sifat tekstural dan analisis sensoris mi bebas gluten dari tepung porang sebagai efek...

Upload: dian-asmaraningtyas

Post on 08-Jan-2016

71 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

bhj

TRANSCRIPT

  • Juni, 2013 Seminar Nasional : Menggagas Kebangkitan

    Komoditas Unggulan Lokal Pertanian dan Kelautan

    Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura

    844

    SIFAT TEKSTURAL DAN ANALISIS SENSORIS MI BEBAS GLUTEN DARI

    TEPUNG PORANG SEBAGAI EFEK PREGELATINISASI

    Bayu Noriandita, Syarifa Ummah, Umi Purwandari*, Iffan Maflahah, Rahmad

    Fajar Sidik

    Program Studi Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Pertanian,

    Universitas Trunojoyo Madura,

    ABSTRAK

    Tujuan dari penelitian ini adalah memformulasi mi bebas gluten dari tepung

    porang. Perlakuan terdiri dari proporsi tepung pre-gelatinisasi (tepung kering:akuades)

    terdiri 3 level yaitu 1:9, 1:10 dan 1:11; dan proporsi tepung kering (tepung gelatinisasi:

    tepung kering) juga menggunakan 3 level yaitu 10:1, 10:1,3; dan 10:1,8. Pengujian

    tekstur dilakukan menggunakan Texture Analyzer TAXT Plus Stable Micro System

    dengan probe silinder diameter 35 mm (P/35) dan uji organoleptik hedonistik dengan 20

    panelis tidak terlatih. Parameter pada uji tekstur adalah hardness, adhesiveness dan

    elongasi. Sedangkan parameter uji organoleptik adalah warna, aroma, rasa, tekstur dan

    kesukaan secara keseluruhan. Hasil uji sensoris mi yang paling disukai dari segi warna,

    aroma, rasa, tekstur dan kesukaan secara keseluruhan adalah mi yang dibuat dengan

    perlakuan perbandingan tepung pre-gelatinisasi (berat tepung dan akuades 1:9) dan

    perbandingan tepung kering (berat tepung pre-gelatinisasi dan tepung kering 10:1,8). Mi

    pada perlakuan ini mempunyai tingkat kekerasan (hardness) 4656 g, tingkat

    kelengketan (adhesiveness) -589 g dan elongasi 43,37%.

    PENDAHULUAN

    Mi sudah menjadi kebutuhan masyarakat secara luas sebagai bahan pengganti

    makanan pokok yang paling populer di masyarakat. Selama ini bahan baku yang

    digunakan dalam pembuatan mi adalah tepung terigu yang masih impor (Anam, 2010).

    Besarnya konsumsi terigu, khususnya untuk produksi mi, menyebabkan naiknya impor

    gandum di Indonesia sebesar 7,1 juta ton pada tahun 2012 naik 12% dibandingkan tahun

    sebelumnya (United State Department of Agriculture (USDA)). Sebagai salah satu

    upaya mengurangi impor gandum tersebut adalah dengan memberdayakan dan

    memanfaatkan komoditi sumber karbohidrat lain yang dapat diproduksi di dalam negeri

    seperti singkong, sagu, ubi jalar, dan sebagainya. Upaya ini juga merupakan suatu

    bentuk diversifikasi pangan Indonesia.

    Penggunaan tepung porang pada pembuatan mi adalah salah satu upaya untuk

    mengurangi impor gandum. Porang merupakan tanaman lokal yang kurang

    dimanfaatkan. Sedangkan di Jepang dan Cina umbi porang (iles-iles) telah digunakan

    sejak 10.000 tahun yang lalu. Umbi porang mempunyai kandungan glukomannan yang

    sangat tinggi yang merupakan serat pangan larut air yang bersifat hidrokoloid dan

    rendah kalori, sehingga banyak digunakan dalam industri pangan dan non-pangan

  • Seminar Nasional : Menggagas Kebangkitan

    Komoditas Unggulan Lokal Pertanian dan Kelautan

    Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura Juni, 2013

    845

    (Widjanarko, 2010). Oleh karena itu perlu adanya penelitian untuk mengetahui

    formulasi mi bebas gluten dari tepung porang sebagai efek pregelatinisasi.

