selasa, 18 oktober 2011 emas, bagus menambang emas ... · “contohnya, emas dari free-port...

1
SISKA NURIFAH N ILAI emas kini kian melambung. Masyarakat pun berbondong-bon- dong berinvestasi emas dalam bentuk perhiasan juga batang- an. Namun, tahukah Anda, semakin banyak mengonsumsi emas, semakin besar pula andil kita dalam perusakan alam, lingkungan, hingga masalah kesehatan. Tren konsumsi emas dunia memang kian meningkat dari tahun ke tahun. Berdasar- kan data Dewan Emas Dunia, konsumsi emas yang diperun- tukkan bagi perhiasan dalam kurun tiga tahun terakhir me- nunjukkan penurunan. Pada 2007, konsumsi emas dunia untuk perhiasan sebesar 3,6 ton dan turun menjadi 3,3 ton pada 2009. Namun, konsumsi emas batangan untuk investasi jus- tru sebaliknya. Investasi emas batangan terus naik 50% setiap tahunnya dalam dua tahun terakhir. Pada 2007 sebanyak 239 ton emas, dan hanya berselang satu tahun, pada 2008 melonjak menjadi 385 ton. “Banyak yang beralih in- vestasi ke emas, mereka men- jadikannya sebagai nilai alat tukar dan jaminan investasi,” ungkap Pengampanye Emas dari Jaringan Advokasi Tam- bang (Jatam) Hendrik Sire- gar kepada Media Indonesia, Minggu (16/10). Ironisnya, lanjut Hendrik, Indonesia yang merupakan ne- gara penghasil emas ketiga di dunia justru hanya menempati urutan ke-11 negara-negara di dunia dengan kepemilikan emas batangan. Ya, kebanyakan hasil pertambangan emas di Indonesia memang banyak lari ke luar. Daya rusak Siapa sangka di balik ke- indahan logam mulia emas, justru tersimpan efek buruk bagi bumi pertiwi. Proses per- tambangan emas ternyata me- nimbulkan dampak buruk bagi kerusakan lingkungan. Nusantara memang sarat potensi emas. Berbeda dengan jenis pertambangan lainnya, emas menyedot penggunaan zat beracun yang amat besar seperti merkuri dan sianida. Unsur kimia itu dipergunakan besar-besaran dalam proses pencucian dan pemisahan logam mulia. Terlebih lagi, merkuri sangat mudah dida- pat. Hendrik memaparkan, da- lam proses pengolahannya, se- tiap 1 gram emas memerlukan 6,1 gram merkuri dan 3 gram sianida. Racun yang dihasil- kan pun berlipat ganda. Pada proses yang menghasilkan 1 gram emas, terakumulasi racun arsen sebesar 139 gram dan timbal sebesar 260 gram. Mau tak mau, hasil pem- buangan limbah pertambangan tersebut menjadi masalah besar bagi lingkungan sekitar dan manusia yang hidup di seki- tarnya. Racun-racun tersebut masuk ke sumber-sumber mata air di sekitar tambang, belum lagi yang meresap ke tanah, merusak lingkungan serta ora dan fauna di lingkungan sekitar. Merkuri sangat berbahaya bagi tubuh. Bahan kimia terse- but tidak mudah larut sehingga kerap tersimpan di tanah dan sumber mata air. Manusia yang mengon- sumsi mata air yang tercemar maupun berinteraksi dengan merkuri akan terkena masalah kesehatan yang serius, mulai dari sakit kulit, hipertensi, kejang-kejang, hingga berujung kematian. Tengok saja kasus pencemar- an limbah pertambangan emas di Teluk Buyat, Sulawesi Utara, yang terjadi pada 1998 dan berulang kembali di 2002-2004. Ribuan ikan mati akibat ba- nyaknya zat arsen dan merkuri yang mencemari lautan. Tak hanya mencemari ling- kungan, limbah pertambangan emas pun turut meracuni para penduduk sekitar. Seperti yang dialami penduduk Teluk Buyat maupun pada kasus pence- maran terbesar yang dialami penduduk Minamata, Jepang, pada era 50-an. Saat itu, ribuan penduduknya tercemar racun merkuri akibat buangan limbah emas. Mereka