skenario iii traumatologi

29
BAB I PENDAHULUAN Seorang laki-laki, umur 30 tahun, saat menonton sepakbola, dikeroyok oleh suporter kesebelasan lawan. Laki-laki tersebut kemudian dibawa ke UGD RS Dokter Muwardi. Pasien tiba di RS Dokter Muwardi kira-kira 1 jam setelah kejadian. Pasien mengeluh nyeri terutama di bagian perut kanan atas, dia merasa telah ditusuk benda tajam 2 kali di bagian perut kanan atas dan sekali di punggung kiri saat dikeroyok. Pasien masih dalam keadaan sadar (compos mentis) tapi merasa lemas. Perawat melakukan pemeriksaan vital sign dan hasilnya: Nadi 130x per menit, tekanan nadi kecil. Respiration rate: 32x per menit, Tensi: 80/40 mmHg, Suhu: 36,5°C. Hasil pemeriksaan dokter IGD: AIRWAY (A): Bebas Dokter memberikan oksigen 10-12 L/menit dengan masker (Non rebreathing mask), pasang collar brace. BREATHING (B): RR 32x/menit Thorax: jejas ekskoriasi pada hemithorax sinistra, pengembangan hemithorax sinistra tertinggal, perkusi hemithorax sinistra bagian bawah redup (mulai costa 8-9, 1

Upload: shelly-lavenia

Post on 11-Dec-2014

76 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: Skenario III Traumatologi

BAB I

PENDAHULUAN

Seorang laki-laki, umur 30 tahun, saat menonton sepakbola, dikeroyok

oleh suporter kesebelasan lawan. Laki-laki tersebut kemudian dibawa ke UGD RS

Dokter Muwardi. Pasien tiba di RS Dokter Muwardi kira-kira 1 jam setelah

kejadian. Pasien mengeluh nyeri terutama di bagian perut kanan atas, dia merasa

telah ditusuk benda tajam 2 kali di bagian perut kanan atas dan sekali di punggung

kiri saat dikeroyok. Pasien masih dalam keadaan sadar (compos mentis) tapi

merasa lemas.

Perawat melakukan pemeriksaan vital sign dan hasilnya:

Nadi 130x per menit, tekanan nadi kecil. Respiration rate: 32x per menit, Tensi:

80/40 mmHg, Suhu: 36,5°C.

Hasil pemeriksaan dokter IGD:

AIRWAY (A):

Bebas

Dokter memberikan oksigen 10-12 L/menit dengan masker (Non rebreathing

mask), pasang collar brace.

BREATHING (B):

RR 32x/menit

Thorax: jejas ekskoriasi pada hemithorax sinistra, pengembangan hemithorax

sinistra tertinggal, perkusi hemithorax sinistra bagian bawah redup (mulai costa

8-9, dibawahnya timpani), auskultasi suara vesikuler menurun pada bagian bawah

hemithorax sinistra (mulai costa 8-9, dibawahnya bising usus). Kesan hemothorax

sinistra.

Dokter merencanakan pemeriksaan thorax foto (pada adjunct primary survey).

Dilakukan persiapan pemasangan WSD. Sementara menunggu persiapan, maka

dokter melakukan pemeriksaan pada circulation (secara simultan).

Setelah WSD terpasang, keluar darah 75 cc dan RR tetap 32x/menit.

CIRCULATION (C):

1

Page 2: Skenario III Traumatologi

Nadi 130x/menit, tekanan nadi kecil, tensi: 80/40 mmHg, suhu: 36°C, akralnya

dingin dan lembab.

Pada abdomen terlihat distended, luka di bagian perut kanan atas sudah tidak

mengeluarkan darah, bising usus menurun, pekak hepar (+), defans muskuler (-),

perut teraba tegang, test undulasi (+), dan pekak beralih (+). Kesan terdapat

perdarahan internal (abdomen). Bagian pelvis dan femur tak terdapat keluhan

maupun jejas.

Pemeriksaan rectal toucher: Sarung tangang lendir darah (-), lain-lain normal.

Dokter segera melakukan pemasangan infus 2 jalur, dengan jarum no 16 (jarum

besar), RL hangat digrojok, dan melakukan crossmatch.

Selanjutnya dokter memasang kateter untuk monitoring, dimana urin yang

pertama keluar harus dibuang karena tidak mencerminkan kondisi perfusi jaringan

pasien. Hasil 100 cc dan jernih.

2

Page 3: Skenario III Traumatologi

BAB II

STUDI PUSTAKA DAN DISKUSI

Jump 1

Memahami skenario dan memahami pengertian beberapa istilah dalam

skenario.

1. RL hangat digrojok: pemberian Ringer Laktat yang bertujuan untuk rehidrasi cairan sesuai dengan suhu tubuh (36,5°C) karena membantu proses pembekuan darah yang diberikan dalam kasus hipovolemia/anemia berat.

