sistem eksekusi jaminan pembiayaan musyarakah di … · adanya jaminan terkandung dalam ayat (3)...
TRANSCRIPT
SISTEM EKSEKUSI JAMINAN PEMBIAYAAN MUSYARAKAH DI BANK SYARI’AH MANDIRI CABANG BANDA ACEH
SKRIPSI
DiajukanOleh:
Mahasiswa Fakultas Syari’ah dan Hukum FITRIA ANDRIANI
Prodi Hukum Ekonomi Syari’ah NIM: 121309829
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR-RANIRY
DARUSSALAM BANDA ACEH 1438H/2017M
iv
ABSTRAK
Nama : Fitria Andriani NIM : 121309829 Fakultas/Jurusan : Syari’ah danHukum/ HukumEkonomi Islam Judul : Sistem Eksekusi Jaminan Pembiayaan Musyarakah di Bank Syari’ah Mandiri Cabang Banda Aceh TanggalSidang : 18 April 2017 TebalSkripsi : 68 Halaman Pembimbing 1 : Dr. EMK. Alidar, S.Ag., M.Hum Pembimbing 2 :Fakhrurrazi M.Yunus, Lc., M.A
Kata Kunci : Eksekusi, Jaminan, Pembiayaan, Musyarakah.
ABSTRAK
Sebagian besar aset perbankan terdapat pada pembiayaan. Satu sisi, pembiayaan merupakan sumber pendapatan terbesar namun sekaligus sebagai sumber resiko bisnis yang terbesar pula. Sehingga pembiayaan tersebut harus dijaga kualitasnya. Bank Syari’ah Mandiri Cabang Banda Aceh menyalurkan pembiayaan kepada nasabah debitur demi pemenuhan modal usaha dan kebutuhannya yang mana bank sering kali mengalami kendala-kendala terhadap debitur bermasalah pada pembiayaannya, sehingga mengharuskan bank untuk melakukan eksekusi terhadap jaminan nasabah. Untuk mengantisipasi pembiayaan bermasalah pada nasabah debitur, bank syari’ah mandiri harus menilai dengan baik, penilaian dan evaluasi dalam penyaluran pembiayaan akan mengurangi kemungkinan akan terjadinya resiko pada pembiayaan musyarakah. Meskipun pihak bank telah melakukan proteksi terhadap penyimpangan debiturnya namun tetap muncul masalah dalam pembiayaan musyarakah di Bank Syari’ah Mandiri Cabang Banda Aceh. Adapaun masalah sebagai fokus penelitian yaitu alasan dari manajemen bank dalam melakukan eksekusi jaminan, bagaimana proses pelaksanaan eksekusi jaminan pada Bank Syari’ah Mandiri Cabang Banda Aceh dan tinjaun hukum Islam terhadap praktik tersebut. Penulisan ini menggunakan metode penelitian deskriptif analisis, pengumpulan data menggunakan library dan field reseach, teknik pengumpulan data dengan wawancara dan daa dokumentasi. Hasil penelitian yang didapatkan bahwa pihak perbankan tidak langsung melakukan eksekusi terhadap jaminan debitur, dan jika seandainya terjadi pembiayaan bermasalah maka pihak bank menawarkan solusi-soslusi sesuai dengan tahapan sebelum dilakukan eksekusi terhadap jaminan, dan jika debitur sudah tidak memiliki i’tikad baik maka kemudian jaminan dari nasabah debitur di eksekusi oleh perbankan yang mana hal ini masih diperdebatkan oleh ulama mazhab dan ahli-ahli ekonomi Islam terkemuka.
v
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah kepada Allah Swt., Tuhan semesta alam. Dengan
rahmat dan pertolongan-Nyalah, maka skripsi ini dapat terselesaikan. Salawat dan
salam semoga tetap tercurahkan kepada baginda Nabi Muhammad Saw. yang telah
membawa kebenaran, menghapus gelapnya kebodohan, dan kekufuran, serta
mengangkat setinggi-tingginya menara tauhid dan keimanan.
Suatu realita, bahwa tidak ada manusia yang sempurna. Demikian pula
dalam penulisan karya ini, telah banyak pihak yang membantu sehingga skripsi ini
dapat terselesaikan. Pada kesempatan ini, dengan segala kerendahan hati,
mengucapkan terima kasih banyak kepada Bapak Dr. EMK. Alidar, S.Ag., M.Hum.
selaku pembimbing I dan Bapak Fakhrurrazi M.Yunus, Lc., M.A selaku pembimbing
II, yang telah banyak memberikan bimbingan, bantuan, ide, pengarahan dan waktu.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Khairuddin, S.Ag., M.Ag selaku
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum, Bapak Dr. Bismi Khalidin, S.Ag., M.Si selaku
ketua Prodi Hukum Ekonomi Syariah dan kepada Penasehat Akademik bapak
Kamaruzzaman Bustamam Ahmad, M.Sh., Ph.D Serta semua dosen dan asisten yang
mengajar dan membekali dengan ilmu sejak semester pertama hingga akhir.
vi
Rasa terima kasih dan penghargaan terbesar penulis hantarkan kepada Pihak
Bank Syari’ah Mandiri Cabang Banda Aceh yang elah memberikan informas terkait
dengan penulisan skripsi ini dan juga semangat untuk cepat studi ini terkhusus untuk
bapak Aulia dan bapak Marlianis
Ucapan terimakasih kepada sosok tercinta dan terkasih Ayahanda M.Thaib
Hanafiah Ibunda Yusidar, yang telah membesarkan dengan penuh rasa cinta dan
kasih sayang yang tiada henti, yang selalu memberikan dukungan saat terkadang
berada dikondisi yang tidak stabil. Serta rasa terimakasih sebesar-besarnya kepada
Abang saya Zulfikar, Faisal Akbar, dan kakak saya Juliana Putri yang telah
memberikan dukungan dan menjadi motivator hingga tetap semangat untuk
menyelesaiakn kuliah dalam waktu yang cepat.
Terima kasih yang setulusnya kepada sahabat seperjuangan atas
kebersamaaan dan motivasi dari awal hingga sekarang, Ilka Sandela yang telah
memjadi teman penyemangat, Rina Silvia, beserta teman-teman kelas Internasonal
leting 13 dan unit empat lainnya, serta sahabat Prodi Hukum Ekonomi Syariah
angkatan 2013.
Banda Aceh, 23 Januari 2017 Penulis
Fitria Andriani NIM. 121309829
viii
PEDOMAN TRANSLITERASI
1. Konsonan
Arab Transliterasi Arab Transliterasi ا Tidakdisimbolkan ط Ṭ
ب B ظ Ẓ ع T ت ‘
ث Ṡ غ G F ف J ج Q ق Ḥ حك Kh خ K د D ل L M م \Ż ذ N ن R ر W و Z ز H ه S س ’ ء Sy ش Y ي Ṣ ص
ض Ḍ 2. Konsonan
Vokal Bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong.
a. Vokal Tunggal
Vokal tunggal bahasa Arab yang lambangnya berupa tanda atau harkat, transliterasinya sebagai berikut:
Tanda Nama Huruf Latin
◌ Fatḥah a
◌ Kasrah i
◌ Dammah u
b. Vokal Rangkap
Vokal rangkap bahasa Arab yang lambangnya berupa gabungan antara harkat dan huruf, transliterasinya gabungan huruf, yaitu:
ix
Tanda dan Huruf Nama Gabungan Huruf Fatḥah dan ya ai ي Fatḥah dan wau au و
Contoh: haula : هول kaifa : كيف 3. Maddah
Maddahatau vocal panjang yang lambangnyaberupaharkatdanhuruf, transliterasinyaberupahurufdantanda, yaitu: HarkatdanHuruf Nama HurufdanTanda
Fatḥahdanalifatauya Ā ا / ي Kasrahdanya Ī ي Dammahdanwau Ū ي
Contoh: qāla : قال ramā : رمى qīla : قيل yaqūlu : يقول 4. Ta Marbutah(ة)
Transliterasiuntuk ta marbutahadadua. a. Ta marbutah(ة)hidup
Ta marbutah(ة) yang hidupataumendapatharkatfatḥah, kasrahdandammah, transliterasinyaadalah t.
b. Ta marbutah(ة)mati Ta marbutah(ة) yang matiataumendapatharkatsukun, transliterasinyaadalah h.
c. Kalaupadasuatu kata yang akhirkatanyaadalah ta marbutah(ة)diikutioleh kata yang menggunakan kata sandang al, sertabacaankedua kata ituterpisahmaka ta marbutah(ة)ituditransliterasikandengan h.
Contoh: rauḍah al-aṭfāl : روضة الاطفال رة al-Madīnah al-Munawwarah / al-MadīnatulMunawwarah : المدينة المنو Ṭalḥah : طلحة
x
Catatan: Modifikasi 1. Nama orang berkebangsaan Indonesia ditulissepertibiasatanpatransliterasi,
sepertiM. Syuhudi Ismail. Sedangkan nama-nama lainnyaditulissesuaikaidahpenerjemahan. Contoh: Ḥamad Ibn Sulaiman.
2. Nama negara dan kota ditulismenurutejaanBahasaIndonesia, sepertiMesir, bukan Misr; Beirut, bukanBayrut; dan sebagainya.
3. Kata-kata yang sudahdipakai (serapan) dalamkamusbahasaIndonesiatidakditranliterasikan. Contoh : Tasauf, bukanTasawuf.
DAFTAR LAMPIRAN
LAMPIRAN 1 : SK penunjukan Peembimbing
LAMPIRAN 2 : Pedoman Wawancara
LAMPIRAN 3 : Lembar Kelngkapan Berkas Pengajuan Lelang
BAB SATU
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Pembiayaanmerupakan salah satu kegiatan yang menonjol pada perbankan
syariah.Pembiayaan adalah produk yang berfungsi untuk pemenuhan dan
tambahan modal yang dibutuhkan nasabah untuk membiayai usaha atau proyek,
dalam operasional perbankan syariah, pembiayaan dapat dilakukan dengan
beberapa cara sesuai dengan produk yang disediakan oleh bank syariah dan harus
sesuai dengan ketentuan hukum Islam yang telah dirumuskan olehfukaha dalam
rubu’ al-fiq al mua’malah.
Dalam pembiayaan di perbankansyariah, pihak bank menetapkan jaminan,
dikarenakan jaminan menjadi suatu keharusan untuk terciptanya prudential
banking1
1Prudential bankingmenjadi prinsip yang sangat urgen diberlakukan pada bank syariah demi terciptanya bank yang sehat dan bebas dari masalah seperti pembiayaan bermasalah akibat wanprestasi nasabah debiturnya, Muhammad Maulana, Sistem Jaminan dalam Pembiayaan pada Perbankan Syariah Menurut Hukum Islam, ( Banda Aceh : Ar-Raniry Press,2013), hlm.14.
.Hal ini didasarkan pada ketentuan UU No. 21 Tahun 2008 tentang
perbankan syariah yang mensyaratkan calon nasabah debitur untuk memberikan
harta tertentu untuk dijadikan pegangan bagi bank baik dalam bentuk hak
tanggungan maupun fidusia (Hak jaminan atas benda bergerak).Dengan
adanyajaminan tersebut maka nasabah debitur dipandang memiliki
kemampuanuntuk memenuhi atau melunasi kewajibannya kepada bank syariah
sebagai kreditur yang dilakukan dengan cara menahan benda tersebut sebagai
agunannya.
Dengan adanya jaminan yang ditahan oleh bank syariah maka pihak
manajemen bankdapat memastikan nasabah debitur akan menunaikan
kewajibannya sebagai debitur baik untuk melunasi nilai pembiayaan yang telah
dikucurkan maupun keuntungan yang seharusnya diterima oleh bank syariah.
Dengan demikian pihak bank syariah memiliki hak sepenuhnya untukmenguasai
barang jaminan yang diserahkan oleh nasabah guna menjamin pelunasan
kewajiban pembiayaan yang dite
rima dalam perjanjian pembiayaan.2
Berdasarkan Pasal 21 Tahun 2008 tentang perbankan syariah keharusan
adanya jaminan terkandung dalam kalimat “…. Keyakinan atas kemampuan dan
kesanggupan debitur……”dan mencerminkan apa yang disebut the five cost of
credit yang salah satunya adalah collateral (jaminan/agunan) yang harus
disediakan oleh debitur
3
2 Veithzal Riva’i dan Andria Permata Veithzal, Islamic Financial Management (Jakarta: Raja Gravindo Persada, 2008), hlm. 663.
3 Budi Untung,Kredit Perbannkan di Indonesia (Yogyakarta: Andi Offiset, 2000), hlm. 54.
,lebih lanjut dalam pada Pasal 37 Ayat 3 bahwa
menyertakan jaminan dalam pembiayaan pada bank syariah merupakan salah satu
tahapan agar dapat disalurkan pembiayaan bagi pihak nasabahdan penyaluran
pembiayaan ini tidak boleh melebihi dari nilai jaminan yang ditangguhkan oleh
nasabah debiturnya.Pada dasarnya pemakaian istilah jaminan dan agunan adalah
sama, namun dalam praktik perbankan istilah ini memiliki kedudukan yang
berbeda dan nilai yang beda. Istilah jaminan mengandung arti kepercayaan atau
keyakinan dari bank atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk
melakasanakan kewajibannya4, maka dari itu dengan adanya jaminan tersebut,
pihakperbankan sebagai kreditur akan memiliki keyakinan sebagai syarat yang
ditetapkan oleh ketentuan perundang-undangan tentangprudential standar untuk
menimbulkan keyakinan bahwa debitur akan memenuhi kewajiban yang dapat
dinilai dengan uang yang timbul dari suatu perikatan pembiayaan tersebut.5
Bank Mandiri Syariah Cabang Banda Aceh adalah salah satu bank yang
beroperasi di kota Banda Aceh yang menyalurkan pembiayaan kepada nasabah
debiturnya. Salah satu produk pembiayaan pada Bank Syariah Mandiri Cabang
Banda Aceh adalah pembiayaan musyarakah.Sistem Musyarakah pada Bank
Syariah Mandiri Cabang Banda Aceh merupakan suatu pembiayaan kemitraan
Berdasarkan Pasal 37 Tahun 2008 tentang perbankaan syariah, keharusan
adanya jaminan terkandung dalam ayat (3) Bank Indonesia menetapkan ketentuan
mengenai batas maksimum penyaluran dana berdasarkan prinsip syariah,
pemberian jaminan, penempatan investasi surat berharga. Oleh karena itu
jaminan merupakan salah satu bentuk kehati-hatian bank dalam memberikan
pembiayaan untuk mengantisipasi kerugian. Jika jaminan tersebut bersifat
jaminan fidusia maka sertifikat jaminanfidusia tersebut mempunyai kekuatan
eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap, jadi berdasarkan titel eksekutorial ini penerima fidusia
dapat langsung melakukan eksekusi melalui pelelangan umum atas objek jaminan
fidusia tanpa melalui pengadilan.
4HartonoHadisoeprapto, Pokok Pokok Hukum Perikatan dan Hukum Jaminan(Yogyajarta: Liberty: 1984), hlm. 50.
yang diberikan oleh pihak bank kepada nasabah debitur untuk membantu dalam
menjalani usaha bersama yang dijalankan oleh nasabah debitur yang mana
didalamnya terdapat ketentuan yang harus diketahui oleh nasabah debiturnya.
