skrip si

141
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Masalah kemiskinan telah ada sejak zaman renaissance ( abad XIV-XVII M). Pada zaman itu Poor Law membagi orang miskin ke dalam dua kategori dalam penanganannya yakni kategori whorthy poor (orang miskin yang pantas) dan unwhorty poor (orang miskin yang tidak pantas). 1 Dengan adanya klasifikasi semacam ini maka memberikan pengaruh terhadap cara penanganan terhadap orang miskin. Bagi gelandangan dan pengemis masuk kepada kategori Whorthy poor (orang miskin yang pantas), Whorthy poor adalah mereka yang memang tidak memiliki peluang untuk dapat bekerja sehingga sangat wajar hidup dalam kemiskinan, misalnya orang yang buta, cacat bawaan, lanjut usia (lansia) dan anak-anak. 2 Sedangkan unwhorthy poor adalah mereka yang 1 Miftahul Huda, Pekerjaan Sosial dan Kesejahteraan Sosial , Pustaka Pelajar, Yogyakarta : 2009, hal. 77. 2 Ibid. 1

Upload: gussix-guk

Post on 14-Aug-2015

613 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: Skrip Si

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Masalah kemiskinan telah ada sejak zaman renaissance ( abad XIV-XVII M).

Pada zaman itu Poor Law membagi orang miskin ke dalam dua kategori dalam

penanganannya yakni kategori whorthy poor (orang miskin yang pantas) dan

unwhorty poor (orang miskin yang tidak pantas).1 Dengan adanya klasifikasi

semacam ini maka memberikan pengaruh terhadap cara penanganan terhadap orang

miskin. Bagi gelandangan dan pengemis masuk kepada kategori Whorthy poor (orang

miskin yang pantas), Whorthy poor adalah mereka yang memang tidak memiliki

peluang untuk dapat bekerja sehingga sangat wajar hidup dalam kemiskinan,

misalnya orang yang buta, cacat bawaan, lanjut usia (lansia) dan anak-anak.2

Sedangkan unwhorthy poor adalah mereka yang tidak mau bekerja padahal memiliki

kemampuan untuk bekerja misalnya orang malas, pemabuk, tukang judi3.

Kemiskinan bagi negara Indonesia adalah persoalan yang sangat serius. Sejak

sebelum krisis ekonomi menghantam Indonesia, kemiskinan merupakan bagian dari

persoalan yang belum sepenuhnya berhasil diatasi. Ketimpangan sosial terjadi disana-

sini. Ketika krisis ekonomi melanda Indonesia pada akhir 1997, angka kemiskinan

yang ditinggalkan orde baru bahkan melonjak menjadi hingga 27 persen.4

1 Miftahul Huda, Pekerjaan Sosial dan Kesejahteraan Sosial, Pustaka Pelajar, Yogyakarta : 2009, hal. 77.

2 Ibid.3 Ibid.4 Agus Dwiyanto, Kemiskinan dan Otonomi Daerah, Lipi Pers, Jakarta : 2005, hal.243.

1

Page 2: Skrip Si

Kemiskinan itu sendiri bisa dikelompokkan dalam dua kategori yaitu kemiskinan

absolute dan kemiskinan relatif. Kemiskinan absolute mengacu pada satu standar

yang konsisten, tidak terpengaruh oleh waktu dan tempat atau negara. Sementara

kemiskinan relatif mengacu pada kemiskinan yang berpengaruh dari keadaan suatu

tempat atau negara.5 Kemiskinan yang paling parah terdapat di negara berkembang

yang menghadirkan kaum tunawisma yang berkelana kesana kemari atau yang lebih

dikenal degan sebutan gelandangan.6

Akibat dari kemiskinan itu, maka mulai muncullah gejala gelandangan,

namun ada juga yang memandang gelandangan sebagai sisa kebiasaan mengembara

yang sudah muncul dalam masyarakat tradisional, seperti Onghokham tentang Satrio

Lelono atau Bocah Angon, yang pada masa itu justru dilihat dengan pandang

romantisme. Dalam bidang seni, ada beberapa jenis pengembara lagi, seperti

rombongan tukang ngamen atau pemain reog. Tetapi yang mungkin paling

meresahkan adalah munculnya kaum-kaum pengembara karena sebab-sebab politik,

seperti tekanan pajak atau penyitaan tanah oleh negara sebab mereka ini kemudian

dapat menjadi sumber kegaduhan.7 Indonesia sendiri sebenarnya telah mengeluarkan

Peraturan Pemerintah Nomor 31 tahun 1980 Tentang Penanggulangan Gelandangan

dan Pengemis. Tujuan dikeluarkannya Peraturan ini ialah untuk meniadakan

5 http:/id.wikipedia.org//wikil/kemiskinan (Terakhir Kali Dikunjungi Tanggal 8 April 2010 Pukul 22.00 Wib).

6 Ibid.7 Aswab Mahasin, Gelandangan: Pandangan Ilmu Sosial, Pustaka LP3ES Indonesia, Jakarta :

1994. hal. Vii.

2

Page 3: Skrip Si

gelandangan dan pengemis di negara Indonesia. Namun pada kenyataannya tetap saja

gelandangan dan pengemis masih tersebar di seluruh tanah air Indonesia.

Fenomena gelandangan dan pengemis alias (GEPENG) dan anak jalanan

menjadi persoalan yang sangat mencoreng wajah berbagai kota besar di Indonesia

termasuk Pekanbaru. Melihat kondisi saat ini, gepeng telah banyak menggunakan

beragam modus demi untuk mendapatkan uluran tangan masyarakat di sekelilingnya.

Mulai dari meminta-minta dengan mengulurkan tangan bahkan mereka berani

mengatas namakan sebuah mushala, pesantren dan sebagainya untuk kepentingan

mereka. Padahal jika ditanya, mereka sendiri tidak mengetahui keberadaan pesantren

tersebut. Bahkan lebih parahnya lagi mereka minta dengan paksaan.

Maraknya jumlah gelandangan dan anak-anak jalanan di tengah-tengah kota

besar tentu mengindikasikan meningkatnya tingkat kemiskinan kota yang pada

akhirnya mengemis dan menjadi gelandangan bukan nasib, tapi pilihan hidup mereka.

Namun hakekatnya persoalan mereka bukanlah kemiskinan belaka, melainkan juga

eksploitasi, manipulasi, ketidakkonsistenan terhadap cara-cara pertolongan baik oleh

mereka sendiri maupun pihak lain yang menaruh perhatian terhadap gelandangan dan

pengemis.

Fenomena gelandangan pengemis dan anak jalanan di kota Pekanbaru bisa

dilihat dari faktor kultural maupun struktural. Secara kultural bahwa gelandangan dan

pengemis memiliki watak tidak produktif, enggan berubah dan merasa nyaman dalam

kemiskinan karena mereka dengan mudah menghasilkan uang dari meminta-minta di

jalanan. Dengan mengharapkan simpati dan rasa iba saja mereka bisa dengan

3

Page 4: Skrip Si

gampang mendapatkan uang. Yang pada akhirnya semakin banyak orang memilih

mengemis ketika bulan puasa dan waktu hari raya idul fitri.8

Secara struktural hal ini dapat dilihat dari faktor kemiskinan dan kebodohan.

Sekeras apapun mereka berusaha, uang yang didapat hanya segitu saja. Mereka

miskin bukan karena mereka malas dan tidak mau berusaha, tetapi mereka tidak

berdaya untuk mengubah nasib sehingga mengemis merupakan pilihan hidup.9

Tingginya tingkat kemiskinan menyebabkan banyaknya gelandangan dan

pengemis yang tersebar di seluruh Kota Indonesia khususnya Pekanbaru. Pekanbaru

sebagai kota berkembang (development city), tak jarang banyak pendatang yang

berasal dari luar kota Pekanbaru yang bertujuan untuk mencari nafkah di kota ini.

Banyak diantara mereka yang melakukan pekerjaan di luar ketentuan yang

seharusnya dilakukan oleh seorang calon tenaga kerja. Pekerjaan yang menyimpang

dari ketentuan seorang calon tenaga kerja tersebut seperti pekerjaan meminta-minta

atau menderma di pinggir jalan mengharapkan belas kasihan orang-orang yang lewat.

Tak jarang, sebagian pengemis merangkap sebagai gelandangan yang berkeliaran

karena tidak memiliki tempat tinggal atau domisili yang tetap. Tak jarang para

gepeng yang tersebar di Pekanbaru merupakan gepeng-gepeng musiman (hanya ada

ketika waktu-waktu tertentu seperti hari raya besar keagamaan) dan merupakan

gepeng-gepeng yang terorganisir oleh oknum yang tidak bertanggung jawab. Selain

mengganggu ketertiban hadirnya gepeng bisa menimbulkan tingkat kriminal yang

8 www.xa.yimg.com/kq/groups/21462668/gepeng+dan+wajah+pekanbaru.doc, (Terakhir Kali Dikunjungi Tanggal 8 April 2010 Pukul 23.00WIB).

9 Ibid.

4

Page 5: Skrip Si

tinggi di suatu kota termasuk kota Pekanbaru. Oleh sebab itu Pemerintah Kota

Pekanbaru menetapkan sanksi pidana yang tertuang dalam Peraturan Daerah Kota

Pekanbaru Nomor 12 tahun 2008 Tentang Ketertiban Sosial Pasal 29 :

” Barangsiapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pasal 3 dan pasal 4 dalam peraturan daerah ini diancam dengan pidana kurungan paling lama 3 bulan dan atau denda paling banyak Rp.50.000.000 (lima puluh juta rupiah).”

Adapun hal yang dimaksud melanggar Pasal 3 dan Pasal 4 Perda No 12 Tahun

2008 Tentang Ketertiban Sosial ini adalah :

Pasal 3 :

(1) :” Dilarang melakukan pengemisan di depan umum dan ditempat umum, di jalan raya, jalur hijau, persimpangan lampu merah dan jembatan penyeberangan.”

(2) :” Dilarang bagi setiap orang memberikan sumbangan dalam bentuk uang atau barang kepada gelandangan dan pengemis di jalan raya, jalur hijau, persimpangan lampu merah dan jembatan penyeberangan atau di tempat-tempat umum.”

(3) :” Dilarang bergelandangan tanpa pencaharian ditempat umum dijalan raya, jalur hijau, persimpangan lampu merah dan jembatan penyeberangan.”

Pasal 4 :

(1) :” Setiap orang atau kelompok dilarang melakukan usaha penampungan, membentuk dan atau mengorganisir gelandangan dan pengemis serta mengeksploitasi mereka yang bertujuan mencari keuntungan materi semata dengan memanfaatkan mereka.”

(2) :” Setiap orang atau badan dilarang menggunakan, menyediakan tempat atau bengunan rumah atau pertokoan atau perkantoran untuk digunakan sebagai tempat penampungan gelandangan dan pengemisan.

Maraknya gelandangan dan pengemis yang tersebar di kota Pekanbaru

menjadikan masalah ini menjadi suatu permasalahan yang krusial yang menarik

untuk dibahas dan ditemukan solusi penanggulangannya. Gelandangan dan pengemis

5

Page 6: Skrip Si

merupakan salah satu penyakit masyarakat yang biasanya timbul atau tumbuh

berdasarkan musim-musim tertentu (biasanya pada bulan Ramadhan, jumlah

gelandangan dan pengemis meningkat dari jumlah pada bulan-bulan biasanya).

Mereka berdatangan dari penjuru kota ataupun kabupaten yang tersebar di seluruh

Indonesia. Kedatangan mereka ini menyebabkan ketertiban di kota Pekanbaru

menjadi terganggu.

TABEL 1.1

Data Jumlah Gepeng Yang Berhasil Dijaring Dari Tahun 2006-2010 :

Sumber: Dinas Sosial Kota Pekanbaru

Berdasarkan data di atas terlihat bahwa jumlah gepeng yang berhasil dijaring

oleh Dinas Sosial bersama-sama dengan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP)

mengalami jumlah yang naik turun. Seperti tahun 2006 terjaring sebanyak 168 jumlah

gepeng, lalu dipulangkan ke daerah asalnya sebanyak 60 orang dan tidak satupun

6

Tahun Terjaring Dipulangkan ke daerah

asal

Jenis kerajinan dan jumlah gepeng yang diberikan pelatihan.

2006 168 60 -2007 134 112 Olah pangan / 30 orang2008 119 58 Olah pangan / 20 orang2009 106 60 Sol Sepatu / 20 orang2010 48 20 Olah Pangan / 20 orang

Page 7: Skrip Si

mendapat program pelatihan dari instansi terkait atau pemerintah. Tahun 2007 jumlah

gepeng meningkat menjadi 134 dan berhasil dipulangkan sebanyak 112 orang. 30

orang dari gepeng yang tersisa mendapat pelatihan olah pangan. Di tahun 2008

jumlah gepeng menurun sebanyak 119 dan berhasil dipulangkan sebanyak 58 orang.

20 orang dari gepeng yang tersisa juga mendapat pelatihan yang sama seperti tahun

2007. Tahun 2009 jumlah gepeng menurun sebanyak 106 orang, berhasil dipulangkan

sebanyak 60 orang dan 20 orang lagi mendapat pelatihan untuk kursus membuat sol

sepatu. Di tahun 2010 jumlah gepeng ini menurun drastis sebanyak 48 orang dan

dipulangkan sebanyak 20 orang serta mendapatkan olah pangan sebanyak 20 orang.

Penanganan gelandangan dan pengemis serta kemiskinan di Pekanbaru

tentunya menjadi tanggung jawab bersama semua pihak. Salah satu penanganan

masalah ini dilakukan oleh Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP). Melalui

Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Penertiban Gelandangan dan

Pengemis dijadikan dasar hukum dalam penanganan atau penanggulangan

permasalahan sosial yang berhubungan dengan gelandangan dan pengemis.

Sementara itu Satuan Polisi Pamong Praja sebagai aparatur negara berdasarkan

peraturan Walikota Pekanbaru Nomor 16 Tahun 2008 diberi tugas khusus untuk

menegakkan ketertiban yang ada di Pekanbaru. Agar Satuan Polisi Pamong Praja

dapat menyelenggarakan kesejahteraan umum dan memberi pelayanan sebaik-

baiknya kepada masyarakat maka Satuan Polisi Pamong Praja memerlukan kekuasaan

tertentu untuk bertindak menurut inisiatif dan kebijakan sendiri terutama dalam

7

Page 8: Skrip Si

keadaan yang mendesak dan dimana tidak ada peraturan yang bersangkutan.10 Salah

satu tugas Satuan Polisi Pamong Praja ini ialah pengkoordinasian pemeliharaan dan

penyelenggaraan ketentraman dan ketertiban umum serta penegakan peraturan daerah

dan peraturan kepala daerah dengan aparat kepolisian, Penyidik Pegawai Negeri Sipil

atau Aparatur lainnya. Sementara fungsi dari Satuan Polisi menurut Peraturan

Walikota ini salah satunya ialah pelaksanaan kebijakan ketentraman dan ketertiban.

Sejauh ini penanganan masalah gelandangan dan pengemis ini dilakukan oleh

Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) sesuai tugasnya dalam rangka menciptakan

ketertiban umum. Satpol PP juga tidak dapat bekerja sendiri tanpa adanya koordinasi

dari Pemerintah. Pemerintah pun memiliki andil dalam penanganan permasalahan

gelandangan dan pengemis. Salah satu cara yang ditempuh ialah mengurangi tingkat

kemiskinan dan penyediaan rumah gratis bagi masyarakat tidak mampu yang tidak

memiliki tempat tinggal agar jumlah gelandangan berkurang.

Tugas Pamong Praja dalam permasalahan gelandangan dan pengemis

didukung pula oleh masyarakat. Masyarakat berpartisipasi membantu tugas aparat

Satpol PP dalam penanganannya. Ada dua model penyelesain masalah, model

pertama ialah terhadap masalah ketertiban umum (public disorder) dimana

masyarakat boleh ikut serta dalam penanganannya akan tetapi dalam masalah

penegakan hukum (law enforcement), hanya polisi saja yang berwenang

menanganinya.11 Model kedua, penegakan hukum (law eforcement ) bisa dilakukan

10 Bayu Surianingrat, Pamong Praja dan Kepala Wilayah, Rineka Cipta, Jakarta :1990, hal 27.11 Politik Kota dan Hak Warga Kota, Kompas, Jakarta : 2006. hal 105.

8

Page 9: Skrip Si

oleh masyarakat melalui pengembangan sosial. Namun dalam praktek di lapangannya

terdapat berbagai keluhan dari masyarakat tentang tugas yang dijalankan Satpol PP

ini, salah satunya ialah sistem kekerasan yang kadang melanggar HAM. Perlu adanya

tinjauan lebih lanjut lagi atas tugas yang dijalankan oleh Satpol PP ini yang

mengambil peran dalam penertiban gepeng di Pekanbaru.

Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) permasalahan

gelandangan dan pengemis (GEPENG) termasuk dalam pelanggaran. Hal ini diatur

dalam buku ketiga KUHP pasal 505 ayat (1):

” Barangsiapa dengan tidak mempunyai pencaharian mengembara kemana-mana, dihukum karena pelancongan, dengan kurungan selama-lamanya tiga bulan.”

Maksud pelancongan dari kalimat dalam KUHP tersebut ialah pengembara,

termasuk gelandangan yang berkelana dari satu tempat ke tempat lain serta tidak

memiliki mata pencaharian selain mengemis atau meminta-minta kesana kemari.

Dalam praktek di lapangannya terdapat berbagai keluhan dari masyarakat

tentang tugas yang dijalankan Satpol PP ini, salah satunya ialah sistem kekerasan

yang kadang melanggar HAM. Disatu sisi dibenarkan atas apa yang dilakukan oleh

Satpol PP karena Satpol PP mengemban tugas dari Pemerintah, sementara disisi lain

peranannya justru tidak efektif dalam pemberantasan gepeng di Pekanbaru. Perlu

adanya tinjauan lebih lanjut lagi atas tugas yang dijalankan oleh Satpol PP ini yang

mengambil peran dalam penertiban gepeng di Pekanbaru. Berdasarkan serangkaian

uraian di atas, penulis tertarik melakukan penelitian tentang peranan pelaksanaan

Satpol PP dalam keamanan dan ketertiban pengemis, dan menuangkannya dalam

9

Page 10: Skrip Si

suatu karya ilmiah berbentuk proposal skripsi dengan judul : “TINJAUAN

TERHADAP PELAKSANAAN PERANAN SATUAN POLISI PAMONG

PRAJA DALAM MELAKSANAKAN KEAMANAN DAN KETERTIBAN

TINDAK PIDANA GELANDANGAN DAN PENGEMIS DI KOTA

PEKANBARU”.

