sistem ketatanegaraan indonesia

15
Pengertian Sistem Ketatanegaraan Indonesia Oleh: I Gusti Ngurah Santika, SPd Istilah atau terminologi sistem ketatanegaraan, terdiri atas dua kata yaitu sistem dan ketatanegaraan. Sistem adalah sekelompok bagian-bagian yang bekerja bersama-sama untuk melakukan suatu maksud. Apabila salah satu bagian rusak atau tidak dapat menjalankan tugasnya maka maksud yang hendak dicapai tidak akan terpenuhi atau setidak-tidaknya sistem yang sudah terwujud akan mendapat gangguan (Kencana dan Azhary,2005;4). Sistem adalah satu kesatuan komponen yang satu sama lain saling berkaitan dan saling berinteraksi untuk mencapai suatu hasil yang diharapkan secara optimal sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan (Sanjaya,2010) Selain pengertian sistem menurut pendapat di atas, maka dapatlah dikatakab bahwa sistem adalah sekelompok bagian-bagian (alat dan sebagainya), yang bekerja bersama-sama untuk melakukan sesuatu maksud. Sedangkan, Kaelan memberikan pengertian sistem yaitu suatu kesatuan bagian-bagian yang saling berhubungan, saling bekerja sama untuk suatu tujuan tertentu dan secara keseluruhan merupakan suatu kesatuan yang utuh. Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa ciri-ciri dari sebuah sistem adalah sebagai berikut. a. Suatu kesatuan bagian-bagian ; b. Bagian-bagian tersebut mempunyai fungsi sendiri-sendiri; c. Saling berhubungan dan saling ketergantungan; d. Keseluruhannya dimaksudkan untuk mencapai suatu tujuan tertentu (tujuan sistem); e. Terjadi dalam suatu lingkungan yang kompleks (Kaelan,2008;57-58).

Upload: i-gusti-ngurah-santika-spd

Post on 25-Nov-2015

65 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Pengertian Sistem Ketatanegaraan IndonesiaOleh: I Gusti Ngurah Santika, SPdIstilah atau terminologi sistem ketatanegaraan, terdiri atas dua kata yaitu sistem dan ketatanegaraan. Sistem adalah sekelompok bagian-bagian yang bekerja bersama-sama untuk melakukan suatu maksud. Apabila salah satu bagian rusak atau tidak dapat menjalankan tugasnya maka maksud yang hendak dicapai tidak akan terpenuhi atau setidak-tidaknya sistem yang sudah terwujud akan mendapat gangguan (Kencana dan Azhary,2005;4). Sistem adalah satu kesatuan komponen yang satu sama lain saling berkaitan dan saling berinteraksi untuk mencapai suatu hasil yang diharapkan secara optimal sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan (Sanjaya,2010)Selain pengertian sistem menurut pendapat di atas, maka dapatlah dikatakab bahwa sistem adalah sekelompok bagian-bagian (alat dan sebagainya), yang bekerja bersama-sama untuk melakukan sesuatu maksud. Sedangkan, Kaelan memberikan pengertian sistem yaitu suatu kesatuan bagian-bagian yang saling berhubungan, saling bekerja sama untuk suatu tujuan tertentu dan secara keseluruhan merupakan suatu kesatuan yang utuh. Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa ciri-ciri dari sebuah sistem adalah sebagai berikut.a. Suatu kesatuan bagian-bagian ;b. Bagian-bagian tersebut mempunyai fungsi sendiri-sendiri;c. Saling berhubungan dan saling ketergantungan;d. Keseluruhannya dimaksudkan untuk mencapai suatu tujuan tertentu (tujuan sistem);e. Terjadi dalam suatu lingkungan yang kompleks (Kaelan,2008;57-58).Berdasarkan pengertian di atas maka sistem memiliki karakteristik, Pertama, sistem pasti memiliki tujuanKedua, sistem selalu mengandung suatu prosesKetiga, kegiatan dalam suatu sistem selalu melibatkan dan memanfaatkan berbagai komponen atau unsur-unsur tertentu (Sanjaya,2011;49-50). Kemudian lebih lanjut menurut Maksudi (2012;8) yang memberikan pengertian tentang sistem, yaitu:Sistem adalah sekumpulan objek (objectives) (unsur-unsur atau bagian-bagian) yang berbeda-beda (diverse) yang saling berhubungan (interrelated), saling bekerja sama (jointly) dan saling mempengaruhi (independently) satu sama lain serta terikat pada rencana (planned) yang sama untuk mencapai tujuan (output) tertentu dalam lingkungan (environment) yang kompleks. Oleh karena itu, untuk mengenal dan memahami suatu sistem perlu dikenali dan dipahami semua komponen yang terkandung di dalamnya (Hamalik,2010;135). Tidak lain dikarenakan bahwa masing-masing komponen tersebut saling terkait dan saling mempengaruhi satu sama lain (Rusman,2012;1). Lebih lanjut menurutnya bahwa untuk mengetahui apakah sesuatu itu dapat dikatakan sistem, maka harus mencakup lima unsur utama, yaitu.1. Adanya sekumpulan objek (objectives) (unsur-unsur, atau bagian-bagian, atau elemen-elemen).2. Adanya interaksi atau hubungan (interrealatedness) antar unsur-unsur (bagian-bagian, elemen-elemen).3. Adanya sesuatu yang mengikat unsur-unsur (working independtly and jointly) (bagian-bagian, elemen-elemen saling tergantung dan bekerja sama) tersebut menjadi suatu kesatuan (unity).4. Berada dalam suatu lingkungan (environment) yang komplek (complex).5. Terdapat tujuan bersama (output), sebagai hasil akhir (Maksudi,2012;8-9).Apabila kemudian pengertian sistem dikaitkan kembali dengan maksud untuk memperoleh pengertian dari sistem ketatanegaraan, maka dapatlah dikatakan bahwa sistem ketatanegaraan diartikan sebagai susunan ketatanegaraan, yaitu segala sesuatu yang berkenaan dengan organisasi negara, baik yang menyangkut tentang susunan dan kedudukan lembaga-lembaga negara maupun yang berkaitan dengan tugas dan wewenangnya masing-masing maupun hubungan satu sama lain (Yuhana,2009;67). Dalam hubungannya dengan sistem ketatanegaraan, menurut Mahmud MD dalam Ghoffar (2011;48), yang pendapatnya ternyata hampir menyamakan antara sistem ketatanegaraan dengan pengertian sistem pemerintahan, yaitu secara sederhana Mahfud MD mengatakan bahwa cara bekerja dan berhubungan ketiga poros kekuasaan, yaitu eksekutif, legislatif, dan yudisial dapat disebut sebagai sistem pemerintahan negara. Sehingga yang dimaksud dengan sistem pemerintahan adalah sistem hubungan dan tata kerja lembaga-lembaga negara. Oleh karena itu, dapatlah disimpulkan bahwa pengertian sistem pemerintahan yang diberikan oleh Mahmud MD sebagaimana dikutip kembali oleh Ghoffur, merupakan pengertian dari sistem pemerintahan dalam arti luas, yang tentunya dalam hal ini memiliki kemiripan, dengan pengertian sistem ketatanegaraan sebagaimana dimaksud Yuhana. Yang dalam hal ini, juuga sama-sama menyangkut hubungan daripada lembaga-lembaga negara, terutama antara satu lembaga negara dengan lembaga negara lainnya dalam konstitusi. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sistem dalam hal ini diartikan secara sempit sebagai mekanisme berdasarkan suatu tata aturan. Antara tata aturan dengan kelembagaan sesungguhnya merupakan suatu kesatuan, karena kelembagaan dapat didefinisikan sebagai suatu struktur aturan yang diformalisasi dalam seperangkat produk hukum (Asshiddiqie,2009;251)Selanjutnya jika pengertian sistem ketatanegaraan, kemudian dikaitkan dengan sistem ketatanegaraan Indonesia, maka dapatlah diartikan sebagai suatu susunan ketatanegaraan Indonesia, yaitu segala sesuatu yang berkenaan dengan susunan organisasi negara Republik Indonesia, baik yang menyangkut susunan dan kedudukan lembaga-lembaga negara, tugas dan wewenang maupun hubungannya satu sama lain menurut UUD 1945. Pengertian sistem ketatanegaraan yang kedua tersebut atau menyangkut Indonesia, mungkin dapatlah disamakan dengan Ius Constitutum adalah hukum positif suatu negara, yaitu hukum yang berlaku dalam suatu negara tertentu pada saat tertentu (Dirdjosiworo,2003;163-164). Karena, pengertian tersebut menunjuk pada suatu ketatanegaraan tertentu yaitu Indonesia, yang juga bisa disebut dengan nama hukum