sinemasastra, mencari bahasa di dalam teks visual

9
163 Humaniora Volume XV, No. 2/2003 * Hasil penelitian dengan Dana Masyarakat Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, 2002 ** Doctorandus, Magister Humaniora, Staff Pengajar Jurusan Sastra Prancis, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. SINEMASASTRA: MENCARI BAHASA DI DALAM TEKS VISUAL* Muslikh Madiyant** 1. Pengantar ajian sastra di Indonesia selama tiga dasawarsa belakangan sudah men- cakup pengembangan teori, kritik, dan sejarah. Pada perkembangan ini, kajian sastra di negeri kita belum menaruh perhatian secara memadai pada bidang penelitian yang bersifat lebih khusus dan sistematis, yakni sastra bandingan (komparatisme). Kenyataan ini dapat dimengerti jika disadari bahwa untuk memasuki bidang komparatisme dituntut sejumlah perangkat dasar yang cukup memadai pula. Dia harus seorang sejarawan sastra transnasional; dia harus memiliki informasi sastra asing secara memadai; memiliki pengetahuan secara luas ekspresi- ekspresi seni di luar sastra, memiliki kemampuan membaca teks atau ekspresi tidak dalam bahasa ibunya (Madiyant, 1996:16-18). Kaitan pernyataan di atas dengan perubahan nama Fakultas Sastra menjadi Fakultas Ilmu Budaya memiliki relevansi signifikan, dalam arti di lingkungan wacana pengetahuan baru ini amat mungkin di- kembangkan bidang-bidang kajian yang baru yang selama ini terabaikan. Data dan fakta dapat berbicara dalam hal ini. Selama tiga tahun (enam semester) peneliti menyampai- kan kuliah ‘sinemasastra’ pada tiga angkatan mahasiswa Sastra Roman, sambutan yang diperoleh cukup signifikan. Dari tiga angkatan ini telah dihasilkan dua skripsi bertopik sinemasastra. Sambutan tersebut dapat dijadikan indikator terterimanya bidang kajian baru di lingkungan Fakultas Ilmu Budaya. Faktor-faktor terterimanya kajian sinema- sastra karena bidang ini meliputi beberapa aspek seperti berikut. 1. Sebagai pelanjutan atau pengembangan dari bidang kajian sastra dan linguistik (Odin, 1990:25-28). 2. Secara teoretis, sinemasastra adalah bidang kajian sinema yang berbasiskan pada sastra masih bertumpu pada aspek komparatisme teks dengan visualitas sinematografi (Metz, 1977: 117-118). 3. Sasaran kajian sinema naratif adalah mengangkat majas-majas makna (hubungan antara keseluruhan penanda dengan keseluruhan tinanda) yang menjadi sifat khas sinema dan penelitian seperti ini adalah penelitian semiologi tingkat pertama (berbasiskan linguistik struktural) yang mengutamakan analisis sintagmatik pada tingkat kemungkinan perbedaan modelnya dalam hubungannya dengan pengoperasian alur cerita (Madiyant, 1998:70). 2. Pemikiran yang Muncul Dari uraian-uraian di atas terdapat bebe- rapa ancangan pemikiran yang teridentifikasi antara lain: (a) seberapa jauh peluang sine- masastra menjadi kajian di lingkup ilmu-ilmu humaniora, dan, (b) seberapa jauh ilmu-ilmu humaniora memberi dukungan ilmiah ter- hadap bidang kajian sinema yang berbasis- kan sastra.

Upload: global-culture-institute

Post on 05-Jun-2015

217 views

Category:

Education


3 download

TRANSCRIPT

163Humaniora Volume XV, No. 2/2003

Sinemasastra: Mencari Bahasa di dalam Teks Visual

* Hasil penelitian dengan Dana Masyarakat Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada,2002

** Doctorandus, Magister Humaniora, Staff Pengajar Jurusan Sastra Prancis, Fakultas IlmuBudaya Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

SINEMASASTRA: MENCARI BAHASADI DALAM TEKS VISUAL*

Muslikh Madiyant**

1. Pengantar

ajian sastra di Indonesia selama tigadasawarsa belakangan sudah men-cakup pengembangan teori, kritik, dansejarah. Pada perkembangan ini,

kajian sastra di negeri kita belum menaruhperhatian secara memadai pada bidangpenelitian yang bersifat lebih khusus dansistematis, yakni sastra bandingan(komparatisme). Kenyataan ini dapatdimengerti jika disadari bahwa untukmemasuki bidang komparatisme dituntutsejumlah perangkat dasar yang cukupmemadai pula. Dia harus seorang sejarawansastra transnasional; dia harus memilikiinformasi sastra asing secara memadai;memiliki pengetahuan secara luas ekspresi-ekspresi seni di luar sastra, memilikikemampuan membaca teks atau ekspresitidak dalam bahasa ibunya (Madiyant,1996:16-18).

Kaitan pernyataan di atas denganperubahan nama Fakultas Sastra menjadiFakultas Ilmu Budaya memiliki relevansisignifikan, dalam arti di lingkungan wacanapengetahuan baru ini amat mungkin di-kembangkan bidang-bidang kajian yang baruyang selama ini terabaikan. Data dan faktadapat berbicara dalam hal ini. Selama tigatahun (enam semester) peneliti menyampai-kan kuliah ‘sinemasastra’ pada tiga angkatanmahasiswa Sastra Roman, sambutan yangdiperoleh cukup signifikan. Dari tiga angkatanini telah dihasilkan dua skripsi bertopiksinemasastra. Sambutan tersebut dapat

dijadikan indikator terterimanya bidang kajianbaru di lingkungan Fakultas Ilmu Budaya.