2. Crossmatch: uji golongan darah meliputi eritrosit, antibodi IgG dan IgM.3. Infus 2 jalur: pemberian infus melalui 2 jalur (dapat keduanya RL atau RL

dan serum plasma).4. Abdomen distended: terjadi penegangan pada abdomen.5. Perdarahan internal: perdarahan yang tidak terlihat dari luar, bisa masuk ke

dalam cavum pleura, cavum abdomen, atau cavum plevis.6. Disruption: Keadaan yang terpisah secara abnormal.7. Foto cervical lateral cross table: Teknik untuk rontgen dimana arah sinar

horizontal.8. Tes undulasi: tes untuk menilai ada/tidaknya ascites.9. Capillary refill time: tes yang dilakukan cepat dengan menekan dasar kuku

untuk menilai dehidrasi dan aliran darah (normal: <2 detik).

Rumusan masalah:1. Bagaimana patofisiologi dari manifestasi klinis?2. Bagaimana interpretasi A, B, C, D, E, adjunct primary survey dan

secondary survey pada pasien?3. Apa saja jenis-jenis trauma?4. Bagaimana trauma abdomen, pelvis, dan spinal dapat terjadi?

Jump 2

1. Trauma Thorax

Trauma thoraks merupakan trauma yang sering kita dapatkan sehari-

hari setelah trauma tulang. Insidensi trauma thoraks adalah adalah 1 dari 4

kasus trauma. Mortalitas yang diakibatkan oleh trauma thoraks adalah 10%

dan biasanya terjadi di rumah sakit. Hal ini salat terjadi karena manajemen

yang kurang tepat dalam menangani kasus trauma thoraks (Hanafiah, 2012).

Dalam menangani kasus trauma thoraks, kita harus mengingat kembali

anatomi dan fisiologi dari thoraks meliputi anatomi rongga dada, otot yang

3

Page 4: Skenario III Traumatologi

terdapat di rongga dada dan bagaimana peranan tulang dan otot tersebut

dalam proses respirasi serta fisiologis dari proses pernafasan itu sendiri

(Hanafiah, 2012).

Anatomi rongga thoraks terdiri atas : costa, vertebrae, sternum,

diagfragma dan pernafasan.

Pleura terbagi atas pleura visceral yang melapisi paru dan pleura

parietal yang melapisi rongga thoraks dari dalam. Antara keduanya

dipisahkan oleh suatu rongga yang dikenal sebagai rongga pleura yang

terdapat sedikit cairan serous yang berfungsi sebagai pelumas dan berperan

dalam proses ekspansinya paru. Jika dalam rongga tersebut didapatkan

adanya udara disebut pneumothorax, jika didapatkan adanya darah disebut

hematothorax, dan jika didapatkan adanya cairan yang berlebihan efusi

pleura (Hanafiah, 2012).

Fisiologi pernafasan berlangsung proses perubahan tekanan yang

terjadi akibat aliran vena yang kembali ke jantung dan pompa darah dari

jantung ke dalam sirkulasi sistemik. Pas saat inspirasi; otot diagfragma akan

kontraksi dan berbentuk flat (turun ke bawah). Otot-otot intercostalis

kontraksi sehingga antar costae lebih luas dan meningkatnya volume rongga

thoraks yang mengakibatkan per essay tekanan antara rongga thoraks dan

keadaan dimana tekanan rongga thoraks lebih rendah sehingga udara akan

mengalir dan masuk ke dalam paru. Begitu juga sebaliknya dengan proses

ekspirasi; otot-otot pernafasan mengalami relaksasi, otot diagfragma dan

intercostalis kembali ke posisi normal, dan tekanan intra thoracal lebih tinggi

dari atmosfir sehingga udara akan keluar dari paru (Hanafiah, 2012).

Berdasarkan kegawatdaruratan, trauma thoraks dibagi atas yang

mengancam jiwa dan potensial mengancam jiwa.

1. Secepatnya mengancam jiwa : Airway obstruction, tension

pneumothorax, open pneumothorax "sucking chest wound",

massive hemothorax, flail chest, cardiac tamponade.

2. Potensial jiwa :Pulmonary contusion, myocardial contusion,

traumatic aortic rupture, traumatic diagphragmatic rupture,

4

Page 5: Skenario III Traumatologi

tracheobronchial tree injury (larynx, trachea, bronchus),

esophageal trauma.(Hanafiah, 2012)

Pengelompokan ini berguna dalam memahami dan menangani

kegawatdaruratan dari kasus trauma thoraks. Dalam menangani kasus trauma

thoraks kita dokter berpedoman pada metode ABC (airway, breathing,

circulation).

Airway :

Menilai patency jalan nafas dan pertukaran udara melalui mulut dan

hidung dan menilai ada tidaknya sumbatan jalan nafas.

