selective coding

4
SELECTIVE CODING Ingroup Communication dalam Mengurangi Social Loneliness ODHA (Studi Kasus Yayasan Pelita Ilmu Jakarta) Latar belakang pendidikan yang rendah (SMP-SMA/SMK) membuat ODHA mempersepsikan HIV/AIDS adalah INTERNAL Social loneliness ODHA berhubungan dengan faktor-faktor internal yang datang dari dalam diri individu yang bersangkutan, yaitu 1. Latar Belakang Pendidikan yang rendah (SMP dan SMA/SMK) berhubungan terhadap pengetahuan tentang HIV/AIDS. Pengetahuan yang tidak memadai mengenai penyakit ini berhubungan dengan bagaimana ODHA mempersepsikan HIV/AIDS. ODHA dengan pendidikan rendah mempunyai persepsi yang negatif dan cenderung salah tentang HIV/AIDS. Informan 1 dan 3 yang mengenyam pendidikan hingga tingkat SMA memiliki pengetahuan yang cukup mengenai penyakit ini meskipun dipersepsikan berbeda. Informan 1 menganggap AIDS sebagai penyakit bagi orang-orang terkutuk sedangkan informan 3 menyadari dengan gaya hidupnya sebagai mantan pemakai narkoba, AIDS adalah konsekuensi nyata yang akan dihadapinya. Adapun informan 2 yang hanya tamat SMP, sama sekali tidak mengetahui tentang HIV/AIDS dan dia baru terpapar informasi terkait penyakit ini setelah divonis positif mengidap HIV/AIDS. Informan 2 menganggap HIV/AIDS sebagai penyakit yang biasa saja karena memang pengetahuan informan yang memadai. 2. Riwayat HIV/AIDS Riwayat tertular penyakit HIV/AIDS mempunyai hubungan dengan bagaimana penerimaan diri serta perubahan konsep diri ODHA sesuai dengan persepsi mereka atas HIV/AIDS. Informan 1 dan 2 yang mendapatkan virus HIV dari pasangan dan menyalahkan pasangan mereka atas kondisi mereka saat ini. Informan 1 membutuhkan waktu kurang lebih 1 tahun untuk menerima kenyataan tersebut karena dia merasa bahwa dirinya adalah individu yang baik dan religius sedangkan persepsinya atas HIV adalah hanya untuk mereka yang memilih gaya hidup tidak sehat. Berbeda dengan kedua informan tersebut, informan 3 yang telah memakai narkoba sejak SMP, ia justru merasakan dengan mengidap