B. RUMUSAN MASALAH

Sehubungan dengan latar belakang masalah diatas, maka penulis menetapkan

masalah pokok yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah pelaksanaan peranan Satuan Polisi Pamong Praja dalam

melaksanakan keamanan dan ketertiban tindak pidana gelandangan dan

pengemis di kota Pekanbaru ?

2. Apa saja faktor penghambat Satuan Polisi Pamong Praja dalam pelaksanaan

keamanan dan ketertiban tindak pidana gelandangan dan pengemis di kota

Pekanbaru ?

3. Apa saja upaya Satuan Polisi Pamong Praja kota Pekanbaru dalam mengatasi

faktor penghambat dalam melaksanakan keamanan dan ketertiban tindak pidana

gelandangan dan pengemis di kota Pekanbaru ?

C. TUJUAN PENELITIAN

Adapun tujuan yang akan penulis capai dalam penlitian ini adalah:

1

Page 11: Skrip Si

1. Untuk mengetahui pelaksanaan peranan pada Satuan Polisi Pamong Praja

dalam melaksanakan keamanan dan ketertiban tindak pidana gelandangan dan

pengemis di kota Pekanbaru.

2. Untuk mengetahui faktor penghambat Satuan Polisi Pamong Praja dalam

pelaksanaan keamanan dan ketertiban tindak pidana gelandangan dan pengemis

di kota Pekanbaru.

3. Untuk mengetahui upaya Satuan Pamong Praja kota Pekanbaru dalam

mengatasi faktor penghambat untuk menertibkan tindak pidana gelandangan

dan pengemis di kota Pekanbaru.

D. MANFAAT PENELITIAN

Adapun manfaat penelitian ini adalah:

a. Untuk menambah pengetahuan penulis sendiri, dan untuk mengembangkan ilmu

pengetahuan yang telah penulis peroleh selama perkuliahan.

b. Untuk menyumbangkan pendapat dan informasi pada bidang hukum, khususnya

peranan Satuan Polisi Pamong Praja dalam melaksanakan keamanan dan

ketertiban gelandangan dan pengemis di kota Pekanbaru.

c. Untuk menambah referensi kepustakaan dan sebagai sumbangan penulis

terhadap almamater universitas Riau serta kepada seluruh pembaca.

d. Dapat digunakan sebagai bahan referensi oleh Pemerintah Daerah, Satuan Polisi

Pamong Praja dan para praktisi lainnya dan khususnya praktisi-praktisi hukum.

1

Page 12: Skrip Si

E. KERANGKA TEORI DAN KERANGKA KONSEPTUAL

1. Kerangka Teoritis

a. Teori Penegakan Hukum

Hukum adalah identik dengan keadilan, dengan menegakkan hukum berarti

menegakkan keadilan. Adapun undang-undang adalah suatu upaya manusia untuk

mengejawantahkan tujuan hukum yang sangat identik dengan keadilan itu dalam

peraturan tertulis.12 Secara konsepsional, maka inti dan arti penegakan hukum terletak

pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan dalam kaidah-

kaidah yang mantap sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir,

untuk menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.13

Manusia dalam pergaulan hidup pada dasarnya mempunyai pandangan-

pandangan tertentu mengenal apa yang baik dan apa yang buruk. Pandangan-

pandangan tersebut senantiasa terwujud didalam pasangan-pasangan tertentu,

misalnya, ada pasangan nilai ketertiban dengan nilai ketentraman, pasangan nilai

kepentingan umum dengan nilai kepentingan pribadi, pasangan nilai kelestarian

dengan nilai inovatisme dan sebagainya. Pasangan nilai tersebut perlu diserasikan.

Pasangan nilai-nilai yang telah diserasikan terjadi dalam bentuk kaidah-kaidah, dalam

hal ini kaidah-kaidah hukum yang berisikan larangan atau kebolehan. Kaidah-kaidah

tersebut kemudian menjadi pedoman atau patokan bagi prilaku atau sikap tindak yang

12 Radisman. F.S. Sumbayak, Beberapa Pemikiran ke Arah Pemantapan Penegakan Hukum, Jakarta : 1984, hal. 2.

13 ? Soejono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta : 1983, hal. 5.

1

Page 13: Skrip Si

dianggap pantas atau lazim atau yang seharusnya. Perilaku atau sikap tindak tersebut

bertujuan untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian.

Penegakkan hukum sebagai suatu proses, pada hakikatnya merupakan

penerapan diskresi yang menyangkut membuat keputusan yang tidak secara ketat

diatur oleh kaidah hukum, akan tetapi mempunyai unsur penilaian pribadi.14 Sehingga

hakikatnya diskresi berada diantara hukum dan moral. Atas dasar tersebut dapatlah

dikatakan bahwa, gangguan terhadap penegakkan hukum terjadi apabila ada

ketidakserasian antara “tri tunggal” nilai, kaidah, dan pola prilaku. Gangguan tersebut

terjadi apabila terjadi ketidakaserasian antara nilai-nilai yang berpasangan. Oleh

karena itu, dapatlah dikatakan bahwa penegakan hukum bukanlah semata-mata

berarti pelaksanaan perundang-undangan walaupun dalam kenyataan di Indonesia

kecendrungan adalah demikian. Selain itu ada kecendrungan yang kuat untuk

mengartikan penegakkan hukum sebagai pelaksanaan keputusan-keputusan hakim.

Berdasarkan penjelasan tersebut dapat ditarik suatu kesimpulan sementara,

bahwa masalah pokok penegakkan hukum sebenarnya mempunyai arti yang netral,

sehingga dampak positif atau negatifnya terletak pada isi faktor-faktor tertentu.

Faktor-faktornya adalah:

a. Faktor hukumnya sendiri (peraturan tertulis maupun tidak tertulis).

b. Faktor penegak hukum (hakim, polisi, jaksa).

c. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukng penegakan hukum.

14 ? Ibid, hal. 7.

1

Page 14: Skrip Si

d. Faktor masyarakat, lingkungan dimana hukum tersebut berlaku dan

diterapkan.

e. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang

didasarkan pada karsa manusia dalam pergaulan hidup.

Kelima faktor tersebut saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena esensi

dari penegakkan hukum, juga merupakan tolak ukur daripada efektivitas penegakkan

hukum.

b. Teori Peranan dan Satuan Polisi Pamong Praja

Secara sosiologis, setiap penegak hukum mempunyai kedudukan (status) dan

peranan (role). Kedudukan (sosial) merupakan posisi tertentu didalam struktur

kemasyarakatan yang mungkin tinggi, sedang-sedang saja atau rendah. Kedudukan

tersebut sebenarnya merupakan suatu wadah, yang isinya adalah hak-hak dan

kewajiban-kewajiban tertentu. Hak-hak dan kewajiban-kewajiban tertentu. Hak-hak

dan kewajiban-kewajiban tadi merupakan peranan atau role. Oleh karena itu,

seseorang yang mempunyai kedudukan tertentu, lazimnya dinamakan pemegang

peranan (role occupant). Suatu peranan tertentu dapat dijabarkan kedalam unsur-

unsur sebagai berikut:

1. Peranan yang ideal ( ideal role ).

2. Peranan yang seharusnya ( expexted role ).

3. Peranan yang dianggap sendiri ( perceived role ).

4. Peranan yang sebenarnya dilakukan ( actual role ).

1

Page 15: Skrip Si

Peranan yang sebenarnya dilakukan kadang-kadang dinamakan role

performance atau role playing. Kiranya dapat dipahami bahwa peranan yang ideal

dan yang seharusnya datang dari pihak lain, sedangkan peranan yang dianggap oleh

diri sendiri serta peranan yang sebenarnya dilakukan berasal dari diri pribadi. Sudah

tentu bahwa didalam kenyataannya, peranan-peranan tadi berfungsi apabila seseorang

berhubungan dengan pihak lain.15

Demikian halnya dengan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) dalam

menjalankan perannya dalam menjaga ketertiban dimasyarakat dimuat dalam

Peraturan Pemerintah No.32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah ini meliputi

susunan organisasi, formasi, kedudukan, wewenang, hak, tugas dan kewajiban Satuan

Polisi Pamong Praja. Khusus, mengenai fungsi dan peran dari Satpol PP diatur dalam

beberapa pasal, yaitu:

1. Pasal 3 yang menyebutkan: Satuan Polisi Pamong Praja mempunyai tugas

memelihara dan menyelenggarakan ketenteraman dan ketertiban umum,

menegakkan Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah.

2. Pasal 4 menyebutkan: Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 3, Satpol PP menyelenggarakan fungsi:

a. Penyusunan program dan pelaksanaan ketenteraman dan ketertiban umum,

penegakan Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah ;

b. Pelaksanaan kebijakan pemeliharaan dan penyelenggaraan ketenteraman

dan ketertiban umum di Daerah ;

15 Ibid,Hal.16.

1

Page 16: Skrip Si

c. Pelaksanaan kebijakan penegakan Peraturan Daerah dan Keputusan

Kepala Daerah ;

d. Pelaksanaan koordinasi pemeliharaan dan penyelenggaraan ketenteraman

dan ketertiban umum serta penegakan Peraturan Daerah, Keputusan

Kepala Daerah, Kepala Daerah dengan aparat Kepolisian Negara, PPNS

dan atau aparatur lainnya ;

e. Pengawasan terhadap masyarakat agar mematuhi dan menaati Peraturan

Daerah dan Keputusan kepala Daerah.16

c. Teori Masalah Sosial

Masalah sosial adalah suatu ketidaksesuaian antara unsur-unsur kebudayaan

atau masyarakat, yang membahayakan kehidupan kelompok sosial atau menghambat

terpenuhinya keinginan-keinginan pokok warga kelompok sosial tersebut, sehingga

menyebabkan kepincangan ikatan sosial.17

Seperti halnya dengan permasalahan gelandangan dan pengemis yang hampir

selalu ada di setiap kota. Permasalahan pengemis merupakan permasalahan yang

ditimbulkan akibat adanya kemiskinan di perkotaan yang dihadapi kota-kota di

Indonesia. Yang paling mudah dan terlihat jelas dari wajah kemiskinan perkotaan ini

adalah kondisi jutaan penduduk yang tinggal di pemukiman kumuh dan liar (slums

dan squatters).18 Kondisi kekumuhan ini menunjukkan seriusnya permasalahan

16 Pasal 3, dan 4 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.17 Soerjono Soekanto, op.cit., hal.358.18 Budhy Tjahjati Sugijanto Soegijoko, Pembangunan Kota Indonesia Dalam Abad 21, Jakarta :

2005, hal. 6.

1

Page 17: Skrip Si

sosial-ekonomi, politik dan lingkungan yang bermuara pada kondisi kemiskinan dan

dapat memicu timbulnya kriminalitas.19

Isjoni Ishaq dalam bukunya masalah sosial masyarakat memberikan batasan

secara sederhana tentang masalah sosial, yaitu perubahan gejala tingkah laku manusia

sehingga menimbulkan perbedaan pandangan dari sejumlah orang dalam

masyarakat.20 Menurutnya masalah sosial adalah:

a. Semua bentuk tingkah laku yang melanggar atau memperkosa adat istiadat

masyarakat (dan adat-istiadat tersebut diperlukan untuk menjamin

kesejahteraan hidup bersama).

b. Situasi Sosial yang dianggap sebagian besar dari warga masyarakat sebagai

mengganggu, tidak dikehendaki, berbahaya dan merugikan orang banyak.

Maka tingkah laku yang dianggap sebagai tidak cocok, melanggar norma dan

adat-istiadat, atau tidak berintegrasi dengan tingkah laku umum, dianggap sebagai

masalah sosial.21

2. Kerangka Konseptual

Untuk menghindari kesalahan dalam mengartikan judul penelitian ini dan

sebagai landasan penulis dalam penelitian ini serta untuk membantu penulis dalam

menyelesaikan penelitian ini, maka penulis menyediakan konsep-konsep sebagai

berikut :

19 Ibid.20 Isjoni Ishaq, Masalah Sosial Masyarakat, UNRI Press, Pekanbaru : 2002, hal.12-13. 21 B.Simanjutak, Beberapa Aspek Pantologi Sosial, Penerbit Alumni, Bandung : 1981, hal.1-2.

1

Page 18: Skrip Si

1. Tinjauan adalah salah satu meninjau, pandangan, pendapat (sesudah,

menyelidiki, mempelajari) atau perbuatan meninjau.22

2. Pelaksanaan adalah suatu proses, cara, perbuatan dalam melaksanakan

rancangan putusan.

3. Peranan adalah orang yang menjalankan peranan tertentu dalam suatu

peristiwa.

4. Satuan Polisi Pamong Praja adalah perangkat pemerintah daerah dalam

memelihara dan menyelenggarakan ketentraman dan ketertiban umum serta

menegakkan peraturan daerah.23

5. Polisi Pamong Praja adalah aparatur Pemerintah Daerah yang melaksanakan

tugas Kepala Daerah dalam memelihara dan menyelenggarakan keamanan dan

ketertiban umum, menegakkan Peraturan Daerah dan keputusan kepala

daerah.24

6. Keamanan adalah ketentraman, keadaan aman.

7. Ketertiban adalah peraturan dalam suatu keadaan masyarakat untuk keadaan

yang serba teratur dan baik.

8. Tindak pidana adalah perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan

diancam pidana.25

9. Gelandangan adalah orang yang hidup dalam keadaan tidak sesuai dengan

norma kehidupan yang layak dalam masyarakat setempat serta tidak

22 Kamus Besar Indonesia Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Balai Pustaka, Jakarta : 1996, hal. 951.

23 PP No. 32 Tahun 2004 Tentang Pedoman Satpol PP Pasal 1ayat (4).24 Ibid.25 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta : 2002, hal. 54.

1

Page 19: Skrip Si

mempunyai tempat tinggal dan pekerjaan yang tetap dan mengembara

ditempat umum.26

10. Pengemis adalah orang-orang yang mendapatkan penghasilan dengan

meminta-minta dimuka umum dengan berbagai cara dan alasan untuk

mengharap belas kasihan orang lain.27

F. METODA PENELITIAN

1. Jenis penelitian dan sifatnya

Metode pendekatan yang digunakan oleh penulis adalah Yuridis Empiris,

yang dimaksud dengan pendekatan yuridis empiris ialah sebagai usaha mendekati

masalah yang diteliti dengan sifat hukum yang nyata atau sesuai dengan kenyataan

yang hidup didalam masyarakat,28 yang melakukan analisa peranan pada satuan polisi

pamong praja dalam melaksanakan keamanan dan ketertiban gelandangan dan

pengemis di kota Pekanbaru Sifat penelitiannya termasuk ke dalam penelitian

Deskriptif yang melukiskan suatu kejadian di daerah tertentu pada saat tertentu yang

mempunyai gambaran data awal permasalahan yang akan diteliti terutama berkaitan

dengan judul ini.29

2. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian yang dipilih dilakukan di perempatan lampu merah di Jalan

Soekarno Hatta, Arengka, Pekanbaru. 26 Peraturan Daerah Kota Pekanbaru Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Ketertiban Sosial Bab II

Gelandangan Dan Pengemis pasal 2. 27 Ibid, pasal 2 ayat (2).28 Hilman Hadikusuma, Metode Pembuatan Kertas Kerja Atau Skripsi Ilmu Hukum, CV. Mandar

Maju, Bandug, 1955, Hlm. 61.29 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Percetakan UI, Jakarta :2005, hal. 10.

1

Page 20: Skrip Si

3. Teknik Sampling

Populasi adalah keseluruhan atau himpunan obyek dengan ciri yang sama.30

Yang termasuk populasi dari responden adalah seluruh anggota Satpol PP kota

Pekanbaru. Sampel adalah himpunan bagian atau sebagian dari populasi.31 Hal ini

dapat dilihat dalam tabel 1.1, yaitu tentang tabel populasi dan sampel yang penulis

ambil untuk diteliti:

TABEL 1.2Tabel Populasi dan Sampel

NO Responden Populasi Sampel Persentase1. Kepala Satuan Polisi

Pamong Praja Kota Praja.

1 1 100%

2. Anggota Satuan Polisi Pamong Praja Kota Pekanbaru.

200 20 10%

3. Gelandangan dan pengemis di Pekanbaru.

53 5 10%

Dalam menentukan sampel penulis menggunakan teknik non probability

sampling yaitu tidak semua jumlah populasi yang ada dijadikan sampel.

4. Sumber Data

Adapun metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini

adalah :

30 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, PT. Rajawali Pers, Jakarta :2006, hal. 118.31 Ibid, hal. 119.

2

Page 21: Skrip Si

b. Data primer yaitu data yang diperoleh secara langsung dari narasumber

dengan metode observasi (pengamatan), interview (wawancara) terhadap

peranan pada Satpol PP dalam melaksanakan keamanan dan ketertiban

gelandangan dan pengemis di kota Pekanbaru atau field research.

Penelitian lapangan (field research) penelitian langsung ke lapangan yang

dilakukan di Satpol PP kota Pekanbaru.

c. Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari bahan hukum di

perpustakaan serta perundang-undangan, data sekunder terdiri atas:

1. Bahan hukum primer, yaitu Undang-Undang Dasar 1945,

Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 Tentang Hak Azazi Manusia,

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,

dan Perda kota Pekanbaru No. 12 Tahun 2008 Tentang Ketertiban

Sosial.

2. Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai

bahan hukum primer, diantaranya Rancangan Undang-undang, hasil-

hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum dan seterusnya.

