sintesa hasil penelitian pengelolaan hutan alam produksi lestari
TRANSCRIPT
SINTESA HASIL PENELITIAN PENGELOLAAN HUTAN ALAM PRODUKSI LESTARI
Oleh: Dr.Ir. Darwo, M.Si.
Kontributor data: Ir. Djoko Wahjono, M.S. Ir. Abdurachman, M.P. Lutfi Abdullah, S.Hut.,M.Si. Dr. Farida Herry Susanty, S.Hut, M.P. Dr. Ika Herdiansyah, S.Hut., M.Agr. Dr. Ir. Diana Prameswari, M.Si. Dr. Haruni Krisnawati, S.Hut., M.Si. Rinaldi Imanuddin, S.Hut. Ir. Sudin Panjaitan, M.P. Asef K. Hardjana, S.Hut., M.Sc. Karmilasanti, S.Hut. Ir. Relawan Kuswandi.,M.Sc. Baharinawati W. Hastanti, S.Sos.,M.Sc.
Aswandi, S.Hut., M.Si. Cica Ali, S.Si., M.P. Arif Irawan, S.Si
PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PENINGKATAN PRODUKTIVITAS HUTAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN KEMENTERIAN KEHUTANAN 2014
KATA PENGANTAR
Dalam rangka mendukung suksesnya kebijakan prioritas Kementerian Kehutanan, Badan Litbang Kehutanan telah menyusun program kerja yang kemudian dijabarkan dalam paket-paket kegiatan penelitian yang terpadu. Data dan informasi yang diperoleh diharapkan menjadi dasar penetapan kebijakan Kementerian Kehutanan, sekaligus diperoleh suatu paket teknologi yang aplikatif yang dapat digunakan oleh para pelaksana lapangan sebagai pedoman pengelolaan hutan alam produksi yang lestari.
Salah satu kegiatan penelitian yang tergabung dalam Rencana Penelitian Integratif (RPI) adalah Pengelolaan Hutan Alam Produksi Lestari. Kegiatan penelitian ini melibatkan peneliti-peneliti di pusat dan peneliti di daerah (UPT). Ruang lingkup penelitian dalam RPI ini berkaitan dengan penyelesaian permasalahan dalam pengelolaan hutan alam produksi lestari.
Hasil sintesa ini merupakan hasil penelitian tahap awal (5 tahun pertama) dari rencana penelitian jangka panjang 15 tahun (setengah rotasi), sehingga kesimpulan-kesimpulan yang diperoleh pada umumnya masih bersifat indikatif yang masih memerlukan pengamatan dan perlakukan-perlakuan penelitian lebih lanjut. Namun demikian beberapa aspek sudah menunjukkan hasil akhir.
Sangat disadari bahwa sintesa ini belum sempurna, namun demikian dengan partisipasi aktif semua yang terlibat baik peneliti maupun struktural, maka kesempurnaan akan dapat diwujudkan sehingga hasilnya akan bermanfaat bagi pengelolaan hutan alam produksi yang berkelanjutan.
Bogor, Desember 2014
Penyusun
RINGKASAN
Pengelolaan hutan alam produksi di Indonesia telah berjalan hampir 45 tahun. Banyak hasil pembangunan di Indonesia yang merupakan andil dari hasil pemanfaatan hutan hutan alam produksi. Namun demikian, peranan hutan alam produksi tersebut tidak diimbangi dengan upaya-upaya yang signifikan untuk mempertahankan dan meningkatkan produktivitasnya. Hutan alam produksi hanya dijadikan obyek pengurasan untuk dijadikan modal pembangunan. Hutan alam produksi mempunyai kemampuan yang sangat terbatas, rentan terhadap perubahan yang ektrem. Ekologi hutan alam produksi umumnya berada pada tanah-tanah yang sangat peka terhadap perubahan yang ektrem tersebut. Hutan alam sebagian besar telah berubah kondisinya menjadi hutan sekunder yang rusak, belukar, padang alang-alang bahkan menjadi tanah kosong yang miskin dan tandus. Kondisi tersebut di atas adalah cerminan kinerja pengelolaan hutan alam produksi yang selama ini diagung-agungkan karena dapat menghasilkan devisa, tanpa ingat bahwa hutan alam produksi juga bisa menghasilkan bencana apabila tidak dikelola dengan baik dan benar. Saat ini baru disadari oleh para pengambil kebijakan itupun setelah kondisinya sudah sangat parah dan karena adanya tekanan-tekan baik yang berasal dari dalam negeri maupun internasional.
Tujuan dari sintesa ini adalah menyediakan informasi dan teknologi untuk meningkatkan kualitas hutan alam produksi dalam rangka pemanfaatan hasil hutan yang optimal, rasional dan aman secara ekologis menuju pengelolaan hutan alam produksi yang lestari. Sasarannya adalah menghasilkan data/informasi dan teknologi tepat guna yang dapat diaplikasikan secara efektif dan efisien untuk meningkatkan kualitas hutan alam produksi. yaitu: pengklasifikasi tipologi hutan, rehabilitasi hutan yang rusak, pembinaan hutan untuk meningkatkan potensi dan kualitas hutan, informasi dinamika pertumbuhan tegakan hutan dan pengaturan hasil yang lestari. Penyusunan sintesis ini menggunakan metode systematic review.
Untuk mengembalikan kondisi hutan alam produksi seperti semula, diperlukan komitmen serius lintas sektoral dan usaha keras yang komprehensif. Hutan alam produksi yang sudah rusak harus segera direhabilitasi untuk meningkatkan produktifitas dan kualitasnya. Hutan alam produksi yang masih baik harus dikelola dengan hati-hati mengikuti kaidah-kaidah silvikultur yang sudah ditetapkan. Untuk menunjang dan memandu upaya dan usaha dalam pengelolaan hutan alam produksi tersebut perlu segera diciptakan teknologi-teknologi tepat guna sebagai dasar atau pedoman operasional di lapangan. Beberapa teknologi yang sangat mendesak diperlukan pada saat ini antara lain: (a) sistem silvikultur yang berlaku luwes, aman dan tepat; (b) teknik pengaturan hasil tebangan yang optimal dan rasional; (c) teknik penebangan di hutan alam yang ramah lingkungan; dan (d) teknik pembinaan tegakan tinggal yang praktis; dan teknik rehabilitasi hutan yang telah rusak. Teknologi tersebut yang telah dihasilkan dari RPI ini antara lain:
1. Inventarisasi tegakan pada areal hutan yang sangat luas dan beragam kondisi kerapatannya, maka metode penarikan contoh yang digunakan harus efektif dan efisien serta memberikan hasil dugaan potensi yang akurat. Salah satu cara yang dapat digunakan adalah menggunakan bantuan citra satelit dalam untuk melakukan stratifikasi sehingga intensitas sampling yang digunakan akan lebih kecil. Dengan stratifikasi citra satelit intensitas sampling yang dapat digunakan adalah sekitar 4% sedangkan apabila tidak digunakan startifikasi intensitas samplingnya sekitar 10-15%. Berdasarkan data pengambilan contoh di lapangan dan nilai pixel dari data digital citra satelit dapat disusun persamaan alometri berbentuk persamaan regresi sederhana untuk menduga potensi dan sebaran tegakan di aral hutan alam produksi dengan lebih cepat dan cukup akurat.
2. Sebagian besar IUPHHK tidak melaksanakan tahapan sistem silvikultur TPTI sesuai dengan pedoman. Dari tahapan TPTI yang ditetapkan pada umumnya tahap 1-4 dikerjakan dengan baik, tahap berikutnya kurang/tidak dikerjakan sesuai pedoman dengan berbagai alasan teknis dan ekonomis. Penyederhanaan tahapan TPTI menjadi 8 tahapan yaitu PAK, PWH, ITSP, Penebangan, ITT (pohon inti dan pohon sisa), pengkayaan (t+2),pembinaan I (t+5) dan pembinaan II (t+15) bisa menghemat biaya operasioan. Sebagai kunci pokok dalam tahapan tersebut adalah perlindungan dan pengamanan tiap tahun yang harus dilaksanakan. Pemanfaatan kayu dari hutan alam tidak boleh melebihi riap tegakannya dan sebaiknya jumlah pohon yang ditebang tidak melebihi 15 pohon per hektar.
3. Sistem silvikultur TPTJ-Silin mempunyai prospek yang baik untuk diterapkan secara operasional dalam rangka pengelolaan hutan alam produksi di LOA yang potensi tegakannya rendah atau di hutan rawang dengan potensi tegakan kurang 20 m3/ha, lokasi berdekatan dengan masyarakat agar ada pengakuan dari masyarakat bahwa hutan alam dikelola dengan baik sehingga tidak menjadi ajang perambahan lahan atau penebangan liar. Pemilihan jenis tanaman yang unggul dan pemeliharaan yang intensif menjadi kunci keberhasilannya, selain perlindungan dan pengamanan tegakan terhadap gaangguan.
4. Teknik pengkayaan yang intensif di areal bekas jalan sarad dengan menggunakan jenis S. leprosula dan S. parvifolia mampu tumbuh dengan baik. Tahapan selanjutnya yang perlu diperhatikan adalah penyiapan lubang tanam dengan pemberian top soil dan pupuk organik, serta pemeliharan secara intensif akan menghasilkan tanaman pengkayaan yang prospektif sebagai andalan pohon yang produktif pada rotasi berikutnya. Hasil penelitian awal menunjukkan bahwa persen jadi tanaman dan pertumbuhannya lebih baik dibandingkan dengan pengkayaan yang asal-asalan.
5. Pembinaan tegakan merupakan kegiatan dalam suatu pengelolaan hutan produksi yang paling utama, selain untuk meningkatkan riap atau produktivitas tegakan juga bertujuan untuk meningkatkan kualitas kayu/pohon yang akan diperoleh pada akhir rotasi. Namun demikian, dalam pengelolaan hutan alam sangat berlaku hukum ekonomi sebagai
akibat kendala ekologis, yaitu pembatasan produktivitas harus diimbangi dengan efisiensi penggunaan anggaran. Oleh karena itu, agar lebih efektif dan efisien dalam melakukan tindakan pembinaan tegakan tinggal, maka perlu dibatasi jumlah individu pohon yang dibebaskan. Pohon inti yang berdiameter 20-39 cm sebagai pohon penyusun tegakan dimasa depan perlu mendapatkan prioritas untuk dibina, prioritas berikutnya adalah permudaan tingkat tiang berdiamater 10–19 cm.
6. Keakuratan hasil kegiatan inventarisasi sangat didukung oleh ketersediaan perangkat pendugaan volume pohon dari setiap jenis pohon yang ada. Melalui penyusunan model pendugaan volume pohon dan sekaligus dihasilkan tabel volume pohon per jenis secara alometri terbukti menghasilkan dugaan volume yang cukup teliti dan sederhana sehingga dapat digunakan dalam praktek di lapangan.
7. Pertumbuhan tegakan tinggal di hutan alam produksi pada tebangan lebih dari 3 tahun, menunjukkan kondisi yang masih cukup baik, srtruktur tegakan berbentuk J terbalik, pohon berdiameter lebih dari 40 cm masih tersisa cukup, pohon inti lebih dari 25 pohon/ha, dan permudaan masih cukup tinggi dan riap diameter berkisar antara 0,5–1,8 cm/tahun di hutan tanah kering sedangkan di hutan tanah basah antar 0,39–0,43 cm/tahun. Hasilnya menggambarkan bahwa riap/pertumbuhan tegakan sangat bervariasi tergantung pada site dan kinerja unit pengelola serta keamanan dari hutan tersebut.
8. Hasil uji coba penanaman pada hutan alam produksi yang telah rusak, menunjukkan bahwa pemilihan jenis yang tepat merupakan kunci utama keberhasilan rehabilitasi, selain perlakuan silvikultur seperti penyiapan lahan, pemupukan dan pemeliharaan, serta waktu pelaksanaan penanaman. Pada lahan yang terbuka (tanah semak-belukar, dan bekas TPn) telah ditemukan indikator jenis yang mampu tumbuh dengan baik pada kondisi cahaya penuh yaitu: Dryobalanops aromatica, Hopea mangarawan, Hopea odorata dan Shorea belangeran, sungkai (Peronema canescens), nyatoh (Palaquium spp.), binuang bini (Octomeles sumatrana), nyawai (Ficus veriegata), linggua (Pterocarpus indicus) dan bintangur (Calophyllum soulattri). Jenis-jenis tersebut cocok juga jika ditanam di kiri-kanan jalan utama IUPHHK-HA.
9. Perlunya penyesuaian sistem silvikultur yang berbasis pada kondisi kawasan hutan dan karakteristik lingkungan setempat. Sistem tersebut harus berpedoman pada prinsip pengelolaan hutan lestari, yaitu menguntungkan secara ekonomis, dapat dipertanggungjawabkan secara ekologis, sosial dan tetap realistik mengarah pada kelestarian hutan, teknik pelaksanaan di lapangan sederhana, memiliki fungsi perlindungan terhadap lingkungan, dan memungkinkan adanya pengawasan di lapangan yang bisa dilaksanakan. Sistem silvikultur yang disarankan dapat digunakan pada penerapan Multisistem Silvikultur pada areal hutan produksi di areal IUPHHK terdiri dari TPTI, TPTJ, TPTJ-Silin, THPB dan THPB pola Agroforestry. Oleh karena itu, startegi penerapan sistem silvikultur di hutan alam produksi sebagai berikut: a. Kawasan yang aman dari perambahan dan illgal logging diterapkan
TPTI dan/atau TR. Jika ada lahan yang kosong, maka pemegang ijin
berkewajiban untuk merehabilitasinya dengan menanam jenis-jenis pohon yang mampu tumbuh dengan baik di kondisi lahan tersebut.
b. Kawasan hutan alam bekas tebangan dengan potensi tegakan yang rendah, rawan terhadap perambahan dan illegal logging diterapkan TPTJ-Silin.
c. Kawasan hutan alam bekas tebangan yang rusak (semak-belukar dan alang-alang) yang rawan terhadap perambahan diterapkan THPB dan dapat menerapkan sistem agroforestry.
DAFTAR ISI
Halaman KATA PENGANTAR ............................................................... i RINGKASAN ........................................................................... ii DAFTAR ISI ............................................................................. vi DAFTAR TABEL ..................................................................... vii DAFTAR GAMBAR ................................................................. viii DAFTAR LAMPIRAN .............................................................. x I. PENDAHULUAN .............................................................. 1 1.1. Latar Belakang ......................................................... 1 1.2. Rumusan Masalah ................................................... 3 1.3. Tujuan dan Sasaran ................................................. 6 1.4. Luaran/Output .......................................................... 7 II. METODE SINTESA ......................................................... 9 2.1. Kerangka Pikir .......................................................... 9 2.2. Metode ..................................................................... 10 2.3. Ruang Lingkup ......................................................... 11 III. HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................... 12 3.1. Kajian Klasifikasi Tipologi dan Potensi Sebaran
Hutan Produksi .......................................................... 12
3.2. Teknik Peningkatan Produktivitas Hutan Alam Produksi ....................................................................
19
3.3. Informasi Dinamika Pertumbuhan/Riap Tegakan di Hutan Alam Produksi ..............................................
54
3.4. Startegi Pengelolaan Hutan Alam Produksi ke Depan .................................................................
65
3.5. Kegiatan Penelitian Yang Diperlukan Untuk Yang Akan Datang ............................................................
75
IV. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ............................. 79 DAFTAR PUSTAKA ................................................................ 84 LAMPIRAN .............................................................................. 90
DAFTAR TABEL Nomor Halaman 3.1. Kesalahan sampling tanpa menggunakan stratifikasi . 16 3.2. Kesalahan sampling menggunakan stratifikasi .......... 16 3.3. Persamaan pendugaan potensi tegakan dengan
menggunanan citra satelit .......................................... 16
3.4. Jenis-jenis pohon yang cocok untuk ditanam di kiri-kanan jalan utama IPHHK -HA dan lahan kosong (bekas TPn) ...............................................................
28
3.5. Pertumbuhan jenis-jenis pohon pada sistem silvikultur Tebang Rumpang di Kintap, Kalimantan Selatan .......................................................................
54
3.6. Persamaan pendugaan volume pohon beberapa jenis pohon di hutan alam di Kalimantan ...................
57
3.7. Tabel volume lokal beberapa jenis kayu komersial pada beberapa lokasi di Papua .................................
59
3.8. Struktur tegakan di hutan alam produksi bekas tebangan ...................................................................
62
3.9. Riap diameter dan riap volume tegakan di hutan alam 62 3.10. Laju mortality, ingrowth dan upgrowth berdasarkan
kelas diameter untuk jenis-jenis pohon di hutan alam 65
DAFTAR GAMBAR Nomor Halaman
2.1 Kerangka pikir pengelolaan hutan alam ................. 9 3.1 Teknik klasifikasi tegakan dengan citra landsat ...... 14 3.2 Contoh hasil klasifikasi tajuk atau penutupan hutan 15 3.3 Kegiatan penelitian inventarisasi potensi tegakan .... 17 3.4 Filosofi pendugaan potensi tegakan dengan Indeks
Citra Landsat ........................................................... 18
3.5 Hasil simulasi model penduga potensi tegakan ..... 19 3.6 Kondisi hutan alam produksi dua tahun pasca
penebangan (LOA) ................................................... 20
3.7 Teknik pembuatan LRB di kiri-kanan dan lahan kosong (bekas jalan sarad, bekas TPn, bekas jalan cabang dan kiri-kanan jalan utama ..........................
27
3.8 Teknik penanaman meranti di jalan sarad ............... 30 3.9 Performan tanaman meranti hasil pengkayaan di
jalan sarad pada umur 3 tahun ................................ 31
3.10 Pembebasan tegakan tinggal .................................. 36 3.11 Kondisi hutan setelah tebang naungan dan
persiapan jalur tanam .............................................. 37
3.12 Tanaman umur 2 tahun di jalur tanam di PT SBK ... 39 3.13 Tanaman umur 4 tahun di jalur tanam di PT SBK ... 39 3.14 Kurva pertumbuhan diameter dan tinggi Shorea
leprosula di PT. Austral Byna, Kalimantan Tengah .. 40
3.15 Kondisi bibit cabutan dan persemaian untuk penanaman di TPTJ-Silin, Kalimantan Tengah .......
41
3.16 Kurva prediksi dan kurva harapan pertumbuhan diameter tanaman meranti di jalur tanam TPTJ-Silin di PT. SBK, Kalimantan Tengah ......................
43
3.17 Tanaman umur 9 tahun di jalur tanam di PT SBK, Kalimantan Tengah ..................................................
44
3.18 Kondisi hutan rawang yang ada di areal KHDTK Haurbentes, Jawa Barat ..........................................
45
3.19 Dryobalanops aromatica, Peronema canascens, Hopea mangarawan dan Shorea balangeran mampu tumbuh baik di tempat terbuka ..................
47
3.20 Pembuatan permudaan buatan di dalam Tebang Rumpang .................................................................
51
3.21 Pengambilan data pohon model (pohon contoh) ..... 56 3.22 Pengukuran pohon pada Petak Ukur Permanen
(PUP) ........................................................................ 61
3.23 Kurva riap tahun berjalan (CAI) diameter tegakan di hutan alam, Maluku ..............................................
63
3.24 Strategi penerapan sistem silvikultur di hutan alam produksi ..................................................................
75
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman 1. Karakteristik tempat tumbuh beberapa jenis
komersial yang sedang diamati pertumbuhannya .......... 91
2. Foto jenis-jenis tanaman umur 1 tahun yang sedang diuji tingkat pertumbuhan di Jalur tanam TPTJ-Silin, Kabupaten Barito Utara, Kalimantan Tengah ................
101
3. Shorea pinanga pada areal hutan alam bekas tebangan (a & b) dan area l semak belukar (c & d) di KHDTK Siali-ali, Kabupaten Padang Lawas-Sumatera Utara ...............................................................................
104
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
Pada periode tahun 1980-1996 luas hutan Indonesia terjadi
penyusutan sebesar 20 juta hektar atau 1,7 juta hektar per tahun
dan tahun 1990-2010 mengalami penurunan dari 118 juta hektar
menjadi 94 juta hektar. Deforestasi Indonesia pada periode 2010-
2012 sebesar 450.637 hektar per tahun (Kemenhut, 2012).
Produksi kayu dari hutan alam dari kurun waktu 1994–2012 telah
terjadi penurunan. Tahun 1994 IUPHHK-HA masih dapat
berproduksi 17,31 juta m3, tetapi pada tahun 2012 hanya mampu
berproduksi 5,14 juta m3 (Kemenhut, 2012). Penurunan luas hutan
dan produksi kayu dari hutan alam berdampak pada penurunan
kontribusi sub sektor kehutanan terhadap Produk Domestik Bruto
(PDB) Indonesia. Tahun 1997 PDB sub sektor kehutanan
menyumbangkan 1,57%, tahun 2006 kontribusinya sebesar 0,90%
dan tahun 2012 kontibusinya turun menjadi 0,67% (Rukmantara,
2014).
Oleh karena itu, para pihak yang terlibat dalam pengelolaan
hutan alam produksi harus mempunyai komitmen untuk mengelola
hutan alam secara berkelanjutan. Pengelolaan sumber daya hutan
yang berkelanjutan pada dasarnya adalah pengelolaan hutan yang
terencana. Artinya, pada setiap level dan bentuk pengelolaan
sumber daya hutan harus dikelola berdasarkan suatu rencana
pengelolaan yang mengarah kepada pemanfaatan secara
menyeluruh, rasional, optimal, sesuai daya dukung, serta tidak
semata-mata berorientasi kepada pemanfaatan masa kini, tetapi
juga untuk menjamin kehidupan masa depan. Namun demikian,
2 kenyataannya sebagaian besar dari pengelolaan hutan alam yang
dilakukan saat ini masih kurang atau tidak mengarah para
pengelolaan hutan yang terencana sehingga dikawatirkan hutan
alam yang dikelola tidak akan terjamin kelestariannya di masa
depan. Kondisi ini telah diketahui dan diantisipasi oleh semua
pihak, baik di tingkat nasional maupun internasional. Secara
nasional, pemerintah Indonesia telah banyak mengeluarkan
kebijakan-kebijakan baik yang bersifat preventif maupun yang
bersifat represif, namun hasilnya masih belum signifikan. Oleh
karena itu, lembaga internasional mulai memberikan tekanan yang
lebih serius dalam pengelolaan hutan alam, diantaranya adalah
International Tropical Timber Organisation (ITTO) dan International
Monetary Fund (IMF). Sejak tahun 2000 telah dicanangkan
sebagai era ekolabel bagi produk-produk kayu yang berasal dari
negara yang memliki hutan tropis termasuk Indonesia.
Indonesia sebagai salah satu anggota ITTO yang ikut
menandatangani komitmen/kesepakatan ITTO Target 2000 di Bali,
bahwa Indonesia harus melaksanakan dan mengupayakan
pengelolaan hutan secara lestari, baik hutan tanaman maupun
hutan alam. Hal ini berarti mulai tahun 2000 semua produk kayu
dari Indonesia yang diperdagangkan harus berasal dari hutan yang
dikelola secara lestari (Pusdiklat, 2002). Sebenarnya masalah
kelestarian hutan sejak dari awal telah dijadikan azas dalam
pengelolaan hutan di Indonesia, hal itu tertuang dalam Undang-
Undang Pokok Kehutanan Nomor 5 tahun 1967, yang saat ini
sudah diperbaharuhi dengan Undang-Undang Kehutanan Nomor
41 tahun 1999, beserta peraturan-peraturan lain mengenai
pengelolaan hutan yang lestari. Namun dalam pelaksanaannya
3 masih jauh dari harapan, sehingga perlu dipacu dan dilaksanakan
secara lebih tegas dan terarah apabila masih mengharapkan
sumber devisa dari hasil hutan.
