skrip si
DESCRIPTION
STRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kandidiasis adalah suatu infeksi akut atau subakut yang disebabkan oleh
Candida albicans dari spesies Candida yang dapat menyerang berbagi jaringan
tubuh. Beberapa contoh kandidiasis yaitu kandidiasis oral atau oral trush,
kandidiasis vaginitis, kandidiasis intertriginosa biasanya pada daerah lipatan kulit
seperti ketiak, payudara, lipat paha, antara jari-jari tangan dan kaki (Siregar,
2005).
Jamur Candida dapat hidup di dalam tubuh manusia, sebagai parasit atau
saprofit di dalam alat pencernaan, alat pernapasan, atau vagina orang sehat. Pada
keadaan tertentu, sifat Candida berubah menjadi patogen dan menyebabkan
penyakit yang disebut kandidiasis (Siregar, 2005).
Jamur yang menyebabkan penyakit pada manusia seperti pada kulit, rambut,
kuku dan selaput lendir adalah jamur serupa ragi yaitu Candida albicans. Candida
albicans adalah bagian dari flora normal manusia, tetapi pada keadaan tertentu
dapat bermultiplikasi secara berlebihan dan menimbulkan gejala (Corwin, J.E,
2009).
Terapi obat untuk infeksi jamur Candida albicans dapat dilakukan secara
medika mentosa. Pengobatan medika mentosa memang memberikan hasil yang
cukup memuaskan tetapi, adanya efek samping obat seperti demam, muntah,
kejang otot, dan hipotensi dapat menyebabkan kegagalan terapi, dikarenakan
terapi tersebut tidak dilanjutkan lagi (Tietz dan Vulhvo, 2010).
Infeksi Candida albicans dapat diatasi dengan menggunakan obat antijamur
yang bisa didapat dengan atau tanpa resep dokter, antara lain antijamur polyene,
antijamur azole, flucytosine, dan antijamur echynocandin. Obat-obatan tersebut
mengganggu keutuhan membran ergosterol atau dinding sel jamur yang pada
akhirnya mengarah pada kematian Candida albicans. Meskipun demikian, masih
banyak penduduk Indonesia yang lebih memilih bahan alami untuk mengatasi
1
2
keluhan kesehatan mereka, walaupun pilihan terapi yang tersedia terbukti efektif
(Kelpser, 2001).
Menurut Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, obat tradisional adalah
bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan
mineral, sediaan sarian (galenik), atau campuran dari bahan tersebut yang secara
turun temurun telah digunakan untuk pengobatan dan dapat diterapkan sesuai
dengan norma yang berlaku di masyarakat (Kemenkes RI, 2012). Dewasa ini telah
berkembang penggunaan obat tradisional sebagai pengobatan alternatif yang
dianggap lebih aman dibandingkan zat kimia lainnya. Salah satu obat tradisional
yang biasa digunakan adalah jeruk nipis (Citrus aurantifolia) (Syukur, 2003).
Jeruk nipis (Citrus aurantifolia) adalah sejenis tanaman perdu yang tumbuh
di Indonesia. Pada jeruk nipis (Citrus aurantifolia) terkandung banyak senyawa
kimia yang bermanfaat. Beberapa hasil penelitian ditemukan bahwa jeruk nipis
(Citrus aurantifolia) memiliki aktivitas antimikroba yang tinggi. Hal ini terlihat
dari kemampuannya dalam menghambat pertumbuhan bakteri dan jamur (Ibukun
et al., 2007).
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis perlu mengembangkan ekstrak jeruk
nipis (Citrus aurantifolia) sebagai salah satu pengobatan tradisional atau
pengobatan alternatif terhadap penyakit infeksi Candida albicans. Penelitian akan
dilakukan dengan pengukuran diameter zona hambat melalui pengamatan kadar
hambat minimal sesuai dengan konsentrasi ekstrak yang telah ditentukan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan teori di atas maka dapat diperoleh rumusan masalah, apakah
pemberian ekstrak jeruk nipis (Citrus aurantifolia) dapat menghambat
pertumbuhan Candida albicans ?
3
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui daya hambat ekstrak jeruk
nipis (Citrus aurantifolia) terhadap pertumbuhan Candida albicans secara in
vitro.
2. Tujuan Khusus
Mengetahui kadar hambat minimal ekstrak jeruk nipis (Citrus
aurantifolia) terhadap Candida albicans.
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi peneliti dapat memberikan manfaat untuk menambah pengetahuan serta
dapat mengembangkan ilmu pengetahuan yang telah diperoleh.
2. Bagi masyarakat dapat memberikan informasi kepada masyarakat tentang
manfaat jeruk nipis (Citrus aurantifolia) sebagai pengobatan alternatif untuk
penyakit infeksi jamur.
3. Sebagai syarat bagi peneliti untuk menyelesaikan proses pendidikan di
Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Tadulako.
4. Bagi peneliti lain dapat sebagai sumber acuan untuk penelitian selanjutnya.
E. Keaslian Penelitian
Penelitian mengenai uji daya hambat ekstrak jeruk nipis (Citrus aurantifolia)
terhadap pertumbuhan Candida albicans secara in vitro di Fakultas Kedokteran
dan Ilmu Kesehatan belum pernah dilakukan sebelumnya. Ada beberapa
penelitian mengenai penelitian uji daya hambat ekstrak jeruk nipis (Citrus
aurantifolia) terhadap pertumbuhan beberapa bakteri dan jamur telah dilakukan
yaitu :
4
1. Razak, Djamal dan Revilla melakukan penelitian mengenai daya hambat
air perasan buah jeruk nipis terhadap pertumbuhan bakteri Staphylococcus
aureus. Hasil penelitian membuktikan bahwa air perasan jeruk nipis
memiliki daya hambat, di mana semakin besar konsentrasi air perasan
buah jeruk nipis dan semakin lama kontaknya dengan kuman, maka daya
hambat air perasan buah jeruk nipis terhadap bakteri Staphylococcus
aureus semakin baik.
2. Cut nurkalimah melakukan penelitian uji kepekaan bakteri Stapylococcus
aureus dan Escherichia coli terhadap air jeruk nipis (Citrus aurantifolia)
dengan menggunakan metode difusi cakram. Penelitian ini membuktikan
bahwa air jeruk nipis (Citrus aurantifolia) memiliki efek antibakteri
terhadap pertumbuhan Stapylococcus aureus dan Escherichia coli serta
tidak terdapat perbedaan signifikan antara efek air jeruk nipis (Citrus
aurantifolia) terhadap pertumbuhan Stapylococcus aureus dan Escherichia
coli.
3. Agustina melakukan penelitian uji daya hambat ekstrak jeruk nipis (Citrus
aurantifolia) terhadap Malassezia sp. Hasil penelitian membuktikan bahwa
dari 30 tabung biakan jamur (+) Malassezia sp, pada media Saboround
Dextros Agar (SDA) olive oil dengan air perasan jeruk lemon 25%, 21
tabung (70%) dinyatakan pertumbuhan Malassezia sp. (+) dan 9 tabung
(30%) dinyatakan pertumbuhan Malassezia sp. (-).
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Telaah Pustaka
1. Jeruk Nipis (Citrus Aurantifolia)
a. Taksonomi
Jeruk nipis (Citrus aurantifolia) juga dikenal dengan sinonim Limonia
aurantifolia. Produktivitas jeruk nipis (Citrus aurantifolia) sangat
tergantung dari umur, kondisi tanaman, keadaan iklim, kesuburan tanah
dan pemeliharaan tanaman. Jeruk nipis (Citrus aurantifolia) bisa berbuah
dan berbunga secara serentak dan bisa berlangsung sepanjang tahun. Buah
ini memiliki beberapa nama yang berbeda di Indonesia, antara lain jeruk
nipis (Sunda), jeruk pecel (Jawa), jeruk dhurga (Madura), lemon (Bali),
mudutelong (Flores) dan lain sebagainya (Sarwono, 2001).
Adapun klasifikasi ilmiah dari jeruk nipis adalah sebagai berikut
(Ferguson, 2002) :
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledonae
Ordo : Rutales
Famili : Rutaceae
Genus : Citrus
Spesies : Citrus aurantifolia (Cristm.) Swingle
5
6
Gambar 2.1 Buah jeruk nipis (Citrus aurantifolia)
Sumber : (Fetarosana I, 2012).
b. Morfologi Tanaman
Jeruk nipis (Citrus aurantifolia) termasuk salah satu jenis Citrus yang
termasuk jenis tumbuhan perdu yang banyak memiliki dahan dan ranting.
Tingginya sekitar 0,5-3,5 m. Batang pohonnya berkayu ulet, berduri dan
keras, sedangkan permukaan kulit luarnya berwarna tua dan kusam.
Daunnya majemuk, berbentuk elips dengan pangkal membulat. Bunganya
berukuran majemuk yang tumbuh di ketiak daun atau di ujung batang
dengan diameter 1,5-2,5 cm. Buahnya berbentuk bulat sebesar bola
pingpong dengan diameter 3,5-5 cm, berwarna (kulit luar) hijau atau
kekuning-kuningan. Buah jeruk nipis yang sudah tua rasanya asam.
Tanaman jeruk umumnya menyukai tempat-tempat yang dapat
memperoleh sinar matahari langsung (Dalimartha, 2006).
c. Sifat dan Kandungan Kimia
Buah jeruk nipis (Citrus aurantifolia) mengandung bahan kimia
diantaranya asam sitrat sebanyak 7-7,6%, mineral, vitamin B1, minyak
atsiri atau essensial oil. Minyak atsiri sebesar 7% mengandung sitrat
limonen, geranil asetat, cadinen, linalin asetat, flavonoid, seperti poncirin,
hesperidine, rhoifolin, dan naringin. Selain itu, jeruk nipis (Citrus
aurantifolia) juga mengandung vitamin C sebanyak 27 mg/100 g jeruk, Ca
sebanyak 40mg/100 g jeruk dan fosfat sebanyak 22 mg (Hariana, 2008).
Berdasarkan daftar komposisi bahan makanan, yang dikeluarkan Lembaga
Makanan Rakyat Departemen Kesehatan, setiap 100 gram jeruk nipis
(Citrus aurantifolia) mengandung 86,0 gram air, 0,8 gram protein, 0,3
5
7
gram lemak, 12,3 gram karbohidrat, 40 mg kalsium, 0,6 mg zat besi, 0,04
mg vitamin B1, dan 37 kalori energi (Sarwono, 2001).
