sinekologi padang lamun akibat tekanan … · kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau...

267
SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN ANTROPOGENIK: STUDI KASUS PULAU BARRANGLOMPO DAN BONEBATANG KEPULAUAN SPERMONDE SULAWESI SELATAN KHAIRUL AMRI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012

Upload: dangque

Post on 12-Mar-2019

282 views

Category:

Documents


6 download

TRANSCRIPT

Page 1: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT

TEKANAN ANTROPOGENIK: STUDI KASUS

PULAU BARRANGLOMPO DAN BONEBATANG

KEPULAUAN SPERMONDE SULAWESI SELATAN

KHAIRUL AMRI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2012

Page 2: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,
Page 3: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER

INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi dengan judul “Sinekologi

Padang Lamun Akibat Tekanan Antropogenik: Studi Kasus Pulau Barranglompo

dan Bonebatang Kepulauan Spermonde Sulawesi Selatan” adalah karya saya

dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun

kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip

dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah

disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir

disertasi ini.

Bogor, Juli 2012

Khairul Amri

NRP G363070021

Page 4: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,
Page 5: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

ABSTRACT

KHAIRUL AMRI. Synecology of Seagrass Ecosystem due to Increased

Anthropogenic Pressure: Case Study in Barranglompo and Bonebatang Islands of

Spermonde Archipelago, South Sulawesi. Supervised by DEDE SETIADI,

IBNUL QAYIM, and D. DJOKOSETIYANTO.

Anthropogenic pressures along coastal areas particularly in small islands

have increased in accordance with increasing of human population. A study has

been conducted in two small islands within Spermonde Archipelago, South

Sulawesi i.e. Barranglompo and Bonebatang Islands to elaborate impacts of

increased anthropogenic pressure to the assemblages of seagrass beds and their

associated organisms. Combined field sampling and laboratory analysis were

applied to provide data and information on the impacts of anthropogenic activities

occurred in small islands to the seagrass ecosystem. In Barranglompo Island,

there were two activities with high intensity i.e. ship/boat transportation and

domestic sewage disposal. Analysis of carbon contents of seagrass Enhalus

acoroides showed that this species contributed to carbon stocks as much as 0.49-

1.05 ton/ha in Barranglompo Island, while in Bonebatang Island, the values

ranged between 0.08-0.34 ton/ha. Meanwhile, nitrogen concentrations in

Barranglompo Island were significantly higher than those in Bonebatang Island.

This was supported by lower C:N ratios and higher N:P ratios in Barranglompo

Island and significantly different nitrate contents of water column between both

Islands (p 0.01). Potential anthropogenic activities affecting nutrient

composition in Barranglompo Island were domestic sewage disposal and drainage

of liquid household sewage. Based on the water quality parameter measured, It

was concluded that anthropogenic activities in Barranglompo and Bonebatang

Islands affected turbidity and Total Suspended Solid (TSS) only. Seagrass

communities in Barranglompo and Bonebatang Islands were composed of eight

and seven species, respectively, that grow in mixed community. Thalassia

hemprichii was species with the highest important value index in both islands.

Most of macroalgae found in both islands live as epilithic (litophytic) and epipelic

(rhizophytic). Three positive and two negative associations in Barranglompo and

one positive and five negative associations in Bonebatang were formed among

pairs of macrophytes. Analysis of macrophyte structure in both islands classified

Barranglompo in moderate ecological status, whereas Bonebatang had high

ecological status. This status indicated that in Barranglompo was detected a

change in macrophyte composition due to anthropogenic pressure. The highest

similarity index was found among stations in the same island indicating that

different islands have different macrophyte assemblages. Among all sea urchin

species found in both islands, Tripneustes gratilla and Diadema setosum were

two dominant species having the highest density. Index of Preponderance

revealed that T. hemprichii was the largest seagrass diet within almost all sea

urchin guts. Electivity index indicated that sea urchins prefer several seagrass

species especially T. hemprichii.

Key words: anthropogenic, Barranglompo, Bonebatang, macrophyte, nutrient,

seagrass, sea urchin.

Page 6: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,
Page 7: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

RINGKASAN

KHAIRUL AMRI. Sinekologi Ekosistem Padang Lamun Akibat Tekanan

Antropogenik Di Kepulauan Spermonde Provinsi Sulawesi Selatan. Dibimbing

oleh DEDE SETIADI, IBNUL QAYIM, dan D. DJOKOSETIYANTO.

Sebagai negara kepulauan, selain memiliki wilayah laut yang luas,

Indonesia juga memiliki garis pantai sepanjang 81.000 km. Wilayah perairan laut

yang sangat luas ini memiliki banyak kekayaan alam hayati berupa tumbuh-

tumbuhan (flora) dan hewan (fauna) yang beraneka ragam bentuk dan jenisnya.

Salah satu kekayaan flora laut yang banyak tersebar di perairan pantai Indonesia

adalah lamun. Lamun kadang membentuk hamparan luas di pantai sehingga

dikenal sebagai padang lamun (seagrass beds). Padang lamun memiliki banyak fungsi penting di perairan pantai, namun,

padang lamun juga merupakan salah satu ekosistem yang mudah mengalami

kerusakan dan perubahan. Berkurangnya penutupan padang lamun dapat

disebabkan oleh faktor alami maupun aktivitas manusia (antropogenik).

Tekanan antropogenik pada daerah pantai terutama pulau-pulau kecil

semakin meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk. Oleh karena

itu, penelitian yang bertujuan untuk mengkaji sinekologi ekosistem padang lamun

akibat tekanan antropogenik yang terjadi di pulau kecil dengan jumlah penduduk

berbeda telah dilaksanakan pada dua pulau dalam gugusan Kepulauan

Spermonde, Sulawesi Selatan yaitu Pulau Barranglompo dan Pulau Bonebatang.

Penelitian ini dilaksanakan mulai dari bulan Mei 2010 sampai bulan Juli 2011

dengan mengamati beberapa aspek yaitu: aktivitas antropogenik yang terjadi di

pulau kecil, struktur komunitas lamun, potensi grazing oleh bulu babi, asosiasi

dan interaksi makrofita (lamun dan makroalgae), dinamika nutrien jaringan lamun

dan kolom air serta kualitas perairan habitat padang lamun pada tekanan

antropogenik yang berbeda.

Aktivitas antropogenik diamati melalui pengamatan langsung terhadap

kegiatan sehari-hari penduduk yang ada di pulau lokasi penelitian dan didukung

dengan informasi masyarakat mengenai aktivitasnya selama ini. Dari pengamatan

ini 9 aktivitas antropogenik yang teridentifikasi di Pulau Barranglompo yang

sangat padat penduduknya, sedangkan di Pulau Bonebatang yang tidak

berpenduduk, terdapat 2 aktivitas yang berlangsung saat ini. Di Pulau

Barranglompo, terdapat dua aktivitas antropogenik yang memiliki intensitas

tinggi yaitu lalu lintas kapal/perahu dan pembuangan sampah rumah tangga.

Untuk mengetahui dampak dari aktivitas antropogenik terhadap status

nutrien pada jaringan lamun dan kolom air, dilaksanakan pengukuran pada daun

lamun Enhalus acoroides dan kolom air. Sampel diambil dari daun lamun E.

acoroides dan air permukaan pada tiga stasiun dengan jarak berbeda dari garis

pantai pada masing-masing pulau. Analisis kandungan karbon pada daun lamun

E. acoroides menunjukkan potensi stok karbon jenis ini di Pulau Barranglompo

berkisar antara 0.49-1.05 ton/ha, sedangkan di Pulau Bonebatang berkisar 0.08-

0.34 ton/ha. Sementara itu, hasil pengukuran nutrien menunjukkan bahwa

konsentrasi nitrogen di Pulau Barranglompo jauh lebih tinggi dibandingkan Pulau

Bonebatang. Nilai rasio C:N yang lebih rendah dan nilai rasio N:P yang lebih

tinggi di Pulau Barranglompo memperkuat hal ini. Perbedaan ini

mengindikasikan pengaruh dari pengayaan hara akibat aktivitas antropogenik

Page 8: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

yang semakin meningkat. Hal ini didukung oleh hasil pengukuran nutrien pada

kolom air dimana konsentrasi nitrat sangat berbeda nyata antara Pulau

Barranglompo dan Pulau Bonebatang (p 0.01). Aktivitas antropogenik yang

paling potensial mempengaruhi komposisi nutrien di Pulau Barranglompo adalah

pembuangan sampah rumah tangga dan aliran limbah cair dari rumah penduduk

di sekitar pantai.

Faktor lingkungan memiliki pengaruh yang besar terhadap struktur

komunitas dan pola penyebaran lamun beserta biota asosianya. Sebaliknya

kompleksitas struktural lamun dapat juga mempengaruhi faktor lingkungan

tersebut. Oleh karena itu, parameter lingkungan yang meliputi suhu, salinitas,

ukuran butir sedimen, kekeruhan, padatan tersuspensi total, arah dan kecepatan

arus, dan tinggi gelombang telah diukur di Pulau Barranglompo dan Pulau

Bonebatang. Suhu dan salinitas di kedua pulau memiliki pola yang hampir sama

dimana nilai yang tinggi dijumpai di sisi selatan, sedangkan yang lebih rendah di

sisi barat laut. Jenis pasir halus memiliki proporsi terbesar dalam struktur sedimen

di kedua pulau. Kekeruhan di Pulau Barranglompo telah melampaui ambang

batas baku mutu lingkungan terutama pada stasiun yang berdekatan dengan garis

pantai. Kekeruhan di Pulau Barranglompo nyata (p 0.05) dari Pulau

Bonebatang. Begitupula dengan padatan tersuspensi total (TSS) di Pulau

Barranglompo lebih tinggi dibandingkan dengan Pulau Bonebatang dan berbeda

sangat nyata (p 0.01). Sementara itu kecepatan arus dan tinggi gelombang di

kedua pulau relatif tidak berbeda nyata (p 0.05). Dapat disimpulkan bahwa

aktivitas antropogenik mempengaruhi kekeruhan dan padatan tersuspensi total,

namun tidak mempengaruhi parameter lain.

Pengamatan struktur komunitas lamun dilakukan pada 3 stasiun

berdasarkan jaraknya dari garis pantai: stasiun A diambil pada vegetasi lamun

terdekat dengan garis pantai, stasiun B berjarak sekitar 100 m dari garis pantai,

dan stasiun C berjarak sekitar 200 m dari garis pantai dimana lamun sudah

berbatasan dengan daerah terumbu karang. Sampling pada setiap stasiun

dilakukan pada 9 sub stasiun mengelilingi pulau. Struktur komunitas lamun yang

diamati meliputi kerapatan, frekuensi, luas penutupan, morfometri (panjang dan

lebar) daun lamun dan indeks luas daun. Sebanyak 8 spesies lamun teridentifikasi

di Pulau Barranglompo, sedangkan di Pulau Bonebatang dijumpai 7 spesies.

Thalassia hemprichii merupakan spesies yang memiliki nilai indeks nilai penting

(INP) tertinggi baik di Pulau Barranglompo maupun Pulau Bonebatang. Hasil

pengukuran morfometri daun lamun menunjukkan bahwa daun E. acoroides, H.

uninervis, S. isoetifolium dan T. hemprichii di Pulau Barranglompo lebih panjang

dibandingkan dengan spesies yang sama di Pulau Bonebatang, sedangkan daun C.

rotundata dan H. ovalis di Pulau Barranglompo sedikit lebih pendek daripada

yang dijumpai di Pulau Bonebatang. Nilai indeks luas daun di Pulau

Barranglompo memperlihatkan pola menurun dengan semakin jauhnya stasiun

dari garis pantai, sedangkan di Pulau Bonebatang relatif lebih merata.

Untuk mengkaji interaksi dan asosiasi makrofita pada lokasi yang

memiliki tekanan antropogenik berbeda, dilakukan pengamatan terhadap kategori

lifeform, kelimpahan, biomassa, asosiasi lamun dan makroalgae, indeks evaluasi

ekologi dan indeks similaritas. Transek kuadrat digunakan untuk sampling

makroalgae pada tiga stasiun yang memiliki jarak berbeda dari garis pantai.

Sebanyak 22 spesies makroalgae dijumpai di Pulau Barranglompo, sedangkan di

Page 9: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

Pulau Bonebatang, ditemukan 20 spesies. Kebanyakan makroalgae yang

ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik

(rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya, di Pulau Barranglompo dijumpai asosiasi

positif antara pasangan Cymodocea rotundata-Thalassia hemprichii,

Acanthophora spicifera-Laurencia papillosa, dan Dictyota bartayresiana-

Laurencia papillosa, sedangkan asosiasi negatif didapatkan pada dua pasangan

yaitu Enhalus acoroides-Halodule uninervis dan Thalassia hemprichii-Halodule

uninervis. Di Pulau Bonebatang, asosiasi positif dijumpai pada pasangan C.

rotundata-H. uninervis saja, sedangkan asosiasi negatif dijumpai pada beberapa

pasangan yaitu. C. rotundata-A.spicifera, C. rotundata-Actinoritchia fragilis, E.

acoroides-H. uninervis, T. hemprichii-Gracilaria coronopifolia, dan T.

hemprichii-Sargassum crassifolium. Sementara itu, untuk menguji fungsi

makrofita sebagai bioindikator perubahan ekosistem akibat tekanan antropogenik,

didapatkan bahwa Pulau Barranglompo memiliki status ekologi sedang dan Pulau

Bonebatang memiliki status ekologi sangat bagus. Indeks similaritas tertinggi

dijumpai antar stasiun pada pulau yang sama, sehingga disimpulkan bahwa pulau

yang berbeda memiliki konfigurasi makroalgae yang berbeda dan sangat

dipengaruhi oleh aktivitas antropogenik yang berlangsung di pulau-pulau

tersebut.

Untuk mengkaji potensi grazing oleh bulu babi dilakukan pengamatan dan

pengukuran aspek-aspek yang meliputi komposisi jenis, kepadatan, diameter test

dan analisis isi perut. Kepadatan bulu babi diamati dalam plot kuadrat (3 m x 3

m) yang dipasang secara acak pada daerah lamun mulai dari pinggir pantai

sampai kedalaman dimana lamun masih tumbuh. Diameter cangkang (test) bulu

babi diukur menggunakan mistar geser langsung di lapangan, sedangkan isi

perutnya diamati di laboratorium. Terdapat 6 jenis bulu babi yang sama pada

masing-masing pulau yaitu Diadema setosum, Echinothrix calamaris, Echinothrix

diadema, Echinometra mathaei, Mespilia globulus dan Tripneustes gratilla. Bulu

babi jenis T. gratilla dan D. setosum merupakan jenis yang dominan dan memiliki

kepadatan tertinggi di kedua pulau. Indeks pilihan masing-masing jenis bulu babi

mengindikasikan bahwa bulu babi menyukai berbagai jenis lamun, terutama T.

hemprichii.

Kata kunci: antropogenik, Barranglompo, Bonebatang, bulu babi, kualitas air,

lamun, makroalgae, nutrien

Page 10: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,
Page 11: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

Hak Cipta milik IPB, tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau

menyebutkan sumber. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,

penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau

tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar

bagi IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis

dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

Page 12: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,
Page 13: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT

TEKANAN ANTROPOGENIK: STUDI KASUS

PULAU BARRANGLOMPO DAN BONEBATANG

KEPULAUAN SPERMONDE SULAWESI SELATAN

KHAIRUL AMRI

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Doktor pada

Program Studi Biologi Tumbuhan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2012

Page 14: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

Penguji Luar Komisi pada

Ujian Tertutup

: Dr. Ir. Richardus F. Kaswadji. M.Sc.

(Departemen Ilmu Kelautan FPIK IPB)

Dr. Sulistijorini

(Departemen Biologi FMIPA IPB)

Penguji Luar Komisi pada

Ujian Terbuka

: Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, M.S.

(Guru Besar FPIK IPB)

Dr. Sulistijorini

(Departemen Biologi FMIPA IPB)

Page 15: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

PRAKATA

Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT,

Tuhan yang maha pengasih dan penyayang, atas segala limpahan rahmat dan

karunia-Nya sehingga disertasi yang berjudul “Sinekologi Padang Lamun Akibat

Tekanan Antropogenik: Studi Kasus Pulau Barranglompo dan Bonebatang

Kepulauan Spermonde Sulawesi Selatan” ini dapat diselesaikan dengan baik.

Karya ilmiah ini merupakan salah satu syarat memperoleh gelar Doktor pada

Sekolah Pascasarjana Institut pertanian Bogor.

Karya ilmiah ini merupakan hasil dari penelitian yang telah dilaksanakan

dari bulan Mei 2010 sampai bulan Juli 2011 di Pulau Barranglompo dan

Bonebatang, Kepulauan Spermonde, Sulawesi Selatan. Dengan selesainya karya

ilmiah ini penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada Komisi

Pembimbing, Ketua Program Studi Biologi Tumbuhan, Penguji ujian kualifikasi,

ujian tertutup dan ujian terbuka atas masukannya terhadap karya ilmiah ini.

Selama studi, penelitian dan penulisan karya ilmiah ini, penulis

mendapatkan bantuan finansial dari Dirjen DIKTI berupa beasiswa BPPS,

bantuan penyelesaian studi program doktor dan juga beasiswa program Sandwich

Tahun 2009. Bantuan juga penulis dapatkan dalam bentuk bantuan analisis data

dari Rektor Universitas Hasanuddin serta bantuan penulisan disertasi dari

Program Mitra Bahari-COREMAP 2 (Coral Reef Rehabilitation and Management

Program Phase 2). Oleh karena itu penulis berterima kasih atas bantuan dan

dukungan ini.

Penulis berharap agar karya ilmiah ini dapat memberikan informasi

tentang ekosistem padang lamun di Indonesia terutama di Kepulauan Spermonde.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juli 2012

Khairul Amri

Page 16: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,
Page 17: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

UCAPAN TERIMA KASIH

Penelitian dan penulisan disertasi ini dapat diselesaikan berkat dukungan

dan bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu dengan segala kerendahan hati

penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang tulus kepada:

1. Prof. Dr. Ir. Dede Setiadi, M.S., selaku ketua komisi pembimbing yang telah

meluangkan waktu untuk membimbing dan mengarahkan penulis sejak masa

perkuliahan, persiapan penelitian hingga penulisan disertasi ini.

2. Dr. Ir. Ibnul Qayim, dan Prof. Dr. Ir. D. Djokosetiyanto, DEA., selaku

anggota komisi pembimbing yang telah mencurahkan waktunya untuk

membimbing dan mengarahkan penulis selama ini.

3. Para penguji luar komisi: Prof. Dr. Ir. Dedi Soedharma dan Dr. Malikusworo

Hutomo, APU (Ujian Kualifikasi), Dr. Ir. Richardus F. Kaswadji, M.Sc (Ujian

Tertutup), Dr. Sulistijorini (Ujian Tertutup dan Terbuka), serta Prof. Dr. Ir.

Rokhmin Dahuri, M.S (Ujian Terbuka) atas masukannya dalam

penyempurnaan proposal dan disertasi ini.

4. Dekan Sekolah Pascasarjana IPB beserta staf atas pelayanan akademik yang

telah diberikan sejak masuk hingga akhir studi.

5. Dr. Ir. Miftahudin, M.Si (Ketua Program Studi Biologi Tumbuhan FMIPA

IPB) atas perhatiannya selama ini terutama atas masukannya terhadap naskah

terakhir disertasi ini.

6. Rektor Universitas Hasanuddin, Dekan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan

UNHAS dan Ketua Jurusan Ilmu Kelautan FIKP UNHAS atas izin dan

rekomendasi untuk melanjutkan studi S3, serta bantuan analisis data Tahun

2011.

7. Dirjen DIKTI atas beasiswa BPPS, bantuan penyelesaian program doktor dan

beasiswa program Sandwich Tahun 2009.

8. Dr. Harald Asmus dan Dr. Raghnild Asmus dari Alfred Wegener Institute

(AWI) atas fasilitas dan bimbingan yang diberikan selama penulis

melaksanakan kegiatan Sandwich di Jerman.

9. Program Mitra Bahari-COREMAP 2 (Coral Reef Rehabilitation and

Management Program Phase 2) atas bantuan penulisan disertasi Tahun 2010.

Page 18: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

10. Prof. Dr. Ir. Jamaluddin Jompa, M.Sc, Dr. Muh. Lukman, serta rekan-rekan

dari Pusat Penelitian Terumbu Karang (PPTK)/Pusat Penelitian Laut, Pesisir

dan Pulau-Pulau Kecil (Puslit LP3K) UNHAS atas kolaborasi riset selama ini

serta penggunaan Laboratorium SPICE (Science for Protection of Indonesian

Coastal Ecosystem) selama penelitian ini.

11. Rekan-rekan dari FIKP UNHAS (Dr. Asmi Citra Malina, Dr. Mahatma

Lanuru, Dr. Nurjanna Nurdin, Dr. Rohani AR) atas dukungan peralatan dan

data sekunder selama penelitian.

12. Rekan-rekan JIKUNHAS 2007 (Ahmad Bahar, M. Banda Selamat, Supriadi,

dan Syafyudin Yusuf) atas kerjasama dan kekompakannya selama ini, datang

bersamaan ke IPB dan mengakhiri studi pada waktu yang bersamaan pula.

13. Rekan-rekan BOT 2007 (Jamili, Jati Batoro, Jumari, Radite Tistama, Ratna

Yuniati, Sri Widodo Agung Suedy, dan T. Alief Aththorick) atas kebersamaan

dan kerjasamanya sejak awal perkuliahan hingga akhir studi.

14. Dr. Muh. Hatta Jamil, Dr. Mohammad Wijaya, Dr. Nadiarti, M. Chasyim

Hasani, M. Syahrul, M.Si serta teman-teman dari Pengurus WACANA IPB

dan Sulawesi Selatan 2008-2010 atas perhatian dan kerjasamanya selama ini.

15. Bunda Suri, Dody Priosambodo, Sabhan, Reski Praja Putra, Yulianto Suteja,

Mangopo Hardianto, Andi Haerul, Muh. Arham Rajab serta teman-teman dari

Pondok Tanadoang/PTD atas keakraban dan dukungan yang telah diberikan

selama ini.

16. Bapak Ridwan, Abdul Muttalib, Eka Hesdianti dan Yuke Puspitasari yang

telah membantu dalam pengambilan data di Pulau Barranglompo dan Pulau

Bonebatang.

17. Istri tercinta Fauzia P. Bakti, SH. MH., putri tersayang Tsabitah Austrina

Khairul, Orang tua (H. Abd. Hakim & Hj. Syarifah), mertua (P. Bakti &

Hj. Saenab Bando) serta seluruh keluarga atas doa, motivasi, perhatian dan

kasih sayang yang telah diberikan selama ini.

18. Semua pihak yang telah berkontribusi terhadap penelitian dan penulisan

disertasi ini namun, tidak sempat disebutkan namanya satu persatu.

Page 19: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Maros, Sulawesi Selatan pada tanggal 6 Juli 1969

sebagai anak ketiga dari pasangan H. Abdul Hakim (alm) dan Hj. Syarifah.

Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Ilmu dan Teknologi Kelautan,

Universitas Hasanuddin Makassar, lulus pada tahun 1995. Pada tahun 2001,

penulis mendapatkan beasiswa Australian Development Scholarship (ADS) dari

Australian Agency for International Development (AusAID) untuk melanjutkan

studi S2 pada School of Applied Sciences, University of Newcastle, Australia dan

menamatkannya pada tahun 2003. Kesempatan untuk melanjutkan ke program

doktor pada Program Studi Biologi Tumbuhan, Sekolah Pascasarjana Institut

Pertanian Bogor diperoleh pada tahun 2007. Beasiswa pendidikan pascasarjana

diperoleh dari BPPS-DIKTI.

Penulis bekerja sebagai tenaga pengajar di Universitas Hasanuddin

Makassar sejak tahun 1995 dan ditempatkan pada Jurusan Ilmu Kelautan,

Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan. Mata kuliah yang diajarkan selama ini

adalah Botani Laut, Biologi Laut, Planktonologi Kelautan, Avertebrata Laut,

Ikhtiologi dan Teknik Budidaya Rumput Laut.

Selama mengikuti program S3, penulis aktif sebagai pengurus Forum

Mahasiswa Pascasarjana (Forum WACANA) IPB dan Forum WACANA daerah

Sulawesi Selatan tahun 2008-2010. Penulis juga mendapatkan beasiswa

Sandwich DIKTI untuk melakukan kegiatan sandwich pada Alfred Wegener

Institute (AWI), Lembaga Penelitian Laut dan Kutub di Jerman mulai dari bulan

September 2009 hingga Januari 2010.

Salah satu bagian disertasi ini yang berjudul “Nutrient Content of

Seagrass Enhalus acoroides Leaves in Barranglompo and Bonebatang Islands:

Implication to Increased Anthropogenic Pressure” telah diterbitkan pada jurnal

Ilmu Kelautan (Terakreditasi No. 83/DIKTI/Kep./2009) Volume 16 (4): 181-186,

edisi Desember 2011.

Page 20: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,
Page 21: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ……………………………………………………… xvi

DAFTAR GAMBAR ………………………………………………….. xix

DAFTAR LAMPIRAN ………………………………………………… xxiv

1. PENDAHULUAN

Latar Belakang ……………………………………………………

Permasalahan ………………………………………………………

Tujuan Penelitian ………………………………………………….

Manfaat Penelitian …………………………………………….........

Hipotesis ……………………………………………………………

Kebaruan (Novelty) …………………………………………………

1

2

4

4

5

5

2. TINJAUAN PUSTAKA

Sinekologi …………………………………………………………. 7

Deskripsi Lamun ………………………………………..................

Jenis-Jenis Lamun …………………………………………………

Habitat dan Distribusi Lamun ……………………………………..

Peranan dan Fungsi Padang Lamun ……………………………….

Kerusakan Ekosistem Padang Lamun ………………………………

Interaksi Lamun dan Makroalgae ..…………………………………

Grazing Lamun Oleh Bulu Babi …………………………………..

Respon Lamun terhadap Stres ……………………………………..

Resiliensi Ekosistem terhadap Disturbansi …………………………

7

9

9

10

12

13

14

15

16

3. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

Kepulauan Spermonde ………………….………………………….. 19

Pulau Barranglompo ……………………………………………….. 21

Pulau Bonebatang …………………………………………………. 24

Penelitian-Penelitian Terdahulu yang Berkaitan dengan Ekosistem

Padang Lamun di Pulau Barranglompo dan Pulau Bonebatang ……

25

Page 22: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

Halaman

4. AKTIVITAS ANTROPOGENIK DI PULAU BARRANGLOMPO

DAN BONEBATANG, KEPULAUAN SPERMONDE

Abstrak …………………………………………………………… 29

Abstract …………………………………………………………… 29

Pendahuluan ………………………………………………………. 29

Bahan dan Metode ………………………………………………… 30

Hasil dan Pembahasan ……………………………………………. 32

Simpulan dan Saran ……………………………………………….. 44

5. DINAMIKA NUTRIEN PADA JARINGAN DAUN LAMUN

Enhalus acoroides DAN KOLOM AIR

Abstrak …………………………………………………………… 45

Abstract …………………………………………………………… 45

Pendahuluan ……………………………………………………… 46

Bahan dan Metode ………………………………………………… 47

Hasil dan Pembahasan …………………………………………….. 50

Simpulan …………………………………………………………… 58

6. DAMPAK AKTIVITAS ANTROPOGENIK TERHADAP

KUALITAS PERAIRAN HABITAT PADANG LAMUN

Abstrak ……………………………………………………………. 59

Abstract ……………………………………………………………. 59

Pendahuluan ……………………………………………………….. 60

Bahan dan Metode ………………………………………………… 61

Hasil dan Pembahasan …………………………………………….. 64

Simpulan …………………………………………………………… 82

Page 23: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

Halaman

7. STRUKTUR KOMUNITAS LAMUN DI PULAU

BARRANGLOMPO DAN PULAU BONEBATANG

Abstrak …………………………………………………………….. 83

Abstract …………………………………………………………….. 83

Pendahuluan ……………………………………………………….. 84

Bahan dan Metode ………………………………………………… 85

Hasil dan Pembahasan …………………………………………….. 91

Simpulan …………………………………………………………… 103

8. ASOSIASI DAN INTERAKSI MAKROFITA (LAMUN DAN

MAKROALGAE) AKIBAT TEKANAN ANTROPOGENIK

YANG BERBEDA

Abstrak …………………………………………………………… 105

Abstract …………………………………………………………… 105

Pendahuluan ……………………………………………………… 106

Bahan dan Metode ………………………………………………… 108

Hasil dan Pembahasan ……………………………………………. 114

Simpulan …………………………………………………………… 142

9. POTENSI GRAZING BULU BABI PADA EKOSISTEM

PADANG LAMUN DI PULAU BARRANGLOMPO DAN

BONEBATANG

Abstrak …………………………………………………………… 145

Abstract …………………………………………………………… 145

Pendahuluan ……………………………………………………… 145

Bahan dan Metode ………………………………………………… 147

Hasil dan Pembahasan ……………………………………………. 149

Simpulan …………………………………………………………. 160

10. PEMBAHASAN UMUM ………………………………………… 161

11. SIMPULAN DAN SARAN ……………………………………… 173

DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………….. 175

LAMPIRAN …………………………………………………………….. 197

Page 24: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,
Page 25: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Pemicu stres penting yang membatasi distribusi dan kelimpahan

lamun (Larkum & den Hartog 1989) ………………………………

16

2. Parameter fisika-kimia kolom air di Pulau Barranglompo ……….. 23

3. Parameter fisika-kimia perairan di Pulau Bonebatang …………… 25

4. Judul-judul penelitian berkaitan dengan ekosistem padang lamun

yang pernah dilaksanakan di Pulau Barranglompo dan Pulau

Bonebatang …………………………………………………………

26

5. Jenis-jenis aktivitas antropogenik di Pulau Barranglompo serta

dampaknya terhadap ekosistem padang lamun ……………………

33

6. Jumlah perahu besar (PB) dan perahu kecil (PK) yang berlabuh di

pantai Pulau Barranglompo ………………………………………..

36

7. Aktivitas antropogenik yang dijumpai di Pulau Bonebatang ……… 43

8. Rasio C:N:P rata-rata pada daun lamun E. acoroides dari Pulau

Barranglompo dan Pulau Bonebatang ……………………………

52

9. Komposisi rasio atom daun lamun dari penelitian-penelitian

terdahulu pada berbagai lokasi (Fourqurean et al. 1992) ………...

53

10. Klasifikasi sedimen berdasarkan ukuran (Skala Wenthworth) ……. 62

11. Kesesuaian perairan untuk kepentingan perikanan berdasarkan

nilai padatan tersuspensi total (TSS) ………………………………

75

12. Kelompok penciri karakteristik lingkungan di Pulau Barranglompo

dan Pulau Bonebatang ……………………………………………..

81

13. Klasifikasi Penutupan Lamun …………………………………….. 90

14. Status Padang Lamun (SK Menteri Negara Lingkungan Hidup No.

200 Tahun 2004) …………………………………………………..

90

15. Komposisi jenis lamun di Pulau Barranglompo ………………….. 91

16. Komposisi Jenis Lamun di Pulau Bonebatang ……………………. 93

17. Indeks Nilai Penting jenis-jenis lamun pada setiap stasiun di Pulau

Barranglompo ………………………………………………………

99

Page 26: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

Halaman

18. Indeks Nilai Penting jenis-jenis lamun pada setiap stasiun di Pulau

Bonebatang …………………………………………………………

99

19. Ukuran panjang daun (PD) rata-rata dan lebar daun (LD) rata-rata

(± sd) jenis-jenis lamun pada setiap stasiun pengamatan di Pulau

Barranglompo ………………………………………………………

101

20. Ukuran panjang daun (PD) rata-rata dan lebar daun (LD) rata-rata

(± sd) jenis-jenis lamun pada setiap stasiun pengamatan di Pulau

Bonebatang …………………………………………………………

101

21. Nilai indeks luas daun lamun di Pulau Barranglompo dan Pulau

Bonebatang …………………………………………………………

102

22. Nilai skala Braun-Blanquet untuk berbagai persentase penutupan

makroalgae (Braun-Blanquet 1965 diacu Gab-Alla 2007)…………

109

23. Sistem skoring numerik untuk evaluasi status ekologis perairan

transisi dan perairan pantai (Orfanidis et al. 2001) ………………..

113

24. Penentuan tingkat kemiripan vegetasi antar stasiun pengamatan … 114

25. Klasifikasi makroalgae yang ditemukan di lokasi penelitian ……… 115

26. Kategori Lifeform setiap jenis makroalgae yang ditemukan di

Pulau Barranglompo ………………………………………………

127

27. Kategori Lifeform setiap jenis makroalgae yang ditemukan di

Pulau Bonebatang …………………………………………………

127

28. Frekuensi Braun Blanquet makroalgae di Pulau Barranglompo dan

Pulau Bonebatang …………………………………………………

128

29. Kelimpahan Braun Blanquet makroalgae di Pulau Barranglompo

dan Pulau Bonebatang ……………………………………………

130

30. Kerapatan Braun Blanquet makroalgae di Pulau Barranglompo dan

Pulau Bonebatang …………………………………………………

131

31. Asosiasi lamun dan makroalgae di Pulau Barranglompo. ………… 134

32. Asosiasi lamun dan makroalgae di Pulau Bonebatang. …………… 136

33. Persentase kategori nilai indeks asosiasi delapan spesies lamun dan

makroalgae dominan di Pulau Barranglompo ……………………..

138

Page 27: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

Halaman

34. Persentase kategori nilai indeks asosiasi delapan spesies lamun dan

makroalgae dominan di Pulau Bonebatang ……………………….

138

35. Pembagian spesies makroalgae di Pulau Barranglompo ke dalam

kelompok status ekologi (Ecological Status Group-ESG) I dan II ..

139

36. Pembagian spesies makroalgae di Pulau Bonebatang ke dalam

kelompok status ekologi (Ecological Status Group-ESG) I dan II ..

140

37. Nilai tutupan makrofita laut (lamun dan makroalgae) setiap

kelompok status ekologi pada setiap stasiun di Pulau

Barranglompo dan Bonebatang ……………………………………

140

38. Indeks similaritas dan disimilaritas makrofita antar stasiun di Pulau

Barranglompo dan Pulau Bonebatang ……………………………..

142

39. Komposisi jenis Bulu Babi di Pulau Barranglompo dan Pulau

Bonebatang …………………………………………………………

149

40. Kepadatan Bulu babi rata-rata setiap stasiun (Individu/m2) di

Pulau Barranglompo dan Pulau Bonebatang …………………..

152

41. Kepadatan beberapa jenis bulu babi di berbagai lokasi di Indonesia

(Dobo 2009) ……………………………………………………….

153

42. Diameter cangkang (cm ± sd) setiap jenis bulu babi di Pulau

Barranglompo dan Pulau Bonebatang ……………………………

153

43. Nilai Indeks Pilihan (Electivity Index) empat jenis bulu babi

terhadap makanan lamun dan makroalgae di Pulau Barranglompo

dan Bonebatang ……………………………………………………

156

44. Rangkuman hasil-hasil yang diperoleh selama penelitian ………… 163

45. Perkiraan skala waktu (maksimum) untuk penguraian sampah (Tait

& Dipper 1998) ……………………………………………………

164

46. Contoh dampak stres antropogenik terhadap komunitas makrofita

laut bentik (dikompilasi oleh Orfanidis et al. 2001)………………..

167

Page 28: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,
Page 29: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Skema penelitian mengenai sinekologi padang lamun akibat

aktivitas antropogenik ...……………………………………………

3

2. Komponen dasar arsitektur lamun (Hemminga & Duarte 2000) ….. 8

3. Sekawanan ikan kecil yang berlindung di celah-celah daun lamun E.

acoroides di Pulau Barranglompo ………………………………

11

4. Peta pembagian zona Kepulauan Spermonde …………………….. 20

5. Rumah panggung salah satu warga di Pulau Barranglompo ……… 23

6. Peta lokasi penelitian Pulau Barranglompo dan Pulau Bonebatang . 31

7. Pulau Barranglompo yang diambil dari sisi tenggara …………….. 31

8. Pulau Bonebatang diambil dari sisi timur …………………………. 32

9. Perahu bermotor (a) beserta bagian-bagiannya, jangkar (b), baling-

baling (c) dan papan kemudi (d) yang dapat menyebabkan kerusakan

fisik terhadap lamun ……………………………………

35

10. Perahu besar yang sedang berlabuh di pantai barat Pulau

Barranglompo ……………………………………………………..

36

11. Perahu ukuran kecil, (a) jolloro, (b) katinting, (c) lepa-lepa ……… 37

12. Kapal yang sedang menjalani perbaikan ………………………….. 38

13. Tumpukan sampah di pinggir pantai barat Pulau Barranglompo …. 39

14. Tumpukan karang batu yang dikumpulkan penduduk untuk bahan

bangunan dan disusun sebagai penahan ombak di depan rumah di

sisi selatan Pulau Barranglompo ………………………………….

40

15. Penimbunan/reklamasi pantai yang dilakukan masyarakat Pulau

Barranglompo di sisi utara (atas) dan sisi barat (bawah) ………….

41

16. Alat perangkap ikan (bubu) yang dipasang nelayan di daerah padang

lamun Pulau Barranglompo ……………………………..

42

17. Aktivitas praktek lapang mahasiswa di pantai …………………….. 43

18. Kadar rata-rata (± sd) karbon, nitrogen dan fosfor (sebagai % bobot

kering) pada daun lamun E. acoroides di Barranglompo dan

Bonebatang ………………………………………………………….

50

Page 30: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

Halaman

19. Stok karbon rata-rata lamun E. acoroides pada setiap stasiun di

Pulau Barranglompo dan Pulau Bonebatang ………………………

54

20. Klorofil-a rata-rata lamun E. acoroides pada setiap stasiun di Pulau

Barranglompo dan Pulau Bonebatang ……………………………..

55

21. Konsentrasi nitrat (± sd) pada setiap stasiun di Pulau Barranglompo

dan Pulau Bonebatang ………………………………………………

56

22. Konsentrasi fosfat (± sd) pada setiap stasiun di Pulau Barranglompo

dan Pulau Bonebatang ………………………………………………

57

23. Nilai suhu (± sd) pada setiap stasiun di Pulau Barranglompo dan

Pulau Bonebatang ………………………………………………….

64

24. Sebaran suhu (oC) di Pulau Barranglompo ……………………….. 65

25. Sebaran suhu (oC) di Pulau Bonebatang ………………………….. 65

26. Bulu babi Tripneustes gratilla menutupi permukaan tubuhnya

dengan daun lamun ……………………………………………….

66

27. Nilai salinitas (± sd) pada setiap stasiun di Pulau Barranglompo dan

Pulau Bonebatang …………………………………………………..

67

28. Sebaran salinitas (o/oo

) di Pulau Barranglompo …………………… 68

29. Sebaran salinitas (o/oo

) di Pulau Bonebatang ……………………… 68

30. Persentase masing-masing jenis sedimen di Pulau Barranglompo dan

Pulau Bonebatang ……………………………………………..

69

31. Nilai kekeruhan (± sd) pada setiap stasiun di Pulau Barranglompo

dan Pulau Bonebatang …………………………………………….

71

32. Sebaran kekeruhan (NTU) di Pulau Barranglompo ………………. 71

33. Sebaran kekeruhan (NTU) di Pulau Bonebatang ………………… 72

34. Nilai padatan tersuspensi total (± sd) pada setiap stasiun di Pulau

Barranglompo dan Pulau Bonebatang …………………………….

73

35. Sebaran TSS (mg/l) di Pulau Barranglompo ……………………… 73

36. Sebaran TSS (mg/l) di Pulau Bonebatang ………………………… 74

37. Nilai kecepatan arus (± sd) pada setiap stasiun di Pulau

Barranglompo dan Pulau Bonebatang …………………………….

75

Page 31: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

Halaman

38. Sebaran arah dan kecepatan arus (m/detik) di Pulau Barranglompo.. . 77

39. Sebaran arah dan kecepatan arus (m/detik) di Pulau Bonebatang … 77

40. Tinggi gelombang (± sd) pada setiap stasiun di Pulau Barranglompo

dan Pulau Bonebatang ………………………………………………

78

41. Sebaran tinggi gelombang (cm) di Pulau Barranglompo …………… 79

42. Sebaran tinggi gelombang (cm) di Pulau Bonebatang ……………… 79

43. Analisis Komponen Utama (Principal Component Analysis) sebaran

karakteristik fisika-kimia padang lamun di Pulau Barranglompo dan

Pulau Bonebatang …………………………………………………..

80

44. Analisis Komponen Utama (Principal Component Analysis) sebaran

stasiun di Pulau Barranglompo dan Pulau Bonebatang ……………..

81

45. Sebaran stasiun dan sub-stasiun pengamatan struktur komunitas

lamun di Pulau Barranglompo ……………………………………..

86

46. Sebaran stasiun dan sub-stasiun pengamatan struktur komunitas

lamun di Pulau Bonebatang ………………………………………..

86

47. Pengamatan komunitas lamun menggunakan transek kuadrat ……. 87

48. Spesies lamun yang dijumpai di lokasi penelitian. (a) Syringodium

isoetifolium, (b) Cymodocea rotundata, (c) Thalassia hemprichii, (d)

Enhalus acoroides, (e) Halophila minor, (f) Halophila ovalis, (g)

Halodule pinifolia, (h) Halodule uninervis ……………………………..

92

49. Kerapatan relatif (Rdi) jenis-jenis lamun pada setiap stasiun di Pulau

Barranglompo ………………………………………………………..

94

50. Kerapatan relatif (Rdi) jenis-jenis lamun pada setiap stasiun di Pulau

Bonebatang ………………………………………………………….

95

51. Frekuensi relatif (Rfi) jenis-jenis lamun pada setiap stasiun di Pulau

Barranglompo ……………………………………………………….

96

52. Frekuensi relatif (Rfi) jenis-jenis lamun pada setiap stasiun di

Pulau Bonebatang …………………………………………………..

96

53. Penutupan (Ci) dan penutupan relatif (RCi) jenis-jenis lamun pada

setiap stasiun di Pulau Barranglompo ………………………………

97

Page 32: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

Halaman

54. Penutupan relatif (RCi) jenis-jenis lamun pada setiap stasiun di

Pulau Bonebatang …………………………………………………

98

55. Nilai rata-rata (± sd) penutupan lamun di setiap stasiun. BL=Pulau

Barranglompo, BB=Pulau Bonebatang, A,B,C=Stasiun …...……….

98

56. Hasil uji Correspondence Analysis (CA) jenis-jenis lamun pada

setiap stasiun di Pulau Barranglompo dan Pulau Bonebatang ……..

100

57. Tabel kontingensi 2 x 2 atau tabel asosiasi spesies (Ludwig &

Reynolds 1988) …………………………………………………….

110

58. Matriks berdasarkan kelimpahan rata-rata ESG untuk menentukan

status ekologis perairan transisi dan perairan pantai (Orfanidis et al.

2001) ……………………………………………………………….

112

59. Makroalgae hijau (Chlorophyta) yang dijumpai di daerah padang

lamun. (a) Boodlea composita, (b) Chlorodesmis fastigiata, (c)

Neomeris annulata, (d) Halimeda macroloba, (e) Halimeda opuntia

117

60. Makroalgae coklat (Phaeophyta) yang dijumpai di daerah padang

lamun. (a) Dictyota bartayresiana, (b) Hydroclathrus clathratus, (c)

Hormophysa triquetra, (d) Padina australis, (e) Rosenvingea

intricata………………………………………………………………………

119

61. Makroalgae coklat (Phaeophyta) dari genera Sargassum dan

Turbinaria yang dijumpai di daerah padang lamun. (a) Sargassum

binderi, (b) S. crassifolium, (c) S. polycistum, (d) Turbinaria

conoidess, (e) T. ornata ……………………………………………………

121

62. Makroalgae merah (Rhodophyta) yang dijumpai di daerah padang

lamun. (a) Acanthophora spicifera (b) Acanthophora muscoides,

(c) Actinoritchia fragilis, (d) Amphiroa fragilissima ………………

122

63. Makroalgae merah (Rhodophyta) yang dijumpai di daerah padang

lamun. (a) Eucheuma denticulatum (b) Eucheuma serra,

(c) Kappaphycus alvarezii, (d) Gelidiella acerosa …………………

124

Page 33: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

Halaman

64. Makroalgae merah (Rhodophyta) yang dijumpai di daerah padang

lamun. (a) Gracilaria coronopifolia (b) Gracilaria salicornia,

(c) Hypnea esperi, (d) Hypnea cervicornis, (e) Laurencia papillosa .

126

65. Biomassa (g bobot kering/m2) spesies makroalgae yang dijumpai

di daerah padang lamun Pulau Barranglompo ………………………

132

66. Biomassa (g bobot kering/m2) spesies makroalgae yang dijumpai

di daerah padang lamun Pulau Bonebatang …………………………

133

67. Matriks asosiasi lamun dan makroalgae di Pulau Barranglompo …. 135

68. Matriks asosiasi lamun dan makroalgae di Pulau Bonebatang ……. 137

69. Pengukuran diameter cangkang bulu babi menggunakan mistar

geser. Foto diambil saat penelitian ………………………………….

148

70. Jenis-jenis bulu babi yang terdapat di Pulau Barranglompo dan

Pulau Bonebatang. (a) Diadema setosum; (b) Tripneustes gratilla;

(c) Echinothrix calamaris; (d) Echinothrix diadema;

(e) Echinometra mathaei; (f) Mespilia globulus ……………………

150

71. Kepadatan bulu babi rata-rata (± sd) di Pulau Barranglompo dan

Pulau Bonebatang …………………………………………………

152

72. Diameter cangkang rata-rata (cm ± sd) setiap jenis bulu babi di

Pulau Barranglompo dan Pulau Bonebatang ……………………….

154

73. Persentase makanan rata-rata dalam lambung bulu babi berdasarkan

indeks bagian terbesar (preponderance index) di Pulau

Barranglompo ……………………………………………………….

155

74. Persentase makanan rata-rata dalam lambung bulu babi berdasarkan

indeks bagian terbesar (preponderance index) di Pulau Bonebatang .

155

75. Bagian dalam cangkang bulu babi Tripneustes gratilla yang

dikoleksi dari perairan Pulau Barranglompo. ………………………

157

76. Korelasi antara kerapatan lamun dengan kepadatan bulu babi di

Pulau Barranglompo ………………………………………………

158

77. Korelasi antara kerapatan lamun dengan kepadatan bulu babi di

Pulau Bonebatang ………………………………………………..

160

Page 34: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

78. Jenis interaksi utama antara tiga ekosistem laut tropis (digambar

ulang dari Ogden & Gladfelter 1983) ……………………………..

162

79. Model konseptual perubahan keadaan stabil vegetasi makrofita

bentik melalui gradien eutrofikasi (status ekologi) pada perairan

pantai. A. konvensional B. Dinamis (Viaroli et al. 2008) …………

168

Page 35: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Daftar Istilah ……………………………………………………… 199

2. Koordinat GPS Posisi Stasiun dan Sub stasiun Penelitian ……….. 200

3. Kunci Identifikasi Lamun di Indonesia …………………………… 201

4. Kerapatan, Frekuensi dan Penutupan jenis-jenis lamun pada setiap

stasiun di Pulau Barranglompo dan Pulau Bonebatang …………..

208

5. Nilai Indeks Luas Daun Lamun di Pulau Barranglompo dan

Bonebatang ………………………………………………………...

210

6. Sebaran Kepadatan dan Diameter Cangkang Bulu Babi ………… 211

7. Biomassa rata-rata Makroalgae di Pulau Barranglompo dan

Bonebatang ………………………………………………………..

213

8. Nilai Indeks Ochiai Makrofita di Pulau Barranglompo dan Pulau

Bonebatang ………………………………………………………..

215

9. Kelimpahan Makrofita Kelompok Status Ekologi I dan II di Pulau

Barranglompo dan Pulau Bonebatang ……………………………

217

10. Nilai Nutrien Jaringan Daun Enhalus acoroides dan Kolom air di

Pulau Barranglompo dan Pulau Bonebatang ……………………...

219

11. Ukuran Butir Sedimen Habitat Padang Lamun Pulau

Barranglompo dan Pulau Bonebatang …………………………….

220

12. Parameter Kualitas Perairan di Pulau Barranglompo dan Pulau

Bonebatang ………………………………………………………..

221

13. Ringkasan hasil uji t nutrien dan parameter kualitas air di Pulau

Barranglompo (Grup 1) dan Pulau Bonebatang (Grup 2) …………

224

14. Hasil Analisis PCA Parameter Fisika-Kimia Perairan ……………. 225

15. Hasil Analisis Correspondence Analysis (CA) komunitas lamun … 226

16. Ringkasan hasil uji t kepadatan dan diameter cangkang bulu babi

di Pulau Barranglompo dan Pulau Bonebatang ………………….

228

Page 36: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

Judul Disertasi : Sinekologi Padang Lamun Akibat Tekanan Antropogenik: Studi Kasus Pulau Barranglompo dan Bonebatang Kepulauan Spermonde Sulawesi Selatan

Nama : Khairul Amri NIM : G363070021

Disetujui

Komisi Pembimbing

Ketua Prof.Dr.Ir. Dede Setiadi, M.S

Dr.Ir. Ibnul Qayim Anggota Anggota

Prof.Dr.Ir. D. Djokosetiyanto,DEA

Mengetahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Biologi Tumbuhan Dr.Ir. Miftahudin, M.Si Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr

Tanggal Ujian: 27 Juli 2012 Tanggal Lulus:………………

Page 37: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,
Page 38: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

1. PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sebagai negara kepulauan, selain memiliki wilayah laut yang luas,

Indonesia juga memiliki garis pantai sepanjang 81.000 km. Wilayah perairan laut

yang sangat luas ini memiliki banyak kekayaan alam hayati berupa tumbuh-

tumbuhan (flora) dan hewan (fauna) yang beraneka ragam bentuk dan jenisnya.

Salah satu kekayaan flora laut yang banyak tersebar di perairan pantai Indonesia

adalah lamun. Lamun kadang membentuk hamparan luas di pantai sehingga

dikenal sebagai padang lamun (seagrass beds). Lamun menutupi paling tidak

30.000 km2 sepanjang perairan Kepulauan Indonesia dari Pulau We di Aceh

hingga Merauke di Papua (Kuriandewa et al. 2003).

Lamun merupakan tumbuhan berbunga (angiospermae) yang telah

beradaptasi untuk hidup dalam keadaan terbenam di lingkungan laut dan estuaria.

Lamun terdiri atas sekelompok kecil tumbuhan yang berjumlah sekitar 60 spesies

dan 12 genera (Edgar 1997; Hemminga & Duarte 2000; Huisman 2000; Edgar

2001; Waycott et al. 2004; Short et al. 2007). Di Indonesia sendiri selama ini

hanya terdapat 12 spesies dan 7 genera (Tomascik et al. 1997; Nontji 2007),

ditambah spesies baru yaitu Halophila sulawesii yang ditemukan di perairan

Kepulauan Spermonde (Kuo 2007). Meskipun jumlah jenisnya tidak banyak

yaitu kurang dari 0.02 % dari semua flora angiospermae (Hemminga & Duarte

2000), namun peranan ekologis padang lamun sangat besar (Den Hartog 1977;

Keough & Jenkins 2000; Hogarth 2007; Short et al. 2007) dan merupakan salah

satu ekosistem pantai yang produktif dan mendukung banyak organisme autotrof

dan heterotrof (Duarte & Chiscano 1999) serta memiliki nilai konservasi yang

tinggi (Edgar & Shaw 1995).

Lamun memiliki banyak fungsi yang dianggap penting bagi kestabilan

perairan dangkal dan estuaria (Hillman et al. 1989; Edgar 2001; Hogarth 2007).

Secara ekologis padang lamun mempunyai beberapa fungsi penting di daerah

pesisir. Mereka merupakan sumber utama produktivitas primer di perairan

dangkal, sumber makanan penting bagi banyak organisme (dalam bentuk

Page 39: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

2

detritus), menstabilkan dasar-dasar lunak sehingga melindungi banyak organisme,

tempat pembesaran bagi banyak spesies yang menghabiskan waktu dewasanya di

lingkungan lain, sebagai perangkap sedimen, membentuk habitat yang berair

tenang di bawahnya dan sebagai pelindung organisme dari pengaruh cahaya

matahari yang kuat (Zieman 1986; Nybakken 1992). Lamun juga telah

dimanfaatkan secara langsung. Penduduk di Kepulauan Seribu memanfaatkan

biji Enhalus acoroides sebagai makanan (Nontji 2007), beberapa jenis lamun

digunakan sebagai makanan ternak, serta sebagai bahan baku pembuatan kertas

dan karton (Hutomo & Azkab 1987). Secara global, nilai ekonomi yang dapat

diperoleh dari padang lamun adalah sekitar US$ 3.8 trilliun per tahun dan ada

kecenderungan semakin meningkat (Costanza et al. 1997).

Karena hidup pada perbatasan antara lingkungan daratan dan lautan,

padang lamun merupakan salah satu ekosistem yang mudah mengalami kerusakan

dan perubahan. Berkurangnya penutupan padang lamun dapat disebabkan oleh

faktor alami maupun aktivitas antropogenik. Faktor alam seperti badai,

perubahan iklim, banjir besar dan interaksi biologi spesifik (Hamdorf & Kirkman

1995; Preen et al. 1995; Kirkman 1997; Hemminga & Duarte 2000). Sedangkan

faktor antropogenik yang dapat merusak lamun antara lain adalah eutrofikasi,

aktivitas pertambangan pantai, pengerukan, jangkar dan baling-baling kapal

(Hamdorf & Kirkman 1995; Hastings et al. 1995; Kirkman 1997; Ralph et al.

2006).

Permasalahan

Kepulauan Spermonde terdiri atas lebih dari seratus pulau kecil yang

tersebar di sebelah barat daratan utama Provinsi Sulawesi Selatan. Pulau-pulau

tersebut ada yang berpenduduk ada juga beberapa pulau yang tidak berpenduduk.

Ketersediaan air tawar merupakan salah satu faktor utama yang menyebabkan

masyarakat pulau memilih untuk menetap di pulau tertentu.

Pulau Barranglompo merupakan salah satu pulau terpadat di Kepulauan

Spermonde. Keberadaan suplai air tawar yang cukup, jarak yang cukup dekat

dari Kota Makassar serta keberadaan Stasiun Lapang Laut (Marine Field Stasiun)

Page 40: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

3

Universitas Hasanuddin mengakibatkan pertambahan penduduk di pulau ini

semakin pesat terutama dalam dua dasawarsa terakhir.

Dengan semakin bertambahnya penduduk, lahan yang tersedia makin

terbatas sehingga banyak rumah yang dibangun menjorok ke pantai. Hal tersebut

menyebabkan tekanan ke lingkungan laut makin besar. Penduduk pulau banyak

yang membuang limbah rumah tangganya ke perairan sehingga potensial

mempengaruhi ekosistem yang ada di sekitarnya. Begitupula dengan semakin

banyaknya perahu yang digunakan oleh nelayan di pulau-pulau tersebut dapat

menyebabkan kerusakan secara fisik terhadap ekosistem padang lamun yang

dilalui oleh jalur perahu tersebut.

Aktivitas antropogenik pada pulau-pulau yang banyak penduduknya

potensial untuk mencemari dan menurunkan kualitas perairan yang juga akan

mempengaruhi ekosistem padang lamun. Perubahan yang terjadi pada komunitas

padang lamun akibat berubahnya kondisi kualitas perairan sebagai dampak

peningkatan aktivitas antropogenik, pada akhirnya akan mempengaruhi interaksi

biologis vegetasi lamun dengan biota asosiasinya (Gambar 1).

Gambar 1 Skema penelitian mengenai sinekologi padang lamun akibat aktivitas

antropogenik

Page 41: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

4

Identifikasi dan pemahaman akan ketersediaan sumberdaya dan struktur

komunitas yang diakibatkan oleh berbagai perturbasi antropogenik merupakan hal

yang mendasar untuk upaya-upaya rehabilitasi dan pemulihan proses-proses

ekosistem yang esensial (Tewfik et al. 2005). Oleh karena itu, untuk memahami

dampak dari aktivitas antropogenik terhadap sinekologi ekosistem padang lamun

di Kepulauan Spermonde, diperlukan penelitian pada lokasi dengan tingkat

tekanan antropogenik yang berbeda.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Menganalisis aktivitas-aktivitas antropogenik yang terjadi di lokasi

penelitian yang potensial mempengaruhi ekosistem padang lamun.

2. Mempelajari dinamika nutrien pada jaringan lamun dan kolom air habitat

padang lamun yang mendapatkan tekanan antropogenik berbeda.

3. Mengkaji dampak aktivitas antropogenik terhadap kualitas perairan di

daerah padang lamun.

4. Mempelajari struktur komunitas lamun di Kepulauan Spermonde

berdasarkan tekanan antropogenik.

5. Mengkaji interaksi dan asosiasi makrofita (lamun dan makroalgae) di

Pulau Barranglompo dan Bonebatang.

6. Mengkaji potensi pemangsaan (grazing) bulu babi terhadap vegetasi

lamun dan makroalgae di Pulau Barranglompo dan Bonebatang.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan untuk :

1. Menyediakan data dasar (baseline) tentang kondisi padang lamun di Pulau

Barranglompo dan Pulau Bonebatang yang ada di Kepulauan Spermonde.

Data ini dapat digunakan untuk mengetahui perubahan yang terjadi secara

temporal di kawasan tersebut.

2. Mendapatkan informasi tentang karakteristik padang lamun beserta biota

laut lain yang berinteraksi dengan padang lamun pada kondisi tekanan

antropogenik berbeda.

