seminar nasional teknologi terapan 2016 ... sntt 2016...prosiding seminar nasional teknologi terapan...
TRANSCRIPT
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Terapan SV UGM 2016 | i
SEMINAR NASIONAL TEKNOLOGI TERAPAN 2016
SEKOLAH VOKASI
UNIVERSITAS GADJAH MADA
“Peran dan Tantangan Pendidikan Vokasi dalam Pengembangan SDM Terampil di Indonesia”
Yogyakarta, 19 November 2016
SEKOLAH VOKASI
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2016
PROSIDING
SEMINAR NASIONAL TEKNOLOGI TERAPAN (SNTT 2016)
ii | Prosiding Seminar Nasional Teknologi Terapan SV UGM 2016
PROSIDING
SEMINAR NASIONAL TEKNOLOGI TERAPAN (SNTT 2016)
ISBN 978-602-1159-18-7
2016 oleh:
SekolahVokasi
Universitas Gadjah Mada
Hak Publikasi dilindungi oleh Undang-undang. Dilarang memperbanyak atau memindahkan sebagian
maupun seluruh isi prosiding ini dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis penerbit.
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Terapan SV UGM 2016 | iii
SUSUNAN PANITIA
PenanggungJawab
Ir. Hotma Prawoto S., M. T. IP-MD (Direktur Sekolah Vokasi)
Ma’un Budiyanto, S.T., M., T (Wakil Direktur Bidang Penenlitian, Pengabdian Masyarakat, dan
Kerja)
Wikan Sakarinto, S.T., M. Sc., Ph.D. (Wakil Direktur Bidang Akademik dan Kemahasiaan)
Ir. Heru Budi Utomo, M.T. (Wakil Direktur Bidang SDM dan Keuangan)
Tim Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Sekolah Vokasi UGM 2016
1. Paramita Her Astuti, S.E., M.Sc.
2. Rina Widiastuti, S.S., M.A.
3. Nuryati, S.Far., M.P.H
4. Edi Kurniadi, S.T., M.T
5. Ir. F. Eko Wismo Winarto, M.Sc. Ph.D
6. Galih Kusuma Aji, STP., M.Agr
7. M. Iqbal Taftazani, S.T., M.Eng
8. Budi Sumanto, S. Si., M. Eng
9. Prima Asrama Sejati, S. T., M. Eng
KetuaPanitia
Budi Sumanto, S. Si., M. Eng
Tim Pelaksana
Koordinator Panitia : Joni Iskandar
Sekertaris : Imandini Anggimelya Putri
Bendahara : Shinta Dewi Novitasari
DDD & Editing : Rosmawarda Yunarya
Perlengkapan : Swatika Adjie Hogantara
Acara & Tim Kreatif : Dwi Cahyo Ramadhan
Humas : Lailatul Isnaeni
Akomodasi & Transport : Raka Trialviano Bagus
Eko Afrizal
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Terapan SV UGM 2016 | 1511
PERAN PEMERINTAH
DAERAH KULON PROGO DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI
PARIWISATA : PARIWISATA BERBASIS ALAM Anggi Rahajeng
Prodi Ekonomika Terapan Departemen Ekonomika dan Bisnis SV UGM
Email : [email protected]
ABSTRAK
Pembangunan pariwsata memerlukan peran pemerintah baik pusat maupun daerah. Peran pemerintah
pusat maupun daerah dalam pembangunan ekonomi dapat dilihat pada aspek perencanaan, kebijakan,
regulasi dan pembangunan fasilitas publik yang mendukung industri pariwisata. Kabupaten Kulon Progo
memiliki beberapa destinasi wisata berbasis alam yang potensial untuk dibangun dan dikembangkan
namun belum optimal. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran Pemerintah Kabupaten Kulon
Progo dalam membangun ekonomi pariwisata agar optimal di daerahnya dengan memperhatikan isu
lingkungan. Kajian ini menggunakan triangulasi baik data maupun metode yang digunakan. Pendekatan
teoritis yang digunakan adalah ekonomi kelembagaan berdasarkan model Williamson. Hasil kajian ini
menunjukkan bahwa peran pemerintah pusat maupun daerah Kabupaten Kulon Progo di bidang
pembangunan ekonomi pariwisata mencakup pembangunan pengembangan terhadap aspek destinasi
wisata, pemasaran pariwisata, industri pariwisata dan kelembagaan cukup besar dan sinkron. Penetapan
destinasi prioritas oleh pemerintah pusat 2017 diikuti dengan penetapan 5 zonasi destinasi/kawasan
strategis pariwisata (KSPD) di Kulon Progo. Kebijakan di sektor pariwisata juga diikuti dengan kebijakan
investasi terutama infrastruktur melalui perbaikan iklim investasi dan pembangunan mega proyek di Kulon
Progo (Pemerintah pusat-propinsi) untuk memantik pembangunan ekonomi dan sektor pariwisata.
Program kegiatan yang dilakukan Pemerintah Kabupaten Kulon Progo melalui Dinas Pariwisata Pemuda
dan Olah raga bidang pariwisata diharapkan dapat mempengaruhi perilaku/mindset pelaku wisata untuk
lebih paham dan sadar wisata sebagai antisipasi adanya perubahan matapencaharian sebagian besar
penduduk Kulon Progo (non sektor pariwisata berubah ke sektor pariwisata). Pemerintah perlu mengawasi
dan mengendallikan pembangunan destinasi wisata agar lestari (sustainable) dengan memperhatikan isu
kapasitas, daya dukung dan kelestarian lingkungan terutama untuk kawasan/destinasi wisata yang
berbasis alam.
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Industri pariwisata Indonesia tumbuh secara
signifkan (Kementerian Pariwisata dan Bappenas,
2016). Berdasarkan data Kementerian Pariwisata,
jumlah wisatawan mancanegara 9.7 juta pada tahun
2015 bahkan data per Desember 2015 tercatat
wisatawan mancanegara mencapai 10 juta meningkat
dari tahun sebelumnya yang hanya 9.4 juta. Sektor
pariwisata mendatangkan devisa Rp 150 Triliun (kurs
Rp 12,000) pada tahun 2015. Kontribusi pariwisata
terhadap PDB nasional pada tahun 2014 sebesar 4.01%
sehingga pariwisata menjadi salah satu penggerak
pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Sejalan dengan
kondisi pariwisata secara nasional, di tingkat daerah
sektor pariwisata di Provinsi D.I Yogyakarta
memberikan kontribusi yang relatif signifikan bagi
perekonomian Yogyakarta. Jumlah wisatawan yang
berkunjung ke DIY dari tahun 2010-2014 mengalami
peningkatan.
jumlah wisatawan yang berkunjung ke DIY
mengalami peningkatan sebesar 12% pada tahun 2013.
