sinekologi padang lamun akibat tekanan … · kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau...
TRANSCRIPT
SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT
TEKANAN ANTROPOGENIK: STUDI KASUS
PULAU BARRANGLOMPO DAN BONEBATANG
KEPULAUAN SPERMONDE SULAWESI SELATAN
KHAIRUL AMRI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER
INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi dengan judul “Sinekologi
Padang Lamun Akibat Tekanan Antropogenik: Studi Kasus Pulau Barranglompo
dan Bonebatang Kepulauan Spermonde Sulawesi Selatan” adalah karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun
kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir
disertasi ini.
Bogor, Juli 2012
Khairul Amri
NRP G363070021
ABSTRACT
KHAIRUL AMRI. Synecology of Seagrass Ecosystem due to Increased
Anthropogenic Pressure: Case Study in Barranglompo and Bonebatang Islands of
Spermonde Archipelago, South Sulawesi. Supervised by DEDE SETIADI,
IBNUL QAYIM, and D. DJOKOSETIYANTO.
Anthropogenic pressures along coastal areas particularly in small islands
have increased in accordance with increasing of human population. A study has
been conducted in two small islands within Spermonde Archipelago, South
Sulawesi i.e. Barranglompo and Bonebatang Islands to elaborate impacts of
increased anthropogenic pressure to the assemblages of seagrass beds and their
associated organisms. Combined field sampling and laboratory analysis were
applied to provide data and information on the impacts of anthropogenic activities
occurred in small islands to the seagrass ecosystem. In Barranglompo Island,
there were two activities with high intensity i.e. ship/boat transportation and
domestic sewage disposal. Analysis of carbon contents of seagrass Enhalus
acoroides showed that this species contributed to carbon stocks as much as 0.49-
1.05 ton/ha in Barranglompo Island, while in Bonebatang Island, the values
ranged between 0.08-0.34 ton/ha. Meanwhile, nitrogen concentrations in
Barranglompo Island were significantly higher than those in Bonebatang Island.
This was supported by lower C:N ratios and higher N:P ratios in Barranglompo
Island and significantly different nitrate contents of water column between both
Islands (p 0.01). Potential anthropogenic activities affecting nutrient
composition in Barranglompo Island were domestic sewage disposal and drainage
of liquid household sewage. Based on the water quality parameter measured, It
was concluded that anthropogenic activities in Barranglompo and Bonebatang
Islands affected turbidity and Total Suspended Solid (TSS) only. Seagrass
communities in Barranglompo and Bonebatang Islands were composed of eight
and seven species, respectively, that grow in mixed community. Thalassia
hemprichii was species with the highest important value index in both islands.
Most of macroalgae found in both islands live as epilithic (litophytic) and epipelic
(rhizophytic). Three positive and two negative associations in Barranglompo and
one positive and five negative associations in Bonebatang were formed among
pairs of macrophytes. Analysis of macrophyte structure in both islands classified
Barranglompo in moderate ecological status, whereas Bonebatang had high
ecological status. This status indicated that in Barranglompo was detected a
change in macrophyte composition due to anthropogenic pressure. The highest
similarity index was found among stations in the same island indicating that
different islands have different macrophyte assemblages. Among all sea urchin
species found in both islands, Tripneustes gratilla and Diadema setosum were
two dominant species having the highest density. Index of Preponderance
revealed that T. hemprichii was the largest seagrass diet within almost all sea
urchin guts. Electivity index indicated that sea urchins prefer several seagrass
species especially T. hemprichii.
Key words: anthropogenic, Barranglompo, Bonebatang, macrophyte, nutrient,
seagrass, sea urchin.
RINGKASAN
KHAIRUL AMRI. Sinekologi Ekosistem Padang Lamun Akibat Tekanan
Antropogenik Di Kepulauan Spermonde Provinsi Sulawesi Selatan. Dibimbing
oleh DEDE SETIADI, IBNUL QAYIM, dan D. DJOKOSETIYANTO.
Sebagai negara kepulauan, selain memiliki wilayah laut yang luas,
Indonesia juga memiliki garis pantai sepanjang 81.000 km. Wilayah perairan laut
yang sangat luas ini memiliki banyak kekayaan alam hayati berupa tumbuh-
tumbuhan (flora) dan hewan (fauna) yang beraneka ragam bentuk dan jenisnya.
Salah satu kekayaan flora laut yang banyak tersebar di perairan pantai Indonesia
adalah lamun. Lamun kadang membentuk hamparan luas di pantai sehingga
dikenal sebagai padang lamun (seagrass beds). Padang lamun memiliki banyak fungsi penting di perairan pantai, namun,
padang lamun juga merupakan salah satu ekosistem yang mudah mengalami
kerusakan dan perubahan. Berkurangnya penutupan padang lamun dapat
disebabkan oleh faktor alami maupun aktivitas manusia (antropogenik).
Tekanan antropogenik pada daerah pantai terutama pulau-pulau kecil
semakin meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk. Oleh karena
itu, penelitian yang bertujuan untuk mengkaji sinekologi ekosistem padang lamun
akibat tekanan antropogenik yang terjadi di pulau kecil dengan jumlah penduduk
berbeda telah dilaksanakan pada dua pulau dalam gugusan Kepulauan
Spermonde, Sulawesi Selatan yaitu Pulau Barranglompo dan Pulau Bonebatang.
Penelitian ini dilaksanakan mulai dari bulan Mei 2010 sampai bulan Juli 2011
dengan mengamati beberapa aspek yaitu: aktivitas antropogenik yang terjadi di
pulau kecil, struktur komunitas lamun, potensi grazing oleh bulu babi, asosiasi
dan interaksi makrofita (lamun dan makroalgae), dinamika nutrien jaringan lamun
dan kolom air serta kualitas perairan habitat padang lamun pada tekanan
antropogenik yang berbeda.
Aktivitas antropogenik diamati melalui pengamatan langsung terhadap
kegiatan sehari-hari penduduk yang ada di pulau lokasi penelitian dan didukung
dengan informasi masyarakat mengenai aktivitasnya selama ini. Dari pengamatan
ini 9 aktivitas antropogenik yang teridentifikasi di Pulau Barranglompo yang
sangat padat penduduknya, sedangkan di Pulau Bonebatang yang tidak
berpenduduk, terdapat 2 aktivitas yang berlangsung saat ini. Di Pulau
Barranglompo, terdapat dua aktivitas antropogenik yang memiliki intensitas
tinggi yaitu lalu lintas kapal/perahu dan pembuangan sampah rumah tangga.
Untuk mengetahui dampak dari aktivitas antropogenik terhadap status
nutrien pada jaringan lamun dan kolom air, dilaksanakan pengukuran pada daun
lamun Enhalus acoroides dan kolom air. Sampel diambil dari daun lamun E.
acoroides dan air permukaan pada tiga stasiun dengan jarak berbeda dari garis
pantai pada masing-masing pulau. Analisis kandungan karbon pada daun lamun
E. acoroides menunjukkan potensi stok karbon jenis ini di Pulau Barranglompo
berkisar antara 0.49-1.05 ton/ha, sedangkan di Pulau Bonebatang berkisar 0.08-
0.34 ton/ha. Sementara itu, hasil pengukuran nutrien menunjukkan bahwa
konsentrasi nitrogen di Pulau Barranglompo jauh lebih tinggi dibandingkan Pulau
Bonebatang. Nilai rasio C:N yang lebih rendah dan nilai rasio N:P yang lebih
tinggi di Pulau Barranglompo memperkuat hal ini. Perbedaan ini
mengindikasikan pengaruh dari pengayaan hara akibat aktivitas antropogenik
yang semakin meningkat. Hal ini didukung oleh hasil pengukuran nutrien pada
kolom air dimana konsentrasi nitrat sangat berbeda nyata antara Pulau
Barranglompo dan Pulau Bonebatang (p 0.01). Aktivitas antropogenik yang
paling potensial mempengaruhi komposisi nutrien di Pulau Barranglompo adalah
pembuangan sampah rumah tangga dan aliran limbah cair dari rumah penduduk
di sekitar pantai.
Faktor lingkungan memiliki pengaruh yang besar terhadap struktur
komunitas dan pola penyebaran lamun beserta biota asosianya. Sebaliknya
kompleksitas struktural lamun dapat juga mempengaruhi faktor lingkungan
tersebut. Oleh karena itu, parameter lingkungan yang meliputi suhu, salinitas,
ukuran butir sedimen, kekeruhan, padatan tersuspensi total, arah dan kecepatan
arus, dan tinggi gelombang telah diukur di Pulau Barranglompo dan Pulau
Bonebatang. Suhu dan salinitas di kedua pulau memiliki pola yang hampir sama
dimana nilai yang tinggi dijumpai di sisi selatan, sedangkan yang lebih rendah di
sisi barat laut. Jenis pasir halus memiliki proporsi terbesar dalam struktur sedimen
di kedua pulau. Kekeruhan di Pulau Barranglompo telah melampaui ambang
batas baku mutu lingkungan terutama pada stasiun yang berdekatan dengan garis
pantai. Kekeruhan di Pulau Barranglompo nyata (p 0.05) dari Pulau
Bonebatang. Begitupula dengan padatan tersuspensi total (TSS) di Pulau
Barranglompo lebih tinggi dibandingkan dengan Pulau Bonebatang dan berbeda
sangat nyata (p 0.01). Sementara itu kecepatan arus dan tinggi gelombang di
kedua pulau relatif tidak berbeda nyata (p 0.05). Dapat disimpulkan bahwa
aktivitas antropogenik mempengaruhi kekeruhan dan padatan tersuspensi total,
namun tidak mempengaruhi parameter lain.
Pengamatan struktur komunitas lamun dilakukan pada 3 stasiun
berdasarkan jaraknya dari garis pantai: stasiun A diambil pada vegetasi lamun
terdekat dengan garis pantai, stasiun B berjarak sekitar 100 m dari garis pantai,
dan stasiun C berjarak sekitar 200 m dari garis pantai dimana lamun sudah
berbatasan dengan daerah terumbu karang. Sampling pada setiap stasiun
dilakukan pada 9 sub stasiun mengelilingi pulau. Struktur komunitas lamun yang
diamati meliputi kerapatan, frekuensi, luas penutupan, morfometri (panjang dan
lebar) daun lamun dan indeks luas daun. Sebanyak 8 spesies lamun teridentifikasi
di Pulau Barranglompo, sedangkan di Pulau Bonebatang dijumpai 7 spesies.
Thalassia hemprichii merupakan spesies yang memiliki nilai indeks nilai penting
(INP) tertinggi baik di Pulau Barranglompo maupun Pulau Bonebatang. Hasil
pengukuran morfometri daun lamun menunjukkan bahwa daun E. acoroides, H.
uninervis, S. isoetifolium dan T. hemprichii di Pulau Barranglompo lebih panjang
dibandingkan dengan spesies yang sama di Pulau Bonebatang, sedangkan daun C.
rotundata dan H. ovalis di Pulau Barranglompo sedikit lebih pendek daripada
yang dijumpai di Pulau Bonebatang. Nilai indeks luas daun di Pulau
Barranglompo memperlihatkan pola menurun dengan semakin jauhnya stasiun
dari garis pantai, sedangkan di Pulau Bonebatang relatif lebih merata.
Untuk mengkaji interaksi dan asosiasi makrofita pada lokasi yang
memiliki tekanan antropogenik berbeda, dilakukan pengamatan terhadap kategori
lifeform, kelimpahan, biomassa, asosiasi lamun dan makroalgae, indeks evaluasi
ekologi dan indeks similaritas. Transek kuadrat digunakan untuk sampling
makroalgae pada tiga stasiun yang memiliki jarak berbeda dari garis pantai.
Sebanyak 22 spesies makroalgae dijumpai di Pulau Barranglompo, sedangkan di
Pulau Bonebatang, ditemukan 20 spesies. Kebanyakan makroalgae yang
ditemukan di kedua pulau hidup sebagai epilithik (litofitik) dan epipelik
(rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya, di Pulau Barranglompo dijumpai asosiasi
positif antara pasangan Cymodocea rotundata-Thalassia hemprichii,
Acanthophora spicifera-Laurencia papillosa, dan Dictyota bartayresiana-
Laurencia papillosa, sedangkan asosiasi negatif didapatkan pada dua pasangan
yaitu Enhalus acoroides-Halodule uninervis dan Thalassia hemprichii-Halodule
uninervis. Di Pulau Bonebatang, asosiasi positif dijumpai pada pasangan C.
rotundata-H. uninervis saja, sedangkan asosiasi negatif dijumpai pada beberapa
pasangan yaitu. C. rotundata-A.spicifera, C. rotundata-Actinoritchia fragilis, E.
acoroides-H. uninervis, T. hemprichii-Gracilaria coronopifolia, dan T.
hemprichii-Sargassum crassifolium. Sementara itu, untuk menguji fungsi
makrofita sebagai bioindikator perubahan ekosistem akibat tekanan antropogenik,
didapatkan bahwa Pulau Barranglompo memiliki status ekologi sedang dan Pulau
Bonebatang memiliki status ekologi sangat bagus. Indeks similaritas tertinggi
dijumpai antar stasiun pada pulau yang sama, sehingga disimpulkan bahwa pulau
yang berbeda memiliki konfigurasi makroalgae yang berbeda dan sangat
dipengaruhi oleh aktivitas antropogenik yang berlangsung di pulau-pulau
tersebut.
Untuk mengkaji potensi grazing oleh bulu babi dilakukan pengamatan dan
pengukuran aspek-aspek yang meliputi komposisi jenis, kepadatan, diameter test
dan analisis isi perut. Kepadatan bulu babi diamati dalam plot kuadrat (3 m x 3
m) yang dipasang secara acak pada daerah lamun mulai dari pinggir pantai
sampai kedalaman dimana lamun masih tumbuh. Diameter cangkang (test) bulu
babi diukur menggunakan mistar geser langsung di lapangan, sedangkan isi
perutnya diamati di laboratorium. Terdapat 6 jenis bulu babi yang sama pada
masing-masing pulau yaitu Diadema setosum, Echinothrix calamaris, Echinothrix
diadema, Echinometra mathaei, Mespilia globulus dan Tripneustes gratilla. Bulu
babi jenis T. gratilla dan D. setosum merupakan jenis yang dominan dan memiliki
kepadatan tertinggi di kedua pulau. Indeks pilihan masing-masing jenis bulu babi
mengindikasikan bahwa bulu babi menyukai berbagai jenis lamun, terutama T.
hemprichii.
Kata kunci: antropogenik, Barranglompo, Bonebatang, bulu babi, kualitas air,
lamun, makroalgae, nutrien
Hak Cipta milik IPB, tahun 2012
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumber. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar
bagi IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
SINEKOLOGI PADANG LAMUN AKIBAT
TEKANAN ANTROPOGENIK: STUDI KASUS
PULAU BARRANGLOMPO DAN BONEBATANG
KEPULAUAN SPERMONDE SULAWESI SELATAN
KHAIRUL AMRI
Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada
Program Studi Biologi Tumbuhan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
Penguji Luar Komisi pada
Ujian Tertutup
: Dr. Ir. Richardus F. Kaswadji. M.Sc.
(Departemen Ilmu Kelautan FPIK IPB)
Dr. Sulistijorini
(Departemen Biologi FMIPA IPB)
Penguji Luar Komisi pada
Ujian Terbuka
: Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, M.S.
(Guru Besar FPIK IPB)
Dr. Sulistijorini
(Departemen Biologi FMIPA IPB)
PRAKATA
Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT,
Tuhan yang maha pengasih dan penyayang, atas segala limpahan rahmat dan
karunia-Nya sehingga disertasi yang berjudul “Sinekologi Padang Lamun Akibat
Tekanan Antropogenik: Studi Kasus Pulau Barranglompo dan Bonebatang
Kepulauan Spermonde Sulawesi Selatan” ini dapat diselesaikan dengan baik.
Karya ilmiah ini merupakan salah satu syarat memperoleh gelar Doktor pada
Sekolah Pascasarjana Institut pertanian Bogor.
Karya ilmiah ini merupakan hasil dari penelitian yang telah dilaksanakan
dari bulan Mei 2010 sampai bulan Juli 2011 di Pulau Barranglompo dan
Bonebatang, Kepulauan Spermonde, Sulawesi Selatan. Dengan selesainya karya
ilmiah ini penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada Komisi
Pembimbing, Ketua Program Studi Biologi Tumbuhan, Penguji ujian kualifikasi,
ujian tertutup dan ujian terbuka atas masukannya terhadap karya ilmiah ini.
Selama studi, penelitian dan penulisan karya ilmiah ini, penulis
mendapatkan bantuan finansial dari Dirjen DIKTI berupa beasiswa BPPS,
bantuan penyelesaian studi program doktor dan juga beasiswa program Sandwich
Tahun 2009. Bantuan juga penulis dapatkan dalam bentuk bantuan analisis data
dari Rektor Universitas Hasanuddin serta bantuan penulisan disertasi dari
Program Mitra Bahari-COREMAP 2 (Coral Reef Rehabilitation and Management
Program Phase 2). Oleh karena itu penulis berterima kasih atas bantuan dan
dukungan ini.
Penulis berharap agar karya ilmiah ini dapat memberikan informasi
tentang ekosistem padang lamun di Indonesia terutama di Kepulauan Spermonde.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Juli 2012
Khairul Amri
UCAPAN TERIMA KASIH
Penelitian dan penulisan disertasi ini dapat diselesaikan berkat dukungan
dan bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu dengan segala kerendahan hati
penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang tulus kepada:
1. Prof. Dr. Ir. Dede Setiadi, M.S., selaku ketua komisi pembimbing yang telah
meluangkan waktu untuk membimbing dan mengarahkan penulis sejak masa
perkuliahan, persiapan penelitian hingga penulisan disertasi ini.
2. Dr. Ir. Ibnul Qayim, dan Prof. Dr. Ir. D. Djokosetiyanto, DEA., selaku
anggota komisi pembimbing yang telah mencurahkan waktunya untuk
membimbing dan mengarahkan penulis selama ini.
3. Para penguji luar komisi: Prof. Dr. Ir. Dedi Soedharma dan Dr. Malikusworo
Hutomo, APU (Ujian Kualifikasi), Dr. Ir. Richardus F. Kaswadji, M.Sc (Ujian
Tertutup), Dr. Sulistijorini (Ujian Tertutup dan Terbuka), serta Prof. Dr. Ir.
Rokhmin Dahuri, M.S (Ujian Terbuka) atas masukannya dalam
penyempurnaan proposal dan disertasi ini.
4. Dekan Sekolah Pascasarjana IPB beserta staf atas pelayanan akademik yang
telah diberikan sejak masuk hingga akhir studi.
5. Dr. Ir. Miftahudin, M.Si (Ketua Program Studi Biologi Tumbuhan FMIPA
IPB) atas perhatiannya selama ini terutama atas masukannya terhadap naskah
terakhir disertasi ini.
6. Rektor Universitas Hasanuddin, Dekan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan
UNHAS dan Ketua Jurusan Ilmu Kelautan FIKP UNHAS atas izin dan
rekomendasi untuk melanjutkan studi S3, serta bantuan analisis data Tahun
2011.
7. Dirjen DIKTI atas beasiswa BPPS, bantuan penyelesaian program doktor dan
beasiswa program Sandwich Tahun 2009.
8. Dr. Harald Asmus dan Dr. Raghnild Asmus dari Alfred Wegener Institute
(AWI) atas fasilitas dan bimbingan yang diberikan selama penulis
melaksanakan kegiatan Sandwich di Jerman.
9. Program Mitra Bahari-COREMAP 2 (Coral Reef Rehabilitation and
Management Program Phase 2) atas bantuan penulisan disertasi Tahun 2010.
10. Prof. Dr. Ir. Jamaluddin Jompa, M.Sc, Dr. Muh. Lukman, serta rekan-rekan
dari Pusat Penelitian Terumbu Karang (PPTK)/Pusat Penelitian Laut, Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil (Puslit LP3K) UNHAS atas kolaborasi riset selama ini
serta penggunaan Laboratorium SPICE (Science for Protection of Indonesian
Coastal Ecosystem) selama penelitian ini.
11. Rekan-rekan dari FIKP UNHAS (Dr. Asmi Citra Malina, Dr. Mahatma
Lanuru, Dr. Nurjanna Nurdin, Dr. Rohani AR) atas dukungan peralatan dan
data sekunder selama penelitian.
12. Rekan-rekan JIKUNHAS 2007 (Ahmad Bahar, M. Banda Selamat, Supriadi,
dan Syafyudin Yusuf) atas kerjasama dan kekompakannya selama ini, datang
bersamaan ke IPB dan mengakhiri studi pada waktu yang bersamaan pula.
13. Rekan-rekan BOT 2007 (Jamili, Jati Batoro, Jumari, Radite Tistama, Ratna
Yuniati, Sri Widodo Agung Suedy, dan T. Alief Aththorick) atas kebersamaan
dan kerjasamanya sejak awal perkuliahan hingga akhir studi.
14. Dr. Muh. Hatta Jamil, Dr. Mohammad Wijaya, Dr. Nadiarti, M. Chasyim
Hasani, M. Syahrul, M.Si serta teman-teman dari Pengurus WACANA IPB
dan Sulawesi Selatan 2008-2010 atas perhatian dan kerjasamanya selama ini.
15. Bunda Suri, Dody Priosambodo, Sabhan, Reski Praja Putra, Yulianto Suteja,
Mangopo Hardianto, Andi Haerul, Muh. Arham Rajab serta teman-teman dari
Pondok Tanadoang/PTD atas keakraban dan dukungan yang telah diberikan
selama ini.
16. Bapak Ridwan, Abdul Muttalib, Eka Hesdianti dan Yuke Puspitasari yang
telah membantu dalam pengambilan data di Pulau Barranglompo dan Pulau
Bonebatang.
17. Istri tercinta Fauzia P. Bakti, SH. MH., putri tersayang Tsabitah Austrina
Khairul, Orang tua (H. Abd. Hakim & Hj. Syarifah), mertua (P. Bakti &
Hj. Saenab Bando) serta seluruh keluarga atas doa, motivasi, perhatian dan
kasih sayang yang telah diberikan selama ini.
18. Semua pihak yang telah berkontribusi terhadap penelitian dan penulisan
disertasi ini namun, tidak sempat disebutkan namanya satu persatu.
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Maros, Sulawesi Selatan pada tanggal 6 Juli 1969
sebagai anak ketiga dari pasangan H. Abdul Hakim (alm) dan Hj. Syarifah.
Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Ilmu dan Teknologi Kelautan,
Universitas Hasanuddin Makassar, lulus pada tahun 1995. Pada tahun 2001,
penulis mendapatkan beasiswa Australian Development Scholarship (ADS) dari
Australian Agency for International Development (AusAID) untuk melanjutkan
studi S2 pada School of Applied Sciences, University of Newcastle, Australia dan
menamatkannya pada tahun 2003. Kesempatan untuk melanjutkan ke program
doktor pada Program Studi Biologi Tumbuhan, Sekolah Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor diperoleh pada tahun 2007. Beasiswa pendidikan pascasarjana
diperoleh dari BPPS-DIKTI.
Penulis bekerja sebagai tenaga pengajar di Universitas Hasanuddin
Makassar sejak tahun 1995 dan ditempatkan pada Jurusan Ilmu Kelautan,
Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan. Mata kuliah yang diajarkan selama ini
adalah Botani Laut, Biologi Laut, Planktonologi Kelautan, Avertebrata Laut,
Ikhtiologi dan Teknik Budidaya Rumput Laut.
Selama mengikuti program S3, penulis aktif sebagai pengurus Forum
Mahasiswa Pascasarjana (Forum WACANA) IPB dan Forum WACANA daerah
Sulawesi Selatan tahun 2008-2010. Penulis juga mendapatkan beasiswa
Sandwich DIKTI untuk melakukan kegiatan sandwich pada Alfred Wegener
Institute (AWI), Lembaga Penelitian Laut dan Kutub di Jerman mulai dari bulan
September 2009 hingga Januari 2010.
Salah satu bagian disertasi ini yang berjudul “Nutrient Content of
Seagrass Enhalus acoroides Leaves in Barranglompo and Bonebatang Islands:
Implication to Increased Anthropogenic Pressure” telah diterbitkan pada jurnal
Ilmu Kelautan (Terakreditasi No. 83/DIKTI/Kep./2009) Volume 16 (4): 181-186,
edisi Desember 2011.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ……………………………………………………… xvi
DAFTAR GAMBAR ………………………………………………….. xix
DAFTAR LAMPIRAN ………………………………………………… xxiv
1. PENDAHULUAN
Latar Belakang ……………………………………………………
Permasalahan ………………………………………………………
Tujuan Penelitian ………………………………………………….
Manfaat Penelitian …………………………………………….........
Hipotesis ……………………………………………………………
Kebaruan (Novelty) …………………………………………………
1
2
4
4
5
5
2. TINJAUAN PUSTAKA
Sinekologi …………………………………………………………. 7
Deskripsi Lamun ………………………………………..................
Jenis-Jenis Lamun …………………………………………………
Habitat dan Distribusi Lamun ……………………………………..
Peranan dan Fungsi Padang Lamun ……………………………….
Kerusakan Ekosistem Padang Lamun ………………………………
Interaksi Lamun dan Makroalgae ..…………………………………
Grazing Lamun Oleh Bulu Babi …………………………………..
Respon Lamun terhadap Stres ……………………………………..
Resiliensi Ekosistem terhadap Disturbansi …………………………
7
9
9
10
12
13
14
15
16
3. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
Kepulauan Spermonde ………………….………………………….. 19
Pulau Barranglompo ……………………………………………….. 21
Pulau Bonebatang …………………………………………………. 24
Penelitian-Penelitian Terdahulu yang Berkaitan dengan Ekosistem
Padang Lamun di Pulau Barranglompo dan Pulau Bonebatang ……
25
Halaman
4. AKTIVITAS ANTROPOGENIK DI PULAU BARRANGLOMPO
DAN BONEBATANG, KEPULAUAN SPERMONDE
Abstrak …………………………………………………………… 29
Abstract …………………………………………………………… 29
Pendahuluan ………………………………………………………. 29
Bahan dan Metode ………………………………………………… 30
Hasil dan Pembahasan ……………………………………………. 32
Simpulan dan Saran ……………………………………………….. 44
5. DINAMIKA NUTRIEN PADA JARINGAN DAUN LAMUN
Enhalus acoroides DAN KOLOM AIR
Abstrak …………………………………………………………… 45
Abstract …………………………………………………………… 45
Pendahuluan ……………………………………………………… 46
Bahan dan Metode ………………………………………………… 47
Hasil dan Pembahasan …………………………………………….. 50
Simpulan …………………………………………………………… 58
6. DAMPAK AKTIVITAS ANTROPOGENIK TERHADAP
KUALITAS PERAIRAN HABITAT PADANG LAMUN
Abstrak ……………………………………………………………. 59
Abstract ……………………………………………………………. 59
Pendahuluan ……………………………………………………….. 60
Bahan dan Metode ………………………………………………… 61
Hasil dan Pembahasan …………………………………………….. 64
Simpulan …………………………………………………………… 82
Halaman
7. STRUKTUR KOMUNITAS LAMUN DI PULAU
BARRANGLOMPO DAN PULAU BONEBATANG
Abstrak …………………………………………………………….. 83
Abstract …………………………………………………………….. 83
Pendahuluan ……………………………………………………….. 84
Bahan dan Metode ………………………………………………… 85
Hasil dan Pembahasan …………………………………………….. 91
Simpulan …………………………………………………………… 103
8. ASOSIASI DAN INTERAKSI MAKROFITA (LAMUN DAN
MAKROALGAE) AKIBAT TEKANAN ANTROPOGENIK
YANG BERBEDA
Abstrak …………………………………………………………… 105
Abstract …………………………………………………………… 105
Pendahuluan ……………………………………………………… 106
Bahan dan Metode ………………………………………………… 108
Hasil dan Pembahasan ……………………………………………. 114
Simpulan …………………………………………………………… 142
9. POTENSI GRAZING BULU BABI PADA EKOSISTEM
PADANG LAMUN DI PULAU BARRANGLOMPO DAN
BONEBATANG
Abstrak …………………………………………………………… 145
Abstract …………………………………………………………… 145
Pendahuluan ……………………………………………………… 145
Bahan dan Metode ………………………………………………… 147
Hasil dan Pembahasan ……………………………………………. 149
Simpulan …………………………………………………………. 160
10. PEMBAHASAN UMUM ………………………………………… 161
11. SIMPULAN DAN SARAN ……………………………………… 173
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………….. 175
LAMPIRAN …………………………………………………………….. 197
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Pemicu stres penting yang membatasi distribusi dan kelimpahan
lamun (Larkum & den Hartog 1989) ………………………………
16
2. Parameter fisika-kimia kolom air di Pulau Barranglompo ……….. 23
3. Parameter fisika-kimia perairan di Pulau Bonebatang …………… 25
4. Judul-judul penelitian berkaitan dengan ekosistem padang lamun
yang pernah dilaksanakan di Pulau Barranglompo dan Pulau
Bonebatang …………………………………………………………
26
5. Jenis-jenis aktivitas antropogenik di Pulau Barranglompo serta
dampaknya terhadap ekosistem padang lamun ……………………
33
6. Jumlah perahu besar (PB) dan perahu kecil (PK) yang berlabuh di
pantai Pulau Barranglompo ………………………………………..
36
7. Aktivitas antropogenik yang dijumpai di Pulau Bonebatang ……… 43
8. Rasio C:N:P rata-rata pada daun lamun E. acoroides dari Pulau
Barranglompo dan Pulau Bonebatang ……………………………
52
9. Komposisi rasio atom daun lamun dari penelitian-penelitian
terdahulu pada berbagai lokasi (Fourqurean et al. 1992) ………...
53
10. Klasifikasi sedimen berdasarkan ukuran (Skala Wenthworth) ……. 62
11. Kesesuaian perairan untuk kepentingan perikanan berdasarkan
nilai padatan tersuspensi total (TSS) ………………………………
75
12. Kelompok penciri karakteristik lingkungan di Pulau Barranglompo
dan Pulau Bonebatang ……………………………………………..
81
13. Klasifikasi Penutupan Lamun …………………………………….. 90
14. Status Padang Lamun (SK Menteri Negara Lingkungan Hidup No.
200 Tahun 2004) …………………………………………………..
90
15. Komposisi jenis lamun di Pulau Barranglompo ………………….. 91
16. Komposisi Jenis Lamun di Pulau Bonebatang ……………………. 93
17. Indeks Nilai Penting jenis-jenis lamun pada setiap stasiun di Pulau
Barranglompo ………………………………………………………
99
Halaman
18. Indeks Nilai Penting jenis-jenis lamun pada setiap stasiun di Pulau
Bonebatang …………………………………………………………
99
19. Ukuran panjang daun (PD) rata-rata dan lebar daun (LD) rata-rata
(± sd) jenis-jenis lamun pada setiap stasiun pengamatan di Pulau
Barranglompo ………………………………………………………
101
20. Ukuran panjang daun (PD) rata-rata dan lebar daun (LD) rata-rata
(± sd) jenis-jenis lamun pada setiap stasiun pengamatan di Pulau
Bonebatang …………………………………………………………
101
21. Nilai indeks luas daun lamun di Pulau Barranglompo dan Pulau
Bonebatang …………………………………………………………
102
22. Nilai skala Braun-Blanquet untuk berbagai persentase penutupan
makroalgae (Braun-Blanquet 1965 diacu Gab-Alla 2007)…………
109
23. Sistem skoring numerik untuk evaluasi status ekologis perairan
transisi dan perairan pantai (Orfanidis et al. 2001) ………………..
113
24. Penentuan tingkat kemiripan vegetasi antar stasiun pengamatan … 114
25. Klasifikasi makroalgae yang ditemukan di lokasi penelitian ……… 115
26. Kategori Lifeform setiap jenis makroalgae yang ditemukan di
Pulau Barranglompo ………………………………………………
127
27. Kategori Lifeform setiap jenis makroalgae yang ditemukan di
Pulau Bonebatang …………………………………………………
127
28. Frekuensi Braun Blanquet makroalgae di Pulau Barranglompo dan
Pulau Bonebatang …………………………………………………
128
29. Kelimpahan Braun Blanquet makroalgae di Pulau Barranglompo
dan Pulau Bonebatang ……………………………………………
130
30. Kerapatan Braun Blanquet makroalgae di Pulau Barranglompo dan
Pulau Bonebatang …………………………………………………
131
31. Asosiasi lamun dan makroalgae di Pulau Barranglompo. ………… 134
32. Asosiasi lamun dan makroalgae di Pulau Bonebatang. …………… 136
33. Persentase kategori nilai indeks asosiasi delapan spesies lamun dan
makroalgae dominan di Pulau Barranglompo ……………………..
138
Halaman
34. Persentase kategori nilai indeks asosiasi delapan spesies lamun dan
makroalgae dominan di Pulau Bonebatang ……………………….
138
35. Pembagian spesies makroalgae di Pulau Barranglompo ke dalam
kelompok status ekologi (Ecological Status Group-ESG) I dan II ..
139
36. Pembagian spesies makroalgae di Pulau Bonebatang ke dalam
kelompok status ekologi (Ecological Status Group-ESG) I dan II ..
140
37. Nilai tutupan makrofita laut (lamun dan makroalgae) setiap
kelompok status ekologi pada setiap stasiun di Pulau
Barranglompo dan Bonebatang ……………………………………
140
38. Indeks similaritas dan disimilaritas makrofita antar stasiun di Pulau
Barranglompo dan Pulau Bonebatang ……………………………..
142
39. Komposisi jenis Bulu Babi di Pulau Barranglompo dan Pulau
Bonebatang …………………………………………………………
149
40. Kepadatan Bulu babi rata-rata setiap stasiun (Individu/m2) di
Pulau Barranglompo dan Pulau Bonebatang …………………..
152
41. Kepadatan beberapa jenis bulu babi di berbagai lokasi di Indonesia
(Dobo 2009) ……………………………………………………….
153
42. Diameter cangkang (cm ± sd) setiap jenis bulu babi di Pulau
Barranglompo dan Pulau Bonebatang ……………………………
153
43. Nilai Indeks Pilihan (Electivity Index) empat jenis bulu babi
terhadap makanan lamun dan makroalgae di Pulau Barranglompo
dan Bonebatang ……………………………………………………
156
44. Rangkuman hasil-hasil yang diperoleh selama penelitian ………… 163
45. Perkiraan skala waktu (maksimum) untuk penguraian sampah (Tait
& Dipper 1998) ……………………………………………………
164
46. Contoh dampak stres antropogenik terhadap komunitas makrofita
laut bentik (dikompilasi oleh Orfanidis et al. 2001)………………..
167
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Skema penelitian mengenai sinekologi padang lamun akibat
aktivitas antropogenik ...……………………………………………
3
2. Komponen dasar arsitektur lamun (Hemminga & Duarte 2000) ….. 8
3. Sekawanan ikan kecil yang berlindung di celah-celah daun lamun E.
acoroides di Pulau Barranglompo ………………………………
11
4. Peta pembagian zona Kepulauan Spermonde …………………….. 20
5. Rumah panggung salah satu warga di Pulau Barranglompo ……… 23
6. Peta lokasi penelitian Pulau Barranglompo dan Pulau Bonebatang . 31
7. Pulau Barranglompo yang diambil dari sisi tenggara …………….. 31
8. Pulau Bonebatang diambil dari sisi timur …………………………. 32
9. Perahu bermotor (a) beserta bagian-bagiannya, jangkar (b), baling-
baling (c) dan papan kemudi (d) yang dapat menyebabkan kerusakan
fisik terhadap lamun ……………………………………
35
10. Perahu besar yang sedang berlabuh di pantai barat Pulau
Barranglompo ……………………………………………………..
36
11. Perahu ukuran kecil, (a) jolloro, (b) katinting, (c) lepa-lepa ……… 37
12. Kapal yang sedang menjalani perbaikan ………………………….. 38
13. Tumpukan sampah di pinggir pantai barat Pulau Barranglompo …. 39
14. Tumpukan karang batu yang dikumpulkan penduduk untuk bahan
bangunan dan disusun sebagai penahan ombak di depan rumah di
sisi selatan Pulau Barranglompo ………………………………….
40
15. Penimbunan/reklamasi pantai yang dilakukan masyarakat Pulau
Barranglompo di sisi utara (atas) dan sisi barat (bawah) ………….
41
16. Alat perangkap ikan (bubu) yang dipasang nelayan di daerah padang
lamun Pulau Barranglompo ……………………………..
42
17. Aktivitas praktek lapang mahasiswa di pantai …………………….. 43
18. Kadar rata-rata (± sd) karbon, nitrogen dan fosfor (sebagai % bobot
kering) pada daun lamun E. acoroides di Barranglompo dan
Bonebatang ………………………………………………………….
50
Halaman
19. Stok karbon rata-rata lamun E. acoroides pada setiap stasiun di
Pulau Barranglompo dan Pulau Bonebatang ………………………
54
20. Klorofil-a rata-rata lamun E. acoroides pada setiap stasiun di Pulau
Barranglompo dan Pulau Bonebatang ……………………………..
55
21. Konsentrasi nitrat (± sd) pada setiap stasiun di Pulau Barranglompo
dan Pulau Bonebatang ………………………………………………
56
22. Konsentrasi fosfat (± sd) pada setiap stasiun di Pulau Barranglompo
dan Pulau Bonebatang ………………………………………………
57
23. Nilai suhu (± sd) pada setiap stasiun di Pulau Barranglompo dan
Pulau Bonebatang ………………………………………………….
64
24. Sebaran suhu (oC) di Pulau Barranglompo ……………………….. 65
25. Sebaran suhu (oC) di Pulau Bonebatang ………………………….. 65
26. Bulu babi Tripneustes gratilla menutupi permukaan tubuhnya
dengan daun lamun ……………………………………………….
66
27. Nilai salinitas (± sd) pada setiap stasiun di Pulau Barranglompo dan
Pulau Bonebatang …………………………………………………..
67
28. Sebaran salinitas (o/oo
) di Pulau Barranglompo …………………… 68
29. Sebaran salinitas (o/oo
) di Pulau Bonebatang ……………………… 68
30. Persentase masing-masing jenis sedimen di Pulau Barranglompo dan
Pulau Bonebatang ……………………………………………..
69
31. Nilai kekeruhan (± sd) pada setiap stasiun di Pulau Barranglompo
dan Pulau Bonebatang …………………………………………….
71
32. Sebaran kekeruhan (NTU) di Pulau Barranglompo ………………. 71
33. Sebaran kekeruhan (NTU) di Pulau Bonebatang ………………… 72
34. Nilai padatan tersuspensi total (± sd) pada setiap stasiun di Pulau
Barranglompo dan Pulau Bonebatang …………………………….
73
35. Sebaran TSS (mg/l) di Pulau Barranglompo ……………………… 73
36. Sebaran TSS (mg/l) di Pulau Bonebatang ………………………… 74
37. Nilai kecepatan arus (± sd) pada setiap stasiun di Pulau
Barranglompo dan Pulau Bonebatang …………………………….
75
Halaman
38. Sebaran arah dan kecepatan arus (m/detik) di Pulau Barranglompo.. . 77
39. Sebaran arah dan kecepatan arus (m/detik) di Pulau Bonebatang … 77
40. Tinggi gelombang (± sd) pada setiap stasiun di Pulau Barranglompo
dan Pulau Bonebatang ………………………………………………
78
41. Sebaran tinggi gelombang (cm) di Pulau Barranglompo …………… 79
42. Sebaran tinggi gelombang (cm) di Pulau Bonebatang ……………… 79
43. Analisis Komponen Utama (Principal Component Analysis) sebaran
karakteristik fisika-kimia padang lamun di Pulau Barranglompo dan
Pulau Bonebatang …………………………………………………..
80
44. Analisis Komponen Utama (Principal Component Analysis) sebaran
stasiun di Pulau Barranglompo dan Pulau Bonebatang ……………..
81
45. Sebaran stasiun dan sub-stasiun pengamatan struktur komunitas
lamun di Pulau Barranglompo ……………………………………..
86
46. Sebaran stasiun dan sub-stasiun pengamatan struktur komunitas
lamun di Pulau Bonebatang ………………………………………..
86
47. Pengamatan komunitas lamun menggunakan transek kuadrat ……. 87
48. Spesies lamun yang dijumpai di lokasi penelitian. (a) Syringodium
isoetifolium, (b) Cymodocea rotundata, (c) Thalassia hemprichii, (d)
Enhalus acoroides, (e) Halophila minor, (f) Halophila ovalis, (g)
Halodule pinifolia, (h) Halodule uninervis ……………………………..
92
49. Kerapatan relatif (Rdi) jenis-jenis lamun pada setiap stasiun di Pulau
Barranglompo ………………………………………………………..
94
50. Kerapatan relatif (Rdi) jenis-jenis lamun pada setiap stasiun di Pulau
Bonebatang ………………………………………………………….
95
51. Frekuensi relatif (Rfi) jenis-jenis lamun pada setiap stasiun di Pulau
Barranglompo ……………………………………………………….
96
52. Frekuensi relatif (Rfi) jenis-jenis lamun pada setiap stasiun di
Pulau Bonebatang …………………………………………………..
96
53. Penutupan (Ci) dan penutupan relatif (RCi) jenis-jenis lamun pada
setiap stasiun di Pulau Barranglompo ………………………………
97
Halaman
54. Penutupan relatif (RCi) jenis-jenis lamun pada setiap stasiun di
Pulau Bonebatang …………………………………………………
98
55. Nilai rata-rata (± sd) penutupan lamun di setiap stasiun. BL=Pulau
Barranglompo, BB=Pulau Bonebatang, A,B,C=Stasiun …...……….
98
56. Hasil uji Correspondence Analysis (CA) jenis-jenis lamun pada
setiap stasiun di Pulau Barranglompo dan Pulau Bonebatang ……..
100
57. Tabel kontingensi 2 x 2 atau tabel asosiasi spesies (Ludwig &
Reynolds 1988) …………………………………………………….
110
58. Matriks berdasarkan kelimpahan rata-rata ESG untuk menentukan
status ekologis perairan transisi dan perairan pantai (Orfanidis et al.
2001) ……………………………………………………………….
112
59. Makroalgae hijau (Chlorophyta) yang dijumpai di daerah padang
lamun. (a) Boodlea composita, (b) Chlorodesmis fastigiata, (c)
Neomeris annulata, (d) Halimeda macroloba, (e) Halimeda opuntia
117
60. Makroalgae coklat (Phaeophyta) yang dijumpai di daerah padang
lamun. (a) Dictyota bartayresiana, (b) Hydroclathrus clathratus, (c)
Hormophysa triquetra, (d) Padina australis, (e) Rosenvingea
intricata………………………………………………………………………
119
61. Makroalgae coklat (Phaeophyta) dari genera Sargassum dan
Turbinaria yang dijumpai di daerah padang lamun. (a) Sargassum
binderi, (b) S. crassifolium, (c) S. polycistum, (d) Turbinaria
conoidess, (e) T. ornata ……………………………………………………
121
62. Makroalgae merah (Rhodophyta) yang dijumpai di daerah padang
lamun. (a) Acanthophora spicifera (b) Acanthophora muscoides,
(c) Actinoritchia fragilis, (d) Amphiroa fragilissima ………………
122
63. Makroalgae merah (Rhodophyta) yang dijumpai di daerah padang
lamun. (a) Eucheuma denticulatum (b) Eucheuma serra,
(c) Kappaphycus alvarezii, (d) Gelidiella acerosa …………………
124
Halaman
64. Makroalgae merah (Rhodophyta) yang dijumpai di daerah padang
lamun. (a) Gracilaria coronopifolia (b) Gracilaria salicornia,
(c) Hypnea esperi, (d) Hypnea cervicornis, (e) Laurencia papillosa .
126
65. Biomassa (g bobot kering/m2) spesies makroalgae yang dijumpai
di daerah padang lamun Pulau Barranglompo ………………………
132
66. Biomassa (g bobot kering/m2) spesies makroalgae yang dijumpai
di daerah padang lamun Pulau Bonebatang …………………………
133
67. Matriks asosiasi lamun dan makroalgae di Pulau Barranglompo …. 135
68. Matriks asosiasi lamun dan makroalgae di Pulau Bonebatang ……. 137
69. Pengukuran diameter cangkang bulu babi menggunakan mistar
geser. Foto diambil saat penelitian ………………………………….
148
70. Jenis-jenis bulu babi yang terdapat di Pulau Barranglompo dan
Pulau Bonebatang. (a) Diadema setosum; (b) Tripneustes gratilla;
(c) Echinothrix calamaris; (d) Echinothrix diadema;
(e) Echinometra mathaei; (f) Mespilia globulus ……………………
150
71. Kepadatan bulu babi rata-rata (± sd) di Pulau Barranglompo dan
Pulau Bonebatang …………………………………………………
152
72. Diameter cangkang rata-rata (cm ± sd) setiap jenis bulu babi di
Pulau Barranglompo dan Pulau Bonebatang ……………………….
154
73. Persentase makanan rata-rata dalam lambung bulu babi berdasarkan
indeks bagian terbesar (preponderance index) di Pulau
Barranglompo ……………………………………………………….
155
74. Persentase makanan rata-rata dalam lambung bulu babi berdasarkan
indeks bagian terbesar (preponderance index) di Pulau Bonebatang .
155
75. Bagian dalam cangkang bulu babi Tripneustes gratilla yang
dikoleksi dari perairan Pulau Barranglompo. ………………………
157
76. Korelasi antara kerapatan lamun dengan kepadatan bulu babi di
Pulau Barranglompo ………………………………………………
158
77. Korelasi antara kerapatan lamun dengan kepadatan bulu babi di
Pulau Bonebatang ………………………………………………..
160
78. Jenis interaksi utama antara tiga ekosistem laut tropis (digambar
ulang dari Ogden & Gladfelter 1983) ……………………………..
162
79. Model konseptual perubahan keadaan stabil vegetasi makrofita
bentik melalui gradien eutrofikasi (status ekologi) pada perairan
pantai. A. konvensional B. Dinamis (Viaroli et al. 2008) …………
168
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Daftar Istilah ……………………………………………………… 199
2. Koordinat GPS Posisi Stasiun dan Sub stasiun Penelitian ……….. 200
3. Kunci Identifikasi Lamun di Indonesia …………………………… 201
4. Kerapatan, Frekuensi dan Penutupan jenis-jenis lamun pada setiap
stasiun di Pulau Barranglompo dan Pulau Bonebatang …………..
208
5. Nilai Indeks Luas Daun Lamun di Pulau Barranglompo dan
Bonebatang ………………………………………………………...
210
6. Sebaran Kepadatan dan Diameter Cangkang Bulu Babi ………… 211
7. Biomassa rata-rata Makroalgae di Pulau Barranglompo dan
Bonebatang ………………………………………………………..
213
8. Nilai Indeks Ochiai Makrofita di Pulau Barranglompo dan Pulau
Bonebatang ………………………………………………………..
215
9. Kelimpahan Makrofita Kelompok Status Ekologi I dan II di Pulau
Barranglompo dan Pulau Bonebatang ……………………………
217
10. Nilai Nutrien Jaringan Daun Enhalus acoroides dan Kolom air di
Pulau Barranglompo dan Pulau Bonebatang ……………………...
219
11. Ukuran Butir Sedimen Habitat Padang Lamun Pulau
Barranglompo dan Pulau Bonebatang …………………………….
220
12. Parameter Kualitas Perairan di Pulau Barranglompo dan Pulau
Bonebatang ………………………………………………………..
221
13. Ringkasan hasil uji t nutrien dan parameter kualitas air di Pulau
Barranglompo (Grup 1) dan Pulau Bonebatang (Grup 2) …………
224
14. Hasil Analisis PCA Parameter Fisika-Kimia Perairan ……………. 225
15. Hasil Analisis Correspondence Analysis (CA) komunitas lamun … 226
16. Ringkasan hasil uji t kepadatan dan diameter cangkang bulu babi
di Pulau Barranglompo dan Pulau Bonebatang ………………….
228
Judul Disertasi : Sinekologi Padang Lamun Akibat Tekanan Antropogenik: Studi Kasus Pulau Barranglompo dan Bonebatang Kepulauan Spermonde Sulawesi Selatan
Nama : Khairul Amri NIM : G363070021
Disetujui
Komisi Pembimbing
Ketua Prof.Dr.Ir. Dede Setiadi, M.S
Dr.Ir. Ibnul Qayim Anggota Anggota
Prof.Dr.Ir. D. Djokosetiyanto,DEA
Mengetahui
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Biologi Tumbuhan Dr.Ir. Miftahudin, M.Si Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr
Tanggal Ujian: 27 Juli 2012 Tanggal Lulus:………………
1. PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sebagai negara kepulauan, selain memiliki wilayah laut yang luas,
Indonesia juga memiliki garis pantai sepanjang 81.000 km. Wilayah perairan laut
yang sangat luas ini memiliki banyak kekayaan alam hayati berupa tumbuh-
tumbuhan (flora) dan hewan (fauna) yang beraneka ragam bentuk dan jenisnya.
Salah satu kekayaan flora laut yang banyak tersebar di perairan pantai Indonesia
adalah lamun. Lamun kadang membentuk hamparan luas di pantai sehingga
dikenal sebagai padang lamun (seagrass beds). Lamun menutupi paling tidak
30.000 km2 sepanjang perairan Kepulauan Indonesia dari Pulau We di Aceh
hingga Merauke di Papua (Kuriandewa et al. 2003).
Lamun merupakan tumbuhan berbunga (angiospermae) yang telah
beradaptasi untuk hidup dalam keadaan terbenam di lingkungan laut dan estuaria.
Lamun terdiri atas sekelompok kecil tumbuhan yang berjumlah sekitar 60 spesies
dan 12 genera (Edgar 1997; Hemminga & Duarte 2000; Huisman 2000; Edgar
2001; Waycott et al. 2004; Short et al. 2007). Di Indonesia sendiri selama ini
hanya terdapat 12 spesies dan 7 genera (Tomascik et al. 1997; Nontji 2007),
ditambah spesies baru yaitu Halophila sulawesii yang ditemukan di perairan
Kepulauan Spermonde (Kuo 2007). Meskipun jumlah jenisnya tidak banyak
yaitu kurang dari 0.02 % dari semua flora angiospermae (Hemminga & Duarte
2000), namun peranan ekologis padang lamun sangat besar (Den Hartog 1977;
Keough & Jenkins 2000; Hogarth 2007; Short et al. 2007) dan merupakan salah
satu ekosistem pantai yang produktif dan mendukung banyak organisme autotrof
dan heterotrof (Duarte & Chiscano 1999) serta memiliki nilai konservasi yang
tinggi (Edgar & Shaw 1995).
Lamun memiliki banyak fungsi yang dianggap penting bagi kestabilan
perairan dangkal dan estuaria (Hillman et al. 1989; Edgar 2001; Hogarth 2007).
Secara ekologis padang lamun mempunyai beberapa fungsi penting di daerah
pesisir. Mereka merupakan sumber utama produktivitas primer di perairan
dangkal, sumber makanan penting bagi banyak organisme (dalam bentuk
2
detritus), menstabilkan dasar-dasar lunak sehingga melindungi banyak organisme,
tempat pembesaran bagi banyak spesies yang menghabiskan waktu dewasanya di
lingkungan lain, sebagai perangkap sedimen, membentuk habitat yang berair
tenang di bawahnya dan sebagai pelindung organisme dari pengaruh cahaya
matahari yang kuat (Zieman 1986; Nybakken 1992). Lamun juga telah
dimanfaatkan secara langsung. Penduduk di Kepulauan Seribu memanfaatkan
biji Enhalus acoroides sebagai makanan (Nontji 2007), beberapa jenis lamun
digunakan sebagai makanan ternak, serta sebagai bahan baku pembuatan kertas
dan karton (Hutomo & Azkab 1987). Secara global, nilai ekonomi yang dapat
diperoleh dari padang lamun adalah sekitar US$ 3.8 trilliun per tahun dan ada
kecenderungan semakin meningkat (Costanza et al. 1997).
Karena hidup pada perbatasan antara lingkungan daratan dan lautan,
padang lamun merupakan salah satu ekosistem yang mudah mengalami kerusakan
dan perubahan. Berkurangnya penutupan padang lamun dapat disebabkan oleh
faktor alami maupun aktivitas antropogenik. Faktor alam seperti badai,
perubahan iklim, banjir besar dan interaksi biologi spesifik (Hamdorf & Kirkman
1995; Preen et al. 1995; Kirkman 1997; Hemminga & Duarte 2000). Sedangkan
faktor antropogenik yang dapat merusak lamun antara lain adalah eutrofikasi,
aktivitas pertambangan pantai, pengerukan, jangkar dan baling-baling kapal
(Hamdorf & Kirkman 1995; Hastings et al. 1995; Kirkman 1997; Ralph et al.
2006).
Permasalahan
Kepulauan Spermonde terdiri atas lebih dari seratus pulau kecil yang
tersebar di sebelah barat daratan utama Provinsi Sulawesi Selatan. Pulau-pulau
tersebut ada yang berpenduduk ada juga beberapa pulau yang tidak berpenduduk.
Ketersediaan air tawar merupakan salah satu faktor utama yang menyebabkan
masyarakat pulau memilih untuk menetap di pulau tertentu.
Pulau Barranglompo merupakan salah satu pulau terpadat di Kepulauan
Spermonde. Keberadaan suplai air tawar yang cukup, jarak yang cukup dekat
dari Kota Makassar serta keberadaan Stasiun Lapang Laut (Marine Field Stasiun)
3
Universitas Hasanuddin mengakibatkan pertambahan penduduk di pulau ini
semakin pesat terutama dalam dua dasawarsa terakhir.
Dengan semakin bertambahnya penduduk, lahan yang tersedia makin
terbatas sehingga banyak rumah yang dibangun menjorok ke pantai. Hal tersebut
menyebabkan tekanan ke lingkungan laut makin besar. Penduduk pulau banyak
yang membuang limbah rumah tangganya ke perairan sehingga potensial
mempengaruhi ekosistem yang ada di sekitarnya. Begitupula dengan semakin
banyaknya perahu yang digunakan oleh nelayan di pulau-pulau tersebut dapat
menyebabkan kerusakan secara fisik terhadap ekosistem padang lamun yang
dilalui oleh jalur perahu tersebut.
Aktivitas antropogenik pada pulau-pulau yang banyak penduduknya
potensial untuk mencemari dan menurunkan kualitas perairan yang juga akan
mempengaruhi ekosistem padang lamun. Perubahan yang terjadi pada komunitas
padang lamun akibat berubahnya kondisi kualitas perairan sebagai dampak
peningkatan aktivitas antropogenik, pada akhirnya akan mempengaruhi interaksi
biologis vegetasi lamun dengan biota asosiasinya (Gambar 1).
Gambar 1 Skema penelitian mengenai sinekologi padang lamun akibat aktivitas
antropogenik
4
Identifikasi dan pemahaman akan ketersediaan sumberdaya dan struktur
komunitas yang diakibatkan oleh berbagai perturbasi antropogenik merupakan hal
yang mendasar untuk upaya-upaya rehabilitasi dan pemulihan proses-proses
ekosistem yang esensial (Tewfik et al. 2005). Oleh karena itu, untuk memahami
dampak dari aktivitas antropogenik terhadap sinekologi ekosistem padang lamun
di Kepulauan Spermonde, diperlukan penelitian pada lokasi dengan tingkat
tekanan antropogenik yang berbeda.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk :
1. Menganalisis aktivitas-aktivitas antropogenik yang terjadi di lokasi
penelitian yang potensial mempengaruhi ekosistem padang lamun.
2. Mempelajari dinamika nutrien pada jaringan lamun dan kolom air habitat
padang lamun yang mendapatkan tekanan antropogenik berbeda.
3. Mengkaji dampak aktivitas antropogenik terhadap kualitas perairan di
daerah padang lamun.
4. Mempelajari struktur komunitas lamun di Kepulauan Spermonde
berdasarkan tekanan antropogenik.
5. Mengkaji interaksi dan asosiasi makrofita (lamun dan makroalgae) di
Pulau Barranglompo dan Bonebatang.
6. Mengkaji potensi pemangsaan (grazing) bulu babi terhadap vegetasi
lamun dan makroalgae di Pulau Barranglompo dan Bonebatang.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan untuk :
1. Menyediakan data dasar (baseline) tentang kondisi padang lamun di Pulau
Barranglompo dan Pulau Bonebatang yang ada di Kepulauan Spermonde.
Data ini dapat digunakan untuk mengetahui perubahan yang terjadi secara
temporal di kawasan tersebut.
2. Mendapatkan informasi tentang karakteristik padang lamun beserta biota
laut lain yang berinteraksi dengan padang lamun pada kondisi tekanan
antropogenik berbeda.
5
3. Menjadi salah satu referensi atau acuan dalam pengelolaan ekosistem
pantai.
Hipotesis
Penelitian ini disusun berdasarkan hipotesis bahwa terdapat pengaruh
yang signifikan dari aktivitas antropogenik terhadap kondisi faktor kualitas air
dan dinamika nutrien di daerah padang lamun. Selanjutnya faktor-faktor
lingkungan ini juga mempengaruhi proses-proses dan interaksi antara padang
lamun dengan biota yang berasosiasi dengannya.