Page 42: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

5

3. Menjadi salah satu referensi atau acuan dalam pengelolaan ekosistem

pantai.

Hipotesis

Penelitian ini disusun berdasarkan hipotesis bahwa terdapat pengaruh

yang signifikan dari aktivitas antropogenik terhadap kondisi faktor kualitas air

dan dinamika nutrien di daerah padang lamun. Selanjutnya faktor-faktor

lingkungan ini juga mempengaruhi proses-proses dan interaksi antara padang

lamun dengan biota yang berasosiasi dengannya.

Kebaruan (Novelty)

Hal-hal yang baru dari penelitian ini adalah :

1. Informasi mengenai interaksi biologis antara padang lamun dengan biota

asosiasinya akibat tekanan antropogenik berbeda terutama untuk kawasan

pulau-pulau kecil seperti Pulau Barranglompo dan Pulau Bonebatang

belum tersedia. Penelitian ini akan menghasilkan informasi mengenai

respon ekosistem padang lamun akibat aktivitas-aktivitas antropogenik

masyarakat yang ada di pulau-pulau kecil.

2. Indeks Asosiasi Lamun dan Makroalgae juga belum tersedia hingga saat

ini. Indeks ini penting untuk menggambarkan interaksi di antara kedua

kelompok produsen primer di laut ini.

3. Perkiraan potensi stok karbon jenis lamun di pulau-pulau kecil. Informasi

ini penting untuk mengetahui kontribusi padang lamun terhadap

konservasi karbon di perairan.

Page 43: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

6

Page 44: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

7

2. TINJAUAN PUSTAKA

Sinekologi

Sinekologi atau ekologi komunitas adalah cabang ekologi yang membahas

pengkajian golongan atau kumpulan organisme yang berasosiasi bersama sebagai

satu kesatuan (Odum 1996; Hanum 2009). Pendekatan sinekologi menggunakan

komposit variabel biodiversitas yaitu variabel-variabel sinekologi seperti

kekayaan jenis, kelangkaan, endemisme dan komposisi komunitas baik yang

diamati maupun yang diestimasi untuk menggambarkan keseluruhan pola variasi

biodiversitas (Hortal & Lobo 2006).

Sinekologi tidak melihat individu secara sendiri, melainkan dinamika

tingkah laku spasial dan temporal populasi termasuk pertumbuhan dan

homeostasis. Dengan demikian beberapa hal yang menjadi bahasan dalam

sinekologi tumbuhan adalah interaksi antara vegetasi dengan lingkungannya,

interaksi antara tumbuhan dengan hewan dan interaksi antar tumbuhan (Schulze

2005).

Deskripsi Lamun

Lamun (seagrass) adalah tumbuhan berbunga (angiospermae) yang sudah

sepenuhnya menyesuaikan diri untuk hidup terbenam pada lingkungan laut dan

estuaria (Price 1990; Keough & Jenkins 2000; Den Hartog & Kuo 2006; Castro &

Huber 2007). Tumbuhan ini terdiri dari rhizoma, daun dan akar (Gambar 2).

Kebanyakan rhizoma lamun tersusun atas internode, yaitu fragmen rhizoma antar

node yang merupakan titik munculnya daun (Hemminga & Duarte 2000).

Banyak spesies lamun yang mempunyai rhizoma dimorfik terdiri atas dua

jenis yang berbeda; rhizoma horizontal (plagiotropik) yang secara relatif memiliki

internode yang panjang, dan rhizoma vertikal (orthotropik) yang memiliki

internode yang lebih pendek (Hemminga & Duarte 2000). Ciri-ciri

struktural/morfologis lamun yang pertama adalah semua lamun memiliki

penampakan vegetatif yang mirip dalam hal pertumbuhan dan morfologinya,

kecuali untuk Syringodium (2 spesies) yang memiliki daun-daun terete, semua

spesies lainnya memiliki daun yang rata, daun yang seperti berhelai seperti mata

Page 45: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

8

pisau. Kecuali untuk genus Halophila (9 spesies) yang memiliki daun kecil atau

daun sangat besar dan lurus, daun yang seperti tali (Phillips & Menez, 1988).

Adaptasi morfologis utama yang kedua dari lamun adalah perluasan

sistem akar atau rhizoma. Kecuali untuk Amphibolis (2 spesies) dan

Thalassodendron (2 spesies) yang populasi-populasinya terjadi secara fakultatif

pada karang atau reruntuhan batu, hanya Phyllospadix (5 spesies) terjadi secara

obligat di atas substrat batu. Substrat ini biasanya bercampur lumpur dan pasir

dengan hamparan zona anoksik yang dalam, sedangkan lapisan permukaan yang

beroksigen hanya beberapa milimeter tebalnya Populasi pionir dari Zostera

marina mungkin berkoloni di atas pasir, sementara spesies yang berkoloni seperti

Halodule wrightii, anggota dari sistem banyak spesies di daerah tropis,

nampaknya memerlukan substrat yang keras dengan kondisi beroksigen atau

berakar pada permukaan zona beroksigen. Semua spesies Halophila berakar pada

permukaan zona beroksigen (Phillips & Menez, 1988).

Gambar 2 Komponen dasar arsitektur lamun (Hemminga & Duarte 2000)

Page 46: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

9

Daun lamun merupakan tempat fotosintesis dan dapat menyerap nutrien,

gas dan air dari kolom air (Warry & Hindell 2009). Anatomi yang unik dari

jaringan daun lamun memungkinkan ekspor yang cepat oksigen hasil fotosintesis

ke dalam air laut. Hal ini dapat dilihat di lapangan, dengan munculnya sejumlah

gelembung gas yang seringkali melekat pada permukaan helaian daun. Pada

padang lamun yang luas gelembung gas seringkali muncul melalui kolom air

hingga permukaan (Phillips & Menez, 1988).

Jenis–Jenis Lamun

Lamun terdiri dari 12 genera yang berasal dari 2 famili, yaitu famili

Hydrocharitacea terdiri atas 3 genera, dan famili Potamogetonacea, terdiri atas 9

genera. Dari kedua belas genera tersebut, 7 genera menghuni perairan tropis,

yaitu: Enhalus, Halophila dan Thalassia dari famili Hydrocharitaceae serta

Cymodocea, Halodule, Syringodium, dan Thalassodendron dari famili

Potamogetonaceae (Den Hartog 1977; Hemminga & Duarte 2000; Den Hartog &

Kuo 2006).

Padang lamun di dunia ada lebih dari 50 jenis, sedangkan di Indonesia

terdapat 12 jenis, tergolong dalam 7 genera. Ketujuh genera lamun di Indonesia

terdiri dari tiga genera dari suku Hydrocharitaceae yaitu Enhalus, Thalassia, dan

Halophila, dan empat genera dari suku Potamogetonaceae yaitu Halodule,

Cymodocea, Syringodium dan Thalassodendron (Nontji 2007). Baru-baru ini,

satu lagi spesies lamun yang diberi nama Halophila sulawesii ditemukan pada

perairan Spermonde Sulawesi Selatan (Kuo 2007).

Habitat dan Distribusi Lamun

Semua lamun merupakan tumbuhan air, mereka melakukan pertumbuhan

dan melengkapi siklus reproduksi dan pertumbuhan vegetatif meskipun terendam

sempurna dan benar-benar terkait pada substrat (Phillips & McRoy 1990; Walker

et al. 2001; Green & Short 2003). Hanya sedikit spesies yang mampu bertahan

menghasilkan populasi yang mampu bertahan terhadap perubahan keterbukaan

terhadap udara dan sewaktu-waktu direndam air laut pada saat pasang (Phillips &

Menez 1988).

Page 47: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

10

Padang lamun merupakan salah satu ekosistem pantai yang paling

produktif dan paling tersebar luas pada semua daerah pantai di dunia, kecuali

sepanjang pantai Antartika (Hemminga & Duarte 2000; Green & Short 2003;

Duffy 2006). Menurut Waycott et al. (2004), keanekaragaman lamun tertinggi di

dunia dijumpai di perairan tropis mulai dari utara Australia sampai ke Filipina.

Kawasan yang dikenal sebagai Indo Pasifik Barat ini memiliki banyak spesies

lamun yang hidup bersama-sama (Castro & Huber 2007).

Lamun ditemukan hidup pada perairan dangkal yang agak berpasir,

perairan pantai bersubstrat lunak dan terlindung pada daerah estuaria, sering pula

dijumpai di terumbu karang. Kadang–kadang ia membentuk komunitas yang

lebat hingga merupakan padang lamun (seagrass bed) yang cukup luas (Nontji

2007).

Peranan dan Fungsi Padang Lamun

Di daerah tropis, lamun bersama mangrove merupakan vegetasi dominan

di tepi pantai dan bertindak sebagai barrier antara aktifitas di darat dan di laut

(Waycott et al. 2004). Padang lamun memiliki peranan penting dalam ekosistem

pantai. Tegakan lamun berfungsi untuk menjebak sedimen (De Boer 2007).

Selain itu, padang lamun juga berperan dalam melindungi pantai dari abrasi,

karena daun dan batang tumbuhan ini dapat meredam ombak (Fonseca et al.

1982; Nybakken & Bertness 2005; Castro & Huber 2007).

Akar dan daun lamun menyediakan kompleksitas horizontal dan vertikal

(Nybakken & Bertness 2005). Oleh karena itu secara ekologis padang lamun

dapat menjadi daerah asuhan, daerah pemijahan, daerah mencari makan, dan

daerah untuk mencari perlindungan bagi berbagai jenis biota laut seperti ikan

(Gambar 3), crustasea, moluska, echinodermata, dan sebagainya (Phillips &

Menez 1988; Tomascik et al. 1997; Green & Short 2003).

Tumbuhan lamun itu sendiri merupakan makanan penting bagi dugong

(Dugong dugon), penyu hijau (Chelonia mydas) (Lee Long et al. 1993; Kirkman

1997) dan bulu babi (Jernakoff et al. 1996). Di laut tropis yang hangat dijumpai

grazing bulu babi yang intensif (Valentine & Duffy 2006).

Page 48: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

11

Banyak di antara hewan laut yang memiliki nilai penting secara komersil

dan rekreasi, pada stadia tertentu dalam siklus hidupnya sangat bergantung pada

keberadaan ekosistem padang lamun. Banyak orang yang tinggal di daerah pantai

menggunakan lamun sebagai tempat untuk mengumpulkan cacing dan kerang

sebagai bahan makanan atau umpan bahkan ada juga yang memanfaatkan padang

lamun sebagai tempat menggembalakan ternaknya saat surut (Waycott et al.

2004).

Gambar 3 Sekawanan ikan kecil yang berlindung di celah-celah daun lamun E.

acoroides di Pulau Barranglompo. Foto diambil selama penelitian

Meskipun padang lamun merupakan ekosistem yang penting, namun

pemanfaatan langsung tumbuhan lamun untuk kebutuhan manusia belum banyak

dilakukan. Di Asia Tenggara, biji Enhalus acoroides dan rhizoma Cymodocea

digunakan sebagai makanan bagi masyarakat pantai (Hemminga & Duarte 2000;

Hutomo & Moosa 2005; Bjork et al. 2008). Di Indonesia sendiri, pemanfaatan

lamun sebagai bahan makanan telah dilakukan masyarakat di Kepulauan Seribu

yang telah memanfaatkan biji E. acoroides yang secara lokal diberi nama samo–

samo (Nontji 2007). Nilai gizi tepung yang terbuat dari biji Enhalus sebanding

dengan tepung gandum dan beras dalam hal kadar karbohidrat, protein dan

kalorinya, serta memiliki kandungan kalsium, zat besi dan fosfor yang lebih

tinggi (Montano et al. 1999 diacu Hemminga & Duarte 2000).

Page 49: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

12

Kerusakan Ekosistem Padang Lamun

Padang lamun berada pada garis terdepan yang menerima dampak dari

perubahan pemanfaatan lahan oleh manusia karena kebanyakan pusat pemukiman

dibangun di sekitar daerah pantai (Waycott et al. 2004). Hal ini mengakibatkan

padang lamun mudah mengalami kerusakan (Green & Short 2003; Warry &

Hindell 2009). Dalam dua dekade terakhir, daerah padang lamun telah berkurang

sekitar 18% dari luasan lamun yang tercatat di seluruh dunia (Walker et al. 2006).

Kerusakan dan kehilangan yang luas padang lamun telah

didokumentasikan dengan baik dan penyebabnya dapat karena bencana alam

seperti badai, dan karena aktivitas manusia (Poiner et al. 1989; Keough & Jenkins

2000; Orth et al. 2006). Aktivitas manusia yang dapat merusak ekosistem padang

lamun diantaranya adalah pengerukan dan penimbunan/reklamasi di wilayah

pesisir sehingga menenggelamkan ekosistem tersebut. Adanya dermaga dan

tempat pendaratan kapal/perahu, penggunaan jaring pantai (beach seine) yang

ditarik melalui ekosistem padang lamun, perburuan ikan duyung (dugong),

adanya limbah pertanian dan pertambakan juga ikut berperan dalam merusak

ekosistem padang lamun di Asia Tenggara (Fortes 1990; Duarte 2002).

Pembangunan yang gencar dilaksanakan dapat merubah ekologi pantai dan

menyebabkan hilangnya habitat-habitat padang lamun (Björk et al. 2008).

Berkurangnya areal padang lamun akibat ledakan populasi bulu babi pada padang

Posidonia australis di Botany Bay, Australia dilaporkan oleh Larkum & West

(1990). Peristiwa ini mengakibatkan hilangnya seluruh kanopi lamun pada areal

seluas puluhan hektar.

Penurunan tutupan padang lamun biasanya disertai dengan fragmentasi

padang yang lebih luas menjadi bagian-bagian yang lebih kecil. Akibatnya akan

muncul mozaik-mozaik daerah (patches) tak bervegetasi yang bervariasi ukuran,

bentuk dan orientasinya (Brooks & Bell 2001). Sebagai contoh, Australia yang

memiliki spesies lamun terbesar dan padang lamun yang luas telah mengalami

penurunan dalam 40 – 50 tahun terakhir (Butler & Jernakoff 1999). Sekitar 1300

ha lamun yang terdiri atas Zostera capricorni Aschers, Halophila ovalis (R.Br)

Hooker dan Ruppia megacarpa Mason di Tuggerah Lakes telah hilang (Shepherd

et al. 1989).

Page 50: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

13

Ekosistem padang lamun di perairan pesisir Indonesia sendiri telah

mengalami kerusakan sekitar 30% - 40%. Di pesisir Pulau Jawa kondisi

ekosistem padang lamun telah mengalami gangguan yang cukup serius akibat

pembuangan limbah dan pertumbuhan penduduk dan diperkirakan sekitar 60%

padang lamun telah mengalami kerusakan. Di pesisir Pulau Bali dan Pulau

Lombok gangguan bersumber dari penggunaan potasium sianida dan telah

berdampak pada penurunan nilai penutupan dan kerapatan spesies lamun (Fortes

1994).

Sebagaimana terjadi pada kebanyakan ekosistem laut dangkal lainnya,

ancaman besar yang terjadi pada ekosistem padang lamun, adalah eutrofikasi,

overfishing, kerusakan fisik serta biogenik habitat, introduksi spesies invasif

serta perubahan iklim global (Duarte et al. 2004; Waycott et al. 2009).

Eutrofikasi adalah faktor antropogenik yang paling banyak dilaporkan berpotensi

mengakibatkan penurunan populasi lamun (Short & Wyllie-Echeverria 1996;

Ralph et al. 2006). Ancaman-ancaman tersebut menyebabkan terjadinya

perubahan-perubahan utama dalam hal kelimpahan spesies, komposisi spesies

(keanekaragaman hayati), struktur komunitas bahkan mengancam kepunahan

spesies. Hal tersebut selanjutnya berdampak terhadap proses ekosistem dan

fungsi dari suatu ekosistem (Carlton et al. 1999; Jackson et al. 2001; Smith &

Smith 2003). Oleh karena itu, meningkatnya kehilangan dan fragmentasi habitat-

habitat lamun menjadi keprihatinan utama karena pentingnya ekosistem ini

terhadap ekologi dan produktivitas perairan pantai (Boström & Bonsdorff 2000;

Cummins et al. 2004).

Interaksi Lamun dan Makroalgae

Interaksi merupakan hal penting dalam ekologi spesies. Pada komunitas,

terdapat sejumlah faktor biotik dan abiotik yang mempengaruhi penyebaran,

kelimpahan dan interaksi spesies (Ludwig & Reynolds 1988).

Pada ekosistem lamun, algae epifit berkontribusi penting terhadap produksi

primer dan sekunder, mereka juga berperan terhadap proses biogeokimia dan

siklus nutrien termasuk produksi CaCO3 dan fiksasi nitrogen. Namun, algae

Page 51: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

14

epifit dapat juga memberikan efek merugikan terhadap fungsi ekologis ekosistem

lamun (Jernakoff et al. 1996; Vanderklift & Lavery 2000).

Eksperimen oleh Irlandi et al. (2004) menggunakan tutupan alga terapung

(drift algae) yang tinggi selama 2-3 bulan menghasilkan pengurangan sekitar 25

% biomassa di atas permukaan substrat (aboveground biomass) dibanding plot-

plot yang bebas algae. Biomassa di bawah substrat (belowground biomass) dan

kerapatan tegakan tidak dipengaruhi oleh keberadaan drift algae ini.

Grazing Lamun oleh Bulu Babi

Di antara semua fauna invertebrata, bulu babi (Echinoidea) merupakan

pemangsa (grazer) lamun yang paling menonjol. Kadang-kadang populasinya

cukup besar untuk mengkonsumsi proporsi lamun yang besar (Klumpp et al.

1989).

Bulu babi dapat dijumpai sangat melimpah pada padang lamun, dimana

mereka memakan daun-daun efifit segar, detritus atau kombinasi dari keduanya.

Bulu babi ungu Lythecinus variegatus di Teluk Mexico memotong-motong daun

lamun sehingga meninggalkan banyak daerah-daerah gundul (Hogarth 2007).

Dampak grazing bulu babi terhadap pertumbuhan dan kelimpahan lamun

Thalassia testudinum di Florida Keys, Amerika Serikat sangat bervariasi

tergantung musim dan kondisi faktor lingkungan (Valentine et al. 2000).

Grazing oleh bulu babi Tripneustes gratilla terhadap lamun

Thalassodendron ciliatum telah diteliti oleh Alcoverro & Mariani (2002) di

Kenya. Mereka menggunakan penelitian eksperimental dan penelitian lapangan

deskriptif untuk menguji pengaruh aggregasi bulu babi yang padat terhadap

padang lamun di Lagoon Mombasa. Mereka menemukan bahwa 39% lamun

Thalassodendron ciliatum mengalami grazing berat (> 75% tegakan mati), 23.4%

mengalami grazing sedang (> 50% tegakan mati), dan 38.5% mengalami grazing

ringan (19.8% tegakan yang mati). Dari model sederhana yang dibuatnya,

mereka mendapatkan waktu pulih lamun ini adalah 44 bulan.

Penelitian mengenai grazing bulu babi Tripneustes gratilla pada tiga jenis

lamun yaitu Thalassia hemprichii, Halodule uninervis dan Cymodocea rotundata

di Pulau Bonebatang, kepulauan Spermonde telah dilakukan oleh Vonk et al.

Page 52: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

15

(2008). Mereka menemukan bahwa total konsumsi Tripneustes gratilla pada

kepadatan 1.55 ± 0.07 bulu babi/m2 sekitar 1.28 berat kering/m

2/hari setara

dengan 26% produksi bersih lamun di atas permukaan substrat. Mereka

menyimpulkan bahwa peningkatan grazing Tripneustes gratilla hanya

mempengaruhi kerapatan tegakan di atas permukaan substrat untuk Halodule

uninervis dan Cymodocea rotundata saja dan tidak mempengaruhi Thalassia

hemprichii.

Grazing oleh bulu babi juga memiliki peran ekologis dalam mengontrol

ketebalan algae. Hal ini terbukti setelah terjadinya penurunan populasi bulu babi

Diadema antillarum di Karibia akibat kematian massal tahun 1983. Pada daerah-

daerah yang telah habis bulu babinya, ketebalan pada algae meningkat dari 1-2

mm ke 20-30 mm (Karleskint et al. 2010).

Respon Lamun terhadap Stres

Stres atau cekaman adalah penyimpangan signifikan dari kondisi kehidupan

yang optimal dan mengakibatkan perubahan dan respon pada semua tingkatan

fungsional organisme (Larcher 1995). Stres terjadi akibat perubahan proses-

proses fisiologis yang diakibatkan oleh satu atau kombinasi faktor lingkungan dan

faktor biologis (Hale & Orcutt 1987). Tumbuhan yang terpapar terhadap stres

lingkungan sering memperlihatkan berbagai gejala atau indikator. Indikator stres

adalah tanda-tanda disturbansi, baik yang terlihat seperti pertumbuhan dan

modifikasi morfologi, ataupun yang tak terlihat seperti perubahan fisiologis dan

biokimia yang terkait dengan upaya perbaikan dan mekanisme resistensi

(Rachmilevitch et al. 2000). Resistensi atau toleransi terhadap stres adalah

kapasitas suatu tumbuhan untuk bertahan dan tumbuh meskipun dihadapkan pada

suatu lingkungan yang tidak mendukung, dimana tumbuhan tersebut dapat

menahan pengaruh stres tanpa mati atau terserang kerusakan yang tidak dapat

dipulihkan (Hale & Orcutt 1987).

Padang lamun sangat rentan mengalami degradasi akibat stres yang

diakibatkan oleh aktivitas antropogenik karena mereka tumbuh pada tepi laut

dangkal dimana aktivitas manusia terpusat (Zieman 1975 diacu Tomascik et al.

Page 53: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

16

1997). Larkum & Den Hartog 1989 mengidentifikasi berbagai pemicu stres pada

ekosistem padang lamun (Tabel 1).

Tabel 1 Pemicu stres penting yang membatasi distribusi dan kelimpahan lamun

(Larkum & Den Hartog 1989)

Stres Adaptasi Kerentanan

Salinitas tinggi Pelepah (Sheaths)

Pompa ion (ion pump)

Disturbansi mekanik dan

biologis,

Meningkatnya beban respirasi

dan menurunnya

produktifitas

Perubahan suhu Races Perubahan suhu mendadak

Aksi gelombang Daun yang kuat

Rhizoma di bawah substrat

Blow-outs

Perpindahan Sedimen

Tekanan N/A? Gangguan fotosintesis

Anaerobiosis Aerenchyma

Metabolisme Fermentatif

Efifit

Air anoksik

Keterbatasan Nutrien Absorpsi akar dan daun kurangnya trace elements

kekurangan N dan/atau P

Efifit Daun secara kontinu

tumbuh dari basal

Smothering, shading, anoxia

Produktifitas menurun

Cahaya/naungan Toleransi naungan Produktifitas yang rendah

Naungan oleh efifit

Infeksi Fenolik dan attack

resistance

Kematian (Die-back) atau

menurunnya kebugaran

(fitness)

herbivora Fenolik Pemindahan bagian-bagian

kritis seperti daun dan

meristem

Monitoring karakteristik fisiologis lamun mempunyai potensi untuk

mendeteksi stres pada lamun sebelum penurunan populasi terjadi. Mobilisasi

karbon tersimpan (starch) telah digunakan untuk mengukur stres lamun sebagai

akibat ketersediaan cahaya yang kurang (Warry & Hindell 2009). Metrik

fisiologis lamun yang lain yang potensial menggambarkan kesehatan lamun yang

dapat digunakan untuk mendeteksi respon terhadap stres akibat sedimentasi dan

pengayaan nutrien adalah kadar nitrogen, fosfor serta kandungan klorofil (Leoni

et al. 2008; Warry & Hindell 2009).

Resiliensi Ekosistem terhadap Disturbansi

Konsep resiliensi di bidang ekologi pertama kali diperkenalkan oleh

Holling (1973). Resiliensi didefinisikannya sebagai hal yang menentukan

kelangsungan hubungan dalam suatu sistem dan merupakan ukuran dari

Page 54: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

17

kemampuan sistem ini untuk menyerap perubahan. Defenisi resiliensi yang lebih

baru dikemukakan oleh Walker et al. (2004) yang mendefinisikan resiliensi

sebagai kemampuan dari suatu sistem untuk menyerap disturbansi dan

mereorganisasi diri saat mengalami perubahan sehingga tetap mempertahankan

fungsi, struktur, identitas dan feedback yang sama. Sedangkan disturbansi adalah

segala mekanisme atau proses yang mempengaruhi struktur dan fungsi komunitas

(Smith & Smith 2003; Molles 2008). Pengaruh disturbansi bersifat kompleks dan

sulit untuk diukur karena banyak spesies yang mampu untuk membiasakan diri

terhadap disturbansi dan memperlihatkan respon yang bervariasi (Treweek,

1999).

Berdasarkan definisi awal resiliensi dari Holling (1973), Folke et al.

(2004) mendefinisikan resiliensi ekosistem sebagai besarnya gangguan atau

disturbansi yang dapat diterima oleh suatu sistem sebelum terjadi perubahan

menjadi suatu kondisi stabilitas baru yang berbeda struktur dan fungsinya.

Resiliensi ekologi berkaitan dengan keseluruhan cakupan faktor-faktor

positif dan negatif yang mempengaruhi komunitas seperti ekstraksi sumberdaya,

polusi dan spesies invasif (Obura & Grimsdith 2009). Oleh karena itu assesmen

resiliensi meliputi monitoring terhadap faktor lingkungan, kondisi kesehatan

populasi dan faktor komunitas.

Page 55: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

18

Page 56: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

19

3. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan pada dua pulau yaitu Pulau Barranglompo dan

Pulau Bonebatang yang masuk dalam gugusan Kepulauan Spermonde Provinsi

Sulawesi Selatan. Secara administratif kedua pulau ini masuk dalam wilayah

pemerintahan Kecamatan Ujung Tanah, Kota Makassar, Provinsi Sulawesi

Selatan.

Kepulauan Spermonde

Kepulauan Spermonde terbentuk dan muncul di atas dangkalan

Spermonde (Spermonde Shelf) yang terletak di pesisir barat Provinsi Sulawesi

Selatan atau sebelah tenggara Selat Makassar (Erftemeijer & Middelburg 1993;

Tomascik et al. 1997). Kepulauan ini membentang dari utara ke selatan sepanjang

kurang lebih 300 km dengan luas 16 000 km2. Di kawasan ini bertebaran 120

pulau dengan kisaran luas antara 2 ha (Pulau Bone Batang) sampai 3328.2 ha

(Pulau Tanakeke). Secara administratif, kepulauan ini termasuk ke dalam

wilayah Kabupaten Barru, Kabupaten Pangkajene Kepulauan (Pangkep),

Kabupaten Maros, Kota Makassar dan Kabupaten Takalar (McCarthy 2007).

Spermonde merupakan gugus kepulauan yang telah dikenal sejak lama.

Para penjelajah Portugis telah mendatangi daerah ini sekitar abad ke-16 dalam

upaya mencari sumber rempah-rempah yang perdagannya berpusat di Bandar

Pelabuhan Makassar. Bangsa Portugislah yang pertama kali memberi nama

kepulauan di pesisir barat Makassar ini dengan nama Kepulauan Spermon.

Selanjutnya bangsa Belanda mencapai daerah ini pada abad ke-17 dan

menggunakan nama Kepulauan Spermonde dalam peta-peta mereka. Namun, jauh

sebelum kedatangan Bangsa Portugis dan Belanda, masyarakat setempat telah

memberi nama gugusan pulau ini dengan nama Sangkarang (FIKP Unhas &

Bakosurtanal 2007).

Kepulauan Spermonde terbagi menjadi empat zona berdasarkan jarak dari

daratan utama (Gambar 4). Zona pertama atau zona bagian dalam merupakan

zona terdekat dari pantai daratan utama Pulau Sulawesi dengan kedalaman laut

Page 57: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

20

rata-rata 10 m dan substrat dasar yang didominasi oleh pasir berlumpur. Zona

kedua berjarak kurang lebih 5 km dari daratan Pulau Sulawesi dan mempunyai

kedalaman laut rata-rata 30 m dan banyak dijumpai pulau karang. Zona ketiga

dimulai pada jarak 12.5 km dari Pantai Sulawesi dengan kedalaman laut antara

20-50 m. Pada zona ini banyak dijumpai wilayah terumbu karang yang masih

tenggelam (patch reef). Zona keempat atau zona terluar merupakan terumbu

penghalang (barrier reef) dan berjarak 30 km dari daratan utama Pulau Sulawesi

(Moll 1983; Hoeksema 1990).

Gambar 4 Peta pembagian zona Kepulauan Spermonde (Mauliddin 2003)

Page 58: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

21

Kepulauan Spermonde merupakan salah satu kawasan dengan keragaman

ekosistem dan keanekaragaman jenis biota laut yang tinggi di Indonesia. Namun

sebagian besar ekosistem tersebut dalam kondisi terancam akibat pemanfaatan

sumberdaya alam yang melampaui daya dukung lingkungan serta menggunakan

cara-cara destruktif seperti bom, bius, eksploitasi karang dan ikan ornamen yang

berlebihan dan lain-lain (Tomascik et al. 1997).

Iklim

Curah hujan cukup tinggi sekitar 2.14 mm dan rata-rata suhu di pulau ini

31 oC. iklimnya banyak dipengaruhi oleh angin timur dan angin barat. Kedua

musim ini sangat mempengaruhi kehidupan dan aktivitas penduduk di pulau ini.

Musim angin barat antara bulan November dan Februari. Adapun antara bulan

Maret dan April merupakan transisi ke musim angin timur. Biasanya pada bulan

November-April, angin yang bergerak dari arah tenggara menimbulkan

gelombang yang besar (Erftemeijer & Herman 1994). Sementara itu musim

angin timur berlangsung pada bulan Juni sampai Agustus. Transisi ke angin barat

adalah pada bulan September-Oktober. Dulu ketika perahu-perahu layar tanpa

motor beroperasi pada tahun 1970-an, musim angin barat menjadi kendala bagi

nelayan dan musim angin timur merupakan saat yang tepat untuk berlayar

(Zaelany 2007)

Pulau Barranglompo

Penduduk dan Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat

Secara administratif, Pulau Barranglompo termasuk dalam wilayah

Kelurahan Barranglompo, Kecamatan Ujung Tanah, Kota Makassar. Jumlah

penduduk Barranglompo pada tahun 2008 adalah 4372 jiwa (Tahir 2010).

Sementara itu data penduduk tahun 2010 sudah mencapai 4784 jiwa yang terdiri

atas 862 kepala keluarga (Data Kantor Kelurahan Barranglompo 2011). Dengan

demikian pertambahan penduduk di pulau ini sangat pesat sehingga saat ini

jumlah penduduknya diperkirakan sudah mencapai sekitar 5000 jiwa. Penduduk

ini mendiami area pulau seluas 20.64 ha. Dengan demikian Pulau Barranglompo

merupakan salah satu pulau terpadat di Kepulauan Spermonde.

Terdapat lima etnis utama yang mendiami Pulau Barranglompo, yakni

Bugis-Makassar, Bajau, Mandar, keturunan Melayu dan keturunan Tionghoa

Page 59: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

22

(Zaelany 2007). Pekerjaan utama penduduk di Pulau Barranglompo adalah

sebagai nelayan. Sisanya berprofesi sebagai pedagang, pengrajin dan PNS.

Nelayan Bugis Makassar memandang laut sebagai milik semua orang,

sehingga siapa saja dan darimana saja dapat menangkap dan mengambil

sumberdaya laut yang terdapat di dalamnya. Pandangan inilah yang dijadikan

pegangan di dalam melakukan kegiatan penangkapan. Mereka kadang-kadang

melakukan penangkapan tanpa mengenal batas-batas wilayah sampai memasuki

wilayah provinsi lainnya seperti Maluku, Papua, Nusa Tenggara Timur (Flores,

Sumba dan Kupang), Sulawesi Utara, Kalimantan dan Sumatera bahkan sampai

di perbatasan negara-negara tetangga seperti Australia (Latief 1999).

Rumah-rumah di Kepulauan Spermonde umumnya dibangun

membelakangi laut. Di masa lalu rumah dibuat dari kayu, bambu dan atap dari

ijuk. Sejak tahun 1990-an, bersamaan dengan meningkatnya harga teripang dan

ikan komersial seperti sunu dan napoleon wrasse, kesejahteraan penduduk juga

meningkat dengan ditandai oleh perubahan dalam material bangunan mereka

(Zaelany 2007). Saat ini rumah-rumah penduduk dibangun dari batu dan bata,

dengan jendela kaca, atap rumah dari seng. Lantai rumah sudah berbahan

keramik. Rumah mereka sebagian besar berbentuk rumah panggung dengan

lantai pertama secara tradisi kosong (Gambar 5). Lantai pertama seringkali

menjadi gudang tempat penyimpanan barang-barang atau ternak maupun sebagai

tempat beristirahat di siang hari. Lantai kedua merupakan kamar-kamar, dapur

dan ruang tamu. Seiring perkembangan penduduk, kini sebagian besar lantai satu

rumah panggung tersebut sudah dibangun sebagai warung, toko ataupun dijadikan

kamar tambahan bagi anggota keluarga. Rumah panggung tersebut umumnya

dibangun menghadap ke jalan. Halaman rumahnya rata-rata juga sempit. Semua

jalan saat ini sudah berupa paving block.

Page 60: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

23

Gambar 5 Rumah panggung salah satu warga di Pulau Barranglompo

Parameter Fisika-Kimia Perairan Pulau Barranglompo

Parameter fisika kimia sangat berperan terhadap kelangsungan hidup biota

perairan. Kisaran beberapa parameter fisika dan kimia di Pulau Barranglompo

disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Parameter fisika-kimia kolom air di Pulau Barranglompo

Parameter Unit Stasiun Tenggara Stasiun Timur Laut

Kisaran Kisaran

Suhu oC 29-31 30-31

Salinitas o/oo 30-34 30-32

DO mg/l 3.25-4.21 2.42-3.87

TSS mg/l 33.0-45.1 11.0-44.7

BOT mg/l 36.7-79.6 46.1-111.2

Nitrat mg/l 0.03-0.22 0.03-0.32

Ortofosfat mg/l 0.44-1.11 0.26-0.90

pH 8.18-8.33 8.20-8.29

Sumber: Ira (2011)

Pulau Barranglompo memiliki tipe pasang surut campuran dominan

tunggal dimana dalam satu hari terjadi dua kali pasang dan satu kali surut atau

Page 61: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

24

satu kali pasang dua kali surut atau terkadang cenderung satu kali pasang dan satu

kali surut dengan rata-rata tunggang pasang 1.5 m (Tahir 2010).

Habitat pesisir

Habitat pesisir di Pulau Barranglompo memanjang sepanjang daerah

rataan terumbu (reef flat) yang terutama berada di sisi barat dan selatan pulau.

Luas habitat pesisir Pulau Barranglompo adalah 130.57 ha yang terdiri atas

terumbu karang, padang lamun dan hamparan pasir putih (bare unvegetated

area). Luas padang lamun di pulau ini sekitar 58.85 ha (Tahir 2010).

Fasilitas Umum

Fasilitas yang terdapat di pulau ini antara lain instalasi listrik dari PLN

berkapasitas 20 KV (beroperasi dari 17.30-6.00), dua dermaga, dua buah masjid,

sebuah Puskesmas Pembantu (Pustu), satu sekolah taman kanak-kanak, dua

sekolah dasar dan sebuah sekolah menengah pertama (SMPN). Di pulau ini juga

terdapat Marine Station (terdiri atas laboratorium, ruang kuliah/pertemuan,

asrama dan hatchery) milik Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan UNHAS.

Pulau Bonebatang

Habitat Pesisir

Pulau Bonebatang terletak sejajar dengan Pulau Barranglompo dari

daratan utama Pulau Sulawesi (Gambar 6). Pulau ini memanjang dari arah utara-

selatan dengan luas daratan sekitar 1.8 ha, sedangkan habitat pesisir atau rataan

terumbunya sekitar 98.02 ha. Rataan terumbu yang cukup luas dijumpai di sisi

barat dan selatan, sedangkan rataan terumbu di sisi timur tergolong sempit dengan

topografi yang curam dan dalam. Pada rataan terumbu ini tumbuh lamun seluas

sekitar 32 ha (Priosambodo 2011).

Padang lamun yang luas dapat ditemukan di sisi barat dan selatan Pulau

Bonebatang yang didominasi oleh substrat berpasir. Sedangkan komunitas lamun

di sisi utara didominasi oleh substrat pecahan karang, memiliki kepadatan lamun

yang rendah (Kneer et al. 2008). Komunitas lamun di Pulau Bonebatang

tergolong komunitas campuran yang terdiri atas spesies pionir seperti Cymodocea

rotundata, Halodule uninervis, Halophila ovalis, Syringodium isoetifolium dan

spesies klimaks yaitu Thalassia hemprichii dan Enhalus acoroides.

Page 62: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

25

Parameter Fisika-Kimia Lingkungan Pulau Bonebatang

Hasil pengukuran beberapa parameter lingkungan di Pulau Bonebatang

(Samawi 2001) ditampilkan pada Tabel 3.

Tabel 3 Parameter fisika-kimia perairan di Pulau Bonebatang

Parameter Unit Stasiun

Utara Barat Selatan Timur

Suhu oC 29.0 - 31.5 29.5 – 31.2 29.0 – 30.8 29.0 – 31.2

Salinitas o/oo 30.3 – 31.2 30.0 – 31.0 30.7 – 31.7 30.7 – 31.0

pH 8.1 – 8.2 8.0 – 8.1 8.1 – 8.2 7.9 – 8.2

Kec. Arus m/s 0.005 –

0.007

0.017 – 0.025 0.050 – 0.054 0.021 – 0.028

Amoniak ppm 0.0010 -

0.0012

0.0008 –

0.0013

0.0008 0.0010 –

0.0013

Nitrat ppm 0.46 – 0.47 0.43 – 0.58 0.51 – 0.85 0.53 – 0.60

Fosfat ppm 0.046 -

0.053

0.045 – 0.050 0.052 – 0.054 0.046 – 0.050

Sumber: Samawi (2001)

Penelitian-Penelitian Terdahulu yang Berkaitan dengan Ekosistem Padang

Lamun di Pulau Barranglompo dan Pulau Bonebatang

Kepulauan Spermonde merupakan salah satu kawasan dengan keragaman

ekosistem dan keanekaragaman jenis biota laut yang tinggi di Indonesia. Hal ini

banyak mengundang peneliti-peneliti asing untuk mengkaji ekosistem dan segala

aspek terkait di kawasan ini. Peneliti-peneliti Belanda banyak yang melakukan

penelitian di Kepulauan Spermonde misalnya Moll (1983) yang meneliti

mengenai zonasi dan sebaran karang karang Scleractinia dan Verheij (1993)

meneliti tentang tumbuhan laut di kawasan Spermonde. Penelitian-penelitian

baik yang dilaksanakan peneliti Indonesia maupun peneliti asing tetap

berlangsung hingga saat ini. Di bawah kolaborasi penelitian SPICE (Science for

Protection of Indonesian Coastal ecosystems) yang melibatkan peneliti dari

berbagai universitas dan lembaga riset di Jerman dan Indonesia, berbagai aspek

terkait padang lamun di Kepulauan Spermonde telah diteliti.

Beberapa judul penelitian tentang lamun yang telah berlangsung di Pulau

Barranglompo dan Pulau Bonebatang disajikan pada Tabel 4.

Page 63: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

26

Tabel 4 Judul-judul penelitian berkaitan dengan ekosistem padang lamun yang

pernah dilaksanakan di Pulau Barranglompo dan Pulau Bonebatang

No. Judul Referensi 1. Sediment-nutrient interactions in tropical seagrass

beds: a comparison between a terrigenous and a

carbonate sedimentary environment in South

Sulawesi (Indonesia)

Erftemeijer & Middelburg

(1993)

2. Seasonal change in environmental variables,

biomass, production and nutrient contents in two

contrasting tropical intertidal seagrass bed in South

Sulawesi, Indonesia

Erftemeijer & Herman (1994)

3. Nutrient uptake by leaves and roots of the seagrass

Thalassia hemprichii in the Spermonde

Archipelago, Indonesia

Stapel et al. (1996)

4. Biomass loss and nutrient redistribution in an

Indonesian Thalassia hemprichii seagrass bed

following seasonal low tide exposure during

daylight

Stapel et al. (1997)

5. Nutrient resorption from seagrass leaves Stapel & Hemminga (1997)

6. Studi kondisi dan potensi ekosistem padang lamun

sebagai daerah asuhan berbagai jenis biota laut di

perairan Pulau Barranglompo, Makassar

Arifin et al. (2004)

7. Inventarisasi jenis, kelimpahan dan biomassa ikan

di padang lamun Pulau Barranglompo, Makassar

Supriadi et al. (2004)

8. Dekomposisi serasah daun lamun Enhalus

acoroides dan Thalassia hemprichii di Pulau

Barranglompo

Supriadi & Arifin (2005a)

9. Pertumbuhan, biomassa dan produksi lamun

Enhalus acoroides di Pulau Bonebatang Makassar

Supriadi & Arifin (2005b)

10. Beberapa aspek pertumbuhan lamun Enhalus

acoroides (Linn. F) Royle di Pulau Barranglompo

Makassar

Supriadi et al. (2006)

11. Preference of fish community to natural and

artificial seagrass habitats in Barranglompo waters

Budimawan et al. (2008)

12. Seagrass as the main food source of Neaxius

acanthus (Thalassinidea: Calianassidae).

Kneer et al. (2008)

13. Biodiversity of shrimp associated gobies (Teleostei:

Gobiidae) in a seagrass bed at Barranglompo

Island, Spermonde Archipelago, Indonesia, with

special remarks on Austrolethops wardi

Liu (2008)

14. Regeneration of nitrogen (15

N) from seagrass litter

in tropical Indo-Pacific meadows

Vonk & Stapel (2008)

15. In situ quantification of Tripneustes gratilla grazing

and its effect on three co-occuring tropical seagrass

Vonk et al. (2008)

16. Struktur komunitas ikan pada padang lamun yang

berbeda di Pulau Barranglompo

Rappe (2010)

17. Keterkaitan padang lamun sebagai pemerangkap

dan penghasil bahan organik dengan struktur

komunitas makrozoobentos di perairan Pulau

Barranglompo

Ira (2011)

18. Struktur komunitas makrozoobentos di daerah

padang lamun Pulau Bonebatang Sulawesi Selatan.

Priosambodo (2011)

Page 64: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

27

Dari penelitian-penelitian yang telah dilaksanakan di Kepulauan

Spermonde terutama di Pulau Barranglompo dan Pulau Bonebatang, belum ada

yang khusus mengkaji dampak aktivitas antropogenik terhadap konfigurasi fisika,

kimia dan biologi ekosistem di wilayah tersebut. Penelitian ini perlu dilakukan

mengingat pesatnya perkembangan penduduk terutama di pulau-pulau kecil.

Page 65: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

28

Page 66: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

29

4. AKTIVITAS ANTROPOGENIK

DI PULAU BARRANGLOMPO DAN BONEBATANG,

KEPULAUAN SPERMONDE

Abstrak

Tekanan antropogenik pada daerah pantai terutama pulau-pulau kecil

semakin meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk. Penelitian

yang bertujuan untuk mengkaji aktivitas antropogenik yang terjadi di pulau kecil

dengan jumlah penduduk berbeda telah dilaksanakan pada dua pulau dalam

gugusan Kepulauan Spermonde, Sulawesi Selatan yaitu Pulau Barranglompo dan

Pulau Bonebatang. Aktivitas antropogenik yang potensial mempengaruhi

ekosistem padang lamun baik secara langsung maupun tidak langsung pada

masing-masing pulau diamati baik melalui pengamatan langsung maupun melalui

informasi dari masyarakat setempat. Terdapat 9 aktivitas antropogenik yang

teridentifikasi di Pulau Barranglompo yang sangat padat penduduknya, sedangkan

di Pulau Bonebatang yang tidak berpenduduk, terdapat 2 aktivitas yang

berlangsung saat ini. Di Pulau Barranglompo, terdapat dua aktivitas antropogenik

yang memiliki intensitas tinggi yaitu lalu lintas kapal/perahu dan pembuangan

sampah rumah tangga.

Kata kunci: antropogenik, Barranglompo, Bonebatang, lamun

Abstract

Anthropogenic pressures along coastal areas particularly in small islands

have increased in accordance with increasing of human population. A study has

been conducted in two small islands within Spermonde Archipelago, South

Sulawesi i.e. Barranglompo and Bonebatang Islands to analyze anthropogenic

activities occurred in small islands with different anthropogenic pressure.

Anthropogenic activities that potentially affect seagrass ecosystem both directly

and indirectly at each island were observed through direct observation and based

on local people information. There were nine human activities identified during

the study in Barranglompo Island, whereas, in Bonebatang Island, there were two

activities that practised by neighbouring visitors. In Barranglompo Island, two

activities with high intensity were ship/boat transportation and domestic sewage

disposal.

Keywords: anthropogenic, Barranglompo, Bonebatang, seagrass

Pendahuluan

Seiring dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk, terlebih pada

pulau-pulau kecil yang memiliki lahan yang terbatas, maka tekanan yang

Page 67: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

30

diakibatkan oleh aktivitas antropogenik meningkat pula dengan cepat. Tekanan

aktivitas antropogenik di daerah pantai merupakan ancaman utama terhadap

ekosistem padang lamun (Orth et al. 2006; Warry & Hindell 2009; Waycott et al.

2009). Eutrofikasi merupakan salah satu dampak serius dari meningkatnya jumlah

penduduk. Eutrofikasi telah terdeteksi di hampir seluruh perairan pantai di

seluruh dunia (Hemminga & Duarte 2000).

Isu-isu yang berkaitan dengan makin meningkatnya tekanan antropogenik

di Indonesia antara lain: meningkatnya kekeruhan dan sedimentasi, penangkapan

lebih, praktik perikanan destruktif (baik legal maupun illegal), eutrofikasi dan

stres kimiawi lainnya (yang berasal dari sektor pertanian, industrialisasi dan

urbanisasi, hilangnya spesies kunci, perubahan pola sirkulasi (akibat kegiatan

teknik pantai), pola penggunaan lahan yang tidak tepat di daerah pesisir, dan

pembuangan sampah (Tomascik et al. 1997; Alongi 1998). Perubahan-perubahan

antropogenik mempunyai dampak besar terhadap fungsi ekosistem bila

mempengaruhi spesies-spesies yang secara ekologis penting seperti lamun

(Hughes et al. 2004).

Penelitian ini bertujuan untuk mengamati dan menganalisis aktivitas-

aktivitas antropogenik yang berlangsung di pulau kecil yang potensial

mempengaruhi ekosistem padang lamun baik secara langsung maupun tidak

langsung.

Bahan dan Metode

Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Pulau Barranglompo (5o 02’ 44.28‖- 5

o 03’

05.65‖ S, 119o 19’ 38.56‖- 119

o 19’ 52.27‖ E) dan Pulau Bonebatang (5

o 00’

47.46‖- 5o 00’ 51.82 S, 119

o 19’ 35.55‖- 119

o 19’ 36.71‖ E) (Gambar 6). Kedua

pulau yang termasuk dalam Kepulauan Spermonde ini terletak sekitar 15 km dari

daratan utama Pulau Sulawesi dan jarak antar kedua pulau ini sekitar 3.5 km.

Keduanya dipilih berdasarkan pertimbangan tekanan antropogenik berbeda yang

dialami kedua pulau ini. Pulau Barranglompo (Gambar 7) adalah salah satu pulau

terpadat yang ada di kawasan Kepulauan Spermonde, sedangkan Pulau

Bonebatang (Gambar 8) tidak berpenghuni.

Page 68: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

31

Gambar 6. Peta Lokasi Penelitian di Pulau Barranglompo dan Pulau

Bonebatang

Gambar 7 Pulau Barranglompo yang diambil dari sisi tenggara

Page 69: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

32

Gambar 8 Pulau Bonebatang diambil dari sisi timur

Kondisi Demografi dan Sosial Ekonomi

Untuk mengidentifikasi dan menganalis aktivitas-aktivitas masyarakat

yang potensial mempengaruhi ekosistem padang lamun, dilakukan pengumpulan

data-data demografi di kantor kelurahan setempat serta sumber terkait lainnya.

Disamping itu dilakukan pula wawancara dan pengamatan langsung di lapangan

untuk mengidentifikasi dan menganalisisi aktivitas-aktivitas antropogenik yang

potensial mempengaruhi ekosistem padang lamun.

Hasil dan Pembahasan

Aktivitas Antropogenik di Pulau Barranglompo

Pulau Barranglompo merupakan salah satu pulau dalam kawasan

Kepulauan Spermonde yang mengalami peningkatan jumlah penduduk yang

cepat terutama dalam dua dekade terakhir. Hal tersebut disebabkan oleh

dijadikannya pulau ini sebagai stasiun lapang laut (Marine Field Station)

Universitas Hasanuddin. Keberadaan stasiun ini menjadikan pulau ini secara

intensif dikunjungi oleh mahasiswa dan peneliti dari berbagai daerah bahkan dari

luar negeri. Kondisi ini membuka peluang usaha yang lebih baik dibanding

pulau-pulau lain. Hal ini menyebabkan bertambahnya pendatang dari luar pulau

yang membuka usaha di pulau ini. Pertambahan penduduk ini menyebabkan

aktivitas antropogenik meningkat pula. Aktivitas-aktivitas penduduk yang

Page 70: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

33

potensial mempengaruhi kondisi dan interaksi padang lamun dengan komunitas-

komunitas pantai lainnya disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5 Jenis-jenis aktivitas antropogenik di Pulau Barranglompo serta

dampaknya terhadap ekosistem padang lamun

No. Jenis Aktivitas Dampak terhadap Lamun

1. Lalu lintas kapal/perahu Kerusakan fisik lamun oleh jangkar,

baling-baling & lunas kapal, pencemaran

perairan oleh tumpahan minyak

2. Perbaikan kapal/perahu Cat, dempul dan bahan kimia lain yang

digunakan dapat mencemari perairan

3. Pembuangan sampah rumah

tangga

Tertutupnya lamun oleh sampah

mengurangi intensitas cahaya yang

diterima lamun

4. Aliran (drainase) limbah

domestik

Meningkatnya kadar nutrien dan

kekeruhan akan mengakibatkan

berkurangnya cahaya yang diterima lamun

untuk fotosintesis

5. MCK (mandi, cuci, kakus) Meningkatkan bahan organik serta bahan

polutan yang dapat mengganggu

pertumbuhan lamun

6. Pengambilan batu karang Arus dan gelombang yang sampai ke

padang lamun semakin besar karena

hilangnya karang yang berfungsi sebagai

penghalang (barrier)

7. Penimbunan/reklamasi pantai Penimbunan pantai akan menghilangkan

sebagian areal padang lamun pada

perairan pantai

8. Pemasangan bubu (fish trap) Penempatan bubu pada daerah lamun

dapat merusak lamun

9. Kegiatan praktik lapang

mahasiswa

Kerusakan fisik (trampling) terutama pada

lamun yang berukuran kecil, pengambilan

koleksi herbarium juga akan mengurangi

populasi lamun

Jumlah penduduk Pulau Barranglompo pada tahun 2008 adalah 4372 jiwa

(Tahir 2010). Sementara itu pada tahun 2010 sudah mencapai 4784 jiwa (Data

Kantor Kelurahan Barranglompo 2011). Berdasarkan data ini, dapat disimpulkan

bahwa laju pertumbuhan penduduk rata-rata pulau ini adalah 4.5 %. Laju ini jauh

lebih tinggi dari laju pertambahan penduduk tahun yang sama untuk Makassar

yaitu 1.63 % (BPS Makassar 2010), maupun Sulawesi Selatan dan nasional

masing-masing sebesar 1.17 dan 1.49 % (BPS 2011). Dengan demikian saat ini

Pulau Barranglompo yang luasnya hanya 20.64 ha, telah dihuni oleh sekitar 5000

Page 71: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

34

orang yang terdiri atas 973 rumah tangga (BPS Makassar 2010). Data ini

menunjukkan bahwa rata-rata setiap rumah tangga terdiri atas lebih dari lima

jiwa. Penduduk yang padat ini menyebabkan bertambahnya aktivitas

antropogenik yang dilaksanakan di pulau ini.

Lalu lintas perahu/kapal

Lalu lintas perahu dan kapal yang datang dan pergi di pulau dapat

menyebabkan kerusakan fisik atau mekanik terhadap vegetasi lamun yang

dilaluinya. Menurut Duarte et al. (2004), kerusakan mekanik merupakan hal

serius dari aktivitas antropogenik yang dapat menurunkan persentase tutupan

lamun. Kerusakan mekanik bisa berasal dari jangkar, baling-baling, lunas

ataupun papan kemudi kapal yang merobek helaian daun lamun (Gambar 9).

Bahaya yang ditimbulkan oleh lalu lintas perahu terutama yang

diakibatkan oleh perobekan baling-baling (propeller scarring) telah diamati di

banyak lokasi di Corpus Christi Bay, Texas (Pulich et al. 1997). Hal ini telah

menyebabkan fragmentasi padang lamun yang cukup luas. Efek propeller

scarring juga telah diteliti oleh Hammerstorm et al. (2007) di Teluk Mexico.

Mereka mengestimasi bahwa padang lamun Thalassia testudinum dan

Syringodium filiforme yang terekskavasi sedalam 20 cm atau lebih pulih 2-5

tahun lebih lama dibanding kedalaman 10 cm. Sedangkan bahaya dari

penggunaan jangkar telah diteliti oleh Francour et al. (1999) di Taman Nasional

Port-Cros, barat laut Mediterrania. Mereka menemukan bahwa rata-rata 34

tegakan lamun Posidonia oceanica rusak tercabut setiap sekali siklus buang

jangkar.

Berdasarkan pengamatan dan perhitungan terhadap perahu baik besar dan

kecil di Pulau Barranglompo, terdapat puluhan perahu yang beraktivitas di

perairan sekitar pantai (Tabel 6). Perahu besar kebanyakan dijumpai di sisi timur

pulau yang memiliki topografi yang curam. Di sisi timur ini juga terdapat dua

dermaga yang dijadikan tempat bersandar perahu-perahu ini. Perahu besar

biasanya digunakan untuk transportasi ke pelabuhan Kayubangkoa yang ada di

kota Makassar. Sejumlah armada kapal motor meninggalkan Pulau

Barranglompo pada pukul 07:00 WITA dan kembali lagi ke pulau pada pukul

Page 72: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

35

11:00 WITA. Kapal-kapal ini membutuhkan waktu sekitar satu jam untuk

mencapai pantai di Kota Makassar yang berjarak sekitar 15 km. Perahu/kapal

besar (Gambar 10) juga berupa armada penangkap ikan yang biasa beroperasi di

perairan lepas pantai bahkan beberapa di antaranya biasa mencari komoditas

bernilai ekonomis penting seperti teripang di perairan perbatasan dengan

Australia.

Gambar 9 Perahu bermotor (a) beserta bagian-bagiannya: jangkar (b), baling-

baling (c) dan papan kemudi (d) yang dapat menyebabkan kerusakan

fisik terhadap lamun.

Page 73: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

36

Gambar 10 Perahu besar yang sedang berlabuh di pantai barat Pulau

Barranglompo

Tabel 6 Jumlah perahu besar (PB) dan perahu kecil (PK) yang berlabuh di pantai

Pulau Barranglompo

Bulan Utara Barat Selatan Timur

PB PK PB PK PB PK PB PK

September 2010 4 9 10 23 8 20 17 13

Maret 2011 6 8 9 22 5 28 15 10

Sementara itu, armada yang digolongkan sebagai perahu kecil (Gambar

11) diberi nama lokal berdasarkan bentuk dan ukurannya sebagai jolloro,

katinting dan lepa-lepa (Riana 2006). Jolloro adalah jenis perahu bermotor yang

bentuknya memanjang ± 11-12 m. Perahu ini biasanya digunakan oleh nelayan

untuk transportasi dari satu pulau ke pulau lain, atau untuk membawa hasil

tangkapan ke tempat pelelangan ikan di Kota Makassar. Jolloro merupakan

perahu yang cukup cepat karena menggunakan 1-2 mesin. Katinting merupakan

perahu motor tempel dengan kemampuan mesin penggerak yang terbatas. Perahu

ini hanya digunakan oleh nelayan skala kecil untuk mencari ikan di sekitar pulau.

Lepa-lepa adalah perahu yang tidak bermesin (sampan) yang digunakan sebagai

pengangkut awak kapal besar ke daratan/pulau dan sebaliknya. Lepa-lepa juga

digunakan nelayan untuk aktivitas di pantai seperti untuk menuju tempat

pemasangan jaring atau perangkap ikan (bubu).

Page 74: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

37

Gambar 11 Perahu ukuran kecil, (a) jolloro, (b) katinting, (c) lepa-lepa

Perbaikan Kapal/Perahu

Pada saat beristirahat dari kegiatan melaut, nelayan biasanya

memanfaatkan waktu senggangnya dengan memperbaiki kerusakan pada kapal

atau perahunya (Gambar 12). Meskipun intensitas aktivitas ini cukup rendah,

namun unsur dan senyawa kimia yang terkandung dalam bahan yang digunakan

seperti pada cat antifouling, dempul atau bahan lainnya dapat mengakibatkan

pencemaran yang dapat menghambat pertumbuhan atau bahkan mematikan lamun

beserta biota asosiasi yang tercemari. Substansi kimia berbahaya ini bersifat

toksik dan secara langsung membahayakan padang lamun dan biota yang

berasosiasi dengannya (Hemminga & Duarte 2000; Ralph et al. 2006).