Pada tahun 2013 sebanyak 2.837.962 wisatawan yang
terdiri dari wisatawan nusantara 2.602.074 orang dan
wisatawan mancanegara 235.888 orang. Jumlah
wisatawan mancanegara meningkat menjadi
300,000 orang pada tahun 2015. Sektor pariwisata
memiliki kontribusi yang cukup besar bagi
perekonomian Yogyakarta yang dapat dilihat dari
kontribusi sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran
(PHR) terhadap PDRB DIY. Pada tahun 2013 kontribusi
sektor PHR mengalami pertumbuhan sebesar 6.20%
dalam PDRB DIY dan menempati peringkat teratas
dalam pembentukan struktur PDRB DIY tahun 2013.
Pertumbuhan di sektor PHR diantaranya didorong oleh
peningkatan kunjungan wisatawan dan banyaknya
kegiatan di DIY sepanjang tahun 2013.Otonomi daerah
di Indonesia lebih fokus pada Kabupaten/Kota
dibandingkan Provinsi. Berdasarkan data PAD Sub
Sektor Pariwisata Kabupaten/Kota di DIY, Kabupaten
Kulon Progo paling rendah dan relatif stagnan. PAD
Sub Sektor Pariwisata Kabupaten Kulon Progo hanya
berkisar Rp 2 Miliar saja selama 3 tahun terakhir (2012-
2014).
Kontribusi Kulon Progo terhadap total PAD Sub
Sektor Pariwisata Kabupaten/Kota se-DIY sangat kecil
dibandingkan daerah lainnya (sekitar 1%) tahun 2012-
2014. Angka ini relatif timpang dibandingkan kontribusi
Kabupaten Gunung Kidul (7% pada tahun 2014) dan
Kabupaten Bantul (6% pada tahun 2014). Jumlah
wisatawan yang berkunjung ke Kabupaten Kulon Progo
masih sangat relatif sedikit dibandingkan dengan daerah
lainnya di DIY.
1512 |Prosiding Seminar Nasional Teknologi Terapan SV UGM 2016
Beberapa tahun ini Kabupaten Kulon Progo juga
menjadi daerah yang kondisi perekonomiannya relatif
tertinggal dibandingkan dengan daerah lainnya di DIY.
Padahal Kabupaten Kulon Progo memiliki beberapa
destinasi wisata berbasis alam yang potensial untuk
dikembangkan menjadi potensi unggulan yang dapat
mendorong pertumbuhan ekonomi daerah. Pariwisata
dapat menjadi salah satu sumber pendapatan bagi
pemerintah daerah dan memiliki multilplier effect yang
dapat mendatangkan manfaat bagi pembangunan
ekonomi lokal (Javier dan Elazigue, 2011).
Oleh karena itu untuk mengembangkan ekonomi
pariwisata di Kabupaten Kulon Progo secara optimal
khususnya pariwisata berbasis alam yang berkelanjutan
diperlukan peran pemerintah. Peran pemerintah dalam
pembangunan ekonomi pariwisata dapat diwujudkan
dalam bentuk perencanaan, kebijakan, regulasi dan
pembangunan fasilitas publik yang mendukung industri
pariwisata. Kabupaten Kulon Progo sebagai salah satu
daerah di Indonesia tentu saja segala perencanaan,
kebijakan dan regulasi yang dibuat oleh Pemerintah
Daerah Kabupaten Kulon Progo tidak lepas dari
pemerintah Indonesia (pemerintah pusat). Permasalahan
kajian ini adalah perencanaan, kebijakan dan regulasi
yang dibuat oleh Pemerintah terkadang muncul setelah
terjadinya penurunan jumlah wisatawan maupun
pendapatan daerah yang berasal dari sektor pariwisata.
Namun ketika jumlah wisatawan meningkat
muncul isu keterkaitan dampak ekonomi-sosial dan
lingkungan dan isu koordinasi perencanaan-strategi di
tiap level pemerintahan (pemerintah pusat-
provinsikabupaten/kota). Pemerintah daerah seringkali
dikritik karena relatif kurang tanggap terhadap isu
pembangunan ekonomi pariwisata yang berkelanjutan.
Hal ini disebabkan karena kurangnya pemahaman
pemerintah daerah tentang industri pariwisata beserta
kebutuhannya dan peran pemerintah yang besar dalam
menyediakan kebijakan dan strategi pembangunan
ekonomi pariwisata yang berkelanjutan terutama bagi
pariwisata yang berbasis alam.
B. Rumusan Masalah
Jumlah kunjungan wisatawan dan pendapatan daerah
yang berasal dari sektor pariwisata Kabupaten Kulon
Progo relatif paling rendang dibandingkan dengan
Kabupaten/Kota lainnya di Yogyakarta
C. Tujuan
Berdasarkan latar belakang di atas maka penelitian ini
bertujuan untuk:
1. Mengidentifikasi kebijakan pemerintah baik pusat
maupun daerah di bidang pembangunan ekonomi
pariwisata.
2. Mengidentifikasi konsistensi antar dokumen
perencanaan pemerintah provinsi DIY dan
Kabupaten Kulon Progo di bidang pembangunan
ekonomi pariwisata.
3. Mendeskripsikan keterlibatan pemerintah
Kabupaten Kulon Progo dalam pengelolaan dan
pembangunan ekonomi pariwisata Kulon Progo.
Temuan dalam kajian ini adalah assessment
terhadap pelaksanaan dan review opsi ke depan untuk
perencanaan dan pengelolaan ekonomi pariwisata yang
lebih terintegrasi dan berkelanjutan di Kulon Progo.
D. Tinjauan Pustaka
Pengalaman negara United Kingdom (UK)
mencatat bahwa pariwisata memberikan kontribusi yang
signifikan terhadap perekonomian negara dari segi
skala, penciptaan lapangan pekerjaan, investasi dan
sebagainya (UK Government, 2011). Pemerintah UK
memprediksi selain sektor jasa keuangan dan bisnis
serta konstruksi, sektor pariwisata akan menjadi sektor
utama yang tumbuh pesat hingga tahun 2020 .
Sumber data yang kredibel untuk menjelaskan data
permintaan dan penawaran industri pariwisata baik di
tingkat nasional maupun regional adalah Tourism
Satellite Account (TSA) atau Neraca Satelit Pariwsata
Nasional (Nesparnas). Data Nesparnas 2010-2014
menurut Kementerian Pariwisata 2014, rata-rata
dampak kepariwisataan terhadap PDB Nasional tahun
2011– 2014 sebesar 3,99%.
Sektor pariwisata memiliki dampak terhadap
ekonomi makro Indonesia secara siginifikan, jika dilihat
dari penyerapan tenaga kerja, sektor pariwisata telah
menyerap tenaga kerja sebesar 9% (10.32 juta orang)
terhadap total kesempatan kerja yang ada tahun 2014.
Selain dampak terhadap ekonomi makro baik
nasional maupun daerah, pariwisata juga memiliki
dampak terhadap perekonomian dan kesejahteraan
masyarakat lokal/komunitas lokal. Kegiatan pariwisata
atau industri pariwisata tidak hanya berpengaruh positif
terhadap perekonomian dan kesejahteraan
masyarakat/komunitas lokal tetapi juga membawa
pengaruh negatif (Buzinde, Kalavar dan Melubo, 2014).