tatanegara positif. Berbeda dengan yang pengertian yang kedua, maka pengertian sistem ketatanegaraan yang pertama dapat dikatakan tentang sistem ketatanegaraan suatu negara yang belum pasti berlaku dalam negara tersebut, namun bisa saja sudah berlaku di negara lain, seperti Ius Costituendum adalah hukum yang dicita-citakan oleh pergaulan hidup dan negara tetapi belum merupakan kaidah (Dirdjosiworo,2003;164). Dengan perkataan lain, dapat dikatakan bahwa sistem ketatanegaraan negara lain tersebut belumlah diadopsi ke dalam suatu negara yang mendambakannya, dan apabila kemudian nantinya suatu sistem ketatanegaraan lain ternyata telah diikuti oleh suatu negara yang menginginkannya, kemudian berangsur-angsur untuk diterapkan di negara yang mendambakannya, maka menjadilah hukum tatanegara positif, yang tentunya akan berlaku di negara tersebut. Yang dalam hal ini tentunya akan mengikat dan memaksa untuk kemudian diterapkan secara murni dan konsekuen dalam praktek ketatanegaraan di negara yang memang telah mengadopsinya sebagai hukum tatanegara positif. Begitupun dengan definisi dari Chaidir (2007;72), yang menyatakan bahwa hukum tata negara positif merupakan salah satu bagian dari keseluruhan hukum positif. Hukum positif adalah hukum yang berlaku disuatu negara pada waktu tertentu. Pembedaan ini diperlukan karena ada juga hukum yang berlaku pada masa lampau dan hukum yang baru akan berlaku pada masa mendatang. Untuk sistem ketatanegaraan di Indonesia yang tentunya hanya berkenaan dengan lembaga-lembaga negara yang ditentukan dalam UUD, hal tersebut dikarenakan berkaitan dengan sistem ketatanegaraan dalam arti sempit. Adapun jika dimaksud juga dengan lembaga negara di luar UUD, hal ini berkenaan dengan sistem ketatanegaraan dalam arti luas (Triwulan dan Widodo,2011;61). Hal ini disebabkan UUD 1945 sebagai konstitusi Indonesia, tidaklah dapat menampung pengaturan semua lembaga negara yang ada, karena di samping itu proses kehidupan bernegara berjalan secara dinamis. sehingga mungkin pada saat UUD 1945 dibentuk ataupun di amandemen, belumlah terpikirkan atau diperlukan lembaga tersebut untuk dibentuk. Namun, dalam perkembangan kehidupan ketatanegaraan kemudian ternyata dalam perjalannya kebutuhan yang mendesak terkait dengan pembentukan lembaga negara tidaklah dapat dihindari, maka diperlukan jalan keluar yang memuaskan untuk menyelesaikan permasalahan tersebut, yaitu dengan cara mengatur keberadaan kelembagaan negara yang baru tersebut di luar UUD 1945, seperti dalam bentuk undang-undang ataupun dalam bentuk peraturan lain. Namun, tidaklah berarti bahwa lembaga negara yang dibentuk di luar UUD 1945 yang berarti tidak ditentukan secara tegas dalam UUD 1945, dianggap sebagai lembaga negara yang kedudukannya berada di bawah lembaga-lembaga negara yang telah ditentukan untuk dibentuk berdasarkan UUD 1945. Karena bisa saja, lembaga negara yang dibentuk kemudian tersebut merupakan suatu lembaga yang ditentukan bebas dan mandiri dari pengaruh kekuasaan lembaga negara lainnya. Dengan demikian, tentunya dalam sistem ketatanegaraan Indonesia lembaga ini memiliki kedudukan dan fungsi yang pada dasarnya sejajar dengan lembaga-lembaga negara lainnya. Tidak lain karena lembaga ini memiliki arti penting secara konstitusional (constitutional important), hal mana sebenarnya sangatlah tergantung daripada fungsi dan wewenang yang diemban oleh lembaga tersebut, terkait dengan eksistensinya dalam ketatanegaraan Indonesia. Berkaitan dengan UUD 1945 yang merupakan sumber hukum ketatanegaraan Indonesia, sebelum diadakannya amandemen terhadap UUD 1945, lembaga-lembaga negara yang terdapat di dalamnya adalah MPR, Presiden, DPA, DPR, BPK , dan MA. Dengan catatan bahwa MPR merupakan lembaga yang mendapatkan kedudukan sangat istimewa di antara lembaga-lembaga