakat menilai bahwa bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah
tangga itu sangat menyimpang sekali.121
Selanjutnya menurut Umi Sumbulah
119Istiadah, Wawancara. (Malang, B. 16 Agustus 2008). 120Erfaniah Zuhriah, Wawancara. (Malang, D. 19 Agustus 2008). 121Sri Harini, Wawancara. (Malang, E. 20 Agustus 2008).
mengungkapkan bahwa dampak kekerasan dalam rumah tangga itu bisa kepada fisik,
psikis, seksual dan ekonomi.122
Sedangkan Mufidah memandang bahwa dampak kekerasan dalam rumah tangga
itu bermacam-macam seperti halnya dampak terhadap korban atau keluarga yaitu ada
4 (empat) yaitu: fisik; sakit, luka dan cacat. Psikis; sedih, stress, depresi, dan ingin
bunuh diri. Seksual; kerusakan organ seksual dan PMS (penyakit menular seksual)
dsb. Ekonomi; terlantar, jadi miskin dan anak drop out. Selain itu dampaknya juga
dapat dialami oleh anak karena mereka yang tidak terlibat langsung tetapi secara
hegemoni mendapatkan suguhan-suguhan kekerasan didalam keluarga. Secara umum
setiap KDRT terdapat dampak negatifnya, oleh karena itu mata rantainya harus
diputus dan menciptakan generasi-generasi akan datang yang bebas dari
kekerasan..123
lain halnya Mahpur, beliau berpendapat bahwa dampak dari kekerasan
dalam rumah tangga yaitu: konflik, diskriminasi, menyangkut masa depan anak yang
tidak baik dan stigma sosial yang buruk.124
Dengan berbagai pendapat para aktivis gender terhadap dampak kekerasan dalam
rumah tangga ini dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu pertama, dampak internal
yang mana mencakup beberapa hal diantaranya:
a. Dampak fisik, mencakup rasa sakit, luka atau lebam, cacat sampai kehilangan
nyawa.
b. Dampak psikis, mencakup stres, depresi, trauma bagi anak, terpojokkan, apatis,
minder hingga ingin bunuh diri.
122Umi Sumbulah, Wawancara. (Malang, F. 25 Agustus 2008). 123Mufidah Cholidah, Wawancara. (Malang, H. 28 Agustus 2008). 124Mahpur, Wawancara. (Malang, G. 25 Agustus 2008).
c. Dampak seksual mencakup kerusakan organ seksual, dan PMS (penyakit
menular seksual).
d. Dampak ekonomi mencakup terlantar dan bagi perempuan yang tidak bekerja
maka dia kehilangan recoveri ekonomi.
Keempat dampak diatas sesuai dengan kategori yang disusun oleh Mufidah dkk yang
mana kekerasan dalam rumah tangga bisa berdampak secara fisik, psikis, seksual dan
ekonomi.125
Selain dampak diatas juga terdapat anggota keluarga yang dirugikan
yaitu anak, karena secara tidak langsung anak akan mendapatkan suguhan-suguhan
tindak kekerasan yang dilakukan oleh kedua orang tuanya sehingga menimbulkan
traumatik bagi anak. Kedua, dampak eksternal atau dampak terhadap kehidupan
social yang mencakup minder terhadap teman-temannya, lebih agresif dan
masyarakat menilai bahwa bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga itu sangat
menyimpang dari ajaran agama.
3. Pandangan Hukum Tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Dalam pandangan hukum ini peneliti membahas tentang pandangan para aktivis
gender terhadap kekerasan dalam rumah tangga yang ditinjau dari sudut pandang
hukum yang berlaku di Indonesia dan penyelesaian hukum bagi korban kekerasan
dalam rumah tangga yaitu sebagai berikut: menurut pandangan Ulfa hukum
kekerasan dalam rumah tangga sudah disupport oleh pemerintah dengan beberapa
perangkat dikepolisian yaitu adanya pengaduan dan penyediaan jasa konsultasi.
Namun menurut Ulfa Ada sedikit masalah disini yaitu tentang delik aduan yang
membutuhkan keberanian korban untuk mengadukan kasus kekerasan tersebut.
Sedangkan dalam penyelesaian hukumnya yang banyak bergerak dalam penanganan
125Mufidah dkk., Op. Cit., 24-25.
korban kekerasan dalam rumah tangga adalah lembaga-lembaga yang mana itu pun
hanya sampai proses pendampingan. Menurut Ulfa dalam penyelesaian hukum bagi
korban masih ada masalah yaitu: hukum itu sendiri, yang mana delik aduan agak
sulit bagi korban karena butuh keberanian dan ditingkat pengadilan banyak opini
yang dibentuk oleh media bahkan hakim bahwa orang yang mengalami kekerasan
biasanya perempuan yang punya problem bukan laki-laki yang punya problem.126
Selanjutnya menurut Yuliati mengenai pandangan hukum beliau berpendapat
bahwa adanya Undang-undang P KDRT ikut membantu korban dalam
menyelesaikan persoalan kekerasan dalam rumah tangga, tetapi untuk menjerat
pelaku masih kurang membela pada korban. Misalnya kekerasan psikis, meskipun
telah melibatkan psikiater untuk mendeteksi adanya kekerasan psikis itu masih sulit
karena waktunya cukup panjang. Menurut Yuliati aspek psikologis memang sangat
dalam dan perlu untuk dijelaskan lebih dalam lagi. Sedangkan penyelesaian
hukumnya harus lebih memihak kepada korban. Disini dalam penyelidikan tidak
hanya oleh polisi saja tetapi harus ada beberapa elemen atau psikiater untuk
dilibatkan dalam penyelidikan atau pendekatan kepada korban, karena dalam
penyelesaian hukum disini tidak hanya menuntut bukti-bukti yang ada tetapi lebih
melibatkan psikiater untuk mengetahui apakah korban ini dapat goncangan jiwa apa
tidak.127
Menurut Istiadah pandangan hukum tentang kekerasan dalam rumah tangga
secara dejure dengan adanya Undang-undang P KDRT sudah ada langkah maju yang
signifikan, namun juga dipandang secara defakto bahwa bagaimana hukum itu
126Ulfa Muhayani, Wawancara. (Malang, A. 11 Agustus 2008). 127Yuliati Hotifah, Wawancara. (Malang, C. 14 Agustus 2008).