Salah satu ketentuan dalam pembiayaan musyarakah pada Bank Syariah
Mandiri Cabang Banda Aceh adalah menetapkan barang jaminan yang harus
diberikan oleh pihak nasabah yang mana jaminannya harus melebihi dari dana
yang dipinjamkan oleh nasabah. Sebelum melakukan pembiayaan pihak
manajemen bank melakukan uji kepantasan usaha,yaituterhadap usaha yang ingin
dilakukan oleh nasabah dan menentukan bagaimana sistem bagi hasil yang
berlaku serta perlu menandatangani setiap perjanjian yang telah disetujui dan
ditetapkan antara kedua belah pihak.
Dalam operasionalnya Bank Syariah Mandiri Cabang Banda Aceh akan
memeriksa setiap permohonan pembiayaan musyarakah calon nasabah debitur,
dan selanjutnya pihak manajemen Bank menjelaskan esensi dan sistem
operasional pembiayaanmusyarakah di bank ini.
Pembiayaan musyarakah pada Bank Syariah Mandiri Cabang Banda Aceh
merupakan produk yang berfungsi untuk pemenuhan dan tambahan modal yang
dibutuhkan nasabah untuk pembiayaan usaha atau proyek yang seharusnya dalam
melakukan pembiayaan tersebut pihak kreditur tidak sepatutnya meminta jaminan
dikarenakan konsep dari musyarakah itu sendiri adalah kerjasama antara kedua
belah pihak tanpa adanya jaminan.
Pembiayaan musyarakah pada Bank Syariah Mandiri Cabang Banda Aceh
juga merupakan salah satu pembiayaan dalam jangka pendek yang semestinya
tidak akan terjadi eksekusi jaminan pada pembiyaan macet dalam proses
menjalani suatu usaha tersebut, namun pada kenyataanya pihak Bank Syariah
Mandiri Cabang Banda Aceh menerapkan sistem eksekusi jaminan untuk
menutupi kerugian atas pembiayaan yang bermasalah. Sebagaimanadata tahun
2016 terdapat 100 nasabah debitur yang telah masuk kedalam tahapan
restrukturisasi. Jika dipersentasekan maka terdapat 10% dari seluruh nasabah
yang mengalami kebangkrutan atau wanprestasi dalam tahapan eksekusi jaminan
yang sudah diserahkan kepada Kantor PelayananKekayaan Negara dan Negara
(KPKNL).Padahal jelas, pembiayaan musyarakahmerupakan salah satu sistem
kerjasama antara kedua belah pihak maka sepatutnya ketikaterjadipembiayaan
bermasalah, cukup hanya menjadikan usaha tersebut sebagai barang jaminan
untuk menutupi kerugian bank bukan menjadikan barang jaminan sebagai jalan
pintas untuk menutupi kerugian yang terjadi.
Berdasarkan pertimbangan hal-hal di atas, maka diperlukan suatu
penelitian terhadap mekanisme dan langkah-langkah sistem eksekusi yang
diterapkan pada Bank Syariah Mandiri Cabang Banda Aceh merujuk pada konsep
musyarakah. Dengan demikian penulis berkeinginan mengangkat masalah
tersebut melalui sebuah karya ilmiah yang berjudul: “Sistem Eksekusi Jaminan
pada Pembiayaan Musyarakah di Bank Syariah Mandiri cabang Banda
Aceh”.
1.2 Rumusan Masalah
Sesuai latar belakang yang telah penulis kemukakan, maka rumusan
masalah yang diajukan untuk diteliti adalah:
1. MengapaBank Syariah Mandiri Cabang Banda Aceh menjadikan jaminan
sebagai jalan utama dalam penanggulangan risiko pembiayaan
musyarakah?
2. Bagaimana sistem eksekusi yang dilakukan managemen Bank Syariah
Mandiri Cabang Banda Aceh untuk menutupi kerugian yang muncul
dalam pembiayaan musyarakah yang dilakukan debitur?
3. Bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap praktik eksekusi jaminan pada
pembiayaan musyarakah yang di terapkan pada Bank Syariah Mandiri
Cabang Banda Aceh?
1.3 Tujuan Penelitian
Setiap penelitian memiliki tujuan tertentu, demikian juga dengan
penelitian ini, maka tujuan yang ingin dicapai adalah:
1. Untuk mengetahui alasan Bank Syariah Mandiri Cabang Banda Aceh
menjadikan jaminan sebagai jalan utama dalam penanggulangan risiko
pembiayan musyarakah.
2. Untuk mengetahui sistem eksekusi yang dilakukan managemen Bank
Syariah Mandiri Cabang Banda Aceh untuk menutupi kerugian yang
muncul dalam pembiayaan musyarakah yang dilakukan debitur.
3. Untuk mengetahui tinjauan hukum Islam terhadap praktik eksekusi
jaminan pada pembiayaan musyarakah yang di terapkan pada Bank
Syariah Mandiri cabang Banda Aceh.
1.4.Penjelasan Istilah
Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas dan menghindarkan salah
penafsiran, maka perlu penegasan istilah sebagai berikut:
1. Eksekusi
Eksekusi adalah pelaksanaan putusan hakim, pelaksanaan hukuman badan
peradilan, dan juga dapat diartikan sebagai penjualan harta orang karena
berdasarkan penyitaan. Eksekusi yang penulis maksud disini yaitu eksekusi
barang jaminan terhadap piutang macet yang mana piutang yang sampai pada
suatu saat sejak piutang tersebut jatuh tempo, tidak dilunasi oleh pemegang utang
sebagaimana mestinya sesuai dengan perjanjian, peraturan, atau sebab apa pun
yang menimbulkan piutang tersebut.6
2. Jaminan
Jaminan adalah aset pihak peminjam yang dijanjikan kepada pemberi
pinjaman jika peminjam tidak dapat mengembalikan pinjaman tersebut, dan
jaminan ini merupakan hak mutlak atas suatu benda tertentu, berupa bagian
dariharta kekayaan debitur. Jadi, jika debitur wanprestasi (pembiayaan
bermasalah) ada benda yang secara khusus dapat dijual untuk melunasi utang
debitr tersebut.7
3. Pembiayaan Musyarakah
6Irma Devita Purnamasari, Hukum Jaminan Perbankan (Bandung : Kaifa PT Mizan
Pustaka, 2011), hlm. 28. 7Ibid., hlm. 2.
Pembiayaan musyarakah adalah pembiayaan dengan prinsip bagi hasil
digunakan untuk usaha kerjasama yang ditujukan untuk mendapatkan barang dan
jasa sekaligus.Yang mana tingkat keuntungan ditentukan dari besarnya
keuntungan usaha sesuai dengan prinsip bagi hasil. Pembiayaan musyarakah
ditandai dengan keinginan para pihak yang berkerjasama untuk meningkatkan
nilai aset yangt dimiliki secara bersama-sama.8
1.5.Kajian Pustaka
Kajian pustaka ini pada intinya adalah untuk mendapatkan gambaran topik
yang akan diteliti dengan penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya, sehingga
tidak ada pengulangan. Masalah pembiayaan dan jaminan akad musyarakah sudah
sering diteliti sedangkan untuk sistem eksekusi jaminan pada pembiayaan
musyarakah belum pernah dibahas namun ada beberapa tulisan yang berkaitan
dengan judul skirpsi penulis teliti. Misalnya karya tulis yang dipaparkan oleh
Syahrina Prihatini Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum Jurusan Hukum
Ekonomi Syariah Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh dengan judul
“Ke
dudukan Jaminan dalam Pembiayaan pada Perbankan Syariah ditinjau dari
Konsep Dhalam” pada Tahun 2012.Dalam penulisan judultersebut lebih
menjelaskan tentang kedudukan barang jaminan yang merupakan salah satu syarat
dari sistem prosudural pengambilan pembiayaan pada perbankan syariah.
8M.Nur Rianto Al-Arif Dasar-Dasar Pemasaran Bank Syariah (Bandung: Alfabeta,
2012) , hlm. 50.
Kemudian terdapat hasil penelitian yang dilakukan oleh Darmiati
Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum Jurusan Hukum Ekonomi Syariah
Universitas Islam Negeri Ar-Raniry dengan judul“Eksekusi Agunan Produk
Pembiyaan Murabahah Bermasalah Secara Langsung oleh Bank Aceh Syariah
Cabang Banda Aceh” Tahun 2010 didalam penulisannya dijelaskan bahwa dalam
menghadapi pembiayaan murabahah yang bermasalah Bank Aceh Syariah dapat
mengeksekusi barang jaminan milik nasabah melalui tahapan-tahap tertentu.
Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Zahrina Waddah Mahasiswa
Fakultas Syariah dan Hukum Jurusan Hukum Ekonomi Syariah Universitas Islam
Negeri Ar-Raniry Banda Aceh dengan judul “Penguasa dan Pemanfaatan
Jaminan dalam Perspektif UU NO.42. Tahun 1999 tentang Fidusia dan Rahn
dalam Fiqh Mualamah” Tahun 2011hasil penelitiannya adalah barang jaminan
tetap hak milik nasabah dan penguasaan barang jaminan juga sepenuhnya dapat
dikuasai oleh nasabah, sedangkan pihak bank hanya dapat menguasai objek
jaminan tersebut jika nasabah tidak mampu melunas utangnya pada saat jatuh
tempo.
1.6.Metode Penelitian
Pada prinsipnya dalam penulisan karya ilmiah memerlukan data yang
lengkap dan objektif serta mempunyai metode tertentu sesuai dengan
permasalahan yang akan dibahas, langkah-langkah yang ditempuh dalam
penulisan karya ilmiah ini adalah sebagai berikut:
1.6.1. Jenis Penelitian
Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian kualitatif dengan analisis
deskriptif, yaitu jenis penelitian yang dilakukan untuk mengetahui nilai variabel
mandiri, baik satu variabel atau lebih tanpa membuat perbandingan, atau
menghubungkan dengan variabel yang lain, baik satu variabel atau lebih tanpa
membuat perbandingan atau menghubungkan dengan variabel yang lain.
Penggunaan jenis penelitian deskriptif analisis dalam menyelesaikan
problematika penelitian dengan fokus penelitian pada praktek sistem eksekusi
jaminan pada Bank Syariah Mandiri Cabang Banda Aceh dengan mengunakan
akad syirkah inan, dilakukan dengan menganalisis dari awal mengenai bentuk
dalam eksekusi jaminan tersebut.Melalui metode deskriptif analisis, peneliti
menetapkan bahwa sistem eksekusi pada pembiayaan musyarakah dapat
dijabarkan dan ditelaah dengan baik, terutama dengan data yang akan diperoleh
lebih lengkap nantinya dari pimpinan Bank Syariah Mandiri cabang Banda Aceh.
1.6.2 Metode Pengumpulan Data
Dalam mengumpulkan data yang berhubungan dengan objek kajian, baik
itu data primer maupun data sekunder.Penulis mengambil dari dua sumber, yaitu
data yang didapat dari pustaka dan lapangan.
Penelitian lapangan (field research), yaitu pengumpulan data primer dan
merupakan suatu penelitian yang dilakukan terhadap objek pembahasan yang
menitikberatkan pada kegiatan lapangan, yaitu dengan mengunjungi langsung
bank Syariah Mandiri cabang Banda Aceh.Penulis juga menggunakan
pengamatan dengan teliti terhadap objek yang diteliti langsung serta mencatat
setiap informasi yang didapatkan pada saat melakukan penelitian hal ini untuk
menghasilkan sebuah penelitian yang valid dan sistematis.
Penelitian kepustakaan (library research) merupakan bagian dari
pengumpulan data skunder, yaitu dengan cara mengumpulkan, membaca dan
mengkaji lebih dalam buku-buku bacaan, makalah, ensiklopedia, jurnal, majalah,
surat kabar, artikel internet, dan sumber lainnya yang berkaitan dengan penulisan
ini sebagai data yang bersifat teoritis.
Di antara buku-buku rujukan pembahasan antara lain, Jaminan Fidusia
karangan Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Sistem Jaminan dalam Pembiayaan
Musyarakah pada Perbankan Syariah Menurut Hukum Islam karangan
Muhammad Maulana, Pokok-Pokok Hukum Perikatan dan Hukum Jaminan
karangan Hartono Hadiseoprapto, dan buku-buku penunjang lainnya sehingga
mendapatkan bahan dan teori dalam mencari sebuah jawaban dan mendapatkan
bahan perbandingan dan pengarahan dalam analisis data.
1.6.3. Teknik Pengumpulan Data
Untuk mendapatkan data yang diperlukan dalam penelitian ini serta untuk
membahas permasalahan yang ada, maka penulis akan menggunakan wawancara
(interview) sebagai teknik pengumpulan data.
a. Metode Penelitian Wawancara (Interview)
Wawancara adalah tanya jawab antara pewawancara dengan yang
diwawancarai untuk meminta keterangan atau pendapat tentang suatu hal yang
berhubungan dengan masalah penelitian. Wawancara yang penulis gunakan
adalah wawancara yang terstruktur, yaitu wawancara secara terencana yang
berpedoman pada daftar pertanyaan yang telah disiapkan sebelumnya.Pada
penelitian ini, penulis melakukan wawancara langsung kepada pihak Bank
Syariah Mandiri Cabang Banda Aceh yaitu kepada bagian eksekusi.
1.6.4. Instrumen Pengumpulan Data
Dari teknik pengumpulan data yang penulis lakukan, maka masing-masing
penelitian mengunakan instrument yang berbeda-beda. Untuk teknik wawancara
penulis mengunakan instrumen kertas, alat tulis, tape recorder untuk mendapatkan
data dari responden.
1.6.5. Langkah-Langkah Analisa Data
Setelah mendapatkan data yang dibutuhkan tentang eksekusi jaminan pada
pembiayaan musyarakah, maka penulis akan mengadakan pengolahan data dan
menganalisis data tersebut dengan mengunakan metode yang bersifat kualitatif
dengan deskripsif analisis yaitu penelitian mendiskripsikan mengenai unit sosial
tertentu yang hasilnya merupakan gambaran yang lengkap, cermat, dan
terorganisasi dengan baik mengenai urutan peristiwa yang mengindentifikasi
hubungan antar fungsi individu atau entintas. Data yang didapat dari hasil
wawancara, kemudian dikaji dengan teori yang sebenarnya maka akan tampak
kesenjangan antara praktik dilapangan dengan teori dan kemudian akan dianalisis
oleh penulis untuk mendapatkan hasil sebuah penelitian.
1.7.Sistematika Pembahasan
Untuk memudahkan pemahaman penelitian ini, penulis membagi
pembahasannya dalam empat bab yang terdiri dari beberapa sub bab dan secara
umum dapat digambarkan sebagai berikut:
Bab satu merupakan pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah,
rumusan masalah, tujuan penelitian, metodologi penelitian yang terdiri dari:
pendekatan penelitian, jenis penelitian, metode pengumpulan data, teknik
pengumpulan data, instrument pengumpulan data. Langkah-langkah analisis dan
sistematika pembahasan.