1.2. Rumusan Masalah
Permasalahan dalam pengelolaan hutan alam produksi tidak
hanya masalah teknis semata, tetapi banyak masalah-masalah
non-teknis yang mempengaruhi sehingga mengancam tujuan
pengelolaan hutan alam yang lestari. Permasalah non-teknis
antara lain: illegal logging, perambahan hutan, bencana alam,
euforia reformasi, otonomi daerah, kepastian kawasan, kepastian
usaha, dan lain-lain. Masalah yang satu dengan yang lain
umumnya saling berkaitan sehingga perlu diselesaikan secara
komprehensif; akan tetapi masalah-masalah non-teknis ini tidak
termasuk dalam cakupan RPI ini.
Seperti telah dijelaskan di muka, bahwa masalah teknis
dalam pengelolaan hutan alam produksi dikelompokkan
berdasarkan kondisi areal hutan yang ada saat ini, yaitu masalah
teknis pada hutan alam produksi yang masih dalam kondisi baik
(primer dan LOF yang masih produktif); hutan alam produksi yang
sudah kurang produktif; dan hutan alam produksi yang sudah rusak
menjadi belukar, alang-alang dan tanah kosong. Untuk mengatasi
masalah teknis di setiap kelompok kondisi hutan tersebut, maka
diperlukan teknologi yang dapat digunakan untuk mengatasi
masalah-masalah yang telah, sedang dan akan terjadi pada setiap
kondisi hutan yang dikelola.
4
Sampai saat ini teknologi yang tersedia untuk mengatasi
masalah-masalah teknis tersebut masih belum tepat dan praktis.
Teknologi yang sudah ada masih perlu disempurnakan agar lebih
baik lagi dan luwes untuk diterapkan. Tanpa dukungan teknologi
dari hasil penelitian/kajian, maka niscaya harapan pengelolaan
hutan alam lestari sulit untuk tercapai. Permasalahan teknologi
yang dimaksud antara lain:
1. Dinamika perubahan hutan alam produksi saat ini sangat cepat
sehingga sangat menyulitkan untuk mengetahui kondisi hutan
dan sebarannya dengan cepat dan akurat. Untuk itu diperlukan
penelitian/kajian untuk mendapatkan teknologi yang tepat
dalam melakukan klasifikasi tipologi, potensi dan sebaran
hutan alam produksi, sehingga dapat membantu menetapkan
kebijakan pengelolaan yang akan diputuskan.
2. Kondisi hutan alam produksi sangat beragam, ada
kecenderungan penggunaan sistem silvikultur yang tidak tepat,
sementara itu, sistem silvikultur yang telah tersedia masih
belum sempurna, terindikasi kurang efektif dan efisien
sehingga penerapannya tidak optimal untuk meningkatkan
kualitas hutan alam produksi. Untuk itu, perlu dilakukan
penelitian/pengkajian terhadap penerapan sistem silvikultur
yang telah ada, dan perlu pula diupayakan sistem silvikultur
alternatif yang sesuai dengan kondisi hutan dan lebih efektif
dan efisien dalam meningkatkan kualitas hutan alam produksi.
3. Hutan alam produksi yang telah rusak perlu direhabilitasi,
sementara itu teknologi dalam rangka rehabilitasi hutan alam
yang telah rusak saat ini belum lengkap tersedia, sehingga
5
untuk mengatasi hal ini pemerintah mengambil kebijakan/solusi
yang paling mudah, yaitu mengkonversi hutan alam menjadi
hutan tanaman monokultur, walaupun solusi ini sebenarnya
juga tidak salah ditinjau dari kebutuhan kayu yang sangat
mendesak sementara bahan baku dari hutan alam semakin
berkurang, dan pemerintah tidak mampu membiayai
rehabilitasi hutan alam yang sangat luas (mencapai lebih dari
15 juta hektar). Oleh karena itu, agar eksistensi hutan alam
tidak semakin berkurang, maka perlu diupayakan pencegahan
kerusakan hutan alam dan menyediakan teknologi rehabilitasi
hutan alam yang tepat, murah dan praktis sehingga hutan alam
dapat dikembalikan lagi sesuai dengan fungsinya semula.
4. Potensi dan pertumbuhan tegakan hutan alam harus
meningkat atau paling tidak sama antar rotasi tebang
berikutnya, salah satu upaya yang belum dilakukan dengan
baik adalah pembinaan tegakan tinggal pasca tebangan.
Teknologi pembinaan tegakan tinggal yang ada belum mampu
meningkatkan produktivitas tegakan bahkan cenderung kurang
efektif dan efisien. Untuk itu, perlu dilakukan penelitian dan
kajian terhadap teknik silvikultur khususnya teknik pembinaan
(pembebasan tegakan tinggal dan teknik pengayaan) yang
intensif, efektif dan efisien, sehingga pertumbuhan/riap tegakan
akan meningkat untuk rotasi tebang berikutnya.
5. Sistem pengaturan hasil yang berlaku saat ini di TPTI
menggunakan rumus 1/30 dari standing stock dengan asumsi
pertumbuhan hutan alam selalu sama, sementara itu kondisi
hutan saat ini sudah sangat berubah dan berbeda dengan
6
kondisi awalnya dengan riap tegakan yang berbeda untuk
setiap tapak (site) dan kondisi hutannya, sehingga ada
kecenderungan pemanfaatan hutan alam kurang rasional dan
optimal. Untuk itu, perlu dilakukan penelitian/kajian untuk
mendapatkan informasi yang akurat mengenai dinamika
pertumbuhan tegakan di hutan alam produksi yang dapat
dijadikan sebagai dasar dalam menetapkan preskripsi kunci
pengaturan hasil dan mendapatkan metode pengaturan hasil
yang paling tepat sesuai dengan kemampuan pertumbuhan
tegakan di tiap site dan unit manajemen, sehingga besarnya
kayu yang dipanen (etat) lebih optimal dan tidak melebihi
besarnya riap tegakan.
6. Jenis-jenis pohon di hutan alam sangat banyak dengan nilai
komersial yang cukup tinggi. Sampai saat ini baru
diperoleh/diketahui beberapa jenis unggul yang telah dikuasai
persyaratan tumbuh dan teknik silvikulturnya. Untuk itu, perlu
dilakukan penelitian yang lebih intensif untuk mendapatkan
jenis-jenis lainnya yang prospektif untuk dikembangkan pada
berbagai kondisi areal hutan produksi, sehingga hutan produksi
Indonesia mempunyai nilai kompetitif yang tinggi dalam
perdagangan kayu di dunia.
Penelitian-penelitian untuk mendukung tersusunnya teknologi yang
diperlukan di atas sebagian sudah dilakukan, sebagian sedang
dilakukan dan sebagian belum dilakukan.
1.3. Tujuan dan Sasaran
Tujuan yang ingin dicapai dari sintesa ini adalah menyediakan
informasi dan teknologi untuk meningkatkan kualitas hutan alam
7 produksi dalam rangka pemanfaatan hasil hutan yang optimal,
rasional dan aman secara ekologis menuju pengelolaan hutan
alam produksi yang lestari.
Sasaran yang hendak diwujudkan dalam RPI ini adalah
menghasilkan data/informasi dan teknologi tepat guna yang dapat
diaplikasikan secara efektif dan efisien untuk meningkatkan
kualitas hutan alam produksi. yaitu: pengklasifikasi tipologi hutan,
rehabilitasi hutan yang rusak, pembinaan hutan untuk
meningkatkan potensi dan kualitas hutan, informasi dinamika
pertumbuhan tegakan hutan dan pengaturan hasil yang lestari.
1.4. Luaran/Output Luaran/output yang diharapkan dari RPI ini dapat diperoleh
dari setiap kegiatan kajian/penelitian yang akan dilakukan antara
lain adalah:
1. Teknik pengklasifikasian tipologi hutan alam lahan kering, peta
klasifikasi tipologi, potensi dan sebaran hutan alam lahan kering,
untuk mempermudah menetapkan langkah kebijakan dalam
pengelolaannya.
2. Teknik rehabilitasi dan pembinaan hutan alam bekas tebangan
(LOF) yang tepat dan praktis sehingga mampu mengembalikan
fungsi dan kualitas hutan alam secara cepat dan ekonomis.
Penyempurnaan sistem silvikultur yang sudah operasional
(TPTI/TPTJ/TR) yang dapat digunakan dalam pengelolaan
hutan alam produksi.
3. Perangkat pengaturan hasil di hutan alam produksi meliputi:
model pendugaan volume pohon (tabel volume) jenis/kelompok
jenis pohon-pohon di hutan alam, teknik pendugaan cepat
8
potensi (inventarisasi) tegakan di hutan alam, model kuantifikasi
dinamika pertumbuhan (struktur tegakan) dan riap tegakan di
hutan alam dan pengaturan hasil di hutan alam.
9
II. METODOLOGI
2.1. Kerangka Pikir Saat ini kebutuhan teknologi pengelolaan hutan alam
produksi sudah sangat mendesak, maka dukungan hasil penelitian
untuk dapat menghasilkan teknologi yang tepat guna yang mampu
meningkatkan kembali kualitas hutan alam sebagai sumber bahan
baku kayu perlu segera diwujudkan.
Gambar 2.1. Kerangka pikir pengelolaan hutan alam
Berdasarkan Roadmap dan Program Badan Litbang Kehutanan
tahun 2010‒2014 dalam upaya pengelolaan hutan alam adalah
yang berkaitan dengan: (1) teknologi pengklasifikasian tipologi
kondisi hutan alam produksi; (2) teknik rehabilitasi hutan untuk
10 mengembalikan fungsi hutan baik fungsi produksi, fungsi ekologi
maupun fungsi sosial; (3) teknik pembinaan intensif untuk
meningkatkan kualitas pertumbuhan hutan; (4) kajian-sistem-
sistem silvikultur yang tepat sesuai dengan site dan kondisi hutan;
(5) teknik pengaturan hasil yang mengakomodasi kondisi dan
dinamika pertumbuhan tegakan hutan yang dikelola.
2.2. Metode Untuk memberikan arah yang jelas dalam penyusunan
sintesis sesuai dengan tujuan yang diharapkan, maka
metodologinya menggunakan metode systematic review.
Systematic review adalah suatu metode penelitian untuk
melakukan identifikasi, evaluasi dan interpretasi terhadap semua
hasil penelitian yang relevan terkait permasalahan, topik tertentu
dan fenomena yang menjadi perhatian. Pada prinsipnya
systematic review merupakan metode penelitian yang merangkum
hasil-hasil penelitian primer untuk menyajikan fakta yang lebih
komprehensif dan berimbang melalui analisis deduktif dan induktif.
Dalam metode systematic review dilakukan meta-analisis yaitu
salah satu cara untuk melakukan sintesa hasil secara teknik
kuantitatif, dan juga melakukan sintesis hasil melalui teknik naratif.
Systematic review akan sangat bermanfaat untuk melakukan
sintesis dari berbagai hasil penelitian yang relevan dengan
pengelolaan hutan alam produksi lestari, sehingga fakta yang
disajikan kepada penentu kebijakan menjadi lebih komprehensif
dan berimbang.
Fokus analisis sintesa dalam RPI ini dilakukan di kawasan
hutan alam produksi yang pada saat ini masih terdapat unit-unit
11 pengelolaan hutan alam produksi dalam bentuk Ijin Usaha
Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Alam (IUPHHK-HA) yang
potensial dan cukup representatif terhadap keterwakilan adanya
Unit Pelaksana Tugas Badan Penelitian dan Pengembangan
Kehutanan.
2.3. Ruang Lingkup Sintesa hasil penelitian ini mencakup beberapa hal yang
berkaitan dengan permasalahan yang menyebabkan menurunnya
kuantitas dan kualitas hutan alam sehingga apabila permasalahan
tersebut tidak segera diatasi, maka tujuan pengelolaan hutan alam
lestari tidak akan tercapai. Berdasarkan hal tersebut, maka ruang
lingkupnya dititikberatkan pada beberapa aspek yang diperlukan
dalam pengelolaan hutan alam produksi yang lestari, meliputi
hutan alam produksi yang masih primer, hutan alam produksi
bekas tebangan (LOF) yang masih baik, LOF yang kurang produktif
maupun LOF yang sudah terdegradasi/rusak berupa belukar atau
alang-alang di kawasan hutan alam produksi baik yang telah
dikelola melalui ijin pemanfaatan.
12
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Aspek-aspek penelitian yang tercakup dalam RPI ini pada
umumnya adalah penelitian yang berjangka panjang. Namun
demikian secara bertahap dapat dihasilkan data dan informasi
antara walaupun masih bersifat sementara sudah dapat
dimanfaatkan sebagai bahan untuk menyusun kebijakan teknis
dalam rangka pengelolaan hutan alam produksi yang lestari.
Sampai dengan tahun kelima (tahun 2014) dari taget lima tahun
pertama (tahap 1), telah dihasilkan data dan informasi hasil
penelitian yang mengindikasikan hasil penelitian yang prospektif
walaupun secara keseluruhan masing terdapat banyak kekurangan
yang perlu disempurnakan.
Hutan alam produksi termasuk hutan yang sangat rentan
terhadap perubahan lingkungan, produktivitasnyapun sangat
rendah. Oleh karena itu, dalam pemanfaatan hutan alam produksi
diperlukan suatu teknologi dari hasil penelitian yang praktis, tepat
dan akurat agar hutan yang dikelola tetap lestari dengan
produktivitas meningkat sehingga memberikan manfaat ekonomi
untuk kesejahteraan masyarakat.
3.1. Kajian Klasifikasi Tipologi dan Potensi sebaran Hutan
Produksi Dalam inventarisasi tegakan pada areal hutan yang sangat
luas dan beragam kondisi kerapatannya, maka metode penarikan
contoh yang digunakan harus efektif dan efisien serta memberikan
hasil dugaan potensi yang akurat. Salah satu cara yang dapat
digunakan adalah menggunakan bantuan citra satelit untuk
13 melakukan stratifikasi sehingga intensitas sampling yang
digunakan akan lebih kecil. Adapun tujuan kajian/penelitian teknik
inventarisasi potensi tegakan menggunakan kombinasi antara citra
satelit dan cara teristris adalah:
1. Mendapatkan gambaran sampai sejauhmana sebaran kelas
kerapatan tegakan (spatial) dengan ciri kerapatan jumlah pohon
atau massa tegakannya dapat dideteksi oleh citra satelit
(Landsat ETM, SPOT, Radarsat, Ikonos atau Quickbird).
2. Mendapat suatu teknik/metode/kunci pengenalan kerapatan
hutan pada citra satelit tersebut yang cukup memadai untuk
dipakai sebagai alat menstratifikasi dalam kegiatan inventarisasi
hutan.
3. Sasaran yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah tersedianya
metode stratifikasi hutan alam untuk kegiatan inventarisasi
hutan.
Penggunaan citra satelit cukup relevan karena hal-hal berikut:
1. penggunaan citra satelit di lapangan sudah umum dilakukan
oleh para pengelola pengusahaan hutan,
2. kemudahan memperoleh data tersebut di pasar,
3. data citra satelit yang ada dapat ditemui dalam bentuk data
digital maupun hasil cetakan,
4. data satelit direkam dalam berbagai gelombang yang mana
setiap gelombang mencirikan selang kemampuan obyek-obyek
dalam memantulkan cahaya,
5. perekaman data dilakukan secara teratur sehingga
ketersediaan data terkini sangat memungkinkan untuk diperoleh
dengan mudah di pasar.
14 Secara sederhana prinsip atau pendekatan yang dapat dilakukan
dalam melaksanakan teknik inventarisasi mengunakan bantuan
citra satelit dan validasi teristris adalah sebagai berikut:
METODOLOGIMETODOLOGI
CITRA SATELIT KLASIFIKASI GROUNDCHECK
Jumlah Kelas/Strata
Jumlah Sample/Plot
Teknik Inventarisasi
Gambar 3.1. Teknik klasifikasi tegakan dengan citra landsat
Setelah data terkumpul maka analisis selanjutkan dapat
dilakukan sebagai berikut:
1. Pengolahan Awal Citra (Interpretasi Visual Citra Satelit,
Pemilihan kombinasi band terbaik, Koreksi Radiometrik dan
Geometrik)
2. Pengolahan Citra Satelit (Klasifikasi Citra Digital Satelit,
Klasifikasi Terbimbing)
3. Persamaan Regresi pendugaan potensi (N dan V) dengan
peubah bebas Nilai Band (DN)
4. %10005,0 x
XSext
SE =
15
Hasil analisis menunjukkan bahwa dengan stratifikasi citra
satelit intensitas sampling yang dapat digunakan adalah 4%
sedangkan apabila tidak digunakan startifikasi intensitas
samplingnya 10-15%. Berdasarkan data pengambilan contoh di
lapangan dan nilai-nilai pixel dari data digital citra satelit dapat
disusun persamaan alometri berbentuk persamaan regresi
sederhana untuk menduga potensi dan sebaran tegakan di areal
hutan alam produksi dengan lebih cepat dan cukup akurat,
dibandingkan dengan inventarisasi secara manual atau teristris
saja pada intensitas sampling yang sama kesalahan samplingnya
bisa lebih besar mencapai 1,5 kalinya, bahkan kalau kesalahan
samplingnya samapun cara kombinasi ini lebih unggul dalam
kecepatan waktu pelaksanaan, lebih mudah dan tentunya lebih
hemat dalam biaya.
SKALA 1 : 1000000
Gambar 3.2. Contoh hasil klasifikasi tajuk atau penutupan hutan
16 Tabel 3.1. Kesalahan sampling tanpa menggunakan stratifikasi
Intensitas sampling (%)
Kesalahan dugaan (%) Jumlah batang (N) Volume (V)
20
10
4
2
16,50
18,32
21,58
22,19
14,35
16,91
23,33
23,92
Tabel 3.2. Kesalahan sampling menggunakan stratifikasi
Intensitas sampling (%)
Kesalahan dugaan (%)
Jumlah batang (N) Volume (V) 20
10
4
2
12,87
13,98
16,84
22,01
12,73
13,51
14,04
23,61 Adapun rumus yang dapat digunakan dalam menduga potensi
tegakan berdasarkan citra satelit (Tabel 3.3).
Tabel 3.3. Persamaan pendugaan potensi tegakan dengan menggunanan citra satelit
Lokasi Persamaan Koefisien determinasi
PT. Sindo Lumber Kalimantan Tengah
V = 1240,229 + 6,135 B5 – 33,589 B4 + 11,808 B3 0,913
N = 1172,308 + 0,198 B5 – 30,714 B4 + 16,118 B3 0,432
PT. Segara Indochem Kalimantan Timur
V = 887,455 + 4,134 B5 – 15,647 B4 + 2,856 B3 0,958
N = 713,484 + 4,373 B5 + 3,147 B4 – 9,598 B3 0,319
Secara umum rumus pendugaan potensi menggunakan cara
digital citra setelit tersebut cukup baik khususnya dalam menduga
17 potensi tegakan, namun untuk menduga jumlah batang masih
diperlukan modifikasi atau perbaikan model yang lebih akurat lagi,
disamping itu dalam penampilan citra memang sangatlah sulit
untuk mengetahui jumlah pohon dalam suatu penampilan
penutupan tajuk, ini satu kelemahan yang perlu dicarikan solusinya
lebih lajut.
Gambar 3.3. Kegiatan penelitian inventarisasi potensi tegakan Metode klasifikasi tipologi dengan citra landsat dapat
menggunakan indeks vegetasi dan indeks tanah. Kedua indeks ini
kemudian dikorelasikan dengan hasil survey potensi pada petak-
petak pengamatan berukuran 30 x 30 m. Berdasarkan Gambar 3.4,
maka wilayah berhutan lebat jika NDVI lebih dari 0 dan cenderung
turun begitu mendekati +1. Sementara indeks tanah berada pada
angka 80-150. Hasil overlay kedua indeks ini akan dibangun model
penduga statistika dengan basis data GCP (Ground Check Point).
Adapun persamaan penduga NDVI dan BI adalah sebagai berikut:
18 1. NDVI è
2. BI è
Gambar 3.4. Filosofi pendugaan potensi tegakan dengan Indeks
Citra Landsat
Model penduga potensi tegakan yang dihasilkan sebagai berikut:
Dimana X = indeks hasil overlay NDVI dan BI.
Adapun hasil simulasi model statistik disajikan pada Gambar 3.5.
Berdasarkan model tersebut dapat dihasilkan sebaran potensi
tegakan.
Kerapatan Tegakan
NDVI
(BI)
-1 (0)
+1 (200) +0 (100)
19
Gambar 3.5. Hasil simulasi model penduga potensi tegakan
3.2. Teknik Peningkatan Produktivitas Hutan Alam Produksi
Kondisi hutan alam lahan kering sangat beragam. Penerapan
sistem silvikultur pada suatu areal hutan alam akan menentukan
tingkat produktivitas hutan. Hasil-hasil penelitian yang telah diteliti
dalam RPI ini diharapkan bisa memberikan informasi dan
rekomendasi dalam pengelolaan hutan alam produksi yang tepat
sesuai dengan karakteristik tipologi hutannya. Sistem silvikultur
yang dikaji meliputi sistem silvikultur TPTI, TPTJ-Silin dan Tebang
Rumpang.
3.2.1. Sistem Silvikultur TPTI
Dalam pengelolaan hutan alam produksi salah satu kunci
keberhasilannya adalah dalam pemilihan sistem silkultur yang tepat
serta penerapannya secara konsekuen. Sistem silvikultur TPTI
adalah salah satu sistem silvikultur yang digunakan dalam
pemanfaatan hutan alam produksi. Namun karena kondisi hutan
alam di Indonesia sangat beragam, maka penggunaan sistem
20 silvikultur TPTI yang berlaku seringkali menemukan banyak
masalah. Berdasarkan kajian/penelitian menunjukkan bahwa
sebagian besar IUPHHK tidak melaksanakan tahapan sistem
silvikultur TPTI sesuai dengan pedoman. Dari 11 tahapan TPTI
yang ditetapkan pada umumnya hanya tahap 1‒4 dikerjakan
dengan baik, selebihnya tahap 5‒11 berikutnya kurang/tidak
dikerjakan sesuai pedoman dengan berbagai alasan teknis dan
ekonomis.
Gambar 3.6. Kondisi hutan alam produksi dua tahun pasca
penebangan (LOA) Tahapan yang penting dalam rangka penerapan sistem
silvikultur TPTI adalah pembinaan tegakan tinggal belum atau
bahkan tidak dilaksanakan di lapangan, padahal tegakan tinggal
adalah merupakan aset utama tegakan pada rotasi mendatang.
Kondisi tegakan setelah tebangan umumnya (sampai t+5) masih
sangat baik dan cukup potensial sebagai standing stock rotasi
berikutnya (tegakan sisa, pohon inti dan permudaan). Hal ini dapat
dilihat dari hasil inventarisasi tegakan tinggal (ITT). Namun kondisi
LOA setelah t+5 umumnya mulai rusak, kurang terpelihara dan
kurang terjaga, hal ini ditunjukkan oleh kerapatan dan potensinya
yang cenderung menurun, serta ditunjukkan oleh banyaknya
21 penebangan-penebangan liar di lapangan dan pengelola tidak
mampu mencegahnya.
