self esteem dengan resiliensi pada siswa sekolah … · 2017. 7. 18. · menghargai diri sendiri,...

33
HUBUNGAN ANTARA SELF ESTEEM DENGAN RESILIENSI PADA SISWA SEKOLAH MENENGAH PASCA BENCANA BANJIR DAN TANAH LONGSOR DI DAERAH BATU GAJAH AMBON OLEH VENESSA MARGARETH T. 80 2011 085 TUGAS AKHIR Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA 2016

Upload: others

Post on 09-Feb-2021

8 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • HUBUNGAN ANTARA SELF ESTEEM DENGAN RESILIENSI PADA SISWA SEKOLAH

    MENENGAH PASCA BENCANA BANJIR DAN TANAH LONGSOR DI DAERAH BATU

    GAJAH AMBON

    OLEH

    VENESSA MARGARETH T.

    80 2011 085

    TUGAS AKHIR

    Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan Untuk

    Mencapai Gelar Sarjana Psikologi

    Program Studi Psikologi

    FAKULTAS PSIKOLOGI

    UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

    SALATIGA

    2016

  • HUBUNGAN ANTARA SELF ESTEEM DENGAN RESILIENSI PADA SISWA SEKOLAH

    MENENGAH PASCA BENCANA BANJIR DAN TANAH LONGSOR DI DAERAH BATU

    GAJAH AMBON

    Venessa Margareth T.

    Heru Astikasari S. Murti

    Program Studi Psikologi

    FAKULTAS PSIKOLOGI

    UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

    SALATIGA

    2016

  • i

    Abstrak

    Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui signifikansi hubungan self esteem dengan

    resiliensi. Sebanyak 70 orang diambil sebagai sampel yang dilakukan dengan

    menggunakan teknik sampel jenuh. Metode penelitian yang dipakai dalam

    pengumpulan data dengan metode skala, yaitu State SES (Self-Estem Scale) yang

    disusun oleh Heatherton & Polivy (1991) sebagai skala self esteem dan CD-RISC

    (Connor Davidson Resilience Scale) yang disusun oleh Connor & Davidson (2013)

    sebagai skala resiliensi. Teknik analisa data yang dipakai adalah teknik korelasi

    Spearman’s Rho. Dari hasil analisa data diperoleh koefisien korelasi (r) 0,792 dengan

    nilai signifikansi 0,000 (p< 0,05) yang berarti ada hubungan positif yang signifikan

    antara antara self esteem dengan resiliensi. Hal ini bermakna bahwa self esteem yang

    rendah akan diikuti pula dengan resiliensi yang rendah, dan sebaliknya.

    Kata Kunci : Self Esteem, Resiliensi

  • ii

    Abstract

    The aim of this research is to know about the significance of the relationship between

    self esteem and resilience. A total of 70 people were taken as samples with using

    saturated sampling as the technique sampling. The research method that used in data

    collection is scale method, that is State SES (Self-Estem Scale) that composed by

    Heatherton & Polivy (1991) as the self esteem scale and CD-RISC (Connor Davidson

    Resilience Scale) that composed by Connor & Davidson (2013) as the resilience

    scale. The data analysis technique that we use is Spearman’s Rho technique. From

    the data analysis, we found that correlation coeficient (r) is 0,792 with significance

    value at 0,000 (p

  • PENDAHULUAN

    Indonesia merupakan wilayah yang paling rawan terhadap bencana di kawasan

    Asia Tenggara, terkait dengan kondisi geografis, gerologis, hidrologis, dan demografis

    yang memungkinkan terjadinya bencana, baik yang disebabkan oleh faktor alam, faktor

    non alam, maupun faktor manusia (Pusat Penanggulangan Krisis Depkes RI,2008).

    Tercatat setidaknya 257 kejadian bencana terjadi di Indonesia dari keseluruhan 2866

    kejadian bencana alam di Asia selama periode tersebut. Hampir di setiap pelosok di

    Indonesia pernah mengalami bencana alam, seperti Pulau Sumatera, Jawa, dan Maluku.

    Maluku menjadi salah satu daerah yang rawan terjadinya bencana alam. Selama periode

    1 Januari sampai 4 Agustus 2012 jumlah korban meninggal akibat bencana di Maluku

    mencapai 110 orang. Tercatat 33 orang meninggal akibat banjir dan tanah longsor,

    diantaranya longsor pada 19 Juni 2012 di kecamatan Sirimau, yang menyebabkan 11

    orang meninggal. Pada 1 Agustus 2012, korban meninggal sebanyak 10 orang. Selain

    itu, 17 korban mengalami luka-luka akibat banjir, sehingga mereka harus menjalani

    perawatan medis. Bukan hanya itu, banjir dan tanah longsor juga memaksa lebih dari

    4000 warga mengungsi ke tempat yang lebih aman, yang telah disediakan pemerintah.

    Bukan hanya memakan korban jiwa, bencana alam ini juga menyebabkan banyak rumah

    yang rata dengan tanah dan rusak seperti di Desa Batu Merah, Kelurahan Waihoka,

    Kelurahan Karang Panjang, Desa Hatiwe Kecil, Batu Gajah, Batu Meja Kecamatan

    Sirimau, Kelurahan Kudamati, Kelurahan Mangga Dua, Kecamatan Nusaniwe, Desa

    Waiheru Kecamatan Baguala, dan Desa Wayame Kelurahan Teluk Ambon.

    Pada tahun 2012, dari semua wilayah, daerah Batu Gajah merupakan salah satu

    wilayah yang mengalami bencana alam yang cukup parah, di mana sebagian rumah

    hancur tertimbun tanah, sehingga menyebabkan banyak keluarga harus mengungsi.

