skizo lia

40
BAB I PENDAHULUAN Skizofrenia adalah sekelompok gangguan psikotik dengan gangguan dasar pada kepribadian, distorsi khas proses pikir, kadang-kadang mempunyai perasaan bahwa dirinya sedang dikendalikan oleh kekuatan dari luar dirinya, waham yang kadang-kadang aneh, gangguan persepsi, afek abnormal yang terpadu dengan situasi nyata atau sebenarnya, dan autisme. Meskipun demikian, kesadaran yang jernih dan kapasitas intelektual biasanya tidak terganggu. (Mansjoer, 2000). Sedangkan gangguan skizoafektif adalah kelainan mental yang rancu yang ditandai dengan adanya gejala kombinasi antara gejala skizofrenia dan gejala gangguan afektif diamana keduanya sama-sama menonjol pada saat yang bersamaan, atau dalam beberapa hari yang satu sesudah yang lain, dalam satu episode penyakit yang sama (Sadock, dkk., 2003; Maslim, 2002). Maramis (2006) menyebutkan skizofrenia dan gangguan skizoafektif merupakan salah satu gangguan kejiwaan berat dan menunjukkan adanya disorganisasi (kemunduran) fungsi kepribadian, sehingga menyebabkan disability (ketidakmampuan). Ketidakmapuan penderita skizofrenia atau dengan gangguan skizoafektif dalam mencapai berbagai 1

Upload: amalia-fatmasari

Post on 08-Jul-2016

216 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

sdgdf

TRANSCRIPT

BAB I

PENDAHULUAN

Skizofrenia adalah sekelompok gangguan psikotik dengan gangguan dasar

pada kepribadian, distorsi khas proses pikir, kadang-kadang mempunyai perasaan

bahwa dirinya sedang dikendalikan oleh kekuatan dari luar dirinya, waham yang

kadang-kadang aneh, gangguan persepsi, afek abnormal yang terpadu dengan situasi

nyata atau sebenarnya, dan autisme. Meskipun demikian, kesadaran yang jernih dan

kapasitas intelektual biasanya tidak terganggu. (Mansjoer, 2000). Sedangkan

gangguan skizoafektif adalah kelainan mental yang rancu yang ditandai dengan

adanya gejala kombinasi antara gejala skizofrenia dan gejala gangguan afektif

diamana keduanya sama-sama menonjol pada saat yang bersamaan, atau dalam

beberapa hari yang satu sesudah yang lain, dalam satu episode penyakit yang sama

(Sadock, dkk., 2003; Maslim, 2002).

Maramis (2006) menyebutkan skizofrenia dan gangguan skizoafektif

merupakan salah satu gangguan kejiwaan berat dan menunjukkan adanya

disorganisasi (kemunduran) fungsi kepribadian, sehingga menyebabkan disability

(ketidakmampuan). Ketidakmapuan penderita skizofrenia atau dengan gangguan

skizoafektif dalam mencapai berbagai keterampilan hidup inilah yang menyebabkan

penderita menjadi beban keluarga dan masyarakat.

Ketidakmampuan bersosialisasi pada penderita skizofrenia tergantung dari

tingkat keparahan simptom psikologis yang dialami penderita, dimana semakin

dominan tingkah laku simptomatologik menguasai seluruh tingkah lakunya, semakin

buruk juga ketidakmampuan bersosialisasi yang dialami oleh penderita.

Sebagai suatu kelompok, pasien dengan gangguan skizoafektif memiliki

prognosis yang lebih buruk daripada pasien dengan gangguan depresif maupun

gangguan bipolar, tetapi memiliki prognosis yang lebih baik daripada pasien dengan

skizofrenia (Sadock dkk., 2003).

1

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Skizofrenia adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan suatu

gangguan psikiatrik mayor yang ditandai dengan adanya perubahan pada persepsi,

pikiran, afek, dan perilaku seseorang. Kesadaran yang jernih dan kemampuan

intelektual biasanya tetap terpelihara, walaupun defisit kognitif tertentu dapat

berkembang kemudian (Sadock,dkk., 2003).

Gejala skizofrenia secara garis besar dapat di bagi dalam dua kelompok,

yaitu gejala positif dan gejala negatif. Gejala positif berupa isi pikiran tidak wajar

(waham), gangguan asosiasi pikiran (inkoherensi), gangguan persepsi (halusinasi),

gangguan perasaan, perilaku aneh atau tak terkendali (disorganized). Gejala

negatif adalah alam perasaan (afek) tumpul atau mendatar, menarik diri atau

isolasi diri dari pergaulan, ‘miskin’ kontak emosional (pendiam, sulit diajak

bicara), pasif, apatis atau acuh tak acuh, sulit berpikir abstrak dan kehilangan

dorongan kehendak atau inisiatif (Maharatih, 2010).

B. Fase atau Perjalanan Penyakit

Perjalanan penyakit skizofrenia sangat bervariasi pada tiap-tiap individu.

Perjalanan klinis skizofrenia berlangsung secara perlahan-lahan, meliputi

beberapa fase yang dimulai dari prodromal, fase aktif dan keadaan residual

(Sadock, 2003; Buchanan, 2005).

Tanda dan gejala prodromal skizofrenia dapat berupa cemas, gundah

(gelisah), merasa diteror atau depresi. Penelitian retrospektif terhadap pasien

dengan skizofrenia menyatakan bahwa sebagian penderita mengeluhkan gejala

somatik, seperti nyeri kepala, nyeri punggung dan otot, kelemahan dan masalah

pencernaan Perkembangan gejala prodromal yang berlangsung beberapa hari

sampai beberapa bulan (Sadock,dkk., 2003).

2

Fase aktif skizofrenia ditandai dengan gangguan jiwa yang nyata secara

klinis, yaitu adanya kekacauan dalam pikiran, perasaan dan perilaku. Penilaian

pasien skizofrenia terhadap realita terganggu dan pemahaman diri (tilikan) buruk

sampai tidak ada (Buchanan, 2005).

Indikator premorbid (pra-sakit) pre-skizofrenia antara lain ketidakmampuan

seseorang mengekspresikan emosi: wajah dingin, jarang tersenyum, acuh tak acuh.

Penyimpangan komunikasi: pasien sulit melakukan pembicaraan terarah, kadang

menyimpang (tanjential) atau berputar-putar (sirkumstantial). Gangguan atensi:

penderita tidak mampu memfokuskan, mempertahankan, atau memindahkan

atensi. Gangguan perilaku: menjadi pemalu, tertutup, menarik diri secara sosial,

tidak bisa menikmati rasa senang, menantang tanpa alasan jelas, mengganggu dan

tak disiplin.