Bab dua membahas tentang landasan teoritis jaminan dan pembiayaan
musyarakah yang terdiri darikonsep jaminan dalam pembiayaan musyarakah,
pembiyaan musyarakah dalam perspektif fiqh mu’amalah, pendapat ulama
tentang eksekusi jaminan dalam pembiyaan musyarakah.
Bab tiga menguraikan mengenai pembiayaan musyarakah di Bank syariah
Mandiri cabang Banda Aceh, proses pelaksanaan eksekusi jaminan dalam
pembiyaan musyarakah di Bank Syariah Mandiri cabang Banda Aceh, dan
perspektif hukum Islam terhadap eksekusi jaminan di Bank Syariah Mandiri.
Bab empat merupakan bab penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran.
Pada bab ini penulis menjelaskan kesimpulan dari karya ilmiah ini dan juga saran
untuk kemajuan kedepan yang lebih baik.
BAB DUA
LANDASAN TEORITIS TENTANG JAMINAN DAN PEMBIAYAAN MUSYARAKAH
2.1. Konsep Jaminan
2.1.1. Pengertian Jaminan
Jaminan adalah sesuatu yang diberikan kepada kreditur untuk
menimbulkan keyakinan bahwa debitur akan memenuhi kewajibanyang dapat
dinilai dengan uang yang timbul dari suatu perikatan. Jaminan dalam fikih dikenal
dengan kafālah, Ḍhaman,dan dalam pengertian yang lain jaminan juga
merupakan ar-rahn yaitu secara bahasaartinya adalah aṡt-tṡubūt dan Ad-dawām
(tetap) atau adakalanya berarti al-ḥabs (Menahan) Allah Swt berfirman, dalam
surat al-mudatsir ayat: 38
Artinya: Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya.
Jika diperhatikan kata al-ḥabssecara dhahirnya makna kata ar-rahnu yang
utama adalah menahan karena ini adalah arti yang bersifat materi, namun walau
bagaimanapun juga, yang terpenting bahwa arti ar-rahnu menurut istilah memiliki
keterkaitan yang erat dengan arti secara bahasa.Terkadang kata ar-rahnu
digunakan untuk menyebutkan al-marhun (sesuatu yang digadaikan).
Sedangkan definisi akad ar-rahnu menurut istilah syarakadalah menahan
sesuatu disebabkan adanya hak yang memungkinkan hak itu bisa dipenuhi dari
sesuatu tersebut, artinya adalah menjadikan barang atau harta yang memiliki nilai
menurut syarat sebagai waṡīqah (jaminan utang) sekiranya barang itu
memungkinkan untuk membayar seluruh atau sebagian utang yang ada. atauar-
rahnuadalah akad waṡīqah (penjaminan harta), maksudnya adalah sebuah akad
yang berdasarkan atas pengambilan jaminan berbentuk harta yang konkrit bukan
jaminan dalam bentuk tanggungan seseorang.
Terdapat perbedaan pendapat para ulama dalammendefinisikan ar-rahnu.
UlamaSyafi’iyyah, mendefinisikan bahwa akad ar-rahnu sebagai berikut
menjadikan ‘ain (barang) sebagai jaminan utang yang barang itu digunakan untuk
membayar utang tersebut, ketika pihak yang berutang tidak mampu membayar
utang nya.Ulama Hanabilah mendefinisikan nya dengan harta yang dijadikan
sebagai waṡīqahutang yang ketika pihak yang menanggung utang tidak bisa
melunasinya, maka utang tersebut dibayar dengan menggunakan harga hasil
penjualan harta yang dijadikan waṡīqah tersebut.
Ulama Malikiyyah mendefinisikan ar-rahnu adalah sesuatu yang
berbentuk harta dan memiliki nilai yang diambil dari pemiliknya untuk dijadikan
waṡīqahutang yang lazim (keberadaannya sudah positif dan mengikat) atau yang
akan menjadi lazim. maksudnya suatu akad yang akan atau kesepakatan
mengambil sesuatu dari harta yang berbentuk ‘ain (barang,harta dan barangnya
berbentuk konkrit), seperti harta tidak bergerak seperti tanah dan rumah juga
seperti hewan dan barang komoditi atau dalam bentuk kemanfaatan (kemanfaatan
barang atau kemanfaatan tenaga dan keahlian seseorang), namun dengan syarat
pemanfaatan harus jelas dan ditentukan dengan masa (penggunaan dan
pemanfaatan suatu barang) atau pekerjaan (kemanfaatan seseorang berupa tenaga
dan keahliaan melakukan suatu pekerjaan) juga dengan syarat kemanfaatan
tersebut dihitung masuk kedalam utang yang ada.1
Kenyataan ini selaras dengan pendapat imam Syafi’i yang mengharuskan
harta yang bisa dijadikan jaminan adalah harta yang berbentuk kongkrit (ain)
sedangkan manfaat meskipun juga dikatagorikan sebagai harta namun tidak dapat
dijadikan sebagai objek jaminan untuk akad yang berbentuk rahn. Hal ini
dimungkinkan nilai manfaat bersifat relatife dan cenderung susah untuk diukur,
sedangkan pada jaminan tersebut pengukuran atau penilaiannya bersifat pasti.
Definisi yang bersifat operasional dikemukakan oleh Muhammad Syafi’i
Antonio, bahwa Rahn merupakan akad untuk menahan salah satu barang atau
harta milik si peminjam sebagai penjamin atas pinjaman yang diterimanya, barang
atau harta yang ditahan tersebut memiliki nilai ekonomis, dengan demikian pihak
yang menahan memperoleh jaminan untuk dapat mengambil kembali seluruh atau
sebagian piutangnya.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa rahn atau jaminan adalah
satu sistem muamalah dimana pihak yang satu memberikan pinjaman dan pihak
yang lain memberikan jaminan berupa barang yang berharga sebagai jaminan
terhadap utang yang menjadi suatu ikatan antara kedua belah pihak agar pemberi
pinjaman tidak ragu atas pengembalian utang yang diberikannya.Lazimnya, dalam
masyarakat jaminan utang biasanya dalam bentuk harta yang bersifat materil
karena mudah dikuasai.
1 Wahbah Zuhaili, Fiqih Islam Waadillatuhu, jilid 6 (Jakarta: Gema Insani,2011), hlm.
108.
Sehingga sering kali dalam sistem penjaminan hutang, nilai jaminan selalu
seimbang dengan nilai utang sehingga apabila rahin melakukan wanprestasi atau
kerugian lainnya bagi murtahin yang dapat diklasifikasikan sebagai bentuk non
performing loan maka murtahin dapan melakukan ganti kerugian tersebut melalui
penguasaan jaminan sebesar kerugian yang dideritanya. P1F
2
2.1.2 Dasar Hukum Jaminan
1. Al-Quran
Adapun dasar hukum tentang boleh menggunakan sistem penjaminan
dalam bentuk rahn, yaitu, sebagaimana terdapat dalam firman Allah Swt QS. Al-
Baqarah 283 yaitu:
Artinya : Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) Menyembunyikan persaksian. dan Barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Baqarah: 283).
2 ibidhlm. 110
Dalam kitab Aiṡar al-tafsir, Abu Bakar Al-Jazair menjelaskan tentang
maksud ayat tersebut adalah bahwa Allah swt memerintahkan adanya persaksian
dan penulisan dalam jual beli, disini dijelaskan bahwa ketika tidak ada alat tulis
atau tidak ada penulis, sedangkan seseorang dalam perjalanan, maka Allah
memerintahkan mengganti tulisan tersebut dengan barang berharga sebagai
jaminan atau gadai.
Dalam penalaran Usul Fikihpenggunaan barang jaminan merupakan
sesuatu indikator untuk menguatkan keyakinan para pihak dalam transaksi hutang
sehingga lafazh Amar dalam ayat tersebut dapat dikatagorikan sebagai irsyad.Ayat
tersebut juga secara eksplisit menyebutkan “barang tanggungan yang dipegang
(oleh yang berpiutang)dalam dunia finansial, barang tanggungan biasa dikenal
sebagai jaminan (collateral) atau objek pegadaian.
2. Hadist
Adapun hadist-hadist yang menjadi dasar hukum Rahn, sebuah riwayat
Rasulullah pernah melakukan jual beli kepada seorang Yahudi, kemudian
Rasulullah tidak mampu membayarnya, dan menyerakan baju besinya sebagai
barang jaminan sebagaimana disebutkan dalam hadist sebagai berikut:
جل، ورهنه ألى إ طعاما ىشتري من يهودإن رسول االله صلى االله عليه وسلم: أعن عائشة ،
2درعا له من حديدومسلم) F
بخاري(رواه3
Artinya : Aisyah R.A berkata bahwa rasulullah membeli makanan dari seseorang
dari yahudi dan menjaminkan kepadanya baju besi.(H.R. Bukhari dan Muslim)
3Abdullah Shonhaji, Sunan Ibnu Majah (Jakarta: Asy-syifa. 1993), hlm. 245.
Hadist ini menjadi dasar hukum ar-rahnu yang sangat terkenal dikalangan
umat islam karena dalam hadist tersebut mendeskripsikan peristiwa rahn yang
telah dilakukan oleh Rasulullah dan menjadi praktik pertama dalam islam.
Dan dalam hadist lainnya juga ditegaskan bahwa :
3لا يغلق الرهن من صاحبه الذيرهنه له غنمه وعليه غرمه F
4
Artinya: Pemilik harta yang diagunkan jangan di larang memanfaatkan hartanya
itu, karena segala hasil barang itu menjadi milik (pemiliki)-nya dan segala
kerugian barang itu menjadi tanggung jawab pemiliknya.(H.R Imam Asy-Syafi’i
dan Ad-Daruquqhni).
Hadist di atas yaitu hadist Rasulullah dalam bentuk hadist fi’ly (perbuatan
Rasulullah Saw) yang menggambarkan tentang perbuatan hukum Rasulullah
berupa transaksi non tunai dengan menggunakan akad gadai pada saat transaksi
jual beli dengan pedagangnya yang beragama Yahudi pada saat beliau menetap di
Madinah, dan beliau tidak dalam keadaan safar. Dengan demikian implementasi
gadai Rasulullah menjelaskan secara luas cakupan akad gadai yang dapat
dilakukan oleh komunitas umat muslim.
2.1.3. Syarat-Syarat BarangJaminan
Jumhur ulama telah sepakat menyatakan bahwa kriteria marhun (barang
jaminan), yaitu barang yang memiliki nilai ekonomis dan mudah dijual,
diketahuidengan jelas bentuknya dan pasti dan jelas nilai yang dikandungnya, bisa
4 Ibnu Hajar Al-Asqalaini, Bulughul Maram (Bandung: Penerbit Diponegoro, 2002) ,hlm.
380.
untuk diserahkan, bisa dipegang, bisa dikuasai, tidak tercampur dengan sesuatu
yang bukan marhun, terpisah dan teridentifikasi, baik itu harta bergerak maupun
harta tidak bergerak.
Syarat lainnya marhun yang diberikan kepada murtahin dapat
dimanfaatkan menurut ketentuan syar’i, barang jaminan harus seimbang dengan
jumlah hutang sehingga bila rahin tidak sanggup melunasi hutang sesuai dengan
kesepakatan yang telah dibuat maka marhun tersebut boleh dijual untuk menutupi
jumlah hutang rahin. Objek jaminan tidak boleh terkait dengan hak orang lain.
dengan demikian harta jaminan tersebut harus milik sendiri. Objek jaminan
tersebut diserahkan oleh rahin dan dapat dimanfaatkan olehmurtahin.
Menurut Imam Syafi’i nilai harta yang terdapat pada objek agunan tidak
boleh dimanfaatkan oleh pihak kreditur karena marhun hanya menjadi objek
untuk merecovery nilai hutang yang telah dipinjam debitur, kecuali pemanfaatan
harta oleh kreditur tersebut tidak merugikan pihak debitur. Kemudian pendapat
ulama Ḥanābilah hampir sama dengan pendapat ulama Syafi’iyah, yaitu jaminan
utang harus bisa dijadikan sebagai alat untuk membayar utang tersebutketika
pihak debitur tidak mampu untuk membayar utangnya.5
Menurut ulama Hanābilah tidak menetapkan dalam hal pemanfaatan
barang jaminan. Menurut Ulama Mālikiyyah syarat dari barang yang diserahkan
oleh debitur adalah yang memiliki nilai sebagai jaminan utang debitur yang
sudahjelas bentuk utangnya dan sudah mengikat atau yang akan mengikat kedua
belah pihak. Dalam madhhab Mālikiyyah pengaturan tentang jaminan lebih luas,
5 Muhammad Maulana, “Jaminan dalam Pembiayaan pada Perbankan Syariah di
Indonesia analisi Jaminan Pembiayaan Murabahah dan Musyarakah” Jurnal Ilmiah Islam Futura,vol.14, No 1. Agustus 2014 hlm. 77.
tidakhanya berupa harta yang bersifat konkrit atau harta yang berbentuk benda
jelas, tetapijaminan bisa juga dalam bentuk kemanfaatan, seperti kemanfaatan
barang ataukemanfaatan tenaga atau keahlian seseorang namun dengan syarat
jaminan tersebut harus jelas dalam hal penentuan waktu atau batas pekerjaan.6
1. jaminan kebendaan
2.1.4 Bentuk-Bentuk Jaminan
Jaminan pada pembiayaan musyarakah merupakan suatu keharusan
sebagaimana ketentuan UU No.10 Tahun 1998 Pasal 8, 23 dan 40, serta No.21
Tahun 2008 terutama dalam pasal mempunyai hubungan langsung dengan
jaminan sepenuhnya mengikuti teori umum jaminan demikian juga
penguasaannya. Sedangkan penguasaan atas jaminan selalu ada pada kreditur dan
dapat dipertahankan kepada siapapun, dan selalu mengikuti bendanya (droit de
suite) dan dapat diperlihatkan contoh hipotik dan gadai.
Adapun beberapa bentuk jaminan sebagai berikut:
Jaminan ini meliputi meliputi gadai, hipotek hak tanggungan dan fidusia
selain jaminan kebendaan dalam kitab undang-undang perdata juga dikenal
jaminan orang atau penanggungan utang (borgtocht) yang diadakan antara
kreditor dengan pihak ketiga, dimana pihak ketiga tersebut mengikatkan diri
untuk memenuhi perikatan debitur jika debitur tidak memenuhinya, berikut
penjabaran tentang jaminan kebendaan:
a. Gadai
6Ibid.,Jurnal…, hlm. 78.
Dalam pasal 1150 kitab undang-undang perdata mendefinisikan gadai
sebagai suatu hak yang diperoleh kreditor atas suatu kebendaan bergerak yang
diserahkan kepadanya oleh seorang debitur atau oleh seorang yang lain atas nama
debitur dan yang memberikan kekuasaan kepada kreditur untuk mengambil
pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan daripada kreditur lain.
b. Hipotek
Pasal 1162 Kitab Undang-Undang Perdata mendefinisikan hipotek sebagai
suatu hak kebendaan atas benda-benda tidak bergerak, untuk mengambil
penggantian daripadanya bagi pelunasan suatu perikatan. Sebagaimana gadai,
hipotek inipun merupakan hak yang bersifat assesoir. Objek hipotek sesuai
dengan pasal 1164 Kitab Undang-Undang Perdata adalah barang tidak bergerak.
