skripsi - core.ac.uk · pdf filepohuwato, bahwa pembentukan peraturan daerah kabupaten...

87
SKRIPSI PENERAPAN ASAS AKUNTABILITAS PADA PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN POHUWATO NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG RETRIBUSI JASA USAHA OLEH AAN PRATAMA HIKMAN B 111 09 852 BAGIAN HUKUM TATA NEGARA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2013

Upload: dangquynh

Post on 04-Mar-2018

223 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

SKRIPSI

PENERAPAN ASAS AKUNTABILITAS PADA PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH

KABUPATEN POHUWATO NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG RETRIBUSI JASA USAHA

OLEH

AAN PRATAMA HIKMAN

B 111 09 852

BAGIAN HUKUM TATA NEGARA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2013

ii

Halaman Judul

PENERAPAN ASAS AKUNTABILITAS PADA PEMBENTUKAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN POHUWATO

NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG RETRIBUSI JASA USAHA

OLEH :

AAN PRATAMA HIKMAN

B 111 09 852

SKRIPSI

Diajukan sebagai Tugas Akhir dalam rangka Penyelesaian Studi

Sarjana Program Kekhususan Hukum Tata Negara

Program Studi Ilmu Hukum

Pada

PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM TATA NEGARA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2013

iii

PENGESAHAN SKRIPSI

PENERAPAN ASAS AKUNTABILITAS PADA PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH

KABUPATEN POHUWATO NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG RETRIBUSI JASA USAHA

Disusun dan diajukan oleh

AAN PRATAMA HIKMAN

B 111 09 852

Telah Dipertahankan di Hadapan Panitia Ujian Skripsi yang Dibentuk dalam Rangka Penyelesaian Studi Program Sarjana

Bagian Hukum Tata Negara Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin

Dan Dinyatakan Diterima

Panitia Ujian

Ketua

Sekretaris

Prof. Dr. Achmad Ruslan, S.H., M.H.

NIP. 19570101 198503 1 001

Dr. Anshori Ilyas, S.H.,M.H.

NIP. 19560607 198503 1 001

An. Dekan Wakil Dekan Bidang Akademik,

Prof. Dr. Ir. Abrar Saleng, S.H., M.H. NIP. 19630419 198903 1 003

iv

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Diterangkan bahwa skripsi mahasiswa:

Nama : Aan Pratama Hikman

Nomor Induk : B 111 09 852

Bagian : Hukum Tata Negara

Judul Skripsi : Penerapan Asas Akuntabilitas Pada Pembentukan

Peraturan Daerah Kabupaten Pohuwato Nomor 2

Tahun 2012 Tentang Retribusi Jasa Usaha

Telah diperiksa dan disetujui untuk diajukan dalam ujian skripsi.

Makassar, 5 Agustus 2013

Pembimbing I Pembimbing II

Prof. Dr. Achmad Ruslan S.H., M.H. Dr. Anshori Ilyas S.H.,M.H. NIP. 19570101 198503 1 001 NIP. 19560607 198503 1 001

i

PERSETUJUAN MENEMPUH UJIAN SKRIPSI

Menerangkan bahwa skripsi mahasiswa:

Nama : Aan Pratama Hikman

Nomor Induk : B 111 09 852

Bagian : Hukum Tata Negara

Judul Skripsi : Penerapan Asas Akuntabilitas Pada Pembentukan

Peraturan Daerah Kabupaten Pohuwato Nomor 2 Tahun

2012 Tentang Retribusi Jasa Usaha

Telah diperiksa dan disetujui untuk diajukan dalam ujian skripsi.

Makassar, Agustus 2013

a.n Dekan

Wakil Dekan Bidang Akademik,

Prof. Dr. Ir. Abrar Saleng, S.H., M.H.

NIP. 19630419 198903 1 003

v

ABSTRAK

AAN PRATAMA HIKMAN (B11109852) Penerapan Asas Akuntabilitas Pada Pembentukan Peraturan Daerah Kabupaten Pohuwato Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Retribusi Jasa Usaha (dibimbing oleh Achmad Ruslan dan Anshori Ilyas).

Upaya untuk mewujudkan pemerintahan yang baik (Good Governance) adalah penerapan akuntabilitas dalam setiap pengambilan kebijakan. Pembentukan Peraturan Daerah Kabupaten Pohuwato Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Retribusi Jasa Usaha merupakan langkah yang ditempuh demi terselenggaranya pemerintahan daerah. Dalam setiap tahapan peraturan daerah mulai dari pembentukan hingga pelaksanaanya perlu diterapkan asas akuntabilitas. Pada kekinian, Peraturan Daerah Kabupaten Pohuwato Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Retribusi Jasa Usaha Dinilai kurang optimal sehingga perlu mendapatkan perhatian baik oleh pihak penyelenggara pemerintahan daerah dan masyarakat.

Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Pohuwato. Metode pengumpulan data dilakukan melalui penelitian lapangan (field research) serta di Kantor Bupati Kabupaten Pohuwato dan di Kantor DPRD Kabupaten Pohuwato, dan melalui penelitian kepustakaan (library research) terhadap buku-buku, tulisan ilmah, peraturan perundang-undangan, serta sumber-sumber lainnya yang terkait dengan penulisan skripsi ini.

Penelitian hukum ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana penerapan asas akuntabilitas pada pembentukan peraturan daerah Kabupaten Pohuwato Nomor 2 Tahun 2012 tentang Retribusi Jasa Usaha dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ternyata penerapan asas akuntabilitas pada pembentukan peraturan daerah Kabupaten Pohuwato Nomor 2 Tahun 2012 tentang Retribusi Jasa Usaha belum berjalan dengan optimal sehingga perlu adanya upaya positif baik dari pihak penyelenggara pemerintahan daerah maupun masyarakat.

vi

UCAPAN TERIMA KASIH

Bismillaahirrahmaanirrahiim

Assalamu’alaikum wr wb

Puji syukur ke Hadirat Allah SWT atas segala curahan Rahmat

dan Hidayah-Nya sehingga penulis dapat merampungkan skripsi ini sesuai

yang diharapkan. Shalawat dan Taslim tak lupa pula kita kirimkan kepada

Junjungan Nabi Besar Muhammad SAW yang telah mengajarkan Agama

Islam sebagai Rahmatan Lil Alamin.

Penulis menyadari bahwa isi dari skripsi ini masih sangat jauh dari

kesempurnaan walaupun pada hakikatnya kesempurnaan itu hanyalah

Milik Allah SWT semata. Kiranya dalam penulisan skripsi ini penulis

banyak mendapat bimbingan dan bantuan yang sangat berharga dari

berbagai pihak. Oleh sebab itu, pada kesempatan ini pula penulis ingin

mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada pihak-pihak

yang secara langsung ataupun tidak langsung turut memberikan

bantuannya atas selesainya skripsi ini, khususnya kepada :

1. Kedua orang tua penulis, Ayahanda H. Hikman Katohidar, S.H., M.H.

dan Ibunda Hj. Nizma Sanad, S.H., M.M. yang selalu memberi

dorongan, motivasi dan mendoakan penulis sehingga dapat

menyelesaikan studi sampai dengan penyusunan skripsi ini selesai.

Demikian pula adik-adik penulis beserta seluruh keluarga.

vii

2. Dekan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin,

Prof. Dr. Aswanto, S.H., M.H. dan para guru besar serta seluruh staff

dosen yang telah mendidik dan memberikan ilmu pengetahuan yang

sangat bermanfaat selama penulis menuntut ilmu di Fakultas Hukum

Universitas Hasanuddin. Bapak Prof. Dr. Achmad Ruslan, S.H.,M.H.

dan Dr. Anshori Ilyas, S.H.,M.H. selaku pembimbing I dan pembimbing

II yang telah meluangkan waktu dan memberikan bimbingan kepada

penulis dengan penuh perhatian dan pengertian sehingga skripsi ini

bisa diselesaikan. Ibu Prof. Dr. Marwati Riza, S.H., M.Si. selaku Ketua

Bagian dan Bapak Muh. Zulfan Hakim, S.H., M.H. selaku Sekretaris

Bagian Hukum Tata Negara yang telah banyak membantu dan

memotivasi sehingga skripsi ini dapat selesai.

3. Pemerintah Daerah Kabupaten Pohuwato, Ketua DPRD Kabupaten

Pohuwato bersama anggotanya dan Masyarakat Pohuwato atas

bantuannya selama penulis melakukan penelitian guna penyusunan

skripsi ini.

4. Para staff dan karyawan tata usaha Fakultas Hukum Universitas

Hasanuddin atas bantuan yang selama ini diberikan kepada penulis.

Teman-teman kelas E angkatan ’09, teman-teman DOKTRIN 09 Serta

seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu demi satu yang telah

membantu penulis sehingga penulisan skripsi ini dapat selesai.

viii

Akhirnya, kepada Allah SWT jualah yang dapat memberikan

imbalan setimpal atas segala bantuan dari berbagai pihak seperti yang

disebutkan diatas. Kiranya dalam penulisan skripsi ini terdapat

kekurangan mohon dimaklumi. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi

kita semua khususnya untuk pengembangan ilmu hukum di Indonesia.

Aamiin.

Wassalam

Makassar, Agustus 2013

Penulis

ix

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i

LAMBAR PENGESAHAN SKRIPSI .......................................................... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................................... iii

PERSETUJUAN MENEMPUH UJIAN SKRIPSI ....................................... iv

ABSTRAK ................................................................................................. v

UCAPAN TERIMA KASIH ........................................................................ vi

DAFTAR ISI ............................................................................................. ix

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................ 1

A. Latar Belakang Masalah ............................................................ 1

B. Rumusan Masalah ..................................................................... 7

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ............................................... 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................... 9

A. Negara Hukum dan Demokrasi Kedaulatan ............................... 9

1. Reechsstaat .......................................................................... 9

2. Rule of Law ......................................................................... 10

3. Konsep Negara Hukum Pancasila ...................................... 13

4. Demokrasi .......................................................................... 20

5. Kedaulatan ......................................................................... 22

B. Good Governance .................................................................... 28

C. Konsep dan Pengertian Akuntabilitas ....................................... 35

x

D. Pembentukan Peraturan Daerah .............................................. 40

1. Dasar Pembentukan ........................................................... 40

2. Kewenangan Pembentukan Peraturan Daerah ................... 45

BAB III METODE PENELITIAN ............................................................... 57

A. Lokasi Penelitian ...................................................................... 57

B. Jenis dan Sumber Data ............................................................ 57

C. Teknik Pengumpulan Data ....................................................... 58

D. Analisis Data ............................................................................ 58

BAB IV PEMBAHASAN DAN HASIL PENELITIAN ................................ 59

A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ......................................... 59

B. Penerapan Asas Akuntabilitas ................................................. 60

C. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penerapan

Asas Akuntabilitas .................................................................... 66

BAB V PENUTUP ................................................................................... 71

A. Kesimpulan .............................................................................. 71

B. Saran ....................................................................................... 72

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945, pemerintah daerah berwenang untuk mengurus

sendiri urusan pemerintahan, pemberian otonomi luas kepada daerah

diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat

melalui peningkatan pelayanan pemberdayaan dan peran serta

masyarakat, dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan dan

keadilan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Reformasi disegala bidang telah menuntut perubahan dalam

tatanan kehidupan bernegara. Suatu kesadaran baru muncul untuk Iebih

menegakkan kedaulatan rakyat, demokratisasi, dan pemberdayaan

masyarakat lokal, menuntut pengalokasian dan distribution of power and

authority secara adil antara pusat dan daerah. Menyikapi aspirasi dari

daerah, maka disahkan Undang - Undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagai

pengganti UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Menurut

Joko Widodo (2001:38) mengemukakan:

“Pada hakekatnya otonomi daerah bertujuan menciptakan sebuah

sistem pemerintahan yang lebih demokratis, dimana keterlibatan

rakyat (partisipasi) baik dalam penyelenggaraan pemerintahan,

pembangunan, dan pelayanan publik, maupun dalam melakukan

kontrol atas apa yang sedang dan dilakukan pemerintah dalam

menjalankan tugas pokok, fungsi dan kewenangan dapat

dilaksanakan secara maksimal. OIeh karena itu dengan otonomi

2

daerah diharapkan akan dapat memberi peluang pada perubahan

kehidupan pemerintah daerah”.

Hal ini tercermin dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004

tentang Pemerintahan Daerah. Timbulnya ide dan pemikiran dasar yang

menimbulkan reformasi total dalam segala aspek kehidupan bernegara

untuk mewujudkan terciptanya masyarakat madani. Dalam proses

pemerintahan bermasyarakat dan bernegara, memiliki nilai demokrasi dan

sikap keterbukaan, kejujuran, keadilan yang berorientasi pada

kepentingan rakyat.

Upaya untuk mewujudkan pemerintahan yang baik (Good

Governance) adalah penerapan akuntabilitas dalam setiap pengambilan

kebijakan. Kemandirian dalam berotonomi tidak berarti daerah dapat

membuat peraturan perundang-undangan secara nasional. Peraturan

perundang-undangan tingkat daerah merupakan bagian yang tak

terpisahkan dari kesatuan sistem perundang-undangan secara nasional

dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang

lebih tinggi atau kepentingan umum. Keterkaitan dengan peraturan

perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya dan tidak

bertentangan dengan kepentingan umum, menempatkan peraturan

perundang-undangan tingkat daerah sebagai sub sistem perundang-

undangan nasional atau sistem hukum nasional, bahkan dalam kehidupan

3

berbangsa dan bernegara secara keseluruhan sebagai perwujudan

desentralisasi.

Implementasi kekuasaan dalam peraturan perundang-undangan

hendaknya berorientas pada perlindungan hukum dan jaminan bagi rakyat

disatu pihak dan pemerintah di lain pihak. Penyimpangan terhadap hal

tersebut menyebabkan peraturan perundang-undangan tidak Iagi

dipandang sebagai instrumen pemerintah yang strategis untuk

memberikan perlindungan hukum. Seyogyanya peraturan perundang-

undangan dipandang untuk menjaga dan menjamin dihormatinya hak-hak

dasar dan kebebasan asasi rakyat. Ilmu hukum memberikan perhatian

yang seimbang kepada aktivitas tersebut dan hendaknya tunduk pada

peraturan perundang-undangan. Oleh sebab itu aktivitas di bidang

Iegislatif dalam menyusun peraturan perundang-undangan, harus

menghasilkan peraturan yang baik dan dapat dijadikan landasan yang

jelas, adil dan kokoh bagi perilaku kehidupan berbangsa dan bernegara.

Menurut Abdul Latif (2007:1) bahwa:

“Ilmu hukum tidak hanya memberikan perhatian pada peraturan yang

sudah jadi, tetapi juga peraturan yang sedang direncanakan,

dirancang, disusun, dirumuskan dan dibentuk. Peraturan perundang-

undangan yang baik akan memudahkan semua pihak untuk

menegakkan, melaksanakan dan menafsirkan”.

