sinkritisme dan simbolisasi

20
SINKRETISME DAN SIMBOLISME TRADISI SELAMA TAN KEMA TIAN DI DESA PURWOSARI, KULON PROGO Oleh: Suwardi Abstrak Bi/a suatu tradisi lama, yang berakar pada leepercayaan kuno (animisme) dapat bertahan, dipertahankan, atau bahkan dilestarikan di era informasi yang bersifat mengglobalpada waktu ini, maka patut diduga bahwa tradisi tersebu/ haruslah mempunyai seperangka/ parameter yang diyakini oleh kamunitasnya memiliki ni/ai dan makna yang /inggi. Hingga saat ini, masih banyak desa-desa di Jawa yang memi/iki berbagai tradisi seperti itu. Salah satu desa /ersebu/ adalah Desa Purwosari, Kecama/an Girimulyo, Kulon Progo, dan salah satu tradisi /ermaksud adalah tradisi kematian. Tu/isan ini bertujuan untuk mengangkat parameter kekua/an atau ke/ahanan keberadaan /radisi selama/an kema/ian di Desa Purwosari termaksud dengan cara mendeskripsikan ika/an emosional atau ikatan batin an/ara warga komunitas dan tradisi selamatan kematian yang mereka lakukan. Aspek khusus yang hendak digunakan sebagai pisau ana/isis adalah sinkretisme dan simbo/isme pada butir-butir tindakan dalam rangkaian selamatan kematian yang ada mulai dari geblag hingga nyewu. lIasi/ ana/isis terhadap rangkaian tindakan tradisi selamatan kematian di Desa Purwosari, Kecamatan Girimulyo, Kulon Progo menunjukkan adanya s;nkret;sme Hindu-Jawa dengan Islam, khususnya yang terkait dengan adanya bentuk doa (donga) dan pemujaan kepada roh orang yang telah meninggal di lain pihak. Pemujaan ini tampak diyakini oleh kamunitas tradisi yang bersangkutan sebagai cara mencapai leeselamatan, kesejahteraan, keamanan, ketenteraman, dan kedamaian hidup di dunia, ser/a bebas dari gangguan atau ancaman yang bersumber pada adanya keharmonisan hubungan antara yang memuja (kamunitas tradisi) dan yang d;puja (roh orang-orang yang telah meninggaIJ. KelolllPok khusus dari kolllunitas ini, yang masih teguh menjalani dan menghayati tradisi termaksud, adalah kelompok yang dikenal dengan sebutan kaum abangan. 161

Upload: ferdian-budi-saputra

Post on 23-Oct-2015

41 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: Sinkritisme Dan Simbolisasi

SINKRETISME DAN SIMBOLISME TRADISI SELAMATANKEMA TIAN DI DESA PURWOSARI, KULON PROGO

Oleh: Suwardi

Abstrak

Bi/a suatu tradisi lama, yang berakar pada leepercayaan kuno(animisme) dapat bertahan, dipertahankan, atau bahkan dilestarikan diera informasiyang bersifat mengglobalpada waktu ini, maka patut didugabahwa tradisi tersebu/ haruslah mempunyai seperangka/ parameter yangdiyakini oleh kamunitasnya memiliki ni/ai dan makna yang /inggi. Hinggasaat ini, masih banyak desa-desa di Jawa yang memi/iki berbagai tradisiseperti itu. Salah satu desa /ersebu/ adalah Desa Purwosari, Kecama/anGirimulyo, Kulon Progo, dan salah satu tradisi /ermaksud adalah tradisikematian.

Tu/isan ini bertujuan untuk mengangkat parameter kekua/an atauke/ahanan keberadaan /radisi selama/an kema/ian di Desa Purwosaritermaksud dengan cara mendeskripsikan ika/an emosional atau ikatanbatin an/ara warga komunitas dan tradisi selamatan kematian yangmereka lakukan. Aspek khusus yang hendak digunakan sebagai pisauana/isis adalah sinkretisme dan simbo/isme pada butir-butir tindakandalam rangkaian selamatan kematian yang ada mulai dari geblag hingganyewu.

lIasi/ ana/isis terhadap rangkaian tindakan tradisi selamatankematian di Desa Purwosari, Kecamatan Girimulyo, Kulon Progomenunjukkan adanya s;nkret;sme Hindu-Jawa dengan Islam, khususnyayang terkait dengan adanya bentuk doa (donga) dan pemujaan kepadaroh orang yang telah meninggal di lain pihak. Pemujaan ini tampakdiyakini oleh kamunitas tradisi yang bersangkutan sebagai cara mencapaileeselamatan, kesejahteraan, keamanan, ketenteraman, dan kedamaianhidup di dunia, ser/a bebas dari gangguan atau ancamanyang bersumberpada adanya keharmonisan hubungan antara yang memuja (kamunitastradisi) dan yang d;puja (roh orang-orang yang telah meninggaIJ.KelolllPok khusus dari kolllunitas ini, yang masih teguh menjalani danmenghayati tradisi termaksud, adalah kelompok yang dikenal dengansebutan kaum abangan.

161

--- - ---

Page 2: Sinkritisme Dan Simbolisasi

A. Pendahuluan

Masyarakat Jawa di waktu in!. 01pulau Jawa khususnya, yangmemiliki sistem transportasi, komunikasi, dan pengembangan ilmu sertateknologi modem dan telah pula lama bersentuhan dan berinteraksi secaralangsung dengan budaya-budaya global, masih melaksanakan, menghayati, danbahkan mempertahankan berbagai tradisi lama yang nota bene sangat berbedaatau bahkan berlawanan dengan prinsip-prinsip modem dan modemisasi dalamhidup dan kehidupan. Salah satu tradisi termaksud adalah tradisi selamatanyang terkait dengan peristiwa kematian seseorang warga komunitas penganuttradisi tersebut.

