sindrom metabolik 1

15
SINDROM METABOLIK DEFINISI Berdasarkan the National Cholesterol Education Program Third Adult Treatment Panel (NCEP-ATP III) yang telah banyak diterima secara luas, Sindrom Metabolik adalah seseorang dengan memiliki sedikitnya 3 kriteria berikut: 1). Obesitas abdominal (lingkar pinggang > 88 cm untuk wanita dan untuk pria > 102 cm); 2). Peningkatan kadar trigliserida darah (≥ 150 mg/dL, atau ≥ 1,69 mmol/ L); 3). Penurunan kadar kolesterol HDL (< 40 mg/dL atau < 1,03 mmol/ L pada pria dan pada wanita < 50 mg/dL atau <1,29 mmol/ L); 4). Peningkatan tekanan darah (tekanan darah sistolik ≥ 130 mmHg, tekanan darah diastolik ≥ 85 mmHg atau sedang memakai obat anti hipertensi); 5). Peningkatan glukosa darah puasa (kadar glukosa puasa ≥ 110 mg/dL, atau ≥ 6,10 mmol/ L atau sedang memakai obat anti diabetes) (Adult Treatment Panel III, 2001) EPIDEMIOLOGI Di US, peningkatan kejadian obesitas mengiringi peningkatan prevalensi sindrom metabolic. Prevalensi sindrom metabolic pada populasi usia > 20 tahun sebesar 25% dan pada usia > 50 tahun sebesar 45%. di Indonesia prevalensi Sindrom Metabolik sekitar 13,13% (Soegondo, 2004). Penelitian di DKI Jakarta tahun 2006 melaporkan prevalensi sindrom metabolik

Upload: mentari

Post on 01-Dec-2015

48 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

sindrom metabolik

TRANSCRIPT

Page 1: SINDROM METABOLIK 1

SINDROM METABOLIK

DEFINISI

Berdasarkan the National Cholesterol Education Program Third Adult Treatment

Panel (NCEP-ATP III) yang telah banyak diterima secara luas, Sindrom Metabolik adalah

seseorang dengan memiliki sedikitnya 3 kriteria berikut:

1). Obesitas abdominal (lingkar pinggang > 88 cm untuk wanita dan untuk pria > 102 cm);

2). Peningkatan kadar trigliserida darah (≥ 150 mg/dL, atau ≥ 1,69 mmol/ L);

3). Penurunan kadar kolesterol HDL (< 40 mg/dL atau < 1,03 mmol/ L pada pria dan pada

wanita < 50 mg/dL atau <1,29 mmol/ L);

4). Peningkatan tekanan darah (tekanan darah sistolik ≥ 130 mmHg, tekanan darah diastolik ≥

85 mmHg atau sedang memakai obat anti hipertensi);

5). Peningkatan glukosa darah puasa (kadar glukosa puasa ≥ 110 mg/dL, atau ≥ 6,10 mmol/

L atau sedang memakai obat anti diabetes) (Adult Treatment Panel III, 2001)

EPIDEMIOLOGI

Di US, peningkatan kejadian obesitas mengiringi peningkatan prevalensi sindrom

metabolic. Prevalensi sindrom metabolic pada populasi usia > 20 tahun sebesar 25% dan pada

usia > 50 tahun sebesar 45%. di Indonesia prevalensi Sindrom Metabolik sekitar 13,13%

(Soegondo, 2004). Penelitian di DKI Jakarta tahun 2006 melaporkan prevalensi sindrom

metabolik yang tidak jauh berbeda dengan Depok yaitu 26,3% dengan obesitas sentral

merupakan komponen terbanyak (59,4%).

ETIOLOGI & FAKTOR RISIKO

Komponen utama dari sindrom metabolik meliputi :

· Resistensi insulin

· Obesitas abdominal/sentral

· Hipertensi

· Dislipidemia :

- Peningkatan kadar trigliserida

- Penurunan kadar HDL kolesterol

Page 2: SINDROM METABOLIK 1

Faktor lain pencetus sindrom metabolic yaitu

1. Diet yang salah

Pada sindrom metabolik yang menjadi perhatian adalah bukan berapa banyak

makanan yang dimakan, tapi apa jenis makanan yang dimakan. Konsumsi makanan dengan

tinggi karbohidrat yang mengandung gula putih dan tepung terigu menyababkan terjadinya

sindrom metabolik dalam masyarakat modern sekarang ini.

