skenario 2 traumatologi

36
BAB I PENDAHULUAN Kecelakaan Sepeda Motor Wanita, 25 tahun, kurang lebih 4 jam sebelum masuk rumah sakit, saat o s mengendarai sepeda motor, os bertabrakan dengan sepeda motor, lain dari arah berlawanan, os terjatuh dengan dada terbentur stang sepeda motor. Tidak ada riwayat pingsan, muntah (-). Os mengeluh sesak nafa ynag memberat disertai nyeri dada kanan & perut sebelah kanan. Os dibawa ke Puskesmas kemudian dirujuk ke Rumah Sakit. Vital sign, RR: 44 x/ menit, nadi: 116 x/ menit, regular, lemah, akral dingin, TD 90/50 mmHg. Dokter jaga yang bertugas di IGD, segera melakukan primary survey dan didapatkan: Airway (A) : bebas Dokter memasang collar brace dan memberikan oksigen 10-12 liter/ menit dengan masker (non rebreathing mask). Breathing (B) : JVP: meningkat, trachea bergeser ke kiri, RR (Respiration Rate): 44 x/ menit, tampak sianotik. Thorax, inspeksi: ada jejas di hemithorax kanan depan (dada). Pengembangan dinding dada kanan tertinggal. Retraksi suprasternal. Palpasi: pengembangan dada kanan tertinggal. Perkusi: hipersonor dada kanan. Auskultasi: suara dasar vesikuler dada kanan hilang. Suara jantung: normal, letak bergeser semakin ke kiri.

Upload: siska-dewi-agustina

Post on 27-Dec-2015

136 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

traumatology

TRANSCRIPT

Page 1: Skenario 2 Traumatologi

BAB I

PENDAHULUAN

Kecelakaan Sepeda Motor

Wanita, 25 tahun, kurang lebih 4 jam sebelum masuk rumah sakit, saat o s mengendarai

sepeda motor, os bertabrakan dengan sepeda motor, lain dari arah berlawanan, os terjatuh

dengan dada terbentur stang sepeda motor. Tidak ada riwayat pingsan, muntah (-). Os

mengeluh sesak nafa ynag memberat disertai nyeri dada kanan & perut sebelah kanan. Os

dibawa ke Puskesmas kemudian dirujuk ke Rumah Sakit. Vital sign, RR: 44 x/ menit, nadi:

116 x/ menit, regular, lemah, akral dingin, TD 90/50 mmHg.

Dokter jaga yang bertugas di IGD, segera melakukan primary survey dan didapatkan:

Airway (A): bebas

Dokter memasang collar brace dan memberikan oksigen 10-12 liter/ menit dengan

masker (non rebreathing mask).

Breathing (B):

JVP: meningkat, trachea bergeser ke kiri, RR (Respiration Rate): 44 x/ menit, tampak

sianotik. Thorax, inspeksi: ada jejas di hemithorax kanan depan (dada). Pengembangan

dinding dada kanan tertinggal. Retraksi suprasternal. Palpasi: pengembangan dada kanan

tertinggal. Perkusi: hipersonor dada kanan. Auskultasi: suara dasar vesikuler dada kanan

hilang. Suara jantung: normal, letak bergeser semakin ke kiri.

Setelah itu dokter segera melakukan needle thoracocentesis, dilanjutkan pemasangan

chest tube/ water seal drainage (WSD).

Circulation (C):

Setelah tindakan di “Breathing”, dilakukan pengukuran VS ulang & didapatkan

tekanan darah 110/ 70 mmHg, nadi 90 x / menit, akral hangat. Dilakukan pemasangan infuse,

diberikan cairan Ringer Laktat dengan jumlah tetesan maintenance. Dilakukan pemasangan

kateter untuk monitoring, produksi urin initial 150cc kemerahan.

Disability (D):

GCS 15, pupil bulat, isokor, reflek cahaya +/+

Environment / Exposure (E):

Semua pakaian pasien dibuka untuk menilai apakah ada kelainan lain yang sifatnya

life threatening. Setelah itu pasien diselimuti untuk mencegah hipothermia.

Page 2: Skenario 2 Traumatologi

Adjunct Primary Survay:

Dilakukan pemeriksaan foto rontgen Cervical lateral, Thoraks AP, dan Pelvis AP.

Pada foto rontgen thoraks AP, didapatkan hematothoraks kanan. Foto rontgen pelvis dan

cervical dalam batas normal.

Secondary Survey

Dilakukan head to toe examination. Pada pemeriksaan abdomen didapatkan jejas di

abdomen kanan atas, disertai nyeri tekan tanpa tanda rangsang peritoneal (defans muskuler),

bising usus dalam batas normal. Pelvis tidak ada kelainan. Dilakukan log roll, tidak

didapatkan jejas di flank kanan maupun kiri. Ekstremitas dalam batas normal. Hasil

pemeriksaan laboratorium didapatkan hasil: Hb 10,9; Trombosit 159.000; Urinalisis

didapatkan eritrosit dalam urin 30-40/ mm3.

Dokter merujuk pasien ke Rumah Sakit Rujukan Daerah (Bedah Thoraks, Bedah

Digestif, Bedah Urologi).

Page 3: Skenario 2 Traumatologi

BAB II

STUDI PUSTAKA DAN DISKUSI

Jump 1

Memahami skenario dan memahami pengertian beberapa istilah dalam skenario.

1. needle thoracocentesis : memasukkan jarum/ kateter ke dalam cavum pleura untuk

mengeluarkan udara.

2. akral : bagian ujung.

3. non-rebreathing mask : metode pemberian oksigen konsentrasi 99%, aliran 8-12 liter/

menit, di mana udara inspirasi tidak tercampur udara ekspirasi.

4. jejas : injuri, luka.

5. o s : orang sakit.

6. retraksi suprasternal: tarikan di atas sternum, indikasi kesulitan bernafas.

7. defans muskuler: inflamasi di peritoneum parietal (nyeri somatic), dirasakan saat

inspirasi dan ekspirasi berupa kontraksi otot terhadap rangsang tekan.

8. flank : bagian sisi samping tubuh di bawah costae terbawah sampai dengan di atas

panggul.

9. log roll: tindakan yang bertujuan untuk inline immobilization.