Sampai saat ini, tradisi selamatan yang terkait dengan peristiwakematian seseorang masih tetap diuri-uri atau dipelihara banyak wargamasyarakat Jawa, khususnya di pedesaan. Tradisi ini didukung baik olehmasyarakat Jawa pedesaan yang masih tradisional, Jawa transisi yang sedangberubah ke arah masyarakat kota, maupun oleh sebagian masyarakat Jawaperkotaan yang telah mengenyam pendidikan tinggi. Masyarakat DesaPurwosari, Kecamatan Girimulyo, Kulon Progo, misalnya, masihmelaksanakan dan bahkan nguri-uri tradisi selamatan kematian di desanya.Desa ini memilikl warga masyarakat yang sangat heterogm dalam halkepercayaan. Warga masyarakat desa ini ada beragama Islam, Kristen, Katolik,dan ada pula kelompok yang disebut sebagai kaum Abangan. Masyarakat didaerah 1mtelah banyak yang terpelajar, namun banyak di antara mereka yangmaslh 'taat' melaksanakan, menghayatt. dan bahkan mempertahankankeeradaan tradisi selamatan pada upacara kematlan.

Secara garis besar, tradisi selamatan kematian adalah bentuk pemujaanroh orang yang telah meninggal dengan harapan tetap teljadi hubungan yang"harmonis" antara warga masyarakat yang masih hidup dan roh-roh orang yangtelah meninggal. Masam dan urutan selamatan kematian yang tergolong selaludilaksanakan adalah sebagai beikut.I. Geblag atau selamatan setelah penguburan2. Nelung dina atau selamatan setelah tiga hari kematian3. Mitung dina atau selamatan setelah tujuh hari kematian4. Matangpuluh dina atau selamatan setelah 40 hari kematian5. Nyatus dina atau selamatan setelah 100 hari kematian

162

Page 3: Sinkritisme Dan Simbolisasi

6. Mendhak sepisan atau selamatan setelah satu tahun kematian7. Mendhak pindho atau selamatan setelah dua tahun kematian8. Nyewu atau selamatan sete1ah seribu hari kematian

Berikut ini akan diuraikan satu persatu bentuk dan fungsi daritindakan-tindakan selamatan tersebut serta aspek sinkretisme dan simbolismeyang dikandung dari sudut pandang warga dan pelaku tradisi yangbersangkutan.

B. Geblag atau Selamatan Setelah PenguburanSelamatan kematian setelah penguburan (geblag) oleh warga

masyarakat di Desa Purwosari disebut ngesur tanah. Cara menentukan waktuselamatan (hari dan pasaran) ngesur tanah digunakan rumusjisarji yang berartihari ke satu dan pasaran ke satu atau harus dilaksanakan pada hari itu juga, atautidak boleh ditunda.

Selamatan ngesur tanah merupakan awal dari rangkaian selamatankematian. Selamatan ini dilakukan sebagai upaya pihak ahli warismengiringkan kepergian roh orang yang telah mati. Beberapa saat setelahseseorang meninggal roh yang bersangkutan diyakini oleh komunitas tradislmempersiapkan diri untuk meninggalkan keluarganya menuju alam kubur. Halini sejalan dengan pendapat Bratawidjaja (1993:136) bahwa se1amatanngesurtanah memiliki makna yang terkait dengan "kepergian" roh orang yangmeninggal. Pemaknaan semacam ini dapat dirunut dari kata ngesur tanah yangberasal kata sur yang merupakan kependekan dari kata ngesur, yang berartimemperluas, dan kata tanah berarti bumi. Ngesur tanah dimaknai sebagaiupaya agar roh orang yang meninggal mendapatkan tempat atau tanah kuburyang luas, yang dalam bahasa Jawa disebutkan sebagai jembar kubure.

Ngesur tanah juga dimaksudkan untuk 'menjinakkan' roh-roh lainyang ada di lingkungan dan atau sekitar kuburan. Roh-roh ini diharapkan tidakakan mengganggu orang yang menggali kubur, menguburkan jenazah, dan rohdari orang yang bam saja dikuburkan itu sendiri. Dengan melaksanakanse1amatan ngesur tanah oleh penganut tradisi, penggali kubur dan yangmenguburkan jenazah tadi te1ahmemintapermisi (amit-amit) kepada pada pararoh lain dengan harapan bahwa roh-roh tersebut tidak akan mengganggu.Dengan dernikian selarnatan ngesur tanah memiliki fungsi sosial-spiritual.

163

- ------

Page 4: Sinkritisme Dan Simbolisasi

Selamatan tanah dimaksudkannIlesur untuk memberi

penghonnatan kepada roh orang yang meninggalnya sendiri berupa upayauntuk memberikan tindakan penyempurnaan. Ini berarti ahli waris masihmempunyai tanggung jawab terhadap kepergian roh yang bersangkutan agarmemperoleh kesempurnaan. Para ahli waris berkeyakinan bahwa roh orangyang baru saja meninggal masih berada di tempat tidur. Roh ini perlu dicarikantempat yang layakjika nanti telah menempati alam kubur.

Dengan kata lain, selamatan ngesur tanah merupakan tindakan untukmenyempurnakan roh dan jasat (raga) orang yang meninggal. Melaluiselamatan ini dimaksudkan agar roh dan jasat orang yang mati tidakmendapatkan siksa kubur yang berat. Tanda bahwa jasad orang mati tadiadhem ayem di alam kubur adalah jasad akan dan dapat melebur menjaditanah. Karena jasad manusia berasal dari tanah maka akhirnya harus kembalimenjadi tanah. Untuk hal ini, konteks budaya Jawa menganggap orang yangmati tersebut telah puma dalam mengawali peIjalanannya menuju sangkanparaning dumadi.

Roh dan jasad yang mencapai kesempurnaan akan mendapatkan tempatyang semestinya di alam kubur. Roh dan jasad tersebut tidak akan panas dikubur. Tanah kubur tidak akan menghimpitnya. Sebagai tanda dari tidakterhimpitnya roh dan jasad adalah jika tanah kubur yang bersangkutan tidakmingkup (menjadi sempit) dan tidak jemb/ong/ambro/ (terbuka). Dalamkonteks budaya Jawa, hal ini dikatakan dengan sebutan jasad dan roh dapat/epas parane jembar kubure.

