skenario pengembangan kota pulau berdasarkan pertimbangan resiko banjir_kota batam

10
Sekolah Arsitektur Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan ITB Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota A SAPPK V3N1 | 87 SKENARIO PENGEMBANGAN KOTA PULAU BERDASARKAN PERTIMBANGAN RESIKO BENCANA BANJIR (STUDI KASUS : BENCANA BANJIR DI KOTA BATAM, PROV. KEPULAUAN RIAU) Muhammad Chandra Kaisar Program Studi Sarjana Perencanaan Wilayah dan Kota, Sekolah Arsitektur Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan, ITB. Abstrak Perkembangan kebencanaan di Indonesia terus meningkat dan kejadian bencana didominasi oleh bencana hidrometeorologi. Sebagai negara kepulauan, Indonesia sebagian besar tersusun atas pulau-pulau kecil dengan luas tidak lebih dari 2.000 km 2 . Dimana pulau-pulau kecil merupakan kawasan yang rentan terhadap perubahan lingkungan aktivitas manusia serta ancama bahaya alam. Kota Batam merupakan kota pulau yang tersusun atas pulau-pulau kecil. Data menunjukkan bahwa terjadi peningkatan titik banjir di Kota Batam yang diindikasikan karena kerusakan lingkungan dan dampak kegiatan sosial-ekonomi. Melihat peran penting Kota Batam sebagai Kawasan Strategis Nasional, diperlukan manajemen bencana banjir yang terintegrasi dalam penataan ruang. Penilian tingkat resiko bencana banjir merupakan salah satu konsep yang mampu menentukan manajemen bencana yang efektif dan efesien. Penilian resiko bencana banjir dilakukan dengan mengukur tingkat ancaman bahaya banjir serta tingkat kerentanan wilayah. Dimana pada penelitian ini menggunakan dua skenario resiko untuk menentukan penilaian resiko yang lebih sesuai. Kata kunci: Kota Pulau, Penilaian Resiko, Kerentanan Wilayah Pendahuluan Perkembangan bencana di Indonesia dalam beberapa dekade terakhir terus meningkat, baik dari segi besaran, intensitas maupun sebarannya. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat kejadian bahaya di Indonesia meningkat dari tahun 2002 – 2011. Selama tahun 2011, rata-rata sekitar 89% bencana hidrometerologi mendominasi dari total sebanyak 1.598 kejadian bencana di Indonesia. Dari angka tersebut sebanyak 403 adalah banjir, disusul kebakaran pemukiman sebanyak 355 kejadian, dan puting beliung sebanyak 284 kejadian (BNPB, 2012). Sebagai negara kepulauan, Indonesia sebagian besar tersusun atas pulau-pulau kecil. Definisi pulau kecil atau lebih sering disebut pulau-pulau kecil (PPK) menurut Undang-undang Nomor 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yaitu pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km 2 beserta kesatuan ekosistemnya. Menurut hasil verifikasi tim Perpres 11 tahun 2006 pada tahun 2011 menyebutkan jika Indonesia memiliki 13.487 pulau yang sebagian besar merupakan pulau-pulau kecil dengan luas kurang dari dua ribu km 2 . Terlebih lagi 65% penduduk Indonesia tinggal di wilayah pesisir yang dimana kawasan pesisir merupakan kawasan yang rentan terhadap perubahan lingkungan, bencana alam dan aktivitas manusia (Dermawan, 2011). Seringkali pulau-pulau kecil dihadapkan oleh beberapa permasalahan terkait faktor lingkungan, mitigasi bencana dan faktor demografi. Sebagian besar PPK memiliki kawasan pesisir yang luas sehingga luasan daratan yang bsa diekploitasi tidaklah banyak. Dari sisi kapasitas mitigasi bencana, kemampuan untuk meramalkan bahaya yang rendah tidak ada jaminan atau asuransi terkait kebencanaan. Selain itu, dari faktor demografi, keterbatasan sumber daya manusia, perubahan populasi yang cepat serta terpusat di kawasan pesisir membuat PPK lebih rentan jika terjadi bahaya alam (Lockhart et al, 1993). Salah satu PPK yang termasuk rentan terhadap bencana yaitu Kota Batam. Batam merupakan kota yang berbentuk kepulauan dimana luas total Kota Batam tidak lebih dari 2000 km2 yaitu hanya 1.082,65 km2. Dokumen Indeks Kerentanan BNPB tahun 2011 menunjukkan bahwa Kota Batam termasuk kota/kabupaten dengan tingkat kerawanan bencana yang Tinggi, terutama dari bencana banjir. Padahal di sisi lain, Kota Batam memiliki peran penting terhadap pemerintah pusat yaitu sebagai salah satu kawasan strategis nasional (KSN) Perdagangan dan Pelabuhan Bebas mengingat lokasinya yang strategis apda jalur pelayaran internasional. Dinas Pekerjaan Umum Kota Batam mencatat terdapat 19 titik banjir pada tahun 2010, 38 titik banjir pada 2012 serta 42 titik banjir pada Januari 2013. Selain kondisi fisik yang memengaruhi bencana banjir, kondisi sosial-ekonomi pun diyakini memiliki peranan terhadap bertambahnya titik banjir di Kota Batam (RTRW Kota Batam 2011-2031). Hal ini lah yang menjadi pertimbangan menjadikan Kota Batam sebagai wilayah studi penelitian. Jika bencana banjir ini tidak cepat ditanggapi, maka akan berpengaruh tidak hanya terhadap sosial-ekonomi Kota Batam tetapi juga Indonesia. Diperlukan studi terkait manajemen bencana melalui identifikasi resiko bencana banjir untuk menentukan jenis dan prioritas mitigasi serta adaptasi bencana yang tepat terhadap kasus bencana banjir di Kota Batam. Dapat dilihat dari dua konsep memengaruhi tingkat resiko bencana yaitu bahaya dan kerentanan, secara teoritik dimana Kota Batam yang merupakan pulau-pulau kecil rentan terhadap bahaya alam, didukung dengan pernyataan-pertanyaan permasalahan yang menegaskan bahwa Kota Batam memerlukan manajemen bencana, khususnya bencana banjir, untuk mengurangi dampak dari ancaman bahaya banjir. Selain itu pada Undang- Undang 24 tahun 2007, Undang-Undang 26 tahun 2007

Upload: apriadi-budi-raharja

Post on 07-Dec-2015

27 views

Category:

Documents


12 download

DESCRIPTION

Banjir Kota Batam

TRANSCRIPT

Page 1: Skenario Pengembangan Kota Pulau Berdasarkan Pertimbangan Resiko Banjir_kota Batam

Sekolah Arsitektur Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan ITB

Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota A SAPPK V3N1 | 87

SKENARIO PENGEMBANGAN KOTA PULAU BERDASARKAN PERTIMBANGAN RESIKO BENCANA BANJIR

(STUDI KASUS : BENCANA BANJIR DI KOTA BATAM, PROV. KEPULAUAN RIAU)

Muhammad Chandra Kaisar

Program Studi Sarjana Perencanaan Wilayah dan Kota, Sekolah Arsitektur Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan, ITB.