Gejala dari penyakit skizofrenia sendiri dibagi menjadi beberapa gejala, yaitu :

1. Gejala positif, disebut positif karena perilaku dan pola pikir yang

seharusnya tidak ada menjadi ada dalam diri seseorang ketika berinteraksi dengan

sekitar. Gejala ini meliputi waham dan halusinasi umumnya berupa halusinasi

penglihatan dan pendengaran. Termasuk halusinasi, delusi, gangguan pemikiran

(kognitif). Gejala-gejala ini disebut positif karena merupakan manifestasi jelas

yang dapat diamati oleh orang lain.

2. Gejala negatif yang merupakan kebalikan dari gejala positif, dimana

perilaku dan pola pikir yang seharusnya ada menjadi hilang. Gejalanya berupa

emosi yang datar, ketidakmampuan untuk berinisiatif dan mengikuti jalannya

kegiatan dan tidak punya ketertarikan dalam hidup. Gejala-gejala yang dimaksud

disebut negatif karena merupakan kehilangan dari ciri khas atau fungsi normal

seseorang. Termasuk kurang atau tidak mampu menampakkan/mengekspresikan

emosi pada wajah dan perilaku, kurangnya dorongan untuk beraktivitas, tidak

dapat menikmati kegiatan-kegiatan yang disenangi dan kurangnya kemampuan

bicara (alogia).

3

3. Gejala afektif juga sering menyertai penyakit skizofrenia meliputi perasaan

tertekan, cemas, kurang tidur, perasaan tidak berharga, pemikiran tentang

kematian dan bunuh diri serta perasaan bersalah.

4. Gejala kognitif, yaitu pola pikir yang tidak beraturan, sering terlihat sebagai

kebingungan dalam hal berpikir dan berbicara serta perilaku yang tidak masuk

akal.

5. Gejala agresif yaitu perilaku yang menunjukkan permusuhan dan gangguan

dalam pengendalian impuls.

Fase residual ditandai dengan menghilangnya beberapa gejala klinis

skizofrenia. Yang tinggal hanya satu atau dua gejala sisa atau gejala negatif yang

tidak terlalu nyata secara klinis, yaitu dapat berupa penarikan diri (withdrawal)

dan perilaku aneh (Buchanan, 2005).

C. Etiologi

Sampai saat ini penyebab dari gangguan skizofrenia masih belum diketahui secara

pasti. Namun, terdapat beberapa pendekatan yang dominan dalam menganalisa

penyebab skizofrenia, antara lain :

1. Faktor Genetik

Menurut Maramis (2006) faktor keturunan juga menentukan timbulnya

skizofrenia. Hal ini telah dibuktikan dengan penelitian tentang keluarga-

keluarga penderita skizofrenia terutama anak-anak kembar satu telur. Angka

kesakitan bagi saudara tiri ialah 0,9 - 1,8%; bagi saudara kandung 7 – 15%;

bagi anak dengan salah satu orangtua yang menderita skizofrenia 7 – 16%;

bila kedua orangtua menderita skizofrenia 40 – 68%; bagi kembar dua telur

(heterozigot) 2 -15%; bagi kembar satu telur (monozigot) 61 – 86%.

Skizofrenia melibatkan lebih dari satu gen, sebuah fenomena yang

disebut quantitative trait loci. Skizofrenia yang paling sering kita lihat

mungkin disebabkan oleh beberapa gen yang berlokasi di tempat-tempat yang

berbeda di seluruh kromosom. Ini juga mengklarifikasikan mengapa ada

4

gradasi tingkat keparahan pada orang-orang yang mengalami gangguan ini

(dari ringan sampai berat) dan mengapa risiko untuk mengalami skizofrenia

semakin tinggi dengan semakin banyaknya jumlah anggota keluarga yang

memiliki penyakit ini (Durand & Barlow, 2007).

2. Faktor Biokimia

Skizofrenia mungkin berasal dari ketidakseimbangan kimiawi otak yang

disebut neurotransmitter, yaitu kimiawi otak yang memungkinkan neuron-

neuron berkomunikasi satu sama lain. Beberapa ahli mengatakan bahwa

skizofrenia berasal dari aktivitas neurotransmitter dopamine yang berlebihan

di bagian-bagian tertentu otak atau dikarenakan sensitivitas yang abnormal

terhadap dopamine. Banyak ahli yang berpendapat bahwa aktivitas dopamine

yang berlebihan saja tidak cukup untuk skizofrenia. Beberapa

neurotransmitter lain seperti serotonin dan norepinephrine tampaknya juga

memainkan peranan (Durand & Barlow, 2007).

3. Faktor Psikologis dan Sosial

Faktor psikososial meliputi adanya kerawanan herediter yang semakin

lama semakin kuat, adanya trauma yang bersifat kejiwaan, adanya hubungan

orang tua-anak yang patogenik, serta interaksi yang patogenik dalam keluarga

(Wiraminaradja & Sutardjo, 2005).

Banyak penelitian yang mempelajari bagaimana interaksi dalam

keluarga mempengaruhi penderita skizofrenia. Sebagai contoh, istilah

schizophregenic mother kadang-kadang digunakan untuk mendeskripsikan

tentang ibu yang memiliki sifat dingin, dominan, dan penolak, yang

diperkirakan menjadi penyebab skizofrenia pada anak-anaknya. Keluarga

pada masa kanak-kanak memegang peranan penting dalam pembentukan

kepribadian. Orangtua terkadang bertindak terlalu banyak untuk anak dan

tidak memberi kesempatan anak untuk berkembang, ada kalanya orangtua

bertindak terlalu sedikit dan tidak merangsang anak, atau tidak memberi

bimbingan dan anjuran yang dibutuhkannya (Durand & Barlow, 2007).

5

D. Patogenesis

1. Skizofrenia dan Dopamin

Semua jenis obat antipsikotik yang tersedia dapat mengurangi gejala

skizofrenia dengan menurunkan neurotransmiter dopaminergik. Turunnya

neurotransmiter dopaminergic mengurangi gejala dari pasien dengan

skizofrenia dan meningkatkan kemampuan persepsi mereka. Pasien yang

diterapi dengan obat-obat tersebut secara terus menerus menunjukkan

penurunan munculnya halusinasi dan waham, pasien juga lebih baik dalam

mengatur kebiasaannya.

Teori dopamin pada skizofrenia masih mempunyai beberapa kekurangan.