Pemerintah sebagai elemen negara berada pada posisi dominan

dihadapan masyarakat sipil. Dominasi itu tercermin dalam penyusunan

4

peraturan perundang-undangan. Menurut Jimly Asshiddiqie (2005 :297-

298) bahwa:

“sebagian besar peraturan yang dihasilkan Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah sebagai lembaga legislatif pada dasarnya adalah

hasil kerja pemerintah. Peran dewan dalam penyusunan peraturan

hanyalah demi memenuhi tuntutan formal konstitusi, sebab dalam

menyiapkan segala hal yang berkaitan dengan peraturan yang akan

dikeluarkan bersumber dari pemerintah”.

Sebuah produk kebijakan, sekecil apapun ruang lingkupnya akan

tetap berdampak pada masyarakat baik langsung maupun tidak langsung.

Sebagai pihak yang merasakan dampak dari pelaksanaan sebuah

kebijakan, maka sudah seharusnya masyarakat menjadi bagian integral

dari proses penyusunnya. Kondisi tersebut akan terwujud jika seluruh

pihak yang terkait baik itu eksekutif maupun Iegislatif memberikan

dukungan penuh atas pertanggungjawaban (akuntabilitas) dalam proses

legislasi. Dalam hal ini harus ada jaminan hukum melalui peraturan

daerah untuk memastikan bahwa masyarakat berhak untuk terlibat secara

aktif dalam proses penyusunan peraturan daerah, sehingga akan

menghasilkan peraturan yang responsif dan berpihak pada masyarakat.

Kabupaten Pohuwato Provinsi Gorontalo merupakan bagian yang

tidak terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, sebagai

bagian yang tidak terpisahkan, maka masyarakat Pohuwato semakin

sadar akan haknya untuk berperan serta atau berpartisipasi dalam proses

pengelolaan pemerintahan. Mereka bertanggung jawab atas jalannya

pemerintahan dan merasa perlu untuk terlibat dalam setiap pengambilan

5

keputusan. Hasil observasi dan pengamatan saya di Kabupaten

Pohuwato, bahwa pembentukan Peraturan Daerah Kabupaten Pohuwato

Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Retribusi Jasa Usaha kurang optimal

penerapan asas akuntabilitas dari Pemerintah Daerah maupun Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah, karena peraturan daerah tersebut selain untuk

meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) juga terjadi pembebanan

biaya kepada masyarakat. Sehingga antara kepentingan peningkatan

pendapatan daerah akan berbenturan dengan kepentingan masyarakat

dalam hal pembayaran retribusi. Dampak kurang maksimalnya penerapan

asas akuntabilitas dalam pembentukan perda No. 2 Tahun 2012 tersebut

sejak ditetapkan menjadi Peraturan Daerah tidak secara signifikan

meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) di Kabupaten Pohuwato.

Uraian Iebih lanjut tentang penerapan asas akuntabilitas adalah

aktifnya partisipasi masyarakat dalam setiap pembahasan rancangan

peraturan daerah terdapat dalam pasal 139 Undang-Undang Nomor 32

Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang berbunyi:

“Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis

dalam rangka penetapan maupun pembahasan rancangan Undang-

Undang dan rancangan peratuaran daerah”.

Undang-Undang memang telah memberikan ruang kepada

masyarakat untuk terlibat dalam proses penyusunan suatu peraturan

daerah, mulai dari tahap perencanaan, persiapan, penyusunan,

perumusan, pembahasan, pengesahan, dan penetapan. Partisipasi

6

masyarakat di sini melalui kelompok kepentingan (stakeholders), misalnya

mengikutsertakan ahli-ahIi dari Universitas dapat dilakukan pada Tri

Dharma Perguruan Tinggi (berdasarkan peraturan pemerintah Nomor 30

Tahun 1990).

Kesemuanya ini semata-mata untuk membangun Good

Governance, yang menuntut adanya ikIim demokrasi dengan pengelolaan

pemerintahan yang didasarkan pada prinsip partisipasi, akuntabilitas dan

transparansi untuk menghasilkan peraturan daerah yang responsif.

Dengan kata lain Good Governance sangat tergantung pada peran serta

masyarakat secara luas. Hal ini sepadan dengan apa yang dikatakan (A.

Pangerang Moenta (2003 :78) bahwa:

”Hukum atau Undang - Undang (termasuk peraturan daerah) yang

efektif adalah yang benar-benar mewujudkan perilaku yang

diinginkan oleh hukum itu sendiri. Dan hukum (termasuk peraturan

daerah) yang baik adalah benar-benar mewujudkan pembuatan

keputusan oleh pemerintah yang tidak sewenang-wenang. Dengan

kata lain, hukum yang baik adalah hukum yang dibuat dengan

melibatkan sebanyak mungkin partisipasi masyarakat. Dengan begitu

akan muncul sense of belonging dan sense of responsibility

dikalangan masyarakat yang terlibat dalam pembentukan peraturan

daerah tersebut”.

Berpijak dari pemaparan diatas agar dalam setiap pembentukan

peraturan daerah di Kabupaten Pohuwato perlu menerapkan asas

akuntabilitas dalam proses penyusunannya, sehingga melahirkan

peraturan daerah dalam penyelenggaraan Pemerintahan yang baik, yang

dapat dipertanggungjawabkan pada masyarakat yang terkena dampak

7

dari peraturan yang dihasilkan, serta terakomodasinya kepentingan

masyarakat secara keseluruhan dan bukan kepentingan msyarakat

tertentu saja.

B. Rumusan Masalah

Agar penulisan ini lebih efisien dan efektif, maka penulis akan

membagi permasalahan dalam beberapa hal pokok dari kemungkinan

luasnya permasalahan yang timbul dalam pembahasan, serta adanya

konsistensi dengan ruang lingkup dan objek yang akan dibahas. Berkaitan

dengan latar belakang masalah diatas penulis membagi permasalahan

sebagai berikut:

1. Bagaimanakah penerapan asas akuntabilitas pada pembentukan

peraturan daerah Kabupaten Pohuwato Nomor 2 Tahun 2012

tentang Retribusi Jasa Usaha di Kabupaten Pohuwato?

2. Bagaimana faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan asas

akuntabilitas pada pembentukan peraturan daerah Kabupaten

Pohuwato Nomor 2 Tahun 2012 tentang Retribusi Jasa Usaha?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan penelitian

Bertitik tolak dari permasalahan dalam penulisan ini, maka penulis

merumuskan tujuan penelitian, antara lain:

8

a. Untuk mengetahui mekanisme atau proses pembentukan

peraturan daerah Kabupaten Pohuwato Nomor 2 Tahun 2012

tentang Retribusi Jasa Usaha dalam penerapan asas

akuntabilitas.

b. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan

asas akuntabilitas pada pembentukan peraturan daerah

Kabupaten Pohuwato Nomor 2 Tahun 2012 tentang Retribusi

Jasa Usaha di daerah Pohuwato.

2. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan dari penelitian ini antara lain:

a. Mengembangkan pengetahuan ilmiah di bidang hukum pada

umumnya dan khususnya pembentukan peraturan daerah

melalui penerapan asas akuntabilitas dalam penyelenggaraan

pemerintahan yang baik dalam rangka mengaplikasikan disipIin

ilmu pengetahuan tersebut dikemudian hari.

b. Sebagai salah satu sumber pustaka dan bahan masukan bagi

para pembaca dalam hal pembentukan peraturan daerah

melalui penerapan asas akuntabilitas.

c. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan

bagi pihak aparat dalam penyelenggaraan pemerintahan

daerah.

9

BAB II

TINJAUN PUSTAKA

A. Negara Hukum dan Demokrasi Kedaulatan

Negara hukum menghendaki segala tindakan atau perbuatan

penguasa mempunyai dasar hukum yang jelas atau ada Iegalitasnya baik

berdasarkan hukum tertulis maupun berdasarkan hukum tidak tertulis.

Keabsahan negara memerintah ada yang menyatakan bahwa karena

negara merupakan lembaga yang netral, tidak berpihak, berdiri diatas

semua golongan masyarakat dan mengabdi pada kepentingan umum.

Konsep negara hukum sering disamakan begitu saja dengan konsep

Rechtsstaat dan konsep The Rule Of Law.

1. Rechtsstaat

Konsep Rechtsstaat pada dasarnya bertumpu pada sistem hukum

Romawi-Jerman yang disebut Civil Law System dengan ciri utamanya

adalah pembagian hukum perdata dan hukum publik. Konsep Rechtsstaat

mulai populer pada abad XVII sebagai akibat dari situasi politik di Eropa

yang didominir oleh absolutisme. Golongan yang pandai dan kaya ditindas

oleh kaum bangsawan dan gereja yang menumbuhkan konsep etatisme

(L’etat cest moi) untuk mendambakan satu negera hukum yang liberal

10

agar setiap orang dapat dengan aman dan bebas penghidupan dari

kehidupan masing-masing.

Menurut Friedrich Julius Sthal (Zairin harahap, 1997:7) konsep

negara hukum ditandai 4 (empat) unsur pokok yaitu:

a. Pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia.

b. Negara didasarkan pada teori trias politika.

c. Pemerintahan diselenggarakan berdasarkan undang-undang

(Wetmatigade bestuur).

d. Peradilan administrasi negara yang bertugas menangani kasus

perbuatan melanggar hukum oleh pemerintah (onrechtmatigade

everheidaad).

Sistem hukum kontinental mengutamakan hukum tertulis yaitu

peraturan perundang-undangan sebagai sendi utama sistem hukumnya.

Bahkan dalam satu sistematika yang selengkap mungkin dalam sebuah

kitab Undang-Undang yang disebut kodifikasi. Pemikiran kodifikasi ini

dipengaruhi konsepsi negara hukum pada abad XVIII dan XIX, untuk

melindungi masyarakat dari kemungkinan tindakan kesewenang-

wenangan dan demi kepastian hukum, kaidah-kaidah hukum harus tertulis

dalam bentuk undang-undang.

2. Rule Of Law

Konsep Rule Of Law dipelopori oleh A. V. Diccey dari Inggris yang

berkembang dinegara-negara Anglo-saxon. Konsep Diccey (Didi Nasmi

Yunas, 1992: 24-25) adalah:

11

a. Supremacy of law

b. Equality before the law

c. Human rights

Selanjutnya oleh para Juris Asia Tenggara dan Pasifik melalui

kongresnya di Bangkok 1965 (Sri Soemantri, 1993: 13) bahwa

a. Adanya proteksi konstitusional

b. Adanya pengadilan yang bebas dan tidak memihak

c. Adanya pemilihan umum yang bebas

d. Adanya kebebasan untuk menyatakan pendapat dan berserikat

e. Adanya tugas oposisi

f. Adanya pendidikan civil

Dalam perkembangannya sistem anglo-saxon mulai bersentuhan

dengan tradisi sistem hukum kontinental. Amerika mulai mengenal hukum

tertulis walaupun kebutuhan akan sistematisasi hukum dan kodifikasi

hukum dirasakan belum begitu mendesak. Sistem hukum Anglo-Amerika

tetap memiliki perbedaan dengan sistem hukum kontinental. Menurut

Bagir Manan, (1992 : 7), yaitu:

1. Ilmu hukum kontinental sangat dipengaruhi oleh persepsi hukum

Romawi, sedangkan Anglo-saxon adalah hasil dari pertumbuhan

historis yang secara bertahap, sehingga dengan demikian masih

menunjukan banyak unsur-unsur feodalisme.

12

2. Semua sistem hukum kontinental seluruhnya dikodifikasi.

sedangkan hukum anglo Amerika masih berdasarkan hukum

kebiasaan.

3. Akibatnya pendekatan yang berbeda-beda pada problema

interpretasi hukum. Keputusan pada pengadilan sistem kontinental

hanya keterangan mengenai hukum sedangkan Anglo Amerika

presiden adalah salah satu sumber hukum terpenting.

4. Sistem kontinental berkembang dari peraturan umum ke keputusan

individual dengan meletakan prinsip-prinsip hukum umum.

Sedangkan hukum Anglo-Amerika berdasar pada keputusan

mengenai problem individu dan menyusun prinsip kasus demi

kasus dan penyesuaian bertahap ke keperluan-keperluan praktis.

5. Anglo-Amerika memberikan tempat yang sangat penting pada

pengadilan, sedangkan ilmu hukum kontinental tidak hanya

mengenal penuntutan, tetapi sebahagian besar mengenal fungsi

umumnya.

6. Dualisme hukum kebiasaan dan kepatutan dalam hukum Anglo

Amerika tidak dikenal dalam sistem-sistem kontinental.

7. Semua sistem kontinental berbeda dalam substansi dan prosedur

antara hukum perdata dan hukum administratif: Hukum Anglo

Amerika menolak pembagian itu, dan berpegang pada teori prinsip

persamaan bagi semua di depan hukum.

13

8. Pendekatan yang lebih abstrak dan Iebih umum pada hukum dan

ilmu hukum kontinental berguna bagi perkembangan filsafat hukum,

sedangkan sifat pragmatis dan empiris dari hukum Anglo-Amerika

berakibat sebaliknya.

3. Konsep Negara Hukum Pancasila

Negara hukum Indonesia memiliki ciri-ciri khas karena Pancasila

harus diangkat sebagia dasar pokok dan sumber hukum, maka negara

hukum Indonesia dinamakan negara hukum Pancasila, salah satu ciri

pokok adalah Freedom of Religion (kebebasan beragama) dalam konotasi

yang positif. Dalam negara pancasila tidak boleh terjadi pemisahan antara

agama dan negara baik secara mutlak maupun secara nisbi. Agama dan

negara berada dalam hubungan harmonis. Negara hukum pancasila

bertitik pangkal dari asas kekeluargaan dan kerukunan yang terpadu

dalam kepentingan rakyat banyak Iebih diutamakan dengan menghargai

harkat dan martabat serta keterlibatan masyarakat dalam pengambilan

kebijakan dasar oleh penyelenggara negara.

Sehubungan dengan hal tersebut di atas M. Tahir Azhari (Zairin

Harahap, 1997:13) mengemukakan ciri-cini negara hukum pancasila

sebagai berikut :

a. Ada hubungan erat antara agama dan negara,

b. Bertumpu pada Ketuhanan Yang Maha Esa,

14

c. Kebebasan agama dalam arti positif,

d. Ateisme tidak dibenarkan dan komunisme dilarang,

e. Asas kekeluargaan dan kerukunan.

Menurut Philiphus M. Hadjon (1992:87) negara hukum pancasila

tidak bisa dipersamakan begitu saja dengan Rechtsstaat dan The Rule of

Law dengan alasan:

a. Baik konsep Rechtsstaat maupun The Rule of Law dari latar belakang

sejarahnya lahir dari suatu masalah atau perjuangan menentang

kesewenangan penguasa, sedangkan Negara Republik Indonesa sejak

perencanaan berdirinya jelas-jelas menentang segala bentuk

kesewenangan atau absolutisme.

b. Baik konsep Rechtstaat maupun The Rule of Law menempatkan

pengakuan dan perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia sebagi titik

sentral, sedangkan Negara Republik Indonesia yang menjadi titik sentral

adalah keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat berdasarkan

asas kerukunan.

