simbol dan makna carok dalam perspektif roland...
TRANSCRIPT
SIMBOL DAN MAKNA CAROK
DALAM PERSPEKTIF ROLAND BARTHES
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh
Achmad Tuki
NIM: 1111033100002
PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1438 H/2017 M
ABSTRAK
Achmad Tuki
Simbol dan Makna Carok
Perspektif Roland barthes
Kebudayaan merupakan suatu perjuangan, dan tradisi Carok merupakan
pembelaan harga diri yang di perjuangkan, ketika harga dirinya diinjak-injak, bagi
masyarakat Madura harga diri merupakan suatu yang sangat sensitif dan tidak bisa
dipertaruhkan. Dan pembelaan tersebut ada beberapa sebab pertama karena
perempuan kedua karena harta ketiga tahta. Oleh karena itu, berdasarkan beberapa
ulasan diatas, maka menarik penulis meneliti adalah tentang “simbol dan makna
carok persfektif Rolan Barthes”.
Peneliti ini bertujuan untuk mengetahui simbol dan makna carok dalam
telaah masyarakat Madura guna menyampaikan kepada masyarakat luas tentang
bagaimana Carok yang sebenarnya.
Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan metode penelitian
lapangan (fieel resaerch). Dengan metode pengumpulan data menggunakan
observasi langsung yaitu pengamatan data melalui pengamatan inderawi, dengan
melakukan pencatatan terhadap gejala-gejala yang terjadi pada objek penelitian
secara langsung di tempat penelitian Interview (wawancara), adalah sebagian
metode pengumpulan data dengan cara tanya-jawab sepihak dengan dikerjakan
secara sistematik dan berlandaskan kepada tujuan penyelidikan. Dengan analisi
data akan dibahas secara deskriptis-analitis, yang kemudian dieksplorasi,
diberikan interpretasi, ditarik penilaian dan kesimpulan.
Setelah meneliti budaya Carok maka didapati bahwa Carok merupakan
pembelaan harga diri ketika diinjak-injak. Hal ini, dalam pengertian sosiologis
masyarakat Madura dipahami sebagai ekpresi sosial dalam menyelesaikan
masalah. Keberadaan Carok sangat terkait karena aspek Carok melibatkan unsur
lain semisal ritual agama dan perjanjian sosial. Carok juga harus dilihat lebih luas
karena tradisi ini tidak diatur tegas dalam budaya setempat dan lebih merupakan
spontanitas namun memiliki tahapan umum. Maka, dapat dipahami orang Madura
melakukan Carok karena harga dirinya dipermalukan oleh orang lain, karena bagi
orang Madura harga diri merupakan sesuatu yang tidak bisa diganggu, akan tetapi
orang Madura tidak segampang melakukan Carok kalau tidak sesuai dengan
masalahnya, adanya akibat karena ada sebab.
Keyword: Carok, Madura, Harga diri, Simbol, Budaya
vi
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirrabil A’lamin
Segala puji penulis sampaikan ke khadirat Allah Pencipta Alam
Semesta yang telah memberikan berjuta-juta nikmat, Shalawat Ma’a Sallam
penulis haturkan kepada Manusia Sempurna Muhammad SAW. sang pencerah
ilmu pengetahuan, sehingga penulisan skripsi ini rampung dengan hasil yang
diinginkan.
Beribu kata terima kasih penulis sembahkan kepada berbagai pihak
yang telah memberikan pengarahan dan bantuan yang sangat berarti, terutama
kepada laki-laki terhebat sepanjang masa, H. Abd Salam terima kasih atas
bimbingan kehidupan yang Engkau berikan sampai kapan pun nanti. Perempuan
terindah, Suhatiyah waktu luangmu adalah sebuah detak menit jarum jam,
mengingatkan akan semua saat.
Selanjutnya ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada:
1. Dr. Fariz Pari, M.Fils., telah memberikan bimbingan yang luar biasa, terima
kasih atas semua inspirasi pemikiran sehingga penulis begitu terpesona akan
kajian semiotik dan akhirnya menjadi bahan penelitian pertama ini.
2. Dra. Tien Rahmatin, MA., selaku Ketua Jurusan filsafat islam Fakultas
Ushuluddin, terima kasih atas diskusi yang menyenangkan selama satu
semester beberapa tahun yang lalu.
3. Dr. Abdul Hakim Wahid, MA,. selaku dosen pembimbing akademik dan
sekretaris jurusan yang telah membimbing penyusun dari awal semester
perkuliahan sampai sekarang.
vii
4. Para Dosen Fakultas Ushuluddin terima kasih atas ilmu dan pemikirannya,
Pegawai Perpustakaan fakultas, Pegawai Perpustakaan Utama yang telah
memberikan waktu dan buku-bukunya.
5. Adik, Ali Jufri, Musli dan Laila Sitti Jamilah , terima kasih atas semua waktu
dan perkumpulan terhangat ketika di rumah.
6. Ali Thaufan Ds MA., dan Ach Fizal S,Psi kaka yang selalu memotivasi
penulis untuk selalu berkarya, terima kasih telah memberikan kesempatan
untuk belajar.
7. Dani Ramdhany, S.Thi Melky dan Tanwir terima kasih untuk waktu luangnya
untuk berdiskusi, Sahabat; Muflih Hidayat, Lina Sobariyah, S.Th.I,
Romansyah, S.Th.I, Hizqiel Aebit Alqoroni, dan Zainsyah terima kasih buat
kepulan kopi dan asap rokok di Pojokan pada Senja hari –Pojok Inspirasi
Ushuluddin, Keluarga Besar Himpunan Mahasiswa Islam Komisariat
Ushuluddin dan Filsafat (HMI KOMFUF), Yakin Usaha Sampai.
8. Desy Yeni Verawati, S. Th.I, Muhibatul Fikri, S. Th.I dan Syahrul Wilda,
S.Ag. Teman seperjuangan yang selalu kompak baik itu bahagia maupun
sedih terimakasih banyak atas kebersamaannya wahai saudara-saudariku
sampai kapanpun kebersamaan kita tidak akan terlupakan.
9. Aida Fathaturrohmah yang selalu memotivasi buat menyelesaikan sikripsi ini
terimakasih.
10. Mahasiswa Aqidah Filsafat 2011, terima kasih atas diskusi-diskusi yang
renyah di setiap waktu. Para penulis buku, penerbit, penjual buku, admin jual-
beli buku on-line, peminjam buku, serta pengirim buku sehingga buku-buku
tersebut berpindah tangan kepada penulis untuk dinikmati.
viii
11. Terima kasih Semesta.
Semoga Allah SWT. membalas semua kebaikan kita semua. Penulis
menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, baik dari segi
materi, metodologi dan analisisnya. Oleh karena itu kritik dan saran yang
membangun sangat penyusun harapkan demi kesempurnaan skripsi ini. Pada
akhirnya hanya kepada Allah Swt. penulis berharap, semoga apa yang tertulis
dalam skripsi ini bisa bermanfaat khususnya bagi penulis dan bagi para pembaca
pada umumnya. Amin.
Ciputat, 9 Maulid 1439 H.
Penulis,
Achmad Tuki
NIM. 1111033100002
ix
DAFTAR ISI
LEMBAR JUDUL ....................................................................................................... i
LEMBAR PERNYATAAN ....................................................................................... ii
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ......................................................... iii
LEMBAR PENGESAHAN ....................................................................................... iv
ABSTRAK .................................................................................................................. v
KATA PENGANTAR .............................................................................................. vii
DAFTAR ISI .............................................................................................................. x
PEDOMAN TRANSLITERASI ....................................................................................... x
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1
A. Latar Belakang Masalah .................................................................. 1
B. Identifikasi Masalah ........................................................................ 5
C. Batasan dan Rumusan Masalah ....................................................... 6
D. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian ...................................... 6
E. Metodologi Penelitian ..................................................................... 7
1. Metode Penelitian........................................................................ 7
2. Sumber Data ................................................................................ 8
3. Teknik Pengumpulan Data .......................................................... 9
4. Teknik Analisis Data ................................................................... 9
H. Tinjauan Pustaka ............................................................................. 9
I. Sistematika Penulisan .................................................................... 10
BAB II MITOS ROLAND BARTHES ......................................................... 11
A. Pengetian semiotika ...................................................................... 11
B. Mitos dan Semiologi Roland Barthes ........................................... 14
BAB III LATAR BELAKANG CAROK ...................................................... 26
A. Carok ........................................................................................... 26
B. Demografi Madura ........................................................................ 51
C. Budaya dan Keagamaan Maudra ................................................. 55
BAB IV MITOS CAROK ............................................................................... 65
A. Simbol dan Denotasi .................................................................... 65
B. Konotasi dan Metabahasa ............................................................. 69
C. Mitologi Carok .............................................................................. 70
D. Kritik Analisis Carok .................................................................... 77
x
BAB V PENUTUP .......................................................................................... 87
A. Kesimpulan ................................................................................... 87
B. Saran-saran .................................................................................... 88
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 89
LAMPIRAN ............................................................................................................... 92
xi
PEDOMAN TRANSLITERASI
Arab Indonesia Inggris Arab Indonesia Inggris
ṭ ṭ ط a a ا
ẓ ẓ ظ b b ب
‘ ‘ ع t t ت
gh gh غ ts ts ث
f f ف j j ج
q q ق h h ح
k k ك kh kh خ
l l ل d d د
m m م dz dh ذ
n n ن r r ر
w w و z z ز
h h ہ s s س
’ ’ ء sy sy ش
y y ي ṣ ṣ ص
h h ة ḍ ḍ ض
Vokal Panjang
Arab Indonesia Inggris
ā ā آ
ī ī ٳى
ū ū أو
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia terkenal ragam budayanya, budaya lokal, daerah, sampai
budaya nasional, ketiga ragam tersebut menyatu menjadi budaya Indnonesia
yang penuh warna. Hal inilah yang membuat Indonesia kaya dan dikenal
bangsa lain yang beragam dan memiliki ciri khas tersendiri sehingga
menjadikan budaya tersebut unik. Keunikan budaya Indonesia tercermin
dari adat istiadat dan kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat. Indonesia
yang beragam dan membentuk kelompok-kelompok yang disebut
sukubangsa yang tercatat di Indonesia mencapai lebih dari 740 suku bangsa
yang tersebar di seluruh Indonesia mulai dari Sabang sampai Merauke.1
Salah satu suku bangsa tersebut adalah Madura.
Madura yang memiliki budaya yang khas, unik, dan, identitas
budayanya itu dianggap sebagai jati diri individual maupun komunal. Etnik
Madura dalam berperilaku dan dalam kehidupan bermasyarakat, masyarakat
Madura memegang teguh Carok. Carok adalah pemulihan harga diri ketika
diinjak-injak oleh orang lain, yang berhubungan dengan harta, tahta, tanah,
dan wanita. Intinya adalah demi kehormatan. Dalam ungkapan Madura,
1Alo Liliweri, Konflik dan Kekerasan: Komunikasi Lintas Budaya Masyarakat Multikultur
(Yogjakarta: Lkis, 2005), h. 6-8.
2
dikenal dengan istilah: Lebbi Bagus Pote Tollang atembang Pote Mata
(lebih baik mati, daripada hidup menanggung malu).
Carok merupakan salah satu alternatif penyelesaian sengketa pada
masyarakat Madura. Penyelesaian tersebut merupakan penyelesaian dengan
menggunakan jalur kekerasaan. Penyelesaian dengan jalan kekerasaan ini
sering kali menutup kemungkinan penyelesaian sengketa secara damai.
Dalam kaitan ini tampak bahwa sengketa masyarakat diakhiri dengan
memunculkan sengketa yang lain. Fenomena carok sebagai salah satu upaya
penyelesaian sengketa yang berbenturan dengan aturan hukum negara di
Indonesia. Dalam realitanya, perilaku dan pola kelompok etnik Madura
tampak sering dikesankan atas dasar prasangka subjektif oleh orang luar
Madura. Kesan demikian muncul dari suatu pencitraan yang tidak tepat,
baik berkonotasi positif maupun negatif. Prasangka subjektif itulah yang
seringkali melahirkan persepsi dan pola pandang yang keliru sehingga
menimbulkan keputusan individual secara sepihak yang ternyata keliru
karena subjektifitasnya.2
Segi lain sifat orang Madura yang sering ditekankan adalah
kecepatannya tersinggung, penuh curiga, pemarah, berdarah panas,
beringas, pendendam, suka berkelahi, dan kejam. Jika orang Madura
dipermalukan, dihunusnya belati dan dengan segera membalas dendam
hinaan yang diterimanya, atau menunggu sampai kesempatan datang untuk
membalas dendam. Perkelahian, Carok, dan pembunuhan merupakan
2A. Latief Wijaya, CAROK: Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura.,
(Yogyakarta: LKIS, 2002), h. 178.
3
sesuatu yang bisa terjadi setiap hari kalau orang mau mempercayai
stereotipe itu. Orang menduga bahwa pepatah „hutang nyawa dibayar
nyawa‟ diberlakukan secara luas (De Java Post (1911, 922, 345). Bahkan
hinaan kecil dijawab dengan pisau (Wop (1866:284). Untuk menjaga
kehormatan semua dikorbankan seperti diperlihatkan oleh pepatah Madura
„etemmbbang pote mata ango’an apotea tolang’, atau daripada hidup
menanggung malu lebih baik mati berkalang tanah (Atmosoedirdjo 1952:
12).3
Pada dasarnya, Carok merupakan pembelaan harga diri masyarakat
Madura yang selalu dilecehkan harga dirinya dan Carok jangan selalu
diartikan negatif di samping itu juga ada beberapa hal yang bisa diambil
hikmahnya. Carok sudah mengalami perubahan makna. Pada masa lalu
carok merupakan perang tanding antara satu orang melawan satu orang tapi,
saat ini carok sudah mengalami perubahan makna yakni carok perkelahian
yang pakai celurit dan mengikutsertakan orang banyak seperti keluarga dan
kerabatnya. Di kalangan orang Madura tidak terdapat kebetulan pendapat
bagaimana Carok harus dilakukan. Beberapa orang mengatakan bahwa
sejumlah besar aturan harus diikuti ada cara berkelahi yang baku yang lain
berfikir bahwa cukuplah dengan menyerang lawan dari depan4. Contoh,
pada suatu sore menjelang terbenamnya matahari tepatnya hari Kamis,
ketika masyarakat Desa Rombut sedang menunggu saat berbuka puasa,
terjadilah peristiwa Carok antara Mat Tiken dan dua orang yang masih
3Mien Ahmad Rifai, Manusia Madura. (Yogyakarta: Pilar Media, 2007), h. 137.
4Huub De Jonge, Garam kekerasan dan Aduan sapi (Yogyakarta: LKIS Group, 2002), h.
127.
4
saudara sepupu yaitu Kamaluddin dan Mukarram permasalahan yang
melatarbelakangi peristiwa Carok ini adalah tindakan Mat Tiken yang
menjalani hubungan dengan Sutiyani istri Kamaluddin. Kamaluddin sangat
cemburu dan marah sehingga berniat membunuh Mat Tiken. Untuk
melakukan niatnya ini Kamaluddin meminta bantuan Mukarram, dengan
cara ngangkei mereka berdua langsung menantang Mat Tiken untuk
melakukan carok. Mat Tiken melayani tantangan ini dan terjadilah Carok
dua lawan satu.
Peristiwa carok yang melibatkan Mat Tiken dengan Kamaluddin dan
Mukarram terjadi tepat di halaman rumah Mat Tiken. Sebagaimana telah
disebutkan di muka, latar belakang masalahnya adalah karena ada hubungan
cinta antara Sutiyani (istri Kamaluddin) dengan Mat Tiken menurut
keterangan dari beberapa informasi, khususnya keluarga Kamaluddin hanya
mendengar desas- desus ini semakin hari semakin tersiar luas, dan hampir
semua orang desa memperbincangkannya. Semua ini membuat hati
Kamaluddin menjadi panas, meskipun Kamaluddin bisa membuktikan
sendiri hubungan cinta antara istrinya dengan Mat Tiken. Bagi Kamaluddin
tindakan Kamaluddin dianggapnya sebagai pelecehan terhadap harga
dirinya. Apalagi jika Kamaluddin dapat membuktikan bahwa hubungan
cinta istrinya sudah sampai tingkat perbuatan zinah.5
Carok yang merupakan suatu tindakan kekerasan dengan resiko besar
(berupa kematian), maka setiap orang yang melakukan Carok harus
5A. Latief Wijaya, CAROK: Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura, h. 96.
5
melakukan persiapan-persiapan. Antara kasus carok satu dengan kasus
carok yang lain membutuhkan persiapan yang berbeda-beda. Dilihat dari
sisi ini, semua kasus carok yang diteliti merupakan carok berencana (De
Jonge (1993:4). Menurut informasi yang diperoleh di lapangan ada juga
kasus carok yang dilakukan secara spontan yaitu ketika tiba-tiba terjadi
perselisihan menyangkaut pelecehan harga diri, maka ketika itu juga salah
satu pihak yang berselisih menyerang (untuk membunuh) pihak yang lain.
Jika terjadi kasus Carok seperti ini dan kebetulan pihak-pihak yang
berselisih itu tidak nyekep (tidak membawa celurit), biasanya pihak
penyerang menggunakan senjata tajam apa adanya, seperti cangkul, linggis,
dan lain sebagainya. Jadi, senjata-senjata tajam selain celurit dapat saja
dipergunakan melakukan Carok ketika mereka dihadapkan pada situasi
keterpaksaan. Oleh karena itu, carok dilakukan dengan menggunakana jenis
senjata tajam yang tidak lazim ini tetap tidak mengurangi arti dan makna
Carok itu sendiri.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis bertujuan untuk
mengkaji mengenai, simbol dan makna Carok perspektif Roland Barthes.
Karena Carok pada dasarnya adalah sikap kekerasan dengan resiko besar.
Penulis mencoba menjelaskan carok dari makna dan simbolnya.
Pembahasan carok tidak hanya diartikan sebagai suatu hal yang negatif
tetapi di sisi lain ada nilai-nilai positif yang tersimpan. Untuk itu maka
penulisan skripsi ini mengambil tema ’’SIMBOL DAN MAKNA CAROK
PERSPEKTIF ROLAND BARTHES ’’.
6
B. Batasan Masalah dan Rumusan Masalah
1. Batasan Masalah
Dari latar belakang di atas, penulis membatasi lingkup
permasalahan pada simbol dan makna carok. karena pembahasan carok
yang dibahas dalam penelitian ini mengenai peristiwa carok yang ada di
Madura khususnya di kota Pamekasan.
2. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: Bagaimana
Simbol dan Makna Carok Perspektif Roland Barthes ?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah memahami dan membahas lebih
mendalam mengenai makna carok yang dipaparkan oleh budayawan dan
tokoh ulama yang ada di Madura yakni bagaimana simbol carok itu
disampaikan secara positif. Di samping itu juga, penelitian ini diharapkan
dapat memberikan pemahaman yang lebih gamblang mengenai makna
carok. Dan penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi
pemikiran dan dapat dijadikan pedoman pada carok yang ada di Madura.
Kemudian penelitian ini juga ditujukan untuk memenuhi persyaratan
memeroleh gelar sarjana strata satu pada Fakultas Ushuluddin Jurusan
Aqidah Falsafat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Manfaat penelitian ini adalah memberikan kontribusi dalam pemikiran
carok Madura yang lebih baik kedepannya dan memberikan gambaran dan
7
pikiran kepada penggiat keilmuan khususnya pada orang yang masih buta
tentang pendidikan.
D. Metode Penelitian
1. Metode penelitian
Metode penelitian iini menggnakan pendekatan simbol dan makna
carok dalam perspektif semiologi Roland Barthes. Menganalis
bagaimana carok sebagai makna denotasi dan kontasi lalu menjadi
mitos dan di percaya oleh suatu kelompok atau masyarakat di Madura.
Pendekatan semiologi merupakan penelitian kualitatif: carok
sebagai peristiwa, celurit sebagai simbol, senjata tajam dan jagoan
sebagai makna denotasi dan konotasi.
2. Sumber data
Untuk mencapai maksud dan tujuan dalam penelitian ini, maka
penulis melakukan penelitian lapangan dengan mewawanc arai
beberapa tokoh, Ulama yang ada disekitar kejadian dan mengumpulkan
data sebanyak-banyaknya, serta mengelolah data-data tersebut
berdasarkan kriteria sumbernya. Dalam penelitian ini penulis membagi
dua sumber data sebagai berikut
a. Data Primer ada tinga yaitu observasi terhadap masyarakat selama
15 hari, wawancara selama 5 kali baik secara langsung mauapun
secara via telpon. dan studi pustaska adalah seluruh data-data dari
data pustaka primer ini diambil dari buku Latif Wijaya, Carok
Konflik Kekerasaan dan Harga Diri Orang Madura. Yogyakarta:
8
LKis. 2002 dan dari buku Huub De Jonge, Garam, Kekerasan, dan
Aduan Sapi. Yogyakarta. LKis Group. 2012
b. Data sekunder berupa rekaman video dan melihat secara langsung
tragedi carok massal yang terjadi di Desa Bujur Tengah Kecamatan
Batu mar-mar Kabupaten Pamekasan Madura..
a. Teknik pengumpulan data
a. Data observasi berupa pengematan inderawi, dengan melakukan
pencatatan terhadap gejala-gejala yang terjadi pada obyek penelitian
secara langsung ditempat penelitian dan rekaman video
b. Data wawancara yaitu adapun pihak-pihak yang dijadikan sebagai
narasumber adalah tokoh masyarakat, serta berbagai elemen
masyarakat yang ada hubunganya dengan penelitian ini. Objek yang
dikaji dalam penelitian ini adalah bagaimana terjadinya carok yang
ada di Kabupaten Pamekasan Desa Bujur Tengah.
b. Analisis data
Menggunakan semiologi Roland Barthes data-data diatas
diidentifikasi sebagai expresi dan sebagai catatan relasinya dianalisis
sebagai denotasi, konotasi dan metabahasa. Expressi diperoleh dari.
denotasi merupakan makna yang deskriptif dan leteral, konotasi makna
tingkat kedua yang tercipta dengan cara menghubungkan penanda
penanda dan metabahasa konotasi-konotasi mengalami pengalamihan
9
menjadi hemogen, atau kata lain, telah diterima sebagai hal yang
normal.