3. bahan hukum tertier, yakni bahan yang memberikan petunjuk

maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder:

contohnya adalah kamus, ensiklopedia, dan seterusnya.32

5. Teknik Pengumpulan Data

Di dalam penelitian ini juga menggunakan alat pengumpulan data antara lain :

32 Soerjono Soekanto, op.cit, hal. 51-52.

2

Page 22: Skrip Si

a. Observasi yaitu metode pengumpulan data yang dilakukan dengan cara

pengamatan langsung di Satpol PP kota Pekanbaru.

b. Wawancara yaitu melakukan tanya jawab secara langsung dengan responden,

yaitu:

Kepala Satpol PP kota Pekanbaru.

Anggota Satpol PP kota Pekanbaru.

Gelandangan dan Pengemis yang ada dikota Pekanbaru.

Metode ini digunakan untuk melengkapi informasi dan data yang diperoleh

dari hasil kuisioner.

c. Kuisioner yaitu metode pengumpulan yang dilakukan dengan cara membuat

daftar-daftar pertanyaan yang memiliki hubungan dengan peranan pada Satpol

PP dalam melaksanakan keamanan dan ketertiban gelandangan dan pengemis

di kota Pekanbaru, yang pada umumnya daftar pertanyaan itu sudah ada

jawaban yang disediakan.

d. Kajian kepustakaan yaitu penulis mengambil kutipan dari buku bacaan,

literatur, atau buku pendukung yang memiliki kaitanya dengan permasalahan

atau topik yang diteliti.

Penelitian kepustakaan dilakukan :

Perpustakaan Wilayah Riau.

Perpustakaan Universitas Riau.

Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Riau.

Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Islam Riau.

2

Page 23: Skrip Si

6. Analisis Data

Data yang telah diperoleh baik itu dari hasil wawancara, kuesioner yang

diberikan kepada responden, observasi, studi kepustakaan akan dianalisis dengan

menggunakan metode analisis kualitatif. Metode analisa kualitatif adalah metode

penelitian yang hasilnya berupa data deskriptif. Data deskriptif adalah data yang

dihasilkan dari apa yang dinyatakan oleh tiap-tiap responden baik itu tertulis ataupun

lisan dan prilaku nyata. Dari pembahasan tersebut, akan ditarik kesimpulan secara

deduktif. Penarikan kesimpulan secara deduktif adalah penarikan kesimpulan dari

yang bersifat umum menjadi khusus.

2

Page 24: Skrip Si

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. TINJAUAN UMUM MENGENAI GELANDANGAN DAN PENGEMIS

1. Pengertian Mengenai Gelandangan dan Pengemis

Menurut Soetjipto Wirosardjono mengartikan gelandangan dan pengemis

adalah fenomena kemiskinan, sosial, ekonomi, dan budaya yang dialami sebagian

kecil penduduk kota besar hingga menempatkan mereka pada lapisan sosial paling

bawah dimasyarakat kota. Walaupun menurut mereka telah bekerja keras, punya

kegiatan tertentu dan teratur serta pendapatan yang mendukung daya tahan mereka

untuk bertahan di kota besar tetapi tetap saja cara hidup, nilai dan norma kehidupan

mereka dianggap menyimpang dari nilai yang diterima oleh masyarakat normal.33

Gelandangan dan pengemis adalah suatu kelompok masyarakat yang

kurang beruntung kehidupannya ditengah-tengah kota besar. Mereka selalu

dikalahkan dengan kemiskinan serta masalah sosial yang melanda sehingga terpaksa

menjadi gelandangan dan pengemis. Tidak mempunyai bekal keterampilan dan

kemampuan yang memadai membuat mereka harus mempertahankan profesi atau

pekerjaan mereka. Namun keberadaannya selalu meresahkan masyarakat setempat.34

Dalam Peraturan Pemerintah RI No. 31 tahun 1980 tentang

Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis Pasal (1) dikatakan bahwa gelandangan

33 Soetjipto Wirosardjono, Gelandangan dan Pilihan Kebijaksanaan Penanggulangan,LP3ES, Jakarta : 1988, hal. 66.

34 http://www.docstoc.com. Kebijakan Pemerintah Dalam Menanggulangi Gepeng (Terakhir Kali Dikunjungi Tanggal 23 September 2010 Pukul 09.00 Wib).

2

Page 25: Skrip Si

adalah orang-orang yang hidupnya tidak sesuai dengan norma kehidupan yang layak

dalam masyarakat setempat serta tidak mempunyai tempat tinggal dan pekerjaan yang

tetap diwilayah tertentu dan hidup mengembara ditempat umum. Sedangkan

pengemis adalah orang yang mendapatkan penghasilan dengan meminta-minta belas

kasihan dari orang lain.35

Selain itu terdapat beberapa pengertian gelandangan antara lain :

1. Gelandangan adalah pelancong, pengembara, petualang yang artinya

berkelana kesana kemari, berpindah-pindah dari suatu tempat ketempat

lain dengan tidak mempunyai mata pencaharian tetap.36

2. Gelandangan merupakan suatu gejala sosial yang ditetapkan oleh

faktor-faktor yang kompleks, secara umum faktor yang paling

berpengaruh adalah faktor ekonomi khususnya efek dari masa tenaga

kerja pengembangan teknologi dan mekanisasi.37

3. Gelandangan adalah mereka yang tidak termasuk tuna wisma, tuna

karya dalam arti tidak mempunyai pekerjaan, buruh, tukang atau kuli,

hidup mengembara tidak mempunyai tempat tinggal.38

4. Gelandangan adalah orang-orang baik merupakan perseorangan laki-

laki atau perempuan remaja atau kanak-kanak maupun keluarga yang

35 Pasal 1 PP No. 31 Tahun 1980 Tentang Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis.36 http://www.docstoc.com. Kebijakan Pemerintah Dalam Menanggulangi Gepeng (Terakhir Kali

Dikunjungi Tanggal 23 September 2010 Pukul 09.00 Wib).37 Soejono Dirdjosiswono, Patologi Sosial, Alumni, Bandung : 1997, hal. 15.38 Naning Ramdlon. Problem Gelandangan Dengan Tujuan Psikologi, Armico, Bandung : 1991,

hal. 3.

2

Page 26: Skrip Si

tanpa nafkah kerja adalah berkeliaran dikota-kota tanpa rumah atau

tempat tinggal bahkan tidak terdaftar sebagai warga penduduk.39

Pengertian dan istilah gelandang dan pengemis itu sendiri dalam Undang-

Undang Dasar 1945 tidak diatur secara tegas, namun mengenai hak dan kewajiban

diatur sama seperti warga negara lainnya, secara tegas diatur dalam Pasal 27 ayat (2)

yang menyatakan bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan

penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Dalam uraian tersebut termasuk

didalamnya gelandangan dan pengemis. Para gelandangan dan pengemis pun berhak

atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, akan tetapi sebagian mereka hidup tidak

mau diatur, bebas, tidak mau bekerja berat tidur seenaknya sehingga bekerja dengan

orang lain bagi mereka dirasakan sebagai beban yang sangat berat.

Dalam Undang-Undang Dasar 1945 mengenai gelandangan dan pengemis

tidak diatur secara khusus, namun dalam Pasal 34 UUD 1945 menyebutkan bahwa

“fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara”. Gelandangan dan pengemis

dapat dikategorikan sebagai fakir miskin. Pengaturan mengenai masalah gelandangan

dan pengemis diatur dalam perundang-undangan lain. Adapun pengaturan mengenai

gelandangan dan pengemis ini diatur dalam :

1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 504 dan Pasal 505.

39 Simanjuntak, Beberapa Aspek Patologi Sosial, Alumni, Bandung : 1991, hal. 376.

2

Page 27: Skrip Si

Dalam pasal 504 KUHP diatur mengenai larangan mengemis di depan

umum dapat dijatuhkan pidana kurungan paling lama enam minggu dan

bagi siapa yang melakukan pengemisan lebih dari tiga orang akan dipidana

kurungan paling lama tiga bulan. Sementara dalam pasal 505 KUHP

mengatur tentang gelandangan yang dapat diancam pidana kurungan

selama tiga bulan dan kegiatan pergelandangan yang dilakukan oleh tiga

orang atau lebih diancam pidana kurungan paling lama enam bulan.

2) PP No. 31 Tahun 1980 Tentang Penertiban Gelandangan dan Pengemis.

Dalam peraturan pemerintah ini memuat tentang pengertian gelandangan

dan pengemis secara umum, larangan melakukan kegiatan gelandangan dan

pengemisan serta upaya penertiban gelandangan dan pengemis. Ini

merupakan dasar hukum bagi Satpol PP untuk melakukan penertiban para

gelandangan dan pengemis.

3) Perda Kota Pekanbaru No. 12 Tahun 2008 Tentang Ketertiban Sosial.

Pengaturan mengenai gelandangan dan pengemis ini diatur dalam pasal 2,

3, dan 4. Pada pasal 2 menjelaskan pengertian mengenai gelandangan dan

pengemis itu sendiri. Pada pasal 3 mengatur mengenai larangan kegiatan

gelandangan dan pengemisan yang dilakukan baik itu di jalan raya, jalur

hijau, persimpangan lampu merah, jembatan penyeberangan dan tempat-

tempat umum lainnya. Selain mengatur larangan kegiatan gelandangan dan

pengemisan, dalam pasal 3 tersebut juga mengatur larangan bagi seseorang

yang memberikan sumbangan bentuk uang dan barang. Pada pasal 4

2

Page 28: Skrip Si

mengatur larangan bagi seseorang atau kelompok yang menyediakan

tempat, membentuk atau mengorganisir gelandangan dan pengemisan.

Terhadap seseorang yang melanggar ketentuan pasal 2, 3, dan 4 Perda kota

Pekanbaru No. 12 Tahun 2008 Tentang Ketertiban Sosial akan diberikan

sanksi sesuai dengan pasal 29 yaitu pidana kurungan paling lama 3 bulan

atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).

Masa sekarang ini gejala gelandangan dan pengemis cendrung dipandang

sebagai gaya hidup yang negatif. Pada umumnya gejala ini dipandang sebagai gejala

sosial yang berlawanan dengan arah perkembangan kota, dimana kaum gelandangan

dan pengemis merupakan kelompok masyarakat yang tersingkirkan karena kurang

bisa melibatkan diri dalam proses perkembangan kota atau tidak mempunyai

kemampuan untuk bersaing dengan kelompok masyarakat lain dilingkungan

masyarakat kota.40

Menurut Keith Harth dan Jean Breman menggolongkan para gelandangan

dan pengemisan termasuk kedalam golongan sektor informal, artinya para

gelandangan dan pengemis ini memperoleh penghasilan yang sah dari sektor

informal.41

Gelandangan dan pengemis menurut tarafnya, dapat dikelompokkan

menjadi 3 yaitu :42

40 Y. Argo Tri Kromo, Gelandangan dan Pengemis Yogyakarta, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta : 1999, hal. 8.

41 http://www.docstoc.com. Kebijakan Pemerintah Dalam Menanggulangi Gepeng (Terakhir Kali Dikunjungi Tanggal 14 Oktober 2010 Pukul 11.00 Wib).

42 Ibid.

2

Page 29: Skrip Si

1) Gelandangan dan pengemis yang masih ada hubungan dengan masyarakat

normal.

Jenis gepeng ini, masih berkelompok dengan para gepeng lainya dan

biasanya mereka menolak makanan yang ada di pembuangan sampah.

Mereka masih mengutamakan mandi, mencuci pakaian, tidur secara

berkelompok dan kelompoknya bersifat terbuka bagi gelandangan dan

pengemis lain.

2) Gelandangan dan pengemis berkelompok dan mempunyai organisasi

tertutup dan tegar.

Mereka pada umumnya mengambil makanan dari tempat sampah dan tidak

berhubungan dengan masyarakat normal. Untuk bersosialisasi hanya

dengan kelompok organisasinya.

3) Gelandangan dan pengemis yang tidak mempunyai kelompok.

Biasanya kelompok gelandangan dan pengemis ini, mengambil makanan

dari tempat sampah, tidak mau berkomunikasi dengan masyarakat normal,

jarang mandi, selalu ingin sendirian dan tidak mempunyai kelompok.

Selain pengelompokan para gelandangan dan pengemis diatas, Muthalib

dan Sudjarwo memberikan 3 gambaran umum kelompok gepeng, yaitu :43

1. Sekelompok orang yang miskin atau yang dimiskinkan oleh masyarakat.

43 Ibid.

2

Page 30: Skrip Si

2. Orang yang disingkirkan dari khalayak ramai.

3. Orang yang berpola hidup agar mampu bertahan dalam kemiskinan dan

keterasingan.

2. Tindak Pidana Gelandangan dan Pengemis

Perbuatan seseorang sebagai gelandangan dan pengemis dipandang sebagai

tindak pidana. Dalam bahasa Belanda tindak pidana disebut “straafbaar feit “ yang

terdiri dari kata “straafbaar” dan “feit”, straafbaar diartikan dihukum dan feit berarti

kenyataan. Jadi straafbaar feit adalah sebagian dari kenyataan yang dapat dihukum.44

Pengertian straafbaar feit menurut para ahli :

1. Simons mengartikan straafbaar feit adalah tindakan melanggar hukum

yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh

seseorang yang dapat dipertanggung jawabkan atas tindakannya dan oleh

Undang-Undang dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum.45

2. E.Utrecht mengartikan straafbaar feit dengan istilah peristiwa pidana atau

delik, karena peristiwa itu suatu perbuatan handelen atau doen positif atau

suatu melalaikan nalaten negatif maupun akibatnya (keadaan yang

ditimbulkan karena perbuatan atau melakukan itu). Peristiwa pidana

merupakan suatu peristiwa hukum (rechtsfeit) yaitu peristiwa

kemasyarakatan yang membawa akibat yang diatur oleh hukum.46

44 ? Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta : 2005, hal. 5.45 Ibid.46 Ibid, hal. 6.

3

Page 31: Skrip Si

3. Pompe mengartikan straafbaar feit adalah pelanggaran norma atau

gangguan terhadap hukum yang dengan sengaja atau tidak sengaja

dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap

pelaku itu adalah penting demi terpeliharanya tertib hukum dan

terjaminnya kepentingan umum.47

4. Moeljatno mengartikan straafbaar feit adalah perbuatan yang dilarang

oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang

berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan

tersebut.48

5. Van Hamel mengartikan straafbaar feit adalah kelakuan orang (menselijke

bedraging) yang dirumuskan dalam wet, bersifat melawan hukum, patut

dipidana (straaf waar dig) dan dilakukan dengan kesalahan.49

Disamping itu istilah tindak pidana sebagai terjemahan straafbaar feit juga

diartikan sebagai peristiwa pidana, perbuatan pidana, perbuatan yang boleh dihukum,

perbuatan yang dapat dihukum dan pelanggaran pidana.50

Pengaturan tentang tindak pidana gelandangan dan pengemis diatur dalam

beberapa peraturan perundang-undangan, yaitu :

1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

47 Ibid.48 Sofjan Sastrawidjaja, Hukum Pidana, Amrico, Cimahi : 1990, hal. 114. 49 Moeljatno, Op. cit. hal. 56. 50 Sofyan Sastrawidjaja.,Op.cit, hal. 111.

3

Page 32: Skrip Si

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana terdapat ketentuan yang

mengatur tindak pidana pengemisan sebagaimana dalam Pasal 504 KUHP

yaitu :

(1) : “ Barangsiapa mengemis di muka umum, diancam karena melakukan pengemisan dengan pidana kurung paling lama enam minggu.”

(2) : “ Pengemisan yang dilakukan oleh tiga orang atau lebih, yang berumur diatas enam belas tahun diancam dengan pidana kurungan paling lama tiga bulan.”

Dalam pasal ini, seseorang dapat dikatakan melakukan tindak pidana

pengemisan jika memenuhi unsur-unsur sebagai berikut :

a. Melakukan pengemisan di depan umum.

Seseorang melakukan pengemisan di depan umum ini seperti

melakukan kegiatan meminta-minta di jalan raya, jembatan

penyeberangan, persimpangan lampu merah, dan tempat-tempat

lain yang diduga sebagai tepat dilakukannya kegiatan pengemisan.

b. Adanya kegiatan pengemisan yang dilakukan oleh tiga orang atau

lebih yang berumur diatas enam belas tahun.

Kegiatan pengemisan yang dilakukan oleh tiga orang atau lebih

dapat dikategorikan sebagai adanya suatu sindikat yang telah

mengatur kegiatan orang tersebut. Dan mereka wajib menyetor hasil

pengemisan kepada penggerak.

Kemudian KUHP secara terpisah mengatur tindak pidana gelandangan

sebagaimana tertuang dalam Pasal 505 KUHP yaitu:

3

Page 33: Skrip Si

(1) :” Barangsiapa bergelandangan tanpa pencarian diancam karena melakukan pergelandangan dengan pidana kurungan paling lama tiga bulan.’’

(2) :“ Pergelandangan yang dilakukan oleh tiga orang atau lebih yang berumur diatas enam belas tahun diancam dengan pidana kurungan paling lama enam bulan.”

Dalam pasal ini, seseorang dapat dikatakan melakukan tindak pidana

gelandangan jika memenuhi unsur-unsur sebagai berikut :

a) Melakukan gelandangan tanpa pencarian.

Melakukan gelandangan tanpa pencarian ini maksudnya adalah

seseorang yang melakukan perjalanan tanpa ada tujuan, dalam waktu

lama serta menetap disuatu daerah dianggap melakukan

pergelandangan, karena seseorang tersebut tidak mempunyai tempat

tujuan pasti.

b) Kegiatan gelandangan yang dilakukan tiga orang atau lebih.

Sama halnya dengan tindak pengemisan diatas, tindak pidana

gelandangan yang dilakukan oleh tiga orang atau lebih patut diduga

sebagai suatu sindikat yang telah diatur oleh seseorang sebagai

penggeraknya. Dan hasil kegiatan meminta-minta tersebut harus

disetor kepada penggerak.

2. Peraturan Daerah Kota Pekanbaru No. 12 Tahun 2008 Tentang

Ketertiban Sosial.