Contoh pengaruh positif antara lain peningkatan
pendapatan keluarga, status ekonomi yang meningkat,
kebahagiaan karena membaiknya perekonomian
keluarga, sedangkan pengaruh negatif dari industri
pariwisata antara lain lunturnya nilai-nilai dan kegiatan
tradisi, adat, dan norma masyarakat/komunitas lokal.
Oleh karena itu diperlukan peran pemerintah
dalam pembangunan dan pengembangan ekonomi
pariwisata. Pendekatan kebijakan yang dilakukan
UNWTO untuk sektor pembangunan pariwisata adalah
top-down artinya pengambilan kebijakan oleh
pemerintah pusat maupun daerah, meskipun demikian
pendekatan bottom-up juga diperlukan untuk
mengakomodasi keterlibatan dan partisipasi
masyarakat/komunitas lokal (Boukas dan Ziakas, 2015).
Hal ini dilakukan untuk memastikan alokasi
penggunaan sumber daya dapat dilakukan dengan
optimal misalnya kelestarian heritage dan budaya (Kelly
dan Becker, 2000) dan kemudian memasukkannya ke
dalam perencanaan nasional maupun daerah (Sofield,
2003).
Peran pemerintah juga diperlukan dalam
mempromosikan investasi di sektor pariwisata seperti
yang dilakukan oleh negara-negara di Mediterania.
Kajian dilakukan salah satunya di negara Kroasia
menunjukkan bahwa peran aktif pemerintah sangat
penting dalam menarik dan mengendalikan permintaan
investasi di sektor pariwisata. Sektor swasta sangat
tertarik untuk melakukan investasi di sektor pariwisata
karena trend pariwisata yang terus meningkat akan
sangat menguntungkan secara bisnis namun sektor
swasta relatif seringkali mengabaikan dampak sosial
dan lingkungan (Kunst, 2011). Petrevska (2012)
menyatakan pentingnya peran pemerintah dalam
pembangunan pariwisata seperti proses privatisasi,
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Terapan SV UGM 2016 | 1513
membuat peraturan perundang-undangan, promosi
pariwisata dan kebijakan fiskal dalam bentuk insentif.
Peran pemerintah menjadi syarat tercapainya proses
perencanaan yang mapan dan berkelanjutan. Kebijakan
pariwisata dilakukan untuk memastikan pelayanan yang
diberikan kepada pengunjung optimal dengan cara
memaksimalkan keuntungan yang diterima oleh
stakeholder dan meminimalkan dampak negatif, biaya
dan akibat yang ditimbulkan destinasi yang sukses
berkembang (Goeldner dan Ritchie, 2006). Dokumen
perencanaan dan strategi untuk pembangunan ekonomi
menjadi salah satu cara atau mekanisme yang penting
untuk menilai prioritas pembangunan termasuk
pembangunan pariwisata (Hall, 2005).
Terkait perencanaan, kebijakan, peraturan dan
penegakan merupakan salah satu elemen dalam teori
ekonomi kelembagaan menurut Williamson (2000).
Berdasarkan teori ekonomi kelembagaan, kelembagaan
didefinisikan sebagai aturan informal dan formal yang
mempengaruhi tata kelola ((governance) dan
membentuk struktur insentif (North, 2000, Williamson,
2000 dalam Jaya, 2010). McLennan.,et.al (2014)
menemukan bahwa industri pariwisata yang maju
menjadi lebih cerdas, adaptive dan mengalami
transformasi.
Kajian ini menggunakan teori ekonomi pariwisata
dan ekonomi kelembangaan untuk menjelaskan
keterkaitan antara pariwisata-ekonomi dan peran
pemerintah. Pariwisata menurut John Urry (1990).
Gilbert (1990) mendefinisikan pariwisata sebagai salah
satu bagian dari rekreasi yang melibatkan perjalanan ke
suatu destinasi atau komunitas dalam jangka pendek
yang bertujuan untuk memuaskan kebutuhan konsumen
terhadap satu dan atau kombinasi kegiatan. Perjalanan
yang dimaksud adalah perjalanan diluar normal places
yang biasanya dikunjungi.
Wisatawan adalah Pengunjung sementara yang
paling sedikit tinggal selama 24 jam di negara yang
dikunjunginya sedangkan pelancong/pengunjung adalah
pengunjung sementara yang tinggal kurang dari 24 jam
di negara yang dikunjungi.Seperti halnya Gilbert
(1990), Vanhoe (2005) juga memberikan karakteristik
pariwisata yang sama hanya Vanhoe menggunakan
istilah inbound dan outbound tourism, internal dan
international tourism. Berdasarkan tipe dan kategori
pariwisatamaka aspek ekonomi muncul akibat dari
konsumsi, pengeluaran yang dikeluarkan pengunjung
dalam melakukan kegiatan wisata.
Pariwisata merupakan sektor yang mempunyai
kontribusi ekonomi yang cukup penting bagi
pembangunan. Selain itu, pariwisata juga mempunyai
dampak spasial yang positif dalam menciptakan daya
dukung bagi daerah sekitarnya dalam meningkatkan
kesejahteraan ekonomi (Bahar & Tambaru, 2012). Oleh
karena itu, teori ekonomi digunakan untuk
mendeskripsikan dan memberikan pendekatan baru
dalam bidang pariwiwisata dan dengan menunjukkan
potensi ekonomi yang dimiliki dapat menjelaskan dan
memprediksi fenomena pariwisata yang terjadi.
Metododologi dan analisis ekonomi digunakan
untuk memberikan kontribusi materi baru tentang
aktivitas utama dan bagaimana pariwisata dapat
meningkatkan kepentingan ekonomi/kesejahteraan
(Sinclair&Stabler, 1997). Pariwisata menjadi penting
bagi perekonomian negara/daerah karena skalanya yang
besar, menciptakan lapangan pekerjaan, salah satu
sumber yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi
negara/daerah melalui pendapatan yang diperoleh dan
pengeluaran yang dikeluarkan oleh turis, meningkatkan
persaingan usaha, bahkan mendatangkan investasi dan
peluang usaha ekonomi lainnya (UK Government,
2011). Demikian pentingnya pariwisata maka perlu
peran pemerintah sebagai regulator agar pembangunan
pariwisata optimal, mendatangkan manfaat ekonomi
yang optimal bagi masyarakat dan memastikan kegiatan
pariwisata dapat berkelanjutan dengan memperhatikan
isu kelestarian lingkungan.
Peran pemerintah dilihat dari teori kelembagaan
dapat dijelaskan melalui model Williamson. Williamson
(2000) mengemukakan model empat level analisis sosial
menuju teori kelembagaan mulai dari aturan informal
seperti norma, adat dan kebiasaan (level pertama).
Ekonomi kelembagaan baru (NIE) mulai pada level 2
dan 3 dimana pada level tersebut semua lembaga/pelaku
dalam suatu organisasi seperti industri ekonomi
pariwisata terlibat seperti eksekutif (pemerintah baik
pusat maupun daerah-provinsi dan kabupate/kota),
legislatif (DPR-DPRD), judisial (lembaga penegak
hukum), dan birokrasi pemerintah. Dalam NIE, definisi
dan penegakan hak milik dan hukum kontrak antar agent
menjadi penting.
