senin, 20 desember 2010 | media indonesia menembus … · pesan moral kepada semua karyawan bahwa...

1
CEO Talks | 19 SENIN, 20 DESEMBER 2010 | MEDIA INDONESIA Y AMDENA, Raja Am- pat, Koprol, Sangir Talaut, dan Simeulue mungkin merupakan nama tempat yang asing di telinga kita. Tempat-tempat itu merupakan daerah terpencil di Indonesia yang sulit dijangkau dengan transportasi modern. Meski demikian, bukan berarti tidak ada kegiatan per- ekonomian di sana. Keberadaan bank untuk mendukung per- ekonomian setempat pun men- jadi suatu kebutuhan. “Kita bicara Pulau Yamdena, Ambon sebelah tenggara. Ha- nya 35 menit dari Darwin (kota di Australia), tapi 6,5 jam dari Jakarta. Kita berangkat de- ngan pesawat kecil. Dari situ, ada pulau lagi bawah, Pulau Selaru dan Pulau Koprol. Ke situ 8 jam dengan kapal, hanya akses kapal.” Demikian Direktur Utama PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI) Sofyan Basir men- ceritakan pengalamannya me- ngunjungi jaringan BRI di wilayah terpencil Tanah Air, saat dijumpai di kantornya, pekan lalu. Bahkan, ketika menilik kantor BRI di satu daerah terpencil di Irian, ia harus rela menumpang sepeda motor. Cerita lainnya, butuh pengawalan ten- tara untuk mengantar uang tunai miliaran ru- piah ke kantor BRI ter- sebut. Satu hal, menu- rut Sofyan, yang tidak pernah terbayangkan dilaku- kan perbankan modern. “Kalau kita tidak datang, sia- pa yang bisa menangkap sinyal di tempat itu? Tak mungkin tiba-tiba bank swasta yang kota sekali mau ke situ,” cetusnya. Secara nasional, BRI sudah memiliki sekitar 6.700 jarin- gan kantor hingga di pelosok- pelosok. Di antaranya, sekitar 5.400 kantor sudah dibangun secara daring dalam kurun empat tahun. Setitik demi setitik, ujarnya, kami men- ghubungkan dan membangun BRI. “Kami menembus batas,” tegas Sofyan. Ke depan, bank pelat merah itu berniat membuka jaringan ke daerah yang lebih terpencil. Daerah yang belum tersentuh perbankan. Dengan demikian, keberadaan BRI akan menjadi jantung perekonomian setem- pat. “Kalau tidak ada BRI, me- reka taruh uang dalam lemari,” selorohnya. Menurut Sofyan, para nasa- bah di tempat-tempat terpencil dan perdesaan juga membu- tuhkan teknologi. Maka BRI terpanggil untuk memberikan pelayanan yang lebih kepada para nasabahnya di perdesaan, maupun tempat-tempat terpen- cil. “Orang desa juga happy dengan online . Ka- lau mau kirim uang buat anaknya jadi mudah. Itu yang menjadikan kami dari desa bisa sampai ke kota,” ucap pria kela- hiran Bogor tahun 1958 ini. Memberi semangat Sebagai seorang pemimpin perusahaan, Sofyan berprin- sip ia bukan apa-apa tanpa karyawannya yang merupakan eksekutor di lapangan. Tidak mengherankan jika Sofyan ti- dak segan menyambangi para karyawan hingga di wilayah- wilayah pelosok untuk mem- beri dukungan. Untuk me- nyampaikan langsung, di mana pun mereka berada bahwa mereka adalah anaknya. “Saat saya datang, karyawan yang mau pensiun pas ketemu happy bukan main. Kami ingin menyampaikan kepada mereka (karyawan), di ujung mana pun terjauh, kami melihat kamu. Kami bersama-sama memberi- kan spirit,” tutur Sofyan. Selama lima tahun terakhir, Sofyan mengaku ia sudah men- datangi kantor-kantor BRI di tempat-tempat terpencil. Walaupun belum semua 6.700 kantor BRI didatangi, ia ingin memberi contoh kepada direksi, kepala divisi, serta bawahannya yang lain dengan mendatangi kantor-kantor BRI di tempat-tempat terkecil. “Yang paling jauh itu sudah bisa kami datangi. Jadi saat kita perintahkan ke bawahan, kepada direksi, kepada kepala divisi, mereka siap jalan. Ka- rena yang paling sulit sudah kami lalui, mereka tidak ada alternatif,” ujarnya. Dengan contoh yang diberikan, ia berharap rasa kekeluargaan yang tinggi di antara karyawan BRI terus terjaga. Jika ti- dak punya kekeluargaan yang tinggi, lanjutnya, bisa-bisa kantor BRI di tengah pulau terpencil hilang. “Kantor saya bisa hilang di tengah pulau. Tinggal po- tong komputer, uangnya se- tengah miliar dibagi-bagi,” cetusnya. Ia pun ingin menyampaikan pesan moral kepada semua karyawan bahwa para kar- yawan yang berada di tempat- tempat terpencil benar-benar mencari