3

Page 34: Skrip Si

Ketentuan pidana yang mengatur tindak pidana terhadap pelaku

gelandangan dan pengemis secara khusus diatur dalam Perda Kota

Pekanbaru No. 12 Tahun 2008 Tentang Ketertiban Sosial yaitu Pasal 3 dan

Pasal 4 sebagai berikut :

Pasal 3 :

(1) :” Dilarang melakukan pengemisan di depan umum dan ditempat umum, di jalan raya, jalur hijau, persimpangan lampu merah dan jembatan penyeberangan.”

(2) :” Dilarang bagi setiap orang memberikan sumbangan dalam bentuk uang atau barang kepada gelandangan dan pengemis di jalan raya, jalur hijau, persimpangan lampu merah dan jembatan penyeberangan atau di tempat-tempat umum.”

(3) :” Dilarang bergelandangan tanpa pencaharian ditempat umum dijalan raya, jalur hijau, persimpangan lampu merah dan jembatan penyeberangan.”

Sama halnya dengan ketentuan pasal 504 dan pasal 505 KUHP, dalam

pasal 3 ini, seseorang dapat dikatakan melakukan tindak pidana

gelandangan dan pengemisan jika memenuhi unsur-unsur sebagai berikut :

a) Melakukan pengemisan di depan umum.

Seseorang dapat diduga melakukan pengemisan jika seseorang

tersebut melakukan kegiatan meminta-minta di depan atau tempat-

tempat umum seperti jalan raya, jalur hijau, persimpangan lampu

merah, jembatan penyeberangan dan tempat-tempat lain yang

dianggap sebagai tempat pengemisan.

b) Memberikan sumbangan dalam bentuk uang atau barang.

3

Page 35: Skrip Si

Unsur ini ditujukan kepada seseorang yang diduga memberikan

sumbangan dalam bentuk uang atau barang kepada gelandangan

dan pengemis. Maka seseorang yang memenuhi unsur ini dapat

dipidana kurungan.

c) Bergelandangan tanpa pencarian.

Sama halnya dengan yang dimaksud dalam pasal 505 KUHP,

bergelandangan tanpa pencarian ini adalah seseorang yang

melakukan perjalanan tanpa ada tujuan yang pasti dan dalam

waktu lama, kemudian melakukan kegiatan meminta-minta patut

diduga melakukan pergelandangan.

Pasal 4 :

(3) :” Setiap orang atau kelompok dilarang melakukan usaha penampungan, membentuk dan atau mengorganisir gelandangan dan pengemis serta mengeksploitasi mereka yang bertujuan mencari keuntungan materi semata dengan memanfaatkan mereka.”

(4) :” Setiap orang atau badan dilarang menggunakan, menyediakan tempat atau bengunan rumah atau pertokoan atau perkantoran untuk digunakan sebagai tempat penampungan gelandangan dan pengemisan.

Dalam pasal ini, seseorang dapat dipidana jika memenuhi unsur-unsur

sebagai berikut :

a) Melakukan usaha penampungan, membentuk dan atau

mengorganisir kegiatan gelandangan dan pengemisan serta

mengeksploitasi mereka guna mendapatkan keuntungan.

3

Page 36: Skrip Si

Jika salah satu dari unsur diatas dipenuhi oleh seseorang, maka

orang tersebut dapat dipidana. Melakukan usaha penampungan,

membentuk dan mengorganisir kegiatan gelandangan dan

pengemis dapat dikategorikan sebagai sindikat yang menggerakan

kegiatan tersebut dengan tujuan pribadi yaitu mendapatkan

keuntungan.

b) Menyediakan tempat atau bangunan rumah, pertokoan, dan

perkantoran untuk menampung gelandangan dan pengemis.

Seseorang yang telah mempergunakan tempat tinggalnya, toko

ataupun kantor untuk menampung gelandangan dan pengemis

dapat dianggap turut serta mendukung kegiatan pergelandangan

dan pengemisan. Terhadap unsur ini dapat dipidana kurungan.

Terhadap seseorang yang melanggar ketentuan Pasal 3 dan 4 ini, maka

akan dijatuhkan sanksi berdasarkan Pasal 29 Perda Kota Pekanbaru No. 12

Tahun 2008 Tentang Ketertiban Umum yaitu :

“ Barangsiapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pasal 3 dan pasal 4 dalam Peraturan Daerah ini diancam dengan pidana kurungan paling lama 3 bulan dan atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).”

Sanksi yang diberikan oleh Perda ini, masih sangat ringan jika

dibandingkan keuntungan yang gelandangan dan pengemis itu peroleh dari

kegiatan meminta-minta. Pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan tidak

3

Page 37: Skrip Si

wajar diberikan terhadap seseorang (sindikat) yang menggerakkan kegiatan

meminta-minta tersebut. Hukuman pidana yang diberikan terlalu ringan.

Selain gelandangan dan pengemis yang melakukan kegiatan gelandangan

dan pengemisan, terhadap seseorang yang ikut memberikan sumbangan

kepada para gelandangan dan pengemis juga diberikan sanksi yaitu

terdapat dalam Pasal 29 ayat (1) Perda No 12 Tahun 2008 Tentang

Ketertiban Sosial yaitu dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan

dan atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,-(lima puluh juta rupiah).

3. Faktor Penyebab Terjadinya Gelandangan dan Pengemis

Faktor-faktor penyebab terjadinya gelandangan dan pengemis dalam

perspektif teoritis tidaklah berarti mencari faktor mana yang kiranya merupakan

faktor sebab akibat, akan tetapi dalam hal ini menerapkan sesuatu faktor yang akan

membawa resiko lebih besar ataupun lebih kecil dalam menyebabkan orang-orang

tertentu menjadi gelandangan. Pribadi yang menyimpang karena kurangnya kontrol

sosial merupakan proses terjadinya rasa inferior (rasa rendah diri) kondisi akan

menjadi parah apabila lingkungan sekitar menghina, menolak atau mengucilkan

dirinya, sehingga dia bisa menjadi sosiopatik. Oleh karena itu sekelompok individu

akan tumbuh dan berkembang dalam kelas sosial yang memilukan, dimana kriminal,

kemiskinan, pola asusila, kebiasaan mengemis, atau gelandangan menjadi cara hidup

(way of life) yang melembaga dalam kelompok tersebut. 51

51 Kartini, Kartono, Patologi Sosial, Raja Grafindo, Jakarta : 2005, hal. 57.

3

Page 38: Skrip Si

Dalam situasi dan kondisi demikian pertumbuhan psikologis dari pribadi

seseorang menjadi abnormal atau menyimpang sehingga tingkah laku individu

tersebut menjadi cocok dengan pola prilaku lokal tersebut namun dianggap patologi

oleh masyarakat luas.52

Adapun faktor-faktor penyebab terjadinya gelandangan dan pengemis

antara lain :

1) Faktor Internal

Faktor internal adalah suatu keadaan didalam diri individu dan keluarga gepeng

yang mendorong mereka untuk melakukan kegiatan gelandangan dan

pengemisan. Adapun faktor internal ini dipengaruhi oleh :53

a. Kemiskinan Keluarga

Kemiskinan individu termasuk salah satu faktor yang menentukan

terjadinya kegiatan gelandangan dan mengemis. Kemiskinan dapat

didefenisikan sebagai kondisi deprivasi materi dan sosial yang

menyebabkan individu hidup dibawah standar kehidupan yang layak, atau

kondisi dimana individu mengalami deprivasi relative (tekanan jiwa secara

terus menerus) dibandingkan dengan individu yang lainnya dalam

masyarakat. Kemiskinan ini membuat mereka berpandangan bahwa profesi

gelandangan dan pengemis ini harus dijalani untuk dapat mempertahankan 52 Ibid. hal. 58.53 http://www. Gedesedana.wordpress.faktor terjadinya gelandangan dan pengemis (Terakhir

Dikunjungi Tanggal 23 September 2010 Pukul 11.00 Wib).

3

Page 39: Skrip Si

kehidupannya dan melepaskan diri dari belenggu kemiskinan. Faktor dari

keluarga juga mendukung seseorang menjadi gelandangan dan pengemis,

karena banyak diantara mereka melakukan kegiatan pengemisan dan

menjadi gelandangan atas suruhan orang tua atau keluarga.

b. Pendidikan Formal

Faktor pendidikan ini sangat mempengaruhi seseorang menjadi

gelandangan dan pengemis. Hal ini dapat dilihat banyaknya anak-anak

kategori masih dibangku pendidikan tidak melanjutkan pendidikan karena

faktor ekonomi, yang mengharuskan mereka memilih untuk mengelandang

dan mengemis di jalanan. Kurangnya seseorang menikmati pendidikan

membuka peluang untuk melakukan pengemisan dan gelandangan.

c. Rendahnya Keterampilan

Selain pendidikan yang rendah, keterampilan yang tidak dimiliki juga dapat

menjadi faktor seseorang menjadi gelandangan dan pengemis.

Keterampilan merupakan hal terpenting untuk seseorang agar mendapatkan

pekerjaan dan penghidupan yang layak. Tidak adanya keterampilan yang

dimiliki oleh gelandangan dan pengemis membuat kegiatan gelandangan

dan pengemis adalah pilihan yang gampang untuk dilaksanakan guna

memperoleh penghasilan secara mudah.

d. Sikap Mental

3

Page 40: Skrip Si

Sikap mental dari seseorang yang melakukan kegiatan gelandangan dan

pengemisan cendrung mempunyai pikiran bahwa pekerjaan yang

dilakukannya adalah sesuatu yang biasa-biasa saja selayaknya pekerjaan

lain yang bertujuan untuk memperoleh penghasilan. Ketiadaan sumber-

sumber penghasilan dan keterbatasan dalam sarana dan prasarana serta

keterampilan menyebabkan mereka menjadikan gelandangan dan pengemis

sebagai suatu pekerjaan.

2) Faktor Eksternal

Faktor eksternal adalah faktor yang disebabkan karena pengaruh atau berasal

dari luar antara lain pengaruh urbanisasi, lingkungan, geografis dan ekonomi.

Urbanisasi merupakan arus perpindahan dari desa ke kota, karena berkeinginan

untuk mengubah nasib. Lingkungan merupakan keadaan disekitar kita baik

tempat tinggal maupun tempat kerja. Geografis merupakan suatu keadaan alam,

berupa kondisi tanah, udara, maupun cuaca. Sedangkan ekonomi adalah ukuran

pokok dari tingkat kesejahteraan seseorang. Faktor-faktor inilah yang membuat

seseorang menjadi gelandangan dan pengemis.

B. TINJAUAN MENGENAI SATUAN POLISI PAMONG PRAJA

1. Pengertian dan Sejarah Satuan Polisi Pamong Praja.

4

Page 41: Skrip Si

Pengertian satuan polisi pamong praja menurut pasal 1 ayat (4) PP No.32

Tahun 2004 tentang Pedoman Satuan Polisi Pamong Praja adalah perangkat

pemerintah daerah dalam memelihara dan menyelenggarakan ketentraman dan

ketertiban umum serta menegakkan peraturan daerah. Sedangkan menurut pasal 1

ayat (5) polisi pamong praja adalah aparatur pemerintah daerah yang melaksanakan

tugas kepala daerah dalam memelihara dan menyelenggarakan ketentraman dan

ketertiban umum serta menegakkan peraturan daerah dan keputusan kepala daerah.

Sejarah umum satuan polisi pamong praja (SATPOL PP) dimulai pada

tahun 1620 pada saat pemerintahan Gubernur Jendral VOC telah dibentuk “Bailluw”

yaitu semacam polisi yang merangkap Jaksa dan Hakim yang bertugas untuk

menangani perselisihan hukum antara warga dan VOC juga menjaga ketertiban dan

ketentraman warga kota. Pasca Raffles (1815) bailluw ini terus berkembang menjadi

organisasi yang tersebar disetiap keresidenan dengan dikendalikan sepenuhnya oleh

resident dan asisten resident. Satuan baru lainnya yang disebut besturpolite atau polisi

pamong praja yang dibentuk dengan tugas membantu pemerintah kewedanan untuk

melakukan tugas ketertiban dan keamanan. Pasca kemerdekaan RI pembentukan

polisi pamong praja tidak secara serempak tetapi bertahap sesuai tuntutan situasi dan

kondisi NKRI pada waktu itu. Yang pertama membentuk polisi pamong praja pada

saat itu adalah DI Yogyakarta tanggal 30 Oktober 1948 dengan nama detasemen

polisi pamong praja. Kemudian tanggal 3 Maret 1950 diseluruh pulau Jawa dan

Madura telah terbentuk satuan polisi pamong praja berdasarkan Keputusan Menteri

4

Page 42: Skrip Si

Dalam Negeri No. UR32/2/21/1950 dan disusul dengan Permendagriotda No. 7

Tahun 1960 tanggal 30 November 1960 untuk daerah luar pulau Jawa dan Madura.54

Dalam sejarahnya, keberadaan polisi pamong praja telah berkali-kali

berganti nama yaitu :55

1. Tahun 1948 disebut detasemen polisi penjaga keamanan kapanewon yang

diubah pada tahun yang sama menjadi detasemen polisi pamong praja

untuk Daerah Istimewa Yogyakarta.

2. Kepmendagri No. 32/2/20 dan No. 32/2/21 tanggal 3 Maret 1950 secara

nasional disebut kesatuan polisi pamong praja yang kemudian tanggal

inilah menjadi hari ulang tahun satuan polisi pamong praja.

3. Tahun 1962 berubah menjadi pagar baya bedasarkan permen pemerintah

umum dengan otonomi daerah No. 10 tahun 1962.

4. Tahun 1963 berganti menjadi kesatuan pagar praja bedasarkan permen

pemerintahan umum No. 1 tahun 1963 tanggal 11 Februari 1963.

5. UU No. 5 Tahun 1974 disebut dengan nama polisi pamong praja.

2. Peranan Satuan Polisi Pamong Praja Dalam Melaksanakan Keamanan dan Ketertiban Gelandangan dan Pengemis.

Dalam rangka mengantisipasi perkembangan dan dinamika kegiatan

masyarakat seirama dengan tuntutan era globalisasi dan otonomi daerah, maka

kondisi ketentraman dan ketertiban umum yang kondusif merupakan kebutuhan

mendasar bagi seluruh masyarakat untuk meningkatkan mutu kehidupannya.

54 www.satpol pohuwanto info.co/index (Terakhir Dikunjungi Tanggal 23 September 2010 Pukul 12.00 Wib).

55 Ibid.

4

Page 43: Skrip Si

Satuan polisi pamong praja merupakan suatu misi strategis dalam membantu

Kepala Daerah untuk menciptakan suatu kondisi daerah yang tentram, tertib,

dan teratur sehingga menyelenggarakan roda pemerintahan dapat berjalan

dengan lancar dan masyarakat dapat melakukan kegiatannya dengan aman.56

Untuk melaksanakan misi ini, Satpol PP telah diatur secara khusus dalam PP

No. 32 Tahun 2004 Tentang Pedoman Satuan Polisi Pamong Praja. Adapun

yang menjadi tugas dan wewenang Satpol PP menurut peraturan pemerintah ini

terdapat dalam Pasal 3, 4, dan 5, yaitu :

1. Tugas

Satuan polisi pamong praja mempunyai tugas memelihara dan

menyelenggarakan ketentraman dan ketertiban umum, menegakkan peraturan

daerah dan keputusan kepala daerah. Dalam melaksanakan tugas sebagaimana

diatas, satuan polisi pamong praja menyelenggarakan fungsi :

a. Penyusunan program dan pelaksanaan ketentraman dan ketertiban

umum, penegakan peraturan daerah dan keputusan kepala daerah.

b. Pelaksanaan kebijakan pemeliharaan dan penyelenggaraan

ketentraman dan ketertiban umum didaerah.

c. Pelaksanaan kebijakan penegakan peraturan daerah dan keputusan

kepala daerah.

d. Pelaksanaan koordinasi pemeliharaan dan penyelenggaraan

ketentraman dan ketertiban umum serta penegakan peraturan daerah,

56 Penjelasan PP No. 32 Tahun 2004 Tentang Pedoman Satuan Polisi Pamong Praja.

4

Page 44: Skrip Si

keputusan kepala daerah dengan aparat kepolisian negara, penyidik

pegawai negeri sipil (PPNS) dan atau aparatur lainnya.

e. Pengawasan terhadap masyarakat agar mematuhi dan mentaati

peraturan daerah dan keputusan kepala daerah.

2. Wewenang.

a. Menertibkan dan menindak warga masyarakat atau badan hukum

yang mengganggu ketentraman dan ketertiban umum.

b. Melakukan pemeriksaan terhadap warga masyarakat atau badan

hukum yang melakukan pelanggaran atas Peraturan Daerah.

c. Melakukan tindakan represif non yustisial terhadap warga

masyarakat atau badan hukum yang melakukan pelanggaran atas

peraturan daerah dan keputusan kepala daerah.

Dalam melaksanakan tugas dan wewenang tersebut, khususnya dalam

penanganan gelandangan dan pengemis Satpol PP harus memperhatikan

prinsip-prinsip penanganan gepeng seperti yang diatur dalam Pasal 7 Perda

Kota Pekanbaru No. 12 Tahun 2008 tentang Ketertiban Sosial yaitu :

1. Prinsip penerimaan gelandangan dan pengemis secara apa adanya.

2. Prinsip tidak menghakimi (non judgedment) gelandangan dan pengemis.

3. Prinsip individualism, dimana setiap gelandangan dan pengemis tidak

disama ratakan begitu saja, tetapi harus dipahami secara khusus sesuai

dengan keunikan pribadi dan masalah mereka masing-masing.

4

Page 45: Skrip Si

4. Prinsip kerahasiaan, dimana setiap informasi yang diperoleh dari

gelandangan dan pengemis dapat dijaga kerahasiaannya sebaik

mungkin, terkecuali digunakan untuk kepentingan pelayanan dan

rehabilitasi sosial gelandangan dan pengemis itu sendiri.

5. Prinsip partisipasi, dimana gelandangan dan pengemis beserta orang-

orang terdekat dengan dirinya diikut sertakan dan dapat berperan

optimal dalam upaya pelayanan dan rehabilitasi kembali kemasyarakat.