    METODE PENELITIAN

    1. Alat dan Bahan

    Peralatan yang digunakan dalam pembuatan tepung adalah pisau, oven, blender

    dan pengayak. sedangkan peralatan untuk pembuatan mi adalah kompor, panci dan

    penggiling.

    Bahan utama yang digunakan pada penelitian ini adalah umbi iles-iles

    (Amorphopallus oncophyllus). Selanjutnya, umbi akan diolah menjadi tepung sebagai

    bahan baku dalam pembuatan mi basah. Bahan-bahan lain pada pembuatan mi adalah

    air.

    2. Pembuatan Tepung

    Pembuatan tepung iles-iles dimulai dengan tahap pengirisan. Umbi iles-iles

    diiris dengan ketebalan 0,5-0,7 cm. Irisan umbi iles-iles yang telah didapatkan

    selanjutnya direndam dalam larutan natrium metabisulfit (Na2S2O5). Selanjutnya

    dilakukan proses pengeringan selama 7-8 jam dengan suhu 500 C. Hasil pengeringan

    tersebut kemudian digiling. Setelah proses penggilingan dilakukan pengayakan dengan

    ukuran 60 mesh.

    3. Pembuatan Mi

    Proses pembuatan mi basah terdiri dari proses pencampuran, pembentukan

    lembaran, pemotongan mi, serta pengukusan. Proses pembuatan mi dapat dilihat pada

    Gambar 1.

    Tepung porang

    Pencanpuran

    adonan

    Pregelatinisasi

    Pengukusan

    Pemotongan

    Pembentukan

    lembaran

    Mi basah

    air

    Tepung porang

    kering

    Gambar 1. Proses pembuatan mi

  • Juni, 2013 Seminar Nasional : Menggagas Kebangkitan

    Komoditas Unggulan Lokal Pertanian dan Kelautan

    Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura

    846

    Desain Penelitian

    Rancangan penelitian dibuat dengan 2 faktor 3 level berdasarkan metode

    penelitian Rancangan Acak Lengkap (RAL). Faktor penelitian adalah proporsi tepung

    pregelatinisasi (A) dan tepung kering (B). Proporsi tepung pregelatinisasi terdiri 3 level

    (tepung kering:air) yaitu 1:9, 1:10 dan 1:11. Proporsi tepung kering juga menggunakan

    3 level (tepung gelatinisasi: tepung kering) yaitu 1:0,1; 1:0,13; dan 1:0,18.

    Tabel 1. Kombinasi perlakuan

    Proporsi tepung porang dan

    air

    Proporsi tepung gelatinisasi dan tepung kering

    B11:0,1 B21:0,13 B31:0,18

    A 11:9 9(0,1)

    9(0,13)

    9(0,18)

    A21:10 10(0,1)

    10(0,13)

    10(0,18)

    A31:11 11(0,1)

    11(0,13)

    11(0,18)

    Pengujian

    Pengujian yang dilakukan pada penelitian ini, adalah uji sensoris dan uji tekstur.

    1. Pengujian sensoris (organoleptik)

    Analisis dalam pengujian sensoris ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kesukaan

    konsumen terhadap produk mi dari tepung porang. Dalam pengujian ini

    menggunakan panelis tidak terlatih sebanyak 20 orang. Setiap panelis diminta untuk

    mengisi quisioner yang sudah disediakan dan pemberikan penilaian terhadap mi

    yang paling disukai berdasarkan atribut mutu yang meliputi warna, rasa, aroma,

    tekstur dan kesukaan secara keseluruhan. Panelis akan menberikan penilaian dengan

    skor 1 (sangat amat tidak suka) sampai skor 9 (sangat amat suka).

    2. Pengujian Tekstur

    Pengujian tekstur dengan cara menggunakan TPA (Texture Profile Analysis).

    Parameter pada uji tekstur adalah hardness (tingkat kekerasan), adhesiveness

    (kelengketan) dan elongasi. Dengan menggunakan kecepatan 2,0 mm/detik dengan

    regangan 75% dan silinder 35 mm (Choy et al., 2010).

    Analisis Data

    Pengolahan data dilakukan dengan SPSS 16.0 dan dianalisa dengan uji ANOVA

    (Analysis of Variance) untuk mengetahui perbedaan dengan menggunakan prosedur

    General Linier Model atau sering disebut dengan pengujian yang membandingkan rata-

    rata lebih dari dua variabel.