Untuk melindungi Hak Asasi Manusia konsep Rechtstaat

mengedepankan prinsip Wet Matigade dan Rule Of Law mengedepankan

prinsip Equality before the law, sedangkan negara Republik Indonesia

mengedepankan asas kerukunan dalam hubungan antara pemerintah dan

rakyat.

Istilah negara hukum dipahami secara resmi pada konstitusi

Indonesia 1945. Perubahan ketiga Undang-Undang Dasar 1945

15

dipertegas dalam Pasal I ayat 3 Negara Indonesia adalah Negara yang

berdasar atas hukum.

Menurut Wirjono Projadikoro (198I:37) Istilah negara hukum

berarti:

1. Semua alat-alat perlengkapan dan negara, khususnya alat-alat

perlengkapan dari pemerintah dalam tindakan-tindaknnya baik

terhadap para wara negara maupun dalam saIing berhubungan

masing-masing tidak boleh sewenang-wenang, melainkan harus

memperhatikan peraturan-peraturan hukum yang berlaku.

2. Semua orang-orang penduduk dalam hubungan kemasyarakatan

harus tunduk pada peraturan-peraturan hukum yang berlaku.

Pengertian negara hukum secara umum bahwa segala sikap

tingkah laku dan perbuatan, baik dilakukan oleh para penguasa atau

aparatur negara maupun yang dilakukan oleh para warga negara harus

berdasarkan atas hukum. Konsep negara hukum sangat berbeda-beda

terutama di Eropa Kontinental yang berlandas pada pemikiran Imanuel

Kant. Sebagai negara hukum liberal dimana negara berfungsi sebagai

penjaga malam (nachtwakerstaat) dalam ajaran ini kepentingan individu

yang ditonjolkan, sedangkan kemampuan tiap individu berbeda - beda.

Akibatnya orang yang punya kemampuan tinggi akan selalu menang

dalam persaingan dengan orang yang tidak mampu, yang akan berakibat

timbulnya perbedaan sangat menonjol yang pada akhirnya dapat

menimbulkan gejolak sosial. Untuk mengatasi hal tersebut perlu adanya

16

campur tangan negara dalam bidang ekonomi, sosial dan budaya.

Campur tangan yang dimaksud harus datur terlebih dahulu dalam

peraturan perundang-undangan agar pemerintah tidak berbuat sewenang-

wenang atau melampaui batas kekuasaannya. Konsepsi negara hukum

demikian dikenal dengan istilah Negara Kesejahteraan (Weffare state).

Menurut Sudargo Gautama (Didi Nasmi Yunas, 1992 : 23) sebuah

negara dikatakan negara hukum apabila memenuhi unsur-unsur:

1. Terdapat pembatasan kekuatan negara terhadap perorangan,

maksudnya negara tidak dapat bertindak sewenang-wenang,

tindakan negara dibatasi oleh hukum, individual mempunyai hak

terhadap negara atau rakyat mempunyai hak terhadap penguasa.

2. Azas Legalitas, setiap tindakan negara harus berdasarkan hukum

yang telah diadakan terlebih dahulu yang harus ditaati juga oleh

pemerintah dan aparaturnya.

3. Pemisahan kekuasaan, agar hak-hak asasi itu betul-betul

terlindungi adalah dengan pemisahan kekuasaan yaitu badan yang

membuat peraturan perundang-undangan melaksanakan dan

mengadili harus terpisah satu sama lain dan tidak berada dalam

satu tangan.

Negara hukum pada hakikatnya adalah tentang kekuasaan. Di satu

pihak dengan kekuasaan yang menjadi syarat mutlak untuk dapat

memerintah, di lain pihak nampaknya rakyat yang diperintah segan

melepaskan segala kekuasaan daripadanya. Oleh karena itu penegakan

17

hukum sangat dibutuhkan dalam merealisasikan negara hukum, mulai dari

materi hukum (undang-undang), aparat (sebagai penegak hukum),

fasilitas yang dapat menunjang pelaksanaan kegiatan penegak hukum,

serta kesadaran masyarakat terhadap aturan yang ada.

Prinsip dasar negara hukum adalah asas legalitas, peradilan bebas,

dan perlindungan terhadap hak asasi dalam perspektif sosiologis. Menurut

Muin Fahmal (2006 : 88 - 89) mengandung makna:

1. Otoritas harus diberi bentuk hukum dan kekuasaan harus

dilaksanakan dengan cara-cara menurut hukum.

2. Hukum menjadi responsif terhadap kepentingan masyarakat dan

kekuasaan tunduk pada aturan-aturan sehingga melindungi warga

negara dari tindakan sewenang-wenang penguasa.

3. Hukum tidak menentang kekuasaan, malahan dapat

memperkuatnya agar tidak merosot menjadi pemaksaan kehendak

oleh penguasa.

4. Netral terhadap kepentingan-kepentingan sosial, poiltik, dan

ekonomi.

Dalam pelaksanaannya, kekuasaan dalam masyarakat harus

tunduk pada hukum yang mempunyai implikasi yaitu:

a. Mempunyai nilai yang berperspektif kerakyatan, yaitu melindungi

warga negara terhadap pemerintah dari yang lemah serta miskin

terhadap yang kuat serta kaya.

18

b. Penggunaan konfliktual yaitu pandangan kepatuhan kondisional

atas hukum dan otoritas, sehingga memberi ruang untuk beda

pendapat dan beda penafsiran, serta kritik atas otoritas tidak

ditindas.

Undang-undang merupakan suatu sarana untuk mencapai

kesejahteraan bagi masyarakat. Menurut Soerjono Soekanto (2004 :18),

hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pembuatan undang-undang adalah:

1. Keterbukaan di dalam proses pembuatan undang-undang.

2. Pemberian hak kepada warga masyarakat untuk mengajukan usul-

usul tertentu, melalui cara-cara:

a.) Penguasa setempat mengundang mereka yang berminat untuk

menghadiri suatu pembicaraan mengenai peraturan tertentu

yang akan dibuat.

b.) Suatu departemen tertentu, mengundang organisasi- organisasi

tertentu untuk memberikan masukan (partisipasi) bagi suatu

rancangan undang-undang yang sedang disusun.

c.) Acara dengar pendapat di Dewan Perwakilan Rakyat.

d.) Pembentukan kelompok-kelompok penasehat yang terdiri dan

tokoh-tokoh atau ahli-ahli terkemuka.

Selain dari materi hukum, hal yang tidak kalah penting dalam

pembangunan hukum adalah penegakan hukum itu sendiri. Yang

termasuk dalam penegak hukum adalah bidang kehakiman, kejaksaan,

kepolisian, kepengacaraan dan pemasyarakatan. Bidang-bidang tersebut

19

menjalankan aktifitasnya sesuai dengan peranan (rule) yang dimiliki.

Dalam struktur kemasyarakatan, penegak hukum memiliki status sosial

yang berbeda-beda, karena itu hak dan kewajiban serta beban dan tugas

yang diemban sesuai dengan wewenang.

Soerjono Soekanto (2004:20) menjelaskan unsur-unsur dan

peranan itu antara lain:

1. Peranan yang ideal (ideal rule) peranan yang datang dari pihak

lain, artinya ideal roles berfungsi apabila berhubungan dengan

pihak lain (rule sector) dan beberapa pihak (rule set).

2. Peranan yang seharusnya (expected rule) ketika beberapa peranan

atau kedudukan yang sekaligus, yang dapat menimbulkan

kesenjangan.

3. Peranan yang dianggap oleh diri sendiri (perceived rule) diarahkan

pada peranannya, ruang lingkup dibatasi peranan yang seharusnya

dan peranan aktual.

4. Peranan yang sebenarnya dilakukan.

Pengambilan keputusan yang tidak terikat oleh hukum, dimana

penilaian pribadi memegang peranan (diskresi) oleh karena:

a.) Tidak ada perundang-undangan yang sedemikian lengkapnya,

sehingga dapat mengatur semua perilaku manusia.

b.) Adanya kelambatan-kelambatan untuk menyesuaikan perundang-

undangan dengan perkembangan-perkembangan di dalam

masyarakat.

20

c.) Kurangnya biaya untuk menerapkan undang-undang.

d.) Adanya kasus-kasus yang bersifat individual.

Selain undang-undang, penegak hukum, faktor sarana atau fasilitas

sangat penting untuk tercapainya penegakan hukum yang diharapkan

yakni, menyiapkan manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi

yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup. Disamping

itu faktor masyarakat dikaitkan dengan pola perilaku baik buruk yang

merupakan pencerminan dari hukum sebagai struktur maupun proses.

Agar masyarakat dapat menaati hukum ada beberapa cara yang dapat

dilakukan Pertama, coercive yaitu ketaatan hukum karena ada sanksi-

sanksi yang dianggap sebagai sesuatu yang menakutkan. Kedua,

persuasion yaitu warga masyarakat memahami hukum, karena ada

persesuaian dengan nilai-niIai yang dianut masyarakat. Ketiga, pervasion

yaitu dengan mengadakan penyuluhan atau penerangan hukum.

Keempat, compulsion yaitu cara dengan sengaja menciptakan situasi

tertentu, sehingga warga masyarakat tidak mempunyai pilihan lain, kecuali

mematuhi hukum.

4. Demokrasi

Demokrasi mempunyai arti penting dalam sejarah ketatanegaraan

karena dengan demokrasi, rakyat dapat menilai kebijakan pemerintah.

Karena itu, demokrasi adalah penyeIenggaraan kehendak dan kemauan

rakyat. Demokrasi dalam negara hukum menimbulkan suatu gagasan

tentang tata cara membatasi kekuasaan pemerintah melalui pembuatan

21

konstitusi maupun yang tidak tertulis. Gagasan kekuasaan pemerintah

perlu dibatasi sebgaimana dirumuskan oleh Meriam Budiarjo (1988: 52):

“Pemerintah selalu diselenggarakan oleh manusia dan manusia itu

tanpa kecuali banyak kelemahan. Dalilnya yang termashur adalah,

Power tends to corrupt, but absolute power corrupt absolutely”.

Manusia yang mempunyai kekuasaan cenderung untuk

menyalahgunakan kekuasaan itu, tetapi manusia yang mempunyai

kekuasaan tak terbatas pasti akan menyalahgunakannya. Oleh karena itu

diperlukan pengawasan dari rakyat (social control) serta jaminan adanya

kepastian hukum. Prinsip demokrasi menjamin peran serta masyarakat

dalam proses pengambilan keputusan kenegaraan, sehingga setiap

peraturan perundang-undangan yang ditetapkan dan ditegakkan

mencerminkan perasaan keadilan yang hidup dalam masyarakat. Hukum

dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, tidak boleh ditetapkan

dan diterapkan secara sepihak untuk kepentingan penguasa. Dengan

demikian negara hukum (rechstaat) yang dikembangkan bukanlah

absolute rechtstaat melainkan democratische rechtstaat atau negara

hukum yang demokratis, dengan adanya transparansi dan kontrol sosial

yang terbuka terhadap setiap proses pembuatan dan penegakan hukum,

sehingga kelemahan yang terdapat dalam mekanisme kelembagaan resmi

dapat dilengkapi secara komplementer oleh peran serta masyarakat

secara Iangsung (partisipasi Iangsung) dalam rangka menjamin keadiIan

dan kebenaran. Adanya partisipasi Iangsung ini penting karena sistem

perwakilan rakyat melalui parlemen tidak pernah dapat diandalkan

22

sebagai satu-satunya saluran aspirasi rakyat. Karena itu prinsip

representation in ideas dibedakan dari representation in presence, karena

keterwakilan fisik saja belum tentu mencerminkan keterwakilan gagasan

atau ide.

Menurut Grain Perry dalam Afrizal (2003: 13) bahwa:

“Secara garis besar pola hubungan antara negara dan masyarakat

dalam penyusunan kebijakan pertama, masyarakat sudah

memberikan mandatnya pada negara, maka pembentukan kebijakan

sepenuhnya diserahkan kepada Iembaga perwakilan yang

merupakan salah satu elemen Negara. Peran serta masyarakat

dibutuhkan pada saat memilih orang-orang yang akan duduk di

lembaga perwakilan melalui pemilihan umum. Kedua, sekalipun

telah memberikan mandatnya kepada wakil-wakil yang ada di

lembaga perwakilan, masyarakat tetap memiliki hak untuk terlibat

dalam pembentukan kebijakan”.

Peran masyarakat dalam pembentukan kebijakan, secara umum

dapat dilakukan dengan dua cara, pertama tersedianya ruang partisipasi

bagi masyarakat. Kedua, negara bekerja sama dengan rakyat untuk

membuat kebijakan.

5. Kedaulatan

Dalam kehidupan kenegaraan dan kemasyarakatan bangsa

Indonesia penuh dengan mekanisme bagaimana pelaksanaan demokrasi

agar tercapai pemerintahan yang stabil dan terjamin untuk

terselenggaranya partisipasi serta pngawasan masyarakat. Partisipasi

publik dan pengawasan rakyat adalah perwujudan dari kedaulatan

sebagaimana dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 1 ayat 2 yang

23

menegaskan bahwa: “Kedaulatan berada ditangan rakyat dan

dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”.

Kedaulatan rakyat dalam artian memiliki kedudukan yang eksklusif

dengan dilaksanakannya pemilihan umum Iangsung, baik pemilihan

Presiden maupun pemilihan kepala daerah. Dalam kaitan dengan

kekuasaan itu sendiri menurut Jimly Asshiddiqie (2005 : 70) bahwa:

“Pemilik kekuasaan yang tertinggi sesungguhnya dalam Negara

Indonesia adalah rakyat. Kekuasaan itu harus disadari berasal dari

rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat. Bahkan kekuasaan hendaklah

diselenggarakan bersama- sama dengan rakyat”.

Kedaulatan merupakan konsepsi yang berkaitan dengan ide

kekuasaan yang tertinggi. Gagasan yang dikembangkan dimulai dari ide

kekuasaan mutlak sampai munculnya gagasan mengenai negara hukum.

Konsep ilmiah mengenai ide kedaulatan dipopulerkan oleb Jean Boddin

menggunakan istilah summa potestas untuk menunjukkan pengartian

sovereignity (kedaulatan). Konsep tersebut menurut Jean Boddin (Jimly

Asshiddiqie, 2005: 126) sebagai bertkut:

1. Kekuasaan itu bersifat tertinggi, tidak ada kekuasaan yang Iebih

tinggi, dan tidak berasal dan atau bersumber dari kekuasaan lain

yang lebih tinggi.

2. Mutlak dan sempurna dalam arti tidak terbatas dan tidak ada

kekuasaan lain yang membatasinya.

3. Utuh, bulat dan abadi, dalam arti tidak terpecah- pecah dan tidak

terbagi - bagi.