Abstrak Perkembangan kebencanaan di Indonesia terus meningkat dan kejadian bencana didominasi oleh bencana hidrometeorologi. Sebagai negara kepulauan, Indonesia sebagian besar tersusun atas pulau-pulau kecil dengan luas tidak lebih dari 2.000 km2. Dimana pulau-pulau kecil merupakan kawasan yang rentan terhadap perubahan lingkungan aktivitas manusia serta ancama bahaya alam. Kota Batam merupakan kota pulau yang tersusun atas pulau-pulau kecil. Data menunjukkan bahwa terjadi peningkatan titik banjir di Kota Batam yang diindikasikan karena kerusakan lingkungan dan dampak kegiatan sosial-ekonomi. Melihat peran penting Kota Batam sebagai Kawasan Strategis Nasional, diperlukan manajemen bencana banjir yang terintegrasi dalam penataan ruang. Penilian tingkat resiko bencana banjir merupakan salah satu konsep yang mampu menentukan manajemen bencana yang efektif dan efesien. Penilian resiko bencana

banjir dilakukan dengan mengukur tingkat ancaman bahaya banjir serta tingkat kerentanan wilayah. Dimana pada penelitian ini menggunakan dua skenario resiko untuk menentukan penilaian resiko yang lebih sesuai. Kata kunci: Kota Pulau, Penilaian Resiko, Kerentanan Wilayah

Pendahuluan

Perkembangan bencana di Indonesia dalam beberapa dekade terakhir terus meningkat, baik dari segi besaran, intensitas maupun sebarannya. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat kejadian bahaya di Indonesia meningkat dari tahun 2002 – 2011. Selama tahun 2011, rata-rata sekitar 89% bencana hidrometerologi mendominasi dari total sebanyak 1.598 kejadian bencana di Indonesia. Dari angka tersebut sebanyak 403 adalah banjir, disusul kebakaran pemukiman sebanyak 355 kejadian, dan puting beliung sebanyak 284 kejadian (BNPB, 2012).

Sebagai negara kepulauan, Indonesia sebagian besar tersusun atas pulau-pulau kecil. Definisi pulau kecil atau lebih sering disebut pulau-pulau kecil (PPK) menurut Undang-undang Nomor 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yaitu pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km2 beserta kesatuan ekosistemnya. Menurut hasil verifikasi tim Perpres 11 tahun 2006 pada tahun 2011 menyebutkan jika Indonesia memiliki 13.487 pulau yang sebagian besar merupakan pulau-pulau kecil dengan luas kurang dari dua ribu km2. Terlebih lagi 65% penduduk Indonesia tinggal di wilayah pesisir yang dimana kawasan pesisir merupakan kawasan yang rentan terhadap perubahan lingkungan, bencana alam dan aktivitas manusia (Dermawan, 2011).

Seringkali pulau-pulau kecil dihadapkan oleh beberapa permasalahan terkait faktor lingkungan, mitigasi bencana dan faktor demografi. Sebagian besar PPK memiliki kawasan pesisir yang luas sehingga luasan daratan yang bsa diekploitasi tidaklah banyak. Dari sisi kapasitas mitigasi bencana, kemampuan untuk meramalkan bahaya yang rendah tidak ada jaminan atau asuransi terkait kebencanaan. Selain itu, dari faktor demografi, keterbatasan sumber daya manusia, perubahan populasi yang cepat serta terpusat di kawasan pesisir membuat

PPK lebih rentan jika terjadi bahaya alam (Lockhart et al, 1993).

Salah satu PPK yang termasuk rentan terhadap bencana yaitu Kota Batam. Batam merupakan kota yang berbentuk kepulauan dimana luas total Kota Batam tidak lebih dari 2000 km2 yaitu hanya 1.082,65 km2. Dokumen Indeks Kerentanan BNPB tahun 2011 menunjukkan bahwa Kota Batam termasuk kota/kabupaten dengan tingkat kerawanan bencana yang Tinggi, terutama dari bencana banjir. Padahal di sisi lain, Kota Batam memiliki peran penting terhadap pemerintah pusat yaitu sebagai salah satu kawasan strategis nasional (KSN) Perdagangan dan Pelabuhan Bebas mengingat lokasinya yang strategis apda jalur pelayaran internasional.

Dinas Pekerjaan Umum Kota Batam mencatat terdapat 19 titik banjir pada tahun 2010, 38 titik banjir pada 2012 serta 42 titik banjir pada Januari 2013. Selain kondisi fisik yang memengaruhi bencana banjir, kondisi sosial-ekonomi pun diyakini memiliki peranan terhadap bertambahnya titik banjir di Kota Batam (RTRW Kota Batam 2011-2031). Hal ini lah yang menjadi pertimbangan menjadikan Kota Batam sebagai wilayah studi penelitian. Jika bencana banjir ini tidak cepat ditanggapi, maka akan berpengaruh tidak hanya terhadap sosial-ekonomi Kota Batam tetapi juga Indonesia. Diperlukan studi terkait manajemen bencana melalui identifikasi resiko bencana banjir untuk menentukan jenis dan prioritas mitigasi serta adaptasi bencana yang tepat terhadap kasus bencana banjir di Kota Batam.

Dapat dilihat dari dua konsep memengaruhi tingkat resiko bencana yaitu bahaya dan kerentanan, secara teoritik dimana Kota Batam yang merupakan pulau-pulau kecil rentan terhadap bahaya alam, didukung dengan pernyataan-pertanyaan permasalahan yang menegaskan bahwa Kota Batam memerlukan manajemen bencana, khususnya bencana banjir, untuk mengurangi dampak dari ancaman bahaya banjir. Selain itu pada Undang-Undang 24 tahun 2007, Undang-Undang 26 tahun 2007

Page 2: Skenario Pengembangan Kota Pulau Berdasarkan Pertimbangan Resiko Banjir_kota Batam

Skenario Pengembangan Kota Pulau Berdasarkan Pertimbangan terhadap Resiko Bencana Banjir (Studi Kasus : Bencana Banjir di Kota Batam)

88 | Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota A SAPPK V3N1

serta Undang-Undang 27 tahun 2007 mengatur pentingnya pengelolaan pulau-pulau kecil terhadap bencana salah satunya melalui penataan ruang untuk terselenggaranya pembangunan bekelanjutan. Beragamnya kerentanan yang dimiliki oleh pulau-pulau kecil menunjukkan bahwa Tingginya tingkat urgensi pembangunan atau pengembangan wilayah yang memperhatikan manajemen bencana. Pada dasarnya manajemen bencana berfokus dalam upaya mengurangi resiko dari bahaya-bahaya yang dapat menimbulkan dampak merugikan (Alezander, 2002). Oleh karena itu, diperlukan analisis mengenai tingkat resiko banjir di Kota Batam, dimana tingkat resiko merupakan fungsi dari tingkat ancaman/bahaya dan kerentanan di suatu wilayah (Wisner et al., 2004).

Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui tingkat resiko bencana banjir di Kota Batam sebagai masukan bagi penataan ruang di Kota Batam. Berdasarkan tujuan tersebut, sasaran dari penelitian ini adalah sebagai berikut.

Terindentifikasinya tingkat ancaman/bahaya banjir diKota Batam.

Terindentifikasinya tingkat kerentanan wilayah terhadap bahaya banjir di Kota Batam.

Terindentifikasinya tingkat resiko bencana banjir diKota Batam.

Metodologi

Penelitian ini menggunakan Risk Assessment yaitu

metodologi untuk menentukan sifat dan luasan resiko

melalui potensi bahaya dan mengevaluasi kondisi

eksisting dari kerentanan yang berpotensi untuk

mengalami kerugian. Terdapat dua hal penting dalam

pengukuran resiko yaitu tingkat ancaman/bahaya serta

tingkat kerentanan wilayah.

Analisis ancaman/bahaya banjir menggunakan metoda

pembobotan (scoring) dan analisis spasial sesuai dengan

Pedoman Penyusunanan Peta Rawan Banjir oleh

Bakosurtanal. Sedangkan analisis kerentanan wilayah

menggunakan indeks kerentanan yang diklasifikasikan

berdasarkan jarak standardisasi dari rata-rata.