Page 75: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

38

Gambar 12 Kapal yang sedang menjalani perbaikan

Pembuangan Sampah

Sampah yang dihasilkan oleh aktivitas penduduk merupakan hal yang

dilematik di pulau kecil seperti Pulau Barranglompo. Di satu sisi masyarakat

sudah mengerti akan pentingnya menjaga kebersihan, namun di sisi lain mereka

tidak punya pilihan selain membuang sampah ke pantai dengan harapan sampah-

sampah tersebut akan terbawa arus menjauh dari pulau, namun pada

kenyataannya, sampah-sampah tersebut justru menumpuk di pantai. Tumpukan

sampah terbanyak di Pulau Barranglompo dijumpai di sisi barat dan selatan pulau

(Gambar 13). Sampah yang teramati banyak menumpuk di pantai antara lain

kantong plastik, botol minuman plastik, plastik kemasan makanan/minuman

instan, kaleng, potongan pohon, ranting, daun dan kulit buah (seperti pisang,

jeruk, nangka dan kelapa), dan pakaian bekas. Sampah-sampah tersebut akan

berada di perairan dalam waktu yang lama (Tait & Dipper 1998).

Page 76: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

39

Gambar 13 Tumpukan sampah di pinggir pantai barat Pulau Barranglompo

Tumpukan sampah di pantai barat Pulau Barranglompo telah menggeser

vegetasi lamun ke arah laut. Beberapa tahun lalu sebelum sampah menumpuk di

pantai, lamun dapat dijumpai di sekitar garis pantai, namun saat ini lamun

terdekat hanya dijumpai pada jarak 40-50 m dari garis pantai. Hal tersebut

diakibatkan tertutupnya lamun oleh sampah terutama sampah plastik yang

menyebabkan berkurangnya cahaya yang diterima oleh tumbuhan lamun untuk

fotosintesis,

Aliran (Drainase) Limbah Domestik

Aktivitas yang terjadi di daratan pulau dapat menghasilkan limbah cair

yang akan mengalir menuju pantai. Di samping itu, limbah dari daratan dapat

terbawa ke pantai melalui air hujan yang jatuh di daratan pulau lalu mengalir

(runoff) ke pantai. Salah satu efek dari adanya runoff adalah meningkatnya

kandungan nutrien dan sedimentasi di dalam perairan (Wachenfeld et al. 1998).

Aktivitas Pemanfaatan Pantai untuk MCK (Mandi, Cuci, Kakus)

Seiring dengan makin gencarnya penyuluhan akan pentingnya sanitasi dan

kebersihan lingkungan, maka aktivitas pemanfaatan pantai sebagai sarana MCK

sudah semakin berkurang. Hal ini didukung pula oleh keberadaan Pulau

Barranglompo sebagai stasiun lapangan Universitas Hasanuddin (UNHAS),

sehingga dosen dan mahasiswa dari UNHAS dan berbagai perguruan tinggi

lainnya di Makassar dan sekitarnya sering berkunjung ke pulau ini. Interaksi

Page 77: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

40

masyararakat setempat dengan pengunjung dari luar ini mempercepat

transformasi masyarakat pulau ke arah yang lebih sadar akan kebersihan dan

kelestarian lingkungan.

Pengambilan Batu Karang

Pengambilan batu karang dari daerah tubir terumbu karang masih

dilaksanakan oleh sebagian penduduk Pulau Barranglompo. Batu-batu tersebut

dikumpulkan untuk dijadikan bahan fondasi rumah dan juga dijadikan sebagai

barier untuk mengurangi abrasi yang terjadi pada pantai di depan rumah mereka.

Sebagai akibat dari pengambilan batu karang, peran ekosistem terumbu

karang sebagai pelindung pantai di Pulau Barranglompo menjadi tidak optimal,

dimana beberapa bagian pantai telah mengalami erosi akibat dari aktivitas

penambangan batu karang tersebut (Tahir 2010). Gambar 14 memperlihatkan

batu karang yang ditumpuk di pinggir pantai.

Gambar 14 Tumpukan batu karang yang dikumpulkan penduduk untuk bahan

bangunan dan disusun sebagai penahan ombak di depan rumah di

sisi selatan Pulau Barranglompo

Penimbunan/Reklamasi Pantai

Seiring dengan semakin bertambahnya penduduk di Pulau Barranglompo,

kebutuhan akan lahan perumahan makin terbatas. Selama ini bila ada anggota

keluarga yang berumah tangga, maka tipikal rumah masyarakat Bugis-Makassar

Page 78: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

41

yang berupa rumah panggungpun dipartisi untuk dijadikan tempat tinggal bagi

pasangan yang baru menikah tersebut.

Bila rumah yang ada semakin sesak, maka salah satu alternatif yang

dilakukan penduduk adalah dengan menimbun pantai di depan rumah mereka

untuk nantinya dibanguni rumah baru atau untuk menambah kamar dari rumah

yang sudah ada (Gambar 15). Sebelum pantai tersebut menjadi daratan,

penduduk membuat fondasi menggunakan batu karang yang diambil dari terumbu

karang di sekitar pulau atau batu kali yang didatangkan dari Makassar.

Penimbunan pantai oleh penduduk pulau juga dimaksudkan untuk

menahan ombak yang bisa menyebabkan abrasi di depan rumah mereka.

Gambar 15 Penimbunan/reklamasi pantai yang dilakukan masyarakat Pulau

Barranglompo di sisi utara (atas) dan sisi barat (bawah)

Pemasangan Bubu (Fish Trap/Pot)

Bubu adalah sejenis perangkap ikan yang berupa jebakan (Gambar 16).

Alat yang bisa terbuat dari kayu, bambu, rotan ataupun kawat ini bersifat pasif

dan dirancang untuk memudahkan ikan masuk dan sulit untuk keluar (Risamasu

2008).

Page 79: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

42

Penggunaan bubu sudah lama dilakukan oleh nelayan karena cara

pembuatan dan pengoperasiannya mudah, biaya pembuatannya juga relatif murah

sehingga sangat membantu nelayan yang bermodal kecil (Husni 2009).

Sebenarnya bubu termasuk alat tangkap yang cukup ramah lingkungan karena

hanya menangkap ikan yang ukurannya sudah cukup besar, namun penempatan

alat ini beserta pemberatnya di dasar perairan yang ditumbuhi vegetasi lamun

dapat mengganggu bahkan mematikan lamun yang ditutupinya.

Gambar 16 Alat perangkap ikan (bubu) yang dipasang nelayan di daerah padang

lamun Pulau Barranglompo

Praktek Lapang Mahasiswa

Pulau Barranglompo yang merupakan tempat stasiun lapang ilmu kelautan

mendapat kunjungan yang cukup intensif dari mahasiswa, dosen maupun peneliti

dari berbagai disiplin ilmu yang terkait dengan bidang kelautan (seperti biologi,

fisika, kimia, geologi, perikanan, sosial ekonomi, dan antropologi maritim).

Kegiatan praktek lapang merupakan aktivitas yang rutin dilaksanakan setiap

semester di pulau ini. Mahasiswa yang berkunjung ke pulau ini berasal dari

beberapa perguruan tinggi negeri dan swasta di Kota Makassar dan sekitarnya.

Gambar 17 memperlihatkan aktivitas sekelompok mahasiswa yang

melakukan kegiatan pengumpulan sampel biota laut di pantai. Aktivitas ini dapat

mempengaruhi padang lamun dan biota asosiasinya melalui pengumpulan sampel

untuk herbarium dan pengambilan biota ornamen untuk asesori akuarium.

Page 80: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

43

Aktivitas ini juga bisa menyebabkan kerusakan fisik terhadap lamun melalui

injakan kaki (trampling).

Gambar 17 Aktivitas praktek lapang mahasiswa di pantai

Aktivitas Antropogenik di Pulau Bonebatang

Meskipun Pulau Bonebatang tidak berpenghuni, namun setiap saat

mendapat kunjungan dari nelayan yang melakukan aktivitas seperti tercantum

pada Tabel 7.

Tabel 7 Aktivitas antropogenik yang dijumpai di Pulau Bonebatang

No. Jenis Aktivitas Dampak terhadap Lamun

1. Persinggahan perahu

nelayan

Kerusakan fisik lamun oleh jangkar &

baling-baling, pencemaran perairan oleh

tumpahan minyak

2. Pengambilan pasir Meningkatnya kekeruhan akan mengurangi

cahaya yang tersedia untuk fotosintesis

lamun

Persinggahan Perahu Nelayan

Pulau Bonebatang biasa disinggahi oleh nelayan yang biasanya mencari

ikan atau biota laut lainnya menggunakan perahu jenis jolloro dan katinting. Di

pulau ini, nelayan biasanya beristirahat sebelum melanjutkan perjalanan.

Nelayan yang singgah di pulau ini juga kadang mempraktekkan cara

penangkapan ikan yang merusak (destructive fishing) seperti menggunakan bom

ataupun sianida, ataupun menangkap biota yang dilindungi seperti kima

(Tridacna spp). Aktivitas ini sering dijumpai selama penelitian ini.

Page 81: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

44

Pengambilan Pasir

Aktivitas pengambilan pasir di Pulau Bonebatang marak dilakukan dalam

beberapa tahun terakhir. Nelayan yang menambang pasir dari daratan pulau ini

berasal dari pulau-pulau sekitarnya terutama dari Pulau Barranglompo . Pasir

yang diambil dari pulau ini digunakan sebagai bahan bangunan.

Aktivitas ini berlangsung bebas karena tidak adanya penduduk yang

mendiami pulau ini. Disamping itu mereka juga berdalih kalau sudah

mendapatkan izin dari Kepala Kelurahan Barranglompo yang membawahi Pulau

Barranglompo dan Pulau Bonebatang.

Aktivitas pengambilan pasir ini kemungkinan berkontribusi terhadap

tenggelamnya pulau ini, dimana sebelumnya terdapat pohon, namun saat ini

sudah hilang. Bila tidak segera dihentikan, Pulau Bonebatang kemungkinan akan

tenggelam.

Simpulan dan Saran

Simpulan

1. Terdapat 9 jenis aktivitas yang teramati dilakukan oleh masyarakat di

Pulau Barranglompo yaitu: transportasi kapal/perahu, perbaikan

kapal/perahu, pembuangan sampah, pembuangan limbah cair rumah

tangga, MCK, pengambilan batu karang, penimbunan pantai, pemasangan

bubu dan kegiatan praktik lapang mahasiswa.

2. Di Pulau Bonebatang dijumpai 2 jenis aktivitas antropogenik yaitu

persinggahan perahu nelayan dan pengambilan pasir.

3. Aktivitas-aktivitas yang berlangsung ini potensial mempengaruhi

pertumbuhan dan kondisi ekosistem padang lamun di kedua pulau ini.

Saran

Diperlukan upaya-upaya untuk meminimalisir dampak negatif yang

diakibatkan oleh aktivitas penduduk terhadap komunitas lamun dan biota yang

berasosiasi dengannya. Misalnya pembuatan tempat pembuangan sampah,

pengawasan terhadap aktivitas pengambilan karang dan pasir, maupun pembuatan

jalur keluar masuknya perahu ke pantai.

Page 82: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

45

5. DINAMIKA NUTRIEN PADA JARINGAN DAUN LAMUN

Enhalus acoroides DAN KOLOM AIR

Abstrak

Seiring dengan peningkatan jumlah penduduk di daerah pesisir, tekanan

terhadap ekosistem pantai semakin meningkat pula. Untuk mengetahui dampak

dari aktivitas antropogenik terhadap status hara (karbon, nitrogen dan fosfor) pada

lamun telah dilaksanakan penelitian pada dua pulau di Kepulauan Spermonde

yakni Pulau Barranglompo dan Bonebatang. Kedua pulau ini mendapat tekanan

antropogenik berbeda. Sampel diambil dari daun lamun Enhalus acoroides dan

air permukaan pada tiga stasiun dengan jarak berbeda dari garis pantai pada

masing-masing pulau. Analisis kandungan karbon pada daun lamun E. acoroides

menunjukkan potensi stok karbon jenis ini di Pulau Barranglompo berkisar antara

29.03-61.53 ton, sedangkan di Pulau Bonebatang berkisar 2.42-10.84 ton.

Sementara itu, hasil pengukuran hara menunjukkan bahwa konsentrasi nitrogen di

Pulau Barranglompo jauh lebih tinggi dibandingkan Pulau Bonebatang. Nilai

rasio C:N yang lebih rendah dan nilai rasio N:P yang lebih tinggi di Pulau

Barranglompo memperkuat hal ini. Perbedaan ini mengindikasikan pengaruh dari

pengayaan hara akibat aktivitas antropogenik yang semakin meningkat. Hal ini

didukung oleh hasil pengukuran hara pada kolom air dimana konsentrasi nitrat

sangat berbeda nyata antara Pulau Barranglompo dan Pulau Bonebatang (p

0.01). Aktivitas antropogenik yang paling potensial mempengaruhi komposisi

hara di Pulau Barranglompo adalah pembuangan sampah rumah tangga dan aliran

limbah cair dari rumah penduduk di sekitar pantai.

Kata kunci: antropogenik, Barranglompo, Bonebatang, hara, lamun, rasio C:N:P

Abstract

As human population increase in coastal areas, significant pressure to the

coastal ecosystem increase as well. In order to reveal possible impacts of

anthropogenic activities to the nutrient status of seagrasses, a study has been done

in two small islands within Spermonde Archipelago i.e. Barranglompo and

Bonebatang Islands. Currently, these two islands are facing different

anthropogenic pressure. Samples of seagrass Enhalus acoroides and surface

water were collected from three stations based on their different distances from

the shoreline. Analysis of carbon contents of seagrass E. acoroides showed that

this species contributed to carbon stocks as much as 29.03-61.53 ton in

Barranglompo Island, while in Bonebatang Island, the values ranged between

2.42-10.84 ton. Meanwhile, results of the nutrient measurements showed that

nitrogen concentration of Barranglompo Island was significantly higher than that

of Bonebatang Island. This was supported by lower C:N and higher N:P ratios of

Barranglompo Island and significant different nitrate content of surface water

between Barranglompo and Bonebatang Islands (p 0.01). These differences

indicated the influence of nutrient enrichment due to the increased anthropogenic

Page 83: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

46

activities. Potential anthropogenic activities affecting nutrient composition of

Barranglompo Island were domestic sewage disposal and liquid household

sewage drain.

Keywords: anthropogenic, Barranglompo, Bonebatang, C:N:P ratio, nutrient,

seagrass

Pendahuluan

Lingkungan perairan tropis dicirikan oleh kadar nutrien yang rendah

(Hemminga & Duarte 2000). Namun, pengayaan nutrien yang cukup signifikan

terjadi secara luas akibat meningkatnya aktivitas antropogenik (Lapointe et al.

2004). Sebagai contoh, aktivitas manusia termasuk dari sumber langsung (point

source) seperti limbah perkotaan, pemukiman dan pencemaran industri serta dari

sumber tidak langsung (non-point source) seperti dari pencemaran limbah

pertanian telah mengalirkan limbah bahan kaya nutrien ke lingkungan pantai

(Havens et al. 2001). Secara global, fiksasi nitrogen oleh aktivitas manusia telah

meningkat sampai tiga kali lipat sejak 1960 dan pembuangan limbah nitrogen ke

aliran sungai telah meningkat dua kali lipat dalam dua abad terakhir (Newton et

al. 2003; Heck et al. 2006). Hal yang sama terjadi juga pada nutrien fosfor dari

sumber pertanian dan detergen yang meningkat sejak tahun 1950an dengan

peningkatan yang dramatis dalam dua dekade terakhir (Newton et al. 2003).

Kadar nutrien pada jaringan daun lamun merupakan hasil dari

keseimbangan antara ketersediaan nutrien dan kebutuhan akan nutrien (Mellors et

al. 2005; Terrados & Medina-Pons 2011). Kebutuhan nutrien untuk lamun lebih

rendah dibanding organisme akuatik yang lain seperti makroalgae dan

fitoplankton (Alongi 1998). Diperkirakan bahwa lamun membutuhkan empat kali

lebih sedikit nitrogen dan fosfor per bobot tubuh dibandingkan dengan sel-sel

fitoplankton, bahkan Romero et al. (2006) menyatakan bahwa lamun

membutuhkan 8 -50 kali lebih sedikit nitrogen dan 1.5 – 100 kali lebih sedikit

fosfor untuk pertumbuhan hariannya dibanding makroalgae dan fitoplankton.

Akses terhadap nutrien baik yang berasal dari kolom air maupun sedimen

merupakan adaptasi yang penting yang memungkinkan lamun bertahan dan

menyaingi makroalgae (Hemminga & Duarte 2000; Kaldy 2009). Resorpsi

internal N dan P dari daun yang tua dapat memenuhi sebagian kebutuhan nutrien

Page 84: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

47

lamun (Kaldy 2009). Lebih dari itu, lamun mempunyai kemampuan untuk

mendaur ulang nutrien secara efisien (de Boer 2007). Hal ini memberi lamun

keuntungan untuk tumbuh pada lingkungan yang miskin nutrien dibanding

produsen primer lainnya (Hemminga & Duarte 2000; Romero et al. 2006; Kaldy

2009).

Lamun dapat mengambil nutrien baik dari kolom air maupun sedimen,

oleh karena itu, kadar nutrien pada jaringan daun lamun dapat menggambarkan

ketersediaan nutrien pada lingkungan (Alongi 1998; Lee et al. 2004; Evrard et al.

2005). Stoikiometri unsur (elememental stoichiometry) dan pola spasial pada

kadar unsur produsen primer telah terbukti sebagai integrator dan indikator

proses-proses ekologis yang baik (Fourqurean & Zieman 2002). Analisis

stoikiometri juga berguna dalam mempelajari interaksi spesies dan hubungan

tropik di antara berbagai komponen lingkungan perairan (Elser & Hassett 1994).

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kadar karbon, nitrogen dan fosfor

yang tertahan dalam jaringan daun lamun tropis E. acoroides di Pulau

Barranglompo dan Bonebatang, Kepulauan Spermonde, Sulawesi Selatan. Jenis

E. acoroides merupakan lamun yang memiliki ukuran terbesar di antara lamun

yang hidup di Indonesia (Tomascik et al. 1997) dan memiliki sebaran yang luas.

Pulau Barranglompo dan Bonebatang dipilih sebagai lokasi penelitian atas

pertimbangan tekanan antropogenik berbeda yang terjadi di kedua pulau kecil ini.

Barranglompo saat ini dihuni oleh lebih dari 5000 jiwa, sedangkan Bonebatang

merupakan pulau yang tidak berpenghuni.

Bahan dan Metode

Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Oktober 2010 sampai Mei 2011

pada dua pulau kecil dalam gugus Kepulauan Spermonde di Sulawesi Selatan

yakni Pulau Barranglompo (5o 02’ 44.28‖- 5

o 03’ 05.65‖ S, 119

o 19’ 38.56‖- 119

o

19’ 52.27‖ E) dan Pulau Bonebatang (5o 00’ 47.46‖- 5

o 00’ 51.82 S, 119

o 19’

35.55‖- 119o 19’ 36.71‖ E). Sampel daun lamun Enhalus acoroides diambil dari

tiga stasiun pada setiap pulau. Stasiun A berlokasi pada daerah pantai yang

berdekatan dengan pantai dimana lamun pertama kali dijumpai, stasiun B terletak

Page 85: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

48

sekitar 100 m dari garis pantai, dan stasiun C berada sekitar 200 m dari garis

pantai dimana lamun terluar dijumpai. Pada setiap stasiun, tiga kuadrat lamun

0.01 m2 dipasang secara acak. Analisis nutrien dilaksanakan di Laboratorium

Kimia Oseanografi, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas

Hasanuddin.

Pengambilan Sampel dan Pengukuran Nutrien Daun Lamun

Sampel daun lamun E. acoroides dipilih dari daun yang lengkap dan

sehat. Sampel disimpan dalam cool box yang diisi es batu pada saat

pengangkutan ke laboratorium. Di laboratorium, daun lamun disortir lalu dikerik

secara perlahan menggunakan scalpel dan dibilas di bawah air kran untuk

menghilangkan epifit algae dan hewan kecil yang menempel. Daun-daun tersebut

lalu dikeringkan sampai bobotnya konstan selama 24-48 jam pada suhu 600C dan

dihomogenkan dengan menumbuk menjadi bubuk halus. Karbon organik total

ditentukan dengan metode Wakley dan Black (Schumacher 2002), nitrogen

ditentukan menggunakan metode Kjeldahl (Amin & Flowers 2004), sedangkan

fosfor dianalisis menggunakan metode estrak HCl 25% (Johengen 1996). Kadar

unsur ditentukan berdasarkan bobot kering, sedangkan rasionya dihitung atas

dasar mol:mol.

Untuk pengukuran klorofil-a, 500 mg potongan daun lamun dimasukkan

dalam lumpang. Sebanyak 20 ml aseton 80 % ditambahkan ke dalam lumpang

dan ditumbuk sekitar 5 menit. Cairan yang telah halus dimasukkan dalam corong

Buchner dan disaring melalui kertas saring Whatman no. 1. Kemudian ekstrak

disaring menggunakan sedotan. Ampas kembali ditumbuk dan ditambahkan 15

ml aseton 80 %. Setelah 5 menit, ekstrak kedua digabung ke dalam labu bersama

dengan ekstrak pertama. Untuk memudahkan perhitungan jumlah klorofil yang

ada, volume akhir filtrat diatur ke 50 ml dengan menambahkan aseton 80 % yang

cukup. Prosedur di atas mengikuti Bajracharya (2003).

Analisis Klorofil‐a menggunakan metode Aseton Spectrofotometric,.

Kandungan klorofil‐a dapat diukur dengan menggunakan Spektrofotometer pada

panjang gelombang 664, 647, dan 630 nm. Metode ini mengacu pada Clesceri et

al. (1998), dengan prosedur analisis sebagai berikut :

Page 86: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

49

Hasil saringan dimasukkan pada tabung centrifuge, selanjutnya

disentrifugasi pada suhu kamar selama 15 menit. Kemudian diukur absorbansinya

pada panjang gelombang 664, 647, 630 nm. Perhitungan konsentrasi klorofil‐a

dilakukan dengan menggunakan rumus yang dikembangkan oleh Clesceri et al.

(1998).

Klorofil‐ a (C) = 11.85 E664 – 1.54E647 – 0.08 E 630

mg/m3 Klorofil‐a = V x10 C xVa

Dengan : Va = Volume Aseton; V = Volume air contoh; C = Hasil absorban

maksimal pada tiap panjang gelombang; 10 = Ketetapan standar

Pengambilan Sampel dan Pengukuran Kadar Nutrien Kolom Air

Sampel air laut untuk analisis nitrat dan fosfat diambil langsung

menggunakan botol sampel pada kolom air di daerah padang lamun. Botol-botol

sampel yang berisi air laut disimpan dalam cool box dan diberi es untuk dibawa ke

laboratorium. Penentuan nitrat dalam air laut didasarkan pada metode yang dilakukan

dengan metode reduksi asam askorbat (Strickland & Parsons 1984). Nitrat dalam

sampel air laut direduksi terlebih dahulu menjadi nitrit dengan cara mengalirkannya

ke dalam kolom gelas berisi butiran kadmium yang telah dicuci dengan larutan

tembaga sulfat, nitrit yang terbentuk kemudian didiazotisasikan dengan sulfanilamid

dan N-(1-naftil)-etilen diamin menghasilkan larutan merah diazo yang absorbansinya

dapat diukur secara spektrofotometri pada panjang gelombang 543 nm menggunakan

spektrofotometer shimadzu UV-1201.

Penentuan fosfat dalam air laut juga didasarkan pada metode yang

dilakukan oleh Strickland dan Parsons (1984). Sampel air laut direaksikan dalam

suasana asam dengan reagen yang mengandung ammonium molibdat, asam

askorbat dan kalium antomonil-tartrat. Senyawa kompleks yang terbentuk akan

direduksi secara in-situ menghasilkan larutan berwarna biru dan absorbansinya

diukur secara spektrofotometri pada panjang gelombang 885 nm menggunakan

spektrofotometer shimadzu UV-1201.

Page 87: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

50

Hasil dan Pembahasan

Konsentrasi Nutrien

Konsentrasi nutrien rata-rata (± sd) pada daun lamun E. acoroides

(sebagai % bobot kering) di Pulau Barranglompo adalah 34.77 ± 2.41 karbon (C),

2.42 ± 0.22 nitrogen (N), dan 0.15 ± 0.02 fosfor (P), sedangkan di Pulau

Bonebatang adalah 34.62 ± 4.04 karbon, 1.75 ± 0.47 nitrogen, dan 0.14 ± 0.03

fosfor. Kadar karbon di kedua pulau hampir sama, namun di Pulau Bonebatang,

nutrien memperlihatkan variabilitas yang sedikit lebih tinggi (Gambar 18).

Nitrogen adalah satu-satunya nutrien yang secara nyata berbeda di antara kedua

pulau (p = 0.0017).

Gambar 18 Kadar rata-rata (± sd) karbon, nitrogen dan fosfor (sebagai % bobot

kering) daun lamun E. acoroides pada setiap stasiun. BL = Pulau

Barranglompo, BB = Pulau Bonebatang, A,B,C = stasiun

Page 88: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

51

Duarte (1990) mengkompilasi data pustaka dari berbagai spesies lamun

dari seluruh dunia dan menemukan bahwa konsentrasi C, N, dan P lamun rata-

rata (sebagai % bobot kering) adalah berturut-turut 33.6, 1.92 dan 0.23. C dan N

di Pulau Barranglompo dan C di Pulau Bonebatang lebih tinggi dibanding

dengan nilai global ini. Tingginya nilai C di kedua pulau ini dipengaruhi oleh

jenis sedimen yang menutupi dasar pantai di daerah ini. Menurut Erftemeijer

(1994), daerah rataan terumbu intertidal di pulau-pulau ini ditutupi oleh pasir

karbonat kasar pecahan karang (93 sampai 100 % CaCO3) yang berketebalan

sekitar 30 cm. Sedimen yang kaya karbonat merupakan hal yang umum dijumpai

pada daerah pantai tropis dan berasal dari pengikisan terumbu karang dan

fragmentasi ataupun akumulasi komponen rangka organisme laut seperti

molluska, echinodermata, foraminifera, dan algae berkapur (Hemminga & Duarte

2000).

Bilamana laju pertumbuhan lamun secara potensial cukup tinggi untuk

melampaui laju suplai nutrien, maka keterbatasan nutrien (nutrient limitation)

akan terjadi (Fourqurean & Zieman 2002). Keterbatasan nutrien dapat terjadi

pada kadar nitrogen di bawah 1.8 % bobot kering dan kadar fosfor kurang dari 0.2

% bobot kering (Duarte 1990). Berdasarkan standar ini, nilai kadar nutrien yang

didapatkan dalam daun E. acoroides (Gambar 18) telah mengindikasikan level

keterbatasan N ringan di Pulau Bonebatang, dan keterbatasan P di kedua pulau.

Rendahnya konsentrasi P di kedua pulau disebabkan oleh sifat sedimen karbonat

yang menyusun dasar di kedua pulau tersebut yang mempunyai kapasitas yang

besar untuk mengikat P dan oleh karenanya itu menyebabkan keterbatasan P pada

lamun di daerah tersebut (Butler & Jernakoff 1999; Hemminga & Duarte 2000).

Rasio C:N:P

Tabel 8 merangkum nilai rata-rata rasio unsur-unsur pada setiap stasiun

di kedua pulau. Nilai C:N dan N:P menunjukkan variabilitas yang signifikan

antar stasiun (p < 0.05). Rasio C:N di Pulau Barranglompo lebih rendah daripada

Pulau Bonebatang, sebaliknya, rasio, N:P di Pulau Barranglompo secara

signifikan lebih tinggi dibanding Pulau Bonebatang.

Page 89: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

52

Tabel 8 Rasio C:N:P rata-rata pada daun lamun E. acoroides dari Pulau

Barranglompo dan Pulau Bonebatang

Lokasi C:N C:P N:P C:N:P

Barranglompo

BLA 17.2 568 33 568:33:1

BLB 15.9 636 40 636:40:1

BLC 17.5 595 34 595:34:1

Bonebatang

BBA 28.6 744 26 744:26:1

BBB 23.0 599 26 599:26:1

BBC 20.5 574 28 574:28:1

Penelitian-penelitian sebelumnya juga memperlihatkan variabilitas

rasio C:N:P yang tinggi (Tabel 9). Atkinson & Smith (1983) mengalkulasi bahwa

median rasio atom C:N:P untuk tumbuhan bentik seperti makroalgae dan lamun

adalah sekitar 550:30:1. Rasio ini dianggap sebagai ―rasio Redfield lamun‖

(Johnson et al., 2006) atau rasio Atkinson (Baird & Middleton 2004), dan

nilainya jauh di atas rasio Redfield yang terkenal untuk fitoplankton yaitu

106:16:1. Lamun dan tumbuhan laut bentik lainnya mempunyai jumlah karbon

struktural yang besar sehingga menghasilkan rasio yang lebih tinggi dibanding

rata-rata fitoplankton (Baird & Middleton 2004; Johnson et al. 2006).

Untuk lamun, rasio N:P di atas 30 dianggap sebagai bukti keterbatasan

P dan rasio kurang dari 25-30 dianggap menunjukkan keterbatasan N (Duarte

1990; Johnson et al. 2006). Rasio N:P rata-rata pada setiap stasiun di Pulau

Barranglompo berkisar antara 33-40 yang menunjukkan keterbatasan P,

sedangkan di Pulau Bonebatang berkisar 26-28 yang menunjukkan keterbatasan

N ringan.

Tabel 9 Komposisi rasio atom daun lamun dari penelitian-penelitian

terdahulu pada berbagai lokasi (Fourqurean et al. 1992)

Spesies Lokasi C:P C:N N:P Referensi

Amphibolis griffithii Australia Barat 535 27 20 Atkinson and Smith 1983

Page 90: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

53

Amphibolis antartica Australia Barat 343 24 14 Walker and McComb 1988

Cymodocea nodosa Corsica 408 27 15 Atkinson and Smith 1983

Cymodocea serrulata Queensland 19 Birch 1975

C. serrulata Queensland 638 35 18 Atkinson and Smith 1983

Enhalus acoroides Queensland 16 Birch 1975

E. acoroides Queensland 444 25 18 Atkinson and Smith 1983

Halodule uninervis Queensland 13 Birch 1975

H. uninervis Queensland 623 35 18 Atkinson and Smith 1983

Halodule wrightii Teluk Florida 58 Powell et al. 1989

H. wrightii Texas 18 Pulich 1989

Phyllospadix scouleri California 509 21 24 Atkinson and Smith 1983

Posidonia australis Australia Barat 197 33 6 Walker and McComb 1988

Posidonia oceanica Corsica 956 25 39 Atkinson and Smith 1983

Posidonia ostenfeldia Australia Barat 1070 37 29 Atkinson and Smith 1983

Posidonia sinuosa Australia Barat 512 32 16 Atkinson and Smith 1983

Ruppia maritima Virginia 457 16 29 Atkinson and Smith 1983

R. maritima Texas 18 Pulich 1989

Syringodium

isoetifolium

Queensland

Utara

13 Birch 1975

Syringodium filiforme Bahama 1390 30 47 Short et al. 1985

Thalassia hemprichii Queensland 599 22 27 Atkinson and Smith 1983

Thalassia testudinum Barbados 32 Patriquin 1972

T. testudinum Teluk Florida 44 Powell et al. 1989

Zostera capricornii Queensland 17 Birch 1975

Z. capricorni Queensland 302 34 9 Atkinson and Smith 1983

Zostera marina California 274 7 38 Atkinson and Smith 1983

Z. marina Virginia 584 14 41 Atkinson and Smith 1983

Z. marina Rhode Island 481 18 27 Atkinson and Smith 1983

Kadar N yang secara signifikan lebih tinggi di Pulau Barranglompo

dibandingkan dengan Pulau Bonebatang oleh karena itu dapat digunakan sebagai

petunjuk dini dari pengayaan nutrien akibat faktor antropogenik seperti yang

berasal dari limbah cair dan padat (Lapointe et al. 2004). Pengayaan nutrien

(eutrofikasi) dari berbagai sumber seperti limbah rumah tangga, limbah pertanian

dan industri, serta urbanisasi zona pantai mengakibatkan ancaman serius terhadap

padang lamun di seluruh dunia (Short et al. 1995; Alongi 1998; Burkholder et al.

Page 91: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

54

2007). Jadi tidak mengherankan kalau padang lamun telah mengalami penurunan

dalam dasawarsa terakhir (Short & Wyllie-Echeverria 1996).

Lamun memiliki kemampuan untuk memodifikasi siklus nutrien

musiman dengan menyimpan nitrogen selama periode pertumbuhan dan

menyediakan kembali nutrien dari daun lama ke daun baru sebelum mengalami

fase senescence (Flindt et al. 1999). Dengan demikian konsentrasi nutrien pada

jaringan lamun dapat digunakan sebagai alat untuk mengkaji ketersediaan nutrien

untuk skala waktu yang cukup lama (Fourqurean et al. 1992). Sebagai tambahan,

lamun dapat digunakan sebagai indikator yang baik untuk ketersediaan nutrien

pada ekosistem laut karena sifatnya yang menetap di substrat, dimana tumbuhan

ini sering tumbuh pada daerah perairan yang rendah kadar nutriennya, dan kadar

nutrien pada daun-daunnya merefleksikan ketersediaan relatif di lingkungannya

(Atkinson & Smith 1983; Duarte 1990).

Potensi Stok Karbon Padang lamun

Stok karbon yang dihasilkan lamun jenis E. acoroides pada setiap

stasiun di Pulau Barranglompo dan Pulau Bonebatang ditampilkan pada Gambar

19. Jenis lamun E. acoroides di Pulau Barranglompo menghasilkan karbon

berkisar 106.15-224.96 gC/m2, sedangkan di Pulau Bonebatang sebesar 49.15-

220.04 gC/m2. Stok karbon di kedua pulau tidak berbeda nyata (p = 0.2983).

0.0

50.0

100.0

150.0

200.0

250.0

BLA BLB BLC BBA BBB BBC

Sto

k K

arb

on

(g

C/m

2)

Stasiun

Page 92: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

55

Gambar 19 Stok karbon rata-rata lamun E. acoroides pada setiap stasiun. BL =

Pulau Barranglompo, BB = Pulau Bonebatang, A,B,C = stasiun

Dengan demikian E. acoroides di Pulau Barranglompo yang memiliki

luas penutupan relatif rata-rata 46.48% (Bab 7), pada area padang lamun seluas

58.85 ha (Tahir 2010), maka stok karbon yang dihasilkan E. acoroides berkisar

29.03-61.53 ton atau antara 0.49 – 1.05 ton/ha. Sementara itu, dari luas padang

lamun di Pulau Bonebatang sekitar 32 ha (Priosambodo 2011), maka dengan luas

penutupan relatif rata-rata jenis E. acoroides sebesar 15.39% (Bab 7),

diperkirakan memiliki potensi stok karbon berkisar antara 2.42-10.84 ton atau

0.08 – 0.34 ton/ha.

Hasil yang didapatkan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa lamun

terutama jenis E. acoroides memiliki peranan sebagai karbon rosot (carbon stock)

maupun sebagai penyerap karbon (carbon sink). Meskipun produktivitas lamun

hanya 1% dari produktivitas primer total di laut, tapi lamun berkontribusi sebesar

12% jumlah karbon total yang tersimpan dalam sedimen. Hal ini menunjukkan

bahwa lamun memiliki peran penting dalam regulasi siklus karbon global

(Terrados & Borum 2004).

Klorofil-a Lamun

Gambar 20 Klorofil-a rata-rata lamun E. acoroides pada setiap stasiun. BL =

Pulau Barranglompo, BB = Pulau Bonebatang, A,B,C = stasiun

0.00

2.00

4.00

6.00

8.00

10.00

12.00

14.00

16.00

18.00

BLA BLB BLC BBA BBB BBC

Klo

rofi

l-a

(m

g/m

3)

Stasiun

Page 93: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

56

Nilai klorofil-a pada jaringan daun lamun E. acoroides (Gambar 20)

berkisar 5.14-17.38 mg/m3 di Pulau Barranglompo, sedangkan di Pulau

Bonebatang berkisar 3.76-10.03 mg/m3. Nilai ini tidak berbeda nyata antar pulau

(p = 0.1125).

Klorofil-a merupakan pigmen fotosintetik terpenting pada makrofita

(Castro & Huber 2003). Sebarannya di perairan bervariasi disebabkan oleh

perbedaan intensitas cahaya matahari dan konsentrasi nutrien yang terdapat dalam

suatu perairan (Nybakken 1992). Nilai klorofil-a yang lebih tinggi di Pulau

Barranglompo dibandingkan di Pulau Bonebatang kemungkinan dipengaruhi oleh

perbedaan konsentrasi nutrien di kedua pulau tersebut.

Nitrat dan Fosfat Kolom Air Daerah Padang Lamun

Konsentrasi nutrien nitrat dan fosfat pada kolom air daerah padang lamun

di Pulau Barranglompo dan Pulau Bonebatang ditampilkan pada Gambar 21.

Gambar 21 Konsentrasi nitrat (± sd) pada setiap stasiun di Pulau Barranglompo

dan Pulau Bonebatang

Nilai konsentrasi nitrat di Pulau Barranglompo berkisar 0.013-0.057 mg/l.

Nilai konsentrasi nitrat tertinggi di pulau ini dijumpai pada stasiun A. Tingginya

nilai nitrat di stasiun A disebabkan oleh banyaknya sampah rumah tangga yang

menumpuk di stasiun ini. Di samping itu, stasiun ini juga mendapat pasokan

nutrien melalui aliran limbah cair rumah tangga. Aktivitas antropogenik pada

daratan meningkatkan pasokan nutrien ke perairan pantai yang dapat mengarah ke

0.00

0.01

0.02

0.03

0.04

0.05

0.06

BLA BLB BLC BBA BBB BBC

Ko

nse

ntr

asi

Nit

rat

(mg

/l)

Stasiun

Page 94: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

57

eutrofikasi pantai (Lapointe et al. 1994; Newton et al. 2003). Indikasi ini mulai

terlihat dari nilai konsentrasi nitrat di Pulau Barranglompo yang secara signifikan

berbeda dengan yang didapatkan di Pulau Bonebatang (p = 0.0025). Nilai

konsentrasi nitrat di Pulau Bonebatang relatif lebih seragam antar stasiun dengan

kisaran 0.011-0.028 mg/l. Hal ini disebabkan tidak adanya pasokan dari aktivitas

antropogenik di pulau tersebut.

Nilai nitrat yang tinggi di Pulau Barranglompo menunjukkan bahwa

kolom air di pulau tersebut teroksidasi dengan baik. Melalui proses nitrifikasi,

amoniak teroksidasi menghasilkan nitrat (Marba et al. 2006). Oksidasi amoniak

ini akan menghasilkan nitrat yang tinggi (Hemminga & Duarte 2000).

Gambar 22 Konsentrasi fosfat (± sd) pada setiap stasiun di Pulau Barranglompo

dan Pulau Bonebatang

Sementara itu, nilai konsentrasi fosfat di Pulau Barranglompo berkisar

0.011-0.077 mg/l, sedangkan di Pulau Bonebatang berkisar 0.019-0.039 mg/l

(Gambar 22). Nilai konsentrasi fosfat di kedua pulau ini tidak berbeda secara

nyata (p = 0.6522). Nilai fosfat yang dijumpai di kedua pulau lebih tinggi dari

Baku Mutu Air Laut sesuai SK Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 51 Tahun

2004 yaitu sebesar 0.015 mg/l. Tingginya fosfat yang didapatkan terkait dengan

sifat substrat di daerah tropis/subtropis yang didominasi oleh sedimen karbonat.

Peningkatan reduksi sulfat dan akumulasi sulfida dalam sedimen akan

menurunkan adsorpsi P terhadap Fe dan meningkatkan pelepasan P ke kolom air

(McGlathery et al. 2007).

0.000

0.010

0.020

0.030

0.040

0.050

0.060

0.070

0.080

BLA BLB BLC BBA BBB BBC

Ko

nse

ntr

asi

Fo

sfa

t (m

g/l

)

Stasiun

Page 95: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

58

Simpulan

1. Lamun Enhalus acoroides di Pulau Barranglompo memiliki potensi stok

karbon berkisar 0.49-1.05 ton/ha, sedangkan di Pulau Bonebatang berkisar

0.08-0.34 ton/ha.

2. Konsentrasi nitrogen, rasio C:N dan N:P, serta nitrat kolom air yang tinggi

di Pulau Barranglompo mengindikasikan adanya pengayaan nutrien akibat

aktivitas antropogenik.

Page 96: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

59

7. DAMPAK AKTIVITAS ANTROPOGENIK TERHADAP

KUALITAS PERAIRAN HABITAT PADANG LAMUN

Abstrak

Faktor lingkungan memiliki pengaruh yang besar terhadap struktur

komunitas dan pola penyebaran lamun beserta biota asosianya. Sebaliknya

kompleksitas struktural lamun dapat juga mempengaruhi faktor lingkungan

tersebut. Oleh karena itu, penelitian telah dilaksanakan untuk mengkaji faktor

kualitas perairan dalam hubungannya dengan meningkatnya aktivitas

antropogenik. Penelitian dilaksanakan di Pulau Barranglompo dan Pulau

Bonebatang, Kepulauan Spermonde dari bulan Mei 2010 sampai Juli 2011.

Parameter lingkungan yang diukur meliputi suhu, salinitas, ukuran butir sedimen,

kekeruhan, padatan tersuspensi total, arah dan kecepatan arus, dan tinggi

gelombang. Suhu dan salinitas di kedua pulau memiliki pola yang hampir sama

dimana nilai yang tinggi dijumpai di sisi selatan, sedangkan yang lebih rendah di

sisi barat laut. Jenis pasir halus memiliki proporsi terbesar dalam struktur sedimen

di kedua pulau. Kekeruhan di Pulau Barranglompo telah melampaui ambang

batas baku mutu lingkungan terutama pada stasiun yang berdekatan dengan garis

pantai. Kekeruhan di Pulau Barranglompo nyata (p 0.05) dari Pulau

Bonebatang. Begitupula dengan padatan tersuspensi total (TSS) di Pulau

Barranglompo lebih tinggi dibandingkan dengan Pulau Bonebatang dan berbeda

sangat nyata (p 0.01). Sementara itu kecepatan arus dan tinggi gelombang di

kedua pulau relatif tidak berbeda nyata (p 0.05). Dapat disimpulkan bahwa

aktivitas antropogenik mempengaruhi kekeruhan dan padatan tersuspensi total,

namun tidak mempengaruhi parameter lain.

Kata kunci: antropogenik, Barranglompo, Bonebatang, kualitas perairan

Abstract

Environmental factors have significant impacts to the community

structure and distribution pattern of seagrasses and their associated organisms.

On the contrary, seagrass structural complexity may also affect environmental

factors. Therefore, the objective of this study was to analyze water quality

parameter in relation to the increased anthropogenic activities in small islands.

The study was conducted from May 2010 to July 2011 in Barranglompo and

Bonebatang Islands within Spermonde Archipelago, South Sulawesi. Measured

water quality parameters were temperature, salinity, sediment grain size,

turbidity, total suspended solid (TSS), current direction and velocity, and wave

height. Temperature and salinity values in both islands showed similar pattern

with the highest values were found in the southern side, while, the lowest values

were deployed in the northwestern side. Fine sediment had the highest

proportion in sediment structure in both islands. Turbidity in Barranglompo

Page 97: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

60

Island was significantly different from that in Bonebatang Island (p 0.05).

Similarly, total suspended solid (TSS) in Barranglompo Island was very

significant different from that in Bonebatang Island (p 0.01), whereas, current

velocity and wave height in both islands were relatively similar (p 0.05). It was

concluded that anthropogenic activities in Barranglompo and Bonebatang Islands

only affected turbidity and TSS values.

Key words: anthropogenic, Barranglompo, Bonebatang, water quality

Pendahuluan

Faktor lingkungan seperti suhu, salinitas, arus, pasang surut, karakteristik

substrat/sedimen dan kedalaman kolom air memiliki pengaruh yang besar

terhadap struktur komunitas, pertumbuhan, morfometri, dan pola penyebaran/

distribusi lamun beserta hewan laut yang berasosiasi dengannya baik secara

langsung maupun tidak langsung (Hemminga & Duarte 2000; Hogarth 2007;

Morris et al. 2008; Warry & Hindell 2009).

Faktor hidrodinamika dapat memacu pertumbuhan lamun, misalnya

melalui percampuran kolom air yang memungkinkan pengambilan nutrien

(nutrient uptake) dan meningkatkan fotosintesis akibat berkurangnya ketebalan

lapisan batas difusi (Koch 1994; Schanz & Asmus 2003). Sebaliknya komponen

struktur lamun seperti daun, rhizoma dan akar dapat juga mengurangi aliran arus

dan mengurangi energi gelombang, menahan dan menyimpan baik sedimen

maupun nutrien dan secara efektif menyaring input nutrien akibat kepadatan

daunnya serta permukaan daun yang sempit (Hemminga & Duarte 2000; Verduin

& Backhaus 2000; Schanz & Asmus 2003; Orth et al. 2006).

Degradasi dan kematian (die off) lamun biasanya terkait dengan

menurunnya kualitas perairan yang mungkin diakibatkan baik oleh pengaruh

aktivitas antropogenik maupun secara alami (Short & Wyllie-Echeverria 1996).

Aktivitas antropogenik mempunyai potensi untuk memodifikasi faktor

hidrodinamika dan kualitas perairan yang pada akhirnya akan mempengaruhi

pertumbuhan dan penyebaran lamun (Brown 2009).

Penelitian ini bertujuan untuk mengkompilasi dan menganalisis data

kualitas perairan pada habitat padang lamun yang memiliki tekanan antropogenik

berbeda. Pulau Barranglompo merupakan pulau yang sangat padat, sedangkan

Pulau Bonebatang merupakan pulau yang tidak berpenghuni.

Page 98: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

61

Bahan dan Metode

Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Mei 2010 sampai Juli 2011 pada

dua pulau kecil dalam gugus Kepulauan Spermonde di Sulawesi Selatan yakni

Pulau Barranglompo (5o 02’ 44.28‖- 5

o 03’ 05.65‖ S, 119

o 19’ 38.56‖- 119

o 19’

52.27‖ E) dan Pulau Bonebatang (5o 00’ 47.46‖- 5

o 00’ 51.82 S, 119

o 19’ 35.55‖-

119o 19’ 36.71‖ E). Peta kedua pulau ini dapat dilihat pada Gambar 6 (Bab 4).

Pengukuran dan Analisis Data Kualitas Perairan

Untuk mengetahui kondisi faktor lingkungan terutama yang terkait dengan

aktivitas penduduk, dilakukan pengukuran dan pengambilan data lingkungan baik

secara insitu maupun melalui analisis laboratorium. Faktor-faktor lingkungan

yang diukur adalah sebagai berikut :

Suhu, Salinitas dan Kekeruhan

Pengukuran suhu, salinitas dan kekeruhan dilakukan secara langsung di

lapangan dengan menggunakan Water Quality Checker (Horiba U-10). Hasil

pembacaan suhu dinyatakan dalam satuan oC, salinitas dinyatakan dalam satuan

o/oo, dan kekeruhan dalam satuan NTU (Nephelometric Turbidity Unit).

Sedimen

Sampel sedimen permukaan diambil dengan menggunakan sediment corer

(pipa paralon PVC dengan diameter 10 cm dan panjang 30 cm). Sediment corer

didorong ke dalam sedimen untuk mengambil contoh sedimen yang kira kira

panjangnya 15-20 cm. contoh sedimen kemudian dimasukkan ke dalam kantong

sampel kemudian diberi label dan dibawah ke laboratorium untuk pengukuran

ukuran partikel sedimen. Penentuan ukuran partikel sedimen dilakukan dengan

metode pengayakan kering (dry sieving). Sekitar 100 gram sedimen diayak

menggunakan sieve net yang tersusun secara berurutan dengan ukuran (mesh size)

2 mm, 1 mm, 0,5 mm, 0,25 mm, 0,125 mm dan 0,063 mm. Porsi sedimen yang

tertahan pada setiap ayakan ditimbang dan diklasifikasikan menurut ukuran

butirannya (Tabel 10).

Page 99: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

62

Tabel 10 Klasifikasi sedimen berdasarkan ukuran (Skala Wenthworth).

Padatan Tersuspensi Total/Total Suspended Solid (TSS)

Sampel air diambil dengan kemmerer water sampler pada kolom air.

Sampel air tersebut dimasukkan ke dalam botol sampel dan disimpan di dalam

cool box untuk dibawa ke laboratorium. Di laboratorium, sampel air kemudian

disaring dengan kertas saring Whattman GF/C 0.45 μm untuk menentukan

konsentrasi padatan tersuspensi total.

Arah dan Kecepatan Arus

Pengukuran kecepatan arus dilakukan dengan menggunakan layang-

layang arus, sedangkan arahnya ditentukan menggunakan kompas bidik.

Pengamatan dilakukan dengan melepas layang-layang arus hingga jarak yang

telah ditentukan dan mengukur selang waktu yang dibutuhkan hingga mencapai

jarak yang telah ditentukan tersebut. Pengukuran pergerakan arah arus dilakukan

dengan menggunakan kompas bidik, yakni dengan menentukan posisi titik awal

layang-layang arus ketika dilepas sampai jarak terakhirnya.

Tinggi Gelombang

Pengukuran tinggi dan arah gelombang datang dilakukan dengan

menggunakan alat berupa rambu ukur, kompas bidik dan alat pencatat.

Pengukuran tinggi gelombang dilakukan dengan cara membaca pergerakan naik

Klasifikasi Ukuran Partikel (mm)

Kerikil 2

Pasir sangat kasar 1,0 – 2,0

Pasir kasar 0,5 – 1,0

Pasir sedang 0,25 – 0,5

Pasir halus 0,125 – 0,25

Pasir sangat halus 0,063 – 0,125

Lumpur (silt + clay) < 0,063

Page 100: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

63

(puncak) dan turun (lembah) permukaan air laut pada tiang berskala yang

ditancapkan di mintakat sebelum ombak pecah. Dari perbedaan pembacaan

puncak dan lembah ombak yang terukur, maka serangkaian tinggi ombak dapat

dihitung. Arah ombak diukur dengan cara mengukur sudut antara arah datang

ombak dengan garis normal pantai, yang dilakukan dengan menggunakan kompas

bidik.

Analisis Data Kualitas Air

Data suhu, salinitas, kekeruhan, TSS, kecepatan arus dan tinggi gelombang

dipetakan sebarannya menggunakan Program Surfer 9.0. Untuk menguji

perbedaan setiap parameter pada pulau yang berbeda, digunakan uji-t. Bersama

dengan data nutrien, semua data kualitas air dianalisis melalui statistika multi-

variabel yang disebut Principal Component Analysis (PCA) atau Analisis

Komponen Utama dengan bantuan perangkat lunak Statistica 6.0. Analisis ini

bertujuan untuk menggambarkan hubungan antara parameter lingkungan

(parameter fisika kimia) dengan habitat (stasiun) dalam bentuk grafik.

Hasil dan Pembahasan

Suhu

Suhu permukaan perairan pada habitat padang lamun di Pulau

Barranglompo dan Pulau Bonebatang berkisar 29-32 oC (Gambar 23). Tidak ada

perbedaan yang signifikan suhu perairan di kedua pulau tersebut (p = 0.9236).

Rappe (2010) mendapatkan hasil yang relatif sama di Pulau Barranglompo yaitu

berkisar 28.8 – 32 oC, begitu pula di Pulau Bonebatang, Priosambodo (2011)

mendapatkan kisaran yang sama dengan yang didapatkan selama penelitian ini.

Hasil pengolahan data suhu di Pulau Barranglompo dan Pulau Bonebatang

menunjukkan pola sebaran yang hampir sama. Suhu yang lebih tinggi tersebar di

sisi selatan pulau, sedangkan suhu yang lebih rendah dijumpai di sisi barat laut

(Gambar 24 dan 25).

Page 101: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

64

Gambar 23 Nilai suhu (± sd) pada setiap stasiun. BL = Pulau Barranglompo, BB

= Pulau Bonebatang, A,B,C = stasiun

Gambar 24 Sebaran suhu (oC) di Pulau Barranglompo

26

27

28

29

30

31

32

33

BLA BLB BLC BBA BBB BBC

Su

hu

(oC

)

Stasiun

Page 102: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

65

Gambar 25 Sebaran suhu (oC) di Pulau Bonebatang

Suhu air mengontrol distribusi dan aktivitas fisiologis organisme laut (Tait

& Dipper 1998). Suhu memiliki pengaruh yang besar terhadap komunitas

makrozoobentos termasuk bulu babi pada saat surut. Pada saat surut, suhu air

akan meningkat sehingga bulu babi akan mencari perlindungan ke tempat di

sekitarnya yang masih digenangi air. Bulu babi jenis Tripneustes gratilla

membungkus permukaan tubuhnya dengan serasah atau potongan daun lamun

(Gambar 26).

Page 103: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

66

Gambar 26 Bulu babi Tripneustes gratilla menutupi permukaan tubuhnya dengan

daun lamun

Salinitas

Salinitas di kedua pulau tidak berbeda secara nyata (p = 0.5184). Salinitas

di Pulau Barranglompo berkisar 29.5 – 32 o/oo, sedangkan di Pulau Bonebatang

berkisar antara 29 – 32 o/oo (Gambar 27). Kisaran ini masih dalam batas yang

baik bagi lamun untuk tumbuh dengan optimal (Short & Coles 2003). Penelitian

sebelumnya di Pulau Barranglompo oleh Rappe (2010) mendapatkan kisaran

salinitas yang hampir sama yaitu berkisar 29 – 31 o/oo. Salinitas di kedua pulau

memperlihatkan sebaran yang hampir sama dengan sebaran suhu (Gambar 28 dan

29).

Lamun memiliki kisaran toleransi yang cukup besar terhadap salinitas

(Hemminga & Duarte 2000; Waycott et al. 2004). Namun, salinitas yang rendah

atau tinggi secara negatif mempengaruhi kinerja fotosintesis lamun fase dewasa

(Kahn & Durako 2006). Pada salinitas 40 – 45 o/oo,

lamun tropis akan mengalami

gangguan mekanisme fotosintesis (Campbell et al. 2006), bahkan pada kondisi

hiposalin ( 10 o/oo) atau hipersalin ( 45

o/oo) mereka terserang stres yang pada

akhirnya menyebabkan nekrotik dan mati (Hemminga & Duarte 2000; Hogarth

2007).

Page 104: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

67

Gambar 27 Nilai salinitas (o/oo ± sd) pada setiap stasiun. BL = Pulau

Barranglompo, BB = Pulau Bonebatang, A,B,C = stasiun

Gambar 28 Sebaran salinitas (o/oo

) di Pulau Barranglompo

28

28.5

29

29.5

30

30.5

31

31.5

32

32.5

BLA BLB BLC BBA BBB BBC

Sa

lin

ita

s (o

/ oo)

Stasiun

Page 105: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

68

Salinitas mempengaruhi pertumbuhan dan fisiologi dengan berbagai cara,

misalnya pada kondisi hipo- dan hipersalin, dapat menghambat fotosintesis dan

penyerapan nutrien (Warry & Hindell 2009). Menurunnya kadar gula terlarut

pada lamun di bawah salinitas tinggi menunjukkan konversi karbohidrat ke

komponen organik lain untuk membantu dalam penyesuaian osmotik (Touchette

2007)

Gambar 29 Sebaran salinitas (o/oo

) di Pulau Bonebatang

Page 106: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

69

Spesies lamun tropis dapat mentolerir salinitas tinggi. Namun, salinitas

yang sangat tinggi dapat memodifikasi keseimbangan karbon dan O2 pada lamun,

yang potensial mempengaruhi kesehatan komunitas lamun dalam jangka panjang

(Koch et al. 2007).

Sedimen

Pasir halus merupakan jenis sedimen terbanyak yang menyusun substrat di

Pulau Barranglompo dan Pulau Bonebatang. Keduanya didapatkan dengan

proporsi rata-rata 32.13% di Pulau Barranglompo dan 26.38% di Pulau

Bonebatang. Tingginya proporsi sedimen halus disebabkan oleh kemampuan

padang lamun yang dapat memperlambat faktor hidrodinamika seperti arus

sehingga dapat mengendapkan partikel atau sedimen halus dan diendapkan oleh

rhizoma (Hogarth 2007).

Komposisi sedimen kedua pulau (Gambar 30) menunjukkan bahwa pasir

merupakan komponen utama sedimen di lokasi penelitian. Hal itu sesuai dengan

beberapa penelitian sebelumnya seperti Erftemeijer & Middelburg(1993) dan

Tomascik et al. 1997 yang menyatakan bahwa padang lamun sepanjang pantai

utama Pulau Sulawesi ditemukan pada sedimen terrigenous, sedangkan padang

lamun di pulau-pulau lepas pantai Sulawesi diasosiasikan dengan rataan terumbu

intertidal dan subtidal yang disusun oleh campuran pasir karbonat baik yang

kasar, sedang maupun halus.

0.00

10.00

20.00

30.00

40.00

50.00

60.00

Kerikil Pasir

sangat

kasar

Pasir

kasar

Pasir

sedang

Pasir

halus

Pasir

sangat

halus

lumpur

Ko

mp

osi

si S

edim

en (

%)

Jenis Sedimen

Barranglompo

Bonebatang

Page 107: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

70

Gambar 30 Persentase masing-masing jenis sedimen. BL = Pulau Barranglompo,

BB = Pulau Bonebatang, A,B,C = stasiun

Sedimen yang halus biasanya memiliki kelimpahan meiofauna dan

makrofauna yang tinggi (Gray & Elliot 2009). Namun, sedimen dapat juga

menjadi habitat yang ekstrim bagi kehidupan tumbuhan, terutama dimana

pasokan bahan organik berlebih. Pasokan bahan organik yang tinggi akan

memicu aktivitas bakteri yang menaikkan lapisan anoksik lebih dekat ke

permukaan sedimen dan mengarah ke perkembangan komunitas bakteri yang

menghasilkan akumulasi komponen fitotoksik seperti sulfida (Hemminga &

Duarte 2000). Lamun dapat mengimbangi stres ini dengan memompa oksigen

melalui akarnya ke dalam sedimen sehingga mempertahankan rhizosfer yang

relatif teroksidasi (Pedersen et al. 1998).