Selanjutnya Thomas Hobbes dalam bukunya Leviathan (dalam M.

Nasroen, 1986 :114) menggunakan istiiah sovereignty (kedaulatan) yaitu

24

suatu keadaan sosial kehidupan manusia yang bersifat alami yang

terkenal dengan istilah Homo Homoni Lupus (serigala bagi manusia lain),

diIukiskan dengan Bellum Omnum Contra Omnes (perang semua

melawan semua). Menyadari keadaan tersebut, maka diadakan perjanjian

untuk mengikat sesamanya. Dengan perjanjian itu terbentuklah kelompok

yang menjelma menjadi sebuah negara. Gagasan mengenai kedaulatan

berdampak sangat luas dalam studi hukum dan politik. Konsep inilah yang

membedakan organisasi negara dan organisasi sosial.

John Lock malah berbeda pendapat dengan Thomas Hobbes,

(dalam M. Nasroen, 1986 : 115) bahwa manusia hidup berdampingan

secara damai dan tidak bermusuhan. Mereka mengadakan perjanjian

tidak berarti menyerahkan seluruh hak - hak alami. Karena itu, perjanjian

masyarakat dalam membentuk negara, yang diserahkan hanyalah hak -

hak yang berkenaan dengan pembentukan negara. Hak rakyat ditangan

rakyat, inilah yang kemudian secara iImiah disebut hak asasi manusia.

Tujuan negara untuk mencapai kesejahteraan bagi rakyat, dan rakyat

Sendiri mengetahui arah dan tujuan alat - alat kelengkapan negara,

karena itu diperlukan, suatu kontrak sosial atau perjanjian hidup bersama

dalam suatu kelompok masyarakat. Kelompok inilah yang pada akhirnya

menjelma menjadi negara. Konsekuensi dari kontrak sosial adalah

pertama terciptanya keamanan umum (volunte generafe) yaitu kesatuan

kemauan orang-orang yang mengadakan perjanjian, kedua terbentuknya

25

masyarakat (gamenschaft) yaitu menemukan sesuatu bentuk kesatuan

yang membela dan melindungi kekuasaan bersama.

Konsep kedaulatan menurut J. Jacques Rousseau (Jimly

Asshiddiqie, 2005: 127) antara lain:

a. Kesatuan (unite) bersifat monistis yaitu kemauan umum rakyat

merupakan satu kesatuan, berhak memerintah dan berhak untuk menolak

diperintah.

b. Bulat dan tak terbagi-bagi (indivisibilite), kedaulatan yang berdaulat,

maka rakyat pulalah satu-satunya pemegang kekuasaan tertinggi.

c. Tidak dapat dialihkan (inalienablite), kedaulatan adalab milik setiap

bangsa sebagai kesatuan yang bersifat turun temurun.

d. Tidak dapat berubah (imprescriptible) kedaulatan berada ditangan

rakyat dan selamanya tetap ditangan rakyat.

Uraian di atas sangat berbeda dengan apa yang menjadi ajaran

Montesquieu (dalam JimIy Ashiddiqie, 2005: 129) bahwa untuk menjamin

demokrasi kekuasaan negara justru harus dibagi-bagi dan dipisah-

pisahkan satu sama lain (check and balance). Kekuasaan negara

haruslah dibagi dalam tiga fungsi yang disebut Trias Politica, yaitu

kekuasaan Iegislatif, yudikatif dan eksekutif. Prinsip pembagian

kekuasaan bersifat vertikal antara pusat dan daerah, pemisahan

kekuasaan bersifat horizontal antara cabang-cabang atau fungsi - fungsi

kekuasaan negara. Sistem kekuasaan negara ideal selalu dikaitkan

dengan soal manajemen pembagian kerja yang rasional jelas dan terukur

26

antara satu fungsi dengan yang Iainnya. Dengan begitu diharapkan

terhindar dari kemungkinan penyalahgunaan oleh pihak-pihak yang

berkuasa. Konsep kedaulatan harus dipahami sebagai kekuasaan

tertinggi yang dapat saja dibagi dan dibatasi. Pembatasan kekuasaan itu

ditentukan oleh konstitusi artinya ditangan siapapun kekuasaan tertinggi

itu berada, terhadapnya selalu diadakan pembatasan oleh hukum dan

konstitusi sebagai produk kesepakatan bersama para pemilik kedaulatan

itu sendiri.

Berkaitan dengan kedaulatan tersebut, dalam sejarah pemikiran

politik dan hukum dikenal beberapa ajaran tentang kedaulatan sebagai ide

mengenai kekuasaan tertinggi. Jimly Ashiddiqie (2005 :139)

a. Kedaulatan Tuhan (Gods souvereiniteit)

Gagasan ini menyimpulkan bahwa segala sesuatu yang terjadi adalah

kehendak Tuhan dan itu tidak terlampaui oleh kehendak lain;.

b. Kedaulatan Raja (Kings souvereinitet)

Memberikan legalitas semua tindakan betapapun kejamnya. Hal ini

dimanfaatkan oleh Raja Prancis bernama Louis ke XIV yang menyatakan

L’etat c’est moi: (negara adalah saya) seperti Hitler dan Mussolini, mereka

menganggap diberi kuasaan penuh oIeh seluruh rakyat terhadap

tindakanya.

c. Kedaulatan Negara (Staats souvereiniteit)

27

Negaralah yang berdaulat bahwa dalam kehidupan sehari-hari

kepentingan individu pada akhirnya dikalahkan terhadap keperluan

Negara (atas nama kepentingan umum).

d. Kedaulatan Rakyat (Volks souvereiniteit)

Untuk mencapai kesejahteraan rakyat perlu adanya partispasi masyarakat

dalam setap kebijakan, karena mereka sendiri yang tahu bagaimana alat-

alat perlengkapan negara harus bertindak kearah tujuan bersama.

Sebagai pemegang keadaulatan yang tertinggi mereka memiliki peranan

yang sangat penting dalam penyelanggaraan Negara, dan pemerintah

mesti sadar bahwa pemerintahan berasal dari rakyat, oleh rakyat dan

dikembalikan kepada rakyat karena mereka pemilik keadaulatan yang

sesungguhnya. Jika setiap penyelenggaraan pemerintahan selalu

melibatkan masyarakat, maka prinsip pemerintahan yang baik (good

governance) akan terwujud dan setiap penyelenggaraan pemerintahan

dilaksanakan secara transparan, partisipasi dan akuntabilitas.

e. Kedaulatan hukum (Rechts souvereiniteit)

Negara harus bertindak berdasarkan hukum dan itulah yang membatasi

kekuasaan negara dengan melakukan selbstbinding yaitu kemauan

negara untuk membatasi dirinya dari kekuasaan.

Paham kedaulatan dari segi politik tentu saja bukanIah rakyat itu

sendiri, melainkan proses kehidupan kenegaraan sebagai keseluruhan.

Hubungan kedaulatan bukan lagi terjadi antara Raja dengan rakyatnya,

28

tetapi antara rakyat dengan proses pengambilan keputusan dalam Negara

itu sebagai keseluruhan.

Dari uraian teori kedaulatan di atas dipahami bahwa, teori

kedaulatan rakyat memiliki peran yang penting dalam penyelenggaraan

negara karena rakyat sendirilah yang mengetahui bagaimana alat

kelengkapan negara bertindak kearah tujuan bersama. Konsep partisipasi

publik adalah konsep yang melibatkan masyarakat sebanyak mungkin

dalam proses penyelenggaraan pemerintahan.

B. Good Governance

Sistem pemerintahan Indonesia telah mengalami pasang surut

kekuasaan sejak masa penjajahan sampai pada masa kemerdekaan.

Pada saat ini kita telah beberapa kali pergantian pimpinan pemerintahan,

masing-masing presiden tersebut membawa ciri sendiri dalam masa

pemerintahannya. Pada masa pemerintahan orde baru yang berlangsung

kurang lebih 30 tahun memberikan ciri kekuasaan negara sangat dominan

atas hak-hak rakyat, sehingga dalam pengambilan kebijakan dasar oleh

penyelenggara tidak memberikan ruang bagi masyarakat untuk

berpartisipasi secara aktif, sehingga pada tahun 1998 melalui pergerakan

moral anak bangsa yang dipelopori oleh mahasiswa menuntut reformasi

dan membuka ruang bagi masyarakat untuk dapat berpartisipasi secara

langsung dalam setiap kebijakan yang akan ditetapkan oleh pemerintah.

Pada masa reformasi ini, masyarakat nampaknya semakin tidak

sabar, karena sejauh ini belum bisa membawa peningkatan kesejahteraan

29

bagi kelompok miskin yang menjadi bagian terbesar dari masyarkat

Indonesia. Korupsi, Kolusi dan Nepotisrne birokrasi yang juga

berkembang di legislatif (DPR, DPRD) dan merambah pada peradilan

adalah bentuk tidak terakomodasinya kepentingan masyarakat.

Pemerintahan yang baik (good governance) mencerminkan

sinergitas antara pemerintah, swasta dan masyarakat. Birokrasi adalah

sasaran yang akan dituju dan diwujudkan dalam pelaksanaan

pemerintahan yang baik. Sumber daya aparat negara sangat menentukan

terwujudnya pemerintahan yang bersih, untuk itu dipundak pemerintah

diletakkan good governance, karena itu penyelenggaraan pemerintahan

harus berdasar atas Visioner, transparan, responsif, akuntabel, profesional

dan kompeten, efisien dan efektif, desentralisasi, demokrasi, partisipatif,

kemitraan, supremasi hukum, komitmen, pengurangan pada kesenjangan,

komitmen pada tuntutan pasar dan komitmen pada lingkungan hidup.

Keseluruhan inilah yang menjadi prinsip good governance. Prinsip

tersebut baru bisa bersinergi manakala ketiga substruktur good

governance (swasta, pemerintah dan masyarakat) tumbuh berkembang

secara serasi, selaras dan seimbang serta check and balance.

Menurut Sarundajang (2003:156) beberapa asosiasi pemerintahan

daerah mendukung sepuluh prinsip tata pemerintahan yang baik seperti:

Asosiasi Pemerintah Propinsi Seluruh Indonesia (APPSI), Asosiasi Dewan

Kota Seluruh Indonesia (ADEKASI), Asosiasi Kabupaten Seluruh

30

Indonesia (APAKASI), Asosiasi Dewan Kabupaten Seluruh Indonesia

(ADKASI). Kesepuluh tata pemerintahan yang baik itu adalah:

1. Partisipasi

Partisipasi mendorong setiap warga negara untuk mempergunakan

hak dalam menyampaikan pendapat dalam proses pengambilan

keputusan yang menyangkut kepentingan masyarakat, baik secara

langsung maupun tak langsung. Partisipasi itu dimaksudkan untuk

menjamin agar setiap kebijakan yang diambil mencerminkan

aspirasi masyarakat. Dalam rangka mengantisipasi isu, pemerintah

daerah menyediakan saluran komunikasi agar masyarakat dapat

mengutarakan pendapatnya. Jalur komunikasi itu meliputi

pertemuan umum, temu wicara, konsultasi dan penyampaian

secara tertulis. Bentuk lain untuk merangsang keterlibatan

masyarakat adalah melalui perencanaan partisipatif untuk

menyiapkan agenda pembangunan, pemantauan, evaluasi dan

pengawasan secara partisipatif dan mekanisme konsultasi untuk

menyelesaikan isu sektoral.

2. Penegakan Hukum

Penegakan hukum di harapkan akan mewujudkan adanya

penegakan hukum yang adil bagi semua pihak tanpa pengecualian,

menjunjung tinggi HAM dan memperhatikan nilai-niIai yang hidup

dalam masyarakat. Berdasarkan kewenangannya, daerah harus

mendukung tegaknya supremasi hukum dengan melakukan

31

berbagai penyuluhan peraturan perundang-undangan dan

menghidupkan kembali nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku

dalam másyarakat. Disamping itu, pemerintah daerah perlu

mengupayakan adanya peraturan daerah yang bijaksana dan

efektif, serta didukung penegakan hukum yang adil dan tepat.

Pemerintah daerah, DRPD maupun masyarakat perlu

menghilangkan kebiasaan yang dapat menimbulkan Korupsi,

Kolusi, dan Nepotisme.

3. Akuntabilitas

Akuntabilitas akan meningkatkan tanggung jawab dan tanggung

gugat para pengambil keputusan dalam segala bidang menyangkut

kepentingan masyarakat luas. Seluruh pembuat kebijakan pada

semua tingkatan harus memenuhi bahwa mereka

mempertanggungjawabkan hasiI kepada masyarakat. Untuk

mengukur kinerja pemerintah daerah secara objektif, perlu adanya

indikator yang jelas. Sistem pengawasan perlu diperketat dan hasil

audit harus dipublikasikan, apabila terdapat kesalahan, harus diberi

sanksi.

4. Pengawasan

Pengawasan dapat meningkatkan upaya pengawasan terhadap

penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan dengan

mengusahakan keterlibatan swasta dan masyarakat luas.

Pengawasan yang dilakukan oleh lembaga yang berwenang perlu

32

memberi peluang bagi masyarakat dan organisasi masyarakat

untuk berpartisipasi aktif dalam pemantauan, evaluasi, dan

pengawasan kerja sesuai dengan bidangnya. Walaupun demikian,

tetap diperlukan adanya auditor independen dari luar dan hasil

audit perlu dipublikasikan kepada masyarakat.

5. Efisiensi dan Efektivitas

Efisiensi dan efektifitas menjamin terselenggaranya pelayanan

kepada masyarakat dengan menggunakan sumber daya yang

tersedia secara optimal dan bertanggungjawab. Pelayanan

masyarakat harus mengutamakan kepuasan masyarakat, dan

didukung mekanisme pengawasan yang rasional dan transparan.

Lembaga-lembaga yang bergerak di bidang jasa pelayanan umum

harus menginformasikan biaya dan jenis pelayanan. Untuk

menciptakan efisiensi harus digunakan manajemen modern. Untuk

administrasi kecamatan perlu adanya desentralisasi kewenangan

layanan masyarakat sampai ke tingkat kelurahan dan desa.

6. Profesionalisme

Profesionalisme dapat meningkatkan kemampuan dan moral

penyelenggaraan pemerintahan agar mampu memberi pelayanan

yang mudah, cepat, tepat dengan biaya yang terjangkau.

Tujuannya adalah menciptakan birokrasi profesional yang efektif

memenuhi kebutuhan masyarakat. ini perlu didukung dengan

33

mekanisme penerimaan staf yang efektif, penilaian, promosi dan

penggajian staf yang wajar.

7. Transparansi

Tranparansi akan menciptakan kepercayaan timbal balik antara

pemerintah dan masyarakat melalui penyediaan informasi yang

akurat dan memadai, karena informasi merupakan suatu kebutuhan

penting masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengelolaan daerah.