kejang-kejang, berhalusinasi, hingga hilang ingatan dan ba- nyak pula yang meninggal. Rakus air Tambang emas, kata Hen- drik, juga terkenal rakus air, se- tiap 1 gram emas memerlukan air lebih dari 100 liter. Jumlah air tersebut digunakan untuk pencucian, pencampuran, dan proses lainnya. Kebanyakan deposit emas berada di kawa- san konservasi yang banyak tersimpan air. Jenis pertambangan ini pun dikenal rakus lahan karena membutuhkan area yang luas untuk keperluan peng- galian, pabrik, kantor, dan lainnya. Alhasil, dalam me- menuhi area pertambangan, proses penebangan hutan dan penggundulan hutan kerap terjadi. Hendrik mengungkapkan bahwa hampir semua daratan di Indonesia memiliki deposit emas, dan terbesar dimiliki Papua. Sayangnya, model pengolahan di Indonesia ma- sih menggunakan teknologi yang rendah dengan orientasi keuntungan. Itulah yang membuat proses pengolahan menjadi tidak bertanggung jawab dengan membuat tambang terbuka, dan pembuangan limbah yang sembarangan. “Teknologi semurah-mu- rahnya, demi meraih keun- tungan tinggi. Pembuangan limbah tidak memikirkan ke- berlangsungan lingkungan. Bahkan, jika deposit emas habis, tambang sering di- tinggalkan begitu saja, tanpa melakukan upaya reklamasi (pemulihan atau perbaikan),” papar Hendrik. Saat ini, ungkap Hendrik, masyarakat dibuai dorongan investasi emas. Nilai emas naik karena dipengaruhi jatuhnya nilai tukar dolar, permintaan emas batangan yang tinggi dari China, serta krisis keuangan yang melanda negara-negara Eropa. Alhasil, ketertarikan dan per- mintaan emas semakin tinggi dengan anggapan bahwa emas mampu dijadikan sebagai alat investasi maupun nilai jaminan suatu proyek. Belum ada sertifikasi Hingga saat ini, belum ada sertikasi yang dapat menyata- kan emas yang diperoleh kon- sumen diolah dengan proses yang aman untuk lingkungan. “Produk emas belum ada ser- tikasi hijaunya, yang mampu menunjukkan proses pengo- lahan dan penambangannya jauh dari merkuri dan racun lainnya, baik dari perusahaan tambang besar maupun tradi- sional,” kata Hendrik. Terlebih lagi, kata Hendrik, sulit untuk melacak dari mana biji emas yang beredar di pa- saran saat ini. Sertifikasi pun berpotensi diperjualbelikan. Sertifikat tidak bisa dikeluarkan sem- barangan, harus ada penilaian lapangan yang independen dan faktual dari lingkungan peng- galian, ukuran limbah, dan indikatornya harus jelas. Selama ini, perhiasan emas yang beredar di pasaran sulit untuk dilacak asalnya. “Contohnya, emas dari Free- port diterbangkan ke Spanyol, di sana dibuat perhiasan dan ba- tangan emas, saat semua turun ke pasar akan terlihat sama dan sulit dilacak,” kata Hendrik. Fakta itu menunjukkan, in- vestasi emas akan otomatis berkorelasi dengan kerusakan lingkungan. “Mari kita sadari, ada prob- lem di balik investasi tersebut. Lebih baik pilih investasi lain yang lebih bersahabat dengan lingkungan,” kata Hendrik. (M-2) [email protected] Emas, Bagus Investasinya Banyak Racunnya 22 SELASA, 18 OKTOBER 2011 P OP LINGKUNGAN Emas kini diyakini menjadi instrumen investasi menggiurkan, tapi ternyata kemilau harganya tak bersahabat dengan bumi. MI/BENNY ANDRIYOS Setiap 1 gram emas memerlukan 6,1 gram merkuri dan 3 gram sianida. Pada proses yang menghasilkan 1 gram emas, terakumulasi racun arsen sebesar 139 gram dan timbal sebesar 260 gram.” MENAMBANG EMAS: Sejumlah pekerja tambang mengoperasikan mesin dompeng yang digunakan untuk mendulang emas di Sungai Singingi, Riau, beberapa waktu lalu.

