sinus paranasal

22
1. Anatomi Sinus Paranasal Sinus paranasal adalah rongga berisi udara yang berbatasan langsung dengan rongga hidung. Bagian lateralnya merupakan sinus maksila (antrum) dan sel-sel dari sinus etmoid, sebelah kranial adalah sinus frontal, dan sebelah dorsal adalah sinus sphenoid. Sinus sphenoid terletak tepat di depan klivus dan atap nasofaring. Sinus paranasal juga dilapisi dengan epitel berambut-getar. Lendir yang dibentuk di dalam sinus paranasal dialirkan ke dalam meatus nasalis. Alirannya dimulai dari sinus frontal, sel etmoid anterior, dan sinus maksila kemudian masuk ke meatus-medius. Sedangkan aliran dari sel etmoid posterior dan sinus sfenoid masuk ke meatus superior. Aliran yang menuju ke dalam meatus inferior hanya masuk melalui duktus nasolakrimalis. Secara klinis, bagian yang penting ialah bagian depan-tengah meatus medius yang sempit, yang disebut kompleks ostiomeatal. Daerah ini 1

Upload: diah-kusuma-wardani

Post on 06-Dec-2015

41 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

Anatomi Sinus Paranasal

TRANSCRIPT

1. Anatomi Sinus Paranasal

Sinus paranasal adalah rongga berisi udara yang berbatasan langsung dengan

rongga hidung. Bagian lateralnya merupakan sinus maksila (antrum) dan sel-sel dari

sinus etmoid, sebelah kranial adalah sinus frontal, dan sebelah dorsal adalah sinus

sphenoid. Sinus sphenoid terletak tepat di depan klivus dan atap nasofaring. Sinus

paranasal juga dilapisi dengan epitel berambut-getar. Lendir yang dibentuk di dalam

sinus paranasal dialirkan ke dalam meatus nasalis. Alirannya dimulai dari sinus

frontal, sel etmoid anterior, dan sinus maksila kemudian masuk ke meatus-medius.

Sedangkan aliran dari sel etmoid posterior dan sinus sfenoid masuk ke meatus

superior. Aliran yang menuju ke dalam meatus inferior hanya masuk melalui duktus

nasolakrimalis. Secara klinis, bagian yang penting ialah bagian depan-tengah meatus

medius yang sempit, yang disebut kompleks ostiomeatal. Daerah ini penting karena

hampir semua lubang saluran dari sinus paranasal terdapat di sana (Broek, 2010).

Pada saat lahir, sinus paranasal belum terbentuk, kecuali beberapa sel etmoid.

Kemudian baru pada sekitar umur dua belas tahun, semua sinus paranasal terbentuk

secara lengkap. Kadang-kadang, salah satu dari sinus frontal tidak terbentuk. Bagian

belakang nasofaring berbatasan dengan fossa sfeno-palatina (Broek, 2010). Secara

embriologik, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga hidung dan

perkembangannya dimulai dari pada fetus usia 3-4 bulan, kecuali sinus sfenoid dan

sinus frontal. Sinus maksila dan sinus etmoid sudah ada sejak saat bayi lahir,

sedangkan sinus frontal berkembang dari sinus etmoid anterior pada anak yang

1

berusia kurang lebih 8 tahun. Pneumatisasi sinus sfenoid dimulai pada usia 8-10

tahun dan berasal dari bagian postero-superior rongga hidung. Sinus-sinus ini

umumnya mencapai besar maksimal pada usia antara 15-18 tahun (Soetjipto, 2010).