Breathing :

Menilai gerakan dinding dada dan kualitas pernafasan.

Circulation :

Menilai pulsasi (kualitas, rate, dan regular). Menilai akral, suhu dan

refil test serta menilai vena jugularis.

Patofisiologi trauma thoraks

Pada kasus trauma thoraks pasien akan mengalami keluhan rasa sesak

dan juga rasa nyeri saat bernafas. Proses awal akibat kejadian tersebut adalah

adanya gangguan dalam proses respirasi terutama proses ventilasi dan proses

difusi (perubahan tekanan intrathorakal) yang dapat diikuti oleh kegagalan

sirkulasi yang disebabkan oleh gangguan hemodinamik. Hal ini dapat

menyebabkan inadequate delivery oksigen ke jaringan sehingga jaringan

mengalami hipoksia. Sehingga pada pemeriksaan akan didapat adanya

hiperkarbia, asidosis respiratorik dan asidosis metabolik (Hanafiah, 2012).

Manajemen Hematothorax

Hematothorax adalah adanya akumulasi darah dalam rongga pleura.

Darah ini dapat berasal dari laserasi pembuluh darah dalam rongga thoraks,

dari parenkim paru dan dari segmen iga yang mengalami fraktur (Hanafiah,

2012).

Pemeriksaan fisik akan didapat pasien yang mengalami sesak dan

cemas, takikardi, froty sputum,suara nafas yang menurun bahkan hilang pada

sisi yang sakit dan evaluasi tanda-tanda syok. Dari hasil pemeriksaan

5

Page 6: Skenario III Traumatologi

radiologi akan didapatkan opasitas yang meningkat di bagian basal paru dan

sudut costophrenicus tumpul (Hanafiah, 2012).

Manajemen :

Pemberian oksigen yang adequate dan atasi tanda-tanda syok jika ada

dan dapat dilanjutkan dengan pemasangan chest tube.

Manajemen Kontusio Paru

Kontusio paru merupakan salah satu trauma thoraks yang potensial

mengancam jiwa. Pada kontusio, parenkim paru mengalami injuri tanpa

adanya laserasi. Biasa disertai trauma tumpul thoraks dan fraktur costae. 50%

kasus kontusio paru timbul gejala hemoptisis (Hanafiah, 2012).

Simptom dari kontusio paru : dyspnea, nyeri saat bernafas, suara nafas

melemah, krepitasi, dan hipoventilasi (Hanafiah, 2012).

Manajemen :

Pemberian oksigen yang ade kuat

Fisioterapi nafas

Pembatasan cairan

Pemberian diuretic

Hindari berkembangnya ke arah pneumonia maupun ARDS

meskipun 50% kasus tetap

mengalami pneumonia meski sudah dalam terapi

2. Syok

Syok adalah keadaan berkurangnya perfusi organ dan oksigenasi

jaringan. Pada pasien trauma keadaan ini paling sering disebabkan oleh

hipovolemia.

Diagnosa syok didasarkan tanda-tanda klinis : Hipotensi, takhikardia,

takhipnea, hipothermi, pucat, ekstremitas dingin, melambatnya pengisian

kapiler (capillary refill) dan penurunan produksi urine.

Jenis-jenis syok :

Syok hemoragik (hemorrhagic)

6

Page 7: Skenario III Traumatologi

Perdarahan (hemorrhage) adalah penyebab syok yang paling umum

setelah trauma, dan hampir semua penderita dengan trauma multipel ada

komponen hipovolemia, harus diingat bahwa walaupun syok bukan

disebabkan perdarahan, namun akan memberi respon sedikit atau singkat

terhadap resusitasi cairan. Karena itu, bila terdapat tanda-tanda syok, maka

syok itu dianggap disebabkan karena hipovolemia. Namun, dalam melakukan

terapi, harus diketahui bahwa sejumlah kecil penderita mempunya etiologi

syok yang lain (misalnya, penderita mungkin mempunyai kondisi sekunder

seperti tamponade jantung, cedera saraf tulang belakang, atau trauma tumpul

jantung yang akan merumitkan syok hipovolemia itu).