Tabel 1. Pembobotan Variabel Banjir

Variabel Substansi Skor

Sistem lahan dan DEM (SKOR_LR)

Rawan banjir dengan slope <2% dan elevasi 0-10 meter Rawan banjir dengan slope <2% dan

elevasi >10 meter

2

1

Penutupan lahan (SKOR_PL)

Permukiman

Sawah / tambak Ladang / tegalan Semak belukar

Hutan

5

4 3 2

1

Kejadian Banjir

(SKOR_DB) Daerah genangan 2

Curah Hujan

(SKOR_CH)

>200mm 100-200mm

50-100 mm < 50mm

4 3

2 1

Sumber: Bakosurtanal, 2008, dengan adaptasi, 2014

Sedangkan variabel kerentanan fisik dan sosial. analisis

resiko menggunakan matriks tingkat resiko seperti pada

Pedoman Penyusunan Resiko Bencana oleh BNPB. dimana

nilai rendah yaitu 1 hingga 4, sedang yaitu 5 hingga 8

dan tinggi yaitu 9 hingga 13.

Tabel 2. Matriks Tngkat Resiko

Tngkat Resiko Banjir Tingkat Kerentanan Wilayah

Rendah Sedang Tinggi

Tin

gk

at

Ba

ha

ya

Ba

nji

r

Rendah

Sedang

Tinggi

Sumber: Badan Nasional Penanggulangan Bencana, 2012

Tabel 3. Variabel Kerentanan Fisik

Variabel Faktor Subfaktor

Infrastruktur Kritis

Infrastruktur Pendidikan

Jumlah SD/Sederajat

Jumlah SMP/Sederajat

Jumlah SMP/Sederajat

Jumlah SMA/Sederajat

Jumlah PT/Sederajat

Infrastruktur Kesehatan Jumlah Rumah Sakit

Jumlah Puskesmas

Pelabuhan x

Bandara x

Kawasan Terbangun

Prakira Jumlah Unit Rumah x

Jumlah Rumah Tak Layak Huni x

Persentase Kawasan Terbangun x

Kepadatan Unit Rumah per Luasan Administrasi

x

Kepadatan Unit Rumah per Luasan Kawasan Terbangun

x

Jumlah Industri Jumlah Industri Besar

Jumlah Industri Menengah

Sumber: Hasil analisis, 2014

Tabel 4. Skenario Variabel Kerentanan Sosial

Variabel Faktor Skenaro I Skenario 2

Kependudukan

Kepadatan Penduduk Jumlah

Jiwa/km2 x

Kepadatan Penduduk Spasial

x Jumlah Jiwa/km2

Jumlah Penduduk Jumlah Jiwa Jumlah Jiwa

Gender Persentase Rasio

Laju Pertumbuhan Jiwa/tahun Jiwa/tahun

Pendidikan Berpendidikan Rendah Persentase Jumlah Jiwa

Struktur Keluarga

Jumlah Jiwa dalam Keluarga

Jumlah Jiwa Jumlah Jiwa

Berpenghasilan Tunggal Persentase Jumlah Jiwa

Kelompok Rentan

Ibu Hamil Persentase Jumlah Jiwa

Balita Persentase Jumlah Jiwa

Lansia Persentase Jumlah Jiwa

Difabel Persentase Jumlah Jiwa

Kesejahteraan

Penduduk Miskin Persentase Jumlah Jiwa

Penduduk Belum/Tidak Bekerja

Persentase Jumlah Jiwa

Mata Pencaharian

Beresiko

Nelayan Persentase Jumlah Jiwa

Petani Persentase Jumlah Jiwa

Buruh Harian Persentase Jumlah Jiwa

Pola Hidup tak

Sehat

Penduduk Terjangkit

Diare Persentase Jumlah Jiwa

Kelompok Khusus

Wanita Tuna Susila Persentase Jumlah Jiwa

Waria Persentase Jumlah Jiwa

Etnis Persentase Jumlah Jiwa

Pelayan Kesehatan

Sarana Kesehatan Proporsi Jumlah Unit

Tenaga Medis Proporsi Jumlah Jiwa

Sumber: Hasil analisis, 2014

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini yaitu data

kuantitatif dan kualitatif yang berasal dari pengumpulan

data statistik, data spasial, dokumen terkait serta data

hasil wawancara dan observasi. Metoda analisis

menggunakan analisis statistik, analisis spasial serta

analisis konten. Analisis statistik digunakan untuk

menglasifikasikan tingkat kerentanan wilayah. Analisis

kerentanan wilayah merupakan fungsi dari kerentanan

fisik dan sosial. Dimana pada penelitan ini menggunakan

dua skenario perhitungan tingkat kerentanan sosial.

Analisis spasial digunakan untuk menganalisis ancaman

Page 3: Skenario Pengembangan Kota Pulau Berdasarkan Pertimbangan Resiko Banjir_kota Batam

Muhammad Chandra Kaisar

Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota A SAPPK V3N1 | 89

bahaya serta resiko. Analisis konten digunakan untuk

mengetahui penyebab utama kerentanan wilayah di Kota

Batam, agar permasalahan terkait bencana banjir lebih

efesien untuk ditangani.

Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan penelitian yaitu pendahuluan yang menguraikan latar belakang, permasalahan tujuan, sasaran, ruang lingkup penelitian, metodologi dan kerangka pikir. Kemudian tinjauan pustaka mengenai teori dan konsep kebencanaan yaitu bahaya, kerentanan dan resiko serta teori dan konsep mengenai kota pulau. Kemudian dilanjutkan dengan pemaparan gambaran umum wilayah baik dari administrasi, fisik, sosial, ekonomi, perencanaan ruang maupun kondisi kebencanaan di Kota Batam. Lalu dilanjutkan dengan analisis mengenai tingkat ancaman/bahaya banjir, tingkat kerentanan wilayah serta tingkat resiko bencana banjir. Kemudian diakhiri dengan simpulan dan rekomendasi penelitian.

Bahaya, Kerentanan dan Resiko

Secara umum, bahaya adalah fenomena alam atau buatan yang mempunyai potensi mengancam kehidupan manusia, kerugian harta benda dan kerusakan lingkungan. Dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, bahaya/ancaman (hazard) didefinisikan sebagai suatu kejadian atau peristiwa yang mempunyai potensi dapat menimbulkan kerusakan, kehilangan jiwa manusia, atau kerusakan Iingkungan. Indonesia merupakan negara dengan potensi bahaya (hazard potency) yang sangat Tinggi dan beragam baik banjir, gunung berapi, kekeringan, gerakan tanah, tsunami, bencana ulah manusia seperti kebakaran hutan, kerusuhan massa, wabah penyakit dan lainnya. Sedangkan Kerentanan (vulnerability) adalah suatu kondisi yang ditentukan oleh faktor-faktor atau proses-

proses fisik, sosial, ekonomi, dan lingkungan yang mengakibatkan peningkatan kerawanan masyarakat dalam menghadapi bahaya (hazards)

Menurut Geoscience Australia (2004), resiko adalah potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana pada suatu wilayah dan kurun waktu tertentu yang dapat berupa kematian, luka, sakit, jiwa terancam, hilangnya rasa aman, mengungsi, kerusakan atau kehilangan harta, dan gangguan kegiatan masyarakat

Dari beberapa pendapat ahli dan institusi terkait mengenai resiko, dapat diketahui bahwa konsep resiko mencakup adanya sesuatu yang mengancam, dalam hal ini yaitu bahaya alam, terdapat sesuatu yang dirugikan baik berupa fisik maupun nonfisik, dan terjadi dalam periode tertentu. Untuk menentukan tingkat resiko dalam konteks kebencanaan, diperlukan Risk Assessment. UNISDR mendefisinikan bahwa Risk Assessment adalah sebuah metodologi untuk menentukan sifat dan luasan resiko melalui potensi bahaya dan mengevaluasi kondisi eksiting dari kerentanan yang berpotensi untuk mengalami kerugian seperti orang, properti, pelayanan, pekerjaan dan juga lingkungan tempat mereka bergantung. Dalam menilai tingkat resiko suatu wilayah terdapat beberapa faktor yang memengaruhinya. UNISDR menjelaskan resiko dipengaruhi oleh bahaya dan kerentanan. Fridmann, dalam Firmansyah (1998)

Kerentanan Wilayah

Pelling dan Cutter (2003) membagi kerentanan wilayah menjadi dua jenis yaitu kerentanan biofisik dan kerentanan sosial. Kerentanan biofisik adalah kerentanan yang berkaitan dengan ligkungan terbangun. Sedangkan kerentanan sosial adalah kerentanan yang yang berkaitan dengan kondisi sosial, ekonomi dan politik yang memengaruhi kejadian bencana. Gambar 1. Model Hubungan Kerentanan Wilayah

Sumber : Cutter, 2003

Di bawah ini variabel yang digunakan untuk mengukur tingkat kerentanan sosial.