Faktor-faktor terterimanya kajian sinema-sastra karena bidang ini meliputi beberapaaspek seperti berikut.1. Sebagai pelanjutan atau pengembangan

dari bidang kajian sastra dan linguistik(Odin, 1990:25-28).

2. Secara teoretis, sinemasastra adalahbidang kajian sinema yang berbasiskanpada sastra masih bertumpu pada aspekkomparatisme teks dengan visualitassinematografi (Metz, 1977: 117-118).

3. Sasaran kajian sinema naratif adalahmengangkat majas-majas makna(hubungan antara keseluruhan penandadengan keseluruhan tinanda) yangmenjadi sifat khas sinema dan penelitianseperti ini adalah penelitian semiologitingkat pertama (berbasiskan linguistikstruktural) yang mengutamakan analisissintagmatik pada tingkat kemungkinanperbedaan modelnya dalam hubungannyadengan pengoperasian alur cerita(Madiyant, 1998:70).

2. Pemikiran yang Muncul

Dari uraian-uraian di atas terdapat bebe-rapa ancangan pemikiran yang teridentifikasiantara lain: (a) seberapa jauh peluang sine-masastra menjadi kajian di lingkup ilmu-ilmuhumaniora, dan, (b) seberapa jauh ilmu-ilmuhumaniora memberi dukungan ilmiah ter-hadap bidang kajian sinema yang berbasis-kan sastra.

164 Humaniora Volume XV, No. 2/2003

Muslikh Madiyant

Pengembangan kajian sinema yangberbasiskan sastra di perguruan tinggi kurangdiperhitungkan kepantasannya sebagaibidang baru yang memberi angin segar bagiperagaman studi-studi ilmu budaya. Hal inidapat terjadi oleh karena para penelitisebelumnya lebih melihat sinema sebagaisimbol budaya yang gagal mewakili esensipermasalahan-permasalahan pembangunan(a), atau melihat sinema sebagai sekedarsimbol hegemoni suatu kebudayaan instan(b), dan yang tak kalah penting menduduk-kan sinema semata sebagai produk massalyang gagal merengkuh penontonnya di tengah-tengah kemajemukan khalayaknya (c).

Pengembangan kajian sinema berbasis-kan sastra, dalam tulisan ini, diyakini memilikiharapan besar dalam mengungkap fungsidan sistem tanda seni pada ekspresi sine-matografis.

3. Tinjauan Pustaka

Penelitian tentang sinema Indonesiayang berwujud teori/analisis skripsi, tesis,makalah, artikel, laporan penelitian, dansebagainya tidak disangsikan jumlahnya.Dari sekian penelitian tersebut yang ber-kaitan dengan penelitian ini adalah sepertiberikut.1. Penelitian yang dikerjakan oleh Jacques

Aumont, dkk (Esthétique du film,‘Estetika Film’, 1983) menolak pendapatbahwa teori film hanya mungkin di-berangkatkan dari film itu sendiri sebabteori-teori dari luar film sekedar men-jelaskan aspek-aspek skunder film yangpada hakikatnya tidak esensial. Aumontberteori bahwa film adalah suatu tempatyang mempertemukan pelbagai unsuryang terkadang sama sekali tidakmemiliki hubungan dengan sinema-tografi. Untuk mendekati sinema,Aumont mengajukan teori bahwa teorisinema lebih sering diasimilasikandengan pendekatan estetik dan daripemahaman ini Aumont menyusun teoriestetika sinema melalui disiplin-disiplinlinguistik, psikoanalisis, ekonomi politik,ideologi, ikonologi, dst. Dengan teorinya

ini Aumont ingin menggapai sinemasebagai bangunan logika, konstruksipsikologi persepsi, dan teori seni.

2. Penelitian Roger Odin (Cinéma et pro-duction de sens ‘Sinema dan ProduksiMakna’, 1990) mencoba lebih fokus lagidengan membasiskan film sebagaiproduk bahasa. Dengan proposisinya ituOdin membangun pendekatan disiplinerobjek sinema melalui pendekatansemio-linguistique. Pendekatan Odinbermaksud mengurai mekanismeproduksi makna dan memahamkanbagai film mungkin dipahami.

3. Christian Metz (Le signifiant imaginaire‘Penanda Imajiner’, 1977) memandanghubungan antara penonton dengansinema cukup kompleks karena institusifilm berpokok pada dua sistem: film danteks. Ketika film diciptakan, aktorlahyang menguasai film, tetapi ketika filmdiputar sebagai produk masal, penonton-lah yang hadir di dalam aktor. Dengandemikian, sinema sebagai sebuah bidangkajian agaknya lebih mementingkankehadiran penonton sebagai ‘pembaca’,sebagai kehadiran yang menghadirkandan memberi makna pada film.