Hipotek tidak dapat dibebankan atas benda bergerak karena Pasal 1167 secara
tegas melaranggnya. Misalnya seperti tanah dan yang melekat diatasnya seperti
bangunan rumah dan lain sebagainya.
c. Kapal laut sebagai jaminan utang
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang membedakan kapal laut dalam dua
golongan yaitu kapal laut sebagai kebendaan yang bergerak dan kapal laut sebagai
kebendaan yang tidak bergerak. Pasal 314 KUHD menentukan bahwa kapal laut
yang memiliki ukuran sekurang-kurangnya dua puluh meter kubik dapat
didaftarkan di Syah Bandar Direktorat Jendral Perhubungan Laut Departemen
Perhubungan, dan yang dengan pendaftaran tersebut memiliki kebangsaan sebagai
kapal Indonesia, terhadap kapal-kapal demikian yang terdaftar di Syah Bandar,
KUHD selanjutnya memperlakukannya sebagai kebendaan yang tidak bergerak.
dan oleh sebab itu pula penjaminan yang dapat diletakkan di atasnya-pun hanya
dalam bentuk hipotek, sedangkan bagi kapal-kapal yang tidak terdaftar dianggap
sebagai kebendaan yang bergerak (Pasal 314 KUHD).
d. Fidusia
Jaminan fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan barang tertentu
dengan ketentuan bahwa barang yang hak kepemilikannya dialihkan tetap menjadi
penguasaan pemilik barang.Hal ini diatur dalam Undang Undang (UU) Nomor 42
Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.Jaminan Fidusia juga merupakan hak
jaminan atas benda bergerak berwujud maupun tidak berwujud.7
Pasal 224 HIR menentukan bahwa setiap akta hipotek dan akta pengakuan
hutang, yang dibuat dihadapan notaris dan yang kepalanya memakai perkataan
“demi keadilan yang berketuhanan yang maha esa” memiliki kekuatan yang sama
dengan putusan hakim, jika akta yang demikian itu tidak ditutupi dengan jalan
damai, maka untuk manjalankannya dilangsungkan dengan perintah dari ketua
2. Jaminan Perseorangan
a. Grossa Akta (Pengakuan Utang )
Penyebutan grossa akta sebagai suatu bentuk akta yang memiliki kekuatan
eksekutorial dapat kita temukan pada Reglemen Acara Perdata (reglement op de
rechtsvordering/R.v), yaitu dalam ketentuan Pasal 435 dan Pasal 440.
7 M. Bahsan,Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia (Jakarta: PT
Grafindo Persada, 2007), hlm. 51.
Pengadilan Negeri tempat daerah hukumya orang yang berutang berdiam
bertempat tinggal atau pada domisili yang dipilih olehnya.8
NO
Namun dalam perbankan, jaminan yang diserahkan oleh oleh nasabah
debitur kepada bank adalah fidusia, dan hak tanggungan, sedangkan jaminan
penangguhan kurang lazim dilakukan, karena hanya sebatas rekomendas saja.
Berikut ini penulis rincikan jaminan yang dipegang oleh bank syariah sebagai
kreditur yang telah menyalurkan pembiayaan musyarakah :
Jenis Jaminan Perincian Bentuk jaminan
1 Cash collateral Tabungan
Giro
Deposito
2 Fidusia Kendaraan roda 2, seperti sepeda
motor (BPKP)
Kendaraan roda 4 seperti mobil,
truk (BPKB)
Kapal laut dan pesawat
Mesin, seperti rice mollen
3 Hak tanggungan Tanah yang berstatus SHM
Tanah yang berstatus SHGU
Tanah yang berstatus SHGB
13 Gunawan Widajaja, Jaminan Fidusia, (Jakarta: PT Raja Gravindo Persada:2003), hlm
.84.
Bangunan IMB
Bangunan Tanpa IMB
4 Piutang Tagihan piutang dagang
Tagihan termin proyek baik proyek
pemerintah maupun swasta
Table di atas hanya contoh jenis jaminan yang dapat digunakan oleh
nasabah debitur ketika mengambil pembiayaan musyarakahpada bank
syariah.Pihak bank syariah bukan hanya melihat pada jenis jaminan tetapi juga
pada melakukan plotting(penilaian tentang keadaan jaminan).
2.2. Jaminan dalam Pembiayaan Musyarakah
2.2.1. Pengertian pembiayaan Musyarakah
Sebelum mendefinisikan pembiayaan pada musyarakah, maka ada
baiknya megetahui terlebih dahulu arti dari musyarakah tersebut dalam perspektif
muamalah, Secara bahasa adalah masdar dari: شارك يشارك yang berarti penyatuan
dua dimensi atau lebih menjadi satu kesatuan. Kata ini juga berarti bagian dari
bersyarikat 8F
9. Dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) Syirkah
didefinisikan di dalam pasal 136 yaitu, “kerjasama dapat dilakukan antara kedua
belah pihak pemilik modal atau lebih untuk melakukan usaha bersama dengan
9 Baihaqi A. Shamad, M.Ag, konsepsisyirkah dalam Islam perbandingan antar mazhab, (Banda Aceh: Arraniry press,2007). Hlm. 53
jumlah modal boleh yang tidak sama, masing-masing pihak berpartisipasi dalam
perusahaan, dan keuntungan dan kerugian dibagi sama atas dasar proposi modal.10
Menurut terminology, syirkahadalah suatu transaksi yang menghendaki
tetapnya hak pada sesuatu menjadi milik dua orang atau lebih ada juga yang
mendefinisikan sebagai percampuran saham atau modal seorang dengan orang
lain sehingga tidak dapat dibedakan kedua modal tersebut. Dalam harta syirkah
tersebut adanya penetapan bagian masing-masing pihak berdasarkan ketentuan
yang telah disepakati bersama.Sedangkan Abdurrahman seorang ulama
kontemporer menjelaskan bahwa syirkah hubungan kerja sama antara dua orang
Syirkah identik dengan partnership (bahasa ingris) atau perkongsian
namun demikian istilah tersebut telah menjadi popular dikalangan para musafir
dan dan pedagang Arab Jahiliyyah juga masyarakat Melayu sebagai bentuk
kerjasama dalam beberapa sektor yang didasari suatu bentuk perjanjian. Perkataan
kerjasama cooperation dan perkongsiang (partnership) banyak didapati dalam
kalmat-kalimat Al-Quran seperti surat An-Nisa’
...
Artinya : tetapi jika saudara-saudara seibu lebih dari seorang maka mereka
bersekutu dalam yang sepertiga itu (Q.S An-Nisa : 12)
Ayat tersebut menerangkan bahwa bagian sepertiga dari harta warisan
menjadi syirkah (milik bersama) di antara dua orang atau lebih saudara seibu.
10 Tim Redaksi Focusmedia, Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, (Bandung: fokusmedia, 2008),hlm. 41.
atau lebih dalam bentuk bisnis (peniagaan) dan masing-masing pihak memperoleh
pembagian keuntungan berdasarkan penanaman modal dan kerja masing-masing
peserta.
Pengertian musyarakah menurut istilah berbeda pendapat dikalangan
ulama Fikih.Definisi syirkah yang dikemukakan oleh ulama Hanafiyah adalah
orang-orang yang bekerjasma dalam modal dan keuntungan. Sedangkan di
kalangan ulama Malikiyyah syirkah didefinisikan dengan izin untuk
mendayagunakan (taṣarruf) harta yang dimiliki dua orang secara bersama-sama
oleh keduanya, yakni para pihak yang berkongsi saling menginzinkan kepada
salah satunya untuk mendayagunakan harta milik keduanya, namun masing-
masing memiliki hak untuk taṣarruf.11
Musyarakah pada umumnya merupakan perjanjian yang berjalan terus
sepanjang usaha yang dibiayai bersama selama beroperasi, meskipun demikian
perjanjianmusyarakah dapat dikahiri dengan atau tanpa menutup usaha. Apabila
usaha di tutup dan dilikuidasi, maka masing-masing mitra usaha mendapat hasil
Pada dasarnya definisi-definisi yang dikemukakan oleh ulama-ulama di
atas hanya berbeda secara redaksional, sedangkan esensi yang terkandung
didalamnya adalah sama, yaitu ikatan kerjasama yang dilakukan oleh dua orang
atau lebih dalam perdagangan. Dengan adanya akad syirkah yang disepakati
kedua belah pihak, semua pihak yang mengikatkan diri berhak bertindak hukum
terhadap harta serikat itu dan berhak mendapatkan keuntungan sesuai dengan
kesepakatan yang disepakati.
11Harun Nasutioan, Fiqh Muamalah (Jakarta: Media Pratama,2007),hlm. 165.
likuidasi aset sesuai nisbah penyertaannya dan apabila usaha terus bejalan, maka
mitra usaha yang ingin mengakhiri perjanjian dapat menjual sahamnya ke mitra
usaha yang lain dengan harga yang disepakati bersama.12
Menurut fatwa DSN-MUI NOMOR 08/DSN-MUI/IV/2000, Syirkah
diartikan sebagai pembiayaan berdasarkan akad kerjasama antara kedua belah
pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu, dimana masing-masing pihak
memberikan kontribusi dana dengan ketentuan dan risiko akan ditanggung
bersama sesuai dengan kesepakatan.
13
12Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2008),
hlm. 52. 13Fatwa MUI No 8/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Pembiayaan Musyarakah, hlm.78.
Dari beberapa definisi di atas penulis menyimpulkan bahwa
musyarakahmerupakan salah satu bentuk kerjasama antara dua pihak atau lebih
untuk suatu usaha tertentu dimana keduanya masing-masing pihak memberikan
kontribusi dana atau uang dengan kesepakatan keuntungan dan risiko akan
ditanggung bersama.Dengan demikiansyirkah dapat menggerakkan modal roda
perekonomian dengan pendapatan yang diperoleh dari pengelolaan usaha
sehingga dapat meminimalisirkan tinggat kemiskinan khususnya di Aceh ini.
Dalam perbankan, aplikasi musyarakah disebut dengan pembiayaan
musyarakahyang biasanya dalam hal pembiayaan proyek dimana nasabah dan
bank sama-sama menyediakan dana untuk membiayai proyek tersebut, setelah
proyek itu selesai, nasabah mengembalikan dana tersebut bersama bagi hasil yang
telah disepakati untuk bank.
Secara spesifik bentuk kontribusi dari pihak yang bekerjasama dapat
berupa dana, trading asset, kewirausahaan (entrepreneurship), kepandaian (skill)
kepemilikan (property) peralatan (equipment) atau intangible asset (seperti hak
paten atau good will), kepercayaan/reputasi (credit worthiness) dan barang-barang
lainnya yang dapat di nilai
degan uang. dengan merangkum seluruh kombinas dari bentuk kontribusi masing-
masing pihak dengan atau tanpa batasan waktu menjadikan produk ini sangat
fleksibel.14
1. Semua modal disatukan untuk dijadikan modal proyek musyarakahdan
dikelola berama-sama. Setiap pemilik modal berhak turut serta dalam
menentukan kebijakan usaha yang dijalankan oleh pelaksana proyek. Pemilik
modal dipercaya untuk menjalankan proyek musyarakah dan tidak boleh
melakukan tindakan seperti:
Ketentuan umum pembiayaan musyarakah adalah sebagai berikut:
a. Menggabungkan dana proyek dengan harta pribadi.
b. Menjalankan proyek musyarakah dengan pihak lain tanpa izin pemilik
modal lainnya.
c. Memberi pinjaman kepada pihak lain.
d. Setiap pemilik modal dapat mengalihkan penyertaan atau digantikan oleh
pihak lain.
e. Setiap pemilik modal dianggap mengakhiri kerja sama sama apabila
menarik diri dari perserikatan, meniggal dunia, dan menjadi tidak cakap
hukum.
14 Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah (Jakarta: Kencana 2012, hlm. 23.
2. Biaya yang timbul dalam pelaksanaan proyek dan jangka waktu proyek harus
diketahui bersama. Keuntungan dibagi sesuai porsi kecakapan, sedangkan
kerugian dibagi sesuai porsi kontribusi modal.
3. Proyek yang akan dijalankan harus disebutkan dalam akad, setelah proyek
selesai nasabah mengembalikan dana tersebut bersama bagi hasil yang telah
disepakati untuk bank.15
Dalam hal modal ventura, pada lembaga keuangan khusus yang
dibolehkan melakukan investasi dalam kepemilikan perusahaan, Al-
musyarakahditerapkan dalam skema modal ventura. Penanaman modal sering
dilakukan untuk jangka waktu tertentu dan setelah itu bank melakukan divestasi
atau menjual bagian sahamnya, baik secara singkat maupun secara bertahap.
Selanjutnya yang harus diperhatikan dalam pembiayaan musyarakah
adalah dalam hal pembagian proporsi keuntungan harus diperhatikan beberapa hal
diantaranya.Proporsi keuntungan yang dibagikan kepada mitra usaha harus
disepakati diawal kontrak, jika proporsi belum ditetapkan tidak sah menurut
syariah, dan juga butuh memperhatikan rasio atau nisbah keuntungan untuk
masing-masing mitra usaha harus ditetapkan sesuai dengan keuntungan nyata
yang diperoleh dari usaha, dan tidak ditetapkan berdasarkan modal yang
disertakan tidak diperbolehkan untuk menetapkan langsung untuk mitra tertentu,
atau tingkat keuntungan tertentu yang dikaitkan dengan modal investasinya.
Seperti contoh, Jika A dan B bermitra dan sepakat bahwa Akan
mendapatkan bagian keuntungan setiap bulan sebesar Rp. 100.000 dan sisanya
15 Ibid,.hlm. 240
merupakan bagian keuntungan si B, maka kemitraan itu tidak sah. demikian pula,
jika disepakati bahwa A akan akan memperoleh 15% dari nilai investasinya,
kemitraan itu tidak sah. Dasar yang benar untuk mendistribusikan keuntungan
adalah presentase yang disepakati dari keuntungan yang benar-benar diperoleh
dalam usaha.
Penentuan Proporsi keuntungan dalam menentukan proporsi keuntungan
terdapat beberapa penapat para ahli hukum Islam sebagai berikut:
1) Imam Malik dan Imam Syafi’i berpendapat bahwa proporsi keuntungan
dibagi di antara mereka menurut kesepakatan. yang ditentukan sebelumnya
dalam akad sesuai dengan proporsi modal yang disertakan.
2) Imam Ahmad berpendapat proporsi keuntungan dapat pula berbeda dari
proporsi modal yang mereka sertakan.
3) Imam Abu Hanifah, yang dapat dikatakan sebagai pendapat tengah-tengah,
berpendapat bahwa proporsi keuntungan dapat berbeda dari proporsi
modal pada kondisi normal, namun demikian, mitra yang memmutuskan
menjadi sleeping parner, proporsi keuntungan tidak boleh melebihi
proporsi modalnya.
