skenario pengembangan kota pulau berdasarkan pertimbangan resiko banjir_kota batam
DESCRIPTION
Banjir Kota BatamTRANSCRIPT
Sekolah Arsitektur Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan ITB
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota A SAPPK V3N1 | 87
SKENARIO PENGEMBANGAN KOTA PULAU BERDASARKAN PERTIMBANGAN RESIKO BENCANA BANJIR
(STUDI KASUS : BENCANA BANJIR DI KOTA BATAM, PROV. KEPULAUAN RIAU)
Muhammad Chandra Kaisar
Program Studi Sarjana Perencanaan Wilayah dan Kota, Sekolah Arsitektur Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan, ITB.
Abstrak Perkembangan kebencanaan di Indonesia terus meningkat dan kejadian bencana didominasi oleh bencana hidrometeorologi. Sebagai negara kepulauan, Indonesia sebagian besar tersusun atas pulau-pulau kecil dengan luas tidak lebih dari 2.000 km2. Dimana pulau-pulau kecil merupakan kawasan yang rentan terhadap perubahan lingkungan aktivitas manusia serta ancama bahaya alam. Kota Batam merupakan kota pulau yang tersusun atas pulau-pulau kecil. Data menunjukkan bahwa terjadi peningkatan titik banjir di Kota Batam yang diindikasikan karena kerusakan lingkungan dan dampak kegiatan sosial-ekonomi. Melihat peran penting Kota Batam sebagai Kawasan Strategis Nasional, diperlukan manajemen bencana banjir yang terintegrasi dalam penataan ruang. Penilian tingkat resiko bencana banjir merupakan salah satu konsep yang mampu menentukan manajemen bencana yang efektif dan efesien. Penilian resiko bencana
banjir dilakukan dengan mengukur tingkat ancaman bahaya banjir serta tingkat kerentanan wilayah. Dimana pada penelitian ini menggunakan dua skenario resiko untuk menentukan penilaian resiko yang lebih sesuai. Kata kunci: Kota Pulau, Penilaian Resiko, Kerentanan Wilayah
Pendahuluan
Perkembangan bencana di Indonesia dalam beberapa dekade terakhir terus meningkat, baik dari segi besaran, intensitas maupun sebarannya. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat kejadian bahaya di Indonesia meningkat dari tahun 2002 – 2011. Selama tahun 2011, rata-rata sekitar 89% bencana hidrometerologi mendominasi dari total sebanyak 1.598 kejadian bencana di Indonesia. Dari angka tersebut sebanyak 403 adalah banjir, disusul kebakaran pemukiman sebanyak 355 kejadian, dan puting beliung sebanyak 284 kejadian (BNPB, 2012).
Sebagai negara kepulauan, Indonesia sebagian besar tersusun atas pulau-pulau kecil. Definisi pulau kecil atau lebih sering disebut pulau-pulau kecil (PPK) menurut Undang-undang Nomor 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yaitu pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km2 beserta kesatuan ekosistemnya. Menurut hasil verifikasi tim Perpres 11 tahun 2006 pada tahun 2011 menyebutkan jika Indonesia memiliki 13.487 pulau yang sebagian besar merupakan pulau-pulau kecil dengan luas kurang dari dua ribu km2. Terlebih lagi 65% penduduk Indonesia tinggal di wilayah pesisir yang dimana kawasan pesisir merupakan kawasan yang rentan terhadap perubahan lingkungan, bencana alam dan aktivitas manusia (Dermawan, 2011).
Seringkali pulau-pulau kecil dihadapkan oleh beberapa permasalahan terkait faktor lingkungan, mitigasi bencana dan faktor demografi. Sebagian besar PPK memiliki kawasan pesisir yang luas sehingga luasan daratan yang bsa diekploitasi tidaklah banyak. Dari sisi kapasitas mitigasi bencana, kemampuan untuk meramalkan bahaya yang rendah tidak ada jaminan atau asuransi terkait kebencanaan. Selain itu, dari faktor demografi, keterbatasan sumber daya manusia, perubahan populasi yang cepat serta terpusat di kawasan pesisir membuat
PPK lebih rentan jika terjadi bahaya alam (Lockhart et al, 1993).
Salah satu PPK yang termasuk rentan terhadap bencana yaitu Kota Batam. Batam merupakan kota yang berbentuk kepulauan dimana luas total Kota Batam tidak lebih dari 2000 km2 yaitu hanya 1.082,65 km2. Dokumen Indeks Kerentanan BNPB tahun 2011 menunjukkan bahwa Kota Batam termasuk kota/kabupaten dengan tingkat kerawanan bencana yang Tinggi, terutama dari bencana banjir. Padahal di sisi lain, Kota Batam memiliki peran penting terhadap pemerintah pusat yaitu sebagai salah satu kawasan strategis nasional (KSN) Perdagangan dan Pelabuhan Bebas mengingat lokasinya yang strategis apda jalur pelayaran internasional.
Dinas Pekerjaan Umum Kota Batam mencatat terdapat 19 titik banjir pada tahun 2010, 38 titik banjir pada 2012 serta 42 titik banjir pada Januari 2013. Selain kondisi fisik yang memengaruhi bencana banjir, kondisi sosial-ekonomi pun diyakini memiliki peranan terhadap bertambahnya titik banjir di Kota Batam (RTRW Kota Batam 2011-2031). Hal ini lah yang menjadi pertimbangan menjadikan Kota Batam sebagai wilayah studi penelitian. Jika bencana banjir ini tidak cepat ditanggapi, maka akan berpengaruh tidak hanya terhadap sosial-ekonomi Kota Batam tetapi juga Indonesia. Diperlukan studi terkait manajemen bencana melalui identifikasi resiko bencana banjir untuk menentukan jenis dan prioritas mitigasi serta adaptasi bencana yang tepat terhadap kasus bencana banjir di Kota Batam.
Dapat dilihat dari dua konsep memengaruhi tingkat resiko bencana yaitu bahaya dan kerentanan, secara teoritik dimana Kota Batam yang merupakan pulau-pulau kecil rentan terhadap bahaya alam, didukung dengan pernyataan-pertanyaan permasalahan yang menegaskan bahwa Kota Batam memerlukan manajemen bencana, khususnya bencana banjir, untuk mengurangi dampak dari ancaman bahaya banjir. Selain itu pada Undang-Undang 24 tahun 2007, Undang-Undang 26 tahun 2007
Skenario Pengembangan Kota Pulau Berdasarkan Pertimbangan terhadap Resiko Bencana Banjir (Studi Kasus : Bencana Banjir di Kota Batam)
88 | Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota A SAPPK V3N1
serta Undang-Undang 27 tahun 2007 mengatur pentingnya pengelolaan pulau-pulau kecil terhadap bencana salah satunya melalui penataan ruang untuk terselenggaranya pembangunan bekelanjutan. Beragamnya kerentanan yang dimiliki oleh pulau-pulau kecil menunjukkan bahwa Tingginya tingkat urgensi pembangunan atau pengembangan wilayah yang memperhatikan manajemen bencana. Pada dasarnya manajemen bencana berfokus dalam upaya mengurangi resiko dari bahaya-bahaya yang dapat menimbulkan dampak merugikan (Alezander, 2002). Oleh karena itu, diperlukan analisis mengenai tingkat resiko banjir di Kota Batam, dimana tingkat resiko merupakan fungsi dari tingkat ancaman/bahaya dan kerentanan di suatu wilayah (Wisner et al., 2004).
Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui tingkat resiko bencana banjir di Kota Batam sebagai masukan bagi penataan ruang di Kota Batam. Berdasarkan tujuan tersebut, sasaran dari penelitian ini adalah sebagai berikut.
Terindentifikasinya tingkat ancaman/bahaya banjir diKota Batam.
Terindentifikasinya tingkat kerentanan wilayah terhadap bahaya banjir di Kota Batam.
Terindentifikasinya tingkat resiko bencana banjir diKota Batam.
Metodologi
Penelitian ini menggunakan Risk Assessment yaitu
metodologi untuk menentukan sifat dan luasan resiko
melalui potensi bahaya dan mengevaluasi kondisi
eksisting dari kerentanan yang berpotensi untuk
mengalami kerugian. Terdapat dua hal penting dalam
pengukuran resiko yaitu tingkat ancaman/bahaya serta
tingkat kerentanan wilayah.
Analisis ancaman/bahaya banjir menggunakan metoda
pembobotan (scoring) dan analisis spasial sesuai dengan
Pedoman Penyusunanan Peta Rawan Banjir oleh
Bakosurtanal. Sedangkan analisis kerentanan wilayah
menggunakan indeks kerentanan yang diklasifikasikan
berdasarkan jarak standardisasi dari rata-rata.
Tabel 1. Pembobotan Variabel Banjir
Variabel Substansi Skor
Sistem lahan dan DEM (SKOR_LR)
Rawan banjir dengan slope <2% dan elevasi 0-10 meter Rawan banjir dengan slope <2% dan
elevasi >10 meter
2
1
Penutupan lahan (SKOR_PL)
Permukiman
Sawah / tambak Ladang / tegalan Semak belukar
Hutan
5
4 3 2
1
Kejadian Banjir
(SKOR_DB) Daerah genangan 2
Curah Hujan
(SKOR_CH)
>200mm 100-200mm
50-100 mm < 50mm
4 3
2 1
Sumber: Bakosurtanal, 2008, dengan adaptasi, 2014
Sedangkan variabel kerentanan fisik dan sosial. analisis
resiko menggunakan matriks tingkat resiko seperti pada
Pedoman Penyusunan Resiko Bencana oleh BNPB. dimana
nilai rendah yaitu 1 hingga 4, sedang yaitu 5 hingga 8
dan tinggi yaitu 9 hingga 13.
Tabel 2. Matriks Tngkat Resiko
Tngkat Resiko Banjir Tingkat Kerentanan Wilayah
Rendah Sedang Tinggi
Tin
gk
at
Ba
ha
ya
Ba
nji
r
Rendah
Sedang
Tinggi
Sumber: Badan Nasional Penanggulangan Bencana, 2012
Tabel 3. Variabel Kerentanan Fisik
Variabel Faktor Subfaktor
Infrastruktur Kritis
Infrastruktur Pendidikan
Jumlah SD/Sederajat
Jumlah SMP/Sederajat
Jumlah SMP/Sederajat
Jumlah SMA/Sederajat
Jumlah PT/Sederajat
Infrastruktur Kesehatan Jumlah Rumah Sakit
Jumlah Puskesmas
Pelabuhan x
Bandara x
Kawasan Terbangun
Prakira Jumlah Unit Rumah x
Jumlah Rumah Tak Layak Huni x
Persentase Kawasan Terbangun x
Kepadatan Unit Rumah per Luasan Administrasi
x
Kepadatan Unit Rumah per Luasan Kawasan Terbangun
x
Jumlah Industri Jumlah Industri Besar
Jumlah Industri Menengah
Sumber: Hasil analisis, 2014
Tabel 4. Skenario Variabel Kerentanan Sosial
Variabel Faktor Skenaro I Skenario 2
Kependudukan
Kepadatan Penduduk Jumlah
Jiwa/km2 x
Kepadatan Penduduk Spasial
x Jumlah Jiwa/km2
Jumlah Penduduk Jumlah Jiwa Jumlah Jiwa
Gender Persentase Rasio
Laju Pertumbuhan Jiwa/tahun Jiwa/tahun
Pendidikan Berpendidikan Rendah Persentase Jumlah Jiwa
Struktur Keluarga
Jumlah Jiwa dalam Keluarga
Jumlah Jiwa Jumlah Jiwa
Berpenghasilan Tunggal Persentase Jumlah Jiwa
Kelompok Rentan
Ibu Hamil Persentase Jumlah Jiwa
Balita Persentase Jumlah Jiwa
Lansia Persentase Jumlah Jiwa
Difabel Persentase Jumlah Jiwa
Kesejahteraan
Penduduk Miskin Persentase Jumlah Jiwa
Penduduk Belum/Tidak Bekerja
Persentase Jumlah Jiwa
Mata Pencaharian
Beresiko
Nelayan Persentase Jumlah Jiwa
Petani Persentase Jumlah Jiwa
Buruh Harian Persentase Jumlah Jiwa
Pola Hidup tak
Sehat
Penduduk Terjangkit
Diare Persentase Jumlah Jiwa
Kelompok Khusus
Wanita Tuna Susila Persentase Jumlah Jiwa
Waria Persentase Jumlah Jiwa
Etnis Persentase Jumlah Jiwa
Pelayan Kesehatan
Sarana Kesehatan Proporsi Jumlah Unit
Tenaga Medis Proporsi Jumlah Jiwa
Sumber: Hasil analisis, 2014
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini yaitu data
kuantitatif dan kualitatif yang berasal dari pengumpulan
data statistik, data spasial, dokumen terkait serta data
hasil wawancara dan observasi. Metoda analisis
menggunakan analisis statistik, analisis spasial serta
analisis konten. Analisis statistik digunakan untuk
menglasifikasikan tingkat kerentanan wilayah. Analisis
kerentanan wilayah merupakan fungsi dari kerentanan
fisik dan sosial. Dimana pada penelitan ini menggunakan
dua skenario perhitungan tingkat kerentanan sosial.
Analisis spasial digunakan untuk menganalisis ancaman
Muhammad Chandra Kaisar
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota A SAPPK V3N1 | 89
bahaya serta resiko. Analisis konten digunakan untuk
mengetahui penyebab utama kerentanan wilayah di Kota
Batam, agar permasalahan terkait bencana banjir lebih
efesien untuk ditangani.
Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan penelitian yaitu pendahuluan yang menguraikan latar belakang, permasalahan tujuan, sasaran, ruang lingkup penelitian, metodologi dan kerangka pikir. Kemudian tinjauan pustaka mengenai teori dan konsep kebencanaan yaitu bahaya, kerentanan dan resiko serta teori dan konsep mengenai kota pulau. Kemudian dilanjutkan dengan pemaparan gambaran umum wilayah baik dari administrasi, fisik, sosial, ekonomi, perencanaan ruang maupun kondisi kebencanaan di Kota Batam. Lalu dilanjutkan dengan analisis mengenai tingkat ancaman/bahaya banjir, tingkat kerentanan wilayah serta tingkat resiko bencana banjir. Kemudian diakhiri dengan simpulan dan rekomendasi penelitian.
Bahaya, Kerentanan dan Resiko
Secara umum, bahaya adalah fenomena alam atau buatan yang mempunyai potensi mengancam kehidupan manusia, kerugian harta benda dan kerusakan lingkungan. Dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, bahaya/ancaman (hazard) didefinisikan sebagai suatu kejadian atau peristiwa yang mempunyai potensi dapat menimbulkan kerusakan, kehilangan jiwa manusia, atau kerusakan Iingkungan. Indonesia merupakan negara dengan potensi bahaya (hazard potency) yang sangat Tinggi dan beragam baik banjir, gunung berapi, kekeringan, gerakan tanah, tsunami, bencana ulah manusia seperti kebakaran hutan, kerusuhan massa, wabah penyakit dan lainnya. Sedangkan Kerentanan (vulnerability) adalah suatu kondisi yang ditentukan oleh faktor-faktor atau proses-
proses fisik, sosial, ekonomi, dan lingkungan yang mengakibatkan peningkatan kerawanan masyarakat dalam menghadapi bahaya (hazards)
Menurut Geoscience Australia (2004), resiko adalah potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana pada suatu wilayah dan kurun waktu tertentu yang dapat berupa kematian, luka, sakit, jiwa terancam, hilangnya rasa aman, mengungsi, kerusakan atau kehilangan harta, dan gangguan kegiatan masyarakat
Dari beberapa pendapat ahli dan institusi terkait mengenai resiko, dapat diketahui bahwa konsep resiko mencakup adanya sesuatu yang mengancam, dalam hal ini yaitu bahaya alam, terdapat sesuatu yang dirugikan baik berupa fisik maupun nonfisik, dan terjadi dalam periode tertentu. Untuk menentukan tingkat resiko dalam konteks kebencanaan, diperlukan Risk Assessment. UNISDR mendefisinikan bahwa Risk Assessment adalah sebuah metodologi untuk menentukan sifat dan luasan resiko melalui potensi bahaya dan mengevaluasi kondisi eksiting dari kerentanan yang berpotensi untuk mengalami kerugian seperti orang, properti, pelayanan, pekerjaan dan juga lingkungan tempat mereka bergantung. Dalam menilai tingkat resiko suatu wilayah terdapat beberapa faktor yang memengaruhinya. UNISDR menjelaskan resiko dipengaruhi oleh bahaya dan kerentanan. Fridmann, dalam Firmansyah (1998)
Kerentanan Wilayah
Pelling dan Cutter (2003) membagi kerentanan wilayah menjadi dua jenis yaitu kerentanan biofisik dan kerentanan sosial. Kerentanan biofisik adalah kerentanan yang berkaitan dengan ligkungan terbangun. Sedangkan kerentanan sosial adalah kerentanan yang yang berkaitan dengan kondisi sosial, ekonomi dan politik yang memengaruhi kejadian bencana. Gambar 1. Model Hubungan Kerentanan Wilayah
Sumber : Cutter, 2003
Di bawah ini variabel yang digunakan untuk mengukur tingkat kerentanan sosial.
Tabel 5. Matriks Konsep Kerentanan Sosial
Konten Deksripsi
Populasi, Kepadatan,
dan Laju Pertumbuham
Semakin tinggi tingkat jumlah, kepadatan serta laju
pertumbuhan penduduk maka akan menurunkan mobilitas yang akan meningkatkan kerentanan terhadap bencana.
Pendidikan
Kecerdasan individu maupun kelompok terhadap bencana akan menegaruhi respon mereka terhadap bencana, semakin mereka memiliki pengetahuan semakin berkurang
kerentanannya
Kelompok rentan
Kelompok rentan adalah mereka yang memiliki keterbatasan
baik secara fisik maupun non fisik yang dimungkinkan menghambat proses mereka dalam tanggap bencana seperti para balita, lansia, cacat, ibu hamil.
Struktur
Keluarga
Semakin besar ukuran keluarga maka akan memengaruhi kemampuan untuk tanggap bencana serta ketika proses pemulihan akan lebih lambar karena membutuhkan sumber
daya yang lebih banyak dibandingkan dengan keluarga yang kecil. Selain itu, keluarga yang berpenghasilan tunggal akan
lebih lama pulih dari masa paska-bencana.
Penduduk
Miskin
Orang-orang miskin memiliki keterbasan dalam mengakses sumber daya baik sebelum, saat dan sesudah bencana
karena kemampuan finansial yang rendah
Tuna Karya
Orang-orang yang pengangguran umumnya memiliki
keterbatasan khususnya dalam segi finansial untuk mengakses sumber daya sebelum, saat dan sesudah terjadi bencana
Mata Pencaharian
Beresiko
Kelompok ini adalah kelompok yang mana mata pencahariannya akan terganggun ketika terjadi bencana
alam yaitu nelayan, petani, dan buruh harian.
Pola Hidup
tidak Sehat
Pola hidup yang tidak sehat akan meningkatkan kerentanan terhadap bencana, khususnya pada proses pemulihan
dimana umumnya kemungkinan terjangkit penyakit paska-bencana cukup besar.
Kelompok Khusus
Kelompok ini adalah kelompok yang dimungkinkan dilakukan pengucilan oleh masyarakat, sehingga akan memengaruhi kemampuan dalam mengakses sumber daya (WTS dan
Waria)
Sumber: Cutter, 2003, Heinz for Center Economic Studies, 2000, dengan adaptasi 2014
Sedangkan variabel kerentanan fisik menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana yaiu kawasan rentan banjir, kondisi kawasan terbangun serta infrastruktur kritis. Kawasan rawan banjir yaitu kawasan sempadan pantai, sungai, serta kawasan dengan elevasi rendah dan tingkat kerelengan yang mendekati 0%. Kondisi kawasan terbangun yaitu mengenai karakteristik kondisi permukiman eksisting. Sedangkan infrastruktur kritis yaitu infrastruktur yang sangat berpengaruh terhadap sosial-
Skenario Pengembangan Kota Pulau Berdasarkan Pertimbangan terhadap Resiko Bencana Banjir (Studi Kasus : Bencana Banjir di Kota Batam)
90 | Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota A SAPPK V3N1
ekonomi wilayah tersebut misalnya pelabuhan, bandara, energi dan lainnya.