  • Seminar Nasional : Menggagas Kebangkitan

    Komoditas Unggulan Lokal Pertanian dan Kelautan

    Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura Juni, 2013

    847

    HASIL DAN PEMBAHASAN

    1. Organoleptik

    Uji sensoris atau yang dikenal dengan uji organoleptik merupakan pengujian

    yang menggunakan indera manusia untuk mengukur tekstur, penampakan, aroma dan

    flavor produk pangan dengan menggunakan indera penglihat, pencecap, pembau, peraba

    dan pendengar. Penilaian konsumen terhadap mutu pangan diawali dengan penilaian

    terhadap penampakan, tekstur, dan flavor. Uji sensoris dengan menggunakan panelis

    sering digunakan untuk menguji mutu sensoris produk pangan sebagai perwakilan dari

    penerimaan konsumen terhadap suatu produk (Ayatullah, 2009).

    a. Warna

    Warna adalah karakter visual pertama yang dapat dinilai dengan mata. Apabila suatu

    produk makanan memiliki warna yang kurang menarik, maka orang akan

    mempertimbangkan untuk mengkonsumsinya meskipun produk tersebut memiliki

    rasa, tekstur dan aroma yang baik. Untuk mengetahui penilaian terhadap warna mi

    dengan berbagai macam perlakuan dapat dilihat pada Tabel 3.1.

    Tabel 3.1 Rata-rata kesukaan terhadap warna

    Perlakuan Rata-rata

    9(0,1) 3,95 a

    11(0,1) 4,5 ab

    10(0,1) 4,95 ab

    10(0,18) 4,95 ab

    10(0,13) 5,05 ab

    9(0,13) 5,55 b

    11(0,13) 5,55 b

    11(0,18) 5,7 b

    9(0,18) 6,4 b

    Berdasarkan Tabel 3.1. didapatkan nilai tertinggi (6,4) pada perlakuan 9(0,18). Akan

    tetapi perlakuan ini tidak berbeda nyata dengan perlakuan yang lain yaitu pada

    perlakuan 11(0,18), 11(0,13), 9(0,13). Sedangkan nilai terendah (3,95) pada

    perlakuan 9(0,1). Perbedaan perlakuan pada penggunaan tepung porang dan air pada

    pembuatan mi tepung porang mempengaruhi tingkat kesukaan panelis dan

    menghasilkan warna yang berbeda. Panelis kurang menyukai warna yang agak gelap

    karena kesannya cenderung seperti gosong. Begitu juga sebaliknya, panelis juga

    kurang menyukai warna yang kurang terang sehingga cenderung seperti kurang

    matang.

  • Juni, 2013 Seminar Nasional : Menggagas Kebangkitan

    Komoditas Unggulan Lokal Pertanian dan Kelautan

    Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura

    848

    b. Aroma

    Aroma merupakan sensasi bau yang ditimbulkan oleh rangsangan yang tercium oleh

    syaraf-syaraf indera penciuman. Untuk mengetahui penilaian terhadap aroma mi

    dengan berbagai macam perlakuan dapat dilihat pada Tabel 3.2.

    Tabel 3.2 Rata-rata kesukaan terhadap aroma

    Perlakuan Rata-rata

    11(0,1) 4,9 a

    10(0,1) 4,95 a

    9(0,1) 5,45 a

    10(0,13) 5,5 a

    10(0,18) 5,5 a

    11(0,13) 5,55 a

    9(0,18) 5,6 a

    9(0,13) 5,9 a

    11(0,18) 5,9 a

    Berdasarkan Tabel 3.2 didapatkan nilai tertinggi (5,9) pada perlakuan 11(0,18).

    Akan tetapi perlakuan ini tidak berbeda nyata dengan semua perlakuan yang lain.