Kandungan jeruk nipis (Citrus aurantifolia) tersusun oleh berbagai
macam zat aktif, diantaranya Limonen, β-pinen dan γ-terpinen yang
mempunyai sifat antimikotik. Limonen yang merupakan senyawa
triterpenoid yang terkandung didalam ekstrak jeruk nipis (Citrus
aurantifolia) dapat menghancurkan struktur-struktur pada dinding Candida
albicans. Dinding sel Candida albicans yang bersifat antigenik ini sendiri
berfungsi sebagai pelindung dari lingkungannya dan berperan pula pada
penempelan serta pertumbuhan kolonisasi jamur (Katzer, 2002). Penelitian
Pawar et al., (2011) melaporkan β-pinen memiliki aktivitas antifungi yang
kuat terhadap Candida albicans. β-pinen dan γ-terpinen merupakan
golongan triterpenoid.
Minyak atsiri (essensial oil, eteris, minyak terbang, volatile oil) adalah
cairan pekat yang tidak larut air, mengandung senyawa-senyawa beraroma
yang berasal dari berbagai tanaman dan terdapat dalam bagian tanaman
(daun, bunga, buah, biji, batang/kulit, dan akar). Tanaman genus Citrus
merupakan salah satu tanaman penghasil minyak atsiri yang merupakan
suatu substansi alami yang telah dikenal memiliki efek sebagai antibakteri.
Prinsip kerjanya dapat memberikan aktivitas antimikroba yang spesifik
khususnya untuk bakteri Stapylococcus aureus dan Escherichia coli.
Minyak atsiri yang dihasilkan oleh tanaman yang berasal dari genus Citrus
sebagian besar mengandung terpen, siskuiterpen alifatik, turunan
hidrokarbon teroksigenasi, dan hidrokarbon aromatik (Hariana, 2008).
Salah satu kandungan senyawa dari minyak astrisi adalah limonen
yang merupakan komponen aktif alam penting yang terdiri atas komponen
triterpinoid teroksidasi. Pada tanaman jeruk nipis (Citrus aurantifolia)
limonen diproduksi di daun dan ditransfer ke buah dan biji dengan
konsentrasi tertinggi pada biji selama masa pematangan buah. Pada daun
dan buah kandungan total limonen meningkat selama masa pertumbuhan.
Limonen adalah cairan berwarna dan memiliki bau yang kuat, yang
8
diklasifikasikan dalam monoterpena. Nama limonen diambil dari tanaman
asalnya yaitu lemon. Limonen relatif stabil dan pada suhu tinggi dapat
menguraikan limonen menjadi isoprena. Limonen terbentuk dari pirofosfat
geranyl, melalui siklisasi dari neryl karbokation yang mengalami
kehilangan sebuah proton dari kation untuk membentuk limonen (Devy et
al., 2010).
Jeruk nipis (Citrus aurantifolia) dapat dijadikan obat tradisional yang
berkhasiat mengurangi demam, batuk, infeksi saluran kemih, ketombe,
menambah stamina, sebagai anti-inflamasi dan antimikroba, asma,
menghilangkan bau badan, serta anti mabuk (Sarwono, 2001).
2. Jamur
Jamur adalah mikroorganisme yang mempunyai inti, spora, tidak
berklorofil, dinding sel terdiri atas sellulosa, khitin atau kombinasi keduanya,
berbentuk filamen atau benang-benang bercabang yang bersekat atau tidak
bersekat. Jamur termasuk tumbuh-tumbuhan filum talofita yang tidak
mempunyai akar, batang, dan daun. Jamur tidak bisa mengisap makanan dari
tanah dan tidak mempunya klorofil sehingga tidak dapat mencerna makanan
sendiri oleh karenanya hidup sebagai parasit atau saprofit pada organisme lain
(Siregar, 2005).
Jamur dapat berkembang biak secara vegetatif (aseksual) dan generatif
(seksual). Perkembang biakan aseksual dapat dilakukan dengan fragmentasi
miselium (thalus) dan pembentukan spora aseksual. Ada 4 cara perkembang
biakan dengan fragmentasi thalus yaitu, (a) dengan pembentukan tunas,
misalnya pada khamir, (b) dengan blastospora, yaitu tunas yang tumbuh
menjadi spora, misalnya pada Candida sp., (c) dengan arthrospora (oidium),
yaitu terjadinya segmentasi pada ujung-ujung hifa, kemudian sel-sel
membulat dan akhirnya lepas menjadi spora, misalnya pada Geotrichum sp.,
dan (d) chlamydospora, yaitu pembulatan dan penebalan dinding sel pada hifa
vegetatif, misalnya pada Geotrichum sp (Sri, 2003).
9
3. Candida
Candida adalah anggota flora normal terutama pada saluran pencernaan,
juga pada saluran pernapasan, vagina, uretra, kulit dan di bawah jari-jari kuku
tangan dan kaki. Jamur Candida bisa menjadi dominan dan menyebabkan
kondisi patologik ketika sistem imun tubuh menurun baik secara lokal
maupun sistemik. Candida dapat menimbulkan invasi pada aliran darah,
tromboflebitis, endokarditis, atau infeksi pada mata serta organ lain yang
masuk secara intravena, contohnya pada pemasangan kateter (Magdalena,
2009).
Beberapa spesies ragi genus Candida mampu menyebabkan kandidiasis.
Spesies Candida berkoloni di permukaan mukosa dalam keadaan normal dan
selalu ada risiko infeksi endogen. Infeksi Candida dapat terjadi melalui
peningkatan jumlah Candida lokal dan adanya kerusakan pada kulit atau
epitel yang memungkinkan invasi lokal oleh ragi dan pseudohifa (Jawets et
al., 2008).
4. Candida albicans
a. Klasifikasi Ilmiah
Kingdom : Fungi
Phylum : Ascomcota
Subphylum : Sacchaomycotina
Class : Saccharomycees
Ordo : Saccharomyceales
Family : Saccharomycetacee
Genus : Candida
Spesies : Candida albicans
Sinonim : Candida stellatoidea atau Oidium albicans
(Tortora, 2002).
Candida albicans merupakan mikroorganisme bersel satu,
berbentuk bulat, dan berdinding halus. Pseudohifa dan hifa merupakan
satu kesatuan yang berbentuk filamen dari suatu jamur. Candida albicans
10
membentuk koloni berwarna putih. Candida albicans memiliki
kemampuan untuk tumbuh dalam dua bentuk yang berbeda, yaitu sebagai
sel tunas yang akan berkembang menjadi blastospora (sel khamir) dan
sebagai hifa yang akan membentuk pseudohifa (Ali, 2008).
Gambar 2.2 Candida Albicans
Sumber : (Salvo Di, 2010).
Gambar 2.3 Candida albicans pada agar MacConkey
Sumber : (Silvermedicine, 2005).
Candida albicans melakukan asimilasi karbohidrat untuk
mendapatkan sumber karbon dan energi untuk melakukan pertumbuhan
sel. Candida albicans menggunakan glukosa, maltosa, dan sukrosa melalui
11
proses asimilasi ini. Selain proses asimilasi, Candida albicans juga
melakukan proses fermentasi pada glukosa, maltosa dan sukrosa
(Tjampakasari, 2006).
Tabel 2.1 Karakter makrobiologi dan mikrobiologi Candida albicans
Metode indentifikasi Karakter makrobiologi Karakter mikrobiologi
Potato dextrose agar Berbentuk bulat,
permukaan halus, dan
berwarna putih
-
Uji natif - Blastospora, hifa dan
pseudohifa
Ujia tabung kecambah - Tabung kecambah
Sugar assimilation
medium
Glukosa (+)
Sukrosa (+)
Maltosa (+)
Galaktosa (+)
Laktosa (+)
-
Corn meal agar - Khlamidospora
Sumber : (Marinho et al., 2010)
b. Morfologi dan Identifikasi
Pada biakan atau jaringan, spesies Candida tumbuh sebagai sel ragi
tunas, berbentuk oval. Spesies tersebut juga membentuk pseudohifa ketika
tunas terus tumbuh tetapi gagal lepas, menghasilkan rantai sel memanjang
yang menyempit atau mengerut pada septa di antara sel (Jawets et al.,
2008).
Candida albicans bersifat dimorfik selain ragi dan pseudohifa, spesies
tersebut juga dapat menghasilkan hifa sejati. Pada medium agar atau dalam
24 jam suhu 37°C atau suhu ruangan, spesies Candida menghasilkan
koloni lunak berwarna krem dengan bau seperti ragi. Pseudohifa tampak
sebagai pertumbuhan yang terendam di bawah permukaan agar. Dua uji
morfologi sederhana dapat membedakan Candida albicans, patogen paling
sering ditemukan, dari spesies Candida lain (Jawets et al., 2008).
12
c. Struktur Antigen
Penggunaan antiserum terabsorpsi telah menunjukan dua serotipe
Candida albicans, a) mencakup Candida tropocalis dan b) banyak antigen
lain yang telah digolongkan termasuk protease yang disekresi, enolase
imunodominan, dan protein (Jawets et al., 2008).
Ekstrak Candida untuk tes serologik dan kulit tampaknya terdiri atas
campuran antigen. Antibodi ini dapat diketahui melalui presipitasi,
imunodifusi, imunoelektroforesis balik, aglutinasi lateks dan tes-tes
lainnya, tetapi pengenalannya antibodi sirkulasi ini tidak terlalu membantu
dalam mendiagnosis penyakit akibat Candida. Pada Kandidiasis yang
tersebar sering terdapat antigen mannan dari Candida yang beredar dan
kadang-kadang dapat ditemukan antibodi presipitasi terhadap antigen
nonmannan. Sebenarnya semua serum manusia normal akan mengandung
antibodi IgG terhadap Candida mannan (Jawets et al., 2008).
5. Kandidiasis
a. Definisi dan Etiologi
Kandidiasis merupakan infeksi kulit dan selaput lendir yang subakut
maupun akut yang disebabkan oleh jamur serupa ragi dari genus Candida
(Zakaria et.al, 2005). Candida albicans merupakan penyebab utama
kandidiasis, selain itu terdapat beberapa faktor predisposisi yang berkaitan
dengan infeksi Candida albicans (Djuandi et al., 2009) :
a) Faktor endogen
a) Kehamilan
b) Kegemukan
c) Endokrinopati
d) Usia
e) Faktor nutrisi
b) Faktor eksogen
a) Iklim dan kelembaban.
b) Kebersihan kulit
13
c) Faktor mekanis
d) Perilaku
b. Patogenesis
Permulaan infeksi jamur Candida terjadi ketika sistem imun mulai
menurun akibat beberapa faktor, yang menyebabkan penurunan mikroba
normal yang terdapat pada tubuh manusia. Mikroba normal dapat tumbuh
secara normal pada saluran pernafasan, saluran pencernaan maupun
genital. Candida albicans merupakan mikroba normal yang dapat
meningkat untuk menjadi jamur patogen. Candida akan merubah
bentuknya dari blastospora menjadi pseudohifa, kemudian jamur ini akan
mulai memproduksi protein berupa ALS (Aglutinin Like Sequence).