1.1 Bagian-bagian Sinus Paranasal

1.1.1 Sinus Maksila

Sinus maksila merupakan sinus pertama yang muncul (7-10 minggu

masa janin). Sinus maksila adalah sinus paranasal yang terbesar dan

bervolume 6-8 ml saat lahir (Soetjipto, 2010). Proses terbentuknya sinus

maksila berasal dari ekspansi infundibulum etmoid ke dalam maksila hingga

membuat suatu massa. Proses ekspansi tersebut menghasilkan suatu rongga

kecil pada saat lahir yang berukuran 7 x 4 x 4 mm. Pertumbuhan dan

perkembangannya terus berlanjut pada masa anak-anak kira-kira 2 mm

secara vertikal dan 3 mm anteroposterior. Proses perkembangan tersebut

mulai menurun pada usia 7 tahun, diikuti fase pertumbuhan kedua

berikutnya. Pada usia 12 tahun, pneumatisasi mencapai bagian lateral, yaitu

di bawah bagian lateral dinding orbita pada sisipan prosesus zigomatikus,

secara inferior ke bagian dasar hidung dan setelah pertumbuhan gigi

(dentisi) kedua di bawah dasar hidung. Setelah proses dentisi, sinus hanya

akan membesar secara perlahan-lahan dan mencapai ukuran maksimum

pada usia 17 hingga 18 tahun. Ukuran standar volume sinus maksila pada

orang dewasa adalah sekitar 15 cm2 dan secara kasar bentuknya menyerupai

2

piramid. Dasar piramid dibentuk oleh dinding medial sinus maksilaris

dengan sisi apeks piramid ke arah resesus zigomatikus (Stammberger,

2008).

Menurut Damayanti Soetjipto dan Endang Mangunkusumo (2010),

yang perlu diperhatikan dari segi anatomi sinus maksila berdasarkan segi

klinis adalah bahwa dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi

rahang atas, yaitu premolar (P1 dan P2), molar (M1 dan M2), dan terkadang

gigi taring (C) dan gigi moral M3. Selanjutnya sinusitis maksilaris juga

dapat menimbulkan komplikasi orbita. Selain itu, letak ostium sinus maksila

yang lebih tinggi dari dasar sinus menyebabkan drenase hanya tergantung

dari gerak silia. Drenase yang harus melalui infundibulum yang sempit juga

dapat menyebabkan sinusitis jika di daerah tersebut mengalami inflamasi.

1.1.2 Sinus Etmoid

Selama 9 dan 10 minggu masa gestasi, 6 hingga 7 lipatan muncul di

bagian dinding lateral dari kapsul nasalis janin. Lipatan-lipatan ini

dipisahkan dari satu dengan yang lain sesuai alurnya. Lebih dari seminggu

kemudian, lipatan-lipatan tersebut berfusi menjadi 3-4 puncak dengan

sebuah bagian anterior 'ascending' dan sebuah bagian posterior 'descending'

(ramus asendens dan ramus desendens). Semua struktur permanen etmoid

berkembang dari puncak tersebut (Stammberger, 2008).

3

Pada orang dewasa bentuk sinus etmoid seperti piramid dengan

dasarnya di bagian posterior. Ukurannya dari anterior ke posterior 4-5 cm,

tinggi 2,4 cm dan lebarnya 0,5 cm di bagian anterior dan 1,5 cm di bagian

posterior. Pada bagian terdepan sinus etmoid anterior terdapat resesus

frontal yang berhubungan dengan sinus frontal. Di daerah etmoid anterior

terdapat suatu area penyempitan disebut infundibulum yang merupakan

tempat bermuaranya ostium sinus maksila. Peradangan di resesus frontal

mengakibatkan sinusitis frontal. Sementara jika peradangan terjadi di

infundibulum mengakibatkan sinusitis maksila (Soetjipto, 2010).

Sinus etmoid dipisahkan oleh rangkaian resesus yang dibatasi 5 sekat

tulang atau lamela. Lamela ini diberi nama dari yang paling anterior ke

posterior : prosesus uncinatus, bula etmoidalis (sel etmoid yang terbesar),

dasar atau lamela basalis dan konka superior (Walsh, 2008). Atap sinus

etmoid yang disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan lamina kribosa.

Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea yang sangat tipis dan

membatasi sinus etmoid dari rongga orbita. Di bagian belakang sinus etmoid

posterior berbatasan dengan sinus sfenoid (Soetjipto, 2010).

1.1.3 Sinus Sfenoid

Sinus sfenoid merupakan sinus paranasal yang terletak paling posterior

(Stankiewicz, 2010). Sinus sfenoid mulai dapat dikenal pada sekitar bulan

ketiga intrauterin sebagai sebuah evaginasi dari resesus sfenoetmoidal dan

4

kemudian menjadi sebuah rongga kecil berukuran 2 x 2 x 1.5 mm pada bayi

baru lahir. Pada usia 3 tahun, pneumatisasi tulang sfenoid berkembang dan

pada usia 7 tahun mencapai dasar sella. Ukuran sinus sfenoid adalah 2 cm

(tinggi) x 1,7 (lebar) x 2,3 (dalamnya). Volumenya bervariasi dari 5 sampai

7,5 ml (Soetjipto, 2010). Pada orang dewasa, derajat pneumatisasinya

berubah-ubah dan keasimetrisan menjadi hal utama yang harus diperhatikan

(Stammberger, 2008).

