bab ii pembahasan a. otonomi daerah dalam rangka...

57
BAB II PEMBAHASAN A. Otonomi Daerah Dalam Rangka Pengaturan Desa 1. Otonomi Daerah Istilah otonomi berasal dari penggalan dua kata bahasa Yunani, yakni autos yang berarti sendiri dan nomos yang berarti undang-undang. Otonomi bermakna membuat perundang-undangan sendiri (zelfwetgeving), namun dalam perkembangannya, konsepsi otonomi daerah selain mengandung arti zelfwetgeving (membuat Peraturan daerah), juga utamanya mencakup zelfbestuur (pemerintah sendiri). C.W. van der Pot memahami konsep otonomi daerah sebagai eigen huishouding (menjalankan rumah tangganya sendiri). 1 Logemann, 2 mengatakan bahwa kekuasan bertindak merdeka (vrij beweging) yang diberikan kepada satuan-satuan kenegaraan yang memerintah sendiri daerahnya itu, adalah kekuasaan yang berdasarkan inisiatif. Itulah yang disebut otonomi yang oleh Van Vollenhoven dinamakan “eigenmeester schap”. Jadi 3 menurut logemann dalam tulisannya “Het Staatscrecht der Zelfregende Gemeenschappen” istilah otonomi mempunyai makna kebebasan atau kemandirian ( zelfstandiqheid) tetapi bukan kemerdekaan (onafhankelijkheid). Kebebasan yang terbatas atau kemandirian itu adalah wujud pemberian kesempatan yang harus dipertanggungjawabkan. 1 M. Laica Marzuki, Berjalan-jalan di Ranah Hukum, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah konstitusi RI, Jakarta, 2006., hal. 161. 2 Y.W Sunindhia, Praktek Penyelenggaraan Pemerintahan di Daerah, Bina Aksara, Jakarta, 1987., hal. 22- 23. 3 Ibid., hal.24.

Upload: phamtuong

Post on 16-Apr-2019

220 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II PEMBAHASAN A. Otonomi Daerah Dalam Rangka ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8358/3/T1_312010042_BAB II.pdfperkembangannya, konsepsi otonomi daerah selain mengandung

BAB II

PEMBAHASAN

A. Otonomi Daerah Dalam Rangka Pengaturan Desa

1. Otonomi Daerah

Istilah otonomi berasal dari penggalan dua kata bahasa Yunani, yakni autos

yang berarti sendiri dan nomos yang berarti undang-undang. Otonomi bermakna

membuat perundang-undangan sendiri (zelfwetgeving), namun dalam

perkembangannya, konsepsi otonomi daerah selain mengandung arti zelfwetgeving

(membuat Peraturan daerah), juga utamanya mencakup zelfbestuur (pemerintah

sendiri). C.W. van der Pot memahami konsep otonomi daerah sebagai eigen

huishouding (menjalankan rumah tangganya sendiri).1

Logemann,2 mengatakan bahwa kekuasan bertindak merdeka (vrij beweging)

yang diberikan kepada satuan-satuan kenegaraan yang memerintah sendiri daerahnya

itu, adalah kekuasaan yang berdasarkan inisiatif. Itulah yang disebut otonomi yang

oleh Van Vollenhoven dinamakan “eigenmeester schap”. Jadi3 menurut logemann

dalam tulisannya “Het Staatscrecht der Zelfregende Gemeenschappen” istilah

otonomi mempunyai makna kebebasan atau kemandirian (zelfstandiqheid) tetapi

bukan kemerdekaan (onafhankelijkheid). Kebebasan yang terbatas atau kemandirian

itu adalah wujud pemberian kesempatan yang harus dipertanggungjawabkan.

1M. Laica Marzuki, Berjalan-jalan di Ranah Hukum, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah

konstitusi RI, Jakarta, 2006., hal. 161. 2Y.W Sunindhia, Praktek Penyelenggaraan Pemerintahan di Daerah, Bina Aksara, Jakarta, 1987., hal. 22-

23. 3 Ibid., hal.24.

Page 2: BAB II PEMBAHASAN A. Otonomi Daerah Dalam Rangka ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8358/3/T1_312010042_BAB II.pdfperkembangannya, konsepsi otonomi daerah selain mengandung

Menurut Bagir Manan, otonomi daerah adalah kebebasan dan kemandirian

(vrijheid dan zelftandigheid) satuan pemerintahan lebih rendah untuk mengatur dan

mengurus sebagian urusan pemerintahan. Kebebasan dan kemandirian merupakan

hakikat isi otonomi. Kebebasan dan kemandirian iu adalah kebebasan dan

kemandirian dalam ikatan persatuan yang lebih besar.4

Di dalam otonomi, hubungan kewenangan antara Pusat dan Daerah, antara

lain bertalian dengan cara pembagian urusan penyelenggaraan pemerintahan atau

cara menentukan urusan rumah tangga daerah.

Otonomi adalah tatanan yang bersangkutan dengan cara-cara membagi

wewenang, tugas dan tanggungjawab mengatur dan mengurus urusan pemerintahan

antara pusat dan daerah. Salah satu penjelmaan pembagian tersebut, yaitu daerah-

daerah akan memiliki sejumlah urusan pemerintahan baik atas dasar penyerahan atau

pengakuan ataupun yang dibiarkan sebagai urusan rumah tangga daerah.5

Membahas Otonomi Daerah tidak terleapas dari sistem pengaturan

kewenangan pemerintahan baik sentralisasi dan desentralisasi. Namun berkaitan

dengan topik ini akan dibahas dengan melihat dari teori desentralisasi simeteris dan

asimetris

Ahli pertama yang memulai debat seputar desentralisasi asimetris adalah Charles

Tarlton dari University of California, USA. Menurut Tarlton:6 “Pembeda inti antara

desentralisasi biasa (simetris) dan desentralisasi asimetris terletak pada tingkat kesesuaian

(conformity), dan keumuman (commonality) pada hubungan suatu level pemerintahan

4Nukthoh Arfawie Kurde, Telaah Kritis Teori Negara Hukum (Konstitusi dan Demokrasi Dalam Kerangka

Pelaksanaan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Berdasarkan UUD-1945, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005., hal.

127. 5Ni’Matul Huda, Problematika Pembatalan Peraturan Daerah, FH UII PRES, Yogyakarta, 2010., hal. 46.

6 Robert Endi Jaweng, “Kritik terhadap Desentralisasi Asimetris di Indonesia”, Jurnal Analisis CSIS, Vol.

40, No. 2, Juni 2011, hal. 162.

Page 3: BAB II PEMBAHASAN A. Otonomi Daerah Dalam Rangka ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8358/3/T1_312010042_BAB II.pdfperkembangannya, konsepsi otonomi daerah selain mengandung

(negara bagian/daerah) dengan sistem politik, dengan pemerintah pusat maupun antar negara

bagian/daerah. Pola simetris ditandai oleh “the level of conformity and commonality in the

relations of each separate political unit of the system to both the system as a whole and to

the component units”. Di sini, hubungan simetris antar setiap unit lokal dengan pemerintah

pusat tersebut didasari jumlah dan bobot kewenangan yang sama”.

Sementara dalam pola asimetris, satu atau lebih unit politik atau pemerintahan lokal

“possessed of varying degrees of autonomy and power”. Berbedanya derajat otonomi

kekuasaan berupa ketidakseragaman pengaturan muatan kewenangan itu membentuk derajat

hubungan yang berbeda pula antar negara bagian/daerah asimetris dengan unit-unit politik

lainnya, baik secara horisontal (antar daerah) maupun vertikal (dengan pusat). Khusus

mengenai pola asimetris, Tarlton menekankan, “In the model asymmetrical system each

component unit would have about it a unique feature or set of features which would separate

in important ways, its interest from those of any other state or the system considered as a

whole”.7

Kerangka pikir Tarlton di atas diadopsi sekaligus diperbarui oleh John McGarry dari

Queen’s University, Canada. Titik tekannya tidak hanya terkait substansi asimetri tetapi juga

bentuk dasar legal pengaturannya. Menurut McGarry:8

“Model asimetris terjadi kalau otonomi semua unit pemerintahan subnasional

dijamin konstitusi dan terdapat sekurangnya satu unit lokal yang menikmati level otonomi

yang berbeda (umumnya otonomi lebih luas). Di negara federal, sekaligus sebagai kebalikan

dari negara unitaris, keberadaan model asimetris diatur dalam konstitusi dan otoritas federal

tidak bisa secara sepihak menarik atau membatalkan status asimetris tersebut. Dalam

perspektif politik, asimetris yang diatur dalam konstitusi ini adalah bukti pengakuan negara

akan keberagaman sifat nasional satu atau lebih wilayah”. Walaupun pada awalnya Tarlton

7 Ibid. 8 Ibid., hal. 163.

Page 4: BAB II PEMBAHASAN A. Otonomi Daerah Dalam Rangka ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8358/3/T1_312010042_BAB II.pdfperkembangannya, konsepsi otonomi daerah selain mengandung

menulis tema asimetris dalam kerangka negara federal, tetapi dalam perkembangan di

kemudian hari menunjukkan bahwa konsep dan penerapan kebijakan atas model tersebut

mulai diadopsi di negara kesatuan, misalnya di Indonesia berupa otonomi khusus, daerah

khusus, dan daerah istimewa seperti kalau di Indonesia terdapat pada Aceh, Jogjakarta, dan

Papua.

Urusan yang menjadi tugas daerah dalam rangka kewenangan otonominya,

pada dasarnya terdiri atas:

a. Urusan-urusan yang telah diserahkan oleh pusat kepada Daerah berdasarkan

ketentuan tentang penyerahan urusan sebagaimana diatur dalam berbagai

Peraturan Pemerintah tentang Penyerahan Urusan.

b. Urusan yang merupakan kewenangan aslinya sebagaimana ditetapkan didalam

undang-undang pembentukan daerahnya. Pembiayaan atas penyelenggaraan

urusan-urusan ini dibebankan pada Anggaran Pendapatan Belanja Daerah.9

Pasal 10 dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan

Daerah menjelaskan pemerintah daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang

menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh Undang-undang ini

ditentukan menjadi urusan Pemerintah. Urusan pemerintah yang dimaksud meliputi :

a. Politik luar negeri;

b. Pertahanan;

9Abdul Latief, Hukum dan Peraturan Kebijaksanaan (Beleidsregel) Pada Pemeritahan Daerah, UII Press,

Yogyakarta, 2005., hal. 11.

Page 5: BAB II PEMBAHASAN A. Otonomi Daerah Dalam Rangka ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8358/3/T1_312010042_BAB II.pdfperkembangannya, konsepsi otonomi daerah selain mengandung

c. Keamanan;

d. Yustisi;

e. Moneter dan fiscal nasional; dan

f. Agama.

Selain ke 6 urusan pemerintahan diatas, dalam menyelenggarakan urusan

pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah, pemerintah daerah menjalankan

otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan

berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan.

Pasal 1 ayat (5) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan

Daerah mengatakan:

“Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom

untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan

masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.”

Jadi daerah otonom diberi keleluasaan dan kepercayaan untuk mengatur dan

mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai

dengan peraturan perundang-undangan. Sebelum kebijakan ini ada hal ini merupakan

urusan pemerintahan pusat, sehingga dengan adanya otonomi daerah kewenangan

mengurus urusan pemerintahan menjadi terbagi, namun pemerintah pusat tetap

melakukan pengawasan terhadap pemerintah daerah.

Pengertian daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang

mempunyai batas-batas wilayah, yang berwenang mengatur dan mengurus urusan

pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat manurut prakarsa sendiri,

berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem NKRI.10

10Pasal 1 ayat (6) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah

Page 6: BAB II PEMBAHASAN A. Otonomi Daerah Dalam Rangka ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8358/3/T1_312010042_BAB II.pdfperkembangannya, konsepsi otonomi daerah selain mengandung

UUD 1945 mengatur bahwa prinsip otonomi daerah adalah otonomi daerah

seluas-luasnya (pasal 18 ayat (5) UUD 1945)11 yang kemudian prinsip ini dituangkan

dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang pemerintah daerah, bahwa prinsip otonomi

daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya (Pasal 2 ayat (3) UU No 32

Tahun 2004)12, dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur

semua urusan pemerintahan di luar yang menjadi urusan pemerintah yang ditetapkan

dalam UU ini. Meskipun daerah otonom memiliki kewenangan untuk menjalankan

otonomi seluas-luasnya, tetapi ada rambu yang harus dipatuhi oleh daerah otonom

dimana daerah otonom dalam menjalankan kewenangannya harus juga melaksanakan

prinsip otonomi nyata dan bertanggung jawab. Prinsip Otonomi Nyata adalah suatu

prinsip bahwa untuk menangani urusan pemerintah dilaksanakan berdasarkan tugas,

wewenang dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh,

hidup dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah. Sedangkan yang

dimaksud dengan Otonomi Bertanggung Jawab adalah otonomi yang dalam

penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian

otonomi, yang dasarnya untuk memberdayakan daerah termasuk meningkatkan

kesehjateraan rakyat.

Pemerintahan dalam pengertian pemerintahan daerah adalah penyelengaraan

pemerintahan daerah otonom oleh pemerintah daerah dan Dewan Perakilan Rakyat

Daerah (DPRD) berdasarkan asas desentralisasi.

11Pasal 18 ayat (5) UUD 1945 “Pemerintahan Daerah menjalankan otonomi daerah selaus-luasnya, kecuali

urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintahan pusat (perubahan Kedua

UUD 1945). 12Pemerintahan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menjalankan otonomi daerah seluas-luasnya,

kecuali urursan pemerintahan yang menjadi urusan pemerintah, dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan

masyarakat, pelayanan umum, dan daya saing daerah.

Page 7: BAB II PEMBAHASAN A. Otonomi Daerah Dalam Rangka ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8358/3/T1_312010042_BAB II.pdfperkembangannya, konsepsi otonomi daerah selain mengandung

Ditinjau dari sisi wewenang, pemerintahan daerah otonom menyelenggarakan

dua aspek otonomi. Pertama, otonomi terbatas, yaitu13 :

1. urusan-urusan rumah tangga daerah ditentukan secara kategoris dan

pengembangannya diatur dengan cara-cara tertentu pula.

2. apabila sistem supervisi dan pengawasan dilakukan sedemikian rupa, sehingga

daerah otonom kehilangan kemandirian untuk menentukan secara bebas cara-

cara mengatur dan mengurus rumah tangga daerahnya.

3. sistem hubungan keuangan antara pusat dan daerah yang menimbulkan hal-hal

seperti keterbatasan kemampuan keuangan asli daerah yang akan membatasi

ruang gerak otonomi daerah. Sedangkan Kedua otonomi luas bertolak dari

prinsip: semua urusan pemerintahan pada dasarnya men jadi urusan rumah

tangga daerah, kecuali yang ditentukan sebagi urusan pusat.

