skenario 3 irham

21
TUTORIAL LEARNING OBJECTIVE “INFEKSI DI RUMAH SAKIT DISUSUN OLEH : NamaMahasiswa : IRHAM Stambuk : G 501 10 041 Kelompok : 4 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITASTADULAKO

Upload: tiara-juraid

Post on 02-Oct-2015

219 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

LO

TRANSCRIPT

TUTORIAL

LEARNING OBJECTIVEINFEKSI DI RUMAH SAKIT

DISUSUN OLEH :

NamaMahasiswa: IRHAMStambuk: G 501 10 041Kelompok: 4

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTERFAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITASTADULAKOPALU2014

SKENARIO 2INFEKSI DI RUMAH SAKITSeorang pria, 65 tahun MRS dengan keluhan tidak bisa berkemih dialami setelah 2 minggu perawatan di Rumah Sakit Sehat Selalu, pasien mengeluh dengan nyri suprapubik yang disertai dengan demam tinggi 39,8 derajat celsius.Sejak pertama, sampai dengan sekarang kateter pasien belum diganti. Pemeriksaan penunjang urin rutin diperoleh hasil tidak ditemukan adanya batu, dan atau keganasan di daerah organ saluran kemih. Untuk memastikan diagnosis, dokter menyarankan untuk melakukan kultur urin porsi awal, porsi tengah dan porsi akhir termasuk uji sensitivitas antibiotik dalam rangka pemberian terapi.STEP 1 (mengidentifikasi kata-kata sulit)STEP 21. Faktor yang mempengaruhi terjadinya infeksi nosokomial di RS2. Bagaimana dampak infeksi nosokomial 3. Jenis-jenis bakteri yang paling sering menyebabkan infeksi nosokomial4. Bagaimana aturan pemasangan kateter dan penangnan komplikasinya5. Cara penanggulangan/pencegahan kasus diskenario6. Kriteria infeksi nosokomial7. Macam-macam penyakit akibat infeksi nosokomial8. Cara pemilihan antibiotik (uji sensitivitas antibiotik)9. Tujuan dilakukannya kultur urin porsi awal, tengah dan akhir10. Komplikasi pemasangan kateter selain infeksi11. Lokasi di RS yang paling sering terjadi infeksi nosokomial12. Proses terjadinya infeksi nosokomial13. Penanganan ISK : resep dan alasan pemberian obatSTEP 3 DAN 41. 3 faktor yang mempengaruhi terjadinya infeksi nosokomial di RS :a. Perkembangan/pertumbuhan bakterib. Host : imun host yang melemahc. Rantai penularan, meliputi tenaga medis, alat-alat dan kebersihan RSFaktor-faktor lain sepertia. Faktor endogen : berasal dari pasen seperti umur, jenis kelamin dan status imunb. Faktor eksogen : lama rawat inap, alat medis yang tidak steril, tenaga medis, lingkungan (air, udara), penularan dari pasien lain, atau keluarga yang berkunjung. Resistensi antibiotik krena dosis yan tidak optimal atau diagnosis salah sehingga terbentuk strain yang resisten. Penularan cross infection yaitu penularan dari satu pasien ke pasien lainnya (lewat makanan atau alat). Ruangan yang tidak steril (bangsal) dan tempat tidur yang tidak steril.

6. Kriteria infeksi nosokomiala. Pasien saat dirawat, tidak ditemukan gejala infeksib. Infeksi didapatkan minimal 72 jam setelah dirawat di RSc. Infeksi didapatkan setelah pasien pulang dari RS, dapat dibuktikan di RS tersebutd. Infeksi didapatkan jika masa perawatan lebih lama dari masa inkubasi bakteri.

3. Jenis bakteri :Menurut WHOa. Mikroorganisme konvensional : tidak ada kekebalan spesifik terhadap mikroorganisme tersebut. Misalnya Pseudomonas sp.b. Mikroorganisme kondisional : ada faktor predisposisi karena imun yang turun. Misalnya Pseudomonas sp., S.epidermidis, klebsiella sp.c. Mikroorganisme oportunistik : menurunnya sistem imun misalnya mycobacterium atipic non tuberculosis.Bakteri lain : E.coli, S.aureus, S. pseudomonas, Shigella sp.7. Macam-macam infeksi nosokomial :a. ISK akibat pemasangan kateter yang tidak baik (lama atau tidak aseptik)b. Infeksi luka operasi, karena infeksi luka operasi c. Pneumonia nosokomial, akibat penggunaan alat seperti intubasi dan ventilatord. Bakterimia nosokomial, akibat adanya kontaminasi mikroorganisme akibat pemasangan kateter iv dan intubasi.