4. Landasan Teori

Sebagai media rekam, film menyajikangambar figuratif dalam bentuk objek-objekfotografis yang dekat dengan kehidupanmanusia. Gambar gerak figuratif, secarasemiotik, dapat disebut tanda tingkat pertama,sedangkan tanda tingkat keduanya ada padagerakan gambar itu sendiri (Garsies, 1993:15-16). Akan tetapi, pernyataan tersebut tidakdapat dijadikan suatu prioritas suatu langkahawal, terutama yang berkaitan denganstrategi naratif. Untuk itu, diperlukan pilihandengan cermat apa yang menjadi prioritassecara semiotik pada dataran naratif.Pluralitas material yang terdapat pada sinemanaratif, pada hakikatnya, bersifat heterogendan mampu memproduksi pelbagai tandayang berbeda. Tanda-tanda itu tersebar dalam

165Humaniora Volume XV, No. 2/2003

Sinemasastra: Mencari Bahasa di dalam Teks Visual

tiga kelas utama: tanda ikonik, tandalinguistik, dan tanda musikal (Aumont, 1983:65-66).

5. Pembahasan

5.1 Paramasastra Sinema

Ketika sinema sebagai suatu kreasiartistik mulai diperkenalkan di Prancis,selepas PD II, ada usaha-usaha untuk mem-bangun paramasastra sinema (grammairesdu cinéma) dalam rangka memahami sinemaseni yang bergantung pada bahasa. Pen-dekatan sinema dalam model itu sangatmenekankan upayanya pada pembentukanparamasastra (estetika) normatif.

Melalui pendekatan estetika normatiftersebut, bahasa sinema tidak dioposisikandengan sistem bahasa, tetapi justru ber-oposisi dengan sastra. Usaha ini, untuksementara, dipandang masih menganutsuatu logika berpikir yang lazim. Artinya,paramasastra sinema tersebut dalamfaktanya selalu berakhir pada rumusanbagaimana membuat film yang baik danbenar.

Pendekatan model ini membekalipeminat sinema (dan sineas) sederetpanjang daftar ketidakbakuan, kekeliruanyang harus dijauhi, dan kesalahan-kesalahanfatal yang tidak boleh dilakukan—agarsutradara jangan terlalu sembrono mencetakefek-efek stilistika khusus.

5.2 Pintu Pertama Sinema:Semiopragmatik

Kekeliruan kaum tradisionalis dalammendekati sinema tidak lain sebetulnyabagian dari upayanya membangun kebe-naran seni penayangan suatu zaman.Kebenaran fakta ini terlihat dari definisi yangdisusun Bataille (1978): ”Paramasastrasinema mempelajari kaidah-kaidah senipenayangan gagasan yang baik dan benardalam rangkaian gambar animasi—yangmembentuk film”.

Kebenaran yang ingin dibangun adalahkebenaran yang secara gramatikal penge-liruan realitas riil sebab sebelumnya telahdisepakati bahwa bahasa sinema bukanlah

bahasa verbal. Sebagai perangkat ekspresi,bahasa sinema agaknya lebih tepat disebutsebagai bahasa universal. Sedemikianuniversalnya sehingga kata-kata tidak lagimampu membungkus kebenaran universaldengan sewenang-wenang.

Membaca keris dalam salah satuadegan film Bulan Tertusuk Ilalang karyaGarin Nugroho, resepsi yang amat mungkindirasakan adalah menelanjangi estetikanormatif kultur kekerasan Jawa. Demikianjuga dalam membaca Bukan suPermen,komedi televisual Deddy Mizwar, resepsi ataskebebasan sineas dalam komedi berniatmenertawakan kesaktian para kyai.

Pertanyaan yang kemudian muncul: darimana sinema bisa dipahami sebagaibahasa?

Ada sejumlah pintu yang mungkin dapatdimasuki.

Pintu pertama yang mungkin dimasukiadalah semiopragmatik (semio-linguistik)versi Roger Odin, yakni versi yang mencobamemandang atau memahami film secarasemiologis dengan pendekatan kebahasaan.Sebagai pendekatan, semiopragmatik cukupbergantung pada linguistik struktural modelSaussure. Dalam tata kerjanya, pendekatanini tidak lagi membicarakan penggunaanbahasa (sinema), tetapi justru mencobamemahami mekanisme bahasa (sinema).

Dengan kata lain, memahami sinemamelalui semiopragmatik mengimplikasikanbahwa segala sesuatu yang amat pentingdalam sinema harus diuji terlebih dulukepentingannya. Jika sesuatu yang pentingsecara sinematografis, tetapi tidak meng-ungkap relevansi semiolinguistik, hal itu akandisisihkan, misalnya permasalahan ekonomi(sinema sebagai industri), permasalahanadministrasi (bagaimana berfungsinyaorganisasi-organisasi besar yang menguasaiperfilman), permasalahan teknologi (konsepsikamera, proyektor, film negatifnya), perma-salahan sosiologi publiknya (bagaimanapengaruh film terhadap penontonnya, siapasajakah penontonnya, dan seterusnya.

Metz menegaskan bahwa semioprag-matik sinema mencoba membatasi objek-nya sebatas pada keseluruhan film. Dalampengertian ini, semiopragmatik membangun

166 Humaniora Volume XV, No. 2/2003

Muslikh Madiyant

sebuah dikotomi fakta, yakni fakta sinemato-grafis dan fakta filmis.