Gambaran Umum Kota Batam
Kota Batam secara geografis mempunyai letak yang sangat strategis, yaitu terletak di jalur pelayaran dunia internasional. Kota Batam berdasarkan Perda Nomor 2 tahun 2004 tentang Rencana Tata Ruang wilayah Kota Batam tahun 2004 – 2014, terletak antara 0° 25’ 29 ”- 1° 15' 00” Lintang Utara dan 103° 34' 35” - 104° 26' 04” Bujur Timur.
Luas wilayah Kota Batam seluas 426,563.28 Ha, terdiri dari luas wilayah darat 108,265 Ha dan luas wilayah perairan/laut 318,298.28 Ha. Kota Batam meliputi lebih dari 400 (empat ratus) pulau, 329 (tiga ratus dua puluh sembilan) di antaranya telah bernama, termasuk di dalamnya pulau-pulau terluar di wilayah perbatasan negara. Dalam hal ini Kota Batam berbatasan dengan:
Sebelah Utara : Singapura dan Malaysia
Sebelah Selatan : Kabupaten Lingga
Sebelah Barat : Kabupaten Karimun dan Laut Internasional
Sebelah Timur : Kabupaten Bintan dan Kota Tanjung Pinang
Posisi Kota Batam yang berbatassan dengan daerah dan negara lain berimplikasi pada posisi geostrategis Kota Batam. Singapura dan Malaysia yang berada di sebelah utara Kota Batam, secara ekonomi makro memberikan pengaruh yang cukup signifikan dalam perekonomian Batam. Letak strategis Batam telah menjadi daya tarik bagi Singapura untuk merelokasikan aktivitas industri mereka ke Batam karena ketersediaan lahan yang cukup dan kemudahan investasi yang diberikan. Kota batam
secara geografis mempunyai letak yang sangat strategis, yaitu di jalur pelayaran internasiona. Singapura dan Malaysia yang berada di sebelah utara Kota Batam sangat terkait dengan posisi tersebut. posisi ini menjadi unik bagi Kota Batam yang membedakan dengan daerah lain di Indonesia. Sebagai salah satu kawasan strategis nasional (KSN), Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Batam diatur dalam Peraturan Presiden No. 87 tahun 2011.
Penduduk Kota Batam bersifat heterogen terdiri dari multi suku yang ada ada di Indonesia, dengan penduduk aslinya adalah suku Melayu. Penduduk Kota Batam hingga tahun 2012 yaitu 1.235.472 jiwa. Laju pertumbuhan penduduk pada tahun 2012 terhadap tahun 2011 yaitu sebesar 8.58%. Kepadatan penduduk Kota Batam pada tahun 2012 adalah 11,79 jiwa/ha atau 1178.83 jiwa/km2, sedangkan jika dilihat dari kepadatan spasial yang berpacu pada luasan kawasan terbangun pada tahun 2008, maka kepadatan spasial penduduk Kota Batam adalah 181,69 jiwa/ha atau 18.168,71 jiwa/km2
Penyebaran penduduk per kecamatan di Kota Batam dapat dikatakan relatif tidak merata dengan konsenterasi masih pada kecamatan yang berada di wilayah Pulau Batam (mainland) yaitu Kecamatan Batu Aji, Sagulung, Batam Kota, Sel Beduk, Nongsa, Bengkong, Batu Ampar Lubuk Baja dan Sekupang. Sedangkan luar Pulau Batam, (hinterland) yaitu Kecamatan Balakang Padang, Bulang dan Galang.
Beberapa kawasan rawan bencana yang ada di Kota Batam yaitu kawasan rawan bencana banjir, longsor, abrasi, gerakan tanah, gelombang Tinggi. Berdasarkan data peta titik banjir Dinas Pekerjaan Umum Kota Batam, pada tahun 2010 terdapat 19 titik banjir, 2012 terdapat 38 titik banjir dan per Januari 2013 terdapat 42 titik banjir.
Tingkat Bahaya Banjir
Berdasarkan analisis yang dilakukan sesuai proses di atas hanya sekitar 8.907,1 hektar atau 8% wilayah Kota Batam yang tergolong dalam tingkat bahaya banjir yang Tinggi, 77.595,9 hektar atau 74% yang tergolong tingkat bahaya banjir sedang serta 18.474 hektar atau 18% yang tergolong pada tingkat bahaya rendah. Secara umum tingkat behaya banjir di Kota Batam didominasi dengan tingkat bahaya yang sedang sesuai dengan analisis empirik kawasan rawan banjir sedangkan persentase kawasan dengan tingkat bahaya banjir per kecamatan dapat dilihat pada tabel 5.
Tabel 5. Persentase Luas Wilayah berdasarkan Tingkat Ancaman/Bahaya Banjir per Kecamatan di Kota Batam
No. Kecamatan Rendah Sedang Tinggi Total
1 Batam Kota 0.00 62.50 37.50 100.00
2 Batu Aji 16.55 65.75 17.70 100.00
3 Batu Ampar 0.43 29.74 69.83 100.00
4 Belakang Padang 27.65 70.75 1.60 100.00
5 Bengkong 0.00 23.17 76.83 100.00
6 Bulang 19.05 80.11 0.83 100.00
7 Galang 22.21 77.62 0.17 100.00
8 Lubuk Baja 1.92 57.93 40.15 100.00
9 Nongsa 13.67 76.26 10.07 100.00
10 Sagulung 2.31 69.90 27.79 100.00
11 Sekupang 24.81 65.65 9.53 100.00
12 Sungai Beduk 0.00 88.75 11.25 100.00
13 Tanpa Data 99.15 0.85 0.00 100.00
Total 17.60 73.92 8.48 100.00
Sumber: Hasil analisis, 2014
Tingkat Kerentanan Fisik
Penentuan klasifikasi tingkat kerentanan fisik dianalisis berdasarkan dua belas variabel yaitu:
a. Sarana Kesehatanb. Sarana Pendidikanc. Jumlah Industri Besard. Jumlah Industri Sedange. Prakira Jumlah Unit Rumahf. Prakira Jumlah Unir Rumah per Luasan Wilayahg. Jumlah Rumah Tak Layak Hunih. Luas Kawasan Terbanguni. Persentase Kawasan Terbangun terhadap Luas
Wilayahj. Jumlah Prakira Unit rumah terhadap Luas Kawasan
Terbangunk. Jumlah Infrastruktur Kritis yaitu Bandara
l. Jumlah Infrastruktur Kritis yaitu PelabuhanTerdapat empat kecamatan yang termasuk dalam tingkat kerentanan fisik Tinggi, empat kecamatan dalam tingkat kerentanan fisik sedang dan sisanya kerentanan fisik rendah. Dimana semua kecamatan pada kawasan hinteland termasuk ke dalam kerentanan fisik rendah.