Lamun berinteraksi secara fisik, biologis dan biogeokimia baik dengan

kolom air dan sedimen dimana mereka tumbuh. Karakteristik sedimen seperti

ukuran butir, komposisi mineral dan bahan organik dapat mempengaruhi

keseluruhan lingkungan biogeokimia zona perakaran (Koch 2001; Eldridge et al.

2009). Aktivitas manusia dapat merubah sebaran ukuran butir melalui aktivitas

pengerukan, erosi tanah, produksi sedimen halus yang berlebih melalui konstruksi

jetty dan struktur bangunan pantai lainnya (Eldridge et al. 2009).

Kekeruhan

Kekeruhan di Pulau Barranglompo berkisar 0.66-29.71 NTU, sedangkan

di Pulau Bonebatang berkisar 0.57-2.78 NTU (Gambar 31). Kedua pulau

memperlihatkan perbedaan yang signifikan (p = 0.0269). Sebaran kekeruhan di

kedua pulau (Gambar 32 dan 33) memperlihatkan bahwa kekeruhan yang tinggi

dijumpai pada stasiun yang berdekatan dengan garis pantai. Hal itu disebabkan

karena stasiun tersebut merupakan tempat penumpukan sampah yang dibuang

oleh penduduk di Pulau Barranglompo, sedangkan di Pulau Bonebatang

berdekatan dengan lokasi pengambilan pasir di pantai.

Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 51

Tahun 2004 Tentang Baku Mutu Air Laut, nilai kekeruhan yang diperbolehkan

untuk wisata dan biota laut adalah 5 NTU, maka nilai kekeruhan rata-rata di

stasiun A dan B Pulau Barranglompo sudah melewati nilai baku yang ditetapkan,

Page 108: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

71

sedangkan di stasiun C relatif masih lebih jernih. Sementara itu kekeruhan di

Pulau Bonebatang masih berada di bawah ambang batas yang ditentukan.

Gambar 31 Nilai kekeruhan (± sd) pada setiap stasiun. BL = Pulau

Barranglompo, BB = Pulau Bonebatang, A,B,C = stasiun

0

5

10

15

20

25

30

35

BLA BLB BLC BBA BBB BBC

Kek

eru

ha

n (

NT

U)

Stasiun

Page 109: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

72

Gambar 32 Sebaran kekeruhan (NTU) di Pulau Barranglompo

Kekeruhan dapat mengurangi cahaya yang diterima lamun sehingga

mengganggu aktivitas fotosintesis serta mengakibatkan stres pada lamun sehingga

dapat membatasi pertumbuhan lamun (Waycott et al. 2004). Sebaliknya, vegetasi

lamun dapat meningkatkan laju sedimentasi dan mengurangi laju resuspensi

sehingga dapat mengurangi kekeruhan, oleh karena itu dapat memicu

pertumbuhan lamun (Madsen et al. 2001; De Boer 2007; Hendriks et al. 2009).

Gambar 33 Sebaran kekeruhan (NTU) di Pulau Bonebatang

Padatan Tersuspensi Total/Total Suspended Solid (TSS)

Nilai padatan tersuspensi total (TSS) di Pulau Barranglompo berkisar

12.64-18.53 mg/l, sedangkan di Pulau Bonebatang berkisar 6.67-11.11 mg/l

(Gambar 34). Terdapat perbedaan nilai padatan tersuspensi total yang sangat

nyata (p 0.01) di kedua pulau.

Page 110: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

73

Gambar 34 Nilai padatan tersuspensi total (± sd) pada setiap stasiun. BL = Pulau

Barranglompo, BB = Pulau Bonebatang, A,B,C = stasiun

Sebaran nilai padatan tersuspensi total (TSS) di Pulau Barranglompo

(Gambar 35) mengindikasikan bahwa daerah yang memiliki nilai TSS rendah

berada di tengah padang lamun. Hal ini menunjukkan peranan lamun sebagai

perangkap sedimen dan bahan tersuspensi yang dibawa oleh arus dan memiliki

kemampuan untuk mengikat sedimen atau partikel-partikel tersebut (Bjork et al.

2008).

0.00

2.00

4.00

6.00

8.00

10.00

12.00

14.00

16.00

18.00

20.00

BLA BLB BLC BBA BBB BBC

Pa

da

tan

Ter

susp

ensi

to

tal

(mg

/l)

Stasiun

Page 111: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

74

Gambar 35 Sebaran padatan tersuspensi total (mg/l) di Pulau Barranglompo

Di Pulau Bonebatang, sebaran padatan tersuspensi total (Gambar 36)

menunjukkan bahwa nilai yang tinggi dijumpai di sekitar pantai. Hal tersebut

terkait dengan aktivitas pengambilan pasir yang berlangsung di pulau ini yang

mengakibatkan kekeruhan yang lebih tinggi dibandingkan dengan lokasi yang

lebih jauh dari garis pantai.

Page 112: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

75

Gambar 36 Sebaran padatan tersuspensi total (mg/l) di Pulau Bonebatang

Nilai TSS yang dijumpai di kedua pulau masih dalam batas nilai yang

tidak berpengaruh terhadap biota laut (Tabel 11). Hal ini juga sesuai menurut

kriteria Baku Mutu Air Laut sebesar 20 mg/l untuk habitat lamun (Meneg LH

2004). Nilai TSS yang sangat tinggi dapat mengurangi ketersediaan cahaya

dalam kolom air yang sangat dibutuhkan untuk fotosintesis lamun (De Boer

2007).

Tabel 11 Kesesuaian perairan untuk kepentingan perikanan berdasarkan nilai

padatan tersuspensi total (TSS)

Nilai TSS (mg/l) Pengaruh tehadap kepentingan perikanan

< 25 Tidak berpengaruh

25 - 80 Sedikit berpengaruh

81 - 400 Kurang baik bagi kepentingan perikanan

>400 Tidak baik bagi kepentingan Perikanan

Sumber: Alabaster & Lloyd (1982) diacu Effendi (2003)

Page 113: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

76

Arah dan Kecepatan Arus

Gambar 37 memperlihatkan sebaran nilai kecepatan arus pada setiap

stasiun di Pulau Barranglompo dan Pulau Bonebatang. Nilai kecepatan arus di

Pulau Barranglompo berkisar 0.009-0.130 m/detik, sedangkan di Pulau

Bonebatang berkisar antara 0.014-0.126 m/detik. Tidak ada perbedaan kecepatan

arus yang signifikan antara kedua pulau (p = 0.8438).

Gambar 37 Nilai kecepatan arus (± sd) pada setiap stasiun. BL = Pulau

Barranglompo, BB = Pulau Bonebatang, A,B,C = stasiun

Terdapat kecenderungan bahwa arus semakin kuat dengan semakin

jauhnya posisi stasiun dari garis pantai. Arus yang datang dari arah luar pulau

akan tertahan oleh lembaran daun lamun sehingga kecepatannya semakin

berkurang di bagian dalam. Hal ini memperkuat peranan padang lamun sebagai

peredam faktor hidrodinamika (Butler & Jernakoff 1999; Hemminga & Duarte

2000; Verduin & Backhaus 2000; Schanz & Asmus 2003; Orth et al. 2006;

Hendriks et al. 2009).

Arus membuat kolom air tercampur dengan baik, mempengaruhi sebaran

suhu dan salinitas, membawa ke permukaan nutrien yang berguna untuk

pertumbuhan tanaman air dan membawa pasokan oksigen ke perairan yang lebih

dalam (Tait & Dipper 1998). Peralta et al. (2006) mendapatkan bahwa arus

secara langsung berpengaruh terhadap pertumbuhan, rekruitmen, morfometri

daun, rhizoma dan akar serta arsitektur Zostera noltii. Namun sebaliknya, arus

yang berkurang kecepatannya dapat meningkatkan konsentrasi fitotoksin dalam

0.000

0.010

0.020

0.030

0.040

0.050

0.060

0.070

0.080

0.090

BLA BLB BLC BBA BBB BBC

Kec

epa

tan

Aru

s (m

/det

ik)

Stasiun

Page 114: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

77

sedimen dan peningkatan ketebalan lapisan batas difusi yang dapat membatasi

fotosintesis (Koch 2001; Brown 2009).

Arah datang arus di kedua pulau (Gambar 38 dan 39) mengikuti pola

umum arus lintas Indonesia (Arlindo) yang berasal dari Samudera Pasifik

(Gordon 2005). Selain dipengaruhi oleh arus utama, arus yang ada di sekitar

pulau kecil juga dipengaruhi oleh siklus pasang surut. Kecepatan arus yang

didapatkan selama penelitian termasuk lemah karena pengukuran dilakukan pada

periode Mei-September (musim kemarau). Arus yang kuat biasanya terjadi pada

musim barat (November-Januari).

Gambar 38 Sebaran arah dan kecepatan arus (m/detik) di Pulau Barranglompo

Page 115: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

78

Gambar 39 Sebaran arah dan kecepatan arus (m/detik) di Pulau Bonebatang

Hidrodinamika perairan tidak saja merupakan faktor yang secara langsung

mempengaruhi lamun dan makroalgae, tapi juga mempengaruhi faktor pembatas

lain seperti ketersediaan nutrien, penetrasi cahaya (kekeruhan) dan stratifikasi

suhu dan salinitas (Lobban & Harrison 1997; Biber 2007). Sebaliknya, kanopi

lamun juga dapat mengurangi kecepatan arus. Hal ini teramati dalam penelitian

Page 116: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

79

ini, dimana kecepatan arus yang rendah dijumpai pada stasiun A yang berada

dekat garis pantai.

Tinggi Gelombang

Tinggi gelombang selama penelitian di Pulau Barranglompo berkisar

1.82-7.29 cm, sedangkan di Pulau Bonebatang berkisar antara 2.18-6.24 cm

(Gambar 40). Tinggi gelombang di kedua pulau tidak berbeda secara nyata (p =

0.9656). Sama dengan kecepatan arus, tinggi gelombang juga memperlihatkan

pola yang sama dimana gelombang rata-rata semakin tinggi dengan semakin

jauhnya stasiun dari garis pantai (Gambar 41 dan 42).

Gambar 40 Tinggi gelombang (± sd) pada setiap stasiun. BL = Pulau

Barranglompo, BB = Pulau Bonebatang, A,B,C = stasiun

Hubungan antara faktor hidrodinamika seperti kecepatan arus dan paparan

gelombang dengan padang lamun bersifat timbal balik yang saling

mempengaruhi. Faktor hidrodinamika mempengaruhi penyebaran koloni, bentuk

lansekap dan fragmentasi habitat padang lamun (Fonseca & Bell 1998).

Sebaliknya kanopi lamun memiliki peran dalam mengurangi kecepatan aliran air

dan pengadukan atau turbulensi (Hemminga & Duarte 2000; Peterson et al.

2004).

0.00

1.00

2.00

3.00

4.00

5.00

6.00

7.00

8.00

BLA BLB BLC BBA BBB BBC

Tin

gg

i G

elo

mb

an

g (

cm)

Stasiun

Page 117: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

80

Gambar 41 Sebaran tinggi gelombang (cm) di Pulau Barranglompo

Gambar 42 Sebaran tinggi gelombang (cm) di Pulau Bonebatang

Page 118: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

81

Pada bulan Juli-Desember terjadi gelombang kuat di perairan Kepulauan

Spermonde. Energi gelombang yang kuat ini mengakibatkan penurunan drastis

biomassa daun dan rhizoma lamun T. hemprichii masing-masing sebesar 61% dan

37% (Stapel et al. 1997).

Sebaran Karakteristik Fisika-Kimia Habitat Padang Lamun

Hasil analisis PCA terhadap 14 variabel parameter fisika-kimia perairan

pada 6 stasiun di Pulau Barranglompo dan Pulau Bonebatang menunjukkan

bahwa sebagian besar (70.69%) ragam terjelaskan pada dua sumbu utama yaitu

faktor 1 dan 2 (Gambar 43 & 44).

Gambar 43 Analisis Komponen Utama (Principal Component Analysis) sebaran

karakteristik fisika-kimia padang lamun di Pulau Barranglompo dan

Pulau Bonebatang. Keterangan: Suh=suhu, Sal=salinitas, Aru=Kecepatan arus, Gel=Tinggi

gelombang, Ker=Kerikil, PKa=pasir kasar, PSd=Pasir sedang, Pha=Pasir halus,

Lum=Lumpur, TSS=Total suspended solid, Kek=Kekeruhan, Klo=Klorofil-a,

Nit=Nitrat, Fos=Fosfat

Hasil analisis PCA menghasilkan 3 kelompok penciri karakteristik habitat

di Pulau Barranglompo dan Pulau Bonebatang (Tabel 12). Kelompok I terdiri atas

stasiun BLA dan BLB yang dicirikan oleh nilai pasir halus, kekeruhan dan

klorofil-a yang tinggi, kelompok II yaitu stasiun BBC yang dicirikan oleh pasir

Page 119: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

82

kasar, salinitas dan kecepatan arus yang tinggi. Kelompok III yaitu stasiun BLC

yang dicirikan oleh fosfat, nitrat, tinggi gelombang, TSS dan lumpur yang tinggi.

Gambar 44 Analisis Komponen Utama (Principal Component Analysis) sebaran

stasiun (A, B dan C) di Pulau Barranglompo (BL) dan Pulau

Bonebatang (BB)

Tabel 12 Kelompok penciri karakteristik lingkungan di Pulau Barranglompo dan

Pulau Bonebatang

Kelompok Stasiun Karakteristik Lingkungan

I BLA & BLB Pasir halus, kekeruhan dan klorofil

tinggi

II BBC Pasir kasar, salinitas dan kecepatan

arus tinggi

III BLC Fosfat, nitrat, gelombang, TSS dan

lumpur tinggi

Simpulan

1. Dari semua parameter kualitas air yang diukur di Pulau Barranglompo dan

Pulau Bonebatang, hanya kekeruhan dan padatan tersuspensi total yang

berbeda secara nyata antara kedua pulau.

2. Nilai kekeruhan pada stasiun yang berdekatan dengan garis pantai (stasiun

A dan B) di Pulau Barranglompo telah melampaui nilai baku mutu air

Page 120: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

83

laut, sedangkan pada stasiun yang jauh dari garis pantai (stasiun C) di

Pulau Barranglompo dan semua stasiun di Pulau Bonebatang masih di

bawah nilai baku tersebut.

3. Nilai padatan tersuspensi total di kedua pulau masih dalam batas yang

tidak berpengaruh terhadap biota laut.

Page 121: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

84

Page 122: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

85

7. STRUKTUR KOMUNITAS LAMUN DI PULAU

BARRANGLOMPO DAN PULAU BONEBATANG

Abstrak

Komunitas lamun sangat dinamis dan dapat mengalami perubahan dengan

cepat baik dalam skala spasial maupun temporal. Penelitian yang bertujuan untuk

mengkaji struktur komunitas padang lamun pada dua pulau yang mengalami

tekanan antropogenik berbeda telah dilaksanakan dari bulan Oktober 2010 hingga

Juni 2011 di Pulau Barranglompo dan Pulau Bonebatang. Struktur komunitas

lamun yang diamati meliputi kerapatan, frekuensi, luas penutupan, morfometri

(panjang dan lebar) daun lamun dan indeks luas daun. Sebanyak 8 spesies lamun

teridentifikasi di Pulau Barranglompo, sedangkan di Pulau Bonebatang dijumpai

7 spesies. Thalassia hemprichii merupakan spesies yang memiliki nilai indeks

nilai penting (INP) tertinggi baik di Pulau Barranglompo maupun Pulau

Bonebatang. Pengukuran morfometri daun lamun menunjukkan bahwa daun

Enhalus acoroides, Halodule uninervis, Syringodium isoetifolium dan Thalassia

hemprichii di Pulau Barranglompo lebih panjang dibandingkan dengan spesies

yang sama di Pulau Bonebatang, sedangkan daun Cymodocea rotundata dan

Halophila ovalis di Pulau Barranglompo sedikit lebih pendek daripada yang

dijumpai di Pulau Bonebatang. Nilai indeks luas daun di Pulau Barranglompo

memperlihatkan pola menurun dengan semakin jauhnya stasiun dari garis pantai,

sedangkan di Pulau Bonebatang tidak memperlihatkan pola yang jelas.

Kata kunci: Barranglompo, Bonebatang, lamun, struktur komunitas

Abstract

Seagrass community is very dynamic and can change quickly both in

spatial and temporal scales. A study was conducted from October 2010 to June

2011 in Barranglompo and Bonebatang Islands to analyze seagrass community

structures at two locations with different anthropogenic pressure. The

components of observed seagrass community structures were shooth density,

occurrence, coverage, seagrass leaf morphometry (leaf length and width) and leaf

area index (LAI). There were eight and seven seagrass species identified in

Barranglompo and Bonebatang Islands, respectively. Thalassia hemprichii is

species with the highest important value index in both islands. The measurement

of leaf morphometry showed that the leaves of Enhalus acoroides, Halodule

uninervis, Syringodium isoetifolium and Thalassia hemprichii in Barranglompo

Island were longer than those in Bonebatang Island, whereas, leaves of

Cymodocea rotundata and Halophila ovalis in Barranglompo Island were slighly

shorter than those in Bonebatang. The leaf area index indicate to decrease as the

location of seagrass getting farther from the shoreline, while in Bonebatang did

not show a discernible pattern.

Keywords: Barranglompo, Bonebatang, community structure, seagrass,

Page 123: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

86

Pendahuluan

Komunitas lamun berkembang di perairan dangkal membentuk habitat

bagi berbagai jenis organisme laut. Padang lamun merupakan tempat mencari

makan, kawin, bertelur, memijah dan membesarkan anak bagi banyak jenis ikan,

udang dan kerang yang bernilai ekonomis tinggi. Selain itu secara fisik lamun

juga mampu menstabilkan substrat (sedimen), menahan ombak dan menyerap

bahan pencemar (Fortes 1990; Asmus et al. 2006).

Kompleksitas struktural padang lamun mempengaruhi komposisi dan

interaksi biota yang berasosiasi. Parameter yang berkontribusi terhadap struktur

komunitas lamun antara lain tutupan substrat, biomassa lamun dan arsitektur

lamun (Warry & Hindell 2009).

Komunitas lamun sangat dinamis dan dapat mengalami perubahan baik

pada skala waktu yang singkat maupun panjang, dan dapat terjadi secara lokal

yang mempengaruhi tegakan individu maupun meliputi keseluruhan daerah

lamun, bahkan bisa bersifat global (Krause-Jensen et al. 2004; Warry & Hindell

2009). Perubahan ini bisa disebabkan oleh proses alami atau berbagai aktivitas

manusia (Keough & Jenkins 2000). Faktor antropogenik memberikan ancaman

langsung terbesar terhadap lamun dan biota yang berasosiasi dengannya (Orth et

al. 2006; De Boer 2007).

Sejumlah pengukuran dasar digunakan untuk menggambarkan populasi

dan komunitas, diantaranya kerapatan, frekuensi, luas penutupan dan biomassa.

Dari pengukuran ini, ukuran ekologi yang penting seperti sebaran populasi,

keanekaragaman spesies dan produktivitas dapat ditentukan (Brower et al. 1998).

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji struktur komunitas padang lamun

pada dua pulau di Kepulauan Spermonde Sulawesi Selatan yang mengalami

tekanan antropogenik berbeda. Kedua pulau tersebut adalah Pulau Barranglompo

dan Pulau Bonebatang. Pulau Barranglompo dengan luas hanya sekitar 20 ha

termasuk salah satu pulau terpadat di Kepulauan Spermonde yang saat ini dihuni

oleh sekitar 5000 penduduk, sedangkan Pulau Bonebatang tidak berpenghuni.

Page 124: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

87

Bahan dan Metode

Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Oktober 2010 sampai Juni 2011

pada dua pulau kecil dalam gugus Kepulauan Spermonde di Sulawesi Selatan

yakni Pulau Barranglompo (5o 02’ 44.28‖- 5

o 03’ 05.65‖ S, 119

o 19’ 38.56‖- 119

o

19’ 52.27‖ E) dan Pulau Bonebatang (5o 00’ 47.46‖- 5

o 00’ 51.82 S, 119

o 19’

35.55‖- 119o 19’ 36.71‖ E). Peta kedua pulau ini dapat dilihat pada Gambar 6

(Bab 4).

Penentuan Stasiun Penelitian

Stasiun penelitian ditentukan berdasarkan kondisi ekosistem yang diteliti

sehingga diharapkan dapat mewakili kondisi lokasi pengamatan secara

keseluruhan. Untuk mewakili kondisi ekosistem lamun, stasiun pengamatan

ditentukan masing-masing: stasiun A diambil pada vegetasi lamun terdekat

dengan garis pantai, stasiun B berjarak sekitar 100 m dari garis pantai, dan stasiun

C berjarak sekitar 200 m dari garis pantai dimana lamun sudah berbatasan dengan

daerah terumbu karang. Sampling pada setiap stasiun dilakukan pada 9 sub

stasiun mengelilingi pulau (Gambar 45 & 46). Dengan demikian sampling

dilakukan pada setiap sisi pulau kecuali pada sisi timur yang memiliki topografi

yang curam.

Pengambilan Data Vegetasi Lamun

Untuk melihat kondisi padang lamun dilakukan pengamatan di dalam

transek kuadrat yang berukuran 50 cm x 50 cm yang disebar acak pada setiap sub

stasiun (Gambar 47). Pengamatan sebaran, kerapatan, tutupan dan frekuensi

kehadiran masing-masing jenis lamun dilakukan di dalam transek kuadrat ini.

Jenis lamun yang didapatkan dalam transek kuadrat diidentifikasi berdasarkan

Phillips & Menez (1988), Short et al. (2004), Waycott et al. (2004).

Page 125: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

88

Gambar 45 Sebaran stasiun dan sub-stasiun pengamatan struktur

komunitas lamun di Pulau Barranglompo. A,B,C = stasiun

Gambar 46 Sebaran stasiun dan sub-stasiun pengamatan struktur

komunitas lamun di Pulau Bonebatang. A,B,C = stasiun

Page 126: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

89

Gambar 47 Pengamatan komunitas lamun menggunakan transek kuadrat

Kerapatan, Penutupan, dan Frekuensi Kehadiran Lamun

Kerapatan lamun diamati dengan menggunakan transek kuadrat (Phillips &

McRoy 1990). Pengamatan ini dilakukan dengan menghitung jumlah tegakan

masing-masing jenis lamun di dalam transek sehingga jumlah tegakan per satuan

luasan dapat diketahui.

Pengamatan persentase penutupan lamun dilakukan dengan menggunakan

metode dari Saito dan Atobe (1970) diacu English et al. (1997). Pada metode ini

dilakukan perhitungan berapa persen setiap jenis lamun menutupi transek kuadrat

yang ada dengan melihat proyeksi penutupan daun lamun ke dasar perairan.

Frekuensi kehadiran masing-masing jenis lamun diamati dengan melihat

rasio antara banyaknya transek kuadrat dimana ditemukan jenis lamun yang

diamati dengan total transek yang ada pada setiap stasiun.

Morfometrik Daun Lamun

Pengukuran morfometrik (panjang dan lebar) daun lamun dilakukan

dengan menggunakan meteran plastik pada semua jenis lamun yang dijumpai di

lokasi penelitian. Khusus lamun Syringodium isoetifolium, pengukuran lebarnya

menggunakan mistar geser karena bentuknya yang silindris.

Indeks Luas Daun (Leaf Area Index)

Page 127: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

90

Indeks Luas Daun atau Leaf Area Index (LAI) adalah rasio dari total

permukaan daun bagian atas dari vegetasi dibagi daerah permukaan substrat

dimana vegetasi lamun tumbuh. LAI ditentukan dengan metode langsung (Breda

2003). Daun lamun diambil dari dalam transek kuadrat berukuran 10 cm x 10

cm, lalu dimasukkan ke dalam kantong sampel untuk pengukuran lebih lanjut.

Sehubungan dengan bentuknya yang umumnya pipih dan lurus, indeks luas daun

lamun dapat diestimasi dengan mengukur panjang dan lebar daun yang ada dalam

kuadrat.

Analisis Struktur Komunitas Lamun

Untuk menghitung kerapatan jenis lamun digunakan rumus sebagai berikut

(Brower et al., 1998):

Ki =

Dimana :

Ki = kerapatan spesies ke-i (jumlah individu/m2)

Ni = Jumlah individu spesies ke-i

. A = Luas area (m2)

Kerapatan relatif (KRi) lamun dihitung dengan rumus sebagai berikut:

KRi = (

)

Dimana :

KRi = Kerapatan relatif spesies ke-i

Ki = Kerapatan mutlak spesies ke-i

∑K = Jumlah kerapatan mutlak seluruh spesies

Frekuensi kemunculan dihitung berdasarkan rumus Brower et al. (1998)

sebagai berikut :

Fi =

Dimana

Fi = Frekuensi spesies ke-i (%)

Page 128: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

91

Pi = Jumlah petak contoh ditemukannya spesies ke-i

. ∑P = Jumlah total petak contoh yang diamati.

Frekuensi relatif (FRi) lamun dihitung dengan rumus sebagai berikut:

FRi =

Dimana:

FRi = Frekuensi relatif spesies ke-i

Fi = Frekuensi spesies ke-i

∑F = Jumlah total frekuensi seluruh spesies

Analisis data dari persentase penutupan vegetasi lamun menggunakan

metode dari Saito dan Atobe (1970) diacu English et al. (1997) sebagai berikut :

Pi = Fi

MiFi

Dimana :

Pi = Penutupan spesies ke-i (%)

Mi = Nilai tengah dari kelas ke-i

. Fi = Frekuensi spesies ke-i

∑Fi = Jumlah total frekuensi spesies ke-i

Penutupan relatif (PRi) lamun dihitung dengan rumus sebagai berikut:

PRi =

Dimana:

PRi = Penutupan relatif spesies ke-i

Pi = Penutupan spesies ke-i

∑P = Jumlah total penutupan seluruh spesies

Page 129: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

92

Untuk menentukan kategori persen penutupan lamun dan mendapatkan nilai

tengah digunakan kategori klasifikasi tutupan lamun sebagaimana ditampilkan

dalam Tabel 13.

Tabel 13 Klasifikasi Penutupan Lamun Saito dan Atobe (1970) (diacu English et

al. 1997)

Kelas Bagian yang

tertutupi lamun

Persentase yang

tertutup (%)

Nilai tengah (%) Mi

5 1/2 - semua 50 - 100 75

4 1/4 - 1/2 25 - 50 37,5

3 1/8 – 1/4 12,5 - 25 18,75

2 1/16 – 1/8 6,25 – 12,5 9,3

1 < 1/16 < 6,25 3,13

0 Tidak ada 0 0

Persentase penutupan lamun digunakan untuk menentukan status padang

lamun di lokasi penelitian. Kriteria status padang lamun menurut Surat

Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 200 Tahun 2004 (Tabel 14)

adalah sebagai berikut:

Tabel 14. Status Padang Lamun (Menteri Negara Lingkungan Hidup 2004)

Kondisi Penutupan (%)

Baik Kaya/sehat ≥ 60

Rusak Kurang kaya/kurang sehat 30 – 59,9

Miskin ≤ 29,9

Sedangkan Indeks Nilai Penting (INP) didapatkan dengan rumus sebagai

berikut (Brower et al. 1998) :

INPi = KRi + FRi + PRi

Dimana:

INPi = Indeks nilai penting

KRi = Kerapatan relatif (%)

. FRi = Frekuensi relatif (%)

PRi = Penutupan relatif (%)

Page 130: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

93

Kondisi padang lamun pada lokasi yang berbeda dianalisis menggunakan

uji Correspondence Analysis (CA).

Hasil dan Pembahasan

Struktur Komunitas Lamun di Pulau Barranglompo dan Bonebatang

Komposisi Jenis

Komunitas lamun di Pulau Barranglompo tergolong komunitas campuran

yang umumnya terdiri dari 2-3 spesies lamun atau lebih. Hal ini sesuai dengan

kenyataan bahwa kebanyakan padang lamun di daerah tropis dan subtropis

bersifat multispesies, sedangkan padang lamun di daerah temperate umumnya

bersifat monospesies (Hemminga & Duarte 2000). Adapun jenis-jenis lamun

yang dijumpai di Pulau Barranglompo tersebut dapat dilihat pada Tabel 15 dan

Gambar 48 di bawah ini.

Tabel 15 Komposisi Jenis Lamun di Pulau Barranglompo

Suku Marga dan Spesies

Cymodoceaceae Cymodocea rotundata Ehrenberg & Hemprich ex Ascherson

Halodule pinifolia (Miki) den Hartog

Halodule uninervis (Forsskal) Ascherson

Syringodium isoetifolium (Ascherson) Dandy

Thalassia hemprichii (Ehrenberg) Ascherson

Hydrocharitaceae Enhalus acoroides (Linnaeus f.) Royle

Halophila minor (Zollinger) den Hartog

Halophila ovalis (R. Brown) Hooker f.

Terdapat 8 spesies lamun yang dijumpai di Pulau Barranglompo,

sedangkan di Pulau Bonebatang terdapat 7 spesies. Berbagai hasil penelitian

sebelumnya mendapatkan komposisi jenis lamun yang bervariasi antar berbagai

lokasi di perairan Indonesia. Terdapat 4 spesies di Pulau Pari, Kepulauan Seribu

(Kiswara 1992), 11 spesies di Teluk Gerupuk, Lombok (Kiswara & Winardi

1999), 9 spesies di Perairan Sulawesi Utara (Azkab 2002), 8 spesies di Tanjung

Merah, Selat Lembeh, Bitung (Susetiono 2004), 6 spesies di Perairan Nusa Dua

Bali (Suryantara 2005), 7 spesies di Pulau Sabangko, Salemo dan Sagara (Arifin

Page 131: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

94

& Supriadi 2006), 10 spesies di Teluk Kuta, Lombok (Susetiono 2007), 7 spesies

di Pulau Enggano, Bengkulu (Farid et al. 2008), 7 spesies di Kepulauan Derawan,

Kalimantan Timur (Supriyadi & Kuriandewa 2008), dan 7 spesies di Pulau Talise,

Sulawesi Utara (Takaendengan & Azkab 2010).

Gambar 48 Spesies lamun yang dijumpai di lokasi penelitian. (a) Syringodium

isoetifolium, (b) Cymodocea rotundata, (c) Thalassia hemprichii,

(d) Enhalus acoroides, (e) Halophila minor, (f) Halophila ovalis,

(g) Halodule pinifolia, (h) Halodule uninervis (Waycott et al. 2004)

Penelitian-penelitian sebelumnya juga mendapatkan bahwa E. acoroides

dan T. hemprichii merupakan dua jenis lamun utama yang dijumpai dan tersebar

luas di Pulau Barranglompo (Erftemeijer & Herman 1994; Supriadi 2003).

Enhalus dan Thalassia merupakan marga lamun klimaks dalam suksesi

pembentukan padang lamun, dimana komunitas yang didominasi oleh kedua

marga ini sifatnya lebih stabil dan berusia lebih tua (Hemminga & Duarte 2000).

Berbagai hasil penelitian di berbagai lokasi di perairan Indonesia juga

menunjukkan bahwa kedua jenis ini juga merupakan spesies dominan seperti di

Teluk Un, Maluku Tenggara (Wenno 2004), Pulau Talise, Sulawesi Utara

(Takaendengan & Azkab 2010). E.acoroides merupakan spesies terbesar

ukurannya dan tersebar sepanjang Kepulauan Indonesia, ditemukan pada

Page 132: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

95

sejumlah lingkungan (Tomascik et al. 1997), mulai dari substrat berlumpur

hingga pasir kasar, atau pada lokasi dengan bioturbasi yang berat (Kuriandewa et

al. 2003).

Komunitas lamun di Pulau Bonebatang hampir sama dengan Pulau

Barranglompo yakni merupakan komunitas campuran yang terdiri dari 2-3 spesies

lamun atau lebih. Adapun jenis-jenis lamun tersebut dapat dilihat pada Tabel 16

di bawah ini.

Tabel 16 Komposisi Jenis Lamun di Pulau Bonebatang

Suku Marga dan Spesies

Cymodoceaceae Cymodocea rotundata Ehrenberg & Hemprich ex Ascherson

Halodule uninervis (Forsskal) Ascherson

Syringodium isoetifolium (Ascherson) Dandy

Thalassia hemprichii (Ehrenberg) Ascherson

Hydrocharitaceae Enhalus acoroides (Linnaeus f.) Royle

Halophila minor (Zollinger) den Hartog

Halophila ovalis (R. Brown) Hooker f.

Jenis Halodule pinifolia tidak dijumpai dalam kuadrat-kuadrat

pengamatan lamun selama penelitian di Pulau Bonebatang. Komposisi jenis

lamun yang dijumpai di pulau ini sama dengan yang didapatkan Priosambodo

(2011). Komposisi spesies yang sama dengan Pulau Bonebatang didapatkan pula

oleh Wimbaningrum (2003) di Pantai Bama, Taman Nasional Baluran, Jawa

Timur.

Kerapatan dan Kerapatan Relatif

Kerapatan jenis antar stasiun di Pulau Barranglompo (Gambar 49)

memperlihatkan variasi spesies dominan. Di stasiun A, spesies H. uninervis

mempunyai kerapatan tertinggi yaitu 377.78 tegakan/m2, sedangkan di stasiun B

dan C, spesies T. hemprichii mempunyai kerapatan tertinggi masing-masing

291.33 dan 290.22 tegakan/m2.

Page 133: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

96

Gambar 49 Kerapatan relatif (Rdi) jenis-jenis lamun pada setiap stasiun di Pulau

Barranglompo

Di pulau Barranglompo terdapat empat jenis lamun yang memiliki

kerapatan relatif rata-rata di atas 10 % yaitu T. hemprichii (37.63 %), H. uninervis

(24.66 %). C. rotundata (17.88 %) dan E. acoroides (11.15 %). H. uninervis

memiliki nilai kerapatan tertinggi dibanding jenis-jenis lamun lain di Pulau

Bonebatang (Gambar 50). Kerapatan tertinggi jenis ini dijumpai di stasiun B

sebesar 742.67 tegakan/m2. Di Pulau Bonebatang, kerapatan E. acoroides jauh

berkurang dibanding yang ditemukan di Pulau Barranglompo. Kerapatan

tertinggi jenis ini hanya 56.67 tegakan/m2 yang ditemukan di stasiun A.

Gambar 50 Kerapatan relatif (Rdi) jenis-jenis lamun pada setiap stasiun di Pulau

Bonebatang

Frekuensi dan Frekuensi Relatif

05

101520253035404550

Ker

ap

ata

n R

ela

tif

(%)

Spesies Lamun

Stasiun A

Stasiun B

Stasiun C

0

10

20

30

40

50

Ker

ap

ata

n R

ela

tif

(%)

Spesies Lamun

Stasiun A

Stasiun B

Stasiun C

Page 134: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

97

Frekuensi dari suatu spesies lamun menunjukkan derajat penyebaran jenis

lamun tersebut dalam komunitas. Pola penyebaran lamun sangat bervariasi dan

bergantung pada kondisi habitat dan lingkungan (Short & Coles 2003). Hasil

perhitungan frekuensi kehadiran lamun di Pulau Barranglompo (Gambar 51)

menunjukkan bahwa di stasiun A, jenis E. acoroides dan T. hemprichii

mempunyai frekuensi kehadiran yang lebih sering dibanding jenis lainnya.

Kedua jenis ini secara berturut-turut mempunyai frekuensi masing-masing

sebesar 0.89 dan 0.78. Di stasiun B, kedua jenis ini memiliki frekuensi sebesar 1,

yang berarti keduanya ditemukan pada setiap transek kuadrat pengamatan di

stasiun ini. Kedua jenis ini kembali mendominasi frekuensi kehadiran spesies di

stasiun C dengan nilai masing-masing sebesar 1 dan 0.78.

Gambar 51 Frekuensi relatif (Rfi) jenis-jenis lamun pada setiap stasiun di Pulau

Barranglompo

Pola yang hampir sama ditemukan di Pulau Bonebatang (Gambar 52). T.

hemprichii mempunyai nilai frekuensi 1 di stasiun A diikuti tiga jenis lain yaitu

C. rotundata, E. acoroides dan H. uninervis yang memiliki frekuensi yang sama

yaitu 0.67. E. acoroides mempunyai frekuensi tertinggi di stasiun B sebesar 0.89,

diikuti T. hemprichii sebesar 0.78, sedangkan di stasiun C, T. hemprichii

mempunyai frekuensi tertinggi sebesar 0.89 diikuti tiga jenis yaitu C. rotundata,

E. acoroides dan H. uninervis yang mempunyai frekuensi yang sama yaitu 0.67.

05

1015202530354045

Fre

ku

ensi

Rel

ati

f (%

)

Spesies Lamun

Stasiun A

Stasiun B

Stasiun C

Page 135: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

98

Gambar 52 Frekuensi relatif (Rfi) jenis-jenis lamun pada setiap stasiun di Pulau

Bonebatang

Nilai frekuensi menunjukkan adanya jenis lamun yang memiliki sebaran

yang lebih luas pada suatu daerah. Daerah sebaran lamun yang luas

mengindikasikan adanya daya adaptasi yang tinggi sehingga suatu jenis lamun

dapat tumbuh dengan baik pada tipe habitat yang berbeda-beda dengan kondisi

lingkungan yang berubah-ubah setiap saat (Hemminga & Duarte 2000).

Penutupan dan Penutupan Relatif

Nilai penutupan lamun berhubungan erat dengan habitus atau bentuk

morfologi dan ukuran suatu jenis lamun. Sebagai contoh, nilai penutupan satu

individu atau tegakan E. acoroides lebih besar dibanding dengan satu individu H.

uninervis atau S. isoetifolium.

Lamun jenis E. acoroides memiliki nilai penutupan tertinggi pada setiap

stasiun di Pulau Barranglompo (Gambar 53). Penutupan tertinggi jenis ini

didapatkan pada stasiun B dengan tutupan sebesar 24.39 % dan penutupan relatif

sebesar 51.18 %.

0

5

10

15

20

25

30

Fre

ku

ensi

Rel

ati

f (%

)

Spesies Lamun

Stasiun A

Stasiun B

Stasiun C

Page 136: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

99

Gambar 53 Penutupan relatif (RCi) jenis-jenis lamun pada setiap stasiun di Pulau

Barranglompo

Di Pulau Bonebatang, jenis lamun Thalassia hemprichii mempunyai nilai

penutupan terbesar di setiap stasiun. Penutupan terluas di dijumpai pada stasiun A

sebesar 25.88 % dengan penutupan relatif sebesar 39.23 % (Gambar 54).

Gambar 54 Penutupan relatif (RCi) jenis-jenis lamun pada setiap stasiun di Pulau

Bonebatang

Gambar 55 memperlihatkan nilai penutupan total di setiap stasiun di Pulau

Barranglompo dan Pulau Bonebatang. Gambar ini memperlihatkan bahwa rata-

rata setiap stasiun di Pulau Bonebatang mempunyai penutupan total yang lebih

tinggi dibanding Pulau Barranglompo. Nilai penutupan lamun total tertinggi

0

10

20

30

40

50

60

Pen

utu

pa

n R

ela

tif

(%)

Spesies Lamun

Stasiun A

Stasiun B

Stasiun C

0

5

10

15

20

25

30

35

40

45

Pen

utu

pa

n R

ela

tif

(%)

Spesies Lamun

Stasiun A

Stasiun B

Stasiun C

Page 137: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

100

dijumpai di stasiun A Pulau Bonebatang (65.97 %), sedangkan penutupan total

terendah sebesar 47.65 % dijumpai di stasiun B Pulau Barranglompo. Bila

mengacu pada Surat Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 200

Tahun 2004 (Tabel 14), maka hanya stasiun A di Pulau Bonebatang yang

tergolong sehat, sedangkan stasiun yang lain masih tergolong kurang sehat atau

kurang kaya. Namun, nilai yang didapatkan pada stasiun-stasiun tersebut sudah

mendekati batas kriteria lamun sehat ( 60 %).

Gambar 55 Nilai rata-rata (± sd) penutupan lamun di setiap stasiun. BL=Pulau

Barranglompo, BB=Pulau Bonebatang, A,B,C=Stasiun

Indeks Nilai Penting

Indeks Nilai Penting (INP) merupakan total dari nilai kerapatan, frekuensi

dan penutupan setiap lamun. Berdasarkan nilai indeks ini, T. hemprichii dan E.

acoroides merupakan dua jenis lamun dengan nilai INP tertinggi di antara semua

jenis lamun yang ada di Pulau Barranglompo (Tabel 17). Jenis berikutnya yang

memiliki nilai INP yang cukup tinggi adalah C. rotundata dan H. uninervis.

0

10

20

30

40

50

60

70

80

BLA BLB BLC BBA BBB BBC

Pen

utu

pa

n L

am

un

(%

)

Stasiun

Page 138: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

101

Tabel 17 Indeks Nilai Penting jenis-jenis lamun pada setiap stasiun di Pulau

Barranglompo

No. Spesies Stasiun

A B C

1. C. rotundata 31.01 55.47 49.95

2. E. acoroides 99.72 89.94 74.31

3. H. pinifolia 0.00 4.85 4.56

4. H. uninervis 62.53 33.20 25.48

5. H. minor 0.00 0.00 4.74

6. H. ovalis 0.00 19.04 21.69

7. S. isoetifolium 22.73 5.75 26.71

8. T. hemprichii 84.02 91.75 92.57

T. hemprichii juga memiliki nilai INP tertinggi di antara semua jenis

lamun yang ditemukan di Pulau Bonebatang (Tabel 18). E. acoroides yang

merupakan spesies dengan nilai INP tertinggi kedua di Pulau Barranglompo,

mengalami penurunan signifikan di Pulau Bonebatang. Spesies ini hanya

menempati urutan keempat setelah T. hemprichii, H. uninervis dan C. rotundata.

Tabel 18 Indeks Nilai Penting jenis-jenis lamun pada setiap stasiun di Pulau

Bonebatang

No. Spesies Stasiun

A B C

1. C. rotundata 58.35 63.10 57.08

2. E. acoroides 35.89 46.58 32.74

3. H. uninervis 70.26 79.60 83.03

4. H. minor 0.00 0.00 8.27

5. H. ovalis 19.55 12.99 19.27

6. S. isoetifolium 13.78 10.68 9.96

7. T. hemprichii 102.16 87.05 89.64

Page 139: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

102

Gambar 56 Hasil uji Correspondence Analysis (CA) jenis-jenis lamun pada setiap

stasiun di Pulau Barranglompo dan Pulau Bonebatang

Hasil uji Correspondence Analysis (Gambar 56) menunjukkan bahwa ada

dua kelompok penciri lamun di Pulau Barranglompo dan Pulau Bonebatang.

Stasiun BLB dan BLC dicirikan oleh E. acoroides dan H. pinifolia, sedangkan

semua stasiun di Pulau Bonebatang dicirikan oleh C. rotundata dan H. uninervis.

Hasil analisis CA ini juga memperlihatkan bahwa T. hemprichii dan S.

isoetifolium merupakan spesies lamun yang dijumpai secara merata di kedua

pulau.

Morfometri Daun Lamun

Pada umumnya panjang daun spesies-spesies lamun yang diukur di Pulau

Barranglompo memperlihatkan kecenderungan lebih pendek dengan semakin

jauhnya stasiun dari garis pantai. Hanya spesies S. isoetifolium yang

memperlihatkan kecenderungan sebaliknya (Tabel 19).

Pola yang sama juga teramati di Pulau Bonebatang (Tabel 20), kecuali

untuk spesies H. uninervis yang memiliki ukuran panjang daun yang hampir sama

di setiap stasiun.

BLB BLC

BBA BBB

BBC C.rotundata

E. acoroides

H. pinifolia

H. uninervis

H. minor

H. ovalis

S. isoetifolium T. hemprichii

-1.5

-1

-0.5

0

0.5

1

1.5

-1.5 -1 -0.5 0 0.5 1 1.5

-- K

om

po

nen

2 (

25

.78

%)

-->

-- Komponen 1 (54.01 %) -->

Plot Simetris (aksis F1 dan F2: 79.80 %)

BLA

Page 140: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

103

Tabel 19 Ukuran panjang daun (PD) rata-rata dan lebar daun (LD) rata-rata (±

SD) jenis-jenis lamun pada setiap stasiun pengamatan di Pulau

Barranglompo

No Spesies

Sta. A Sta. B Sta. C

PD (cm) LD

(cm)

PD

(cm)

LD

(cm)

PD

(cm)

LD

(cm)

1. C. rotundata 12.97 ±

2.77

1.00 ±

0.09

10.15 ±

1.79

0.92 ±

0.10

9.7 ±

2.03

0.80 ±

0.11

2. E. acoroides 69.06 ±

39.13

1.32 ±

0.15

64.89 ±

19.91

1.33 ±

0.24

64.30 ±

20.97

1.37 ±

0.22

3. H. uninervis 15.29 ±

2.76

0.43 ±

0.08

11.22 ±

2.33

0.40 ±

0.09

13.10 ±

3.82

0.35 ±

0.15

4. H. ovalis 2.41 ±

0.42

1.21 ±

0.12

2.39 ±

0.31

1.14 ±

0.12

2.13 ±

0.45

1.07 ±

0.14

5. S. isoetifolium 9.10 ±

2.51

0.17 ±

0.04

9.60 ±

1.84

0.18 ±

0.03

10.20 ±

1.69

0.19 ±

0.03

6. T. hemprichii 14.32 ±

3.82

0.99 ±

0.21

10.48 ±

2.34

0.86 ±

0.16

10.31 ±

1.18

0.83 ±

0.12

Keterangan: Jenis Halodule pinifolia dan Halophila minor tidak diukur morfometrinya karena

populasinya yang kecil

Berdasarkan perbandingan panjang daun rata-rata, C. rotundata dan H.

ovalis di Pulau Bonebatang memiliki panjang daun sedikit lebih panjang

dibanding di Pulau Barranglompo. Sebaliknya, spesies E. acoroides, H. uninervis,

S. isoetifolium dan T. hemprichii di Pulau Bonebatang lebih pendek bila

dibandingkan dengan spesies Pulau Barranglompo. Hal ini disebabkan karena

kadar nutrien terutama nitrogen di Pulau Barranglompo lebih tinggi akibat

aktivitas antropogenik. Kasus yang sama dijumpai di Pulau Green yang

merupakan bagian dari kawasan Great Barrier Reef Australia. Pada pulau ini

dijumpai bahwa lamun jenis H. uninervis dan S. isoetifolium yang tumbuh pada

sedimen karbonat memiliki pertumbuhan dan biomassa yang lebih besar dalam 50

tahun terakhir yang kemungkinan disebabkan oleh meningkatnya ketersediaan

nutrien dari sumber baik lokal maupun regional (Udy et al. 1999).

Tabel 20 Ukuran panjang daun (PD) rata-rata dan lebar daun (LD) rata-rata

(±SD) jenis-jenis lamun pada setiap stasiun pengamatan di Pulau

Bonebatang

No Spesies Sta. A Sta. B Sta. C

Page 141: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

104

PD

(cm)

LD

(cm)

PD

(cm)

LD

(cm)

PD

(cm)

LD

(cm)

1. C. rotundata 13.36 ±

4.43

0.92 ±

0.12

10.30 ±

3.16

0.85 ±

0.13

9.80 ±

3.08

0.82 ±

0.12

2. E. acoroides 69.80 ±

11.41

1.44 ±

0.15

55.77 ±

8.35

1.36 ±

0.16

57.42 ±

7.46

1.33 ±

0.16

3. H. uninervis 9.26 ±

2.61

0.38 ±

0.10

9.27 ±

2.69

0.35 ±

0.06

9.26 ±

3.30

0.35 ±

0.06

4. H. ovalis 2.55 ±

0.30

1.22 ±

0.12

2.45 ±

0.31

1.14 ±

0.11

2.01 ±

0.17

1.09 ±

0.09

5. S. isoetifolium 9.07 ±

2.19

0.17 ±

0.02

9.53 ±

1.60

0.18 ±

0.03

10.07 ±

1.12

0.18 ±

0.02

6. T. hemprichii 11.25 ±

2.36

1.10 ±

0.08

9.50 ±

1.25

1.03 ±

0.14

9.20 ±

1.93

0.91 ±

0.09

Keterangan: Jenis Halophila minor tidak diukur morfometrinya karena populasinya yang kecil

Indeks Luas Daun/Leaf Area Index (LAI)

Indeks luas daun adalah rasio dari total permukaan daun vegetasi dibagi

dengan luas permukaan dimana vegetasi tersebut tumbuh (Breda 2003). Nilai

indeks luas daun rata-rata di Pulau Barranglompo adalah 2.62 ± 2.02, sedangkan

di Pulau Bonebatang adalah 3.29 ± 1.26.

Nilai rata-rata indeks luas daun lamun pada setiap stasiun di Pulau

Barranglompo memperlihatkan kecenderungan semakin menurun dengan

semakin jauhnya stasiun dari pantai. Sementara itu, di Pulau Bonebatang, nilai

indeks luas daun relatif lebih merata (Tabel 21). Nilai tertinggi (3.63 ± 3.05)

didapatkan pada stasiun A Pulau Barranglompo, sedangkan nilai terendah (1.39 ±

0.58) dijumpai pada stasiun C Pulau Barranglompo. Hal ini menunjukkan

variabilitas yang lebih tinggi di Pulau Barranglompo dibandingkan dengan Pulau

Bonebatang. Namun, nilai indeks luas daun lamun antara Pulau Barranglompo

dan Pulau Bonebatang tidak berbeda nyata (p = 0.153).

Tabel 21 Nilai indeks luas daun lamun di Pulau Barranglompo dan Pulau

Bonebatang

Page 142: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

105

Nilai Barranglompo Bonebatang

A B C A B C

Rata-rata

(±SD)

3.63 ±

3.05

2.83 ±

0.88

1.39 ±

0.58

3.23 ±

1.75

3.52 ±

1.14

3.11 ±

0.86

Minimum 0.95 1.22 0.45 0.56 1.89 2.16

Maksimum 10.15 4.28 2.47 5.91 4.28 4.83

Nilai indeks luas daun lamun yang dijumpai di Spermonde kurang lebih

sama dengan nilai rata-rata di berbagai negara Karibia yaitu 3.4 ± 1.7 (Krupp et

al. 2009). Hal yang hampir sama dijumpai di Bolinao, Luzon, Filipina dimana

nilai indeks luas daun lamun pada komunitas lamun campuran mencapai 2.99

(Vermaat et al. 1995).

Indeks Luas Daun merupakan indeks yang berguna untuk mengestimasi

produktivitas potensial tegakan vegetasi karena indeks ini menghitung luasan

daerah material hijau tumbuhan yang memotong photosynthetically active

radiation (PAR), yaitu daerah daun (satu sisi) dari tegakan yang dinyatakan

secara relatif terhadap area substrat yang ditutupinya (Hillman et al. 1989). Di

samping itu, indeks ini juga mempengaruhi iklim mikro di dalam atau di bawah

kanopi, menentukan dan mengontrol pertukaran air dan karbon sehingga

merupakan komponen penting dalam siklus biogeokimia ekosistem (Breda 2003).

Secara teoritis, LAI optimum (yang mendukung produktivitas maksimum)

dicapai bila lapisan terbawah daun hanya mampu secara rata-rata

mempertahankan keseimbangan karbon positif, yakni bila tegakan vegetasi

memotong semua PAR yang tersedia. Di bawah titik ini daun bagian bawah

menjadi beban tidak produktif terhadap tegakan vegetasi (Hillman et al. 1989).

Simpulan

1. Terdapat 8 spesies lamun yang dijumpai di Pulau Barranglompo, sedangkan

di Pulau Bonebatang terdapat 7 spesies yang hidup dalam komunitas

campuran terdiri atas beberapa spesies.

2. Indeks Nilai Penting (INP) lamun menunjukkan bahwa, Thalassia hemprichii

dan Enhalus acoroides merupakan spesies dominan di Pulau Barranglompo,

Page 143: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

106

sedangkan Pulau Bonebatang didominasi oleh T. hemprichii dan Halodule

uninervis.

3. Secara umum, daun lamun di Pulau Barranglompo relatif lebih panjang

dibandingkan dengan yang ada di Pulau Bonebatang. Hal itu diduga karena

nutrien di Pulau Barranglompo lebih tinggi akibat aktivitas antropogenik

Page 144: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

107

Page 145: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

108

8. ASOSIASI DAN INTERAKSI MAKROFITA (LAMUN DAN

MAKROALGAE) AKIBAT TEKANAN ANTROPOGENIK

YANG BERBEDA

Abstrak

Makrofita laut (lamun dan makroalgae) merupakan produsen primer

penting yang mempunyai banyak peranan pada ekosistem pantai. penelitian

untuk mengkaji interaksi dan asosiasi makrofita pada lokasi yang memiliki

tekanan antropogenik berbeda, telah dilaksanakan di Pulau Barranglompo dan

Pulau Bonebatang, Kepulauan Spermonde dari Januari hingga Juli 2011.

Beberapa aspek yang diteliti antara lain: kategori lifeform, kelimpahan, biomassa,

asosiasi lamun dan makroalgae, indeks evaluasi ekologi dan indeks similaritas.

Transek kuadrat digunakan untuk sampling makroalgae pada tiga stasiun yang

memiliki jarak berbeda dari garis pantai. Sebanyak 22 spesies makroalgae

dijumpai di Pulau Barranglompo, sedangkan di Pulau Bonebatang, ditemukan 20

spesies. Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai

epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya, di Pulau

Barranglompo dijumpai asosiasi positif antara pasangan Cymodocea rotundata-

Thalassia hemprichii, Acanthophora spicifera-Laurencia papillosa, dan Dictyota

bartayresiana-Laurencia papillosa, sedangkan asosiasi negatif didapatkan pada

dua pasangan yaitu Enhalus acoroides-Halodule uninervis dan Thalassia

hemprichii-Halodule uninervis. Di Pulau Bonebatang, asosiasi positif dijumpai

pada pasangan C. rotundata-H. uninervis saja, sedangkan asosiasi negatif

dijumpai pada beberapa pasangan yaitu. C. rotundata-A.spicifera, C. rotundata-

Actinoritchia fragilis, E. acoroides-H. uninervis, T. hemprichii-Gracilaria

coronopifolia, dan T. hemprichii-Sargassum crassifolium. Sementara itu, untuk

menguji fungsi makrofita sebagai bioindikator perubahan ekosistem akibat

tekanan antropogenik, didapatkan bahwa Pulau Barranglompo memiliki status

ekologi sedang dan Pulau Bonebatang memiliki status ekologi sangat bagus.

Indeks similaritas tertinggi dijumpai antar stasiun pada pulau yang sama,

sehingga disimpulkan bahwa pulau yang berbeda memiliki konfigurasi

makroalgae yang berbeda dan sangat dipengaruhi oleh aktivitas antropogenik

yang berlangsung di pulau-pulau tersebut.

Kata kunci: antropogenik, Barranglompo, Bonebatang, lamun, makroalgae,

makrofita

Abstract

Marine macrophytes (seagrass and macroalgae) are important primary

producers, which have many functions in coastal ecosystems. In order to analyze

interaction between seagrass and macroalgae in areas with different

anthropogenic pressure, a study has been done in two small islands within

Spermonde Archipelago, South Sulawesi i.e. Barranglompo and Bonebatang

Islands. Quadrat transects were deployed in three stations based on their different

distances from the shoreline. There were 22 and 20 species of macroalgae found

in Barranglompo and Bonebatang Islands, respectively. Most of macroalgae

Page 146: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

109

found in both islands live as epilithic (litophytic) and epipelic (rhizophytic).

Based on their association, there was positive association occurred between pairs

of Cymodocea rotundata-Thalassia hemprichii, Acanthophora spicifera-

Laurencia papillosa, and Dictyota bartayresiana-Laurencia papillosa in

Barranglompo, while negative association was observed in two seagrass pairs i.e.

Enhalus acoroides-Halodule uninervis and Thalassia hemprichii-Halodule

uninervis. In Bonebatang Island, positive association was found in pair of C.

rotundata-H. uninervis, while negative association was found in several pairs of

macroalgae i.e. C. rotundata-A.spicifera, C. rotundata-Actinoritchia fragilis, E.

acoroides-H. uninervis, T. hemprichii-Gracilaria coronopifolia, and T.

hemprichii-Sargassum crassifolium. In order to examine the function of

macrophytes as bioindicator of ecosystem shift due to anthropogenic pressure,

analysis of macrophyte structure in both islands classified Barranglompo in

moderate ecological status, whereas Bonebatang had high ecological status. The

highest similarity index was found among stations in the same island. It was

concluded that different islands have different macrophyte assemblages and it was

strongly affected by anthropogenic activities occurred in the islands.

Keywords: anthropogenic, Barranglompo, Bonebatang, macroalgae, macrophyte,

seagrass

Pendahuluan

Makroalgae atau lebih dikenal sebagai rumput laut (seaweeds) adalah

tumbuhan tingkat rendah yang secara taksonomi termasuk ke dalam Divisi

Thallophyta. Tubuh makroalgae disebut thallus yang bisa berbentuk sederhana

dan belum terdiferensiasi. Pada bentuk yang lebih berkembang, thallusnya sudah

memiliki bagian yang secara morfologi menyerupai tumbuhan tingkat tinggi

seperti daun (blade), batang (stipe) dan holdfast yang menyerupai akar (Trono

1997; Graham & Wilcox 2000; Hinde 2000).