Pada penyebutan fakta filmis telahdikenal sebelumnya sejumlah pendekatan,misalnya pendekatan sosiologis (film sebagairefleksi atau produk masyarakatnya), historis(sejarah suatu genre atau penelitian evolutifkarya-karya seorang sineas, atau bahkananalisis film-film periode historis tertentu),psikoanalisis (film sebagai konstruksifantasme), estetika (film sebagai karya seni),dan seterusnya.

Posisi yang dipilih semiopragmatikdalam pemahaman ini adalah dimensikebahasaan fakta-fakta filmis.

Dalam pilihan tersebut semiopragmatikharus menghadapi semacam percabanganobjek. Pertama, penelitian yang mencobamemandang film sebagai karya senyatanyadalam pautannya untuk mempertegas singu-laritas dan totalitas penandaannya melahir-kan suatu cabang yang dinamai analisis teksfilm. Kedua, penelitian yang mementingkanperspektif teori dalam upayanya untuk men-jelaskan mekanisme-mekanisme produksimakna yang merupakan totalitas film me-lahirkan cabang berikutnya yang dinamaianalisis bahasa sinema.

Perbedaan yang mungkin diterka daridua pendekatan di atas terdapat padaperbedaan dataran alamnya. Meskipun kelakperbedaan ini akan melahirkan banyak per-masalahan, meskipun pula perbedaan ituakan memunculkan ragam-ragam modeleksplikatif, agaknya analisis bahasa relatiflebih berpeluang. Dalih yang dapat diangkatdari pernyataan itu, analisis bahasa sinemamerupakan suatu kesungguhan upaya untukmendeskripsikan dan menjelaskan fungsi-fungsi (proses) suatu produksi makna pem-bentuk karya.

Analisis tekstual film yang mendasar-kan diri pada kerja interpretatif dihadangsemacam kendala kriterium. Maksudnya,kriterium tekstual film belum ditemukan.Satu-satunya pintu kriterium yang mungkindimasuki adalah kriterium internal yang,diakui atau tidak, memiliki suatu konsistensivaliditas kriterium, yakni koherensif (analisis-nya diharapkan tidak melawan asumsi-asumsinya) dan ketuntasannya (memper-

hitungkan totalitas unsur penanda teks).Hanya saja, kriterium terakhir ini cenderungmenitik pada aspek horisonnya, bukannyapada aspek objektifnya.

Berdasarkan fakta di atas, satu-satunyakriterium evaluasi analisis tekstual adalahproduktivitasnya. Analisis tekstual sebuahfilm hanya akan memiliki raison-d’êtrenyajika—dalam hal ini pembacaan filmnya beradapada visi penonton—memberi peulang suatuproduksi pengetahuan riil. Hal itu bisa dicapaidengan menemukan sistem penandaan baru(analisisnya disetarakan dengan model pem-bacaan penonton, tetapi lebih variatif), ataupula dengan memahami semaksimal mungk inaspek-aspek tertentu sistem film.

Analisis demikian kelak menjadi suatumetapembacaan yang mencoba meng-angkat proses produksi makna dan situasibatin. Kedua sasaran tujuan ini tidak dapatdikatakan eksklusif karena keduanya mampumembentuk analisis dengan validitas memadaijika keduanya dipadukan.

Masalah yang akan muncul dalamkasus analisis tekstual film bukan lagi padaperdebatan ilmiah dan tidak ilmiah, tetapipada daya retorikanya, pada perangkat pe-mahaman sebuah teks dan pada kapasitasyang mampu menciptakan secara inter-subjektif pengontrolan wacana pada teksyang dimanfaatkan sebagai sumber data(Eco, 1988:11).

Antara analisis bahasa sinematografidan analisis teks memang dipisahkan olehpendekatan masing-masing dalam rangkamembangun ambisi ilmiahnya karena telahdipahami bahwa derajat ilmiah antarilmu diluar semiologi tidaklah sama. Terlebih lagijika ilmu tersebut dalam kinerjanya menjalan-kan kegiatan interpretasi.

5.3 Prinsip Penandaan Kode Sinema

Kode dalam pemahaman ini adalahsejumlah konfigurasi penanda yang berpautanlangsung dengan suatu tipe (materi) eks-presinya. Pada pengertian ini terbetik suatugagasan bahwa bahasa sinema adalahsebuah kode. Ringkasnya, penelitian tentangbahasa sinema adalah penelitian kode-kodeyang mengintervensi bahasa.

167Humaniora Volume XV, No. 2/2003

Sinemasastra: Mencari Bahasa di dalam Teks Visual

Untuk memahaminya, terlebih duluharus ditemukan prinsip-prinsip relevansinyadengan analisis bahasa dalam terminologikode-kode. Roger Odin menawarkan sejumlahprinsip seperti berikut.

Prinsip I : tidak mencampuradukkanpendekatan sistematik dengan pendekatanestetik (normatif). Prinsip II: tidak men-campuradukkan kode dengan sistem tekstual.Penelitian sistem tekstual bertautan dengananalisis tekstual (pesan-pesan film),penelitian kode-kode bertautan dengananalisis bahasa sinema. Prinsip III: semuabahasa harus dideskripsikan sebagaikombinasi kode-kode. Prinsip IV: kode-kodetidak tersedia sebelum analisis; analisisdidahului oleh satuan-satuan bentukan yangbukan satuan-satuan teramati. Prinsip V:konstruksi kode-kode harus diadaptasikanpada relevansi penelitian.