E. Tinjauan Pustaka
Tinjauan pusataka pada penelitian ini adalah:
1. Skripsi Lusi Agustini Darmayanti “Ungkapan Tradisional dalam Tradisi
Carok Masyarakat Madura: Kajian Etnografi” Program Studi
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Jurusan Pendidikan Bahasa
dan Seni Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Jember,
2012. Penelitian ini lebih menekankan pada kajian wujud ungkapan
dalam budaya carok pada masyarakat Madura dan kandungan nilai
budaya ungkapan dalam budaya carok pada masyarakat Madura.
Sedangkan skripsi saya lebih menekankan simbol dan makna carok.
2. Penelitian oleh Mahrus Ali “Akomodasi Nilai-Nilai Budaya Masyarakat
Madura Mengenai Penyelesaian Carok Dalam Hukum Pidana” Jurnal
Hukum UII, 2010. Siapapun yang sudah melakukan Carok secara
hukum pidana diberi sangsi yang setipal dengan perbuatannya.
3. Sedangkan penelitian saya fokus pada Simbol Dan Makna Carok Dalam
Perspektif Roland Barthes.
F. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan penelitian ini dimaksudkan untuk lebih
memperjelas setiap permasalahan yang dikemukakan. Adapaun dalam
penelitian ini, penulis membagi dalam lima bab. Untuk lebih jelasnya
penulis uraikan sebagai berikut:
10
Bab pertama pendahuluan: latar belakang masalah, identifikasi
masalah, rumusan dan batasan masalah, tujuan penelitian, manfaat
penelitian, tinjauan masalah, metodelogi penelitian terdiri dari metode
penelitian, sumber data, tekhnik pengumpulan data, tekhnik analisis data,
tinjauan pustaka dan sistematika penulisan.
Bab kedua memfokuskan pembahasan mitos Roland Barthes:
pengertian semilogi, mitos dan semiologi Roland Barthes.
Bab ketiga Latar belakang carok, carok, demografi Madura, dan budaya
dan keagamaan Madura
Bab keempat merupakan mitos carok, simbol dan denotasi, konotasi
dan metabahasa, mitologi carok, kritik analisis carok.
Bab kelima penutup terdiri kesimpulan berisi kritik dan saran.
11
BAB II
MITOS ROLAND BARTHES
Dalam bab ini penulis akan membahas studi literatur atas semiotika
Roland Barthes. Di dalamnya memuat penjelasan secara mendalam
tentang ilmu semiotika dari Roland Barthes.
A. Pengertian Semiotika
Semiotika merupakan ilmu yang mempelajari tanda-tanda yang
berada di tengah masyarakat.1 Tujuannya adalah menunjukkan bagaimana
terbentuknya tanda-tanda beserta kaidah-kaidah yang mengaturnya.
Sebagaimana kebiasan manusia pada dasarnya makhluk yang selalu
mencari makna dari berbagai hal yang ada disekitarnya. Istilah lain adalah
homo signans.2 Selain itu manusia dalam menjalani hidupnya tidak
mungkin sendirian melainkan secara berkelompok atau disebut dengan
masyarakat, karena antara yang satu dengan yang lainnya saling
membutuhkan. Manusia sebagai anggota masyarakat dalam melakukan
interaksinya seringkali menggunakan simbol dalam memahami
interaksinya.3
Tanda juga disebut dengan simbol. Secara etimologi berasal dari
Bahasa Yunani yaitu “symbolos” yang berarti tanda atau ciri yang
1Alex Sobur, Semiotika Komunikasi (Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2004), h. 12.
2Benny H. Hoed, Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya (Depok: Komunitas
Bambu,2014), h. 3. 3Alex Sobur, Simiotika Komunikasi, h. 199.
12
memberitahukan sesuatu hal kepada seseorang. 4
Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI) kata simbol memiliki arti yang sama dengan
lambang, yaitu sesuatu seperti tanda (lukisan dan lencana) yang
menyatakan suatu hal atau mengandung maksud tertentu.5 Dalam bahasa
Inggris symbol berarti menggambarkan sesuatu yang abstrak, tanda-tanda
suatu obyek, lambang, dan lain-lain. Dalam bahasa Sansekerta kata simbol
adalah “pratika” yang berarti mendekatkan. 6
Adapun pengertian simbol secara terminologi dapat dipahami
sebagaimana penjelasan Peirce. Charles Sanders Peirce menjelaskan
bahwa simbol adalah tanda yang memiliki makna berdasarkan konvensi
sosial. Misalnya, bendera merah di laut merupakan simbol yang memiliki
makna “larangan melewati, bahaya”. Segala tanda baik yang verbal
maupun nonverbal disebut simbol selama maknanya diperoleh
berdasarkan konvensi sosial.7
Tanda atau simbol menjadi pembahasan mendasar dalam
semiotika. Sebab tanpa adanya tanda maka tidak akan ada pembahasan
semiotika. Sejak kemunculan Saussure dan Pierce,8 semiotika
menitikberatkan pada studi tentang tanda. Meskipun dalam semiotika
4Budiono Herusatoto, Simbolisme Dalam Budaya Jawa (Yogyakarta: Hanindita, 1983), h.
10. 5Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet. Ke-4
(Jakarta: Balai Pustaka, 1995), h. 55. 6Titib, Teologi dan Simbol-simbol Dalam Agama Hindu, h. 63.
7Benny H. Hoed. Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya, h. 10.
8Saussure atau nama lengkapnya Ferdinand de Saussure (1857-1913) dan Pierce atau
lengkapnya Charles Sanders Pierce merupakan bapak semiotika. Keduanya dianggap sebagai
pemrakarsa teori-teori semiotika atau semiologi modern. Lihat Aart Van Zoest “Interpretasi dan
Semiotika” dalam Serba-Serbi Semiotika Peny. Panuti dan Aart Van Zoest (Jakarta: Gramedia,
1992), h. 1.
13
Pierce berkecenderungan pada inferensi (pemikiran logis) dan Saussure
menekankan pada aspek linguistik, pada kenyataannya semiotika
membahas signifikasi dan komunikasi dalam sistem tanda non linguistik.9
Selain kedua tokoh di atas, semiotik juga dikembangkan oleh
Roland Barthes. Secara harfiah semiotika Roland Barthes merupakan
turunan dari teori bahasa yang digagas oleh Ferdinand de Saussure.
Sausure mengembangkan dasar dasar teori linguistik sebagai sistem
tanda.10
Adapun kerangkanya dikemukakan atas empat konsep teoritis,
yakni konsep langgue-parole, singnifiant-signifie, sintagmatik-
paradigmatik, dan sinkroni-diakroni.11
Roland Barthes mengembangkan
bahwa bahasa yang dimaksud tidak diorientasikan pada ranah bahasa
komunikasi semata, tetapi lebih luas. Menurutnya bahasa atau tuturan
terdapat dalam semua sistem kehidupan manusia.12
Atas dasar konsepsi di atas, Roland Barthes memberikan definisi
semiotika yang cukup berbeda dengan Pierce maupun Saussure. Menurut
Roland Barthes semiotika merupakan ilmu yang hendak memelajari
bagaiamana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things).13
Adapun
tujuannya adalah merekonstruksi lebih pada sistem penandaan ketimbang
9Kurniawan, Semiologi Roland Barthes (Magelang: Yayasan Indonesiatera, 2001), h. 52.
10Panuti Sudjiman dan Daan Aart Van Zoest, Serba-serbi Semiotika, (Jakarta; Gramedia,
1992), h.2. 11
Roland Barthes, Petualangan Semiologi Terj. Stephanus Aswar Herwinarko
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 5. 12
Roland Barthes, Elemen-elemen Semiologi, terj. Kahfi Nazarudin (Jakarta: Jalasutera,
2012), h. 16. 13
Kurniawan, Semiologi Roland Barthes, h. 53.
14
bahasa dan membangun simulacrum dari objek yang diteliti.14
Barthes merupakan turunan strukturalisme, khususnya De
Saussure. Keduanya menggunakan teori tanda yang sama, tetapi keduanya
mencoba melihat pemaknaan tanda secara dinamis. Perbedaan pokoknya
adalah bahwa Barthes mengembangkan pemaknaan terhadap tanda yang
justru dimiliki masyarakat budaya tertentu (bukan secara individual).
Barthes mengeritik masyarakatnya dengan mengatakan bahwa semua yang
dianggap sudah wajar di dalam suatu kebudayaan sebenarnya adalah hasil
dari proses konotasi.
Bila konotasi menjadi tetap, itu akan menjadi mitos, sedangkan
kalau mitos menjadi mantap, akan menjadi ideologi. Penekanan teori tanda
Barthes adalah pada konotasi dan mitos. Ia mengatakan bahwa dalam
sebuah kebudayaan selalu terjadi “penyalahgunaan ideologi” yang
mendominasi pikiran anggota masyarakat. Ia ingin membebaskan
masyarakatnya dari “penyalahgunaan ideologi” itu dan memahami
mengapa berbagai pemaknaan yang seolah-olah sudah berterima di
masyarakat itu bisa terjadi.15
B. Mitos dan Semiologi Roland Barthes
Mitos adalah suatu bentuk pesan atau tuturan yang harus diyakini
kebenarannya tetapi tidak dapat dibuktikan. Mitos bukan konsep atau ide
14
Roland Barthes, Elemen-Elemen Semiologi Terj. Kahfie Nazarudin (Yogyakarta:
Jalasutera, 2012), h. 99. 15
Benny H. Hoed. Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya, cet ke-1 (Depok: Komunitas
Bambu,2014), h. 30.
15
tertapi merupakan suatu cara pemberian arti. Secara etimologis, mitos
merupakan suatu jenis tuturan, tentunya bukan sembarang tuturan. Suatu
hal yang harus diperhatikan bahwa mitos adalah suatu sistem komunikasi,
yakni suatu pesan (message).16
Dalam pendahuluannya, Roland Barthes menyatakan bahwa
semiologi ditakdirkan untuk berkutat dengan trans-linguistik yang
materialnya bisa mitos dan sebagainya.17
Mitos yang berurusan dengan
semiologi telah berkaitan dengan dua istilah, yakni penanda signifier
(significant) dan petanda signified (signife), dan kemudian bertautan lagi
dengan istilah sign (tanda). Misalnya satu karangan bunga menandakan
cinta. Dalam hal ini berarti tidak hanya berurusan dengan signifier dan
signified, bunga dan cinta, karena dalam tahap analisis terdapat tiga istilah,
bunga yang menandakan cinta adalah sebagai tanda (sign).18
Roland Barthes mengingatkan bahwa sistem penandaan
(signification) terdiri dari ranah ekspresi (E) dan content (C) serta
penandaan terjadi ketika ada relasi (R) diantara keduanya.19
Kemudian
suatu sistem E R C tersebut menjadi suatu sistem yang simpel dari suatu
sistem kedua. Dengan demikian maka akan terjadi dua sistem penandaan
sekaligus yang bercampur satu dengan lain. Akan tetapi juga terpisah satu
sama lain. Dengan kata lain ada sistem berlapis.20
16
Sri Iswidayanti, “Roland Barthes dan Semiologi” diambil dari www.portaluganda.org.
diakses pada tanggal 10 maret 2017, h. 4. 17
Roland Barthes, Elemen-Elemen Semiotika, h. vii. 18
Eri Iswiyanti, “Mitologi Roland Barthes”, h. 6. 19
Roland Barthes, Elemen-Elemen Semiologi, h. 91. 20
Roland Barthes, Petualangan Semiotika, h. 82.
16
Derivasi ini berlangsung dengan dua cara. Pertama sistem E R C
berorientasi pada ekspresi (E) pada sistem kedua. Sebagaimana diagram
berikut:
2
1
Konotasi
Sedangkan sistem kedua sistem E R C berorientasi pada ranah isi
(C) dari sistem kedua.
2
1
Metabahasa
ERC
E R C
ERC
E R C
17
Dari diagram di atas dapat dipahami mengenai keberadaan
metabahasa. Metabahasa adalah sistem yang oreintasi isinya sudah dengan
sendirinya merupakan sistem penandaan, atau dikatakan juga semiotika
yang berbicara semiotik.21
Menurut Chris Baker, metabahasa inilah yang
kemudian sistem semiologis tingkat kedua atau mitos.22
Sistem ganda di atas dapat di pahami sebagai berikut:
Konotasi Mitos
Metabahasa
Bagi Roland Barthes ada dua macam pemaknaan: denotasi dan
konotasi. Denotasi adalah merupakan tingkat makna yang deskriptif dan
literal yang dipahami oleh hampir semua anggota suatu kebudayaan.
Contoh “babi” akan berdenotasi konsep tentang suatu binatang ternak
yang berguna dan warnanya merah muda dengan moncong dan ekor yang
keriting. Kedua konotasi adalah makna yang tercipta dengan cara
menghubungkan penanda-penanda dengan aspek kebudayaan yang lebih
21
Roland Barthes, Elemen-Elemen Semiologi, h. 92. 22
Chris Barrker, Cultural studies, h. 93.
Pn=C : Penanda = Isi
Pt = E : petanda = Ekspresi
E1 C1
CC
C
C1 C2
C1 E2
E1 C1
18
luas. Contoh keyakinan, sikap, kerangka kerja, dan ideologi-ideologi suatu
formasi sosial tertentu. Makna menjadi permasalahan asosiasi tanda-tanda
dan kode-kode makna kultural lainya. Dengan demikian “babi” bisa saja
berkonotasi dengan polisi yang kejam atau cauvinis lelaki, tergantung pada
subkode-subkode atau leksikon yang sedang bekerja.23
Signifiant-signifiant konotasi, yang akan kita disebut konotator
(connotateur), disusun oleh signe-signe (yaitu signifiant-signifiant dan
signifie-signifie yang disatukan) dari sistem yang berdenotasi. Secara
natural, beberapa signe yang berdenotasi bisa menyatu untuk membentuk
satu konotator tunggal, jika konotator itu hanya memiliki satu signefie
konotasi. Dengan kata lain, unitas-unitas sistem yang berkonotasi tidaklah
serta merta memiliki ukuran yang sama dengan ukuran sistem yang
berdenotasi. Beberapa fragmen besar diskursus-diskursus yang berdenotasi
bisa saja hanya merupakan satu unitas tungggal sistem yang berdenotasi
(ini misalnya kasus nada dari sebuah teks, yang tersusun dari banyak kata,
tetapi yang meski begitu hanya menunjuk kepada satu signifie tinggal).
Dalam semiotika konotatif, signefiant sistem kedua dibangun oleh
signe-signe sistem pertama. Dalam metalanggage, terjadi yang sebaliknya:
signifie-signifie sistem kedualah yang dibangun oleh signe-signe pertama.
Hjelmslev telah mempresisikan pengertian metalangage dengan cara
berikut karena suatu operasi adalah suatu deskripsi yang dibangun
23
Chris Barrker, Cultural studies, cet ke-1 (Yogyakarta: PT Bintang Pustaka,2005), h. 93.
19
berdasarkan prisip empiris, yaitu yang tidak kontradiktoris (koheren),
ekshuastif, dan simpel, maka semiotik ilmiah atau matalangage adalah
suatu operasi, sedangkan semiotik konotatif bukanlah suatu operasi. Maka
menjadi jelas bahwa semiologi, misalnya adalah suatu metalangage, sebab
dengan menjadi sistem kedua semiologi mengurusi suatu langage pertama
(atau langage-objek) yaitu sistem yang dipelajari. Dan sismtem objek itu
signifie terhadap matalangage semiologi.24
Chirs Baker memberikan gambaran yang cukup sederhana dalam
penjelasan kinerja mitos dalam semiologi. Konotasi mengandung nilai
ekspresif yang muncul dari kekuatan kumulatif dari sebuah urutan, atau
yang lebih umum dari perbandingan alternatif-alternatif yang tidak
muncul. Ketika konotasi mengalami pemahaman yang menghegemoni
maka secara tidak langsung dapat diterima secara normal atau alamiah.
Konotasi hegemonis inilah yang kemudian disebut dengan mitos.25
Sebagai contoh terkenal, Barthes mengetengahkan Paris Match.
Kepada seorang tukang cukur Barthes mengatakan bahwa ia sedang
membaca Paris-Match. Pada halaman depan ia melihat gambar seorang
Negro memakai seragam militer Perancis sedang memberi hormat, dengan
gagahnya, matanya tajam ke atas. Dalam deskripsi contoh tersebut, kita
melihat arti gambar, tetapi lebih lanjut lagi kita dapat melihat makna dari
gambar tersebut, artinya bisa melihat lebih dari sekadar sebuah gambar.
24
Roland Barthes, Petualangan Semilogi, cet ke-1 (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2007),
h. 84. 25
Chirs Barton, h. 93.
20
Kita bisa melihat pesan yang ingin disampaikan dari balik gambar yang
dibuat, yakni Perancis merupakan sebuah daerah kekuasaan besar, tanpa
membedakan diskriminasi warna kulit, di bawah benderanya, dan tanpa
mempunyai rasa dendam kolonialisme.
Negro yang digambarkan dalam adegan tersebut mempunyai
makna ingin melayani negaranya. Namun lebih lanjut kita dihadapkan oleh
sistem semiologi yang lebih besar terdapat pada signifier yang telah
dibentuk oleh sistem semiologi sebelumnya yakni seorang Negro yang
sedang memberi hormat, yang memberi signified. Perancis dan militer,
yang kemudian memberi sign baru lagi tentang imperialime Perancis.
Jika kita telah melihat bahwa ada dua lapisan dalam sistem
semiologi yakni ada sistem lingustik dan sistem mitos, hal ini oleh Barthes
dibedakan menjadi dua istilah. Dalam lapisan bahasa, penanda disebut
meaning (seorang Negro memberi hormat), tetapi dalam lapisan mitos
disebut bentuk. Untuk kasus signified tetap sama karena tidak
menimbulkan keambiguan yakni konsep. Di dalam bahasa linguistik sign
dipakai dalam hubungan antara penanda dan petanda.
Tetapi di dalam mitos sign merupakan keseluruhan dari hasil
sistem semiologi terdahulu, jadi bagi mitos disebut signifikasi atau
signification. Karena pada dasarnya mitos mempunyai dua fungsi: mitos
dalam hal “menunjukkan dan memberitahu sesuatu” agar pembaca
mengerti tentang sesuatu dan sekaligus bertujuan untuk memperdayakan.
21
Signifier dari mitos sekaligus merupakan meaning dan form.
Meaning dapat diperoleh dengan cara menangkap lewat indera,
tidak seperti signifier linguistik melalui mental, signifier mitos menangkap
realitas sensoris. Pemberian hormat yang dilakukan oleh seorang Negro
seperti yang terlihat pada tampilan ilustrasi ini, misalnya. Meaning dari
mitos mempunyai nilai tersendiri, mempunyai sejarahnya tersendiri juga
dan significationnya telah dibangun sebelumnya ketika mitos
menstransformasikan ke dalam bentuk kosong dan praktis menjadi suatu
bentuk.
Di saat menjadi bentuk, meaning menghilang, sejarah pun juga
menghilang, tinggal kata-kata. Pengetahuan yang baru yang kita peroleh
ialah pengetahuan yang dibungkus oleh konsep mitos. Konsep yang
didapat bukan suatu abstraksi dari signifier tetapi ia sama sekali tidak
berbentuk. Konsep adalah elemen yang mengkonsitusikan mitos dan bila
kita ingin menguraikan mitos, kita harus dapat menemukan konsep mitos
tersebut. Misalnya konsep kebaikan, kesatuan, kemanusiaan, dan
sebagainya. Signification adalah istilah ketiga yang digunakan sebagai
kesatuan sign, suatu yang dihasilkan dari bentuk dan konsep. Signification
juga berarti proses mitos yang terus-menerus dapat menjadi sign baru dan
kemudian menjadi mitos yang baru pula.
22
Dengan demikian pemikiran Roland Barthes mengenai mitos dan
kerangka kerjanya dalam semiologi dapat disederhanakan menjadi berikut:
Menurut Barthes, mitos dan ideologi bekerja dengan cara
mengalamiahkan penafsiran-penafsiran yang sebenarnya bersifat
kontingen (sementara, tidak tetap) dan secara historis bersifat spesifik.