Dengan demikian, kalau dilihat dari kekuasaan pemerintahan daerah otonom,

pemerintahan dapat dibedakan menjadi tiga kelompok14:

a. Pemerintahan dalam arti sempit, yaitu penyelenggaraan kekuasaan eksekutif atau

administratisf.

b. Pemerintahan dalam arti agak luas, yaitu penyelenggaraan kekuasaan eksekutif

dan legislatif tertentu yang melekat pada pemerintah daerah otonom

c. Pemerintahan dalam arti luas yang mencakup semua lingkungan jabatan negara

dibidang eksekutif, legislatif, yudikatif dan sebagainya.

Berdasarakan pemahaman bahwa keanekaragaman istilah sistem otonomi

dipergunakan untuk maksud yang sama, maka dapat dikemukakan guna keperluan

pengacuan pengertian sistem otonomi, yakni patokan tentang cara penentuan batas-

batas urusan rumah tangga daerah. Pada umumnya dikenal 4 (empat) sistem otonomi

yang pokok, yaitu15:

a. Sistem Residu (Teori Sisa)

Dalam sistem ini, secara umum telah ditentukan lebih dahulu tugas-tugas yang

menjadi wewenang pemerintah pusat, sedangkan sisanya menjadi urusan rumah

13Ni’Matul Huda, Op. Cit., Hal. 83. 14Ibid., Hal. 41. 15David Heipon, Kedudukan Majelis Rakyat Papua Dalam Sistem Pemerintahan Daerah Provinsi Papua,

Skripsi, Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, Maret 2013, hal. 29.

Page 8: BAB II PEMBAHASAN A. Otonomi Daerah Dalam Rangka ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8358/3/T1_312010042_BAB II.pdfperkembangannya, konsepsi otonomi daerah selain mengandung

tangga daerah. Kebaikan sistem ini terutama terletak pada timbulnya keperluan-

keperluan baru, pemerintah daerah dapat dengan cepat mengambil keputusan dan

tindakan yang dipandang perlu, tanpa menunggu perintah pusat.

b. Sistem Otonomi Materiil, atau pengertian rumah tangga materiil (materiele

huishoudingsbegrip)

Dalam sistem ini, tugas pemerintah daerah ditetapkan satu persatu secara limitatif

atau terperinci. Diluar tugas yang telah ditentukan, merupakan urusan pemerintah

pusat. Dalam pengertian otonomi materiil, antara pemerintah pusat dan

pemerintah daerah ada pembagian tugas (wewenang dan tanggung jawab) yang

eksplisit (diperinci dengan tegas) dalam undang-undang pembentukan daerah.

Artinya otonomi daerah itu hanya meliputi tugas-tugas yang ditentukan satu per

satu, jadi bersifat definitif. Hal itu berarti apa yang tidak tercantum dalam dalam

udang-undang pembentukan daerah, tidak termasuk urusan pemerintah daerah

otonom melainkan urusan pemerintah pusat.

c. Sistem Otonomi Formil, atau pengertian rumah tangga formil (formeele

huishoudingsbegrip)

Dalam sistem ini, urusan yang termasuk dalam urusan rumah tangga daerah tidak

secara a priori ditetapkan dalam atau dengan undang-undang. Daerah boleh

mengatur dan mengurus segala sesuatu yang dianggap penting bagi daerahnya,

tetapi tidak mencakup urusan yang telah diatur dan diurus oleh pemerintah pusat

atau pemerintah daerah yang lebih tinggi. Dengan demikian, urusan rumah tangga

daerah dibatasi oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tunggi

tingkatannya. Di dalam pengertian sistem otonomi formil, tidak ada perbedaan

Page 9: BAB II PEMBAHASAN A. Otonomi Daerah Dalam Rangka ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8358/3/T1_312010042_BAB II.pdfperkembangannya, konsepsi otonomi daerah selain mengandung

sifat antara urusan-urusan yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat dan oleh

daerah-daerah otonom. Hal ini berarti apa yang dapat dilakukan negara

(pemerintah pusat) pada prinsipnya dapat pula dilakukan oleh daerah-daerah

otonom. Bila ada pembagian tugas (wewenang dan tanggung jawab) hal itu

semata-mata disebabkan pertimbangan-pertimbangan yang rasional dan praktis

seperti efisiensi penyelenggaraan tugas pelayanan public.

d. Sistem Otonomi Riil, atau pengertian rumah tangga riil (riele hushoudingsbegrip)

Dalam sistem ini penyerahan urusan atau tugas dan kewenangan kepada daerah

didasarkan pada faktor yang nyata atau riil, sesuai dengan kebutuhan dan

kemampuan yang riil dari daerah maupun pemerintah pusat serta pertumbuhan

masyarakat yang terjadi.

Oleh karena itu pemberian tugas dan kewajiban serta wewenang ini

didasarkan pada keadaan yang riil di dalam masyarakat, membawa konsekuensi

bahwa tugas/urusan yang selama ini menjadi wewenang pemerintah pusat dapat

diserahkan kepada pemerintah daerah dengan mempertimbangkan kemampuan

masyarakat daerah atau mengaturnya dan mengurusnya sendiri. Sebaliknya, tugas

yang telah menjadi wewenang daerah pada suatu ketika, bilamana dipandang

perlu, dapat ditarik kembali oleh pemerintah pusat.

Dalam menyelenggarakan otonomi, daerah mempunyai hak sebagaimana

diatur dalam pasal 21 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah, yaitu :

a. mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya;

b. memlih pimpinan daerah;

c. mengelola aparatur daerah;

d. mengelola kekayaan daerah;

Page 10: BAB II PEMBAHASAN A. Otonomi Daerah Dalam Rangka ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8358/3/T1_312010042_BAB II.pdfperkembangannya, konsepsi otonomi daerah selain mengandung

e. memungut pajak daerah dan retribusi daerah;

f. mendapatkan bagi hasil dari pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya

lainnya yang berada di daerah;

g. mendapatkan sumber-sumber pendapatan lain yang sah; dan

h. mendapatkan hak lainnya yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Selanjutnya dalam pasal 22 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004

tentang Pemerintahan Daerah, dalam menyelenggarakan otonomi, daerah

mempunyai kewajiban :

a. melindungi masyarakat, menjaga persatuan, kesatuan dan kerukunan

nasional, serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;

b. meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat;

c. mengembangkan kehidupan demokrasi;

d. mewujudkan keadilan dan pemerataan;

e. meningkatkan pelayanan dasar pendidikan;

f. menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan;

g. menyediakan fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak;

h. mengembangkan sistem jaminan sosial;

i. menyusun perencanaan dan tata ruang daerah;

j. mengembangkan sumber daya produktif di daerah;

k. melestarikan lingkungan hidup;

l. mengelola administrative kependudukan;

m. melestarikan nilai sosial budaya;

n. membentuk dan menerapkan peraturan perundang-undangan sesuai dengan

kewenangannya; dan

o. kewajiban lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Untuk melaksanakan tugas otonomi tersebut ditetapkan dalam bentuk

Peraturan Daerah, dan Peraturan Daerah ditetapkan untuk melaksanakan otonomi

meliputi seluruh urusan rumah tangga otonomi.

2. Peraturan Daerah

Page 11: BAB II PEMBAHASAN A. Otonomi Daerah Dalam Rangka ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8358/3/T1_312010042_BAB II.pdfperkembangannya, konsepsi otonomi daerah selain mengandung

Peraturan adalah hukum yang in abstracto atau generale norm yang sifatnya

mengikat umum (berlaku umum) dan tugasnya adalah mengatur hal-hal yang bersifat

umum (generale).16

Secara teoritik, istilah “perundang-undangan” mempunyai dua pengertian,

yaitu; pertama, perundang-undangan merupakan proses pembentukan/ proses

membentuk peraturan-peraturan negara, baik ditingkat Pusat maupun ditingkat

Daerah; kedua, perundang-undangan adalah segala peraturan negara, yang merupakan

hasil pembentukan peraturan-peraturan, baik ditingkat Pusat maupun ditingkat Daerah.

Tujuan utama dari keberadaan peraturan perundang-undangan adalah untuk

menciptakan kepastian hukum,17 karena hukum yang tertulis akan membuat para

subjek hukum mengerti betul hal-hal apa saja yang harus dilakukan dan atau tidak

dilakukan, yang boleh dan atau tidak boleh, serta mana hak dan kewajibannya18

sehingga keberadaan peraturan perundang-undangan menjadi sangat penting dalam

sebuah negara hukum.19 Peraturan perundang-undangan ketika dikaitkan dengan

hukum sebagai sebuah ideal ialah mencegah timbulnya kesewenang-wenangan oleh

penguasa terhadap warga negaranya, sehingga dalam konsep negara hukum pengertian

tersebut kemudian dikaitkan dengan asas legalitas.20

Asas legalitas merupakan salah satu prinsip utama yang dijadikan sebagai

dasar dalam pemerintahan dan kenegaraan di setiap negara hukum terutama bagi

16SF. Marbun & M. Mahfud MD, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, Liberty, Yogyakarta, 2000,

hal. 94. 17TitonSlametKurnia, Op.Cit., Hal. 49 18Ibid., Hal. 49-50 19Ibid. 20Ibid.

Page 12: BAB II PEMBAHASAN A. Otonomi Daerah Dalam Rangka ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8358/3/T1_312010042_BAB II.pdfperkembangannya, konsepsi otonomi daerah selain mengandung

negara-negara hukum dalam sistem kontinental.21 Asas ini dinamakan juga dengan

kekuasaan undang-undang (de heerschappij van de wet)22 yang dalam konsep

peraturan perundang-undangan sering di identik dengan asas supremasi hukum

(government under law) dan asas pemerintahan melalui peraturan perundang-

undangan (government by rules).23 Yang menyebabkan setiap penyelenggaraan

pemerintahan harus didasari oleh hukum dan ketika tidak ada peraturan perundang-

undangan maka tidak ada kewenangan sebagai dasar bertindak bagi setiap badan atau

pejabat negara dan pemerintah.24

Teori yang mendasari asas legalitas dalam peraturan perundang-undangan

adalah teori yang dipopulerkan oleh Hans Kelsen yaitu Stufentheorie yang

menekankan bahwa setiap peraturan perundang-undangan adalah merupakan bagian

keseluruhan dari sistem peraturan perundang-undangan itu sendiri atau hukum

merupakan suatu sistem yang saling berhubungan dan mendukung satu sama lain25

dengan sistem berjenjang dan berlapis-lapis yang berarti bahwa norma yang lebih

rendah harus berdasarkan dan bersumber pada norma yang lebih tinggi demikian

seterusnya sampai berujung pada norma Dasar (Grundnorm).26

Stufentheorie ini kemudian dilengkapi oleh murid Hans Kelsen yang bernama

Hans Nawiasky dalam teorinya die Theorie vom Stufenordnung der Rechtsnormen,

Nawiasky menambahkan bahwa selain berlapis dan berjenjang, norma hukum juga

21Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara (Edisi Revisi), PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2013, Hal.

90. 22Ibid., Hal. 91. Dikutip dari H.D van Wijk/Willem Konijnenbelt, Hoofdsukken van Administratief Rech,

(Utrecht: Uitgeverij Lemma BV., 1995), Hal. 41. 23TitonSlametKurnia, Op. Cit., Hlm. 51. Dikutip dari Andrew Altman, Arguing About Law, Hal. 3-5. 24Ibid.,Hal. 51. 25TitonSlametKurnia, Op.Cit., Hal. 55 26Maria Farida Indrati S., Op.Cit., Hal. 41. Dikutip dari Hans Kelsen, General Theory of Law Ana State,

New York, Russell & Russell, 1945, Hal. 113

Page 13: BAB II PEMBAHASAN A. Otonomi Daerah Dalam Rangka ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8358/3/T1_312010042_BAB II.pdfperkembangannya, konsepsi otonomi daerah selain mengandung

berdasarkan kelompok-kelompoknya masing-masing yaitu terbagi atas empat

kelompok. Kelompok pertama: Staatsfundamentalnorm (Norma Fundamental Negara),

Kelompok kedua: Staatsgrundgesetz (Aturan Dasar Negara/ Aturan Pokok Negara),

Kelompok ketiga: Formell Gesetz (Undang-Undang ‘formal’), Kelompok keempat:

Verordnung & Autonome Satzung (Aturan Pelaksana & Aturan otonom).27

Dalam teorinya Hans Kelsen dan Hans Nawiasky di atas ketika digabungkan

akan berbunyi bahwa hukum merupakan sistem yang berlapis-lapis dan berjenjang

sekaligus berkelompok kelompok, dimana setiap norma yang berlaku harus memiliki

sumber dan dasar dari norma lain yang lebih tinggi, begitu seterusnya dirunut sampai

berpangkal pada norma tunggal28 yang paling tinggi yaitu Konstitusi.29 Karena sebuah

norma dapat dikatakan sah hanya jika norma tersebut menurut materi muatannya dapat

dirunut sampai ke pada norma dasar.30 Demikian peraturan perundang-undangan

sebagai sebuah sistem harus dipertahankan berdasarkan konsep hirarki aturan

hukum.31 Sehingga asas legalitas dalam peraturan perundang-undangan yaitu Lex

Superior Derodat Lex Inferiori.

Ada dua legalitas yang harus dipenuhi dalam sebuah peraturan perundang-

undangan yaitu legalitas formal dan legalitas material. Sebagaimana dikemukakan

oleh Hans Kelsen bahwa “sebuah norma dapat dikatakan sah sebagai norma hukum

hanya karena norma tersebut dicapai dengan cara tertentu – diciptakan menurut aturan

tertentu, dikeluarkan atau ditetapkan menurut sebuah metode spesifik. (formil)” dan

27Maria FaridaIndrati S., Op.Cit.,Hal. 45. Dikutip dari Hans Nawiasky, Allgemeine Rechtslehre als System

der rechtslichen Grundbegriffe, Einsideln/Zurich/Koln: Benziger, Cet. 2 1948, Hal. 31 dst. 28 Hans Kelsen, Op.Cit., Hal. 94. 29 Maria FaridaIndrati S., Op.Cit.,Hal. 57. 30 Hans Kelsen, Op.Cit., Hal. 95, 105. 31TitonSlametKurnia, Op.Cit.,Hal. 55.

