simbolisasi hiperrealitas pada tayangan reality show trans tv

24

Click here to load reader

Upload: marcelinarachmawati

Post on 24-Jul-2015

377 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: Simbolisasi Hiperrealitas Pada Tayangan Reality Show Trans TV

Simbolisasi Hiperrealitas pada Tayangan Reality Show

Trans TV

Disusun Oleh :

1. Ade Kurnia P. ( 08330041 )

2. Agatha Christie ( 08330044 )

3. Marcelina R. ( 08330055 )

4. Geovani Jonggi Wijaya ( 08331003 )

Program Studi Ilmu Komunikasi

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Merdeka Malang

2011

Page 2: Simbolisasi Hiperrealitas Pada Tayangan Reality Show Trans TV

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Fakta dan Realita

Berbicara tentang realitas memang terus menjadi perdebatan dari

waktu ke waktu. Apakah realitas yang kita sebut adalah segala sesuatu

yang ditangkap indra semata. Hingga sesuatu yang tak mampu ditangkap

adalah nonreal. Lalu bagaimana dengan realitas yang hadir dalam televisi.

Realita yang ditampilkan televisi adalah realita media. Realita yang telah

mengalami hasil seleksi, yang disebut realita tangan kedua (second hand

reality).

Inilah yang harusnya dipahami lebih lanjut bahwa terdapat perbedaan

signifikan antara realita media dan realita dunia. Jika tak dapat

memisahkan dengan jelas kedua realita ini maka akan semakin kaburlah

perbedaan diantara keduanya. Akan tumpang tindih antara realita dan citra.

Pada perkembangan berikutnya, citra ini bisa menjadi lebih nyata dari

realita itu sendiri. Kondisi inilah yang disebut hiperealitas media. Keadaan

dimana kesemuan dianggap lebih nyata daripada kenyataan; kepalsuan

dianggap lebih benar daripada kebenaran; isu lebih dipercaya ketimbang

informasi; rumor dianggap lebih benar ketimbang kebenaran.

Berkaitan dengan kehadiran realitas media ini, menurut Baudrillard,

ada empat fase dalam pertimbangan citra atau image, yaitu: Pertama, citra

adalah cerminan atau refleksi dari realitas. Kedua, citra membelokkan

realitas. Ketiga, citra menutupi realitas dan yang Keempat, citra sama

sekali tidak berkaitan dengan realitas; citra merupakan simulakra murni.

Sinetron, iklan, reality show, hingga pemberitaan televisi adalah fenomena

hiperealitas yang hadir di televisi kita.

1.1.1 Tayangan Reality Show Realigi

Fakta

- Kehidupan manusia tidak terlepas dari mitos dan hal – hal yang

berhubungan dengan mistis

Page 3: Simbolisasi Hiperrealitas Pada Tayangan Reality Show Trans TV

- Simbolisasi pada tayangan tersebut digambarkan dengan :

a. Mitos ( kepercayaan masyarakat yang ada sejak dulu )

b. Mistis ( kepercayaan masyarakat terhadap hal – hal ghaib )

- Jargon yang ditawarkan adalah mencoba untuk mengulik empati

masyarakat dengan menyentuh sisi – sisi spiritual individu

Contoh tayangan :

a. Mitos :

- Anak yang durhaka pada orangtua gara – gara pergaulan bebas

- Penyimpangan seksual

b. Mistis :

- Mendapatkan kekayaan melalui pesugihan

- Menggunakan susuk untuk meningkatkan aura kecantikan

1.1.2 Tayangan Reality Show Termehek – Mehek

Fakta

- Komunikasi antar personal kuat dimunculkan

- Penyampaian permasalahan pribadi terlalu gamblang untuk

dikonsumsi publik

- Konflik yang dimunculkan terlalu didramatisir

- Jargon yang ditawarkan hanya menemui kasus perpisahan atau

pengkhianatan yang berujung pada tangis – tangisan

Contoh tayangan

- Pencarian seorang gadis akan pacarnya yang telah menghilang,

yang ditemui ditempatnya bekerja ternyata tidak mengakui bahwa

dirinya adalah orang yang dicari. Setelah bertemu orangtuanya,

ternyata diketahui dia mempunyai saudara kembar yang telah

dipisahkan oleh perceraian kedua orang tuanya. Ceritanya berujung

pada kebahagiaan yang mengharukan. Tim Termehek-mehek

berinisiatif untuk memfasilitasi sebuah reuni keluarga yang sudah

lama terpisah. Akhirnya kedua saudara kembar itu pun menemukan

belahan jiwanya yang telah lama terpisahkan, dan si client turut

merasakan kebahagiaan tersebut karena telah menjadi seorang

pahlawan dan juga mendapatkan cintanya yang hilang.