Protein inilah yang menyebabkan Candida albicans mampu melakukan
adhesi pada epitel dan membentuk kolonisasi. Pada sel membran jamur
terdapat ergosterol fosfolipid yang akan membelah menjadi fosfolipase,
perubahan menjadi fosfolipase ini yang akan menfasilitasi invasi jamur
pada jaringan tubuh (Morgan dan Akpan, 2002).
6. Antijamur
Obat antijamur yang saat ini tersedia dibagi dalam beberapa kelompok:
obat sistemis (oral atau parenteral) untuk infeksi sistemis, obat oral untuk
infeksi mukokutan, dan obat topikal untuk infeksi mukokutan. Obat antijamur
sistemis untuk infeksi sistemis (Katzung, 2011) :
a. Amfoterisin B
merupakan agen antijamur dengan spektrum kerja yang paling luas.
Obat ini bekerja terhadap ragi-ragian yang bermakna secara klinis, seperti
Candida albicans dan Cryptococcus neoformans; organisme yang
menyebabkan mikosis endemik, seperti Histoplasma capsulatum termasuk
Aspergillus fumigatus. Beberapa organisme jamur seperti Candida
lusitaniae dan Pseudallescheria boydii menunjukan resistensi amfoterisin
B intrinsik.
14
b. Flusitosin
Obat yang memiliki spektrum yang terbatas pada Cryptococcus
neoformans, dan beberapa spesies Candida. Flusitosin tidak digunakan
sebagai agen tunggal karena menunjukan sinergi dengan agen lain dan
untuk mencegah timbulnya resistensi sekunder.
c. Golongan Azol
Senyawa sintetik yang dapat digolongkan sebagai imidazol atau
triazol menurut jumlah atom nitrogen. Imidazol terdiri atas ketokonazol,
mikonazol, dan klotrimazol. Dua obat terakhir yang saat ini hanya untuk
terapi topikal. Triazol meliputi itrakonazol, flukonazol dan vorionazol.
Mekanisme kerja golongan azol dengan mengganggu sinstesis
ergosterol. Obat tersebut menghambat sitokrom P-450 dependen 14α-
demetilase lanosterol, yang merupakan prekursor ergosterol pada jamur
dan kolestrol pada sel mamalia. Namun, sitokrom P450 jamur kira-kira
100-1000 kali sensitif terhadap azol daripada dalam sistem mamalia.
Berbagai azol dibuat untuk memperbaiki efektivitas, avaibilitas, dan
farmakokinetiknya serta mengurangi efek sampingnya. Golongan azol
adalah obat yang bersifat fungistatik (Jawets et al., 2008).
Indikasi penggunaan antijamur azol akan menjadi lebih luas apabila
hasil studi jangka panjang, serta azol baru telas tersedia. Ketokonazol
berguna dalam mengobati kandidiasis mukokutan kronik, dermatofitosis,
koksidioidomikosis, parakoksidioidomikosis, dan histoplasmosis. Berbagai
azol, flukonazol mempunyai kemampuan penetrasi paling baik ke sistem
saraf pusat. Obat ini digunakan sebagai pengobatan demam untuk
meningitis akibat kriptokokus dan koksidioides. Kandidiasis orofaring
pada penderita AIDS dan kandidemia pada pasien imunokompeten juga
dapat diobati dengan flukonazol. Itrakonazol saat ini agen pilihan pertama
untuk histoplasmosis dan blastomikosis serta kasus tertentu
koksidioidomikosis, parakoksidioidomikosis, dan aspergilosis. Obat ini
juga telah terbukti efektif untuk pengobatan kromomikosis dan
onikomikosis yang disebabkan oleh dermatofit dan kapang lain. Triazol
15
terbaru adalah vorikonazol yang dapat dberikan melalui oral atau intravena
dan memperlihatkan spektrum aktivitas yang luas terhadap banyak kapang
serta ragi, terutama aspergilosis, fusatriosis, pseudallescheriasis, dan
patogen sistemik jarang lainnya (Jawets et al., 2008).
Tabel 2.2 Beberapa kelompok obat antijamur dan sasaran kerja yang
dilakukan.
Sumber : (Bossche et al., 2003).
d. Mekanisme Kerja Obat Antijamur
1) Sterol membran plasma : ergosterol dan sintesis ergosterol. Ergosterol
adalah komponen penting yang menjaga integritas membran sel jamur
dengan cara mengatur fluiditas dan keseimbangan dinding membran
sel jamur. Kerja obat antijamur secara langsung (golongan polien)
adalah menghambat sintesis ergosterol dimana obat ini mengikat secara
langsung ergosterol dan channel ion di membran sel jamur, hal ini
menyebabkan gangguan permeabilitas berupa kebocoran ion kalium
dan menyebabkan kematian sel. Sedangkan kerja jamur secara tidak
langsung (golongan azol) adalah mengganggu biosintesis ergosterol
Golongan Obat Target
Polyenes Ampoterisin B (intravena, topikal,
oral)
Natacimin (topikal)
Nistatin (topikal,oral)
Fungsi
membran
barrier
Azole
a. Imidazol
b. Triazol
Klotriamzol (topikal)
Ekonazol (topikal)
Enilkonazol (topikal)
Ketokonazol (topikal,oral)
Mikonazol (topikal)
Parkonazol (oral)
Flukonazol (oral, intravena)
Itrakonazol (oral, intravena)
Biosintesis
ergosterol
Pyrimidin Flusitosin (oral, intravena) Sintesis
DNA dan
RNA
16
dengan cara mengganggu demetilasi ergosterol pada jalur sitokrom
P450 (demetilasi prekursor ergosterol) (Gubbins, 2009).
2) Sintesis asam nukleat. Kerja obat antijamur yang mengganggu sintesis
asam nukleat adalah dengancara menterminasi secara dini rantai RNA
dan menginterupsi sintesis DNA. Sebagai contoh obat antijamur yang
mengganggu sintesis asam nukleat adalah 5flusitosin (5 FC), dimana 5
FC masuk ke dalam inti sel jamur melalui sitosinpermease. Di dalam
sel jamur 5 FC diubah menjadi 5 fluoro uridin trifosfat
yangmenyebabkan terminasi dini rantai RNA. Trifosfat ini juga akan
berubah menjadi 5fuoro deoksiuridin monofosfat yang akan
menghambat timidilat sintetase sehingga memutus sintesis DNA
(Gubbins, 2009).
3) Unsur utama dinding sel jamur adalah glukans. Dinding sel jamur
memiliki keunikan karena tersusun atas mannoproteins, kitin, α dan β
glukan yang menyelenggarakan berbagai fungsi, di antaranya menjaga
rigiditas dan bentuk sel, metabolisme, pertukaran ion pada membran
sel. Sebagai unsur penyangga adalah β glukan. Obat antijamur seperti
golongan ekinokandin menghambat pembentukan β1 glukan tetapi tidak
secara kompetitif. Sehingga apabila β glukan tidak terbentuk, integritas
struktural dan morfologi sel jamur akan mengalami lisis (Gubbins,
2009).
7. Ekstraksi
Ekstrak adalah sediaan yang diperoleh dengan mengekstraksi senyawa
aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani dengan menggunakan pelarut
yang sesuai. Ekstrak bisa dalam bentuk ekstrak kering, ekstrak kental, dan
ekstrak cair yang proses pembuatannya disesuaikan dengan bahan aktif yang
dikandung serta maksud penggunaannya, apakah akan dibuat menjadi sediaan
dalam bentuk kapsul, tablet, cairan obat, pil, dan lain-lain (Hayati, 2005).
17
Pelarut untuk ekstraksi terdiri atas :
a. Pelarut Non polar : N-heksan, Diklorometan, Kloroform, Benzena, dietil
eter.
b. Pelarut polar : Air, metanol, etanol.
c. Pelarut Semipolar : Aseton dan etil asetat
Terdapat beberapa macam metode ekstraksi, diantaranya adalah maserasi,
perkolasi dan sokletasi (Depkes RI, 2000).
a. Cara Dingin
1) Maserasi
Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia dengan
menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau
pengadukan pada suhu ruangan. Maserasi kinetik berarti dilakukan
pengadukan yang kontinu (terus menerus). Remaserasi berarti
dilakukan pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan
penyaringan maserat pertama dan seterusnya. Hasil ekstraksi disebut
maserat, dan digunakan untuk senyawa kimia termolabil.
2) Perkolasi
Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai
sempurna yang umum dilakukan pada temperatur ruangan. Proses
terdiri dari tahapan pengembangan bahan, tahap maserasi antara tahap
perkolasi sebenarnya (penetasan/penampungan ekstrak), terus-menerus
sampai diperoleh perkolat yang jumlahnya 1-5 kali bahan.
b. Cara panas
1) Refluks
Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temparatur titik
didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif
konstan dengan adanya pendingin balik. Umumnya dilakukan
pengulangan proses pada residu pertama sampai 3-5 kali sehingga dapat
termasuk proses ekstraksi sempurna.
18
2) Sokletasi
Sokletasi adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru
yang umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi
terus-menerus dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya
pendingin balik.
3) Digesti
Digesti adalah maserasi kinetik dengan adanya pengadukan terus
menerus pada temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan,
yaitu secara umum dilakukan pada temperatur 40-50◦ C.
4) Infus
Infus adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas
air (bejana infus tercelup dalam air mendidih, temperatur terukur 96-
98◦C) selama waktu tertentu (15-20 menit).
8. Uji fitokimia
Pengujian fitokimia adalah pengujian kandungan kimia secara kualitatif
untuk mengetahui golongan senyawa yang terkandung dalam suatu tumbuhan.
Kandungan kimia yang memiliki khasiat bagi kesehatan yang biasanya
diperiksa antara lain senyawa polifenol, kuinon, alkaloid flavonoid,
triterpenoid, sterol dan saponin (Harborne, 1987 dalam Hasiholan, 2012).
Salah satu uji yang dilakukan dala fitokimia adalah triterpenoid.
Kandungan triterpenoid terdapat dalam kandungan jeruk nipis (Citrus
aurantifolia). Tahap dalam uji fitokimia dengan mengambil ekstrak yang
diuapkan ditambah kloroform dan dikocok kuat. Tambahkan asam klorida
kemudian disaring, lapisan paling atas akan diuji dengan reagen Liebemann
Bucchard. Hasil positif triterpenoid ditandai dengan terbentuknya warna merah
(Harborne, 1987 dalam Hasiholan, 2012).
19
9. Kerangka Teori
Gambar 2.4 Kerangka Teori Penelitian
Sumber : (Morga dan Akpan, 2010; Hamid et al., 2013).
