skripsi

80
1 BAB I PENDAHULUAN Ayam broiler merupakan unggas komersial yang dibudidayakan untuk menghasilkan daging dalam waktu singkat (5-6 minggu). Pertumbuhan ayam broiler yang cepat juga diikuti dengan kemampuan deposisi lemak yang tinggi. Produk broiler dengan lemak tinggi biasanya kurang diminati konsumen karena dikhawatirkan berkaitan dengan penyakit yang menyebabkan kolesterol tinggi. Disisi lain, lemak dibutuhkan untuk mengatur suhu tubuh broiler dalam rangka menanggulangi panas lingkungan. Oleh sebab itu, pada pemeliharaan broiler yang suhu lingkungannya tinggi dan juga untuk mengurangi timbunan lemak tubuh diupayakan dengan pembatasan porsi ransum disertai lama pencahayaan pada malam hari. Pemeliharaan broiler pada lingkungan tropis dengan pemberian ransum tidak terbatas menyebabkan ayam mengalami panas tubuh berlebihan yang mengakibatkan

Upload: agrientya-saraswati

Post on 19-Nov-2015

4 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

peternakan

TRANSCRIPT

34

BAB IPENDAHULUANAyam broiler merupakan unggas komersial yang dibudidayakan untuk menghasilkan daging dalam waktu singkat (5-6 minggu). Pertumbuhan ayam broiler yang cepat juga diikuti dengan kemampuan deposisi lemak yang tinggi. Produk broiler dengan lemak tinggi biasanya kurang diminati konsumen karena dikhawatirkan berkaitan dengan penyakit yang menyebabkan kolesterol tinggi. Disisi lain, lemak dibutuhkan untuk mengatur suhu tubuh broiler dalam rangka menanggulangi panas lingkungan. Oleh sebab itu, pada pemeliharaan broiler yang suhu lingkungannya tinggi dan juga untuk mengurangi timbunan lemak tubuh diupayakan dengan pembatasan porsi ransum disertai lama pencahayaan pada malam hari. Pemeliharaan broiler pada lingkungan tropis dengan pemberian ransum tidak terbatas menyebabkan ayam mengalami panas tubuh berlebihan yang mengakibatkan cekaman. Menurut Hamidi (2006) ayam menjadi stres bila suhu lingkungan tinggi, sehingga ayam berusaha mengeluarkan panas tubuh dengan mekanisme panting. Akibat tingginya suhu lingkungan, nafsu makan ayam broiler menurun dan konversi pakan juga kurang baik, maka protein yang dapat dimanfaatkan menjadi rendah. Oleh sebab itu pembatasan pemberian ransum dilakukan di siang hari dan mengoptimalkan pada malam hari yang memiliki suhu lebih sejuk, merupakan satu cara untuk mencapai performans yang lebih baik baik. Zulkifli et al. (2000) melaporkan bahwa ayam broiler, terutama dengan pemberian porsi ransum berbeda antara siang dan malam hari, menunjukkan adanya perbaikan efisiensi ransum dan dapat pula mengurangi angka kematian. Demikian pula Nova (2005) pada ayam broiler yang dibatasi ransum antara siang dan malam hari menunjukkan hasil secara nyata dapat memperbaiki pertambahan bobot badan, konsumsi dan konversi ransum. Pengaturan pemberian porsi ransum antara siang dan malam hari berkaitan dengan lama pencahayaan, karena pencahayaan mempunyai peranan penting bagi ayam untuk melakukan aktivitas seperti makan dan minum. Menurut Lewis dan Gous (2007) pembatasan cahaya bertujuan untuk memberikan kesempatan bagi broiler dapat istirahat dari aktivitas makan untuk mendukung proses pencernaan lebih baik dan mengurangi pengeluaran energi. Moore dan Siopes (2000) menyatakan bahwa unggas yang diberi perlakuan dengan periode gelap cukup, mempunyai masalah kesehatan yang lebih sedikit seperti sudden death syndrome, mortalitas, dan gangguan pada kaki. Periode gelap harian diperlukan untuk membentuk pola sekresi hormon melatonin secara normal. Menurut Apeldoorn et al. (1999) melatonin merupakan hormon yang disekresikan dari kelenjar pineal yang terlibat dalam proses ritme harian suhu tubuh, beberapa fungsi essensial metabolisme tubuh terkait dengan konsumsi ransum dan pencernaan serta sekresi beberapa limphokines yang terkait dengan sistem kekebalan. Sulistyoningsih melaporkan bahwa (2009) walaupun dalam keadaan gelap melatonin terus mengatur