Page 14: BAB II PEMBAHASAN A. Otonomi Daerah Dalam Rangka ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8358/3/T1_312010042_BAB II.pdfperkembangannya, konsepsi otonomi daerah selain mengandung

dengan materi muatan yang sesuai dengan tingkatan dan kelompoknya berdasarkan

pada aturan yang lebih tinggi dan dapat dirunut sampai ke norma dasar (materiil).32

Berdasarkan Stufentheorie yang kemudian dilengkapi oleh murid Hans Kelsen

yang bernama Hans Nawiasky dalam teorinya die Theorie vom Stufenordnung der

Rechtsnormen,dan asas legalitas dalam peraturan perundang-undangan yaitu Lex

Superior Derodat Lex Inferiori, penulis berpendapat bahwa setiap peraturan yang

dibuat tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, karena dalam

peraturan yang lebih rendah yang menjadi dasar peraturan tersebut dibentuk itu adalah

peraturan yang lebih tinggi sampai pada peraturan yang sangat mendasar yaitu

konstitusi yang merupakan peraturan yang paling tinggi.

Sifat suatu peraturan ialah mengikat semua penduduk sesuatu wilayah.

Peraturan itu berlaku umum. Peraturan dibuat untuk menyelesaikan beberapa hal yang

(dalam garis besarnya) mengandung kesamaan dan yang akan dan mungkin terjadi.33

Peraturan perundang-undangan memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

a. Bersifat umum dan komprehensif, yang dengan demikian merupakan kebalikan

dari sifat-sifat yang khusus dan terbatas.

b. Bersifat universal. Ia diciptakan untuk menghadapi peristiwa-peristiwa yang akan

datang yang belum jelas betuk konkretnya. Oleh karena itu ia tidak dapat

dirumuskan untuk mengatasi peristiwa-peristiwa tertentu saja.

c. Ia memiliki kekuatan untuk mengoreksi dan memperbaiki dirinya sendiri. Adalah

lazim bagi suatu peraturan untuk mencantumkan klausul yang memuat

kemungkinan dilakukannya peninjauan kembali.

32Hans Kelsen, Pengantar Teori Hukum (Introduction to the Problem of Legal Theory), Nusa Media,

Bandung, 2012, Hal. 96-97. 33 E, Utrecht. Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Ichtiar Baru, Jakarta, 1990, hal.42

Page 15: BAB II PEMBAHASAN A. Otonomi Daerah Dalam Rangka ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8358/3/T1_312010042_BAB II.pdfperkembangannya, konsepsi otonomi daerah selain mengandung

Peraturan dibuat untuk menyelesaikan hal-hal yang belum dapat diketahui

terlebih dahulu dan mungkin akan terjadi (hal umum). Peraturan ditujukan kepada

hal-hal yang abstrak.34

Berkenaan dengan perundang-undangan, Ridwan, HR. mengutip yang

disampaikan oleh A. Hamid S. Attamimi35:

“Istilah perundang-undangan (wettelijkeregels) secara harafiah dapat diartikan

peraturan yang berkaitan dengan undang-undang, baik peraturan itu berupa undang-

undang sendiri maupun peraturan lebih rendah yang merupakan atribusian ataupun

delegasian undang-undang. Atas dasar atribusi dan delegasi kewenangan perundang-

undangan maka yang tergolong peraturan perundang-undangan di Negara kita ialah

undang-undang dan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah dari padanya

seperti Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden yang berisi peraturan, Keputusan

Menteri yang berisi peraturan, Keputusan Kepala Lembaga Pemerintahan Non-

Departemen yang berisi peraturan, Keputusan Direktur Jenderal Departemen yang

dibentuk dengan Undang-undang yang berisi peraturan, Peraturan Daerah Tingkat I,

Keputusan Gubernur Kepala Daerah berisi peraturan yang melaksanakan ketentuan

Peraturan Daerah Tingkat I, PeraturanDaerah Tingkat II, dan Keputusan

Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah berisi peraturan yang melaksanakan ketentuan

Peraturan Daerah Tingkat II.”

Berdasarkan penjelasan Pasal 1 angka 2 UU No.5 Tahun 1986 tentang Peradilan

Tata Usaha Negara, peraturan perundang-undangan adalah semua peraturan yang

34ibid, hal.71 35Day Harip Saputra, Surat Keputusan Gubernur Kalimantan Selatan No.188.44/0135/KUM/2007

Sebagai Objek Gugatan Di Peradilan Tata Usaha Negara, Skripsi, Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga,

April 2013, hal. 16.

Page 16: BAB II PEMBAHASAN A. Otonomi Daerah Dalam Rangka ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8358/3/T1_312010042_BAB II.pdfperkembangannya, konsepsi otonomi daerah selain mengandung

bersifat mengikat secara umum yang dikeluarkan oleh Badan Perwakilan Rakyat

bersama Pemerintah baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah, serta semua

Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di tingkat pusat maupun di

tingkat daerah, yang juga mengikat umum.

Di dalam Undang-undang No. 32 Tahun 2004, prinsip-prinsip pembentukan

Perda ditentukan sebagai berikut:

a. Perda ditetapkan oleh Kepala Daerah setelah mendapat persetujuan bersama

DPRD.

b. Perda dibentuk dalam rangka penyelenggaraan otonomi, tugas pembantuan

dan merupakan penjabaran lebih lanjut peraturan perundangan-undangan yang

lebih tinggi dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah.

c. Perda tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan

perundang-undangan yang lebih tinggi.

d. Perda dibentuk berdasarkan pada asas pembentukan peraturan perundang-

undangan.

e. Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam

rangka penyiapan atau pembahasan Raperda.

f. Perda dapat memuat ketentuan beban biaya paksaan penegakan hukum, atau

pidana kurungan paling lama enam bulan atau denda sebanyak-banyaknya

Rp.50.000.000,00 (lima puluh) juta rupiah.

g. Peraturan Kepala Daerah dan atau Keputusan Kepala Daerah ditetapkan untuk

melaksanakan Perda.

h. Perda berlaku setelah diundangkan dalam lembaran.

Page 17: BAB II PEMBAHASAN A. Otonomi Daerah Dalam Rangka ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8358/3/T1_312010042_BAB II.pdfperkembangannya, konsepsi otonomi daerah selain mengandung

i. Perda dapat menunjuk pejabat tertentu sebagai pejabat penyidik pelanggaran

Perda (PPNS Perda).

j. Pengundangan Perda dalam Lembaran Daerah dan Peraturan Kepala Daerah

dalam Berita Daerah

Dalam membentuk Peraturan Daerah baik yang diatur dalam Undang-undang

No. 10 Tahun 2004 maupun menurut Pasal 137 Undang-undang No. 32 Tahun 2004,

harus berdasarkan asas pembentukan peraturan perudang-undangan yang meliputi:

a. kejelasan tujuan

b. kelembangaan atas organ pembentuk yang tepat

c. kesesuaian antara jenis dan materi muatan

d. dapat dilaksanakan; e. kedayagunaan dan kehasilgunaan

f. kejelasan rumusan

g. keterbukaan.

Setiap pembentukan peraturan perundangan-undangan harus mempunyai

tujuan yang jelas yang hendak dicapai, begitu juga dengan pembentukan peraturan

daerah. Pembentuk peraturan daerah harus memperhatikan materi muatan yang tidak

bertentangan dengan peraturan diatasnya. Disamping itu, juga harus

memperhitungkan efektifitas peraturan perundang-undangan tersebut di dalam

masyarakat, baik secara filosofis, yuridis maupun sosiologis. Peraturan daerah dibuat

karena memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan

bermasyarakat didaerah setempat. Setiap peraturan daerah harus memenuhi

persyaratan teknis penyusunan seperti penyusunan peraturan perundang-undangan,

sistematika dan pilihan kata atau terminology, serta bahasa hukumnya jelas dan

Page 18: BAB II PEMBAHASAN A. Otonomi Daerah Dalam Rangka ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8358/3/T1_312010042_BAB II.pdfperkembangannya, konsepsi otonomi daerah selain mengandung

mudah dimengerti, sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam

pelaksanaannya. Dalam proses pembentukannya mulai dari perencanaan, persiapan,

penyusunan, dan pembahasan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian

seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk

memberikan masukan dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan.

Menurut Pasal 12 Undang-undang No. 10 Tahun 2004, “Materi muatan

Peraturan Daerah adalah seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaran

otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan menampung kondisi khusus daerah serta

penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.36 Menurut

pasal 7 ayat (1) Undang-undang No. 10 tahun 200437, jenis hirarki peraturan

perundang-undangan adalah:

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. Undang-Undang / Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;

c. Peraturan Pemerintah;

d. Peraturan Presiden;

e. Peraturan Daerah.

Jadi materi muatan Peraturan Daerah itu adalah :

a. seluruh materi yang dibutuhkan dalam rangka penyelenggaraan otonomi

daerah dan tugas pembantuan

b. menampung kondisi khusus daerah

36 Hal ini diatur juga dalam Undang-undang No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan pasal 14 mengatakan “materi muatan Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah

Kabupaten/Kota berisi materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta

menampung kondisi khusus daerah dan/atau penjabaran lebih lanjut peraturan Perundang-undangan yang lebih

tinggi”. 37 Jenis hierarki peraturan perundang-undangan ini juga diatur dalam Undang-undang No. 12 tahun 2011

tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, namun disini pasal 7 dalam Undang-undang No. 12 tahun

2011 hierarki peraturan perundang-undangan dijabarkan sampai pada peraturan daerah provinsi dan yang paling

bawah dalam hierarki peraturan perundang-undangan adalah peraturan daerah kabupaten/kota, sedangkan pada

pasal 7 ayat (1) Undang-undang No. 10 tahun 2004 hanya sampai pada peraturan daerah saja.

Page 19: BAB II PEMBAHASAN A. Otonomi Daerah Dalam Rangka ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8358/3/T1_312010042_BAB II.pdfperkembangannya, konsepsi otonomi daerah selain mengandung

c. penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, yaitu

Peraturan Presiden, Peraturan Pemerintah, dan Undang-Undnag atau

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.38

Kemudian di dalam materi muatan Peraturan Daerah harus mengandung asas:

a. pengayoman

b. kemanusiaan

c. kebangsaan

d. kekeluargaan

e. kenusantaraan

f. bhineka tunggal ika

g. keadilan

h. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan

i. ketertiban dan kepastian hukum

j. keseimbangan, keserasian, dan keselaranan. Selain asas tersebut,

Peraturan Daerah dapat memuat asas lain sesuai dengan substansi

Peraturan Daerah yang bersangkutan.

Setiap materi muatan paraturan daerah harus berfungsi memberikan

perlindungan dalam rangka menciptakan ketentraman masyarakat. Di samping itu,

harus mencerminkan perlindungan dan penghormatan hak-hak asasi manusia serta

harkat dan martabat setiap masyarakat secara proposional, mencerminkan keadilan

secara proposional bagi setiap warga masyarakat tanpa kecuali. Setiap materi muatan

peraturan daerah tidak boleh berisi hal-hal yang bersifat membedakan berdasarkan

latar belakang agama, suku, ras, golongan, gender, atau status sosial.

3. Desa

a. Pemerintahan Desa di Indonesia

38 Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, Kerjasama Konstitusi Press dengan PT Syaamil Cipta

Media, Jakarta, 2006, hal 270-271.

Page 20: BAB II PEMBAHASAN A. Otonomi Daerah Dalam Rangka ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8358/3/T1_312010042_BAB II.pdfperkembangannya, konsepsi otonomi daerah selain mengandung

Berbicara cikal bakal pemerintahan desa di Indonesia sesungguhnya dimulai

sejak sebelum Kolonial Belanda masuk ke Indonesia, sebagaimana diilustrasikan oleh

Cornelis van Vollenhoven39 bahwa sebelum datangnya penjajah Belanda, di nusantara

telah terdapat sistem ketatanegaraan dalam bentuk kesatuan perkampungan dan lain-

lain. Hal ini dibenarkan oleh Nasroen40 bahwa:

Desa di Indonesia telah ada sejak berates-ratus tahun yang lampau. Dari

zaman ke zaman, desa, nagari, marga ini ada dan tetap ada sampai dewasa

ini. Majapahit telah hilang, demikian pun Sriwijaya, Atjeh, Bugis,

Minangkabau, Mataram, dan sebagainya. Hindia Belanda, Pendudukan

Jepang telah lenyap, tetapi desa, nagari, marga itu tetap ada. Dari jalan

sejarah ini, sebagai bukti dapat diambil kesimpulan bahwa sesuatu Negara

akan tetap ada, selama desa, nagari, marga itu ada, asal Negara itu

sanggup menyatukan dirinya desa, nagari, dan marga itu.

Pengakuan (secara yuridis) atas keberadaan desa juga terjadi pada zaman

pemerintahan Hindia Belanda secara yuridikal diatur berbeda antara pemerintahan

desa di Jawa dan luar Jawa. Di Jawa diatur dalam Inlandse Gemeente Ordonantie

(IGO). Di luar Jawa diatur dalam Inlandse Gemeente Ordinantie voor Buitengewesten

(IGOB). Ketentuan-ketentuan ini hanya mengatur mengenai organisasi desa, karena

desa sebagai pemerintahan asli telah ada jauh sebelum dibuatnya IGO dan IGOB yang

substansinya memberikan kesempatan kepada penduduk negeri/asli dibiarkan dibawah

langsung kepala-kepalanya sendiri (pimpinan).41

39 Ateng Syafrudin, Pengaturan Koorfinasi Pemerintahan di Daerah, hal. 6. 40 Nasroen, Daerah Otonom Tingkat Terbawah, Jakarta, Beringin Trading Company, 1955, hal. 41. 41 Diatur dalam Pasal 118 jo Pasal 128 IS (Indische Staatsregelings) dan dalam Wet Houdende

Decentralisatie van Het Bestuur in Nederlands Indie 1903 (Decentralisatie Wet 1903). Lihat: HAW. Widjaja,

Pemerintahan Desa/Marga Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah;

Suatu Telaah Administrasi Negara. Jakarta, Raja Gravindo Persada, Cet. III, hal. 23.

Page 21: BAB II PEMBAHASAN A. Otonomi Daerah Dalam Rangka ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8358/3/T1_312010042_BAB II.pdfperkembangannya, konsepsi otonomi daerah selain mengandung

Selain IGO dan IGOB, dalam peraturan perundang-undangan (wettelijk

regelings) Hindia Belanda, “desa” telah diatur dalam pasal 71 Regerings Reglement

(RR) yang menegaskan bahwa:

Desa, kecuali dengan persetujuan penguasa yang ditunjuk dengan

peraturan umum, memliki sendiri kepala desa dan pemerintahan desa.

Gubernur Jenderal menjaga hak-hak tersebut terhadap semua pelanggaran.

Desa diperbolehkan mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri

dengan memperhatikan peraturan wilayah atau pemerintahan… dan

seterusnya.

Ketentuan ini menunjukan bahwa eksistensi “desa” pada zaman Hindia

Belanda sangat diakui (atau lebih tepat “dibiarkan”) untuk mengatur dan mengurus

rumah tangganya sendiri (huishouding gelatin) berdasarkan kewenangannya yang asli

pada saat sebelum Belanda masuk ke nusantara.