Sumber: Williamson, 2000
Gambar. Williamson The New Institutional
Economics (NIE) Ekonomi Kelembagaan, Empat
Level Analisis Sosial
Level 2 dan 3 merupakan peran dari aturan formal
seperti peraturan perundang-undangan, kebijakan,
strategi, mekanisme, tata kelola dan dokumen
perencanaan yang dibuat oleh pemerintah baik pusat
maupun daerah mengenai pembangunan dan
pengelolaan ekonomi pariwisata.
E. Metodologi
Penelitian ini menggunakan pendekatan riset
kualitatif-triangulasi. Triangulasi merupakan salah satu
pendekatan yang menggabungkan beberapa metode dan
data. Metode/teknis analisis yang digunakan dalam
kajian ini adalah deskriptif yang diperoleh dari studi
literatur, survei dan wawancara terstruktur. Triangulasi
data biasanya menggabungkan sumber yang berbeda
misalnya informan kunci (key informant), expert
judgement dan grup (multiple group). Triangulasi
metode merupakan metode yang tepat untuk
menjelaskan fenomena. Fenomena tunggal yang dilihat
dari berbagai sudut pandang yang berbeda dalam hal ini
1514 |Prosiding Seminar Nasional Teknologi Terapan SV UGM 2016
sudut pandang Pemerintah Pusat (diwakili oleh
Bappenas), Pemerintah Kabupaten Kulon Progo
(diwakili oleh Dinas Pariwisata Kulon Progo),
pengelola dan pelaku usaha wisata alam (Pantai Glagah
dan Pantai Congot Kulon Progo) dan wisatawan (di
beberapa lokasi wisata pantai di Kulon Progo). Denkin
dan Lincoln (2008) menjeaskan bahwa pendekatan
triangulasi merupakan pendekatan yang
mengkombinasikan lebih dari satu metode untuk
mengkaji fenomena yang saling terkait dari sudut
pandang dan perspektif yang berbeda untuk
mendapatkan hasil yang komprehensif.
Data yang digunakan dalam kajian ini adalah data
primer dan data sekunder. Triangulasi data yang akan
digunakan diperoleh melalui studi literatur, survei dan
wawancara terstruktur. Data primer yang diperoleh
melalui studi literatur Peraturan Perundang-Undangan
dan Dokumen Perencanaan Sektor Pariwisata baik pusat
maupun daerah
Data primer diperoleh melalui survei dan
wawancara terstruktur dengan berbagai pihak antara
lain:Pemerintah Pusat (diwakili oleh Bappenas),
Pemerintah Kabupaten Kulon Progo (diwakili oleh
Dinas Pariwisata Kulon Progo), pengelola dan pelaku
usaha wisata alam (Pantai Glagah dan Pantai Congot
Kulon Progo sebagai key informan, expert judgement)
dan wisatawan (di beberapa lokasi wisata pantai di
Kulon Progo) sebagai multiple grup sources
.
II. PEMBAHASAN
A. Kebijakan Pemerintah (Pusat-Daerah) Terkait
Pariwisata
Pariwisata merupakan industri yang banyak
dikembangkan di negara-negara berkembang
(developing country) pada tiga dekade terakhir karena
dianggap memiliki peran yang besar dalam rangka
meningkatkan pendapatan nasional maupun
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Hal ini jelas
terlihat dari banyaknya tempat wisata yang dibangun,
dikembangkan, dan dipromosikan secara besar-besaran
melalui berbagai media dan alat promosi oleh negara-
negara berkembang. Masing-masing negara dengan
berbagai strategi saling berlomba untuk memenangkan
persaingan dalam mendatangkan wisatawan ke
destinasi-destinasi pariwisata yang dimiliki.Bagi
Indonesia, industri pariwisata merupakan suatu
komoditi prospektif yang di pandang mempunyai
peranan penting dalam pembangunan nasional.
Kebijakan pemerintah yang terbaru tentang pariwisata
tercantum dalam UU No. 10 Tahun 2009 tentang
pariwisata yang menyatakan bahwa kepariwisataan
merupakan bagian integral dari pembangunan nasional
dan harus dilakukan secara sistematis, berencana,
terpadu, berkelanjutan, dan bertanggung jawab dengan
tetap memberikan kepada perlindungan terhadap nilai-
nilai agama, budaya yang hidup dalam masyarakat,
kelestarian dan mutu lingkungan hidup serta
kepentingan nasional. Berdasarkan UU No. 10 Tahun
2009, pemerintah baik pusat maupun daerah diwajibkan
untuk membuat dokumen perencanaan pembangunan
pariwisata (RIPPARNAS, RIPPARDA).
Berdasarkan visi pariwisata secara nasional
dimana pada tahun 2016 diharapkan kontribusi
pariwisata baik secara makro maupun mikro dapat
meningkat.Kontribusi sektor pariwisata dalam PDB
Nasional diharapkan naik menjadi 11% di tahun 2016
dan dapat menyumbang devisa sebesar Ro 172,8 Triliun
atau naik ekitar 30 triliun rupiah dari tahun 2015. Target
kenaikan devisa negara yang diperoleh sejalan dengan
fokus pemerintah untuk mendatangkan wisatawan
mancanegara sebanyak 12 juta wisatawan di tahun 2016.
Jumlah wisatawan nusantara selama ini mendominasi
dibandingkan jumlah wisatawan asing oleh karena itu
pemerintah mencoba untuk mulai fokus menarik minat
wisatawan asing berkunjung ke Indonesia. Pemerintah
juga mentargetkan kenaikan indeks daya saing dapat
naik terus setiap tahunnya.
Untuk mencapai target dan visi sektor
pariwisata tahun 2016-2019 maka pemerintah
menetapkan strategi pengembangangan pariwisata.
Strategi pertama untuk mengembangkan pariwisata
adalah menyiapkan masterplan pengembangan kawasan
strategis pariwisata nasional, artinya pemerintah
merencanakan mengembangkan pariwisata per wilayah.
Kedua, pemerintah memfokuskan akselerasi
pembangunan infrastruktur yang mendukung kawasan
strategis pariwisata nasional melalui Kementerian
PUPR. Berdasarkan data Travel and Tourism
Competitiveness Report WEF, 2015, Ketersediaan
infrastruktur pariwisata seperti konektivitas, dengan
ilustrasi, daya saing infrastruktur pariwisata Indonesia
menduduki peringkat 101, sementara Malaysia
peringkat 68 dan Thailand 21. Kualitas sumber daya
manusia dan tenaga kerja di sektor pariwisata Indonesia
berada pada peringkat 53 relatif jauh tertinggal dengan
negara tetangga seperti Singapura peringkat 3, Malaysia
30, dan Thailand 29 oleh karena itu strategi terakhir
adalah mengembangkan institusi, SDM dan UKM
kawasan strategis pariwisata nasional.