10. produksi urin initial: jumlah urin yang dikeluarkan dari kateter pertama kalinya.

Rumusan Masalah

1. Bagaimana patofisiologi manifestasi klinis dari kelainan-kelainan dalam skenario?

2. Apa saja pemeriksaan lebih lanjut yang dibutuhkan untuk menunjang penegakkan

diagnosis?

3. Apa saja diagnosis banding untuk kasus tersebut?

4. Bagaimana penatalaksanaaan kasus tersebut?

Page 4: Skenario 2 Traumatologi

Jump 2

A. Trauma Thoraks

1. Definisi

Trauma adalah cedera/rudapaksa atau kerugian psikologis atau emosional

(Dorland, 2002)

a. Klasifikasi Trauma

Trauma Tumpul

Trauma tumpul lebih umum terjadi daripada cedera tembus pada

dada, persentasinya lebih dari 90% pada cedera toraks. Sebuah pukulan

langsung ke dinding dada dapat menghancurkan, menyebabkan patah tulang

dan dislokasi pada tulang seperti tulang rusuk. Cedera pada dada dapat

meningkatkan tekanan intrathorakal sehingga menyebabkan pecahnya

organ dan terisi oleh gas / cairan. (Khan, 2008)

Cedera terjadi ketika gerakan ke depan dari dada tiba-tiba berhenti

sedangkan visera intrathorakal terus bergerak maju, seperti pada cedera

kemudi mobil. Struktur visceral tidak terikat pada dinding dada, sehingga

terus bergerak maju sampai mereka dihentikan oleh permukaan dalam dari

dinding thoraks pada suatu tabrakan, tekanan yang diciptakan oleh gerakan

melebihi toleransi jaringan, menyebabkan cedera. (Khan, 2008)

Rusuk dapat patah pada tempat tubrukan dan melukai paru

dibawahnya yang menyebabkan memar atau tertusuk. Rusuk biasanya

menjadi cukup stabil dalam waktu 10 hari sampai 2 minggu. Usaha

penyembuhan dengan pembentukan kalus terlihat setelah sekitar 6 minggu.

(Khan, 2008)

Trauma Tusuk

Trauma tusuk biasanya hasil dari aplikasi suatu kekuatan mekanik

yang tiba-tiba pada suatu area fokus. Sebuah pisau atau proyektil, misalnya,

menghasilkan kerusakan jaringan oleh karena peregangan dan

penghancuran; cedera biasanya terbatas pada jaringan disekitar tusukan.

Tingkat keparahan dari cedera internal tergantung pada organ yang tertusuk

dan bagaimana pentingnya organ itu. (Khan, 2008).

Page 5: Skenario 2 Traumatologi

2. Fraktur

Patah Tulang Iga

Patah tulang iga dapat tunggal atau multiple. Jika multiple, bentuk dan

gerak thoraks masih bisa memadai ,bisa juga tidak. Diagnosis patah tulang iga

multiple, ditentukan berdasar gejala dan tanda nyeri lokal. Nyerinya berupa nyeri

lokal dan nyeri kompresi kiri kanan atau muka-belakang dan nyeri pada gerak

napas. Jika terjadi patah tulang iga multipel biasanya dinding thoraks tetap stabil.

Akan tetapi, jika beberapa iga mengalami patah tulang pada dua tempat , suatu

segmen dinding dada terlepas dari kesatuannya. Fraktur iga tunggal atau multipel

dengan gerak dada yang masih memadai dan teratur ditangani dengan pemberian

analgetik atau anastetik. Nyeri harus dihilangkan untuk menjamin pernapasan

yang baik atau mencegah pneumonia akibat gerak napas tidak memadai dan

terganggunya batuk karena nyeri. Jika pemberian analgesik tidak menghilangkan

nyeri, harus dilakukan anastesia blok intercostal yang meliputi segmen dikaudal

dan kranial iga yang patah. (Sjamsuhidajat,2004).

B. Syok.

Syok merupakan keadaan darurat yang disebabkan oleh kegagalan perfusi darah

ke jaringan, sehingga mengakibatkan gangguan metabolisme sel. Kematian karena

syok terjadi bila keadaan ini menyebabkan gangguan nutrisi dan metabolism sel. Terapi

syok bertujuan memperbaiki gangguan fisiologik dan menghilangkan faktor penyebab.

Syok sirkulasi dianggap sebagai rangsang paling hebat dari hipofisis adrenalin sehingga

menimbulkan akibat fisiologi dan metabolisme yang besar. Syok didefinisikan juga

sebagai volume darah sirkulasi tidak adekuat yang mengurangi perfusi, pertama pada

jaringan nonvital (kulit, jaringan ikat, tulang, otot) dan kemudian ke organ vital (otak,

jantung, paru- paru, dan ginjal). Syok atau renjatan merupakan suatu keadaan

patofisiologis dinamik yang mengakibatkan hipoksia jaringan dan sel (Anderson dan

Wilson, 2000).

Page 6: Skenario 2 Traumatologi

1. Etiologi dan klasifikasi

Syok secara umum dapat diklasifikasikan menjadi :

a. Syok hipovolemik, syok yang disebabkan karena tubuh :

Kehilangan darah/syok hemoragik 

Hemoragik eksternal : trauma, perdarahan gastrointestinal

Hemoragik internal : hematoma, hematotoraks

Kehilangan plasma : luka bakar 

Kehilangan cairan dan elektrolit

Eksternal : muntah, diare, keringat yang berlebih

Internal : asites, obstruksi usus

b. Syok kardiogenik, kegagalan kerja jantung. Gangguan perfusi jaringan yang

disebabkan karena disfungsi jantung misalnya : aritmia, AMI (Infark

Miokard Akut).

c. Syok septik, terjadi karena penyebaran atau invasi kuman dan toksinnya

didalam tubuh yang berakibat vasodilatasi.

d. Syok anafilaktif, gangguan perfusi jaringan akibat adanya reaksi antigen

antibodi yang mengeluarkan histamine dengan akibat peningkatan

permeabilitas membran kapiler dan terjadi dilates arteriola sehingga venous

return menurun. Misalnya: reaksi tranfusi, sengatan serangga, gigitan ular

berbisa.

e. Syok neurogenik, terjadi gangguan perfusi jaringan yang disebabkn karena

disfungsi sistem saraf simpatis sehingga terjadi vasodilatasi. Misalnya :

trauma pada tulang belakang, spinal syok.