2. Kelebihan berat badan

Sindrom metabolic lebih banyak ditemui pada orang dengan kelebihan berat badan,

dengan penimbunan lemak pada tubuh bagian atas. Jadi sindrom metabolic banyak ditemui

pada orang dengan bentuk tubuh seperti apel. Timbunan lemak pada daerah atas tubuh

mempermudah produksi hormone pria seperti androstenedione. Bila kadar hormone tersebut

meningkat maka dapat menyebabkan resistensi insulin.

3. Sindrom ovarium polikistik

Sindrom ini merupakan bentuk gangguan hormonal yang sering ditemui pada wanita,

diderita oleh 6-10% wanita premenopause. Pada keadaan ini produksi hormone wanita

meningkat, sehingga ovulasi dihambat. Karena ovulasi tidak terjadi, maka produksi hormone

wanita progesterone menjadi terhambat, menyebabkan gangguan menstruasi dan infertilitas.

Wanita dengan sindrom ovarium polikistik mempunyai tendensi mengalami sindrom

metabolic lebih besar, dan tujuh kali lebih sering mengalami diabetes mellitus tipe 2,

terutama jika ,mereka juga mengalami kelebihan berat badan.

4. Faktor Genetic

Bila diantara anggota keluarga mempunyai riwayat obesitas, diabetes mellitus tipe 2,

hipertensi, sindrom ovarium polikistik atau penyakit jantung, maka resiko untuk mengalami

sindrom metaboolik meningkat.

5. Fitness dan Exercise

Resistensi insulin lebih umum ditemui pada orang yang biasa hidup dengan cara

lifestyle buruk dan tidak melakukan olahraga secara teratur. Kekurangan latihan olahraga

akan meningkatkan resiko sindrom metabolic sebanyak 20-25%. Meskipun latihan olahraga

teratur akan menurunkan resistensi insulin, manfaatnya akan hilang bila latihan olahraga

tersebut dihentikan. Merokok dapat sedikit meningkatkan resistensi insulin, sedangkan

minuman beralkohol 1-2 gelas/hari tidak meningkatkan tendensi sindrom metabolic.

PATOFISIOLOGI

- Obestitas Sentral

Page 3: SINDROM METABOLIK 1

Obesitas yang digambarkan dengan IMT tidak begitu sensitive dalam

menggambarkan resiko kardiovaskular dan gangguan metabolic yang terjadi. Studi

menunjukkan bahwa obesitas sentral yang digambarkan oleh lingkar perut lebih sensitif

dalam memprediksikan gangguan metabolik dan risiko kardiovaskular. Lingkar perut

menggambarkan baik jaringan adipose subkutan dan visceral. Meski dikatakan bahwa lemak

visceral lebih berhubungan dengan kompilkasi metabolik dan kardivaskular, hal ini masih

kontroversial. Peningkatan obesitas beresiko pada peningkatan kejadian resiko kardivaskular.

Variasi faktor genetik membuat perbedaan dampak metabolik maupun kardiovaskular dari

obesitas. Seorang obesitas dapat tidak berkembang menjadi resistensi insulin dan sebaliknya

resitensi insulin dapat ditemukan pada individu tanpa obes. Interaksi faktor genetik dan

lingkungan akan memodifikasi tampilan metabolik dari suatau resistensi insulin maupun

obesitas.

Jaringan adipose merupakan sebuah organ endokrin yang aktif mensekresi berbagai

faktor pro ana anti inflamasi seperti leptin, adinopektin, Tumor nekrosis faktor alfa (TNF-a),

Interleukin-6, dan resistin. Konsentrasi adinopektin plasma menurun pada kondisi DM tipe 2

dan obesitas. Senyawa ini diprediksikan dapat memiliki antiaterogenik pada hewan coba dan

manusia. Sebaliknya, konsentrasi leptin meningkat pada kondisi resistensi insulin dan

obesitas dan berhubungan dengan resiko kejadian kardiovaskular tidak bergantung dari

faktor risiko tradisional, IMT, dan konsentrasi CRP. Sejauh ini belum diketahui apakah

pengukuran marker hormonal dari jaringan adipose lebih baik daripada pengukuran secara

anatomi dalam mempridiksikan resiko kardivaskular dan kelainan metabolik yang terkait.

