seminar proposal tesis

Download Seminar Proposal Tesis

If you can't read please download the document

Upload: muhammad-syaiful-rohman

Post on 23-Jun-2015

998 views

Category:

Education


0 download

DESCRIPTION

Save Our People and Forest

TRANSCRIPT

5 | PageBAB IPENDAHULUANLATAR BELAKANGPropinsi Papua Barat menduduki peringkat ke empat (4) dalam laju kerusakan hutan di Indonesia (deforestasi). Jika mengacu pada laju deforestasi Indonesia periode tahun 2003-2006 sebesar 1,17 juta hektar per tahun (Dep. Kehutanan), maka laju deforestasi Papua Barat sebesar 254.460,41 ha per Tahun. Deforestasi tersebut terdiri dari hutan lahan kering primer 719.674,62 ha dan hutan lahan kering sekunder sebesar 298.167,04 ha. (Pietsau Amafnini, Koordinator JASOIL Tanah Papua)Gambaran lokasi deforestasi terparah dalam kurun waktu tahun 2005 2009 di Propinsi Papua Barat adalah di Kabupaten Sorong Selatan, Kabupaten Teluk Bintuni, dan Manokwari. (Sumber : Papua Barat Dalam Angka Tahun 2008)Bagaikan memakan buah simalakama, dimakan bapak mati, tidak dimakan ibu yang mati. Itulah gambaran posisi dilematis yang dihadapi oleh warga 7 suku yang mendiami Kabupaten Teluk Bintuni, yakni, Sumuri, Irarutu, Wamesa, Kuri, Sebyar, Moskona, dan Soug. Di satu sisi mereka dipindahkan dari tempat asal karena ada pembangunan megaproyek LNG Tangguh, dan di satu sisi yang lain mereka harus menghadapi kenyataan sulit, yaitu perubahan iklim akibat alih fungsi lahan hutan menjadi areal perindustrian.STUDI PUSTAKAPenebangan untuk pengambilan kayu dan bubur kertas telah menjadi penyebab utama deforestasi di Asia Tenggara, sementara pengambilan kayu bakar dan produksi arang terjadi paling banyak di hutan kering di daerah sub-Sahara Afrika (Kaimowitz dan Angelsen 1998). Di Indonesia dan negara-negara Asia Tenggara lainnya, pembalakan ilegal telah muncul sebagai penyebab utama degradasi hutan (Tacconi 2007). Kegiatan industri ekstra-sektoral lainnya, seperti pertambangan, juga menggunakan sejumlah besar kayu atau arang dan oleh karena itu juga berkontribusi terhadap degradasi hutan yang tinggi, melalui penggunaan langsung maupun ekspansi penduduk. Namun secara tidak langsung, pembangunan jalan raya dan infrastruktur berkontribusi paling besar terhadap deforestasi (Chomitz dkk. 2007). Hal ini terjadi bukan karena luas jalan yang dibangun, namun melalui turunnya ongkos transportasi, yang pada gilirannya memungkinkan terjadinya aktivitas produktif di daerah yang terpencil. Kegiatan tersebut biasanya mendukung ekspansi dan perusakan hutan seperti digambarkan dengan siklus pengambilan kayu, pengambilan arang, dan selanjutnya konversi untuk pertanian dan padang rumput. Ekuador adalah salah satu contoh dimana pembangunan jalan telah menjadi penyebab utama deforestasi (Wunder 2000).Krisis ekonomi juga dapat merangsang deforestasi. Ketika ekonomi Indonesia runtuh pada tahun 1997, banyak orang yang telah kehilangan pekerjaan di sektor formal beralih ke hutan untuk mencari pendapatan tambahan. Kegiatan mereka termasuk pembukaan hutan untuk budidaya, pembalakan liar pada kawasan yang memiliki konsesi namun telah ditinggalkan, dan penggunaan api untuk membuka akses terhadap ikan dan reptil (Chokkalingam dkk. 2006). Di Indonesia, Casson dan Obidinski (2007) menemukan bahwa reformasi desentralisasi yang dimulai pada tahun 2000 telah menyebabkan kaburnya perbedaan antara penebangan legal dan ilegal. Pejabat daerah baru, yang mencari penghasilan tambahan, mengesahkan apa yang sebelumnya merupakan kegiatan