Makroalgae terdiri atas tiga divisio yakni algae hijau (Chlorophyta), algae

coklat (Phaeophyta) dan algae merah (Rhodophyta) (Alongi 1998). Makroalgae

memiliki berbagai jenis pigmen seperti klorofil, karoten, fikobilin dan pigmen

asesori lainnya yang memungkinkan makroalgae mensintesis sendiri bahan

organik dari bahan sederhana seperti air dan CO2 (Trono 1997). Perbedaan

komposisi dan persentase pigmen penyusun makroalgae ini merupakan salah satu

dasar pengklasifikasian makroalgae.

Kehadiran atau ketidakhadiran spesies makroalgae tertentu pada suatu

habitat dipengaruhi oleh efek kombinasi dan sinergitas berbagai faktor fisika-

Page 147: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

110

kimia seperti salinitas, cahaya, suhu, substrat, kadar nutrien, pergerakan air,

kedalaman maupun oleh faktor biotik (Trono & Ganzon-Fortes 1988; Prathep

2005).

Lamun dan makroalgae merupakan makrofita utama di perairan pantai

yang hidup bersama dimana kontrol grazing (top-down) dan nutrien (bottom-up)

secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kelimpahannya (Heck et al.

2000: Hughes et al. 2004; Irlandi et al. 2004). Eutrofikasi pada perairan pantai

dapat menyebabkan proliferasi makroalgae yang pada akhirnya akan

membahayakan padang lamun (McGlathery 2001).

Pada ekosistem lamun, algae epifit berkontribusi penting terhadap produksi

primer dan sekunder, mereka juga berperan terhadap proses biogeokimia dan

siklus nutrien termasuk produksi CaCO3 dan fiksasi nitrogen. Namun, algae

epifit dapat juga memberikan efek merugikan terhadap fungsi ekologis ekosistem

lamun (Jernakoff et al. 1996; Vanderklift & Lavery 2000). Samper-Villareal et

al. (2008) menginventarisir sebanyak 26 spesies makroalgae (18 genera) yang

merupakan algae epifit pada daun lamun Thalassia testudinum di Punta Cahuita,

pantai Karibia Costa Rica.

Secara eksperimental, peningkatan tinggi kanopi makroalgae mengurangi

kepadatan, rekruitmen, laju pertumbuhan, dan laju produksi lamun Zostera

marina (Hauxwell et al. 2001). Eksperimen lain oleh Irlandi et al. (2004)

menggunakan tutupan alga terapung (drift algae) yang tinggi selama 2-3 bulan

menghasilkan pengurangan sekitar 25 % biomassa di atas permukaan substrat

(aboveground biomass) dibanding plot-plot yang bebas algae. Biomassa di

bawah substrat (belowground biomass) dan kerapatan tegakan tidak dipengaruhi

oleh keberadaan drift algae ini.

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji interaksi dan asosiasi antara

lamun dan makroalgae pada lokasi yang memiliki tekanan antropogenik berbeda.

Bahan dan Metode

Pengambilan Data dan Analisis Interaksi Makroalgae pada Ekosistem

Padang Lamun

Page 148: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

111

Penelitian ini berlangsung dari bulan Januari – Juli 2011 di Pulau

Barranglompo (5o 02’ 44.28‖- 5

o 03’ 05.65‖ S, 119

o 19’ 38.56‖- 119

o 19’ 52.27‖

E) dan Pulau Bonebatang (5o 00’ 47.46‖- 5

o 00’ 51.82 S, 119

o 19’ 35.55‖- 119

o

19’ 36.71‖ E) yang termasuk dalam Kepulauan Spermonde Provinsi Sulawesi

Selatan. Peta kedua pulau ini dapat dilihat pada Gambar 6 (Bab 4).

Kedua pulau ini memiliki tekanan antropogenik yang berbeda. Pulau

Barranglompo yang memiliki luas sekitar 20 ha, saat ini dihuni oleh sekitar 5000

jiwa, sedangkan Pulau Bonebatang tidak berpenduduk.

Kategori Lifeform Makroalgae

Pengamatan makroalgae yang berasosiasi dengan padang lamun juga

dilakukan pada saat survei kondisi bioekologi lamun (Bab 7). Pengamatan

dilakukan pada 3 stasiun dan 27 sub-stasiun pada masing-masing pulau. Jenis-

jenis makroalgae diidentikasi jenisnya menggunakan pustaka seperti Trono &

Ganzon-Fortez (1988), Atmadja (1996a; 1996b), Kadi (1996), Trono (1997),

Carpenter & Niem (1998), Dhargalkar & Kavlekar (2004), Jha et al. (2009).

Spesies yang dijumpai dikelompokkan berdasarkan kategori lifeformnya (Bold &

Wynne 1985: Sidik et al. 2001) sebagai berikut :

Rhizofitik/epipelik (melekat pada lumpur dan pasir)

Lithofitik/epilithik (hidup pada batu atau karang mati)

Efifit (melekat pada daun, batang dan rhizoma lamun atau makroalgae

lain)

Epizoik (melekat pada cangkang molluska atau tabung polichaeta)

Drift macroalgae (lepas atau mengapung).

Kelimpahan dan Biomassa Makroalgae

Kelimpahan makroalgae diukur dengan membuat kuadrat berukuran 50

cm x 50 cm). Persentase penutupan makroalgae ditentukan dengan menggunakan

nilai skala Braun-Blanquet (B-B) sebagaimana disajikan pada Tabel 22.

Page 149: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

112

Tabel 22 Nilai skala Braun-Blanquet untuk berbagai persentase penutupan

makroalgae (Braun-Blanquet 1965 diacu Gab-Alla 2007).

Nilai skala

Braun-Blanquet

Penutupan Quadrat

5 > 75 %

4 50 – 75 %

3 25 – 50 %

2 5 – 25 %

1 Banyak, tapi penutupannya kurang dari 5 % atau

terpencar sampai 5 % penutupan

0,5 Beberapa dengan penutupan kecil

0,1 Soliter, dengan penutupan kecil

Pengukuran biomassa makroalgae dilakukan dengan memanen

makroalgae dari dalam kuadrat ukuran 10 cm x 10 cm. Semua sampel disimpan

dalam cool box untuk dianalisis di laboratorium. Di laboratorium, sampel

dipisahkan dan disortir berdasarkan spesies kemudian dimasukkan ke dalam baki

aluminium foil untuk dikeringkan dalam oven bersirkulasi udara pada 50 oC

(Littler 1980 diacu oleh Sidik et al. 2001) sampai beratnya konstan, lalu

didinginkan dalam desikator dan ditimbang berat keringnya. Biomassa

dikonversi ke satuan gram berat kering per m2.

Analisis Data Makroalgae

Frekuensi, kelimpahan, dan kerapatan makroalgae dihitung dengan

menggunakan persamaan dari Sidik et al (2001) sebagai berikut :

( )

Asosiasi Lamun dan makroalgae

Analisis asosiasi dilakukan pada jenis-jenis penyusun utama komunitas

lamun dan makroalgae dengan menggunakan Tabel Kontingensi 2x2 (Gambar

57).

Page 150: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

113

Gambar 57 Tabel kontingensi 2 x 2 atau tabel asosiasi spesies (Ludwig &

Reynolds 1988)

Pengujian asosiasi didasarkan pada hadir atau tidaknya suatu spesies

dalam suatu penarikan contoh (unit sampling). Untuk setiap pasangan spesies A

dan B, kemungkinan yang muncul adalah :

a = jumlah unit sampling dimana kedua spesies muncul bersama

b = jumlah unit sampling dimana hanya terdapat spesies A

c = jumlah unit sampling dimana hanya terdapat spesies B

d = jumlah unit sampling dimana kedua spesies tidak muncul

Untuk menguji hipotesis nol bahwa spesies bersifat independen (tidak ada

asosiasi), maka digunakan uji Chi-square menggunakan notasi pada tabel

kontingensi di atas dengan persamaan sebagai berikut:

( )

Dimana nilai harapan untuk sel a adalah:

E (a) = ( )( )

Begitu pula dengan nilai-nilai harapan untuk sel b, c, dan d dapat dihitung dengan

formula:

( )

, ( )

, ( )

Maka persamaan Chi-square menjadi:

= ( )

Bila ada sel pada Tabel Kontingensi 2 x 2 yang mempunyai frekuensi harapan < 1

atau jika lebih dari dua sel mempunyai frekuensi harapan < 5, maka hasil uji Chi-

square menjadi bias. Untuk itu perlu dilakukan koreksi dengan menggunakan

formula koreksi dari Yate sebagai berikut:

Page 151: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

114

*( ) ( ) (

)+

Nilai Chi-square hitung dibandingkan dengan nilai Chi-square tabel pada

derajat bebas = 1, pada taraf uji p = 0.01 (6.64) dan p = 0.05 (3.84). Jika nilai

Chi-square hitung lebih besar dari 3.84, maka hipotesis nol bahwa kemunculan

bersama spesies A dan B bersifat independen ditolak, dan disimpulkan bahwa

kedua spesies berasosiasi.

Nilai harapan pada sel a dapat digunakan untuk mengetahui jenis

asosiasi, yaitu

1. Positif – bila a > E (a), yakni bila pasangan spesies muncul bersama lebih

sering daripada yang diharapkan jika independen.

2. Negatif – bila a < E (a), yakni bila pasangan spesies muncul bersama

kurang dari yang diharapkan bila independen.

Selanjutnya Indeks Asosiasi Ochiai (Ludwig & Reynolds 1988)

digunakan untuk mengetahui nilai asosiasi antar pasangan spesies..

√ √

Dimana :

Io = Indeks Ochiai

a = Spesies A dan B hadir

b = Spesies A hadir, spesies B tidak hadir

c = Spesies A tidak hadir, spesies B hadir

Indeks Evaluasi Ekologis (IEE)

Indeks Evaluasi Ekologis (IEE) dirancang untuk mengestimasi status

ekologis perairan transisi dan perairan pantai dimana makrofita bentik

(makroalgae dan lamun) digunakan sebagai bioindikator perubahan ekosistem

(ecosystem shift) akibat tekanan antropogenik, dari keadaan alami dengan spesies

suksesi akhir ke keadaan terdegradasi dengan spesies oportunistis (Orfanidis et al.

2003).

Page 152: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

115

Perubahan pada struktur dan fungsi ekosistem laut dievaluasi dengan

menggolongkan makrofita laut bentik ke dalam dua kelompok status

ekologis/ecological status group (ESG) yang mewakili kelompok status ekologi

yang berbeda, misalnya pada daerah yang alami ataupun yang tercemar

(terdegradasi). Kelompok I terdiri atas semua spesies lamun dan makroalgae

dengan thallus yang tebal atau calcareous, laju pertumbuhan lambat, dan terdiri

atas spesies perennial dengan siklus hidup yang panjang (late successional),

sedangkan kelompok II termasuk spesies makroalgae dengan thallus berbentuk

lembaran dan filamentous dengan laju pertumbuhan yang cepat dan terdiri atas

spesies annual dengan daur hidup yang pendek (oportunistik) serta bersifat

ruderal (Orfanidis et al. 2001; 2003).

Kelimpahan rata-rata makrofita kelompok I dan II diplotkan pada matriks

(Gambar 58) untuk menentukan status ekologi dari lokasi yang ditempati oleh

makrofita tersebut. Kategori-kategori status ekologis di atas diberi skor numerik

seperti ditampilkan pada Tabel 23.

Gambar 58 Matriks berdasarkan kelimpahan rata-rata ESG untuk menentukan

status ekologis perairan transisi dan perairan pantai (Orfanidis et al.

2001)

Page 153: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

116

Tabel 23 Sistem skoring numerik untuk evaluasi status ekologis perairan transisi

dan perairan pantai (Orfanidis et al. 2001)

Kategori ekologis Nilai numerik Indeks Evaluasi Ekologis

(IEE)

Sangat Baik 10 [≤ 10 - 8] = Sangat Baik

Baik 8 [≤ 8 - 6] = Baik

Sedang 6 [≤ 6 - 4] = Sedang

Jelek 4 [≤ 4 - 2] = Jelek

Sangat Jelek 2 [2] = Sangat Jelek

Indeks Similaritas (IS)

Indeks Similaritas Sorensen atau dikenal pula sebagai indeks

Czekanowski digunakan untuk mengetahui tingkat kesamaan vegetasi pada

seluruh unit sampel. (Ludwig & Reynolds 1988; Clarke & Warwick 1994;

Krebs 1999; Krebs 2002; Bakus 2007).

S = Indeks Similaritas Sorensen

a = Jumlah spesies yang sama terdapat pada unit sampling I dan II

b = Jumlah spesies yang hanya ditemukan pada unit sampling I

c = Jumlah spesies yang hanya ditemukan pada unit sampling II

Indeks similaritas Sorensen menggunakan data biner (kehadiran dan

ketidakhadiran) suatu spesies pada suatu unit sampling dan nilainya berkisar dari

0 (tidak ada kemiripan) sampai 1 (kemiripan tertinggi) (Clarke & Warwick 1994;

Krebs 1999; Bakus 2007).

Hasil perhitungan IS untuk seluruh stasiun pengambilan sampel disusun

dalam bentuk matriks Indeks Similaritas (IS) dan Indeks Disimilaritas (ID),

dimana ID = 100-IS (Clarke & Warwick 1994). Tingkat kemiripan antar stasiun

pengamatan dapat ditentukan berdasarkan kriteria pada Tabel 24 berikut :

Page 154: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

117

Tabel 24 Penentuan tingkat kemiripan vegetasi antar stasiun pengamatan

Nilai Indeks Similaritas (%) Tingkat Kesamaan Vegetasi

75 Sangat tinggi

50 - 75 Tinggi

25 -50 Rendah

25 Sangat rendah

Sumber: Krebs (2002)

Hasil dan Pembahasan

Sebanyak 28 jenis makroalgae yang ditemukan berasosiasi dengan padang

lamun di Pulau Barranglompo dan Bonebatang (Tabel 25). Jenis-jenis makroalgae

tersebut terdiri atas 5 jenis dari Divisio Chlorophyta (17.86%), 10 jenis dari

Divisio Phaeophyta (35.71%) dan 13 jenis dari Divisio Rhodophyta (46.43%).

Beberapa penelitian sebelumnya juga mendapatkan bahwa makroalgae dari

Divisio Rhodophyta memiliki komposisi terbesar dibandingkan kedua divisio

lainnya. Handayani dan Kadi (2007) mendapatkan juga 13 jenis Rhodophyta

(43.33%) di perairan Minahasa Utara, Sulawesi Utara. Sementara itu, di Taman

Nasional Similajau di Sarawak, Malaysia dijumpai makroalgae dari Divisio

Rhodophyta sebesar 54.30% dari semua jenis makroalgae yang ditemukan di

lokasi tersebut (Harah et al. 2006). Gambar 59-64 memperlihatkan foto dari

jenis-jenis makroalgae yang ditemukan di kedua pulau.

Tabel 25 Klasifikasi makroalgae yang ditemukan di lokasi penelitian

Divisio Kelas Ordo Familia Genus dan

spesies Chlorophyta Chlorophyceae Siphonocladales Boodleaceae Boodlea composita

Bryopsidophyceae Bryopsidales Udoteaceae Chlorodesmis

fastigiata

Bryopsidophyceae Bryopsidales Halimedaceae Halimeda

macroloba

Bryopsidophyceae Bryopsidales Halimedaceae Halimeda opuntia

Dasycladophyceae Dasycladales Dasycladaceae Neomeris annulata

Phaeophyta Phaeophyceae Dictyotales Dictyotaceae Dictyota

bartayresiana

Page 155: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

118

Phaeophyceae Fucales Sargassaceae Hormophysa

triquetra

Phaeophyceae Ectocarpales Scytosiphonaceae Hydroclathrus

clathratus

Phaeophyceae Dictyotales Dictyotaceae Padina australis

Phaeophyceae Ectocarpales Scytosiphonaceae Rosenvingea

intricata

Phaeophyceae Fucales Sargassaceae Sargassum binderi

Phaeophyceae Fucales Sargassaceae Sargassum

crassifolium

Phaeophyceae Fucales Sargassaceae Sargassum

polycistum

Phaeophyceae Fucales Sargassaceae Turbinaria ornata

Phaeophyceae Fucales Sargassaceae Turbinaria

conoides

Rhodophyta Rhodophyceae Ceramiales Rhodomelaceae Acanthophora

muscoides

Rhodophyceae Ceramiales Rhodomelaceae Acanthophora

spicifera

Florideophyceae Nemaliales Galaxauraceae Actinoritchia

fragilis

Florideophyceae Corallinales Corallinaceae Amphiroa

fragilissima

Florideophyceae Gigartinales Solieriaceae Euchema

denticulatum

Florideophyceae Gigartinales Solieriaceae Euchema serra

Florideophyceae Gelidiales Gelidiellaceae Gelidiella acerosa

Rhodophyceae Gracilariales Gracilariaceae Gracilaria

coronopifolia

Rhodophyceae Gracilariales Gracilariaceae Gracilaria

salicornia

Florideophyceae Gigartinales Cystocloniaceae Hypnea esperi

Florideophyceae Gigartinales Cystocloniaceae Hypnea cervicornis

Florideophyceae Gigartinales Solieriaceae Kappaphycus

alvarezii

Florideophyceae Ceramiales Rhodomelaceae Laurencia

papillosa

Deskripsi Makroalgae pada Daerah Padang Lamun

Boodlea composita (Harvey) Brand

Algae ini berwarna hijau muda atau hijau kekuningan (Gambar 59a),

rimbun, berfilamen, bercabang tidak beraturan, rapuh dan berspons (Jha et al.

2009). Thallus tersusun atas sel-sel terete persegi yang membentuk percabangan

anastomose antara satu dengan lainnya dengan menggunakan sel-sel pelekat

khusus, sel-sel terminal berkurang. Spesies ini umumnya menempati daerah

intertidal dimana akan terpapar saat surut (Trono & Ganzon-Fortes 1988).

Chlorodesmis fastigiata (C. Agardh) Ducker

Page 156: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

119

Jenis makroalgae ini melekat pada substrat keras seperti potongan karang

(Gambar 59b). Thallusnya berwarna hijau, rimbun dengan percabangan teratur

secara dichotomous (Lobban & Harrison 1997; Trono 1997), mengerut pada dasar

cabang (Lobban & Harrison 1997).

Neomeris annulata Dickie

Tumbuhan ini silindris dan tidak bercabang dengan apeks berwarna hijau

terang dan bagian basal yang berkapur keputihan (Gambar 59c), soliter, sering

membentuk kelompok yang padat, aksis ditutupi oleh alur pendek, biasanya

dijumpai pada batuan atau karang mati yang ditutupi oleh pasir kasar pada daerah

pasang surut (Jha et al. 2009).

Halimeda macroloba Decaisne

Thallus berwarna hijau, soliter, kaku, percabangan pada satu arah

sehingga berbentuk rata (Gambar 59d), melekat dengan holdfast silindris, segmen

bagian atas discoid, reniform (Jha et al. 2009). Thallus dengan kalsifikasi ringan

hingga sedang (Kadi 1996).

Halimeda opuntia (Linnaeus) Lamouroux

Pertumbuhan thallus kompak, percabangan segmen bertumpuk menjalar

dan membentuk pertumbuhan baru. Segmen relatif kecil berbentuk gepeng bulat-

lonjong, reniform dan bergelombang (Gambar 59e). Kandungan karbonat tinggi,

warna segmen hijau. Holdfast tidak berubi terdiri dari kumpulan massa akar

serabut lembek yang berfungsi untuk penempelan pada substrat keras atau lembek

(Kadi 1996).

Page 157: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

120

Gambar 59 Makroalgae hijau (Chlorophyta) yang dijumpai di daerah padang

lamun. (a) Boodlea composita, (b) Chlorodesmis fastigiata, (c)

Neomeris annulata, (d) Halimeda macroloba, (e) Halimeda opuntia

Dictyota bartayresiana Lamouroux

Thallus kaku, pipih seperti pita berwarna coklat tua, bagian pinggir rata

(Gambar 60a). Percabangan dichotomous dengan ujung meruncing, membentuk

rumpun yang rimbun sehingga sering merupakan gumpalan. Percabangan

beraturan membentuk sudut 70-80o (Atmadja 1996a; Prud’homme & Trono

2001).

Hormophysa triquetra (C.Agardh) Kützing

Thallus tegak berbentuk penampang segitiga (triquetra), permukaan licin,

thallus berwarna coklat kekuningan atau coklat kehijauan, membentuk rumpun

yang rimbun (Gambar 60c). Percabangan tumbuh pada segmen-segmen thalli

secara berselang-seling (alternate). Pinggir thallus bergerigi. Vesikel tidak jelas

tampak dari luar, bersembunyi di dalam thallus pada setiap segmen (Atmadja

1996a).

Hydroclathrus clathratus (C. Agardh) Howe

Page 158: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

121

Thallus silindris, licin, berwarna kekuningan sampai coklat tua, vesicular

atau ovate tidak beraturan, tidak berlubang saat muda, berlubang dan berperforasi

saat dewasa membentuk struktur seperti jaring (Gambar 60b). Perforasi bervariasi

ukurannya (Atmadja 1996a; Jha et al. 2009).

Padina australis Hauck

Warna coklat kekuningan. Holdfast berbentuk cakram kecil berserabut.

Bentuk thalli seperti kipas (Gambar 60d), membentuk segmen-segmen lembaran

tipis (lobus) dengan garis-garis berambut radial dan perkapuran di bagian

permukaan daun. Bagian atas lobus agak melebar dengan pinggir rata dan pada

bagian puncak terdapat lekukan-lekukan yang pada ujungnya terdiri dari dua

lapisan sel (Sze 1993; Atmadja 1996).

Rosenvingea intricata (J. Agardh) Børgesen

Thallus berwarna coklat kehijauan atau coklat keemasan, melekat pada

substrat keras dengan holdfast discoid (Gambar 60e). Percabangan secara tidak

teratur dichotomous, trichotomous atau alternate (selang-seling). Cabang-

cabangnya cekung, agak tertekan dan secara tajam menurun diameter dan

panjangnya dari aksis primer sampai ke ranting (branchlets). Percabangan

terakhir biasanya trichotomous dengan branchlets apikal biasanya terbagi

menjadi duri-duri pendek dan gemuk (Trono & Ganzon-Fortes 1988; Jha et al.

2009).

Page 159: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

122

Gambar 60 Makroalgae coklat (Phaeophyta) yang dijumpai di daerah padang

lamun. (a) Dictyota bartayresiana, (b) Hydroclathrus clathratus, (c)

Hormophysa triquetra, (d) Padina australis, (e) Rosenvingea

intricata

Sargassum binderi Sonder ex J.Agardh

Batang gepeng, halus dan licin. Percabangan berselang-seling teratur,

cabang utama saling berdekatan. Daun lonjong, pinggir bergerigi, ujung runcing,

urat tengah daun (midrib) tidak jelas (Gambar 61a). Bladder bulat, ujung bulat

atau runcing (Atmadja 1996a).

Sargassum crassifolium J. Agardh

Thallus agak gepeng, licin, tetapi batang utama bulat, agak kasar, holdfast

berbentuk cakram. Percabangan berselang-seling teratur (Gambar 61b). Daun

oval atau memanjang, urat tengah daun jelas dari pangkal ke ujung. Pinggir daun

bergerigi jarang, ujung melengkung atau runcing (Atmadja 1996a).

Sargassum polycistum C. Agardh

Thallusnya berbentuk silindris berduri kecil dan rapat (Gambar 61c).

Holdfast berupa cakram kecil dengan stolon yang rimbun. Batang pendek dengan

percabangan utama tumbuh rimbun di bagian ujungnya. Daun kecil, lonjong,

Page 160: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

123

pinggir bergerigi atau seperti gergaji, ujung melengkung atau runcing, urat daun

tidak begitu jelas. Vesikel atau gelembung udara (bladder) bulat telur (Sze 1993;

Atmadja 1996a).

Turbinaria conoides (J. Agardh) Kützing

Thallus berwarna coklat muda atau coklat tua. Batang silindris, tegak,

kasar, terdapat bekas-bekas percabangan (Gambar 61d). Holdfast berupa cakram

kecil. Percabangan berputar sekeliling batang utama. Daun merupakan kesatuan

yang terdiri dari tangkai dan lembaran daun yang umumnya berukuran kecil,

membentuk setengah bulatan melengkung seperti ginjal (reniformis), pinggir

daun bergerigi. Gelembung udara agak menonjol di pertengahan daun (Atmadja

1996a).

Turbinaria ornata (Turner) J. Agardh

Alga ini termasuk umum dijumpai di perairan Indonesia (Atmadja 1996a).

Tumbuhan ini berwarna coklat tua, tingginya mencapai 50 cm, rimbung ,

percabangan berasal dari holdfast yang bercabang dichotomous, cabang utama

keras dan silindris dan bercabang tidak beraturan, daun tersusun rapat berbentuk

turbinate (Gambar 61e) (Jha et al. 2009).

Page 161: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

124

Gambar 61 Makroalgae coklat (Phaeophyta) dari genera Sargassum dan

Turbinaria yang dijumpai di daerah padang lamun. (a) Sargassum

binderi, (b) S. crassifolium, (c) S. polycistum, (d) Turbinaria

conoidess, (e) T. ornata

Acanthophora spicifera (Vahl) Børgesen

Thallus silindris, percabangan bebas, tegak, terdapat duri-duri pendek

sekitar thallus yang merupakan karakteristik jenis ini. Warna coklat tua atau

coklat kekuningan (Gambar 62a). Rumpun lebat dan melekat ke substrat

menggunakan cakram lobus tidak beraturan (Atmadja 1996b; Jha et al. 2009).

Percabangan tidak beraturan, jarang, terete, dengan proyeksi berduri

(Prud’homme van Reine & Trono 2001).

Acanthophora muscoides (Linnaeus) Bory

Thallus berwarna kemerahan sampai ungu, kaku, cartilaginous (Gambar

62b). Melekat dengan holdfast discoid yang rata. Percabangan alternate, terete,

ditutupi oleh tonjolan yang berduri (Prud’homme van Reine & Trono 2001).

Actinoritchia fragilis (Forsskål) Børgesen

Page 162: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

125

Thallus bulat mengeras, permukaan kasar, membentuk rumpun rimbun

dengan percabangan dichotomous (Gambar 62c). Melekat pada substrat dengan

holdfast yang kecil berbentuk cakram. Warna merah muda, orange atau kadang-

kadang pirang (Atmadja 1996b).

Amphiroa fragilissima (Linnaeus) Lamouroux

Tumbuhan berwarna merah ungu, pirang atau krem. Substansi calcareous,

mudah patah (getas), kaku (Gambar 62d), percabangan beraturan baik

dichotomous maupun trichotomous, kadang dengan percabangan adventitif

(Atmadja 1996b; Jha et al. 2009)

Gambar 62 Makroalgae merah (Rhodophyta) yang dijumpai di daerah padang

lamun. (a) Acanthophora spicifera (b) Acanthophora muscoides, (c)

Actinoritchia fragilis, (d) Amphiroa fragilissima

Eucheuma denticulatum (N.L. Burman) Collins

Algae ini berwarna coklat tua, hijau kecoklatan atau bahkan merah

keunguan. Thallusnya berbentuk silindris, bersifat kartilaginous dengan

permukaan yang licin (Gambar 63a). Sepanjang thallus terdapat duri-duri yang

Page 163: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

126

tumbuh berderet melingkari thallus dengan interval yang bervariasi (Sze 1993).

Merupakan tumbuhan perennial dengan thallus yang membentuk rumpun

caespitose yang keras. Cabang primer terete atau silindris (Prud’homme van

Reine & Trono 2001).

Pada tahun 1920-an, rumput laut E. denticulatum yang berasal dari pantai

Sulawesi Selatan dan pulau-pulau sekitarnya telah diekspor ke China

(Prud’homme van Reine & Trono 2001).

Eucheuma serra J. Agardh

Thallus gepeng, prostrate, berwarna merah atau merah pucat, pinggir

bergerigi, permukaan licin, cartilaginous (Gambar 63b). Aksis utama terete pada

bagian basal. Percabangan berselang-seling tidak beraturan dan membentuk

rumpun yang rimbun (Atmadja 1996b; Prud’homme & Trono 2001).

Kappaphycus alvarezii (Doty) Doty ex P. Silva

Thallus silindris, berwarna hijau, hijau kekuningan, abu-abu atau merah.

Permukaan licin, cartilaginous (Gambar 63c). Penampakan thalli bervariasi mulai

dari bentuk sederhana sampai kompleks. Percabangan ke berbagai arah dengan

batang-batang utama keluar saling berdekatan di daerah basal (pangkal). Cabang-

cabang pertama dan kedua tumbuh membentuk rumpun yang rimbun (Atmadja

1996b; Jha et al. 2009).

Gelidiella acerosa (Forsskål) J. Feldmann & G. Hamel

Thallus silindris, cartilaginous dengan percabangan tidak teratur yang

keluar dari stolon. Thallus mempunyai ranting-ranting pendek (ramuli) yang

tumbuh berderet sebelah menyebelah pada percabangan (Gambar 63d). Thallus

berwarna hijau kecoklatan, kuning kehijauan atau kuning keemasan (Atmadja

1996b; Jha et al. 2009).

Page 164: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

127

Gambar 63 Makroalgae merah (Rhodophyta) yang dijumpai di daerah padang

lamun. (a) Eucheuma denticulatum (b) Eucheuma serra, (c)

Kappaphycus alvarezii, (d) Gelidiella acerosa

Gracilaria coronopifolia J Agardh

Thallus silindris, licin, berwarna coklat kehijauan atau coklat kekuningan

(pirang), menempel pada substrat dengan cakram kecil (Gambar 64a).

Percabangan dichotomous berulang-ulang. Umumnya rimbun pada porsi bagian

atas rumpun (Atmadja 1996b).

Gracilaria salicornia (C. Agardh) Dawson

Thallus berwarna merah kecoklatan atau merah kekuningan, melekat

dengan cakram kecil, thallus rimbun dengan percabangan tidak beraturan, aksis

silindris, cabang bagian bawah juga silindris, tidak berkurang pada bagian basal,

cabang bagian atas berkurang di bagian bawah, clavate memanjang, membengkak

pada bagian apeks (Gambar 64b) yang menunjukkan depresi apikal, satu atau dua

sub-cabang berasal dari depresi ini (Jha et al. 2009)

Hypnea esperi Bory

Page 165: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

128

Thallus berwarna merah kehijauan, melekat menggunakan holdfast

discoid, aksis bercabang 2 – 3 kali, cabang dan sub-cabang tersusun rapat pada

aksis, ditutupi oleh duri kecil (Gambar 64c) (Jha et al. 2009).

Hypnea cervicornis J. Agardh

Thallus silindris, berwarna kuning pucat atau kuning hijau, panjang

merumbai, berduri-duri halus (Gambar 64d). Percabangan tidak teratur,

membentuk rumpun yang rimbun sehingga tampak menggumpal (Atmadja

1996b). Alga ini melekat dengan holdfast discoid pada cangkang, potongan

karang atau batu kerikil, atau kadang juga bersifat epifit. Percabangannya padat

dan terete, secara tidak beraturan dichotomous-divaricate. Percabangan lateral

yang terakhir banyak, pendek, filiform, lonjong sampai titik yang tajam, kadang-

kadang bercabang dua (Trono & Ganzon-Fortes 1988).

Laurencia papillosa (C. Agardh) Greville

Thallus berwarna merah gelap atau merah kecoklatan, kaku, melekat

dengan holdfast discoid (Gambar 64e); banyak aksis yang kaku berasal dari

holdfast, aksis bercabang tidak beraturan, cartilaginous (Jha et al. 2009). Secara

radial tersusun atas baris longitudinal yang teratur pada percabangan sekunder

dan tersier, tidak beraturan pada bagian bawah thallus, menurun panjangnya dari

dasar ke ujung percabangan (Trono & Ganzon-Fortes 1988).

Page 166: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

129

Gambar 64 Makroalgae merah (Rhodophyta) yang dijumpai di daerah padang

lamun. (a) Gracilaria coronopifolia (b) Gracilaria salicornia, (c)

Hypnea esperi, (d) Hypnea cervicornis, (e) Laurencia papillosa

Kategori Lifeform Makroalgae

Pada habitat padang lamun, baik dasar (pasir, lumpur, batuan maupun

pecahan karang) serta lamun sendiri merupakan substrat untuk makroalgae

(Verheij & Erftemeijer 1993; Sidik et al. 2001).

Tabel 26 Kategori lifeform setiap jenis makroalgae yang ditemukan di Pulau

Barranglompo

Spesies Makroalgae Lifeform Boodlea composita epilithik

Chlorodesmis fastigiata epilithik

Halimeda macroloba epipelik

Halimeda opuntia epipelik

Dictyota bartayresiana epipelik/efifit

Rosenvingea intricata epipelik/efifit

Hormophysa triquetra epilithik

Padina australis epipelik/epilithik

Sargassum crassifolium epilithik/drift

Sargassum polycistum epilithik/drift

Turbinaria ornata epilithik

Acanthophora muscoides epipelik/epilithik

Page 167: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

130

Acanthophora spicifera epipelik/epilithik

Actinoritchia fragilis epipelik/epilithik

Euchema denticulatum epipelik/epilithik

Euchema serra epipelik/epilithik

Gelidiella acerosa epilithik

Gracilaria coronopifolia epipelik/epilithik

Gracilaria salicornia epipelik/epilithik

Hypnea esperi epilithik/efifit

Hypnea cervicornis Epipelik/epilithik/efifit

Laurencia papillosa Epipelik/epilithik

Tabel 27 Kategori lifeform setiap jenis makroalgae yang ditemukan di Pulau

Bonebatang

Spesies Makroalgae Lifeform Chlorodermis fastigiata epilithik

Halimeda macroloba epipelik

Halimeda opuntia epipelik

Neomeris annulata epilithik

Dictyota bartayresiana epipelik + efifit

Hormophysa triquetra epilithik

Hydroclathrus clathratus epipelik/epilithik/efifit

Padina australis epipelik

Rosenvingea intricata epilithik/efifit

Sargassum binderi epilithik

Sargassum crassifolium epilithik

Sargassum polycistum epilithik

Turbinaria conoides epilithik

Turbinaria ornata epilithik

Acanthophora spicifera epipelik/epilithik/efifit

Actinoritchia fragilis epipelik/epilithik

Amphiroa fragilissima epipelik/epilithik

Gracilaria coronopifolia epipelik/epilithik

Hypnea esperi epilithik/efifit

Kappaphycus alvarezii epipelik/epilithik

Berdasarkan kategori lifeformnya (Tabel 26 dan 27), makroalgae yang

ditemukan baik di Pulau Barranglompo maupun Pulau Bonebatang menunjukkan

kesamaan yaitu didominasi oleh kategori epilithik (litofitik) yang ditemukan

melekat pada batu atau karang mati dan juga epipelik (rhizofitik) yang melekat

pada pasir atau lumpur di daerah padang lamun. Komunitas makroalgae yang

didominasi oleh kelompok epilithik juga dijumpai di Taman Nasional Similajau

di Sarawak, Malaysia (Harah et al. 2006).

Kelimpahan Makroalgae di Daerah Padang Lamun

Page 168: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

131

Frekuensi Braun Blanquet

Frekuensi jenis-jenis makroalgae di kedua pulau cukup rendah. Hal itu

menunjukkan bahwa makroalgae tersebar mengelompok (patchy). Dari 22 spesies

yang ditemukan di daerah padang lamun Pulau Barranglompo, hanya 6 spesies

yaitu B. composita, D. bartayresiana, R. intricata, A. spicifera, G. acerosa dan L.

papillosa yang terdapat di semua stasiun yang diamati, sedangkan di Pulau

Bonebatang hanya 3 spesies yang terdapat di semua stasiun yaitu S. crassifolium,

A. fragilis dan H. esperi (Tabel 28).

Tabel 28 Frekuensi Braun Blanquet makroalgae di Pulau Barranglompo dan

Pulau Bonebatang

Spesies Barranglompo Bonebatang

A B C A B C

Boodlea composita 0.11 0.11 0.22 - - -

Chlorodesmis fastigiata 0.11 0.11 - 0.11 - 0.11

Halimeda macroloba - 0.11 - - 0.11 0.11

Halimeda opuntia 0.11 0.11 - - 0.33 -

Neomeris annulata - - - - 0.22 -

Dictyota bartayresiana 0.22 0.33 0.11 - 0.22 -

Hormophysa triquetra 0.11 - - - 0.11 -

Hydroclathrus clathratus - - - - - 0.11

Padina australis 0.11 0.11 - 0.22 0.11 -

Rosenvingea intricata 0.11 0.11 0.11 - - 0.11

Sargassum binderi - - - - 0.11 0.11

Sargassum crassifolium - 0.22 0.11 0.11 0.22 0.44

Sargassum polycistum 0.11 - 0.11 - 0.22 0.22

Turbinaria conoides - - - - 0.11 0.11

Turbinaria ornata - - 0.11 0.11 0.11 -

Acanthophora spicifera 0.11 0.44 0.22 0.11 0.22 -

Acanthophora muscoides - 0.11 - - - -

Actinoritchia fragilis - 0.11 0.11 0.11 0.11 0.33

Amphiroa fragilissima - - - 0.11 - 0.11

Euchema denticulatum - - 0.11 - - -

Euchema serra - 0.11 0.11 - - -

Gelidiella acerosa 0.11 0.22 0.11 - - -

Gracilaria coronopifolia - 0.22 0.22 - 0.11 0.22

Gracilaria salicornia - - 0.11 - - -

Hypnea esperi - 0.11 - 0.11 0.11 0.11

Hypnea cervicornis - 0.11 0.11 - - -

Kappaphycus alvarezii - - - - 0.11 -

Laurencia papillosa 0.22 0.22 0.11 - - -

Kelimpahan (Abundance)

Page 169: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

132

Spesies dengan kelimpahan tertinggi di Pulau Barranglompo adalah L.

papillosa, sedangkan di Pulau Bonebatang, A. spicifera memiliki kelimpahan

tertinggi meskipun tidak dijumpai di stasiun C (Tabel 29). Secara umum,

kelimpahan makroalgae di Pulau Barranglompo lebih tinggi dibandingkan dengan

Pulau Bonebatang. Genus Laurencia sering dijumpai dalam kelimpahan yang

tinggi seperti didapatkan di Teluk Awerange Kabupaten Barru (Ilyas & Amri

2006).

Tabel 29 Kelimpahan Braun Blanquet makroalgae di Pulau Barranglompo dan

Pulau Bonebatang

Spesies Barranglompo Bonebatang

A B C A B C

Boodlea composita 1 1 2 - - -

Chlorodesmis fastigiata 2 2 - 2 - 2

Halimeda macroloba - 2 - - 2 2

Halimeda opuntia 2 2 - - 2 -

Neomeris annulata - - - - 1 -

Dictyota bartayresiana 2.5 2.7 3 - 2 -

Hormophysa triquetra 2 - - - 2 -

Hydroclathrus clathratus - - - - - 3

Padina australis 2 2 - 2 2 -

Rosenvingea intricata 2 3 3 - - 3

Sargassum binderi - - - - 2 2

Sargassum crassifolium - 2 2 2 2 2

Sargassum polycistum 2 - 2 - 2 2

Turbinaria conoides - - - - 2 2

Turbinaria ornata - - 2 2 2 -

Acanthophora spicifera 3 3.25 2 4 3 -

Acanthophora muscoides - 2 - - - -

Actinoritchia fragilis - 2 2 2 2 2

Amphiroa fragilissima - - - 2 - 2

Euchema denticulatum - - 2 - - -

Euchema serra - 1 2 - - -

Gelidiella acerosa 3 2 3 - - -

Gracilaria coronopifolia - 2 2 - 3 2.5

Gracilaria salicornia - - 2 - - -

Hypnea esperi - 2 - 2 2 2

Hypnea cervicornis - 2 2 - - -

Kappaphycus alvarezii - - - - 2 -

Laurencia papillosa 3 5 5 - - -

Kerapatan (density)

Page 170: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

133

Jenis-jenis makroalgae yang ditemukan di kedua pulau memperlihatkan

variasi antar stasiun. Di Pulau Barranglompo, L. papillosa, A. spicifera dan D.

bartayresiana merupakan spesies dengan kerapatan tertinggi. Ketiganya sama-

sama memiliki kerapatan tertinggi di stasiun B. Sementara itu, spesies

makroalgae dengan kerapatan tertinggi di Pulau Bonebatang adalah S.

crassifolium, A. fragilis dan A. spicifera.

Tabel 30 Kerapatan Braun Blanquet makroalgae di Pulau Barranglompo dan

Pulau Bonebatang

Spesies Barranglompo Bonebatang

A B C A B C

Boodlea composita 0.11 0.11 0.44 - - -

Chlorodesmis fastigiata 0.22 0.22 - 0.22 - 0.22

Halimeda macroloba - 0.22 - - 0.22 0.22

Halimeda opuntia 0.22 0.22 - - 0.67 -

Neomeris annulata - - - - 0.22 -

Dictyota bartayresiana 0.56 0.89 0.33 - 0.44 -

Hormophysa triquetra 0.22 - - - 0.22 -

Hydroclathrus clathratus - - - - - 0.33

Padina australis 0.22 0.22 - 0.44 0.22 -

Rosenvingea intricata 0.22 0.33 0.33 - - 0.33

Sargassum binderi - - - - 0.22 0.22

Sargassum crassifolium - 0.44 0.22 0.22 0.44 0.89

Sargassum polycistum 0.22 - 0.22 - 0.44 0.44

Turbinaria conoides - - - - 0.22 0.22

Turbinaria ornata - - 0.22 0.22 0.22 -

Acanthophora spicifera 0.33 1.44 0.22 0.44 0.67 -

Acanthophora muscoides - 0.22 - - - -

Actinoritchia fragilis - 0.22 0.22 0.22 0.22 0.67

Amphiroa fragilissima - - - 0.22 - 0.22

Euchema denticulatum - - 0.22 - - -

Euchema serra - 0.11 0.22 - - -

Gelidiella acerosa 0.33 0.44 0.33 - - -

Gracilaria coronopifolia - 0.44 0.44 - 0.32 0.56

Gracilaria salicornia - - 0.22 - - -

Hypnea esperi - 0.22 - 0.22 0.22 0.22

Hypnea cervicornis - 0.22 0.22 - - -

Kappaphycus alvarezii - - - - 0.22 -

Laurencia papillosa 0.67 1.11 0.56 - - -

Biomassa Makroalgae pada Habitat Padang Lamun di Pulau Barranglompo

dan Pulau Bonebatang

Page 171: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

134

Nilai biomassa (gram bobot kering/m2) dari 22 spesies makroalgae yang

ditemukan di Pulau Barranglompo ditampilkan pada Gambar 65. Lima spesies

makroalgae yang memiliki biomassa terbesar adalah Laurencia papillosa (17.37 g

bk/m2), Acanthophora spicifera (10.47 g bk/m

2), Eucheuma serra (5.25 g bk/m

2),

Rosenvingea intricata (4.31 g bk/m2), dan Dictyota bartayresiana (4.16 g bk/m

2).

Sedangkan makroalgae dengan biomassa terendah dijumpai pada Hypnea asperi

(0.4 g bk/m2).

Gambar 65 Biomassa (g bobot kering/m

2) spesies makroalgae yang dijumpai

di daerah padang lamun Pulau Barranglompo

Spesies makroalgae yang memiliki biomassa terbesar di Pulau

Bonebatang (Gambar 66) adalah Actinoritchia fragilis (14.57 g bk/m2), disusul

oleh jenis Halimeda macroloba (6.71 g bk/m2), Turbinaria ornata (5.67 g bk/m

2),

Amphiroa fragilissima (5.19 g bk/m2), dan Sargassum crassifolium (4.57 g

1.68

2.11

1.8

2.43

4.16

0.69

0.85

4.31

2.27

2.12

1.6

10.47

1.17

2.68

1.97

5.25

2.33

2.85

1.45

0.4

1.92

17.37

0 5 10 15 20

Boodlea composita

Chlorodesmis fastigiata

Halimeda macroloba

Halimeda opuntia

Dictyota bartayresiana

Hormophysa triquetra

Padina australis

Rosenvingea intricata

Sargassum crassifolium

Sargassum polycistum

Turbinaria ornata

Acanthophora specifera

Acanthophora muscoides

Actinoritchia fragilis

Euchema denticulatum

Euchema serra

Gelidiella acerosa

Gracilaria coronopifolia

Gracilaria salicornia

Hypnea asperi

Hypnea cervicornis

Laurencia papillosa

Biomassa (g BK/m2)

Page 172: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

135

bk/m2). Sedangkan spesies dengan biomassa terendah adalah Neomeris annulata

(0.07 g bk/m2). Rendahnya biomassa jenis ini karena memiliki lifeform yang

menempel pada batuan atau karang mati (Jha et al. 2009), sehingga tidak begitu

banyak dijumpai di daerah padang lamun.

Variasi spasio-temporal biomassa makroalgae berkaitan dengan banyak

faktor, misalnya di Teluk Cienfuegos, Kuba berkaitan dengan sifat substrat,

variasi iklim atau pengaruh musim, karakteristik hidrodinamika dan pengaruh

pencemaran perairan (Moreira et al. 2006).

Gambar 66 Biomassa (g bobot kering/m

2) spesies makroalgae yang dijumpai

di daerah padang lamun Pulau Bonebatang

Beberapa kajian ekologi makrofita menggunakan biomassa sebagai

indikator dampak disturbansi lingkungan seperti eutrofikasi terhadap komunitas

makrofita. Eutrofikasi menyebabkan munculnya spesies yang bersifat

oportunistik dan nitrophilous (Orfanidis et al. 2003; Moreira et al. 2006). Hal ini

tampak dari hasil yang diperoleh dalam penelitian ini yang memperlihatkan

perbedaan komposisi makroalgae antara Pulau Barranglompo dan Bonebatang.

0.43

6.71

1.71

0.07

0.41

1.29

1.87

0.8

0.86

3.72

4.57

3.04

4.51

5.67

2.56

14.57

5.19

2.68

2.18

1.55

0 2 4 6 8 10 12 14 16

Chlorodesmis fastigiata

Halimeda macroloba

Halimeda opuntia

Neomeris annulata

Dictyota bartayresiana

Hormophysa triquetra

Hydroclathrus clathratus

Padina australis

Rosenvingea intricata

Sargassum binderi

Sargassum crassifolium

Sargassum polycistum

Turbinaria conoides

Turbinaria ornata

Acanthophora specifera

Actinoritchia fragilis

Amphiroa fragilissima

Gracilaria coronopifolia

Hypnea asperi

Kappaphycus alvarezii

Biomassa (g BK/m2)

Page 173: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

136

Spesies yang memiliki biomassa terbesar di Pulau Barranglompo adalah spesies

oportunistik yang tumbuh pada kondisi lingkungan yang agak tercemar atau

mengalami pengayaan nutrien (Bab 6). Sebagai akibat dari pengayaan nutrien,

makroalgae berbentuk filamen dan lembaran yang tumbuh cepat mempunyai

biomassa yang besar (Flindt et al. 1999). Lima jenis makroalgae yang memiliki

biomassa terbesar di Pulau Barranglompo termasuk dalam kategori bentuk

makroalgae ini.

Asosiasi Lamun-Makroalgae

Salah satu teknik yang dapat digunakan untuk mendeteksi hubungan

antara dua spesies adalah dengan metode presence-absence (Ludwig & Reynolds

1988). Berdasarkan hasil perhitungan struktur komunitas padang lamun dan hasil

pengamatan kelimpahan makroalgae di Pulau Barranglompo, empat jenis lamun

(C. rotundata, E. acoroides, H. uninervis dan T. hemprichii) dan empat jenis

makroalgae (A. spicifera, D. bartayresiana, G. coronopifolia, dan L. papillosa)

dipasangkan untuk melihat asosiasinya (Tabel 31). Terdapat asosiasi positif

antara pasangan lamun C. rotundata dan T. hemprichii dan dua pasangan

makroalgae yaitu A. spicifera-L. papillosa dan D. bartayresiana-L. papillosa,

sedangkan asosiasi negatif dijumpai pada pasangan lamun E. acoroides dengan

H. uninervis dan antara H. uninervis dengan T. hemprichii (Gambar 67).

Tabel 31 Asosiasi lamun dan makroalgae di Pulau Barranglompo.

Kombinasi a E(a) 2hit Jenis asosiasi

CR-EA 15 14.44 (0.01) NA

CR-HU 3 3.33 0.10 NA

CR-TH 15 12.78 5.87*

Positif

EA-TH 23 22.15 (1.02) NA

EA-HU 5 5.78 (9.81**

) Negatif

HU-TH 4 5.11 (4.41*) Negatif

CR-As 5 3.89 0.96 NA

CR-Lp 3 2.78 0.05 NA

CR-Db 2 3.33 1.54 NA

CR-Gc 2 2.22 0.02 NA

EA-As 7 6.74 (0.31) NA

EA-Lp 5 4.81 (0.68) NA

EA-Db 6 5.78 (0.46) NA

EA-Gc 4 3.85 (1.02) NA

Page 174: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

137

HU-As 2 1.78 0.05 NA

HU-Lp 2 1.11 1.12 NA

HU-Db 2 1.33 0.11 NA

HU-Gc 2 0.89 (0.63) NA

TH-As 7 5.96 1.64 NA

TH-Lp 5 4.26 (0.11) NA

TH-Db 4 4.26 (1.12) NA

TH-Gc 3 3.41 (1.91) NA

As-Lp 4 1.48 7.47**

Positif

As-Db 3 1.78 1.54 NA

As-Gc 1 1.04 0.00 NA

Lp-Db 3 1.11 5.07*

Positif

Lp-Gc 1 0.74 (0.11) NA

Db-Gc 1 0.89 (0.26) NA Keterangan: Nilai

2 yang diberi tanda kurung menunjukkan nilai yang telah dikoreksi dengan

Formula Yate. NA = jenis asosianya tidak dihitung karena memiliki nilai 2 yang tidak signifikan.

* = berbeda nyata pada taraf uji 5 %, ** = berbeda nyata pada taraf uji 1 %. CR = Cymodocea

rotundata EA = Enhalus acoroides HU = Halodule uninervis TH = Thalassia hemprichii As =

Acanthophora spicifera Db = Dictyota bartayresiana Gc = Gracilaria coronopifolia Lp =

Laurencia papillosa

C. rotundata

E. acoroides

H. uninervis

+ T. hemprichii

A. spicifera

D. bartayresiana

G. coronopifolia

+ + L. papillosa

Gambar 67 Matriks asosiasi lamun dan makroalgae di Pulau Barranglompo

Page 175: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

138

Analisis lamun dan makroalgae di Pulau Bonebatang (Tabel 32)

memasangkan empat spesies lamun yang sama jenisnya seperti di Pulau

Barranglompo dan empat jenis makroalgae (A. spicifera, A. fragilis, G.

coronopifolia, dan S. crassifolium). Asosiasi positif makrofita di Pulau

Bonebatang hanya dijumpai pada pasangan lamun C. rotundata-H. uninervis,

sedangkan asosiasi negatif dijumpai pada empat pasangan silang lamun-

makroalgae yaitu C. rotundata-A. spicifera, C. rotundata-A. fragilis, T.

hemprichii-G. coronopifolia, dan T. hemprichi-S. crassifolium (Gambar 68).

Tabel 32 Asosiasi lamun dan makroalgae di Pulau Bonebatang.

Kombinasi a E(a) 2hit Jenis asosiasi

CR-EA 13 14.78 3.25 NA

CR-HU 15 12.59 4.79* Positif

CR-TH 17 16.89 (0.27) NA

EA-HU 12 14.00 3.86 Negatif

EA-TH 18 18.67 (2.95) NA

HU-TH 17 16.00 1.69 NA

CR-As 1 2.11 (4.67)* Negatif

CR-Af 1 3.52 7.47** Negatif

CR-Gc 2 1.41 (0.02) NA

CR-Sc 6 4.93 1.07 NA

EA-As 2 2.33 (1.51) NA

EA-Af 5 3.89 1.75 NA

EA-Gc 2 2.33 (1.51) NA

EA-Sc 5 5.44 0.22 NA

HU-As 2 2.00 0.00 NA

HU-Af 2 3.33 1.96 NA

HU-Gc 1 2.00 1.69 NA

HU-Sc 3 4.67 2.41 NA

TH-As 3 2.67 (0.01) NA

TH-Af 5 4.44 (0.01) NA

TH-Gc 2 2.67 (5.17)* Negatif

TH-Sc 5 5.96 (5.83)* Negatif

As-Af 0 0.56 (2.77) NA

As-Gc 0 0.33 (2.64) NA

As-Sc 0 0.59 (3.09) NA

Af-Gc 0 0.44 (2.65) NA

Af-Sc 2 1.56 0.22 NA

Gc-Sc 2 0.78 (1.02) NA

Page 176: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

139

Keterangan: Nilai 2 yang diberi tanda kurung menunjukkan nilai yang telah dikoreksi dengan

Formula Yate. NA = jenis asosianya tidak dihitung karena memiliki nilai 2 yang tidak

signifikan. * = berbeda nyata pada taraf uji 5 %, ** = berbeda nyata pada taraf uji 1 %. CR =

Cymodocea rotundata EA = Enhalus acoroides HU = Halodule uninervis TH = Thalassia

hemprichii As = Acanthophora spicifera Af = Actinorithchia fragilis Gc = Gracilaria

coronopifolia Sc = Sargassum crassifolium

C.rotundata

E. acoroides

+ H. uninervis

T. hemprichii

A. spicifera

A. fragilis

G. coronopifolia

S. crassifolium

Gambar 68 Matriks asosiasi lamun dan makroalgae di Pulau Bonebatang

Asosiasi atau hubungan antara dua spesies dapat berupa asosiasi positif,

negatif atau tidak ada hubungan. Asosiasi positif terjadi apabila antara kedua

spesies memerlukan suatu kondisi yang sama atau adanya predator terhadap

keduanya. Sebaliknya, asosiasi negatif terjadi jika keduanya memerlukan kondisi

yang berbeda atau bersaing satu sama lainnya (Ludwig & Reynolds 1988).

Indeks Ochiai

Hasil perhitungan asosiasi pasangan spesies makrofita menggunakan

Indeks Ochiai mendapatkan nilai berkisar 0.19-0.94 di Pulau Barranglompo,

sedangkan di Pulau Bonebatang, didapatkan nilai berkisar 0.0-0.82. Kebanyakan

pasangan makrofita menunjukkan asosiasi yang rendah dan sangat rendah di

kedua pulau (Tabel 33 dan 34 serta Lampiran 8).

Page 177: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

140

Tabel 33 Persentase kategori nilai indeks asosiasi delapan spesies lamun dan

makroalgae dominan di Pulau Barranglompo

No. Indeks

Asosiasi

Kategori Jumlah

Kombinasi

Persentase

(%)

1. 0.75 – 1.00 Sangat tinggi 3 10.71

2. 0.49 – 0.74 Tinggi 5 17.86

3. 0.23 – 0.48 Rendah 16 57.14

4. ≤ 0.22 Sangat rendah 4 14.29

Indeks Ochiai merupakan salah satu indeks yang banyak dipakai untuk

mengukur derajat asosiasi (Ludwig & Reynolds 1988). Satuan sampling dan

frekuensi kejadian pada penggunaan Indeks Ochiai tidak memberikan pengaruh

yg mencolok terhadap hasil perhitungan (Jackson et al. 1989).

Tabel 34 Persentase kategori nilai indeks asosiasi delapan spesies lamun dan

makroalgae dominan di Pulau Bonebatang

No. Indeks

Asosiasi

Kategori Jumlah

Kombinasi

Persentase

(%)

1. 0.75 – 1.00 Sangat tinggi 4 14.29

2. 0.49 – 0.74 Tinggi 4 14.29

3. 0.23 – 0.48 Rendah 12 42.86

4. ≤ 0.22 Sangat rendah 8 28.57

Indeks Evaluasi Ekologi Makrofita di Pulau Barranglompo dan Pulau

Bonebatang

Berdasarkan status ekologisnya, dari 22 spesies yang ditemukan di daerah

padang lamun Pulau Barranglompo, sebanyak 8 spesies termasuk dalam

kelompok ESG I dan 14 spesies yang termasuk ESG II (Tabel 35).

Tabel 35 Pembagian spesies makroalgae di Pulau Barranglompo ke dalam

kelompok status ekologi (Ecological Status Group-ESG) I dan II

Spesies Kelompok Status Ekologi (ESG)

Page 178: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

141

Chlorophyta

Boodlea composita II

Chlorodermis fastigiata II

Halimeda macroloba I

Halimeda opuntia I

Phaeophyta

Dictyota bartayresiana II

Hormophysa triquetra I

Padina australis I

Rosenvingea intricata II

Sargassum crassifolium I

Sargassum polycistum I

Turbinaria ornata I

Rhodophyta

Acanthophora muscoides II

Acanthophora spicifera II

Actinoritchia fragilis I

Euchema denticulatum II

Euchema serra II

Gelidiella acerosa II

Gracilaria coronopifolia II

Gracilaria salicornia II

Hypnea esperi II

Hypnea cervicornis II

Laurencia papillosa II

Berbeda dengan Pulau Barranglompo, spesies yang termasuk dalam

kategori ESG I di Pulau Bonebatang lebih banyak dibandingkan dengan kategori

II (Tabel 36). Terdapat 12 spesies ESG I dan 8 spesies ESG II.