  • Bukan hanya longsor, tapi luapan air dari kali Batu Gajah juga menyebabkan beberapa

    rumah mengalami kerusakan yang cukup parah. Ini bukan yang pertama terjadi di

    kawasan Batu Gajah, dua tahun sebelumnya juga bencana yang sama.

    Tekanan yang terjadi dalam kehidupan merupakan proses yang tidak terkecuali

    dialami oleh semua individu, salah satunya adalah tekanan akibat bencana alam dan

    konflik, namun yang membedakan antara individu yang satu dengan lainnya adalah

    pada keberhasilan individu dalam beradaptasi dengan tekanan-tekanan yang ada. Bagi

    individu yang mampu beradaptasi dengan baik, mereka akan menghasilkan performa-

    performa positif dalam hidupnya, sebaliknya bagi individu yang kurang mampu

    beradaptasi mereka akan tetap berada dalam kondisi tidak menyenangkan tersebut.

    Istilah yang menggambarkan kualitas pribadi yang memungkinkan individu dan

    komunitasnya untuk tumbuh walaupun berada dalam ketidakberuntungan disebut

    resiliensi (Connor, 2006). Menurut Luthar (dalam MacDermid, Samper, Schwarz,

    Nishida & Nyaronga, 2008), resiliensi didefinisikan sebagai suatu fenomena atau proses

    yang secara relative mencerminkan adaptasi positif saat mengalami ancaman atau

    trauma yang signifikan.

    Secara umum resiliensi dipahami sebagai kemampuan untuk tetap bangkit

    kembali melanjutkan kehidupan yang sudah porak poranda sebagai akibat dari hebatnya

    kesulitan yang dialami. Resiliensi dipahami sebagai kemampuan untuk bangkit kembali

    dari tantangan yang dapat timbul dalam hidup (Campbell-Sills & Stein, 2007). Dalam

    konteks bencana, resiliensi berarti kapasitas atau kemampuan untuk menghadapi atau

    bangkit dari bencana (Keim, 2008). Dengan demikian resiliensi adalah kemampuan

    untuk mengadaptasi dan bangkit dari bencana. Seseorang atau komunitas yang resilien

    terhadap peristiwa alam lebih berpotensi untuk menangkis peristiwa alam menjadi

  • bencana, dan sekalipun terjadi bencana mereka dengan mudah dapat bangkit dari

    bencana tersebut, sehingga peristiwa alam tidak mesti menjadi ancaman yang cukup

    berarti.

    Brenda (2008) menyatakan bahwa kondisi siswa yang belajar di tempat yang

    mengalami bencana, penuh dengan konflik dan wilayah yang pernah terkena bencana

    mengalami kondisi rasa tidak aman. Frank, dkk. (2006) mengatakan bahwa bencana

    banyak menimbulkan dampak psikologis, khusus terjadi pada anak-anak dan remaja.

    Gejala yang mereka alami rata-rata trauma, gangguan emosional, dan depresi. Frank,

    et.al. (2006) mengungkapkan bahwa penyebab dampak paling besar yang dialami oleh

    anak dan remaja karena mereka belum mempunyai pengalaman tentang musibah dan

    kesulitan hidup.

    Vijayakumar et. al. (2006) menyatakan bahwa anak dan remaja yang memiliki

    kemampuan resiliensi cenderung akan bisa melewati keadaan hidup yang menyulitkan,

    seperti dalam keadaan bencana. Resiliensi merupakan suatu hal yang penting untuk

    diteliti karena pengembangan resiliensi dapat meningkatkan kerentanan terhadap trauma

    dan berguna pada masa perkembangan selanjutnya (Clauss-Ehlers, et.al., 2008).

    Ibeaghad, dkk., (dalam Masdianah, 2010) menyebutkan bahwa salah satu faktor

    yang mempengaruhi resiliensi adalah faktor protektif. Faktor protektif adalah hal-hal

    yang membuat individu bertahan dari dampak yang diakibatkan oleh tekanan yang

    diterima, membantu mengatasi keadaan tidak menyenangkan tersebut dan mampu

    menyesuaikan diri dalam keadaan mengancam tersebut (Ibeaghad, dkk, 2004). Sejalan

    dengan definisi tersebut dikatakan pula bahwa faktor protektif adalah keadaan yang

    mengurangi dampak dari stres dini dan cenderung memprediksi hasil positif dari

    keadaan tidak menyenangkan (Maten & Coatsworth, dalam Papaplia, 2004). Faktor

  • protektif berasal dari dua sumber yaitu internal dan eksternal. Faktor protektif internal

    meliputi self-esteem dan self-eficcacy, sedangkan faktor protektif eksternal meliputi

    keluarga, sekolah dan lingkungan sehari-hari. Berdasarkan pendapat tersebut, dapat

    dikatakan bahwa self esteem merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi resiliensi.

    Linquanti (dalam Iqbal, 2011) memberikan definisi resiliensi sebagai kualitas

    dalam diri anak yang walaupun dihadapkan dengan kejadian-kejadian yang tidak

    menyenangkan dalam hidup tidak mengalami kegagalan dalam hal kehidupan

    akademisnya. Paavola (1995) mengatakan bahwa sekolah merupakan lingkungan di

    mana anak tidak hanya memperoleh pelajaran akademik, tetapi merupakan tempat

    mereka memperoleh pengalaman, interaksi sosial dan emosional dengan orang dewasa

    dan teman sebayanya, yang memungkinkan mereka memupuk harga diri (self-esteem)

    dan mengembangkan kompetensi sosialnya. Pengalaman ini sangat penting untuk

    meningkatkan prospek keberhasilannya dikemudian hari dalam membina hubungan

    sosial, karier, dan pencapaian cita-cita pribadinya.