Pertama Blokade pada neurotransmitter dopaminergik tidak sepenuhnya

mengurangi gejala skizofrenia. Kedua, meskipun gejala positif skizofrenia

berkurang ketika neurotransmitter dopaminergic diturunkan dengan obat

antipsikotik, level metabolit dopamin dan receptor dopamin ketika diukur

sebelum dan setelah pengobatan masih dalam batas harga normal. Ketiga,

peranan dopamin bagi otak lebih komplek daripada pergantian secara sederhana

dari gejala psikotik. Selama periode psikotik akut, banyak orang yang

menderita skizofrenia nampak menunjukkan perangsangan reseptor dopamin

yang berlebihan di ganglia basalis, yang diukur dengan penggunaan ligan

radioaktif dari single-photon-emission yang tertomografi. Bagaimanapun juga,

penurunan aktivitas dopaminergik pada korteks serebral pada lobus frontal

dapat menjadi satu faktor konstribusi dalam penanganan gangguan kognitif

yang sering ditemukan pada pasien yang menderita skizofrenia. Oleh karena itu,

investigasi pada patofisiologi skizofrenia mengembangkan lebih jauh lagi

mengenai dopamin, para peniliti menggali lebih dalam mengenai pengobatan

farmakologi dari skizofrenia, yang tidak mengabaikan dopamin sebagai target,

telah memperluas bidang penyelidikan mereka termasuk neurotransmiter yang

lain.

Tidak ada lesi tunggal yang dapat menyebabkan skizofrenia. Tapi,

adanya peran dari faktor genetik dan lingkungan yang mempengaruhi fungsi

6

dan perkembangan dari otak hal tersebut juga yang dapat menyebabkan

skizofrenia. Penghambatan interneuron biasanya terjadi, hal ini dapat

ditunjukan dengan adanya penurunan jumlah dari mereka, pengeluaran enzim

yang mensintesis penghambat neurotransmitter γ-asam aminobutrat yang

menurun, penurunan pengeluaran dari neuropeptide seperti kolesistokinin dan

somatostatin yang dilepaskan selama neurotransmisi, dan pengurangan migrasi

neuron ke korteks dari lapisan putih otak. Sebagai tambahan pada perubahan

spesifik pada interneuron, terdapat pengurangan secara umum dari neuropil

kortikal, seperti dendrit dan akson yang mengubungkan neuron,

menggambarkan proses kerusakan pada pyramidal maupun penghambat neuron

menjadi bentuk penghubung sinapsis. Pada beberapa area dalam otak, terjadi

berkurangnya jumlah total neuron secara nyata.

2. Penemuan Neuropatologi

Pada penemuan secara neuropatologi, Magnetic Resonance Imaging

(MRI) menunjukan adanya pembesaran ventrikel dan penurunan volume dari

beberapa bagian otak, termasuk didalamnya hipokampus dan korteks

temporosuperior. Dengan menganalisis hasil dari MRI dapat dikatakan bahwa

terjadi penurunan bagian neuronal baik pada hipokampus maupun pada korteks

prefrontal, yang diindikasikan dengan level dari neuronal asam amino N-

asetilaspartat. Meskipun terjadi penurunan dari jaringan otak, pencitraan otak

secara fungsional dengan tomografi emisi-positron dan MRI fungsional

menunjukan adanya hiperaktivitas pada hipokampus dan korteks prefrontal

lateral dorsal, mungkin terus menerus dikuti dengan kehilangan penghambat

fungsi neuron.

3. Temuan genetika pada skizofrenia

Perbedaan temuan neurobiologi pada skizofrenia terbayang dengan

adanya keberagaman dari temuan genetik. Temuan genetik secara epidemiologi,

seperti adanya indeks besar yang berkaitan dengan skizofrenia antara kembar

monozigot dan kembar dizigot dan insidensi tinggi dari penyakit pada anak

yang diadopsi yang mana ibu biologisnya mengidap skizofrenia, terdapat resiko

7

sebesar 70%. Walaupun demikian, skizofrenia tidak terlihat sebagai monogen,

dan terdapat sejumlah kromosom locus yang nantinya akan bekaitan terhadap

penyakit yang telah bereplikasi. Polimorfim nukleotid tunggal berhubungan

dengan skizofrenia, yang beberapa telah menunjukan adanya penurunan fungsi

neural, telah ditemukan dalam gen dengan locus ini, termasuk regulator Protein

G pada kromosom 1, protein pada kromosom 6 yang berhubungan dengan

struktur sinaps, faktor pertumbuhan pada kromosom 8 yang berhubungan

dengan pertumbungan sinapsis, respon modulator pada kromosom 13 yang

mempengaruhi N-metil D-aspartat glutamate, sebuah reseptor pada kromosom

15 untuk asetilkolin dan enzim pada kromosom 22 yang mempengaruhi

metabolisme dopamin. Mekanisme neuronal glutamatergik, kolinergik, dan

dopaminergic dipengaruhi oleh faktor genetik ini dan dikaitkan dengan

berbagai macam aspek pada disfungsi kognitif termasuk ketidakmampuan

dalam perasaan dan pengingat.

Sebagai tambahan untuk faktor genetik, komponen lingkungan dari

patogenesis pada skizofrenia, mempunyai resiko sebanyak 30%, termasuk

kerusakan otak ketika perinatal dan masa anak-anak dan stres psikososial

selama masa kehidupan seperti terpisah dari keluarga (Freedman, 2003).

E. Pedoman Diagnostik

Kriteria Kurt Scheneider dan Bleuler untuk mendiagnosis skizofrenia, yaitu :

1.   Kriteria Kurt Scheneider, First and Second Rank Symptoms

Skizofrenia berasal dari kata Schizos (pecah-belah), dan Phren (jiwa), yaitu jiwa

yang terpecah belah. Sering pula disebut sebagai “Splitting of the mind” atau retaknya

jiwa dan kepribadian. Definisi skizofrenia menurut Kurt Scheneider adalah

merupakan gangguan dengan etiologi yang tidak diketahui. Ditandai dengan adanya

gejala psikotik yang secara berarti mengganggu atau telah terjadi disharmoni dalam

proses pikir, perasaan dan perilaku.

Dari sekian banyak konsep yang disertakan pada skizofrenia, diantaranya

terhadap konsep skizofrenia menurut Kurt Scheneider (1939). Menurut Scheneider,

8

konsep skizofrenia, tersusun atas dua kelompok yaitu first rank symptoms (gejala-

gejala rangking pertama) dan second rank symptoms (gejala-gejala rangking kedua.

First rank (rangking) Symptoms terdiri dari :

A.  Halusinasi pendengaran atau auditorik

B.  Gangguan batas ego, meliputi :

1. Tubuh dan gerakan- gerakan penderita dipengaruhi oleh suatu kekuatan dari luar.

2. Pikirannya diambil atau disedot keluar.

3. Pikirannya dipengaruhi oleh orang lain atau pikiran itu dimasukkan ke dalamnya

oleh orang lain.