(Anderson dan Wilson, 2000).

2. Patogenesis dan Patofisiologi Syok Hipovolemik

Penyebab syok hipovolemik yang paling umum adalah perdarahan mukosa

saluran cerna dan trauma berat. Penyebab perdarahan terselubung adalah antara

lain trauma abdomen dengan ruptur aneurisma aorta, ruptur limpa atau ileus

obstruksi, dan peritonitis. Secara klinis syok hipovolemik ditandai oleh volume

cairan intravaskuler yang berkurang bersama-sama penurunan tekanan vena

sentral, hipotensi arterial, dan peningkatan tahanan vaskular sistemik. Respon

jantung yang umum adalah berupa takikardia, Respon ini dapat minimal pada

orang tua atau karena pengaruh obat-obatan. Gejala yang ditimbulkan bergantung

pada tingkat kegawatan syok.

Page 7: Skenario 2 Traumatologi

Prinsip pengelolaan dasar adalah menghentikan perdarahan dan mengganti

kehilangan volume. Larutan elektrolit isotonik digunakan sebagai terapi cairan

awal. Larutan Ringer Laktat adalah cairan pilihan pertama sedangkan NaCl

fisologis adalah pilihan kedua. Jumlah cairan yang diberikan adalah berdasarkan

hukum 3 untuk 1, yaitu memerlukan sebanyak 300 ml larutan elektrolit untuk 100

ml darah yang hilang. Sebagai contoh, pasien dewasa dengan berat badan 70 kg

dengan derajat perdarahan III membutuhkan jumlah cairan sebanyak 4.410 cairan

kristaloid (Rifki, 2001).

3. Patogenesis dan Patofisiologi Syok Kardiogenik

Patofisiologi yang mendasari syok kardiogenik adalah depresi kontraktilitas

miokard yang mengakibatkan lingkaran setan penurunan curah jantung, tekanan

darah rendah,insufisiensi koroner, dan selanjutnya terjadi penurunan

kontraktilitas dan curah jantung. Syok kardiogenik ditandai dengan gangguan

fungsi ventrikel kiri, yang mengakibatkan gangguan berat pada pefusi jaringan

dan penghantaran oksigen ke jaringan. Yang khas pada syok kardiogenik oleh

infark miokardium akut adalah hilangnya 40% atau lebih jaringan otot pada

ventrikel kiri. Selain dari kehilangan masif jaringan otot ventrikel kiri juga

ditemukan daerah-daerah nekrosis fokal diseluruh ventrikel. Nekrosis fokal

diduga merupakan kibat dari ketidak seimbangan yang terus-menerus antara

kebutuhan dan suplai oksigen miokardium. Pembuluh koroner yang terserang

juga tidak mampu meningkatkan alira darah secara memadai sebagai respon

terhadap peningkatan beban kerja dan kebutuhan oksigen jantung oleh aktivitas

respon kompensatorik seperti perangsangan simpatik. Sebagai akibat dari proses

infark, kontraktilitas ventrikel kiri dan kinerjanya menjadi sangat terganggu

(Brandler, 2010)

Tatalaksana dimulai dengan manajemen ABC. Pada pasien yang sangat

sesak dapat dipertimbangkan intubasi dan ventilasi mekanik. Pemberian

vasopresor intravena baik untuk meningkatkan inortropik dan memaksimalkan

perfusi ke miokardium yang iskemik. Yang perlu diperhatikan, pemberian

vasopresor itu sendiri dapat berakibat peningkatan denyut jantung yang pada

akhirnya akan memperluas infark yang telah terjadi (Brandler, 2010)

4. Patogenesis Syok Septik

Pada umumnya penyebab syok septik adalah infeksi kuman gram negatif

yang berada dalam darah/endotoksin. Jamur dan jenis bakteri juga dapat menjadi

Page 8: Skenario 2 Traumatologi

penyebab septicemia. Syok septik sering diikuti dengan hipovolemia dan

hipotensi. Hal ini dapat disebabkan karena penimbunan cairan disirkulasi mikro,

pembentukan pintasan arteriovenus dan penurunan tahanan vaskuler sistemik,

kebocoran kapiler menyeluruh, depresi fungsi miokardium. Beberapa faktor

predisposisi syok septic adalah trauma, diabetes, leukemia, granulositopenia

berat, penyakit saluran kemih, terapi kortikosteroid jangka panjang,

imunosupresan atau radiasi. Syok septik sering terjadi pada bayi baru lahir, usia

di atas 50 tahun, dan penderita gangguan sistem kekebalan. Pemilihan antibiotik

untuk sepsis biasanya secara empiris dapat digunakan: vankomisin, ceftazidim,

cefepime, ticarcilin, pipercilin, imipenem, meropenem, cefotaxim, klindamisin,

metronidazol (Anderson dan Wilson, 2000).

5. Patogenesis Syok Neurogenik

Syok neurogenik terjadi karena reaksi vasovagal berlebihan yang

mengakibatkan terjadinya vasodilatasi menyeluruh di daerah splangnikus

sehingga aliran darah ke otak berkurang. Reaksi vasovagal umumnya disebabkan

oleh suhu lingkungan yang panas, terkejut, takut, atau nyeri hebat. Pasien merasa

pusing dan biasanya jatuh pingsan. Setelah pasien dibaringkan, umumnya

keadaan berubah menjadi baik kembali secara spontan. Trauma kepaa yang

terisolasi tidak akan menyebabkan syok. Adanya syok pada trauma kepala harus

dicari penyebab yang lain. Trauma pada medulla spinalis akan menyebabkan

hipotensi akibat hilangnya tonus simpatis. Gambaran klasik dari syok neurogenik

adalah hipotensi tanpa takikardi atau vasokonstriksi perifer (Bartholomeusz,

2003; Japardi, 2002).