    Untuk dapat mengkategorikan anak sebagai siswa yang resilien sebelumnya

    harus terdapat dua kriteria yang harus dipenuhi (Iqbal, 2011). Pertama, terdapat sebuah

    keadaan yang merupakan ancaman atau sifatnya berbahaya bagi individu tersebut

    seperti cacat, kekerasan, kemiskinan, bencana alam, perceraian, dan sebagainya. Kedua,

    individu memiliki kemampuan untuk menyesuaikan dirinya dengan keadaan tidak

    menyenangkan tersebut dengan baik. Keadaan yang sifatnya berbahaya dan mengancam

    anak serta memungkinkan timbulnya hasil negatif dari kejadian yang dialami disebut

    sebagai faktor resiko (Mash & Wolfe, 2005).

    Chaplin (2000) menyatakan bahwa self esteem adalah penilaian diri yang

    dipengaruhi sikap, interaksi penghargaan, dan penerimaan orang lain terhadap individu.

  • Pendapat lain yang dikemukakan oleh Arndt & Pelham (dalam Walgito, 2010)

    menyebutkan bahwa self esteem adalah evaluasi seseorang terhadap dirinya sendri,

    dapat berupa positif maupun negatif. Menurut Minchinton (1995) self-esteem adalah

    penilaian terhadap diri sendiri dan merupakan tolak ukur harga diri kita sebagai seorang

    manusia, berdasarkan pada kemampuan penerimaan diri dan perilaku sendiri atau tidak.

    Self-esteem dapat juga dideskripsikan sebagai penghormatan terhadap diri sendiri atau

    perasaan mengenai diri yang berdasarkan pada keyakinan mengenai apa dan siapa diri

    kita sebenarnya. Menurut Heatherton & Polivy (1991) ada tiga aspek resiliensi yaitu

    psyhcial self esteem, social self esteem, dan performance self esteem.

    Hasil penelitian Hidayati (2014) menyebutkan bahwa ada hubungan positif yang

    signifikan antara self-esteem dengan resiliensi. Semakin tinggi nilai self-esteem maka

    akan semakin tinggi resiliensi remaja sekolah menengah, sebaliknya semakin rendah

    nilai self-esteem maka semakin rendah pula resiliensinya. Menurut Synder & Lopez

    (dalam Harmi, 2012) bahwa self-esteem merupakan faktor internal yang mempengaruhi

    pembentukan resiliensi seseorang. Individu dengan self-esteem yang tinggi mampu

    menghargai diri sendiri, melakukan penilaian baik terhadap diri sendiri dengan

    menerima kemampuan yang dimilikinya, menerima segala kekurangan yang dimiliki,

    bertanggung jawab atas hidup yang dijalaninya dengan menerima kenyataan baik

    maupun buruk yang terjadi dalam kehidupannya. Individu tersebut tidak hanya

    memikirkan dirinya sendiri tetapi juga mampu menghargai orang lain dan memiliki

    relasi sosial atau hubungan yang baik terhadap orang-orang disekitarnya. Hal tersebut

    akan membentuk individu yang memiliki resiliensi tinggi.

    Bertolak belakang dari hasil-hasil penelitian sebelumnya, Kaya (2007) dalam

    penelitiannya tentang hubungan self-esteem dengan resiliensi pada siswa di Asrama

  • Daerah Sekolah Dasar menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara

    self-esteem dengan resiliensi karena siswa yang tinggal di asrama menghabiskan sedikit

    waktu mereka dengan keluarga mereka, menerima sedikit dukungan dari keluarga

    mereka yang menyebabkan self esteem mereka rendah walaupun resiliensi mereka

    tinggi.

    Fenomena yang didapati penulis berdasarkan wawancara yang dilakukan oleh

    beberapa anak dan orang tua dari korban bencana banjir pada tanggal 10 Januari 2015,

    ditemukan bahwa setiap anak yang menjadi korban banjir dan tanah longsor memiliki

    harga diri (self esteem) yang rendah, sehingga saat bencana itu terjadi mereka tidak

    mempu menghadapai bencana yang datang, mereka juga diduga mempunyai resiliensi

    yang rendah karena mereka tidak mampu bangkit dari rasa trauma dan takut akibat

    bencana banjir yang mereka alami. Setiap anak yang kehilangan keluarga maupun

    rumah tempat mereka tinggal pastinya akan mengalami trauma saat hujan datang.

    Karena saat hujan, mereka akan merasa takut dan khawatir untuk melakukan aktivitas,

    seperti bersekolah. Mereka masih tetap waspada saat hujan turun. Dengan demikian,

    mereka tidak akan ke sekolah dan motivasi belajar mereka akan berkurang akibat

    trauma akan bencana alam yang menimpa mereka. Hal ini didukung dari tempat tinggal

    sementara (barak) yang dipinjamkan pemerintah oleh korban bencana banjir yang

    berlokasi di daerah bencana tersebut. Anak-anakpun akan semakin sulit untuk keluar

    dari situasi-situasi tertentu seperti trauma akan bencana banjir dan itu sangat

    berpengaruh pada masa depan mereka di dunia pendidikan.

    Melihat hasil penelitian dan fenomena yang ada, maka penulis ingin melakukan

    penlitian lebih lanjut mengenai hubungan antara self-festeem dengan resiliensi pada

    siswa di daerah Batu Gajah Ambon. Alasan peneliti memilih judul ini ialah, karena

  • dalam penelitian sebelumnya hanya meneliti tentang hubungan self esteem dengan

    resiliensi bagi anak-anak di panti asuhan sehingga peneliti ingin meneliti apakah ada

    hubungan self esteem pada siswa pasca bencana banjir dan tanah longsor.

    Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan sebelumnya maka yang

    menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah adakah hubungan antara self esteem

    dengan resiliensi pada siswa yang mengalami bencana abnjir damn tanah longsor di

    Daerah Batu Gajah Ambon. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adakah

    hubungan antara self-esteem dengan resiliensi pada siswa pasca bencana banjir dan

    tanah longsor di daerah Batu Gajah Ambon.