diterapkan dalam masyarakat. Menurut Istiadah masih ada yang perlu dibenahi yaitu
kultur (budaya) hukum supaya hukum yang berada dimasyarakat dibangun terus-
menerus dan senantiasa ditekankan pada menghormati hak orang lain. Dalam
penyelesaian hukum korban kekerasan Istiadah memandang bahwa persoalan ini
diselesaikan dengan hukum Islam yang mana dalam al-Quran terdapat orang ketiga
sebagai penengah yaitu kedua belah pihak keluarga atau orang yang dipilih untuk
dijadikan sebagai hakim dalam menyelesaikan masalah yang sedang terjadi. Seperti
yang diungkapkan berikut ini:
Konflik dalam keluarga harus diselesaikan secara damai, karena kedamaian
dalam rumah tangga yang akan membawa kita kepada tujuan berumah tangga yaitu
sakinah, mawaddah dan rahmah. Dan konflik dalam rumah tangga tidak boleh
dipublikasikan kepada umum.128
Sedangkan menurut Erfaniah, beliau memandang bahwa dengan adanya Undang-
undang P KDRT membuat pelaku kekerasan merasa jera apabila semua penegak
hukum ikut terlibat dalam penyelidikan mulai dari penyelidikan dikepolisian sampai
kejaksaan dan pengadilan benar-benar menegakkan hukum sesuai dengan peraturan
atau Undang-undang yang berlaku. Menurut beliau sebelum munculnya UU P
KDRT pelaku hanya dijerat dengan Undang-undang pidana yang sangat ringan tetapi
dengan adanya Undang-undang ini maka pelaku akan mendapatkan hukuman yang
sesuai dengan perbuatannya dan yang telah ditentukan dalam Undang-undang P
KDRT ini. Beliau juga mengungkapkan bahwa jika aspek hukumnya konsisten
terhadap perundang-undangan dan ditegakkan dengan serius maka akan
meminimalisasi kasus kekerasan dalam rumah tangga. Dalam proses penyelesaian
hukum korban KDRT Erfaniah berpendapat bahwa selama ini Negara hanya
128Istiadah, Wawancara. (Malang, B. 16 Agustus 2008).
membuat perangkat piranti hukumnya tetapi tidak difasilitasi dengan apa yang ada
dalam perundang-undangan. Misalnya perlindungan korban kekerasan dalam rumah
tangga, pemulihan trauma-trauma dan lain-lain. Dalam kontek Undang-undang
sudah ditata dengan rapi semuanya tetapi dalam realitasnya tidak ada, karena proses
penegakan itu tidak berhenti sampai diputuskan sebuah proses dalam menangani
kasus KDRT harus sampai pasca persidangan juga perlu dipikirkan.129
Menurut pandangan Sri Harini terhadap pandangan hukum yang berlaku
diIndonesia mengenai kekerasan dalam rumah tangga yaitu secara teori Undang-
undangnya sudah tertata dengan rapi, tetapi realitas dilapangan masih belum
mengenai pada sasarannya. Ini disebabkan oleh sosialisasinya yang kurang
menyeluruh ada kendala-kendala tertentu. Misalkan ada seorang istri, karena tidak
bekerja mengalami kekerasan terus menerus tetapi tidak berani melaporkan kepada
polisi karena dia berpikir jika dilaporkan nanti dicerai terus anak-anak bagaimana?
Nah dia akhirnya menjadi orang dibawah terus. Seharusnya hukum yang meninjau
tentang kekerasan dalam rumah tangga ini sosialisasinya tidak hanya satu pihak
tetapi sosialisasinya itu harus bersama dengan pasangannya (suami-istri). Kemudian
untuk penyelesaian hukumnya masih perlu dikedepankan atau ditampilkan. Kalau
terjadi kekerasan, perlindungan hukumnya itu ada tetapi untuk masuk ke individu
korban ini masih kurang. Misalnya ketika korban mengalami kekerasan maka dia
akan menyembunyikannya karena takut dengan suami.130
Lain halnya menurut Umi Sumbulah bahwa hukumnya sudah ada yaitu Undang-
undang No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
129Erfaniah Zuhriah, Wawancara. (Malang, D. 19 Agustus 2008). 130Sri Harini, Wawancara. (Malang, E. 20 Agustus 2008).
