sinus paranasal
DESCRIPTION
Anatomi Sinus ParanasalTRANSCRIPT
1. Anatomi Sinus Paranasal
Sinus paranasal adalah rongga berisi udara yang berbatasan langsung dengan
rongga hidung. Bagian lateralnya merupakan sinus maksila (antrum) dan sel-sel dari
sinus etmoid, sebelah kranial adalah sinus frontal, dan sebelah dorsal adalah sinus
sphenoid. Sinus sphenoid terletak tepat di depan klivus dan atap nasofaring. Sinus
paranasal juga dilapisi dengan epitel berambut-getar. Lendir yang dibentuk di dalam
sinus paranasal dialirkan ke dalam meatus nasalis. Alirannya dimulai dari sinus
frontal, sel etmoid anterior, dan sinus maksila kemudian masuk ke meatus-medius.
Sedangkan aliran dari sel etmoid posterior dan sinus sfenoid masuk ke meatus
superior. Aliran yang menuju ke dalam meatus inferior hanya masuk melalui duktus
nasolakrimalis. Secara klinis, bagian yang penting ialah bagian depan-tengah meatus
medius yang sempit, yang disebut kompleks ostiomeatal. Daerah ini penting karena
hampir semua lubang saluran dari sinus paranasal terdapat di sana (Broek, 2010).
Pada saat lahir, sinus paranasal belum terbentuk, kecuali beberapa sel etmoid.
Kemudian baru pada sekitar umur dua belas tahun, semua sinus paranasal terbentuk
secara lengkap. Kadang-kadang, salah satu dari sinus frontal tidak terbentuk. Bagian
belakang nasofaring berbatasan dengan fossa sfeno-palatina (Broek, 2010). Secara
embriologik, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga hidung dan
perkembangannya dimulai dari pada fetus usia 3-4 bulan, kecuali sinus sfenoid dan
sinus frontal. Sinus maksila dan sinus etmoid sudah ada sejak saat bayi lahir,
sedangkan sinus frontal berkembang dari sinus etmoid anterior pada anak yang
1
berusia kurang lebih 8 tahun. Pneumatisasi sinus sfenoid dimulai pada usia 8-10
tahun dan berasal dari bagian postero-superior rongga hidung. Sinus-sinus ini
umumnya mencapai besar maksimal pada usia antara 15-18 tahun (Soetjipto, 2010).
1.1 Bagian-bagian Sinus Paranasal
1.1.1 Sinus Maksila
Sinus maksila merupakan sinus pertama yang muncul (7-10 minggu
masa janin). Sinus maksila adalah sinus paranasal yang terbesar dan
bervolume 6-8 ml saat lahir (Soetjipto, 2010). Proses terbentuknya sinus
maksila berasal dari ekspansi infundibulum etmoid ke dalam maksila hingga
membuat suatu massa. Proses ekspansi tersebut menghasilkan suatu rongga
kecil pada saat lahir yang berukuran 7 x 4 x 4 mm. Pertumbuhan dan
perkembangannya terus berlanjut pada masa anak-anak kira-kira 2 mm
secara vertikal dan 3 mm anteroposterior. Proses perkembangan tersebut
mulai menurun pada usia 7 tahun, diikuti fase pertumbuhan kedua
berikutnya. Pada usia 12 tahun, pneumatisasi mencapai bagian lateral, yaitu
di bawah bagian lateral dinding orbita pada sisipan prosesus zigomatikus,
secara inferior ke bagian dasar hidung dan setelah pertumbuhan gigi
(dentisi) kedua di bawah dasar hidung. Setelah proses dentisi, sinus hanya
akan membesar secara perlahan-lahan dan mencapai ukuran maksimum
pada usia 17 hingga 18 tahun. Ukuran standar volume sinus maksila pada
orang dewasa adalah sekitar 15 cm2 dan secara kasar bentuknya menyerupai
2
piramid. Dasar piramid dibentuk oleh dinding medial sinus maksilaris
dengan sisi apeks piramid ke arah resesus zigomatikus (Stammberger,
2008).
