sejarah hukum sthb

Upload: adedidikirawan

Post on 21-Jul-2015

972 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan bahwa tujuan pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah terwujudnya masyarakat Indonesia Yang sejahtera, adil dan makmur. Cita-cita tersebut akan diwujudkan melalui pembangunan nasional yang dilakukan secara bertahap dan berencana. Oleh karena itu, pembangunan merupakan usaha untuk menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat dan hasil pembangunan tersebut harus dinikmati oleh seluruh rakyat sebagai peningkatan kesejahteraan lahir dan bathin secara adil dan merata.1 Sebaliknya, berhasilnya pembangunan tergantung partisipasi seluruh rakyat yang berarti pembangunan harus dilaksanakan secara merata oleh segenap lapisan masyarakat.2 Hakekat pembangunan Indonesia adalah pembentukan manusia indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya3 yang didalamnya terdapat keselarasan dalam segala aspek kehidupan. Salah satu aspek yang memegang peranan penting adalah pembangunan dibidang ekonomi yang berasaskan pada suatu sistem yang berorientasi kepada sistem ekonomi Pancasila4 sebagai usaha bersama dengan landasan filosofinya adalah

Beribu-ribu tahun yang silam Aristoteles,pernah mengingatkan bahwa to be happy means to be suffcient for one self. Untuk dapat menjamah kebahagiaan, manusia harus mencuukupi apa adanya untuk diri mereka. Pencukupan adanya tidak mungkin digapai tanpa ada kata bertuah: Pembangunan. Lihat Munir Fuady, Hukum Bisnis dalam Teori dan Praktik (Buku Ketiga), Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hlm 424. Lihat juga F.X. Djumladji, Hukum Bangunan (Dasar-Dasar Hukum dalam Proyek dan Sumber Daya Manusia), Rineka Cipta, Jakarta, 1996, hlm1. 2 F.X. Djumialdi, Hukum Pemborongan, Rineka Cipta, Jakrta, 1995, hlm 1. 3 Budi Supriyanto, Tata Ruang dalam Pembanguanan Nasional (Suatu Setrategi dan Pemikiran), Board of Science Development Strategies, 1996, hlm 1 4 Rachmanto, Hukum Pajak Internasional, Modul Pelatihan Transfer Pricing yang diselenggarakan oleh Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan, Departemen Keuangan Republik Indonesia, Jakarta, 1993, hlm 1.

1

1

pancasila,

disamping

Undang-Undang

Dasar

1945

sebagai

landasan

yuridis

konstitusiionalnya. Peran hukum tersebut ditujukan sebagai sarana pembaharuan masyarakat guna mewujudkan ketertiban, keadilan, kepastian dan kemamuran yang pda akhirnya meningkatkan kesejahteraan rakyat. Bertolak dari pandangan tersebut, maka Roscoe Pound mengatakan law as a tool of social engineering atau dengan perkataan lain, seperti yang dipelopori oleh Mochtar Kusumaatmadja, bahwa hukum merupakan sarana pembangunan (a tool development), yaitu hukum dalam arti kaidah atau peraturan hukum yang difungsikan sebagai alat atau sarana yang mengatur pembangunan dalam arti penyalur arah kegiatan manusia ke arah yang dikhendaki oleh pembangunan atau pembaharuan.5 Pandangan tersebut mengarah kepada fungsi huukum dalam masyarakat yang dapat dikembalikan kepada pertanyaan dasar, yaitu apa tujuan hukum itu. Jawaban atas pertanyaan yang diajukan ini adalah terakhir tujuan pokok dari hukum, apabila direduksi pada suatu hal saja, adalah ketertiban (order). Disamping ketertiban, tujuan lain dari hukum adalah mencapai keadilan yang berbeda-beda sisi dan ukurannya menurut masyarakat dan jamannya. Guna mencapai ketertiban dalam kehidupan masyarakat, diperlukan adanya kepastian dalam masyarakat yang teratur.6 Untuk mendukung program pembangunan di bidang hukum dan ekonomi tersebut, perlu dilakukan langkah nyata dan konkrit,7 yaitu perlunya mengembangkan peraturan perundangundangan yang mendukung kegiatan perekonomian dalam menghadapi era perdagangan

5

Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-konsep Hukum dalam Pembangunan, Alumni, Bandung, 2002, hlm

88.

Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan Nasional, Binacipta, tanpa tahun, hlm. 2-3. 7 Ujang Charda S., Hukum Bisnis (Suatu Pengantar):Bahan Kuliah Mahasiswa, Fakultas Hukum Universitas Subang, Subang, 2007, hlm.,2.

6

2

bebas tanpa merugikan kepentinagn nasional.8 Langkah nyata tersebut ditandai dengan adanya sistem perencanaan pembangunan nasional. Atas dasar isyarat yang sudah digariskan dallam sistem perencanaan pembangunan nasional yang merupakan political will dari pemerintah, ternyata dalam mengembangkan perekonomian tersebut telah diikuti dengan perkembangan didunia ketenagakerjaan sebagai bagian yang tidak bisa dilepaskan dari pembangunan hukum dan ekonomi, karena hal itu menyangkut hajat hidup orang banyak khususnya pekerja yang ditandai dengan munculnya beberapa peraturan perundang-undangan dibidang ketenagakerjaan sebagai jawaban atas isyarat yang diamanatkan dalam sistem perencanaan pembangunan nasional. B. Identifikasi Masalah 1. Bagaiamana perkembangan awal mula hukum ketenagakerjaan di Indonesia? 2. Bagaimana sejarah awal mula pembentukan Peratuaran Perundang-undangan tentang ketenagakerjaan di Indonesia sampai sekarang ?

Dey Ravena, kebijakan Kriminal dalam Menanggulangi Kejahatan di Bidang Pasar Modal, syair Madani Jurnal lImu Hukum Vol. V No. 1. Fakultas Hukum UNISBA, Bandung, 2003, hlm 59.

