sekolah tinggi filsafat theologi jakarta

18

Upload: others

Post on 16-Oct-2021

8 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: SEKOLAH TINGGI FILSAFAT THEOLOGI JAKARTA
Page 2: SEKOLAH TINGGI FILSAFAT THEOLOGI JAKARTA

SEKOLAH TINGGI FILSAFAT THEOLOGI JAKARTA (S E K O L A H T I N G G I T E O L O G I J A K A R T A)

Undangan: Pembicara Webinar Penelitian Program Pasca Sarjana (Magister)

STFT Jakarta

Kepada yang terhormat

Pdt. Septemmy E. Lakawa, Th.D

(Ketua STFT Jakarta)

Di tempat.

Dengan Hormat,

Kami dari Unit Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Sekolah Tinggi Filsafat Theologi

Jakarta (UPPM STFT Jakarta) akan mengadakan Webinar dengan Tema: “Perempuan, Alam, dan

Adat: Menguak Dampak Industri Global dan Program Food Estate terhadap Perempuan dan

Alam”.

Kegiatan Webinar ini merupakan hasil penelitian yang dilakukan oleh TIM PENELITI Program

Pasca Sarjana (Magister) STFT JAKARTA. Dalam webinar ini akan dibahas bagaimana peran dan

pengalaman perempuan di dalam masyarakat adat. Untuk informasi selengkapnya, kami

melampirkan TOR sebagai acuan dari kegiatan ini.

Oleh karena itu, kami mengundang Ibu dan Bapak untuk dapat menjadi narasumber/Pembicara

dalam kegiatan ini. Adapun agenda kegiatan ini seperti penjelasan di bawah ini:

Hari dan Tanggal : Sabtu, 20 Februari 2021

Waktu : 10.00 -12.00 WIB

Tempat/media : Zoom Cloud Meeting (link akan dikirimkan)

Tema : “Perempuan, Alam, dan Adat: Menguak Dampak Industri Global dan

Program Food Estate terhadap Perempuan dan Alam”

Page 3: SEKOLAH TINGGI FILSAFAT THEOLOGI JAKARTA

SEKOLAH TINGGI FILSAFAT THEOLOGI JAKARTA (S E K O L A H T I N G G I T E O L O G I J A K A R T A)

Pembicara : 1. Mak Kasih (Tokoh perempuan Orang Akit di desa Teluk Setimbul

Kepri),

2. Pdt. Septemmy Lakawa, Th.D. (Ketua STFT Jakarta),

3. Dr. Saur Tumiur Simatupang (Komisioner Komnas Perempuan)

Moderator : Pdt. Meilanny Risamasu (tim peneliti STFT Jakarta)

Host : UPPM dan PKGST STFT Jakarta

Demikian permohonan dan undangan kami ini, atas dukungan dan kerjasamanya kami sampaikan

terima kasih. Untuk informasi selanjutnya terkait kegiatan tersebut, sila menghubungi Sdri.

Christina Dameria (Hp: 0817 5100 114) atau sdri. Meilanny Risamasu (Hp. 08127 0013 979.

Jakarta, 11 Februari 2021

Danang Kurniawan, M.A.R.S Kepala UPPM STFT Jakarta

Page 4: SEKOLAH TINGGI FILSAFAT THEOLOGI JAKARTA

Kerangka Acuan Sarasehan daring Web Binar Seri-1

“Perempuan, Alam, dan Adat: Menguak Dampak Industri Global dan Program FoodEstate terhadap Perempuan dan Alam”

Latar belakang

Selagi modernitas bermutasi menjadi posmodernitas di dunia Barat, neokolonialismemewujud dalam bentuk globalisasi yang menguasai pasar dan kapital. Kwok Pui-lan, seorangteolog feminis Asia, mendasari pendapatnya di atas berbasis penelitian panjang danpengalamannya sebagai seorang perempuan Asia. Konstruksi biner terhadap manusia dan alamdalam konteks globalisasi menempatkan perempuan dan alam sebagai pihak yang palingdirugikan.

Perempuan dalam masyarakat adat di Indonesia adalah subjek yang pengalamannyasecara interseksional mengungkap praktik-praktik ketidakadilan terhadap manusia dan alam. Disatu pihak, perempuan dalam masyarakat adat secara historis memiliki relasi dan akses yang luasterhadap sumber-sumber alam. Namun, globalisasi menyudutkan perempuan sedemikian rupasehingga tidak saja mereka dijauhkan dari ruang yang memberi akses pada keberlangsunganhidup tetapi mereka juga ditarik masuk dalam ruang domestik yang menghilangkan suara dansejarah mereka sebagai subjek mandiri di alam. Perempuan dalam konteks masyarakat adatmengalami perubahan dan pergeseran.