Syok non-hemoragik

1. Syok kardiogenik

Disfusi miokardial dapat terjadi dari trauma tumpul jantung,

tamponade jantung, emboli udara, atau yang agak jarang infark miokard

yang berhubungan dengan cedera penderita. Bila mekanisme cedera

pada toraks merupakan deselerasi, harus dicurigai cedera tumpul jantung

(blunf). Semua penderita dengan trauma tumpul tumpul memerlukan

pemantauan EKG terus-menerus untuk mengetahui pola cedera dan

disritmia

2. Tension Pneumothorax

Tension pneumotoraks merupakan keadaan gawat darurat bedah

yang memerlukan diagnosisdan penanganan segera. Tension

pneumotoraks terjadi bila ada udara yang masuk kerongga pleura tetapi

karena suatu mekanisme ventil (katup-ayun/flapvalve) mencegah aliran

keluarnya. Tekanan intrapleural menigkat dan menyebabkan paru-paru

kolaps total dan terjadi penggeseran dari mediastinum ke

sisiseberangnya diikuti terganggunya aliran darah balik ke jantung

(veneus return) dan penurunan output jantung. Adanya gangguan

pernafasan yang akut, emfisema subkutanmenghilangnya suara nafas

pada auskultasi, hipersonor pada perkusidan pergeseran trakea

mendukung dianosis dari tension pneumotoraks dan menuntut

7

Page 8: Skenario III Traumatologi

dilakukannya dekompresi toraksdengan segera tanpa menunggu

konfirmasi foto ronsen untuk diagnosisnya.

3. Syok Neurogenik

Cedera intrakarnial yang berdiri sendiri tidak menyebabkan syok.

Adanya syok pada penderita dengan cedera kepala harus dicari penyebab

syok yang lain. Cedera syaraf tulang belakang yang mungkin

mengakibatkan hipotensi karena hilangnya tonus simpatis pada kapiler.

Ingat, kehilangan tonus simpatis pada kapiler memperberat efek

fisiologis dari hipovolemia, sebaliknya hipovolemia akan memperberat

efek-efek fisiologis denervasi simpatis. Gambaran klasik dari syok

neurogonik adalah hipotensi tanpa takikardiaatau vasokonstriksi kulit.

Tekanan nadi yang mengecil tidak terlihat dalam syok neurogenik.

Penderita yang menderita cedera tulang belakang sering kali mengalami

trauma didaerah tubuh lainnya. Karena itu, penderita yang diduga atau

diketahui mempunyai syok neurogenik pada awalnya harus dirawat

untuk hipovolemia. Kegagalan dalam pemulihan perfusi organ denga

resusitasi cairan menandakan perdarahan masih berlanjut atau syok

neurogenik. Memantau tekanan vena sentral (CVP) mungkin membantu

dalam masalah yang kadang-kadang rumit.

4. Syok Septik

Syok karena infeksi yang timbul segera setelah trauma jarang

terjadi. Namun, kalau kedatanagan penderita di fasilitas gwat-darurat

tertunda untuk beberapa jam, masalah ini mungkin terjadi pada penderita

dengan cedera perut yang tembus pada kontaminasi rongga peritoneal

dengan isi usus. Penderita septik yang hipotensif dan afebril secara klinis

sukar dibedakan dari yang terkena syok hipovolemik, karena kedua

kelompok ini dapat menunjukan takikardia, vasokontriksi kulit, produksi

urine menurun, tekanan sistolik yang menurun, dan tekanan nadi yang

mengecil. Penderita dengan syok septik yang dini mungkin mempunyai

peredaran volume yang normal, takikardia yang sedang, kulit berwarna

8

Page 9: Skenario III Traumatologi

merah jambu yang hangat, tekanan sistolik mendekati normal, dan

tekanan nadi yang lebar.

3. Trauma Pelvis

Fraktur Pelvis

Sebuah pemahaman tentang pola fraktur dan mekanisme cedera

sangatlah penting. Young and Burgess menggambarkan klasifikasi

berdasarkan mekanisme cedera. Sistem ini dibuat untuk memberikan

traumatologis dapat memperkirakan cedera berat lain yang menyertai pada

pelvis dan abdomen. Terdapat 3 mekanisme cedera mayor menurut Young

and Burgess, yaitu :

1. Cedera kompresi lateral.

Tabrakan dari arah lateral dapat mengakibatkan berbagai macam

cedera, tergantung dari kekuatan tabrakan yang terjadi.

a. Tipe AI (impaksi sakral dengan fraktur ramus pubis sisi yang sama

(ipsilateral)—cedera yang stabil.

b. Tipe AII (impaksi sakral dengan fraktur iliac wing ipsilateral atau

terbukanya SI joint posterior dan fraktur ramus pubis)

c. Tipe AIII (sama dengan tipe An dengan tambahan cedera

rotasional eksterna dengan SI joint kontralateral dan fraktur ramus

pubis

2. Kompresi anteroposterior, yang dihasilkan oleh gaya dari anterior ke

posterior yang mengakibatkan terbukanya pelvis.

a. Tipe BI (diastasis simfisis <2,5 cm dengan sisi posterior yang

intak)—cedera yang stabil

b. Tipe BII (Diastasis simfisis >2,5 cm dengan terbukanya SI joint

tapi tidak terdapat instabilitas vertikal)

c. Tipe BIII(Disrupsi komplit dari anterior dan posterior pelvis

dengan kemungkinan adanya pergeseran vertikal)

3. Vertically unstable atau shear injury, Hemipelvis yang tidak stabil atau

disebut juga dengan fraktur malgaigne.