8

3

BAB II AWAL MULA SEJARAH HUKUM KETENAGAKERJAAN DAN PEMBENTUKAN PERATUURAN SAMPAI SEKARANG A. SEJARAH SINGKAT HUKUM KETENAGAKERJAAN9 Sejarah perkembangan hukum ketenagakerjaan indonesia melewati fase-fase sejarah perkembangannya yaitu jaman sebelum Indonesia merdeka sampai zaman Indonesia merdeka. 1. Zaman Sebelum Masuknya Kebudayaan India10 Bangsa indonesia tua berasal dari Asia Teengah dan tergolong ras Mongoloide, mulai meninggalkan benua asia sekitar 2000 tahun sebelum masehi. Bangsa itu bukan lagi

bangsa pengembara (nomaden), melainkan sudah mempunyai tempat tinggal tetap ditandai dengan membuat rumah, perahu bercarik, bercocok tanam, dan memlihara ternak. Dalam melakukan aktivitasnya, terutama dalam melakukan pekerjaan bercocok tanam sering dilakukan dengan cara saling membantu/tolong menolong yang dilakukan dengan cara bergotong royong, sehingga menjadikan hal tersebut merupakan sifat khas yang tumbuh dan berkembang bersama bangsa Indonesia. Apabila mempelajari sejarah bangsa Indonesia, terbukti bahwa bergotong royong dalam melakukan suatu pekerjaan sudah ada sejak zaaman kuno. Ada kemungkinan semenjak nenek moyang mengenal pertanian, gotong royong mulai dikembangkan. Hingga sekarang bukti-bukti kegotongroyongan itu tetap nampak, terutama kehidupan masyarakat desa.

Ujang Charda,Mengenal Hukum Ketenagakerjaan Indonesia (Sejarah, Teori, dan Praktiknya di Indonesia), Bungo Abadi, Bandung, 2008 hlm 7. 10 Ibid.

9

4

Gotong royong merupakan suatu sistem pengarahan tenaga tambahan dari luar kalangan keluarga yang dimaksudkan untuk mengisi kekurangan tenaga pada masa-masa sibuuk dalam lingkaran aktivitas produksi bercocok tanam di sawah. Untuk keperluan bantuan itu seorang petani meminta dengan sopan santun, kepada yang bisa membantu atau beberapa orang lain sedesanya, misalnya dalam mempersiapkan sawahnya untuk masa penanaman yang baru. Orang yang meminta bantuan tadi disamping turut bekerja seadanya juga harus menyediakan makanan setiap hari kerja kepada teman-teman yang membantunya itu selama bekerja. Imbalan lain tidak ada, tetapi yang meminta bantuan tadi mempunyai tanggung jawab moral untuk membantu semua petani yang diundangnya tadi, kelak kalau mereka membutuhkan hal yang sama. Dengan demikian, sesungguhnya hubungan kerja dimasyarakat Indonesia sudah ada sejak lama dan pada hakikatnyatidak mengenal balas jasa dalam bentuk materi (uang), akan tetapi bersifat gotong royong dalam uluran tangan secara timbal balik (resiprositas) tanpa ada paksaan. Sifat gotong royong ini dalam masyarakat memiliki nilai luhur dan diyakini membawa kemaslahatan, karena berintikan kebaikan, kebajikan dan hikmah bagi semua orang. Pada masa ini ternyata aturan di bidang hubungan kerja di masyarakat Indonesia telah ada seiring dengan perkembangan massyarakat adat, walaupun aturan yang dibuat tidak secara tertulis yang dalam hal ini disebut hukum ketenagakerjaan adat sebagai hukum asli yang memberikan identitas11 bagi bangsa indonesia dalam mengatur hubungan kerja yang mencerminkan kepribadian bangsa indonesia dan merupakan penjelmaan dari jiwa bangsa yang bersangkutan dari abad ke abad. Aturan adat dibidang ketenagakerjaan tersebut oleh masyarakat adat dengan penuh kesadaran ditaatinya dan masyarakat menaati bukan karena

Hukum adat mempunyai corak yang bersifat kebersamaan (komunal), artinya lebih mengutamakan kepentingan bersama, yang mana kepentingan pribadi diliputi oleh kepentingan bersama. Satu untuk semua dan semua untuk satu. Hubungan Hukum antara anggota masyarakat yang satu dan yang lain didasarkan oleh rasa kebersamaan, kekeluargaan, tolong menolong dan gotong royong, Lihat juga Soerjojo Wignjododipoero, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, Gunung Agung, Jakrta,1995 hlm.,13.

11

5

paksaan melainkan hal itu sesuai dengan nilai-nilai yangadadalam masyarakat itu sendiri12 yang tercermin dari kesadaran hukum masyarakat itu sendiri yang tercermin dari kesadaran hukum masyarakat yang sudah terpola dalam perilaku anggota masyarakat sehari-hari.13 2. Zaman Kerajaan14 a. Kerajaan Hindu-Budha Sekitar permulaan tarikh masehi di Asia terdapat dua buah negara besar, yaitu Cina dan India. Tingkat kebudayaan kedua negara sudah sangat tinggi terjadilah lalu lintas yang ramai antara kedua negara itu melalui darat dan laut. Kepulauan nusantara barat terletak pada lajur laut dimana desa-desa dan kota-kota di daerah itu mendapat kunjungan orang-orang asing, sehingga terjadilah percampuran (akulturasi) kebudayaan. Adapun yang sangat mempengaruhi kebudayaan bangsa Indonesia tua itu adalah kebudayaan india yang berupa agama Hindu-Budha sekitar tahun 400 yang ditandai dengan bermunculannya kerajaan-kerajaan Hindu, seperti Kuati, Purnawarman, Pajajaran, disamping kerajaan-kerajaan Budha, seperti Sriwijaya, Sailendra dan lain sebagainya. Pada zaman kerajaan-kerajaan tersebut pengaruh kebudayaan india nampak dengan berdirinya candi-candi megah, seprti Borobuddur, prambanan yang pembuatannya dikerjakan oleh masyarakat secara sukarella dan bergotong royong. Pengaruh lain adalah terjadinya stratifikasi sosial berupa sistem kasta, yaitu brahmana, ksatria , waisa, sudra, dan paria. Kasta bbrahmana merupakan kasta para pendeta, disamping sebagai lapisan tertinggi. Ksatria merupakan kasta orang-orang bangsawan dan tentara, dipandang sebagai lapisan kedua. Kasta waisa merupakan kasta pedagang yang dianggap sebagai lapisan menengah (ketiga). Sudra adalah