Menurut Damayanti Soetjipto dan Endang Mangunkusumo (2010),
yang perlu diperhatikan dari segi anatomi sinus maksila berdasarkan segi
klinis adalah bahwa dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi
rahang atas, yaitu premolar (P1 dan P2), molar (M1 dan M2), dan terkadang
gigi taring (C) dan gigi moral M3. Selanjutnya sinusitis maksilaris juga
dapat menimbulkan komplikasi orbita. Selain itu, letak ostium sinus maksila
yang lebih tinggi dari dasar sinus menyebabkan drenase hanya tergantung
dari gerak silia. Drenase yang harus melalui infundibulum yang sempit juga
dapat menyebabkan sinusitis jika di daerah tersebut mengalami inflamasi.
1.1.2 Sinus Etmoid
Selama 9 dan 10 minggu masa gestasi, 6 hingga 7 lipatan muncul di
bagian dinding lateral dari kapsul nasalis janin. Lipatan-lipatan ini
dipisahkan dari satu dengan yang lain sesuai alurnya. Lebih dari seminggu
kemudian, lipatan-lipatan tersebut berfusi menjadi 3-4 puncak dengan
sebuah bagian anterior 'ascending' dan sebuah bagian posterior 'descending'
(ramus asendens dan ramus desendens). Semua struktur permanen etmoid
berkembang dari puncak tersebut (Stammberger, 2008).
3
Pada orang dewasa bentuk sinus etmoid seperti piramid dengan
dasarnya di bagian posterior. Ukurannya dari anterior ke posterior 4-5 cm,
tinggi 2,4 cm dan lebarnya 0,5 cm di bagian anterior dan 1,5 cm di bagian
posterior. Pada bagian terdepan sinus etmoid anterior terdapat resesus
frontal yang berhubungan dengan sinus frontal. Di daerah etmoid anterior
terdapat suatu area penyempitan disebut infundibulum yang merupakan
tempat bermuaranya ostium sinus maksila. Peradangan di resesus frontal
mengakibatkan sinusitis frontal. Sementara jika peradangan terjadi di
infundibulum mengakibatkan sinusitis maksila (Soetjipto, 2010).
Sinus etmoid dipisahkan oleh rangkaian resesus yang dibatasi 5 sekat
tulang atau lamela. Lamela ini diberi nama dari yang paling anterior ke
posterior : prosesus uncinatus, bula etmoidalis (sel etmoid yang terbesar),
dasar atau lamela basalis dan konka superior (Walsh, 2008). Atap sinus
etmoid yang disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan lamina kribosa.
Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea yang sangat tipis dan
membatasi sinus etmoid dari rongga orbita. Di bagian belakang sinus etmoid
posterior berbatasan dengan sinus sfenoid (Soetjipto, 2010).
1.1.3 Sinus Sfenoid
Sinus sfenoid merupakan sinus paranasal yang terletak paling posterior
(Stankiewicz, 2010). Sinus sfenoid mulai dapat dikenal pada sekitar bulan
ketiga intrauterin sebagai sebuah evaginasi dari resesus sfenoetmoidal dan
4
kemudian menjadi sebuah rongga kecil berukuran 2 x 2 x 1.5 mm pada bayi
baru lahir. Pada usia 3 tahun, pneumatisasi tulang sfenoid berkembang dan
pada usia 7 tahun mencapai dasar sella. Ukuran sinus sfenoid adalah 2 cm
(tinggi) x 1,7 (lebar) x 2,3 (dalamnya). Volumenya bervariasi dari 5 sampai
7,5 ml (Soetjipto, 2010). Pada orang dewasa, derajat pneumatisasinya
berubah-ubah dan keasimetrisan menjadi hal utama yang harus diperhatikan
(Stammberger, 2008).
Sebelah superior sinus sfenoid terdapat fosa serebri media dan kelenjar
hipofisa, sebelah inferiornya adalah atap nasofaring, sebelah lateral
berbatasan dengan sinus kavernosus dan arteri karotis interna dan pada
sebelah posteriornya berbatasan dengan fosa serebri posterior di daerah pons
(Soetjipto, 2010).