Tabel 7. Tingkat Kerentanan Fisik Per Kecamatan di Kota Batam
No. Kecamatan Tingkat
1 Belakang Padang Rendah
2 Batu Aji Tinggi
Muhammad Chandra Kaisar
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota A SAPPK V3N1 | 91
No. Kecamatan Tingkat
3 Sekupang Tinggi
4 Sagulung Tinggi
5 Sei Beduk Sedang
6 Batu Ampar Sedang
7 Bengkong Sedang
8 Nongsa Sedang
9 Batam Kota Tinggi
10 Lubuk Baja Sedang
11 Galang Rendah
12 Bulang Rendah
Sumber: Hasil analisis, 2014
Tingkat Kerentanan Sosial
Penentuan tingkat kerentanan sosial serta teknik perhitungan variabel dan faktor kerentanan sosial berada pada bagian. Terdapat perbedaan yang cukup signifikan dari hasil analisis skenario I dan II. Hanya terdapat dua kecamatan dengan tingkat kerentanan yang sama pada hasil analisis skenario I dan II yaitu Kecamatan Batam Kota dan Lubuk Baja. Sepuluh kecamatan lainnya memiliki hasil tingkat kerentanan yang berbeda pada skenario I dan II. Terutama pada kecamatan yang berada pada kawasan hinterland yaitu Kecamatan Belakang Padang, Bulang dan Galang, dimana pada skenario I memiliki klasifikasi tingkat kerentanan sosial yang Tinggi, akan tetapi pada skenario II memiliki klasifikasi tingkat kerentanan sosial yang rendah.
Tabel 8. Tingkat Kerentanan Sosial Per Kecamatan di Kota Batam
No. Kecamatan Skenario I Skenario II
1 Belakang Padang Tinggi Sedang
2 Batu Aji Rendah Tinggi
3 Sekupang Rendah Tinggi
4 Sagulung Sedang Tinggi
5 Sei Beduk Rendah Sedang
6 Batu Ampar Rendah Sedang
7 Bengkong Rendah Sedang
8 Nongsa Sedang Rendah
9 Batam Kota Sedang Sedang
10 Lubuk Baja Sedang Sedang
11 Galang Tinggi Rendah
12 Bulang Tinggi Rendah
Sumber: Hasil analisis, 2014
Perkembangan kerentanan
Pola perkembangan kenrentanan akan dibagi menjadi tiga
bagian yaitu root causes, dynamic pressure serta unsafe
condition.
a. Root Causes
Penyebab utama terjadinya peningkatan titik banjir di
Kota Batam yaitu terkait kegiatan cut and fill yang tidak
sesuai prosedur sehingga menyebabkan kerusakan
lingkungan, pola perilaku masyarakat yang tidak
memberlakukan hidup sehat (misal membuang sampah
sembarangan), dualisme kewenganan dan permasalahan
hak pengelolaan lahan yang seringkali memperlambat
masalah pengangan banjir, serta kurang tegasnya
penegakkan hukum terkait perkembangan permukiman
liar.
b. Dynamic Pressure
Penyebab selanjutnya yaitu belum adanya instusi lokal
pada level kota yang khusus menangani kebencanaan,
yaitu seperti Badan Penanggulangan Bencana Daerah
(BPBD) pada level kota, adanya ketimpangan
pembangunan antara mainland yaitu Pulau Batam dan
hinterland yaitu pulau-pulau selain Pulau Batam,
penyediaan barang dan jasa yang rentan terhadap
bencana hidrometeorologi, laju pertumbuhan penduduk
yang Tinggi terutama dari migrasi masuk ke Kota Batam,
khususnya Pulau Batam.
c. Unsafe Condition
Pada dasarnya kondisi fisik dan lingkungan Kota Batam
memang rawan terhadap bencana banjir karena sebagian
besar daerahnya berupa rawa dan berkelerengan 0 –
15 %, kondisi permukiman formal dan non-formal yang
padat dan tidak memliliki prasarana lingkungan yang
memadai, penduduk miskin dari segi jumlah terdapat
banyak di kecamatan-kecamatan di Pulau Batam akan
tetapi dari segi persentase terdapat banyak di kecamatan-
keamatan di luar Pulau Batam yaitu Kecamatan Belakang
Padang dan Kecamatan Galang, kelompok rentan yang
ditinjau dari persetasenya banyak terdapat di Kecamatan
Galang dan Belakang Padang, kelompok khusus yaitu
WTS dan transgender yang terdapat banyak di kawasan
perkotaan yaitu kawasan perdagangan Nagoya di Pulau
Batam, serta kondisi pola hidup masyarakat yang belum
mencerminkan pola hidup sehat, khususnya pada
Keamatan Galang dan Belakang Padang dikarenakan
terbatasnya prasarana sanitasi.
Tingkat Kerentanan Wilayah
Analisis kerentanan wilayah merupakan fungsi dari analisis kerentanan fisik dan analisis kerentanan sosial. Dikarenakan pada analisis kerentana sosial menggunakan dua skenario makan keluaran dari analisis kerentanan
wilayah pun akan menggunakan dua skenario untuk menyesuaikan proses analisis sebelumnya.
Tabel 9. Tingkat Kerentanan Wilayah Per Kecamatan di Kota Batam
No. Kecamatan Skenario I Skenario II
1 Belakang Padang Sedang Rendah
2 Batu Aji Sedang Sedang
3 Sekupang Sedang Tinggi
4 Sagulung Tinggi Tinggi
5 Sei Beduk Rendah Sedang
6 Batu Ampar Rendah Sedang
7 Bengkong Rendah Sedang
8 Nongsa Sedang Rendah
9 Batam Kota Tinggi Tinggi
10 Lubuk Baja Sedang Sedang
11 Galang Sedang Rendah
12 Bulang Sedang Rendah
Sumber: Hasil analisis, 2014
Dari dua skenario tersebut terdapat tiga kecamatan yang memilki tingkat klasifikasi kerentanan wilayah yang sama pada skenario I dan Ii yaitu kecamatan Sagulung, Batam Kota serta Kecamatan Lubuk Baja. Dari dua skenario tersebut, semua kecamatan di kawasan hinterland yaitu Kecamatan Belakang Padang, Galang dan Bulang semuanya memiliki klasifikasi tingkat kerentanan wilayah sedang pada skenario I dan klasifikasi tingkat kerentanan wilayah yang rendah
Skenario Pengembangan Kota Pulau Berdasarkan Pertimbangan terhadap Resiko Bencana Banjir (Studi Kasus : Bencana Banjir di Kota Batam)
92 | Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota A SAPPK V3N1
Tingkat Resiko Banjir
Analisis resiko bencana banjir menggunakan dua skenario mengikuti proses analisis sebelumnya. Pada skenario I, luasan wilayah dengan tingkat resiko banjir Tinggi, sedang dan sedang secara berturut-turut adalah 12.385,8 ha (12%), 64.304,4 ha (61%) serta 26.685,3 (25%), serta tanpa data seluas 1.601,43 ha (2%). Ketiadaan data dikarenakan kurang sesuainya luasan peta yang digunakan untuk analisis sehingga terdapat wilayah yang tidak dilakukan pembobotan.
