shalat tarawih.doc

19
1 Derajat Hadits Shalat Tarawih Dua Puluh Tiga Raka'at Kategori Shalat Selasa, 19 Oktober 2004 13:05:14 WIB DERAJAT HADITS SHALAT TARAWIH DUA PULUH TIGA RAKA'AT oleh Al-Utadz Abdul Hakim bin Amir Abdat Hadits Pertama "Artinya : Dari Ibnu Abbas, sesungguhnya Nabi Shallahu 'alaihi wa sallam, shalat di bulan Ramadlan dua puluh raka'at, [Hadits riwayat : Ibnu Abi Syaibah, Abdu bin Humaid, Thabrani di kitabnya Al-Mu'jam Kabir dan Awsath, Baihaqi dan bnu Adi dan lain-lain] Di riwayat lain ada tambahan : "Dan (Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam) witir (setelah shalat dua puluh raka'at)". Riwayat ini semuanya dari jalan Abu Syaibah, yang namanya : Ibrahim bin Utsman dari Al-Hakam dari Miqsam dari Ibnu Abbas. Imam Thabrani berkata : "Tidak diriwayatkan dari Ibnu Abbas melainkan dengan isnad ini". Imam Baihaqi berkata : "Abu Syaibah menyendiri dengannya, sedang dia itu dla'if". Imam Al-Haistami berkata di kitabnya "Majmauz Zawaid (3/172) : "Sesungguhnya Abu Syaibah ini dla'if". Al-Hafidz (Ibnu Hajar) berkata di kitabnya Al- Fath (syarah Bukhari) : "Isnadnya dla'if". Al-Hafidz Zaila'i telah mendla'ifkan isnadnya di kitabnya Nashbur Rayah (2/153). Demikian juga Imam Shan'ani di kitabnya Subulus Salam (syarah Bulughul Maram) mengatakan tidak ada yang sah tentang Nabi shalat di bulan Ramadlan dua puluh raka'at. Saya berkata : Bahwa hadits ini "Dlai'fun Jiddan" (sangat leamhf). Bahkan muhaddits Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani mengatakan : "Maudlu". Tentang kemaudlu'an hadits ini telah beliau terangkan di kitabnya "Silsilah Hadits Dla'if wal Maudlu" dan "Shalat Tarawih" dan "Irwaul Ghalil". Siapa yang ingin mengetahui lebih luas lagi tentang masalah ini, bacalah tiga kitab Al-Albani di atas, khususnya kitab shalat tarawih. Sebagaimana telah kita ketahui dari keterangan beberapa ulama di atas sebab lemahnya hadits ini, yakni karena di isnadnya ada seorang rawi tercela, yaitu Ibrahim bin Utsman Abu Syaibah. Tentang dia ini, ulama-ulama ahli hadits menerangkan kepada kita : [1]. Kata Imam Ahmad, Abu Dawud, Muslim, Yahya, Ibnu Main dan lain-lain : "Dla'if". [2]. Kata Imam Tirmidzi : "Munkarul Hadits". [3]. Kata Imam Bukhari : "Ulama-ulama (ahli hadits) mereka diam tentangnya" (ini satu istilah untuk rawi lemah tingkat tiga). [4]. Kata Imam Nasa'i dan Daulaby : "Matrukul Hadits". [5]. Kata Abu Hatim : "Dla'iful Hadits, Ulama- ulama diam tentangnya dan mereka (ahli hadits) meninggalkan haditsnya". [6]. Kata Ibnu Sa'ad : "Adalah dia Dla'iful Hadits". [7]. Kata Imam Jauzajaniy : "Orang yang putus" (satu istilah untuk lemah tingkat ketiga). [8]. Kata Abu Ali Naisaburi : "Bukan orang yang kuat (riwayatnya)'. [9]. Kata Imam Ad-Daruquthni : "Dla'if". [10]. Al-Hafidz menerangkan : "Bahwa ia meriwayatkan dari Al-Hakam hadits-hadits munkar". Periksalah kitab-kitab : [1]. Irwaul Ghalil, oleh Muhaddits Syaikh Al- Albani. 2 : 191, 192, 193. [2]. Nashbur Raayah, oleh Al-Hafidz Zaila'i. 2 : 153. [3]. Al-Jarh wat Ta'dil, oleh Imam Ibnu Abi Hatim. 2 : 115 [4]. Tahdzibut-Tahdzib, oleh Imam Ibnu Hajar. 1 : 144, 145 [5]. Mizanul I'tidal, oleh Imam Adz-Dzahabi. 1 : 47, 48 Hadits kedua. "Artinya : Dari Yazid bin Ruman, ia berkata : Adalah manusia pada zaman Umar bin Khattab mereka shalat (tarawih) di bulan Ramadlan dua puluh tiga raka'at". [Hadits Riwayat : Imam Malik di kitabnya Al-Muwath-tha 1/115] Keterangan : Hadits ini tidak sah ! Ketidaksahannya ini disebabkan karena dua penyakit :

Upload: abu-abdirrahman

Post on 01-Nov-2015

1.021 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

Shalat Tarawih.doc

TRANSCRIPT

Page 1: Shalat Tarawih.doc

1

Derajat Hadits Shalat Tarawih Dua Puluh Tiga Raka'at

Kategori Shalat

Selasa, 19 Oktober 2004 13:05:14 WIB

DERAJAT HADITS SHALAT TARAWIH DUA PULUH TIGA RAKA'AT oleh Al-Utadz Abdul Hakim bin Amir Abdat Hadits Pertama "Artinya : Dari Ibnu Abbas, sesungguhnya Nabi Shallahu 'alaihi wa sallam, shalat di bulan Ramadlan dua puluh raka'at, [Hadits riwayat : Ibnu Abi Syaibah, Abdu bin Humaid, Thabrani di kitabnya Al-Mu'jam Kabir dan Awsath, Baihaqi dan bnu Adi dan lain-lain] Di riwayat lain ada tambahan : "Dan (Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam) witir (setelah shalat dua puluh raka'at)". Riwayat ini semuanya dari jalan Abu Syaibah, yang namanya : Ibrahim bin Utsman dari Al-Hakam dari Miqsam dari Ibnu Abbas. Imam Thabrani berkata : "Tidak diriwayatkan dari Ibnu Abbas melainkan dengan isnad ini". Imam Baihaqi berkata : "Abu Syaibah menyendiri dengannya, sedang dia itu dla'if". Imam Al-Haistami berkata di kitabnya "Majmauz Zawaid (3/172) : "Sesungguhnya Abu Syaibah ini dla'if".

Al-Hafidz (Ibnu Hajar) berkata di kitabnya Al-Fath (syarah Bukhari) : "Isnadnya dla'if". Al-Hafidz Zaila'i telah mendla'ifkan isnadnya di kitabnya Nashbur Rayah (2/153). Demikian juga Imam Shan'ani di kitabnya Subulus Salam (syarah Bulughul Maram) mengatakan tidak ada yang sah tentang Nabi shalat di bulan Ramadlan dua puluh raka'at. Saya berkata : Bahwa hadits ini "Dlai'fun Jiddan" (sangat leamhf). Bahkan muhaddits Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani mengatakan : "Maudlu". Tentang kemaudlu'an hadits ini telah beliau terangkan di kitabnya "Silsilah Hadits Dla'if wal Maudlu" dan "Shalat Tarawih" dan "Irwaul Ghalil". Siapa yang ingin mengetahui lebih luas lagi tentang masalah ini, bacalah tiga kitab Al-Albani di atas, khususnya kitab shalat tarawih. Sebagaimana telah kita ketahui dari keterangan beberapa ulama di atas sebab lemahnya hadits ini, yakni karena di isnadnya ada seorang rawi tercela, yaitu Ibrahim bin Utsman Abu Syaibah. Tentang dia ini, ulama-ulama ahli hadits menerangkan kepada kita : [1]. Kata Imam Ahmad, Abu Dawud, Muslim, Yahya, Ibnu Main dan lain-lain : "Dla'if". [2]. Kata Imam Tirmidzi : "Munkarul Hadits". [3]. Kata Imam Bukhari : "Ulama-ulama (ahli hadits) mereka diam tentangnya" (ini satu istilah untuk rawi lemah tingkat tiga). [4]. Kata Imam Nasa'i dan Daulaby : "Matrukul Hadits". [5]. Kata Abu Hatim : "Dla'iful Hadits, Ulama-

ulama diam tentangnya dan mereka (ahli hadits) meninggalkan haditsnya". [6]. Kata Ibnu Sa'ad : "Adalah dia Dla'iful Hadits". [7]. Kata Imam Jauzajaniy : "Orang yang putus" (satu istilah untuk lemah tingkat ketiga). [8]. Kata Abu Ali Naisaburi : "Bukan orang yang kuat (riwayatnya)'. [9]. Kata Imam Ad-Daruquthni : "Dla'if". [10]. Al-Hafidz menerangkan : "Bahwa ia meriwayatkan dari Al-Hakam hadits-hadits munkar". Periksalah kitab-kitab : [1]. Irwaul Ghalil, oleh Muhaddits Syaikh Al-Albani. 2 : 191, 192, 193. [2]. Nashbur Raayah, oleh Al-Hafidz Zaila'i. 2 : 153. [3]. Al-Jarh wat Ta'dil, oleh Imam Ibnu Abi Hatim. 2 : 115 [4]. Tahdzibut-Tahdzib, oleh Imam Ibnu Hajar. 1 : 144, 145 [5]. Mizanul I'tidal, oleh Imam Adz-Dzahabi. 1 : 47, 48 Hadits kedua. "Artinya : Dari Yazid bin Ruman, ia berkata : Adalah manusia pada zaman Umar bin Khattab mereka shalat (tarawih) di bulan Ramadlan dua puluh tiga raka'at". [Hadits Riwayat : Imam Malik di kitabnya Al-Muwath-tha 1/115] Keterangan : Hadits ini tidak sah ! Ketidaksahannya ini disebabkan karena dua penyakit :

Page 2: Shalat Tarawih.doc

2

Pertama : "Munqati" (Terputus Sanadnya). Karena Yazid bin Ruman yang meriwayatkan hadits ini tidak bertemu dengan Umar bin Khaththab atau tidak sezaman dengannya. Imam Baihaqi sendiri mengatakan : Yazid bin Ruman tidak bertemu dengan Umar. Dengan demikian sanad hadits ini terputus. Sanad yang demikian oleh Ulama-ulama ahli hadits namakan Munqati'. Sedang hadits yang sanadnya munqati' menurut ilmu Musthalah Hadits yang telah disepakati, masuk kebagian hadits Dla'if yang tidak boleh dibuat alasan atau dalil. Tentang tidak bertemunya Yazid bin Ruman ini dengan Umar telah saya periksa seteliti mungkin di kitab-kitab rijalul hadits yang ternyata memang benar bahwa ia tidak pernah bertemu atau sezaman dengan Umar bin Khattab. Kedua. Riwayat diatas bertentangan dengan riwayat yang sudah shahih di bawah ini : Hadits Ketiga. "Artinya : Dari Imam Malik dari Muhammad bin Yusuf dari Saib bin Yazid, ia berkata : "Umar bin Khattab telah memerintahkan Ubay bin Ka'ab dan Tamim Ad-Dariy supaya keduanya shalat mengimami manusia dengan sebelas rakaat". Sanad hadits ini shahih, karena : [1]. Imam Malik seorang Imam besar lagi sangat kepercayaan yang telah diterima umat riwayatnya.