Upload: fiskal

Post on 24-Sep-2015

216 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

SELECTIVE CODING

TRANSCRIPT

SELECTIVE CODING Ingroup Communication dalam Mengurangi Social Loneliness ODHA(Studi Kasus Yayasan Pelita Ilmu Jakarta)Latar belakang pendidikan yang rendah (SMP-SMA/SMK) membuat ODHA mempersepsikan HIV/AIDS adalah INTERNALSocial loneliness ODHA berhubungan dengan faktor-faktor internal yang datang dari dalam diri individu yang bersangkutan, yaitu1. Latar BelakangPendidikan yang rendah (SMP dan SMA/SMK) berhubungan terhadap pengetahuan tentang HIV/AIDS. Pengetahuan yang tidak memadai mengenai penyakit ini berhubungan dengan bagaimana ODHA mempersepsikan HIV/AIDS. ODHA dengan pendidikan rendah mempunyai persepsi yang negatif dan cenderung salah tentang HIV/AIDS. Informan 1 dan 3 yang mengenyam pendidikan hingga tingkat SMA memiliki pengetahuan yang cukup mengenai penyakit ini meskipun dipersepsikan berbeda. Informan 1 menganggap AIDS sebagai penyakit bagi orang-orang terkutuk sedangkan informan 3 menyadari dengan gaya hidupnya sebagai mantan pemakai narkoba, AIDS adalah konsekuensi nyata yang akan dihadapinya. Adapun informan 2 yang hanya tamat SMP, sama sekali tidak mengetahui tentang HIV/AIDS dan dia baru terpapar informasi terkait penyakit ini setelah divonis positif mengidap HIV/AIDS. Informan 2 menganggap HIV/AIDS sebagai penyakit yang biasa saja karena memang pengetahuan informan yang memadai.2. Riwayat HIV/AIDSRiwayat tertular penyakit HIV/AIDS mempunyai hubungan dengan bagaimana penerimaan diri serta perubahan konsep diri ODHA sesuai dengan persepsi mereka atas HIV/AIDS. Informan 1 dan 2 yang mendapatkan virus HIV dari pasangan dan menyalahkan pasangan mereka atas kondisi mereka saat ini. Informan 1 membutuhkan waktu kurang lebih 1 tahun untuk menerima kenyataan tersebut karena dia merasa bahwa dirinya adalah individu yang baik dan religius sedangkan persepsinya atas HIV adalah hanya untuk mereka yang memilih gaya hidup tidak sehat. Berbeda dengan kedua informan tersebut, informan 3 yang telah memakai narkoba sejak SMP, ia justru merasakan dengan mengidap HIV, seakan hal itu merupakan teguran atas gaya hidup menyimpangnya. Konsep diri yang terbentuk menjadi positif memaknai hidup setelah mengetahui bahwa ia positif HIV.3. Persepsi Tentang HIV/AIDSPersepsi tentang HIV/AIDS adalah bagaimana pemaknaan informan tentang penyakit HIV/AIDS yang diidapnya. Pemaknaan mengenai HIV/AIDS ini mempunyai hubungan dengan latar belakang informan yang juga meliputi usia dan pendidikan formal yang telah ditempuh serta riwayat HIV/AIDS yang diidapnya. Informan 1 dan 2 menganggap HIV/AIDS adalah penyakit yang didapat dari resiko atau hukuman untuk orang tidak baik. Informan 3 menyebutnya resiko riil dari pengguna narkoba. Informan 1 bahkan mengatakan bahwa penyakit ini identik dengan kematian. Informan 1 dan 3 memiliki usia diatas 30 tahun dan pendidikan terakhir SMA-sederajat. Berbeda dengan informan 2 yang baru berusia 19 tahun ditambah hanya menginjak pendidikan hingga SMP (paket B). Ia tidak mengetahui apa itu HIV/AIDS sama sekali sebelum terjangkit karena kurangnya informasi yang didapat. Namun setelah dinyatakan positif terinfeksi HIV/AIDS, informan mengatakan bahwa ia terkena penyakit yang bisa menurunkan kekebalan tubuh.4. Konsep DiriKonsep diri merupakan sikap, tingkah laku, pemikiran, hingga karakter yang terbentuk di dalam diri seseorang (informan). Dalam hal ini dibagi menjadi tiga sub kategori. Konsep Diri Sebelum Mengetahui Terinfeksi HIV/AIDSKonsep diri informan sebelum mengetahui terinfeksi HIV/AIDS memiliki hubungan dengan latar belakang mereka yang mencakupi pendidikan formal dan status ekonomi. Informan 1 yang tergolong dengan SES B memandang dirinya alim dan merasa tidak pernah berbuat dosa, sehingga tidak mungkin tertular HIV/AIDS dari suaminya karena percaya akan ajaran agamanya. Berbeda dengan Informan 2 dan 3 yang termasuk golongan SES C mengaggap dirinya sebagai pribadi yang butuh kebebasan dan cuek. Konsep diri Setelah Mengetahui Terinfeksi HIV/AIDS Sebelum