1.1.4 Sinus Frontal
Sinus frontal adalah sinus yang paling bervariasi dalam ukuran dan
bentuk. Secara embriologik, sinus frontal mungkin dikenal sebagai sebuah
sel etmoidalis anterior. Ukurannya tergantung pada derajat pneumatisasi,
mungkin tidak ada sama sekali (5%) dan biasanya dibagi atau dibatasi
dengan sebuah septum intersinus (Walsh, 2006). Pada fetus usia 4 bulan,
perkembangan sinus frontal yang berasal dari resesus frontal dapat dilihat.
Dari bagian yang paling anterior dan segmen superior dari kompleks etmoid
5
anterior ini, tulang frontal secara berangsur-angsur mengalami pneumatisasi,
menghasilkan sinus frontal yang ukurannya bervariasi.
Saat lahir, sinus frontal kecil dan pada foto x-ray sulit dibedakan dari
sel etmoid anterior yang lain. Berbeda dengan pneumatisasi sinus maksilaris
yang cepat, proses pneumatisasi sinus frontal secara inisial sangat lambat.
Meskipun begitu, pneumatisasinya akan tampak jelas pada gambaran CT-
scan pada akhir tahun usia pertama. Saat usia 5 tahun, pneumatisasi akan
meluas secara superior dan pada usia 12 tahun sinus sudah tampak besar.
Pneumatisasi mungkin akan berlanjut selama masa remaja. Bentuk sinus
dan resesus frontal merupakan hal yang sangat penting dalam menentukan
variasi (Stammberger, 2008). Ukuran sinus frontal adalah 2,8 cm (tinggi) x
2,4 cm (lebar) x 2 cm (dalamnya). Sinus frontal biasanya bersekat-sekat dan
tepi sinus berlekuk-lekuk (Soetjipto, 2010).
2. Pemeriksaan Radiologi pada kepala
Sinus paranasal adalah rongga berisi udara yang dikelilingi oleh tulang yang
tidak dapat terakses secara langsung oleh pemeriksaan klinikal semata, kecuali
dengan meningkatkan penemuan teleskop. Secara tradisional, film konvensional
merupakan pilihan pencitraan terbaik pada pemeriksaan paranasal sinus. Akan tetapi,
secara perlahan CT mulai menggantikan pencitraan konvensional ini sebagai
peralatan utamanya. MRI merupakan metode pencitraan yang paling baik pada
pemeriksaan sekitar dan komplikasi intrakranial dari penyakit radang sinus.
6
Dibandingkan dengan CT, MRI lebih mampu memberikan visualisasi yang lebih baik
bagi jaringan lunak, tapi tidak dapat dengan mudah menunjukan bagian yang terdapat
batas cortical air-bone. Hal itulah yang menjadi alasan mengapa CT masih
menempati urutan prioritas pada pencitraaan paranasal sinus ini.2 Pada pasien-pasien
dengan keluhan klinis khas yang mengarah pada dugaan adanya sinusitis, antara lain
pilek, nyeri kepala, nafas berbau, atau kelainan-kelainan lain pada sinus paranasal
misalnya mukokel, pembentukan cairan dalam sinus-sinus, atau tumor, trauma sekitar
sinus paranasal, diperlukan informasi mengenai keadaan sinus tersebut. 5
Pemeriksaan radiologis untuk mendapatkan informasi dan untuk mengevaluasi sinus
paranasal adalah:
- Pemeriksaan foto kepala dengan berbagai posisi yang khas
- Pemeriksaan tomogram
- Pemeriksaan CT-Scan
Dengan pemeriksaan radiologis tersebut para ahli radiologi dapat memberikan
gambran anatomi atau variasi anatomi, kelainan-kelainan patologis pada sinus
paranasal dan struktur tulang sekitarnya, sehingga dapat memberikan
diagnosis yang lebih dini.