Berkaitan dengan itu, pemerintah daerah perlu proaktif memberikan

informasi lengkap tentang kebijakan dan layanan yang disediakan

kepada masyarakat. Pemerintah daerah perlu mendayagunakan

berbagai jalur komunikasi seperti melalul brosur, leaflet,

pengumuman melalui koran, radio serta televisi lokal. Pemerintah

daerah perlu menyiapkan kebijakan yang jelas tentang cara

mendapatkan informasi.

8. Kesetaraan

Kesetaraan akan memberikan peluang yang sama pada setiap

anggota masyarkat untuk meningkatkan kesejahteraannya. Tujuan

prinsip itu adalah menjamin agar kepentingan pihak-pihak yang

kurang beruntung seperti mereka yang miskin dan Iemah, tetap

terakomodasi dalam proses pengambilan keputusan. Perhatian

khusus perlu diberikan kepada kaum minoritas agar mereka tidak

tersingkir. Selanjutnya kebijakan khusus akan disusun untuk

34

menjamin adanya kesetaraan terhadap wanita dan kaum minoritas

baik dalam lembaga eksekutif maupun legislatif.

9. Daya Tanggap

Daya tanggap akan dapat meningkatkan kepekaan para

penyelenggara negara terhadap aspirasi masyarakat tanpa kecuali.

Pemerintah daerah perlu membangun jalur komunikasi untuk

menampung aspirasi masyarakat, talk show, layanan hotline,

prosedur komplain. Sebagai fungsi pelayanan masyarakat,

pemerintah daerah akan mengoptimalkan pendekatan

kemasyarakat dan secara periodik mengumpulkan pendapat

masyarakat.

10. Wawasan ke Depan

Wawasan kedepan dapat membangun daerah berdasarkan visi dan

strategi yang jelas serta mengikutsertakan warga dalam seluruh

proses pembangunan, sehingga warga merasa memiliki dan ikut

bertanggung jawab terhadap kemajuan daerahnya. Tujuan

penyusunan visi dan strategi adalah memberikan arah

pembangunan secara umum sehingga dapat membantu dalam

penggunaan sumber daya secara Iebih efektif.

Menurut Bagir Manan (1997:14) dalam penyelenggaraan

pemerintahan mengandung tiga prinsip penting:

1. Prinsip mendekatkan penyelenggaraan pemerintahan pada

masyarakat yang di layani.

35

2. Prinsip tidak membedakan pelaksanaan fungsi pelayanan baik atas

dasar daerah, suku, agama dan lain-lain sebagainya.

3. Berbagai kebutuhan nyata berbeda-beda antara daerah yang satu

dengan yang lain merupakan dasar bagi pembagian fungsi-fungsi

pemerintah.

Kesemuanya ini merupakan bentuk pelayanan dan kesejahteraan

bagi masyarakat yang demokratis, adil dan merata.

C. Konsep dan Pengertian Akuntabilitas

Menurut Taliziduhu Ndraha, konsep akuntabilitas berawal dari

konsep pertanggungjawaban, konsep pertanggungjawaban sendiri dapat

dijelasakan dari adanya wewenang. Wewenang di sini berarti kekuasaan

yang sah. Menurut Weber ada tiga macam tipe ideal wewenang, pertama

wewenang tradisional kedua wewenang karismatik dan ketiga wewenang

legal rational.

Yang ketigalah ini yang menjadi basis wewenang pemerintah.

Dalam perkembanganya, muncul konsep baru tentang wewenang yang

dikembangkan oleh Chester I. Barnard, yang bermuara pada prinsip

bahwa penggunaan wewenang harus dapat dipertanggungjawabkan.

Darwin sebagaimana dikutip Joko Widodo, membedakan konsep

pertanggungjawaban menjadi tiga. Pertama akuntabilitas (accountability),

kedua responsibilitas (responsibility) dan ketiga responsivitas

(responsiveness). Sebelum menjelaskan tentang pertanggungjawaban

36

sebagai akuntabilitas (accountability), di sini akan dijelaskan lebih dahulu

pertanggungjawaban sebagai responsibilitas (responsibility) dan sebagai

responsivitas (responsiveness).

Responsibilitas (responsibility) merupakan konsep yang berkenaan

dengan standar profesional dan kompetensi teknis yang dimiliki

administrator (birokrasi publik) dalam menjalankan tugasnya. Administrasi

negara dinilai responsibel apabila pelakunya memiliki standard

profesionalisme atau kompetensi teknis yang tinggi. Sedangkan konsep

responsivitas (responsiveness) merupakan pertanggungjawaban dari sisi

yang menerima pelayanan (masyarakat). Seberapa jauh mereka melihat

administrasi Negara (birokrasi publik) bersikap tanggap (responsive) yang

lebih tinggi terhadap apa yang menjadi permasalahan, kebutuhan,

keluhan dan aspirasi mereka.

Pertanggungjawaban sebagai akuntabilitas (accountability)

merupakan suatu istilah yang pada awalnya diterapkan untuk mengukur

apakah dana publik telah digunakan secara tepat untuk tujuan di mana

dana publik tadi ditetapkan dan tidak digunakan secara ilegal. Dalam

Taliziduhu Ndraha, perkembanganya akuntabilitas digunakan juga bagi

pemerintah untuk melihat akuntabilitas efisiensi ekonomi program. Usaha -

usaha tadi berusaha untuk mencari dan menemukan apakah ada

penyimpangan staf atau tidak, tidak efisien apa tidak prosedur yang tidak

diperlukan. Akuntabilitas menunjuk pada pada institusi tentang “cheks and

balance” dalam sistem administrasi.

37

Mohamad Mahsun membedakan akuntabilitas dan responsibilitas,

menurutnya keduanya merupakan hal yang saling berhubungan tetapi

akuntabilitas lebih baik dan berbeda dengan responsibilitas. Akuntabilitas

didasarkan pada catatan/laporan tertulis sedangkan responsibilitas

didasarkan atas kebijaksanaan. Akuntabilitas merupakan sifat umum dari

hubungan otoritasi asimetrik misalnya yang diawasai dengan yang

mengawasi, agen dengan prinsipal atau antara yang mewakil dengan

yang diwakili. Dari segi fokus dan cakupanya, responsibility lebih bersifat

internal sedangkan akuntabilitas lebih bersifat eksternal.

Mohamad Mahsun juga membedakan akuntabilitas dalam arti

sempit dan arti luas, akuntabilitas dalam pengertian yang sempit dapat

dipahami sebagai bentuk pertanggungjawban yang mengacu pada siapa

organisasi (atau pekerja individu) bertangungjawab dan untuk apa

organisasi bertanggungjawab. Sedang pengertian akuntabilitas dalam arti

luas dapat dipahami sebagai kewajiban pihak pemegang amanah (agen)

untuk meberikan pertanggungjawaban, menyajikan, melaporkan dan

mengungkapkan segala aktivitas dan kegiatan yang menjadi

tanggungjawabnya kepada pihak pemberi amanah (principal) yang

memiliki hak dan kewenangan untuk meminta pertanggungjawaban

tersebut.

Menurut The Oxford Advance Learner’s Dictionary sebagaimana

dikutip oleh Lembaga Administrasi Negara, akuntabilitas diartikan sebagai

“required or excpected to give an explanation for one’s action”

38

Akuntabilitas diperlukan atau diharapkan untuk meberikan penjelasan atas

apa yang telah dilakukan. Dengan demikian akuntabilitas merupakan

kewajiban untuk memberikan pertanggungjawaban atau menjawab dan

menerangkan kinerja atas tindakan seseorang/badan hukum/pimpinan

suatu organisasi kepada pihak yang memiliki hak atau kewenangan untuk

meminta keterangan atau pertanggungjawaban.

Miriam Budiarjo mendefinisikan akuntabilitas sebagai

pertanggungjawaban pihak yang diberi kuasa mandat untuk memerintah

kepada yang memberi mereka mandate. Akuntabilitas bermakna

pertanggungjawaban dengan menciptakan pengawasan melalui distribusi

kekuasaan pada berbagai lembaga pemerintah sehingga mengurangi

penumpukkan kekuasaan sekaligus menciptakan kondisi saling

mengawasi.

Sedang Sedarmayanti mendefinisikan akuntabilitas sebagai

sebagai suatu perwujudan kewajiban untuk mempertanggungjawabkan

keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan misi organisasi dalam

mencapai tujuan yang telah ditetapkan melalui media

pertanggungjawaban yang dilaksanakan secara periodik.

Lembaga administrasi negara menyimpulkan akuntabilitas sebagai

kewajiban seseorang atau unit organisasi untuk

mempertanggungjawabkan pengelolaan dan pengendalian sumberdaya

dan pelaksanaan kebijakan yang dipercayakan kepadanya dalam rangka

39

pencapaian tujuan yang telah ditetapkan melalui pertanggungjawaban

secara periodik.

Akuntabilitas dibedakan dalam beberapa macam atau tipe, Jabra &

Dwidevi sebagaimana dijelaskan oleh Sadu Wasistiono mengemukakan

adanya lima perspektif akuntabilitas, yaitu:

a. Akuntabilitas Administ Atif/Organisasi

adalah pertanggungajwaban antara pejabat yang berwenang dengan unit

bawahanya dalam hubungan hierarki yang jelas.

b. Akuntabilitas legal

akuntabilitas jenis ini merujuk pada domain publik dikaitkan dengan

proses legislatif dan yudikatif. Bentuknya dapat berupa peninjauan

kembali kebijakan yang telah diambil oleh pejabat publik maupun

pembatalan suatu peraturan oleh institusi yudikatif. Ukuran akuntabilitas

legal adalah peraturan perundang undangan yang berlaku

c. Akuntabilitas Politik

Dalam tipe ini terkait dengan adanya kewenangan pemegang kekuasaan

politik untuk mengatur, menetapkan prioritas dan pendistribusian sumber -

sumber dan menjamain adanya kepatuhan melaksanakan tanggungjawab

administrasi dan legal. Akuntabilitas ini memusatkan pada tekanan

demokratik yang dinyatakan oleh administrasi publik

d. Akuntabilitas Profesional

40

Hal ini berkaitan dengan pelaksnaan kinerja dan tindakan berdasarkan

tolak ukur yang ditetapkan oleh orang profesi yang sejenis. Akuntabilitas

ini lebih menekankan pada aspek kualitas kinerja dan tindakan.

e. Akuntabilitas moral.

Akunatabilitas ini berkaitan dengan tata nilai yang berlaku di kalagan

masyarakat . Hal ini lebih banyak berbicara tentang baik atau buruknya

suatu kinerja atau tindakan yang dilakukan oleh seseorang/badan

hukum/pimpinan kolektif berdasarkan ukuran tata nilai yang berlaku

setempat.

D. Pembentukan Peraturan Daerah

1. Dasar Pembentukan

Pengertian peraturan daerah menurut Undang-Undang Nomor 12

Tahun 2011 adalah peraturan yang dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah dengan persetujuan bersama Kepala Daerah. Ketentuan ini

mengikuti semangat rumusan UUD 1945 Pasal 5 ayat (2) yang

menyebutkan “Presiden berhak mengajukan rancangan Undang-undang

kepada Dewan Perwakilan Rakyat”

Menurut Achmad Ruslan (2005:81) peraturan perundang-undangan

adalah setiap keputusan yang tertulis oleh pejabat yang berwenang dalam

kekuasaan legislatif berdasarkan wewenang atribusi atau delegasi

maupun wewenang kekuasaan eksekutif semata-mata yang materi

muatannya berisi aturan tingkah laku yang mengikat secara umum,

41

mengenai hal kewajiban, fungsi, status atau tatanan. Ciri mengikat secara

umum tersebut merupakan ciri pembeda dengan keputusan yang bersifat

mengikat secara individual dan konkrit. Lebib lanjut Achmad Ruslan

mengemukakan bahwa peraturan daerah merupakan perwujudan hak

pemerintah daerah dalam rangka otonomi daerah, akan tetapi muatan

materi hukumnya tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum,

peraturan daerah lain, dan peraturan perundang-undangan yang lebih

tinggi. Kepentingan umum yang dimaksud ialah tidak bertentangan

dengan rasa keadilan masyarakat. Penerapan peraturan daerah, tidak

harus memberikan beban yang berat bagi rakyat, dan dihindari pula

adanya penyalahgunaan wewenang (detournement do pouvoir).

Sedangkan keputusan kepala daerah adalah hak kebebasan seorang

kepala daerah (Freies ermessen) untuk mengeluarkan keputusan-

keputusan yang berkaitan dengan tugas pemerintahan (beschikkng),

dalam rangka melaksanakan peraturan daerah dan atas kuasa peraturan

perundangan-undangan Iainnya.

Tata cara pembentukan peraturan daerah menunjukkan kemiripan

dengan pembentukan Undang-Undang, sebagaimana diatur dalam

Undang-Undang Nornor 32 Tahun 2004 Pasal 140 dan 145, Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah memiliki kekuasaan yang menentukan dalam

pembentukan peraturan daerah karena dilengkapi dengan hak-hak inisiatif

dan hak mengadakan perubahan. Bahkan persetujuan itu sendiri

mengandung kewenangan menentukan (dicicive).

42

Menurut N. Smith (Emi Setyowati,2003:112), ada dua cara lahirnya

undang-undang, yakni:

a. Ketentuan perundangan-undangan yang lahir secara vertikal yaitu

dimulai dengan suatu ide pemikiran dan diskusi oleh beberapa ahli

untuk dituangkan dalam naskah akademik sebagai penjabaran

dasar falsafah maupun tujuan dilahirkannya suatu ketentuan.

Penerapan ketentuan kadang kala bersifat kompromistis yang

suatu waktu dilaksanakan tidak sesuai dengan ide dasar, sehingga

harus dicari jalan keluar. Agar ketentuan ini dilaksanakan, maka

dalam prakteknya perlu ada partisipasi publik untuk meminta

pemikiran dari semua pihak, terutama mereka yang terkena

dampak dari kebijakan itu.

b. Ketentuan perundang-undangan yang lahir secara horizontal yaitu

hukum yang timbul dalam masyarakat itu sendiri. Dalam

pelaksanaan ketentuan perundang-undangan ini, biasanya tidak

menimbulkan kesulitan karena sesuai dengan norma yang telah

terwujud dalam masyarakat.

Untuk membuat peraturan perundang-undangan yang baik dan

benar, menurut Bagir Manan, (1995:12) ada beberapa segi yang harus

diperhatikan:

a. Ketetapan struktur, ketetapan pertimbangan, ketetapan dasar

hukum, ketetapan bahasa (peristilahan), ketetapan pemakaian

huruf dan tanda baca.

43

b. Kesesuaian isi dengan dasar yuridis, sosiologis dan filosofis.