ilegal dengan menerbitkan izin konsesi kayu skala kecil yang kurang diatur dengan baik.Hukum kehutanan sering menganggap kegiatan hutan yang lestari sebagai hal yang ilegal, sementara pada saat yang sama memperlakukan kegiatan yang tidak lestari sebagai hal yang legal. Colchester dkk. (2006) menemukan bahwa undang-undang kehutanan cenderung menilai sumber pendapatan bagi masyarakat miskin yang berbasis hutan sebagai praktek ilegal, sementara undang-undang di luar sektor kehutanan yang melindungi hak-hak komunitas hutan seringkali lemah, ambigu atau diabaikan. Pada saat yang sama, hukum kehutanan telah terbukti lemah dalam menangani kejahatan hutan skala besar. Di Indonesia, upaya mengejar dan menuntut individu dan perusahaan yang tersangkut kasus-kasus pembalakan liar dan pembakaran telah gagal (Smith dkk. 2007).PERMASALAHANGas alam cair (Liquified Natural Oil -LNG) yang melimpah di bagian utara Teluk Bintuni adalah alasan utama pembangunan proyek Tangguh. Gas alam ini diperkirakan akan menjadi sumber bagi kebutuhan LNG global terpenting dengan sasaran pasar Korea, China dan Amerika Utara. Pemerintah Indonesia menetapkan BP Indonesia sebagai pengelola LNG ini dengan nama Proyek Tangguh. Oleh kehadiran proyek ini, sembilan desa (kampung) di wilayah Teluk Bintuni terkena dampak secara langsung (Direct Affected Village DAV).Kampung-kampung itu antara lain Tanah Merah, Saengga dan Onar. Kampung Tanah Merah dibeli proyek menjadi wilayah produksi, penduduknya di relokasi ke Tanah Merah Baru (TMB) dan sebagian lagi kembali ke kampung di Saengga dan Onar. Kendati BP mengklaim dirinya memiliki tanggung jawab terpadu terhadap manajemen lingkungan di seantero proyeknya seraya menggandeng komunitas lokal sebagai partner dalam pengembangan proyeknya, dampak negatif kehadiran proyek ini mulai terungkap di kawasan DAV.Dampak itu antara lain, degradasi lingkungan oleh pembabatan hutan mangrove yang dengan sendirinya mengancam keanekaragaman hayati, ketidaksiapan warga yang direlokasi menyusun kehidupan baru, yang walau menghuni rumah cantik dari kayu seharga lebih dari Rp, 300 juta per unit, namun kehilangan mata pencaharian (petani dan nelayan), serta persoalan ganti rugi tanah yang merugikan rakyat setempat.BP Tangguh yang konon memiliki falsafah tanggung jawab sosial, dalam pelaksanaan Proyek LNG Tangguh dengan Rencana Pengelolaan Lingkungan dan Sosial, terkesan pongah. Posisi rakyat dalam proyek ini tak jelas, apakah sebagai komponen pelaku utama, atau sebatas menikmati tetesan hasil atau sekedar menjadi penonton saja. Yang jelas sebagian telah menjadi pelengkap penderita, misalnya warga kampung Tanah Merah Baru yang dijanjikan berbagai fasilitas seperti pendidikan, kesehatan, pelatihan ketrampilan, penataan mata pencaharian sesuai rencana Program Sosial Terpadu BP Tangguh, namun kini hidup mereka merana, karena janji dicederai dusta.Di sisi lain, proyek yang merambah kawasan daratan (onshore) di Distrik Sumuri, ternyata menyedot hasil lepas pantai (offshore) di Distrik Aranday, tanah adat suku Sebyar. Kabupaten Teluk Bintuni adalah kawasan hak adat dari tujuh suku, yakni, Sumuri, Irarutu, Wamesa, Kuri, Sebyar, Moskona dan Soug. Kenyataan ini mengisyaratkan kepada siapa seharusnya BP Tangguh membangun relasi.Berdasarkan permasalahan tersebut diatas, maka dapat dirumuskan pertanyaan yang akan menjadi fokus utama dalam penelitian ini, yaitu : Bagaimana dampak alih fungsi hutan mangrove di Kabupaten Teluk Bintuni Bagaimana respon masyarakat terhadap perubahan