Kelima prinsip relevansi kode sinematersebut di atas, secara implisit memper-taruhkan daya intuitif yang dimiliki penontondalam hal fungsi-fungsi bahasa sinema.Namun,anehnya, justru intuisi yang selamaini membongkar mekanisme produksi suatupengecohan (makna)—dan inilah, jika maudiakui, salah satu sasaran dan daya tarikpenelitian bidang-bidang semiologi.

Penelitian teks dan resepsinya dalammodel Roger Odin—bagaimana bahasamenandai, memproduksi makna dan mem-bentuk perangkat untuk mempengaruhi oranglain—sejatinya memang suatu pragmatisme.

Isme tersebut tidak meletakkan penonton/pembaca sebagai penonton/pembaca riil,tetapi sebagai institusi yang berperan pentingdalam menghadirkan film sebagai sinema.Peluang yang mungkin dipetik dari semio-pragmatik Odin, menurut persepi peneliti,adalah dimungkinkannya pengembanganpragmatik pada materi ekspresi lain.

Semiolingusitik sinema merupakanupaya membangun bahasa sinemato-grafi. Termasuk dalam upaya ini adalahmenunjukkan mekanisme-mekanismeproduksi makna dan memahami filmuntuk dapat dipahami.Secara gamblang dapat dikatakan

bahwa semiolinguistik adalah cabang darisemiologi. Sebagai istilah yang terlanjur

dikenal, definisi semiologi yang dipahamkandalam penelitian ini adalah ilmu yang menelititotalitas tanda (Barthes, 1957).

Pilihan dasar teori tersebut merupakansuatu keputusan langkah karena semiologibukanlah satu dan tidak pula hanya satu-satunya. Dengan kata lain, membicarakansemiologi menuntut suatu penyikapan. Padabatas-batas tertentu, pengertian tanda dalamsemiologi kini sudah mengalami semacamkorosi dan pada batas-batas tertentu lainnya,kata meneliti menyembunyikan keragamanobjek penelitian dan metode yang rumit.

Meskipun demikian, sebelumnya harussama disepakati bahwa tradisi semiologi(atau semiotik) memiliki dua tokoh besar. DiEropa kita mengenal Ferdinand de Saussure(1857-1913) dan di Amerika kita mengenalCharles Sanders Pierce (1839-1914).Menurut Saussure (1988:33), semiologimerupakan suatu perluasan dari linguistik:

Bahasa merupakan sistem tandayang mengantarkan gagasan-gagasandan sistem tersebut dapat ditilik padatulisan, alfabet, ritus-ritus simbolik,bentuk-bentuk kesantunan, sinyal-sinyal militer, dsb. Dalam posisi ini,bahasa merupakan pokok terpentingdalam sistem-sistem tersebut. Makadengan sendirinya kita dapat menerimakehadiran ilmu yang meneliti kehidupantanda-tanda di tengah-tengah masyara-kat. Ilmu ini akan menjadi bagian daripsikologi umum dan dinamai semiologi(semion, tanda—Yunani). Ilmu ini akanmengajarkan kepada kita terdiri dari apasajakah tanda-tanda itu dan kaidah-kaidah apakah yang dimainkannya.Karena ilmu itu belum lagi ada, kitatidak bisa mengatakannya seperti apa;tetapi, ilmu itu berhak untuk mengadakarena tempatnya sudah dipersiapkansebelumnya.

Sedangkan bagi Pierce (1978:120),semiotika merupakan logika:

Logika, dalam arti luas, hanyaakan memunculkan satu nama lain,yakni semiotika, yakni semacam dok-trin tanda yang bersifat remi dan in-formal.

168 Humaniora Volume XV, No. 2/2003

Muslikh Madiyant

Di tengah persimpangan dua konsepsiterkemuka ini, Roland Barthes sempattergoda dalamkeraguan.

Konsepsi pertama membangun semio-logi sebagai suatu metode analisis-kritikkebiaasaan-kebiasan atau kelaziman-kelaziman sosial karena diperlakukansebagai produsen penandaan (lebih jauh lihatdalam Mythologies, 1957).

Konsepsi kedua menciptakan semacamtranslinguistik karena konsepsi ini ‘merebut’satuan-satuan terbesar penandaan wacana.Inilah yang kelak menyebabkan semiologimuncul sebagai suatu pengalihan lingusitik-ftastik dengan memanfaatkan sebuahlingusitik yang meneliti tipe-tipe produksiteks. Lazim, jika kemudian orang mem-bicarakan semiotik wacana, semiotik puisi,semiotik naratif, dst.

Dari upaya-upaya pengembangan ituharus ditambahkan lagi dengan upaya A.J.Greimas yang mengembangkan semiotiksebagai suatu teori umum tentang sistem-sistem penandaan yang mampu menguraiproses-prose produksi makna (proses inibermain dalam bahasa-bahasa verbal, non-verbal, atau dalam kenyataan sehari-hari)—yang pada saat bersamaan, proses semio-logis itu oleh Umberto Eco dipandangsebagai bentuk paling konkret pada filsafatbahasa seperti yang pernah dipikirkan olehCassirer, Husserl, atau Wittgentein (1988:14)—yang kelak berkembang dalam semiologikognitif yang diilhami oleh kecerdasan artifisial(Michel Colin), semiologi katastrofis (JeanPetitot) yang digayutkan dengan teorimatematika René Thom.