Dalam konteks program nasional Food Estate yang semarak, pesatnya pertumbuhanindustri lokal dan global, dan memerhatikan UU Cipta Kerja, alam menjadi sumber daya terbesaryang diharapkan mampu menopang kebutuhan hidup manusia di masa ini dan di masa depan.Namun, kita perlu mendapatkan informasi yang jelas tentang sejauh mana program Nasional danperkembangan industri akan berdampak pada alam dan masyarakat adat, khususnya perempuan?

Tujuan Sarasehan daring (web binar):

Pelaksanaan sarasehan daring (web binar) ini bertujuan untuk:

1. Mengungkap pengalaman perempuan dari masyarakat adat yang terdampak langsungperkembangan industri global.

2. Mendengar temuan-temuan di lapangan tentang praktik-praktik eksploitatif terhadap alamyang berdampak buruk terhadap masyarakat adat, khususnya perempuan.

3. Mendapatkan pemahaman tentang sejauh mana kajian ekofeminis dan ekoteologimenolong tokoh masyarakat, institusi sosial-spiritual, kaum ulama, dan warga masyarakatmengambil langkah dan kebijakan yang berpihak pada keberlangsungan hidup manusiadan alam.

Pertanyaan Pengarah:

1. Sejauh mana praktik-praktik mengeksploitasi alam berdampak pada perempuan?

Page 5: SEKOLAH TINGGI FILSAFAT THEOLOGI JAKARTA

2. Adakah temuan di lapangan tentang kekerasan terhadap perempuan dalam konteksberkembangnya industri-industri lokal-global berbasis sumber daya alam?

3. Sejauh mana agensi perempuan merespons isu kerusakan alam adalah prioritas yangdiwujudkan demi keberlangsungan hidup manusia dan alam?

Pelaksanaan:

Hari dan Tanggal: Sabtu, 20 Februari 2021Waktu: 10.00 -12.00 WIBTempat/media: daring melalui zoom cloud meeting

Meeting ID: 886 3103 0295 dengan Passcode: 377658Tema: “Perempuan, Alam, dan Adat: Menguak Dampak Industri Global

dan Program Food Estate terhadap Perempuan dan Alam”Pembicara: Mak Kasih (tokoh perempuan Orang Akit di desa Teluk Setimbul Kepri),

Pdt. Septemmy Lakawa, Th.D. (Dosen dan Ketua STFT Jakarta),Saur Tumiur Situmorang, SH, MCD (Aktivis Perempuan Pembela HAM;Komisioner Komnas Perempuan Periode 2010- 2014 & 2015-2019)

Moderator: Pdt. Meilanny Risamasu (tim peneliti STFT Jakarta)Host: UPPM dan PKGST STFT Jakarta

Page 6: SEKOLAH TINGGI FILSAFAT THEOLOGI JAKARTA

1

Webinar

Unit Pelatihan dan Pengabdian Masyarakat dan Pusat Kajian Gender, Seksualitas,

dan Trauma STFT Jakarta dan Peruati Jabodetabek

“Perempuan, Adat dan Alam: Menguak Dampak Industri Global

dan Program Food Estate terhadap Perempuan dan Alam”

Sabtu, 20 Februari 2021

Alam, Perempuan, dan Adat: Resiliensi Ekologis-Sosial

(Sebuah Perspektif Teologis Feminis Kristen)

Oleh: Septemmy E. Lakawa, Th.D.

Alam, perempuan dan adat adalah tiga hal penting yang dipercakapkan dalam

wacana ekologi yang menjadi fokus dalam webinar ini. Secara khusus saya hendak

berfokus pada keterkaitan tiga hal tersebut yang berperan dalam membangun resiliensi

ekologis dan sosial kita dan gereja. Untuk membahas isu yang kompleks ini, sebuah

perspektif teologis feminis Kristen saya gunakan untuk setidaknya menolong kita

melihat, apakah agama atau gereja berkontribusi terhadap hilangnya kesadaran

ekologis atau sebaliknya kehadirannya memberikan kontribusi untuk memperkuat

kesadaran tersebut. Perspektif teologi feminis Kristen mestinya menjadi salah satu cara

pandang yang menolong gereja untuk membangun kesadaran ekologis-sosial yang

berujung pada upaya menemukan solusi dari persoalan alam seperti dampak industri

global dan food estate bagi alam dan perempuan.