Kesesuaian yuridis menunjukkan adanya kewenangan, kesesuaian

bentuk dan jenis peraturan peundang-undangan diikuti cara-cara

tertentu, tidak ada pertentangan antara peraturan perundang-

undangan yang satu dengan yang lain, dan tidak bertentangan

secara sosiologis menggambarkan bahwa peraturan perundang-

undangan yang dibuat sesuai kebutuhan, tuntutan dan

perkembangan mayarakat. Kesesuaian filosofis menggambarkan

bahwa peraturan perundang-undangan dibuat dalam rangka

mewujudkan, melaksanakan atau memelihara cita hukum yang

menjadi patokan hidup bermasyarakat.

c. Peraturan perundang-undangan tersebut dapat dilaksanakan

(applicable) dan menjamin kepastian hukum. Suatu peraturan

perundang-undangan harus memperhitungkan daya dukung baik

lingkungan pemerintah yang akan melaksanakan maupun

masyarakat tempat peraturan perundang-undangan itu akan

berlaku.

Secara teoritis, pembentukan peraturan perundang-undangan

harus dilandasi oleh tiga dasar pemikiran, yaitu:

a. Landasan Filosofis

Merupakan dasar falsafah atau pandangan hidup bangsa yang

berisi niIai-nilai moral dan etika, yang mengandung nilai kebenaran,

keadilan, kesusilaan dan berbagai nilai Iainnya yang dianggap baik.

44

Penerapan hukum tanpa memperhatikan tata nilai yang merupakan moral

bangsa akan sia-sia, karena pasti tidak akan ditaati. Semua nilai yang

menjadi acuan dalam masyarakat, terakumuIasi dalam Pancasila, karena

Pancasila adalah pandangan hidup, cita-cita, dan falsafah atau jalan hidup

(way of life) bangsa.

Filsafat hidup bangsa harus menjadi rujukan dalam membentuk

hukum yang akan dipergunakan dalam menjalankan roda kehidupan

masyarakat. Oleh karena itu kaidah hukum yang dibentuk harus

mencerminkan filsafat hidup bangsa.

b. Landasan Yuridis

Landasan yuridis merupakan sederet peraturan perundang-

undangan yang lebih tinggi dan menjadi dasar kewenangan (vevogheid

competentei). Hal ini untuk mengetahui pejabat atau badan yang

berwenang untuk membentuk peraturan tersebut. Substansi suatu

peraturan perundang-undangan harus sesuai dengan wadahnya, selain itu

tidak bertentangan dengan isi suatu peraturan perundang-undangan yang

lebih tinggi, hal ini berkaitan dengan asas hukum (lex superior derogate

legi inferiori)

Menurut Achmad Ruslan (2005:85) dalam pembentukan peraturan

perundang-undangan, pada satu sisi terdapat aspek seni kebahasan

(literary) yang menjadi sub-bagian dan teknik perundang-undangan.

Namun, di sisi lain tetap dititik beratkan pada aspek penggunaan

sistimatika yang baku bagi penuangan ketentuan pada materi muatan

45

sebuah peraturan perundang-undangan. Landasan yuridis merupakan

ketentuan hukum yang menjadi dasar atau sumber hukum

pernbentukannya.

c. Landasan Sosiologis

Peraturan perundang-undangan hendaknya sesuai dengan

kebutuhan, keyakinan dan kesadaran hukum masyarakat. Hal ini berarti

bahwa peraturan perundang-undangan yang dibuat harus dipahami oleh

masyarakat sesuai dengan kenyataan hidup masyarakat yang

bersangkutan.

Hukum yang dibentuk harus sesuai dengan hukum yang hidup

(living law) dalam masyarakat. Walaupun demikan tidak berarti bahwa apa

yang ada pada suatu saat dan dalam suatu masyarakat akan selalu

menjadi nilai acuan bagi kehidupan selanjutnya. Produk hukum, tidak

hanya sekadar merekam tata nilai dalam seketika (moment of name),

tetapi harus berorientasi pada kepentingan masa depan seluruh lapisan

masyarakat.

Menurut Abdul Razak (Jurnal Amanna Gappa, 2005:182) bahwa,

hukum tidak lagi berperan untuk menjadi perekam kebiasaan-kebiasaan

yang telah membentuk di dalam bidang-bidang kehidupan masyarakat,

melainkan hukum diharapkan akan lebih berperan menjadi pengungkapan

yang tepat dari kekuatan-kekuatan baru yang hendak membentuk

masyarakat menurut tuntutan keadaan serta pandangan-pandangan yang

baru.

46

2. Kewenangan Pembentukan Peraturan Daerah

Dalam ketentuan Pasal 18 UUD 1945 yang mengatur tentang

Pemerintah Daerah yaitu:

1.) Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah

provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota,

yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai

pemerintah daerah yang diatur dengan undang-undang.

2.) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan Kota

mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut

asas otonomi dan tugas perbantuan.

3.) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota

memiliki Dewan Pewakilan Rakyat Daerah yang anggota -

anggotanya dipilih melalui pemilihan umum.

4.) Gubemur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala

pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan Kota dipilih secara

demokratis.

5.) Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali

urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai

urusan pemerintah pusat.

6.) Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan

peraturan - peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas

perbantuan.

47

7.) Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah

diatur dalam undang-undang.

Selanjutnya dalam undang-undang No.32 Tahun 2004 Bab VI

mengatur mengenai peraturan daerah dan peraturan kepala daerah yang

termuat dalam 14 pasal yang mengatur mengenai prosedur

pembentukannya antara lain di dalam:

Pasal 137 mengatur tentang pembentukan Peraturan Daerah yang

meliputi:

a. Kejelasan tujuan;

b. Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat

c. Kesesuaian antara jenis dan materi muatan;

d. Dapat dilaksanakan

e. Kedayagunaan dan kehasilgunaan;

f. Kejelasan rumusan; dan

g. Keterbukaan.

PasaI 138:

(1) Materi muatan Perda mengandung asas:

a. Pengayoman;

b. Kemanusiaan;

c. Kebangsaan;

d. Kekeluargaan;

e. Kenusantaraan

48

f. Bhineka tunggal ika;

g. Keadilan;

h. Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;

I. Ketertiban dan kepastian hukum; dan atau

j. Keseimbangan, keserasian, dan keselarasan

(2) Selain asas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Perda dapat

memuat asas lain sesuai dengan substansi Perda yang bersangkutan.

Pasal 139:

(1) Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis,

dalam rangka penyiapan atau pembahasan rancangan Perda.

(2)Persiapan pembentukan, pembahasan dan pengesahan rancangan

Perda berpedoman kepada peraturan perundang- undangan.

Pasal 142:

(1) Penyebarluasan rancangan Perda yang berasal dan DPRD

dilaksanakan oleh sekretariat DPRD.

(2) Penyebarluasan rancangan Perda yang berasal dan Gubernur, atau

Bupati Walikota dilaksanakan oleh sekretariat daerah.

Pasal 144:

49

(1) Rancangan Perda yang telah disetujui bersama oleb DPRD dan

Gubernur atau Bupati / WaIikota disampaikan oleh pimpinan DPRD

kepada Gubemur atau Bupati /walikota untuk ditetapkan sebagai Perda.

(2) Penyampaian rancangan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dilakukan dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak

tanggal persetujuan bersama.

(3) Rancangan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)

ditetapkan oleb Gubernur atau Bupati / Walikota paling Iama 30 (tiga

puluh) hari sejak rancangan tersebut disetujui bersama.

(4) Dalam hal rancangan Perda tidak ditetapkan Gubernur atau Bupati/

Walikota dalam waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) rancangan

Perda tersebut sah menjadi Perda dan wajib diundangkan dengan

memuatnya dalam lembaran daerah.

(5) Dalam hal sahnya rancangan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat

(4), rumusan kalimat pengesahannya berbunyi, “Perda ini dinyatakan

sah”, dengan mencantumkan tanggal sahnya.

(6) Kalimat pengesahan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus

dibubuhkan pada halaman terakhir Perda sebelum pengundangan naskah

Perda ke dalam lembaran daerah.

Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

memiliki beberapa fungsi dalam penyelenggaraan negara antara lain:

a. Fungsi Legislasi

50

Fungsi ini sesuai dengan Pasal 20 ayat (1) UUD 1945, bahwa

Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-

undang, sedangkan Presiden hanya dinyatakan berhak mengajukan

Rancangan Undang-Undang, bukan sebagai pemegang kekuasaan

legislatif yang utama tetapi berfungsi sebagai mitra yaitu rancangan

undang-undang. Perubahan inilah yang disebut sebagai pergeseran

kekuasaan legislatif dari Presiden ke Dewan Perwakilan Rakyat.

Menurut Achmad Ruslan, bahwa fungsi legislasi memerlukan

keahlian dalam taraf konseptual dan teknis sesuai dengan sifat-sifat

pekerjaan merancang dan menyusun rancangan undang-undang hingga

proses persetujuan bersama untuk menjadi undang-undang. Fungsi

peraturan perundang-undangan bukan hanya sekedar fungsi negara di

bidang pengaturan, akan tetapi undang-undang adalah suatu metode dan

instrument yang tersedia digunakan untuk memodifikasi kehidupan dan

penghidupan masyarakat menuju cita-cita yang diharapkan (berdasar

Pancasila dan UUD 1945). Dalam hal ini maka, kemampuan para

anggota DPR/DPRD haruslah cukup memadai untuk dapat melaksanakan

fungsi legislasi. Materi muatan yang akan diatur dalam undang-undang

merupakan materi yang menyangkut berbagai bidang kehidupan.

b. Fungsi Pengawasan

Fungsi ini bersifat politis, sehingga kualitas pelaksanaannya

bergantung pada perkembangan pendewasaan budaya dan institusi politik

seperti perilaku partai politik di lapangan. Untuk mencapai hal tersebut

51

perlu didukung dan ditumbuhkan sikap tranparansi kepada masyarakat

untuk berpartisipasi kepada masyarakat yang pada gilirannya makin hari

makin membudaya dalam prilaku masyarakat sehari-hari.

c. Fungsi Anggaran

Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai kewenangan untuk

memberikan persetujuan yang diajukan pemerintah. Untuk pelaksanaan

fungsi ini diperlukan pula kemampuan terhadap masalah-masalah

keuangan.

Dalam pelaksanaan ketiga fungsi tersebut Dewan Perwakilan

Rakyat dan para anggotanya diberikan hak dan kewenangan yang dijamin

secara konstitusional. Partai politik mempunyai peran yang sangat besar

terhadap pembuatan peraturan perundang-undangan khususnya dalam

fungsi legislasi.

Peraturan daerah ditetapkan oleh kepala daerah dengan

persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Hal ini mengandung

pengertian bahwa pembentukan peraturan daerah dilakukan bersama -

sama atau inisiatif pembentukannya dilakukan oleh keduanya.

Kewenangan kepala daerah tersimpul dari wewenang menetapkan

peraturan daerah sebagai kebiasaan yang sudah diterima sebagai praktik

ketatanegaraan. Sedangkan kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah untuk berinisiatif diatur dalam hak prakarsa atau konsep

rancangan peraturan daerah.

52

Prakarsa pembentukan peraturan daerah dapat dilakukan oleh

kepala daerah maupun Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, diatur dalam

Pasal 140 (1) dan Pasal 141 (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004.

Menurut Abdul Latief (2005 : 71-3) sebaga berikut:

a. Konsep Rancangan Peraturan Daerah yang berasal dari kepala

Daerah antara lain:

1. Konsep rancangan peraturan daerah disusun oleh dinas / biro /

unit kerja yang berkaitan dengan materi muatan yang akan

diatur, dan memberitahukannya kepada bagian hukum untuk

disusun bersama dinas lain, karena ada kemungkinan materi

muatan suatu peraturan daerah berkaitan dengan berbagai

dinas, bahkan ditradisikan untuk disusun oleh Tim Penyusun

Rancangn Peraturan Daerah yang tenaga fungsionalnya

berkualitas dengan tugas menyiapkan, mengolah dan

merumuskan rancangan peraturan daerah serta instansi terkait

dalam hal ini pihak pengelola suatu objek yang akan diusulkan

untuk diatur dalam peraturan daerah. Selama ini seluruh

Peraturan Daerah dibuat belum ada kajian akademis (naskah

akademik) yang dilampirkan atau diajukan dengan rancangan

Peraturan Daerah ke Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

2. Konsep tersebut diserahkan kepada bagian hukum untuk

pemeriksaan teknis seperti kesesuaian dengan peraturan

perundang-undangan Iainnya.

53

3. Bagian hukum dapat mengundang dinas-dinas lain bila

ditemukan hal-hal yang memerlukan perubahan terutama

perubahan substansi.

4. Bagian hukum menyusun penyempurnaan (konseptual) untuk

diteruskan kepada Kepala Daerah mengadakan pemeriksaan

dibantu Sekretaris Daerah ( Sekda )

5. Konsep rancangan peraturan daerah yang telah disetujui kepala

daerah berubah menjadi rancangan peraturan daerah.

Rancangan peraturan daerah disampaikan kepala daerah

kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah disertai nota

pengantar untuk memperoleh persetujuan dewan.

b. Konsep Rancangan Peraturan Daerah yang berasal dan Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah

Usul prakarsa dapat diajukan oleh sekurang-kurangnya lima orang

anggota yang tidak hanya terdiri dan satu fraksi, setelah dalam

bentuk Rancangan Peraturan Daerah disampaikan kepada

pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan meminta

pertimbangan panitia musyawarah untuk meminta penjelasan dari

para pengusul. Pembahasan usul prakarsa dalam sidang Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah dilakukan oleh anggota dan Kepala

Daerah dengan tingkat pembicaraan sesuai dengan tata cara

pembahasan Rancangan Peraturan atas prakarsa kepala daerah.

c. Rancangan Peraturan Daerah Usulan Masyarakat.

54

Usulan rancangan peraturan daerah yang dibuat masyarakat harus

mengikuti mekanisme yang ada. Rancangan peraturan daerah bisa

diajukan melalui dewan, maka bisa menjadikan sebagai hak

inisiatifnya begitu pula kalau diajukan ke eksekutif menjadikannya

sebagai hak inisiatif eksekutif sebelum diajukan ke DPRD.

Masyarakat tidak bisa langsung begitu saja mengajukan rancangan

peraturan daerahnya ke dewan untuk Iangsung dibahas tetapi

harus meIaui beberapa mekanisme yang ada. Mekanisnie

pengajuan usulan ini dapat diperoleh melalui informasi mengenai

tata cara pengusulan suatu rancangan peraturan daerah melalui

media elektronik, internet, media massa dan tata tertib DPRD.

Demikan halnya bila masyarakat ingin mengetahui adanya

rancangan peraturan daerah yang sedang dibahas, masyarakat

dapat mengetahui secara lansung hasil dari rapat apakah usulan itu

diterima atau ditolak.

Sebuah usulan rancangan peraturan daerah dapat diterima atau

ditolak melalui beberapa pembahasan pada rapat komisi, rapat gabungan

sampai dengan rapat paripurna sesuai dengan kewenangan propinsi dan

urgensinya. Untuk mengidentifikasi suatu peraturan daerah yang harus

dilihat adalah substansinya. Apakah dari substansi itu diatur dalam

peraturan daerah atau cukup diatur dalam, peraturan Gubernur atau

Bupati. Acuan dalam penyusunan rancangan peraturan daerah

hendaknya didasarkan pada arah kebijakan umum yang menjadi

55

pertimbangan dan merupakan dasar penilaian eksekutif dari tahun ke

tahun sampai berakhir masa jabatannya, alasannya jangan sampai

merusak atau menggagalkannya program pemerintah yang sudah

ditetapkan bersama.