Untuk mengembangkan destinasi pariwisata baik
nasional maupun regional maka pemerintah membuat
roadmap/masterplan pengembangan strategis
pariwisata nasional. Masterplan merupakan suatu
susunan ataupun rencana yang tersusun secara
sistematis yang nantinya akan digunakan sebagai dasar
dan pedoman dalam mengembangkan pariwisata
sehingga pelaksanaannya sesuai dengan kebijakan dan
aturan yang ada. Penyiapan masterplan yang telah
disusun sebagai pedoman dalam pengembangan
kawasan strategis pariwisata nasional, dimana terdapat
lima rencana utama untuk membuat konsensus
stakeholder yang kemudian dilanjutkan untuk
menentukan objek dan tujuan prioritas pariwisata.
Selain itu juga diperlukan adanya identifikasi kebutuhan
dari infrastruktur, juga optimalisasi kapasitas kawasan
untuk turis asing sangat perlu diperhatikan sehingga
dapat disusun suatu masterplan untuk kawasan terpadu
untuk kawasan strategis pariwisata.
RIPPARNAS merupakan dokumen Perencanaan
pembangunan pariwisata nasional selama 15 tahun
terhitung sejak tahun 2010- 2025 yang nantinya akan
diacu oleh pemerintah daerah melalui dokumen
RIPPARDA.Arah Kebijakan dan Strategi Pembangunan
Pariwisata Jangka Menengah Nasional secara garis
besar digambarkan dalam RIPPARNAS.
1. Arah kebijakan pembangunan sektor pariwisata
adalah pengembangan tujuan wisata agar memiliki
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Terapan SV UGM 2016 | 1515
daya tarik dan berdaya saing di dalam dan luar
negeri dengan beberapa strategi
2. Pemasaran pariwisata nasional diarahkan untuk
3. Arah kebijakan sektor pariwisata salah satunya
dengan pembangunan industri pariwisata
4. Pembangunan kelembagaan pariwisata diarahkan
untuk membangun SDM Pariwisata dan organisasi
kepariwisataan nasional
Selain itu, sektor pariwisata menjadi salah satu
dimensi pembangunan sektor unggulan dalam RKP
(Rencana Kerja Pembangunan) 2017. Dalam
pengembangan destinasi wisata diperlukan koordinasi
dan peran aktif dari pemerintah pusat dalam hal ini
Kemenpar bekerjasama dengan pemerintah daerah.
Pengembangan destinasi wisata, pemerintah telah
menetapkan 10 destinasi prioritas yang akan
dikembangkan di tahun 2017.Peran pemerintah daerah
dalam menyiapkan destinasi antara lain penyiapan objek
wisata kemudian diikuti dengan pembangunan sarana
dan prasarana transportasi bekerjasama dengan
Kementerian PUPR dan Kemenhub. Selain itu
pemerintah daerah juga harus berpartisipasi dalam
pembangunan fasilitas umum dalam kawasan dan
meyiapkan memperkuat kelembangaan pengembangan
destinasi bersama Kemenpar, Kemen BUMN, dan
Kemenkeu.Meskipun tidak ada satupun objek wisata di
Kulon Progo yang termasuk 10 destinasi wisata prioritas
pemerintah pusat 2017 namun lokasi Borobudur yang
berada di Kabupaten Magelang berbatasan dengan
wilayah Kulon Progo. Oleh karena itu penunjukan
Borobudur sebagai salah satu destinasi wisata prioritas
menjadi peluang besar bagi Kulon Progo untuk dapat
memperoleh manfaat dengan mengembangkan wisata
Kulon Progo. Sesuai dengan arah kebijakan pemerintah
pusat yang tertuang dalam RPJMN, RIPPARNAS
maupun RKP 2017 di bidang pariwisata maka
Pemerintah DIY juga melakukan hal yang serupa dan
diteruskan kepada Kabupaten/Kota yang ada termasuk
Kabupaten Kulon Progo. Pemerintah DIY memberikan
saran dan permintaan kepada Pemerintah Kabupaten
Kulon Progo fokus pada pengembangan sektor yang
mendorong pertumbuhan ekonomi secara berkelanjutan
yaitu pertanian, pariwisata dan perdagangan.
Arah kebijakan dan strategi pembangunan
destinasi pariwisata daerah Kabupaten Kulon Progo
tertuang dalam RIPPARDA 2015-2025. Sejalan dengan
arah kebijakan dan strategi pariwisata pemerintah pusat
dan provinsi, Kabupaten Kulon Progo juga membuat
zonasi destinasi/kawasan strategis pariwisata (KSPD).
KSPD yang dibentuk antara lain:
1. Suroloyo-Sendangsono dan sekitarnya: tema
budaya alam pegunungan dan desa wisata, dengan
segmen wisatawan minat khusus,
2. Sermo-Clereng-Wates dan sekitarnya: tema alam
tirta, perkotaan dan desa wisata, dengan segmen
wisatawan minat khusus.
3. Pantai Selatan dan sekitarnya bertema wisata alam,
pantai, dan konservasi, dengan segmen wisatawan
massal,
4. Kiskendo-Gunung Kelir dan sekitarnya bertema
alam, budaya, agro, dan desa wisata dengan segmen
wisatawan minat khusus,
5. Sentolo-Sidorejo dan sekitarnya bertema desa
wisata dan industri kreatif.
Rencana pembangunan mega proyek bandara
internasional yang dilakukan pemerintah pusat-daerah
di Kulon Progo (637 hektare) di daerah Temon,
pembangunan lanjutan Pelabuhan Ikan Adikarto (16,7
hektare) pembangunan pabrik besi baja (2,962 hektare),
dan pengembangan Kawasan Industri Sentolo dan
Lendah di atas tanah seluas 4.700 hektare diharapkan
dapat membangun Kulon Progo dan mendukung
pembangunan pariwisata daerah-nasional. Dalam
rangka optimalisasi dan linkange arah kebijakan
pembangunan pariwisata maka juga akan dibangun jalan
dan penaiktarafan status jalan dari bandara menuju
Candi Borobudur, yang dikenal dengan Bedah Menoreh.
Hal ini tentu saja sejalan dengan penetapan Borobudur
sebagai salah satu destinasi prioritas oleh pemerintah
pusat.
Pembangunan pengembangan pariwisata daerah
harus sinkron dengan pusat. Sinkronisasi pembangunan
pengembangan pariwisata nasional-daerah tercermin
dalam dokumen perencanaan. Pembangunan
pengembangan pariwisata Kulon Progo harus sejalan
dengan Provinsi dan Nasional. Analisis
sinkronisasi/konsistensi yang dilakukan dengan
membandingkan dokumen Perencanaan secara umum
dengan sektor Pariwisata (RPJMN, RPJMD DIY,
RPJMD Kulon Progo, RIPPARNAS, RIPPARDA DIY,
dan RIPPARDA Kulon Progo).