Saji-sajian yang disediakan dalam selamatan ngesur tanahmenggunakan ubarampe sesaji sega-asahan. tumpeng pungkur (tumpeng yangdibelah dua dan diletakkan ungkur-ungkuran atau bertolak belakang), segawuduk atau sega rasu/ nasi diberi garam, nasi gurih. apem, dan ingkungayam. Semua sajian ini menurut Ki Padmosusastro (1907:88-89) jumlahnyaharus ganjil, misalkan 3, 5, 7, dan sembiIan. Jika yang meninggal anak-anak,sesaji yang digunakan tidak perlu memakai apem dan tumpeng. dan cukupdiganti dengan degan (kelapa muda).

Maksud dari sajian diharuskan ganjil masih perlulanjut. Masyarakat Jawa percaya bahwa bilangan ganjil"istimewa" dalam arti tidak dapat dibagi-bagi. Hal ini

164

ditelusuri lebihmemiliki nilaimelambangkan

Page 5: Sinkritisme Dan Simbolisasi

perjalanan roh clan proses kembalinya jasad untuk menuju pada s08tu titile,yaitu titik kasampuman (kesempumaan). Kesempumaan bermakna satu, yaituidentik dengan bilangan ganjil. Maksudnya, pelaku tradisi meyakini bahwakesempumaan hanyalah milik Tuhan Yang Maha Esa. Manusia dalam kondisisemacam ini diharapkan selalu ngudi kasampuman atau berupaya mencapaikesempumaan sejati, yakni mendekatkan diri kepada Tuhan atau bahkanmenurut konsep mistik Jawa, dapat menunggal (menyatu) dengan Tuhan.

Masing-masing ubarampe (perlengkapan sesaji) memiliki maknasimbolis. Untuk itu akan diuraikan satu per satu sebagai berikut:

(1) Tumpengpungkur mempunyai makna simbolis agar roh yang telahmeninggal tidak lagi memikirkan keduniawian clan keluarga yangditinggalkannya. Roh harus ngungkurake donyane atau membelakangi duniafana clanberpisah dengan badan kasar serta nafsunya (napsu patang pralcara).Di pihak lain, keluarga yang ditinggalkan tidak perlu lagi mengingat-ingatyang sudah mati. Tumpeng sebagai lambang seks08l (alat kelamin) laki-laki.Karena itu jika seseorang telah meninggal dunia, maka nafsu seks08l pun jugatelah mati. Tumpeng juga melambangkan perpisahan antara suksma sejatidengan badan kasar clan nafsunya. Suksma sejati kembali pada asalnya(Suhardi, 1986:44). Pengertian "tidak perlu lagi mengingat-ingat" orang yangtelah mati diartikan bahwa keluarga yang ditinggalkan tidak perlu terlalu sedihyang berkepanjangan. Kesusahan karena kematian anggota keluarga adalahwajar, artinya manusiawi, namun tidak perlu harus dibesar-besarkan.

(2) Sega asahan (ambeng) adalah nasi yang dikemas berbentuk bulatclan agak mbenunuk (seperti bukit yang rendah). Bentuk semacam inimelambangkan alat seks08l (alat kelamin) seorang wanita. Jika seseorang telahmeninggal maka nafsu seks08lnya sudah tiada lagi. Dengan kata lain bahwayang bersangkutan sudah sampai ke tingkat ambeng (ngambang) atau hilangsarna sekali nafsu seksualnya.

(3) Sekul wuduk (sega rasul) adalah nasi yang diberi garam. Nasi inirasanya asin sebagai simbol keilmuan Rasul yang sangat tinggi clan luassehingga ada peribahasa bahwa orang yang berilmu adalah orang yang banyakmalcangaram. Nasi ini oleh Modin (Kaum Rois) sering diikrarkan sebagaitanda penghormatan kepada Rasulullah dengan harapan bahwa roh orang yangmeninggal tennasuk golongan Rasul, sehingga kelak di akhirat akan

165

- --- ---

Page 6: Sinkritisme Dan Simbolisasi

mendapatkan safaat RasuJ. Kepercayaan semacam ini merupakan perpaduan

antara ISlam aengan kepercayaan HmaU-Jawa.(4) Nasi gurih adalah nasi bersantan yang diberi wama kuning

keemasan. Wama ini sebagai lambang kemenangan. Dengan ubarampe, ahliwaris mengharapkan agar anggota keluarga yang meninggal dunia kelakmendapatkan kemenangan di akhirat. Artinya, jika nanti yang bersangkutanditimbang amalnya, amal baiknya akan menang (lebih berat) dibanding amaljeleknya.

(5) Ingkung ayam adalah ayam utuh yang dibentuk seperti posisiwanita duduk timpuh atau seperti posisi orang sedang duduk pada saat shalat.Bentuk semacam ini menggambarkan sikap orang yang sedang manekung(bersemadi). Hal ini sesuai dengan makna kata ingkung yang berasal dari kataing (ingsun) dan kung (manekung). Kata ingsun berarti aku dan kata manekungberarti berdoa dengan penuh khidmat. Dengan demikian ingkung merupakanperwujudan sikap ahli waris yang dengan sungguh-sungguh memohon doa agaranggota keluarganya yang telah meninggal diampuni segala dosa-dosanya danmendapatkan tempat yang semestinya.

Selamatan ngesur tanah biasanya dihadiri oleh tetangga yang ikutmenguburkan jenazah. Setelah penguburan selesai, para pelayat diminta segerakembali ke rumah ahli waris untuk melaksanakan selamatan. Selamatandiawali dengan pembakaran kemenyan oleh Modin. sebelumnya telah diberimantra atau doa yang isinya, antara lain, memohonkan ampun bagi orang yangmeninggal dunia. Prosesi semacam ini merupakan gabungan antara Hindu Jawadengan Islam.