- Resistensi Insulin

hipotesis yang paling diterima untuk menjelaskan patofisiologi sindrom metabolik

adalah resistensi insulin. Terjadinya resistensi insulin akan didahului dengan postprandial

hyperinsulinemia, diikuti dengan berpuasa hyperinsulinemia dan, akhirnya,

hiperglikemia. Asam lemak mengganggu insulin-mediated uptake glukosa dan terakumulasi

sebagai trigliserida, sedangkan peningkatan produksi glukosa dan trigliserida terakumulasi

dalam hati.

Resistensi insulin mendasari kelompok kelainan pada sindrom metabolik. Sejauh ini

belum disepakati pengukuran yang ideal dan praktis untuk resistensi insulin. teknik clamp

merupakan teknik yang ideal namun tidak praktis. Pemeriksaan glukosa plasma puasa juga

tidak ideal mengingat toleransi glukosa puasa hanya dijumpai pada 10% sindroma metabolik.

Pengukuran Homeostatis Model Assesment (HOMA) dan Quantitative Insulin Sensitivity

Page 4: SINDROM METABOLIK 1

Check Indeks (QUICKI) dibuktikan berkolerasi erat dengan pemeriksaan standar, sehingga

dapat disarankan untuk mengukur resitensi insulin. bila melihat dari patofisiologi resistensi

insulin yang melibatkan jaringan adipose dan sistem kekebalan tubuh, maka pengukuran

resistensi insulin hanya dari pengukuran glukosa dan insulin (seperti rumus HOMA dan

QUICKI) perlu ditinjau ulang. Oleh karenanya, penggunaan rumus ini secara rutin di klinis

disarankan maupun disepakati.

- Displidemia

Displidemia yang khas pada sindroma metabolik ditandai dengan peningkatan TG dan

penurunan kolesterol HDL. Kolesterol LDL biasanya normal, namun mengalami perubahan

struktur berupa peningkatan small dense LDL. Peningkatan konsentrasi TG plasma

dipikirkan akibat peningkatan masukan asam lemak bebas ke hati sehingga terjadi

peningkatan produksi TG. Namun pada studi manusia dan hewan menunjukkan bahwa

peningkatan TG tersebut bersifat multifaktorial dan tidak hanya diakibatkan oleh peningkatan

masukan asam lemak bebas ke hati.

Penurunan kolesterol HDL disebabkan peningkatan TG sehingga terjadi transfer TG

ke HDL. Namun pada subjek dengan resistensi insulin dan konsentrasi TG normal dapat

ditemukan pada penurunan kolesterol HDL. Sehingga dipikirkan terdapat mekanisme lain

yang menyebabkan penurunan kolesterol HDL disamping peningkatan TG. Mekanisme yang

dipikirkan berkaitan dengan gangguan masukan lipid post prandial pada kondisi resitensi

insulin sehingga terjadi gangguan produksi Apolipoprotein A-1 (Apo A-1) oleh hati yang

selanjutnya melibatkan penurunan kolesterol HDL. Peran sistem imunitas pada resitensi

insulin juga berpengaruh pada perubahan profil leipid pada subjek dengan resistensi insulin.

studi pada hewan menunjukkan bahwa aktivasi sistem imun akan menyebabkan gangguan

pada lipoprotein, protein transport, respetor, dan enzim yang berkaitan sehingga terjadi

perubagan konsentrasi profil lipid.

Peran sistem imunitas pada resistensi insulin

Inflamasi subklinis kronis juga merupakan bagian dari sindrom metabolik. Marker

inflamasi berperan pada progresifitas DM dan komplikasi kardiovaskular. CRP dilaporkan

menjadi data prognosis tambahan pada wanita sehat dengan sindrom metabolik. Namun,

belum didapatkan kesepakatan alur diagnosis yang mampu menggabungkan peningkatan

CRP, koagulasi, dan gangguan fibrinolisis dalam memprediksikan resiko kardiovaskular.

- Hipertensi

Resitensi insulin juga berperan pada pathogenesis hipertensi. Insulin merangsang sistem saraf

simpatis meningkatkan reabsorbsi natrium ginjal, mempengaruhi transport kation dan

Page 5: SINDROM METABOLIK 1

mengakibatkan hipertfrofi otot polos pembuluh darah. Pemeberian infus insulin akut dapat

menyebabkan hipotensi akibat vasodilatasi. Sehingga disimpulkan bahwa hipertensi akibat

resistensi insulin terjadi akibat ketidakseimbangan efek pressor dan depressor. The insulin

Resistance Atherosclerosis Study melaporkan hubungan antara resistensi insulin dengan

hipertensi pada subjek normal namun tidak pada subjek dengan DM tipe 2.