negara yang lainnya UUD 1945, dikarenakan telah ditentukan sebagai pemegang kedaulatan rakyat, sehingga secara otomatis kedudukan lembaga negara yang lainnya kemudian berada di bawah MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Namun, setelah UUD 1945 diamandemen oleh MPR sendiri, maka kedudukan MPR tidaklah lagi istimewa seperti dulu dimana ditentukan sebagai pemegang kedaulatan rakyat. Dikarenakan kedaulatan rakyat telah dikembalikan kepada pemilik kedaulatan yang sesungguhnya yakni melalui jalur konstitusi. Dengan demikian, adanya perubahan terhadap UUD 1945 terkait kedudukan MPR tentunya berakibat pula terhadap sistem ketatanegaraan Indonesia. Perubahan konstitusi tersebut telah mengubah paradigma kehidupan berbangsa dan bernegara yang mengubah pula corak dan format kelembagaan serta mekanisme hubungan antar lembaga negara yang ada (Asshiddiqie,2009;v). Dengan perubahan konstitusi tersebut, banyak hal-hal yang baru yang sebelumnya memang tidaklah dikenal dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, kemudian berhasil diadopsi untuk ditetapkan menjadi ketentuan dalam UUD 1945. Bahkan, jika kita kembali melihat dengan cara saksama akan terlihatlah banyak pula perbedaan baik antara isi UUD 1945 sebelum diamandemen dengan UUD 1945 sesudah di amandemen. Apalagi jika membandingkan dari salah sudut lainnya, misalnya dengan membandingkan antara sistem ketatanegaraan negara lain dengan yang dianut oleh Indonesia, tentunya sudah dapat dipastikan akan berbeda pula. Oleh karena itu, sistem ketatanegaraan republik Indonesia, menurut Undang-Undang Dasar 1945 ini, sama sekali tidak mengikuti ketatanegaraan lain (Joeniarto,1996;38).Bagan 2.1Struktur Sistem Ketatanegaraan Sebelum Amandemen UUD 1945

Sementara itu, menurut hasil perubahan terhadap UUD 1945 setelah dirubah sebanyak empat kali, maka terjadi perubahan lembaga-lembaga negara baik mengenai kedudukan, tugas dan fungsinya. Dengan demikian, lembaga-lembaga yang terdapat dalam UUD 1945 setelah dilakukan amandemen adalah sebagai berikut:1. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR);2. Presiden dan Wakil Presiden;3. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR);4. Dewan Perwakilan Daerah (DPD);5. Mahkamah Agung (MA);6. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK);7. Mahkamah Konstitusi (MK), dan;8. Komisi Yudisial.Lembaga-lembaga negara dimaksud inilah yang secara instrumental mencerminkan pelembagaan fungsi-fungsi kekuasaan negara yang utama (main state function, principal state functions), sehingga lembaga-lembaga negara ini pula yang dapat disebut sebagai lembaga negara utama (main state organs, principal state organs atau main state institution) yang hubungannya satu dengan yang lain diikat oleh prinsip checks and balances (Triwulan dan Widodo,2011;61). Berikut ini, merupakan bagan yang menunjukan adanya perubahan terhadap kedudukan lembaga-lembaga negara yang telah ditentukan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, terutama setelah adanya amandemen terhadap UUD 1945, yang dilakukan sebanyak empat kali dalam suatu rangkaian perubahan oleh MPR. Yang tentunya perubahan tersebut telah mengakibatkan perubahan yang mendasar terhadap mekanisme dalah hubungannya antara satu lembaga negara dengan lembaga negara lainnya dalam sistem ketatanegaraan Indonesia berdasarkan UUD 1945. Dengan demikian, diharapkanlah bahwa bagan di bawah ini akan dapat memberikan gambaran yang sesuai dengan struktur ketatanegaraan Indonesia pasca amandemen UUD 1945. Haruslah diingat bahwa struktur kelembagaan negara yang sekarang dianut oleh UUD 1945 pasca amandemen tidaklah bersifat hierarkis vertikal dalam hubungannya antara satu lembaga negara dengan lembaga negara lainnya. Tidak lain hal ini dikarenakan bahwa setiap lembaga negara memiliki kedudukan yang setara dengan lembaga negara lainnya dengan konsep yang menyertainya, yaitu saling mengawasi dan mengimbangi (checks and balances) antara lembaga negara tersebut. Bagan 2.2 Struktur Ketatanegaraan Indonesia pasca amandemen 1945

