siapa bilang un bukan lagi menjadi monster bagi siswa karena porsi penentu kelulusannya hanya 60

3
S iapa bilang UN bukan lagi menjadi monster bagi siswa karena porsi penentu kelulusannya hanya 60%. Kenyataannya masih ada beberapa kasus siswa yang mengalami stres menjelang UN. Bahkan yang lebih tragis karena kekahawatiran yeng mendalam pada diri siswa, ada yang melakukan jalan pintas bunuh diri. Ya, UN tidak hanya menjadi monster bagi siswa bahkan bagi guru dan sekolah. Saat ini pihak-pihak yang terkait dengan pelaksanaan UN melakukan tindakan-tindakan yang justru menambah suasana pelaksanaan UN semakin mencekam. Penjagaan UN yang melibatkan unsur polisi bahkan juga TNI,Penggunaan CCTV tiap ruang ujian, pengguanaan metal detector terhadap siswa yang akan masuk ruang UN, dan berbagai tindakan lain yang terkesan lebay. Susasana yang tercipta justru menununjukkan betapa siswa dan pengawas diposisikan bak pesakitan yang akan berbuat kejahatan. Kondisi semacam ini juga memberi dampak negatif secara psiskis terhadap siswa. Siswa menjadi kurang nyaman saat menjalani ujian. Tidak itu saja, pemerintah perlu mengeluarkan biaya ekstra guna memebiayai ubo rampai alias pernak pernik UN yang sebenarnya hanya bagian dari membangun imej bahwa UN berjalan jujur dan aman. Biaya yang sebenarnya lebih bermanafaat guna kepentingan pendidikan lain, semisal rehabilitasi gedung sekolah atau beasiswa bagi siswa yang tidak mampu. Kondisi yang tercipta sebagaimana di atas tentunya membuat siswa maupaun sekolah yang akan menjalani ujian semakin meningkatkan rasa khawatir gagal ujian. Kekahawatiran yang berelebihan tersebut tidak jarang memunculkan perilaku atau kegiatan-kegiatan menjelang UN yang terkesan tidak wajar. Ada sekolah yang membagi-mambegi air putih yang sudah diberi jompa- jampi orang pintar kepada siswa dengan harapan otak siswa menjadi encer saat mengerajakan soal ujian.Bahkan ada sekolah yang menjalankan ritual cium kaki guru yang sudah diberi air kembang setaman guna minta do’a restu dan maaf kepada guru, sehingga lancar mengerjakan soal ujian karena sudah terlepas aras beban bersalah .Ada juga sekolah y ang mengkoordinir siswa menjelang ujian mengunjungi makam-makam orang pintar untuk mendapatkan berkah sehingga terinduksi oleh kepintaran tokoh yang sudah meningal tersebut. Perilaku-perilaku tidak wajar menejelang ujian yang dilakukan tampaknya sangat beresiko tinggi bagi siswa maupun guru terjerumus pada perilaku syirik alias menyekutukan Tuhan. Menganggap orang pintar sebagai bagian dari faktor penentu kelulusan, ngalap berk ah kepada kuburan orang terkenal juga bentuk menduakan Tuhan. Untuk itu sudah sepantasnya sekolah menghindari aktifitas yang dimaksud. Budaya perilaku irasional menjelang UN tentu sangat memprihatinkan. Keingianan untuk lulus UN adalah sangat wajar, namun jika ditempuh dengan cara tidak wajar justru akan menyesatkan secara akidah. Selayaknya siswa diberi pemahaman bahwa kesuksesan menjalani ujian bukanlah bersifat instan. Kesuksesan dapat diraih melalui sebuah proses. Untuk itu prinsip kerja keras, ketekunan dan keuletan dalam menggapai suskes UN perlu diberikan sejak siswa duduk di kelas awal. Sukses UN bukan segala-galanya. Apa guna sukses UN yang dicapai dengan cara tidak wajar yang justru dapat menjerumuskan pada aktifias dosa besar. Dosa yang dalam agama diberi ancaman hukuman yang maha berat. Yeng lebih penting bagi siswa adalah bagaimana menjanai UN dengan kejujuran. Dengan dasar sikap keujujuran maka siswa akan tidak mudah diliputi rasa kekhawatiran yang berlebihan. Sikap jujur yang ada pada diri siswa akan memberikan rasa percaya diri sehingga UN tidak lagi menjadi monster yang menakutkan.

Upload: mastudiar-daryus

Post on 15-Jul-2015

39 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: Siapa bilang un bukan lagi menjadi monster bagi siswa karena porsi penentu kelulusannya hanya 60

Siapa bilang UN bukan lagi menjadi monster bagi siswa karena porsi penentu kelulusannya hanya

60%. Kenyataannya masih ada beberapa kasus siswa yang mengalami stres menjelang UN. Bahkan

yang lebih tragis karena kekahawatiran yeng mendalam pada diri siswa, ada yang melakukan jalan

pintas bunuh diri. Ya, UN tidak hanya menjadi monster bagi siswa bahkan bagi guru dan sekolah.