Pembinaan tegakan tinggal yang seharusnya merupakan
kunci utama dalam upaya peningkatan produktivitas hutan juga
belum dilaksanakan secara konsisten di lapangan. Hasil
penelusuran melalui data pengambilan contoh di lapangan dan
dialog dengan pengelola diperoleh informasi bahwa kegiatan
pembinaan tegakan tinggal memang belum atau hanya sedikit
dilakukan, selain belum dikuasainya teknik-teknik pembinaan
tegakan, mereka juga menilai prakteknya cukup sulit dan kurang
bisa terukur kinerjanya di lapangan serta mereka masih
menganggap dis-insentive. Hal ini sebenarnya mengingkari
komitmen yang sudah disepakati sewaktu mereka mengajukan
permohonan IUPHHK. Sementara itu hasil pengamatan terhadap
tahapan pasca tebangan terutama pedoman atau petunjuk teknis
pembinaan tegakan tinggal yang terdapat dalam pedoman TPTI
dan pelaksanaannya di lapangan terdapat hal-hal yang sekiranya
perlu dikaji dan disempurnakan.
Berdasarkan hasil kajian dari 7 kegiatan tahapan pasca
tebangan, beberapa kegiatan nampaknya bisa diringkas atau
disatukan, diantaranya adalah perapihan dan ITT. Dalam kegiatan
ini intinya hanya untuk mengetahui areal-areal mana yang
sekiranya akan dilakukan tindakan atau kegiatan yang lebih intensif
khususnya tindakan silvikulutur pengayaan. Sedangkan tindakan
pembebasan sebaiknya dilakukan hanya dua kali saja. Pertama
yaitu ketika tanaman hasil pengayaan sudah cukup besar dan
perlu dilakukan seleksi, dan dilaksanakan sekaligus bersamaan
dengan tindakan pembebaan pohon-pohon binaan yang prospektif.
22 Pembebasan yang kedua, dilakukan apabila tanaman pengkayaan
dan pohon-pohon binaan terseleksi sudah mulai menunjukkan
penurunan riapnya yaitu ketika terjadi persaingan antar tajuk
dengan pohon-pohon lain di sekitarnya. Tindakan silvikultur
penjarangan sudah tidak diperlukan lagi, selain karena sudah
terakomodasikan dalam tahap pembebasan kedua juga untuk
efisiensi biaya sementara hasil penjarangan juga belum jelas
pemanfatannya, bahkan apabila dilakukan penjarangan cenderung
akan dapat menyebabkan kerusakan tegakan yang sudah dibina
dengan baik. Mengingat sebaran dan kondisi tegakan hutan alam
yang berpola acak dengan struktur tajuk yang berlapis-lapis, tidak
seperti tegakan di hutan tanaman yang teratur sehingga mudah
diantisipasi dalam pelaksanaan penjarangannya.
Oleh karena itu, berdasarkan hasil penelitian ini disarankan
untuk dapat dilakukan penyederhankan tahapan TPTI yaitu
menjadi 8 tahapan yaitu PAK, PWH, ITSP, Penebangan, ITT (t+1),
Pengkayaan (t+2), Pembinaan I (t+5) dan Pembinaan II (t+10), dan
ditambahkan tahapan perlindungan dan pengamanan. Saran-saran
ini telah terakomodir dalam penyempurnaan pedoman TPTI tahun
2010 sebagaimana tertuang dalam Keputusan Dirjen BPK No.
P.9/BPK/2009.
Tahapan penebangan dalam sistem silvikultur TPTI semata-
mata bukan hanya bertujuan untuk memanen kayu saja tetapi
sebenarnya adalah suatu tindakan silvikultur yang bertujuan untuk
meningkatkan produktivitas dari suatu kondisi hutan alam produksi
yang sudah mencapai pertumbuhan klimak dimana pada kondisi ini
riap tegakan sudah sangat kecil atau sama dengan nol. Mengingat
struktur tegakan hutan alam klimak yang padat dan berlapis-lapis
23 dan terdiri dari pohon tua, dewasa dan muda, maka perlu segera
dilakukan pembebasan atau penjarangan agar pohon-pohon yang
dewasa dan pohon-pohon muda yang prospektif mendapatkan
peluang untuk tumbuh lebih cepat dan lebih baik. Pohon-pohon tua
yang sudah miskin riap bisa dimanfaatkan secara ekonomi
daripada nantinya mati dan membusuk di dalam hutan tak
termanfaatkan. Tindakan pemanfaatan kayu pada kondisi hutan
yang telah optimal/klimak ini tidak lain adalah penebangan/
pemanenan karena dari hasil kegiatan ini pohon-pohon yang
ditebang adalah pohon-pohon yang berdiameter besar dan
mempunyai nilai ekonomis untuk dimanfaatkan.
Mengingat kondisi hutan alam produksi (virgin) umumnya
sangat rapat, dimana letak dan posisi pohon per pohon tersebar
acak, maka dalam proses pemanfaatan menggunakan teknik
merebahkan pohon, menyarad dan mengangkut melalui darat,
tidak bisa dihindari terjadinya kerusakan tegakan tinggal, bahkan
pada tempat-tempat tertentu akan terbuka seperti bekas jalan/jalur
sarad, jalan cabang dan tempat penimbunan kayu sementara.
Demikian pula pada tempat-tempat tertentu yang pemanfaatan
kayunya cukup intensif sebagai akibat pola sebaran pohon yang
terkadang bisa juga mengumpul pada satu tempat, maka pasca
pemanenan kondisinya akan sangat terbuka dan biasanya
permudaannya juga akan sangat kurang ketika belum terjadi masa
berbuah sewaktu pemanenan dilakukan. Oleh karena itu, untuk
memperbaiki kondisi pasca pemanenan ini sekaligus sebagai
upaya untuk meningkatkan produktivitas tegakan hutan alam
menjadi lebih baik dari kondisi semula sebelum pemanenan
24 dilakukan, maka diperlukan tindakan-tindakan silvikultur
diantaranya adalah pengayaan dan pembebasan tegakan tinggal.
Pengayaan adalah suatu tindakan silvikultur untuk menanami
kembali areal-areal terbuka pasca penebangan menggunakan
jenis-jenis pohon yang unggul dan prospektif mempunyai nilai
ekonomi tinggi diantaranya pada areal-areal bekas jalan sarad dan
bekas TPn. Kegiatan ini sebenarnya identik dengan kegiatan
rehabilitasi areal hutan yang rusak, namun pemberdaannya pada
lokasi kegiatannya. Kegiatan pengayaan dilakukan pada petak-
petak pasca dilakukan penebangan, sedangkan rehabilitasi
dilakukan pada areal hutan yang telah lama rusak dari berbagai
sebab antara lain illegal logging, kebakaran dan perambahan
hutan. Mengingat kondisi fisik dan kesuburan tanah pada lokasi-
lokasi tersebut sudah kurang baik, umumnya tanahnya padat,
topsoil mengelupas dan kesuburan tanah rendah atau miskin hara,
maka untuk melaksanakan pengayaan harus dilakukan
menggunakan teknik silvikultur yang tepat agar tanamana hasil
pengayaan dapat hidup dan tumbuh dengan baik sebagai aset
tegakan masa depan.
Berkenaan dengan telah terbitnya Permenhut Nomor
P.11/Menhut-II/2009, dimana telah diputuskan untuk menurunkan
limit diameter tebang dari 50 cm menjadi 40 cm di hutan alam
produksi lahan kering, maka dapat dipastikan akan meningkatkan
jumlah kayu yang dimanfaatkan atau jumlah pohon yang ditebang
apabila tidak hati-hati di dalam pelaksanaan penebangan.
Akibatnya kerusakan tegakan tinggal akan semakin tinggi dengan
areal yang terbuka menjadi lebih luas. Menurut Heriansyah (2012)
bahwa dampak pemanenan kayu dengan limit diameter 40 cm
25 telah menimbulkan banyak pohon-pohon yang rusak, sehingga
tegakan tinggal menjadi tegakan yang kurang produktif dan jauh
dari harapan. Pemanenan kayu baik di hutan primer maupun di
hutan bekas tebangan menyisakan hutan produksi yang sulit untuk
dipulihkan kembali. Tingkat kerusakan yang terjadi akibat
pemanenan lebih dari 40%.
Sesungguhnya, penurunan limit diameter tidak masalah dan
tidak bertentangan dengan kaidah ilmiah dalam PHAPL, karena di
hutan alam banyak terdapat pohon-pohon tua dan bernilai ekonomi
tinggi, tetapi diameternya tidak besar atau kurang dari 40 cm.
Namun demikian, mengingat adanya korelasi yang positif antara
jumlah pohon yang ditebang dengan kerusakan tegakan tinggal,
maka haruslah dilakukan antisipasi agar tidak terjadi kerusakan
yang dapat mengancam kelestarian hutan, antara lain dengan
membatasi jumlah pohon yang ditebang dan/atau membatasi
jumlah produksi kayu agar tidak melebihi riap tegakan dengan
membatasi jumlah pohon yang ditebang tidak melebihi 15 pohon
per hektar. Oleh karena itu, penurunan limit diameter pohon yang
bisa ditebang tidak bisa diterapkan di semua tipe hutan alam, perlu
memperhatikan karakteristik dan kondisi hutan alamnya. Tidak
harus semua diameter pohon komersial di atas 40 cm ditebang
semua, prioritaskan diameter pohon yang besar-besar terlebih
dahulu.
Mengingat insentif yang diberikan berupa penurunan limit
diameter tebang, maka seyogyanya ada kompensasi yang harus
diberikan oleh pemegang IUPHHK-HA, yaitu jaminan kelestarian
hutan alam produksi yang salah satunya adalah aktualisasi nyata
kegiatan re-investasi berupa penanaman di areal-areal kosong
26 sebagai kewajiban melakukan pengayaan intensif di hutan bekas
tebangan khususnya pada areal-areal yang terbuka seperti bekas
jalan sarad, bekas TPn dan kiri-kanan jalan utama.
Kondisi lahan di bekas jalan sarad, bekas TPn dan kiri-kanan
jalan utama pada umumnya mengalami kerusakan adalah sifat
fisik, kimia dan biologi yang disebabkan oleh pemadatan, erosi dan
hilangnya top soil. Sifat fisik tanah yang mengalami kerusakan
akibat penyaradan kayu di hutan alam antara lain pemadatan
tanah dan permiabilitas tanah (Rab, 2004), porositas tanah (Muhdi,
2001; Najafi et al., 2009), kandungan air. Sifat kimia tanah juga
terpengaruh oleh aktivitas pemanenan. Pembuatan jalan sarad dan
TPn menyebabkan penurunan kesuburan tanah akibat hilangnya
bahan organik di lapisan top soil, erosi tanah, miskin hara dan
kehilangan permudaan alami yang relatif besar di areal bekas jalan
sarad (Elias, 2008). Hilangnya bahan organik dapat berdampak
terhadap populasi dan aktivitas mikroorganisme tanah (Makineci et
al., 2007).
Untuk itu, teknologi yang efektif untuk merehabilitasi dan
pengkayaan di lahan-lahan yang mengalami pemadatan seperti di
areal bekas jalan sarad, bekas TPn dan kiri-kanan jalan utama
dengan menerapkan teknik kombinasi antara pembuatan guludan
(cross drain) dan Lubang Resapan Berpori (LRB). Teknik ini
mampu menurunkan pemadatan tanah di sekitar tanaman,
mengurangi erosi, meningkatkan resapan air, meningkatkan
kesuburan tanah dan menurunkan aliran permukaan. Hasilnya
berdampak positif terhadap peningkatan geometri akar (akar
tanaman berkembang dengan baik) dan pertumbuhan meranti
meningkat secara signifikan (Prameswari, 2014). Lebih lanjut
27 Prameswari (2014) menyatakan bahwa bangunan guludan dibuat
setiap 40 m dengan lebar guludan 4 m dan tinggi 1 m. Agar
bangunan guludan tidak mudah berubah posisi, maka diperkuat
dengan papan untuk mengurangi limpasan air. Untuk membuat
LRB, maka teknik pembuatannya sebagai berikut:
a. Lubang tanam berukuran 30 x 40 x 40 m (ukuran lubang 40 x 40
dengan kedalaman lubang 30 cm).
b. Lubang tanam diisi top soil sebanyak volume lubang tanam.
c. LRB dibuat sebanyak 4 buah dengan jarak 25 cm dari tanaman.
Ukuran LRB berdiameter 10 cm dengan kedalaman 50 cm. LRB
diisi kompos/serasah hutan yang berfungsi untuk sarana
menampung limpasan air, menambah kesuburan tanah dan
meningkatkan kapasitas memegang air (Gambar 3.7).
Pembuatan LRB bersamaan saat pembutan lubang tanam.
d. Jarak tanam di kiri-kanan jalan 2 m x 5 m, lahan kosong (bekas
TPn 2 m x 3 m), jalan sarad dan jalan cabang 3 m x 3 m.
Gambar 3.7. Teknik pembuatan LRB di kiri-kanan dan lahan kosong (bekas jalan sarad, bekas TPn, bekas jalan cabang dan kiri-kanan jalan utama
Lubang Resapan Berpori (LRB)
Tanaman
28 e. Jenis-jenis pohon yang cocok untuk ditanam di kiri-kanan jalan
dan lahan kosong (bekas TPn) disajikan pada Tabel 3.4.
Tabel 3.4. Jenis-jenis pohon yang cocok untuk ditanam di kiri-kanan jalan utama IPHHK-HA dan lahan kosong (bekas TPn)
No. Jenis pohon Famili Jenis tanah Tekstur tanah
Tipe Iklim
Ketinggian tempat (m dpl)
A. Kelompok Dipterocarpaceae:
1. Kapur (Dryobalanops aromatica)
Dipterocarpaceae - Aluvial - Tanah liat berpasir
A, B 60 – 400
2. Merawan (Hopea mengarawan Miq.)
Dipterocarpaceae - Tanah berpasir, tanah liat atau tanah berbatu
A, B ≤ 1.000
3. Hopea odorata Dipterocarpaceae Tanah berpasir, tanah liat atau tanah berbatu
A, B ≤ 1.000
B. Kelompok Non Dipterocarpaceae:
1. Nyatoh (Palaquium spp.)
Sapotaceae Tanah berpasir, tanah liat A 20 – 500
2. Sungkai (Peronema canescens Jack.)
Verbenaceae Tanah berpasir, tanah liat A, B, C ≤ 600
3. Gmelina (Gmelina arborea Roxb.)
Verbenaceae Tanah lembab, drainase baik
A, B, C ≤ 800
4. Mahoni daun kecil (Swietenia mahagoni)
Meliaceae Tanah liat dan tanah berpasir
A, B, C 50 – 1.000
5. Pulai (Alstonia scholaris R.Br.)
Apocynaceae Tanah liat dan tanah berpasir yang kering atau digenangi air dan lereng bukit berbatu
A, B, C ≤ 1.000
6. Agathis (Agathis dammara A.B. Lamb)
Araucariaceae Tanah berpasir, berbatu-batu atau liat yang selamanya tidak tergenangi air
A, B ≤1.700
7. Nyawai (Ficus variegata Bl.)
Moraceae - Aluvial lembab A, B ≤ 1.500
8. Binuang bini (Octomeles sumatrana Miq.)
Datiscaceae -Tanah liat,tanah liat berpasir
A, B, C ≤ 600
9. Sengon (Falcataria molucana)
Leguminosae -Aluvial, podsolik - Tanah liat, tanah liat
berpasir
A, B ≤ 1.000
10. Jabon putih (Antocepalus cadamba Miq.)
Rubiaceae - Aluvial lembab - Tanah liat, tanah lempung - Podsolik coklat, tanah tuf
halus atau tanah lempung berbatu yang tidak sarang
A,B,C ≤ 600
11. Puspa (Schima walichii Korth.)
Theaceae Tidak memilih keadaan tekstur dan kesuburan tanah
A, B, C 250–1.600
Sumber:Martawijaya et al. (2005); Darwo & Effendi (2013); Darwo et al. (2014)
29
Hal lain yang perlu diperhatikan untuk mendukung
keberhasilan pengkayaan adalah menyediakan bibit yang baik.
Bibit yang ditanam pada kegiatan pengkayaan di IUPHHK-HA
masih menggunakan bibit cabutan alam. Keberhasilan pembuatan
bibit cabutan masih rendah. Untuk itu, hasil penelitian Darwo
(2004) menyatakan bahwa teknik pengemasan bibit dan teknik
pembuatan sungkup mampu menghasilkan persen tumbuh bibit
cabutan di atas 80%. Tata cara pengemasan bibit dan pembuatan
sungkup sebagai berikut:
a. Material bibit cabutan berupa anakan yang berdaun lebih dari 2
daun sampai tinggi anakan kurang dari 30 cm.
b. Material anakan alam dari lapangan digunting sebagian
daunnya untuk mengurangi penguapan.
c. Jika material anakan akan dibawa jauh (butuh waktu
diperjalanan 1-4 hari), maka material anakan dibalut dengan
kertas koran basah dan dimasukan dalam kardus yang telah
dilapisi plastik untuk mengurangi penguapan.
d. Cari lokasi tegakan yang teduh dengan kelembaban udara di
atas 80%.
e. Siapkan polybag berisi media top soil berukuran 17 x 20 cm.
f. Polybag disiram sampai jenuh.
g. Anakan langsung ditanam dalam polybag tanpa diberi
perangsang pertumbuhan dan bibit disiram kembali, lalu
disungkup dengan plastik benih sampai rapat.
h. Periksa sungkup setiap hari, jika dalam sungkup plastik
tersebut banyak embun air (titik-titik air), maka kelembaban
udara masih di atas 80%. Selama embun tersebut tetap
30
banyak, maka sungkup tidak boleh dibuka dan tidak perlu
disiram.
i. Jika sungkup ada yang bolong terkena ranting yang jatuh,
sungkup plastik tersbut ditambal dengan selotif benih.
j. Jika embun dalam sungkup tersebut sedikit, segera disiram
bibit tersebut sampai jenuh dan sungkup ditutup rapat.
k. Sungkup plastik bisa dibuka setelah bibit tumbuh daun baru
lebih dari 4 helai (dibutuhkan waktu 3 bulan).
l. Sungkup plastik dibuka selama 4 bulan.
m. Setelah bibit berumur 7 bulan, maka bibit sudah siap ditanam
di lapangan.
Hasil ujicoba pengkayaan di areal bekas lajan sarad dengan
menggunakan meranti (Shorea leprosula, S. Johoriensis dan S.
parvifolia). Teknik silvikultur yang diterapkannya yaitu
menggunakan tinggi bibit 50-70 cm, lubang tanam 30 x 40 x 40 cm
dan diberi topsoil sebanyak volume lubang tanam (Gambar 3.8).
Gambar 3.8. Teknik penanaman meranti di jalan sarad
31
Tanaman meranti pada umur 3 tahun persen hidup 80%,
diameter antara 6–10 cm (MAI diameter 2,0–3,3 cm/tahun) dan
tinggi mencapai 6–10 meter (MAI tinggi riap 2–3,3 m/tahun).
Kondisi pertumbuhan tanaman tersebut sangat memberikan
harapan sebagai aset tegakan di masa yang akan datang (rotasi
berikutnya) (Gambar 3.9.). Penelitian akan diteruskan untuk
melihat perkembangan tajuk dan riap (MAI dan CAI) sebagai dasar
penetapan waktu penjarangan dilakukan.
Gambar 3.9. Performan tanaman meranti hasil pengkayaan di jalan
sarad pada umur 3 tahun Hasil penelitian melalui teknik pengkayaan intensif di bekas
jalan sarad dan bekas TPn cukup memberikan harapan
peningkatan produktivitas hutan alam produksi di masa yang akan
datang. Disamping itu, pengkayaan intensif di bekas jalan sarad
dan bekas TPn mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan
dengan kegiatan sejenis misalkan TPTJ-Silin, yaitu:
a. Biaya lebih rendah, karena tidak diperlukan pembuatan jalur
tanam, jalur tanam sudah tersedia yaitu bekas jalan sarad dan
TPn.
32 b. Bentuk/pola jalan/jalur sarad mengikuti kontur sehingga secara
ekologi lebih tepat.
c. Ukuran lebar jalan/jalur sarad cukup ideal dan optimal untuk
pertumbuhan tanaman Dipterocarpaceae (meranti) yaitu sekitar
5-6 meter.
d. Penanaman/pengkayaan di bekas jalan sarad akan mencegah
terjadinya erosi, mencegah akses pencuri kayu dan perambah
masuk ke dalam hutan, dan tentunya meningkatkan
produktivitas hutan alam produksi.
f. Penanaman pengkayaan di bekas jalan sarad dan bekas TPn
merupakan bentuk kompensasi terhadap insentif penurunan limit
diameter tebang (> 40 cm), sehingga sudah selayaknya dan
sepantasnya pengelola melaksanakan re-investasi dalam bentuk
penanaman pengkayaan di bekas jalan sarad dan bekas TPn.
g. Hasil pengkayaan di bekas jalan sarad dan bekas TPn dapat
dijadikan indikator atau tolok ukur utama keberhasilan/kinerja
PHAPL dalam sertifikasi mandatory atau voluntury.
h. Setiap petak tebang dibuatkan peta sebaran pengkayaan di
bekas jalan sarad, di lapangan diberi tanda-tanda yang jelas
sebagai pengumuman terhadap pengelolaan hutan.
i. Menurut Elias (2002), pasca tebangan TPTI dengan sistem
konvensional mengakibatkan keterbukaan tajuk antara 28‒45%,
termasuk di dalamnya adalah luas jalan sarad 4‒6% (luas jalan
sarad 400‒600 m2 per hektar luas hutan bekas tebangan)
(Ruslim, 2011). Jika dibandingkan dengan TPTJ-Silin
keterbukaan tajuk bisa mencapai >70%.
j. Teknik silvikultur yang dapat diterapkan adalah Teknik
Pengkayaan Intensif, dengan beberapa perlakuan untuk
33
meningkatkan kualitas pertumbuhan tanaman di bekas jalan
sarad dan bekas TPn. Menurut Darwo et al. (2014), bekas jalan
sarad dapat dilakukan pengkayaan dengan menggunakan S.
leprosula sebanyak dua larikan dengan jarak tanam 3 m x 3 m
dan pola tanam selang-seling (zig-zag). maka jumlah pohon
yang bisa ditanam antara 44-66 pohon per hektar.
k. Perkiraan produksi akhir rotasi (khusus di bekas jalan sarad)
adalah dengan asumsi riap diameter pada akhir daur 30 tahun
sebesar 1,33 cm/tahun (1 m3/pohon) dan persen hidup 60%,
maka akan diperoleh tambahan potensi tegakan dari bekas jalan
sarad antara 26-39 m3/ha pada siklus tebang 30 tahun.
Untuk lebih memantapkan hasil penelitian ini, maka
pengamatan akan diteruskan sampai mendapatkan teknik
pengkayaan, khususnya teknik pembinaan sehingga diperoleh
hasil tanaman pengkayaan yang maksimal sebagai potensi
tegakan pada rotasi yang akan datang.