Kebaruan (Novelty)
Hal-hal yang baru dari penelitian ini adalah :
1. Informasi mengenai interaksi biologis antara padang lamun dengan biota
asosiasinya akibat tekanan antropogenik berbeda terutama untuk kawasan
pulau-pulau kecil seperti Pulau Barranglompo dan Pulau Bonebatang
belum tersedia. Penelitian ini akan menghasilkan informasi mengenai
respon ekosistem padang lamun akibat aktivitas-aktivitas antropogenik
masyarakat yang ada di pulau-pulau kecil.
2. Indeks Asosiasi Lamun dan Makroalgae juga belum tersedia hingga saat
ini. Indeks ini penting untuk menggambarkan interaksi di antara kedua
kelompok produsen primer di laut ini.
3. Perkiraan potensi stok karbon jenis lamun di pulau-pulau kecil. Informasi
ini penting untuk mengetahui kontribusi padang lamun terhadap
konservasi karbon di perairan.
6
7
2. TINJAUAN PUSTAKA
Sinekologi
Sinekologi atau ekologi komunitas adalah cabang ekologi yang membahas
pengkajian golongan atau kumpulan organisme yang berasosiasi bersama sebagai
satu kesatuan (Odum 1996; Hanum 2009). Pendekatan sinekologi menggunakan
komposit variabel biodiversitas yaitu variabel-variabel sinekologi seperti
kekayaan jenis, kelangkaan, endemisme dan komposisi komunitas baik yang
diamati maupun yang diestimasi untuk menggambarkan keseluruhan pola variasi
biodiversitas (Hortal & Lobo 2006).
Sinekologi tidak melihat individu secara sendiri, melainkan dinamika
tingkah laku spasial dan temporal populasi termasuk pertumbuhan dan
homeostasis. Dengan demikian beberapa hal yang menjadi bahasan dalam
sinekologi tumbuhan adalah interaksi antara vegetasi dengan lingkungannya,
interaksi antara tumbuhan dengan hewan dan interaksi antar tumbuhan (Schulze
2005).
Deskripsi Lamun
Lamun (seagrass) adalah tumbuhan berbunga (angiospermae) yang sudah
sepenuhnya menyesuaikan diri untuk hidup terbenam pada lingkungan laut dan
estuaria (Price 1990; Keough & Jenkins 2000; Den Hartog & Kuo 2006; Castro &
Huber 2007). Tumbuhan ini terdiri dari rhizoma, daun dan akar (Gambar 2).
Kebanyakan rhizoma lamun tersusun atas internode, yaitu fragmen rhizoma antar
node yang merupakan titik munculnya daun (Hemminga & Duarte 2000).
Banyak spesies lamun yang mempunyai rhizoma dimorfik terdiri atas dua
jenis yang berbeda; rhizoma horizontal (plagiotropik) yang secara relatif memiliki
internode yang panjang, dan rhizoma vertikal (orthotropik) yang memiliki
internode yang lebih pendek (Hemminga & Duarte 2000). Ciri-ciri
struktural/morfologis lamun yang pertama adalah semua lamun memiliki
penampakan vegetatif yang mirip dalam hal pertumbuhan dan morfologinya,
kecuali untuk Syringodium (2 spesies) yang memiliki daun-daun terete, semua
spesies lainnya memiliki daun yang rata, daun yang seperti berhelai seperti mata
8
pisau. Kecuali untuk genus Halophila (9 spesies) yang memiliki daun kecil atau
daun sangat besar dan lurus, daun yang seperti tali (Phillips & Menez, 1988).
Adaptasi morfologis utama yang kedua dari lamun adalah perluasan
sistem akar atau rhizoma. Kecuali untuk Amphibolis (2 spesies) dan
Thalassodendron (2 spesies) yang populasi-populasinya terjadi secara fakultatif
pada karang atau reruntuhan batu, hanya Phyllospadix (5 spesies) terjadi secara
obligat di atas substrat batu. Substrat ini biasanya bercampur lumpur dan pasir
dengan hamparan zona anoksik yang dalam, sedangkan lapisan permukaan yang
beroksigen hanya beberapa milimeter tebalnya Populasi pionir dari Zostera
marina mungkin berkoloni di atas pasir, sementara spesies yang berkoloni seperti
Halodule wrightii, anggota dari sistem banyak spesies di daerah tropis,
nampaknya memerlukan substrat yang keras dengan kondisi beroksigen atau
berakar pada permukaan zona beroksigen. Semua spesies Halophila berakar pada
permukaan zona beroksigen (Phillips & Menez, 1988).
Gambar 2 Komponen dasar arsitektur lamun (Hemminga & Duarte 2000)
9
Daun lamun merupakan tempat fotosintesis dan dapat menyerap nutrien,
gas dan air dari kolom air (Warry & Hindell 2009). Anatomi yang unik dari
jaringan daun lamun memungkinkan ekspor yang cepat oksigen hasil fotosintesis
ke dalam air laut. Hal ini dapat dilihat di lapangan, dengan munculnya sejumlah
gelembung gas yang seringkali melekat pada permukaan helaian daun. Pada
padang lamun yang luas gelembung gas seringkali muncul melalui kolom air
hingga permukaan (Phillips & Menez, 1988).
Jenis–Jenis Lamun
Lamun terdiri dari 12 genera yang berasal dari 2 famili, yaitu famili
Hydrocharitacea terdiri atas 3 genera, dan famili Potamogetonacea, terdiri atas 9
genera. Dari kedua belas genera tersebut, 7 genera menghuni perairan tropis,
yaitu: Enhalus, Halophila dan Thalassia dari famili Hydrocharitaceae serta
Cymodocea, Halodule, Syringodium, dan Thalassodendron dari famili
Potamogetonaceae (Den Hartog 1977; Hemminga & Duarte 2000; Den Hartog &
Kuo 2006).
Padang lamun di dunia ada lebih dari 50 jenis, sedangkan di Indonesia
terdapat 12 jenis, tergolong dalam 7 genera. Ketujuh genera lamun di Indonesia
terdiri dari tiga genera dari suku Hydrocharitaceae yaitu Enhalus, Thalassia, dan
Halophila, dan empat genera dari suku Potamogetonaceae yaitu Halodule,
Cymodocea, Syringodium dan Thalassodendron (Nontji 2007). Baru-baru ini,
satu lagi spesies lamun yang diberi nama Halophila sulawesii ditemukan pada
perairan Spermonde Sulawesi Selatan (Kuo 2007).
Habitat dan Distribusi Lamun
Semua lamun merupakan tumbuhan air, mereka melakukan pertumbuhan
dan melengkapi siklus reproduksi dan pertumbuhan vegetatif meskipun terendam
sempurna dan benar-benar terkait pada substrat (Phillips & McRoy 1990; Walker
et al. 2001; Green & Short 2003). Hanya sedikit spesies yang mampu bertahan
menghasilkan populasi yang mampu bertahan terhadap perubahan keterbukaan
terhadap udara dan sewaktu-waktu direndam air laut pada saat pasang (Phillips &
Menez 1988).
10
Padang lamun merupakan salah satu ekosistem pantai yang paling
produktif dan paling tersebar luas pada semua daerah pantai di dunia, kecuali
sepanjang pantai Antartika (Hemminga & Duarte 2000; Green & Short 2003;
Duffy 2006). Menurut Waycott et al. (2004), keanekaragaman lamun tertinggi di
dunia dijumpai di perairan tropis mulai dari utara Australia sampai ke Filipina.
Kawasan yang dikenal sebagai Indo Pasifik Barat ini memiliki banyak spesies
lamun yang hidup bersama-sama (Castro & Huber 2007).
Lamun ditemukan hidup pada perairan dangkal yang agak berpasir,
perairan pantai bersubstrat lunak dan terlindung pada daerah estuaria, sering pula
dijumpai di terumbu karang. Kadang–kadang ia membentuk komunitas yang
lebat hingga merupakan padang lamun (seagrass bed) yang cukup luas (Nontji
2007).
Peranan dan Fungsi Padang Lamun
Di daerah tropis, lamun bersama mangrove merupakan vegetasi dominan
di tepi pantai dan bertindak sebagai barrier antara aktifitas di darat dan di laut
(Waycott et al. 2004). Padang lamun memiliki peranan penting dalam ekosistem
pantai. Tegakan lamun berfungsi untuk menjebak sedimen (De Boer 2007).
Selain itu, padang lamun juga berperan dalam melindungi pantai dari abrasi,
karena daun dan batang tumbuhan ini dapat meredam ombak (Fonseca et al.
1982; Nybakken & Bertness 2005; Castro & Huber 2007).
Akar dan daun lamun menyediakan kompleksitas horizontal dan vertikal
(Nybakken & Bertness 2005). Oleh karena itu secara ekologis padang lamun
dapat menjadi daerah asuhan, daerah pemijahan, daerah mencari makan, dan
daerah untuk mencari perlindungan bagi berbagai jenis biota laut seperti ikan
(Gambar 3), crustasea, moluska, echinodermata, dan sebagainya (Phillips &
Menez 1988; Tomascik et al. 1997; Green & Short 2003).
Tumbuhan lamun itu sendiri merupakan makanan penting bagi dugong
(Dugong dugon), penyu hijau (Chelonia mydas) (Lee Long et al. 1993; Kirkman
1997) dan bulu babi (Jernakoff et al. 1996). Di laut tropis yang hangat dijumpai
grazing bulu babi yang intensif (Valentine & Duffy 2006).
11
Banyak di antara hewan laut yang memiliki nilai penting secara komersil
dan rekreasi, pada stadia tertentu dalam siklus hidupnya sangat bergantung pada
keberadaan ekosistem padang lamun. Banyak orang yang tinggal di daerah pantai
menggunakan lamun sebagai tempat untuk mengumpulkan cacing dan kerang
sebagai bahan makanan atau umpan bahkan ada juga yang memanfaatkan padang
lamun sebagai tempat menggembalakan ternaknya saat surut (Waycott et al.
2004).
Gambar 3 Sekawanan ikan kecil yang berlindung di celah-celah daun lamun E.
acoroides di Pulau Barranglompo. Foto diambil selama penelitian
Meskipun padang lamun merupakan ekosistem yang penting, namun
pemanfaatan langsung tumbuhan lamun untuk kebutuhan manusia belum banyak
dilakukan. Di Asia Tenggara, biji Enhalus acoroides dan rhizoma Cymodocea
digunakan sebagai makanan bagi masyarakat pantai (Hemminga & Duarte 2000;
Hutomo & Moosa 2005; Bjork et al. 2008). Di Indonesia sendiri, pemanfaatan
lamun sebagai bahan makanan telah dilakukan masyarakat di Kepulauan Seribu
yang telah memanfaatkan biji E. acoroides yang secara lokal diberi nama samo–
samo (Nontji 2007). Nilai gizi tepung yang terbuat dari biji Enhalus sebanding
dengan tepung gandum dan beras dalam hal kadar karbohidrat, protein dan
kalorinya, serta memiliki kandungan kalsium, zat besi dan fosfor yang lebih
tinggi (Montano et al. 1999 diacu Hemminga & Duarte 2000).
12
Kerusakan Ekosistem Padang Lamun
Padang lamun berada pada garis terdepan yang menerima dampak dari
perubahan pemanfaatan lahan oleh manusia karena kebanyakan pusat pemukiman
dibangun di sekitar daerah pantai (Waycott et al. 2004). Hal ini mengakibatkan
padang lamun mudah mengalami kerusakan (Green & Short 2003; Warry &
Hindell 2009). Dalam dua dekade terakhir, daerah padang lamun telah berkurang
sekitar 18% dari luasan lamun yang tercatat di seluruh dunia (Walker et al. 2006).
Kerusakan dan kehilangan yang luas padang lamun telah
didokumentasikan dengan baik dan penyebabnya dapat karena bencana alam
seperti badai, dan karena aktivitas manusia (Poiner et al. 1989; Keough & Jenkins
2000; Orth et al. 2006). Aktivitas manusia yang dapat merusak ekosistem padang
lamun diantaranya adalah pengerukan dan penimbunan/reklamasi di wilayah
pesisir sehingga menenggelamkan ekosistem tersebut. Adanya dermaga dan
tempat pendaratan kapal/perahu, penggunaan jaring pantai (beach seine) yang
ditarik melalui ekosistem padang lamun, perburuan ikan duyung (dugong),
adanya limbah pertanian dan pertambakan juga ikut berperan dalam merusak
ekosistem padang lamun di Asia Tenggara (Fortes 1990; Duarte 2002).
Pembangunan yang gencar dilaksanakan dapat merubah ekologi pantai dan
menyebabkan hilangnya habitat-habitat padang lamun (Björk et al. 2008).
Berkurangnya areal padang lamun akibat ledakan populasi bulu babi pada padang
Posidonia australis di Botany Bay, Australia dilaporkan oleh Larkum & West
(1990). Peristiwa ini mengakibatkan hilangnya seluruh kanopi lamun pada areal
seluas puluhan hektar.
Penurunan tutupan padang lamun biasanya disertai dengan fragmentasi
padang yang lebih luas menjadi bagian-bagian yang lebih kecil. Akibatnya akan
muncul mozaik-mozaik daerah (patches) tak bervegetasi yang bervariasi ukuran,
bentuk dan orientasinya (Brooks & Bell 2001). Sebagai contoh, Australia yang
memiliki spesies lamun terbesar dan padang lamun yang luas telah mengalami
penurunan dalam 40 – 50 tahun terakhir (Butler & Jernakoff 1999). Sekitar 1300
ha lamun yang terdiri atas Zostera capricorni Aschers, Halophila ovalis (R.Br)
Hooker dan Ruppia megacarpa Mason di Tuggerah Lakes telah hilang (Shepherd
et al. 1989).
13
Ekosistem padang lamun di perairan pesisir Indonesia sendiri telah
mengalami kerusakan sekitar 30% - 40%. Di pesisir Pulau Jawa kondisi
ekosistem padang lamun telah mengalami gangguan yang cukup serius akibat
pembuangan limbah dan pertumbuhan penduduk dan diperkirakan sekitar 60%
padang lamun telah mengalami kerusakan. Di pesisir Pulau Bali dan Pulau
Lombok gangguan bersumber dari penggunaan potasium sianida dan telah
berdampak pada penurunan nilai penutupan dan kerapatan spesies lamun (Fortes
1994).
Sebagaimana terjadi pada kebanyakan ekosistem laut dangkal lainnya,
ancaman besar yang terjadi pada ekosistem padang lamun, adalah eutrofikasi,
overfishing, kerusakan fisik serta biogenik habitat, introduksi spesies invasif
serta perubahan iklim global (Duarte et al. 2004; Waycott et al. 2009).
Eutrofikasi adalah faktor antropogenik yang paling banyak dilaporkan berpotensi
mengakibatkan penurunan populasi lamun (Short & Wyllie-Echeverria 1996;
Ralph et al. 2006). Ancaman-ancaman tersebut menyebabkan terjadinya
perubahan-perubahan utama dalam hal kelimpahan spesies, komposisi spesies
(keanekaragaman hayati), struktur komunitas bahkan mengancam kepunahan
spesies. Hal tersebut selanjutnya berdampak terhadap proses ekosistem dan
fungsi dari suatu ekosistem (Carlton et al. 1999; Jackson et al. 2001; Smith &
Smith 2003). Oleh karena itu, meningkatnya kehilangan dan fragmentasi habitat-
habitat lamun menjadi keprihatinan utama karena pentingnya ekosistem ini
terhadap ekologi dan produktivitas perairan pantai (Boström & Bonsdorff 2000;
Cummins et al. 2004).
Interaksi Lamun dan Makroalgae
Interaksi merupakan hal penting dalam ekologi spesies. Pada komunitas,
terdapat sejumlah faktor biotik dan abiotik yang mempengaruhi penyebaran,
kelimpahan dan interaksi spesies (Ludwig & Reynolds 1988).
Pada ekosistem lamun, algae epifit berkontribusi penting terhadap produksi
primer dan sekunder, mereka juga berperan terhadap proses biogeokimia dan
siklus nutrien termasuk produksi CaCO3 dan fiksasi nitrogen. Namun, algae
14
epifit dapat juga memberikan efek merugikan terhadap fungsi ekologis ekosistem
lamun (Jernakoff et al. 1996; Vanderklift & Lavery 2000).
Eksperimen oleh Irlandi et al. (2004) menggunakan tutupan alga terapung
(drift algae) yang tinggi selama 2-3 bulan menghasilkan pengurangan sekitar 25
% biomassa di atas permukaan substrat (aboveground biomass) dibanding plot-
plot yang bebas algae. Biomassa di bawah substrat (belowground biomass) dan
kerapatan tegakan tidak dipengaruhi oleh keberadaan drift algae ini.
Grazing Lamun oleh Bulu Babi
Di antara semua fauna invertebrata, bulu babi (Echinoidea) merupakan
pemangsa (grazer) lamun yang paling menonjol. Kadang-kadang populasinya
cukup besar untuk mengkonsumsi proporsi lamun yang besar (Klumpp et al.
1989).
Bulu babi dapat dijumpai sangat melimpah pada padang lamun, dimana
mereka memakan daun-daun efifit segar, detritus atau kombinasi dari keduanya.
Bulu babi ungu Lythecinus variegatus di Teluk Mexico memotong-motong daun
lamun sehingga meninggalkan banyak daerah-daerah gundul (Hogarth 2007).
Dampak grazing bulu babi terhadap pertumbuhan dan kelimpahan lamun
Thalassia testudinum di Florida Keys, Amerika Serikat sangat bervariasi
tergantung musim dan kondisi faktor lingkungan (Valentine et al. 2000).
Grazing oleh bulu babi Tripneustes gratilla terhadap lamun
Thalassodendron ciliatum telah diteliti oleh Alcoverro & Mariani (2002) di
Kenya. Mereka menggunakan penelitian eksperimental dan penelitian lapangan
deskriptif untuk menguji pengaruh aggregasi bulu babi yang padat terhadap
padang lamun di Lagoon Mombasa. Mereka menemukan bahwa 39% lamun
Thalassodendron ciliatum mengalami grazing berat (> 75% tegakan mati), 23.4%
mengalami grazing sedang (> 50% tegakan mati), dan 38.5% mengalami grazing
ringan (19.8% tegakan yang mati). Dari model sederhana yang dibuatnya,
mereka mendapatkan waktu pulih lamun ini adalah 44 bulan.
Penelitian mengenai grazing bulu babi Tripneustes gratilla pada tiga jenis
lamun yaitu Thalassia hemprichii, Halodule uninervis dan Cymodocea rotundata
di Pulau Bonebatang, kepulauan Spermonde telah dilakukan oleh Vonk et al.
15
(2008). Mereka menemukan bahwa total konsumsi Tripneustes gratilla pada
kepadatan 1.55 ± 0.07 bulu babi/m2 sekitar 1.28 berat kering/m
2/hari setara
dengan 26% produksi bersih lamun di atas permukaan substrat. Mereka
menyimpulkan bahwa peningkatan grazing Tripneustes gratilla hanya
mempengaruhi kerapatan tegakan di atas permukaan substrat untuk Halodule
uninervis dan Cymodocea rotundata saja dan tidak mempengaruhi Thalassia
hemprichii.
Grazing oleh bulu babi juga memiliki peran ekologis dalam mengontrol
ketebalan algae. Hal ini terbukti setelah terjadinya penurunan populasi bulu babi
Diadema antillarum di Karibia akibat kematian massal tahun 1983. Pada daerah-
daerah yang telah habis bulu babinya, ketebalan pada algae meningkat dari 1-2
mm ke 20-30 mm (Karleskint et al. 2010).
Respon Lamun terhadap Stres
Stres atau cekaman adalah penyimpangan signifikan dari kondisi kehidupan
yang optimal dan mengakibatkan perubahan dan respon pada semua tingkatan
fungsional organisme (Larcher 1995). Stres terjadi akibat perubahan proses-
proses fisiologis yang diakibatkan oleh satu atau kombinasi faktor lingkungan dan
faktor biologis (Hale & Orcutt 1987). Tumbuhan yang terpapar terhadap stres
lingkungan sering memperlihatkan berbagai gejala atau indikator. Indikator stres
adalah tanda-tanda disturbansi, baik yang terlihat seperti pertumbuhan dan
modifikasi morfologi, ataupun yang tak terlihat seperti perubahan fisiologis dan
biokimia yang terkait dengan upaya perbaikan dan mekanisme resistensi
(Rachmilevitch et al. 2000). Resistensi atau toleransi terhadap stres adalah
kapasitas suatu tumbuhan untuk bertahan dan tumbuh meskipun dihadapkan pada
suatu lingkungan yang tidak mendukung, dimana tumbuhan tersebut dapat
menahan pengaruh stres tanpa mati atau terserang kerusakan yang tidak dapat
dipulihkan (Hale & Orcutt 1987).
Padang lamun sangat rentan mengalami degradasi akibat stres yang
diakibatkan oleh aktivitas antropogenik karena mereka tumbuh pada tepi laut
dangkal dimana aktivitas manusia terpusat (Zieman 1975 diacu Tomascik et al.
16
1997). Larkum & Den Hartog 1989 mengidentifikasi berbagai pemicu stres pada
ekosistem padang lamun (Tabel 1).
Tabel 1 Pemicu stres penting yang membatasi distribusi dan kelimpahan lamun
(Larkum & Den Hartog 1989)
Stres Adaptasi Kerentanan
Salinitas tinggi Pelepah (Sheaths)
Pompa ion (ion pump)
Disturbansi mekanik dan
biologis,
Meningkatnya beban respirasi
dan menurunnya
produktifitas
Perubahan suhu Races Perubahan suhu mendadak
Aksi gelombang Daun yang kuat
Rhizoma di bawah substrat
Blow-outs
Perpindahan Sedimen
Tekanan N/A? Gangguan fotosintesis
Anaerobiosis Aerenchyma
Metabolisme Fermentatif
Efifit
Air anoksik
Keterbatasan Nutrien Absorpsi akar dan daun kurangnya trace elements
kekurangan N dan/atau P
Efifit Daun secara kontinu
tumbuh dari basal
Smothering, shading, anoxia
Produktifitas menurun
Cahaya/naungan Toleransi naungan Produktifitas yang rendah
Naungan oleh efifit
Infeksi Fenolik dan attack
resistance
Kematian (Die-back) atau
menurunnya kebugaran
(fitness)
herbivora Fenolik Pemindahan bagian-bagian
kritis seperti daun dan
meristem
Monitoring karakteristik fisiologis lamun mempunyai potensi untuk
mendeteksi stres pada lamun sebelum penurunan populasi terjadi. Mobilisasi
karbon tersimpan (starch) telah digunakan untuk mengukur stres lamun sebagai
akibat ketersediaan cahaya yang kurang (Warry & Hindell 2009). Metrik
fisiologis lamun yang lain yang potensial menggambarkan kesehatan lamun yang
dapat digunakan untuk mendeteksi respon terhadap stres akibat sedimentasi dan
pengayaan nutrien adalah kadar nitrogen, fosfor serta kandungan klorofil (Leoni
et al. 2008; Warry & Hindell 2009).
Resiliensi Ekosistem terhadap Disturbansi
Konsep resiliensi di bidang ekologi pertama kali diperkenalkan oleh
Holling (1973). Resiliensi didefinisikannya sebagai hal yang menentukan
kelangsungan hubungan dalam suatu sistem dan merupakan ukuran dari
17
kemampuan sistem ini untuk menyerap perubahan. Defenisi resiliensi yang lebih
baru dikemukakan oleh Walker et al. (2004) yang mendefinisikan resiliensi
sebagai kemampuan dari suatu sistem untuk menyerap disturbansi dan
mereorganisasi diri saat mengalami perubahan sehingga tetap mempertahankan
fungsi, struktur, identitas dan feedback yang sama. Sedangkan disturbansi adalah
segala mekanisme atau proses yang mempengaruhi struktur dan fungsi komunitas
(Smith & Smith 2003; Molles 2008). Pengaruh disturbansi bersifat kompleks dan
sulit untuk diukur karena banyak spesies yang mampu untuk membiasakan diri
terhadap disturbansi dan memperlihatkan respon yang bervariasi (Treweek,
1999).
Berdasarkan definisi awal resiliensi dari Holling (1973), Folke et al.
(2004) mendefinisikan resiliensi ekosistem sebagai besarnya gangguan atau
disturbansi yang dapat diterima oleh suatu sistem sebelum terjadi perubahan
menjadi suatu kondisi stabilitas baru yang berbeda struktur dan fungsinya.
Resiliensi ekologi berkaitan dengan keseluruhan cakupan faktor-faktor
positif dan negatif yang mempengaruhi komunitas seperti ekstraksi sumberdaya,
polusi dan spesies invasif (Obura & Grimsdith 2009). Oleh karena itu assesmen
resiliensi meliputi monitoring terhadap faktor lingkungan, kondisi kesehatan
populasi dan faktor komunitas.
18
19
3. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan pada dua pulau yaitu Pulau Barranglompo dan
Pulau Bonebatang yang masuk dalam gugusan Kepulauan Spermonde Provinsi
Sulawesi Selatan. Secara administratif kedua pulau ini masuk dalam wilayah
pemerintahan Kecamatan Ujung Tanah, Kota Makassar, Provinsi Sulawesi
Selatan.
Kepulauan Spermonde
Kepulauan Spermonde terbentuk dan muncul di atas dangkalan
Spermonde (Spermonde Shelf) yang terletak di pesisir barat Provinsi Sulawesi
Selatan atau sebelah tenggara Selat Makassar (Erftemeijer & Middelburg 1993;
Tomascik et al. 1997). Kepulauan ini membentang dari utara ke selatan sepanjang
kurang lebih 300 km dengan luas 16 000 km2. Di kawasan ini bertebaran 120
pulau dengan kisaran luas antara 2 ha (Pulau Bone Batang) sampai 3328.2 ha
(Pulau Tanakeke). Secara administratif, kepulauan ini termasuk ke dalam
wilayah Kabupaten Barru, Kabupaten Pangkajene Kepulauan (Pangkep),
Kabupaten Maros, Kota Makassar dan Kabupaten Takalar (McCarthy 2007).
Spermonde merupakan gugus kepulauan yang telah dikenal sejak lama.
Para penjelajah Portugis telah mendatangi daerah ini sekitar abad ke-16 dalam
upaya mencari sumber rempah-rempah yang perdagannya berpusat di Bandar
Pelabuhan Makassar. Bangsa Portugislah yang pertama kali memberi nama
kepulauan di pesisir barat Makassar ini dengan nama Kepulauan Spermon.
Selanjutnya bangsa Belanda mencapai daerah ini pada abad ke-17 dan
menggunakan nama Kepulauan Spermonde dalam peta-peta mereka. Namun, jauh
sebelum kedatangan Bangsa Portugis dan Belanda, masyarakat setempat telah
memberi nama gugusan pulau ini dengan nama Sangkarang (FIKP Unhas &
Bakosurtanal 2007).
Kepulauan Spermonde terbagi menjadi empat zona berdasarkan jarak dari
daratan utama (Gambar 4). Zona pertama atau zona bagian dalam merupakan
zona terdekat dari pantai daratan utama Pulau Sulawesi dengan kedalaman laut
20
rata-rata 10 m dan substrat dasar yang didominasi oleh pasir berlumpur. Zona
kedua berjarak kurang lebih 5 km dari daratan Pulau Sulawesi dan mempunyai
kedalaman laut rata-rata 30 m dan banyak dijumpai pulau karang. Zona ketiga
dimulai pada jarak 12.5 km dari Pantai Sulawesi dengan kedalaman laut antara
20-50 m. Pada zona ini banyak dijumpai wilayah terumbu karang yang masih
tenggelam (patch reef). Zona keempat atau zona terluar merupakan terumbu
penghalang (barrier reef) dan berjarak 30 km dari daratan utama Pulau Sulawesi
(Moll 1983; Hoeksema 1990).
Gambar 4 Peta pembagian zona Kepulauan Spermonde (Mauliddin 2003)
21
Kepulauan Spermonde merupakan salah satu kawasan dengan keragaman
ekosistem dan keanekaragaman jenis biota laut yang tinggi di Indonesia. Namun
sebagian besar ekosistem tersebut dalam kondisi terancam akibat pemanfaatan
sumberdaya alam yang melampaui daya dukung lingkungan serta menggunakan
cara-cara destruktif seperti bom, bius, eksploitasi karang dan ikan ornamen yang
berlebihan dan lain-lain (Tomascik et al. 1997).
Iklim
Curah hujan cukup tinggi sekitar 2.14 mm dan rata-rata suhu di pulau ini
31 oC. iklimnya banyak dipengaruhi oleh angin timur dan angin barat. Kedua
musim ini sangat mempengaruhi kehidupan dan aktivitas penduduk di pulau ini.
Musim angin barat antara bulan November dan Februari. Adapun antara bulan
Maret dan April merupakan transisi ke musim angin timur. Biasanya pada bulan
November-April, angin yang bergerak dari arah tenggara menimbulkan
gelombang yang besar (Erftemeijer & Herman 1994). Sementara itu musim
angin timur berlangsung pada bulan Juni sampai Agustus. Transisi ke angin barat
adalah pada bulan September-Oktober. Dulu ketika perahu-perahu layar tanpa
motor beroperasi pada tahun 1970-an, musim angin barat menjadi kendala bagi
nelayan dan musim angin timur merupakan saat yang tepat untuk berlayar
(Zaelany 2007)
Pulau Barranglompo
Penduduk dan Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat
Secara administratif, Pulau Barranglompo termasuk dalam wilayah
Kelurahan Barranglompo, Kecamatan Ujung Tanah, Kota Makassar. Jumlah
penduduk Barranglompo pada tahun 2008 adalah 4372 jiwa (Tahir 2010).
Sementara itu data penduduk tahun 2010 sudah mencapai 4784 jiwa yang terdiri
atas 862 kepala keluarga (Data Kantor Kelurahan Barranglompo 2011). Dengan
demikian pertambahan penduduk di pulau ini sangat pesat sehingga saat ini
jumlah penduduknya diperkirakan sudah mencapai sekitar 5000 jiwa. Penduduk
ini mendiami area pulau seluas 20.64 ha. Dengan demikian Pulau Barranglompo
merupakan salah satu pulau terpadat di Kepulauan Spermonde.
Terdapat lima etnis utama yang mendiami Pulau Barranglompo, yakni
Bugis-Makassar, Bajau, Mandar, keturunan Melayu dan keturunan Tionghoa
22
(Zaelany 2007). Pekerjaan utama penduduk di Pulau Barranglompo adalah
sebagai nelayan. Sisanya berprofesi sebagai pedagang, pengrajin dan PNS.
Nelayan Bugis Makassar memandang laut sebagai milik semua orang,
sehingga siapa saja dan darimana saja dapat menangkap dan mengambil
sumberdaya laut yang terdapat di dalamnya. Pandangan inilah yang dijadikan
pegangan di dalam melakukan kegiatan penangkapan. Mereka kadang-kadang
melakukan penangkapan tanpa mengenal batas-batas wilayah sampai memasuki
wilayah provinsi lainnya seperti Maluku, Papua, Nusa Tenggara Timur (Flores,
Sumba dan Kupang), Sulawesi Utara, Kalimantan dan Sumatera bahkan sampai
di perbatasan negara-negara tetangga seperti Australia (Latief 1999).
Rumah-rumah di Kepulauan Spermonde umumnya dibangun
membelakangi laut. Di masa lalu rumah dibuat dari kayu, bambu dan atap dari
ijuk. Sejak tahun 1990-an, bersamaan dengan meningkatnya harga teripang dan
ikan komersial seperti sunu dan napoleon wrasse, kesejahteraan penduduk juga
meningkat dengan ditandai oleh perubahan dalam material bangunan mereka
(Zaelany 2007). Saat ini rumah-rumah penduduk dibangun dari batu dan bata,
dengan jendela kaca, atap rumah dari seng. Lantai rumah sudah berbahan
keramik. Rumah mereka sebagian besar berbentuk rumah panggung dengan
lantai pertama secara tradisi kosong (Gambar 5). Lantai pertama seringkali
menjadi gudang tempat penyimpanan barang-barang atau ternak maupun sebagai
tempat beristirahat di siang hari. Lantai kedua merupakan kamar-kamar, dapur
dan ruang tamu. Seiring perkembangan penduduk, kini sebagian besar lantai satu
rumah panggung tersebut sudah dibangun sebagai warung, toko ataupun dijadikan
kamar tambahan bagi anggota keluarga. Rumah panggung tersebut umumnya
dibangun menghadap ke jalan. Halaman rumahnya rata-rata juga sempit. Semua
jalan saat ini sudah berupa paving block.
23
Gambar 5 Rumah panggung salah satu warga di Pulau Barranglompo
Parameter Fisika-Kimia Perairan Pulau Barranglompo
Parameter fisika kimia sangat berperan terhadap kelangsungan hidup biota
perairan. Kisaran beberapa parameter fisika dan kimia di Pulau Barranglompo
disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2 Parameter fisika-kimia kolom air di Pulau Barranglompo
Parameter Unit Stasiun Tenggara Stasiun Timur Laut
Kisaran Kisaran
Suhu oC 29-31 30-31
Salinitas o/oo 30-34 30-32
DO mg/l 3.25-4.21 2.42-3.87
TSS mg/l 33.0-45.1 11.0-44.7
BOT mg/l 36.7-79.6 46.1-111.2
Nitrat mg/l 0.03-0.22 0.03-0.32
Ortofosfat mg/l 0.44-1.11 0.26-0.90
pH 8.18-8.33 8.20-8.29
Sumber: Ira (2011)
Pulau Barranglompo memiliki tipe pasang surut campuran dominan
tunggal dimana dalam satu hari terjadi dua kali pasang dan satu kali surut atau
24
satu kali pasang dua kali surut atau terkadang cenderung satu kali pasang dan satu
kali surut dengan rata-rata tunggang pasang 1.5 m (Tahir 2010).
Habitat pesisir
Habitat pesisir di Pulau Barranglompo memanjang sepanjang daerah
rataan terumbu (reef flat) yang terutama berada di sisi barat dan selatan pulau.
Luas habitat pesisir Pulau Barranglompo adalah 130.57 ha yang terdiri atas
terumbu karang, padang lamun dan hamparan pasir putih (bare unvegetated
area). Luas padang lamun di pulau ini sekitar 58.85 ha (Tahir 2010).
Fasilitas Umum
Fasilitas yang terdapat di pulau ini antara lain instalasi listrik dari PLN
berkapasitas 20 KV (beroperasi dari 17.30-6.00), dua dermaga, dua buah masjid,
sebuah Puskesmas Pembantu (Pustu), satu sekolah taman kanak-kanak, dua
sekolah dasar dan sebuah sekolah menengah pertama (SMPN). Di pulau ini juga
terdapat Marine Station (terdiri atas laboratorium, ruang kuliah/pertemuan,
asrama dan hatchery) milik Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan UNHAS.
Pulau Bonebatang
Habitat Pesisir
Pulau Bonebatang terletak sejajar dengan Pulau Barranglompo dari
daratan utama Pulau Sulawesi (Gambar 6). Pulau ini memanjang dari arah utara-
selatan dengan luas daratan sekitar 1.8 ha, sedangkan habitat pesisir atau rataan
terumbunya sekitar 98.02 ha. Rataan terumbu yang cukup luas dijumpai di sisi
barat dan selatan, sedangkan rataan terumbu di sisi timur tergolong sempit dengan
topografi yang curam dan dalam. Pada rataan terumbu ini tumbuh lamun seluas
sekitar 32 ha (Priosambodo 2011).
Padang lamun yang luas dapat ditemukan di sisi barat dan selatan Pulau
Bonebatang yang didominasi oleh substrat berpasir. Sedangkan komunitas lamun
di sisi utara didominasi oleh substrat pecahan karang, memiliki kepadatan lamun
yang rendah (Kneer et al. 2008). Komunitas lamun di Pulau Bonebatang
tergolong komunitas campuran yang terdiri atas spesies pionir seperti Cymodocea
rotundata, Halodule uninervis, Halophila ovalis, Syringodium isoetifolium dan
spesies klimaks yaitu Thalassia hemprichii dan Enhalus acoroides.
25
Parameter Fisika-Kimia Lingkungan Pulau Bonebatang
Hasil pengukuran beberapa parameter lingkungan di Pulau Bonebatang
(Samawi 2001) ditampilkan pada Tabel 3.
Tabel 3 Parameter fisika-kimia perairan di Pulau Bonebatang
Parameter Unit Stasiun
Utara Barat Selatan Timur
Suhu oC 29.0 - 31.5 29.5 – 31.2 29.0 – 30.8 29.0 – 31.2
Salinitas o/oo 30.3 – 31.2 30.0 – 31.0 30.7 – 31.7 30.7 – 31.0
pH 8.1 – 8.2 8.0 – 8.1 8.1 – 8.2 7.9 – 8.2
Kec. Arus m/s 0.005 –
0.007
0.017 – 0.025 0.050 – 0.054 0.021 – 0.028
Amoniak ppm 0.0010 -
0.0012
0.0008 –
0.0013
0.0008 0.0010 –
0.0013
Nitrat ppm 0.46 – 0.47 0.43 – 0.58 0.51 – 0.85 0.53 – 0.60
Fosfat ppm 0.046 -
0.053
0.045 – 0.050 0.052 – 0.054 0.046 – 0.050
Sumber: Samawi (2001)
Penelitian-Penelitian Terdahulu yang Berkaitan dengan Ekosistem Padang
Lamun di Pulau Barranglompo dan Pulau Bonebatang
Kepulauan Spermonde merupakan salah satu kawasan dengan keragaman
ekosistem dan keanekaragaman jenis biota laut yang tinggi di Indonesia. Hal ini
banyak mengundang peneliti-peneliti asing untuk mengkaji ekosistem dan segala
aspek terkait di kawasan ini. Peneliti-peneliti Belanda banyak yang melakukan
penelitian di Kepulauan Spermonde misalnya Moll (1983) yang meneliti
mengenai zonasi dan sebaran karang karang Scleractinia dan Verheij (1993)
meneliti tentang tumbuhan laut di kawasan Spermonde. Penelitian-penelitian
baik yang dilaksanakan peneliti Indonesia maupun peneliti asing tetap
berlangsung hingga saat ini. Di bawah kolaborasi penelitian SPICE (Science for
Protection of Indonesian Coastal ecosystems) yang melibatkan peneliti dari
berbagai universitas dan lembaga riset di Jerman dan Indonesia, berbagai aspek
terkait padang lamun di Kepulauan Spermonde telah diteliti.
Beberapa judul penelitian tentang lamun yang telah berlangsung di Pulau
Barranglompo dan Pulau Bonebatang disajikan pada Tabel 4.
26
Tabel 4 Judul-judul penelitian berkaitan dengan ekosistem padang lamun yang
pernah dilaksanakan di Pulau Barranglompo dan Pulau Bonebatang
No. Judul Referensi 1. Sediment-nutrient interactions in tropical seagrass
beds: a comparison between a terrigenous and a
carbonate sedimentary environment in South
Sulawesi (Indonesia)
Erftemeijer & Middelburg
(1993)
2. Seasonal change in environmental variables,
biomass, production and nutrient contents in two
contrasting tropical intertidal seagrass bed in South
Sulawesi, Indonesia
Erftemeijer & Herman (1994)
3. Nutrient uptake by leaves and roots of the seagrass
Thalassia hemprichii in the Spermonde
Archipelago, Indonesia
Stapel et al. (1996)
4. Biomass loss and nutrient redistribution in an
Indonesian Thalassia hemprichii seagrass bed
following seasonal low tide exposure during
daylight
Stapel et al. (1997)
5. Nutrient resorption from seagrass leaves Stapel & Hemminga (1997)
6. Studi kondisi dan potensi ekosistem padang lamun
sebagai daerah asuhan berbagai jenis biota laut di
perairan Pulau Barranglompo, Makassar
Arifin et al. (2004)
7. Inventarisasi jenis, kelimpahan dan biomassa ikan
di padang lamun Pulau Barranglompo, Makassar
Supriadi et al. (2004)
8. Dekomposisi serasah daun lamun Enhalus
acoroides dan Thalassia hemprichii di Pulau
Barranglompo
Supriadi & Arifin (2005a)
9. Pertumbuhan, biomassa dan produksi lamun
Enhalus acoroides di Pulau Bonebatang Makassar
Supriadi & Arifin (2005b)
10. Beberapa aspek pertumbuhan lamun Enhalus
acoroides (Linn. F) Royle di Pulau Barranglompo
Makassar
Supriadi et al. (2006)
11. Preference of fish community to natural and
artificial seagrass habitats in Barranglompo waters
Budimawan et al. (2008)
12. Seagrass as the main food source of Neaxius
acanthus (Thalassinidea: Calianassidae).
Kneer et al. (2008)
13. Biodiversity of shrimp associated gobies (Teleostei:
Gobiidae) in a seagrass bed at Barranglompo
Island, Spermonde Archipelago, Indonesia, with
special remarks on Austrolethops wardi
Liu (2008)
14. Regeneration of nitrogen (15
N) from seagrass litter
in tropical Indo-Pacific meadows
Vonk & Stapel (2008)
15. In situ quantification of Tripneustes gratilla grazing
and its effect on three co-occuring tropical seagrass
Vonk et al. (2008)
16. Struktur komunitas ikan pada padang lamun yang
berbeda di Pulau Barranglompo
Rappe (2010)
17. Keterkaitan padang lamun sebagai pemerangkap
dan penghasil bahan organik dengan struktur
komunitas makrozoobentos di perairan Pulau
Barranglompo
Ira (2011)
18. Struktur komunitas makrozoobentos di daerah
padang lamun Pulau Bonebatang Sulawesi Selatan.
Priosambodo (2011)
27
Dari penelitian-penelitian yang telah dilaksanakan di Kepulauan
Spermonde terutama di Pulau Barranglompo dan Pulau Bonebatang, belum ada
yang khusus mengkaji dampak aktivitas antropogenik terhadap konfigurasi fisika,
kimia dan biologi ekosistem di wilayah tersebut. Penelitian ini perlu dilakukan
mengingat pesatnya perkembangan penduduk terutama di pulau-pulau kecil.
28
29
4. AKTIVITAS ANTROPOGENIK
DI PULAU BARRANGLOMPO DAN BONEBATANG,
KEPULAUAN SPERMONDE
Abstrak
Tekanan antropogenik pada daerah pantai terutama pulau-pulau kecil
semakin meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk. Penelitian
yang bertujuan untuk mengkaji aktivitas antropogenik yang terjadi di pulau kecil
dengan jumlah penduduk berbeda telah dilaksanakan pada dua pulau dalam
gugusan Kepulauan Spermonde, Sulawesi Selatan yaitu Pulau Barranglompo dan
Pulau Bonebatang. Aktivitas antropogenik yang potensial mempengaruhi
ekosistem padang lamun baik secara langsung maupun tidak langsung pada
masing-masing pulau diamati baik melalui pengamatan langsung maupun melalui
informasi dari masyarakat setempat. Terdapat 9 aktivitas antropogenik yang
teridentifikasi di Pulau Barranglompo yang sangat padat penduduknya, sedangkan
di Pulau Bonebatang yang tidak berpenduduk, terdapat 2 aktivitas yang
berlangsung saat ini. Di Pulau Barranglompo, terdapat dua aktivitas antropogenik
yang memiliki intensitas tinggi yaitu lalu lintas kapal/perahu dan pembuangan
sampah rumah tangga.
Kata kunci: antropogenik, Barranglompo, Bonebatang, lamun
Abstract
Anthropogenic pressures along coastal areas particularly in small islands
have increased in accordance with increasing of human population. A study has
been conducted in two small islands within Spermonde Archipelago, South
Sulawesi i.e. Barranglompo and Bonebatang Islands to analyze anthropogenic
activities occurred in small islands with different anthropogenic pressure.
Anthropogenic activities that potentially affect seagrass ecosystem both directly
and indirectly at each island were observed through direct observation and based
on local people information. There were nine human activities identified during
the study in Barranglompo Island, whereas, in Bonebatang Island, there were two
activities that practised by neighbouring visitors. In Barranglompo Island, two
activities with high intensity were ship/boat transportation and domestic sewage
disposal.
Keywords: anthropogenic, Barranglompo, Bonebatang, seagrass
Pendahuluan
Seiring dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk, terlebih pada
pulau-pulau kecil yang memiliki lahan yang terbatas, maka tekanan yang
30
diakibatkan oleh aktivitas antropogenik meningkat pula dengan cepat. Tekanan
aktivitas antropogenik di daerah pantai merupakan ancaman utama terhadap
ekosistem padang lamun (Orth et al. 2006; Warry & Hindell 2009; Waycott et al.
2009). Eutrofikasi merupakan salah satu dampak serius dari meningkatnya jumlah
penduduk. Eutrofikasi telah terdeteksi di hampir seluruh perairan pantai di
seluruh dunia (Hemminga & Duarte 2000).
Isu-isu yang berkaitan dengan makin meningkatnya tekanan antropogenik
di Indonesia antara lain: meningkatnya kekeruhan dan sedimentasi, penangkapan
lebih, praktik perikanan destruktif (baik legal maupun illegal), eutrofikasi dan
stres kimiawi lainnya (yang berasal dari sektor pertanian, industrialisasi dan
urbanisasi, hilangnya spesies kunci, perubahan pola sirkulasi (akibat kegiatan
teknik pantai), pola penggunaan lahan yang tidak tepat di daerah pesisir, dan
pembuangan sampah (Tomascik et al. 1997; Alongi 1998). Perubahan-perubahan
antropogenik mempunyai dampak besar terhadap fungsi ekosistem bila
mempengaruhi spesies-spesies yang secara ekologis penting seperti lamun
(Hughes et al. 2004).
Penelitian ini bertujuan untuk mengamati dan menganalisis aktivitas-
aktivitas antropogenik yang berlangsung di pulau kecil yang potensial
mempengaruhi ekosistem padang lamun baik secara langsung maupun tidak
langsung.
Bahan dan Metode
Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Pulau Barranglompo (5o 02’ 44.28‖- 5
o 03’
05.65‖ S, 119o 19’ 38.56‖- 119
o 19’ 52.27‖ E) dan Pulau Bonebatang (5
o 00’
47.46‖- 5o 00’ 51.82 S, 119
o 19’ 35.55‖- 119
o 19’ 36.71‖ E) (Gambar 6). Kedua
pulau yang termasuk dalam Kepulauan Spermonde ini terletak sekitar 15 km dari
daratan utama Pulau Sulawesi dan jarak antar kedua pulau ini sekitar 3.5 km.
Keduanya dipilih berdasarkan pertimbangan tekanan antropogenik berbeda yang
dialami kedua pulau ini. Pulau Barranglompo (Gambar 7) adalah salah satu pulau
terpadat yang ada di kawasan Kepulauan Spermonde, sedangkan Pulau
Bonebatang (Gambar 8) tidak berpenghuni.
31
Gambar 6. Peta Lokasi Penelitian di Pulau Barranglompo dan Pulau
Bonebatang
Gambar 7 Pulau Barranglompo yang diambil dari sisi tenggara
32
Gambar 8 Pulau Bonebatang diambil dari sisi timur
Kondisi Demografi dan Sosial Ekonomi
Untuk mengidentifikasi dan menganalis aktivitas-aktivitas masyarakat
yang potensial mempengaruhi ekosistem padang lamun, dilakukan pengumpulan
data-data demografi di kantor kelurahan setempat serta sumber terkait lainnya.
Disamping itu dilakukan pula wawancara dan pengamatan langsung di lapangan
untuk mengidentifikasi dan menganalisisi aktivitas-aktivitas antropogenik yang
potensial mempengaruhi ekosistem padang lamun.
Hasil dan Pembahasan
Aktivitas Antropogenik di Pulau Barranglompo
Pulau Barranglompo merupakan salah satu pulau dalam kawasan
Kepulauan Spermonde yang mengalami peningkatan jumlah penduduk yang
cepat terutama dalam dua dekade terakhir. Hal tersebut disebabkan oleh
dijadikannya pulau ini sebagai stasiun lapang laut (Marine Field Station)
Universitas Hasanuddin. Keberadaan stasiun ini menjadikan pulau ini secara
intensif dikunjungi oleh mahasiswa dan peneliti dari berbagai daerah bahkan dari
luar negeri. Kondisi ini membuka peluang usaha yang lebih baik dibanding
pulau-pulau lain. Hal ini menyebabkan bertambahnya pendatang dari luar pulau
yang membuka usaha di pulau ini. Pertambahan penduduk ini menyebabkan
aktivitas antropogenik meningkat pula. Aktivitas-aktivitas penduduk yang
33
potensial mempengaruhi kondisi dan interaksi padang lamun dengan komunitas-
komunitas pantai lainnya disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5 Jenis-jenis aktivitas antropogenik di Pulau Barranglompo serta
dampaknya terhadap ekosistem padang lamun
No. Jenis Aktivitas Dampak terhadap Lamun
1. Lalu lintas kapal/perahu Kerusakan fisik lamun oleh jangkar,
baling-baling & lunas kapal, pencemaran
perairan oleh tumpahan minyak
2. Perbaikan kapal/perahu Cat, dempul dan bahan kimia lain yang
digunakan dapat mencemari perairan
3. Pembuangan sampah rumah
tangga
Tertutupnya lamun oleh sampah
mengurangi intensitas cahaya yang
diterima lamun
4. Aliran (drainase) limbah
domestik
Meningkatnya kadar nutrien dan
kekeruhan akan mengakibatkan
berkurangnya cahaya yang diterima lamun
untuk fotosintesis
5. MCK (mandi, cuci, kakus) Meningkatkan bahan organik serta bahan
polutan yang dapat mengganggu
pertumbuhan lamun
6. Pengambilan batu karang Arus dan gelombang yang sampai ke
padang lamun semakin besar karena
hilangnya karang yang berfungsi sebagai
penghalang (barrier)
7. Penimbunan/reklamasi pantai Penimbunan pantai akan menghilangkan
sebagian areal padang lamun pada
perairan pantai
8. Pemasangan bubu (fish trap) Penempatan bubu pada daerah lamun
dapat merusak lamun
9. Kegiatan praktik lapang
mahasiswa
Kerusakan fisik (trampling) terutama pada
lamun yang berukuran kecil, pengambilan
koleksi herbarium juga akan mengurangi
populasi lamun
Jumlah penduduk Pulau Barranglompo pada tahun 2008 adalah 4372 jiwa
(Tahir 2010). Sementara itu pada tahun 2010 sudah mencapai 4784 jiwa (Data
Kantor Kelurahan Barranglompo 2011). Berdasarkan data ini, dapat disimpulkan
bahwa laju pertumbuhan penduduk rata-rata pulau ini adalah 4.5 %. Laju ini jauh
lebih tinggi dari laju pertambahan penduduk tahun yang sama untuk Makassar
yaitu 1.63 % (BPS Makassar 2010), maupun Sulawesi Selatan dan nasional
masing-masing sebesar 1.17 dan 1.49 % (BPS 2011). Dengan demikian saat ini
Pulau Barranglompo yang luasnya hanya 20.64 ha, telah dihuni oleh sekitar 5000
34
orang yang terdiri atas 973 rumah tangga (BPS Makassar 2010). Data ini
menunjukkan bahwa rata-rata setiap rumah tangga terdiri atas lebih dari lima
jiwa. Penduduk yang padat ini menyebabkan bertambahnya aktivitas
antropogenik yang dilaksanakan di pulau ini.
Lalu lintas perahu/kapal
Lalu lintas perahu dan kapal yang datang dan pergi di pulau dapat
menyebabkan kerusakan fisik atau mekanik terhadap vegetasi lamun yang
dilaluinya. Menurut Duarte et al. (2004), kerusakan mekanik merupakan hal
serius dari aktivitas antropogenik yang dapat menurunkan persentase tutupan
lamun. Kerusakan mekanik bisa berasal dari jangkar, baling-baling, lunas
ataupun papan kemudi kapal yang merobek helaian daun lamun (Gambar 9).
Bahaya yang ditimbulkan oleh lalu lintas perahu terutama yang
diakibatkan oleh perobekan baling-baling (propeller scarring) telah diamati di
banyak lokasi di Corpus Christi Bay, Texas (Pulich et al. 1997). Hal ini telah
menyebabkan fragmentasi padang lamun yang cukup luas. Efek propeller
scarring juga telah diteliti oleh Hammerstorm et al. (2007) di Teluk Mexico.
Mereka mengestimasi bahwa padang lamun Thalassia testudinum dan
Syringodium filiforme yang terekskavasi sedalam 20 cm atau lebih pulih 2-5
tahun lebih lama dibanding kedalaman 10 cm. Sedangkan bahaya dari
penggunaan jangkar telah diteliti oleh Francour et al. (1999) di Taman Nasional
Port-Cros, barat laut Mediterrania. Mereka menemukan bahwa rata-rata 34
tegakan lamun Posidonia oceanica rusak tercabut setiap sekali siklus buang
jangkar.
Berdasarkan pengamatan dan perhitungan terhadap perahu baik besar dan
kecil di Pulau Barranglompo, terdapat puluhan perahu yang beraktivitas di
perairan sekitar pantai (Tabel 6). Perahu besar kebanyakan dijumpai di sisi timur
pulau yang memiliki topografi yang curam. Di sisi timur ini juga terdapat dua
dermaga yang dijadikan tempat bersandar perahu-perahu ini. Perahu besar
biasanya digunakan untuk transportasi ke pelabuhan Kayubangkoa yang ada di
kota Makassar. Sejumlah armada kapal motor meninggalkan Pulau
Barranglompo pada pukul 07:00 WITA dan kembali lagi ke pulau pada pukul
35
11:00 WITA. Kapal-kapal ini membutuhkan waktu sekitar satu jam untuk
mencapai pantai di Kota Makassar yang berjarak sekitar 15 km. Perahu/kapal
besar (Gambar 10) juga berupa armada penangkap ikan yang biasa beroperasi di
perairan lepas pantai bahkan beberapa di antaranya biasa mencari komoditas
bernilai ekonomis penting seperti teripang di perairan perbatasan dengan
Australia.
Gambar 9 Perahu bermotor (a) beserta bagian-bagiannya: jangkar (b), baling-
baling (c) dan papan kemudi (d) yang dapat menyebabkan kerusakan
fisik terhadap lamun.
36
Gambar 10 Perahu besar yang sedang berlabuh di pantai barat Pulau
Barranglompo
Tabel 6 Jumlah perahu besar (PB) dan perahu kecil (PK) yang berlabuh di pantai
Pulau Barranglompo
Bulan Utara Barat Selatan Timur
PB PK PB PK PB PK PB PK
September 2010 4 9 10 23 8 20 17 13
Maret 2011 6 8 9 22 5 28 15 10
Sementara itu, armada yang digolongkan sebagai perahu kecil (Gambar
11) diberi nama lokal berdasarkan bentuk dan ukurannya sebagai jolloro,
katinting dan lepa-lepa (Riana 2006). Jolloro adalah jenis perahu bermotor yang
bentuknya memanjang ± 11-12 m. Perahu ini biasanya digunakan oleh nelayan
untuk transportasi dari satu pulau ke pulau lain, atau untuk membawa hasil
tangkapan ke tempat pelelangan ikan di Kota Makassar. Jolloro merupakan
perahu yang cukup cepat karena menggunakan 1-2 mesin. Katinting merupakan
perahu motor tempel dengan kemampuan mesin penggerak yang terbatas. Perahu
ini hanya digunakan oleh nelayan skala kecil untuk mencari ikan di sekitar pulau.
Lepa-lepa adalah perahu yang tidak bermesin (sampan) yang digunakan sebagai
pengangkut awak kapal besar ke daratan/pulau dan sebaliknya. Lepa-lepa juga
digunakan nelayan untuk aktivitas di pantai seperti untuk menuju tempat
pemasangan jaring atau perangkap ikan (bubu).
37
Gambar 11 Perahu ukuran kecil, (a) jolloro, (b) katinting, (c) lepa-lepa
Perbaikan Kapal/Perahu
Pada saat beristirahat dari kegiatan melaut, nelayan biasanya
memanfaatkan waktu senggangnya dengan memperbaiki kerusakan pada kapal
atau perahunya (Gambar 12). Meskipun intensitas aktivitas ini cukup rendah,
namun unsur dan senyawa kimia yang terkandung dalam bahan yang digunakan
seperti pada cat antifouling, dempul atau bahan lainnya dapat mengakibatkan
pencemaran yang dapat menghambat pertumbuhan atau bahkan mematikan lamun
beserta biota asosiasi yang tercemari. Substansi kimia berbahaya ini bersifat
toksik dan secara langsung membahayakan padang lamun dan biota yang
berasosiasi dengannya (Hemminga & Duarte 2000; Ralph et al. 2006).
38
Gambar 12 Kapal yang sedang menjalani perbaikan
Pembuangan Sampah
Sampah yang dihasilkan oleh aktivitas penduduk merupakan hal yang
dilematik di pulau kecil seperti Pulau Barranglompo. Di satu sisi masyarakat
sudah mengerti akan pentingnya menjaga kebersihan, namun di sisi lain mereka
tidak punya pilihan selain membuang sampah ke pantai dengan harapan sampah-
sampah tersebut akan terbawa arus menjauh dari pulau, namun pada
kenyataannya, sampah-sampah tersebut justru menumpuk di pantai. Tumpukan
sampah terbanyak di Pulau Barranglompo dijumpai di sisi barat dan selatan pulau
(Gambar 13). Sampah yang teramati banyak menumpuk di pantai antara lain
kantong plastik, botol minuman plastik, plastik kemasan makanan/minuman
instan, kaleng, potongan pohon, ranting, daun dan kulit buah (seperti pisang,
jeruk, nangka dan kelapa), dan pakaian bekas. Sampah-sampah tersebut akan
berada di perairan dalam waktu yang lama (Tait & Dipper 1998).