12

R. Otje Salman, Kesadaran Hukum Masyarakat Terhadap Hukum Waris, Alumni, Bandung 1993,

hlm39-40

13 14

R. Otje Salman, Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontemporer, Alumni, Bandung, 2001,hlm 53 Ujang Charda,Mengenal Hukum.... Op.Cit., hlm 8.

6

kasta orang-orang biasa (rakyat jelata). Orang yang tidak berkasta adalah golongan paria yang dikenal dengan nama the untouchables.15 Pada zaman ini kasta Sudra dan golongan yang tidak berkasta, mereka melakukan pekerjaan pada orang yang berkasta sebagai budak yang tidak mempunyai hakk apapun. Para budak hanya mempunyai kewajiban unntuk melakukan segala pekerjaan dan melakukan segala perintah tanpa sekalipun boleh menentangnya, sedangkan majikan sebagi pihak yang berkuasa betul-betul mempunyai hak penuh, bukan saja terhadap perekonomiannya, namun tterhhadap hidup dan matinya budak itu majikanlah yang berhak mengaturnnya.16 b. Kerajaan Islam Pada masa islam ini berdirilah ini berdirilah kerajaan-kerajaan islam seperti Malaka, Demak, Banten, Cirebon, Aceh, Mataram, Makasar dan sebagainya yang tidak lepas dari pengaruh agama Hindu dan Budha yang masih kental di dalam masyarakat, sehingga dalam masa ini stratifikasi sosial masih tetap ada, misalnya kita mengenal sebutan pangeran, raden yang merupakan sebutan khusus bagi kaum bangsawan yang berada dilingkungan kerajaan.17 Sementara bagi mereka yang bukan keturunan bangsawan (raja) tidak bisa memakai sebutan itu, dan biasanya mereka dalam struktur sosial merupakantukang (pekeja keras) yang mengabdi kepada majikannya. Walaupun sebutannya bukan budak, tetapi praktiknya mirip perbudakan, mereka begitu santun dan sangat menghormati majikannya. Hal ini memeng tidak bisa dipungkiri lagi, mereka lebih begitu santun dan sangat menghormati majikannya. Hal ini memang tidak tidak bisa dipungkiri lagi mereka lebih banyak melaksankan kewajiban dari pada menuntut hak sebagai manusia/ sebagai pekerja. Oleh karenanya dalam masa ini,15

Lihat Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesi, Mandar Maju, Bandung, 1992, hlm 35. Lihat juga Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Rajawali Pers, Jakarata, 1996, hlm 257. 16 Lalu Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta 2000, hlm 1. 17 Sebutan Khusus tersebut sampai dengan sekarang masih dipergunakan oleh mereka yang merupakan keturunan raja.

7

agama islam sebagai agama yang rahmatanlilalamin dan revolusioner yang selalu memperlakukan sesama mnusia sebagai saudara dan menempatkan manusia sebagai mahluk Allah SWT yang mempunyai kedudukan yang sama dihadapan sang khalik belum bisa dilaksanakan sepenuhnya, karena terhalang oleh dinding budaya bangsa yang sudah berlaku berabad-abad lamanya.18 Pada masa kerajaan islam ini, memang sedikit demi sedikit nilai-nilai keislaman diaplikasikan dan syariat islam dijadikan sebagai pedoman untuk melakukan revolusioner yang memperjuangkan nilai-nilai humanisme. Islam datang sebagai agama yang membebaskan manusia dari tindakan-tindakan diskriminatif dan tindakan yang menindas golongan lemah dari aniaya golongan kuat, dari ekploitasi yang kaya terhadap yang miskin, bahkan membebaskan manusia dari superioritas rasial.19 Oleh karena itu, dalam pandangan islam orang bekerja bukan hanya sebatas ubudiah belaka, tetapi merupakan proses yang konsekuensi logisnya adalah amal (batasan) yang akan kita terima sehingga dalam hal ini bekerja tidak hanya bersifat duniawi akan tetapi bersifat ritual atau ukhrowi.20 3. Zaman Verenigde Ootindische Compagnie (VOC) Hindia-Belanda pada abad ke 17 dan 18 tidak dikuasai secara langsung oleh pemerintah Belanda, namun oleh perusahaan dagang bernama perusahaan Hindia Timur Belanda, yaitu Verenigde Oostindische Compagnie (VOC). VOC telah diberikan hak monopoli terhadap perdagangan dan aktivitas kolonial diwilayah tersebut oleh parlemen belanda pada tahun 1602. Markasnya berada di Batavia, yang kini bernama Jakarta.21 Tujuan utama VOC adalah mempertahankan monopolinya terhadap perdagangan rempahrempah di Nusantara. Hal ini dilakukan melalui penggunaan ancaman kekerasan terhadap18 19

Ujang Charda,Mengenal Hukum....Op.Cit., hlm 9. Eggi Sudjana, Bayarlah Upah Sebelum Keringatnya Mengering, PPMI, Jakarta, 2000, hlm.66. 20 Ujang Charda,Mengenal Hukum....Op.Cit.,Ibid. Hlm.,9. 21 Ibid., hlm 10.