rupiah dengan inte- gritas tinggi. “Kamu yang di kota hati- hati bekerja, ada bagian ru- piah yang mereka kais di ujung sana,” ungkapnya. Lebih lanjut, Sofyan meng- ungkapkan bahwa dalam me- mimpin suatu perusahaan, seorang CEO memerlukan perasaan yang kuat, bukan sekadar rasionalitas. Seorang CEO pun harus kuat dalam mengarahkan para karyawan. Termasuk, kata dia, mengingat- kan karyawan bahwa kerja adalah bagian dari ibadah. “Kita ingin itu menjadi se- mangat filosofi kehidupan mereka,” ujar alumnus Sekolah Tinggi dan Akademi Trisakti ini. Ke kota Kendati tetap konsisten un- tuk eksis di perdesaan dan wilayah terpencil, Sofyan tidak berniat mengabaikan peluang di perkotaan. Dulu, tuturnya, orang-orang mengatakan wi- layah perkotaan bukan lahan bisnis BRI. Soalnya, BRI sudah identik sebagai brand wong cilik. Namun, Sofyan yakin potensi pasar perbankan di perkotaan masih terbuka lebar. Apalagi sebesar 70% jumlah uang ber- putar terdapat di kota. Begitu pun para intelektual muda, manajer muda, dan pekerja bergaji besar. “Saya pernah ditanyai para wartawan ketika membentuk direktorat consumer banking. Saya tanya balik, siapa yang bisa angkat kartu ATM BRI dari dompetnya saya kasih Rp5 juta. Dari 80 orang wartawan itu, tidak ada yang punya. Jadi saya bilang, saya yakin apapun kamu bicara, saya masuk kota,” tutur Sofyan. Namun, tegasnya, itu tidak berarti BRI bergeser kepada segmen pasar baru. Yang me- reka lakukan adalah meng- garap sebuah potensi. Ke de- pan, BRI akan terus menggarap baik pasar perdesaan maupun perkotaan. Adapun jika dilihat dari komposisinya, nasabah BRI masih lebih banyak di perde- saan. Itu terbukti dari jumlah nasabah produk tabungan Simpedes yang mencapai seki- tar 17 juta-20 juta. Sementara itu, jumlah nasabah produk tabungan Britama yang terdiri dari orang kota hanya sekitar 5 juta-6 juta orang. “Nasabah perdesaan luar biasa. Mereka bisa mencari makan karena sumber daya alam mereka luar biasa, kecuali musim paceklik berlebihan. Justru banyak yang miskin itu di perkotaan, pinggir kota, daerah kumuh. Itu kemiskinan absolut ada di sana,” cetus Sofyan. Soal jaringan, target 6 ribu kantor pada tahun ini terlewati dengan hadirnya konsep Teras BRI. Konsep Teras BRI merupa- kan sebuah kios yang ditujukan untuk para nasabah pedagang pasar yang butuh modal cepat dengan jumlah sekitar Rp1 juta-Rp5 juta. Lebih lanjut, konsep Teras BRI akan mengeliminasi rente- nir atau lintah darat yang se- lama ini memberi pinjaman de- ngan bunga mencekik. Sofyan menjelaskan bahwa Teras BRI jelas memberikan bunga pin- jaman yang umum, yaitu seki- tar 22%. “Konsep lebih mikro, di ba- wah BPR (bank perkreditan rakyat). Hari ini butuh modal, besok bisa balik,” imbuhnya. Walaupun kontribusinya masih kecil jika dibandingkan dengan kantor unit, Teras BRI masih akan ditambah lagi se- banyak 600 unit pada tahun depan. Sofyan menyebutkan, hal itu dilakukan untuk mem- bendung bank-bank lain di segmen mikro. Bahkan kalau bisa BRI menurunkan bunga terus agar bank-bank lain sukar masuk. Dalam jangka panjang, bankir senior itu bercita-cita menjadikan BRI sebagai na- tional payment agent terbesar. Dari desa sampai ke kota. Un- tuk itu BRI telah menyiapkan infrastruktur, tur, dan produk yang bersanding dengan per- bankan modern. Juga tentunya, menyiapkan sumber daya ma- nusia yang andal. (E-3) marchelo@ mediaindonesia.com Menembus Batas hingga Pelosok Sofyan Basir Lahir: Bogor, 1958 Pendidikan & pelatihan • 1980 Diploma STAK Trisakti • Eksekutif Manajemen Risiko, Denpasar • Islamic Finance Forum, Swiss • Seminar Business Continuity Planning, Ernst & Young Sespibank, Jakarta • Strategy Development Session, IBM • Structuring Loans & Short Term, The Institute of Banking & Finance Karier: • 1981 Bank Duta • 1986 Bank Bukopin - Pemimpin cabang Bank Bukopin - Direktur Komersial Bank Bukopin - Direktur Utama Bank Bukopin • 2005-sekarang Direktur Utama BRI Seorang CEO memerlukan perasaan yang kuat, bukan sekadar rasionalitas. Marchelo Kami ingin menyampaikan kepada mereka (karyawan), di ujung mana pun terjauh, kami melihat kamu.” DOK. HUMAS BRI