Dalam setiap pembahasan rancangan peraturan daerah

masyarakat tetap dilibatkan, sehingga masyarakat dapat memberikan

masukan atas materi yang sedang dibahas, karena yang masih dibahas

adalah usulan, tentunya masyarakat bisa saja mengajukan ulang dengan

memberikan alasan-alasan sesuai dengan aturan yang berlaku. Pada

dasarnya semua usulan itu diterima namun setelah dikaji tidak mendasar,

maka tentunya ditolak dengan disertasi dan dasar hukum, namun jika

masyarakat merasa bahwa penolakan itu tidak beralasan bisa saja

mengajukan kembali kepada eksekutif atau Iegislatif.

Konsep perancangan peraturan perundang-undangan menurut

Supardan Modeong (2003 :111), bahwa dalam rangka merancang

peraturan perundang-undangan dilakukan dengan dua tahap yaitu

pertama, penelitian yang ditindaklanjuti dengan laporan penelitian; kedua,

penyusunan draft peraturan perundang undangan.

1. Penelitian

Suatu laporan hasil penelitian dari seorang pembuat rancangan

harus menyertakan metodologi pemecahan masalah untuk menunjukkan

bahwa rancangan undang-undang yang diusulkan bertumpu pada dasar

pemikiran berdasarkan pengalaman serta pemecahan masalah

56

berdasarkan fakta-fakta yang terkait. OIeh karena itu paling tidak dapat

mengamati kesulitannya.

2. Mengusulkan dan menjamin penjelasannya

Suatu undang-undang yang efektif akan mengubah perilaku pelaku

sosial dengan menghilangkan penyebab perilaku bermasalah. Dengan

memberikan penjelasan tentang penyebab perilaku bermasalah tersebut,

maka seseorang pembuat rancangan dapat merancang langkah solusi

(tindakan terinci undang-undang tersebut) yang secara logis diharapkan

mampu mengatasi sebab-sebab tersebut.

3. Pengusulan solusi

Usulan mengenai sebab-sebab perilaku yang ada dengan

memperkirakan perilaku selanjutnya sepanjang sebab-sebab itulah yang

berlaku, sehingga harus dikaji rangkaian tindakan-tindakan perundang-

undangan (solusi) mengenai ketentuan yang mana saja yang harus

dimasukkan di dalam suatu rancangan. Suatu solusi yang diajukan harus

mempertimbangkan akibat sosial, ekonomi, serta dampak terhadap

kelompok kepentingan yang tidak ikut dalam proses pengambilan

keputusan.

4. Memantau dan menilai pelaksanaan

Pada akhirnya laporan basil penelitian harus membuktikan dengan

menyertakan mekanisme pemantauan dan penilaian yang cukup. Setelah

diundangkan dan dilaksanakannya suatu undang-undang, maka para

pembuat undang-undang memerlukan masukan untuk menentukan

57

apakah pelaksana yang berperilaku yang ditunjuk dapat menghasilkan

akibat yang diharapkan.

Untuk menjeLaskan perilaku bermasalah dibutuhkan penjelasan

perilaku dengan merancang peraturan perundang-undangan yang efektif

dalam kategori-kategori : peraturan (rule), kesempatan (opportunity),

kemampuan (capacity), komunikasi (communication), kepentingan

(interest), proses (.process), dan ideology (ideology).

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Lokasi Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan di Kabupaten Pohuwato.

Pemilihan lokasi ini didasari pelaksanaan asas akuntabilitas dalam

pembentukan peraturan daerah belum secara maksimal serta calon

peneliti mengenal baik lokasi penelitian sehingga mempermudah calon

peneliti melakukan penelitian, serta belum ada peneliti sebelumnya yang

pernah meneliti permasalahan penerapan asas akuntabilitas dalam

rangka penyusunan atau pembentukan peraturan daerah di Kabupaten

Pohuwato.

B. Jenis dan Sumber Data

1. Jenis Data

58

a. Data primer berupa data yang diperoleh penulis dengan

mengadakan wawancara dan penelitian secara langsung

dengan pihak-pihak yang terkait dalam penulisan skripsi ini.

b. Data sekunder berupa data yang diperoleh penulis dari

bahan dokumentasi dan bahan tertulis lainnya yang

berhubungan dengan penulisan skripsi.

2. Sumber Data

Sumber data yang diperoleh penulis bersumber dari:

a. Penelitian lapangan yaitu penelitian yang dilakukan secara

langsung dengan melakukan wawancara terhadap pihak

yang terkait pada lokasi penelitian.

b. Penelitian kepustakaan yaitu penelitian pustaka yang

dilakukan dengan mempelajari buku-buku, tulisan ilmah,

peraturan perundang-undangan, serta sumber-sumber

lainnya yang terkait dengan penulisan skripsi ini.

C. Teknik Pengumpulan Data

1. Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam

penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Quesioner, yaitu pengumpulan data dengan cara

mengajukan pertanyaan secara tertulis kepada responden.

Pertanyaan-pertanyaan tersebut dibuat dalam bentuk

berstruktur yang jawabannya telah disediakan oIeh peneliti.

59

b. Wawancara yaitu teknik pengumpulan data yang dilakukan

dalam bentuk tanya jawab secara lisan dengan responden.

D. Analisis Data

Data yang diperoleh dilapangan dianalisis secara kualitatif dan

dideskripsikan dengan menjelaskan penerapan asas akuntabilitas dalam

pembentukan peraturan daerah baik dalam perencanaan maupun

pembahasan serta dalam pelaksanaannya dengan memberikan

pertanggungjawaban dalam pembentukannya.

BAB IV

PEMBAHASAN DAN HASIL PENELITIAN

A. Gambaran Umum Lokasi Peneltian

Kabupaten Pohuwato berasal dari sebagian wilayah Kabupaten

Boalemo yang terdiri atas:

a. Kecamatan Randangan;

b. Kecamatan Marisa;

c. Kecamatan Popayato;

d. Kecamatan Patilanggio;

e. Kecamatan Dengilo;

f. Kecamatan Taliditi;

g. Kecamatan Paguat;

h. Kecamatan Lemito;

i. Kecamatan Buntulia;

60

j. Kecamatan Wanggarasi;

k. Kecamatan Duhiadaa;

l. Kecamatan Popayato Barat;

m. Kecamatan Popayato Timur.

Kabupaten Pohuwato mempunyai batas wilayah:

a. sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Buol Provinsi Sulawesi

Tengah, dan Kecamatan Sumalata Kabupaten Gorontalo;

b. sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Mananggu Kabupaten

Boalemo;

c. sebelah selatan berbatasan dengan Teluk Tomini; dan

d. sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Parigi Moutong dan

Kabupaten Buol Provinsi Sulawesi Tengah.

Kabupaten Pohuwato yang terdiri atas 13(tiga belas) Kecamatan

memiliki luas wilayah keseluruhan ± 4.244,31 km2.

B. Penerapan Asas Akuntabilitas

Untuk memantau kinerja instansi Pemerintah, dan DPRD Kab.

Pohuwato mengenai Pengawasan dan Sosialisasi Perda Retribusi harus

menggunakan mekanisme yang telah disebutkan pada BAB II, ada cara

lain yang cukup efektif yaitu dengan memberdayakan partisipasi publik.

Pada pembahasan berikut ini akan dibahas tentang pembentukan

lembaga-lembaga akuntabilitas yang dapat mendukung terciptanya good

governance.

61

Menurut Muhammad Trizal Kepala Bagian Hukum Pemda

Pohuwato ( wawancara 15 Juli 2013 ) untuk mengefektifikan penerapan

asas akuntabilitas mengenai Perda No. 2 Tahun 2012 diperlukan adanya

sosialisasi secara sinergis antara eksekutif dan yudikatif. Selanjutnya

beliau mengungkapkan bahwa Hukum dan peraturan perundang-

undangan harus secara tegas melarang segala bentuk KKN dan

penyalahgunaan dana-dana Negara dengan ancaman hukuman yang

berat. Peraturan perundang-undangan juga harus mampu mengendalikan

pejabat pemerintah dan menggiring agar mereka mau mengumumkan

seluruh kekayaannya sebelum menjabat sampai selesai masa

jabatannya.

Disisi lain Hassan Abdullah Sekretaris Komisi di DPRD Kabupaten

Pohuwato ( Wawancara 20 Juli 2013 ) mengatakan bahwa untuk

melakukan pemantauan secara terus menerus mengenai penerapan asas

akuntabiltas atas perilaku para pejabat termasuk mengamati dan meneliti

terhadap penerapan Perda No. 2 Tahun 2012 diperlukan adanya sanksi

terhadap masyarakat yang tidak patuh terhadap hukum khususnya

mengenai retribusi ditingkatkan sosialisasi supaya efektif dan bagi

petugas menerima dan meneliti keluhan masyarakat tentang

penyalahgunaan kekuasaan pejabat. Audit public harus dilakukan baik

atas rekening pribadi maupun terhadap laporan keuangan instansi pejabat

yang bersangkutan. Sedangkan lembaga peradilan harus dapat bekerja

secara independent untuk memeriksa dan memutus kasus-kasus KKN

62

yang muncul. Lembaga akuntabilitas vertikal seperti pemilu dan media

massa harus bebas dan independent. Dikatakan bahwa pemilu yang jujur

dan adil dapat menjadi alat vital untuk mengantisipasi dan mengendalikan

KKN sedangkan pemilu yang curang dan diwarnai politik uang akan

mempermudah bagi terjadinya berbagai KKN. Begitu juga media massa

harus dapat bekerja independent dan bebas agar masyarakat dapat

mengerti secara jelas tentang apa yang terjadi di instansi-instansi

pemerintahan. Dalam konteks lembaga akuntabilitas vertikal ini diperlukan

juga tumbuhnya LSM-LSM karena LSM merupakan pendorong bagi

tumbuhnya masyarakat madani dan pengawas bagi akuntabilitas kinerja

instansi pemerintah.

Jamaluddin salah seorang Pedagang di Pasar Marisa ( wawancara

10 Juli 2013 ) mengungkapkan mengenai penerapan asas akuntabiltas

mengenai Perda No.2 Tahun 2012 dibutuhkan transaparasi sehingga

menghindari terciptanya Korupsi oleh karna di negara Kita yang sedang

berkembang dibutuhtuhkan transaparansi dan akuntabiltas dan bisa

berupa pengamatan secara cermat dan dukungan oleh lembaga-lembaga

internasional. Dalam kaitan ini disarankan oleh Diamond agar dunia usaha

dan donor-donor dari luar dapat memiliki lembaga internasional yang

dapat menerima laporan permintaan suap atau tindakan lain yang berbau

KKN dari pejabat-pejabat pemerintah suatu Negara.

63

Dari berbagai bentuk lembaga akuntabilitas yang dipetakan oleh

para narasumber, maka untuk mengundang partisipasi publik dalam

menegakan akuntabilitas kinerja instansi pemerintahan guna menciptakan

good governance maka perlu diadakan:

1. Pers yang bebas dan independent

Pemerintah bersama masyarakat harus bersama-sama menciptakan

iklim yang kondusif bagi kehidupan pers yang bebas dan independent

sebab dari dunia pers yang seperti itulah masyarakat dapat

berpartisipasi untuk menegakkan akuntabilitas kinerja lembaga

pemerintahan. Pemerintah harus membuka akses yang luas bagi pers

untuk memperoleh informasi dari instansinya tentang pelaksanaan

tugas-tugasnya, pers harus menginformasikannya kepada masyarakat

secara jujur, dan masyarakat pun harus dapat menyampaikan

pandangan-pandangan dan kritiknya melalui pers yang bebas dan

independent tersebut. Pada era Orde Baru pemasungan atas

kebebasan pers dilakukan oleh pemerintah secara sistematis sehingga

masyarakat sulit berpartisipasi secara maksimal melalui lembaga ini.

Namun setelah rezim Orde Baru jatuh dan pemerintah tidak lagi

melakukan pengekangan terhadap pers mulai tumbuh pula gejala

anarki di mana tekanan atas kebebasan pers kemudian datang dari

masyarakat yang cenderung anarkis. Jika dulu tekanan atas

kebebasan pers itu datang dari pemerintah maka setelah era reformasi

lembaga pers dan para wartawan mendapat tekanan dari kelompok-

64

kelompok masyarakat yang ingin menyelesaikan sendiri terhadap

pemberitaan yang tidak disenangi.

2. Pembentukan Jaringan Ombudsman

Badan Ombudsman Nasional yang kini telah dibentuk oleh

pemerintah perlu diperluas dalam bentuk jaringan sampai ke daerah-

daerah di mana terdapat instansi pemerintah. Lembaga Ombudsman

(Komisi Ombudsman Nasional) yang sekarang ada pada tingkat

nasional dirasa belum cukup untuk melibatkan partisipasi public

menjaga tegaknya akuntabilitas kinerja instansi pemerintah yang

jaringannya sudah sangat luas. Idealnya jaringan lembaga

Ombudsman itu seimbang dengan jaringan instansi pemerintah yang

ada di seluruh wilayah negara Indonesia. Masyarakat dapat

menggunakan lembaga ombudsman ini menyampaikan laporan dan

pengaduan-pengaduan jika ada pelanggaran atau penyalahgunaan

kekuasaan oleh instansi pemerintah, bahkan meskipun baru berupa

sinyalemen. Lembaga ombudsman ini kemudian harus meneliti dan

mendalami setiap laporan dan pengaduan yang masuk untuk

kemudian melakukan langkah berupa pelaporan kepada aparat yang

berwajib maupun aparat yang berwenang. Hal-hal yang bisa ditolerir

dan dipandang sekedar kesalahan prosedur administrative yang ringan

dapat disampaikan oleh lembaga ombudsman kepada pimpinan

instansi yang bersangkutan agar dilakukan pelurusan, sedangkan

pelanggaran atau penyalahgunaan kekuasaan yang berat bertedensi

65

melanggar hukum terus dilaporkan oleh lembaga ombudsman kepada

pihak yang berwajib untuk diproses secara hukum. Di sinilah letak arti

penting bagi gagasan pembentukan jaringan lembaga ombudsman

sampai ke daerah-daerah.

3. Penguatan DPRD yang responsive dan proaktif

Partisipasi masyarakat juga dapat diundang melalui adanya

DPRD yang responsive dan proaktif dengan anggota-anggota yang

dipilih secara bebas dan langsung oleh rakyat. DPRD yang terbuka,

aspiratif, dan proaktif akan dapat dengan mudah berkomunikasi

dengan dan menyerap aspirasi masyarakat. DPRD harus membuka

pintu lebar-lebar bagi masyarakat untuk menyampaikan aspirasi dan

pengaduan atas apa yang dilakukan oleh berbagai instansi pemerintah

dalam melaksanakan tugasnya. Bahkan DPRD perlu secara proaktif

melakukan dengar pendapat tentang masalah-masalah yang muncul

berkaitan dengan tugas-tugas instansi pemerintah tanpa harus

menunggu permintaan masyarakat.