2.1 Pemeriksaan Foto kepala
Pemeriksaan foto polos kepala adalah pemeriksaan yang paling baik dan paling
utama untuk mengevaluasi sinus paranasal. Karena banyaknya unsur-unsur tulang
dan jaringan lunak yang tumpang tindih pada daerah sinus paranasal, kelainan
7
jaringan lunak, erosi tulang kadang sulit di evaluasi. Pemeriksaan ini dari sudut
biaya cukup ekonomis dan pasien hanya mendapat radiasi yang minimal. Semua
pemeriksaan harus dilakukan dengan proteksi radiasi yang baik, arah sinar yang
cukup teliti dan digunakan fokal spot yang kecil. Posisi pasien yang paling baik
adalah posisi duduk. Apabila dilakukan pada posisi tiduran, paling tidak posisi
Waters dilakukan pada posisi duduk. Diusahakan untuk memperoleh hasil yang
dapat mengevaluasi adanya air fluid level dalam sinussinus. Apabila pasien tidak
dapat duduk, dianjurkan untuk melakukan foto lateral dengan film diletakkan
pada posisi kontralateral dengan sinar X horizontal. Pemeriksaan kepala untuk
mengevaluasi sinus paranasal terdiri atas berbagai macam posisi, antara lain:
a. Foto kepala posisi anterior-posterior ( posisi Caldwell)
Foto ini diambil pada posisi kepala menghadap kaset, bidang midsagital kepala
tegak lurus pada film. 5 Posisi ini didapat dengan meletakkan hidung dan dahi
diatas meja sedemikian rupa sehingga garis orbito-meatal (yang
menghubungkan kantus lateralis mata dengan batas superior kanalis auditorius
eksterna) tegak lurus terhadap film. Sudut sinar rontgen adalah 15 derajat
kraniokaudal dengan titik keluarnya nasion.
8
b. Foto kepala lateral
Foto lateral kepala dilakukan dengan kaset terletah sebelah lateral dengan
sentrasi diluar kantus mata, sehingga dinding posterior dan dasar sinus maksila
berhimpit satu sama lain.
c. Foto kepala posisi Waters
Posisi ini yang paling sering digunakan. Pada foto waters, secara ideal piramid
tulang petrosum diproyeksikan pada dasar sinus maksilaris. Maksud dari posisi
ini adalah untuk memproyeksikan tulang petrosus supaya terletak dibawah
antrum maksila sehingga kedua sinus maksilaris dapat dievaluasi seluruhnya.
Hal ini didapatkan dengan menengadahkan kepala pasien sedemikian rupa
sehingga dagu menyentuh permukaan meja. Bidang yang melalui kantus
medial mata dan tragus membentuk sudut lebih kurang 37 derajat dengan film.
9
Foto waters umumnya dilakukan pada keadaan mulut tertutup. Pada posisi
mulut terbuka akan dapat menilai daerah dinding posterior sinus sphenoid
dengan baik.
d. Foto kepala posisi Submentoverteks
Posisi submentoverteks diambil dengan meletakkan film pada verteks, kepala
pasien menengadah sehingga garis infraorbito meatal sejajar dengan film.
Sentrasi tegak lurus kaset dalam bidang midsagital melalui sella tursika ke arah
verteks. Banyak variasu-variasi sudut sentrasi pada posisi submentoverteks,
agar supaya mendapatkan gambaran yang baik pada beberapa bagian basis
kranii, khususnya sinus frontalis dan dinding posterior sinus maksilaris.
e. Foto Rhese
Posisi rhese atau oblik dapat mengevaluasi bagian posterior sinus etmoid,
kanalis optikus dan lantai dasar orbita sisi lain.
f. Foto proyeksi Towne
Posisi towne diambil denga berbagai variasi sudut angulasi antara 30-60 ke
arah garis orbitomeatal. Sentrasi dari depan kira-kira 8 cm di atas glabela dari
10
foto polos kepala dalam bidang midsagital. Proyeksi ini adalah posisi yang
paling baik untuk menganalisis dinding posterior sinus maksilaris, fisura orbita
inferior, kondilus mandibularis, dan arkus zigomatikus posterior.