I. LANGKAH DIAGNOSTIK

Terhadap individu yang dicurigai mengalami Sindrom Metabolik hendaklah dilakukan evaluasi klinis, yang meliputi

A. Anamnesis

-Riwayat keluarga dan penyakit sebelumnya.

-Riwayat adanya perubahan berat badan.

-Aktifitas fisik sehari-hari.

-Asupan makanan sehari-hari

B. Pemeriksaan Fisik

-Pengukuran tinggi badan, berat badan dan tekanan darah

-Pengukuran Indeks Massa Tubuh (IMT)

- Pengukuran lingkaran pinggang merupakan prediktor yang lebih baik terhadap risiko kardiovaskular daripada pengukuran waist-to-hip ratio.

C. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium, meliputi :

-Kadar glukosa plasma dan profil lipid puasa.

-Pemeriksaan klem euglikemik atau HOMA (homeostasis model assessment) untuk menilai resistensi insulin secara akurat biasanya hanya dilakukan dalam penelitian  dan tidak praktis diterapkan  dalam penilaian klinis.

-Highly sensitive C-reactive protein

-Kadar asam urat dan tes faal hati dapat menilai adanya NASH.

-USG abdomen diperlukan untuk mendiagnosis adanya fatty liver karena kelainan ini dapat dijumpai walaupun tanpa adanya gangguan faal hati

II. PENATALAKSANAAN

Page 6: SINDROM METABOLIK 1

A. TERAPI NON-MEDIKAMENTOSA

Terapi diet Terapi diet direncanakan berdasarkan individu. Hal ini bertujuan untuk membuat

deficit 500 hingga 1000kcal/hari menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari program

penurunan berat badan apapun. Sebelum menganjurkan deficit kalori sebesar 500 hingga

kcal/hari sebaiknya diukur kebutuhan energy basal dapat menggunakan rumus dari Harris-

Benedict:

Laki-laki: B.E.E = 66.5 + (13,75 × kg) + (5.003 × cm) – (6.775 × age)

Perempuan: B.E.E = 655.1 + (9.563 × kg) + 1.850 × cm) – (4.676 × age)

Kebutuhan kalori total sama dengan BEE dikali dengan jumlah factor stress dan

aktivitas. Factor stress ditambah aktivitas berkisar dari 1.2 sampai lebih dari 2. Disamping

pengurangan lemak jenuh, total lemak seharusnya kurang dan sama dengan 30 persen dari

total kalori. Pengurangan persentase lemak dalam menu sehari-hari saja tidak dapat

menyebabkan penurunan berat badan, kecuali total kalori juga berkurang. Ketika asupan

lemak dikurangi, prioritas harus diberikan untuk mengurangi lemak jenuh. Hal tersebut

bermaksud untuk menurunkan kolesterol-LDL.

Aktivitas Fisik

Peningkatan aktivitas fisik merupakan komponen penting dari program penurunan

berat badan, walaupun aktivitas fisik tidak menyebabkan penurunan berat badan lebih banyak

dalam jangka waktu enam bulan. Kebanyakan penurunan berat badan terjadi karena

penurunan asupan kalori. Aktivitas fisik yang lama sangat membantu pada pencegahan

peningkatan berat badan. Keuntungan tambahan aktivitas fisik adalah terjadi pengurangan

risiko kardiovaskular dan diabetes lebih banyak dibandingkan dengan penguranan berat

badan tanpa aktivitas fisik saja. Aktivitas fisik yang berdasarkan gaya hidup cenderung lebih

berhasil menurunkan berat badan dalam jangka waktu panjang dibandingkan dengan program

latihan yang terstruktur.

Untuk pasien obes, terapi harus dimulai secara perlahan, dan intensitasnya sebaiknya,

ditingkatkan secara bertahap. Latihan dapat dilakukan seluruhnya pada satu saat atau secara

bertahap sepanjang hari. Pasien dapat memulai aktivitas fisik dengan berjalan selama 30

menit dengan jangka waktu 3 kali seminggu dan dapat ditingkatkan intensitasnya selama 45

menit dengan jangka waktu 5 kali seminggu. Dengan regimen ini, pengeluaran energy

tambahan sebanyak 100 sampai 200 kalori per hari dapat dicapai. Regimen ini dapat

diadaptasi kedalam berbagai bentuk aktivitas fisik lain, tetapi jalan kaki lebih menarik karena

Page 7: SINDROM METABOLIK 1

keamananya dan kemudahannya. Pasien harus dimotivasi untuk meningkatkan aktivitas

sehari-hari seperti naik tangga daripada naik lift. Seiring waktu, pasien dapat melakukan

aktivitas yang lebih berat.