8

penduduk dikepulauan-kepualuan penghasil rempah-rempah, dan terhadap orang-orang non belanda yang mencoba berdagang dengan para penduduk tersebut. Contohnya, ketika penduduk kepaulauan Banda terus menjual biji pala kepada pedagang inggris, pasukan belanda membunuh atau mendeportasi hampir seluruh populasi dan kemudian

mempopulasikan pualu-pulau tersebut dengan pembantu-pembantu atau budak-budak yang bekerja di perkebunan pala dan dari pekerjaannya dituntutuntuk menghasilkan rempahrempah dalam jumlah ysng besar yang nantinya akan dibawa ke negeri Belanda. 22 Pada alur abad ke 17, yakni sekitar bulan Maret 1602 Belanda berusaha memonopoli perdagangan rempah-rempah dengan membentuk suatu kongsi dengan bernama VOC (vereenigde oost indische compagnie). Tahun 1603- VOC telah membangun pusat perdagangan pertama yang tetap di banten, namun tidak menguntungkan karena persaingan dengan para pedagang tionghhoa dan Inggris Februari 1605 Armada VOC bersekutu dengan Hitu menyerang kubu pertahanan Portugis di Ambon dengan Imblan VOC berhak sebagai pembeli tunggal rempah-rempah di Hitu.23 Pada tahun 1602 dalam rangka mengatasi masalah penyelundupan di Maluku, VOC melakukan pembuangan, pengusiran bahkan pembantaian seluruh penduduk pulau Banda dan berusaha menggantikannya dengan orang-orang Belanda pendatang dan mempekerjakan tenaga kerja kaum budak. Tahun 1710 VOC mengalami masalah keuangan yang sangat berat diwilayah Asia selama kurun waktu tersebut dan banyak mengeluarkan biaya-biaya yang sangat tinggi akibat pemberontakan, disamping pengeluaran dari pribadi VOC yang tidak efisien, kebejatan moral, korupsi yang merajalela dan banyaknya melakukan pembayaran dengan uang VOC untuk suatu pekerjaan yang tidak pernah dilakukan, bahkan para budak

22 23

Ibid., hlm 11. Ibid.

9

(pekerja) yang bekerja di perkebunan pala tidak dibayar, justru mereka diperlakukan tidak manusiawi hanya diperas tenaganya saja.24 4. Zaman Hindia Belanda Berdasarkan Pasal 163 IS (indische Staaregeling) pada zaman Hindia Belanda penduduk dibagi kedalam 3 golongan, yaitu:25 a.Golongan Eropa: 1) semua orang Belanda 2) semua orang Eropa lainnya 3) semua orang Jepang yang berasal dari tempat lain yang di negaranya tunduk pada hukum keluaraga yang pada pokoknya berdasarkan asas yang sama seperti hukum Belanda. 4) Anak sah dan diakui menurut undang-undang dan yang dimaksud sub 2) dan 3) yang lahir di Hindia Belanda. b.Golongan Bumiputra semua orang yang termasuk rakyat Indonesia asli yang tidak beralih pada golongan lain dan yang semula termasuk golongan lain yang telah membaurkan dirinya dengan rakyat Indonesia asli. c. Golongan Timur Asing Semua orang yang bukan golongan Eropa dan golongan Bumiputra Selanjutnya menurut Pasal 131 IS dinyatakan bahwa bagi golongan Eropa berlaku hukum di negeri Belanda, yaitu (hukum Eropa dan Eropa Barat ) dan bagi golongan-golongan24 25

Ibid. Ibid.

10

lainnya (Bumiputra dan Timur Asing) berlaku hukum adat masing-masing. Apabila kepentingan umum serta kepentingan sosial mereka menghendaki, maka hukum golongan Eropa Barat dapat dinyatakan berlaku bagi mereka, baik seutuhnya maupun dengan perubahan-perubahan dan juga diperbolehkan membuat suatu peraturan baru bersama, yakni dengan cara penundukan diri. Dengan pembagian penduduk tersebut dalam lapangan hukum ketenagakerjaan justru terjadi suatu keadaan yang sungguh sangat memperlihatkan, yaitu adanya:26 a. Perbudakan Sebetulnya pada masa kerajaan-kerajaan Indonesia perbudakan sudah dikenal, namun pada masa kerajaan-kerajaan pihak majikan memberikan pemondokan, makanan dan lainnya, walaupun hal ini tidak dianggap sebagai kewajiban tetapi bersifat kebijaksanaan berdasarkan atas keluhuran budi majikan. Sementara itu, pada masa Hindia Belanda, kasus perbudakan sangat meningkatdan perlakuan terhadap budak sangat keji dan tidak berkeprimanusiaan, oleh karena itu, satu-satunya penyelsaiannya adalah mendudukan para budak pada kedudukan manusia merdeka, baik sosiologis maupun yuridis dan ekonomis. Perlakuan yang tidak berprikemanusiaan terhadap budak itu, menggugah Sir Thomas Stampord Reffles (Gubernur Jendral Inggris yang memerintah 1811-1816) sebagai orang yang anti perbudakan mendirikan The Java Benevolen Institution Tahun 1816, yakni suatu lembaga yang bertujuan untuk menghapuskan perbudakan, namun lembaga ini belum mencapai hasilnya Inggris sudah harus meninggalkan Indonesia. Setelah Indonesia kembali diserahkan kepada Belanda, usaha penghapusan perbudakan yang dirintis oleh reffles itu mendapat perhatian penuh dari pemerintah Hindia Belanda yang mengeluarkan Staatblad 1817 nomor 42 yang berisikan larangan untuk memasukan budak-budak ke pulau jawa26

Ibid., hlm12.