4. Pikirannya diketahui orang lain atau pikirannya disiarkan keluar secara umum.

5. Perasaannya dibuat oleh orang lain.

6. Kemauannya atau tindakannya dipengaruhi oleh orang lain.

7. Dorongannya dikuasai orang lain.

8. Persepsi yang dipengaruhi oleh waham

First rank symptoms dari Scheneider, terutama halusinasi auditorik yang “third

order” merupakan ciri khas atau patognomonik untuk skizofrenia. Halusinasi

auditorik “third order” adalah dua orang atau lebih yang membicarakan diri pasien

selaku orang ketiga, padahal sebenarnya oran-orang itu tidak ada.

Gejala-gejala urutan pertama menurut Kurt Scheneider :

1. Halusinasi pendengaran

Pada skizofrenia halusinasi timbul tanpa penurunan kesadaran dan hal ini

merupakan suatu gejala yang hamper tidak dijumpai pada keadaan lain. Suara tersebut

dalam bentuk suara manusia, bunyi barang-barang atau siulan.

Misalnya: Halusinasi dengar (Third order pada skizofrenia). Ada suara berdebat

antara dua orang yang memperdebatkan penderita atau mengomentari perilaku

penderita (selaku orang ketiga) padahal tidak ada orang lain.

2. Gangguan batas ego ( Ego boundary disturbances)

a. Somatic passivity

Tubuh dan gerakan-gerakan penderita dipengaruhi oleh kekuatan dari luar.

9

Contoh : seseorang merasa yakin bahwa gerakan tubuhnya dipengaruhi oleh hal- hal

yang gaib.

b. Thought withdrawal

Pikiran penderita diambil atau disedot keluar.

Contoh : pikirannya telah diambil keluar kepalanya.

c. Thought insersion

Pikirannya dipengaruhi oleh orang lain atau pikirannya itu dimasukkan ke dalam

otaknya oleh orang lain.

Contoh : seseorang merasa yakin bahwa buah pikirannya yang bukan berasal dari

dirinya sendiri dimasukkan dari luar ke dalam pikirannya.

d. Thought broadcasting

Pikirannya diketahui oleh orang lain atau pikirannya itu disiarkan keluar secara

umum. Contohnya : seseorang merasa yakin bahwa pikirannya dapat disiarkan

dari kepalanya ke dunia luar sehingga orang lai tahu atau mendengarnya. Misalnya

melalui televisi, radio, koran, dan lain-lain.

e. Made-feeling

Perasaannya dibuat oleh orang lain.

f. Made-impuls

Kemauannya atau tindakannya atau seolah-olah dipengaruhi oleh orang lain.

Second rank symptoms dari Scheneider terdiri dari :

1. Kelainan persepsi.

2. Ide delusional mendadak.

3. Kegalauan atau kebingungan (preplexity)

4. Perubahan suasana perasaan depresif dan euforik.

5. Perasaan pemiskinan emosional.

Gejala-gejala rangking kedua skizofrenia (Second rank symptoms of

schizophrenia) menurut Kurt Scheneider adalah gejala-gejala sekunder skizofrenia

yang merupakan gejala-gejala tambahan dan tidak khas untuk skizofrenia.

10

Gejala-gejala rangking kedua skizofrenia terdiri dari :

1. Kelainan persepsi

Persepsi adalah daya mengenal kualitas hubungan serta perbedaan suatu benda

melalui proses mengamati, mengetahui dan mengartikan, yaitu setelah panca

inderanya mendapat rangsangan. Keadaan ini terjadi pada keadaan sadar atau dalam

keadaan bangun.

Gangguan persepsi terdiri dari :

a.   Halusinasi

b.   Ilusi

c.    Derealisasi

d.   Depersonalisasi

2. Ide delusional mendadak

Delusi atau waham adalah keyakinan yang patologis, tidak dapat dikoreksi,

walaupun telah ditunjukkan bukti-bukti yang nyata dan di luar jangkauan sosial

budayanya. Dasar terbentuknya wahan bersebab pada kelainan atau penyimpangan

dari proses pikir.

Ide delusional mendadak atau ide waham mendadak, masuk ke dalam

kelompok waham atau delusi menurut proses terjadinya waham dalam bentuk primer.

Waham atau delusi primer disebut juga sebagai penghayatan primer (primary

delusion), berbentuk penghayatan terhadap suatu arti baru, yang tidak dapat ditelusuri

berdasarkan peristiwa psikologis yang mendahuluinya.

Waham primer ada tiga jenis :

a. Waham perasaan (delusion mood)

Merupakan suatu penghayatan baru yang muncul dan dialami oleh pasien,

tentang ada sesuatu yang terjadi si dekelilingnya oleh pasien, tentang ada sesuatu

yang terjadi di sekelilingnya serta berkaitan dengan dirinya, namun dia sendiri tidak

dapat mengetahui mengenai hal tersebut.

b. Waham pikiran (delusion ideas)

c. Waham persepsi (delusional perception)

11

Munculnya arti baru yang berasal dari suatu obyek, yang tidak dimengerti

dipandang dari sudut perasaan atau sikap pasien. Waham – waham yang muncul

secara mendadak, biasanya tidak bisa dikoreksi atau tidak logis dan tanpa tilikan

(insight).

3. Kebingungan (preplexity)

Keadaan ini merupakan suatu kondisi mental yang ditandai dengan adanya

kesadaran yang berkabut, diorientasi (meski tidak sehebat pada kebingungan organik),

dan penurunan kemampuan untuk berinteraksi. Sering disertai dengan aktivitas yang

berlebihan dan tampaknya dicetuskan oleh stress emosional. Kebingungan semacam

itu muncul dan dapat diketemukan pada skizofrenia.

4. Perubahan alam perasaan depresif dan euforik.

Dalam alam perasaan atau keadaan afektif, merupakan suatu nada perasaan,

yang menyenangkan ataupun tidak (rasa bangga, kekecewaan, kasih sayang yang

menyertai suatu pikiran). Biasanya berlangsung lama, bersifat menetap dan umumnya

tidak disertai dengan komponen fisiologis. Merupakan suatu kesinambungan yang

normal antara sedih dan gembira.