Alam, perempuan dan adat: Sudah Kudengar dari Ibuku

Saya mengawali percakapan tentang alam, perempuan dan adat ini dengan

narasi personal saya. Narasi ini lahir dari pengalaman saya sebagai seorang hibrid yang

Page 7: SEKOLAH TINGGI FILSAFAT THEOLOGI JAKARTA

2

lahir dan besar di Kendari, Sulawesi Tenggara yang mendengar kisah dari ibu saya

tentang nenek saya yang bernama Blandina Eidja Andries. Blandina Eidha Andries

adalah seorang perempuan Bugis Bone yang berlatar belakang keluarga Muslim. Ia

adalah seorang perempuan yang hidup mandiri secara khusus ekonomi, yang memiliki

toko dan lahan kopra. Hal yang menarik dari hidup seorang Blandina Eidha Andries

adalah keakraban dan kedekatannya dengan alam. Dalam tradisi Bugis yang masih

dipelihara, ia memiliki saudara kembar yang adalah seekor budaya yang hidup di laut.

Hal ini membuatnya menjadi sangat dekat dengan laut dan berdampingan dengan roh-

roh yang menolongnya ketika melakukan perjalanan ke laut. Saat ia meninggal, salah

satu ritual yang dilakukan oleh keluarga dari tradisi Bugis adalah membawa banyak

makanan ke area laut yang bertujuan untuk menyampaikan pada saudara kembarnya

bahwa ia telah pergi. Kisah ini bagi saya memberi jejak bahwa kehidupan alam dan

perempuan bukan sesuatu yang asing bagi saya. Kisah tersebut berakar dalam

kehidupan saya dan memengaruhi cara saya berteologi.

Cerita yang Terlupakan: Pengalaman Suku Tolaki di Sulawesi Tenggara

Kisah lain yang ingin saya perlihatkan adalah kisah masyarakat suku Tolaki di

Sulawesi Tenggara yang tidak banyak diketahui dan dikenal di Indonesia. Hal ini

karena kisah mereka tidak diberi tempat di ruang publik yang memungkinkan untuk

diketahui dan diakses oleh banyak orang. Padahal kisah mereka menceritakan

pengalaman hidup yang dekat dengan alam. Salah satunya adalah pengalaman hidup

masyarakat Tolaki yang lekat dengan simbol Kalosara. Simbol Kalosara menceritakan

tentang kehidupan petani yang tinggal di wilayah daratan yang dekat pada alam.

Kalosara adalah wadah yang terbuat dari anyaman yang berasal dari dedaunan

yang tumbuh di wilayah tempat masyarakat Tolaki tinggal yaitu di daratan Sulawesi

Tenggara. Kalosara terdiri dari kain putih yang berarti kesucian dan lingkaran yang

Page 8: SEKOLAH TINGGI FILSAFAT THEOLOGI JAKARTA

3

terbuat dari tiga rotan yang dipilin yang memiliki ujung. Lingkaran tersebut

menggambarkan ikatan yang harmonis di dalam masyarakat.

Kalosara menjadi simbol yang khas dalam masyarakat suku Tolaki terutama

yang berkaitan dengan kehidupan individu dan komunitas. Kolasara umumnya

dipakai sebagai simbol untuk mengatasi konflik. Jika terdapat konflik antar suku dan

keluarga, kalosari digunakan sebagai media perdamaian yang diberikan kepada orang

yang menjadi korban. Secara moral dan adat, orang yang melihat dan hendak diberikan

kalung Kalosara harus menerimanya karena hal tersebut menjadi sesuatu yang bersifat

imperatif.

Simbol Kalosara yang dimiliki masyarakat suku Tolaki adalah kearifan lokal

yang memperlihatkan kepada kita bahwa model etika hidup di dalam masyarakat

sudah diatur dengan simbol-simbol yang berasal dari alam. Simbol yang mengandung

etika hidup tersebut bahkan digunakan oleh Gereja Protestan di Sulawesi Tenggara

(Gepsultra) sebagai lambang gereja pada era 1970-1980, yang pada saat bersamaan

sebuah teologi yaitu teologi pedesaan sedang berkembang di dalam gereja. Teologi

pedesaan yang dikembangkan oleh Gepsultra adalah teologi yang berangkat dari

konteks jemaat yang sebagian besar hidup di pedesaan. Dengan mengembangkan

teologi pedesaan tersebut, gereja pada saat itu belajar dan mendapat inspirasi untuk

bertahan, berjuang dan bertumbuh dari kehidupan masyarakat yang dekat dengan

alam. Namun pada saat ini Gepsultra melupakan teologi pedesaan yang pernah

berkembang tersebut sehingga membuatnya kehilangan daya lenting atau resiliensi.