6. Patogenesis Syok Anafilaksis

Anafilaksis dikelompokkan dalam hipersensitivitas tipe 1 atau Immediate type

reaction. Mekanisme anafilaksis melalui beberapa fase :

a. Fase Sensitisasi, yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE sampai

diikatnya oleh reseptor spesifik pada permukaan mastosit dan basofil.

b. Fase Aktivasi, yaitu waktu selama terjadinya pemaparan ulang dengan antigen

yang sama. Mastosit dan Basofil melepaskan isinya yang berupa granula yang

menimbulkan reaksi pada paparan ulang.

c. Fase Efektor, yaitu waktu terjadinya respon yang kompleks (anafilaksis)

sebagai efek mediator yang dilepas mastosit atau basofil dengan aktivitas

farmakologik pada organ – organ tertentu. Histamin memberikan efek

Page 9: Skenario 2 Traumatologi

bronkokonstriksi, meningkatkan permeabilitas kapiler yang nantinya

menyebabkan edema, sekresi mucus dan vasodilatasi. Serotonin meningkatkan

permeabilitas vaskuler dan bradikinin menyebabkan kontraksi otot polos.

Untuk keseimbangan hemodinamik, sebaiknya ditunjang dengan resusitasi

cairan. Cairan kristaloid seperti NaCl 0,9% atau Ringer Laktat sebaiknya

diberikan per infus secara cepat 250-500 cc bolus dengan pengawasan yang

cermat terhadap tekanan darah, akral, turgor kulit, dan urin output untuk

menilai respon terhadap terapi. Bila tekanan darah dan perfusi perifer tidak

segera pulih, berikan obat-obat vasoaktif (adrenergik; agonis alfa yang indikasi

kontra bila ada perdarahan seperti ruptur lien) (Krausz, 2006).

C. Needle Thoracosentesis

Needle thoracocentesis atau needle decompression adalah jarum atau kateter

yang dimasukkan ke dalam rongga pleura untuk mengeluarkan udara yang

terperangkap dalam rongga pleura, needle thoracocentesis dapat mengubah tension

pneumothorax menjadi pneumothoraks simpel. Dekompresi dilakukan dengan kateter

vena besar (nomer 14) disela iga ke-2 pada garis mid-clavicula, menyusuri tepi atas iga

ke-3. Setelah tekanan rongga pleura kurang lebih sama dengan udara luar

(Pusponegoro, 2007). Indikasi penggunaan Needle Thoracosintesis adalah tension

pneumothorak dan tension hemopnuemothrax ( Carpenito, 2007).

Page 10: Skenario 2 Traumatologi

D. WSD (Water Sealed Drainage)

WSD merupakan tindakan invasive yang dilakukan untuk mengeluarkan udara,

cairan (darah,pus) dari rongga pleura, rongga thorax; dan mediastinum dengan

menggunakan pipa penghubung (Pusponegoro, 2007).

1. Indikasi

a. Pneumothoraks.

b. Hemathoraks.

c. Thorakotomy

d. Emfisema

e. Efusi Pleura

2. Tujuan

a. Mengeluarkan cairan atau darah, udara dari rongga pleura dan rongga

thorak

b. Mengembalikan tekanan negatif pada rongga pleura

c. Mengembangkan kembali paru yang kolaps

d. Mencegah refluks drainage kembali ke dalam rongga dada.

e.

3. Tempat Pemasangan WSD

a. Bagian apeks

1) Anterolateral interkosta

2) Fungsi : untuk mengeluarkan udara dari rongga pleura.

b. Bagian basal

1) Posterolateral interkosta 8 – 9

2) Fungsi : untuk mengeluarkan cairan (darah, pus) dari rongga

pleura

4. Komplikasi Pemasangan WSD

a. Komplikasi primer : perdarahan, edema paru, tension pneumothoraks,

atrial aritmia

b. Komplikasi sekunder : infeksi, emfiema

(Pusponegoro, 2007).

Page 11: Skenario 2 Traumatologi

E. Hemothoraks

Hemothorax adalah kumpulan darah di dalam ruang antara dinding dada dan paru-

paru (rongga pleura). Penyebab paling umum dari hemothorax adalah trauma dada.

Trauma misalnya:

a. Luka tembus paru-paru, jantung, pembuluh darah besar, atau dinding dada

b. Trauma tumpul dada kadang-kadang dapat mengakibatkan lecet

hemothorax oleh pembuluh internal.

Diathesis perdarahan seperti penyakit hemoragik bayi baru lahir atau purpura

Henoch-Schönlein dapat menyebabkan spontan hemotoraks. Adenomatoid

malformasi kongenital kistik: malformasi ini kadang-kadang mengalami komplikasi,

seperti hemothorax (Pusponegoro , 2007).

a. Patofisiologi

Perdarahan ke dalam rongga pleura dapat terjadi, hampir semua gangguan

dari jaringan dinding dada dan pleura atau struktur intratoracic yang fisiologis

terhadap pengembangan hematothorax diwujudkan dalam 2 bidang utama

hemodinamik dan pernapasan . Tingkat respons hemodinamik ditentukan oleh jumlah

dan kecepatan kehilangan darah .Gerakan pernapasan normal mungkin terhambat oleh

ruang efek menduduki akumulasi besar darah dalam rongga pleura . Dalam kasus

trauma , kelainan ventilasi dan oksigen dapat mengakibatkan , terutama jika dikaitkan

dengan cedera pada dinding dada . Dalam beberapa kasus nontraumatic asal usul ,

terutama yang berkaitan dengan pneumotorax dan jumlah terbatas perdarahan , gejala

pernapasan dapat mendominasi (Pusponegoro, 2007).

Page 12: Skenario 2 Traumatologi

b. Etiologi

1. Traumatis

1) Trauma tumpul.

2) Penetrasi Trauma.

2. Non traumatik atau spontan

1) Neoplasia

2) Diskrasia darah, termasuk komplikasi antikoagulasi.

3) Emboli paru dengan infark.

4) Emfisema.

5) Tuberkulosis

6) Paru arteriovenosa fistul

(Hudak, 2009)

F. Hipotermia

Hipotermia adalah suatu kondisi di mana inti suhu turun di bawah yang

diperlukan untuk metabolisme dan fungsi tubuh. Suhu tubuh biasanya dikelola secara

konstan melalui homeostasis biologis atau thermoregulasi.

Tubuh menggigil keras. Koordinasi otot berkurang. Gerakan lambat disertai

dengan pucat dan agak kebingungan, walaupun korban mungkin tampak waspada.