Artinya, mitos membuat pandangan dunia tertentu seolah-olah menjadi
tidak mungkin ditentang karena memang itulah yang dialami atau memang
itulah takdir Tuhan. “mitos bertugas untuk memberikan pembenaran
alamiah pada suatu intensi historis, dan membuat kesementaraan seolah
abadi” Dalam sebuah analisis lain, Barthes mendeskripsikan suatu iklan
berbahasa Prancis.26
Dalam karya-karya Barthes yang lebih baru, tanda tidak hanya
memiliki satu makna denotatif yang stabil, melainkan bersifat polisemis.
Artinya tanda mengandung banyak makna potensial. Dengan demikian
semua teks bisa ditafsirkan dengan beberapa cara yang berbeda.
Pemaknaan membutuhkan keterlibatan aktif pembaca dan kompetensi
26
Roland Barthes, Mitologi, cet ke-1 (bantul: Lembaga Kreasi Penerbitan Masyarakat(LKPM)), h. 161-162.
Denotasi
Metabahasaa Mitos Ideologi Tanda
Konotasi
23
kultural yang merekan gunakan dalam pembacaan teks gambar agar biasa,
untuk sementara waktu memastikan makna demi kepentingan tertentu.
Dengan demikian, penafsiran teks tergantung pada repertoar kultural
pembaca serta pengetahuan mereka tentang kode-kode sosial.27
Buku yang ditulis Barthes sebagai upaya untuk mengeksplisitkan
kode-kode narasi yang berlaku dalam suatu naskah realis. Barthes
berpendapat bahwa Sarrasine ini terangkai dala kode rasionalisasi, suatu
proses yang mirip dengan yang terlihat dalam retorika tentang tanda mode.
Lima kode yang ditinjau Barthes adalah kode hermeneutik (kode teka-
teki), kode semik (makna konotatif), kode simbolik, kode paraoretik
(logika tindakan), dan kode gnomik atau kode kultural yang
membangkitkan suatu badan pengetahuan tertentu.
Kode hermeneutik berkisar pada harapan pembaca untuk
mendapatkan “kebenaran” bagi pertanyaan yang muncul dalam teks. Kode
teka-teki merupakan unsur struktur yang utama dalam narasi tradisional.
Di dalam narasi ada suatu kesinambungan antara pemunculan suatu
peristiwa teka-teki dan penyelesaiannya di dalam cerita.
Kode semik atau kode konotatif banyak menawarkan banyak sisi.
Dalam proses pembacaan, pembaca menyusun tema suatu teks. Ia melihat
bahwa konotasi kata atau frase tertentu dalam teks dapat dikelompokan
27
Chris Barrker, Cultural studies, cet ke-1 (Yogyakarta: PT Bintang Pustaka,2005), h. 95-
96.
24
dengan konotasi kata atau frase yang mirip. Jika kita melihat suatu
kumpulan satuan konotasi, kita menemukan suatu tema di dalam cerita.
Jika sejumlah konotasi melekat pada suatu nama tertentu, kita dapat
mengenali suatu tokoh dengan atribut tertentu. Perlu dicatat bahwa Barthes
menganggap denotasi sebagai konotasi yang paling kuat dan paling
“akhir”.
Kode simbolik merupakan aspek pengkodean fiksi yang paling
khas bersifat struktural. Hal ini didasarkan pada gagasan bahwa makna
berasal dari beberapa oposisi psikoseksual yang melalui proses produksi
wicara, maupun pada taraf oposisi psikoseksual yang melalui proses.
Misalnya, seorang anak belajar bahwa ibunya dan ayahnya berbeda satu
sama lain dan bahwa perbedaan ini juga membuat anak itu sama dengan
satu di antara keduanya dan berbeda dari yang lain atau pun pada taraf
pemisahan dunia secara kultural dan primitif menjadi kekuatan dan nilai-
nilai yang berlawanan yang secara mitologis dapat dikodekan. Dalam
suatu teks verbal, perlawanan yang bersifat simbolik seperti ini dapat
dikodekan melalui istilah-istilah retoris seperti antitesis, yang merupakan
hal yang istimewa dalam sistem simbol Barthes.
Kode proaretik atau kode tindakan/lakukan diangggapnya sebagai
perlengkapan utama teks yang dibaca orang; artinya, antara lain, semua
teks yang bersifat naratif. Jika Aristoteres dan todorov hanya mencari
adegan-adegan utama atau alur utama, secara teoretis Barthes melihat
25
semua lakuan dapat dikodifikasi, dari terbukanya pintu sampai
petualangan yang romantis. Pada praktiknya, ia menerapkan beberapa
prinsip seleksi. Kita mengenal kode lakuan atau peristiwa karena kita
dapat memahamimya. Pada kebanyakan fiksi, kita selalu mengharap
lakuan di- “isi” sampai lakuan utama menjadi perlengkapan utama suatu
teks (seperti pemilahan ala todorov).
Kode gnomik atau kode kultural banyak jumlahnya. Kode ini
merupakan acuan teks ke benda-benda yang sudah diketahui dan
dikodifikasi oleh budaya. Menurut Barthes, realisme tredisional didefinisi
oleh acuan ke apa yang telah diketahui. Rumusan suatu budaya atau
subbudaya adalah hal-hal kecil yang telah dikodifikasi yang di atasnya
para penulis bertumpu.28
28
Alex Sobur, Semiotika Komunika si, cet ke-3 (Bnadung: PT Remaja Rosda Karya,2006),
h. 65-66.
26
BAB III
LATAR BELAKANG CAROK
Pada bagian ini penulis akan menguraikan tinjauan umum
mengenai Carok, baik secara keberadaan daerahnya maupun Budayanya.
Kemudian akan dijelaskan secara faktual dari keberagamaan tentang
masyarakat Madura yang mayoritas Islam.
A. CAROK
1. Carok: Sejarah, Aturan, dan Peristiwa
Carok adalah sebuah pembelaan harga diri ketika diinjak -injak
oleh orang lain. Yang berhubungan dengan harta, tahta dan wanita intinya
adalah demi kehormatan. Ungkapan etnografi yang menyatakan, etembang
pote mata lebih bagus pote tolang (dari pada hidup menanggung perasaan
malu, lebih baik mati berkalung tanah) yang mmenjadi motivasi carok.
Semua kasus carok diawali oleh konflik, meskipun konflik tersebut
dilatar belakangin oleh permasalahan yang berbeda (kasus masalah
perempuan, kasus lainnya tuduhan mencuri, perebutan warisan dan
pembalasan dendam), semuanya mengacu pada akar yang sama, yaitu pada
perasaan malo (malu) karena pelecehan harga diri (martabat). Untuk
memulihkan harga diri yang dilecehkan, mereka melakukan carok, yang
ternyata yang selalu mendapatkan dukungan secara sosial. Apapun cara
Carok yang dilakukan, semua pelaku carok yang berasil membunuh
musuhnya menunjukkan perasaan lega, puas dan bangga. Pengertian harga
diri (martabat) dalam kaitannya dengan perasaan malo yang
27
ditimbulkannya ketika terjadi pelecehan. Kedua hal ini merupakan faktor
pemicu, utama orang Madura melakukan carok selain faktor lainnya.1
Begitu pula kasus Carok lain yang terjadi di Madura. Selalu
bersumper dari perasaan malu, tidak selalu bermuncul dalam secara
sepihak, tapi ada kalanya pada dua pihak. Salah satu contoh kasus adalah
carok yang melibatkan Kamaluddin dan Mukarram ketika melawan Mat
Tiken. Kamaluddin merasa malu karena tindakan Mat Tiken yang
mengganggu istrinya dimaknai pelecehan terhadap harga dirinya sebagai
seorang suami, oleh karena itu, Kamaluddin merasa malu, kemudian
melakukan carok terhadap Mat Tiken. Mukarram yang ikut membantu
Kamaluddin ketika menghadapi Mat Tiken juga merasa ikut malu, karena
Kamaluddin adalah saudara sepupunya, yang dalam katagori sistem
kekerabatan Madura termasuk dalam katagori tarean dalem. Cara
Kamaluddin dan Mukarram melakukan carok tersebut, oleh Mat Tiken,
dimaknai sebagai pelecehan terhadap harga dirinya sehingga menimbulkan
persaan malu.
Dengan mengacu pada salah satu contoh carok tersebut, pelecehan
harga diri sama artinya dengan pelecahan terhadap kapasitas diri. Padahal,
kapasitas diri seseorang secara sosial tidak dapat dipisahkan dengan peran
dan statusnya dalam struktur sosial. Peran dan status sosial dalam
prakteknya tidak cukup hanya disadari oleh individu yang bersangkutan.
Tetapi harus dapat pengakuan dari orang atau lingkungan sosialnya.
1Latief Wijaya, Carok Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura
(Yogyakarta:LkiS, 2006), h. 98-99.
28
Bahkan, setiap bentuk relasi sosial antara satu orang dengan orang lainya
harus saling menghargai peran adab status sosial masing-masing, akan
tetapi, ada kalanya hal ini tidak dipatuhi. Bagi orang Madura. Tindakan
tidak menghargai dan tidak mengakui atau mengengkari peran dan sosial
pada gilirannya timbullah persaan malu, dalam bahasa Madura selain kata
malu juga ada kata todus, yang dalam bahasa Indonesinya yang selalu
diterjemahkan sebagai malu, dalam konteks kehidupan sosial budaya
Madura. Antara malo dan todus, mempuyai pengertian yang sangat
berbeda, malo (malu) bukanlah bentuk lain dari ungkapan todus.2
Orang Madura yang malu karena dilecehkan harga dirinya
kemudian melakukan carok disebut sebagai pelaku carok. Akan tetapi, jika
carok benar-benar terjadi, yang dimaksud dengan pelaku carok adalah
kedua belah pihak baik yang harga dirinya dilecehkan (yang menyerang)
maupun pihak yang dianggap melakukan pelecehan itu (diserang).
Apabila seorang laki-laki yang dilecehkan harga dirinya, namun
kemudian ternyata tidak berani melakukan carok, orang Madura
mencemooh sebagai orang laki-laki (lo’ lake). Bahkan, sebagian informan
menyebutnya sebagai bukan orang Madura, seperti yang dikatakan Gutte
Bakir, salah seorang belater dan jagoan di Desanya “ mon lo’ benggal
acarok ajjha’ ngako orenga madureh” (jika tidak berani melakukan carok
jangan mengaku orang Madura). Jadi orang Madura melakukan carok
bukan karena semata-mata tidak mau dianggap sebagai penakut meskipun
2Latief Wijaya, Carok Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura
(Yogyakarta:LkiS, 2006), h. 179-180.
29
sebenarnya takut mati melainkan juga agar dia tetap dianggap orang
Madura. Bila demikian halnya, carok juga berarti salah satu orang Madura
untuk mengekspresikan identitas etnisnya. Itu semua semakin memperkuat
anggapan bahwa carok bukan tindakan kekerasan pada umumnya,
melainkan tindakan yang sarat dengan makna-makna sosial budaya
sehingga harus dipahami sesuai dengan konteksnya.
2. Sejarah
Pemicu dari carok ini merupakan perebutan kedudukan di keraton.
Perselingguhan, perebutan tanah, bisa juga dendam turuntemurun selama
bertahun-tahun. Pada abad ke-12 M. zaman kerajaan Madura saat di
pimpin prabu Cakraningrat dan abad 14 di bawah pemerintahan Joko Tole.
Istilah carok belum dikenal bahkan masa pemmerintahan Penambahan
Semolo. Putra dari Bindara Saud putra Sunan kudus abad ke-17 M tidak
ada istilah carok. Muncul budaya carok di pulau Madura bermula pada
zaman penjajahan Belanda yaitu pada abad ke 18 M. setelah Pak Sakera
tertangkap dan dihukum di Pasuruan. Jawa Timur Orang-orang bawah
(anak buah Pak Sakera) mulai berani melakukan perlawanan pada
penindas poliisi Belanda (orang-orang Belanda) , senjatanya adalah celurit.
Saat itulah timbul keberaniaan melakukan melakukan perlawanan. Namun,
pada itu mereka tidak menyadari, kalau di hasut oleh Belanda. Mereka
diadu sama keluarga Blater (jagoan) yang menjadi kaki tangan penjajah
30
Belanda, yang juga sesama bangsa. Karena provokasi Belanda itulah
golongan Blater yang sering sekali melakukan carok pada masa itu.3
Menurut salah satu budayawan Madura bernama Ibnu Hajar ,
bahwa buadaya carok yang sudah menjadi ikon bagi orang Madura masih
belum jelas asal-usulnya. Berdasarkan legenda rakyat, adalah bermula dari
perkelahian antara pak Sakera dengan dua bersaudara, Markasan dan
Manbakri, yang antek-antek Belanda. Senjata pak Sakera adalah celurit.
Karenanya, setiap perkelahian bersenjatakan celurit, untuk gampangnya
dinamai carok.4
Carok dan celurit laksana dua sisi mata uang. Satu sama lain tak
pisahkan. Hal ini muncul di kalangan orang-orang Madura sejak zaman
penjajahan Belanda abad 18 M. Carok merupakan simbol kesatria dalam
memperjuangkan harga diri (kehormatan). Pada zaman cakraningrat, Joko
tole dan penembahan semolo di Madura. tidak mengenal budaya tersebut.
Budaya yang ada pada waktu itu adalah membunuh orang secara kesatria
atau menggunakan pedang dan keris. Senjata celurit mulai muncul pada
zaman legenda Pak Sakera. Mandor tebu dari Pasuruan ini hampir tak
pernah meninggalkan celurit setiap pergi kekebun untuk mengawasi para
pekerja. Celurit bagi Sakera merupakan simbol perlawanan rakyat jelata.
Lantas apa hubungannya dengan carok. Carok dalam bahasa kawi kuno
artinya perkelahian. Biasanya melibatkan dua orang atau dua keluarga
3Hendry Arianto Dkk,“tradisi carok pada masyarakat adat Madura,” artikel di akses
pada 14 November 2016 dari http//www.esaunggul.ac.id/article/tradisi-tradisi-carok-pada-
masyarakat-adat-Madura. 4Ibnu Hajar, carok, http;//www.kaskus.us/showthred.php. di aksese pada 26 November
2026.
31
besar. Bahkan antar penduduk sebuah desa di Bangkalan, Sampang, dan
Pamekasan.5
Pada saat carok mereka tidak menggunakan senjata pedang atau
keris sebagaimana yang dilakukan masyarakat Madura zaman dahulu,
akan tetapi menggunakan celurit sebagai senjata andalannya. Senjata
celurit ini sengaja diberikan Belanda kepada kaum blater dengan tujuan
merusak citra Pak Sakera sebagai pemilik sah senjata tersebut. Karena
beliau adalah seorang pemberontak dari kalangan santri dan seseorang
muslim yang taat menjalankan syariat islam. Celurit digunakan Sakera
sebagai simbol perlawanan rakyat jelata terhadap penjajah Belanda.
Sedangkan bagi Belanda, celurit disimbolkan sebagai senjata para
jagoan dan penjahat. Upaya Belanda tersebut rupanya berhasil merasuki
sebagai masyarakat Madura dan menjadi filsafat hidupnya. Bahwa kalau
ada persoalan, perselingguhan, perebutan tanah, dan sebagainya selalu
menggunakan kebijakan dengan jelas carok. Alasannya adalah demi
menjungjung harga diri. Istilahnya dari pada putih mata lebih baik putih
tulang. Artinya lebih baik mati berkalang tanah dari pada menanggung
malu. Tidak heran jika terjadi persoalan perselingguhan dan perebutan
tanah. Keturunan orang Madura di Jawa dan Kalimantan selalu di
selesaikan dengan jalan carok perorangan maupun secara massal. Senjata
yang digunakan selalu celurit.
5Hendry Arianto Dkk, “ tradisi carok pada masyarakat adat Madura,” artikel di akses
pada 14 November 2016 dari http//www.esaunggul.ac.id/article/tradisi-tradisi-carok-pada-
masyarakat-adat-Madura.
32
Mereka ini keturunan orang-orang pada zaman dulu bertujuan
melawan penjajah Belanda. Setelah sekian tahun penjajah Belanda
meninggalkan pulau Madura, budaya carok dan menggunakan celurit
untuk menghabisi lawannya masih ada, baik itu di Bangkalan, Sampang,
Pamekasan dan Sumenep. Mereka mengera budaya tersebut hasil ciptaan
leluhurnya. Tidak menyadrai bila hasil rekayasa penjajah Belanda.
Carok pada masa lalu, merupakan perang tanding antara satu orang
melawan satu orang. Sebelum perang dimulai masing-masing mengadakan
perjanjian mengenai penentuan tempat arenanya hari dan waktunya.
Setelah di sepakati mereka melapor kepada penguasa setempat untuk
melakukan carok. Arena carok itu diberi tanda berupa bendera dan
disaksikan banyak orang. Usai membunuh pelakunya tidak kabur, dengan
celuritnya yang masih nempel darah segar, pelaku melapor kepada aparat
untuk menyerahkan diri.
Sedangkan carok yang terjadi sekarang tidak lagi saling
berhadapan melainkan mencari kelengahan musuhnya untuk
melampiaskan niatnya. Usai membunuh pelaku juga melarikan diri,
memang ada satu atau dua orang yang melapor pada petugas, akan tetapi
itu arang terjadi malah yang lebih banyak kabur menyelamatkan diri.
Walaupun pelaku dihukum berat 10 tahun, tidak membuat bapok atau
jerah pelakunya. Dikatakan yang paling memicu timbulnya carok,
manakala harga diri dipermalukan.
33
Dengan perkembangannya, carok tidak bisa dipahami sebagai
sebuah institusi yang hanya menekankan pada aspek kekerasan. Pada suku
ini, tindakan kekerasan mendapat pembenaran secara kultural dan bahkan
dapat persetujuan sosial jika tindakan itu bertujuan mempertahankan diri
dan kehormatan. Pada tahun 2006 lalu, kita dikejutkan dengan adanya
berita tentang terjadinya “Carok” di Pamekasan yang menewaskan tujuh
orang korban tewas diakibatkan sabetan celurit. Carok merupakan tradisi
bertarung satu lawan satu dengan menggunakan senjata (biasany celurit)
tidak ada peraturan resmi dalam pertarungan ini karena carok merupakan
tindakan yang dianggap negatif dan kriminal serta melanggar hukum. Ini
merupakan cara suku Madura dalam mempertahankan harga diri dan
keluar dari masalah yang pelik.6
Istilah carok hanya dipakai oleh Madura untuk menyebut
pembunuhan (mutilasi jika pembunuhan itu tidak berhasil) dengan senjata
tajam. Membunuh atau melukai manusia dengan senjata api atau racun
tidak pernah disebut sebagai carok. Penggunaan senjata api atau racun
dalam konflik antarindividu atau antarkeluarga jelas dipandang sebagai
kurang terhormat.7
Tindakan kekerasan seolah-olah sudah melekat dalam kehidupan di
Madura, tidak dapat dibenarkan sepenuhnya, meskipun tidak dapat
disangkal begitua saja. Untuk memahami hal yang terahir, kiranya perlu
6Hendry Arianto Dkk, “ tradisi carok pada masyarakat adat Madura,” artikel di akses
pada 14 November 2016 dari http//www.esaunggul.ac.id/article/tradisi-tradisi-carok-pada-
masyarakat-adat-Madura. 7Huub De Jonge, Garam Kekerasan dan Aduan Sapi (Yogyakarta: PT. LkiS Printing
Cemerlang ), h. 127.
34
ada penjelasan secara historis yang menggambarkan kondisi masyarakat
Madura pada zaman dulu. Dari salah satu iformasi yang bersumber dari
beberapa legenda tentang Madura (Zainalfattah, 1951:7-13), dapat
disimpulkan bahwa awal mula terjadinya kekerasa di Madura dapat
ditelusuri dari awal dikemukakannya pulau Madura sekitar tahun 929 M.8
Lazimnya seseorang itu melakukan carok adalah disebabkan oleh
perasaan malo (malu ) atau terhina, yang mana harga dirinya dilecehkan oleh
orang lain. Dengan kata lain, orang Madura yang merasa bahawa harga
dirinya telah dilecehkan akan merasa malu sehingga merasa perlu
melakukan carok kepada orang yang menghinanya. Perasaan malu yang
mendorong kepada carok tidak selalunya muncul secara sepihak tetapi
adakalanya melibatkan kedua belah pihak.9
Orang Madura yang menarik perhatian para pengamat adalah mudah
tersinggung, pencuriga, tempramen meledak-ledal, pemberang garang,
pendendam, dan suka berkelahi. Ciri-ciri dilambangkan oleh senjata yang sering
dibawa oleh orang Madura. Terutama pada masa lalu. Orang Madura hampir
tidak pernah terlihat tanpa membawa senjata tajam, seperti keris, celurit atau
parang. Seperti bocah di Negeri Belanda yang diperbolehkan mengenakan celana
panjang manakala dianggap sudah akil balig, bocah sesusianya di Madura
menerima sebilah keris. Bagi dunia luar “orang Madura” dan “kekerasan” selalu
8Latief Wijaya, Carok Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura
(Yogyakarta:LkiS, 2006), h. 67-68. 9Dalam bahasa Madura terdapat dua istilah yang boleh diterjemahkan sebagai malu dalam
bahasa Indonesia iaitu malo dan todus. Malo adalah perasaan malu yang timbul akibat daripada
tindakan orang lain yang mengingkari atau tidak mengakui kedudukan dirinya sehingga merasa
tada’ ajina. Manakala todus adalah perasaan malu yang timbul dalam diri sebagai akibat tindakan
diri sendiri yang menyimpang dari nilai dan norma masyarakat. Dalam hal ini, seseorang yang
melanggar adat kebiasaan akan dianggap sebagai orang yang tidak tahun malu (ta’ tao todus) atau
janggal (tidak mengerti etika kesopanan). Lazimnya orang yang merasa todus tidak akan
mengambil tindakan carok sebagaimana orang Madura yang merasa malo.