Gangguan mood (alam perasaan), ditandai dengan perasaan abnormal, dari

depresi atau euphoria dengan gambaran psikotik yang terkait dalam beberapa kasus

berat. Depresi adalah nada perasaan yang menyertai pikiran serta berlangsung lama,

disertai dengan komponen psikologis, misalnya rasa sedih, susah, putus asa, tidak ada

harapan, rasa tidak berguna, gagal dan penyesalan yang patologis. Pada umumnya

depresi disertai dengan komponen somatik, seperti anoreksia, konstipasi, kulit

lembab (dingin), tekanan darah atau nadi menurn, timbul gangguan tidur, semangat

bekerja dan nafsu seksual menurun.

Sedangkan euphoria menunjukkan rasa riang, gembira, senang, bahagia yang

berlebihan. Perubahan mood (alam perasaan) yang terjadi antara mood depresif dan

mood euforik dapat dimasukkan ke dalam tipe afek yang labil, dimana afek berubah-

ubah secara cepa tanpa pengawasan yang baik. Contohnya tiba-tiba marah-marah atau

menangis ataupun tiba-tiba tertawa. Suasana perasaan yang berubah-ubah dan tidak

12

menetap, berpindah-pindah dari satu suasana perasaan ke suasana perasaan lain sering

disebut sebagai poikilothym.

5. Perasaan pemiskinan emosional

Hal ini merupakan perasaan emosional yang minim dan seadanya. Afek yang

tidak semestinya, khas atau tipikal dan diketemukan pada gangguan skizofrenia.

Ungkapan atau penampakan emosi pasien terlihat tidak serasi (inappropriate).

Kadang-kadang perasaan emosional pasien seperti dibatasi sehingga terlihat diam

karena terpaku pada dunianya sendiri (private world). Keadaan seperti ini cenderung

menjadi atau dalam keadaan hipomanik.

Menurut PPDGJ-III

1. Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas (dan biasanya dua gejala

atau lebih bila gejala-gejala itu kurang jelas atau kurang tajam) :

a. Isi Pikiran

1) ”thought eco” = isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau bergema dalam

kepalanya (tidak keras), dan isi pikiran ulangan, walaupun isinya sama, namun

kualitasnya berbeda.

2) ”thought insertion or withdrawl” = isi pikiran yang asing dari luar masukke dalam

pikirannya (insertion) atau isi pikirannya diambil keluar oleh sesuatu dari luar dirinya

(withdrawl)

3) ”thought broadcasting” = isi pikirannya tersiar keluar sehingga orang lain atau umum

mengetahuinya.

b. Waham

1) ”delusion of control” = waham tentang dirinya dikendalikan oleh suatu kekuatan

tertentu dari luar

2) ”delusion of passivity” = waham tentang dirinya tidak berdaya dan pasrah terhadap

suatu kekuatan dari luar

3) ”delusion of influence” = waham tentang dirinya dipengaruhi oleh suatu kekuatan

tertentu dari luar

13

4) “delusion perception” = pengalaman inderawi yang tak wajar, yang bermakna sangat

khas bagi dirinya, biasanya bersifat mistik atau mukjizat.

c. halusinasi auditorik

1) Suara halusinasi yang berkomentar secara terus menerus terhadap perilaku pasien

2) Mendiskusikan perihal pasien diantara mereka sendiri (diantara berbagai suara yang

berbicara)

3) Jenis suara halusinasi lain yang berasal dari salah satu bagian tubuh.

d. waham-waham menetap jenis lainnya yang menurut budaya setempat dianggap tidak

wajar dan sesuatu yang mustahil, mislanya perihal keyakinan agama atau politik

tertentu atau kekuatan dan kemampuan di atas manusia biasa (misalnya mampu

mengendalikan cuaca atau berkomunikasi dengan makhluk asing dari dunia lain)

2. Atau paling sedikit dua gejala dibawah ini yang harus selalu ada secara jelas:

a. Halusinasi yang menetap dari panca-indera apa saja, apabila disertai baik oleh waham

yang mengembang maupun yang setengah berbentuk tanpa kandungan afektif yang

jelas, ataupun disertai oleh ide-ide berlebihan yang menetap atau apabila terjadi setiap

hari selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan terus menerus.

b. Perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh-gelisah, posisi tubuh tertentu (posturing),

atau fleksibilitas cerea, negativisme, mutisme, dan stupor

c. Arus pikiran yang terputus (break) atau yang mengalami sisipan (interpolation) yang

berakibat inkoherensi atau pembicaraan yang tidak relevan atau neologisme.

d. Gejala gejala ”negatif” seperti sikap sangat apatis, bicara yang jarang, dan response

emosional yang menumpul atau tidak wajar, biasanya yang mengakibatkan penarikan

diri dari pergaulan sosial dan menurunnya kinerja sosial; tetapi harus jelas bahwa

semua hal tersebut tidak disebabkan oleh depresi atau medikasi neuroleptika.

3. Adanya gejala gejala khas tersebut di atas telah berlangsung selama kurun waktu satu

bulan atau lebih (tidak berlaku untuk setiap fase nonpsikotik prodromal)

4. Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu keseluruhan

dari beberapa aspek perilaku pribadi (personal behaviour), bermanifestasi sebagai

hilangnya minat, hidup tak bertujuan, sikap larut dalam diri sendiri, tidak berbuat

sesuatu, dan penarikan diri secara sosial. (Maslim, 2002)

14

F. Klasifikasi

1. Skizofrenia Paranoid (F 20.0)

Pedoman Diagnostik

a. Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia.

b. Sebagai tambahan:

1) Halusinasi dan/atau waham harus menonjol

a) Suara-suara halusinasi yang mengancam pasien atau memberi

perintah, atau halusinasi auditorik tanpa bentuk verbal berupa bunyi

pluit (whistling), mendengung (humming), atau bunyi tawa

(laughing)

b) Halusinasi pembauan atau pengecapan rasa, atau bersifat seksual,

atau lain-lain perasaan tubuh. Halusinasi visual mungkin ada tetapi

jarang menonjol

c) Waham dapat berupa hampir setiap jenis, tetapi waham dikendalikan

(delusion of control), dipengaruhi (delusion of influence), atau

passivity (delussion of passivity), dan keyakinan dikejar-kejar

beraneka ragam, adalah yang paling khas

2) Gangguan afektif, dorongan kehendak dan pembicaraan, serta gejala

katatonik secara relatif nyata/ tidak menonjol.

2. Skizofrenia Hebefrenik (F 20.1)

Pedoman Diagnostik

a. Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia.

b. Diagnosis hebefrenia untuk pertama kali hanya ditegakkan pada usia

remaja atau dewasa muda (onset biasanya mulai 15-25 tahun).

c. Kepribadian premorbid menunjukkan ciri khas : pemalu dan senang

menyendiri (solitary), namun tidak harus demikian untuk menentukan

diagnosis. 