2. Dampak infeksi nosokomiala. Cacat fungsionalb. Stres emosional c. Cacat permanend. Kematiane. Biaya perawatan meningkat

5. Pencegahan infeksi nosokomial a. Sterilisasib. Tepat menggunakan antibiotikc. Meminimalkan tindakan masifd. Meminimalkan pemberian imunosupresie. Membentuk komite yan menangani infeksi nosokomialf. Monitoring tindakan invasif dan antibiotikg. Pada ISK : Pemasangan kateter yang steril,alat dan pemasang yang aseptik, mengosongkan urin bag sesering mungkin, membersihkan penutup urin bag, menjaga area perineal tetap steril dan bersih.h. ILO : aseptik prosedur, sistem ventilasi yang sesuai di ruang operasi (mencegah penularan patogen dari udara)

11. Lokasi tersering terjadi infeksi nosokomial di RSa. ICU : banyak alat alat invasifb. Ruang bayi : sistem imun anak belum optimalc. UGD : rentan mengalami infeksi nosokomial

12. Proses terjadinya infeksi nosokomial Infeksi nosokomial disebabkan oleh virus, jamur atau bakteri, penularannya dibagi 2 yaitu :a. Cross infection : penularan dari pasien 1 ke pasien lainnyab. Endogen : karena sistem imun host menurun (terdapat kriteria infeksi nosokomial) dengan tanda infeksi / gejala infeki muncul minimal 3 kali dalam 24 jam dan bukan sisa dari infeki yang lain.

9. Tujuan pemeriksaan kultur urin adalah untuk mengetahui lokasi infeksi dan mikroorganisme penyebab ISK.a. Urin porsi awal : dari uretrab. Urin porsi tengah : dari prostatc. Urin porsi akhir : dari vesika urinaria.