Kemajemukan ini diharapkan tidakmembingungkan, sekurang-kurangnya padadataran objek sasarannya. Sebagian semio-log mencoba membatasi diri pada fenomena-fenomena komunikatif dalam arti yang akanhanya dipedulikan adalah proses penyam-paian informasi yang menggunakan sistem-sistem konvensional secara eksplisit sepertirambu-rambu lalu lintas, nomor telepon,sinyal militer, simbol kimia dan matematika,tanda-tanda grafis, semafor, nomor jalur bus,kamar hotel, dsb. Tokoh-tokoh palingrepresentatif dalam semiologi komunikasi iniantara lain George Mounin, Eric Buyssens,Luis J. Prieto, dan Jeanne Martinet.

Beberapa semiolog yang kurang setujuterhadap pembatasan objek penelitiansemiologi membangun semiologi penandaandalam rangka menemukan sebuah ilmu yangsecara total mampu meneliti produk-prosukmakna dalam masyarakat. Di barisan iniBarthes (1957:79) berdiri terdepan.

.... semiologi memiliki objekpenelitian berupa sistem tanda apa saja,baik dalam wujud substansial dannonsubstansial seperti gambar, tindak-tanduk, bunyi melodius, benda-benda,dan substansi kompleks yang dapatditemukan dalam ritus-ritus, protokol-protokol atau pertunjukan. Pada haki-katnya, semua itu membangun sistempenandaan.

Sejatinya, di jantung semiologi sinema,semiolinguistik hanya salah satu pendekatansaja. Pendekatan-pendekatan di luarsemiolinguistik agaknya terlalu bertele-telejika disertakan dalam pembicaraan ini,terutama semiopsikoanalisis. Alasan yangmungkin dikemukakan rasanya masuk akal.

Pertama, mahasiswa Ilmu Budayasudah dibekali dasar-dasar linguistik.Logisnya, adalah lazim jika mempelajarisesuatu yang telah dikenali dari pada yangtidak dikenali sama sekali.

Kedua, mempelajari semiopsikoanalisismenuntut suatu perubahan konseptualpedagogisnya. Berbeda halnya jika yangdipelajari adalah semiolinguistik.

Ketiga, mempelajari semiolinguistikmerupakan suatu usaha pendekatan privilesedengan dasar pemikiran: di satu pihakbahasa merupakan sistem tanda bahasayang paling dikenali dewasa ini dan, di pihaklain, pemikiran ini memang mendasarkan diripada salah satu pemikiran Saussure (1972:101): “ilmu bahasa dapat dijadikan sebagaisumbernya sumber semiologi, meskipun didalamnya bahasa manusia hanya merupakansalah satu sistemnya saja”.

Perbedaan peristilahan antara semiotikdan semiologi berkaitan dengan masalahkebiasaan. Di Prancis, penyebutan semiotikselalu dihubungkan dengan teori makna yangdikembangkan Greimas. Dalam pemahamanini semiotik adalah ilmu yang menel i t i

169Humaniora Volume XV, No. 2/2003

Sinemasastra: Mencari Bahasa di dalam Teks Visual

produksi makna secara umum. Dengandemikian, semiotik Greimas berposisi denganlinguistik dan semiologi yang meminati objek-objek khusus. Linguistik dipahami sebagaiilmu yang meneliti bahasa-bahasa komunikasimanusia (Indonesia, Prancis, dsb), sedangkanbahasa-bahasa non-natural atau artifisial(bahasa informatika, misalnya) tidak diminatilinguistik. Sementara itu, semiologi dipahamisebagai ilmu yang meneliti bahasa yangbukan bahasa-bahasa natural sepertilukisan, musik, fotografi, sinema, dst.

5.4 Semiolinguistik Struktural

Secara historis, semiolinguistik ber-kembang dari reruntuhan kegagalan epis-temologi grammaire traditionelle yangdiperkenalkan oleh linguistik struktural.

Paramasastra tradisional adalah se-macam upaya untuk membakukan pemakai-an bahasa secara baik dan benar. Parama-sastra seperti ini adalah model yang me-ngumpulkan kesalahan-kesalahan yangharus dihindari dan berakibat fungsi bahasatidak terjelaskan. Yang paling dirasakan dikelak kemudian hari adalah tidak terwakilinyakompetensi linguistik para pemakai bahasa.Sementara, norma-norma bahasa itu sendiriselalu dipautkan dengan pengarang-pengarangyang bereputasi di soal menulis.

Contoh-contoh yang diajukan parama-sastra tradisional itu, dengan sendirinya,menacampuradukkan antara bahasa tulisawam dengan bahasa tulis sastra. Wajar jikakemudian paramasastra ini lebih pantasdisebut sebagai estetika normatif.

Linguistik struktural menolak hegemoniparamasastra itu dengan cara membangunpendekatan melalui analisis deskriptif daneksplikatif terhadap semua produk bahasa.Dalam analisis struktural yang diutamakanbukan lagi penggunaan bahasa, tetapimencoba memahami mekanisme-mekanismefungsi bahasa. Menurut Saussure, dasarpemikiran linguistik struktural adalah tatakerja konstruksional.