Dalam memandang suatu permasalahan hukum perlu diketahui beberapa hal yaitu
pertama, substansi hukumnya yaitu Undang-undang P KDRT. Kedua, struktur
hukumnya yaitu aparat-aparat hukum yang merespon kekerasan dalam rumah
tangga. Ketiga, budaya hukum. Jadi bagaimana masyarakat memahami Undang-
undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga itu, karena siapa saja boleh
melaporkan jika melihat kasus KDRT. Sedangkan dalam penyelesaian hukumnya
piranti hukumnya sudah ada dan Undang-undangnya juga sudah ada kemudian
dibeberapa kota ada RPK dikepolisian dan itu dikhususkan untuk perempuan korban
kekerasan. Persoalannya disini pertama, adanya RPK kemudian PPT (pusat
pelayanan terpadu) yang digratiskan bagi korban kekerasan belum semua masyarakat
tahu, sehingga jika masyarakat ingin melapor takut membayar pada hal itu
digratiskan. Kedua, Undang-undang P KDRT itu sendiri kurang tersosialisasikan,
jadi penyelesaian hukumnya masih belum dijalankan dengan baik. Implementasi
yang kurang tersebut faktornya bisa pada persoalan masyarakatnya sendiri yang
kurang paham dan juga kurang tersosialisasikannya Undang-undang P KDRT
dengan baik.131
Sedangkan menurut Mufidah terhadap pandangan hukum kekerasan dalam
rumah tangga yang berlaku diIndonesia yaitu: bahwa hukum yang terkait dengan
kekerasan dalam rumah tangga sudah ditata dengan rinci mulai dari hukum itu dibuat
dan dalam kondisi seperti apa itu telah disesuaikan dengan baik. Namun masih
terdapat permasalahan yang harus diselesaikan yaitu jika pelaku kekerasan tersebut
orang yang tidak mampu setelah ditangkap dan dijatuhi hukuman penjara atau denda
dia tidak bisa bayar, tetapi jika yang melakukan kekerasan tersebut pejabat atau
131Umi Sumbulah, Wawancara. (Malang, F. 25 Agustus 2008).
orang yang secara ekonomi lebih maka dia akan mudah melakukan kekerasan karena
tinggal membayar denda sudah selesai. Beliau juga berpendapat bahwa hukum itu
bisa jalan untuk masyarakat Indonesia terutama untuk orang tidak mampu, maka
mulai dari kepolisian, jaksa dan hakim semuanya harus punya pandangan satu
persepsi dalam melihat Undang-undang itu tanpa diskriminatif. Oleh karena itu
undang-undang perlu direvisi dan jika itu diimplementasikan maka jangan tebang
pilih. Dalam penyelesaian hukum KDRT Mufidah berpendapat bahwa penyelesaian
hukum selama ini sudah baik tetapi persoalannya masih siapa sesungguhnya yang
melakukan (pelaku) dan itu akan berdampak bagi keluarga korban. Disinilah terdapat
kerancuan tidak sesederhana orang melakukan kekerasan diluar KDRT. Beliau juga
berpendapat bahwa penerapan hukum selama ini semakin baik karena para praktisi
hukum sudah mulai sadar bahwa Undang-undang KDRT itu menjadi salah satu
sumber hukum untuk menyelesaikan perkara KDRT sekalipun masih perlu
direvisi.132
Dan menurut Mahpur mengenai pandangan hukum kekerasan dalam rumah
tangga yang berlaku di Indonesia, beliau berpendapat bahwa secara prosedural sudah
baik tetapi implementasinya masih perlu pengayaan metode dari praktisi hukum
untuk ikut menjadi proses sosialisasi. Beliau juga mengatakan bahwa aspek hukum
KDRT itu sudah bagus artinya responsibilitas Negara untuk bertindak secara teknis
dengan menerbitkan undang-undang KDRT ini merupakan pembinaan terhadap
keadilan gender. Secara hukum cukup progresif tapi implementasinya pada batas-
batas tertentu perlu digali ulang. Dalam penyelesaian hukumnya menurut Mahpur
akhirnya bukan penyelesaian hukum. Karena jarang kasus kekerasan dalam rumah
132Mufidah Cholidah, Wawancara. (Malang, H. 28 Agustus 2008).
tangga yang terselesaikan jika kasus itu tidak masuk dalam kategori fisik. Sifat
hukum delik aduan jika dicabut berarti sudah selesai kasusnya. Tetapi jika kasusnya
itu berindikasi kasat mata itu bisa diterapkan hukuman KDRT. Namun hukum itu
bisa jadi bomerang misalnya pelaku dijatuhi hukuman atau didenda 15 juta bagi
orang yang punya itu mudah. Secara moral hukum itu bagus untuk mencari proses
keadilan bagi korban KDRT. Tetapi dalam kasus-kasus tertentu tidak bisa maksimal
menghukum orang karena secara prosedural jaminan keadilannya kurang.133
Pendapat para aktivis gender terhadap pandangan hukum KDRT dan
penyelesaian korban KDRT di atas mencerminkan bahwa hukum yang terkait dengan
kekerasan dalam rumah tangga terdapat kelebihan dan kekurangannya seperti yang
diungkapkan oleh para aktivis bahwa secara teori Undang-undang atau hukum
kekerasan dalam rumah tangga telah memberikan kontribusi yang positif terhadap
para korban kekerasan, dengan disediakannya oleh pemerintah beberapa perangkat
dikepolisian yaitu pengaduan (RPK) dan penyediaan jasa konsultasi (PPT). Namun
dalam realitasnya masih kurang efektif karena terdapat beberapa persoalan yang
perlu diselesaikan seperti halnya: tentang delik aduan yang membutuhkan keberanian
korban untuk mengadukan kasus kekerasan tersebut, Undang-undang P KDRT itu
sendiri kurang tersosialisasikan jadi penyelesaian hukumnya masih belum dijalankan
dengan baik, selama ini Negara hanya membuat perangkat piranti hukumnya tetapi
tidak difasilitasi dengan apa yang ada dalam perundang-undangan. Misalnya
perlindungan korban kekerasan dalam rumah tangga, pemulihan trauma-trauma dan
lain-lain.