Sebelah superior sinus sfenoid terdapat fosa serebri media dan kelenjar

hipofisa, sebelah inferiornya adalah atap nasofaring, sebelah lateral

berbatasan dengan sinus kavernosus dan arteri karotis interna dan pada

sebelah posteriornya berbatasan dengan fosa serebri posterior di daerah pons

(Soetjipto, 2010).

1.1.4 Sinus Frontal

Sinus frontal adalah sinus yang paling bervariasi dalam ukuran dan

bentuk. Secara embriologik, sinus frontal mungkin dikenal sebagai sebuah

sel etmoidalis anterior. Ukurannya tergantung pada derajat pneumatisasi,

mungkin tidak ada sama sekali (5%) dan biasanya dibagi atau dibatasi

dengan sebuah septum intersinus (Walsh, 2006). Pada fetus usia 4 bulan,

perkembangan sinus frontal yang berasal dari resesus frontal dapat dilihat.

Dari bagian yang paling anterior dan segmen superior dari kompleks etmoid

5

anterior ini, tulang frontal secara berangsur-angsur mengalami pneumatisasi,

menghasilkan sinus frontal yang ukurannya bervariasi.

Saat lahir, sinus frontal kecil dan pada foto x-ray sulit dibedakan dari

sel etmoid anterior yang lain. Berbeda dengan pneumatisasi sinus maksilaris

yang cepat, proses pneumatisasi sinus frontal secara inisial sangat lambat.

Meskipun begitu, pneumatisasinya akan tampak jelas pada gambaran CT-

scan pada akhir tahun usia pertama. Saat usia 5 tahun, pneumatisasi akan

meluas secara superior dan pada usia 12 tahun sinus sudah tampak besar.

Pneumatisasi mungkin akan berlanjut selama masa remaja. Bentuk sinus

dan resesus frontal merupakan hal yang sangat penting dalam menentukan

variasi (Stammberger, 2008). Ukuran sinus frontal adalah 2,8 cm (tinggi) x

2,4 cm (lebar) x 2 cm (dalamnya). Sinus frontal biasanya bersekat-sekat dan

tepi sinus berlekuk-lekuk (Soetjipto, 2010).

2. Pemeriksaan Radiologi pada kepala

Sinus paranasal adalah rongga berisi udara yang dikelilingi oleh tulang yang

tidak dapat terakses secara langsung oleh pemeriksaan klinikal semata, kecuali

dengan meningkatkan penemuan teleskop. Secara tradisional, film konvensional

merupakan pilihan pencitraan terbaik pada pemeriksaan paranasal sinus. Akan tetapi,

secara perlahan CT mulai menggantikan pencitraan konvensional ini sebagai

peralatan utamanya. MRI merupakan metode pencitraan yang paling baik pada

pemeriksaan sekitar dan komplikasi intrakranial dari penyakit radang sinus.

6

Dibandingkan dengan CT, MRI lebih mampu memberikan visualisasi yang lebih baik

bagi jaringan lunak, tapi tidak dapat dengan mudah menunjukan bagian yang terdapat

batas cortical air-bone. Hal itulah yang menjadi alasan mengapa CT masih

menempati urutan prioritas pada pencitraaan paranasal sinus ini.2 Pada pasien-pasien

dengan keluhan klinis khas yang mengarah pada dugaan adanya sinusitis, antara lain

pilek, nyeri kepala, nafas berbau, atau kelainan-kelainan lain pada sinus paranasal

misalnya mukokel, pembentukan cairan dalam sinus-sinus, atau tumor, trauma sekitar

sinus paranasal, diperlukan informasi mengenai keadaan sinus tersebut. 5

Pemeriksaan radiologis untuk mendapatkan informasi dan untuk mengevaluasi sinus

paranasal adalah:

- Pemeriksaan foto kepala dengan berbagai posisi yang khas

- Pemeriksaan tomogram

- Pemeriksaan CT-Scan

Dengan pemeriksaan radiologis tersebut para ahli radiologi dapat memberikan

gambran anatomi atau variasi anatomi, kelainan-kelainan patologis pada sinus

paranasal dan struktur tulang sekitarnya, sehingga dapat memberikan

diagnosis yang lebih dini.