Pembuluh darah superficial vasokonstriksi ,sedang pembulluh darah dalam tubuh

berusaha menjaga agar organ vital tetap hangat. Korban menjadi pucat. Bibir, telinga,

jari tangan dan kaki dapat menjadi biru.

Apabila sudah parah gejala menggigil berhenti. Kesulitan untuk berbicara,

berpikir lamban dan amnesia mulai muncul; ketidakmampuan untuk menggunakan

tangan ini juga biasanya terjadi. Proses metabolisme selular berhenti. Kulit menjadi

biru dan bengkak, koordinasi otot menjadi sangat lemah, berjalan menjadi hampir

mustahil, dan kesadaran korban menurun. Denyut nadi menurun dan respirasi rate

menurun secara signifikan. Organ utama gagal. Klinis kematian terjadi . karena terjadi

penurunan metabolisme selular dalam tahap lanjut hipotermia, tubuh akan

memerlukan waktu yang cukup lama sampai terjadi kematian otak.

Apabila pasien trauma mengalami hipotermia dapat menyebabkan gangguan

pembekuan darah. Hemostasis sukar berlangsung baik pada suhu dibawah 35 C.

Hipotermia pada pasien trauma sering terjadi jika evakuasi pra rumah sakit

berlangsung terlalu lama (bahkan juga di cuaca tropis). Pasien mudah menjadi dingin

Page 13: Skenario 2 Traumatologi

tetapi sukar untuk dihangatkan kembali, karena itu pencegahan hipotermia sangat

penting.

G. Pneumothoraks

Pneumotoraks adalah suatu keadaan terdapatnya udara bebas di dalam ruang

pleura. Menurut etiologinya pneumotoraks dapat terjadi spontan, karena trauma, dan

akibat tindakan medis (Bradley, 1997; Jain et al., 2008 ; Pappachan, 2009).

Pneumotoraks berdasar penyebabnya dibagi menjadi :

1. Pneumotoraks spontan: setiap pneumotoraks yang terjadi tiba-tiba tanpa

adanya suatu penyebab (trauma ataupun iatrogenic), dibagi lagi menjadi 2:

a. Pneumotoraks spontan primer : terjadi tanpa ada riwayat penyakit

paru yang mendasarinya.

b. Pneumotoraks spontan sekunder : terjadi karena penyakit paru yang

mendasarinya.

2. Pneumotoraks traumatic : pneumotoraks yang terjadi akibat suatu trauma,

baik trauma penetrasi maupun bukan, yang menyebabkan robeknya pleura,

dinding dada, maupun paru. Pneumotoraks traumatic tidak harus disertai

dengan fraktur iga maupun luka penetrasi. Trauma tumpul atau kontusio

pada dinding dada dapat menimbulkan pneumotoraks. Berdasar

kejadiannya pneumotoraks traumatic dibagi menjadi 2 :

a. Penumotoraks traumatic bukan iatrogenic : terjadi karena jejas

kecelakaan, baik terbuka maupun tertutup.

b. Pneumotoraks traumatic iatrogenic : pneumotroraks terjadi karena

komplikasi tindakan medis.

Page 14: Skenario 2 Traumatologi

Berdasarkan jenis fistulanya, dibagi menjadi 3 :

1. Penumotoraks tertutup : pneumotoraks dengan tekanan udara di rongga

pleura yang sedikit lebih tinggi disbanding tekanan pleura pada sisi

hemitoraks kontralateral, tetapi lebih rendah dari tekanan atmosfer.

2. Pneumotoraks terbuka : terjadi karena luka terbuka pada dinding dada

sehingga saat inspirasi udara dapat keluar masuk lewat luka tersebut.

3. Tension pneumotoraks : terjadi karena mekanisme check valve yaitu pada

saat inspirasi udara masuk rongga pleura, tetapi saat ekspirasi udara dalam

rongga pleura tidak bias keluar, sehingga semakin lama tekanan dalam

rongga pleura meiningkat mendesak paru dan dapat menyebabkan gagal

napas (Barnawi dan Eko, 2006)

Pneumotoraks mengurangi kapasitas vital paru dan juga menurunkan tekanan

oksigen, yang terjadi karena kebocoran antara alveolus dan rongga pleura sehingga

udara akan berpindah dari alveolus ke rongga pleura hingga tekanan di kedua sisi

sama. Akibatnya, volume paru bekurang dan volume rongga toraks bertambah

(Pappachan, 2009). Pneumotoraks lebih sering terjadi pada anak karena letak pleura

terhadap trakea lebih tinggi sehingga mudah mengalami trauma. Hal ini dapat

mengakibatkan gangguan sirkulasi darah, atau udara masuk ke rongga pleura

(Lindman dan Morgan, 2010). Gejala pneumotoraks tergantung pada jenis dan

luasnya. Pasien biasanya merasa nyeri yang hebat, sesak napas, batuk-batuk.

Pneumotoraks yang kecil dapat tanpa gejala, tetapi ketika tedapat sesak serta nyeri

dan dada yang terkena terasa sempit, harus dipikirkan kemungkinan terjadinya

pneumotoraks desakan (tension pneumothorax) yang berbahaya, karena terjadi

pendorongan vena kava sehingga akan mengakibatkan berkurangnya curah jantung,

diikuti gejala hipoksia dan asidosis metabolic (Jain et al., 2008).

Penatalaksanaannya tergantung pada berapa luas pneumotoraks yang terjadi.

Jika sedikit, cukup diobservasi namun jika luas perlu dilakukan drainase tertutup

dengan pemasangan pipa salir.

Page 15: Skenario 2 Traumatologi

Prinsip penatalaksanaan pneumotoraks yaitu

1. Pemberian oksigen

2. Mengatasi penyebabnya dengan mengeluarkan udara yang

terperangkap.

3. Menjaga jalan nafas tetap aman.

4. Memberi ventilasi yang adekuat.

(Jain et al., 2009).