10. Komplikasi : ruptur uretra

8. Uji sensitivitas dengan tehnik khusus dan mengukur luas zona yang terbentuk.a. Zona luasb. Zona sedangc. Zona kecil LEARNING OBJEKTIF 1. Bagaimana aturan penggunaan kateter dan penanganan komplikasi2. Penanganan ISK : penulisan resep dan alasan pemilihan obat3. Apakah ulkus dekubitus termasuk infeksi nosokomial4. Mengapa ada beberapa jenis bakteri yang dapat berkembang cepat di RSLEARNING OBJECTIVE1. Bagaimana aturan penggunaan kateter dan penanganan komplikasi?Jawab :Adapun tindakan perawatan yang harus dilakukan yaitu sebagai berikut: a) Tindakan mencuci tangan mutlak harus dilakukan ketika beralih dari pasien yang satu ke pasien lainnya saat memberikan perawatan dan saat sebelum serta sesudah menangani setiap bagian dari kateter atau sistem drainase untuk mengurangi penularan infeksi. Teknik mencuci tangan harus dilakukan dengan benar. Saanin (2000), menegaskan bahwa teknik aseptik harus dipertahankan terutama saat perawatan kateter untuk mencegah kontaminasi dengan mikroorganisme. b) Perawatan perineum harus sering diberikan yaitu mencuci daerah perineum dengan sabun dan air dua kali sehari atau sesuai kebutuhan klien dan setelah defekasi. Sabun dan air efektif mengurangi jumlah mikroorganisme sehingga dapat mencegah kontamisasi terhadap uretra. c) Kateter urin harus dicuci dengan sabun dan air paling sedikit dua kali sehari; gerakan yang membuat kateter bergeser maju-mundur harus dihindari untuk mencegah iritasi pada kandung kemih ataupun orifisium internal uretra yang dapat menimbulkan jalur masuknya kuman ke dalam kandung kemih. Kateter memberikan jalan bakteri untuk memasuki kandung kemih ke saluran perkemihan. d) Cegah pengumpulan urine dalam selang dengan menghindari berlipat atau tertekuknya selang, terbentang di atas tempat tidur. Hindari memposisikan klien di atas selang. Monitor adanya bekuan darah atau sedimen yang dapat menyumbat selang penampung. Urin di dalam kantung drainase merupakan tempat yang sangat baik untuk pertumbuhan bakteri. Bakteri dapat berjalan menaiki selang drainase untuk berkembang di tempat berkumpulnya urin. Apabila urin ini kembali mengalir ke dalam kandung kemih klien, kemungkinan akan terjadi infeksi. e) Cegah refluks urin ke dalam kandung kemih dengan mempertahankan kantung drainase lebih rendah dari ketinggian kandung kemih klien. Untuk itu kantung digantungkan pada kerangka tempat tidur tanpa menyentuh lantai. Jangan pernah menggantung kantung drainase di pengaman tempat tidur karena kantung tersebut dapat dinaikkan tanpa sengaja sampai ketinggiannya melebihi kandung kemih. Apabila perlu meninggikan kantung selama memindahkan klien ke tempat tidur atau ke sebuah kursi roda, mula-mula klem selang atau kosongkan isi selang ke dalam kantung drainase. Jika klien hendak berjalan, perawat atau klien harus membawa kantung urine di bawah pinggang klien. Sebelum melakukan latihan atau ambulasi, keluarkan semua urine dalam selang ke dalam kantung drainase. f) Kantung penampung tidak boleh menyentuh lantai. Kantong dan selang drainase harus segera diganti jika terjadi kontaminasi, aliran urin tersumbat atau tempat persambungan selang dengan kateter mulai bocor, hal ini untuk mencegah berkembangnya bakteri. g) Kantong urin harus dikosongkan sekurang-kurangnya setiap delapan jam melalui katup (klep) drainase. Klep terletak di bagian dasar kantung yang merupakan alat untuk mengosongkan mengosongkan kantung urine. Apabila tercatat bahwa haluaran urine banyak, kosongkan kantung dengan lebih sering untuk mengurangi risiko proliferasi bakteri. Pengosongan kandung kemih secara periodik akan membersihkan urin residu (media kultur yang sangat baik untuk perkembangan bakteri) dan dapat melancarkan suplai darah ke dinding kandung kemih sehingga tingkat infeksi dapat berkurang. h) Mengosongkan kantung penampung ke dalam takaran urin untuk klien tersebut, takaran harus dibersihkan dengan teratur agar tidak terjadi kontaminasi pada sistem drainase. Pastikan bahwa setiap klien memiliki wadah terpisah untuk mengukur urin guna mencegah kontaminasi silang. i) Jangan melepaskan sambungan kateter, kecuali bila akan dibilas untuk mencegah masuknya bakteri. Perhatian harus diberikan untuk memastikan bahwa selang drainase tidak terkontaminasi. Apabila sambungan selang drainase terputus, jangan menyentuh bagian ujung kateter atau selang. Bersihkan ujung selang dengan larutan desinfektan sebelum menyambungnya kembali. j) Kateter urin tidak boleh dilepas dari selang untuk mengambil sampel urin; mengirigasi kateter; memindahkan atau mengubah posisi pasien untuk mencegah kontaminasi bakteri dari luar. k) Mengambil urin untuk pemeriksaan harus menggunakan teknik aseptik yaitu ditusuk dengan jarum suntik, bagian yang akan ditusuk harus dibersihkan dulu dengan alkohol atau providone-iodine.l) Kateter tidak boleh terpasang lebih lama dari yang diperlukan. Jika kateter harus dibiarkan selama beberapa hari atau beberapa minggu maka kateter tersebut harus diganti secara periodik sekitar semingu sekali. Semakin jarang kateter diganti, risiko infeksi semakin tinggi.