2.1 Pemeriksaan Foto kepala

Pemeriksaan foto polos kepala adalah pemeriksaan yang paling baik dan paling

utama untuk mengevaluasi sinus paranasal. Karena banyaknya unsur-unsur tulang

dan jaringan lunak yang tumpang tindih pada daerah sinus paranasal, kelainan

7

jaringan lunak, erosi tulang kadang sulit di evaluasi. Pemeriksaan ini dari sudut

biaya cukup ekonomis dan pasien hanya mendapat radiasi yang minimal. Semua

pemeriksaan harus dilakukan dengan proteksi radiasi yang baik, arah sinar yang

cukup teliti dan digunakan fokal spot yang kecil. Posisi pasien yang paling baik

adalah posisi duduk. Apabila dilakukan pada posisi tiduran, paling tidak posisi

Waters dilakukan pada posisi duduk. Diusahakan untuk memperoleh hasil yang

dapat mengevaluasi adanya air fluid level dalam sinussinus. Apabila pasien tidak

dapat duduk, dianjurkan untuk melakukan foto lateral dengan film diletakkan

pada posisi kontralateral dengan sinar X horizontal. Pemeriksaan kepala untuk

mengevaluasi sinus paranasal terdiri atas berbagai macam posisi, antara lain:

a. Foto kepala posisi anterior-posterior ( posisi Caldwell)

Foto ini diambil pada posisi kepala menghadap kaset, bidang midsagital kepala

tegak lurus pada film. 5 Posisi ini didapat dengan meletakkan hidung dan dahi

diatas meja sedemikian rupa sehingga garis orbito-meatal (yang

menghubungkan kantus lateralis mata dengan batas superior kanalis auditorius

eksterna) tegak lurus terhadap film. Sudut sinar rontgen adalah 15 derajat

kraniokaudal dengan titik keluarnya nasion.

8

b. Foto kepala lateral

Foto lateral kepala dilakukan dengan kaset terletah sebelah lateral dengan

sentrasi diluar kantus mata, sehingga dinding posterior dan dasar sinus maksila

berhimpit satu sama lain.

c. Foto kepala posisi Waters

Posisi ini yang paling sering digunakan. Pada foto waters, secara ideal piramid

tulang petrosum diproyeksikan pada dasar sinus maksilaris. Maksud dari posisi

ini adalah untuk memproyeksikan tulang petrosus supaya terletak dibawah

antrum maksila sehingga kedua sinus maksilaris dapat dievaluasi seluruhnya.

Hal ini didapatkan dengan menengadahkan kepala pasien sedemikian rupa

sehingga dagu menyentuh permukaan meja. Bidang yang melalui kantus

medial mata dan tragus membentuk sudut lebih kurang 37 derajat dengan film.

9

Foto waters umumnya dilakukan pada keadaan mulut tertutup. Pada posisi

mulut terbuka akan dapat menilai daerah dinding posterior sinus sphenoid

dengan baik.

d. Foto kepala posisi Submentoverteks

Posisi submentoverteks diambil dengan meletakkan film pada verteks, kepala

pasien menengadah sehingga garis infraorbito meatal sejajar dengan film.

Sentrasi tegak lurus kaset dalam bidang midsagital melalui sella tursika ke arah

verteks. Banyak variasu-variasi sudut sentrasi pada posisi submentoverteks,

agar supaya mendapatkan gambaran yang baik pada beberapa bagian basis

kranii, khususnya sinus frontalis dan dinding posterior sinus maksilaris.

e. Foto Rhese

Posisi rhese atau oblik dapat mengevaluasi bagian posterior sinus etmoid,

kanalis optikus dan lantai dasar orbita sisi lain.

f. Foto proyeksi Towne

Posisi towne diambil denga berbagai variasi sudut angulasi antara 30-60 ke

arah garis orbitomeatal. Sentrasi dari depan kira-kira 8 cm di atas glabela dari

10

foto polos kepala dalam bidang midsagital. Proyeksi ini adalah posisi yang

paling baik untuk menganalisis dinding posterior sinus maksilaris, fisura orbita

inferior, kondilus mandibularis, dan arkus zigomatikus posterior.