Tabel 5. Matriks Konsep Kerentanan Sosial

Konten Deksripsi

Populasi, Kepadatan,

dan Laju Pertumbuham

Semakin tinggi tingkat jumlah, kepadatan serta laju

pertumbuhan penduduk maka akan menurunkan mobilitas yang akan meningkatkan kerentanan terhadap bencana.

Pendidikan

Kecerdasan individu maupun kelompok terhadap bencana akan menegaruhi respon mereka terhadap bencana, semakin mereka memiliki pengetahuan semakin berkurang

kerentanannya

Kelompok rentan

Kelompok rentan adalah mereka yang memiliki keterbatasan

baik secara fisik maupun non fisik yang dimungkinkan menghambat proses mereka dalam tanggap bencana seperti para balita, lansia, cacat, ibu hamil.

Struktur

Keluarga

Semakin besar ukuran keluarga maka akan memengaruhi kemampuan untuk tanggap bencana serta ketika proses pemulihan akan lebih lambar karena membutuhkan sumber

daya yang lebih banyak dibandingkan dengan keluarga yang kecil. Selain itu, keluarga yang berpenghasilan tunggal akan

lebih lama pulih dari masa paska-bencana.

Penduduk

Miskin

Orang-orang miskin memiliki keterbasan dalam mengakses sumber daya baik sebelum, saat dan sesudah bencana

karena kemampuan finansial yang rendah

Tuna Karya

Orang-orang yang pengangguran umumnya memiliki

keterbatasan khususnya dalam segi finansial untuk mengakses sumber daya sebelum, saat dan sesudah terjadi bencana

Mata Pencaharian

Beresiko

Kelompok ini adalah kelompok yang mana mata pencahariannya akan terganggun ketika terjadi bencana

alam yaitu nelayan, petani, dan buruh harian.

Pola Hidup

tidak Sehat

Pola hidup yang tidak sehat akan meningkatkan kerentanan terhadap bencana, khususnya pada proses pemulihan

dimana umumnya kemungkinan terjangkit penyakit paska-bencana cukup besar.

Kelompok Khusus

Kelompok ini adalah kelompok yang dimungkinkan dilakukan pengucilan oleh masyarakat, sehingga akan memengaruhi kemampuan dalam mengakses sumber daya (WTS dan

Waria)

Sumber: Cutter, 2003, Heinz for Center Economic Studies, 2000, dengan adaptasi 2014

Sedangkan variabel kerentanan fisik menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana yaiu kawasan rentan banjir, kondisi kawasan terbangun serta infrastruktur kritis. Kawasan rawan banjir yaitu kawasan sempadan pantai, sungai, serta kawasan dengan elevasi rendah dan tingkat kerelengan yang mendekati 0%. Kondisi kawasan terbangun yaitu mengenai karakteristik kondisi permukiman eksisting. Sedangkan infrastruktur kritis yaitu infrastruktur yang sangat berpengaruh terhadap sosial-

Page 4: Skenario Pengembangan Kota Pulau Berdasarkan Pertimbangan Resiko Banjir_kota Batam

Skenario Pengembangan Kota Pulau Berdasarkan Pertimbangan terhadap Resiko Bencana Banjir (Studi Kasus : Bencana Banjir di Kota Batam)

90 | Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota A SAPPK V3N1

ekonomi wilayah tersebut misalnya pelabuhan, bandara, energi dan lainnya.

Gambaran Umum Kota Batam

Kota Batam secara geografis mempunyai letak yang sangat strategis, yaitu terletak di jalur pelayaran dunia internasional. Kota Batam berdasarkan Perda Nomor 2 tahun 2004 tentang Rencana Tata Ruang wilayah Kota Batam tahun 2004 – 2014, terletak antara 0° 25’ 29 ”- 1° 15' 00” Lintang Utara dan 103° 34' 35” - 104° 26' 04” Bujur Timur.

Luas wilayah Kota Batam seluas 426,563.28 Ha, terdiri dari luas wilayah darat 108,265 Ha dan luas wilayah perairan/laut 318,298.28 Ha. Kota Batam meliputi lebih dari 400 (empat ratus) pulau, 329 (tiga ratus dua puluh sembilan) di antaranya telah bernama, termasuk di dalamnya pulau-pulau terluar di wilayah perbatasan negara. Dalam hal ini Kota Batam berbatasan dengan:

Sebelah Utara : Singapura dan Malaysia

Sebelah Selatan : Kabupaten Lingga

Sebelah Barat : Kabupaten Karimun dan Laut Internasional

Sebelah Timur : Kabupaten Bintan dan Kota Tanjung Pinang

Posisi Kota Batam yang berbatassan dengan daerah dan negara lain berimplikasi pada posisi geostrategis Kota Batam. Singapura dan Malaysia yang berada di sebelah utara Kota Batam, secara ekonomi makro memberikan pengaruh yang cukup signifikan dalam perekonomian Batam. Letak strategis Batam telah menjadi daya tarik bagi Singapura untuk merelokasikan aktivitas industri mereka ke Batam karena ketersediaan lahan yang cukup dan kemudahan investasi yang diberikan. Kota batam

secara geografis mempunyai letak yang sangat strategis, yaitu di jalur pelayaran internasiona. Singapura dan Malaysia yang berada di sebelah utara Kota Batam sangat terkait dengan posisi tersebut. posisi ini menjadi unik bagi Kota Batam yang membedakan dengan daerah lain di Indonesia. Sebagai salah satu kawasan strategis nasional (KSN), Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Batam diatur dalam Peraturan Presiden No. 87 tahun 2011.

Penduduk Kota Batam bersifat heterogen terdiri dari multi suku yang ada ada di Indonesia, dengan penduduk aslinya adalah suku Melayu. Penduduk Kota Batam hingga tahun 2012 yaitu 1.235.472 jiwa. Laju pertumbuhan penduduk pada tahun 2012 terhadap tahun 2011 yaitu sebesar 8.58%. Kepadatan penduduk Kota Batam pada tahun 2012 adalah 11,79 jiwa/ha atau 1178.83 jiwa/km2, sedangkan jika dilihat dari kepadatan spasial yang berpacu pada luasan kawasan terbangun pada tahun 2008, maka kepadatan spasial penduduk Kota Batam adalah 181,69 jiwa/ha atau 18.168,71 jiwa/km2

Penyebaran penduduk per kecamatan di Kota Batam dapat dikatakan relatif tidak merata dengan konsenterasi masih pada kecamatan yang berada di wilayah Pulau Batam (mainland) yaitu Kecamatan Batu Aji, Sagulung, Batam Kota, Sel Beduk, Nongsa, Bengkong, Batu Ampar Lubuk Baja dan Sekupang. Sedangkan luar Pulau Batam, (hinterland) yaitu Kecamatan Balakang Padang, Bulang dan Galang.