    TINJAUAN PUSTAKA

    RESILIENSI

    1. Definisi

    Menurut Wolins (dalam Ekasari & Andriyani, 2013) menyatakan bahwa

    resiliensi adalah kemampuan luar biasa yang dimiliki individu dalam menghadapi

    kesulitan, untuk bangkit dari kesulitan yang menjadi fondasi dari semua karakter

    positif dalam membangun kekuatan emosional dan psikologis sehat.

    Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa resiliensi

    adalah kemampuan luar biasa yang dimiliki individu dalam menghadapi kesulitan,

    untuk bangkit dari kesulitan yang menjadi fondasi dari semua karakter positif dalam

    membangun kekuatan emosional dan psikologis sehat serta menjadi suatu kualitas

    seseorang dalam hal kemampuan untuk menghadapi penderitaan.

    2. Aspek-aspek

    Conor & Davidson (2003) disebutkan ada lima aspek tentang resiliensi yang

    menjelaskan tentang resiliensi siswa yang mengalami konflik yaitu :

  • a. Kompetensi pribadi, standar yang tinggi dan keuletan. Kompetensi pribadi

    memperlihatkan bahwa seseorang merasa sebagai orang yang mampu mencapi

    tujuan dalam situasi kemunduran atau kegagalan.

    b. Percaya pada diri sendiri, memiliki toleransi terhadap afek negatif dan kuat/tegar

    dalam menghadapi stres. Aspek ini berhubungan dengan ketenangan, cepat

    melakukan coping terhadap stres, berpikir secara hati-hati dan tetap focus

    sekalipun sedang dalam menghadapi masalah.

    c. Menerima perubahan secara positif dan dapat membuat hubungan yang aman

    (secure) dengan orang lain. Aspek berhubungan dengan kemampuan beradaptasi

    atau kemampuan beradapasi jika menghadapi perubahan.

    d. Kontrol diri dalam mencapai tujuan dan bagaimana meminta atau mendapatkan

    bantuan dari orang lain

    e. Pengaruh spiritual yaitu yakin pada Tuhan atau nasib.

    3. Faktor-faktor yang mempengaruhi Resiliensi

    Ibeaghad, dkk., (dalam Masdianah, 2010) mengatakan bahwa seorang anak

    dapat disebut sebagai anak yang resilien apabila mereka memenuhi kriteria yang

    diperlukan. Kriteria pertama adalah terdapatnya sebuah keadaan yang merupakan

    ancaman atau sifatnya berbahaya bagi individu tersebut. Keadaan demikian disebut

    juga sebagai fakor resiko. Kedua, kualitas penyesuaian individu terhadap keadaan

    tersebut sesuai dengan tahap perkembangannya dimana hal ini juga dikenal sebagai

    protektif.

    a. Faktor Resiko

    Mah & Wolf (2005) mendefenisikan faktor resiko sebagai variabel yang

    berkemungkinan memberikan dampak negatif dari kejadian yang dialami

  • individu. Faktor resiko yang melibatkan siswa dapat diklasifikasikan menjadi

    empat jenis yaitu faktor genetik seperti kemunduran mental, faktor prenatal

    seperti masalah kesehatan saat berada dalam kandungan, faktor prenatal yang

    berkaitan dengan penanganan kesehatan dan faktor yang berasal dari lingkungan

    seperti kemiskinan, wilayah konflik, bencana alam, atau perceraian (Rivkel &

    Becker, dalam Berns 2007)

    b. Faktor Protektif

    Faktor protektif adalah hal-hal yang membuat individu bertahan dari

    dampak yang diakibatkan oleh tekanan yang diterima, membantu mengatasi

    keadaan tidak menyenangkan tersebut dan mampu menyesuaikan diri dalam

    keadaan mengancam tersebut (Ibeaghad, dkk, 2004). Sejalan dengan definisi

    tersebut dikatakan pula bahwa faktor protektif adalah keadaan yang mengurangi

    dampak dari stres dini dan cenderung memprediksi hasil positif dari keadaan tidak

    menyenangkan (Maten & Coatsworth, dalam Papaplia, 2004). Faktor protektif

    berasal dari dua sumber yaitu internal dan eksternal. Faktor protektif internal

    meliputi self-esteem dan self-eficcacy ,sedangkan faktor protektif eksternal

    meliputi keluarga, sekolah dan lingkungan sehari-hari.

    B. SELF-ESTEEM

    1. Definisi

    Menurut Rosenberg (1979), self esteem adalah evaluasi diri seseorang

    terhadap kualitas atau keberhargaan diri sebagai manusia. Self esteem adalah

    perasaan terhadap diri, seperti perasaan bangga mempunyai gambaran positif

    terhadap diri (Schunk et.al., 2008). Rosenberg (dalam Mruk, 2006) menyatakan

    bahwa self esteem yang tinggi mengekspresikan perasaan bahwa individu tersebut

  • “cukup baik”. Individu akan merasa bahwa ia adalah orang yang berharga; ia

    menghargai dirinya sebagaimana adanya, namun ia tidak mengagumi dirinya atau

    berharap orang lain kagum dengan dirinya. Dia tidak menganggap dirinya

    superior dibandingkan orang lain. Sebaliknya, Rosenberg & Owens (dalam Murk,

    2006) individu dengan self esteem rendah akan memiliki karakteristik antara lain

    hipersentivitas, perasaan tidak stabil atau tidak aman, tidak percaya diri, lebih

    peduli untuk melindungi diri dari hal yang menyakitkan dibandingkan

    mengatualisasikan kesempatan dan menikmati hidup, ketidakmampuan

    mengambil resiko, memiliki gejala-gejala depresi secara umum yakni kesepian,

    perasaan keterasingan, dan lain-lain.