Upload: others

Post on 27-Dec-2019

4 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

CEO Talks | 19 SENIN, 20 DESEMBER 2010 | MEDIA INDONESIA

YAMDENA, Raja Am-pat, Koprol, Sangir Talaut, dan Simeulue mungkin merupakan

nama tempat yang asing di telinga kita. Tempat-tempat itu merupakan daerah terpencil di Indonesia yang sulit dijangkau dengan transportasi modern.

Meski demikian, bukan

berarti tidak ada kegiatan per-ekonomian di sana. Keberadaan bank untuk mendukung per-ekonomian setempat pun men-jadi suatu kebutuhan.

“Kita bicara Pulau Yamdena, Ambon sebelah tenggara. Ha-nya 35 menit dari Darwin (kota di Australia), tapi 6,5 jam dari Jakarta. Kita berangkat de-ngan pesawat kecil. Dari situ, ada pulau lagi bawah, Pulau Selaru dan Pulau Koprol. Ke situ 8 jam dengan kapal, hanya akses kapal.”

Demikian Direktur Utama PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI) Sofyan Basir men-ceritakan pengalamannya me-ngunjungi jaringan BRI di wilayah terpencil Tanah Air, saat dijumpai di kantornya, pekan lalu.

Bahkan, ketika menilik kantor BRI di satu daerah terpencil di Irian, ia harus rela menumpang sepeda motor. Cerita lainnya, butuh pengawalan ten-tara untuk mengantar uang tunai miliaran ru-piah ke kantor BRI ter-sebut. Satu hal, menu-

rut Sofyan, yang t i d a k

pernah terbayangkan dilaku-kan perbankan modern.

“Kalau kita tidak datang, sia-pa yang bisa menangkap sinyal di tempat itu? Tak mungkin tiba-tiba bank swasta yang kota sekali mau ke situ,” cetusnya.

Secara nasional, BRI sudah memiliki sekitar 6.700 jarin-gan kantor hingga di pelosok-pelosok. Di antaranya, sekitar 5.400 kantor sudah dibangun secara daring dalam kurun empat tahun. Setitik demi setitik, ujarnya, kami men-ghubungkan dan membangun BRI. “Kami menembus batas,” tegas Sofyan.