Berbeda dengan sebelum dilakukannya perubahan UUD 1945, maka UUD 1945 hasil perubahan tidak mengenal lagi istilah lembaga tertinggi negara, karena lembaga-lembaga negara tersebut, mempunyai kedudukan yang seimbang antara satu lembaga negara dengan lainnya, bahkan dengan kedudukan yang dimiliki oleh masing-masing lembaga, maka setiap lembaga negara dapatlah melakukan pengawasan dan mengimbangi lembaga negara yang lainnya. Adanya konsep saling mengawasi dan mengimbangi, tentunya telah memberikan suatu corak pemerintahan yang lebih baik dalam sistem ketatanegaraan Indonesia ke depannya. Setidaknya, kejadian-kejadian seperti masa lalu dimana terjadinya penyalahgunaan kedaulatan rakyat oleh wakil rakyat sendiri dapat dibendung. Reformasi kelembagaan negara yang terjadi di Indonesia bertujuan untuk mengembalikan kedaulatan di tangan rakyat. Kedaulatan rakyat tidak hanya diwujudkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan, juga tercermin dalam struktur dan mekanisme kelembagaan negara dan pemerintahan yang menjamin tegaknya sistem hukum dan berfungsinya sistem penyelenggaraan pemerintahan yang demokratis (ICCE UIN,2010;76). Dalam konteks struktur ketatanegaraan Indonesia, maka lembaga negara adalah lembaga atau institusi yang melaksanakan cabang-cabang kekuasaan yang ada dalam negara, sebagai wujud daripada kedaulatan rakyat yang kemudian dibalut dengan kedaulatan hukum. Cabang-cabang kekuasaan negara yang dimaksud dalam hal ini adalah eksekutif, legislatif, dan yudikatif dalam sistem pembagian maupun dengan konsep pemisahan kekuasaan yang menyertainya dan tentunya disesuaikan dengan pandangan negara dimana konsep hubungan kelembagaan negara tersebut dianut.Secara institusional, lembaga-lembaga negara merupakan lembaga kenegaraaan yang kedudukannya independen yang berarti satu lembaga tentunya tidak akan dapat mengintervensi lembaga negara lainnya. Hal ini dikarenakan kedudukannya sejajar yaitu secara horizontal bukan seperti dulu yang pembagian kekuasaannya antara lembaga negara ternyata menganut konsep secara vertikal. Akan tetapi, dalam menjalankan kekuasaan atau wewenangnya, lembaga negara yang satu tidak terlepas atau terpisah secara mutlak dengan lembaga negara lain. Karena dalam menjalankan tugasnya setiap lembaga negara memerlukan suatu kerjasama, untuk mencapai satu tujuan, namun demi tercapainya efisiensi maka pembagian kekuasaan merupakan suatu keniscayaan untuk meningkatkan rasa tanggung jawab lembaga negara terhadap kekuasaan yang dimandatkan oleh rakyat. Hal itu juga menunjukan bahwa UUD 1945 tidaklah sepenuhnya menganut doktrin tentang pemisahan kekuasaan dalam arti materiil (separation of power), melainkan hanya menganut pemisahan kekuasaan dalam arti formal. Senada dengan pernyataan di tersebut, maka Maschab (1983;2) menyatakan bahwa dalam sistem pemerintahan menurut UUD 1945 dianut sistem pembagian (fungsi) kekuasaan, dalam mana masing-masing bidang kekuasaan tersebut sama sekali tidak terpisah. Hal ini adalah konsekuensi logis dari sesuatu organisasi bahwa untuk berfungsinya suatu lembaga secara ideal, efisien dan efektif harus selalu diadakan interaksi dan koordinasi secara berimbang dan fungsional (Marbun,1994;6). Pernyataan yang sama juga dinyatakan Thalhah dan Malian (2011;37) bahwa adapun UUD 1945 menggunakan istilah-istilah yang berasal dari ajaran Trias Politika dari Montesquieu seperti legislative power, executive power, dan judicial power, hal itu tidak boleh diartikan bahwa UUD 1945 menganut ajaran tersebut. Penggunaan peristilahan