39
Gambar 13 Tumpukan sampah di pinggir pantai barat Pulau Barranglompo
Tumpukan sampah di pantai barat Pulau Barranglompo telah menggeser
vegetasi lamun ke arah laut. Beberapa tahun lalu sebelum sampah menumpuk di
pantai, lamun dapat dijumpai di sekitar garis pantai, namun saat ini lamun
terdekat hanya dijumpai pada jarak 40-50 m dari garis pantai. Hal tersebut
diakibatkan tertutupnya lamun oleh sampah terutama sampah plastik yang
menyebabkan berkurangnya cahaya yang diterima oleh tumbuhan lamun untuk
fotosintesis,
Aliran (Drainase) Limbah Domestik
Aktivitas yang terjadi di daratan pulau dapat menghasilkan limbah cair
yang akan mengalir menuju pantai. Di samping itu, limbah dari daratan dapat
terbawa ke pantai melalui air hujan yang jatuh di daratan pulau lalu mengalir
(runoff) ke pantai. Salah satu efek dari adanya runoff adalah meningkatnya
kandungan nutrien dan sedimentasi di dalam perairan (Wachenfeld et al. 1998).
Aktivitas Pemanfaatan Pantai untuk MCK (Mandi, Cuci, Kakus)
Seiring dengan makin gencarnya penyuluhan akan pentingnya sanitasi dan
kebersihan lingkungan, maka aktivitas pemanfaatan pantai sebagai sarana MCK
sudah semakin berkurang. Hal ini didukung pula oleh keberadaan Pulau
Barranglompo sebagai stasiun lapangan Universitas Hasanuddin (UNHAS),
sehingga dosen dan mahasiswa dari UNHAS dan berbagai perguruan tinggi
lainnya di Makassar dan sekitarnya sering berkunjung ke pulau ini. Interaksi
40
masyararakat setempat dengan pengunjung dari luar ini mempercepat
transformasi masyarakat pulau ke arah yang lebih sadar akan kebersihan dan
kelestarian lingkungan.
Pengambilan Batu Karang
Pengambilan batu karang dari daerah tubir terumbu karang masih
dilaksanakan oleh sebagian penduduk Pulau Barranglompo. Batu-batu tersebut
dikumpulkan untuk dijadikan bahan fondasi rumah dan juga dijadikan sebagai
barier untuk mengurangi abrasi yang terjadi pada pantai di depan rumah mereka.
Sebagai akibat dari pengambilan batu karang, peran ekosistem terumbu
karang sebagai pelindung pantai di Pulau Barranglompo menjadi tidak optimal,
dimana beberapa bagian pantai telah mengalami erosi akibat dari aktivitas
penambangan batu karang tersebut (Tahir 2010). Gambar 14 memperlihatkan
batu karang yang ditumpuk di pinggir pantai.
Gambar 14 Tumpukan batu karang yang dikumpulkan penduduk untuk bahan
bangunan dan disusun sebagai penahan ombak di depan rumah di
sisi selatan Pulau Barranglompo
Penimbunan/Reklamasi Pantai
Seiring dengan semakin bertambahnya penduduk di Pulau Barranglompo,
kebutuhan akan lahan perumahan makin terbatas. Selama ini bila ada anggota
keluarga yang berumah tangga, maka tipikal rumah masyarakat Bugis-Makassar
41
yang berupa rumah panggungpun dipartisi untuk dijadikan tempat tinggal bagi
pasangan yang baru menikah tersebut.
Bila rumah yang ada semakin sesak, maka salah satu alternatif yang
dilakukan penduduk adalah dengan menimbun pantai di depan rumah mereka
untuk nantinya dibanguni rumah baru atau untuk menambah kamar dari rumah
yang sudah ada (Gambar 15). Sebelum pantai tersebut menjadi daratan,
penduduk membuat fondasi menggunakan batu karang yang diambil dari terumbu
karang di sekitar pulau atau batu kali yang didatangkan dari Makassar.
Penimbunan pantai oleh penduduk pulau juga dimaksudkan untuk
menahan ombak yang bisa menyebabkan abrasi di depan rumah mereka.
Gambar 15 Penimbunan/reklamasi pantai yang dilakukan masyarakat Pulau
Barranglompo di sisi utara (atas) dan sisi barat (bawah)
Pemasangan Bubu (Fish Trap/Pot)
Bubu adalah sejenis perangkap ikan yang berupa jebakan (Gambar 16).
Alat yang bisa terbuat dari kayu, bambu, rotan ataupun kawat ini bersifat pasif
dan dirancang untuk memudahkan ikan masuk dan sulit untuk keluar (Risamasu
2008).
42
Penggunaan bubu sudah lama dilakukan oleh nelayan karena cara
pembuatan dan pengoperasiannya mudah, biaya pembuatannya juga relatif murah
sehingga sangat membantu nelayan yang bermodal kecil (Husni 2009).
Sebenarnya bubu termasuk alat tangkap yang cukup ramah lingkungan karena
hanya menangkap ikan yang ukurannya sudah cukup besar, namun penempatan
alat ini beserta pemberatnya di dasar perairan yang ditumbuhi vegetasi lamun
dapat mengganggu bahkan mematikan lamun yang ditutupinya.
Gambar 16 Alat perangkap ikan (bubu) yang dipasang nelayan di daerah padang
lamun Pulau Barranglompo
Praktek Lapang Mahasiswa
Pulau Barranglompo yang merupakan tempat stasiun lapang ilmu kelautan
mendapat kunjungan yang cukup intensif dari mahasiswa, dosen maupun peneliti
dari berbagai disiplin ilmu yang terkait dengan bidang kelautan (seperti biologi,
fisika, kimia, geologi, perikanan, sosial ekonomi, dan antropologi maritim).
Kegiatan praktek lapang merupakan aktivitas yang rutin dilaksanakan setiap
semester di pulau ini. Mahasiswa yang berkunjung ke pulau ini berasal dari
beberapa perguruan tinggi negeri dan swasta di Kota Makassar dan sekitarnya.
Gambar 17 memperlihatkan aktivitas sekelompok mahasiswa yang
melakukan kegiatan pengumpulan sampel biota laut di pantai. Aktivitas ini dapat
mempengaruhi padang lamun dan biota asosiasinya melalui pengumpulan sampel
untuk herbarium dan pengambilan biota ornamen untuk asesori akuarium.
43
Aktivitas ini juga bisa menyebabkan kerusakan fisik terhadap lamun melalui
injakan kaki (trampling).
Gambar 17 Aktivitas praktek lapang mahasiswa di pantai
Aktivitas Antropogenik di Pulau Bonebatang
Meskipun Pulau Bonebatang tidak berpenghuni, namun setiap saat
mendapat kunjungan dari nelayan yang melakukan aktivitas seperti tercantum
pada Tabel 7.
Tabel 7 Aktivitas antropogenik yang dijumpai di Pulau Bonebatang
No. Jenis Aktivitas Dampak terhadap Lamun
1. Persinggahan perahu
nelayan
Kerusakan fisik lamun oleh jangkar &
baling-baling, pencemaran perairan oleh
tumpahan minyak
2. Pengambilan pasir Meningkatnya kekeruhan akan mengurangi
cahaya yang tersedia untuk fotosintesis
lamun
Persinggahan Perahu Nelayan
Pulau Bonebatang biasa disinggahi oleh nelayan yang biasanya mencari
ikan atau biota laut lainnya menggunakan perahu jenis jolloro dan katinting. Di
pulau ini, nelayan biasanya beristirahat sebelum melanjutkan perjalanan.
Nelayan yang singgah di pulau ini juga kadang mempraktekkan cara
penangkapan ikan yang merusak (destructive fishing) seperti menggunakan bom
ataupun sianida, ataupun menangkap biota yang dilindungi seperti kima
(Tridacna spp). Aktivitas ini sering dijumpai selama penelitian ini.
44
Pengambilan Pasir
Aktivitas pengambilan pasir di Pulau Bonebatang marak dilakukan dalam
beberapa tahun terakhir. Nelayan yang menambang pasir dari daratan pulau ini
berasal dari pulau-pulau sekitarnya terutama dari Pulau Barranglompo . Pasir
yang diambil dari pulau ini digunakan sebagai bahan bangunan.
Aktivitas ini berlangsung bebas karena tidak adanya penduduk yang
mendiami pulau ini. Disamping itu mereka juga berdalih kalau sudah
mendapatkan izin dari Kepala Kelurahan Barranglompo yang membawahi Pulau
Barranglompo dan Pulau Bonebatang.
Aktivitas pengambilan pasir ini kemungkinan berkontribusi terhadap
tenggelamnya pulau ini, dimana sebelumnya terdapat pohon, namun saat ini
sudah hilang. Bila tidak segera dihentikan, Pulau Bonebatang kemungkinan akan
tenggelam.
Simpulan dan Saran
Simpulan
1. Terdapat 9 jenis aktivitas yang teramati dilakukan oleh masyarakat di
Pulau Barranglompo yaitu: transportasi kapal/perahu, perbaikan
kapal/perahu, pembuangan sampah, pembuangan limbah cair rumah
tangga, MCK, pengambilan batu karang, penimbunan pantai, pemasangan
bubu dan kegiatan praktik lapang mahasiswa.
2. Di Pulau Bonebatang dijumpai 2 jenis aktivitas antropogenik yaitu
persinggahan perahu nelayan dan pengambilan pasir.
3. Aktivitas-aktivitas yang berlangsung ini potensial mempengaruhi
pertumbuhan dan kondisi ekosistem padang lamun di kedua pulau ini.
Saran
Diperlukan upaya-upaya untuk meminimalisir dampak negatif yang
diakibatkan oleh aktivitas penduduk terhadap komunitas lamun dan biota yang
berasosiasi dengannya. Misalnya pembuatan tempat pembuangan sampah,
pengawasan terhadap aktivitas pengambilan karang dan pasir, maupun pembuatan
jalur keluar masuknya perahu ke pantai.
45
5. DINAMIKA NUTRIEN PADA JARINGAN DAUN LAMUN
Enhalus acoroides DAN KOLOM AIR
Abstrak
Seiring dengan peningkatan jumlah penduduk di daerah pesisir, tekanan
terhadap ekosistem pantai semakin meningkat pula. Untuk mengetahui dampak
dari aktivitas antropogenik terhadap status hara (karbon, nitrogen dan fosfor) pada
lamun telah dilaksanakan penelitian pada dua pulau di Kepulauan Spermonde
yakni Pulau Barranglompo dan Bonebatang. Kedua pulau ini mendapat tekanan
antropogenik berbeda. Sampel diambil dari daun lamun Enhalus acoroides dan
air permukaan pada tiga stasiun dengan jarak berbeda dari garis pantai pada
masing-masing pulau. Analisis kandungan karbon pada daun lamun E. acoroides
menunjukkan potensi stok karbon jenis ini di Pulau Barranglompo berkisar antara
29.03-61.53 ton, sedangkan di Pulau Bonebatang berkisar 2.42-10.84 ton.
Sementara itu, hasil pengukuran hara menunjukkan bahwa konsentrasi nitrogen di
Pulau Barranglompo jauh lebih tinggi dibandingkan Pulau Bonebatang. Nilai
rasio C:N yang lebih rendah dan nilai rasio N:P yang lebih tinggi di Pulau
Barranglompo memperkuat hal ini. Perbedaan ini mengindikasikan pengaruh dari
pengayaan hara akibat aktivitas antropogenik yang semakin meningkat. Hal ini
didukung oleh hasil pengukuran hara pada kolom air dimana konsentrasi nitrat
sangat berbeda nyata antara Pulau Barranglompo dan Pulau Bonebatang (p
0.01). Aktivitas antropogenik yang paling potensial mempengaruhi komposisi
hara di Pulau Barranglompo adalah pembuangan sampah rumah tangga dan aliran
limbah cair dari rumah penduduk di sekitar pantai.
Kata kunci: antropogenik, Barranglompo, Bonebatang, hara, lamun, rasio C:N:P
Abstract
As human population increase in coastal areas, significant pressure to the
coastal ecosystem increase as well. In order to reveal possible impacts of
anthropogenic activities to the nutrient status of seagrasses, a study has been done
in two small islands within Spermonde Archipelago i.e. Barranglompo and
Bonebatang Islands. Currently, these two islands are facing different
anthropogenic pressure. Samples of seagrass Enhalus acoroides and surface
water were collected from three stations based on their different distances from
the shoreline. Analysis of carbon contents of seagrass E. acoroides showed that
this species contributed to carbon stocks as much as 29.03-61.53 ton in
Barranglompo Island, while in Bonebatang Island, the values ranged between
2.42-10.84 ton. Meanwhile, results of the nutrient measurements showed that
nitrogen concentration of Barranglompo Island was significantly higher than that
of Bonebatang Island. This was supported by lower C:N and higher N:P ratios of
Barranglompo Island and significant different nitrate content of surface water
between Barranglompo and Bonebatang Islands (p 0.01). These differences
indicated the influence of nutrient enrichment due to the increased anthropogenic
46
activities. Potential anthropogenic activities affecting nutrient composition of
Barranglompo Island were domestic sewage disposal and liquid household
sewage drain.
Keywords: anthropogenic, Barranglompo, Bonebatang, C:N:P ratio, nutrient,
seagrass
Pendahuluan
Lingkungan perairan tropis dicirikan oleh kadar nutrien yang rendah
(Hemminga & Duarte 2000). Namun, pengayaan nutrien yang cukup signifikan
terjadi secara luas akibat meningkatnya aktivitas antropogenik (Lapointe et al.
2004). Sebagai contoh, aktivitas manusia termasuk dari sumber langsung (point
source) seperti limbah perkotaan, pemukiman dan pencemaran industri serta dari
sumber tidak langsung (non-point source) seperti dari pencemaran limbah
pertanian telah mengalirkan limbah bahan kaya nutrien ke lingkungan pantai
(Havens et al. 2001). Secara global, fiksasi nitrogen oleh aktivitas manusia telah
meningkat sampai tiga kali lipat sejak 1960 dan pembuangan limbah nitrogen ke
aliran sungai telah meningkat dua kali lipat dalam dua abad terakhir (Newton et
al. 2003; Heck et al. 2006). Hal yang sama terjadi juga pada nutrien fosfor dari
sumber pertanian dan detergen yang meningkat sejak tahun 1950an dengan
peningkatan yang dramatis dalam dua dekade terakhir (Newton et al. 2003).
Kadar nutrien pada jaringan daun lamun merupakan hasil dari
keseimbangan antara ketersediaan nutrien dan kebutuhan akan nutrien (Mellors et
al. 2005; Terrados & Medina-Pons 2011). Kebutuhan nutrien untuk lamun lebih
rendah dibanding organisme akuatik yang lain seperti makroalgae dan
fitoplankton (Alongi 1998). Diperkirakan bahwa lamun membutuhkan empat kali
lebih sedikit nitrogen dan fosfor per bobot tubuh dibandingkan dengan sel-sel
fitoplankton, bahkan Romero et al. (2006) menyatakan bahwa lamun
membutuhkan 8 -50 kali lebih sedikit nitrogen dan 1.5 – 100 kali lebih sedikit
fosfor untuk pertumbuhan hariannya dibanding makroalgae dan fitoplankton.
Akses terhadap nutrien baik yang berasal dari kolom air maupun sedimen
merupakan adaptasi yang penting yang memungkinkan lamun bertahan dan
menyaingi makroalgae (Hemminga & Duarte 2000; Kaldy 2009). Resorpsi
internal N dan P dari daun yang tua dapat memenuhi sebagian kebutuhan nutrien
47
lamun (Kaldy 2009). Lebih dari itu, lamun mempunyai kemampuan untuk
mendaur ulang nutrien secara efisien (de Boer 2007). Hal ini memberi lamun
keuntungan untuk tumbuh pada lingkungan yang miskin nutrien dibanding
produsen primer lainnya (Hemminga & Duarte 2000; Romero et al. 2006; Kaldy
2009).
Lamun dapat mengambil nutrien baik dari kolom air maupun sedimen,
oleh karena itu, kadar nutrien pada jaringan daun lamun dapat menggambarkan
ketersediaan nutrien pada lingkungan (Alongi 1998; Lee et al. 2004; Evrard et al.
2005). Stoikiometri unsur (elememental stoichiometry) dan pola spasial pada
kadar unsur produsen primer telah terbukti sebagai integrator dan indikator
proses-proses ekologis yang baik (Fourqurean & Zieman 2002). Analisis
stoikiometri juga berguna dalam mempelajari interaksi spesies dan hubungan
tropik di antara berbagai komponen lingkungan perairan (Elser & Hassett 1994).
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kadar karbon, nitrogen dan fosfor
yang tertahan dalam jaringan daun lamun tropis E. acoroides di Pulau
Barranglompo dan Bonebatang, Kepulauan Spermonde, Sulawesi Selatan. Jenis
E. acoroides merupakan lamun yang memiliki ukuran terbesar di antara lamun
yang hidup di Indonesia (Tomascik et al. 1997) dan memiliki sebaran yang luas.
Pulau Barranglompo dan Bonebatang dipilih sebagai lokasi penelitian atas
pertimbangan tekanan antropogenik berbeda yang terjadi di kedua pulau kecil ini.
Barranglompo saat ini dihuni oleh lebih dari 5000 jiwa, sedangkan Bonebatang
merupakan pulau yang tidak berpenghuni.
Bahan dan Metode
Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Oktober 2010 sampai Mei 2011
pada dua pulau kecil dalam gugus Kepulauan Spermonde di Sulawesi Selatan
yakni Pulau Barranglompo (5o 02’ 44.28‖- 5
o 03’ 05.65‖ S, 119
o 19’ 38.56‖- 119
o
19’ 52.27‖ E) dan Pulau Bonebatang (5o 00’ 47.46‖- 5
o 00’ 51.82 S, 119
o 19’
35.55‖- 119o 19’ 36.71‖ E). Sampel daun lamun Enhalus acoroides diambil dari
tiga stasiun pada setiap pulau. Stasiun A berlokasi pada daerah pantai yang
berdekatan dengan pantai dimana lamun pertama kali dijumpai, stasiun B terletak
48
sekitar 100 m dari garis pantai, dan stasiun C berada sekitar 200 m dari garis
pantai dimana lamun terluar dijumpai. Pada setiap stasiun, tiga kuadrat lamun
0.01 m2 dipasang secara acak. Analisis nutrien dilaksanakan di Laboratorium
Kimia Oseanografi, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas
Hasanuddin.
Pengambilan Sampel dan Pengukuran Nutrien Daun Lamun
Sampel daun lamun E. acoroides dipilih dari daun yang lengkap dan
sehat. Sampel disimpan dalam cool box yang diisi es batu pada saat
pengangkutan ke laboratorium. Di laboratorium, daun lamun disortir lalu dikerik
secara perlahan menggunakan scalpel dan dibilas di bawah air kran untuk
menghilangkan epifit algae dan hewan kecil yang menempel. Daun-daun tersebut
lalu dikeringkan sampai bobotnya konstan selama 24-48 jam pada suhu 600C dan
dihomogenkan dengan menumbuk menjadi bubuk halus. Karbon organik total
ditentukan dengan metode Wakley dan Black (Schumacher 2002), nitrogen
ditentukan menggunakan metode Kjeldahl (Amin & Flowers 2004), sedangkan
fosfor dianalisis menggunakan metode estrak HCl 25% (Johengen 1996). Kadar
unsur ditentukan berdasarkan bobot kering, sedangkan rasionya dihitung atas
dasar mol:mol.
Untuk pengukuran klorofil-a, 500 mg potongan daun lamun dimasukkan
dalam lumpang. Sebanyak 20 ml aseton 80 % ditambahkan ke dalam lumpang
dan ditumbuk sekitar 5 menit. Cairan yang telah halus dimasukkan dalam corong
Buchner dan disaring melalui kertas saring Whatman no. 1. Kemudian ekstrak
disaring menggunakan sedotan. Ampas kembali ditumbuk dan ditambahkan 15
ml aseton 80 %. Setelah 5 menit, ekstrak kedua digabung ke dalam labu bersama
dengan ekstrak pertama. Untuk memudahkan perhitungan jumlah klorofil yang
ada, volume akhir filtrat diatur ke 50 ml dengan menambahkan aseton 80 % yang
cukup. Prosedur di atas mengikuti Bajracharya (2003).
Analisis Klorofil‐a menggunakan metode Aseton Spectrofotometric,.
Kandungan klorofil‐a dapat diukur dengan menggunakan Spektrofotometer pada
panjang gelombang 664, 647, dan 630 nm. Metode ini mengacu pada Clesceri et
al. (1998), dengan prosedur analisis sebagai berikut :
49
Hasil saringan dimasukkan pada tabung centrifuge, selanjutnya
disentrifugasi pada suhu kamar selama 15 menit. Kemudian diukur absorbansinya
pada panjang gelombang 664, 647, 630 nm. Perhitungan konsentrasi klorofil‐a
dilakukan dengan menggunakan rumus yang dikembangkan oleh Clesceri et al.
(1998).
Klorofil‐ a (C) = 11.85 E664 – 1.54E647 – 0.08 E 630
mg/m3 Klorofil‐a = V x10 C xVa
Dengan : Va = Volume Aseton; V = Volume air contoh; C = Hasil absorban
maksimal pada tiap panjang gelombang; 10 = Ketetapan standar
Pengambilan Sampel dan Pengukuran Kadar Nutrien Kolom Air
Sampel air laut untuk analisis nitrat dan fosfat diambil langsung
menggunakan botol sampel pada kolom air di daerah padang lamun. Botol-botol
sampel yang berisi air laut disimpan dalam cool box dan diberi es untuk dibawa ke
laboratorium. Penentuan nitrat dalam air laut didasarkan pada metode yang dilakukan
dengan metode reduksi asam askorbat (Strickland & Parsons 1984). Nitrat dalam
sampel air laut direduksi terlebih dahulu menjadi nitrit dengan cara mengalirkannya
ke dalam kolom gelas berisi butiran kadmium yang telah dicuci dengan larutan
tembaga sulfat, nitrit yang terbentuk kemudian didiazotisasikan dengan sulfanilamid
dan N-(1-naftil)-etilen diamin menghasilkan larutan merah diazo yang absorbansinya
dapat diukur secara spektrofotometri pada panjang gelombang 543 nm menggunakan
spektrofotometer shimadzu UV-1201.
Penentuan fosfat dalam air laut juga didasarkan pada metode yang
dilakukan oleh Strickland dan Parsons (1984). Sampel air laut direaksikan dalam
suasana asam dengan reagen yang mengandung ammonium molibdat, asam
askorbat dan kalium antomonil-tartrat. Senyawa kompleks yang terbentuk akan
direduksi secara in-situ menghasilkan larutan berwarna biru dan absorbansinya
diukur secara spektrofotometri pada panjang gelombang 885 nm menggunakan
spektrofotometer shimadzu UV-1201.
50
Hasil dan Pembahasan
Konsentrasi Nutrien
Konsentrasi nutrien rata-rata (± sd) pada daun lamun E. acoroides
(sebagai % bobot kering) di Pulau Barranglompo adalah 34.77 ± 2.41 karbon (C),
2.42 ± 0.22 nitrogen (N), dan 0.15 ± 0.02 fosfor (P), sedangkan di Pulau
Bonebatang adalah 34.62 ± 4.04 karbon, 1.75 ± 0.47 nitrogen, dan 0.14 ± 0.03
fosfor. Kadar karbon di kedua pulau hampir sama, namun di Pulau Bonebatang,
nutrien memperlihatkan variabilitas yang sedikit lebih tinggi (Gambar 18).
Nitrogen adalah satu-satunya nutrien yang secara nyata berbeda di antara kedua
pulau (p = 0.0017).
Gambar 18 Kadar rata-rata (± sd) karbon, nitrogen dan fosfor (sebagai % bobot
kering) daun lamun E. acoroides pada setiap stasiun. BL = Pulau
Barranglompo, BB = Pulau Bonebatang, A,B,C = stasiun
51
Duarte (1990) mengkompilasi data pustaka dari berbagai spesies lamun
dari seluruh dunia dan menemukan bahwa konsentrasi C, N, dan P lamun rata-
rata (sebagai % bobot kering) adalah berturut-turut 33.6, 1.92 dan 0.23. C dan N
di Pulau Barranglompo dan C di Pulau Bonebatang lebih tinggi dibanding
dengan nilai global ini. Tingginya nilai C di kedua pulau ini dipengaruhi oleh
jenis sedimen yang menutupi dasar pantai di daerah ini. Menurut Erftemeijer
(1994), daerah rataan terumbu intertidal di pulau-pulau ini ditutupi oleh pasir
karbonat kasar pecahan karang (93 sampai 100 % CaCO3) yang berketebalan
sekitar 30 cm. Sedimen yang kaya karbonat merupakan hal yang umum dijumpai
pada daerah pantai tropis dan berasal dari pengikisan terumbu karang dan
fragmentasi ataupun akumulasi komponen rangka organisme laut seperti
molluska, echinodermata, foraminifera, dan algae berkapur (Hemminga & Duarte
2000).
Bilamana laju pertumbuhan lamun secara potensial cukup tinggi untuk
melampaui laju suplai nutrien, maka keterbatasan nutrien (nutrient limitation)
akan terjadi (Fourqurean & Zieman 2002). Keterbatasan nutrien dapat terjadi
pada kadar nitrogen di bawah 1.8 % bobot kering dan kadar fosfor kurang dari 0.2
% bobot kering (Duarte 1990). Berdasarkan standar ini, nilai kadar nutrien yang
didapatkan dalam daun E. acoroides (Gambar 18) telah mengindikasikan level
keterbatasan N ringan di Pulau Bonebatang, dan keterbatasan P di kedua pulau.
Rendahnya konsentrasi P di kedua pulau disebabkan oleh sifat sedimen karbonat
yang menyusun dasar di kedua pulau tersebut yang mempunyai kapasitas yang
besar untuk mengikat P dan oleh karenanya itu menyebabkan keterbatasan P pada
lamun di daerah tersebut (Butler & Jernakoff 1999; Hemminga & Duarte 2000).
Rasio C:N:P
Tabel 8 merangkum nilai rata-rata rasio unsur-unsur pada setiap stasiun
di kedua pulau. Nilai C:N dan N:P menunjukkan variabilitas yang signifikan
antar stasiun (p < 0.05). Rasio C:N di Pulau Barranglompo lebih rendah daripada
Pulau Bonebatang, sebaliknya, rasio, N:P di Pulau Barranglompo secara
signifikan lebih tinggi dibanding Pulau Bonebatang.
52
Tabel 8 Rasio C:N:P rata-rata pada daun lamun E. acoroides dari Pulau
Barranglompo dan Pulau Bonebatang
Lokasi C:N C:P N:P C:N:P
Barranglompo
BLA 17.2 568 33 568:33:1
BLB 15.9 636 40 636:40:1
BLC 17.5 595 34 595:34:1
Bonebatang
BBA 28.6 744 26 744:26:1
BBB 23.0 599 26 599:26:1
BBC 20.5 574 28 574:28:1
Penelitian-penelitian sebelumnya juga memperlihatkan variabilitas
rasio C:N:P yang tinggi (Tabel 9). Atkinson & Smith (1983) mengalkulasi bahwa
median rasio atom C:N:P untuk tumbuhan bentik seperti makroalgae dan lamun
adalah sekitar 550:30:1. Rasio ini dianggap sebagai ―rasio Redfield lamun‖
(Johnson et al., 2006) atau rasio Atkinson (Baird & Middleton 2004), dan
nilainya jauh di atas rasio Redfield yang terkenal untuk fitoplankton yaitu
106:16:1. Lamun dan tumbuhan laut bentik lainnya mempunyai jumlah karbon
struktural yang besar sehingga menghasilkan rasio yang lebih tinggi dibanding
rata-rata fitoplankton (Baird & Middleton 2004; Johnson et al. 2006).
Untuk lamun, rasio N:P di atas 30 dianggap sebagai bukti keterbatasan
P dan rasio kurang dari 25-30 dianggap menunjukkan keterbatasan N (Duarte
1990; Johnson et al. 2006). Rasio N:P rata-rata pada setiap stasiun di Pulau
Barranglompo berkisar antara 33-40 yang menunjukkan keterbatasan P,
sedangkan di Pulau Bonebatang berkisar 26-28 yang menunjukkan keterbatasan
N ringan.
Tabel 9 Komposisi rasio atom daun lamun dari penelitian-penelitian
terdahulu pada berbagai lokasi (Fourqurean et al. 1992)
Spesies Lokasi C:P C:N N:P Referensi
Amphibolis griffithii Australia Barat 535 27 20 Atkinson and Smith 1983
53
Amphibolis antartica Australia Barat 343 24 14 Walker and McComb 1988
Cymodocea nodosa Corsica 408 27 15 Atkinson and Smith 1983
Cymodocea serrulata Queensland 19 Birch 1975
C. serrulata Queensland 638 35 18 Atkinson and Smith 1983
Enhalus acoroides Queensland 16 Birch 1975
E. acoroides Queensland 444 25 18 Atkinson and Smith 1983
Halodule uninervis Queensland 13 Birch 1975
H. uninervis Queensland 623 35 18 Atkinson and Smith 1983
Halodule wrightii Teluk Florida 58 Powell et al. 1989
H. wrightii Texas 18 Pulich 1989
Phyllospadix scouleri California 509 21 24 Atkinson and Smith 1983
Posidonia australis Australia Barat 197 33 6 Walker and McComb 1988
Posidonia oceanica Corsica 956 25 39 Atkinson and Smith 1983
Posidonia ostenfeldia Australia Barat 1070 37 29 Atkinson and Smith 1983
Posidonia sinuosa Australia Barat 512 32 16 Atkinson and Smith 1983
Ruppia maritima Virginia 457 16 29 Atkinson and Smith 1983
R. maritima Texas 18 Pulich 1989
Syringodium
isoetifolium
Queensland
Utara
13 Birch 1975
Syringodium filiforme Bahama 1390 30 47 Short et al. 1985
Thalassia hemprichii Queensland 599 22 27 Atkinson and Smith 1983
Thalassia testudinum Barbados 32 Patriquin 1972
T. testudinum Teluk Florida 44 Powell et al. 1989
Zostera capricornii Queensland 17 Birch 1975
Z. capricorni Queensland 302 34 9 Atkinson and Smith 1983
Zostera marina California 274 7 38 Atkinson and Smith 1983
Z. marina Virginia 584 14 41 Atkinson and Smith 1983
Z. marina Rhode Island 481 18 27 Atkinson and Smith 1983
Kadar N yang secara signifikan lebih tinggi di Pulau Barranglompo
dibandingkan dengan Pulau Bonebatang oleh karena itu dapat digunakan sebagai
petunjuk dini dari pengayaan nutrien akibat faktor antropogenik seperti yang
berasal dari limbah cair dan padat (Lapointe et al. 2004). Pengayaan nutrien
(eutrofikasi) dari berbagai sumber seperti limbah rumah tangga, limbah pertanian
dan industri, serta urbanisasi zona pantai mengakibatkan ancaman serius terhadap
padang lamun di seluruh dunia (Short et al. 1995; Alongi 1998; Burkholder et al.
54
2007). Jadi tidak mengherankan kalau padang lamun telah mengalami penurunan
dalam dasawarsa terakhir (Short & Wyllie-Echeverria 1996).
Lamun memiliki kemampuan untuk memodifikasi siklus nutrien
musiman dengan menyimpan nitrogen selama periode pertumbuhan dan
menyediakan kembali nutrien dari daun lama ke daun baru sebelum mengalami
fase senescence (Flindt et al. 1999). Dengan demikian konsentrasi nutrien pada
jaringan lamun dapat digunakan sebagai alat untuk mengkaji ketersediaan nutrien
untuk skala waktu yang cukup lama (Fourqurean et al. 1992). Sebagai tambahan,
lamun dapat digunakan sebagai indikator yang baik untuk ketersediaan nutrien
pada ekosistem laut karena sifatnya yang menetap di substrat, dimana tumbuhan
ini sering tumbuh pada daerah perairan yang rendah kadar nutriennya, dan kadar
nutrien pada daun-daunnya merefleksikan ketersediaan relatif di lingkungannya
(Atkinson & Smith 1983; Duarte 1990).
Potensi Stok Karbon Padang lamun
Stok karbon yang dihasilkan lamun jenis E. acoroides pada setiap
stasiun di Pulau Barranglompo dan Pulau Bonebatang ditampilkan pada Gambar
19. Jenis lamun E. acoroides di Pulau Barranglompo menghasilkan karbon
berkisar 106.15-224.96 gC/m2, sedangkan di Pulau Bonebatang sebesar 49.15-
220.04 gC/m2. Stok karbon di kedua pulau tidak berbeda nyata (p = 0.2983).
0.0
50.0
100.0
150.0
200.0
250.0
BLA BLB BLC BBA BBB BBC
Sto
k K
arb
on
(g
C/m
2)
Stasiun
55
Gambar 19 Stok karbon rata-rata lamun E. acoroides pada setiap stasiun. BL =
Pulau Barranglompo, BB = Pulau Bonebatang, A,B,C = stasiun
Dengan demikian E. acoroides di Pulau Barranglompo yang memiliki
luas penutupan relatif rata-rata 46.48% (Bab 7), pada area padang lamun seluas
58.85 ha (Tahir 2010), maka stok karbon yang dihasilkan E. acoroides berkisar
29.03-61.53 ton atau antara 0.49 – 1.05 ton/ha. Sementara itu, dari luas padang
lamun di Pulau Bonebatang sekitar 32 ha (Priosambodo 2011), maka dengan luas
penutupan relatif rata-rata jenis E. acoroides sebesar 15.39% (Bab 7),
diperkirakan memiliki potensi stok karbon berkisar antara 2.42-10.84 ton atau
0.08 – 0.34 ton/ha.
Hasil yang didapatkan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa lamun
terutama jenis E. acoroides memiliki peranan sebagai karbon rosot (carbon stock)
maupun sebagai penyerap karbon (carbon sink). Meskipun produktivitas lamun
hanya 1% dari produktivitas primer total di laut, tapi lamun berkontribusi sebesar
12% jumlah karbon total yang tersimpan dalam sedimen. Hal ini menunjukkan
bahwa lamun memiliki peran penting dalam regulasi siklus karbon global
(Terrados & Borum 2004).
Klorofil-a Lamun
Gambar 20 Klorofil-a rata-rata lamun E. acoroides pada setiap stasiun. BL =
Pulau Barranglompo, BB = Pulau Bonebatang, A,B,C = stasiun
0.00
2.00
4.00
6.00
8.00
10.00
12.00
14.00
16.00
18.00
BLA BLB BLC BBA BBB BBC
Klo
rofi
l-a
(m
g/m
3)
Stasiun
56
Nilai klorofil-a pada jaringan daun lamun E. acoroides (Gambar 20)
berkisar 5.14-17.38 mg/m3 di Pulau Barranglompo, sedangkan di Pulau
Bonebatang berkisar 3.76-10.03 mg/m3. Nilai ini tidak berbeda nyata antar pulau
(p = 0.1125).
Klorofil-a merupakan pigmen fotosintetik terpenting pada makrofita
(Castro & Huber 2003). Sebarannya di perairan bervariasi disebabkan oleh
perbedaan intensitas cahaya matahari dan konsentrasi nutrien yang terdapat dalam
suatu perairan (Nybakken 1992). Nilai klorofil-a yang lebih tinggi di Pulau
Barranglompo dibandingkan di Pulau Bonebatang kemungkinan dipengaruhi oleh
perbedaan konsentrasi nutrien di kedua pulau tersebut.
Nitrat dan Fosfat Kolom Air Daerah Padang Lamun
Konsentrasi nutrien nitrat dan fosfat pada kolom air daerah padang lamun
di Pulau Barranglompo dan Pulau Bonebatang ditampilkan pada Gambar 21.
Gambar 21 Konsentrasi nitrat (± sd) pada setiap stasiun di Pulau Barranglompo
dan Pulau Bonebatang
Nilai konsentrasi nitrat di Pulau Barranglompo berkisar 0.013-0.057 mg/l.
Nilai konsentrasi nitrat tertinggi di pulau ini dijumpai pada stasiun A. Tingginya
nilai nitrat di stasiun A disebabkan oleh banyaknya sampah rumah tangga yang
menumpuk di stasiun ini. Di samping itu, stasiun ini juga mendapat pasokan
nutrien melalui aliran limbah cair rumah tangga. Aktivitas antropogenik pada
daratan meningkatkan pasokan nutrien ke perairan pantai yang dapat mengarah ke
0.00
0.01
0.02
0.03
0.04
0.05
0.06
BLA BLB BLC BBA BBB BBC
Ko
nse
ntr
asi
Nit
rat
(mg
/l)
Stasiun
57
eutrofikasi pantai (Lapointe et al. 1994; Newton et al. 2003). Indikasi ini mulai
terlihat dari nilai konsentrasi nitrat di Pulau Barranglompo yang secara signifikan
berbeda dengan yang didapatkan di Pulau Bonebatang (p = 0.0025). Nilai
konsentrasi nitrat di Pulau Bonebatang relatif lebih seragam antar stasiun dengan
kisaran 0.011-0.028 mg/l. Hal ini disebabkan tidak adanya pasokan dari aktivitas
antropogenik di pulau tersebut.
Nilai nitrat yang tinggi di Pulau Barranglompo menunjukkan bahwa
kolom air di pulau tersebut teroksidasi dengan baik. Melalui proses nitrifikasi,
amoniak teroksidasi menghasilkan nitrat (Marba et al. 2006). Oksidasi amoniak
ini akan menghasilkan nitrat yang tinggi (Hemminga & Duarte 2000).
Gambar 22 Konsentrasi fosfat (± sd) pada setiap stasiun di Pulau Barranglompo
dan Pulau Bonebatang
Sementara itu, nilai konsentrasi fosfat di Pulau Barranglompo berkisar
0.011-0.077 mg/l, sedangkan di Pulau Bonebatang berkisar 0.019-0.039 mg/l
(Gambar 22). Nilai konsentrasi fosfat di kedua pulau ini tidak berbeda secara
nyata (p = 0.6522). Nilai fosfat yang dijumpai di kedua pulau lebih tinggi dari
Baku Mutu Air Laut sesuai SK Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 51 Tahun
2004 yaitu sebesar 0.015 mg/l. Tingginya fosfat yang didapatkan terkait dengan
sifat substrat di daerah tropis/subtropis yang didominasi oleh sedimen karbonat.
Peningkatan reduksi sulfat dan akumulasi sulfida dalam sedimen akan
menurunkan adsorpsi P terhadap Fe dan meningkatkan pelepasan P ke kolom air
(McGlathery et al. 2007).
0.000
0.010
0.020
0.030
0.040
0.050
0.060
0.070
0.080
BLA BLB BLC BBA BBB BBC
Ko
nse
ntr
asi
Fo
sfa
t (m
g/l
)
Stasiun
58
Simpulan
1. Lamun Enhalus acoroides di Pulau Barranglompo memiliki potensi stok
karbon berkisar 0.49-1.05 ton/ha, sedangkan di Pulau Bonebatang berkisar
0.08-0.34 ton/ha.
2. Konsentrasi nitrogen, rasio C:N dan N:P, serta nitrat kolom air yang tinggi
di Pulau Barranglompo mengindikasikan adanya pengayaan nutrien akibat
aktivitas antropogenik.
59
7. DAMPAK AKTIVITAS ANTROPOGENIK TERHADAP
KUALITAS PERAIRAN HABITAT PADANG LAMUN
Abstrak
Faktor lingkungan memiliki pengaruh yang besar terhadap struktur
komunitas dan pola penyebaran lamun beserta biota asosianya. Sebaliknya
kompleksitas struktural lamun dapat juga mempengaruhi faktor lingkungan
tersebut. Oleh karena itu, penelitian telah dilaksanakan untuk mengkaji faktor
kualitas perairan dalam hubungannya dengan meningkatnya aktivitas
antropogenik. Penelitian dilaksanakan di Pulau Barranglompo dan Pulau
Bonebatang, Kepulauan Spermonde dari bulan Mei 2010 sampai Juli 2011.
Parameter lingkungan yang diukur meliputi suhu, salinitas, ukuran butir sedimen,
kekeruhan, padatan tersuspensi total, arah dan kecepatan arus, dan tinggi
gelombang. Suhu dan salinitas di kedua pulau memiliki pola yang hampir sama
dimana nilai yang tinggi dijumpai di sisi selatan, sedangkan yang lebih rendah di
sisi barat laut. Jenis pasir halus memiliki proporsi terbesar dalam struktur sedimen
di kedua pulau. Kekeruhan di Pulau Barranglompo telah melampaui ambang
batas baku mutu lingkungan terutama pada stasiun yang berdekatan dengan garis
pantai. Kekeruhan di Pulau Barranglompo nyata (p 0.05) dari Pulau
Bonebatang. Begitupula dengan padatan tersuspensi total (TSS) di Pulau
Barranglompo lebih tinggi dibandingkan dengan Pulau Bonebatang dan berbeda
sangat nyata (p 0.01). Sementara itu kecepatan arus dan tinggi gelombang di
kedua pulau relatif tidak berbeda nyata (p 0.05). Dapat disimpulkan bahwa
aktivitas antropogenik mempengaruhi kekeruhan dan padatan tersuspensi total,
namun tidak mempengaruhi parameter lain.
Kata kunci: antropogenik, Barranglompo, Bonebatang, kualitas perairan
Abstract
Environmental factors have significant impacts to the community
structure and distribution pattern of seagrasses and their associated organisms.
On the contrary, seagrass structural complexity may also affect environmental
factors. Therefore, the objective of this study was to analyze water quality
parameter in relation to the increased anthropogenic activities in small islands.
The study was conducted from May 2010 to July 2011 in Barranglompo and
Bonebatang Islands within Spermonde Archipelago, South Sulawesi. Measured
water quality parameters were temperature, salinity, sediment grain size,
turbidity, total suspended solid (TSS), current direction and velocity, and wave
height. Temperature and salinity values in both islands showed similar pattern
with the highest values were found in the southern side, while, the lowest values
were deployed in the northwestern side. Fine sediment had the highest
proportion in sediment structure in both islands. Turbidity in Barranglompo
60
Island was significantly different from that in Bonebatang Island (p 0.05).
Similarly, total suspended solid (TSS) in Barranglompo Island was very
significant different from that in Bonebatang Island (p 0.01), whereas, current
velocity and wave height in both islands were relatively similar (p 0.05). It was
concluded that anthropogenic activities in Barranglompo and Bonebatang Islands
only affected turbidity and TSS values.
Key words: anthropogenic, Barranglompo, Bonebatang, water quality
Pendahuluan
Faktor lingkungan seperti suhu, salinitas, arus, pasang surut, karakteristik
substrat/sedimen dan kedalaman kolom air memiliki pengaruh yang besar
terhadap struktur komunitas, pertumbuhan, morfometri, dan pola penyebaran/
distribusi lamun beserta hewan laut yang berasosiasi dengannya baik secara
langsung maupun tidak langsung (Hemminga & Duarte 2000; Hogarth 2007;
Morris et al. 2008; Warry & Hindell 2009).
Faktor hidrodinamika dapat memacu pertumbuhan lamun, misalnya
melalui percampuran kolom air yang memungkinkan pengambilan nutrien
(nutrient uptake) dan meningkatkan fotosintesis akibat berkurangnya ketebalan
lapisan batas difusi (Koch 1994; Schanz & Asmus 2003). Sebaliknya komponen
struktur lamun seperti daun, rhizoma dan akar dapat juga mengurangi aliran arus
dan mengurangi energi gelombang, menahan dan menyimpan baik sedimen
maupun nutrien dan secara efektif menyaring input nutrien akibat kepadatan
daunnya serta permukaan daun yang sempit (Hemminga & Duarte 2000; Verduin
& Backhaus 2000; Schanz & Asmus 2003; Orth et al. 2006).
Degradasi dan kematian (die off) lamun biasanya terkait dengan
menurunnya kualitas perairan yang mungkin diakibatkan baik oleh pengaruh
aktivitas antropogenik maupun secara alami (Short & Wyllie-Echeverria 1996).
Aktivitas antropogenik mempunyai potensi untuk memodifikasi faktor
hidrodinamika dan kualitas perairan yang pada akhirnya akan mempengaruhi
pertumbuhan dan penyebaran lamun (Brown 2009).
Penelitian ini bertujuan untuk mengkompilasi dan menganalisis data
kualitas perairan pada habitat padang lamun yang memiliki tekanan antropogenik
berbeda. Pulau Barranglompo merupakan pulau yang sangat padat, sedangkan
Pulau Bonebatang merupakan pulau yang tidak berpenghuni.
61
Bahan dan Metode
Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Mei 2010 sampai Juli 2011 pada
dua pulau kecil dalam gugus Kepulauan Spermonde di Sulawesi Selatan yakni
Pulau Barranglompo (5o 02’ 44.28‖- 5
o 03’ 05.65‖ S, 119
o 19’ 38.56‖- 119
o 19’
52.27‖ E) dan Pulau Bonebatang (5o 00’ 47.46‖- 5
o 00’ 51.82 S, 119
o 19’ 35.55‖-
119o 19’ 36.71‖ E). Peta kedua pulau ini dapat dilihat pada Gambar 6 (Bab 4).
Pengukuran dan Analisis Data Kualitas Perairan
Untuk mengetahui kondisi faktor lingkungan terutama yang terkait dengan
aktivitas penduduk, dilakukan pengukuran dan pengambilan data lingkungan baik
secara insitu maupun melalui analisis laboratorium. Faktor-faktor lingkungan
yang diukur adalah sebagai berikut :
Suhu, Salinitas dan Kekeruhan
Pengukuran suhu, salinitas dan kekeruhan dilakukan secara langsung di
lapangan dengan menggunakan Water Quality Checker (Horiba U-10). Hasil
pembacaan suhu dinyatakan dalam satuan oC, salinitas dinyatakan dalam satuan
o/oo, dan kekeruhan dalam satuan NTU (Nephelometric Turbidity Unit).
Sedimen
Sampel sedimen permukaan diambil dengan menggunakan sediment corer
(pipa paralon PVC dengan diameter 10 cm dan panjang 30 cm). Sediment corer
didorong ke dalam sedimen untuk mengambil contoh sedimen yang kira kira
panjangnya 15-20 cm. contoh sedimen kemudian dimasukkan ke dalam kantong
sampel kemudian diberi label dan dibawah ke laboratorium untuk pengukuran
ukuran partikel sedimen. Penentuan ukuran partikel sedimen dilakukan dengan
metode pengayakan kering (dry sieving). Sekitar 100 gram sedimen diayak
menggunakan sieve net yang tersusun secara berurutan dengan ukuran (mesh size)
2 mm, 1 mm, 0,5 mm, 0,25 mm, 0,125 mm dan 0,063 mm. Porsi sedimen yang
tertahan pada setiap ayakan ditimbang dan diklasifikasikan menurut ukuran
butirannya (Tabel 10).
62
Tabel 10 Klasifikasi sedimen berdasarkan ukuran (Skala Wenthworth).
Padatan Tersuspensi Total/Total Suspended Solid (TSS)
Sampel air diambil dengan kemmerer water sampler pada kolom air.
Sampel air tersebut dimasukkan ke dalam botol sampel dan disimpan di dalam
cool box untuk dibawa ke laboratorium. Di laboratorium, sampel air kemudian
disaring dengan kertas saring Whattman GF/C 0.45 μm untuk menentukan
konsentrasi padatan tersuspensi total.
Arah dan Kecepatan Arus
Pengukuran kecepatan arus dilakukan dengan menggunakan layang-
layang arus, sedangkan arahnya ditentukan menggunakan kompas bidik.
Pengamatan dilakukan dengan melepas layang-layang arus hingga jarak yang
telah ditentukan dan mengukur selang waktu yang dibutuhkan hingga mencapai
jarak yang telah ditentukan tersebut. Pengukuran pergerakan arah arus dilakukan
dengan menggunakan kompas bidik, yakni dengan menentukan posisi titik awal
layang-layang arus ketika dilepas sampai jarak terakhirnya.
Tinggi Gelombang
Pengukuran tinggi dan arah gelombang datang dilakukan dengan
menggunakan alat berupa rambu ukur, kompas bidik dan alat pencatat.
Pengukuran tinggi gelombang dilakukan dengan cara membaca pergerakan naik
Klasifikasi Ukuran Partikel (mm)
Kerikil 2
Pasir sangat kasar 1,0 – 2,0
Pasir kasar 0,5 – 1,0
Pasir sedang 0,25 – 0,5
Pasir halus 0,125 – 0,25
Pasir sangat halus 0,063 – 0,125
Lumpur (silt + clay) < 0,063
63
(puncak) dan turun (lembah) permukaan air laut pada tiang berskala yang
ditancapkan di mintakat sebelum ombak pecah. Dari perbedaan pembacaan
puncak dan lembah ombak yang terukur, maka serangkaian tinggi ombak dapat
dihitung. Arah ombak diukur dengan cara mengukur sudut antara arah datang
ombak dengan garis normal pantai, yang dilakukan dengan menggunakan kompas
bidik.
Analisis Data Kualitas Air
Data suhu, salinitas, kekeruhan, TSS, kecepatan arus dan tinggi gelombang
dipetakan sebarannya menggunakan Program Surfer 9.0. Untuk menguji
perbedaan setiap parameter pada pulau yang berbeda, digunakan uji-t. Bersama
dengan data nutrien, semua data kualitas air dianalisis melalui statistika multi-
variabel yang disebut Principal Component Analysis (PCA) atau Analisis
Komponen Utama dengan bantuan perangkat lunak Statistica 6.0. Analisis ini
bertujuan untuk menggambarkan hubungan antara parameter lingkungan
(parameter fisika kimia) dengan habitat (stasiun) dalam bentuk grafik.
Hasil dan Pembahasan
Suhu
Suhu permukaan perairan pada habitat padang lamun di Pulau
Barranglompo dan Pulau Bonebatang berkisar 29-32 oC (Gambar 23). Tidak ada
perbedaan yang signifikan suhu perairan di kedua pulau tersebut (p = 0.9236).
Rappe (2010) mendapatkan hasil yang relatif sama di Pulau Barranglompo yaitu
berkisar 28.8 – 32 oC, begitu pula di Pulau Bonebatang, Priosambodo (2011)
mendapatkan kisaran yang sama dengan yang didapatkan selama penelitian ini.
Hasil pengolahan data suhu di Pulau Barranglompo dan Pulau Bonebatang
menunjukkan pola sebaran yang hampir sama. Suhu yang lebih tinggi tersebar di
sisi selatan pulau, sedangkan suhu yang lebih rendah dijumpai di sisi barat laut
(Gambar 24 dan 25).
64
Gambar 23 Nilai suhu (± sd) pada setiap stasiun. BL = Pulau Barranglompo, BB
= Pulau Bonebatang, A,B,C = stasiun
Gambar 24 Sebaran suhu (oC) di Pulau Barranglompo
26
27
28
29
30
31
32
33
BLA BLB BLC BBA BBB BBC
Su
hu
(oC
)
Stasiun
65
Gambar 25 Sebaran suhu (oC) di Pulau Bonebatang
Suhu air mengontrol distribusi dan aktivitas fisiologis organisme laut (Tait
& Dipper 1998). Suhu memiliki pengaruh yang besar terhadap komunitas
makrozoobentos termasuk bulu babi pada saat surut. Pada saat surut, suhu air
akan meningkat sehingga bulu babi akan mencari perlindungan ke tempat di
sekitarnya yang masih digenangi air. Bulu babi jenis Tripneustes gratilla
membungkus permukaan tubuhnya dengan serasah atau potongan daun lamun
(Gambar 26).
66
Gambar 26 Bulu babi Tripneustes gratilla menutupi permukaan tubuhnya dengan
daun lamun
Salinitas
Salinitas di kedua pulau tidak berbeda secara nyata (p = 0.5184). Salinitas
di Pulau Barranglompo berkisar 29.5 – 32 o/oo, sedangkan di Pulau Bonebatang
berkisar antara 29 – 32 o/oo (Gambar 27). Kisaran ini masih dalam batas yang
baik bagi lamun untuk tumbuh dengan optimal (Short & Coles 2003). Penelitian
sebelumnya di Pulau Barranglompo oleh Rappe (2010) mendapatkan kisaran
salinitas yang hampir sama yaitu berkisar 29 – 31 o/oo. Salinitas di kedua pulau
memperlihatkan sebaran yang hampir sama dengan sebaran suhu (Gambar 28 dan
29).
Lamun memiliki kisaran toleransi yang cukup besar terhadap salinitas
(Hemminga & Duarte 2000; Waycott et al. 2004). Namun, salinitas yang rendah
atau tinggi secara negatif mempengaruhi kinerja fotosintesis lamun fase dewasa
(Kahn & Durako 2006). Pada salinitas 40 – 45 o/oo,
lamun tropis akan mengalami
gangguan mekanisme fotosintesis (Campbell et al. 2006), bahkan pada kondisi
hiposalin ( 10 o/oo) atau hipersalin ( 45
o/oo) mereka terserang stres yang pada
akhirnya menyebabkan nekrotik dan mati (Hemminga & Duarte 2000; Hogarth
2007).
67
Gambar 27 Nilai salinitas (o/oo ± sd) pada setiap stasiun. BL = Pulau
Barranglompo, BB = Pulau Bonebatang, A,B,C = stasiun
Gambar 28 Sebaran salinitas (o/oo
) di Pulau Barranglompo
28
28.5
29
29.5
30
30.5
31
31.5
32
32.5
BLA BLB BLC BBA BBB BBC
Sa
lin
ita
s (o
/ oo)
Stasiun
68
Salinitas mempengaruhi pertumbuhan dan fisiologi dengan berbagai cara,
misalnya pada kondisi hipo- dan hipersalin, dapat menghambat fotosintesis dan
penyerapan nutrien (Warry & Hindell 2009). Menurunnya kadar gula terlarut
pada lamun di bawah salinitas tinggi menunjukkan konversi karbohidrat ke
komponen organik lain untuk membantu dalam penyesuaian osmotik (Touchette
2007)
Gambar 29 Sebaran salinitas (o/oo
) di Pulau Bonebatang
69
Spesies lamun tropis dapat mentolerir salinitas tinggi. Namun, salinitas
yang sangat tinggi dapat memodifikasi keseimbangan karbon dan O2 pada lamun,
yang potensial mempengaruhi kesehatan komunitas lamun dalam jangka panjang
(Koch et al. 2007).
Sedimen
Pasir halus merupakan jenis sedimen terbanyak yang menyusun substrat di
Pulau Barranglompo dan Pulau Bonebatang. Keduanya didapatkan dengan
proporsi rata-rata 32.13% di Pulau Barranglompo dan 26.38% di Pulau
Bonebatang. Tingginya proporsi sedimen halus disebabkan oleh kemampuan
padang lamun yang dapat memperlambat faktor hidrodinamika seperti arus
sehingga dapat mengendapkan partikel atau sedimen halus dan diendapkan oleh
rhizoma (Hogarth 2007).
Komposisi sedimen kedua pulau (Gambar 30) menunjukkan bahwa pasir
merupakan komponen utama sedimen di lokasi penelitian. Hal itu sesuai dengan
beberapa penelitian sebelumnya seperti Erftemeijer & Middelburg(1993) dan
Tomascik et al. 1997 yang menyatakan bahwa padang lamun sepanjang pantai
utama Pulau Sulawesi ditemukan pada sedimen terrigenous, sedangkan padang
lamun di pulau-pulau lepas pantai Sulawesi diasosiasikan dengan rataan terumbu
intertidal dan subtidal yang disusun oleh campuran pasir karbonat baik yang
kasar, sedang maupun halus.
0.00
10.00
20.00
30.00
40.00
50.00
60.00
Kerikil Pasir
sangat
kasar
Pasir
kasar
Pasir
sedang
Pasir
halus
Pasir
sangat
halus
lumpur
Ko
mp
osi
si S
edim
en (
%)
Jenis Sedimen
Barranglompo
Bonebatang
70
Gambar 30 Persentase masing-masing jenis sedimen. BL = Pulau Barranglompo,
BB = Pulau Bonebatang, A,B,C = stasiun
Sedimen yang halus biasanya memiliki kelimpahan meiofauna dan
makrofauna yang tinggi (Gray & Elliot 2009). Namun, sedimen dapat juga
menjadi habitat yang ekstrim bagi kehidupan tumbuhan, terutama dimana
pasokan bahan organik berlebih. Pasokan bahan organik yang tinggi akan
memicu aktivitas bakteri yang menaikkan lapisan anoksik lebih dekat ke
permukaan sedimen dan mengarah ke perkembangan komunitas bakteri yang
menghasilkan akumulasi komponen fitotoksik seperti sulfida (Hemminga &
Duarte 2000). Lamun dapat mengimbangi stres ini dengan memompa oksigen
melalui akarnya ke dalam sedimen sehingga mempertahankan rhizosfer yang
relatif teroksidasi (Pedersen et al. 1998).