Beberapa kawasan rawan bencana yang ada di Kota Batam yaitu kawasan rawan bencana banjir, longsor, abrasi, gerakan tanah, gelombang Tinggi. Berdasarkan data peta titik banjir Dinas Pekerjaan Umum Kota Batam, pada tahun 2010 terdapat 19 titik banjir, 2012 terdapat 38 titik banjir dan per Januari 2013 terdapat 42 titik banjir.

Tingkat Bahaya Banjir

Berdasarkan analisis yang dilakukan sesuai proses di atas hanya sekitar 8.907,1 hektar atau 8% wilayah Kota Batam yang tergolong dalam tingkat bahaya banjir yang Tinggi, 77.595,9 hektar atau 74% yang tergolong tingkat bahaya banjir sedang serta 18.474 hektar atau 18% yang tergolong pada tingkat bahaya rendah. Secara umum tingkat behaya banjir di Kota Batam didominasi dengan tingkat bahaya yang sedang sesuai dengan analisis empirik kawasan rawan banjir sedangkan persentase kawasan dengan tingkat bahaya banjir per kecamatan dapat dilihat pada tabel 5.

Tabel 5. Persentase Luas Wilayah berdasarkan Tingkat Ancaman/Bahaya Banjir per Kecamatan di Kota Batam

No. Kecamatan Rendah Sedang Tinggi Total

1 Batam Kota 0.00 62.50 37.50 100.00

2 Batu Aji 16.55 65.75 17.70 100.00

3 Batu Ampar 0.43 29.74 69.83 100.00

4 Belakang Padang 27.65 70.75 1.60 100.00

5 Bengkong 0.00 23.17 76.83 100.00

6 Bulang 19.05 80.11 0.83 100.00

7 Galang 22.21 77.62 0.17 100.00

8 Lubuk Baja 1.92 57.93 40.15 100.00

9 Nongsa 13.67 76.26 10.07 100.00

10 Sagulung 2.31 69.90 27.79 100.00

11 Sekupang 24.81 65.65 9.53 100.00

12 Sungai Beduk 0.00 88.75 11.25 100.00

13 Tanpa Data 99.15 0.85 0.00 100.00

Total 17.60 73.92 8.48 100.00

Sumber: Hasil analisis, 2014

Tingkat Kerentanan Fisik

Penentuan klasifikasi tingkat kerentanan fisik dianalisis berdasarkan dua belas variabel yaitu:

a. Sarana Kesehatanb. Sarana Pendidikanc. Jumlah Industri Besard. Jumlah Industri Sedange. Prakira Jumlah Unit Rumahf. Prakira Jumlah Unir Rumah per Luasan Wilayahg. Jumlah Rumah Tak Layak Hunih. Luas Kawasan Terbanguni. Persentase Kawasan Terbangun terhadap Luas

Wilayahj. Jumlah Prakira Unit rumah terhadap Luas Kawasan

Terbangunk. Jumlah Infrastruktur Kritis yaitu Bandara

l. Jumlah Infrastruktur Kritis yaitu PelabuhanTerdapat empat kecamatan yang termasuk dalam tingkat kerentanan fisik Tinggi, empat kecamatan dalam tingkat kerentanan fisik sedang dan sisanya kerentanan fisik rendah. Dimana semua kecamatan pada kawasan hinteland termasuk ke dalam kerentanan fisik rendah.

Tabel 7. Tingkat Kerentanan Fisik Per Kecamatan di Kota Batam

No. Kecamatan Tingkat

1 Belakang Padang Rendah

2 Batu Aji Tinggi

Page 5: Skenario Pengembangan Kota Pulau Berdasarkan Pertimbangan Resiko Banjir_kota Batam

Muhammad Chandra Kaisar

Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota A SAPPK V3N1 | 91

No. Kecamatan Tingkat

3 Sekupang Tinggi

4 Sagulung Tinggi

5 Sei Beduk Sedang

6 Batu Ampar Sedang

7 Bengkong Sedang

8 Nongsa Sedang

9 Batam Kota Tinggi

10 Lubuk Baja Sedang

11 Galang Rendah

12 Bulang Rendah

Sumber: Hasil analisis, 2014

Tingkat Kerentanan Sosial

Penentuan tingkat kerentanan sosial serta teknik perhitungan variabel dan faktor kerentanan sosial berada pada bagian. Terdapat perbedaan yang cukup signifikan dari hasil analisis skenario I dan II. Hanya terdapat dua kecamatan dengan tingkat kerentanan yang sama pada hasil analisis skenario I dan II yaitu Kecamatan Batam Kota dan Lubuk Baja. Sepuluh kecamatan lainnya memiliki hasil tingkat kerentanan yang berbeda pada skenario I dan II. Terutama pada kecamatan yang berada pada kawasan hinterland yaitu Kecamatan Belakang Padang, Bulang dan Galang, dimana pada skenario I memiliki klasifikasi tingkat kerentanan sosial yang Tinggi, akan tetapi pada skenario II memiliki klasifikasi tingkat kerentanan sosial yang rendah.

Tabel 8. Tingkat Kerentanan Sosial Per Kecamatan di Kota Batam

No. Kecamatan Skenario I Skenario II

1 Belakang Padang Tinggi Sedang

2 Batu Aji Rendah Tinggi

3 Sekupang Rendah Tinggi

4 Sagulung Sedang Tinggi

5 Sei Beduk Rendah Sedang

6 Batu Ampar Rendah Sedang

7 Bengkong Rendah Sedang

8 Nongsa Sedang Rendah

9 Batam Kota Sedang Sedang

10 Lubuk Baja Sedang Sedang

11 Galang Tinggi Rendah

12 Bulang Tinggi Rendah

Sumber: Hasil analisis, 2014

Perkembangan kerentanan

Pola perkembangan kenrentanan akan dibagi menjadi tiga

bagian yaitu root causes, dynamic pressure serta unsafe

condition.

a. Root Causes

Penyebab utama terjadinya peningkatan titik banjir di

Kota Batam yaitu terkait kegiatan cut and fill yang tidak

sesuai prosedur sehingga menyebabkan kerusakan

lingkungan, pola perilaku masyarakat yang tidak

memberlakukan hidup sehat (misal membuang sampah

sembarangan), dualisme kewenganan dan permasalahan

hak pengelolaan lahan yang seringkali memperlambat

masalah pengangan banjir, serta kurang tegasnya

penegakkan hukum terkait perkembangan permukiman

liar.

b. Dynamic Pressure

Penyebab selanjutnya yaitu belum adanya instusi lokal

pada level kota yang khusus menangani kebencanaan,

yaitu seperti Badan Penanggulangan Bencana Daerah

(BPBD) pada level kota, adanya ketimpangan

pembangunan antara mainland yaitu Pulau Batam dan

hinterland yaitu pulau-pulau selain Pulau Batam,

penyediaan barang dan jasa yang rentan terhadap

bencana hidrometeorologi, laju pertumbuhan penduduk

yang Tinggi terutama dari migrasi masuk ke Kota Batam,

khususnya Pulau Batam.

c. Unsafe Condition

Pada dasarnya kondisi fisik dan lingkungan Kota Batam

memang rawan terhadap bencana banjir karena sebagian

besar daerahnya berupa rawa dan berkelerengan 0 –

15 %, kondisi permukiman formal dan non-formal yang

padat dan tidak memliliki prasarana lingkungan yang

memadai, penduduk miskin dari segi jumlah terdapat

banyak di kecamatan-kecamatan di Pulau Batam akan

tetapi dari segi persentase terdapat banyak di kecamatan-

keamatan di luar Pulau Batam yaitu Kecamatan Belakang

Padang dan Kecamatan Galang, kelompok rentan yang

ditinjau dari persetasenya banyak terdapat di Kecamatan

Galang dan Belakang Padang, kelompok khusus yaitu

WTS dan transgender yang terdapat banyak di kawasan

perkotaan yaitu kawasan perdagangan Nagoya di Pulau

Batam, serta kondisi pola hidup masyarakat yang belum

mencerminkan pola hidup sehat, khususnya pada

Keamatan Galang dan Belakang Padang dikarenakan

terbatasnya prasarana sanitasi.