B. Isu-Isu Strategis
Isu strategis merupakan kondisi atau sesuatu yang
harus diperhatikan atau diprioritaskan dalam
perencanaan pembangunan karena dampaknya yang
signifikan bagi entitas (daerah/masyarakat) di masa
datang. Suatu kondisi/kejadian yang menjadi isu
strategis apabila tidak diantisipasi, akan menimbulkan
kerugian yang lebih besar dan atau menimbulkan idle
tidak mendatangkan manfaat sehingga dapat
menghilangkan peluang untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat dalam jangka panjang. Isu-isu
strategis pembangunan sektor pariwisata yang dihadapi
oleh Kabupaten Kulon Progo sebagai berikut:
1. Pengembangan produk wisata/daya tarik wisata
berbasis wisata alam dan budaya relatif cenderung
stagnan
2. Destinasi wisata belum didukung dengan fasilitas
utama dan fasilitas pendukung yang berkualitas dan
terstandar (masih relatif jauh dari pelayanan prima)
3. Kurangnya aksebilitas. Kurang memadainya dan
rendahnya kualitas jaringan aksesibilitas dari titik
simpul distribusi menuju lokasi daya tarik wisata
4. Rendah kualitas SDM dan pengelola desa wisata
maupun destinasi wisata yang berbasis komunitas
dalam mengelola destinasi wisata. Pengelolaan
masih bersifat konvensional dan belum optimal
5. Aksebilitas dan amenitas (fasilitas wisata lainnya)
di desa/ kampung wisata masih belum mencukupi
6. Kuantitas dan kualitas pemasaran (informasi &
promosi) relatif masih sangat kurang
7. Pemahaman dan pelaksanaan sadar wisata dan
sapta pesona sebagian masyarakat pelaku wisata
masih belum optimal. Sebagian besar masyarakat
tidak memiliki background dalam sektor
pariwisata. Isu livelihood change.
1516 |Prosiding Seminar Nasional Teknologi Terapan SV UGM 2016
8. Kelembagaan. Kelembagan dari beberapa destinasi
yang berbasis masyarakat belum terbentuk dengan
baik.
9. Kurangnya minat investasi terhadap pembangunan
dan pengembangan destinasi wisata di Kulon
Progo.
Peran pemerintah diperlukan untuk menjawab isu
strategis yang muncul dalam pembangunan dan
pengembangan pariwisata Kulon Progo dalam bentuk
kebijakan, program kegiatan. Pembangunan dan
pengembangan wisata Kulon Progo perlu
mempertimbangkan kearifan lokal (local wisdom) dan
isu kelestarian lingkungan untuk mendukung visi
Kulon Progo mewujudkan daerah yang lebih maju,
mandiri, sejahtera lahir dan batin.
C. Peran Pemerintah Dalam Pengembangan
Pariwisata
Berdasarkan dinamika perkembangan sektor
pariwisata baik di level nasional maupun daerah (Kulon
Progo) yang mulai menjadi sektor prioritas untuk
mendukung pembangunan ekonomi maka muncul isu
mengenai perubahan ekonomi-sosial masyarakat
maupun “arah kebijakan” pemerintah. Williamson
(2000) menyatakan bahwa perubahan ekonomi-sosial
dapat berjalan dengan baik manakala proses
transformasi kelembangaan sosial masyarakat-
pemerintah berjalan dengan baik. Dalam bidang
pariwisata, pemerintah bertanggung jawab atas empat
hal utama yaitu; perencanaan (planning) daerah atau
kawasan pariwisata, pembangunan (development)
fasilitas utama dan pendukung pariwisata, pengeluaran
kebijakan (policy) pariwisata, dan pembuatan dan
penegakan peraturan (regulation).
Pemunculan objek-objek wisata di Kulon Progo
seringkali diinisiasi oleh masyarakat/komunitas. Objek
wisata dimunculkan oleh masyarakat, dikelola oleh
masyarakat untuk kesejahteraan masyarakat inilah yang
seringkali dikenal dengan community-based tourism.
Pemunculan objek wisata yang dikelola masyarakat
menimbulkan isu livelihood change karena sebagian
besar masyarakat tidak memiliki background dalam
sektor pariwisata sebelumnya. Sebagian besar penduduk
Kulon Progo bekerja di sektor primer (pertanian,
peternakan) oleh karena itu pemahaman maupun
pelaksanaan sadar wisata, sapta pesona dan pelayanan
terhadap wisatawan yang dilakukan oleh sebagian
masyarakat pelaku wisata masih belum optimal.
Perubahan ini sangat berkaitan dengan informal
institutions, budaya/adat/kebiasaan, pola pikir
(Williamson level 1). Menurut Williamson (2000),
perubahan informal institutions menjadi sangat penting
namun memerlukan waktu yang lama (100-1000 tahun)
sehingga perlu dilakukan terus menerus dan dibantu
dengan rekayasa kebijakan pemerintah.
Sumber: Data diolah
Level 2 dari Williamson, untuk membangunkan
dan mengembangkan pariwisata pemerintah Kabupaten
Kulon Progo perlu melakukan identifikasi potensi,
kebutuhan, problem, karakteristik berdasarkan
wilayah/zonasi objek wisata yang ada bersama dengan
perguruan tinggi/akademisi. Hal ini dilakukan agar
pembangunan pariwisata dilakukan berdasarkan data,
fakta dan riset sebagai bahan dalam pembuatan formal
rules baik kebijakan, perencanaan, dan regulasi.
Perencanaan dilakukan dengan berbagai pendekatan
seperti teknokratik (ilmiah berdasarkan data/fakta –
evidence based dibantu oleh akademisi), politik, bottom
up dan partisipatif. Pendekatan bottom up dan
partisipatif artinya ada keterlibatan dan peran
masyarakat dalam menentukan perancanaan dan
menyusun prioritas bersama pemerintah.
Tata kelola menjadi penting dalam proses
pengembangan pariwisata Kulon Progo (level 3). Tata
kelola sektor pariwisata yang baik harus berdasarkan
komitmen-aggreement antara pemerintah dan
masyarakat, isu enforcement terhadap peraturan,
regulasi, dan koordinasi menjadi penting dan
memerlukan kerjasama antara pemerintah dan
masyarakat/komunitas. Level 1-3 merupakan fokus dari
bidang ilmu ekonomi kelembangan (NIE). Isu
kelembagaan sektor pariwisata menjadi penting karena
jika tidak diperhatikan mengakibatkan biaya ekonomi
yang tinggi bagi pembangunan dan pengembangan
sektor pariwisata
Level 4 mengenai alokasi sumber daya, insentif
dan harga, tenaga kerja merupakan fokus pada bidang
ilmu ekonomi neoklasikal yang cenderung lebih pada
peran pasar.Pada level ini peran pemerintah melalui
anggaran APBN/APBD untuk melakukan membiaya
pembangunan seperti fasilitas utama dan fasilitas
pendukung destinasi wisata yang saat ini masih
terkendala baik kuantitas maupun kualitas. Peran
pemerintah dalam level 4 ini untuk menjawab beberapa
isu seperti kurangnya infrastruktur yang mendukung
aksebilitas. Kurang memadainya dan rendahnya kualitas
jaringan aksesibilitas transportasi termasuk jalan dari
titik simpul distribusi menuju lokasi daya tarik wisata.