Kemampuan gereja untuk beradaptasi dan berkembang di tengah krisis akan hilang

ketika ia melupakan alam sebagai inspirasi resiliensi.

Kisah personal dan kolektif yang saya paparkan di atas adalah beberapa kisah

dari banyak kisah yang menjadi kekayaan masyarakat adat. Namun sering kali kisah-

kisah tersebut tidak diberi ruang pada teologi gereja dan menjadi terpinggir. Hal ini

menjadi salah satu penyebab gereja merasa tidak memiliki tanggung jawab pada

Page 9: SEKOLAH TINGGI FILSAFAT THEOLOGI JAKARTA

4

persoalan alam dan tidak memiliki kesiapan dan kesediaan dalam merumuskan

pemaknaan teologis dalam konteks kesadaran semesta. Untuk itu sebuah perspektif

dari teologi Kristen mesti digali oleh gereja untuk menemukan cara yang tepat dalam

merespons isu-isu ekologis.

Alam dari Perspektif Teologi Kristen

Berkaitan dengan kekayaan alam, selama ini kita sering menyebutnya dengan

sumber daya alam (SDA). Namun kisah personal dan kolektif yang sudah diceritakan di

atas mengajak kita untuk mengkritisi kembali penyebutan klasik tersebut dan menjadi

dasar kita bertanya apakah alam hadir hanya untuk menjadi sumber daya bagi

manusia? Apakah dari perspektif teologi Kristen alam diciptakan untuk melayani

kebutuhan manusia? Hal yang menjadi persoalan adalah jika alam dilihat hanya

sebagai sumber yang diberdayakan untuk manusia. Cara pandang seperti ini menjadi

salah satu penyebab adanya praktik yang dilakukan gereja maupun komunitas agama

lainnya yang meminggirkan alam. Alam dilihat sebagai objek semata yang hanya

berfungsi jika ia dapat digunakan demi kepentingan manusia.

Kita tidak dapat memungkiri bahwa manusia tetap membutuhkan sumber-

sumber alami, namun dalam rangka penggunaannya, perspektif tentang relasi alam

dan manusia terlebih dahulu harus diperbaiki. Hal ini karena melihat alam sebagai

sumber bagi manusia berarti membangun relasi manusia dan alam yang hanya bersifat

fungsional semata dan berorientasi pasar. Oleh karena itu kita perlu melihat kembali

dari sisi teologi Kristen bahwa alam sebagai pemberi (giver) dan manusia adalah pihak

yang meminta dan menerima (receiver). Namun ketika relasi tersebut dibalik atau

diubah, maka kita menikmati “hasil” dari peminggiran alam tersebut.

Sebagai contoh, Jakarta dan beberapa wilayah di Indonesia mengalami banjir

besar. Kejadian tersebut merupakan hasil atau dampak dari praktik peminggiran alam,

di mana tanah dilihat hanya sebagai sumber yang harus digunakan dan yang perlu

Page 10: SEKOLAH TINGGI FILSAFAT THEOLOGI JAKARTA

5

memiliki fungsi pasar. Penyalahgunaan tanah menyebabkan daya serap tanah terhadap

air menjadi sangat berkurang sehingga menimbulkan banjir. Peristiwa banjir tersebut

memperlihatkan kepada kita bahwa relasi kita dengan alam menjadi peristiwa sehari-

hari dan dekat dengan kita. Namun relasi yang terbangun dalam keseharian manusia

dengan alam bukanlah relasi yang setara, melainkan relasi yang bersifat ekonomis,

fungsional dan pasar, yang berdampak buruk pada alam.

Persoalan teologis-ekologis di dalam kekristenan ada pada pandangan yang

monoteistik dan antroposentris yang meminggirkan alam dari interkoneksi ciptaan.

Dalam pandangan ini kita membuat hirarki dalam relasi antara Tuhan, manusia dan

alam. Tuhan dipandang sebagai pihak yang paling utama dan bukti kehadiran Tuhan

adalah dengan menghadirkan manusia yang dipandang sebagai mahkota ciptaan-Nya.

Sementara alam dipandang sebagai pihak/ciptaan yang berada di bawah manusia.

Relasi yang hirarkis ini semakin diperkuat dengan adanya persoalan kesalahan dalam

pembacaan teks Alkitab tentang penciptaan.