Lamun berinteraksi secara fisik, biologis dan biogeokimia baik dengan
kolom air dan sedimen dimana mereka tumbuh. Karakteristik sedimen seperti
ukuran butir, komposisi mineral dan bahan organik dapat mempengaruhi
keseluruhan lingkungan biogeokimia zona perakaran (Koch 2001; Eldridge et al.
2009). Aktivitas manusia dapat merubah sebaran ukuran butir melalui aktivitas
pengerukan, erosi tanah, produksi sedimen halus yang berlebih melalui konstruksi
jetty dan struktur bangunan pantai lainnya (Eldridge et al. 2009).
Kekeruhan
Kekeruhan di Pulau Barranglompo berkisar 0.66-29.71 NTU, sedangkan
di Pulau Bonebatang berkisar 0.57-2.78 NTU (Gambar 31). Kedua pulau
memperlihatkan perbedaan yang signifikan (p = 0.0269). Sebaran kekeruhan di
kedua pulau (Gambar 32 dan 33) memperlihatkan bahwa kekeruhan yang tinggi
dijumpai pada stasiun yang berdekatan dengan garis pantai. Hal itu disebabkan
karena stasiun tersebut merupakan tempat penumpukan sampah yang dibuang
oleh penduduk di Pulau Barranglompo, sedangkan di Pulau Bonebatang
berdekatan dengan lokasi pengambilan pasir di pantai.
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 51
Tahun 2004 Tentang Baku Mutu Air Laut, nilai kekeruhan yang diperbolehkan
untuk wisata dan biota laut adalah 5 NTU, maka nilai kekeruhan rata-rata di
stasiun A dan B Pulau Barranglompo sudah melewati nilai baku yang ditetapkan,
71
sedangkan di stasiun C relatif masih lebih jernih. Sementara itu kekeruhan di
Pulau Bonebatang masih berada di bawah ambang batas yang ditentukan.
Gambar 31 Nilai kekeruhan (± sd) pada setiap stasiun. BL = Pulau
Barranglompo, BB = Pulau Bonebatang, A,B,C = stasiun
0
5
10
15
20
25
30
35
BLA BLB BLC BBA BBB BBC
Kek
eru
ha
n (
NT
U)
Stasiun
72
Gambar 32 Sebaran kekeruhan (NTU) di Pulau Barranglompo
Kekeruhan dapat mengurangi cahaya yang diterima lamun sehingga
mengganggu aktivitas fotosintesis serta mengakibatkan stres pada lamun sehingga
dapat membatasi pertumbuhan lamun (Waycott et al. 2004). Sebaliknya, vegetasi
lamun dapat meningkatkan laju sedimentasi dan mengurangi laju resuspensi
sehingga dapat mengurangi kekeruhan, oleh karena itu dapat memicu
pertumbuhan lamun (Madsen et al. 2001; De Boer 2007; Hendriks et al. 2009).
Gambar 33 Sebaran kekeruhan (NTU) di Pulau Bonebatang
Padatan Tersuspensi Total/Total Suspended Solid (TSS)
Nilai padatan tersuspensi total (TSS) di Pulau Barranglompo berkisar
12.64-18.53 mg/l, sedangkan di Pulau Bonebatang berkisar 6.67-11.11 mg/l
(Gambar 34). Terdapat perbedaan nilai padatan tersuspensi total yang sangat
nyata (p 0.01) di kedua pulau.
73
Gambar 34 Nilai padatan tersuspensi total (± sd) pada setiap stasiun. BL = Pulau
Barranglompo, BB = Pulau Bonebatang, A,B,C = stasiun
Sebaran nilai padatan tersuspensi total (TSS) di Pulau Barranglompo
(Gambar 35) mengindikasikan bahwa daerah yang memiliki nilai TSS rendah
berada di tengah padang lamun. Hal ini menunjukkan peranan lamun sebagai
perangkap sedimen dan bahan tersuspensi yang dibawa oleh arus dan memiliki
kemampuan untuk mengikat sedimen atau partikel-partikel tersebut (Bjork et al.
2008).
0.00
2.00
4.00
6.00
8.00
10.00
12.00
14.00
16.00
18.00
20.00
BLA BLB BLC BBA BBB BBC
Pa
da
tan
Ter
susp
ensi
to
tal
(mg
/l)
Stasiun
74
Gambar 35 Sebaran padatan tersuspensi total (mg/l) di Pulau Barranglompo
Di Pulau Bonebatang, sebaran padatan tersuspensi total (Gambar 36)
menunjukkan bahwa nilai yang tinggi dijumpai di sekitar pantai. Hal tersebut
terkait dengan aktivitas pengambilan pasir yang berlangsung di pulau ini yang
mengakibatkan kekeruhan yang lebih tinggi dibandingkan dengan lokasi yang
lebih jauh dari garis pantai.
75
Gambar 36 Sebaran padatan tersuspensi total (mg/l) di Pulau Bonebatang
Nilai TSS yang dijumpai di kedua pulau masih dalam batas nilai yang
tidak berpengaruh terhadap biota laut (Tabel 11). Hal ini juga sesuai menurut
kriteria Baku Mutu Air Laut sebesar 20 mg/l untuk habitat lamun (Meneg LH
2004). Nilai TSS yang sangat tinggi dapat mengurangi ketersediaan cahaya
dalam kolom air yang sangat dibutuhkan untuk fotosintesis lamun (De Boer
2007).
Tabel 11 Kesesuaian perairan untuk kepentingan perikanan berdasarkan nilai
padatan tersuspensi total (TSS)
Nilai TSS (mg/l) Pengaruh tehadap kepentingan perikanan
< 25 Tidak berpengaruh
25 - 80 Sedikit berpengaruh
81 - 400 Kurang baik bagi kepentingan perikanan
>400 Tidak baik bagi kepentingan Perikanan
Sumber: Alabaster & Lloyd (1982) diacu Effendi (2003)
76
Arah dan Kecepatan Arus
Gambar 37 memperlihatkan sebaran nilai kecepatan arus pada setiap
stasiun di Pulau Barranglompo dan Pulau Bonebatang. Nilai kecepatan arus di
Pulau Barranglompo berkisar 0.009-0.130 m/detik, sedangkan di Pulau
Bonebatang berkisar antara 0.014-0.126 m/detik. Tidak ada perbedaan kecepatan
arus yang signifikan antara kedua pulau (p = 0.8438).
Gambar 37 Nilai kecepatan arus (± sd) pada setiap stasiun. BL = Pulau
Barranglompo, BB = Pulau Bonebatang, A,B,C = stasiun
Terdapat kecenderungan bahwa arus semakin kuat dengan semakin
jauhnya posisi stasiun dari garis pantai. Arus yang datang dari arah luar pulau
akan tertahan oleh lembaran daun lamun sehingga kecepatannya semakin
berkurang di bagian dalam. Hal ini memperkuat peranan padang lamun sebagai
peredam faktor hidrodinamika (Butler & Jernakoff 1999; Hemminga & Duarte
2000; Verduin & Backhaus 2000; Schanz & Asmus 2003; Orth et al. 2006;
Hendriks et al. 2009).
Arus membuat kolom air tercampur dengan baik, mempengaruhi sebaran
suhu dan salinitas, membawa ke permukaan nutrien yang berguna untuk
pertumbuhan tanaman air dan membawa pasokan oksigen ke perairan yang lebih
dalam (Tait & Dipper 1998). Peralta et al. (2006) mendapatkan bahwa arus
secara langsung berpengaruh terhadap pertumbuhan, rekruitmen, morfometri
daun, rhizoma dan akar serta arsitektur Zostera noltii. Namun sebaliknya, arus
yang berkurang kecepatannya dapat meningkatkan konsentrasi fitotoksin dalam
0.000
0.010
0.020
0.030
0.040
0.050
0.060
0.070
0.080
0.090
BLA BLB BLC BBA BBB BBC
Kec
epa
tan
Aru
s (m
/det
ik)
Stasiun
77
sedimen dan peningkatan ketebalan lapisan batas difusi yang dapat membatasi
fotosintesis (Koch 2001; Brown 2009).
Arah datang arus di kedua pulau (Gambar 38 dan 39) mengikuti pola
umum arus lintas Indonesia (Arlindo) yang berasal dari Samudera Pasifik
(Gordon 2005). Selain dipengaruhi oleh arus utama, arus yang ada di sekitar
pulau kecil juga dipengaruhi oleh siklus pasang surut. Kecepatan arus yang
didapatkan selama penelitian termasuk lemah karena pengukuran dilakukan pada
periode Mei-September (musim kemarau). Arus yang kuat biasanya terjadi pada
musim barat (November-Januari).
Gambar 38 Sebaran arah dan kecepatan arus (m/detik) di Pulau Barranglompo
78
Gambar 39 Sebaran arah dan kecepatan arus (m/detik) di Pulau Bonebatang
Hidrodinamika perairan tidak saja merupakan faktor yang secara langsung
mempengaruhi lamun dan makroalgae, tapi juga mempengaruhi faktor pembatas
lain seperti ketersediaan nutrien, penetrasi cahaya (kekeruhan) dan stratifikasi
suhu dan salinitas (Lobban & Harrison 1997; Biber 2007). Sebaliknya, kanopi
lamun juga dapat mengurangi kecepatan arus. Hal ini teramati dalam penelitian
79
ini, dimana kecepatan arus yang rendah dijumpai pada stasiun A yang berada
dekat garis pantai.
Tinggi Gelombang
Tinggi gelombang selama penelitian di Pulau Barranglompo berkisar
1.82-7.29 cm, sedangkan di Pulau Bonebatang berkisar antara 2.18-6.24 cm
(Gambar 40). Tinggi gelombang di kedua pulau tidak berbeda secara nyata (p =
0.9656). Sama dengan kecepatan arus, tinggi gelombang juga memperlihatkan
pola yang sama dimana gelombang rata-rata semakin tinggi dengan semakin
jauhnya stasiun dari garis pantai (Gambar 41 dan 42).
Gambar 40 Tinggi gelombang (± sd) pada setiap stasiun. BL = Pulau
Barranglompo, BB = Pulau Bonebatang, A,B,C = stasiun
Hubungan antara faktor hidrodinamika seperti kecepatan arus dan paparan
gelombang dengan padang lamun bersifat timbal balik yang saling
mempengaruhi. Faktor hidrodinamika mempengaruhi penyebaran koloni, bentuk
lansekap dan fragmentasi habitat padang lamun (Fonseca & Bell 1998).
Sebaliknya kanopi lamun memiliki peran dalam mengurangi kecepatan aliran air
dan pengadukan atau turbulensi (Hemminga & Duarte 2000; Peterson et al.
2004).
0.00
1.00
2.00
3.00
4.00
5.00
6.00
7.00
8.00
BLA BLB BLC BBA BBB BBC
Tin
gg
i G
elo
mb
an
g (
cm)
Stasiun
80
Gambar 41 Sebaran tinggi gelombang (cm) di Pulau Barranglompo
Gambar 42 Sebaran tinggi gelombang (cm) di Pulau Bonebatang
81
Pada bulan Juli-Desember terjadi gelombang kuat di perairan Kepulauan
Spermonde. Energi gelombang yang kuat ini mengakibatkan penurunan drastis
biomassa daun dan rhizoma lamun T. hemprichii masing-masing sebesar 61% dan
37% (Stapel et al. 1997).
Sebaran Karakteristik Fisika-Kimia Habitat Padang Lamun
Hasil analisis PCA terhadap 14 variabel parameter fisika-kimia perairan
pada 6 stasiun di Pulau Barranglompo dan Pulau Bonebatang menunjukkan
bahwa sebagian besar (70.69%) ragam terjelaskan pada dua sumbu utama yaitu
faktor 1 dan 2 (Gambar 43 & 44).
Gambar 43 Analisis Komponen Utama (Principal Component Analysis) sebaran
karakteristik fisika-kimia padang lamun di Pulau Barranglompo dan
Pulau Bonebatang. Keterangan: Suh=suhu, Sal=salinitas, Aru=Kecepatan arus, Gel=Tinggi
gelombang, Ker=Kerikil, PKa=pasir kasar, PSd=Pasir sedang, Pha=Pasir halus,
Lum=Lumpur, TSS=Total suspended solid, Kek=Kekeruhan, Klo=Klorofil-a,
Nit=Nitrat, Fos=Fosfat
Hasil analisis PCA menghasilkan 3 kelompok penciri karakteristik habitat
di Pulau Barranglompo dan Pulau Bonebatang (Tabel 12). Kelompok I terdiri atas
stasiun BLA dan BLB yang dicirikan oleh nilai pasir halus, kekeruhan dan
klorofil-a yang tinggi, kelompok II yaitu stasiun BBC yang dicirikan oleh pasir
82
kasar, salinitas dan kecepatan arus yang tinggi. Kelompok III yaitu stasiun BLC
yang dicirikan oleh fosfat, nitrat, tinggi gelombang, TSS dan lumpur yang tinggi.
Gambar 44 Analisis Komponen Utama (Principal Component Analysis) sebaran
stasiun (A, B dan C) di Pulau Barranglompo (BL) dan Pulau
Bonebatang (BB)
Tabel 12 Kelompok penciri karakteristik lingkungan di Pulau Barranglompo dan
Pulau Bonebatang
Kelompok Stasiun Karakteristik Lingkungan
I BLA & BLB Pasir halus, kekeruhan dan klorofil
tinggi
II BBC Pasir kasar, salinitas dan kecepatan
arus tinggi
III BLC Fosfat, nitrat, gelombang, TSS dan
lumpur tinggi
Simpulan
1. Dari semua parameter kualitas air yang diukur di Pulau Barranglompo dan
Pulau Bonebatang, hanya kekeruhan dan padatan tersuspensi total yang
berbeda secara nyata antara kedua pulau.
2. Nilai kekeruhan pada stasiun yang berdekatan dengan garis pantai (stasiun
A dan B) di Pulau Barranglompo telah melampaui nilai baku mutu air
83
laut, sedangkan pada stasiun yang jauh dari garis pantai (stasiun C) di
Pulau Barranglompo dan semua stasiun di Pulau Bonebatang masih di
bawah nilai baku tersebut.
3. Nilai padatan tersuspensi total di kedua pulau masih dalam batas yang
tidak berpengaruh terhadap biota laut.
84
85
7. STRUKTUR KOMUNITAS LAMUN DI PULAU
BARRANGLOMPO DAN PULAU BONEBATANG
Abstrak
Komunitas lamun sangat dinamis dan dapat mengalami perubahan dengan
cepat baik dalam skala spasial maupun temporal. Penelitian yang bertujuan untuk
mengkaji struktur komunitas padang lamun pada dua pulau yang mengalami
tekanan antropogenik berbeda telah dilaksanakan dari bulan Oktober 2010 hingga
Juni 2011 di Pulau Barranglompo dan Pulau Bonebatang. Struktur komunitas
lamun yang diamati meliputi kerapatan, frekuensi, luas penutupan, morfometri
(panjang dan lebar) daun lamun dan indeks luas daun. Sebanyak 8 spesies lamun
teridentifikasi di Pulau Barranglompo, sedangkan di Pulau Bonebatang dijumpai
7 spesies. Thalassia hemprichii merupakan spesies yang memiliki nilai indeks
nilai penting (INP) tertinggi baik di Pulau Barranglompo maupun Pulau
Bonebatang. Pengukuran morfometri daun lamun menunjukkan bahwa daun
Enhalus acoroides, Halodule uninervis, Syringodium isoetifolium dan Thalassia
hemprichii di Pulau Barranglompo lebih panjang dibandingkan dengan spesies
yang sama di Pulau Bonebatang, sedangkan daun Cymodocea rotundata dan
Halophila ovalis di Pulau Barranglompo sedikit lebih pendek daripada yang
dijumpai di Pulau Bonebatang. Nilai indeks luas daun di Pulau Barranglompo
memperlihatkan pola menurun dengan semakin jauhnya stasiun dari garis pantai,
sedangkan di Pulau Bonebatang tidak memperlihatkan pola yang jelas.
Kata kunci: Barranglompo, Bonebatang, lamun, struktur komunitas
Abstract
Seagrass community is very dynamic and can change quickly both in
spatial and temporal scales. A study was conducted from October 2010 to June
2011 in Barranglompo and Bonebatang Islands to analyze seagrass community
structures at two locations with different anthropogenic pressure. The
components of observed seagrass community structures were shooth density,
occurrence, coverage, seagrass leaf morphometry (leaf length and width) and leaf
area index (LAI). There were eight and seven seagrass species identified in
Barranglompo and Bonebatang Islands, respectively. Thalassia hemprichii is
species with the highest important value index in both islands. The measurement
of leaf morphometry showed that the leaves of Enhalus acoroides, Halodule
uninervis, Syringodium isoetifolium and Thalassia hemprichii in Barranglompo
Island were longer than those in Bonebatang Island, whereas, leaves of
Cymodocea rotundata and Halophila ovalis in Barranglompo Island were slighly
shorter than those in Bonebatang. The leaf area index indicate to decrease as the
location of seagrass getting farther from the shoreline, while in Bonebatang did
not show a discernible pattern.
Keywords: Barranglompo, Bonebatang, community structure, seagrass,
86
Pendahuluan
Komunitas lamun berkembang di perairan dangkal membentuk habitat
bagi berbagai jenis organisme laut. Padang lamun merupakan tempat mencari
makan, kawin, bertelur, memijah dan membesarkan anak bagi banyak jenis ikan,
udang dan kerang yang bernilai ekonomis tinggi. Selain itu secara fisik lamun
juga mampu menstabilkan substrat (sedimen), menahan ombak dan menyerap
bahan pencemar (Fortes 1990; Asmus et al. 2006).
Kompleksitas struktural padang lamun mempengaruhi komposisi dan
interaksi biota yang berasosiasi. Parameter yang berkontribusi terhadap struktur
komunitas lamun antara lain tutupan substrat, biomassa lamun dan arsitektur
lamun (Warry & Hindell 2009).
Komunitas lamun sangat dinamis dan dapat mengalami perubahan baik
pada skala waktu yang singkat maupun panjang, dan dapat terjadi secara lokal
yang mempengaruhi tegakan individu maupun meliputi keseluruhan daerah
lamun, bahkan bisa bersifat global (Krause-Jensen et al. 2004; Warry & Hindell
2009). Perubahan ini bisa disebabkan oleh proses alami atau berbagai aktivitas
manusia (Keough & Jenkins 2000). Faktor antropogenik memberikan ancaman
langsung terbesar terhadap lamun dan biota yang berasosiasi dengannya (Orth et
al. 2006; De Boer 2007).
Sejumlah pengukuran dasar digunakan untuk menggambarkan populasi
dan komunitas, diantaranya kerapatan, frekuensi, luas penutupan dan biomassa.
Dari pengukuran ini, ukuran ekologi yang penting seperti sebaran populasi,
keanekaragaman spesies dan produktivitas dapat ditentukan (Brower et al. 1998).
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji struktur komunitas padang lamun
pada dua pulau di Kepulauan Spermonde Sulawesi Selatan yang mengalami
tekanan antropogenik berbeda. Kedua pulau tersebut adalah Pulau Barranglompo
dan Pulau Bonebatang. Pulau Barranglompo dengan luas hanya sekitar 20 ha
termasuk salah satu pulau terpadat di Kepulauan Spermonde yang saat ini dihuni
oleh sekitar 5000 penduduk, sedangkan Pulau Bonebatang tidak berpenghuni.
87
Bahan dan Metode
Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Oktober 2010 sampai Juni 2011
pada dua pulau kecil dalam gugus Kepulauan Spermonde di Sulawesi Selatan
yakni Pulau Barranglompo (5o 02’ 44.28‖- 5
o 03’ 05.65‖ S, 119
o 19’ 38.56‖- 119
o
19’ 52.27‖ E) dan Pulau Bonebatang (5o 00’ 47.46‖- 5
o 00’ 51.82 S, 119
o 19’
35.55‖- 119o 19’ 36.71‖ E). Peta kedua pulau ini dapat dilihat pada Gambar 6
(Bab 4).
Penentuan Stasiun Penelitian
Stasiun penelitian ditentukan berdasarkan kondisi ekosistem yang diteliti
sehingga diharapkan dapat mewakili kondisi lokasi pengamatan secara
keseluruhan. Untuk mewakili kondisi ekosistem lamun, stasiun pengamatan
ditentukan masing-masing: stasiun A diambil pada vegetasi lamun terdekat
dengan garis pantai, stasiun B berjarak sekitar 100 m dari garis pantai, dan stasiun
C berjarak sekitar 200 m dari garis pantai dimana lamun sudah berbatasan dengan
daerah terumbu karang. Sampling pada setiap stasiun dilakukan pada 9 sub
stasiun mengelilingi pulau (Gambar 45 & 46). Dengan demikian sampling
dilakukan pada setiap sisi pulau kecuali pada sisi timur yang memiliki topografi
yang curam.
Pengambilan Data Vegetasi Lamun
Untuk melihat kondisi padang lamun dilakukan pengamatan di dalam
transek kuadrat yang berukuran 50 cm x 50 cm yang disebar acak pada setiap sub
stasiun (Gambar 47). Pengamatan sebaran, kerapatan, tutupan dan frekuensi
kehadiran masing-masing jenis lamun dilakukan di dalam transek kuadrat ini.
Jenis lamun yang didapatkan dalam transek kuadrat diidentifikasi berdasarkan
Phillips & Menez (1988), Short et al. (2004), Waycott et al. (2004).
88
Gambar 45 Sebaran stasiun dan sub-stasiun pengamatan struktur
komunitas lamun di Pulau Barranglompo. A,B,C = stasiun
Gambar 46 Sebaran stasiun dan sub-stasiun pengamatan struktur
komunitas lamun di Pulau Bonebatang. A,B,C = stasiun
89
Gambar 47 Pengamatan komunitas lamun menggunakan transek kuadrat
Kerapatan, Penutupan, dan Frekuensi Kehadiran Lamun
Kerapatan lamun diamati dengan menggunakan transek kuadrat (Phillips &
McRoy 1990). Pengamatan ini dilakukan dengan menghitung jumlah tegakan
masing-masing jenis lamun di dalam transek sehingga jumlah tegakan per satuan
luasan dapat diketahui.
Pengamatan persentase penutupan lamun dilakukan dengan menggunakan
metode dari Saito dan Atobe (1970) diacu English et al. (1997). Pada metode ini
dilakukan perhitungan berapa persen setiap jenis lamun menutupi transek kuadrat
yang ada dengan melihat proyeksi penutupan daun lamun ke dasar perairan.
Frekuensi kehadiran masing-masing jenis lamun diamati dengan melihat
rasio antara banyaknya transek kuadrat dimana ditemukan jenis lamun yang
diamati dengan total transek yang ada pada setiap stasiun.
Morfometrik Daun Lamun
Pengukuran morfometrik (panjang dan lebar) daun lamun dilakukan
dengan menggunakan meteran plastik pada semua jenis lamun yang dijumpai di
lokasi penelitian. Khusus lamun Syringodium isoetifolium, pengukuran lebarnya
menggunakan mistar geser karena bentuknya yang silindris.
Indeks Luas Daun (Leaf Area Index)
90
Indeks Luas Daun atau Leaf Area Index (LAI) adalah rasio dari total
permukaan daun bagian atas dari vegetasi dibagi daerah permukaan substrat
dimana vegetasi lamun tumbuh. LAI ditentukan dengan metode langsung (Breda
2003). Daun lamun diambil dari dalam transek kuadrat berukuran 10 cm x 10
cm, lalu dimasukkan ke dalam kantong sampel untuk pengukuran lebih lanjut.
Sehubungan dengan bentuknya yang umumnya pipih dan lurus, indeks luas daun
lamun dapat diestimasi dengan mengukur panjang dan lebar daun yang ada dalam
kuadrat.
Analisis Struktur Komunitas Lamun
Untuk menghitung kerapatan jenis lamun digunakan rumus sebagai berikut
(Brower et al., 1998):
Ki =
Dimana :
Ki = kerapatan spesies ke-i (jumlah individu/m2)
Ni = Jumlah individu spesies ke-i
. A = Luas area (m2)
Kerapatan relatif (KRi) lamun dihitung dengan rumus sebagai berikut:
KRi = (
)
Dimana :
KRi = Kerapatan relatif spesies ke-i
Ki = Kerapatan mutlak spesies ke-i
∑K = Jumlah kerapatan mutlak seluruh spesies
Frekuensi kemunculan dihitung berdasarkan rumus Brower et al. (1998)
sebagai berikut :
Fi =
Dimana
Fi = Frekuensi spesies ke-i (%)
91
Pi = Jumlah petak contoh ditemukannya spesies ke-i
. ∑P = Jumlah total petak contoh yang diamati.
Frekuensi relatif (FRi) lamun dihitung dengan rumus sebagai berikut:
FRi =
Dimana:
FRi = Frekuensi relatif spesies ke-i
Fi = Frekuensi spesies ke-i
∑F = Jumlah total frekuensi seluruh spesies
Analisis data dari persentase penutupan vegetasi lamun menggunakan
metode dari Saito dan Atobe (1970) diacu English et al. (1997) sebagai berikut :
Pi = Fi
MiFi
Dimana :
Pi = Penutupan spesies ke-i (%)
Mi = Nilai tengah dari kelas ke-i
. Fi = Frekuensi spesies ke-i
∑Fi = Jumlah total frekuensi spesies ke-i
Penutupan relatif (PRi) lamun dihitung dengan rumus sebagai berikut:
PRi =
Dimana:
PRi = Penutupan relatif spesies ke-i
Pi = Penutupan spesies ke-i
∑P = Jumlah total penutupan seluruh spesies
92
Untuk menentukan kategori persen penutupan lamun dan mendapatkan nilai
tengah digunakan kategori klasifikasi tutupan lamun sebagaimana ditampilkan
dalam Tabel 13.
Tabel 13 Klasifikasi Penutupan Lamun Saito dan Atobe (1970) (diacu English et
al. 1997)
Kelas Bagian yang
tertutupi lamun
Persentase yang
tertutup (%)
Nilai tengah (%) Mi
5 1/2 - semua 50 - 100 75
4 1/4 - 1/2 25 - 50 37,5
3 1/8 – 1/4 12,5 - 25 18,75
2 1/16 – 1/8 6,25 – 12,5 9,3
1 < 1/16 < 6,25 3,13
0 Tidak ada 0 0
Persentase penutupan lamun digunakan untuk menentukan status padang
lamun di lokasi penelitian. Kriteria status padang lamun menurut Surat
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 200 Tahun 2004 (Tabel 14)
adalah sebagai berikut:
Tabel 14. Status Padang Lamun (Menteri Negara Lingkungan Hidup 2004)
Kondisi Penutupan (%)
Baik Kaya/sehat ≥ 60
Rusak Kurang kaya/kurang sehat 30 – 59,9
Miskin ≤ 29,9
Sedangkan Indeks Nilai Penting (INP) didapatkan dengan rumus sebagai
berikut (Brower et al. 1998) :
INPi = KRi + FRi + PRi
Dimana:
INPi = Indeks nilai penting
KRi = Kerapatan relatif (%)
. FRi = Frekuensi relatif (%)
PRi = Penutupan relatif (%)
93
Kondisi padang lamun pada lokasi yang berbeda dianalisis menggunakan
uji Correspondence Analysis (CA).
Hasil dan Pembahasan
Struktur Komunitas Lamun di Pulau Barranglompo dan Bonebatang
Komposisi Jenis
Komunitas lamun di Pulau Barranglompo tergolong komunitas campuran
yang umumnya terdiri dari 2-3 spesies lamun atau lebih. Hal ini sesuai dengan
kenyataan bahwa kebanyakan padang lamun di daerah tropis dan subtropis
bersifat multispesies, sedangkan padang lamun di daerah temperate umumnya
bersifat monospesies (Hemminga & Duarte 2000). Adapun jenis-jenis lamun
yang dijumpai di Pulau Barranglompo tersebut dapat dilihat pada Tabel 15 dan
Gambar 48 di bawah ini.
Tabel 15 Komposisi Jenis Lamun di Pulau Barranglompo
Suku Marga dan Spesies
Cymodoceaceae Cymodocea rotundata Ehrenberg & Hemprich ex Ascherson
Halodule pinifolia (Miki) den Hartog
Halodule uninervis (Forsskal) Ascherson
Syringodium isoetifolium (Ascherson) Dandy
Thalassia hemprichii (Ehrenberg) Ascherson
Hydrocharitaceae Enhalus acoroides (Linnaeus f.) Royle
Halophila minor (Zollinger) den Hartog
Halophila ovalis (R. Brown) Hooker f.
Terdapat 8 spesies lamun yang dijumpai di Pulau Barranglompo,
sedangkan di Pulau Bonebatang terdapat 7 spesies. Berbagai hasil penelitian
sebelumnya mendapatkan komposisi jenis lamun yang bervariasi antar berbagai
lokasi di perairan Indonesia. Terdapat 4 spesies di Pulau Pari, Kepulauan Seribu
(Kiswara 1992), 11 spesies di Teluk Gerupuk, Lombok (Kiswara & Winardi
1999), 9 spesies di Perairan Sulawesi Utara (Azkab 2002), 8 spesies di Tanjung
Merah, Selat Lembeh, Bitung (Susetiono 2004), 6 spesies di Perairan Nusa Dua
Bali (Suryantara 2005), 7 spesies di Pulau Sabangko, Salemo dan Sagara (Arifin
94
& Supriadi 2006), 10 spesies di Teluk Kuta, Lombok (Susetiono 2007), 7 spesies
di Pulau Enggano, Bengkulu (Farid et al. 2008), 7 spesies di Kepulauan Derawan,
Kalimantan Timur (Supriyadi & Kuriandewa 2008), dan 7 spesies di Pulau Talise,
Sulawesi Utara (Takaendengan & Azkab 2010).
Gambar 48 Spesies lamun yang dijumpai di lokasi penelitian. (a) Syringodium
isoetifolium, (b) Cymodocea rotundata, (c) Thalassia hemprichii,
(d) Enhalus acoroides, (e) Halophila minor, (f) Halophila ovalis,
(g) Halodule pinifolia, (h) Halodule uninervis (Waycott et al. 2004)
Penelitian-penelitian sebelumnya juga mendapatkan bahwa E. acoroides
dan T. hemprichii merupakan dua jenis lamun utama yang dijumpai dan tersebar
luas di Pulau Barranglompo (Erftemeijer & Herman 1994; Supriadi 2003).
Enhalus dan Thalassia merupakan marga lamun klimaks dalam suksesi
pembentukan padang lamun, dimana komunitas yang didominasi oleh kedua
marga ini sifatnya lebih stabil dan berusia lebih tua (Hemminga & Duarte 2000).
Berbagai hasil penelitian di berbagai lokasi di perairan Indonesia juga
menunjukkan bahwa kedua jenis ini juga merupakan spesies dominan seperti di
Teluk Un, Maluku Tenggara (Wenno 2004), Pulau Talise, Sulawesi Utara
(Takaendengan & Azkab 2010). E.acoroides merupakan spesies terbesar
ukurannya dan tersebar sepanjang Kepulauan Indonesia, ditemukan pada
95
sejumlah lingkungan (Tomascik et al. 1997), mulai dari substrat berlumpur
hingga pasir kasar, atau pada lokasi dengan bioturbasi yang berat (Kuriandewa et
al. 2003).
Komunitas lamun di Pulau Bonebatang hampir sama dengan Pulau
Barranglompo yakni merupakan komunitas campuran yang terdiri dari 2-3 spesies
lamun atau lebih. Adapun jenis-jenis lamun tersebut dapat dilihat pada Tabel 16
di bawah ini.
Tabel 16 Komposisi Jenis Lamun di Pulau Bonebatang
Suku Marga dan Spesies
Cymodoceaceae Cymodocea rotundata Ehrenberg & Hemprich ex Ascherson
Halodule uninervis (Forsskal) Ascherson
Syringodium isoetifolium (Ascherson) Dandy
Thalassia hemprichii (Ehrenberg) Ascherson
Hydrocharitaceae Enhalus acoroides (Linnaeus f.) Royle
Halophila minor (Zollinger) den Hartog
Halophila ovalis (R. Brown) Hooker f.
Jenis Halodule pinifolia tidak dijumpai dalam kuadrat-kuadrat
pengamatan lamun selama penelitian di Pulau Bonebatang. Komposisi jenis
lamun yang dijumpai di pulau ini sama dengan yang didapatkan Priosambodo
(2011). Komposisi spesies yang sama dengan Pulau Bonebatang didapatkan pula
oleh Wimbaningrum (2003) di Pantai Bama, Taman Nasional Baluran, Jawa
Timur.
Kerapatan dan Kerapatan Relatif
Kerapatan jenis antar stasiun di Pulau Barranglompo (Gambar 49)
memperlihatkan variasi spesies dominan. Di stasiun A, spesies H. uninervis
mempunyai kerapatan tertinggi yaitu 377.78 tegakan/m2, sedangkan di stasiun B
dan C, spesies T. hemprichii mempunyai kerapatan tertinggi masing-masing
291.33 dan 290.22 tegakan/m2.
96
Gambar 49 Kerapatan relatif (Rdi) jenis-jenis lamun pada setiap stasiun di Pulau
Barranglompo
Di pulau Barranglompo terdapat empat jenis lamun yang memiliki
kerapatan relatif rata-rata di atas 10 % yaitu T. hemprichii (37.63 %), H. uninervis
(24.66 %). C. rotundata (17.88 %) dan E. acoroides (11.15 %). H. uninervis
memiliki nilai kerapatan tertinggi dibanding jenis-jenis lamun lain di Pulau
Bonebatang (Gambar 50). Kerapatan tertinggi jenis ini dijumpai di stasiun B
sebesar 742.67 tegakan/m2. Di Pulau Bonebatang, kerapatan E. acoroides jauh
berkurang dibanding yang ditemukan di Pulau Barranglompo. Kerapatan
tertinggi jenis ini hanya 56.67 tegakan/m2 yang ditemukan di stasiun A.
Gambar 50 Kerapatan relatif (Rdi) jenis-jenis lamun pada setiap stasiun di Pulau
Bonebatang
Frekuensi dan Frekuensi Relatif
05
101520253035404550
Ker
ap
ata
n R
ela
tif
(%)
Spesies Lamun
Stasiun A
Stasiun B
Stasiun C
0
10
20
30
40
50
Ker
ap
ata
n R
ela
tif
(%)
Spesies Lamun
Stasiun A
Stasiun B
Stasiun C
97
Frekuensi dari suatu spesies lamun menunjukkan derajat penyebaran jenis
lamun tersebut dalam komunitas. Pola penyebaran lamun sangat bervariasi dan
bergantung pada kondisi habitat dan lingkungan (Short & Coles 2003). Hasil
perhitungan frekuensi kehadiran lamun di Pulau Barranglompo (Gambar 51)
menunjukkan bahwa di stasiun A, jenis E. acoroides dan T. hemprichii
mempunyai frekuensi kehadiran yang lebih sering dibanding jenis lainnya.
Kedua jenis ini secara berturut-turut mempunyai frekuensi masing-masing
sebesar 0.89 dan 0.78. Di stasiun B, kedua jenis ini memiliki frekuensi sebesar 1,
yang berarti keduanya ditemukan pada setiap transek kuadrat pengamatan di
stasiun ini. Kedua jenis ini kembali mendominasi frekuensi kehadiran spesies di
stasiun C dengan nilai masing-masing sebesar 1 dan 0.78.
Gambar 51 Frekuensi relatif (Rfi) jenis-jenis lamun pada setiap stasiun di Pulau
Barranglompo
Pola yang hampir sama ditemukan di Pulau Bonebatang (Gambar 52). T.
hemprichii mempunyai nilai frekuensi 1 di stasiun A diikuti tiga jenis lain yaitu
C. rotundata, E. acoroides dan H. uninervis yang memiliki frekuensi yang sama
yaitu 0.67. E. acoroides mempunyai frekuensi tertinggi di stasiun B sebesar 0.89,
diikuti T. hemprichii sebesar 0.78, sedangkan di stasiun C, T. hemprichii
mempunyai frekuensi tertinggi sebesar 0.89 diikuti tiga jenis yaitu C. rotundata,
E. acoroides dan H. uninervis yang mempunyai frekuensi yang sama yaitu 0.67.
05
1015202530354045
Fre
ku
ensi
Rel
ati
f (%
)
Spesies Lamun
Stasiun A
Stasiun B
Stasiun C
98
Gambar 52 Frekuensi relatif (Rfi) jenis-jenis lamun pada setiap stasiun di Pulau
Bonebatang
Nilai frekuensi menunjukkan adanya jenis lamun yang memiliki sebaran
yang lebih luas pada suatu daerah. Daerah sebaran lamun yang luas
mengindikasikan adanya daya adaptasi yang tinggi sehingga suatu jenis lamun
dapat tumbuh dengan baik pada tipe habitat yang berbeda-beda dengan kondisi
lingkungan yang berubah-ubah setiap saat (Hemminga & Duarte 2000).
Penutupan dan Penutupan Relatif
Nilai penutupan lamun berhubungan erat dengan habitus atau bentuk
morfologi dan ukuran suatu jenis lamun. Sebagai contoh, nilai penutupan satu
individu atau tegakan E. acoroides lebih besar dibanding dengan satu individu H.
uninervis atau S. isoetifolium.
Lamun jenis E. acoroides memiliki nilai penutupan tertinggi pada setiap
stasiun di Pulau Barranglompo (Gambar 53). Penutupan tertinggi jenis ini
didapatkan pada stasiun B dengan tutupan sebesar 24.39 % dan penutupan relatif
sebesar 51.18 %.
0
5
10
15
20
25
30
Fre
ku
ensi
Rel
ati
f (%
)
Spesies Lamun
Stasiun A
Stasiun B
Stasiun C
99
Gambar 53 Penutupan relatif (RCi) jenis-jenis lamun pada setiap stasiun di Pulau
Barranglompo
Di Pulau Bonebatang, jenis lamun Thalassia hemprichii mempunyai nilai
penutupan terbesar di setiap stasiun. Penutupan terluas di dijumpai pada stasiun A
sebesar 25.88 % dengan penutupan relatif sebesar 39.23 % (Gambar 54).
Gambar 54 Penutupan relatif (RCi) jenis-jenis lamun pada setiap stasiun di Pulau
Bonebatang
Gambar 55 memperlihatkan nilai penutupan total di setiap stasiun di Pulau
Barranglompo dan Pulau Bonebatang. Gambar ini memperlihatkan bahwa rata-
rata setiap stasiun di Pulau Bonebatang mempunyai penutupan total yang lebih
tinggi dibanding Pulau Barranglompo. Nilai penutupan lamun total tertinggi
0
10
20
30
40
50
60
Pen
utu
pa
n R
ela
tif
(%)
Spesies Lamun
Stasiun A
Stasiun B
Stasiun C
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
Pen
utu
pa
n R
ela
tif
(%)
Spesies Lamun
Stasiun A
Stasiun B
Stasiun C
100
dijumpai di stasiun A Pulau Bonebatang (65.97 %), sedangkan penutupan total
terendah sebesar 47.65 % dijumpai di stasiun B Pulau Barranglompo. Bila
mengacu pada Surat Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 200
Tahun 2004 (Tabel 14), maka hanya stasiun A di Pulau Bonebatang yang
tergolong sehat, sedangkan stasiun yang lain masih tergolong kurang sehat atau
kurang kaya. Namun, nilai yang didapatkan pada stasiun-stasiun tersebut sudah
mendekati batas kriteria lamun sehat ( 60 %).
Gambar 55 Nilai rata-rata (± sd) penutupan lamun di setiap stasiun. BL=Pulau
Barranglompo, BB=Pulau Bonebatang, A,B,C=Stasiun
Indeks Nilai Penting
Indeks Nilai Penting (INP) merupakan total dari nilai kerapatan, frekuensi
dan penutupan setiap lamun. Berdasarkan nilai indeks ini, T. hemprichii dan E.
acoroides merupakan dua jenis lamun dengan nilai INP tertinggi di antara semua
jenis lamun yang ada di Pulau Barranglompo (Tabel 17). Jenis berikutnya yang
memiliki nilai INP yang cukup tinggi adalah C. rotundata dan H. uninervis.
0
10
20
30
40
50
60
70
80
BLA BLB BLC BBA BBB BBC
Pen
utu
pa
n L
am
un
(%
)
Stasiun
101
Tabel 17 Indeks Nilai Penting jenis-jenis lamun pada setiap stasiun di Pulau
Barranglompo
No. Spesies Stasiun
A B C
1. C. rotundata 31.01 55.47 49.95
2. E. acoroides 99.72 89.94 74.31
3. H. pinifolia 0.00 4.85 4.56
4. H. uninervis 62.53 33.20 25.48
5. H. minor 0.00 0.00 4.74
6. H. ovalis 0.00 19.04 21.69
7. S. isoetifolium 22.73 5.75 26.71
8. T. hemprichii 84.02 91.75 92.57
T. hemprichii juga memiliki nilai INP tertinggi di antara semua jenis
lamun yang ditemukan di Pulau Bonebatang (Tabel 18). E. acoroides yang
merupakan spesies dengan nilai INP tertinggi kedua di Pulau Barranglompo,
mengalami penurunan signifikan di Pulau Bonebatang. Spesies ini hanya
menempati urutan keempat setelah T. hemprichii, H. uninervis dan C. rotundata.
Tabel 18 Indeks Nilai Penting jenis-jenis lamun pada setiap stasiun di Pulau
Bonebatang
No. Spesies Stasiun
A B C
1. C. rotundata 58.35 63.10 57.08
2. E. acoroides 35.89 46.58 32.74
3. H. uninervis 70.26 79.60 83.03
4. H. minor 0.00 0.00 8.27
5. H. ovalis 19.55 12.99 19.27
6. S. isoetifolium 13.78 10.68 9.96
7. T. hemprichii 102.16 87.05 89.64
102
Gambar 56 Hasil uji Correspondence Analysis (CA) jenis-jenis lamun pada setiap
stasiun di Pulau Barranglompo dan Pulau Bonebatang
Hasil uji Correspondence Analysis (Gambar 56) menunjukkan bahwa ada
dua kelompok penciri lamun di Pulau Barranglompo dan Pulau Bonebatang.
Stasiun BLB dan BLC dicirikan oleh E. acoroides dan H. pinifolia, sedangkan
semua stasiun di Pulau Bonebatang dicirikan oleh C. rotundata dan H. uninervis.
Hasil analisis CA ini juga memperlihatkan bahwa T. hemprichii dan S.
isoetifolium merupakan spesies lamun yang dijumpai secara merata di kedua
pulau.
Morfometri Daun Lamun
Pada umumnya panjang daun spesies-spesies lamun yang diukur di Pulau
Barranglompo memperlihatkan kecenderungan lebih pendek dengan semakin
jauhnya stasiun dari garis pantai. Hanya spesies S. isoetifolium yang
memperlihatkan kecenderungan sebaliknya (Tabel 19).
Pola yang sama juga teramati di Pulau Bonebatang (Tabel 20), kecuali
untuk spesies H. uninervis yang memiliki ukuran panjang daun yang hampir sama
di setiap stasiun.
BLB BLC
BBA BBB
BBC C.rotundata
E. acoroides
H. pinifolia
H. uninervis
H. minor
H. ovalis
S. isoetifolium T. hemprichii
-1.5
-1
-0.5
0
0.5
1
1.5
-1.5 -1 -0.5 0 0.5 1 1.5
-- K
om
po
nen
2 (
25
.78
%)
-->
-- Komponen 1 (54.01 %) -->
Plot Simetris (aksis F1 dan F2: 79.80 %)
BLA
103
Tabel 19 Ukuran panjang daun (PD) rata-rata dan lebar daun (LD) rata-rata (±
SD) jenis-jenis lamun pada setiap stasiun pengamatan di Pulau
Barranglompo
No Spesies
Sta. A Sta. B Sta. C
PD (cm) LD
(cm)
PD
(cm)
LD
(cm)
PD
(cm)
LD
(cm)
1. C. rotundata 12.97 ±
2.77
1.00 ±
0.09
10.15 ±
1.79
0.92 ±
0.10
9.7 ±
2.03
0.80 ±
0.11
2. E. acoroides 69.06 ±
39.13
1.32 ±
0.15
64.89 ±
19.91
1.33 ±
0.24
64.30 ±
20.97
1.37 ±
0.22
3. H. uninervis 15.29 ±
2.76
0.43 ±
0.08
11.22 ±
2.33
0.40 ±
0.09
13.10 ±
3.82
0.35 ±
0.15
4. H. ovalis 2.41 ±
0.42
1.21 ±
0.12
2.39 ±
0.31
1.14 ±
0.12
2.13 ±
0.45
1.07 ±
0.14
5. S. isoetifolium 9.10 ±
2.51
0.17 ±
0.04
9.60 ±
1.84
0.18 ±
0.03
10.20 ±
1.69
0.19 ±
0.03
6. T. hemprichii 14.32 ±
3.82
0.99 ±
0.21
10.48 ±
2.34
0.86 ±
0.16
10.31 ±
1.18
0.83 ±
0.12
Keterangan: Jenis Halodule pinifolia dan Halophila minor tidak diukur morfometrinya karena
populasinya yang kecil
Berdasarkan perbandingan panjang daun rata-rata, C. rotundata dan H.
ovalis di Pulau Bonebatang memiliki panjang daun sedikit lebih panjang
dibanding di Pulau Barranglompo. Sebaliknya, spesies E. acoroides, H. uninervis,
S. isoetifolium dan T. hemprichii di Pulau Bonebatang lebih pendek bila
dibandingkan dengan spesies Pulau Barranglompo. Hal ini disebabkan karena
kadar nutrien terutama nitrogen di Pulau Barranglompo lebih tinggi akibat
aktivitas antropogenik. Kasus yang sama dijumpai di Pulau Green yang
merupakan bagian dari kawasan Great Barrier Reef Australia. Pada pulau ini
dijumpai bahwa lamun jenis H. uninervis dan S. isoetifolium yang tumbuh pada
sedimen karbonat memiliki pertumbuhan dan biomassa yang lebih besar dalam 50
tahun terakhir yang kemungkinan disebabkan oleh meningkatnya ketersediaan
nutrien dari sumber baik lokal maupun regional (Udy et al. 1999).
Tabel 20 Ukuran panjang daun (PD) rata-rata dan lebar daun (LD) rata-rata
(±SD) jenis-jenis lamun pada setiap stasiun pengamatan di Pulau
Bonebatang
No Spesies Sta. A Sta. B Sta. C
104
PD
(cm)
LD
(cm)
PD
(cm)
LD
(cm)
PD
(cm)
LD
(cm)
1. C. rotundata 13.36 ±
4.43
0.92 ±
0.12
10.30 ±
3.16
0.85 ±
0.13
9.80 ±
3.08
0.82 ±
0.12
2. E. acoroides 69.80 ±
11.41
1.44 ±
0.15
55.77 ±
8.35
1.36 ±
0.16
57.42 ±
7.46
1.33 ±
0.16
3. H. uninervis 9.26 ±
2.61
0.38 ±
0.10
9.27 ±
2.69
0.35 ±
0.06
9.26 ±
3.30
0.35 ±
0.06
4. H. ovalis 2.55 ±
0.30
1.22 ±
0.12
2.45 ±
0.31
1.14 ±
0.11
2.01 ±
0.17
1.09 ±
0.09
5. S. isoetifolium 9.07 ±
2.19
0.17 ±
0.02
9.53 ±
1.60
0.18 ±
0.03
10.07 ±
1.12
0.18 ±
0.02
6. T. hemprichii 11.25 ±
2.36
1.10 ±
0.08
9.50 ±
1.25
1.03 ±
0.14
9.20 ±
1.93
0.91 ±
0.09
Keterangan: Jenis Halophila minor tidak diukur morfometrinya karena populasinya yang kecil
Indeks Luas Daun/Leaf Area Index (LAI)
Indeks luas daun adalah rasio dari total permukaan daun vegetasi dibagi
dengan luas permukaan dimana vegetasi tersebut tumbuh (Breda 2003). Nilai
indeks luas daun rata-rata di Pulau Barranglompo adalah 2.62 ± 2.02, sedangkan
di Pulau Bonebatang adalah 3.29 ± 1.26.
Nilai rata-rata indeks luas daun lamun pada setiap stasiun di Pulau
Barranglompo memperlihatkan kecenderungan semakin menurun dengan
semakin jauhnya stasiun dari pantai. Sementara itu, di Pulau Bonebatang, nilai
indeks luas daun relatif lebih merata (Tabel 21). Nilai tertinggi (3.63 ± 3.05)
didapatkan pada stasiun A Pulau Barranglompo, sedangkan nilai terendah (1.39 ±
0.58) dijumpai pada stasiun C Pulau Barranglompo. Hal ini menunjukkan
variabilitas yang lebih tinggi di Pulau Barranglompo dibandingkan dengan Pulau
Bonebatang. Namun, nilai indeks luas daun lamun antara Pulau Barranglompo
dan Pulau Bonebatang tidak berbeda nyata (p = 0.153).
Tabel 21 Nilai indeks luas daun lamun di Pulau Barranglompo dan Pulau
Bonebatang
105
Nilai Barranglompo Bonebatang
A B C A B C
Rata-rata
(±SD)
3.63 ±
3.05
2.83 ±
0.88
1.39 ±
0.58
3.23 ±
1.75
3.52 ±
1.14
3.11 ±
0.86
Minimum 0.95 1.22 0.45 0.56 1.89 2.16
Maksimum 10.15 4.28 2.47 5.91 4.28 4.83
Nilai indeks luas daun lamun yang dijumpai di Spermonde kurang lebih
sama dengan nilai rata-rata di berbagai negara Karibia yaitu 3.4 ± 1.7 (Krupp et
al. 2009). Hal yang hampir sama dijumpai di Bolinao, Luzon, Filipina dimana
nilai indeks luas daun lamun pada komunitas lamun campuran mencapai 2.99
(Vermaat et al. 1995).
Indeks Luas Daun merupakan indeks yang berguna untuk mengestimasi
produktivitas potensial tegakan vegetasi karena indeks ini menghitung luasan
daerah material hijau tumbuhan yang memotong photosynthetically active
radiation (PAR), yaitu daerah daun (satu sisi) dari tegakan yang dinyatakan
secara relatif terhadap area substrat yang ditutupinya (Hillman et al. 1989). Di
samping itu, indeks ini juga mempengaruhi iklim mikro di dalam atau di bawah
kanopi, menentukan dan mengontrol pertukaran air dan karbon sehingga
merupakan komponen penting dalam siklus biogeokimia ekosistem (Breda 2003).
Secara teoritis, LAI optimum (yang mendukung produktivitas maksimum)
dicapai bila lapisan terbawah daun hanya mampu secara rata-rata
mempertahankan keseimbangan karbon positif, yakni bila tegakan vegetasi
memotong semua PAR yang tersedia. Di bawah titik ini daun bagian bawah
menjadi beban tidak produktif terhadap tegakan vegetasi (Hillman et al. 1989).
Simpulan
1. Terdapat 8 spesies lamun yang dijumpai di Pulau Barranglompo, sedangkan
di Pulau Bonebatang terdapat 7 spesies yang hidup dalam komunitas
campuran terdiri atas beberapa spesies.
2. Indeks Nilai Penting (INP) lamun menunjukkan bahwa, Thalassia hemprichii
dan Enhalus acoroides merupakan spesies dominan di Pulau Barranglompo,
106
sedangkan Pulau Bonebatang didominasi oleh T. hemprichii dan Halodule
uninervis.
3. Secara umum, daun lamun di Pulau Barranglompo relatif lebih panjang
dibandingkan dengan yang ada di Pulau Bonebatang. Hal itu diduga karena
nutrien di Pulau Barranglompo lebih tinggi akibat aktivitas antropogenik
107
108
8. ASOSIASI DAN INTERAKSI MAKROFITA (LAMUN DAN
MAKROALGAE) AKIBAT TEKANAN ANTROPOGENIK
YANG BERBEDA
Abstrak
Makrofita laut (lamun dan makroalgae) merupakan produsen primer
penting yang mempunyai banyak peranan pada ekosistem pantai. penelitian
untuk mengkaji interaksi dan asosiasi makrofita pada lokasi yang memiliki
tekanan antropogenik berbeda, telah dilaksanakan di Pulau Barranglompo dan
Pulau Bonebatang, Kepulauan Spermonde dari Januari hingga Juli 2011.
Beberapa aspek yang diteliti antara lain: kategori lifeform, kelimpahan, biomassa,
asosiasi lamun dan makroalgae, indeks evaluasi ekologi dan indeks similaritas.
Transek kuadrat digunakan untuk sampling makroalgae pada tiga stasiun yang
memiliki jarak berbeda dari garis pantai. Sebanyak 22 spesies makroalgae
dijumpai di Pulau Barranglompo, sedangkan di Pulau Bonebatang, ditemukan 20
spesies. Kebanyakan makroalgae yang ditemukan di kedua pulau hidup sebagai
epilithik (litofitik) dan epipelik (rhizofitik). Berdasarkan asosiasinya, di Pulau
Barranglompo dijumpai asosiasi positif antara pasangan Cymodocea rotundata-
Thalassia hemprichii, Acanthophora spicifera-Laurencia papillosa, dan Dictyota
bartayresiana-Laurencia papillosa, sedangkan asosiasi negatif didapatkan pada
dua pasangan yaitu Enhalus acoroides-Halodule uninervis dan Thalassia
hemprichii-Halodule uninervis. Di Pulau Bonebatang, asosiasi positif dijumpai
pada pasangan C. rotundata-H. uninervis saja, sedangkan asosiasi negatif
dijumpai pada beberapa pasangan yaitu. C. rotundata-A.spicifera, C. rotundata-
Actinoritchia fragilis, E. acoroides-H. uninervis, T. hemprichii-Gracilaria
coronopifolia, dan T. hemprichii-Sargassum crassifolium. Sementara itu, untuk
menguji fungsi makrofita sebagai bioindikator perubahan ekosistem akibat
tekanan antropogenik, didapatkan bahwa Pulau Barranglompo memiliki status
ekologi sedang dan Pulau Bonebatang memiliki status ekologi sangat bagus.
Indeks similaritas tertinggi dijumpai antar stasiun pada pulau yang sama,
sehingga disimpulkan bahwa pulau yang berbeda memiliki konfigurasi
makroalgae yang berbeda dan sangat dipengaruhi oleh aktivitas antropogenik
yang berlangsung di pulau-pulau tersebut.
Kata kunci: antropogenik, Barranglompo, Bonebatang, lamun, makroalgae,
makrofita
Abstract
Marine macrophytes (seagrass and macroalgae) are important primary
producers, which have many functions in coastal ecosystems. In order to analyze
interaction between seagrass and macroalgae in areas with different
anthropogenic pressure, a study has been done in two small islands within
Spermonde Archipelago, South Sulawesi i.e. Barranglompo and Bonebatang
Islands. Quadrat transects were deployed in three stations based on their different
distances from the shoreline. There were 22 and 20 species of macroalgae found
in Barranglompo and Bonebatang Islands, respectively. Most of macroalgae
109
found in both islands live as epilithic (litophytic) and epipelic (rhizophytic).
Based on their association, there was positive association occurred between pairs
of Cymodocea rotundata-Thalassia hemprichii, Acanthophora spicifera-
Laurencia papillosa, and Dictyota bartayresiana-Laurencia papillosa in
Barranglompo, while negative association was observed in two seagrass pairs i.e.
Enhalus acoroides-Halodule uninervis and Thalassia hemprichii-Halodule
uninervis. In Bonebatang Island, positive association was found in pair of C.
rotundata-H. uninervis, while negative association was found in several pairs of
macroalgae i.e. C. rotundata-A.spicifera, C. rotundata-Actinoritchia fragilis, E.
acoroides-H. uninervis, T. hemprichii-Gracilaria coronopifolia, and T.
hemprichii-Sargassum crassifolium. In order to examine the function of
macrophytes as bioindicator of ecosystem shift due to anthropogenic pressure,
analysis of macrophyte structure in both islands classified Barranglompo in
moderate ecological status, whereas Bonebatang had high ecological status. The
highest similarity index was found among stations in the same island. It was
concluded that different islands have different macrophyte assemblages and it was
strongly affected by anthropogenic activities occurred in the islands.
Keywords: anthropogenic, Barranglompo, Bonebatang, macroalgae, macrophyte,
seagrass
Pendahuluan
Makroalgae atau lebih dikenal sebagai rumput laut (seaweeds) adalah
tumbuhan tingkat rendah yang secara taksonomi termasuk ke dalam Divisi
Thallophyta. Tubuh makroalgae disebut thallus yang bisa berbentuk sederhana
dan belum terdiferensiasi. Pada bentuk yang lebih berkembang, thallusnya sudah
memiliki bagian yang secara morfologi menyerupai tumbuhan tingkat tinggi
seperti daun (blade), batang (stipe) dan holdfast yang menyerupai akar (Trono
1997; Graham & Wilcox 2000; Hinde 2000).