    Hal ini disebabkan karena bahan yang digunakan dalam pembuatan mi ini adalah

    murni tepung porang, sehingga dengan adanya penambahan air atau tepung porang

    tidak akan mempengaruhi aroma khas dari tepung porang itu sendiri. Namun panelis

    memberikan penilaian yang bervariasi, semakin besar penggunaan proporsi tepung

    porang maka akan meningkatkan penilaian panelis terhadap kesukaan aroma.

    c. Rasa

    Rasa didefinisikan sebagai rangsangan yang ditimbulkan oleh bahan yang dimakan,

    terutama yang dirasakan oleh indera pengecap. Untuk mengetahui penilaian

    terhadap rasa mi dengan berbagai macam perlakuan dapat dilihat pada Tabel 3.3.

    Tabel 3.3 Rata-rata kesukaan terhadap rasa

    Perlakuan Rata-rata

    11(0,1) 4,9 a

    9(0,1) 4,95 a

    10(0,13) 5 a

    10(0,1) 5,1 a

    9(0,13) 5,25 a

    10(0,18) 5,4 a

    11(0,13) 5,45 a

    11(0,18) 5,75 a

  • Seminar Nasional : Menggagas Kebangkitan

    Komoditas Unggulan Lokal Pertanian dan Kelautan

    Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura Juni, 2013

    849

    Perlakuan Rata-rata

    9(0,18) 6 a

    Berdasarkan Tabel 3.3 didapatkan nilai tertinggi (6) pada perlakuan 9(0,18). Akan

    tetapi perlakuan ini tidak berbeda nyata dengan semua perlakuan yang lain. Sama

    halnya dengan penilaian kesukaan terhadap aroma, penggunaan proporsi air dan

    tepung porang yang berbeda tidak memberikan pengaruh terhadap penilaian rasa.

    Penilaian tertinggi yaitu pada penambahan tepung paling banyak dengan air yang

    paling sedikit, meskipun nilai ini tidak berbeda secara statistik. Kemungkinan tidak

    adanya pengaruh pada rasa adalah karena rasa mi tepung porang yang cederung

    tawar, sehingga tidak ada perubahan yang bisa dideteksi oleh panelis.

    d. Tekstur di mulut

    Tekstur di mulut merupakan penilaian organoleptik yang dapat diterima oleh indera

    pengecap. Untuk mengetahui penilaian terhadap tekstur mi dengan berbagai macam

    perlakuan dapat dilihat pada Tabel 3.4.

    Tabel 3.4 Rata-rata kesukaan terhadap tekstur di mulut

    Perlakuan Rata-rata

    10(0,1) 3,9 a

    11(0,1) 4,4 ab

    10(0,13) 4,55 ab

    9(0,1) 5,15 ab

    10(0,18) 5,2 ab

    9(0,13) 5,3 ab

    11(0,13) 5,7 b

    11(0,18) 5,9 b

    9(0,18) 5,95 b

    Nilai tertinggi yang didapatkan dari Tabel 3.4 adalah (5,95) pada perlakuan 9(0,18).

    Akan tetapi perlakuan ini tidak berbeda nyata dengan perlakuan yang lain yaitu pada

    perlakuan 11(0,18), 11(0,13). Sedangkan nilai terendah (3,9) pada perlakuan

    10(0,1). Jadi penggunaan tepung gelatinisasi yang sedikit dengan tepung kering

    yang semakin banyak lebih disukai oleh panelis. Penggunaan tepung kering yang

    sedikit cenderung memberikan penilaian yang tidak disukai karena tekstur dimulut

    yang dirasakan oleh panelis terasa lembek.

    e. Kesukaan Keseluruhan

    Kesukaan keseluruhan yaitu nilai yang diberikan dari panelis terhadap sampel mie

    yang diuji berdasarkan seluruh parameter mutu yang ada sebelumnya, seperti warna,

  • Juni, 2013 Seminar Nasional : Menggagas Kebangkitan

    Komoditas Unggulan Lokal Pertanian dan Kelautan

    Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura

    850

    aroma, rasa dan tekstur di mulut. Untuk mengetahui penilaian terhadap keseluruhan

    mi dengan berbagai macam perlakuan dapat dilihat pada Tabel 3.5.

    Tabel 3.5 Rata-rata kesukaan terhadap keseluruhan

    Perlakuan Rata-rata

    11(0,1) 5 a

    10(0,1) 5,05 ab

    10(0,13) 5,05 ab

    9(0,1) 5,2 ab

    11(0,13) 5,6 ab

    9(0,13) 5,9 ab

    10(0,18) 6 ab

    11(0,18) 6,2 ab

    9(0,18) 6,65 b

    Nilai tertinggi berdasarkan Tabel 3.5 adalah (6,65) pada perlakuan 9(0,18).