Komunitas tradisi termaksud beranggapan bahwa selamatan ngesurtanah merupakan suatu 'keharusan' untuk dilaksanakan. Karena itu parapendukungnya enggan dan takut meninggalkan selamatan termaksud. Padaumumnya, mereka takut tertimpa akibat tertentu dikemudian hari. Jadi, tujuanutama selamatan adalah agar terciptanya kondisi ora ana apa-apa. Kondisisemacam ini oleh Geertz (1987:58) dikatakan sebagai keadaan s/amet (selamat)yaitu kondisi sejahtera, se/amat, sehat, dan makmur. Keadaan ini merupakansituasi dan kondisi yang aman dalam arti tidak ada gangguan dari alam maupungangguan adikodrati.

Tujuan seperti termaksud di atas cukup beralasan karena sejalan

166

Page 7: Sinkritisme Dan Simbolisasi

dengan pendapat Suhardi (1986:38) yang menyatakan bahwa orang Jawamemang memiliki keyakinan bahwa hidup manusia sudah ditentukan secarapasti oleh Tuhan. Pada saat terjadi suatu peristiwa, seperti kematian, orangJawa memandang adanya saat-saat yang gawat atau saat-saat yang kritis, yaitusaat di mana individu yang bersangkutan dan kerabat dekatnya berada dalamkeadaan lemah yang sifatnya suci atau sakral. Keadaan yang gawat itu dapatmenimbulkan bahaya sosial, misalnya gangguan tatanan kosmos atau ancamanterhadap keseimbangan komunitas. Sumber terjadinya bahaya ini diyakiniberasal dari kekuatan adikodrati. Untuk mengantisipasi bahaya itu parapendukungnya lalu mengadakan selamatan (s/ametan).

c. Nelung dina atau Selamatan Setelah Tiga Ban KematianCara menentukan waktu selamatan hari dan pasaran ne/ung dina

digunakan rumus /usar/u, yaitu hari ketiga dan pasaran ketiga. Maksudnya,jika ada seseorang yang meninggal dunia pada hari Jum' at Kliwon waktuselamatan ne/ung dina jatuh pada hari Minggu Paing. Pelaksanakan selamatanbiasanya dilakukan malam hari menjelang hari dan pasaran ke tiga atau me/em(menjelang) Minggu Paing.

Selamatan ne/ung dina dimaksudkan sebagai upaya ahli waris untukpenghormatan kepada roh orang yang meninggal. Dalam kaitan ini orang Jawaberkeyakinan bahwa roh orang yang meninggal masih berada di dalam rumah.Namun roh tersebut sudah tidak berada di tempat tidur lagi. Roh sudah mulaiberkeliaran untuk mencari jalan agar dengan mudah meninggalkan rumah dananggota keluarganya. Oleh karena roh itu masih berada di dalam rumah,kadang-kadang juga masih sering hadir berkali-kali di sekitar keluarga.Kehadiran roh tersebut dapat berupa bayangan-bayangan (ketok-ketoken) atauton-tonen oleh anggota keluarga. Ada juga roh yang masih memperlihatkan dirimelalui mimpi anggota keluarga (ahli waris). ltulah sebabnya anggotakeluarga dan terutama anak-anak sering ketakutan. Untuk menghindariketakutan itu biasanya diadakan lek-/ekan atau cegah wungon yang dihadirioleh tetangga dan saudara. Acara ini sekaligus dimaksudkan untuk menghiburkeluarga yang ditinggalkan (kesripahan).

Selamatan ne/ung dina juga berfungsi untuk menyempumakan empatperkara yang disebut anasir hidup manusia, yaitu bumi, api, angin. dan air

167

--- - -- - ---

Page 8: Sinkritisme Dan Simbolisasi

'11, I

ntUk penyempurnaan anaslr 1m aIaaakan kenaunyang ubarampenya sarna dengan selamatan ngesur tanah. Keunikan ubarampeselamatan nelung dina ini belum memakai ubarampe apem. Saji-sajianselamatan dalam kenduri nelung dina dimaksudkan untuk memberikanpenghormatan kepada roh lain agar tidak mengganggu roh orang yang telahmeninggal. Upaya semaeam ini sesuai dengan penelitian Sularto dIck.(1982:41) yang isinya menjelaskan bahwa kebanyakan masyarakat Jawa masihtetap melestarikan kepereayaan lama yaitu tradisi pemberian sesajian kepadaarwah dan makhluk halus (dhanyang-dhanyang). Selamatan semaeam inisering dikategorikan sebagai aktualisasi agama Jawa.

Kepereayaan tersebut di atas merupakan sinkretik antara kepereayaananimisme dengan Islam yang dipadukan seeara rapi. Hal ini sepertidikemukakan oleh Geertz (1989:6) bahwa masyarakat Jawa sejak abad ke-15telah menganut tradisi animisme yang merupakan perpaduan (sinkretis) antaraunsur-unsur Hindu-Jawa dengan Islam. Bahkan Geertz dengan amat beranisetelah meneliti di daerah Mojokuto (Jawa Timur), menyatakan bahwa tradisiselamatan pada ritus kematian lebih banyak dilakukan dengan eara memberisaji-sajian pada roh. Kegiatan selamatan semaeam ini banyak dilakukan olehkaum abangan dibanding oleh kaum santri dan priyayi.

D. Mitung Dina atau Selamatan setelah Tujuh Rari KematianCara menentukan waktu selamatan hari dan pasaran mitung dina

digunakan tusaro, yaitu hari ke ketujuh dan pasaran kedua. Maksudnya, jikaorang meninggal dunia pada hari Jum' at Kliwon maka selamatan mitung dinajatuh pada hari Kemis Legi.

Selamatan mitung dina dimaksudkan untuk penghormatan terhadaproh. Setelah tujuh hari roh mulai keluar dari rumah. ltulah sebabnya seearasimbolis ahli waris membukakan genting atau eendela agar sebelum selamatandimulai agar roh orang yang meninggal dapat keluar dengan lanear dari rumah.Roh yang sudah keluar dari rumah akan berhenti sejenak di pekarangan atauberada di halaman sekitar (sajroning wangon). Untuk mempermudahpeIjalanan roh meninggalkan pekarangan ahli waris membantu dengan earaselamatan tahlilan, dan mendoakan.

