sektor publik indonesia a. dasar konsepsi otonomi daerah
TRANSCRIPT
1
BAB I : SEKTOR PUBLIK INDONESIA
A. Dasar Konsepsi Otonomi Daerah
Dasar upaya menjaga keutuhan kerangka konstitusi
NKRI pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dapat
dilacak dalam UUD 1945 yaitu terdapatnya dua nilai dasar
yang dikembangkan yaitu :
1. Nilai dasar unitaris (wujud nilai dasar ini, bahwa di
Indonesia tidak akan lahir kesatuan pemerintah lain yang
bersifat Negara. Artinya kedaulatan yang melekat pada
rakyat, bangsa dan negara Republik Indonesia tidak akan
terbagi di antara kesatuan-kesatuan pemerintahan
regional atau lokal).
2. Nilai dasar desentralisasi (wujud nilai dasar ini, bahwa
pembentukan daerah otonom dan penyerahan
kewenangan untuk menyelenggarakan urusan-urusan
pemerintahan yang telah diserahkan diakui sebagai
domain rumah tangga daerah otonom).
Terkait dengan dua nilai dasar konstitusi tersebut,
penyelenggaraan desentralisasi di Indonesia terkait dengan
pola pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan
pemerintah daerah, karena dalam penyelenggaraan
2
desentralisasi selalu terdapat dua elemen penting, yakni
pembentukan daerah otonom dan penyerahan kewenangan
secara hukum dari pemerintah pusat untuk mengatur bagian
tertentu urusan pemerintahan di Daerah..
Sesuai UUD 1945, Indonesia adalah Eenheidstaat, maka
di dalam lingkungannya tidak dimungkinkan adanya daerah
yang bersifat staat juga dalam arti sebagai pembatas besar
dan luasnya daerah otonom adalah menghindari daerah
otonom menjadi negara dalam negara.
Dengan demikian pembentukan daerah otonom dalam
rangka desentralisasi di Indonesia memiliki ciri-ciri :
a. Daerah Otonom tidak memiliki kedaulatan atau semi
kedaulatan layaknya di negara federal;
b. Desentralisasi dimanifestasikan dalam bentuk
penyerahan atas urusan pemerintahan;
c. Penyerahan urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud
tersebut di atas utamanya terkait dengan pengaturan dan
pengurusan kepentingan masyarakat setempat (lokalitas)
sesuai dengan prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi
masyarakat.
3
Dengan demikian jelas bahwa desentralisasi merupakan
instrumen untuk mencapai tujuan bernegara dalam kerangka
kesatuan bangsa (national unity) pemerintahan yang
demokratis (democratic government).
Keseimbangan antara kebutuhan untuk
menyelenggarakan desentralisasi dengan kebutuhan
memperkuat kesatuan nasional harus sejalan dengan konteks
UUD 1945. Oleh sebab itu penyelenggaraan desentralisasi di
Indonesia mempunyai ciri umum sesuai dengan UUD 1945
yaitu :
1. Pemerintah daerah merupakan hasil bentukan
Pemerintah pusat dan dapat dihapus melalui proses
hukum apabila daerah tidak mampu menjalankan
otonominya setelah melalui fasilitasi pemberdayaan;
2. Dalam rangka desentralisasi, di wilayah Indonesia
dibentuk wilayah Provinsi yang dalam wilayah Provinsi
dibentuk Kabupaten dan Kota sebagai daerah otonom;
3. Sebagai konsekuensinya, maka kebijakan desentralisasi
dirumuskan oleh Pemerintah pusat yang
penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan oleh
Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat
4
Daerah dengan melibatkan masyarakat yang
mencerminkan pemerintahan yang demokratis;
4. Hubungan antara pemerintah daerah otonom dengan
pemerintah pusat adalah bersifat tergantung (dependent)
dan bawahan (subordinate). Hal ini berbeda dengan
hubungan antara pemerintah negara bagian dengan
pemerintah federal yang menganut prinsip federalism
yang sifatnya independent dan koordinatif;
5. Penyelenggaraan desentralisasi menuntut persebaran
urusan pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada
daerah otonom sebagai badan hukum publik. Urusan
pemerintahan yang didistribusikan hanyalah merupakan
urusan pemerintahan yang menjadi kompetensi
pemerintah pusat dan tidak mencakup urusan yang
menjadi kompetensi Lembaga Negara yang membidangi
legislatif (pembentuk UU) dan yudikatif ataupun
lembaga Negara yang berwenang mengawasi keuangan
Negara.
Penyelenggaraan pemerintahan daerah yang di
desentralisasikan menjadi kewenangan Kepala Daerah dan
DPRD dalam pelaksanaannya sesuai dengan mandat yang
5
diberikan rakyat. Persebaran urusan pemerintahan ini
memiliki dua prinsip pokok:
a. Selalu terdapat urusan pemerintahan yang secara
universal tidak dapat diserahkan kepada daerah karena
menyangkut kepentingan kelangsungan hidup bangsa
dan negara (seperti urusan pertahanan-keamanan, politik
luar negeri, moneter, dan peradilan);
b. Tidak ada urusan pemerintahan pusat yang sepenuhnya
dapat diserahkan kepada daerah. Untuk urusan-urusan
pemerintahan yang berkaitan kepentingan lokal, regional
dan nasional dilaksanakan secara bersama (concurrent).
Ini berarti ada bagian dari urusan pemerintahan tertentu
yang dilaksanakan oleh Kabupaten/Kota, ada bagian
yang diselenggarakan oleh Provinsi dan ada juga yang
diselenggarakan oleh pemerintah pusat. Dalam hal ini
diperlukan adanya hubungan koordinasi antar tingkatan
pemerintahan agar urusan-urusan pemerintahan yang
bersifat concurrent tersebut dapat terselenggara secara
optimal.
Mengingat urusan pemerintahan bersifat dinamis, maka
dalam penyerahan urusan pemerintahan tersebut selalu
mengalami perubahan dari waktu ke waktu yang kepastian,
6
perubahan tersebut perlu didasarkan pada peraturan
perundang-undangan. Oleh sebab itu selalu ada dinamika
dalam distribusi urusan pemerintahan (inter-governmental
function sharing) antar tingkatan pemerintahan;
Kabupaten/Kota, Provinsi dan Pemerintah Pusat.
Secara umum terdapat dua pola besar dalam
merumuskan distribusi urusan pemerintahan, yaitu :
1. Pola Otonomi Luas (Pola-general competence), dalam
pola ini dirumuskan bahwa urusan-urusan yang
dilakukan oleh Pemerintah Pusat bersifat limitatif dan
sisanya (urusan residu) menjadi kewenangan Pemerintah
Daerah.
2. Pola Otonomi Terbatas (Pola ultra vires), dalam pola ini
urusan-urusan Daerah yang ditentukan secara limitatif
dan sisanya (urusan residu) menjadi kewenangan Pusat.
Dalam rangka melaksanakan otonomi daerah Provinsi
dipimpin oleh Gubernur yang juga bertindak sebagai wakil
Pusat di Daerah untuk melakukan supervisi, monitoring,
evaluasi, fasilitasi dan pemberdayaan kapasitas (capacity
building) terhadap Kabupaten/Kota yang ada di wilayahnya
agar otonomi daerah Kabupaten/Kota tersebut bisa berjalan
secara optimal. Disamping itu Gubernur juga melaksanakan
7
urusan-urusan nasional yang tidak termasuk dalam otonomi
daerah dan tidak termasuk urusan instansi vertikal di
wilayah Provinsi yang bersangkutan.
Selain urusan pemerintahan yang diselenggarakan secara
sentralisasi, terdapat urusan pemerintahan yang
diselenggarakan secara desentralisasi dalam arti luas dapat
dilakukan secara devolusi, dekonsentrasi, privatisasi dan
delegasi (Rondinelli & Cheema, 1983). Pemahaman devolusi
di Indonesia mengacu kepada desentralisasi sedangkan
delegasi terkait dengan pembentukan lembaga semi
pemerintah (Quasi Government Organisation/Quango) yang
mendapatkan delegasi Pemerintah untuk mengerjakan suatu
urusan yang menjadi kewenangan Pemerintah (Muthallib &
Khan, 1980). Lembaga yang terbentuk berdasarkan prinsip
delegasi dapat berbentuk Badan Otorita, Badan Usaha Milik
Negara, Batan, LEN, Bakosurtanal dsb.
Konsep privatisasi berimplikasi pada dilaksanakannya
sebagian fungsi yang semula merupakan kewenangan
Pemerintah Pusat/ Pemerintah Daerah oleh pihak swasta,
dengan variant privatisasi adalah terbukanya kemungkinan
kemitraan (partnership) antara pihak Pemerintah Pusat/
Pemerintah Daerah dengan pihak swasta dalam bentuk Built
8
Operate Own (BOO), Built Operate Transfer (BOT),
management contracting out dsb.
Penyelenggaraan tugas pembantuan (Medebewind)
diwujudkan dalam bentuk penugasan oleh pemerintah pusat
kepada Daerah atau Desa atau Provinsi kepada
Kabupaten/Kota dan Desa untuk melaksanakan suatu urusan
pemerintahan. Pembiayaan dan dukungan sarana diberikan
oleh yang menugaskan sedangkan yang menerima
penugasan wajib untuk mempertanggung jawabkan
pelaksanaan tugas tersebut kepada yang menugaskan.
Untuk melaksanakan kewenangan Pusat di Daerah
digunakan azas dekonsentrasi yang dilaksanakan oleh
instansi vertikal balk yang wilayah yurisdiksinya mencakup
satu wilayah kerja daerah otonom maupun mencakup
beberapa wilayah kerja daerah otonom seperti adanya
KODAM, POLDA, Kejaksaan, Badan Otorita Pusat di
Daerah dan lain-lainnya.
Penyelenggaraan pemerintahan daerah dilaksanakan oleh
Kepala Daerah dan DPRD yang bekerja atas dasar
kemitraan, bukan saling membawahi satu sama lain untuk
menyusun dan merumuskan kebijakan daerah serta
bekerjasama dengan semangat kemitraan. Namun pada saat
9
pelaksanaan (implementasi), kedua institusi memiliki fungsi
yang berbeda yaitu Kepala Daerah melaksanakan kebijakan
Daerah dan DPRD melakukan pengawasan atas pelaksanaan
kebijakan daerah.
Dalam rangka mewujudkan tata pemerintahan yang baik
(good governance) mengaadopsi prinsip penyelenggaraan
pemerintahan daerah yang efektif, efisien, transparan,
demokratis, partisipatif, dan akuntabel. Oleh sebab itu
hubungan Kepala Daerah, DPRD dan masyarakat daerah
dalam rangka checks and balances menjadi kebutuhan yang
bersifat mutlak.
Perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Daerah menjadi salah satu ciri penting pelaksanaan otonomi
daerah, karena karakteristik sumber daya alam, sumber daya
buatan dan sumber daya manusia yang sangat beragam antar
daerah. Sebagai perwujudan nilai dasar konstitusi maka
diperlukan pengaturan tentang pembagian hasil atas
pengelolaan sumber daya alam, buatan maupun atas basil
kegiatan perekonomian lainnya yang intinya untuk
memperlancar pelaksanaan otonomi daerah dan pada saat
yang sama memperkuat Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
10
Dua tujuan utama yang ingin dicapai melalui kebijakan
desentralisasi yaitu : 1). Tujuan politik sebagai refleksi dari
proses demokratisasi yang memposisikan Pemda sebagai
medium pendidikan politik bagi masyarakat di tingkat lokal
yang pada gilirannya secara agregat akan berkontribusi pada
pendidikan politik secara nasional untuk mempercepat
terwujudnya civil society (masyarakat madani). 2). Tujuan
kesejahteraan memposisikan Pemda sebagai unit
pemerintahan di tingkat lokal yang berfungsi untuk
menyediakan pelayanan publik secara efektif, efisien dan
ekonomis untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat
lokal.
Pelayanan Pemda kepada masyarakat ada yang bersifat
regulative (public regulations) seperti mewajibkan
penduduk untuk mempunyai KTP, KK, IMB dll, dan
pelayanan yang bersifat penyediaan public goods yaitu
barang-barang untuk memenuhi kebutuhan masyarakat
seperti jalan, pasar, rumah sakit, terminal dll untuk
menjawab kebutuhan riil warganya.
Tanpa melalukan pelayanan tersebut Pemda kesulitan
dalam memberikan akuntabilitas atas legitimasi yang telah
diberikan warga kepada Pemda untuk mengatur dan
11
mengurus masyarakat, karena seluas apapun otonomi/
kewenangan yang dilaksanakan Daerah, kewenangan itu
tetap ada batas-batasnya, yaitu rambu-rambu berupa
pedoman dan arahan, serta kendali dari Pemerintah, baik
berupa UU, PP, atau kebijakan lainnya. Kewenangan
tersebut harus berkorelasi dengan kebutuhan riil masyarakat,
sehingga memungkinkan Daerah mampu memberikan
pelayanan publik yang sesuai dengan kebutuhan
masyarakatnya. Alasaninilah yang menjadi dasar mengapa
urusan pemerintahan yang diserahkan ke daerah
dikelompokkan menjadi dua yaitu : a). urusan wajib
berkorelasi dengan penyediaan pelayanan dasar dan b).
urusan pilihan terkait dengan pengembangan potensi
unggulan yang menjadi ciri khas daerah yang bersangkutan.
Berdasarkan tujuan demokratisasi dan kesejahteraan diatas,
maka misi utama keberadaan Pemda adalah bagaimana
mensejahterakan masyarakat melalui penyediaan pelayanan
publik secara efektip, efisien dan ekonomis serta melalui
cara-cara yang demokratis. Agar Pemda mampu
menyediakan pelayanan publik yang optimal dan
mempunyai kepastian maka untuk penyediaan pelayanan
dasar diperlukan adanya Standard Pelayanan Minimum
12
(SPM) yang menjadi benchmark bagi Pemda dalam
mengatur aspek kelembagaan, personil, keuangan, dan
mengukur kinerja dalam penyediaan pelayanan publik.
Demokratisasi berimplikasi bahwa Pemda dijalankan oleh
masyarakat daerah sendiri melalui wakil-wakil rakyat yang
dipilih secara demokratis.
Dalam misi untuk mensejahterakan rakyat, wakil rakyat
akan selalu menyerap, mengartikulasikan serta
mengagregasikan aspirasi rakyat kedalam kebijakan publik
di tingkat lokal yang tidak boleh bertentangan dengan
kebijakan publik nasional dan diselenggarakan dalam
koridor-koridor norma, nilai dan hukum positif yang
berlaku.
B. Pemerintah dan Pemerintahan Daerah
1. Pemerintah Daerah
Pemerintah Daerah dan DPRD adalah penyelenggara
pemerintahan daerah menurut asas otonomi dan tugas
pembantuan berdsar prinsip otonomi seluas-luasnya
dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) seperti maksu Undang-Undang Dasar
1945. Pemerintah daerah adalah Gubernur,
13
Bupati/Walikota dan Perangkat Daerah sebagai unsur
penyelenggara pemerintahan daerah.
NKRI dibagi atas daerah-daerah provinsi, provinsi
dibagi atas daerah kabupaten/kota dan setiap daerah
provinsi/kabupaten/kota mempunyai pemerintahan
daerah yang diatur dengan undang-undang.
Gubernur/Bupati /Walikota masing-masing sebagai
Kepala Pemerintah Daerah Provinsi/ Kabupaten/ Kota
dipilih secara demokratis. Pemerintah daerah
menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan
pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan
sebagai urusan Pemerintah Pusat.
Susunan Pemerintah Daerah adalah unsur
penyelenggara Pemerintahan Daerah yang terdiri dari
Gubernur/Bupati/Walikota dan perangkat daerah yang
bernama :
a. Pemerintah Daerah Provinsi (Pemprov) terdiri atas
Gubernur dan Perangkat Daerah yang meliputi
Sekretariat Daerah, Dinas Daerah, dan Lembaga
Teknis Daerah
b. Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota
(Pemkab/Pemkot) terdiri atas Bupati/Walikota dan
14
Perangkat Daerah yang meliputi Sekretariat Daerah,
Dinas Daerah, Lembaga Teknis Daerah, Kecamatan,
Kelurahan, Desa.
Kepala daerah untuk provinsi disebut Gubernur,
kabupaten disebut Bupati dan kota adalah Walikota.
Kepala daerah dibantu oleh satu orang wakil kepala
daerah disebut Wakil Gubernur, Wakil Bupati dan Wakil
Walikota. Kepala dan wakil kepala daerah memiliki
tugas, wewenang dan kewajiban serta larangan,
disamping mempunyai kewajiban untuk memberikan
laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada
Pemerintah dan memberikan laporan keterangan
pertanggungjawaban kepada DPRD serta
menginformasikan laporan penyelenggaraan
pemerintahan daerah kepada masyarakat.
2. Pemerintahan daerah
Indonesia adalah sebuah negara yang wilayahnya
terbagi atas daerah-daerah Provinsi/Kabupaten/Kota.
Setiap daerah mempunyai pemerintahan daerah yang
diatur dengan undang-undang. Pemerintahan Daerah
adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh
15
Pemerintah Daerah dan DPRD menurut asas otonomi
dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-
luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam UUD
1945.
Pemerintahan daerah Provinsi/Kabupaten/Kota
memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang
anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum.
Gubernur/ Bupati/ Walikota masing-masing sebagai
Kepala Pemerintah Daerah dipilih secara demokratis.
Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan
pemerintah daerah provinsi/kabupaten/ kota atau antara
provinsi/ kabupaten/ kota diatur dengan undang-undang
dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman
daerah. Hubungan keuangan, pelayanan umum,
pemanfatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya
antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diatur
dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan
undang-undang.
Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan
pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat
istimewa yang diatur dengan undang-undang. Negara
16
mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisonalnya
sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.
Pembentukan daerah Provinsi/ Kabupaten/ Kota
ditetapkan dengan undang-undang, dapat berupa
penggabungan beberapa daerah atau bagian daerah yang
bersandingan atau pemekaran dari satu daerah menjadi
dua daerah atau lebih. Daerah dapat dihapus dan
digabung dengan daerah lain apabila daerah yang
bersangkutan tidak mampu menyelenggarakan otonomi
daerah.
Penghapusan dan penggabungan daerah beserta
akibatnya ditetapkan dengan undang-undang. Untuk
menyelenggarakan fungsi pemerintahan tertentu yang
bersifat khusus bagi kepentingan nasional, Pemerintah
dapat menetapkan kawasan khusus dalam wilayah
Provinsi/ Kabupaten/Kota.
Pemerintahan Pusat, Pemerintahan Daerah
menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh
17
Undang-undang ditentukan menjadi urusan pemerintah
pusat. Urusan pemerintahan yang menjadi urusan
Pemerintah Pusat meliputi:
1. Politik luar negeri;
2. Pertahanan;
3. Keamanan;
4. Yustisi;
5. Moneter dan fiskal nasional;
6. Agama ;
7. Norma ; dan
8. Ekonomi
Penyelenggaraan urusan pemerintahan dibagi
berdasarkan kriteria eksternalitas, akuntabilitas, dan
efisiensi dengan memperhatikan keserasian hubungan
antar susunan pemerintahan. Urusan pemerintahan yang
menjadi kewenangan pemerintahan daerah
diselenggarakan berdasarkan kriteria di atas terdiri atas
urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan wajib yang
menjadi kewenangan pemerintahan daerah Provinsi
merupakan urusan dalam skala provinsi yang meliputi 16
buah urusan. Urusan pemerintahan provinsi yang bersifat
pilihan meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata
18
ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan dan potensi
unggulan daerah yang bersangkutan.
Urusan wajib yang menjadi kewenangan
pemerintahan daerah Kabupaten/Kota merupakan urusan
yang berskala kabupaten atau kota meliputi 16 buah
urusan. Urusan pemerintahan kabupaten atau kota yang
bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan yang
secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi,
kekhasan dan potensi unggulan daerah yang
bersangkutan.
Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan
yang menjadi kewenangan daerah, pemerintahan daerah
menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur
dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan
asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemerintahan
daerah dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan
memiliki hubungan dengan pemerintah pusat dan dengan
pemerintahan daerah lainnya yang meliputi hubungan
wewenang, keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan
sumber daya alam, dan sumber daya lainnya. Hubungan
19
keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya
alam dan sumber daya lainnya dilaksanakan secara adil
dan selaras. Hubungan wewenang, keuangan, pelayanan
umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya
lainnya menimbulkan hubungan administrasi dan
kewilayahan antar susunan pemerintahan.
C. Hubungan Pusat Dan Daerah
Kebijakan desentralisasi bertujuan memberikan
kewenangan kepada daerah untuk mengatur dan mengurus
rumah tangganya sendiri dalam ikatan negara kesatuan
Republik Indonesia (NKRI). Tetapi tanggung jawab akhir
dari penyelenggaraan urusan-urusan pemerintahan yang
diserahkan kepada Daerah adalah menjadi tanggung jawab
Pemerintah Pusat, karena dampak externalities akhir
penyelenggaraan urusan tersebut akan menjadi tanggung
jawab negara.
Peran Pusat dalam kerangka otonomi Daerah bersifat
menentukan kebijakan makro, melakukan supervisi,
monitoring, evaluasi, kontrol dan pemberdayaan (capacity
building) agar daerah dapat menjalankan otonominya secara
optimal. Sedangkan peran daerah pada tataran pelaksanaan
20
otonomi tersebut. Dalam melaksanakan otonominya Daerah
berwenang membuat kebijakan Daerah dalam batas-batas
otonomi yang diserahkan kepadanya dan tidak boleh
bertentangan dengan Peraturan Perundangan yang lebih
tinggi yaitu norma, standard dan prosedur yang ditentukan
Pusat. Dalam hubungan dan distribusi kewenangan, daerah
otonom diberikan wewenang untuk mengelola urusan
pemerintahan yang diserahkan kepada Daerah. Agar
terwujud distribusi kewenangan mengelola urusan
pemerintahan yang efisien dan efektif antar tingkatan
pemerintahan, maka distribusi kewenangan mengacu pada
kriteria sebagai berikut:
a. Externalitas; unit pemerintahan yang terkena dampak
langsung dari pelaksanaan suatu urusan pemerintahan
mempunyai kewenangan untuk mengurus urusan
pemerintahan tersebut;
b. Akuntabilitas; unit pemerintahan yang berwenang
mengurus suatu urusan pemerintahan adalah unit
pemerintahan yang paling dekat dengan dampak yang
ditimbulkan dari pengelolaan urusan tersebut. Ini terkait
dengan pertanggung jawaban (akuntabilitas) dari
pengelolaan urusan pemerintahan tersebut kepada
21
masyarakat yang menerima dampak langsung dari
urusan tersebut. Urusan lokal akan menjadi kewajiban
Kabupaten/ Kota untuk mempertanggung jawabkan
dampaknya. Urusan yang berdampak regional akan
menjadi tanggung jawab Provinsi dan urusan yang
berdampak nasional akan menjadi tanggung jawab
Pemerintah Pusat;
c. Efisiensi; pelaksanaan otonomi daerah adalah untuk
kesejahteraan rakyat melalui pemberian kewenangan
kepada daerah untuk mengurus suatu urusan
pemerintahan jangan sampai menciptakan in-efiensi atau
high cost economy. Untuk mencapai efisiensi maka
diperlukan skala ekonomi (econimies of scale) dalam
pelaksanaannya terkait dengan luasan cakupan wilayah
(catchment area) dimana urusan pemerintahan tersebut
dilaksanakan. Untuk mencapai skala ekonomi tersebut,
maka perlu dilakukan kerjasama antar daerah untuk
optimalisasi pembiayaan dari penyelenggaraan urusan
tersebut. Dalam penyelenggaraan urusan-urusan
pemerintahan tersebut terdapat adanya inter-koneksi dan
inter-dependensi karena keterkaitan dari urusan
pemerintahan tersebut sebagai suatu sistem.
22
Urusan yang menjadi kewenangan Pusat tidak akan
berjalan optimal apabila tidak terkait (interkoneksi) dengan
Provinsi/Kabupaten/Kota, sehingga diperlukan koordinasi
untuk menciptakan sinergi dalam melaksanakan kewenangan
mengelola urusan-urusan tersebut. Namun demikian setiap
tingkatan pemerintahan mempunyai kewenangan penuh
(independensi) untuk mengelola urusan pemerintahan yang
menjadi domain kewenangannya. Sebagai ilustrasi; jalan
negara yang menjadi kewenangan Pusat tidak akan optimal
apabila tidak terkait dengan jalan Provinsi yang menjadi
kewenangan Provinsi menggelolanya. Jalan Provinsi juga
tidak akan optimal apabila tidak terkait dengan jalan
Kabupaten/Kota.
Secara keseluruhan jaringan jalan tersebut merupakan
suatu sistem jalan yang didukung oleh sub sistem jalan
Negara. Setiap tingkatan pemerintahan tersebut mempunyai
kewenangan penuh (independent) untuk mengelola jalan
yang menjadi domain kewenangannya. Namun dalam
menjalankan kewenangannya masing-masing harus ada
koordinasi diantara ketiga tingkatan pemerintahan tersebut
agar jalan sebagai suatu sistem dapat berfungsi secara
optimal.
23
Terkait dengan sektor publik, maka pokok-pokok
pengaturan yang melandasi pengaturan kewenangan telah
diatur dalam UU 32/2004. Persoalan mendasar yang perlu
diperhatikan adalah : Pertama, bagaimana melakukan
sosialisasi secara efektip kepada seluruh stakeholders
otonomi daerah yaitu(instansi-instansi di tingkat
Pusat/Provinsi/Kabupaten/Kota dan masyarakat pada
umumnya, karena seluruh elemen bangsa akan terkena
dampak dari otonomi daerah. Otonomi daerah mengatur
manusia sejak lahir (akte kelahiran) sampai mati (akte
kematian), sehingga harus terbentuk pemahaman yang sama
tentang otonomi daerah tersebut. Kedua, bagaimana seluruh
stakeholders tersebut mau dan mampu mengawal otonomi
daerah agar berjalan sesuai dengan koridor yang ditentukan
dalam UU 32/2004. Jalan keluar untuk mengatasi kedua
persoalan tersebut adalah supervisi dan fasilitasi dari Pusat
menjadi sangat signifikan untuk mengawal pelaksanaan UU
32/2004 tersebut, dengan melakukan evaluasi secara
obyektif terhadap UU 32/2004. Sebagai suatu hasil
kebijakan publik (public policy) untuk urusan sector public
sudah tentu kebijakan tersebut harus sesuai dengan dinamika
perubahan masyarakat.
24
25
BAB II : BIROKRASI NEGARA
A. Pengertian Birokrasi Negara
Birokrasi adalah entitas penting suatu negara yang secara
etimologis birokrasi berasal dari kata Biro (meja) dan kratein
(pemerintahan) yang apabila disintesakan berarti
pemerintahan meja. Pengertian seperti ini memang aneh
tetapi memang demikianlah hakikat birokrasi sebab lembaga
inilah tampak kaku yang dikuasai oleh orang-orang di
belakang meja. Di dalam pendekatan kelembagaan
(institusional) khususnya di dalam skema tercantum proses
administrasi negara dari eksekutif turun ke kebijakan
administrasi, ke administrasi dan yang terakhir ke pemilih.
Artinya, setiap kebijakan negara yang yang diselenggarakan
pihak eksekutif diterjemahkan ke dalam bentuk kebijakan
administrasi negara di mana pelaksanaan dari administrasi
tersebut dilakukan oleh lembaga birokrasi. Semua kita
mungkin mengenal badan-badan seperti Departemen, Kantor
Dinas, Kantor Kecamatan dll di mana kantor-kantor tersebut
semua merupakan badan-badan birokrasi negara yang
mengimplementasikan kebijakan negara dan bersifat
langsung berhubungan dengan masyarakat.
26
Bagi mereka birokrasi adalah setiap organisasi yang
berskala besar yang terdiri atas para pejabat yang diangkat
dengan fungsi utamanya untuk melaksanakan (to implement)
kebijakan-kebijakan yang telah diambil oleh para pengambil
keputusan (decision makers). Idealnya, birokrasi merupakan
suatu sistem rasional atau struktur yang terorganisir yang
dirancang sedemikian rupa guna memungkinkan adanya
pelaksanaan kebijakan publik yang efektif dan efisien.
Birokrasi dioperasikan oleh serangkaian aturan serta
prosedur yang bersifat tetap, terdapat rantai komando berupa
hirarki kewenangan di mana tanggung jawab setiap bagian-
bagiannya mengalir dari atas ke bawah.
Disamping itu, birokrasi juga disebut sebagai badan yang
menyelenggarakan pelayanan publik (Civil Service) yang
terdiri dari orang-orang yang diangkat oleh eksekutif dan
posisi mereka ini datang dan pergi. Artinya, mereka-mereka
duduk di dalam birokrasi kadang dikeluarkan atau tetap
dipertahankan berdasarkan prestasi kerja mereka. Seorang
pegawai birokrasi yang malas biasanya akan mendapat
teguran dari atasan dan jika teguran ini tidak diindahkan ada
kemungkinan akan diberhentikan dari posisinya. Tetapi,
apabila seorang pegawai menunjukkan prestasi kerja yang
27
memuaskan ada kemungkinan dipromosikan untuk
mendapat posisi yang lebih tinggi dengan segala
konsekwensinya.
Karakteristik birokrasi Max Weber yang umum diacu
oleh biorokrasi negara paling tidak mempunyai delapan
karakteristik birokrasi, yaitu:
1. Organisasi yang disusun secara hirarkis
2. Setiap bagian memiliki wilayah kerja khusus.
3. Pelayanan publik (civil sevants) terdiri atas orang-orang
yang diangkat, bukan dipilih, di mana pengangkatan
tersebut didasarkan kepada kualifikasi kemampuan,
jenjang pendidikan, atau pengujian (examination).
4. Seorang pelayan publik menerima gaji pokok
berdasarkan posisi.
5. Pekerjaan sekaligus merupakan jenjang karir.
6. Para pejabat/pekerja tidak memiliki sendiri kantor
mereka.
7. Setiap pekerja dikontrol dan harus disiplin.
8. Promosi yang ada didasarkan atas penilaiaj atasan
(superior's judgments).
28
Ditinjau secara politik, karakteristik birokrasi yang
dikemukakan Max Weber hanya menyebut hal-hal yang
ideal. Artinya terkadang pola pengangkatan pegawai di
dalam birokrasi yang seharusnya didasarkan atas jenjang
pendidikan atau hasil ujian sering kali tidak/belum
terlaksana akibat masih berlangsungnya pola pengangkatan
pegawai berdasarkan kepentingan pemerintah atau
kepentingan tertentu.
Untuk mencermati tipe-tipe birokrasi Negara kita
manfaatkan pemisahan tipe birokrasi menurut ideal Typhus
Amerika Serikat kita komparasikan dengan apa yang ada di
Indonesia. Di Amerika Serikat, ada 4 jenis birokrasi yaitu:
1. The Cabinet Departments (departemen-departemen di
dalam kabinet),
2. Federal Agencies (agen-agen federal),
3. Federal Corporation (perusahaan-perusahaan federal
milik federal), dan
4. Independent Regulatory Agencies (agen-agen pengaturan
independen).
Departemen-departemen dalam kabinet terdiri atas
beberapa beberapa lembaga birokrasi yang dibedakan
menurut tugasnya ( ada departemen tenaga kerja,
29
departemen pertahanan, atau departemen pendidikan). Tugas
utama dari departemen-departemen ini adalah melaksanakan
kebijaksanaan umum yang telah digariskan oleh lembaga
eksekutif maupun yudikatif.
Agen-agen federal merupakan kepanjangan tangan dari
lembaga kepresidenan yang dibentuk berdasarkan pilihan
presiden yang tengah memerintah, oleh sebab itu sifatnya
lebih politis ketimbang murni administratif. Organisasi
NASA di sana merupakan salah satu contoh dari agen-agen
federal. Contoh dari birokrasi ini juga diposisikan oleh FBI
(Federal Bureau Investigation).
Di Indonesia agen-agen seperti ini misalnya Badan
Tenaga Atom Nasional (Batan), Lembaga Penerbangan dan
Antariksa Nasional (Lapan).
Korporasi-korporasi federal merupakan birokrasi yang
memadukan antara posisinya sebagai agen pemerintah
sekaligus sebagai sebuah lembaga bisnis. Di Indonesia
contoh yang paling endekati adalah BUMN (Badan Usaha
Milik Negara), walaupun negara (eksekutif) terkadang masih
merupakan pihak yang paling menentukan dalam
pengangkatan pejabatnya, tetapi secara umum. Sebagai
sebuah lembaga bisnis ia memiliki otoritas untuk
30
menentukan jenis modal dan juga memutuskan apakah
perusahaan akan melakukan pemekaran organisasi atau
sebaliknya, perampingan.
Di Indonesia, contoh dari korporasi-korporasi milik
negara ini misalnya Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA),
Garuda Indonesia Airways (GIA), Perusahaan Listrik
Negara (PNL) atau Bank Mandiri.
Agen-agen Pengaturan Independen, sebagai jenis
birokrasi yang terakhir, merupkan birokrasi yang dibentuk
berdasarkan kebutuhan untuk menyelenggarakan regulasi
ekonomi terhadap dunia bisnis, di mana penyelenggaraan
tersebut berkaitan secara langsung dengan kesejahteraan
masyarakat.
Di Indonesia kini dibentuk Badan Penyehatan Perbankan
Nasional (BPPN) yang berfungsi untuk melakukan
rekstrukturisasi kalangan bisnis tanah air yang di masa lalu
dianggap banyak merugikan keuangan negara dan secara
luas kesejahteraan masyarakat terganggu akibat kredit-kredit
macet. Selain itu, sebagai contoh misalnya Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Pemilihan Umum
(KPU), Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU),
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), dan sejenisnya.
31
B. Peran Birokrasi dalam Pemerintahan Modern
Michael G. Roskin, et al. meneyebutkan bahwa
sekurang-kurangnya ada empat fungsi birokrasi di dalam
suatu pemerintahan modern. Fungs-fungsi tersebut adalah :
1. Administrasi
Fungsi administrasi pemerintahan modern meliputi
administrasi, pelayanan, pengaturan, perizinan, dan
pengumpul informasi. Dengan fungsi administrasi
fungsi sebuah birokrasi adalah mengimplementasikan
undang-undang yang telah disusun oleh legislatif serta
penafsiran atas Undang-Undang tersebut oleh eksekutif.
Dengan demikian administrasi berarti pelaksanaan
kebijaksanaan umum suatu Negara yang telah dirancang
sedemikian rupa guna mencapai tujuan negara secara
keseluruhan.
2. Pelayanan
Birokrasi sessungguhnya diarahkan untuk melayani
masyarakat atau kelompok-kelompok khusus. Badan
metereologi dan Geofisika (BMG) di Indonesia
merupakan contoh yang bagus untuk hal ini, di mana
badan tersebut ditujukan demi melayani kepentingan
masyarakat yang akan melakukan perjalanan atau
32
mengungsikan diri dari kemungkinan bencana alam.
Untuk batas-batas tertentu, beberapa korporasi negara
seperti PJKA atau Jawatan POS dan Telekomunikasi
juga menjalankan fungsi public service ini.
3. Pengaturan (regulation)
Fungsi pengaturan dari suatu pemerintahan biasanya
dirancang demi mengamankan kesejahteraan
masyarakat. Dalam menjalankan fungsi ini, badan
birokrasi biasanya dihadapkan anatara dua pilihan
(kepentingan individu atau kepentingan masyarakat
banyak) dan Badan birokrasi negara biasanya
diperhadapkan pada dua pilihan ini.
4. Pengumpul Informasi (Information Gathering)
Informasi dibutuhkan berdasarkan dua tujuan pokok
yaitu : a). apakah suatu kebijaksanaan mengalami
sejumlah pelanggaran atau, b). keperluan membuat
kebijakan-kebijakan baru yang akan disusun oleh
pemerintah berdasarkan situasi faktual. Badan birokrasi
menjadi ujung tombak pelaksanaan kebijaksanaan negara
tentu menyediakan data-data sehubungan dengan dua hal
tersebut. Misalnya, adanya pungutan liar (pungli) ketika
masyarakat mengurus SIM atau STNK tentunya
33
mengalamitambahan biaya. Pungli tersebut merupakan
pelanggaran atas idealisme administrasi negara, oleh
sebab itu harus ditindak. Dengan ditemukannya bukti
pungli, pemerintah akan membuat prosedur baru untuk
pembuatan SIM dan STNK agar tidak memberi ruang
bagi kesempatan melakukan pungli.
Selain Michael G Roskin, et.al., Andrew Heywood juga
mengutarakan sejumlah fungsi yang melekat pada birokrasi
yaitu :
1. Pelaksanaan Administrasi.
Fungsi ini sama yang diutarakan Roskin, et.al, bahwa
fungsi utama birokrasi adalah mengimplementasikan
atau mengeksekusi undang-undang dan kebijakan
negara. Fungsi ini (Heywood) membedakan 2 peran di
tubuh pemerintah. Pertama, peran pembuatan kebijakan
berada di tangan politisi. Kedua, peran pelaksanaan
kebijakan berada di tangan birokrat. Oleh sebab itu
fungsi administrasi merupakan fungsi sentral dari
birokrasi negara yang dalam rezim pemerintahan disebut
dengan administrasi. Misalnya administrasi Gus Dur,
administrasi Sukarno, administrasi SBY, atau
administrasi Barack Obama sebagai akibat suatu
34
kenyataan bahwa suatu kebijakan baru akan terasa
apabila telah dilaksanakan.
2. Nasehat Kebijakan (Policy Advice)
Birokrasi menempati peran sentral dalam pemberian
nasehat kebijakan kepada pemerintah, karena birokrasi
merupakan lini terdepan dalam implementasi suatu
kebijakan dan mereka adalah pelaksananya. Sebab itu,
masalah dalam kebijakan informasinya secara otomatis
akan terkumpul di birokrasi. Heywood membedakan 3
kategori birokrat yaitu : 1) Top level civil servants,
banyak melakukan kontak dengan politisi, 2) Middle-
rangking civil servants,lebih pada pekerjaan rutine di
lapangan dan 3) Junior-ranking civil servants. Top Level
Civil Servants dapat bertindak selaku penasehat
kebijakan bagi para politisi berdasarkan informasi
pelaksanaan kebijakan yang mereka peroleh dari middle
dan junior civil servants.
3. Artikulasi Kepentingan
Walaupun bukan fungsi utamanya untuk mengartikulasi
kepentingan (ini fungsi partai politik), tetapi birokrasi
sering mendukung upaya artikulasi dan agregasi
kepentingan. Dalam hal ini birokrasi banyak melakukan
35
kontak dengan kelompok-kelompok kepentingan untuk
membangkitkan kecenderungan korporatis apabila terjadi
kekaburan antara kepentingan-kepentingan yang
terorganisir dengan kantor-kantor pemerintah (birokrasi).
Kelompok-kelompok kepentingan seperti perkumpulan
dokter, guru, petani, dan bisnis kemudian menjadi
kelompok klien yang dilayani oleh birokrasi negara.
Klientelisme positif dalam arti birokrasi secara dekat
mampu mengartikulasikan kepentingan kelompok-
kelompok tersebut yang notabene adalah rakyat yang
harus dilayani. Tetapi pada sisi lain klientelisme dapat
berefek negative terutama ketika birokrasi berhadapan
dengan kepentingan-kepentingan bisnis besar seperti
Bakri Group (kasus Lapindo), kelompok-kelompok
percetakan dalam kasus Ujian Nasional yang mana
keputusan pemerintah berbias kepentingan kelompok-
kelompok tersebut.