Upload: doque

Post on 12-May-2018

214 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

SISKA NURIFAH

NILAI emas kini kian melambung. Masyarakat pun berbondong-bon-

dong berinvestasi emas dalam bentuk perhiasan juga batang-an. Namun, tahukah Anda, semakin banyak mengonsumsi emas, semakin besar pula andil kita dalam perusakan alam, lingkungan, hingga masalah kesehatan.

Tren konsumsi emas dunia memang kian meningkat dari tahun ke tahun. Berdasar-kan data Dewan Emas Dunia, konsumsi emas yang diperun-tukkan bagi perhiasan dalam kurun tiga tahun terakhir me-nunjukkan penurunan. Pada 2007, konsumsi emas dunia untuk perhiasan sebesar 3,6 ton dan turun menjadi 3,3 ton pada 2009.

Namun, konsumsi emas batangan untuk investasi jus-tru sebaliknya. Investasi emas batangan terus naik 50% setiap tahunnya dalam dua tahun terakhir.

Pada 2007 sebanyak 239 ton emas, dan hanya berselang satu tahun, pada 2008 melonjak menjadi 385 ton.

“Banyak yang beralih in-vestasi ke emas, mereka men-jadikannya sebagai nilai alat tukar dan jaminan investasi,”

ungkap Pengampanye Emas dari Jaringan Advokasi Tam-bang (Jatam) Hendrik Sire-gar kepada Media Indonesia, Minggu (16/10).

Ironisnya, lanjut Hendrik, Indonesia yang merupakan ne-gara penghasil emas ketiga di dunia justru hanya menempati urutan ke-11 negara-negara di dunia dengan kepemilikan emas batangan. Ya, kebanyakan

hasil pertambangan emas di Indonesia memang banyak lari ke luar.

Daya rusakSiapa sangka di balik ke-

indah an logam mulia emas, justru tersimpan efek buruk bagi bumi pertiwi. Proses per-tambangan emas ternyata me-nimbulkan dampak buruk bagi

kerusakan lingkungan. Nusantara memang sarat

potensi emas. Berbeda dengan jenis pertambangan lainnya, emas menyedot penggunaan zat beracun yang amat besar seperti merkuri dan sianida. Unsur kimia itu dipergunakan besar-besaran dalam proses pencucian dan pemisahan logam mulia. Terlebih lagi, merkuri sangat mudah dida-pat.

Hendrik memaparkan, da-lam proses pengolahannya, se-tiap 1 gram emas memerlukan 6,1 gram merkuri dan 3 gram sianida. Racun yang dihasil-kan pun berlipat ganda. Pada proses yang menghasilkan 1 gram emas, terakumulasi racun arsen sebesar 139 gram dan timbal sebesar 260 gram.

Mau tak mau, hasil pem-buangan limbah pertambangan tersebut menjadi masalah besar bagi lingkungan sekitar dan manusia yang hidup di seki-tarnya. Racun-racun tersebut masuk ke sumber-sumber mata air di sekitar tambang, belum lagi yang meresap ke tanah, merusak lingkungan serta fl ora dan fauna di lingkungan sekitar.

Merkuri sangat berbahaya bagi tubuh. Bahan kimia terse-but tidak mudah larut sehingga kerap tersimpan di tanah dan sumber mata air.

Manusia yang mengon-sumsi mata air yang tercemar maupun berinteraksi dengan merkuri akan terkena masalah kesehatan yang serius, mulai dari sakit kulit, hipertensi, kejang-kejang, hingga berujung

kematian. Tengok saja kasus pencemar-

an limbah pertambangan emas di Teluk Buyat, Sulawesi Utara, yang terjadi pada 1998 dan berulang kembali di 2002-2004. Ribuan ikan mati akibat ba-nyaknya zat arsen dan merkuri yang mencemari lautan.

Tak hanya mencemari ling-kungan, limbah pertambangan emas pun turut meracuni para penduduk sekitar. Seperti yang dialami penduduk Teluk Buyat maupun pada kasus pence-maran terbesar yang dialami penduduk Minamata, Jepang, pada era 50-an.

Saat itu, ribuan penduduknya tercemar racun merkuri akibat buangan limbah emas. Mereka kejang-kejang, berhalusinasi, hingga hilang ingatan dan ba-nyak pula yang meninggal.