2. Penanganan ISK, resep dan alasan pemberian obat?Jawab :Terapi empirik yaitu terapi yang dimulai pada anggapan infeksi yang berdasarkan pengalaman luas dengan situasi klinik yang sama dibandingkan informasi spesifik tentang penyakit pasien. Prinsip dasar terapi empirik adalah bahwa pengobatan infeksi sebaiknya dilakukan sedini mungkin. Penundaan pemberian antibiotik sampai mendapatkan hasil kultur bakteri dan tes kepekaan bakteri terhadap antibiotik (biasanya 1-3 hari) dapat menyebabkan pasien mengalami penyakit yang serius ataukematian,terutama pada infeksi berat seringkali harus segera diberikan terapi antibiotik sementara sebelum diperoleh hasil pemeriksaan mikrobiologik. Pemilihan ini didasarkan pada pengalaman empiris yang rasional berdasarkan perkiraan etiologi yang paling mungkin serta antibiotik terbaik untuk infeksi tersebut (educated guess). Selain itu pemilihan antibiotik berdasarkan educated guess dapat dilakukan bila pemeriksaan mikrobiologik tidak dapat dikerjakan dengan alasan tertentu.Terapi empirik ISK berdasarkan educated guess antara lain untuk sistitis akut pilihan antibiotik yang dapat digunakan adalah ampisilin,trimetoprim, kotrimoksazol,fluorokuinolon. Untuk pielonefritis akut pilihan antibiotik yang dapat digunakan yaitu kotrimoksazol, sefalosporin generasi ketiga, aminoglikosida, fluorokuinolon,1,18 aztreonam, amoksisilin-kalium klavulanat.1 Untuk prostatitis akut dapat digunakan antibiotik kotrimokazol, fluorokuinolon, aminoglikosida + ampisilin parenteral. Untuk prostatitis kronis dapat digunakan kotrimoksazol, fluorokuinolon, trimetoprim.