Gambar 2. Luasan dan Persentase Tingkat Resiko Bencana Banjir di Kota Batam Skenario I
Sumber: Hasil analisis, 2014
Analisis resiko bencana banjir menggunakan dua skenario mengikuti proses analisis sebelumnya. Pada skenario II, luasan wilayah dengan tingkat resiko banjir Tinggi, sedang dan sedang secara berturut-turut adalah 20.940,8 ha (20%), 14.443,6 ha (14%) serta 67.991,17 (65%), serta tanpa data seluas 1.601,43 ha (1%). Ketiadaan data dikarenakan kurang sesuainya luasan peta yang digunakan untuk analisis sehingga terdapat wilayah yang tidak dilakukan pembobotan.
Gambar 3. Luasan dan Persentase Tingkat Resiko Bencana Banjir di Kota Batam Skenario II
Berdasarkan skenario II hampir sama dengan skenario I, Kecamatan Sagulung dan Kecamatan Batam merupakan
dua kecamatan dengan luas wilayah yang paling banyak termasuk dalam klasifikasi tingkat Risiko tinggi yaitu 5.339,3 ha dan 3.844,8 ha. Kecamatan Batam merupakan pusat pemerintahan Kota Batam sedangkan Kecamatan Sagulung merupakan kawasan industri serta permukiman. Kecamatan lainnya yang memiliki kawasan rawan banjir tinggi lebih dominan (lebih dari setengah kawasannya) adalah Kecamatan Batu Aji, Kecamatan Batu Ampar, dan Kecamatan Bengkong. Pada kawasan tersebut merupakan kawasan dengan tingkat kepadatan penduduk dan kepadatan bangunan yang tinggi. Hal ini dikarenakan pada tiga kecamatan merupakan kawasan industri serta
kawasan perdagangan dan jasa Nagoya, dimana disekitarnya merupakan kawasan permukiman yang padat.
Kecamatan –kecamatan di kawasan maindland lebih dari setengahnya merupakan kawasan yang memiliki tingkat kerawanan banjir tinggi. Pada kawasan di tengah pulau Batam yaitu Kecamatan Sei Beduk, 9.363,33 hektar dari 10.552,74 hektar merupakan kawasan dengan tingkat kerawanan banjir yang sedang. Hal ini dikarenakan pada Kecamatan terserbut, khususnya bagian tengah Pulau Batam, merupakan kawsan lindung yang diatur oleh Kementrian Kehutanan. Hal ini berimplikasi pada pengembangan kawasan yang sangat terbatas sehingga kawasan tersebut masih cenderung hijau. Untuk kawasan dengan tingkat kerawanan yang rendah pada kawasan maindland adalah Kecamatan Nongsa, Pulau Batam bagian timur. Pada kecamatan ini belum banyak permukiman, kecuali pada bagian yang memiliki kerawanan bencana sedang. Pada kawasan tersebut terdapat kawasan industri dimana di sekitarnya tumbuh permukiman dan diperburuk dengan kondiri topografi yang menstimulasi terjadinya bahaya banjir.
Pada kawasan hinterland, sebagian besar merupakan kawasan dengan tingkat kerawanan bencana banjir yang rendah. Hal ini dikarenakan memang masih sangat jarang kawasan permukiman serta industri. Sulitnya pembebasan lahan guna pemanfaatan lahan untuk kawasan budidaya terkendala permasalahan terkait kepemilikan lahan seperti yang telah dipaparkan pada perkembangan kerentanan, khususnya Kecamatan Galang.
Temuan Studi
Temuan studi terkait analisis bahaya banjir (1)
Berdasarkan analisis yang dilakukan sesuai proses di atas
hanya sekitar 8.907,1 hektar atau 8% wilayah Kota Batam
yang tergolong dalam tingkat bahaya banjir yang Tinggi,
77.595,9 hektar atau 74% yang tergolong tingkat bahaya
banjir sedang serta 18.474 hektar atau 18% yang
tergolong pada tingkat bahaya rendah. (2) Secara umum
tingkat behaya banjir di Kota Batam didominasi dengan
tingkat bahaya yang sedang sesuai dengan analisis
empirik kawasan rawan banjir. (3) Kecamatan Bengkong
dan Batu Ampar merupakan dua kecamatan yang lebih
dari 50% luas wilayahnya termasuk ke dalam kawasan
dengan tingkat ancaman bahaya Tinggi. (4) Sepuluh
kecamatan lainnya didominasi oleh kawasan dengan
tingkat ancaman bahaya banjir sedang. Kecamatan Batam
Kota dan Sungai Beduk tidak memiliki kawasan dengan
tingkat ancaman bahaya banjir rendah.
Temuan studi terkait analisis kerentanan banjir. Pada analisis kerentanan fisik Kecamatan Batam Kota, Batu Aji, Sekupang, Sagulung termasuk kawasan rentan fisik yang Tinggi. (2) Semua kecamatan di kawasan hinterland termasuk kawasan dengan kerentanan fisik yang rendah. (3) Sisanya kecamatan lainnya termasuk ke dalam kawasan kerentanan sedang. (4) Pada skenario I, semua kecamatan di kawasan hinterland ke dalam kerentanan sosial Tinggi dan pada skenario II termasuk kerentanan sosial rendah dan sedang (5) Berdasarkan skenario I, kecamatan di kawasan hinterland termasuk dalam klasifikasi kerentanan wilayah sedang. Dan pada skenario II termasuk dalam klasifikasi kerentanan wilayah rendah.