Candida albicans Jeruk nipis (Citrus
aurantifolia)
Invasi lokal
blastospora menjadi
pseudohifa pada host
Sitrat limonen, β-
pinen dan γ-terpinen
Antijamur
Kandidiasis
Gangguan struktur
jamur
Peningkatan Candida
albicans
Pertumbuhan jamur
terhambat
Kerusakan struktur
membran jamur
Penurunan
sistem imun
Minyak atsiri atau
Esenssial Oil
Menghambat sintesis
ergosterol dinding
jamur
20
10. Kerangka Konsep
Gambar 2.5 Kerangka konsep penelitian
B. Landasan Teori
Jeruk nipis (Citrus aurantifolia) merupakan salah satu tanaman obat
keluarga yang digunakan pada masyarakat, baik untuk bumbu masakan
maupun obat-obatan dari bagian perasan air jeruk nipisnya (Razak et al., 2013).
Pada jeruk nipis terkandung banyak bahan kimia termasuk ekstrak minyak
esensial yang mampu bekerja menghambat beberapa jamur seperti Aspergillus
niger dan Candida albicans (Ibukun et al., 2007).
Limonen yang merupakan senyawa triterpenoid dapat menghancurkan
struktur-struktur pada dinding Candida albicans. Dinding sel Candida albicans
yang bersifat antigenik ini sendiri berfungsi sebagai pelindung dari
lingkungannya dan berperan pula pada penempelan serta pertumbuhan
kolonisasi jamur. β-pinene dan γ-terpinen merupakan golongan triterpenoid.
Golongan triterpenoid ini berkerja menghambat sintesis ergosterol yang terjadi
pada membran sel. Ergosterol merupakan salah satu komponen penting pada
membran sel (Hamid et al., 2013).
Candida albicans merupakan organisme komensal yang hidup bersama
dengan mikroba flora normal dalam keadaan seimbang. Namun ketika ada
gangguan keseimbangan maka jamur ini dapat berpoliferasi, berkolonisasi,
menginvasi jaringan dan menghasilkan infeksi yang dikenal dengan
kandidiasis. Kandidiasis dapat terjadi dibeberapa tempat pada tubuh manusia
normal, klasifikasi jenis infeksi dari kandidiasis sesuai dengan tempat dimana
terjadinya infeksi. Infeksi jamur paling sering banyak ditemukan disebabkan
oleh jamur ini yaitu Candida albicans (Hamid et al., 2013).
Variabel Terikat
Pertumbuhan Candida
albicans secara In Vitro
Variabel Bebas
Ekstrak jeruk nipis
(Citrus aurantifolia)
21
C. Hipotesis
H1 : Pemberian ekstrak jeruk nipis (Citrus aurantifolia) dapat menghambat
pertumbuhan Candida albicans.
H0 : Pemberian ekstrak jeruk nipis (Citrus aurantifolia) tidak dapat
menghambat pertumbuhan Candida albicans.
22
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Rancangan Penelitian
Penelitian yang dilakukan adalah jenis penelitian eksperimental murni (True
experiment) dengan desain penelitian Post Test Only Control Group Design. Pada
penelitian ini menggunakan metode aktivitas jamur yaitu metode difusi dengan
tujuan akhir untuk mengetahui seberapa banyak jumlah zat antijamur yang
diperlukan untuk menghambat pertumbuhan jamur. Perlakukan penelitian akan
dilakukan pengamatan terhadap kelompok kontrol dan kelompok perlakuan.
B. Populasi dan Sampel
Pada penelitian ini menggunakan populasi yaitu jamur Candida albicans
dengan menggunakan sampel penelitian adalah biakan Candida albicans yang
diperoleh dari Laboratorium Kesehatan Daerah Sulawesi Tengah.
Penelitian ini akan dibagi dalam 4 kelompok perlakuan dengan konsentrasi
ekstrak jeruk nipis (Citrus aurantifolia) yang berbeda yaitu 25 %, 50 %, 75 % dan
100 %. Sedangkan untuk kelompok sebagai kontrol positif dengan pemberian
antijamur yaitu ketokonazol dan kelompok sebagai kontrol negatif dengan
pemberian akuabides. Jumlah sampel minimal yang akan digunakan dalam
penelitian diperoleh dari rumus Federer (Hanafiah 2000 dalam Hayati, 2009).
Keterangan :
t = Jumlah perlakuan
n = Jumlah sampel
(t-1)(n-1) ≥ 15
22
23
Karena t = 4, maka:
(4-1) (n-1) ≥ 15
3 (n-1) ≥ 15
n-1 ≥ 5
n ≥ 6
Minimal jumlah sampel = 6
Jika dilakukan perhitungan jumlah sampel sesuai dengan rumus yang
ditentukan maka diperoleh jumlah sampel sebanyak 24 sampel untuk 4 kelompok
perlakuan. Sementara untuk penambahan sampel yang digunakan sebagai kontrol
negatif (-) dan kontrol positif (+) adalah 3 sampel yang akan dilakukan
pengulangan sebanyak 2 kali setiap kontrol sehingga total menjadi 6 sampel.
Jumlah keseluruhan pada kelompok perlakukan, kontrol negatif dan kontrol
positif adalah 30 buah sampel pada media Saboround Dextrouse Agar (SDA).
1) Kelompok 1 perlakuan dengan suspensi jamur Candida albicans pada SDA
+ ekstrak jeruk nipis (Citrus aurantifolia) konsentrasi 25%.
2) Kelompok 2 perlakuan dengan suspensi jamur Candida albicans pada SDA +
ekstrak jeruk nipis (Citrus aurantifolia) konsentrasi 50%.
3) Kelompok 3 perlakuan dengan suspensi jamur Candida albicans pada SDA +
ekstrak jeruk nipis (Citrus aurantifolia) konsentrasi 75%.
4) Kelompok 4 perlakuan dengan suspensi jamur Candida albicans pada SDA +
ekstrak jeruk nipis (Citrus aurantifolia) konsentrasi 100%.
5) Kelompok 5 sebagai kontrol positif (+) dengan suspensi jamur Candida
albicans pada SDA + obat antijamur ketokonazol 2 mg.
6) Kelompok 6 sebagai kontrol negatif (-) dengan suspensi jamur Candida
albicans pada SDA + aquabides dengan jumlah yang disesuaikan.
24
C. Alat dan Bahan Penelitian
a. Alat Penelitian
1) Timbangan
2) Ose steril
3) Tips steril
4) Gelas ukur
5) Tabung reaksi
6) Mistar
7) Mikropipet
8) Cawan petri
9) Inkubator
10) Rotary evaporator.
b. Bahan Penelitian
1) Jeruk nipis
2) Akuades
3) NaCl 0,9%
4) Etanol 96%
5) Biakan jamur Candida albicans
6) Saboround Dextrose Agar (SDA)
D. Variabel Penelitian
a. Variabel Bebas
Pada penelitian ini variabel bebas adalah ekstrak jeruk nipis yang telah
dibuat dengan konsentrasi yang berbeda yaitu 25%, 50%, 75 % dan 100%.
b. Variabel Terikat
Pada penelitian ini variabel tergantung adalah biakan jamur Candida
albicans yang akan diukur diameter zona hambatnya menggunakan skala
numerik pada kadar hambat minimum.
25
E. Definisi Operasional
a. Ekstrak jeruk nipis adalah sediaan pekat dalam bentuk ekstrak kental yang
diperoleh dari jeruk nipis.
b. Variasi konsentrasi adalah konsentrasi 25%, 50%, 75% dan 100% dalam
pemberian sediaan ekstrak jeruk nipis yang berbeda-beda terhadap
pertumbuhan Candida albicans.
c. Candida albicans adalah jamur dengan koloni krem dan berbau seperti ragi
dengan streng murni yang dibeli dari Balai Laboratorium Kesehatan Daerah
Sulawesi Tengah.
d. Kadar hambat minimal adalah konsentrasi minimal bahan coba yang mampu
menghambat pertumbuhan bakteri setelah diinkubasi 24 jam dan tidak tumbuh
koloni bakteri pada media perbenihan.
e. Zona hambat tampak sebagai area jernih atau bersih yang mengelilingi lubang
sumuran tempat zat dengan aktivitas antibakteri terdifusi.
F. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian akan dilakukan pada bulan Februari - Maret 2014. Tempat
pembuatan ekstraksi yaitu di Laboratorium Farmasi Fakultas Matematika dan
Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Tadulako dan untuk uji aktivitas daya hambat
antijamur dilakukan di Laboratorium Terpadu Fakultas Kesehatan dan Ilmu
Kesehatan Universitas Tadulako Kota Palu.
G. Prosedur Penelitian
a. Pembuatan Ekstrak Jeruk Nipis
Penelitian ini menggunakan buah jeruk nipis (Citrus auratifolia) yang
telah dipilih dengan baik dalam kondisi segar, berwarma hijau dan siap dipetik.
Jeruk nipis (Citrus auratifolia) diambil ± 6 kg yang diperoleh dari kebun di
Kabupaten Biromaru. Tahap awal dari penelitian dengan pembuatan ekstrak, di
26
mana jeruk nipis (Citrus auratifolia) yang telah dipetik dicuci bersih dengan air
mengalir. Pencucian jeruk nipis dilakukan dua kali agar jeruk nipis (Citrus
auratifolia) bebas dari kotoran kemudian ditampung dalam wadah bersih dan
luas untuk proses pengeringan. Sebelumnya jeruk nipis (Citrus auratifolia)
dikeringkan, buah ini dibelah menjadi beberapa bagian kecil dan segera untuk
dikeringkan dibawah sinar matahari. Wadah yang menampung jeruk nipis
(Citrus auratifolia) yang telah dibelah dalam beberapa bagian kecil ditutup
dengan kain hitam, agar tidak terkena sinar matahari langsung untuk
melindungi zat yang terkandung tetap berkhasiat. Proses pengeringan
berlangsung selama ± 8 hari. Jeruk nipis (Citrus auratifolia) yang telah kering,
kemudian dihaluskan dengan blender sampai menjadi serbuk (simplisia).