4. Stabilitas Politik
Birokrasi dapat berperan sebagai stabilitator politik
dalam artian fokus kerjanya adalah stabilitas dan
kontinuitas sistem politik. Peran ini terutama nampak di
36
negara-negara berkembang di mana pelembagaan politik
demokrasi masih dalam perkembangan.
C. Penataan Kelembagaan/Ketatalaksanaan Birokrasi
Kelemahan-kelemahan birokrasi terletak dalam hal: a).
penetapan standar efisiensi yang dapat dilaksanakan secara
fungsional, b). terlalu menekankan aspek-aspek rasionalitas,
impersonalitas dan hirarki, c). kecenderungan birokrat untuk
menyelewengkan tujuan-tujuan organisasi, d). berlakunya
pita merah dalam kehidupan organisasi. Kelemahan-
kelemahan dalam birokrasi sebenarnya tidak berarti bahwa
birokrasi adalah satu bentuk organisasi yang negatif tetapi
seperti dikemukakan oleh K. Merton lebih merupakan
bureaucratic dysfunction dengan ciri utamanya trained
incapacity.
Usaha untuk memperbaiki penampilan birokrasi diajukan
dalam bentuk teori birokrasi sistem perwakilan. dengan
asumsi bahwa birokrat di pengaruhi oleh pandangan nilai-
nilai kelompok sosial dari mana ia berasal. Pada gilirannya
aktivitas administrasi diorientasikan pada kepentingan
kelompok sosialnya. Sementara itu, kontrol internal tidak
dapat dijalankan, sehingga dengan birokrasi sistem
37
perwakilan diharapkan dapat diterapkan mekanisme kantrol
internal. Teori birokrasi sistem perwakilan secara konseptual
sangat merangsang, tetapi tidak mungkin untuk diterapkan,
karena teori ini tidak realistik, tidak jelas kriteria
keperwakilan, emosional dan mengabaikan peranan
pendidikan.
Desain biorokrasi negara pada masa akan datang
diharapkan :
1. Harus Kuat dalam arti tidak mudah diintervensi
kepentingan politik dan mampu mengakomodasi
kepentingan publik dengan memberi pelayanan prima
pada masyarakat tanpa diskriminasi;
2. Kelembagaan (pemisahan jabatan politik dan jabatan
karier, birokrasi harus dipimpin birokrat professional
karier);
3. Sumber daya manusia harus professional (system
rekruitmen sesuai prosedur, penempatan jabatan sesuai
aturan, renumerasi memadai)
Penataan Kelembagaan dilaksanakan dengan
memperhatikan Dimensi dan Azas Organisasi :
38
a. Dimensi Struktural (formalisasi, spesialisasi, sentralisasi,
hirarki kekuasaan, kompleksitas, profesionalisme,
konfigurasi)
b. Dimensi Kontekstual (ukuran organisasi, teknologi
organisasi, lingkungan)
c. Azas Organisasi (Azas pembagian tugas, azas
fungsionalisasi, azas koordinasi, azas kesinambungan,
azas akordion, azas pendelegasian wewenang, azas
keluwesan, azas rentang kendali, azas jalur staf, azas
kejelasan dalam pelembagaan
Kerangka transformasi organisasi birokrasi perlu
memahami 4 (empat) bentuk transformasi sebagaimana
gambar berikut :
Semangat Pemikiran
Tumbuh di Lingkungan Tumbuh di Dalam
(Sumber : Sedarmayati, 2010)
Renew (memperbaharui)
Reframe (menyusun kembali)
TRANSFORMASI
Revitalize (Revitalisasi) Restructure (restruktur)
39
Empat bentuk transformasi organisasi birokrasi , yaitu :
1. Renew (memperbarui), berkaitan dengan perubahan
orang dan semangat organisasi
2. Reframe (menyusun kembali), penggantian konsep
organisasi tentang apa bagaimana suatu hal dapat dicapai
3. Restructure (Restrukturisasi), mempersiapkan agar
organisasi mencapai tingkat persaingan kerja
4. Revitalize (Revitalisasi), membangkitkan kembali tenaga
untuk pertumbuhan organisasi yang berkaitan dengan
lingkungan melalui proses yang lebih menantang
Penataan ketatalaksanaan diharapkan menerapkan
managemen modern dengan terminologi managemen
modern : terbaru, modernism, sikap, pikiran, tingkah laku
yang modern, modernisasi, pembaharuan agar sesuai dengan
zaman sekarang. Managemen modern bertumpu pada
beberapa landasan pemikiran seperti : konsep sistem,
analisis keputusan, pentingnya factor manusia serta
tanggung jawab social manusia dalam organisasi. Dalam
penerapan managemen modern hampir setiap organisasi
dewasa ini memiliki ciri spesifik, anatara lain :
40
1. Adanya perubahan yang luar biasa dalam proses
implementasi fungsi-fungsi managemen dari cara
konvensional bergeser ke teknologi managemen
2. Filosofi managemen modern berbasais azas
demokratisasi, akuntabilitas keterbukaan, transparansi,
taat hokum, proporsional dan profesionalitas
3. Menerapkan ilmu managemen sehingga diharapkan
mapu merespons berbagai tantangan yang muncul dalam
organisasi sebagai pengaruh globalisasi
4. Mimimal memnggunakan 3 pendekatan yaitu
pendekatan system, pendekatan kontingensi dan
keterlibatan dinamik
Pendekatan sistem memandang organisasi sebagai
kesatuan system yang terdiri dari bagian yang saling
berkaitan, sehingga memberi kemungkinan pimpinan
melihat organisasi secara keseluruhan dan sebagai bagian
dari lingkungan eksternal yang lebih luas. Pendekatan
kontingensi (pendekatan situasional) dikembangkan oleh
pimpinan, konsultan dan peneliti yang mencoba menerapkan
berbagai konsep pada situasi kehidupan nyata. Pendekatan
keterlibatan dinamik dipraktekkan dengan latar belakang
41
perubahan cepat dan pemikiran ulang yang mendalam
mengenai berbagai menegemen dan organisasi akan
berevolosi dalam abad mendatang, dengan sejumlah cara
pada saat yang sama terletak cara baru berpikir mengenai
hubungan dan waktu
Managemen Pegawai Negeri Sipil (PNS) menurut UU
No. 43/1999 pasal 1 adalah keseluruhan upaya untuk
meningkatkan efektifitas, efisiensi dan derajat
profesionalisme penyelenggaraan tugas, fungsi dan
kewajiban kepegawaian yang meliputi perencanaan,
pengadaan, pengembangan kualitas, penempatan, promosi,
penggajian, kesejahteraan dan pemberhentian. Tujuan
strategi pembinaan PNS apadah menciptakan aparatur
Negara professional, netral dari kegiatan dan pengaruh
politik, bermoral tinggi, berwawasan global, mendukung
persatuan dan kesatuan bangsa, serta memiliki tingkat
kesejahteraan material dan spiritual.
Peningkatan kapasitas sumberdaya manusia/aparatur
meliputi disiplin, prinsip meritokrasi dan budaya malu.
Masalah kedisiplinan tidak terlepas dari 3 unsur kebudayaan
yang ada pada setiap manusia yang dapat berpengaruh pada
sikap dan erilaku orang dalam melaksanakan tugas dan
42
pekerjaannya yaitu : Cipta, Rasa dan Karsa. Prinsip
meritokrasi yang berkaitan dengan reward merupakan factor
yang sangat menentukan kelancaran dan kewenangan atau
tugas yang harus dijalankan, karena manusia mempunyai
kebutuhan material, spiritual atau jasmani dan rokhani.
Budaya malu diharapkan berkembang dari sifat rasa
malu (afektif) yang mekekat pada profesionalisme
(psikhomotorik), bermuatan logika pengetahuan (kognitif)
yang ingin dibudayakan atau menjadi budaya bangsa.
Pengembangan karier adalah proses identifikasi potensi
karier pegawai dan mencari serta menerapkan cara tepat
untuk mengembangkan potensi tersebut.
Pendidikan dan pelatihan PNS merupakan proses
transformasi kualitas sumber daya manusia aparatur yang
menyentuh 4 dimensi utama yaitu : dimensi mental spiritual,
intelektual, mental dan fisikal yang terarah pada perubahan
mutu.
Sistem informasi kepegawaian yang diselenggarakan
secara cepat, tepat danakurat ditujukan untuk mendukung
kebijakan memegemen PNS terutama dalam
mendukungkebijakan penetapan formasi, pengangkatan,
pengembangan, pembinaan, pemindahan, gaji, tunjangan,
43
kesejahteraan, pemberhentian, hak, kewajiban dan
kedudukan hokum PNS
Dalam akuntabilitas terkandung kewajiban untuk
menyajikan dan melaporkan segala tindak tanduk dan
kegiatan terutama dibidang administrasi keuangan kepada
atasannya (pihak yang lebih tinggi) yang olok ukur
(indicator pengukur) kinerja adalah kewajiban individu dan
organisasi untuk mempertanggung jawabkan pencapaian
kinerja melalui pengukuran seobyektif mungkin. Secara
absolute akuntabilitas memvisualisasikan ketaatan pada
peraturan dan prosedur yang berlaku, kemampuan untuk
melakukan evaluasi kinerja, keterbukaan dalam pembuatan
keputusan, mengacu pada jadwal yang telah ditetapkan dan
menerapkan efisiensi dan efektifitas biaya pelaksanaan
tugas-tugasnya.
Media pertanggungjawaban yang menjadi alat evaluasi
oleh pihak yang memberikan kewenangan untuk menilai
kinerja pejabat pemerintah harus dibuat secara tertulis dalam
bentuk laporan yang bersifat periodic. Sistem Akuntabilitas
Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP) adalah instrument
yang digunakan instansi pemerintah dalam memenuhi
44
kewajiban untuk mempertanggungjawabkan keberhasilan
dan kegagalan pelaksanaan misi organisasi, seperti gambar :
Siklus SAKIP (Sistem Akuntabilitas Instansi Pemerintah)
( Sumber : Sedarmayanti,2010)
PERENCANAAN STRATEGIK
PERENCANAAN KINERJA
Pelaporan Kinerja
Akuntabilitas Kerja Pengukuran dan evaluasi kinerja
45
BAB III : PELAYANAN PUBLIK
A. Teori pelayanan Publik
Fenomena yang pada umumnya dipandang rumit adalah
jasa, karena kata jasa mempunyai banyak arti mulai dari
pelayanan personal (personal service) sampai jasa sebagai
produk. Berbagai konsep mengenai pelayanan banyak
dikemukakan oleh para ahli seperti Haksever et al (2000)
menyatakan bahwa jasa atau pelayanan (services)
didefinisikan sebagai kegiatan ekonomi yang menghasilkan
waktu, tempat, bentuk dan kegunaan psikologis. Menurut
Edvardsson et al (2005) jasa atau pelayanan juga merupakan
kegiatan, proses dan interaksi serta merupakan perubahan
dalam kondisi orang atau sesuatu dalam kepemilikan
pelanggan. Sinambela (2010), pada dasarnya setiap manusia
membutuhkan pelayanan bahkan secara ekstrim dapat
dikatakan bahwa pelayanan tidak dapat dipisahkan dengan
kehidupan manusia. Menurut Kotlern dalam Sampara
Lukman, pelayanan adalah setiap kegiatan yang
menguntungkan dalam suatu kumpulan atau kesatuan dan
menawarkan kepuasan meskipun hasilnya tidak terikat pada
suatu produk secara fisik. Selanjutnya Sampara berpendapat,
46
pelayanan adalah sutu kegiatan yang terjadi dalam interaksi
langsung antarseseorang dengan orang lain atau mesin
secara fisik dan menyediakan kepuasan pelanggan.
Istilah publik berasal dari bahasa inggris public yang
berarti umum, masyarakat, Negara yang sebenarnya sudah
diterima secara baku bahwa publik yang berarti umum,
orang banyak, ramai. Dengan demikian dapat didefinisikan
bahwa publik adalah sejumlah manusia yang memiliki
kebersamaan berpikir, perasaan, harapan, sikap atau
tindakan yang benar dan baik berdasarkan nilai-nilai norma
yang merasa memiliki. Oleh karena itu pelayanan publik
diartikan sebagai setiap kegiatan yang dilakukan oleh
pemerintah terhadap sejumlah manusia yang memiliki setiap
kegiatan yang menguntungkan dalam suatu kumpulan atau
kesatuan dan menawarkan kepuasan meskipun hasilnya
tidak terikat pada suatu produk secara fisik. Lebih lanjut
dikatakan pelayanan publik dapat diartikan, pemberi layanan
(melayani) keperluan orang atau masyarakat yang
mempunyai kepentingan pada organisasi itu sesuai dengan
aturan pokok dan tata cara yang telah ditetapkan.
47
Sinambela (2010), secara teoritis tujuan pelayanan
publik pada dasarnya adalah memuaskan masyarakat yang
menuntut kualitas pelayanan prima yang tercermin dari :
1. Transparan, pelayanan yang bersifat terbuka mudah dan
dapat diakses oleh semua pihak yang membutuhkan dan
disediakan secara memadai serta mudah dimengerti.
2. Akuntablitas, pelayanan yang dapat
dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
3. Kondisional, pelayanan yang sesuai dengan kondisi dan
kemampuan pemberi dan penerima pelayanan dengan
tetap berpegang pada prinsip efisiensi dan efektivitas.
4. Partisipatif, pelayanan yang dapat mendorong peran serta
masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik
dengan memperhatikan aspirasi, kebutuhan dan harapan
masyarakat.
5. Kesamaan Hak. pelayanan yang tidak melakukan
diskriminasi dilihat dari aspek apapun khususnya suku,
ras, agama, golongan, status sosial dan lain-lain.
6. Keseimbangan Hak Dan Kewajiban, pelayanan yang
mempertimbangkan aspek keadilan antara pemberi dan
penerima pelayanan publik.
48
Apabila dihubungkan dengan administrasi publik,
pelayanan adalah kualitas pelayanan birokrat terhadap
masyarakat. Kata kualitas memiliki banyak definisi yang
berbeda dan bervariasi mulai dari yang konvensional hingga
yang lebih strategis. Definisi konvesional dari kualitas
biasanya menggambarkan karakteristik langsung dari suatu
produk, seperti :
1. Kinerja (performance),
2. Kehandalan (reliability),
3. Mudah dalam penggunaan (easy of use),
4. Estetika (esthetics) dll. yang definisi strategis
dinyatakan bahwa kualitas adalah segala sesuatu yang
mampu memenuhi keinginan atau kebutuhan pelanggan
(meeting the needs of customers).
Salah satu pendekatan kualitas pelayanan yang banyak
dijadikan acuan dalam riset pemasaran adalah model
SERVQUAL (Service Quality) yang dikembangkan oleh
Parasuraman, Zeithaml, dan Berry dalam serangkaian
penelitian mereka yang melibatkan 800 pelanggan terhadap
enam sektor jasa : reparasi, peralatan rumah tangga, kartu
kredit, asuransi, sambungan telepon jarak jauh, perbankan
ritel, dan pialang sekuritas disimpulkan bahwa terdapat lima
49
dimensi SERVQUAL sebagai berikut (Parasuraman et al,
1998) :
1. Tangibles, (bukti fisik) yaitu kemampuan suatu
perusahaan dalam menunjukkan eksistensinya kepada
pihak eksternal. Penampilan dan kemampuan sarana dan
prasarana fisik perusahaan dan keadaan lingkungan
sekitarnya adalah bukti nyata dari pelayanan yang
diberikan oleh pemberi jasa yang meliputi fasilitas fisik
(gedung, gudang, dan lain sebagainya), perlengkapan
dan peralatan yang dipergunakan (teknologi), serta
penampilan pegawainya.
2. Reliability, (kehandalan) yaitu kemampuan perusahaan
untuk memberikan pelayanan sesuai yang dijanjikan
secara akurat dan terpercaya. Kinerja harus sesuai
dengan harapan pelanggan yang berarti ketepatan waktu,
pelayanan yang sama, untuk semua pelanggan tanpa
kesalahan, sikap yang simpatik, dan dengan akurasi yang
tinggi.
3. Responsiveness, (ketanggapan) yaitu kemampuan untuk
membantu dan memberi pelayanan yang cepat
(responsif) dan tepat kepada pelanggan dengan
penyampaian informasi yang jelas. Membiarkan
50
konsumen menunggu tanpa adanya suatu alasan yang
jelas menyebabkan persepsi yang negatif dalam
pelayanan.
4. Assurance, (jaminan dan kepastian) yaitu pengetahuan,
kesopansantunan, dan kemampuan para pegawai
perusahaan untuk menumbuhkan rasa percaya para
pelanggan kepada perusahaan. Terdiri dari beberapa
komponen antara lain komunikasi (communication),
kredibilitas (credibility), keamanan (security),
kompetensi (competence), dan sopan santun (courtesy).
5. Emphaty, (memberikan perhatian) yang tulus dan
bersifat individual yang diberikan kepada para pelanggan
dengan berupaya memahami keinginan konsumen. Suatu
perusahaan diharapkan memiliki pengertian dan
pengetahuan tentang pelanggan, memahami kebutuhan
pelanggan secara spesifik, serta memiliki waktu
pengoperasian yang nyaman bagi pelanggan.
Abidin (2010), mengatakan bahwa pelayanan publik
yang berkualitas bukan hanya mengacu pada pelayanan
semata. Tetapi juga menekankan pada proses
penyelenggaraan atau pendistribusian pelayanan itu sendiri
hingga ke tangan masyarakat sebagai konsumer. Aspek-
51
aspek kecepatan, ketepatan, kemudahan, dan keadilan
menjadi alat untuk mengukur pelayanan publik yang
berkualitas, artinya pemerintah melalui aparat dalam
memberikan pelayanan publik kepada masyarakat harus
memperhatikan aspek kecepatan, ketepatan, kemudahan, dan
keadilan.
Salah satu fungsi pemerintahan yang selalu disorot
masyarakat adalah pelayanan publik instansi pemerintah
yang menyelenggarakan pelayanan publik. Peningkatan
kualitas pelayanan publik yang diselenggarakan instansi
pemerintahan semakin mengemuka dan bahkan menjadi
tuntutan masyarakat.
Persoalan yang sering dikritisi masyarakat adalah
kualitas layanan yang mencakup:
a. Kesesuaian dengan persyaratan ;
b. Kecocokan untuk pemakaian ;
c. Perbaikan berkelanjutan ;
d. Bebas dari kerusakan/cacat ;
e. Pemenuhan kebutuhan pelanggan sejak awal dan setiap
saat;
f. Melakukan segala sesuatu secara benar ; dan
52
g. Sesuatu yang bisa membahagiakan pelanggan (Tjiptono,
1996).
Tuntutan pelanggan untuk mendapatkan pelayanan yang
lebih baik (service excellence) tidak dapat dihindari oleh
penyelenggara pelayanan jasa dan harus disikapi sebagai
upaya untuk memberikan kepuasan kepada penerima
layanan. Kualitas pelayanan diartikan sebagai tingkat
keunggulan yang diharapkan dan pengendalian atas tingkat
keunggulan tersebut untuk memenuhi keinginan pelanggan
dan tidak diukur dari sudut pandang pihak penyelenggara
atau penyedia layanan, melainkan berdasarkan persepsi
masyarakat (pelanggan) penerima layanan.
Apabila pelayanan yang diterima sesuai dengan apa yang
diharapkan, maka kualitas pelayanan dipersepsikan
memuaskan. Jika pelayanan yang diterima melampaui
harapan pelanggan, maka kualitas pelayanan dipersepsikan
sebagai kualitas yang ideal. Sebaliknya jika pelayanan yang
diterima lebih rendah dari yang diharapkan, maka kualitas
pelayanan dipersepsikan buruk. Dengan demikian baik
buruknya kualitas pelayanan tergantung kepada kemampuan
penyedia layanan dalam memenuhi harapan masyarakat
(para penerima layanan) secara konsisten.
53
Berdasarkan uraian dari berbagai pendapat diatas, maka
pengertian kualitas pelayanan adalah totalitas karakteristik
suatu konsep pelayanan yang mencakup seluruh aspek
pelayanan yang toluk ukurnya adalah dapat memberi
kepuasan kepada para pelanggan (masyarakat).