Page 4: Simbolisasi Hiperrealitas Pada Tayangan Reality Show Trans TV

1.2 Rumusan Masalah

1.2.1 Bagaimana bentuk simbolisasi dalam hiperrealitas tayangan reality

show Trans TV?

1.2.2 Mengapa tayangan reality show Trans TV cenderung menggunakan

simbolisasi (semiotika) secara berlebihan dalam merekonstruksi

realita untuk membentuk opini publik?

1.2.3 Bagaimana upaya masyarakat dalam meminimalisir hiperrealita

pada tayangan reality show Trans TV?

Page 5: Simbolisasi Hiperrealitas Pada Tayangan Reality Show Trans TV

BAB II

KERANGKA PEMIKIRAN DAN SOLUSI

2.1 Fokus Kajian

1. Kemanfaatan ilmu komunikasi untuk menentukan bentuk simbolisasi

dalam hiperalitas tayangan reality show Trans TV melalui Analisis

Semiotika

2. Kemanfaatan ilmu komunikasi untuk menjelaskan kecenderungan

penggunaan simbolisasi ( semiotika ) secara berlebihan dalam

merekonstruksi realita untuk membentuk opini publik melalui Teori

Dependensi Efek Komunikasi Massa dan Analisis Framing.

3. Kemanfaatan ilmu komunikasi dalam meminimalisir hiperrealita pada

tayangan reality show Trans TV melalui Uses and Gratification

Theory

2.2 Landasan Teori

2.2.1 Teori Komunikasi

1. Analisis Semiotika

Menilik sejarahnya, tradisi semiotika berkembang dari dua tokoh

utama: Charles Sanders Peirce mewakili tradisi Amerika dan

Ferdinand de Saussure mewakili tradisi Eropa. Keduanya tidak pernah

bertemu sama sekali, sehingga kendati keduanya sering disebut

mempunyai kemiripan gagasan, penerapan konsep-konsep dari

masing-masing keduanya seringkali mempunyai perbedaan penting.

Barangkali karena keduanya berangkat dari disiplin yang berbeda;

Peirce adalah seorang guru besar filsafat dan logika, sementara

Saussure adalah seorang ahli linguistik. Istilah semiotika sendiri

diperkenalkan oleh Peirce, sedangkan Saussure menamai

pemikirannya dengan istilah semiologi. Dalam praktik analisis kedua

istilah itu seringkali dipertukarkan tanpa membedakan artinya. Paling

jauh, penggunaannya hanya untuk menunjuk salah satu mahzab yang

dianut, meski untuk era sekarang barangkali sudah tidak jelas lagi

Page 6: Simbolisasi Hiperrealitas Pada Tayangan Reality Show Trans TV

model mana yang dijadikan model utama karena kadangkala konsep-

konsep dari kedua tokoh itu terlanjur dipakai bersama.

Pusat perhatian semiotika pada kajian komunikasi adalah menggali

apa yang tersembunyi di balik bahasa. Terobosan penting dalam

semiotika adalah digunakannya linguistik (mungkin ini lebih terasa

beraroma Saussurean) sebagai model untuk diterapkan pada fenomena

lain di luar bahasa. Saussure mendefinisikan semiotika sebagai “ilmu

yang mengkaji tentang tanda sebagai bagian dari kehidupan sosial”.

Tanda merupakan istilah yang sangat penting, yang terdiri atas

penanda (signifier) dan petanda (signified). Penanda mewakili elemen

bentuk atau isi, sementara petanda mewakili elemen konsep atau

makna. Keduanya merupakan kesatuan yang tak dapat dipisahkan

sebagaimana layaknya dua bidang pada sekeping mata uang. Kesatuan

antara penanda dan petanda itulah yang disebut sebagai tanda.

Pengaturan makna atas sebuah tanda dimungkinkan oleh adanya

konvensi sosial di kalangan komunitas bahasa. Suatu kata mempunyai

makna tertentu karena adanya kesepakatan bersama dalam komunitas

bahasa.