Demikian pula, dalam pasal 128 ayat (3) Indische Staatsregeling (IS)

disebutkan bahwa:

Desa adalah kesatuan masyarakat yang bertempat tinggal dalam suatu

wilayah tertentu, yang memiliki hak menyelenggarakan urusan rumah

tangganya sendiri berdasarkan hukum adat dan peraturan perundang-

undangan Hindia Belanda untuk hal-hal tertentu dan pemerintahannya

merupakan bagian terbawah dari susunan pemerintahan kabupaten atau

swapraja.

Melihat maksud dari ketentuan perundang-undangan Hindia Belanda di atas,

dapat dipahami bahwa pada masa colonial tetap ada pengakuan terhadapn otonomi

desa sebagai otonomi asli diwilayah Hindia Belanda.

Page 22: BAB II PEMBAHASAN A. Otonomi Daerah Dalam Rangka ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8358/3/T1_312010042_BAB II.pdfperkembangannya, konsepsi otonomi daerah selain mengandung

Dari penjelasan diatas, sebagai catatan bahwa sangat tidak tepat apabila “desa”

dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa. Tentang hal ini The Lian Gie42

berpendapat bahwa:

Keterangan bahwa desa, nagari dan sebagainya adalah daerah-daerah yang

bersifat istimewa tidak tepat. Dalam pembicaraan-pembicaraan tidak

pernah tegas dinyatakan bahwa Volksgemeenschappen itu tergolong dalam

daerah istimewa. Yang nyata-nyata dianggap daerah istimewa dengan hak-

hak asal usul yang bersifat istimewa yaitu daerah-daerah

kerajaan/kesultanan yang masih ada diseluruh Indonesia pada waktu itu.

Dalam sejarah pertumbuhan pemerintahan daerah di Negara RI

selanjutnya “Desa” dan sebagainya tidak pernah dianggap sebagai daerah

istimewa seperti Daerah Istimewa Yogyakarta.

Jadi, “desa” bukanlah merupakan daerah istimewa seperti halnya dengan

zelfbestuurende landschappen, yakni daerah-daerah kerajaan atau kesultanan seperti

halnya Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Mr. Djody Gondokusumo43 menyebutkan

cirri-ciri daerah istimewa sebagai berikut: Pertama, Kepala Daerah diangkat oleh

Presiden; Kedua, Pengangkatan Kepala Daerah Istimewa diambil dari keturunan

keluarga yang berkuasa; ketiga, kepala Daerah Istimewa tidak dapat diberhentikan.

Menurut ketentuan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 pasal 1 dikatakan

bahwa:

“Yang dimaksud dengan DESA adalah suatu wilayah yang ditempati oleh

sejumlah penduduk sebagai suatu kesatuan masyarakat termasuk

didalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi

pemerintahan terendah langsung dibawah camat dan berhak

menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara

Kesatuan Republik Indonesia. Sedangkan yang dinamakan DUSUN

42The Lian Gie, Kumpulan Pembahasan Terhadap Undang-Undang Pokok Pemerintahan Daerah

Indonesia. Yogyakarta, Karya Kencana, 1974, hal. 9. 43Djody Gondokusumo, Tata Hukum Daerah Otonom. Yogyakarta, Menara Pengetahuan, 1950, hal. 17.

Page 23: BAB II PEMBAHASAN A. Otonomi Daerah Dalam Rangka ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8358/3/T1_312010042_BAB II.pdfperkembangannya, konsepsi otonomi daerah selain mengandung

adalah bagian wilayah dalam desa yang merupakan lingkungan kerja

pelaksana pemerintahan DESA”.

Dalam ketentuan Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan

Daerah pasal 1 ayat (12) mengatakan:

“Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah

kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang

berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat

setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan

dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik

Indonesia.”

Sedangkan dalam Undang-Undang Desa yang terbaru yaitu Undang-Undang

No. 6 tahun 2014 tentang desa pasal 1 ayat (1) menjelaskan bahwa:

“Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain,

selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang

memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus

urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak

tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara

Kesatuan Republik Indonesia.

Undang-Undang No. 6 tahun 2014 tentang Desa merupakan Peraturan yang

baru ditetapkan. Undang-Undang Desa disahkan pada 18 Desember 2013 dan masuk

dalam lembaran negara no 6 tahun 2014 pada 15 Januari 2014. Undang-Undang Desa

menjadi titik balik pengaturan desa di Indonesia. Undang-Undang Desa menempatkan

desa sesuai dengan amanat konstitusi dengan merujuk pasal 18B ayat 2 dan Pasal 18

ayat 7. Undang-Undang Desa membentuk tatanan desa sebagai self-governing

community dan local self-government. Tatanan itu diharapkan mampu mengakomodasi

kesatuan masyarakat hukum adat yang menjadi fondasi keragaman NKRI.

Page 24: BAB II PEMBAHASAN A. Otonomi Daerah Dalam Rangka ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8358/3/T1_312010042_BAB II.pdfperkembangannya, konsepsi otonomi daerah selain mengandung

Salah satu upaya Undang-Undang No. 6 tahun 2014 tentang desa untuk

mengakomodasi kesatuan masyarakat hukum adat sesuai dengan amanat konstitusi yaitu

dimasukannya dalam pasal-pasal mengenai desa adat. Desa adat pada prinsipnya

merupakan warisan organisasi kepemerintahan masyarakat lokal yang dipelihara secara

turun-temurun yang tetap diakui dan diperjuangkan oleh pemimpin dan masyarakat

Desa Adat agar dapat berfungsi mengembangkan kesejahteraan dan identitas sosial

budaya lokal. Desa Adat memiliki hak asal usul yang lebih dominan daripada hak asal

usul desa sejak Desa Adat itu lahir sebagai komunitas asli yang ada di tengah

masyarakat.

Desa adat adalah sebuah kesatuan masyarakat hukum adat yang secara historis

mempunyai batas wilayah dan identitas budaya yang terbentuk atas dasar territorial

yang berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat Desa berdasarkan

hak asal usul. Pada dasarnya kesatuan masyarakat hukum adat terbentuk berdasarkan

tiga prinsip dasar, yaitu genealogis, territorial, dan/atau gabungan geneologis dengan

territorial. Yang diatur dalam Undang-Undang ini adalah kesatuan masyarakat hukum

adat yang merupakan gabungan antara genelogis dan territorial. Dalam kaitan itu,

Negara mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak

tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan

prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Implementasi dari kesatuan masyarakat

hukum adat tersebut telah ada dan hidup di wilayah Negara Kesatuan Republik

Indonesia, seperti huta/nagori di Sumatera Utara, gampong di Aceh, nagari di

Minangkabau, marga di Sumatera bagian selatan, tiuh atau pekon di Lampung, desa

Page 25: BAB II PEMBAHASAN A. Otonomi Daerah Dalam Rangka ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8358/3/T1_312010042_BAB II.pdfperkembangannya, konsepsi otonomi daerah selain mengandung

pakraman/desa adat di Bali, lembang di Toraja, banua dan wanua di Kalimantan, dan

negeri di Maluku.44

Secara yuridis normatif, desa telah diberikan (lebih tepatnya “diakui”)

kewenangan-kewenangan tradisionalnya menurut pasal 18B ayat (2) Undang-Undang

Dasar 1945, yang menegaskan:

Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum

adat beserta hak-hak tradisioanl sepanjang masih hidup dan sesuai dengan

perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik

Indonesia yang diatur dalam undang-undang.

Jadi, menurut UUD 1945 pengakuan terhadap kesatuan masyarakat hukum

adat (termasuk di dalamnya “desa”) beserta hak-hak tradisioanalnya harus didasarkan

pada prinsip: “tetap dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia”.

Ketentuan tersebut oleh Jimly Asshiddiqie45 dikomentari bahwa pengakuan ini

diberikan Negara:

a. Kepada eksistensi suatu masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisioanal

yang dimilikinya;

b. Eksistensi yang diakui adalah eksistensi kesatuan-kesatuan masyarakat

hukum adat. Artinya, pengakuan diberikan kepada satu persatu dari kesatuan-

kesatuan tersebut, sehingga masyarakat hukum adat itu haruslah bersifat

tertentu;

c. Masyarakat hukum adat itu memang hidup (masih hidup);

d. Dalam lingkungan (lebensraum) yang tertentu pula;

44Desa dan Desa adat, Penjelasan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 Tentang

Desa. 45 Jimly Asshiddiqie, Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan Keempat. Depok, Pusat Studi

Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2002, hal. 24.

Page 26: BAB II PEMBAHASAN A. Otonomi Daerah Dalam Rangka ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8358/3/T1_312010042_BAB II.pdfperkembangannya, konsepsi otonomi daerah selain mengandung

e. Pengakuan dan penghormatan itu diberikan tanpa mengabaikan ukuran

kelayakan bagi kemanusiaan sesuai dengan tingkat perkembangan peradaban

bangsa;

f. Pengakuan dan penghormatan tidak boleh mengurangi makna Indonesia

sebagai satu Negara yang berbentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Norma pasal 18B ayat (2) UUD 1945 harus dipahami sebagai prinsip

mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum beserta hak-hak

tradisionalnya. Maksud dari “masyarakat hukum adat” adalah masyarakat hukum

(rechts-gemeenschap) yang berdasarkan hukum adat atau adat istiadat, seperti desa,

marga, nagari, gampong, kampong, meunasah, huta, negorij, dan lain-lain. Masyarakat

hukum adalah kesatuan masyarakat yang bersifat territorial dan genealogis, memiliki

kekayaan sendiri, memiliki warga yang dapat dibedakan dengan warga masyarakat

hukum lain dan dapat bertindak ke dalam dan ke luar sebagai satu kesatuan hukum

(subjek hukum) yang mandiri dan memerintah diri mereka sendiri. Kesatuan-kesatuan

masyarakat hukum ini tidak hanya diakui tetapi juga dihormati, artinya mempunyai hak

hidup yang sederajat dan sama pentingnya dengan kesatuan pemerintahan lain, seperti

kabupaten dan kota.46

Eksistensi desa dan kewenangan aslinya ini juga sebenarya harus dijadikan

sebagai salah satu klasifikasi hak-hak asasi manusia (human rights) yang diakui di

Indonesia, yakni hak untuk mempertahankan identitas tradisional dan hak masyarakat

tradisional. Sebagaimana yang tertuang dalam pasal 28I ayat (2) 1945:

Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan

perkembangan zaman dan peradaban.

46Ni’matul Huda, Otonomi Daerah; Filosofi, Sejarah Perkembangan dan Problematika. Yogyakarta,

Pustaka Pelajar, 2005, hal. 21-22.

Page 27: BAB II PEMBAHASAN A. Otonomi Daerah Dalam Rangka ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8358/3/T1_312010042_BAB II.pdfperkembangannya, konsepsi otonomi daerah selain mengandung

Hak-hak masyarakat tradisional atas identitas budayanya harus tetap

dipertahankan sebagai upaya perlakuan sebagai manusia yang bersifat kodrati (lex

naturalis).47 Hal ini penting dalam rangka menghindari eksploitasi manusia lainnya

(exploitation de I’homme pas I’homme) akibat dari manusia telah menjadi serigala pagi

manusia lain (homo homini lupus).

Kewenangan yang sudah ada berdasarkan hak asal usul desa yang juga sudah

diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan lain adalah hak ulayat sebagai salah

satu contoh. Pada pasal 3 UUPA ditegaskan bahwa:

Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan

hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat

hukum adat, sepanjang menurut kenyataan masih ada, harus sedemikian

rupa sehingga sesuai dengan kepentinga nasional dan Negara yang

berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan

undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.

Norma yang terkandung dalam pasal ini menunjukkan adanya jaminan hukum

ketatanegaraan terhadap hak-hak tradisioanal desa berikut masyarakatnya, yakni

melindungi ataupun memfasilitasi berbagai kepentingannya, terutama yang

berhubungan dengan hak-hak masyarakat adat, termasuk didalamnya perlindungan

terhadap esensi hak ulayat masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup (living law).

Jaminan ini memang tidak dapat dilepaskan dari hak-hak sosial budaya masyarakat

tradisional sebagai bagian dari hak asasi manusia (human rights).48

47Bandingkan: Frans Magnis-Suseno, Hak-Hak Asasi Manusia dalam Konteks Sosio-Kultural dan Religi

di Indonesia, dalam: Komisi Nasioanal Hak Asasi Manusia, Hak Asasi Manusia dalam Prespektif Budaya

Indonesia. Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 1997, hal. 61. 48 Ateng Syafrudin & Suprin Na’a, Republik Desa Pergulatan Hukum Tradisional dan Hukum Modern

dalam Desain Otonomi Desa. Bandung, PT Alumni, 2010, hal. 47-48.

Page 28: BAB II PEMBAHASAN A. Otonomi Daerah Dalam Rangka ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8358/3/T1_312010042_BAB II.pdfperkembangannya, konsepsi otonomi daerah selain mengandung

b. Pemilihan Kepala Desa

Pemerintahan Desa secara yuridis (hukum positif, ius constitutum) terdiri atas

Kepala desa (Kades) dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD).49 Kedua institusi

pemerintahan desa ini secara bersama-sama dalam melakukan tugas dan kewenangan50;

1) Menetapkan peraturan desa (Perdes);

2) Menetapkan anggaran pendapatan dan belanja desa (APBDes);

3) Menyusun perencanaan pembangunan desa;

4) Ikut serta membangun kawasan perdesaan;

5) Ikut serta dalam kebijakan kerjasama antar desa yang sifatnya membebani

masyarakat desa;

6) Mengubah status desa menjadi kelurahan;

7) BPD berwenang melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan perdes dan

peraturan kepala desa (Perkades);

8) BPD berwenang mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian Kades.