B. Etika Birokrasi Dalam Pelayanan Publik
Apabila pelayanan publik sebagai produk dari orientasi
pemikiran administrasi pembangunan dan administrasi
pembangunan sebagai orientasi baru dari reformasi
administrasi negara, maka timbul pertanyaan adakah
teori khusus yang berkaitan dengan etika pelayanan publik.
Gerald Caiden (1986), pakar administrasi negara pernah
menyindir tentang keberadaan teori administrasi negara
ini dengan menyatakan bahwa administrasi negara itu
terlalu banyak teori, tetapi tidak terdapat satu teoripun yang
dapat diberlakukan secara umum dari administrasi
negara. Hal yang sama pernah disampaikan pula oleh
Fred.W Riggs (1964) dan Ferrel Heady (1966) yang
mempertanyakan perihal isi dan kecenderungan dari teori
administrasi negara yang dianggapnya tidak jelas
metodologinya. Dipihak lain dalam beberapa literatur
54
pelayanan publik lebih dikenal sebagai tatanan konsep
daripada tatanan teori (Thoha,1992), Oleh karena itu
istilah pelayanan publik disebut juga dengan istilah
pelayanan kepada orang banyak (masyarakat), pelayanan
sosial, pelayanan umum dan pelayanan prima. Pernyataan
semacam ini sekaligus menambah adanya kerancuan
ontologis (apa, mengapa), epistemologis (bagaimana)
dan axiologis (untuk apa) dalam memperbincangkan
teori yang berkaitan dengan pelayanan publik.
Secara ideal, persyaratan teori administrasi yang
menyangkut pelayanan publik antara lain :
1. Harus mampu menyatakan sesuatu yang berarti dan
bermakna yang dapat diterapkan pada situasi kehidupan
nyata dalam masyarakat (konteksual)
2. Harus mampu menyajikan suatu perspektif kedepan
3. Harus dapat mendorong lahirnya cara-cara atau metode
baru dalam situasi dan kondisi yang berbeda
4. Teori administrasi yang sudah ada harus dapat
merupakan dasar untuk mengembangkan teori
administrasi lainnya, khususnya pelayanan publik
5. Harus dapat membantu pemakainya untuk menjelaskan
dan meramalkan fenomena yang dihadapi
55
6. Bersifat multi disipliner dan multi dimensional
(komprehensif)
Berpedoman dari persyaratan diatas, maka Ferrel
Heady (1966) menyarankan adanya :
a. Tindakan modifikasi terhadap teori administrasi negara
klasik/ tradisional
b. Perubahan isi dari teori administrasi yang lebih
diorientasikan kepada kepentingan pembangunan
c. Melakukan redifinisi secara umum terhadap sistem dan
model-model pengembangan
d. Menemukan perumusan baru teori administrasi yang
bersifat middle range theory.
Adapun Fred. W Riggs (1964) menyarankan
adanya pergeseran pendekatan metodologi penelitian
administrasi (khususnya yang berkaitan dengan
pengamatan fenomena pelayanan publik) dari :
1. Pendekatan normatif ke pendekatan empiris
2. Pendekatan ideografik ke pendekatan nomotetik
3. Pendekatan struktural ke pendekatan ekologi, dan
4. Pendekatan behavior ke pendekatan post-behavior
(pendekatan analogi).
56
Apabila hal-hal tersebut dapat dilakukan, maka
diharapkan studi administrasi negara: a) Mampu
menciptakan konsep dan teori-teori baru yang dapat
menerobos batas-batas kebudayaan, b) Mampu
membandingkan ketentuan-ketentuan formal, hukum-hukum
dan peraturan-peraturan yang ada sebagai landasan
perumusan keputusan dan kebijaksanaan (pelayanan publik),
c) Mampu bertindak sesuai dengan kajian fakta dan data
dilapangan. Kesimpulan sementara yang dapat diambil
apabila administrasi negara ingin menemukan identitas
teori-teori yang berkaitan dengan pelayanan publik, maka
perlu adanya kegiatan studi komparatif administrasi
negara dalam bidang pelayanan publik dan
meningkatkan kegiatan penelitian atau riset lapangan
yang berkaitan dengan proses perumusan kebijakan
pelayanan publik, proses implementasi pelayanan publik
dan evaluasi produk pelayanan publik.
Ada asumsi menarik yang dipertanyakan, apakah
budaya organisasi birokrasi mempengaruhi proses
pelayanan publik, ataukah tradisi pelayanan publik akan
mempengaruhi dan menciptakan budaya organisasi
birokrasi . Apabila yang pertama muncul maka akan
57
terjadi stagnasi dan kekuatan statusquo dalam organisasi
birokrasi; tetapi jika yang kedua muncul maka akan
tercipta perubahan dan pengembangan organisasi birokrasi
yang dinamis. Budaya organisasi (birokrasi) merupakan
kesepakatan bersama tentang nilai-nilai bersama dalam
kehidupan organisasi dan mengikat semua orang dalam
organisasi yang bersangkutan (Siagian,1995). Oleh karena
itu budaya organisasi birokrasi akan menentukan :
a. Apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh para
anggota organisasi;
b. Menentukan batas normatif perilaku anggota organisasi;
c. Menentukan sifat dan bentuk pengendalian organisasi;
d. Menentukan gaya manajerial yang dapat diterima oleh
para anggota organisasi;
e. Menentukan cara-cara kerja yang tepat dll.
Secara spesifik peran penting yang dimainkan oleh
budaya organisasi (birokrasi) adalah membantu menciptakan
rasa memiliki terhadap organisasi; menciptakan jati diri para
anggota organisasi; menciptakan keterikatan emosional
antara organisasi dan pekerja yang terlibat
didalamnya; membantu menciptakan stabilitas
58
organisasi sebagai sistem sosial; dan menemukan pola
pedoman perilaku sebagai hasil dari norma-norma kebiasaan
yang terbentuk dalam keseharian. Berbicara tentang Etika
Birokrasi dewasa ini menjadi topik yang sangat menarik
dibahas, terutama dalam mewujudkan aparatur yang bersih
dan berwibawa. Gejalayang timbul dewasa ini banyak aparat
birokrasi dalam pelaksanaan tugasnya sering melanggar
aturan main yang telah ditetapkan. Etika Birokrasi dalam
penyelenggaraan pemerintahan sangat terkait dengan
moralitas dan mentalitas aparat birokrasi dalam
melaksanakan tugas-tugas pemerintahan itu sendiri yang
tercermin lewat fungsi pokok pemerintahan, yaitu fungsi
pelayanan, fungsi pengaturan/ regulasi dan fungsi
pemberdayaan masyarakat.
Jadi Etika Birokrasi berarti berbicara tentang bagaimana
aparat Birokrasi tersebut dalam melaksanakan fungsi
tugasnya sesuai dengan aturan yang seharusnya yang pantas
untuk dilakukan.
Etika Administrasi Negara dari American society for
Public Administration (Perhimpunan Amerika untuk
Administrasi Negara), menyebutkan prinsip-prinsip etika
pelayanan sebagai berikut:
59
1. Pelayanan terhadap publik harus diutamakan;
2. Rakyat adalah berdaulat dan mereka yang bekerja di
dalam pelayanan publik secara mutlak bertanggung
jawab kepadanya,
3. Hukum yang mengatur semua kegiatan pelayanan publik
dan apabila hukum bersifat tidak jelas harus mencari
cara terbaik untuk memberi pelayanan publik;
4. Manajemen yang efesien dan efektif merupakan dasar
bagi administrator publik.
5. Pengorbankan kepentingan publik demi kepentingan
pribadi tidak dapat dibenarkan;
6. Keadilan, kejujuran, keberanian, kesamaan, kepandaian
dan empathy merupakan nilai-nilai yang dijunjung tinggi
dan secara aktif harus dipromosikan;
7. Kesadaran moral memegang peranan penting dalam
memilih alternatif keputusan;
8. Administrator publik tidak semata-mata berusaha
menghindari kesalahan, tetapi juga berusaha mengejar
atau mencari kebenaran (Wachs, 1985).
Dalam setiap kehidupan bermasyarakat memerlukan
pelayanan dari orang lain, baik pelayanan fisik maupun
pelayanan administratif. Terkait dengan pelayanan publik
60
(birokrasi) sebagai abdi negara, abdi masyarakat adalah
sebagai aparat pelaksana pelayanan (public service) yang
merupakan salah satu fungsi yang diselenggarakan dalam
rangka penyelenggaraan administrasi negara.
Moenir (1992), mengatakan pelayanan adalah sebuah
proses pemenuhan kebutuhan melalui aktivitas yang
dilakukan oleh orang lain secara langsung yang secara garis
besar pelayanan yang diperlukan masyarakat pada dasarnya
ada 2 jenis, yaitu pelayanan fisik yang sifatnya pribadi
sebagai manusia dan pelayanan administrative yang
diberikan oleh orang lain selaku anggota organisasi. Bentuk
pelayanan tersebut sebagai berikut :
Pelayanan dengan lisan : Pelayanan yang dilakukan oleh
petugas-petugas dibidang hubungan kemasyarakatan, bidang
layanan informasi, bidang penerangan, dan bidang-bidang
lainnya yang tugasnya memberikan penjelasan atau
keterangan kepada siapapun yang memerlukan. Agar
pelayanan dengan lisan berhasil sesuai dengan yang
diharapkan, maka pelaku pelayanan harus:
1. Memahami benar masalah-masalah yang termasuk dalam
bidang tugasnya;
61
2. Mampu memberikan penjelasan apa yang diperlukan
dengan lancar, singkat tetapi cukup jelas sehingga
memuaskan mereka yang ingin memperoleh kejelasan
mengenai sesuatu;
3. Bertingkah laku sopan dan ramah-tamah;
4. Meski dalam keadaan sepi tidak ngobrol dan bercanda
dengan teman, karena menimbulkan kesan tidak disiplin
dan melalaikan tugas. Tamu menjadi segan untuk
bertanya dengan memutus keasyikan ngobrol;
5. Tidak melayani orang-orang yang ingin sekedar ngobrol
dengan cara sopan.
Pelayanan melalui tulisan : Merupakan bentuk yang
paling menonjol dalam pelaksanaan tugas, tidak hanya dari
segi jumlah tetapi juga dari segi peranannya. Agar pelayanan
dalam bentuk tulisan dapat memenuhi kepuasan pihak yang
dilayani, satu faktor kecepatan baik dalam pengolahan
masalah maupun dalam proses penyelesaiannya (pengetikan,
penandatanganan, dan pengiriman kepada yang
bersangkutan).Pelayanan tulisan terdiri dari dua golongan,
yaitu: pertama, pelayanan berupa petunjuk, informasi dan
sejenisnya yang ditujukan pada orang yang berkepentingan,
agar memudahkan mereka dalam berurusan dengan
62
instansi/lembaga; dan kedua, pelayanan berupa reaksi tulisan
atas permohonan, laporan, keluhan, pemberian/penyerahan,
pemberitahuan dan lain sebagainya.
Pelayanan berbentuk perbuatan : Dalam kenyataan
sehari-hari jenis pelayanan ini memang tidak terhindar dari
pelayanan lisan. Jadi merupakan gabungan antara pelayanan
lisan dan perbuatan. Hal ini banyak dilakukan dalam
hubungannya dengan pelayanan. Titik berat dari pelayanan
perbuatan ini adalah terletak pada perbuatan yang ditunggu
oleh yang berkepentingan. Jadi tujuan utama orang yang
berkepentingan adalah mendapatkan pelayanan dalam
bentuk perbuatan bukan sekedar penjelasan dan
kesanggupan secara lisan.
Karena pentingnya pelayanan bagi kehidupan manusia
ditambah kompleksnya kebutuhannya, maka bentuk
pelayanan yang diperlukan lebih banyak merupakan
kombinasi dari ketiga bentuk pelayanan. Pola pelayanan lain
yang diharapkan dalam etika pelayanan publik adalah
pelayanan yang mengarah pada pendekatan deontology yaitu
pelayanan yang mendasarkan diri pada prinsip-prinsip nilai
moral yang harus ditegakkan karena kebenaran yang ada
63
dalam dirinya dan tidak terkait dengan akibat atau
konsekuensi dari keputusan yang diambil.
Dengan pelayanan seperti ini diharapkan agar birokrasi
melakukan kewajiban moral untuk mengupayakan agar
sebuah kebijakan menjadi karakter masyarakat. Apabila hal
ini melembaga dalam diri pejabat publik dan masyarakat,
maka birokrasi patut menjadi teladan, karena mereka tidak
melakukan sesuatu yang merugikan negara dan masyarakat
melalui kegiatan korupsi, kolusi, dan nepotisme.
C. Konsep dan Dimensi Kualitas Pelayanan Publik
Kualitas pelayanan publik yang merupakan domain
administrasi publik yang kontemporer merupakan tantangan
yang selalu mengemuka. Artinya, sejak berdirinya public
administration yang dipelopori Woodrow Wilson (1887)
dan Frank J. Goodnow (1900) masalah-masalah yang
berkaitan dengan kegiatan-kegiatan suatu negara (the
business of the state) dengan mengupayakan yang seefisien
dan seefektif mungkin dalam pelayanan publik cenderung
meningkat. Denhart dan Denhart (2003) menyatakan bahwa
pemerintah sebagai penyedia pelayanan publik dengan
kapasitasnya harus memperjuangkan kualitas pelayanan
64
publik sebaik mungkin dan organisasi publik harus sesegera
mungkin melakukannya, tetapi juga mempertimbangkan
batasan hukum dan akuntabilitas. Usaha untuk
meningkatkan kualitas pelayanan publik dimulai dengan
mengakui perbedaan pelanggan dan warga Negara, karena
warga negara digambarkan sebagai pembawa hak dan
kewajiban dalam kontek komunitas yang lebih luas.
Pendapat Denhart tersebut secara dengan jelas
menggambarkan bahwa pelayanan publik berbeda dengan
pelayanan yang disediakan oleh organisasi privat yang
mempunyai keleluasaan dalam aktualisasi entrepenuership-
nya bagi manajer, tetapi itu berarti tidak melarang untuk
mempraktekkan semangat kewirausahaan dalam organisasi
publik dan dalam menghargai pegawaipun tidak dapat
dipersamakan dengan organisasi privat.
Kualitas pelayanan publik dapat dipandang sebagai salah
satu kinerja organisasi publik yang dalam konteks
manajemen publik baru penilian kinerja harus dilihat sebagai
upaya yang berkesinamungan dalam rangka memperbaiki
kinerja organisasi publik (Keban 2004). Dasar penilaian
kinerja tidak hanya semata-mata pada proses perlakuan
kepada bawahan (kepada masyarakat) dan bagaimana
65
akuntabiltas berjalan di dalam organisasi, tetapi lebih luas
lagi yaitu berkenaan dengan kualitas pelayanan publik
keterkaitan dengan misi, visi dan nilai-nilai yang
diperjuangkan organisasi. Kesesuaian apa yang dikerjakan
organisasi publik dengan aspirasi dan kebutuhan masyarakat
dan sampai seberapa jauh suatu organisasi publik telah
belajar memecahkan masalah yang dihadapinya.
Dengan demikian, tantangan bagi organisasi publik
adalah menyusun program, mengarahkan perilaku pegawai
dan mengarahkan sumberdaya untuk menghasilkan kinerja
organisasi yang sesuai dengan harapan masyarakat. Harapan
masyarakat terhadap organisasi publik merupakan sumber
inspirasional dalam manajemen organisasi publik sehingga
kinerjanya dapat memenuhi kualifikasi pelayanan yang
berkualitas. Apabila masih terdapat keluhan-keluhan dari
masyarakat terhadap pelayanan publik maka hal itu akan
menjadi input yang diperlukan pada proses transformasi
pada organisasi publik.
Fungsi pemerintah memberikan pelayanan publik tentu
saja harus mempunyai kualitas (Adiwisastra, 2004). Kualitas
pelayanan publik dalam pemerintahan demokratis yang
berorientasi kepada publik adalah didasarkan pada harapan
66
publik terhadap pelayanan itu yang berarti kualitas yang baik
bukan berdasarkan persepsi peyedia pelayanan melainkan
berdasarkan sudut pandang atau persepsi pelanggan.
Gaspersz (2004) identifikasi terhadap pelanggan
berkaitan dengan mereka yang secara langsung/ tidak
langsung menggunakan jasa pelayanan publik atau mereka
yang secara lansung/ tidak langsung terkena dampak dari
kebijakan-kebijakan organisasi publik. Pelanggan
(stakeholder) merupakan orang/ kelompok yang
berkepentingan dengan tingkat kinerja dari organisasi
publik, program atau subsprogramnya. Mereka mungkin saja
menjadi penasehat atau pemberi rekomendasi terhadap
organisasi publik karena mereka mempunyai kepentingan
dengan tingkat kinerja atau kesesuaian dari organisasi
publik.
Russell & Taylor (2000) mendefinisikan kualitas sebagai
kemampuan produk atau jasa memenuhi kebutuhan
pelanggan. Kualitas pelayanan dapat dilihat dari dua sudut
yaitu produsen dan pelanggan atau pasar. Tinjauan dari
sudut pandang pasar maka penilaian kualitas diserahkan
kepada pengguna yaitu sejauhmana desain pelayanan yang
dilaksanakan oleh organisasi berkemampuan memenuhi
67
kebutuhan pelanggan (quality of design). Pelanggan melihat
kualitas dari karakteristik yang seharusnya diterima sehingga
mencakup value (nilai), fitness for use (cocok untuk
digunakan), support (dukungan) dan psychological
impressions (kesan psikologis) yang kesemuanya dipersepsi
secara dinamik. Makna kualitas dari pelanggan diperoleh
dari hasil perbandingan antara harapan tentang pelayanan
(expected service) dan penilaian atas kenyataan pelayanan
yang diterima (perceved service). Dari sudut produsen atau
penyedia produk atau jasa, maka kualitas dilihat dari
pemenuhan spesifikasi atau atribut-atribut yang telah
dipersyaratkan dan dinyatakan termasuk ketentuan biaya-
biaya yang menjadi tanggungjawab pengguna. Pembinaan
manajemen dan penggunaan sumber daya organisasi
diarahkan untuk memenuhi persyaratan yang telah
dinyatakan, pemenuhan tersebut dengan tujuan untuk
memenuhi harapan pengguna sehingga didapatkan kepuasan.
Kebutuhan yang dipersyaratkan dapat berwujud produk itu
sendiri maupun proses interaksi antara warga negara dengan
aparatur birokrasi pemerintah (penyampaiannya), seperti
kesigapan dalam menerima permohonan, kesopanan,
komitmen terhadap janji penyelesaian, dan sebagainya.
68
Akibatnya adalah organisasi tidak hanya berfokus pada
aspek transformasi saja tapi juga memperbaiki kualitas
karyawan secara keseluhan, yakni pegawai yang bersentuhan
langsung dengan penyampaian layanan.
Mengkaji kualitas pelayanan publik oleh birokrasi
selayaknya mempertimbangkan model A Conceptual Model
of Service Quality dari A. Parasuraman, L.L. Berry dan V.A
Zeithaml (1985), untuk mengidentifikasi titik-titik
kesenjangan pelayanan birokrasi kemudian dilakukan
tindakan perbaikan untuk mencapai pelayanan publik yang
berkualitas. Terdapat lima sebab terjadinya kesenjangan
(Ibrahim, 2008) :
1. Dapat terjadi karena kurang dilakukannya survei
kebutuhan masyarakat, atau kurang dimanfaatkannya
hasil survey serta kurangnya interaksi antara penyedia
pelayanan publik dengan masyarakat.
2. Dapat terjadi kerena kurang komitmen menajeme (pihak
birokrasi) dalam mewujudkan kualitas pelayanan publik
atau kurang tepatnya persepsi terhadap keinginan
masyarakat.
3. Dapat terjadi karena konflik peran birokrat
(mengutamakan kepuasan pimpinan atau masyarakat
69
luas), kompetensi personil, lambat penguasaan teknologi
yang sesuai dengan tuntutan pelayanan, penerapan
reward and punishment system.