proses metabolisme dan retensi nitrogen secara maksimal, sehingga proses pertumbuhan unggas terstimulasi sesuai dengan potensi genetiknya.Pengaturan pemberian ransum antara siang dan malam diharapkan dapat memperbaiki asupan nutrient melalui kecernaan protein, retensi nitrogen pertambahan bobot badan, dan rasio efisiensi protein. Banyaknya ransum yang dikonsumsi menunjukkan banyaknya protein yang masuk yang selanjutnya menjadi chyme dapat merangsang enzim usus halus sehingga meningkatkan kecernaan nutrient, terutama protein. Peningkatan kecernaan protein juga menghasilkan retensi nitrogen yang lebih baik. Maghfiroh (2012) menyatakan bahwa nilai kecernaan protein mempengaruhi retensi nitrogen karena banyaknya protein yang dapat diserap tubuh memiliki kesempatan untuk retensi nitrogen lebih banyak, sehingga pada akhirnya dapat meningkatkan pertambahan bobot badan. Menurut Iqbal et al. (2012) bahwa jumlah konsumsi protein berpengaruh terhadap pertambahan bobot badan. Penyerapan nutrien lebih baik pada malam hari ditunjukkan dengan adanya peningkatan bobot badan yang selanjutnya menghasilkan rasio efisiensi protein yg lebih baik. Semakin tinggi rasio efisiensi protein menunjukkan semakin efisien ternak menggunakan protein. Penelitian bertujuan untuk mengetahui kombinasi pembatasan ransum pada siang hari dan lama pencahayaan pada malam hari terhadap kecernaan protein, retensi nitrogen dan rasio efisiensi protein serta pertambahan bobot badan pada ayam broiler. Manfaat penelitian adalah memperoleh kombinasi porsi ransum dan lama pencahayaan yang tepat untuk meningkatkan performans broiler berdasarkan efisiensi penggunaan protein. Hipotesis penelitian bahwa pemberian porsi ransum lebih banyak pada malam hari disertai pencahayaan intermitten (2Gelap:2Terang) menghasilkan performans ayam broiler yang lebih baik.BAB IITINJAUAN PUSTAKA2.1. Ayam Broiler di Indonesia dan ProduktivitasnyaAyam broiler adalah ayam yang dikembangkan atau dibudidayakan khusus untuk menakankan dagingnya, sehingga dada ayam broiler lebih gemuk dibandingkan bagian dorsalnya. Dengan demikian, ayam jenis ini disebut ayam pedaging. Lama pemeliharaan ayam ini sekitar 30-32 hari untuk mencapai berat karkas 9001000 gram (Jayanata, 2010). Karakteristik ayam pedaging bersifat tenang, bentuk tubuh besar, pertumbuhan cepat, bulu merapat ke tubuh, kulit putih dan produksi telur rendah (Susilorini et al., 2002). Ayam broiler merupakan jenis ras unggulan hasil persilangan dari bangsa-bangsa ayam yang memiliki daya produktivitas tinggi, terutama dalam memproduksi daging. Jenis strain ayam ras pedaging yang banyak beredar di pasaran adalah Cobb, Kim cross, Lohman, Hyline, Vedette, Missouri, Hubbard, Shaver Starbro, Pilch, Yabro, Goto, Arbor Arcres, Tatum, Indian River, Hybro, Cornish, Brahma, Langshans, Hypeco-Broiler, Ross, Marshallm, Euribrid, dan Sussex. Strain ayam dijual dengan berbagai merk dagang, seperti Super 77, Tegel 70, ISA, Lohman 202, A.A 70 (Arbor Arcres), H &N, Bromo, CP 707 (Cobb) (Junaidi, 2009). Menurut Scott et al. (1982) ayam broiler tumbuh relatif cepat pada hari pertama sampai 6 minggu.Ayam broiler memerlukan pemeliharaan secara intensif dan cermat karena relatif lebih peka terhadap suatu infeksi penyakit dan sulit beradaptasi (Murtidjo, 2000). Nutrisi merupakan bagian dari proses untuk menekankan pertumbuhan yang cepat pada broiler (Appleby et al., 2004). Sudaryani dan Santosa (1996) menyatakan ayam broiler mampu memproduksi daging secara optimal dengan hanya mengkonsumsi ransum dalam jumlah relatif sedikit. Bobot badan ayam broiler berdasarkan umur dihubungkan dengan konsumsi ransum akan dilihat pada Tabel 1. Periode pertumbuhan ayam broiler dibagi menjadi 2 yaitu; periode starter dan periode finisher. Periode starter pada ayam broiler dimulai sejak umur 1 hari sampai umur 21 hari dan periode finisher dimulai sejak umur 21 hari sampai panen (Rasyaf, 1996).