Tahlil dilaksanakan selama 7 malam yang berupa baeaan (waosan

168

Page 9: Sinkritisme Dan Simbolisasi

kalimah tayibah). Kata tahli/ berasal dari kata Arab hal/ala yang berartimembaca kalimat "lAailaha il/al/ah" dengan tujuan mendoakan agar dosaorang yang meninggal diampuni. Pada malam terakhir, pembacaan tahlilditutup dan sekaligus selamatan mitung dina. Penutupan tahlil dimaksudkanjuga sebagai syukuran atas selesainya tahlil. Karena itu peserta kenduri diberisodaqoh berupa bancakan yang berisi nasi dan lauk pauknya. Kata bancakankemungkinan berasal dari tempat tumpeng pungkur yang dibuat dari anyamanbambu seeara renggang. Anyaman semaeam ini disebut ancak. Perkembanganselanjutnya berubah menjadi kata bancak.

Salah satu sajian atau ubarampe mitung dina yang unik adalahmemakai apem dan pasung. Kata apem kemungkinan berasal dari kata Arabafufun yang artinya mohon ampun. Ubarampe ini disajikan dengnan maksudagar orang yang meninggal diampuni segala dosa-dosanya. Ubarampe apemberbentuk bulatan lepek seperti piring keeiI. Bentuk ini mengandung maknasebagai alas jika orang yang meninggal nanti panas akan melewati ara-araMa'sar yang sangat lebar. Sebagai jodoh apem adalah pasung yangkemungkinan besar berasal dari perubahan bunyi kata payung. Pasung dib!JB.tdari daun nangka yang dibentuk seperti payung atau dalam bahasa Jawa kramadisebut songsong. Maksudnya, agar orang yang meninggal mendapatkansongsong (perlindungan) dari Tuhan.

.Dengan sajian-sajian di atas, selamatan mitung dina dimaksudkan jugauntuk menyempumakan kulit dan kuku orang yang meninggal (Bratawidjaja,1993:136). Pemaknaan demikian terkait dengan pengertian sangkan paran(asal-usul) badan wadhag manusia. Badan wadhag manusia berasal dari empatanasir (tanah, angin, air, api) barn dikatakan sempuma apabila telah diperingatidengan selamatan.

E. Matangpulub dina atau selamatan setelab 40 bari kematianCara menentukan waktu selamatan hari dan pasaran matangpuluh dina

digunakan rumus masarma, yaitu hari kelima dan pasaran kelima. Jika harigeblagnya Jum'at Kliwon, maka matangpuluh dina jatuh pada hari SelasaWage. Tepatnya perhitungan yaitu setelah kurang lebih selapan (35 hari) atauatau selapan dina hari Jum' at Kliwon barn dieari bari Selasa Wage.

Tradisi selamatan matangpuluh dina dimaksudkan sebagai upaya untuk

169

---

Page 10: Sinkritisme Dan Simbolisasi

---

mempennudah peIjalanan roh menuju ke alam lrubur. Ahl1 wans membanpeIjalanan itu dengan mengirim doa yaitu dengan bacaan tahlil dan selamatan.Ubarampe selamatan sarna dengan sajian pada waktu mitung dina(Padmosusastro, 1907:88-89). Dengan ubarampe selamatan yang bennacam-macam itu dimaksudkan sebagai sajian kepada roh dan jasad. Jasad yang hamsdisempurnakan adalah berupa darah, daging, sungsum,jeroan (isi perut), kuku,rambut, tulang, dan otot (Bratawidjaja, 1993:136).

Fungsi selamatan matangpuluh dina juga untuk memberipenghonnatan kepada roh orang yang meninggal yang sudah mulai keluar daripekarangan (sanjabaning wangon) dan akan menuju ke alam kubur. Pada saatini roh sudah mulai bergerak sedikit demi sedikit menuju alam kubur. Rohmulai mencari jalan yang lurus dan bersih yaitu jalan mana yang ketikapemberangkatan jenazah sudah disapu. Jika jalannya sudah bersih maka tidakakan ada aral melintang untuk menuju alam kubur. Fungsi selamatan ini sesuaidengan esensi selamatan yang sebenarnya yaitu sebagai upaya pemujaan padaroh orang yang meninggal.

Hal ini seperti tersebut di atas dikemukakan oleh Koentjaraningrat(1974:268-269) bahwa di sekitar hidup manusia akan tinggal berbagai macamroh dari orang yang telah meninggal. Roh tersebut dapat mengganggu hidupmanusia jika tidak dipuja atau dipelihara semestinya. Sebaliknya, roh jugadapat mendatangkan keberuntungan jika dipuja atau diberi selamatan. Bahkanmenurut Baal (1987:89) bentuk religi tertua manusia adalah animism, yaitukepercayaan adanya roh-roh orang yang telah meninggal. Hal ini sesuai denganpendapat Taylor (Koentjaraningrat, 1985:12-13), yaitu jika orang telah mati,jiwa dan raganya terlepas selamanya. Jiwa mereka merdeka, bebas berbuatsekehendaknya. Alam semesta penuh dengan jiwa-jiwa merdeka seperti itu.Jiwa-jiwa tersebut tidak disebut soul (jiwa) lagi, melainkan spirit (makhlukhalus). Spirit ini mempunyai posisi yang lebih kuat dibanding manusia yangmasih hidup, karena mereka mampu mengontrol manusia, sebaliknya manusiapada umurnnya tidak dapat melihatnya secara langsung. ltulah sebabnya, jikamakhluk halus ini tidak mendapat perlakuan tertentu, orang Jawa takut jikamereka memberikan gangguan tertentu.