11

kemudian tahun 1818 ditetapkan pula suatu Undang-Undang Dasar Hindia Belanda, yaitu Regeling Reglement (RR) 1818.27 Berdasarkan Pasal 115 RR, menetapkan bahwa paling lambat pada tanggal 1 Januari 1960, perbudakan diseluruh Hindia Belanda dihapus.28 b. Peruluran Peruluran ini terjadi setelah Jam Pieterszoon Coen pada tahun 1621 dan 1622 memporakporandakan pulau Banda, semua penduduk dibunuh atau diangkut keluar sebagai budak. Tanah yang menjadi kosong dibagi dalam kebun-kebun dan diberikan kepada bekas pegawai kompeni dan orang lain. Orang yang diberi kebun disebut parkenler. Mereka itu dengan dibantu oleh orang-orang Cina dan para budak diharuskan menanam pala yang harus dijual kepada kompeni dengan harga yang ditetapkan oleh kompeni pula. Wajib menanam dan menjual tanaman tertentu ini kemudian menjadi bagian dari cultur stelsel yang berlangsung sampai dengan tahun 1863.29 c. Perhambaan Perhambaan (pandelingschap) terjadi bila seorang pembeli gadai menyerahkan dirinya sendiri atau orang lain yang ia kuasai atas pemberian pinjaman sejumlah uang kepada seorang penerima gadai yang mendapat hak untuk minta dari orang yang gadaikan itu (hamba) agar melakukan pekerjaan baginya dengan kewajiban memerdekakan kembali atau menyerahkan kembali kepada pemberi gadai pada waktu uang pinjaman dilunasi kepada pemegang gadai. Pekerjaan yang dilakukan oleh seorang hamba untuk kepentingan orang yang meminjamkan uang itu, biasanya adalah untuk melunasi utangnya ataupun tidak untuk mencicil utangnya itu, tetapi hanya untuk membayar bunganya saja. Dalam hal yang terakhir ini adalah jelas, bahwa nyatanya perhambaan ini tidak berbeda dengan perbudakaan . seorang27 28

Zainal Asikin, et. al., Dasar-dasar Hukum Perburuhan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hlm.,9. Ujang Charda,Mengenal Hukum....Op.Cit., hlm13 29 Ibid.

12

hamba semacam ini tetap berada dalam kekuasaan pemberi pinjaman. Penghapusan perhambaan ini juga memerlukan waktu yang cukup lama, yaitu kira-kira satu abad. Dalam laporan kolonial tahun 1922, misalnya di Tapanuli pada Tahun 1921 ditemukan adanya 50-an kejadian perhambaan perhambaan.30 d. Rodi (Kerja Paksa) Zaman rodi/kerja paksa ini mulai terjadi bersamaan dengan zaman perbudakaan, dan resminya berakhir untuk Jawa dan Madura tanggal 1 Februari 1938.31 Rodi/kerja paksa mulamula merupakan pekerjaan gotong royong oleh semua penduduk suatu desa/anggota suku tertentu untuk kepentingan desa/suku tersebut, nammun hal ini dimanfaatkan oleh penjajah menjadi suatu kerja paksa untuk kepentingan pemerintah Hindia Belanda beserta pembesarpembesarnya. Pada zaman Hindia Belanda rodi/kerja paksa digolongkan dalam 3 golongan, yaitu:32 1) Rodi Gubernemen, yaitu Rodi para Gubernemen dan pegawainya . 2) Rodi Perseorangan, yaitu rodi untuk kepentingan kepala dan pembesar-pembesar Indonesia. 3) Rodi desa, yaitu rodi untuk kepentingan desa. Sebetulnya sejak tahun 1819 di Hindia Belanda sudah ada apa yang disebut dengan hubungan perburuhan, yaitu hubungan antara buruh dan majikan secara biasa tanpa paksaan juga diSulawesi rupa-rupanya masih ada perbudakan dan

Ibid. Imam Soepomo, Hukum Perburuhan Bidang Kesehatan Kerja (Perlindungan Buruh), Pardnya Paramita, Jakarta, 1983, hlm.,15. 32 Iman Soepomo, Pengantar Hukum Perburuhan, Djambatan, Jakarta, 1999, hlm 20-21.31

30

13

siapapun hal ini dapat dibuktikan dengan adanya ketentuan Staatblad Nomor 10 Taahun 1819 yang menentukan bahwa :33 1) Setiap perjanjian kerja harus dibuat secara tertulis dan harus didaftar dikantor keresidenan. 2) Pendaftaran baru akan diterima apabila ternyata dalam perjanjian kerja tersebut tidak terdapat unsur-unsur pemaksaan, ancaman pemerasan, dan lain sebagainya dan ddengan demikian berarti semua persyaratan kerja harus mempunyai kelayakan. 3) Pengawasan terhadap pelaksanaan perjanjian kerja itu harus dilakukan oleh residen dan para pengawas pajak terutama mengenai atau untuk mencegah timbulnya tindakan-tindakan yang bertentangan dengan perjanjian-perjanjian kerja tersebut. 4) Jangka waktu perjanjian paling lama 5 tahun. Perusahaan-perusahaan perkebunan yang ada pada waktu itu sulit untuk mendapatkan buruh disebabkan adanya kerja rodi, maka pemerintah terpaksa mencabut peraturan diatas dan menggantikannya dengan Staatblad 1838. Berrdasarkan peraturan ini pengusaha diberikan kekuasaan untuk mengadakan perjanjian kerja dengan penguasaan (Kepala Desa), yang mana kepala desa diberikan hak untuk mengerahkan penduduk agar mau bekerja diperusahaan-perusahaan perkebunan.34 Pada zaman Hindia Belanda, rodi merupakan kerja paksa yang harus dilaksanakan oleh rakyat untuk kepentingan pihak pengauasa dan diilaksankan tanpa prikemanusiaan. Sehingga pelaksanaan rodi banyak menimbulkan korban bagi penduduk, baik jiwa maupun harta benda, misalnya saja pada pelaksanaan sistem tanam paksa (cultur stelsel) pada masa pemerintahan Gubernur van de Bosch yang dalam praaktiknya memberatkan rakyat dan menjadikan rakyat melarat. Contoh lain adalah pada pelaksanaan kerja paksa membuat jalan33 34

Zainal Asikin, et, al.,,.... op cit., hlm 16. Ujang Charda,Mengenal Hukum....Op.Cit., hlm.14.