itu hanyalah sekedar memberikan penjelasan dan perbandingan semata mengenai sistem ketatanegaraan yang sesungguhnya diikuti oleh UUD 1945. Dengan kata lain bahwa setiap lembaga negara memiliki tugas yang jelas, tetapi sebagai suatu sistem ketatanegaraan maka untuk mencapai tujuan sistem tersebut tentunya memerlukan suatu kerjasama yang apik antar lembaga negara yang ada, sehingga keberadaannya dalam sistem ketatanegaraan tersebut merupakan suatu bagian yang tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya. Hal yang sama tentang sistem pembagian kekuasaan yang dianut oleh UUD 1945 sebelum perubahan juga dinyatakan kembali oleh pelaku sejarah yaitu, Yamin (dalam Marpaung,1999;7) yang menyatakan antara lain sebagai berikut.Undang-Undang Dasar 1945 tidaklah mengenal ajaran trias politika yang membagi tugas dan pekerjaan pemerintahan atau perlengkapan negara menjadi tiga buah perlengkapan (organ) atau tiga buah jawatan (fungsi). Tetapi Undang-Undang Dasar 1945 dengan tegas melaksanakan trias politika, yaitu membagi-bagi pekerjaan pemerintahan atau perlengkapan negara atas pelaksanaan dasar beberapa pembagian atau pemisahan (division atau separation of power) dengan tujuan untuk kelancaran pekerjaan dan untuk perlindungan warga negara Republik Indonesia sebagai negara hukum. pembagian kekuasaan ini adalah sesuai dengan kebudayaan pribadi bangsa IndonesiaNamun, tentunya pendapat tersebut di atas akan sangat berbeda, tidak lain dikarenakan bahwa Undang-Undang Dasar 1945 telah mengalami perubahan yang sangat mendasar sejak dari Perubahan Pertama pada tahun 1999 sampai ke Perubahan Keempat pada tahun 2002. Dalam kaitan dengan pernyataan tersebut, maka Indrati (2007;129) dalam hal ini berpendapat bahwa saat ini terdapat banyak pakar yang menyatakan bahwa sistem ketatanegaraan yang berlaku di Indonesia sesudah Perubahan UUD 1945, menganut ajaran Trias Politica, yang mengacu pada pemisahan kekuasaan (separation of power atau secheiding van machten), namun apabila dicermati ketentuan-ketentuan yang dirumuskan dalam pasal-pasal UUD 1945 Perubahan, pendapat tersebut adalah tidak benar. Namun, dapatlah dilihat bahwa perubahan-perubahan itu juga meliputi materi yang sangat banyak, sehingga mencakup lebih dari 3 kali lipat jumlah materi muatan asli UUD 1945. Jika naskah asli UUD 1945 berisi 71 butir ketentuan, maka setelah empat kali mengalami perubahan, kini jumlah materi muatan UUD 1945 seluruhnya mencakup 199 butir ketentuan (Asshiddiqie,2006;x). Selain itu, dengan adanya perubahan terhadap UUD 1945, telah pula mengembalikan kedudukan dan fungsi kelembagaan negara sesuai dengan maksud daripada dibentuk lembaga negara tersebut dalam UUD 1945. Hal ini menurut Asshiddiqie dalam Arifin dan Wardi (2002;5) bahwa dalam rangka perubahan UUD 1945, perkembangan gagasan untuk menerapkan prinsip pemisahan kekuasaan yang tegas antara cabang-cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif yang diwujudkan dalam pelembagaan organ-organ negara yang sederajat sekaligus saling mengontrol dan mengimbangi satu sama lain (checks and balances). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa meskipun namanya tetap merupakan UUD 1945, tetapi dari sudut isinya UUD 1945 pasca Perubahan Keempat tahun 2002 sekarang ini sudah dapat dikatakan merupakan konstitusi baru sama sekali dengan nama resmi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Maka untuk itu terkait pemisahan kekuasaan Asshiddiqie (2006;45) berpendapat bahwa UUD 1945 menganut paham pemisahan kekuasaan, tegasnya bahwa:paham yang dianut bukan pemisahan kekuasaan dalam arti horizontal (horizontal separation of power), melainkan pembagian kekuasaan dalam arti vertikal (vertical distribution of power). Sekarang sejak diadakannya Perubahan Pertama yang kemudian dilengkapi