    2. Aspek-aspek

    Menurut Heatherton & Polivy (1991), terdapat tiga aspek dalam self

    esteem individu yaitu,

    a. Performance Self-Esteem

    Performance Self-Esteem mengacu pada kompetensi umum seseorang meliputi

    kemampuan intelektual, performa hasil sekolah, kapasitas diri, percaya diri,

    self efficacy, dan self agency.

    b. Social Self-Esteem

    Social Self-Esteem mengacu pada bagaimana seseorang mempercayai

    pandangan orang lain menurut mereka. Apabila orang lain terutama significant

    others menghargai mereka akan memiliki social self esteem yang tinggi.

    Seseorang dengan social self esteem yang rendah akan merasakan kecemasan

    ketika berada di public dan akan sangat khawatir mengenai image mereka dan

    bagaimana orang lain memandang mereka.

  • c. Physical (Appearance) Self-Esteem

    Physical (Appearance) Self-Esteem mengacu pada bagaimana seseorang

    melihat fisik mereka meliputi skills, penampilan menarik, body image dan juga

    stigma mengenai ras dan etnis.

    C. Dinamika Hubungan antara Self-Esteem dengan Resilliensi

    Menurut Wolins (dalam Ekasari & Andriyani, 2013) menyatakan bahwa

    resiliensi adalah kemampuan luar biasa yang dimiliki individu dalam menghadapi

    kesulitan, untuk bangkit dari kesulitan yang menjadi fondasi dari semua karakter

    positif dalam membangun kekuatan emosional dan psikologis sehat. Ibeaghad,

    dkk., (dalam Masdianah, 2010) menyebutkan bahwa salah satu faktor yang

    mempengaruhi resiliensi adalah self esteem. Menurut Rosenberg (1979), self esteem

    adalah evaluasi diri seseorang terhadap kualitas atau keberhargaan diri sebagai

    manusia.

    Hasil penelitian Hidayati (2014) menyebutkan bahwa ada hubungan positif

    yang signifikan antara self-esteem dengan resiliensi. Semakin tinggi nilai self-

    esteem maka akan semakin tinggi resiliensi remaja sekolah menengah, sebaliknya

    semakin rendah nilai self-esteem maka semakin rendah pula resiliensinya. Menurut

    Synder & Lopez (dalam Harmi, 2012) bahwa self-esteem merupakan faktor internal

    yang mempengaruhi pembentukan resiliensi seseorang. Bertolak belakang dari

    hasil-hasil penelitian sebelumnya, Kaya (2007) dalam penelitiannya tentang

    hubungan self-esteem dengan resiliensi pada siswa di Asrama Daerah Sekolah

    Dasar menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara self-esteem

    dengan resiliensi karena siswa yang tinggal di asrama menghabiskan sedikit waktu

  • mereka dengan keluarga mereka, menerima sedikit dukungan dari keluarga mereka

    yang menyebabkan self esteem mereka rendah walaupun resiliensi mereka tinggi.

    Jadi, dapat dikatakan bahwa self esteem adalah faktor pembentuk resiliensi.

    Self esteem yang tinggi dapat membentuk resiliensi yang tinggi pula. Sebaliknya,

    self esteem yang rendah dapat membentuk resiliensi yang rendah pula.

    HIPOTESIS

    Berdasarkan tinjauan yang telah dikemukakan di atas, rumusan hipotesis yang

    diajukan dalam penelitian ini adalah terdapat hubungan positif yang signifikan antara

    self-esteem dengan resiliensi siswa sekolah menengah yang mengalami bencana banjir

    dan tanah longsor di daerah Batu Gajah Ambon.

    METODE PENELITIAN

    A. Variabel Penelitian

    Variabel bebas dalam penelitian ini adalah self-esteem sedangkan variabel

    terikat dalam penelitian ini adalah resiliensi.

    B. Populasi dan Sampel Penelitian

    1. Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian (Arikunto, 2006). Ditambahkan

    oleh Nurgiyonto, dkk (2009) yang menyatakan bahwa populasi adalah

    keseluruhan anggota subjek penelitian yang memiliki kesamaan karakteristik.

    Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa menengah yang mengalami

    bencana banjir dan tanah longsor di daerah Batu Gajah Ambon, yang berjumlah

    70 orang.

    2. Sampel adalah sebagian populasi. Menurut Sugiyono (2012) sampel merupakan

    bagian dari jumlah karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut. Teknik

  • sampel yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah teknik sampling jenuh,

    yang merupakan teknik penentuan sampel bila semua anggota populasi

    digunakan sebagai sampel (Sugiyono, 2012), sehingga jumlah sampel yang

    digunakan dalam penelitian ini berjumlah 70 orang.

    C. Pengumpulan Data

    Metode pengumpulan data yang digunakan adalah menggunakan skala

    pengukuran psikologi., yang terdiri dari 2 skala, yaitu skala self esteem dan skala

    resiliensi. Item dalam skala tersebut dikelompokan dalam pernyataan favorable dan

    unfavorable dengan menggunakan 4 alternatif jawaban dari skala Likert yang telah

    dimodifikasi yaitu, Sangat Sesuai (SS), Sesuai (S), Tidak Sesuai (TS), dan Sangat

    Tidak Sesuai (STS). Keseluruhan data diperoleh dari skala psikologi yang telah

    dibagikan kepada subjek. Skala yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

    a) Skala self esteem menggunakan skala State SES (Self-Esteem Scale) yang

    disusun oleh Heatherton & Polivy (1991) yang terdiri dari 3 aspek, yaitu:

    performance self esteem, social self esteem, dan physical (appearance) self

    esteem. Berdasarkan pada perhitungan uji seleksi item dan reliabilitas skala self

    esteem yang terdiri dari 20 item, diperoleh item yang gugur sebanyak 3 item

    dengan koefisien korelasi item totalnya bergerak antara 0,100-0,648. Untuk

    menguji reliabilitas digunakan teknik koefisien Alpha Cronbach dengan

    koefisien Alpha pada skala self esteem sebesar 0,883. Hal ini berarti skala self

    esteem reliabel.