Ke depan, bank pelat merah itu berniat membuka jaringan ke daerah yang lebih terpencil. Daerah yang belum tersentuh perbankan. Dengan demikian, keberadaan BRI akan menjadi jantung perekonomian setem-pat. “Kalau tidak ada BRI, me-reka taruh uang dalam lemari,” selorohnya.

Menurut Sofyan, para nasa-bah di tempat-tempat terpencil dan perdesaan juga membu-tuhkan teknologi. Maka BRI terpanggil untuk memberikan pelayanan yang lebih kepada para nasabahnya di perdesaan, maupun tempat-tempat terpen-

cil. “Orang desa juga happy dengan online. Ka-

lau mau kirim uang buat anaknya jadi mudah. Itu yang menjadikan kami dari desa bisa sampai ke kota,”

ucap pria kela-hiran Bogor

tahun 1958 ini.

Memberi semangat Sebagai seorang pemimpin

perusahaan, Sofyan berprin-sip ia bukan apa-apa tanpa karyawannya yang merupakan eksekutor di lapangan. Tidak mengherankan jika Sofyan ti-dak segan menyambangi para

karyawan hingga di wilayah-wilayah pelosok untuk mem-beri dukungan. Untuk me-nyampaikan langsung, di mana pun mereka berada bahwa mereka adalah anaknya.

“Saat saya datang, karyawan yang mau pensiun pas ketemu happy bukan main. Kami ingin menyampaikan kepada mereka (karyawan), di ujung mana pun terjauh, kami melihat kamu. Kami bersama-sama memberi-kan spirit,” tutur Sofyan.

Selama lima tahun terakhir, Sofyan mengaku ia sudah men-datangi kantor-kantor BRI di tempat-tempat terpencil.

Walaupun belum semua 6.700 kantor BRI didatangi, ia ingin memberi contoh kepada direksi, kepala divisi, serta bawahannya yang lain dengan mendatangi kantor-kantor BRI di tempat-tempat terkecil.

“Yang paling jauh itu sudah bisa kami datangi. Jadi saat kita perintahkan ke bawahan, kepada direksi, kepada kepala divisi, mereka siap jalan. Ka-rena yang paling sulit sudah kami lalui, mereka tidak ada

alternatif,” ujarnya.Dengan contoh yang

diberikan, ia berharap rasa kekeluargaan yang tinggi di antara karyawan BRI terus terjaga. Jika ti-dak punya kekeluargaan yang tinggi, lanjutnya, bisa-bisa kantor BRI di tengah pulau terpencil

hilang. “Kantor saya bisa hi lang

di tengah pulau. Tinggal po-tong komputer, uangnya se-tengah miliar dibagi-bagi,” cetusnya.

Ia pun ingin menyampaikan pesan moral kepada semua karyawan bahwa para kar-yawan yang berada di tempat-tempat terpencil benar-benar mencari rupiah dengan inte-gritas tinggi.

“Kamu yang di kota hati-

hati bekerja, ada bagian ru-piah yang mereka kais di ujung sana,” ungkapnya.

Lebih lanjut, Sofyan meng-ungkapkan bahwa dalam me-mimpin suatu perusahaan, seorang CEO memerlukan perasaan yang kuat, bukan sekadar rasionalitas. Seorang CEO pun harus kuat dalam mengarahkan para karyawan. Termasuk, kata dia, mengingat-kan karyawan bahwa kerja adalah bagian dari ibadah.

“Kita ingin itu menjadi se-mangat filosofi kehidupan mereka,” ujar alumnus Sekolah Tinggi dan Akademi Trisakti ini.

Ke kotaKendati tetap konsisten un-

tuk eksis di perdesaan dan wilayah terpencil, Sofyan tidak berniat mengabaikan peluang di perkotaan. Dulu, tuturnya, orang-orang mengatakan wi-layah perkotaan bukan lahan bisnis BRI. Soalnya, BRI sudah identik sebagai brand wong cilik.