Tabel 1. Hubungan antara Konsumsi Ransum dengan Bobot Badan Akhir Ayam Broiler

Umur (minggu)Konsumsi Ransum KumulatifBobot Badan FCR

-------------- g/ekor ---------------

11501590,94

25204181,24

311308001,24

4193012651,53

5292017651,65

6405022551,80

Sumber : Charoen Pokphand (2006)2.2. Ransum Ayam Broiler dan Pola Pemberian

Ransum adalah bahan yang telah dicampur dan biasanya terdiri dari berbagai jenis bahan ransum dengan komposisi tertentu. Pemberian ransum bertujuan untuk menjamin pertumbuhan berat badan dan menjamin produksi daging (Siriwa dan Sudarso, 2007). Fungsi ransum adalah memenuhi kebutuhan pokok untuk hidup, membentuk sel-sel jaringan tubuh serta menggantikan bagian-bagian yang rusak selanjutnya digunakan untuk keperluan produksi (Sudaryani dan Santoso, 1995). Ransum broiler harus mengandung energi metabolis, asam-asam amino, vitamin dan mineral yang mampu memenuhi kebutuhan nutrisinya. Kebutuhan energi untuk ayam broiler periode starter 3100 kkal dengan protein 21-22 %, sedangkan pada periode finisher sebesar 3200-3300 kkal dengan protein 18-20 % (Sudaryani dan Santoso, 2002). Zarate et al. (2003) menambahkan ayam broiler pada periode finisher membutuhkan energi metabolis sebanyak 3200 kkal/kg. Kebutuhan nutrien ransum ayam broiler akan dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Kebutuhan Nutrien Ransum Ayam Broiler pada Periode Starter dan Periode Finisher Nutrien StarterPeriode FinisherProtein (%) 23,00% 20,00%Energi Metabolis (kkal/ kg) 2800-3200 2900-3200Kalsium (%) 1,00 0,90Fosfor (%) 0,45 0,35Sumber: NRC (1994)Pemberian ransum pada broiler dapt dilakukan dengan dua cara, yaitu secara konvensional atau dengan pembatasan. Pembatasan ransum akan dilakukan pada tahap awal pertumbuhan, atau pada masa akhir pertumbuhan. Pembatasan ransum pada broiler pada dasarnya merupakan program untuk memberikan ransum pada ternak sesuai dengan kebutuhan hidup pokok pada umur dan periode tertentu (Sudaryani dan Santoso, 1996). Pemberian ransum dengan porsi lebih banyak pada malam hari dibanding siang hari jauh lebih baik sebab dapat membantu meningkatkan efisiensi ransum (Amrullah, 2003). Pemberian ransum yang lebih banyak pada siang hari dapat menurunkan produktivitas broiler, karena panas yang dihasilkan lebih tinggi dari proses metabolisme tubuh ditambah panas karena temperatur lingkungan yang tinggi sehingga konsumsi ransum dan bobot badan menurun (Mujahid et al., 2007). Menurut Novalina (2009) bahwa gastrin dan cholecystokinin merupakan hormon yang membantu mengatur pencernaan di dalam tubuh. Dijelaskan lebih lanjut bahwa kedua hormon tersebut berperan dalam cepat dan lambatnya pengosongan perut sehingga mempengaruhi konsumsi ransum karena semakin banyak ransum yang dikonsumsi maka semakin banyak pula protein yang masuk ke dalam tubuh. Saat suhu tinggi ransum yang dikonsumsi tidak bisa dicerna dengan baik dan nutrien banyak yang dibuang dalam bentuk feses (Bell dan Weaver, 2002). Osma dan Tanios (1982) bahwa sekresi enzim dalam saluran pencernaan menjadi rendah pada saat ayam beradaptasi terhadap suhu panas.Pemberian ransum adlibitum memberikan ayam mempunyai kesempatan untuk mengkonsumsi ransum setiap saat yang menyebabkan ayam menyimpan kelebihan energi dalam bentuk lemak, sedangkan dengan pembatasan pemberian ransum kesempatan tersebut berkurang sehingga mengurangi kandungan lemak tubuh broiler (Muharlien dan Kurniawan, 2010). Amrullah (2004) menyatakan bahwa ayam broiler memiliki kecenderungan untuk makan lebih banyak jika ada kesempatan untuk makan seperti pada pemberian ad-libitum dan konsumsi ransum berkurang jika waktu pemberian dibatasi, berkurangnya konsumsi ransum seiring dengan lamanya pembatasan pemberian ransum. Menurut Mujahid et al. (2007) pemberian ransum yang lebih banyak pada siang hari dapat menurunkan produktivitas broiler, karena panas yang dihasilkan dari proses metabolisme lebih tinggi ditambah lagi karena temperatur lingkungan yang juga tinggi sehingga konsumsi ransum dan bobot badan menurun. Pemberian porsi ransum yang lebih sedikit pada siang hari merupakan upaya untuk meminimalisir kemungkinan ternak mengalami cekaman panas. Banyak penelitian tentang pembatasan ransum pada broiler telah dilakukan. Kebanyakan penelitian tersebut menunjukkan terjadinya hasil peningkatan efisiensi ransum dan penurunan kandungan lemak tubuh dengan berat badan normal. Para peneliti terdahulu (Nova, 2005; Ahmad dan Elfawati , 2008; Santoso et al., 1993, 1995a,b, dan Darmawati, 2005) melaporkan bahwa ayam broiler yang dibatasi pemberian ransumnya menunjukkan efisiensi ransum yang lebih baik dan terjadi penurunan kandungan lemak tubuh. Keuntungan lain yang dapat diperoleh dari program pembatasan ransum adalah dapat mengurangi angka kematian, kelainan kaki dan penyakit metabolisme seperti ascites, sindrom kematian mendadak, stress panas atau bahkan meningkatkan daya kekebalan tubuh terhadap penyakit (Zulfanita et al, 2011). Broiler mengurangi konsumsi ransum secara fisiologi untuk menekan produksi panas dalam tubuh dan berusaha untuk membentuk limfosit sebagai antibodi sehingga ayam tidak mengalami cekaman yang mengakibatkan ketahanan tubuh menurun (Aprilia, 2013). Zulkifli et al. (2000) melaporkan bahwa ayam broiler terutama dengan pemberian porsi ransum berbeda antara siang dan malam hari menunjukkan adanya perbaikan efisiensi ransum dan dapat pula mengurangi angka kematian. Demikian pula Nova (2005) menunjukkan bahwa perlakuan pemberian porsi ransum 30% pada siang hari dan 70% pada malam hari jauh lebih baik terhadap pertambahan bobot badan harian karena ransum yang dikonsumsi pada malam hari lebih efisien untuk pembentukan jaringan tubuh. Pembatasan ransum selama 3 jam (P) kemudian diberi ransum selama 1 jam diberi ransum (D) dari umur 8 hari sampai 28 hari secara signifikan dapat memperbaiki FCR dibanding pembatasan ransum 5P:1D, 7P:1D dan ad libitum. Respon imun terhadap Newcastle disease dan infectious bursal disease pada umur 30 hari lebih baik dibanding perlakuan lainnya (Mahmood et. al., 2007).