‘Tanda’ dan ‘hubungan’ kemudian menjadi kata-kata kunci dalam

analisis semiotika. Bahasa dilucuti strukturnya dan dianalisis dengan

cara mempertalikan penggunaannya beserta latar belakang

penggunaaan bahasa itu. Usaha-usaha menggali makna teks harus

dihubungkan dengan aspek-aspek lain di luar bahasa itu sendiri atau

sering juga disebut sebagai konteks. Teks dan konteks menjadi dua

kata yang tak terpisahkan, keduanya berkelindan membentuk makna.

Konteks menjadi penting dalam interpretasi, yang keberadaannnya

dapat dipilah menjadi dua, yakni intratekstualitas dan intertekstulaitas.

Intratekstualitas menunjuk pada tanda-tanda lain dalam teks, sehingga

produki makna bergantung pada bagaimana hubungan antartanda

dalam sebuah teks. Sementara intertekstualitas menunjuk pada

hubungan antarteks alias teks yang satu dengan teks yang lain. Makna

Page 7: Simbolisasi Hiperrealitas Pada Tayangan Reality Show Trans TV

seringkali tidak dapat dipahami kecuali dengan menghubungkan teks

yang satu dengan teks yang lain.

Konsep Hiperrealitas; sebagaimana yang dikemukakan oleh Jean

Baudrillard, adalah sebuah konsep dalam dunia posmodernisme

dimana ukuran-ukuran realitas yang ada tidak dapat dipegang lagi.

Sebuah dunia realitas yang dalam konstruksinya tidak bisa dilepaskan

dari produksi dan permainan bebas tanda-tanda yang melampaui

(Hyper-sign). Dunia hiperrealitas, dengan demikian, dapat dipandang

sebagai sebuah dunia perekayasaan realitas lewat permainan tanda-

tanda. Permainan tersebut sedemikian rupa sehingga tanda-tanda

tersebut kehilangan kontak dengan realitas yang direpresentasikannya.

Hiperrealitas menciptakan satu kondisi, yang didalamnya

kepalsuan berbaur dengan keaslian; masa lalu berbaur dengan masa

kini; fakta bersimpang siur dengan rekayasa; tanda melebur dengan

realitas; dusta bersenyawa dengan kebenaran (Baudrillard; 1983).

Hiperrealitas menghadirkan model-model kenyataan sebagai sebuah

simulasi bagi penikmatnya, sebuah simulacrum. Simulasi atas dasar

tanda-tanda realitas (sign of reality) melalui semiotika(simbolisasi).

2. Teori Dependensi Efek Komunikasi Massa

Teori yang dikembangkan oleh Sandra Ball-Rokeach dan Melvin

L.De Fleur memfokuskan perhatiannya pada kondisi struktural suatu

masyarakat yang mengatur kecenderungan terjadinya suatu efek

media massa. Teori ini pada dasarnya merupakan suatu pendekatan

struktur sosial yang berangkat dari gagasan mengenai sifat suatu

masyarakat modern (masyarakat massa), dimana media massa dapat

dianggap sebagai sistem informasi yang memiliki peran penting dalam

proses pemeliharaan, perubahan, dan konflik pada tatanan masyarakat,

kelompok atau individu dalam aktivitas sosial. Pemikiran terpenting

dari teori ini adalah bahwa dalam masyarakat modern, publik menjadi

tergantung pada media massa sebagai sumber informasi bagi

pengetahuan tentang, dan orientasi kepada, apa yang terjadi dalam

masyarakatnya. Jenis dan tingkat ketergantungan akan dipengaruhi

Page 8: Simbolisasi Hiperrealitas Pada Tayangan Reality Show Trans TV

oleh jumlah kondisi struktural, meskipun kondisi terpenting terutama

berkaitan dengan tingkat perubahan, konflik atau tidak stabilnya

masyarakat tersebut, dan berkaitan dengan apa yang dilakukan media

yang pada dasarnya melayani berbagai fungsi informasi.

Menurut pembahasan lebih lanjut mengenai teori ini ditujukan

pada jenis-jenis efek yang dapat dipelajari melalui teroi ini. Secara

ringkas, kajian terhadap efek tersebut dapat dirumuskan sebagai

berikut :

a. Kognitif, menciptakan atau menghilangkan ambiguitas,

pembentukan sikap, agenda setting, perluasan sistem keyakinan

masyarakat, penegasan/penjelasan nilai-nilai.

b. Afektif, menciptakan ketakutan atau kecemasan, dan meningkatkan

atau menurunkan dukungan moral.

c. Behavioral, mengaktifkan atau menggerakkan atau meredakan,

pembentukan isu tertentu atau penyelesaiannya, menjangkau atau

menyediakan strategi untuk suatu aktivitas serta menyebabkan

suatu perilaku.