Makroalgae terdiri atas tiga divisio yakni algae hijau (Chlorophyta), algae
coklat (Phaeophyta) dan algae merah (Rhodophyta) (Alongi 1998). Makroalgae
memiliki berbagai jenis pigmen seperti klorofil, karoten, fikobilin dan pigmen
asesori lainnya yang memungkinkan makroalgae mensintesis sendiri bahan
organik dari bahan sederhana seperti air dan CO2 (Trono 1997). Perbedaan
komposisi dan persentase pigmen penyusun makroalgae ini merupakan salah satu
dasar pengklasifikasian makroalgae.
Kehadiran atau ketidakhadiran spesies makroalgae tertentu pada suatu
habitat dipengaruhi oleh efek kombinasi dan sinergitas berbagai faktor fisika-
110
kimia seperti salinitas, cahaya, suhu, substrat, kadar nutrien, pergerakan air,
kedalaman maupun oleh faktor biotik (Trono & Ganzon-Fortes 1988; Prathep
2005).
Lamun dan makroalgae merupakan makrofita utama di perairan pantai
yang hidup bersama dimana kontrol grazing (top-down) dan nutrien (bottom-up)
secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kelimpahannya (Heck et al.
2000: Hughes et al. 2004; Irlandi et al. 2004). Eutrofikasi pada perairan pantai
dapat menyebabkan proliferasi makroalgae yang pada akhirnya akan
membahayakan padang lamun (McGlathery 2001).
Pada ekosistem lamun, algae epifit berkontribusi penting terhadap produksi
primer dan sekunder, mereka juga berperan terhadap proses biogeokimia dan
siklus nutrien termasuk produksi CaCO3 dan fiksasi nitrogen. Namun, algae
epifit dapat juga memberikan efek merugikan terhadap fungsi ekologis ekosistem
lamun (Jernakoff et al. 1996; Vanderklift & Lavery 2000). Samper-Villareal et
al. (2008) menginventarisir sebanyak 26 spesies makroalgae (18 genera) yang
merupakan algae epifit pada daun lamun Thalassia testudinum di Punta Cahuita,
pantai Karibia Costa Rica.
Secara eksperimental, peningkatan tinggi kanopi makroalgae mengurangi
kepadatan, rekruitmen, laju pertumbuhan, dan laju produksi lamun Zostera
marina (Hauxwell et al. 2001). Eksperimen lain oleh Irlandi et al. (2004)
menggunakan tutupan alga terapung (drift algae) yang tinggi selama 2-3 bulan
menghasilkan pengurangan sekitar 25 % biomassa di atas permukaan substrat
(aboveground biomass) dibanding plot-plot yang bebas algae. Biomassa di
bawah substrat (belowground biomass) dan kerapatan tegakan tidak dipengaruhi
oleh keberadaan drift algae ini.
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji interaksi dan asosiasi antara
lamun dan makroalgae pada lokasi yang memiliki tekanan antropogenik berbeda.
Bahan dan Metode
Pengambilan Data dan Analisis Interaksi Makroalgae pada Ekosistem
Padang Lamun
111
Penelitian ini berlangsung dari bulan Januari – Juli 2011 di Pulau
Barranglompo (5o 02’ 44.28‖- 5
o 03’ 05.65‖ S, 119
o 19’ 38.56‖- 119
o 19’ 52.27‖
E) dan Pulau Bonebatang (5o 00’ 47.46‖- 5
o 00’ 51.82 S, 119
o 19’ 35.55‖- 119
o
19’ 36.71‖ E) yang termasuk dalam Kepulauan Spermonde Provinsi Sulawesi
Selatan. Peta kedua pulau ini dapat dilihat pada Gambar 6 (Bab 4).
Kedua pulau ini memiliki tekanan antropogenik yang berbeda. Pulau
Barranglompo yang memiliki luas sekitar 20 ha, saat ini dihuni oleh sekitar 5000
jiwa, sedangkan Pulau Bonebatang tidak berpenduduk.
Kategori Lifeform Makroalgae
Pengamatan makroalgae yang berasosiasi dengan padang lamun juga
dilakukan pada saat survei kondisi bioekologi lamun (Bab 7). Pengamatan
dilakukan pada 3 stasiun dan 27 sub-stasiun pada masing-masing pulau. Jenis-
jenis makroalgae diidentikasi jenisnya menggunakan pustaka seperti Trono &
Ganzon-Fortez (1988), Atmadja (1996a; 1996b), Kadi (1996), Trono (1997),
Carpenter & Niem (1998), Dhargalkar & Kavlekar (2004), Jha et al. (2009).
Spesies yang dijumpai dikelompokkan berdasarkan kategori lifeformnya (Bold &
Wynne 1985: Sidik et al. 2001) sebagai berikut :
Rhizofitik/epipelik (melekat pada lumpur dan pasir)
Lithofitik/epilithik (hidup pada batu atau karang mati)
Efifit (melekat pada daun, batang dan rhizoma lamun atau makroalgae
lain)
Epizoik (melekat pada cangkang molluska atau tabung polichaeta)
Drift macroalgae (lepas atau mengapung).
Kelimpahan dan Biomassa Makroalgae
Kelimpahan makroalgae diukur dengan membuat kuadrat berukuran 50
cm x 50 cm). Persentase penutupan makroalgae ditentukan dengan menggunakan
nilai skala Braun-Blanquet (B-B) sebagaimana disajikan pada Tabel 22.
112
Tabel 22 Nilai skala Braun-Blanquet untuk berbagai persentase penutupan
makroalgae (Braun-Blanquet 1965 diacu Gab-Alla 2007).
Nilai skala
Braun-Blanquet
Penutupan Quadrat
5 > 75 %
4 50 – 75 %
3 25 – 50 %
2 5 – 25 %
1 Banyak, tapi penutupannya kurang dari 5 % atau
terpencar sampai 5 % penutupan
0,5 Beberapa dengan penutupan kecil
0,1 Soliter, dengan penutupan kecil
Pengukuran biomassa makroalgae dilakukan dengan memanen
makroalgae dari dalam kuadrat ukuran 10 cm x 10 cm. Semua sampel disimpan
dalam cool box untuk dianalisis di laboratorium. Di laboratorium, sampel
dipisahkan dan disortir berdasarkan spesies kemudian dimasukkan ke dalam baki
aluminium foil untuk dikeringkan dalam oven bersirkulasi udara pada 50 oC
(Littler 1980 diacu oleh Sidik et al. 2001) sampai beratnya konstan, lalu
didinginkan dalam desikator dan ditimbang berat keringnya. Biomassa
dikonversi ke satuan gram berat kering per m2.
Analisis Data Makroalgae
Frekuensi, kelimpahan, dan kerapatan makroalgae dihitung dengan
menggunakan persamaan dari Sidik et al (2001) sebagai berikut :
( )
Asosiasi Lamun dan makroalgae
Analisis asosiasi dilakukan pada jenis-jenis penyusun utama komunitas
lamun dan makroalgae dengan menggunakan Tabel Kontingensi 2x2 (Gambar
57).
113
Gambar 57 Tabel kontingensi 2 x 2 atau tabel asosiasi spesies (Ludwig &
Reynolds 1988)
Pengujian asosiasi didasarkan pada hadir atau tidaknya suatu spesies
dalam suatu penarikan contoh (unit sampling). Untuk setiap pasangan spesies A
dan B, kemungkinan yang muncul adalah :
a = jumlah unit sampling dimana kedua spesies muncul bersama
b = jumlah unit sampling dimana hanya terdapat spesies A
c = jumlah unit sampling dimana hanya terdapat spesies B
d = jumlah unit sampling dimana kedua spesies tidak muncul
Untuk menguji hipotesis nol bahwa spesies bersifat independen (tidak ada
asosiasi), maka digunakan uji Chi-square menggunakan notasi pada tabel
kontingensi di atas dengan persamaan sebagai berikut:
( )
Dimana nilai harapan untuk sel a adalah:
E (a) = ( )( )
Begitu pula dengan nilai-nilai harapan untuk sel b, c, dan d dapat dihitung dengan
formula:
( )
, ( )
, ( )
Maka persamaan Chi-square menjadi:
= ( )
Bila ada sel pada Tabel Kontingensi 2 x 2 yang mempunyai frekuensi harapan < 1
atau jika lebih dari dua sel mempunyai frekuensi harapan < 5, maka hasil uji Chi-
square menjadi bias. Untuk itu perlu dilakukan koreksi dengan menggunakan
formula koreksi dari Yate sebagai berikut:
114
*( ) ( ) (
)+
Nilai Chi-square hitung dibandingkan dengan nilai Chi-square tabel pada
derajat bebas = 1, pada taraf uji p = 0.01 (6.64) dan p = 0.05 (3.84). Jika nilai
Chi-square hitung lebih besar dari 3.84, maka hipotesis nol bahwa kemunculan
bersama spesies A dan B bersifat independen ditolak, dan disimpulkan bahwa
kedua spesies berasosiasi.
Nilai harapan pada sel a dapat digunakan untuk mengetahui jenis
asosiasi, yaitu
1. Positif – bila a > E (a), yakni bila pasangan spesies muncul bersama lebih
sering daripada yang diharapkan jika independen.
2. Negatif – bila a < E (a), yakni bila pasangan spesies muncul bersama
kurang dari yang diharapkan bila independen.
Selanjutnya Indeks Asosiasi Ochiai (Ludwig & Reynolds 1988)
digunakan untuk mengetahui nilai asosiasi antar pasangan spesies..
√ √
Dimana :
Io = Indeks Ochiai
a = Spesies A dan B hadir
b = Spesies A hadir, spesies B tidak hadir
c = Spesies A tidak hadir, spesies B hadir
Indeks Evaluasi Ekologis (IEE)
Indeks Evaluasi Ekologis (IEE) dirancang untuk mengestimasi status
ekologis perairan transisi dan perairan pantai dimana makrofita bentik
(makroalgae dan lamun) digunakan sebagai bioindikator perubahan ekosistem
(ecosystem shift) akibat tekanan antropogenik, dari keadaan alami dengan spesies
suksesi akhir ke keadaan terdegradasi dengan spesies oportunistis (Orfanidis et al.
2003).
115
Perubahan pada struktur dan fungsi ekosistem laut dievaluasi dengan
menggolongkan makrofita laut bentik ke dalam dua kelompok status
ekologis/ecological status group (ESG) yang mewakili kelompok status ekologi
yang berbeda, misalnya pada daerah yang alami ataupun yang tercemar
(terdegradasi). Kelompok I terdiri atas semua spesies lamun dan makroalgae
dengan thallus yang tebal atau calcareous, laju pertumbuhan lambat, dan terdiri
atas spesies perennial dengan siklus hidup yang panjang (late successional),
sedangkan kelompok II termasuk spesies makroalgae dengan thallus berbentuk
lembaran dan filamentous dengan laju pertumbuhan yang cepat dan terdiri atas
spesies annual dengan daur hidup yang pendek (oportunistik) serta bersifat
ruderal (Orfanidis et al. 2001; 2003).
Kelimpahan rata-rata makrofita kelompok I dan II diplotkan pada matriks
(Gambar 58) untuk menentukan status ekologi dari lokasi yang ditempati oleh
makrofita tersebut. Kategori-kategori status ekologis di atas diberi skor numerik
seperti ditampilkan pada Tabel 23.
Gambar 58 Matriks berdasarkan kelimpahan rata-rata ESG untuk menentukan
status ekologis perairan transisi dan perairan pantai (Orfanidis et al.
2001)
116
Tabel 23 Sistem skoring numerik untuk evaluasi status ekologis perairan transisi
dan perairan pantai (Orfanidis et al. 2001)
Kategori ekologis Nilai numerik Indeks Evaluasi Ekologis
(IEE)
Sangat Baik 10 [≤ 10 - 8] = Sangat Baik
Baik 8 [≤ 8 - 6] = Baik
Sedang 6 [≤ 6 - 4] = Sedang
Jelek 4 [≤ 4 - 2] = Jelek
Sangat Jelek 2 [2] = Sangat Jelek
Indeks Similaritas (IS)
Indeks Similaritas Sorensen atau dikenal pula sebagai indeks
Czekanowski digunakan untuk mengetahui tingkat kesamaan vegetasi pada
seluruh unit sampel. (Ludwig & Reynolds 1988; Clarke & Warwick 1994;
Krebs 1999; Krebs 2002; Bakus 2007).
S = Indeks Similaritas Sorensen
a = Jumlah spesies yang sama terdapat pada unit sampling I dan II
b = Jumlah spesies yang hanya ditemukan pada unit sampling I
c = Jumlah spesies yang hanya ditemukan pada unit sampling II
Indeks similaritas Sorensen menggunakan data biner (kehadiran dan
ketidakhadiran) suatu spesies pada suatu unit sampling dan nilainya berkisar dari
0 (tidak ada kemiripan) sampai 1 (kemiripan tertinggi) (Clarke & Warwick 1994;
Krebs 1999; Bakus 2007).
Hasil perhitungan IS untuk seluruh stasiun pengambilan sampel disusun
dalam bentuk matriks Indeks Similaritas (IS) dan Indeks Disimilaritas (ID),
dimana ID = 100-IS (Clarke & Warwick 1994). Tingkat kemiripan antar stasiun
pengamatan dapat ditentukan berdasarkan kriteria pada Tabel 24 berikut :
117
Tabel 24 Penentuan tingkat kemiripan vegetasi antar stasiun pengamatan
Nilai Indeks Similaritas (%) Tingkat Kesamaan Vegetasi
75 Sangat tinggi
50 - 75 Tinggi
25 -50 Rendah
25 Sangat rendah
Sumber: Krebs (2002)
Hasil dan Pembahasan
Sebanyak 28 jenis makroalgae yang ditemukan berasosiasi dengan padang
lamun di Pulau Barranglompo dan Bonebatang (Tabel 25). Jenis-jenis makroalgae
tersebut terdiri atas 5 jenis dari Divisio Chlorophyta (17.86%), 10 jenis dari
Divisio Phaeophyta (35.71%) dan 13 jenis dari Divisio Rhodophyta (46.43%).
Beberapa penelitian sebelumnya juga mendapatkan bahwa makroalgae dari
Divisio Rhodophyta memiliki komposisi terbesar dibandingkan kedua divisio
lainnya. Handayani dan Kadi (2007) mendapatkan juga 13 jenis Rhodophyta
(43.33%) di perairan Minahasa Utara, Sulawesi Utara. Sementara itu, di Taman
Nasional Similajau di Sarawak, Malaysia dijumpai makroalgae dari Divisio
Rhodophyta sebesar 54.30% dari semua jenis makroalgae yang ditemukan di
lokasi tersebut (Harah et al. 2006). Gambar 59-64 memperlihatkan foto dari
jenis-jenis makroalgae yang ditemukan di kedua pulau.
Tabel 25 Klasifikasi makroalgae yang ditemukan di lokasi penelitian
Divisio Kelas Ordo Familia Genus dan
spesies Chlorophyta Chlorophyceae Siphonocladales Boodleaceae Boodlea composita
Bryopsidophyceae Bryopsidales Udoteaceae Chlorodesmis
fastigiata
Bryopsidophyceae Bryopsidales Halimedaceae Halimeda
macroloba
Bryopsidophyceae Bryopsidales Halimedaceae Halimeda opuntia
Dasycladophyceae Dasycladales Dasycladaceae Neomeris annulata
Phaeophyta Phaeophyceae Dictyotales Dictyotaceae Dictyota
bartayresiana
118
Phaeophyceae Fucales Sargassaceae Hormophysa
triquetra
Phaeophyceae Ectocarpales Scytosiphonaceae Hydroclathrus
clathratus
Phaeophyceae Dictyotales Dictyotaceae Padina australis
Phaeophyceae Ectocarpales Scytosiphonaceae Rosenvingea
intricata
Phaeophyceae Fucales Sargassaceae Sargassum binderi
Phaeophyceae Fucales Sargassaceae Sargassum
crassifolium
Phaeophyceae Fucales Sargassaceae Sargassum
polycistum
Phaeophyceae Fucales Sargassaceae Turbinaria ornata
Phaeophyceae Fucales Sargassaceae Turbinaria
conoides
Rhodophyta Rhodophyceae Ceramiales Rhodomelaceae Acanthophora
muscoides
Rhodophyceae Ceramiales Rhodomelaceae Acanthophora
spicifera
Florideophyceae Nemaliales Galaxauraceae Actinoritchia
fragilis
Florideophyceae Corallinales Corallinaceae Amphiroa
fragilissima
Florideophyceae Gigartinales Solieriaceae Euchema
denticulatum
Florideophyceae Gigartinales Solieriaceae Euchema serra
Florideophyceae Gelidiales Gelidiellaceae Gelidiella acerosa
Rhodophyceae Gracilariales Gracilariaceae Gracilaria
coronopifolia
Rhodophyceae Gracilariales Gracilariaceae Gracilaria
salicornia
Florideophyceae Gigartinales Cystocloniaceae Hypnea esperi
Florideophyceae Gigartinales Cystocloniaceae Hypnea cervicornis
Florideophyceae Gigartinales Solieriaceae Kappaphycus
alvarezii
Florideophyceae Ceramiales Rhodomelaceae Laurencia
papillosa
Deskripsi Makroalgae pada Daerah Padang Lamun
Boodlea composita (Harvey) Brand
Algae ini berwarna hijau muda atau hijau kekuningan (Gambar 59a),
rimbun, berfilamen, bercabang tidak beraturan, rapuh dan berspons (Jha et al.
2009). Thallus tersusun atas sel-sel terete persegi yang membentuk percabangan
anastomose antara satu dengan lainnya dengan menggunakan sel-sel pelekat
khusus, sel-sel terminal berkurang. Spesies ini umumnya menempati daerah
intertidal dimana akan terpapar saat surut (Trono & Ganzon-Fortes 1988).
Chlorodesmis fastigiata (C. Agardh) Ducker
119
Jenis makroalgae ini melekat pada substrat keras seperti potongan karang
(Gambar 59b). Thallusnya berwarna hijau, rimbun dengan percabangan teratur
secara dichotomous (Lobban & Harrison 1997; Trono 1997), mengerut pada dasar
cabang (Lobban & Harrison 1997).
Neomeris annulata Dickie
Tumbuhan ini silindris dan tidak bercabang dengan apeks berwarna hijau
terang dan bagian basal yang berkapur keputihan (Gambar 59c), soliter, sering
membentuk kelompok yang padat, aksis ditutupi oleh alur pendek, biasanya
dijumpai pada batuan atau karang mati yang ditutupi oleh pasir kasar pada daerah
pasang surut (Jha et al. 2009).
Halimeda macroloba Decaisne
Thallus berwarna hijau, soliter, kaku, percabangan pada satu arah
sehingga berbentuk rata (Gambar 59d), melekat dengan holdfast silindris, segmen
bagian atas discoid, reniform (Jha et al. 2009). Thallus dengan kalsifikasi ringan
hingga sedang (Kadi 1996).
Halimeda opuntia (Linnaeus) Lamouroux
Pertumbuhan thallus kompak, percabangan segmen bertumpuk menjalar
dan membentuk pertumbuhan baru. Segmen relatif kecil berbentuk gepeng bulat-
lonjong, reniform dan bergelombang (Gambar 59e). Kandungan karbonat tinggi,
warna segmen hijau. Holdfast tidak berubi terdiri dari kumpulan massa akar
serabut lembek yang berfungsi untuk penempelan pada substrat keras atau lembek
(Kadi 1996).
120
Gambar 59 Makroalgae hijau (Chlorophyta) yang dijumpai di daerah padang
lamun. (a) Boodlea composita, (b) Chlorodesmis fastigiata, (c)
Neomeris annulata, (d) Halimeda macroloba, (e) Halimeda opuntia
Dictyota bartayresiana Lamouroux
Thallus kaku, pipih seperti pita berwarna coklat tua, bagian pinggir rata
(Gambar 60a). Percabangan dichotomous dengan ujung meruncing, membentuk
rumpun yang rimbun sehingga sering merupakan gumpalan. Percabangan
beraturan membentuk sudut 70-80o (Atmadja 1996a; Prud’homme & Trono
2001).
Hormophysa triquetra (C.Agardh) Kützing
Thallus tegak berbentuk penampang segitiga (triquetra), permukaan licin,
thallus berwarna coklat kekuningan atau coklat kehijauan, membentuk rumpun
yang rimbun (Gambar 60c). Percabangan tumbuh pada segmen-segmen thalli
secara berselang-seling (alternate). Pinggir thallus bergerigi. Vesikel tidak jelas
tampak dari luar, bersembunyi di dalam thallus pada setiap segmen (Atmadja
1996a).
Hydroclathrus clathratus (C. Agardh) Howe
121
Thallus silindris, licin, berwarna kekuningan sampai coklat tua, vesicular
atau ovate tidak beraturan, tidak berlubang saat muda, berlubang dan berperforasi
saat dewasa membentuk struktur seperti jaring (Gambar 60b). Perforasi bervariasi
ukurannya (Atmadja 1996a; Jha et al. 2009).
Padina australis Hauck
Warna coklat kekuningan. Holdfast berbentuk cakram kecil berserabut.
Bentuk thalli seperti kipas (Gambar 60d), membentuk segmen-segmen lembaran
tipis (lobus) dengan garis-garis berambut radial dan perkapuran di bagian
permukaan daun. Bagian atas lobus agak melebar dengan pinggir rata dan pada
bagian puncak terdapat lekukan-lekukan yang pada ujungnya terdiri dari dua
lapisan sel (Sze 1993; Atmadja 1996).
Rosenvingea intricata (J. Agardh) Børgesen
Thallus berwarna coklat kehijauan atau coklat keemasan, melekat pada
substrat keras dengan holdfast discoid (Gambar 60e). Percabangan secara tidak
teratur dichotomous, trichotomous atau alternate (selang-seling). Cabang-
cabangnya cekung, agak tertekan dan secara tajam menurun diameter dan
panjangnya dari aksis primer sampai ke ranting (branchlets). Percabangan
terakhir biasanya trichotomous dengan branchlets apikal biasanya terbagi
menjadi duri-duri pendek dan gemuk (Trono & Ganzon-Fortes 1988; Jha et al.
2009).
122
Gambar 60 Makroalgae coklat (Phaeophyta) yang dijumpai di daerah padang
lamun. (a) Dictyota bartayresiana, (b) Hydroclathrus clathratus, (c)
Hormophysa triquetra, (d) Padina australis, (e) Rosenvingea
intricata
Sargassum binderi Sonder ex J.Agardh
Batang gepeng, halus dan licin. Percabangan berselang-seling teratur,
cabang utama saling berdekatan. Daun lonjong, pinggir bergerigi, ujung runcing,
urat tengah daun (midrib) tidak jelas (Gambar 61a). Bladder bulat, ujung bulat
atau runcing (Atmadja 1996a).
Sargassum crassifolium J. Agardh
Thallus agak gepeng, licin, tetapi batang utama bulat, agak kasar, holdfast
berbentuk cakram. Percabangan berselang-seling teratur (Gambar 61b). Daun
oval atau memanjang, urat tengah daun jelas dari pangkal ke ujung. Pinggir daun
bergerigi jarang, ujung melengkung atau runcing (Atmadja 1996a).
Sargassum polycistum C. Agardh
Thallusnya berbentuk silindris berduri kecil dan rapat (Gambar 61c).
Holdfast berupa cakram kecil dengan stolon yang rimbun. Batang pendek dengan
percabangan utama tumbuh rimbun di bagian ujungnya. Daun kecil, lonjong,
123
pinggir bergerigi atau seperti gergaji, ujung melengkung atau runcing, urat daun
tidak begitu jelas. Vesikel atau gelembung udara (bladder) bulat telur (Sze 1993;
Atmadja 1996a).
Turbinaria conoides (J. Agardh) Kützing
Thallus berwarna coklat muda atau coklat tua. Batang silindris, tegak,
kasar, terdapat bekas-bekas percabangan (Gambar 61d). Holdfast berupa cakram
kecil. Percabangan berputar sekeliling batang utama. Daun merupakan kesatuan
yang terdiri dari tangkai dan lembaran daun yang umumnya berukuran kecil,
membentuk setengah bulatan melengkung seperti ginjal (reniformis), pinggir
daun bergerigi. Gelembung udara agak menonjol di pertengahan daun (Atmadja
1996a).
Turbinaria ornata (Turner) J. Agardh
Alga ini termasuk umum dijumpai di perairan Indonesia (Atmadja 1996a).
Tumbuhan ini berwarna coklat tua, tingginya mencapai 50 cm, rimbung ,
percabangan berasal dari holdfast yang bercabang dichotomous, cabang utama
keras dan silindris dan bercabang tidak beraturan, daun tersusun rapat berbentuk
turbinate (Gambar 61e) (Jha et al. 2009).
124
Gambar 61 Makroalgae coklat (Phaeophyta) dari genera Sargassum dan
Turbinaria yang dijumpai di daerah padang lamun. (a) Sargassum
binderi, (b) S. crassifolium, (c) S. polycistum, (d) Turbinaria
conoidess, (e) T. ornata
Acanthophora spicifera (Vahl) Børgesen
Thallus silindris, percabangan bebas, tegak, terdapat duri-duri pendek
sekitar thallus yang merupakan karakteristik jenis ini. Warna coklat tua atau
coklat kekuningan (Gambar 62a). Rumpun lebat dan melekat ke substrat
menggunakan cakram lobus tidak beraturan (Atmadja 1996b; Jha et al. 2009).
Percabangan tidak beraturan, jarang, terete, dengan proyeksi berduri
(Prud’homme van Reine & Trono 2001).
Acanthophora muscoides (Linnaeus) Bory
Thallus berwarna kemerahan sampai ungu, kaku, cartilaginous (Gambar
62b). Melekat dengan holdfast discoid yang rata. Percabangan alternate, terete,
ditutupi oleh tonjolan yang berduri (Prud’homme van Reine & Trono 2001).
Actinoritchia fragilis (Forsskål) Børgesen
125
Thallus bulat mengeras, permukaan kasar, membentuk rumpun rimbun
dengan percabangan dichotomous (Gambar 62c). Melekat pada substrat dengan
holdfast yang kecil berbentuk cakram. Warna merah muda, orange atau kadang-
kadang pirang (Atmadja 1996b).
Amphiroa fragilissima (Linnaeus) Lamouroux
Tumbuhan berwarna merah ungu, pirang atau krem. Substansi calcareous,
mudah patah (getas), kaku (Gambar 62d), percabangan beraturan baik
dichotomous maupun trichotomous, kadang dengan percabangan adventitif
(Atmadja 1996b; Jha et al. 2009)
Gambar 62 Makroalgae merah (Rhodophyta) yang dijumpai di daerah padang
lamun. (a) Acanthophora spicifera (b) Acanthophora muscoides, (c)
Actinoritchia fragilis, (d) Amphiroa fragilissima
Eucheuma denticulatum (N.L. Burman) Collins
Algae ini berwarna coklat tua, hijau kecoklatan atau bahkan merah
keunguan. Thallusnya berbentuk silindris, bersifat kartilaginous dengan
permukaan yang licin (Gambar 63a). Sepanjang thallus terdapat duri-duri yang
126
tumbuh berderet melingkari thallus dengan interval yang bervariasi (Sze 1993).
Merupakan tumbuhan perennial dengan thallus yang membentuk rumpun
caespitose yang keras. Cabang primer terete atau silindris (Prud’homme van
Reine & Trono 2001).
Pada tahun 1920-an, rumput laut E. denticulatum yang berasal dari pantai
Sulawesi Selatan dan pulau-pulau sekitarnya telah diekspor ke China
(Prud’homme van Reine & Trono 2001).
Eucheuma serra J. Agardh
Thallus gepeng, prostrate, berwarna merah atau merah pucat, pinggir
bergerigi, permukaan licin, cartilaginous (Gambar 63b). Aksis utama terete pada
bagian basal. Percabangan berselang-seling tidak beraturan dan membentuk
rumpun yang rimbun (Atmadja 1996b; Prud’homme & Trono 2001).
Kappaphycus alvarezii (Doty) Doty ex P. Silva
Thallus silindris, berwarna hijau, hijau kekuningan, abu-abu atau merah.
Permukaan licin, cartilaginous (Gambar 63c). Penampakan thalli bervariasi mulai
dari bentuk sederhana sampai kompleks. Percabangan ke berbagai arah dengan
batang-batang utama keluar saling berdekatan di daerah basal (pangkal). Cabang-
cabang pertama dan kedua tumbuh membentuk rumpun yang rimbun (Atmadja
1996b; Jha et al. 2009).
Gelidiella acerosa (Forsskål) J. Feldmann & G. Hamel
Thallus silindris, cartilaginous dengan percabangan tidak teratur yang
keluar dari stolon. Thallus mempunyai ranting-ranting pendek (ramuli) yang
tumbuh berderet sebelah menyebelah pada percabangan (Gambar 63d). Thallus
berwarna hijau kecoklatan, kuning kehijauan atau kuning keemasan (Atmadja
1996b; Jha et al. 2009).
127
Gambar 63 Makroalgae merah (Rhodophyta) yang dijumpai di daerah padang
lamun. (a) Eucheuma denticulatum (b) Eucheuma serra, (c)
Kappaphycus alvarezii, (d) Gelidiella acerosa
Gracilaria coronopifolia J Agardh
Thallus silindris, licin, berwarna coklat kehijauan atau coklat kekuningan
(pirang), menempel pada substrat dengan cakram kecil (Gambar 64a).
Percabangan dichotomous berulang-ulang. Umumnya rimbun pada porsi bagian
atas rumpun (Atmadja 1996b).
Gracilaria salicornia (C. Agardh) Dawson
Thallus berwarna merah kecoklatan atau merah kekuningan, melekat
dengan cakram kecil, thallus rimbun dengan percabangan tidak beraturan, aksis
silindris, cabang bagian bawah juga silindris, tidak berkurang pada bagian basal,
cabang bagian atas berkurang di bagian bawah, clavate memanjang, membengkak
pada bagian apeks (Gambar 64b) yang menunjukkan depresi apikal, satu atau dua
sub-cabang berasal dari depresi ini (Jha et al. 2009)
Hypnea esperi Bory
128
Thallus berwarna merah kehijauan, melekat menggunakan holdfast
discoid, aksis bercabang 2 – 3 kali, cabang dan sub-cabang tersusun rapat pada
aksis, ditutupi oleh duri kecil (Gambar 64c) (Jha et al. 2009).
Hypnea cervicornis J. Agardh
Thallus silindris, berwarna kuning pucat atau kuning hijau, panjang
merumbai, berduri-duri halus (Gambar 64d). Percabangan tidak teratur,
membentuk rumpun yang rimbun sehingga tampak menggumpal (Atmadja
1996b). Alga ini melekat dengan holdfast discoid pada cangkang, potongan
karang atau batu kerikil, atau kadang juga bersifat epifit. Percabangannya padat
dan terete, secara tidak beraturan dichotomous-divaricate. Percabangan lateral
yang terakhir banyak, pendek, filiform, lonjong sampai titik yang tajam, kadang-
kadang bercabang dua (Trono & Ganzon-Fortes 1988).
Laurencia papillosa (C. Agardh) Greville
Thallus berwarna merah gelap atau merah kecoklatan, kaku, melekat
dengan holdfast discoid (Gambar 64e); banyak aksis yang kaku berasal dari
holdfast, aksis bercabang tidak beraturan, cartilaginous (Jha et al. 2009). Secara
radial tersusun atas baris longitudinal yang teratur pada percabangan sekunder
dan tersier, tidak beraturan pada bagian bawah thallus, menurun panjangnya dari
dasar ke ujung percabangan (Trono & Ganzon-Fortes 1988).
129
Gambar 64 Makroalgae merah (Rhodophyta) yang dijumpai di daerah padang
lamun. (a) Gracilaria coronopifolia (b) Gracilaria salicornia, (c)
Hypnea esperi, (d) Hypnea cervicornis, (e) Laurencia papillosa
Kategori Lifeform Makroalgae
Pada habitat padang lamun, baik dasar (pasir, lumpur, batuan maupun
pecahan karang) serta lamun sendiri merupakan substrat untuk makroalgae
(Verheij & Erftemeijer 1993; Sidik et al. 2001).
Tabel 26 Kategori lifeform setiap jenis makroalgae yang ditemukan di Pulau
Barranglompo
Spesies Makroalgae Lifeform Boodlea composita epilithik
Chlorodesmis fastigiata epilithik
Halimeda macroloba epipelik
Halimeda opuntia epipelik
Dictyota bartayresiana epipelik/efifit
Rosenvingea intricata epipelik/efifit
Hormophysa triquetra epilithik
Padina australis epipelik/epilithik
Sargassum crassifolium epilithik/drift
Sargassum polycistum epilithik/drift
Turbinaria ornata epilithik
Acanthophora muscoides epipelik/epilithik
130
Acanthophora spicifera epipelik/epilithik
Actinoritchia fragilis epipelik/epilithik
Euchema denticulatum epipelik/epilithik
Euchema serra epipelik/epilithik
Gelidiella acerosa epilithik
Gracilaria coronopifolia epipelik/epilithik
Gracilaria salicornia epipelik/epilithik
Hypnea esperi epilithik/efifit
Hypnea cervicornis Epipelik/epilithik/efifit
Laurencia papillosa Epipelik/epilithik
Tabel 27 Kategori lifeform setiap jenis makroalgae yang ditemukan di Pulau
Bonebatang
Spesies Makroalgae Lifeform Chlorodermis fastigiata epilithik
Halimeda macroloba epipelik
Halimeda opuntia epipelik
Neomeris annulata epilithik
Dictyota bartayresiana epipelik + efifit
Hormophysa triquetra epilithik
Hydroclathrus clathratus epipelik/epilithik/efifit
Padina australis epipelik
Rosenvingea intricata epilithik/efifit
Sargassum binderi epilithik
Sargassum crassifolium epilithik
Sargassum polycistum epilithik
Turbinaria conoides epilithik
Turbinaria ornata epilithik
Acanthophora spicifera epipelik/epilithik/efifit
Actinoritchia fragilis epipelik/epilithik
Amphiroa fragilissima epipelik/epilithik
Gracilaria coronopifolia epipelik/epilithik
Hypnea esperi epilithik/efifit
Kappaphycus alvarezii epipelik/epilithik
Berdasarkan kategori lifeformnya (Tabel 26 dan 27), makroalgae yang
ditemukan baik di Pulau Barranglompo maupun Pulau Bonebatang menunjukkan
kesamaan yaitu didominasi oleh kategori epilithik (litofitik) yang ditemukan
melekat pada batu atau karang mati dan juga epipelik (rhizofitik) yang melekat
pada pasir atau lumpur di daerah padang lamun. Komunitas makroalgae yang
didominasi oleh kelompok epilithik juga dijumpai di Taman Nasional Similajau
di Sarawak, Malaysia (Harah et al. 2006).
Kelimpahan Makroalgae di Daerah Padang Lamun
131
Frekuensi Braun Blanquet
Frekuensi jenis-jenis makroalgae di kedua pulau cukup rendah. Hal itu
menunjukkan bahwa makroalgae tersebar mengelompok (patchy). Dari 22 spesies
yang ditemukan di daerah padang lamun Pulau Barranglompo, hanya 6 spesies
yaitu B. composita, D. bartayresiana, R. intricata, A. spicifera, G. acerosa dan L.
papillosa yang terdapat di semua stasiun yang diamati, sedangkan di Pulau
Bonebatang hanya 3 spesies yang terdapat di semua stasiun yaitu S. crassifolium,
A. fragilis dan H. esperi (Tabel 28).
Tabel 28 Frekuensi Braun Blanquet makroalgae di Pulau Barranglompo dan
Pulau Bonebatang
Spesies Barranglompo Bonebatang
A B C A B C
Boodlea composita 0.11 0.11 0.22 - - -
Chlorodesmis fastigiata 0.11 0.11 - 0.11 - 0.11
Halimeda macroloba - 0.11 - - 0.11 0.11
Halimeda opuntia 0.11 0.11 - - 0.33 -
Neomeris annulata - - - - 0.22 -
Dictyota bartayresiana 0.22 0.33 0.11 - 0.22 -
Hormophysa triquetra 0.11 - - - 0.11 -
Hydroclathrus clathratus - - - - - 0.11
Padina australis 0.11 0.11 - 0.22 0.11 -
Rosenvingea intricata 0.11 0.11 0.11 - - 0.11
Sargassum binderi - - - - 0.11 0.11
Sargassum crassifolium - 0.22 0.11 0.11 0.22 0.44
Sargassum polycistum 0.11 - 0.11 - 0.22 0.22
Turbinaria conoides - - - - 0.11 0.11
Turbinaria ornata - - 0.11 0.11 0.11 -
Acanthophora spicifera 0.11 0.44 0.22 0.11 0.22 -
Acanthophora muscoides - 0.11 - - - -
Actinoritchia fragilis - 0.11 0.11 0.11 0.11 0.33
Amphiroa fragilissima - - - 0.11 - 0.11
Euchema denticulatum - - 0.11 - - -
Euchema serra - 0.11 0.11 - - -
Gelidiella acerosa 0.11 0.22 0.11 - - -
Gracilaria coronopifolia - 0.22 0.22 - 0.11 0.22
Gracilaria salicornia - - 0.11 - - -
Hypnea esperi - 0.11 - 0.11 0.11 0.11
Hypnea cervicornis - 0.11 0.11 - - -
Kappaphycus alvarezii - - - - 0.11 -
Laurencia papillosa 0.22 0.22 0.11 - - -
Kelimpahan (Abundance)
132
Spesies dengan kelimpahan tertinggi di Pulau Barranglompo adalah L.
papillosa, sedangkan di Pulau Bonebatang, A. spicifera memiliki kelimpahan
tertinggi meskipun tidak dijumpai di stasiun C (Tabel 29). Secara umum,
kelimpahan makroalgae di Pulau Barranglompo lebih tinggi dibandingkan dengan
Pulau Bonebatang. Genus Laurencia sering dijumpai dalam kelimpahan yang
tinggi seperti didapatkan di Teluk Awerange Kabupaten Barru (Ilyas & Amri
2006).
Tabel 29 Kelimpahan Braun Blanquet makroalgae di Pulau Barranglompo dan
Pulau Bonebatang
Spesies Barranglompo Bonebatang
A B C A B C
Boodlea composita 1 1 2 - - -
Chlorodesmis fastigiata 2 2 - 2 - 2
Halimeda macroloba - 2 - - 2 2
Halimeda opuntia 2 2 - - 2 -
Neomeris annulata - - - - 1 -
Dictyota bartayresiana 2.5 2.7 3 - 2 -
Hormophysa triquetra 2 - - - 2 -
Hydroclathrus clathratus - - - - - 3
Padina australis 2 2 - 2 2 -
Rosenvingea intricata 2 3 3 - - 3
Sargassum binderi - - - - 2 2
Sargassum crassifolium - 2 2 2 2 2
Sargassum polycistum 2 - 2 - 2 2
Turbinaria conoides - - - - 2 2
Turbinaria ornata - - 2 2 2 -
Acanthophora spicifera 3 3.25 2 4 3 -
Acanthophora muscoides - 2 - - - -
Actinoritchia fragilis - 2 2 2 2 2
Amphiroa fragilissima - - - 2 - 2
Euchema denticulatum - - 2 - - -
Euchema serra - 1 2 - - -
Gelidiella acerosa 3 2 3 - - -
Gracilaria coronopifolia - 2 2 - 3 2.5
Gracilaria salicornia - - 2 - - -
Hypnea esperi - 2 - 2 2 2
Hypnea cervicornis - 2 2 - - -
Kappaphycus alvarezii - - - - 2 -
Laurencia papillosa 3 5 5 - - -
Kerapatan (density)
133
Jenis-jenis makroalgae yang ditemukan di kedua pulau memperlihatkan
variasi antar stasiun. Di Pulau Barranglompo, L. papillosa, A. spicifera dan D.
bartayresiana merupakan spesies dengan kerapatan tertinggi. Ketiganya sama-
sama memiliki kerapatan tertinggi di stasiun B. Sementara itu, spesies
makroalgae dengan kerapatan tertinggi di Pulau Bonebatang adalah S.
crassifolium, A. fragilis dan A. spicifera.
Tabel 30 Kerapatan Braun Blanquet makroalgae di Pulau Barranglompo dan
Pulau Bonebatang
Spesies Barranglompo Bonebatang
A B C A B C
Boodlea composita 0.11 0.11 0.44 - - -
Chlorodesmis fastigiata 0.22 0.22 - 0.22 - 0.22
Halimeda macroloba - 0.22 - - 0.22 0.22
Halimeda opuntia 0.22 0.22 - - 0.67 -
Neomeris annulata - - - - 0.22 -
Dictyota bartayresiana 0.56 0.89 0.33 - 0.44 -
Hormophysa triquetra 0.22 - - - 0.22 -
Hydroclathrus clathratus - - - - - 0.33
Padina australis 0.22 0.22 - 0.44 0.22 -
Rosenvingea intricata 0.22 0.33 0.33 - - 0.33
Sargassum binderi - - - - 0.22 0.22
Sargassum crassifolium - 0.44 0.22 0.22 0.44 0.89
Sargassum polycistum 0.22 - 0.22 - 0.44 0.44
Turbinaria conoides - - - - 0.22 0.22
Turbinaria ornata - - 0.22 0.22 0.22 -
Acanthophora spicifera 0.33 1.44 0.22 0.44 0.67 -
Acanthophora muscoides - 0.22 - - - -
Actinoritchia fragilis - 0.22 0.22 0.22 0.22 0.67
Amphiroa fragilissima - - - 0.22 - 0.22
Euchema denticulatum - - 0.22 - - -
Euchema serra - 0.11 0.22 - - -
Gelidiella acerosa 0.33 0.44 0.33 - - -
Gracilaria coronopifolia - 0.44 0.44 - 0.32 0.56
Gracilaria salicornia - - 0.22 - - -
Hypnea esperi - 0.22 - 0.22 0.22 0.22
Hypnea cervicornis - 0.22 0.22 - - -
Kappaphycus alvarezii - - - - 0.22 -
Laurencia papillosa 0.67 1.11 0.56 - - -
Biomassa Makroalgae pada Habitat Padang Lamun di Pulau Barranglompo
dan Pulau Bonebatang
134
Nilai biomassa (gram bobot kering/m2) dari 22 spesies makroalgae yang
ditemukan di Pulau Barranglompo ditampilkan pada Gambar 65. Lima spesies
makroalgae yang memiliki biomassa terbesar adalah Laurencia papillosa (17.37 g
bk/m2), Acanthophora spicifera (10.47 g bk/m
2), Eucheuma serra (5.25 g bk/m
2),
Rosenvingea intricata (4.31 g bk/m2), dan Dictyota bartayresiana (4.16 g bk/m
2).
Sedangkan makroalgae dengan biomassa terendah dijumpai pada Hypnea asperi
(0.4 g bk/m2).
Gambar 65 Biomassa (g bobot kering/m
2) spesies makroalgae yang dijumpai
di daerah padang lamun Pulau Barranglompo
Spesies makroalgae yang memiliki biomassa terbesar di Pulau
Bonebatang (Gambar 66) adalah Actinoritchia fragilis (14.57 g bk/m2), disusul
oleh jenis Halimeda macroloba (6.71 g bk/m2), Turbinaria ornata (5.67 g bk/m
2),
Amphiroa fragilissima (5.19 g bk/m2), dan Sargassum crassifolium (4.57 g
1.68
2.11
1.8
2.43
4.16
0.69
0.85
4.31
2.27
2.12
1.6
10.47
1.17
2.68
1.97
5.25
2.33
2.85
1.45
0.4
1.92
17.37
0 5 10 15 20
Boodlea composita
Chlorodesmis fastigiata
Halimeda macroloba
Halimeda opuntia
Dictyota bartayresiana
Hormophysa triquetra
Padina australis
Rosenvingea intricata
Sargassum crassifolium
Sargassum polycistum
Turbinaria ornata
Acanthophora specifera
Acanthophora muscoides
Actinoritchia fragilis
Euchema denticulatum
Euchema serra
Gelidiella acerosa
Gracilaria coronopifolia
Gracilaria salicornia
Hypnea asperi
Hypnea cervicornis
Laurencia papillosa
Biomassa (g BK/m2)
135
bk/m2). Sedangkan spesies dengan biomassa terendah adalah Neomeris annulata
(0.07 g bk/m2). Rendahnya biomassa jenis ini karena memiliki lifeform yang
menempel pada batuan atau karang mati (Jha et al. 2009), sehingga tidak begitu
banyak dijumpai di daerah padang lamun.
Variasi spasio-temporal biomassa makroalgae berkaitan dengan banyak
faktor, misalnya di Teluk Cienfuegos, Kuba berkaitan dengan sifat substrat,
variasi iklim atau pengaruh musim, karakteristik hidrodinamika dan pengaruh
pencemaran perairan (Moreira et al. 2006).
Gambar 66 Biomassa (g bobot kering/m
2) spesies makroalgae yang dijumpai
di daerah padang lamun Pulau Bonebatang
Beberapa kajian ekologi makrofita menggunakan biomassa sebagai
indikator dampak disturbansi lingkungan seperti eutrofikasi terhadap komunitas
makrofita. Eutrofikasi menyebabkan munculnya spesies yang bersifat
oportunistik dan nitrophilous (Orfanidis et al. 2003; Moreira et al. 2006). Hal ini
tampak dari hasil yang diperoleh dalam penelitian ini yang memperlihatkan
perbedaan komposisi makroalgae antara Pulau Barranglompo dan Bonebatang.
0.43
6.71
1.71
0.07
0.41
1.29
1.87
0.8
0.86
3.72
4.57
3.04
4.51
5.67
2.56
14.57
5.19
2.68
2.18
1.55
0 2 4 6 8 10 12 14 16
Chlorodesmis fastigiata
Halimeda macroloba
Halimeda opuntia
Neomeris annulata
Dictyota bartayresiana
Hormophysa triquetra
Hydroclathrus clathratus
Padina australis
Rosenvingea intricata
Sargassum binderi
Sargassum crassifolium
Sargassum polycistum
Turbinaria conoides
Turbinaria ornata
Acanthophora specifera
Actinoritchia fragilis
Amphiroa fragilissima
Gracilaria coronopifolia
Hypnea asperi
Kappaphycus alvarezii
Biomassa (g BK/m2)
136
Spesies yang memiliki biomassa terbesar di Pulau Barranglompo adalah spesies
oportunistik yang tumbuh pada kondisi lingkungan yang agak tercemar atau
mengalami pengayaan nutrien (Bab 6). Sebagai akibat dari pengayaan nutrien,
makroalgae berbentuk filamen dan lembaran yang tumbuh cepat mempunyai
biomassa yang besar (Flindt et al. 1999). Lima jenis makroalgae yang memiliki
biomassa terbesar di Pulau Barranglompo termasuk dalam kategori bentuk
makroalgae ini.
Asosiasi Lamun-Makroalgae
Salah satu teknik yang dapat digunakan untuk mendeteksi hubungan
antara dua spesies adalah dengan metode presence-absence (Ludwig & Reynolds
1988). Berdasarkan hasil perhitungan struktur komunitas padang lamun dan hasil
pengamatan kelimpahan makroalgae di Pulau Barranglompo, empat jenis lamun
(C. rotundata, E. acoroides, H. uninervis dan T. hemprichii) dan empat jenis
makroalgae (A. spicifera, D. bartayresiana, G. coronopifolia, dan L. papillosa)
dipasangkan untuk melihat asosiasinya (Tabel 31). Terdapat asosiasi positif
antara pasangan lamun C. rotundata dan T. hemprichii dan dua pasangan
makroalgae yaitu A. spicifera-L. papillosa dan D. bartayresiana-L. papillosa,
sedangkan asosiasi negatif dijumpai pada pasangan lamun E. acoroides dengan
H. uninervis dan antara H. uninervis dengan T. hemprichii (Gambar 67).
Tabel 31 Asosiasi lamun dan makroalgae di Pulau Barranglompo.
Kombinasi a E(a) 2hit Jenis asosiasi
CR-EA 15 14.44 (0.01) NA
CR-HU 3 3.33 0.10 NA
CR-TH 15 12.78 5.87*
Positif
EA-TH 23 22.15 (1.02) NA
EA-HU 5 5.78 (9.81**
) Negatif
HU-TH 4 5.11 (4.41*) Negatif
CR-As 5 3.89 0.96 NA
CR-Lp 3 2.78 0.05 NA
CR-Db 2 3.33 1.54 NA
CR-Gc 2 2.22 0.02 NA
EA-As 7 6.74 (0.31) NA
EA-Lp 5 4.81 (0.68) NA
EA-Db 6 5.78 (0.46) NA
EA-Gc 4 3.85 (1.02) NA
137
HU-As 2 1.78 0.05 NA
HU-Lp 2 1.11 1.12 NA
HU-Db 2 1.33 0.11 NA
HU-Gc 2 0.89 (0.63) NA
TH-As 7 5.96 1.64 NA
TH-Lp 5 4.26 (0.11) NA
TH-Db 4 4.26 (1.12) NA
TH-Gc 3 3.41 (1.91) NA
As-Lp 4 1.48 7.47**
Positif
As-Db 3 1.78 1.54 NA
As-Gc 1 1.04 0.00 NA
Lp-Db 3 1.11 5.07*
Positif
Lp-Gc 1 0.74 (0.11) NA
Db-Gc 1 0.89 (0.26) NA Keterangan: Nilai
2 yang diberi tanda kurung menunjukkan nilai yang telah dikoreksi dengan
Formula Yate. NA = jenis asosianya tidak dihitung karena memiliki nilai 2 yang tidak signifikan.
* = berbeda nyata pada taraf uji 5 %, ** = berbeda nyata pada taraf uji 1 %. CR = Cymodocea
rotundata EA = Enhalus acoroides HU = Halodule uninervis TH = Thalassia hemprichii As =
Acanthophora spicifera Db = Dictyota bartayresiana Gc = Gracilaria coronopifolia Lp =
Laurencia papillosa
C. rotundata
E. acoroides
H. uninervis
+ T. hemprichii
A. spicifera
D. bartayresiana
G. coronopifolia
+ + L. papillosa
Gambar 67 Matriks asosiasi lamun dan makroalgae di Pulau Barranglompo
138
Analisis lamun dan makroalgae di Pulau Bonebatang (Tabel 32)
memasangkan empat spesies lamun yang sama jenisnya seperti di Pulau
Barranglompo dan empat jenis makroalgae (A. spicifera, A. fragilis, G.
coronopifolia, dan S. crassifolium). Asosiasi positif makrofita di Pulau
Bonebatang hanya dijumpai pada pasangan lamun C. rotundata-H. uninervis,
sedangkan asosiasi negatif dijumpai pada empat pasangan silang lamun-
makroalgae yaitu C. rotundata-A. spicifera, C. rotundata-A. fragilis, T.
hemprichii-G. coronopifolia, dan T. hemprichi-S. crassifolium (Gambar 68).
Tabel 32 Asosiasi lamun dan makroalgae di Pulau Bonebatang.
Kombinasi a E(a) 2hit Jenis asosiasi
CR-EA 13 14.78 3.25 NA
CR-HU 15 12.59 4.79* Positif
CR-TH 17 16.89 (0.27) NA
EA-HU 12 14.00 3.86 Negatif
EA-TH 18 18.67 (2.95) NA
HU-TH 17 16.00 1.69 NA
CR-As 1 2.11 (4.67)* Negatif
CR-Af 1 3.52 7.47** Negatif
CR-Gc 2 1.41 (0.02) NA
CR-Sc 6 4.93 1.07 NA
EA-As 2 2.33 (1.51) NA
EA-Af 5 3.89 1.75 NA
EA-Gc 2 2.33 (1.51) NA
EA-Sc 5 5.44 0.22 NA
HU-As 2 2.00 0.00 NA
HU-Af 2 3.33 1.96 NA
HU-Gc 1 2.00 1.69 NA
HU-Sc 3 4.67 2.41 NA
TH-As 3 2.67 (0.01) NA
TH-Af 5 4.44 (0.01) NA
TH-Gc 2 2.67 (5.17)* Negatif
TH-Sc 5 5.96 (5.83)* Negatif
As-Af 0 0.56 (2.77) NA
As-Gc 0 0.33 (2.64) NA
As-Sc 0 0.59 (3.09) NA
Af-Gc 0 0.44 (2.65) NA
Af-Sc 2 1.56 0.22 NA
Gc-Sc 2 0.78 (1.02) NA
139
Keterangan: Nilai 2 yang diberi tanda kurung menunjukkan nilai yang telah dikoreksi dengan
Formula Yate. NA = jenis asosianya tidak dihitung karena memiliki nilai 2 yang tidak
signifikan. * = berbeda nyata pada taraf uji 5 %, ** = berbeda nyata pada taraf uji 1 %. CR =
Cymodocea rotundata EA = Enhalus acoroides HU = Halodule uninervis TH = Thalassia
hemprichii As = Acanthophora spicifera Af = Actinorithchia fragilis Gc = Gracilaria
coronopifolia Sc = Sargassum crassifolium
C.rotundata
E. acoroides
+ H. uninervis
T. hemprichii
A. spicifera
A. fragilis
G. coronopifolia
S. crassifolium
Gambar 68 Matriks asosiasi lamun dan makroalgae di Pulau Bonebatang
Asosiasi atau hubungan antara dua spesies dapat berupa asosiasi positif,
negatif atau tidak ada hubungan. Asosiasi positif terjadi apabila antara kedua
spesies memerlukan suatu kondisi yang sama atau adanya predator terhadap
keduanya. Sebaliknya, asosiasi negatif terjadi jika keduanya memerlukan kondisi
yang berbeda atau bersaing satu sama lainnya (Ludwig & Reynolds 1988).
Indeks Ochiai
Hasil perhitungan asosiasi pasangan spesies makrofita menggunakan
Indeks Ochiai mendapatkan nilai berkisar 0.19-0.94 di Pulau Barranglompo,
sedangkan di Pulau Bonebatang, didapatkan nilai berkisar 0.0-0.82. Kebanyakan
pasangan makrofita menunjukkan asosiasi yang rendah dan sangat rendah di
kedua pulau (Tabel 33 dan 34 serta Lampiran 8).
140
Tabel 33 Persentase kategori nilai indeks asosiasi delapan spesies lamun dan
makroalgae dominan di Pulau Barranglompo
No. Indeks
Asosiasi
Kategori Jumlah
Kombinasi
Persentase
(%)
1. 0.75 – 1.00 Sangat tinggi 3 10.71
2. 0.49 – 0.74 Tinggi 5 17.86
3. 0.23 – 0.48 Rendah 16 57.14
4. ≤ 0.22 Sangat rendah 4 14.29
Indeks Ochiai merupakan salah satu indeks yang banyak dipakai untuk
mengukur derajat asosiasi (Ludwig & Reynolds 1988). Satuan sampling dan
frekuensi kejadian pada penggunaan Indeks Ochiai tidak memberikan pengaruh
yg mencolok terhadap hasil perhitungan (Jackson et al. 1989).
Tabel 34 Persentase kategori nilai indeks asosiasi delapan spesies lamun dan
makroalgae dominan di Pulau Bonebatang
No. Indeks
Asosiasi
Kategori Jumlah
Kombinasi
Persentase
(%)
1. 0.75 – 1.00 Sangat tinggi 4 14.29
2. 0.49 – 0.74 Tinggi 4 14.29
3. 0.23 – 0.48 Rendah 12 42.86
4. ≤ 0.22 Sangat rendah 8 28.57
Indeks Evaluasi Ekologi Makrofita di Pulau Barranglompo dan Pulau
Bonebatang
Berdasarkan status ekologisnya, dari 22 spesies yang ditemukan di daerah
padang lamun Pulau Barranglompo, sebanyak 8 spesies termasuk dalam
kelompok ESG I dan 14 spesies yang termasuk ESG II (Tabel 35).
Tabel 35 Pembagian spesies makroalgae di Pulau Barranglompo ke dalam
kelompok status ekologi (Ecological Status Group-ESG) I dan II
Spesies Kelompok Status Ekologi (ESG)
141
Chlorophyta
Boodlea composita II
Chlorodermis fastigiata II
Halimeda macroloba I
Halimeda opuntia I
Phaeophyta
Dictyota bartayresiana II
Hormophysa triquetra I
Padina australis I
Rosenvingea intricata II
Sargassum crassifolium I
Sargassum polycistum I
Turbinaria ornata I
Rhodophyta
Acanthophora muscoides II
Acanthophora spicifera II
Actinoritchia fragilis I
Euchema denticulatum II
Euchema serra II
Gelidiella acerosa II
Gracilaria coronopifolia II
Gracilaria salicornia II
Hypnea esperi II
Hypnea cervicornis II
Laurencia papillosa II
Berbeda dengan Pulau Barranglompo, spesies yang termasuk dalam
kategori ESG I di Pulau Bonebatang lebih banyak dibandingkan dengan kategori
II (Tabel 36). Terdapat 12 spesies ESG I dan 8 spesies ESG II.