Senada dengan penafsiran demikian dalam buku-buku kuna milikorang Jawa, yakni Serat Kadilangu dan Serat WaliSanga juga ada pemaknaan

170

Page 11: Sinkritisme Dan Simbolisasi

selamatan ke arab penyempumaan jiwa dan raga manusia. Menurut keduakarya itu, makhluk hidup terdiri dari tubub jasmani (slira), termasuk jugakeinginan yang disebut kamarupa. Jasmani bisa bergerak karena adanya atma(semangat, energi), kama (keinginan) dan nafsu (prana). Manusia jugamemiliki akal (manas), kecerdasan (manasa), dan jiwa. Apabila orang telabmeninggal dan jasmaninya mulai membusuk, maka atma, kama. prana, manas,manasa, dan jiwa-nya mulai meninggalkan jasmani pada bari ketiga, tetapimasib diliputi oleb bentuk tubub yang menyerupai bentuk asli, yang terdiri darizat yang lebib balus dan ringan. Oleb karena itu tubuhnya dinamakanlingaselira (makhluk balus). Makhluk balus yang masib mempunyai keinginanini dibimbing malaikat ke Kama/oka yang dicapai pada bari ketujuh. Akantetapi ia barus melewati jembatan siratu mustakim. Jika yang bersangkutanmempunyai banyak dosa maka ia akan tercebur ke neraka. Jika amalnya baik,akan masuk ke Kamaloka pada bari ke-40. Sementara ia memumikan dirinyapada bari ke-l00. Ia baru akan sampai ke surga pada bari ke-l000. Selanjutnyaakan berulang-ulang sampai menjadi sempuma mencapai surga ketujub danmoksa (Koentjaraningrat, 1984: 336-338).

Pendapat demikian merupakan sinkretisme antara Hindu-Jawa denganIslam. Dalam kepercayaan Hindu moksa adalab menjadi dambaan setiapumatnya. Bagian lain buku tersebut juga menyebut adanya idiom-idiom Islamseperti siratu mustakim. Kemungkinan karya tersebut menjadi pedomanpenting dalam kebidupan masyarakat Jawa (pada zaman para wali) babkansampai sekarang masib ada yang melaksanakan.

F. Nyatus dina atau Selamatan Setelah 100 Had KematianCara menentukan waktu selamatan bari dan pasaran digunakan rumus

perbitungan bari rosarma, yaitu bari kedua dan pasaran kelima. Jika ada orangmeninggal dunia pada bari Jum' at Kliwon, maka selamatan nyatus dina jatuhpada bari Minggu Wage. Cara menentukan adalab dengan mengbitung ataumencari Minggu Wage setelab hari kematian berjumlab (genap) tiga bulan.Setelab tiga bulan berarti sudab mencapai kira-kira 90 bari dan tinggalmenentukan 10bari lagi segera mencari bari Minggu Wage.

Tradisi selamatannyatus dina dimaksudkanuntuk menyempumakansemuabal yang bersifat badan wadhag(Bratawidjaja,1993:136).Di samping

171

--- --

Page 12: Sinkritisme Dan Simbolisasi

I~ . - - __

alam kubur. Di alam kubur ini, roh masih sering kembali ke dalam keluargasampai upacara selamatan tahoo pertama (mendhak pisan) dan peringatantahun kedua (mendhakpindho).

Ubarampe selamatan nyatus dina sarna dengan sajian selamatan nelungdina mitung dina, matangpuluh dina. Perbedaannya pada selamatan nyatusdina sudah menggunakan pasung, ketan, dan kolak. Pasung yang dibuat sepertigoooog (payung) dari daoo nangka dan diisi bahan dari gandum. Maknanyaadalah agar yang meninggal mendapatkan payung (perlindoogan). Karenaorang yang meninggal akan melewati jalan panjang dan panas, maka untuk diadibuatkan ketan sebagai alas (lemek) agar kakinya tidak panas. Ketan jugabermakna raketan artinya mendekatankan diri kepada Tuhan. Sajian jugadilengkapi kolak yang berasal dari kata khalik atau kolaq (pencipta). Dengansajian semacam ini, diharapkan orang yang meninggal akan dengan lancarmenghadap Sang Khalik.

Penafsiran semacam itu menoojukkan bahwa ada perpaduan antaraHindu-Jawa dengan Islam yang pada prinsipnya orang Jawa mempooyaidambaan ootuk kembali kepada Tuhan dalam keadaan tata titi tentrem(tenang). Hal ini seperti halnya dikemukakan Geertz (1989:416) bahwa kondisitenteram dan selamat adalah dambaan setiap individu dan masyarakat Jawa.Langkah ootuk mencapai keselamatan yang selalu ditempuh adalah menjagakesatuan kekuatan adikodrati, yakni bahwa dalam rangkaian kosmos itu dihooioleh makhluk-makhluk seperti roh leluhur, dewa, jin, yang mbaureksa,lelembut. dhemit, thuyul, dan sebagainya. Makhluk-makhluk ini dimoogkinkanberasal dari roh orang meninggal yang salah kedaden. Seperti halnya, jika adaorang Jawa yang mati konduran (meninggal karena melahirkan), matimenggantung diri, dan mati-mati yang lain yang tidak wajar. Masih ada yangpercaya bahwa roh-roh orang mati tersebut akan berkeliaran (gentayangan) disekitar manusia.

Uraian di atas menoojukkan bahwa tradisi selamatan kematianmerupakan upaya ootuk menghuboogkan diri orang yang hidup dengan rohorang yang meninggaI. Upaya ini menggambarkan bahwa sebagian masyarakatJawa percaya bahwa roh orang yang telah mati itu masih "hidup" di alam

172

Page 13: Sinkritisme Dan Simbolisasi

semesta. Roh tersebut perlu dijaga dan diupayakan agar tidak mengganggu,bahkan dibarapkan dapat mendatangkan kebahagiaan (Endraswara, 1998:4).

G. Meodhak Sepisao atau Selamatao Setelah Satu Tabuo KematiaoCara menentukan waktu selamatan hari dan pasaran mendhak pisan

digunakan rumus patsarpat yaitu hari keempat dan pasaran keempat.Maksudnya jika ada orang meninggal dunia pada hari Jum' at Kliwon makanselamatan mendhak pisan jatuh pada hari Senin Pon setelah hari kematiangenap satu tabun.