Selain kegiatan pengkayaan intensif, kegiatan lainnya yang
sangat diperlukan dalam upaya peningkatan produktivitas tegakan
tinggal (pasca penebangan) adalah kegiatan pembebasan tegakan
tinggal. Kegiatan ini dilakukan untuk membebaskan permudaan
alam baik berupa pohon dewasa dan pohon muda, yang
mempunyai prospek sebagai pohon-pohon penyusun tegakan yang
akan dimanfaatkan pada rotasi yang akan datang. Pembebasan
yang dimaksudkan adalah menebang pohon-pohon yang
mengganggu pohon-pohon binaan baik terhadap persaingan untuk
mendapatkan hara tanah (horizontal) maupun terhadap cahaya
matahari (vertikal).
34
Teknik pembebasan yang telah dilakukan adalah melakukan
peneresan terhadap pohon-pohon yang berdiameter besar (>20
cm) dan/atau dengan menebang terhadap pohon-pohon yang
berdiameter kecil, dan diamati efektifitasnya untuk mendapatkan
ukuran dan kadar arborisida yang paling tepat dan aman terhadap
lingkungan. Jumlah pohon yang dibina/dibebaskan adalah dipilih
pohon-pohon yang mempunyai prospek tumbuh mencapai limit
diameter tebang sesuai ketentuan TPTI yaitu ≥ 40 cm. Pohon-
pohon yang ditebang agar tidak menimbulkan kerusakan tegakan
yang bisa ditolerir yaitu tidak melebihi kerusakan tegakan tinggal
lebih dari 40%. Diharapkan akan diperoleh jumlah pohon inti yang
memadai sehingga akan menghasilkan tegakan pada akhir daur
dengan potensi yang cukup tinggi serta kualtitas kayu yang baik
(besar dan lurus). Teknik pembebasan yang digunakan adalah
kombinasi pembebasan horisontal dan vertikal. Teknik ini telah
diujicobakan sebelumnya dan menunjukkan hasil peningkatan
pertumbuhan tegakan yang paling optimal. Jumlah pohon yang
ditebang tergantung pada posisinya terhadap pohon binaan, intinya
bahwa pohon binaan tajuknya tidak ternaungi oleh tajuk pohon di
sekitarnya.
Hasil penelitian teknik pembebasan tegakan menunjukan
bahwa teknik pembebasan (horisontal + vertikal) nampaknya cukup
prospetif untuk menghasilkan riap/pertumbuhan diameter yang
cukup meningkat mencapai lebih dari 1 cm/tahun, dibandingkan
dengan tanpa tindakan pembebasan yang umumnya kurang dari
0,7 cm/tahun. Pohon-pohon berdiameter 10‒20 cm menunjukkan
pertumbuhan yang meningkat lebih tinggi dibandingkan dengan
pohon-pohon berdiameter lebih dari 20 cm. Hal ini disebabkan
35 pohon-pohon yang masih muda berada dalam phase pertumbuhan
yang cepat dibanding pohon-pohon berdiameter lebih dari 20 cm.
Namun demikian, ada juga diameter pohon yang berukuran kurang
dari 20 cm pertumbuhannya lambat, hal ini dikarenakan telah lama
ternaungi oleh pohon-pohon yang besar di sekitarnya sebelum
penebangan, dan kemungkinan pohon-pohon ini sudah berumur
tua. Sedangkan jumlah pohon tidak menunjukkan perbedaan yang
signifikan terhadap kecepatan pertumbuhan tegakan, artinya
berapapun jumlah pohon per hektar dari yang diujicobakan yang
menjadikan penyebab perbedaan kecepatan pertumbuhan adalah
ukuran diameter pohon dan posisi tajuk yang terbebas dari pohon-
pohon di sekitarnya. Riap tegakan pada perlakuan pembebasan
untuk jenis Dipterocarpaceae sekitar 1,4 cm/tahun, sedangkan
non-Dipterocarpaceae sekitar 0,6 cm/tahun. Namun, ada juga
ditempat lain seperti hasil penelitian Abdurachman (2012)
menyatakan bahwa antara perlakuan pembebasan, penjarangan
dan kontrol tidak mempengaruhi riap diameter pohon dengan rata-
rata riap diameter pohon untuk kelompok komersial sebesar 0,65
cm/tahun dan kelompok non komersial sebesar 0,33 cm/tahun.
Oleh karena itu, dalam pelaksanaan kegiatan pembebasan
sebaiknya hanya dipilih pohon-pohon prospektif yang masih muda
untuk dibebaskan, tidak terpaku pada jumlahnya, hanya saja
sebaiknya diupayakan tersebar merata dalam satu petak tebang,
dan disesuaikan dengan jumlah pohon yang akan ditebang di akhir
rotasi yang menimbulkan kerusakan minimal, dalam hal ini
pembebasan 25 pohon per hektar bisa menjadikan pilihan.
36
Gambar 3.10. Pembebasan tegakan tinggal
Hanya saja beberapa teknik yang lebih tepat dan efisien
masih perlu dilakukan penelitian dan kajian lanjutan agar diperoleh
perlakuan yang terbaik dalam rangka peningkatan produktivitas
tegakan di hutan alam produksi bekas tebangan, khususnya teknik
pengkayaan intensif dan teknik pembinaan tegakan yang intensif.
Sistem silvikultur TPTI jika diterapkan sesuai dengan aturan
yang ada, maka kelestarian hutan alam produksi dapat terwujud
dengan memperhatikan tiga aspek, yaitu fungsi produksi, ekologi
dan sosial. Prinsip dasar yang diterapkan dalam mengelola hutan
alam melalui sistem silvikultur TPTI adalah pemanenan kayu tidak
boleh melampaui produktivitas hutannya (riap tegakan). Jika para
pemegang ijin berkomitmen menjalankan prinsip tersebut, maka
hutan alam akan tetap lestari.
3.2.2. Sistem Silvikultur TPTJ-Silin
Selain TPTI pada saat ini telah dikembangkan sistem
silvikultur baru yaitu Sistem silvikultur TPTJ (TPTII). Penelitian ini
hampir sama dengan penelitian TPTI yaitu mengkaji semua
37 tahapan TPTJ-Silin ditinjau dari aspek teknis, ekonomis dan
ekologis.
Berdasarkan kajian secara teknis hasil penelitian
menunjukkan bahwa walaupun secara teori yang telah dituangkan
dalam pedoman pelaksanaan cukup jelas dan mudah untuk
dilaksanakan, baik dari tahap perencanaan, tahap pembukaan
naungan, penyiapan jalur tanam, penanaman, pemeliharaan dan
pemanenan, namun kenyataan dalam praktek di lapangan
diperlukan keahlian, keseriusan dan kehati-hatian yang cukup
tinggi. Diperlukan perencanaan yang sangat matang dalam rangka
pembukaan naungan sebagai upaya memberikan peluang
masuknya cahaya yang lebih optimal guna memacu pertumbuhan
tanaman khususnya di jalur tanam. Kondisi topografi dan
kemiringan lahan haruslah menjadikan pertimbangan yang sangat
serius, agar pelaksanaan operasional tebang naungan tidak
menimbulkan kerusakan, baik tegakan tinggal (jalur antara)
maupun kerusakan lingkungan (Gambar 3.11).
Gambar 3.11. Kondisi hutan setelah tebang naungan dan persiapan jalur tanam
38
Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan hal-hal yang
masih belum secara serius mengupayakan kerusakan tegakan
yang minimal, kerusakan tegakan tinggal khususnya di jalur antara
masih sangat tinggi bisa mencapai lebih 60%, pohon-pohon yang
tersisa di jalur tanam kondisinya sangat memprihatikan karena
tertimpa pohon-pohon sebagai akibat pembuatan jalur tanam yang
sekedar merobohkannya ke jalur antara. Karena jarak antara dua
jalur tanam yang hanya sekitar 20 meter, maka akibat
penebangan/pembuatan jalur tanam ini, maka jalur antara menjadi
semakin parah. Dampaknya pada akhir rotasi akan menimbulkan
menurunya potensi kayu di jalur antara. Demikian pula penyiapan
jalur bersih 3 meter sebagai jalur tanam yang lurus memotong
kontur harus dilaksanakan secara hati-hati. Walaupun disebut
sebagai jalur bersih bukan berarti tumbuhan bawah harus
dibersihkan sampai hanya kelihatan tanahnya saja. Praktek di
lapangan menunjukkan hal-hal yang demikian, umumnya dibuat
bersih dengan membabat dan mendongkel tanaman/tumbuhan
bawah yang terdapat di jalur tanam. Ini cukup membahayakan
akan menyebabkan erosi yang cukup tinggi khususnya pada areal
dengan lereng yang curam. Hal ini terbukti dari hasil penelitian
yang menunjukkan terjadi peningkatan erosi menjadi lebih dari dua
kali dibandingkan dengan areal yang tidak dibabat. Pada tahun
ketiga pasca penanaman jalur terjadi erosi sebesar 0,279
ton/ha/tahun, sedangkan di jalur antara hanya sekitar 0,114
ton/ha/tahun. Namun, erosi yang terjadi di jalur bersih sampai
kemiringan lahan kurang dari 15% di TPTJ-Silin dengan kondisi
tebal solum tanah kurang dari 30 cm termasuk kategori tingkat
bahaya erosi yang aman.
39
Gambar 3.12. Tanaman umur 2 tahun di jalur tanam di PT. SBK
Gambar 3.13. Tanaman umur 4 tahun di jalur tanam di PT. SBK
Hasil pengamatan pertumbuhan tanaman di jalur tanam pada
awal-awal penanaman sangat memberikan harapan yang sangat
signifikan. Persen jadi tanaman mencapai lebih dari 90 persen
sampai tanaman berumur tiga tahun dengan riap pertumbuhan
diameter lebih dari 3 cm/tahun. Namun demikian, setelah tanaman
berumur lebih dari tiga tahun, percepatan pertumbuhan tanaman
mulai menurun, dan sangat terlihat nyata pada tanaman berumur
lebih dari lima tahun. Data hasil pengamatan di lapangan terhadap
tanaman yang berumur lebih dari lima tahun, baik di PT Sari Bumi
Kusuma maupun di PT. Erna Juliawati menunjukan pertumbuhan
riap diameter tanaman mulai menurun (1,6 cm/tahun) (Gambar
40 3,12 dan 3,13). Hasil penelitian kawasan hutan alam produksi di
Kabupaten Barito Utara, Kalimantan Tengah menunjukkan bahwa
pada umur 4 tahun, tanaman di jalur tanam pada TPTJ-Silin terjadi
perpotongan riap tahun berjalan (CAI) dan riap rata-rata tahunan
(MAI) (Gambar 3.14). TPTJ-Silin ini dilaksanakan pada hutan alam
bekas tebangan (LOA) dengan potensi tegakan yang tinggi (baik).
Gambar 3.14. Kurva pertumbuhan diameter dan tinggi Shorea
leprosula jalur tanam TPTJ-Silin di Kabupaten Barito Utara, Kalimantan Tengah
Oleh karena itu, setelah umur 4 tahun perlu dilakukan
pelebaran jalur tanam agar pertumbuhan diameter dan tinggi
tanaman meningkat. Hal ini disebabkan telah terjadi persaingan,
baik persaingan untuk mendapatkan sinar matahari maupun dalam
mengambil unsur hara. Tajuk-tajuk pohon yang berada di kanan-
kiri jalur tanam sudah mulai menutupi jalur tanam, akibatnya sinar
matahari semakin sedikit yang masuk ke jalur tanaman. Apabila
tidak dilakukan tindakan silvikultur berupa pembukaan naungan
lebih lebar, maka kerugian terhadap tegakan hutan alam sudah
pasti akan terjadi yaitu tanaman jalur sebagai andalan potensi
Umur (tahun)
41 tegakan di masa depan tidak akan terwujud. Dalam waktu singkat
bisa menimbulkan degradasi hutan alam sebagai akibat penerapan
TPTJ-Silin yang tidak menggunakan teknik silvikultur yang tepat.
Gambar 3.15. Kondisi bibit cabutan dan persemaian untuk penanaman di TPTJ-Silin, Kalimantan Tengah
Berdasarkan hasil kajian ini disarankan untuk memperjelas
persyaratan areal yang akan dilakukan untuk sistem silvikultur
TPTJ-Silin. Sistem silvikultur TPTJ-Silin diperlukan pembukaan
tajuk secara bertahap hingga mencapai 60% agar tanaman di jalur
tanam dapat tumbuh secara maksimal (Herdiansyah, 2008).
Persyaratan lainnya yang perlu diperhatikan adalah topografi
dengan kemiringan lahan maksimal 25%, dan apabila terdapat
suatu bagian areal yang mempunyai lereng > 25%, maka
sebaiknya TPTJ-Silin di lokasi tersebut tidak dilakukan untuk
menghindari resiko yang mungkin terjadi seperti erosi dan
kerusakan lingkungan lainnya yang lebih parah. Selain itu,
disarankan untuk menyempurnakan teknik-teknik silvikultur yang
diterapkan dalam TPTJ-Silin seperti jumlah jalur tanam dari 5 jalur
menjadi 3 jalur, dan lebar jalur tanam supaya diperlebar secara
bertahap mengikuti perkembangan pertumbuhan tegakan atau
42 sesuai kebutuhan sinar matahari. Selanjutnya perlu dipilih jenis-
jenis pohon unggulan setempat yang mampu tumbuh cepat
dengan intensitas sinar matahari yang rendah. Bibit tanaman
segera dihasilkan dari stek pucuk yang terjamin asal pohon induk
plus dan hindari menggunakan bibit cabutan alami asalan dan
waktu pengambilan yang sudah jauh dari masa berbuahnya
(cabutan tua).
Saat ini di areal TPTJ-Silin sedang dilakukan pengamatan
tingkat pertumbuhannya untuk jenis Shorea leprosula, S.
mecisopteryx, S. palembanica, S. parvifolia, S. smithiana, Hopea
odorata, Dryobalanops aromatica., Vatica resak, nyatoh (Palaquim
sp.), nyawai (Ficus variegate), binuang bini (Octomeles
sumatrana), dan Sungkai (Peronema canescens). Karaketeristik
tempat tumbuh dan kegunaan jenis-jenis tersebut disajikan pada
Lampiran 1. Foto uji jenis di areal TPTJ-Silin, Kabupaten Barito
Utara-Kalimantan Tengah dapat dilihat pada Lampiran 2,
sedangkan hasil penanaman di areal hutan alam bekas tebangan
di Kabupaten Padang Lawas, Sumatera Utara dapat dilihat pada
Lampiran 3.
Hasil penelitian tanaman S. lepeosula di jalur tanam pada
TPTJ-Silin jika diterapkan di LOA yang baik dengan lebar jalur
bersih 3 m, rata-rata diameter tegakan akan mencapai 35 cm pada
akhir daur 25 tahun sehingga target diameter tegakan di atas 40
cm pada daur 25 tahun tidak bisa tercapai. Padahal S. leprosula
jika ditanam pada kondisi keterbukaan tajuk yang tepat diameter
tegakan bisa mencapai 55 cm pada daur tebang 25 tahun dan
untuk mencapai diameter tegakan 50 cm dibutuhkan waktu 21
tahun (Gambar 3.16). Apabila TPTJ-Silin di LOA yang baik dan
43 melakukan pelebaran jalur tanam secara bertahap, maka akan
beresiko terjadi kerusakan tegakan di jalur antara maupun dijalur
tanam dan akan menambah biaya operasional.
Gambar 3.16. Kurva prediksi dan kurva harapan pertumbuhan
diameter tegakan S. leprosula di jalur tanam TPTJ-Silin
Saran penerapan sistem silvikultur TPTJ-Silin sebaiknya tidak
dilakukan di hutan alam bekas tebangan (LOA) dalam kondisi yang
baik, mestinya TPTJ-Silin diterapkan pada kondisi LOA sedang dan
bahkan bisa diterapkan di hutan rawang (potensi tegakan < 20
m3/ha).
44
Gambar 3.17. Tanaman umur 9 tahun di jalur tanam di PT. SBK,
Kalimantan Tengah Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara teknis hutan
rawang bisa pulihkan asalkan faktor non teknis bisa atasi (seperti:
perambahan, kebakaran, konflik lahan serta gangguan lainnya).
Untuk merehabilitasi hutan rawang dengan menggunakan jenis-
jenis andalan setempat. Pola tanamnya menggunakan sistem
jalur, yaitu jalur bersih (jalur tanam) selebar 2 m, jalur antara 3 m
dan jarak antar tanaman dalam jalur tanam 2,5 m sehingga jarak
tanamnya 2,5 m x 5 m (jumlah tanaman 800 tanaman per hektar).
Karakteristik tempat tumbuh hutan rawang yang ada di
KHDTK Haurbentes sebagai berikut:
1. Lokasi berada pada ketinggian ± 250 m dpl dan jenis tanah
termasuk Podsolik.
2. Berdasarkan klasifikasi Schmidt dan Ferguson, termasuk tipe
curah hujan A dengan tidak memiliki bulan kering. Rata-rata
curah hujan tahunan 4.276 mm/tahun dengan curah hujan
tertinggi jatuh pada bulan April (475 mm/bulan) dan terendah
pada bulan Agustus (199 mm/bulan). Rata-rata suhu tertinggi
28ºC dan terendah 23ºC; kelembaban udara antara 70-83%;
dan intensitas cahaya antara 9.000–20.600 lux.
45 3. Jenis-jenis yang sedang diujikan adalah Shorea leprosula, S.
pinanga, S. mecistopteryx, S. selanica, S. palembanica, S.
Stenoptera Burma., S. stenoptera Burck., H. mangarawan,
Dipterocarpus sp. dan V. resak. Sampai umur 1 tahun, jenis-
jenis tersebut mampu tumbuh baik di hutan rawang. Kondisi
hutan rawang dapat dilihat pada Gambar 3.18.
Gambar 3.18. Kondisi hutan rawang yang ada di areal KHDTK
Haurbentes, Jawa Barat
Selanjutnya pada lahan kosong dan lahan tidak produktif
lainnya di hutan alam produksi perlu direhabilitasi. Ada beberapa
areal hutan alam bekas tebangan yang perlu direhabilitasi yaitu
areal bekas TPn, bekas jalan cabang, kiri-kanan jalan utama,
bekas perladangan dan semak belukar. Pemilihan jenis yang tepat
merupakan kunci utama keberhasilan rehabilitasi, selain perlakuan
silvikultur seperti penyiapan lahan, pemupukan dan pemeliharaan,
serta waktu pelaksanaan penanaman yang tepat.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis-jenis yang cocok
untuk merehabiliasi di areal bekas TPn dan kiri-kanan jalan utama
46 dapat menggunakan jenis Dryobalanops aromatica, Hopea
mangarawan, Hopea odorata, sungkai (Peronema canescens),
nyatoh (Palaquium sp.) dan gmelina (Gmelina arborea) (Darwo et
al., 2014). Jika jenis-jenis tersebut akan dikembangkan di areal
tersebut, maka persyaratan tempat tumbuh menjadi mutlak harus
diperhatikan.
Untuk areal bekas perladangan dan semak belukar dapat juga
menggunakan jenis-jenis yang sama seperti di areal bekas jalan
sarad, bekas TPn dan kiri-kanan jalan utama (Tabel 3.4). Hasil
penelitian Irawan (2014) menunjukkan bahwa rehabilitasi di areal
semak belukar muda di Kabupaten Bolaangmondow Utara,
Provinsi Sulawesi Utara pada ketinggian 412 m dpl dapat
menggunakan jenis bintangur (Calophyllum soulattri Bruu.f.var.),
nantu (Palaquium obtusifolium Burck.) dan linggua (Pterocarpus
indicus Willd.). Ketiga jenis tersebut mampu tumbuh baik dengan
persen hidup di atas 80% pada umur 12 bulan. Aswandi et al.
(2014) menyatakan bahwa rehabilitasi di areal terbuka terdegradasi
pada kondisi tipe iklim C di KHDTK Siali-ali, Kabupaten Pandang
Lawas, Provinsi Sumatera Utara dapat menggunakan jenis mahoni
(Swietenia macrophylla). Pada areal terbuka di lahan gambut dan
peralihan lahan gambut dapat menggunakan Shorea belangeran
(Gambar 3.19). Jenis Dipterocarpaceae (Dryobalanops aromatica,
Hopea mangarawan, Hopea odorata dan Shorea belangeran)
mampu tumbuh baik di areal terbuka. Keempat jenis tersebut
memiliki karakterisitk berdaun tebal dan mengkilap permukaannya.
Karakteristik tempat tumbuh dan kegunaan dari jenis-jenis tersebut
disajikan pada Lampiran 1.
47
. Kapur (Dryobalanops aromatica) Sungkai (Peronema canescens)
Hopea mangarawan S. balangeran di lahan Gambut
Gambar 3.19. Dryobalanops aromatica, Peronema canascens, Hopea mangarawan dan Shorea balangeran mampu tumbuh baik di tempat terbuka
3.2.3. Sistsem silvikultur Tebang Rumpang
Sistem tebang rumpang (TR) merupakan hasil kajian dan
ujicoba Balai Teknologi Reboisasi Banjarbaru sejak 1985 di Hutan
Penelitian Kintap, Kalimantan Selatan. Sistem TR ini sering disebut
juga sebagai ”Gap Simulation System”. Sistem Tebang Rumpang
48 ini berbasis permudaan alami, dan menjadi salah satu sistem yang
ditawarkan kepada pemerintah untuk dijadikan suatu sistem
silvikultur alternatif untuk pengelolaan hutan alam produksi
(Sagala, 1994). Sistem TR ini pada awal pembentukannya
dilakukan pada areal hutan yang relatif masih primer, dimana
permudaan alami jenis-jenis primer masih tidak menjadi masalah.
Pada areal hutan yang telah terfragmentasi berat, TR ini belum
diujicoba secara tuntas. Pada saat ini, apakah tebang rumpang
berbasis permudaan alami ini masih efekif untuk areal hutan yang
telah terfragmentasi. Pertanyaan ini, perlu dijawab melalui
serangkaian ujicoba kembali TR di areal hutan yang telah
terfragmentasi berat, dimana keberadaan permudaan alami jenis
primer menjadi kendala.
Apapun sistem silvikutultur yang digunakan pada dasarnya
adalah menciptakan ruang-ruang terbuka di dalam hutan. Ruang-
ruang terbuka tersebut dapat menjadi suatu triger bagi
keberlangsungan proses dinamika hutan yang lebih cepat, tetapi
dapat menjadi penghancur keberlangsungan proses dinamika
hutan yang ada. Semua itu sangat tergantung dari luas, bentuk
dan pola penyebaran ruang terbuka yang tercipta, serta tergantung
dari kualitas ruang terbuka bagi perkembangan regenerasi
(Brokaw, 1985). Hutan produksi dengan misi ekonomi dan ekologi yang sama
pentingnya dapat diterapkan sistem slivikultur TR . Dalam hal ini
yang dapat direkayasa adalah ”spatial rumpang”, bukan struktur
dan komposisi tegakan hutan seperti pada sistim silvikultur tebang
pilih (Sagala, 1999; Panjaitan dan Supriadi, 2004). Rumpang (gap)
merupakan pembukaan kanopi hutan yang disebabkan oleh
49 tumbangnya satu atau lebih pohon. Hal ini adalah bentuk utama
dari gangguan alami (disturbance) dalam suatu sistem hutan alam.