Tabel 36 Pembagian spesies makroalgae di Pulau Bonebatang ke dalam
kelompok status ekologi (Ecological Status Group-ESG) I dan II
Spesies Kelompok Status Ekologi (ESG)
Chlorophyta
Chlorodermis fastigiata II
Halimeda macroloba I
142
Halimeda opuntia I
Neomeris annulata I
Phaeophyta
Dictyota bartayresiana II
Hormophysa triquetra I
Hydroclathrus clathratus II
Padina australis I
Rosenvingea intricata II
Sargassum binderi I
Sargassum crassifolium I
Sargassum polycistum I
Turbinaria conoides I
Turbinaria ornata I
Rhodophyta
Acanthophora spicifera II
Actinoritchia fragilis I
Amphiroa fragilissima I
Gracilaria coronopifolia II
Hypnea esperi II
Kappaphycus alvarezii II
Komposisi jenis makroalgae di Pulau Barranglompo dan Pulau
Bonebatang, secara jelas menunjukkan bahwa di Pulau Barranglompo, proporsi
makroalgae yang bersifat oportunistik (ESG II) jauh lebih besar dibandingkan
dengan yang ada di Pulau Bonebatang (Tabel 37). Hal itu merupakan indikasi
adanya perubahan komposisi jenis makroalgae akibat tekanan antropogenik
(Orfanidis et al. 2001; 2003). Penyebab utama perubahan dan suksesi makrofita
ini adalah meningkatnya pasokan nutrien terutama nitrogen (Viaroli et al. 2008).
Peningkatan nutrien dapat memicu pertumbuhan spesies makroalgae oportunistik
yang memiliki pertumbuhan cepat (Flindt et al. 1999; Samper-Villarreal et al.
2008).
Tabel 37 Nilai tutupan makrofita laut (lamun dan makroalgae) setiap kelompok
status ekologi pada setiap stasiun di Pulau Barranglompo dan
Bonebatang
143
Lokasi
Kelompok
Status
Ekologi
Stasiun Rata-
Rata A B C
Barranglompo I 59.53 57.55 56.41 57.83
II 22.20 54.40 34.80 37.13
Bonebatang I 73.67 76.23 70.17 73.36
II 8.40 17.70 17.20 14.43
Berdasarkan nilai kelompok status ekologi di atas, didapatkan nilai IEE di
Pulau Barranglompo sebesar 6.67 (kategori sedang), sedangkan di Pulau
Bonebatang sebesar 10 (sangat bagus). Nilai IEE ini mengindikasikan bahwa
perairan Pulau Barranglompo sudah mengalami pencemaran meskipun masih
ringan. Hal ini diperkuat oleh hasil pengukuran nutrien (Bab 5) dan nilai
kekeruhan dan padatan tersuspensi total (Bab 6). Parameter-parameter ini dapat
memicu pertumbuhan makroalgae oportunistik yang bisa menjadi kompetitor
lamun.
Pada padang lamun alami, penutupan lamun yang tinggi sering diiringi
oleh kepadatan makroalgae yang rendah dengan jumlah spesies yang lebih
sedikit, sebaliknya pada habitat yang tercemar atau mengalami stres,
keanekaragaman mungkin berkurang, tetapi kemungkinan muncul spesies tertentu
yang memiliki kelimpahan dan biomassa yang tinggi (Verheij & Erftemeijer
1993; Sidik et al. 2001).
Invasi makroalgae ke daerah padang lamun dapat mengurangi tutupan
lamun. Di daerah Mediterrania, pergantian lamun oleh alga hijau oportunis dari
marga Caulerpa menyebabkan penurunan lamun yang luas (Hendriks et al.
2009).
Indeks Similaritas (IS)
Nilai Indeks Similaritas antar stasiun penelitian berkisar 47-77%.
Similaritas tertinggi sebesar 77% dijumpai antara stasiun BLB-BLC, sedangkan
nilai similaritas terendah sebesar 47% adalah antara stasiun BLA-BBC. Nilai
indeks similaritas ini mengindikasikan bahwa nilai kesamaan antar stasiun di
144
pulau yang sama lebih tinggi bila dibandingkan dengan stasiun pada pulau yang
berbeda.
Berdasarkan tingkat kemiripan vegetasi (Tabel 24), sebanyak 6.7%
pasangan stasiun yang memiliki kemiripan sangat tinggi, 80% dikategorikan
tinggi dan 13.3% yang tergolong rendah.
Tabel 38 Indeks similaritas dan disimilaritas makrofita antar stasiun di Pulau
Barranglompo dan Pulau Bonebatang. BL = Pulau Barranglompo,
BB = Pulau Bonebatang, A,B,C = stasiun.
Sta
I N D E K S S I M I L A R I T A S (IS)
BLA BLB BLC BBA BBB BBC
BLA 0.70 0.62 0.48 0.59 0.47
BLB 0.30 0.77 0.59 0.65 0.62
BLC 0.38 0.23 0.56 0.58 0.59
BBA 0.52 0.41 0.44 0.69 0.58
BBB 0.41 0.35 0.42 0.31 0.70
BBC 0.53 0.38 0.41 0.42 0.30
I N D E K S D I S I M I L A R I T A S (ID)
Indeks similaritas (Indeks Sorensen) merupakan salah satu indeks yang
secara konsisten memiliki ranking yang tinggi dan korelasi linear (Boyce &
Ellison 2001), namun indeks ini hanya menggunakan data biner (kehadiran dan
ketidakhadiran) spesies dan tidak menghitung kelimpahan spesies. Oleh karena
itu, indeks ini tidak menginformasikan pola ekologi yang sebenarnya dalam data
(Balmer 2002).
Simpulan
1. Terdapat 22 spesies makroalgae di Pulau Barranglompo, sedangkan di Pulau
Bonebatang terdapat 20 spesies yang dijumpai selama penelitian.
2. Kebanyakan makroalgae yang ditemukan hidup sebagai epilithik (litofitik)
dan epipelik (rhizofitik).
3. Di Pulau Barranglompo dijumpai asosiasi positif antara pasangan
Cymodocea rotundata-Thalassia hemprichii, Acanthophora spicifera-
Laurencia papillosa, dan Dictyota bartayresiana-Laurencia papillosa,
sedangkan asosiasi negatif didapatkan pada dua pasangan yaitu Enhalus
acoroides-Halodule uninervis dan Thalassia hemprichii-Halodule uninervis.
145
4. Di Pulau Bonebatang, asosiasi positif dijumpai pada pasangan C. rotundata-
H. uninervis saja, sedangkan asosiasi negatif dijumpai pada beberapa
pasangan yaitu. C. rotundata-A.spicifera, C. rotundata-Actinoritchia fragilis,
E. acoroides-H. uninervis, T. hemprichii-Gracilaria coronopifolia, dan T.
hemprichii-Sargassum crassifolium.
5. Sementara itu, untuk menguji fungsi makrofita sebagai bioindikator
perubahan ekosistem akibat tekanan antropogenik, didapatkan bahwa Pulau
Barranglompo memiliki status ekologi sedang, yang berarti sudah mulai
tercemar oleh aktivitas antropogenik dan Pulau Bonebatang memiliki status
ekologi sangat bagus yang mengindikasikan bahwa perairan di pulau ini
relatif belum tercemar.
6. Indeks similaritas tertinggi dijumpai antar stasiun pada pulau yang sama,
sehingga disimpulkan bahwa pulau yang berbeda memiliki konfigurasi
makroalgae yang berbeda dan sangat dipengaruhi oleh aktivitas antropogenik
yang berlangsung di pulau-pulau tersebut.
146
9. POTENSI GRAZING BULU BABI PADA EKOSISTEM
PADANG LAMUN DI PULAU BARRANGLOMPO DAN
BONEBATANG
Abstrak
Bulu babi merupakan salah satu pemakan lamun yang menonjol. Untuk
mengkaji potensi bulu babi sebagai pemakan lamun, sebuah penelitian telah
diadakan pada dua pulau di Kepulauan Spermonde yaitu Pulau Barranglompo dan
Pulau Bonebatang. Kombinasi pengamatan di lapangan dan analisis laboratorium
dilaksanakan untuk meneliti beberapa aspek yang meliputi komposisi jenis,
kepadatan, diameter cangkang dan analisis isi perut. Terdapat 6 jenis bulu babi
yang sama pada masing-masing pulau yaitu Diadema setosum, Echinothrix
calamaris, Echinothrix diadema, Echinometra mathaei, Mespilia globulus dan
Tripneustes gratilla. T. gratilla dan D. setosum merupakan dua jenis bulu babi
yang dominan dan memiliki kepadatan tertinggi di kedua pulau. Lamun Thalassia
hemprichii dan Enhalus acoroides memiliki komposisi terbesar dalam isi
lambung bulu babi yang diamati. Indeks pilihan masing-masing jenis bulu babi
mengindikasikan bahwa bulu babi menyukai berbagai jenis lamun, terutama T.
hemprichii.
Kata kunci: bulu babi, lamun, Barranglompo, Bonebatang
Abstract
Sea urchins are among outstanding grazer to seagrass leaves. In order to
analyze the potency of sea urchins as seagrass grazer, a study has been done in
two small islands within Spermonde Archipelago i.e. Barranglompo and
Bonebatang Islands. Combined field sampling and laboratory analysis were
applied to measure several aspects including species composition, urchin density,
test diameter and gut content analysis. There were six similar species found in
both islands i.e. Diadema setosum, Echinothrix calamaris, Echinothrix diadema,
Echinometra mathaei, Mespilia globulus and Tripneustes gratilla. T. gratilla and
D. setosum were two dominant species having the highest density in both islands.
Index of Preponderance revealed that Thalassia hemprichii and Enhalus
acoroides were the largest seagrass diet within almost all sea urchin guts.
Electivity index indicated that sea urchins prefer several seagrass species
especially T. hemprichii.
Keywords: sea urchins, seagrass, Barranglompo, Bonebatang
Pendahuluan
Hewan herbivora sering memberikan pengaruh yang besar terhadap
produktivitas dan kelimpahan tumbuhan pada lingkungan perairan (Valentine &
Heck 1999). Secara teoritis, peningkatan diversitas herbivora akan mengurangi
147
biomassa komunitas tumbuhan karena banyak biota pemangsa yang akan
mendominasi sistem sehingga mengarah ke pemangsaan berlebih atau
overgrazing (Duffy et al. 2003).
Di antara semua fauna invertebrata, bulu babi (Echinoidea) merupakan
pemangsa (grazer) lamun yang paling menonjol. Kadang-kadang populasinya
cukup besar untuk mengkonsumsi proporsi lamun yang besar (Klumpp et al.
1989). Perhatian besar telah diberikan terhadap bulu babi yang memakan lamun
(Christie et al. 2009).
Bulu babi dapat dijumpai sangat melimpah pada padang lamun, dimana
mereka memakan daun-daun epifit segar, detritus atau kombinasi dari keduanya.
Bulu babi ungu Lythecinus variegatus di Teluk Mexico memotong-motong daun
lamun sehingga meninggalkan banyak daerah-daerah gundul (Hogarth 2007).
Dampak grazing bulu babi terhadap pertumbuhan dan kelimpahan lamun
Thalassia testudinum di Florida Keys, Amerika Serikat sangat bervariasi
tergantung musim dan kondisi faktor lingkungan (Valentine et al. 2000).
Grazing oleh bulu babi Tripneustes gratilla terhadap lamun
Thalassodendron ciliatum telah diteliti oleh Alcoverro dan Mariani (2002) di
Kenya. Mereka menggunakan penelitian eksperimental dan penelitian lapangan
deskriptif untuk menguji pengaruh aggregasi bulu babi yang padat terhadap
padang lamun di Lagoon Mombasa. Mereka menemukan bahwa 39% lamun
Thalassodendron ciliatum mengalami grazing berat (> 75% tegakan mati), 23.4%
mengalami grazing sedang (> 50% tegakan mati), dan 38.5% mengalami grazing
ringan (19.8% tegakan yang mati). Dari model sederhana yang dibuatnya,
mereka mendapatkan waktu pulih lamun ini adalah 44 bulan.
Penelitian mengenai grazing bulu babi Tripneustes gratilla pada tiga jenis
lamun yaitu Thalassia hemprichii, Halodule uninervis dan Cymodocea rotundata
di Pulau Bonebatang, kepulauan Spermonde telah dilakukan oleh Vonk et al.
(2008). Mereka menemukan bahwa total konsumsi Tripneustes gratilla pada
kepadatan 1.55 ± 0.07 bulu babi/m2 sekitar 1,28 berat kering/m
2/hari setara
dengan 26 % produksi bersih lamun di atas permukaan substrat. Mereka
menyimpulkan bahwa peningkatan grazing Tripneustes gratilla hanya
mempengaruhi kerapatan tegakan di atas permukaan substrat untuk Halodule
148
uninervis dan Cymodocea rotundata saja dan tidak mempengaruhi Thalassia
hemprichii.
Grazing langsung makrofita (lamun dan makroalgae) oleh fauna herbivora
dapat mengindikasikan transfer karbon dan energi yang signifikan dalam rantai
makanan (Alongi 1998). Grazing oleh bulu babi juga memiliki peran ekologis
dalam mengontrol ketebalan algae. Hal ini terbukti setelah terjadinya penurunan
populasi bulu babi Diadema antillarum di Karibia akibat kematian massal tahun
1983. Pada daerah-daerah yang telah habis bulu babinya, ketebalan pada algae
meningkat dari 1-2 mm ke 20-30 mm (Karleskint et al. 2010). Pada daerah yang
lamunnya berkurang akibat grazing yang intensif oleh bulu babi, algae epifit yang
bersifat oportunistik akan berkembang. Hal ini akan memberi lamun kesempatan
untuk pulih (Tewfik et al. 2005).
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji potensi grazing oleh bulu babi pada
daerah padang lamun yang ada di pulau dengan tekanan antropogenik yang
berbeda. Dua pulau dalam kawasan Kepulauan Spermonde dipilih yaitu Pulau
Barranglompo yang memiliki penduduk yang sangat padat dan Pulau Bonebatang
yang tidak berpenghuni.
Bahan dan Metode
Penelitian ini berlangsung dari bulan Mei 2010 – Mei 2011 di Pulau
Barranglompo (5o 02’ 44.28‖- 5
o 03’ 05.65‖ S, 119
o 19’ 38.56‖- 119
o 19’ 52.27‖
E) dan Pulau Bonebatang (5o 00’ 47.46‖- 5
o 00’ 51.82 S, 119
o 19’ 35.55‖- 119
o
19’ 36.71‖ E) yang termasuk dalam Kepulauan Spermonde Provinsi Sulawesi
Selatan. Peta kedua pulau ini dapat dilihat pada Gambar 6 (Bab 4).
Sebaran dan Kepadatan Bulu Babi (Echinoidea)
Pengamatan terhadap populasi bulu babi Echinoidea dilakukan bersamaan
dengan pengambilan data bioekologi lamun. Untuk menghitung kepadatan bulu
babi ini, digunakan plot kuadrat (3m x 3m) yang dipasang secara acak pada
daerah lamun mulai dari pinggir pantai sampai kedalaman dimana lamun masih
tumbuh. Jenis bulu babi yang didapatkan dalam plot kuadrat, didentifikasi
jenisnya berdasarkan Clark (1971) dan Grzimek et al. (1974). Diameter cangkang
149
(test) jenis-jenis bulu babi yang dijumpai di dalam kuadrat juga diukur
menggunakan mistar geser (Gambar 69).
Gambar 69 Pengukuran diameter cangkang bulu babi menggunakan mistar geser.
Foto diambil saat penelitian
Analisis Isi perut (Gut Content Analysis)
Sampel bulu babi dipecahkan cangkangnya untuk melihat jenis-jenis
makanan yang dikonsumsinya. Isi lambung dan usus dimasukkan ke dalam botol
sampel dan difiksasi dengan alkohol 70 % (Zupo et al. 2001). Untuk
mempermudah identifikasi jenis-jenis makanan bulu babi tersebut digunakan
mikroskop stereo (Leica Wild Heerbrugg M-8).
Analisis Data Grazing Bulu Babi
Untuk menganalisis jenis-jenis makanan utama bulu babi, digunakan
indeks bagian terbesar atau Index of Preponderance (Natarajan & Jhingran 1961
diacu Kumar et al. 2007).
IP =
( ) x 100
IP = Indeks bagian terbesar
Vi = Persentase volume satu macam makanan
Oi = Persentase frekuensi kejadian satu macam makanan
∑Vi.Oi = Jumlah Vi.Oi dari semua macam makanan
150
Untuk menganalisis preferensi jenis-jenis bulu babi terhadap makanan
berupa lamun dan makroalgae, digunakan indeks pilihan atau Electivity Index
(Straus 1979; Lechowicz 1982).
E =
E = Indeks Pilihan
ri = Kelimpahan relatif jenis makanan i dalam lambung
pi = Kelimpahan relatif makanan i di lingkungan
Nilai indeks ini berkisar antara -1 sampai +1, dimana nilai mendekati +1
menunjukkan bahwa lamun lebih melimpah dalam kandungan diet (lebih
disukai), sedangkan nilai mendekati -1 berarti lamun lebih melimpah di alam tapi
tidak dalam diet (dihindari). Nilai E = 0 menunjukkan bahwa makanan yang
dikonsumsi bersifat proporsional dengan ketersediaannya di alam (Straus 1979;
Vanderploeg & Scavis 1979; Lyimo et al. 2011).
Uji t-test digunakan untuk membandingkan kepadatan dan diameter test
populasi bulu babi antar lokasi penelitian (Pulau Barranglompo dan Bonebatang).
Sedangkan korelasi linier antara kerapatan lamun (Bab 5) dengan kepadatan bulu
babi dianalisis menggunakan Korelasi Pearson Product-Moment. Kedua analisis
ini menggunakan perangkat lunak Statistica 6.0.
Hasil dan Pembahasan
Komposisi Jenis Bulu Babi
Terdapat 6 jenis bulu babi yang ditemukan pada daerah padang lamun
baik di Pulau Barranglompo maupun Bonebatang (Tabel 39 dan Gambar 70).
Tabel 39 Komposisi jenis Bulu Babi di Pulau Barranglompo dan Pulau
Bonebatang
Ordo Famili Marga dan Spesies
Diadematoida Diadematidae Diadema setosum (Leske, 1778)
Echinothrix calamaris (Pallas, 1774)
Echinothrix diadema (Linnaeus, 1758)
Echinoida Echinometridae Echinometra mathaei (De Blainville,
1825)
Temnopleuroida Temnopleuroidae Mespilia globulus (Linnaeus 1758)
Toxopneustidae Tripneustes gratilla (Linnaeus, 1758)
151
Gambar 70 Jenis-jenis bulu babi yang terdapat di Pulau Barranglompo dan Pulau
Bonebatang. (a) Diadema setosum; (b) Tripneustes gratilla;
(c) Echinothrix calamaris; (d) Echinothrix diadema; (e)
Echinometra mathaei; (f) Mespilia globulus
152
Bulu babi yang ditemukan merupakan kelompok reguler (regular
urchins), selain itu, bulu babi juga ditemukan dalam bentuk irreguler yang terdiri
atas heart urchin (Spatangoida) dan sand dollar (Clypeasteroida). Bulu babi
hidup pada kisaran yang luas mulai dari daerah pasang surut hingga kedalaman
5000 m (Miskelly 2002).
Di daerah padang lamun, bulu babi dapat hidup soliter atau hidup
mengelompok tergantung jenis dan habitatnya (Aziz 1994). Dari semua jenis
bulu babi yang ditemukan di kedua pulau, Tripneusies gratilla dan Diadema
setosum hidup mengelompok, sedangkan keempat jenis lain hidup menyendiri.
Jenis T. gratilla memiliki duri pendek dengan warna yang bervariasi, umumnya
merah keunguan atau putih, sedangkan D. setosum berwarna hitam dengan duri
yang panjang. Selain T. gratilla, jenis bulu babi yang mempunyai duri pendek
adalah Mespilia globulus.
Kepadatan Bulu Babi
Tripneustes gratilla merupakan jenis bulu babi yang mempunyai
kepadatan tertinggi dibandingkan dengan jenis lain yang ditemukan baik di Pulau
Barranglompo ataupun Pulau Bonebatang (Tabel 40 dan Gambar ). Di Pulau
Barranglompo spesies ini memiliki kepadatan 1.37 ± 0.96 individu/m2, sedangkan
di Pulau Bonebatang sebesar 1.57 ± 0.15 individu/m2. Di Pulau Bonebatang ini,
Vonk et al. (2008) menemukan kepadatan yang hampir sama dengan yang
didapatkan pada penelitian ini yaitu 1.55 ± 0.07 individu/m2. Kepadatan yang
hampir sama (1.6 individu/m2) ditemukan oleh Alcoverro & Mariani (2002) di
daerah padang lamun di Kenya pada komunitas bulu babi yang didominasi oleh T.
gratilla. Komunitas bulu babi yang didominasi oleh T. gratilla juga ditemukan
oleh Dobo (2009) di Pulau Hatta, Kepulauan Banda, Maluku.
Bulu babi jenis T. gratilla di Pulau Barranglompo memiliki variabilitas
sebaran yang tinggi dibandingkan dengan Pulau Bonebatang. Hal itu disebabkan
karena melimpahnya jenis ini di stasiun yang berada di sisi utara pulau. Namun,
uji statistik menunjukkan bahwa kepadatan semua jenis bulu babi tidak berbeda
nyata antara kedua pulau (Tabel 40).
153
Tabel 40 Kepadatan Bulu babi rata-rata setiap stasiun (Individu/m2) di Pulau
Barranglompo dan Pulau Bonebatang
Spesies Barranglompo Bonebatang
p A B C A B C
D. setosum 1.67 1.27 0.89 1.42 1.33 1.09 0.9897ns
E. calamaris 0.11 0.25 0.14 0.10 0.32 0.31 0.2300ns
E. diadema 0.09 0.07 0.05 0.06 0.12 0.14 0.2643ns
E. mathaei 0.02 0.02 0.19 0.04 0.11 0.07 0.9145ns
M. globulus 0.05 0.26 0.07 0.10 0.75 0.51 0.05417ns
T. gratilla 0.43 2.35 1.33 1.44 1.73 1.53 0.6671ns
Keterangan: ns = tidak berbeda nyata
Kepadatan dua jenis bulu babi dominan di Pulau Barranglompo dan Pulau
Bonebatang yaitu T. gratilla dan D. setosum (Gambar 71) lebih tinggi
dibandingkan dengan yang ditemukan di Bali dan Pulau Padaido (Tabel 41)
(Dobo 2009). Begitupula dengan E. matthaei yang meskipun populasinya di
kedua pulau lokasi penelitian ini cukup rendah, namun memiliki kepadatan yang
masih lebih tinggi dibanding di Pulau Padaido (Dobo 2009). Jenis ini memang
lebih banyak ditemukan pada cangkang ataupun pecahan karang di daerah
terumbu karang sehingga populasinya di daerah padang lamun rendah.
Gambar 71 Kepadatan Bulu Babi rata-rata (individu/m
2 ± sd) di Pulau
Barranglompo dan Pulau Bonebatang Individu/m2
-0.50
0.00
0.50
1.00
1.50
2.00
2.50
Kep
ad
ata
n B
ulu
Ba
bi
(In
div
idu
/m2)
Spesies Bulu Babi
Barranglompo
Bonebatang
154
Tabel 41 Kepadatan beberapa jenis bulu babi di berbagai lokasi di Indonesia
(Dobo 2009)
Jenis Lokasi Kepadatan
(Individu/m2)
Sumber
Tripneustes gratilla Bali 0.02-1.2 Darsono & Sukarno (1993)
Tripneustes gratilla Padaido 0.003-0.021 Radjab (2004)
Diadema setosum Padaido 0.001-0.002 Radjab (2004)
Brissus latecarinatus Padaido 0.010 Radjab (2004)
Heterocentrotus
mammilatus
Padaido 0.001 Radjab (2004)
Echinometra mathaei Padaido 0.008 Radjab (2004)
Protoreaster gratiosa Padaido 0.001 Radjab (2004)
Echinoidea Spermonde 0.17-0.61 De Beer (1990)
Echinoidea Bunaken 0.17-0.61 Rondo (1992)
Diameter Cangkang Bulu Babi
Hasil pengukuran diameter cangkang (test) jenis-jenis bulu babi (Tabel 42
dan Gambar 72) menunjukkan bahwa diameter cangkang semua jenis bulu babi
tidak berbeda nyata antara kedua pulau. T. gratilla merupakan jenis yang
memiliki diameter cangkang rata-rata terbesar dibandingkan jenis-jenis lainnya.
Tabel 42 Diameter cangkang (cm ± sd) setiap jenis bulu babi di Pulau
Barranglompo dan Pulau Bonebatang
Spesies Barranglompo Bonebatang
p A B C A B C
D. setosum 4.70 ±
1.24
4.73 ±
1.35
4.30 ±
1.63
4.64 ±
0.91
4.78 ±
1.18
4.38 ±
1.32
0.4001ns
E. calamaris 5.49 ±
0.35
5.68 ±
0.52
5.59 ±
0.38
5.54 ±
0.29
5.63 ±
0.51
5.58 ±
0.50
0.9203ns
E. diadema 4.97 ±
0.66
4.94 ±
0.58
4.91 ±
0.56
4.92 ±
0.73
5.02 ±
0.75
5.08 ±
0.52
0.8918ns
E. mathaei 3.19 ±
0.04
3.28 ±
0.06
3.34 ±
0.30
3.03 ±
0.06
3.10 ±
0.27
3.13 ±
0.26
0.0567ns
M. globulus 2.79 ±
0.28
3.45 ±
0.34
2.92 ±
0.28
3.08 ±
0.33
3.38 ±
0.32
3.24 ±
0.29
0.4909ns
T. gratilla 5.96 ±
0.48
6.28 ±
0.49
5.65 ±
0.66
6.12 ±
0.40
6.45 ±
0.59
5.69 ±
0.69
0.0662ns
Keterangan: ns = tidak berbeda nyata
155
Studi sebelumnya oleh Tuwo (1995) di Pulau Kapoposan yang juga
termasuk dalam gugus Kepulauan Spermonde mendapatkan bahwa dari 230
individu T. gratilla yang diukur diameter cangkangnya pada 4 kohor, 85 %
diantaranya memiliki diameter rata-rata sebesar 6.12 ± 0.34. Nilai ini hampir
sama dengan nilai yang diperoleh dari kedua lokasi penelitian (Tabel 42).
Gambar 72 Diameter cangkang rata-rata (cm ± sd) setiap jenis bulu babi di Pulau
Barranglompo dan Pulau Bonebatang
Komposisi Makanan Bulu Babi
Nilai indeks bagian terbesar (preponderance index) menunjukkan bahwa
lamun jenis T. hemprichii dan E. acoroides merupakan bagian terbesar dalam
komposisi makanan keempat jenis bulu babi yang diamati (Gambar 73 dan 74).
Kasim (2009) juga mendapatkan bahwa kedua jenis lamun ini memiliki proporsi
terbesar dalam isi lambung bulu babi T. gratilla di Pulau Buton, Sulawesi
Tenggara masing-masing dengan persentase sebesar 55% dan 32%.
0.00
1.00
2.00
3.00
4.00
5.00
6.00
7.00
8.00
Dia
met
er T
est
(cm
)
Spesies Bulu Babi
Barranglompo
Bonebatang
156
Gambar 73 Persentase makanan rata-rata dalam lambung bulu babi berdasarkan
nilai indeks bagian terbesar (preponderance index) di Pulau
Barranglompo
Gambar 74 Persentase makanan rata-rata dalam lambung bulu babi berdasarkan
indeks bagian terbesar (preponderance index) di Pulau Bonebatang
157
Preferensi Makanan Bulu Babi
Nilai Indeks Pilihan (Tabel 43) digunakan untuk mengetahui preferensi
jenis-jenis bulu babi terhadap jenis makanan yang terdiri atas lamun dan
makroalgae.
Tabel 43 Nilai Indeks Pilihan (Electivity Index) empat jenis bulu babi terhadap
makanan lamun dan makroalgae di Pulau Barranglompo (BL) dan
Pulau Bonebatang (BB)
Jenis
makanan
D. setosum E. calamaris M. globulus T. gratilla
BL BB BL BB BL BB BL BB
C. rotundata 0.43 -0.04 0.30 -0.02 0.53 -0.07 0.30 -0.08
E. acoroides 0.15 0.49 -0.02 0.43 -0.33 0.22 -0.12 0.20
H. uninervis -0.01 -0.22 0.13 -0.18 0.39 0.15 0.02 0.00
H. ovalis 0.14 -0.04 -0.66 0.04 -0.54 0.11 0.18 0.04
S. isoetifolium 0.03 0.24 0.12 0.10 0.05 0.24 0.50 0.37
T. hemprichii 0.34 0.12 0.49 0.14 0.49 0.25 0.52 0.28
Makroalgae -0.55 -0.48 -0.59 -0.40 -0.69 -0.61 -0.60 -0.55
Kebiasaan makan bulu babi tergantung pada kombinasi dua faktor yaitu
ketersediaan makanan dan preferensi, dimana preferensi atau selektivitas
makanan mungkin disebabkan oleh nilai nutrisi suatu jenis makanan atau
kehadiran substansi kimia tertentu yang tidak disukai bulu babi (Beddingfield &
McClintock 1998; Lyimo et al. 2011).
Bulu babi lebih menyukai lamun dibandingkan dengan algae (Klumpp et
al. 1993; Aziz 1999). Lamun yang paling disukai oleh jenis T. gratilla di daerah
Bolinao, Filipina adalah jenis T. hemprichii (Klumpp et al. 1993). Analisis usus
bulu babi Tripneustes gratilla dan Salmacis sphaeroides menunjukkan bahwa
spesies-spesies ini secara efisien mencerna dan menyerap 60% lamun T.
hemprichii (Klump et al. 1993; Alongi 1998). Makroalgae dapat menghasilkan
senyawa kimia (senyawa sekunder) yang bersifat protektif (Lobban et al. 1997).
Sebagai contoh, jenis Sargassum dan Turbinaria umumnya memiliki zat kimia
yang disebut tannin yang mengakibatkan algae ini jadi keras dan sukar dicerna
(Aziz 1999). Penimbunan zat kapur pada Halimeda dan Coralline Algae juga
menyebabkan hewan herbivor sulit untuk mencerna jenis makroalgae ini (Hatta
158
1991). Selain secara kimia, secara morfologis makroalgae juga memiliki cara
adaptasi untuk tidak didekati oleh herbivor, misalnya dengan membentuk bagian-
bagian luar tubuhnya sedemikian rupa sehingga sulit didekati. Pembentukan
cabang-cabang kecil yang menyerupai duri pada Gelidiella acerosa dan
Acanthophora sp, bagian pinggir yang bergerigi pada Sargassum sp dan Caulerpa
serrulata, serta thalli yang bersudut tajam pada Turbinaria sp (Hatta 1991).
Laju pemangsaan bulu babi berlangsung cepat dan dalam proses makan ini
dibantu oleh bagian mulut yang telah terspesialisasi (Klumpp et al. 1989). Pada
bagian mulut bulu babi kelompok reguler terdapat membran peristome yang di
dalamnya terdapat organ yang disebut lentera aristoteles. Lentera aristoteles
merupakan organ yang terdiri atas gigi/rahang, tulang serta otot (Gambar 75).
Alat pemotong ini sangat rumit dibangun oleh 40 keping kerangka kapur yang
terdiri atas 5 pasang gigi, 10 keping demipyramid, 10 keping ephyphysis, 5
keping rotulae dan 5 keping compass dan digerakkan oleh sekitar 60 otot motoris
dengan fungsi yang berbeda-beda (Aziz 1987).
Gambar 75 Bagian dalam cangkang bulu babi Tripneustes gratilla yang dikoleksi
dari perairan Pulau Barranglompo. A. Lentera Aristoteles, b.
Potongan makanan. Inset adalah Lentera Aristoteles yang
diperbesar
159
Gambar 76 dan 77 memperlihatkan hasil uji korelasi Pearson Product
Moment untuk melihat korelasi antara kerapatan lamun dan kepadatan bulu babi
di Pulau Barranglompo dan Pulau Bonebatang. Secara teoritis, peningkatan
jumlah hewan herbivora akan mengurangi biomassa komunitas tumbuhan karena
banyaknya grazer yang akan datang mendominasi sistem sehingga akan mengarah
ke overgrazing (Duffy et al. 2003). Namun, hasil yang diperoleh dalam
penelitian ini menunjukkan korelasi yang lemah (Gambar 76 & 77). Di Pulau
Barranglompo terdapat korelasi negatif yang lemah (r = -0.2215), sedangkan di
Pulau Bonebatang terdapat korelasi positif yang lemah (r = 0.4957) (Reimann et
al. 2008).
Dengan demikian, meningkatnya jumlah tegakan lamun tidak selalu
diikuti dengan meningkatnya populasi bulu babi di Pulau Barranglompo dan
Pulau Bonebatang, begitu pula sebaliknya. Namun, korelasi negatif yang
signifikan antara kepadatan bulu babi dengan biomassa lamun, tinggi kanopi,
kerapatan tegakan dan persentase penutupan diamati oleh Mamboya et al. (2009)
di perairan Dar es Salaam, Tanzania yang mengindikasikan bahwa grazing bulu
babi berperan terhadap pengurangan biomassa di atas substrat pada lokasi dengan
kepadatan bulu babi yang tinggi.
160
Gambar 76 Korelasi antara kerapatan lamun dengan kepadatan bulu babi di Pulau
Barranglompo Selang kepercayaan 95%
Korelasi negatif antara kerapatan lamun dengan kepadatan bulu babi di
Pulau Barranglompo meskipun lemah, namun hal itu mengindikasikan bahwa
grazing di Pulau Barranglompo lebih intensif dibandingkan dengan Pulau
Bonebatang. Meningkatnya kadar nutrien dan tutupan epifit yang tinggi pada
lamun membuatnya lebih disukai oleh herbivora yang secara eksperimental
didapatkan memangsa lebih intensif pada kondisi seperti itu (McGlathery 1995).
Penelitian menunjukkan bahwa bulu babi berukuran kecil (diametet test
30 mm) dimangsa oleh predatornya seperti ikan predator dan gastropoda dengan
laju yang lebih cepat dibandingkan dengan bulu babi yang lebih besar dengan
diameter test antara 31-60 mm (Heck & Valentine 1995). Jadi pada ekosistem
padang lamun dapat terjadi keseimbangan antara populasi bulu babi dengan
kerapatan lamun karena bulu babi yang lebih muda (new recruits) dimangsa lebih
banyak oleh predatornya sehingga populasi bulu babi berkurang. Hal ini
menyebabkan lamun yang telah mengalami grazing dapat pulih kembali.
Peningkatan kerapatan lamun yang meningkat akan memberi bulu babi
perlindungan struktural dari pemangsanya. Hal ini pada akhirnya akan
meningkatkan lagi grazing lamun yang akan kembali mengurangi kerapatan
lamun.
Populasi bulu babi yang ada baik di Pulau Barranglompo dan Pulau
Bonebatang masih belum merupakan ancaman serius bagi vegetasi lamun yang
ada di pulau-tersebut. Penelitian eksperimental sebelumnya oleh Vonk et al.
(2008) menunjukkan bahwa bulu babi T. gratilla dapat mengurangi 74%
biomassa di atas substrat, namun tidak mempunyai pengaruh terhadap biomassa
di bawah substrat. Grazing yang tidak intensif hanya mengakibatkan
pengurangan biomassa di atas substrat, sehingga dapat pulih dengan cepat.
Namun, grazing yang sangat intensif dapat mengakibatkan lamun hilang secara
permanen (Heck & Valentine 1999). Pada berbagai wilayah telah dilaporkan
terjadinya ledakan populasi bulu babi yang cepat dengan kepadatan mencapai
500-600 individu/m2, mengakibatkan hilangnya daerah lamun yang luas bahkan
menghabiskan padang lamun yang ada (Heck & Valentine 1995; Mamboya et al.
161
2009). Oleh karena itu, pemantauan populasi bulu babi pada daerah padang
lamun perlu dilakukan secara periodik mengingat ledakan populasi bulu babi
dapat terjadi bila predatornya berkurang.
Gambar 77 Korelasi antara kerapatan lamun dengan kepadatan bulu babi di Pulau
Bonebatang
Simpulan
1. Terdapat 6 jenis bulu babi yang dijumpai di daerah padang lamun Pulau
Barranglompo dan Pulau Bonebatang yaitu Diadema setosum, Echinometra
mathaei, Echinothrix calamaris, Echinothrix diadema, Mespilia globulus,
dan Tripneustes gratilla.
2. T. gratilla dan D. setosum merupakan jenis bulu babi yang memiliki
kepadatan tertinggi di Pulau Barranglompo dan Pulau Bonebatang.
3. Thalassia hemprichii merupakan jenis lamun yang memiliki komposisi
terbesar dalam isi lambung bulu babi.
4. Nilai indeks pilihan mengindikasikan bahwa bulu babi menyukai beberapa
jenis lamun terutama T. hemprichii.
162
5. Populasi bulu babi yang ada saat ini belum merupakan ancaman serius
terhadap komunitas lamun di Pulau Barranglompo dan Bonebatang.
163
10. PEMBAHASAN UMUM
Padang lamun merupakan salah satu ekosistem penting baik secara
ekologi maupun ekonomi. Namun karena posisinya yang berada pada batas
antara ekosistem darat dan laut (Waycott et al. 2004) maka padang lamun
merupakan ekosistem yang mudah mengalami degradasi akibat pengaruh dari
kedua ekosistem yang mengapitnya tersebut (Green & Short 2003; Warry &
Hindell 2009). Secara global diperkirakan kehilangan areal padang lamun akibat
dampak langsung dan tidak langsung aktivitas antropogenik mencapai 33 000
km2 selama kurun waktu dua dasawarsa terakhir (Short & Wyllie-Echeverria
1996). Dengan demikian padang lamun yang tersisa saat ini di seluruh dunia
diprediksi seluas 177 000 km2 (Green & Short 2003).
Lamun tropis memiliki interaksi penting dengan mangrove dan terumbu
karang (Fortes 1990; Green & Short 2003; Short et al. 2007). Saat ini, ketiga
ekosistem laut tropis ini mengalami degradasi yang intensif akibat disturbansi
alami dan antropogenik (Short & Wyllie-Echeverria 1996). Degradasi atau
kehilangan salah satu ekosistem ini akan menyebabkan kerusakan bagi ekosistem
di laut secara keseluruhan (Fortes 1990). Gambar 78 menunjukkan interaksi
utama yang terjadi pada tiga ekosistem utama di daerah tropis. Interaksi tersebut
meliputi proses fisika, kimia, biologis maupun dampak antropogenik (Ogden &
Gladfelter 1983).
Salah satu interaksi antara ketiga ekosistem ini yang memperlihatkan
peningkatan intensitas adalah dampak antropogenik. Seiring dengan semakin
meningkatnya jumlah penduduk di daerah pantai terutama di pulau-pulau kecil,
maka pengaruh dari aktivitas antropogenik semakin potensial mempengaruhi
ekosistem yang ada di daerah pantai. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan
untuk mengkaji dampak aktivitas antropogenik tersebut terhadap kondisi nutrien
dan kualitas perairan yang pada akhirnya akan berdampak pada interaksi
organisme yang hidup berasosiasi pada daerah padang lamun.
164
Gambar 78 Jenis interaksi utama antara tiga ekosistem laut tropis (digambar ulang
dari Ogden & Gladfelter 1983)
Pulau Barranglompo dan Pulau Bonebatang dipilih sebagai lokasi
penelitian karena kedua pulau yang masuk dalam gugusan Kepulauan Spermonde
ini memiliki kondisi antropogenik yang berbeda. Pulau Barranglompo yang
memiliki luas hanya 20.64 ha ini telah dihuni oleh sekitar 5000 jiwa, sedangkan
Pulau Bonebatang tidak berpenghuni.
Penelitian ini mengkaji beberapa aspek meliputi: aktivitas antropogenik
yang terjadi di Pulau Barranglompo dan Pulau Bonebatang (Bab 4), dinamika
nutrien jaringan lamun dan kolom air (Bab 5), dampak aktivitas antropogenik
terhadap kualitas perairan (Bab 6), struktur komunitas padang lamun (Bab 7),
interaksi makrofita pada padang lamun (Bab 8), dan potensi grazing oleh bulu
babi (Bab 9). Tabel 44 merangkum hasil-hasil yang diperoleh dalam penelitian
ini.
165
Tabel 44 Rangkuman hasil-hasil yang diperoleh selama penelitian
Indikator Barranglompo Bonebatang
Aktivitas Antropogenik 9 2
Spesies Lamun 8 7
INP Lamun Tertinggi T. hemprichii (89.45),
E. acoroides (87.99)
T. hemprichii (92.95),
H. uninervis (77.63)
Indeks Luas Daun Rata-rata 2.62 ± 2.02 3.29 ± 1.26
Spesies Bulu Babi 6 6
Bulu Babi Dominan T. gratilla, D. setosum T. gratilla, D. setosum
Spesies Makroalgae 22 20
Lifeform Makroalgae epilithik, epipelik epilithik, epipelik
Asosiasi (+) Makrofita 3 1
Asosiasi (-) Makrofita 2 5
Status Ekologi Sedang Sangat Bagus
C rata-rata (% BK) 34.77 ± 2.41 34.62 ± 4.04
N rata-rata (% BK) 2.42 ± 0.22 1.75 ± 0.47
P rata-rata (% BK) 0.15 ± 0.02 0.14 ± 0.03
Rasio C:N 15.9 – 17.5 20.5 – 28.6
Rasio C:P 568 - 636 574 - 744
Rasio N:P 33 - 40 26 – 28
Stok Karbon E.acoroides
(ton/ha)
0.49 – 1.05 0.08 – 0.34
Klorofil a (mg/m3) 5.14 – 17.38 3.76 – 10.03
Nitrat Kolom Air (mg/l) 0.013 – 0.097 0.011 – 0.028
Fosfat Kolom Air (mg/l) 0.011 – 0.077 0.019 – 0.039
Suhu (oC)
29 - 32 29 - 32
Salinitas (o/oo) 29.5 - 32 29 - 31
Kekeruhan (NTU) 0.66 – 29.71 0.57 – 2.78
TSS (mg/l) 12.64 – 18.53 6.67 – 11.11
Kec. Arus (m/dt) 0.009 – 0.130 0.014 -0.126
Tinggi Gelombang (cm) 1.82 – 7.29 2.18 – 6.24
166
Sebanyak 9 jenis aktivitas masyarakat pulau yang terdapat di Pulau
Barranglompo, sedangkan di Pulau Bonebatang hanya 2 jenis aktivitas yang
ditemukan. Dari sejumlah aktivitas antropogenik yang terjadi di Pulau
Barranglompo, pembuangan sampah merupakan problem utama yang muncul
seiring meningkatnya jumlah penduduk di pulau kecil. Semakin hari sampah-
sampah tersebut akan semakin menumpuk karena banyak di antaranya yang
merupakan sampah anorganik yang butuh waktu yang lama untuk terurai. Tait &
Dipper (1998) memperkirakan waktu yang dibutuhkan oleh berbagai jenis
sampah untuk terurai (Tabel 45).
Tabel 45 Perkiraan skala waktu (maksimum) untuk penguraian sampah (Tait &
Dipper 1998)
Bahan Skala Waktu Penguraian (tahun)
Botol gelas 1 Juta (tak tersentuh)
Botol plastik Waktu tak terbatas
Kaleng aluminium 80 - 100
Kaleng timah (blek) 50
Kulit (sepatu) 50
Bahan nylon 30 – 40
Kertas film plastik 20 – 30
Kantong plastik 10 - 20
Kertas berplastik 5
Kain wol 1 – 5
Puntung rokok 1 – 5
Kulit jeruk dan pisang 2
Sampah yang menumpuk di pinggir pantai akan menyebabkan matinya
lamun yang ada di bawahnya. Hal itu menyebabkan lamun yang berukuran kecil
tidak dapat tumbuh dengan baik pada lokasi tersebut. E. acoroides merupakan
jenis lamun yang memiliki penutupan yang jauh lebih tinggi di Pulau
Barranglompo dibandingkan dengan Pulau Bonebatang. Hal tersebut disebabkan
ukuran jenis ini yang lebih besar dan dapat tumbuh pada lokasi dengan bioturbasi
yang berat (Kuriandewa et al. 2003).
Di Pulau Barranglompo terdapat 8 jenis lamun, sedangkan di Pulau
Bonebatang dijumpai 7 jenis (Bab 7dan Tabel 15). Di antara jenis lamun
tersebut, T. hemprichi dan E. acoroides mempunyai nilai indeks nilai penting
(INP) tertinggi di Pulau Barranglompo, sedangkan di Pulau Bonebatang, T.
167
hemprichii dan H. uninervis memiliki nilai yang tertinggi. T. hemprichii dan E.
acoroides merupakan spesies klimaks (Hemminga & Duarte 2000).
Hasil pengukuran nutrien menunjukkan bahwa konsentrasi nutrien
terutama nitrogen di Pulau Barranglompo lebih tinggi dibandingkan dengan Pulau
Bonebatang (Bab 5) mengindikasikan adanya pengayaan nutrien akibat aktivitas
pembuangan limbah baik cair maupun padat ke pantai di Pulau Barranglompo.
Bila tidak segera dicarikan solusinya, pengayaan nutrien ini dapat mengarah ke
eutrofikasi. Eutrofikasi merupakan penyebab degradasi padang lamun yang
paling banyak dilaporkan dan tentunya akan tetap merupakan ancaman serius
terhadap populasi lamun di masa datang (Short & Wyllie-Echeverria 1996;
Alongi 1998; Ralph et al. 2006). Ketersediaan nutrien bisa memiliki korelasi
positif dengan biomassa dan produktivitas lamun (Short et al 1990), namun
banyak penelitian yang mendapatkan bahwa meningkatnya pasokan nutrien pada
estuaria dan perairan pantai lebih merusak daripada menguntungkan lamun dan
perikanan yang didukungnya (Lapointe et al. 1994; Short et al. 1995; Ralph et al.
2006). Peningkatan nutrien akan memicu pertumbuhan produsen primer yang
mengarah pada perubahan komposisi spesies (Alongi 1998).
Padang lamun yang terekspos terhadap eutrofikasi memperlihatkan
indikator seperti tutupan algae epifit yang tinggi, kerapatan lamun yang rendah,
indeks luas daun yang rendah, dan biomassa yang rendah (Tomasko & Lapointe
1991; McGlathery 2001), meskipun mekanisme penurunan ini dapat bervariasi
baik secara spasial maupun temporal (Ralph et al. 2006). Nutrien yang tinggi
memicu proliferasi spesies yang berkembang dengan cepat termasuk fitoplankton,
epifit dan makroalgae oportunistik (Sand-Jensen & Borum 1991; McGlathery
2001) yang akan menghalangi penetrasi cahaya ke dalam kolom air sehingga
berkompetisi dengan lamun mendapatkan cahaya dan dapat menyebabkan
kematian akibat tertutupi oleh kompetitornya (Short et al. 1995; Hauxwell et al.
2001; Ralph et al. 2006). Hasil-hasil penelitian ini (Bab 7 dan 8) memperlihatkan
kecenderungan ke indikator di atas. Hal itu berarti bahwa pengayaan nutrien bisa
menjadi penyebab utama penurunan padang lamun di Pulau Barranglompo di
masa yang datang.
168
Dampak Aktivitas Antropogenik terhadap Komunitas Makrofita
Pengaruh tekanan aktivitas antropogenik terhadap komunitas makrofita
bentik disarikan oleh Orfanidis et al. (2001) dari berbagai literatur seperti
disajikan pada Tabel 46.
Aktivitas antropogenik akan meningkatkan konsentrasi nutrien terutama N
yang akan menstimulasi pertumbuhan makroalgae yang pada akhirnya dapat
mengurangi luas padang lamun (McGlathery 2001). Hal ini sejalan dengan
pengamatan Nierhuis (1983) diacu Young (2009) yang mendapatkan bahwa
kelimpahan lamun Zostera di barat daya estuaria Belanda menurun 50% antara
1978-1980 yang diakibatkan oleh kompetisi dengan makroalgae yang dipicu oleh
meningkatnya deposisi bahan organik di dasar setelah terjadi peningkatan
akumulasi nitrogen. Indikasi ini mulai terlihat di Pulau Barranglompo, dimana
tutupan lamun di pulau ini lebih rendah dari Pulau Bonebatang (Bab 7), namun
sebaliknya, makroalgae di Pulau Barranglompo lebih banyak dan memiliki
penutupan yang lebih luas dibandingkan dengan Pulau Bonebatang. Disamping
itu komposisi makroalgae di kedua pulau yang berbeda (Bab 8) menunjukkan
bahwa di Pulau Barranglompo telah terjadi perubahan (shift) makroalgae yang
terlihat dari proporsi makroalgae yang bersifat oportunistis (ESG II) jauh lebih
besar dibandingkan dengan yang ada di Pulau Bonebatang. Hal itu merupakan
indikasi adanya perubahan komposisi jenis makroalgae akibat tekanan
antropogenik (Orfanidis et al. 2001; 2003).
169
Tabel 46 Contoh dampak stres antropogenik terhadap komunitas makrofita laut
bentik (dikompilasi oleh Orfanidis et al. 2001).
Stres
Antropogenik
Makrofita
Bentik
Dampak Literatur
Eutrofikasi Lamun Penurunan luasan padang
lamun skala besar dan
regional, dominasi oleh
makroalga lembaran
(fleshy)
Larkum et al. (1989),
Hemminga & Duarte
(2000)
Makroalgae Dominansi oleh spesies
oportunistik, blooming
makroalgae, penurunan
keanekaragaman
Lazaridou et al.
(1997), Schramm
(1999), Lotze et al.
(1999), Lotze &
Schramm (2000)
Bahan Organik,
Siltasi
Lamun Penurunan tutupan padang
lamun melalui reduksi
cahaya dan akumulasi
bahan organik sedimen
Hemminga & Duarte
(2000)
Makroalgae Reduksi cahaya dan
alteration substrat keras
mempengaruhi struktur
komunitas
Lobban & Harrison
(1994)
Logam Berat Lamun Tidak ada dampak
langsung yang
terdokumentasi
Larkum et al. (1989)
Makroalgae Penghambatan reproduksi
dan perubahan struktur
komunitas
Lobban & Harrison
(1994), Coelho et al.
(2000), Crowe et al.
(2000)
Tumpahan
Minyak
Lamun Tidak ada dampak
langsung yang
terdokumentasi
Makroalgae Reduksi pertumbuhan
jangka pendek pada
spesies intertidal
Lobban & Harrison
(1994)
Pemanasan
Global
Lamun Perubahan dalam pola
distribusi
Hemminga & Duarte
(2000)
Makroalgae Perubahan dalam pola
distribusi
Breeman (1990),
Pakker & Breeman
(1994)
Peningkatan
Salinitas
Lamun Pergantian spesies lamun
dominan
Kamermans et al.
(1999)
Makroalgae Ekspansi lebih lanjut pada
ekosistem estuaria
Lobban & Harrison
(1994)
Perikanan Trawl Lamun Fragmentasi – penurunan
tutupan padang lamun
Sanchez-Jeres &
Ramos (1996), Blader
et al. (2000)
Makroalgae Kerusakan tegakan
sublitoral
Blader et al. (2000)
170
Status ekologi Pulau Barranglompo yang sudah tergolong kategori sedang
menunjukkan bahwa proporsi makroalgae yang bersifat oportunistis sudah
meningkat. Berdasarkan model konseptual (Gambar 79), status ekologi Pulau
Barranglompo yang dikategorikan sedang sudah mengarah ke dominansi bersama
lamun dan makroalgae, sedang di Pulau Bonebatang relatif masih didominasi oleh
lamun.
Gambar 79 Model konseptual perubahan keadaan stabil vegetasi makrofita bentik
melalui gradien eutrofikasi (status ekologi) pada perairan pantai. A.
konvensional B. Dinamis (Viaroli et al. 2008)
Hubungan makrofita dengan kualitas habitat di daerah padang lamun
Perubahan komposisi makrofita (lamun dan makroalgae) dapat
mempengaruhi kualitas habitat di daerah padang lamun. Misalnya, adanya
perbedaan tinggi, kekakuan dan kerapatan antara lamun dan makroalgae dapat
menyebabkan perubahan habitat dengan memodifikasi interaksi dasar laut dengan
faktor hidrodinamika yang mempengaruhi proses-proses kunci seperti resuspensi
sedimen dan penjebakan partikel (Hendriks et al. 2009).
171
Hasil pengukuran parameter kualitas air selama penelitian (Bab 6 dan
Tabel 44) menunjukkan bahwa nilai padatan tersuspensi total (TSS) dan
kekeruhan antara Pulau Barranglompo dan Pulau Bonebatang berbeda secara
nyata. Kedua parameter ini memang sangat dipengaruhi oleh input dari daratan
pulau akibat aktivitas antropogenik. Sementara parameter lain seperti suhu,
salinitas, kecepatan arus dan tinggi gelombang relatif tidak berbeda secara nyata.
Parameter-parameter ini memang hanya dipengaruhi oleh faktor yang bersifat
lebih global seperti letak geografis, iklim maupun jarak dari sungai dan
sebagainya. Sebagai contoh, arus yang didapatkan di kedua pulau mengikuti pola
umum arus lintas Indonesia (Arlindo) yang berasal dari perairan Samudera
Pasifik (Gordon 2005).
Resiliensi padang lamun terhadap disturbansi
Meskipun menghadapi berbagai macam tekanan (disturbansi), lamun
memiliki kemampuan untuk pulih dari tekanan tersebut. Lamun dapat mentolerir
disturbansi yang bersifat moderat melalui adaptasi morfologi dan fisiologi tapi
bila disturbansi cukup kuat, dapat menyebabkan berkurangnya areal padang
lamun. Pengurangan ini bias berupa penipisan padang lamun yang bisa pulih
melalui pertumbuhan klonal dari apeks rhizome yang mengelilinginya
(Hemminga & Duarte 2000).
Berdasarkan pemodelan diprediksi bahwa waktu pemulihan padang lamun
bervariasi tergantung spesies lamun. Waktu pulih untuk spesies yang tumbuh
cepat seperti Halophila, Syringodium dan Cymodocea cukup singkat. Bila
kebutuhan pertumbuhannya tersedia, spesies ini dapat pulih dalam setahun,
sebaliknya, spesies yang memiliki pertumbuhan lambat seperti Posidonia
oceanica dapat pulih dalam satu abad (Duarte 1995 diacu Hemminga & Duarte
2000). Jadi bila disturbansi yang terjadi pada spesies ini frekuensinya kurang dari
seabad, padang lamun ini tidak dapat pulih (Hemminga & Duarte 2000).
Biomassa lamun di bawah substrat jauh lebih besar dibandingkan dengan
biomassa di atas substrat (Duarte & Chiscano 1999). Dengan demikian, tidak
sama dengan kebanyakan spesies makroalgae dan fitoplankton yang semuanya
terekspos terhadap grazer yang memangsanya, lamun memiliki cadangan
172
penyimpanan atau tempat pengambilan nutrien yang berada di bawah substrat
yang tidak dijangkau oleh grazer. Hal ini menyebabkan lamun dapat bertahan
pada grazing yang intensif dan memungkinkan lamun cepat pulih ke kondisi
seperti yang tidak mengalami grazing (Valentine & Heck 1999).
Penelitian menunjukkan bahwa bulu babi berukuran kecil (diametet test
30 mm) dimangsa oleh predatornya seperti ikan predator dan gastropoda dengan
laju yang lebih cepat dibandingkan dengan bulu babi yang lebih besar dengan
diameter test antara 31-60 mm (Heck & Valentine 1995). Jadi pada ekosistem
padang lamun dapat terjadi keseimbangan antara populasi bulu babi dengan
kerapatan lamun karena bulu babi yang lebih muda (new recruits) dimangsa lebih
banyak oleh predatornya sehingga populasi bulu babi berkurang. Hal ini
menyebabkan lamun yang telah mengalami grazing dapat pulih kembali.
Peningkatan kerapatan lamun yang meningkat akan memberi bulu babi
perlindungan struktural dari pemangsanya. Hal ini pada akhirnya akan
meningkatkan lagi grazing lamun yang akan kembali mengurangi kerapatan
lamun.
Grazing berlebih (overgrazing) lamun oleh bulu babi dapat dipicu oleh
berkurangnya predasi oleh ikan akibat penangkapan ikan berlebih (overfishing)
dan eutrofikasi (Björk et al. 2008). Eutrofikasi dapat memicu konsumsi lamun
oleh hewan herbivora (McGlathery 1995). Namun, hasil penelitian untuk melihat
potensi grazing oleh bulu babi (Bab 9) tidak memperlihatkan hubungan yang kuat
antara kerapatan lamun dengan kepadatan bulu babi. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa keberadaan 6 jenis bulu babi di kedua pulau belum
merupakan ancaman serius terhadap vegetasi lamun.
Keterkaitan Aktivitas Antropogenik dengan Ekosistem Padang Lamun
Hasil-hasil yang diperoleh dari penelitian ini memberikan informasi
bahwa aktivitas antropogenik (Bab 4) yang terjadi pada dua pulau yang sangat
padat dan tidak berpenghuni dalam gugus Kepulauan Spermonde, telah
menunjukkan kondisi nutrien (Bab 5) dan kualitas air terutama kekeruhan dan
padatan tersuspensi total (Bab 6) yang berbeda. Perbedaan nutrien dan parameter
kualitas air ini mengarah ke perubahan komposisi makrofita dominan di kedua
173
pulau. Di Pulau Barranglompo, lamun E. acoroides memiliki nilai INP yang
tinggi (Bab 7), namun di Pulau Bonebatang, spesies ini memiliki nilai INP yang
sangat menurun. Hal ini disebabkan oleh kemampuan lamun E. acoroides untuk
hidup pada lingkungan yang mengalami bioturbasi yang berat (Kuriandewa et al.