3. Temuan pada foto rontgen skull

3.1 Infeksi sinus paranasal

Pada kasus-kasus sinusitis sphenoid, kira-kira 50% foto polos sinus

sphenoidalis yang normal, tapi apabila dilakukan pemeriksaan CT-Scan, maka

tampak kelainan pada mukosa berupa penebalan. Pada sinusitis tampak :

- penebalan mukosa

- air fluid level (kadang-kadang)

- perselubungan homogen pada satu atau lebih sinus para nasal

- penebalan dinding sinus dengan sleklerotik (pada kasus-kasus kronik)

Pansinusitis adalah suatu keadaan dimana terdapat perselubungan pada seluruh

sinus-sinus. Apabila perselubungan masih tetap ada sampai 2-3 minggu setelah

11

terapi konservatif perlu dilakukan pemeriksaan CT-Scan. Hal-hal yang mungkin

terjadi pada kasus tersebut, ialah:

- Kista retensi yang luas, pada pemeriksaan CT-Scan terlihat gambaran air

fluid level

- Polip yang mengisi ruang sinus

- Polip antrakoana

- Masa pada kavum nasi yang menyumbat sinus

- Mukokel, pada foto polos tampak gambaran radioopak berbatas tegas berbentuk

konveks dengan penebalan dinding mukosa disekitarnya. Pada mukokel

didaerah sinus etmoidalis sukar dideteksi dengan foto polos, tetapi dapat

dideteksi dengan pemeriksaan CT.

- Tumor

3.2 Fraktur pada tulang muka

Fraktur tulang muka dapat dibagi 2 kelompok, yaitu : dapat terjadi pada satu

tulang atau dapat terjadi pada beberapa tulang. Fraktur-fraktur ini meliputi:

- fraktur tulang nasal ; dimana terjadi gangguan aliran dari sinus-sinus

kekavum nasi

- fraktur tulang frontal

- fraktur arkus zigomatikus : dimana terlibat sinus makasilaris

- fraktur yang meliputi etmoid/ maksilaris atau keduanya pada foto polos kepala

gambaran yang tampak hanya garis fraktur dan perselubungan satu atau dua sisi

12

sinus. Sedangkan pemeriksaann CT-Scan dapat memperlihatkan gambaran

herniasi.

Fraktur kompleks yang sering terjadi adalah :

- fraktur naso-orbital, dapat disebabkan oleh benturan kuat pada dasar hidung

yang menekan tulang nasal kebelakang sehingga menyebabkan sinus etmoidalis

kolap. Pada foto polos AP sukar dinilai, pada foto lateral dapat dilihat fraktur

pada tulang nasal dimana tulang nasal tertekan kedalam dan perselubungan

pada sinus etmoidalis. Pemeriksaann CT-Scan khususnya irisan koronal, dapat

memperlihatkan secara tepat kolap sinus etmoid.

- fraktur trimalar, sering terjadi pada olah raga tinju dimana terdapat pukulan

keras pada tulang zigomatikus. Fraktur dapat ditegakkan dengan pemotretan

posisi Water dan pemeriksaan CT-Scan.

- fraktur Le Fort, fraktur komplek tulang-tulang muka yang sering terlihat pada

kecelakaan. Pemeriksaan foto polos muka dan CT-Scan dapat memperlihatkan

luasnya daerah yang terkena, dan tulang-tulang apa saja yang fraktur.

3.3 Tumor pada sinus

Delapan puluh persen tumor yang menyerang sinus paranasal dan kavum nasi

adalah karsinoma sel skuamosa dan hamper 80% menyerang sinus maksila.

Tanda-tanda radiologi pada fotp polos kepala dan CT kepala adalah adanya masa

pada sinus maksilaris disertai dekstruksi tulang aktif, hanya pada CT kepala

dapat ditambahkan evaluasi tambahan daerah fosa infra temporalis dan daerah

13

paraparingeal. Hal ini dapat menentuka apakah tumor menyebar pada daerah

tersebut atau ke atas ke daerah basis kranii. Ada sekelompok tumor dengan

tanda-tanda radiologik yang khas, yaitu adanya ekspansi aktif meliputi seluruh

rongga sinus, dekstruksi tulang dinding pada sinus yang diserang, tetapi secara

garis besar tulang-tulang tersebut mengalami rekalsifikasi lagi, sehingga sering

tumor dianggap jinak, tetapi secara patologis prognosisnya sangat jelek.

Kelompok tumor ini adalah papiloma, esthesioneuroblastoma, tumor kelenjer

saliva minor termasuk adenokarsinoma, ekstramedulariplasmasitoma,

melanosarkoma, dan rhabdomiosarkoma.

14