4. Dapat terjadi karena lemahnya komunikasi horizontal
sesama personil pelayanan, sehingga pelayanan publik
tersendat-sendat.
5. Dapat terjadi karena kesenjangan antara harapan dan
kenyataan pelayanan publik yang diterima yang
merupakan akumulasi kinerja birokrasipelayanan.
Parasuraman dalam Olsen, et al (1996), menambahkan
bahwa kesenjangan kelima harus diperhatikan kesenjangan
diantara kualitas pelayanan publik dengan ekspektasi
kualitas pelayanan yang merupakan jawaban dari definisi
kualitas pelayanan itu sendiri. Hal ini didasari oleh
pernyataan bahwa (1) kualitas selalu diukur berlawanan
dengan ekspektasi, (2) proses pelayanan selalu melibatkan
pelanggan sebagai pemain kunci, dan (3) pelayanan prima
hanya akan muncul pada saat pelanggan juga menyatakan
prima.
Parasuraman, et al (Fitzsimmons, 2006) mengidentifikasi
adanya lima dimensi yang digunakan pelanggan untuk
menilai kualitas pelayanan publik, yaitu :
70
1. Reliability. The ability to perform the promised service
both dependably and accurately.
2. Responsiveness. The willingness to help customers and
to provide prompt service.
3. Assurance. The knowledge and courtesy of employees as
well as their ability to convey trust and confidence.
4. Empathy. The provision of caring, individualized
attention to customers.
5. Tangibles. The appearance of physical facilites,
equipment, personel, and communication materials.
Birokrasi dalam memberikan pelayanan publik harus
mempertimbangkan nilai/norma sebagai garis arah normatif
yaitu perhatian pada efesien dalam bekerja dan efektif
dalam mendistribusikan barang dan pelayanan publik,
menghargai hak masyarakat dan proses yang ditujukan
terhadap hubungan pemerintah dengan masyarakat,
menghargai pelaksanaan diskresi dan representasi. Kualitas
pelayanan publik ditentukan oleh kombinasi yang khas dari
politik, budaya dan kondisi ekonomi dalam kehidupan
masyarakat yang dalam kaitan pelayanan yang diberikan
oleh organisasi publik, Ndraha (1997) mengemukakan
bahwa :
71
Jasa layanan (layanan civil) dipandang sebagai suatu
deviden yang wajib didistribusikan kepaada rakyat oleh
pemerintah dengan semakin baik, semakin mudah diperoleh
dan semakmin adil. Tekanan pada aspek-aspek kecepatan,
ketepatan, kemudahan, dan keadilan dalam layanan publik
(civil) tersebut berkaitan dengan sifat monopoli dari layanan
(civil) dimana masyarakat tidak memiliki pilihan untuk
mengharapkan layanan yang sama pada institusi lain diluar
pemerintah.
72
73
BAB IV : BIROKRASI MELAYANI PUBLIK
A. Paradigm Pelayanan Publik (customer driven
government)
Pada dasarnya terdapat dua paradigma dalam pelayanan
publik (Lembaga Administrasi Negara, 2003),
1. Paradigma pelayanan publik yang berorientasi pada
pengelola pelayanan lebih bersifat birokratis, direktif
dan hanya memperhatikan kepentingan pimpinan
organisasi (birokrasi). Paradigma ini banyak mendapat
keluhan dari masyarakat pengguna layanan publik
karena kurang memperhatikan kepentingan masyarakat.
Masyarakat sebagai pengguna layanan publik tidak
memiliki kemampuan apapun untuk berkreasi, suka
tidak suka, mau tidak mau harus tunduk kepada
pengelola pelayanan publik. Seharusnya pelayanan
publik dikelola dengan paradigma yang bersifat
supportif dan lebih memfokuskan diri pada kepentingan
masyarakat pengguna layanan publik dan pengelola
harus mampu bersikap menjadi pelayan yang sadar
untuk melayani dan bukan dilayani.
74
2. Paradigma ini yaitu paradigma pelayanan publik yang
fokus orientasinya pada kepuasan pengguna layanan
(customer driven government) yang merupakan prinsip
ke-enam dari sepuluh prinsip mewirausahakan birokrasi
yang diajukan oleh David Osborne dan Ted Gaebler
(1992). Prinsip ini menguraikan bahwa pemerintahan
yang berorientasi pelanggan adalah pemerintah yang
memenuhi kebutuhan pengguna layanan publik bukan
birokrasi. Kebanyakan organisasi pemerintah (birokrasi)
bahkan tidak tahu siapa pengguna layanan mereka yang
menurut Osborne dan Gaebler, logikanya sederhana
yaitu karena sebagian besar badan pemerintah tidak
memperoleh dananya dari pengguna layanan (secara
langsung). Disamping itu sebagian pelanggan mereka
bersifat captive, pelanggan paksa, dengan kata lain para
pengguna layanan publik mempunyai sedikit alternatif
terhadap pelayanan yang disediakan oleh pemerintah
(birokrasi). Oleh karena itu birokrasi sering
mengabaikan para pengguna layanannya.
Birokrat menganggap bahwa pelanggan mereka adalah
eksekutif dan legislatif, karena dari sanalah mereka
memperoleh dana secara langsung. Para pejabat birokrat
75
yang diangkat pada gilirannya lebih berorientasi pada
pejabat yang mengangkatnya atau kelompok kepentingan
tertentu (partai). Jadi, sementara bisnis bersungguh-sungguh
menyenangkan pelanggan, badan pemerintah mati-matian
untuk menyenangkan kelompok kepentingan. Budiono
(2003) mendefinisikan pemerintah yang berorientasi
pelanggan (customer driven government) yaitu pemerintah
yang meletakkan pengguna layanan publik sebagai hal yang
paling depan. Oleh karena itu kepuasan pengguna layanan
publik ditempatkan sebagai sasaran penyampaian tujuan,
dengan mendengarkan suara pengguna layanan publik.
Dengan memperhatikan kebutuhan dasar pengguna layanan,
pemerintah lebih responsif dan inovatif.
Lembaga Administrasi Negara (2003), memberikan ciri-
ciri dari paradigma pelayanan customer driven government,
antara lain sebagai berikut :
1. Lebih fokus pada kegiatan fasilitasi untuk
berkembangnya iklim yang kondusif bagi kegiatan
pelayanan masyarakat;
2. Lebih fokus pada pemberdayaan masyarakat;
3. Fokus pada pencapaian visi, misi, tujuan, sasaran dan
hasil (outcomes);
76
4. Fokus pada kebutuhan dan keinginan masyarakat;
5. Pada hal tertentu, organisasi pemberi layanan publik juga
berperan untuk memperoleh pendapatan dari pelayanan
yang dilaksanakan;
6. Fokus pada antisipasi terhadap permasalahan pelayanan;
7. Lebih mengutamakan desentralisasi dalam pelaksanaan
pelayanan publik.
Berdasarkan uraian di atas, maka paradigma customer
driven government adalah paradigma pelayanan publik yang
menempatkan pengguna layanan sebagai hal yang terdepan
dan merupakan fokus terpenting dari penyelenggaraan suatu
pelayanan atau lebih populer dengan istilah putting the
customer on the driver seat.
Beberapa pakar dan teoritisi administrasi berpendapat
bahwa peranan pemerintah (birokrsai) harus terfokus pada
peningkatan pelayanan public (masyarakat) selain
pemberdayaan dan pembangunan, karena tugas pokok
pemerintahan modern menurut Rasyid (1997) pada
hakekatnya adalah pelayanan public (masyarakat), dengan
kata lain birokrat tidak diadakan untuk melayani dirinya
sendiri, tetapi untuk melayani masyarakat serta menciptakan
kondisi yang memungkinkan setiap anggota masyarakat
77
mengembangkan kemampuan dan kreativitasnya demi
tercapainya tujuan bersama.
Sejalan dengan dinamika dan kompleksnya tuntutan
pelayanan public (masyarakat), pemerintah (birokrat) tidak
lagi dapat mengklaim dirinya sebagai satu-satunya sumber
kekuasaan yang absah. Paradigma pemerintah sebagai a
governing process ditandai dengan praktek pemerintahan
yang berdasarkan pada konsensus-konsensus etis antara
pemimpin dengan masyarakat yang dipimpinnya.
Pemerintahan dijalankan berdasarkan kesepakatan-
kesepakatan yang terbentuk melalui diskusi dan diskursus
yang berlangsung dalam ruang public, sehingga kedaulatan
rakyat sebagai sebuah konsep dasar tentang kekuasaan telah
menemukan bentuknya disini. Dalam konteks ini
penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan
pelayanan publik tidak semata-mata didasarkan pada
pemerintah, tetapi dituntut adanya keterlibatan seluruh
elemen, baik intern birokrasi, maupun masyarakat dan pihak
swasta. Pemikiran tersebut hanya akan terwujud manakala
pemerintah didekatkan dengan yang diperintah atau dengan
kata lain terjadi desentralisasi dan otonomi daerah.
78
Dampak reformasi yang terjadi di Indonesia, apabila
ditinjau dari segi politik dan ketatanegaraan telah terjadi
pergeseran paradigma dan sistem pemerintahan yang
bercorak monolitik sentralistik di pemerintah pusat ke arah
sistem pemerintahan yang desentralistik (lokal democrasi) di
pemerintah daerah (Utomo, 2002). Pemerintahan semacam
ini memberikan keleluasaan kepada daerah dalam wujud
otonomi daerah yang luas dan bertanggung jawab untuk
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat
didaerahnya berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi, peran
serta, prakarsa dan aspirasi masyarakat sendiri atas dasar
pemerataan dan keadilan, serta sesuai dengan kondisi,
potensi dan keragaman daerah masing-masing.
Otonomi daerah sebagai wujud pelaksanaan asas
desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan yang
digulirkan oleh Pemerintah sebagai jawaban atas tuntutan
masyarakat yang pada hakekatnya merupakan penerapan
konsep teori areal division of power yang membagi
kekuasaan negara secara vertikal. Dalam konteks ini
kekuasaan akan terbagi antara pemerintah pusat di satu pihak
dan pemerintah daerah di lain pihak, yang secara legal
konstitusional tetap dalam kerangka Negara Kesatuan
79
Republik Indonesia (NKRI). Kondisi ini membawa implikasi
terhadap perubahan paradigma pembangunan yang dewasa
ini diwarnai dengan isyarat globalisasi dengan
konsekuensinya adalah berbagai kebijakan publik dalam
kegiatan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan publik
menjadi bagian dari dinamika yang harus direspons dalam
kerangka proses demokratisasi, pemberdayaan masyarakat
dan kemandirian lokal.
Pemerintah (birokrasi) dan pelayanan publik, dalam
konteks tujuan utama dibentuknya pemerintahan adalah
untuk menjaga suatu sistem ketertiban yang mana
masyarakat bisa menjalani kehidupan secara wajar. Dalam
ilmu pemerintahan, Ndraha (2000:7) mengemukakan bahwa:
sebagai unit kerja publik, pemerintah bekerja guna
memenuhi (memproduksi, mentransfer, mendistribusikan)
dan melindungi kebutuhan, kepentingan dan tuntutan pihak
yang diperintah sebagai konsumer dan sovereign akan jasa-
publik dan layanan civil dalam hubungan pemerintahan.
Dengan demikian, masyarakat sebagai konsumer produk-
produk pemerintahan berhadapan dengan pemerintah
sebagai produser dan distributor dalam posisi sejajar yang
satu tidak saling membawahi oleh karena itu posisi yang
80
diperintah sebagai konsumer erat sekali berkaitan dengan
posisi sovereign.
Melalui posisi sebagai sovereign, masyarakat memesan,
mengamanatkan, menuntut dan mengontrol pemerintah,
sehingga jasa publik dan layanan civil bisa dirasakan oleh
setiap orang pada saat dibutuhkan dalam jumlah dan mutu
yang memadai dalam pelayanan publik. Lebih lanjut Ndraha
(1999) mengemukakan bahwa : public dalam public policy
yang menjadi dasar bagi pelayanan-publik adalah hal yang
menyangkut kepentingan masyarakat umum. Berbeda
dengan jasa-pasar yang dapat dijual-belikan menurut
mekanisme pasar (misalnya jasa bank, jasa swasta, jasa
dokter), jasa publik (produk yang menyangkut kebutuhan
hidup orang banyak, dari masyarakat lapisan bawah, seperti
air minum, jalan raya, listrik, telkom, proses produksinya
disebut pelayanan-publik) diproduksi dan dijual-belikan
dibawah kontrol pemerintah. Untuk mengetahui ukuran yang
dipertimbangkan publik dalam menilai kualitas pelayanan
publik , Rene T. Domingo dalam Triguno (1999)
mengemukakan bahwa dimensi kualitas pelayanan dapat
dikur melalui waktu, ketepatan, kehormatan, kepekaan,
kelengkapan, kesiapan, kenyamanan dan lingkungan.
81
Gaspersz dalam Lukman (1998) mengemukakan dimensi
kualitas pelayanan publik meliputi :
1. Ketepatan waktu pelayanan
2. Akurasi pelayanan
3. Kesopanan, keramahan dalam memberikan pelayanan
4. Tanggung jawab
5. Kelengkapan
6. Kemudahan mendapatkan pelayanan
7. Variasi model pelayanan
8. Pelayanan pribadi
9. Kenyamanan dalam memperoleh pelayanan dan
10. Atribut pendukung pelayanan lainnya.
Terdapat perbedaan antara pelayanan dengan layanan
publik , sebagaimana dijelaskan Ndraha (1998 pelayanan
(proses) meliputi input, proses, output dan outcome
sedangkan layanan (output) hanya mencakup output dan
outcome saja. Pelayanan kepada masyarakat merupakan
suatu bentuk interaksi atau hubungan antara penyedia
layanan dan penerima layanan. dengan kata lain dalam
hubungan pemerintahan terkandung makna adanya
organisasi yang memerintah dan masyarakat yang
diperintah. Birokrasi merupakan organisasi atau unit kerja
82
publik yang berfungsi sebagai provider layanan berdasarkan
konsep birokrasi (Max Weber) yang banyak diterima sampai
sekarang yang mendefinisikan karakteristik suatu organisasi
yang memaksimumkan stabilitas dan untuk mengendalikan
anggota organisasi dalam rangka mencapai tujuan bersama.
Gibson, et, al, (1989) bahwa : birokrasi (berdasarkan konsep
weber) lebih unggul dari setiap bentuk apapun juga dalam
hal ketepatan stabilitas, disiplin dan kepercayaan. sehingga
birokrasi memungkinkan untuk dapat mencapai efisiensi dan
efektivitas. Tipe ideal birokrasi yang digambarkan Weber
tersebut dirangkum oleh Martin Albrow dalam Warwick
(1975) dalam empat ciri utama, yaitu :
1. Adanya suatu struktur hirarkis yang melibatkan
pendelegasian wewenang dari atas ke bawah dalam
organisasi (a hierarchical structure involving delegation
of authority from the top to the bottom of an
organization)
2. Adanya posisi-posisi atau jabatan-jabatan yang masing-
masing memiliki tugas dan tanggung jawab yang tegas
(a series of official positions or offices, each having
prescribed duties and responsibilities)
83
3. Adanya aturan-aturan, regulasi-regulasi dan standar-
standar formal yang mengatur tata kerja organisasi dan
tingkah laku para anggotanya (formal rules, regulations
and standards governing operations of the organization
and behavior of its members)
4. Adanya personil yang secara teknis memenuhi syarat,
yang dipekerjakan atas dasar karir, dengan promosi yang
didasarkan pada kualifikasi dan penampilan (technically
qualified personel employed an a career basis, with
promotion based on qualifications and performance)
Pemahaman yang sama dikemukakan oleh Moorhead
dan Griffin (1992) bahwa : birokrasi adalah struktur
organisasi yang diperkenalkan oleh weber dengan
karakteristik adanya hirarki wewenang, sistem prosedur,
peraturan, dan pembagian kerja. konsep birokrasi yang
dikemukakan weber pada dasarnya mencakup logika,
rasionalitas, dan efisiensi, karena merupakan suatu
pendekatan yang paling efisien. Benveniste (1987)
mendefinisikan : birokrasi sebagai suatu organisasi besar
dimana peraturan-peraturan dan rutinitas digunakan secara
berlebihan, disamping juga terlalu tingginya tingkat hirarki,
sehingga karyawan diarahkan menangani pekerjaan yang
84
terspesialisasi dan dilakukan berulang-ulang, disamping juga
organisasi dibagi ke dalam unit-unit kecil sehingga struktur
organisasi menjadi kompleks dengan pembuatan keputusan
yang berkepanjangan.
Thoha (1995) menjelaskan bahwa kualitas layanan
sangat tergantung pada bagaimana pelayanan itu diberikan
oleh anggota dan sistem yang dipakai dalam organisasi.
artinya aktivitas organisasi adalah aktivitas orang-orang,
sedangkan orang atau manusia adalah unsur utama dalam
setiap organisasi. sebagaimana dikemukakan Winardi (1989)
bahwa : organisasi-organisasi di bentuk oleh manusia untuk
mencapai tujuan atau sasaran-sasaran tertentu, dan oleh
karena komponen pokok organisasi adalah manusia maka
sebenarnya perilaku organisasi tidak lain dari perilaku
manusia di dalam organisasi yang bersangkutan. Terkait
dengan konsep perilaku tersebut Ndraha (1999) menjelaskan
bahwa perilaku adalah : operasionalisasi dan aktualisasi
sikap seseorang atau suatu kelompok dalam atau terhadap
suatu (situasi dan kondisi) lingkungan (masyarakat, alam,
teknologi atau organisasi), sementara sikap adalah
operasionalisasi dan aktualisasi pendirian. Paramita (1985)
dalam penelitiannya mengenai struktur organisasi di
85
indonesia, bahwa : posisi semua dimensi struktur organisasi
tertentu akan berbentuk gambaran strukturnya, sehingga
mungkin untuk memberi ciri pada organisasi berdasarkan
gambaran strukturnya dan aktivitas anggotanya. Untuk itu
terdapat beberapa dimensi yang dapat digunakan untuk
mengukur tingkat perilaku birokrasi suatu organisasi,
sebagaimana Gibson, et, al, (1989) mengemukakan bahwa :
walaupun sulit untuk mendapatkan pemahaman yang
universal tentang dimensi struktural organisasi, namun ada
beberapa dimensi yang selalu mencul dari beberapa
pengertian birokrasi suatu organisasi, yaitu formalisasi,
sentralisasi dan kompleksitas.
Ndraha (1989) laku yang rasional disebut aktivitas, dan
aktivitas mempengaruhi, baik produktivitas maupun kualitas
hidup manusia yang bersangkutan. oleh karena satuan
perilaku yang utama adalah aktivitas, maka perilaku
birokrasi yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah
operasionalisasi dan aktualisasi sikap aparatus yang tampak
dalam aktivitas pekerjaannya.
86
B. Gambaran Proses Pelayanan Publik
Dalam kajian ilmu pengetahuan, konsep pelayanan
publik sebenarnya bukan merupakan konsep yang baru,
secara filosofi kemunculan ilmu administrasi negara
sebetulnya terkait erat dengan konsep pelayanan publik.
Nicholas Henry (1988) mengemukakan bagaimana
hubungan administrasi negara dengan kepentingan publik,
dalam bahasan tersebut Henry menyimpulkan bahwa
tuntutan terhadap peran administration (birokrasi) dalam
pelayanan publik telah menjadi kajian yang sangat filosofis
dan berumur panjang jauh sebelum ilmu administrasi negara
itu sendiri muncul dan berkembang. Dari analisisnya Henry
mengemukakan konklusi bahwa sesungguhnya pelayanan
publik merupakan jiwa dasar dari penyelenggaraan
administrasi Negara (publik), sehingga dalam hubungan ini
dapat dipahami apabila kehidupan manusia diwarnai oleh
tuntutan terhadap pemenuhan kebutuhan hidupnya
diperoleh melalui mekanisme pasar dan ada pula yang
diperoleh tidak melalui mekanisme pasar. Kebutuhan
manusia yang tidak dapat diperoleh melalui mekanisme
pasar antara lain adalah layanan publik yang hanya
disediakan oleh pemerintah (birokrasi). Layanan publik
87
tersebut diberikan oleh pemerintah (birokrasi) atas dasar
civil right yang dimiliki oleh setiap warga negara. Dalam
situasi seperti ini tentunya menjadi tugas pemerintah
(birokrasi) untuk mewujudkan pelayanan publik tersebut
yang dalam hal ini pemerintah (birokrasi) adalah lembaga
yang memproduksi, mendistribusikan atau memberikan alat
pemenuhan kebutuhan rakyat yang berupa pelayanan publik.