26,685.33
25%
64,304.39
61%
12,385.80
12%
1,601.43
2%
RENDAH
SEDANG
TINGGI
TANPA DATA
67,991.17 65%
14,443.58 14%
20,940.77 20%
1,601.43 1%
SEDANG
TINGGI
TANPA DATA
Muhammad Chandra Kaisar
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota A SAPPK V3N1 | 93
Skenario Pengembangan Kota Pulau Berdasarkan Pertimbangan terhadap Resiko Bencana Banjir (Studi Kasus : Bencana Banjir di Kota Batam)
94 | Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota A SAPPK V3N1
(6) Kecamatan Sagulung dan Batam Kota merupakan kecamatan yang meiliki klasifikasi kerentanan wilayah yang Tinggi di dua skenario. (7) Kecamatan Nongsa merupakan kecamatan satu-satunya yang memiliki klasifikasi kerentanan wilayah yang rendah di kawasan mainland. Gambar 4. Bagan Perkembangan kerenantan
Temuan berdasarkan analisis resiko banjir (1) Analisis resiko bencana banjir menggunakan dua skenario mengikuti proses analisis sebelumnya. Pada skenario I, luasan wilayah dengan tingkat resiko banjir Tinggi, sedang dan sedang secara berturut-turut adalah 12.385,8 ha (12%), 64.304,4 ha (61%) serta 26.685,3 (25%), serta tanpa data seluas 1.601,43 ha (2%). (2) Berdasarkan skenario I, Kecamatan Sagulung dan Kecamatan Batam merupakan dua kecamatan dengan luas wilayah yang paling banyak termasuk dalam klasifikasi tingkat resiko Tinggi yaitu 5.339,3 ha dan 3.844,8 ha. (3) Analisis resiko bencana banjir menggunakan dua skenario mengikuti proses analisis sebelumnya. Pada skenario II, luasan wilayah dengan tingkat resiko banjir Tinggi, sedang dan sedang secara berturut-turut adalah 20.940,8 ha (20%), 14.443,6 ha (14%) serta 67.991,17 (65%), serta tanpa data seluas 1.601,43 ha (1%). (4) Berdasarkan skenario II hampir sama dengan , Kecamatan Sagulung dan Kecamatan Batam merupakan dua kecamatan dengan luas wilayah yang paling banyak termasuk dalam klasifikasi tingkat resiko Tinggi yaitu 5.339,3 ha dan 3.844,8 ha (5) Skenario II lebih merepresentasikan tingkat resiko bencana banjir di Kota Batam, sehingga perhitungan pada variabel dua lebih cocok digunakan untuk kasus kota pulau.
Kesimpulan
Berdasarkan skenario I, kawasan resiko bencana banjir dengan klasifikasi sedang mendominasi seluas 643,04 km2 atau 61% dari luas Kota Batan. Kemudian kawasan dengan resiko bencana banjir yang sedang yaitu 266,9 km2 atau 25% dari luas Kota Batam, dan kawasan resiko
bencana banjir Tinggi seluas 123,9 km2 atau 12%. Hal ini dikarenakan penggunaan teknik perhitungan berdasarkan persentase sehingga tingkat kerentanan sosial yang Tinggi berada pada kawasan hinterland. Di lain sisi kawasan rawan bencana banjir yang Tinggi berada di kawasan mainland terutama pada kecamatan yagn terdapat genangan banjir seperti Sagulung dan Batam kota.
Ditinjau dari sebarannya, pada skenario I kawasan dengan tingkat resiko yang Tinggi hanya terlihat mendominasi di Kecamatan Batam Kota dan Sagulung, kemudian di pesisir Kecamatan Sekupang dan Kecamatan Nongsa. Tingkat resiko sedang berada secara merata di sepanjang kawasan pesisir baik mainland maupun hinterland. Dan kawasan dengan tingkat resiko yang rendah yaitu kawasan yang berada di tengah-tengah pulau karena selain guna lahannya masih belum banyak terbangun, dikarenakan pula berada pada kawasan dengan ketinggian dan kelerengan yang aman dari bahaya banjir.
Berdasarkan skenario II, kawasan resiko bencana banjir dengan klasifikasi rendah mendominasi seluas 679,9 km2 atau 65% dari luas Kota Batan. Kemudian kawasan dengan resiko bencana banjir yang Tinggi yaitu 209,4 km2 atau 20% dari luas Kota Batam, dan kawasan resiko bencana banjir sedang seluas 144,4 km2 atau 14%. Hal ini dikarenakan penggunaan teknik perhitungan berdasarkan jumlah jiwa sehingga tingkat kerentanan sosial yang Tinggi berada pada kawasan mainland yang memang dari segi jumlah penduduk lebih Tinggi dibandingkan kawasan hinterland. Walaupun dari segi persentase kerentanan sosial lebih Tinggi di kawasan hinterland, akan tetapi dari segi jumlah lebih rentan secara sosial di kawasan mainland. Terlebih lagi kawasan rawan bencana banjir yang Tinggi berada di kawasan mainland terutama pada kecamatan yang terdapat genangan banjir seperti Sagulung, Batam Kota, Batu Ampar, Bengkong, Sekupang, Batu Aji dan Sei Beduk. Sehingga dari perhitungan resiko kawasan mainland lebih Tinggi dibandingkan pada kawasan hinterland. Dimana kawasan hinterland tidak terdapat titik-titik genangan banjir sehingga tingkat ancaman bahaya secara empiriknya tergolong rendah-sedang.
Pada penilaian resiko dari dua skenario tersebut, skenario kedua lebih sesuai digunakan untuk perhitungan tingkat resiko bencana banjir di Kota Batam. Hal ini sesuai dengan hasil analisis perkembangan kerentanan sosial dimana kawasan mainland lebih menjadi prioritas penangan bencana banjir yang ada seperti pembuatan saluran drainase, waduk atau situ serta pengembalian fungsi kawasan lindung yang merupakan lingkup kerja Badan Pengusahaan Batam dibandingkan Pemerintah Kota Batam. Sedangkan pada kawasan hinterland lebih
pada pembangunan non-fisik masyarakatnya seperti pengentasan kemiskinan, program perbaikan rumah, bantuan sosial dan lainnya yang berada di bawah Pemerintah Kota, bukan Badan Pengusahaan Batam.
Rekomendasi
Berdasarkan hasil temuan dan kesimpulan Penerapan konsep waterfront city pada kawasan
pesisir dengan tingkat resiko banjir sedang hingga
Tinggi. Hal ini salah satunya diakukan untuk
Root Causes Dualisme
kewenangan dan
tumpang tindih hak dan kewajiban pusat dan daerah
Tidak tegasnya penegakkan
hukum
Perilaku
masyarakat yangmerusak
lingkungan
Degradasi kualitas
lingkungan
Tingginya curah
hujan di Kota Batam
Dynamics Pressure
Belum adanya
institusi lokal yangkhusus menangai kebencanaan
Ketimpangan pembangunan
pada mainland dan hinterland
Penyediaan barang dan jasa sehari-hari yang
rentan terhadapbencana
hidrometeorologi
Pertumbuhan laju
penduduk yangTinggi tidak diimbangi dengan
penyediaan prasarana
Unsafe Condition
Kondisi fisik-lingkungan yangrawan banjir
Terdapatpenduduk
bermatapnecaharian yang beresiko
Peningkatan permukiman yang
tidak diimbangi dengan penyediaan
sarana dan prasarana
Indeks kerentanan kelompok rentan yang Tinggi
terdapat di luar Pulau Batam
Muhammad Chandra Kaisar
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota A SAPPK V3N1 | 95
memberikan deliniasi yang jelas terhadap kawasan
lindung seperti rawa, mangrove, sempadan pantai
maupun lahan gambut.