Dengan demikian, teori ini menjelaskan saling hubungan antara

tiga perangkat variabel utama dan menentukan jenis, efek tertentu

sebagai hasil interaksi antara ketiga variabel tersebut. Ketiga

komponen yaitu : publik, sistem media, dan sistem sosial, saling

berhubungan satu dengan lainnya, meskipun sifat hubungan ini

berbeda antara masyarakat satu dengan masyarakat yang lainnya.

Setiap komponen dapat pula memiliki cara yang beragam yang secara

langsung berkaitan dengan perbedaan efek yang terjadi. Seperti

misalnya sistem sosial akan berbeda-beda sesuai dengan tingkat

stabilitasnya. Adakalanya sistem sosial yang stabil akan mengalami

masa-masa krisis. Sistem sosial yang telah mapan dapat mengalami

tantangan legitimasi dan ketahanannya secara mendasar. Dalam

kondisi semacam ini, akan muncul kecenderungan untuk

mendefinisikan hal-hal baru, penyesuaian sikap, menegaskan kembali

nilai-nilai yang berlaku atau mempromosikan nilai-nilai baru, yang

Page 9: Simbolisasi Hiperrealitas Pada Tayangan Reality Show Trans TV

kesemuanya menstimulasi proses pertukaran informasi. Publik akan

memiliki hubungan yang beragam dengan sistem sosial dan

perubahan-perubahan yang terjadi. Sejumlah kelompok mungkin

mampu bertahan, sementara lainnya akan lenyap. Demikian pula

dengan keragaman ketergantungan pada media massa sebagi

informasi dan panduan. Pada umumnya kelompok elit pada

masyarakat akan memiliki lebih banyak kendala terhadap media, lebih

banyak akses kedalamnya, dan tidak terlalu bergantung pada media,

jika dibandingkan dengan masyarakat kebanyakan. Sementara

kelompok elit cenderung untuk memiliki akses kepada sumber

informasi lain yang lebih cakap dan kompeten, non-elit terpaksa

bergantung pada media massa atau sumber informasi perorangan yang

biasanya kurang memadai. Media massa beragam dalam hal kualitas,

persebaran, realibilitas, dan otoritas. Untuk kondisi tertentu atau

dalam masyarakat tertentu media massa akan lebih berperan dalam

memberikan informasi sosial-politik dibandingkan dalam kondisi atau

masyarakat lainnya. Selanjutnya, terdapat pula keragaman fungsi dari

media massa untuk memenuhi berbagai kepentingan, selera,

kebutuhan, dan sebagainya.

3. Analisis Framing

Menurut Stuart Hall, bahwa ketika membuat berita, wartawan

bukan hanya menentukan apakah peristiwa tertentu layak diberitakan

atau tidak, tetapi juga memperhitungkan bagaimana peristiwa tersebut

ditulis dan ditampilkan sehingga publik mengerti dan dapat

mengambil posisi dari peristiwa yang diberitakan. Sebuah peristiwa

hanya akan berarti jika ia ditempatkan dalam identifikasi kultural

dimana berita tersebut hadir.

Tetapi, yang kemudian menjadi persoalan dalam proses produksi

makna ini adalah siapa yang memegang kendali dalam memberikan

pemaknaan. Siapa yang memegang kendali sebagi agen pemroduksi

makna, dan siapa atau kelompok mana yang hanya berperan sebagai

konsumen saja dari pemaknaan tersebut. Sehubungan dengan media,

Page 10: Simbolisasi Hiperrealitas Pada Tayangan Reality Show Trans TV

tentulah pemilik modal yang memiliki akses yang lebih besar dalam

menentukan kemana media tersebut akan diarahkan. Hal tersebut

didasari oleh fungsi kedalam dari sebuah media, yang mau tidak mau

memaksa media untuk melakukan politik pemaknaan tersebut demi

survive-nya media itu sendiri.

Dalam perspektif komunikasi, analisis framing dipakai untuk

membedah cara-cara atau ideologi media saat mengkonstruksi fakta.