Rumpang ini memainkan peranan penting dalam ekologi hutan
yaitu pengaturan keanekaragaman dalam hutan, mempengaruhi
siklus hara, dan memfasilitasi proses suksesi.
Bukaan kanopi hutan (rumpang) akan memfasilitasi cahaya
untuk mencapai lantai hutan. Cahaya yang sampai lantai hutan ini
sangat berperan dalam regenerasi alam (Hu, et al., 2010).
Rumpang ini akan membentuk mosaik yang kontinyu sebagai
suatu proses dari regenerasi hutan. Penelitian Amir (2012)
menunjukkan proses regenerasi hutan berupa mosaik rumpang
akan mencapai 25,5 ± 6,9 tahun. Hal tersbut menunjukkan bahwa
dinamika rumpang akan mewujudkan kondisi hutan yang lestari.
Rumpang adalah faktor kunci dalam regenarasi alami seperti
halnya di hutan mangrove. Waktu pulih tersebut dijadikan dasar
dalam rotasi tebangan pada pengelolaan hutan.
Ukuran rumpang sangat beragam dari 10 m2 hingga lebih dari
5.000 m2. Menurut Schliemann et al. (2011) menyarankan bahwa
luas rumpang optimal adalah 1.000 m2. Balai Penelitian Kehutanan
Banjarbaru dalam penelitiannya tidak memberikan luasan rumpang
dalam angka luas yang mutlak tetapi berdasarkan tinggi pohon tepi
pada tapak aktual yang akan dibuat rumpang, yaitu lingkaran lahan
yang berdiameter 1–1,5 kali tinggi pohon tepi. Indikasi dari luas
optimal ini adalah tetap terjaganya iklim mikro dan tidak
melonjaknya pertumbuhan tumbuhan bawah seperti alang-alang,
pakis-pakisan dan lain-lain.
Prosedur pembuatan rumpang (Panjaitan, 1997) sebagai
berikut:
50 a. Pemilihan tempat penumpukan kayu sementara (TPn). TPn ini
merupakan tempat penumpukan log penyaradan, yang berada
di tepi areal tebangan.
b. Memetakan semua jaringan sarad yang menuju ke TPn tersebut.
c. Menentukan titik-titik tebang sebagai calon rumpang.
d. Penandaan batas pada setiap calon rumpang (diameter
rumpang 1–1,5 kali pohon tepi), dan penandaan semua pohon
yang ditebang untuk disarad/dimanfaatkan.
e. Sensus semua tingkat pohon yang tidak dimanfaatkan, yaitu
vegetasi berdiameter ≥ 10 cm.
f. Inventorisasi tingkat permudaan, yaitu tiangkat semai dan
pancang. Penentuan permudaan ini dilakukan dengan Line
Intercept Method (LIM). “LIM” ini adalah semua permudaan
yang menyinggung garis pengamatan. Garis pengamatan yang
dibuat adalah dua garis tengah rumpang yang saling
berpotongan tegak lurus. Karatersitik yang diamati adalah jenis
dan jumlah individu.
h. Penebangan pohon di dalam rumpang.
i. Penyaradan batang pohon yang dimanfaatkan.
j. Perapihan rumpang, yaitu dengan cara penebangan dan
pencincangan semua individu di dalam rumpang.
k. Jika permudaan alamnya kurang, maka dapat dilakukan
pengkayaan dengan menanam jenis andalan setempat. Apabila
permudaan alaminya tidak ada, maka bisa dibuat permudaan
buatan dengan menanam jenis andalan setempat dengan jarak
tanam 2,5 m x 2,5 m yang dimulai dari titik tengah menuju 4 m
sebelem sampai ke tepi rumpang (Panjaitan, 2014) (Gambar
3.20).
51 l. Pada rumpang dengan permudaan alami dan buatan harus
dilakukan penandaan dengan menggunakan ajir.
Gambar 3.20. Pembuatan permudaan buatan di dalam Tebang
Rumpang
Hasil pengamatan pertumbuhan tanaman meranti di dalam
rumpang berumur 16 tahun dan berumur 17 tahun, menunjukan
bahwa tanaman dapat hidup baik pada kondisi tidak terganggu
naungan pohon sekitarnya. Berdasarkan data tersebut, tanaman
mampu tumbuh dengan riap diameter 1,6 cm/tahun untuk Shorea
parvisipulata, sedangkan untuk jenis Shorea johorensis sebesar
1,3 cm/tahun pada umur 16‒17 tahun. Lebar tajuk sebagai
indikator penutupan ruang tumbuh 4,6‒9,0 m dengan rasio
diameter tajuk dengan diameter batang adalah 27,5‒31,5. Rasio ini
mengindikasikan bahwa untuk tumbuh normal, maka pohon
tersebut memerlukan ruang terbuka (bebas naungan) 30 kali
diameter batang pohonnya (Panjaitan, 2014).
Ukuran individu tanaman ternaungi jauh lebih kecil
dibandingkan dengan individu normal. Pengaruh naungan tersebut
terlihat sangat signifikan baik terhadap pertumbuhan. Kondisi
naungan ekstrim mengakibatkan tajuk menipis dan pertumbuhan
52 tanaman mengalami stagnasi. Fakta di atas mengindikasikan
bahwa dinamika tegakan di hutan tropika basah (pertumbuhan dan
komposisi jenis) sangat ditentukan oleh ukuran atau luas, bentuk
dan periodisitas pembukaan kanopi (gaps) (Brokaw, 1985). Jenis-
jenis komersil yang dibalak, hampir semuanya merupakan jenis
kanopi utama. Pertumbuhan permudaan jenis kanopi atas
memerlukan ruang terbuka berupa rumpang (gaps), pada fase ini
pertumbuhan tinggi paling dominan, setelah mencapai kanopi atas,
maka pertumbuhan tinggi melambat dan secara praktis berhenti
kemudian pertumbuhan tajuk pohon dan pertumbuhan diameter
berlangsung (Whitmore, 1975; Halle et al.,1978). Tingkat
pertumbuhan tanaman dalam TR disajikan pada Tabel 3.5.
Tabel 3.5. Pertumbuhan jenis-jenis pohon pada sistem silvikultur
Tebang Rumpang di Kintap, Kalimantan Selatan
Hasil penelitian pertumbuhan tanaman pada dalam TR di
KHDTK Kintap, Kalimantan Selatan menunjukan bahwa rata-rata
riap tahunan (MAI) diameter meranti pada umur 13 tahun mencapai
2,1 cm. Kondisi kontras terjadi pada rumpang permudaan alam
umur 14 tahun di PT AYI, Kalimantan Selatan yang hanya memiliki
MAI sebesar 0.9 cm/tahun. Gambaran ini menunjukkan adanya
No. Jenis pohon Umur (tahun)
Diameter pohon (cm)
Tinggi total (m)
Riap
Diameter (cm/th)
Tinggi (m/th)
1. Shorea parvistipulata 17 27,2 - 1,60 -
2. Shorea johorensis 17 22,1 - 1,30 -
3. Shorea voiciflora 6 4,0 4,40 0,66 0,73
4. Shorea stenoptera 4 3,4 3,45 0,84 0,86
53 perbedaan riap tegakan dikarenakan kondisi tapak yang berbeda,
perbedaan perlakuan, dimana di Kintap dilakukan pembebasan
sampai umur 2 tahun, sedangkan di PT AYI tidak ada
pembebasan.
Riap diameter di dalam rumpang permudaan alam lebih tinggi
dibandingkan dengan permudaan buatan. Hal ini disebabkan oleh
karaktersitik permudaan alam sudah mampu beradaptasi daripada
bibit yang ditanam, terutama dalam sistem perakarannya.
Menurut Sagala (1994) bahwa keuntungan TR sebagai
berikut:
a. TR secara alami mampu mengelola unsur tanah, iklim mikro,
dan seresah terdekomposisi dengan baik.
b. Areal tebangan bisa dikelola karena mempunyai Unit Homogen.
c. Manajemen mempunyai kepastian usaha.
d. Sistem ekologi hutan tidak rusak sebab proses rumpang adalah
bagian dari sistem ekologi hutan.
e. Areal tebangan tidak rawan kebakaran karena pada kondisi iklim
mikro rumpang populasi rumput tidak melonjak.
f. Tidak akan terjadi erosi/kepunahan genetik sebab tidak
melakukan tebang pilih.
g. Penyebaran jenis mudah dipetakan.
h. Kayu berdiameter besar untuk plywood, kayu ukuran sedang
untuk penggergajian, sedangkan kayu kecil, rotan, anggrek,
tumbuhan obat untuk penduduk setempat. Jadi kuvio bentuk
rumpang dapat diterima baik dari segi manajemen, teknik,
ekologi, bahaya api, ekonomi dan penduduk setempat.
Untuk itu, mengelola hutan alam harus dilakukan secara
sistematik artinya kawasan hutan harus dikelola bagian per bagian
54 ke dalam unit pengelolaan. Sagala (1999) menyatakan bahwa
hutan alam dituntut untuk dapat berperan sebagai:
.a. Tempat tinggal jutaan makhluk hidup dalam keadaan seimbang
yang terdiri dari masyarakat tumbuhan, masyarakat fauna dan
masyarakat jasad renik.
b. Menekan pelonjakan populasi organisme tertentu yang dapat
membahayakan organisme lain.
c. Gudang penyimpanan bahan genetik atau plasma nutfah.
d. Sumber kayu dan hasil hutan lain seperti rotan, tumbuhan obat,
anggrek dan lain-lain.
e. Pengendalian debit air dan sumber air bersih.
f. Penyimpan karbon dan penghasil udara bersih.
g. Sumber ilmu pengetahuan.
h. Tempat rekreasi dan lain sebagainya.
Sagala (1994) menyatakan bahwa ada beberapa sifat hutan alam
yaitu: (a) hutan alam merupakan mosaik rumpang, (b) tanah, iklim
mikro dan tumbuhan merupakan satu kesatuan, (c) komposisi dan
struktur tegakan yang beragam dengan jumlah jenis banyak dan
struktur mulai tingkat pohon, tiang, pancang dan semai bercampur.
Oleh karena itu, dalam TR diperlukan lima tingkat desain lapangan,
yaitu: (a) desain tingkat tegakan rumpang, (b) desain tingkat jalan
sarad, (c) desain tingkat kuvio, (d) desain tingkat petak, dan (e)
desain tingkat unit pengelolaan.
3.3. Informasi Dinamika Pertumbuhan/Riap Tegakan di Hutan
Alam Produksi Kelestarian hutan alam produksi selain sangat dipengaruhi
oleh pemilihan sistem silvikultur yang tepat disertai dengan
55 tindakan-tindakan silvikultur dalam rangka peningkatan
produktivitasnya, tidak kalah pentingnya adalah dalam rangka
pengaturan produksi kayu yang boleh dimanfaatkan. Pemanfaatan
kayu yang berlebihan akan dapat merusak hutan sekaligus
menghambat pertumbuhan tegakan tinggal atau memperpanjang
rotasi, tetapi pemanfaatan yang kayu yang sedikit akan menjadi
tidak ekonomis. Pemanfaatan kayu yang optimal adalah
pemanfaatan kayu yang didasarkaan pada besarnya riap tegakan.
Menurut pengalaman secara perhitungan ekonomis pemanfaatan
kayu sesuai riap tegakan sudah cukup layak dalam suatu
operasional pengelolaan hutan. Untuk melakukan pengaturan hasil
yang tepat diperlukan suatu teknik kuantifikasi pertumbuhan yang
tepat yang diperoleh dari hasil penelitian yang konsisten. Adapun
hasil penelitian sementara aspek-aspek kuantifikasi pertumbuhan
yang sudah dilakukan.
Telah dihasilkan model pendugaan volume pohon dari
beberapa jenis pohon komersial di hutan alam produksi. Model
pendugaan volume yang dihasilkan cukup praktis dan akurat,
sehingga dapat digunakan sebagai dasar penyusunan tabel
volume pohon yang dapat digunakan dalam membantu kegiatan
inventarisasi potensi tegakan. Namun mengingat volume pohon
dipengaruhi jenis dan tempat tumbuh, maka perlu disusun model
pendugaan volume untuk setiap jenis dan lokasi unit pengelolaan
hutan produksi. Adapun model yang digunakan adalah:
Vdu = f(D,H,hdu)
Vh = f(D,H,h)
56 Dimana: Vdu : volume batang pohon sampai diameter ujung tertentu (m3), Vh : volume batang pohon dengan panjang tertentu (m3), D : diameter setinggi dada (cm),
H : tinggi pohon (m) → tinggi sampai pucuk atau bebas cabang, hdu : tinggi diameter ujung tertentu (m).
Gambar 3.21. Pengambilan data pohon model (pohon contoh)
Sampai dengan tahun kelima telah disusun tabel volume pohon di
hutan alam produksi di beberapa lokasi penelitian yaitu: Shorea
semithiana, Vatica sp., Dipterocarpus spp. (keruing), bangkirai,
meranti merah, kapur, medang, dan jenis-jenis Diperocarpaceae
lainnya (Hardjana, 2014). Model persamaan tabel volume yang
telah disusun untuk beberapa lokasi penelitian disajikan pada Tabel
3.6 dan model pendugaan volume pohon untuk di wilayah Papua
disajikan pada Tabel 3.7 (Kuswandi, 2014).
57 Tabel 3.6. Persamaan pendugaan volume pohon beberapa jenis
pohon di hutan alam di Kalimantan Jenis Persamaan Regresi Terpilih Lokasi
Shorea laevis
Vbc = 0,0015(D)2 ‒ 0,0254(D) + 0,0448
Samboja, Kab. Kutai Kartanegara, Kaltim
Shorea smithiana log Vbc = ‒2,986511 + 2,08686 log (D) ‒5,217938 (1/D)
Labanan, Kab. Berau, Kaltim
Vatica sp. log Vbc = ‒2,290659+1,738784 log (D) ‒12,09475 (1/D)
Hopea sp. log Vbc = 1,9388 log D + 0,9309 log T ‒ 4,0872 Labanan, Kab. Berau, Kaltim
Dipterocarpus sp. log Vbc = ‒4,2058 + 2,1295 log D + 0,6646 log T
log Vbc = ‒4,0560 + 2,5478 log D
Tanjung, Kalsel
Dipterocarpaceae log Vbc = ‒3,4216 + 1,8989 log D + 0,9287 log T Segah, Kab. Berau, Kaltim
Dipterocarpus acutangulus
log Vbc = ‒3,6751 + 2,4022 log D Labanan, Kab. Berau, Kaltim
Dipterocarpus sp. Vbc = 0,333 – 0,023(D) + 0,001(D2) PT. Ratah Timber, Kab. Kutai Barat Dipterocarpus
lanceolata log Vbc = –3,336 + 2,205(log D) – 6,956(1/D)
Dipterocarpus sp. Vbc = 0,184 – 0,0204(D) + 0,001(D2) PT. Kemakmuran Berkah Timber, Kab. Kutai Barat
Dipterocarpus lanceolata
log Vbc = –4,0621 + 2,449(log D)
Dipterocarpus sp. log Vbc = –3,808 + 2,416(log d) – 2,530(1/d) PT. Rizki Kacida Reana, Kab. Paser Dipterocarpus
lanceolata log Vbc = –3,703 + 2,391(log d) – 1,868(1/d)
Parashorea spp.
Vbc = ‒0,4123 + 0,0059 D + 0,0012 D2 Labanan, Kab. Berau, Kaltim
Dipterocarpus confertus
Vbc = 0,2758 ‒ 0,0286 D + 0,0014 D2 Muara Wahau, Kab. Kutim, Kaltim
Shorea macrophylla
log Vbc = ‒3,3545 + 2,2249 log D ‒ 3,9328(1/D)
Muara Wahau, Kab. Kutai Timur, Kaltim
58
Jenis Persamaan Regresi Terpilih Lokasi
Dipterocarpus glabrigemmatus
log Vbc = 0,64229 + 0,4443 log D Labanan, Kab. Berau, Kaltim
Dipterocarpus stellatus
Log Vbc = ‒1,995519 + 1,0198 log D – 1.3262 (1/D)
Labanan, Kab. Berau, Kaltim
Bangkirai
(Shorea aevifolia)
Vbc = 0,00008 D2,61996
Vbc = 0,00007 D2,28586 T0,52249
V7 = 0,00007 D2,65279
V7 = 0,00006 D2,40252 T0,39138
PT Hutanindo Lestari Raya Timber, Kalteng
Mersawa
(Anisopthera sp.)
Vbc = 0,00011 D2,51110
Vbc = 0,00009 D2,17697 T0,53113
V7 = 0,00009 D2.60524
V7 = 0,00008 D2,47890 T0,20084
Ulin
(Eusideroxylon zwageri)
Vbc = 0,00029 D2,19842
Vbc = 0,00022 D2,09417 T0,26747
Keruing
(Dipterocarpus sp.)
Vbc = 0,00014 D2,44480
Vbc = 0,00013 D2,22417 T0,35545
V7 = 0,00011 D2,52320
V7 = 0,00010 D2,38990 T0,21477
PT Telagamas, Kaltim
Medang
(Litsea spp.)
Vbc = 0,00022 D2,39477
Vbc = 0,00009 D2,08420 T0,69790
V7 = 0,00030 D2,37143
V7 = 0,00017 D2,18600 T0,41680
Shorea parvifolia Vbc = 0,00007979 D2,67646 PT. Intraca wood Manufacturing, Kab. Tarakan,
Kaltar
Shorea dasyphylla Vbc = 0,00005024 D2,80036
Shorea leprosula Vbc = 0,000082137 D2,67286
Keterangan: Vbc = volume tinggi bebas cabang (m3); V7 = Volume sampai diameter ujung 7 cm (m3); D = diameter setinggi dada (cm); dan T = tinggi sampai bebas cabang (m).
59 Tabel 3.7. Tabel Volume Lokal Beberapa Jenis Kayu Komersial
pada Beberapa Lokasi di Papua No. Jenis Pohon Lokasi Angka
Bentuk Model pendugaan volume
pohon (m3)
1. Merbau (Intsia sp.) Bonggo-Jayapura
0,69 Vbc = 0,003898 D 1,56222
2. Merbau (Intsia sp.) Bintuni-Manokwari
0,70 Vbc = 0,001471 D 1,89844
3. Merbau (Intsia sp.) Kuatisore-Nabire
0,70 Vbc = 0,00082 D 1,9872
4. Merbau (Intsia sp.) Sorong 0,71 Vbc = 0,00026 D 2,3764
5. Merbau (Intsia sp.) Wasior-Biak 0,70 Vbc = 0,00029D 2,4468
6. Merbau (I. palembanica) P.Salawati Sorong
0,71 Vbc = 0,00026D 2,3764
7. Matoa (Pometia sp.) Bintuni-Manokwari
0,65 Vbc = 0,002414 D 1,731491
8. Matoa (Pometia sp.) Bonggo-Jayapura
0,66 Vbc = 0,00055 D 1,936867
9. Matoa (Pometia sp.) Kuatisore-Nabire
0,64 Vbc = 0,00035 D 2,1104
10. Matoa (Pometia sp.) Wasior-Manokwari
0,65 Vbc = 0,00002 D 2,9941
11. Resak (Vatica Sp) Kuatisore-Nabire
0,71 Vbc = 0,00072 D1,9892
12. Ketapang (Terminalia sp.) Kaimana-Fakfak
0,70 Vbc = 0,00061 D 2,2076
13. Mersawa (Anisopthera sp.) Wasior-Manokwari
0,74 Vbc = 0,00025 D 2,6754
14. PT. Manokwari Mandiri Lestari
- - Vbc = 0,000427 D 2,15
(untuk semua jenis)
15. PT. Wapoga Mutiara Timber
- - Vbc = 0,000457 D 2,16
(untuk semua jenis)
Keterangan: Vbc = volume tinggi bebas cabang (m3); dan D = diameter setinggi dada (cm).
60
Hasil penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan perangkat
pengaturan hasil adalah penelitian pertumbuhan tegakan tinggal.
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan model struktur dan
dinamika tegakan tinggal serta model pendugaan riap tegakan di
hutan alam bekas tebangan sebagai dasar pengelolaan hutan alam
produksi yang lestari. Pendekatan yang digunakan adalah dengan
membuat dan mengukur secara berulang Petak Ukur Permanan
(PUP). Jumlah PUP minimal tiga buah dengan ukuran PUP
biasanya seluas satu hektar atau 100 m x 100 m, dipilih pada areal
hutan bekas tebangan biasanya tiga tahun setelah tebangan, yang
representatif dan aksesibilitasnya mudah.
Pengamatan pertumbuhan tegakan tinggal di hutan alam
produksi pada tebangan >3 tahun, menunjukkan kondisi yang
masih cukup baik, struktur tegakan berbentuk J terbalik, pohon
berdiameter >50 cm masih tersisa cukup, pohon inti > 25 pohon/ha,
dan permudaan masih cukup tinggi. Berdasarkan hasil pengukuran
berulang terhadap PUP yang telah dibuat menunjukkan riap
diameter berkisar antara 0,5–1,8 cm/tahun di hutan tanah kering
sedangkan di hutan tanah basah antar 0,39–0,43 cm/tahun
(Wahjono, 2007; Abdurachman, 2012; Abdurachman, 2014;
Abdullah dan Darwo, 2014) (Tabel 3.9). Hasil sementara ini
memberikan gambaran bahwa riap/pertumbuhan tegakan sangat
bervariasi tergantung pada site dan kinerja unit pengelola serta
keamanan dari hutan tersebut. Mengingat riap diameter sangat
beragam, sementara limit diameter tebang telah ditetapkan >40
cm, maka rotasi tebang seharusnya lebih dari 30 tahun, atau
seandainya limit diameter tetap 40 cm dan rotasi tetap 30 tahun,
maka limit diameter pohon inti harus dinaikan.
61
Gambar 3.22. Pengukuran pohon pada Petak Ukur Permanen (PUP)
Analisa DataModel Struktur Tegakan Awal
N = k e -(aD)
Model dinamika struktur tegakan(Ingrowth, upgrowth, mortality)
Model Proyeksi Pertumbuhan/dinamika tegakan
Strategi Pengaturan Hasil
Nj,t+1 = Nj,t + Ij + Uj - Mj
ΔD = f (D,N,t)
ΔV = f (G,D,N,t)
ΔG = f (D,N,t)
62
Ndit = k e-f(Di, N0di, t)
Vdit = Ndit x V → Vtotal = Σ Vdit
No IUPHHK/HPH Provinsi Persamaan1 PT Sumalindo Lestari Jaya II Kaltim N = 366,072 e -0,071D
2 PT Aya Yayang Indonesia Kalsel N = 457,965 e -0,064D
3 PT Diamond Raya Timber Riau N = 204,579 e -0,041D
4 PT Intracawood Manufacturing Kaltim N = 377,907 e-0.06540 D
5 PT Asri Nusa Prima Mandiri Riau N = 799,169 e-0.07114D
6 PT Anugerah Alam Barito Kalteng N = 352,915 e -0,06345D
7 PT Central Kalimantan Abadi Kalteng N = 387,196 e -0,05612D
8 PT Aya Yayang Indonesia Kalsel N = 462,345 e -0,06774D
Tabel 3.8. Struktur tegakan di hutan alam produksi bekastebangan
Tabel 3.9. Riap diameter dan riap volume tegakan di hutan alam
No. Lokasi Perlakuan Riap Diameter (cm/th) Riap Volume
(m3/ha/th)
K NK S K NK S
1.