Trimetoprim cukup efektif untuk pengobatan ISK. Dosis dewasa yang umum digunakan ialah tablet 100 mg tiap 12 jam. Trimetoprim juga ditemukan dalam kadar terapi pada sekret prostat dan efektif untuk pengobatan infeksi prostat.Kotrimoksazol (trimetoprim-sulfametoksazol) tampaknya merupakan obat pilihan untuk ISK dengan komplikasi, dan juga untuk prostatitis. Dosis yang digunakan untuk dewasa yaitu 2 tablet biasa (trimetoprim 80 mg + sulfametoksazol 400 mg) tiap 12 jamatau 1 tablet forte (trimetoprim 160 mg + sulfametoksazol 800 mg) tiap 12 jam dapat efektif pada infeksi berulang pada saluran kemih bagian atas atau bawah serta efektif untuk prostatitis. Dua tablet per hari mungkin cukup untuk menekan dalam waktu lama ISK yang kronik, dan separuh tablet biasa 3 kali seminggu untuk berbulan-bulan dapat berlaku sebagai pencegahan ISK yang berulang-ulang pada beberapa wanita. Untuk pemberian intravena tersedia sediaan infus yang mengandung 80 mg trimetoprim dan 400 mg sulfametoksazol per 5 ml, dilarutkan dalam 125 ml dekstrosa 5% dalam air, dapat diberikan dalam infus selama 60-90 menit. Hal ini diindikasikan untuk ISK bila pasien tidak dapat menerima obat melalui mulut. Orang dewasa dapat diberikan 6-12 ampul 5 ml dalam 3 atau 4 dosis terbagi per hari. Pada pasien dengan gagal ginjal, diberikan dosis biasa bila klirens kreatinin > 30 ml/menit, bila klirens kreatinin 15-30 ml/menit dosis 2 tablet diberikan setiap 24 jam, dan bila klirens kreatinin < 15 ml/menit obat ini tidak boleh diberikan.Ampisilin bermanfaat pada infeksi kuman Gram negatif yang sensitif terhadap obat ini, misalnya infeksi saluran kemih oleh E. coli dan P. mirabilis, serta infeksi oleh H. vaginalis. Dosis ampisilin tergantung dari beratnya penyakit, fungsi ginjal dan umur pasien. Untuk dewasa dengan penyakit ringan sampai sedang diberikan 2-4 g sehari, dibagi untuk 4 kali pemberian, sedangkan untuk penyakit berat sebaiknya diberikan preparat parenteral sebanyak 4-8 g sehari.20Sefalosporin generasi ketiga tunggal atau dalam kombinasi dengan aminoglikosida merupakan obat pilihan utama untuk infeksi berat oleh Klebsiella, Enterobacter, Proteus, Providencia, Serratia, dan Haemophilus spp. Sefiksim adalah suatu sefalosporin generasi ketiga yang dapat diberikan secara oral. Spektrum antibakteri sefiksim menyerupai spektrum sefotaksim (sangat aktif terhadap berbagai kuman Gram positif maupun Gram negative aerobik), tetapi sefiksim tidak aktif terhadap S. aureus, enterokokus (E. faecalis), pneumokokus yang resisten penisilin, pseudomonas, Acinetobacter. Sefiksim digunakan untuk terapi infeksi saluran kemih oleh kuman yang sensitif. Dosis oral untuk dewasa atau anak dengan berat badan > 50 kg ialah 200-400 mg sehari dalam 1-2 dosis (400 mg 2 kali sehari). Untuk anak dengan berat badan > 50 kg diberikan suspensi dengan dosis 8 mg/kg sehari. Sefiksim tersedia dalam bentuk tablet 200 dan 400 mg, suspensi oral 100 mg/5ml.Aztreonam merupakan derivat monobaktam (suatu senyawa beta laktam monosiklik) yang terbukti bermanfaat secara klinis. Aztreonam tunggal maupun dalam kombinasi dengan antibiotik lain efektif untuk mengatasi infeksi berat oleh kuman Gram negatif aerobik, salah satu indikasinya yaitu untuk infeksi saluran kemih dengan komplikasi. Spektrum antibakteri aztreonam mirip antibiotik aminoglikosida, sehinggaaztreonam dapat menjadi alternatif aminoglikosida, khusus untuk infeksi kuman Gram negatif. Aztreonam diberikan secara suntikan IM yang dalam, bolus IV perlahan-lahan atau infus intermiten dengan periode 20- 60 menit. Dosis dewasa untuk infeksi saluran kemih 500 mg atau 1 g setiap 8-12 jam.Amoksisilin-kalium klavulanat diindikasikan untuk infeksi saluran kemih berulang pada anak dan dewasa oleh E. coli dan kuman pathogen lain yang mmproduksi betalaktamase, yang tidak dapat diatasi oleh kotrimoksazol, kuinolon atau sefalosporin oral. Dosis amoksisilinklavulanat per oral untuk dewasa dan anak berat > 40 kg ialah 250 mg-125 mg tiap 8 jam. Untuk penyakit berat dosis 500 mg-125 mg tiap 8 jam. Untuk anak berat < 40 kg dosis amoksisilin 20 mg/kg/hari, dosis klavulanat disesuaikan dengan dosis amoksisilin.20Aminoglikosida, sekalipun berspektrum antimikroba lebar, jangan digunakan pada setiap jenis infeksi oleh kuman yang sensitif, karena resistensi terhadap aminoglikosida relatif cepat berkembang, dan karena toksisitas aminoglikosida relatif tinggi, selain itu masih tersedianya berbagai antibiotik lain yang cukup efektif dan toksisitasnya lebih rendah. Toksisitas aminoglikosida meliputi toksisitas terhadap saraf otak N. VIII komponen vestibuler (keseimbangan) maupun komponen akustik (pendengaran), dan toksisitas terhadap ginjal (nefrotoksik).Gentamisin, suatu aminoglikosida, diberikan secara parenteral (sistemik) untuk infeksi oleh kuman gram negative yang sensitif antara lain Proteus, Pseudomonas, Klebsiella, Serratia, E. coli dan Enterobacter yang merupakan penyebab berbagai infeksi, salah satunya yaitu infeksi saluran kemih. Sedapat mungkin gentamisin sistemik hanya diterapkan pada infeksi yang berat saja. Pada septisemia yang diduga disebabkan kuman gram negatif, secara empirik dapat diberikan gentamisin sambil menunggu hasil identifikasi dan hasil uji sensitifitas kuman penyebab. Dosis gentamisin yaitu 5-6 mg/kgBB/hari dosis tunggal sehari secara intravena atau intramuskuler.Fluorokuinolon (siprofloksasin, ofloksasin, norfloksasin, dll) efektif untuk ISK dengan atau tanpa penyulit, termasuk yang disebabkan oleh kuman-kuman yang multiresisten