Analisis ini mencermati strategi seleksi, penonjolan dan pertautan

fakta kedalam berita agar lebih bermakna, lebih menarik, lebih berarti

atau lebih diingat, untuk menggiring interpretasi publik sesuai dengan

perpektifnya. Dengan kata lain, framing adalah pendekatan untuk

mengetahui bagaimana perspektif atau cara pandang yang digunakan

wartawan ketika menyeleksi isu dan menulis berita, untuk

menentukan fakta apa yang diambil, bagian mana yang ditonjolkan

dan dihilangkan, serta hendak dibawa kemana berita tersebut.

Analisis Framing memiliki dua dimensi besar, yaitu : seleksi isu

dan penekanan atau penonjolan aspek-aspek realitas. Penonjolan

merupakan proses membuat informasi agar menjadi lebih bermakna,

dengan menyeleksi isu tertentu dan mangabaikan isu yang lain, atau

dengan penempatan yang mencolok. Analisis Framing secara

sederhana dapat digambarkan sebagai analisis untuk mengetahui

bagaimana realitas (peristiwa, aktor, kelompok, atau apa saja)

dibingkai oleh media. Pembingkaian tersebut melalui proses

konstruksi dimana realitas sosial dimaknai dan dikonstruksi dengan

makna tertentu. Hasilnya, pemberitaan media pada sisi tertentu atau

wawancara dengan orang-orang tertentu.

4. Uses and Gratification Theory

Penggunaan (uses) isi media untuk mendapatkan pemenuhan

(gratification) atas kebutuhan seseorang digunakan untuk menjelaskan

berbagai kebutuhan (needs) dan kepentingan (interest) publik sebagai

suatu fenomena mengenai proses penerimaan (pesan media).

Pendekatan uses and gratification ditujukan untuk menggambarkan

Page 11: Simbolisasi Hiperrealitas Pada Tayangan Reality Show Trans TV

proses penerimaan dalam komunikasi massa dan menjelaskan

penggunaan media oleh individu atau agregasi individu. Pendekatan

ini memberikan alternatif untuk memandang pada hubungan antara isi

media dan publik, dan pengkategorian isi media menurut fungsinya.

Logika yang mendasari pendekatan ini, yaitu : (1) Kondisi sosial

psikologis seseorang akan menyebabkan adanya (2) kebutuhan, yang

menciptakan (3) harapan-harapan terhadap (4) media massa atau

sumber-sumber lain, yang membawa kepada (5) perbedaan pola

penggunaan media atau keterlibatan dalam aktivitas lainnya yang

akhirnya akan menghasilkan (6) pemenuhan kebutuhan dan (7)

konsekuensi lainnya, termasuk yang tidak diharapkan sebelumnya.

Sebagai tambahan, pendekatan ini sering memasukkan unsur motif

untuk memuaskan kebutuhan dan alternatif-alternatif fungsional untuk

memenuhi kebutuhan.

Teori Uses and Gratification menegaskan bahwa orang-orang

adalah pengguna aktif dari media dan mereka akan menyeleksi

pemanfaatannya. Orang-orang akan memanfaatkan media untuk

tujuan sebagai berikut :

a. Sebagai media hiburan

b. Untuk memeriksa keadaan lingkungan jika ada sesuatu yang

penting bagi mereka secara pribadi

c. Sebagai pengalihan dari rutinitas

d. Sebagai pengganti hungan personal

e. Sebagai cek dari identitas dan nilai personal

2.2.2 Konsep Public Relations

1. Riset PR : Pemahaman Opini Publik

Kebanyakan tujuan dan sasaran organisasi terkait dengan PR dalam

batas tertentu bergantung pada konsep opini publik. Praktisi PR

bergantung pada polling opini publik dalam mendapatkan pemahaman

tentang karakteristik atau opini dari publiknya. Kebanyakan polling

opini publik tidak begitu bermanfaat dari sudut pandang PR karena

Page 12: Simbolisasi Hiperrealitas Pada Tayangan Reality Show Trans TV

biasanya PR mengukur opini massa bukan opini publik. Oleh karena

itu, riset PR sering digunakan untuk mencoba dana megetahui opini

publik. Sebelum menggunakan survei, praktisi PR harus menyadari

perbedaan antara opini massa dengan opini publik.