[2]. Muhammad bin Yusuf seorang kepercayaan yang dipakai riwayatnya oleh Imam Bukhari dan Muslim. [3]. Sedang Saib bin Yazid seorang shahabat kecil yang bertemu dan sezaman dengan Umar bin Khatab. [4] Dengan demikian sanad hadits ini Muttashil/bersambung. Kesimpulan. [1]. Riwayat-riwayat yang menerangkan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat di bulan Ramadlan (shalat tarawih) 20 raka'at atau 21 atau 23 raka'at tidak ada satupun yang shahih. Tentang ini tidak tersembunyi bagi mereka yang alim dalam ilmu hadits. [2]. Riwayat-riwayat yang menerangkan bahwa di zaman Umar bin Khattab para shahabat shalat tarawih 23 raka'at tidak ada satupun yang shahih sebagaimana keterangan di atas. Bahkan dari riwayat yang Shahih kita ketahui bahwa Umar bin Khattab memerintahkan shalat tarawih dilaksanakan sebelas raka'at sesuai dengan contoh Rasululullah Shallallahu 'alaihi wa sallam [1]. [Disalin dari kitab Al-Masaa-il (Masalah-Masalah Agama)- Jilid ke satu, Penulis Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat, Terbitan Darul Qolam - Jakarta, Cetakan ke III Th 1423/2002M] _________ Foote Note [1]. Ditulis tanggal 14-3-1986

Sumber : http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=1115&bagian=0

Page 3: Shalat Tarawih.doc

3

Kategori Shalat Jumat, 22 Oktober 2004 08:10:58 WIB

NABI SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM TIDAK PERNAH SHALAT TARAWIH MELEBIHI SEBELAS RAKA'AT Oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani Setelah kita menetapkan, disyariatkannya berjama'ah dalam shalat tarawih berdasarkan ketetapan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, perbuatan beliau dan juga anjurannya ; Maka sudah seharusnya kami jelaskan juga beberapa jumlah raka'at yang dilaksanakan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pada malam-malam yang beliau hidupkan bersama para sahabat. Dan perlu diketahui, bahwa dalam hal ini kami memiliki dua dalil. Yang Pertama : Dari Abi Salamah bin Abdir-Rahman, bahwasanya ia pernah bertanya kepada 'Aisyah Radhiallahu 'anha tentang bagaimana shalat Rasulullah Shallallahu 'alihi wa sallam di bulan Ramadhan ? Beliau menjawab : "Baik pada bulan Ramadhan maupun pada bulan-bulan yang lain, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah shalat malam melebihi sebelas raka'at[1] . Beliau shalat empat raka'at[2] ; jangan tanya soal bagus dan panjangnya. Kemudian beliau shalat lagi empat raka'at, jangan juga tanya soal bagus dan panjangnya.

Kemudian beliau shalat (witir) tiga raka'at. Hadits tersebut diatas, diriwayatkan oleh Al-Bukhari (III : 25, IV : 205), Muslim (II : 166), Abu 'Uwanah (II : 327), Abu Dawud (I : 210), At-Tirmidzi (II : 302-303 cetakan Ahmad Syakir), An-Nasa'i (I : 248), Malik (I : 134), Al-Baihaqi (II : 495-496) dan Ahmad (VI : 36,73, 104). Yang Kedua : Dari Jabir bin Abdullah Radhiallahu 'anhu bahwa beliau menuturkan : "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah shalat bersama kami di bulan Ramadhan sebanyak delapan raka'at lalu beliau berwitir. Pada malam berikutnya, kamipun berkumpul di masjid sambil berharap beliau akan keluar. Kami terus menantikan beliau disitu hingga datang waktu fajar. Kemudian kami menemui beliau dan bertanya : "Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami menunggumu tadi malam, dengan harapan engkau akan shalat bersama kami". Beliau menjawab : "Sesungguhnya aku khawatir kalau (akhirnya) shalat itu menjadi wajib atas dirimu". [Diriwayatkan oleh Ibnu Nashar (hal 90), Ath-Thabrani dalam "Al-Mu'jamu Ash-Shagir" (hal 108). Dengan hadits yang sebelumnya, derajatnya hadist ini hasan. Dalam "Fathul Bari" demikian juga dalam "At-Talkhish" Al-Hafizh Ibnu Hajar mengisyaratkan bahwa hadits itu shahih, Namun beliau menyandarkan hadits itu kepada Ibnu Hibban dan Ibnu Khuzaimah masing-masing dalam Shahih-nya]. Hadits Tarawih Dua Puluh Raka'at Dha'if Sekali dan Tidak Dapat Dijadikan Hujjah Untuk Beramal

Dalam "Fathul Bari" (IV : 205-206) Ibnu Hajar ketika menjelaskan hadits yang pertama, beliau menyatakan : "Adapun yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari hadits Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat di bulan Ramadhan dua puluh raka'at ditambah witir, sanad hadist ini adalah dha'if. Hadits 'Aisyah yang disebut dalam shahih Al-Bukhari dan Muslim ini juga bertentangan dengan hadits itu, padahal 'Aisyah sendiri lebih mengetahui seluk beluk kehidupan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pada waktu malam daripada yang lainnya". Pendapat serupa juga telah lebih dahulu diungkapkan oleh Az-Zailai' dalam "Nashbu ar-Rayah" (II : 153). Saya mengatakan : "Hadits Ibnu Abbas ini dha'if sekali, sebagaimana dinyatakan oleh As-Suyuthi dalam "Al-Hawi Lil Fatawa" (II : 73). Adapun cacat hadits itu yang tersembunyi, adanya perawi bernama Abu Syaibah Ibrahim bin Utsman. Al-Hafizh dalam "At-Taqrib" menyatakan : "Haditsnya matruk (perawinya dituduh pendusta)". Aku telah menyelidiki sumber-sumber pengambilan hadits itu, namun yang aku temui cuma jalannya. Ibnu Abi Syaibah juga mengeluarkannya dalam "Al-Mushannaf " (II : 90/2), Abdu bin Hamid dalam "Al-Muntakhab Minal Musnad" (43 : 1-2), Ath-Thabarani dalam "Al-Mu'jamu Al-Kabir" (III : 148/2) dan juga dalam "Al-Ausath" serta dalam "Al-Muntaqa" (edisi tersaring) dari kitab itu, oleh Adz-Dzahabi (II : 3), atau dalam "Al-Jam'u" (rangkuman) Al-Mu'jam Ash-Shaghir dalam Al-Kabir oleh penulis lain (119 : I), Ibnu 'Adiy dalam "Al-Kamil" (I : 2), Al-Khatib dalam "Al-Muwaddhih" (I : 219) dan Al-Baihaqi dalam "Sunan"-nya (II : 496). Seluruhnya dari jalur Ibrahim (yang tersebut) tadi,

Page 4: Shalat Tarawih.doc

4

dari Al-Hakam, dari Muqsim, dari Ibnu Abbas hanya melalui jalan ini". Imam Al-Baihaqi juga menyatakan : "Hadits ini hanya diriwayatkan melalui Abu Syaibah, sedangkan ia perawi dha'if ". Demikian juga yang dinyatakan oleh Al-Haitsami dalam "Majmu' Az-Zawaid" (III : 172) bahwa ia perawi yang dha'if. Kenyataannya, ia malah perawi yang dha'if sekali, seperti diisyaratkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar tadi bahwa ia Matrukul hadits (ditinggal haditsnya karena dituduh berdusta). Inilah yang benar, seperti juga dinyatakan oleh Ibnu Ma'in : "Ia sama sekali tak bisa dipercaya". Al-Jauzajani menyatakan : "Jatuh martabatnya" (celaan yang keras). Bahkan Syu'bah menganggapnya berdusta dalam satu kisah. Imam Al-Bukhari berkomentar :"Dia tak dianggap para ulama". Padahal Al-Hafizh Ibnu Katsir menjelaskan dalam "Ikhti-shar 'Ulumi Al-Hadits" (hal 118) :"Orang yang dikomentari oleh Al-Bukhari dengan ucapan beliau seperti tadi, berarti sudah terkena celaan yang paling keras dan buruk, menurut versi beliau". Oleh sebab itu, saya menganggap hadits ini dalam kategori Hadits Maudhu' alias palsu. Disebabkan (disamping kelemahannya) ia bertentangan dengan hadits 'Aisyah dan Jabir yang terdahulu sebagaimana tadi diungkapkan oleh Al-Hafizh Az-Zaila'i dan Al-Asqalani. Imam Al-Hafidz Adz-Dzahabi juga memaparkan hadits-haditsnya yang munkar. Al-Faqih Ibnu Hajar Al-Haitami menyatakan dalam "Al-Fatawa Al-Kubra" (I : 195) setelah beliau menyebutkan hadits ini. "Hadits ini sungguh amat dha'if ; para ulama telah bersikap keras terhadap salah seorang perawinya, dengan celaan dan hinaan. Diantara

bentuk celaan dan hinaan itu (dalam kaedah ilmu hadits) : Ia perawi hadits-hadits palsu, seperti hadits yang berbunyi : "Umat ini hanya akan binasa di Aadzar (nama tempat) " juga hadits : "Kiamat itu hanya akan terjadi di Aadzar ". Hadits-hadistnya yang berkenaan dengan masalah tarawih ini tergolong jenis hadits-hadits munkarnya. Imam As-Subki itu sendiri menjelaskan bahwa (diantara) persyaratan hadist dha'if untuk dapat diamalkan adalah ; hadits itu tak terlalu lemah sekali. Imam Adz-Dzahabi menyatakan : "orang yang dianggap berdusta oleh orang semisal Syu'bah, tak perlu ditoleh lagi haditsnya". Saya mengatakan : "Apa yang dinukil beliau dari As-Subki itu mengandung isyarat lembut dari Al-Haitami bahwa beliau sendiri tak sependapat dengan mereka yang mengamalkan hadits tentang shalat tarawih 20 raka'at itu, simaklah". Kemudian, setelah beliau menyebutkan hadits Jabir dari riwayat Ibnu Hibban, Imam As-Suyuthi berkomentar : "Kesimpulannya, riwayat tarawih 20 raka'at itu tak ada yang shahih dari perbuatan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Apa yang tersebut dalam riwayat Ibnu Hibban merupakan klimaks apa yang menjadi pendapat kami, karena (sebelumnya) kami telah berpegang dengan apa yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari 'Aisyah Radhiallahu 'anha, yaitu : Bahwa beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam baik dalam bulan Ramadhan maupun dalam bulan lainnya tak pernah shalat malam melebihi 11 raka'at. Kedua hadits itu (Hadits Riwayat Ibnu Hibban dan Al-Bukhari) selaras, karena disebutkan disitu bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat delapan raka'at, lalu