Tabel 36 Pembagian spesies makroalgae di Pulau Bonebatang ke dalam

kelompok status ekologi (Ecological Status Group-ESG) I dan II

Spesies Kelompok Status Ekologi (ESG)

Chlorophyta

Chlorodermis fastigiata II

Halimeda macroloba I

Page 179: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

142

Halimeda opuntia I

Neomeris annulata I

Phaeophyta

Dictyota bartayresiana II

Hormophysa triquetra I

Hydroclathrus clathratus II

Padina australis I

Rosenvingea intricata II

Sargassum binderi I

Sargassum crassifolium I

Sargassum polycistum I

Turbinaria conoides I

Turbinaria ornata I

Rhodophyta

Acanthophora spicifera II

Actinoritchia fragilis I

Amphiroa fragilissima I

Gracilaria coronopifolia II

Hypnea esperi II

Kappaphycus alvarezii II

Komposisi jenis makroalgae di Pulau Barranglompo dan Pulau

Bonebatang, secara jelas menunjukkan bahwa di Pulau Barranglompo, proporsi

makroalgae yang bersifat oportunistik (ESG II) jauh lebih besar dibandingkan

dengan yang ada di Pulau Bonebatang (Tabel 37). Hal itu merupakan indikasi

adanya perubahan komposisi jenis makroalgae akibat tekanan antropogenik

(Orfanidis et al. 2001; 2003). Penyebab utama perubahan dan suksesi makrofita

ini adalah meningkatnya pasokan nutrien terutama nitrogen (Viaroli et al. 2008).

Peningkatan nutrien dapat memicu pertumbuhan spesies makroalgae oportunistik

yang memiliki pertumbuhan cepat (Flindt et al. 1999; Samper-Villarreal et al.

2008).

Tabel 37 Nilai tutupan makrofita laut (lamun dan makroalgae) setiap kelompok

status ekologi pada setiap stasiun di Pulau Barranglompo dan

Bonebatang

Page 180: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

143

Lokasi

Kelompok

Status

Ekologi

Stasiun Rata-

Rata A B C

Barranglompo I 59.53 57.55 56.41 57.83

II 22.20 54.40 34.80 37.13

Bonebatang I 73.67 76.23 70.17 73.36

II 8.40 17.70 17.20 14.43

Berdasarkan nilai kelompok status ekologi di atas, didapatkan nilai IEE di

Pulau Barranglompo sebesar 6.67 (kategori sedang), sedangkan di Pulau

Bonebatang sebesar 10 (sangat bagus). Nilai IEE ini mengindikasikan bahwa

perairan Pulau Barranglompo sudah mengalami pencemaran meskipun masih

ringan. Hal ini diperkuat oleh hasil pengukuran nutrien (Bab 5) dan nilai

kekeruhan dan padatan tersuspensi total (Bab 6). Parameter-parameter ini dapat

memicu pertumbuhan makroalgae oportunistik yang bisa menjadi kompetitor

lamun.

Pada padang lamun alami, penutupan lamun yang tinggi sering diiringi

oleh kepadatan makroalgae yang rendah dengan jumlah spesies yang lebih

sedikit, sebaliknya pada habitat yang tercemar atau mengalami stres,

keanekaragaman mungkin berkurang, tetapi kemungkinan muncul spesies tertentu

yang memiliki kelimpahan dan biomassa yang tinggi (Verheij & Erftemeijer

1993; Sidik et al. 2001).

Invasi makroalgae ke daerah padang lamun dapat mengurangi tutupan

lamun. Di daerah Mediterrania, pergantian lamun oleh alga hijau oportunis dari

marga Caulerpa menyebabkan penurunan lamun yang luas (Hendriks et al.

2009).

Indeks Similaritas (IS)

Nilai Indeks Similaritas antar stasiun penelitian berkisar 47-77%.

Similaritas tertinggi sebesar 77% dijumpai antara stasiun BLB-BLC, sedangkan

nilai similaritas terendah sebesar 47% adalah antara stasiun BLA-BBC. Nilai

indeks similaritas ini mengindikasikan bahwa nilai kesamaan antar stasiun di

Page 181: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

144

pulau yang sama lebih tinggi bila dibandingkan dengan stasiun pada pulau yang

berbeda.

Berdasarkan tingkat kemiripan vegetasi (Tabel 24), sebanyak 6.7%

pasangan stasiun yang memiliki kemiripan sangat tinggi, 80% dikategorikan

tinggi dan 13.3% yang tergolong rendah.

Tabel 38 Indeks similaritas dan disimilaritas makrofita antar stasiun di Pulau

Barranglompo dan Pulau Bonebatang. BL = Pulau Barranglompo,

BB = Pulau Bonebatang, A,B,C = stasiun.

Sta

I N D E K S S I M I L A R I T A S (IS)

BLA BLB BLC BBA BBB BBC

BLA 0.70 0.62 0.48 0.59 0.47

BLB 0.30 0.77 0.59 0.65 0.62

BLC 0.38 0.23 0.56 0.58 0.59

BBA 0.52 0.41 0.44 0.69 0.58

BBB 0.41 0.35 0.42 0.31 0.70

BBC 0.53 0.38 0.41 0.42 0.30

I N D E K S D I S I M I L A R I T A S (ID)

Indeks similaritas (Indeks Sorensen) merupakan salah satu indeks yang

secara konsisten memiliki ranking yang tinggi dan korelasi linear (Boyce &

Ellison 2001), namun indeks ini hanya menggunakan data biner (kehadiran dan

ketidakhadiran) spesies dan tidak menghitung kelimpahan spesies. Oleh karena

itu, indeks ini tidak menginformasikan pola ekologi yang sebenarnya dalam data

(Balmer 2002).

Simpulan

1. Terdapat 22 spesies makroalgae di Pulau Barranglompo, sedangkan di Pulau

Bonebatang terdapat 20 spesies yang dijumpai selama penelitian.

2. Kebanyakan makroalgae yang ditemukan hidup sebagai epilithik (litofitik)

dan epipelik (rhizofitik).

3. Di Pulau Barranglompo dijumpai asosiasi positif antara pasangan

Cymodocea rotundata-Thalassia hemprichii, Acanthophora spicifera-

Laurencia papillosa, dan Dictyota bartayresiana-Laurencia papillosa,

sedangkan asosiasi negatif didapatkan pada dua pasangan yaitu Enhalus

acoroides-Halodule uninervis dan Thalassia hemprichii-Halodule uninervis.

Page 182: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

145

4. Di Pulau Bonebatang, asosiasi positif dijumpai pada pasangan C. rotundata-

H. uninervis saja, sedangkan asosiasi negatif dijumpai pada beberapa

pasangan yaitu. C. rotundata-A.spicifera, C. rotundata-Actinoritchia fragilis,

E. acoroides-H. uninervis, T. hemprichii-Gracilaria coronopifolia, dan T.

hemprichii-Sargassum crassifolium.

5. Sementara itu, untuk menguji fungsi makrofita sebagai bioindikator

perubahan ekosistem akibat tekanan antropogenik, didapatkan bahwa Pulau

Barranglompo memiliki status ekologi sedang, yang berarti sudah mulai

tercemar oleh aktivitas antropogenik dan Pulau Bonebatang memiliki status

ekologi sangat bagus yang mengindikasikan bahwa perairan di pulau ini

relatif belum tercemar.

6. Indeks similaritas tertinggi dijumpai antar stasiun pada pulau yang sama,

sehingga disimpulkan bahwa pulau yang berbeda memiliki konfigurasi

makroalgae yang berbeda dan sangat dipengaruhi oleh aktivitas antropogenik

yang berlangsung di pulau-pulau tersebut.

Page 183: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

146

9. POTENSI GRAZING BULU BABI PADA EKOSISTEM

PADANG LAMUN DI PULAU BARRANGLOMPO DAN

BONEBATANG

Abstrak

Bulu babi merupakan salah satu pemakan lamun yang menonjol. Untuk

mengkaji potensi bulu babi sebagai pemakan lamun, sebuah penelitian telah

diadakan pada dua pulau di Kepulauan Spermonde yaitu Pulau Barranglompo dan

Pulau Bonebatang. Kombinasi pengamatan di lapangan dan analisis laboratorium

dilaksanakan untuk meneliti beberapa aspek yang meliputi komposisi jenis,

kepadatan, diameter cangkang dan analisis isi perut. Terdapat 6 jenis bulu babi

yang sama pada masing-masing pulau yaitu Diadema setosum, Echinothrix

calamaris, Echinothrix diadema, Echinometra mathaei, Mespilia globulus dan

Tripneustes gratilla. T. gratilla dan D. setosum merupakan dua jenis bulu babi

yang dominan dan memiliki kepadatan tertinggi di kedua pulau. Lamun Thalassia

hemprichii dan Enhalus acoroides memiliki komposisi terbesar dalam isi

lambung bulu babi yang diamati. Indeks pilihan masing-masing jenis bulu babi

mengindikasikan bahwa bulu babi menyukai berbagai jenis lamun, terutama T.

hemprichii.

Kata kunci: bulu babi, lamun, Barranglompo, Bonebatang

Abstract

Sea urchins are among outstanding grazer to seagrass leaves. In order to

analyze the potency of sea urchins as seagrass grazer, a study has been done in

two small islands within Spermonde Archipelago i.e. Barranglompo and

Bonebatang Islands. Combined field sampling and laboratory analysis were

applied to measure several aspects including species composition, urchin density,

test diameter and gut content analysis. There were six similar species found in

both islands i.e. Diadema setosum, Echinothrix calamaris, Echinothrix diadema,

Echinometra mathaei, Mespilia globulus and Tripneustes gratilla. T. gratilla and

D. setosum were two dominant species having the highest density in both islands.

Index of Preponderance revealed that Thalassia hemprichii and Enhalus

acoroides were the largest seagrass diet within almost all sea urchin guts.

Electivity index indicated that sea urchins prefer several seagrass species

especially T. hemprichii.

Keywords: sea urchins, seagrass, Barranglompo, Bonebatang

Pendahuluan

Hewan herbivora sering memberikan pengaruh yang besar terhadap

produktivitas dan kelimpahan tumbuhan pada lingkungan perairan (Valentine &

Heck 1999). Secara teoritis, peningkatan diversitas herbivora akan mengurangi

Page 184: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

147

biomassa komunitas tumbuhan karena banyak biota pemangsa yang akan

mendominasi sistem sehingga mengarah ke pemangsaan berlebih atau

overgrazing (Duffy et al. 2003).

Di antara semua fauna invertebrata, bulu babi (Echinoidea) merupakan

pemangsa (grazer) lamun yang paling menonjol. Kadang-kadang populasinya

cukup besar untuk mengkonsumsi proporsi lamun yang besar (Klumpp et al.

1989). Perhatian besar telah diberikan terhadap bulu babi yang memakan lamun

(Christie et al. 2009).

Bulu babi dapat dijumpai sangat melimpah pada padang lamun, dimana

mereka memakan daun-daun epifit segar, detritus atau kombinasi dari keduanya.

Bulu babi ungu Lythecinus variegatus di Teluk Mexico memotong-motong daun

lamun sehingga meninggalkan banyak daerah-daerah gundul (Hogarth 2007).

Dampak grazing bulu babi terhadap pertumbuhan dan kelimpahan lamun

Thalassia testudinum di Florida Keys, Amerika Serikat sangat bervariasi

tergantung musim dan kondisi faktor lingkungan (Valentine et al. 2000).

Grazing oleh bulu babi Tripneustes gratilla terhadap lamun

Thalassodendron ciliatum telah diteliti oleh Alcoverro dan Mariani (2002) di

Kenya. Mereka menggunakan penelitian eksperimental dan penelitian lapangan

deskriptif untuk menguji pengaruh aggregasi bulu babi yang padat terhadap

padang lamun di Lagoon Mombasa. Mereka menemukan bahwa 39% lamun

Thalassodendron ciliatum mengalami grazing berat (> 75% tegakan mati), 23.4%

mengalami grazing sedang (> 50% tegakan mati), dan 38.5% mengalami grazing

ringan (19.8% tegakan yang mati). Dari model sederhana yang dibuatnya,

mereka mendapatkan waktu pulih lamun ini adalah 44 bulan.

Penelitian mengenai grazing bulu babi Tripneustes gratilla pada tiga jenis

lamun yaitu Thalassia hemprichii, Halodule uninervis dan Cymodocea rotundata

di Pulau Bonebatang, kepulauan Spermonde telah dilakukan oleh Vonk et al.

(2008). Mereka menemukan bahwa total konsumsi Tripneustes gratilla pada

kepadatan 1.55 ± 0.07 bulu babi/m2 sekitar 1,28 berat kering/m

2/hari setara

dengan 26 % produksi bersih lamun di atas permukaan substrat. Mereka

menyimpulkan bahwa peningkatan grazing Tripneustes gratilla hanya

mempengaruhi kerapatan tegakan di atas permukaan substrat untuk Halodule

Page 185: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

148

uninervis dan Cymodocea rotundata saja dan tidak mempengaruhi Thalassia

hemprichii.

Grazing langsung makrofita (lamun dan makroalgae) oleh fauna herbivora

dapat mengindikasikan transfer karbon dan energi yang signifikan dalam rantai

makanan (Alongi 1998). Grazing oleh bulu babi juga memiliki peran ekologis

dalam mengontrol ketebalan algae. Hal ini terbukti setelah terjadinya penurunan

populasi bulu babi Diadema antillarum di Karibia akibat kematian massal tahun

1983. Pada daerah-daerah yang telah habis bulu babinya, ketebalan pada algae

meningkat dari 1-2 mm ke 20-30 mm (Karleskint et al. 2010). Pada daerah yang

lamunnya berkurang akibat grazing yang intensif oleh bulu babi, algae epifit yang

bersifat oportunistik akan berkembang. Hal ini akan memberi lamun kesempatan

untuk pulih (Tewfik et al. 2005).

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji potensi grazing oleh bulu babi pada

daerah padang lamun yang ada di pulau dengan tekanan antropogenik yang

berbeda. Dua pulau dalam kawasan Kepulauan Spermonde dipilih yaitu Pulau

Barranglompo yang memiliki penduduk yang sangat padat dan Pulau Bonebatang

yang tidak berpenghuni.

Bahan dan Metode

Penelitian ini berlangsung dari bulan Mei 2010 – Mei 2011 di Pulau

Barranglompo (5o 02’ 44.28‖- 5

o 03’ 05.65‖ S, 119

o 19’ 38.56‖- 119

o 19’ 52.27‖

E) dan Pulau Bonebatang (5o 00’ 47.46‖- 5

o 00’ 51.82 S, 119

o 19’ 35.55‖- 119

o

19’ 36.71‖ E) yang termasuk dalam Kepulauan Spermonde Provinsi Sulawesi

Selatan. Peta kedua pulau ini dapat dilihat pada Gambar 6 (Bab 4).

Sebaran dan Kepadatan Bulu Babi (Echinoidea)

Pengamatan terhadap populasi bulu babi Echinoidea dilakukan bersamaan

dengan pengambilan data bioekologi lamun. Untuk menghitung kepadatan bulu

babi ini, digunakan plot kuadrat (3m x 3m) yang dipasang secara acak pada

daerah lamun mulai dari pinggir pantai sampai kedalaman dimana lamun masih

tumbuh. Jenis bulu babi yang didapatkan dalam plot kuadrat, didentifikasi

jenisnya berdasarkan Clark (1971) dan Grzimek et al. (1974). Diameter cangkang

Page 186: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

149

(test) jenis-jenis bulu babi yang dijumpai di dalam kuadrat juga diukur

menggunakan mistar geser (Gambar 69).

Gambar 69 Pengukuran diameter cangkang bulu babi menggunakan mistar geser.

Foto diambil saat penelitian

Analisis Isi perut (Gut Content Analysis)

Sampel bulu babi dipecahkan cangkangnya untuk melihat jenis-jenis

makanan yang dikonsumsinya. Isi lambung dan usus dimasukkan ke dalam botol

sampel dan difiksasi dengan alkohol 70 % (Zupo et al. 2001). Untuk

mempermudah identifikasi jenis-jenis makanan bulu babi tersebut digunakan

mikroskop stereo (Leica Wild Heerbrugg M-8).

Analisis Data Grazing Bulu Babi

Untuk menganalisis jenis-jenis makanan utama bulu babi, digunakan

indeks bagian terbesar atau Index of Preponderance (Natarajan & Jhingran 1961

diacu Kumar et al. 2007).

IP =

( ) x 100

IP = Indeks bagian terbesar

Vi = Persentase volume satu macam makanan

Oi = Persentase frekuensi kejadian satu macam makanan

∑Vi.Oi = Jumlah Vi.Oi dari semua macam makanan

Page 187: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

150

Untuk menganalisis preferensi jenis-jenis bulu babi terhadap makanan

berupa lamun dan makroalgae, digunakan indeks pilihan atau Electivity Index

(Straus 1979; Lechowicz 1982).

E =

E = Indeks Pilihan

ri = Kelimpahan relatif jenis makanan i dalam lambung

pi = Kelimpahan relatif makanan i di lingkungan

Nilai indeks ini berkisar antara -1 sampai +1, dimana nilai mendekati +1

menunjukkan bahwa lamun lebih melimpah dalam kandungan diet (lebih

disukai), sedangkan nilai mendekati -1 berarti lamun lebih melimpah di alam tapi

tidak dalam diet (dihindari). Nilai E = 0 menunjukkan bahwa makanan yang

dikonsumsi bersifat proporsional dengan ketersediaannya di alam (Straus 1979;

Vanderploeg & Scavis 1979; Lyimo et al. 2011).

Uji t-test digunakan untuk membandingkan kepadatan dan diameter test

populasi bulu babi antar lokasi penelitian (Pulau Barranglompo dan Bonebatang).

Sedangkan korelasi linier antara kerapatan lamun (Bab 5) dengan kepadatan bulu

babi dianalisis menggunakan Korelasi Pearson Product-Moment. Kedua analisis

ini menggunakan perangkat lunak Statistica 6.0.

Hasil dan Pembahasan

Komposisi Jenis Bulu Babi

Terdapat 6 jenis bulu babi yang ditemukan pada daerah padang lamun

baik di Pulau Barranglompo maupun Bonebatang (Tabel 39 dan Gambar 70).

Tabel 39 Komposisi jenis Bulu Babi di Pulau Barranglompo dan Pulau

Bonebatang

Ordo Famili Marga dan Spesies

Diadematoida Diadematidae Diadema setosum (Leske, 1778)

Echinothrix calamaris (Pallas, 1774)

Echinothrix diadema (Linnaeus, 1758)

Echinoida Echinometridae Echinometra mathaei (De Blainville,

1825)

Temnopleuroida Temnopleuroidae Mespilia globulus (Linnaeus 1758)

Toxopneustidae Tripneustes gratilla (Linnaeus, 1758)

Page 188: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

151

Gambar 70 Jenis-jenis bulu babi yang terdapat di Pulau Barranglompo dan Pulau

Bonebatang. (a) Diadema setosum; (b) Tripneustes gratilla;

(c) Echinothrix calamaris; (d) Echinothrix diadema; (e)

Echinometra mathaei; (f) Mespilia globulus

Page 189: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

152

Bulu babi yang ditemukan merupakan kelompok reguler (regular

urchins), selain itu, bulu babi juga ditemukan dalam bentuk irreguler yang terdiri

atas heart urchin (Spatangoida) dan sand dollar (Clypeasteroida). Bulu babi

hidup pada kisaran yang luas mulai dari daerah pasang surut hingga kedalaman

5000 m (Miskelly 2002).

Di daerah padang lamun, bulu babi dapat hidup soliter atau hidup

mengelompok tergantung jenis dan habitatnya (Aziz 1994). Dari semua jenis

bulu babi yang ditemukan di kedua pulau, Tripneusies gratilla dan Diadema

setosum hidup mengelompok, sedangkan keempat jenis lain hidup menyendiri.

Jenis T. gratilla memiliki duri pendek dengan warna yang bervariasi, umumnya

merah keunguan atau putih, sedangkan D. setosum berwarna hitam dengan duri

yang panjang. Selain T. gratilla, jenis bulu babi yang mempunyai duri pendek

adalah Mespilia globulus.

Kepadatan Bulu Babi

Tripneustes gratilla merupakan jenis bulu babi yang mempunyai

kepadatan tertinggi dibandingkan dengan jenis lain yang ditemukan baik di Pulau

Barranglompo ataupun Pulau Bonebatang (Tabel 40 dan Gambar ). Di Pulau

Barranglompo spesies ini memiliki kepadatan 1.37 ± 0.96 individu/m2, sedangkan

di Pulau Bonebatang sebesar 1.57 ± 0.15 individu/m2. Di Pulau Bonebatang ini,

Vonk et al. (2008) menemukan kepadatan yang hampir sama dengan yang

didapatkan pada penelitian ini yaitu 1.55 ± 0.07 individu/m2. Kepadatan yang

hampir sama (1.6 individu/m2) ditemukan oleh Alcoverro & Mariani (2002) di

daerah padang lamun di Kenya pada komunitas bulu babi yang didominasi oleh T.

gratilla. Komunitas bulu babi yang didominasi oleh T. gratilla juga ditemukan

oleh Dobo (2009) di Pulau Hatta, Kepulauan Banda, Maluku.

Bulu babi jenis T. gratilla di Pulau Barranglompo memiliki variabilitas

sebaran yang tinggi dibandingkan dengan Pulau Bonebatang. Hal itu disebabkan

karena melimpahnya jenis ini di stasiun yang berada di sisi utara pulau. Namun,

uji statistik menunjukkan bahwa kepadatan semua jenis bulu babi tidak berbeda

nyata antara kedua pulau (Tabel 40).

Page 190: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

153

Tabel 40 Kepadatan Bulu babi rata-rata setiap stasiun (Individu/m2) di Pulau

Barranglompo dan Pulau Bonebatang

Spesies Barranglompo Bonebatang

p A B C A B C

D. setosum 1.67 1.27 0.89 1.42 1.33 1.09 0.9897ns

E. calamaris 0.11 0.25 0.14 0.10 0.32 0.31 0.2300ns

E. diadema 0.09 0.07 0.05 0.06 0.12 0.14 0.2643ns

E. mathaei 0.02 0.02 0.19 0.04 0.11 0.07 0.9145ns

M. globulus 0.05 0.26 0.07 0.10 0.75 0.51 0.05417ns

T. gratilla 0.43 2.35 1.33 1.44 1.73 1.53 0.6671ns

Keterangan: ns = tidak berbeda nyata

Kepadatan dua jenis bulu babi dominan di Pulau Barranglompo dan Pulau

Bonebatang yaitu T. gratilla dan D. setosum (Gambar 71) lebih tinggi

dibandingkan dengan yang ditemukan di Bali dan Pulau Padaido (Tabel 41)

(Dobo 2009). Begitupula dengan E. matthaei yang meskipun populasinya di

kedua pulau lokasi penelitian ini cukup rendah, namun memiliki kepadatan yang

masih lebih tinggi dibanding di Pulau Padaido (Dobo 2009). Jenis ini memang

lebih banyak ditemukan pada cangkang ataupun pecahan karang di daerah

terumbu karang sehingga populasinya di daerah padang lamun rendah.

Gambar 71 Kepadatan Bulu Babi rata-rata (individu/m

2 ± sd) di Pulau

Barranglompo dan Pulau Bonebatang Individu/m2

-0.50

0.00

0.50

1.00

1.50

2.00

2.50

Kep

ad

ata

n B

ulu

Ba

bi

(In

div

idu

/m2)

Spesies Bulu Babi

Barranglompo

Bonebatang

Page 191: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

154

Tabel 41 Kepadatan beberapa jenis bulu babi di berbagai lokasi di Indonesia

(Dobo 2009)

Jenis Lokasi Kepadatan

(Individu/m2)

Sumber

Tripneustes gratilla Bali 0.02-1.2 Darsono & Sukarno (1993)

Tripneustes gratilla Padaido 0.003-0.021 Radjab (2004)

Diadema setosum Padaido 0.001-0.002 Radjab (2004)

Brissus latecarinatus Padaido 0.010 Radjab (2004)

Heterocentrotus

mammilatus

Padaido 0.001 Radjab (2004)

Echinometra mathaei Padaido 0.008 Radjab (2004)

Protoreaster gratiosa Padaido 0.001 Radjab (2004)

Echinoidea Spermonde 0.17-0.61 De Beer (1990)

Echinoidea Bunaken 0.17-0.61 Rondo (1992)

Diameter Cangkang Bulu Babi

Hasil pengukuran diameter cangkang (test) jenis-jenis bulu babi (Tabel 42

dan Gambar 72) menunjukkan bahwa diameter cangkang semua jenis bulu babi

tidak berbeda nyata antara kedua pulau. T. gratilla merupakan jenis yang

memiliki diameter cangkang rata-rata terbesar dibandingkan jenis-jenis lainnya.

Tabel 42 Diameter cangkang (cm ± sd) setiap jenis bulu babi di Pulau

Barranglompo dan Pulau Bonebatang

Spesies Barranglompo Bonebatang

p A B C A B C

D. setosum 4.70 ±

1.24

4.73 ±

1.35

4.30 ±

1.63

4.64 ±

0.91

4.78 ±

1.18

4.38 ±

1.32

0.4001ns

E. calamaris 5.49 ±

0.35

5.68 ±

0.52

5.59 ±

0.38

5.54 ±

0.29

5.63 ±

0.51

5.58 ±

0.50

0.9203ns

E. diadema 4.97 ±

0.66

4.94 ±

0.58

4.91 ±

0.56

4.92 ±

0.73

5.02 ±

0.75

5.08 ±

0.52

0.8918ns

E. mathaei 3.19 ±

0.04

3.28 ±

0.06

3.34 ±

0.30

3.03 ±

0.06

3.10 ±

0.27

3.13 ±

0.26

0.0567ns

M. globulus 2.79 ±

0.28

3.45 ±

0.34

2.92 ±

0.28

3.08 ±

0.33

3.38 ±

0.32

3.24 ±

0.29

0.4909ns

T. gratilla 5.96 ±

0.48

6.28 ±

0.49

5.65 ±

0.66

6.12 ±

0.40

6.45 ±

0.59

5.69 ±

0.69

0.0662ns

Keterangan: ns = tidak berbeda nyata

Page 192: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

155

Studi sebelumnya oleh Tuwo (1995) di Pulau Kapoposan yang juga

termasuk dalam gugus Kepulauan Spermonde mendapatkan bahwa dari 230

individu T. gratilla yang diukur diameter cangkangnya pada 4 kohor, 85 %

diantaranya memiliki diameter rata-rata sebesar 6.12 ± 0.34. Nilai ini hampir

sama dengan nilai yang diperoleh dari kedua lokasi penelitian (Tabel 42).

Gambar 72 Diameter cangkang rata-rata (cm ± sd) setiap jenis bulu babi di Pulau

Barranglompo dan Pulau Bonebatang

Komposisi Makanan Bulu Babi

Nilai indeks bagian terbesar (preponderance index) menunjukkan bahwa

lamun jenis T. hemprichii dan E. acoroides merupakan bagian terbesar dalam

komposisi makanan keempat jenis bulu babi yang diamati (Gambar 73 dan 74).

Kasim (2009) juga mendapatkan bahwa kedua jenis lamun ini memiliki proporsi

terbesar dalam isi lambung bulu babi T. gratilla di Pulau Buton, Sulawesi

Tenggara masing-masing dengan persentase sebesar 55% dan 32%.

0.00

1.00

2.00

3.00

4.00

5.00

6.00

7.00

8.00

Dia

met

er T

est

(cm

)

Spesies Bulu Babi

Barranglompo

Bonebatang

Page 193: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

156

Gambar 73 Persentase makanan rata-rata dalam lambung bulu babi berdasarkan

nilai indeks bagian terbesar (preponderance index) di Pulau

Barranglompo

Gambar 74 Persentase makanan rata-rata dalam lambung bulu babi berdasarkan

indeks bagian terbesar (preponderance index) di Pulau Bonebatang

Page 194: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

157

Preferensi Makanan Bulu Babi

Nilai Indeks Pilihan (Tabel 43) digunakan untuk mengetahui preferensi

jenis-jenis bulu babi terhadap jenis makanan yang terdiri atas lamun dan

makroalgae.

Tabel 43 Nilai Indeks Pilihan (Electivity Index) empat jenis bulu babi terhadap

makanan lamun dan makroalgae di Pulau Barranglompo (BL) dan

Pulau Bonebatang (BB)

Jenis

makanan

D. setosum E. calamaris M. globulus T. gratilla

BL BB BL BB BL BB BL BB

C. rotundata 0.43 -0.04 0.30 -0.02 0.53 -0.07 0.30 -0.08

E. acoroides 0.15 0.49 -0.02 0.43 -0.33 0.22 -0.12 0.20

H. uninervis -0.01 -0.22 0.13 -0.18 0.39 0.15 0.02 0.00

H. ovalis 0.14 -0.04 -0.66 0.04 -0.54 0.11 0.18 0.04

S. isoetifolium 0.03 0.24 0.12 0.10 0.05 0.24 0.50 0.37

T. hemprichii 0.34 0.12 0.49 0.14 0.49 0.25 0.52 0.28

Makroalgae -0.55 -0.48 -0.59 -0.40 -0.69 -0.61 -0.60 -0.55

Kebiasaan makan bulu babi tergantung pada kombinasi dua faktor yaitu

ketersediaan makanan dan preferensi, dimana preferensi atau selektivitas

makanan mungkin disebabkan oleh nilai nutrisi suatu jenis makanan atau

kehadiran substansi kimia tertentu yang tidak disukai bulu babi (Beddingfield &

McClintock 1998; Lyimo et al. 2011).

Bulu babi lebih menyukai lamun dibandingkan dengan algae (Klumpp et

al. 1993; Aziz 1999). Lamun yang paling disukai oleh jenis T. gratilla di daerah

Bolinao, Filipina adalah jenis T. hemprichii (Klumpp et al. 1993). Analisis usus

bulu babi Tripneustes gratilla dan Salmacis sphaeroides menunjukkan bahwa

spesies-spesies ini secara efisien mencerna dan menyerap 60% lamun T.

hemprichii (Klump et al. 1993; Alongi 1998). Makroalgae dapat menghasilkan

senyawa kimia (senyawa sekunder) yang bersifat protektif (Lobban et al. 1997).

Sebagai contoh, jenis Sargassum dan Turbinaria umumnya memiliki zat kimia

yang disebut tannin yang mengakibatkan algae ini jadi keras dan sukar dicerna

(Aziz 1999). Penimbunan zat kapur pada Halimeda dan Coralline Algae juga

menyebabkan hewan herbivor sulit untuk mencerna jenis makroalgae ini (Hatta

Page 195: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

158

1991). Selain secara kimia, secara morfologis makroalgae juga memiliki cara

adaptasi untuk tidak didekati oleh herbivor, misalnya dengan membentuk bagian-

bagian luar tubuhnya sedemikian rupa sehingga sulit didekati. Pembentukan

cabang-cabang kecil yang menyerupai duri pada Gelidiella acerosa dan

Acanthophora sp, bagian pinggir yang bergerigi pada Sargassum sp dan Caulerpa

serrulata, serta thalli yang bersudut tajam pada Turbinaria sp (Hatta 1991).

Laju pemangsaan bulu babi berlangsung cepat dan dalam proses makan ini

dibantu oleh bagian mulut yang telah terspesialisasi (Klumpp et al. 1989). Pada

bagian mulut bulu babi kelompok reguler terdapat membran peristome yang di

dalamnya terdapat organ yang disebut lentera aristoteles. Lentera aristoteles

merupakan organ yang terdiri atas gigi/rahang, tulang serta otot (Gambar 75).

Alat pemotong ini sangat rumit dibangun oleh 40 keping kerangka kapur yang

terdiri atas 5 pasang gigi, 10 keping demipyramid, 10 keping ephyphysis, 5

keping rotulae dan 5 keping compass dan digerakkan oleh sekitar 60 otot motoris

dengan fungsi yang berbeda-beda (Aziz 1987).

Gambar 75 Bagian dalam cangkang bulu babi Tripneustes gratilla yang dikoleksi

dari perairan Pulau Barranglompo. A. Lentera Aristoteles, b.

Potongan makanan. Inset adalah Lentera Aristoteles yang

diperbesar

Page 196: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

159

Gambar 76 dan 77 memperlihatkan hasil uji korelasi Pearson Product

Moment untuk melihat korelasi antara kerapatan lamun dan kepadatan bulu babi

di Pulau Barranglompo dan Pulau Bonebatang. Secara teoritis, peningkatan

jumlah hewan herbivora akan mengurangi biomassa komunitas tumbuhan karena

banyaknya grazer yang akan datang mendominasi sistem sehingga akan mengarah

ke overgrazing (Duffy et al. 2003). Namun, hasil yang diperoleh dalam

penelitian ini menunjukkan korelasi yang lemah (Gambar 76 & 77). Di Pulau

Barranglompo terdapat korelasi negatif yang lemah (r = -0.2215), sedangkan di

Pulau Bonebatang terdapat korelasi positif yang lemah (r = 0.4957) (Reimann et

al. 2008).

Dengan demikian, meningkatnya jumlah tegakan lamun tidak selalu

diikuti dengan meningkatnya populasi bulu babi di Pulau Barranglompo dan

Pulau Bonebatang, begitu pula sebaliknya. Namun, korelasi negatif yang

signifikan antara kepadatan bulu babi dengan biomassa lamun, tinggi kanopi,

kerapatan tegakan dan persentase penutupan diamati oleh Mamboya et al. (2009)

di perairan Dar es Salaam, Tanzania yang mengindikasikan bahwa grazing bulu

babi berperan terhadap pengurangan biomassa di atas substrat pada lokasi dengan

kepadatan bulu babi yang tinggi.

Page 197: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

160

Gambar 76 Korelasi antara kerapatan lamun dengan kepadatan bulu babi di Pulau

Barranglompo Selang kepercayaan 95%

Korelasi negatif antara kerapatan lamun dengan kepadatan bulu babi di

Pulau Barranglompo meskipun lemah, namun hal itu mengindikasikan bahwa

grazing di Pulau Barranglompo lebih intensif dibandingkan dengan Pulau

Bonebatang. Meningkatnya kadar nutrien dan tutupan epifit yang tinggi pada

lamun membuatnya lebih disukai oleh herbivora yang secara eksperimental

didapatkan memangsa lebih intensif pada kondisi seperti itu (McGlathery 1995).

Penelitian menunjukkan bahwa bulu babi berukuran kecil (diametet test

30 mm) dimangsa oleh predatornya seperti ikan predator dan gastropoda dengan

laju yang lebih cepat dibandingkan dengan bulu babi yang lebih besar dengan

diameter test antara 31-60 mm (Heck & Valentine 1995). Jadi pada ekosistem

padang lamun dapat terjadi keseimbangan antara populasi bulu babi dengan

kerapatan lamun karena bulu babi yang lebih muda (new recruits) dimangsa lebih

banyak oleh predatornya sehingga populasi bulu babi berkurang. Hal ini

menyebabkan lamun yang telah mengalami grazing dapat pulih kembali.

Peningkatan kerapatan lamun yang meningkat akan memberi bulu babi

perlindungan struktural dari pemangsanya. Hal ini pada akhirnya akan

meningkatkan lagi grazing lamun yang akan kembali mengurangi kerapatan

lamun.

Populasi bulu babi yang ada baik di Pulau Barranglompo dan Pulau

Bonebatang masih belum merupakan ancaman serius bagi vegetasi lamun yang

ada di pulau-tersebut. Penelitian eksperimental sebelumnya oleh Vonk et al.

(2008) menunjukkan bahwa bulu babi T. gratilla dapat mengurangi 74%

biomassa di atas substrat, namun tidak mempunyai pengaruh terhadap biomassa

di bawah substrat. Grazing yang tidak intensif hanya mengakibatkan

pengurangan biomassa di atas substrat, sehingga dapat pulih dengan cepat.

Namun, grazing yang sangat intensif dapat mengakibatkan lamun hilang secara

permanen (Heck & Valentine 1999). Pada berbagai wilayah telah dilaporkan

terjadinya ledakan populasi bulu babi yang cepat dengan kepadatan mencapai

500-600 individu/m2, mengakibatkan hilangnya daerah lamun yang luas bahkan

menghabiskan padang lamun yang ada (Heck & Valentine 1995; Mamboya et al.

Page 198: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

161

2009). Oleh karena itu, pemantauan populasi bulu babi pada daerah padang

lamun perlu dilakukan secara periodik mengingat ledakan populasi bulu babi

dapat terjadi bila predatornya berkurang.

Gambar 77 Korelasi antara kerapatan lamun dengan kepadatan bulu babi di Pulau

Bonebatang

Simpulan

1. Terdapat 6 jenis bulu babi yang dijumpai di daerah padang lamun Pulau

Barranglompo dan Pulau Bonebatang yaitu Diadema setosum, Echinometra

mathaei, Echinothrix calamaris, Echinothrix diadema, Mespilia globulus,

dan Tripneustes gratilla.

2. T. gratilla dan D. setosum merupakan jenis bulu babi yang memiliki

kepadatan tertinggi di Pulau Barranglompo dan Pulau Bonebatang.

3. Thalassia hemprichii merupakan jenis lamun yang memiliki komposisi

terbesar dalam isi lambung bulu babi.

4. Nilai indeks pilihan mengindikasikan bahwa bulu babi menyukai beberapa

jenis lamun terutama T. hemprichii.

Page 199: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

162

5. Populasi bulu babi yang ada saat ini belum merupakan ancaman serius

terhadap komunitas lamun di Pulau Barranglompo dan Bonebatang.

Page 200: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

163

10. PEMBAHASAN UMUM

Padang lamun merupakan salah satu ekosistem penting baik secara

ekologi maupun ekonomi. Namun karena posisinya yang berada pada batas

antara ekosistem darat dan laut (Waycott et al. 2004) maka padang lamun

merupakan ekosistem yang mudah mengalami degradasi akibat pengaruh dari

kedua ekosistem yang mengapitnya tersebut (Green & Short 2003; Warry &

Hindell 2009). Secara global diperkirakan kehilangan areal padang lamun akibat

dampak langsung dan tidak langsung aktivitas antropogenik mencapai 33 000

km2 selama kurun waktu dua dasawarsa terakhir (Short & Wyllie-Echeverria

1996). Dengan demikian padang lamun yang tersisa saat ini di seluruh dunia

diprediksi seluas 177 000 km2 (Green & Short 2003).

Lamun tropis memiliki interaksi penting dengan mangrove dan terumbu

karang (Fortes 1990; Green & Short 2003; Short et al. 2007). Saat ini, ketiga

ekosistem laut tropis ini mengalami degradasi yang intensif akibat disturbansi

alami dan antropogenik (Short & Wyllie-Echeverria 1996). Degradasi atau

kehilangan salah satu ekosistem ini akan menyebabkan kerusakan bagi ekosistem

di laut secara keseluruhan (Fortes 1990). Gambar 78 menunjukkan interaksi

utama yang terjadi pada tiga ekosistem utama di daerah tropis. Interaksi tersebut

meliputi proses fisika, kimia, biologis maupun dampak antropogenik (Ogden &

Gladfelter 1983).

Salah satu interaksi antara ketiga ekosistem ini yang memperlihatkan

peningkatan intensitas adalah dampak antropogenik. Seiring dengan semakin

meningkatnya jumlah penduduk di daerah pantai terutama di pulau-pulau kecil,

maka pengaruh dari aktivitas antropogenik semakin potensial mempengaruhi

ekosistem yang ada di daerah pantai. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan

untuk mengkaji dampak aktivitas antropogenik tersebut terhadap kondisi nutrien

dan kualitas perairan yang pada akhirnya akan berdampak pada interaksi

organisme yang hidup berasosiasi pada daerah padang lamun.

Page 201: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

164

Gambar 78 Jenis interaksi utama antara tiga ekosistem laut tropis (digambar ulang

dari Ogden & Gladfelter 1983)

Pulau Barranglompo dan Pulau Bonebatang dipilih sebagai lokasi

penelitian karena kedua pulau yang masuk dalam gugusan Kepulauan Spermonde

ini memiliki kondisi antropogenik yang berbeda. Pulau Barranglompo yang

memiliki luas hanya 20.64 ha ini telah dihuni oleh sekitar 5000 jiwa, sedangkan

Pulau Bonebatang tidak berpenghuni.

Penelitian ini mengkaji beberapa aspek meliputi: aktivitas antropogenik

yang terjadi di Pulau Barranglompo dan Pulau Bonebatang (Bab 4), dinamika

nutrien jaringan lamun dan kolom air (Bab 5), dampak aktivitas antropogenik

terhadap kualitas perairan (Bab 6), struktur komunitas padang lamun (Bab 7),

interaksi makrofita pada padang lamun (Bab 8), dan potensi grazing oleh bulu

babi (Bab 9). Tabel 44 merangkum hasil-hasil yang diperoleh dalam penelitian

ini.

Page 202: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

165

Tabel 44 Rangkuman hasil-hasil yang diperoleh selama penelitian

Indikator Barranglompo Bonebatang

Aktivitas Antropogenik 9 2

Spesies Lamun 8 7

INP Lamun Tertinggi T. hemprichii (89.45),

E. acoroides (87.99)

T. hemprichii (92.95),

H. uninervis (77.63)

Indeks Luas Daun Rata-rata 2.62 ± 2.02 3.29 ± 1.26

Spesies Bulu Babi 6 6

Bulu Babi Dominan T. gratilla, D. setosum T. gratilla, D. setosum

Spesies Makroalgae 22 20

Lifeform Makroalgae epilithik, epipelik epilithik, epipelik

Asosiasi (+) Makrofita 3 1

Asosiasi (-) Makrofita 2 5

Status Ekologi Sedang Sangat Bagus

C rata-rata (% BK) 34.77 ± 2.41 34.62 ± 4.04

N rata-rata (% BK) 2.42 ± 0.22 1.75 ± 0.47

P rata-rata (% BK) 0.15 ± 0.02 0.14 ± 0.03

Rasio C:N 15.9 – 17.5 20.5 – 28.6

Rasio C:P 568 - 636 574 - 744

Rasio N:P 33 - 40 26 – 28

Stok Karbon E.acoroides

(ton/ha)

0.49 – 1.05 0.08 – 0.34

Klorofil a (mg/m3) 5.14 – 17.38 3.76 – 10.03

Nitrat Kolom Air (mg/l) 0.013 – 0.097 0.011 – 0.028

Fosfat Kolom Air (mg/l) 0.011 – 0.077 0.019 – 0.039

Suhu (oC)

29 - 32 29 - 32

Salinitas (o/oo) 29.5 - 32 29 - 31

Kekeruhan (NTU) 0.66 – 29.71 0.57 – 2.78

TSS (mg/l) 12.64 – 18.53 6.67 – 11.11

Kec. Arus (m/dt) 0.009 – 0.130 0.014 -0.126

Tinggi Gelombang (cm) 1.82 – 7.29 2.18 – 6.24

Page 203: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

166

Sebanyak 9 jenis aktivitas masyarakat pulau yang terdapat di Pulau

Barranglompo, sedangkan di Pulau Bonebatang hanya 2 jenis aktivitas yang

ditemukan. Dari sejumlah aktivitas antropogenik yang terjadi di Pulau

Barranglompo, pembuangan sampah merupakan problem utama yang muncul

seiring meningkatnya jumlah penduduk di pulau kecil. Semakin hari sampah-

sampah tersebut akan semakin menumpuk karena banyak di antaranya yang

merupakan sampah anorganik yang butuh waktu yang lama untuk terurai. Tait &

Dipper (1998) memperkirakan waktu yang dibutuhkan oleh berbagai jenis

sampah untuk terurai (Tabel 45).

Tabel 45 Perkiraan skala waktu (maksimum) untuk penguraian sampah (Tait &

Dipper 1998)

Bahan Skala Waktu Penguraian (tahun)

Botol gelas 1 Juta (tak tersentuh)

Botol plastik Waktu tak terbatas

Kaleng aluminium 80 - 100

Kaleng timah (blek) 50

Kulit (sepatu) 50

Bahan nylon 30 – 40

Kertas film plastik 20 – 30

Kantong plastik 10 - 20

Kertas berplastik 5

Kain wol 1 – 5

Puntung rokok 1 – 5

Kulit jeruk dan pisang 2

Sampah yang menumpuk di pinggir pantai akan menyebabkan matinya

lamun yang ada di bawahnya. Hal itu menyebabkan lamun yang berukuran kecil

tidak dapat tumbuh dengan baik pada lokasi tersebut. E. acoroides merupakan

jenis lamun yang memiliki penutupan yang jauh lebih tinggi di Pulau

Barranglompo dibandingkan dengan Pulau Bonebatang. Hal tersebut disebabkan

ukuran jenis ini yang lebih besar dan dapat tumbuh pada lokasi dengan bioturbasi

yang berat (Kuriandewa et al. 2003).

Di Pulau Barranglompo terdapat 8 jenis lamun, sedangkan di Pulau

Bonebatang dijumpai 7 jenis (Bab 7dan Tabel 15). Di antara jenis lamun

tersebut, T. hemprichi dan E. acoroides mempunyai nilai indeks nilai penting

(INP) tertinggi di Pulau Barranglompo, sedangkan di Pulau Bonebatang, T.

Page 204: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

167

hemprichii dan H. uninervis memiliki nilai yang tertinggi. T. hemprichii dan E.

acoroides merupakan spesies klimaks (Hemminga & Duarte 2000).

Hasil pengukuran nutrien menunjukkan bahwa konsentrasi nutrien

terutama nitrogen di Pulau Barranglompo lebih tinggi dibandingkan dengan Pulau

Bonebatang (Bab 5) mengindikasikan adanya pengayaan nutrien akibat aktivitas

pembuangan limbah baik cair maupun padat ke pantai di Pulau Barranglompo.

Bila tidak segera dicarikan solusinya, pengayaan nutrien ini dapat mengarah ke

eutrofikasi. Eutrofikasi merupakan penyebab degradasi padang lamun yang

paling banyak dilaporkan dan tentunya akan tetap merupakan ancaman serius

terhadap populasi lamun di masa datang (Short & Wyllie-Echeverria 1996;

Alongi 1998; Ralph et al. 2006). Ketersediaan nutrien bisa memiliki korelasi

positif dengan biomassa dan produktivitas lamun (Short et al 1990), namun

banyak penelitian yang mendapatkan bahwa meningkatnya pasokan nutrien pada

estuaria dan perairan pantai lebih merusak daripada menguntungkan lamun dan

perikanan yang didukungnya (Lapointe et al. 1994; Short et al. 1995; Ralph et al.

2006). Peningkatan nutrien akan memicu pertumbuhan produsen primer yang

mengarah pada perubahan komposisi spesies (Alongi 1998).

Padang lamun yang terekspos terhadap eutrofikasi memperlihatkan

indikator seperti tutupan algae epifit yang tinggi, kerapatan lamun yang rendah,

indeks luas daun yang rendah, dan biomassa yang rendah (Tomasko & Lapointe

1991; McGlathery 2001), meskipun mekanisme penurunan ini dapat bervariasi

baik secara spasial maupun temporal (Ralph et al. 2006). Nutrien yang tinggi

memicu proliferasi spesies yang berkembang dengan cepat termasuk fitoplankton,

epifit dan makroalgae oportunistik (Sand-Jensen & Borum 1991; McGlathery

2001) yang akan menghalangi penetrasi cahaya ke dalam kolom air sehingga

berkompetisi dengan lamun mendapatkan cahaya dan dapat menyebabkan

kematian akibat tertutupi oleh kompetitornya (Short et al. 1995; Hauxwell et al.

2001; Ralph et al. 2006). Hasil-hasil penelitian ini (Bab 7 dan 8) memperlihatkan

kecenderungan ke indikator di atas. Hal itu berarti bahwa pengayaan nutrien bisa

menjadi penyebab utama penurunan padang lamun di Pulau Barranglompo di

masa yang datang.

Page 205: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

168

Dampak Aktivitas Antropogenik terhadap Komunitas Makrofita

Pengaruh tekanan aktivitas antropogenik terhadap komunitas makrofita

bentik disarikan oleh Orfanidis et al. (2001) dari berbagai literatur seperti

disajikan pada Tabel 46.

Aktivitas antropogenik akan meningkatkan konsentrasi nutrien terutama N

yang akan menstimulasi pertumbuhan makroalgae yang pada akhirnya dapat

mengurangi luas padang lamun (McGlathery 2001). Hal ini sejalan dengan

pengamatan Nierhuis (1983) diacu Young (2009) yang mendapatkan bahwa

kelimpahan lamun Zostera di barat daya estuaria Belanda menurun 50% antara

1978-1980 yang diakibatkan oleh kompetisi dengan makroalgae yang dipicu oleh

meningkatnya deposisi bahan organik di dasar setelah terjadi peningkatan

akumulasi nitrogen. Indikasi ini mulai terlihat di Pulau Barranglompo, dimana

tutupan lamun di pulau ini lebih rendah dari Pulau Bonebatang (Bab 7), namun

sebaliknya, makroalgae di Pulau Barranglompo lebih banyak dan memiliki

penutupan yang lebih luas dibandingkan dengan Pulau Bonebatang. Disamping

itu komposisi makroalgae di kedua pulau yang berbeda (Bab 8) menunjukkan

bahwa di Pulau Barranglompo telah terjadi perubahan (shift) makroalgae yang

terlihat dari proporsi makroalgae yang bersifat oportunistis (ESG II) jauh lebih

besar dibandingkan dengan yang ada di Pulau Bonebatang. Hal itu merupakan

indikasi adanya perubahan komposisi jenis makroalgae akibat tekanan

antropogenik (Orfanidis et al. 2001; 2003).

Page 206: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

169

Tabel 46 Contoh dampak stres antropogenik terhadap komunitas makrofita laut

bentik (dikompilasi oleh Orfanidis et al. 2001).

Stres

Antropogenik

Makrofita

Bentik

Dampak Literatur

Eutrofikasi Lamun Penurunan luasan padang

lamun skala besar dan

regional, dominasi oleh

makroalga lembaran

(fleshy)

Larkum et al. (1989),

Hemminga & Duarte

(2000)

Makroalgae Dominansi oleh spesies

oportunistik, blooming

makroalgae, penurunan

keanekaragaman

Lazaridou et al.

(1997), Schramm

(1999), Lotze et al.

(1999), Lotze &

Schramm (2000)

Bahan Organik,

Siltasi

Lamun Penurunan tutupan padang

lamun melalui reduksi

cahaya dan akumulasi

bahan organik sedimen

Hemminga & Duarte

(2000)

Makroalgae Reduksi cahaya dan

alteration substrat keras

mempengaruhi struktur

komunitas

Lobban & Harrison

(1994)

Logam Berat Lamun Tidak ada dampak

langsung yang

terdokumentasi

Larkum et al. (1989)

Makroalgae Penghambatan reproduksi

dan perubahan struktur

komunitas

Lobban & Harrison

(1994), Coelho et al.

(2000), Crowe et al.

(2000)

Tumpahan

Minyak

Lamun Tidak ada dampak

langsung yang

terdokumentasi

Makroalgae Reduksi pertumbuhan

jangka pendek pada

spesies intertidal

Lobban & Harrison

(1994)

Pemanasan

Global

Lamun Perubahan dalam pola

distribusi

Hemminga & Duarte

(2000)

Makroalgae Perubahan dalam pola

distribusi

Breeman (1990),

Pakker & Breeman

(1994)

Peningkatan

Salinitas

Lamun Pergantian spesies lamun

dominan

Kamermans et al.

(1999)

Makroalgae Ekspansi lebih lanjut pada

ekosistem estuaria

Lobban & Harrison

(1994)

Perikanan Trawl Lamun Fragmentasi – penurunan

tutupan padang lamun

Sanchez-Jeres &

Ramos (1996), Blader

et al. (2000)

Makroalgae Kerusakan tegakan

sublitoral

Blader et al. (2000)

Page 207: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

170

Status ekologi Pulau Barranglompo yang sudah tergolong kategori sedang

menunjukkan bahwa proporsi makroalgae yang bersifat oportunistis sudah

meningkat. Berdasarkan model konseptual (Gambar 79), status ekologi Pulau

Barranglompo yang dikategorikan sedang sudah mengarah ke dominansi bersama

lamun dan makroalgae, sedang di Pulau Bonebatang relatif masih didominasi oleh

lamun.

Gambar 79 Model konseptual perubahan keadaan stabil vegetasi makrofita bentik

melalui gradien eutrofikasi (status ekologi) pada perairan pantai. A.

konvensional B. Dinamis (Viaroli et al. 2008)

Hubungan makrofita dengan kualitas habitat di daerah padang lamun

Perubahan komposisi makrofita (lamun dan makroalgae) dapat

mempengaruhi kualitas habitat di daerah padang lamun. Misalnya, adanya

perbedaan tinggi, kekakuan dan kerapatan antara lamun dan makroalgae dapat

menyebabkan perubahan habitat dengan memodifikasi interaksi dasar laut dengan

faktor hidrodinamika yang mempengaruhi proses-proses kunci seperti resuspensi

sedimen dan penjebakan partikel (Hendriks et al. 2009).

Page 208: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

171

Hasil pengukuran parameter kualitas air selama penelitian (Bab 6 dan

Tabel 44) menunjukkan bahwa nilai padatan tersuspensi total (TSS) dan

kekeruhan antara Pulau Barranglompo dan Pulau Bonebatang berbeda secara

nyata. Kedua parameter ini memang sangat dipengaruhi oleh input dari daratan

pulau akibat aktivitas antropogenik. Sementara parameter lain seperti suhu,

salinitas, kecepatan arus dan tinggi gelombang relatif tidak berbeda secara nyata.

Parameter-parameter ini memang hanya dipengaruhi oleh faktor yang bersifat

lebih global seperti letak geografis, iklim maupun jarak dari sungai dan

sebagainya. Sebagai contoh, arus yang didapatkan di kedua pulau mengikuti pola

umum arus lintas Indonesia (Arlindo) yang berasal dari perairan Samudera

Pasifik (Gordon 2005).

Resiliensi padang lamun terhadap disturbansi

Meskipun menghadapi berbagai macam tekanan (disturbansi), lamun

memiliki kemampuan untuk pulih dari tekanan tersebut. Lamun dapat mentolerir

disturbansi yang bersifat moderat melalui adaptasi morfologi dan fisiologi tapi

bila disturbansi cukup kuat, dapat menyebabkan berkurangnya areal padang

lamun. Pengurangan ini bias berupa penipisan padang lamun yang bisa pulih

melalui pertumbuhan klonal dari apeks rhizome yang mengelilinginya

(Hemminga & Duarte 2000).

Berdasarkan pemodelan diprediksi bahwa waktu pemulihan padang lamun

bervariasi tergantung spesies lamun. Waktu pulih untuk spesies yang tumbuh

cepat seperti Halophila, Syringodium dan Cymodocea cukup singkat. Bila

kebutuhan pertumbuhannya tersedia, spesies ini dapat pulih dalam setahun,

sebaliknya, spesies yang memiliki pertumbuhan lambat seperti Posidonia

oceanica dapat pulih dalam satu abad (Duarte 1995 diacu Hemminga & Duarte

2000). Jadi bila disturbansi yang terjadi pada spesies ini frekuensinya kurang dari

seabad, padang lamun ini tidak dapat pulih (Hemminga & Duarte 2000).

Biomassa lamun di bawah substrat jauh lebih besar dibandingkan dengan

biomassa di atas substrat (Duarte & Chiscano 1999). Dengan demikian, tidak

sama dengan kebanyakan spesies makroalgae dan fitoplankton yang semuanya

terekspos terhadap grazer yang memangsanya, lamun memiliki cadangan

Page 209: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

172

penyimpanan atau tempat pengambilan nutrien yang berada di bawah substrat

yang tidak dijangkau oleh grazer. Hal ini menyebabkan lamun dapat bertahan

pada grazing yang intensif dan memungkinkan lamun cepat pulih ke kondisi

seperti yang tidak mengalami grazing (Valentine & Heck 1999).

Penelitian menunjukkan bahwa bulu babi berukuran kecil (diametet test

30 mm) dimangsa oleh predatornya seperti ikan predator dan gastropoda dengan

laju yang lebih cepat dibandingkan dengan bulu babi yang lebih besar dengan

diameter test antara 31-60 mm (Heck & Valentine 1995). Jadi pada ekosistem

padang lamun dapat terjadi keseimbangan antara populasi bulu babi dengan

kerapatan lamun karena bulu babi yang lebih muda (new recruits) dimangsa lebih

banyak oleh predatornya sehingga populasi bulu babi berkurang. Hal ini

menyebabkan lamun yang telah mengalami grazing dapat pulih kembali.

Peningkatan kerapatan lamun yang meningkat akan memberi bulu babi

perlindungan struktural dari pemangsanya. Hal ini pada akhirnya akan

meningkatkan lagi grazing lamun yang akan kembali mengurangi kerapatan

lamun.

Grazing berlebih (overgrazing) lamun oleh bulu babi dapat dipicu oleh

berkurangnya predasi oleh ikan akibat penangkapan ikan berlebih (overfishing)

dan eutrofikasi (Björk et al. 2008). Eutrofikasi dapat memicu konsumsi lamun

oleh hewan herbivora (McGlathery 1995). Namun, hasil penelitian untuk melihat

potensi grazing oleh bulu babi (Bab 9) tidak memperlihatkan hubungan yang kuat

antara kerapatan lamun dengan kepadatan bulu babi. Dengan demikian dapat

disimpulkan bahwa keberadaan 6 jenis bulu babi di kedua pulau belum

merupakan ancaman serius terhadap vegetasi lamun.

Keterkaitan Aktivitas Antropogenik dengan Ekosistem Padang Lamun

Hasil-hasil yang diperoleh dari penelitian ini memberikan informasi

bahwa aktivitas antropogenik (Bab 4) yang terjadi pada dua pulau yang sangat

padat dan tidak berpenghuni dalam gugus Kepulauan Spermonde, telah

menunjukkan kondisi nutrien (Bab 5) dan kualitas air terutama kekeruhan dan

padatan tersuspensi total (Bab 6) yang berbeda. Perbedaan nutrien dan parameter

kualitas air ini mengarah ke perubahan komposisi makrofita dominan di kedua

Page 210: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

173

pulau. Di Pulau Barranglompo, lamun E. acoroides memiliki nilai INP yang

tinggi (Bab 7), namun di Pulau Bonebatang, spesies ini memiliki nilai INP yang

sangat menurun. Hal ini disebabkan oleh kemampuan lamun E. acoroides untuk

hidup pada lingkungan yang mengalami bioturbasi yang berat (Kuriandewa et al.