14

raya dari Anyer ke Panarukan-Banyuwangi, yakni pada pemerintahan Gubernur Jendral Hendrik William Deandles (1807-1811). Sejak itu pula rodi digiatkan untuk pendirian benteng, pengengkutan benda berat untuk kepentingan militer, pembuatan pabrik-pabrik, pembuatan waduk dan sebagainya.35 Didalam praktinya kerja paksa atau rodi umumnya dimintakan tiap hari, tetapi menurut keperluan misalnya:36 1) Membuat memperbaiki dan memelihara bangunan umum seperti jalan, jembatan, tanggul, bendungan, bangunan perairan, pasar tempat penjagaan tanda jarak, jalan rumah pembesar, pasranggahan, penjagaan listrik, penebangan kayu, dan

pengengkutan dari hutan, untuk itu, kerja paksa tidak diberikan upah tapi kadangkadang diberikan makan 2) Membuat, memelihara dan memperbaiki semua bangunan negara untuk mana tidak dapat diperoleh buruh biasa. Untuk kerja paksa dengan seijin gubernur Jendral dibayar upah. Kerja paksa meliputi pekerjaan yang sehari-harinya memerlukan jumlah pekerja tertentu misalnya untuk:37 1) Penjaga gudang negara pasanggrahan penyebrangan, Candi, makam keramat dan penjara 2) Penjagaan dan pembersihan pasar 3) Penjagaan ditempat penjagaan 4) Keperluan pembesar tertentu 5) Pengaturan surat, pengangkutan barang dan orang-orang beserta narapidana.35 36

Lalu Husni, Pengantar....op. cit., hlm.,5. Ujang Charda,Mengenal Hukum....Op.Cit., hlm15 37 Ibid.

15

e. punale Sanksi punale sanksi (poenale sanctie) terjadi karena adanya kebijaksanaan agrarisch wet tahun 1870 yang berimplikasi pada ketersediaan lahan perkebunan swasta yang sangat besar. Agar perusahaan mendapatkan buruh yang melakukan pekerjaan, maka didalam algemen politie strafreglement dicantumkan bahwa buruh yang tidak dengan alasan yang tidak dapat diterima, meninggal atau menolak melakukan pekerjaan dapat dipidana dengan denda antara Rp.16,00 sampai Rp. 25,00 atau dengan kerja paksa selama 7 sampai 12 hari penghukuman kepada buruuh yang tidak melakukan pekerjaan inilah yang disebut dengan punale Sanksi.38 Pada hakekatnya punale sanksi ini tidak semata-mata pada pidana denda, tetapi yang menjadi persoalan sebenarnya adalah kemungkinan diangkutnya buruh kembali ke tempat kerja untuk melakukan pekerjaan. Selain kerja paksa dikenal pula apa yang dinamakan dengan pancen.39 Pancen ini adalah sejenis kerja paksa yang khusus dilakukan untuk keperluan pembesar Gubernemen. Macamnya untuk keperluan kerja paksa ini tergantung kepada keperluan dan kebijaksanaan pembesar itu sendiri dan ini biasanya timbul karena pembesar itu menghadapi kesulitan dan kekurangan gaji.40 5. Zaman Jepang Pada zaman ini tidak banyak riwayat hukum ketenagakerjaan yang dapat dikemukakan, hal ini disebabkan karena Jepang menduduki Indonesia begitu singkat, yakni hanya tiga tahun tiga bulan, sehingga tidak ada perhatianya kepada ketenagakerjaan di Indonesia, selain memusatkan diri bagaimana dan mempertahankan dirinya dari serangan tentara sekutu. Tetapi satu hal yang tidak bisa dilupakan dalam sejarah hukum ketenagakerjaan dimasa ini adalah romusha, yakni semacam rodi yang dilakukan diluar batas kemanusiaan dan hanya38 39

Ibid. Maimun, Hukum Ketenagakerjaan (Suatu Pengantar), Pradnya Paramita, Jakarta, 2004, hlm3. 40 Ujang Charda,Mengenal Hukum....Op.Cit., hlm 16.

16

mementingkan pemerasan tenaga kerja tanpa memperhatikan keadaan tenaga kerjanya. Melalui romusha ini sistem kerja dilakukan secara terus menerus tanpa upah makanan yang diberikan kepada buruh pun sangat kurang, sehingga tidak jarang banyak tenaga kerja yang mati kelaparan atau dibunuh. Ketenagakerjaan yang paling mengganas dimana kebebasan buruh tidak ada sama sekali. Keadaannya seperti tawanan yang bekerja selalu ada diujung sangku bala tentara jepang.41 6. Zaman setelah Indonesia Merdeka42 Perkembangan Hukum ketenagakerjaan di Indonesia setelah kemerdekaan ditandai dengan fase-fase sebagai berikut: a. Masa sebelum Reformasi 1) Orde Lama a) Masa pengesahan Undang-Undang Dasar 1945 (18 Agustus 1945) Pengaturan dibidang ketenagakerjaan pada awal kemerdekaan belum memadai, walaupun secara yuridis konstitusional Undang-Undang Dasar 1945 telah mengaturnya melalui Pasal 27 Ayat (2) namun ini semua belum cukup dan untuk menghindari kekosongan hukum, maka dipergunakanlah produk hukum penjajah (Belanda) berdasarkan ketentuan Pasal 1 Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 masih tetap berlaku sepanjang belum diganti denagn yang baru, Peraturan ketenagakerjaan yang dimaksud, misalnya Pasal 7A Buuku III KUHPerdata beserta peraturan lainnya yang dikeluarkan pada zaman penjajahan Belanda. b) Masa Revolusi Fisik (1945-1949) Pada masa ini ditandai dengan keluarnya beberapa undang-undang, yaitu:41 42

Zainal Asikin, et, al.,... op. Cit., hlm 21. Ujang Charda,Mengenal Hukum....Op.Cit.,hlm17-21.