133Mahpur, Wawancara. (Malang, G. 25 Agustus 2008).
Adanya UU KDRT ini yang dibuat untuk menyelesaikan kasus-kasus kekerasan
yang terjadi di masyarakat. Proses terjadinya undang-undang ini telah mengalami
tahapan yang panjang dan dipengaruhi beberapa faktor yang berkembang sehingga
mempengaruhi terbentuknya undang-undang KDRT. Semua ini adalah
perkembangan-perkembangan hukum yang dekat hubungannya dengan faktor-faktor
sosial, politik dan ekonomi.134
Dengan penjelasan yang diutarakan oleh Friedmann di
atas dapat dianalisa bahwa undang-undang KDRT dan hubungannya dengan
pembentukan hukum di Indonesia serta pandangan hukum para aktivis gender
terhadap KDRT. Jika diperhatikan pendapat friedmann di atas maka setidaknya ada
tiga faktor yang mempengaruhi terbentuknya uu yaitu faktor sosial, faktor politik dan
faktor ekonomi. Faktor sosial yang mempengaruhi terbentuknya UU KDRT adalah
fenomena kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi dalam masyarakat semakin
marak dan interpretasi agama yang salah terhadap wanita dalam rumah tangga atau
keluarga. Faktor politik yang turut serta pula mempengaruhi dalam pembentukan UU
KDRT ialah pada saat UU tersebut dibahas di lembaga legislative banyaknya
politikus wanita yang duduk di kursi legislative mempercepat proses pengesahan UU
tersebut dan ditambah lagi pada saat itu presiden RI adalah Megawati yang notabene
presiden wanita pertama RI. Faktor lain yang tidak boleh diabaikan peranannya
dalam proses terciptanya adalah faktor ekonomi, dengan banyaknya kasus
trackfiking dan eksploitasi seksual dalam keluarga yang mengakibatkan ketidak
harmonisan rumah tangga. Sedang pada saat itu belum ada UU yang mengatur secara
spesifik tentang kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga.
134Friedmann., Op. Cit., 101
Setelah UU P KDRT tersebut terbentuk maka dibutuhkan suatu perangkat
hukum untuk melakukan penegakan hukum. Menurut Soerjono Soekanto yang
dikutip oleh Ishaq bahwa faktor tersebut ada lima yaitu:
a. Hukumnya sendiri, yang didalam tulisan ini akan dibatasi pada undang-undang
saja yaitu UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga.
b. Penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan
hukum. Di Negara Indonesia yang dikategorikan sebagai penegak hukum adalah
kepolisian, namun lembaga yang membentuk suatu hukum adalam lembaga
legislative.
c. Sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum. Adapun sarana yang
tersedia untuk menegakkan undang-undang KDRT adalah tersedianya ruang
khusus pengaduan kekerasan (RPK) dan pusat pelayanan terpadu (PPT) yang
digratiskan bagi korban kekerasan.
d. Masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan.
Sebagian masyarakat yang sadar terhadap maraknya kasus KDRT ikut serta
dalam membantu penegakan UU KDRT seperti halnya sosialisasi, pendampingan
dan advokasi yang dilakukan oleh para aktivis gender.
e. Kebudayaan, yakni hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan para karsa
manusia di dalam pergaulan hidup.135
Budaya masyarakat ini menjadi bagian dari
penegakan hukum KDRT karena masyarakat sebagai pelaku yang senantiasa
menggunakan perbuatan hukum sehari-hari.
135Ishaq., Op.Cit., 245.
Dalam kebudayaan masyarakat Indonesia, bahwa sebagian masyarakat masih
enggan menggunakan fasilitas penegakan hukum yang khususnya dalam
permasalahan kekerasan dalam rumah tangga. Sebabnya ialah dalam masyarakat kita
kekerasan dalam rumah tangga dianggap sebagai hal yang terkait dengan privasi
seseorang yang tidak pantas diketahui orang lain dan dalam masyarakat sering terjadi
negosiasi atau tawar menawar hukum. Sehingga implementasi dari UU P KDRT
menjadi belum maksimal sebab masyarakat enggan menyerahkan sengketanya
kepada pengadilan.
Eksistensi Undang-undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
adalah sebagai alat untuk melaksanakan hukum Islam yang berkaitan dengan anti
kekerasan dalam rumah tangga dalam penegakan hukum ditanah air. Tanpa
perundang-undangan (legislasi), penegakan hukum terhadap tindak kekerasan dalam
rumah tangga sulit dilaksanakan.136
Dengan pernyataan diatas ini hukum merupakan
alat untuk menyelesaikan suatu permasalahan yang terjadi dimasyarakat, namun
permasalahan hukum kekerasan dalam rumah tangga menurut para aktivis gender
masih terdapat berbagai kekurangan yang perlu dibenahi. Seperti yang diungkapkan
oleh Mahpur bahwa secara hukum, perundang-undangan tentang kekerasan dalam
rumah tangga cukup progresif tapi implementasinya pada batas-batas tertentu perlu
digali ulang, contohnya kurangnya fasilitas-fasilitas yang menunjang pemulihan
korban kekerasan dalam rumah tangga.
136La Jamaa dan Hadidjah., Op. Cit., 154.