H. Hematuria

Hematuria adalah suatu terminology medik yang menjelaskan adanya darah dalam

saluran kemih, pada umumnya dikategorikan baik gross maupun mikroskopik. Untuk

mikroskopik hematuria dikatakan apabila didapatkan lebih dari 3 sampai 5 sel darah

merah/lapang pandang. Gross hematuria bisa disertai dengan clot/bekuan darah dimana

dapat berasal dari perdarahan di ureter/ginjal, buli-buli dan prostat. Diagnose pada saat

awal adalah dengan memastikan adanya sel darah merah pada urine. Hal ini penting oleh

karena karena merah pada urine bisa disebabkan oleh :

a. Erythrocyturia

b. Hemoglobinuria

c. Myoglobinuria

d. Pigmen makanan

e. Zat pewarna makanan

f. Obat – obatan (Phenothiazine, Phenazopyridin, Porphyrin,

Phenolphtalein)

g. Obat-obatan : Phenothiazine, Phenazopyridin, Porphyrin,

Phenolphtalein

Sedangkan beberapa penyebab hematuria adalah :

a. Glomerular Glomerulonephritis akut

b. Renal

c. Penyakit polikistik ginjal Nekrosis papillar Inflamasi dan infeksi

Malformasi vaskular

d. Urologik

e. Neoplasma Batu

f. BPH

Page 16: Skenario 2 Traumatologi

g. Striktur uretra Endometriosis Divertikulitis, apendisitis Aneurisma

aorta abdominalis Benda asing

h. Hematologik- Koagulopati kongenital dan didapat Antikoagulasi

teraputik Penyakit Sickle cell

i. Factitious

j. Perdarahan vaginal

k. Pseudo hematuria Pigmen makanan Metabolit obat

Hematuria yang tidak diketahui penyebabnya. 20% dari penderita tidak

diketahui penyebabnya meskipun telah dilakukan pemeriksaan urologi lebih lanjut.

Beberapa cara follow-up penderita harus diberitahu perlu follow-up lebih lanjut

cytoscopy, bila kemudian timbul gross hematuria anamnesa riwayat penggunaan obat

sebelumnya (Aspirin & NSAID dapat menyebabkan koagulopati) pada hematuria

mikroskopik yang persisten harus dievaluasi dengan urinalysis dan tes sitologi urine tiap

6 bulan. Tiap 1 tahun diperiksa tekanan darah dan fungsi ginjal.Diagnosis hematuria

mikroskopik bermakna ditegakkan apabila paling sedikit dalam 3 kali pemeriksaan

urinalisis dalam kurun waktu 2-3 minggu menunjukkan adanya 5 atau lebih sel darah

merah per lapang pandang besar (Noer, 2005).

Page 17: Skenario 2 Traumatologi

Wanita, 25 tahun

Trauma, bertabrakan dengan sepeda motor jatuh, dada terbentur stang

Pingsan (-), sesak napas, nyeri dada dan perut sebelah kanan

4 jam di Puskesmas

Rujuk ke puskesmas

RR : 44 x/menit, nadi : 116 x/menit, regular, lemah, akral dingin, TD ; 90/50 mmHg

Primary Survey

Adjunct Primary Survey

Secondary Survey

Rujuk ke Bedah Thorax, Bedah Digestif, Bedah Urologi)

I. Peta Konsep

Page 18: Skenario 2 Traumatologi

PEMBAHASAN

Seorang wanita 25 tahun, kurang lebih 4 jam sebelum masuk rumah sakit ,os

mengendarai sepada motor dan bertabrakan dengan sepeda motor lain dari arah berlawanan,

os terjatuh dengan dada terbentur stang. Tidak ada riwayat pingsan, muntah (-). Os mengeluh

sesak nafas yang memberat disertai nyeri dada kanan dan perut sebelah kanan. Os dibawa ke

puskesmas kemudian dirujuk ke rumah sakit. Vital sign, RR: 44x/mnt, nadi: 116x/mnt,

regular, lemah. Akral dingin. TD 90/50 mmHg.

Waktu kurang lebih 4 jam disini menunjukkan distribusi kematian trimodal

penanganan pada pasien trauma yaitu pada puncak periode kedua yang harus segera

memerlukan penilaian dan tindakan resusitasi yang cepat harus dilakukan pada jam-jam

pertama penanggulangan yang merupakan prinsip penanggulangan pada kasus trauma. Tidak

adanya riwayat pingsan dan muntah berarti pasien tidak mengalami trauma pada kepala yang

menyebabkan peningkatan tekanan intra kranial ataupun trauma pada abdomen yang

mengenai gaster pasien sehingga bisa menyebabkan muntah. Pemeriksaan vital sign pada

pasien menunjukkan bahwa pasien mengalami syok setelah kecelakaan.

Pada primary survey, jalan napas bebas sehingga pasien bisa bernapas bebas, namun

dokter perlu memberikan oksigen 10-12 lt/menit dengan masker. Hal ini bertujuan agar

pasien mendapat bantuan perfusi sehubungan dengan syok yang dialaminya. Pemasangan

collar brace disini dilakukan dengan tujuan melakukan imobilisasi pada leher pasien sebagai

tindakan preventif agar tidak terjadi fraktur cervical yang parah.

Pada pemeriksaan breathing, terdapat peningkatan JVP (jugular venius pressure),

trachea bergeser ke kanan, RRnya 44x/mnt serta tampak sianotik. Jika airway tidak ada

masalah maka masalah breathing ini dipastikan karena ada gangguan dari paru ataupun organ

dalam.

Pada pemeriksaan paru didapatkan jejas di hemithorak dextra depan, akibat trauma,

maka jejas ini nantinya akan mengganggu pernapasan pasien. Terbukti dengan

pengembangan dada yang tertinggal, retraksi suprasternal. Kemudian berdasarkan perkusi

yang hipersonor menunjukkan bahwa paru terisi dengan udara yang banyak karena normal

perkusi paru adalah sonor. Pada auskultasi suara dasar vesikel dextra menghilang. Pada

pasien ini, hipotesa adalah tension peumothoraks akibat adanya jejas dada kanan depan akibat

tebentur stang sepeda motor.

Page 19: Skenario 2 Traumatologi

Tension pneumothoraks menyebabkan cavum pleura terisi udara, akibatnya adalah

jejas tadi mengenai pleura sehingga ada jalan udara masuk ke dalam cavum pleura,

menyebabkan parunya kolaps dan mengecil. Masuknya udara yang cukup banyak ini akan

menggeser letak jantung dan trachea ke sisi yang kontralateral. Pada pemeriksaan jantung,

suara jantung normal sedangkan letaknya bergeser ka kanan. Hal inilah yang menyebabkan

keterlambatan pengembalian darah ke jantung sehingga menyebabkan distensi pada vena

jugularis dan pasien kekurangan suplai darah bersih di jaringan yang ditunjukkan dengan

sianotik. Kemudian dokter melakukan needle thoracocentesis untuk mengeluarkan akumulasi

udara dari cavum pleura dan setelah itu dilanjutkan pemasangan water sealed drainage untuk

mengalirkan udara atau cairan dari cavum pleura pasien.