Opini massa mempresentasikan rata-rata pendapat yang diambil

dari sebuah kelompok dengan banyak opini yang berbeda. Tetapi rata-

rata ini cenderung mengaburkan kekuatan beberapa sikap. Ketika

beberapa opini yang berbede secara substansial di rata-rata, maka

hasilnya akan sangat berbeda dengan kenyataan aslinya. Kebanyakan

polling opini massa sedikit berguna dalam memprediksi pemilihan

umum, tetapi tidak begitu banyak menjelaskan kompleksitas opini

publik dari yang seharusnya menjadi perhatian program PR yang

efektif. Namun, jika hasil polling opini massa dianalisis dengan

karakteristik demografis berbeda, maka hasilnya akan mendekati

polling opini publik.

Polling opini publik melibatkan populasi yang ditarget secara hati-

hati. Profesional PR harus memecah publik menjadi sub-kelompok

yang bermakna dan merancang strategi komunikasi bagi setiap

segmen. Sampling opini publik tidak akan bermanfaat, kecuali jika

merefleksikan secara akurat perasaan dari setiap kelompok publik dan

memberi beberapa perhatian tentang mengapa mereka beropini seperti

itu. Langkah-langkah dalam mengukur opini publik, yaitu :

(a)mengidentifikasi publik, (b)pemantauan lingkungan, (c)audit PR,

(d)survei gambaran organisasi, (e)audit komunikasi, (f)riset tentang

kegunaan, dan (g)audit sosial.

2. Media Relations

Media Relations dan kerja publisitas yang canggih menjadi tulang

punggung bagi praktisi PR. Dalam banyak hal, membangun dan

mempertahankan hubungan yang baik dengan media, tetap menjadi

ciri khas praktisi PR.

Pijakan dasar dari kerja PR berawal dengan memahami hubungan

antara jurnalis dan praktisi PR. Para jurnalis yang mengumpulkan dan

Page 13: Simbolisasi Hiperrealitas Pada Tayangan Reality Show Trans TV

mengorganisasi informasi untuk media cenderung menganggap sangat

serius tanggung jawab mereka terhadap masyarakat. Mereka

memahami diri mereka sebagai mata dan telinga publik, menjadi

pengawas bagi kebenaran institusi publik, meletakkannya pada

perspektif, dan mempublikasikannya sehingga orang dapat melakukan

urusan mereka dengan pengetahuan yang cukup.Para jurnalis

terkadang mengalami kesulitan memperoleh informasi yang mereka

butuhkan. Mereka beranggapan bahwa sumber berita yang sulit

didapat umumnya memiliki sekat, kerahasiaan, dan sensitivitas yang

berlebihan, meraka seakan tidak mengenal hak publik untuk

mengetahui informasi dan tidak menghargai nilai peran media dalam

mengekspose praktik yang layak dipertanyakan. Dalam hal ini, praktisi

PR mampu dan dapat membantu mereka menyediakan latar informasi

yang mereka perlukan.

Dari perspektif praktisi PR, para jurnalis adalah salah satu publik

mereka, sebuah medium dimana praktisi dapat menjangkau publik

yang lebih luas serta seorang penjaga pintu yang mewakili dan

merespons kebutuhan publik akan informasi. Hubungan antara praktisi

PR dan jurnalis saling tergantung satu sama lain. Praktisi PR sebagai

boundary spanner, sering berada dalam posisi tengah diantara

jurnalistik dan lembaga lainnya yang berusaha menerangkan posisi

masing-masing pada lainnya.

Dengan pemahaman dasar tentang hubungan yang kompleks antara

praktisi PR dengan wartawan, ada beberapa prinsip umum dalam

bekerja dengan media, yaitu : (a)Bersiap bertemu dengan media,

(b)Strategi persiapan, serta (c)Riset dan perencanaan dalam media

relations.

Metode yang digunakan untuk mengkomunikasikan sebuah

peristiwa dapat mempengaruhi dampaknya. Tiga cara atau metode

untuk menjangkau media cetak adalah melalui : release, diskusi, atau

konferensi berita. Media elektronik dapat dijangkau melalui : video

release berita, wawancara satelit, atau tur ke media satelit.

Page 14: Simbolisasi Hiperrealitas Pada Tayangan Reality Show Trans TV

2.3 Rasionalisasi Pemikiran

Teori baru perpaduan dari keempat landasan teori di atas adalah

Effectiveness Uses of Media Theory ( Teori Keefektifan Penggunaan

Media ).