Terapi perilaku

Untuk mencapai penurunan berat badan dan mempertahankannya diperlukan suatu

strategi untuk mengatasi hambatan yang muncul pada saat terapi diet dan aktivitas fisik.

Strategi yang spesifik meliputi pengawasan mandiri terhadap kebiasaan makan dan aktivitas

fisik, manajemen stress, stimulus control, pemecahan masalah, contingency management,

cognitive restructuring dan dukungan social.

Terapi Nutrisi

Selalu merupakan tahap awal penatalaksanaan seseorang dengan dislipidemia, oleh

karena itu disarankan untuk berkonsultasi dengan ahli gizi. Pada dasarnya adalah pembatasan

jumlah kalori dan jumlah lemak. Pasien dengan kadar kolesterol LDL atau kolesterol total

tinggi dianjurkan untuk mengurangi asupan lemak jenuh, dan meningkatkan asupan lemak

tidak jenuh rantai tunggal dan ganda (mono unsaturate fatty acid = MUFA dan poly

unsaturated fatty acid = PUFA). Pada pasien dengan kadar trigliserida yang tinggi perlu

dikurangi asupan karbohidrat, alcohol dan lemak.

Komposisi Makanan untuk Hiperkolesterolemia

Makanan Asupan yang Dianjurkan

Total lemak 20-25% dari kalori total

Lemak jenuh <7% dari kalori total

Lemak PUFA sampai 10% dari kalori total

Lemak MUFA sampai 10% dari kalori total

Karbohidrat 60% dari kalori total (terutama KH kompleks)

Serat 30 gr per hari

Protein sekitar 15% dari total kalori

Kolesterol <200 mg/hari

Edukasi

Dokter - dokter keluarga mempunyai peran besar dalam penatalaksanaan pasien

dengan SindromMetabolik, karena mereka dapat mengetahui dengan pasti tentang gaya hidup

pasien serta hambatan - hambatan yang dialami mereka dalam usaha memodifikasi gaya

hidup tersebut.

Page 8: SINDROM METABOLIK 1

B. TERAPI MEDIKAMENTOSA

Obesitas

Dua obat yang dapat digunakan dalam menurunkan berat badan adalah subutramin

dan orlistat. Dengan mempertimbangkan peranan otak sebagai regulator berat badan,

sibutramin dapat dipertimbangkan dengan memperhatikan kemungkinan efek samping. Cara

kerjanya di central memberikan efek mengungi asupan energi melalui efek mempercepat rasa

kenyang dan mempertahankan pengeluaran energi setelah berat badan turun, dapat

memberikan efek tidak hanya penurunan berat badan namun juga mempertahankan berat

badan yang sudah turun. Demikian pula dengan efek metabolik, sebagai efek dari penurunan

berat badan, pemberian sibutramin setelah 24 minggu yang disertai dengan diet dan aktivitas

fisik, memperbaiki konsentrasi trigliserida dan kolesterol HDL.

Hipertensi

Beberapa studi menyarankan pemakaian ACE inhibitor sebagai lini pertama

penyandang hipertensi pada sindrom metabolik terutama bila ada DM. Angiotensin receptor

blocker (ARB) dapat digunakan apabula tidak toleran terhadap ACE inhibitor. Meski

pemberian diuretik tidak dianjurkan pada subjek dengan gangguan toleransi glukosa, namun

pemberian diuretik dosis rendah yang dikombinasi dengan regimen lain dapat lebih

bermanfaat bila dibandingkan efek sampingnya.

Gangguan toleransi glukosa

Tiazolidindion memiliki pengaruh yang ringan tetapi persisten dalam menurunkan

tekanan darah sistolik dan diastolik. Tiazolidindion dan metformin juga dapat menurunkan

konsentrasi asam lemak bebas. Dalam Diabetes Prevention Program, penggunaan metformin

dapat mengurangi progresi didabetes sebesar 31% dan efektif pada pasien muda dengan obes.