B. Aktualisasi Pemikiran Para Aktivis Gender Terhadap Permasalahan
Hukum KDRT.
Dalam upaya menyadarkan masyarakat terhadap permasalahan hukum kekerasan
dalam rumah tangga ini para aktivis gender telah melakukan beberapa hal untuk
meminimalisir kekerasan yang terjadi dalam keluarga. Dari sini peneliti akan
memaparkan metode yang diterapkan oleh para aktivis gender untuk meminimalisir
kasus-kasus kekerasan dalam keluarga. Sri Harini mengatakan bahwa kekerasan
dalam rumah tangga dapat diminimalisir setelah diketahui faktor-faktor penyebab
terjadinya kekerasan sehingga dapat digali dari potensi yang sesuai dengan faktor
penyebabnya.137
Diantaranya persoalan-persoalan kekerasan dalam rumah tangga
bermula dari krisis ekonomi dan budaya partiarki dimana seseorang akan
mempertahankan gendernya terhadap orang lain. Adapun metode-metode yang
diterapkan oleh para aktifis gender sebagai berikut:
Menurut Ulfa ada beberapa metode yang diterapkan dalam kasus kekerasan
dalam rumah tangga ini yaitu: pertama, sosialisasi bisa berbentuk training,
pendidikan. Kedua, ekonomi, jika faktornya ekonomi pemerintah harus menyediakan
lapangan pekerjaan supaya hidup dengan layak dan memadai. Ketiga, pendampingan
korban mulai dari curhat, mencarikan lawyer atau pengacara hingga pendampingan
secara psikis.138
Lain halnya menurut Istiadah metode yang beliau terapkan adalah
sosialisasi tentang berkomitmen dalam keluarga. Karena Undang-undang kekerasan
dalam rumah tangga muncul untuk membuat afirmatif action agar keluarga sakinah
itu ada di Indonesia dan dilindungi oleh negara. Jadi harus dimulai dengan
137Sri Harini, Wawancara. (Malang, E. 20 Agustus 2008). 138Ulfa Muhayani, Wawancara. (Malang, A. 11 Agustus 2008).
bagaimana sosialisasi komitmen bahwa berkeluarga ini komitmen diantara dua orang
dewasa yang ingin bersatu demi mencapai ketentraman.139
Menurut Yuliati dalam melaksanakan kegiatan yang terkait dengan kekerasan
dalam rumah tangga ada beberapa pendekatan yaitu:
1. Pendekatan Kuratif, sosialisasi kepada masyarakat. Misalnya masuk-masuk ke
pengajian dan PKK.
2. Pendekatan Edukatif, masuk ke dalam pelajaran dari tingkat sekolah dasar
sampai perguruan tinggi.
3. Pendekatan Preventif, ketika korban itu sudah mengalami kekerasan dan ingin
mengutarakan, kita harus siap mewadahi mereka untuk memberikan layanan
psikologis atau konseling kepada korban sekaligus pelaku.
4. Pendekatan Rehabilitatif, korban yang sudah pada fase tertentu (stress atau
depresi) maka pemulihan ini tidak serta merta tetapi harus melalui tahap demi
tahap untuk menumbuhkan rasa percaya diri dan untuk meningkatkan harga diri
korban. korban harus bisa melawan kekerasan yang di alami oleh korban itu
sudah termasuk terapi.140
Menurut Erfaniah kegiatan yang diterapkan dalam meminimalisir kekerasan
dalam rumah tangga yaitu: pertama, memberikan wacana tentang kekerasan dalam
rumah tangga lewat media (radio dan televisi). Kedua, bekerja sama dengan instansi-
instansi pemerintah untuk melakukan sosialisasi kepada masyarakat. Ketiga,
pendampingan dalam kasus KDRT dan menerima konsultasi via telepon yang sudah
dilaksanakan oleh Pusat Studi Gender.141
Begitu juga menurut Sri Harini metode
yang diterapkan adalah sosialisasi dengan tokoh agama untuk meminimalisir
terjadinya kekerasan dalam rumah tangga dan pemberdayaan perekonomian
masyarakat supaya menjadi stabil, karena faktor ekonomi sering menjadi penyebab
terjadinya kekerasan.142
139Istiadah, Wawancara. (Malang, B. 16 Agustus 2008). 140Yuliati Hotifah, Wawancara. (Malang, C. 14 Agustus 2008). 141Erfaniah Zuhriah, Wawancara. (Malang, D. 19 Agustus 2008). 142Sri Harini, Wawancara. (Malang, E. 20 Agustus 2008).
Menurut Umi Sumbulah cara menanggulangi atau meminimalisir kasus KDRT
yaitu dengan pendidikan kepada masyarakat melalui pengajian-pengajian. Dan
metode yang diterapkan oleh lembaga PSG melalui kajian-kajian, workshop,
penelitian dan publikasi yang dituangkan dalam jurnal dan buku, dan pengabdian
masyarakat lewat media (radio dan televisi).143
Lain halnya menurut Mahpur untuk
menekan angka kekerasan dalam keluarga terdapat beberapa metode yaitu:
Sosialisasi dan advokasi. Namun secara personal ada beberapa orang yang telah
melakukan melalui konseling dan penyuluhan. Selain itu juga melakukan publikasi
lewat media, tulisan, dan menyusun materi dengan tema keluarga sakinah untuk
menekan angka kekerasan.144
Menurut Mufidah metode yang beliau terapkan ada
tiga yaitu:
1. Pendidikan; pendidikan pencegahan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga
seperti halnya sosialisasi, pelatihan-pelatihan seminar dan pengajian-pengajian
2. Tindakan preventif; misalnya ketika mendapati kasus atau relitas disekitar
lingkungan, kita langsung menegur, tapi untuk KDRT tindakan preventifnya
adalah istri-istri yang rentan itu di beri penguatan. Kalau sudah jelas-jelas korban
kita melakukan tindakan advokasi dalam bentuk mengatasi kesulitan korban.