15

d. Untuk diagnosis hebefrenia yang menyakinkan umumnya diperlukan

pengamatan kontinu selama 2 atau 3 bulan lamanya, untuk memastikan

bahwa gambaran yang khas berikut ini memang benar bertahan : 

1) Perilaku yang tidak bertanggung jawab dan tak dapat diramalkan, serta

mannerisme; ada kecenderungan untuk selalu menyendiri (solitary),

dan perilaku menunjukkan hampa tujuan dan hampa perasaan

2) Afek pasien dangkal dan tidak wajar, sering disertai oleh cekikikan

atau perasaan puas diri, senyum sendiri, atau oleh sikap, tinggi hati,

tertawa menyeringai, mannerisme, mengibuli secara bersenda gurau,

keluhan hipokondrial, dan ungkapan kata yang diulang-ulang

3) Proses pikir mengalami disorganisasi dan pembicaraan tak menentu

serta inkoheren. 

e. Gangguan afektif dan dorongan kehendak, serta gangguan proses pikir

umumnya menonjol. Halusinasi dan waham mungkin ada tetapi biasanya

tidak menonjol. Dorongan kehendak dan yang bertujuan (determination)

hilang serta sasaran ditinggalkan, sehingga perilaku penderita

memperlihatkan ciri khas, yaitu perilaku tanpa tujuan dan tanpa maksud.

Adanya suatu preokupasi yang dangkal dan bersifat dibuat-buat terhadap

agama, filsafat dan tema abstrak lainnya, makin mempersukar orang

memahami jalan pikiran pasien.

3. Skizofrenia Katatonik (F 20.2)

Pedoman Diagnostik

a. Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia.

b. Satu atau lebih dari perilaku berikut ini harus mendomaninasi gambaran

klinisnya:

1) Stupor (amat berkurangnya dalam reaktivitas terhadap lingkungan dan

dalam gerakan serta aktivitas spontan) atau mutisme (tidak berbicara)

2) Gaduh gelisah (tampak jelas aktivitas motorik yang bertujuan, yang

tidak dipengaruhi oleh stimuli eksternal)

16

3) Menampilkan posisi tubuh tertentu (secara sukarela mengambil dan

mempertahankan posisi tubuh tertentu yang tidak wajar atau aneh)

4) Negativisme (tampak jelas perlawanan yang tidak bermotif terhadap

semua perintah atau upaya untuk menggerakkan, atau pergerakkan ke

arah berlawanan)

5) Rigiditas (mempertahankan posisi tubuh yang kaku untuk melawan

upaya menggerakkan diri)

6) Flexibilitas cerea (mempertahankan anggora gerak dan tubuh dalam

posisi yang dapat dibentuk dari luar)

7) Gejala-gejala lain seperti “komen, automatism” (kepatuhan secara

otomatis terhadap perintah), dan pengulangan kata-kata serta kalimat-

kalimat

c. Pada pasien yang tidak komunikatif dengan manifestasi perilaku dari

gangguan katatonik, diagnosis skizofrenia mungkin harus ditunda sampai

diperoleh bukti yang memadai tentang adanya gejala-gejala lain. Penting

untuk diperhatikan bahwa gejala-gejala katatonik bukan petunjuk

diagnostik untuk skizofrenia. Gejala katatonik dapat dicetuskan oleh

penyakit otak, gangguan metabolik, atau alkohol dan obat-obatan, serta

dapat juga terjadi pada gangguan afektif

4. Skizofrenia Tak Terinci (Undifferentiated) (F 20.3)

Pedoman Diagnostik

a. Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia.

b. Tidak memenuhi kriteria untuk diagnosis skizofrenia paranoid, hebefrenik,

atau katatonik

c. Tidak memenuhi kriteria untuk skizofrenia residual atau depresi pasca

skizofrenia

5. Depresi Pasca-skizofrenia (F 20.4)

Pedoman Diagnostik

a. Diagnosis harus ditegakkan hanya kalau:

17

1) Pasien telah menderita skizofrenia (yang memenuhi kriteria umum

skizofrenia) selama 12 bulan terakhir ini

2) Beberapa gejala skizofrenia masih tetap ada (tetapi tidak lagi

mendominasi gambaran klinisnya), dan

3) Gejala-gejala depresif menonjol dan mengganggu, memenuhi paling

sedikit kriteria untuk episode depresif dan telah ada dalam kurun waktu

paling sedikit 2 minggu

b. Apabila pasien tidak lagi menunjukkan gejala skizofrenia, diagnosis

menjadi Episode Depresif. Bila gejala skizofrenia masih jelas dan

menonjol, diagnosis harus tetap salah satu dari subtipe skizofrenia yang

sesuai (F 20.0 – F 20.3)

6. Skizofrenia Residual ( F 20.5)

Untuk suatu diagnosis yang meyakinkan, persyaratan berikut ini harus

dipenuhi semua:

a. Gejala negatif dari skizofrenia yang menonjol misalnya perlambatan

psikomotorik, aktivitas menurun, afek yang menumpul, sikap pasif dan

ketiadaan inisiatif, kemiskinan dalam kuantitas atau isi pembicaraan,

komunikasi nonverbal yang buruk seperti dalam ekspresi muka, kontak

mata, modulasi suara, dan posisi tubuh, perawatan diri dan kinerja sosial

yang buruk

b. Sedikitnya ada riwayat satu episode psikotik yang jelas dimana masa

lampau yang memenuhi kriteria untuk diagnostik skizofrenia

c. Sedikitnya sudah melampaui kurun waktu satu tahun dimana intensitas dan

frekuensi gejala yang nyata seperti waham dan halusinasi telah sangat

berkurang (minimal) dan telah timbul sindrom negatif dari skizofrenia

d. Tidak terdapat dementia atau penyakit / gangguan otak organik lain,

depresi kronis atau institusionalisasi yang dapat menjelaskan disabilitas

negatif tersebut.

7. Skizofrenia Simpleks (F. 20.6)

18

a. Diagnosis skizofrenia simpleks sulit dibuat secara meyakinkan karena

tergantung pada pemantapan perkembangan yang berjalan perlahan dan

progresif dari:

1. Gejala negatif yang khas dari skizofrenia residual tanpa didahului

riwayat halusinasi, waham, atau manifestasi lain dari episode psikotik.