Dislipidemia

Apabila gagal dengan pengobatan non-farmakologis maka harus dimulai dengan

pemberian obat penurun lipid. Terapi dengan gemfibrozil tidak hanya memperbaiki profil

lipid, tetapi juga secara bermakna dapat menurunkan risiko kardiovaskular. NCEP-ATP III

menganjurkan sebagai obat pilihan untama adalah golongan HMG-CoA reductase inhibitor,

oleh karena sesuai dengan kesepakatan kadar kolesterol-LDL merupakan sasaran utama

pencegahan penyakit arteri koroner. Pada keadaan dimana kadar trigliserida tinggi misalnya >

400 mg/dl maka perlu dimulai dengan golongan asam fibrat untuk menurunkan kadar

trigliserida, oleh karena kadar trigliserida yang tinggi dapat mengakibatkan pancreatitis akut.

Apabila kadar trigliserida sudah turun dan kadar kolesterol-LDL belum mencapai sasaran

maka dapat diberikan pengobatan kombinasi dengan HMG CoA reductase inhibitor.

Page 9: SINDROM METABOLIK 1

Kombinasi tersebut sebaiknya dipilih asam fibrat fenofobrat jangan gemfibrosil. Dengan

berkembangnya obat ombinasi dalam satu tablet (fixed dose combination), maka pilihan obat

akan mengalami perubahan. Sebagi contoh kombinasi lovostatin dan asam nikotinik lepas

lambat Niaspan) dikenal dengan Advicor telah dibuktikan jauh lebih efektif dibandingakn

dengan lovostatin sendiri atau asam nikotinik sendiri dalam dosis yang tinggi. Kombinasi

simvastatin dengan ezetimibe yaitu Vytorin, ternyata mempunyai efek lebih dibandingkan

dengan simvastatin dosis tinggi tunggal. Obat kombinasi dalam satu tablet mungkin akan

lebih banyak digunakan bagi mereka dimana kadar kolesterol-LDL harus sangat rendah atau

kolesterol-HDL perlu ditingkatkan.

Terapi bedah

Terapi bedah merupakan salah satu pilihan untuk menurunkan berat badan. Terapi ini

hanya memberikan pada pasien obesitas berat secara klinis dengan BMI ≥ 40 atau ≥ 35

dengan kondisi komorbid. Terapi bedah ini harus dilakukan dengan alternative terakhir untuk

pasien yang gagal dengan farmakoterapi dan menderita komplikasi obesitas yang ekstrem.

Bedah gastrointestinal (restriksi gastric [banding vertical gastric] atau bypass gastric [Roux-

en Y]) adalah suatu intervensi penurunan berat badan pada subyek yang bermotivasi dengan

resiko operasi yang rendah. Suatu program yang terintegrasi harus dilakukan baik sebelum

maupun sesudah untuk memberikan panduan diet, aktivitas fisik, dan perubahan perilaku

serta dukungan social.

III. KOMPLIKASI

Kegemukan (obesitas), tekanan darah tinggi, diabetes mellitus dan dislipidemia secara

sendiri-sendiri sudah sejak lama diketahui sebagai factor resiko terjadinya penyakit jantung

koroner. Demikian pula adanya factor-faktor tersebut secara bersamaan pada seseorang telah

sangat dikenal akan jauh meningkatkan kemungkinan terjadinya Penyakit jantung Koroner.

Dengan demikian penderita dengan Sindroma Metabolik kemungkinan untuk mendapatkan /

terkena penyakit jantung koroner dan penyakit kardiovaskuler lainnya akan meningkat.

IV. PROGNOSIS

Baik kalau segera ditangani ketika muncul gejala Sinrom Metabolik

V. PREVENTIF

Pada umumnya menjaga factor resiko sesuai dengan etiologi dari sindrom metabolic,

serta menjaga untuk mendapatkan berat badan ideal pada pasien obesitas dan selalu

memeriksa profil lipid pada pasien yang mempunyai resiko terkena penyakit tersebut. Diet

serta aktivitas fisik untuk mencegah kegemukan.

Page 10: SINDROM METABOLIK 1

DAFTAR PUSTAKA

Sudoyo AW, et all. S. Ilmu Penyakit Dalam. Edisi kelima jilid III. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2009.h. 1865-72.

Sylvia, A , Prince, Lorraine , et. al. Patofisiologi. 6th ed, vol. 1. Jakarta : EGC 2006; h.1202-1213.

Syarif, Aamir. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.2008.h:493-5.