3. Rehabilitasi; pemulihan aspek fisik, psikis dan menata kembali kehidupannya
kedepan lebih baik. Mufidah juga melakukan rehabiitasi pada korban sampai
korban menikah dengan orang yang dikehendaki, ada juga yang menikah dengan
orang lain yang dia sukai. Selain pendampingan agama dan psikis juga
melakukan pendampingan ekonomi. Model pendampingan itu antara lain bisa
sampai korban mempunyai kepercayaan diri dan harapan hidup yang cerah dan
ekonominya semakin mapan.145
Secara teoritis metode-metode yang mereka gunakan untuk meminimalisir kasus
kekerasan dalam rumah tangga akan dapat mencapai hasil yang maksimal, sebabnya
metode-metode yang mereka gunakan telah menyentuh akar permasalahan yang
selama ini telah diketahui secara luas sebagai penyebab terjadinya kekeasan dalam
143Umi Sumbulah, Wawancara. (Malang, F. 25 Agustus 2008). 144Mahpur, Wawancara. (Malang, G. 25 Agustus 2008). 145Mufidah Cholidah, Wawancara. (Malang, H. 28 Agustus 2008).
rumah tangga misalnya metode sosialisasi dan rehabilitasi yang telah dilakukan oleh
Mufidah. Dengan metode-metode yang telah dilakukan para aktivis gender ini dapat
dirasakan manfaatnya bahwa metode-metode itu merupakan implementasi dari apa
yang mereka pikirkan dalam menyadarkan masyarakat terhadap permasalahan
hukum kekerasan dalam rumah tangga. Dari aktualisasi pemikiran para aktivis
gender tersebut dapat digolongkan dalam Teori Sistem Hukum, karena hukum harus
dipahami dengan latar belakang masyarakat dalam arti yang seluasnya. Seperti
halnya sosialisasi, edukasi, pendampingan dan tindakan preventif merupakan pola
hubungan antara yang satu dengan yang lainnya dan mempunyai harapan-harapan
tentang perilaku masing-masing dan tentang reaksi masing-masing terhadapnya.
Menurut Luhmann fungsi dari sistem adalah mereduksi kompleksitas (kemajemukan)
ini menjadi struktur-struktur yang kurang menjadi lebih jelas kerangka umumnya
(overzichtelijk).146
Dari kemajemukan tindak kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi
dimasyarakat dapat direduksi oleh kegiatan-kegiatan aktivis gender sehingga struktur
keluarga maupun struktur sosial yang selama ini tidak jelas menjadi semakin jelas
dengan implementasi pemikiran para aktivis gender tersebut. Dengan cara itu
kehidupan menjadi tertata dan kepastian di dalam masyarakat dapat diciptakan.
Sistem itu memperlihatkan sejumlah besar bentuk-bentuk, misalnya politik, ekonomi,
ilmu dan hukum. Daya jangkau dari hukum adalah secara umum untuk
memungkinkan berfungsinya semua sistem. Untuk itu hukum harus mengupayakan
bahwa didalam masyarakat tersedia keputusan-keputusan (hukum) yang mengikat.
Dengan demikian, harapan-harapan yang kompleks direduksi menjadi aturan-aturan
146Meuwissen., Op. Cit., 33.
hukum yang dapat diperhitungkan dan berkerangka umum.147
Untuk lebih
sederhananya peneliti membuat tabel sebagai berikut:
Tabel III
Implementasi dan analisis teori hukum
No Aktivis
Gender
Metode Aliran Argumen
1 Ulfa M. - Sosialisasi
- Ekonomi,
penyediaan
lapangan
pekerjaan.
- Pendampingan
korban.
2 Yuliati H. - Pendekatan
kuratif.
- Pendekatan
edukatif.
- Pendekatan
preventif.
- Pendekatan
rehabilitatif.
3 Istiadah Sosialisasi keluarga
sakinah karena UU
PKDRT muncul
untuk membuat
afirmatif action agar
keluarga sakinah itu
ada di Indonesia dan
dilindungi oleh
Negara.
4 Erfaniah Z. - Kerja sama
dengan instansi-
instansi untuk
sosialisasi kepada
masyarakat.
- Siaran lewat radio.
- Pendampingan.
- Menerima
konsultasi lewat
via telepon.
5 Sri Harini - Sosialisasi
Teori Sistem
Hukum
- Hukum
dipahami
dengan latar
belakang
masyarakat.
- Fungsi hukum
adalah
mereduksi
kompleksitas
menjadi
struktur-struktur
yang kurang
jelas menjadi
lebih jelas
kerangka
umumnya.
147Ibid., 34.
- Pemberdayaan
perekonomian.
6 Umi S. - Pendidikan kepada
masyarakat.
- Kajian-kajian.
- Workshop
- Menerbitkan buku
dan jurnal.
- Siaran radio dan
televisi.
7 Mufidah Ch. - Pendidikan
- Tindakan preventif
- Rehabilitasi
8 Mahpur - Sosialisasi
- Advokasi
- Konseling
- Penyuluhan
- Publikasi lewat
media.