Hasil serbuk jeruk nipis (Citrus auratifolia) yang telah halus dilarutkan
menggunakan pelarut etanol 96%. Pada prinsipnya metode ini merupakan
metode maserasi, di mana hasil simplisia akan direndam dengan pelarut polar
dalam jangka waktu tertentu. Metode maserasi digunakan untuk penyarian
simplisia yang mengandung zat aktif yang mudah larut dalam pelarut, dan tidak
mengandung zat yang mudah mengembang dalam pelarut. Pelarut polar yang
biasanya digunakan adalah etanol 96% karena pelarut ini memiliki konsentrasi
lebih tinggi daripada zat yang akan dilarutkan sehingga dapat melarutkan zat
aktif yang terkandung pada ekstrak jeruk nipis (Citrus auratifolia). Proses ini
dilakukan ± 3 x 24 jam dengan jumlah serbuk ± 10,25 gram yang dilarutkan
pada etanol 96 % sebanyak 3 liter dan diperoleh ekstrak jeruk nipis (Citrus
auratifolia) dalam bentuk cair ± 500 ml. Hasil yang diperoleh selama proses
maserasi kemudian akan dimurnikan menggunakan metode evaporasi. Metode
evaporasi dilakukan dengan pemberian panas pada cairan filtrat untuk
menguapkan etanol 96%. Penguapan dilakukan menggunakan rotary
evaporator selama 4 jam dengan prinsip vaccum evaporator dengan
menurunkan tekanan sehingga pelarut dapat menguap pada suhu di bawah titik
didihnya. Etanol yang seharusnya memiliki titik didih 780C dapat menguap
pada suhu 400C sehingga tidak merusak senyawa-senyawa aktif yang
terkandung dalam Citrus aurantifolia (Yusnita dan Rahayu, 2011). Hasil dari
27
evaporasi diperoleh ekstrak Citrus aurantifolia dalam bentuk cairan kental
dengan warna hijau kehitaman.
b. Pembuatan Suspensi Jamur
Biakan jamur Candida albicans dalam tabung reaksi yang diperoleh dari
Laboratorium Kesehatan Daerah Kota Palu akan dibuatkan suspensi jamur.
Pembuatan suspensi jamur Candida albicans dengan cara mengambil beberapa
koloni dengan menggunakan ose steril yang kemudian dicampurkan pada
larutan NaCl 0,9%. Larutan NaCl 0,9% sebagai sumber mineral mikroba
karena salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan mikroba di mana
juga menjaga sel mikroba dalam keadaan yang isotonis. Karena jika mikroba
dalam keadaan hipotonis atau hipertonis maka sel mikroba akan pecah. Selain
itu larutan NaCl merupakan larutan yang steril yang di mana tidak ditumbuhi
atau tidak adanya mikroba lain sehingga cocok untuk media (Biesher, 1983).
Setelah jamur dimasukkan ke dalam larutan NaCl 0,9% pada tabung kemudian
divortex agar campuran menjadi homogen. Hasil suspensi jamur yang
diperoleh kemudian diukur kekeruhan menggunakan McFarland 0,5 standar
yang setara dengan 108
CFU/ml. Kekeruhan ini dipakai sebagai standar
kekeruhan jamur (Biesher, 1983).
c. Uji Pendahulan
Uji pendahuluan efektivitas antijamur dilakukan pada bahan coba dengan
konsentrasi 100%. Biakan jamur yang telah diberi ekstraksi dengan konsentrasi
100% akan diinkubasi selama 24 jam, kemudian dilakukan pengamatan pada
zona jernih. Jika terdapat zona jernih pada media biakan maka efek antijamur
bahan coba telah terbukti dan dapat melanjutkan perlakuan dengan konsentrasi
yang berbeda.
c. Pembuatan Konsentrasi Ekstrak Jeruk Nipis (Citrus aurantifolia)
Ekstrak jeruk nipis (Citrus aurantifolia) yang diuji akan dilakukan pada 4
konsentrasi yaitu 25%, 50%, 75% sampai 100% dikarenakan belum diketahui
konsentrasi ekstrak yang mampu menghambat pertumbuhan Candida albicans.
Untuk membuat konsentrasi suatu larutan dengan jumlah ml zat dalam 5 ml
dyspo pelarut (akubides).
28
1) Untuk konsentrasi 25 %. Masukkan 1,25 ml ekstrak jeruk nipis dalam
tabung ditambahkan akuabides sampai volume 5 ml.
2) Untuk konsentrasi 50 %. Masukkan 2,5 ml ekstrak jeruk nipis dalam
tabung ditambahkan akuabides sampai volume 5 ml.
3) Untuk konsentrasi 75 %. Masukkan 3,75 ml ekstrak jeruk nipis dalam
tabung ditambahkan akuabides sampai volume 5 ml.
4) Untuk konsentrasi 100 % tidak dilakukan pengenceran.
d. Uji Daya Hambat Antijamur
1) Mengambil koloni jamur pada suspensi jamur yang telah dibuat
menggunakan kapas lidi steril.
2) Celupkan kapas lidi steril pada tabung reaksi yang berisi suspensi jamur.
3) Goreskan kapas lidi steril pada media Saboround Dextrouse Agar (SDA)
secara keseluruhan.
4) Diamkan selama ± 10 menit.
5) Buat sumuran menggunakan tips steril dengan diamater lubang sumuran ±
8 mm.
6) Lubang sumuran yang dibuat berjumlah 3 pada 1 SDA
7) Setelah semua lubang sumuran dibuat kemudian masukkan ekstrak Citrus
aurantifolia sesuai dengan konsentrasi, kontrol positif dan kontrol negatif.
8) Inkubasi pada suhu 37◦C selama 24-48 jam untuk jamur.
9) Amati dan ukur diameter zona hambat jamur setelah periode inkubasi.
H. Analisis Data
Pada penelitian hasil yang diperoleh akan dilakukan pengamatan secara
makroskopik pada media yang digunakan dengan penyajian data dalam bentuk
tabel dan analisis data dengan skala numerik dapat dilakukan untuk mengetahui
adanya efek perbedaaan antijamur disetiap kelompok perlakuan menggunakan uji
One way ANOVA dengan menggunakan program Statistical Product and Service
Solutions (SPSS) yang akan dilanjutkan dengan uji alternative lain yaitu Post Hoc
Test.
29
I. Kekurangan Penelitian
Pada penelitian terdapat beberapa kekurangan saat melalukan prosedur
penelitian yaitu :
1) Alat yang digunakan tidak memadai.
2) Sarana tempat baik dalam pembuatan ekstrak maupun saat penelitian
antijamur jeruk nipis.
3) Alat ukur yang digunakan untuk pengukuran diameter zona hambat.
30
J. Alur Penelitian
Gambar 3.1 Alur Penelitian
Ekstrak jeruk nipis
(Citrus aurantifolia)
Suspensi jamur +
media SDA
Akuabides
(-)
Kelompok perlakuan
Uji pendahuluan pada
konsentrasi 100%
Ukur diameter zona
hambat
Inkubasi 24-48 jam
suhu 37◦
25%
Ketokonazol
(+)
(-)
50%
75%
Penentuan KHM
Analisis data
31
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
1. Uji Pendahuluan Ekstrak Jeruk Nipis (Citrus aurantifolia)
Uji pendahuluan dengan konsentrasi 100% untuk menentukan apakah
ekstrak Citrus aurantifolia memiliki efek antijamur sebelum dilakukan uji
dengan konsentrasi lebih rendah. Tahap awal dilakukan dengan menumbuhkan
Candida albicans pada media Saboround Dextrous Agar (SDA). Membuat
biakan jamur pada media SDA, suspensi Candida albicans yang telah dibuat
diambil menggunakan kapas lidi steril dengan cara menstreak (menggores)
permukaan agar dengan kapas lidi steril yang telah diinokulasikan dengan
kultur jamur. Teknik ini membuat mikroorganisme yang tumbuh akan tampak
dalam goresan-goresan inokulum bekas dari kapas lidi steril. Koloni jamur
yang telah dibiakan pada media SDA kemudian diinkubasi pada suhu ruangan
selama ± 10 menit. Setelah inkubasi, membuat sumuran yaitu ada permukaan
medium agar dibuat lubang dengan menggunakan tips steril dengan diamater
sumur 8 mm. Metode ini merupakan metode sumuran, di mana dalam 1 media
SDA dapat dibuat sumuran sebanyak 3 lubang. Setelah pembuatan sumur
kemudian masukkan ekstrak Citrus aurantifolia dengan konsentrasi 100% pada
sumuran, diinkubasi pada inkubator dengan suhu 370 C selama 24-48 jam.
Hasil uji pendahuluan menunjukan adanya zona jernih yang membuktikan
bahwa terdapat zona hambat, diperoleh diameter zona hambat pada konsentrasi
100% yaitu 34 mm, 33 mm, 32 mm, 33 mm, 30 mm, dan 30 mm. Diameter
zona hambat diperoleh dari pengulangan (replikasi) sebanyak 5x.
Hasil di atas menunjukan bahwa ekstrak Citrus aurantifolia memiliki efek
antijamur terhadap Candida albicans sehingga dapat dilakukan pengujian pada
konsentrasi yang berbeda dan lebih rendah dari konsentrasi 100% untuk
membuktikan efek antijamur agar dapat diperoleh kadar hambat minimal
(KHM).
31
32
2. Penentuan Kadar Hambat Minimal (KHM)
Setiap konsentrasi yang telah diencerkan akan dimasukkan pada media
SDA begitu juga dengan kontrol (+) dan kontrol (-) kemudian diberi label pada
setiap perlakuan. Ekstrak Citrus aurantifolia memiliki kadar hambat minimal
terhadap Candida albicans yaitu pada konsentrasi 25%, walaupun pada
konsentrasi 25% telah terlihat zona hambat namun masih tampak terlihat zona
tersebut tidak jernih karena terlihat beberapa koloni Candida albicans yang
masih ada sehingga dilakukan pengulangan 5x baru kemudian terlihat zona
hambat yang jernih, sehingga dapat ditentukan kadar hambat minimal (KHM)
yaitu 25%.
25 %
Gambar 4.2 Hasil daya hambat konsentrasi 100%, a) Zona hambat, b) Lubang
sumuran ekstrak, dan c) Pertumbuhan Candida albicans
25 %
a
b
c c
Gambar 4.1 Hasil daya hambat kontrol (+), kontrol (-), a) Zona hambat pada
kontrol (+) dan b) Candida albicans yang tidak terhambat oleh kontrol (-)
a
b
33
Gambar 4.3 Hasil daya hambat konsentrasi 75%, a) Zona hambat, b) Lubang
sumuran ekstrak, dan c) Pertumbuhan Candida albicans
Gambar 4.4 Hasil daya hambat konsentrasi 50%, a) Zona hambat, b) Lubang
sumuran ekstrak, dan c) Pertumbuhan Candida albicans
Gambar 4.5 Hasil daya hambat konsentrasi 25%, a) Zona hambat, b) Lubang
sumuran ekstrak, dan c) Pertumbuhan Candida albicans
a
c
b
a
c
b
c
b
a
34
Tabel 4.1 Hasil Pengukuran Diameter Zona Hambat Ekstrak Jeruk Nipis
(Citrus aurantifolia) Terhadap Candida albicans secara In Vitro
dengan Masa Inkubasi 1x24 jam.
Keterangan : Penghitungan diameter zona hambat termasuk diameter sumuran.