2.3.Pencahayaan pada Pemeliharaan Broiler

Lingkup cahaya yang berpengaruh terhadap fisiologis unggas yaitu lama pencahayaan, intensitas, warna, cahaya berselang, dan sumber cahaya. Intensitas cahaya yang di berikan pada unggas, berkisar 5-20 lux (Appleby et al., 2004). Intensitas adalah kekuatan cahaya yang di berikan kepada unggas, pada umumnya berkisar antara 5 -20 lux. Ayam broiler membutuhkan cahaya terang dengan intensitas 10-20 lux dan cahaya gelap dengan intensitas sekitar 1-3 lux (Oyedeji dan Atteh, 2005).Pembatasan cahaya juga bertujuan memberikan kesempatan bagi broiler untuk beristirahat dari aktivitas makan untuk mendukung proses pencernaan didalam tubuh sehingga akan berlangsung secara optimal dan mengurangi pengeluaran energi (Lewis dan Gous, 2007). Pencahayaan dapat bermanfaat untuk perbaikan efisiensi ransum, peningkatkan pertambahan bobot badan, peningkatan imunitas dan mencegah kematian mendadak (Prayitno et al., 1994). Hasil penelitian Abbas et. al. (2008) menunjukkan bahwa pencahayaan intermiten (2T:2G) meningkatkan performans dan fungsi imunitas dibandingkan dengan pencahayaan normal 23T:1G dan non-intermiten 12T:12G. Lama penyinaran 6 jam per hari dapat digunakan sebagai pola pemberian ransum untuk mengurangi lemak abdominal, sindrom kematian mendadak dan peningkatan kualitas karkas broiler (Oyedeji dan Atteh, 2005). Faktor penting yang mempengaruhi pertumbuhan dan produktivitas pada ayam adalah ketahanan tubuh yang baik terhadap lingkungan. Indikator ketahanan tubuh sebagai bentuk respon ayam terhadap faktor penyebab cekaman dapat diketahui dari komponen darah seperti rasio heterofil limfosit (H/L). Pemberian cahaya berselang pada malam hari dapat mengurangi cekaman pada broiler ditandai dengan rendahnya nilai H/L (0,89) (Aprilia, 2013). Broiler dapat membentuk antibodi untuk merespon dan menyesuaikan kondisi tubuh dari pengaruh luar lebih baik sehingga ketahanan tubuh meningkat. Sumber cahaya adalah asal sinar yang akan berasal dari alam dan buatan. Adanya program pencahayaan dengan intensitas iluminasi sebesar 0,35 0,50 fc atau intensitas cahaya 8 10 lux menyebabkan keadaan kandang tetap terang sehingga memungkinkan ayam akan melihat dan memiliki kesempatan makan dan minum pada malam hari (Fadilah, 2004). Mekanisme hormonal pada unggas, yaitu cahaya yang masuk dan diterima oleh mata lalu diteruskan ke sistem saraf pusat, selanjutnya merangsang hipotalamus mensekresikan releasing factor (faktor pembebas) yang berfungsi memacu hipofisis untuk mensekresikan hormon somatotropic hormone (STH) atau disebut juga hormon pertumbuhan (growth hormone), adrenocorticotrophic hormone (ACTH) dan thyrotropic stimulating hormone (TSH), serta hormon seksual (Etches, 2000).Pemberian periode gelap yang cukup pada unggas berdampak pada kesehatan yang lebih sedikit seperti sudden death syndrome, mortalitas, dan gangguan pada kaki (Moore dan Siopes, 2000). Periode gelap harian diperlukan untuk membentuk pola sekresi hormon melatonin secara normal. Selama gelap kelenjar pineal ayam mensekresikan hormon melatonin (Pang et al., 1996). Melatonin merupakan hormon yang disekresikan dari kelenjar pineal sebagai respon terhadap aktivitas enzim serotonin-N-acetyltranspherase yang terlibat dalam proses ritme harian suhu tubuh yang berhubungan dengan beberapa fungsi esensial metabolisme tubuh terkait dengan konsumsi ransum dan pencernaan protein (Apeldorn et al., 1999). Periode gelap yang lebih panjang menghasilkan mortalitas yg lebih rendah. Secara umum gelap yang lebih panjang diasosiasikan dengan penurunan kecernaan protein, tetapi sebaliknya dengan periode terang lebih lama ayam dapat meningkatkan konsumsi ransum dan pada saat periode gelap hormon melantonin dapat bekerja lebih efektif sehingga kecernaan protein meningkat (Setianto, 2009). Walaupun dalam keadaan gelap melatonin terus mengatur proses metabolisme dan retensi nitrogen secara maksimal, sehingga proses pertumbuhan unggas terstimulasi sesuai dengan potensi genetiknya (Sulistyoningsih, 2009).2.4.Penggunaan Protein dan Faktor yang MempengaruhiProtein sangat penting bagi kebutuhan ternak karena jika kekurangan protein maka akan menyebabkan pertumbuhan terganggu (Kartasudjana dan Suprijatna, 2005). Protein berguna untuk membentuk jaringan tubuh, memperbaiki jaringan yang