    Sedangkan nilai terendah (5) pada perlakuan 9(0,1). Dengan demikian, semakin

    tinggi kadar tepung porang dalam mi, maka semakin disukai. Hal itu karena

    beberapa atribut sensoris dipengaruhi oleh kadar tepung, yaitu warna, rasa, dan

    tekstur di mulut.

    f. Sifat Tekstural

    1) Kekerasan

    Kekerasan (hardness) adalah gaya yang berupa tekanan atau tegangan yang

    diperlukan untuk merubah bentuk fisik bahan (Diniyati, 2012). Hasil rerata

    hardness dapat dilihat pada tabel 3.6.

    Tabel 3.6. Rerata hardness

    Perlakuan Hardness (gf)

    10(0,1) 3094a

    11(0,1) 3284ab

    9(0,13) 3937b

    9(0,1) 4632bc

    9(0,18) 4656bc

    11(0,18) 4683bc

    10(0,18) 4810bc

    10(0,13) 5042c

    11(0,13) 5204c

  • Seminar Nasional : Menggagas Kebangkitan

    Komoditas Unggulan Lokal Pertanian dan Kelautan

    Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura Juni, 2013

    851

    Tingkat kekerasan terendah pada mi porang adalah pada perlakuan 10(0,1) yaitu

    3094 gf. Sedangkan mi dengan kandungan 100 % tepung terigu memiliki tingkat

    kekerasan sebesar 1061,64 gf. Jadi mi porang mempunyai tingkat kekerasan yang

    lebih tinggi dibandingkan dengan mi dari tepung terigu. Hal ini dapat disebabkan

    karena tepung terigu yang mempunyai kandungan protein lebih banyak yaitu

    sebanyak 8-13,25 % dibandingkan dengan tepung porang yang hanya mempunyai

    kandungan protein sebesar 6,8 %. Sedangkan salah satu faktor yang

    mempengaruhi kekerasan dan daya tarik mi adalah kadar protein. Protein

    memiliki hubungan positif dengan kekerasan atau kekuatan pemotongan mi ketika

    dimasak (Chung et.al, 2012). Pengurangan gluten dalam pembuatan mi dapat

    memperlambat pembentukan matriks gluten yang kuat, sehingga mengakibatkan

    penurunan sifat tekstur.

    Pati yang telah mengalami gelatinisasi akan mengalami retrogradasi. Retrogradasi

    pati adalah salah satu hal yang mempengaruhi kekerasan pada mi. Menurut

    Merdiyanti (2008) retrogradasi merupakan proses terbentuknya ikatan antara

    amilosa-amilosa yang telah terdispersi kedalam air. Semakin banyak amilosa yang

    terdispersi, maka proses retogradasi pati semakin menurun.

    2) Kelengketan

    Kelengketan (adhesiveness) menunjukkan kecenderungan suatu bahan untuk

    menempel pada bahan lain. Nilai kelengketan ini bernilai negatif karena berada di

    bawah absis (Riandi, 2007).

    Tabel 3.7. Rerata adhesiveness

    Perlakuan Adhesiveness (gf)

    11(0,1) -920a

    10(0,1) -816ab

    11(0,18) -715ab

    10(0,13) -597ab

    9(0,18) -589b

    11(0,13) -583b

    10(0,18) -575b

    9(0,13) -539b

    9(0,1) -406b

    Tingkat kelengketan terendah pada mi porang adalah pada perlakuan 9(0,1) yaitu

    sebesar -406 gf. Sedangkan mi dengan bahan dasar tepung terigu memiliki tingkat

    kelengketan sebesar -423,16 gf. Mi porang memiliki sifat lebih lengket karena

    dipengaruhi oleh tingginya sifat bio-adhesive yang dimiliki tepung (Zhang, 2005).