Pembacaan Kembali atas Kisah Penciptaan (Kejadian 1 dan 2)

Kita perlu melakukan pembacaan kembali atas kisah penciptaan khususnya

dalam Kejadian 1 dan 2 agar menemukan perspektif yang membangun kesadaran

ekologis. Dalam Kejadian 1 dan 2, manusia sebagai “tukang kebun” yang berperan

sebagai penjaga, pemelihara, perawat dan bukan “penguasa” atas alam. Dalam teks

tersebut, relasi yang dibangun antara manusia dan alam bukan relasi dosa, melainkan

relasi berkat. Namun pandangan yang mengatakan bahwa relasi manusia dan alam

adalah relasi dosa lebih mendominasi dan memengaruhi pemahaman banyak orang

Kristen. Relasi manusia dan alam yang jika di dalam cerita penciptaan dilihat sebagai

relasi dosa memberi arti bahwa manusia berdosa. Oleh karena itu, salah satu akibat dari

dosa manusia adalah keharusan manusia untuk bekerja keras yang berdampak pada

keharusan tersedianya sumber yang menjadi objek dari kerja keras manusia.

Page 11: SEKOLAH TINGGI FILSAFAT THEOLOGI JAKARTA

6

Pandangan ini mesti dikritik dan diluruhkan dengan membaca kembali dua versi kitab

Kejadian.

Narasi Penciptaan versi pertama

Kejadian 1:26-28

Berfirmanlah Allah: ‘baiklah kita

menjadikan manusia menurut gambar

dan rupa kita, supaya mereka berkuasa

atas ikan-ikan di laut dan burung-burung

di udara dan atas ternak dan atas seluruh

bumi dan atas segala binatang melatas

yang merayap di bumi.’ Maka Allah

menciptakan manusia menurut gambar-

Nya, menurut gambar Allah diciptakan-

nya dia; laki-laki dan perempuan

diciptakannya mereka. Allah memberkati

mereka . . .

Narasi Penciptaan versi kedua

Kejadian 2:7, 15-18, 20-25

Ketika itulah TUHAN Allah membentuk

manusia itu dari debu tanah dan

menghembuskan nafas hidup ke dalam

hidungnya; demikianlah manusia itu

menjadi makhluk yang hidup . . .

TUHAN Allah mengambil manusia itu

dan menempatkannya dalam taman Eden

untuk mengusahakan dan memelihara

taman itu. Lalu TUHAN Allah memberi

perintah ini kepada manusia: ‘Semua

pohon dalam taman ini boleh kau makan

buahnya dengan bebas. Tetapi pohon

pengetahuan tentang yang baik dan yang

jahat itu, janganlah kau makan buahnya,

sebab pada hari engkau memakannya,

pastilah engkau mati. TUHAN Allah

berfirman: ‘Tidak baik, kalau manusia itu

seorang diri saja. Aku akan menjadikan

penolong baginya yang sepadan dengan

dia.’ . . . Manusia itu memberi nama

kepada segala ternak . . . tetapi baginya

sendiri ia tidak menjumpai penolong

yang sepadan dengan Dia. Lalu TUHAN

Allah membuat manusia itu tidur

nyenyak; ketika ia tidur, TUHAN Allah

mengambil salah satu rusuk dari

padanya, lalu menutup tempat itu

Page 12: SEKOLAH TINGGI FILSAFAT THEOLOGI JAKARTA

7

dengan daging. Dan dari rusuk yang

diambil TUHAN Allah dari manusia itu,

dibangun-Nyalah seorang perempuan,

lalu dibawa-Nya kepada manusia itu.

Lalu berkatalah manusia itu: Inilah dia,

tulang dari tulangku dan daging dari

dagingku. Ia akan dinamai perempuan,

sebab ia diambil dari laki-laki itu.

Kisah penciptaan dalam Kejadian 1 adalah kisah tentang Allah yang memberkati

manusia. Teks tersebut tidak membahas kisah manusia yang berdosa. Di dalam kisah

penciptaan bahkan ketika manusia masih berada di dalam taman Eden, konsep dosa

tidak muncul atau tidak disebutkan. Namun banyak gereja hingga saat ini masih

mempertahankan konsep dosa yang dipandang sudah muncul dalam Kejadian 1.