4) Pembagian kerugian, kerugian harus dibagi diantara para mitra secara
proposional menurut saham msing-masing dalam modal
5) biaya operasional dibebankan papa modal bersama, jika salah satu pihak
tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara
para pihak maka penyelesaiannya dilakukan melalaui badan Arbitrase
Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.16
SKEMA PEMBIAYAAN AL-MUSYARAKAH
Pada skema di atas dapat kita ketahui bagaimana mekanisme atau skema
pembiayaan pada musyarakah, namun dalam hal ini pembiayaan musyarakah
yang di lakukan pada dunia perbankkan baik konvensional maupun syariah selalu
16 Ibid.,hlm. 251.
Bank Syariah Parsial Pembiayaan
Nasabah
PROYEK USAHA
KEUNTUNGAN
Bagi hasil keuntungan sesuai porsi kontribusi modal (nisbah)
saja mensyaratkan adanya jaminan, oleh karena itu sebaiknya kita harus
mengetahuijaminan dalam musyarakah ditinjau dari hukum islam atau fiqh
muamalah, sebelum melakukan pembiayaan, sebenarnya pihak manajemen bank
syariah harusmemastikan bahwa usaha tersebut dikelola dengan baik dan taat asas
berdasarkanperjanjian yang telah disepakati.
Semua aset dalam usaha tersebut dapat digunakanoleh bank sebagai
jaminan pokok, yang biasanya digunakan untuk menyelesaikanmasalah
pembiayaan bermasalahdengan carafirst way out. Bila jaminan pokoktersebut
tidak memadai untuk menutupi semua risiko pembiayaan yang mungkindihadapi
bank, maka dalam operasionalnya pihak manajemen bahkan meminta
nasabahdebitur untuk menyediakan agunan tambahan, dalam hal ini tidak
seharusnya demikian, namun yang sepatunya adalah ketika debitur bermasalah
dengan pembiayaan maka yang dijadikan sasaran utama adalah usaha yang
mereka jalankan tanpa harus meminta jaminan lagi kepada nasabah debitur.
Secara konsep, musyarakah mempunyai arti percampuran ikhtilaṭ yaitu
percampuan salah satu dari dua harta dengan harta lainnya tanpa dibedakan antara
keduanya dan konsep musyarakah ini juga merupakan kerjasama antara dua orang
atau lebih dalam hal permodalan, ketrampilan, atau kepercayaan dalam usaha
tertentu dengan pembagian keuntungan berdasarkan nisbah tanpa mensyaratkan
adanya jaminan.
Jika kedudukan jaminan ditinjau dalam hukum positif maka hal ini telah
diatur dalam Pasal 23 UU No 21 Tahun 2008 ditentukan bahwa bank syariah
harus mempunyai keyakinan atas kemauan dan kemampuan calon nasabah
penerima fasilitas untuk melunasi seluruh kewajiban pada waktunya sebelum
bank syariah menyalurkan dana kepada nasabah penerima fasilitas.
Berdasarkan ketentuan di atas, dapat diketahui bahwa agunan (jaminan)
merupakan unsur penting yang harus diperhatikan oleh bank syariah sebelum
melakukan pembiayaanmusyarakah. Agunan (jaminan) ini merupakan salah satu
unsur yang dapat memberikan keyakinan kepada bank syariah terhadap dana yang
disalurkan dalam bentuk pembiayaan tersebut akan dapat dikembalikan oleh
nasabah, atas dasar itulah diketahui bahwa jaminan tersebut hanya sebagai unsur
kehati-hatian saja.
2.2.2 Dasar Hukum Pembiayaan Musyarakah
Islam menggalakkan kerjasama dalam berbagai bentuk usaha kebajikan
dan kebaikan dan sebaliknya menolak usaha-usaha yang bisa mendatangkan
kemudharatan untuk diri sendiri dan orang banyak oleh karenanya operasinal
syirkah dalam dunia perdagangan diperbolehkan oleh syariat Islam.hal ini
berdasarkan pada dalil-dalil Al-quran, sunnah dan ijma’ ulama.
a. Dalil dari ayat Al-Quran,
.......
Artinya : dan Sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu
sebahagian mereka berbuat zalim kepada sebahagian yang lain, kecuali orang-
orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh (Q.S Shaad 24)
b. Dalil dari sunnah
Pelaksanaan dalam Islam juga didasari kepada hadist qudsi yang
diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda: Aku adalah
kongsi ketiga dari dua orang yang berkongsi selama salah seorang kongsi tidak
mengkhianati kongsinya, apabila ia mengkhianati, maka aku keluar dari
perkongsian itu (HR. Abu Daud).
c. Dalil-dalil ijma’
Ulama sepakat bahwa syirkah hukumnya menurut syariah, sekalipun
mereka berbeda pendapat tentang Jenis-jenis syirkah dan keabsahan masing-
masing.Syirkahpun saling berbeda menurut masing-masing persepsi mereka apa
yang kita lihat sejak masa Rasulullah Saw, orang-orang mukmin selalu berserikat
dalam perniagaan.
2.2.3 . Macam-Macam Musyarakah
Pada dasarnya syirkahdibagi menjadi dua macam,yaitusyirkahamlak
(kepemilikan) dan syirkah ‘uqūd/akad (kontrak). Syirkahamlak terjadi disebabkan
tidak melalui akad, tetapi karena melalui warisan, wasiat atau kondisi lainnya
yang berakibat pemilikan.Dalam syirkah ini kepemilikan dua orang atau lebih
berbagi dalam aset nyata dan berbagi pula dalam hal keuntungan yang dihasilkan
aset tersebut. Adapun syirkah akad tercipta karena adanya kesepakatan antara dua
orang atau lebih untuk bekerja sama dalam memberi modal dan mereka sepakat
berbagi keuntungan dan kerugian.
Sayid Sabiq membagi syirkah akad menjadi 4 bagian diantaranya:
1) Syirkah ‘Inān
Yaitu, kerjasama antara dua orang atau lebih dalam permodalan untuk
melakaukan suatu usaha bersama dengan cara membagi untung atau rugi sesuai
jumlah modal masing-masing, namun apabila porsi masing-masing pihak berbeda,
maka, sesuai dengan kesepakatan mereka dan semua ulama membolehkannya.
2) Syirkah Mufāwaḍḥah
Kerjasama antara dua orang atau lebih untuk melakukan usaha-usaha
dengan mempunyai beberapa persyaratan bahwa, modal yang disertakan dalam
suatu usaha tersebut harus sama banyak, bila ada salah satu anggota yang
berserikat mempunyai modal lebih banyak maka tidak sah.
3) Syirkah Wujūh
Kerjasama antara dua orang atau lebih untuk membli sesuatu tanpa modal
tetapi hanya modal kepercayaan dan keuntungan dibagi antara sesame mereka.
4) Syirkah Abdan
Adalah perserikatan antara dua orang atau lebih sepakat untuk berserikat
bekerja dengan badannya, misalnya keduanya berserikat memproduksi sesuatu,
penjahitan,cuci pakaian, kemudia keuntungan yang diperoleh dibagi dua atau
sesuia dengan kesepakatan keduanya.
5) Syirkah Mudharabah
Adalah pinjaman ialah misalnya A memberikan sejumlah uang kepada si
B untuk modal usaha dan keuntungannya sebagaimana kesepakatan antara kedua
belah pihak sedangkan jika ada kerugian maka ditanggung oleh pemodal saja (A)
karena kerugian (B)/Pekerja sudah cukup dengan kelelahan yang dialaminya.
Oleh karena itu ia tidak perlu dibebani oleh kerugian yang lain.
Dari berbagai macam bentuk syirkah di atas, yang sering digunakan pada
praktek perbankkan adalah adalah syirkah ‘Inān, syirkah‘Inān dibolehkan oleh
semua ulama dan dalam hal penyertaan modal syirkah inan tidak mesti harus
sama.
Syarat-syarat keabsahan dari syirkah‘Inān yaitu hendaknya syirkah
dilakukan sesama kaum muslim. karena non muslim tidak bisa dijamin
meninggalkan berinteraksi dengan riba atau tidak memasukkan harta haram
kedalam syirkah, kecuali jika hak menjual dan membeli diserahkan kepada ke
tangan orang muslim maka tidak salahnya melibatkan orang non muslim ke dalam
syirkah, kemudian jika saham berupa uang namun ada seseorang yang
mempunyai komoditi, ingin ikut bergabung dalam syirkah. maka komoditinya
dihargai degan uang sesuai dengan harga pada hari itu, karena komoditi itu tidak
diketahui nilainya dan berinteraksi dengan sesuatu yang tidak diketahui nilainya
itu dilarang syariat karena menyebabkan penyia-nyiaan hak dan memakan harta
manusia dengan batil.17
Oleh Karena itu, dalam hal ini, eksekusi atau sita jaminan pada bank sama
dengan denda yang telah disyaratkan di awal oleh pihak perbankan yang terjadi
pada pembayaran terlambat, dalam hal ini Yusuf Qardhawi menjelaskan bahwa
denda sama dengan bunga yang diambil dari debitur yang terlambat membayar
utang. Sebagian ulama abad ini berpendapat bahwa jika orang yang berutang
mempunyai uang dan mampu membayar namun, ia mengulur-ulur pembayaran,
2.3 Pendapat Ulama Terhadap Eksekusi Jaminan
Ulama madzhab beserta pakar ekonomi Islam seperti Muhammad
Nejatullah dan Umar Chapra menjelaskan mengenai dilarangnya jaminan dalam
perjanjian kerjasama dengan alasan kerugian tidak bisa ditanggung oleh pihak
pengelola saja, jika ada syarat kerjasama dengan jaminan maka syarat tersebut
batal akan tetapi apabila terjadi kelalaian atau kesengajaan dari pihak pengelola
yang mengakibatkan kerugian maka diperbolehkan kerugian itu ditanggung oleh
pengelola itu sendiri. Fatwa DSN No. 8 tahun 2000, mengenai musyarakah yang
membolehkan adanya jaminan nasabah itu hanya sebagai unsurkehati-hatian
untuk menghindari terjadinya penyimpangan, namun pihak bank tidak
diperbolehkan untuk menyita jaminan dan pihak bank cukup menjadikan usaha
tersebut sebagai jaminan yang dapat disita jika sewaktu-waktu terjadinya
wanprestasi.
17Abu Bakr Jabir Al-jazair, Ensiklopedi Muslim (Jakarta: Darul Falah,2006), hlm. 516.
maka boleh mengambil denda darinya dan menganggap denda tersebut sebagai
sedeqah kemudian uang denda tersebut disedeqahkan untuk membantu pelajar
yang tidak mampu dan sebagainya. Pendapat ini berdasarkan pendapat
Alkhattabah dari mazhab Maliki.17F
18 Tentang hal tersebut juga telah diriwayatkan
didalam hadist bahwasanya
وعن عمر وبن الشريد عن أبيه قال :قال رسول االله صل االله عليه وسلم لي الواجد يحل
عرضه وعقوبته وعلق (رواه البخاري وصححه ابن حبان)
Artinya: Dari Amar bin Syarid , dari ayahnya bahwa Rasulullah saw bersabda,
orang mampu yang menangguhkan pembayaran utang dihalalkan penghormatan
dan siksanya. (Hadist Muallaq Menurut Bukhari dan shahih menurut ibnu
Hibban). 18F
19
Adapun orang yang terlambat membayar karena tidak mampu dan kondisi
yang tidak memungkinkan, maka seharusnya ia tidak didenda. ini mempunyai
kesamaan dengan eksekusi pada barang jaminan, yang seharusnya tidak disita
barangtersebut selama masih ada barang atau modal usaha milik pengelola
sehingga ini tidak memberatkan debitur atau pengelola dalam usahanya serta tidak
mengandung unsur kedhaliman hal ini berdasarkan firman Allah Swt:
18 Yusuf Qaradhawi, Fatwa-Fatwa Konemporer, (Jakarta: Gema Insani Press, 2002), Jilid
III. hlm. 534. 19 Abdullah Shonhaji,Sunan Ibnu Majah.....,hlm. 231.
Artinya : Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, Maka berilah
tangguh sampai dia berkelapangan. dan menyedekahkan (sebagian atau semua
utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu Mengetahui. (Q.S Al-baqarah : 280 )
Dalam hal ini, ulama mazhab juga memberikan penjelasan tentang
eksekusi barang jaminan tersebut. Gadai adalah sebuah jaminan atau penguat
utang seperti yang telah penulis jelaskan di atas, tujuan yang diinginkan dari akad
gadai adalah mendapatkan pembayaran utang dari harga penjualan almurhun
ketika ar-rahin tidak melunasi utang yang ada ketika waktu pelunasan utang
tersebut telah jatuh tempodengan cara menjual al-marhun. Pada kondisi-kondisi
yang normal penjualan al-marhun dilakukan oleh ar-rahin atau wakilnya karena
ar-rahin adalah pemilik al-marhun.
Berdasarkan hal ini maka utang yang ada telah jatuh tempo pelunasannya,
maka almurtahin memintaar-rahin untuk melunasi utangnya. Jika ar-rahin
bersedia melunasi utangnya maka tidak ada masalah lagi. Namun jika ar-rahin
tidak melunasinya dengan menunda-nunda padahal ia mampu untuk melunasinya
atau karena ia memang belum mampu melunasinya dikarnakan sempitnya kondisi
ekonominya atau karena ar-rahin sedang tidak ada, maka hakim memaksa untuk
menjual al-marhun,dalam hal ini terdapat perselelisihan para ulama
Menurut ulama Hanafiyah dan ulama Malikiyah hakim bisa memaksa
wakil ar-rahin untuk menjual Al-marhun. Sedangkan menurut ulama Syafi’iyah
dan ulama hanabilah hakim tidak bisa memaksa wakil ar-rahin untuk menjual al-
marhun karena wakil sifatnya hanya sebagai seorang relawan sehingga ia boleh
untuk meninggalkan posisinya sebagai seorang wakil oleh karena itu hakim tidak
bisa memaksanya untuk menjual al-marhun.Akan tetapi penjualan dilakukan
melalui perantara hakim jika ar-rahin sedang tidak ada atau ada ditempat namun
tidak mau menjualnya. Pertama-tama hakim meminta kepada ar-rahin untuk
menjual al-marhun jika ia bersedia, maka tujuan yang dimaksud telah tercapai.
namun jika ar-rahin menolak untuk menjual al-marhun maka menurut ulama
Maliky, Syafi’i ulama Hanabilah, Abu Yusuf dan Muhammad hakim langsung
menjualkannya tanpa perlu memaksakan ar-rahin terlebih dahulu dengan
memenjarakannya atau memukulnya atau mengancamnya, sementara itu Imam
Abu Hanifah berpendapat hakim tidak boleh menjual al-marhun tanpa kerelaan
dan persetujuan Ar-rahin akan tetapi hakim boleh memenjarakan ar-rahinhingga
Ar-rahin bersedia menjual sendiri al-marhun.20
Jika penjualan al-marhun membutuhkan biaya, maka yang menanggung
biaya tersebut adalah ar-rahin karena ia adalah pemilik al-marhun dan ia
Apabila di dalam harta ar-rahin ditemukan harta yang sejenis dengan
utang yang ada (al-marhun bihi) maka utang tersebut dibayar dari harta yang
sejenis dengan utang yang ada tersebut tidak perlu menjual al-marhun secara
paksa.