35
bersinonim. Ketika menyebut “orang Madura”, “kekerasan” tak pernah jauh dari
benak si pembicara.
Untuk mengarisbawahi darah panas orang Madura, orang luar selalu
merujuk kepada carok, praktik memutilasi atau membantai lawan dengan celurit
atau senjata tajam lainnya ketika timbul konflik serius. Carok dilihat sebagai
ekspresi puncak kekejian dan kekerasan rakyat Madura. Karena selalu menjadi
urusan paling bengis dan berdarah-darah, dan karena penonton sesekali
ikutterluka atau terbunuh, carok sering diseratakan dengan amuk. Meskipun
sudah pasti tidak dapat disamakan dengan amuk, carok memang memiliku
beberapa mirip amuk.
Carok, jika merupakan reaksi terhadap penghinaan serius, adalah
tindakan yang disetujui, atau setidaknya dimaklumi dilingkungan sosial tempat
terjadinya carok. Carok merupakan jawaban kultural yang diterima secara sosial
terhadap pelanggaran aturan masyarakat yang terlibat. Dalam setuasi tertentu
carok juga diharapkan. Seseorang bahkan dapat dipaksa oleh, misalnya kerabat,
tetangga, atau kawan untuk melakukan carok.10
3. Aturan Carok
a. Rincian dan aturan carok.
1. Kadigdajan (kapasitas diri)
2. Tampeng sereng (supratural)
3. Banda (dana)
10
Huub De Jonge, Garam Kekerasan dan Aduan Sapi (Yogyakarta: PT. LkiS Printing
Cemerlang ), h. 125 -130.
36
4. gu’teggu’ sabbu’ (saling megang ikan pinggang)
Nyekep sudah merupakan kebiasaan yang sulit ditinggalkan oleh
kebanyakan laki-laki Madura, khususnya di pedesaan. Hal ini terbukti,
setiap kali mereka meninggalkan rumah atau bepergian baik di waktu pagi,
siang maupun sore hampir tidak pernah lupa membawa senjata tajam.
Lebih-lebih mereka yang mempunyai musuh atau sedang menghadiri
remo. Biasanya senjata tajam yang dipake untuk nyekep adalah sekken
(celurit atau pisau ukuran kecil dengan panjang sekitar 50-70 cm) yang
mudah diselipkan di balik baju sehingga tidak megundang perhatian orang
lain, terutama musuh aparat kepolisian. Pengamatan dilapangan
menunjukkan, selain sekken, tidak jarang juga orang nyekep celurit (are’
takabuwan) atau senjata lain yang ukurannya lebih besar.
Cara orang Madura nyekep berbeda dengan jenis senjata tajam
yang satu dengan jenis yang lain, misalnya antara celurit dengan pisau.
Celurit diselipkan dibagian belakang tubuh (pungung) dengan posisi
pengangan ada diatas, maksud agar mudah dikeluarkan. (digunakan).
Pisau diselipkan dibagian depan (perut) biasanya disebelah kiri, tapi ada
juga yang menyelipkan disebelah kanan-dengan posisi sama dengan
celurit.
Persiapan-persiapan yang harus dilakukan sebelum carok
dilaksanakan pada dasarnya tidak berbeda antara carok yang dilaksanakan
secara bertahap-tahap (termasuk ngonggai) dengan cara nyelep. Tapi
bisanya carok yang dilakukan dengan cara bertahap-tahap karena harus
37
dipersiapkan lebih cermat. Apalagi, jika latar belakang permasalahannya
adalah gangguan terhadap istri yang merupakan masalah yang sangat
sensitif, sehingga cepat sekali jadi perbincangan orang-orang seluruh
warga.
Menurut keterangan informan yang sudah dikenal sebagai “tukang
carok” selain persiapan yang sudah disebutkan, pada dasarnya ada tiga
para syarat yang harus dipenuhi jika seseorang akan melakukan caro, yaitu
dengan kadigdajan (kapasitas diri), tampeng sereng, dan banda (dana).
Pertama yang dimaksud kadigdajan (kapasitas diri) adalah segala sesuatu
yang berkaitan dengan kesiapan dirinya secara fisik maupun mental.
Parasyarat secara fisik ini dapat berupa penguasaan teknik-teknik bela diri,
yang ada kalanya menjadi penting terutama jika carok dilakukan dengan
cara berhadap-hadapan.
Baik parasyarat secara fisik maupun mental ini akhirnya menjadi
sia-sia ketika yang bersangkutan dibunuh dengan cara nyelep. Sama
dengan pengusahaan teknik-teknik bela diri, faktor pengalaman melakukan
carok dan sifat angko menjadi tidak penting jika yang bersangkutan
dibunuh dengan cara ini. Dengan demikian, meskipun parasyarat yang
berkaitan dengan kapasitas diri (fisik dan mental) sudah terpenuhi, namun
dalam kenyataannya, cara melakukan carok justru lebih menentukan
menang kalahnya (terbunuh atau tidak) seseorang ketika menghadapi
musuhnya.
38
Prasyarat yang kedua menyangkut apa yang disebut dengan
tampeng sereng. Seseorang yang akan melakukan carok tidak semata-mata
harus mengandalkan kekuatan fisik, tetapi harus juga memiliki kekuatan
yang diperoleh secara nonfisik (supranatural). Artinya seseorang
melakukan carok masih perlu apagar (berpagar). Dengan apagar, berarti
pelaku carok telah membentngi dirinya sehingga menjadi lebih tahan
(mungkin juga kebal) terhadap serangan musuh. Untuk maksud itu, pelaku
carok minta bantuan seorang “kiai” (kaeh), selanjutnya “kiai” (kaeh)
melakukan proses “pengisian” mantra-mantra atau jambi-jambi kebadan
pelaku carok.
Parasyarat yang ketiga adalah tersedianya dana (banda). Dalam
konteks ini, carok mempunyai dimensi ekonomi. Biaya ataua dana dalam
kenyataannya memang merupakan persyaratan yang selalu atau harus
tersedia, sesuai dengan ungkapan “jangan melakukan carok kalau tidak
mempunyai dana yang cukup” (mon lo’ andi’ banda, ja’ acarok)
ungkapan ini bermakna sebagai suatu peringatan, bahwa orang yang
melakukan carok akan banyak menghabiskan biaya, baik pihak yang
menang maupun pihak yang kalah.11
Keempat adalah gu’teggu’ sabbu’ (saling memegang ikat
pinggang). Artinya, cari ini pelaku carok saling memegang seutas tali
11
Latief Wijaya, Carok, Konflik, Kekerasan, dan Harga Diri Orang Madura
(Yogyakarta:LkiS, 2006), h. 194-20.
39
pingang dengan tangan kiri dan saat yang sama tangan kanan mereka
saling menganyungkan celuritnya.12
Di kalangan orang Madura, tidak terdapat kebulatan pendapat
tentang bagaimana carok harus dilakukan. Beberapa orang mengatakan
bahwa sejumlah besar aturan harus diikuti; pendeknya, ada cara berkelahi
yang baku. Yang lain berfikir bahwa cukuplah dengan menyerang lawan
dari depan. Namun di Bangkalan, bagian paling barat Pulau Madura,
dalam beberapa kejadian, menyerang dari belakang diperbolehkan. Di
beberapa tempat, dikatakan bahwa daerah perut harus dibelah hingga
menganga, sementara di tempat-tempat lain, urat nadi leher harus diputus.
Di Sumenep, bagian paling timur Madura, saya juga mendengar bahwa
kepala dan anggota badan harus diputus dari tubuh. Jelaslah bahwa
aturannya berbeda-beda tergantung pada daerah setempat, dan juga rentan
terhadap perubahan. Di beberapa daerah, aturan carok telah menjadi lebih
“halus”, sementara di sejumlah kawasan lain, komunitas-komunitas lebih
mudah menyimpang dari aturan. Meski aturan-aturan itu menyatakan
bagaimana idealnya carok harus terjadi, pada kenyataannya, dalam
panasnya perkelahian, ideal tersebut seringkali terjadi.13
Cara melakukan carok seperti ini sekarang sudah tidak ada lagi.
Hampir semua kasus carok selalu dilakukan dengan cara nyelep. Padahal,
cara ini dinilai sebagai cara yang tidak kesatria atau pengecut (kerji’)
dibangdingkan cara berhadap-hadapan (termasuk ngongai).
12
Mohammad Fauzi, Carok, www.petra,ac.id/pus/journals/pdf.php., 28 November 2016. 13
Huub De Jonge, Garam Kekerasan dan Aduan Sapi (Yogyakarta: PT. LkiS Printing
Cemerlang ), h. 127 -128.
40
Kecenderuangan orang melakukan carok dengan cara nyelep sangat erat
kaitannya dengan keinginan untuk segera membunuh musuh, tapi dirinya
sendiri tidak mau menanggung risiko (untuk mati).14
4. Peristiwa
a. Kasus-kasus carok bermotif gangguan terhadap istri:
i. Cemburu Membawa Mati
Peristiwa carok antara Mat Tiken dengan dua orang yang masih
saudara sepupun, yaitu Kamaluddin dan Mukarram permasalahan yang
melatar belakangi peristiwa carok ini adalah tindakan Mat Tiken yang
diketahui telah menjalin hubungan cinta dengan sutiyani, istri
Kamaluddin. Kamaluddin sangat cemburu dan marah, sehingga berniat
harus membunuh Mat Tiken. Untuk melakukan niatnya ini, Kamaluddin
minta bantuan Mokarram. Dengan cara ngongai, mereka berdua langsung
menantang Mat Tiken untuk melakukan carok. Mat Tiken melayani
tangtangan ini dan terjadilah carok dua lawan satu.
ii. Persaingan Bisnis
Peristiwa carok antara Ikhsan dan adik kandungnya, Matmun,
melawan Mattasan. Peristiwa carok ini terjadi di suatau jalan umum
desa mongkoneng disaat itu suasananya sangat sepi. Desa ini terletak
ditepi pantai Selatan dalam wilayah kabupaten Bangkalan. Latar
belakang peristiwa carok ini adalah persaingan bisnis dan perasaan
14
Latief Wijaya, Carok, Konflik, Kekerasan, dan Harga Diri Orang Madura
(Yogyakarta:LkiS, 2006), hal. 210.
41
cemburu. Menurut informasi, kedua jenis permasalahan yang
melatarbelakangi carok ini tidak muncul secara bersamaan. Persaingan
bisnis yang terjadi antara Ikhsan dan Mattasan lebih dahulu muncul
baru kemudian disusul oleh timbulnya perasaan cemburu pada diri
Matmuni, karena Mattasan diketahui telah mengganggu atau
menggoda istrinya, Haliyah. Masyarakat desa Mongkoneng menjadi
gembpar oleh peristiwa carok ini, sebab dua diantara tiga orang yang
terlibat, yaitu Ikhsan dan Mattasan, sama-sama dikenal sebagai jagoan
di Desanya masing-masing. Oleh karena itu carok ini oleh masyarakat
setempat disebut carok besar.
iii. Cemburu pada Tatangga
Peristiwa carok antara Bunawi dengan Dahlan yang berahir
dengan tewasnya Dahlan ditempat kejadian. Dalam peristiwa carok
ini, Bunawi menyerang dengan cara nyelep menggunakan are’
takabuwan. Bacokan-bacokan yang dilancarkan oleh Budawi lansung
mengenai mulut, pingagng sebelah kanan, serta perut, sehingga usus
besar korban terburai keluar. Dahlan pun tewas seketika ditemapat
kejadian carok. Latar belakang permasalahan yang menjadi fakta
pemicu terjadinya peristiwa carok ini adalah karena Bunawi merasa
cemburu dan marah kepada Dahlan. Menurut penilaian Bunawi,
Dahlan dianggap telah terbukti berselingkuh dengan istrinya,
Masniyati.
b. Kasus-kasus carok bermotif selain gangguan seterhadap istri
42
i. Mempertahankan Martabat
Ali Wafa terlibat carok dengan Sumahwi, kejadiannya disuatu
jalan umum disuatu kota kecil bekas kawedanan Billapora, yang
masih termasuk dalam wilayah kabupaten Bangkalan. Keduanya
adalah pemuda lajang yang pekerjaanny sehari-harinya sebagai
penarik becak. Dengan cara nyelep. Aliwafa membunuh Sumahwi
yang sebelumnya menuduh Aliwafa sebagai pencuri cincin. Akibatnya
perbuatannya membunuh Sumahwi, Aliwafa dipidana dengan
hukuman penjara selama lima tahun, dipotong masa tahanan selama
empat bulan. Aliwafa didakwah melanggar pasal 340 KUHP, karena
terbukti melakukan pembunuhan terhadap Sumahwi yang telah
direncanakan terlebih dahulu.
Aliwafa dan Sumahwi selain berteman juga tinggal disebuah
kontrakan yang sama. Sebagai penarik becak yang berasal dari desa
lain, tetapi masih dalam bekas kawedanan Billapora, masing-masing
menyewa sebuah kamar milik penduduk setempat. Bahkan dirumah
itu masih terdapat empat orang penarik becak lain yang juga status
penyewa kamar. Aliwafa mengaku mulai ikut bergabung dengan
teman-temannya ditempat itu selama lebih kurang satu setengah tahun
hingga terjadinya carok tersebut. Sumahwi setahun lebih lama
daripada Aliwafa. Empat kawannya yang lain, ada yang telah tiga
tahun dan ada yang baru enam bulan menepati rumah sewaan tersebut.
ii. Merebut Harta Warisan
43
Peristiwa carok antara Sulaiman dengan Sami’an dihalaman
sebuah pasar kecamatan kampar yang berahir dengan kematian
Sami’an. Kedua orang pelaku carok ini adalah satu keluarga dan
termasuk dalam katagori kerabat inti. Dalam lingkungan keluarga
mereka, Sulaiman adalah keponakan dari Sami’an, sebab ibu
Sulaiman, adalah kaka kandung dari Sami’an. Dengan demikian,
permusuhan antara mereka termasuk moso dalem. Pemicu carok ini
adalah masalah ketidak adilan dalam hal penguasaan harta warisan.
Akibat peristiwa itu, hubungan antara Sulaiman dengan Sami’an
menjadi jalek. Mereka selalu cekcok, bahkan beberapa kali sempat
terjadi pertengkaran fisik meskipun tidak sampai tingkat carok.
Menurut pengakuan Sulaiman, yang dibenarkan oleh ibunya, pernah
suatu saat Sami’an sembapat menusuk dirinya dengan sebilah pisau
namun hanya mengenai lengan kirinya. Kejadian lain yang membuat
Sulaiman semakin marah adalah ketika terjadi cekcok yang kesekian
kalinya, Sami’an sempat melempar batu kepada Sulaiman namun
tidak kena. Justru yang kena lemparan batu adalah ibunya itu adalah
Halimah, ibunya menurut penuturan Halimah, setiap terjadi
pertengkaran dia antara mereka, Halimah selalu berusaha
melarikannya. Meskipun begitu dendam dan amarah Sulaiman terus
berkobar yang puncaknya adalah carok di halaman pasar Kampar
yang berahir dengan tewasnya sang paman di tempat kejadian. Karena
44
kejadian carok diluar lingkungan rumahnya, maka Halimah, ibu
Sulaiman, kali ini tidak semapt melerainya.
Ketika terjadi pembunuhan terhadap kaka kandungnya oleh
Abidin, Tawil baru usia 17 tahun. Peristiwa pembunuhan kaka
kandungnya itu, meneurut pengakuan Tawil, sangat membekas pada
dirinya sebab, ketika peristiwa carok itu berlangsung, Tawil mengaku
menyaksikan sendri sebagai mana kaka kanndungnya dibanatai
dihalaman rumahnya Abidin dengan sengaja ngongai. Kebetulan
seketikan itu, Tawil sedangkan berkunjung ke rumah kakanya untuk
suatu keperluan.
iii. Membalas Dendam Kakak Kandung
Peristiwa carok yang melibatkan Tawil dengan Abidin yang
kedua-duanya termasuk penduduk desa Pecorah. Akibat bacokan
celurit oleh Tawil, Abidin menderita luka-luka parah pada kepala
bagian atas kiri, leher sebelah kiri, bahu sebelah kana, pungung
sebelah kanan, serta tangan kanan bagian atas siku hingga tewasnya
seketika itu juga,. Peristiwa carok ini disaksikan sendiri oleh Sutinah,
istri korban yang ketika kejadian berlangsung sedang tidur bersama
suaminya disebuah balia-balai pada ruangan bagian belakang
rumahnya yang berdekatan dengan kandang kerbau. Latar
belakangnnya adalah perasaan dendam Tawil kepada Abidin, karena
45
Abidin telah membunuh Samanhuri, kaka kandunya, sekitar emapat
tahun sebelumnya.15
iv. Tanah Desa (Tana Catoh)
Banyak yang menganggap carok adalah tindakan keji dan
bertentangan dengan ajaran agama, meski masyarakat Madura sendiri
kental dengan agamanya yaitu islam pada umumnya, Madura sebagian
masih berpegang teguh terhadap falsafah orang Madura, yaitu
ango’an poteyah tolang etembeng pote mata (lebih baik putihtulang
dari pada putih mata), sehingga secara individual masih banyak yang
masih memegang tradisi carok yang telah turun temurun di wariskan
oleh nenek moyang masyarakat Madura.
Madura kerap sekali terjadi carok, yang disebabkan oleh alasa-
alasan tertentu. Seperti carok yang telah terjadi di desa Bujur Tengah
Kecamatan Batumar-mar Kabupaten Pamekasan pada tahun 2006.
Bujur juga termasuk salah satu desa yang di kenal oleh masyarkat
desa yang disegani karena kekerasannya. Sehingga banyak yang
ditakuti atau oleh masyarakat luar desa Bujur, desa-desa yang
tergolong masyakatnya kasar-kasar adalah desa Tebul Kecamatan
Pagantenan dan desa Bujur Kecamatan Batumarmar. Kedua desa
tersebut sangat kerap sekali terjadi peristiwa carok dan perampokan
dengan cara yang sangat sadis, mmereka menganggap carok
15
Latief Wijaya, Carok, Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura
(Yogyakarta:LkiS, 2006), h. 95-164.
46
merupakan hal yang biasa dan hampir setiap orang membawa senjata
tajam kemanapun mereka pergi, alasannya untuk menjaga-jaga diri
dari orang yang mempunyai niatan jelek kepada mereka, atau sebagai
bela diri. desa Bujur seirng sekali terjadi carok, yang dilatar
belakangin oleh beberapa faktor lai nnya, salah satunya adalah maslah
perampokan sapi, kambing dan motor, dan beberapa faktor lainnya.
sehingga pencuri dan perampoka saling carok atau saling bacok-
bacokan, dan yang menjadi teradisi di desa Bujur adalah carok massal
yang telah banyak menewaskan banyak orang.
Carok massal di desa Bujur pada tahun 2006 terjadi bukan
karena masalah perselinggkuhan dan harkat martabat/kehormatan
keluarga. Namun carok massal ini di warnai oleh motif-motif lain.
Dan baru pertama kalinya dalam sejarah Pamekasan sangat kerap
sekali peristiwa carok yang terjadi di berbagai daerah di Madura.
Namun tidak kalah serunya dengan peristiwa yang terjadi di desa
Bujur ini. Anehnya di desa Bujur terkenal dengan masyarakatnya yang
taat terhadap agama dan rata-rata lulusan pondok pesantren. Namun
musuh banyak sekali peristiwa carok terjadi, apa sebenarnya yang
terjadi penyebab permasalahan yang dapat memotivasi masyarakat
Bujur malakukan carok tersebut.
Peristiwa terjadinya carok masal yang terjadi di desa bujur
mengagetkan banyak orang karna telah menewaskan banyak orang,
khususnya masyarakat madura sendiri, setelah peristiwa besar sampit
47
dan madura pada tanggal 18 februari 2001 yang telah menewaskan
500 orang dan 100.000 warga madura harus kehilangan tempat
tinggalnya, pembunuhan ini sangat sadis. Banyak warga madura yang
ditemukan dibunuh dengan dipenggal kepalanya.16
Namun kini terjadi lagi di madura sendiri sebuah tragedi
berdarah carok masal di desa Bujur pada tahun 2006, peristiwa ini
membuat masyarakat madura tercengang, karena di daerah madura itu
sendiri terjadi konflik besar-besaran yang juga menewaskan banyak
orang, konflik antar golongan ini disebabkan karena masalah
perebutan suatu kekuasaan, yaitu berebut tanah percaton atau tanah
upah dari pemerintah sebagai upah bagi kepala desa.