- Kerjasama dengan
psikister, ahli
hukum, dan tokoh
agama.
Dari analisa pemikiran dan aktualisasi pemikiran aktivis gender terhadap
kekerasan dalam rumah tangga terdapat perbedaan, jika dilihat dari sisi teori
pemikiran hukum yang telah dipaparkan dan dianalisa diatas. Pemikiran aktivis
gender tentang konsep kekerasan dalam rumah tangga terdapat beberapa golongan
seperti halnya pemikiran Ulfa, Yuliati, Istiadah dan Erfaniah termasuk dalam
golongan teori realisme hukum, kemudian Umi Sumbulah dan Mufidah dapat
digolongkan dalam teori positivisme hukum, pemikiran Sri Harini dapat digolongkan
dalam teori idealisme hukum dan Mahpur digolongkan dalam teori hukum alam.
Sedangkan dalam implementasinya mereka semua dapat digolongkan dalam teori
sistem hukum, karena hukum harus diterima sebagai sesuatu yang terus-menerus
berubah dan hukum bukan yang sesuatu statis. Llwellyn berpendapat bahwa tujuan
hukum harus senantiasa dikaitkan dengan tujuan masyarakat dimana hukum itu
berada. Masyarakat merupakan proses yang terus menerus berubah secara
berkesinambungan, oleh karena itu perubahan hukum pun merupakan suatu hal yang
esensial.148
Demikian pemikiran dan implementasi aktivis gender terhadap kekerasan
dalam rumah tangga yang senantiasa berubah-ubah sesuai dengan kondisi
masyarakat dalam memahami suatu permasalahan hukum.
148�Zainuddin Ali., Op.Cit. 63-64.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan.
Kekerasan dalam rumah tangga adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh
anggota keluarga yang kuat atau merasa kuat terhadap anggota keluarga yang lemah
atau dilemahkan yang menyebabkan rasa tidak nyaman pada lingkup rumah tangga.
Adapun bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga yaitu kekerasan fisik,
kekerasan, psikis, kekerasan seksual dan kekerasan ekonomi. Kekerasan dalam
rumah tangga dapat disebabkan oleh budaya patriarkhi, interpretasi agama yang
kurang, faktor ekonomi yang lemah, pendisiplinan dengan alas an mendidik, dan
intervensi dalam keluarga.
Para aktivis gender sendiri memiliki tambahan pemikiran dalam melihat
fenomena kekerasan dalam rumah tangga tersebut. Diantaranya Ulfa, Yuliati,
Istiadah dan Erfaniah berpendapat KDRT adalah segala tindakan atau perbuatan
yang dilakukan oleh suami atau istri yang menyebabkan tidak nyaman dalam rumah
tangga. Setelah melakukan kajian pada bab analisis mereka dapat digolongkan dalam
teori realisme hukum, karena perbuatan atau kekerasan yang terjadi dalam keluarga
tersebut terdapat pengingkaran akan adanya nilai-nilai kebaikan yang objektif.
Sedangkan Sri Harini memandang bahwa KDRT adalah Suatu model ketidak
seimbangan peran dalam rumah tangga baik suami maupun istri. Pendapat ini dapat
digolongkan dalam teori idelisme hukum, karena setiap manusia bertanggung jawab
atas perbuatannya. Lain halnya menurut Umi Sumbulah dan Mufidah KDRT adalah
Suatu tindakan yang dilakukan oleh seseorang yang berkuasa dalam rumah tangga
terhadap orang lain yang dianggap lemah. Pendapat mereka ini dapat dikategorikan
dalam teori positivisme hukum, karena hukum tidak didasarkan pada nilai-nilai baik
atau buruk, namun didasarkan atas kekekuasaan yang lebih tinggi. Dan menurut
Mahpur KDRT adalah suatu bentuk perilaku atau sifat yang menyebabkan perlakuan
buruk dari anggota keluarga. Pendapat ini dapat dikategorikan dalam teori hukum
alam, karena hukum dipandang sebagai suatu keharusan alamiah (nomos).
Dalam upaya menyadarkan masyarakat terhadap permasalahan hukum kekerasan
dalam rumah tangga para aktivis gender telah melakukan beberapa hal untuk
meminimalisir kasus KDRT diantaranya sosialisasi kepada masyarakat, advokasi dan
pendampingan korban KDRT, rehabilitasi dan pemberdayaan perekonomian. Dalam
aktualisasi pemikiran aktivis gender ini dapat dikategorikan dalam teori sistem,
karena hukum dipahami dengan latar belakang masyarakat dan fungsi hukum adalah
mereduksi kompleksitas menjadi struktur-struktur yang kurang jelas menjadi lebih
jelas kerangka umumnya.
B. Saran-saran.
Berdasarkan hasil penelitian yang penulis lakukan, maka perlu ada beberapa
saran yang dapat berguna bagi semua pihak yaitu;
1. Bagi Pusat Studi Gender
Bagi pusat studi gender diharapkan meningkatkan kajian dan peran terhadap
permasalahan kekerasan dalam rumah tangga yang menurut data semakin
meningkat intensitas kekerasan yang terjadi pada masyarakat sehingga
membutuhkan penyelesaian bagi korban kekerasan.
2. Bagi Aktivis Gender
Diharapkan para aktivis gender meningkatkan metode-metode dalam
menyelesaikan permasalahan kekerasan dalam rumah tangga yang khususnya
mensosialisasikan hukum-hukum tentang kekerasan perempuan, sehingga
masyarakat dapat mengetahui dampak kekerasan dalam rumah tangga dan dapat
memberikan kontribusi bagi korban dan masyarakat pada umumnya.