Konstruksi tersebut meliputi penolakan-penolakan. Bagi Saussure, penolakan iniantara lain menolak parole (cara mengguna-kan bahasa pada individu—tuturan aktual)

sebagai objeklinguistik. Persoalannyasederhana, linguistik adalah ilmu yangmeneliti sistem bahasa—yang menjadibagian sosial di luar bahasa individu, yangtidak diciptakan atau direkayasa olehnya.

Meski oposisi langue/parole terbilangusang, tetapi proses penyisihan objekpenelitian adalah fundamental bagi pen-dekatan linguistik (dan ilmu-ilmu lainnya).

Tata kerja linguistik struktural yangkedua adalah membangun sistem yangmemberi peluang penjelasan fungsi kese-luruhan produk bahasa. Dalam pemahamanini setiap bahasa manusia senantiasaterbentuk oleh sistem-sistem seperti sistembunyi (fonem), sistem bentuk dan kata(morfem dan semantem). Sistem-sistem inibersifat koheren, antara satu dengan lainnyasaling bergantung.

Saussure memberi contoh permainancatur. Setiap orang yang ingin bermain caturtidak perlu mempelajari sejarah catur yangdibawa dari Persia ke Eropa (eksternal),yang penting dipelajari adalah sistem-sistemdan kaidah permainan catur (internal). Jikabidak catur dari gading diganti dengan bidakterbuat kayu, hal itu tidak akan mengubahsistem apa pun. Persoalannya akan lainketika bidak itu dikurangi atau ditambahi,perubahan itu akan mengubah paramasastrapermainan catur.

Untuk alasan itulah linguistik strukturalmenolak semua penjelasan yang bersifatekstralinguistik. Prinsip ini disebut dengannama imanensi.

Pada opsi itulah semiolinguistik sinemadibangun.

5.5 Pendekatan Bahasa Nonsemio-linguistik

Tidaklah bijak mendefinisikan semio-linguistik sinema dengan mengabaikandefinisi-definisi yang terlanjur ada sebelumnya,meski definisi itu berada di luar pendekatankebahasaan.

Sebelum semiologi terlibat dalamsinema, sudah banyak teks yang membica-rakan sinema dalam perspektif lain.

Di antara sekian banyak teks yangterkumpul, disusunlah empat kelompok jenisteksnya.

170 Humaniora Volume XV, No. 2/2003

Muslikh Madiyant

1. Teks-teks yang ditulis oleh para sineasitu sendiri: Lev Koulechnov, Dziga Vertov,S.M. Eisenstein, V.I. Poudovkin, JeanEpstein, Marcel Pagnol, René Claire,dst.

2. Teks-teks yang ditulis oleh kritikus film:André Bazin, Serge Daney (dalam hariantabloid Libération), dst.

3. Teks-teks yang berminat membangunteori sinema: Rudolf Arnheim, BelaBalazs, Etienne Souriau, Gilbert Cohen-Séat, Edgar Morin, Jean Mitry, dst.

4. Teks-teks yang berambisi pada didaktikseperti tulisan François Chevassu atauMarcel Martin.

Teks-teks yang dikelompokkan dalamklasifikasi umum ini mencoba memper-tahankan konsepsi sinema. Posisi teksnyabisa bergulir dari sineas ke non-sineas,sedangkan pendekatan yang ditempuhnyaestetik normatif.

Selain teks-teks itu, ada karya-karya lainyang mencoba memposisikan diri sebagaiparamasastra sinema. Teks yang palingdikenal adalah Grammaire cinémato-graphique tulisan Robert Bataille (1947) danEssai de grammaire sinématographiquekarangan André Berthomieu (1946).

Biasanya, teks-teks tersebut memilikikonsepsi yang sama dengan paramasastratradisional.

“Karena yang dihadapi adalah suatumodus bahasa baru, diperlukan definisi-definisi dan kaidah-kaidah untuk dite-gaskan pada satu titik...Maka calonsineas harus memiliki pemandu untukmempelajari pengarang bermutu”(Bataille dalam Introduction).

Untuk itulah pengarang perlu dijadikanreferensi konstan.

“Sineas harus berkinerja layaknyapengarang yang, setelah memilih kata-kata dalam rangka untuk mengeliminasikesadaran atau ketaksadaran, danmenempatkannya dalam susunantertentu, mengubah sebuah kata danakibatnya mengubah susunan kalimat

dan hal ini membawa akibat padaperubahan kata-kata lainnya.”(Bataille)

Lazim pula jika kemudian AndréBerthomieu memperkenalkan prinsipfundemantal skenario pada pengantar Pierreet Jean karya Guy de Maupassant.

Tujuan utama paramasastra itu adalahpencapaian sedapat mungkin bon stylecinématographique atau un style harmonieuxmelalui pengetahuan ‘kaidah-kaidah funda-mental’ dan ‘kaidah-kaidah yang pasti’ yangmenggerakkan konstruksi sebuah film.

Dalam paramasastra ini segala sesuatu-nya didatarkan pada aspek-aspek yangefektif saja. Kebakuan memang menjadikemutlakan dalam paramasastra ini. Sebagaicontoh, pengambilan gambar harus meng-ikuti kaidah-kaidah paramasastra gambarjika menginginkan efek dramatik suatuadegan. Adalah tabu, misalnya, meng-gerakkan kamera secara tiba-tiba membidikclose-up sebuah objek. Jika kamera sudahmengarah pada satu arah, saat menembaksuatu objek, gambar berikutnya harusdigerakkan ke arah yang sama.