Dengan demikian secara eksplisit dapat dikatakan bahwa
pemberian pelayanan publik merupakan jenis pelayanan
yang dimonopoli oleh pemerintah dapat dipahami mengingat
pelayanan publik merupakan bagian dari fungsi pemerintah
yang memberikan pelayanan publik kepada masyarakat.
Sebagai fungsi pemerintah maka pelayanan publik tidak
hanya semata bersifat profit orientied tetapi lebih beorientasi
sosial, yaitu penguatan dan pemberdayaan masyarakat, oleh
karena itu penentuan dari proses pelayanan publik tidak bisa
dilakukan dengan pendekatan bisnis, tetapi pendekatan yang
paling tepat adalah pendekatan sosial (social approach),
karena yang paling tahu akan baiknya pelayanan yang
diberikan adalaha masyarakat (publik). Sejalan dengan
peningkatan kehidupan manusia, maka tuntutan akan
pelayanan publik semakin meningkat, dimana masyarakat
88
bukan hanya mengharapkan terpenuhinya kebutuhan akan
pelayanan yang baik dari pemerintah, tetapi lebih dari itu
masyarakat mulai mempertanyakan kualitas pelayanan
publik yang diberikan oleh pemerintah (birokrasi). Kualitas
pada dasarnya terkait dengan pelayanan yang terbaik, yaitu
suatu sikap atau cara aparat dalam melayani pelanggan atau
masyarakat secara memuaskan, menurut Saefullah (1999)
bahwa penilaian tentang kualitas pelayanan bukan
berdasarkan pengakuan dari yang memberi pelayanan, tetapi
diberikan oleh langganan atau pihak yang menerima
pelayanan. Triguno (1997) pelayan terbaik yaitu melayani
setiap saat, secara cepat dan memuaskan, berlaku sopan,
ramah dan menolong serta profesional dan mampu. Wyckof
(dalam Tjiptono 1996) mengartikan kualitas jasa atau
layanan, yaitu : tingkat keunggulan yang diharapkan dan
pengendalian atas tingkat keunggulan tersebut untuk
memenuhi keinginan pelanggan ini berarti, bila jasa atau
layanan yang diterima (perceived service) sesuai dengan
diharapkan, maka kualitas jasa atau layanan dipersepsikan
baik dan memuaskan, apabila kualitas jasa atau layanan
yang diterima lebih rendah dari yang diharapkan, maka
kualitas jasa atau layanan akan dipersepsikan buruk. Untuk
89
itu fungsi pemerintah (birokrasi) bukan hanya terbatas pada
aktivitas pemberian pelayanan kepada masyarakat, tetapi
juga harus menjamin bahwa pelayanan yang diberikan
kepada masyarakat betul-betul berkualitas.
Sebagai individu maupun sebagai makhluk sosial yang
bermasyarakat dan membentuk negara, manusia berusaha
memenuhi kebutuhan hidupnya melalui aktivitas sendiri
maupun secara tidak langsung melalui aktivitas orang lain,
proses memenuhi kebutuhan melalui aktivitas orang lain
inilah yang disebut dengan pelayanan (Moenir, 2000) yang
pada dasarnya pelayanan publik yang diperlukan manusia
terbagi atas 2 jenis yaitu pelayanan fisik yang sifatnya
pribadi serta pelayanan administratif yang diberikan orang
lain selaku anggota organisasi (organisasi massa atau
organisasi negara). Pelayanan publik yang dibutuhkan
masyarakat adalah alat untuk mengakui, memenuhi dan
melindungi hak asasi (bawaan) dan hak-hak derivat manusia
seperti keadilan, keamanan, kepastian hukum, kemerdekaan,
kebebasan memilih dan lain-lain. Lemahnya pelayanan
publik menurut Moenir (2000) disebabkan diantaranya
adalah :
90
1. Tidak/kurang adanya kesadaran terhadap
tugas/kewajiban yang menjadi tanggungjawabnya,
akibatnya mereka bekerja dan melayani seenaknya
(santai), padahal orang yang menunggu hasil kerjanya
sudah gelisah akibat wajar dari ini ialah tidak adanya
disiplin kerja.
2. Sistem, prosedur dan metode kerja yang ada tidak
memadai sehingga mekanisme kerja tidak berjalan
sebagaimana yang diharapkan.
3. Pengorganisasian tugas pelayan yang belum serasi,
sehingga terjadi kesimpang siuran penanganan tugas,
tumpang tindah (over lapping) atau tercecernya tugas
tidak ada yang menanggani.
4. Pendapatan pegawai yang tidak mencukupi memenuhi
kebutuhan hidup meskipun secara minimal, akibatnya
pegawai tidak tenang dalam bekerja, berusaha mencari
tambahan pendapatan dalam jam kerja dengan cara
antara lain menjual jasa pelayanan.
5. Kemampuan pegawai yang tidak memadai untuk tugas
yang dibebankan kepadanya, akibatnya hasil pekerjaan
tidak memenuhi standar yang telah ditetapkan.
91
6. Tidak tersediannya sarana pelayanan yang memadai,
akibatnya pekerjaan menjadi lamban, waktu banyak
hilang dan penyelesaian masalah terlambat.
Agar pelayanan publik berjalan dengan baik maka
diperlukan beberapa faktor pendukung (Moenir, 2000),
yaitu :
1. Faktor kesadaran
2. Faktor aturan
3. Faktor organisasi
4. Faktor pendapatan
5. Faktor kemampuan-keterampilan
6. Faktor sarana pelayanan
Dengan demikian pada hakekatnya lemahnya pelayanan
publik bermuara pada 2 faktor utama, yaitu faktor manusia
sebagai faktor utama dan faktor sistem, oleh karena itu
untuk perbaikannya diperlukan perbaikan terhadap kedua
unsur tersebut. Dalam kerangka Good Governance
pelayanan publik yang profesional, berkeadilan, efisiensi,
responsifitas dan akuntabiltas sangat dibutuhkan. Namun,
dalam pratek pelayanan pubik hal ini jarang dan layaknya
hanya sekedar teori yang dalam prakteknya dilapangan jauh
dari yang diharapkan. Keluhan masyarakat terhadap kinerja
92
pelayanan publik merupakan isu yang sering kita dengar dari
masyarakat. Secara umum yang menjadi permasalahan
adalah kelambanan proses pelayanan terhadap kelompok
masyarakat yang kurang mampu dibandingkan dengan
kelompok yang secara ekonomis lebih mampu.
Bentuk diskriminasi yang sering ditemui dalam praktek
merupakan bentuk ketidakadilan. Diskriminasi adalah setiap
pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung
maupun tak langsung didasarkan pada perbedaan manusia
atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan,
status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa,
keyakinan politik, yang berakibat pengangguran,
penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan
atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar
dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam
bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya dan aspek
kehidupan lainnya (Pasal 1 ayat 3 UU No. 39/79 tentang
HAM). Perlakuan diskriminasi sangat bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar 1945 beserta amandemennya.
Undang-Undang Dasar 1945 secara tegas mengutamakan
kesetaraan dan keadilan dalam kehidupan bermasyarakat
baik di bidang politik, ekonomi, sosial budaya, hukum dan
93
bidang kemasyarakatan lainnya. Untuk itu Undang-Undang
Dasar 1945 beserta amendemennya sangat penting untuk
menjadi acuan universal para penyelenggara negara dalam
melaksanakan tugas dan fungsinya.
C. Penciptaan Budaya Pelayanan
Sethia dan Glinow dalam Collins dan Mc. Laughlin
(1996 : 760-762) membedakan 4 macam budaya organisasi
berdasarkan perhatiannya terhadap orang dan kinerja, yaitu :
1. Apathetic Culture, dalam tipe ini perhatian anggota
organisasi terhadap hubungan antar manusia maupun
terhadap kinerja pelaksanaan tugas (keduanya rendah).
Penghargaan diberikan terutama berdasarkan permainan
politik dan pemanipulasian orang-orang lain.
2. Caring Culture, dicirikan dengan rendahnya perhatian
terhadap kinerja dan tingginya perhatian terhadap
hubungan antar manusia. Penghargaan lebih didasarkan
pada kepaduan tim dan harmoni bukan didasarkan pada
kinerja pelaksanaan tugas.
3. Exacting Culture, ciri utamanya adalah perhatian
terhadap orang sangat rendah, tetapi perhatian terhadap
kinerja sangat tinggi. Secara ekonomis penghargaan
94
sangat memuaskan, tetapi hukuman atas kegagalan yang
dilakukan juga sangat berat, sehingga tingkat keamanan
pekerja sangat rendah.
4. Integrative Culture, dicirikan baik perhatian terhadap
orang maupun kinerja (keduanya sangat tinggi).
Sebagian besar organisasi publik di Indonesia dalam
pelayanan publik memiliki budaya organisasi yang bertipe
caring, dalam artian memiliki perhatian yang sangat rendah
terhadap kinerja pelaksanaan tugas, tetapi memiliki
perhatian yang sangat tinggi terhadap hubungan antar
manusia. Hal ini tampak pada ciri-ciri birokrat sebagai
berikut :
1. Lebih mengutamakan kepentingan pimpinan daripada
klien/pengguna jasa.
2. Lebih merasa sebagai abdi negara daripada abdi
masyarakat.
3. Meminimalkan resiko dengan cara menghindari inisiatif.
4. Menghindari tanggung jawab.
5. Menolak tantangan
6. Tidak suka berkreasi dan berinovasi dalam
melaksanakan tugas-tugasnya.
95
Budaya caring tersebut tidak cocok dalam pemberian
pelayanan yang berkualitas kepada masyarakat, sehingga
harus diadopsi budaya organisasi baru yang lebih sesuai dan
kondusif dengan manajemen pelayanan publik, yang disebut
kultur (budaya) kinerja. Budaya kinerja sebagai suatu situasi
kerja yang memungkinkan semua karyawan dapat
melaksanakan semua pekerjaan dengan cara terbaik yang
dapat dilakukannya. Budaya kinerja tersebut akan dapat
memberikan kontribusi yang besar dalam peningkatan
kualitas pelayanan jika organisasi memiliki budaya
organisasi yang bertipe integrative dan birokrat-birokrat
yang ada dalam organisasi tersebut telah mengadopsi 10
semangat kewirausahaan yang dikembangkan oleh Osborne
dan Gaebler, yaitu :
1. Mengarahkan ketimbang mengayuh.
2. Memberi wewenang kepada masyarakat
3. Menyuntikkan persaingan ke dalam pemberian
pelayanan.
4. Menciptakan organisasi yang digerakkan oleh misi
ketimbang oleh peraturan.
5. Lebih berorientasi pada hasil, bukan input.
6. Berorietasi pada pelanggan bukan birokrasi.
96
7. Berorientasi wirausaha.
8. Bersifat antisipatif.
9. Menciptakan desentralisasi.
10. Berorientasi pada pasar.
Sesuai dengan Kep.MENPAN No.125/2002 tentang
Pedoman Pengembangan Budaya Kerja Aparatur Negara,
nilai-nilai dasar budaya kerja terdiri atas :
1. Komitmen dan Konsistensi
2. Wewenang dan tanggung jawab
3. Keikhlasan dan Kejujuran
4. Integritas dan Profesionalisme
5. Kreativitas dan Kepekaan
6. Kepemimpinan dan Keteladanan
7. Kebersamaan dan Dinamika Kelompok Kerja
8. Ketepatan dan kecepatan
9. Rasionalitas dan kecerdasan Emosi
10. Keteguhan dan ketegasan
11. Disiplin, dan keteraturan kerja
12. Keberanian dan kearifan
13. Dedikasi dan Loyalitas
14. Semangat dan motivasi
15. Ketekunan dan kesabaran
97
16. Keadilan dan keterbukaan
17. Penguasaan Ilmu Pengetahuan dan Tehnologi.
Dalam Surat Edaran No. 103/MENPAN/03/2003 tentang
pelaksanaan Pengembangan Budaya Kerja, isinya antara lain
menunjuk BPKP sebagai salah satu instansi percontohan
dalam rangka pengembangan budaya kerja di lingkungan
instansi pusat. Adapun 4 nilai-nilai luhur BPKP merupakan
kristalisasi dari 17 pasang nilai-nilai dasar budaya kerja dari
MENPAN tersebut yaitu :
1. Profesionalisme
2. Kerjasama
3. Keserasian, keselarasan dan keseimbangan
4. Kesejahteraan
Penggabungan antara nilai-nilai luhur BPKP dengan
nilai dasar budaya kerja Kementerian PAN adalah sebagai
berikut :
a. Profesionalisme, meliputi (Komitmen dan konsistensi,
Wewenang dan tanggung jawab, Integritas dan
professional, Ketepatan/keakurasian dan kecepatan,
Disiplin dan keteraturan kerja, Penguasaan Iptek)
98
b. Kerjasama, meliputi ( kepemimpinan dan keteladanan,
Kebersamaan dan dinamika kelompok kerja, Keteguhan
dan ketegasan, Semangat dan motivasi)
c. Keserasian, keselarasan dan keseimbangan, meliputi
(Keikhlasan dan kejujuran, reativitas dan kepekaan/
sensitivitas, Rasionalitas dan kecerdasan emosi,
Ketekunan dan kesabaran, Keberanian dan kearifan,
Dedikasi dan loyalitas)
d. Kesejahteraan, meliputi (Keadilan dan keterbukaan)
D. Pelayanan Prima
Secara etimologis, Kamus Besar Bahasa Indonesia
(Dahlan, dkk., 1995) menyatakan pelayanan adalah usaha
melayani kebutuhan orang lain. Pelayanan pada dasarnya
adalah kegiatan yang ditawarkan kepada konsumen atau
pelanggan yang dilayani yang bersifat tidak berwujud dan
tidak dapat dimiliki. Sejalan dengan hal tersebut Normann
(1991) menyatakan bahwa karakteristik pelayanan adalah :
1. Pelayanan bersifat tidak dapat diraba, pelayanan sangat
berlawanan sifatnya dengan barang jadi.
2. Pelayanan pada kenyataannya terdiri dari tindakan nyata
dan merupakan pengaruh yang bersifat tindakan sosial.
99
3. Kegiatan produksi dan konsumsi dalam pelayanan tidak
dapat dipisahkan secara nyata, karena pada umumnya
terjadi dalam waktu dan tempat bersamaan.
Karakteristik tersebut dapat menjadi dasar pemberian
pelayanan Publik terbaik yang dimaksud dalam Keputusan
Menpan Nomor 63 Tahun 2003 (Menpan, 2003) adalah
segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh
penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan
kebutuhan penerima pelayanan maupun pelaksanaan
ketentuan peraturan perundang-undangan. (RUU Pelayanan
Publik, 2007) memaknai bahwa pelayanan publik adalah
kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan
kebutuhan dasar sesuai dengan hak-hak sipil setiap warga
negara dan penduduk atas suatu barang, jasa, dan atau
pelayanan administrasi yang disediakan oleh penyelenggara
pelayanan publik. Ada tiga fungsi pelayanan]publik yang
dilakukan pemerintah yaitu environmental service,
development service dan protective service. Pelayanan oleh
pemerintah juga dibedakan berdasarkan siapa yang
menikmati atau menerima dampak layanan baik individu
maupun kelompok. Konsep barang layanan pada dasarnya
100
terdiri dari barang layanan privat (private goods) dan barang
layanan kolektif (public goods).
Pelayanan prima merupakan terjemahan istilah excellent
service yang secara harfiah berarti pelayanan terbaik atau
sangat baik. Disebut sangat baik atau terbaik karena sesuai
dengan standar pelayanan yang berlaku atau dimiliki instansi
pemberi pelayanan. Hakekat pelayanan publik adalah
pemberian pelayanan prima kepada masyarakat yang
merupakan perwujudan kewajiban aparatur pemerintah
sebagai abdi masyarakat. Agenda perilaku pelayanan sektor
publik (SESPANAS LAN dalam Nurhasyim, 2004:)
menyatakan bahwa pelayanan prima adalah:
a. Pelayanan yang terbaik dari pemerintah kepada
pelanggan atau pengguna jasa.
b. Pelayanan prima ada bila ada standar pelayanan.
c. Pelayanan prima bila melebihi standar atau sama dengan
standar. Sedangkan yang belum ada standar pelayanan
yang terbaik dapat diberikan pelayanan yang mendekati
apa yang dianggap pelayanan standar dan pelayanan
yang dilakukan secara maksimal.
d. Pelanggan adalah masyarakat dalam arti luas;
masyarakat eksternal dan internal.
101
Sejalan dengan hal itu pelayanan prima juga diharapkan
dapat memotivasi pemberi layanan lain melakukan tugasnya
dengan kompeten dan rajin. Pelayanan publik dapat
diartikan memproses pelayanan kepada masyarakat /
customer, baik berupa barang atau jasa melalui tahapan,
prosedur, persyaratan, waktu dan pembiayaan secara
transparan untuk mencapai kepuasan sesuaivisi yang telah
ditetapkan organisasi Publik.
Pelayanan Prima sebagaimana tuntutan pelayanan publik
yang memuaskan masyarakat memerlukan persyaratan
bahwa setiap pemberi layanan publik yang memiliki kualitas
kompetensi yang profesional, dengan demikian kualitas
kompetensi profesionalisme menjadi sesuatu aspek penting
dan wajar dalam setiap transaksi
Standar pelayanan merupakan ukuran yang telah
ditentukan sebagai pembakuan pelayanan publik yang baik
yang memuat baku mutu pelayanan. Pengertian mutu
menurut Goetsch dan Davis (Sutopo dan Suryanto, 2003)
merupakan kondisi dinamis yang berhubungan dengan
produk, jasa, manusia, proses dan lingkungan yang
memenuhi atau melebihi harapan pihak yang
menginginkannya.
102
Dalam teori pelayanan publik, pelayanan prima dapat
diwujudkan apabila ada standar pelayanan minimal (SPM)
yang merupakan tolok ukur yang dipergunakan sebagai
pedoman penyelenggaraan pelayanan dan acuan penilaian
kualitas pelayanan sebagai komitmen atau janji dari
penyelenggara negara kepada masyarakat untuk memberikan
pelayanan yang berkualitas.
(Dalam RUUPelayanan Publik, 2007) standar pelayanan
ini setidaknya-tidaknya berisi tentang: dasar hukum,
persyaratan, prosedur pelayanan, waktu penyelesaian, biaya
pelayanan, produk pelayanan, sarana dan prasarana,
kompetensi petugas pemberi pelayanan, pengawasan intern,
penanganan pengaduan, saran dan masukan dan jaminan
pelayanan. Bersandarkan SPM, seharusnya pelayanan publik
yang diberikan (pelayanan prima) oleh birokrasi pemerintah
memiliki ciri sebagaimana dirumuskan dalam kebijakan
strategis melalui Keputusan Menteri Pendayagunaan
Aparatur Negara (PAN) Nomor 63/Kep/M.PAN/7/2003
tentang Pedoman Umum Penyelenggaraaan Pelayanan
Publik yang meliputi Kesederhanaan, Kejelasan, Kepastian
Waktu, Akurasi, Keamanan, Tanggung Jawab, Kelengkapan
103
Sarana dan Prasarana, Kemudahan Akses, Kedisiplinan,
Kesopanan dan Keramahan serta Kenyamanan.