3. Bagi Fakultas Syariah
Mengingat banyaknya kasus kekerasan dalam rumah tangga dalam
masyarakat kita diharapkan fakultas dapat membuat program penyuluhan dan
pendampingan bagi korban kekerasan dalam rumah tangga.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an al-Karim, Ar-Rumm (30): 21.
Amiruddin dan Zaenal Asikin (2004) Pengantar Metode Penelitian Hukum Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada.
Ali, Zainuddin (2006) Filsafat Hukum Jakarta: Sinar Grafika.
Al Barry, M. Dahlan (1994) Kamus Ilmiah Populer Surabaya: Arloka
Arikunto, Suharsimi (2002) Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek Jakarta:
Rineka Cipta.
Azizah (2007) “Pemahaman Isteri Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga Yang
Dilakukan Suami”. Malang: Fakultas Syari’ah.
Cholidah, Mufidah Dkk (2006) Haruskah Perempuan dan Anak Dikorbankan
Malang: Pilar Media.
Cholidah, Mufidah Wawancara. (Malang, H. 28 Agustus 2008).
Ciciek, Farha (2005) Jangan Ada Lagi Kekerasan Dalam Rumah Tangga Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama.
Djannah, Fathul (2005) Kekerasan Terhadap Istri Yogyakarta: LkiS.
Friedmann (1994) diterjemahkan oleh Muhammad Arifin, Teori dan Filsafat Hukum
Jakarta: PT Raja Grafindi Persada.
Hidayatin, Nora (2005) “Respon Mahasiswa Fakultas Syari’ah UIN Malang
Terhadap Kekerasan Dalam Rumah Tangga Perspektif Gender”. Malang.
Fakultas Syari’ah.
Hotifah, Yuliati Wawancara. (Malang, C. 14 Agustus 2008).
Harini, Sri Wawancara. (Malang, E. 20 Agustus 2008).
http://www.suryaonline.co.id. (diakses pada 9 Mei 2003)
http://www.suryaonline.co.id. (diakses pada 10 Mei 2003)
http://www.malangkab.go.id/kabmalang/berita/kanjuruhan.cfm?kd=348 (diakses
pada 23 Juli 2008)
Ishaq (2008) Dasar-dasar Ilmu Hukum Jakarta: Sinar grafika.
Istiadah, Wawancara. (Malang, B. 16 Agustus 2008).
Jawa Pos (10 April 2008)
Komaruddin (2002) Kamus Karya Tulis Ilmiah Jakarta: PT Bumi Aksara.
Laporan Workshop P KDRT (Batu, 22-23 agustus 2006)
La Jamaa dan Hadidjah (2008) Hukum Islam dan Undang-undang Anti Kekerasan
Dalam Rumah Tangga Surabaya: PT Bina Ilmu.
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2004 NOMOR 95,
Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Mulyana, Dedy (2004) Metodologi Penelitian Kualitatif Bandung: PT Rosda Karya.
Moleong, Lexy J (2006) Metodologi Penelitian kualitatif Bandung: PT. Rosda
Karya.
Meuwissen (2008) diterjemahkan B. Arief Sidharta, Tentang Pengembanan Hukum,
Ilmu Hukum, Teori Hukum dan Filsafat Hukum Bandung: PT Refika Aditama.
Mahpur, Wawancara. (Malang, G. 25 Agustus 2008).
Muhayani, Ulfa Wawancara. (Malang, A. 11 Agustus 2008).
Qonita, Shofa (2005) “Perlindungan Terhadap Istri Sebagai Korban Kekerasan
Dalam Rumah Tangga Perspektif Hukum Islam Dan UU No 23 Tahun 2004.”
Malang: Fakultas Syari’ah.
Patton, Michael Quinn (2006) "How To Use Qualitative Methods In Evaluation",
diterjemahkan Budi Puspo Priyadi, Metode Evaluasi Kualitatif (Cet.I;
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Rahardjo, Satjipto (2000) Ilmu Hukum Bandung: Citra Aditya Bakti.
Saraswati, Rika (2006) Perempuan dan Penyelesaian Kekerasan Dalam Rumah
Tangga Bandung: PT Citra Aditya Bakti.
Sidharta, B. Arief (2008) Meuwissen Tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum,
Teori Hukum dan Filsafat Hukum Bandung: PT Refika Aditama.
Strauss, Anselm dan Juliet Corbin (1997) Dasar-dasar Penelitian Kualitatif:
Prosedur, Teknik dan Teori Grounded Surabaya: Bina Ilmu.
Singaribun, Masri dan Sofian Efendi (1989) Metode Penelitian Survai Jakarta:
Pustaka LP3ES.
Sumbulah, Umi Wawancara. (Malang, F. 25 Agustus 2008).
Umar, Nasaruddin (2001) Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-Qur’an Jakarta:
Paramadina.
Sunggona, Bambang (2003) Metode Penelitian Hukum Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada.
Soetikno (2008) Filsafat Hukum Jakarta: PT Pradnya Paramita.
Zuhriah, Erfaniah Wawancara. (Malang, D. 19 Agustus 2008).
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Lampiran I: Bukti konsultasi.
Lampiran II: Surat bimbingan skripsi.
Lampiran III: Surat penelitian kepada Pusat Studi Gender UIN Malang.
Lampiran IV: Surat keterangan penelitian dari Pusat Studi Gender.
Lampiran V: Dokumentasi kegiatan