Data hasil penelitian diolah secara statistik dengan metode one way
ANOVA dengan derajat kepercayaan 95% (=0,05) yang bertujuan untuk
menguji ke-4 konsentrasi tersebut memiliki rerata yang sama. Interpretasi
untuk nilai signifikan dapat diajukan dengan mengajukan H0 : ke-4 konsentrasi
memiliki rerata yang sama atau H1 : ke-4 konsentrasi memiliki rerata yang
tidak sama, untuk menentukannya digunakan nilai signifikan p < 0,05dan bila
didapat perbedaan nyata antara perlakuan maka akan dilanjutkan dengan Post
Hoc Test yang menunjukan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan terutama
dalam aktivitas daya hambat jamur dengan setiap konsentrasi yang berbeda.
Tabel 4.2 Rerata nilai diameter zona hambat setiap konsentrasi
berdasarkan hasil analisis data menggunakan Statistical
Product and Service Solutions (SPSS).
Keterangan :
S : a = 25%, b = 50%, c = 75%, dan d = 100%.
Perlakuan
Diameter zona hambat (mm) Rerata
(mm) Replikasi
1 2 3 4 5 6
100% 34 33 32 33 30 30 32
75% 24 24 22 17 18 20 20,83
50% 18 18 17 18 17 19 17,83
25% 12 16 15 17 16 14 15
Kontrol (+) 36 38 36 31 37 33 35,1
Kontrol (-) 0 0 0 0 0 0 0
Konsentrasi M ± Sd P
a 15.00 cd
± 1.789
.000 b 17.83
d ± 0.753
c 20.83 ad
± 2.994
d 32 abc
± 1.673
35
M : Merupakan mean (rerata) yang dapat digunakan untuk
menilai perbedaan signifikan pada setiap kelompok
perlakuan atau post hoc test.
P : Nilai signifikan uji One Way ANOVA
Tabel 4.2 menunjukan hasil rerata nilai diameter zona hambat setiap
konsentrasi, di mana dari mean difference dapat ditentukan nilai signifikan (p-
value) untuk menilai apakah terdapat perbedaan yang signifikan pada setiap
konsentrasi.
Uji normalitas deskriptif (Lampiran) dengan uji Shapori-wilk yang akan
digunakan untuk menentukan H0 (Sampel berasal dari populasi yang
berdistribusi normal) atau H1 (Sampel tidak berasal dari populasi yang
berdistribusi normal). Taraf uji signifikansi α= 0,05.
Hasil tabel 4.2 untuk nilai signifikan uji One way ANOVA (Lampiran) yaitu
p = 0,000 yang artinya kurang dari p < 0,05 ini membuktikan bahwa terdapat
perbedaan secara signifikan atau nilai rerata setiap konsentrasi tidak sama
dengan kata lain H1 diterima.
Uji Post hoc menggunakan nilai p < 0,05 Hasil mean (rerata) pada
konsentrasi 25% (a) menunjukan terdapat perbedaan yang signifikan terhadap
konsentrasi 75% (c) dan 100% (d). Konsentrasi 50% (b) memiliki perbedaan
15.00 mm 17.83mm
20.83 mm
32.00 mm
Gambar 4.6 Grafik hasil rerata zona hambat
36
nilai signifikan pada konsentrasi 100% (d), dan konsentrasi 75% (c) perbedaan
signifikan terlihat pada konsentrasi 25% dan 100% sedangkan konsentrasi
100% pebedaan signifikan terdapat pada semua konsentrasi yaitu 25% (a), 50%
(b), dan 75% (c).
B. Pembahasan
Uji daya hambat ekstrak jeruk nipis (Citrus aurantifolia) terhadap jamur
Candida albicans secara in vitro diperoleh dalam media Saboround Dextrose
Agar (SDA) menggunakan metode sumuran yang dilakukan pada tanggal 16 dan
17 maret 2014 di Laboratorium Terpadu Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Tadulako Kota Palu, didapatkan diameter zona hambatan yang
berbeda dari tiap perlakuan. Penentuan nilai kadar hambat minimal ditentukan
ketika tidak terlihat pertumbuhan jamur atau hampir seluruh bakteri mati pada
media pertumbuhan (Pratiwi, 2012).
Pertumbuhan Candida albicans lebih cepat pada kondisi asam dibandingkan
dengan pH normal atau alkali (Biswas dan Chaffin, 2005). Pada media Sabaroud
dextrose agar atau glucose-yeast extract- peptone water, Candida albicans
berbentuk bulat atau oval yang biasa disebut dengan bentuk khamir (Biswas dan
Chaffin, 2005). Kemampunan Candida albicans untuk tumbuh baik pada suhu
370C memungkinkannya untuk tumbuh pada sel hewan dan manusia. Sedangkan
bentuknya yang dapat berubah, bentuk khamir dan filamen, sangat berperan dalam
proses infeksi ke tubuh inang (Brown et al., 2005).
Pertumbuhan Candida albicans pada penelitian ini menggunakan media
Saboround Dextrouse Agar (SDA). Salah satu jamur yang penting dari segi media
adalah organisme-organisme yang beragam golongan dan jenis infeksi yang
ditimbulkan yaitu Candida albicans. Fase pertumbuhan jamur bentuk ragi atau
kapang, bergantung pada kondisi inkubasi. Ragi sangat tumbuh baik pada medium
biakan bakteri dan medium jamur, demikian juga dengan kapang yang penting
secara medis, menimbulkan infeksi oportunistik pada pasien dengan gangguan
kekebalan tubuh. Salah satu alasan menginokulasikan biakan jamur adalah untuk
mendeteksi jamur yang tumbuh lebih lambat dalam spesimen yang mengandung
37
sebagian besar bakteri yang tumbuh cepat. Pertumbuhan bakteri pada medium
nonselektif dapat dengan mudah menutupi keberadaan jamur. Medium
pertumbuhan jamur dapat dibuat inhibitorik terhadap bakteri dengan
menggunakan PH yang rendah, (misalnya Saboround Dextrouse Agar). Dengan
demikian, hasil biakan jamur yang positif jauh lebih besar pada medium
pertumbuhan jamur dibandingkan bakteri yang tumbuh cepat pada medium
pertumbuhan jamur (Shacer dan McPherson, 2004). Candida dapat mudah
tumbuh di dalam media Saboround dengan membentuk koloni ragi dengan sifat-
sifat khas, yakni: menonjol dari permukaan medium, permukaan koloni halus,
licin, berwarna putih kekuning-kuningan, dan berbau ragi (Siregar, 2005).
Jeruk nipis merupakan salah satu tanaman yang memiliki fungsi sebagai
antimikroba. Kemampuan aktivitas antijamur yang terdapat pada ekstrak jeruk
nipis (Citrus aurantifolia) merupakan peran yang dilakukan oleh komponen dari
minyak atsiri. Hampir semua minyak atsiri dari herbal rempah-rempah
menghambat pertumbuhan mikrobia termasuk produksi toksinnya. Pengaruh
antimikroba bergantung pada konsentrasi dan semakin tinggi konsentrasi maka
sifat bakterisidalnya juga semakin tinggi. Bakteri Gram-positif, Gram-negatif,
khamir dan kapang semuanya dihambat dengan kisaran yang luas oleh minyak
atsiri. Aktivitas antimikroba dari senyawa yang terkandung di dalam minyak atsiri
dipengaruhi oleh medium yang digunakan dalam pengujian, suhu inkubasi dan
ukuran inokulum. Tanaman genus Citrus merupakan salah satu tanaman penghasil
minyak atsiri. Minyak atsiri yang dihasilkan dari tanaman Citrus grandis, Citrus
aurantium dan Citrus aurantifolia memiliki komponen penyusun minyak atsiri
yang berbeda. Hal tersebut menunjukkan bahwa hubungan kekerabatan dapat
mempengaruhi komponen penyusun minyak atsiri. Tanaman dengan spesies yang
berbeda tersebut diduga memiliki bioaktivitas sebagai senyawa antimikroba,
insektisida dan antioksidan (Astarini et al., 2009).
Minyak atsiri memiliki kompenen yaitu limonen yang memberikan efek
antijamur yang cukup baik (Chee et al., 2009). Limonen yang merupakan senyawa
triterpenoid yang terkandung di dalam ekstrak jeruk nipis (Citrus aurantifolia)
dapat menghancurkan struktur-struktur pada dinding Candida albicans, perubahan
38
pada integritas membran sel dan mempengaruhi aktivitas metabolik sel sehingga
lama-kelamaan jamur tidak dapat bertahan hidup dan mati (Cusni et al., 2005).
Dinding sel Candida albicans yang bersifat antigenik ini sendiri berfungsi sebagai
pelindung dari lingkungannya dan berperan pula pada penempelan serta
pertumbuhan kolonisasi jamur (Katzer, 2002).
Komponen jeruk nipis (Citrus aurantifolia) yang berfungsi sebagai antijamur,
selain limonen juga mengandung β-pinen dan γ-terpinen. Pada penelitian Pawar et
al., (2011), melaporkan β-pinen memiliki aktivitas antijamur yang kuat terhadap
Candida albicans. β-pinen dan γ-terpinen merupakan golongan trirepenoid.
Golongan triterpenoid ini bekerja menghambat sintesis ergosterol yang terjadi
pada membran sel. Ergosterol merupakan salah satu komponen penting pada
membran sel jamur (Dewi dan Puspita, 2008). Dengan demikian ekstrak jeruk
nipis (Citrus aurantifolia) melalui kandungan zat aktif yang terkandung
didalamnya memiliki efek antimikotik terhadap Candida albicans.
Menurut Hermawan et al (2007), bahwa interpretasi daerah hambatan
pertumbuhan antimikroba mengacu pada standar umum yang di keluarkan
Departemen Kesehatan (1995) disebutkan bahwa mikroba dikatakan peka
terhadap antimikroba asal tanaman apabila mempunyai ukuran diameter daya
hambatan sebesar 12-24 mm.
Kategori daya hambat jamur dapat ditentukan dengan melihat hasil rerata
setiap konsentrasi ekstrak Citrus aurantifolia. Penentuan untuk daya hambat
bakteri dan jamur menurut Davis Stout, jika > 20 mm sangat kuat, 10-20 mm
kuat, 5-10 mm sedang dan <5 mm lemah. Hasil penelitian menunjukan ekstrak
jeruk nipis dengan konsentrasi 100% diperoleh rataan diameter zona hambat yaitu
32 mm, konsentrasi 75% yaitu 20,83 mm, konsentrasi 50% yaitu 17,83 mm dan
konsentrasi 25% yaitu 15 mm. Hal ini membuktikan bahwa setiap konsentrasi
memiliki diameter zona hambat yang berbeda. Hasil diameter zona hambat
menunjukan bahwa semakin besar konsentrasi ekstrak maka semakin kuat daya
hambat dengan menghasilkan zona hambat jernih yang lebih luas. Hal ini
menunjukan kadar konsentrasi 100% menunjukan zona hambat yang paling luas
dari konsentrasi 75%, 50%, dan 25% akan tetapi, kontrol positif dari ketokonzaol
39
menunjukan kekuatan daya hambat yang lebih kuat dengan hasil diameter zona
hambat paling luas dari kelompok perlakuan dengan diameter rerata tertinggi
yaitu konsentrasi 100%. Ketokonazol adalah senyawa sintetik turunan imidazol
yang memiliki efek antijamur dengan spektrum luas yang berinteraksi dengan
enzim P-450 sitokrom untuk menghambat demetilasi lanosterol menjadi
ergosterol yang merupakan sterol penting untuk membran jamur (Klepser, 2001).