Setelah dilakukan breathing dilakukan pengukuran vital sign ulang dan didapatkan tekanan

darah 110/70 mmHg, nadi 90 kali/menit, dan akral hangat. Pada pemeriksaan sebelumnya,

didapatkan tekanan darah 90/50 mmHg, nadi 116 kali/menit, dan akral dingin. Dari hasil

tersebut, dapat dilihat adanya perbaikan kondisi vital sign pasien, pasien yang awalnya syok

menjadi lebih stabil. Kondisi pasien membaik setelah dilakukan tindakan needle

thoracoscentesis yang dilanjutkan dengan pemasangan chest tube/water sailed drainage

(WSD). Tindakan tersebut dilakukan atas indikasi tension pneumothorax yang menyebabkan

kolapsnya paru-paru dan tertekannya jatung yang menyebabkan sirkulasi terganggu.

Pemasangan infus diberikan cairan Ringer Laktat dengan jumlah tetesan maintenance 20-

30mEq/kgBB, untuk menjaga homeostasis pasien sebagai pengganti cairan yang hilang

melalui pernafasan, kulit, urin dan tinja ( Normal Water Losses = NWL). Dilakukan

pemasangan kateter untuk monitoring produksi urin initial pada pasien. Urin initial berwarna

kemerahan yang mengindikasikan adanya makrohematuria pada pasien sehingga perlu

dibuktikan dengan urinalisis untuk mengetahui jumlah eritrosit / mm3 dalam urin. Adanya

darah dalam urin menunjukkan terjadinya keadaan patologis akibat trauma pada organ

urogenital pasien. Pada pemeriksaan disability, didapatkan pupil bulat, isokor, refleks cahaya

+/+ , GCS 15 yang menunjukkan kondisi kesadaran pasien tidak terganggu dan

menyingkirkan kecurigaan adanya trauma pada kepala. Pada pemeriksaan

environment/exposure semua pakaian pasien dibuka agar dapat dinilai kelainan yang

mungkin terlewat pada saat inspeksi keadaan umum pasien pertama kali. Dinilai adanya

kelainan yang sifatnya life threatening. Setelah itu, pasien diselimuti untuk mencegah

hipotermia. Hipotermia terjadi jika tubuh tidak dapat mempertahankan keadaan homeostasis

suhu, yaitu kurang dari 36ο C , dan hipotermia berat yaitu kurang dari 32ο C.

Page 20: Skenario 2 Traumatologi

Pada Adjunct Primary Survay dilakukan pemeriksaan foto rontgen Cervikal lateral

untuk menyingkirkan kecurigaan cidera cervical, Thorax AP untuk mengetahui ada atau tidak

trauma tulang belakang, dan keadaan cavum thorax, dan Pelvis AP. Foto Pelvis dan cervical

dalam batas normal, namun didapatkan hemothorax dextra pada foto rontgen thorax AP.

Hemothorax dapat disebabkan karena trauma pada saat kecelakaan atau trauma pada saat

tindakan needle thoracocentesis dan pemasangan chest tube.

Pada adjunct primary survay dilakukan pemeriksaan foto rontgen cervical lateral,torax

anteroposterior dan pelvis anteroposterior. Pemeriksaan foto rongen tesebut merupakan

pemeriksaan yang harus dilakukan pada pasien emergensi trauma. Pada foto rontgen thoraks

anteroposterior didapatkan hematothoraks kanan. Hematothoraks adalah pengumpulan darah

dalam ruang potensial antara pleura viseral dan parietal. Hemetothoraks pada sekenario ini

ditandai dengan adanya sesak nafas, pengembangan dinding dada kanan yang tertinggal dan

suara dasar vesikuler dada kanan hilang. Sementara itu pada foto rontgen hematothoraks

ditunjukkan dengan adanya bayangan difus radio- opak pada lapangan paru. Foto rontgen

pelvis dan cervial dalam batas normal menunjukkan tidak ada kelainan pada rongga pelvis

dan bagian leher.

Pada secondary survey dilakukan head to toe examination yaitu pemeriksaan yang

dilakukan dari kepala sampai kaki untuk melihat adanya kelainan. Pada pemeriksaan

abdomen didapatkan jejas di abdomen kanan atas disertai nyeri tekan tanpa rangsang

peritoneal (bising usus dalam batas normal). Jejas pada abdomen kakan atas dapat

menunjukkan adanya kelainan pada organ yang terdapat pada regio di kanan atas abdomen

yaitu sebagian liver, kandung empedu, caput pankreas, hepatik flexure colon dan sebagian

duodenum. Jejas pada daerah tersebut dapat menunjukkan atau mengakibatkan kelainan pada

organ organ tersebut. Tidak terdapat defens muskuler menujukkan tidak ada rangasangan

peritoneum parietal seperti infeksi dan inflamasi. Bising usus yang normal menunjukkan

tidak terdapat kelainan pada saluran pencernaan bagian bawah. Pelvis tidak ada kelainan

menujukkan tidak ada kelainan pada regio pelvis. Dilakukan log roll, tidak didapatkan jejas

di flank kanan maupun kiri. Log roll adalah tehnik yang digunakan untuk memiringkan

pasien untuk melihat bagian belakang dan samping tubuh pasien dengan menjaga kesegarisan

tulang belakang yang biasanya dilakukan bersama- sama oleh beberapa orang. Kemudian

didapatkan flank dalam batas normal yang menunjukkan tidak ada kelainan pada ginjal

pasien. Flang adalah daerah yang terletak diantara tulang rusuk dan pinggul bagian belakang

dimana pada daerah itu dapat terlihat adanya kelainan seperti pembesaran pada ginjal.