20Yusuf Qardhawi,Fatwa-Fatwa-Fatwa Kontemporer…,hlm. 535.
berkewajiban untuk bayar utang yang ada. Sementara penjualan al-marhun adalah
akibat darinya untuk melunasi utang tersebut.
Jumhur ulama sepakat bahwa apabila dalam akad ar-rahnpihak al-
murtahin mensyaratkan bahwa kapan utang yang ada telah jatuh tempo namun
tidak dilunasinya, maka al-marhun menjadi miliknya, atau al-marhun tersebut
terjual kepada al-murtahin dengan harga berupa al-marhun bihi yang ada maka
itu syarat yang tidak sah berdasarkan hadist:
20لا يغلق الرهن من صاحبه الذي رهنه F
21
Artinya: barang yang digadaikan tidak dipisahkan kepemilikannya dari pihak
yang memilikinya yang telah menggadaikannya.
Imam Malik berkata لا يغلق الرهنtidak terhalangi dari menebusnya,
melarang sesuatu menghendaki batalnya sesuatu yang dilarang itu (Al-Azhari
Berkata, Al Ghalaqdalam akad ar-rahnu adalah lawan dari menebusnya karena
ketika ar-rahin menebus al-marhun maka berarti ia telah membebaskannya dari
tali ikatannya di tangan murtahin. Abdur Razaq meriwayatkan dari Ma’mar
bahwa ia menafsiri glalaqur rahnseperti : jika ada seseorang berkata “apabila
saya tidak kembali membawa hartamu maka al-marhun ini menjadi milikmu”
Maka kesimpulnnya adalah al-murtahin tidak boleh memiliki al-marhun
ketika tidak ditebus pada waktu yang telah disyaratkan, oleh karena itu seandainya
al-marhun rusak atau hilang maka hak al-murtahin tidak gugur dan tidak hilang,
dan jika al marhun rusak atau hilang maka yang menanggung kerugiannya adalah
21 Abdullah Shonhaji,Sunan Ibnu Majah…,,hlm.249.
ar-rahin, karena baginya keuntungan al-marhun dan dirinya juga yang
menaggung kerugiannya (al-ghurmu).
Al-Nawawi dalam kitab minhaj dan para penulis syarah Al-minhaj
mengatakan bahwa seandainya disyaratkan bahwa al-marhun terjual kepada
almurtahin apabila almarhunbihi telah jatuh tempo maka akad ar-rahnu tersebut
rusak dan tidak sah dikarenakan adanya unsur at-ta’qlid(dibeli batas deadline)
juga jual beli tersebut tidak sah karena hal itu berarti menggantungkan akad jual
beli kepada suatu hal. Sedangkan dalam hal ini kedudukan al-marhun sebelum al-
marhunbihi jatuh tempo adalah sebagai amanat karena al-marhun dipegang atas
dasar akad ar-rahn yang rusak dan tidak sah, sedangkan setelah al-marhun bihi
jatuh tempo maka kedudukannya tidak lagi sebagai amanat akan tetapi sebagai
barang tanggungan dikarnakan pembelian tersebut rusak dan tidak sah.22
Namun Ibnu Qudamah salah satu ulama hanabilah menyanggahnya, yaitu
bahwa itu adalah bentu akadrahnyang disertai dengan syarat yang tidak sah oleh
Dalam hal ini ada sebuah versi pendapat milik Abu Khaththab salah satu
ulama hanabilah dan versi pendapat milik sebagian ulama Hanafiyyah yaitu
bahwa akad ar-rahnu tersebut tidak rusak dengan adanya syarat seperti itu, karena
hadist di atas bukan asalnya (akadnya) maka hal ini menunjukkan bahwa akad
tersebut tetap sah sedangkan yang tidak sah hanya syarat tersebut saja. juga karena
ar-rahin telah ridha dan setuju atas akad ar-rahn dengan syarat seperti itu maka
jika syarat tersebut ditetapkan batal dan tidak sah maka tentunya secara prioritas
ia juga ridha dan setuju.
22 Wahbah Zuhaili., Fiqh Islam Waadillatuhu…, hlm. 115.
karena itu akad ar-rahn tersebut juga tidak sah.Seperti jika disyaratkan adanya
batas deadline. Dalam hadist di atas tidak ada indikasi yang menjelaskan bahwa
hal itu memang syarat tersebut ditetapkan pada awal akad atau dengan kata lain
ketika mengadakan akad. Oleh karena itu hadist di atas tidak mengandung hujjah
dan dalil yang mendukukng pendapat di atas.23
23 Wahbah Zuhaili, Fiqh Islam Waadillatuhu…, hlm. 116.
BAB EMPAT
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Dari hasil pembahasan bab-bab terdahulu maka dapat disimpulkan bahwa :
1. Dalam sistem pelaksanaan eksekusi jaminan, Bank Syariah Mandiri
Cabang Banda Aceh tidak serta merta melakukan eksekusi terhadap
barang jaminan bagi nasabah bermasalah dalam pembiayaannya namun
ada tahapan-tahapan yang harus ditempuh terlebih dahulu. Adapun yang
menjadi alasan dari pihak perbankan untuk mengeksekusi barang jaminan,
jika pihak nasabah tidak memiliki itikad baik untuk menutupi kerugiannya
sehingga eksekusi manjadi tahap terakhir yang ditempuh.
2. Setelah melakukan beberapa tahapan sebelum eksekusi, berbagai
pendekatan terhadap nasabah debitur juga ditempuh oleh perbankan,
namun jika tidak terlihat itikad baik dari debitur maka bank menyerahkan
kasus tersebut ke Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang
(KPKNL) untuk melakukan pelelangan barang jaminan. Jika hasil dari
penjualan barang jaminan dapat menutupi utang nasabah maka dianggap
perjanjian pembiayaan selesai, namun jika hasil penjualan tidak cukup
untuk melunasi utang nasabah maka nasabah wajib menyelesaikan
pembiayaan hingga selesai tanpa dibebanka bagi hasil.
3. Ditinjau dari perspektif hukum Islam maka eksekusi jaminan sebagai
denda keterlambatan debitur dalam membayar pembiayaan, masih banyak
terdapat perbedaan pendapat dikalangan ahli ekonomi islam, imam
mazhab, dan ulama-ulama mutaqaddimin,Dengan demikian masih
bertentangan enga hukum Islam karena didalamnya mengandung unsur
riba dan juga dapat mendhalimi pihak nasabah debitur karena akad
tersebut adalah akad musyarakah yang mana akad tersebut mengandung
prinsip kepercayaan dan kemitraan saat untung dan rugi ditanggung
bersama.
4.1.Saran
1. Meskipun sudah adanya prinsip kehati-hatian yang disyaratkan oleh Bank
Syariah Mandiri Cabang Banda Aceh, disarankan agar pihak bank harus lebih
teliti dan cermat dalam menganalisis data nasabah yang akan melakukan
pembiayaan musyarakah, hal ini bertujuan untuk meminimalisir nasabah yang
melakukan wanprestasi yang menyebabkan kerugian terhadap bank.
2. Melakukan pengawasan yang ketat sehingga dapat dipastikan apa saja kendala
yang dihadapi oleh pihak nasabah debitur, dengan demikian jika diperlukan
lelang jaminan dalam menutupi kerugian bank, maka cukup usaha sebagai
jaminan.
BAB TIGA
EKSEKUSI JAMINAN PADA PEMBIAYAAN MUSYARAKAH DI BANK SYARIAH MANDIRI CABANG BANDA ACEH
1.1 Alasan Bank Syariah Mandiri Cabang Banda Aceh MengeksekusiJaminan pada Pembiayaan Musyarakah
Bank Syariah Mandiri merupakan lembaga perbankan di Indonesia yang
sudah beroperasi pada pertengahan tahun 1999. Bank ini berdiri pada Tahun 1955
dengan nama Bank Industri Nasional. Bank ini beberapa kali berganti nama dan
terakhir kali berganti nama menjadi Bank Syariah Mandiri pada tahun 1999
setelah sebelumnya bernama Bank Susila Bakti.1
1
Setiap perbankan memiliki
persoalan masing-masing walaupun pada umumnya persoalan yang dihadapai
perbankan tidak jauh berbeda.
Penyimpangan dari ketentuan perjanjian dalam suatu pembiayaan modal
oleh debitur, merupakan salah satu persoalan yang sering dihadapi oleh setiap
perbankan. Ini merupakan suatu gejala awal yang wajib diamati bank, karena
dibalik gejala itu sering kali tersirat berbagai macam hal yang dapat menjuruskan
ke dalam kasus pembiayaan bermasalah. Salah satu contoh penyimpangan dari
ketentuan perjanjian pembiayaan adalah, permintaan debitur untuk
memperpanjang jangka waktu yang akan jatuh tempo tanpa mengajukan alasan
kuat mengapa debitur menghendaki perpanjangan tersebut.
http://wikipedia.org/wiki/bank_Syariah_Mandiri pada tanggal 11 Januari 2017.
Contoh penyimpangan yang lain adalah keterlambatan pembayaran cicilan
pembiayaan yang telah jatuh tempo. Apabila diamati secara cermat, ada
kemungkinan diketahui bahwa permintaan perpanjangan jangka waktu tersebut
atau keterlambatan pembayaran tersebut disebabkan karena debitur mengalami
kesulitan likuiditas keuangan.Bilamana likuiditas keuangan debitur tersebut hanya
bersifat sementara (misalnya terjadi karena para pelanggan debitur terlambat
membayar utang dagang mereka) maka keterlambatanmembayar cicilannya
kepada kreditur dapat dianggap tidak serius.2
Pada dasarnya, ini merupakan suatu permasalah dalam perbankan.Ketika
hal tersebut berkelanjutan (keterlambatan pembayaran) kepada bank, maka pihak
perbankan harus dengan bijak mengatasinya sehingga dapat menindaklanjuti
dengan secepatnya dan seadilnya, namun sebelumnya, perlu diketahui bahwa
terhadap hal-hal yang sering kali terjadi pembiayaan bermasalah adalah pada
nasabah debitur yang mengambil pembiayaan untuk membuka usaha (dalam
sektor perdagangan), dalam hal penyaluran dana dan membuka usaha, tidak dapat
Akan tetapi apabila dari hasil pengamatan bank diketahui kondisi
keuangan debitur cenderung merosot tajam, sehingga dapat diperkirakan
kemampuan mereka membayar dimasa yang akan datang diragukan, maka
penyimpangan debitur dari ketentuan perjanjiannya dapat dikategorikan sebagai
masalah yang serius. Dalam hal ini bank harus segera mengambil tindakan
penyelamatan.
2Wawancara dengan Aulia, Manajemen Bank Syariah Mandiri Cabang Banda Aceh,
Tanggal 03 Januari 201, di Bank Syariah Mandiri Cabang Banda Aceh.
dipungkiri bahwa akan terjadinya wanprestasi di tengah tengah usaha yang
dijalankannya dikarena sebuah usaha tidak selamanya mengalami kemajuan atau
untung, sehingga tidak jarang ditemukan pengusaha-pengusaha yang jatuh
bangkrut hingga sampai kepada harta pribadinya. Dengan demikian dapat
terjadinya penunggakan/macet pada pembayaran/cicilan yang harus disetor
kepada bank, yang mana seiring berjalannya waktu, cicilan-cicilan tersebut
semakin bertambah.
Berkenaan dengan tindakan yang diambil pada Bank Syariah Mandiri
Cabang Banda Aceh untuk mengatasi nasabah bermasalah seperti di atas adalah,
manajemen bank menerapkan sistem eksekusi jaminan untuk menanggulangi dan
menutupi kerugian bank serta mengatasi permasalahan- permasalahan yang dapat
merugikan bank.
Dan yang menjadi alasan dari pihak perbankan untuk mengekseskusi
jaminan nasabah debitur dalam penanggulangan kerugiannya adalah dikarenakan
pihak nasabah debitur sudah tidak memiliki itikad baik lagi untuk menutupi
kerugiannya sehingga pihak bank mangambil tindakan akhir yaitu melakukan
eksekusi terhadap jaminan nasabahnya, namun sebenarnya kreditur tidak langsung
mengekesekusi jaminan ketika debitur bangkrut akan tetapi ada beberapa tahapan
yang diberikan yang akan diuraikan pada poin selanjutnya.3
Kemudian berkenaan dengan pembiayaan yang bermasalah tersebut dapat
dihubungkan dengan perbuatan wanprestasi yang dilakukan nasabah debitur,
3 Wawancara dengan Aulia, bagian Eksekusi Bank Syariah Mandiri, pada tanggal 23 Desember 2016 di Bank Syariah Mandiri cabang Banda Aceh.
menurut Gatot Supramono,wanprestasi adalah nasabah sama sekali tidak dapat
membayar angsuran kredit atau beserta bunganya. Oleh karena itu, yang juga
menjadi alasan perbankan atau kreditur menjadikan eksekusi jaminan sebagai
alternatifuntuk menutupi kerugian adalah dikarenakan adanya itikad tidak baik
dari nasabah debitur dan kesalahan tersebut murni dari pihak nasabah debitur
(kurang kehati-hatian dalam mengelola).4
a. Faktor internal bank, meliputi: rendahnya kemampuan atau ketajaman bank
melakukan analisis kelayakan permintaan pembiayaan yang diajukan debitur.
Rendahnya kemampuan melakukan analisis secara professional. Dan
lemahnya sistem pengawasan dan administrasi management pembiayaan,
berakibat pimpinan bank tidak dapat memantau penggunaan perkembangan
kegiatan usaha maupun kondisi keuangan debitur secara cermat. Akibatnya,
mereka tidak dapat melakukan tindakan koreksiapabila terjadi
penurunankondisi bisnis atau keuangan debitur atau terjadi penyimpangan
dari ikatan perjanjian. Faktor yang menyebabkan pengikatan jaminan yang
sempurna, padahal apabila ikatan jaminan diadakan secara sempurna dan
jaminan dapat dieksekusi dengan lancar, maka tunggakan pinjaman debitur
Namun demikian, sebelum terlalu jauh mengetahui alasan perbankan
mengeksekusi jaminan nasabah debitur untuk menutupi kerugian ada baiknya pula
untuk mengetahui faktor-faktor terjadinya pembiayaan bermasalah.Ada beberapa
faktor yang menjadi penyebab terjadinya pembiayaan macet/bermasalah yaitu:
4Gatot Supramono, Perbankan dan Masalah Kredit Suatu Tinjauan di
BidangYudiris(Jakarta: Djambatan1995), hlm.92.
dapat diselesaikan dengan cepat.Sebaliknya, apabila pengikatan jaminan tidak
dilakukan dengan sempurna, hal tadi dapat menjadi sebab tunggakan
pinjaman berkembang dan akan cenderung bermasalah ketika ingin di
eksekusi oleh pihak kreditur dalam menutupi kerugian.5
b. Faktor Debitur, penyebab kredit bermasalah debitur perorangan erat
hubungannya dengan gangguan terhadap diri pribadi debitur, misalnya
kecelakaan, sakit, kematian, dan perceraian. Sedangkan penyebab
pembiayaan pada perusahaan/korporasi bermasalah pada umumnya
disebabkan karena salah arus (miss management), dan atau kurangnya
pengetahuan dan pengalaman pemilik perusahaan dalam bidang usaha yang
mereka jalankan, dan karena adanya penipuan (fraud).