Perspektif dan konsep dosa ini yang pada akhirnya digunakan untuk menjelaskan

relasi manusia dan alam. Sementara itu jika kita melihat kisah dalam Kejadian 2,

dikatakan bahwa TUHAN Allah mengambil manusia dan menempatkannya dalam

taman Eden untuk mengusahakan dan memelihara taman tersebut. Tugas pertama

yang perlu dilakukan manusia bukan untuk menguasai, mendominasi dan

mengeksploitasi taman melainkan memelihara dan mempertahankannya.

Jika kita melihat lebih mendalam narasi penciptaan versi kedua diperlihatkan

dengan jelas bahwa:

1. Tuhan menciptakan manusia dengan satu tujuan yaitu mengusahakan dan

memelihara taman Eden. Gambaran manusia sebagai penguasa mesti diubah

karena sejak pertama tugas manusia adalah menjadi “tukang kebun”.

Page 13: SEKOLAH TINGGI FILSAFAT THEOLOGI JAKARTA

8

2. Tuhan melihat bahwa manusia tidak dapat menjalankan perannya sebagai

“tukang kebun” seorang diri saja sehingga Ia berinisiatif menciptakan penolong

yang sepadan (Ibrani: ezer kenegdo), yang menunjuk kepada perempuan. Kata ezer

(azar, ezrah) memiliki arti penolong, penyelamat hidup, dan juruselamat. Di sini

perempuan tidak dilihat sebagai ciptaan kedua yang memiliki status lebih

rendah atau lebih tinggi daripada laki-laki karena kata ezer sendiri dalam

konteks lain di dalam teks Hakim-hakim 5:23, sebenarnya menunjuk pada fungsi

bukan pada status. Pada bagian Alkitab yang lain, misalnya dalam Ulangan 33:7

(wə-‘ê-zer), 29 (‘ez-re-ḵā), kata ezer yaitu sang penolong umumnya diberikan pada

YHWH (TUHAN Allah). Di sini ditegaskan bahwa kehadiran Allah dalam

ciptaan-Nya adalah sebagai sosok penolong dan penyelamat ciptaan-Nya.

3. Kata ezer, sang penolong tidak dilihat memiliki status yang lebih rendah

daripada sosok yang ditolong. Tanggung jawab menjadi tukang kebun

merupakan tanggung jawab kolektif atau bersama dan perempuan hadir untuk

memperlihatkan tanggung jawab tersebut. Tugas manusia untuk memelihara

taman Eden merupakan tugas yang besar sehingga menjadi tugas pertama

manusia yang sekaligus memperlihatkan kepada kita adanya peran dan fungsi

manusia sebagai makhluk sosial.

4. Di dalam kisah penciptaan, ketika Allah menciptakan ciptaan dengan

berpasangan, sebenarnya mengarahkan pada relasi yang setara dan sepadan.

Hal ini berarti manusia mesti memiliki relasi yang setara dengan ciptaan lainnya.

Kesetaraan dalam relasi menjadi salah satu inti dari narasi penciptaan versi

kedua.

Berkat Asali (Original Blessing): Relasi Semesta-Etika Ekologis.

Pembacaan kisah penciptaan yang umumnya dilihat sebagai kisah dosa asali

perlu dipahami kembali dengan perspektif yang berbeda. Danielle Shroyer dalam

Page 14: SEKOLAH TINGGI FILSAFAT THEOLOGI JAKARTA

9

bukunya yang berjudul Original Blessings: Putting Sin in Its Rightful Place memiliki

pandangan yang berbeda tentang kisah penciptaan. Ia membahas tentang berkat asali

yang dapat kita temukan dalam kisah penciptaan. Baginya kisah penciptaan adalah

cerita tentang berkat. Menurutnya dalam kisah penciptaan diperlihatkan bahwa Allah

memberkati manusia, sekalipun manusia melakukan sesuatu yang sebelumnya tidak

disepakati dengan Allah sebagai penciptanya.

Menurut Shroyer, kisah penciptaan sebagai kisah tentang berkat Allah berarti

kisah yang membahas tentang anugerah, pengampunan dan belarasa Allah kepada

ciptaan-Nya. Ia mengatakan bahwa berkat [Ibr: berakah.barak] merupakan “hak

prerogatif Allah”. Di dalam Kejadian 1:27-28a disebutkan bahwa “Allah memberkati

mereka”. Sementara di dalam Kejadian 3:21 dikatakan bahwa “dan TUHAN Allah

membuat pakaian dari kulit binatang untuk manusia dan untuk istrinya itu, lalu

mengenakannya kepada mereka..”. Menurut Peter B. Ely yang sejalan dengan

pandangan Shroyer berpendapat bahwa tindakan tersebut adalah tindakan belarasa

Allah.