rusak, untuk keperluan berproduksi dan kelebihannya akan diubah menjadi energi. Protein yang masuk ke dalam tubuh ayam harus dipecah menjadi asam-asam amino terlebih dahulu sebelum diserap oleh tubuh. Asam amino yang harus ada atau harus diakankan dari ransum disebut asam amino esensial (dietary essential amino acid) (Widodo, 2010). Proses ini banyak membutuhkan energi. Makin tinggi jumlah protein yang diberikan maka jumlah energi metabolis yang dibutuhkan makin banyak. Hal ini berlaku juga pada saat periode produksi dimana ransum digunakan dengan imbangan energi-protein yang sempit dan pada saat laju produksi menurun maka digunakan imbangan energi-protein yang luas. Protein pertama kali dicerna pada proventrikulus dengan adanya glandular stomach yang mensekresikan pepsinogen dan HCl untuk memecah struktur tersier protein ransum. Segera setelah proteolisis dimulai oleh pepsin di usus halus, selanjutnya di rombak oleh bantuan enzim tripsin, dan kemotripsin. Penyempurnaan pencernaan protein dilakukan oleh erepsin (enzim proteolitik) dan menghasilkan asam amino, selanjutnya diabsorbsi (Zuprizal, 2006). Steiner et. al. (2008) menunjukkan bahwa konsumsi ransum cenderung turun dengan meningkatnya protein kasar dan energi metabolis. Oleh karena itu, jumlah energi metabolis dan protein atau asam amino harus diperhitungkan dengan baik. Untuk mengetahui kecukupan protein yaitu dengan mengukur keseimbangan nitrogen. Tinggi rendahnya kecernaan protein tergantung pada kandungan protein bahan pakan dan banyaknya protein yang masuk dalam saluan pencernaan. (Tilman et al., 1998). Zuprizal (2006) menjelaskan bahwa protein pertama kali dicerna pada proventrikulus dengan adanya glandular stomach yang mensekresikan pepsinogen dan HCl untuk memecah struktur tersier protein ransum. Segera setelah proteolisis dimulai oleh pepsin di usus halus, selanjutnya di rombak oleh bantuan enzim tripsin, dan kemotripsin. Penyempurnaan pencernaan protein dilakukan oleh erepsin (enzim proteolitik) dan menghasilkan asam amino, selanjutnya diabsorbsi. Kandungan serat kasar yang tinggi menyebabkan laju pakan dalam saluran pencernaan menjadi lambat, proses pencernaan lebih lama sehingga penyerapan nutrient menjadi lebih baik (Atmomarsono, 2000). Menurut Novalina (2009) bahwa gastrin dan cholecystokinin merupakan hormon yang membantu mengatur pencernaan di dalam tubuh. Kedua hormon tersebut berperan dalam cepat dan lambatnya pengosongan perut sehingga mempengaruhi konsumsi ransum karena semakin banyak ransum yang dikonsumsi maka semakin banyak pula protein yang masuk ke dalam tubuh menghasilkan pertumbuhan optimal. Protein ransum ternak termasuk dalam substansi yang mengandung nitrogen. Retensi nitrogen adalah jumlah konsumsi nitrogen dikurangi dengan ekskresi nitrogen dan nitrogen endogenous. Sejumlah nitrogen dalam protein ransum yang mampu ditahan dan dipergunakan oleh ternak dinamakan retensi nitrogen (Sibbald dan Wolynetz, 1985). Menurut Scott et al. (1982), perhitungan retensi nitrogen adalah untuk mengetahui nilai kecernaan protein suatu bahan organik bahan pakan. Nitrogen endogenous menurut Sibbald (1989) adalah nitrogen dalam ekskreta yang berasal dari selain bahan pakan yaitu peluruhan sel mukosa usus, empedu dan saluran pencernaan. Maghfiroh (2012) menjelaskan bahwa nilai kecernaan protein mempengaruhi retensi nitrogen karena banyaknya protein yang dapat diserap tubuh memiliki kesempatan untuk retensi nitrogen lebih banyak, sehingga pada akhirnya dapat meningkatkan pertambahan bobot badan. Kualitas protein akan mempengaruhi besarnya retensi nitrogen, semakin baik kualitas protein maka semakin baik pula tingkat retensi nitrogen (Scott et al., 1982). Tinggi rendahnya retensi nitrogen yang diberikan merupakan syarat untuk menunjang cepat lambatnya pertumbuhan ayam. Menurut Suthama (2010) peningkatan kualitas ransum ternyata dapat memperbaiki penampilan pertumbuhan dilihat dari pertambahan bobot badan dan massa protein daging karena terjadi peningkatan retensi nitrogen dan sintesis protein. Retensi nitrogen yang tinggi akan menghasilkan pertumbuhan ayam yang tinggi, sehingga produksi yang diharapkan diperoleh dalam waktu yang cepat. Faktor yang mempengaruhi retensi nitrogen yaitu konsumsi ransum, konsumsi protein, kualitas prot, serta imbangan energi dan protein.