Pembuatan situ atau waduk, biopori, serta
penambahan ruang terbuka hijau pada kawasan
dengan tingkat resiko banjir yang Tinggi yaitu pada
kawasan perdagangan Nagoya (kecamatan Lubuk
Baja, Batu Ampar dan Bengkong) hal ini dikarenakan
tingkat kepadatan bangunan yang Tinggi pada
wilayah tersebut. Konsolidasi lahan serta permukiman
vertikal mampu memberikan penataan prasarana
drainase yang lebih baik serta menambahkan luasan
kawasan resapan air.
Pada Kecamatan Sagulung (resiko tinggi), titik banjir
salah satunya disebabkan banyaknya masyarakat
miskin yang menempati kawasan lindung serta
menghalangi saluran drainase. Upaya penertiban,
revitalisasi saluran drainase, serta pembangunan
rusun merupakan opsi untuk mengurangi resiko
banjir di Kecamatan Sagulung.
Pada Kecamatan Batam Kota Tingginya laju
pembangunan terutama kawasan industri tanpa
pengawasan dan penegakkan hokum menyebabkan
pematangan lahan berdampak pada kerusakan dan
sedimentasi saluran drainase. Pengikutsertaan
masyarakat sebagai pengawasan pembangunan
dapat meningkatkan informasi dari kondisi actual
pembangunan yang ada sehingga pembangunan
yang berdampak negatif dapat langsung ditangani.
Pada kecamatan dengan tingkat resiko Tinggi dan
memiliki infrastruktur kritis, seperti kecamatan
Nongsa, Batu Ampar, Sekupang dan Batam Kota.
Diperlukan Peraturan Zonasi yang mengatur kawasan
lindung terkait sumber daya air untuk meminimalisasi
dampak negatif banjir terhadap aktivitas di
infrastruktur kritis maupun terhadap infrastruktur
tersebut.
Permasalahan lahan memiliki dampak penting
terhadap perkembangan kerentanan di Kota Batam.
Dimana tumpang tindih kewenangan lahan
memperlambat kinerja dalam penanganan banjir
serta berperan dalam bertambahnya titik banjir.
Lahan memegang perananan penting dalam
menanggulangi bencana pada Kota Pulau mengingat
dalam pulau kecil memiliki keterbatasan sumber daya
fisik, sehingga penertiban lahan atau bangunan
terlantar memegang peranan penting pada
pembangunan Kota Pulau yang mengacu pada PP 11
tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan
Bangunan Terlantar dengan penentuan jangka waktu
“keterlantaran” yang lebih cepat dibandingkan jika
diaplikasikan pada kawasan perkotaan di dataran luas
tertama pada kawasan hinterland untuk
meminimalisasi tingkat kerentanan sosial sesuai
dengan skenario I.
Pengikutsertaan peran serta masyarakat dalam
menjaga lingkungan khususnya dalam membuang
sampah pada tempatnya untuk meminimalisasi
dampak negatif dari banjir, serta pemberian sanksi
tegas bagi masyarakat yang membuang sampah
disamping pemerintah harus menyediakan prasarana
sanitasi yang baik pada kawasan dengan tingkat
resiko banjir yang Tinggi.
Pembentukan intitusi khusus kebencanaan serta
pelatihan masyarakat terkait bencana dengan
mengikutsertakan wanita dan menyosialisasikannya
pada anak-anak, difabel dan lansia.
Membudayakan tabungan dan asuransi bencana
sebagai bagi kelompok mata pencaharian yang
beresiko seperti petani, nelayan dan buruh harian
pada kecamatan di kawasan hinterland. Mengingat
tingkat kemiskinan diyakini memiliki dampak lanjutan
terhadap variabel kerentanan lainya seperti pola
hidup, tingkat pendidikan, dan lainnya.
Pemanfaatan fasilitas sosial seperti fasilitas
pendidikan, peribadatan serta kesehatan sebagai
lokasi penampungan korban bencana dengan
penyediaan ruangan khusus untuk kelompok rentan
seperti lansia, ibu hamil, anak-anak, difabel di
Kecamatan dengan Tingkat Resiko banjir Tinggi yaitu
terutama Kecamatan Bengkong, Batu Ampar dan
Lubuk Baja.
Berdasarkan skenario I, pengembangan kota pulau
lebih memprioritaskan kawasan perdesaan, dalam
konteks Kota Batam yaitu kawasan hinterland,
dimana kawasan tersebut merupakan kawasan
dengan tingkat kerentanan sosial yang tinggi. Hal ini
berbanding terbalik dengan skenario II, dimana
pengembangan kota pulau lebih memprioritaskan
kawasan perkotaan.
Daftar Pustaka
Cutter, S.L., Bryan J. Boruff, W. Lynn Shirley. 2003. Social Vulnerability to Enviromental Hazard. Social Science Quarterly, Vol. 84, Number 2, p.242-261
Darmawan. 2010. Pengelolaan Kawasan Pesisir, Pulau-Pulau Kecil dan Terluar.
Pelling, Mark. 2003. The Vulnerability of Cities: Natural Disaster dan Social Resilience. London : Earthscan Publication Ltd
Wisner, B., Blaikie, P., Cannon, T., Davis, I., 2003. At Risk: Natural hazards, People’s Vulnerability and Disasters. Routledge, London.
Peraturan dan Publikasi Lainnya
Bahan Presentasi Dinas Pekerjaan Umum Kota Batam mengenai Bencana Banjir Batam tahun 2012
Dokumen Pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS) 2008 dan 2011
Skenario Pengembangan Kota Pulau Berdasarkan Pertimbangan terhadap Resiko Bencana Banjir (Studi Kasus : Bencana Banjir di Kota Batam)
96 | Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota A SAPPK V3N1
Handbook Bencana Banjir Mata Kuliah Aspek Kebencanaan
Kecamatan dalam Angka Kota Batam 2011, 2012 dan 2013
Kesehatan dalam Angka Kota Batam 2012
Kota Batam dalam Angka 2007, 2008, 2009, 2010, 2011 dan 2012
PP 10 tahun 2010 tentang Tata Cara Perubahan dan Peruntukan fungsi Kawasan Hutan
PP 11 tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Bangunan Terlantar
Peraturan Presiden RI Nomor 87 Tahun 2011
Pendidikan Kota Batam dalam Angka 2012
Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Batam 2004-2014
Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Batam 2011-2031
Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 463/Menhut-II/2013
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007