9

Page 10: Skenario III Traumatologi

Susunan anatomi yang sedemikian rupa dari ateri dan vena

menjelaskan frekuensi dan besarnya perdarahan yang terjadi pada fraktur

pelvis. Tanpa melakukan angiografi, tidak mungkin untuk mengetahui

secara klinis apakah perdarahan retroperitoneal disebabkan kerusakan

arteri, vena ataupun kapiler. Kebanyakan dari hematoma pada pelvis,

biasanya berasal dari sistem vena dan tertahan oleh peritoneum yang intak.

Mekanisme hemostatik normal menyebabkan terjadinya hematoma,

walaupun sebagian terus meluas dan menyebabkan syok hemorhagik,

mungkin juga pada perdarahan akibat kerusakan arteri.Hematom arteri

atau vena dari retroperitoneal dapat mengimbibisi ke mesenterium

intestinal dan membuat gejala klinik akut abdomen. Hematom

retroperitoneal juga bisa robek melalui peritoneum menuju rongga

abdomen, yang menghilangkan efek tamponade. Pasien fraktur pelvis

dengan hipotensi mempunyai angka mortalitas 50%. Perdarahan dari

fraktur pelvis yang berasal dari laserasi dari vaskularisasi pelvis dan

terkumpul pada rongga retroperitoneal, tapi terlihat sebagai perdarahan

dapat terjadi dari sumsum tulang yang fraktur (terutama pada orang tua

dengan tulang yang rapuh). Koagulopati adalah salah satu sebab dari

perdarahan retroperitoneal dan harus selalu dipertimbangkan bila pasien

tidak memeberikan respon dengan resusitasi.

Penatalaksanaan

Kompresi melingkar mungkin siap dicapai pada keadaan pra

rumah-sakit dan pada awalnya memberikan keuntungan stabilisasi selama

pengangkutan dan resusitasi. Lembaran terlipat yang dibalutkan secara

melingkar di sekeliling pelvis efektif secara biaya, non-invasif, dan mudah

untuk diterapkan. Pengikat pelvis komersial beragam telah ditemukan.

Tekanan sebesar 180 N tampaknya memberikan efektivitas maksimal.

Sebuah studi melaporkan pengikat pelvis mengurangi kebutuhan transfusi,

lamanya rawatan rumah sakit, dan mortalitas pada pasien dengan cedera

APC.

10

Page 11: Skenario III Traumatologi

          Beberapa studi telah melaporkan keuntungan fiksasi eksternal pelvis

emergensi pada resusitasi pasien yang tidak stabil secara hemodinamik

dengan fraktur pelvis tidak stabil. Efek menguntungkan fiksasi eksternal

pada fraktur pelvis bisa muncul dari beberapa faktor. Imobilisasi dapat

membatasi pergeseran pelvis selama pergerakan dan perpindahan pasien,

menurunkan kemungkinan disrupsi bekuan darah. Pada beberapa pola

(misal, APC II), reduksi volume pelvis mungkin dicapai dengan aplikasi

fiksator eksternal. Studi eksperimental telah menunjukkan bahwa reduksi

cedera pelvis “open book” mengarah pada peningkatan tekanan

retroperitoneal, yang bisa membantu tamponade perdarahan vena.

Penambahan fraktur disposisi dapat meringankan jalur hemostasis untuk

mengontrol perdarahan dari permukaan tulang kasar.

          Fiksasi pelvis eksternal standar tidak menyediakan stabilisasi pelvis

posterior yang adekuat. Hal ini membatasi efektivitas pada pola fraktur

yang melibatkan disrupsi posterior signifikan atau dalam kasus-kasus

dimana ala ossis ilium mengalami fraktur. C-clamp yang diaplikasikan

secara posterior telah dikembangkan untuk menutupi kekurangan ini.

Clamp memberikan aplikasi gaya tekan posterior tepat melewati

persendian sacroiliaca. Kehati-hatian yag besar harus dilatih untuk

mencegah cedera iatrogenik selama aplikasi; prosedur umumnya harus

dilakukan dibawah tuntunan fluoroskopi. Penerapan C-clamp pada regio

trochanter femur menawarkan sebuah alternatif bagi fiksasi eksternal

anterior standar untuk fiksasi sementara cedera APC.

          Balutan pelvis dikembangkan sebagai sebuah metode untuk

mencapai hemostasis langsung dan untuk mengontrol perdarahan vena

yang disebabkan fraktur pelvis. Selama lebih dari satu dekade, ahli bedah

trauma di Eropa telah menganjurkan laparotomi eksplorasi yang diikuti

dengan balutan pelvis. Teknik ini diyakini terutama berguna pada pasien

yang parah. Ertel dkk menunjukkan bahwa pasien cedera multipel dengan

fraktur pelvis dapat dengan aman ditangani menggunakan C-clamp dan

11

Page 12: Skenario III Traumatologi

balutan pelvis tanpa embolisasi arteri. Balutan lokal juga efektif dalam

mengontrol perdarahan arteri.