2.5. Performa Produksi Ayam BroilerPengukuran bobot badan dapat menjadi salah satu kriteria untuk mengukur pertumbuhan pada ayam broiler. Pertambahan bobot badan merupakan manifestasi dari pertumbuhan yang dicapai selama penelitian (Yunilas, 2005). Pertambahan bobot badan merupakan kenaikan bobot badan yang dicapai oleh seekor ternak selama periode tertentu. Menurut Rose (1997), pertumbuhan meliputi peningkatan ukuran sel-sel tubuh akan peningkatan sel-sel individual dimana pertumbuhan itu mencakup empat komponen utama yaitu adanya peningkatan ukuran skeleton, peningkatan total lemak tubuh dalam jaringan adipose dan peningkatan ukuran bulu, kulit dan organ dalam. Pertambahan bobot badan diperoleh dengan pengukuran kenaikan bobot badan dengan melakukan penimbangan berulang dalam waktu tertentu misalnya tiap hari, tiap minggu, tiap bulan, atau tiap tahun (Tillman et al., 1991). Menurut Bell dan Weaver (2002) bahwa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan adalah galur ayam, jenis kelamin dan faktor lingkungan yang mendukung. Rasio efisiensi protein (protein efficiency ratio) adalah metode resmi dari AOAC (Assosiation Official of Analytical Chemist) dan banyak digunakan untuk menghitung kualitas protein (Tillman et al., 1991). Rasio efisiensi protein dinyatakan sebagai pertambahan bobot badan dibagi konsumsi protein (Sidadolog dan Yuwanta, 2009). Rasio efisiensi protein dipengaruhi oleh dua hal yaitu pertambahan bobot badan dan konsumsi protein (Mahfudz et al., 1997). Nuraini (2009), menambahkan bahwa jumlah ransum yang dikonsumsi menentukan besarnya pertambahan bobot badan yang dihasilkan. Dijelaskan lebih lanjut bahwa semakin bertambahnya umur akan menurunkan nilai REP karena konsumsi ransum meningkat tetapi pertambahan bobot badan relatif tetap, sehingga efisiensi protein menurun. Semakin tinggi nilai REP berarti semakin efisien ternak menggunakan protein, sehingga pada akhirnya akan berpengaruh juga pada pertumbuhan. Faktor yang mempengaruhi REP antara lain yaitu kualitas asam amino dalam ransum, konsentrasi protein dan energi ransum, serta umur.