dan P.aeruginosa. Siprofloksasin, norfloksasin, dan ofloksasin dapat mencapai kadar yang cukup tinggi di jaringan prostat dan dapat digunakan untuk terapi prostatitis bakterial akut maupun kronis. Fluorokuinolon diserap dengan baik pada pemberian per oral.1 Siprofloksasin tablet 500 mg atau norfloksasin tablet 400 mg diberikan per oral 2 kali sehari efektif untuk infeksi saluran kemih.13 Selain itu, beberapa fluorokuinolon seperti siprofloksasin, ofloksasin dapat diberikan secara parenteral / intravena sehingga dapat digunakan untuk penanggulangan infeksi berat khususnya yang disebabkan oleh kuman Gram negatif. Dosis siprofloksasin parenteral yaitu 2 kali 200-400 mg intravena. Absorpsi siprofloksasin dan mungkin fluorokuinolon lainnya terhambat/berkurang hingga 50% atau lebih bila diberikan bersama antasida dan preparat besi (Fe), oleh karena itu pemberian antasida dan preparat besi harus diberikan dengan selang waktu 3 jam.1 Penggunaan bersama-sama fluorokuinolon dan teofilin dapat menyebabkan peningkatan kadar teofilin dalam darah1,13 dengan risiko terjadinya efek toksik, terutama kejang-kejang.13 Hal ini karena fluorokuinolon menghambat metabolisme teofilin. Oleh karena itu pemberian kombinasi kedua obat tersebut perlu dihindarkan.1 Fluorokuinolon dapat merusak kartilago yang sedang tumbuh sehingga sebaiknya tidak diberikan pada pasien di bawah umur 18 tahun.3. Apakah ulkus dekubitus termasuk infeksi?Jawab :Dekubitus berasal dari bahasa latin decumbree yang berarti merebahkan diri yang didefenisikan sebagai suatu luka akibat posisi penderita yang tidak berubah dalam jangka waktu lebih dari 6 jam , nekrosis jaringan lokal yang cenderung terjadi ketika jaringan lunak tertekan diantara tonjolan tulang dengan permukaan eksternal dalam jangka waktu lama.Berdasarkan waktu yang diperlukan untuk penyembuhan dari suatu ulkus dekubitus dan perbedaan temperatur dari ulkus dengan kulit sekitarnya, dekubitus dapat dibagi menjadi tiga;1. Tipe normalMempunyai beda temperatur sampai dibawah lebih kurang 2,5oC dibandingkan kulit sekitarnya dan akan sembuh dalam perawatan sekitar 6 minggu. Ulkus ini terjadi karena iskemia jaringan setempat akibat tekanan, tetapi aliran darah dan pembuluh-pembuluh darah sebenarnya baik.2. Tipe arterioskelerosisMempunyai beda temperatur kurang dari 1oC antara daerah ulkus dengan kulit sekitarnya. Keadaan ini menunjukkan gangguan aliran darah akibat penyakit pada pembuluh darah (arterisklerotik) ikut perperan untuk terjadinya dekubitus disamping faktor tekanan. Dengan perawatan, ulkus ini diharapkan sembuh dalam 16 minggu.3. Tipe terminalTerjadi pada penderita yang akan meninggal dunia dan tidak akan sembuh.PATOFISIOLOGI TERJADINYA DEKUBITUSTekanan daerah pada kapiler berkisar antara 16 mmHg-33 mmHg. Kulit akan tetap utuh karena sirkulasi darah terjaga, bila tekanan padanya masih berkisar pada batas-batas tersebut. Tetapi sebagai contoh bila seorang penderita immobil/terpancang pada tempat tidurnya secara pasif dan berbaring diatas kasur busa maka tekanan daerah sakrum akan mencapai 60-70 mmHg dan daerah tumit mencapai 30-45 mmHg.Tekanan akan menimbulkan daerah iskemik dan bila berlanjut terjadi nokrosis jaringan kulit. Percobaan pada binatang didapatkan bahwa sumbatan total pada kapiler masih bersifat reversibel bila kurang dari 2 jam. Seorang yang terpaksa berbaring berminggu-minggu tidak akan mengalami dakubitus selama dapat mengganti posisi beberapa kali perjammnya.Selain faktor tekanan, ada beberapa faktor mekanik tambahan yang dapat memudahkan terjadinya dekubitus; Faktor teregangnya kulit misalnya gerakan meluncur ke bawah pada penderita dengan posisi dengan setengah berbaring Faktor terlipatnya kulit akiab gesekan badan yang sangat kurus dengan alas tempat tidur, sehingga seakan-akan kulit tertinggal dari area tubuh lainnya.Faktor teragannya kulit akibat daya luncur antara tubuh dengan alas tempatnya berbaring akan menyebabkan terjadinya iskemia jaringan setempat.Keadaan ini terjadi bila penderita immobil, tidak dibaringkan terlentang mendatar, tetapi pada posisi setengah duduk. Ada kecenderungan dari tubuh untuk meluncur kebawah, apalagi keadaannya basah. Sering kali hal ini dicegah dengan memberikan penhalang, misalnya bantal kecil/balok kayu pada kedua telapak kaki. Upaya ini hanya akian mencegah pergerakan dari kulit, yang sekarang terfiksasi dari alas, tetapi rangka tulang tetap cederung maju kedepan. Akibatnya terjadi garis-garis penekanan/peregangan pada jaringan subkutan yang sekan-akan tergunting pada tempat-tempat tertentu, dan akan terjadi penutupan arteriole dan arteri-arteri kecil akibat terlalu teregang bahkan sampai robek. Tenaga menggunting ini disebut Shering Forces.Sebagai tambahan dari shering forces ini, pergerakan dari tubuh diatas alas tempatnya berbaring, dengan fiksasi kulit pada permukaan alas akan menyebabkan terjadinya lipatan-lipatan kulit (skin folding). Terutama terjadi pada penderita yang kurus dengan kulit yang kendur. Lipatan-lipatan kulit yang terjadi ini dapat menarik/mengacaukan (distorsi) dan menutup pembuluh-pembuluh darah.Sebagai tambahan dari efek iskemia langsung dari faktor-faktor diatas, masih harus diperhatikan terjadinya kerusakan edotil, penumpukan trombosit dan edema. Semua inidapat menyebabkan nekrosis jarigan akibat lebih terganggunya aliran darah kapiler. Kerusakan endotil juga menyebabkn pembuluh darah mudah rusak bila terkena trauma.Faktor tubuh sendiri (faktor intrinsik) juga berperan untuk terjadinya dekubitus antara lain;