Pembangunan tempat dan amenities destinasi
wisata (toilet bersih, air bersih, jaringan komunikasi,
faskes) pemasaran (informasi & promosi) yang relatif
masih sangat kurang. Jika bergantung pada anggaran
pemerintah tidak mencukupi, karena anggaran
pemerintah sangat terbatas oleh karena itu peran swasta
sangat diperlukan dalam bentuk investasi. Oleh karena
itu perbaikan iklim investasi di Kulon Progo mutlak
diperlukan untuk menarik investasi. Perbaikan iklim
investasi dapat dilakukan dengan berbagai strategi dan
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Terapan SV UGM 2016 | 1517
kerjasama antar level pemerintahan (kabupaten/kota-
provinsi-pusat). Reformasi birokrasi untuk
mempercepat dan menyederhanakan proses pengadaan
tanah, pembenahan iklim ketenagakerjaan agar menarik
dan tidak memberatkan dunia usaha. Investasi sangat
penting dalam pembiayaan pembangunan sehingga
pembangunan tidak hanya mengandalkan sumber dana
APBN/D semata. Penglibatan sektor swasta dalam
bentuk investasi juga merupakan penerapan konsep
pentahelik dalam pembangunan bersama masyarakat
dan akademisi sehingga pembangunan Indonesia
menjadi milik bersama.
Peran pemerintah Kabupaten Kulon Progo dalam
pembangunan sektor pariwisata Kulon Progo dapat
dilihat dari program kegiatan yang dilakukan. Beberapa
program untuk mendukung pengembangan pariwisata
yang telah dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Kulon
Progo yang tertuang dalam Renja SKPD Dinas
Pariwisata Pemuda dan Olah Raga Bidang Pariwisata
2015 antara lain Pengembangan Destinasi Pariwisata,
Pengembangan Pemasaran Pariwisata dan
Pengembangan Kemitraan.Pemerintah Kabupaten
Kulon Progo secara kelembagaan telah membentuk
Kelompok Sadar Wisata (POKDARWIS) untuk
mengembangkan potensi yang ada di di setiap
kecamatan. Tujuan dibentuknya POKDARWIS adalah
untuk mengelola dan mengembangkan potensi
pariwisata baik pengelolaan wilayah maupun sarana dan
prasarana.
Pemerintah Kulon Progo memiliki banyak
program untuk mengembangkan pariwisata Kulon
Progo, namun belum semua wilayah di Kulon Progo
menjadi prioritas pemerintah untuk dikembangkan
karena keterbatasan sumber daya. Prioritas kebijakan
maupun program kegiatan di sektor pariwisata perlu
dikomunikasikan dengan baik kepada
masyarakat/komunitas. Menurut beberapa key
informant dari berbagai pengelola destinasi wisata di
Kulon Progol, sosialisasi dan komunikasi antara
pemerintah-masyarakat/komunitas perlu ditingkatkan
terkait program prioritas sehingga masyarakat pun dapat
memahami daerah mana saja dan apa yang menjadi
alasan pemerintah untuk memprioritaskan wilayah-
wilayah tertentu saja sehingga masyarakat/komunitas
tidak merasa terabaikan peranananya.
III. PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas maka dapat
disimpulkan bahwa potensi, peluang dan tantangan
pembangunan sektor pariwisata Kulon Progo cukup
besar. Jumlah wisawatan baik nusantara maupun asing
ke Kulon Progo masih relatif rendah jika dibandingkan
dengan kabupaten/kota lainnya di Daerah Istimewa
Yogyakarta sehingga meskipun pendapatan daerah yang
diperoleh dari sektor pariwisata terus meningkat dari
tahun ke tahun namun jika dibandingkan dengan
kabupaten/kota lain di DIY hasil yang dicapai Kulon
Progo belum optimal. Kebijakan yang dilakukan
pemerintah pusat maupun daerah di bidang
pembangunan ekonomi pariwisata mencakup
pembangunan pengembangan terhadap aspek destinasi
wisata, pemasaran pariwisata, industri pariwisata dan
kelembagaan. Kebijakan tersebut tercantum dalam
dokumen perencanaan sektor pariwisata RIPPARNAS-
RIPPARDA. Penetapan destinasi prioritas oleh
pemerintah pusat 2017 diikuti oleh Pemerintah
Kabupaten Kulon Progo dengan penetapan 5 zonasi
destinasi/kawasan strategis pariwisata (KSPD).
Kebijakan di sektor pariwisata juga diikuti dengan
kebijakan investasi terutama infrastruktur melalui
perbaikan iklim investasi dan pembangunan mega
proyek di Kulon Progo (Pemerintah pusat-propinsi)
untuk memantik pembangunan ekonomi dan sektor
pariwisata.
Kebijakan sektor pariwisata yang tercermin dalam
dokumen perencanaan perencanaan sektor pariwisata
RIPPARNAS-RIPPARDA menunjukkan bahwa
perencanaan sektor pariwisata yang dilakukan oleh
pemerintah Kabupaten Kulon Progo konsisten dengan
Provinsi DIY dan pemerintah pusat. Konsistensi
tersebut terlihat jelas dari visi pembangunan sektor
pariwisata untuk mewujudkan destinasi pariwisata yang
berdaya saing,berkelanjutan, mandiri dan mampu
mendorong pembangunan daerah dan meningkatkan
kesejahterakaan masyarakat.
Isu strategis dalam pembangunan sektor pariwisata
(kualitas SDM, pengembangan destinasi wisata,
kelembagaan, dan promosi) memerlukan rekayasa dan
intervensi pemerintah. Rekayasa pemerintah/intervensi
pemerintah dilakukan dengan kebijakan, program dan
kegiatan. Program kegiatan yang dilakukan Pemerintah
Kabupaten Kulon Progo melalui Dinas Pariwisata
Pemuda dan Olah raga bidang pariwisata diharapkan
dapat mempengaruhi perilaku/mindset pelaku wisata
untuk lebih paham dan sadar wisata sebagai antisipasi
adanya perubahan matapencaharian sebagian besar
penduduk Kulon Progo (non sektor pariwisata berubah
ke sektor pariwisata).
Peran dan keterlibatan pemerintah dalam
mengawal proses transformasi matapencaharian yang
diikuti dengan transformasi kelembagaan di sektor
pariwisata mutlak diperlukan. Peran pemerintah dan
swasta juga diperlukan dalam pembangunan
infrastruktur utama destinasi wisata maupun
infrastruktur pendukung. Pemerintah perlu mengawasi
dan mengendallikan pembangunan destinasi wisata agar
lestari (sustainable) dengan memperhatikan isu
kapasitas, daya dukung dan kelestarian lingkungan
terutama untuk kawasan/destinasi wisata yang berbasis
alam.