Gagasan awal teori ini adalah untuk menolak Agenda-Setting Theory

dan Agenda-Media Theory yang digunakan sebagai landasan teori dalam

tayangan-tayangan reality show Trans TV. Penggunaan kedua teori

tersebut kurang tepat apabila diterapkan pada tayangan televisi negara

Indonesia yang belum merata tingkat pendidikan, ekonomi, dan sosialnya.

Masyarakat Indonesia seharusnya membutuhkan tayangan-tayangan

televisi, khususnya reality show, yang mendidik dan memajukan bangsa

Indonesia. Tetapi pada kenyataannya, tayangan-tayangan yang ada

bukannya malah mendidik, melainkan semakin membuat masyarakat

mundur. Mereka terbuai akan mimpi-mimpi konglomerasi, dan cenderung

berkutat dengan mitos-mitos dan hal-hal yang berbau mistis dalam

kehidupan mereka sehari-hari. Dan melalui tayangan-tayangan reality

show tersebut, media mensukseskan kejayaannya dalam hal rating dan

politik-ekonomi media, dengan menampilkan hipersemiotika dalam

hiperrealitas yang bertubi-tubi kepada masyarakat.

Dengan adanya kenyataan tersebut, sangatlah sulit untuk mengekang

atau mengontrol penggunaan simbolisasi yang berlebihan dalam tayangan-

tayangan yg disajikan oleh media. Maka, sebagai solusinya, masyarakatlah

yang saatnya mengontrol efek terpaan media yang mereka terima. Dengan

cara meminimalisir penggunaan media secara efektif, yaitu disesuaikan

dengan porsi kebutuhan akan informasi serta kemampuan dalam menerima

informasi yang mereka miliki, melalui pengawasandian ( intepretasi )

simbolisasi yang disajikan dalam tayangan, khususnya tayangan reality

show yang disajikan oleh media. Oleh karena itu, terbentuklah Teori

Keefektifan Penggunaan Media.

Dengan adanya teori ini, seorang praktisi PR dapat mengaplikasikan

kemampuannya dalam menjembatani hubungan publik dengan media

melalui sosialisasi tentang keefektifan masyarakat akan penggunaan

Page 15: Simbolisasi Hiperrealitas Pada Tayangan Reality Show Trans TV

media. Hal itu dapat dilakukan dengan memberikan seminar komunikasi

kepada masyarakat tentang pengintepretasian simbolisasi tayangan

televisi, dengan berbagai bentuk seminar dengan disertai contoh-contoh

realita dalam masyarakat yang benar-benar terjadi dan seharusnya

diangkat secara riil dalam tayangan reality show. Dengan adanya solusi

ini, diharapkan masyarakat dapat meminimalisir serbuan terpaan media,

tanpa menghilangkan tujuan mendidik dan memajukan bangsa.

Selain itu, praktisi PR dapat pula menjembatani hubungan antara

pemerintah dengan media dan masyarakat. Pemerintah dapat berperan

serta dalam mengontrol dan mendukung hubungan media dan masyarakat

melalui aktivitas PR yang diterapkan. Pemerintah dapat pula merangkul

organisasi atau perusahaan untuk mendukung suksesnya program PR ini,

yang nantinya akan berimbas pada perekonomian bangsa yang makmur.

Dengan adanya teori ini diharapkan publik, dengan segala stakeholder

yang ada di dalamnya tanpa terkecuali, semakin terdidik dan maju dalam

mengembangkan negara Indonesia bersama-sama, baik saat ini hingga

generasi mendatang.

“You can fool some of the people all of the time, and all of the people

some of the time, but you can not fool all of the people all of the time”

(Abraham Lincoln).

2.4 Daftar Pustaka / Referensi

Eco, Umberto. 1987. Tamasya Dalam Hyperrealitas. Yogyakarta : Jala

Sutra.

Piliang, Yasraf Amir. 2006. Dunia Yang Dilipat, Tamasya Melampaui

Batas-Batas Kebudayaan. Yogyakarta : Jala Sutra.

Piliang, Yasraf Amir. 2003. Hiper Semiotika, Tafsir Cultural Studies Atas

Matinya Makna. Bandung : Jala Sutra.

Bungin, Burhan. 2009. Sosiologi Komunikasi. Jakarta : Kencana.

Lattimore, Dan. 2010. Public Relations : Profesi dan Praktik. Jakarta :

Salemba Humanika.

http://www.google.com/hiperrealitas/