    Tabel 3.7. menunjukkan bahwa jumlah penambahan air juga berpengaruh

    terhadap tingkat kelengketan pada mi. Hal ini sesuai dengan pendapat Astawan

    (2002) yang menyatakan bahwa pati akan mengembang dengan adanya air. Makin

  • Juni, 2013 Seminar Nasional : Menggagas Kebangkitan

    Komoditas Unggulan Lokal Pertanian dan Kelautan

    Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura

    852

    banyak air yang diserap, mi menjadi tidak mudah patah. Jumlah air yang optimum

    dapat membentuk mi yang baik. Namun, dengan jumlah air yang lebih banyak mi

    akan lengket.

    3) Elongasi

    Elongasi menunjukkan perubahan panjang mi maksimum saat memperoleh gaya

    tarik sampai mi putus. Nilai elongasi menunjukkan kemampuan mi untuk

    memanjang. Nilai elongasi mi dinyatakan dalam satuan persen (%). Pada

    penelitian Ulfah (2009) nilai elongasi pada mi yang terbuat dari tepung terigu

    adalah sebesar 164,80 %. Sedangkan nilai elongasi pada mi porang adalah 43,37

    %. Hal ini disebabkan karena kandungan protein yang ada pada tepung porang

    lebih rendah dibandingkan dengan kandungan protein yang ada pada tepung

    terigu. Sehingga mengakibatkan berkurangnya gluten yang terbentuk. Selain itu

    pembuatan mi pada umumnya adalah dengan penambahan telur, jadi protein mi

    akan lebih tinggi sehingga akan membentuk gel yang elastis dan menyebabkan

    elongasi mi lebih panjang.

    KESIMPULAN

    Hasil uji sensoris mi yang paling disukai dari segi warna, aroma, rasa, tekstur

    dan kesukaan secara keseluruhan adalah mi yang dibuat dengan perlakuan perbandingan

    tepung pregelatinisasi (berat tepung dan aquades 1:9) dan perbandingan tepung kering

    (berat tepung pregelatinisasi dan tepung kering 1:0,18). Mi pada perlakuan ini

    mempunyai tingkat kekerasan (hardness) 4,656 kg, tingkat kelengketan (adhesivennes)

    -0,589 kg dan elongasi 43,37%.

    DAFTAR PUSTAKA

    Anam C. & Handajani S. 2010. Mi Kering Waluh (Cucurbita moschata) Dengan

    Antioksidan dan Pewarna Alami. Caraka Tani. XXV, No.1:73-78.

    Choy, Ai-ling., J.G.Hughes., D.M.Small. 2010. The Effects Of Microbial

    Transglutaminase, Sodium Stearoyl Lactylate and Water On The Quality Of

    Instant Fried Noodles. Journal Of Food Chemistry 122:957-964.

    Diniyati B. 2012. Kadar Betakaroten, Protein, Tingkat Kekerasan, dan Mutu

    Organoleptik Mie Instan dengan Subtitusi Tepung Ubi Jalar Merah (Ipomoea

    batatas) dan Kacang Hijau (Vigna radiata). Program Studi Ilmu Gizi, Fakultas

    Kedokteran, Universitas Diponegoro. Semarang.

    Merdiyanti A. 2008. Paket Teknologi Pembuatan Mi Kering dengan Memanfaatkan

    Bahan Baku Tepung Jagung. (Skripsi). Departemen Ilmu dan Teknologi

    Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

    Riandi N. A. 2007. Pengaruh Penambahan Ekstrak Temu Kunci (Boesenbergia

    pandurata(roxb.) Schlect.) dan Garam Dapur (NaCl) Terhadap Mutu Simpan

  • Seminar Nasional : Menggagas Kebangkitan

    Komoditas Unggulan Lokal Pertanian dan Kelautan

    Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura Juni, 2013

    853

    Mi Basah Matang. Fakultas Teknologi Pertanian, INSTITUT Pertanian

    Bogor. Bogor.

    Ulfah M. 2009. Pemanfaatan Iota Karaginan (Eucheuma spinosum) dan Kappa

    Karaginan (Kappaphycus alvarezii) sebagai Sumber Serat untuk

    Meningkatkan Kekenyalan Mie Kering. Program Studi Teknologi Hasil

    Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

    Zhang Y., Xie B., & Gan X. 2005. Advance in the Applications of Konjac

    Glucomannan and its Derivatives. Carbohydrate Polymers. 60:2731.