2003). Hal ini terbukti dengan ditemukannya spesies ini pada daerah dekat garis
pantai yang dipenuhi oleh tumpukan sampah yang dibuang oleh penduduk pulau
Barranglompo.
Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa komposisi spesies
makroalgae (Bab 8) di kedua pulau berbeda. Pulau Barranglompo didominasi
oleh spesies oportunistik yang bisa hidup pada kondisi lingkungan yang
terdegradasi (Orfanidis et al. 2001). Indeks Evaluasi Ekologis juga menunjukkan
bahwa kondisi Pulau Bonebatang relatif masih alami dengan status ekologi sangat
bagus, sedangkan Pulau Barranglompo sudah mengalami perubahan dengan
status ekologi sedang.
Bab 9 menunjukkan bahwa belum tampak adanya dampak serius dari
perbedaan kondisi tekanan antropogenik terhadap tingkat grazing lamun dan
makroalgae oleh populasi bulu babi. Hal itu menunjukkan bahwa kepadatan bulu
babi di kedua pulau, belum merupakan ancaman bagi padang lamun di lokasi
penelitian ini.
Berdasarkan keseluruhan hasil yang diperoleh dalam penelitian ini,
tampak bahwa aktivitas antropogenik potensial mempengaruhi vegetasi lamun
dan biota yang berasosiasi dengannya melalui perubahan konsentrasi nutrien dan
nilai kualitas perairan. Oleh karena itu, direkomendasikan untuk melakukan
pemantauan terhadap aktivitas antropogenik yang terjadi terutama pada pulau-
pulau kecil yang memiliki keterbatasan lahan. Pemantauan dan sampling secara
berkala juga diperlukan untuk memantau populasi biota yang berasosiasi dengan
padang lamun, misalnya pemantauan terhadap tutupan makroalgae oportunistik
serta populasi bulu babi yang hidup di daerah padang lamun. Meskipun populasi
bulu babi belum merupakan ancaman serius terhadap vegetasi lamun di Pulau
Barranglompo dan Pulau Bonebatang, namun perlu terus diadakan pemantauan
mengingat populasi bulu babi dapat mengalami ledakan populasi yang bisa
menyebabkan intensitas grazing yang tinggi.
174
11. SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
1. Terdapat 9 jenis aktivitas yang teramati dilakukan oleh masyarakat di Pulau
Barranglompo, sedangkan di Pulau Bonebatang dijumpai 2 jenis aktivitas
antropogenik. Aktivitas-aktivitas ini potensial mempengaruhi pertumbuhan
dan kondisi ekosistem padang lamun di kedua pulau ini.
2. Lamun Enhalus acoroides di Pulau Barranglompo memiliki potensi stok
karbon berkisar 0.49 – 1.05 ton/ha, sedangkan di Pulau Bonebatang berkisar
0.08 – 0.34 ton/ha.
3. Konsentrasi nitrogen, rasio C:N dan N:P, serta nitrat kolom air yang tinggi di
Pulau Barranglompo mengindikasikan adanya pengayaan nutrien akibat
aktivitas antropogenik.
4. Dari semua parameter kualitas air yang diukur, hanya kekeruhan dan padatan
tersuspensi total yang berbeda secara nyata antara kedua pulau. Nilai
kekeruhan di Pulau Barranglompo telah melampaui nilai baku mutu air laut,
sedangkan di Pulau Bonebatang masih di bawah nilai baku tersebut.
Sementara itu, nilai padatan tersuspensi total di kedua pulau masih dalam
batas yang tidak berpengaruh terhadap biota laut.
5. Thalassia hemprichii dan Enhalus acoroides merupakan spesies dominan di
Pulau Barranglompo, sedangkan Pulau Bonebatang didominasi oleh T.
hemprichii dan Halodule uninervis.
6. Secara umum, daun lamun di Pulau Barranglompo relatif lebih panjang
dibandingkan dengan yang ada di Pulau Bonebatang. Hal itu disebabkan
karena nutrien di Pulau Barranglompo lebih tinggi akibat aktivitas
antropogenik.
7. Di Pulau Barranglompo dijumpai asosiasi positif antara pasangan Cymodocea
rotundata-Thalassia hemprichii, Acanthophora spicifera-Laurencia papillosa,
dan Dictyota bartayresiana-Laurencia papillosa, sedangkan asosiasi negatif
didapatkan pada dua pasangan yaitu Enhalus acoroides-Halodule uninervis
dan Thalassia hemprichii-Halodule uninervis.
175
8. Di Pulau Bonebatang, asosiasi positif dijumpai pada pasangan C. rotundata-
H. uninervis saja, sedangkan asosiasi negatif dijumpai pada beberapa
pasangan yaitu. C. rotundata-A.spicifera, C. rotundata-Actinoritchia fragilis,
E. acoroides-H. uninervis, T. hemprichii-Gracilaria coronopifolia, dan T.
hemprichii-Sargassum crassifolium.
9. Pulau Barranglompo memiliki status ekologi sedang dan Pulau Bonebatang
memiliki status ekologi sangat bagus yang menunjukkan bahwa telah terjadi
perubahan (shift) komposisi makrofita di Pulau Barranglompo akibat
meningkatnya aktivitas antropogenik.
10. T. gratilla dan D. setosum merupakan jenis bulu babi yang memiliki
kepadatan tertinggi di kedua pulau.
11. Nilai indeks pilihan mengindikasikan bahwa bulu babi menyukai beberapa
jenis lamun terutama T. hemprichii.
12. Populasi bulu babi yang ada di Pulau Barranglompo dan Pulau Bonebatang
belum menyebabkan penurunan padang lamun di kedua pulau.
Saran
Diperlukan upaya-upaya untuk meminimalisir dampak negatif yang
diakibatkan oleh aktivitas penduduk terhadap komunitas lamun dan biota yang
berasosiasi dengannya, misalnya:
1. pembuatan tempat pembuangan sampah atau instalasi pengolah limbah,
2. pengawasan terhadap aktivitas pengambilan karang dan pasir,
3. pembuatan jalur keluar masuknya perahu ke pantai.
4. transplantasi lamun pada areal yang dulunya pernah ditumbuhi lamun.
176
DAFTAR PUSTAKA
Alcoverro T, Mariani S. 2002. Effects of sea urchin grazing on seagrass
(Thalassodendron ciliatum) beds of a Kenyan lagoon. Mar Ecol Prog Ser
226: 255-263.
Alongi DM. 1998. Coastal Ecosystem Processes. Boca Raton: CRC Press.
Amin M, Flowers TH. 2004. Evaluation of Kjeldahl digestion method. J Res
(Science) Pakistan, 15(2): 159-179.
Arifin, La Nafie YA, Supriadi. 2004. Studi kondisi dan potensi ekosistem padang
lamun sebagai daerah asuhan berbagai jenis biota laut di perairan Pulau
Barranglompo, Makassar. Torani 14(5): 241-250.
Arifin, Supriadi. 2006. Kondisi padang lamun di perairan Pulau Sabangko,
Salemo dan Sagara Kabupaten Pangkep. Torani 16(2): 99-106.
Asmus H et al. 2006. Structure and Function of Tropical Seagrass Ecosystems in
the Spermonde Archipelago. Southeast Asia Coastal Governance and
Management Forum: Science Meet Policy for Coastal Management and
Capacity Building. Bali, 14-16 November 2006. SPICE/LOICS/
ATSEF/SEACORM.
Atkinson MJ, Smith SV. 1983. C:N:P ratios of benthic marine plants. Limnol
Oceanogr. 28(3): 568-574.
Atmadja WS. 1996a. Pengenalan jenis algae coklat (Phaeophyta). Di dalam:
Atmadja WS, Kadi A, Sulistijo, Rachmaniar, editor. Pengenalan Jenis-
Jenis Rumput Laut Indonesia. Jakarta: Puslitbang Oseanologi-LIPI. Hal 56-
78.
Atmadja WS. 1996b. Pengenalan jenis algae merah (Rhodophyta). Di dalam:
Atmadja WS, Kadi A, Sulistijo, Rachmaniar, editor. Pengenalan Jenis-
Jenis Rumput Laut Indonesia. Jakarta: Puslitbang Oseanologi-LIPI. Hal 79-
119.
Aziz A. 1987. Makanan dan cara makan berbagai jenis bulu babi. Oseana 12(4):
91-100.
Aziz A. 1994. Tingkah laku bulu babi di padang lamun. Oseana 19 (4): 35-43.
Aziz A. 1999. Biologi pakan: daya grazing, efisiensi asimilasi, preferensi dan
peranan bulu babi di padang lamun. Di dalam: Soemodihardjo S, Arinardi
OH, Aswandy I, editor. Dinamika Komunitas Biologis pada Ekosistem
Lamun di Pulau Lombok, Indonesia. Jakarta: Pusat Penelitian dan
Pengembangan Oseanologi, LIPI.
177
Azkab MH. 2002. Kajian sumberdaya lamun di perairan Sulawesi Utara. Di
dalam: Ruyitno, Aziz A, Pramudji, editor. Perairan Sulawesi dan
Sekitarnya. Biologi, Lingkungan dan Oseanografi. Jakarta: Pusat Penelitian
Oseanografi. hlm 171-178.
Baird ME, Middleton JH. 2004. On relating physical limits to the carbon:
nitrogen ratio of unicellular algae and benthic plants. J Mar System 49: 169-
175.
Bajracharya D. 2003. Experiments in Plant Physiology, A Laboratory Manual.
New Delhi: Narosa Publishing House.
Bakus GJ. 2007. Quantitative Analysis of Marine Biological Communities, Field
Biology and Environment. New Jersey: John Wiley and Sons, Inc.
Balmer O. 2002. Species lists in ecology and conservation: abundance matter.
Conser Biol 16: 1160-1161.
Beddingfield SD, McClintock JB. 1998. Differential survivorship, reproduction,
growth and nutrient allocation in the regular echinoid Lythechinus
variegatus (Lamarck) fed natural diets. J Exp Mar Biol Ecol 226: 195-215.
Biber PD. 2007. Transport and persistence of drifting macroalgae (Rhodophyta)
are strongly influenced by flow velocity and substratum complexity in
tropical seagrass habitats. Mar Ecol Prog Ser 343:115-122.
Björk M, Short F, Mcleod E, Beer S. 2008. Managing Seagrasses for Resilience
to Climate Change. Gland, Switzerland: IUCN Global Marine Programme.
Bold HC, Wynne MJ. 1985. Introduction to the Algae: Structure and
Reproduction. 2nd
Edition. New Jersey: Prentice Hall, Inc.
Boström C, Bonsdorff E. 2000. Zoobenthic community establishment and habitat
complexity—the importance of seagrass shoot-density, morphology and
physical disturbance for faunal recruitment. Mar Ecol Prog Ser 205:123–
138.
[BPS Makassar] Badan Pusat Statistik Makassar. 2010. Makassar Dalam Angka
2010. Makassar: BPS Makassar.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2011. Laporan Bulanan Data Sosial Ekonomi BPS
Maret 2011. Jakarta: BPS.
Breda NJJ. 2003. Ground-based measurements of leaf area index: a review of
methods, instruments and current controversies. J Exp Bot 54(392): 2403-
2417.
178
Brooks RA, Bell SS. 2001. Mobile corridors in marine landscapes: enhancement
of faunal exchange at seagrass/sand ecotones. J Exp Mar Biol Ecol 264:
67-84
Brower JE, Zar JH, von Ende CN. 1998. Field and Laboratory Methods for
General Ecology. 4th
edition. New York: McGraw-Hill Companies, Inc.
Brown CA. 2009. The effects of hydrodynamic factors on seagrasses. Di dalam:
Nelson WG, editor. Seagrasses and Protective Criteria: A Review and
Assessment of Research Status. Newport: National Health and Environment.
hlm 5.1-5.22.
Budimawan, Rani C, Amri K. 2008. Preference of fish community to natural and
artificial seagrass habitats in Barranglompo waters. Torani 18(2): 102-111.
Burkholder JM, Tomasko DA, Touchette BW. 2007. Seagrasses and
eutrophication. J Exp Mar Biol Ecol 350: 46-72.
Butler A, Jernakoff P. 1999. Seagrass in Australia. Collingwood, Victoria:
CSIRO Publishing.
Campbell SJ, McKenzie LJ, Kerville SP. 2006. Photosynthetic responses of seven
tropical seagrasses to elevated seawater temperature. J Exp Mar Biol Ecol
330: 455-468.
Carlton JT, Geller JB, Reaka-Kudla M, Norse EA. 1999. Historical extinction in
the sea. Annu Rev Ecol Syst 30:515-538.
Carpenter KE, Niem VH, editor. 1998. The Living Marine Resources of the
Western Central Pacific. Volume 1. Seaweeds, Corals, Bivalves and
Gastropods. Rome: Food & Agriculture Organization (FAO), South Pacific
Forum Fisheries Agency (FFA), Norwegian Agency for International
Development (NORAD).
Castro P, Huber ME. 2007. Marine Biology. 6th
Edition. Boston: McGraw Hill.
Christie H, Norderhaug KM, Fredriksen S. 2009. Macrophytes as habitat for
fauna. Mar Ecol Prog Ser 396:221-233.
Clark AM. 1971. Monograph of Indo-West Pacific Echinoderms. London: British
Museum of Natural History.
Clarke KR, Warwick RM. 1994. Change in Marine Communities: An Approach
to Statistical Analysis and Interpretation. Plymouth: Natural Environment
Research Council.
179
Clesceri LS, Greenberg AE, Eaton AD. 1998. Standard Methods for the
Examination of Water and Wastewater. Including Bottom Sediment and
Sludges. 20th
ed New York: American Public Health Asociation Inc.
Costanza R et al. 1997. The value of the world’s ecosystem services and natural
capital. Nature 387: 253-260.
Cummins SP, Roberts DE, Zimmerman KD. 2004. Effects of the green
macroalgae Enteromorpha intestinalis on macrobenthic and seagrass
assemblages in a shallow coastal estuary. Mar Ecol Prog Ser 266:77-87.
De Boer WF. 2007. Seagrass-sediment interactions, positive feedback, and
critical threshold for occurence: a review. Hydrobiologia, 591: 5-24.
Den Hartog C. 1977. Structure, function, and classification in seagrass
communities. Di dalam: McRoy CP, Helfferich C, editor. Seagrass
Ecosystems. A Scientific Perspective. New York: Marcel Dekker, Inc.
Den Hartog C, Kuo J. 2006. Taxonomy and biogeography of seagrasses. Di
dalam: Larkum AWD, Orth RJ, Duarte CM, editor. Seagrasses: Biology,
Ecology and Conservation. The Netherland: Springer.
Dhargalkar VK, Kavlekar D. 2004. Seaweeds – A Field Manual. New Delhi:
National Institute of Oceanography Dona Paula, Goa.
Dobo J. 2009. Tipologi komunitas lamun kaitannya dengan populasi bulu babi di
Pulau Hatta, Kepulauan Banda, Maluku [tesis]. Bogor: Sekolah
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Duarte CM. 1990. Seagrass nutrient content. Mar Ecol Prog Ser 67: 201-207.
Duarte CM. 2002. The future of seagrass meadows. Environ Conserv 29: 192-
206.
Duarte CM, Chiscano CL. 1999. Seagrass biomass and production: a
reassessment. Aquat Bot 65: 159-174.
Duarte CM, Marba N, Santos R. 2004. What may cause loss of seagrasses. Di
dalam: Borum, Duarte CM, Krause-Jensen D, Greve TM, editor. European
Seagrasses: An Introduction to Monitoring and Management. Copenhagen:
the M & MS Project. hlm 24-32. http:/www.seagrasses.org. [30 Juni 2011].
Duffy JE. 2006. Biodiversity and the functioning of seagrass ecosystems. Mar
Ecol Prog Ser 211:233-250.
Duffy JE, Richardson JP, Canuel EA. 2003. Grazer diversity effects on
ecosystem functioning in seagrass beds. Ecol Lett 6: 637-645.
180
Edgar GJ. 1997. Australian Marine Life: The Plants and Animals of Temperate
Waters. Victoria: Reed Books.
Edgar GJ. 2001. Australian Marine Habitats in Temperate Waters. Sydney:
Reed New Holland.
Edgar GJ, Shaw C. 1995. The production and trophic ecology of shallow water
fish assemblages in Southern Australia III. General relationship between
sediments, seagrasses, invertebrates and fishes. J Exp Mar Biol Ecol 194:
107-131.
Effendi H. 2003. Telaah Kualitas Air bagi Pengelolaan Sumberdaya dan
Lingkungan Perairan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Eldridge PM, Johnson MG, Young DR. 2009. Interactions of Zostera marina and
Thalassia testudinum with sediments. Di dalam: Nelson WG, editor.
Seagrasses and Protective Criteria: A Review and Assessment of Research
Status. Newport: National Health and Environment. hlm 6.1-6.17.
Elser JJ, Hassett RP. 1994. A stoichiometric analysis of the zooplankton-
phytoplankton interaction in marine and freshwater ecosystems. Nature.
370: 211-213.
English S, Wilkinson C, Baker V, editor. 1997. Survey Manual for Tropical
Marine Resources. Townsville: Australian Institute of Marine Science.
Erftemeijer PLA. 1994. Differences in nutrient concentration and resources
between seagrass communities on carbonate and terrigenous sediments in
South Sulawesi Indonesia. Bull Mar Sci 54: 403-419.
Erftemeijer PLA, Herman PMJ. 1994. Seasonal change in environmental
variables, biomass, production and nutrient contents in two contrasting
tropical intertidal seagrass bed in South Sulawesi, Indonesia. Oecologia 99:
45-59.
Erftemeijer PLA, Middelburg JJ. 1993. Sediment-nutrient interactions in tropical
seagrass beds: a comparison between a terrigenous and a carbonate
sedimentary environment in South Sulawesi (Indonesia). Mar Ecol Prog
Ser 102: 187-198.
Evrard V, Kiswara W, Bouma TJ, Middelburg JJ. 2005. Nutrient dynamics of
seagrass ecosystems: 15
N evidence for the importance of particulate organic
matter and root systems. Mar Ecol Prog Ser 295: 49-55.
Farid MA, Rasidi S, Patria MP. 2008. The community structure of seagrass in
Enggano Islands, Bengkulu. Mar Res Indonesia 33(1): 7-10.
181
[FIKP Unhas & Bakosurtanal] Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas
Hasanuddin & Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional. 2007.
Laporan Ekspedisi dan Penelitian Wilayah Pesisir dan Laut Kabupaten
Pangkajene dan Kepulauan Sulawesi Selatan. Makassar: FIKP Unhas.
Flindt MR, Pardal MÂ, Lillebø AI, Martins I, Marques JC. 1999. Nutrient
cycling and plant dynamics in estuaries: a brief review. Acta Oecol 20(4):
237-248.
Folke C, Carpenter S, Walker B, Scheffer M, Elmqvist T, Gunderson L, Holling
CS. 2004. Regime shifts, resilience, and biodiversity in ecosystem
management. Annu Rev Ecol Evol Syst 35:557-581.
Fonseca MS, Bell SS. 1998. Influence of physical setting on seagrass landscapes
near Beaufort, North Carolina USA. Mar Ecol Prog Ser 171: 109-121.
Fonseca MS, Fisher JS, Zieman JC, Thayer GW. 1982. Influence of the seagrass,
Zostera marina on current flow. Estuar Coast Shelf Sci 15: 351-364.
Fortes MD. 1990. Seagrasses: A Resource Unknown in the ASEAN Region.
Association of Southeast Asian Nations/United States Coastal Resources
Management Project Education Series 6.
Fortes MD. 1994. Seagrass Resources of Asean. Living Coastal Resources of
Southeast Asia: Status and Management. Report of the Consultative Forum
Third Asean-Australia Symposium on Living Coastal Resources.
Chulalongkorn University Bangkok, Thailand.
Fourqurean JW, Zieman JC. 2002. Nutrient content of the seagrass Thalassia
testudinum reveals regional patterns of relative availability of nitrogen and
phosphorus in the Florida Keys USA. Biogeochemistry, 61: 229-245.
Francour P, Ganteaume A, Poulain M. 1999. Effects of boat anchoring in
Posidonia oceanica seagrass beds in the Port-Cros National Park (north-
western Mediterranean Sea). Aquatic Conserv: Mar Freshw Ecosyst 9:391-
400.
Gab-Alla AAFA. 2007. Ecological study on community of exotic invasive
seaweed Caulerpa prolifera in Suez Canal and its associated macro
invertebrates. J Appl Sci 7(5):679-686.
Gordon AL. 2005. Oceanography of the Indonesian Sea and their throughflow.
Oceanography 18(4): 14-27.
Graham LE, Wilcox LW. 2000. Algae. New Jersey: Prentice-Hall, Inc.
Gray JS, Elliott M. 2009. Ecology of Marine Sediments: From Science to
Management. 2nd
Edition. Oxford: Oxford University Press.
182
Green EP, Short FT. 2003. World Atlas of Seagrasses. Berkeley: University of
California Press.
Grzimek B, Kraus O, Riedl R, Thenius E. 1974. Grzimek’s Animal Life
Encyclopedia. Volume 3: Mollusks and Echinoderms. New York: Van
Nostrand Reinhold Company.
Hale MG, Orcutt DM. 1987. The Physiology of Plants under Stress. New York:
John Wiley and Sons Inc.
Hamdorf I, Kirkman H. 1995. Status of Australian Seagrass. Canberra: The
Fisheries Pollution and Marine Environment Committee.
Hammerstrom KK, Kenworthy WJ, Whitfield PE, Merello MF. 2007. Response
and recovery dynamics of seagrasses Thalassia testudinum and
Syringodium filiforme and macroalgae in experimental motor vessel
disturbances. Mar Ecol Prog Ser 345: 83-92.
Handayani T, Kadi A. 2007. Keanekaragaman dan biomassa algae di perairan
Minahasa Utara, Sulawesi Utara. Oseanologi dan Limnologi di Indonesia
33: 199-211.
Hanum C. 2009. Ekologi Tanaman. Medan: USU Press.
Harah ZM, Sidik BJ, Raesah A, Akma AS, Ogawa H. 2006. Marine
macrophytes: macroalgae species and life forms from Golden Beach,
Similajau National Park, Bintulu, Sarawak, Malaysia. Coast Mar Sci 30(1):
243-246.
Hastings K, Hesp P, Kendrick GA. 1995. Seagrass loss associated with boat
mooring at Rottnest Island, Western Australia. Ocean Coast Manage
26:225-246.
Hatta AM. 1991. Beberapa aspek interaksi antara herbivor dengan makroalgae di
perairan tropis (Indonesia dan sekitarnya). Oseana 16(2): 1-20.
Hauxwell J, Cebrian J, Furlong C, Valiela I. 2001. Macroalgal canopies
contribute to eelgrass (Zostera marina) decline in temperate estuarine
ecosystems. Ecology 82(4): 1007-1022.
Havens KE, Hauxwell J, Tyler AC, Thomas S, McGlathery KJ, Cebrian J, Valiela
I, Steinman AD, Hwang SJ. 2001. Complex interaction between
autotrophs in shallow marine and freshwater ecosystems: implication for
community responses to nutrient stress. Environ Pollut 113: 95-107.
183
Heck KL, Pennock JR, Valentine JF, Coen LD, Sklenar SA. 2000. Effect of
nutrient enrichment and small predator density on seagrass ecosystems: an
experiment assessment. Limnol Oceanogr 45: 1041-1057.
Heck KL, Valentine JF. 1995. Sea urchin herbivory: evidence for long-lasting
effects in subtropical seagrass meadows. J Exp Mar Biol Ecol 189: 205-
217.
Heck KL, Valentine JF, Pennoch JR, Chaplin G, Spitzer PM. 2006. Effects of
nutrient enrichment and grazing on shoalgrass Halodule wrightii and its
epiphytes: results of a field experiment. Mar Ecol Prog Ser 326: 145-156.
Hemminga MA, Duarte CM. 2000. Seagrass Ecology. Cambridge: Cambridge
University Press.
Hemminga MA, Harrison PG, van Lent F. 1991. The balance of nutrient losses
and gains in seagrass meadows. Mar Ecol Prog Ser 71: 85-96.
Hendriks IE, Bouma TJ, Morris EP, Duarte CM. 2009. Effects of seagrasses and
algae of the Caulerpa family on hydrodynamics and particle-trapping rates.
Mar Biol 157: 473-481.
Hillman K, Walker DI, Larkum AWD, McComb AJ. 1989. Productivity and
nutrient limitation. Di dalam: Larkum AWD, McComb AJ, Shepherd SA,
editor. Biology of Seagrasses. A Treatise on the Biology of Seagrass with
Special Reference to the Australian Region. Amsterdam: Elsevier. hlm
635-685.
Hinde R. 2000. Seaweeds and other algae. Di dalam: Underwood AJ, Chapman
MG, editor. Coastal Marine Ecology of Temperate Australia. Sydney:
UNSW Press. hlm 121-135.
Hoeksema BW. 1990. Systematics and ecology of mushroom corals
(Scleractinia-Fungidae). [disertasi]. Netherland: University of Leiden.
Hogarth P. 2007. The Biology of Mangrove and Seagrasses. 2nd
Edition. Oxford:
Oxford University Press.
Holling CS. 1973. Resilience and stability of ecological systems. Annu Rev Ecol
Syst 4:1-23.
Hortal J, Lobo JM 2006. Towards a synecological framework for systematic
conservation planning. Biodiversity Informatics 3: 16-45.
Hughes AR, Bando KJ, Rodriguez LF, Williams SL. 2004. Relative effects of
grazers and nutrients on seagrasses: a meta-analysis approach. Mar Ecol
Prog Ser 282:87-99.
184
Huisman JM. 2000. Marine Plants of Australia. Nedlands, Western Australia:
University of Western Australia Press.
Husni E. 2009. Studi laut dalam dengan bubu di Teluk Palabuhanratu. [disertasi].
Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Hutomo M, Azkab MH. 1987. Peranan lamun di lingkungan laut dangkal.
Oseana 12 (1): 13-23.
Hutomo M, Moosa MK. 2005. Indonesian marine and coastal biodiversity:
present status. Indian J Mar Sci 34(1): 88-97.
Ilyas M, Amri K. 2006. Spatial and seasonal distribution of macroalgae in
Awerange and Labuange Bays, Barru Regency, South Sulawesi. Torani
16: 375-380.
Ira. 2011. Keterkaitan padang lamun sebagai pemerangkap dan penghasil bahan
organik dengan struktur komunitas makrozoobentos di perairan Pulau
Barranglompo [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian
Bogor.
Irlandi EA, Orlando BA, Biber PD. 2004. Drift algae-epiphyte-seagrass
interaction in a subtropical Thalassia testudinum meadow. Mar Ecol Prog
Ser 279: 81-91.
Jackson DA, Somers KA, Harvey HH. 1989. Are binary similarity coefficient
measures of association and co-occurence or simply measures of
occurence? Am Nat 133: 436-453.
Jackson JBC et al. 2001. Historical overfishing and the recent collapse of coastal
ecosystems. Science 293:629-638.
Jernakoff P, Brearley A, Nielsen, J. 1996. Factors affecting grazer-epiphyte
interactions in temperate seagrass meadows. Oceanogr Mar Biol Annu Rev
34:109-162.
Jha B, Reddy CRK, Thakur MC, Rao MU. 2009. Seaweeds of India. Dordrecht:
Springer Science.
Johengen T. 1996. Standard Operating Procedures for Determining Total
Phosphorus, Available Phosphorus, and Biogenic Silica Concentrations of
Lake Michigan Sediment and Sediment Trap Material. Ann Arbor,
Michigan: NOAA/Great Lakes Environmental Research Lab.
Johnson MW, Heck KL, Fourqurean JW. 2006. Nutrient content of seagrasses
and epiphytes in the northern Gulf of Mexico: evidence of phosphorus and
nitrogen limitation. Aquat Bot 85: 103-111.
185
Kadi A. 1996. Pengenalan jenis algae hijau (Chlorophyta). Di dalam: Atmadja
WS, Kadi A, Sulistijo, Rachmaniar, editor. Pengenalan Jenis-Jenis Rumput
Laut Indonesia. Jakarta: Puslitbang Oseanologi-LIPI. hlm 6-55.
Kahn AE, Durako MJ. 2006. Thalassia testudinum seedling responses to
changes in salinity and nitrogen levels. J Exp Mar Biol Ecol 335: 1-12.
Kaldy JE. 2009. Water column and sediment nutrients as limits to growth of
Zostera marina and Thalassia testudinum. Di dalam: Nelson WG, editor.
Seagrasses and Protective Criteria: A Review and Assessment of Research
Status. Newport: National Health and Environment. hlm 3.1-3.18.
Karleskint G, Jr, Turner R, Small JW, Jr. 2010. Introduction to Marine Biology.
3rd
Edition. Belmont: Brooks.
Kasim M. 2009. Grazing activity of the sea urchin Tripneustes gratilla in tropical
seagrass beds of Buton Island, Southeast Sulawesi, Indonesia. J Coast Dev
13(1): 19-27.
Keough MJ, Jenkins GP. 2000. Seagrass meadows and their inhabitants. Di
dalam: Underwood AJ, Chapman MG, editor. Coastal Marine Ecology of
Temperate Australia. Sydney: UNSW Press. hlm 221-239.
Kirkman H. 1997. Seagrass of Australia. State of Environment Technical Paper
Series (Estuaries and the Sea). Canberra: Department of the Environment,
Australia.
Kiswara W. 1992. Vegetasi lamun (seagrass) di rataan terumbu Pulau Pari,
Pulau-Pulau Seribu, Jakarta. Oseanologi di Indonesia 25: 31-49.
Kiswara W, Winardi. 1994. Keanekaragaman dan sebaran lamun di Teluk Kuta
dan Teluk Gerupuk Lombok Selatan. Di dalam: Kiswara W, Moosa MK,
Hutomo M, editor. Struktur Komunitas Biologi Padang Lamun di Pantai
Selatan Lombok dan Kondisi Lingkungannya. Jakarta: Puslitbang
Oseanologi-LIPI. hlm 15-33
Klumpp DW, Howard RK, Pollard DA. 1989. Trophodynamics and nutritional
ecology of seagrass communities. Di dalam: Larkum AWD, McComb AJ,
Shepherd SA, editor. Biology of Seagrasses. A Treatise on the Biology of
Seagrass with Special Reference to the Australian Region. Amsterdam:
Elsevier. hlm 394-457.
Klumpp DW, Salita-Espinosa JT, Fortes MD. 1993. Feeding ecology and trophic
role of sea urchins in a tropical seagrass community. Aquat Bot 45: 205-
229.
Kneer D, Asmus H, Vonk JA. 2008. Seagrass as the main food source of Neaxius
acanthus (Thalassinidea: Strahlaxiidae), its burrow associates and of
186
Coralianassa coutierei (Thalassinidea: Calianassidae). Estuar Coast Shelf
Sci 79: 620-630.
Koch EW. 1994. Hydrodynamics, diffusion-boundary layers and photosynthesis
of seagrass Thalassia testudinum and Cymodocea nodosa. Mar Biol 118:
767-776.
Koch EW. 2001. Beyond light: physical, geological and geochemical parameters
as possible submersed aquatic vegetation habitat requirements. Estuaries
24: 1-17.
Koch MS, Schopmeyer SA, Kyhn-Hansen C, Madden CJ, Peters JS. 2007.
Tropical seagrass species tolerance to hypersalinity stress. Aquat Bot 86:
14-24.
Krause-Jenses D, Almela ED, Cunha AH, Greve TM. 2004. Have seagrass
distribution and abundance changed? Di dalam: Borum, Duarte CM,
Krause-Jenses D, Greve TM, editor. European Seagrasses: An Introduction
to Monitoring and Management. Copenhagen: the M & MS Project. hlm
24-32. http:/www.seagrasses.org. [30 Juni 2011].
Krebs CJ. 1999. Ecological Methodology. 2nd
Edition. California: Addison
Wesley Educational Publishers, Inc.
Krebs CJ. 2002. Ecology; The Experimental Analysis of Distribution and
Abundance. New York: Harper & Row Publisher.
Krupp LS, Cortés J, Wolff M. 2009. Growth dynamics and state of the seagrass
Thalassia testudinum in the Gandoca-Manzanillo National Wildlife Refuge,
Caribbean, Costa Rica. Rev Biol Trop 57(suppl.1): 187-201. http://www.
scielo.sa.cr. [16 Feb 2011].
Kumar R, Sharma BK, Sharma LL. 2007. Food and feeding habits of Catla catla
(Hamilton-Buchanam) from Daya Reservoir, Udaipur, Rajasthan. Indian J.
Anim.Res. 41(4): 266-269. http//arccjournals.com/pdf/...4.../ijar1-41-4-
006.pd. [10 Nov 2011].
Kuo J. 2007. New monoecious seagrass of Halophila sulawesii
(Hydrocharitaceae) from Indonesia. Aquat Bot 87: 171-175.
Kuriandewa TE, Kiswara W, Hutomo M, Soemodihardjo S. 2003. The
seagrasses of Indonesia. Di dalam: Green EP, Short FT, editor. World Atlas
of Seagrasses. Berkeley: University of California Press. hlm 171-182.
Lapointe BE, Barile PJ, Matzie WR. 2004. Anthropogenic nutrient enrichment of
seagrass and coral reef communities in the Lower Florida Keys:
187
discrimination of local versus regional nitrogen sources. J Exp Mar Biol
Ecol 308: 23-58.
Lapointe BE, Tomasko DA, Matzie WR. 1994. Eutrophication and trophic state
classification of seagrass communities in the Florida Keys. Bull Mar Sci
54: 696-717.
Larcher W. 1995. Physiological Plant Ecology; Ecophysiology and Stress
Physiology of Functional Groups, 3rd
Edition. Berlin: Springer-Verlag.
Larkum AWD, West RJ. 1990. Long-term changes of seagrass meadows in
Botany Bay, Australia. Aquat Bot 37:55-70.
Larkum AWD, den Hartog C. 1989. Evolution and biogeography of seagrasses.
Di dalam: Larkum AWD, McComb AJ, Shepherd SA, editor. Biology of
Seagrasses. A Treatise on the Biology of Seagrass with Special Reference
to the Australian Region. Amsterdam: Elsevier. hlm 112-156.
Latief AG. 1999. Peran lembaga swadaya masyarakat (LSM) dalam pengelolaan
sumberdaya alam wilayah pesisir dan lautan yang berbasis masyarakat di
Pulau Barrangcaddi Kota Makassar. [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana,
Institut Pertanian Bogor.
Lechowics MJ. 1982. The sampling characteristics of electivity indices.
Oecologia (Berl) 52: 22-30. http://www.biology.mcgill.ca/faculty/
lechowics/articles/O-1982. [23 April 2012].
Lee KS, Dunton KH. 1996. Production and carbon reserve dynamics of the
seagrass Thalassia testudinum in Corpus Christi Bay, Texas, USA. Mar
Ecol Prog Ser 143: 201-210.
Lee KS, Short FT, Burdick DM. 2004. Development of a nutrient pollution
indicator using the seagrass, Zostera marina, along nutrient gradient in
three New England estuaries. Aquat Bot 78: 197-216.
Lee Long WJ, Mellors JE, Coles RG. 1993. Seagrasses between Cape York and
Hervey Bay, Queensland, Australia. Aust J Mar Fresh Res 44: 19-31.
Leoni V, Vela A, Pasqualini V, Pergent-Martini C, Pergent G. 2008. Effects of
experimental reduction of light and nutrient enrichment (N and P) on
seagrass: A review. Aquat Conserv-Mar Fresh Ecos 18: 202-220.
Lirman D, Cropper WP Jr. 2003. The influence of salinity on seagrass growth,
survivorship, and distribution within Biscayne Bay, Florida: Field,
experimental, and modeling studies. Estuaries, 26(1): 131-141.
Liu HTH. 2008. Biodiversity of shrimp associated gobies (Teleostei: Gobiidae) in
a seagrass bed at Barranglompo Island, Spermonde Archipelago, Indonesia,
188
with special remarks on Austrolethops wardi [Diplome Thesis]. University
of Vienna, Austria.
Lobban CS, Harrison PJ. 1997. Seaweed Ecology and Physiology. Cambridge:
Cambridge University Press.
Ludwig JA, Reynolds JF. 1988. Statistical Ecology: A Primer of Methods and
Computing. New York: Wiley Press.
Lymo TJ, Mamboya F, Hamisi M, Lugomela C. 2011. Food preference of the sea
urchin Tripneustes gratilla (Linnaeus, 1758) in tropical seagrass habitats at
Dar es Salaam, Tanzania. J Ecol Nat Environment 3(13): 415-423.
http://www.academicjournals.org/JENE. [22 Mei 2012].
Madsen JD, Chambers PA, James WF, Koch W, Westlake DF. 2001. The
interaction between water movement, sediment dynamics and submersed
macrophytes. Hydrobiologia 444: 71-84.
Mamboya F, Lugomela C, Mvungi E, Hamisi M, Kamukuru AT, Lyimo TJ. 2009.
Seagrass-sea urchin interaction in shallow littoral zones of Dar es Salaam,
Tanzania. Aquatic Conserv: Mar Freshw Ecosyst 19: S19-S26.
Marba N, Holmer M, Gacia E, Barron C. 2006. Seagrass beds and coastal
biogeochemistry. Di dalam: Larkum AWD, Orth RJ, Duarte CM, editor.
Seagrasses: Biology, Ecology and Conservation. The Netherland: Springer.
McCarthy G. 2007. Blane Perun’s the Sea. (Diakses tanggal 12 Mei 2007).
McGlathery KJ. 1995. Nutrient and grazing influences on a tropical seagrass
community. Mar Ecol Prog Ser 122: 239-252.
McGlathery KJ. 2001. Macroalgal blooms contribute to the decline of seagrass in
nutrient-enriched coastal waters. J Phycol 37: 453-456.
McGlathery KJ, Sundbank K, Anderson IC. 2007. Eutrophication in shallow
coastal bays and lagoons: the role of plants in the coastal filter. Mar Ecol
Prog Ser 348: 1-18.
Mellors J, Waycott M, Marsh H. 2005. Variation in biogeochemical parameters
across intertidal seagrass meadows in the central Great Barrier Reef region.
Mar Poll Bull 51: 335-342.
Miskelly A. 2002. Sea Urchin of Australia and The Indo-Pacific. Sydney:
Capricornica Publications.
Moll H. 1983. Zonation and diversity of Scleractinia on reefs of South Sulawesi
[tesis]. Netherland: Leiden University.
189
Molles MC. 2008. Ecology; Concepts and Applications. 4th
Edition. New York.
McGraw-Hill Companies, Inc.
Moreira AR, et al. 2006. Variation of macroalgae biomass in Cienfuegos Bay,
Cuba. Rev Invest Mar 27(1): 3-12.
Morris EP, Peralta G, Brun FG, van Duren L, Bouma TJ, Perez-Llorens JL. 2008.
Interaction between hydrodynamics and seagrass canopy structure:
Spatially explicit effects on ammonium uptake rates. Limnol Oceanogr 53:
1531-1539.
Newton A, Icely JD, Falcao M, Nobre A, Nunes JP, Ferreira JG, Vale C. 2003.
Evaluation of eutrophication in the Ria Formosa coastal lagoon, Portugal.
Cont Shelf Res 23: 1945-1961.
Nontji A. 2007. Laut Nusantara. Edisi Revisi Cetakan 5. Jakarta: Djambatan.
Nybakken JW. 1992. Biologi Laut, Suatu Pendekatan Ekologis. Jakarta: PT.
Gramedia.
Nybakken JW, Bertness MD. 2005. Marine Biology. An Ecological Approach.
Sixth Edition. San Francisco: Pearson Education Inc. Publishing.
Obura DO, Grimsdith G. 2009. Resilience Assessment of Coral Reefs-Assessment
Protocol for Coral Reefs, Focusing on Coral Bleaching and Thermal Stress.
Gland, Switzerland: IUCN Working Group on Climate Change and Coral
Reefs.
Odum EP. 1996. Dasar-Dasar Ekologi. 3rd
Edition. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Ogden JC, Gladfelter EH, editor. 1983. Coral Reefs, Seagrass Beds and
Mangroves: Their Interaction in the Coastal Zone of the Caribbean.
Montevideo: Unesco Reports in Marine Science, Unesco Regional Office
for Latin America and the Caribbean.
Orfanidis S, Panayotidis P, Stamatis N. 2001. Ecological evaluation of
transitional and coastal waters: A marine benthic macrophytes-based model.
Mediterranean Mar Sci 2(2): 45-65.
Orfanidis S, Panayotidis P, Stamatis N. 2003. An insight to the ecological
evaluation index (EEI). Ecol Indic 3: 27-33.
Orth RJ et al. 2006. A global crisis for seagrass ecosystems. Bioscience 56: 987-
996.
Pedersen O, Borum J, Duarte CM, Fortes MD. 1998. Oxygen dynamics in the
rhizosphere of Cymodocea rotundata. Mar Ecol Prog Ser 169: 283-288.
190
Peralta G, Brun FG, Perez-Llorens JL, Bouma TJ. 2006. Direct effects of current
velocity on the growth, morphometry and architecture of seagrasses: a case
study on Zostera noltii. Mar Ecol Prog Ser 327: 135-142.
Peterson CH, Luettich Jr. RA, Micheli F, Skilleter GA. 2004. Attenuation of
water flow inside seagrass canopies of differing structure. Mar Ecol Prog
Ser 268: 81-92.
Phillips RC, McRoy CP. 1990. Seagrass Research Methods. Paris: UNESCO.
Phillips RC, Menez EG. 1988. Seagrasses. Washington DC: Smithsonian
Institution Press.
Poiner IR, Walker DI, Coles RG. 1989. Regional studies-seagrasses of tropical
Australia. Di dalam: Larkum AWD, McComb AJ, Shepherd SA, editor.
Biology of Seagrasses. A Treatise on the Biology of Seagrass with Special
Reference to the Australian Region. Amsterdam: Elsevier. hlm 279-303.
Prathep A. 2005. Spatial and temporal variations in diversity and percentage
cover of macroalgae at Sirinart Marine National Park, Phuket Province,
Thailand. Science Asia 31: 225-233.
Preen A, Lee Long WJ, Coles RG. 1995. Flood and cyclone related loss, and
partial recovery, of more than 1,000 km2 of seagrass in Hervey Bay,
Queensland, Australia. Aquat Bot 52: 3 – 17.
Price IR. 1990. Marine plant life. Di dalam: Clayton MN, King RJ, editor.
Biology of Marine Plants. Melbourne: Longman Cheshire Pty Ltd. hlm 5-
24.
Priosambodo D. 2011. Struktur komunitas makrozoobentos di daerah padang
lamun Pulau Bonebatang Sulawesi Selatan [tesis]. Bogor: Sekolah
pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Prud’homme van Reine WF, Trono Jr. GC (eds). 2001. Plant Resources of
Southeast Asia 15(1), Cryptogams: Algae. Leiden, The Netherlands:
Backhuys Publishers.
Pulich W Jr, Blair C, White WA. 1997. Current Status and Historical Trends of
Seagrass in the Corpus Christi Bay National Estuary Program Study Area.
Texas: CCBNEP. http:/www.sci.tamucc.edu/ccbnep. [4 Februari 2006].
Rachmilevitch S, DaCosta M, Huang B. 2006. Physiological and Biochemical
Indicators for Stress Tolerance. Di dalam: Huang B, editor. Plant-
Environment Interactions, 3rd
Edition. Boca Raton: CRC Press. hlm 321-
355.
191
Ralph PJ, Tomasko D, Moore K, Seddon S, Macinnis-Ng CMO. 2006. Human
impacts on seagrasses: eutrophication, sedimentation and contamination.
Di dalam: Larkum AWD, Orth RJ, Duarte CM, editor. Seagrasses:
Biology, Ecology and Conservation. The Netherland: Springer. hlm 567-
593.
Rappe RA. 2010. Struktur komunitas ikan pada padang lamun yang berbeda di
Pulau Barranglompo. J Ilmu Tek Kel Trop 2(2): 62-73.
Reimann C, Filzmoser P, Garrett R, Dutter R. 2008. Statistical Data Analysis
Explained: Applied Environmental Statistics with R. Chicester: John Wiley
& Sons, Ltd.
Riana AD. 2006. Analisis bioekonomi ikan karang hidup konsumsi di Kepulauan
Spermonde, Sulawesi Selatan [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut
Pertanian Bogor.
Risamasu FJL. 2008. Inovasi teknologi penangkapan ikan karang dengan bubu
dasar berumpon [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian
Bogor.
Romero J, Lee KS, Perez M, Mateo MA, Alcoverro T. 2006. Nutrient dynamics
in seagrass ecosystems. Di dalam: Larkum AWD, Orth RJ, Duarte CM,
editor. Seagrasses: Biology, Ecology and Conservation. The Netherlands:
Springer. hlm 227-254.
Samawi F. 2001. Kandungan klorofil-a perairan Pulau Bonebatang, Kepulauan
Spermonde, Sulawesi Selatan. Torani 11(1): 21-26.
Samper-Villareal J, Bernecker A, Wehrtmann IS. 2008. Inventory of macroalgal
epiphytes on the seagrass Thalassia testudinum (Hydrocharitaceae) in
Parque Nacional Cahuita, Caribbean Coast of Costa Rica. Int J Trop Biol
56(Suppl 4): 163-174.
Sand-Jensen K, Borum J. 1991. Interactions among phytoplankton, periphyton,
and macrophytes in temperate freshwater and estuaries. Aquat Bot 41: 137-
175.
Schanz A, Asmus H. 2003. Impact of hydrodynamics on development of
intertidal seagrasses in the Wadden Sea. Mar Ecol Prog Ser 261: 123-134.
Schulze ED, Beck E, Müller-Hohenstein K. 2005. Plant Ecology. Berlin-
Heidelberg: Springer.
Schumacher BA. 2002. Methods for the Determination of Total Organic Carbon
(TOC) in Soils and Sediments. Las Vegas: US Environmental Protection
Agency.
192
Shepherd SA, McComb AJ, Bulthuis DA, Neverauskas V, Steffensen DA, West
R. 1989. Decline of seagrasses. Di dalam: Larkum AWD, McComb AJ,
Shepherd SA, editor. Biology of Seagrasses. A Treatise on the Biology of
Seagrass with Special Reference to the Australian Region. Amsterdam:
Elsevier. hlm 346-393.
Short FT, Burdick DM, Kaldy JE. 1995. Mesocosm experiment quantify the
effects of eutrophication on eelgrass Zostera marina. Limnol Oceanogr 40:
740-749.
Short FT, Carruthers T, Dennison W, Waycott M. 2007. Global seagrass
distribution and diversity: a bioregional model. J Exp Mar Biol Ecol 350:
3-20.
Short FT, Coles RG (eds). 2003. Global Seagrass Research Methods.
Amsterdam: Elsevier Science BV.
Short FT, Denison WC, Capone DG. 1990. Phosphorus-limited growth of the
tropical seagrass Syringodium filiforme in carbonate sediments. Mar Ecol
Prog Ser 62: 169-174.
Short FT, McKenzie LJ, Coles RG, Gaeckle JL. 2004. SeagrassNet Manual for
Scientific Monitoring of Seagrass Habitat-Western Pacific Edition. New
Hampshire: University of New Hampshire; QDPI Australia: Northern
Fisheries Center.
Short FT, Wyllie-Echeverria S. 1996. Natural and human induced disturbance of
seagrasses. Environ Conserv 23: 17-27.
Sidik BJ, Bandeira SO, Milchakova NA. 2001. Methods to measure macroalgal
biomass and abundance in seagrass meadows. Di dalam: Short FT, Coles
RG, editor. Global Seagrass Research Methods. Amsterdam: Elsevier
Science BV. hlm 223-235.
Smith RL, Smith TM. 2003. Elements of Ecology. 5th
Edition. San Fransisco:
Pearson Education, Inc. Publishing.
Stapel J, Aarts TL, van Duynhoven BHM, de Groot JD, van de Hoogen PHW,
Hemminga MA. 1996. Nutrient uptake by leaves and roots of the seagrass
Thalassia hemprichii in the Spermonde Archipelago, Indonesia. Mar Ecol
Prog Ser 134: 195-206.
Stapel J & Hemminga MA. 1997. Nutrient resorption from seagrass leaves. Mar
Biol 128: 197-206.
Stapel J, Manuntun R, Hemminga MA. 1997. Biomass loss and nutrient
redistribution in an Indonesian Thalassia hemprichii seagrass bed following
193
seasonal low tide exposure during daylight. Mar Ecol Prog Ser 148: 251-
262.
Strauss RE. 1979. Reliability estimates for Ivlev’s electivity index, the forage
ratio, and a proposed linear index of food selection. Transactions of the
American Fisheries Society 108: 344-352. http://www.faculty.biol.ttu.edu/
strauss/ pubs/papers/1979strauss. [23 April 2012].
Strickland JDH, Parsons TR. 1984, A Practical Handbook of Seawater Analysis.
Ottawa: Queen’s Printer.
Supriadi. 2003. Produktivitas lamun Enhalus acoroides (Linn.F) Royle dan
Thalassia hemprichii (Ehrenb.) Ascherson di Pulau Barang Lompo
Makassar [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Supriadi, La Nafie YA, Burhanuddin AI. 2004. Inventarisasi jenis, kelimpahan
dan biomassa ikan di padang lamun Pulau Barranglompo, Makassar. Torani
14: 288-295.
Supriadi & Arifin. 2005. Dekomposisi serasah daun lamun Enhalus acoroides
dan Thalassia hemprichii di Pulau Barranglompo, Makassar. Torani 15: 59-
64.
Supriadi & Arifin. 2005. Pertumbuhan, biomassa dan produksi lamun Enhalus
acoroides di Pulau Bonebatang Makassar. Jurnal Protein 12: 293-301.
Supriadi, Soedharma D, Kaswadji RF. 2006. Beberapa aspek pertumbuhan lamun
Enhalus acoroides (Linn. F) Royle di Pulau Barranglompo Makassar.
Biosfera 23(1): 1-8.
Supriyadi IH, Kuriandewa TE. 2008. Seagrass distribution at small islands: case
study of Derawan Archipelago, East Kalimantan Province, Indonesia.
Oseanologi dan Limnologi di Indonesia 34: 83-99.
Susetiono. 2004. Fauna Padang Lamun Tanjung Merah Selat Lembeh. Jakarta:
Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI.
Susetiono. 2007. Lamun dan Fauna Teluk Kuta, Pulau Lombok. Jakarta: Pusat
Penelitian Oseanografi-LIPI.
Sze P. 1993. A Biology of the Algae. Dubuque: WCB WM.C.Brown Publishers.
Tahir A. 2010. Formulasi indeks kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil.
Kasus Pulau Kasu-Kota Batam, Pulau Barranglompo-Kota Makassar, dan
Pulau Saonek-Kabupaten Raja Ampat [disertasi]. Bogor: Sekolah
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
194
Tait RV, Dipper EA. 1998. Elements of Marine Ecology. 4th
Edition. Oxford:
Butterworth-Heinemann.
Takaendengan K, Azkab MH. 2010. Struktur komunitas lamun di Pulau Talise,
Sulawesi Utara. Oseanologi dan Limnologi di Indonesia 36(1): 85-95.
Terrados J, Borum J. 2004. Why are seagrasses important? – Goods and services
provided by seagrass meadows. Di dalam: Borum, Duarte CM, Krause-
Jensen D, Greve TM, editor. European Seagrasses: An Introduction to
Monitoring and Management. Copenhagen: the M & MS Project. hlm 8-10.
http:/www.seagrasses.org. [30 Juni 2011].
Terrados J, Medina-Pons FJ. 2011. Inter-annual variation of shoot density and
biomass, nitrogen and phosphorus content of the leaves, and epiphyte load
of seagrass Posidonia oceanica (L.) Delile off Mallorca, Western
Mediterranean. Sci Mar 75(1): 61-70.
Tewfik A, Rasmussen JB, McCann KS. 2005. Anthropogenic enrichment alters a
marine benthic food web. Ecology 86: 2726-2736. http://dx.doi.org/
10.1890/04-1537. [6 Maret 2012].
Tomascik T, Mah AJ, Nontji A, Moosa MK. 1997. The Ecology of the
Indonesian Seas. Singapore: Periplus.
Tomasko DA, Lapointe BE. 1991. Productivity and biomass of Thalassia
testudinum as related to water column nutrient availability and epyphyte
levels: field observations and experimental studies. Mar Ecol Prog Ser 75:
9-17.
Touchette BW. 2007. Seagrass-salinity interactions: physiological mechanisms
used by submersed marine angiosperms for a life at sea. J Exp Mar Biol
Ecol 350: 194-215.
Treweek J. 1999. Ecological Impact Assessment. Oxford: Blackwell Science.
Trono GC, Jr 1997. Field Guide and Atlas of the Seaweed Resources of the
Philippines. Manila: Bookmark, Inc.
Trono GJ, Jr, Ganzon-Fortez ET. 1988. Philippine Seaweeds. Manila: National
Book Store, Inc.
Udy JW, Dennison WC, Lee Long WJ, McKenzie LJ. 1999. Responses of
seagrass to nutrients in the Great Barrier Reef, Australia. Mar Ecol Prog
Ser 185: 257-271.
Valentine JF, Duffy JE. 2006. The central role of grazing in seagrass ecology. Di
dalam: Larkum AWD, Orth RJ, Duarte CM, editor. Seagrass: Biology,
Ecology and Conservation. The Netherlands: Springer. hlm 463-501.
195
Valentine JF, Heck KL Jr. 1999. Seagrass herbivory: evidence for the continued
grazing of marine grasses. Mar Ecol Prog Ser 176: 291-302.
Valentine JF, Heck KL Jr, Kirsch KD, Webb D. 2000. Role of sea urchin
Lythecinus variegatus grazing in regulating subtropical turtlegrass
Thalassia testudinum meadows in the Florida Keys (USA). Mar Ecol Prog
Ser 200: 213-228.
Vanderklift MA, Lavery PS. 2000. Patchiness in assemblages of epiphytic
macroalgae on Posidonia coriacea at a hierarchy of spatial scales. Mar
Ecol Prog Ser 192: 127-135.
Vanderploeg HA, Scavis D. 1979. Two electivity indices for feeding with special
reference to zooplankton grazing. J Fish Res Board Canada 36: 362-365.
Verduin JJ, Backhaus JO. 2000. Dynamics of plant-flow interactions for the
seagrass Amphibolis antartica: field observations and model simulations.
Estuar Coast Shelf Sci 50: 185-204.
Verheij E. 1993. Marine plants on the reef of the Spermonde Archipelago, SW
Sulawesi, Indonesia: aspect of taxonomy, floristic and ecology. [disertasi].
Leiden: Rijksherbarium/Hortus Botanicus.
Verheij E, Erftemeijer PLA. 1993. Distribution and associated macroalgae in
South Sulawesi, Indonesia. Blumea 38: 45-64.
Vermaat JE, Agawin NSR, Duarte CM, Fortes MD, Marba N, Uri JS. 1995.
Meadow maintenance, growth productivity of a mixed Philippine seagrass
bed. Mar Ecol Prog Ser 124: 215-225.
Viaroli P, Bartoli M, Giordani G, Naldi M, Orfanidis S, Zaldivar JM. 2008.
Community shifts, alternative stable states, biogeochemical controls and
feedbacks in eutrophic coastal lagoons: a brief review. Aquatic Conserv
Mar Freshw Ecosyst 18: S105-S117.
Vonk JA, Pijnappels MHJ, Stapel J. 2008. In situ quantification of Tripneustes
gratilla grazing and its effect on three co-occuring tropical seagrass species.
Mar Ecol Prog Ser 360: 107-114.
Vonk JA, Stapel J. 2008. Regeneration of nitrogen (15
N) from seagrass litter in
tropical Indo-Pacific meadows. Mar Ecol Prog Ser 368: 165-175.
Walker BH, Holling CS, Carpenter S, Kinzig A. 2004. Resilience, adaptability,
and transformability in social-ecological system. Ecol Soc 9(2): 5.
Walker DI, Kendrick GA, McComb AJ. 2006. Decline and recovery of seagrass
ecosystems-The dynamics of change. Di dalam: Larkum AWD, Orth RJ,
196
Duarte CM, editor. Seagrasses: Biology, Ecology and Conservation.
Dordrecht: Springer. hlm 551-565.
Warry FY, Hindell JS. 2009. Review of Victorian Seagrass Research, with
Emphasis on Port Phillip Bay. Draft Report. Victoria: Arthur Rylah
Institute for Environmental Research, Department of Sustainability and
Environment.
Waycott M, McMahon K, Mellars J, Calladine A, Kleine D. 2004. A Guide to
Tropical Seagrasses of the Indo West Pacific. Townsville: James Cook
University.
Waycott M et al. 2009. Accelerating loss of seagrasses across the globe threatens
coastal ecosystems. PNAS 106 (30):12377-12381. http:/ www. pnas.org/
cgi/doi/10.1073/pnas.0905620106. [4 Agustus 2010].