  • Tabel 1 Blueprint Skala Self Esteem

    No. Aspek-aspek Favourable Unfavourable Jumlah

    1. Performance Self

    Esteem

    (1), (9), (14) (4), (5), (18), (19) 7

    2. Social self

    esteem

    (8)*, (10) (2), (13), (15), (17),

    (20)*

    5

    3. Appearance self

    esteem

    (3), (6), (7), (11)*,

    (12)

    (16) 5

    Jumlah 8 9 17

    Keterangan: Item yang diberi tanda (*) adalah item yang gugur.

    b) Skala resiliensi menggunakan skala CD-RISC (Connor Davidson Resilience

    Scale) yang disusun oleh Connor & Davidson (2013) yang terdiri dari 5 aspek,

    yaitu : kompetensi personal, percaya pada diri sendiri, menerima perubahan

    secara positif, kontrol diri, pengaruh spiritual. Berdasarkan pada perhitungan uji

    seleksi item dan reliabilitas skala resiliensi yang terdiri dari 27 item, diperoleh

    diperoleh item yang gugur sebanyak 2 item dengan koefisien korelasi item

    totalnya bergerak antara 0,161-0,616. Untuk menguji reliabilitas digunakan

    teknik koefisien Alpha Cronbach dengan koefisien Alpha pada skala self esteem

    sebesar 0,885. Hal ini berarti skala resiliensi reliabel.

  • Tabel 2 Blueprint Skala Resiliensi

    No. Aspek-aspek Favourable Unfavourable Jumlah

    1. Kompetensi

    pribadi

    (1), (4), (8), (11),

    (16), (23) (21) 7

    2. Percaya pada diri

    sendiri

    (5)*, (6), (12),

    (14)*, (15), (17),

    (18), (19), (22),

    (24)

    - 8

    3. Menerima

    perubahan yang

    positif

    (2), (7), (10),

    (27) - 4

    4. Kontrol diri (25), (26) (13) 3

    5. Pengaruh

    spiritual (3), (7), (9) - 3

    Jumlah 23 2 25

    Keterangan: Item yang diberi tanda (*) adalah item yang gugur.

    HASIL PENELITIAN

    A. Hasil Deskriptif

    Self Esteem

    Kategorisasi pada variabel self esteem dibuat berdasarkan dengan nilai

    tertinggi yang diperoleh, yaitu 4 x 17 = 68 dan nilai paling rendah yaitu 1 x 17 = 17.

    Skala ini, hasil kali nilai tertinggi dengan nilai terendah dibagi menjadi empat

    kategori (sangat tinggi, tinggi, rendah, dan sangat rendah) dengan nilai intervalnya

    sebesar 12,75.

  • Tabel Kategorisasi Self Esteem

    Interval Kategori Mean N Persentase

    55,25 ≤ x ≤ 68 Sangat Tinggi 0 0%

    42,5 ≤ x < 55,25 Tinggi 26 37,14%

    29,75 ≤ x < 42,5 Rendah 41,19 42 60%

    17 ≤ x < 29,75 Sangat Rendah 2 2,86%

    Jumlah 70 100%

    SD = 5,896 Min = 21 Max = 51

    Keterangan: x = Self Esteem

    Data di atas menunjukkan bahwa tidak subjek memiliki skor self esteem yang

    berada pada kategori sangat tinggi dengan persentase 0%, 26 subjek memiliki skor

    self esteem yang berada pada kategori tinggi, dengan persentase 37,14%, 42 subjek

    memiliki skor self esteem yang berada pada kategori rendah dengan persentase 60%,

    dan 2 subjek memiliki skor self esteem yang sangat rendah dengan persentase 2,86%.

    Berdasarkan tabel di atas, dapat dilihat bahwa tingkat self esteem pada siswa sekolah

    menengah yang mengalami bencana banjir dan tanah longsor di daerah Batu Gajah,

    Ambon berada pada kategori rendah, karena persentase self esteem terbesar ada pada

    kategori rendah, yakni sebesar 60%.

    Resiliensi

    Kategorisasi pada variabel resiliensi dibuat berdasarkan dengan nilai tertinggi

    yang diperoleh, yaitu 4 x 25 = 100 dan nilai paling rendah yaitu 1 x 25 = 25. Skala

    ini, hasil kali nilai tertinggi dengan nilai terendah dibagi menjadi empat kategori

    (sangat tinggi, tinggi, rendah, dan sangat rendah) dengan nilai intervalnya sebesar

    18,75.

  • Tabel 2 Kategorisasi Resiliensi

    Interval Kategori Mean N Persentase

    81,25 ≤ x ≤ 100 Sangat Tinggi 0 0%

    62,5 ≤ x < 81,25 Tinggi 0 0%

    43,75 ≤ x < 62,5 Rendah 45,50 42 60%

    25 ≤ x < 43,75 Sangat Rendah 28 40%

    Jumlah 70 100%

    SD = 8,900 Min = 25 Max = 60

    Keterangan: x = Resiliensi

    Data di atas menunjukkan bahwa tidak subjek memiliki skor resiliensi yang

    berada pada kategori sangat tinggi dengan persentase 0%, tidak subjek memiliki skor

    resiliensi yang berada pada kategori tinggi, dengan persentase 0%, 42 subjek

    memiliki skor resiliensi yang berada pada kategori rendah dengan persentase 60%,

    dan 28 subjek memiliki skor resiliensi yang sangat rendah dengan persentase 40%.