Atas alasan tersebut kiranya kawasan Desa Bujur layak diangkat
sebagai kajian penelitian secara mendalam, karena di desa Bujur
merupakan salah satu tempat kejadian peristiwa carok masal, selain itu
desa Bujur yang dikenal dengan masyarakatnya yang sangat kasar
Bujur juga mempunyai letak geografis yang sangat tandus dan gersang
sehingga sangat berpengaruh secara psikologis terhadap
masyarakatnya. Sejauh ini masih belum ada yang mengkaji dan
mengungkap secara ilmiyah tentang peristiwa carok masalah yang
terjadi di desa Bujur pada tahun 2006. Sehingga perlu adanya upaya-
upaya yang mengarah kepada pengkajian sejarah peristiwa carok
tersebut.
16
Peristiwa konflik sampit dan madura pada tanggal 18 februari 2001. Artikel dari,
id.m.wikipedia org/wiki/konflik sampit, diakses pada tanggal 13-11-2016.
48
Motif-motif yang menjadai faktor penyebab meretasnya carok
sangat beragam dan bervariatif, kasus-kasus carok dan motifnya dapat
diklarifikasikan menjadi dua bagian. Bagian pertama. Kasus-kasus
carok yang bermotif gangguan terhadap istri. Bagian kedua. kasus-
kasus carok yang bermotif selain gangguan terhadap istri. Kasus carok
yang bermotif gangguan sama istri dapat dikelompokkan dalam
beberapa motif, yang kurang lebihnya diantaranya, cemburu,
persaingan bisnis dan cemburu kepada tetangga. Sedangkan kasus
carok yang bermotif selain gangguan sama istri dikelompokkan
menjadia tiga motif, misalnya, kareana mempertahankan martabat,
merebut harta warisan, membalas dendam kaka kandung, dan karena
persoalan etika. Bagai orang Madura kalau ada orang lewat tanpa
permisi bagi orang yang ada disekitarnya, maka dianggap melanggar
norma bermasyarakat kadang berahir dengan cara carok.17
Peristiwa-peristiwa kekerasan yang melibatkan orang madura
menjadi semakin lengkap oleh adanya bukti-bukti sejarah modern,
paling tidak dimulai sejak kedatadngannya VOC pertama kali
menguasai madura sekitar tahun 1700, yaitu setelah rakyat dengan
jalan pemberontakan memisahkan diri dari kerajaan mataram di pulau
jawa. Ketika itu, para pemberontak madura memporakporandakan
bagian-bagian terbesar dari jawa, sehingga hampir saja mereka dapat
menaklukan pemerintahan pusat mataram. Hanya dengan bantuan
17
Latief Wijaya, Carok, Konflik, Kekerasan, dan Harga Diri Orang Madura
(Yogyakarta:LkiS, 2006), h. 95-97.
49
VOC para penguasa mataram akhirnya dapat memadamkan
pemberontakan itu dan memulihkan keadaan (De Jonge 1993: 7).18
Bagi orang Madura, tidak semua pembunuhan dapat disebut carok.
Melalui penelitian antropologis yang dilakukan secara intensif, carok
adalah suatu peristiwa pembunuhan antara orang laki-laki yang
bermotifkan “membela gengsi, kehormatan dan harga diri”.19
Berdasarkan data terjadinya carok (1984-1994) di empat kabupaten
madura maka diperoleh sebagai berikut:20
Tahun
Jenis Tindakan Kriminalitas kekerasan Jumlah
kasus Pembunuhan Penganiayaan berat
N % n % N
1985 54 20,9 204 79,1 258
1986 46 21,8 165 78,2 211
1987 51 22,8 173 77,2 224
1988 110 37,5 183 62,5 293
1989 53 24,8 161 75,2 214
1990 41 24,7 125 75,3 166
1991 42 29,4 101 70,6 143
1992 45 28,3 114 71,7 159
1993 48 24,6 147 75,4 195
1994 45 24,3 140 75,7 185
Jumlah 535 26,1 1.513 73,9 2.048
18
Latief Wijaya, Carok Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura
(Yogyakarta:LkiS, 2006), h. 69. 19
Latif Wiyata. Mencari Madura(Jakarta:KDT,2013), h. 247 20
Latief Wijaya, Carok Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura
(Yogyakarta:LkiS, 2006), h. 3.
50
Menurut tabel diatas, selama kurun waktu 10 tahun (1985-1994), di
seluruh telah terjadi tindakan kriminalisasi berupa kekerasan sebanyak
2.048 kasus, yang sebagian terbesar (73,9%) berupa penganiayaan berat,
dan sisanya (26,1%) adalah pembunuhan. Data ini menunjukkan bahwa di
seluruh wilayah Madura, telah terjadi tindakan kriminalitas berupa
kekerasan rata-rata lebih 200 kasus setiap tahun, atau setiap minggunya
rata-rata 4 kasus. Rincian data yang sama untuk masing-masing
Kabupaten adalah sebagai berikut: Kabupaten Bangkalan sebanyak 347
kasus (pembunuhan 149 kasus atau 42,9% dan penganiyaan berat 194
kasus atau 57,1%), Kabupaten Sampang sebanyak 530 kasus (pembunuhan
137 kasus atau 25,8% dan penganiyaan berat 393 atau 74,2%) Kabupaten
Pamekasan sebanyak 386 kasus (pembunuhan 67 kasus atau 27,3% dan
penganiyaan berat 319 kasus atau 82,7%) dan Kabupaten sumenep
sebanyak 734 kasus (pembunuhan 131 kasus atau 18,8% dan penganiyaan
berat 603 kasus atau 81,2%).21
21
Latief Wijaya, Carok, Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura
(Yogyakarta:LkiS, 2006), h. 4.
51
Pada tabel 2 berikut ini tampak bahwa dari sekian banyak kasus
Carok yang terjadi di Madura, khususnya di Bangkalan, selama kurun
waktu lima tahun (1990-1994), terbanyak dilatar belakangi oleh maslah
gangguan terhadap istri (60,4%) menyusul karena salah paham (16,9%),
masalah tanah atau harta warisan (6,7%), masalah utang piutang (9,2%)
dan masalah-masalah lain di luar itu, seperti melanggar kesopanan dijalan,
dalam pergaulan, dan lingkungan sosial lainya (6,8%).
Latar
Belakang
1990 1991 1992 1993 1994 Jumlah
N % N % n % n % N % n %
Gangguan
terhadap
istri
21 67,7 23 71,9 26 72,2 28 50,9 27 50,9 125 60,4
Salah
paham
2 6,5 4 12,5 6 16,6 10 18,2 13 24,6 35 16,9
Tanah
atau harta
warisan
1 3,2 1 3,1 2 5,6 6 10,9 4 7,5 14 6,7
Utang-
piutang
4 12,9 2 6,2 1 2,8 7 12,7 5 9,4 19 9,2
Lain-lain 3 9,7 2 6,2 1 2,8 4 7,3 4 7,5 14 6,4
Jumlah 31 100 32 100 36 100 55 100 53 100 207 100
B. Demografi Madura
Menyebut nama Madura berarti berhadapan dengan sebuah
karikatur. Karikatur yang menggambarkan keterbelakangan. Hampir di
seluruh sektor. Kecuali kekanyaan religiulitasnya, ketika hampir seluruh
52
wacana sibuk menginterpretasi bagaimana menjual Madura meminjam
istilah Kuntowijoyo banyak muncul kegetan”. Sebab diskursus mutakhir
tentang Madura adalah sebuah proses tentatif industrialisasi. Sesuatu yang
nyaris bukan barang yang baru.22
Pulau Madura terletak di Timur laut Pulau Jawa, kurang lebih 7º
sebelah selatan dari khatulistiwa di antara 112º dan 114º bujur Timur.
Pulau itu di pisahkan dari Jawa oleh selat Madura yang menghubungkan
laut Jawa dengan laut Bali mongcongnya di Barat laut, karena bentuknya
disebut corong, agak dangkal dan lebarnya tidak lebih dari beberapa mil
laut. Sejak zaman dahulu kala, corongnnya merupakan suatu daerah
pelabuhan penting. Di Jawa, di muara sungai Lamongan dan Brantas,
terletak kota perdangangan tua Gresik dan Surabaya. Di antara tahun 1400
dan 1600. Kedua kota pantai ini dengan tuban letaknya lebih kebarat
merupakan pusat perdangangan Jawa timur dengan daerah seberang laut.23
Panjang Pulau Madura kurang lebih 190 km dan jarak yang
terlebar pulau itu adalah 40 km luasnya 5.304 km2. Pantai utara
merupakan suatu garis panjang yang hampir lurus. Pantai selatannya
dibagian timur memiliki dua teluk yang besar, terlindung oleh pulau-
pulau, gundukan-gundukan pasir, dan batu-batu karang. Di sebelah timur
terletak kepulauan Sapudi dan kangean yang termasuk administrasi
22
Muhammad Najib, Dkk, Demokrasi Dalam Perspektif Budaya Nusantara (Yogyakarta: LKPSM, 1996 ), h. 179-180.
23Huub de jonge , MADURA: dalam empat zaman; pedagang, perkembangan ekonomi,
dan islam (Jakarta: Gramidia , 1989), h. 3.
53
Madura. Kepulauan itu keseluruhannya terdiri hampir 50 pulau yang
berpenghuni dan tidak berpenghuni.
Secara geologis Madura merupakan embel-embel bagian Utara
Jawa. Daerah itu merupakana kelanjutan dari pegunungan kapur yang
terletak di sebelah utara dan disebelah selatan Lembah Solo. Bukit-bukit
kapur di Madura merupakan bukit-bukit yang lebih rendah, lebih kasar
dan lebih bulat daripada bukit-bukit di Jawa dan letaknya pun lebih
bergabung. Pantai utara yang berada di perpanjangan pegunungan bagian
utara Jawa, pada umumnya bukit-bukit di pedalaman itu lebih tinggi dari
pada bukit-bukit di sepanjang pantai. Bukit-bukit di bagian Timur jelas
lebih tinggi letaknya di atas permukaan laut daripada di bangian Barat
Madura. Di Barat, bukit-bukit itu jarang mencapai ketinggian 200 m.
Puncak tertinggi dibagian Timur Madura adalah gunung Gadu 341 m,
Gunung Merangan 398 m, dan gunung Tembuku 471 m.24
Iklim di Madura bercirikan dua musim, musim Barat atau musim
hujan selama bulan Oktober sampai bulan April dan musim Timur atau
musim kemarau. Sebenarnya hanya di daerah pedalaman yang tinggi
letaknya terdapat enam enam bulan hujan yang terus- menerus. Di lereng-
lereng gunung yang lebih rendah musim hujan berlangsung tidak lebih
lama dari tiga dan empat bulan. Sedangkan, disepanjang pantai Utara dan
di daerah paling Selatan hanya hujan pada bulan-bulan pertama awal
tahun. Selama musim hujan, hujan itu turun selama enam belas hari
24
Huub de jonge , MADURA: dalam empat zaman; pedagang, perkembangan ekonomi,
dan islam, h. 5-6.
54
sebulan. Jumlah hujan pada setiap bualan rata-rata tidak lebih dari 200
mm. Selama musim pancaroba kadang-kadang hujan turun, tetapi tidak
pernah lebih dari 100 mm setiap bulan. Hujan dimusim kemarau di lereng-
lereng dan dataran-dataran yang rendah merupakan suatu pengecualian.
Suhu di pulau itu selalu tinggi suhu di musim barat rata-rata 28 C dan di
bulan-bulan kemarau rata-rata 35 C (Oldeman 1975).
Pulau ini tidak memiliki banyak hujan. Kurang lebih enam persen
dari tanahnya merupakan dearah hutan. Pengunduhan hutan
mengakibatkan erosi yang makin meningkat dan akibat semakin banyak
pula endapan lumpur yang terbawa ke laut. Lahan-lahan penggarapan baru
dengan cepat menjadi tidak subur lagi karena lapisan atas dari tanah itu
terlalu tipis. Lahan-lahan itu berubah jadi lahan tandus, alang-alang pun
tidak mau tumbuh, lahan tegalan yang sudah tidak subur itu semakin
merosot kualitasnya. Penebangan hutan yang tidak terbatas itu baru
berhenti pada tahun tiga puluhan.25
Orang Madura selalu dijabarkan sebagai orang yang lebih kasar,
tidak halus, lebih bersegi-segi, lebih kekar lebih berani dan memiliki tubuh
yang lebih kuat. Tingginya diperkirakan berkisar antara 160 sampai 170
sentimeter, lebih kecil atau maksimum sama, tetapi tidak pernah ledih
besar dibandingkan dengan penduduk tetangganya (surink 1993: 195).
Menurut van genep (1921:184) orang Madura dengan mudah dapat
dibedakan dari oranga Jawa. Mereka memiliki perawakan yang lebih kekar
25
Huub de jonge , MADURA: dalam empat zaman; pedagang, perkembangan ekonomi,
dan islam, h. 8-10.
55
dan berotot tetapi tidak lebih besar, muka lebih lebar dan tidak berkesan
lebih halus. Veth (1907, IV) mencatat terlihatnya “sifat kejam” pada muka
orang Madura, yang karena susunan kepala batu alang lebih kukuh,
memiliki paras wajah yang berkesan lebih kuat beringas. Sifat orang
Madura mencerminkan pengejawantahan pernyataan pendirian dan
kenyakinan yang terpolakan oleh pembawaannya. Sejalan dengan itu
keseluruhan tindak-tanduk perilakunya dalam menjalani hidupnya jadi
segala gerak pandangan, ucapan, dan tindaknya bersesuai dengan landasan
nilai budaya dan norma peradaban yang telah membentuk dan
mengungkungi dirinya. Sekalipmun secara genetika. Sifat dan perilaku
dikendalikan oleh pembawaan, sudah umum diketahuim bahwa keadaan
dan lingkungan di luarnya dapat mempengaruhi pengejawantahannya,
sebab prilaku memang merupakan hasil intraksi antra pembawaan dan
faktor luar.
C. Budaya dan Keagamaan Madura
Dari sekian banyak definisi yang pernah ditawarkan oarang, secara
sederhana kebudayaan dapat diartikan sebagai keseluruhan
pengejawantahkan batin, pikiran, dan akal budi sesuatu suku bangsa, yang
terakumulasi berdasarkan pelajaran terpetik serta tertumbuhkan dari
pengalaman hidupnya, suatu ciri dan kemampuan yang membedakan
manusia dari binatang. Sampai sekarang oarng sering memcampuradukkan
pengertian budaya dan peradaban, tetapi banyak juga dianut pengertian
mengaitkan peradaban dengan kemajuan suatu masyarakat kehidupan
56
sosialnya berdasarkan kemajuan kebudayaannya. Dengan demikian
peradaban Madura merupakan keadaan tahap kemajuan buat penciptaan
batin, pikiran, dan akal budi beserta hasil kegiatan nyata rekayasa manusia
Madura yang meliputi tingkat perkembangan kecerdasan, pemanfaatan,
pengembangan, dan penguasaan pengetahuan, ilmu dan teknologi,
kepercayaan spiritual, seni budaya, selera, nilai, hukum, budi pekerti, adat
istiadat, dan tatanan bermasyarakat.26
Sejarah nasional Indonesia menunjukkan bahwa dari semula
perkembangan kebudayaan dan peradaban orang Madura menapaki
lintasan yang sama seperti kebanyakan suku-suku bangsa Indonesia yang
lain. Laju kemajuannya pun beranjak dengan kecepatan yang selaras
dengan suku suku bangsa di sekitarnya, hanya saja faktor lingkungan yang
kurang mendukung telah menyebabkan terjadinya perbedaan hasil yang
dicapai.27
Salah satu kebudayaan Madura yang masih dilestatikan saat ini
adalah Are` atau Sada` (arit atau sabit) yang semula merupakan pisau
berbilah melengkung dan berhulu panjang untuk dipakai menyabit rumput
dalam beberapa dewarsa terakhir menjadi populer karena selalu
diasosiasikan dengan streotipe watak keras orang Madura. Sebagai alat
pertanian serba guna, pandai besi Madura telah mengembangkannya untuk
memenuhi pelbagai macam keperluan tertentu di lapangan. Orang lalu
membuat petok (arit yang bilahnya kecil dan pendek, biasanya diberi
26
Mien Ahmad Rifai, Manusia Madura (Yogyakarta: Pilar Media), hal. 41. 27
Mien Ahmad Rifai, Manusia Madura (Yogyakarta: Pilar Media), hal. 41.
57
gagang panjang, sangat cocok untuk keperluan menyiangi, mencungkil,
atau menggali rumpul dan gulma, bila-bilahnya berbentuk tikus yang
sedang diam disebut tekos bu-ambu).28
Arit yang menjadi sangat populer digemari para pelaku sosok
senjata tajam menakutkan yang digemari para pelaku kejahatan tidak saja
di Madura tetapi juga di tempat-tempat lain di Indonesia-umumnya adalah
are takabuan (sabit buatan desa Takabuan). Bentuknya sama dengan
pangare`, tetapi umumnya diberi tangkai agak pendek dan dipastikan
hampir tidak pernah dipakai lagi untuk menyabit rumput. Khusus dibuat
karena memakai baja bermutu baik sehingga terjamin kekuatan dan
ketajamannya. Karena berubah fungsi menjadi sekep atau gegaman, orang
lalu melengkapi celurit itu dengan salotong atau sarung terbuat dari kulit
untuk memudahkan dibawa kemana-mana dengan menyelipkannya di
pinggang.29
Adapun senjata yang sering digunakan oleh orang Madura adaalah
celurit. Yang akan penulis jelaskan tentang sejarah munculnya celurit.
Berawal dari kerajaan Madura di pimpinan oleh prabu Cakraningrat (abad
ke-12 M) dan dibawah pemerintahan Joko Tole (abad ke-14 M), celurit
belum dikenal oleh masyarakat Madura. Bahkan pada masa pemerintahan
Panembahan Semolo, putra dari Bindara Saud, Putra Sunan Kudus dari
abad ke-17 M tidak ditemukan Sejarah yang menyebutkan istilah celurit
dan budaya carok. Senjata yang sering kali digunakan pada saat perang
28
Mien Ahmad Rifai, Manusia Madura (Yogyakarta: Pilar Media), hal. 113-114.
29
Mien Ahmad Rifai, Manusia Madura (Yogyakarta: Pilar Media), hal. 114.
58
atau duel satu lawan satu selalu saja Pedang, Keris atau Tombak. Pada
masa tersebut juga masih belum di dengar istilah carok.
Berdasarkan wawancara dengan tokoh masyarakat Madura
Ahsanul Qosasi mengatataka:
“Dulu senjata utama Madura itu clurit bukan di digunakan secara bunuh
orang. Clurit itu didisain itu sebagai alat mengambil rumput untuk sapi
mereka (binatang peliharaan) jadi masyarakat Madura dulu itu
memelihara sapi untuk membajak sawah meraka sehingga kemana-mana
mereka bawa clurit. Nah clurit ini adalah senjata tajam tidak hanya untuk
memotong rumput juga untuk membunuh orang pada saat itu. Nah saya
melihatnya bahwa apa yang dilakukan oleh orang Madura itu hanya
merupakan refleksi agar mereka dibilang hebat sehingga mereka harus
bawa clurit kemana-mana kemudian mereka berantem dan membunuh
orang paada saat itu. Itulah carok itu muncul seperti itu”30
Celurit memiliki fungsi yang melekat sebagai gengsi bagi pribadi
seorang lelaki Madura. kewibawaan dianggap lahir dari keperkasaan tak
kala membawa celurit dan menggunakannya untuk bertahan. Kewibawaan
lain terkait dengan fungsi celurit tak lepasd dari kemenang duel dengan
benda tajam tersebut. Celurit dianggap sebagai medium hasrat dan
kewibawaan. Rasa jumawa dan hebat sering dianggap refleksi lelaki
Madura, di mana akan ada rasa pengakuan dan hormat bagi orang-orang di
sekitarnya. Terutama bagi mereka yang memenangkan duel.
Di kalangan masyarakat Madura, celuri mucul sejak zaman
penjajahan Belanda pada ada 18 M.31
bagi masyarakat Madura, celurit
mempunyai banyak manfaat selain digunakan sebagai senjata tajam untuk
membela diri, juga dipergunakan untuk alat-alat pertanian, dan rumah
30
Wawancara Pribadi dengan Ahsanul Qosasi (tokoh Madura), Jakarta, 25 Agustus 2017. 31
Junaidi, Keunikan Masyarakat Madura dalam http://1001-madura.com/adat-istiadat-
madura, diakses 13 November 2016.
59
tangga.32
Selain fungsinya yang bergam, atau bentuk celurit sangat
banyak. Misalnya di desa Bujur Tengah yang juga memiliki beragam
celurit.
Munculnya celurit di pulau Madura bermula pada abad ke-18 pada
masa ini dikenal seorang tokoh dari Madura yang bernama pak Sakera.