6. Prinsip komunikasi, dimana kualitas dan intensitas kominikasi antara

gelandangan dan pengemis dengan keluarga dan lingkungan sosialnya

dapat ditingkatkan seoptimal mungkin sehingga berdampak positif

terhadap upaya rehabilitasi gelandangan dan pengemis.

7. Prinsip kesadaran diri, dimana para pelaksana pelayanan dan rehabilitasi

sosial gelandangan dan pengemis secara sadar wajib menjaga kualitas

hubungan profesionalnya dengan gelandangan dan pengemis, sehingga

tidak jatuh dalam hubungan emosional yang menyulitkan dan

menghambat keberhasilan pelayanan.

Dalam melaksanakan keamanan dan ketertiban terhadap adanya

gelandangan dan pengemis, Satpol PP mempunyai peran yang penting untuk

memberantas keberadaan gelandangan dan pengemis tersebut. Adapun peran

Satpol PP ini berkaitan dengan upaya preventif dan upaya represif dalam

memberantas gelangan dan pengemis, yaitu :57

57 Perda Kota Pekanbaru No. 12 Tahun 2008 tentang Ketertiban Umum.

4

Page 46: Skrip Si

1. Upaya preventif

Upaya preventif adalah suatu upaya yang bertujuan untuk menghambat dan

atau membatasi tumbuh kembangnya masalah gelandangan dan pengemis

meliputi usaha yang dilaksanakan di bidang pendidikan, ketenagakerjaan,

keagamaan, kesejahteraan sosial, dan hukum terutama yang bersifat

pencegahan, pembinaan, dan pengembangan. Upaya preventif ini dapat

dilakukan Satpol PP dengan cara melakukan tugas dalam bidang

penertiban, pengamanan dan penyuluhan sesuai dengan peraturan

perundang-undangan.58

2. Upaya Represif

Upaya represif adalah upaya penanganan gelandangan dan pengemis yaitu

usaha-usaha yang terorganisir dengan maksud meniadakan gelandangan

dan pengemis serta mencegah meluasnya didalam masyarakat. Upaya

represif ini dilakukan oleh Satpol PP berkaitan dengan kedudukannya

sebagai penyidik pegawai negeri sipil. Upaya represif ini dilakukan Satpol

PP dengan cara :59

a. Melakukan razia secara berkesinambungan dan melakukan tindakan

yang sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Melakukan razia merupakan upaya awal Satpol PP dalam

melaksanakan perannya secara represif. Dengan melakukan razia ini,

Satpol PP dapat menindak para gelandangan dan pengemis. Tindakan

58 PP No. 32 Tahun 2004 Tentang Pedoman Satpol PP.59 Wawancara Dengan Budi Mulya (Kepala Bidang TU Satpol PP kota Pekanbaru) Pada hari

Kamis Tanggal 30 September 2010 Pukul 11.20 Wib Bertempat di Kantor Satpol PP.

4

Page 47: Skrip Si

ini berupa peringatan, teguran, bimbingan atau pengarahan kepada

para gepeng agar tidak melakukan kegiatan meminta-minta. Tindakan

ini bertujuan agar tercipta keamanan dan ketertiban dalam masyarakat

serta terwujudnya keindahan kota.

b. Melakukan koordinasi dengan pihak kepolisian dan pihak lain yang

terkait dalam penanggulangan gelandangan dan pengemis.

Melakukan koordinasi dengan pihak kepolisian dan pihak lainnya

berkaitan dengan peran Satpol PP sebagai penyidik pegawai negeri

sipil. Dimana Satpol PP berperan memberikan laporan tentang adanya

tindak pidana gelandangan dan pengemisan yang terjadi.

c. Mencari sindikat gelandangan dan pengemis.

Berkaitan dengan peran Satpol PP melakukan koordinasi dengan

institusi lain, Satpol PP juga mempunyai peran untuk melakukan

koordinasi dengan kepolisian terkait adanya sindikat yang

menggerakkan kegiatan meminta-minta dari para gepeng.

BAB III

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4

Page 48: Skrip Si

A. PERANAN SATUAN POLISI PAMONG PRAJA DALAM

MELAKSANAKAN KEAMANAN DAN KETERTIBAN TINDAK

PIDANA GELANDANGAN DAN PENGEMIS DI KOTA PEKANBARU.

Satuan polisi pamong praja merupakan salah satu lembaga diluar kepolisian

RI yang mempunyai tugas melaksanakan fungsi kepolisian sekaligus sebagai

perangkat pemerintah daerah dalam memelihara dan menyelenggarakan ketentraman

dan ketertiban.60 Untuk mengoptimalkan kinerja Satpol PP perlu dibangun

kelembagaan yang handal sehingga tujuan terwujudnya kondisi daerah yang tentram

dan tertib dapat direalisasikan. Munculnya gangguan ketentraman dan ketertiban

umum serta timbulnya pelanggaran peraturan daerah identik dengan kepadatan

jumlah penduduk disuatu daerah.61 Salah satu bentuk adanya gangguan ketentraman

dan ketertiban ini adalah munculnya gelandangan dan pengemis (gepeng).

Gelandangan dan pengemis adalah orang-orang yang hidup dalam keadaan

tidak sesuai dengan kehidupan normal yang layak dalam masyarakat setempat, serta

tidak mempunyai tempat tinggal dan pekerjaan yang tetap diwilayah tertentu dalam

hidup mengembara ditempat umum serta mengganggu ketertiban, kebersihan dan

keindahan kota.62 Sedangkan pengemis adalah orang-orang yang mendapatkan

penghasilan dengan meminta-minta dimuka umum dengan berbagai cara dan alasan

60 http://elisatris.word press.com (Terakhir Kali Dikunjungi Tanggal 2 September 2010 Pukul 14.00 Wib).

61 Penjelasan PP No. 32 Tahun 2004 Tentang Pedoman Satpol PP.62 http://www.penanganan gepeng dikota-kota Indonesia (Terakhir Kali Dikunjungi Tanggal 29

September 2010 Pukul 09.00 Wib).

4

Page 49: Skrip Si

untuk mengharapkan belas kasihan dari orang lain serta mengganggu ketertiban

umum.63

Kehidupan yang serba bebas, terkesan kumuh membuat masyarakat begitu

jijik pada para gelandangan dan pengemis. Masyarakat begitu enggan menerima

kehidupan para gelandangan yang dianggap serba malas dan pengangguran, tidak

mau berusaha untuk bekerja keras.64 Pandangan masyarakat tersebut memang layak

diterima, hal ini sesuai dengan kenyataan dimana masyarakat merasa para

gelandangan dan pengemis identik dengan kriminalitas. Perasaan was-was

masyarakat tersebut tercipta dengan adanya pemberitaan dimedia massa baik itu

televisi maupun surat kabar. Hal tersebut yang menjadikan opini masyarakat

menganggap para gelandangan dan pengemis adalah suatu penyakit sosial yang harus

diberantas.

Jika dilhat dari sisi yang berbeda, para gelandangan dan pengemis ini tidak

ingin hidup dalam keadaan gelandangan dan melakukan kegiatan pengemisan. Ini

diungkapkan oleh Nasir (pengemis di perempatan simpang lampu merah mal SKA).

Beliau mengatakan bahwa tidak pernah menginginkan kegiatan pengemisan ini

terjadi pada dirinya. Nasir telah berusaha mencari pekerjaan yag layak bagi

keluarganya. Namun pekerjaan tersebut tidak juga ia dapatkan, dikarenakan terbatas

pada pendidikan yang ia miliki serta keterampilan. Nasir tidak mempunyai pilihan

lain selain melakukan pengemisan di perempatan jalan demi kehidupan keluarganya65

63 Ibid.64 Kartini Kartono, op cit hal. 139.65 Wawancara dengan Nasir (Pengemis di Perempatan Simpang Lampu Merah Mall SKA) Pada

Hari Minggu Tanggal 7 Oktober 2010 Pukul 15.30 Bertempat di Perempatan Simpang Lampu Merah

4

Page 50: Skrip Si

Mengingat permasalahan penyakit masyarakat atau yang biasa disebut pekat,

gelandangan dan pengemis merupakan bentuk patologi sosial yang terjadi hampir

disetiap kota termasuk kota Pekanbaru. Gelandangan dan pengemis pada dasarnya

adalah warga negara yang tidak memiliki akses dan kesempatan pada pekerjaan yang

layak dalam rangka memperoleh hak atas penghidupan yang layak. Gelandangan dan

pengemis seharusnya diletakkan sebagai entitas warga negara yang rentan (vulnerable

group) yang menuntut tindakan khusus untuk memperoleh kesetaraan yang sama

dengan warga negara lainnya.66 Namun yang menjadi masalah, apakah gelandangan

dan pengemis merupakan orang-orang yang benar-benar miskin atau sangat miskin

sehingga mutlak membutuhkan uluran tangan dari orang lain. Terhadap pertanyaan

tersebut, Komandan Pleton Satuan Polisi Pamong Praja di kota Pekanbaru yaitu

Hendri. Z menjawab permasalahan ini. Beliau mengatakan bahwa di kota Pekanbaru,

para gelandangan dan pengemis lebih dari 50% mereka bukan dari keluarga yang

benar-benar miskin. Mereka melakukan pengemisan hanya untuk mengelabui

masyarakat dengan cara membuat diri mereka seolah-olah cacat atau menderita. Hal

ini dilakukan hanya untuk mendapatkan belas kasihan dari masyarakat.67 Padahal

setelah dilakukan identifikasi, mereka dapat dikatakan berasal dari keluarga yang

cukup mampu memenuhi kebutuhan sehari-hari tanpa harus bekerja sebagai peminta-

minta.68

Mall SKA.66 http : //www.mitranews.com (Terakhir Kali Dikunjungi Tanggal 29 September 2010 Pukul 10.00

Wib).67 Wawancara dengan Komandan Pleton Satpol PP Hendri. Z Pada Hari Kamis Tanggal 30

September 2010 Pukul 10.00 Wib Bertempat di Kantor Satpol PP Jalan Kopan.68 Ibid.

5

Page 51: Skrip Si

Selanjutnya Poni Wahyudi selaku Komandan Pleton juga menambahkan

bahwa para gelandangan dan pengemis ini kerap kali melakukan tindakan kriminal

seperti menggores mobil-mobil yang sedang berhenti dilampu merah apabila tidak

diberi uang, melakukan jambret serta kriminal lainnya.69

Pernyataan Poni Wahyudi ini di benarkan oleh salah satu pengemis yang

meminta-minta di simpang lampu merah Harapan Raya yaitu Lis. Beliau mengatakan

bahwa ia pernah melakukan penggoresan pada mobil yang sedang berhenti di lampu

merah. Hal ini dilakukannya karena ia kesal pada pemilik mobil yang tidak mau

membuka kaca mobil pada saat ia meminta-minta.70 Amril menambahkan bahwa

sebagian besar gelandangan dan pengemis yang melakukan pengemisan di simpang

lampu merah Harapan Raya ini, pernah melakukan hal yang sama dengan apa yang

dilakukan ibuk Lis.71

Fenomena yang terjadi pada gelandangan dan pengemis ini, sudah sepatutnya

mendapatkan perhatian yang khusus, karena kehadiran mereka sudah sangat

meresahkan masyarakat dan menganggu keamanan, ketertiban, serta keindahan kota.

Untuk mengatasi fenomena gelandangan dan pengemis ini, maka diperlukan peran

aktif dari Satpol PP. Satpol PP merupakan perangkat pemerintah daerah dalam

69 Wawancara dengan Komandan Pleton Satpol PP Poni Wahyudi Pada Hari Kamis Tanggal 30 September 2010 Pukul 09.00 Wib Bertempat di Kantor Satpol PP Jalan Kopan.

70 Wawancara dengan Lis (Pengemis di Simpang Lampu Merah Harapan Raya) Pada Hari Minggu Tanggal 7 Oktober 2010 Pukul 15.00 Wib Bertempat di Simpang Lampu Merah Harapan Raya.

71 Wawancara dengan Amril (Pengemis di Simpang Lampu Merah Harapan Raya) Pada Hari Minggu Tanggal 7 Oktober 2010 Pukul 16.00 Wib Bertempat di Simpang Lampu Merah Harapan Raya.

5

Page 52: Skrip Si

memelihara dan menyelenggarakan ketentraman dan ketertiban umum serta

menegakkan peraturan daerah.72

Peran Satpol PP ini tidak hanya pada penanganan masalah gelandangan dan

pengemis, tetapi juga terhadap ketertiban sosial lainnya seperti adanya kehadiran

wanita tuna susila, waria, mucikari, penertiban terhadap pedagang kaki lima, adanya

tempat-tempat hiburan malam dan lainnya. Adapun peran Satpol PP dalam

melaksanakan keamanan dan ketertiban gelandangan dan pengemis di kota

Pekanbaru, antara lain :

1. Peran Preventif

Peran Satpol PP secara preventif dalam penanggulangan gelandang dan

pengemis adalah suatu upaya Satpol PP yang bertujuan untuk menghambat tumbuh

kembangnya masalah gelandangan dan pengemis yang dilaksanakan secara

profesional meliputi usaha-usaha yang dilaksanakan dibidang pendidikan, kesehatan,

ketenagakerjaan, keagamaan, kesejahteraan sosial, hukum yang terutama bersifat

pencegahan, pembinaan dan pengembangan.

Pada dasarnya usaha preventif dalam penanganan gelandang dan pengemis ini

tidak saja diperlukan adanya peran Satpol PP sebagai aparatur pemerintah daerah

yang melaksanakan tugas kepala daerah dalam memelihara dan menyelenggarakan

ketentraman dan ketertiban umum, namun peran pemerintah, masyarakat, dan pihak

swasta juga mempunyai peran yang adil dalam penanganan gelandangan dan

pengemis. Peran ini ditujukan kepada semua pihak diatas dalam hal memberikan

72 PP No. 32 Tahun 2004 Tentang Pedoman Satpol PP Pasal 1 Ayat (15).

5

Page 53: Skrip Si

penyuluhan, bimbingan, latihan, pendidikan, pemberian bantuan sosial serta

pembinaan lanjutan terhadap gelandangan dan pengemis sehingga akan tercegah

terjadinya :73

a. Pergelandangan dan pengemisan oleh individu atau keluarga terutama yang

sedang dalam keadaan sulit penghidupannya.

b. Meluasnya pengaruh dan akibat adanya pergelandangan dan pengemisan

dalam masyarakat yang dapat mengganggu ketertiban dan kesejahteraan pada

umumnya.

c. Pergelandangan dan pengemisan kembali oleh para gelandangan dan

pengemis yang telah direhabilitasi.

Dalam pemerintah daerah peran serta Satpol PP lah yang sangat penting untuk

menanggulangi permasalahan gelandangan dan pengemis. Landasan hukum Satpol

PP dalam melaksanakan ketentraman dan ketertiban umum yaitu PP No. 32 Tahun

2004 Tentang Pedoman Satpol PP. Di kota Pekanbaru sendiri telah mengeluarkan

peraturan daerah kota Pekanbaru No. 12 Tahun 2008 Tentang Ketertiban Sosial.

Dimana dalam peraturan daerah tersebut telah mengatur peran Satpol PP untuk

menangani masalah gelandangan dan pengemis yang terdapat dalam Pasal 8 Perda

No. 12 Tahun 2008 Tentang Ketertiban Sosial. Adapun peran Satpol PP kota

Pekanbaru menyangkut peran preventif ini untuk menangani masalah gelandangan

dan pengemis, yaitu :

73 http ://www.kebijakan pemerintah kota Semarang dalam pembinaan gelandangan (Terakhir Kali Dikunjungi Tanggal 30 September 2010 Pukul 15.00 Wib).

5

Page 54: Skrip Si

1) Melakukan sosialisasi

Melakukan sosialisasi merupakan peran Satpol PP secara preventif. Peran ini

dilakukan oleh Satpol PP untuk mencegah makin berkembangnya kegiatan

pergelandangan dan pengemisan. Peran Satpol PP dalam sosialisasi ini berkaitan

dengan perannya dalam pemerintah daerah. Satpol PP melakukan sosialisasi

terhadap peraturan daerah yang berkaitan dengan ketertiban umum terutama

masalah gelandangan dan pengemis yaitu sosialisasi terhadap Perda No.12 Tahun

2008 Tentang Ketertiban Sosial. Sosialisasi ini dilakukan Satpol PP dengan cara

mendatangi para gelandangan dan pengemis yang berada dijalanan, diperempatan

lampu merah, jembatan penyeberangan serta tempat-tempat lain yang diduga

sebagai tempat berkumpulnya para gelandangan dan pengemis. M. Yasir sebagai

anggota Satpol PP menyatakan bahwa sosialisasi ini dilakukan dalam bentuk

imbauan atau ajakan kepada gelandangan dan pengemis untuk tidak melakukan

kegiatan meminta-minta atau berkeliaran dijalanan tanpa ada tujuan.74 Arifin

sebagai anggota Satpol PP juga menambahkan bahwa dalam sosialisasi yang

dilakukan, kepada para gelandangan dan pengemis juga diberikan pengetahuan

mengenai sanksi apa yang akan dijatuhkan jika mereka melakukan kegiatan

pergelandangan dan pengemisan.75 Walaupun sosialisasi telah dilakukan, namun

fakta dilapangan menunjukkan masih banyaknya gelandangan dan pengemis yang

berkeliaran dijalanan. Sosialisasi yang dilakukan oleh Satpol PP tersebut seolah-

74 Wawancara dengan M.Yasir anggota Satpol PP Pada Hari Kamis Tanggal 30 September 2010 Pukul 11.00 Wib. Bertempat di Kantor Satpol PP kota Pekanbaru.

75 Wawancara dengan Arifin anggota Satpol PP Pada Hari Kamis Tanggal 30 September 2010 Pukul 10.30 Wib Bertempat di Kantor Satpol PP kota Pekanbaru.

5

Page 55: Skrip Si

olah tidak digubris oleh para gelandangan dan pengemis. Mereka tetap saja

melakukan kegiatan meminta-minta.