FAKTOR INTRINSIK Selama penuaan, regenerasi sel pada kulit menjadi lebih lambat sehingga kulit akan tipis (tortora & anagnostakos, 1990) Kandungan kolagen pada kulit yang berubah menyebabkan elastisitas kulit berkurang sehingga rentan mengalami deformasi dan kerusakan. Kemampuan sistem kardiovaskuler yang menurun dan sistem arteriovenosus yang kurang kompeten menyebabkan penurunan perfusi kulit secara progresif. Sejumlah penyakit yang menimbulkan seperti DM yang menunjukkan insufisiensi kardiovaskuler perifer dan penurunan fungsi kardiovaskuler seperti pada sistem pernapasan menyebabkan tingkat oksigenisasi darah pada kulit menurun. Status gizi, underweight atau kebalikannya overweight Anemia Hipoalbuminemia yang mempermudah terjadinya dekubitus dan memperjelek penyembuhan dekubitus, sebaliknya bila ada dekubitus akam menyebabkan kadar albumin darah menurun Penyakit-penyakit neurologik, penyakit-penyakit yang merusak pembuluh darah, juga mempermudah dan meperjelek dekubitus Keadaan hidrasi/cairan tubuh perlu dinilai dengan cermat.FAKTOR EKSTRINSIK Kebersihan tempat tidur, alat-alat tenun yang kusut dan kotor, atau peralatan medik yang menyebabkan penderita terfiksasi pada suatu sikap tertentu juga memudahkan terjadinya dekubitus. Duduk yang buruk Posisi yang tidak tepat Perubahan posisi yang kurangMenurut NPUAP (1995 dalam Potter & Perry, 2005) ada perbandingan luka dekubitus derajat I sampai derajat IV yaitu: Derajat I: Eritema tidak pucat pada kulit utuh, lesi luka kulit yang diperbesar. Kulit tidak berwarna, hangat, atau keras juga dapat menjadi indikator Derajat II: Hilangnya sebagian ketebalan kulit meliputi epidermis dan dermis. Luka superficial dan secara klinis terlihat seperti abrasi, lecet, atau lubang yang dangkal. Derajat III: Hilangnya seluruh ketebalan kulit meliputi jaringan subkutan atau nekrotik yang mungkin akan melebar kebawah tapi tidak melampaui fascia yang berada di bawahnya. Luka secara klinis terlihat seperti lubang yang dalam dengan atau tanpa merusak jaringan sekitarnya. Derajat IV: Hilangnya seluruh ketebalan kulit disertai destruksi ekstensif, nekrosis jaringan; atau kerusakan otot, tulang, atau struktur penyangga misalnya kerusakan jaringan epidermis, dermis, subkutaneus, otot dan kapsul sendi.