PT Sumalindo Lestari Jaya II, Kaltim - 0,54 0,49 0,53 2,287 0,104 2,391
2.
PT Diamond Raya Timber, Riau - 0,40 0,33 0,38 2,563 0,246 2,808
3.
PT Intracawood Manufacturing, Kaltim - 0,62 0,54 0,60 3,584 0,557 4,141
4.
PT Aya Yayang Indonesia, Kalsel - 0,66 0,39 0,67 2,547 0,334 2,881
5.
KHDTK Labanan, Kaltim
Kontrol 0,53 0,29 - - - -
Pembebasan 0,84 0,36 - - - -
Penjarangan 0,57 0,33 - - - -
6. Kalimantan Barat Anisoptera spp 0,18-0,46 -
Dryobalanops spp. 0,35-0,70 -
Hopea spp. 0,07-0,46 -
Shorea spp. 0,53-0,66 - Keterangan: K = Komersial, NK = Non komersial, S = Seluruh jenis, Dbh = Diameter setinggi dada.
63
Dalam penentuan riap diameter tegakan di hutan alam, para
peneliti selalu membuat rata-rata semua kelas diameter.
Padahal hasil penelitian Abdullah dan Darwo (2014)
menunjukkan bahwa semakin besar kelas diameter, maka CAI
semakin menurun. Bentuk persamaan pendugaan riap tahun
berjalan (CAI) diameter di hutan alam Maluku adalah “CAI diameter = 2,54998 ‒ 0,41087 ln (Dbh)” dengan koefisien
determinasi (R2 = 97%). Kurva hubungan antara CAI dengan
Dbh di hutan alam, Provinsi Maluku disajikan pada Gambar
3.23.
Gambar 3.23. Kurva riap tahun berjalan (CAI) diameter tegakan
di hutan alam, Maluku
Produktivitas hutan dapat dianggap sebagai laju produksi
biomassa yang dihasilkan oleh satu luasan tegakan hutan dalam
periode waktu terentu. Dalam konteks hutan produksi, biomassa
tersebut yang direpresentasikan dalam bentuk volume batang
pohon. Produktivitas tersebut merupakan akumulasi dari
pertumbuhan pohon dan vegetasi lainnya di dalam hutan.
Produktivitas hutan sangat erat hubungannya dengan kelestarian.
Kelestarian sumberdaya hutan akan terjaga, jika hutan selalu
64 berada dalam tingkat kapasitas produktif maksimumnya (Fujimori,
2001). Oleh karena itu, apapun sistem silvikultur yang digunakan
dalam suatu kawasan hutan, maka kelestarian akan terjamin jika
tetap mampu menjaga level kapasitas produksi maksimum hutan
yang bersangkutan.
Parameter lainnya yang mempengaruhi produktivitas hutan
alam adalah kerapatan tegakan. Kerapatan tegakan yang diamati
dari PUP-PUP yang dibangun di setiap lokasi penelitian relatif
sedang sampai cukup rapat. Kondisi tegakan didominasi oleh
pohon-pohon berdiameter kecil (kursng dari 30 cm). Model struktur
tegakan awal yang disusun pada setiap lokasi penelitian cukup
memadai untuk menduga struktur tegakan tinggal. Laju mortality
lebih kecil dibandingkan laju ingrowth/upgrowth yang menunjukkan
bahwa kondisi tegakan pada rotasi berikutnya relatif masih aman
(Tabel 3.10). Untuk mendapatkan model pertumbuhan dan model
dinamika struktur tegakan yang representatif diperlukan data hasil
pengukuran yang meliputi rentang waktu yang cukup lama. Oleh
karena itu, penelitian (pengamatan dan pengukuran ulang) secara
kontinyu dari PUP yang telah dibuat dalam penelitian ini perlu
dilanjutkan, sehingga pola dan kecepatan pertumbuhan tegakan
secara matematis dapat diformulasikan untuk memproyeksikan
struktur tegakan pada waktu yang akan datang.
65 Tabel 3.10. Laju mortality, ingrowth dan upgrowth berdasarkan
kelas diameter untuk jenis-jenis pohon di hutan alam
Kelas Diameter (cm) Laju (%) Ingrowth Upgrowth Mortality
10 – 20 7,058 - 1,074 20 – 30 - 2,166 0,799 30 – 40 - 1,424 0,408 40 – 50 - 0,852 0,117 50 – 60 - 0,280 0,030 60 – 70 - 0,284 0,078 70 up - 0,148 0,000
3.4. Strategi Pengelolaan Hutan Alam Produksi ke Depan Kondisi hutan alam produksi di Indonesia termasuk dalam
ekosistem hutan tropika humida dengan ekosistem yang
rapuh sehingga hutan alam mengalami fragmerntasi. Sejak tahun
1970-an, hutan alam Indonesia telah dipungut/dimanfaatkan,
namun kondisi hutan sudah banyak mengalami kerusakan, akibat
eksploitasi yang berlebihan, alih fungsi, kebakaran, penjarahan dan
sebagainya. Kegiatan pengusahaan hutan alam akibat eksploitasi
yang berlebihan menyebabkan terjadinya penurunan kualitas hutan
yang berdampak jumlah kayu tersedia untuk panenan siklus
tebang kedua dan seterusnya jauh lebih rendah dari yang
diharapkan.
Kondisi hutan alam produksi memiliki ekosistem yang
beragam, baik dalam volume standing stock, komposisi, faktor
lingkungan dan sebagainya, sehingga memerlukan penanganan
yang berbeda pula. Sampai saat ini, sistem silvikultur yang
diterapkan dalam pengelolaan hutan alam menggunakan Tebang
Pilih Tanam Indonesia (TPTI) dengan menetapkan sistem
pemanenan yang seragam untuk areal hutan di seluruh wilayah
66 Indonesia, tanpa memperhatikan tipe dan kondisi hutannya.
Bedasarkan Permenhut P11/Permenhut-II/2009 yang menetapkan
batas siklus tebang dan limit diameter tebang pada hutan daratan
tanah kering pada sistem silvikultur TPTI, yaitu siklus tebang 30
tahun dengan limit diameter pohon yang ditebang 40 cm pada
Hutan Produksi Tetap (HP) dan/atau Hutan Produksi yang dapat
Dikonversi (HPK) dan limit diameter 50 cm pada Hutan Produksi
Terbatas. Sistem ini bisa mengakibatkan pemanenan berlebih di
banyak areal, sehingga hutan tidak dapat pulih dalam waktu 30
tahun untuk dapat menghasilkan kayu pada rotasi berikutnya.
Kebijakan ini sebetulnya mengandung resiko hutan alam produksi
pada rotasi berikutnya akan semakin menurun lagi. Untuk itu, perlu
memperhatikan, yaitu:
a. Pemanfatan/penebangan tidak melebihi riap tegakan.
b. Tidak semua pohon pada batas limit diameter ditebang semua,
tetapi jumlah pohon yang ditebang dibatasi yaitu batas
keterbukaan tajuk aman antara 30‒40% (setara dengan jumlah
pohon yang ditebang 15 pohon per hektar dengan menerapkan
Reduce Impact Logging (RIL). Diharapkan tegakan persediaan
pada siklus tebang berikutnya tidak turun.
Hutan primer saat ini telah hampir habis dan pada
pengelolaan selanjutnya sudah harus beralih ke hutan bekas
tebangan. Karena itu, upaya peningkatan produktivitas dengan
input energi (biaya) serendah-rendahnya dan tanpa merugikan
lingkungan (ekosistem). Hutan alam telah membentuk
keanekaragaman jenis yang tinggi sehingga akan membentuk
struktur tertentu baik secara vertikal (stratifikasi tajuk dan/atau
67 perakaran) maupun horizontal. Mekanisme internal seperti inilah
yang dapat membentuk stabilitas ekosistem.
Sistem silvikultur TPTI yang digunakan dengan satu aturan
untuk seluruh hutan alam di Indonesia, walaupun sistem ini adalah
sistem silvikultur yang relatif paling aman untuk diterapkan
dibanding yang lain dalam hal jasa lingkungannya. Hal ini,
menunjukkan bahwa tidak adanya batasan maksimum jumlah
volume kayu atau jumlah batang yang dapat ditebang per satuan
areal. Penebangan pohon yang terlalu banyak di setiap unit areal
dapat mengakibatkan terciptanya kondisi yang mengganggu
pertumbuhan jenis-jenis kayu komersial.
Sesuai dengan prinsip pengelolaan hutan alam produksi yang
dituntut untuk memberikan produk yang selalu meningkat dan
kelestarian yang tetap terjamin. Untuk memenuhi tuntutan tersebut
tidak mudah, tetapi pada pihak yang terlibat harus berkomitmen
untuk mencari peluang sistem silvikultur alternatif agar hutan alam
produksi tetap lestari. Upaya yang perlu dilakukan dalam
pengelolaan hutan alam produksi ke depan antara lain:
a. Sistem silvikultur jangan diterapkan secara seragam, tetapi perlu
menerapkan sistem silvikultur dan aturan pengelolaan lainnya
yang sesuai dengan tipe dan kondisi tipologi hutan alam
produksi. Untuk itu, Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan
Produksi (Kepala KPHP) harus mampu menerapkan sistem
silvikultur yang tepat.
b. Pemanfaatan hutan alam produksi tidak hanya mengandalkan
produk kayu, namun harus menjalankan kemampuan optimal
suatu ekosistem hutan alam. Oleh karena itu, dalam
pengelolaan hutan alam produksi penentuan AAC (Annual
68
available Cut) atau Jatah Produksi Tahunan (JPT) harus
berbagai jenis produk hasil hutan. Karena itu, diperlukan
reorientasi pemikiran baru untuk mendapatkan produktivitas
hutan yang optimal. Pola konsumsi produk hasil hutan dalam
bentuk apapun harus didasarkan pada kemampuan ekosistem
hutannya. Hal ini mendukung pendapat (Schliemann, et al.,
2011), bahwa penerapan sistem silviklutur di hutan alam tidak
hanya untuk menghasilkan kayu saja tetapi bagaimana
pengelolaan hutan didesain mirip dengan proses alami yang
terjadi di hutan alam. Hal tersebut dilakukan dengan harapan
sistem silvikultur yang diterapkan akan mengembalikan kondisi
hutan sealami mungkin dan pada sisi lain dapat mengoptimalkan
hasil panen.
c. Kondisi hutan primer semakin menipis, maka pengelolaan hutan
alam beralih ke hutan bekas tebangan. Para pemegang
IUPHHK-HA tidak boleh ada lagi tebangan cuci mangkok
(tebang ulang sebelum waktunya) dan pemerintah harus
melaksanakan penegakan hukum yang tegas terhadap para
pelanggar. Hutan bekas tebangan perlu dipelihara untuk terus
meningkatkan produksinya atau setidaknya kembali ke keadaan
semula. Oleh sebab itu, pembinaan tegakan tinggal hutan alam
bekas tebangan menjadi aspek yang sangat penting. Kegiatan
pembinaan hutan alam bekas tebangan pada sistem silvikultur
TPTI yang berupa perapihan, pembebasan pertama, pem-
bebasan kedua dan ketiga tidak diperlukan lagi. Namun kegiatan
pengayaan dengan menanam pada areal kosong (bekas jalan
sarad, kiri-kanan jalan utama, bekas TPn dan hutan
rawang/rusak). Penerapan penjarangan tajuk diperlukan untuk
69
mempercepat pertumbuhan tegakan tinggal. Hal ini terjadi
karena tindakan penjarangan memberikan ruang tumbuh optimal
bagi pohon binaan yang terdiri atas pohon inti dan permudaan
tingkat di bawahnya. Pohon-pohon yang dijarangi hanya
terbatas pada pohon-pohon tidak sehat, sementara pohon
binaan tetap berfungsi sebagai pembentuk struktur tegakan
sehingga terus memberikan jasa lingkungan dan/atau atribut
fungsionalnya.
d. Dalam jangka panjang, harus mulai dipikirkan untuk mengelola
hutan berdasarkan konsep kesesuaian lahan. Pengelolaan
hutan alam produksi harus berbasis ekosistem. Pengelolaan
hutan produksi didasarkan pada unit-unit ekologis yang
merupakan resultante dari seluruh faktor lingkungan (biofisik dan
abiotik) sehingga terbentuk kesatuan pengelolaan yang
berkemampuan sama baiknya antara produktivitas dan jasa
lingkungan.
e. Penerapan sistem silvikultur yang sekiranya mampu menjanjikan
peningkatan produktivitas hutan, hendaknya terlebih dahulu di-
kaji secara mendalam agar kerusakan hutan alam dapat lebih
eliminir.
f. Keberhasilan pengelolaan hutan alam produksi sangat
tergantung sumber daya manusianya. Karena itu, penyiapannya
perlu dilakukan dengan sebaik-baiknya.
Dari hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan, maka startegi
pengelolaan hutan alam produksi ke depan yang perlu dilakukan
yaitu:
a. Sistim silvikultur TPTI paling sesuai untuk menjamin kelestarian
manfaat jangka panjang melalui rotasi tebang serta kesuburan
70
tanah melalui siklus hara. Sistem silvikultur TPTI sebaiknya
diterapkan pada hutan alam primer atau hutan alam bekas
tebangan yang aksesibilitasnya sulit dijangkau masyarakat (jauh
dari pemukiman, aman dari penebangan liar dan perambahan
lahan). Jika di areal tersebut terdapat hutan rawang dan lahan
kosong, maka pemegang ijin harus merehabilitasi dengan
menanam jenis-jenis andalan setempat yang cocok dengan
kondisi lahannya.
b. Sistim silvikultur TR dapat diterapkan sebagai sistem silvikultur
alternatif yang dilakukan di areal hutan primer dan LOA baik
(≥40 m3/ha) dengan permudaan alami. Pada LOA sedang (20-
40 m3/ha) dapat diterapkan TR dengan permudaan alami dan
permudaan buatan. Hasil penelitian TR pada level teknik
silvikultur bisa diimplementasikan di lapangan, namun efektivitas
dan efisiensi dalam skala usaha masih perlu kajian lebih lanjut
untuk menjawab aspek pengaturan hasil dan kelayakan usaha,
yaitu seberapa banyak pohon yang dapat ditebang pada akhir
siklus tebang, dimana arealnya, kapan waktu panen kayunya
untuk mencapai limit diameter pohon yang bisa ditebang dan
berapa keuntungan yang dapat diperoleh.
c. Sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur dengan menerapkan
Teknik Silvikultur Intensif (TPTJ-Silin) hanya diterapkan di areal:
● Hutan Produksi Tetap (HP) pada LOA dengan potensi
tegakan yang rendah dan hutan rawang dengan potensi ≤ 20
m3/ha. Tidak boleh diterapkan pada LOA baik.
● Aksesibilitasnya mudah dijangkau masyarakat (lokasi
berdekatan dengan lahan masyarakat) agar ada pengakuan
71
masyarakat bahwa hutan dikelola dengan baik, intensif dan
mudah dilihat sehingga tidak dijadikan ajang perambahan.
● Kemiringan lahan kurang dari 25%, agar tidak menimbulkan
dampak erosi melebehi ambang batas yang dijinkan.
● Jenis-jenis pohon dari famili Dipterocarpaceae yang
direkomendasikan untuk ditanam di TPTJ-Silin adalah Shorea
leprosula, S. parvifolia, S. johorensis, S. ovalis, S.
platyclados, S. selanica, S. macrophylla, S. javanica,
Dryobalanops sp., S. palembanica, S. mecistopteryx, S.
stenoptera, S. pinanga, Hopea mangarawan, H. odorata dan
Vatica resak (Soekotjo at al., 2005; Darwo, 2014). Untuk
menetapkan daur tebang jenis-jenis tersebut sedang diteliti
lebih lanjut.
d. Sistem silvikultur THPB yang diterapkan di hutan alam produksi
dilakukan di kondisi hutan rawang (< 20 m3/ha), semak belukar
dan lahan kosong dengan menggunakan jenis-jenis andalan
setempat.
Strategi penetapan sistem silvikulutur yang diterapkan selalu
mencakup tiga fungsi atau perlakuan dasar, yaitu (a) permudaan
(regeneration), (b) pemeliharaan (tending) dan (c) pemanenan
(harvesting). Aplikasi aktual dari semua jenis perlakuan, urutan,
tata-waktu kegiatan serta intensitasnya sering berbeda dari satu
tegakan hutan ke tegakan lainnya, tergantung dari tujuan pemilik
dan kondisi ekologisnya. Kesinambungan yang tak terputus dari
ketiga siklus fungsi dasar tersebut menjadi kriteria utama
keefektifan penarapan sistem silvikultur dalam pengelolaan hutan
alam produksi lestari.
72
Melihat kondisi hutan alam produksi telah terfragmentasi
menjadi berbagai tutupan lahan, maka pada areal IUPHHK
membutuhkan adanya fleksibilitas pengelolaan yang dapat
menyesuaikan dengan kondisi hutan serta berbagai tuntutan
terhadap hutan tersebut. Untuk itu, perlu menerapan silvikultur
alternatif yang mampu mengelola. pada berbagai kondisi areal
tersebut. Sistem silvikultur alternatif yang dimaksud adalah
Multisistem silvikultur (MSS).
Multisistem Silvikultur adalah sistem pengelolaan hutan
produksi lestari yang terdiri dari dua atau lebih sistim silvikultur
yang diterapkan pada suatu IUPHHK dan merupakan multiusaha
dengan tujuan: mempertahankan dan meningkatkan produksi kayu
dan hasil hutan lainnya serta dapat mempertahankan kepastian
kawasan hutan produksi (Indrawan, 2008).
Multisistem silvikultur memanfaatkan berbagai habitat pada
suatu unit IUPHHK baik hutan alam primer dan LOA TPTI yang
masih baik potensinya maupun hutan alam yang sudah
terdegradasi menjadi hutan sekunder yang tidak produktif, semak
belukar dan alang-alang. Melalui strategi ini, diharapkan potensi
hutan alam produksi di areal kerja IUPHHK dapat dipertahankan
dan ditingkatkan sehingga mampu menghasilkan kayu dan hasil
hutan lainnya secara lestari tanpa mengabaikan kelestarian fungsi
ekologi dan fungsi sosial (Indrawan, 2013).
Legalitas penerapan Multisistem Silvikultur di kawasan hutan
mengacu pada Peraturan Pemerintah No. 3/2008 Pasal 38 ayat 1
yang berbunyi pada hutan produksi, pemanfaatan hasil hutan kayu
pada HTI dalam hutan tanaman sebagaimana dimaksud pada
Pasal 37 huruf a, dapat dilakukan dengan satu atau lebih sistem
73 silvikultur sesuai dengan karakteristik sumber daya hutan dengan
lingkungannya.
Didukung pula oleh Permenhut Nomor P30/Menhut-II/2005
tentang Standar Sistem Silvikultur Pada Hutan Alam Tanah Kering
dan/atau Hutan Alam Tanah Basah/Rawa, pasal 6 ayat 2 yang
berbunyi mengingat beragamnya kondisi hutan alam produksi pada
KPHP atau areal IUPHHK, maka dalam satu KPHP atau IUPHHK
dapat terdiri lebih dari satu sistem silvikultur, yaitu sistem silvikultur
yang sesuai dengan karakteristik sumberdaya hutan dengan
lingkungannya. (Permenhut Nomor P30/Menhut-II/2005 dinyatakan
tidak berlaku lagi oleh Peraturan Menhut No. P11/Menhut-II/2009).
Peraturan Menhut No. P11/Menhut-II/2009 juga memuat
dalam satu KPHP atau IUPHHK dapat terdiri lebih dari satu sistem
silvikultur, yaitu sistem silvikultur yang sesuai dengan karakteristik
sumberdaya hutan dengan lingkungannya (Menimbang pada PP
No. 6/2007 Pasal 34 ayat 2 dan Pasal 38 ayat 1 Jo. PP No.
3/2008). Kepmenhut No. P40 tahun 2007 bahwa sistem silvikultur
disesuaikan dengan kondisi hutan yang ada di dalam areal kerja.
Sistem silvikultur yang digunakan pada suatu areal IUPHHK perlu
disesuaikan dengan kondisi tapak habitat pada kawasan hutan di
areal tersebut baik pada IUPHHK Hutan Alam maupun IUPHHK
Hutan Tanaman. Hal ini sejalan dengan Pasal 42 ayat 1 pada UU
41 tahun tahun 1999 tentang Kehutanan yang menyatakan bahwa
Rehabilitasi Hutan dan Lahan berdasarkan kondisi biofisik.
Pemilihan jenis pohon harus sesuai dengan keadaan habitat dan
ekologi jenis pohon terpilih.
Hal tersebut mendasari perlunya penyesuaian sistem
silvikultur yang berbasis pada kondisi kawasan hutan dan
74 karakteristik lingkungan setempat. Sistem tersebut harus
berpedoman pada prinsip pengelolaan hutan lestari, yaitu
ekonomis menguntungkan ekologis dapat dipertanggungjawabkan,
secara sosial kondusif dan tetap realistik mengarah pada
kelestarian hutan, teknik pelaksanaan di lapangan sederhana,
memiliki fungsi perlindungan terhadap lingkungan, dan
memungkinkan adanya pengawasan di lapangan yang bisa
dilaksanakan.
Sistem silvikultur yang disarankan dapat digunakan pada
penerapan Multisistem Silvikultur pada areal hutan produksi di
areal IUPHHK terdiri dari TPTI, TPTJ, TPTJ-Silin, THPB dan
THPB pola Agroforestry. Oleh karena itu, startegi penerapan
sistem silvikultur di hutan alam produksi sebagai berikut:
a. Kawasan yang aman dari perambahan dan illgal logging
diterapkan TPTI dan/atau TR. Jika ada lahan yang kosong,
maka pemegang ijin berkewajiban untuk merehabilitasinya
dengan menanam jenis-jenis pohon yang mampu tumbuh
dengan baik di kondisi lahan tersebut.
b. Kawasan hutan alam bekas tebangan dengan potensi tegakan
yang rendah, rawan terhadap perambahan dan illegal logging
diterapkan TPTJ-Silin.
c. Kawasan hutan alam bekas tebangan yang rusak (semak-
belukar dan alang-alang) yang rawan terhadap perambahan
diterapkan THPB. Dalam penerapan THPB dapat juga
menerapkan sistem agroforestry sebagai salah satu solusi
penyelesaian konflik lahan dengan masyarakat dan sekaligus
meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan..
75 Strategi penerapan sistem silvikultur di kawasan hutan alam
produksi disajikan pada Gambar 3.24.
Gambar 3.24. Strategi penerapan sistem silvikultur di hutan alam
produksi 3.5. Kegiatan Penelitian Yang Diperlukan Untuk Yang Akan
Datang Sampai saat ini teknologi yang tersedia untuk mengatasi
masalah-masalah teknis tersebut masih belum tepat dan praktis.