Kontrol negatif tidak menunjukan adanya aktivitas antijamur karena akuabides
hanya larutan yang berisi air dan tidak memiliki efek antijamur.
Data yang diperoleh dengan hasil pengamatan dan pengukuran zona
hambat/zona jernih dilanjutkan dengan melakukan pengolahan hasil analisis data.
Hasil analisis data dilakukan dengan melakukan uji normalitas yang bertujuan
untuk mengukur apakah data yang kita gunakan berdistribusi dengan normal
sehingga dapat dipakai dalam statistik. Beberapa uji normalitas yang digunakan
adalah Kolmogorov-Smirnov dan Shapiro-Wilk. Data akan berdistribusi normal,
jika nilai signifikansi > 0,05 dan data berdistribusi tidak normal, jika nilai
signifikansi < 0,05. Uji Kolmogorov-Smirnov menunjukan konsentrasi 100%,
75%, 50% dan 25% adalah signifikansi 0,200 (sig > 0,05) sedangkan untuk uji
Shapiro-Wilk pada konsentrasi 100% (p=0,607), 75% (p=0,212), 50% (0,390) dan
25% (p=0,252). Hasil kedua jenis uji normalitas (Lampiran) menunjukan ekstrak
dengan empat konsentrasi yang digunakan berdistribusi dengan normal dengan
nilai signifikan > 0,05.
Tabel 4.2 menunjukan hasil analisis data untuk uji one way ANOVA dengan
nilai signifikan 0,000 kurang dari p<0,05 ini membuktikan bahwa terdapat
perbedaan yang nyata (signifikan) terhadap diameter zona hambat pada setiap
perlakuan dalam arti setiap kelompok konsentrasi perlakuan memiliki efek
antijamur yang berbeda sedangkan Test of Homogeneity of Variances (Lampiran)
menunjukan probalitasnya adalah sebesar 0,259 (p>0,05) yang berarti bahwa
setiap perlakuan menunjukan varian sama. Analisis data statistik menunjukan
perbedaan yang signifikan pada setiap kelompok sehingga dapat dilakukan uji
lanjutan yaitu Post hoc test untuk melihat kelompok perlakukan yang berbeda
secara signifikan dan pada konsentrasi mana daya hambat paling tinggi. Post hoc
40
test (Lampiran) menunjukan terdapat perbedaan yang signifikan terhadap teknik
percampuran setiap konsentrasi, di mana nilai signifikan p < 0,05. Tes tukey pada
post hoc test untuk konsentrasi 25% memiliki perbedaan signifikan terhadap
konsentrasi 75% dan 100%, konsentrasi 50% memiliki nilai signifikan terhadap
konsentrasi 100%, konsentrasi 75% memiliki nilai signifikan terhadap konsentrasi
25% dan 100% sementara untuk konsentrasi 100% memiliki nilai signifikan pada
semua konsentrasi.
Post hoc test Homogeneous Subsets menunjukan bahwa ekstrak Citrus
aurantifolia dengan konsentrasi 25% dan 50% memiliki aktivitas kerja antijamur
yang sama dengan memberikan efek yang sama terhadap daya hambat antijamur
dan konsentrasi 50% dan 75% juga menunjukan hal yang sama sedangkan untuk
konsentrasi 100% memiliki daya hambat yang paling kuat diantara konsentrasi
lainnya.
Berdasarkan hasil pengamatan dengan melakukan pengukuran diameter zona
hambat dan analisis data statistik menggunakan uji One way ANOVA yang
dilanjutkan dengan uji post hoc membuktikan bahwa terdapat aktivitas kerja
antijamur yang dilakukan oleh ekstrak jeruk nipis (Citrus aurantifolia) dengan
kadar konsentrasi berbeda, semakin tinggi konsentrasi yang digunakan untuk
menghambat Candida albicans makan semakin kuat aktivitas kerja antijamur
dalam menghambat pertumbuhannya.
Jeruk nipis (Citrus aurantifolia) yang terbukti sebagai antijamur, dapat
dibandingkan dengan hasil penelitian sebelumnya yang membuktikan bahwa jeruk
nipis sangat berperan pula sebagai antibakteri. Hal ini telah dibuktikan melalui
penelitian Razak et al. (2013), penelitian yang bertujuan untuk mengetahui daya
hambat air perasan buah jeruk nipis (Citrus aurantifolia) terhadap pertumbuhan
bakteri Staphylococcus aureus secara in vitro menunjukan hasil penelitian bahwa
air perasan buah jeruk nipis memiliki daya hambat terhadap pertumbuhan bakteri
Staphylococcus aureus dengan berbagai konsentrasi yaitu 25%, 50%, 75%, dan
100%. Semakin tinggi konsentrasi air perasan buah jeruk nipis dan semakin lama
kontak dengan bakteri Staphylococcus aureus maka daya hambatnya semakin
baik. Penelitian ini menunjukan hal yang sama fungsi jeruk nipis sebagai
41
antijamur dan antibakteri, konsentrasi yang digunakan sama yaitu 25%, 50%, 75%
dan 100% tetapi untuk bentuk bahan yang digunakan berbeda yaitu dibuat dalam
bentuk ekstrak dan perasaan jeruk nipis.
Penelitian lainnya mengenai Candida albicans juga telah dilakukan oleh
peneliti lain. Santoso et al. (2010) melakukan penelitian pengaruh ekstrak etanol
seledri (Apium graveolens) terhadap pertumbuhan jamur Candida albicans secara
in vitro dengan menggunakan konsentrasi 15%, 18%, 21%, 24% dan 27%. Hasil
penelitiannya menunjukan bahwa ekstrak etanol seledri mempunyai efek
antijamur terhadap Candida albicans dengan kadar hambat minimumnya adalah
27%. Perbedaan dengan penelitian ini yaitu kadar hambat minimal dari kekuatan
ekstrak untuk menghambat pertumban Candida albicans, kadar hambat minimal
ekstrak jeruk nipis konsentrasi 25% sedangkan pada ekstrak etanol seledri pada
konsentrasi 27%.
42
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hasil penelitian yang dilakukan dapat diperoleh kesimpulan beberapa hal
berikut :
1. Kadar hambat minimal (KHM) ekstrak jeruk nipis (Citrus aurantifolia)
terhadap Candida albicans adalah konsentrasi 25%.
2. Aktivitas kerja antijamur ekstrak jeruk nipis (Citrus aurantifolia) terhadap
daya hambat pertumbuhan Candida albicans memiliki efek yang kuat dimulai
dengan konsentrasi 100%, 75%, 50% dan 25%.
B. Saran
1. Penelitian lebih lanjut diharapkan kepada peneliti lain untuk melakukan
ekstraksi dan menentukan KHM dengan metode lain.
2. Peneliti mengharapkan dilakukan penelitian lebih lanjut dengan mengetahui
pengaruh ekstrak jeruk nipis (Citrus aurantifolia) dengan spesies jamur
lainnya.
42
43
DAFTAR PUSTAKA
Agustina, NH, 2010. Efektivitas air perasan jeruk lemon (Citrus Limon Burm)
25% dibandingkan ketokonazol 2% terhadap pertumbuhan Mlassezia SP.
Pada ketombe. Diakses: 17 Nov 2013. From < file.upi.edu › Direktori ›
JURNAL › JURNAL_SAINS_DAN_TEKNOLOGI_KIMIA >.
Ali AS. 2008. Oral immune defense against chronic hyperplastic candidosis.
[Dissertation]. Finland: University of Helsinki.
Astarini, NPT, Burhan Perry, R.Y, Zetra Yulfi, 2009. Minyak Atsiri dari Kulit
Buah Citrus grandis, Citrus aurantium (L.) dan Citrus aurantifolia
(RUTACEAE) sebagai Senyawa Antibakteri dan Insektisida. Jurusan Kimia
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Institut Teknologi
Sepuluh Nopember.
Biesher. 1983. Microbiology in Practice. Individualized Introduction for The
Allied Heath Science. 3rd ed. Harper and Row Publisher. New York.
Biswas SK and Chaffin WL, 2005. Anaerobic growth of C. albicans does not
support biofilm formation under similar conditions used for aerobic biofilm.
Curr Microbiol (Epub ahead of print).
Bossche HV, Rochette F, Engelen M. 2003. Antifungal agents of use animal
health – chemical, biochemical and pharmacological aspects. J. Vet.
Pharmacol. Therap.; p26:5-29.
Brown MR, Thompson CA, Mohamed FM, 2005. Systemic candidiasis in an
apparently immunocompetent dog. J Vet Diagn Invest. 17(3): 272-6.
Chee S., Kim Hon, Min Hee Lee, 2009. Antifungal Activity of Limonene against
Trichophyton rubrum. J Microbiology 37 (3) : 243-246.
Corwin, J.E., 2009. Buku Saku Patofisiologi Edisi Revisi 3. EGC. Jakarta ; p125.
Cut Nurkhalimah, 2011. Daya Antibakteri Air Jeruk Nipis (Citrus aurantifolia)
Terhadap Pertumbuhan Stapylococcus aureus dan Escherichia coli yang
Diuji Secara In Vitro. Diakses: 17 Nove 2013. From < jurnal.fk.unand.ac.id ›
articles >.
Cusni, Tim dan Lamb, Andrew. 2005. Review antimicrobial activity of flavonoids.
ELSEVIER: International Journal of antimicrobial agents 26 (2005) 343-356.
Dalimartha, S., 2006. Atlas Tumbuhan Obat Indonesia Jilid 4. Puspa Swara.
Jakarta ; p11-5.
Departemen Kesehatan RI. 1995. Farmakope Indonesia. Edisi Keempat. Jakarta.
43
44
Departemen Kesehatan RI., 2000. Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan
Obat. Departemen Kesehatan RI. Jakarta ; p3-6, 9-12.
Dewi, Dian Puspita. 2008. Pemisahan Minyak Atsiri Daun Kemangi (Ocimum
basilicum ) Secara Kromatografi Lapis Tipis dan Aktivitasnya Terhadap
Malassezia Furfur In Vitro. Skripsi. Fakultas Kedokteran Universitas
Diponegoro. Semarang.
Devy, N.F., F. Yulianti, A., 2010. Kandungan Flavanoid dan Limonoid pada
Berbagai Fase Pertumbuhan Tanaman Jeruk Kalamondin (Citrus Mitis
Blanco) dan Purut (Citrus HystricDc.). Diakses: 17 Nov 2013. From <http://
digilib.litbang.deptan.go.id/repository/index.../2861 >.