Saat ini pihak-pihak yang terkait dengan pelaksanaan UN melakukan tindakan-tindakan yang justru

menambah suasana pelaksanaan UN semakin mencekam. Penjagaan UN yang melibatkan unsur

polisi bahkan juga TNI,Penggunaan CCTV tiap ruang ujian, pengguanaan metal detector terhadap

siswa yang akan masuk ruang UN, dan berbagai tindakan lain yang terkesan lebay. Susasana yang

tercipta justru menununjukkan betapa siswa dan pengawas diposisikan bak pesakitan yang akan

berbuat kejahatan. Kondisi semacam ini juga memberi dampak negatif secara psiskis terhadap siswa.

Siswa menjadi kurang nyaman saat menjalani ujian. Tidak itu saja, pemerintah perlu mengeluarkan

biaya ekstra guna memebiayai ubo rampai alias pernak pernik UN yang sebenarnya hanya bagian

dari membangun imej bahwa UN berjalan jujur dan aman. Biaya yang sebenarnya lebih bermanafaat

guna kepentingan pendidikan lain, semisal rehabilitasi gedung sekolah atau beasiswa bagi siswa

yang tidak mampu.

Kondisi yang tercipta sebagaimana di atas tentunya membuat siswa maupaun sekolah yang akan

menjalani ujian semakin meningkatkan rasa khawatir gagal ujian. Kekahawatiran yang berelebihan

tersebut tidak jarang memunculkan perilaku atau kegiatan-kegiatan menjelang UN yang terkesan

tidak wajar. Ada sekolah yang membagi-mambegi air putih yang sudah diberi jompa- jampi orang

pintar kepada siswa dengan harapan otak siswa menjadi encer saat mengerajakan soal

ujian.Bahkan ada sekolah yang menjalankan ritual cium kaki guru yang sudah diberi air kembang

setaman guna minta do’a restu dan maaf kepada guru, sehingga lancar mengerjakan soal ujian

karena sudah terlepas aras beban bersalah .Ada juga sekolah yang mengkoordinir siswa menjelang

ujian mengunjungi makam-makam orang pintar untuk mendapatkan berkah

sehingga terinduksi oleh kepintaran tokoh yang sudah meningal tersebut.

Perilaku-perilaku tidak wajar menejelang ujian yang dilakukan tampaknya sangat beresiko tinggi bagi

siswa maupun guru terjerumus pada perilaku syirik alias menyekutukan Tuhan. Menganggap orang

pintar sebagai bagian dari faktor penentu kelulusan, ngalap berkah kepada kuburan orang terkenal

juga bentuk menduakan Tuhan. Untuk itu sudah sepantasnya sekolah menghindari aktifitas yang

dimaksud. Budaya perilaku irasional menjelang UN tentu sangat memprihatinkan. Keingianan untuk

lulus UN adalah sangat wajar, namun jika ditempuh dengan cara tidak wajar justru akan menyesatkan

secara akidah. Selayaknya siswa diberi pemahaman bahwa kesuksesan menjalani ujian bukanlah

bersifat instan. Kesuksesan dapat diraih melalui sebuah proses. Untuk itu prinsip kerja keras,

ketekunan dan keuletan dalam menggapai suskes UN perlu diberikan sejak siswa duduk di kelas

awal.

Sukses UN bukan segala-galanya. Apa guna sukses UN yang dicapai dengan cara tidak wajar yang

justru dapat menjerumuskan pada aktifias dosa besar. Dosa yang dalam agama diberi ancaman

hukuman yang maha berat. Yeng lebih penting bagi siswa adalah bagaimana menjanai UN dengan

kejujuran. Dengan dasar sikap keujujuran maka siswa akan tidak mudah diliputi rasa kekhawatiran

yang berlebihan. Sikap jujur yang ada pada diri siswa akan memberikan rasa percaya diri sehingga

UN tidak lagi menjadi monster yang menakutkan.

Page 2: Siapa bilang un bukan lagi menjadi monster bagi siswa karena porsi penentu kelulusannya hanya 60

Pagi itu sekolah saya mengundang wali murid kelas 9. Mereka diundang

terkait hasil Lat ihan Ujian Nasional (LATNAS) yang seminggu sebelumnya

dilaksanakan. Tampak wajah para wali murid terlihat tegang. Mungkin

dalam hati mereka bertanya-tanya, sumbangan apa lagi ya yang akan diminta sekolah. Wajar kalau di hati mereka muncul pertanyaan semacam

itu. Bukankah set iap ada undangan dari sekolah biasanya ujung-ujungnya membicarakan sumbangan ?. He!!! tunggu dulu, belum tentu lho!!.