menutupnya dengan witir tiga raka'at, sehingga berjumlah 11 raka'at. Satu hal lagi yang menjadi dalil, bahwa Nabi apabila mengamalkan satu amalan, beliau selalu melestarikannya. Sebagaimana beliau selalu meng-qadha shalat sunnah Dhuhur sesudah Ashar ; padahal shalat waktu itu pada asalnya haram. Seandainya beliau telah mengamalkan shalat tarawih 20 raka'at itu, tentu beliau akan mengulanginya. Kalau sudah begitu, tak mungkin 'Aisyah tidak mengetahui hal itu, sehingga ia membuat pernyataan seperti tersebut tadi". Saya mengatakan : "Ucapannya itu mengandung isyarat yang kuat bahwa beliau lebih memilih sebelas raka'at dan menolak riwayat yang 20 raka'at dari Ibnu Abbas karena terlalu lemah, coba renungkan". [Disalin dari buku Shalatu At-Tarawih, edisi Indonesia Shalat Tarawih, Penyusun Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, terbitan Pustaka At-Tibyan hal. 28 - 36 Penerjemah Abu Umar Basyir Al-Maidani] _________ Foote Note [1]. Dalam riwayat Ibnu Abi Syaibah (II/116/1), Muslim dan lain-lain : "Shalat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam baik pada bulan Ramadhan maupun pada bulan-bulan yang lain adalah tiga belas raka'at. Diantaranya dua raka'at fajar". Namun dalam riwayat lain yang dikeluarkan oleh Imam Malik (I : 142), juga oleh Al-Bukhari (III : 35) dan lain-lain, diceritakan bahwa 'Aisyah menuturkan :"Beliau shalat pada waktu malam tiga belas raka'at. Lalu bila datang adzan subuh memanggil, beliau shalat dua raka'at yang ringan".

Page 5: Shalat Tarawih.doc

5

Al-Hafidzh Ibnu Hajar mengatakan : "Pada dzahirnya, hadits itu nampakl bertentangan dengan hadits terdahulu. Bisa jadi, 'Aisyah menggabungkan dengan dua raka'at shalat sesudah Isya, karena beliau memang melakukannya di rumah. Atau mungkin juga dengan dua raka'at yang dilakukan Nabi sebagai pembuka shalat malam. Karena dalam hadits shahih riwayat Muslim disebutkan bahwa beliau memang memulai shalat malam dengan dua raka'at ringan. Dan yang kedua ini lebih kuat, menurut hemat saya. Karena Abu Salamah yang mengkisahkan kriteria shalat beliau yang tak melebihi 11 raka'at dengan empat-empat plus tiga raka'at, hal itu jelas belum mencakup dua raka'at ringan (pembuka) tadi, dua raka'at itulah yang tercakup dalam riwayat Imam Malik. Sedangkan tambahan matan hadits dari seorang hafizh (seperti Malik) bisa diterima. Pendapat ini lebih dikuatkan lagi dengan apa yang tertera pada riwayat Ahmad dan Abu Dawud dari jalur riwayat Abdullah bin Abi Qais dari 'Aisyah Radhiallahu 'anha dengan lafazh : "Beliau melakukan witir tiga raka'at setelah shalat empat raka'at ; atau tiga setelah sepuluh. Dan beliau belum pernah berwitir -plus shalat malamnya- labih dari tiga belas raka'at. Dan juga tidak pernah kurang -bersama shalat malamnya- dari tujuh raka'at. Inilah riwayat paling shahih yang berhasil saya dapatkan dalam masalah itu. Dengan demikian, perselisihan seputar hadits 'Aisyah itu dapat disatukan". Saya mengatakan : Adapun hadits Ibnu Abi Qais ini akan kembali disebutkan Insya Allah dalam bahasan "Dibolehkannya shalat malam

kurang dari 11 raka'at (hal 81). Penyelesaian yang dikemukakan oleh Ibnu hajar itu ditopang oleh riwayat Imam Malik yang secara lebih rinci menyebutkan dua raka'at ringan tersebut ; yaitu dari jalur hadits Zaid bin Khalid Al-Juhani bahwasanya ia berkata : "Aku betul-betul berhasrat menyelidiki shalat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pada suatu malam. Beliau shalat terlebih dahulu dua raka'at ringan. Kemudian beliau shalat dua raka'at panjang, lalu dua raka'at panjang, lalu dua raka'at panjang. Dua raka'at yang kedua tidak sepanjang yang pertama. Demikian juga yang ketiga tak sepanjang yang kedua. Yang keempat juga tak sepanjang yang ketiga. Setelah itu beliau menutup dengan witir. Semuanya berjumlah tiga belas raka'at. [Diriwayatkan oleh Imam Malik (I:143-144), Muslim (II:183), Abu 'Uwanah (II:319) Abu Dawud (I:215) dan Ibnu Nashar (hal.48] Menurut hemat saya, ada kemungkinan dua raka'at disitu adalah shalat sunnah sesudah Isya. Bahkan itulah yang nampak (berdasarkan hukum) secara zhahir. Karena saya belum mendapatkan satu haditspun yang menyebutkan dua raka'at itu berseiringan dengan penyebutan raka'at yang tiga belas. Bahkan sebaliknya, saya justru mendapatkan riwayat yang menopang apa yang saya perkirakan. Yaitu hadits Jabir bin Abdullah, dimana beliau menyampaikan :"Dahulu kami bersama-sama beranjak dengan Rasulullah dari Hudaibiyyah. Tatkala kami sampai di Suqya (yaitu perkampungan antara Mekkah dan Madinah), tiba-tiba beliau berhenti -dan jabir kala itu disampingnya- lalu melakukan shalat isya'

kemudian setelah itu beliau shalat tiga belas raka'at" (hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Nashar (hal 48). Hadits ini juga sebagai nash yang jelas, bahwa shalat sunnah 'Isya termasuk hitungan yang tiga belas tadi. Seluruh perawi hadits tersebut tsiqah (terpercaya), selain Syurahbil bin Sa'ad. Dia memiliki kelemahan. [2]. Yakni dengan satu kali salam. Imam Nawawi dalam ''Syarhu Muslim" menyebutkan :"Hadits ini menunjukkan bolehnya shalat dengan hitungan itu. Adapun yang dikenal dari perbuatan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bahkan beliau memerintahkan, yaitu agar shalat malam itu dibuat dua-dua (raka'at). Saya mengatakan : Yang dinyatakan oleh beliau itu sungguh benar adanya. Adapun pendapat madzhab Syafi'iyyah bahwa (Wajib kita bersalam pada setiap dua raka'at. Barangsiapa yang melakukannya dengan satu salam, maka tidak shah) sebagaimana tersebut dalam "Al-Fiqhu Ala Al-Madzahibi Al-Arba'ah" (I: 298) dan juga dalam "Syarhu Al-Qasthalani" Terhadap shahih Al-Bukhari (V : 4) dan lain-lain, pendapat itu jelas bertentangan dengan hadits shahih ini dan juga bersebrangan dengan pernyataan Imam An-Nawawi yang menyatakan dibolehkannya cara itu. Padahal beliau termasuk ulama besar dan alhi tahqiq (peneliti) dari kalangan Syafi'iyyah. maka jelas tak ada alasan bagi seseorang untuk menfatwakan hal yang sebaliknya.! Sumber : http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=1129&bagian=0

Page 6: Shalat Tarawih.doc

6

Kategori Shalat, Senin, 25 September 2006 00:00:47 WIB

UMAR BIN AL-KHATTAB MENGHIDUPKAN KEMBALI SHALAT TARAWIH (BERJAMA’AH) DAN MENYURUH MENUSIA KALA ITU UNTUK SHALAT SEBELAS RAKA’AT Oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani Telah kami sebutkan sebelumnya, bahwa semenjak kematian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam para sahabat Radhiyallahu ‘anhum terus menjalankan shalat tarawih dengan berpencar-pencar dan bermakmum kepada imam yang berbeda-beda [1] Itu terjadi di masa kekhalifahan Abu Bakar dan di awal kekahlifahan Umar Radhiyallahu ‘anhuma. Kemudan akhirnya Umar bin Al-Khattab menyatukan mereka untuk bermakmum kepada satu imam. Abdurrahman bin Abdul Qariy berkata : “Suatu malam di bulan Ramadhan, aku keluar bersama Umar bin Al-Khattab

menunju masjid. Ternyata kami dapati manusia berpencar-pencar disana sini. Ada yang shalat sendirian, ada juga yang shalat mengimami beberapa gelintir orang. Beliau berkomentar : “(Demi Allah), seandainya aku kumpulkan orang-orang itu untuk shalat bermakmum kepada satu imam, tentu lebih baik lagi”. Kemudian beliau melaksanakan tekadnya, beliau mengumpulkan mereka untuk shalat bermakmum kepada Ubay bin Ka’ab Radhiyallahu ‘anhu. Abdurrahman melanjutkan : “Pada malam yang lain, aku kembali keluar bersama beliau, ternyata orang-orang sudah sedang shalat bermakmum kepada salah seorang qari mereka. Beliaupun berkomentar : “Sebaik-baik bid’ah, adalah seperti ini”. Namun mereka yang tidur dahulu (sebelum shalat) lebih utama dari mereka yang shalat sekarang” Yang beliau maksudkan yaitu mereka yang shalat di akhir waktu malam. Sedangkan orang-orang tadi shalat di awal waktu malam” Diriwayatkan oleh Imam Malik dalam Al-Muwattha (I : 136-137), demikian juga Al-Bukhari (IV : 203), Al-Firyabi (II : 73, 74 : 1-2). Diriwayatkan juga oleh Ibnu Abi Syaibah (II : 91 : 1) dengan lafazh yang mirip, namun tanpa ucapan beliau : “sebaik-baiknya bid’ah, ya yang seperti ini”.