Jika kita berbicara tentang kisah penciptaan sebagai narasi dosa asali, maka kita

juga berbicara tentang hidup yang mengarah kepada kehancuran. Hal ini menimbulkan

pertanyaan tentang apakah manusia tidak dapat menghasilkan kebaikan? Apakah

kebaikan Allah tidak ada di dalam diri ciptaan-Nya yang dipandang berdosa? Namun

jika kita melihat kisah penciptaan sebagai narasi berkat asali, perspektif kita mengarah

pada kebaikan yang dapat muncul di dalam diri ciptaan Allah yang juga

memperlihatkan kebaikan dan berkat Allah.

Banyak konsep teologis yang perlu kita pikirkan kembali, terutama jika kita

membahas tentang narasi penciptaan yang sebenarnya menceritakan manusia dan

relasinya dengan alam semesta. Dalam Kejadian 1:27 dikatakan “maka Allah

menciptakan manusia menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-nya

dia; laki-laki dan perempuan diciptakannya mereka.” Hal ini berarti bahwa setiap

Page 15: SEKOLAH TINGGI FILSAFAT THEOLOGI JAKARTA

10

ciptaan-Nya yang berada dalam relasi dengan Allah memiliki potensi kebaikan karena

semua yang diciptakan Allah dipandang baik oleh-Nya. Oleh karena semua ciptaan

Allah adalah baik adanya, maka kebaikan tersebut muncul dalam relasi antar ciptaan

Allah, termasuk antara manusia dan alam.

Kisah penciptaan menceritakan tentang peran manusia baik laki-laki maupun

perempuan yang setara dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab ekologisnya.

Tidak ada hirarkis dalam relasi perempuan dan laki-laki, melainkan relasi fungsional

untuk melaksanakan tanggung jawab sebagai “tukang kebun”. Baik perempuan

maupun laki-laki diciptakan setara dan memiliki peran kolektif untuk mengusahakan

kebaikan alam semesta. Jika kita masih menggunakan pandangan bahwa perempuan

adalah ciptaan kedua dan memiliki status yang lebih rendah dari pada ciptaan pertama

yaitu laki-laki, maka pembenaran untuk merendahkan perempuan semakin menguat.

Jika kita memandang bahwa yang paling berkuasa adalah laki-laki atas perempuan dan

alam, maka suara perempuan khususnya perempuan lokal yang hidupnya dekat

dengan alam menjadi diabaikan dan alam dipinggirkan. Kisah penciptaan sebenarnya

adalah kisah yang berbicara tentang manusia (laki-laki dan perempuan) yang

relasional, bukan yang hirarkis-patriarkis, baik terhadap sesama manusia maupun

dengan alam yang diciptakan Allah.

Pemahaman yang berfokus pada kisah penciptaan sebagai narasi dosa dibanding

narasi berkat asali ternyata berkolerasi dengan kegagalan teologi untuk mengkritik

keberadaan gereja dalam menyikapi isu ekologis. Salah satu akar dari kegagalan gereja

dalam merespons persoalan ekologis adalah skema teologis yang tetap menempatkan

bukan hanya perempuan di bawah tetapi alam yang mendukung relasi yang tidak adil

tersebut. Oleh karena itu pemahaman bahwa alam tidak pernah menjadi sumber yang

diciptakan Tuhan untuk mendukung manusia perlu diluruhkan, karena justru alam

dan manusia memiliki relasi yang setara, yaitu saling menjaga. Menurut saya dari

pandangan relasi yang setara, tanggung jawab ekologis manusia dapat menjadi

Page 16: SEKOLAH TINGGI FILSAFAT THEOLOGI JAKARTA

11

perspektif baru yang dikaji dari kisah penciptaan dalam Kejadian. Hal ini pada

akhirnya akan menolong gereja untuk menyadari bahwa kerusakan yang terjadi pada

alam yang berdampak pada kehidupan khususnya perempuan lokal merupakan

tanggung jawab gereja. Gereja bertanggung jawab untuk mewujudkan keadilan bagi

alam dan juga para perempuan.