Sistem Genitourinarius yang Terlibat dalam Trauma Pelvis

Komponen mayor dari sistem genitourinarius yang terlibat dalam

trauma pelvis adalah kandung kemih dan urethra. Kandung kemih terletak

di superior dari dasar pelvis (otot coccygeal dan levator ani). Otot ini

terletak di atas ligamentum. Fascia dari lantai pelvis mobile dan jarang.

Pada laki-laki, prostat berada antara kandung kemih dan lantai pelvis dan

ditutupi oleh membran yang cukup tebal. Urethra melalui prostat dan

keluar dibawah lantai pelvis. Arteri, vena dan nervus pudendal (S2-4)

berhubungan dengan pasase urethra menembus difragma urogenitale, dan

nervus otonom pelvis (S2-4) yang bertanggung jawab pada mekanisme

ereksi pada laki-laki. Perbatasan antara prostat dan lantai pelvis sangat

kuat seperti juga urethra pars membranosa. Titik lemah pada area ini

adalah urethra dibawah diafragma pelvis dalam pars bulbosa. Ketika

kandung kemih dalam keadaan penuh dan ditekan dengan kekuatan yang

besar, dapat terjadi ruptur urethra pada laki-laki ( paling sering pada pars

bulbosa) dibawah lantai pelvis. Kadang-kadang, dapat juga terjadi ruptur

urethra pars membranacea di atas lantai pelvis.

Pada wanita, cedera urethra terjadi paling sering terjadi dekat bladder

neck. Kontinensi urine tergantung pada sfingter eksterna (otot lurik) pada

urethra pars membranaceus (midurethra pada perempuan) dan pada

bladder neck (otot polos) pada laki-laki dan perempuan. Pemahaman

tentang anatomi pelvis akan meningkatkan kewaspadaan dalam mengenali

perdarahan retroperitoneal, juga cedera yang mengenai sistem

genitourinarius dan gastrointestinal.

4. Resusitasi Sirkulasi

12

Page 13: Skenario III Traumatologi

Tujuan akhirnya adalah menormalkan kembali oksigenasi jaringan.

Karena penyebab gangguan ini adalah kehilangan darah maka resusitasi cairan

merupakan prioritas .

1. Jalur intravena yang baik dan lancar harus segera dipasang.

Gunakan kanula besar (14 - 16 G). Dalam keadaan khusus

mungkin perlu vena sectie

2. Cairan infus (NaCL 0,9%) harus dihangatkan sampai suhu tubuh

karena hipotermia dapat menyababkan gangguan pembekuan

darah.

3. Hindari cairan yang mengandung glukose.

4. Ambil sampel darah secukupnya untuk pemeriksaan dan uji silang

golongan darah.

Urin

Produksi urin menggambarkan normal atau tidaknya fungsi

sirkulasi jumlah seharusnya adalah > 0.5 ml/kg/jam. Jika pasien tidak

sadar dengan syok lama sebaiknya dipasang kateter urine.

Transfusi darah

Penyediaan darah donor mungkin sukar, disamping besarnya risiko

ketidaksesuaian golongan darah, hepatitis B dan C, HIV / AIDS. Risiko

penularan penyakit juga ada meski donornya adalah keluarga sendiri.

Transfusi harus dipertimbangkan jika sirkulasi pasien tidak stabil

meskipun telah mendapat cukup koloid / kristaloid. Jika golongan darah

donor yang sesuai tidak tersedia, dapat digunakan darah golongan O

(sebaiknya pack red cel dan Rhesus negatif. Transfusi harus diberikan jika

Hb dibawah 7g / dl jika pasien masih terus berdarah.