Djuandi, A., Hamzah, M., Aisah, S., 2009. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.
FKUI. Jakarta ; p30-1.
Ferguson, J.J, 2002. Medicinal use of citrus. Series of the Horticultular Science
Department, Florida Cooperative Extension Services, Institute of Food and
Agricultural Science, University of Florida. Gainesville.
Fetarosana, I., 2012. Tanaman Hias Berkhasiat Obat. Penebar Swadaya. Jakarta ;
p11.
Gubbins, P.O., Anaissie, E.J., 2009. Antifungal therapy In: Anaissie EJ, McGinn
MR Pfaller.Clinical Mycology. 2nd Ed. Elsevier. Cina ; p161-96.
Hamid, A.A., Delfi, F., Pamungkas, P.R., 2013. Efek Antifungi Ekstrak Kulit
Lemon (Citrus Lemon L) sebagai Antifungi terhadap Candida Albicans
Secara in Vitro. Diakses: 23 Nov 2013. From
http://old.fk.ub.ac.id/artikel/id/filedownload/gigi/majalah%20rizqi%20priasa
%20%28edit%20noor%29.pdf>.
Hariana, H.A., 2008. Tumbuhan Obat dan Khasiatnya. Niaga Swadaya. Jakarta ;
p149-52.
Hasihola Anju, DP, 2012. Isolasi, uji antioksidan dan karakterisasi senyawa dari
ekstrak daun Garcinia Hombroriana Pierre. Diakses: 14 Feb 2014. From <
lontar.ui.ac.id › file >.
Hayati, K., 2005. Efek Anti Bakteri Ekstrak Lidah Buaya (Aloe Vera) Terhadap
Staphylococcus Aureus Yang Diisolasi Dari Denture Stomatitis (Penelitian In
Vitro). Diakses: 22 Des 2012. From <http://www.repository.usu.ac.id>.
Hermawan,A., Hana, W. dan Wiwiek, T, 2007. Pengaruh Ekstrak Daun Sirih
(Piper betle L) Terhadap Pertumbuhan Staphylococcus aureus dan
Escherichia coli dengan Metode Diffusi Disk. Unair. Surabaya.
45
Ibukun, A., Tayo, A., Toyin, A., Tolu, O., Tolu, 2007. Evaluation of the
Antimikrobial Properties of Defferent Parts of Citrus Auratifolia (Lime Fruit)
as Used Loccaly. Diakses: 17 Nov 2013. From
(http://journals.sfu.ca/africanem/index.php/ajtcam/article/viewArticle/197).
Jawetz., Melnick., Adelberg., 2008. Mikrobiologi Kedokteran Edisi 23. EGC.
Jakarta ; p658- 60.
Katzer, G. 2002. Lime (Citrus aurantifolia). Diakses : 2 juni 2014 From
(http://wwwang.kfunigraz.ac.at/~katzer/engl /Citr_aur.html. 4 p.).
Katzung, B.G., 2011. Farmakologi Dasar dan Terapi Edisi 10. EGC. Jakarta ;
p806-816.
Kementrian Kesehatan RI., 2012. Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 007 Tahun 2012 Tentang Registrasi Obat Trdisional.
Diakses : 20 Des 2013. From
<http://jdih.pom.go.id/produk/PERATURAN%20MENTERI/Permenkes_007
-2012_Registrasi_Obat_Tradisional1.pdf>.
Klepser, M.E., 2001. Antifungi Resistance among Candida Species. Diakses: 20
Des 2012. From <http://www.medscape.com/viewarticle/412677>.
Magdalena, M.S, 2009. Candida Albicans. Diakses: 17 Nov2013. From
<http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1935/1/09E01452.pdf>.
Marinho SA, Teixeira AB, Santos OS, Cazanova RF, Sanchez CA, Cherubini K, Dias
S. 2010. Identification of Candida spp. by phenotypic tests and PCR. Braz. J.
Microbiol ; p41:286-294.
Morga, R., Akpan, A., 2002. Oral candidiasis. Diakses pada tanggal 25 Jan 2014.
From
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1742467/pdf/v078p00455.pdf
.
Pratiwi, S.T., 2012. Mikrobiologi Farmasi. Erlangga. Jakarta ; p20-2.
Razak, A., Djamal, A., Revilla, G., 2013. Uji daya hambat air perasaan buah
jeruk nipis (Citrus Aurantifolia) terhadap pertumbuhan bakteri
Staphylococcus Aureus secara in vitro. Diakses: 17 Nov 2013. From
http://pathmicro.med.sc.edu/mycology/mycology-3.htm.
46
Rita, S., W, 2010. Isolasi, indentifikasi, dan uji aktivitas antibakteri senyawa
golongan triterpenoid pada rimpang temu putih (Curcuma zedoaria (Berg.)
Roscoe). Diakses : 10 Feb 2014. From <
ojs.unud.ac.id/index.php/jchem/article/2771/1963 >.
Sacher, A.R, McPherson A.R, 2004. Tinjauan Klinis Hasil Pemeriksaan
Laboratorium. EGC. Jakarta
Salvo, Di., 2010. Michology-chapter three. Diakses: 17 November 2013. From
<http://pathmicro.med.sc.edu/mycology/mycology-3.htm>.
Santoso, S., Soemardi, Nugroho, P.A, 2010. Efektivitas Ekstrak Etanol Seledri
(Apium graveoles) sebagai antifungal terhadap candida albicans secara in
vitro. Diakses : 1 mei 2014. From < eprints.undip.ac.id/23375/1/Galuh.pdf>.
Sarwono, B., 2001. Khasiat dan manfaat jeruk nipis. Agro Media Pustaka. Jakarta
; p23-5.
Setiabudy R, Bahry B. Obat jamur. Dalam: Gunawan SG, editor. Farmakologi dan
terapi. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2007; p.574-5.
Silvermedicine, 2005. Candida Albicans. Diakses: 17 Nov 2013. From
<http://www.silvermedicine.org/Candidaalbicans.jpg>.
Siregar, 2005. Penyakit Jamur Kulit Edisi 2. EGC. Jakarta ; p46-50.
Sri, S., 2003. Diktat Kuliah Mikrobiologi Dasar. Universitas Veteran. Yogyakarta
; p23-35.
Syukur, 2003. Budidaya Tanaman Obat Komersial Cetakan Ketiga. Penebar
Swadaya. Jakarta ; p136.
Tiezt, Vulhvo, 2010. Treatment of chronic vulvovaginal candidiasis with
posaconazole, and ciclopiroxolamine. Fungal Infection and Microbiology
Institute. Berlin, Jerman ; p325-27.
Tjampakasari CR. 2006. Karakteristik C. albicans. Cermin Dunia Ked. 151:33-36.
Tortora, G., J., 2002. Microbiology An Introduction. Tenth Edition. Benjamin ;
p606.
Tjay, H.T, Rahardja, K., 2007. Obat-Obat Penting, Khasiat, Penggunaan , dan
Efek-efek Sampingnya Edisis Keenam. Elex Media Komputindo. Jakarta ;
p100-4.
47
Yusnita, R dan Rahayu, S.F., 2011.Metode Pembuatan Kairomon. Diakses: 25
Mei 2013. From
<http://ditjenbun.deptan.go.id/bbp2tpsur/images/stories/proteksi/kairomoon.p
df>.
Zakaria, A., Safitiri, A., 2005. Dermatologi Edisi 8. Erlangga Medical Series.
Jakarta ; p28-9
48
LAMPIRAN
A. Pengolahan SPSS
Lampiran 1 :
Tests of Normality
Perlakuan
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic Df Sig. Statistic df Sig.
diameter zona
hambat
25 .212 6 .200* .933 6 .607
50 .254 6 .200* .866 6 .212
75 .188 6 .200* .903 6 .390
100 .225 6 .200* .876 6 .252
a. Lilliefors Significance Correction
*. This is a lower bound of the true significance.
49
Lampiran 2 :
Test of Homogeneity of Variances
Diameter zona hambat
Levene Statistic df1 df2 Sig.
1.413 4 25 .259
Descriptives
diameter zona hambat
N Mean
Std.
Deviation Std. Error
95% Confidence
Interval for Mean
Minimum Maximum
Lower Bound
Upper
Bound
25 6 15.00 1.789 .730 13.12 16.88 12 17
50 6 17.83 .753 .307 17.04 18.62 17 19
75 6 20.83 2.994 1.222 17.69 23.98 17 24
100 6 32.00 1.673 .683 30.24 33.76 30 34
Total 24 21.42 6.839 1.396 18.53 24.30 12 34
50
Lampiran 3 :
ANOVA
diameter zona hambat
Sum of Squares Df Mean Square F Sig.
Between Groups 998.167 3 332.722 85.680 .000
Within Groups 77.667 20 3.883
Total 1075.833 23
Lampiran 4 :
Multiple Comparisons
diameter zona hambat
Tukey HSD
(I)
perlaku
an
(J)
perlaku
an
Mean Difference
(I-J) Std. Error Sig.
95% Confidence Interval
Lower Bound Upper Bound
25 50 -2.833 1.138 .092 -6.02 .35
75 -5.833* 1.138 .000 -9.02 -2.65
100 -17.000* 1.138 .000 -20.18 -13.82
50 25 2.833 1.138 .092 -.35 6.02
75 -3.000 1.138 .069 -6.18 .18
100 -14.167* 1.138 .000 -17.35 -10.98
75 25 5.833* 1.138 .000 2.65 9.02
50 3.000 1.138 .069 -.18 6.18
100 -11.167* 1.138 .000 -14.35 -7.98
100 25 17.000* 1.138 .000 13.82 20.18
50 14.167* 1.138 .000 10.98 17.35
75 11.167* 1.138 .000 7.98 14.35
*. The mean difference is significant at the 0.05 level.
51
diameter zona hambat
Tukey HSDa
Perlaku
an N
Subset for alpha = 0.05
1 2 3
25 6 15.00
50 6 17.83 17.83
75 6 20.83
100 6 32.00
Sig. .092 .069 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 6,000.
52
B. Dokumen Penelitian Pembuatan Ekstrak
Gambar 1 Citrus aurantifolia Dibuat Menjadi Potongan Kecil
Gambar 2 Citrus aurantifolia yang Telah Kering
Gambar 3 Jeruk Nipis yang Akan Dibuat Simplisia yang Akan di
Maserasi dengan Etanol 96%
54
C. Dokumentasi Penelitian Uji Antijamur
Gambar 6 Suspensi Jamur Uji
Gambar 8 Pengambilan Jamur Uji dan Menggores (streak) Jamur Uji
Pada SDA
Gambar 7 Hasil Pengenceran Ekstrak
dan Kontrol Positif
Kontrol 75% 50% 25%