ituBagaimana implementasi program pengurangan emisi karbon akibat deforestasi dan degradasi hutan di kawasan teluk bintuni, danBagaimana masyarakat mengorganisir diri dalam rangka merespon program pengurangan emisi karbon akibat deforestasi dan degradasi hutan di kawasan teluk bintuniKERANGKA PEMIKIRANPembukaan hutan tanaman kayu untuk industri kertas dan perkebunan kelapa sawit dalam skala besar, guna memenuhi permintaan yang tinggi akan bubur kertas di Cina (Wright 2004), dan CPO di Eropa (Reinhardt dkk. 2007), telah meningkatkan deforestasi dan degradasi hutan gambut secara tajam. Akibatnya, dari 27 juta hektar lahan gambut di Asia Tenggara, 12 juta hektar telah mengalami deforestasi dan degradasi hutan dalam kurun waktu 10 tahun terakhir (Hooijer dkk. 2006). Penyebab langsung utamanya adalah pembakaran hutan, pembukaan lahan dan drainase untuk pengembangan perkebunan.Satu tekanan baru terhadap hutan dengan adanya perluasan pertanian bersubsidi telah muncul dalam bentuk pembangunan bioenergi, meliputi kelapa sawit, tebu dan tanaman jarak/jatropha. Ironisnya, kebijakan yang mempromosikan produksi dan penggunaan bahan bakar hayati sebagai alternatif yang ramah lingkungan dibanding bahan bakar fosil mempunyai efek meningkatkan emisi gas rumah kaca dengan mendorong konversi hutan alam baik secara langsung maupun tidak langsung. Target Uni Eropa dan negara-negara lain untuk mempromosikan biofuel yang berlaku subsidi perlu ditinjau kembali dalam konteks REDD. Akhirnya, penelitian tentang deforestasi mengusulkan bahwa pembangunan kapasitas lembaga nasional dan lokal akan menjadi penting untuk keberhasilan implementasi REDD. Beberapa kapasitas yang dibutuhkan bersifat teknis misalnya, staf instansi terkait akan memerlukan pengembangan keterampilan yang berkaitan dengan metode baru pemantauan karbon, masyarakat membutuhkan pelatihan dalam metode pengendalian kebakaran dan pejabat dari bea cukai, keuangan dan lembaga peradilan akan membutuhkan kapasitas baru untuk menangani kejahatan hutan. Namun, tantangan terbesarnya adalah pengembangan kapasitas kelembagaan baru, pada instansi pemerintah serta pada kelompok para pemangku kepentingan yang dipengaruhinya.METODOLOGIProses adaptasi kultural terhadap lingkungan, dipandang sebagai suatu bentuk hubungan dialektik interplay. Dalam konteks ini, yang terjadi adalah hubungan saling ketergantungan satu dengan yang lain. Lingkungan memainkan peranan penting dalam kreativitas perilaku kebudayaan manusia. Lingkungan dan budaya bukanlah dua ranah yang berbeda. Masyarakat mempunyai cara pandang sendiri mengenai lingkungan sekitarnya. Dengan menggunakan metode penelitian observasi partisipasi (participant observation) dan menggunakan paradigma fungsionalisme sebagai model analisisnya, hasil penelitian ini akan saya sajikan dalam bentuk etnografi supaya dapat diketahui dan dipahami hubungan saling keterkaitan antar unsur-unsur budaya masyarakat yang diteliti dengan perubahan fungsi ekonomis dan ekologis dari hutan mangrove di Teluk Bintuni. Saya melakukan pengamatan berpartisipasi (participant observation) terhadap apa yang saya lakukan ini sesuai dengan yang dilakukan oleh Geertz (1973:10), yakni diskripsi mendalam (thick description) yang sangat diperlukan untuk memahami konteks atau situasi. Thick Description mencoba menafsirkan serta menggambarkan berbagai pemikiran, perasaan, penglihatan dan tindakan yang dilakukan oleh masyarakat setempat berdasarkan nilai kepercayaan, norma yang dianut oleh masyarakat tersebut.