Barang layanan publik dapat dibagi menjadi empat
kelompok (Savas dalam Sutopo dan Suryanto, 1987) :
a. Barang yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan
individu yang bersifat pribadi. Barang privat (private
goods) ini tidak ada konsep tentang penyediaannya,
hukum permintaan dan penawaran sangat tergantung
pada pasar, produsen akan memproduksi sesuai
kebutuhan masyarakat dan bersifat terbuka. Penyediaan
barang layanan yang bersifat barang privat ini dapat
mengikuti hukum pasar, namun jika pasar mengalami
kegagalan dan demi kesejahteraan publik, maka
pemerintah dapat melakukan intervensi.
b. Barang yang digunakan bersama-sama dengan
membayar biaya penggunaan (toll goods). Penyediaan
toll goods dapat mengikuti hukum pasar di mana
produsen akan menyediakan permintaan terhadap barang
tersebut. Barang seperti ini hampir sama seperti barang
privat. Penyediaan barang ini di beberapa negara
dilakukan oleh negara sehingga merupakan barang privat
yang dikonsumsi secara bersama-sama.
104
c. Barang yang digunakan secara bersama-sama (collective
goods). Penyediaannya tidak dapat dilakukan melalui
mekanisme pasar. Barang ini digunakan secara terus-
menerus, bersama-sama dan sulit diukur tingkat
pemakaiannya bagi tiap individu sehingga
penyediaannya dilakukan secara kolektif yaitu dengan
membayar pajak.
d. Barang yang digunakan dan dimiliki umum (common
pool goods). Penyediaan dan pengaturan barang ini
dilakukan oleh pemerintah karena pengguna tidak
bersedia membayar untuk penggunaannya.
Keempat jenis barang di atas dalam kenyataannya sulit
dibedakan karena setiap barang tidak murni tergolong ke
dalam karakteristik suatu jenis barang secara tegas. Barang
yang bersifat publik murni (pure public goods) biasanya
memiliki tiga karakteristik (Olson dan Rachbini dalam
Sutopo dan Suryanto, 2003):
a. Penggunaannya tidak dimediasi oleh transaksi bersaing
(non-rivalry) sebagaimana barang ekonomi biasa;
b. Tidak dapat diterapkan prinsip pengecualian (non-
excludability);
105
c. Individu yang menikmati barang tersebut tidak dapat
dibagi yang artinya digunakan secara individu
(indisible).
Pelayanan merupakan suatu proses yang menghasilkan
suatu produk yang berupa pelayanan kemudian diberikan
kepada pelanggan. Pelayanan dapat dibedakan menjadi tiga
kelompok (Gonroos dalam Sutopo dan Suryanto, 2003):
a. Core service, adalah pelayanan yang diberikan kepada
pelanggan sebagai produk utamanya. Misalnya untuk
hotel berupa penyediaan kamar. Perusahaan dapat
memiliki beberapa core service, misalnya perusahaan
penerbangan menawarkan penerbangan dalam negeri dan
luar negeri.
b. Facilitating service, adalah fasilitas pelayanan tambahan
kepada pelanggan. Misalnya pelayanan check in dalam
penerbangan. Facilitating service merupakan pelayanan
tambahan yang wajib.
c. Supporting service, adalah pelayanan tambahan untuk
meningkatkan nilai pelayanan atau membedakan dengan
pelayanan pesaing. Misalnya restoran di suatu hotel.
106
Janji pelayanan (service offering) merupakan proses
interaksi antara pembeli (pelanggan) dan penjual (penyedia
layanan). Pelayanan meliputi berbagai bentuk. Pelayanan
perlu ditawarkan agar dikenal dan menarik perhatian
pelanggan dan merupakan janji dari pemberi layanan kepada
pelanggan yang wajib diketahui agar pelanggan puas.
Tujuan pelayanan prima adalah memberikan pelayanan
yang dapat memenuhi dan memuaskan pelanggan atau
masyarakat serta memberikan fokus pelayanan kepada
pelanggan. Pelayanan prima dalam sektor publik didasarkan
pada aksioma bahwa pelayanan adalah pemberdayaan.
Pelayanan pada sektor bisnis berorientasi profit, sedangkan
pelayanan prima pada sektor publik bertujuan memenuhi
kebutuhan masyarakat yang terbaik. Perbaikan pelayanan
sektor publik merupakan kebutuhan yang mendesak sebagai
kunci keberhasilan reformasi administrasi negara. Pelayanan
prima bertujuan memberdayakan masyarakat, sehingga akan
meningkatkan kepercayaan (trust) terhadap
pemerintah,karena kepercayaan adalah modal bagi
kerjasama dan partisipasi masyarakat dalam program
pembangunan.
107
Pelayanan prima akan bermanfaat bagi upaya
peningkatan kualitas pelayanan pemerintah kepada
masyarakat (publik) sebagai pelanggan dan sebagai acuan
pengembangan penyusunan standar pelayanan. Penyedia
layanan, pelanggan atau stakeholder dalam kegiatan
pelayanan akan memiliki acuan tentang bentuk, alasan,
waktu, tempat dan proses pelayanan yang seharusnya.
Prinsip Pelayanan Prima yang dilakukan birokrasi
meliputi :
1. Kebijakan Pemerintah, kompetensi pelayanan prima
yang diberikan oleh aparatur pemerintah kepada
masyarakat selain dapat dilihat dalam Instruksi Presiden
(Inpres) Nomor 1 Tahun 1995 Tentang Peningkatan
Kualitas Pelayanan Aparatur Pemerintah Kepada
Masyarakat dan Keputusan Menpan Nomor 63 Tahun
2003, juga dipertegas dalam Rancangan Undang Undang
Pelayanan Publik. Kualitas pelayanan publik bahkan
disesuaikan dengan tuntutan era globalisasi. Masyarakat
memiliki persepsi bahwa pelayanan publik yang
diberikan aparatur pemerintah cenderung kurang bahkan
tidak berkualitas. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya
108
pengaduan atas perilaku oknum aparat pemerintah yang
memberikan pelayanan.
Keluhan yang sering terjadi adalah berbelit-belit
akibat birokrasi yang kaku, disamping perilaku oknum
aparat yang sering kurang bersahabat. Realitas ini
memerlukan kepedulian aparatur pemerintah (birokrasi)
agar masyarakat memperoleh layanan prima dan
akhirnya akan mendapatkan pengakuan atas kualitas
pelayanan yang memuaskan pelanggan.
Keputusan Menpan Nomor 63 Tahun 2003,
menjelaskan prinsip-prinsip pelayanan prima sebagai
berikut:
a. Kesederhanaan, prosedur pelayanan publik tidak
berbelit-belit, mudah dipahami dan mudah
dilaksanakan
b. Kejelasan, meliputi : a. persyaratan teknis dan
administratif pelayanan publik; b. unit kerja/pejabat
yang berwenang dan bertanggungjawab dalam
memberikan pelayanan dan penyelesaian pelayanan
publik; c. rincian biaya pelayanan publik dan tata
cara pembayaran.
109
c. Kepastian Waktu, pelaksanaan pelayanan publik
dapat diselesaikan dalam kurun waktu yang telah
ditentukan.
d. Akurasi, produk pelayanan publik diterima dengan
benar, tepat, dan sah.
e. Keamanan, proses dan produk pelayanan publik
memberikan rasa aman dan kepastian hukum.
f. Tanggung jawab, pimpinan penyelenggara
pelayanan publik atau pejabat yang ditunjuk
bertanggungjawab atas penyelenggaraan pelayanan
dan penyelesaian keluhan/persoalan dalam pelayanan
publik.
g. Kelengkapan sarana dan prasarana, tersedianya
sarana dan prasarana kerja, peralatan kerja dan
pendukung lainnya yang memadai termasuk
penyediaan sarana teknologi telekomunikasi dan
informatika (telematika).
h. Kemudahan Akses, tempat dan lokasi serta sarana
pelayanan yang memadai, mudah dijangkau oleh
masyarakat, dan dapat memanfaatkan teknologi
telekomunikasi dan informatika.
110
i. Kedisiplinan, Kesopanan dan Keramahan, emberi
pelayanan harus bersikap disiplin, sopan dan santun,
ramah, serta memberikan pelayanan dengan ikhlas.
j. Kenyamanan, lingkungan pelayanan harus tertib,
teratur, disediakan ruang tunggu yang nyaman,
bersih, rapi, lingkungan yang indah dan sehat serta
dilengkapi dengan fasilitas pendukung pelayanan,
seperti parkir, toilet, tempat ibadah dan lain-lain.
2. Komitmen Pelayanan, pedoman untuk mencapai
keberhasilan dalam memperkenalkan inisiatif pelayanan
dengan menggunakan indikator pelayanan membutuhkan
komitmen semua komponen birokrasi yang memberikan
pelayanan kepada masyarakat yang berbentuk:
a. Kejelasan, kejelasan segala hal yang berkaitan
dengan sistem dan prosedur pelayanan menurut
ketentuan yang berlaku pada organisasi pemerintah
diperlukan dalam pelayanan. Tujuannya agar
masyarakat mengerti hak dan kewajibannya dalam
memperoleh pelayanan prima dari birokrasi.
b. Konsistensi, aparatur birokrasi dalam memberikan
pelayanan kepada masyarakat dituntut bersikap
konsisten dalam melaksanakan aturan. Prosedur
111
pelayanan diharapkan konsisten dengan kenyataan
dan harapan masyarakat.
c. Komunikasi, pemberi layanan perlu
mengkomunikasikan bahwa sistem dan prosedur
pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Tujuannya agar tercipta
suasana yang harmonis antara pemberi layanan dan
masyarakat.
d. Komitmen, komitmen yang kuat diperlukan dalam
mengimplementasikan pelayanan prima kepada
masyarakat. Komitmen pelayanan prima dimulai dari
pengambil keputusan hingga pelaksana sehingga
membentuk sinergi harmonis seperti orkes simfoni.
Sejalan dengan tuntutan perbaikanpelayanan
publik barangkali dapat dipikirkan alternatif yang bisa
dilakukan untuk menciptakan keseimbangan ketiga
dimensi pelayanan publik.
1. Memperkecil gap atau jarak antara pemerintah
dengan rakyat (publik), yang dapat dilakukan apabila
pola pikir (mindset) birokrat dari paradigma
penguasa ke paradigma pelayan (abdi Negara).
112
2. Membangun komitmen bersama untuk menciptakan
perbaikan kualitas pelayanan sejalan dengan harapan
msyarakat yang seringkali tidak didukung dengan
komitmen birokrasi dan kondisi lingkungan
pelayanan publik yang kurang mendukung terutama
pada Level Street Bureaucratic
3. Memberikan keluasan publik untuk menyampaikan
keluhan secara transparan dan memberikan respon
secara arif dan bijaksana. Sebenarnya publik dapat
meng-complain penyedia layanan jika pelayanan
yang diberikan tidak sesuai dengan standar
pelayanan minimum yang telah dijanjikan tetapi
kebanyakan masyarakat pengguna layanan masih
banyak yang belum mengetahui mekanisme
menyampaikan keluhan yang terjadi dalam proses
pelayanan publik.
4. Menerapkan prinsip akuntabilitas, proaktif dan
partnership sesuai dengan situasi dan kondisi
setempat yang pada dasarnya langkah ini adalah
sejauh mana penyedia layanan memberikan
pertanggungjawaban terhadap masyarakat sebagai
pengguna layanan dan birokrasi proaktif dan
113
menganggap masyarakat sebagai mitra dalam proses
pelayanan publik
Mengingat pentingnya pelayanan publik pada
masyarakat adalah salah satu indikator penerapan good
governance, maka gagasan pelayanan publik yang pro-
masyarakat harus terus dikumandangkan. Untuk
memberikan motivasi kepada para penyelenggara
pelayanan publik, barangkali dapat dilakukan semacam
perlombaan dan pemberian penghargaan bagi unit kerja
yang berprestasi dan sangsi bagi yang kinerja pelayannya
rendah dan dilakukann upaya perbaikan secara terus
menerus dan berkelanjutan, serta disesuikan dengan
perkembangan perubahan situasi dan kondisi.
E. Mewujudkan Good Governance di Daerah Untuk
Pelayanan Publik
Kelahiran Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2004
Tentang Pemerintahan Daerah dan UU No.33 Tahun 204
Tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah
menempatkan daerah sebagai daerah otonom dengan
kewenangan yang sangat luas. Otonomi daerah sendiri oleh
Pasal 1 angka 4 UU No. 32/2004 dimaknai sebagai hak,
114
wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur
dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat sesuai peraturan perundang-undangan.
Pemerintahan daerah memiliki kewenangan dalam seluruh
bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang
politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter
dan fiskal dan agama. Munculnya banyak kewenangan yang
diberikan kepada daerah tersebut, tentu sangat
berseberangan dengan masa orde baru, dimana kewenangan-
kewenangan tersebut dipegang oleh pemerintah pusat.
Dengan karakteristik demikian watak pemerintahan di
bawah rezim orde baru lebih dekat dengan karakteristik
rezim totaliter, Suatu rezim yang menurut Alfian ditandai
dengan tertutupnya ideology, karena adanya monopoli
ideologi oleh penguasa. Penguasa menggunakan monopoli
ideologi untuk melumpuhkan siapa saja yang mengkritik
apalagi menentang kekuasaannya, sehingga komunikasi
politik antara penguasa dan rakyat tidak berjalan, sebab
penguasa melakukan doktrinisasi ideologi, dimana
kebenaran ideologi menurut penapsiran penguasa tak dapat
dipertanyakan, apalagi di bantah.
115
Dalam sistem politik totaliter, penguasa biasanya
mendominir atau mengontrol semua jaringan politik, baik
supra struktur politik (eksekutif, legislatif, yudikatif),
maupun inpra struktur politik, seperti partai politik, preasure
group, pers dan lain-lain. Hal tersebut turut berpengaruh
pada hubungan antara pemerintahan pusat dan daerah di era
orde baru, dimana pada saat itu seluruh kebijakan berpusat
pada pemerintahan pusat (sentralisasi).
Reformasi 1998 memberikan implikasi besar pada
kondisi makro sosio-politik, termasuk perubahan hubungan
pemerintahan pusat dan daerah (dari sentralisasi menjadi
desentralisasi.
Pemerintahan daerah diberi berbagai kewenangan untuk
mengurus dan mengatur pemerintahan serta masyarakatnya
berimplikasi ketidaksiapan di level daerah.
Pada asas praktis, otonomi daerah memunculkan
dilemma dalam arti pemberian kewenangan yang besar
kepada pemerintahan daerah yang tidak didukung oleh
kesiapan yang memadai membuat pemerintahan daerah tidak
dapat secara optimal menggunakan kewenangan tersebut
untuk mengurus dan mengatur daerahnya, Tetapi pada lain
sisi, masyarakat daerah terus mengharapkan suatu
116
pemerintahan daerah yang demokratis, mudah diakses,
transparan dan akuntabel. Dalam kontek ini, otonomi daerah
yang seharusnya adalah pemberdayaan masyarakat dan
pengembangan potensi daerah untuk pembangunan daerah,
lebih banyak didominasi oleh praktek-praktek korupsi,
kolusi dan nepotisme (KKN) dan mal administrasi disemua
lini birokrasi, kurang transparan dan publikasi peraturan
umum yang sangat terbatas.
Berbagai instrumen yang dimiliki pemerintah daerah
belum mampu menunjukkan signifikasinya dalam mengatasi
berbagai kelemahan pemerintahan daerah, sehingga untuk
mengatasi problemantika tersebut di butuhkan suatu media
yang dapat menjadi jembatan antara pemerintahan daerah
dengan masyarakatnya atau sebaliknya. Dalam kontek ini
wacana pembentukan Komisi Ombudsman Daerah sebagai
suatu komisi yang memiliki fungsi dasar untuk menampung
aspirasi masyarakat, sekaligus menjadikan masyarakat
sebagai pengawas bagi pemerintahan daerah menjadi
menarik untuk segera direalisasikan.
Komisi ombudsman pada dasarnya merupakan sebuah
lembaga yang secara mandiri menerima dan menyelidiki
tuduhan-tuduhan kesalahan administrasi (mal administrasi).
117
Teten Masduki, misalnya menyebutkan fungsi ombudsman
sebagai,
1. Mengakomodasi partisipasi masyarakat dalam upaya
memperoleh pelayanan umum yang berkualitas dan
efisien, penyelenggaraan peradilan yang adil, tidak
memihak dan jujur.
2. Meningkatkan perlindungan perorangan dalam
memperoleh pelayanan publik, keadilan dan
kesejahteraan, serta mempertahankan hak-haknya
terhadap kejanggalan tindakan penyalahgunaan
wewenang (abuse of power), keterlambatan yang
berlarut-larut (undue delay), serta diskresi yang tidak
layak. Di banyak negara, Ombudsman telah menjadi
lembaga alternatif bagi warga masyarakat untuk
menyelesaikan keluhan atau ketidakpuasan terhadap
birokrasi pemerintah secara cepat, gratis, tidak perlu
membayar pengacara dan aman (kerahasiaan pelapor
terlindungi). Penyelesaian melalui lembaga peradilan
untuk masalah mal-dministrasi telah banyak
ditinggalkan karena sangat lamban, mahal dan jauh dari
kemudahan, di sebabkan proses dan prosudure.
118
Komisi Ombudsman Nasional di Indonesia yang di
bentuk berdasarkan Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 44
Tahun 2000 tidaklah mengatur secara terperinci mengenai
peran, fungsi, maupun wewenang komisi tersebut. Dalam
Pasal 2 Kepres tersebut di sebutkan ; Ombudsman Nasional
adalah lembaga pengawasan masyarakat yang berasaskan
Pancasila dan bersifat mandiri, serta berwenang melakukan
klarifikasi, monitoring atau pemeriksaan atas laporan
masyarakat mengenai penyelenggaraan negara khususnya
pelaksanaan oleh aparatur pemerintahan termasuk lembaga
peradilan terutama dalam memberikan pelayanan kepada
masyarakat.
Adapun tugas dari Komisi Ombudsman Nasional ini
berdasarkan pasal 4 Kepres di atas adalah ;
a. Menyebar luaskan pemahaman mengenai lembaga
ombudsman
b. Melakukan koordinasi dan atau kerjasama dengan
Instansi Pemerintah, Perguruan Tinggi, Lembaga
Swadaya Masyarakat, Para Ahli, Praktisi, Organisasi
Profesi dan lain-lain.
c. Melakukan langkah untuk menindaklanjuti laporan atau
informasi mengenai terjadinya penyimpangan oleh
119
penyelenggara negara dalam melaksanakan tugasnya
maupun dalam memberikan pelayanan umum.
d. Mempersiapkan konsep Rancangan Undang-undang
tentang Ombudsman Nasional.
Dalam Kepres No.4/2000 tidak di sebutkan mengenai
adanya Komisi Ombudsman Daerah, padahal sebagaimana
di sebutkan di atas urgensi pembentukan Komisi
Ombudsman Daerah seiring dengan diterapkannya otonomi
daerah sangatlah penting. Pemberian kewenangan yang
besar kepada daerah pasca di terapkannya otonomi daerah
mengandung konsekwensi bahwa banyak persoalan yang
berkaitan dengan publik di tangani daerah, sehingga
Kedudukan Komisi Ombudsman yang berada di pusat di
rasa kurang relevan. Pembentukan Komisi Ombudsman
Daerah akan jauh lebih efektif, dengan alasan kedekatannya
dengan masyarakat setempat serta dengan pemerintahan
daerah. Pertanyaannya bagaimana fungsi Komisi
Ombudsman Daerah agar dapat bekerja secara efektif dan
menjawab berbagai persoalan mal-administrasi publik di
daerah.
Terciptanya Good Governance (tata kelola pemerintahan
yang baik) yang secara prinsip terdiri atas tiga pilar, yaitu ;
120
akuntabilitas, transparansi dan aksestabilitas, salah satunya
dapat dicapai melalui penguatan lembaga pengawasan.
Sebagai salah satu lembaga pengawasan, Ombudsman
daerah mempunyai harapan untuk mewujudkan good
governance.