Pak Sakera diangkat jadi Mandor tebu di Bangil. Pasuruan oleh Belanda
yang menjadi ciri khas pak Sakera adalah senjata yang berbentuk arti besar
yang kemudian dikenal dengan istilah celurit. Dimana dalam setiap
kesempatan, beliau selalu membawanya untuk mengawasi para pekerja.33
Kemunculan versi kisah pak Sakera ada kesesuaian dengan hasil
penelitian De Jonge yang dikutip oleh Latif Wjaya. De Jonge mengutip
laporan seorang asisten residen dari Bangkalan. Brest Van Kempen
menyatakan bahwa antara tahun 1847-1849 keamanan di pulau Madura
sangat memperhatikan mengingat hampir setiap hari terjadi kasus
pembunuhan. Bangdingkan dengan pak Sakera dan peristiwa kekacauan
yang terjadi setelah beliau wafat, dimana menurut cacatan sejarah juga
terjadi pada abad 18 M.
Dari tinjauan historis di atas dapat diketahui bahwa nilai bagi
pengguna celurit masyarakat Madura sebenarnya dalah merupakan
simbolisasi figure pak Sakera sebagai sosok yang berani melawan ketidak
adilan dan penindasan. Namun, keberadaan celurit yang kita rasakan lebih
32
Latief Wijaya, Carok, Konflik, Kekerasan, dan Harga Diri Orang Madura (Yogyakarta:
LkiS, 2006), hal. 74. 33
Latief Wijaya, Carok, Konflik, Kekerasan, dan Harga Diri Orang Madura
(Yogyakarta:LkiS, 2006), hal. 75.
60
melambangkan sifat “blater”34
yang idetic dengan kekerasan dan
kriminalitas. Bahkan celurit kini melambangkan tindakan anarkis, egois
dan brutal yang dibuktikan dengan maraknya praktek “carok”.35
Kenyataan itu bisa disederhanakan dengan memahami bahwa
gengsi atau rasa kepribadian terhina bagi masyarakat Madura merupakan
bagi anggapan yang dianggap menentang dan mengucilkan
kepribadiannya. Dari sanalah kemudia istilah heroik untuk menolak
terhina lahir dan dipegang teguh oleh sebagian masyarakat Madura hingga
saat ini. Hal ini dikuatkan oleh Ahsanul Qosasi tokoh masyrakat Madura:
“Tidak ada carok itu yang demdam terselubung, mereka berhadapan satu
lawan satu untuk menunjukkan tidak ada penghianat dari belakang tapi
dia harus ada salah satu yang mati itulah carok. Dan ini adalah sesuatu
menurut saya tidak boleh dilemparkan mengexpresikan dendam itu tidak
harus saling bunuh-membunuh, nah dulu, Madura terjadi seperti itu, di
mana peradaban Madura dalam sebuah pepatah itu lebih baik putih tulang
dari pada putih mata itu betul-betul diexpresikan carok dengan cara yang
had to had itu,”36
Di Madura terdapat sekitar 10 sampai 15 celurit yang bisa
digunakan untuk carok. Jenis celurit yang paling populer adalah arek
takabuan.37
dang osok.38
Tekos bu-ambu, (bentuknya seperti seekor tikus
sedan sedang diam) lancor. (sejenis celurit yang memiliki variasi
34
Sama dengan Bajingan. 35
Duel antara dua orang atau lebih yang disengaja. 36
Wawancara Pribadi dengan Ahsanul Qosasi (tokoh Madura), Jakarta, 25 Agustus 2017. 37
Are Takabuan adalah jenis celurit yang sangat diminati oleh orang Madura khususnya
di kawasan Madura Barat. Nama Takabuan diambil dari desa tampat dibuatnya. Yaitu desa
Takabuan dari baja campuran besi berkualitas baik. Badan celurit berbentuk melengkung mulai
dari batas pegangan hingga ujung yang menjadi tampak menarik lengkungan celurit ini sangat
serasi dengan sama panjangnya yang hanya sekitar 35 sampai 40 centi meter. Biasanya orang yang
memiliki celurit jenis ini bukan untuk tujuan dipakai sebagai alat rumah tangga atau penyabit
rumput melainkan sekep (senjata tajam yang sengaja selalu dibawa pergi untuk tujuan menjaga
segala kemungkinan jika sewaktu-waktu terjadi carok). 38
Dang-Sosok diambil dari nama salah satu jenis buah pisang yang ukurannya lebih
panjang dari ukuran rata-rata pisang biasa. Kata Dang merupakan pengucapakan dari kata Kedang
(Indonesia: Pisang). Sedangkan osok menunjukkan jenis pisang tersebut.
61
lengkungan yang terdapat di antara tempat pegangan tangan dengan ujung
senjata tajam) bulu ajam, (mirip bulu ayam) kembang turi, monteng,
sekken, 39
Pada saat ini, seperti yang diungkapkan D. Zawawi Imron, saniman
sekaligus budayawan Sumenep, Madura, menuturkan bahwa kalangan
rakyat kecil memperlakukan celurit sebagai senjata tajam biasa. Dengan
kata lain, celurit itu bukan dianggap senjata sakti.40
Yang kadang-kadang
dibuat main-main dan jalan-jalan ketetangga. Dia mengatakan zaman
sekarang pengertian kehormatan bisa dialihkan ke hal postif dan rasa hebat
anggkuh itu bisa digeser nilai-nilai:
“Yah karena itu saya pernah mencetuskan konsep clurit emas itu
orang Madura yang cluritnya lagi bukan clurit kriminal tapi clurit
karat yang menumpahkan darah Madura diera kekinian di tahun
80an itu clurit kebudayaan, clurit ketaqwaan, clurit yang untuk
memerangi kebodohan. Yang diinginkan pemuda-pemuda madura
menjadi clurit intlektual menjadi orang-orang yang rajin belajar,
menjadi manusia madura yang bisa hidup menjadi nilai-nilai
positif,”41
Hampir semua orang Madura penduduknya penganut agama
islam. Tetapi dalam jamaah keagamaan mereka menempati kedudukan
yang khusus. Sedangkan orang-orang luar memandang orang Madura
sebagai orang yang sangat beriman, dalam hal penghanyatan terhadap
ajaran agama dan semangat penyebaran agama, daerah itu sering
39
Sekken adalah jenis pisau namun berukuran kecil. Panjang tidak lebih dari 15 cm, lebar
sekitar 3 cm karena ukurannya kecil, senjata ini selain mudah ditaruh disembunyikan dibalik baju
juga mudah di bawa ke mana-mana tanpa mengundang kecurigaan orang lain. 40
Latief Wijaya, Carok, Konflik, Kekerasan, dan Harga Diri Orang Madura
(Yogyakarta:LkiS, 2006), hal. 40-41. 41
Wawancara Pribadi dengan Zawawi Imron (Budayawan Madura), Jakarta, 24 Agustus
2017.
62
disamakan dengan Aceh orang-orang Parindu di Madura sendriri terkenal
sebagai orang islam yang sangat saleh. Desa itu, dipandang sebangai
benteng ortodoksi.
Sifat keislaman di penduduk itu segera nampak. Parindu
mempunyai masjid besar, yang dua-duanya pantas untuk suatu kota kecil,
lima mushola, dan sejumlah besar langgar. Pada rumah-rumah tempat
tinggal mereka dapat dikenal berbagai pengaruh gaya bangunan dari timur
tengah. Seperti terlihat pada bentuk jendela dan pintu. semua bagian yang
terbuat dari kayu dicat biru langit, salah satu warna yang terpenting yang
disukai orang-orang islam.
Hampir semua orang dan anak-anak lelaki memakai kopiah, tutup
kepala indonesia yang terutama dipakai oleh orang-orang islam. Yang
menarik perhatian adalah banyaknya wanita yang berkrudung dengan
tutup kepala atau syal yang ringan. Lima kali sehari bisa melihat dan
mendengar orang-orang mukmin itu melakukan solat dengan dorongan
dari azan, yang diserukan dengan pengeras suara keseluruh kampung.
Orang-rang lelaki bersembahnyang dirumah atau disalah satu ruangan
sembahyang umum. Orang-orang perempuan selalu bersembahnyang di
ruh dengan menggunakan mukena.
Mula-mula agama islam di Madura tidak lebih dari apa yang
digambarkan oleh Geertz, sebagai another meandering trobical growth on
an already overcrowded relegious landscape (suatu pertumbuhan tropis
yang lain berliku-liku pada bentangan keagamaan yang sudah penuh
63
sesak). Tetapi dibawah pengaruh pusat agama isalam dipantai utara Jawa,
penghanyatan agama islam kurang sinkretis itu semakin menjadi penting
di antara penduduk yang melakukan perdagangan di banyak kota dan
disekitar pantai42
.
Pada paroh kedua abad ke-15, penduduk pantai selatan sumenep
mulai berkenalan dengan agama islam. Kenyakinan akan kepercayaan baru
mula-mula disebarluaskan di tempat-tempat seperti Parindu, tempat
perdangangan yang mempunyai hubungan dengan daerah seberang.
Penyebaran agama islam berlangsung sejalan denagan perluasan
perdangangan. Pada paroh kedua abad ke-19, cita-cita untuk menaati
ajaran agama dengan dekat semakin lebih ditekankan, ketika hubunga-
hubungan antara penduduk Nusantra Indonesia dan semananjung arab
semakin meningkat. Pengalaman-pengalaman para jamaah haji yang
kembali dari Mekkah, informasi dari imigran Arab, dan penelaahan karya-
karya baru oleh pemimpin kegamaan yang terkemuka menyebabkan
gambaran yang semakin jelas tentang ajaran agama islam dan tafsiran-
tafsirannya.
Dalam proses komunikasi ini, Madura memainkan peranan yang
bukannya tidak penting. Jumlah penduduk yang melakukan ibadah yang
mahal, berbahaya, dan memakan waktu beberapa bulan itu, meningkat dari
hanya beberapa orang menjadi puluhan orang tiap tahun. Pada tahun 1880
di pulau itu terdapat 896 haji, pada tahun 1890 jumlahnya sudah 1, 364.
42
Huub de jonge , MADURA: dalam empat zaman; pedagang, perkembangan ekonomi,
dan islam, 239-241.
64
Meskipun demikian, perubahan-perubahan ini tidak segera mengakibatkan
”pemurnian” agama islam, seperti terbukti dari perkembangnya kelompok-
kelompok keagamaan sufi yang bersifat sangat mistik dan yang
merupakan duri mata kaum fundamentalis. Reformisme pada skala yang
lebih besar baru terjadi, setelah sarekat islam dan muhammadiyah
didirikan pada dasawarsa kedua abad ke-20.
65
BAB IV
MITOS CAROK
Dalam bab ini penulis akan membahas studi lapangan atas persepsi
dan pengetahuan para tokoh yang ahli dan konsentrasi akan pengetahuan
sisi Carok. Serta penulis menyajikan dari sisi studi literatur menurut
Roland Barthes tentang carok mengenai Simbol dan Maknanya.
A. Simbol dan Denotasi.
Definisi carok adalah sebuah pembelaan harga diri ketika diinjak-
injak oleh orang lain. Secara umum kejadian carok diawali dengan adanya
konflik. Menurut tokoh masyarakat Madura, konflik terbagi menjadi dua,
yaitu konflik internal dan konflik eksternal. Konflik internal berupa iri
atau kecemburuan. Sedangkan konflik eksternal berupa sengketa lahan,
kasus pelecehan terhadap perempuan, maupun penghinaan terhadap
keluarga.1
Dalam peristiwa carok memiliki berbagai peristiwa serta simbol-
simbol yang muncul. Baik dalam sebelum melakukan carok, syarat-
syaratnya, alat yang digunakan, hingga strategi yang digunakan saat
melakukan carok
“Kejadian carok di Madura memiliki corak yang berbeda-beda pada
setiap daerah. Sebagaimana yang terjadi antara Pamekasan dan
1Wawancara Pribadi dengan Bukhori (tokoh ), Pamekasan 15 mei 2017.
66
Bangkalan. Bangkalan memiliki lahan pertanian yang lebih luas,
akan tetapi di Pamekasan memiliki penduduk (yang membutuhkan
kebutuhan pangan) lebih besar. Perebutan wilayah dan sumber air
inilah kemudian memunculkan adanya carok di kedua daerah
tersebut.”2
Selain itu, pada masalah perempuan salah satu alasannya adalah
daerah Bangkalan tingkat keberagamaannya sangat kuat. Salah satu
bentuknya adalah penghormatan terhadap perempuan yang dijunjung
tinggi. Oleh karena itu ketika di Bangkalan terjadi pelecehan terhadap
perempuan akan dibela mati-matian baik menurut fatwa agama maupun
keyakinan pribadi.3
Simbol alat clurit yang digunakan dalam melakukan carok pada
dasarnya diidentikan dengan alat pertanian. Clurit dalam kamus Kbbi
adalah alat pemotong rumput yang digunakan oleh petani.4 Adapun
hubungannya dengan carok, dapat dipahami sebagaimana penjelasan
budayawan sebagai berikut:
“Carok identik dengan clurit, namun pada dasarnya carok adalah
perkelahian…sebab clurit adalah alat pertanian dimana semua orang
bisa menggunakannya.”5
Pelaku sebagai simbol utama dalam carok adalah hal yang mutlak
harus dipenuhi. Sebab jika tidak ada pelaku maka tidak akan ada carok.
Menurut pelaku carok sendiri menekankan bahwa carok bukan hanya ada
2Sumber dari wawancara pada Mei 2017. Wawancara ditujukan kepada pelaku Carok,
tokoh masyarakat, tokoh agama, dan tokoh sosial budaya. Dalam hal ini peneliti mengutip tokoh
sosial budaya. 3Wawancara Pribadi dengan Melki (tokoh budaya), Pamekasan, 18 Mei 2017.
4Dalam kamus Kbbi.
5 Wawancara Pribadi dengan Melki ( tokoh budaya), Pamekasan, 18 Mei 2017.
67
konflik saja, melainkan harus jelas siapa lawan yang akan dihadapi.6 Hal
tersebut juga diakui oleh budayawan serta tokoh pendidikan bahwa pelaku
harus jelas, jangan sampai salah sasaran.7
Menariknya lagi pelaku carok bisa individu, bahkan kelompok.
Sebagaimana kasus sengketa lahan besar antara Bangkalan dan Pamekasan
itu pernah dilakukan carok secara kelompok. Selain itu, menurut pelaku
carok, carok pun bisa dilakukan dengan cara menyewa orang. Hal ini
diberi target seperti potong kepala atau bola matanya.8
Menang merupakan simbol jagoan. Meskipun begitu pemenang
harus siap dan waspada atas adanya dendam yang mungkin berkelanjutan.
Sebab bagi yang kalah menurut tokoh masyarakat bisa saja orang yang
kalah kemudian oleh anaknya akan dibalas pada suatu hari nanti.9 Yang
menjadi keyakinan adalah bagi yang kalah, baju yang digunakan setelah
carok akan disimpan dan akan digunakan pada suatu nanti untuk
melakukan carok kembali oleh anaknya atau keluarganya.10
Mengenai baju, senjata tajam serta ritual merupakan simbol bagi
orang yang memiliki kepercayaan. Keseluruhannya tidak menjadi simbolis
utama dalam carok, namun beberapa ada yang menggunakannya. Hal ini
ditegaskan oleh agamawan Madura bahwa pelaku carok rata-rata bukan
6Wawancara Pribadi dengan Suhri ( pelaku Carok), Pamekasan, 22 Mei 2017.
7Wawancara Pribadi dengan Bukhori (tokoh agama), Pamekasan, 15 Mei 2017.
8Wawancara Pribadi dengan Suhri ( pelaku Carok), Pamekasan , 22 Mei 2017.
9Wawancara Pribadi dengan Daholi ( tokoh masyarakat), Pamekasan 24 Mei 2017.
10Wawancara Pribadi dengan Daholi ( tokoh masyarakat), Pamekasan 24 Mei 2017.
68
santri, kalaupun santri notabenenya santri abangan.11
Dengan kata lain
menjadi simbol yang sifatnya kondisional.
Simbol-simbol carok pada dasarnya menjadi pembeda antara carok
dengan perkelahian lainnya. Jika perkelahian lainnya tanpa senjata tajam
atau memiliki motif yang bermacam-macam, maka carok memiliki simbol
utama yang bermakna harga diri. Besarnya harga diri yang harus
dipertaruhkan inilah menimbulkan simbol-simbol dalam carok.
Setiap responden yang diwawancari sepakat bahwa latar bekalang
terjadinya carok adalah konflik yang berupa penghinaan terhadap harga
diri orang Madura.12
Hal ini selaras dengan watak orang Madura tentang
etembang pote mata lebih bagus pote tolang (dari pada hidup menanggung
perasaan malu, lebih baik mati berkalung tanah).13
Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa carok merupakan pembelaan atas harga diri yang
diawali adanya konflik.
Kesimpulan di atas dapat dipahami sebagai bentuk makna yang
bersifat denotatife. Artinya carok secara umum dimaknai dengan duel atau
perkelahian untuk pembelaan harga diri. Sebagaimana pernyataan Roland
Barthes bahwa denotasi adalah makna yang diketahui secara umum.14
Sedangkan makna konotasi pada carok berkaitan dengan aspek
11
Wawancara Pribadi dengan Daholi ( tokoh masyarakat), Pamekasan , 24 Mei 2017. 12
Lihat tabel hasil wawancara pada kolom latar belakang terjadinya Carok. 13
Latief Wijaya, Carok, Konflik, Kekerasan, dan Harga Diri Orang Madura
(Yogyakarta:LkiS, 2006), h. 98-99. 14
Chris Barrker. Cultural studies, h. 93.
69
budaya yang lebih luas. Untuk mendapatkan makna konotasi
mengharuskan menelusuri aspek keyakinan, ideologi, kerangka kerja
maupun formasi sosial sehingga menimbulkan kejadian carok. Atas hasil
wawancara, peneliti membuat formula atas makna konotasi dalam carok
sebagai berikut:
Carok dapat dilihat dari segi konflik yang terjadi. Begitu juga
dengan alat yang digunakan dalam carok pada dasarnya tidak
mengharuskan dengan clurit, namun pada intinya carok adalah perkelahian
hingga mati. Clurit merupakan simbol atas sosial-kultur Madura yang
mayoritas penduduknya adalah petani.15
Dengan demikian makna konotasi
carok dapat disederhanakan menjadi seluruh peristiwa perkelahian
individu atau kelompok di Madura untuk mempertahankan harga diri,
berupa hidup (menang) atau mati (kalah).
B. Konotasi dan Metabahasa
Sebelum membahas konsep mitos Roland Barthes serta telaah
simbol dan makna carok, akan digambarkan dengan model semiotika
Barthes dengan mengetahui :
a. Makna denotasi merupakan tingkat makna yang deskriptif dan literal
yang di pahami oleh hampir semua anggota suatu kebudayaan.
b. Makna konotasi, makna tingkat kedua yang tercipta dengan cara
menghubungkan penanda-penanda dengan aspek kebudayaan yang
15
Wawancara Pribadi dengan Melki ( tokoh budaya), Pamekasan, 18 Mei 2017
70
lebih luas: keyakinan-keyakinan, sikap, kerangka kerja dan ideologi-
ideologi suatu formasi sosial tertentu.
c. Ketika konotasi-konotasi mengalami pengalamiahan menjadi
hegemoni, atau dengan kata lain, telah diterima sebagai hal yang
“normal” dan “alamiah”, mereka akan berfungsi sebagai peta-peta
makna yang menunjukkan bagaimana memahami dunia. Konotasi-
konotasi hegemoni inilah yang disebut dengan mitos.16
Dapat dilihat tabel berikut dalam menentukan konotasi dan
metabahasa dalam carok sebagai berikut:
Ekpresi Makna
Carok Denotasi Konotasi Metabahasa
Senjata tajam Jagoan Buka baju (orang
yang memiliki
kemampuan fisik
serta mempunyai
tehnik carok.
Ngongai
(berkelahi
berhadap-
hadapan)
Ejasa’(doa-doa
atau jimat).
C. Mitologi Carok
Carok merupakan perkelahian dalam mempertahankan jati diri.
Carok merupakan penanda (significant), dan harga diri merupakan petanda
(signife). Dalam kejadian carok tidak hanya sebatas penanda dan petanda
saja, sebab memungkinkan saja jika perkelahian hanya sebatas dendam,
16
Cris Barker, cultural Studies: teori dan Praktik, h. 93n .
71
atau sebatas perlombaan (seperti pertandingan gulat, tinju yang
dilombakan resmi). Namun carok menandakan jati diri inilah yang
kemudian disebut dengan sign atau tanda. Dengan kata lain, carok berarti
harga diri.
Adapun analisis mitos yang terdapat pada carok terdiri atas
denotasi, konotasi dan metabahasa. Terdapat beberapa ekspresi yang
memiliki satu makna, sehingga lahirlah mitos.
Carok sebagai perkelahian dalam rangka mempertahankan harga
diri secara umum terdiri dari dua aspek. Pertama masalah atau konflik
yang melatarbelakangi. Kedua adalah harga diri yang menjadi akar
kebudayaan masyakarat Madura yang harus dipertahankan.