Teknologi yang sudah ada masih perlu disempurnakan agar lebih
baik lagi dan luwes untuk diterapkan. Tanpa dukungan teknologi
dari hasil penelitian/kajian, maka niscaya harapan pengelolaan
hutan alam lestari sulit untuk tercapai. Permasalahan teknologi
yang dimaksud antara lain:
1. Kondisi hutan alam produksi yang rusak dan tingkat
produktivitasnya yang rendah. Ada kecenderungan penggunaan
sistem silvikultur yang tidak tepat. Sementara itu, sistem
silvikultur yang telah tersedia masih belum sempurna, terindikasi
76
kurang efektif dan efisien sehingga penerapannya tidak optimal
untuk meningkatkan kualitas hutan alam produksi. Untuk itu,
perlu dilakukan penelitian/pengkajian terhadap penerapan
sistem silvikultur yang sesuai dengan kondisi hutan. Pada lahan
tertentu dapat diterapkan teknik silvikultur intensif. Dengan
demikian, pengelolaan hutan alam produksi perlu menerapkan
lebih dari satu sistem silvikultur agar produktivitas hutan alam
meningkat.
2. Hutan alam produksi yang telah rusak perlu direhabilitasi,
sementara itu teknologi dalam rangka rehabilitasi hutan alam
yang telah rusak saat ini belum lengkap tersedia, sehingga
untuk mengatasi hal ini, maka perlu diupayakan pencegahan
kerusakan hutan alam dan menyediakan teknologi rehabilitasi
hutan alam yang tepat, murah dan praktis sehingga hutan alam
dapat dipulihkan lagi sesuai dengan fungsi semula.
3. Jenis-jenis pohon di hutan alam sangat banyak dengan nilai
komersial yang cukup tinggi. Sampai saat ini baru
diperoleh/diketahui beberapa jenis unggul yang telah dikuasai
persyaratan tumbuh dan teknik silvikulturnya. Untuk itu, perlu
dilakukan penelitian yang lebih intensif untuk mendapatkan
jenis-jenis lainnya yang prospektif untuk dikembangkan pada
berbagai kondisi areal hutan produksi agar produktivitas hutan
alam dan nilai jual kayunya meningkat. Selain itu, dalam rangka
meningkatkan persen tumbuh hasil penanaman/pengkayaan,
maka perlu diujicobakan teknik “dormansi” bibit. Teknik
“dormansi” bibit adalah teknik penanaman dengan cara
memotong batang utama dan cabang sampai tinggi tertentu
untuk mengurangi penguapan yang berlebihan akibat kondisi
77
bibit yang rusak setelah sampai di tempat penanaman (seperti
tanah di polybag sudah banyak yang hilang).
4. Potensi dan pertumbuhan tegakan hutan alam harus meningkat
atau paling tidak sama antar rotasi tebang berikutnya, salah satu
upaya yang belum dilakukan dengan baik adalah pembinaan
tegakan tinggal pasca tebangan. Teknologi pembinaan tegakan
tinggal yang ada belum mampu meningkatkan produktivitas
tegakan bahkan cenderung kurang efektif dan efisien. Untuk itu,
perlu dilakukan penelitian dan kajian terhadap teknik silvikultur
intensif khususnya teknik pengkayaan yang intensif, sehingga
pertumbuhan/riap tegakan akan meningkat untuk rotasi tebang
berikutnya.
5. Sistem pengaturan hasil yang berlaku saat ini menggunakan
rumus 1/30 dari standing stock dengan asumsi pertumbuhan
hutan alam selalu sama, sementara itu kondisi hutan saat ini
sudah sangat berubah dan berbeda dengan kondisi awalnya
dengan riap tegakan yang berbeda untuk setiap tapak (site) dan
kondisi hutannya, sehingga ada kecenderungan pemanfaatan
hutan alam kurang rasional dan optimal. Untuk itu, perlu
dilakukan penelitian/kajian untuk mendapatkan informasi yang
akurat mengenai dinamika pertumbuhan tegakan di hutan alam
produksi yang dapat dijadikan sebagai dasar dalam menetapkan
preskripsi kunci pengaturan hasil dan mendapatkan metode
pengaturan hasil yang paling tepat sesuai dengan kemampuan
pertumbuhan tegakan di tiap site dan unit manajemen,
sehingga besarnya kayu yang dipanen (etat) lebih optimal dan
tidak melebihi besarnya riap tegakan. Selain itu, perlu dilakukan
penelitian perangkat perencanaan hutan yang meliputi:
78
penyusunan tabel volume, penentuan kriteria dan indikator
dalam penerapan sistem silvikultur dengan memperhatikan
karakteristik kondisi hutan, lahan dan sosial.
6. Adanya dampak negatif penerapan sistem silvikultur terhadap
lingkungan hutan alam produksi. Hal ini disebabkan karena
adanya penurunan biodiversitas, penurunan keanekaragaman
genetik, penurunan kesuburan tanah, peningkatan sedimentasi,
dan kesehatan hutan yang semakin menurun. Untuk
mengetahui sejauhmana dampak yang terjadi, maka perlu
melakukan penelitian/pengkajian biodiversitas, keragaman
genetik, sedimentasi, kesuburan tanah, dan tingkat serangan
hama dan penyakit akibat penerapan sistem silvikultur di hutan
alam produksi. Oleh karena itu diperlukan dukungan IPTEK
agar dampak negatif yang terjadi bisa dieliminir.
7. Kurangnya informasi analisis finansial dan penyelesaian sosial
dalam pengelolaan hutan alam produksi. Hal ini akibat dari: (a)
belum adanya informasi teknik penangan konflik lahan di
kawasan hutan alam produksi, (b) kurangnya informasi hasil
analisis finansial dalam penerapan multi sistem silvikultur di
berbagai kondisi hutan dan tapaknya, dan (c) kurangnya
informasi model penanganan sosial di kawasan hutan alam
produksi.
79
IV. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 1. Dalam melakukan inventarisasi tegakan pada areal hutan yang
sangat luas dan beragam kondisi kerapatannya, maka metode
penarikan contoh yang digunakan harus efektif dan efisien serta
memberikan hasil dugaan potensi yang akurat. Salah satu cara
yang dapat digunakan adalah menggunakan bantuan citra satelit
dalam untuk melakukan stratifikasi sehingga intensitas sampling
yang digunakan akan lebih kecil. Dengan stratifikasi citra satelit
intensitas sampling yang dapat digunakan adalah sekitar 4%
sedangkan apabila tidak digunakan startifikasi intensitas
samplingnya sekitar 10-15%. Berdasarkan data pengambilan
contoh di lapangan dan nilai pixel dari data digital citra satelit
dapat disusun persamaan alometri berbentuk persamaan regresi
sederhana untuk menduga potensi dan sebaran tegakan di aral
hutan alam produksi dengan lebih cepat dan cukup akurat.
2. Sebagian besar IUPHHK tidak melaksanakan tahapan sistem
silvikultur TPTI sesuai dengan pedoman. Dari tahapan TPTI
yang ditetapkan pada umumnya tahap 1-4 dikerjakan dengan
baik, tahap berikutnya kurang/tidak dikerjakan sesuai pedoman
dengan berbagai alasan teknis dan ekonomis. Namun
sebenarnya kondisi tegakan setelah tebangan umumnya masih
potensial sebagai standing stock rotasi berikutnya (tegakan sisa,
pohon inti dan permudaan). Penyederhanaan tahapan TPTI
menjadi 8 tahapan yaitu PAK, PWH, ITSP, Penebangan, ITT
(pohon inti dan pohon sisa), pengkayaan (t+2), pembinaan I
(t+5) dan pembinaan II (t+15) bisa menghemat biaya
80
operasional. Sebagai kunci pokok dalam tahapan tersebut
adalah perlindungan dan pengamanan tiap tahun yang harus
dilaksanakan. Pemanfaatan kayu dari hutan alam tidak boleh
melebihi riap tegakannya dan sebaiknya jumlah pohon yang
ditebang tidak melebihi 15 pohon per hektar.
3. Sistem silvikultur TPTJ-Silin menunjukkan prospek yang baik
untuk diterapkan secara operasional dalam rangka pengelolaan
hutan alam produksi di LOA yang kurang baik (potensi tegakan
kurang 20 m3/ha), lokasi berdekatan dengan masyarakat agar
ada pengakuan dari masyarakat bahwa hutan alam dikelola
dengan baik sehingga tidak menjadi ajang perambahan lahan
atau penebangan liar. Pemilihan jenis tanaman yang unggul
dan pemeliharaan yang intensif menjadi kunci keberhasilannya,
selain perlindungan dan pengamanan tegakan terhadap
gaangguan.
4. Teknik pengkayaan yang intensif di areal bekas jalan sarad
dengan menggunakan jenis S. leprosula dan S. parvifolia
mampu tumbuh dengan baik. Tahapan selanjutnya yang perlu
diperhatikan adalah penyiapan lubang tanam dengan pemberian
top soil dan pupuk organik, serta pemeliharan secara intensif
akan menghasilkan tanaman pengkayaan yang prospektif
sebagai andalan pohon yang produktif pada rotasi berikutnya.
Hasil penelitian awal menunjukkan bahwa persen jadi tanaman
dan pertumbuhannya lebih baik dibandingkan dengan
pengkayaan yang asal-asalan.
5. Pembinaan tegakan merupakan kegiatan dalam suatu
pengelolaan hutan produksi yang paling utama, selain untuk
meningkatkan riap atau produktivitas tegakan juga bertujuan
81
untuk meningkatkan kualitas kayu/pohon yang akan diperoleh
pada akhir rotasi. Namun demikian, dalam pengelolaan hutan
alam sangat berlaku hukum ekonomi sebagai akibat kendala
ekologis, yaitu pembatasan produktivitas harus diimbangi
dengan efisiensi penggunaan anggaran. Oleh karena itu, agar
lebih efektif dan efisien dalam melakukan tindakan pembinaan
tegakan tinggal, maka perlu dibatasi jumlah individu pohon yang
dibebaskan. Pohon inti yang berdiameter 20-39 cm sebagai
pohon penyusun tegakan dimasa depan perlu mendapatkan
prioritas untuk dibina, prioritas berikutnya adalah permudaan
tingkat tiang berdiamater 10–19 cm.
6. Keakuratan hasil kegiatan inventarisasi sangat didukung oleh
ketersediaan perangkat pendugaan volume pohon dari setiap
jenis pohon yang ada. Melalui penyusunan model pendugaan
volume pohon dan sekaligus dihasilkan tabel volume pohon per
jenis secara alometri berdasarkan persamaan regresi antara
peubah volume dengan diameter dan/atau tinggi pohon terbukti
menghasilkan dugaan volume yang cukup teliti dan sederhana
sehingga dapat digunakan dalam praktek di lapangan. Namun
mengingat volume pohon dipengaruhi jenis dan tempat tumbuh,
maka perlu disusun model pendugaan volume untuk setiap jenis
dan lokasi unit pengelolaan hutan produksi. 7. Hasil pengamatan pertumbuhan tegakan tinggal di hutan alam
produksi pada tebangan lebih dari 3 tahun, menunjukkan kondisi
yang masih cukup baik, srtruktur tegakan berbentuk J terbalik,
pohon berdiameter lebih dari 40 cm masih tersisa cukup, pohon
inti lebih dari 25 pohon/ha, dan permudaan masih cukup tinggi
dan riap diameter berkisar antara 0,5–1,8 cm/tahun di hutan
82
tanah kering, sedangkan di hutan tanah basah antar 0,39–0,43
cm/tahun. Hasil sementara ini memberikan gambaran bahwa
riap/pertumbuhan tegakan sangat bervariasi tergantung pada
site dan kinerja unit pengelola serta keamanan dari hutan
tersebut.
8. Hasil uji coba penanaman pada hutan alam produksi yang telah
rusak, menunjukkan bahwa pemilihan jenis yang tepat
merupakan kunci utama keberhasilan rehabilitasi, selain
perlakuan silvikultur seperti penyiapan lahan, pemupukan dan
pemeliharaan, serta waktu pelaksanaan penanaman. Pada
lahan yang terbuka (tanah semak-belukar, dan bekas TPn) telah
ditemukan indikator jenis yang mampu tumbuh dengan baik
pada kondisi cahaya penuh yaitu: Dryobalanops aromatica,
Hopea mangarawan, Hopea odorata dan Shorea belangeran,
sungkai (Peronema canescens), nyatoh (Palaquium spp.),
binuang bini (Octomeles sumatrana), nyawai (Ficus veriegata),
linggua (Pterocarpus indicus) dan bintangur (Calophyllum
soulattri). Jenis-jenis tersebut cocok juga jika ditanam di kiri-
kanan jalan utama IUPHHK-HA. 9. Perlunya penyesuaian sistem silvikultur yang berbasis pada
kondisi kawasan hutan dan karakteristik lingkungan setempat.
Sistem tersebut harus berpedoman pada prinsip pengelolaan
hutan lestari, yaitu menguntungkan secara ekonomis, dapat
dipertanggungjawabkan secara ekologis, sosial dan tetap
realistik mengarah pada kelestarian hutan, teknik pelaksanaan
di lapangan sederhana, memiliki fungsi perlindungan terhadap
lingkungan, dan memungkinkan adanya pengawasan di
lapangan yang bisa dilaksanakan. Sistem silvikultur yang
83
disarankan dapat digunakan pada penerapan Multisistem
Silvikultur pada areal hutan produksi di areal IUPHHK terdiri dari
TPTI, TPTJ, TPTJ-Silin, THPB dan THPB pola Agroforestry. Oleh karena itu, startegi penerapan sistem silvikultur di hutan
alam produksi sebagai berikut: a. Kawasan yang aman dari perambahan dan illgal logging
diterapkan TPTI dan/atau TR. Jika ada lahan yang kosong,
maka pemegang ijin berkewajiban untuk merehabilitasinya
dengan menanam jenis-jenis pohon yang mampu tumbuh
dengan baik di kondisi lahan tersebut.
b. Kawasan hutan alam bekas tebangan dengan potensi
tegakan yang rendah, rawan terhadap perambahan dan
illegal logging diterapkan TPTJ-Silin.
c. Kawasan hutan alam bekas tebangan yang rusak (semak-
belukar dan alang-alang) yang rawan terhadap perambahan
diterapkan THPB dan dapat menerapkan sistem agroforestry.
84
DAFTAR PUSTAKA
Abdurachman. 2012. Riap diameter hutan bekas tebangan setelah 20 tahun perlakuan perbaikan tegakan tinggal di Labanan Berau, Kalimantan Timur. Jurnal Penelitian Dipterokarpa, Vol. 6 (2): 121-129.
___________. 2014. Sintesa Hasil Penelitian: Penelitian Pembinaan/Pengayaan Intensif di Hutan Alam Pasca Tebangan. Balai Besar Penelitian Dipterokarpa. Samarinda. Tidak diterbitkan.
___________. 2014. Sintesa Hasil Penelitian: Penelitian Pertumbuhan dan Hasil di Hutan Alam Produksi. Balai Besar Penelitian Dipterokarpa. Samarinda. Tidak diterbitkan.
Amir, A. A. 2012. Canopy gaps and the natural regeneration of Matang mangroves. Forest Ecology and Management 269:60-67
Brokaw, N.V. 1985. Treefals, Regrowth, and Community Structure in Troomi Forests. In: Pickett S.T.A. and P.S. Whde (editors): The Ecology of Natural Disturbance and Patch Dynamics. Academic Press Inc. Odarbdo, F~. p 53-69
Aswandi, C.R. Kholibrina, C. Ali, dan M.H. Saputra. 2014. Sintesa Hasil Penelitian: Teknik Rehabilitasi Hutan Bekas Tebangan pada Hutan Alam Lahan Kering di Sumatera Utara. Balai Penelitian Kehutanan Aek Nauli. Aek Nauli. Tidak diterbitkan.
Basri, A. 1980. Pengaruh penebangan dan penaradan mekanis terhadap kerusakan tegakan sisa pada keadaan lereng yang berbeda di PT. Georgia Pasific Indonesia. [Skripsi]. Universitas Mulawarman, Samarinda. Tidak diterbitkan.
[BUK] Bina Usaha Kehutanan. 2013. Draft Road Map Implementasi Sistem Tebang Pilih Tanam Jalur Teknik Silvikultur Intensif (TPTJ–Silin) Indonesia 2020. Direktorat Jenderal Bina Usaha Kehutanan. Kementerian Kehutanan. Jakarta.
Darwo, R. Effendi dan M. Soleh. 2014. Laporan Hasil Penelitian: Uji Jenis-jenis Komersial yang Cocok untuk Rehabilitasi Hutan Alam Produksi yang Telah Rusak. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peningkatan Produktivitas Hutan. Bogor. Tidak diterbitkan.
[Dephut] Departemen Kehutanan. 2002. Data Strategis Kehutanan. Departemen Kehutanan. Jakarta.
85 Elias. 2002. Reduced Impact Logging Buku 1. IPB Press.,Bogor Fujimori , T. 2001. Ecological and silvicultural strategies for
sustainable forest management. Elsevier Science B.V. Amsterdam. 398 pp.
Halle, F., R.A.A. Oldeman and P.B. Tomlinson. 1978. Tropical trees and forest. Springer-Verlag. Heidelberg.
Hardjana, A.K. 2014. Sintesa Hasil Penelitian: Penelitian Model Pendugaan Volume Pohon di Hutan Alam Produksi. Balai Besar Penelitian Dipterokarpa. Samarinda. Tidak diterbitkan.
Hastanti, B.W. 2014. Sintesa Hasil Penelitian: Kajian Efektivitas Sistem-sistem Silvikultur (TPTI/TPTJ/TR) Terhadap Kelestarian Produksi Hutan Alam Lahan Kering. Balai Penelitian Kehutanan Manokwari. Manokwari. Tidak diterbitkan.
Hendromono dan Komsatun. 2008. Nyawai (Ficus variegata Bl.) jenis yang berprospek baik untuk dikembangkan di hutan tanaman. Mitra Hutan Tanaman. Vol. 3 (3): 122-130.
Heriansyah, I. 2012. Laporan Hasil Penelitian: Strategi Silvikultur dalam Rehabilitasi Areal Bekas Tabengan yang Rusak. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peningkatan Produktivitas Hutan. Bogor. Tidak Diterbitkan.
Hu, L., B. Yan, X. Wu, J. Li. 2010. Calculation method for sunshine duration in canopy gaps and its application in analyzing gap light regimes. Forest Ecology and Management 259:350-359
Karmilasanti. 2014. Sintesa Hasil Penelitian: Kajian Efektivitas Sistem-sistem Silvikultur TPTJ/TPTI/TR Peningkatan Produktivitas Hutan Ditinjau dari Aspek Produksi/Ekonomi, Ekologi dan Sosial (Studi Kasus: Kajian Efektivitas Sistem Silvikultur TPTJ). Balai Besar Penelitian Dipterokarpa. Samarinda. Tidak diterbitkan.
Kemenhut [Kementerian Kehutanan]. 2012. Statistik Kehutanan Indonesia tahun 2011. Kementerian Kehutanan. Jakarta.
Irawan, A. Kinho, J. Hidayah, N.H. Kafiar, J. Patandi, S.N. Diwi, M.S.R. Mamonto. 2011. Laporan Hasil Penelitian: Pembangunan Demplot Sumber Benih Unggulan Lokal. Balai Penelitian Kehutanan Manado. Tidak dipublikasikan.
Kinho, J. dan Mahfudz. 2011. Prospek Pengembangan Cempaka di Sulawesi Utara. Balai Penelitian Kehutanan Manado.
Kuswandi, R. 2014. Sintesa Hasil Penelitian: Kajian Model Pendugaan Volume Pohon di Hutan Alam Lahan Kering di
86
Papua. Balai Penelitian Kehutanan Manokwari. Manokwari. Tidak diterbitkan.
Indrawan, A. 2008. Sejarah Perkembangan Sistem Silvikultur di Indonesia. Prosiding Lokakarya Nasional Penerapan Multisistem Silvikultur pada Pengusahaan Hutan Produksi dalam Rangka Peningkatan Produktivitas dan Pemantapan Kawasan Hutan. Kerjasama antara Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor dengan Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan, Departemen Kehutanan. Bogor.
__________ 2010. Konsep dan Filosofi Multisistem Silvikultur. Dipresentasikan pada Workshop Multisistem Silvikultur. Optimasi Pemanfaatan Kawasan Hutan Produksi Melalui Multisistem Silvikultur. Kerjasama antara Balai Besar Penelitian Dipterocarpa (Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Kementerian Kehutanan) dengan Balai Pemantauan Pemmanfaatan Hutan Produksi Wilayah X (Direktorat Jenderal Bina Usaha Kehutanan, Kementerian Kehutanan). Pontianak , 4 November 2010
__________. 2013. Pengelolaan Ekosistem Hutan Produksi Lestari di Indonesia dengan Penerapan Multisistem Silvikultur. Dalam Suharjito, D., dan H.R. Putro. Pembangunan Kehutanan Indonesia Baru: Refleksi dan Inovasi Pemikiran. Bogor. IPB Press.
Irawan, A. 2014. Sintesa Hasil Penelitian: Uji Coba Teknik Rehabilitasi Hutan Alam Produksi yang Telah Terdegradasi. Balai Penelitian kehutanan Manado. Manado. Tidak diterbitkan.
Martawijaya A, I. Kartasujana, K. Kadir, dan S.A. Prawira. 2005. Atlas Kayu Indonesia, Jilid I. Departemen Kehutanan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Bogor.
Martawijaya A, I. Kartasujana, Y.I. Mandang, S.A. Prawira dan K. Kadir. 2005. Atlas Kayu Indonesia, Jilid II. Departemen Kehutanan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Bogor.
Makineci, E., M. Dimer, A. Comez, and E. Yilmaz. 2007. Chemical characteristics of the surface soil, herbaceous cover and organic layer of a compacted skid road in a fir (Abies bornmulleriana Mattf.) forest. Trnasportation Research Part D 12: 453-459.
Muhdi. 2001. Studi kerusakan tegakan tinggal akibat pemanenan kayu konvensional dan pemanenan kayu berdampak rendah
87
di hutan alam Ketapang, Provinsi Kalimantan Barat. [Tesis]. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Tidak diterbitkan.
Murniati. 2012. Teknik pengayaan pada lahan garapan masyarakat di Hutan Penelitian Carita. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam. Vol. 9:1, Hal. 69-83.
Najafi, A. A. Solgi, and S.H. Sadeghi. 2009. Soil distrubance following four wheel rubber skidder logging on the steep trail in the north mountainous forest of Iran. Soil & Tillage Research 103: 165-169.
Panjaitan, S., dan Supriadi. 1997. Penggunaan Kuvio Bentuk Rumpang di Areal Tebangan Hutan Perbukitan di Kintap : Pembuatan Kuvio dan Register Tegakan Rumpang. Desain Lapangan Unit Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (unit PHPL)” Menggunakan Kuvio Bentuk Rumpang Di Semua Tipe Hutan dan Kondisi Tegakan. Materi Ekspose Di Departemen Kehutanan. Balai Teknologi Reboisasi Banjarbaru.
Panjaitan, S. 2014. Sintesa Hasil Penelitian: Kajian Efektivitas Sistem Silvikultur Tebang Rumpang terhadap Peningkatan Produktivitas dan Kelestarian Hutan Alam Produksi. Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru. Banjarbaru. Tidak diterbitkan.
[PP] Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008, tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Huta. Jakarta.
[Permenhut] Peraturan Menteri Kehutanan No. P 30/Menhut-II/2005, tentang Keputusan Menteri Kehutanan No. 10172/Kpts-II/2002 dinyatakan tidak berlaku lagi. Departemen Kehutanan. Jakarta.
[Permenhut] Peraturan Menteri Kehutanan No. P 11/Menhut-II/2009, tentang Sistem Silvikultur dalam Areal Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Produksi. Departemen Kehutanan. Jakarta.