Wenno PA. 2004. Kolonisasi epifit pada daun lamun Thalassia hemprichii dan
Enhalus acoroides. Ichtyos 3(1): 21-26.
Wimbaningrum R. 2003. Komunitas lamun di rataan terumbu Pantai Bama,
Taman Nasional Baluran, Jawa Timur. Jurnal Ilmu Dasar 4(1): 25-32.
Young DR. 2009. Macroalgal interactions with the seagrasses Zostera spp and
Thalassia testudinum. Di dalam: Nelson WG, editor. Seagrasses and
Protective Criteria: A Review and Assessment of Research Status.
Newport: National Health and Environment. hlm 8.1-8.15.
Zaelany AA. 2007. Perilaku para pihak dalam kegiatan penangkapan ikan di
Pulau Barranglompo (Makassar) dan transformasi menuju perikanan
berkelanjutan [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian
Bogor.
Zieman JC. 1974. Methods for the study of growth and production of turtle grass
Thalassia testudinum Konig. Aquaculture 4: 139-144.
Zieman JC. 1986. Gradients in Caribbean Seagrass Ecosystem. Results of
Planning Workshop at Discovery Bay Marine Laboratory. Jamaica:
University of the West Indies.
Zupo V, Nelson WG, Gambi MC. 2001. Measuring invertebrate grazing on
seagrasses and epiphytes. Di dalam: Short FT, Coles RG, editor. Global
Seagrass Research Methods. Amsterdam: Elsevier Science BV. hlm 293-
312
197
LAMPIRAN
198
199
Lampiran 1 Daftar Istilah
Alternate : Posisi letak daun atau percabangan yang berbeda
tingginya, bersebelahan atau pada jarak letak tertentu
yang berbeda satu dengan lainnya
Anastomose : Saling terikat secara tidak beraturan membentuk
jaringan
Apeks : Puncak atau ujung thallus
Blade Bagian thallus makroalgae yang menyerupai daun
Calcareous : Mengandung kalsium karbonat yang tinggi
Cartilaginous : Lunak seperti tulang rawan
Clavate : Bentuk seperti tongkat
Dichotomous : Percabangan menjadi dua bagian yang sama atau ke
dua arah terus menerus
Discoid : Bulat pipih menyerupai cakram
Disturbansi : segala mekanisme atau proses yang mempengaruhi
struktur dan fungsi komunitas
Divaricate : Bercabang pada sudut yang lebar
Filamentous : Berbentuk seperti kawat
Filiform : Berbentuk seperti benang
Holdfast : Alat pelekat di bagian bawah thallus pada algae
Oportunistis : Spesies tumbuhan atau hewan beradaptasi untuk hidup
pada habitat atau sumberdaya yang baru dibuka dan
umumnya dijumpai pada lingkungan yang susah
diprediksi, transisi, dan berubah-ubah
Prostrate : Terletak rata di dasar
Reniform : Berbentuk seperti ginjal
Ruderal : Tumbuhan yang bisa tumbuh pada daerah yang
tercemar atau lahan yang tidak produktif
Spesies annual : Tumbuhan yang melengkapi siklus hidupnya dalam
satu tahun saja
Spesies perennial : Tumbuhan yang hidup lebih dari 2 tahun
Stipe : Bagian algae yang menyerupai batang, biasanya
bagian basal thallus di atas holdfast
Stolon : Cabang merambat yang timbul pada bagian dasar
thallus yang dapat menumbuhkan cabang lain yang
vertikal
Terete : Bentuk bulat/silindris
Thallus : Tubuh atau bagian vegetatif algae yang belum
terdiferensiasi atas daun, akar dan batang sebenarnya
Trichotomous : Sistem percabangan menjadi tiga bagian atau ke tiga
arah yang sama, terus menerus
Turbinate : Berbentuk kerucut terbalik, bentuk lonceng
200
Lampiran 2 Koordinat GPS Posisi Stasiun dan Sub stasiun Penelitian
Pulau Barranglompo
Pulau Bonebatang
Sub
Stasiun
Posisi
Sub
Stasiun
Posisi
Latitude
(Lintang
Selatan)
Longitude
(Bujur
Timur)
Latitude
(Lintang
Selatan)
Longitude
(Bujur
Timur)
A1 5o 03’ 05.66‖ 119
o 19’ 47.36‖ A1 5
o 00’ 51.59‖ 119
o 19’ 36.89‖
A2 5o 03’
’ 06.20‖ 119
o 19’ 42.51‖ A2 5
o 00’ 51.94‖ 119
o 19’ 35.63‖
A3 5o 03’ 05.30‖ 119
o 19’39.48‖ A3 5
o 00’ 51.92‖ 119
o 19’ 34.28‖
A4 5o 02’ 59.43‖ 119
o 19’ 37.55‖ A4 5
o 00’ 51.49‖ 119
o 19’ 33.40‖
A5 5o 02’ 56.79‖ 119
o 19’ 37.37‖ A5 5
o 00’ 49.88‖ 119
o 19’ 34.07‖
A6 5o 02’ 47.79‖ 119
o 19’38.95‖ A6 5
o 00’ 48.03‖ 119
o 19’ 33.63‖
A7 5o 02’45.98‖ 119
o 19’ 41.46‖ A7 5
o 00’ 47.16‖ 119
o 19’33.36‖
A8 5o 02’ 44.10‖ 119
o 19’ 45.14‖ A8 5
o 00’ 45.54‖ 119
o 19’33.70‖
A9 5o 02’ 43 02‖ 119
o 19’ 48.16‖ A9 5
o 00’ 43.57‖ 119
o 19’ 33.86 ―
B1 5o 03’ 09.35‖ 119
o 19’47.54‖ B1 5
o 00’54.76‖ 119
o 19’ 37.01‖
B2 5o 03’ 09.84‖ 119
o 19’42.44‖ B2 5
o 00’ 55.19‖ 119
o 19’ 35.97‖
B3 5o 03’ 09.23‖ 119
o 19’ 39.44‖ B3 5
o 00’55.28‖ 119
o 19’ 33.95‖
B4 5o 02’ 59.08‖ 119
o 19’33.94‖ B4 5
o 00’ 51.46‖ 119
o 19’ 30.47‖
B5 5o 02’ 57.13‖ 119
o 19’ 34.26‖ B5 5
o 00’ 50.09‖ 119
o 19’ 31.00‖
B6 5o 02’ 47.01‖ 119
o 19’ 34.07‖ B6 5
o 00’ 48.10‖ 119
o 19’ 30.10‖
B7 5o 02’42.29‖ 119
o 19’41.07‖ B7 5
o 00’ 45.24‖ 119
o 19’ 31.25‖
B8 5o 02’40.69‖ 119
o 19’ 44.70‖ B8 5
o 00’ 43.07‖ 119
o 19’ 32.23‖
B9 5o 02’40.07‖ 119
o 19’ 47.71‖ B9 5
o 00’41.24‖ 119
o 19’ 33.45‖
C1 5o 03’ 14.10‖ 119
o 19’47.58‖ C1 5
o 00’ 58.19‖ 119
o 19’ 37.88‖
C2 5o 03’ 14.48‖ 119
o 19’ 42.52‖ C2 5
o 00’ 59.03‖ 119
o 19’ 36.34‖
C3 5o 03’ 13.43‖ 119
o 19’ 39.28‖ C3 5
o 00’ 59.05‖ 119
o 19’ 33.34‖
C4 5o 02’ 59.05‖ 119
o 19’30.28‖ C4 5
o 00’52.01‖ 119
o 19’26.20‖
C5 5o 02’57.73‖ 119
o 19’ 30.83‖ C5 5
o 00’50,22‖ 119
o 19’27.69‖
C6 5o 02’46.58‖ 119
o 19’ 28.82‖ C6 5
o 00’48.19‖ 119
o 19’26.48‖
C7 5o 02’38.27‖ 119
o 19’ 40.51‖ C7 5
o 00’ 43.09‖ 119
o 19’ 29.44‖
C8 5 02 37.63 119o 19’44.19‖ C8 5
o 00’ 40.79‖ 119
o 19’30.49‖
C9 5 02 36.75 119o 19’46.63‖ C9 5
o 00’ 38.43‖ 119
o 19’32.28‖
201
Lampiran 3. Kunci Identifikasi Lamun di Indonesia (Phillips & Menez 1988; Meneg
LH 2004)
1. Daun pipih ....................................................................................................... 2
Daun berbentuk silindris. ……………...Syringodium isoetifolium (Gambar 1).
2. Daun bulat-panjang, bentuk seperti telur atau pisau wali ………….Halophila
a. Panjang helaian daun 11 – 40 mm, mempunyai 10-25 pasang tulang daun
………………………………………………..Halophila ovalis (Gambar 2).
b. Daun dengan 4-7 pasang tulang daun............................................................ c
c. Daun sampai 22 pasang, tidak mempunyai tangkai daun, tangkai panjang ..
…………………………………………… Halophila spinulosa (Gambar 3)
c1. Panjang daun 5-15 mm, pasangan daun dengan tegakan pendek ……
…………………………………............... Halophila minor (Gambar 4)
c2. Daun dengan pinggir yang bergerigi seperti gergaji ……………………
……..………………………………….Halophila decipiens (Gambar 5)
c3. Daun membujur seperti garis, biasanya panjang 50 – 200 mm ………….. 3
3. Daun berbentuk selempang yang menyempit pada bagian bawah....................... 4
a. Tidak seperti diatas ......................................................................................... 6
4. Tulang daun tidak lebih dari 3 ……….………………………………….. Halodule
a. Ujung daun membulat, ujung seperti gergaji Halodule pinifolia (Gambar 6)
b. Ujung daun seperti trisula ………………... Halodule uninervis (Gambar 7)
c. Tulang daun lebih dari 3................................................................................. 5
5. Jumlah akar 1-5 dengan tebal 0,5-2 mm ujung daun seperti gigi …………….
…..………………………………………..Thalassodendron ciliatum (Gambar 8)
6. Tidak seperti diatas …………………………………….……………. Cymodocea
a. Ujung daun halus licin, tulang daun 9-1 ……………….Cymodocea rotundata
(Gambar 9)
b. Ujung daun seperti gergaji, tulang daun 13-17 ……….. Cymodocea serrulata
(Gambar 10)
7. Rimpang berdiameter 2-4 mm tanpa rambut-rambut kaku; panjang daun 100-
300 mm, lebar daun 4-10 mm …………….…Thalassia hemprichii (Gambar 11)
8. Rimpang berdiameter lebih 10 mm dengan rambut-rambut kaku; panjang
daun 300-1500 mm, lebar 13-17 mm ………… Enhalus acoroides (Gambar 12)
202
Gambar 1 Syringodium isoetifolium (Ascherson) Dandy
Gambar 2 Halophila ovalis (R. Brown) Hooker f.
203
Gambar 3 Halophila spinulosa Ascherson
Gambar 4 Halophila minor (Zollinger) den Hartog
204
Gambar 5 Halophila decipiens Ostenf
Gambar 6 Halodule pinifolia (Miki) den Hartog
205
Gambar 7 Halodule uninervis (Forsskal) Ascherson
Gambar 8 Thalassodendron ciliatum (Forsskal) den Hartog
206
Gambar 9 Cymodocea rotundata Ehrenberg & Hemprich ex Ascherson
Gambar 10 Cymodocea serrulata (R. Brown) Ascherson and Magnus
207
Gambar 11 Thalassia hemprichii (Ehrenberg) Ascherson
Gambar 12 Enhalus acoroides (Linnaeus f.) Royle
208
Lampiran 4 Kerapatan, Frekuensi dan Penutupan jenis-jenis lamun pada setiap
stasiun di Pulau Barranglompo dan Pulau Bonebatang
A. Kerapatan (Di) dan kerapatan relatif (Rdi) jenis-jenis lamun pada setiap
stasiun di Pulau Barranglompo
No Species
Stasiun
A B C
Di
(Tgk/m2)
RDi
(%)
Di
(Tgk/m2)
RDi
(%)
Di
(Tgk/m2)
RDi
(%) 1. C. rotundata 88.22 10.05 157.22 23.22 140.44 20.37
2. E. acoroides 104.44 11.90 77.78 11.49 69.33 10.06
3. H. pinifolia 0.00 0.00 6,22 0.92 6.67 0.97
4. H. uninervis 377.78 43.05 118.67 17.53 92.44 13.41
5. H. minor 0.00 0.00 0.00 0.00 6.44 0.93
6. H. ovalis 0.00 0.00 14.78 2.18 36.44 5.29
7. S. isoetifolium 63.33 7.22 11.11 1.64 47.33 6.87
8. T. hemprichii 243.67 27.77 291.33 43.03 290.22 42.10
B. Kerapatan (Di) dan kerapatan relatif (Rdi) jenis-jenis lamun pada setiap
stasiun di Pulau Bonebatang
No Species
Stasiun
A B C
Di
(Tgk/m2)
RDi
(%)
Di
(Tgk/m2)
RDi
(%)
Di
(Tgk/m2)
RDi
(%) 1. C. rotundata 377.44 20.87 369.56 20.51 256.22 18.06
2. E. acoroides 56.67 3.13 54.22 3.01 31.56 2.22
3. H. uninervis 627.56 34.70 742.67 41.21 649.78 45.81
4. H. minor 0.00 0.00 0.00 0.00 6.22 0.44
5. H. ovalis 40.22 2.22 13.11 0.73 16.22 1.14
6. S. isoetifolium 27.56 1.52 24.89 1.38 13.33 0.94
7. T. hemprichii 679.11 37.55 597.56 33.16 445.11 31.38
C. Frekuensi (Fi) dan frekuensi relatif (Rfii) jenis-jenis lamun pada setiap
stasiun di Pulau Barranglompo
No Species
Stasiun
A B C
Fi
RFi
(%)
Fi
RFi
(%)
Fi
RFi
(%) 1. C. rotundata 0.33 14.29 0.67 18.18 0.67 17.14
2. E. acoroides 0.89 38.10 1.00 27.27 1.00 25.71
3. H. pinifolia 0.00 0.00 0.11 3.03 0.11 2.86
4. H.uninervis 0.11 4.76 0.33 9.09 0.22 5.71
5. H. minor 0.00 0.00 0.00 0.00 0.11 2.86
6. H. ovalis 0.00 0.00 0.44 12.12 0.44 11.43
7. S. isoetifolium 0.22 9.52 0.11 3.03 0.56 14.29
8. T. hemprichii 0.78 33.33 1.00 27.27 0.78 20.00
209
D. Frekuensi (Fi) dan frekuensi relatif (Rfii) jenis-jenis lamun pada setiap
stasiun di Pulau Bonebatang
No Species
Stasiun
A B C Fi
RFi
(%)
Fi
RFi
(%)
Fi
RFi
(%)
1. C. rotundata 0.67 18.18 0.67 18.77 0.67 17.69
2. E. acoroides 0.67 18.18 0.89 25.02 0.67 17.69
3. H. uninervis 0.67 18.18 0.67 18.78 0.67 17.69
4. H. minor 0.00 0.00 0.00 0.00 0.22 5.87
5. H. ovalis 0.33 9.09 0.33 9.29 0.44 11.73
6. S. isoetifolium 0.33 9.09 0.22 6.26 0.22 5.87
7. T. hemprichii 1.00 27.27 0.78 21.89 0.89 23.47
E. Penutupan (Ci) dan penutupan relatif (RCi) jenis-jenis lamun pada setiap
stasiun di Pulau Barranglompo
No Species
Stasiun
A B C Ci
RCi
(%)
Ci
RCi
(%)
Ci
RCi
(%)
1. C. rotundata 3.78 6.67 6.70 14.07 6.39 12.43
2. E. acoroides 28.16 49.72 24.39 51.18 19.81 38.54
3. H. pinifolia 0.00 0.00 0.43 0.90 0.38 0.73
4. H. uninervis 8.33 14.72 3.14 6.59 3.26 6.35
5. H. minor 0.00 0.00 0.00 0.00 0.49 0.95
6. H. ovalis 0.00 0.00 2.26 4.74 2.56 4.98
7. S. isoetifolium 3.39 5.99 0.51 1.08 2.86 5.56
8. T. hemprichii 12.98 22.91 10.22 21.45 15.66 30.47
F. Penutupan (Ci) dan penutupan relatif (RCi) jenis-jenis lamun pada setiap
stasiun di Pulau Bonebatang
No Spesies
Stasiun
A B C Ci
RCi
(%)
Ci
RCi
(%)
Ci
RCi
(%)
1. C. rotundata 15.08 22.86 13.4 23.83 11.29 21.31
2. E. acoroides 9.71 14.72 10.43 18.55 6.83 12.89
3. H. uninervis 7.70 11.67 11.03 19.62 10.34 19.52
4. H. minor 0.00 0.00 0.00 0.00 1.04 1.96
5. H. ovalis 5.49 8.32 1.67 2.97 3.38 6.38
6. S. isoetifolium 2.11 3.20 1.71 3.04 1.67 3.15
7. T. hemprichii 25.88 39.23 17.99 31.99 18.42 34.77
210
Lampiran 5 Nilai Indeks Luas Daun Lamun di Pulau Barranglompo dan
Bonebatang
Sub Stasiun
Pulau
Barranglompo Bonebatang
A1 1.27 1.40
A2 0.95 0.56
A3 2.88 2.17
A4 10.15 4.69
A5 6.08 5.91
A6 2.78 5.03
A7 5.45 3.38
A8 1.93 3.21
A9 1.28 2.74
B1 1.22 2.37
B2 2.49 2.74
B3 2.63 1.89
B4 3.05 4.95
B5 2.59 5.28
B6 4.28 4.17
B7 2.65 3.39
B8 3.92 3.78
B9 2.61 3.08
C1 1.73 2.9
C2 1.54 2.16
C3 1.77 3.21
C4 1.11 4.09
C5 0.45 4.83
C6 0.87 2.47
C7 1.35 2.75
C8 2.47 3.12
C9 1.24 2.45
211
Lampiran 6 Sebaran Kepadatan dan Diameter Test Bulu Babi
A. Kepadatan Bulu Babi (Individu/m2) pada setiap Sub stasiun di Pulau
Barranglompo
Jenis A1 A2 A3 A4 A5 A6 A7 A8 A9
Diadema setosum 2.00 2.89 0.89 0.00 3.00 5.11 0.00 0.44 0.67
Echinothrix calamaris 0.22 0.00 0.33 0.11 0.00 0.00 0.11 0.00 0.22
Echinothrix diadema 0.00 0.11 0.33 0.00 0.22 0.11 0.00 0.00 0.00
Echinometra mathaei 0.00 0.11 0.00 0.00 0.11 0.00 0.00 0.00 0.00
Mespilia globulus 0.11 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.22 0.11 0.00
Tripneustes gratilla 0.00 0.00 0.00 0.89 0.00 0.00 1.33 0.89 0.78
B. Kepadatan Bulu Babi (Individu/m2) pada setiap Sub stasiun di Pulau
Barranglompo
Jenis B1 B2 B3 B4 B5 B6 B7 B8 B9
Diadema setosum 1.33 1.89 0.78 0.00 1.33 4.22 0.44 0.67 0.78
Echinothrix calamaris 0.56 0.22 0.44 0.00 0.11 0.33 0.00 0.56 0.00
Echinothrix diadema 0.11 0.22 0.11 0.11 0.00 0.00 0.00 0.11 0.00
Echinometra mathaei 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.11 0.00 0.11
Mespilia globulus 0.00 0.22 0.11 0.11 0.00 0.00 0.22 1.33 0.33
Tripneustes gratilla 0.78 1.33 0.89 0.67 1.00 0.00 2.78 12.00 1.67
C. Kepadatan Bulu Babi (Individu/m2) pada setiap Sub stasiun di Pulau
Barranglompo
Jenis C1 C2 C3 C4 C5 C6 C7 C8 C9
Diadema setosum 0.56 0.89 0.00 1.22 0.89 2.89 0.56 0.44 0.56
Echinothrix calamaris 0.11 0.22 0.00 0.22 0.22 0.11 0.00 0.22 0.11
Echinothrix diadema 0.11 0.00 0.22 0.00 0.11 0.00 0.00 0.00 0.00
Echinometra mathaei 0.11 0.33 0.00 0.44 0.33 0.11 0.00 0.11 0.22
Mespilia globulus 0.11 0.22 0.00 0.11 0.00 0.00 0.11 0.11 0.00
Tripneustes gratilla 0.89 1.00 1.44 0.78 0.56 1.22 2.00 3.22 0.89
D. Kepadatan Bulu Babi (Individu/m2) pada setiap Sub stasiun di Pulau
Bonebatang
Jenis A1 A2 A3 A4 A5 A6 A7 A8 A9
Diadema setosum 0.00 2.67 0.00 2.33 2.67 3.11 2.00 0.00 0.00
Echinothrix calamaris 0.22 0.00 0.33 0.11 0.00 0.00 0.11 0.00 0.22
Echinothrix diadema 0.00 0.11 0.33 0.00 0.22 0.11 0.00 0.00 0.00
Echinometra mathaei 0.00 0.11 0.00 0.00 0.11 0.00 0.00 0.00 0.00
Mespilia globulus 0.11 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.22 0.11 0.00
Tripneustes gratilla 0.33 1.67 0.89 0.89 1.89 1.56 1.22 2.44 2.11
212
E. Kepadatan Bulu Babi (Individu/m2) pada setiap Sub stasiun di Pulau
Bonebatang
Jenis B1 B2 B3 B4 B5 B6 B7 B8 B9
Diadema setosum 1.78 0.67 0.00 2.00 3.22 2.56 0.00 1.78 0.00
Echinothrix calamaris 0.22 0.11 0.00 0.78 0.00 0.22 0.44 0.89 0.22
Echinothrix diadema 0.00 0.33 0.00 0.22 0.11 0.00 0.44 0.00 0.00
Echinometra mathaei 0.22 0.11 0.00 0.00 0.00 0.11 0.00 0.56 0.00
Mespilia globulus 0.67 1.00 0.33 0.78 0.56 1.22 0.56 1.44 0.22
Tripneustes gratilla 1.33 0.89 3.00 1.78 1.89 1.00 2.89 0.78 2.00
F. Kepadatan Bulu Babi (Individu/m2) pada setiap Sub stasiun di Pulau
Bonebatang
Jenis C1 C2 C3 C4 C5 C6 C7 C8 C9
Diadema setosum 2.00 0.67 0.00 1.89 0.00 2.89 0.00 2.33 0.00
Echinothrix calamaris 0.33 0.00 0.00 0.78 1.00 0.22 0.22 0.00 0.22
Echinothrix diadema 0.00 0.11 0.33 0.44 0.00 0.11 0.00 0.22 0.00
Echinometra mathaei 0.00 0.22 0.00 0.33 0.00 0.00 0.11 0.00 0.00
Mespilia globulus 0.44 0.89 0.11 0.56 1.56 0.33 0.00 0.44 0.22
Tripneustes gratilla 1.11 1.56 0.67 2.33 1.89 1.67 2.11 1.56 0.89
G. Diameter Test Bulu Babi di Pulau Barranglompo dan Bonebatang
Spesies Pulau
Barranglompo Bonebatang
Diadema setosum 4.61 ± 1.39 4.61 ± 1.15
Echinothrix calamaris 5.60 ± 0.43 5.59 ± 0.45
Echinothrix diadema 5.26 ± 0.57 5.01 ± 0.64
Echinometra mathaei 3.31 ± 0.26 3.10 ± 0.24
Mespilia globulus 3.22 ± 0.42 3.29 ± 0.31
Tripneustes gratilla 5.88 ± 0.65 6.01 ± 0.71
213
Lampiran 7 Biomassa rata-rata Makroalgae di Pulau Barranglompo dan
Bonebatang
A. Biomassa rata-rata (gram berat kering/m2) makroalgae di Pulau Barranglompo
Divisio Spesies Makroalgae Stasiun Rata-
Rata A B C
Chlorophyta Boodlea composita 2.14 2.07 0.84 1.68
Chlorodesmis fastigiata 2.74 3.58 0.00 2.11
Halimeda macroloba 0.00 5.39 0.00 1.80
Halimeda opuntia 3.43 3.87 0.00 2.43
Phaeophyta Dictyota bartayresiana 3.59 2.61 6.28 4.16
Hormophysa triquetra 2.06 0.00 0.00 0.69
Padina australis 1.32 1.22 0.00 0.85
Rosenvingea intricata 4.87 2.63 5.44 4.31
Sargassum crassifolium 0.00 3.24 3.57 2.27
Sargassum polycistum 3.61 0.00 2.75 2.12
Turbinaria ornata 0.00 0.00 4.80 1.60
Rhodophyta Acanthophora specifera 8.12 14.63 8.67 10.47
Acanthophora muscoides 0.00 3.50 0.00 1.17
Actinoritchia fragilis 0.00 4.51 3.52 2.68
Euchema denticulatum 0.00 0.00 5.92 1.97
Euchema serra 0.00 5.18 10.58 5.25
Gelidiella acerosa 3.62 1.30 2.06 2.33
Gracilaria coronopifolia 0.00 2.42 6.12 2.85
Gracilaria salicornia 0.00 0.00 4.36 1.45
Hypnea asperi 0.00 1.20 0.00 0.40
Hypnea cervicornis 0.00 4.36 1.41 1.92
Laurencia papillosa 8.53 25.57 18.00 17.37
214
B. Biomassa rata-rata (gram berat kering/m2) makroalgae di Pulau Bonebatang
Divisio Spesies Makroalgae Stasiun Rata-
Rata A B C
Chlorophyta Chlorodesmis fastigiata 0.00 0.00 1.28 0.43
Halimeda macroloba 0.00 7.42 12.72 6.71
Halimeda opuntia 0.00 5.13 0.00 1.71
Neomeris annulata 0.00 0.22 0.00 0.07
Phaeophyta Dictyota bartayresiana 0.00 1.24 0.00 0.41
Hormophysa triquetra 0.00 3.88 0.00 1.29
Hydroclathrus clathratus 0.00 0.00 5.62 1.87
Padina australis 1.83 0.56 0.00 0.80
Rosenvingea intricata 0.00 0.00 2.59 0.86
Sargassum binderi 0.00 3.69 7.46 3.72
Sargassum crassifolium 3.08 3.76 6.87 4.57
Sargassum polycistum 0.00 3.01 6.12 3.04
Turbinaria conoides 0.00 5.37 8.16 4.51
Turbinaria ornata 10.72 6.29 0.00 5.67
Rhodophyta Acanthophora specifera 3.66 4.03 0.00 2.56
Actinoritchia fragilis 26.65 8.68 8.38 14.57
Amphiroa fragilissima 6.35 0.00 9.21 5.19
Gracilaria coronopifolia 0.00 3.87 4.17 2.68
Hypnea asperi 2.69 2.86 0.98 2.18
Kappaphycus alvarezii 0.00 4.65 0.00 1.55
215
Lampiran 8 Nilai Indeks Ochiai Makrofita di Pulau Barranglompo dan Pulau
Bonebatang
A. Nilai Indeks Ochiai pasangan spesies makrofita di Pulau Barranglompo
Kombinasi OI
C. rotundata-E. acoroides 0.76
C. rotundata-H. uninervis 0.32
C. rotundata-T. hemprichii 0.81
E. acoroides-T. hemprichii 0.94
E. acoroides-H. uninervis 0.40
H. uninervis-T. hemprichii 0.34
C. rotundata-A. spicifera 0.49
C. rotundata-L. papillosa 0.35
C. rotundata-D. bartayresiana 0.21
C. rotundata-G. coronopifolia 0.26
E. acoroides-A. spicifera 0.52
E. acoroides-L. papillosa 0.44
E. acoroides-D. bartayresiana 0.48
E. acoroides-G.coronopifolia 0.39
H. uninervis-A. spicifera 0.29
H. uninervis-L. papillosa 0.37
H. uninervis-D. bartayresiana 0.33
H. uninervis-G. coronopifolia 0.41
T. hemprichii-A. spicifera 0.55
T. hemprichii-L. papillosa 0.47
T. hemprichii-D. bartayresiana 0.37
T. hemprichii-G. coronopifolia 0.31
A. spicifera-L. papillosa 0.63
A.spicifera-D. bartayresiana 0.43
A. spicifera-G. coronopifolia 0.19
L.papillosa-D. bartayresiana 0.55
L.papillosa-G. coronopifolia 0.22
D. bartayresiana-G. coronopifolia 0.20
216
B. Nilai Indeks Ochiai pasangan spesies makrofita di Pulau Bonebatang
Kombinasi OI
C. rotundata-E. acoroides 0.65
C. rotundata-H. uninervis 0.81
C. rotundata-T. hemprichii 0.80
E. acoroides-T. hemprichii 0.62
E. acoroides-H. uninervis 0.80
H. uninervis-T. hemprichii 0.82
C. rotundata-A. spicifera 0.13
C. rotundata-A. fragilis 0.10
C. rotundata-G. coronopifolia 0.32
C. rotundata-S. crassifolium 0.52
E. acoroides-A. spicifera 0.25
E. acoroides-A. fragilis 0.49
E. acoroides-G. coronopifolia 0.25
E. acoroides-S. crassifolium 0.41
H. uninervis-A. spicifera 0.27
H. uninervis-A.fragilis 0.21
H. uninervis-G. coronopifolia 0.14
H. uninervis-S. crassifolium 0.27
T. hemprichii-A. spicifera 0.35
T. hemprichii-A. fragilis 0.46
T. hemprichii-G. coronopifolia 0.24
T. hemprichii-S. crassifolium 0.39
A. spicifera-A. fragilis 0.00
A. spicifera-G. coronopifolia 0.00
A. spicifera-S. crassifolium 0.00
A. fragilis-G. coronopifolia 0.00
A. fragilis-S. crassifolium 0.31
G. coronopifolia-S. crassifolium 0.44
217
Lampiran 9 Kelimpahan Makrofita Kelompok Status Ekologi I dan II di Pulau
Barranglompo dan Pulau Bonebatang
A. Kelimpahan Relatif (%) Makrofita Kelompok Status Ekologi I di Pulau
Barranglompo dan Pulau Bonebatang
Spesies Barranglompo Bonebatang
A B C A B C
Cymodocea rotundata 3.78 6.70 6.39 15.08 13.4 11.29
Enhalus acoroides 28.16 24.39 19.81 9.71 10.43 6.83
Halodule pinifolia 0.00 0.43 0.38 0.00 0.00 0.00
Halodule uninervis 8.33 3.14 3.26 7.70 11.03 10.34
Halophila minor 0.00 0.00 0.49 0.00 0.00 1.04
Halophila mayor 0.00 2.26 2.56 5.49 1.67 3.38
Syringodium isoetifolium 3.39 0.51 2.86 2.11 1.71 1.67
Thalassia hemprichii 12.98 10.22 15.66 25.88 17.99 18.42
Halimeda macroloba 0.00 1.10 0.00 0.00 1.10 1.10
Halimeda opuntia 0.60 2.20 0.00 0.00 3.30 0.00
Neomeris annulata 0.00 0.00 0.00 0.00 0.60 0.00
Hormophysa triquetra 0.60 0.00 0.00 0.00 2.20 0.00
Padina australis 1.10 2.20 0.00 3.30 1.70 0.00
Sargassum binderi 0.00 0.00 0.00 0.00 2.20 1.10
Sargassum crassifolium 0.00 2.20 1.10 1.10 3.30 5.50
Sargassum polycistum 0.60 0.00 2.20 0.00 1.70 2.80
Turbinaria conoides 0.00 0.00 0.00 0.00 0.60 1.10
Turbinaria ornata 0.00 0.00 0.60 1.10 1.10 0.00
Actinoritchia fragilis 0.00 2.20 1.10 1.10 2.20 3.90
Amphiroa fragilissima 0.00 0.00 0.00 1.10 1.70 0.00
Tutupan Total (%) 59.53 57.55 56.41 73.67 77.93 68.47
218
B. Kelimpahan Relatif (%) Makrofita Kelompok Status Ekologi II di Pulau
Barranglompo dan Pulau Bonebatang
Spesies Barranglompo Bonebatang
A B C A B C
Boodlea composita 0.60 0.60 1.70 0.00 0.00 0.00
Chlorodermis fastigiata 1.10 0.00 0.60 0.00 0.00 0.60
Dictyota bartayresiana 5.00 7.80 3.30 0.00 3.30 0.00
Rosenvingea intricata 0.00 2.80 4.40 0.00 0.00 4.40
Acanthophora muscoides 0.00 1.10 0.00 0.00 0.00 0.00
Acanthophora specifera 4.40 16.70 4.40 5.60 8.90 0.00
Euchema denticulatum 0.00 0.00 1.10 0.00 0.00 0.00
Euchema spinosum 0.00 0.30 0.60 0.00 0.00 0.00
Gelidiella acerosa 3.30 2.20 3.80 0.00 0.00 0.00
Gracilaria coronopifolia 0.00 2.20 4.40 0.00 3.30 5.60
Gracilaria salicornia 0.00 0.00 1.10 0.00 0.00 0.00
Hypnea asperi 0.00 0.60 0.00 2.20 1.10 2.20
Hypnea cervicornis 0.00 0.60 1.10 0.00 0.00 0.00
Laurencia papillosa 7.20 18.90 8.90 0.00 0.00 0.00
Hydroclathrus clathratus 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 4.40
Kappaphycus alvarezii 0.00 0.00 0.00 0.00 1.10 0.00
Tutupan Total (%) 21.60 53.80 35.40 7.80 17.70 17.20
219
Lampiran 10 Nilai Nutrien Jaringan Daun Enhalus acoroides dan Kolom air di
Pulau Barranglompo dan Pulau Bonebatang
A. Nilai Klorofil-a Jaringan Daun Lamun E. acoroides di Pulau Barranglompo
dan Pulau Bonebatang
Pulau Barranglompo Pulau Bonebatang
Selatan Timur Klorofil-a
(mg/m3)
Selatan Timur Klorofil-a
(mg/m3)
5 03 06.20 119 19 42.51 11.42 5 00 51.59 119 19 36.89 7.58
5 02 56.79 119 19 37.37 6.91 5 00 51.92 119 19 34.28 7.32
5 02 44.10 119 19 45.14 4.05 5 00 49.88 119 19 34.07 10.03
5 03 09.84 119 19 42.44 6.90 5 00 47.16 119 19 33.36 4.60
5 02 57.13 119 19 34.26 6.91 5 00 43.57 119 19 33.86 4.30
5 02 40.69 119 19 44.70 17.38 5 00 54.76 119 19 37.01 8.55
5 03 14.48 119 19 42.52 9.45 5 00 55.28 119 19 33.95 3.76
5 02 57.73 119 19 30.83 7.63 5 0050.09 119 19 31.00 5.99
5 02 37.63 119 19 44.19 5.14 5 00 45.24 119 19 31.25 4.16
B. Nilai Nitrat dan Fosfat Kolom Air di Pulau Barranglompo dan Pulau
Bonebatang
Pulau Barranglompo Pulau Bonebatang
Selatan Timur Nitrat
(mg/l)
Fosfat
(mg/l) Selatan Timur Nitrat
(mg/l)
Fosfat
(mg/l)
5 03 06.20 119 19 42.51 0.013 0.013 5 00 51.94 119 19 35.63 0.022 0.028
5 02 56.79 119 19 37.37 0.057 0.032 5 00 49.88 119 19 34.07 0.013 0.039
5 02 44.10 119 19 45.14 0.035 0.011 5 00 45.54 119 19 33.70 0.013 0.021
5 03 09.84 119 19 42.44 0.035 0.011 5 00 55.19 119 19 35.97 0.011 0.029
5 02 57.13 119 19 34.26 0.040 0.036 5 0050.09 119 19 31.00 0.028 0.024
5 02 40.69 119 19 44.70 0.031 0.011 5 00 43.07 119 19 32.23 0.018 0.019
5 03 14.48 119 19 42.52 0.035 0.012 5 00 59.03 119 19 36.34 0.011 0.024
5 02 57.73 119 19 30.83 0.044 0.069 5 00 50,22 119 19 27.69 0.012 0.024
5 02 37.63 119 19 44.19 0.040 0.077 5 00 40.79 119 19 30.49 0.027 0.027
220
Lampiran 11 Ukuran Butir Sedimen Habitat Padang Lamun Pulau Barranglompo
dan Pulau Bonebatang
A. Persentase rata-rata jenis sedimen pada setiap stasiun di Pulau Barranglompo
Jenis Sedimen
Ukuran
butir
(mm)
Stasiun
A B C
Kerikil .00 17.42 ± 15.39 12.20 ± 3.59 17.52 ± 5.77
Pasir sangat kasar 1.00 – 2.00 9.61 ± 4.50 8.35 ± 7.43 12.58 ± 13.49
Pasir kasar 0.50 – 1.00 16.32 ± 5.51 13.16 ± 8.06 19.06 ± 10.68
Pasir sedang 0.25 – 0.50 21.02 ± 12.82 12.76 ± 4.29 15.40 ± 4.47
Pasir halus 0.13 – 0.25 29.54 ± 17.76 38.44 ± 16.63 28.41 ± 19.13
Pasir sangat halus 0.06 – 0.13 5.30 ± 5.01 12.46 ± 7.94 5.09 ± 3.40
Lumpur < 0.06 0.79 ± 1.09 2.81 ± 2.11 1.94 ± 1.67
B. Persentase rata-rata jenis sedimen pada setiap stasiun di Pulau Bonebatang
Jenis Sedimen
Ukuran
butir
(mm)
Stasiun
A B C
Kerikil .00 18.78 ± 11.76 11.43 ± 3.61 17.95 ± 7.92
Pasir sangat kasar 1.00 – 2.00 16.56 ± 13.95 11.38 ± 1.36 16.61 ± 6.44
Pasir kasar 0.50 – 1.00 18.34 ± 13.16 16.34 ± 1.37 22.27 ± 5.77
Pasir sedang 0.25 – 0.50 15.85 ± 5.21 22.84 ± 3.78 21.90 ± 3.11
Pasir halus 0.13 – 0.25 25.91 ± 31.36 34.43 ± 7.86 18.78 ± 10.51
Pasir sangat halus 0.06 – 0.13 4.03 ± 4.56 3.19 ± 0.90 2.04 ± 0.58
Lumpur < 0.06 0.54 ± 0.62 0.40 ± 0.12 0.47 ± 0.26
221
Lampiran 12 Parameter Kualitas Perairan di Pulau Barranglompo dan Pulau
Bonebatang
A. Nilai Suhu Perairan di Pulau Barranglompo dan Pulau Bonebatang
Pulau Barranglompo Pulau Bonebatang
Selatan Timur Suhu
(oC)
Selatan Timur Suhu
(oC)
5 03 05.66 119 19 47.36 31.0 5 00 51.59 119 19 36.89 30.5
5 03 05.30 119 19 39.48 32.0 5 00 51.92 119 19 34.28 32.0
5 02 56.79 119 19 37.37 30.0 5 00 49.88 119 19 34.07 30.5
5 02 45.98 119 19 41.46 29.0 5 00 47.16 119 19 33.36 30.0
5 02 43 02 119 19 48.16 30.0 5 00 43.57 119 19 33.86 30.0
5 03 09.35 119 19 47.54 31.0 5 00 54.76 119 19 37.01 31.0
5 03 09.23 119 19 39.44 32.0 5 00 55.28 119 19 33.95 32.0
5 02 57.13 119 19 34.26 30.5 5 0050.09 119 19 31.00 31.0
5 02 42.29 119 19 41.07 29.5 5 00 45.24 119 19 31.25 30.0
5 02 40.07 119 19 47.71 31.0 5 00 41.24 119 19 33.45 30.0
5 03 14.10 119 19 47.58 31.0 5 00 58.19 119 19 37.88 31.0
5 03 13.43 119 19 39.28 32.0 5 00 59.05 119 19 33.34 32.0
5 02 57.73 119 19 30.83 30.5 5 00 50,22 119 19 27.69 31.0
5 02 38.27 119 19 40.51 29.5 5 00 43.09 119 19 29.44 30.0
5 02 36.75 119 19 46.63 31.0 5 00 38.43 119 19 32.28 30.0
B. Nilai Salinitas Perairan di Pulau Barranglompo dan Pulau Bonebatang
Pulau Barranglompo Pulau Bonebatang
Selatan Timur S (o/oo) Selatan Timur S (
o/oo)
5 03 05.66 119 19 47.36 31.0 5 00 51.59 119 19 36.89 30.5
5 03 05.30 119 19 39.48 31.5 5 00 51.92 119 19 34.28 32.0
5 02 56.79 119 19 37.37 31.0 5 00 49.88 119 19 34.07 30.5
5 02 45.98 119 19 41.46 30.0 5 00 47.16 119 19 33.36 30.0
5 02 43 02 119 19 48.16 29.5 5 00 43.57 119 19 33.86 30.0
5 03 09.35 119 19 47.54 31.0 5 00 54.76 119 19 37.01 31.0
5 03 09.23 119 19 39.44 32.0 5 00 55.28 119 19 33.95 32.0
5 02 57.13 119 19 34.26 30.5 5 0050.09 119 19 31.00 31.0
5 02 42.29 119 19 41.07 29.5 5 00 45.24 119 19 31.25 30.0
5 02 40.07 119 19 47.71 30.0 5 00 41.24 119 19 33.45 30.0
5 03 14.10 119 19 47.58 31.0 5 00 58.19 119 19 37.88 31.0
5 03 13.43 119 19 39.28 32.0 5 00 59.05 119 19 33.34 32.0
5 02 57.73 119 19 30.83 30.5 5 00 50,22 119 19 27.69 31.0
5 02 38.27 119 19 40.51 29.5 5 00 43.09 119 19 29.44 30.0
5 02 36.75 119 19 46.63 30.5 5 00 38.43 119 19 32.28 30.0
222
C. Nilai Kekeruhan Perairan di Pulau Barranglompo dan Pulau Bonebatang
Pulau Barranglompo Pulau Bonebatang
Selatan Timur Kekeruhan
(NTU)
Selatan Timur Kekeruhan
(NTU)
5 03 06.20 119 19 42.51 22.05 5 00 51.94 119 19 35.63 2.78
5 02 56.79 119 19 37.37 29.71 5 00 49.88 119 19 34.07 1.69
5 02 44.10 119 19 45.14 1.70 5 00 45.54 119 19 33.70 1.47
5 03 09.84 119 19 42.44 18.05 5 00 55.19 119 19 35.97 2.39
5 02 57.13 119 19 34.26 6.07 5 0050.09 119 19 31.00 1.28
5 02 40.69 119 19 44.70 2.16 5 00 43.07 119 19 32.23 0.86
5 03 14.48 119 19 42.52 2.97 5 00 59.03 119 19 36.34 0.93
5 02 57.73 119 19 30.83 7.23 5 00 50,22 119 19 27.69 1.42
5 02 37.63 119 19 44.19 0.66 5 00 40.79 119 19 30.49 0.57
D. Nilai Padatan Tersuspensi Total (TSS) di Pulau Barranglompo dan Pulau
Bonebatang
Pulau Barranglompo Pulau Bonebatang
Selatan Timur TSS
(mg/l)
Selatan Timur TSS
(mg/l) 5 03 06.20 119 19 42.51 15.33 5 00 51.94 119 19 35.63 10.20
5 02 56.79 119 19 37.37 16.14 5 00 49.88 119 19 34.07 10.73
5 02 44.10 119 19 45.14 18.53 5 00 45.54 119 19 33.70 9.46
5 03 09.84 119 19 42.44 13.77 5 00 55.19 119 19 35.97 8.57
5 02 57.13 119 19 34.26 13.22 5 00 50.09 119 19 31.00 11.11
5 02 40.69 119 19 44.70 12.64 5 00 43.07 119 19 32.23 8.75
5 03 14.48 119 19 42.52 15.84 5 00 59.03 119 19 36.34 8.91
5 02 57.73 119 19 30.83 16.12 5 00 50.22 119 19 27.69 10.62
5 02 37.63 119 19 44.19 15.10 5 00 40.79 119 19 30.49 6.67
223
E. Nilai Kecepatan Arus Perairan di Pulau Barranglompo dan Pulau Bonebatang
Pulau Barranglompo Pulau Bonebatang
Selatan Timur
Kec.
Arus
(m/s)
Arah Selatan Timur
Kec.
Arus
(m/s)
Arah
5 03 05.66 119 19 47.36 0.009 85 5 00 51.59 119 19 36.89 0.032 25
5 03 06.20 119 19 42.51 0.032 0 5 00 51.94 119 19 35.63 0.035 20
5 03 05.30 119 19 39.48 0.022 20 5 00 51.92 119 19 34.28 0.014 20
5 02 59.43 119 19 37.55 0.009 53 5 00 51.49 119 19 33.40 0.019 160
5 02 56.79 119 19 37.37 0.013 145 5 00 49.88 119 19 34.07 0.018 163
5 02 47.79 119 19 38.95 0.028 145 5 00 48.03 119 19 33.63 0.024 190
5 02 45.98 119 19 41.46 0.065 120 5 00 47.16 119 19 33.36 0.065 200
5 02 44.10 119 19 45.14 0.078 165 5 00 45.54 119 19 33.70 0.075 125
5 02 43 02 119 19 48.16 0.092 250 5 00 43.57 119 19 33.86 0.106 140
5 03 09.35 119 19 47.54 0.019 168 5 00 54.76 119 19 37.01 0.026 159
5 03 09.84 119 19 42.44 0.029 175 5 00 55.19 119 19 35.97 0.034 179
5 03 09.23 119 19 39.44 0.011 200 5 00 55.28 119 19 33.95 0.016 150
5 02 59.08 119 19 33.94 0.019 115 5 00 51.46 119 19 30.47 0.041 185
5 02 57.13 119 19 34.26 0.012 125 5 0050.09 119 19 31.00 0.024 350
5 02 47.01 119 19 34.07 0.041 135 5 00 48.10 119 19 30.10 0.036 210
5 02 42.29 119 19 41.07 0.073 80 5 00 45.24 119 19 31.25 0.045 136
5 02 40.69 119 19 44.70 0.077 350 5 00 43.07 119 19 32.23 0.069 165
5 02 40.07 119 19 47.71 0.095 19 5 00 41.24 119 19 33.45 0.097 150
5 03 14.10 119 19 47.58 0.015 95 5 00 58.19 119 19 37.88 0.028 220
5 03 14.48 119 19 42.52 0.021 150 5 00 59.03 119 19 36.34 0.026 60
5 03 13.43 119 19 39.28 0.018 185 5 00 59.05 119 19 33.34 0.018 30
5 02 59.05 119 19 30.28 0.013 350 5 00 52.01 119 19 26.20 0.021 48
5 02 57.73 119 19 30.83 0.009 330 5 00 50,22 119 19 27.69 0.046 235
5 02 46.58 119 19 28.82 0.037 210 5 00 48.19 119 19 26.48 0.037 270
5 02 38.27 119 19 40.51 0.081 161 5 00 43.09 119 19 29.44 0.053 105
5 02 37.63 119 19 44.19 0.13 165 5 00 40.79 119 19 30.49 0.082 142
5 02 36.75 119 19 46.63 0.087 150 5 00 38.43 119 19 32.28 0.126 170
F. Nilai Tinggi Gelombang Perairan di Pulau Barranglompo dan Pulau
Bonebatang
Pulau Barranglompo Pulau Bonebatang
Selatan Timur Tinggi
Glb (cm)
Selatan Timur Tinggi
Glb (cm) 5 03 06.20 119 19 42.51 1.82 5 00 51.94 119 19 35.63 2.45
5 02 56.79 119 19 37.37 1.86 5 00 49.88 119 19 34.07 2.18
5 02 44.10 119 19 45.14 2.41 5 00 45.54 119 19 33.70 3.08
5 03 09.84 119 19 42.44 2.18 5 00 55.19 119 19 35.97 2.88
5 02 57.13 119 19 34.26 2.96 5 0050.09 119 19 31.00 2.65
5 02 40.69 119 19 44.70 3.33 5 00 43.07 119 19 32.23 3.58
5 03 14.48 119 19 42.52 6.69 5 00 59.03 119 19 36.34 5.53
5 02 57.73 119 19 30.83 7.29 5 00 50,22 119 19 27.69 6.24
5 02 37.63 119 19 44.19 5.87 5 00 40.79 119 19 30.49 5.47
224
Lampiran 13 Ringkasan hasil uji t nutrien dan parameter kualitas air di Pulau
Barranglompo (Grup 1) dan Pulau Bonebatang (Grup 2)
Parameter Mean Grup
1
Mean Grup
2
t-value df p
LAI 2.62000 3.285926 -1.45019 52 0.15300
Karbon 34.76778 34.61875 0.093731 15 0.92656
Nitrogen 2.417778 1.748750 3.821587 15 0.00167
Fosfor 0.150000 0.143750 0.571897 15 0.57586
Stok karbon 148.5346 124.2307 1.077509 15 0.29828
Rasio CN 16.84317 24.93900 -2.94398 15 0.01006
Rasio CP 604.5410 641.5219 -0.686172 15 0.50307
Rasio NP 36.15576 27.81897 2.195120 15 0.04431
Klorofil 8.818889 6.254444 1.679232 16 0.11253
Nitrat 0.036667 0.019333 3.647400 16 0.00255
Fosfat 0.030211 0.026111 0.459277 16 0.65221
Suhu 30.26667 30.30000 -0.096333 58 0.92336
Salinitas 30.56667 30.73333 -0.649806 58 0.51838
Kekeruhan 10.06667 1.487778 2.436378 16 0.02690
TSS 15.18700 9.446889 7.567004 16 0.00000
Arus 0.040667 0.042267 -0.197875 58 0.84384
Gelombang 3.823333 3.784444 0.043748 16 0.96565
225
Lampiran 14. Hasil Analisis PCA Parameter Fisika-Kimia Perairan
A. Matriks Korelasi Antar Parameter
Suh Sal Aru Gel Ker PKa PSd PHa Lum TSS Kek Klo Nit Fos
Suh 1 -0.39 -0.73 -0.89 -0.33 -0.42 -0.24 0.48 0.03 -0.23 0.22 0.56 -0.21 -0.67
Sal -0.39 1 0.78 0.61 -0.26 0.47 0.25 -0.31 -0.18 -0.71 -0.89 -0.74 -0.70 0.24
Aru -0.73 0.78 1 0.92 0.24 0.70 0.15 -0.58 -0.07 -0.39 -0.68 -0.72 -0.39 0.45
Gel -0.89 0.61 0.92 1 0.31 0.56 -0.03 -0.46 0.13 -0.04 -0.51 -0.53 -0.08 0.71
Ker -0.33 -0.26 0.24 0.31 1 0.70 -0.00 -0.74 -0.33 0.15 0.020 -0.16 0.04 0.40
PKa -0.42 0.47 0.70 0.56 0.70 1 0.31 -0.94 -0.60 -0.53 -0.63 -0.72 -0.60 0.34
PSd -0.24 0.25 0.15 -0.03 -0.00 0.31 1 -0.54 -0.82 -0.33 -0.04 -0.76 -0.23 -0.39
PHa 0.48 -0.31 -0.58 -0.46 -0.74 -0.94 -0.54 1 0.74 0.38 0.39 0.77 0.42 -0.21
Lum 0.03 -0.18 -0.07 0.13 -0.33 -0.60 -0.82 0.74 1 0.51 0.24 0.69 0.51 0.24
TSS -0.27 -0.71 -0.39 -0.04 0.15 -0.53 -0.33 0.38 0.51 1 0.77 0.59 0.98 0.28
Kek 0.22 -0.89 -0.68 -0.51 0.02 -0.63 -0.04 0.39 0.24 0.77 1 0.60 0.84 -0.38
Klo 0.56 -0.74 -0.72 -0.53 -0.16 -0.72 -0.76 0.77 0.69 0.59 0.60 1 0.56 -0.09
Nit -0.21 -0.70 -0.39 -0.08 0.04 -0.60 -0.23 0.42 0.51 0.98 0.84 0.56 1 0.12
Fos -0.67 0.24 0.46 0.71 0.40 0.34 -0.39 -0.21 0.24 0.28 -0.38 -0.09 0.12 1
Keterangan: Suh=suhu, Sal=salinitas, Aru=Kecepatan arus, Gel=Tinggi gelombang, Ker=Kerikil,
PKa=pasir kasar, PSd=Pasir sedang, Pha=Pasir halus, Lum=Lumpur, TSS=Total
suspended solid, Kek=Kekeruhan, Klo=Klorofil-a, Nit=Nitrat, Fos=Fosfat
B. Rataan dan Standar Deviasi Parameter
Rataan Std. Dev.
Suhu 30.283 0.117
Salinitas 30.650 0.152
Arus 0.042 0.003
Gelombang 3.805 1.894
Kerikil 15.883 3.197
Pasir Kasar 15.048 3.157
Pasir Sedang 18.295 4.149
Pasir Halus 17.302 4.938
Lumpur 1.158 0.991
TSS 12.318 3.371
Kekeruhan 5.777 6.547
Klorofil 7.538 2.068
Nitrat 0.029 0.014
Fosfat 0.027 0.007
C. Akar Ciri Sumbu F1 dan F2
F1 F2
Eigenvalue 6.678 3.219
% Variance 47.703 22.991
Cumulative % 47.703 70.694
226
Lampiran 15. Hasil Analisis Correspondence Analysis (CA) komunitas lamun
A. Eigenvalue dan persentase varians
F1 F2 F3 F4 F5
Eigenvalue 0.066 0.032 0.016 0.007 0.001
% variance 54.014 25.781 13.407 6.018 0.780
Cumulative % 54.014 79.795 93.202 99.220 100.000
B. Kordinat titik-baris
F1 F2 F3 F4 F5
BLA 0.988 -1.844 0.682 -0.134 -0.374
BLB 1.015 0.697 -1.471 -1.086 -0.375
BLC 0.950 1.285 1.144 0.872 0.615
BBA -0.836 0.039 -0.606 1.452 -1.351
BBB -0.781 -0.559 -0.787 0.262 1.841
BBC -1.336 0.382 1.038 -1.366 -0.355
C. Cosine kuadrat titik-baris
F1 F2 F3 F4 F5
BLA 0.359 0.597 0.042 0.001 0.001
BLB 0.533 0.120 0.278 0.068 0.001
BLC 0.428 0.375 0.154 0.040 0.003
BBA 0.664 0.001 0.087 0.223 0.025
BBB 0.629 0.154 0.159 0.008 0.051
BBC 0.766 0.030 0.115 0.089 0.001
D. Kordinat titik-kolom
F1 F2 F3 F4 F5
C. rotundata -0.493 0.616 -0.721 0.091 1.576
E. acoroides 1.541 -0.562 -0.077 -0.820 0.022
H. pinifolia 3.825 5.530 -1.592 -1.599 3.380
H. uninervis -1.232 -1.105 0.087 -0.420 0.177
H. minor -1.958 4.004 8.406 -6.414 -0.064
H. ovalis -0.517 2.556 -0.444 0.467 -1.106
S. isoetifolium 0.889 -0.327 2.716 3.017 1.178
T. hemprichii -0.065 0.181 -0.130 0.394 -1.099
227
E. Cosine kuadrat titik-kolom
F1 F2 F3 F4 F5
C. rotundata 0.412 0.307 0.218 0.002 0.061
E. acoroides 0.913 0.058 0.001 0.029 0.000
H. pinifolia 0.483 0.482 0.021 0.009 0.005
H. uninervis 0.715 0.275 0.001 0.009 0.000
H. minor 0.114 0.228 0.522 0.136 0.000
H. ovalis 0.077 0.897 0.014 0.007 0.005
S. isoetifolium 0.213 0.014 0.494 0.274 0.005
T. hemprichii 0.071 0.265 0.072 0.295 0.297
228
Lampiran 16 Ringkasan hasil uji t kepadatan dan diameter cangkang bulu babi di
Pulau Barranglompo dan Pulau Bonebatang
A. Ringkasan hasil uji t kepadatan bulu babi di Pulau Barranglompo (Grup 1)
dan Pulau Bonebatang (Grup 2)
Spesies Rataan
Grup 1
Rataan
Grup 2
Nilai-t df p
Diadema setosum 1.2759 1.2804 -0.0129 52 0.98973
Echinothrix calamaris 0.1637 0.2419 -1.2146 52 0.23002
Echinothrix diadema 0.0693 0.1059 -1.1284 52 0.26433
Echinometra mathaei 0.0773 0.0737 0.1079 52 0.91453
Mespilia globulus 0.1267 0.4522 -1.9733 52 0.05417
Tripneustes gratilla 1.3707 1.5685 -0.4327 52 0.66714
B. Ringkasan hasil uji t diameter cangkang bulu babi di Pulau Barranglompo
(Grup 1) dan Pulau Bonebatang (Grup 2)
Spesies Rataan
Grup 1
Rataan
Grup 2
Nilai-t df p
Diadema setosum 4.7766 4.6070 0.8442 138 0.40003
Echinothrix calamaris 5.6007 5.5893 0.1005 58 0.92034
Echinothrix diadema 4.9453 4.9759 -0.1371 32 0.89184
Echinometra mathaei 3.3160 3.1380 1.9905 30 0.05673
Mespilia globulus 3.2176 3.2920 -0.6942 48 0.49088
Tripneustes gratilla 5.8801 6.0440 -1.8464 222 0.06617
229
230