Rita yang merupakan salah satu pengemis yang berada diperempatan lampu

merah mal ska mengatakan bahwa ia pernah mendapatkan sosialisasi dari anggota

Satpol PP. Dimana pada saat sosialisasi tersebut anggota Satpol PP melarang para

pengemis untuk meminta-minta diperempatan lampu merah mal ska, dikarenakan

perbuatan yang dilakukan mereka itu sangat meresahkan masyarakat, mengganggu

ketertiban umum dan merusak keindahan kota Pekanbaru.76

Terhadap sosialisasi tersebut, Rita mengakui tidak begitu menggubris apa yang

telah dikatakan oleh Satpol PP tersebut. Sampai sekarang ini, Rita tetap saja

melakukan kegiatan pengemisan, kegiatan pengemisan ini tetap ia lakukan karena

tidak mempunyai pekerjaan lain. Ia ingin membuka usaha kecil-kecilan tetapi Rita

tidak mempunyai modal untuk usahanya tersebut.77

Jaja menambahkan sosialisasi yang dilakukan oleh Satpol PP tidak begitu

berarti baginya. Yang terpenting bagi Jaja adalah Jaja dapat bertahan hidup

walaupun dalam keadaan mengemis.78

Sosialisasi tersebut tidak akan ada artinya jika tidak diikuti dengan tindakan

lebih lanjutnya, seperti menindak para gelandangan dan pengemis yang melakukan

kegiatan meminta-minta dengan memberikan sanksi yang tegas kepada mereka. Jika

76 Wawancara dengan Rita (pengemis) Pada Hari Sabtu Tanggal 25 September 2010 Pukul 15.00 Wib Bertempat di Perempatan Lampu Merah Mal SKA.

77 Ibid.78 Wawancara dengan Jaja (Pengemis Diperempatan Simpang Lampu Merah Mall SKA) Pada Hari

Minggu Tanggal 10 Oktober 2010 Pukul 12:30 WIB di Perempatan Simpang Lampu Merah Mall SKA.

5

Page 56: Skrip Si

tidak, maka hal yang dilakukan oleh Rita (salah satu pengemis) juga akan dilakukan

oleh gelandangan dan pengemis lain yaitu tidak mengubris sosialisasi yang telah

dilakukan Satpol PP. Selain itu, Satpol PP juga harus selalu mengingatkan para

gelandangan dan pengemis yang melakukan kegiatan pergelandangan dan pengemis

tersebut.

2) Penyuluhan

Kegiatan penyuluhan yang dilakukan Satpol PP dalam penanganan gelandangan

dan pengemis dilakukan oleh Satpol PP bekerja sama dengan pihak lain seperti

lembaga swadaya masyarakat (LSM), mahasiswa, pihak swasta dan pihak lainnya.

Kegiatan penyuluhan ini berupa seminar-seminar yang menyangkut:79

a. Gelandangan dan pengemis itu sendiri.

b. Dampak dari gelandangan dan pengemisan.

c. Peran pemerintah dalam menanggulangi gelandangan dan pengemis.

d. Tindakan Satpol PP yang harus memperhatikan HAM.

e. Dan hal lain-lain yang menyangkut penanggulangan gelandangan dan

pengemis.

f. Rehabilitasi gelandangan dan pengemis.

Penyuluhan ini sangat bermanfaat dalam penanggulangan gelandangan dan

pengemis, karena dengan tema penyuluhan seperti inilah lebih memberikan

pemahaman kepada para gelandangan dan pengemis. Selain itu, penyuluhan yang

79 Wawancara dengan Komandan Pleton Ulhendra Pada Hari Kamis Tanggal 30 September 2010 Pukul 13.20 Wib Bertempat di Kantor Satpol PP kota Pekanbaru.

5

Page 57: Skrip Si

telah diberikan sebaiknya tidak sekedar hanya sebagai pembicaraan saja tetapi ada

pelaksanaan dari penyuluhan.

Komandan Pleton Satpol PP Hendri. Z mengatakan bahwa seminar yang

dilakukan diadakan oleh LSM atau mahasiswa dengan mengundang beberapa

gelandangan dan pengemis, Dinas Sosial dan pemakaman, polisi sebagai penegak

hukum dan Satpol PP itu sendiri. Peran Satpol PP dalam penyuluhan adalah

memberikan gambaran mengenai peranan Satpol PP dalam penanggulangan

gelandangan dan pengemis.80 Khusus pada tahun 2010 ini Satpol PP tidak ada

mengadakan kegiatan penyuluhan sama sekali. Penyuluhan dilakukan jika ada

program kerja dari Satpol PP sebelumnya dan ada anggaran untuk penyuluhan.81

Tujuan dari penyuluhan yang dilakukan oleh Satpol PP dalam upaya preventif

ini adalah :

1) Untuk memberikan gambaran kepada para gelandangan dan pengemis

mengenai kegiatan pergelandangan dan pengemisan yang merupakan

kegiatan yang dilarang oleh undang-undang. Selain itu juga kegiatan ini

sangat mengganggu ketertiban umum dan meresahkan masyarakat.

2) Memberikan pengetahuan kepada Satpol PP yang berfungsi sebagai

aparatur pemerintah daerah dalam melaksanakan ketentraman dan

ketertiban umum, penanganan gelandangan dan pengemis yang harus

memperhatikan hak asasi manusia dari gelandangan dan pengemis. Hal

80 Wawancara dengan Hendri. Z Pada Hari Kamis Tanggal 30 September 2010 Pukul 10.00 Wib Bertempat di Kantor Satpol PP kota Pekanbaru..

81 Ibid.

5

Page 58: Skrip Si

ini karena gelandangan dan pengemis juga manusia yang mempunyai

hak-hak yang harus dihormati dan hak untuk mendapatkan perlakuan

yang sesuai dengan kemanusiaan.

Dalam menjalankan fungsi dan perannya, sering kali anggota Satpol PP

bertindak diluar kewajaran yang tidak memperhatikan HAM dari gelandangan dan

pengemis itu sendiri. Munculnya gambaran negatif terhadap sosok aparat Satpol PP

tidak lain dan tidak bukan, karena seringnya masyarakat disuguhi aksi-aksi represif

yang terkesan arogan dari aparat Satpol PP tersebut saat menjalankan tugasnya

dalam memelihara dan menyelenggarakan keamanan dan ketertiban umum.

Terhadap persepsi ini Drs. Indra Kusuma (Kepala Satpol PP) yang diwakili

oleh Budi Mulya (Kepala Bidang Tata Usaha Satpol PP) menanggapi hal ini. Beliau

mengatakan bahwa tindakan yang dilakukan oleh sebagian anggota Satpol PP dalam

menertibkan gelandangan dan pengemis ini dilakukan terhadap mereka yang telah

berulang-ulang dirazia dan diproses serta terhadap mereka yang telah mendapatkan

keterampilan atau rehabilitasi tetapi kembali lagi melakukan pergelandangan dan

pengemisan.82

Selain penyuluhan yang bersifat pencegahan tindak pidana gelandangan dan

pengemis, penyuluhan juga diberikan Satpol PP kepada gelandangan dan pengemis

yang berhasil dirazia. Penyuluhan ini diberikan dalam bentuk upaya represif. Budi

Mulya mengatakan bahwa para gelandangan dan pengemis yang berhasil ditangkap

82 Wawancara dengan dengan Budi Mulya Pada Hari Kamis Tanggal 30 September 2010 Pukul 11.20 Wib Bertempat di Kantor Satpol PP kota Pekanbaru.

5

Page 59: Skrip Si

akan dibawa ke kantor Satpol PP. Selanjutnya terhadap para gelandangan dan

pengemis yang untuk pertama kali ditangkap akan diberi penyuluhan terlebih

dahulu. Agar mereka tidak mengulanggi kegiatan pergelandangan dan

pengemisan.83

2. Peran Represif

Peran represif dalam rangka penanggulangan gelandangan dan pengemis adalah

suatu penanganan gelandang atau pengemis yang dilakukan dengan usaha-usaha

yang terorganisir dengan maksud meniadakan gelandangan dan pengemis serta

mencegah meluasnya gelandangan dan pengemis dalam masyarakat.

Dalam peran reprensif ini, Satpol PP kota Pekanbaru telah mengambil langkah-

langkah sesuai dengan ketentuan yang berlaku, yaitu :

1) Melakukan razia.

Razia adalah kegiatan operasi lapangan secara bersama-sama antara satuan

pelaksana penanggulangan gelandangan dan pengemis dengan melibatkan

berbagai instansi yang terkait. Di kota Pekanbaru, instansi yang mempunyai

peran penting dalam penanggulangan gelandangan dan pengemis ini adalah

Satpol PP. Landasan hukum Satpol PP kota Pekanbaru melakukan razia

terhadap para gelandangan dan pengemis yaitu Perda No. 12 Tahun 2008

Tentang Ketertiban sosial Pasal 8 :

83 Ibid.

5

Page 60: Skrip Si

(1) : Penertiban gelandangan dan pengemis dilaksanakan razia oleh Satpol

PP, penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) bekerja sama dengan pihak

kepolisian.

(2) : Razia gelandangan dan pengemis dilakukan secara kontinyu antar

lintas instansi dengan melakukan razia ditempat-tempat umum dimana

biasanya mereka melakukan kegiatan mengelandangan dan mengemis

sehingga diperoleh data yang valid terhadap gelandangan dan pengemis

secara priodik.

(3) : Setiap orang yang terjaring dalam razia akan ditangkap dan diproses

secara hukum yang berlaku.

(4) : Tindak lanjut razia pada ayat (1) dan (2) di koordinasikan dengan

Dinas Sosial dan pemakaman kota Pekanbaru untuk dilakukan pembinaan

dan pelatihan bagi gelandangan dan pengemis baik non panti maupun panti

sosial milik pemerintahan daerah dan atau panti swasta dan atau

pengembalian bagi mereka yang berasal dari luar kota Pekanbaru.

Prioritas sasaran razia yang dilakukan oleh Satpol PP kota Pekanbaru

adalah para gelandangan dan pengemis yang melakukan kegiatan atau

menampilkan diri ditempat-tempat umum yang menganggu keindahan kota

Pekanbaru. Di tempat-tempat umum ini para gelandangan dan pengemis

biasanya berada diperempatan lampu merah, jembatan penyeberangan, ruko-

ruko, dan tempat-tempat lainnya yang dianggap sebagai tempat berkumpulnya

para gelandangan dan pengemis.

6

Page 61: Skrip Si

Kegiatan merazia para gelandangan dan pengemis ini dilakukan Satpol PP

kota Pekanbaru setiap hari kerja. Ini diungkapkan oleh M. Yasir (anggota

Satpol PP). Beliau mengatakan bahwa razia selalu dilakukan pada setiap hari

kerja yaitu pada pagi hari dan sore hari. Razia dilakukan dengan menyelusuri

jalan-jalan kota Pekanbaru yang dianggap sebagai tempat berkumpulnya para

gelandangan dan pengemis. Pada saat dilakukan razia, para gelandangan dan

pengemis rata-rata dari mereka telah mengetahui keberadaan petugas Satpol PP

dengan melihat mobil dinas Satpol PP, sehingga pada saat Satpol PP berada

ditempat tersebut mereka telah banyak yang melarikan diri. Akibatnya, setiap

tahun data tentang terjaringnya para gelandangan dan pengemis ini selalu

mengalami penurunan, padahal fakta dilapangan menunjukan jumlah para

gepeng ini semakin banyak. Untuk melihat jumlah para gelandangan dan

pengemis yang berhasil dijaring oleh Satpol PP dapat dilihat pada tabel

dibawah ini :

TABEL 3.1Jumlah Gepeng Yang Berhasil Terjaring No. Tahun Jumlah Terjaring1. 2008 119 orang2. 2009 106 orang3. 2010 48 orang

Sumber : Data Dari Dinas Sosial

Dari tabel diatas, dapat dilihat bahwa jumlah para gelandangan dan

pengemis yang berhasil terjaring oleh Satpol PP mengalami penurunan setiap

tahunnya. Pada tahun 2008 gepeng yang terjaring sebanyak 119 orang, tahun

2009 mengalami penurunan sebanyak 13 orang yaitu menjadi 106 orang.

6

Page 62: Skrip Si

Jumlah penurunan yang mengejutkan terjadi pada tahun 2010 yaitu dengan

jumlah gepeng hanya 48 orang.

Para gepeng yang berhasil terjaring ini selanjutnya akan dibawa ke kantor

Satpol PP untuk dilakukan pendataan. Dalam pendataan tersebut akan

ditanyakan nama, alamat (bagi gelandangan alamat yang ditanyakan adalah

alamat sebelumnya atau alamat saudara), asal kota, umur, agama, pendidikan,

lama operasi menjadi gelandangan dan pengemis, faktor yang menyebabkan

menjadi gelandangan dan pengemis, rencana ke depan, dan keterampilan yang

dimiliki. Data ini dimuat dalam suatu form. Dimana dalam form tersebut tidak

hanya mencantum identitas para gelandangan dan pengemis tetapi juga memuat

pernyataan atau surat perjanjian gelandangan dan pengemis. Surat pernyataan

ini dibuat untuk mereka yang pertama kali sampai tiga kali terjaring. Jika

melebihi tiga kali maka Satpol PP kota Pekanbaru melanjutkan kepada pihak

kepolisian agar dilakukan tindakan lanjutan. Adapun dalam penuturan Budi

Mulya menyatakan bahwa format isi surat perjanjian atau pernyataan

gelandangan dan pengemis yang disediakan oleh Satpol PP ini adalah :84

1) Para gepeng berjanji untuk tidak melakukan pekerjaan gelandangan dan

pengemisan lagi.

2) Para gelandangan dan pengemis tidak akan mengelandang dan pengemis

di tempat-tempat umum, di jalan protokol, lampu merah, dan jembatan

penyeberangan di kota Pekanbaru.

84 Ibid

6

Page 63: Skrip Si

3) Para gelandangan dan pengemis bersedia diberikan sanksi sesuai dengan

ketentuan yang berlaku.

4) Apabila melakukan pergelandangan dan pengemisan di kota Pekanbaru,

gelandangan dan pengemis bersedia dihukum pidana sesuai dengan

Perda kota Pekanbaru No. 12 Tahun 2008 Tentang Ketertiban Sosial

berupa kurungan selama 3 (tiga) bulan atau denda sebesar Rp.

50.000.000 (lima puluh juta rupiah).

Surat perjanjian tersebut harus ditandatangani dan dibubuhi materai 6000

rupiah. Menurut Budi Mulya, para gelandangan dan pengemis yang terjaring

dan yang telah membuat surat perjanjian tersebut, mereka masih saja tetap

sering melakukan kegiatan pergelandangan dan pengemisan kembali. Mereka

seolah-olah tidak menggubris dan tidak takut atas sanksi yang dijatuhkan.85

Walaupun demikian, Satpol PP tidak dapat berbuat banyak terhadap mereka

yang selalu mengulangi perbuatan pergelandangan dan pengemisan ini. Budi

mulya menambahkan dari data gelandangan dan pengemis yang terjaring tidak

satu pun para gepeng yang dihadapkan kepada pihak kepolisian. Hal ini karena

kurangnya dana yang dimiliki Satpol PP. Satpol PP hanya dapat melakukan

koordinasi dengan Dinas Sosial yang akan menampung para gelandangan dan

pengemis.86

85 Ibid.86 Ibid .

6

Page 64: Skrip Si

Setelah pendataan para gelandangan dan pengemis dilakukan, terhadap

gepeng yang baru melakukan kegiatan pergelandangan dan pengemisan untuk

pertama kali hanya diberikan peringatan atau teguran dengan surat perjanjian

tersebut. Namun terhadap gelandangan dan pengemis yang telah berkali-kali

terjaring selanjutnya Satpol PP melakukan koordinasi dengan Dinas Sosial dan

pemakaman.

2) Melakukan koordinasi dengan instansi terkait dalam penanggulangan

masalah gelandangan dan pengemis.

a. Koordinasi dengan Dinas Sosial.

Bentuk koordinasi Satpol PP dengan Dinas Sosial dan Pemakaman ini

adalah pemindahtanganan gelandangan dan pengemis dari Satpol PP ke

Dinas Sosial untuk mendapatkan pembinaan, bimbingan sosial,

keterampilan, dan pelatihan kerja.

Dinas Sosial terlebih dahulu mendata ulang mengenai identitas

gelandangan dan pengemis ini. Ini diungkapkan oleh Heriani, SST (Seksi

Rehabilitasi Tuna Sosial), beliau mengatakan bahwa setelah penyerahan

gelandangan dan pengemis dari Satpol PP, Dinas Sosial selanjutnya

mendata ulang identitas para gepeng. Jika pendataan selesai dilakukan

maka untuk tiga hari selanjutnya akan dilakukan pembinaan, pelatihan,

bimbingan sosial, dan keterampilan.87

87 Wawancara dengan Heriani, SST (Seksi Rehabilitasi Tuna Sosial) pada Dinas Sosial Pada Hari Jumat Tanggal 1 Oktober 2010 Pukul 09.00 Wib Bertempat di Kantor Dinas Sosial kota Pekanbaru.

6

Page 65: Skrip Si

Adapun maksud dan tujuan dari pembinaan, pelatihan, bimbingan dan

keterampilan, yaitu :

1. Mengembalikan kepercayaan pada kemampuan diri sendiri.

2. Menimbulkan sikap dan merubah mental.

3. Memberikan dasar keterampilan untuk melanjutkan hidup

TABEL 3.2Jumlah Gepeng Yang Mendapatkan Keterampilan

Sumber : Dari Data Dinas Sosial

Dari data di atas, tiap tahun gelandangan dan pengemis yang terjaring

dan mendapatkan keterampilan ( soft skill ) yang berbeda-beda. Untuk

tahun 2008,keseluruhan gelandangan dan pengemis yang terjaring

sepanjang tahun tahun 2008 mendapat pelatihan mengolah pangan dari

bahan-bahan sederhana ( contohnya pisang, nangka dan nenas yang

diolah menjadi keripik pisang, keripik nangka, dan keripik nenas ).

6

No. Tahun Jumlah Gepeng Yang Mendapatkan Keterampilan

Jenis keterampilan

1 2008 20 orang Olah pangan2 2009 20 orang Sol sepatu3 2010 20 orang Olah pangan

kerajinan

Page 66: Skrip Si

Sementara itu untuk di tahun 2009, seluruh yang terjaring berjumlah 20

orang dan mendapat pelatihan membuat atau memperbaiki sol septau.