Perkelahian untuk mempertahankan harga diri merupakan makna
konotasi yang paling utama. Akan tetapi, perkelahian hidup atau mati
sebagai bentuk harga diri menjadi sistem metabahasa tersendiri. hal ini
dibuktikan dengan adanya budaya masyarakat Madura dalam
mempertahankan harga diri. Sebagaimana kutipan wawancara berikut ini:
“Harga diri itu harus dijaga. Hidup itu bisa diperdebatkan, tetapi
kalo kematian itu real. Harga diri orang Madura itu beda dengan
harga diri orang Sunda, tetapi harga diri itu bisa kita mix (filsafat
kedaerahan itu bisa kita mix) dengan cara kita bisa belajar dengan
orang Sunda, orang Jawa Tengah, dan orang Jogja.”17
Atas statement di atas membuktikan bahwa persoalan harga diri
bagi masyarakat Madura adalah hal yang utama.
17
Wawancara Pribadi dengan Melki ( tokoh budaya), Pamekasan, 18 Mei 2017.
72
Metabahasa yang terwujud juga didorong atas keyakinan agama.
sebagaimana pendapat budayawan bahwa perempuan dalam sisi agama
harus dijunjung tinggi. Maka pada saat terjadi pelecehan atau penghinaan
terhadap perempuan perlu dibela sampai mati.18
Dengan kata lain harga
diri menjadi metabahasa didukung adanya faktor kepercayaan (agama).
Selain itu, wawancara bersama pelaku carok juga menegaskan
bahwa harga diri juga secara agama (Islam) harus dipertahankan. Terlebih
pada persoalan fisik, agama pun mendukung untuk membolehkan. Yang
dimaksud adalah hukum qishas dalam Islam. Berikut kutipan
wawancaranya:
“Dalam agama pun (balas dendam) diperbolehkan. Seperti hukum
mata dengan mata, nyawa dengan nyawa, tangan dengan tangan.”19
Meski tidak menyebutkan secara eksplisit, namun peneliti
memahami bahwa yang dimaksud adalah hukum qiṣaṣ. Faktor budaya dan
kepercayaan inilah menyatu yang mewujudkan metabahasa pada sistem
mitologi carok.
18
Wawancara Pribadi dengan Melki ( tokoh budaya), Pamekasan, 18 Mei 2017. 19
Wawancara Pribadi dengan Suhri ( pelaku Carok), Pamekasan, 22 Mei 2017.
73
Adapun bentuk-bentuk metabahasa yang terdapat dalam simbol-
simbol carok, secara lengkap dapat dilihat dalam tabel berikut ini:
Rangkaia
n
peristiwa
SIMBOL Denotasi Konotasi Metabahasa Mitos
Persiapan
carok
Celurti, Senjata tajam Jagoan Calok, keris Carok
digunakan
untuk
mengartikula
sikan
martabat dan
harga diri
dalam
kehidupan
melalui
keperkasaan,
pertarungan
dengan
menggunaka
n senjata
tajam
menunjukka
n (konotasi)
kejagoan
masyarakat
madura,
yang
dikuatkan
dengan
ekpresi-
ekprsi
(metabahasa
) kekebalan,
buka baju,
bajingan,
ngongai
bahkan saat
ini nyelep
walaupun
sekarang
melanggar
aturan
agama dan
negara
(rekkest
hilang) mitos
carok
Marwah Menjaga harga
diri
Martabat Tengka
(akhlak)
Rekkes Dua pihak
melakukan
perjanjian baik
dari pihak
penegak
hukum
maupun ulama
Pengakuan
dan
penyelesaian
Pengesahan
Ejaza’ Doa-doa atau
jimat
Biar kebal Nyepet
(bacaan yang
bikin kebal )
Nyekep Menyembunyi
kan senjata di
balik baju di
sebelah kiri
Strategi
meletekkan
senjata
Nyongkel
Odheng Pengekat
kepala yang
diisi jimat
Meningkatk
an kebelan
fisik
Storcoan,
laken
Isin orang
tua
Memohon doa
restu
Meningkatk
an
kepercyaan
diri
Pametan
Pelaksana
an carok
Bendera Selebar kain
yang
dikibarkan
Tanda carok
akan segera
dimulai
Tong-tong.
Ancer.
kendongan
Ngongai Berkelahi
berhadap-
hadapan
Menonjolka
n
keperkasaan
pelaku
Bengal
Nyelep Mnyerang dari
belakang atau
dari samping
Cara
berkelahi
yang tidak
ksatria atau
pengecut
Mattheng
(membacok)
Barui Tidak
melaksanakan
Sindiran
sinis
.aloi (basi)
74
carok lebih
dari empat
puluh hari
setelah
permasalahan
diketahui
orang banyak
(penakut)
terhadap
orang
bersangkuta
n
bertahan saat
ini.
Baju dil
epas
Orang yang
memiliki
kemampuan
fisik serta
mengusai
tehknik-tehnik
carok
Angko Bengal
(berani)
Pasca
carok
Bajingan Berasil
membunuh
musuhnya
Oreng jago
(orang
pemberani)
Blater
Tintetin Suara-suara
mistis yang
muncul setelah
peristiwa
pembunuhan
Jarangkong macan,
Slontong Pembungkus
celurit yang
mmemiliki
bekas bercak
darah korban
Bukti
sejarah
kemenangan
Pencot
75
Dari tabel di atas dapat dipahami satu persatu metabahasa yang
muncul atas berbagai simbol yang muncul.
Konotasi
Carok Jagoan
Blater karisma
Carok Senjata
tajam
celurit
Blater Jagoan
Ngongai berkelahi
Berhadap2
Ngongai Jagoan
Ejaza’ doa-doa
Ejaza’ Jogoan
76
Metabahasa
Ada persamaan dan perbedaan dalam metabahasa yang terbentuk
dalam simbol carok. Dilihat dari simbol latar belakangnya memiliki
metabahasa mengenai harga diri yang harus dipertahankan. Namun pada
simbol persiapan memiliki metabahasa tentang hal-hal yang mampu
mendukung pertahanan harga diri. Pada simbol alat juga masih
berhubungan dengan simbol-simbol persiapan. Artinya memuat hal-hal
yang memuat dukungan dalam rangka mempertahankan harga diri. Akan
tetapi pada simbol terakhir berupa pemenang atau yang kalah memiliki
metabahasa sama-sama memepretahankan harga diri. Dengan demikian
dapat disimpulkan antara latar belakang dan ending pada persitiwa carok
memiliki metabahasa berkaitan dengan harga diri.
Blater
Jagoan Ejaza’
Carok senjata
tajam
ngongai
Jagoan buka baju
Carok senjata
tajam
77
Metabahasa merupakan sistem yang oreintasi isinya sudah dengan
sendirinya merupakan sistem penandaan.20
Metabahasa inilah yang
kemudian sistem semiologis tingkat kedua atau mitos.21
Dengan demikian
Carok sebagai bentuk proses perkelahian hingga hidup atau mati menjadi
sebuah mitos dalam rangka mempertahankan harga diri bagi orang
Madura.
D. KRITIK ANALISIS CAROK SAAT INI
Diterangkan bahwa carok merupakan institu-sionalisasi kekerasan
dalam masyarakat Madura yang memiliki relasi sangat kuat dengan faktor-
faktor struktur budaya, struktur sosial, kondisi sosial ekonomi, agama, dan
pendidikan. Tetapi, selain itu, pada dasarnya juga terdapat pengaruh dari
faktor politik, yaitu lemahnya pemerintah dalam memberikan
perlindungan hukum terhadap masya-rakat. Sehingga, masyarakat Madura
memilih melakukan carok, karena hal ini dianggap lebih memenuhi rasa
keadilan mereka. Dengan kata lain, carok juga merupakan
kekurangmampuan para pelaku carok mengekspresikan budi bahasa, oleh
karena mereka lebih mengedepankan perilaku-perilaku agresif secara fisik
untuk menghilangkan nyawa orang-orang yang dianggap musuh, sehingga
konflik yang berpangkal pada pelecehan harga diri tidak akan pernah
20
Roland Barthes, Elemen-Elemen Semiologi, h. 92. 21
Chris Barker. Cultural studies, h. 93.
78
mencapai rekonsiliasi.22
Carok dan celurit laksana dua sisi mata uang. Satu sama
lain tak bisa dipisahkan. Hal ini muncul di kalangan orangorang
Madura sejak zaman penjajahan Belanda abad 18 M. Carok
merupakan simbol kesatria dalam memperjuangkan harga diri
(kehormatan). Pada zaman Cakraningrat, Joko Tole dan
Panembahan Semolo di Madura, tidak mengenal budaya tersebut.
Budaya yang ada waktu itu adalah membunuh orang secara kesatria
dengan menggunakan pedang atau keris. Senjata celurit mulai muncul
pada zaman legenda Pak Sakera. Mandor tebu dari Pasuruan ini hampir tak
pernah meninggalkan celurit setiap pergi ke kebun untuk mengawasi para
pekerja. Celurit bagi Sakera merupakan simbol perlawanan rakyat
jelata. Lantas apa hubungannya dengan carok. Carok dalam
bahasa Kawi kuno artinya perkelahian. Biasanya melibatkan dua
orang atau dua keluarga besar. Bahkan antar penduduk sebuah desa di
Bangkalan, Sampang, dan Pamekasan.23
Carok pada masa kerajaan, merupakan perang tanding antara satu
orang melawan satu orang atau lebih. Sebelum perang tanding, Biasanya
masing - masing mengadakan perjanjian mengenai penentuan tempat arena
22 Retno Hastijanti “Pengaruh Ritual Carok Terhadap Pemukiman Tradisonal
Madura”, DIMENSI TEKNIK ARSITEKTUR Vol. 33, No. 1, Juli 2005: 9 – 16.
23 Henry Arianto dan Krishna “Tradisi Carok Pada Masyarakat Adat Madura”,
http://www.esaunggul.ac.id/article/tradisi-carok-pada-masyarakat-adat-madura/ tahun 2012. Diakses pada tanggal 20 November 2017.
79
untuk bertanding, hari dan waktunya. Sedangkan carok yang terjadi pada
masa penjajahan sampai sekarang, kebanyakan tidak lagi saling berhadap-
hadapan tapi mencari kelengahan musuhnya (nyelep) untuk melampiaskan
niatnya. Ketika selesai membunuh musuhnya. biasanya pelaku melarikan
diri.24
Selain itu, dulu carok selalu diiringi oleh rekkest sebelum kedua
kubu bersepakat menyelenggarakan carok. Rekkest merupakan prosesi
permohonan izin dari calon pelaku carok kepada orangtua, ulama’, dan
penegak hukum setempat. Tujuannya, agar carok bisa berjalan tanpa ada
yang mengahalangi dan berlangsung secara jantan. Akan tetapi kini,
rekkest sudah mulai ditinggalkan, karena carok cenderung dilakukan
dengan cara nyelep.25
maka membawa dampak bagi pelaku carok untuk
tidak menjalankan rekkest.
Carok tumbuh ditengah masyarakat yang masih dilingkupi sikap
yang terbuka. Sulit membedakan antara individualisme dan sikap ego.
Kultur sosial memang tetap memungkinkan untuk merawat tersebut dilihat
dari bagaimana logat dan perangai Madura yang polos namun tegas.
Apabila dilihat dari aspek komunikasi budaya, sering kali tindakan carok
telah mengakibatkan munculnya stereotype yang bermacam-macam. Yang
paling sering diurakatak oleh publik di luar suku Madura ialah arogansi
24
M. Zaini. “Peranan K. Abdur Rahih dalam Membendung Pertikaian “Carok” di Desa
Cangkarman Konang Bangkalan Madura.” Skripsi UIN Surabaya, 2014. h. 45. 25
Latief Wijaya, Carok, Konflik, Kekerasan, dan Harga Diri Orang Madura
(Yogyakarta:LkiS, 2006), h. 191.
80
dan menang sendiri. tentu itu merupakan kesimpulan terbatas melihat
masih ditemukan bahasa halus dan lingkungan yang masing menempatkan
ajaran moral sebagai landasan keluarga dan lingkungan setempat.
Carok saat lebih mengilustrasikan efek pembuktian dan penuntasan
persoalan yang tidak didahulu oleh rasa memandang sesama manusia.
Secara psikologis, dalam carok lawan sekaligus musuh. Tidak ada
toleransi kembali, kecuali dilakukan inisiasi diantara kedua belah pihak.
Carok selain bertalian erat dengan budaya setempat, sering
dikatakan dengan peran agama yang seolah memberikan legitimasi.
Beberapa alasan yang terkutip dalam sebuah perisntiwa cari dengan kasus
perselingkuhan misalnya. Alibi yang dipakai mengangap seseoang yang
mengganggu rumah tangga orang lain juga dianggap menginjak-nginjak
harga diri dan agama sah suami sekaligus. Jika ditarik dari kesimpulan ini,
maka ada kepercayaan seolah-olah agama juga harus mendapatkan
pembelaan sekaligus dengan duel carok.
Islam sebagai agama mayoritas dianut oleh mayoritas masyarat
Madura juga tidak sepenuhnya melegitimasi tindakan kekerangan carok
tersebut. Dalam ajaran Islam memang tidak hanya berbicara soal aspek
kesalehan sosial tetapi juga hukum keadilan. Seperti dalam sebuah ayat Al-
Maidah surat 45
ي ع ل ا ب ي ع ل وا س ف ن ل ا ب س ف ن ل ا ن أ ا ه ي ف م ه ي ل ع ا ن ب ت وكن س ل ا ب ن س ل وا ن لذ ا ب ن لذ وا ف لن ا ب ف لن لروح وا وا
81
ص ا ص ه ق ل رة ا ف و ك ه ف ه ب ق د ص ت ن م ل ف ن ومون م ل ظا ل ا م ه ك ئ ول أ ف له ل ا زل ن أ ا ب م ك ي
Artinya:
Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat)
bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan
hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada
qishaashnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak qishaash)nya, maka
melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak
memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu
adalah orang-orang yang zalim.
Pengertian qisas itu dibenarkan pada jika dilakukan oleh sebuah
hukum yang berlaku dan penegak hukumnya. Tindakan carok yang
sengaja berusha menumbangkan salah satu lawan, jelas tidak sepenuhnya
diterima. Tetapi terkadang beberapa peristiwa carok sering merujuk ayat
ini, namun tindakan ini bertentangan dengan penekanan ayat Al-Quran
lainnya yang menuturkan perilaku adil dan kasih sayang.
Sebagaimana yang diungkapkan oleh Kh. Kholil salah satu ulama
Madura terkaiat maksud pesan kebaikan Al-Quran sebagai pedoman
berperilaku Islami mengatakan:
“Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar(berdakwah),
tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. (QS. Ali Imron
ayat:159) Dalam carok itu ada 2 pihak. Nah di sini bagaimana
pihak lainnya itu pengen mengatasi masalah ini. Nah
menyelesaikan masalah dengan kekerasan menurut saya itu tidak
baik. Karna mengatasi masalaah itu harus dengan cara baik-baik.
Sebagaimana yang dijelaskn oleh ayat-ayat tersebut.”26
Patut dilihat bahwa tindakan carok bukan sebagai spontanitas
semata. Masyarakat Madura yang masih terbatas dalan pendidikan dan
26
Wawancara Pribadi dengan Kh. Kholil (ulama Madura), Pamekasan, 21 September
2017.
82
pengamalan ajaran keislaman justru sering kali terjebak dalam perilaku
yang sadis dalam carok. Satu sisi, menjamurnya bentrokan antar kelompok
disebabkan miskinnya pengertian carok yang substansial. Mereka
kebanyakan carok hanya soal duel yang bisa mengalahkan lawan
bagaimanapun caranya. Inilah yang mengakibatkan pemiskinan makna
sebenarnya sebuah carok.
Di sini bisa dilihat pergeseran paradigma carok sebagai duel
perebutan kehormatan antara satu orang dan lawannya mengalami
perubahan dengan tidak lagi mengindahkan tata tindakan carok dilakukan.
Adab di mana dilakukan musyawarah mengenai duduk persoalan antara
kedua belah pihak. Adab lain yang dilakukan sebelum carok
mendiskusikan kepada keluarga. Tindakan ini untuk meberikan
pertimbangan bahwa carok merugikan hal yang besar selain hidup dan
mati tetapi psikologis lingkungan setempat.
Kh. Kholil menegaskan musyawarah sering tidak ditempatkan lagi
dalam budaya saat permulaan carok dilakukan:27
“Pertama cara pandang seseorang adalah dari keimanan dan cara
mengetahui tentang agama-agama ajaran Islam yang mengajak
mereka cara mengatasi masalah itu dengan cara sharing itu salah
satu menjadi tahapan-tahapan menyelesaikan masalah kekerasan
itu cara yang terakhir. Jadi tahapan yang pertama adalah dengan
cara diskusi-diskusi (musyawarah)”
Budaya carok memang tidak bisa dihapuskan dengan hanya
melihat sudut pandang kekerasan di dalamnya. Dengan adanya budaya
27
Wawancara Pribadi dengan Kh. Kholil (ulama Madura), Pamekasan, 21 September
2017.
83
carok sendiri sebagai pengikat kerukukan dan keamanan antar sesama
warga masyarakat Madura. Carok harus dikemas diyakini sebagai satu
aturan non-legal dalam masyarakat yang tumbuh secara turun-temurun
warga Madura, di mana masyarakat akan memandang carok sebagai
batasan agar tidak berperilaku sembrono dan usil terhadap hak milik orang
lain. Carok memang tidak banyak memiliki nilas positif, jikalau
masuatakat Madura menganggap carok hanya sebagai istilah batasan akan
dirinya dan lingkungan yang mengitarinya jikalau dilakukan berdampak
buruk. Maka sebenarnya itu tidak bertentangan dengan nilai agama.
Justeru, budaya carok mencitakan stabilitas keamanan.
Bagi sebagian pelaku carok, tindakan itu ditujukan tidak sekedar
menyelsaikan masalah semata. Satu sisi yang lain, mereka
menggunakannya sebagai sebagai alasan memupuk keangkuhan dan
kedigjayaan (marwa) mereka. Memang sikap ini ditilik dari sisi moral
jelas tidak baik. Akan tetapi, sebagian dari pelaku menjadikan carok salah
satu jalan cepat untuk mendapatkan pengakuan. Di lingkungan, di mana
carok dianggap sesuatu yang masih wajar terjadi, carok jelas
memungkinkan sebagai duel sarat akan perebutan pengaruh.
Jika dilihat dari kacamata budaya dan agama, maka carok memiliki
posisi yang amat unik. Carok -sebagai suatu peristiwa kekerasan- yang
secara hukum formal dianggap tindak kriminal dan dilarang oleh agama,
justru memperoleh justifikasi dan legitimasi secara sosial budaya. Di satu
sisi masyarakat Madura dikenal sebagai penganut agama Islam yang
84
sangat kuat, yang mana dalam ajaran Islam pembunuhan dengan alasan
apapun adalah suatu larangan tapi di sisi lain tradisi carok tumbuh subur di
Madura.
Bagi pelaku carok yang menang dan tergolong sebagai
orang jago, ada kecenderungan akan selalu menyimpan celurit
yang pernah digunakan ketika membunuh musuhnya
sebagai bukti atas kemenangannya itu. Celurit ini disimpan dan
dirawat dengan baik, tanpa mengusik sedikit pun sisasisa darah yang
masih melekat, meskipun akhirnya menjadi kering dan terlihat sebagai
bercakbercak hitam. Bercak-bercak darah inilah yang menjadi tanda bukti
kepada semua orang bahwa celurit itu pernah dipakai untuk membunuh
musuhnya. Dengan demikian, celurit tersebut menjadi simbolisasi
kemenangannya.28
Manusia yang tidak memiliki eksistensi yang sebenarnya
menghadapi hidup yang semu. Ia tidak menyatukan hidupnya sebagai satu
kesatuan. Dengan ketekunan mengikuti kata hatinya itulah, cara
bereksistensi yang sebenarnya. Inilah cara menemukan diri sendiri. Di sini
orang akan mendapatkan pengertian atau pemikiran yang benar tentang
manusia dan dunia.29
28
Henry Arianto dan Krishna “Tradisi Carok Pada Masyarakat Adat Madura”, http://www.esaunggul.ac.id/article/tradisi-carok-pada-masyarakat-adat-madura/ tahun 2012. Diakses pada tanggal 20 November 2017.
29 Atang Abdul Hakim dan Bani Ahmad Saebani, Filsafat Umum (Bandung:Pustaka setia),
h. 336.
85
Bahwa cara berada manusia itu menunjukkan bahwa ia merupakan
kesatuan dengan alam jasmani, ia satu susunan dengan alam jasmani
manusia selalu mengkonstruksi dirinya dalam alam jasmani sebagai suatu
susunan. Karena manusia selalu menkonstuksi dirinya, jadi ia tidak pernah
selesai. Dengan demikian, manusia selalu dalam keadaan membelum, ia
selalu sedang ini atau sedang itu. Jadi, manusia selalu menyedang. Sartre
menyatakan bahwa hakikat beradanya manusia bukan etre (ada) melainkan
a etre (akan atau sedang). Jadi, manusia membangun adanya.30
Manusia masih bisa menjadiakan dirinya sendiri secara lain, benar-
benar dari pada yang secara kontingen dipaksakan kepadanaya sebagai
obyek tertentu. Di sinilah refleksi sarterian masuk mendefinisikan
manusia yang pada intinya kebebasan sebagai sebuah pour soi, “ada untuk
dirinya sendiri”. Di depan l’en soi “ada pada dirinya sendiri”. (obyek yang
mampat, pejal), kesadaran transenden manusia selalu bisa menghindar,
menolak, dan dan menindak kepadanya.31
Di lihat dari rangkain carok, bahwa kebebasan dalam
memperthankan harga diri untuk sendiri sangat dijaga, dan kebebasan
buat orang lain untuk membalas dendam adalah bentuk hak suatu
kebebasan. Karena setiap manusia mempunyai kebebasan.