6
c. Faktor Eksternal dari bank, penyebab pembiayaan bermasalah yang dapat
dikategorikan sebagai faktor ekstern antara lain adalah: kegagalan usaha
debitur, menurunnya kegiatan ekonomi dan tingginya suku bunga
pembiayaan, pemanfaatan iklim persaingan dunia perbankan yang tidak sehat
oleh debitur yang tidak bertanggung jawab, dan juga dikarenakan musibah
yang menimpa perusahaan debitur.
1.2. Proses Eksekusi Jaminan pada Perbankan Syariah MandiricabangBanda Aceh
6Kasmir, Manajemen Perbankan (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011), hlm, 109
Salah satu permasalahan yang dihadapi oleh perbankan pada umumnya
dalam kaitan dengan prilaku nasabahnya adalah, adanya nasabah yang melalaikan
kewajibannya untuk membayar hutangnya kepada bank atau disebut juga sebagai
nasabah debitur pengemplang(debitur mampu yang terlambat membayar utangnya
atau cicilannya) Permasalahan ini tidak hanya kita temukan di perbankan
konvensional, namun juga ini terjadi pada perbankan syariah yang hal ini
dikarenakan dalam perbankan konvensional maupun syariah sama-sama
mensyaratkan adanya jaminan atas setiap pembiayaan yang disalurkan
perbankan, yang mana kemudian jika terjadi wanprestasi daripada pihak debitur
maka jaminan tersebut akan menjadi sasaran pihak kreditur untuk menutupi
kerugiannya yaitu, dengan cara mengeksekusinya.
Berdasarkan hasil penelitian yang penulis teliti, apabila debitur
wanprestasi dalam pelaksanaan perjanjian suatu pembiayaan, pihak bank tidak
langsung melakukan eksekusi, akan tetapi untuk tahap awal perbankan
memberikan surat peringatan sebanyak tiga kali yang sering disebut dengan SP1
SP2 SP3 hal ini di atur dalam UU No 13 Tahun 2003. Masing-masing SP berlaku
6 bulan.Bila SP1 masih berlaku, debitur (nasabah pengemplang) masih juga
melakukan pelanggaran, dikeluarkan SP2, dan seterusnya.7
Akan tetapi pihak kreditur atau perbankan tetap berusaha melakukan
pendekatan persuasif terhadap nasabah.Pendekatan ini dilakukan agar sedapat
mungkin diperoleh penyelesaian pembiayaan bermasalah secara damai tanpa
melalui eksekusi.Selama penagihan pembiayaan bermasalah dapat dilakukan
7Wawancara dengan Marlianis, bagian Eksekusi Bank Syariah Mandiri, pada tanggal 3
Januari 2017, di Bank Syariah Mandiri cabang Banda Aceh.
dengan kesepakatan antara bank dan nasabah debitur, maka persoalan tersebut
akandiselesaikan secara baik-baik.Proses litigasi hanya akan ditempuh oleh bank
apabila nasabah debitur beri’tikad tidak baik, yaitu tidak menunjukkan kemauan
untuk melunasi pembiayaan yang bermaslah tersebut.
Untuk itu, upaya-upaya penyelamatan atas pembiayaan bermasalah yang
dapat dilakukan oleh bank adalah sebagai berikut:8
1. Penjadwalan kembali (rescheduling), yaitu salah satu upaya dari pihak bank
untuk menyelamatkan pembiayaan yang bermasalah yang diberikannya
kepada debitur. Cara ini dilakukan jika ternyata pihak debitur (berdasarkan
hasil penelitian dan perhitungan yang dilakukan account officer bank tidak
mampu untuk memenuhi kewajibannya dalam hal pembayaran kembali
angsuran pokoknya.
Rescheduling adalah penjadwalan kembali sebagian atau seluruh
kewajiban debitur.Hal tersebut disesuaikan dengan proyeksi arus kas yang
bersumber dari kemampuan usaha debitur yang sedang mengalami kesulitan.
Penjadwalan tersebut bisa berbentuk:
a. Memperpanjang jangka waktu pembiayaan.
b. Memperpanjang jangka waktu angsuran, misalnya semula angsuran ditetapkan
setiap 3 bulan kemudian menjadi 6 bulan.
c. Penurunan jumlah untuk setiap angsuran yang mengakibatkan perpanjangan
jangka waktu pembiayaan. Dalam hal tahapan rescheduling tersebut pihak
8Kasmir, Manajemen Perbankan.., hlm, 111.
debitur juga diperkenankan memberi ide atau meminta kemudahan demi
kelancara usahanya, yang mana jika permintaannya diterima oleh bank maka
hal permintaan tersebut dapat dijalankan artinya adalah pihak bank tidak
hanya dapat menentukan rescheduling dengan sendirinya saja tapi atas
kesepakatan bersama.9
2. Persyaratan kembali (reconditioning), merupakan usaha pihak bank untuk
menyelamatkan suatu akad pembiayaan yang diberikannya dengan cara
mengubah sebagian atau seluruh kondisi (persyaratan) yang semula disepakati
bersama pihak debitur dan bank yang kemudian dituangkan dalam perjanjian.
Perubahan kondisi pembiayaan dibuat dengan memperhatikan masalah-
masalah yang dihadapi oleh debitur dalam pelaksanaan proyek atau bisnisnya.
Dalam hal ini perubahan tersebut meliputi antara lain:
a. Kapitalisasi bagi hasil yaitu bagi hasil yang dijadikan utang pokok sehingga
nasabah untuk waktu tertentu tidak perlu membayar bagi hasil tersebut, tetapi
nanti utang pokoknya dapat melebihi plafon yang disetujui. Sehingga perlu
peningkatan fasilitas pembiayaan disamping itu bagi hasil tersebut dihitung
majemuk yang pada dasarnya akan memberatkan nasabah. Cara ini dapat
dilakukan jika prospek usaha nasabah baik.
b. Penundaan pembayaran dari bagi hasil yaitu margin bagi hasil tetap dihitung,
tetapi penagihan atau pembebanannya kepada nasabah debitur tidak
dilaksanakan sampai nasabah mempunyai kesanggupan.
9Ibid., hlm, 107.
c. Pembebanan bagi hasil yaitu dalam hal nasabah memang dinilai tidak
sanggup membayar bagi hasil dari usahanya karena usaha nasabahnya
mencapai tingkat kembali pokok atau break even. Pembebasan pembayaran
bagi hasil ini dapat dilakukan untuk sementara, namun jika usaha nasabahnya
sudah mulai membaik maka pembebanan bagi hasil tersebut diaktifkan
kembali. pada bank syariah mandiri belum pernah membebaskan pembebanan
tersebut secara menyeluruh dikarenakan itu dengan anggapan bahwa akan
merugikan pihak bank.
d. Pengkonversian pembiayaan jangka pendek menjadi jangka panjang dengan
syarat yang lebih ringan.10
3. Penataan kembali (restructuring), yaitu upaya yang meliputi kedua tahapan di
atas dan juga melakukan perubahan syarat-syarat perjanjian kredit berupa
pemberian tambahan modalmelakukan konversi atas seluruh atau sebagian
menjadi equity perusahaan yang dilakukan dengan atau tanpa rescheduling.
Misalnya, yang awalnya diberlakukan akad musyarakah namun selanjutnya
dilanjutkan degan akad musyarakahmutanaqishah,yang banyak terjadi pada
bank syariah mandiriyaitu tahapan restrukturisasi yang mana jika
restrukturisasi tersebut berhasil di tempuh oleh nasabah debitur maka usaha
nya kembali normal dan tanpa dilakukan eksekusi jaminan. Namun jika
tahapan tersebut gagal maka eksekusi jaminan adalah jalan terakhir yang
ditempuh perbankan untuk menutupi kerugian.
10Ibid., hlm. 182.
Dalam upaya pengamanan dan penyelamatan dari suatu pembiayaan
tersebut, pihak perbankan syariah mandiri cabang Banda Aceh belum pernah
memperkarakannya hingga ke pengadilan.tetapi hanya sampai kepada tahap
eksekusi lelang yang dibagi menjadi dua yaitu,penjualan suka rela oleh nasabah
sendiri, bank syariah mandiri cabang banda Aceh memberi kesempatan kepada
pihak nasabah debitur untuk menjual jaminannya sendiri, tapi kebiasaaan yang
terjadi pada bank syariah mandiri tersebut pihak nasabah menyerahkan kepada
bank yang menjual jaminan tersebut. Ketika nasabah menyerahkan jaminannya di
lelang oleh bank maka bank memberikan kasus tersebut kepada kantor Pelayanan
Kekayaan egara dan lelang(KPKNL)denga prosedur pelelangannya sebagai
berikut :
a. Pra Lelang
1) Pengajuan permohonan tertulis perihal eksekusi kepada Kepala Kantor
Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) yang merupakan
instansi pemerintah yang berada di bawah Direktorat Jenderal Kekayaan
Negara pada Kementerian Keuangan. Dalam hal ini Bank juga dapat
meminta menggunakan jasa Pra Lelang dari Balai Lelang Swasta.
2) KPKNL/Balai Lelang Swasta akan melakukan pemeriksaan
kelengkapandokumen lelang, yaitu termasuk namun tidak terbatas pada
Perjanjian akad, Sertifikat jaminan, Bukti perincian utang jumlah debitur,
bukti peringatan wanprestasi kepada debitur, bukti kepemilikan hak, bukti
pemberitahuan pelelangan kepada debitur.
3) Setelah dokumen tersebut di atas dianggap lengkap, maka KPKNL akan
mengeluarkan penetapan jadwal lelang secara tertulis kepada Bank.
4) Bank melakukan Pengumuman Lelang.
Jika barang yang dilelang adalah barang tidak bergerak atau barang tidak
bergerak yang dijual bersama-sama dengan barang bergerak, maka pengumuman
dilakukan sebanyak 2 kali, berselang 15 hari.Pengumuman pertama dapat
dilakukan melalui pengumuman tempelan yang dapat dibaca oleh umum atau
melalui surat kabar harian. Tetapi pengumuman kedua harus dilakukan melalui
surat kabar harian dan dilakukan 14 hari sebelum pelaksanaan lelang.11
5) Bank melakukan pemberitahuan lelang kepada debitur.
Jika barang yang dilelang adalah barang bergerak, pengumuman dilakukan
1 kali melalui surat kabar harian paling telat 6 (enam) hari kalender sebelum
pelaksanaan lelang.
Setelah barang jaminan telah berhasilo dijual maka jika hasilnya dapat
menutupi kerugiannya nasabah debitur makan itu anggap sudah selesai
makan jika tidak mencukupi dari utang debitur maka debitur harus
melunasi utangnya terlebih dahulu
1.3. Tinjauan Hukum Islam terhadap Eksekusi Jaminan pada Bank Syariah Mandiri cabang Banda Aceh.
11Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 27/PMK.06/2016. Tentang
Petunjuk Pelaksanaan Lelang, hlm. 42.
Masalah pengemplengan hutang oleh debitur atau disebut juga debitur
yang bermasalah pada pembiayaannya telah menjadi pembicaraan yang tua dalam
hukum muamalat, masalah ini telah muncul sejak masa nabi saw. Para ahli hukum
atau fukaha memperselisihkan tentang denda yang akan diberikan kepada debitur
pengemplang, apakah sanksi pidana berupa denda dapat dijatuhkan pada debitur
pengemplang ataukah tidak dapat. Pendapat yang masyhur menyatakan sanksi
pidana berupa denda tidak dapat dikenakan kepada debitur pengemplang, akan
tetapi Ibn Dinnar menyatakan bahwa dapat dikenakan denda semacam itu sebagai
sanksi pidana.12
Pada zaman modern saat ini dalam kaitan dengan lembaga keuangan islam
masalah ini dimunculkan kembali pada tahun 1984 oleh direktur umum bank
islam Yordania, M. Syihatah dalam makalahnya yang dibacakan pada Simposium
Adapun mengenai pengenaan denda para debitur yang bermasalah pada
pembiayaannya, tidak ada seorangpun dari ulama klasik yang membenarkannya
karena itu dipandang sebagai riba yang diharamkan. Dalam hal ini Al-Khattab
menjelaskan bahwa apabila debitur berjanji kepada kreditur bahwa jika ia tidak
memenuhi pembayaran hutangnya dalam tempo sekian waktu, maka ia dikenakan
denda sekian-sekian, maka ini tidak diperselisihkan lagi kebatilannya. Karena
merupakan riba yang tegas, baik sesuatu yang dibebankan padanya itu adalah
sesuatu yang sejenis dengan hutangnya atau sesuatu yang lain, baik berupa benda
jaminan tertentu maupu berupa manfaat.
12SyamsulAnwar, Studi Hukum Islam Kontemporer (Jakarta:Rm Book,2007), hlm. 178.
Al-Barakah Putaran ke II di Tunis November 1984, kemudian juga dilanjutkan
dengan terbitnya makalah Az-zarqa dan sejak terbitnya majalah Az-zarqa
perdebatan mengenai masalah ini semakin ramai. Inti ijtihad Az-zarqa adalah
dibolehkannya membebankan ganti rugi kepada nasabah yang nakal yang mampu
dalam rangka mengatasi kerugian krebitur.Dasar pandangan yang melandasi
ijtihad Az-zarqa adalah pertimbangan mengenai sisi kreditur bagaimana
kerugiannya akibat pengemplengan dapat diatasi sebagaimana
mempertimbangkan juga sisi debitur yang merugikan kreditur atau pihak
perbankan.13
1. Pertimbangan ekonomi dan bisnis modern.
Alasan Az-zarqa mengemukan demikian dikarenakan tiga factor, yaitu:
2. Argument moral keagamaan.
3. Argument yuridis formal syar’i.
Pertimbangan ekonomi dan bisnis modern menitikberatkan arti penting
uang dan transaksi hutang dalam perekonomian dan bisnis modern.