Ditahun 2010, pertengahan tahun yang lalu, PSK yang terjaring

berjumlah 20 orang dan seluruhnya mendapatkan pelatihan keterampilan

( soft skill ) berupa olah pangan ditambah dengan kerajinan dari barang –

barang bekas ( contohnya mengolah bungkus-bungkus detergent atau kain

perca menjadi tas, dompet, dan pernak-pernik yang mempunyai nilai jual

di pasaran ).

Hal ini dibenarkan oleh pengemis-pengemis di perempatan lampu

merah SKA dan di perempatan lampu merah Ahmad Yani yaitu Fandi

(15), Hayatun (13), Puspa (16), Ambarwulan (16), dan Kornelius (16)

biasanya hanya nama pasaran mereka ketika bekerja menjalankan

aktivitas meminta-minta) . Seperti halnya Fandi dan Puspa, mereka

pernah terjaring dalam penjaringan yang dilakukan oleh Satpol PP di

tahun 2009 dan 2010. Mereka sempat mendapat pelatihan membuat sol

sepatu. Tapi setelah masa pelatihan habis, Fandi dan Puspa memutuskan

untuk kembali ke jalanan. Seperi penuturan Puspa, ”aku lebih suka jadi

pengemis, walaupun panas tapi hasil yang aku dapatkan lebih besar.” Hal

senada juga dituturkan oleh ketiga rekannya Hayatun, Kornelius, dan

Ambarwulan. Mereka bertiga pernah ikut pelatihan olah pangan dan

kerajinan tangan di pertengahan tahun 2010, namun ketiga-tiganya

memutuskan untuk kembali ke jalan menjani aktivitas mengemisnya.

Bahkan Korenelius yang berasal dari Pematang Siantar Sumut pernah

6

Page 67: Skrip Si

dipulangkan Satpol PP ke daerah asalnya namun di pertengahan jalan

tepatnya di Kandis, Kornelius turun dan kembali ke Pekanbaru.

Alasannya ia lebih betah hidup bersama kawan-kawannya di Pekanbaru

walaupun tidak punya tempat tinggal yang tetap dan bekerja sebagai

peminta-minta.

Bentuk lain koordinasi yang dilakukan Satpol PP dengan Dinas Sosial

yaitu Dinas Sosial kerap memberi laporan tentang keberadaan

gelandangan dan pengemis yang sudah sangat meresahkan ketertiban

umum. Jika tindakan gelandangan dan pengemis dianggap telah

mengganggu atau meresahkan orang lain, maka Dinas Sosial meminta

Satpol PP untuk memulangkan mereka ke daerah asalnya (karena

kebanyakan dari mereka merupakan pendatang). Budi Mulya mengatakan

bahwa laporan yang diperoleh dari Dinas Sosial tentang tindakan

gelandangan dan pengemis yang meresahkan masyarakat tersebut, Satpol

PP akan menindak para gepeng dengan memulangkan mereka kekampung

halamannya. Dari segi pendanaan, Satpol PP tidak mempunyai dana

untuk memulangkan mereka, dana tersebut diperoleh dari Dinas Sosial.

Untuk melihat jumlah gepeng yang berhasil dipulangkan keasalnya oleh

Satpol PP adalah sebagai berikut :

TABEL 3.3 Jumlah Gepeng Yang Dipulangkan

No. Tahun Jumlah Gepeng Yang Dipulangkan

1. 2008 58 orang2. 2009 60 orang3. 2010 20 orang

Sumber : Dari Data Dinas Sosial

6

Page 68: Skrip Si

Dari tabel diatas, jumlah gelandangan dan pengemis yang berhasil

dipulangkan cukup sedikit jika dibandingkan dengan jumlah gelandangan

dan pengemis yang terjaring walaupun tidak semua gelandangan dan

pengemis berasal dari daerah lain. Pada tahun 2008 jumlah gelandangan

dan pengemis yang dipulangkan sebanyak 58 orang. Mengalami kenaikan

pada tahun 2009 yaitu berjumlah 60 orang. Sementara pada tahun 2010

jumlah gelandangan dan pengemis yang dipulangkan sangat sedikit yaitu

20 orang.

b. Melakukan koordinasi dengan pihak kepolisian

Bentuk koordinasi yang dilakukan oleh Satpol PP dengan pihak

kepolisian adalah dalam hal adanya kegiatan pergelandangan dan

pengemisan yang merupakan tindak pidana. Satpol PP memberikan laporan

tentang tindak pidana pergelandangan dan pengemisan, serta memberikan

informasi tentang adanya sindikat gelandangan dan pengemisan yang

terorganisir. Pada tahun 2010, Satpol PP mempunyai laporan tentang

adanya 2 orang yang diduga sebagai otak dari kegiatan pergelandangan dan

pengemisan, namun laporan tersebut belum disampaikan kepada pihak

yang berwajib. Hal ini dikarenakan kurangnya dana untuk melakukan

koordinasi dengan kepolisian.

c. Koordinasi dengan institusi terkait.

Koordinasi yang dilakukan oleh Satpol PP dalam penanggulangan

gepeng ini selain dilakukan dengan Dinas Sosial, juga dilakukan dengan

6

Page 69: Skrip Si

pihak kepolisian dan lembaga-lembaga lainnya yang terkait dengan

penanganan gelandangan dan pengemis. Ini sesuai dengan Pasal 23 PP No.

32 Tahun 2004 Tentang Pedoman Satpol PP :

(1) : Satpol PP dalam melaksanakan tugasnya dapat bekerja sama

dengan kepolisian RI dan lembaga-lembaga lainnya.

(2) : Kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan atas

hubungan fungsional, saling membantu dan saling menghormati

dengan mengutamakan kepentingan umum dan memperhatikan

hirarki dan kode etik profesi dan birokrasi.

Koordinasi Satpol PP dengan pihak lain ini misalnya dengan pihak

swasta, masyarakat, dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Koordinasi

ini dilakukan dalam hal pembinaan, bimbingan, pelatihan, bantuan sosial

dan keterampilan.

3) Mencari dan menangkap otak sindikat gelandangan dan pengemis.

Kegiatan pergelandangan dan pengemisan tidak saja dilakukan sendiri-

sendiri oleh individu, tetapi kegiatan ini telah terorganisir dengan baik.

Berdasarkan keterangan dari Irwanto,S.sos selaku seksi pembinaan dan

pengembangan kapasitas pada Satpol PP menyatakan bahwa ada sekelompok

gelandangan dan pengemis yang beredar di kota Pekanbaru yang cara kerjanya

telah diorganisir atau diatur oleh orang lain yang bukan berasal dari kelompok

6

Page 70: Skrip Si

gepeng. Orang yang mengorganisir kegiatan para gelandangan dan pengemis ini

adalah otak dari kegiatan meminta-minta kelompok gepeng terutama pengemis

anak-anak. Di kota Pekanbaru, kelompok sindikat gelandangan dan pengemis

ini dapat dijumpai diperempatan lampu merah mal SKA Jalan Tuanku

Tambusai. Pada tahun 2010, Satpol PP berhasil menangkap 2 (dua) orang

sebagai otak dari kegiatan pergelandangan dan pengemis. Dua orang tersebut

berasal dari kegiatan gelandangan dan pengemis dimal SKA. Pada awalnya

mereka berdalih bahwa bukan mereka motor penggerak kegiatan para pengemis

diperempatan lampu merah tersebut. Namun Satpol PP tidak begitu saja

percaya dengan apa yang mereka ucapkan.88

Irwanto, S.sos menambahkan dua orang yang diduga sebagai otak

penggerak kegiatan gelandangan dan pengemis diperempatan lampu merah mal

ska itu patut diduga sebagai sindikat. Hal ini melihat fakta yang ada pada saat

terjadi penangkapan mereka, terdapat unsur-unsur tindak pidana didalamnya,

yaitu :89

1.Para gepeng menyetor uang hasil mengemis sebesar 30% kepada

penggerak tersebut. Ini berdasarkan keterangan dari para gelandangan

dan pengemis yang berhasil dijaring bersama otak penggeraknya.

88 Wawancara dengan Irwanto, S.sos (Seksi Pembinaan dan Pengembangan Kapasitas Satpol PP) Pada Hari Kamis Tanggal 30 September 2010 Pukul 13.00 Wib Bertempat di Kantor Satpol PP kota Pekanbaru.

89 Ibid.

7

Page 71: Skrip Si

2.Pengemis diajarkan cara meminta-minta yang bisa menimbulkan belas

kasihan dari orang lain dengan cara menipu (misalnya pura-pura

pincang, pura-pura buta, dll)

Dari tindakan para gelandangan dan pengemis serta penggeraknya jelas

terdapat unsur tindak pidana yaitu adanya unsur penipuan sebagaimana yang

dimaksud Pasal 378 KUHP :

” Barang siapa dengan maksud hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hak baik dengan memakai nama palsu, dengan akal dan tipu muslihat maupun dengan karangan perkataan bohong, membujuk orang supaya memberikan sesuatu barang, membuat hutang atau menghapuskan piutang dihukum karena penipuan dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun”.

Terhadap dua orang yang diduga sebagai otak kegiatan gelandangan dan

pengemis ini, Satpol PP tidak melakukan tindakan represif lebih lanjut lagi

yaitu melaporkan hal tersebut kepada pihak kepolisian. Satpol PP hanya

memberikan peringatan dengan menyuruh mereka menandatangani surat

perjanjian gelandangan dan pengemis.

B. FAKTOR PENGHAMBAT SATUAN POLISI PAMONG PRAJA DALAM

MELAKSANAKAN KEAMANAN DAN KETERTIBAN GELANDANG

DAN PENGEMIS DI KOTA PEKANBARU.

Gelandangan dan pengemis merupakan dua objek hasil dan realita kemiskinan.

Dua objek ini bersamaan dalam penanganan yang dilakukan Satpol PP untuk

melakukan keamanan dan ketertiban terhadap gepeng. Satpol PP bergerak dan

7

Page 72: Skrip Si

bertindak sesuai dengan perannya sebagai penyelenggara keamanan dan ketertiban

sosial. Dalam melaksanakan peran tersebut, Satpol PP mengalami beberapa kendala

yang menghambat kerjanya. Adapun faktor penghambat bagi Satpol PP dalam

melaksanakan perannya sebagai penyelenggara keamanan dan ketertiban sosial,

antara lain :

1. Ketidaktegasan PP No. 32 Tahun 2004 Tentang Pedoman Satpol PP.

Pedoman Satpol PP dalam melaksanakan ketertiban dan ketentraman terhadap

gelandangan dan pengemis diatur dalam PP No. 32 Tahun 2004 Tentang

Pedoman Satpol PP. Dalam peraturan tersebut peran Satpol PP dalam

melakukan penangkapan gelandangan dan pengemis tidak diberikan

wewenang yang luas. Satpol PP tidak mempunyai hak dan peran untuk

menjatuhkan hukuman atau memasukkan mereka yang terjaring kedalam sel.

Seperti yang diungkapkan Budi Mulya (Kepala Bidang Tata Usaha Satpol

PP), beliau mengatakan bahwa Satpol PP hanya memiliki peran sebagai

penertib ketertiban umum dan keamanan. Satpol PP tidak mempunyai peran

menjatuhkan hukuman bagi para gelandangan dan pengemis yang terjaring.

Hal inilah yang membuat peran Satpol PP sangat terbatas.90

Pada faktor penghambat ini, kewenangan yang dimiliki oleh Satpol PP dalam

menjatuhkan hukuman dan memasukkan gelandangan dan pengemis kedalam

sel dibatasi oleh kewenangan dari institusi lain yaitu penegak hukum seperti

90 Wawancara dengan dengan Budi Mulya Pada Hari Kamis Tanggal 30 September 2010 Pukul 11.20 Wib Bertempat di Kantor Satpol PP kota Pekanbaru.

7

Page 73: Skrip Si

Kepolisian, Kejaksaan, dan Hakim. Untuk menciptakan ketertiban dan

keamanan terhadap adanya gelandangan dan pengemis ini, Satpol PP harus

melakukan koordinasi dengan pihak lain terutama kepolisian sebagai gerbang

penegakan hukum. Koordinasi ini sesuai dengan yang diamanatkan oleh PP

No. 32 Tahun 2004 Tentang Pedoman Satpol PP yang terdapat dalam pasal

23, yaitu :

” Satpol PP dalam melaksanakan tugasnya dapat bekerja sama dengan pihak kepolisian RI dengan lembaga-lembaga lainnya.”

Kerjasama sebagaimana yang dimaksud diatas adalah didasarkan atas

hubungan fungsional, saling membantu dan saling menghormati dengan

mengutamakan kepentingan umum dan memperhatikan hirarki dan kode etik

profesi dan birokrasi.

2. Dana.

Segala macam pembiayaan kegiatan Satpol PP diambil dari APBD. Kepala

Satpol PP Drs. Indra Kesuma yang diwakili oleh Budi Mulya mengatakan

bahwa dana yang tersedia di satuan polisi pamong praja terbatas hanya pada

dana operasional. Untuk biaya pembinaan gelandangan dan pengemis terbatas

pada anggaran yang diberikan. Pembinaan ini seperti memberikan

penyuluhan, dan seminar saja. Sedangkan pada pemulangan gelandangan dan

pengemis serta penampungan sementara gelandangan dan pengemis tidak ada

anggaran untuk itu. Anggaran untuk pemulangan gelandangan dan pengemis

serta penampungan sementara ini dimiliki oleh Dinas Sosial. Akibat

7

Page 74: Skrip Si

keterbatasan pada dana ini ( Budi Mulya tidak dapat menuturkan secara

terperinci berapa jumlah dana untuk penanganan Gelandangan dan Pengemis

ini, dengan alasan beliau bukan orang yang tau pasti berapa anggaran yang

tepat dikeluarkan Pemerintah untuk permasalahan ini ), Satpol PP hanya dapat

menyerahkan permasalahan pemulangan dan penampungan para gelandangan

dan pengemis kepada Dinas Sosial. Sementara Dinas Sosial juga memiliki

keterbatasan dana dalam penanggulangan gelandangan dan pengemis. Dengan

keterbatasan dana ini, membuat penanganan gelandangan dan pengemis

menjadi terhambat. Akibatnya, para gelandangan dan pengemis yang berhasil

ditangkap hanya dapat ditampung sebatas kapasitas yang ada, sedangkan

untuk pemulangan gelandangan dan pengemis sendiri hanya dapat

dipulangkan dengan jumlah sedikit. Menurut Budi Mulya mengatakan bahwa

dana yang dimiliki Satpol PP untuk pemulangan dan penampungan sementara

bagi gelandangan dan pengemis ini tidak ada anggaran untuk itu. Dalam

penanganan gelandangan dan pengemis ini memang sudah merupakan

kewajiban dan tugas dari Satpol PP.91

3. Faktor masyarakat.

Faktor masyarakat ini sangat mempengaruhi kegiatan para gelandangan dan

pengemisan. Berkembang atau tidaknya kegiatan ini ditentukan oleh faktor

masyarakat.92 Hal ini karena masyarakatlah yang memberikan peluang untuk

91 Ibid. 92 Wawancara dengan dengan Budi Mulya Pada Hari Kamis Tanggal 30 September 2010 Pukul

11.20 Wib Bertempat di Kantor Satpol PP kota Pekanbaru.

7

Page 75: Skrip Si

para gelandangan dan pengemis melakukan kegiatan ini dengan cara

memberikan uang atau sumbangan kepada mereka. Jadi, untuk meminimalisir

ataupun untuk meniadakan keberadaan gelandangan dan pengemis,

masyarakat sudah sepatutnya tidak memberikan uang kepada mereka.93

Adanya faktor masyarakat ini sangat menghambat kerja Satpol PP untuk

menertibkan para gelandangan dan pengemis. Para gepeng ini merasa kegiatan

meminta-minta yang dilakukannya mendapat simpati dan dukungan dari

masyarakat dalam bentuk pemberian uang atau sumbangan. Dengan

masyarakat memberikan uang atau sumbangan ini justru akan membuat Satpol

PP menjadi kesulitan untuk memberantas para gepeng. Jika saja masyarakat

tidak memberikan uang atau sumbangan, tentu saja para gepeng ini lama-

kelamaan akan jenuh, karena kegiatan mereka tidak mendapatkan hasil yang

berarti. Terhadap masyarakat yang memberikan uang atau sumbangan ini,

undang-undang telah melarang perbuatan tersebut yaitu terdapat dalam pasal 3

ayat (2) Perda kota Pekanbaru No. 12 Tahun 2008 Tentang Ketertiban Sosial

yang berbunyi :

” Dilarang bagi setiap orang memberikan sumbangan dalam bentuk uang atau barang kepada gelandangan dan pengemis di jalan raya, jalur hijau, persimpangan lampu merah dan jembatan penyeberangan atau di tempat-tempat umum”.

Masyarakat yang melakukan perbuatan tersebut, akan dikenakan sanksi.

Sanksi ini diatur dalam pasal 29 ayat (1) Perda kota Pekanbaru yaitu akan

93 Ibid.

7

Page 76: Skrip Si

dikenakan sanksi pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan dan atau denda

paling banyak Rp. 50.000.000,-(lima puluh juta rupiah). Untuk menerapkan

sanksi ini, Satpol PP harus melakukan koordinasi dengan pihak kepolisian

tentang adanya masyarakat yang memberikan uang, sumbangan, dan barang

kepada para gelandangan dan pengemis. Dengan pemberian sanksi ini

diharapkan akan memberikan rasa jera bagi masyarakat lainnya.

4. Kurangnya koordinasi dengan pihak kepolisian.

Kurangnya koordinasi dengan pihak kepolisian ini sangat berhubungan

dengan dana yang dimiliki oleh Satpol PP. Menurut Budi Mulya, beliau

mengatakan bahwa Satpol PP sangat terbatas dalam pendanaan, termasuk

dalam hal melakukan koordinasi dengan pihak kepolisian. Untuk melakukan

koordinasi tersebut diperlukan dana seperti dalam hal Satpol PP menerima

adanya laporan tentang sindikat kegiatan gelandangan dan pengemis ini.