B. Saran
Kebijakan regulasi dan perencanaan
pembangunan sektor pariwisata baik di level
pemerintah pusat-daerah terutama Kabupaten Kulon
Progo secara dokumen relatif sudah sangat bagus
namun pemerintah perlu memperkuat aspek
kelembagaan, perubahan sosial-ekonomi-budaya
masyarakat, koordinasi antar stakeholder, law
enforcement dan isu lingkungan terutama untuk
destinasi wisata berbasis alam. Pemerintah perlu terus
memperhatikan perubahan sosial-ekonomi-budaya
masyarakat di sekitar destinasi wisata agar tidak
menimbulkan dampak yang sangat negatif terhadap
lingkungan alam dan mengawal proses transformasi
sosial ekonomi-budaya masyarakat agar lancar dalam
jangka panjang sehingga masyarakat Kabupaten Kulon
Progo tidak latah dalam mengembangkan sektor
pariwisata.
1518 |Prosiding Seminar Nasional Teknologi Terapan SV UGM 2016
IV. DAFTAR PUSTAKA
1. Ali, D. 2004."Pemanfaatan Potensi Sumberdaya
Pantai sebagai Obyek Wisata dan TIngkat
Kesejahteraan Masyarakat Sekitar Lokasi Wisata",
thesis
2. Bahar, A & R. Tambaru. 2012. "Analisis
Kesesuaian dan Daya Dukung Kawasan Wisata
Bahari di Kabupaten Polewali Mandar," –
3. Baum, Tom. 2015. Human resources in tourism:
Still waiting for change?eA2015 Reprise. Tourism
Management 50 pg 204-212
4. Boukas Nikolaos, Ziakas Vassilios. 2015.
“Tourism Policy And Residents' Well-Being In
Cyprus: Opportunities And Challenges For
Developing An Inside-Out Destination
Management Approach”. Journal Of Destination
Marketing & Management
5. Brokaj Rezarta. 2014. “Local government`s Role
in The Sustainable Tourism Development of A
Destination”. European Scientific Journal
November 2014 Edition vol.10, No.31
6. Bungin, Burhan. 2010. Penelitian Kualitatif:
Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, Dan
Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Kencana
7. Buzinde, C. N., Kalavar, J. M., & Melubo, K.
2014. “Tourism and community well-being: The
case of the Maasai in Tanzania”. Annals of
Tourism Research, 44, 20–35
8. Denzin, N. K., & Lincoln Y. S. (Eds.). 2008.
Collecting And Interpreting Qualitative Materials
(3rd Ed.) Thousand Oaks, CA: Sage.
9. Dwyer Larry, Forsyth Peter, Spurr Raymond.
2016. “Tourism Economics And Policy Analysis:
Contributions And Legacy Of The Sustainable
Tourism Cooperative Research Centre. Journal Of
Hospitality And Tourism Management Xxx (2016)
10.
Elliott James. 1997. Tourism Politics and Public Sector
Management. Routledge: London and New York
11. Goeldner, C. R. & Ritchie, J. R. B. 2006. Tourism:
Principles, Practices, Philosophies. John Wiley &
Sons Inc., New Jersey
12. Hall, M. C. 2005. The Future Of Tourism
Research. In: Ritchie, B. (Ed.) Tourism Research
Methods: Integrating Theory With Practice, CABI
Publishing, Pp.: 221-231
13.
Javier Aser B and Elazigue Dulce B. 2011.
“Opportunities and Challenges in Tourism
Development Roles of Local Government Units in
the Philippines”. Presented in Annual Conference
of the Academic Network of Development Studies
in Asia (ANDA). Skills Development for New
Dynamism in Asian Developing Countries under
Globalization. March 5-7, 2011 Symposion Hall,
Nagoya University Japan. Japan Society for the
Promotion of Science (JSPS) and Nagoya
University
14.
Jaya, Wihana Kirana. 2010. “Kebijakan Desentralisasi
di Indonesia dalam Perspektif Teori Ekonomi
Kelembagaan”. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru
Besar dalam Ilmu Ekonomi UGM. Yogyakarta
15. Joanne Connell, Stephen J. Page and Tim Bentley.
2009. Towards sustainable tourism planning in
New Zealand: Monitoring local government
planning under the Resource Management Act.
Tourism Management 30 pg 867–877
16. Kelly, E. D., & Becker, B. 2000. Community
Planning: An Introduction To The Com-
Prehensive Plan. Washington, DC: Island Press
17. Kementerian Pariwisata Indonesia. 2014. Laporan
Kinerja Kementerian Pariwisata 2014.
Kementerian Pariwisata Indonesia
18. Kementerian Pariwisata. 2014. Neraca Satelit
Pariwisata Nasional (NESPARNAS) 2010 – 2014.
Kementerian Pariwisata Indonesia
19. Kunst Ivo. 2011. “The Role Of The Government In
Promoting Tourism Investment In Selected
Mediterranean Countries - Implications For The
Republic Of Croatia”.Tourism And Hospitality
Management, Vol. 17, No. 1,Pp. 115-130
20. Maria D. Alvarez and Bengi Ertuna. 2016. Barriers
to stakeholder involvement in the planning of
sustainable tourism: the case of the Thrace region
in Turkey. Journal of Cleaner Production 111
pg.306-317
21. Mclennan Char-Lee J, Ritchie Brent W, Ruhanen
Lisa M and Moyle Brent D. 2014. “An Institutional
Assessment Of Three Local Government-Level
Tourism Destinations At Different Stages Of The
Transformation Process”. Tourism Management
41 (2014) 107-118
22. Moustakas, C. 1994. Phenomenological Research
Methods. Thousand Oaks, CA: Sage
23. North, Douglass C. 1995. “Institutions and the
Performance of Economies Over Time” in:
Menard, Claude and Mary M. Shirley (2005).
Handbook of New Institutional Economics.
Springer-Verlag. Berlin
24. Petrevska Biljana. 2012. “The Role Of
Government In Planning Tourism Development In
Macedonia”.Innovative Issues And Approaches In
Social Sciences, Vol. 5, No. 3, IIASS – Vol. 5, No.
3, September 2012
25. Sinclair M. Thea and Stabler Mike, 1997. The
Economics of Tourism. Routledge: London and
New York
26. Smith, Stephen L.J and Nunkoo, Robin. Robin
Nunkoo. 2013. Political economy of tourism: Trust
in government actors, political support, and their
determinants. Tourism Management 36 pg 120-
132
27. Sofield, T. H. 2000. Empowerment For
Sustainable Tourism Development. Oxford:
Elsevier
28. Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Kuantitatif
dan Kualitatif. Gramedia Pustaka Utama.
Jakarta
29. UK Government. 2011. Government Tourism
Policy (Report). United Kingdom
30. Vanhove Norbert. 2005. The Economics of
Tourism Destinations. Elsevier
31. Vincentia Reni Vitasurya. 2016. Local
Wisdom for Sustainable Development of Rural
Tourism, Case on Kalibiru and Lopati Village,
Province of Daerah Istimewa Yogyakarta.
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Terapan SV UGM 2016 | 1519
Procedia - Social and Behavioral Sciences 216
pg 97 – 108
32. Williamson, Oliver E. 2000. “The New
Instituitional Economics: Taking Stock,
Looking Ahead”. Journal of Economic
Literature. Vol. XXXVIII