BPD berkedudukan sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan desa. BPD

berfungsi menetapkan peraturan desa bersama Kepala desa, serta menampung dan

menyalurkan aspirasi masyarakat.51

49 Menurut Pasal 1 butir 8 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa ditegaskan bahwa:

Badan Permusyawaratan Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disingkat BPD, adalah lembaga

yang merupakan perwujudan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan desa sebagai unsure

penyelenggara pemerintahan desa. 50 Ateng Syafrudin & Suprin Na’a, Republik Desa…, Op.cit, hal. 48. 51 Pasal 29 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa

Page 29: BAB II PEMBAHASAN A. Otonomi Daerah Dalam Rangka ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8358/3/T1_312010042_BAB II.pdfperkembangannya, konsepsi otonomi daerah selain mengandung

Dalam pemilihan kepala desa, BPD bertanggungjawab dalam memproses

pemilihan kepala desa, paling lama 4 (empat) bulan sebelum berakhirnya masa jabatan

kepala desa.52

Calon kepala desa adalah penduduk warga Negara Republik Indonesia yang

memenuhi persyaratan53:

a. Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;

b. Setia kepada Pancasila sebagai dasar Negara, Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945, dan kepada Negara Kesatuan Republik

Indonesia, serta Pemerintah;

c. Berpendidikan paling rendah taman Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama dan/atau

sederajat;

d. Berusia paling rendah 25 (dua puluh lima) tahun;

e. Bersedia dicalonkan menjadi kepala desa;

f. Penduduk desa setempat;

g. Tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana kejahatan dengan

hukuman paling singkat 5 (lima) tahun;

h. Tidak dicabut hak pilihnya sesuai dengan keputusan pengadilan yang mempunyai

kekuatan hukum tetap;

i. Belum pernah menjabat sebagai kepala desa paling lama 10 (sepuluh) tahun atau

dua kali masa jabatan;

j. Memenuhi syarat lain yang diatur dalam peraturan daerah kabupaten/kota.

52 Pasal 43 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa 53 Pasal 44 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa

Page 30: BAB II PEMBAHASAN A. Otonomi Daerah Dalam Rangka ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8358/3/T1_312010042_BAB II.pdfperkembangannya, konsepsi otonomi daerah selain mengandung

Kepala desa dipilih secara langsung oleh penduduk desa warga Negara

Indonesia yang telah berumur sekurang-kurangnya 17 (tujuh belas) tahun atau

telah/pernah kawin. Pemelihan kepala desa bersifat langsung, umum, bebas, rahasia,

jujur dan adil. Pemilihan kepala desa dilaksanakan melalui tahap pencalonan dan tahap

pemilihan.54Kepala desa terpilih dilantik oleh Bupati/Walikota paling lama 15 (lima

belas) hari terhitung tanggal penerbitan keputusan Bupati/walikota. Masa jabatan kepala

desa adalah 6 (enam) tahun terhitung sejak tanggal pelantikan dan dapat dipilih kembali

hanya untuk satu kali masa jabatan berikutnya.55

Kepala desa berhenti berhenti, karena 56:

a) Meninggal dunia

b) Permintaan sendiri

c) Diberhentikan.

d) Kepala desa diberhentikan karena57 :

Berakhir masa jabatannya dan telah dilantik pejabat yang baru;

Tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau

berhalangan tetap secara berturut-turut selama 6 (enam) bulan

Tidak lagi memenuhi syarat sebagai kepala desa;

Dinyatakan melanggar sumpah/janji jabatan

Tidak melaksanakan kewajiban kepala desa

Melanggar larangan bagi kepala desa.

54 Pasal 46 ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa 55 Pasal 51 ayat (1) dan Pasal 52 ) Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa 56 Pasal 17 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa 57 Pasal 17 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa

Page 31: BAB II PEMBAHASAN A. Otonomi Daerah Dalam Rangka ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8358/3/T1_312010042_BAB II.pdfperkembangannya, konsepsi otonomi daerah selain mengandung

B. Hasil Penelitian

Secara Hukum Kabupaten Maluku Tengah adalah salah satu Kabupaten di

Provinsi Maluku yang dibentuk dengan Peraturan Pemerintah Nomor : 35 Tahun 195258

tentang Pembubaran Daerah Maluku Sealatan dan Pembentukan Daerah Maluku Tengah

dan Maluku Tenggara jo Undang-Undang Nomor 60 Tahun 1958 tentang Pembentukan

Daerah Swantantra Tingkat II se Maluku jo Peraturan Pemerintah No. 13 Tahun 1979

tentang Perubahan Batas Wilayah Kotamadya Daerah Tingkat II Ambon.

Berdasarkan Pasal 2 ayat (4) Peraturan Pemerintah No.38 Tahun 2007 tentang

Pembagian Urusan Pemerintahan, berkaitan dengan bidang urusan yakni :

a.pendidikan;

b.kesehatan;

c.pekerjaan umum;

d.perumahan;

e.penataan ruang;

f.perencanaan pembangunan;

g.perhubungan;

h. lingkungan hidup;

i.pertanahan;

j.kependudukan dan catatan sipil;

k.pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak;

l.keluarga berencana dan keluarga sejahtera;

m.sosial;

n.ketenagakerjaan dan ketransmigrasian;

o.koperasi dan usaha kecil dan menengah;

p.penanaman modal;

q.kebudayaan dan pariwisata;

r.kepemudaan dan olah raga;

s.kesatuan bangsa dan politik dalam negeri;

t.otonomi daerah, pemerintahan umum, administrasi

keuangan daerah, perangkat daerah, kepegawaian,

dan persandian;

u.pemberdayaan masyarakat dan desa;

v.statistik;

w. kearsipan;

x. perpustakaan;

58 Lembaran Negara Republik Indonesia No. 49 Tahun 1952

Page 32: BAB II PEMBAHASAN A. Otonomi Daerah Dalam Rangka ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8358/3/T1_312010042_BAB II.pdfperkembangannya, konsepsi otonomi daerah selain mengandung

y.komunikasi dan informatika;

z.pertanian dan ketahanan pangan;

aa. kehutanan;

bb. energi dan sumber daya mineral;

cc. kelautan dan perikanan;

Pasal 2 ayat (4) huruf t dan huruf u mencakup bidang otonomi daerah,

pemerintahan umum, administrasi keuangan daerah, perangkat daerah, kepegawaian, dan

persandian; pemberdayaan masyarakat dan desa yang kemudian selanjutnya diatur pada

Pasal 16 dan Pasal 17 Peraturan Pemerintah No 38 Tahun 2007 berkaitan dengan

penyelenggaraan Pemerintahan yang berbunyi :

Pasal 16

(1) Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan

Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), Pemerintah dapat:

a.menyelenggarakan sendiri;

b.melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada kepala instansi vertikal

atau kepada gubernur selaku wakil pemerintah di daerah dalam rangka

dekonsentrasi; atau

c.menugaskan sebagian urusan pemerintahan tersebut kepada pemerintahan

daerah dan/atau pemerintahan desa berdasarkan asas tugas pembantuan.

(2) Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 2 ayat (4), Pemerintah dapat:

a.menyelenggarakan sendiri;

b.melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada gubernur selaku wakil

pemerintah dalam rangka dekonsentrasi; atau

c.menugaskan sebagian urusan pemerintahan tersebut kepada pemerintahan

daerah dan/atau pemerintahan desa berdasarkan asas tugas pembantuan.

(3)Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan daerah yang berdasarkan kriteria

pembagian urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, pemerintahan

daerah provinsi dapat:

a. menyelenggarakan sendiri; atau

b. menugaskan sebagian urusan pemerintahan tersebut

kepada pemerintahan daerah kabupaten/kota dan/atau pemerintahan desa

berdasarkan asas tugas pembantuan

(4) Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan daerah yang berdasarkan kriteria

pembagian urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, pemerintahan

daerah kabupaten/kota dapat:

a. menyelenggarakan sendiri; atau

b. menugaskan dan/atau menyerahkan sebagian urusan pemerintahan tersebut

kepada pemerintahan desa berdasarkan asas tugas pembantuan.

Page 33: BAB II PEMBAHASAN A. Otonomi Daerah Dalam Rangka ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8358/3/T1_312010042_BAB II.pdfperkembangannya, konsepsi otonomi daerah selain mengandung

Pasal 17

(1) Urusan pemerintahan selain yang dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) yang

penyelenggaraannya oleh Pemerintah ditugaskan penyelenggaraannya kepada

pemerintahan daerah berdasarkan asas tugas pembantuan, secara bertahap dapat

diserahkan untuk menjadi urusan pemerintahan daerah yang bersangkutan apabila

pemerintahan daerah telah menunjukkan kemampuan untuk memenuhi norma,

standar, prosedur, dan kriteria yang dipersyaratkan.

(2) Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan provinsi yang penyelenggaraannya

ditugaskan kepada pemerintahan daerah kabupaten/kota berdasarkan asas tugas

pembantuan, secara bertahap dapat diserahkan untuk menjadi urusan pemerintahan

kabupaten/kota yang bersangkutan apabila pemerintahan daerah kabupaten/kota telah

menunjukkan kemampuan untuk memenuhi norma, standar, prosedur, dan kriteria

yang dipersyaratkan.

(3) Penyerahan urusan pemerintahan sebagaimana diatur pada ayat (1) dan ayat (2)

disertai dengan perangkat daerah, pembiayaan, dan sarana atau prasarana yang

diperlukan.

(4) Penyerahan urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)

diprioritaskan bagi urusan pemerintahan yang berdampak lokal dan/atau lebih

berhasilguna serta berdayaguna apabila penyelenggaraannya diserahkan kepada

pemerintahan daerah yang bersangkutan.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyerahan urusan sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan peraturan presiden.

Berdasarkan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 yang membuka ruang bagi

daerah otonom berhak, berwenang, dan sekaligus berkewajiban mengatur dan mengurus

sendiri urusan pemerintahan dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan

masyarakat, untuk mencapai hasil yang maksimal, pemerintahan daerah selaku

penyelenggara urusan pemerintahan harus dapat memproses dan melaksanakan hak dan

kewajiban berdasarkan asas-asas kepemerintahan yang baik (Good Governance) sesuai

dengan asas umum penyelenggaraan negara sebagaimana dimaksud dalam undang-

undang tersebut. Daerah otonom mempunyai kewenangan untuk mengatur dan mengurus

kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi

Page 34: BAB II PEMBAHASAN A. Otonomi Daerah Dalam Rangka ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8358/3/T1_312010042_BAB II.pdfperkembangannya, konsepsi otonomi daerah selain mengandung

masyarakat. Dengan demikian akan memberikan kesempatan kepada daerah dan

masyarakat untuk turut serta dalam proses pencapaian Negara.

Salah satu wewenang yang timbul dari adanya daerah otonom yaitu wewenang

untuk membuat dan membentuk suatu peraturan dimana peraturan itu yang akan menjadi

sebuah instrumen hukum untuk menjalankan kepemerintahan daerah. Peraturan daerah

(Perda) adalah satu kebijakan penting dalam mewujudkan Good Government. Salah satu

Perda yang dibuat oleh pemerintah Maluku Tengah adalah Peraturan Daerah No. 1 Tahun

2006 Tentang Negeri yang kemudian akan menjadi fokus penulis dalam skripsi ini.

1. Pemerintahan Negeri

Sejak menjadi Daerah otonomi, Maluku Tengah merupakan salah satu

daerah di Indonesia dengan system pemerintahan adat yang tak jauh berbeda dengan

daerah lain. Selain itu juga pemerintahan adat di sini juga memiliki keunikan

keaneka-ragamannya masing-masing. Penyelenggaraan pemerintahan adat disini

berdasar pada peraturan daerah yang ditetapkan oleh pemerintah daerah setempat.

Secara administratif pemerintahan yang dilaksanakan pada tingkat negeri terbagi

menjadi 3 bagian yakni : kelurahan, pemerintahan administratif dan pemerintahan

adat. Pemerintahan adat merupakan bentuk pemerintahan yang dijalankan berdasar

pada hukum adat yang berlaku di negeri tersebut.

Dalam pemerintahan adat yang dijalankan saat ini, menurut Coleey dibentuk

oleh pemerintah colonial Belanda yang juga memanfaatkan pemerintahan tradisional

tingkat desa atau negeri saat itu. Pemerintahan tersebut berdiri secara otonom yang

dipimpin langsung oleh seorang pemimpin. Pemimpin tersebut terbagi ke dalam tiga

Page 35: BAB II PEMBAHASAN A. Otonomi Daerah Dalam Rangka ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8358/3/T1_312010042_BAB II.pdfperkembangannya, konsepsi otonomi daerah selain mengandung

kategori atau kepangkatan dengan jabatan raja sebagai yang tertinggi.59 Ketiga Gelar

tersebut adalah Raja, Patih dan“orang kaya” sementara istilah lain dari raja adalah

Latu yang masih terpelihara dalam gelar yang digunakan dalam upacara-upacara.

Kepada setiap raja (kepala desa) patih dan orang kaya (ongka), pemerintah Kolonial

Belanda memberikan hadiah sebuah “Kepala rotan perak” sebagai lambing

pengukuhan formal dan kekuasaan politik mereka. Kepala desa atau raja biasanya

merupakan kaum Bangsawan desa atau negeri tersebut, dan pewarisan takhtanya

diwariskan secara turun-temurun oleh Putra Sulung yang disetujui oleh dewan atau

dewan Sanir60i.

Saat ini di Maluku Tengah sistim pemerintahan Negeri telah dihidupkan

kembali setelah sekian lama “mati”. Pemerintahan tingkat desa atau negeri tersebut

dijalankan berdasar pada regulasi pemerintahan yang telah ditetapkan mulai dari

pusat hingga daerah. Salah satu aturan dalam penataan pemerintahan yaitu Peraturan

Daerah (Perda) Maluku Tengah Tahun 2006 tentang Pemerintah Negeri. Peraturan

daerah tersebut terdiri dari 16 bagian penting yang mengatur tentang tata aturan

pemerintahan negeri di Kabupaten Maluku Tengah. Dan yang terpenting adalah

Peraturan daerah No. 1 Tahun 2006 tentang negeri, dimana pada Perda inilah yang

menjadi “Umbrella Provision” (ketentuan payung) dalam melahirkan berbagai

kebijakan regulasi pada tataran tata hukum local yang diharapkan mampu

59, Frank L Cooley, Altar and Throne in central moluccan Society, (ter), Tim Satya Karya, Mimbar dan

Takhta, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1961, hal. 225 60 Pewarisan Takhta Raja ini biasanya hanya berasal dari Matarumah keturunan, namun dalam

perkembangannya ada juga terdapat dua Matarumah saat masa penjajahan Belanda, matarumah itu diangkat oleh

pemerintah Kolonial untuk memimpin Negeri. Ibid…, Hal. 226.

Page 36: BAB II PEMBAHASAN A. Otonomi Daerah Dalam Rangka ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8358/3/T1_312010042_BAB II.pdfperkembangannya, konsepsi otonomi daerah selain mengandung

menjadikan wilayah Kabupaten Maluku Tengah akan berkembang, lebih maju sesuai

dengan ciri dan karakteristik daerahnya.61

2. Pemerintahan Negeri dalam Peraturan Daerah No. 1 Tahun 2006

Peraturan daerah (Perda) dibentuk dalam rangka penyelenggaraan otonomi

Provinsi/ Kabupaten/ Kota dan tugas pembantuan.62 Perda merupakan penjabaran

lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dengan

memperhatikan ciri khas masing-masing daerah. Perda tidak boleh bertentangan

dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi

(sebagaimana dimaksud dalam pasal 136 ayat (2) dan pasal 146 Undang-Undang No.