Ubarampe yang digunakan pada selamatan ini sama dengan selamatannyatus dina. Fungsi selamatan ini adalah untuk menyempumakan kulit, daging,dan jeroan (Bratawidjaja, 1993:136). Di samping itu juga mempunyai fungsiuntuk mengingat-ingat kembali akan jasa-jasa orang yang telah meninggal.Ahli waris pada selamatan ini harus mengingat kebesaranalmarhumlalmarhumah. Karena itu selamatan mendhak pisan (nyetauni) seringdisebut juga meling. Kata meling berasal dari kata eling artinya mengingat-ingat. Konsep mengingat-ingat juga terkandung pesan yang lain, yaitu sebagaiupaya ahli waris untuk instrospeksi diri bahwa mereka pada saatnya juga akandipanggil oleh Tuban. Dengan cara ini mereka akan lebih berhati-hati dalamhidup dan akan meningkatkan amal perbuatan. Kecuai itu, mereka juga akanlebih yakin bahwa kematian adalah peristiwa khusus.

Hal demikian itu sesuai dengan tesis Hertz (Koentjaranir.b="~~,198~:28-29) penganut tradisi meyakini bahwa orang yang telah mati memang adahubungan khusus pula dengan ahli waris. Keyakinan ini menganggap (1)bahwa peralihan kedudukan sosial ke kedudukan sosial lain adalah suatu masakrisis, suatu masa yang penuh dengan bahaya gaib, tidak hanya bagi individuyang bersangkutan, tetapi juga bagi seluruh masyarakat; (2) anggapan bahwajenazah dan juga semua orang yang ada hubungan dekat dengan orang yangmeninggal itu dianggap mempunyai sifat keramat (sacre); (3) bahwa peralihankedudukan sosial tadi tak dapat berlangsung sekaligus tetapi setingkat demisetingkat melalui masa antara yang lama; (4) anggapan bahwa upacara inisiasiharus mempunyai tiga tahap, yaitu tahap melepaskan si objek dari hubunganmasyarakatnya yang lama, tahap yang mempersiapkannya bagi kedudukannyayang baru, dan tabap mengangkatnya ke dalam kedudukan yang baru;

173

-

Page 14: Sinkritisme Dan Simbolisasi

(5) bahwa pada persiapan masa inisiasi si objek merupakan seorang makhlukyang lemah sehingga hams dikuatkan dengan berbagai upaeara ilmu gaib.

Dari pendapat itu dapat dimengerti bahwa orang yang telah matimemang memiliki kedudukan lain. Orang yang mati akan menempuh berbagaitataran atau tingkatan yang masing-masing tingkatan harus dipersiapkan betul-betul oleh ahli warisnya dengan eara mengirimkan doa dan selamatan.

H. Meodbak Piodbo atau Selamatao Setelab Dua Tabuo KematiaoCara menentukan waktu selamatan hari dan pasaran mendhak pindho

digunakan rumus jisar/u, yaitu hari kesatu dan pasaran ketiga. Caramenghitung adalah setelah satu dua tahun dari hari kematian (geblag) diearipada bulan yang sarna dengan pada waktu meninggalnya. Jika ada orang yangmeninggal pada hari Jum' at Kliwon berarti mendhak pindho jatuh pada hariJumat Paing.

Selamatan mendhak pindho dimaksudkan untuk menyempumakansemua kulit, darah dan semaeamnya. Pada saat ini jenasah sudah haneur luluh,tinggal tulang saja (Bratawidjaja, 1993:136). Pada saat ini juga dilakukanpengiriman doa dengan eara tahlil dan sajian selamatan. Ubarampe selamatansarna dengan selamatan sebelumnya.

Tradisi selamatan kematian sangat mungkin merupakan hasilakumulasi kepereayaan masyarakat Jawa dengan kepereayaan lain, sepertiadanya pengaruh Hindu, Buda, dan Islam. Akibat dari pembauran kepereayaanini dinamakan sinkretisme Jawa (Sujamto, 1992:13-15). Hal ini seperti halnyajuga dikemukakan Geertz (1989:529) bahwa di Jawa sering teIjadi manifestasi-manifestasi Islam sinkretik dalam arti, umpamanya, kepereayaan dan ritual-ritual Jawa tetap dipertahankan sebagai ritual Islam setempat. Hasil sinkretikitu telah mewarnai kehidupan masyarakat Jawa sehingga hampir sulitdipisahkan antara kepereayaan asli dan kepereayaan yang mempengaruhinya.

I. Nyewu atau Selamatao Setelah Seribu Hari KematiaoCara menentukan waktu selamatan hari dan pasaran seribu hari

(nyewu) digunakan rumus nemsarma yaitu hari keenam dan pasaran kelima.Cara menghitung dengan menentukan hari setelah waktu kematian setelahmenjelang tiga tahun atau setelah kurang lebih 2 tahun 10 bulan segera dieari

174

Page 15: Sinkritisme Dan Simbolisasi

hari yang eoeok. Jika meninggal hari Jumat Kliwon selamatan nyewu jatuhpada bari Rabu Wage.

Nyewu boleh dikatakan sebagai puneak dari rangkaian selamatankematian. Pada saat ini orang Jawa meyakini bahwa roh manusia yangmeninggal sudah tidak akan kembali ke tengah-tengah keluarganya lagi. Rohtersebut betul-betul telah akan meninggalkan keluarga untuk menghadapTuhan. ltulah sebabnya selamatan pada saat ini dilaksanakan lebih besardibanding selamatan sebelumnya. Karena itu untuk pembaeaan kalimahtayibah (tahlil) pun peserta yang diundang juga jauh lebih banyak. Jikasebelumnya tidak memakai makanan sesudah tahlil, biasanya selamatan nyewumemakai makan bersama. Setelah makan bersama lalu dilaksanakan kenduri.