2. Disertai dengan perubahan perilaku pribadi yang bermakna

bermanifestasi sebagai kehilangan minat yang mencolok, tidak berbuat

sesuatu, tanpa tujuan hidup, dan penarikan diri secara sosial

b. Gangguan ini kurang jelas gejala psikotiknya dibandingkan subtipe

skizofrenia lainnya

8. Skizofrenia lainnya (F20.8) dan Skizofrenia YTT (F20.9) (Maslim, 2002)

G. Penatalaksanaan

1. Terapi Medikamentosa

Obat pertama yang efektif untuk terapi skizofrenia dikembangkan selama

tahun 1950an. Obat ini disebut sebagai antipsikotik konvensional atau generasi

pertama.

Ada berbagai obat antipsikotik ‘konvensional’, seperti haloperidol

chlorpromazine, fluphenazine, droperidol, pimozine, sulpiride, perphenazine,

flupenthixol, zuclopenthixol, dan trifluoperazine (APA, 2004). Kelebihan

utama obat ini adalah mengobati gejala positif skizofrenia (APA, 2004; Keith et

al, 2004). Namun, obat ini kurang efektif terhadap gejala negatif skizofrenia.

Obat ini tersedia dalam bentuk tablet, cairan, suntikan jangka pendek dan

jangka panjang.

Sejumlah obat baru untuk skizofrenia dengan efikasi yang lebih luas untuk

berbagai gejala skizofrenia dan dapat memperbaiki kemampuan berfungsi

pasien telah tersedia sejak 20 tahun terakhir atau lebih. Obat antipsikotik baru

ini dikenal sebagai antipsikotik atipikal atau antipsikotik generasi kedua. Obat

baru ini meliputi aripiprazole, clozapine, olanzapine, paliperidone, quetiapin,

dan risperidone (Lieberman et al, 2008). Obat ini tampaknya memiliki lingkup

19

efek yang lebih luas untuk gejala skizofrenia (Tandon et al, 2003). Obat ini

efektif untuk mengobati gejala positif seperti halusinasi dan delusi serta dapat

juga membantu dalam mengobati gejala negatif. Obat ini juga tersedia dalam

bentuk tablet, cairan dan suntikan jangka pendek dan jangka panjang (APA,

2004).

Cara pemberian obat antipsikotik adalah pemberian dimulai dengan “dosis

awal” sesuai “dosis anjuran”, kemudian dinaikkan setiap 2-3 hari sampai

mencapai “dosis efektif” (mulai timbul peredaan sindrom psikosis), dosis

dievaluasi setiap 2 minggu dan bila perlu dinaikkan, “dosis optimal”

dipertahankan sekitar 8-12 minggu (stabilisasi), kemudian dosis diturunkan

setiap 2 minggu sampai ke “dosis maintenance”, dosis dipertahankan selama 6

buulan sampai 2 tahun (diselingi “drug holiday” 1-2 hari/minggu), selanjutnya

dilakukan tappering off (dosis diturunkan tiap 2-4 minggu) sampai dapat

dihentikan (Maharatih, dkk., 2010).

Karena penderita Skizofrenia memakan obat dalam jangka waktu yang

lama, sangat penting untuk menghindari dan mengatur efek samping yang

timbul. Mungkin masalah terbesar dan tersering bagi penderita yang

menggunakan antipsikotik konvensional gangguan (kekakuan) pergerakan

otot-otot yang disebut juga Efek samping Ekstra Piramidal (EEP). Dalam

hal ini pergerakan menjadi lebih lambat dan kaku, sehingga agar tidak kaku

penderita harus bergerak (berjalan) setiap waktu, dan akhirnya mereka tidak

dapat beristirahat.

Efek samping lain yang dapat timbul adalah tremor pada tangan dan kaki.

Kadang-kadang dokter dapat memberikan obat antikolinergik (biasanya

benztropine) bersamaan dengan obat antipsikotik untuk mencegah atau

mengobati efek samping ini.

Efek samping lain yang dapat timbul adalah tardive dyskinesia

dimana terjadi pergerakan mulut yang tidak dapat dikontrol, protruding

tongue, dan facial grimace. Kemungkinan terjadinya efek samping ini

dapat dikurangi dengan menggunakan dosis efektif terendah dari obat

20

antipsikotik. Apabila penderita yang menggunakan antipsikotik konvensional

mengalami tardive dyskinesia, dokter biasanya akan mengganti antipsikotik

konvensional dengan antipsikotik atipikal.

Peningkatan berat badan juga sering terjadi pada penderita Sikzofrenia

yang memakan obat. Hal ini sering terjadi pada penderita yang menggunakan

antipsikotik atipikal. Diet dan olah raga dapat membantu mengatasi masalah ini

(Sadock, dkk.,2003; Maramis, 2009)

2. Terapi Psikososial

a. Terapi perilaku

Teknik perilaku menggunakan hadiah ekonomi dan latihan

ketrampilan sosial untuk meningkatkan kemampuan sosial, kemampuan

memenuhi diri sendiri, latihan praktis, dan komunikasi interpersonal.

Perilaku adaptif adalah didorong dengan pujian atau hadiah yang dapat

ditebus untuk hal-hal yang diharapkan, seperti hak istimewa dan pas jalan di

rumah sakit. Dengan demikian, frekuensi perilaku maladaptif atau

menyimpang seperti berbicara lantang, berbicara sendirian di masyarakat,

dan postur tubuh aneh dapat diturunkan (Sadock dkk, 2003).

b. Terapi berorientasi keluarga

Terapi ini sangat berguna karena pasien skizofrenia seringkali

dipulangkan dalam keadaan remisi parsial, keluarga dimana pasien

skizofrenia kembali seringkali mendapatkan manfaat dari terapi keluarga

yang singkat namun intensif (setiap hari). Setelah periode pemulangan

segera, topik penting yang dibahas didalam terapi keluarga adalah proses

pemulihan, khususnya lama dan kecepatannya. Seringkali, anggota

keluarga, didalam cara yang jelas mendorong sanak saudaranya yang

terkena skizofrenia untuk melakukan aktivitas teratur terlalu cepat.

Rencana yang terlalu optimistik tersebut berasal dari ketidaktahuan

tentang sifat skizofrenia dan dari penyangkalan tentang keparahan

penyakitnya.