2003). Hal ini terbukti dengan ditemukannya spesies ini pada daerah dekat garis

pantai yang dipenuhi oleh tumpukan sampah yang dibuang oleh penduduk pulau

Barranglompo.

Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa komposisi spesies

makroalgae (Bab 8) di kedua pulau berbeda. Pulau Barranglompo didominasi

oleh spesies oportunistik yang bisa hidup pada kondisi lingkungan yang

terdegradasi (Orfanidis et al. 2001). Indeks Evaluasi Ekologis juga menunjukkan

bahwa kondisi Pulau Bonebatang relatif masih alami dengan status ekologi sangat

bagus, sedangkan Pulau Barranglompo sudah mengalami perubahan dengan

status ekologi sedang.

Bab 9 menunjukkan bahwa belum tampak adanya dampak serius dari

perbedaan kondisi tekanan antropogenik terhadap tingkat grazing lamun dan

makroalgae oleh populasi bulu babi. Hal itu menunjukkan bahwa kepadatan bulu

babi di kedua pulau, belum merupakan ancaman bagi padang lamun di lokasi

penelitian ini.

Berdasarkan keseluruhan hasil yang diperoleh dalam penelitian ini,

tampak bahwa aktivitas antropogenik potensial mempengaruhi vegetasi lamun

dan biota yang berasosiasi dengannya melalui perubahan konsentrasi nutrien dan

nilai kualitas perairan. Oleh karena itu, direkomendasikan untuk melakukan

pemantauan terhadap aktivitas antropogenik yang terjadi terutama pada pulau-

pulau kecil yang memiliki keterbatasan lahan. Pemantauan dan sampling secara

berkala juga diperlukan untuk memantau populasi biota yang berasosiasi dengan

padang lamun, misalnya pemantauan terhadap tutupan makroalgae oportunistik

serta populasi bulu babi yang hidup di daerah padang lamun. Meskipun populasi

bulu babi belum merupakan ancaman serius terhadap vegetasi lamun di Pulau

Barranglompo dan Pulau Bonebatang, namun perlu terus diadakan pemantauan

mengingat populasi bulu babi dapat mengalami ledakan populasi yang bisa

menyebabkan intensitas grazing yang tinggi.

Page 211: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

174

11. SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

1. Terdapat 9 jenis aktivitas yang teramati dilakukan oleh masyarakat di Pulau

Barranglompo, sedangkan di Pulau Bonebatang dijumpai 2 jenis aktivitas

antropogenik. Aktivitas-aktivitas ini potensial mempengaruhi pertumbuhan

dan kondisi ekosistem padang lamun di kedua pulau ini.

2. Lamun Enhalus acoroides di Pulau Barranglompo memiliki potensi stok

karbon berkisar 0.49 – 1.05 ton/ha, sedangkan di Pulau Bonebatang berkisar

0.08 – 0.34 ton/ha.

3. Konsentrasi nitrogen, rasio C:N dan N:P, serta nitrat kolom air yang tinggi di

Pulau Barranglompo mengindikasikan adanya pengayaan nutrien akibat

aktivitas antropogenik.

4. Dari semua parameter kualitas air yang diukur, hanya kekeruhan dan padatan

tersuspensi total yang berbeda secara nyata antara kedua pulau. Nilai

kekeruhan di Pulau Barranglompo telah melampaui nilai baku mutu air laut,

sedangkan di Pulau Bonebatang masih di bawah nilai baku tersebut.

Sementara itu, nilai padatan tersuspensi total di kedua pulau masih dalam

batas yang tidak berpengaruh terhadap biota laut.

5. Thalassia hemprichii dan Enhalus acoroides merupakan spesies dominan di

Pulau Barranglompo, sedangkan Pulau Bonebatang didominasi oleh T.

hemprichii dan Halodule uninervis.

6. Secara umum, daun lamun di Pulau Barranglompo relatif lebih panjang

dibandingkan dengan yang ada di Pulau Bonebatang. Hal itu disebabkan

karena nutrien di Pulau Barranglompo lebih tinggi akibat aktivitas

antropogenik.

7. Di Pulau Barranglompo dijumpai asosiasi positif antara pasangan Cymodocea

rotundata-Thalassia hemprichii, Acanthophora spicifera-Laurencia papillosa,

dan Dictyota bartayresiana-Laurencia papillosa, sedangkan asosiasi negatif

didapatkan pada dua pasangan yaitu Enhalus acoroides-Halodule uninervis

dan Thalassia hemprichii-Halodule uninervis.

Page 212: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

175

8. Di Pulau Bonebatang, asosiasi positif dijumpai pada pasangan C. rotundata-

H. uninervis saja, sedangkan asosiasi negatif dijumpai pada beberapa

pasangan yaitu. C. rotundata-A.spicifera, C. rotundata-Actinoritchia fragilis,

E. acoroides-H. uninervis, T. hemprichii-Gracilaria coronopifolia, dan T.

hemprichii-Sargassum crassifolium.

9. Pulau Barranglompo memiliki status ekologi sedang dan Pulau Bonebatang

memiliki status ekologi sangat bagus yang menunjukkan bahwa telah terjadi

perubahan (shift) komposisi makrofita di Pulau Barranglompo akibat

meningkatnya aktivitas antropogenik.

10. T. gratilla dan D. setosum merupakan jenis bulu babi yang memiliki

kepadatan tertinggi di kedua pulau.

11. Nilai indeks pilihan mengindikasikan bahwa bulu babi menyukai beberapa

jenis lamun terutama T. hemprichii.

12. Populasi bulu babi yang ada di Pulau Barranglompo dan Pulau Bonebatang

belum menyebabkan penurunan padang lamun di kedua pulau.

Saran

Diperlukan upaya-upaya untuk meminimalisir dampak negatif yang

diakibatkan oleh aktivitas penduduk terhadap komunitas lamun dan biota yang

berasosiasi dengannya, misalnya:

1. pembuatan tempat pembuangan sampah atau instalasi pengolah limbah,

2. pengawasan terhadap aktivitas pengambilan karang dan pasir,

3. pembuatan jalur keluar masuknya perahu ke pantai.

4. transplantasi lamun pada areal yang dulunya pernah ditumbuhi lamun.

Page 213: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

176

DAFTAR PUSTAKA

Alcoverro T, Mariani S. 2002. Effects of sea urchin grazing on seagrass

(Thalassodendron ciliatum) beds of a Kenyan lagoon. Mar Ecol Prog Ser

226: 255-263.

Alongi DM. 1998. Coastal Ecosystem Processes. Boca Raton: CRC Press.

Amin M, Flowers TH. 2004. Evaluation of Kjeldahl digestion method. J Res

(Science) Pakistan, 15(2): 159-179.

Arifin, La Nafie YA, Supriadi. 2004. Studi kondisi dan potensi ekosistem padang

lamun sebagai daerah asuhan berbagai jenis biota laut di perairan Pulau

Barranglompo, Makassar. Torani 14(5): 241-250.

Arifin, Supriadi. 2006. Kondisi padang lamun di perairan Pulau Sabangko,

Salemo dan Sagara Kabupaten Pangkep. Torani 16(2): 99-106.

Asmus H et al. 2006. Structure and Function of Tropical Seagrass Ecosystems in

the Spermonde Archipelago. Southeast Asia Coastal Governance and

Management Forum: Science Meet Policy for Coastal Management and

Capacity Building. Bali, 14-16 November 2006. SPICE/LOICS/

ATSEF/SEACORM.

Atkinson MJ, Smith SV. 1983. C:N:P ratios of benthic marine plants. Limnol

Oceanogr. 28(3): 568-574.

Atmadja WS. 1996a. Pengenalan jenis algae coklat (Phaeophyta). Di dalam:

Atmadja WS, Kadi A, Sulistijo, Rachmaniar, editor. Pengenalan Jenis-

Jenis Rumput Laut Indonesia. Jakarta: Puslitbang Oseanologi-LIPI. Hal 56-

78.

Atmadja WS. 1996b. Pengenalan jenis algae merah (Rhodophyta). Di dalam:

Atmadja WS, Kadi A, Sulistijo, Rachmaniar, editor. Pengenalan Jenis-

Jenis Rumput Laut Indonesia. Jakarta: Puslitbang Oseanologi-LIPI. Hal 79-

119.

Aziz A. 1987. Makanan dan cara makan berbagai jenis bulu babi. Oseana 12(4):

91-100.

Aziz A. 1994. Tingkah laku bulu babi di padang lamun. Oseana 19 (4): 35-43.

Aziz A. 1999. Biologi pakan: daya grazing, efisiensi asimilasi, preferensi dan

peranan bulu babi di padang lamun. Di dalam: Soemodihardjo S, Arinardi

OH, Aswandy I, editor. Dinamika Komunitas Biologis pada Ekosistem

Lamun di Pulau Lombok, Indonesia. Jakarta: Pusat Penelitian dan

Pengembangan Oseanologi, LIPI.

Page 214: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

177

Azkab MH. 2002. Kajian sumberdaya lamun di perairan Sulawesi Utara. Di

dalam: Ruyitno, Aziz A, Pramudji, editor. Perairan Sulawesi dan

Sekitarnya. Biologi, Lingkungan dan Oseanografi. Jakarta: Pusat Penelitian

Oseanografi. hlm 171-178.

Baird ME, Middleton JH. 2004. On relating physical limits to the carbon:

nitrogen ratio of unicellular algae and benthic plants. J Mar System 49: 169-

175.

Bajracharya D. 2003. Experiments in Plant Physiology, A Laboratory Manual.

New Delhi: Narosa Publishing House.

Bakus GJ. 2007. Quantitative Analysis of Marine Biological Communities, Field

Biology and Environment. New Jersey: John Wiley and Sons, Inc.

Balmer O. 2002. Species lists in ecology and conservation: abundance matter.

Conser Biol 16: 1160-1161.

Beddingfield SD, McClintock JB. 1998. Differential survivorship, reproduction,

growth and nutrient allocation in the regular echinoid Lythechinus

variegatus (Lamarck) fed natural diets. J Exp Mar Biol Ecol 226: 195-215.

Biber PD. 2007. Transport and persistence of drifting macroalgae (Rhodophyta)

are strongly influenced by flow velocity and substratum complexity in

tropical seagrass habitats. Mar Ecol Prog Ser 343:115-122.

Björk M, Short F, Mcleod E, Beer S. 2008. Managing Seagrasses for Resilience

to Climate Change. Gland, Switzerland: IUCN Global Marine Programme.

Bold HC, Wynne MJ. 1985. Introduction to the Algae: Structure and

Reproduction. 2nd

Edition. New Jersey: Prentice Hall, Inc.

Boström C, Bonsdorff E. 2000. Zoobenthic community establishment and habitat

complexity—the importance of seagrass shoot-density, morphology and

physical disturbance for faunal recruitment. Mar Ecol Prog Ser 205:123–

138.

[BPS Makassar] Badan Pusat Statistik Makassar. 2010. Makassar Dalam Angka

2010. Makassar: BPS Makassar.

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2011. Laporan Bulanan Data Sosial Ekonomi BPS

Maret 2011. Jakarta: BPS.

Breda NJJ. 2003. Ground-based measurements of leaf area index: a review of

methods, instruments and current controversies. J Exp Bot 54(392): 2403-

2417.

Page 215: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

178

Brooks RA, Bell SS. 2001. Mobile corridors in marine landscapes: enhancement

of faunal exchange at seagrass/sand ecotones. J Exp Mar Biol Ecol 264:

67-84

Brower JE, Zar JH, von Ende CN. 1998. Field and Laboratory Methods for

General Ecology. 4th

edition. New York: McGraw-Hill Companies, Inc.

Brown CA. 2009. The effects of hydrodynamic factors on seagrasses. Di dalam:

Nelson WG, editor. Seagrasses and Protective Criteria: A Review and

Assessment of Research Status. Newport: National Health and Environment.

hlm 5.1-5.22.

Budimawan, Rani C, Amri K. 2008. Preference of fish community to natural and

artificial seagrass habitats in Barranglompo waters. Torani 18(2): 102-111.

Burkholder JM, Tomasko DA, Touchette BW. 2007. Seagrasses and

eutrophication. J Exp Mar Biol Ecol 350: 46-72.

Butler A, Jernakoff P. 1999. Seagrass in Australia. Collingwood, Victoria:

CSIRO Publishing.

Campbell SJ, McKenzie LJ, Kerville SP. 2006. Photosynthetic responses of seven

tropical seagrasses to elevated seawater temperature. J Exp Mar Biol Ecol

330: 455-468.

Carlton JT, Geller JB, Reaka-Kudla M, Norse EA. 1999. Historical extinction in

the sea. Annu Rev Ecol Syst 30:515-538.

Carpenter KE, Niem VH, editor. 1998. The Living Marine Resources of the

Western Central Pacific. Volume 1. Seaweeds, Corals, Bivalves and

Gastropods. Rome: Food & Agriculture Organization (FAO), South Pacific

Forum Fisheries Agency (FFA), Norwegian Agency for International

Development (NORAD).

Castro P, Huber ME. 2007. Marine Biology. 6th

Edition. Boston: McGraw Hill.

Christie H, Norderhaug KM, Fredriksen S. 2009. Macrophytes as habitat for

fauna. Mar Ecol Prog Ser 396:221-233.

Clark AM. 1971. Monograph of Indo-West Pacific Echinoderms. London: British

Museum of Natural History.

Clarke KR, Warwick RM. 1994. Change in Marine Communities: An Approach

to Statistical Analysis and Interpretation. Plymouth: Natural Environment

Research Council.

Page 216: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

179

Clesceri LS, Greenberg AE, Eaton AD. 1998. Standard Methods for the

Examination of Water and Wastewater. Including Bottom Sediment and

Sludges. 20th

ed New York: American Public Health Asociation Inc.

Costanza R et al. 1997. The value of the world’s ecosystem services and natural

capital. Nature 387: 253-260.

Cummins SP, Roberts DE, Zimmerman KD. 2004. Effects of the green

macroalgae Enteromorpha intestinalis on macrobenthic and seagrass

assemblages in a shallow coastal estuary. Mar Ecol Prog Ser 266:77-87.

De Boer WF. 2007. Seagrass-sediment interactions, positive feedback, and

critical threshold for occurence: a review. Hydrobiologia, 591: 5-24.

Den Hartog C. 1977. Structure, function, and classification in seagrass

communities. Di dalam: McRoy CP, Helfferich C, editor. Seagrass

Ecosystems. A Scientific Perspective. New York: Marcel Dekker, Inc.

Den Hartog C, Kuo J. 2006. Taxonomy and biogeography of seagrasses. Di

dalam: Larkum AWD, Orth RJ, Duarte CM, editor. Seagrasses: Biology,

Ecology and Conservation. The Netherland: Springer.

Dhargalkar VK, Kavlekar D. 2004. Seaweeds – A Field Manual. New Delhi:

National Institute of Oceanography Dona Paula, Goa.

Dobo J. 2009. Tipologi komunitas lamun kaitannya dengan populasi bulu babi di

Pulau Hatta, Kepulauan Banda, Maluku [tesis]. Bogor: Sekolah

Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Duarte CM. 1990. Seagrass nutrient content. Mar Ecol Prog Ser 67: 201-207.

Duarte CM. 2002. The future of seagrass meadows. Environ Conserv 29: 192-

206.

Duarte CM, Chiscano CL. 1999. Seagrass biomass and production: a

reassessment. Aquat Bot 65: 159-174.

Duarte CM, Marba N, Santos R. 2004. What may cause loss of seagrasses. Di

dalam: Borum, Duarte CM, Krause-Jensen D, Greve TM, editor. European

Seagrasses: An Introduction to Monitoring and Management. Copenhagen:

the M & MS Project. hlm 24-32. http:/www.seagrasses.org. [30 Juni 2011].

Duffy JE. 2006. Biodiversity and the functioning of seagrass ecosystems. Mar

Ecol Prog Ser 211:233-250.

Duffy JE, Richardson JP, Canuel EA. 2003. Grazer diversity effects on

ecosystem functioning in seagrass beds. Ecol Lett 6: 637-645.

Page 217: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

180

Edgar GJ. 1997. Australian Marine Life: The Plants and Animals of Temperate

Waters. Victoria: Reed Books.

Edgar GJ. 2001. Australian Marine Habitats in Temperate Waters. Sydney:

Reed New Holland.

Edgar GJ, Shaw C. 1995. The production and trophic ecology of shallow water

fish assemblages in Southern Australia III. General relationship between

sediments, seagrasses, invertebrates and fishes. J Exp Mar Biol Ecol 194:

107-131.

Effendi H. 2003. Telaah Kualitas Air bagi Pengelolaan Sumberdaya dan

Lingkungan Perairan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Eldridge PM, Johnson MG, Young DR. 2009. Interactions of Zostera marina and

Thalassia testudinum with sediments. Di dalam: Nelson WG, editor.

Seagrasses and Protective Criteria: A Review and Assessment of Research

Status. Newport: National Health and Environment. hlm 6.1-6.17.

Elser JJ, Hassett RP. 1994. A stoichiometric analysis of the zooplankton-

phytoplankton interaction in marine and freshwater ecosystems. Nature.

370: 211-213.

English S, Wilkinson C, Baker V, editor. 1997. Survey Manual for Tropical

Marine Resources. Townsville: Australian Institute of Marine Science.

Erftemeijer PLA. 1994. Differences in nutrient concentration and resources

between seagrass communities on carbonate and terrigenous sediments in

South Sulawesi Indonesia. Bull Mar Sci 54: 403-419.

Erftemeijer PLA, Herman PMJ. 1994. Seasonal change in environmental

variables, biomass, production and nutrient contents in two contrasting

tropical intertidal seagrass bed in South Sulawesi, Indonesia. Oecologia 99:

45-59.

Erftemeijer PLA, Middelburg JJ. 1993. Sediment-nutrient interactions in tropical

seagrass beds: a comparison between a terrigenous and a carbonate

sedimentary environment in South Sulawesi (Indonesia). Mar Ecol Prog

Ser 102: 187-198.

Evrard V, Kiswara W, Bouma TJ, Middelburg JJ. 2005. Nutrient dynamics of

seagrass ecosystems: 15

N evidence for the importance of particulate organic

matter and root systems. Mar Ecol Prog Ser 295: 49-55.

Farid MA, Rasidi S, Patria MP. 2008. The community structure of seagrass in

Enggano Islands, Bengkulu. Mar Res Indonesia 33(1): 7-10.

Page 218: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

181

[FIKP Unhas & Bakosurtanal] Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas

Hasanuddin & Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional. 2007.

Laporan Ekspedisi dan Penelitian Wilayah Pesisir dan Laut Kabupaten

Pangkajene dan Kepulauan Sulawesi Selatan. Makassar: FIKP Unhas.

Flindt MR, Pardal MÂ, Lillebø AI, Martins I, Marques JC. 1999. Nutrient

cycling and plant dynamics in estuaries: a brief review. Acta Oecol 20(4):

237-248.

Folke C, Carpenter S, Walker B, Scheffer M, Elmqvist T, Gunderson L, Holling

CS. 2004. Regime shifts, resilience, and biodiversity in ecosystem

management. Annu Rev Ecol Evol Syst 35:557-581.

Fonseca MS, Bell SS. 1998. Influence of physical setting on seagrass landscapes

near Beaufort, North Carolina USA. Mar Ecol Prog Ser 171: 109-121.

Fonseca MS, Fisher JS, Zieman JC, Thayer GW. 1982. Influence of the seagrass,

Zostera marina on current flow. Estuar Coast Shelf Sci 15: 351-364.

Fortes MD. 1990. Seagrasses: A Resource Unknown in the ASEAN Region.

Association of Southeast Asian Nations/United States Coastal Resources

Management Project Education Series 6.

Fortes MD. 1994. Seagrass Resources of Asean. Living Coastal Resources of

Southeast Asia: Status and Management. Report of the Consultative Forum

Third Asean-Australia Symposium on Living Coastal Resources.

Chulalongkorn University Bangkok, Thailand.

Fourqurean JW, Zieman JC. 2002. Nutrient content of the seagrass Thalassia

testudinum reveals regional patterns of relative availability of nitrogen and

phosphorus in the Florida Keys USA. Biogeochemistry, 61: 229-245.

Francour P, Ganteaume A, Poulain M. 1999. Effects of boat anchoring in

Posidonia oceanica seagrass beds in the Port-Cros National Park (north-

western Mediterranean Sea). Aquatic Conserv: Mar Freshw Ecosyst 9:391-

400.

Gab-Alla AAFA. 2007. Ecological study on community of exotic invasive

seaweed Caulerpa prolifera in Suez Canal and its associated macro

invertebrates. J Appl Sci 7(5):679-686.

Gordon AL. 2005. Oceanography of the Indonesian Sea and their throughflow.

Oceanography 18(4): 14-27.

Graham LE, Wilcox LW. 2000. Algae. New Jersey: Prentice-Hall, Inc.

Gray JS, Elliott M. 2009. Ecology of Marine Sediments: From Science to

Management. 2nd

Edition. Oxford: Oxford University Press.

Page 219: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

182

Green EP, Short FT. 2003. World Atlas of Seagrasses. Berkeley: University of

California Press.

Grzimek B, Kraus O, Riedl R, Thenius E. 1974. Grzimek’s Animal Life

Encyclopedia. Volume 3: Mollusks and Echinoderms. New York: Van

Nostrand Reinhold Company.

Hale MG, Orcutt DM. 1987. The Physiology of Plants under Stress. New York:

John Wiley and Sons Inc.

Hamdorf I, Kirkman H. 1995. Status of Australian Seagrass. Canberra: The

Fisheries Pollution and Marine Environment Committee.

Hammerstrom KK, Kenworthy WJ, Whitfield PE, Merello MF. 2007. Response

and recovery dynamics of seagrasses Thalassia testudinum and

Syringodium filiforme and macroalgae in experimental motor vessel

disturbances. Mar Ecol Prog Ser 345: 83-92.

Handayani T, Kadi A. 2007. Keanekaragaman dan biomassa algae di perairan

Minahasa Utara, Sulawesi Utara. Oseanologi dan Limnologi di Indonesia

33: 199-211.

Hanum C. 2009. Ekologi Tanaman. Medan: USU Press.

Harah ZM, Sidik BJ, Raesah A, Akma AS, Ogawa H. 2006. Marine

macrophytes: macroalgae species and life forms from Golden Beach,

Similajau National Park, Bintulu, Sarawak, Malaysia. Coast Mar Sci 30(1):

243-246.

Hastings K, Hesp P, Kendrick GA. 1995. Seagrass loss associated with boat

mooring at Rottnest Island, Western Australia. Ocean Coast Manage

26:225-246.

Hatta AM. 1991. Beberapa aspek interaksi antara herbivor dengan makroalgae di

perairan tropis (Indonesia dan sekitarnya). Oseana 16(2): 1-20.

Hauxwell J, Cebrian J, Furlong C, Valiela I. 2001. Macroalgal canopies

contribute to eelgrass (Zostera marina) decline in temperate estuarine

ecosystems. Ecology 82(4): 1007-1022.

Havens KE, Hauxwell J, Tyler AC, Thomas S, McGlathery KJ, Cebrian J, Valiela

I, Steinman AD, Hwang SJ. 2001. Complex interaction between

autotrophs in shallow marine and freshwater ecosystems: implication for

community responses to nutrient stress. Environ Pollut 113: 95-107.

Page 220: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

183

Heck KL, Pennock JR, Valentine JF, Coen LD, Sklenar SA. 2000. Effect of

nutrient enrichment and small predator density on seagrass ecosystems: an

experiment assessment. Limnol Oceanogr 45: 1041-1057.

Heck KL, Valentine JF. 1995. Sea urchin herbivory: evidence for long-lasting

effects in subtropical seagrass meadows. J Exp Mar Biol Ecol 189: 205-

217.

Heck KL, Valentine JF, Pennoch JR, Chaplin G, Spitzer PM. 2006. Effects of

nutrient enrichment and grazing on shoalgrass Halodule wrightii and its

epiphytes: results of a field experiment. Mar Ecol Prog Ser 326: 145-156.

Hemminga MA, Duarte CM. 2000. Seagrass Ecology. Cambridge: Cambridge

University Press.

Hemminga MA, Harrison PG, van Lent F. 1991. The balance of nutrient losses

and gains in seagrass meadows. Mar Ecol Prog Ser 71: 85-96.

Hendriks IE, Bouma TJ, Morris EP, Duarte CM. 2009. Effects of seagrasses and

algae of the Caulerpa family on hydrodynamics and particle-trapping rates.

Mar Biol 157: 473-481.

Hillman K, Walker DI, Larkum AWD, McComb AJ. 1989. Productivity and

nutrient limitation. Di dalam: Larkum AWD, McComb AJ, Shepherd SA,

editor. Biology of Seagrasses. A Treatise on the Biology of Seagrass with

Special Reference to the Australian Region. Amsterdam: Elsevier. hlm

635-685.

Hinde R. 2000. Seaweeds and other algae. Di dalam: Underwood AJ, Chapman

MG, editor. Coastal Marine Ecology of Temperate Australia. Sydney:

UNSW Press. hlm 121-135.

Hoeksema BW. 1990. Systematics and ecology of mushroom corals

(Scleractinia-Fungidae). [disertasi]. Netherland: University of Leiden.

Hogarth P. 2007. The Biology of Mangrove and Seagrasses. 2nd

Edition. Oxford:

Oxford University Press.

Holling CS. 1973. Resilience and stability of ecological systems. Annu Rev Ecol

Syst 4:1-23.

Hortal J, Lobo JM 2006. Towards a synecological framework for systematic

conservation planning. Biodiversity Informatics 3: 16-45.

Hughes AR, Bando KJ, Rodriguez LF, Williams SL. 2004. Relative effects of

grazers and nutrients on seagrasses: a meta-analysis approach. Mar Ecol

Prog Ser 282:87-99.

Page 221: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

184

Huisman JM. 2000. Marine Plants of Australia. Nedlands, Western Australia:

University of Western Australia Press.

Husni E. 2009. Studi laut dalam dengan bubu di Teluk Palabuhanratu. [disertasi].

Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Hutomo M, Azkab MH. 1987. Peranan lamun di lingkungan laut dangkal.

Oseana 12 (1): 13-23.

Hutomo M, Moosa MK. 2005. Indonesian marine and coastal biodiversity:

present status. Indian J Mar Sci 34(1): 88-97.

Ilyas M, Amri K. 2006. Spatial and seasonal distribution of macroalgae in

Awerange and Labuange Bays, Barru Regency, South Sulawesi. Torani

16: 375-380.

Ira. 2011. Keterkaitan padang lamun sebagai pemerangkap dan penghasil bahan

organik dengan struktur komunitas makrozoobentos di perairan Pulau

Barranglompo [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian

Bogor.

Irlandi EA, Orlando BA, Biber PD. 2004. Drift algae-epiphyte-seagrass

interaction in a subtropical Thalassia testudinum meadow. Mar Ecol Prog

Ser 279: 81-91.

Jackson DA, Somers KA, Harvey HH. 1989. Are binary similarity coefficient

measures of association and co-occurence or simply measures of

occurence? Am Nat 133: 436-453.

Jackson JBC et al. 2001. Historical overfishing and the recent collapse of coastal

ecosystems. Science 293:629-638.

Jernakoff P, Brearley A, Nielsen, J. 1996. Factors affecting grazer-epiphyte

interactions in temperate seagrass meadows. Oceanogr Mar Biol Annu Rev

34:109-162.

Jha B, Reddy CRK, Thakur MC, Rao MU. 2009. Seaweeds of India. Dordrecht:

Springer Science.

Johengen T. 1996. Standard Operating Procedures for Determining Total

Phosphorus, Available Phosphorus, and Biogenic Silica Concentrations of

Lake Michigan Sediment and Sediment Trap Material. Ann Arbor,

Michigan: NOAA/Great Lakes Environmental Research Lab.

Johnson MW, Heck KL, Fourqurean JW. 2006. Nutrient content of seagrasses

and epiphytes in the northern Gulf of Mexico: evidence of phosphorus and

nitrogen limitation. Aquat Bot 85: 103-111.

Page 222: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

185

Kadi A. 1996. Pengenalan jenis algae hijau (Chlorophyta). Di dalam: Atmadja

WS, Kadi A, Sulistijo, Rachmaniar, editor. Pengenalan Jenis-Jenis Rumput

Laut Indonesia. Jakarta: Puslitbang Oseanologi-LIPI. hlm 6-55.

Kahn AE, Durako MJ. 2006. Thalassia testudinum seedling responses to

changes in salinity and nitrogen levels. J Exp Mar Biol Ecol 335: 1-12.

Kaldy JE. 2009. Water column and sediment nutrients as limits to growth of

Zostera marina and Thalassia testudinum. Di dalam: Nelson WG, editor.

Seagrasses and Protective Criteria: A Review and Assessment of Research

Status. Newport: National Health and Environment. hlm 3.1-3.18.

Karleskint G, Jr, Turner R, Small JW, Jr. 2010. Introduction to Marine Biology.

3rd

Edition. Belmont: Brooks.

Kasim M. 2009. Grazing activity of the sea urchin Tripneustes gratilla in tropical

seagrass beds of Buton Island, Southeast Sulawesi, Indonesia. J Coast Dev

13(1): 19-27.

Keough MJ, Jenkins GP. 2000. Seagrass meadows and their inhabitants. Di

dalam: Underwood AJ, Chapman MG, editor. Coastal Marine Ecology of

Temperate Australia. Sydney: UNSW Press. hlm 221-239.

Kirkman H. 1997. Seagrass of Australia. State of Environment Technical Paper

Series (Estuaries and the Sea). Canberra: Department of the Environment,

Australia.

Kiswara W. 1992. Vegetasi lamun (seagrass) di rataan terumbu Pulau Pari,

Pulau-Pulau Seribu, Jakarta. Oseanologi di Indonesia 25: 31-49.

Kiswara W, Winardi. 1994. Keanekaragaman dan sebaran lamun di Teluk Kuta

dan Teluk Gerupuk Lombok Selatan. Di dalam: Kiswara W, Moosa MK,

Hutomo M, editor. Struktur Komunitas Biologi Padang Lamun di Pantai

Selatan Lombok dan Kondisi Lingkungannya. Jakarta: Puslitbang

Oseanologi-LIPI. hlm 15-33

Klumpp DW, Howard RK, Pollard DA. 1989. Trophodynamics and nutritional

ecology of seagrass communities. Di dalam: Larkum AWD, McComb AJ,

Shepherd SA, editor. Biology of Seagrasses. A Treatise on the Biology of

Seagrass with Special Reference to the Australian Region. Amsterdam:

Elsevier. hlm 394-457.

Klumpp DW, Salita-Espinosa JT, Fortes MD. 1993. Feeding ecology and trophic

role of sea urchins in a tropical seagrass community. Aquat Bot 45: 205-

229.

Kneer D, Asmus H, Vonk JA. 2008. Seagrass as the main food source of Neaxius

acanthus (Thalassinidea: Strahlaxiidae), its burrow associates and of

Page 223: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

186

Coralianassa coutierei (Thalassinidea: Calianassidae). Estuar Coast Shelf

Sci 79: 620-630.

Koch EW. 1994. Hydrodynamics, diffusion-boundary layers and photosynthesis

of seagrass Thalassia testudinum and Cymodocea nodosa. Mar Biol 118:

767-776.

Koch EW. 2001. Beyond light: physical, geological and geochemical parameters

as possible submersed aquatic vegetation habitat requirements. Estuaries

24: 1-17.

Koch MS, Schopmeyer SA, Kyhn-Hansen C, Madden CJ, Peters JS. 2007.

Tropical seagrass species tolerance to hypersalinity stress. Aquat Bot 86:

14-24.

Krause-Jenses D, Almela ED, Cunha AH, Greve TM. 2004. Have seagrass

distribution and abundance changed? Di dalam: Borum, Duarte CM,

Krause-Jenses D, Greve TM, editor. European Seagrasses: An Introduction

to Monitoring and Management. Copenhagen: the M & MS Project. hlm

24-32. http:/www.seagrasses.org. [30 Juni 2011].

Krebs CJ. 1999. Ecological Methodology. 2nd

Edition. California: Addison

Wesley Educational Publishers, Inc.

Krebs CJ. 2002. Ecology; The Experimental Analysis of Distribution and

Abundance. New York: Harper & Row Publisher.

Krupp LS, Cortés J, Wolff M. 2009. Growth dynamics and state of the seagrass

Thalassia testudinum in the Gandoca-Manzanillo National Wildlife Refuge,

Caribbean, Costa Rica. Rev Biol Trop 57(suppl.1): 187-201. http://www.

scielo.sa.cr. [16 Feb 2011].

Kumar R, Sharma BK, Sharma LL. 2007. Food and feeding habits of Catla catla

(Hamilton-Buchanam) from Daya Reservoir, Udaipur, Rajasthan. Indian J.

Anim.Res. 41(4): 266-269. http//arccjournals.com/pdf/...4.../ijar1-41-4-

006.pd. [10 Nov 2011].

Kuo J. 2007. New monoecious seagrass of Halophila sulawesii

(Hydrocharitaceae) from Indonesia. Aquat Bot 87: 171-175.

Kuriandewa TE, Kiswara W, Hutomo M, Soemodihardjo S. 2003. The

seagrasses of Indonesia. Di dalam: Green EP, Short FT, editor. World Atlas

of Seagrasses. Berkeley: University of California Press. hlm 171-182.

Lapointe BE, Barile PJ, Matzie WR. 2004. Anthropogenic nutrient enrichment of

seagrass and coral reef communities in the Lower Florida Keys:

Page 224: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

187

discrimination of local versus regional nitrogen sources. J Exp Mar Biol

Ecol 308: 23-58.

Lapointe BE, Tomasko DA, Matzie WR. 1994. Eutrophication and trophic state

classification of seagrass communities in the Florida Keys. Bull Mar Sci

54: 696-717.

Larcher W. 1995. Physiological Plant Ecology; Ecophysiology and Stress

Physiology of Functional Groups, 3rd

Edition. Berlin: Springer-Verlag.

Larkum AWD, West RJ. 1990. Long-term changes of seagrass meadows in

Botany Bay, Australia. Aquat Bot 37:55-70.

Larkum AWD, den Hartog C. 1989. Evolution and biogeography of seagrasses.

Di dalam: Larkum AWD, McComb AJ, Shepherd SA, editor. Biology of

Seagrasses. A Treatise on the Biology of Seagrass with Special Reference

to the Australian Region. Amsterdam: Elsevier. hlm 112-156.

Latief AG. 1999. Peran lembaga swadaya masyarakat (LSM) dalam pengelolaan

sumberdaya alam wilayah pesisir dan lautan yang berbasis masyarakat di

Pulau Barrangcaddi Kota Makassar. [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana,

Institut Pertanian Bogor.

Lechowics MJ. 1982. The sampling characteristics of electivity indices.

Oecologia (Berl) 52: 22-30. http://www.biology.mcgill.ca/faculty/

lechowics/articles/O-1982. [23 April 2012].

Lee KS, Dunton KH. 1996. Production and carbon reserve dynamics of the

seagrass Thalassia testudinum in Corpus Christi Bay, Texas, USA. Mar

Ecol Prog Ser 143: 201-210.

Lee KS, Short FT, Burdick DM. 2004. Development of a nutrient pollution

indicator using the seagrass, Zostera marina, along nutrient gradient in

three New England estuaries. Aquat Bot 78: 197-216.

Lee Long WJ, Mellors JE, Coles RG. 1993. Seagrasses between Cape York and

Hervey Bay, Queensland, Australia. Aust J Mar Fresh Res 44: 19-31.

Leoni V, Vela A, Pasqualini V, Pergent-Martini C, Pergent G. 2008. Effects of

experimental reduction of light and nutrient enrichment (N and P) on

seagrass: A review. Aquat Conserv-Mar Fresh Ecos 18: 202-220.

Lirman D, Cropper WP Jr. 2003. The influence of salinity on seagrass growth,

survivorship, and distribution within Biscayne Bay, Florida: Field,

experimental, and modeling studies. Estuaries, 26(1): 131-141.

Liu HTH. 2008. Biodiversity of shrimp associated gobies (Teleostei: Gobiidae) in

a seagrass bed at Barranglompo Island, Spermonde Archipelago, Indonesia,

Page 225: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

188

with special remarks on Austrolethops wardi [Diplome Thesis]. University

of Vienna, Austria.

Lobban CS, Harrison PJ. 1997. Seaweed Ecology and Physiology. Cambridge:

Cambridge University Press.

Ludwig JA, Reynolds JF. 1988. Statistical Ecology: A Primer of Methods and

Computing. New York: Wiley Press.

Lymo TJ, Mamboya F, Hamisi M, Lugomela C. 2011. Food preference of the sea

urchin Tripneustes gratilla (Linnaeus, 1758) in tropical seagrass habitats at

Dar es Salaam, Tanzania. J Ecol Nat Environment 3(13): 415-423.

http://www.academicjournals.org/JENE. [22 Mei 2012].

Madsen JD, Chambers PA, James WF, Koch W, Westlake DF. 2001. The

interaction between water movement, sediment dynamics and submersed

macrophytes. Hydrobiologia 444: 71-84.

Mamboya F, Lugomela C, Mvungi E, Hamisi M, Kamukuru AT, Lyimo TJ. 2009.

Seagrass-sea urchin interaction in shallow littoral zones of Dar es Salaam,

Tanzania. Aquatic Conserv: Mar Freshw Ecosyst 19: S19-S26.

Marba N, Holmer M, Gacia E, Barron C. 2006. Seagrass beds and coastal

biogeochemistry. Di dalam: Larkum AWD, Orth RJ, Duarte CM, editor.

Seagrasses: Biology, Ecology and Conservation. The Netherland: Springer.

McCarthy G. 2007. Blane Perun’s the Sea. (Diakses tanggal 12 Mei 2007).

McGlathery KJ. 1995. Nutrient and grazing influences on a tropical seagrass

community. Mar Ecol Prog Ser 122: 239-252.

McGlathery KJ. 2001. Macroalgal blooms contribute to the decline of seagrass in

nutrient-enriched coastal waters. J Phycol 37: 453-456.

McGlathery KJ, Sundbank K, Anderson IC. 2007. Eutrophication in shallow

coastal bays and lagoons: the role of plants in the coastal filter. Mar Ecol

Prog Ser 348: 1-18.

Mellors J, Waycott M, Marsh H. 2005. Variation in biogeochemical parameters

across intertidal seagrass meadows in the central Great Barrier Reef region.

Mar Poll Bull 51: 335-342.

Miskelly A. 2002. Sea Urchin of Australia and The Indo-Pacific. Sydney:

Capricornica Publications.

Moll H. 1983. Zonation and diversity of Scleractinia on reefs of South Sulawesi

[tesis]. Netherland: Leiden University.

Page 226: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

189

Molles MC. 2008. Ecology; Concepts and Applications. 4th

Edition. New York.

McGraw-Hill Companies, Inc.

Moreira AR, et al. 2006. Variation of macroalgae biomass in Cienfuegos Bay,

Cuba. Rev Invest Mar 27(1): 3-12.

Morris EP, Peralta G, Brun FG, van Duren L, Bouma TJ, Perez-Llorens JL. 2008.

Interaction between hydrodynamics and seagrass canopy structure:

Spatially explicit effects on ammonium uptake rates. Limnol Oceanogr 53:

1531-1539.

Newton A, Icely JD, Falcao M, Nobre A, Nunes JP, Ferreira JG, Vale C. 2003.

Evaluation of eutrophication in the Ria Formosa coastal lagoon, Portugal.

Cont Shelf Res 23: 1945-1961.

Nontji A. 2007. Laut Nusantara. Edisi Revisi Cetakan 5. Jakarta: Djambatan.

Nybakken JW. 1992. Biologi Laut, Suatu Pendekatan Ekologis. Jakarta: PT.

Gramedia.

Nybakken JW, Bertness MD. 2005. Marine Biology. An Ecological Approach.

Sixth Edition. San Francisco: Pearson Education Inc. Publishing.

Obura DO, Grimsdith G. 2009. Resilience Assessment of Coral Reefs-Assessment

Protocol for Coral Reefs, Focusing on Coral Bleaching and Thermal Stress.

Gland, Switzerland: IUCN Working Group on Climate Change and Coral

Reefs.

Odum EP. 1996. Dasar-Dasar Ekologi. 3rd

Edition. Yogyakarta: Gadjah Mada

University Press.

Ogden JC, Gladfelter EH, editor. 1983. Coral Reefs, Seagrass Beds and

Mangroves: Their Interaction in the Coastal Zone of the Caribbean.

Montevideo: Unesco Reports in Marine Science, Unesco Regional Office

for Latin America and the Caribbean.

Orfanidis S, Panayotidis P, Stamatis N. 2001. Ecological evaluation of

transitional and coastal waters: A marine benthic macrophytes-based model.

Mediterranean Mar Sci 2(2): 45-65.

Orfanidis S, Panayotidis P, Stamatis N. 2003. An insight to the ecological

evaluation index (EEI). Ecol Indic 3: 27-33.

Orth RJ et al. 2006. A global crisis for seagrass ecosystems. Bioscience 56: 987-

996.

Pedersen O, Borum J, Duarte CM, Fortes MD. 1998. Oxygen dynamics in the

rhizosphere of Cymodocea rotundata. Mar Ecol Prog Ser 169: 283-288.

Page 227: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

190

Peralta G, Brun FG, Perez-Llorens JL, Bouma TJ. 2006. Direct effects of current

velocity on the growth, morphometry and architecture of seagrasses: a case

study on Zostera noltii. Mar Ecol Prog Ser 327: 135-142.

Peterson CH, Luettich Jr. RA, Micheli F, Skilleter GA. 2004. Attenuation of

water flow inside seagrass canopies of differing structure. Mar Ecol Prog

Ser 268: 81-92.

Phillips RC, McRoy CP. 1990. Seagrass Research Methods. Paris: UNESCO.

Phillips RC, Menez EG. 1988. Seagrasses. Washington DC: Smithsonian

Institution Press.

Poiner IR, Walker DI, Coles RG. 1989. Regional studies-seagrasses of tropical

Australia. Di dalam: Larkum AWD, McComb AJ, Shepherd SA, editor.

Biology of Seagrasses. A Treatise on the Biology of Seagrass with Special

Reference to the Australian Region. Amsterdam: Elsevier. hlm 279-303.

Prathep A. 2005. Spatial and temporal variations in diversity and percentage

cover of macroalgae at Sirinart Marine National Park, Phuket Province,

Thailand. Science Asia 31: 225-233.

Preen A, Lee Long WJ, Coles RG. 1995. Flood and cyclone related loss, and

partial recovery, of more than 1,000 km2 of seagrass in Hervey Bay,

Queensland, Australia. Aquat Bot 52: 3 – 17.

Price IR. 1990. Marine plant life. Di dalam: Clayton MN, King RJ, editor.

Biology of Marine Plants. Melbourne: Longman Cheshire Pty Ltd. hlm 5-

24.

Priosambodo D. 2011. Struktur komunitas makrozoobentos di daerah padang

lamun Pulau Bonebatang Sulawesi Selatan [tesis]. Bogor: Sekolah

pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Prud’homme van Reine WF, Trono Jr. GC (eds). 2001. Plant Resources of

Southeast Asia 15(1), Cryptogams: Algae. Leiden, The Netherlands:

Backhuys Publishers.

Pulich W Jr, Blair C, White WA. 1997. Current Status and Historical Trends of

Seagrass in the Corpus Christi Bay National Estuary Program Study Area.

Texas: CCBNEP. http:/www.sci.tamucc.edu/ccbnep. [4 Februari 2006].

Rachmilevitch S, DaCosta M, Huang B. 2006. Physiological and Biochemical

Indicators for Stress Tolerance. Di dalam: Huang B, editor. Plant-

Environment Interactions, 3rd

Edition. Boca Raton: CRC Press. hlm 321-

355.

Page 228: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

191

Ralph PJ, Tomasko D, Moore K, Seddon S, Macinnis-Ng CMO. 2006. Human

impacts on seagrasses: eutrophication, sedimentation and contamination.

Di dalam: Larkum AWD, Orth RJ, Duarte CM, editor. Seagrasses:

Biology, Ecology and Conservation. The Netherland: Springer. hlm 567-

593.

Rappe RA. 2010. Struktur komunitas ikan pada padang lamun yang berbeda di

Pulau Barranglompo. J Ilmu Tek Kel Trop 2(2): 62-73.

Reimann C, Filzmoser P, Garrett R, Dutter R. 2008. Statistical Data Analysis

Explained: Applied Environmental Statistics with R. Chicester: John Wiley

& Sons, Ltd.

Riana AD. 2006. Analisis bioekonomi ikan karang hidup konsumsi di Kepulauan

Spermonde, Sulawesi Selatan [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut

Pertanian Bogor.

Risamasu FJL. 2008. Inovasi teknologi penangkapan ikan karang dengan bubu

dasar berumpon [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian

Bogor.

Romero J, Lee KS, Perez M, Mateo MA, Alcoverro T. 2006. Nutrient dynamics

in seagrass ecosystems. Di dalam: Larkum AWD, Orth RJ, Duarte CM,

editor. Seagrasses: Biology, Ecology and Conservation. The Netherlands:

Springer. hlm 227-254.

Samawi F. 2001. Kandungan klorofil-a perairan Pulau Bonebatang, Kepulauan

Spermonde, Sulawesi Selatan. Torani 11(1): 21-26.

Samper-Villareal J, Bernecker A, Wehrtmann IS. 2008. Inventory of macroalgal

epiphytes on the seagrass Thalassia testudinum (Hydrocharitaceae) in

Parque Nacional Cahuita, Caribbean Coast of Costa Rica. Int J Trop Biol

56(Suppl 4): 163-174.

Sand-Jensen K, Borum J. 1991. Interactions among phytoplankton, periphyton,

and macrophytes in temperate freshwater and estuaries. Aquat Bot 41: 137-

175.

Schanz A, Asmus H. 2003. Impact of hydrodynamics on development of

intertidal seagrasses in the Wadden Sea. Mar Ecol Prog Ser 261: 123-134.

Schulze ED, Beck E, Müller-Hohenstein K. 2005. Plant Ecology. Berlin-

Heidelberg: Springer.

Schumacher BA. 2002. Methods for the Determination of Total Organic Carbon

(TOC) in Soils and Sediments. Las Vegas: US Environmental Protection

Agency.

Page 229: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

192

Shepherd SA, McComb AJ, Bulthuis DA, Neverauskas V, Steffensen DA, West

R. 1989. Decline of seagrasses. Di dalam: Larkum AWD, McComb AJ,

Shepherd SA, editor. Biology of Seagrasses. A Treatise on the Biology of

Seagrass with Special Reference to the Australian Region. Amsterdam:

Elsevier. hlm 346-393.

Short FT, Burdick DM, Kaldy JE. 1995. Mesocosm experiment quantify the

effects of eutrophication on eelgrass Zostera marina. Limnol Oceanogr 40:

740-749.

Short FT, Carruthers T, Dennison W, Waycott M. 2007. Global seagrass

distribution and diversity: a bioregional model. J Exp Mar Biol Ecol 350:

3-20.

Short FT, Coles RG (eds). 2003. Global Seagrass Research Methods.

Amsterdam: Elsevier Science BV.

Short FT, Denison WC, Capone DG. 1990. Phosphorus-limited growth of the

tropical seagrass Syringodium filiforme in carbonate sediments. Mar Ecol

Prog Ser 62: 169-174.

Short FT, McKenzie LJ, Coles RG, Gaeckle JL. 2004. SeagrassNet Manual for

Scientific Monitoring of Seagrass Habitat-Western Pacific Edition. New

Hampshire: University of New Hampshire; QDPI Australia: Northern

Fisheries Center.

Short FT, Wyllie-Echeverria S. 1996. Natural and human induced disturbance of

seagrasses. Environ Conserv 23: 17-27.

Sidik BJ, Bandeira SO, Milchakova NA. 2001. Methods to measure macroalgal

biomass and abundance in seagrass meadows. Di dalam: Short FT, Coles

RG, editor. Global Seagrass Research Methods. Amsterdam: Elsevier

Science BV. hlm 223-235.

Smith RL, Smith TM. 2003. Elements of Ecology. 5th

Edition. San Fransisco:

Pearson Education, Inc. Publishing.

Stapel J, Aarts TL, van Duynhoven BHM, de Groot JD, van de Hoogen PHW,

Hemminga MA. 1996. Nutrient uptake by leaves and roots of the seagrass

Thalassia hemprichii in the Spermonde Archipelago, Indonesia. Mar Ecol

Prog Ser 134: 195-206.

Stapel J & Hemminga MA. 1997. Nutrient resorption from seagrass leaves. Mar

Biol 128: 197-206.

Stapel J, Manuntun R, Hemminga MA. 1997. Biomass loss and nutrient

redistribution in an Indonesian Thalassia hemprichii seagrass bed following

Page 230: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

193

seasonal low tide exposure during daylight. Mar Ecol Prog Ser 148: 251-

262.

Strauss RE. 1979. Reliability estimates for Ivlev’s electivity index, the forage

ratio, and a proposed linear index of food selection. Transactions of the

American Fisheries Society 108: 344-352. http://www.faculty.biol.ttu.edu/

strauss/ pubs/papers/1979strauss. [23 April 2012].

Strickland JDH, Parsons TR. 1984, A Practical Handbook of Seawater Analysis.

Ottawa: Queen’s Printer.

Supriadi. 2003. Produktivitas lamun Enhalus acoroides (Linn.F) Royle dan

Thalassia hemprichii (Ehrenb.) Ascherson di Pulau Barang Lompo

Makassar [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Supriadi, La Nafie YA, Burhanuddin AI. 2004. Inventarisasi jenis, kelimpahan

dan biomassa ikan di padang lamun Pulau Barranglompo, Makassar. Torani

14: 288-295.

Supriadi & Arifin. 2005. Dekomposisi serasah daun lamun Enhalus acoroides

dan Thalassia hemprichii di Pulau Barranglompo, Makassar. Torani 15: 59-

64.

Supriadi & Arifin. 2005. Pertumbuhan, biomassa dan produksi lamun Enhalus

acoroides di Pulau Bonebatang Makassar. Jurnal Protein 12: 293-301.

Supriadi, Soedharma D, Kaswadji RF. 2006. Beberapa aspek pertumbuhan lamun

Enhalus acoroides (Linn. F) Royle di Pulau Barranglompo Makassar.

Biosfera 23(1): 1-8.

Supriyadi IH, Kuriandewa TE. 2008. Seagrass distribution at small islands: case

study of Derawan Archipelago, East Kalimantan Province, Indonesia.

Oseanologi dan Limnologi di Indonesia 34: 83-99.

Susetiono. 2004. Fauna Padang Lamun Tanjung Merah Selat Lembeh. Jakarta:

Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI.

Susetiono. 2007. Lamun dan Fauna Teluk Kuta, Pulau Lombok. Jakarta: Pusat

Penelitian Oseanografi-LIPI.

Sze P. 1993. A Biology of the Algae. Dubuque: WCB WM.C.Brown Publishers.

Tahir A. 2010. Formulasi indeks kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil.

Kasus Pulau Kasu-Kota Batam, Pulau Barranglompo-Kota Makassar, dan

Pulau Saonek-Kabupaten Raja Ampat [disertasi]. Bogor: Sekolah

Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Page 231: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

194

Tait RV, Dipper EA. 1998. Elements of Marine Ecology. 4th

Edition. Oxford:

Butterworth-Heinemann.

Takaendengan K, Azkab MH. 2010. Struktur komunitas lamun di Pulau Talise,

Sulawesi Utara. Oseanologi dan Limnologi di Indonesia 36(1): 85-95.

Terrados J, Borum J. 2004. Why are seagrasses important? – Goods and services

provided by seagrass meadows. Di dalam: Borum, Duarte CM, Krause-

Jensen D, Greve TM, editor. European Seagrasses: An Introduction to

Monitoring and Management. Copenhagen: the M & MS Project. hlm 8-10.

http:/www.seagrasses.org. [30 Juni 2011].

Terrados J, Medina-Pons FJ. 2011. Inter-annual variation of shoot density and

biomass, nitrogen and phosphorus content of the leaves, and epiphyte load

of seagrass Posidonia oceanica (L.) Delile off Mallorca, Western

Mediterranean. Sci Mar 75(1): 61-70.

Tewfik A, Rasmussen JB, McCann KS. 2005. Anthropogenic enrichment alters a

marine benthic food web. Ecology 86: 2726-2736. http://dx.doi.org/

10.1890/04-1537. [6 Maret 2012].

Tomascik T, Mah AJ, Nontji A, Moosa MK. 1997. The Ecology of the

Indonesian Seas. Singapore: Periplus.

Tomasko DA, Lapointe BE. 1991. Productivity and biomass of Thalassia

testudinum as related to water column nutrient availability and epyphyte

levels: field observations and experimental studies. Mar Ecol Prog Ser 75:

9-17.

Touchette BW. 2007. Seagrass-salinity interactions: physiological mechanisms

used by submersed marine angiosperms for a life at sea. J Exp Mar Biol

Ecol 350: 194-215.

Treweek J. 1999. Ecological Impact Assessment. Oxford: Blackwell Science.

Trono GC, Jr 1997. Field Guide and Atlas of the Seaweed Resources of the

Philippines. Manila: Bookmark, Inc.

Trono GJ, Jr, Ganzon-Fortez ET. 1988. Philippine Seaweeds. Manila: National

Book Store, Inc.

Udy JW, Dennison WC, Lee Long WJ, McKenzie LJ. 1999. Responses of

seagrass to nutrients in the Great Barrier Reef, Australia. Mar Ecol Prog

Ser 185: 257-271.

Valentine JF, Duffy JE. 2006. The central role of grazing in seagrass ecology. Di

dalam: Larkum AWD, Orth RJ, Duarte CM, editor. Seagrass: Biology,

Ecology and Conservation. The Netherlands: Springer. hlm 463-501.

Page 232: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

195

Valentine JF, Heck KL Jr. 1999. Seagrass herbivory: evidence for the continued

grazing of marine grasses. Mar Ecol Prog Ser 176: 291-302.

Valentine JF, Heck KL Jr, Kirsch KD, Webb D. 2000. Role of sea urchin

Lythecinus variegatus grazing in regulating subtropical turtlegrass

Thalassia testudinum meadows in the Florida Keys (USA). Mar Ecol Prog

Ser 200: 213-228.

Vanderklift MA, Lavery PS. 2000. Patchiness in assemblages of epiphytic

macroalgae on Posidonia coriacea at a hierarchy of spatial scales. Mar

Ecol Prog Ser 192: 127-135.

Vanderploeg HA, Scavis D. 1979. Two electivity indices for feeding with special

reference to zooplankton grazing. J Fish Res Board Canada 36: 362-365.

Verduin JJ, Backhaus JO. 2000. Dynamics of plant-flow interactions for the

seagrass Amphibolis antartica: field observations and model simulations.

Estuar Coast Shelf Sci 50: 185-204.

Verheij E. 1993. Marine plants on the reef of the Spermonde Archipelago, SW

Sulawesi, Indonesia: aspect of taxonomy, floristic and ecology. [disertasi].

Leiden: Rijksherbarium/Hortus Botanicus.

Verheij E, Erftemeijer PLA. 1993. Distribution and associated macroalgae in

South Sulawesi, Indonesia. Blumea 38: 45-64.

Vermaat JE, Agawin NSR, Duarte CM, Fortes MD, Marba N, Uri JS. 1995.

Meadow maintenance, growth productivity of a mixed Philippine seagrass

bed. Mar Ecol Prog Ser 124: 215-225.

Viaroli P, Bartoli M, Giordani G, Naldi M, Orfanidis S, Zaldivar JM. 2008.

Community shifts, alternative stable states, biogeochemical controls and

feedbacks in eutrophic coastal lagoons: a brief review. Aquatic Conserv

Mar Freshw Ecosyst 18: S105-S117.

Vonk JA, Pijnappels MHJ, Stapel J. 2008. In situ quantification of Tripneustes

gratilla grazing and its effect on three co-occuring tropical seagrass species.

Mar Ecol Prog Ser 360: 107-114.

Vonk JA, Stapel J. 2008. Regeneration of nitrogen (15

N) from seagrass litter in

tropical Indo-Pacific meadows. Mar Ecol Prog Ser 368: 165-175.

Walker BH, Holling CS, Carpenter S, Kinzig A. 2004. Resilience, adaptability,

and transformability in social-ecological system. Ecol Soc 9(2): 5.

Walker DI, Kendrick GA, McComb AJ. 2006. Decline and recovery of seagrass

ecosystems-The dynamics of change. Di dalam: Larkum AWD, Orth RJ,

Page 233: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

196

Duarte CM, editor. Seagrasses: Biology, Ecology and Conservation.

Dordrecht: Springer. hlm 551-565.

Warry FY, Hindell JS. 2009. Review of Victorian Seagrass Research, with

Emphasis on Port Phillip Bay. Draft Report. Victoria: Arthur Rylah

Institute for Environmental Research, Department of Sustainability and

Environment.

Waycott M, McMahon K, Mellars J, Calladine A, Kleine D. 2004. A Guide to

Tropical Seagrasses of the Indo West Pacific. Townsville: James Cook

University.

Waycott M et al. 2009. Accelerating loss of seagrasses across the globe threatens

coastal ecosystems. PNAS 106 (30):12377-12381. http:/ www. pnas.org/

cgi/doi/10.1073/pnas.0905620106. [4 Agustus 2010].