17

(1) Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1947 tentang Kecelakaan (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1948 tentang Kerja (3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1948 tentang Pengawasan Perburuhan (4) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya kembali Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1947 untuk seluruh Indonesia (5) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1951 tentang pernyataan berlakunya kembali Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1948 untuk seluruh Indonesia. (6) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1951 tentang pernyataan berlakunya kembali Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1948. c) Masa Libelaisme (1950-1959) Pada masa ini ditandai dengan keluarnya undang-undang sebagai berikut: (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1953 tentang Kewajiban

Melaporkan Perusahaan . (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1954 tentang Perjanjian Perburuhan antara Serikat Buruh (3) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1956 tentang Pengesahan Konvensi ILO Nomor 98 mengenai Kebebasan Berserikat dan Berunding Bersama. (4) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelsaian Perselisihan Perburuhan. (5) Undang-Undang Nomor 80 Taahun 1957 tentang Ratifikasi Konvensi ILO Nomor 100 mengenai Pengupahan yang sama antara Pekerja Lakilaki dengan Wanita untuk Bidang Pekerjaan yang Sejenis (6) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1958 tentang Penempatan Tenaga Kerja Asing.18

d) Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1966) Pada masa ini ditandai denagan munculnya berbagai peraturan perundangundangan dibidang ketenagakerjaan diantaranya: (1) peraturan penguasa perang peraturan pengausa perang tertinggi Nomor 4 tahun 1960 tentang Pencegahan Pemogokan dan/atau Penutupan (lock out) di Perusahaan-perusahaan Jawatan-jawatan dan Badan-badan yang vital. (2) Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang Nomor 45 Tahun 1960 tentang Pembentukan Dewan Perusahaan. (3) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1961 tentang Pengesahan Konvensi ILO Nomor 106 Mengenai Hygein Perusahaan. (4) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1961 tentang Wajib Kerja Sarjana. (5) Penetapan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1963 tentang Pencegahan Pemogokan dan atau Penutupan (Lock Out) di Perusahaanperusahaan, Jawatan-jawatan, Badan-badan yang Vital. (6) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan-perusahaan swasta. 2) Masa Orde Baru (1966-1998) Pada masa iniperrkembangan ketenagakerjaan ditandai dengan munculnya ketentuan sebagai berikut: a) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1969 tentang ketentuan-ketentuan pokok mengenai Tenaga Kerja. b) Undang Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keslamatan Kerja c) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja. d) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan

19

b) Masa Orde Reformasi (1998 sampai dengan sekarang) pada masa Orde Reformasi sekarang ini perkembangan pengaturan dibidang ketenagakerjaan ditandai dengan dilakukannya perubahan Undang-Undang Dasar 1945 yang dilakukan dengan cara addendum melalui empat tahapan persidangan, yaitu dari tahun 1999 sampai dengan tahun 2002 berkaitan dengan bidang ketannagakerjaan telah terjadi penambahan Pasal, yakni diantaranya Pasal 28 D Ayat (2). Pada masa Orde Reformasi Pembangunan dikeluarkan berbagai Undang-Undang di bidang ketenagakerjaan diantaranya adalah: 1) Kabinet Reformasi Pembangunan Pada masa kabinet Reformasi Pembangunan dikeluarkan berbagai undang-undang di bidang ketenagakerjaan diantaranya adalah: a) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1998 tentang Penundaan Berlakunya UndaangUndang Nomor 25 Tahun 1997 tentanng ketanagakerjaan. b) Keputusan Presiden Nomor 83 tahun 1998 tentang Ratifikasi Konvensi ILO Nomor 87 mengenai Kebebasan Berserikat dan Berkumppul Bersama. c) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1999 tentang ratifikasi Konvensi ILO Nomor 105 mengenai penghapusan Kerja Paksa. d) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1999 tentang Ratifikasi Konvensi ILO Nomor 138 mengenai Batas Usia Minimum untuk diperbolehkan Bekerja. e) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1999 tentang Ratifikasi Konvensi ILO 111 Mengenal Diskriminasi dalam Pekerjaan dan Jabatan

20

1) Kabinet Persatuan Nasional Pada masa Kabinet Persatuan Nasional dikeluarkan perundang-undangan ketanagakerjaan diantaranya: a) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2000 tentang Penundaan kembali Berlakunya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1997. b) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2000 menjadi Undang-undang. c) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh. d) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang ratifikasi Konvensi ILO Nomor 182 mengenai pelarangan dan penghapusan segera bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak e) Peraturan Pemerintah Nomor 83 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Jaminan Sosial tenaga Kerja sebagimana telah diubah dengan peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 1998. f) Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2001 tentang Pembenttukan Komite Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak. g) Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor :Kep 150/MEN/2001 tentang Pendaftaran Anggota Serikat Pekerja/Serikat Buruh. 3)Kabinet Gotong Royong Pada masa kabinet Gotong Royong dikeluarkan peraturan Perundang-undangan ketenagakerjaan diantaranya adalah: a) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak b) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

21

c) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1948 tentang d) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelsaian Hubungan Industrial e) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja di Luar Negeri f) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional g) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2004 tentang Pengelolaan dan Investasi Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja h) Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2004 tentang Tata Cara Pengangkatan dan Pemberhentian Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan Industrial dan Hakim Ad-Hoc pada Mahkamah Agung i) Keputusan Presiden Nomor 25 Tahun 2004 tentang Tunjangan Jabatan Fungsional Pengawas Ketenagakerjaan, Perantara Hubungan Industrial dan Pengantar Kerja j) Keputusan Presiden Nomor 107 Tahun 2004 tentang Dewan Pengupahan

3) Kabinet Indonesia Bersatu Pada masa Kabinet Indonesia Bersatu dikeluarkan peraturan Perundang-undangan ketenagakerjaan diantaranya adalah: a) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang 1 Tahun 2005 tentang

Peenangguhan Mulai Berlakunya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelsaian Perselisihan Hubungan Industrial b) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2005 tentang penangguhan mulai berlakunya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelsaian Persellisihan Hhubungan Industrial menjadi Undang-Undang.