3. Temuan pada foto rontgen skull
3.1 Infeksi sinus paranasal
Pada kasus-kasus sinusitis sphenoid, kira-kira 50% foto polos sinus
sphenoidalis yang normal, tapi apabila dilakukan pemeriksaan CT-Scan, maka
tampak kelainan pada mukosa berupa penebalan. Pada sinusitis tampak :
- penebalan mukosa
- air fluid level (kadang-kadang)
- perselubungan homogen pada satu atau lebih sinus para nasal
- penebalan dinding sinus dengan sleklerotik (pada kasus-kasus kronik)
Pansinusitis adalah suatu keadaan dimana terdapat perselubungan pada seluruh
sinus-sinus. Apabila perselubungan masih tetap ada sampai 2-3 minggu setelah
11
terapi konservatif perlu dilakukan pemeriksaan CT-Scan. Hal-hal yang mungkin
terjadi pada kasus tersebut, ialah:
- Kista retensi yang luas, pada pemeriksaan CT-Scan terlihat gambaran air
fluid level
- Polip yang mengisi ruang sinus
- Polip antrakoana
- Masa pada kavum nasi yang menyumbat sinus
- Mukokel, pada foto polos tampak gambaran radioopak berbatas tegas berbentuk
konveks dengan penebalan dinding mukosa disekitarnya. Pada mukokel
didaerah sinus etmoidalis sukar dideteksi dengan foto polos, tetapi dapat
dideteksi dengan pemeriksaan CT.
- Tumor
3.2 Fraktur pada tulang muka
Fraktur tulang muka dapat dibagi 2 kelompok, yaitu : dapat terjadi pada satu
tulang atau dapat terjadi pada beberapa tulang. Fraktur-fraktur ini meliputi:
- fraktur tulang nasal ; dimana terjadi gangguan aliran dari sinus-sinus
kekavum nasi
- fraktur tulang frontal
- fraktur arkus zigomatikus : dimana terlibat sinus makasilaris
- fraktur yang meliputi etmoid/ maksilaris atau keduanya pada foto polos kepala
gambaran yang tampak hanya garis fraktur dan perselubungan satu atau dua sisi
12
sinus. Sedangkan pemeriksaann CT-Scan dapat memperlihatkan gambaran
herniasi.
Fraktur kompleks yang sering terjadi adalah :
- fraktur naso-orbital, dapat disebabkan oleh benturan kuat pada dasar hidung
yang menekan tulang nasal kebelakang sehingga menyebabkan sinus etmoidalis
kolap. Pada foto polos AP sukar dinilai, pada foto lateral dapat dilihat fraktur
pada tulang nasal dimana tulang nasal tertekan kedalam dan perselubungan
pada sinus etmoidalis. Pemeriksaann CT-Scan khususnya irisan koronal, dapat
memperlihatkan secara tepat kolap sinus etmoid.
- fraktur trimalar, sering terjadi pada olah raga tinju dimana terdapat pukulan
keras pada tulang zigomatikus. Fraktur dapat ditegakkan dengan pemotretan
posisi Water dan pemeriksaan CT-Scan.
- fraktur Le Fort, fraktur komplek tulang-tulang muka yang sering terlihat pada
kecelakaan. Pemeriksaan foto polos muka dan CT-Scan dapat memperlihatkan
luasnya daerah yang terkena, dan tulang-tulang apa saja yang fraktur.
3.3 Tumor pada sinus
Delapan puluh persen tumor yang menyerang sinus paranasal dan kavum nasi
adalah karsinoma sel skuamosa dan hamper 80% menyerang sinus maksila.
Tanda-tanda radiologi pada fotp polos kepala dan CT kepala adalah adanya masa
pada sinus maksilaris disertai dekstruksi tulang aktif, hanya pada CT kepala
dapat ditambahkan evaluasi tambahan daerah fosa infra temporalis dan daerah
13
paraparingeal. Hal ini dapat menentuka apakah tumor menyebar pada daerah
tersebut atau ke atas ke daerah basis kranii. Ada sekelompok tumor dengan
tanda-tanda radiologik yang khas, yaitu adanya ekspansi aktif meliputi seluruh
rongga sinus, dekstruksi tulang dinding pada sinus yang diserang, tetapi secara
garis besar tulang-tulang tersebut mengalami rekalsifikasi lagi, sehingga sering
tumor dianggap jinak, tetapi secara patologis prognosisnya sangat jelek.
Kelompok tumor ini adalah papiloma, esthesioneuroblastoma, tumor kelenjer
saliva minor termasuk adenokarsinoma, ekstramedulariplasmasitoma,
melanosarkoma, dan rhabdomiosarkoma.
14