Page 21: Skenario 2 Traumatologi

Ekstremitas dalam batas mormal menunjukkan tidak ada kelainan pada bagian alat

gerak tanggan dan kaki. Hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan hasil Hb 10,9 g/dl. Hb

10,9 g/dl menunjukkan adanya penurunan kadar hemoglobin dalam darah yang normalnya

12- 16 g/dl yang dapat disebabkan karena perdarahan, kurang gizi, gangguan sumsum tulang,

pengobatan kemoterapi dan abnormalitas hemoglobin bawaan. Pada kasus ini etiologi yang

paling mungkin adalah perdarahan yang terjadi akibat trauma. Trombosit 159.000

menunjukkan kadar yang normal yaitu berkisar antara 150.000 – 450.000. Urinalisis

menunjukkan adanya eritrosit dalam urin 30- 40/mm3. Urinalisis adalah tes yang dilakukan

pada sampel urin pasien untuk tujuan diagnosis infeksi saluran kemih, batu ginjal, skrining

dan evaluasi berbagai jenis penyakit ginjal, memantau perkembangan penyakit seperti

diabetes melitus dan tekanan darah tinggi (hipertensi), dan skrining terhadap status kesehatan

umum. Eritrosit dalam urin dikatakan normal bila berjumlah 0- 1 per lapang pandang besar.

Pasien ini dapat dikategorikan sebagai pasien hematuria. Hematuria dapat disebabkan karena

kanker, trauma, batu, infeksi, dan obstruksi. Kemungkinan pada kasus ini pasien mengalami

trauma sehingga menyebabkan kelainan pada ureter karena ginjal dan organ bagian pelvis

dalam batas normal. Untuk mengetahui lebih lanjut penyebab hematuri ini perlu pemeriksaan

lebih lanjut yaitu berupa computed tomography (CT) scan dari perut dan pelvis, cystoscopy,

dan urine cytology.

CT scan adalah evaluasi pencitraan dari sistim urinary. Sebelum prosedur, pasien

meminum agen kontras oral atau disuntikan secara intravena. Tes lain yang dapat dilakukan

intravenous pyelogram (IVP). CT scan lebih umum dilakukan daripada IVP untuk

mengevaluasi sistim urinari dan harus dipertimbangkan sebagai tes pilihan. Kedua

pemeriksaan ini bermanfaat untuk mengevaluasi ginjal-ginjal dan ureter namun tidak untuk

kantong kemih, prostat, atau uretra. Oleh karenanya, pemeriksaan kedua yang disebut

cystoscopy perlu dilakukan. Tes terakhir adalah sitologi urin. Seluruh pemeriksaan tersebut

dapat dilakukan serta di analisis oleh dokter spesialis dibidangnya oleh karena itu pasien

dirujuk ke rumah sakit rujukan daerah yang dapat memuat bedah thoraks, bedah digestif dan

bedah urologi. Pasien dirujuk karena mungkin fasilitas yang kurang memadai di rumah sakit

tersebut sehingga perlu rumah sakit yang lebih lengkap baik tenaga medis maupun sarananya.

Page 22: Skenario 2 Traumatologi

BAB III

SIMPULAN DAN SARAN

A.    SIMPULAN

1. Belum dapat diketahui penyebab pasien hematouria

2. Perlunya observasi lebih lanjut untuk menentukan keadaan pasien secara pasti.

3. Pasien mengalami tension pneumothorax

4. Tindakan dokter umum dalam skenario sudah tepat dalam mengatasi pasien trauma

B. SARAN

Selama diskusi tutorial mahasiswa aktif dalam membahas keseluruhan materi namun

ada beberapa yang belum dikupas tuntas untuk skenario ini hal tersebut bukanlah kendala

yang cukup berarti, hanya memerlukan sumber sumber yang lebih terbaru dan

mempersiapkan materi secara matang.

Page 23: Skenario 2 Traumatologi

DAFTAR PUSTAKA

Anderson SP, Wilson LM. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit jilid 1, edisi 4. 2000. Jakarta: EGC.

Barnawi H dan Eko B (2006). Pneumotoraks spontan. Dalam Sudoyo AW, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.

Bartholomeusz L(2003). Safe Anaesthesia. Hal 408-413

Bradley PJ (1997).Management of the obstructed airway and tracheostomy. In: Kerr AG, editor. Scott-Brown’s Otolaryngology,6th ed. London: Butterworth; p.5/7/7-14

Brandler ES (2010). Cardiogenic shock in emergency medicine http://emedicine.medscape.com/article/759992-treatment. Diakses Mei 2012

Carpenito LJ (2007). Diagnosa Keperawatan. Jakarta : EGC.

Doegoes LM (2009). Perencanaan Keperawatan dan Dokumentasian Keperawatan.

Jakarta : EGC.

Dorland, WAN. (2002) . Kamus Kedokteran, EGC, Jakarta.

Hudak CM (2009). Keperawatan Kritis. Jakarta : EGC.

Japardi I (2002). Manifestasi Neurologik Shock Sepsis. http://library.usu.ac.id/download/fk/bedah-iskandar%20japardi20.pdf Diakses Mei 2012.

Jain DG, Gosavi SN, Jain DD (2008). Understanding and Managing Tension Pneumothorax. JIACM ;9(1): 42-50

Khan AN .(2008). Thorax and Trauma http://emedicine.medscape.com/article/357007-overview. Dikutip tanggal 16 Juli 2011.

Krausz (2006). Initial Resuscitation Of Hemorrhagic Shock. World Jurnal of Emergency Surgery. Hal: 1-14

Lindman JP, Morgan CE (2010). Tracheostomy. Cited Jun 7 2010. Available from:http://emedicine.medscape.com/article/865068-overview. Diakses Mei 2012.

Noer MS (2005). Hematuria. Divisi Nefrologi Bagan Ilmu Kesehatan Anak FK Unair RSU Dr. Soetomo Surabaya.

Pappachan B. (2009).Acute airway distress secondary to iatrogenic injury during Tracheostomy. J Maxillofac Oral Surg,; 8(1):91–93

Page 24: Skenario 2 Traumatologi

Pusponegoro AD (2007) . Ilmu Bedah. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Rifki. Syok dan penanggulangannya. FKUA. Padang.2001. Hal 21-31

Sjamsuhidajat R, Jong WD (2004). Buku Ajar Ilmu Bedah, edisi 2. EGC Jakarta.