Rakus airTambang emas, kata Hen-

drik, juga terkenal rakus air, se-tiap 1 gram emas memerlukan

air lebih dari 100 liter. Jumlah air tersebut digunakan untuk pencucian, pencampuran, dan proses lainnya. Kebanyakan deposit emas berada di kawa-san konservasi yang banyak tersimpan air.

Jenis pertambangan ini pun dikenal rakus lahan karena membutuhkan area yang luas untuk keperluan peng-galian, pabrik, kantor, dan lainnya. Alhasil, dalam me-menuhi area pertambangan, proses penebangan hutan dan penggundulan hutan kerap terjadi.

Hendrik mengungkapkan bahwa hampir semua daratan di Indonesia memiliki deposit emas, dan terbesar dimiliki Papua. Sayangnya, model peng olahan di Indonesia ma-sih menggunakan teknologi yang rendah dengan orientasi keuntungan.

Itulah yang membuat proses pengolahan menjadi tidak bertanggung jawab dengan

membuat tambang terbuka, dan pembuangan limbah yang sembarangan.

“Teknologi semurah-mu-rahnya, demi meraih keun-tungan tinggi. Pembuangan limbah tidak memikirkan ke-berlangsungan lingkungan. Bahkan, jika deposit emas habis, tambang sering di-tinggalkan begitu saja, tanpa melakukan upaya reklamasi (pemulihan atau perbaikan),” papar Hendrik.

Saat ini, ungkap Hendrik, masyarakat dibuai dorongan investasi emas. Nilai emas naik karena dipengaruhi jatuhnya nilai tukar dolar, permintaan emas batangan yang tinggi dari China, serta krisis keuangan yang melanda negara-negara Eropa.

Alhasil, ketertarikan dan per-mintaan emas semakin tinggi dengan anggapan bahwa emas mampu dijadikan sebagai alat investasi maupun nilai jaminan suatu proyek.

Belum ada sertifikasiHingga saat ini, belum ada

sertifi kasi yang dapat menyata-kan emas yang diperoleh kon-sumen diolah dengan proses yang aman untuk lingkungan.

“Produk emas belum ada ser-tifi kasi hijaunya, yang mampu menunjukkan proses pengo-lahan dan penambangannya jauh dari merkuri dan racun lainnya, baik dari perusahaan tambang besar maupun tradi-sional,” kata Hendrik.

Terlebih lagi, kata Hendrik, sulit untuk melacak dari mana biji emas yang beredar di pa-saran saat ini.

Sertifikasi pun berpotensi diperjualbelikan. Sertifikat tidak bisa dikeluarkan sem-barangan, harus ada penilaian lapangan yang independen dan faktual dari lingkungan peng-galian, ukuran limbah, dan indikatornya harus jelas.

Selama ini, perhiasan emas yang beredar di pasaran sulit untuk dilacak asalnya.

“Contohnya, emas dari Free-port diterbangkan ke Spanyol, di sana dibuat perhiasan dan ba-tangan emas, saat semua turun ke pasar akan terlihat sama dan sulit dilacak,” kata Hendrik.

Fakta itu menunjukkan, in-vestasi emas akan otomatis berkorelasi dengan kerusakan lingkungan.

“Mari kita sadari, ada prob-lem di balik investasi tersebut. Lebih baik pilih investasi lain yang lebih bersahabat dengan lingkungan,” kata Hendrik. (M-2)

[email protected]

Emas, Bagus Investasinya Banyak Racunnya

22 SELASA, 18 OKTOBER 2011POP LINGKUNGAN

Emas kini diyakini menjadi instrumen investasi menggiurkan, tapi ternyata kemilau harganya tak bersahabat dengan bumi.

MI/BENNY ANDRIYOS

Setiap 1 gram emas memerlukan

6,1 gram merkuri dan 3 gram sianida. Pada proses yang menghasilkan 1 gram emas, terakumulasi racun arsen sebesar 139 gram dan timbal sebesar 260 gram.”

MENAMBANG EMAS: Sejumlah pekerja tambang mengoperasikan mesin dompeng yang digunakan untuk mendulang emas di Sungai Singingi, Riau, beberapa waktu lalu.