Selamatan nyewu ini, biasanya, ditandai dengan upaeara ngijing ataunyandhi. Untuk mengganti patok yang setelah tiga tahunan mestinya sudahmulai rusak. Kifing yang digunakan berasal dari bahan kayu, bukan daTibatu.Hal ini sebagai tanda agar anak eueunya nanti mau menggantikannya. Denganeara menggantikan itu mereka akan menjadi ingat pada leluhur yang telah mati.Berbeda dengan kijing yang dibuat dari batu yang sangat mungkin selamanyatidak akan rusak atau diganti.

Ubarampe selamatan pada saat nyewu memang ada yang sarna denganselamatan sebelumnya. Namun ada sedikit kekhususan yaitu pemakaianubarampe yang berupa penyembelihan kambing. Kambing yang disembelihdiupayakan sarna dengan kambing yang disembelih pada saat geblag. Kambingini dimaksudkan sebagai tumpakan roh orang yang mati agar selamat melewatiwot siratolmustakim.

Ubarampe selamatan yang lain yang menunjukkan bahwa hubunganroh dengan keluarga sudah pisah, adalah pemakaianpisang raja satu sisir yangdiikat dengan benang putih. Benang tadi oleh kaum pada saat memimpin doa(ngekralke) diputus menggunakan gunting. Pemutusan ini menandai bahwasudah tidak ada hubungan lagi antara roh orang yang meninggal dengankeluarga. Keeuali itu juga digunakan ubarampe merpati putih bagi keluargayang lebih mampu. Merpati itu lalu diterbangkan ke angkasa setelah selesaiselamatan. Hal ini berarti seagai tanda bahwa roh orang yang mati telah pergijauh atau telah lepasparane, pulang ke alam kelanggengan.

Selamatan nyewu juga sering dinamakan selamatan mendhak ketiga.

175

Page 16: Sinkritisme Dan Simbolisasi

--

Fun~sinra adalah untuk menyempumakanrasa dan bau orang yang mati

sehingga semua rasa dan bau lenyap (BratawIGJaJa,1~~j: Ub). Karena l.~,setelah nyewu jika ada keluarga yang lain meninggal sudah boleh dikebumikandi dekatnya. Maksudnya bahwa jasat orang yang mati sebelumnya andaikatadigali di dekatnya sudah tidak ada bau apa-apa.

Uraian di atas tampak bahwa pelaksanaan selamatan memang adapercampuran kepercayaan antara Hindu-Jawa dengan Islam. Oalam hal iniditandai dengan penggunaan doa-doa dan tahlil secara Islam namun di balik itumereka juga masih membakar kemenyan dan membuat saji-sajian.Kepercayaan Hindu-Jawa ini dalam konsep religiusitas Jawa sering dinamakansinkretisme Jawa (Sujamto, 1992:13). Istilah sinkretisme dalam kamusAntropologi (1985:373) diberi arti sebagai "kombinasi segala unsur daribeberapa agama dan kepercayaan yang berbeda, kemudian terpadu menjadisatu yang kemudian merupakan agama atau kepercayaan versi baru".

Secara keseluruhan para penganut sinkretisme itu kebanyakan adalahkaum abangan. Hal ini sesuai dengan pendapat Koentjaraningrat (1984:209)bahwa pelaksanakaan selamatan sebenamya timbul karena didorong olehsistem kepercayaan masyarakat Jawa, terutama yang dilakukan oleh kaumabangan. Kaum abangan adalah kontras dari penganut kaum putihan(penganut Islam mumi). Kaum abangan biasanya kurang serius dalammenjalankan agama Islam dan lebih ke arah campuran dengan kepercayaan.

DAFfAR PUSTAKA

Bratawidjaja, Thomas Wiyasa. 1993. Upacara Tradisional Masyarakat Jawa.Jakarta: Sinar Harapan.1997. Mengungkap don Mengenal Budaya Jawa. Jakarta: PradnyaParamita.

Endraswara, Suwardi. 1998. Ritus dan Kepercayaan Masyarakat Jawa.Yogyakarta: Makalah, tidak dipublikasikan.

Geertz, Clifford. 1987. Keyakinan Religius don Perilaku Ekonomi di Sebuah

176

Page 17: Sinkritisme Dan Simbolisasi

Desa di Jawa Tenga; Sebuah Pemikiran Awal dalam Colletta danVmar Kayam "Kebudayaan dan Pembangunan; Sebuah pendekatanterhadap Antropologi Terapan di Indonesia". Jakarta: Yayasan OborIndonesia.

1989. Abangan, Santri, Priyayi. Jakarta: Pustaka Jaya.

Geertz, Hildred. 1981. Aneka Budaya dan Komunitas di Indonesia. Jakarta:yayasan Ilmu-Ilmu Sosial dan FIS VI.

Hudson, AB. 1996. Siklus Hidup dalam T.O. Ihromi "Pokok=PokokAntropologi Budaya ". Jakarta: Yayasan OOOr.

Koentjaraningrat. 1974. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: DianRakyat.

1984. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.

1985. Ritus Peralihan di Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Padmosusastro. 1907. Serat Tatacara Jilid III. Yogyakarta: Balai KajianSejarah dan Nilai Tradidional.

Suhardi. 1986. Konsep "Sangkan Paran " dan Upacara Selamatan dalamBudaya Jawa. Yogyakarta: Depdikbud, Javanologi.

Sujamto. 1992. Reorientasi dan Revitalisasi Pandangan Hidup Jawa.Semarang: Dahara Prize.

Sularto, Bambang dkk., 1982. Upacara Tradisional Daerah IstimewaYogyakarta. Yogyakarta: Depdikbud.

Suyono, Aryono. 1985. Kamus Antropologi. Jakarta: Akademika presindo.

177

Page 18: Sinkritisme Dan Simbolisasi

-- ---_.

178

Page 19: Sinkritisme Dan Simbolisasi

179

Page 20: Sinkritisme Dan Simbolisasi

.-- -

180