    Berdasarkan tabel di atas, dapat dilihat bahwa tingkat resiliensi pada siswa sekolah

    menengah yang mengalami bencana banjir dan tanah longsor di daerah Batu Gajah,

    Ambon berada pada kategori rendah, karena persentase resiliensi terbesar ada pada

    kategori rendah, yakni sebesar 60%.

    B. Uji Asumsi

    Uji Normalitas

    Berdasarkan hasil dari uji normalitas Kolmogorov Smirnov, variabel self

    esteem menghasilkan nilai K-S-Z sebesar 0,732 dengan probabilitas (p) atau

    signifikansi sebesar 0,658 (p>0,05). Sedangkan, pada variabel resiliensi

    menghasilkan nilai K-S-Z sebesar 0,494 dengan probabilitas (p) atau signifikansi

  • sebesar 0,968 (p>0,05). Dengan demikian kedua variabel memiliki distribusi yang

    normal.

    Uji Linearitas

    Hasil uji linearitas diperoleh nilai Fbeda sebesar 0,2141 dengan sig.= 0,017

    (p

  • Pembahasan

    Berdasarkan penelitian mengenai hubungan antara self esteem dengan resiliensi

    pada siswa sekolah menengah yang mengalami bencana banjir dan tanah longsor di

    daerah Batu Gajah Ambon, didapatkan hasil bahwa terdapat hubungan yang signifikan

    dan positif antara self esteem dengan resiliensi pada siswa sekolah menengah yang

    mengalami bencana banjir dan tanah longsor di daerah Batu Gajah Ambon. Berdasarkan

    hasil uji perhitungan korelasi, keduanya memiliki r sebesar 0,792 dengan signifikansi

    sebesar 0,000 (p < 0,05) yang berarti kedua variabel yaitu self esteem dengan resiliensi

    memiliki hubungan yang positif signifikan. Dengan kata lain, semakin rendah self

    esteem, maka semakin rendah resiliensi, dan sebaliknya.

    Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian Hidayati (2014) menyebutkan

    bahwa ada hubungan positif yang signifikan antara self-esteem dengan resiliensi.

    Semakin tinggi nilai self-esteem maka akan semakin tinggi resiliensi remaja sekolah

    menengah, sebaliknya semakin rendah nilai self-esteem maka semakin rendah pula

    resiliensinya. Penelitian Mann, et. al. (2004) juga menemukan bahwa self esteem yang

    rendah bisa memainkan peran penting dalam pengembangan berbagai gangguan mental

    dan masalah-masalah sosial, seperti depresi, kecemasan, kekerasan, perilaku berisiko

    tinggi dan penggunaan narkoba. Masalah-masalah tersebut dapat dialami oleh individu

    karena memiliki resiliensi yang rendah pula.

    Dari uraian di atas, penulis dapat mengatakan bahwa semakin rendah self esteem

    yang ada pada diri siswa, maka rendah pula resiliensi yang dialami, sehingga dapat

    membuat mereka tidak mampu menerima kenyataan. Hal tersebut dikarenakan para

    siswa sekolah menengah yang mengalami bencana banjir dan tanah longsor di daerah

    Batu Gajah Ambon memiliki tingkat self esteem yang rendah, sehingga menyebabkan

  • terjadinya resiliensi yang rendah pula dalam diri mereka, yang diakibatkan oleh

    kurangnya pengalaman yang mereka miliki tentang musibah dan kesulitan hidup.

    Hal ini terlihat dari hasil kajian penelitian di atas, bahwa antara self esteem

    dengan resiliensi memiliki hubungan yang positif signifikan. Berdasarkan hasil analisis

    deskriptif dalam penelitian ini, diperoleh data bahwa self esteem sebesar 60% yang

    berada pada kategori rendah, dengan skor tertinggi adalah 51 dan skor terendah adalah

    21. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar siswa sekolah menengah yang

    mengalami bencana banjir dan tanah longsor di daerah Batu Gajah Ambon memiliki

    tingkat self esteem yang rendah. Pada resiliensi, data sebesar 60% yang berada pada

    kategori rendah, dengan skor tertinggi adalah 60 dan skor terendah adalah 25. Hal

    tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar siswa sekolah menengah yang mengalami

    bencana banjir dan tanah longsor di daerah Batu Gajah Ambon memiliki tingkat

    resiliensi yang rendah.

    Banyak faktor yang menyebabkan tinggi rendahnya resiliensi, self esteem

    merupakan salah satu faktor pendukung dari semua faktor yang memengaruhi tinggi

    rendahnya resiliensi (Ibeaghad, dkk., dalam Masdianah 2010). Jika dilihat sumbangan

    efektif yang diberikan self esteem terhadap resiliensi, self esteem memberikan kontribusi

    sebesar 62,73% dan sebanyak 37,27% dipengaruhi oleh faktor lain di luar self esteem

    yang dapat berpengaruh terhadap resiliensi, seperti faktor kemunduran mental, faktor

    prenatal, kemiskinan, wilayah konflik, perceraian, self-eficacy, keluarga, sekolah, dan

    lingkungan sehari-hari.

    PENUTUP

    KESIMPULAN

  • Berdasarkan hasil penelitian dan uraian yang telah dipaparkan, maka dapat

    disimpulkan bahwa self esteem memberikan kontribusi terhadap resiliensi, sehingga

    nampak jelas bahwa self esteem mempunyai hubungan positif signifikan dengan

    resiliensi.

    SARAN

    Setelah penulis melakukan penelitian dan pengamatan langsung di lapangan

    serta melihat hasil penelitian yang ada, maka berikut ini beberapa saran yang penulis

    ajukan:

    1. Bagi pihak pemerintah

    Disarankan agar lebih memperhatikan daerah yang masih rawan bencana, dengan

    mendata bencana yang sering terjadi beserta penanggulangan dan cara mengatasinya,

    agar bencana dapat diminimalisir korban yang meninggal. Selain itu, jika ada

    bencana, pemerintah dapat membuat suatu program agar dapat menurunkan tingkat

    trauma yang dialami oleh para korban bencana agar mereka dapat meningkatkan self

    esteem dan resiliensi pasca bencana yang mereka alami.