32 tahun 2004).63

Menurut Yulius Ferdinandus64 Perda ini dibentuk berdasarkan mandat

Undang-undang No. 22 tahun 1999. Undang-undang ini berisi tentang pemerintah

daerah, termuat pengaturan mengenai Desa yang telah ditegaskan sebagai suatu

kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai susunan asli mengenai asal-usulnya,

dengan demikian dalam undang-undang ini telah menetapkan keaneka-ragaman pada

posisi yang tepat untuk mengembangkan demokratisasi, pertisipasi, dan

pemberdayaan masyarakat.65 Berangkat dari hal tersebut, barulah dibentuk tim dalam

menyusun Peraturan daerah tentang pemerintahan Negeri. Setelah itu dipertegas

61 Lembar Peraturan Daerah Kabupaten Maluku Tengah Nomor 01 Tahun 2006 62 Pipin Syarifin & Dedah Jubaedah, Pemerintahan Daerah di Indonesia, dilengkapi dengan Undang-undang

No. 32 Tahun 2004, Bandung, Pustaka Setia, 2006, hal. 138. 63 ibid 64Yulius Ferdinandus Merupakan Asisten I Sekretaris daerah Kabupaten Maluku Tengah yang menjabat

dari tahun 2002-2007, pada saat itu terlibat langsung dalam perumusan dan penyusunan Perda Tersebut. 65 Inilah merupakan penjelasan Ferdinandus yang tertuang dalam: Pengaturan Desa dan Kelurahan

Berdasarkan Undang-undang No. 22 tahun 1999, Jakarta, Direktirat Jenderal Pemerintah Umum dan Otonomi

Daerah Departemen Dalam Negeri, 1999.

Page 37: BAB II PEMBAHASAN A. Otonomi Daerah Dalam Rangka ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8358/3/T1_312010042_BAB II.pdfperkembangannya, konsepsi otonomi daerah selain mengandung

dengan adanya Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Selanjutnya dalam penjelasan yang tertuang dalam Lembaran peraturan daerah

Kabupaten Maluku Tengah tentang Negeri adalah dengan berlakunya undang-undang

tersebut, dan juga peraturan pemerintah (PP) No. 32 tahun 2005 dan Peraturan

Daerah Provinsi Maluku No. 14 Tahun 2005 tentang Penetapan Kembali Negeri

Sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Dalam Wilayah Pemerintahan Provinsi

Maluku, kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta perangkat pemerintahan

adat di Kabupaten Maluku Tengah diharapkan dapat memperoleh legalitas hukum

melalui kebijakan regulasi di bidang perundang-undangan local dengan berbagai

penyesuaian berdasarkan ketentuan hukum positif yang dapat membantu kelancaran

penyelenggaraan pemerintah daerah di Kabupaten Maluku Tengah. Dengan demikian

revatalisasi kesatuan masyarakat hukum adat, baik secara structural maupun

fungsional dimaksudkan untuk dapat memacu partisipasi masyarakat di Maluku

Tengah dalam mempercepat proses pembangunan dan pertumbuhan ekonomi

daerah.66

Secara hukum setiap Perda harus berdasar pada pasal 7 ayat 1 Undang-

Undang No. 10 tahun 2004 yang mengatur tentang hierarki peraturan perundang-

undangan di Negara Kesaturan Republik Indonesia (NKRI). Berangkat dari hal

tersebut Perda ini dibuat berdasar pada ketentuan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal

18 ayat 6:

“Pemerintahan daerah berhak mentapkan peraturan daerah dan peraturan

peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan”

dan Pasal 18 B ayat (1) dan (2) :

66 Lembaran Peraturan Daerah Kabupaten Maluku Tengah No. 1 tahun 2006.

Page 38: BAB II PEMBAHASAN A. Otonomi Daerah Dalam Rangka ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8358/3/T1_312010042_BAB II.pdfperkembangannya, konsepsi otonomi daerah selain mengandung

1. Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang

bersifat khusus dan bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.

2. Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum

adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan

perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia,

yang diatur dalam undang-undang.

Kemudian Undang-undang 32 tahun 2004 (tentang Pemerintahan Daerah),

kemudian Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2005 (tentang Desa), Peraturan

Pemerintah No. 73 Tahun 2005 (tentang Kelurahan) dan Peraturan Daerah Provinsi

Maluku No. 14 Tahun 2005. Dalam kerangka inilah yang kemudian menjadi dasar

untuk pembentukan Peraturan Daerah No. 1 Tahun 2006 tentang Pemerintah

Negeri.67

Peraturan daerah No. 1 Tahun 2006 tentang pemerintahan Negeri adalah

objek kajian penulis dalam penulisan skripsi ini. Kajian penulis adalah pasal-pasal

yang berhubungan dengan sistim Pemerintah Negeri terutama dalam hal pengisian

jabatan kepala Negeri. Pemerintahan Negeri disini adalah negeri-negeri yang

memiliki hak ulayat adat, sehingga dengan Perda ini membuka ruang bagi negeri-

negeri tersebut dalam menjalankan roda pemerintahan negeri yang sesuai dengan

hukum adat yang berlaku di negeri-negeri adat dalam hal pengisian jabatan kepala

negeri.68

Dalam Perda tersebut Pemerintahan di tingkat Negeri terbagi menjadi tiga

bagian yakni: Kelurahan, Negeri Administratif dan Negeri Adat atau Negeri. Ketiga

bentuk pemerintahan tingkat Desa ini memiliki karateristik masing-masing.

67 Deddy Enos Luturmas, Analisis Sosio-Politis Terhadap Dampak Peraturan Daerah Kabupaten Maluku

Tengah Nomor 01 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Negeri, Tesis, Universitas Kristen Satya Wacana, September

2012. 68 Lembaran., Op.cit., Hal. 104.

Page 39: BAB II PEMBAHASAN A. Otonomi Daerah Dalam Rangka ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8358/3/T1_312010042_BAB II.pdfperkembangannya, konsepsi otonomi daerah selain mengandung

Berikut ini akan dijabarkan tentang Perda No. 1 tahun 2006 tentang

pemerintahan di tingkat desa atau Negeri.

a. Kelurahan

Kelurahan merupakan wilayah pemerintahan tingkat desa yang dibentuk di

ibukota Kabupaten atau ibu kota kecamatan. Kelurahan dibentuk karena

masyarakatnya bersifat heterogen.69 Kelurahan adalah wilayah Kerja Lurah

sebagai perangkat daerah Kabupaten dan diisi oleh Lurah dan Perangkatnya dari

Pegawai Negeri sipil (PNS) sebagaimana termuat dalam pasal 1 ayat (13) dan

(14).70 Di Maluku Tengah sendiri terdapat enam kelurahan, lima di wilayah

kecamatan Kota Masohi dan satu di kecamatan Amahai.

b. Negeri Administratif

Negeri Administratif adalah Kesatuan Masyarakat Hukum diluar Negeri

Genologis. Negeri administratif terdiri dari desa-desa yang sebelumnya dibentuk

karena program Transmigrasi atau dengan kata lain yang penduduknya heterogen

atau plural, yang memiliki wewenang melaksanakan urusan pemerintahan desa

sebagaimana diatur dalam perundang-undangan yang berlaku. Di Maluku Tengah

jumlah negeri administratif adalah 47 negeri administratif. Kepala Pemerintah

Negeri administratif adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh

pemerintah Negeri dan badan Permusyawaratan negeri (BPN)71 dalam mengatur

69 Lembaran Peraturan Daerah Kabupaten Maluku Tengah No. 1 tahun 2006. 70 Ibid., hal 4,8. 71Badan Permusyawaratan Negeri adalah Lembaga yang merupakan Perwujudan demokrasi dalam

penyelenggaraan Pemerintahan yang dibentuk ditingkat pemerintahan Negeri administratif dan merupakan unsur

penyelenggara pemerintahan Negeri administratif.

Page 40: BAB II PEMBAHASAN A. Otonomi Daerah Dalam Rangka ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8358/3/T1_312010042_BAB II.pdfperkembangannya, konsepsi otonomi daerah selain mengandung

dan mengurus kepentingan masyarakat setempat sesuai ketentuan perundang-

undangan yang berlaku, dan diakui dan dihormati dalam sistim Pemerintahan

NKRI.

Kepala Pemerintah Negeri administratif diangkat secara demokrasi. Dalam

pemerintahan di negeri administratif karena bentuk pemerintahnya bersifat

demokratis, oleh karena itu dalam pencalonan untuk kepala pemerintah, seluruh

masyarakat dimungkinkan dalam pencalonan asalkan memenuhi kriteria-kriteria

yang telah diatur dalam peraturan daerah. Disini terlihat bahwa seluruh

masyarakat memiliki hak yang sama dihadapan hukum. Selanjutnya kepala

pemerintah negeri administrative mengemban masa Jabatan maksimal selama 2

periode atau (12 Tahun), sebagaimana terdapat dalam ketentuan pasal 7 ayat 2 :

Masa Jabatan Kepala Pemerintah Negeri Administratif

adalah enam tahun dan dapat dicalonkan/dipilih kembali

untuk satu masa jabatan berikutnya.

Selain masa jabatan, kriteria lain pun harus dipenuhi antara lain memiliki

umur antara 25-60 tahun dan tingkat pendidikan minimal Sekolah Menengah

Pertama (SMP) dan berkelakuan “baik”. Pemerintah Negeri administratif tidak

memiliki wewenang dalam menjalankan fungsi adat-istiadat di negeri tersebut

hanya sebagai pendukung dalam penyelenggaraan adat. Kebanyakan negeri

administratif diperuntukan bagi negeri-negeri yang tidak memiliki hak ulayat adat

seperti negeri transmigrasi local maupun negeri transmigrasi nasional.

c. Negeri

Page 41: BAB II PEMBAHASAN A. Otonomi Daerah Dalam Rangka ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8358/3/T1_312010042_BAB II.pdfperkembangannya, konsepsi otonomi daerah selain mengandung

Negeri dalam penjelasan Perda ini adalah kesatuan Masyarakat Hukum

adat yang terikat karena hubungan geneologis (hubungan darah) dan territorial

(wilayah), yang memiliki batas-batas yuridiksi, dan berfungsi mengatur dan

mengurus kepentingan masyarakat berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat

setempat sebagai wujud dari kewenangan berdasarkan otonomi asli/otonomi

bawaan serta kewenangan pemerintahan dalam bentuk urusan pembantuan yang

diserarkan oleh pemerintah Provinsi dan atau pemerintah kabupaten, maupun

urusan yang diberikan maupun tidak dilaksanakan oleh kabupaten serta urusan

yang diberikan berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.72 Ini

artinya Negeri adat memiliki hak otonom sesuai ketentuan adat yang berlaku di

Negeri tersebut, namun tidak boleh bertentangan dengan aturan-aturan yang lebih

tinggi.

Pada dasarnya negeri-negeri “asli” di kabupaten Maluku Tengah memiliki

hak ulayat adat. Negeri yang memiliki hak ulayat adat disebut sebagai Negeri.

Negeri atau Negeri adat dipimpin oleh seorang raja.73

Raja diangkat berdasarkan Hukum adat yang berlaku di negeri masing-

masing sesuai dengan ketentuan pasal 3:

1. Negeri dipimpin oleh seorang kepala Pemerintah Negeri dengan Gelar

Raja atau disebut dengan nama lain sesuai adat-istiadat, Hukum adat,

dan budaya setempat.

2. Jabatan Kepala pemerintah Negeri merupakan Hak dari

Matarumah/keturunan tertentu berdasarkan garis keturunan lurus dan

72 Lembaran Peraturan Daerah Kabupaten Maluku Tengah No. 1 tahun 2006. 32-33. 73 Raja atau yang disebut dengan nama lain yaitu Patti, Latu, Ongka, Dll, adalah Gelar kepala kesatuan

masyarakat Hukum adat dan Pemerintahan yang memimpin Negeri.

Page 42: BAB II PEMBAHASAN A. Otonomi Daerah Dalam Rangka ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8358/3/T1_312010042_BAB II.pdfperkembangannya, konsepsi otonomi daerah selain mengandung

tidak dapat dialihkan kepada pihak lain, kecuali dalam hal-hal khusus

yang ditetapkan berdasarkan hasil musyawarah matarumah/keturunan

yang berhak bersama saniri negeri.

Ini artinya raja yang kemudian diangkat hanya berasal dari

matarumah/keturunan tertentu yang berhak memimpin Negeri. Sistim ini adalah

bentuk pemerintahan berdasar pada garis keturunan tertentu atau bersifat

Monarki74. Untuk memahami bagaimana proses pengangkatan Raja Negeri

haruslah dilihat dulu matarumah/keturunan yang berasal dari matarumah Prenta.

Matarumah Prentah adalah matarumah yang secara Hukum adat memiliki

Legitimasi dalam memerintah Negeri. Setiap negeri di Maluku Tengah memiliki

satu matarumah prentah. Artinya setiap orang (laki-laki) dari matarumah Prentah

yang berhak menduduki raja kalau ada lebih dari satu, maka diadakan pemilihan

yang calonnya hanya dari matarumah ini. Berbeda dengan Negeri administrasi,

Raja memiliki periode yang tak terbatas dalam arti setiap periode (6 tahun) akan

diadakan musyawarah Matarumah/keturunan dalam penentuan kelanjutan dari

masa periode pemerintahan raja tersebut atau juga dapat dialihkan kepada

keturunannya yang masih dalam matarumah/keturunan yang sama. Untuk

memahami bagaimana proses pengangkatan Raja Negeri haruslah dilahat dulu

matarumah/keturunan yang berasal dari matarumah Prenta. Matarumah Prentah

adalah matarumah yang secara Hukum adat memiliki Legitimasi dalam

memerintah Negeri. Setiap negeri di Maluku Tengah memiliki satu matarumah

74 Monarki, berasal dari bahasa Yunani monos (μονος) yang berarti satu, dan archein (αρχειν) yang berarti

pemerintah. Monarki merupakan sejenis pemerintahan yang dipimpin oleh seorang penguasa monarki. Monarki atau

sistem pemerintahan kerajaan adalah sistem tertua di dunia. Jabatan penguasa monarki dijabat secara turun temurun.

Cangkupan wilayah seorang penguasa monarki dari wilayah yang kecil misalnya desa adat (negeri) di Maluku.

http://id.wikipedia.org/wiki/Monarki, dikunjungi pada tanggal 4 agustus 2014 pukul 16.00.