Wenno PA. 2004. Kolonisasi epifit pada daun lamun Thalassia hemprichii dan

Enhalus acoroides. Ichtyos 3(1): 21-26.

Wimbaningrum R. 2003. Komunitas lamun di rataan terumbu Pantai Bama,

Taman Nasional Baluran, Jawa Timur. Jurnal Ilmu Dasar 4(1): 25-32.

Young DR. 2009. Macroalgal interactions with the seagrasses Zostera spp and

Thalassia testudinum. Di dalam: Nelson WG, editor. Seagrasses and

Protective Criteria: A Review and Assessment of Research Status.

Newport: National Health and Environment. hlm 8.1-8.15.

Zaelany AA. 2007. Perilaku para pihak dalam kegiatan penangkapan ikan di

Pulau Barranglompo (Makassar) dan transformasi menuju perikanan

berkelanjutan [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian

Bogor.

Zieman JC. 1974. Methods for the study of growth and production of turtle grass

Thalassia testudinum Konig. Aquaculture 4: 139-144.

Zieman JC. 1986. Gradients in Caribbean Seagrass Ecosystem. Results of

Planning Workshop at Discovery Bay Marine Laboratory. Jamaica:

University of the West Indies.

Zupo V, Nelson WG, Gambi MC. 2001. Measuring invertebrate grazing on

seagrasses and epiphytes. Di dalam: Short FT, Coles RG, editor. Global

Seagrass Research Methods. Amsterdam: Elsevier Science BV. hlm 293-

312

Page 234: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

197

LAMPIRAN

Page 235: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

198

Page 236: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

199

Lampiran 1 Daftar Istilah

Alternate : Posisi letak daun atau percabangan yang berbeda

tingginya, bersebelahan atau pada jarak letak tertentu

yang berbeda satu dengan lainnya

Anastomose : Saling terikat secara tidak beraturan membentuk

jaringan

Apeks : Puncak atau ujung thallus

Blade Bagian thallus makroalgae yang menyerupai daun

Calcareous : Mengandung kalsium karbonat yang tinggi

Cartilaginous : Lunak seperti tulang rawan

Clavate : Bentuk seperti tongkat

Dichotomous : Percabangan menjadi dua bagian yang sama atau ke

dua arah terus menerus

Discoid : Bulat pipih menyerupai cakram

Disturbansi : segala mekanisme atau proses yang mempengaruhi

struktur dan fungsi komunitas

Divaricate : Bercabang pada sudut yang lebar

Filamentous : Berbentuk seperti kawat

Filiform : Berbentuk seperti benang

Holdfast : Alat pelekat di bagian bawah thallus pada algae

Oportunistis : Spesies tumbuhan atau hewan beradaptasi untuk hidup

pada habitat atau sumberdaya yang baru dibuka dan

umumnya dijumpai pada lingkungan yang susah

diprediksi, transisi, dan berubah-ubah

Prostrate : Terletak rata di dasar

Reniform : Berbentuk seperti ginjal

Ruderal : Tumbuhan yang bisa tumbuh pada daerah yang

tercemar atau lahan yang tidak produktif

Spesies annual : Tumbuhan yang melengkapi siklus hidupnya dalam

satu tahun saja

Spesies perennial : Tumbuhan yang hidup lebih dari 2 tahun

Stipe : Bagian algae yang menyerupai batang, biasanya

bagian basal thallus di atas holdfast

Stolon : Cabang merambat yang timbul pada bagian dasar

thallus yang dapat menumbuhkan cabang lain yang

vertikal

Terete : Bentuk bulat/silindris

Thallus : Tubuh atau bagian vegetatif algae yang belum

terdiferensiasi atas daun, akar dan batang sebenarnya

Trichotomous : Sistem percabangan menjadi tiga bagian atau ke tiga

arah yang sama, terus menerus

Turbinate : Berbentuk kerucut terbalik, bentuk lonceng

Page 237: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

200

Lampiran 2 Koordinat GPS Posisi Stasiun dan Sub stasiun Penelitian

Pulau Barranglompo

Pulau Bonebatang

Sub

Stasiun

Posisi

Sub

Stasiun

Posisi

Latitude

(Lintang

Selatan)

Longitude

(Bujur

Timur)

Latitude

(Lintang

Selatan)

Longitude

(Bujur

Timur)

A1 5o 03’ 05.66‖ 119

o 19’ 47.36‖ A1 5

o 00’ 51.59‖ 119

o 19’ 36.89‖

A2 5o 03’

’ 06.20‖ 119

o 19’ 42.51‖ A2 5

o 00’ 51.94‖ 119

o 19’ 35.63‖

A3 5o 03’ 05.30‖ 119

o 19’39.48‖ A3 5

o 00’ 51.92‖ 119

o 19’ 34.28‖

A4 5o 02’ 59.43‖ 119

o 19’ 37.55‖ A4 5

o 00’ 51.49‖ 119

o 19’ 33.40‖

A5 5o 02’ 56.79‖ 119

o 19’ 37.37‖ A5 5

o 00’ 49.88‖ 119

o 19’ 34.07‖

A6 5o 02’ 47.79‖ 119

o 19’38.95‖ A6 5

o 00’ 48.03‖ 119

o 19’ 33.63‖

A7 5o 02’45.98‖ 119

o 19’ 41.46‖ A7 5

o 00’ 47.16‖ 119

o 19’33.36‖

A8 5o 02’ 44.10‖ 119

o 19’ 45.14‖ A8 5

o 00’ 45.54‖ 119

o 19’33.70‖

A9 5o 02’ 43 02‖ 119

o 19’ 48.16‖ A9 5

o 00’ 43.57‖ 119

o 19’ 33.86 ―

B1 5o 03’ 09.35‖ 119

o 19’47.54‖ B1 5

o 00’54.76‖ 119

o 19’ 37.01‖

B2 5o 03’ 09.84‖ 119

o 19’42.44‖ B2 5

o 00’ 55.19‖ 119

o 19’ 35.97‖

B3 5o 03’ 09.23‖ 119

o 19’ 39.44‖ B3 5

o 00’55.28‖ 119

o 19’ 33.95‖

B4 5o 02’ 59.08‖ 119

o 19’33.94‖ B4 5

o 00’ 51.46‖ 119

o 19’ 30.47‖

B5 5o 02’ 57.13‖ 119

o 19’ 34.26‖ B5 5

o 00’ 50.09‖ 119

o 19’ 31.00‖

B6 5o 02’ 47.01‖ 119

o 19’ 34.07‖ B6 5

o 00’ 48.10‖ 119

o 19’ 30.10‖

B7 5o 02’42.29‖ 119

o 19’41.07‖ B7 5

o 00’ 45.24‖ 119

o 19’ 31.25‖

B8 5o 02’40.69‖ 119

o 19’ 44.70‖ B8 5

o 00’ 43.07‖ 119

o 19’ 32.23‖

B9 5o 02’40.07‖ 119

o 19’ 47.71‖ B9 5

o 00’41.24‖ 119

o 19’ 33.45‖

C1 5o 03’ 14.10‖ 119

o 19’47.58‖ C1 5

o 00’ 58.19‖ 119

o 19’ 37.88‖

C2 5o 03’ 14.48‖ 119

o 19’ 42.52‖ C2 5

o 00’ 59.03‖ 119

o 19’ 36.34‖

C3 5o 03’ 13.43‖ 119

o 19’ 39.28‖ C3 5

o 00’ 59.05‖ 119

o 19’ 33.34‖

C4 5o 02’ 59.05‖ 119

o 19’30.28‖ C4 5

o 00’52.01‖ 119

o 19’26.20‖

C5 5o 02’57.73‖ 119

o 19’ 30.83‖ C5 5

o 00’50,22‖ 119

o 19’27.69‖

C6 5o 02’46.58‖ 119

o 19’ 28.82‖ C6 5

o 00’48.19‖ 119

o 19’26.48‖

C7 5o 02’38.27‖ 119

o 19’ 40.51‖ C7 5

o 00’ 43.09‖ 119

o 19’ 29.44‖

C8 5 02 37.63 119o 19’44.19‖ C8 5

o 00’ 40.79‖ 119

o 19’30.49‖

C9 5 02 36.75 119o 19’46.63‖ C9 5

o 00’ 38.43‖ 119

o 19’32.28‖

Page 238: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

201

Lampiran 3. Kunci Identifikasi Lamun di Indonesia (Phillips & Menez 1988; Meneg

LH 2004)

1. Daun pipih ....................................................................................................... 2

Daun berbentuk silindris. ……………...Syringodium isoetifolium (Gambar 1).

2. Daun bulat-panjang, bentuk seperti telur atau pisau wali ………….Halophila

a. Panjang helaian daun 11 – 40 mm, mempunyai 10-25 pasang tulang daun

………………………………………………..Halophila ovalis (Gambar 2).

b. Daun dengan 4-7 pasang tulang daun............................................................ c

c. Daun sampai 22 pasang, tidak mempunyai tangkai daun, tangkai panjang ..

…………………………………………… Halophila spinulosa (Gambar 3)

c1. Panjang daun 5-15 mm, pasangan daun dengan tegakan pendek ……

…………………………………............... Halophila minor (Gambar 4)

c2. Daun dengan pinggir yang bergerigi seperti gergaji ……………………

……..………………………………….Halophila decipiens (Gambar 5)

c3. Daun membujur seperti garis, biasanya panjang 50 – 200 mm ………….. 3

3. Daun berbentuk selempang yang menyempit pada bagian bawah....................... 4

a. Tidak seperti diatas ......................................................................................... 6

4. Tulang daun tidak lebih dari 3 ……….………………………………….. Halodule

a. Ujung daun membulat, ujung seperti gergaji Halodule pinifolia (Gambar 6)

b. Ujung daun seperti trisula ………………... Halodule uninervis (Gambar 7)

c. Tulang daun lebih dari 3................................................................................. 5

5. Jumlah akar 1-5 dengan tebal 0,5-2 mm ujung daun seperti gigi …………….

…..………………………………………..Thalassodendron ciliatum (Gambar 8)

6. Tidak seperti diatas …………………………………….……………. Cymodocea

a. Ujung daun halus licin, tulang daun 9-1 ……………….Cymodocea rotundata

(Gambar 9)

b. Ujung daun seperti gergaji, tulang daun 13-17 ……….. Cymodocea serrulata

(Gambar 10)

7. Rimpang berdiameter 2-4 mm tanpa rambut-rambut kaku; panjang daun 100-

300 mm, lebar daun 4-10 mm …………….…Thalassia hemprichii (Gambar 11)

8. Rimpang berdiameter lebih 10 mm dengan rambut-rambut kaku; panjang

daun 300-1500 mm, lebar 13-17 mm ………… Enhalus acoroides (Gambar 12)

Page 239: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

202

Gambar 1 Syringodium isoetifolium (Ascherson) Dandy

Gambar 2 Halophila ovalis (R. Brown) Hooker f.

Page 240: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

203

Gambar 3 Halophila spinulosa Ascherson

Gambar 4 Halophila minor (Zollinger) den Hartog

Page 241: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

204

Gambar 5 Halophila decipiens Ostenf

Gambar 6 Halodule pinifolia (Miki) den Hartog

Page 242: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

205

Gambar 7 Halodule uninervis (Forsskal) Ascherson

Gambar 8 Thalassodendron ciliatum (Forsskal) den Hartog

Page 243: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

206

Gambar 9 Cymodocea rotundata Ehrenberg & Hemprich ex Ascherson

Gambar 10 Cymodocea serrulata (R. Brown) Ascherson and Magnus

Page 244: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

207

Gambar 11 Thalassia hemprichii (Ehrenberg) Ascherson

Gambar 12 Enhalus acoroides (Linnaeus f.) Royle

Page 245: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

208

Lampiran 4 Kerapatan, Frekuensi dan Penutupan jenis-jenis lamun pada setiap

stasiun di Pulau Barranglompo dan Pulau Bonebatang

A. Kerapatan (Di) dan kerapatan relatif (Rdi) jenis-jenis lamun pada setiap

stasiun di Pulau Barranglompo

No Species

Stasiun

A B C

Di

(Tgk/m2)

RDi

(%)

Di

(Tgk/m2)

RDi

(%)

Di

(Tgk/m2)

RDi

(%) 1. C. rotundata 88.22 10.05 157.22 23.22 140.44 20.37

2. E. acoroides 104.44 11.90 77.78 11.49 69.33 10.06

3. H. pinifolia 0.00 0.00 6,22 0.92 6.67 0.97

4. H. uninervis 377.78 43.05 118.67 17.53 92.44 13.41

5. H. minor 0.00 0.00 0.00 0.00 6.44 0.93

6. H. ovalis 0.00 0.00 14.78 2.18 36.44 5.29

7. S. isoetifolium 63.33 7.22 11.11 1.64 47.33 6.87

8. T. hemprichii 243.67 27.77 291.33 43.03 290.22 42.10

B. Kerapatan (Di) dan kerapatan relatif (Rdi) jenis-jenis lamun pada setiap

stasiun di Pulau Bonebatang

No Species

Stasiun

A B C

Di

(Tgk/m2)

RDi

(%)

Di

(Tgk/m2)

RDi

(%)

Di

(Tgk/m2)

RDi

(%) 1. C. rotundata 377.44 20.87 369.56 20.51 256.22 18.06

2. E. acoroides 56.67 3.13 54.22 3.01 31.56 2.22

3. H. uninervis 627.56 34.70 742.67 41.21 649.78 45.81

4. H. minor 0.00 0.00 0.00 0.00 6.22 0.44

5. H. ovalis 40.22 2.22 13.11 0.73 16.22 1.14

6. S. isoetifolium 27.56 1.52 24.89 1.38 13.33 0.94

7. T. hemprichii 679.11 37.55 597.56 33.16 445.11 31.38

C. Frekuensi (Fi) dan frekuensi relatif (Rfii) jenis-jenis lamun pada setiap

stasiun di Pulau Barranglompo

No Species

Stasiun

A B C

Fi

RFi

(%)

Fi

RFi

(%)

Fi

RFi

(%) 1. C. rotundata 0.33 14.29 0.67 18.18 0.67 17.14

2. E. acoroides 0.89 38.10 1.00 27.27 1.00 25.71

3. H. pinifolia 0.00 0.00 0.11 3.03 0.11 2.86

4. H.uninervis 0.11 4.76 0.33 9.09 0.22 5.71

5. H. minor 0.00 0.00 0.00 0.00 0.11 2.86

6. H. ovalis 0.00 0.00 0.44 12.12 0.44 11.43

7. S. isoetifolium 0.22 9.52 0.11 3.03 0.56 14.29

8. T. hemprichii 0.78 33.33 1.00 27.27 0.78 20.00

Page 246: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

209

D. Frekuensi (Fi) dan frekuensi relatif (Rfii) jenis-jenis lamun pada setiap

stasiun di Pulau Bonebatang

No Species

Stasiun

A B C Fi

RFi

(%)

Fi

RFi

(%)

Fi

RFi

(%)

1. C. rotundata 0.67 18.18 0.67 18.77 0.67 17.69

2. E. acoroides 0.67 18.18 0.89 25.02 0.67 17.69

3. H. uninervis 0.67 18.18 0.67 18.78 0.67 17.69

4. H. minor 0.00 0.00 0.00 0.00 0.22 5.87

5. H. ovalis 0.33 9.09 0.33 9.29 0.44 11.73

6. S. isoetifolium 0.33 9.09 0.22 6.26 0.22 5.87

7. T. hemprichii 1.00 27.27 0.78 21.89 0.89 23.47

E. Penutupan (Ci) dan penutupan relatif (RCi) jenis-jenis lamun pada setiap

stasiun di Pulau Barranglompo

No Species

Stasiun

A B C Ci

RCi

(%)

Ci

RCi

(%)

Ci

RCi

(%)

1. C. rotundata 3.78 6.67 6.70 14.07 6.39 12.43

2. E. acoroides 28.16 49.72 24.39 51.18 19.81 38.54

3. H. pinifolia 0.00 0.00 0.43 0.90 0.38 0.73

4. H. uninervis 8.33 14.72 3.14 6.59 3.26 6.35

5. H. minor 0.00 0.00 0.00 0.00 0.49 0.95

6. H. ovalis 0.00 0.00 2.26 4.74 2.56 4.98

7. S. isoetifolium 3.39 5.99 0.51 1.08 2.86 5.56

8. T. hemprichii 12.98 22.91 10.22 21.45 15.66 30.47

F. Penutupan (Ci) dan penutupan relatif (RCi) jenis-jenis lamun pada setiap

stasiun di Pulau Bonebatang

No Spesies

Stasiun

A B C Ci

RCi

(%)

Ci

RCi

(%)

Ci

RCi

(%)

1. C. rotundata 15.08 22.86 13.4 23.83 11.29 21.31

2. E. acoroides 9.71 14.72 10.43 18.55 6.83 12.89

3. H. uninervis 7.70 11.67 11.03 19.62 10.34 19.52

4. H. minor 0.00 0.00 0.00 0.00 1.04 1.96

5. H. ovalis 5.49 8.32 1.67 2.97 3.38 6.38

6. S. isoetifolium 2.11 3.20 1.71 3.04 1.67 3.15

7. T. hemprichii 25.88 39.23 17.99 31.99 18.42 34.77

Page 247: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

210

Lampiran 5 Nilai Indeks Luas Daun Lamun di Pulau Barranglompo dan

Bonebatang

Sub Stasiun

Pulau

Barranglompo Bonebatang

A1 1.27 1.40

A2 0.95 0.56

A3 2.88 2.17

A4 10.15 4.69

A5 6.08 5.91

A6 2.78 5.03

A7 5.45 3.38

A8 1.93 3.21

A9 1.28 2.74

B1 1.22 2.37

B2 2.49 2.74

B3 2.63 1.89

B4 3.05 4.95

B5 2.59 5.28

B6 4.28 4.17

B7 2.65 3.39

B8 3.92 3.78

B9 2.61 3.08

C1 1.73 2.9

C2 1.54 2.16

C3 1.77 3.21

C4 1.11 4.09

C5 0.45 4.83

C6 0.87 2.47

C7 1.35 2.75

C8 2.47 3.12

C9 1.24 2.45

Page 248: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

211

Lampiran 6 Sebaran Kepadatan dan Diameter Test Bulu Babi

A. Kepadatan Bulu Babi (Individu/m2) pada setiap Sub stasiun di Pulau

Barranglompo

Jenis A1 A2 A3 A4 A5 A6 A7 A8 A9

Diadema setosum 2.00 2.89 0.89 0.00 3.00 5.11 0.00 0.44 0.67

Echinothrix calamaris 0.22 0.00 0.33 0.11 0.00 0.00 0.11 0.00 0.22

Echinothrix diadema 0.00 0.11 0.33 0.00 0.22 0.11 0.00 0.00 0.00

Echinometra mathaei 0.00 0.11 0.00 0.00 0.11 0.00 0.00 0.00 0.00

Mespilia globulus 0.11 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.22 0.11 0.00

Tripneustes gratilla 0.00 0.00 0.00 0.89 0.00 0.00 1.33 0.89 0.78

B. Kepadatan Bulu Babi (Individu/m2) pada setiap Sub stasiun di Pulau

Barranglompo

Jenis B1 B2 B3 B4 B5 B6 B7 B8 B9

Diadema setosum 1.33 1.89 0.78 0.00 1.33 4.22 0.44 0.67 0.78

Echinothrix calamaris 0.56 0.22 0.44 0.00 0.11 0.33 0.00 0.56 0.00

Echinothrix diadema 0.11 0.22 0.11 0.11 0.00 0.00 0.00 0.11 0.00

Echinometra mathaei 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.11 0.00 0.11

Mespilia globulus 0.00 0.22 0.11 0.11 0.00 0.00 0.22 1.33 0.33

Tripneustes gratilla 0.78 1.33 0.89 0.67 1.00 0.00 2.78 12.00 1.67

C. Kepadatan Bulu Babi (Individu/m2) pada setiap Sub stasiun di Pulau

Barranglompo

Jenis C1 C2 C3 C4 C5 C6 C7 C8 C9

Diadema setosum 0.56 0.89 0.00 1.22 0.89 2.89 0.56 0.44 0.56

Echinothrix calamaris 0.11 0.22 0.00 0.22 0.22 0.11 0.00 0.22 0.11

Echinothrix diadema 0.11 0.00 0.22 0.00 0.11 0.00 0.00 0.00 0.00

Echinometra mathaei 0.11 0.33 0.00 0.44 0.33 0.11 0.00 0.11 0.22

Mespilia globulus 0.11 0.22 0.00 0.11 0.00 0.00 0.11 0.11 0.00

Tripneustes gratilla 0.89 1.00 1.44 0.78 0.56 1.22 2.00 3.22 0.89

D. Kepadatan Bulu Babi (Individu/m2) pada setiap Sub stasiun di Pulau

Bonebatang

Jenis A1 A2 A3 A4 A5 A6 A7 A8 A9

Diadema setosum 0.00 2.67 0.00 2.33 2.67 3.11 2.00 0.00 0.00

Echinothrix calamaris 0.22 0.00 0.33 0.11 0.00 0.00 0.11 0.00 0.22

Echinothrix diadema 0.00 0.11 0.33 0.00 0.22 0.11 0.00 0.00 0.00

Echinometra mathaei 0.00 0.11 0.00 0.00 0.11 0.00 0.00 0.00 0.00

Mespilia globulus 0.11 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.22 0.11 0.00

Tripneustes gratilla 0.33 1.67 0.89 0.89 1.89 1.56 1.22 2.44 2.11

Page 249: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

212

E. Kepadatan Bulu Babi (Individu/m2) pada setiap Sub stasiun di Pulau

Bonebatang

Jenis B1 B2 B3 B4 B5 B6 B7 B8 B9

Diadema setosum 1.78 0.67 0.00 2.00 3.22 2.56 0.00 1.78 0.00

Echinothrix calamaris 0.22 0.11 0.00 0.78 0.00 0.22 0.44 0.89 0.22

Echinothrix diadema 0.00 0.33 0.00 0.22 0.11 0.00 0.44 0.00 0.00

Echinometra mathaei 0.22 0.11 0.00 0.00 0.00 0.11 0.00 0.56 0.00

Mespilia globulus 0.67 1.00 0.33 0.78 0.56 1.22 0.56 1.44 0.22

Tripneustes gratilla 1.33 0.89 3.00 1.78 1.89 1.00 2.89 0.78 2.00

F. Kepadatan Bulu Babi (Individu/m2) pada setiap Sub stasiun di Pulau

Bonebatang

Jenis C1 C2 C3 C4 C5 C6 C7 C8 C9

Diadema setosum 2.00 0.67 0.00 1.89 0.00 2.89 0.00 2.33 0.00

Echinothrix calamaris 0.33 0.00 0.00 0.78 1.00 0.22 0.22 0.00 0.22

Echinothrix diadema 0.00 0.11 0.33 0.44 0.00 0.11 0.00 0.22 0.00

Echinometra mathaei 0.00 0.22 0.00 0.33 0.00 0.00 0.11 0.00 0.00

Mespilia globulus 0.44 0.89 0.11 0.56 1.56 0.33 0.00 0.44 0.22

Tripneustes gratilla 1.11 1.56 0.67 2.33 1.89 1.67 2.11 1.56 0.89

G. Diameter Test Bulu Babi di Pulau Barranglompo dan Bonebatang

Spesies Pulau

Barranglompo Bonebatang

Diadema setosum 4.61 ± 1.39 4.61 ± 1.15

Echinothrix calamaris 5.60 ± 0.43 5.59 ± 0.45

Echinothrix diadema 5.26 ± 0.57 5.01 ± 0.64

Echinometra mathaei 3.31 ± 0.26 3.10 ± 0.24

Mespilia globulus 3.22 ± 0.42 3.29 ± 0.31

Tripneustes gratilla 5.88 ± 0.65 6.01 ± 0.71

Page 250: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

213

Lampiran 7 Biomassa rata-rata Makroalgae di Pulau Barranglompo dan

Bonebatang

A. Biomassa rata-rata (gram berat kering/m2) makroalgae di Pulau Barranglompo

Divisio Spesies Makroalgae Stasiun Rata-

Rata A B C

Chlorophyta Boodlea composita 2.14 2.07 0.84 1.68

Chlorodesmis fastigiata 2.74 3.58 0.00 2.11

Halimeda macroloba 0.00 5.39 0.00 1.80

Halimeda opuntia 3.43 3.87 0.00 2.43

Phaeophyta Dictyota bartayresiana 3.59 2.61 6.28 4.16

Hormophysa triquetra 2.06 0.00 0.00 0.69

Padina australis 1.32 1.22 0.00 0.85

Rosenvingea intricata 4.87 2.63 5.44 4.31

Sargassum crassifolium 0.00 3.24 3.57 2.27

Sargassum polycistum 3.61 0.00 2.75 2.12

Turbinaria ornata 0.00 0.00 4.80 1.60

Rhodophyta Acanthophora specifera 8.12 14.63 8.67 10.47

Acanthophora muscoides 0.00 3.50 0.00 1.17

Actinoritchia fragilis 0.00 4.51 3.52 2.68

Euchema denticulatum 0.00 0.00 5.92 1.97

Euchema serra 0.00 5.18 10.58 5.25

Gelidiella acerosa 3.62 1.30 2.06 2.33

Gracilaria coronopifolia 0.00 2.42 6.12 2.85

Gracilaria salicornia 0.00 0.00 4.36 1.45

Hypnea asperi 0.00 1.20 0.00 0.40

Hypnea cervicornis 0.00 4.36 1.41 1.92

Laurencia papillosa 8.53 25.57 18.00 17.37

Page 251: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

214

B. Biomassa rata-rata (gram berat kering/m2) makroalgae di Pulau Bonebatang

Divisio Spesies Makroalgae Stasiun Rata-

Rata A B C

Chlorophyta Chlorodesmis fastigiata 0.00 0.00 1.28 0.43

Halimeda macroloba 0.00 7.42 12.72 6.71

Halimeda opuntia 0.00 5.13 0.00 1.71

Neomeris annulata 0.00 0.22 0.00 0.07

Phaeophyta Dictyota bartayresiana 0.00 1.24 0.00 0.41

Hormophysa triquetra 0.00 3.88 0.00 1.29

Hydroclathrus clathratus 0.00 0.00 5.62 1.87

Padina australis 1.83 0.56 0.00 0.80

Rosenvingea intricata 0.00 0.00 2.59 0.86

Sargassum binderi 0.00 3.69 7.46 3.72

Sargassum crassifolium 3.08 3.76 6.87 4.57

Sargassum polycistum 0.00 3.01 6.12 3.04

Turbinaria conoides 0.00 5.37 8.16 4.51

Turbinaria ornata 10.72 6.29 0.00 5.67

Rhodophyta Acanthophora specifera 3.66 4.03 0.00 2.56

Actinoritchia fragilis 26.65 8.68 8.38 14.57

Amphiroa fragilissima 6.35 0.00 9.21 5.19

Gracilaria coronopifolia 0.00 3.87 4.17 2.68

Hypnea asperi 2.69 2.86 0.98 2.18

Kappaphycus alvarezii 0.00 4.65 0.00 1.55

Page 252: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

215

Lampiran 8 Nilai Indeks Ochiai Makrofita di Pulau Barranglompo dan Pulau

Bonebatang

A. Nilai Indeks Ochiai pasangan spesies makrofita di Pulau Barranglompo

Kombinasi OI

C. rotundata-E. acoroides 0.76

C. rotundata-H. uninervis 0.32

C. rotundata-T. hemprichii 0.81

E. acoroides-T. hemprichii 0.94

E. acoroides-H. uninervis 0.40

H. uninervis-T. hemprichii 0.34

C. rotundata-A. spicifera 0.49

C. rotundata-L. papillosa 0.35

C. rotundata-D. bartayresiana 0.21

C. rotundata-G. coronopifolia 0.26

E. acoroides-A. spicifera 0.52

E. acoroides-L. papillosa 0.44

E. acoroides-D. bartayresiana 0.48

E. acoroides-G.coronopifolia 0.39

H. uninervis-A. spicifera 0.29

H. uninervis-L. papillosa 0.37

H. uninervis-D. bartayresiana 0.33

H. uninervis-G. coronopifolia 0.41

T. hemprichii-A. spicifera 0.55

T. hemprichii-L. papillosa 0.47

T. hemprichii-D. bartayresiana 0.37

T. hemprichii-G. coronopifolia 0.31

A. spicifera-L. papillosa 0.63

A.spicifera-D. bartayresiana 0.43

A. spicifera-G. coronopifolia 0.19

L.papillosa-D. bartayresiana 0.55

L.papillosa-G. coronopifolia 0.22

D. bartayresiana-G. coronopifolia 0.20

Page 253: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

216

B. Nilai Indeks Ochiai pasangan spesies makrofita di Pulau Bonebatang

Kombinasi OI

C. rotundata-E. acoroides 0.65

C. rotundata-H. uninervis 0.81

C. rotundata-T. hemprichii 0.80

E. acoroides-T. hemprichii 0.62

E. acoroides-H. uninervis 0.80

H. uninervis-T. hemprichii 0.82

C. rotundata-A. spicifera 0.13

C. rotundata-A. fragilis 0.10

C. rotundata-G. coronopifolia 0.32

C. rotundata-S. crassifolium 0.52

E. acoroides-A. spicifera 0.25

E. acoroides-A. fragilis 0.49

E. acoroides-G. coronopifolia 0.25

E. acoroides-S. crassifolium 0.41

H. uninervis-A. spicifera 0.27

H. uninervis-A.fragilis 0.21

H. uninervis-G. coronopifolia 0.14

H. uninervis-S. crassifolium 0.27

T. hemprichii-A. spicifera 0.35

T. hemprichii-A. fragilis 0.46

T. hemprichii-G. coronopifolia 0.24

T. hemprichii-S. crassifolium 0.39

A. spicifera-A. fragilis 0.00

A. spicifera-G. coronopifolia 0.00

A. spicifera-S. crassifolium 0.00

A. fragilis-G. coronopifolia 0.00

A. fragilis-S. crassifolium 0.31

G. coronopifolia-S. crassifolium 0.44

Page 254: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

217

Lampiran 9 Kelimpahan Makrofita Kelompok Status Ekologi I dan II di Pulau

Barranglompo dan Pulau Bonebatang

A. Kelimpahan Relatif (%) Makrofita Kelompok Status Ekologi I di Pulau

Barranglompo dan Pulau Bonebatang

Spesies Barranglompo Bonebatang

A B C A B C

Cymodocea rotundata 3.78 6.70 6.39 15.08 13.4 11.29

Enhalus acoroides 28.16 24.39 19.81 9.71 10.43 6.83

Halodule pinifolia 0.00 0.43 0.38 0.00 0.00 0.00

Halodule uninervis 8.33 3.14 3.26 7.70 11.03 10.34

Halophila minor 0.00 0.00 0.49 0.00 0.00 1.04

Halophila mayor 0.00 2.26 2.56 5.49 1.67 3.38

Syringodium isoetifolium 3.39 0.51 2.86 2.11 1.71 1.67

Thalassia hemprichii 12.98 10.22 15.66 25.88 17.99 18.42

Halimeda macroloba 0.00 1.10 0.00 0.00 1.10 1.10

Halimeda opuntia 0.60 2.20 0.00 0.00 3.30 0.00

Neomeris annulata 0.00 0.00 0.00 0.00 0.60 0.00

Hormophysa triquetra 0.60 0.00 0.00 0.00 2.20 0.00

Padina australis 1.10 2.20 0.00 3.30 1.70 0.00

Sargassum binderi 0.00 0.00 0.00 0.00 2.20 1.10

Sargassum crassifolium 0.00 2.20 1.10 1.10 3.30 5.50

Sargassum polycistum 0.60 0.00 2.20 0.00 1.70 2.80

Turbinaria conoides 0.00 0.00 0.00 0.00 0.60 1.10

Turbinaria ornata 0.00 0.00 0.60 1.10 1.10 0.00

Actinoritchia fragilis 0.00 2.20 1.10 1.10 2.20 3.90

Amphiroa fragilissima 0.00 0.00 0.00 1.10 1.70 0.00

Tutupan Total (%) 59.53 57.55 56.41 73.67 77.93 68.47

Page 255: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

218

B. Kelimpahan Relatif (%) Makrofita Kelompok Status Ekologi II di Pulau

Barranglompo dan Pulau Bonebatang

Spesies Barranglompo Bonebatang

A B C A B C

Boodlea composita 0.60 0.60 1.70 0.00 0.00 0.00

Chlorodermis fastigiata 1.10 0.00 0.60 0.00 0.00 0.60

Dictyota bartayresiana 5.00 7.80 3.30 0.00 3.30 0.00

Rosenvingea intricata 0.00 2.80 4.40 0.00 0.00 4.40

Acanthophora muscoides 0.00 1.10 0.00 0.00 0.00 0.00

Acanthophora specifera 4.40 16.70 4.40 5.60 8.90 0.00

Euchema denticulatum 0.00 0.00 1.10 0.00 0.00 0.00

Euchema spinosum 0.00 0.30 0.60 0.00 0.00 0.00

Gelidiella acerosa 3.30 2.20 3.80 0.00 0.00 0.00

Gracilaria coronopifolia 0.00 2.20 4.40 0.00 3.30 5.60

Gracilaria salicornia 0.00 0.00 1.10 0.00 0.00 0.00

Hypnea asperi 0.00 0.60 0.00 2.20 1.10 2.20

Hypnea cervicornis 0.00 0.60 1.10 0.00 0.00 0.00

Laurencia papillosa 7.20 18.90 8.90 0.00 0.00 0.00

Hydroclathrus clathratus 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 4.40

Kappaphycus alvarezii 0.00 0.00 0.00 0.00 1.10 0.00

Tutupan Total (%) 21.60 53.80 35.40 7.80 17.70 17.20

Page 256: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

219

Lampiran 10 Nilai Nutrien Jaringan Daun Enhalus acoroides dan Kolom air di

Pulau Barranglompo dan Pulau Bonebatang

A. Nilai Klorofil-a Jaringan Daun Lamun E. acoroides di Pulau Barranglompo

dan Pulau Bonebatang

Pulau Barranglompo Pulau Bonebatang

Selatan Timur Klorofil-a

(mg/m3)

Selatan Timur Klorofil-a

(mg/m3)

5 03 06.20 119 19 42.51 11.42 5 00 51.59 119 19 36.89 7.58

5 02 56.79 119 19 37.37 6.91 5 00 51.92 119 19 34.28 7.32

5 02 44.10 119 19 45.14 4.05 5 00 49.88 119 19 34.07 10.03

5 03 09.84 119 19 42.44 6.90 5 00 47.16 119 19 33.36 4.60

5 02 57.13 119 19 34.26 6.91 5 00 43.57 119 19 33.86 4.30

5 02 40.69 119 19 44.70 17.38 5 00 54.76 119 19 37.01 8.55

5 03 14.48 119 19 42.52 9.45 5 00 55.28 119 19 33.95 3.76

5 02 57.73 119 19 30.83 7.63 5 0050.09 119 19 31.00 5.99

5 02 37.63 119 19 44.19 5.14 5 00 45.24 119 19 31.25 4.16

B. Nilai Nitrat dan Fosfat Kolom Air di Pulau Barranglompo dan Pulau

Bonebatang

Pulau Barranglompo Pulau Bonebatang

Selatan Timur Nitrat

(mg/l)

Fosfat

(mg/l) Selatan Timur Nitrat

(mg/l)

Fosfat

(mg/l)

5 03 06.20 119 19 42.51 0.013 0.013 5 00 51.94 119 19 35.63 0.022 0.028

5 02 56.79 119 19 37.37 0.057 0.032 5 00 49.88 119 19 34.07 0.013 0.039

5 02 44.10 119 19 45.14 0.035 0.011 5 00 45.54 119 19 33.70 0.013 0.021

5 03 09.84 119 19 42.44 0.035 0.011 5 00 55.19 119 19 35.97 0.011 0.029

5 02 57.13 119 19 34.26 0.040 0.036 5 0050.09 119 19 31.00 0.028 0.024

5 02 40.69 119 19 44.70 0.031 0.011 5 00 43.07 119 19 32.23 0.018 0.019

5 03 14.48 119 19 42.52 0.035 0.012 5 00 59.03 119 19 36.34 0.011 0.024

5 02 57.73 119 19 30.83 0.044 0.069 5 00 50,22 119 19 27.69 0.012 0.024

5 02 37.63 119 19 44.19 0.040 0.077 5 00 40.79 119 19 30.49 0.027 0.027

Page 257: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

220

Lampiran 11 Ukuran Butir Sedimen Habitat Padang Lamun Pulau Barranglompo

dan Pulau Bonebatang

A. Persentase rata-rata jenis sedimen pada setiap stasiun di Pulau Barranglompo

Jenis Sedimen

Ukuran

butir

(mm)

Stasiun

A B C

Kerikil .00 17.42 ± 15.39 12.20 ± 3.59 17.52 ± 5.77

Pasir sangat kasar 1.00 – 2.00 9.61 ± 4.50 8.35 ± 7.43 12.58 ± 13.49

Pasir kasar 0.50 – 1.00 16.32 ± 5.51 13.16 ± 8.06 19.06 ± 10.68

Pasir sedang 0.25 – 0.50 21.02 ± 12.82 12.76 ± 4.29 15.40 ± 4.47

Pasir halus 0.13 – 0.25 29.54 ± 17.76 38.44 ± 16.63 28.41 ± 19.13

Pasir sangat halus 0.06 – 0.13 5.30 ± 5.01 12.46 ± 7.94 5.09 ± 3.40

Lumpur < 0.06 0.79 ± 1.09 2.81 ± 2.11 1.94 ± 1.67

B. Persentase rata-rata jenis sedimen pada setiap stasiun di Pulau Bonebatang

Jenis Sedimen

Ukuran

butir

(mm)

Stasiun

A B C

Kerikil .00 18.78 ± 11.76 11.43 ± 3.61 17.95 ± 7.92

Pasir sangat kasar 1.00 – 2.00 16.56 ± 13.95 11.38 ± 1.36 16.61 ± 6.44

Pasir kasar 0.50 – 1.00 18.34 ± 13.16 16.34 ± 1.37 22.27 ± 5.77

Pasir sedang 0.25 – 0.50 15.85 ± 5.21 22.84 ± 3.78 21.90 ± 3.11

Pasir halus 0.13 – 0.25 25.91 ± 31.36 34.43 ± 7.86 18.78 ± 10.51

Pasir sangat halus 0.06 – 0.13 4.03 ± 4.56 3.19 ± 0.90 2.04 ± 0.58

Lumpur < 0.06 0.54 ± 0.62 0.40 ± 0.12 0.47 ± 0.26

Page 258: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

221

Lampiran 12 Parameter Kualitas Perairan di Pulau Barranglompo dan Pulau

Bonebatang

A. Nilai Suhu Perairan di Pulau Barranglompo dan Pulau Bonebatang

Pulau Barranglompo Pulau Bonebatang

Selatan Timur Suhu

(oC)

Selatan Timur Suhu

(oC)

5 03 05.66 119 19 47.36 31.0 5 00 51.59 119 19 36.89 30.5

5 03 05.30 119 19 39.48 32.0 5 00 51.92 119 19 34.28 32.0

5 02 56.79 119 19 37.37 30.0 5 00 49.88 119 19 34.07 30.5

5 02 45.98 119 19 41.46 29.0 5 00 47.16 119 19 33.36 30.0

5 02 43 02 119 19 48.16 30.0 5 00 43.57 119 19 33.86 30.0

5 03 09.35 119 19 47.54 31.0 5 00 54.76 119 19 37.01 31.0

5 03 09.23 119 19 39.44 32.0 5 00 55.28 119 19 33.95 32.0

5 02 57.13 119 19 34.26 30.5 5 0050.09 119 19 31.00 31.0

5 02 42.29 119 19 41.07 29.5 5 00 45.24 119 19 31.25 30.0

5 02 40.07 119 19 47.71 31.0 5 00 41.24 119 19 33.45 30.0

5 03 14.10 119 19 47.58 31.0 5 00 58.19 119 19 37.88 31.0

5 03 13.43 119 19 39.28 32.0 5 00 59.05 119 19 33.34 32.0

5 02 57.73 119 19 30.83 30.5 5 00 50,22 119 19 27.69 31.0

5 02 38.27 119 19 40.51 29.5 5 00 43.09 119 19 29.44 30.0

5 02 36.75 119 19 46.63 31.0 5 00 38.43 119 19 32.28 30.0

B. Nilai Salinitas Perairan di Pulau Barranglompo dan Pulau Bonebatang

Pulau Barranglompo Pulau Bonebatang

Selatan Timur S (o/oo) Selatan Timur S (

o/oo)

5 03 05.66 119 19 47.36 31.0 5 00 51.59 119 19 36.89 30.5

5 03 05.30 119 19 39.48 31.5 5 00 51.92 119 19 34.28 32.0

5 02 56.79 119 19 37.37 31.0 5 00 49.88 119 19 34.07 30.5

5 02 45.98 119 19 41.46 30.0 5 00 47.16 119 19 33.36 30.0

5 02 43 02 119 19 48.16 29.5 5 00 43.57 119 19 33.86 30.0

5 03 09.35 119 19 47.54 31.0 5 00 54.76 119 19 37.01 31.0

5 03 09.23 119 19 39.44 32.0 5 00 55.28 119 19 33.95 32.0

5 02 57.13 119 19 34.26 30.5 5 0050.09 119 19 31.00 31.0

5 02 42.29 119 19 41.07 29.5 5 00 45.24 119 19 31.25 30.0

5 02 40.07 119 19 47.71 30.0 5 00 41.24 119 19 33.45 30.0

5 03 14.10 119 19 47.58 31.0 5 00 58.19 119 19 37.88 31.0

5 03 13.43 119 19 39.28 32.0 5 00 59.05 119 19 33.34 32.0

5 02 57.73 119 19 30.83 30.5 5 00 50,22 119 19 27.69 31.0

5 02 38.27 119 19 40.51 29.5 5 00 43.09 119 19 29.44 30.0

5 02 36.75 119 19 46.63 30.5 5 00 38.43 119 19 32.28 30.0

Page 259: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

222

C. Nilai Kekeruhan Perairan di Pulau Barranglompo dan Pulau Bonebatang

Pulau Barranglompo Pulau Bonebatang

Selatan Timur Kekeruhan

(NTU)

Selatan Timur Kekeruhan

(NTU)

5 03 06.20 119 19 42.51 22.05 5 00 51.94 119 19 35.63 2.78

5 02 56.79 119 19 37.37 29.71 5 00 49.88 119 19 34.07 1.69

5 02 44.10 119 19 45.14 1.70 5 00 45.54 119 19 33.70 1.47

5 03 09.84 119 19 42.44 18.05 5 00 55.19 119 19 35.97 2.39

5 02 57.13 119 19 34.26 6.07 5 0050.09 119 19 31.00 1.28

5 02 40.69 119 19 44.70 2.16 5 00 43.07 119 19 32.23 0.86

5 03 14.48 119 19 42.52 2.97 5 00 59.03 119 19 36.34 0.93

5 02 57.73 119 19 30.83 7.23 5 00 50,22 119 19 27.69 1.42

5 02 37.63 119 19 44.19 0.66 5 00 40.79 119 19 30.49 0.57

D. Nilai Padatan Tersuspensi Total (TSS) di Pulau Barranglompo dan Pulau

Bonebatang

Pulau Barranglompo Pulau Bonebatang

Selatan Timur TSS

(mg/l)

Selatan Timur TSS

(mg/l) 5 03 06.20 119 19 42.51 15.33 5 00 51.94 119 19 35.63 10.20

5 02 56.79 119 19 37.37 16.14 5 00 49.88 119 19 34.07 10.73

5 02 44.10 119 19 45.14 18.53 5 00 45.54 119 19 33.70 9.46

5 03 09.84 119 19 42.44 13.77 5 00 55.19 119 19 35.97 8.57

5 02 57.13 119 19 34.26 13.22 5 00 50.09 119 19 31.00 11.11

5 02 40.69 119 19 44.70 12.64 5 00 43.07 119 19 32.23 8.75

5 03 14.48 119 19 42.52 15.84 5 00 59.03 119 19 36.34 8.91

5 02 57.73 119 19 30.83 16.12 5 00 50.22 119 19 27.69 10.62

5 02 37.63 119 19 44.19 15.10 5 00 40.79 119 19 30.49 6.67

Page 260: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

223

E. Nilai Kecepatan Arus Perairan di Pulau Barranglompo dan Pulau Bonebatang

Pulau Barranglompo Pulau Bonebatang

Selatan Timur

Kec.

Arus

(m/s)

Arah Selatan Timur

Kec.

Arus

(m/s)

Arah

5 03 05.66 119 19 47.36 0.009 85 5 00 51.59 119 19 36.89 0.032 25

5 03 06.20 119 19 42.51 0.032 0 5 00 51.94 119 19 35.63 0.035 20

5 03 05.30 119 19 39.48 0.022 20 5 00 51.92 119 19 34.28 0.014 20

5 02 59.43 119 19 37.55 0.009 53 5 00 51.49 119 19 33.40 0.019 160

5 02 56.79 119 19 37.37 0.013 145 5 00 49.88 119 19 34.07 0.018 163

5 02 47.79 119 19 38.95 0.028 145 5 00 48.03 119 19 33.63 0.024 190

5 02 45.98 119 19 41.46 0.065 120 5 00 47.16 119 19 33.36 0.065 200

5 02 44.10 119 19 45.14 0.078 165 5 00 45.54 119 19 33.70 0.075 125

5 02 43 02 119 19 48.16 0.092 250 5 00 43.57 119 19 33.86 0.106 140

5 03 09.35 119 19 47.54 0.019 168 5 00 54.76 119 19 37.01 0.026 159

5 03 09.84 119 19 42.44 0.029 175 5 00 55.19 119 19 35.97 0.034 179

5 03 09.23 119 19 39.44 0.011 200 5 00 55.28 119 19 33.95 0.016 150

5 02 59.08 119 19 33.94 0.019 115 5 00 51.46 119 19 30.47 0.041 185

5 02 57.13 119 19 34.26 0.012 125 5 0050.09 119 19 31.00 0.024 350

5 02 47.01 119 19 34.07 0.041 135 5 00 48.10 119 19 30.10 0.036 210

5 02 42.29 119 19 41.07 0.073 80 5 00 45.24 119 19 31.25 0.045 136

5 02 40.69 119 19 44.70 0.077 350 5 00 43.07 119 19 32.23 0.069 165

5 02 40.07 119 19 47.71 0.095 19 5 00 41.24 119 19 33.45 0.097 150

5 03 14.10 119 19 47.58 0.015 95 5 00 58.19 119 19 37.88 0.028 220

5 03 14.48 119 19 42.52 0.021 150 5 00 59.03 119 19 36.34 0.026 60

5 03 13.43 119 19 39.28 0.018 185 5 00 59.05 119 19 33.34 0.018 30

5 02 59.05 119 19 30.28 0.013 350 5 00 52.01 119 19 26.20 0.021 48

5 02 57.73 119 19 30.83 0.009 330 5 00 50,22 119 19 27.69 0.046 235

5 02 46.58 119 19 28.82 0.037 210 5 00 48.19 119 19 26.48 0.037 270

5 02 38.27 119 19 40.51 0.081 161 5 00 43.09 119 19 29.44 0.053 105

5 02 37.63 119 19 44.19 0.13 165 5 00 40.79 119 19 30.49 0.082 142

5 02 36.75 119 19 46.63 0.087 150 5 00 38.43 119 19 32.28 0.126 170

F. Nilai Tinggi Gelombang Perairan di Pulau Barranglompo dan Pulau

Bonebatang

Pulau Barranglompo Pulau Bonebatang

Selatan Timur Tinggi

Glb (cm)

Selatan Timur Tinggi

Glb (cm) 5 03 06.20 119 19 42.51 1.82 5 00 51.94 119 19 35.63 2.45

5 02 56.79 119 19 37.37 1.86 5 00 49.88 119 19 34.07 2.18

5 02 44.10 119 19 45.14 2.41 5 00 45.54 119 19 33.70 3.08

5 03 09.84 119 19 42.44 2.18 5 00 55.19 119 19 35.97 2.88

5 02 57.13 119 19 34.26 2.96 5 0050.09 119 19 31.00 2.65

5 02 40.69 119 19 44.70 3.33 5 00 43.07 119 19 32.23 3.58

5 03 14.48 119 19 42.52 6.69 5 00 59.03 119 19 36.34 5.53

5 02 57.73 119 19 30.83 7.29 5 00 50,22 119 19 27.69 6.24

5 02 37.63 119 19 44.19 5.87 5 00 40.79 119 19 30.49 5.47

Page 261: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

224

Lampiran 13 Ringkasan hasil uji t nutrien dan parameter kualitas air di Pulau

Barranglompo (Grup 1) dan Pulau Bonebatang (Grup 2)

Parameter Mean Grup

1

Mean Grup

2

t-value df p

LAI 2.62000 3.285926 -1.45019 52 0.15300

Karbon 34.76778 34.61875 0.093731 15 0.92656

Nitrogen 2.417778 1.748750 3.821587 15 0.00167

Fosfor 0.150000 0.143750 0.571897 15 0.57586

Stok karbon 148.5346 124.2307 1.077509 15 0.29828

Rasio CN 16.84317 24.93900 -2.94398 15 0.01006

Rasio CP 604.5410 641.5219 -0.686172 15 0.50307

Rasio NP 36.15576 27.81897 2.195120 15 0.04431

Klorofil 8.818889 6.254444 1.679232 16 0.11253

Nitrat 0.036667 0.019333 3.647400 16 0.00255

Fosfat 0.030211 0.026111 0.459277 16 0.65221

Suhu 30.26667 30.30000 -0.096333 58 0.92336

Salinitas 30.56667 30.73333 -0.649806 58 0.51838

Kekeruhan 10.06667 1.487778 2.436378 16 0.02690

TSS 15.18700 9.446889 7.567004 16 0.00000

Arus 0.040667 0.042267 -0.197875 58 0.84384

Gelombang 3.823333 3.784444 0.043748 16 0.96565

Page 262: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

225

Lampiran 14. Hasil Analisis PCA Parameter Fisika-Kimia Perairan

A. Matriks Korelasi Antar Parameter

Suh Sal Aru Gel Ker PKa PSd PHa Lum TSS Kek Klo Nit Fos

Suh 1 -0.39 -0.73 -0.89 -0.33 -0.42 -0.24 0.48 0.03 -0.23 0.22 0.56 -0.21 -0.67

Sal -0.39 1 0.78 0.61 -0.26 0.47 0.25 -0.31 -0.18 -0.71 -0.89 -0.74 -0.70 0.24

Aru -0.73 0.78 1 0.92 0.24 0.70 0.15 -0.58 -0.07 -0.39 -0.68 -0.72 -0.39 0.45

Gel -0.89 0.61 0.92 1 0.31 0.56 -0.03 -0.46 0.13 -0.04 -0.51 -0.53 -0.08 0.71

Ker -0.33 -0.26 0.24 0.31 1 0.70 -0.00 -0.74 -0.33 0.15 0.020 -0.16 0.04 0.40

PKa -0.42 0.47 0.70 0.56 0.70 1 0.31 -0.94 -0.60 -0.53 -0.63 -0.72 -0.60 0.34

PSd -0.24 0.25 0.15 -0.03 -0.00 0.31 1 -0.54 -0.82 -0.33 -0.04 -0.76 -0.23 -0.39

PHa 0.48 -0.31 -0.58 -0.46 -0.74 -0.94 -0.54 1 0.74 0.38 0.39 0.77 0.42 -0.21

Lum 0.03 -0.18 -0.07 0.13 -0.33 -0.60 -0.82 0.74 1 0.51 0.24 0.69 0.51 0.24

TSS -0.27 -0.71 -0.39 -0.04 0.15 -0.53 -0.33 0.38 0.51 1 0.77 0.59 0.98 0.28

Kek 0.22 -0.89 -0.68 -0.51 0.02 -0.63 -0.04 0.39 0.24 0.77 1 0.60 0.84 -0.38

Klo 0.56 -0.74 -0.72 -0.53 -0.16 -0.72 -0.76 0.77 0.69 0.59 0.60 1 0.56 -0.09

Nit -0.21 -0.70 -0.39 -0.08 0.04 -0.60 -0.23 0.42 0.51 0.98 0.84 0.56 1 0.12

Fos -0.67 0.24 0.46 0.71 0.40 0.34 -0.39 -0.21 0.24 0.28 -0.38 -0.09 0.12 1

Keterangan: Suh=suhu, Sal=salinitas, Aru=Kecepatan arus, Gel=Tinggi gelombang, Ker=Kerikil,

PKa=pasir kasar, PSd=Pasir sedang, Pha=Pasir halus, Lum=Lumpur, TSS=Total

suspended solid, Kek=Kekeruhan, Klo=Klorofil-a, Nit=Nitrat, Fos=Fosfat

B. Rataan dan Standar Deviasi Parameter

Rataan Std. Dev.

Suhu 30.283 0.117

Salinitas 30.650 0.152

Arus 0.042 0.003

Gelombang 3.805 1.894

Kerikil 15.883 3.197

Pasir Kasar 15.048 3.157

Pasir Sedang 18.295 4.149

Pasir Halus 17.302 4.938

Lumpur 1.158 0.991

TSS 12.318 3.371

Kekeruhan 5.777 6.547

Klorofil 7.538 2.068

Nitrat 0.029 0.014

Fosfat 0.027 0.007

C. Akar Ciri Sumbu F1 dan F2

F1 F2

Eigenvalue 6.678 3.219

% Variance 47.703 22.991

Cumulative % 47.703 70.694

Page 263: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

226

Lampiran 15. Hasil Analisis Correspondence Analysis (CA) komunitas lamun

A. Eigenvalue dan persentase varians

F1 F2 F3 F4 F5

Eigenvalue 0.066 0.032 0.016 0.007 0.001

% variance 54.014 25.781 13.407 6.018 0.780

Cumulative % 54.014 79.795 93.202 99.220 100.000

B. Kordinat titik-baris

F1 F2 F3 F4 F5

BLA 0.988 -1.844 0.682 -0.134 -0.374

BLB 1.015 0.697 -1.471 -1.086 -0.375

BLC 0.950 1.285 1.144 0.872 0.615

BBA -0.836 0.039 -0.606 1.452 -1.351

BBB -0.781 -0.559 -0.787 0.262 1.841

BBC -1.336 0.382 1.038 -1.366 -0.355

C. Cosine kuadrat titik-baris

F1 F2 F3 F4 F5

BLA 0.359 0.597 0.042 0.001 0.001

BLB 0.533 0.120 0.278 0.068 0.001

BLC 0.428 0.375 0.154 0.040 0.003

BBA 0.664 0.001 0.087 0.223 0.025

BBB 0.629 0.154 0.159 0.008 0.051

BBC 0.766 0.030 0.115 0.089 0.001

D. Kordinat titik-kolom

F1 F2 F3 F4 F5

C. rotundata -0.493 0.616 -0.721 0.091 1.576

E. acoroides 1.541 -0.562 -0.077 -0.820 0.022

H. pinifolia 3.825 5.530 -1.592 -1.599 3.380

H. uninervis -1.232 -1.105 0.087 -0.420 0.177

H. minor -1.958 4.004 8.406 -6.414 -0.064

H. ovalis -0.517 2.556 -0.444 0.467 -1.106

S. isoetifolium 0.889 -0.327 2.716 3.017 1.178

T. hemprichii -0.065 0.181 -0.130 0.394 -1.099

Page 264: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

227

E. Cosine kuadrat titik-kolom

F1 F2 F3 F4 F5

C. rotundata 0.412 0.307 0.218 0.002 0.061

E. acoroides 0.913 0.058 0.001 0.029 0.000

H. pinifolia 0.483 0.482 0.021 0.009 0.005

H. uninervis 0.715 0.275 0.001 0.009 0.000

H. minor 0.114 0.228 0.522 0.136 0.000

H. ovalis 0.077 0.897 0.014 0.007 0.005

S. isoetifolium 0.213 0.014 0.494 0.274 0.005

T. hemprichii 0.071 0.265 0.072 0.295 0.297

Page 265: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

228

Lampiran 16 Ringkasan hasil uji t kepadatan dan diameter cangkang bulu babi di

Pulau Barranglompo dan Pulau Bonebatang

A. Ringkasan hasil uji t kepadatan bulu babi di Pulau Barranglompo (Grup 1)

dan Pulau Bonebatang (Grup 2)

Spesies Rataan

Grup 1

Rataan

Grup 2

Nilai-t df p

Diadema setosum 1.2759 1.2804 -0.0129 52 0.98973

Echinothrix calamaris 0.1637 0.2419 -1.2146 52 0.23002

Echinothrix diadema 0.0693 0.1059 -1.1284 52 0.26433

Echinometra mathaei 0.0773 0.0737 0.1079 52 0.91453

Mespilia globulus 0.1267 0.4522 -1.9733 52 0.05417

Tripneustes gratilla 1.3707 1.5685 -0.4327 52 0.66714

B. Ringkasan hasil uji t diameter cangkang bulu babi di Pulau Barranglompo

(Grup 1) dan Pulau Bonebatang (Grup 2)

Spesies Rataan

Grup 1

Rataan

Grup 2

Nilai-t df p

Diadema setosum 4.7766 4.6070 0.8442 138 0.40003

Echinothrix calamaris 5.6007 5.5893 0.1005 58 0.92034

Echinothrix diadema 4.9453 4.9759 -0.1371 32 0.89184

Echinometra mathaei 3.3160 3.1380 1.9905 30 0.05673

Mespilia globulus 3.2176 3.2920 -0.6942 48 0.49088

Tripneustes gratilla 5.8801 6.0440 -1.8464 222 0.06617

Page 266: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

229

Page 267: SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT TEKANAN … · Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya,

230