5. Peta Konsep

13

1 jam setelah kejadian tiba di RS Moewardi

Mengluh nyeri terutama di bagian perut kanan (kesadaran masih compos

mentis) tapi lemas

Dikeroyok merasa ditusuk benda tajam 2 kali di bagian perut kanan atas dan

sekali di punggung

Laki-laki, 30 tahun

Page 14: Skenario III Traumatologi

6. Pembahasan

Berdasarkan hasil anamnesis diketahui bahwa seorang laki – laki

usia 30 tahun, saat menonton sepak bola dikeroyok supporter kesebelasan

lawan. Laki – laki tersebut dibawa ke UGD RS Dokter Muwardi.Pasien

tiba di RS Dokter Muwardi kira – kira 1 jam setelah kejadian. Waktu

disini sangat penting ditekankan karena dalam penanganan trauma waktu

merupakan hal penting dalam mencegah kematian dan kecacatan, makin

cepat dalam penanganan pasien trauma maka akan menghasilkan

prognosis yang semakin baik. Dalam manajemen trauma terdapat golden

periode yaitu selang waktu terjadinya trauma sampai ruang operasi / terapi

definitif,bukan waktu sampai Unit Gawat Darurat atau bukan waktu

selama di Unit Gawat Darurat. Masa golden periode untuk kasus trauma

adalah sekitar 6 - 8 jam, pada kasus yang terdapat pada skenario pasien

masih digolongkan masuk kedalam masa golden periode. Pasien pada

skenario mengeluhkan nyeri terutama di bagian perut kanan atas, dia

merasa telah ditusuk benda tajam 2 kali di bagian perut kanan atas dan

sekali di punggung kiri.Perut kita adalah organ yang berongga, jadi

didalamnya terdapat bermacam-macam organ yang terletak pada posisinya

masing-masing, pada perut sebelah kanan dibagian atas terdapat organ

Hati, Kandung Empedu, Ginjal, Usus kecil dan Usus Besar, sedangkan

pada punggung kiri terdapat organ paru – paru. Rasa nyeri yang terjadi

pada pasien tersebut diakibatkan karena adanya trauma tajam yang

menyebabkan terjadinya robekan atau perforasi lapisan dinding abdomen

sehingga dapat menekan syaraf bermyelin tipe C, hal ini kemudian akan

diteruskan ke medulla spinalis yang selanjutkan jaras akan dilanjutkan ke

susunan syaraf pusat di thalamokortikal dan kemudian persepsi nyeri

dapat dirasakan.

Dari pemeriksaan didapatkan juga bahwa pasien dalam keadaan

sadar tapi merasa lemas. Lemas yang dialami pasien pada kasus ini dapat

disebabkan karena perdarahan yang timbul akibat trauma yang dialami

14

Page 15: Skenario III Traumatologi

pasien.Setelah dilakukan pemeriksaan vital sign, didapatkan hasil nadi

pasien 130x per menit,tekanan nadi kecil, respiration rate 32x per

menit,tensi 80/40 mmHg, dan suhu 36,50 C. Pasien mengalami takipneu,

takikardia dan hipotensi. Perdarahan yang dialami pasien dapat

menyebabkan penurunan curah jantung (cardiac output) sehingga timbul

gangguan perfusi jaringan.Bila terjadi gangguan perfusi jaringan maka

mekanisme kompensasi yang dilakukan tubuh adalah melalui

vasokonstriksi untuk menaikkan aliran darah ke jantung, otak, dan otot

skelet serta menurunkan aliran darah ke tempat yang kurang vital. Faktor

humoral dilepaskan untuk menimbulkan vasokonstriksi dan menaikkan

volume darah dengan konservasi air.Ventilasi meningkat untuk mengatasi

adanya penurunan kadar oksigen di daerah arteri. Jadi pada fase

kompensasi ini terjadi peningkatan detak dan kontraktilitas otot jantung

untuk menaikkan curah jantung dan peningkatan respirasi untuk

memperbaiki ventilasi alveolar.

Pada hasil pemeriksaan primary survey didapatkan jalan nafas

pasien bebas, pasien diberikan oksigen 10 – 12 liter/menit dengan masker

(Non Rebreathing Mask). Tujuan terapi oksigen adalah untuk

menanggulangi hipoksia jaringan yang terjadi karena penurunan tekanan

oksigen arteri dan agar oksigenasi seluruh tubuh pasien adekuat.Pasien

juga dilakukan pemasangan collar brace yang bertujuan untuk

immobilisasi dan mencegah adanya fraktur vertebra cervical.Selanjutnya

dari hasil pemeriksaan breathing, ditemukan jejas ekskoriasi pada

hemithorax sinistra dan pengembangan hemithorax sinistra tertinggal.Hal

ini menandakan bahwa pada hemithorak sinistra pasien mengalami trauma

sehingga menggangu fungsi dari paru – paru kiri pasien.Setelah dilakukan

perkusi terdengar suara redup di costa 8 – 9 di hemithorax sinistra, suara

redup pada kasus di skenario ini dapat diakibatkan oleh adanya cairan atau

darah didalam cavum pleura pasien. Hal ini diperkuat dengan pemeriksaan

auskultasi yang menunjukkan bahwa suara vesikuler pada bagian bawah

hemithorax sinistra (mulai costa 8 – 9) menurun. Pasien kemudian

15

Page 16: Skenario III Traumatologi

dilakukan WSD atas indikasi hematothorax, hal ini bertujuan untuk

mengeluarkan darah dari cavum pleura pasien .