Tingkat Kerentanan Wilayah

Analisis kerentanan wilayah merupakan fungsi dari analisis kerentanan fisik dan analisis kerentanan sosial. Dikarenakan pada analisis kerentana sosial menggunakan dua skenario makan keluaran dari analisis kerentanan

wilayah pun akan menggunakan dua skenario untuk menyesuaikan proses analisis sebelumnya.

Tabel 9. Tingkat Kerentanan Wilayah Per Kecamatan di Kota Batam

No. Kecamatan Skenario I Skenario II

1 Belakang Padang Sedang Rendah

2 Batu Aji Sedang Sedang

3 Sekupang Sedang Tinggi

4 Sagulung Tinggi Tinggi

5 Sei Beduk Rendah Sedang

6 Batu Ampar Rendah Sedang

7 Bengkong Rendah Sedang

8 Nongsa Sedang Rendah

9 Batam Kota Tinggi Tinggi

10 Lubuk Baja Sedang Sedang

11 Galang Sedang Rendah

12 Bulang Sedang Rendah

Sumber: Hasil analisis, 2014

Dari dua skenario tersebut terdapat tiga kecamatan yang memilki tingkat klasifikasi kerentanan wilayah yang sama pada skenario I dan Ii yaitu kecamatan Sagulung, Batam Kota serta Kecamatan Lubuk Baja. Dari dua skenario tersebut, semua kecamatan di kawasan hinterland yaitu Kecamatan Belakang Padang, Galang dan Bulang semuanya memiliki klasifikasi tingkat kerentanan wilayah sedang pada skenario I dan klasifikasi tingkat kerentanan wilayah yang rendah

Page 6: Skenario Pengembangan Kota Pulau Berdasarkan Pertimbangan Resiko Banjir_kota Batam

Skenario Pengembangan Kota Pulau Berdasarkan Pertimbangan terhadap Resiko Bencana Banjir (Studi Kasus : Bencana Banjir di Kota Batam)

92 | Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota A SAPPK V3N1

Tingkat Resiko Banjir

Analisis resiko bencana banjir menggunakan dua skenario mengikuti proses analisis sebelumnya. Pada skenario I, luasan wilayah dengan tingkat resiko banjir Tinggi, sedang dan sedang secara berturut-turut adalah 12.385,8 ha (12%), 64.304,4 ha (61%) serta 26.685,3 (25%), serta tanpa data seluas 1.601,43 ha (2%). Ketiadaan data dikarenakan kurang sesuainya luasan peta yang digunakan untuk analisis sehingga terdapat wilayah yang tidak dilakukan pembobotan.

Gambar 2. Luasan dan Persentase Tingkat Resiko Bencana Banjir di Kota Batam Skenario I

Sumber: Hasil analisis, 2014

Analisis resiko bencana banjir menggunakan dua skenario mengikuti proses analisis sebelumnya. Pada skenario II, luasan wilayah dengan tingkat resiko banjir Tinggi, sedang dan sedang secara berturut-turut adalah 20.940,8 ha (20%), 14.443,6 ha (14%) serta 67.991,17 (65%), serta tanpa data seluas 1.601,43 ha (1%). Ketiadaan data dikarenakan kurang sesuainya luasan peta yang digunakan untuk analisis sehingga terdapat wilayah yang tidak dilakukan pembobotan.

Gambar 3. Luasan dan Persentase Tingkat Resiko Bencana Banjir di Kota Batam Skenario II

Berdasarkan skenario II hampir sama dengan skenario I, Kecamatan Sagulung dan Kecamatan Batam merupakan

dua kecamatan dengan luas wilayah yang paling banyak termasuk dalam klasifikasi tingkat Risiko tinggi yaitu 5.339,3 ha dan 3.844,8 ha. Kecamatan Batam merupakan pusat pemerintahan Kota Batam sedangkan Kecamatan Sagulung merupakan kawasan industri serta permukiman. Kecamatan lainnya yang memiliki kawasan rawan banjir tinggi lebih dominan (lebih dari setengah kawasannya) adalah Kecamatan Batu Aji, Kecamatan Batu Ampar, dan Kecamatan Bengkong. Pada kawasan tersebut merupakan kawasan dengan tingkat kepadatan penduduk dan kepadatan bangunan yang tinggi. Hal ini dikarenakan pada tiga kecamatan merupakan kawasan industri serta

kawasan perdagangan dan jasa Nagoya, dimana disekitarnya merupakan kawasan permukiman yang padat.

Kecamatan –kecamatan di kawasan maindland lebih dari setengahnya merupakan kawasan yang memiliki tingkat kerawanan banjir tinggi. Pada kawasan di tengah pulau Batam yaitu Kecamatan Sei Beduk, 9.363,33 hektar dari 10.552,74 hektar merupakan kawasan dengan tingkat kerawanan banjir yang sedang. Hal ini dikarenakan pada Kecamatan terserbut, khususnya bagian tengah Pulau Batam, merupakan kawsan lindung yang diatur oleh Kementrian Kehutanan. Hal ini berimplikasi pada pengembangan kawasan yang sangat terbatas sehingga kawasan tersebut masih cenderung hijau. Untuk kawasan dengan tingkat kerawanan yang rendah pada kawasan maindland adalah Kecamatan Nongsa, Pulau Batam bagian timur. Pada kecamatan ini belum banyak permukiman, kecuali pada bagian yang memiliki kerawanan bencana sedang. Pada kawasan tersebut terdapat kawasan industri dimana di sekitarnya tumbuh permukiman dan diperburuk dengan kondiri topografi yang menstimulasi terjadinya bahaya banjir.

Pada kawasan hinterland, sebagian besar merupakan kawasan dengan tingkat kerawanan bencana banjir yang rendah. Hal ini dikarenakan memang masih sangat jarang kawasan permukiman serta industri. Sulitnya pembebasan lahan guna pemanfaatan lahan untuk kawasan budidaya terkendala permasalahan terkait kepemilikan lahan seperti yang telah dipaparkan pada perkembangan kerentanan, khususnya Kecamatan Galang.

Temuan Studi

Temuan studi terkait analisis bahaya banjir (1)

Berdasarkan analisis yang dilakukan sesuai proses di atas

hanya sekitar 8.907,1 hektar atau 8% wilayah Kota Batam

yang tergolong dalam tingkat bahaya banjir yang Tinggi,

77.595,9 hektar atau 74% yang tergolong tingkat bahaya

banjir sedang serta 18.474 hektar atau 18% yang

tergolong pada tingkat bahaya rendah. (2) Secara umum

tingkat behaya banjir di Kota Batam didominasi dengan

tingkat bahaya yang sedang sesuai dengan analisis

empirik kawasan rawan banjir. (3) Kecamatan Bengkong

dan Batu Ampar merupakan dua kecamatan yang lebih

dari 50% luas wilayahnya termasuk ke dalam kawasan

dengan tingkat ancaman bahaya Tinggi. (4) Sepuluh

kecamatan lainnya didominasi oleh kawasan dengan

tingkat ancaman bahaya banjir sedang. Kecamatan Batam

Kota dan Sungai Beduk tidak memiliki kawasan dengan

tingkat ancaman bahaya banjir rendah.