Bergabung dengan YPIKonsep diri ini memiliki hubungan yang kuat dengan social loneliness (Loneliness Physical Appearance, Loneliness Attitudes Appearance, Loneliness Behavior Appearance) berdasarkan persepsi tentang HIV/AIDS yang dimiliki informan dan selanjutnya akan berhubungan pula pada awareness serta sikap dari keluarga dan lingkungan mereka. Informan 1 merasa sangat terpukul dan pasrah, merasa tidak ada rasa percaya diri dan semangat untuk hidup apalagi membesarkan anak-anaknya. Ia tidak prcaya akan tertular penyakit itu karena merasa sangat agamis. Butuh 2 tahun bagi dirinya untuk bisa kembali bersosialisasi normal (menerima kenyataan). Informan 2 juga merasa kaget, dan bingung saat mengetahui terinfeksi HIV/AIDS hingga membuatnya jarang berbicara dengan orang lain pada awalnya. Namun informan tidak merasakan keterpurukan yang sangat, ia masih menjalani hari seperti biasanya dan cuek. Berbeda halnya dengan informan 1 dan 2, informan 3 tidak kaget saat mengetahui terinveksi HIV/AIDS dan menganggap ini sebagai resiko riil dirinya sebagai pecandu narkoba. Konsep diri Setelah Mengetahui Terinfeksi HIV/AIDS Setelah Bergabung dengan YPIKonsep diri ini memiliki hubungan dengan motivasi informan, baik untuk bertahan hidup, maupun untuk bergabung dengan YPI serta juga dipengaruhi dengan komunitas YPI itu sendiri yang mencakup: kegiatan YPI, Ingroup Communication-Group Goals, Ingroup Communication-Group Climate, Social Support (Emotional Support, Informational Support, Instrumental Support), Disclosure, dan Cohesiveness.Setelah bergabung di YPI, ketiga informan cenderung berubah menjadi konsep diri yang positif dalam memaknai hidup dan keberadaan diri mereka ditengah lingkungan sosial walaupun dengan virus HIV/AIDS yang pada dasarnya tidak pernah mereka inginkan. Informan 1 memandang dirinya lebih segar, percaya diri, dan bukan satu-satunya yang menderita atau sendiri di dunia ini. Informan 2 tidak merasa risih dan tetap percaya diri dengan penyakit yang diembannya di lingkungan sekitar. Informan 3 bahkan menganggap HIV/AIDS sebagai pelajaran hidup yang berharga dan menyadari bahwa kemampuan untuk menempatkan diri dan berkomunikasi dengan orang dapat menyelamatkan dirinya dari diskriminasi.5. Social LonelinessLoneliness Physical Appearance, Loneliness Attitudes Appearance, Loneliness Behavior Appearance(Persepsi tentang HIV/AIDS, Konsep diri Setelah Mengetahui Terinfeksi HIV/AIDS Sebelum Bergabung dengan YPI, Konsep diri Setelah Mengetahui Terinfeksi HIV/AIDS Setelah Bergabung dengan YPILoneliness Physical Appearance hanya dirasakan oleh informan 1, yakni raut wajah murung, lingkung, dan terlihat stress. Sedangkan Loneliness Attitudes Appearance dan Loneliness Behavior Appearance dirasakan oleh ketiga informan pada umumnya. Mereka menjadi lebih tertutup, kesepian, dan jarang bergabung membaur dengan lingkungannya seperti biasa. Terlebih pada informan 3 yang anak dan istrinya telah meninggal dunia membuat ia merasa sangat kesepian dan berat bahkan menutup diri dan penyakitnya pada lingkungannya. Hal berbeda ditemukan pada informan 2 yang merasakan social lonelisess tidak berlarut. Informan 2 tetap mau berbaur dengan lingkungan dengan kecuekannya, namun tidak memberi tahu penyakitnya kecuali ada yang menanyakan.

6. MotivasiMotivasi diklasifikasikan menjadi dua yaitu motivasi bertahan hidup dan motivasi bergabung dengan komunitas (YPI). Motivasi mempunyai hubungan yang kuat dengan social support baik emotional, informational maupun instrumental. Motivasi bertahan hidup dapat disimpulkan ketiga informan adalah alasan keluarga secara umum, secara khusus adalah anak. Ketiga informan mempunyai kesamaan dalam hal ini. Akan tetapi, informan 2 tidak secara eksplisit menyatakannya melainkan mengungkapkan kebutuhannya atas instrumental support berupa susu bayi yang ia dapatkan dari YPI. Hal ini menunjukkan bahwa motivasi utama adalah untuk kesejahteraan anaknya. EKSTERNAL1. Keluarga dan Lingkungan2. In-group Communication3. Kegiatan4. Social Support5. Cohesiveness6. Disclosure7. Keterlibatan dengan Komunitas Lain