Resiliensi ekologis-sosial

Saya menawarkan konsep resiliensi ekologis dan sosial dengan tujuan untuk

mengatakan bahwa kita percaya bahwa alam adalah bagian dari oikonomia Allah—oikos

(rumah tangga) yang dikelola/diatur (nomos) untuk mencerminkan keadilan,

kesejahteraan, dan kecukupan bagi semua ciptaan-Nya. Relasi yang adil dengan alam

akan berimplikasi pada relasi yang adil dengan semua. Relasi yang saling memberkati

dan yang menciptakan keadilan bagi semua ciptaan adalah basis dari resiliensi sosial

yang berkesinambungan. Kedaulatan pangan, yang memberi ruang bagi perempuan

dan masyarakat lokal berdaulat menjadi cermin keadilan sosial yang merupakan bagian

dari sila Pancasila. Untuk mencapai keadilan tersebut, adat berperan sebagai lokus

resiliensi ekologis-sosial yang memampukan masyarakat untuk dapat memiliki

kemampuan yaitu daya lenting, daya tumbuh dan kembang dalam merespons krisis

(alam) yang terjadi. Dari hal tersebut, spiritualitas resiliensi berakar dari sebuah etika

semesta yang ekologis, yang sosial dan yang mampu mewujudkan keadilan kosmik.

Hal ini juga berarti bahwa kita termasuk masyarakat lokal dapat bertahan hanya jika

alam bertahan, dan alam secara alami memperlihatkan proses resiliensi tersebut.

Rujukan:

Ely, Peter B. Adam and Eve in Scripture, Theology, and Literature: Sin, Compassion, and

Forgiveness. London: Lexington Books, 2018.

Page 17: SEKOLAH TINGGI FILSAFAT THEOLOGI JAKARTA

12

Pink, Thomas. Free Will: A Very Short Introduction. New York: Oxford University Press,

2004.

Shroyer, Danielle. Original Blessing: Putting Sin in Its Rightful Place. Minneapolis:

Fortress, 2016.

Page 18: SEKOLAH TINGGI FILSAFAT THEOLOGI JAKARTA

6

LAPORAN PELAKSANAAN TUGAS SEBAGAI NARASUMBERWEBINAR PENELITIAN STFT JAKARTA

JAKARTA, 20 FEBRUARI 2021

1. Sebagai dosen tetap STFT Jakarta dan sebagai ketua tim peneliti Dana Hibah Kemenristek DIKTIatas penelitian tim dosen dan mahasiswa Program Studi Magister Teologi STFT Jakarta, sayadiundang untuk memberi materi pada salah satu luaran penelitian yaitu serial webinar terkaittema teologi ekofeminis.

2. Webinar tersebut diselenggarakan oleh Unit Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat(UPPM) STFT Jakarta bekerja sama dengan tim peneliti.

3. Seri pertama dari Webinar tersebut, yang diselenggarakan pada 20 Februari 2021, bertema“Perempuan, Alam, dan Adat: Menguak Dampak Industri Global dan Program Food Estateterhadap Perempuan dan Alam.”

4. Saya menyampaikan materi berjudul “Alam, Perempuan, dan Adat: Resiliensi Ekologis-Sosial(Sebuah Perspektif Teologi-Feminis Kristen). Dengan mendialogkan beberapa sumber: Alkitab(kisah Penciptaan dalam Kitab Kejadian), narasi lokal tentang resiliensi (suku Tolaki di SulawesiTenggara), saya menawarkan sebuah perspektif dalam menafsirkan kembali tradisi danpengajaran gereja tentang penciptaan manusia dengan menawarkan sudut pandang “berkat”ketimbang “dosa dan hukuman.” Sudut pandang ini memperlihatkan relasi yang lebih adil,menghargai, antara laki-laki dan perempuan; antara perempuan dan alam; dan manusia danalam. Resiliensi ekologis-sosial merupakan perspektif baru tersebut yang memperlihatkanketerkaitan antara tanggung jawab ekologis dan tanggung jawab sosial, yang dimulai darihubungan yang adil di antara manusia dan terbangunnya daya lenting, daya adaptif, dan dayajuang untuk memastikan keberlangsungan hidup alam dan, pada akhirnya, manusia.

5. Selain saya, ada dua orang narasumber lain yang menjadi pemateri, yaitu seorang aktivisperempuan yang berfokus pada isu alam, dan seorang tokoh dan pelaku ekonomi yangberorientasi ekologis.

6. Webinar ini dilakukan melalui zoom dan ditayangkan juga di akun Youtube STFT Jakarta.Webinar berlangsung selama 3 jam dan diikuti oleh sekitar 50 peserta yang berasal dari berbagaidaerah di Indonesia. Diskusi berjalan dengan baik yang tampak dari antusiasme peserta dalambagian diskusi dan tanya jawab.

7. Terlampir undangan, ToR, dan materi presentasi saya.

23 Februari 2021Ketua STFT Jakarta

Septemmy E. Lakawa, Th.D.