Temuan studi terkait analisis kerentanan banjir. Pada analisis kerentanan fisik Kecamatan Batam Kota, Batu Aji, Sekupang, Sagulung termasuk kawasan rentan fisik yang Tinggi. (2) Semua kecamatan di kawasan hinterland termasuk kawasan dengan kerentanan fisik yang rendah. (3) Sisanya kecamatan lainnya termasuk ke dalam kawasan kerentanan sedang. (4) Pada skenario I, semua kecamatan di kawasan hinterland ke dalam kerentanan sosial Tinggi dan pada skenario II termasuk kerentanan sosial rendah dan sedang (5) Berdasarkan skenario I, kecamatan di kawasan hinterland termasuk dalam klasifikasi kerentanan wilayah sedang. Dan pada skenario II termasuk dalam klasifikasi kerentanan wilayah rendah.

26,685.33

25%

64,304.39

61%

12,385.80

12%

1,601.43

2%

RENDAH

SEDANG

TINGGI

TANPA DATA

67,991.17 65%

14,443.58 14%

20,940.77 20%

1,601.43 1%

SEDANG

TINGGI

TANPA DATA

Page 7: Skenario Pengembangan Kota Pulau Berdasarkan Pertimbangan Resiko Banjir_kota Batam

Muhammad Chandra Kaisar

Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota A SAPPK V3N1 | 93

Page 8: Skenario Pengembangan Kota Pulau Berdasarkan Pertimbangan Resiko Banjir_kota Batam

Skenario Pengembangan Kota Pulau Berdasarkan Pertimbangan terhadap Resiko Bencana Banjir (Studi Kasus : Bencana Banjir di Kota Batam)

94 | Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota A SAPPK V3N1

(6) Kecamatan Sagulung dan Batam Kota merupakan kecamatan yang meiliki klasifikasi kerentanan wilayah yang Tinggi di dua skenario. (7) Kecamatan Nongsa merupakan kecamatan satu-satunya yang memiliki klasifikasi kerentanan wilayah yang rendah di kawasan mainland. Gambar 4. Bagan Perkembangan kerenantan

Temuan berdasarkan analisis resiko banjir (1) Analisis resiko bencana banjir menggunakan dua skenario mengikuti proses analisis sebelumnya. Pada skenario I, luasan wilayah dengan tingkat resiko banjir Tinggi, sedang dan sedang secara berturut-turut adalah 12.385,8 ha (12%), 64.304,4 ha (61%) serta 26.685,3 (25%), serta tanpa data seluas 1.601,43 ha (2%). (2) Berdasarkan skenario I, Kecamatan Sagulung dan Kecamatan Batam merupakan dua kecamatan dengan luas wilayah yang paling banyak termasuk dalam klasifikasi tingkat resiko Tinggi yaitu 5.339,3 ha dan 3.844,8 ha. (3) Analisis resiko bencana banjir menggunakan dua skenario mengikuti proses analisis sebelumnya. Pada skenario II, luasan wilayah dengan tingkat resiko banjir Tinggi, sedang dan sedang secara berturut-turut adalah 20.940,8 ha (20%), 14.443,6 ha (14%) serta 67.991,17 (65%), serta tanpa data seluas 1.601,43 ha (1%). (4) Berdasarkan skenario II hampir sama dengan , Kecamatan Sagulung dan Kecamatan Batam merupakan dua kecamatan dengan luas wilayah yang paling banyak termasuk dalam klasifikasi tingkat resiko Tinggi yaitu 5.339,3 ha dan 3.844,8 ha (5) Skenario II lebih merepresentasikan tingkat resiko bencana banjir di Kota Batam, sehingga perhitungan pada variabel dua lebih cocok digunakan untuk kasus kota pulau.

Kesimpulan

Berdasarkan skenario I, kawasan resiko bencana banjir dengan klasifikasi sedang mendominasi seluas 643,04 km2 atau 61% dari luas Kota Batan. Kemudian kawasan dengan resiko bencana banjir yang sedang yaitu 266,9 km2 atau 25% dari luas Kota Batam, dan kawasan resiko

bencana banjir Tinggi seluas 123,9 km2 atau 12%. Hal ini dikarenakan penggunaan teknik perhitungan berdasarkan persentase sehingga tingkat kerentanan sosial yang Tinggi berada pada kawasan hinterland. Di lain sisi kawasan rawan bencana banjir yang Tinggi berada di kawasan mainland terutama pada kecamatan yagn terdapat genangan banjir seperti Sagulung dan Batam kota.

Ditinjau dari sebarannya, pada skenario I kawasan dengan tingkat resiko yang Tinggi hanya terlihat mendominasi di Kecamatan Batam Kota dan Sagulung, kemudian di pesisir Kecamatan Sekupang dan Kecamatan Nongsa. Tingkat resiko sedang berada secara merata di sepanjang kawasan pesisir baik mainland maupun hinterland. Dan kawasan dengan tingkat resiko yang rendah yaitu kawasan yang berada di tengah-tengah pulau karena selain guna lahannya masih belum banyak terbangun, dikarenakan pula berada pada kawasan dengan ketinggian dan kelerengan yang aman dari bahaya banjir.

Berdasarkan skenario II, kawasan resiko bencana banjir dengan klasifikasi rendah mendominasi seluas 679,9 km2 atau 65% dari luas Kota Batan. Kemudian kawasan dengan resiko bencana banjir yang Tinggi yaitu 209,4 km2 atau 20% dari luas Kota Batam, dan kawasan resiko bencana banjir sedang seluas 144,4 km2 atau 14%. Hal ini dikarenakan penggunaan teknik perhitungan berdasarkan jumlah jiwa sehingga tingkat kerentanan sosial yang Tinggi berada pada kawasan mainland yang memang dari segi jumlah penduduk lebih Tinggi dibandingkan kawasan hinterland. Walaupun dari segi persentase kerentanan sosial lebih Tinggi di kawasan hinterland, akan tetapi dari segi jumlah lebih rentan secara sosial di kawasan mainland. Terlebih lagi kawasan rawan bencana banjir yang Tinggi berada di kawasan mainland terutama pada kecamatan yang terdapat genangan banjir seperti Sagulung, Batam Kota, Batu Ampar, Bengkong, Sekupang, Batu Aji dan Sei Beduk. Sehingga dari perhitungan resiko kawasan mainland lebih Tinggi dibandingkan pada kawasan hinterland. Dimana kawasan hinterland tidak terdapat titik-titik genangan banjir sehingga tingkat ancaman bahaya secara empiriknya tergolong rendah-sedang.

Pada penilaian resiko dari dua skenario tersebut, skenario kedua lebih sesuai digunakan untuk perhitungan tingkat resiko bencana banjir di Kota Batam. Hal ini sesuai dengan hasil analisis perkembangan kerentanan sosial dimana kawasan mainland lebih menjadi prioritas penangan bencana banjir yang ada seperti pembuatan saluran drainase, waduk atau situ serta pengembalian fungsi kawasan lindung yang merupakan lingkup kerja Badan Pengusahaan Batam dibandingkan Pemerintah Kota Batam. Sedangkan pada kawasan hinterland lebih

pada pembangunan non-fisik masyarakatnya seperti pengentasan kemiskinan, program perbaikan rumah, bantuan sosial dan lainnya yang berada di bawah Pemerintah Kota, bukan Badan Pengusahaan Batam.