Pemasangan infus 2 jalur agar cepat memasukkan cairan pengganti

darah berupa kristaloid seperti ringer laktat (RL) dengan jarum ukuran

besar yaitu ukuran 16. RL digrojog untuk resusitasi pasien dalam keadaan

hanggat yaitu dengan suhu sesuai suhu tubuh yaitu 37,5˚C. Dilakukan

crossmatch yaitu reaksi silang secara in vitro antara darah pasien dengan

darah donornya yang akan ditransfusikan. Tujuan crossmatch adalah

melihat apakah darah yang ditransfusikan cocok atau tidak, untuk

konfirmasi golongan darah dan adanya reaksi perlawanan oleh serum

pasien dalam tubuhnya. Selanjutnya dokter melakukan pemasangan kateter

untuk monitoring dimana urin yang pertama dibuang karena tidak

mencerminkan kondisi perfusi jaringan pasien. Hasil 100 cc dan jernih.

Pada pasien ini tidak diketahui urin sebanyak 100 cc itu ditampung selama

berapa menit oleh karena itu tidak dapat dinilai kondisi perfusi jaringgan

pasien. Sedangkan kondisi urin yang jernih menandakan bahwa tidak ada

kelainan pada sistem urologi pasien yaitu ginjal, ureter, vesica urinaria,

dan uretra.

Tindakan dokter selanjutnya adalah konsul pada dokter berdah

mengenai perdarahan abdomen dan melakukan pemasangan WSD.

Pemasanggan WSD bertujuan untuk mengeluarkan darah atau cairan serta

udara dalam rongga pleura atau thorax, mengembaliakan tekanan negatif

rongga pleura, menggembalikan paru yang kolaps, dan mencegah reflux

drainase kembali ke rongga thorax. Resusitasi cairan diteruskan hingga

penilaian akhir pasien dalam keadaan baik. Kemudian dokter melakukan

persiapan operasi dan evaluasi kondisi sirkulasi dengan menilai tensi, nadi,

akral dan urin per jam untuk menilai syok serta capillary refill time untuk

menilai kondisi perfusi jaringan.

Hasil Glasgow Coma Scale (GCS) pada pasien adalah 15, hal ini

menunjukkan bahwa pasien dalam keadaan sadar penuh (compos mentis).

16

Page 17: Skenario III Traumatologi

Pupil pasien terlihat isokor yang berarti tidak menunjukkan adanya

peningkatan tekanan intrakranial ataupun kelainan visus.

Pakaian pasien dibuka semua dengan tujuan menilai apakah ada

tanda-tanda bahaya lain yang mengancam jiwa. Setelah itu, pasien

diselimuti agar tetap hangat dan mencegah terjadinya hipotermy.

Hasil foto cervical lateral cross table dan thorax (AP)

menunjukkan hasil yang normal atau tidak terdapat fraktur/ kelainan

lainnya. Namun, hasil foto pelvis (AP) terdapat fractur di os simphysys

pubis dan disruption sacro iliac pada bagian kanan. Hal ini dapat terjadi

akibat multitrauma, baik benturan langsung ataupun akibat penekanan

vertebra akibat kecelakaan.

Pada secondary survey, pemeriksaan kepala leher, thorax, abdomen

atas, dan anggota gerak dalam batas yang normal/ tidak ada kelainan.

Dokter melakukan konsul pada dokter spesialis bedah (orthopedi, digestif,

dan urologi) dengan tujuan agar pasien mendapat penanganan yang lebih

lanjut baik trauma yang mengakibatkan fraktur tulang/ perdarahan pada

organ dalam.

17

Page 18: Skenario III Traumatologi

BAB III

SIMPULAN DAN SARAN

A.    SIMPULAN

1. Pasien mengalami komplikasi yang cukup berat.

2. Perlunya pemeriksaan lebih lanjut untuk memastikan keadaan pasien.

3. Penanganan pada pasien harus segera dilaksanakan dengan cepat dan

tepat.

4. Tindakan dokter umum dalam skenario sudah tepat dalam mengatasi

pasien trauma

B. SARAN

Selama diskusi tutorial mahasiswa aktif dalam membahas keseluruhan

materi namun ada beberapa yang belum dikupas tuntas untuk skenario ini hal

tersebut bukanlah kendala yang cukup berarti, hanya memerlukan sumber

sumber yang lebih terbaru dan mempersiapkan materi secara matang.

18

Page 19: Skenario III Traumatologi

DAFTAR PUSTAKA

Anonim (2012). Primary Trama Care.

http://www.primarytraumacare.org/wpcontent/uploads/2011/09/PTC_IND

O.pdftrauma (diakses 27 Mei 2012).

Hak, David J., Wade R. Smith, MD ,  Takashi Suzuki, MD. 2009. Manajemen

Perdarahan pada Fraktur Pelvis yang Mengancam-Jiwa. Jurnal

Ortopedi.

Hanafiah M (2012). Manajement Trauma Thorax.

www.rumahsakitmitrakemayoran.com/ managemen t- trauma - thoraks /

(diakses 27 Mei 2012).

Meidi, Unedo. 2008. Trauma Pelvis. Bagian Orthopaedi Dan Traumatologi

Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Bandung.

19