1. Ombudsman daerah memposisikan masyarakat sebagai
aktor dalam tata kelola (governance) pemerintahan
daerah dan menembus dinding penyekat pemerintahan
yang tidak aspiratif dengsn membangun pola kemitraan
dengan pemerintah. Melalui cara ini akan terbangun
checks and balances antara pemerintah dan masyarakat
dalam bentuk yang elegan.
2. Sebagai lembaga pengawasan eksternal Ombudsman
daerah menggunakan masyarakat sebagai kekuatan
utamanya menjadi harapan paling mutakhir ditengah
lemahnya berbagai sistem, mekanisme dan lembaga
pengawasan yang ada (khususnya di daerah) saat ini.
Kekuatan masyarakat yang otonom sebagai lembaga
pengawasan sangat relevan untuk diwujudkan sjalan
dengan semakin menguatnya kekuatan masyarakat sipil
pro-demokrasi pasca reformasi.
121
F. Sound Governance (Analisis Penanganan Urusan Publik)
Mengutip pernyataan Presiden Tanzania Julius K.
Nyerere di depan Konferensi PBB di Afrika tahun 1998,
menyatakan bahwa: Good Governance tidak lebih sebagai
konsep imperialis dan kolonialis yang hanya akan
mengerdilkan struktur negara berkembang, sementara
kekuatan bisnis dunia makin membesar.
Pernyataan tersebut menjadi bahan pendalaman orang ke
dalam ilmu pengetahuan tidak ada habisnya dari waktu ke
waktu berupa penemuan baru yang menjadi wacana dalam
dunia akademisi. Berbagai pengetahuan baru, baik untuk
melengkapi pengetahuan sebelumnya maupun sebagai
penemuan baru berupa artikel maupun jurnal merupakan
pendalaman pengetahuan, artinya sejernih apa seseorang
memahami pengetahuan maka sejernih itu pula ia akan
menemukan kelemahan pengetahuan sebelumnya yang
semula menjadi sebuah konsep dengan kadar ketelitian dan
kecanggihan yang tidak terbantahkan.
Dalam konteks administrasi publik juga tidak
ketinggalan berbagai penemuan-penemuan baru khususnya
dalam dunia pemerintahan. Sebelumnya dalam dunia
pemerintahan orang begitu akrab dengan istilah
122
Government, kemudian istilah ini memudar seiring dengan
munculnya Good Governance.
Harapan akan terwujudnya negara kesejahteraan menjadi
kuat dengan munculnya konsep Good Governance yang
merupakan sebuah proses dimana berinteraksinya berbagai
elemen yang kemudian disederhanakan kedalam tiga aktor
kunci, yaitu negara, masyarakat dan dunia usaha dalam
mengelola sektor-sektor yang menjadi hak publik.
Produk yang paling fenomenal dari Good Governance
adalah ketika dirinya berhasil menemukan missing link
antara kerja refomasi pemerintah dengan penanggulangan
kemiskinan. Argumentasinya adalah dengan Good
Governance maka distribusi anggaran pemerintah dan
kalangan bisnis kepada masyarakat miskin makin terbuka
lebar.
Namun kemudian dalam prakteknya Good Governance
ini dianggap bukan lagi sebagai sebuah solusi, karena
dianggap sebuah konsep yang hanya menguntungkan
kelompok-kelompok tertentu. Sehingga konsep good
governance ini pernah di protes oleh Presiden Tanzania
Julius K. Nyerere dalam Konferensi PBB, dengan lantang
123
dia mengkritik habis-habisan konsep Good Governance yang
dikatakanya sebagai konsep imperialis dan kolonialis.
Penilaian sebagaimana yang dikemukakan oleh Nyerere
tersebut maka lalu kemudian muncul konsep Sound
Governance yang semula dicetuskan oleh Ali Farazmand
untuk membantah konsep Good Governance.Bantahan Ali
farazmand terhadap prinsip Good Governance, hanya terlalu
fokus pada tiga komponen yaitu Negara, Civil Society dan
swasta.
Ali farazmand melihat bahwa ketiga komponen tersebut
mengabaikan sebuah kekuatan besar, kekuatan paling
penting yang mempengaruhi governance dinegara
berkembang dan negara kurang maju yaitu struktur kekuatan
kekuatan global, dan elit korporat trans dunia.
Kekuatan internasional merupakan salah satu komponen
yang mempengaruhi kemajuan negara-negara berkembang,
dimana hampir satu abad kekuatan global ini mendominasi
politik, ekonomi serta budaya bangsa negara-negara
berkembang dan kurang maju.
Sound Governance : Paradigma baru pembangunan di
era globalisasi.
124
Terlepas dari benar salahnya kritik sang Presiden, kritik
tersebut mengilhami Ali Farazmand (2004) dalam
menggagas konsep Sound Governance yang sekaligus
membuka arah baru bagi pembangunan global ke depan.
Setelah good governance berhasil menginklusifkan
hubungan si kaya dan si miskin di tingkat nasional, maka
fase berikutnya adalah menginklusifkan hubungan negara
kaya dengan negara miskin melalui agenda Sound
Governance.
Konsep Sound Governance merupakan konsep baru yang
jauh lebih komprehensif dan reliable dalam menjawab
kegagalan epistimologis dan solusi atas arus besar kesalah
kaprahan dari good governance. Terdapat tiga alasan utama
yang muncul dari wacana Sound Governance.yaitu :
1. Dari evaluasi terhadap pelaksanaan good governance
bahwa aktor kunci yang berperan terfokus pada tiga
aktor (pemerintah, Dunia usaha dan masyarakat), dan
good governance selama ini lebih merestrukturisasi pola
relasi pemerintah, dunia uasaha dan masyarakat secara
domestik.
Sound Governance mempunyai pandangan yang jauh
komprehensif dengan empat aktor, yaitu tiga aktor sudah
125
diketahui dalam konsep good governance yaitu
inklusifitas relasi politik antara negara, masyarakat dan
dunia usaha yang sifatnya domestik dan satu lagi aktor
yaitu kekuatan internasional.
Kekuatan internasional di sini mencakup
korporasi global, organisasi dan perjanjian internasional.
Dalam pandangan Sound Governance penerapan good
governance kehidupannya hanya berkutat pada interaksi
antara pemerintah di negara tertentu, pelaku bisnis di
negara tertentu dengan rakyat di negara tertentu pula.
Tentu ini sangat naif, sebab kenyataan bahwa aktor yang
sangat besar dan bekuasa di atas ketiga elemen tersebut
tidak dimasukkan dalam hitungan (yaitu dunia
internasional)
Bahkan Ali Farazmand (2004) secara tegas
menyebut good governance sebagai bagian dari praktik
penyesuaian struktural (structural adjustment
programs/SAPs), berikut pernyataannya : The concept of
good governance as espoused and promoted by the
United Nations agencies such as the WB, IMF, UNDP,
and UNDESD as well as by most Western governments
and corporations, became one of the most pressing
126
requirements on third world countries in Asia, Africa,
and Latin/Central America as a condition for
international assistance. As part of the structural
adjustment programs (SAPs), the United Nations
agencies, under the instructions and pressures of donor
institutions of the North (Western governments and
corporations), demanded that developing countries
adopt the notion of good governance by implementing a
number of structural and policy reforms in their
governments and society as a condition for international
aid. Seminars, workshops, and ferences were held
worldwide that stressed the concept and demanded
results for sustainable development (Ali Farazmand ,
2004)
2. Bermula dari kritik terhadap identitas dari good
governance kata good menjadi sesuatu yang hegemonik,
seragam dan juga dilakukan tak jarang dengan paksaan.
Term good dalam good governance adalah westernized
dan diabsolutkan sedemikian rupa. Sound Governance
mempunyai pandangan yang berbeda dan justru
mengedepankan adanya penghormatan atas keragaman
konsepsi birokrasi dan tatapemerintahan, utamanya nilai
127
dasar budaya pemerintahan tradisional yang telah
terkubur. Ali Farazmand mencontohkan kebesaran
kerajaan Persia, sebelum digulung oleh dominasi budaya
barat, memiliki prestasi yang sangat besar dalam
pengelolaan pemerintahan, berikut pernyataannya :
The concept of sound governance has ancient origin in
the first worldstate empire of Persia with a highly
efficient and effective administrative system (Cameron,
1968; Cook, 1985; Farazmand, 1998; Frye, 1975;
Ghirshman, 1954; Olmstead, 1948). According to Darius
the Great, Cyrus the Great’s successor, no empire can
survive much less prosper without a ‘sound economy
and sound governing and administrative system’, and the
Persian Empire needed to rebuild its governing and
administrative system with a sound economic,
managerial, and organizational policy that not only was
efficient in its discharge of the empire’s current affairs
with-far flung territories, but also effective in its political
control and anticipatory responses to unexpected crises
and emergencies (Ali Farazmand , 2004)
Berdasarkan apa yang disampaikan Ali
Farazmand bahwa pentingnya sistem pemerintahan yang
128
berbasis pada budaya lokal sudah mulai banyak
terabaikan dan ini juga terjadi di negara dunia ketiga
termasuk di Indonesia (Andi,2007).
Hal ini terjadi karena kontruksi konsep birokrasi
modern Weber yang mewarnai perkembangan ilmu
administrasi publik termasuk lahirnya good governance
adalah bentuk pembantaian budaya lokal dalam sistem
pemerintahan. Sound governance muncul untuk
memberikan peluang dalam menyelamatkan keragaman
kebudayaan lokal dalam mewarnai konsep tata
pemerintahan.
3. Dalam pelaksanaan good governance untuk berjalannya
proses tata pemerintahan yang baik maka ada satu jalan
yaitu bagaimana pemerintahan harus menjalankan
prinsip-prinsip yang digariskan dalam good governance
yaitu: participation, rule of law, transparancy,
responsiveness, consensus orientation, equity,
effectiveness and efficiency, accountability, strategic
vision.
Sound Governance mempunyai pandangan
berbeda dan lebih melihat pada proses menuju
tercapainya tujuan, dari pada membahas perdebatan soal
129
bagaimana (prinsip-prinsip) dilakukan untuk mencapai
tujuan. Kendati demikian di dalam sound governance
masih menekankan perlunya prasyarat-prasyrat dasar
universal terkait demokrasi, transparansi, dan
akuntabilitas.
Untuk itu titik tekan dari sound governance
adalah fleksibilitas dan ini dibutuhkan inovasi yang
kemudian menjadi ruh implementasi sound governance
dalam praktek pemerintahan. Berikut pernyataan Ali
Farazmand akan pentingnya inovasi dalam Sound
Governance, Innovation is key to sound governance, and
innovation in policy and administration is central to
sound governance as well. Without policy and
administrative innovations, governance falls into decay
and ineffectiveness, loses capacity to govern, and
becomes a target of criticism and failure, (2004)
Berdasarkan uraian diatas bahwa Sound governance
sebagai wacana baru yang muncul sebagai kritik good
governance, yaitu memberikan makna term Sound
menggantikan Good adalah dalam rangka penghormatan
terhadap kenyataan keragaman (diversity). Untuk itu Sound
governance dalam tata pemerintahan (pola relasi pemerintah,
130
swasta dan masyarakat) membuka kembali peluang variable-
variable yang absen yaitu kearifan lokal (akibat hegemoni
terma good oleh Barat) dan dampak dari kekuatan kooptatif
internasional.
Sound Governance menyadarkan kembali bahwa
konsep-konsep non-barat sebenarnya banyak yang
applicable, khususnya di bidang pemerintahan. Selain itu
Sound governance pada prinsipnya juga memberikan ruang
bagi tradisi atau invoasi lokal tentang bagaimana negara dan
pemerintahan harus ditata, sesuai dengan kebiasaan, budaya
dan konteks lokal. Tentu ukuran universal tentang
kesejahteraan rakyat dan penghormatan hak dasar harus
tetap ditegakkan.
Secara konseptual, seharusnya keberhasilan penerapan
good governance di berbagai dunia itu harus juga dibarengi
dengan dampak kuatnya fundamental ekonomi rakyat.
Kenyataannya, relasi antara kesejahteraan rakyat dengan
good governance tidaklah seindah teori. Makin merekatnya
hubungan antara negara, bisnis dan rakyat ternyata tidak
serta merta menguatkan fundamental ekonomi rakyat.
Salah satu kegagalan Good governance adalah tidak
memasukkan arus globalisasi dalam pigura analisisnya.
131
Dalam good governance seolah-olah kehidupan hanya
berkutat pada interaksi antara pemerintah di negara tertentu,
pelaku bisnis di negara tertentu dengan rakyat di negara
tertentu pula. Tentulah ini sangat naif. Sebab kenyataan
bahwa aktor yang sangat besar dan bekuasa di atas ketiga
elemen tersebut tidak dimasukkan dalam hitungan, yaitu
aktor tersebut adalah dunia internasional.
Sound governance sebagai wacana baru yang muncul
sebagai kritik good governance, Setelah good governance
berhasil menginklusifkan hubungan si kaya dan si miskin di
tingkat nasional, maka fase berikutnya adalah
menginklusifkan hubungan negara kaya dengan negara
miskin melalui agenda Sound Governance. Formula dasar
Sound Governance empat aktor dalam tatalaksana
pemerintahan , yaitu tiga aktor sudah diketahui dalam
konsep good governance yaitu inklusifitas relasi politik
antara negara, civil society, bisnis yang sifatnya domestik
dan satu lagi aktor yaitu kekuatan internasional. Kekuatan
internasional di sini mencakup korporasi global, organisasi
dan perjanjian internasional.
Konsep Sound Governance digunakan untuk
menggambarkan sistem pemerintahan yang bukan hanya
132
jelas secara demokratik, dan tanpa cacat secara ekonomi,
finansial, politik konstitusional, organisasi, administratif,
manajerial dan etika, tapi juga jelas secara internasional
dalam interaksinya dengan negara-negara lain dan dengan
bagian pemerintahannya dalam cara yang independen dan
mandiri. Sound Governance merefleksikan fungsi governing
dan administratif dengan kinerja organisasi dan manajerial
yang jelas dan bukan hanya kompoten dalam perawatan, tapi
juga antisipatif, responsif, akuntabel, dan transparan,
korektif dan berorientasi jangka panjang meskipun
operasinya dalam jangka pendek.
133
BAHAN BACAAN
Alfian, Komunikasi Politik dan Sistem Politik di Indonesia, PT.Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1993
Andrew Heywood, Politics, Second Edition, (New York :
Palgrave Macmillan, 2002) B. Guy Peters and Vincent Wright, “Public Policy and
Administration, Old and New, dalam Robert E. Goodin and Hans-Dieter Klingemann, A New Handbook of Political Science, Part VII, Bab 27
Dahlan, Alwi, dkk. 1995. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Jakarta: Balai Pustaka. Damanhuri, Didin S, 2006. Korupsi, Reformasi Birokrasi dan
Masa Depan Ekonomi Indonesia. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Iniversitas Indonesia: Jakarta
Keputusan Presiden Republik Indonesia No.4 tahun 2000
Tentang Komisi Ombudsman Daerah. Kumorotomo, Wahyudi. 2008. Etika Administrasi Negara. PT
Raja Grafindo Persada : Jakarta. Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara. 2003. Surat
Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 63 Tahun 2003 Tentang Pedoman Tata Laksana Pelayanan Umum. Jakarta.
Michael G. Roskin, et al., Political Science: An Introduction,
Bab 16
134
Moh.Mahfud MD, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia,
Rineka Cipta, Jakarta, Juli 2000 Muhadjir Darwin, Good Governance dan Kebijakan Publik
dalam Good Governance Untuk Daulat Siapa ?, Forum LSM DIY-Yappika, 2001
Normann. 1991. Service Management. Chicester, England:
Wiley & Son. Nurhasyim. 2004. Pengembangan Model Pelayanan Haji
Departemen Agama Berdasarkan Prinsip Reinventing Government Yang Berorientasi Pada Pelanggan di Kabupaten Gresik. Tesis. Surabaya: Program Pasca Sarjana Universitas Airlangga
Republik Indonesia, Undang-Undang No.32 Tahun 2004
Tentang Pemerintahan Daerah. Republik Indonesia. 2007. Rancangan Undang-Undang
Pelayanan Publik. Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia.
Suparman Marzuki dkk, Ombudsman Daerah, Mendorong
Pemerintahan Yang Bersih, Kerjasama PUSHAM UII dengan Partnership Kemitraan dan Governance Reform in Indonesia, 2003
Sutopo dan Suryanto, Adi. 2003. Pelayanan Prima. Jakarta:
Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia.
135
Suyamto. 1989. Norma dan Etika Pengawasan. Sinar Grafika : Jakarta.
Syafinuddin Al-Mandari, HMI & Wacana Sosial, Hijau Hitam
Pusat Studi Paradigma Ilmu, Jakarta, 2003 Weber, Max. 1946. Essay in Sociology. Oxford University Press
: New York. Widjaja, AW. 1985, Masyarakat dan Permasayarakatan
Ideologi Pancasila, Bandung, Cv Armico. Yahya Muhaimin, Beberapa Segi Birokrasi di Indonesia,
Majalah Prisma Nomor 10 tahun 1980
136
137
BIODATA PENULIS N a m a : Dr. H. Munawar Noor, MS Tempat/Tanggal Lahir : Pati / 30 April 1953 Alamat : Jl. Candi Kencana VII/C-22 Pasadena Semarang No Tlp./HP : (024) 7602350 / 08122938508 Pekerjaan : Dosen Jafa/Golongan : Lektor Kepala/ IV-b Email : [email protected] Pendidikan : 1. Sarjana Strata 1 (1978-1984) di Fisip
UNTAG Semarang 2. Sarjana Strata 2 (1988-1990) di
Fisipol UGM Yogyakarta 3. Sarjana strata 3 (2011-2014) di Fisip
UNDIP Semarang Pengalaman Kerja : 1. Dekan Fisip UNTAG (1997-2002) 2. Pembantu Rektor (2002-2006) 3. Kepala Badan Penjaminan Mutu
(2006-sekarang) Pengalaman Pelatihan : 1. Pelatihan Managemen Perguruan
Tinggi (Jakarta 1995-1996) 2. Pelatihan Penyusunan Borang SPMI
(Solo 2004) 3. Pelatihan Audit Mutu Internal
Akademik (Semarang, 2007) 4. Pelatihan Menyusun Dukumen Mutu
(Solo, 2008)
138
5. Pemandu Work-Shop Penyusunan SPMI, Spesifikasi Program Studi, Borang Audit Mutu, Borang AIPT
Buku Ajar : 1. Pengembangan/Pelembagaan
Organisasi (2005) 2. Kepemimpinan (2008) 3. Perencanaan/Pengendalian (2010) 4. Kebijakan Publik (2012) 5. Manegemen Sumber Daya Manusia
(2013) 6. Evaluasi Kebijakan Publik (2013) 7. Teori Implementasi Kebijakan Publik
(2013) 8. Pelayanan Publik (2010) 9. Teori Organisasi (2012) Tulisan Ilmiah : 1. Menggagas Pelayanan Publik yang
Pro-Poor (2013), Proceding Simposium Nasional III, ASIAN, ISBN, XXX-XX-XXXX-X-X
2. Implementasi Fungsi dan Peran Pengawasan DPRD dalam Pembangunan Daerah (Materi BINTEK DPRD Kabupaten Sragen) 2013
3. Optimalisasi Fungsi dan Peran DPRD dalam Monotoring dan Evaluasi (Materi BINTEK DPRD Kabupaten Tuban dan Kabupaten Pekalongan) 2013
Jurnal Internasional : 1. Institutional Analysis On National
Program For Community Empowerment of Independent Urban
139
(PNPM-MP) For Proverty Reduction, Jurnal Internasional, Article No. JBASR-2889-2, Egypt, 2014.
2. Institutional Analysis On Proverty
Reduction Program in Sociaety ( A case study of National Program for community Empowerment of Independent Urban (PNPM-MP) in Semarang, Indonesia, Jurnal Internasional IJRCM, Number 458, Jagadhri-135003, Yamuna Nagar, Haryana, India, 2014
140