Terlebih dahulu Satpol PP harus mengumpulkan bukti awal adanya tindak

pidana gelandangan dan pengemis. Untuk mencari bukti awal tersebut, Satpol

PP membutuhkan dana operasional dalam mengungkap tindak pidana

gelandangan dan pengemis.94 Dana operasional yang dimiliki oleh Satpol PP

ini hanya terbatas pada dana untuk melakukan razia, sosialisasi, dan

penyuluhan saja. Sementara dana untuk melakukan koordinasi tidak ada.

Faktor kurangnya dana dalam mengungkap tindak pidana gelandangan dan

pengemis serta keterbatasan dana untuk melakukan koordinasi dengan pihak

94 Ibid.

7

Page 77: Skrip Si

kepolisian ini seharusnya tidak dijadikan faktor penghambat bagi Satpol PP

dalam melaksanakan keamanan dan ketertiban terhadap kegiatan gelandangan

dan pengemis. Melakukan koordinasi sudah merupakan tugas dan kewajiban

Satpol PP sebagai penyidik pegawai negeri sipil seperti yang telah

diamanatkan PP No. 32 Tahun 2004 Tentang Pedoman Satpol PP pasal 7 butir

(c) dan pasal 8 yaitu :

Pasal 7 butir (c) :

” Dalam melaksanakan tugasnya, polisi pamong praja wajib melaporkan kepada Kepolisian Negara atas ditemukannya atau patut diduga adanya tindak pidana”.

Pasal 8 :

” Sebagian anggota polisi pamong praja ditetapkan menjadi penyidik pegawai negeri sipil”.

Dalam pasal diatas, sudah jelas mengatur kewajiban Satpol PP yang harus

melakukan koordinasi dengan pihak Kepolisian tentang adanya tindak pidana.

Alasan tidak adanya dana tidak dapat dijadikan penghambat untuk menangkap

para pelaku gelandangan dan pengemis ini. Sudah seharusnya Satpol PP

menyadari akan kewajiban yang dimilikinya.

C. UPAYA DALAM MENGATASI FAKTOR PENGHAMBAT SATUAN

POLISI PAMONG PRAJA DALAM MELAKSANAKAN KEAMANAN

DAN KETERTIBAN TINDAK PIDANA GELANDANGAN DAN

PENGEMIS DI KOTA PEKANBARU.

7

Page 78: Skrip Si

Upaya yang dapat dilakukan oleh Satpol PP untuk mengatasi faktor

penghambat dalam melaksanakan keamanan dan ketertiban tindak pidana

gelandangan dan pengemis di kota Pekanbaru menurut penuturan Budi Mulya,

adalah :95

1. Faktor penghambat ketidaktegasan PP No. 32 Tahun 2004 Tentang Pedoman

Satpol PP ini dalam hal memberikan kewenangan yang luas kepada Satpol PP

untuk melakukan tindakan lebih lanjut terhadap penangkapan gelandangan

dan pengemis serta menjatuhkan hukuman bagi mereka, Satpol PP tidak dapat

melakukan hal banyak. Karena kewenangan ini telah diatur dalam peraturan

yang berlaku. Selain itu juga, kewenangan ini juga telah dibatasi oleh

kewenangan institusi lain yaitu kewenangan untuk melakukan penangkapan

dan menjatuhkan hukuman hanya dapat dilakukan oleh penegak hukum.

Koordinasi selama ini yang dilakukan oleh Satpol PP kepada pihak kepolisian

belum berjalan maksimal. Ini dapat dilihat dengan tidak adanya tindak pidana

gelandangan dan pengemis yang diajukan ke meja hijau. Padahal gelandangan

dan pengemis yang berhasil dijaring atau ditangkap cukup banyak. Selain itu,

sindikat gelandangan dan pengemis juga ada yang ditangkap oleh Satpol PP

tetapi tidak dilaporkan ke polisi.

2. Pada faktor pendanaan terhadap pemulangan dan tempat penampungan

sementara bagi para gelandangan dan pengemis ini, Satpol PP hanya dapat

memberikan masukan kepada pemerintah daerah tentang tidak adanya dana

95 Ibid.

7

Page 79: Skrip Si

yang tersedia guna pemulangan gelandangan dan pengemis ataupun tempat

sementara bagi gelandangan dan pengemis yang terjaring.

Budi Mulya mengatakan bahwa upaya untuk mengatasi faktor penghambat

pada pendanaan ini dapat dilakukan dengan cara Kepala Satpol PP mewakili

institusi memberitahukan kepada pemerintah daerah tentang keterbatasan dana

mengenai pemulangan dan tempat sementara bagi gelandangan yang terjaring

dalam rapat kerja yang dilakukan. Dengan cara ini, pemerintah daerah

menjadi tahu kendala yang selama ini dihadapi oleh Satpol PP. Dengan begitu

diharapkan untuk selanjutnya ada anggaran untuk keperluan tersebut.96

Budi Mulya menambahkan Kepala Satpol PP telah pernah memberitahukan

hal in dalam rapat pertanggungjawaban kerja yang dilakukan dengan

pemerintah daerah pada tahun 2009, namun hal ini masih dipertimbangkan

oleh pemerintah daerah mengingat dana mengenai penampungan dan tempat

sementara bagi gelandangan dan pengemis tersebut telah ada di Dinas Sosial.97

3. Dalam faktor masyarakat, Satpol PP akan melakukan tindakan kepada

masyarakat yang memberikan uang atau sumbangan kepada para gelandangan

dan pengemis. Cara ini cukup efektif untuk meminimalisir ataupun

meniadakan kegiatan gelandangan dan pengemisan. Jika masyarakat tidak

memberikan uang atau sumbangan maka para gepeng ini tentunya tidak

mempunyai penghasilan dari kegiatan tersebut. Budi Mulya mengatakan,

96 Ibid.97 Ibid.

7

Page 80: Skrip Si

selama ini belum ada masyarakat yang ditindak dalam memberikan uang

kepada para gepeng. Dan dari pihak Satpol PP, selama melakukan razia

mereka juga tidak menemukan masyarakat yang memberikan uang. Hal ini

dikarenakan tidak adanya masyarakat yang tertangkap tangan waktu

memberikan uang atau sumbangan tersebut. Namun dalam kenyataanya hal

tersebut banyak dilakukan oleh masyarakat. Upaya dalam mengatasi faktor

penghambat ini, sangat baik jika dilakukan. Dengan menindak masyarakat

yang memberikan uang atau sumbangan ini, setidaknya memberikan jera

kepada masyarakat yang lain agar tidak melakukan hal yang sama.

Tindakan Satpol PP untuk menindak masyarakat yang memberikan uang,

sumbangan, dan barang kepada gelandangan dan pengemis ini dapat

dilakukan dengan cara menangkap dan menyerahkannya kepada penegak

hukum untuk diberikan sanksi berdasarkan undang-undang yang ada yaitu

pasal 29 Perda kota Pekanbaru No. 12 Tahun 2008 Tentang ketertiban Sosial

yaitu pidana kurungan 3 (tiga) bulan atau denda Rp. 50.000.000,-(lima puluh

juta rupiah). Tindakan ini diharapkan dapat dilakukan Satpol PP mengingat

sampai saat ini tidak adanya masyarakat yang ditindak dan yang diproses

secara hukum.

4. Faktor kurangnya koordinasi Satpol PP terhadap kepolisian dalam hal

adanya tindak pidana gelandangan dan pengemisan berhubungan

dengan keterbatasan dana yang tersedia, untuk mengatasi hambatan ini

Satpol PP hanya dapat melakukan pemberitahuan yang dalam hal ini

8

Page 81: Skrip Si

diwakili oleh Kepala Satpol PP kepada pemerintah daerah kota

Pekanbaru. Pemberitahuan ini bertujuan agar pada anggaran

selanjutnya mengalami peningkatan, sehingga faktor ini tidak menjadi

penghambat bagi Satpol PP dalam memberantas gelandangan dan

pengemis. Sejauh ini permasalahan tentang keberadaan gelandangan

dan pengemis di Pekanbaru hanya selesai dari tangan Satpol PP dan

Dinas Sosial saja. Hukuman-hukuman atau sanksi-sanksi seperti yang

tersebut dalam Perda ataupun KUHP tentang gelandangan dan

pengemis hanya sebatas uraian teori saja, pada kenyataannya Satpol

PP tidak diberikan kewenangan untuk menjatuhkan sanksi bahkan

tidak ada hak untuk sekedar mengurung para gelandangan dan

pengemis untuk beberapa hari walaupun dengan alasan efek jera bagi

mereka.

BAB IV

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Dari pembahasan yang telah diungkap diatas, maka dapat ditarik kesimpulan

mengenai peranan Satpol PP dalam melakukan keamanan dan ketertiban gelandangan

dan pengemis di kota Pekanbaru, antara lain :

1. Peranan Satpol PP dalam melakukan keamanan dan ketertiban tindak pidana

gelandangan dan pengemis di kota Pekanbaru terdapat 2 (dua) peranan yaitu

peran preventif dan peran represif. Peran preventif ini ditunjukan Satpol PP

8

Page 82: Skrip Si

dengan cara melakukan sosialisasi, dan penyuluhan. Sedangkan peran represif

ditunjukan dengan cara melakukan razia, melakukan koordinasi dengan Dinas

Sosial, kepolisian, dan pihak lainnya dalam penanggulangan gelandangan dan

pengemis, serta mengungkap adanya sindikat kegiatan gelandangan dan

pengemis yang telah terorganisir.

2. Faktor penghambat Satpol PP dalam melakukan keamanan dan ketertiban

tindak pidana gelandangan dan pengemis adalah faktor ketidaktegasan Perda

itu sendiri yang memberikan sanksi namun tidak memberikan jalan keluar

yang bijaksana mengenai penanganan gelandangan dan pengemis oleh piha-

pihak yang terkait, keterbatasan dana yang selalu dijadikan alasan pihak-pihak

terkait mengenai penanganan gelandangan dan pengemis sehingga selalu saja

dijadikan penghambat dalam penaganannya secara tuntas, faktor masyarakat

yang masih sering memberi sejumlah uang kepada gelandangan dan pengemis

di jalan raya , dan kurangnya koordinasi atau kerjasama antara Satpol PP

dengan pihak kepolisian sehingga sanksi yang terdapat di peraturan-peraturan

tertulis ( KUHP dan Perda ) mengenai gelandangan dan pengemis tidak

pernah berjalan sebagaimana mestinya.

3. Upaya yang dapat dilakukan dalam mengatasi faktor penghambat Satpol PP

melakukan keamanan dan ketertiban tindak pidana gelandangan dan pengemis

adalah menindak masyarakat yang memberikan uang atau sumbangan kepada

para gelandangan dan pengemis, memberikan masukan kepada pemerintah

daerah tentang kurangnya dana untuk melakukan pemulangan dan tempat

8

Page 83: Skrip Si

sementara bagi gepeng yang terjaring. Dalam faktor penghambat

ketidaktegasan PP No. 32 Tahun 2004 Tentang Pedoman Satpol PP, Satpol PP

tidak banyak melakukan upaya. Ini karenakan telah adanya pengaturan

mengenai kewenangan Satpol PP dan dibatasi adanya kewenangan lain dari

penegak hukum. Faktor penghambat dalam melakukan koordinasi dengan

pihak kepolisian, Satpol PP mempunyai kendala pada dana yang dimiliki.

Untuk mengatasi faktor penghambat ini, Satpol PP hanya dapat memberikan

pemberitahuan kepada pemerintah daerah tentang keterbatasan dana agar

untuk anggaran selanjutnya pendanaan ini menjadi meningkat.

B. SARAN

Dalam menghadapi permasalahan yang dihadapi oleh Satpol PP dalam

melakukan keamanan dan ketertiban gelandangan dan pengemis di kota Pekanbaru,

maka dibawah ini ada beberapa saran yang dapat diambil sebagai masukan, antara

lain :

1. Bagi masyarakat sudah sepatutnya tidak memberikan uang atau sumbangan

untuk para gelandangan dan pengemis.

8

Page 84: Skrip Si

2. Bagi Satpol PP, tidak melakukan tindakan yang arogan kepada para

gelandangan dan pengemis. Hal ini karena mereka juga mempunyai HAM

yang harus dihormati.

3. Pemerintah daerah kota Pekanbaru lebih peka terhadap kekurangan yang

dimiliki institusi yang ada dibawahnya terutama mengenai pendanaan.

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Abdullah, Rozali, 2004, Perkembangan HAM dan Keberadaan Peradilan HAM di Indonesia, Bogor, Ghalia Indonesia.

Dwiyanto, Agus, 2005, Kemiskinan dan Otonomi Daerah, Jakarta. Lipi Pers.

Dirdjosiswono, Soejono, 1997, Patologi Sosial, Bandung, Alumni.

Hadikusuma, Hilman, 1995, Metode Pembuatan Kertas Kerja atau Skripsi Ilmu Hukum. Jakarta. CV. Mandar Maju.

8

Page 85: Skrip Si

Huda Miftahul, 2009, Pekerjan Sosial dan Kesejahteraan Sosial, Yogyakarta. CV. Maju.

Hartanti, Evi, 2005, Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Sinar Grafika.

Ishaq, Isjoni, 2002, Masalah Sosial Masyarakat, Pekanbaru. Unri Press.

Kartono, Kartini, 2007, Patologi Sosial, Jakarta. Raja Grafindo Persada.

--------------------, 2005, Patologi Sosial, Jakarta, Raja Grafindo.

Mahasin, Aswab, 1994, Gelandangan: Pandangan Ilmu Sosial,Jakarta.Pustaka LP3ES Indonesia.

Moeljatno, 2002, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta, Rineka Cipta, Jakarta.

Rasuanto, Bur, 2005, Keadilan Sosial, Jakarta. PT. Gramedia Pustaka Utama.

Ramdlon, Naning, 1991, Problem Gelandangan Dengan Tujuan Psikologi, Bandung, Armico.

Simanjutak, B, 1981, Beberapa Aspek Pantologi Sosial, Bandung, Alumni.

------------------,1991. Beberapa Aspek Patologi Sosial, Bandung, Alumni.

Soejono, Soekanto, 2007, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada.

------------------------, 1990, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta. PT. Raja Grafindo Persada.

Sunggono, Bambang, 2006, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta. PT. Rajawali Pers.

Suriangrat, Bayu,1990, Pamong Praja dan Kepala Wilayah, Jakarta.Rineka Cipta.

Soegijoko, Budhy Tjahjati sugijanto, 2005, Pembangunan Kota Indonesia Dalam Abad 21, Jakarta. Urban and Regional Development Institute (URDI).

Sastrawidjaja, Sofjan, 1990, Hukum Pidana, Cimahi, Amrico.

Triwulan, Titik Tutik, 2006, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta, Prestasi Pustaka Raya.

8

Page 86: Skrip Si

Tri Kromo, Y Argo, 1999, Gelandangan dan Pengemis Yogyakarta, Yogyakarta, Universitas Atma Jaya Yogyakarta.

Wirosardjono, Soetjipto, 1988, Gelandangan dan Pilihan Kebijaksanaan Penanggulangan, Jakarta, LP3ES.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang Dasar 1945.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pedoman Satuan Polisi Pamong Praja Presiden Republik Indonesia.

Peraturan Daerah Kota Pekanbaru Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Ketertiban Sosial.

Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1980 Tentang Penanggulangan Gelandangan

Dan Pengemis.

WEBSITE

www.xa.yimg.com/kq/groups/21462668/gepeng+dan+wajah+pekanbaru.doc.http://www.docstoc.com. Kebijakan Pemerintah Dalam Menanggulangi Gepeng (Terakhir Kali Dikunjungi Tanggal 23 September 2010 Pukul 09.00 Wib).

http://www. Gedesedana.wordpress.faktor terjadinya gelandangan dan pengemis (Terakhir Dikunjungi Tanggal 23 September 2010 Pukul 11.00 Wib).www.Satpol pohuwanto info.co/index (Terakhir Dikunjungi Tanggal 23 September 2010 Pukul 12.00 Wib).

http ://www.kebijakan pemerintah kota Semarang dalam pembinaan gelandangan (Terakhir Kali Dikunjungi Tanggal 30 September 2010 Pukul 15.00 Wib).

8

Page 87: Skrip Si

http : //www.mitranews.com (Terakhir Kali Dikunjungi Tanggal 29 September 2010 Pukul 10.00 Wib).http://elisatris.word press.com (Terakhir Kali Dikunjungi Tanggal 2 September 2010 Pukul 14.00 Wib).

http://www.penanganan gepeng dikota-kota Indonesia (Terakhir Kali Dikunjungi Tanggal 29 September 2010 Pukul 09.00 Wib).

8

Page 88: Skrip Si

LAMPIRAN I :

DAFTAR WAWANCARA DENGAN SATPOL PP

1. Bagaimana peranan Satpol PP dalam melakukan keamanan dan ketertiban tindak

pidana gelandangan dan pengemis di kota Pekanbaru ?

2. Apa saja yang menjadi faktor penghambat bagi Satpol PP dalam melakukan

keamanan dan ketertiban tindak pidana gelandangan dan pengemis di kota

Pekanbaru ?

3. Apa upaya yang dilakukan Satpol PP untuk mengatasi faktor penghambat dalam

melakukan keamanan dan ketertiban tindak pidana gelandangan dan pengemis di

kota Pekanbaru ?

8

Page 89: Skrip Si

LAMPIRAN II :

DAFTAR WAWANCARA DENGAN GELANDANGAN DAN PENGEMIS

1. Apa yang melatarbelakangi para gelandangan dan pengemis melakukan

kegiatan gelandangan dan pengemisan ?

2. Pernahkah para gelandangan dan pengemis ini ditangkap oleh Satpol PP kota

Pekanbaru ?

3. Apa saja yang dilakukan oleh Satpol PP pada saat para gelandangan dan

pengemis ini ditangkap ?

4. Pernahkah para gelandangan dan pengemis ini diberikan sosialisasi atau

penyuluhan oleh Satpol PP ?

5. Apa sanksi yang diberikan petugas Satpol PP pada saat para gelandangan dan

pengemis ini ditangkap ?

8