22

Berdasarkan

gambaran

diatas,

bahwa

perjuangan

dalam

menegakan

hukum

ketenagakerjaan diberi nama Pancakirda Hukum Ketenagakerjaan, yaitu: 1. Membebaskan manusia Indonesia dari perbudakan dan perhambaan 2. Membebaskan penduduk Indonesia dari rodi atau kerja paksa. 3. Membebaskan pekerja Indonesia dari punale sanksi 4. Membebaskan pekerja dari ketakutan kehilangan secara semena-mena 5. Memberikan kedudukan hukum yang seimbang kepada pekerja dan lebih lagi memberikan kedudukan ekonomis yang layak merupakan usaha yang pada umumnya masih harus dimulai. Krida kesatu sampai dengan krida ketiga secara yuridis sudah lenyap dengan dicetuskannya proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945 dan sehari kemudian, yakni tanggal 18 Agustus 1945 ditetapkannya Undang-Undang Dasar 1945 yang didalam Pasal 27 Ayat (1) memuat jaminan kesamaan warga negara dalam hukum dan pemerintahan,43 walaupun dalam praktiknya masih terjadi di Indonesia, sedangkan kirda keempat sampai sekarang ini belum dapat dicapai sepenuhnya. Masih banyak terjadi kasus-kasus pemutusan hubungan kerja yang disebabkan oleh adanya tuntutan dari para pihak berbuntut pada pemutusan hubungan kerja, karena itu kondisi yang terjadi adalah para pekerja tidak berani menuutut hak-haknya meskipun tidak sesuai dengan aturan yang ada, karena alasan takut diputus hubungan kerjanya, sedangkan kirda kelima yakni meerupakan cita hukum di bidang ketenagakerjaan yang masih harus diperjuangkan tercapainya oleh semua pihak.44

43 44

Lalu Husni,Pengantar..... op. Cit., hlm 4. Ujang Charda,Mengenal Hukum....Op.Cit., hlm 21.

23

Simpulan dan Saran Kesimpulan Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa: 1. Perkembangan awal mula sejarah hukum ketenagakerjaan Indonesia dibagi menjadi 6 zaman, pertama zaman sebelum masuknya kebudayaan India, kedua zaman kerajaan, ketiga zaman VOC, keempat zaman Hindia Belanda, kelima zaman Jepang, dan yang terakhir zaman setelah Indonesia merdeka. 2. Pembentukan peraturan hukum ketenagakerjaan dimulai sejak zaman setelah Indonesia Merdeka. Saran. 1. Dengan melihat sejarah hukum ketenagakerjaan di Indonesia kita bisa melihat peristiwa pekerja dalam menutut haknya yang tidak sebanding dengan kewajibannya, maka dengan sejarah kita disarankan untuk memahami dan mengartikan hakekat dari perjuangan pekerja secara mendalam khususnya bagi pemerintah dan majikan 2. Dengan pembentukan peraturan disarankan kepada pemerintah sebagai untuk menjamin kesejahteraan para pekerja mengupayakan keadilan.

24

DAFTAR PUSTAKA Budi Supriyanto, Tata Ruang dalam Pembanguanan Nasional (Suatu Setrategi dan Pemikiran), Board of Science Development Strategies, 1996, Dey Ravena, kebijakan Kriminal dalam Menanggulangi Kejahatan di Bidang Pasar Modal, syair Madani Jurnal lImu Hukum Vol. V No. 1. Fakultas Hukum UNISBA, Bandung, 2003. Eggi Sudjana, Bayarlah Upah Sebelum Keringatnya Mengering, PPMI, Jakarta, 2000. F.X. Djumladji, Hukum Bangunan (Dasar-Dasar Hukum dalam Proyek dan Sumber Daya Manusia), Rineka Cipta, Jakarta, 1996 F.X. Djumialdi, Hukum Pemborongan, Rineka Cipta, Jakrta, 1995. Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesi, Mandar Maju, Bandung, 1992. Imam Soepomo, Hukum Perburuhan Bidang Kesehatan Kerja (Perlindungan Buruh), Pardnya Paramita, Jakarta, 1983. Iman Soepomo, Pengantar Hukum Perburuhan, Djambatan, Jakarta, 1999. Lalu Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta 2000. Maimun, Hukum Ketenagakerjaan (Suatu Pengantar), Pradnya Paramita, Jakarta, 2004. Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-konsep Hukum dalam Pembangunan, Alumni, Bandung, 2002. Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan Nasional, Binacipta, tanpa tahun, Munir Fuady, Hukum Bisnis dalam Teori dan Praktik (Buku Ketiga), Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996. Rachmanto, Hukum Pajak Internasional, Modul Pelatihan Transfer Pricing yang diselenggarakan oleh Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan, Departemen Keuangan Republik Indonesia, Jakarta, 1993. R. Otje Salman, Kesadaran Hukum Masyarakat Terhadap Hukum Waris, Alumni, Bandung 1993. R. Otje Salman, Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontemporer, Alumni, Bandung, 2001. Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Rajawali Pers, Jakarata, 1996. Soerjojo Wignjododipoero, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, Gunung Agung, Jakrta,1995.25

Ujang Charda S., Hukum Bisnis (Suatu Pengantar):Bahan Kuliah Mahasiswa, Fakultas Hukum Universitas Subang, Subang, 2007. Ujang Charda,Mengenal Hukum Ketenagakerjaan Indonesia (Sejarah, Teori, dan Praktiknya di Indonesia), Bungo Abadi, Bandung, 2008. Zainal Asikin, Dasar-dasar Hukum Perburuhan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002.

26