Namun, Sofyan yakin potensi pasar perbankan di perkotaan masih terbuka lebar. Apalagi sebesar 70% jumlah uang ber-putar terdapat di kota. Begitu pun para intelektual muda, manajer muda, dan pekerja bergaji besar.

“Saya pernah ditanyai para wartawan ketika membentuk direktorat consumer banking. Saya tanya balik, siapa yang bisa angkat kartu ATM BRI dari dompetnya saya kasih Rp5 juta. Dari 80 orang wartawan itu, tidak ada yang punya. Jadi saya bilang, saya yakin apapun kamu bicara, saya masuk kota,” tutur Sofyan.

Namun, tegasnya, itu tidak berarti BRI bergeser kepada segmen pasar baru. Yang me-reka lakukan adalah meng-garap sebuah potensi. Ke de-pan, BRI akan terus menggarap baik pasar perdesaan maupun perkotaan.

Adapun jika dilihat dari komposisinya, nasabah BRI masih lebih banyak di perde-saan. Itu terbukti dari jumlah nasabah produk tabungan Simpedes yang mencapai seki-tar 17 juta-20 juta. Sementara itu, jumlah nasabah produk tabungan Britama yang terdiri dari orang kota hanya sekitar 5 juta-6 juta orang.

“Nasabah perdesaan luar biasa. Mereka bisa mencari makan karena sumber daya alam mereka luar biasa, kecuali musim paceklik berlebihan. Justru banyak yang miskin itu di perkotaan, pinggir kota, daerah kumuh. Itu kemiskinan absolut ada di sana,” cetus Sofyan.

Soal jaringan, target 6 ribu

kantor pada tahun ini terlewati dengan hadirnya konsep Teras BRI. Konsep Teras BRI merupa-kan sebuah kios yang ditujukan untuk para nasabah pedagang pasar yang butuh modal cepat dengan jumlah sekitar Rp1 juta-Rp5 juta.

Lebih lanjut, konsep Teras BRI akan mengeliminasi rente-nir atau lintah darat yang se-lama ini memberi pinjaman de-ngan bunga mencekik. Sofyan menjelaskan bahwa Teras BRI jelas memberikan bunga pin-jaman yang umum, yaitu seki-tar 22%.

“Konsep lebih mikro, di ba-wah BPR (bank perkreditan rakyat). Hari ini butuh modal, besok bisa balik,” imbuhnya.

Walaupun kontribusinya masih kecil jika dibandingkan dengan kantor unit, Teras BRI masih akan ditambah lagi se-banyak 600 unit pada tahun depan.

Sofyan menyebutkan, hal itu dilakukan untuk mem-bendung bank-bank lain di segmen mikro. Bahkan kalau bisa BRI menurunkan bunga terus agar bank-bank lain sukar masuk.

Dalam jangka panjang, bankir senior itu bercita-cita menjadikan BRI sebagai na-tional payment agent terbesar. Dari desa sampai ke kota. Un-tuk itu BRI telah menyiapkan infrastruktur, fi tur, dan produk yang bersanding dengan per-bankan modern. Juga tentunya, menyiapkan sumber daya ma-nusia yang andal. (E-3)

[email protected]

Menembus Batas hingga Pelosok

Sofyan BasirLahir: Bogor, 1958

Pendidikan & pelatihan• 1980 Diploma STAK Trisakti• Eksekutif Manajemen Risiko, Denpasar• Islamic Finance Forum, Swiss• Seminar Business Continuity Planning, Ernst & Young Sespibank, Jakarta• Strategy Development Session, IBM• Structuring Loans & Short Term, The Institute of Banking & Finance

Karier:• 1981 Bank Duta• 1986 Bank Bukopin - Pemimpin cabang Bank Bukopin - Direktur Komersial Bank Bukopin - Direktur Utama Bank Bukopin• 2005-sekarang Direktur Utama BRI

Seorang CEO memerlukan perasaan yang kuat, bukan sekadar rasionalitas.

Marchelo

Kami ingin menyampaikan kepada mereka (karyawan), di ujung mana pun terjauh, kami melihat kamu.”

DOK. HUMAS BRI