Demikian juga Ibnu Sa’ad (V : 42) dan Al-Firyabi dari jalur lain (74 : 2) meriwayatkannya dengan lafazh : “kalau yang seperti ini dianggap bid’ah, maka sungguh satu bid’ah yang amat baik sekali”. Para perawinya terpercaya, kecuali Naufal bin Iyyas. Imam Al-Hafizh mengomentarinya dalam “At-Taqrib” ; “Bisa diterima”, maksudnya apabila diiringi hadits penguat, kalau tidak, maka tergolong hadits yang agak lemah. Begitu penjelasan beliau dalam mukaddimah buku tersebut. Perlu diketahui, bahwa dikalangan para ulama belakangan ini, cukup dikenal penggunaan ucapan Umar diatas, yaitu ucapan beliau : “Sebaik-baiknya bid’ah …. “ sebagai dalil dalam dua perkara : Pertama Berjama’ah dalam shalat tarawih adalah bid’ah yang tidak penah ada di zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Persepsi ini jelas amatlah keliru, tidak perlu banyak dikomentari karena sudah demikian jelasnya. Sebagai dalilnya, cukup bagi kita hadits-hadits terdahulu ; yaitu yang mengkisahkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengumpulkan manusia kala itu dalam tiga malam bulan Ramadhan. Kalaupun akhirnya beliau meninggalkan berjama’ah, semata-mata hanya karena takut dianggap wajib. Kedua. Bahwa diantara bid’ah itu ada yang terpuji. Dengan (ucapan Umar) tadi, mereka

Page 7: Shalat Tarawih.doc

7

mengkhususkan keumuman hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Setiap bid’ah itu adalah sesat”. Dan juga hadits-hadits lain yang sejenis. Pendapat ini juga bathil ; hadits tersebut harus diartikan dengan keumumannya, sebagaimana yang dijelaskan nanti dalam tulisan khusus mengenai bid’ah, insya Allahu Ta’ala. Adapun ucapan Umar : Sebaik-baik bid’ah, adalah yang seperti ini”, yang beliau maksudkan bukanlah bid’ah dalam pengertian istilah; yang berarti : Mengada-ada dalam menjalankan ibadah tanpa tuntunan (dari Nabi). Sebagaimana yang kita tahu, beliau tidak pernah melakukan sedikitpun. Bahkan sebaliknya, beliau menghidupkan banyak sekali dari sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun yang beliau maksudkan dengan bid’ah adalah dalam salah satu pengertiannya menurut bahasa. Yaitu suatu kejadian yang baru yang belumlah dikenal sebelum beliau perkenalkan. Dan tidak diragukan lagi, bahwa tarawih berjama’ah belumlah dikenal dan belum diamalkan semenjak zaman khalifah Abu Bakar dan juga di awal-awal kekhalifahan Umar sendiri Radhiyallahu anhuma –sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya-. Dalam pengertian begini, ia memang bid’ah. Namun dalam kacamata pengertian bahwa ia sesuai dengan perbuatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia adalah sunnah, bukannya bid’ah. Hanya dengan alasan itulah beliau memberikan tambahan kata “baik”.

Pengertian seperti inilah yang dipegang oleh para ulama ahli tahqiq (peneliti) dalam menafsirkan ucapan Umar tadi. Abdul Wahhab As-Subki dalam “Isyraqul Mashabiih Fi Shalati At-Tarawih” yang berupa kumpulan fatwa (I : 168) menyatakan : “Ibnu Abdil Barr berkata : “Dalam hal itu Umar tidak sedikitpun membuat-buat sesuatu melainkan sekedar menjalani apa yang disunnahkan, disukai dan diridhai Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dimana yang menghalangi beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk melakukan secara kontinyu semata-mata karena takut dianggap wajib atas umatnya. Sedangkan beliau adalah orang yang pengasih lagi pemurah terhadap umatnya. Tatkala Umar mengetahui alasan itu dari Rasulullah, sementara ia mengerti bahwa amalan-amalan yang wajib tidak akan bertambah ataupun berkurang lagi sesudah kematian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ; maka beliaupun mulai menghidupkannya dan menyuruh manusia untuk melakukannya. Kejadian itu berlangsung pada tahun 14 H. Itu adalah keutamaan yang Allah simpan lalu diperuntukkan bagi beliau Radhiyallahu ‘anhu. Yang mana Abu Bakar sekalipun tidak pernah terinspirasi untuk melakukannya. Meskipun, beliau lebih utama dan lebih segera melakukan kebaikan –secara umum- daripada Umar Radhiyallahu ‘anhuma. Akan tetapi masing-masing dari keduanya dianugerahi Allah keutamaan-

keutamaan yang tidak dimiliki yang lainnya”. As-Subki menyatakan. “Kalau melakukan tarawih berjama’ah itu tidaklah memiliki tuntunan, tentu ia termasuk bid’ah yang tercela ; sebagaimana shalat sunnah hajat di malam Nishfu Sya’ban, atau di Jum’at pertama bulan Rajab. Itu harus diingkari dan jelas kebatilannya (yakni kebatilan pendapat yang mengingkari bolehnya shalat tarawih berjama’ah). Dan kebatilan perkara tersebut merupakan pengertian yang sudah baku dalam pandangan Islam”. Al-Allamah Ibnu Hajar Al-Haitami didalam fatwa yang ditulisnya menyatakan. “Mengeluarkan orang-orang Yahudi dari semenanjung jazirah Arab, dan memerangi Turki (Konstantinopel, pent) adalah perbuatan yang dilakukan berdasarkan perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak termasuk katagori bid’ah, meskipun belum pernah dilakukan di masa hidup beliau. Sedangkan ucapan Umar berkenaan dengan tarawih : “Sebaik-baiknya bid’ah…” yang dimaksud adalah bid’ah secara bahasa. Yaitu sesuatu yang diperbuat tanpa contoh sebeumnya ; sebagaimana difirmankan Allah Subhanahu wa Ta’ala. “Artinya : Katakanlah : “Aku bukanlah rasul yang pertama di antara raul-rasul…” [Al-Ahqaf : 9]

Page 8: Shalat Tarawih.doc

8

Jadi yang dimaksud bukanlah bid’ah secara istilah. Karena bid’ah secara istilah menurut syari’at adalah sesat, sebagaimana yang ditegaskan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Adapun sebagian ulama yang membaginya menjadi bid’ah yang baik dan tidak baik, sesungguhnya yang mereka bagi hanyalah bid’ah menurut bahasa. Sedangkan orang yang mengatakan setiap bid’ah itu sesat maksudnya adalah bid’ah menurut istilah. Bukankah kita mengetahui bahwa para shahabat Radhiyallahu ‘anhum dan juga para tabi’in yang mengikuti mereka dengan kebaikan juga menyalahi adzan pada selain shalat yang lima waktu, misalnya shalat dua Hari Ied, padahal tidak ada larangannya (secara khusus). Mereka juga menganggap makruh mencium dua rukun Syami (di Masjidil Haram), atau shalat seusai sa’i antara Shafa dan Marwah yang dikiaskan dengan shalat seusai berthawaf. Demikian juga halnya segala yang ditinggalkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sementara itu mungkin dilakukan, maka meninggalkan amalan itu menjadi sunnah ; sementara mengamalkannya menjadi bid’ah yang tercela. Maka seperti : Mengusir orang-orang Yahudi dari tanah Arab dan mengumpulkan Al-Qur’an dalam satu mushaf, tidaklah masuk dalam konteks pembicaraan kita tentang “yang mungkin” dikerjakan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dimasa hidupnya. Segala yang ditinggalkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa

sallam karena adanya penghalang seperti shalat tarawih berjama’ah misalnya ; maka apabila ada kemungkinan yang pasti [2], berarti hilanglah penghalang yang ada tersebut. [3] UMAR RADHIYALLAHU ‘ANHU MEMERINTAHKAN MANUSIA UNTUK SHALAT 11 RAKA’AT Adapun perintah Umar Radhiyallahu ‘anhu untuk didirikannya tarawih 11 raka’at, adalah berdasarkan apa yang diriwayatkan Imam Malik dalam “Al-Muwaththa” (I : 137) (dan No. 248), dari Muhammad bin Yusuf, dari As-Saib bin Yazid bahwasanya beliau menuturkan. “Umar bin Al-Khattab memerintahkan Ubay bin Ka’ab dan Tamim Ad-Dari untuk mengimami manusia (shalat tarawih) 11 raka’at”. Beliau melanjutkan : “Dan kala itu, seorang qari/imam biasa membaca ratusan ayat sehingga kami terpaksa bertelekan pada tongkat kami karena terlalu lama berdiri. Lalu kami baru bubar shalat menjelang fajar”. Saya katakan : Derajat sanad hadits ini shahih sekali. Sesungguhnya Muhammad bin Yusuf, syaikh/guru Imam Malik adalah orang yang terpercaya berdasarkan kesepakatan ahli hadits. Beliau juga dijadikan hujjah oleh Al-Bukhari dan Muslim. Sedangkan As-Saib bin Yazid adalah seorang shahabat yang ikut berthaji

bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala beliau masih kecil. Lalu dari jalur sanad Imam Malik juga, Abu Bakar An-Naisaburi mengeluarkan hadits itu dalam “Al-Fawaid” (I : 153), Al-Firyabi (75 : II-76 : I) dan Al-Baihaqi dalam “As-Sunan Al-Kubra” (I : 196) Riwayat Malik tentang tarawih 11 raka’at tadi diiringi dengan penguat dari Yahya bin Sa’id Al-Qatthan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam “Al-Mushannaf” (II : 89 : 2), juga dengan riwayat dari Isma’il bin Umayyah, Usamah bin Zaid, Muhammad bin Ishaq oleh Imam An-Naisaburi ; juga dengan riwayat Ismail bin Ja’far Al-Madani oleh Ibnu Khuzaimah dalam hadits Ali bin Hajar (IV : 186 : 1). Mereka semua mengatakan : Dari Muhammad bin Yusuf dengan lafazh tadi, kecuali Ibnu Ishaq, beliau mengatakan : “Tiga belas raka’at” demikianlah yang diriwayatkan oleh Ibnu Nashar dalam ‘Qiyamu Al-Lail” (91), dan beliau menambahkan: “Ibnu Ishaq menyatakan : “Tidak pernah aku mendengar dalam masalah itu (yakni bilangan raka’at tarawih pada bulan Ramadhan) riwayat yang lebih shahih dan lebih meyakinkan daripada hadits As-Saib. Yaitu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa melaksanakannya pada malam hari 13 raka’at”. Saya katakan : Jumlah bilangan 13 raka’at ini, hanya diriwayatkan secara menyendiri oleh Ishaq. Dan riwayat itu, bersesuaian dengan riwayat lain dari Aisyah Radhiyallahu ‘anha