4. Penguatan LSM-LSM

Partisipasi dalam penegakkan akuntabilitas kinerja

pemerintahan dapat juga digalakkan atau dikuatkan melalui LSM-LSM

yang bekerja untuk mendorong dilakukannya akuntabilitas oleh

instansi pemerintahan. LSM-LSM tersebut dapat menggalang kekuatan

masyarakat untuk memaksa instansi pemerintah bersikap transparan

66

dan bertanggung jawab dalam melaksanakan tugas-tugasnya. Dalam

menggalang kekuatan masyarakat untuk berpartisipasi itu LSM dapat

melakukan kerjasama secara sinergis dengan pers, DPRD,

ombudsman, lembaga-lembaga internasional maupun di antara LSM-

LSM itu sendiri. Akan menjadi lebih baik manakala berbagai LSM yang

tergabung dalam berbagai asosiasi melakukan kerjasama untuk

memberikan desakan kuat terhadap instansi pemerintah agar

melaksanakan tugasnya dengan akuntabilitas yang benar-benar baik.

C. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penerapan Asas Akuntabilitas

Masalah pokok penegakan hukum menjadi poin penting pada

faktor-faktor yang mempengaruhi Penerapan Asas Akutanbilitas pada

Pembentukan Perda No. 2 Tahun 2012. Menurut Soerjono Soekanto (

2002 : 20) menjelaskan beberapa unsur atau faktor yang mempengaruhi

penegakan hukum. Faktor-faktor tersebut mempunyai arti yang netral

sehingga dampak positif atau negatifnya terletak pada isi dari faktor-faktor

tersebut. Faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut:

1. Faktor hukumnya sendiri.

2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk

maupun menerapkan hukum.

3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegak hukum.

67

4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut

berlaku atau diterapkan.

5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang

didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup

Sebagaimana proses penegakan hukum pada umumnya dalam

penerapan asas pemerintah yang baik tidak terlepas dari lima faktor yang

saling terkait dengan eratnya karena merupakan esensi dari penegakan

hukum itu sendiri. Mulai dari faktor hukumnya, faktor penegak hukumnya,

faktor masyarakat dalam hal ini sebagai objek dari penegakan hukum dan

faktor kebudayaan dalam organisasi Polri maupun dalam masyarakat

pada umumnya, dan untuk mengetahui sejauh mana kelima faktor

tersebut sebagai tolak ukur bagi efektivitas penegakan hukum terhada

Perda No.2 Tahun 2012

Berangkat dari teori inilah yang mempegaruhi faktor-faktor

penerapan asas akuntabilitas pada pembentukan peraturan daerah

Kabupaten Pohuwato Nomor 2 Tahun 2012 tentang Retribusi Jasa Usaha

sebagai bentuk akuntabilitas kinerja Pemda Pohuwato dan akan kami

diuraikan dalam penelitian ini.

1. Faktor Hukum

Masalah penyimpangan telah diantisipasi oleh Anggota DPRD

melalui berbagai instrumen pengawasan terhadap Pelaksanaan Perda.

Permasalahannya adalah sulit untuk memisahkan secara tegas antara

68

berbagai aturan intern tersebut, selalu ada warna abu-abu, selalu ada sisi

terang dan sisi gelap, akan selalu ada tumpang tindih antara berbagai

aturan tersebut. Permasalahan lain selain masalah di atas adalah

seringnya peraturan yang mengatur tentang Pelaksanaan Perda No.2

Tahun 2012 ini dilakukan perubahan untuk meningkatkan Pemasukan

PAD Kab Pohuwato. Akibat peraturan yang multitafsir tersebut masing-

masing pihak akan memiliki penafsiran yang berbeda-beda, sehingga

dapat membuka peluang terjadinya manipulasi dalam penegakan hukum

yang pada akhirnya menimbulkan ketidakpastian hukum.

2. Faktor Penegak Hukum

Aparat penegak hukum yang dimaksud disini adalah fungsi

Pengawasan Terhadap Perda tidak Berjalan sebagaimana yang

diharapkan sehingga dalam untuk menerapaknya dan memberikan sanksi

kepada Masyarakatnya sulit untuk dilakukan karena sosialisasi juga

kurang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah. Penyebabnya adalah

masih adanya di antara pimpinan yang belum sepenuhnya memberikan

atensi atas pelaksanaan tugas penegakan hukum yakni Sanski bagi

warga yang tidak membayar Pajak retribusi di Kabupaten Pohuwato.

3. Faktor Sarana atau Fasilitas

Aspek yang tidak kalah pentingnya dalam penegakan adalah aspek

sarana atau fasilitas baik peralatan yang memadai maupun dukungan

anggaran keuangan yang cukup. Hasil penelitian ini menemukan bahwa

69

dalam pelaksanaan tugasnya, baik selaku unsur pelaksana utama sering

menghadapi hambatan terkait dengan masalah sarana dan prasarana

yang belum memadai dan keterbatasan dukungan anggaran, sehingga

bagi mereka hal tersebut sangat mengganggu kelancaran pelaksanaan

tugas sehari-hari.

4. Faktor Masyarakat

Menurut Muhlis Salah seorang Pengelolah Di Pasar Marisa (

Wawancara Tgl. 5 Juli 2013 ) mengemukakan bahwa dalam penegakan

hukum mengenai penundaan Pembayaran Retribusi itu perlu ditegakkan

karena cukup mempengaruhi keberhasilan dari penerapan Asas

Akuntabilatas dan Pemasukan pada Daerah. Hal ini tidak terlepas dari

pengaruh tingkat kualitas kinerja, baik latar belakang pendidikan, adat

istiadat yang dianut, termasuk beragamnya karakter kualitas emosional

serta diharapkan adanya kualitas mental dan keimanan setiap orang yang

juga sangat beragam, belum meratanya tingkat kesadaran masyarakat

membayar jasa retribusi.

Tingkat kesadaran dan kepatuhan masyarakat terhadap Perda

masih relatif rendah sehingga Perda yang ada tidak mempegaruhi

masyarakat untuk membayar pajak jasa retribusi.

1. Tingkat pemahaman dan penerapan aturan hukum masyarakat

masih rendah.

70

2. Masih banyak campur tangan, intervensi dari para pejabat dalam

pelaksanaan penegakan hukum, sehingga hasil dari penegakan

hukum yang dicapai masih relatif subyektif dan kurang transparan.

Intervensi serta seringkali memiliki legitimasi yang lebih kuat dari

pada prosedur Hal tersebut seringkali terjadi manakala seorang

memiliki kepentingan tertentu .

3. Masih ada tenggang rasa yang tinggi dari dari DPRD dan

Pemerintah untuk melakukan sidang Komisi Hal ini dikarenakan

masih tingginya pertimbangan keputusan yang bersifat subyektif

sehingga unsur-unsur obyektif yang seharusnya lebih diutamakan

menjadi kurang diperhatikan.

4. Sosialisasi semua aturan Perda khususnya Perda tentang Retribusi

Jasa Usaha di Pemda Pohuwato belum dilaksanakan oleh semua

Satker.

5. Faktor Budaya

Dalam konteks ini, yang agak sulit diubah adalah budaya organisasi

yang dibentuk oleh kekuasaan menjadi budaya organisasi pelayanan.

Selain itu masih adanya budaya yaitu adanya keengganan diduga

melakukan pelanggaran untuk ditindaki. Hal ini dikarenakan rasa

solidaritas yang dianggap harus dijaga, sehingga apabila terjadi

penunggakan pembayaran Retribusi/bermasalah tidak begitu menjadi

perhatian aparat terkait. Hal ini tentu saja dapat mempengaruhi penerapan

71

Asas Akuntabilitas terhadap Perda No 2 Tahun 2012 tentang Retribusi

Jasa Usaha Di Kabupaten Pohuwato.

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Adapun berdasarkan hasil penelitian dalam mengungkapkan

permasalahan yang ada, penulis menarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Penerapan asas akuntabilitas pada pembentukan peraturan

daerah Kabupaten Pohuwato Nomor 2 Tahun 2012 tentang

Retribusi Jasa Usaha di Kabupaten Pohuwato belum teraplikasi

dengan baik.

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi kurang optimalnya penerapan

asas akuntabilitas pada perda retribusi jasa usaha di Pohuwato

ialah:

72

a. Faktor hukum, yakni seringnya peraturan tentang retribusi

jasa usaha diperbahurui sehingga menimbulkan multitafsir di

lapangan dan membuka peluang terjadinya manipulasi

dalam penegakan hukum.

b. Faktor penegak hukum, yakni fungsi pengawasan terhadap

perda tidak berjalan sebagaimana mestinya sehingga dalam

menerapkan dan memberikan sanksi terhadap masyarakat

sulit untuk dilakukan.

c. Faktor sarana yang kurang memadai dan keterbatasan

dukungan anggaran.

d. Faktor masyarakat, yakni belum meratanya tingkat

kesadaran masyarakat membayar retribusi jasa usaha.

e. Faktor budaya, yakni rasa solidaritas dan toleransi diluar

skema peraturan yang ada dalam pelaksanaan perda

retribusi jasa usaha baik pembayaran maupun penerapan

sanksi.

B. Saran

Beberapa saran untuk pengembangan dan peningkatan

pelaksanaan Penerapan Asas Akuntabilatas DPRD Kabupaten Pohuwato

agar dapat menghasilkan peraturan daerah yang berkualitas berdasarkan

penelitian ini adalah ;

73

1. Perlu adanya upaya positif baik secara kelembagaan dan dari

para anggota DPRD Kabupaten Pohuwato beserta Pemerintah

untuk meningkatkan inisiatif melakukan Sosialisasi bersinergis ,

dalam pelaksanaan fungsinya masing-masing.

2. Perlu ditingkatkan kinerja DPRD kab. Pohuwato dan

Pemerintah, untuk menunjang pelaksanaan Perda No. 2 Tahun

2012

3. Dalam hal koordinasi anatar Stekholder agar dipertahankan

atau ditingkatkan, sehingga pelaksanaan Perda No 2 Tahun

2012 dapat berjalan dengan optimal dan menghasilkan perda

yang berkualitas.

4. Perlu ditingkatkan adanya partisipasi masyarakat secara nyata

dalam pelaksanaan Perda No.12 Tahun 2012 sehingga perda

yang dihasilkan memang benar-benar menampung aspirasi

sebagian besar masyarakat.

74

DAFAR PUSTAKA

Afrizal. 2003. Partisipasi Publik dalam Penyusunan Undang-Undang. Tesis pada program Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta.

Asshiddiqie, Jimly. 2003. Konsilidasi Naskah Undang-Undang Dasar 1945

setelah Perubahan Keempat. Yarsif Watampone, Jakarta.

______________. 2005. Konstitusi dan Konstitusionalisme. Sekjen dan

Kepanitraan Mahkamah Konstitusi Republik indonesia, Jakarta.

B.Seidman, Robert. 2002. Perihal Demokrasi: Menjelajahi Teori dan

Praktek Demokrasi Secara Singkat. Yayasan Obor, Indonesia.

Budiarjo, Miriam. 1998. Menggapai Kedaulatan Rakyat. Mizan, Jakarta.

_____________. 1988. Partisipasi Politik dan Partai Politik. Yayasan Obor

Indonesia, Jakarta.

Fahmal, Muin. 2006. Asa-Asas Umun Pemerintahan yang Layak dalam

Mewujudkan Pemerintahan yang Bersih. Lid Pres, Yogyakarta.

75

Harahap, Zairin. 1997. Hukura Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Edisi

Revisi. Baja Grafika Persada, Jakarta.

Latief, Abdul. 2007. Hukum Peraturan Kebijaksanaan pada Pemerintahan

Daerah. Universitas Islam Indonesia Press, Yogyakarta.

M. Hadjon, Philipus. 1987. Perlindungan Hukum bagi Rakyat di Indonesia.

Bina Ilmu, Jakarta.

_______________. 1992. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia.

Gajah Mada Unversity Press. Yogyakarta.

Mahsun, Mohamad, 2006. Pengukuran Kinerja Sektor Publik. BPFE,

Yogyakarta.

Manan, Bagir. 1992. Dasar-Dasar Perundangan-Undangan Indonesia. md

Hill co. Jakarta.

___________. 1995. Sistem dan Teknik Pembuatan Peraturan Tingkat

Daerah. Lppm Unisba, Bandung.

__________ dan Kuntana Maknar. 1997. Beberapa MasaIah Hukum Tata

Nagara Indonesia. Alumni, Bandung.

Modeong, Supardan. 2003. Teknik Perundang-Undangan di Indonesia.

Jakarta.

Nasmi Yunas, Didi. 1992. Konsepsi Negara Hukurn. Angkasa Raya,

Jakarta.

Nasroem, M. 1986. Asal Mula Negara. Aksara Baru, Jakarta.

Pangerang Moenta, A. 2003. Metode Perancangan Perundang -

Undangan Daerah. jurnaI Amanna Gappa Volume II Nomor 2.

Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makassar.

Pradjodikoro, Wirjono. 1981. Asas-Asas Ilmu Negara dan Ilmu Politik.

Unesco, Jakarta.

Razak, Abdul. 2005. Peraturan kebijakan sebagai Instrumen

Pemerintahan. Jurnal Amannagappa. Vol 13. Nomor 2. Fakultas

Hukum Universitas Hasanuddin, Makassar

76

Ruslan, Achmad. 2005. Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

dan Kualitas Produknya Kajian atas Peraturan Daerah Tentang

Pajak Daerah dan Retribusi Daerah di Sulawesi Selatan. Disertasi

pada program Pascasarjana Universitas Hasanuddin, Makassar.

Sarundajang, 2003. Birokrasi dalam Otonomi Daerah. Pustaka Sinar

Harapan, Jakarta.

Sedarmayanti. Good Governance (Kepemerintahan Yang Baik),

Membangun Sistem Manajemen Kinerja Guna Meningkatkan

Produktivitas menuju Good Governance.

Setyowati, Emi. 2003. Bagaimana Undang - Undang Dibuat. Pusat Studi

Hukum dan Kebijakan, Jakarta.

Soekanto, Soerjono. 2004. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan

Hukum. PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Widodo, Joko. 2001. Good Governance (telaah dari dimensi Akuntabilitas

dan Kontrol Birokrasi pada Era Desentralisasi dan Otonomi

Daerah). Insan Cendikia, Surabaya.

Peraturan Perundang - Undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang Negara Repubilk Indonesia Nomor 12 Tahun 2011

Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 Tentang

Pemerintahan Daerah. Akuntabilitas sebagai suatu Konsep,