Page 43: BAB II PEMBAHASAN A. Otonomi Daerah Dalam Rangka ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8358/3/T1_312010042_BAB II.pdfperkembangannya, konsepsi otonomi daerah selain mengandung

prentah. Artinya setiap orang (laki-laki) dari matarumah Prentah yang berhak

menduduki raja. Kalau ada lebih dari satu, maka diadakan pemilihan yang

calonnya hanya dari matarumah ini.75 Selain itu berbeda dengan negeri

administratif, kriteria pencalonan seperti umur dan pendidikan dalam Perda

dikesampingkan. Alasannya karena dalam hukum adat tidak ada kriteria tersebut

dan negeri adat bersifat otonom.

Di sisi lain jika di negeri administratif kriteria yang diperuntuhkan bagi

calon pemimpin diantaranya pendidikan minimal SMP atau sederajat dan usia

minimal 25 tahun dan maksimal 60 tahun, di negeri adat tidak demikian. Kriteria

pendidikan dan usia dikesampingkan. Hal ini disebabkan karena beberapa alasan :

Pertama sesuai dengan adat-istiadat dan hukum adat setempat yakni kharisma

kepemimpinan adat dari kepala pemerintah Negeri ditentukan berdasarkan tanda-

tanda khusus, bukan dari pendidikan. Maka hasil musyawarah

matarumah/keturunan harus ditegaskan tanda-tanda khusus tersebut. Jadi

pendidikan seorang kepala pemerintah Negeri dikesampingkan dengan dengan

kharisma kepemimpinan adat yang memiliki tanda-tanda khusus tersebut. Kedua

demikian juga persyaratan usia dapat dikesampingkan apabila sesuai adat-istiadat

dan hukum adat berdasarkan hasil musyawarah matarumah/keturunan

menegaskan, kepala pemerintah negeri dapat berusia lebih dari 60 tahun.76

Dalam Perda ini seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, terjadi juga

berbagai perubahan-perubahan dalam bidang pemerintahan adat, diantaranya

75 Deddy Enos Luturmas, Analisis Sosio-Politis Terhadap Dampak Peraturan Daerah Kabuoaten Maluku

Tengah Nomor 1 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Negeri, Tesis, Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga,

Sepetember 2012, hal.110. 76 Penjelasan Peraturan Daerah No. 3 Tahun 2006 Tentang Tata Cara Pencalonan, Pemilihan dan Pelantikan

Pemerintah Negeri

Page 44: BAB II PEMBAHASAN A. Otonomi Daerah Dalam Rangka ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8358/3/T1_312010042_BAB II.pdfperkembangannya, konsepsi otonomi daerah selain mengandung

pemerintah adat juga merupakan pemerintah negeri, atau raja dilain sisi sebagai

kepala adat juga wewenangnya sebagai kepala pemerintah negeri, dan juga

merupakan perpanjangan tangan dari pemerintah kabupaten, pemerintah provinsi

maupun pemerintah pusat.

Sebelumnya urusan pemerintah adat tidak mendapat dana alokasi khusus

namun dalam Perda ini dana alokasi diperuntuhkan untuk urusan-urusan adat dan

juga pendapatan negeri yang dulu diperuntuhkan bagi kepala desa dan tidak

masuk dalam urusan adat, kini seluruhnya masuk dalam urusan adat. Sesuai

dengan ketentuan pasal 45 ayat 1:

Sumber pendapatan Negeri/Negeri administratif terdiri dari :

a. Pendapatan asli Negeri/Negeri administratif berasal dari :

Pendapatan yang diperoleh dari usaha Negeri/Negeri administratif.

Pendapatan yang diperoleh dari hasil kekayaan Negeri/Negeri

administratif.

Pendapatan hasil swadaya dan partisipasi masyarakat

Negeri/Negeri Administratif.

Pendapatan yang diperoleh dari pungutan Negeri/Negeri

administratif.

Pendapatan yang diperoleh dari lembaga kemasyarakatan.

b. Bantuan Pemerintah, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten yang

terdiri dari ;

Pendapatan dari hasil pajak daerah kabupaten.

Page 45: BAB II PEMBAHASAN A. Otonomi Daerah Dalam Rangka ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8358/3/T1_312010042_BAB II.pdfperkembangannya, konsepsi otonomi daerah selain mengandung

Bagian dari dana perimbangan pusat dan daerah yang diterima oleh

kabupaten

Bantuan dari pemerintah, pemerintah provinsi dan pemerintah

kabupaten dalam rangka urusan pemerintahan.

c. Hibah dan sumbangan dari pihak ketiga yang tidak mengikat.

d. Pinjaman Negeri/Negeri adminitratif.

e. Hasil kerjasama antar Negeri/Negeri administratif.

f. Lain-lain pendapatan Negeri/Negeri administratif sesuai ketentuan

perundang-undangan yang berlaku.

Dana kebupaten diberikan langsung kepada Negeri atau Negeri

administratif untuk dikelola oleh pemerintah Negeri/Negeri administratif, dengan

ketentuan 30 % digunakan untuk biaya operasional pemerintah Negeri/Negeri

administratif dan Saniri/Badan Permusyarawatan Negeri (BPN), serta 70 %

digunakan untuk pemberdayaan masyarakat. Besar kecilnya tergantung dari

jumlah penduduk dan luas wilayah suatu negeri.77

Pada sisi lain sebelumnya raja adat dan perangkat saniri tidak mendapat

gaji atau upah dari pemerintah, namun dengan adanya Perda ini Raja dan

perangkat saniri juga mendapat gaji dan tunjangan-tunjangan khusus dari

pemerintah. Seperti yang dikemukakan Raja Negeri Sfluru, tunjangan serta gaji

yang diterimanya berkisar diatas dua juta rupiah, ditambah dengan fasilitas berupa

kendaraan dinas diantaranya motor dinas. Lebih lanjut dikatakannya bahwa

penerima gaji tersebut juga bergantung dari jumlah penduduk negeri tersebut dan

pendapatan negeri tersebut. Demikian juga sekertaris negeri maupun negeri

77 Penjelasan yang tertuang dalam Lembar Perda No. 1 tahun 2006., hal. 42.

Page 46: BAB II PEMBAHASAN A. Otonomi Daerah Dalam Rangka ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8358/3/T1_312010042_BAB II.pdfperkembangannya, konsepsi otonomi daerah selain mengandung

administratif saat ini berstatus sebagi pegawai negeri sipil (PNS) yang diangkat

oleh raja dengan mendapat persetujuan dari badan saniri negeri kemudian

diusulkan kepada pemerintah kabupaten untuk selanjutnya dibuat Surat Keputusan

(SK) Bupati tentang pengangkatannya sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS). Hal

yang sama juga berlaku di negeri administratif.

Dengan adanya Perda ini masyarakat sangat antusias untuk menduduki

posisi raja. Sebelum adanya perda ini masyarakat kurang berpartisipasi dalam

menentukan posisi raja atau kepala negeri.

C. Pembahasan

Pemerintahan Kabupaten Maluku Tengah telah menerbitkan Peraturan Daerah

No. 1 tahun 2006 tentang Negeri. Peraturan Daerah tersebut tersusun berdasarkan pada

sistim Otonomi Daerah yang berlaku di Indonesia.78 Peraturan Daerah ini mengatur

tentang Kelurahan, Pemerintahan Negeri dan Negeri Administratif. Dalam Peraturan

Daerah ini termuat segala bentuk pemerintahan ditingkat Negeri dengan mengacu pada

sistim hukum adat setempat terutama dalam hal pemilihan kepala negeri.

Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) dalam Perda ini menjelaskan bahwa Negeri dipimpin

oleh seorang yang bergelar raja atau sebutan lain sesuai dengan adat-istiadat, hukum adat

dan budaya setempat. Kemudian selanjutnya diatur bahwa jabatan Kepala Pemerintah

Negeri merupakan Hak dari Matarumah/keturunan tertentu berdasarkan garis keturunan

78 Pipin Syariahfudin, S.H. M.H. dan Dra Dedah Jubaedah, M.Si., Pemerintahan Daerah diIndonesia di

lengkapi Undang-Undang No. 32 Tahun 2004, Bandung : Pustaka setia, 2006, hlm 13, 38.

Page 47: BAB II PEMBAHASAN A. Otonomi Daerah Dalam Rangka ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8358/3/T1_312010042_BAB II.pdfperkembangannya, konsepsi otonomi daerah selain mengandung

lurus dan tidak dapat dialihkan kepada pihak lain, kecuali dalam hal-hal khusus yang

ditetapkan berdasarkan hasil musyawarah Matarumah/keturunan yang berhak.79

Sistem Pemerintahan Adat di Maluku Tengah yang dilandaskan pada Peraturan

Daerah No. 1 tahun 2006 tentang Negeri, menjelaskan bahwa pemilihan dan penunjukkan

kepala Negeri biasanya berasal dari tingkat tertinggi bangsawan desa. Kedudukan

tersebut cenderung untuk diwariskan secara turun-temurun. Pada masa lampau, putra

sulung menggantikan ayahnya sebagai raja, kecuali jika ia tidak mampu.80 Jadi, hanya

orang-orang tertentu yang bisa menjadi kepala negeri yaitu seseorang yang berasal dari

keturunan bangsawan desa dan seorang laki-laki yang bisa memimpin dan menggantikan

kepala desa sebelumnya dari keturunan yang sama, seperti : Patti, seseorang yang kaya

yang pernah dikenal pada Negeri-Negeri di Maluku Tengah, maka hanya keturunan dari

Patti tersebut yang bisa menjadi Kepala Negeri.81

Adanya konsep terti exclutie Ariestoteles yang merupakan prinsip penyisihan

jalan tengah atau prinsip tidak adanya kemungkinan ketiga. Prinsip eksklusi tertii atau

dapat didefiniskan seperti ini ”sesuatu jika dinyatakan sebagai hal tertentu atau bukan hal

tertentu maka tidak ada kemungkinan ketiga yang merupakan jalan tengah”. Dengan kata

lain : “sesuatu x mestilah p atau non-p tidak ada kemungkinan ketiga”. Arti dari prinsip

ini ialah dua sifat yang berlawanan penuh (secara mutlak) tidak mungkin kedua-duanya

dimiliki oleh suatu benda, mestilah hanya salah satu yang dapat dimilikinya, sifat p atau

non-p.82

79 Pasal 3 ayat (1) dan (2) Peraturan Daerah Kabupaten Maluku Tengah Nomor 1 Tahun 2006 Tentang

Negeri

80 Frank L Cooley, Altar and Throne in central moluccan Society, (ter), Tim Satya Karya, Mimbar dan

Takhta, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 1961, hlm 225 81 Pasal 3 ayat (1) Penjelasan Perda No. 1 Tahun 2006 Kabupaten Maluku Tengah Tentang Negeri.

82 http://ilhamkons.wordpress.com/2011/12/30/penalaran

Page 48: BAB II PEMBAHASAN A. Otonomi Daerah Dalam Rangka ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8358/3/T1_312010042_BAB II.pdfperkembangannya, konsepsi otonomi daerah selain mengandung

Dengan konsep penalaran terti excluti ini maka penulis mencoba menganalisis

terdapat pertentangan dan tidak pertentengan dan tidak ada pemahaman lain dari

Peraturan Daerah Kabupaten No. 1 Tahun 2006 ini terlihat berkatian dengan

pengangkatan raja atau kepala negeri biarlah itu menjadi domainya hukum adat dengan

aturan-aturan adat yang diselenggarakan oleh pemangku adat didalam lingkungan

masyarakat adat atau negeri itu sendiri dalam hal ini khususnya di Kabupaten Maluku

Tengah walaupun disisi lain Pemerintah menganggap penting mengangkat dan

melindungi apa yang menjadi kearifan lokal atau budaya masyarkat di Kabupaten

Maluku Tengah.

1. Problematika Pengisian Jabatan Kepala Negeri Yang Diatur Didalam Peraturan

Daerah Kabupaten Maluku Tengah No 1 Tahun 2006 Tentang Negeri

a. Bertentangan Dengan Peraturan Perundang-undangan Yang Lebih Tinggi

Jika melihat materi muatan dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) yang

mengatur tentang pengisian jabatan kepala negeri ini yang isinya menyebutkan

bahwa Negeri dipimpin oleh seorang yang bergelar raja atau sebutan lain sesuai

dengan adat-istiadat, hukum adat dan budaya setempat. Kemudian selanjutnya diatur

bahwa jabatan Kepala Pemerintah Negeri merupakan Hak dari Matarumah/keturunan

tertentu berdasarkan garis keturunan lurus dan tidak dapat dialihkan kepada pihak

lain, kecuali dalam hal-hal khusus yang ditetapkan berdasarkan hasil musyawarah

Matarumah/keturunan yang berhak.83

83 Pasal 3 ayat (1) dan (2) Peraturan Daerah Kabupaten Maluku Tengah Nomor 1 Tahun 2006 Tentang

Negeri

Page 49: BAB II PEMBAHASAN A. Otonomi Daerah Dalam Rangka ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8358/3/T1_312010042_BAB II.pdfperkembangannya, konsepsi otonomi daerah selain mengandung

Dengan aturan yang seperti itu Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) yang mengatur

tentang pengisian jabatan kepala negeri ini bertentangan dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan yang berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Aturan-

aturan tersebut sebagaimana dimaksud dalam :

a. Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 mengatakan:

“Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan

pemerintahan dan wajib menjujung hukum dan pemerintahan itu dengan

tidak ada kecualinya”.

Selanjutnya pada pasal 28D ayat (3) mengatakan :

“setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam

pemerintahan”.

Dengan demikian setiap masyarakat dalam hal ini masyarakat ditiap-tiap Negeri

di Kabupaten Maluku Tengah memiliki hak yang sama untuk ikut dalam

Pemerintahan dalam hal ini dapat mencalonkan diri sebagai Kepala Negeri atau

Raja tampa harus melihat garis keturunan masyarakat tersebut.

b. Undang-undang No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

undangan. Terutama pada pasal 6 yang menjelaskan mengenai asas-asas dalam

materi muatan peraturan perundang-undangan, asas-asas tersebut adalah: a)

pengayoman; b) kemanusiaan; c) kebangsaan; d) kekeluargaan; e) kenusantaraan;

f) bhineka tunggal ika; g) keadilan; h) kesamaan kedudukan dalam hukum dan

pemerintahan; i) ketertiban dan kepastian hukum; dan atau j) keseimbangan,

keserasian dan keselarasan.

Dari asas-asas materi muatan peraturan perundang-undangan yang sudah

disebutkan diatas menurut penulis ada beberapa asas yang bertentangan dalam

Page 50: BAB II PEMBAHASAN A. Otonomi Daerah Dalam Rangka ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8358/3/T1_312010042_BAB II.pdfperkembangannya, konsepsi otonomi daerah selain mengandung

Peraturan Daerah Kabupaten Maluku Tengah Nomor 1 Tahun 2006 Tentang

Negeri terutama pada pasal 3 ayat (1) dan (2) yang menjelaskan mengenai tata

cara pilkades di Negeri atau desa. Asas-asas yang dimaksudkan penulis yaitu

keadilan dan kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan.