    2. Bagi Orang tua

    Orang tua dapat selalu memberikan semangat pada anak-anak mereka, karena anak-

    anak dan remaja lebih rentan mengalami trauma pasca bencana. Semangat dari orang

    tua diharapkan dapat meningkatkan self esteem dan resiliensi pasca bencana yang

    anak-anak mereka alami.

    3. Bagi Pihak Sekolah

    Pihak sekolah dapat membuat sistem belajar yang menyenangkan dan tidak menekan

    para siswa yang terkena bencana, serta memberi sedikit kelonggaran dalam

  • kehadiran mereka di sekolah agar mereka dapat meningkatkan self esteem dan

    resiliensi pasca bencana yang mereka alami.

    4. Bagi subjek penelitian.

    Para siswa agar dapat mengikuti program yang dicanangkan pemerintah apabila ada

    bencana, mengikuti saran dari orang tua, dan mengikuti sistem belajar yang

    diterapkan sekolah, sehingga para siswa tidak trauma dengan bencana yang terjadi di

    wilayahnya masing-masing, agar mereka dapat meningkatkan self esteem dan

    resiliensi pasca bencana yang mereka alami.

    5. Bagi Peneliti selanjutnya.

    Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa masih ada faktor lain di luar self esteem

    yang memengaruhi resiliensi sebesar 37,27%. Diharapkan peneliti selanjutnya dapat

    meneliti lebih lanjut penelitian ini dengan mengembangkan variabel-variabel lain

    yang dapat digunakan, sehingga terungkap faktor-faktor lain yang memengaruhi

    resiliensi, seperti faktor kemunduran mental, faktor prenatal, kemiskinan, wilayah

    konflik, perceraian, self-eficcacy, keluarga, sekolah, dan lingkungan sehari-hari.

  • DAFTAR PUSTAKA

    Azwar, S. (2012). Penyesunan skala Psikolgi.Edisi 2. Yogyakarta: Pustaka Belajar.

    Campbell-Sills, L. & Stein, M. B. (2007). Psychometric Analysis and Refinement of the

    Connor-Davidson Resilience Scale (CD-RISC): Validation of a 10-item

    measure of resilience. Journal of Traumatic Stress 20(6), 1019-1028.

    Clauss-Ehlers, C. S., Yang, Y. T., Chen, W. C. (2008). Resilience from Childhood

    stressors: The Role of Cultural Resilience, Ethnic Identity, and Gender

    Identity. Journal of Infant, Child, and Adolescent Psychoterapy 5(1), 124-138.

    Connor, K. M. (2006). Assesment of Resiliensce in the Aftermath of Trauma. J.

    ClinPsychiatry, 67 (2), 46-49.

    Hartuti, A. & Frieda, M. (2009). Pengaruh Faktor-faktor Protektif Internal dan Eksternal

    Pada Resiliensi Akademis Siswa Penerimaan Bantuan Khusus Murid Miskin

    (BKMM) Di SMA Negeri Di Depok. Jurnal Psikologi Indonesia 4(2), 107-

    119.

    Heatherton, T. F. & Polivy, J. (1991). Development and validation of a scale fo

    measuring state self-esteem. Journal of Personality and Social Psychologhy

    60, 895-910.

    Hidayati, N. L. (2014) Hubungan Antara Self Esteem Dengan Resiliensi Pada Remaja

    Di SMP Muhammadiyah Surakarta. Skripsi. Surkarta: Fakultas Psikologi

    Universitas Muhammadiyah Surakarta.

    Iqbal, M. (2011). Hubungan Antara Self Esteem Dan Religuitas terhadap Resiliensi

    Pada Remaja di Yayasan HIMMATA. Skripsi. Jakarta: Fakultas Psikologi

    Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.

    Martin, A. J. & Marsh, H.W. (2006). Academic resilience and its psychological and

    educational correlates; A construct validity approach. Psychology in The

    School 43 (3), 404-410

    Mann, M., Hosman, C. M., Schaalma, H. P., & de Vries, N. K. (2004). Self-esteem in

    abroad-spectrum approach for mental health promotion. Health Education

    Research 19, 357−372.

    Masdianah. (2010). Hubungan antara resiliensi dengan presentasi belajar anak binaan

    Yayasan Smart Ekselensia Indonesia. (Skripsi) Jakarta: Fakultas Psikologi

    Universitas Islam Negeri Syarif Hidayattulah.

    Mehrotra S & Chadda U.A. (2013). Relational Study of Protective Factors, Resilience

    and Self Esteem in Pre Medical Dropouts. International Journal of Humanities

    and Social Science Invention 2 (9), 103-106.

  • Kaya, G. S. (2007). The Role Of Self Esteem, Hope and Rexternal Factors In Predicting

    Recilience Among Regional Boarding Elementary School. Thesis. The

    Departement of Educational Sciences.

    Paavola, J. K. C. et al. (1995). Health Services in the Schools: Building

    Interdisciplinary Partnerships. Digest. Washington DC: American

    Psychological Association.

    Sugiyono. (2012). Metedologi penelitian pendidikan: pendekatan kuantitatif, kualitatif,

    dan R&D. Bandung: Alfabeta.

    Reivich, K. & Shatte, A. (2002). The Resilience Factor: 7 Essential Skill For

    Overcoming Life’s Inevitable Obstacle. New York: Broadway Books.

    Vijayakumar, L., Thara, R., John, S., Chellepa., S. (2006). Psychological Interventions

    After Tsunami in Tamil Nadu, India. International Review of Psychiatry 18(3),

    225-231.