lagi oleh Perubahan Kedua, Ketiga, Keempat UUD 1945, konstitusi negara kita meninggalkan doktrin pembagian kekuasaan itu dan mengadopsi gagasan pemisahan kekuasaan dalam arti horizontal (horizontal separation of power). Pemisahan kekuasaan itu dilakukan dengan menerapkan prinsip cheks and balances di antara lembaga-lembaga konstitusional yang sederajat itu yang diidealkan mengendalikan satu sama lain.Berkaitan dengan pemisahan kekuasaan yang dianut oleh UUD 1945, Sinaga (2008;17) mendukung pendapat di atas dengan menyatakan bahwa pandangan ini mendapatkan pijakan konstitusional dalam UUD 1945 hasil amandemen dimana kekuasaan tidak lagi terkonsentrasi di tangan presiden melainkan didistribusikan kepada berbagai lembaga negara. Begitupun dahulu di mana MPR yang merupakan lembaga negara tertinggi yang merupakan pemegang kedaulatan rakyat, kemudian mendistribusikan (membagikan) kekuasaannya kepada lembaga-lembaga negara lainnya menurut UUD 1945. Sedangkan untuk sekarang, semua lembaga negara pada dasarnya memiliki kedudukan yang sederajat dengan tugas, fungsi dan wewenang yang diberikan oleh UUD 1945. Bahkan, dilengkapi dengan perubahan ketiga UUD 1945 telah pula dibentuk sebuah lembaga negara baru yang bernama Mahkamah Konstitusi (Pasal 24C UUD 1945), yang mencirikan bahwa negara Indonesia adalah negara yang menganut sistem ketatanegaraan dengan konsep pemisahan kekuasaan (separation of power) dengan mekanisme checks and balances, melalui pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 (toetsingrecht, yudicial review or constitutional review). Dengan adanya pembaharuan terhadap konstitusi yang disertai dengan dibentuknya lembaga negara baru yang tentunya akan mempengaruhi hubungan antara lembaga-lembaga negara tersebut. Dengan demikian, maka berimplikasi pula terhadap hubungan di antara kelembagaan negara yang dianut oleh UUD 1945, di mana dianutnya pemerintahan yang konstitusional dan kedaulatan rakyat (termasuk pemisahan kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif, serta pengecekan dan penyeimbangan ketiga kekuasaan tersebut) (Zuchdi,2009;40-41). Dengan demikian diharapkan tidak akan ada lagi dominasi oleh satu lembaga negara terhadap lembaga negara yang lainnya.

BIODATA PENULISI Gusti Ngurah Santika S.Pd, lahir di Yeha 1 Agustus 1988. Anak ketiga dari tiga bersaudara dari pasangan I Gusti Ngurah Oka dan I Desak Ayu Putu. Menyelesaikan pendidikan dasar di SDN 1 Peringsari (1996-2002) kemudian melanjutkan ke SMPN 1 Selat (2002-2005) dan pendidikan menengah di SMAN 1 Selat (2005-2008) kemudian pada peruguruan tinggi (2009-2012). Setelah menyelesaikan pendidikan SMA kemudian bekerja sebagai security pada PT Arkadena sampai januari 2012. Pada saat yang bersamaan mendapatkan kesempatan untuk mengikuti pendidikan di perguruan tinggi sambil bekerja, akhirnya lulus dengan predikat cumlaude. Kemudian untuk sekarang ini penulis belum bekerja, namun sedang melanjutkan pendidikan S2 pada Program Studi Pendas di Undhiksa. Pengalaman penulis selama mengikuti pendidikan di perguruan tinggi adalah sebagai nara sumber dalam temuwicara menyambut bulan Bung Karno yang diselenggarakan Gor Kapten Sujana (Lapangan Buyung) Kota Denpasar (2012). Nara sumber dalam seminar alumni FKIP Universitas Dwijendra (2012), Mahasiswa berprestasi Prodi PKn, sebagai salah satu pemenang karya ilmiah tingkat nasional yang diselenggarakan oleh Dikti. Selain itu, penulis juga aktif mengikuti seminar-seminar yang berhubungan dengan bidang studi yang di dalami. Berkaitan dengan kritik dan saran terhadap tulisan sebelumnya, dapat disampaikan langsung kepada penulis dengan menghubungi alamat maupun no hp yang ada di bawah ini. Alamat rumah: Banjar Dinas Padang Aji Tengah, Peringsari, Selat Karangasem. No. Hp: 085237832582/085738693121