Prameswari, D. 2014. Kajian teknik cross drain, lubang resapan berpori dan penanaman meranti di bekas jalan sarad. [Disertasi]. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Tidak diterbitkan.
88 [Pusdiklat] Pusat Pendidikan dan Latihan Kehutanan. 2002. Materi
Pelatihan Kriteria dan Indikator Pengelolaan Hutan lestari untuk Sektor Pemerintah. Pusdiklat. Bogor.
Rab, M.A. 2004. Recovery of soil physical properties from compaction and soil profil disturbance caused by logging of native forest in Victorian Central Highlands, Australia. Forest Ecology and Management 191: 329-340.
Rimbawanto, A., T. Pamungkas, L. Hakim, Prastyono, dan D. Eko. 2005. Database jenis-jenis prioritas untuk konservasi genetik dan pemuliaan. Buku 1. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman. Bogor.
Rukmantara. 2014. Menyiasati Kompleksnya Persoalan Daya Saing Kehutanan Menghadapi Asean Economic Community 2015? http://www.jpnn.com/m/ news.php?id=219789. Diakses 26 Agustus 2014.
Ruslim, Y. 2011. Penerapan Reduced Impact Logging Menggunakan Monocable Winch (Pancang Tarik). Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman. Samarinda.
Sagala, A.P.S. 1994. Mengelola Lahan Kehutanan Indonesia. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
____________ 1999. Desain Kehutanan Holistik. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. 56 p.
Schliemann, S.A., and J.G. Bockheim. 2011. Methods for studying treefall gaps: A review. Forest Ecology and Management 261: 1143-1151.
Setyarso, A. 1992. Analisis rotasi tebang hutan alam produksi di kawasan PT Inhutani II Pulau Laut, Kalimantan Selatan. Tidak diterbitkan.
Soekotjo, A. Subiakto dan S. Warsito. 2005. Project completion report ITTO. PD 41. Faculty of Forastry. Gajah Mada University. Yogyakarta.
Soekotjo. 2009. Teknik Silvikultur Intensif. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
Suhartana, S. dan Dulsalam. 1994. Kerusakan tegakan tinggal akibat kegiatan penebangan dan penyaradan: Kasus di suatu perusahaan hutan di Riau. Jurnal Penelitian Hasil Huan. Volume 12 No. 1.
Sumarna. K, Wahjono.D, dan Haruni K. 2002. Proyeksi potensi hutan alam produksi bekas tebang pilih dan konsep perhitungan jatah produksi tahunan. Diskusi penentuan AAC hutan produksi alam sekunder. Jakarta.
89 Sumarni, G, M.Muslich, N. Hadjib, Krisdianto, D. Malik, S. Suprapti,
E.Basri, G. Pari, M.I. Iskandar dan R.M. Siagian. 2009. Sifat dan Kegunaan Kayu : 15 Jenis Andalan Setempat Jawa Barat. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor.
Susanty, F.H., A,K. Hardjana, A. Rustami, dan Edy. 2014. Laporan Hasil Penelitian: Penelitian Model Pendugaan Volume Pohon di Hutan Alam Produksi (Model Pendugaan Volume Pohon Jenis Dipterocarpaceae di Hutan Alam Produksi). Balai Besar Penelitian Dipterokarpa. Samarinda. Tidak diterbitkan.
Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Wahjono. D dan Haruni K. 2000. Penyusunan model dinamika
struktur tegakan dan pendugaan riap tegakan sebagai dasar pengaturan hasil yang lestari di hutan alam bekas tebangan. Tidak diterbitkan.
Wahjono, Dj. 2007. Pertumbuhan dan riap tegakan tinggal di beberapa Unit Pengelolaan Hutan Alam Produksi. Info Hutan pada Pusat Penelitian dan pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Vol.: IV(5): 419-248.
Whitmore, T.C., 1975. Tropical Rain Forest of The Far East, Clarendon Press, Oxford.
90
LAMPIRAN
91 Lampiran 1. Karakteristik tempat tumbuh beberapa jenis komersial
yang sedang diamati pertumbuhannya 1. Kapur (Dryobalanops aromatica Gaertn)
Pohon kapur termasuk famili Dipterocarpaceae dan daerah
penyebarannya meliputi Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat,
Riau dan seluruh Kalimantan. Tinggi pohon antara 35-45 m
dengan tinggi bebas cabang sampai 30 m, diameter 80-100 cm.
Bentuk batang sangat baik, lurus dan silindris dengan tajuk kecil,
kadang-kadang berbanir. Umumnya tumbuh di hutan hujan tropis
tanah rendah dengan tipe curah hujan A dan B, pada tanah
daratan yang kering, datar dan sarang, juga pada pinggir-pinggir
lembah dan di atas tanah liat berpasir pada ketinggian 60-400 m
dpl. Kebanyakan tumbuh berkelompok dan hamper murni.
Kebutuhan cahaya untuk permudaan kapur termasuk semi toleran.
Berat jenis 0,81 (0,63 – 0,94), kelas kuat I-II, kelas awet II-III. Kayu
kapur digunakan untuk balok, tiang, rusuk dan papan pada
bangunan perumahan dan jembatan, serta dapat juga untuk peti
mati, dan kayu lapis (Martawijaya et al., 2005; Indrawan, 2013).
2. Keruing (Dipterocarpus hasseltii Bl.)
Keruing termasuk famili Dipterocarpaceae
dan daerah penyebarannya meliputi Seluruh
Sumatera, Jawa dan Kalimantan. Tinggi pohon
dapat mencapai 50 m dengan tinggi bebas
cabang sampai 35 m, diameter mencapai 120
cm. Bentuk batang silindris, berbanir.
Umumnya tumbuh di hutan hujan tropis dengan tipe curah hujan A
dan B. Jenis ini tumbuh di tempat-tempat yang sewaktu-waktu
92 digenangi air tawar dan di tanah rawa, tetapi lebih banyak tumbuh
pada tanah daratan kering di punggung bukit pada tanah berpasir,
tanah liat, tanah berbatu, latosol atau podsolik merah kuning pada
ketinggian sampai 1.000 m dpl (Martawijaya, 2005; Rimbawanto et
al., 2005). D. hasseltii pada umur 1 tahun setelah tanam di
Kalimantan Timur persen hidup 83,3%; riap tinggi 22,3 cm/tahun;
dan riap diameter 0,18 cm/tahun. Sedangkan di KHDTK Carita
persen hidup 67,3%; riap tinggi 22,7 cm/tahun dan riap diameter
0,33 cm/tahun (Murniati, 2012). Berat jenis 0,70 (0,60 – 0,98),
kelas kuat II, kelas awet III-IV. Kayu keruing cocok untuk konstruksi
bangunan, lantai, karoseri (kerangka, lantai dan dinding),
bangunan pelabuhan, bantalan kerata api, perkapalan (dek dan
kulit tongkang), bagian rumah (balok, tiang, papan dan kerangka
atap), dan plywood (Martawijaya et al., 2005; Rimbawanto et al.,
2005).
3. Meranti merah (Shorea spp.)
Meranti merah (Shorea spp.)
termasuk famili Dipterocarpaceae
(terutama S. leprosula Miq., S.
palembanica Miq., S. macrophylla Ashton,
S. parvifolia Dyer, S. pinanga Scheff., S.
smithiana Sym., dan S. stenoptera Burck,
S. selanica Bl., S. platyclados V.SI., S.
Johorensis Foxw.), S. mecistopteryx
Ridley. Selanjut-nya jenis-jenis ini dikelompokkan lagi menjadi
Shorea penghasil tengkawang, yaitu S. macrophylla Ashton/S.
stenoptera Burma., S. stenoptera Burck, S. pinanga Scheff., S.
93 mecistopteryx Ridley dan S. splendida (de Vriese) P. (Rimbawanto
et la., 2005). Shorea penghasil tengkawang ini cocok juga
dikembangkan untuk pengembangan hutan kemasyarakatan.
Daerah penyebarannya meliputi Sumatera, Kalimantan dan
Maluku. Tinggi pohon dapat mencapai 50 m dengan tinggi bebas
cabang sampai 30 m, diameter mencapai 100 cm. Kulit luar
berwarna kelabu atau coklat, tebal kulit kurang dari 5 mm. Bentuk
batang silindris, tidak berbanir. Meranti merah tumbuh di hutan
hujan tropis dengan tipe curah hujan A dan B. Jenis ini tumbuh
pada tanah latosol, podsolik kuning pada ketinggian sampai 1.300
m dpl. Jenis S. stenoptera, S. pinanga, S. macrophylla, dan S.
palembanica tumbuh pada tanah rendah yang tergenang air
selama musim hujan dan di tepi sungai pada tanah alluvial sampai
ketinggian 1.000 m dpl (Martawijaya et al., 2005; Rimbawanto et
la., 2005). Kayu meranti merah dapat dibuat venir tanpa
pe7rlakuan pendahuluan. Kayu meranti merah terutama
digunakan untuk venir dan kayu lapis, di samping itu dapat juga
dipakai untuk konstruksi bangunan (rangka, balok, galar, kaso,
pintu, jendela, dinding, lantai dan lain-lain). Selain itu dapat juga
dipakai sebagai kayu perkapalan (perahu, kapal kecil dan bagian-
bagian kapal), peti pengepak, mebel murah, peti mati dan alat
music (pipa organ). Buah/biji tengkawang yang didapat dari pohon
S. pinanga mengandung lemak sebagai bahan dasar pembuatan
coklat, margarin, sabun, lilin dan kosmetik sehingga lebih sering
disebut pohon tengkawang. Berat jenis dan kelas kuat masing-
masing adalah S. johorensis 0,50 (0,32-0,69), III-IV; S. leprosula
0,52 (0,30-0,86), III-IV; S. macrophylla 0,40 (0,29-0,60), III-IV; S.
palembanica 0,55 (0,37-0,69), III-IV; S. parvifolia 0,45 (0,29-0,83),
94 III-IV; S. pinanga 0,42 (0,31-0,57), III-IV; S. platyclados 0,67 (0,34-
0,86), II-(IV); S. selanica 0,46 (0,39-0,52), III; S. smithiana 0,50
(0,30-0,72), III-II; dan S. stenoptera 0,49 (0,43-0,52), III. Keawetan
meranti merah umumnya termasuk kelas awet III-V (Martawijaya et
al., 2005).
4. Merawan (Hopea mengarawan Miq.)
Merawan termasuk famili Dipterocarpaceae dan daerah
penyebarannya meliputi seluruh Sumatera, seluruh Kalimantan dan
Papua. Tinggi pohon 30-40 m dengan tinggi bebas cabang sampai
15-25 m, diameter 75-150 cm. Kulit luar berwarna kelabu-coklat,
coklat sampai hitam, beralur dangkal. Berat jenis 0,71 (0,52-0,91),
kelas kuat II-(III-I), kelas awet II-III. Kayu merawan banyak
digunakan untuk balok, tiang, papan, kayu perkapalan, tong air,
ambang jendela, kerangka rumah, talenan dan barang bubutan.
Tumbuh di hutan hujan tropis dengan tipe curah hujan A dan B
pada dataran kering atau di rawa-rawa, pada tanah pasir, tanah liat
atau tanah berbatu-batu dengan ketinggian sampai 1.000 m dpl
(Martawijaya et al., 2005).
5. Resak (Vatica resak Bl.)
Resak termasuk famili Dipterocarpaceae dan daerah
penyebarannya seluruh Sumatera kecuali Lampung, Seluruh
Kalimantan dan Sulawesi, Jawa Barat, Maluku dan Papua. Tinggi
pohon 25-35 m dengan tinggi bebas cabang sampai 10-20 m,
diameter 40-80 cm dan tidak berbanir. Kulit luar berwarna kelabu-
putih, tidak beralur, sedikit mengelupas, mengeluarkan dammar
berwarna putih atau putih-kuning. Berat jenis 0,60 (0,49-0,65),
95 kelas kuat II, kelas awet III. Kayu resak cocok tiang dalam tanah
dan air, balok, rusuk dan papan lantai, kayu pertambangan, balok
gerbong, tiang listrik, perkapalan, sirap, ambang jendela, rangka
pintu dan jendela, bantalan, barang bubutan dan cabinet. Tumbuh
secara berkelompok atau tersebar dalam hutan tropis dengan tipe
curah hujan A dan B, pada ketinggian sampai 350 m dpl, pada
tanah berpasir atau tanah liat yang secara periodik tergenang air
tawar seperti di pinggir sungai atau dapat juga tumbuh pada
dataran kering (Martawijaya et al., 2005).
6. Nyatoh (Palaquium spp.)
Nyatoh termasuk famili Sapotaceae
dan daerah penyebarannya seluruh
Indonesia. Di daerah Sulawesi, jenis kayu ini
biasa disebut juga dengan kuma, kume,
nyatoh, nato, nantu, sodu-sodu. Selain itu
masyarakat juga banyak mengenal kayu ini
dengan sebutan kayu merah, karena
disebabkan warnanya yang eksotis yaitu
berwarna merah kecoklatan. Tinggi pohon 30-45 m dengan tinggi
bebas cabang sampai 15-30 m, diameter 50-100 cm. Bentuk
batang lurus dan silindris, kadang-kadang berbanir. Kulit luar
berwarna coklat, merah-coklat. Berat jenis 0,73 (0,58-0,88), kelas
kuat II-III, kelas awet III-IV. Kayu nyatoh umumnya baik untuk
papan perumahan, tiang, balok, rusuk dan papan lantai. Tumbuh
pada tipe curah hujan A, tanah berawa dan sebagian pada tanah
kering, dengan jenis tanah liat atau tanah berpasir, di daerah
96 banyak hujan pada ketinggian 20 – 500 m dpl (Martawijaya et al.,
2005).
7. Sungkai (Peronema canescens Jack.)
Sungkai termasuk famili Verbenaceae dan
daerah penyebarannya Sumatera Barat,
Jambi, Bengkulu, Sumatera Selatan,
Lampung, Jawa Barat dan seluruh
Kalimantan. Tinggi pohon 20-25 m dengan
tinggi bebas cabang sampai 15 m, diameter
mencapai lebih dari 60 cm, batang lurus dan
sedikit berlekuk dangkal, tidak berbanir, ranting penuh dengan bulu
halus. Kulit luar berwarna kelabu atau sawo muda, beralur dangkal
dan mengelupas kecil-kecil tipis. Berat jenis 0,63 (0,52-0,73), kelas
kuat II-III dan kelas awet III. Kayu sungkai cocok untuk rangka atap
karena ringan dan cukup kuat. Selain itu dipakai juga untuk tiang
rumah dan bangunan jembatan. Karena mempunyai gambar yang
menarik berupa garis-garis indah sehingga baik untuk vinir mewah,
mebel, cabinet dan lain-lain. Tumbuh di tempat terbuka seperti
belukar, alang-alang, bekas perladangan atau bekas tebangan.
Sungkai tumbuh di dalam hutan hujan tropis dengan tipe curah
hujan A sampai C pada tanah kering atau sedikit basah dengan
ketinggian sampai 600 m dpl (Martawijaya et al., 2005).
8. Binuang bini (Octomeles sumatrana Miq.)
Binuang bini termasuk famili Datiscaceae dan daerah
penyebarannya meliputi Aceh, Sumatera Barat, Bengkulu,
Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Sulawesi,
97 Maluku, Papua. Tinggi pohon bisa mencapai lebih dari 45 m
dengan tinggi bebas cabang sampai 30 m, diameter sampai lebih
dari 90 cm. Batang tegak, berbanir, kulit luar tebal 5 mm berwarna
kelabu, beralur dangkal dan mengelupas kecil-kecil tipis. Umumnya
tumbuh pada tanah kering atau kadang-kadang pada tanah lembab
di pinggir sungai dengan tekstur tanah liat atau tanah liat berpasir.
Iklim yang dihendaki yaitu iklim basah hingga agak kering dengan
tipe curah hujan A-C dan ketinggian sampai 600 m dpl. Binuang
bini termasuk jenis tumbuh cepat, pada umur 11 tahun dapat
mencapai tinggi 10 m dengan diameter 14 cm. Berat jenis 0,33
(0,16 – 0,48), kelas kuat IV-V, kelas awet V dan dapat dibuat vinir
dengan hasil baik tanpa perlakuan pendahuluan. Kayu binuang
bini cocok untuk lapisan dalam kayu lapis dan lapisan luar, peti
pembungkus, cetakan beton, kotak korek api, peti mati, perahu,
kano, dan pertukangan (Martawijaya et al., 2005).
9. Nyawai (Ficus variegata Bl.)
Nyawai termasuk famili Moraceae yang
merupakan jenis pohon cepat tumbuh dan
berpotensi menjadi alternatif substitusi kayu
pertukangan (Mindawati, 2010). Penyebaran
nyawai meliputi daerah Pulau Jawa,
Sumatera, Kalimantan, Maluku, dan
Sulawesi. Nyawai dapat tumbuh pada
ketinggian 0-1.500 m dpl dan tipe curah hujan A dan B. Nyawai
termasuk jenis yang memerlukan cahaya penuh (intoleran) dan
termasuk jenis pionir yang tersebar bersama dengan jenis pionir
lainnya seperti jabon putih (Neolamarkia cadamba), mahang
98 (Macaranga spp.), dan benuang bini (Octomeles sumatrana).
Tinggi pohon nyawai di hutan bekas terbakar dapat mencapai 20-
25 m dengan batang bebas cabang 10-15 m serta diameter
setinggi dada mencapai 40 cm (Hendromono dan Komsatun,
2008). Kayu nyawai dapat digunakan untuk kayu lapis, konstruksi
bangunan ringan, moulding, interior, laci, kotak, pulp dan kertas
(Sumarni et al., 2009). Vinir nyawai dapat digunakan untuk vinir
muka (face veneer) karena bercorak kayu yang baik yaitu berwarna
kuning keputihan, dan dalam proses pembuatan vinirnya tidak
memerlukan perlakuan. Kayu lapis nyawai telah memenuhi Standar
Nsional Indonesia (SNI), Standar Jepang (JAS), dan Standar
Jerman (DIN). Sifat fisik kayunya antara lain; berat jenis 0,27
(0,20-0,43), kelas kuat V, kelas awet V-III, dan kelas keterawetan I
yaitu mudah diawetkan (Sumarni et al., 2009).
10. Bintangur (Calophyllum soulattri Bruu.f.var.)
Bintangur merupakan jenis yang memiliki
habitat asli di Brunei Darussalam, Kamboja,
Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand, dan
Vietnam. Bintangur merupakan kayu dengan
kelas awet IV. Tinggi pohon ini dapat mencapai
30 m, panjang batang bebas cabang hingga 21
m, dengan diameter 80 cm. Bentuk batang lurus
dan berdiri tegak dengan percabangan mendatar, tidak berbanir.
Kulit luar berwarna kelabu atau putih. Beralur dangkal dan
mengelupas besar-besar tipis.
Kayu bintangur cocok digunakan sebagai bahan pembuatan
kapal (kayu bengkok digunakan sebagai gading-gading, batang
99 yang lurus digunakan sebagai tiang layar dan pedayung). Selain
itu, kayu bintangur juga lazim digunakan sebagai bahan
perumahan seperti balok, tiang, papan lantai, peti, dan konstruksi
ringan (Martawijaya et al., 2005).
11. Cempaka (Magnolia elegans (Blume.) H.Keng)
Jenis kayu cempaka termasuk dalam
kelas awet II dan kelas kuat III dengan
berat jenis 0,41-0,61, kerapatan kayu 400 –
500 kg/m3, ukuran maksimum pada pohon
dapat mencapai tinggi 45 m, diameter 150-
200 cm, tinggi bebas cabang 12-16 m,
kadang-kadang dijumpai berukuran agak
pendek dan bercabang banyak, batang
silindris, berwarna putih abu-abu kecoklatan, stipula dan tangkai
daun muda tanpa bulu. Daun berbentuk menjorong (ellipticus)
dengan letak daun bersilangan, ukuran daun 7-36 x 4-16 cm, tidak
berbulu atau berbulu balik dipermukaan daun. Ujung daun
meruncing (acuminatus), pangkal daun membulat (rotundatus),
kadang-kadang tumpul (obtusus). Tangkai daun tidak berbulu atau
berindumentum seperti ranting, panjang tangkai daun 1-2,4 cm.
Kayu cempaka telah diperdagangkan sejak lama baik dalam
bentuk kayu bulat, kayu gergajian dan konstruksi jadi seperti
furniture, lemari, pintu, jendela maupun rumah jadi, perahu, panel,
alat olahraga, alat musik kolintang dan plywood. Kayu
Cempaka merupakan bahan baku utama dalam konstruksi
rumah panggung Minahasa (Kinho dan Mahfudz, 2011).
Umumnya kayu nantu digunakan sebagai bahan baku untuk
100 papan perumahan, tiang, balok dan rusuk. Kayu nantu dapat pula
dipakai sebagai bahan untuk membuat perahu atau kano, papan
lantai, panil, dinding pemisah dan alat rumah tangga, sedangkan
kayu banirnya biasa dipakai untuk dayung, roda gerobak, gagang
pacul dan tangkai kapak (Irawan et. al., 2011)
12. Linggua ((Pterocarpus indicus Willd.)
Linggua atau Angsana atau juga biasa
disebut dengan sonokembang adalah
jenis pohon penghasil kayu berkualitas tinggi
yang berasal dari suku Fabaceae. Ketinggian
pohon linggua dapat mencapai 45 meter,
dengan panjang batang bebas cabang berkisar
antara 2 meter hingga 16 meter, dengan
diameter mencapai 150 cm. Tekstur kayu agak halus sampai agak
kasar, arah serat lurus atau bergelombang tidak teratur, warnanya
kuning jerami, coklat karat muda, sampai coklat karat tua.
Permukaan licin dan mengkilap indah. Berat jenis berkisar 0,39
hingga 0,94, termasuk golongan kelas kuat IV hingga kelas kuat I.
Penggunaan pengering modern dapat menjadikan kayu
linggua dapat mengering dengan baik tanpa cacat. Warna dan
motif serat kayunya yang indah kemerah-merahan, menjadikan
kayu linggua banyak dimanfaatkan sebagai kayu pilihan untuk
pembuatan mebel, kabinet berkelas tinggi, alat-alat musik,
lantai parket, panil kayu dekoratif, gagang peralatan, konstruksi
perumahan, kayu vinir, rangka bangunan, tiang, pilar, serta untuk
dikupas sebagai venir dekoratif untuk melapisi kayu lapis dan meja
berharga mahal.
101 Lampiran 2. Foto jenis-jenis tanaman umur 1 tahun yang sedang
diuji tingkat pertumbuhan di Jalur tanam TPTJ-Silin, Kabupaten Barito Utara, Kalimantan Tengah
S. leprosula S. mecisopteryx,
S. palembanica S. parvifolia
102
S. smithiana Hopea odorata
Dryobalanops aromatica Vatica resak
103
Nyatoh (Palaquim sp.) Nyawai (Ficus variegate)
binuang bini
(Octomeles sumatrana) Sungkai
(Peronema canescens)
104 Lampiran 3. Shorea pinanga pada areal hutan alam bekas
tebangan (a & b) dan areal semak belukar (c & d) di KHDTK Siali-ali, Kabupaten Padang Lawas-Sumatera Utara
d. Umur 3 tahun c. Umur 1,5 tahun
b. Umur 3 tahun a. Umur 1,5 tahun