BAB IIIMATERI DAN METODEPenelitian dilaksanakan Desember 2011 sampai Januari 2012 di kandang ternak unggas Fakultas Peternakan dan Pertanian dan analisis sampel ransum dan ekskreta dilakukan di Laboratorium Ilmu Nutrisi dan Pakan Universitas Diponegoro Semarang.

3.1.Ternak dan Ransum PenelitianPenelitian menggunakan ayam broiler DOC sebanyak 320 ekor, dimulai saat ayam berumur 7 hari dengan bobot badan rata-rata 95,344,12 g, dipelihara pada kandang battery. Peralatan penunjang penelitian adalah tempat ransum, tempat minum, lampu pijar (bohlam) sebagai alat bantu pemanas, dan timbangan digital. Ayam percobaan diberi ransum komersial starter (BR1) dan finisher (BR2). Kandungan nutrien dalam ransum dapat dilihat pada Tabel 3. Sampel ekskreta ditampung dari hasil pemberian ransum menggunakan Fe2O3 sebagai indikator, dan kandang dilengkapi kertas karton dan plastik untuk menampung ekskreta.

Tabel 3. Kandungan Nutrien Ransum Perlakuan Hasil AnalisisPeriodeEM*ProteinLemakSKCaPKadar AirKadar Abu

--kkal/kg------------------------------------ % ----------------------------------

Starter3167.6721.56.1140.90.513.46.65

Finisher3007.719350.910.8114.15.57

Sumber : *Dihitung berdasarkan rumus Balton (Lampiran 1).

3.2.Prosedur PenelitianPersiapan kandang dilakukan sebelum DOC datang dengan membersihkan dan menyiapkan perlengkapan yang digunakan dalam penelitian. Ransum diberikan ad libitium sampai ayam berumur satu minggu sebagai periode adaptasi, selanjutnya diberi perlakuan hingga pemotongan pada akhir penelitian. Bobot badan ditimbang seminggu sekali untuk menghitung pertambahan bobot badannya. Pencegahan penyakit melalui sanitasi dan vaksinasi serta pemberian vitachick untuk mencegah kemungkinan stress. Pemberian ransum 30% dan 40% dilakukan pada pukul 06.00 sampai 10.00 pagi dan pada malam hari pemberian ransum 60% dan 70% selama 4 jam (18.00 sore sampai 22.00 malam), 6 jam (18.00 sore sampai 24.00 malam) dan cahaya berselang setiap 2 jam mulai pukul 18.00 sore sampai pukul 06.00 pagi. Pembatasan pemberian ransum dimulai pukul 10.00 pagi sampai 18.00 sore. Pencahayaan pada malam hari dinyalakan serentak pada pukul 18.00 dan dimatikan sesuai perlakuan yaitu 4 jam, 6 jam dan cahaya berselang (2T:2G). Ayam kelompok kontrol diberi ransum pada pukul 06.00 pagi sampai 18.00 sore secara adlibitum dan malam hari tidak diberi ransum dan tanpa pencahayaan.Sampel ekskreta diambil dengan metode total koleksi selama 5 hari terakhir dari 5 ekor ayam setiap unit percobaan. Selama total koleksi, ransum dicampur Fe2O3. Ekskreta ditampung dengan nampan karton yang sudah dilapisi plastik dibagian bawah kandang. Ekskreta yang telah terkumpul disemprot dengan HCL 0,1N setiap 4 jam untuk mencegah menguapnya N. Sampel ekskreta kering dihomogenkan, kemudian ditimbang dan diambil secara komposit untuk dianalisis dengan metode Kjeldahl.

3.2.1.Parameter PenelitianParameter yang diamati dalam penelitian adalah protein tercerna, kecernaan protein, retensi nitrogen dan pertambahan bobot badan. Rumus perhitunganya adalah sebagai berikut :

Kecernaan protein (%) = (Tillman et al., 2005)

Retensi nitrogen (g) = intake N ( ekskreta N endogenous N) (Sibbald dan Wolynetz, 1984)Pertambahan bobot badan = bobot badan akhir bobot badan awal Rasio efisiensi protein (%) = pertambahan bobot badan (g) x 100% Konsumsi protein (g) (Sidadolog dan Yuwanta, 2009)3.3.Rancangan Percobaan dan Analisis DataPenelitian menggunakan rancangan RAL pola split plot 3 x 2 dengan 5 ulangan, faktor utama sebagai main plot adalah lama pencahayaan dan faktor kedua sebagai sub plot adalah pembatasan porsi ransum. Perlakuan yang diterapkan dalam penelitian sebagai berikut:Main plotT1 = Pencahayaan 4 jam pada malam hari.T2 = Pencahayaan 6 jam pada malam hari.T3 = Pencahayaan berselang (2T:2G) pada malam hari.