Rekomendasi

Berdasarkan hasil temuan dan kesimpulan Penerapan konsep waterfront city pada kawasan

pesisir dengan tingkat resiko banjir sedang hingga

Tinggi. Hal ini salah satunya diakukan untuk

Root Causes Dualisme

kewenangan dan

tumpang tindih hak dan kewajiban pusat dan daerah

Tidak tegasnya penegakkan

hukum

Perilaku

masyarakat yangmerusak

lingkungan

Degradasi kualitas

lingkungan

Tingginya curah

hujan di Kota Batam

Dynamics Pressure

Belum adanya

institusi lokal yangkhusus menangai kebencanaan

Ketimpangan pembangunan

pada mainland dan hinterland

Penyediaan barang dan jasa sehari-hari yang

rentan terhadapbencana

hidrometeorologi

Pertumbuhan laju

penduduk yangTinggi tidak diimbangi dengan

penyediaan prasarana

Unsafe Condition

Kondisi fisik-lingkungan yangrawan banjir

Terdapatpenduduk

bermatapnecaharian yang beresiko

Peningkatan permukiman yang

tidak diimbangi dengan penyediaan

sarana dan prasarana

Indeks kerentanan kelompok rentan yang Tinggi

terdapat di luar Pulau Batam

Page 9: Skenario Pengembangan Kota Pulau Berdasarkan Pertimbangan Resiko Banjir_kota Batam

Muhammad Chandra Kaisar

Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota A SAPPK V3N1 | 95

memberikan deliniasi yang jelas terhadap kawasan

lindung seperti rawa, mangrove, sempadan pantai

maupun lahan gambut.

Pembuatan situ atau waduk, biopori, serta

penambahan ruang terbuka hijau pada kawasan

dengan tingkat resiko banjir yang Tinggi yaitu pada

kawasan perdagangan Nagoya (kecamatan Lubuk

Baja, Batu Ampar dan Bengkong) hal ini dikarenakan

tingkat kepadatan bangunan yang Tinggi pada

wilayah tersebut. Konsolidasi lahan serta permukiman

vertikal mampu memberikan penataan prasarana

drainase yang lebih baik serta menambahkan luasan

kawasan resapan air.

Pada Kecamatan Sagulung (resiko tinggi), titik banjir

salah satunya disebabkan banyaknya masyarakat

miskin yang menempati kawasan lindung serta

menghalangi saluran drainase. Upaya penertiban,

revitalisasi saluran drainase, serta pembangunan

rusun merupakan opsi untuk mengurangi resiko

banjir di Kecamatan Sagulung.

Pada Kecamatan Batam Kota Tingginya laju

pembangunan terutama kawasan industri tanpa

pengawasan dan penegakkan hokum menyebabkan

pematangan lahan berdampak pada kerusakan dan

sedimentasi saluran drainase. Pengikutsertaan

masyarakat sebagai pengawasan pembangunan

dapat meningkatkan informasi dari kondisi actual

pembangunan yang ada sehingga pembangunan

yang berdampak negatif dapat langsung ditangani.

Pada kecamatan dengan tingkat resiko Tinggi dan

memiliki infrastruktur kritis, seperti kecamatan

Nongsa, Batu Ampar, Sekupang dan Batam Kota.

Diperlukan Peraturan Zonasi yang mengatur kawasan

lindung terkait sumber daya air untuk meminimalisasi

dampak negatif banjir terhadap aktivitas di

infrastruktur kritis maupun terhadap infrastruktur

tersebut.

Permasalahan lahan memiliki dampak penting

terhadap perkembangan kerentanan di Kota Batam.

Dimana tumpang tindih kewenangan lahan

memperlambat kinerja dalam penanganan banjir

serta berperan dalam bertambahnya titik banjir.

Lahan memegang perananan penting dalam

menanggulangi bencana pada Kota Pulau mengingat

dalam pulau kecil memiliki keterbatasan sumber daya

fisik, sehingga penertiban lahan atau bangunan

terlantar memegang peranan penting pada

pembangunan Kota Pulau yang mengacu pada PP 11

tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan

Bangunan Terlantar dengan penentuan jangka waktu

“keterlantaran” yang lebih cepat dibandingkan jika

diaplikasikan pada kawasan perkotaan di dataran luas

tertama pada kawasan hinterland untuk

meminimalisasi tingkat kerentanan sosial sesuai

dengan skenario I.

Pengikutsertaan peran serta masyarakat dalam

menjaga lingkungan khususnya dalam membuang

sampah pada tempatnya untuk meminimalisasi

dampak negatif dari banjir, serta pemberian sanksi

tegas bagi masyarakat yang membuang sampah

disamping pemerintah harus menyediakan prasarana

sanitasi yang baik pada kawasan dengan tingkat

resiko banjir yang Tinggi.

Pembentukan intitusi khusus kebencanaan serta

pelatihan masyarakat terkait bencana dengan

mengikutsertakan wanita dan menyosialisasikannya

pada anak-anak, difabel dan lansia.

Membudayakan tabungan dan asuransi bencana

sebagai bagi kelompok mata pencaharian yang

beresiko seperti petani, nelayan dan buruh harian

pada kecamatan di kawasan hinterland. Mengingat

tingkat kemiskinan diyakini memiliki dampak lanjutan

terhadap variabel kerentanan lainya seperti pola

hidup, tingkat pendidikan, dan lainnya.

Pemanfaatan fasilitas sosial seperti fasilitas

pendidikan, peribadatan serta kesehatan sebagai

lokasi penampungan korban bencana dengan

penyediaan ruangan khusus untuk kelompok rentan

seperti lansia, ibu hamil, anak-anak, difabel di

Kecamatan dengan Tingkat Resiko banjir Tinggi yaitu

terutama Kecamatan Bengkong, Batu Ampar dan

Lubuk Baja.

Berdasarkan skenario I, pengembangan kota pulau

lebih memprioritaskan kawasan perdesaan, dalam

konteks Kota Batam yaitu kawasan hinterland,

dimana kawasan tersebut merupakan kawasan

dengan tingkat kerentanan sosial yang tinggi. Hal ini

berbanding terbalik dengan skenario II, dimana

pengembangan kota pulau lebih memprioritaskan

kawasan perkotaan.

Daftar Pustaka

Cutter, S.L., Bryan J. Boruff, W. Lynn Shirley. 2003. Social Vulnerability to Enviromental Hazard. Social Science Quarterly, Vol. 84, Number 2, p.242-261

Darmawan. 2010. Pengelolaan Kawasan Pesisir, Pulau-Pulau Kecil dan Terluar.

Pelling, Mark. 2003. The Vulnerability of Cities: Natural Disaster dan Social Resilience. London : Earthscan Publication Ltd

Wisner, B., Blaikie, P., Cannon, T., Davis, I., 2003. At Risk: Natural hazards, People’s Vulnerability and Disasters. Routledge, London.

Peraturan dan Publikasi Lainnya

Bahan Presentasi Dinas Pekerjaan Umum Kota Batam mengenai Bencana Banjir Batam tahun 2012

Dokumen Pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS) 2008 dan 2011

Page 10: Skenario Pengembangan Kota Pulau Berdasarkan Pertimbangan Resiko Banjir_kota Batam

Skenario Pengembangan Kota Pulau Berdasarkan Pertimbangan terhadap Resiko Bencana Banjir (Studi Kasus : Bencana Banjir di Kota Batam)

96 | Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota A SAPPK V3N1

Handbook Bencana Banjir Mata Kuliah Aspek Kebencanaan

Kecamatan dalam Angka Kota Batam 2011, 2012 dan 2013

Kesehatan dalam Angka Kota Batam 2012

Kota Batam dalam Angka 2007, 2008, 2009, 2010, 2011 dan 2012

PP 10 tahun 2010 tentang Tata Cara Perubahan dan Peruntukan fungsi Kawasan Hutan

PP 11 tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Bangunan Terlantar

Peraturan Presiden RI Nomor 87 Tahun 2011

Pendidikan Kota Batam dalam Angka 2012

Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Batam 2004-2014

Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Batam 2011-2031

Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 463/Menhut-II/2013

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007

Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007

Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007