30
Ahmad Tafsi, Filsafat Umum Akal Dan Hati Sejak Thales Sampai Capra (Bandung:Pt Remaja Rosdakarya,2012), h. 218.
31
A. Setyo Wibowo dan Majalah driyarkara, Filsafat Eksistensialisme (Yogyakarta:Kanisus), h. 30.
86
Bagi Sartre kebebasan merupakan kesadaran bahwa dirinya adalah
subjek membedakan diri dari obyek. Kebebasan yang mendunia oleh
Sartre dinamakan bad faith atau mauvaise foi, dalam manuvaise foi
manusia berpura-pura telah cukup diri (menjadi being in itself) seolah
yang lain sama sekali tidak dapat menyentuhnya.
87
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari uraian dan pemaparan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai
berikut:
Carok merupakan perkelahian yang memakai celurit, carok adalah
pemulihan harga diri ketika di injak-injak oleh orang lain. Maka secara
spontan orang Madura melakukan carok, orang Madura punya istilah:
Lebbi Bagus Pote Tollang atembang Pote Mata (lebih baik mati, daripada
hidup menanggung malu). Karena bagi orang madura harga diri
merupakan hal yang tidak bisa dipertaruhkan dengan apapun. Akan tetapi
carok hanya merupakan jalan alternatif menyelesaikan masalah. Fenomena
carok salah satu upaya penyelesaian sengketa yang berbenturan dengan
hukum negara di Indonesia. Jadi tidak heran kalau carok disimbolkan
dengan kekerasan celurit. Pemahaman yang demikian tidak saja lahir
sebagai proses identifikasi semata, melainkan ada sebuah semangat yang
dibangun untuk melakukan eksistensi melalui carok yang ada di Madura.
Carok digunakan untuk mengartikulasikan martabat dan harga diri dalam
kehidupan melalui keperkasaan, pertarungan dengan menggunakan senjata tajam
menunjukkan (konotasi) kejagoan masyarakat madura, yang dikuatkan dengan
ekpresi-ekprsi (metabahasa) kekebalan, buka baju, bajingan, ngongai bahkan saat
ini nyelep walaupun sekarang melanggar aturan agama dan negara (rekkest
hilang) mitos carok bertahan saat ini.
88
B. SARA-SARAN
Setelah penulis menyelesaikan skripsi ini, maka ada hal-hal yang
sekiranya perlu penulis sampaikan
1. Bagi peneliti selanjutnya, penelitian ini masih perlu dilengkapi.
Mengingat pada segi relevansi makna carok di Madura telah
mengalami pergeseran. Pada awalnya carok adalah bentuk
mempertahankan harga diri, saat ini yang marak adalah pelampiasan
emosi. Sehingga masih sangat terbuka untuk dilakukan penelitian lebih
mendalam mengenai makna carok.
2. Adapun kritik yang perlu dibangun adalah mengenai cara pandang
yang cukup beragam dalam memaknai carok. Satu sisi memahami
carok sebagai perbuatan yang negatif, tetapi sisi lain carok merupakan
bentuk kebiasaan yang tidak ada jalan untuk mengubah atau
menginovasikannya. Meskipun banyak kritik terhadap perilaku carok,
namun terkesan tidak ada solusi di dalamnya.
89
DAFTAR PUSTAKA
Aart Van Zoest “Interpretasi dan Semiotika” dalam Serba-Serbi Semiotika
Peny. Panuti dan Aart Van Zoest. Jakarta: Gramedia. 1992.
Barrker, Chris. Cultural studies. Yogyakarta: PT Bintang Pustaka, 2005.
Barthes, Roland. Elemen-elemen Semiologi, terj. Kahfi Nazarudin. Jakarta:
Jalasutera, 2012.
______________. Petualangan Semiologi. Terj. Stephanus Aswar
Herwinarko Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia..
Jakarta: Balai Pustaka, 1995.
Herusatoto, Budiono. Simbolisme Dalam Budaya Jawa. Yogyakarta:
Hanindita, 1983.
Hood, Benny H. Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya. Depok: Komunitas
Bambu, 2014.
Ihromi, T. O. Pokok-pokok Antropologi Budaya. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 1996.
Jonge, Huub De. Garam Kekerasan dan Aduan Sapi. Yogyakarta: PT. LkiS
Printing Cemerlang.
Kuntowijoyo. Madura. Jogjakarta: Mata Bangsa, 2002.
Kurniawan. Semiologi Roland Barthes. Magelang: Yayasan Indonesiatera,
2001.
Rifai, Mien Ahmad. Manusia Madura. Yogyakarta: Pilar Media, 2002.
90
Rozaki, Abdur. Menabur Kharisma Menuai Kuasa: Kiprah Kiai Dan Blater
Sebagai Rezim Di Madura. Yogyakarta: Pustaka Marwan, tt.
Sobur, Alex. Semiotika Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosda Karya,
2004.
Sudjiman, Panuti dan Zoest, Daan Aart Van. Serba-serbi Semiotika. Jakarta;
Gramedia, 1992.
Vredenbregt, Jacob. Metode dan Teknik Penelitian Maysarakat. Jakarta: PT
Gramedia, 1983.
Wijaya, Latief. Carok, Konflik, Kekerasan, dan Harga Diri Orang Madura.
Yogyakarta: LkiS, 2006.
Zoest, Aart Van. “Interpretasi dan Semiotika” dalam Serba-Serbi Semiotika.
Peny. Panuti dan Aart Van Zoest, Jakarta: Gramedia, 1992.
Wawancara Pribadi dengan Ahsanul Qosasi (Tokoh Madura), Jakarta, 25
Agustus 2017.
Wawancara Pribadi dengan Bukhori (Tokoh Agama), Pamekasan 15 mei
2017.
Wawancara Pribadi dengan Melki (Tokoh Budaya), Pamekasan, 18 Mei
2017.
Wawancara Pribadi dengan Suhri (Pelaku Carok), Pamekasan, 22 Mei 2017.
Wawancara Pribadi dengan Daholi ( tokoh masyarakat), Pamekasan 24 Mei
2017.
Wawancara Pribadi dengan Melki, Suhri, Bukhori dan Daholi (tokoh
budaya), Pamekasan, 18 Mei 2017.
91
WEBSITE
Arianto. Hendry, Dkk, “ Tradisi Carok Pada Masyarakat Adat Madura”
artikel diakses pada 14 November 2016 dari
http//www.esaunggul.ac.id/article/tradisi-tradisi-carok-pada-masyarakat-adat-
Madura/.
Fauzi mohammad, Carok, www.petra,ac.id/pus/journals/pdf.php., 28
November 2016
Hajar, Ibnu. “Carok”. Diakses dari http;//www.kaskus.us/showthred.php. di
akses pada 26 November 2016
Iswidayanti, Sri. “Roland Barthes dan Semiologi” diambil dari
www.portaluganda.org. diakses pada tanggal 10 maret 2017.
Junaidi, “Keunikan Masyarakat Madura” dalam http://1001-
madura.com/adat-istiadat-madura, diakses 13 November 2016.
Peristiwa konflik sampit dan madura pada tanggal 18 februari 2001. Artikel
dari, id.m.wikipedia org/wiki/konflik sampit, diakses pada tanggal 13-11-2016.
92
92
Achsanul Qosasi tgl 25 Agustus 2017
1. Mengapa ada kultur carok dimadura ?
Jadi kalo saya melihat bahwa carok itu bukan lah lagi budaya bagi Madura, jadi
jangan di gembar-gemborkan lagi bahwa budaya carok itu budaya arti Madura itu
ini adalah bagian dari ekpresi masalah di Madura dalam menginplementasikan
pertempuran had to had antar sesama laki-laki. Di Madura itu selalu ditonjolkan
prihal tentang harga diri, bahwa harga diri itu adalah segalanya. Mengexpresikan
itu orang Madura termasuk sifat yang satria, karena berhadapan satu lawan satu.
Tidak ada carok itu yang demdam terselubung, mereka berhadapan satu lawan
satu untuk menunjukkan tidak ada penghianat dari belakang tapi dia harus ada
salah satu yang mati itulah carok. Dan ini adalah sesuatu menurut saya tidak
boleh dilemparkan mengexpresikan dendam itu tidak harus saling bunuh-
membunuh, nah dulu, Madura terjadi seperti itu, di mana peradaban Madura
dalam sebiuah pepatah itu lebih baik putih tulang dari pada putih mata itu betul-
betul diexpresikan carok dengan cara yang had to had itu, nah kalo anda mencari
informasi carok itu, saya tegaskan sekali lagi ini bukan lagi menjadi budaya lagi
di Madura dan budaya seperti itu tidak boleh ditirukan itu adalah expresi masalah
di Madura pada zaman dulu di mana harga diri itu nyawa dibalas dengan nyawa
seperti itu.
2. Apa sebetulnya latar belakang keberadaan carok?
Dulu senjata utama Madura itu clurit bukan di digunakan secara bunuh orang.
Clurit itu didisain itu sebagai alat mengambil rumput untuk sapi mereka (binatang
peliharaan) jadi masyarakat Madura dulu itu memelihara sapi untuk membajak
sawah meraka sehingga kemana-mana mereka bawa clurit. Nah clurit ini adalah
senjata tajam tidak hanya untuk memotong rumput juga untuk membunuh orang
93
pada saat itu. Nah saya melihatnya bahwa apa yang dilakukan oleh orang Madura
itu hanya merupakan refleksi agar mereka dibilang hebat sehingga mereka harus
bawa clurit kemana-mana kemudian mereka berantem dan membunuh orang
paada saat itu. Itulah carok itu muncul seperti itu. Asal usulnya kalo saya liat dari
senjata itu yang mereka berantem itu, mereka mengunakan senjata itu dulu ada
satu cerita ini di Madura itu selalu dengan clurit, bisa juga kan mereka sekarang
juga pake golok.
3. Apa makna carok bagi diri seorang dan sosial madura sendiri ?
Saya ingin menyampaikan seperti ini carok itu, orang Madura itu kan bisa
dibilang hebat, membunuh orang, istrinya 4. Cara-cara itu yang seharusnya kita
hilangkan dan itu mungkin muncul karena terisolir oleh kalangan luar dulu
Madura itu menjadi suatu pulau yang betul-betul yang welcome oleh informasi-
informasi luar dan tahu lingkaran Madura itu sendiri. Dan perkembangan-
perkembangan diluar banyak yanhg tidak mengetahui masyarakat madura itu
begitu orang madura itu merantau. Itu dia sadar ternyata tidak begitu yang terjadi
disana kemudian bisa menyadarkan masyarakat Madura tidak lagi melakukan
seperti itu di Madura nah ini yang nilai posistif dan sekarang perkembangan
zaman Madura megang HP, bisa melihat video dan segala macam liat facebook,
liat medsos dan mereka mulai sadar dan sudah tidak ada lagi carok bahkan kalo
mau berantem-berantem seperti itu, seperti di daerah lainnya. Keroyokan juga
ada kan di Madura satu lawan satu. Gini keinginan yang dibilang hebat itu loh
hebat membunuh orang, hebat klo punya istri 4, hebat kalo dibilang jagoan hebat
kalo dia dibilang tak mempan klo di pukul. Orang Madura itu masih bangga
terhadap kalimat-kalimat hebat itu, dia tidak tahu kalo sifat manusia itu bisa
94
dihajar oleh senjata apapun makannya orang yang paling takut Madura itu adalah
pegang pistol dia gk mau dia.
4. Apakah hal-hal seperti itu menjadi mitos, atau masih ada pada saat ini ?
Yah begini dulu kan di Madura ada, di Madura itu ada orang yang tidak bisa
dipukul oleh clurit, bahkan ada yang memakai sihir akhirnya orang-orang Madura
masih percaya itu, hal- hal seperti itu masih percaya. Hal itu ada, tapi harus
perantara orang Madura itu sampai sekarang masih mempercayai itu walaupun
itu betul-betul ada tapi sudah jarang dilakukan itu saya melihatnya karna mereka
sudah mulai sadar mulai terinformasi oleh kalangan luar tentang hal-hal rasional.
Madura itu banyak hal-hal yang tidak rasional dan itu dibesar-besarkan bercerita
antara warung kopi padahal tidak seperti itu.
5. Apa pengaruh dalam keseharian/ kehidupan seseorang dan masyarakat Madura ?
Pengaruh, begitu carok itu ekspos keluar pengaruhnya orang luar itu menjadi
takut. Nah itulah mengapa orang madura sampai sekarang masih terfitnah
sebagai orang yang menakutkan, yang gemar membunuh, nah itu karena berita-
berita yang mereka dapat dari pihak luar orang Madura ini udah membunuh
orang dengan cara carok. Pengaruh berita diluar itu akhirnya sanggat segan untuk
datang ke Madura itu sehingga Madura itu menjadi tempat terzholimi padahal
Madura itu jauh dari surabaya kalo kamu muka google di tahun 2007/2008
Madura yang keluar foto clurit. Nah sekarang tidak lagi yang keluar Madura
United yang keluar bola, ini menandakan yah dulu memang menakutkan bagi
orang lain nah cara saya menjalankan dengan adanya Madura United untuk
mengundang orang datang ken Madura untuk membuktikan bahwa Madura itu
bukanlah lagi tempat yang menakutkan itulah misi yang saya bawa bahwa
Madura itu kental akan persahabatannya. Ternyatakan terbukti siapapun yang
95
datang ke Madura dia datang dengan tekun dan nyaman tidak ada permusuhan
didalamnya sekarang sudah mulai terkikis isu-isu bahwa Madura itu tidak lagi
menjadi tempat yang menyeramkan
6. Dalam konteks kekinian, apakah carok masih relevan ? mengapa ?
Sudah pasti kalo carok itu tidak ingin lagi dilanjutkan kalo merasa harga dirinya
terzolimi oleh pihak lain berantam saja, tidak harus menggunakan carok. Kan
kadang-kadang mereka takut mendengar kata carok. Orang yang memakai
pakaian hitam-hitam dan membawa clurit terus saling bunuh-membunuh padahal
kan tidak seperti itu misalkan harga dirinya terganggu merasa terusik oleh laki-
laki lain selesaikan secara jantan dan Madura itu sudah mengarah kearah sana
bisa jadi dibunuh bisa jadi tidak. Bagi orang Madura nyawa harus dibalas dengan
nyawa itu sampai sekarang masih ada walaupun makin lama makin menghilang
karna dendam itu bukanlah urusan kita tapi biarkan yang diatas yang
membalasnya. Kan kadang ada orang Madura yang udah menyadari itu. Kembali
lagi pengaruhnya itu orang menjadi takut menangkal itu saya bikin lah
silaturahmi Madura baik di Sampang dan Bangkalan dan yang lainnya harus
rukun. Ada yang masih zaman sekarang orang bagian mengekpresikan harga diri
secara kekinian sudah tidak lagi dan tidak patut untuk dipertahankan bahkan
kekerasan yang lain juga bukan carok saja harus sudah kita sadarkan menyakiti
pihak lain sesama manusia dengan darah yang berceceran kemudian kita bangga
jangan lagi lah dalam tesis pun dialihkan bahwa saat ini carok itu sudah menurun
dan bahkan sudah tidak ada karena kalo berantem itu bukan carok. Carok itu satu
lawan satu dengan memegang clurit kemudian harus ada yang meninggal.
96
D Zawawi Imron tgl 24 Agustus 2017
1. Perspektif carok itu apa ?
Carok yang definisinya menurut pak Dr. Ahsis syafiudin dalam kamus
bahasa madura carok itu berkelahi, satu lawan satu dengan senjata tajam. Jadi
kalo devinisinya satu lawan satu, kalo keroyokan itu bukan carok yang terdapat di
luar madura. kalo yang saya tau carok tahun 50-an itu yah berjanji di sebuah
tanah yang lapang di depan orang banyak semacam duel ibaratnya. Jadi kalo
perkelahian biasa di Jawa akan tetapi kalo di sini masih dikatakan carok silahkan
saya tidak tau. Saya tidak ikut-ikut saya sementara ketika kita berbicara ilmiyah,
yang ilmiyah saya yang kita ikuti. apakah pada zaman dahulu sudah mempunyai
alat-alat clurit dan selainya ? sudah, zaman 50an sudah ada. Jadi namanya
perkelahian biasa seperti yang di Jawa satu lawan tiga apalagi yang namanya
tauran bukan carok itu menurut kamusnya pak Dr. Ahsis syafiudin dan kenyataan
memang Madura. Jadi kalo orang datang ke sebuah kampung kemudian dengan
kata-kata egurup yaitu dalam bahasa orang lamaa itu mengosongkan kandang
sapi (melepaskan) dengan gotong royong. Jadi ketika orang gotong royong, itu
bukan carok namanya definisi carok yang asli itu. Berarti sekarang ada
pergeseran yah pak ? yah sama dengan yang ada di Jawa atau manapun yang
nama perkelahian dan yang dulu itu masalah carok yang pertama kehormatan,
harga diri jadi misalnya istri diganggu orang, tunangaan diambil orang kemudian
salah satu keluarga diganggu oleh orang, kedua paman di ganggu oleh orang itu
menuntut harus melakukan carok tantangan di desanya ada carok berpegang
tangrak (semacam clurit kecil), saling tonjok menonjok khusus di kampung
Tanjeng di desanya timur ke matang-matang kakek saya masih menangis tahun
23.
2. Apakah carok hanya identitas Madura dan mengekspresikan kebudayaan Madura
?
Yah kalo pengertian budaya itu tidak punya kebudayaan yang sebenernya tidak
punya nilai negatif jadi apakah carok itu memandangnya tapi dalam filosofi di
Madura lama itukan ada lebih baik putih tulang dari pada putih mata tapi itu
tidak hanya dapat di Madura terdapat pada pepatah melayu juga lebih baik mati
dari pada menanggung malu karna itu dalam budaya melayu ada yang disebut
amuk jadi hati-hati betul bicara carok itu. Jadi yang kedua air di sawah di ambil
oleh orang, nah air itu kehidupan dan ada orang menggambil air kita tanpa pamit
97
itu kadang-kadang kita tidak bisa terima muncul lah carok misalnya kalo tidak
terima orang yang menggambil air itu kemudian minta maaf masih ada maaf.
Tapi berbeda dengan wanita dan salah satu keluarga di rumah dihina lain halnya
tiada maaf bagimu kalau contohnya pak di sebuah Bujur Barat ada sengketa itu
apakah itu termasuk carok juga ? kalo itu masuknya ke sudah peranglah berapa
korbannya yang sesungguhnya kalo di koran kan hanya berapa tapi yang
sesungguhnya kamu tau lah sudah lah malas untuk mengatakan depan orang itu
perkelahian bentuk carok tidak mungkin, tapi itu sudah melenceng dari carok dari
pengertian yang sebenarnya.
3. Apa sebetulnya makna carok bagi orang madura ?
Yaitu yang merasakan ketersinggungan dari kehormatan atau diremehkan oleh
orang yang sebenarnaya ibarat bendera kita aja yang di bulak-balik oleh orang
Malaysia aja kita tidak bisa terima dan itu orang modern sudah. Yah sama orang
Madura juga soal kehormatan negara yah mudah jawabnya kalo dicari orang
modern pun terhina kehormatan negaranya diremehkan oleh orang lain
4. Dalam konteks kekinian, carok sebagai “kehormatan”, apakah bisa direfleksikan
dalam bentuk yang lain/tidak bernuansa kekerasan ?
Yah karna itu saya pernah mencetuskan konsep clurit emas itu orang Madura
yang cluritnya lagi bukan clurit kriminal tapi clurit karat yang menumpahkan
darah Madura diera kekinian di tahun 80an itu clurit kebudayaan, clurit
ketaqwaan, clurit yang untuk memerangi kebodohan. Yang diinginkan pemuda-
pemuda madura menjadi clurit intlektual menjadi orang-orang yang rajin belajar,
menjadi manusia madura yang bisa hidup menjadi nilai-nilai positif.
5. Jadi apakah carok Madura itu unsur agama ?
Iya carok itu unsur agama karna masyarakat Madura itu clurit yang emas yang
harus menjadi orang yang berguna biar gak dihina oleh orang di era modern ini
arena politik menghina orang lain urusan sehari-hari pelaku-pelaku paling tinggi
itu dilakukan oleh orang-orang modern ternyata kembali kepada lebih ke orang-
orang primitif sedikit diganggu harga dirinya itu lebih corong memakai
kekerasan. Yah Cuma itu tidak jadi carok masuknya tapi yang namanya politik
ada diplomasi ada tiba-tiba kepentingan yang sama ya namanya politik tidak
mendapat nilai-nilai positif politik di zaman sekarang lebih cenderung
kekepentingan atau kehormatan yah lain jika dikaitkan dengan politik sangat
jauh. Persaingan dan segala macamnya.