Untung teman saya yang menjadi pembawa acara membaca situasi di

atas. Segera saja sebelum acara dimulai yang bersangkutan mencairkan suasana dengan mengajak para hadirin tersenyum. Dan cling!!! , sebagian

besar hadirin tersenyum. Dengan gaya kocaknya, teman saya mengajak hadirin ngobrol ngalor ngidul. Mungkin lebih tepat mendengarkan teman

saya bermonolog tentang suka dukangopeni putra-putri hadirin menjelang

ujian nasional. Suasanapun mirip acara St and Up Comedy, yang sedang populer saat ini. Dengan logat khas mBanyunasan yang familiar dengan

kata Inyong alias ngapak-ngapak-nya diberitahukan kepada wali murid,

mereka diundang t idak untuk dimintai sumbangan tapi akan diberikan laporan hasil LATNAS. Dan hadirinpun menabung rasa lega.

Tampaknya kelegaan hadirin t idak berlangsung lama. Ketika masuk acara laporan dari urusan kurikulumm terkait hasil LATNAS yang telah dilaksanakan

wajah hadirin kembali tegang. Senyum yang tadi sempat mengembang

redup bak sinar mentari tertutup mendung hitam. Galau, mungkin ist ilah anak sekarang untuk menggambarkan suasana hati orang tua siswa. Apa

sebab?, orang tua galau saat mendengar bahwa hasil LATNAS menunjukkan bahwa hanya 12% dari 205 siswa yang memenuhi kriteria kelulusan.Suasana

galau yang menyelimuti hati orang t ua siswa berakibat pada acara

berikutnya. Dari acara paparan kepala sekolah tentang pelaksanaan UN, tanggpana komite , sampai dengan acara tanya jawab kurang menadapat

respon hadirin. Ya mereka benar-benar galau.

Pada saat penyerahan hasil LATNAS terjadi saling curhat antara wali kelas dan wali murid. Wali kelas melaporkan anak-anak yang sulit untuk dimotivasi

agar lebih bersemangat belajar.Masalah siswa yang lebih senang bermain-main di kelas bahkan yang sering mbolos saat tambahan pelajaran.

Sementara wali murid curhat betapa sulitnya menyuruh anak belajar di

rumah , anak lebih suka nonton TV, main HP, main game online, sampai anak putri yang rajin pacaran. Dari saling curhat tersebut muncul kesepakatan

untuk saling bekerja sama dalam membimbing siswa, agar pada Ujian yang

sebenarnya siswa dapat lulus. Tentu saja t idak hanya 12% tetapi 100%. Amin.

Tidak hanya siswa yang tampak galau. Para gurupun juga terselimuti

kegalauan. Bagaimana t idak?, jika hasil UN nanti berakibat pada rendahnya

Page 3: Siapa bilang un bukan lagi menjadi monster bagi siswa karena porsi penentu kelulusannya hanya 60

t ingkat kelulusan siswa , para gurulah yang akan menjadi sorotan

masyarakat. Bagi masyarakat, yang mereka tahu bahwa saat ini dengan adanya tunjangan sert ifikasi, gaji guru sudah cukup t inggi.Tentu saja dengan

gaji t inggi seharusnya kualitas pembelajaran juga meningkat yang ditandai dengan peningkatan t ingkat kelulusan siswa dalam UN. Masyarakat t idak

mau tahu bahwa banyak faktor dalam hal kelulusan siswa. Input siswa,

sarana prasarana, motivasi belajar, dukungan orang tua dan lingkungan adalah faktor yang t idak kalah penting. Yang mereka tahu sekolah

membuat anak bodoh menjadi pintar. Tit ik.

Ya, UN yang katanya diselenggarakan sebagai upaya pemetaan pendidikan di seluruh nusantara berubah menjadi penentuan nasib peserta

didik. UN sering dikrit ik sebagai bentuk kegiatan yang mengabaikan tujuan proses pendidikan sebagai pemerdekaan serta mengenyampingkan fungsi

dan tanggung jawab guru profesional dalam tugasnya membantu peserta

didik dalam proses pemerdekaannya. Ada perasaan t idak adil bagi sekolah dengan keterbatasan sarana prasaran, input siswa rendah dan lingkungan

yang kurang mendukung dituntut diperlakukan sama dengan sekolah dengan kondisi ideal. Meskipun demikian hal tersebut hendaknya t idak

menjadi dalih untuk t idak berusaha semaksimal mungkin meraih prestasi

dalam keterbatasan yang ada.