Sub plot : R1 = Porsi ransum 30% siang dan 70% malam.R2 = Porsi ransum 40% siang dan 60% malam.

Data hasil penelitian diolah secara statistik dengan program SAS, apabila ada pengaruh nyata (p0,05) antara pemberian porsi ransum dan lama pencahayaan berbeda terhadap kecernaan protein dan retensi nitrogen. Faktor lama pencahayaan berpengaruh nyata terhadap kecernaan protein dan retensi nitrogen pada broiler. Faktor lama pencahayaan menyebabkan nilai kedua parameter (kecernaan protein dan retensi nitrogen) T2 nyata lebih tinggi (P0,05).Menurut Lewis dan Gous (2007) pembatasan cahaya juga bertujuan memberikan kesempatan bagi broiler untuk beristirahat dari aktivitas makan untuk mendukung proses pencernaan didalam tubuh sehingga dapat berlangsung secara maksimal dan mengurangi pengeluaran energi. Perlakuan cahaya pada T2 memberikan pengaruh sedikit lebih baik dibanding perlakuan T1, tetapi nyata lebih baik dibanding T3 karena pemberian periode terang lebih lama. Pemberian cahaya yang lebih lama diterima oleh hipotalamus sehingga mempengaruhi kerja saluran pencernaan melalui rangsangan hormon yang berhubungan dengan proses pencernaan. Menurut Etches, (2000) bahwa mekanisme hormonal pada unggas, yaitu cahaya yang masuk dan diterima oleh mata lalu diteruskan ke sistem saraf pusat, selanjutnya merangsang hipotalamus mensekresikan releasing factor (faktor pembebas) yang berfungsi memacu hipofisis untuk mensekresikan hormon somatotropic hormone (STH) atau disebut juga hormon pertumbuhan (growth hormone), adrenocorticotrophic hormone (ACTH) dan thyrotropic stimulating hormone (TSH), serta hormon seksual. Pencahayaan memberikan kesempatan broiler untuk mengkonsumsi ransum. Banyaknya ransum yang dikonsumsi menunjukkan banyaknya protein yang masuk yang selanjutnya bersama serat kasar menjadi chyme yang dapat merangsang enzim diusus halus sehingga meningkatkan kecernaan protein. Zuprizal (2006) menjelaskan bahwa protein pertama kali dicerna pada proventrikulus dengan adanya glandular stomach yang mensekresikan pepsinogen dan HCl untuk memecah struktur tersier protein ransum. Segera setelah proteolisis dimulai oleh pepsin di usus halus, selanjutnya di rombak oleh bantuan enzim tripsin, dan kemotripsin. Penyempurnaan pencernaan protein dilakukan oleh erepsin (enzim proteolitik) dan menghasilkan asam amino, selanjutnya diabsorbsi. Setianto (2009) menyatakan bahwa secara umum gelap yang lebih panjang diasosiasikan dengan penurunan kecernaan protein, tetapi sebaliknya dengan periode terang lebih lama ayam dapat meningkatkan konsumsi ransum dan pada saat periode gelap hormon melantonin dapat bekerja lebih efektif sehingga kecernaan protein meningkat. Menurut Pang et al. (1996) bahwa selama gelap kelenjar pineal ayam mensekresikan hormon melatonin. Apeldorn et al. (1999) melaporkan bahwa melatonin merupakan hormon yang disekresikan dari kelenjar pineal yang terlibat dalam proses ritme harian suhu tubuh yang berhubungan dengan beberapa fungsi esensial metabolisme tubuh terkait dengan konsumsi ransum dan pencernaan protein.

Tabel 4. Rerata Kecernaan Protein dan Retensi Nitrogen Akibat Pemberian Porsi Ransum dan Lama Pencahayaan Berbeda pada Ayam Broiler

PembatasanLama PencahayaanRerata

T1T2T3

................%.................

Kecernaan ProteinR166,5373,6767,0369,08a

R266,5074,1268,5469,72a

Rerata66,51ab73,90a67,79b

Retensi NitrogenR11,992,322,042,12a

R22,232,231,942,13a

Rerata2,11ab2,27a1,99b

Keterangan: Nilai rerata dengan superskrip berbeda menunjukkan perbedaan nyata (P0,05) antara pembatasan porsi ransum dan lama pencahayaan terhadap pertambahan bobot badan. Faktor lama pencahayaan secara parsial mempengaruhi pertambahan bobot badan ayam broiler secara nyata (P