21

Ahli terapi harus membantu keluarga dan pasien mengerti

skizofrenia tanpa menjadi terlalu mengecilkan hati (Sadock,dkk., 2003).

c. Terapi kelompok

Terapi kelompok bagi skizofrenia biasanya memusatkan pada

rencana, masalah, dan hubungan dalam kehidupan nyata. Kelompok

mungkin terorientasi secara perilaku, terorientasi secara psikodinamika

atau tilikan, atau suportif. Terapi kelompok efektif dalam menurunkan

isolasi sosial, meningkatkan rasa persatuan, dan meningkatkan tes

realitas bagi pasien skizofrenia. Kelompok yang memimpin dengan cara

suportif, bukannya dalam cara interpretatif, tampaknya paling membantu

bagi pasien skizofrenia (Sadock dkk, 2003).

d. Psikoterapi individual

Hubungan antara dokter dan pasien adalah berbeda dari yang

ditemukan di dalam pengobatan pasien non-psikotik. Menegakkan

hubungan seringkali sulit dilakukan; pasien skizofrenia seringkali

kesepian dan menolak terhadap keakraban dan kepercayaan dan

kemungkinan sikap curiga, cemas, bermusuhan, atau teregresi jika

seseorang mendekati. Pengamatan yang cermat dari jauh dan rahasia,

perintah sederhana, kesabaran, ketulusan hati, dan kepekaan terhadap

kaidah sosial adalah lebih disukai daripada informalitas yang prematur

dan penggunaan nama pertama yang merendahkan diri. Kehangatan atau

profesi persahabatan yang berlebihan adalah tidak tepat dan kemungkinan

dirasakan sebagai usaha untuk suapan, manipulasi, atau eksploitasi (Sadock

dkk, 2003)

e. Perawatan di Rumah Sakit

Indikasi utama perawatan rumah sakit adalah untuk tujuan

diagnostik, menstabilkan medikasi, keamanan pasien karena gagasan

bunuh diri atau membunuh, prilaku yang sangat kacau termasuk

ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dasar.

22

Tujuan utama perawatan dirumah sakit yang harus ditegakkan

adalah ikatan efektif antara pasien dan sistem pendukung masyarakat.

Rehabilitasi dan penyesuaian yang dilakukan pada perawatan rumahsakit

harus direncanakan. Dokter harus juga mengajarkan pasien dan pengasuh

serta keluarga pasien tentang skizofrenia.

Perawatan di rumah sakit menurunkan stres pada pasien dan

membantu mereka menyusun aktivitas harian mereka. Lamanya perawatan

rumah sakit tergantung dari keparahan penyakit pasien dan tersedianya

fasilitas pengobatan rawat jalan. Rencana pengobatan di rumah sakit

harus memiliki orientasi praktis ke arah masalah kehidupan, perawatan

diri, kualitas hidup, pekerjaan, dan hubungan sosial. Perawatan di

rumah sakit harus diarahkan untuk mengikat pasien dengan fasilitas

perawatan termasuk keluarga pasien. Pusat perawatan dan kunjungan

keluarga pasien kadang membantu pasien dalam memperbaiki kualitas

hidup. (Sadock,dkk., 2003)

H. Prognosis

Walaupun remisi penuh atau sembuh pada skizofrenia itu ada, kebanyakan

masih memiliki gejala sisa dengan tingkat keparahan yang bervariasi. Sampai

saat ini belum ada metode yang dapat memprediksi siapa yang menjadi

sembuh siapa yang tidak, tetapi ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhinya

seperti usia tua, faktor pencetus yang jelas, onset akut, riwayat sosial yang baik,

menikah, riwayat sosial/pekerjaan pramorbid baik, gejala depresi, menikah,

riwayat keluarga gangguan mood sistem pendukung baik, dan gejala positif ini

akan memberikan prognosis yang baik.

Sedangkan onset muda, tidak ada faktor pencetus, onset tidak jelas, riwayat

sosial buruk, autistik, tidak menikah/janda/duda, riwayat keluarga skizofrenia,

system pendukung buruk, gejala negatif, riwayat trauma prenatal, sering relaps

dan riwayat agresif akan memberikan prognosis yang buruk (Maramis, 2006).

23

DAFTAR PUSTAKA

Abrams, DJ., Rojas, DC., Arciniegas, DB. 2008. Is Schizoaffective disorder a distinct clinical condition?. Journal of Neuropsychiatric Disease and Treatment, 4(6) 1089–1109

APA Clinical Guidelines. American Psychiatric Association. 2004. Practice Guidelines for the treatment of patients with schizophrenia.

Brannon GE, MD. 2012. Schizoaffective Disorder. http://emedicine.medscape.com/article/294763-overview#aw2aab6b2b5aa Diakses pada tanggal 29 Oktober 2012.

Buchanan RW, Carpenter TW. 2005. Schizophrenia: Introduction and overview. Kaplan & Sadock’s comprehensive textbook of psychiatry (7th ed.). Philadelphia: Lippincott, Williams & Wilkins, Inc.

Durland VM, and Barlow DH. 2007. Essentials of Abnormal Psychology. 3rd edition Pacific Grove, CA: Wadsworth

Freedman R. 2003. Schizophrenia. The New England Journal of Medicine. Colorado: University of Colorado Health Sciences Center

Hodgkinson CA, Goldman D, Jaeger J, et al. 2004. Disrupted in schizophrenia 1 (DISC1): association with schizophrenia, schizoaffective disorder, and bipolar disorder. Am J Hum Genet, 75:862–72.

Ishizuka K, Paek M, Kamiya A, et al. 2006. A review of Disrupted-In-Schizophrenia-1 (DISC1): neurodevelopment, cognition, and mental conditions. Biol Psychiatry, 59:1189–97.

Keith et al. 2004. Psychiatric Services. 55: 997-1005

Lieberman et al. 2003. Pharmacol Rev, 60: 358-403

Maharatih GA, Nuhriawangsa I, dan Sudiyanto A. 2010. Psikiatri Komprehensif. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

24

Mansjoer Arief, et al. (editor). 2000. Kapita Selekta Kedokteran Edisi 3 Jilid 1. Jakarta: Media Aesculapis.

Maramis WF. 2006. Catatan Kuliah Kedokteran Jiwa. Cetalan ketujuh. Surabaya: Penerbit Airlangga University Press.

Maslim R. (editor). 2002. Diagnosis Gangguan Jiwa : Rujukan Ringkas dari PPDGJ-III. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya

Sadock BJ, Kaplan HI, Grebb JA. 2003. Sinopsis Psikiatri Ilmu Pengetahuan Prilaku Psikiatri Klinis Jilid 1. Jakarta: Binarupa Aksara.

Smith MJ., Wang L., Cronenwett W., Mamah D., Barch DM., Csernansky JG. 2011. Thalamic Morphology in Schizophrenia and Schizoaffective Disorder. J Psychiatr Res. 45(3): 378–385.

Tandon et al. 2008. Psyconeuroendocrinology.; 28 (suppl 1): 9-26

Trimble MR., George MS. 2010. Biological Psychiatry 3rd edition. Wiley-Blackwell.

Wiraminaradja dan Sutardjo. 2005. Pengantar Psikologi Abnormal. Bandung: Refika Aditama

25