Page 9: Shalat Tarawih.doc

9

tentang shalat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di bulan Ramadhan. Hal ini dijelaskan dalam riwayat lain, bahwa termasuk dalam yang 13 rakaat itu dua rakaat sunnah fajar, sebagaimana dalam komentar sebelumnya. Hadits Ibnu Ishaq inipun bisa dipahami dengan cara itu sehingga menyepakati riwayat jama’ah Dari penjelasan terdahulu, dapat dipahami bahwa ucapan Ibnu Abdil Barr : “saya tidak pernah mendengar seorangpun yang mengatakan 11 raka’at, kecuali Imam Malik ; adalah ucapan yang jelas keliru. Al-Mubarakfuri mengomentari dalam “Tuhfatul Ahwadzi (II : 74) : “itu adalah dugaan yang bathil”. Oleh sebab itu, Az-Zarqani juga menyanggahnya dalam “Syarhu Al-Muwattha (I : 25)” dengan ucapannya : “Hal itu tidak sebagaimana yang diucapkannnya (Ibnu Abdil Barr), karena dari jalur sanad yang lain Ibnu Manshur meriwayatkan juga dari Muhamamd bin Yusuf : “11 raka’at”, sebagaimana yang diriwayatkan Imam Malik”. Saya mengatakan : Derajat sanad hadits ini sungguh amat shahih, sebagaimana yang diutarakan oleh Imam As-Suyuthi dalam “Al-Mashabih”, (riwayat) ini saja sudah cukup untuk menyanggah pernyataan Ibnu Abdil Barr. Bagaimana lagi kalau digabungkan dengan beberapa riwayat penguat lainnya yang –saya lihat- tidak

seorangpun yang mendahului saya dalam mengumpulkan riwayat-riwayat itu. Wal hamdulillah ‘ala taufiqihi. [Disalin dari kitab Shalatu At-Tarawih, Edisi Indonesia Shalat Tarwih, Penulis Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Penerjemah Abu Umar Basyir Al-Maidani, Penerbit At-Tibyan] _________ Foote Note [1]. Saya katakan : “Demikianlah kondisi yang terjadi di masa hidup Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu beliau mengimami mereka selam tiga malam. Kemudian beliau meninggalkannya karena takut dianggap wajib atas mereka sebagai hadits Aisyah terdahulu. Sehingga kembalilah kaum muslimin kepada kebiasaan semula, hingga Umar mengumpulkan mereka. Semoga Allah mengganjarinya dengan kebaikan atas jasa beliau terhadap Islam. Ibnu At-Tiien dan yang lainnya berkata : “Umar bin Al-Khattab mengambil kesimpulan, denghan ketetapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan keabsahan shalat orang-orang yang bermakmum kepada beliau pada beberapa malam itu. Kalaupun ada yang beliu benci, hanya sebatas karena beliau khawatir akhirnya menjadi wajib atas mereka. Inilah yang menjadi rahasia kenapa Al-Bukhari mengutip hadits Aisyah yang terdahulu sesudah hadits Umar. Setelah nabi meninggal, kekhawitran itu sudah tidak berlaku lagi. Umar lebih mengutamakan kesimpulan

demikian, karena berpencar-pencarnya kaum muslimin dapat menimbulkan perpecahan. Dan juga karena berjama’ah dengan satu imam itu lebih membawa semanngat bagi banyak orang yang shalat …. Dan terhadap ucapan Umar itu, mayoritas umat lebih cenderung …” [Fathul Bari IV : 203-204] [2]. Yang dimaksud dengan kemungkinan yang pasti : Adalah ketidak adaan penghalang itu sendiri. Contohnya shalat tarawih berjama’ah. Kemungkinan untuk melaksanakan perbuatan itu ada di zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, akan tetapi ada penghalangnya, yaitu takut dianggap wajib. Maka pada saat itu, kemungkinannya tidaklah pasti. [3]. Lihat Al-Ibda Fi Mudhaaril ibtida hal. 22-24

Sumber : http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=1952&bagian=0

Page 10: Shalat Tarawih.doc

10

Kamis, 28 Oktober 2004 07:29:40 WIB

SHALAT TARAWIH Oleh Syaikh Salim bin 'Ied Al-Hilaaly Syaikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid [1]. Pensyari'atannya Shalat tarawih disyari'atkan secara berjama'ah berdasarkan hadits Aisyah Radhiyallahu 'anha. "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pada suatu malam keluar dan shalat di masjid, orang-orang pun ikut shalat bersamanya, dan mereka memperbincangkan shalat tersebut, hingga berkumpullah banyak orang, ketika beliau shalat, mereka-pun ikut shalat bersamanya, mereka meperbincangkan lagi, hingga bertambah banyaklah penghuni masjid pada malam ketiga, Rasulullah Shallalalhu 'alaihi wa sallam keluar dan shalat, ketika malam keempat masjid tidak mampu menampung jama'ah, hingga beliau hanya keluar untuk melakukan shalat Shubuh. Setelah selesai shalat beliau menghadap manusia dan bersyahadat kemudian bersabda. "Artinya : Amma ba'du. Sesungguhnya aku mengetahui perbuatan kalian semalam, namun aku khawatir diwajibkan atas kalian, sehingga kalian tidak mampu

mengamalkannya" Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam wafat dalam keadaan tidak pernah lagi melakukan shalat tarawih secara berjama'ah" [Hadits Riwayat Bukhari 3/220 dan Muslim 761] Ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menemui Rabbnya (dalam keadaan seperti keterangan hadits diatas) maka berarti syari'at ini telah tetap, maka shalat tarawih berjama'ah disyari'atkan karena kekhawatiran tersebut sudah hilang dan 'illat telah hilang (juga). Sesungguhnya 'illat itu berputar bersama ma'lulnya, adanya atau tidak adanya. Dan yang menghidupkan kembali sunnah ini adalah Khulafa'ur Rasyidin Umar bin Al-Khaththab Radhiyallahu 'anhu sebagaimana dikabarkan yang demikian oleh Abdurrahman bin Abdin Al-Qoriy[1] beliau berkata : "Aku keluar bersama Umar bin Al-Khaththab Radhiyallahu 'anhu suatu malam di bulan Ramadhan ke masjid, ketika itu manusia berkelompok-kelompok[2] Ada yang shalat sendirian dan ada yang berjama'ah, maka Umar berkata : "Aku berpendapat kalau mereka dikumpulkan dalam satu imam, niscaya akan lebih baik". Kemudian beliau mengumpulkan mereka dalam satu jama'ah dengan imam Ubay bin Ka'ab, setelah itu aku keluar bersamanya pada satu malam, manusia tengah shalat bersama imam mereka, Umar-pun berkata,

"Sebaik-baik bid'ah adalah ini, orang yang tidur lebih baik dari yang bangun, ketika itu manusia shalat di awal malam".[Dikeluarkan Bukhari 4/218 dan tambahannya dalam riwayat Malik 1/114, Abdurrazaq 7733] [2]. Jumlah Raka'atnya Manusia berbeda pendapat tentang batasan raka'atnya, pendapat yang mencocoki petunjuk Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah delapan raka'at tanpa witir berdasarkan hadits Aisyah Radhiyallahu 'anha. "Artinya : Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah shalat malam di bulan Ramadhan atau selainnya lebih dari sebelas raka'at" [Dikeluarkan oleh Bukhari 3/16 dan Muslim 736 Al-Hafidz berkata (Fath 4/54)] Yang telah mencocoki Aisyah adalah Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma, beliau menyebutkan, "Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menghidupkan malam Ramadhan bersama manusia delapan raka'at kemudian witir[3] Ketika Umar bin Al-Khaththab menghidupkan sunnah ini beliau mengumpulkan manusia dengan sebelas raka'at sesuai dengan sunnah shahihah, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Malik 1/115 dengan sanad yang shahih dari jalan Muhammad bin Yusuf dari Saib bin Yazid, ia berkata : "Umar bin Al-Khaththab menyuruh Ubay bin Ka'ab dan Tamim Ad-

Page 11: Shalat Tarawih.doc

11

Daari untuk mengimami manusia dengan sebelas raka'at". Ia berkata : "Ketika itu imam membaca dua ratus ayat hingga kami bersandar/bertelekan pada tongkat karena lamanya berdiri, kami tidak pulang kecuali ketika furu' fajar" [4] Riwayat beliau ini diselisihi oleh Yazid bin Khashifah, beliau berkata : "Dua puluh raka'at" Riwayat Yazid ini syadz (ganjil/menyelisihi yang lebih shahih), karena Muhammad bin Yusuf lebih tsiqah dari Yazid bin Khashifah. Riwayat Yazid tidak bisa dikatakan ziyadah tsiqah kalau kasusnya seperti ini, karena ziyadah tsiqah itu tidak ada perselisihan, tapi hanya sekedar tambahan ilmu saja dari riwayat tsiqah yang pertama sebagaimana (yang disebutkan) dalam Fathul Mughit (1/199), Muhashinul Istilah hal. 185, Al-Kifayah hal 424-425. Kalaulah sendainya riwayat Yazid tersebut shahih, itu adalah perbuatan, sedangkan riwayat Muhammad bin Yusuf adalah perkataan, dan perkataan lebih diutamakan dari perbuatan sebagaimana telah ditetapkan dalam ilmu ushul fiqh. Abdur Razaq meriwayatkan dalam Al-Mushannaf 7730 dari Daud bin Qais dan lainnya dari Muhammad bin Yusuf dari Saib bin Yazid : "Bahwa Umar mengumpulkan manusia di bulan Ramadhan, dengan dua puluh satu raka'at,

membaca dua ratus ayat, selesai ketika awal fajar" Riwayat ini menyelisihi yang diriwayatkan oleh Malik dari Muhamad bin Yusuf dari Saib bin Yazid, dhahir sanad Abdur Razaq shahih seluruh rawinya tsiqah. Sebagian orang-orang yang berhujjah dengan riwayat ini, mereka menyangka riwayat Muhammad bin Yusuf mudhtharib, hingga selamatlah pendapat mereka dua puluh raka'at yang terdapat dalam hadits Yazid bin Khashifah. Sedangkan mereka ini tertolak, karena hadits mudhtarib adalah hadits yang diriwayatkan dari seorang rawi satu kali atau lebih, atau diriwayatkan oleh dua orang atau lebih dengan lafadz yang berbeda-beda, mirip dan sama, tapi tidak ada yang bisa menguatkan (mana yang lebih kuat). [Tadribur Rawi 1/262] Namun syarat seperti ini tidak terdapat dalam hadits Muhammad bin Yusuf karena riwayat Malik lebih kuat dari riwayat Abdur Razaq dari segi hapalan. Kami ketengahkan hal ini kalau kita anggap sanad Abdur Razaq selamat dari illat (cacat), akan tetapi kenyatannya tidak demikian (karena hadits tersebut mempunyai cacat, pent) kita jelaskan sebagai berikut.