Lazimlah jika paramasastra sinemato-grafi menyusun daftar kekeliruan yang tidakboleh dilakukan, kesalahan gawat yangharus dihindarkan, ketidakumuman yangtidak boleh dikerjakan. Itu semua demipencapaian gaya khusus yang akan mem-bantu sineas memiliki style.

Pendeknya, estetika yang digerakkanoleh paramasastra tadi sama sekali analogdengan paramasastra tradisional yang terjadipada bahasa. Keduanya menghendakisegalanya harus transparan (“Teknik palingdahsyat adalah teknik yang tidak kasatmata,” Berthomieu); harus berbau realisme(“Gambar haruslah menyajikan kebenar-an,”Bataille); harus tepat, jelas, dan se-imbang (Bataille).

Pada akhirnya dicapailah definisi tatabahasa sinematografi:

Paramasastra sinematografi mempe-lajari kaidah-kaidah yang menuntun senipenayangan secara baik dan benarsejumlah gagasan melalui rangkaian gambaranimasi untuk membentuk sebuah film.

171Humaniora Volume XV, No. 2/2003

Sinemasastra: Mencari Bahasa di dalam Teks Visual

6. Kesimpulan

Jati diri esensial semiolinguistik adalahketerputusannya dengan pendekatan estetiknormatif tradisional.

Tentu saja, keterputusan ini tidak bersifatfatal dan drastis. Fakta mempelihatkanbahwa pendekatan normatif itu hingga kinibelum tergantikan oleh semiologi. Sampaihari ini, sebagian besar tulisan tentangsinema masih menggunakan pendekatannormatif. Kritikus, sutradara, danbahkanbuku-buku teori sinema masih terbukti meng-gunakan estetika normatif.

Kenyataan tersebut harus diterimasebagai suatu koeksistensi.

Teks-teks normatif tersebut memilikitugas dan fungsi tersendiri, seperti mem-berikan kontribusi pada putaran mesinsinema, merangsang emulasi di kalangansutradara, dan terutama untuk menggiringperhatian penonton pada film.

Ringkas kata, teks-teks normatif ter-sebut menciptakan dinamika di ranahsinematografi sebagai kelaziman soal jikadiingat teks merupakan bagian tak terpisah-kan darinya.

Semiolinguistik sinema dalam kasus initidak menjadi substitusi teks-teks normatiftersebut. Semiolinguistik adalah hal lain,yakni menempatkan dirinya di ruang lain,yakni di luar ranah sinematografi karena ruangdisiplinnya memang berbeda.

Di sisi lain, relasi antara pendekatanlinguistik dengan studi bahasa sinemato-grafiterbilang amat terlambat jika ditilik dariperkembangan linguistik yang sudahmerangsek ke seluruh bidang. Satu hal lainyang harus dicatat, semua pendekatansinema yang berbasis linguistik secara defakto bukanlah semiolinguistik.

Dua contoh yang menarik dapat diaju-kan. Hingga kini masih terdengar pendapatyang menyebutkan teks-teks formalis Rusiamerupakan upaya pertama pendekatansemiologi sinema dalam pengertian paraformalis tersebut menulis tentang film berbaisanalisis linguistik.

Sejatinya, pemanfaatan analisis linguis-tik para formalis Rusia dalam sinema secaramasif masih normatif. Target kaum formalis

ini selalu puitika (dipakai dalam judul kumpul-an artikel kelompok Poetika Kino di Moskow),atau stilistik (salah satu artikel pokok BorisEichenbaum yang berjudul Permasalahansine-stilistika).

Fakta ini sesungguhnya ingin mengata-kan bahwa estetika Formalis masih mencobamempertahankan diri khas formalis Rusia:mengopsisikan art versus non-art.

DAFTAR PUSTAKA

Aumont, Jacques, et al. 1983. Esthétiquedu cinéma. Nathan, Paris.

Barthes, Roland. 1957. Mythologies. Seuil,Paris.

Bataille, Robert. 1978. Théorie du cinéma.CinémaAction No. 20, Paris.

Bertomieu, André. 1946. Essai de grammairecinématographique. La Nouvelle Edition,Paris.

____________. 1975. En sortant du cinéma.Communications No. 23, Paris.

Garcies, André. 1993. Le Récit filmique.Universitaires de Frances, Paris.

Madiyant, Muslikh. 1996. “Sastra Bandingan:Metode dan Permasalahannya”. FakultasSastra, Universitas Gadjah Mada,Yogyakarta.

____________.1998. “Estetika SinemaElektronik dalam Kasus Si Doel AmakSekolahan” dalam Humaniora No. 7Edisi Januari-Maret, Yogyakarta.

Metz, Christian. 1977. Le Signifiantimaginaire. U.G.E., Paris.

Odin, Roger. 1990. Cinéma et production dessens. Armand Colin, Paris.

Pierce, Ch.S. 1932. Collected Papers. Cam-bridge, London.

Saussure, Ferdinand de. 1972. Cours delinguistique générale. Payothèque,Paris.