Menurut Az-zarqa zaman kini ditandai dengan perkembangan beragamnya
bentuk transaksi hutang (tidak tunai) yang didorong oleh kemajuan sarana
komunikasi yang memungkinkan orang melakukan transaksi besar dari suatu
negeri ke negeri lain semata berdasarkan janji-janji dan kesanggupan-
kesanggupan belaka. transaksi rill dan tunai tidak selalu dapat memenuhi
kebutuhan masyarakat modern baik bagi individu berpenghasilan rendah maupun
bagi pemilik uang banyak. untuk mendapatkan banyak kebutuhannya, orang
13Ibid.,hlm. 181.
zaman kini menggunakan sistem kredit (cicilan) dalam perbankan syariah disebut
dengan pembiyaan, dan para pembisnis membuat perhitungan usahanya atas dasar
tagihan-tagihan dan kewajibannya.14
Pandangan Az-zarqa mengenai dapatnya debitur pengemplang
mendapatkan denda mendapat banyak reaksi penolakan dari berbagai ahli hukum
syariah dan ahli ekonomi islam termasuk kritikan dari anaknya sendiri
Muhammad Anas Az-zarqa, guru besar ekonomi islam di universitas king Aziz,
Riyad setelah mempertimbangkan berbagai krtitika itu Mustafa Az-zarqa
kemudian mengoreksi pendapatnya dan untuk itu setelah sebelas tahun yang
berlalu (1996) ia mengeluarkan suatu artikel panjang untuk menjawab berbagai
kritik yang diajukan. Namun dalam artikel itu ia menyatakan jika memang
pengenaan ganti rugi kepada debitur untuk kreditur tidak dapat diterima dengan
alasan bahawa pengenaan ganti rugi semacam itu menyerupai riba, maka debitur
bersangukutan dapat dijatuhi sanksi berupa denda yang ditetapkan oleh
Dalam keadaan demikian ketetapan pembayaran menjadi unsur yang
pokok dan penting sekali baginya.dan tidak jarang keterlambatan pembayaran
untuknya menyebabkan ia pada gilirannya tidak dapat menbayar kewajibannya
dan akan mengalami kerugian. Oleh karena itu menurut Az-zarqa perlu dipikirkan
penggantian atas kerugian tersebut yang dibebankan kepada penyebab kerugian
yang dimaksud, yaitu debitur, namun jelas pertimbangan mengenai masalah ini
mendorongnya untuk menyimpulkan bolehnya pemberian denda terhadap debitur
bermasalah pada pembiayaan.
14Ibid., hlm 182
pengadilan dan juga Mustafa Az-zarqa mengemukakan bahwa debitur ini
dihukum dengan kewajiban membayar denda sebagai takzir, dan denda ini tidak
diberikan kepada kreditur, melainkan digunakan untuk proyek dan pembiayaan
sosial.
Beberapa hal pokok fatwa DSN tentang hal ini:
Pertama, dibolehkannya mengenakan denda kepada debitur pengemplang
sedangkan kepada nasabah/debitur tidak mampu karena adanya force majure tidak
boleh dikenakan sanksi atau denda.
Kedua, denda tersebut berupa sejumlah uang yang besarnya ditentukan
berdasarkan kesepakatan dan dibuat saat akad ditandatangani. Pada butir ini Fatwa
DSN MUI berbeda pendapat dengan pendapat Az-zarqa karena dalam fatwa ini
ketetapan mengenai besarnya denda didasarkan kepada kesepakatan kedua pihak
yang dibuat saat akad ditandatangani. Sementara dalam pendapat Az-zarqa
ketetapan itu diberikan oleh pengadilan karena apabila diserahkan kepada para
pihak maka hal itu akan menjadi pintu menuju praktik riba terselubung.
Ketiga, sanksi tersebut merupakan takziragar nasabah lebih disiplin dalam
melaksanakan kewajibannya dana sanksi tersebut diperuntukkan untuk dana
sosial.
Terhadap ganti rugi atas debitur yang mampu yang mengemplang ahli
hukum Islam menyatakan keberatan tentang hal itu, kebeatan utama nya adalah
pandangan bahwa penggantian semacam itu adalah riba bahkan merupaka salah
satu bentuk riba jahiliyah yang dilarang di dalam Al-Quran dan Sunnah, maksud
dari bentuk riba jahiliyah itu adalah sebagaimana dikatakan oleh imam malik
bahwa seorang kreditur manakala piutangnya telah jatuh tempo melakukan
penagihan kepada debiturnya, dan bilamana debitur belum mampu untuk
membayarnya ia menambah besarnya keseluruhan utang debitur dengan
memperpanjang masa pembayaran.
Kemudian yang menjadi keberatan kedua adalah, tidak seorang ahli
hukum Islam, ahli hadist, hakim, atau mufti di masa lalu sepanjang sejarah Islam
yang mengusulkan adanya ganti rugi seperti itu bahkan orang zimmiyang
terlambat dan mengemplang pembayaran jizyahtidak ada riwayat dalam sejarah
islam bahwa mereka dikenakan denda keterlambatam. Sebelumnya telah
dikemukakan bahwa Al-Khattab ganti rugi demikian jelas-jelas merupakan riba.
Di lain pihak dalamAḥkām Al-Qurān Al-Jassāsmenyatakan bahwa pada dasarnya
hukuman untuk debitur itu tidak ada hukuman lain, sepanjang menyangkut
hukuman dunia, selain kurungan artinya tidak ada ganti atau hukuman kepada
debitur mampu pengemplang itu. Hukumannya yang patut hanyalah kurungan.15
Dari beberapa pendapat di atas tentang eksekusi jaminan pada perbankan
syariah terlihat masih adanya perselisihan pendapat, namun dalam hal ini menurut
analisa penulis berkaitan dengan apa yang telah diterapkan oleh Bank Syariah
Mandiri Cabang Banda Aceh, jika di tinjau dari perspektif hukum Islam maka
eksekusi barang jaminan yang dikarnakan denda keterlambatan debitur atau
dianggap ketidaksangggupan nasabah untuk membayar pembiayaannya dalam
menutupi kerugian masih bertentangan denganhukum Islam, ini juga dapat
mendhalimi nasabah debitur dan masih kurang mempertimbangkan kemaslahatan
15Ibid.,Studi Hukum Islam Kontemporer…hlm. 192.
debitur, dalam hal pengenaan denda untuk debitur mampu pengemplang saja tidak
diperkenankan untuk dikenakan denda karena itu dapat menyerupai dengan riba
apalagi dikenakan denda kepada debitur yang sudah sama sekali tidak memiliki
kekayaan.
Kemudian jika ditinjau dari PMK No 6 Tahun 2016 berdasarkan
prosedural pelelangan yang diterapkan oleh Bank Syariah Mandiri Cabang Banda
Aceh sudah sesuai, namun ada beberapa hal yang menurut penulis sebaiknya
diringankan yaitu dalam kebangkrutan yang disebabkan oleh musibah atau
bencana alam, berdasarkan hasil wawancara, musibah stunami Aceh 26 Desember
2004 bagi setiap nasabah yang melakukan pembiayaannya di bank tersebut, tetap
saja harus menutupi kerugiannya jika usahanya ditimpa musibah. Pihak
perbankanbelum pernah membebaskan seluruhnya beban yang ditanggung oleh
nasabah debitur dalam menutupi kerugiannya bahkan ketika nasabah sudah tidak
memiliki usaha nya bank tetap meminta bagi hasil dari usaha tersebut padahal
jelas bahwa usaha sudah tidak ada lagi. Jika kita kaji kembali dalam akad
musyarakah pada dasarnya hanya berlandaskan kepercayaan antara kedua belah
pihak yang mana tujuannya untuk meingkatkan kesejahteraa nasabah debitur dan
juga menambah pendapatan perbankan dari hasil bagi hasil usaha sehingga
terciptanya sistem ekonomi Islam yang dapat memberantaskan kemiskinan dan
meraih kesejahteraan.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Al-Harits. Jaribah bin. 2006. Fikih Ekonomi Umar bin Al-Khatabm. Jakarta: Khalifa.
Ahmad, Kamaruddin. 1996. Dasar-dasar Manajemen Investasi, Jakarta: Rineka Cipta.
Alma, Buchari. 2009. Manajemen Bisnis Syariah. Bandung: Alfabeta.
Anwar, Syamsul. Hukum Perjanjian Syariah. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
A Shamad, Baihaqi. 2007. Konsepsi Syirkah dalam Islam. Banda Aceh: Pena.
Ash-Shawi. Shalah. 2008. Fikih Ekonomi Keuangan Islam. Jakarta: Darul Haq.
Aziz, Abdul, Manajemen Investasi Syariah, Bandung: Alfabeta, 2010.
Bakar Jabir Al-Jaza’iri, Abu. 2012. Minhajul Muslim. Surakarta: Insan Kamil.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI. 1995. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Dewi, Gemala. 2013. Hukum Perikatan Islam Di Indonesia. Jakarta: Kencana.
Djamil, Fathurrahman, 2001. Hukum Perjanjian Syariah. Bandung: PT Cipta Adiya Bhakti.
Ensiklopedia Islam, Akad
Faizal Noor, Henry. 2009. Investasi Pengelolaan Keuangan Bisnis dan Pengembangan Ekonomi
Masyarakat. Jakarta: Pt Index.
Ghazaly, Rahman. 2012. Fiqh Muamalat. Jakarta: Kencana.
Haeroen, Nasrun. 2007. Fiqh Muamalah. Jakarta: Gaya Media Pratama.
Hakim, Lukman. 2012. Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam. Jakarta: Erlangga.
Huda dan Mustafa Edwin Nasution. 2008. Investasi Pada Pasar Modal Syariah. Jakarta:
Kencana.
Ibn Ahmad Ibn Qudamah, Abdullah. 1979. Mughuni wa Syarh Kabir, Beirut: Darul-Fikr.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Emas. Diakses pada tanggal 16 mei 2015 melalui situs:
http://www.Kbbi.web.id
Kamus Besar Bahasa Indonesi(KBBI), Toko. Diakses pada tanggal 16 mei 2015 melalui situs
http://www.Kbbi.web.id
Manan , Abdul. 2009. Aspek Hukum Dalam Penyelenggaraan Investasi Di Pasar Modal Syariah
Indonesia. Jakarta: Kencana.
Manan , Abdul. 2012. Hukum Ekonomi Syariah. Jakarta: Prenada Media Group.
Mardani. 2013. Fiqh Ekonomi Syariah Fiqh Muamalah. Jakarta: Kencana.
Nafikar, Muhammad. 2009. Bursa Efek dan Investasi Syariah. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.
Nurdin, Ridwan. 2010. Fiqh Muamalah. Banda Aceh: Pena.
Pandji dan Piji Pakarti. 2006. Pengantar Pasar Modal. Jakarta: Rineka Cipta.
Pasaribu, Chairuman. 2004. Hukum Perjanjian Dalam Islam. Jakarta: Sinar Grafika.
Rahmat Syafei, 2002. Fiqh Muamalah. Bandung: Pustaka Setia.
Rivai, Veithzal. 2011. Islamic Transaction Lam In Business. Jakarta: Bumi Aksara.
Rusyd, Ibnu. 2007. Bidayatul Mujtahid. Jakarta: Pustaka Azzam.
Salim, Joko. 2010. Sepuluh Invetasi Paling Gampang dan Paling Aman. Jakarta: Visimedia.
Soemitra, Andri. 2010. Bank Dan Lembaga Keuangan Syariah. Jakarta: Kencana.
Sugiyono, 1999. Metode Penelitian Bisnis. Bandung: CV Alfabeta.
Shalih. 2005. Ringkasan Fikih Lengka. Jakarta: Darul Falah.
Suhendi, Hendi. Fiqh Muamalah, 2002. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Sutrisno, Budi. 2008. Hukum Investasi di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers.
Syafi’i Antonio, Muhammad. 2001. Bank Syariah dan Teori ke Praktek. Jakarta: Gema Insani.
Syakir Sula, Muhammad. 2004. Asuransi Syariah. Jakarta: Gema Insani.
Tandelilin, Eduardus. 2010. Portofolio dan Investasi. Yogyakarta: Kanisius.
Syakir Sula, Muhammad. 1996. Konsep Asuransi Dalam Islam. Bandung: PPM Fi Zhilal.
Zuhaily, Wahbah. 1997. al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu. Damaskus: Darul-Fikr.
.
1
Judul : Sistem Eksekusi Jaminan Pada Pembiayaan Musyarakah di Bank Syariah
Mandiri Cabang Banda Aceh
1. Bagaimana prosudural bank menilai nasabah mampu dalam mengambil
pembiayaan di BSM?
2. Konsep musyarakah yang bagaimana diterapkan pada BSM?
3. Jaminan apa saja dan bagaimana yang di persyaratkan oleh BSM?
4. Bagaimana system auditing yang dilakukan oleh BSM setelah mengambil
pembiayaan?
5. Bagaimana tahapan dan kebijakan bank sebelum jaminan nasabah di
eksekusi?
6. Bagaimana system eksekusi yang dilakukan oleh BSM ?
7. Pada dasarnya apa alasan dari BSM untuk mengeksekusi jaminan ?
8. Bagaimana jika usaha nasabah sudah tidak lagi, apakah bagi hasil juga
masih dibebeankan kepada nasabah debitur?
9. Berapakah data nasabah yang masuk ke Kantor Pelayanan kekayaan
Negara dan Lelang setiap bulannya ?
10. Bagaimana tahap akhir prosudural setelah jaminan dilelang/dijual di oleh
KPKNL. ?
No. Jenis Dokumen ada tidak ada keterangan
1 Surat Permohonan lelang2 Salinan/Copy Surat keputusan Penunjukan Penjual3 Sayrat Lelang dari penjual (jika ada)4 Daftar barang yang akan di lelang
5Informasi tertulis untuk penyerahan /penyetoran hasil bersih lelang berupa nomor rekening pemohon lelang
1 Salinan/copy perjanjian (akad) Kredit/pembiayaan
2Salinan/copy Sertifikat hak Tanggungan dan Akta PemberianHak Tanggungan
3Salinan/copy Serttifikat Hak Atas tanah yang dibebani hakTanggungan
4Salinan/copy Perincian Hutang/jumlah kewajiban debituryang harus dipenuhi
5salinan/copy bukti bahwa debitur wanprestasi, yang dapatberupa peringatan-peringatan maupun pernyataan dari pihakKreditur
6Surat Pernyataan Kreditur Bertanggung Jawab sepenuhnyabila ada gugatan perdata dan tuntutan Pidana
7Salinan/copy surat pemberitahuan rencana pelaksanan lelangkepada debitur oleh kreditur, yang diserahkan paling lambat1 hari sebelum lelang dilaksanakan
8
Surat pernyataan dari kreditur yang menyatakan bahwa nilailimit ditetapkan berdasarkan hasil penilaian dari penilaiindependen dengan menyebut nama penilai, nomor dantanggal laporan penilai dalam hal nilai limit paling sedikit Rp.1.000.000.000
1 harga limit dari penjual2 Surat Keterangan tanah (SKT)
KELENGKAPAN BERKAS PENGAJUAN LELANG KE KPKNL
lain-lain
Khusus
Umum
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Data Pribadi
Nama Lengkap : Fitria Andriani
Tempat / Tgl. Lahir : krung geukueh 2 maret 195
Jenis Kelamin : Perempuan
Pekerja / NIM : Islam
Agama : Islam
Kebangsaan / Suku : Indonesia / Atjeh
Status : Belum Kawin
Alamat : Jl. Tgk Nyak Arif Kampong Lingke Banda Aceh
Nama Orang Tua
Ayah : M.thaib
Pekerjaan : -
Ibu : Yusnidar
Pekerjaan : Wiraswasta
Alamat : desa lancing barat, kec, dewantra Aceh Utara
Pendidikan
1. Sekolah Dasar : MIN Alue Beunot 2007 2. SLTP : MTSN Misbahul Ulum 2010 3. SMA : MAS Misbahul Ulum 2013 4. Perguruan Tinggi : Fakultas Syariah dan Hukum Jurusan Hukum Ekonomi
Islam Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh Mulai Tahun 2013 sampai dengan 2017.
Demikianlah daftar riwayat hidup ini diperbuat dengan sebenarnya, agar dapat dipergunakan sebagaimana mestinya.
Banda Aceh, 18 Juli 2017
Fitria Andriani