[1]. Yang meriwayatkan Mushannaf dari Abdur Razaq lebih dari seorang, diantaranya adalah Ishaq bin Ibrahim bin Ubbad Ad-Dabari [2]. Hadits ini dari riwayat Ad-Dabari dari Abdur Razaq, dia pula yang meriwayatkan Kitabus Shaum [Al-Mushannaf 4/153] [3]. Ad-Dabari mendengar dari Abdur Razaq karangan-karangannya ketika berumur tujuh tahun [Mizanul I'tidal 1/181] [4]. Ad-Dabari bukan perawi hadits yang dianggap shahih haditsnya, juga bukan seorang yang membidangi ilmu ini [Mizanul I'tidal 1/181] [5] Oleh karena itu dia banyak keliru dalam meriwayatkan dari Abdur Razaq, dia banyak meriwayatkan dari Abdur Razaq hadits-hadits yang mungkar, sebagian ahlul ilmi telah mengumpulkan kesalahan-kesalahan Ad-Dabari dan tashif-tashifnya dalam Mushannaf Abdur Razaq, dalam Mushannaf [Mizanul I'tidal 1/181] Dari keterangan di atas maka jelaslah bahwa riwayat ini mungkar, Ad-Dabari dalam meriwayatkan hadits diselisihi oleh orang yang lebih tsiqah darinya, yang menentramkan hadits ini kalau kita nyatakan kalau hadits inipun termasuk tashifnya Ad-Dabari, dia mentashifkan dari sebelas raka'at (menggantinya menjadi dua puluh satu rakaat), dan engkau telah mengetahui bahwa dia banyak berbuat tashif [Lihat Tahdzibut Tahdzib 6310 dan Mizanul I'tidal 1/181]

Page 12: Shalat Tarawih.doc

12

Oleh karena itu riwayat ini mungkar dan mushahaf (hasil tashif), sehingga tidak bisa dijadikan hujjah, dan menjadi tetaplah sunnah yang shahih yang diriwayatkan di dalam Al-Muwatha' 1/115 dengan sanad Shahih dari Muhammad bin Yusuf dari Saib bin Yazid. Perhatikanlah.[5] [Disalin dari Kitab Sifat Shaum Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam Fii Ramadhan, edisi Indonesia Sipat Puasa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam oleh Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid, terbitan Pustaka Al-Haura, penerjemah Abdurrahman Mubarak Ata] _________ Foote Note. [1]. Dengan tanwin ('abdin) dan (alqoriyyi) dengan bertasydid -tanpa dimudhofkan- lihat Al-Bab fi Tahdzib 3/6-7 karya Ibnul Atsir. [2]. Berkelompok-kelompok tidak ada bentuk tunggalnya, seperti nisa' ibil ... dan seterusnya [3]. Dikeluarkan oleh Ibnu Hibban dalam Shahihnya 920, Thabrani dalam As-Shagir halaman 108 dan Ibnu Nasr (Qiyamul Lail) halaman 90, sanadnya hasan sebagaimana syahidnya. [4] Furu' fajar : awalnya, permulaan [5]. Dan tambahan terperinci mengenai bantahan dari Syubhat ini, maka lihatlah : [a] Al-Kasyfus Sharih 'an Aghlathis Shabun fii Shalatit Tarawih oleh Syaikh

Ali Hasan Abdul Hamid [b] Al-Mashabih fii Shalatit Tarawih oleh Imam Suyuthi, dengan ta'liq Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid, cetakan Dar'Ammar Sumber : http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=1151&bagian=0

Page 13: Shalat Tarawih.doc

13

Selasa, 26 Oktober 2004 11:37:24 WIB

ANJURAN MEMPERBAGUS SHALAT DAN ANCAMAN BAGI SHALAT TANPA ATURAN Oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani Pembaca yang budiman. Kita sekarang sedang dalam bulan penuh ibadah, dan bulan berpuasa ; yaitu bulan Ramadhan nan penuh berkah. Hendaknya di dalam bulan puasa ini kita dapat tampil selaku mukmin yang shalih ; yang taat kepada Rabb-nya, dan mengikuti sunnah Nabi-Nya dalam segala ajaran yang beliau bawa dari Rabb-nya, terutama yang berkaitan dengan menegakkan ibadah nan agung ini ; yakni shalat tarawih. Dalam hal ini, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda. "Artinya : Barangsiapa yang beribadah dibulan Ramadhan ini dengan penuh keimanan dan perhitungan, niscaya akan diampuni baginya dosa-dosanya yang terdahulu". Kita telah mengetahui, hal-hal yang baik sekali lewat pembahasan terdahulu dalam tulisan ini. Diantaranya tata cara shalat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam di bulan

Ramadhan dari sisi kebagusan dan panjangnya. Sebagaimana yang diungkapkan 'Aisyah Radhiallahu 'anha : " ... beliau shalat empat raka'at ; jangan tanya soal bagus dan panjangnya. Kemudian beliau shalat lagi empat raka'at ; jangan tanya juga soal bagus dan panjangnya.." Juga seperti yang diungkapkannya : "..beliau tak bergeming dalam bersujud, selama kalau seorang diantara kamu membaca lima puluh ayat .." Atau seperti yang dituturkan oleh Hudzaifah : "Kemudian beliau membaca surat Al-Baqarah (yakni dalam raka'at pertama), setelah itu beliau ruku'. Dan ruku'nya itu sama panjang dengan berdirinya tadi ... " Kemudian ia menceritakan bahwa berdirinya beliau sesudah ruku' dan sujudnya beliaupun sepanjang/selama itu juga. Kitapun mengetahui, bahwa para ulama As-Salaf pada masa Umar Radhiallahu 'anhu juga biasa memanjangkan bacaan pada shalat tarawih, sehingga dalam shalat itu mereka membaca tak kurang dari tiga ratus ayat, sampai-sampai mereka terpaksa bertelekan pada tongkat-tongkat mereka karena oleh sebab lamanya berdiri. Dan mereka hanya baru usai menunaikan shalat menjelang fajar.[1] Semua ini harus menjadi motivator bagi kita sekalian untuk sebisa mungkin menjadikan shalat tarawih kita mendekati kualitas shalat mereka. Hendaknya kita memanjangkan bacaannya, memperbanyak membaca tasbih dan dzikir dalam ruku', sujud dan diantara

keduanya [2], sehingga kita dapat merasakan --meskipun hanya sedikit-- satu kekhusyu'an yang merupakan ruh dan saripati dari shalat itu sendiri. Kekhusyu'an inilah yang dilalaikan oleh banyak orang yang melakukan shalat itu saking bernafsunya mereka mengejar shalat 20 raka'at yang mereka yakini dari Umar ! Mereka takperdulikan lagi tuma'ninah. Bahkan mereka shalat ibarat ayam mematuk. Seolah-olah mereka itu alat ataupun perangkat yang naik turun dengan cepat, sehingga mereka tak sempat lagi merenungkan ayat-ayat Allah yang mereka dengar. Sampai-sampai orang lainpun hanya bisa mengikuti mereka kalau berusaha setengah mati !. Saya ungkapkan hal ini, dengan tetap menyadari bahwa tidak sedikit diantara para imam masjid pada akhir-akhir ini yang mulai sadar dengan kondisi shalat tarawihnya yang sudah sampai sedemikian bobroknya. Merekapun kembali melaksanakannya dengan 11 raka'at yang diimbangi dengan tuma'ninah dan kekhusyu'an. Semoga Allah menambah taufik-Nya atas mereka untuk mengamalkan dan menghidupkan As-Sunnah. Orang-orang semacam mereka itu banyak terdapat di Damaskus dan di tempat-tempat lain. Hadist-hadits Yang Menganjurkan Dibaguskannya Shalat, Serta Mengancam Shalat Yang Tanpa Aturan Sebagai support bagi mereka agar terus memperbagus dan menambah kualitas shalat,

Page 14: Shalat Tarawih.doc

14

serta sebagai peringatan bagi mereka untuk tidak shalat serampangan, saya akan membeberkan beberapa hadits shahih yang diriwayatkan berkaitan dengan anjuran memperbagus shalat dan ancaman terhadap mereka yang shalat tanpa aturan. Saya katakan. Yang Pertama : Dari Abu Hurairah Radhiallahu anhu diceritakan bahwa seorang lelaki pernah masuk masjid dan shalat, sedangkan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berada di pojok masjid tersebut. (Seusai shalat) Ia mendatangi beliau seraya mengucapkan salam. Setelah menjawab salamnya, beliau bersabda : "Shalatlah kamu,sesungguhnya tadi kamu belum shalat ". Orang itu balik lagi dan kembali shalat. Lalu menemui beliau lagi dan memberi salam. Setelah menjawab salamnya, beliau bersabda lagi : "Shalatlah kamu, sesungguhnya kamu belum lagi shalat". Pada kali yang ketiga lelaki itu berujar : "Tolong ajarkan aku". Beliaupun bersabda : "Apabila kamu hendak shalat, maka berwudhulah dengan sempurna kemudian menghadaplah kearah kiblat dan bertakbirlah. Lalu bacalah ayat Al-Qur'an yang mudah bagimu, kemudian ruku'lah, hingga kamu tuma'ninah dalam ruku'. Lalu tegaklah berdiri, hingga kamu berdiri lurus. kemudian bersujudlah hingga kamu tuma'ninah dalam sujud. Lalu bangkitlah

dari sujud hingga kamu tuma'ninnah dalam duduk. Kemudian bersujud lagi hingga kamu tuma'ninah dalam sujud. Kemudian bangkitlah dari sujud, hingga kamu tegak berdiri. Kemudian lakukanlah itu dalam shalat kamu seluruhnya". Diriwayatkan oleh Al-Bukhari (II : 1919, 219, 222, XI : 31, 467) Muslim (II : 10,11) dan lain-lain. Yang Kedua : Dari Abu Mas'ud Al-Badri, bahwa ia berkata : Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda. "Artinya : Shalat seseorang itu tidak shah, sebelum ia meluruskan punggungnya baik dalam ruku' maupun sujud". Diriwayatkan oleh Abu Dawud (I : 136), An-Nasa'i (I : 157), At-Tirmidzi (II : 51), Ibnu Majah (I : 284), Ad-Darimi (I : 304), Ath-Thahawi dalam "Al-Musykil" (I : 80), Ath-Thayalisi (I : 97), Ahmad (IV : 119) dan Ad-Daruquthni (hal 133) dan beliau berkomentar : "Sanadnya shahih sekali". Dan memang demikianlah adanya. Al-A'masy jelas meriwayatkannya dengan ucapan : "Telah berbicara kepadaku ..." dalam riwayat Ath-Thayalisi. Yang Ketiga :