Asas Keadilan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan

harus mencerminkan keadilan secara proposional bagi setiap warga Negara tanpa

kecuali. Dan asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan adalah

bahwa materi muatan peraturan perundang-undangan tidak boleh berisi hal-hal

yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang antara lain agama, suku,

ras, golongan, gender atau status sosial.

c. Pasal 43 Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang HAM mengatakan:

(1) Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan

umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung,

umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan;

(2) Setiap warga negara dapat diangkat dalam setiap jabatan pemerintahan.

Berdasarkan aturan-aturan diatas maka secara langsung dapat dikatakan

bahwa masyarakat di setiap negeri di Kabupaten Maluku Tengah dapat memilih dan

dipilih untuk memimpin di Negeri atau Desa masing-masing tampa harus

terdiskriminasi oleh garis keturunan raja yang hanya diperbolehkan untuk

memimpin.

Dalam peraturan perundangan-undangan yang berlaku di Indonesia

didasarkan pada hierarki peraturan perundang-undangan sebagaimana yang diatur

dalam pasal 6 Undang-Undang No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan. Hierarki peraturan perundang-undangan sejalan dengan prinsip

Page 51: BAB II PEMBAHASAN A. Otonomi Daerah Dalam Rangka ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8358/3/T1_312010042_BAB II.pdfperkembangannya, konsepsi otonomi daerah selain mengandung

atau asas Lex Superior Derodat Legi Inferiori (hukum yang derajatnya lebih tinggi

membatalkan hukum yang derajatnya lebih rendah)84. Prinsip ini didukung dengan

adanya Stufentheorie – Hans Kelsen dan die Theorie vom Stufenordnung der

Rechtsnormen – Hans Nawisaky.

Teori yang dipopulerkan oleh Hans Kelsen yaitu Stufentheorie yang

menekankan bahwa setiap peraturan perundang-undangan adalah merupakan bagian

keseluruhan dari sistem peraturan perundang-undangan itu sendiri atau hukum

merupakan suatu sistem yang saling berhubungan dan mendukung satu sama lain85

dengan sistem berjenjang dan berlapis-lapis yang berarti bahwa norma yang lebih

rendah harus berdasarkan dan bersumber pada norma yang lebih tinggi demikian

seterusnya sampai berujung pada norma Dasar (Grundnorm).

Hans Nawiasky dalam teorinya die Theorie vom Stufenordnung der

Rechtsnormen, yang berangkat dari Stufentheorie – Hans Kelsen. Nawiasky

menambahkan bahwa selain berlapis dan berjenjang, norma hukum juga berdasarkan

kelompok-kelompoknya masing-masing yaitu terbagi atas empat kelompok.

Kelompok pertama: Staatsfundamentalnorm (Norma Fundamental Negara),

Kelompok kedua: Staatsgrundgesetz (Aturan Dasar Negara/ Aturan Pokok Negara),

Kelompok ketiga: Formell Gesetz (Undang-Undang ‘formal’), Kelompok keempat:

Verordnung & Autonome Satzung (Aturan Pelaksana & Aturan otonom).86

Dalam teorinya Hans Kelsen dan Hans Nawiasky di atas ketika digabungkan

akan berbunyi bahwa hukum merupakan sistem yang berlapis-lapis dan berjenjang

84Ranuhandoko, Terminologi Hukum, hal 386 85TitonSlametKurnia, Op.Cit., Hal. 55 86Maria FaridaIndrati S., Op.Cit.,Hal. 45. Dikutip dari Hans Nawiasky, Allgemeine Rechtslehre als System

der rechtslichen Grundbegriffe, Einsideln/Zurich/Koln: Benziger, Cet. 2 1948, Hal. 31 dst.

Page 52: BAB II PEMBAHASAN A. Otonomi Daerah Dalam Rangka ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8358/3/T1_312010042_BAB II.pdfperkembangannya, konsepsi otonomi daerah selain mengandung

sekaligus berkelompok kelompok, dimana setiap norma yang berlaku harus memiliki

sumber dan dasar dari norma lain yang lebih tinggi, begitu seterusnya dirunut sampai

berpangkal pada norma tunggal87 yang paling tinggi yaitu Konstitusi.88 Karena

Sebuah norma dapat dikatakan sah hanya jika norma tersebut menurut materi

muatannya dapat dirunut sampai ke pada norma dasar.89 Demikian peraturan

perundang-undangan sebagai sebuah sistem harus dipertahankan berdasarkan konsep

hirarki aturan hukum.90 Dengan melihat Peraturan Daerah Kabupaten Maluku

Tengah Tahun 2006 secara hirarki sudah tepat tapi secara substansi isi peraturan

tidak mengakomodasi masyarakat lain yang haknya diatur pada Pasal 28 D ayat (3)

Undang-Undang Dasar 1945 yang mana secara tidak langsung dapat dipilih atau

tidak dipilih tampa pengecualian dia berdasarkan garis keturunan tertentu atau dapat

dikatakan garis keturunan raja.

2. Tidak Bertentangan Dengan Peraturan Perundang-undangan Yang Lebih

Tinggi

Setelah melihat penjelasan mengenai pertentangan di atas dalam Pasal 3

ayat (1) dan (2) mengenai pengisian jabatan kepala Negeri penulis kemudian

berpendapat bahwa dalam Undang-Undang Dasar 1945 juga mengatur mengenai

kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat, ini tertuang dalam pasal 18B ayat (2)

Undang-Undang Dasar 1945, yang mengatur bahwa :

87 Hans Kelsen, Op.Cit., Hal. 94. 88 Maria FaridaIndrati S., Op.Cit.,Hal. 57. 89 Hans Kelsen, Op.Cit., Hal. 95, 105. 90TitonSlametKurnia, Op.Cit.,Hal. 55.

Page 53: BAB II PEMBAHASAN A. Otonomi Daerah Dalam Rangka ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8358/3/T1_312010042_BAB II.pdfperkembangannya, konsepsi otonomi daerah selain mengandung

Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum

adat beserta hak-hak tradisioanl sepanjang masih hidup dan sesuai dengan

perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik

Indonesia yang diatur dalam undang-undang.

Norma pasal 18B ayat (2) UUD 1945 harus dipahami sebagai prinsip

mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum beserta hak-hak

tradisionalnya. Maksud dari “masyarakat hukum adat” adalah masyarakat hukum

(rechts-gemeenschap) yang berdasarkan hukum adat atau adat istiadat, seperti desa,

marga, nagari, gampong, kampong, meunasah, huta, negorij, dan lain-lain.

Masyarakat hukum adalah kesatuan masyarakat yang bersifat territorial dan

genealogis, memiliki kekayaan sendiri, memiliki warga yang dapat dibedakan

dengan warga masyarakat hukum lain dan dapat bertindak ke dalam dan ke luar

sebagai satu kesatuan hukum (subjek hukum) yang mandiri dan memerintah diri

mereka sendiri. Kesatuan-kesatuan masyarakat hukum ini tidak hanya diakui tetapi

juga dihormati, artinya mempunyai hak hidup yang sederajat dan sama pentingnya

dengan kesatuan pemerintahan lain, seperti kabupaten dan kota.91

Pasal 18B ayat (2) ini adalah aturan yang khusus dari pasal 27 ayat (1) dan

Pasal 28D ayat (3) yang merupakan aturan yang bersifat umum. Hal ini sejalan

dengan prinsip atau asas hukum yang mengatakan bahwa hukum yang bersifat

khusus mengesampingkan hukum yang bersifat umum (lex specialis derogate legi

general).

Berangkat dari prinsip dan asas diatas maka Pasal 18B ayat (2) yang

mengatur dan mengakui kesatuan masyarakat hukum adat dalam hal ini masyarakat

91 Ni’matul Huda, Otonomi Daerah; Filosofi, Sejarah Perkembangan dan Problematika. Yogyakarta,

Pustaka Pelajar, 2005, hal. 21-22.

Page 54: BAB II PEMBAHASAN A. Otonomi Daerah Dalam Rangka ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8358/3/T1_312010042_BAB II.pdfperkembangannya, konsepsi otonomi daerah selain mengandung

hukum adat yang berada di Kabupaten Maluku Tengah bersama hak-hak

tradisionalnya berkaitan dengan pengisian jabatan kepala Negeri yang diangkat

berdasarkan keturunan raja yang diatur dalam Peraturan Daerah Kabupaten Maluku

Tengah Nomor 1 tahun 2006 tentang Negeri Pasal 3 ayat (1) dan (2)

mengesampingkan aturan-aturan hukum yakni pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat

(3) yang bertentangan dengan Perda tersebut.

Bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai suku tentunya memiliki budaya

dan hukum adat masing-masing sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang

bersangkutan. Untuk itulah maka upaya pengembangan kebudayaan hukum adat

dilakukan secara terus menerus sebagaimana telah diamanatkan dalam pasal 32

Undang-Undang Dasar 1945. Selain telah diamanatkan dalam UUD 1945 Pasal 32,

pengakuan pemerintah terhadap keberadaan hukum adat diatur juga dalam 92

Undang-Undang No 39 Tahun 1999 Pasal 6 (1), yang berbunyi :

“Dalam rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan

dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh

hukum, masyarakat, dan pemerintah”

Desa atau Negeri adalah tempat dimana komunitas atau masyarakat adat ada

untuk melestarikan, menjaga agar kebudayaan atau adat istiadat yang sudah ada

tidak tergerus oleh perkembangan zaman atau arus modernisasi.

Eksistensi desa dan kewenangan aslinya ini juga sebenarya harus dijadikan

sebagai salah satu klasifikasi hak-hak asasi manusia (human rights) yang diakui di

Indonesia, yakni hak untuk mempertahankan identitas tradisional dan hak

masyarakat tradisional. Sebagaimana yang tertuang dalam pasal 28I ayat (2) UUD

1945:

92 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Pasal 6 (1)

Page 55: BAB II PEMBAHASAN A. Otonomi Daerah Dalam Rangka ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8358/3/T1_312010042_BAB II.pdfperkembangannya, konsepsi otonomi daerah selain mengandung

Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan

perkembangan zaman dan peradaban.

Hak-hak masyarakat tradisional atas identitas budayanya harus tetap

dipertahankan sebagai upaya perlakuan sebagai manusia yang bersifat kodrati (lex

naturalis).93

Kewenangan yang sudah ada berdasarkan hak asal usul desa ini, juga

memberikan dasar untuk mengurus tanah adat yaitu hak ulayat sebagai mana diatur

dalam pasal 3 UUPA sebagai berikut :

Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan

hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat

hukum adat, sepanjang menurut kenyataan masih ada, harus sedemikian

rupa sehingga sesuai dengan kepentinga nasional dan Negara yang

berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan

undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.

Norma yang terkandung dalam pasal ini menunjukkan adanya jaminan

hukum ketatanegaraan terhadap hak-hak tradisioanal desa berikut masyarakatnya,

yakni melindungi ataupun memfasilitasi berbagai kepentingannya, terutama yang

berhubungan dengan hak-hak masyarakat adat, termasuk didalamnya perlindungan

terhadap esensi hak ulayat masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup (living

law). Jaminan ini memang tidak dapat dilepaskan dari hak-hak sosial budaya

masyarakat tradisional sebagai bagian dari hak asasi manusia (human rights).94

Jadi, dalam hal ini penulis berpendapat bahwa Pasal 3 ayat (1) dan (2)

Peraturan Daerah Kabupaten Maluku Tengah No. 1 tahun 2006 tentang Negeri yang

93 Bandingkan: Frans Magnis-Suseno, Hak-Hak Asasi Manusia dalam Konteks Sosio-Kultural dan Religi

di Indonesia, dalam: Komisi Nasioanal Hak Asasi Manusia, Hak Asasi Manusia dalam Prespektif Budaya

Indonesia. Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 1997, hal. 61. 94 Ateng Syafrudin & Suprin Na’a, Republik Desa Pergulatan Hukum Tradisional dan Hukum Modern

dalam Desain Otonomi Desa. Bandung, PT Alumni, 2010, hal. 47-48.

Page 56: BAB II PEMBAHASAN A. Otonomi Daerah Dalam Rangka ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8358/3/T1_312010042_BAB II.pdfperkembangannya, konsepsi otonomi daerah selain mengandung

mengatur tentang pengisian jabatan kepala negeri tidak bertentangan melihat pada

Pasal 18b ayat (2) bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan

masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisioanl sepanjang masih hidup dan

sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik

Indonesia yang diatur dalam undang-undang. Melihat hal itu penulis berpendapat

bahwa ada jaminan hukum yang negara berikan pada masyarakat-masyarakat hukum

adat yang masih manjalankan kehidupan mereka sesuai dengan adat istiadat yang

berlaku diwilayah mereka.

Pasal 2 ayat (4) huruf t dan huruf u Peraturan Pemerintah No 38 Tahun

2007 mencakup bidang otonomi daerah, pemerintahan umum, administrasi keuangan

daerah, perangkat daerah, kepegawaian, dan persandian; pemberdayaan masyarakat

dan desa yang kemudian selanjutnya diatur pada Pasal 16 dan Pasal 17 Peraturan

Pemerintah No 38 Tahun 2007 berkaitan dengan penyelenggaraan Pemerintahan.

Yang demikian dapat dilihat bahwa penyelenggaraan daerah berdasarkan otonomi

daerah maka Pemerintah Daerah dari tingkat Propinsi sampai Pemerintahan Desa

dalam penyelenggaraan Pemerintahan dalam hal ini berkaitan dengan Peraturan

Daerah Kabupaten Maluku Tengah No 1 Tahun 2006 tentang Negeri, dalam

melaksanakan Pemerintahan Desa atau Negeri sudah tepat terutama berkaitan

dengan Pemilihan Kepala Desa atau Negeri yang harus memiliki garis keturunan

tertentu atau keturunan raja.

Peraturan Daerah Kabupaten Maluku Tengah No. 1 Tahun 2006 tentang

Negeri ini juga telah mengakomodasi hal-hal yang berkaitan dengan adat istiadat

yang merupakan bagian dari kearifan lokal masyarakat setempat dimana seorang

Page 57: BAB II PEMBAHASAN A. Otonomi Daerah Dalam Rangka ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8358/3/T1_312010042_BAB II.pdfperkembangannya, konsepsi otonomi daerah selain mengandung

pemimpin atau Kepala Desa atau Negeri atau Raja harus berasal dari keturunan

tertentu yakni biasa masyarakat setempat menyebutkan keturunan raja. Perda yang

seperti itu yang mengandung nilai-nilai adat seharusnya dijaga dan dilestarikan

karena akan menjadi ciri khas tersendiri daerah tersebut yang berbeda dengan

daerah-daerah lainnya.