Dari Abu Hurairah Radhiallahu 'anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda. "Sesungguhnya manusia yang paling jelek cara malingnya adalah orang yang mencuri dari shalat-nya". Mereka bertanya : "Wahai Rasulullah, bagaimana ia bisa mencuri dari shalatnya ?" Beliau menjawab : "Bisa, yaitu ketika ia tidak menyempurnakan ruku' dan sujudnya". Dikeluarkan oleh Al-Hakim (I : 229), beliau menshahihkannya dan disepakati oleh Adz-Dzahabi. Hadits itu juga memiliki penguat dari hadits Abu Qatadah dan yang lainnya dalam riwayat Imam Malik (I : 181) dari hadits Nu'man bin Murrah. Sanadnya shahih, tapi Mursal (terputusnya sanad dari Malik hingga Rasul). Riwayat lain oleh Ath-Thayalisi, dari hadits Abu Sa'id (I : 97) dan dishahihkan oleh Imam As-Suyuthi dalam bukunya "Tanwirul Hawalik". Yang Keempat : Dari para panglima perang ; Amru bin Al-'Ash, Khalid bin Al-Walid, Syurahbil bin Hasanah dan Yazid bin Abu Sufyan ; mereka semua bertutur. "Artinya : Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah melihat seorang lelaki yang tidak menyempurnakan ruku' dan sujud ibarat ayam mematuk sedangkan ia dalam shalat. Maka beliau bersabda : "Seandainya lelaki ini

Page 15: Shalat Tarawih.doc

15

meninggal dalam kondisi semacam itu, berarti ia meninggal diluar garis agama Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam [ia mematuk dalam shalatnya itu tak ubahnya bagai seekor gagak yang mematuki darah !] Perumpamaan orang yang tak menyempurnakan ruku; dan ibarat ayam mematuk itu, seperti orang lapar yang makan satu dua biji kurma, artinya ia tak akan mendapat pahala sama sekali". Diriwayatkan oleh Al-Ajurri dalam "Al-Arba'in", Al-Baihaqi (II : 89) dengan derajad sanad yang hasan. Al-Mundziri berkomentar (I : 182) :"Hadits ini diriwayatkn oleh Ath-Thabrani dalam "Al-Kabir" dan Abu Ya'la dengan sanad yang hasan serta Ibnu Khuzaimah dalam shahihnya. Yang Kelima : Dari Thalaq bin Ali Radhiallahu 'anhuma bahwa beliau berkata : Rasulullah Shallalalhu 'alaihi wa sallam berbsada : "Artinya : Allah tak akan mamandang shalat seorang hamba yang tidak menegakkan punggunngnya ketika ruku dan sujud". Dikeluarkan oleh Ahmad (IV : 22), Ath-Thabrani dalam "Al-Kabir", Adh-Dhayya Al-Maqdisi dalam "Al-Mukhtarah" (II : 37) dan derajad sanadnya shahih. Hadits itu memiliki penguat dalam "Al-Musnad" (II :

525). Para perawinya terpercaya dan dishahihkan oleh Al-Hafizh Al-Iraqi dalam "Takhriju Al-Ihya" (I/132). Al-Mundziri berkomentar (I: 183) : "Sanadnya bagus !" [3] Yang Keenam : Dari Ammar bin Yasir Radhiallahu 'anhu bahwa beliau berkata : Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda. "Sesungguhnya seorang hamba itu terkadang shalat, namun hanya dicatat ganjarannya seper sepuluh, seper sembilan, seper delapan, seper tujuh, seper enam, seper lima, seper empat, seper tiga, atau setengahnya" [4] Diriwayatkan oleh Abu Daud (I : 127), Al-Baihaqi (II : 281) dan Ahmad (IV : 319-321), dari dua jalur sanad. Salah satunya dishahihkan oleh Al-Hafizh Al-Iraqi dan dikeluarkan oleh Ibnu Hibban dalam Shahihnya, sebagiamana juga dinyatakan dalam "At-Taqrib" (I: 184) Yang Ketujuh : Dari Abdullah bin Asy-Syikhir, bahwa ia bertutur : "Artinya : Aku pernah mendatangi Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika beliau sedang shalat. Dari dalam perutnya terdengar gemericik, seperti gemerciknya air (yang dimasak) dalam panci ; yakni karena tangisan". Diriwayatkan oleh Abu Dawud (I : 243), An-

Nasa'i (I : 179), Al-Baihaqi (II : 251), dan Ahmad (IV : 25,26) dengan derajad sanad yang shahih berdasarkan persyaratan Muslim. Diriwayatkan juga oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban masing-masing dalam Shahihnya, sebagainya juga diriwayatkan dalam "Shahih At-Trghib wa At-Tarhib" (No. 5445). Hadits-hadits nan mulia ini, secara umum dan bebas meliputi seluruh jenis shalat. Baik itu shalat wajib maupun sunnat, baik itu siang maupun malam. Sehubungan dengan shalat tarawih, para ulama telah mengingatkan pentingnya hal ini. Imam An-Nawawi dalam "Al-Adzkar" (IV : 297) dengan penjelasan Ibnu 'Allan pada bab dzikir-dzikir shalat tarawih menyatakan : "Tata cara shalat ini (tarawih) seperti juga shalat-shalat yang lain yang telah dijelaskan sebelumnya. Maka didalamnya disyari'atkan do'a-do'a tersebut, seperti doa Al-Istiftah, membaca dengan sempurna dzikir-dzikir yang lain, melengkapinya dengan tasyahud dan doa sesudahnya serta hal-hal yang lain. Hal ini, meskipun dhahirnya sudah kita ketahui, namun saya sengaja mengingatkannya karena saya lihat kebanyakan manusia meremehkannya, sehingga mereka meninggalkan sebagian dzikir-dzikirnya. Padahal yang benar adalah apa yang telah kami paparkan". Al-Amiri dalam "Bajhatul Mahafil wa Bughyatu Al-Amatsil fi Talkhisi As-Siyari wal Mu'jizati wa Asy-Syamail" Pada akhir buku itu

Page 16: Shalat Tarawih.doc

16

menyatakan : Termasuk kekeliruan yang perlu diperhatikan dan diingat-ingat adalah apa yang menjadi kebiasaan banyak para imam shalat tarawih, dimana mereka membaca ayat dengan cepat, melakukan rukun-rukunnya dengan diringan-ringankan, dan membuang dzikir-dzikir didalamnya. Padahal para ulama telah menyatakan : Tata cara shalat itu tak beda dengan shalat-shalat lainnya, baik dalam syarat, adab-adab dan dzikir-dzikirnya, seperti ; do'a istiftah, dzikir-dzikir pada setiap rukun, doa seusai tasyahud, dan lain-lain. Diantaranya lagi, kebiasaaan mencari-cari ayat "Rahmat", dimana mereka hanya ruku' setelah membaca ayat-ayat tersebut. Terkadang hal itu menggiring mereka untuk melalaikan dua hal penting yang termasuk adab-adab shalat dan bacaan, yaitu : Lebih memanjangkan raka'at pertama dari kedua, dan memahami makna firman Allah yang saling terkait satu dengan yang lain. Penyebab semua adalah : Sikap meremehkan sunnah-sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sehingga hilanglah sunnah-sunnah itu, karena jarang digunakan. Sehingga orang yang menggunakannya malah dianggap asing ditengah umumnya manusia, karena menyelisihi kebiasaan mayoritas, dan itu akibat kerusakan zaman. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sendiri pernah mengingatkan :

"Artinya : Hari Kiamat baru akan datang, apabila yang benar sudah dianggap salah, dan yang salah sudah dianggap benar". Maka hendaknya, kita sekalian berpegang teguh pada As-Sunnah. Kita harus berupaya menggapainya ; barangsiapa yang mengikuti kita (dalam As-Sunnah) maka ia akan berhasil, selamat dan bahagia. As-Sayyid Al-Jalil Abu Ali Al-Fudhail bin Iyyadh Rahimahullahu Ta'ala wa Radhiallahu 'anhu - semoga Allah melimpahkan manfaat karena beliau-- menyatakan : "Janganlah kamu merasa phobi dengan jalan-jalan kebenaran karena sedikit peminatnya, dan jangan kamu terpedaya dengan banyaknya jumlah orang-orang yang akan binasa" [Disalin dari buku Shalatu At-Tarawih, edisi Indonesia Shalat Tarawih Penyusun Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, terbitan Pustaka At-Tibyan hal. 151-162, Penerjemah Abu Umar Basyir Al-Maidani] _________ Foote Note. [1] Para penulis "Al-Ishabah" sungguh tak mengacuhkan hal ini. Mereka tak sedikitpun menyinggung-nyinggung persoalan ini, atau menulis satu kata saja berkenaan dengan ini, dalam upaya mendorong umat untuk melakukannya. Seolah-olah hal itu tak penting bagi mereka sama sekali, tetapi

mereka justru habis-habisan mengurus persoalan lain ; yaitu mempertahankan shalat 20 raka'at, bagaimanapun cara pelaksanaannya. Meskipun bertentangan dengan cara shalat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam baik dari sisi kualitas maupun kuantitas! Padahal salah seorang diantara mereka adalah imam masjid. Coba kita lihat bagaimana dia melakukan shalatnya. [2]. Untuk mengetahui dzikir-dzikir tersebut, silahkan gunakan buku kami " Shifat Shalat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam". Sesungguhnya buku itu adalah buku yang paling shahih dan lengkap dalam pembahasan itu, Alhamdulillah. [3]. Adapun keraguna perawi (yang meriwayatkan) dari Thalaq, tak membikin hadits itu cacat. [4]. Yang dimaksudkan, bahwa ganjaran itu beragam, karena perbedaan orang yang shalat dalam kekhusyu'an, daya renungnya dan hal-hal lain yang menimbulkan kesempurnaan (Lihat "Al-Faidhul Qadir oleh Al-Manawi).

Sumber : http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=1143&bagian=0

Page 17: Shalat Tarawih.doc

17

Kategori Bid'ah Dan Bahayanya Rabu, 10 Maret 2004 16:49:28 WIB

PENGERTIAN BID'AH MACAM-MACAM BID'AH DAN HUKUM-HUKUMNYA Oleh Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan PENGERTIAN BID'AH Bid'ah menurut bahasa, diambil dari bida' yaitu mengadakan sesuatu tanpa ada contoh. Sebelumnya Allah berfirman. Badiiu' as-samaawaati wal ardli "Artinya : Allah pencipta langit dan bumi" [Al-Baqarah : 117] Artinya adalah Allah yang mengadakannya tanpa ada contoh sebelumnya. Juga firman Allah. Qul maa kuntu bid'an min ar-rusuli "Artinya : Katakanlah : 'Aku bukanlah rasul yang pertama di antara rasul-rasul". [Al-Ahqaf : 9]. Maksudnya adalah : Aku bukanlah orang yang pertama kali datang dengan risalah ini dari Allah Ta'ala kepada hamba-hambanya,

bahkan telah banyak sebelumku dari para rasul yang telah mendahuluiku. Dan dikatakan juga : "Fulan mengada-adakan bid'ah", maksudnya : memulai satu cara yang belum ada sebelumnya. Dan perbuatan bid'ah itu ada dua bagian : [1] Perbuatan bid'ah dalam adat istiadat (kebiasaan) ; seperti adanya penemuan-penemuan baru dibidang IPTEK (juga termasuk didalamnya penyingkapan-penyingkapan ilmu dengan berbagai macam-macamnya). Ini adalah mubah (diperbolehkan) ; karena asal dari semua adat istiadat (kebiasaan) adalah mubah. [2] Perbuatan bid'ah di dalam Ad-Dien (Islam) hukumnya haram, karena yang ada dalam dien itu adalah tauqifi (tidak bisa dirubah-rubah) ; Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Artinya : Barangsiapa yang mengadakan hal yang baru (berbuat yang baru) di dalam urusan kami ini yang bukan dari urusan tersebut, maka perbuatannya di tolak (tidak diterima)". Dan di dalam riwayat lain disebutkan : "Artinya : Barangsiapa yang berbuat suatu amalan yang bukan didasarkan urusan kami, maka perbuatannya di tolak". MACAM-MACAM BID'AH Bid'ah Dalam Ad-Dien (Islam) Ada Dua

Macam : [1] Bid'ah qauliyah 'itiqadiyah : Bid'ah perkataan yang keluar dari keyakinan, seperti ucapan-ucapan orang Jahmiyah, Mu'tazilah, dan Rafidhah serta semua firqah-firqah (kelompok-kelompok) yang sesat sekaligus keyakinan-keyakinan mereka. [2] Bid'ah fil ibadah : Bid'ah dalam ibadah : seperti beribadah kepada Allah dengan apa yang tidak disyari'atkan oleh Allah : dan bid'ah dalam ibadah ini ada beberapa bagian yaitu : [a]. Bid'ah yang berhubungan dengan pokok-pokok ibadah : yaitu mengadakan suatu ibadah yang tidak ada dasarnya dalam syari'at Allah Ta'ala, seperti mengerjakan shalat yang tidak disyari'atkan, shiyam yang tidak disyari'atkan, atau mengadakan hari-hari besar yang tidak disyariatkan seperti pesta ulang tahun, kelahiran dan lain sebagainya. [b]. Bid'ah yang bentuknya menambah-nambah terhadap ibadah yang disyariatkan, seperti menambah rakaat kelima pada shalat Dhuhur atau shalat Ashar. [c]. Bid'ah yang terdapat pada sifat pelaksanaan ibadah. Yaitu menunaikan ibadah yang sifatnya tidak disyari'atkan seperti membaca dzikir-dzikir yang disyariatkan dengan cara berjama'ah dan suara yang keras. Juga seperti membebani diri (memberatkan diri) dalam ibadah sampai keluar dari batas-

Page 18: Shalat Tarawih.doc

18

batas sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam [d]. Bid'ah yang bentuknya menghususkan suatu ibadah yang disari'atkan, tapi tidak dikhususkan oleh syari'at yang ada. Seperti menghususkan hari dan malam nisfu Sya'ban (tanggal 15 bulan Sya'ban) untuk shiyam dan qiyamullail. Memang pada dasarnya shiyam dan qiyamullail itu di syari'atkan, akan tetapi pengkhususannya dengan pembatasan waktu memerlukan suatu dalil. HUKUM BID'AH DALAM AD-DIEN Segala bentuk bid'ah dalam Ad-Dien hukumnya adalah haram dan sesat, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam "Artinya : Janganlah kamu sekalian mengada-adakan urusan-urusan yang baru, karena sesungguhnya mengadakan hal yang baru adalah bid'ah, dan setiap bid'ah adalah sesat". [Hadits Riwayat Abdu Daud, dan At-Tirmidzi ; hadits hasan shahih]. Dan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam "Artinya : Barangsiapa mengadakan hal yang baru yang bukan dari kami maka perbuatannya tertolak".

Dan dalam riwayat lain disebutkan : "Artinya : Barangsiapa beramal suatu amalan yang tidak didasari oleh urusan kami maka amalannya tertolak". Maka hadits tersebut menunjukkan bahwa segala yang diada-adakan dalam Ad-Dien (Islam) adalah bid'ah, dan setiap bid'ah adalah sesat dan tertolak. Artinya bahwa bid'ah di dalam ibadah dan aqidah itu hukumnya haram. Tetapi pengharaman tersebut tergantung pada bentuk bid'ahnya, ada diantaranya yang menyebabkan kafir (kekufuran), seperti thawaf mengelilingi kuburan untuk mendekatkan diri kepada ahli kubur, mempersembahkan sembelihan dan nadzar-nadzar kepada kuburan-kuburan itu, berdo'a kepada ahli kubur dan minta pertolongan kepada mereka, dan seterusnya. Begitu juga bid'ah seperti bid'ahnya perkataan-perkataan orang-orang yang melampui batas dari golongan Jahmiyah dan Mu'tazilah. Ada juga bid'ah yang merupakan sarana menuju kesyirikan, seperti membangun bangunan di atas kubur, shalat berdo'a disisinya. Ada juga bid'ah yang merupakan fasiq secara aqidah sebagaimana halnya bid'ah Khawarij, Qadariyah dan Murji'ah dalam perkataan-perkataan mereka dan keyakinan Al-Qur'an dan As-Sunnah. Dan ada juga bid'ah yang merupakan maksiat seperti bid'ahnya orang

yang beribadah yang keluar dari batas-batas sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan shiyam yang dengan berdiri di terik matahari, juga memotong tempat sperma dengan tujuan menghentikan syahwat jima' (bersetubuh). Catatan : Orang yang membagi bid'ah menjadi bid'ah hasanah (baik) dan bid'ah syayyiah (jelek) adalah salah dan menyelesihi sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam : "Artinya : Sesungguhnya setiap bentuk bid'ah adalah sesat". Karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menghukumi semua bentuk bid'ah itu adalah sesat ; dan orang ini (yang membagi bid'ah) mengatakan tidak setiap bid'ah itu sesat, tapi ada bid'ah yang baik ! Al-Hafidz Ibnu Rajab mengatakan dalam kitabnya "Syarh Arba'in" mengenai sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam : "Setiap bid'ah adalah sesat", merupakan (perkataan yang mencakup keseluruhan) tidak ada sesuatupun yang keluar dari kalimat tersebut dan itu merupakan dasar dari dasar Ad-Dien, yang senada dengan sabdanya : "Artinya : Barangsiapa mengadakan hal baru yang bukan dari urusan kami, maka perbuatannya ditolak". Jadi setiap orang yang mengada-ada sesuatu kemudian menisbahkannya kepada Ad-Dien, padahal tidak ada dasarnya dalam Ad-Dien sebagai

Page 19: Shalat Tarawih.doc

19

rujukannya, maka orang itu sesat, dan Islam berlepas diri darinya ; baik pada masalah-masalah aqidah, perbuatan atau perkataan-perkataan, baik lahir maupun batin. Dan mereka itu tidak mempunyai dalil atas apa yang mereka katakan bahwa bid'ah itu ada yang baik, kecuali perkataan sahabat Umar Radhiyallahu 'anhu pada shalat Tarawih : "Sebaik-baik bid'ah adalah ini", juga mereka berkata : "Sesungguhnya telah ada hal-hal baru (pada Islam ini)", yang tidak diingkari oleh ulama salaf, seperti mengumpulkan Al-Qur'an menjadi satu kitab, juga penulisan hadits dan penyusunannya". Adapun jawaban terhadap mereka adalah : bahwa sesungguhnya masalah-masalah ini ada rujukannya dalam syari'at, jadi bukan diada-adakan. Dan ucapan Umar Radhiyallahu 'anhu : "Sebaik-baik bid'ah adalah ini", maksudnya adalah bid'ah menurut bahasa dan bukan bid'ah menurut syariat. Apa saja yang ada dalilnya dalam syariat sebagai rujukannya jika dikatakan "itu bid'ah" maksudnya adalah bid'ah menurut arti bahasa bukan menurut syari'at, karena bid'ah menurut syariat itu tidak ada dasarnya dalam syariat sebagai rujukannya. Dan pengumpulan Al-Qur'an dalam satu kitab, ada rujukannya dalam syariat karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah

memerintahkan penulisan Al-Qur'an, tapi penulisannya masih terpisah-pisah, maka dikumpulkan oleh para sahabat Radhiyallahu anhum pada satu mushaf (menjadi satu mushaf) untuk menjaga keutuhannya. Juga shalat Tarawih, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah shalat secara berjama'ah bersama para sahabat beberapa malam, lalu pada akhirnya tidak bersama mereka (sahabat) khawatir kalau dijadikan sebagai satu kewajiban dan para sahabat terus sahalat Tarawih secara berkelompok-kelompok di masa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam masih hidup juga setelah wafat beliau sampai sahabat Umar Radhiyallahu 'anhu menjadikan mereka satu jama'ah di belakang satu imam. Sebagaimana mereka dahulu di belakang (shalat) seorang dan hal ini bukan merupakan bid'ah dalam Ad-Dien. Begitu juga halnya penulisan hadits itu ada rujukannya dalam syariat. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memerintahkan untuk menulis sebagian hadits-hadist kepada sebagian sahabat karena ada permintaan kepada beliau dan yang dikhawatirkan pada penulisan hadits masa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam secara umum adalah ditakutkan tercampur dengan penulisan Al-Qur'an. Ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah wafat, hilanglah kekhawatiran tersebut ; sebab Al-Qur'an sudah sempurna dan telah

disesuaikan sebelum wafat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Maka setelah itu kaum muslimin mengumpulkan hadits-hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, sebagai usaha untuk menjaga agar supaya tidak hilang ; semoga Allah Ta'ala memberi balasan yang baik kepada mereka semua, karena mereka telah menjaga kitab Allah dan Sunnah Nabi mereka Shallallahu 'alaihi wa sallam agar tidak kehilangan dan tidak rancu akibat ulah perbuatan orang-orang yang selalu tidak bertanggung jawab. [Disalin dari buku Al-Wala & Al-Bara Tentang Siapa Yang harus Dicintai & Harus Dimusuhi oleh Orang Islam, oleh Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan, terbitan At-Tibyan Solo, hal 47-55, penerjemah Endang Saefuddin.] Sumber : http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=439&bagian=0